JURNAL PERMUKIMAN Volume 4 No.1 Mei 2009
ISSN : 1907 – 4352 Pengantar Redaksi
Menjelang akhir tahun 2008, Jurnal Permukiman berdasarkan surat dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) No. 0673/SU.6/IF/2008 harus mempersiapkan untuk mengikuti proses akreditasi ulang. Redaksi pun berupaya melengkapi ke-13 persyaratan administrasinya, dan semua itu dapat kami penuhi atas dukungan dari pimpinan, dewan penelaah, dan mitra bestari. Semoga Jurnal Permukiman dapat meningkat mutu penilaian akreditasinya. Mengawali terbitan yang pertama, sebagai pembuka kami menyajikan tulisan mengenai inovasi teknologi yang berwawasan lingkungan dalam mengatasi pencemaran air limbah rumah tangga. Tulisan Ida Medawaty tentang “Sanitasi Taman Salah Satu Alternatif Sistem Pengolahan Air Limbah Rumah Tangga” menjelaskan bahwa sanita merupakan pendekatan ekosistem yang mengolah air limbah (tinja dan urine) untuk di daur ulang menjadi bahan gizi (nutrien) yang tidak membahayakan kesehatan manusia dan tidak mencemari lingkungan. “Kajian Regionalisasi Tempat Pemerosesan Akhir (TPA) Sampah Menggunakan Metoda Analisis SWOT (Studi Kasus TPA Benowo Surabaya)” yang ditulis oleh Sarbidi berkaitan dengan keterbatasan lahan tempat pemerosesan akhir sampah di kawasan perkotaan dimana penyediaan dan pengoperasiannya menjadi sangat mahal serta juga memicu munculnya konflik kepentingan antar kota. Adapun alternatif lain berkaitan dengan keterbatasan lahan TPA disampaikan oleh Sri Darwati dalam tulisannya berjudul : “Potensi Rehabilitasi Tempat Pemerosesan Akhir Sampah melalui Penambangan Lahan Urug” dengan tujuan untuk mengetahui potensi dan kendala penambangan lahan urug dan mengurangi biaya untuk mencari lahan TPA baru serta mendapatkan bahan penutup sampah. Penelitian “Papan Partikel dari Pelepah Kelapa Sawit” yang telah dilakukan oleh Nurul Aini S., Kustin Bintani, Abdul Haris memanfaatkan potensi limbah pelepah kelapa sawit sebagai bahan baku dalam pembuatan papan partikel guna mendapatkan sifat fisis dan mekanisnya. Nuraini melakukan “Analisis Kinerja Peredam Viscoelatis Di Antara Dua Sub Sistem Struktur” dengan tujuan untuk mendapatkan perbandingan analisa kinerja peredam viscoelastis dengan beberapa alternatif posisinya pada struktur portal terhadap respon dinamiknya dengan beberapa variasi variabel : dimensi elemen struktur, faktor kekakuan dan rasio redaman. Sebagai penutup, Andreas Wibowo menulis mengenai “Struktur dan Kinerja Industri Konstruksi Nasional : Pendekatan Analisis Input - Output”. Tulisan ini mendiskusikan struktur dan kinerja sektor industri konstruksi sebelum dan setelah krisis moneter 1997/1998 secara kuantitatif menggunakan model Input-Output.
Alamat Redaksi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Badan Litbang Dep. Pekerjaan Umum Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kab. Bandung 40393 PO Box 812 Bandung 40008, Indonesia Telp. 022-7798393 (4 saluran), Fax. 022-7798392, Email :
[email protected]
Akreditasi Jurnal Permukiman ditetapkan sebagai Majalah Berkala Ilmiah : TERAKREDITASI C Nomor : 15/AKRED-LIPI/P2MBI/9/2006 Berdasarkan Kutipan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor : 1417/D/2006 Tanggal 1 November 2006
i
JURNAL PERMUKIMAN Volume 4 No.1 Mei 2009
ISSN : 1907 – 4352
PELINDUNG : Kepala Pusat Litbang Permukiman, PEMIMPIN REDAKSI : Kepala Bidang Standar dan Diseminasi REDAKSI PELAKSANA : Drs. Duddy D. Kusumo, MBA., Dra. Roosdharmawati, Adang Triana DEWAN PENELAAH NASKAH : Sains Bangunan : Prof. Dr. Ir. Suprapto, MSc. FPE. (Pusat Litbang Permukiman) Tata Ruang Bangunan dan Kawasan : Ir. Indra Budiman Syamwil, MSc. Ph. D. (Institut Teknologi Bandung) Dra. Sri Astuti, MSA. (Pusat Litbang Permukiman) Ir. Arief Sabaruddin, CES. (Pusat Litbang Permukiman) Dra. Inge Komardjaja, Ph. D. (Pusat Litbang Permukiman) Bahan Bangunan : Prof. Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M. Agr. (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Lasino, ST. APU. (Pusat Litbang Permukiman) Dr. Ir. Anita Firmanti, MT. (Pusat Litbang Permukiman) Andriati Amir Husin, MSi. (Pusat Litbang Permukiman) Struktur dan Konstruksi : Ir. Iswandi Imran, MASc. Ph. D. (Institut Teknologi Bandung) Ir. Silvia F. Herina, MT. (Pusat Litbang Permukiman) Ir. Maryoko Hadi, MT. (Pusat Litbang Permukiman) Lingkungan Permukiman : Dr. Ir. Tri Padmi (Institut Teknologi Bandung) Ir. Nurhasanah S., MM. (Pusat Litbang Permukiman) Ir. Lya Meilany S., MT. (Pusat Litbang Permukiman
Jurnal Permukiman Telah diterbitkan sejak tahun 1985 dengan nama Jurnal Penelitian Permukiman. Tahun 2006 berubah nama menjadi Jurnal Permukiman dengan jumlah terbitan 3 (kali) dalam setahun yaitu pada bulan Mei, September, dan Nopember
ii
JURNAL PERMUKIMAN Volume 4 No.1 Mei 2009
ISSN : 1907 – 4352
Daftar Isi
Hal
Sanitasi Taman Salah Satu Alternatif Sistem Pengolahan Air Limbah Rumah Tangga .. Oleh : Ida Medawaty
1-9
Kajian Regionalisasi Tempat Pemerosesan Akhir (TPA) Sampah Menggunakan Metoda Analisis SWOT (Studi Kasus TPA Benowo Surabaya) ............................................... Oleh : Sarbidi
10-28
Potensi Rehabilitasi Tempat Pemerosesan Akhir Sampah melalui Penambangan Lahan Urug .................................................................................................................. Oleh : Sri Darwati
29-37
Papan Partikel dari Pelepah Kelapa Sawit .............................................................. Oleh : Nurul Aini S., Kustin Bintani, Abdul Haris
38-45
Analisis Kinerja Peredam Viscoelastis di antara Dua Sub Sistem Struktur ................... Oleh : Nuraini
46-53
Struktur dan Kinerja Industri Konstruksi Nasional : Pendekatan Analisis Input – Output ................................................................................................................ Oleh : Andreas Wibowo
iii
54-66
SANITASI TAMAN SALAH SATU ALTERNATIF SISTEM PENGOLAHAN AIR LIMBAH RUMAH TANGGA Oleh: Ida Medawaty
Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyawungan Cileunyl Wetan-Kab. Bandung 40393 E-mall:
[email protected] Tanggal masuk naskah: 06 Agustus 2008, Tanggal revisi terakhir : 05 September 2008
Abstrak
Sanitasi Taman (Sanita) adalah suatu sistem berdasarkan pendekatan ekosistem dengan mengolah air /limbah berupa tinja manusia dan urine sebagai sumber yang bermanfaat untuk didaur ulang, atau suatu usaha untuk mengembalikan tinja dan urine yang telah diolah sebagai persediaan bahan gizi dan upaya perbaikan kualitas dari tanah. Dalam sanita yang mendaur ulang proses menjadi bahan gizi (nutrien) tanpa membahayakan kesehatan manusia dan tidak menghasilkan pencemaran lingkungan. Pengolahan tinja dan urine dengan biofilter atau tangki sentik sebelum memasuki badan air dapat dialirkan ke dalam sanita yang sudah diisi kerkil dan ditanami dengan berbagai jenis tanaman air. Sasaran inti riset ini adalah suatu inovasi teknologi yang berwawasan lingkungan dalam hal mengatasi pencemaran air limbah rumah tangga. Dalam perencanaannya diharapkan air yang keluar dari sanita sudah memenuhi kualitas baku mutu. Hasil dan analisis laboratorium air yang keluar dari sanita menunjukkan adanya penurunan parameter TDS sampai ke 50,2% BOD sampai ke 66% COD sampai ke 64% N-Total sampai ke 20% dan Phospat sampai ke 50%. Di dalarn menerapkan sistem sanita ini diharapkan adanya peran serta masyarakat, sejak perencanaan, pelaksanaan sampai pangelolaannya.
Kata kunci : Air limbah rumah tangga, sanitasi taman (sanita) Abstract
Sanitation Garden is a system based on ecosystem approach by processing waste water, human faeces and urine as useful source of recycling, or an effort to return faeces and urine which have been procesed to the land as a nutrient supply and improvement of soil quality. In sanita recycling process (nutrient recycling) without endangering human health and do not generate enviromental contarnination. Domestic wastewater, faeces and urine by bioflter or septictank before entering intro the water body can be poured into sanita which contains gravel coat and cultivated with aquatic plants. The objective of this research was to technological innovation a envirnnmenlally friendly to overcome contamination of domestic wastewater, designing sanita measurement of wastewater quality. The result of laboratory analyses to the quality of efluent and influent at sanita showed the reduction of parameters TDS up to 50.2% BOD up to 66%; COD up to 64 % N-Total up to 20% and Phaspat up to 50%. In applying the ecosan system it is exfected the participation from society, sinco planning, execution until its management.
Keywords : Domestic wastewater, sanitation garden PENDAHULUAN Menurut perkiraan 70-80% rumah tangga perkotaan di Indonesia saat ini sarana sanitasinya kurang memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan dan kondisinya tidak dapat difungsikan dengan baik dan Sanitasi Taman Salah Satu Alternatif … (Ida Medawaty)
merupakan salah satu sumber pencemaran terhadap air tanah maupun air permukaan. Dengan kondisi sanitasi seperti ini menyebabkan tidak tercapainya siklus alamiah, maka dianggap perlu mencari altematif lain yang lebih mempertimbangkan aspek ekologi, salah satunya adalah sistem 1
Ekosan, yang diartikan sebagai sistem sanitasi yang berkelanjutan dan ekonomis memenuhi ekologis sebagai penggunaan kembali tinja manusia dan urine yang telah tersanitasi dikembalikan ke tanah sebagai pupuk organik/nutrien yang berarti menjaga siklus ekologi dalam proses sanitasi. Beberapa perrnasalahan pokok yang timbul adalah: 1) pada umumnya pembuangan air limbah dari tangki septik atau biofilter langsung masuk kedalam saluran drainase atau badan air masih belum memenuhi baku mutu air, 2) bagaimana partisipasi masyarakat dalam penyediaan dan pengelolaan sarana sanitasi dengan sistem ekosan dan 3) seberapa jauh pengaruh air limbah rumah tangga terhadap sistem ekosan.
KAJIAN PUSTAKA Sanitasi taman (sanita) adalah suatu sistem berdasarkan pendekatan ekosistem dengan mengolah air limbah, urine dan tinja manusia sebagai sumber yang bermanfaat untuk didaur ulang, atau suatu upaya untuk mengembalikan urine dan tinja yang sudah diolah ke tanah sebagai masukan nutrisi dan upaya perbaikan kualitas tanah. (SIDA, 1998). Prinsip utama sanita adalah sebagai usaha untuk menyelamatkan lingkurgan dan melindungi kesehatan manusia dengan cara mengurangi penggunaan air dalam sistem sanitasi dan daur ulang sebagai alternatif penggunaan pupuk buatan dalam pertanian, juga dapat mewakili konsep hubungan manusia dan lingkungan dengan mengutamakan hubungan antara manusia dan tanah. Pengolahan limbah cair dengan menggunakan tumbuhan air (aquatic plants) sudah berumur lebih dari 40 tahun, sejak sistem ini ditemukan dan diadakan penelitian oleh Prof. Seidel dan Prof. Kelkuth di Jerman pada awal tahun 1960. Pada penelitian sebelumnya dengan menggunakan ekosan (WHO & UNICEF, 2000) untuk mengolah limbah cair peternakan termasuk limbah manusia. Industri dan limbah kimia laboratorium dikelola secara "closed loop” dan "zero effluent” melalui mini constructed wetlands 2
dimana hasil limbah yang telah dikelola dimanfaatkan kembali untuk pengadaan air bersih dan air irigasi pertanian. Sejak penelitian tersebut; metode pengolahan dengan sistem Waste Water Garden (WWG) telah mendapat pengakuan dari U.S. Environmental Protecpon Agency dan U.S National Agriculture Society untuk memproses pengolahan limbah cair beraneka ragam, pengadaan air bersih dan pemupukan secara ekosan guna menghasikan pangan yang bebas dari bahan-bahan kimia. Prinsip dasar ekosistem mengolah limbah secara biologis ini adalah proses respirasi tanaman hidrofit (tanaman air) yang mampu menghisap oksigen dari udara melalui daun, batang, akar dan yang kemudian dilepaskan kembali pada daerah sekitar perakaran tanaman. Hal ini dimungkinkan karena jenis tanaman air mempunyai ruang antar sel atau lubang saluran udara sebagai alat transportasi oksigen dan atmosfr ke bagian perakaran. Kelebihan lain tanaman air ini adalah bisa hidup pada kondisi yang anaerob (tanpa oksigen). Terjadinya daerah rizosfer yang bersifat aerob memungkinkan adanya aktivitas pertumbuhan genetik bakteri pengurai bahan organik pencemar dan unsur hara pencemar (nitrogen, fosfor) meningkat. Proses penguapan amonia menjadi nitrat (nitrifikasi) juga meningkat. Proses ini terjadi terus-menerus sepanjang tahun tanpa berhenti. Pada sanita tersebut diisi substrat berupa batu berukuran (10-15 mm) dan ditanami tumbuhan air beraneka ragam (10-15 jenis), seperti Lavender air, Kana air, Melati air, Ciperus sp1 (besar), Ciperus sp2 (kecil), fimbricytis sp1 dan sp2, alida, keladi, pisangpisangan, loctus, akar wangi, bambu air, dan papirus, yang sangat efektif serta dapat disesuaikan kualitas air yang ingin dikelola melalui kepadatannya secara ekosistem untuk menyesuaikan faktor penguapan udara evaporation dan penguapan melalui tanaman evapo transpiration. (Dinas Pertamanan DKI Jakarta, 1997). Sanita sebagai inovasi teknologi sanitasi yang berwawasan lingkungan dalam hal mengatasi pencemaran air lirnbah rumah tangga dan Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
dalam penerapannya sistem sanita diharapkan adanya peran serta dan partisipasi masyarakat sejak perencanaan, pelaksanaan, sampai pengelolaannya.
Recycling/Daur Ulang
Salah satu keuntungan dalam ekologi sanitasi adalah terjadinya proses daur ulang nutrien dalam urine dan tinja. Nitrogen dan fosfor yang terdapat dalam urine dan kandungan organik yang tinggi dalam tinja manusia dapat menghasilkan humus yang dapat berfungsi sebagai pelembab tanah. Sebagai tambahan, ini sangat penting untuk recover dan dan reuse melalui ekosistem yang berkelanjutan dalam mengurangi kekeringan pada tanah alami dan mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan pupuk buatan. Dengan sanita, kita dapat menyelamatkan proses daur ulang nutrien tanpa membahayakan kesehatan manusia dan tidak meninbulkan pencemaran lingkungan.
Urine
Urine mengandung beberapa organisme penyebab penyakit, penampungan urine yang tidak bercampur air, dalam satu bulan akan menjadikan urine aman untuk digunakan pupuk pertanian. Urine juga dapat menjadikan lingkungan tahan terhadap
Penampungan Temperatur Lama (oC) (bulan)
mikroorganisme, dan meningkatkan kematian phatogen, dan mencegah tumbuhnya jentik nyamuk. Tabel 1. Kandungan Nutrien Rata-Rata pada Urine dan Tinja Zat Urine Tinja Per Person 1,2 L 150 gram Nitrogen (g/gpd)* 11 2 Fosfor (g/gpd) 1 0,6 Potassium (g/gpd) 2,5 0,6 * (gram/orang/hari) Sumber: Del Porto, D. & Steinsfeld, C. (1999). The Composting Toilet Book. Masachusetts. The Centre for Ecological Pollution Prevention
Manfaat urine apabila ditampung dari beberapa perumahan dan selanjutnya dikirim untuk pupuk di daerah pertanian, disarankan pada saat penampungan mempunyai temperatur antara 4-20°C dengan bergantung pada waktu penyimpanan yang bervariasi antara 1-6 bulan akan menghasilkan tipe pupuk yang berbeda. Tabel 2 tentang petunjuk pemanfaatan yang disarankan di negara Swedia untuk lamanya penyimpanan urine, perkiraan kandungan pathogen, dan untuk pemupukan pada skala besar.
Tabel 2. Pemanfant Urine Untuk Pupuk Pathogen setelah Penampungan
4
>1
Virus protozoa
4
>6
Viruses
20
>1
Viruses
20
>1
Tidak terdeteksi
Catatan: a) Urine atau urine campur air, urine yang diencerkan diasumsikan mempunyai pH<8,8 dan konsentrasi Nitrogen < 1 g/L. b) Positif bakteri dan spora-forming bakteri tidak termasuk pengamatan resiko, tetapi sebagai akibat penularan. c) Pada sistem skala besar, urine Sanitasi Taman Salah Satu Alternatif … (Ida Medawaty)
Hasil Panen
d) e)
Proses pengolahan makanan Proses makanan ternak Proses pengolahan makanan Makanan temak Proses pengolahan makanan Makanan ternak Semua Makanan
diencerkan untuk pemupukan tanaman, maka harus melalui penampungan urine skala besar. Tidak dianjurkan tanaman rumput untuk makanan ternak. Untuk tanaman makanan konsumsi, disarankan paling sedikit 1 bulan sebelum dipanen dan tidak berhubungan antara bagian yang dipanen dengan 3
f)
permukaan tanah. Sumber Data Ecosan enlarged), Stokholm Instiute 2004
(revised and Environment
Tinja
Konsentrasi utama terhadap tinja adalah masalah keamanan terhadap penyebaran penyebab penyakit dari tinja melalui tangan, lalat, air, tanah, dan melalui makanan yang tercemar. Setiap sistem sanitasi harus peduli terhadap kebiasaan untuk cuci tangan guna mencegah terhadap sisa-sisa kotoran akan menyebar melalui mulut. Sanitasi juga berkewajiban untuk menyebarluaskan dan
peduli tidak hanya memperhatikan dalam penggunaan dan pengelolaan toilet, akan tetapi juga bagaimana pentingnya cuci tangan setelah melakukan buang air kotor, membantu anak buang air kotor sebelum menyiapkan makanan atau memberi makan anak. Hal-hal yang akan meningkat akibat dari waktu penampungan, adalah temperatur, kekeringan, pH, UV radiation, dan pertumbuhan mikroorganisme alami dalam tanah. Berikut faktor-faktor fisika, kimia dan biologi terhadap kehidupan mikroorganisme lingkungan, dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Aktivitas Mikroorganisme terhadap Pengaruh Faktor Fisika, Kimia dan Blologi No Paremeter Kondisi MO 1. Temperatur Semua MO hidup baik pada temperatur < 5°C dan akan cepat mati pada >40°C pada temperatur 55-65°C di air, tanah dan sewerage semua pathogen akan cepat mati dalam beberapa jam. 2. pH Pada kondisi alkanlinitas tinggi > pH 9 menyebabkan aktivitas MO meningkat 3. Ammonia Pathogen didalam excreta aktivitasnya menurun akibat penambahan ammonia 4 Kekeringan Jumlah MO pathogen akan menurun akibat dehidrasi pada tinja 5. Radiasi Matahari Jumlah MO pathogen akan menurun akibat radiasi matahari 6. Kehadiran MO Kehadiran MO lain walau hanya sebentar akan menyebabkan adanya Lain persaingan terhadap nutrisi dan sebagian sebagai predator 7. Nutrien Kehadiran MO lain yang beradaptasi mengakibatkan berkurangnya nutrien sekaligus mengurangi bakteri tinja. 8. Oksigen Akibat adanya oksigen bakteri anaerobik akan mengalami demam dan akan keluar didalam persaingan dengan bakteri aerobik Sumber Data : Ecosan (revised and enlarged edition), Stokholm Environment Institute 2004)
Dehidrasi
Sistem dehidrasi merupakan salah satu dari tiga pokok sistem ekosan, yang sistem komposting dan sistem komposting tanah. Di dalam sistem dehidrasi urine langsung dipisahkan dari tinja untuk menjaga proses chamber tetap kering dan volume penampungan biasanya relatif kecil. Hasil pemisahan urine ini dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Tinja yang ditampung di dalam chamber diproses secara aman terhadap lingkungan selama periode 6-12 bulan, dan ditarnbahkan abu, kapur atau urea setelah setiap melakukan membuang air besar, sehingga kelembabannya rendah dan pH meningkat mencapai 9 atau lebih. Sistem ini diusahakan 4
tetap kering, pH terus meningkat, dan memberikan waktu jeda agar bakteri pathogen mati. Setiap tahapan proses pengolahan bahan tinja dari chamber penampungan diusahakan dapat terpenuhinya beberapa faktor yaitu temperatur komposting, alkalinasi, kelangsungan tampungan, dan karbonisasi /insenerasi.
Komposting
Proses komposting toilet untuk tinja, atau tinja dan urine, selama penyimpanan didalam chamber dicampur dengan organik yang berasal dari sampah rumah/kebun dan atau bahan lainnya seperti jerami, serutan, kayu, ranting, dsb. Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
Keanekaragaman organisme didalam tumpukan material humus hanya merupakan kejadian yang kebutulan sampai semua bahan organik di lingkungan alami. Temperatur, aliran udara, kelembaban, bahan karbon dan lainnya juga berpengaruh dalam proses dekomposisi. Setelah melalui waktu retention (normalnya 6-8 bulan) tahapan dekomposisi bahan dapat dipindah menjadi kompos kebun.
Dimana V = Volume Kolam (M3) AL= Air limbah yang berasal dari mandi, cuci, cairan dari tangki pengendap asumnsi 100 L/org/hr Td=1,2 hari 0 = Jumlah pemakai 80 orang
Soil Composting
Sistem soil composting tinja yang tercampur dengan urine disimpan pada chamber proses yang bercampur dengan tanah. Terdapat dua macam tips poses ringan yang berbeda dengan pit shallow atau chamber proses, biasanya ditambahkan setelah setiap melakukan buang air besar, biasanya ditambah oleh serbuk kayu akan menjadi baik. Sebagian bakteri pathogen akan mati selama 3-4 bulan hasil persaingan dengan MO dasar tanah dan kondisi lingakungannya menyenangkan. Direkomendasikan setiap keluarga dapat secara langsung memisahkan dan mengerjakan di lapangan dalam setiap periode 12 bulan composting di shallowpit sebelum diterapkan di kebun. Setelah pengomposan bakteri pathogen yang mati diakibatkan oleh radiasi UV, pengeringan, akibat persaingan dengan MO tanah lainnya dan setelah satu bulan hasil panen belum dapat dikonsumsi karena relatif belum aman. Pada semua penerapan tips shalow pit yang lama seperti dijelaskan diatas yang didesain dengan sebutan “arborloo” dimana pemilik rumah dapat menanam secara langsung ditiga buah shallow pit bila sudah penuh dan ditutup dengan tanah.
Disain Sistem Sanita
Disain sistem sanita terdiri dari: a. Kapasitas Tangki septik V 1,33 KOJ …………………………….. 1) Dimana V = Volume Tangki (M3) K =Koefisien untuk kedalaman <4M=0,06 O = Jumlah Pengguna J = tahun penggunaan = %5 Tatwn b. Kapasitas sanity V = AL.Td.0 ……………………………..2) Sanitasi Taman Salah Satu Alternatif … (Ida Medawaty)
Gambar 1. Model Soil Composting in Shallow pit di Zimbobwe (dirancang Peter Morgan, Harare, Zimbabwe, 2001)
METODOLOGI PENELITIAN 1)
2)
3)
Pengumpulan data primer dengan rnenggunakan kuesioner kepada tokoh masyarakat, RT, RW, Kelurahan organisasi masyarakat dan masyarakat calon pengguna dan menyampaikan program pengolahan air limbah dengan sistem sanita Disain sanita Sanita (sanitasi taman) berupa kolam yang terdiri dari pasangan batu bata, kemudian diisi dengan media kerikil dan ditanami tanaman air, selanjutnya dialirkan ke badan air penerima atau dapat dimanfaatkan untuk kolam ikan. Analisis laboratorium Dilakukan 5 kali pengambilan contoh air yang masuk ke dalamn sanity (influen) dan yang keluar dan sanita (effluen) untuk diperiksa kualitas air limbahnya, parameter air limbah yang diukur yaitu temperatur, pH, TDS, BOD, COD, Ntotal, dan fosfat.
DATA DAN ANALISIS 1)
Data primer tentang pemanfaatan air limbah rumah tangga. 5
Hasil keputusan musyawarah antara BAMUS/BAPEL-AM dan masyarakat yang akan dilayani sistem Kolam sanita dan dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok pemakai langsung di MCK dan
kelompok pemakai tidak langsung melalui sistem perpipaan. Total pengguna pengolahan air limbah sistem Kolam sanita adalah 80 orang.
Gambar 2. Peta Lokasi Penempatan Sistem Sanity
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tabel 4. Jumlah Pengguna Sistem Sanita Pemakaian Langsung MCK Pemakai Melalui Perpipaan Nama KK Jumlah Jiwa Nama KK Jumlah Jiwa Mulyana 3 Iing 3 Odi 3 Ade Dayat 4 Soleh 5 Da'at 4 Yeti 5 Upa Sugian 3 Tarmid 6 Ujang Redi 4 Asep Saepudin 3 Deni 4 Wawan 3 Dahlan 3 Engkos Koswara 7 Orang Lewat 20 Jumlah 58 Jumlah 22 Total Pengguna adalah 80 orang
6
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
2)
Disain sistem sanity a) Kapasitas Tangki Septik Untuk kapasitas tangki pengendap dihitung berdasarkan cubluk kering adalah: V = 1,33 K.OJ V = 1,33 x 0,006 x 80 x 0,5 =3,19M3 Ukuran • Dalam = 1,6 M • Lebar = 1 M
b)
• Panjang =2M Kapasitas sanity Kapasitas sanity dihitung dengan kriteria disain sebagai berikut V = ALTd.O V =(80x100x1,2)/1000 =9,6t13; Ukuran Dalam = 0,8 M Panjang : Lebar = 2 : 1 Panjang =8M Lebar = 4M
Gambar 3. Model Pongolahan Air Limbah Sistem Sanity
3)
Analisis Laboratorium Dari hasil analisis laboratorium didapat data bahwa terjadi penurunan parameter TDS, BOD, COD, N-total dan Phospat untuk influen dan effluennya dan sudah memenuhi nilai ambang batas baku mutu lingkungan sesuai dengan Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah
Sanitasi Taman Salah Satu Alternatif … (Ida Medawaty)
Damestik, untuk pH (6-9), TDS 1500mg/L, BOO 100 mg/L, ODD 200 mg/L. Ini disebabkan karena kolam sanita yang ditanami tanaman air yang berfungsi sebagai media penyaring telah hidup dan berfungsi dengan baik, sehingga terjadi penurunan sebesar: TDS 50,2 %, BOD 66 %, COD 64 %, N Total 20 dan Phospat 50 %.
7
Tabel 5. Hasil Laboraborium No Parameter Satuan
Ke 1 Influen Efluen 25 25
°C
Waktu Pengambilan Ke 2 Ke 3 K3 4 Influen Efluen Influen Efluen Influen Efluen 25 25 25 25 25 26
Ke 5 Influen Efluen 25 26
1
Temperatur
2
pH
7,51
7,26
7,4
7,1
6,97
7,2
4,8
6,03
5,65
3
TDS
mg/L
880
510
330
170
580
220
250
120
350
190
4
BOD
mg/L
103
58,5
139
45,2
32
19
97,41
19,67
241,73
61,93
S
COD
mg/l
260,1
85,34
248,11
60,14
91,06
13,75
202,41
148,4
228
68
6
N-total
mg/L
7.200
5.800
6.900
5.100
6.000
5.000
6300
3.800
4900
3500
7
Phospat
mg/L
4
2,07
4
2
4.4
1,9
1,26
1.02
0,66
0,3
6,49
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
8.000 7.000
Influen Efluen
N-Total (mg/L)
TDS (mg/L)
Sumber : Laboratorium LP, 2005 – 2007
3
4
Efluen
3.000 2.000
5
1
2
3
4
5
Pengam bilan Sam ple
Pengam bilan Sam ple
Gambar 4. Penurunan TDS
Gambar 7. Penurunan N-Total
200 Influen
150
Efluen
100 50 0 1
2
3
4
Phospat (mg/L)
250
BOD (mg/L)
Influen
4.000
0 2
300
4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
Influen Efluen
1
5
2
3
4
5
Pengam bilan Sam ple
Pengam bilan Sam ple
Gambar 8. Penurunan Phospat
Gambar 5. Penurunan BOD
KESIMPULAN
300 250
COD (mg/L)
5.000
1.000 1
200 Influen
150
Efluen
100 50 0 1
2
3
4
5
Pengam bilan Sam ple
Gambar 6. Penurunan COD 8
6.000
Terjadi penununan parameter cukup besar dengan menggunakan sistem sanita yaitu TDS sampai 50,2%, BOD sampai 66%, COD sampai 64%, N-Total sampal 20% dan Phospat sampai 50% pH 6,97-7,51, Temperatur 2-529. Effluen kualitas air limbah domestik ini masih berada dibawah ambang batas baku mutu yang telah ditetapkan sehingga aman untuk dibuang ke badan air atau dapat dialirkan ke kolam ikan. Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
REKOMENDASI Untuk mengurangi beban dari sanita ini dapat ditambah kolam atau reaktor dengan menggunakan media kontaktor, sehingga hasil pengolahan air limbah dapat lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA Bapedalda Prop. Bali, 2000. Petunjuk Teknis Pengelolaan Limbah Air dengan Sistern Waste Water Garden, Bali. Badan Standar Nasional, 2002. SNI 03-23992002 tentang Tata Cara Perencanaan Tangki Septik Bangunan MCK Badan Standar Nasional, 2000. SNI 03-23982000 tentang Tata Cara Perencanaan Perencanaan Tangki Septik dengan Sistem Resapan. Badan Standar Nasional, 2002. Pt t17-2002-C tentang Pengelolaan Air Limbah Rumah Tangga secara Komunal pada Kawasan Penghijauan
Sanitasi Taman Salah Satu Alternatif … (Ida Medawaty)
Badan Stanadar Nasional, 2002. Pt t16-2002 C tentang Tata Cara Pengolahan Air Limbah Non Kakus (Grey Water). Kementrian Lingkungan Hidup, 2003. Kep.Men LH Nomor 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik. Matsui, S. 2002. The Potential of Ecdogica sanitation, Japan Review of Int Affairs pg 303-314 Pusat Lifbang Permukiman, 2001, Modul Penghijauan pada Kawasan Permukiman, Bandung. Pertamanan DKI Jakarta, 1997. Altematif Tanaman Air, Jakarta UNICEF, 2001. Statistical Review, Progress Since the World Summit for Children. WHO & UNICEF, 2000. Global Water Supply an Sanitation Assessment Report Geneva. Pusat Libang Permukiman, 2005, Pengembangan Pengelolaan Ar Limbah Rumah Tangga dengan Sistern Ekosan. Keputusan Menteri Negara Ungkungan Hdup Nomor 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Umbah Domestik.
9
KAJIAN REGIONALISASI TEMPAT PEMEROSESAN AKHIR (TPA) SAMPAH MENGGUNAKAN METODA ANALISIS SWOT (STUDI KASUS TPA BENOWO SURABAYA ) Oleh: Sarbidi
Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyawungan Cileunyi Wetan Kab. Bandung 40393 E-mail:
[email protected],
[email protected] Tanggal masuk naskah: 11 Agustus 2008, Tanggal revisi terakhir: 05 September 2008
Abstrak
Lahan untuk tempat pembuangan akhir (TPA) sampah mulai sulit diperoleh, terutama di wilayah kota besar dan metropolitan. Pengelola harus membuangnya ke dalam TPA kota lain. Beberapa kota telah merintis kerjasama regionalisasi TPA, tetapi banyak yang belum terlaksana secara optimal. Kaitan dengan itu telah dianalisis data dan informasi regionalisasi pengelolaan TPA Benowo Surabaya. Metodologi pelaksanaannya dimulai dengan identifikasi permasalahan, pengolahan data sekunder dan data primer menggunakan teknik analisis manajemen SWOT (strengths, weaknesses, opportunities and threats). Analisis ini menghasilkan faktor kunci keberhasilan (FKK) dan peta kekuatan organisasi berada pada kwadran-2. Oleh karena itu perlu mendayagunakan kekuatan lingkungan internal organisasi saat ini, dan mengantisipasi ancaman dari lingkungan eksternal. Selain itu, analisis menghasilkan beberapa tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, program, dan beberapa kegiatan. Supaya TPA regional lebih realistik, masing-masing pihak terkait, perlu menetapkan dan menyepakati skenario kerjasama, secara bersama-sama, dan disusun berdasarkan teknik analisis manajemen memanfaatkan sumber daya masing-masing.
Kata kunci: Tempat pembuangan akhir, regionalisasi, sampah, strategi, kebijakan, kegiatan. Abstract
Some of the big cities or metropolitans need the wider land to be a final disposal site. Unfortunately, it is too difficult to get it nowadays. So, the institution of solid waste management has to dump it to the outside of the city. There are many cities have already made the regional disposal cooperation, but it has not been done well yet. Related to that case, this article makes an analysis the regionalization data and information of the Benowo solid waste disposal in Surabaya. The methodology begun with the problems identification, secondary and primary data analysis by using SWOT (strengths, weaknesses, opportunities and threats) methode. This analysis got the success key factors and organization map strength was in the second quadrand. It needed to be more and more using the strength of the internal environment organisation it self, and also could anticipate the external threath effectively. Beside that, it also got the result are involved the goals, targets, strategies, policies, programes, and some of the acvities. To make it more realistic, so the inter participants need a scenario of determination and an agreement cooperation, and it is composed to be based the analytical management by using the resources and environmental condition respectively.
Keywords: Final disposal site, regionalization, solid waste, strategy, policy, activity. PENDAHULUAN Latar Belakang
Dewasa ini, terutama Kota Besar dan Metropolitan sudah sangat sulit mendapatkan lahan luas dan layak untuk lokasi TPA, oleh sebab itu sampah yang diproduksinya 10
terpaksa dibuang ke luar wilayahnya atau ke dalam wilayah kota lain. Dalam kondisi demikian, penyediaan dan pengoperasian TPA menjadi sangat mahal, selain juga memicu munculnya berbagai konflik kepentingan antar kota, baik sosial, ekonomi, hukum dan sanitasi, serta persepsi Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
masyarakat yang cenderung negatif terhadap keberadaan TPA. Beberapa kota telah merintis pola-pola kerjasama dalam pelayanan publik dan pengelolaan sampah antar kota/regional yang meliputi kerjasama teknis, pembiayaan dan kelembagaan. Namun pengelolaan sampah regional ini masih terkendala oleh kurang dukungan kebijakan daerah yang mengatur prosedur pembangunan, pe-manfaatan, operasi dan perawatan yang kondusif bagi semua pemda yang terlibat didalamnya. Sesungguhnya, pemda sudah ada payung hukum untuk menyusun kabijakan regionalisasi TPA di daerahnya, yaitu Kebijakan nasional tentang pengelola-an persampahan, yang sudah diatur didalam UU No. 18 tahun 2008 tentang Penge-ngelolaan Sampah. Sedangkan kaitan pemilihan lokasi TPA secara teknis dapat mengacu pada SNI 03-3241-1994 “Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA Sampah” yang sudah ada. Namun demikian, standar ini belum memasukkan tata cara pemilihan lokasi TPA regional, sehingga masih mempunyai kendala, khususnya dalam penentuan bagi peran antar pihak yang terlibat di dalam kerjasama manajemen TPA regional tersebut. Oleh karena itu memerlukan teknik analisis manajemen yang dapat merumuskan suatu kesepakatan kerjasama didalam regio-nalisasi TPA. Permasalahannya, bagaimana cara untuk melakukan analisis manajemen, yang mengakomodir kepentingan antar pihak terkait dalam regionalisasi TPA tersebut. Tulisan ini akan memakai analisis SWOT (strengths, weaknesses, oppor-tunities and threats). Metoda analisis SWOT merupakan salah satu teknik analisis manajemen, yang banyak digunakan untuk menganalisis pengaruh faktor-faktor internal dan eksternal sebagai data masukan yang akan mempengaruhi suatu organisasi. Faktor internal adalah suatu set faktor yang dapat menjadi kekuatan dan sekaligus kelemahan organisasi, dan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang dapat dimanfaat-kan sebagai peluang dan kelemahan yang dihadapi organisasi, guna mengembangkan dirinya dalam kegiatan tertentu. Output analisis SWOT dapat berupa kebijakan, Kajian Regionalisasi … (Sarbidi)
program, kegiatan, pembiayaan dan jadwal kerja pelaksanaan, operasi dan perawatan. Oleh karena itu analisis SWOT dapat digunakan untuk menganalisis kebutuhan pengelola dalam merancang suatu kebijakan dan program kerja kedepan. Dam hal ini tentu saja dapat pula diterapkan untuk merancang regionalisasi pengelolaan TPA sampah. Dalam tulisan ini, analisis SWOT menggunakan data dan informasi hasil survai pengelolaan sampah Kota Surabaya, yang dilaksanakan sekitar akhir Mei 2008, waktu itu TPA Benowo Surabaya belum menjadi TPA Regional. TPA Benowo dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Per-tamanan (DKP) Pemkot Surabaya, melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) LPA Benowo. DKP akan melakukan persiapan regionalisasinya mulai pada tahun 2009, dan akan melibatkan Kota Gresik dan Kota Sidoarjo.
METODOLOGI Pola Pikir
Keterbatasan lahan untuk tempat pemerosesan sampah akhir (TPA) di kawasan perkotaan memerlukan komitmen penanganan bersama antara dua atau lebih pemkot yang terlibat didalam kolaborasi tersebut. Pemanfaatan TPA secara regional dilandasi dengan kesepakatan peran, hak dan kewajiban yang saling menguntungkan. Regionalisasi TPA harus mengikuti kaidahkaidah teknis, ekonomis dan lingkungan, yang dirumuskan dan diimplementasikan bersama. Formulasi regionalisasi TPA seyogyanya menjadi payung hukum, dan pedoman kerja bersama. Formulasi tersebut mencakup: kebijakan, program, kegiatan, pelaksanaan, operasi dan pemeliharaan, yang disusun berdasar pada hasil teknik analisis manajemen menggunakan data dan infomasi lingkungan internal dan eksternal yang ada pada organisasi terkait.
Metoda Pelaksanaan
Pelaksanaan kajian dibagi dalam tiga kegiatan, yaitu identifikasi dan atau asumsi isu-isu aktual yang dihadapi oleh masing11
masing institusi pengelola sampah atau kebersihan kota; pengumpulan data sekunder melalui kajian pustaka; pe-ngumpulan data primer, terutama yang berkaitan erat dengan faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) organisasi pengelola, baik yang bersifat aktual mau pun prediktif; kompilasi dan analisis data menggunakan SWOT dan pe-rumusan hasil, berupa kebijakan, program dan kegiatan yang diperlukan untuk regionalisasi TPA. Secara ringkas digambar-kan dalam diagram alir pada Gambar 1. Mulai PERMASALAHAN Keterbatasan lahan untuk TPA; kebijakan, strategi dan program regionalisasi TPA serta pengaruh kondisi antar kawasan.
DATA SEKUNDER. Manajemen TPA Regional Teknik Analisis Manajemen SWOT Sarana dan prasarana TPA Benowo Luas lahan TPA Akses, dsb METODA ANALISIS USG, Komparasi, Teori Tapisan, SWOT
FORMULASI HASIL. Strategi Regionalisasi; Kebijakan, Program dan kegiatan
DATA PRIMER. Identifikasi masalah aktual pemanfaatan TPA Benowo; dan pengelolaan sampah kota terkait sekitarnya
KOMPILASI DAN ANALISIS DATA. Identifikasi dan seleksi faktor–faktor lingkungan internal dan eksternal. Penilaian faktor dengan metoda komparasi Penetapan peta kekuatan, Faktor Kunci Keberhasilan (FKK). dsb.
Selesai
Gambar 1. Diagram Alir Pelaksanaan
Pengumpulan Data
1. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai hasil studi yang pernah dilaksanakan oleh institusi berwenang dan data pustaka lainnya, antara lain: manajemen TPA regional, analisis SWOT dan lain-lain.
12
2. Data primer, isu-isu aktual yang dihadapi DKP Pemkot Surabaya, yang terkait organisasi TPA Benowo; isu-isu aktual pengelolaan sampah dan atau TPA Kota Gresik, dan Kota Sidoarjo.
KAJIAN PUSTAKA Pengelolaan Sampah Kota Surabaya
Sampah Kota Surabaya dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya. Visi DKP adalah Surabaya peduli bersih, hijau, asri dan bercahaya. Sedangkan misi sebagai berikut: Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan pengelolaan sampah mandiri berbasis komunitas Meningkatkan kualitas pelayanan kebersihan kota Meningkatkan peran serta swasta dalam pengelolaan kebersihan Meningkatkan sarana & prasarana pengelolaan kebersihan. Meningkatkan kualitas dan kuantitas taman kota, jalur hijau, lapangan olah raga, dekorasi kota, penghijauan & permakaman. Meningkatkan kualitas & kuantitas penerangan jalan umum dan taman. Meningkatkan kepedulian & peran serta masyarakat dalam penghijauan, pengembangan pertamanan, keindahan kota & penerangan jalan umum. Meningkatkan kualitas SDM & pelayanan dibidang kebersihan & pertamanan. Kota Surabaya menghasilkan sampah sekitar 2.177 ton/hari, yang masuk TPA sekitar 1.480 ton/hari. Sisanya dikomposkan pada sekitar 10 sentra Komposter Komunal milik DKP, 13 Kelurahan Komposter Rumah Tangga milik masyarakat, dan dibakar dalam 10 unit Insinerator Mini, yang tersebar di seluruh wilayah kota. Sampah Kota Surabaya dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya Pemkot Surabaya. Dalam pengelolaan sampah, DKP melibatkan peranserta masyarakat dan swasta. Peranserta masyarakat Kota Surabaya dalam pengelolaan sampah sangat signifikan, khususnya dalam pengomposan sampah rumah tangga Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
(Komposter RT). Sektor swasta juga mengambil perannya, khususnya dalam melakukan operasional 10 unit “Insinerator Mini” yang tersebar di seluruh Kota Surabaya. Swasta juga terlibat dalam 70% pekerjaan penyapuan sampah jalan kota, dan 30% pengangkutan sampah ke TPA Benowo, yang terletak didekat pebatasan dengan Kota Gresik.
TPA Benowo
Pada saat ini TPA Benowo dikelola oleh unit pelaksana teknis daerah (UPTD) LPA Benowo. TPA Benowo berloksi di dekat perbatasan dengan Kota Gresik. Luas lahan TPA sekitar 37,4 Ha (temasuk lahan untuk perluasan). Pada saat ini masih beroperasi secara open dumping. Penutupan sampah hanya dilakukan sekali dalam setahun. TPA Benowo sudah mempunyai sarana yang cukup lengkap. Mulai anggaran tahun 2009, Pemkot Surabaya akan mengembangkan operasi TPA menjadi Sanitary Landfill atau control landfill, dan akan dirancang menjadi TPA Regional untuk menampung sampah dari Kota Gresik dan Kota Sidoarjo. Gambaran lahan TPA Benowo pada Gambar 2, jembatan timbang dan IPAL Lindi pada Gambar 3. Sebagaimana hasil observasi tim survai, dan informasi yang dicantumkan dalam ”Peta Digital file DWG LPA Benowo” dapat diketahui bahwa TPA Benowo sudah dilengkapi dengan peralatan sebagai berikut: (1) Jembatan Timbang dan kantor operator penimbangan. (2) IPAL Lindi terdiri dari satuan operasi dan proses sebagai berikut: Kolam Lindi; Sumur pengumpul-1 ukuran penampang atas 2,5 m x 3 m.
Rumah pompa-1 ukuran 3 m x 3 m. Tickener ukuran 4 m x 5 m. Bak Sidemen ukuran 8,5 m x 6 m. Anaerob buffle reactor (ABR) ukuran penampang atas 12,5 m x 45 m. Rumah pompa-2 ukuran 3 m x 3 m. Sludge drying beds ukuran 32 m x 11 m. Kolam aerated lagoon ukuran 30 m x 30 m. Kolam sedimen 2 unit, ukuran 25 m x 25 m. Sumur pengumpul 2 ukuran 2,5 m x 3 m. Sand pressure filter 2 unit, diameter 1,2 m; Carbon aktive pressure filter 2 unit, diameter 1,2 m; Bak penampung filtrat ukuran 5 m x 6m Kolam lumpur. Pipa pembuang efluen menuju sungai terdekat Kantor operasional TPA Kompleks kantor IPAL dan laboratorium. Garasi alat berat. Rumah kompos. Kandang sapi. Rumah panel listrik.
(3) (4) (5) (6) (7) (8)
Zona IIC
U
Zona IIA
Zona IA
Kolam Lindi
Zona IIB
Zona IB
Zona IIIA,B,C
Kolam Lindi
Kolam Pantau
IPAL Lindi
Zona IA – IIB ± 27 Ha. Zona IIC ± 3,4 Ha. Zona IIIA-B-C ± 7 Ha. Total ± 37,4 Ha.
Gambar 2. Tampak Atas TPA Benowo (Luas ± 37,4 Ha)
Sumber: AutoCAD Drawing File Layout LPA Benowo, 2008
Kajian Regionalisasi … (Sarbidi)
13
Dalam menerapkan SWOT, hal-hal yang harus dilakukan adalah membuat analisis di lingkungan kerja, yang bertujuan untuk menilai kemampuan dan kapasitas sumber daya internal ke dalam kategori strength (kekuatan), dan weakness (kelemahan). Sedangkan sumber daya eksternal melingkupi kategori opportunities (peluang dan kesempatan) yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung keunggulan kompetitif yang dimiliki dan threats (ancaman) yang harus diatasi. Adapun kerangka analisis SWOT seperti pada diagram Gambar 4.
Gambar 3. Jembatan Timbang (Foto Atas) dan IPAL Lindi (Foto Bawah) TPA Benowo.
Dengan menggunakan kerangka di bawah maka akan menghasilkan informasi yang mempengaruhi keberhasilan organisasi dalam menjalankan misi dan visi, yang digunakan sebagai dasar untuk mengambil serangkaian keputusan strategik yaitu tujuan, sasaran dan strategi yang tepat untuk dilakukan dalam mencapai masa depan yang lebih baik.
Akses Gresik dan Sidoarjo pada TPA Benowo
Identifikasi faktor keberhasilan misi
Sampah Kota Gresik dan Sidoarjo dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota. Sebagai kota industri yang mempunyai lahan kota yang terbatas, kedua kota relatif kesulitan mendapatkan lokasi TPA yang representatif. TPA Benowo sangat dekat dengan Kota Gresik, karena berloksi di dekat perbatasan antara Kota Gresik dan Kota Surabaya. Tetapi cukup jauh dari Kota Sidoarjo, hanya saja akses lebih mudah karena dari Kota Sidoarjo menuju TPA dapat menggunakan jalan TOL Gempol - Gresik.
Penilaian faktor keberhasilan
Faktor kunci keberhasilan dan peta posisi kekuatan
Merumuskan dan menentukan tujuan
Menentukan sasara dan kinerja
Konsep Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah suatu proses merinci keadaan ligkungan internal dan eksternal guna mengetahui fakktor yang mempengaruhi keberhasilan organisasi kedalam kategori strengths, weaknesses, opportunities, threats (SWOT), sebagai dasar untuk menentukan tujuan, sasaran dan strategi mencapainya sehingga organisasi memiliki keunggulan meraih masa depan yang lebih baik.
Menyusun strategi dan kegiatan
Rencana pelaksanaan kegiatan
Monitoring, evaluasi dan laporan Gambar 4.Kerangka Analisis SWOT
Sumber: Teknik Analisis Manajemen. LAN RI 2003
14
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
Teknik Penerapan Analisis SWOT
Indentifikasi faktor yang mempengaruhi yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Identifikasi faktor internal dapat dilakukan dengan teknik brainstorming. Teknik ini pada awalnya diperkenalkan Alex Osborn, yang bertujuan untuk meningkatkan kreativitas dalam mencari pemecahan masalah. Selain itu, identifikasi juga dapat dilakukan dengan observasi, telaah dokumen dan catatan lembar periksa. Selanjutnya hasil dari identifikasi tersebut dikelompokkan kedalam katagori strength dan weakness. Jika kemampuan menyelesai-kan tugas dengan baik, dan sumber daya yang tersedia cukup dan baik, maka dikategorikan sebagai strenght. Sebaliknya kemampuan yang rendah, sumber daya yang terbatas dan kapasitasnya kurang dikategorikan sebagai weakness. Identifikasi faktor eksternal merupakan masukan terhadap organisasi. Kebutuhan, keinginan, dan harapan merupakan suatu masukan yang harus diolah sehingga mendatangkan suatu keuntungan dikemudian hari dapat dikatagorikan sebagai opportunities. Sebaliknya jika faktor eksternal dinilai menghalangi organisasi dalam mencapai misi dapat dikatagorikan sebagai threats. Setelah identifikasi kegiatan selanjutnya adalah melakukan penilaian faktor keberhasilan terhadap semua faktor yang telah teridentifikasi. Suatu faktor disebut strategis apabila mempunyai nilai lebih dibandingkan yang lain. Faktor yang memberi nilai dukungan tinggi dan keterkaitan tinggi terhadap berbagai keberhasilan yang diraih orgaisasi dianggap sebagai faktor strategis, yang selanjutnya disebut faktor kunci keberhasilan (FKK). Aspek yang dinilai dari tiap faktor adalah : 1. Urgensi faktor terhadap misi meliputi nilai urgensi (NU) dan bobot faktor (BF). 2. Dukungan faktor pada misi meliputi nilai dukungan (ND) dan nilai bobot dukungan (NBD). 3. Keterkaitan antar faktor terhadap misi meliputi nilai keterkaitan (NK), nilai rata-
Kajian Regionalisasi … (Sarbidi)
rata keterkaitan (NRK) dan nilai bobot keterkaitan (NBK). Pada umumnya, faktor-faktor internal dan eksternal tidak didukung dengan data yang akurat, maka sulit dinilai secara kuantitatif. Untuk itu penilaian dilakukan secara kualitatif yang dikuantifikasi. Rensis Likert menganjurkan suatu penilaian dengan model rating scale yang selanjutnya disebut dengan model skala nilai. Artinya nilai yang diberikan pada suatu faktor secara kualitatif, seperti: sangat baik, baik, cukup, kurang, buruk atau jelek dikonversi ke dalam angka dengan skala nilai 1 - 5, yakni: sangat baik = 5; baik = 4; cukup = 3; kurang = 2; dan buruk (jelek) = 1. Angka 5 artinya sangat tinggi nilai urgensi/nilai dukungan/nilai ke-terkaitan. Angka 4 artinya tinggi nilai urgensi/nilai dukungan/nilai keterkaitan. Angka 3 artinya cukup nilai urgensi/nilai dukungan/nilai keterkaitan. Angka 2 kurang nilai urgensi/nilai dukungan/nilai keterkait-an, dan Angka 1 artinya sangat kurang nilai urgensi/nilai dukungan/nilai keterkaitan. Skala nilai tidak mesti harus skala 1 – 5. Sudah banyak yang menggunakan skala nilai 1 – 7 bahkan 1 – 10 atau 1 – 100. Peng-gunaan skala nilai ini bebas, yang penting setiap nilai diberikan kriteria yang jelas.
Penilaian Eksternal
Faktor
Internal
dan
Penilaian tiap faktor internal meliputi NU, BF, ND, NBK, NK, NRK, dan TNB. Sedangkan penilaian faktor eksternal sama dengan faktor internal, kecuali NRK diganti NBD. Teknik menentukan nilai-nilai di atas sesuai dengan urutan sebagai berikut: a. Nilai Urgensi (NU) dan Bobot Faktor (BF) i. Menentukan NU (Nilai Urgensi) NU skala nilai 1– 5, sesuai tingkat urgensinya dalam mencapai misi organisasi. Penilaian dilakukan secara kualitatif yang dikuantifikasi dengan suatu nilai dengan model skala nilai. Nilai 5: sangat tinggi nilai urgensi/ nilai dukungan/ nilai keterkaitan Nilai 4: tinggi nilai urgensi/ nilai dukungan/ nilai keterkaitan
15
BF b.
c.
NU x100% .............. (1) NU
NRK
TNK N 1
................ (2)
dimana TNK : total nilai keterkaitan antar faktor iii. Menentukan NBK (Nilai Bobot Keterkaitan) sesuai rumus (3) NBK NRKxBF ............. (3) iv. Menentukan TNB (Total Nilai Bobot) sesuai rumus: TNB NBD NBK .......... (4)
Penentuan Faktor hasilan (FKK)
Kunci
Keber-
FKK merupakan faktor-faktor strategis. Dari tiap katagori strength (S); weakness (W); opportunities (O) dan threats (T) masingmasing dipilih 2 (dua) FKK berdasarkan urutan TNB. Cara menentukan FKK sebagai berikut: a. Dipilih berdasarkan TNB yang terbesar. b. Jika TNB sama dipilih BF terbesar. c. Jika BF sama dipilih NBD terbesar. d. Jika NBD sama dipilih NBK terbesar.
16
Jika NBK sama dipilih berdasarkan pengalaman dan pertimbangan rasionalitas.
Peta Kekuatan Organisasi
Berdasarkan nilai bobot seluruh Peta kekuatan organisasi strength (S); weakness (W); opportunities (O) dan threats (T) dapat dipetakan posisi kekuatan instansi seperti pada Gambar 5.
S
II : S - T
T
Mengantisipasi
IV : W - T
I:S-O
Memanfaatkan Meminimalkan
Nilai Dukungan (ND) dan Nilai Bobot Dukungan (NBD) ND skala nilai 1 – 5, sesuai tingkat dukungan untuk mencapai misi organisasi. Nilai Keterkaitan (NK), Nilai Rata-rata Keterkaitan (NRK), Nilai Bobot Keterkaitan (NBK) dan Total Nilai Bobot (TNB) sesuai rumus (2) i. Menentukan NK (Nilai Keterkaitan) NK skala nilai 1–5, merupakan keterkaitan atau saling berhubungan antara faktor satu dengan lainnya dalam mencapai organisasi. ii. Menentukan NRK (Nilai Rata-rata Keterkaitan) sesuai rumus (2)
e.
Mendayagunakan
ii.
Nilai 3: cukup tinggi nilai urgensi/ nilai dukungan/ nilai keterkaitan Nilai 2: kurang nilai urgensi/ nilai dukungan/ nilai keterkaitan Nila 1: sangat kurang nilai urgensi/ nilai dukungan/ nilai keterkaitan Menentukan BF (Bobot Faktor) sesuai rumus (1)
O III : W - O
W Gambar 5. Peta Posisi Kekuatan Organisasi
Perumusan Tujuan dan Sasaran
Untuk perumusan tujuan dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Langkah pertama, meneliti posisi kekuatan organisasi, artinya meneliti posisi keberadaan organisasi dalam kuadran I, II, III atau IV. 2. Langkah kedua, menentukan faktor kunci keberhasilan dalam peta posisi kekuatan, dan mencatatnya dalam suatu format tabel perumusan tujuan. 3. Langkah ketiga, perumusan tujuan. Tujuan dijabarkan dalam sasaran tahunan, jangka pendek atau jangka panjang. Sasaran adalah suatu pernyataan hasil riil yang terukur, yang dapat dicapai dalam waktu 1–12 bulan. Sasaran dapat disesuaikan dengan masa pengabdian suatu pemerintah yakni lima tahun. Penetapan sasaran memperhatikan beberapa kriteria sebagai berikut: 1. Terkait dengan visi dsn misi;
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
2. 3. 4. 5.
Memberikan kontribusi yang tinggi terhadap tujuan; Realistis dan logis dan dapat dicapai dengan sumber daya saat ini. Masih dalam kewenangan dan tanggung jawab organisasi; Menghasilkan kinerja yang terukur.
Tolok ukur yang digunakan untuk menilai keberhasilan pencapaian sasaran adalah indikator kinerja, yang mencakup indikator input, indikator proses, indikator output, indikator outcome, indikator benefit dan indikator impak.
Strategi dan Rencana Kegiatan
Teknik penyusunan formulasi strategi dengan matriks SWOT adalah dengan menuliskan FKK yang memiliki nilai tinggi, yang serasi atau cocok dipadukan dalam setiap kwadran ke kolom matrik SWOT yang telah diformat. Empat strategi utama yang dapat dirumuskan, yakni: 1. Strategi S-O pada kwadran I, yaitu ”pemanfaatan” keunggulan kompetitif yang dimiliki. 2. Strategi S-T pada kwadran II, yaitu ”mendayagunakan” kekuatan yang dimiliki. 3. Strategi W-O pada kwadran III, yaitu ”minimasi” kelemahan yang ada dalam organisasi. 4. Strategi W-T pada kwadran IV, yaitu ”mengantisipasi” ancaman dan menutup kelemahan.
Kebijakan, Program dan Kegiatan
Untuk menjamin strategi dapat diimplementasikan perlu disusun kebijakan operasional sebagai acuan yang menjabarkan strategi kedalam program dan kegiatan.
Rencana Pelaksanaan
Rencana pelaksanaan memberikan petunjuk teknis untuk pelaksanaan, seperti langkahlangkah kegiatan, penanggungjawab, waktu pelaksanaan, biaya, kontrol dan evaluasi.
Kajian Regionalisasi … (Sarbidi)
Monitoring dan Evaluasi
Untuk menjamin pelaksanaan kegiatan efektif dan efisien, maka perlu dilakukan monitoring secara berkesinambungan. Moni-toring adalah memotret aspek input, proses dan aspek output yang dicapai dalam pelaksanaan. Evaluasi untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan kegiatan. Aspek evaluasi mencakup input, proses, output, problem, umpan balik dan solusi.
KOMPILASI DATA LAPANGAN Isu-Isu Regionalisasi TPA
Kompilasi data dan informasi atau isu utama yang ada saat ini, antara lain: 1. Belum adanya kebijakan, pengaturan dan MOU antar pihak yang berkepentingan dengan TPA Regional tersebut. 2. Belum adanya kesepakatan operasi dan perawatan antar pihak yang terlibat dalam pengelolaan TPA Regional 3. Belum adanya pengaturan dan pembagian peran yang jelas antar pihak yang terkait 4. Adanya dukungan yang kuat dari pemkot dan pemprop Jawa Timur (Dinas Perkim Jawa Timur). 5. Adanya partisipasi masyarakat dan swasta (investor) dalam pengelolaan sampah di Kota Surabaya. 6. Tersedianya lahan yang dapat digunakan untuk TPA Regional, terutama untuk melayani Kota Surabaya, Kota Gresik, Kota Sidoarjo, dan lain-lain. 7. Relatif lengkapnya sarana dan prasarana (jembatan timbang, perkantoran, komunikasi, IPAL, laboratorium, dsb pada TPA Benowo. 8. Tersedianya organisasi pengelola (UPTD LPA Benowo) yang sudah berpengalaman. 9. Tersedianya SDM pada DKP yang baik untuk pengelolaan TPA. 10. Tersedianya PAD yang memadai pada Kota Surabaya, Kota Gresik dan Kota Sidoarjo. 11. Belum diketahuinya kapasitas sampah dari masing-masing kota regional yang akan masuk ke lahan TPA Benowo.
17
12. Adanya RUU Persampahan sebagai acuan hukum positif dalam pengelolaan persampahan. 13. Adanya dukungan pengelolaan sampah terpadu berbasis 3R di Kota Surabaya. 14. Adanya sarana transportasi yang baik (jalan TOL) dari Kota Surabaya dan Kota Sidoarjo menuju lokasi TPA Benowo. 15. Dekatnya jarak TPA Benowo dengan Kota Gresik, dan lain-lain
Identifikasi Eksternal
Faktor
Internal
No Aspek
5.
METODA
6.
MESIN
dan
Hasil identikasi isu-isu regionalisasi TPA kedalam unsur manajemen seperti Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Identifikasi Faktor-Faktor Internal No Aspek 1.
2.
3.
4.
18
Faktor Internal Strengths (S)
Weaknesses (W)
Jumlah SDM DKP Sumber daya Kota Surabaya manusia bidang memadai. teknis persam Dedikasi kerja pahan terbatas. pegawai yang Standar tinggi. kompetensi kerja untuk operasi-onal TPA belum ada. Dukungan dana Anggaran DANA APBD (PAD) pengem-bangan Kota Surabaya SDM profesional baik. relatif kurang. Retribusi per Kebutuhan biaya truk sampah operasional TPA yang masuk besar TPA sudah ada/diatur. Jumlah dan MATERIAL Adanya organisasi kualitas Standar, pengelola TPA Prosedur, sudah berjalan Manual (SPM) (UPTD LPA kurang Benowo). mendukung. MOU TPA Lahan TPA Regional belum sudah tersedia ada. dengan baik. Program dan kegiatan antar pihak terkait belum ada. Akses dan Volume PASAR transportasi ke sampah/hari TPA /kota-kota mendukung. regional belum Peranserta ada. masya-rakat Rolesharing dan dunia antar pihak SDM
Faktor Internal Strengths (S)
Weaknesses (W)
swasta pada TPA mendukung. regional belum Pengelolaan ada. sampah berbasis 3R sudah terselenggara. UU No. 18/2008 TPA masih tentang dioperasikan Pengelolaan secara open Sampah dumping. persampahan Belum ada sudah pemilahan dan Juknis pengolahan B3 Pengelolaan RT di TPA. sampah berbasis 3R sudah ada. Rencana teknis operasional dan pengembangan TPA Benowo sudah ada. Peralatan Perawatan operasional pada peralatan belum TPA Benowo optimal. sudah tersedia dengan baik.
Sumber: Hasil Kompilasi. Juni 2008 Tabel 2. Identifikasi Faktor-Faktor Eksternal No Aspek
Faktor Eksternal Opportunities (O)
Threats (T)
1.
SDM
SDM DK3 Kota Gresik dan Sidoarjo sudah tersedia.
Potensi kerja sama operasional TPA Regional belum terukur
2.
DANA
Dukungan dana APBD (PAD) Kota Gresik dan Sidoarjo kemungkinan dapat mendukung.
Alokasi dana untuk TPA Regional Benowo belum disepakai bersama
3.
PASAR
Akses TPA Partisipasi pemda Benowo dari dan masyarakat Kota Gresik dan Gresik dan Sidoarjo Sidoarjo sangat belum jelas. baik. Rolesharing DK3 Lahan TPA di Kota Gresik dan Kota Gresik dan Sidoarjo pada TPA Sidoarjo mungkin regional belum terbatas. disepakati. Aset Dinas Kebersihan Kota Gresik dan Sidoarjo tersedia memadai
4.
MATERIAL Dinas Tarkim Prop. Jawa Timur mendukung TPA Regional
Program dan Kegiatan pihak DK3 Kota Gresik dan Sidoarjo terkait TPA
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
No Aspek
Faktor Eksternal Opportunities (O) Benowo. Dukungan DK3 Kota Gresik dan Sidoarjo belum diketahui.
5.
METODA
6.
MESIN
NO
Threats (T) Regional belum disepakati.
5
Perda tentang TPA Regional belum ada. Implementasi OTDA belum sepenuhnya kondusif mendukung kepentingan antar kawasan. Peralatan Kebutuhan OM persampahan pada peralatan perDK3 Kota Gresik sampahan DK3 Kota dan Sidoarjo Gresik dan Sidoarjo memadai belum diketahui Undang-undang Otonomi Daerah mendukung.
Sumber: Hasil Kompilasi. Juni 2008
6 7 8 9 10 11 12
ANALISIS DAN PEMBAHASAN Analisis Faktor Eksternal Dominan
Internal
dan
Hasil analisis USG (Urgent, Seriousness, Growth), menggunakan skala 1–5, terpilih 3 faktor internal dan eksternal dominan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 3. Faktor-Faktor Internal yang Dominan NO
a. 1 2 3 4
FAKTOR –FAKTOR INTERNAL DOMINAN ANALISIS SWOT FAKTOR INTERNAL Strengths (S) SDM DKP Kota Surabaya memadai Dedikasi kerja pegawai yang tinggi Dukungan dana APBD (PAD) Kota Surabaya baik. Retribusi per truk sampah yang masuk TPA sudah ada/diatur.
13 b. 1 2 3 4
U
S
G
T
K
-
-
-
-
-
3
2
2
7
IX
6
3
2
3
8
VII I
7
5
3
3
11
V
3
3
3
9
VII
5
8 9 10 11 12
FAKTOR –FAKTOR INTERNAL DOMINAN ANALISIS SWOT FAKTOR INTERNAL Adanya organisasi pengelola TPA sudah berjalan (UPTD LPA Benowo). Lahan TPA sudah tersedia dengan baik. Akses dan transportasi ke TPA mendukung. Peranserta masyarakat dan dunia swasta mendukung Pengelolaan sampah berbasis 3R sudah terselenggara. UU No. 18/2008 tentang pengelolaan sampah. Juknis Pengelolaan sampah berbasis 3R sudah ada. Rencana teknis operasional dan pengembangan TPA Benowo sudah ada. Peralatan operasional pada TPA Benowo sudah tersedia dgn baik. Weaknesses (W) Sumber daya manusia bidang teknis persampahan terbatas Standar kompetensi kerja untuk operasional TPA belum ada. Anggaran pengembangan SDM profesional relatif kurang. Kenutuhan biaya operasional TPA besar Jumlah dan kualitas Standar, Prosedur, Manual (SPM) kurang mendukung. MOU TPA Regional belum ada. Program dan Kegiatan antar pihak terkait belum ada. Data volume sampah/hari dari kota-kota yang masuk TPA Regional belum ada. Rolesharing antar pihak pd TPA regional belum ada TPA masih dioperasikan secara open dumping. Belum ada pemilahan dan pengolahan B3 RT di TPA. Perawatan peralatan belum optimal.
U
S
G
T
K
5
5
5
15
I
5
5
4
14
II
2
2
2
6
X
2
1
2
5
XI
1
1
2
4
XII
5
4
4
13
III
1
1
1
3
XIII
4
4
4
12
IV
4
3
3
10
VI
-
-
-
-
-
3
3
3
9
VII
3
2
3
8
VII I
3
2
2
7
IX
5
3
3
11
V
4
3
3
10
VI
5
5
5
15
I
5
4
4
13
III
4
4
4
12
IV
5
5
4
14
II
2
2
2
6
X
2
1
2
5
XI
1
1
2
4
XII
Sumber: Hasil analisis, Juni 2008 U = Urgent; S = Seriuosness; G = Grouwth; T = Total; K = keterangan
Kajian Regionalisasi … (Sarbidi)
19
Faktor-Faktor Keberhasilan (FKK)
Tabel 4. Faktor-Faktor Eksternal yang Dominan FAKTOR –FAKTOR NO EKSTERNAL DOMINAN ANALISIS SWOT FAKTOR EKSTERNAL
U S G
T
K
Berasarkan pada metoda USG pada Tabel 3 dan Tabel 4 dapat diperoleh rangking 1 - 3 faktor internal dan eksternal, yang mempunyai pengaruh kuat menjadi FKK dalam meregionalisasi TPA Benowo maupun kinerja orgnasisasi pada masa yang akan datang. FKK dapat dibaca pada Tabel 5.
a.
Opportunities (O)
-
-
-
-
-
1
SDM DK3 Kota Gresik dan Sidoarjo sudah tersedia.
3
3
3
9
VII
15
I
Tabel 5. Hasil Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan
11
V
No
2
3 4 5 6 7 8 9
Dukungan dana APBD (PAD) Kota Gresik dan Sidoarjo 5 5 5 kemungkinan dapat mendukung. Akses TPA Benowo dari Gresik 5 3 3 dan Sidoarjo baik. Lahan TPA di Kota Gresik dan 5 5 4 Sidoarjo mungkin terbatas. Aset Dinas Kebersihan Kota Gresik dan Sidoarjo tersedia 4 3 3 memadai Dinas Tarkim Prop. Jawa Timur mendukung TPA Regional 4 4 4 Benowo. Dukungan DK3 Kota Gresik dan 3 2 3 Sidoarjo belum diketahui. Undang-undang Otonomi 3 2 2 Daerah mendukung. Peralatan persampahan pada DK3 Kota Gresik dan Sidoarjo 5 4 4 memadai
FAKTOR INTERNAL
14 10
8
VII I
7
IX
13
III
S3
UU No. 18/2008 tentang pengelolaan sampah.
W3
Rolesharing antar pihak pd TPA regional belum ada Program dan Kegiatan antar pihak terkait belum ada.
FAKTOR EKSTERNAL No OPPORTUNITIES (O) NO
THREATS (T)
VI
O2
Lahan TPA di Kota Gresik dan Sidoarjo mungkin terbatas.
T2
Perda tentang TPA Regional belum ada.
11
V
O3
Peralatan persampahan pada DK3 Kota Gresik dan Sidoarjo memadai.
T3
Potensi kerja sama operasional TPA Regional belum terukur.
12
IV
-
-
-
1
Potensi kerja sama operasional TPA Regional belum terukur.
5
4
4
13
III
2
Alokasi dana untuk TPA Regional Benowo belum disepakai bersama.
4
3
3
10
3
Partisipasi pemda dan masyarakat Kota Gresik dan Sidoarjo belum jelas.
5
3
3
4
Kesepakatan peran dan kepentingan masing-masing kota pada TPA regional belum disepakati.
4
4
4
5
Program dan Kegiatan pihak DK3 Kota Gresik dan Sidoarjo terkait TPA Regional belum disepakati.
3
3
3
9
VII
5
5
4
14
II
5
5
5
15
I
3
2
3
8
VII I
Sumber: Hasil analisis, Juni 2008
Penilaian Tingkat Urgensi FKK
Sumber: Hasil analisis, Juni 2008 U = Urgent; S = Seriuosness; G = Grouwth; T = Total; K = keterangan
20
W2
T1
-
8
Lahan TPA sudah tersedia dengan baik.
Dukungan dana APBD (PAD) Kota Gresik dan Sidoarjo kemungkinan dapat mendukung.
-
7
S2
MOU TPA Regional belum ada.
O1
Threaths (T)
Perda tentang TPA Regional belum ada. Implementasi OTDA belum sepenuhnya kondusif mendukung kepentingan antar kawasan. Kebutuhan OM peralatan persampahan DK3 Kota Gresik dan Sidoarjo belum diketahui
W1
WEAKNESSES (W)
Implementasi OTDA belum sepenuhnya kondusif mendukung kepentingan antar kawasan.
b.
6
S1 VI IV
NO
Adanya organisasi pengelola TPA sudah berjalan (UPTD LPA Benowo).
II
12
STRENGTHS (S)
Penilaian tingkat urgensi faktor internal dan eksternal guna mendapatkan penilaian faktor-faktor kenerhasilan, maka harus mengetahui faktor-faktor yang mempunyai katagori lebih prioritas dibanding yang lain. Penilaian terhadap tingkat urgensi setiap faktor menggunakan ”metoda komparasi”, Adapun matriks tingkat urgensi masingmasing faktor internal dan eksternal dapat dibaca pada Tabel 6.
Faktor-Faktor Kunci Keberhasilan
Faktor-faktor lingkungan strategis sebagaimana yang telah teridentifikasi pada Tabel 5, selanjutnya dianalisis terhadap tingkat Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
urgensi kepentingan antar faktor internal dan eksternal, sehingga didapatkan nilai Bobot Faktor (BF) SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, threats), yang merupakan tingkat urgensi faktor internal dan eksternal, sebagai faktor-faktor kunci keberhasilan (Success Key Factors).
FAKTOR EKSTERNAL
Suatu faktor disebut strategis apabila memiliki Nilai Dukungan (ND) tinggi dan Nilai Keterkaitan (NK) tinggi, bila dibandingkan terhadap berbagai keberhasil-an yang diraih organisasi selama ini, dan untuk yang akan datang. Untuk memperoleh nilai Faktor Kunci Keberhasilan (FKK), terlebih dahulu memerlukan perhitungan nilai-nilai (NU, BF); (ND, NBD); (NK, NRK, NBK); dan TNB. Hasil analisis FKK disajikan oleh penulis pada Tabel 7.
No
Opportunities (O)
NO
1
Dukungan dana APBD (PAD) Kota Gresik dan Sidoarjo kemungkinan dapat mendukung.
1
Perda tentang TPA Regional belum ada.
Threats (T)
2
Lahan TPA di Kota Gresik dan Sidoarjo mungkin terbatas.
2
Implementasi OTDA belum sepenuhnya kondusif mendukung kepentingan antar kawasan.
3
Peralatan persampahan pada DK3 Kota Gresik dan Sidoarjo memadai.
3
Potensi kerja sama operasional TPA Regional belum terukur.
Sumber: Hasil analisis, Juni 2008
Peta Posisi Kekuatan
Peta kekuatan dapat digambarkan berdasarkan analisis Total Nilai Bobot (TNB) komponen S,W,O, dan T. Berdasarkan analisis FKK pada Tabel 7 diketahui bahwa faktor internal Kekuatan (Strengts, S = 4,04); dan Kelemahan (Weaknesses, W = 3,88); serta faktor eksternal Peluang (Opportinities, O= 2,41); Ancaman (Threaths, T = 4,56), dan juga peta kekuat-an organisasi pada Gambar 6, yaitu pada Kwadran II.
Faktor Kunci Keberhasilan (FKK)
Dari hasil analisis nilai dukungan (ND), nilai keterkaitan (NK), dan FKK pada Tabel 7 di atas, maka dapat ditetapkan prioritas atau rangking Faktor Kunci Keberhasilan (FKK), untuk parameter: Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman sebagaimana tercantum pada Tabel 8. Tabel 8. Faktor-Faktor Kunci Keberasilan
SS==4.04 4.04 ( (++) )
FAKTOR INTERNAL No
Strengths (S)
NO
1
UU No. 18/2008 tentang pengelolaan sampah.
Weaknesses (W)
1
2
Adanya organisasi pengelola TPA sudah berjalan (UPTD LPA Benowo).
2
Rolesharing antar pihak pd TPA regional belum ada
3
Lahan TPA sudah tersedia dengan baik.
3
Program dan Kegiatan antar pihak terkait belum ada.
MOU TPA Regional belum ada.
II
IIII
OO==2,41 2,41 ( (++) )
TT==4,56 4,56 ( (- -) )
IVIV
IIIIII
WW==3.88 3.88 ( (- -) )
Gambar 6. Peta Kekuatan Organisasi
Tabel 6. Tingkat Urgensi Faktor Internal dan Eksternal (Metoda Komparasi) NO FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL
S1 S2 S3
Strengths (S) Adanya organisasi pengelola TPA sudah berjalan (UPTD LPA Benowo). Lahan TPA sudah tersedia dengan baik. UU No. 18/2008 tentang pengelolaan
Kajian Regionalisasi … (Sarbidi)
TINGKAT KOMPARASI URGENSI FAKTOR
BOBOT TOTAL FAKTOR S1 S2 S3 W1 W2 W3 O1 O2 O3 T1 T2 T3 (BF) - % FAKTOR INTERNAL S1 S1 S3
S2
S3
W1
W2
S1
2
13.33
S2
W1 W1
W2 S3
S2 S3
2 3
13.33 20.00
21
NO FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL
TINGKAT KOMPARASI URGENSI FAKTOR S1
S2
S3 W1 W2 W3 O1 O2 O3 T1 T2 T3
BOBOT TOTAL FAKTOR (BF) - %
sampah. Weaknesses (W) W1 MOU TPA Regional belum ada. Rolesharing antar pihak pd TPA regional W2 belum ada Program dan Kegiatan antar pihak terkait W3 belum ada.
W1 W1 W1
W1
W2 W2
S3
W1
S1
S3
W3
S2
W3
4
26.67
W2
3
20.00
W2
1
6.67
15
100.00
FAKTOR EKSTERNAL Opportunities (O) Dukungan dana APBD (PAD) Kota Gresik O1 dan Sidoarjo kemungkinan dapat mendukung. Lahan TPA di Kota Gresik dan Sidoarjo O2 mungkin terbatas. Peralatan persampahan pada DK3 Kota O3 Gresik dan Sidoarjo memadai. Threats (T) Implementasi OTDA belum sepenuhnya T1 kondusif mengukung kepentingan antar kawasan. T2 Perda tentang TPA Regional belum ada. Potensi kerja sama operasional TPA T3 Regional belum terukur.
O1 O1 T1 T2
O1
3
20.00
O2 T1 O2
T3
2
13.33
T1 T2
T3
0
0.00
T2
T3
3
20.00
T2
4
26.67
3
20.00
15
100.00
O1 O1 O2
T1
T1
T1
T2
O2
T2
T2
O1
T3
T3
T3 T2
Sumber: Hasil Analisis, Juni 2008
Tabel 7. Analisis Faktor-Faktor Keberhasilan (FKK)
NO
FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL
N U
BF (% )
N D
NDB
NILAI KETERKAITAN (NK) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11
12
NRK NBK
TNB
FK K
FAKTOR INTERNAL Strengths (S) 1
Adanya organisasi pengelola TPA sudah berjalan (UPTD LPA Benowo).
2
13.3
5
0.67
2
Lahan TPA sudah tersedia dengan baik.
2
13.3
4
0.53 5
3
UU No. 18/2008 tentang pengelolaan sampah.
3
20.0
5
1.00 4 5
5 4 5 2 2 3 4 4
2
3
3
3.36
0.45
1.12
2
5 5 3 4 5 4 3
4
5
4
4.27
0.57
1.10
3
5 2 3 2 5 4
5
5
5
4.09
0.82
1.82
1
4.04 Weaknesses (W) 5 5 4 4 1
5
5
3
4.27
1.14
2.21
1
5 5 4 1
1
5
3
3.27
0.65
1.25
2
3 1 1
4
5
4
3.36
0.22
0.42
3
4
MOU TPA Regional belum ada.
4
26.7
4
1.07 5 5 5
5
Rolesharing antar pihak pd TPA regional belum ada
3
20.0
3
0.60 2 3 2 5
6
Program dan Kegiatan antar pihak terkait belum ada.
1
6.7
3
0.20 2 4 3 5 5
15
100
3.88 FAKTOR EKSTERNAL
Opportunities (O) 7
Dukungan dana APBD (PAD) Kota Gresik dan Sidoarjo kemungkinan dapat mendukung.
3
20.0
3
0.60 3 5 2 4 5 3
8
Lahan TPA di Kota Gresik dan Sidoarjo mungkin terbatas.
2
13.3
4
0.53 4 4 5 4 4 1 5
9
Peralatan persampahan pada DK3 Kota Gresik dan Sidoarjo memadai.
0
0.0
5
0.00 4 3 4 1 1 1 4 4
5 4
4
5
3
3.91
0.78
1.38
1
4
3
5
2
3.73
0.5
1.03
2
0
5
3
2.73
0
0.00
3
2.41 Threats (T)
22
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
NO
FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL
N U
BF (% )
N D
NDB
NILAI KETERKAITAN (NK) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
10
Implementasi OTDA belum sepenuhnya kondusif mendukung kepentingan antar kawasan.
3
20.0
4
0.80 2 4 5 5 1 4 4 3 0
11
Perda tentang TPA Regional belum ada.
4
26.7
3
0.80 3 5 5 5 5 5 5 5 5
5
12
Potensi kerja sama operasional TPA Regional belum terukur.
3
20.0
2
0.40 3 4 5 3 3 4 3 2 3
1
15
100
NRK NBK
TNB
FK K
1
3.09
0.62
1.42
2
5
4.82
1.28
2.08
1
3.27
0.65
1.05
3
11
12
5
5
4.56
Sumber: Hasil Analisis, Juni 2008
Perumusan Tujuan dan Sasaran
Merujuk pada hasil analisis Faktor Kunci Keberhasilan (FKK) dan juga Peta Kekuatan Organisasi, maka seyogyanya merumuskan tujuan dan sasaran regionalisasi TPA berorientasi pada strategi S–T (Kwadran II), yaitu mendayagunakan kekuatan (strengts) dan mengantisipasi ancaman (threaths) agar menghasilkan kinerja organisasi yang optimal. Tujuan dan sasaran organisasi dirumuskan dengan ”Teori Tapisan”, dengan berdasar kepada nilai Manfaat (M), Kemampuan Memanfaatkan Kekuatan (KMK), dan Kemampuan Mengatasi Ancaman (KMA). Setelah itu dihitung Total Nilai (TN), dan TN
yang tertinggi ditetapkan sebagai alternatif pertama, selanjutnya secara berurutan ditetapkan sebagai alternatif kedua dan ketiga rumusan tujuan dapat dibaca pada Tabel 9. Strategi Regionalisasi TPA Strategi mencakup kebijakan operasional, program-program dan kegiatan secara jelas, dan dalam kaitan ini, berorientasi strategi S– T (Kwadran II). Strategi S–T: Mendayagunakan kekuatan (strength) dan mengantisipasi ancaman (threaths), merupakan ”strategi terpilih”, yaitu:
Tabel 9. Perumusan Alternatif Tujuan No 1.
2.
3
Faktor Kunci Keberhasilan (FKK) Kekuatan Kunci
Ancaman Kunci
Alternatif Tujuan
M
KMK
KMA
TN
UU No. 18/ 2008 tentang pengelolaan sampah.
Perda tentang TPA Regional belum ada.
Membuat Berbagai Perda Pembangunan dan Pengelolaan TPA Regioal berdasarkan UU No. 18/ 2008 tentang pengelolaan sampah.
5
5
5
15
Adanya organisasi pengelola TPA sudah berjalan (UPTD LPA Benowo)
Implementasi OTDA belum sepenuhnya kondusif mendukung kepentingan antar kawasan.
Melakukan reorganisasi UPTD LPA Benowo sebagai pelaksana TPA Regional berdasarkan spirit OTDA yang kondusif bagi pihak terkait.
4
5
5
14
Lahan TPA sudah tersedia dengan baik.
Potensi kerja sama operasional TPA Regional belum terukur.
Menyusun program kerja sama operasional TPA Regional Benowo sesuai standar yang berlaku dan kondusif bagi pihak terkait.
4
4
5
13
Sumber: Hasil Analisis, Juni 2008 Keterangan: M Manfaat bagi public; KMK Kemampuan Memanfaatkan Kekuatan KMA Kemampuan Mengatasi Ancaman TN Total Nilai 5 sangat bermanfaat/ mudah mengatasi kelemahan/ancaman
Kajian Regionalisasi … (Sarbidi)
23
4 3 2 1
bermanfaat/ mudah mengatasi kelemahan/ancaman cukup bermanfaat/ mudah mengatasi kelemahan/ancaman kurang bermanfaat/ sulit mengatasi kelemahan/ancaman sangat tidak bermanfaat/ sangat sulit mengatasi kelemahan/ancaman
1.
2.
3.
Usulkan materi Perda TPA Regional berdasarkan UU No. 18/2008 tentang pengelolaan sampah kepada DPRD, dan laksanakan isinya. Lakukan reorganisasi UPTD LPA Benowo sebagai pelaksana TPA Regional bedasarkan spirit OTDA yang kondusif bagi pihak terkait. Buat program kerja sama operasional TPA Regional Benowo sesuai standar terknis yang terbaik.
Formulasi strategi yang ada dapat dibuat matrik seperti pada Tabel 10.
Pada strategi S – T di atas dapat ditetapkan alternatif yang terbaik, menggunakan Teori Tapisan, yang hasilnya disajikan pada Tabel 11. Kebijakan, Program dan Kegiatan Sebagai aplikasi dari hasil analisis SWOT, selalu diikuti dengan rencana kegiatan yang diprogramkan dalam beberapa tahun anggaran (tergantung seberapa besar masalah yang harus ditangani). Formulasi atau rumusan tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan disajikan dalam Tabel 12.
Tabel 10. Formulasi Strategi Organisasi FKK Internal
FKK Eksternal OPPORTUNITIES (O) 1. Dukungan dana APBD (PAD) Kota Gresik dan Sidoarjo kemungkinan dapat mendukung.
STRENGTHS (S) 1. UU No. 18/2008 tentang pengelolaan sampah
WEAKNESSES (W)
2. Adanya organisasi pengelola TPA sudah berjalan (UPTD LPA Benowo). 3. Lahan TPA sudah tersedia dengan baik. STRATEGI: S – O 1. Terapkan UU No. 18/2008 tentang pengelolaan sampah sebagai acuan memanfaatkan dana APBD untuk pembangunan TPA Regional.
2. Lahan TPA di Kota Gresik dan Sidoarjo mungkin terbatas.
2.
Reorganisasi UPTD LPA Benowo untuk mengelola sampah kota lain.
3. Peralatan persampahan pada DK3 Kota Gresik dan Sidoarjo memadai.
3.
Optimalkan lahan TPA dan peralatan peserta TPA Regional terkait.
THREATS (T) 1. Perda tentang TPA Regional belum ada. 2. Implementasi OTDA belum sepenuhnya kondusif mendukung kepentingan antar kawasan. 3. Potensi kerja sama operasional TPA Regional belum terukur.
STRATEGI: S – T 1. Usulkan materi Perda TPA Regional berdasarkan UU No. 18/ 2008 tentang pengelolaan sampah kepada DPRD, dan laksanakan isinya. 2. Lakukan reorganisasi UPTD LPA Benowo sebagai pelaksana TPA Regional bedasarkan spirit OTDA yang kondusif bagi pihak terkait. 3.
Buat program kerja sama operasional TPA Regional Benowo sesuai standar terknis yang terbaik.
1.
MOU TPA Regional belum ada.
2.
Rolesharing antar pihak pada TPA regional belum ada
3.
Program dan Kegiatan antar pihak terkait belum ada. STRATEGI: W – O
1.
Lakukan MOU untuk mendapatkan dukungan dana peserta TPA Regional terkait.
2.
Lakukan bagi peran yang adil antar pengelolaan TPA Regional. Buat progjram dan kegiatan kerja serta pemanfaat peralatan peserta TPA Regional. STRATEGI: W – T Berlakukan Perda tentang TPA Regional,dan sepakati MOU kerjasama operasional TPA Regional. Lakukan kerjasama pembangunan dan operasional TPA Regioanl berdasarkan spirit OTDA yang kondusif terhadap kepentingan antar pihak terkait Susun program dan kegiatan serta tentukan standar kompetensi kerja untuk operasional TPA Regional sesuai standar yang berlaku.
3.
1.
2.
3.
Sumber: Hasil Analisis, Juni 2008
24
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
No 1.
2.
Tabel 11. Penentuan Strategi Organisasi EfekKemuAlternatif Strategi Organisasi tifita Dahan s Usulkan materi Perda TPA Regional berdasarkan UU No. 18/2008 tentang pengelolaan sampah kepada 5 5 DPRD, dan laksanakan isinya. Lakukan reorganisasi UPTD LPA Benowo sebagai pelaksana TPA Regional bedasarkan spirit OTDA yang kondusif bagi pihak terkait.
Buat program kerja sama operasional TPA Regional Benowo sesuai standar terknis yang terbaik. Sumber: Hasil Analisis, Juni 2008 3.
Kebijakan, Program dan Kegiatan Dalam rangka mencapai sasaran kinerja, maka terlebih dahulu harus dipastikan agar strategi dapat terlaksana dengan baik, oleh karena itu perlu menyusun suatu kebijakan operasional, sebagai pedoman atau rujukan penjabaran strategi ke dalam program dan kegiatan.
Biaya
Total
Ket
4
14
I
4
4
4
12
II
4
3
4
11
III
Formulasi atau rumusan tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan disajikan dalam Tabel 12. Implementasi kegiatan-kegiatan yang telah terprogram pada Tabel 12 hendaknya ditunjang dengan pengaturan mengenai alokasi dan pendayagunaan seluruh kapasitas organisasi.
Tabel 12. Strategi, Kebijakan, Program dan Kegiatan No 1.
2.
Tujuan Membuat Berbagai Perda Pembangunan dan Pengelolaan TPA Regioal berdasarkan UU No. 18/ 2008 tentang pengelolaan sampah.
Melakukan reorganisasi UPTD LPA Benowo sebagai pelaksana TPA Regional
Sasaran Tersusunnya Berbagai Perda Pembangunan dan Pengelolaan TPA Regioal berdasarkan UU No. 18/2008 tentang pengelolaan sampah.
Terlaksananya reorganisasi UPTD LPA Benowo sebagai
Kajian Regionalisasi … (Sarbidi)
Strategi Usulkan materi Perda TPA Regional berdasarkan UU No. 18/ 2008 tentang pengelolaan sampah kepada DPRD, dan laksanakan isinya.
Kebijakan
Program
1. Penerapan UU 1. Penyusunan No. 18/2008 tenmateri Perda tang pengelolaan TPA Regional sampah melalui Benowo Perda TPA Regional untuk menjamin kebersihan kota. 2. Publikasikan 2. Peyusunan manfaat TPA program Regional Benowo kerjasama dalam menunjang operasional kebersihan kotaTPA Regional kota terdekat yang kondusif bagi piha terkait.
3. Pengembangan manajemen mutu operasional TPA Regional Benowo sesuai standar teknis terbaik. 1. Perumusan Lakukan organisasi TPA reorganisasi Regional merujuk UPTD LPA pada UPTD yang Benowo sebagai ada. pelaksana TPA
3. Penyusunan sistem mutu operasional TPA Regional Benowo. 1. Pengembangan organisasi TPA Regional.
Kegiatan 1. Koordinasi dan diseminasi kepada DPRD terkait.
2. Koordinasi dan diseminasi program kerja-sama pada pihak yang akan terlibat pada TPA Regional Benowo. 3. Pelatihan sistem mutu operasional TPA Regional. 1. Revisi tusi, pembuatan SOP, alokasi sumber daya, dsb.
25
No
Tujuan berdasarkan spirit OTDA yang kondusif bagi pihak terkait.
3.
Menyusun program kerja sama operasional TPA Regional Benowo sesuai standar yang berlaku dan kondusif bagi pihak terkait.
Sasaran pelaksana TPA Regional berdasarkan spirit OTDA yang kondusif bagi pihak terkait.
Tersusunnya program kerja sama operasional TPA Regional Benowo sesuai standar yang berlaku dan kondusif bagi pihak terkait.
Strategi Regional bedasarkan spirit OTDA yang kondusif bagi pihak terkait.
Buat program kerja sama operasional TPA Regional Benowo sesuai standar terknis yang terbaik.
Kebijakan
Program
Kegiatan
2. Penerapan UU Otda mendukung TPA Regional
2. Penyusunan juknis dan juklak dukungan UU Otda pada TPA Regional
3. Optrmasi manajemen TPA Benowo 1. Penetapan standar kompetensi operasional TPA Regional
3. Pengembangan manajemen TPA 1. Penyusunan program kerjasama dan standar mutu operasional
2. Kajian materi juknis dan juklak operasional TPA Regional yang kondusif bagi pihak terkait sesuai UU Otda 3. Kajian optimasi kinerjaTPA. 1. Pelatihan sistem mutu operasional TPA Regional
2. Jalin jejaring kerjasama dengan laboratorium sejenis (yang telah terakreditasi) dalam dan luar negeri. 3. Mutahirkan modul uji, tambah ruang lingkup akreditasi dan ganti peralatan labratorium yang rusak.
2. Pengembangan informasi dan koordinasi antar lab dan lembaga inpeksi. 3.
Penyempurna -an sistem mutu lab dan lembaga inspeksi IPA
2. Pelaksanaan uji profesiensi, perbaikan dan kalibrasi alat. 3. Penyusunan Modul Uji, lingkup akreditasi dan pembelian alat lab.
Sumber: Hasil Analisis, Juni 2008
KESIMPULAN DAN SARAN
b.
Kesimpulan 1.
2.
26
Kajian regionalisasi TPA Benowo dengan Analisis SWOT mendapatkan Faktor Kunci Keberhasilan (FKK) dan Peta Kekuatan Organisasi berada pada kwadran II, artinya mendayagunakan kekuatan (strengths) dan mengantisipasi ancaman (threaths). Alternatif strategi yang diperlukan untuk regionalisasi TPA Benowo yaitu: a. Usulkan materi Perda TPA Regional berdasarkan UU No. 18/2008 tentang pengelolaan sampah. kepada DPRD, dan laksanakan isinya.
3.
Lakukan reorganisasi UPTD LPA Benowo sebagai pelaksana TPA Regional bedasarkan spirit OTDA yang kondusif bagi pihak terkait. c. Buat program kerja sama operasional TPA Regional Benowo sesuai standar terknis yang terbaik. Alternatif tujuan dan sasaran regionalisasi TPA Benowo yaitu: a. Membuat Berbagai Perda Pembangunan dan Pengelolaan TPA Regioal berdasarkan RUU Persampahan. b. Melakukan reorganisasi UPTD LPA Benowo sebagai pelaksana TPA Regional berdasarkan spirit OTDA yang kondusif bagi pihak terkait. Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
c.
4.
5.
6.
Menyusun program kerja sama operasional TPA Regional Benowo sesuai standar yang berlaku dan kondusif bagi pihak terkait. Alternatif kebijakan untuk regionalisasi TPA Benowo yaitu: a. Kebijakan-1, antara lain: Penerapan UU No. 18/2008 ten-tang pengelolaan sampah melalui Perda TPA Regional untuk men-jamin kebersihan kota; Publikasi-kan manfaat TPA Regional Benowo dalam menunjang kebersihan kotakota terdekat. b. Kebijakan-2, antara lain: Perumusan organisasi TPA Regional merujuk pada UPTD yang ada.; Penerapan UU Otda mendukung TPA Regional. c. Kebijakan-3, antara lain: Penetapan standar kompetensi operasional TPA Regional; Jalin jejaring kerjasama dengan labora-torium sejenis (yang telah terakreditasi) dalam dan luar negeri. Alternatif program untuk regionalisasi TPA Benowo yaitu: a. Program-1, antara lain: Penyusunan materi Perda TPA Regional Benowo; Peyusunan program kerjasama operasional TPA Regional yang kondusif bagi pihak terkait. b. Program-2, antara lain: Pengembangan organisasi TPA Regional; Penyusunan juknis dan juklak dukungan UU Otda pada TPA Regional. c. Program-3, antara lain: Penyusunan program kerjasama dan standar mutu operasional; Pengembangan informasi dan koordinasi antar lab dan lembaga inspeksi. Alternatif kegiatan untuk regionalisasi TPA Benowo, yaitu: a. Kegiatan-1, antara lain: Koordinasi dan diseminasi kepada DPRD terkait; Koordinasi dan diseminasi program kerjasama pada pihak yang akan terlibat pada TPA Regional Benowo. b. Kegiatan-2, antara lain: Revisi tusi, pembuatan SOP, alokasi sumber
Kajian Regionalisasi … (Sarbidi)
c.
daya, dsb; Kajian materi juknis dan juklak operasional TPA Regional yang kondusif bagi pihak terkait sesuai UU Otda. Kegiatan-3, antara lain: Pelatihan sistem mutu operasional TPA Regional; Pelaksanaan uji profesiensi, perbaikan dan kalibrasi alat.
Saran
Dalam rangka pengembangan dan regionalisasi TPA Benowo disarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Menetapkan dan menyepakati skenario pembangunan dan operasional TPA regional, tersebut, untuk mendapatkan operasional TPA regional yang realistis, sesuai dengan sumber daya dan lingkungan yang ada. 2. Pihak yang terlibat regionalisasi agar melakukan Teknik Analisis Manajemen (TAM) secara integratif dan komprehensif dalam lingkungan organisasinya masing-masing, kemudian melakukan diskusi secara bersama-sama.
DAFTAR PUSTAKA Entang, HM., Dr., MA, Dipl. Ed, dkk, (2001)., Isu Aktual Sesuai Tema; Bahan Ajar Diklatpim Tingkat III, Lembaga Administrasi Negara RI. ……..,(2008)., LAYOUT LPA BENOWO (Pembagian Lahan Per Zona, Skala 1:1000., Data Digital, AutoCAD Drawing.File LAYOUT LPA BENOWO – Pembagian Lahan – Januari 2008. .........,(2007)., Profil Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya., Handout., Data Digital, Microsoft Powerpoint Presentation. File Profil DKP. .........,(2008)., UU No. 18/2008, tanggal 7 Mei 2008, tentang pengelolaan sampah. Sarbidi; Alimanan, Rusdi (2008)., Penerapan Teknologi Pengelolaan Sampah Kota Terpadu Berbasis 3R – Pengkajian Penerapan TPA Regional Dan Insinerator Kota Surabaya., Laporan, Juni 2008.
27
Sianipar, J.P.G., Drs. MM., dan Entang, H.M., Drs, MA, Dipl. Ed, (2003)., TeknikTeknik Analisis Manajemen; Bahan Ajar
28
Diklatpim Tingkat III, Administrasi Negara RI.
Lembaga
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
POTENSI REHABILITASI TEMPAT PEMEROSESAN AKHIR SAMPAH MELALUI PENAMBANGAN LAHAN URUG Oleh: Sri Darwati
Pusat Litbang Permukknan Jl. Panyawungan Cileunyi Wetan - Kab. Bandung 40393 E-mail :
[email protected] Tanggal masuk naskah: 06 Agustus 2006, Tanggal revlsl terakhlr : 10 Februarl 2009
Abstrak
Keterbatasan dan sulitnya mencari lahan Tempat Pemerosesan Akhir (TPA) Sampah di perkotaan di Indonesia menjadikan penambangan lahan urug menjadi salah satu alternatif untuk peningkatan kapasitas TPA, menggunakan kembali lahan urug dan mengurangi biaya untuk mencari lahan TPA, baru serta mendapatkan bahan penutup sampah. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui potensi dan kendala penambangan lahan urug di Indonesia sebagai upaya rehabilitasi TPA sampah. Metodologi pengumpulan data sekunder dari hasil litbang terdahulu, data primer dengan wawancara kuesioner, observasi lapangan dan studi kasus. Metodologi analisis data secara deskriptif dan analisis laboratorium. Disimpulkan bahwa penambangan kompos pada lahan urug dapat dilaksanakan pada sel penimbunan pasca penimbunan sampah terbuka setelah umur 6 tahun. Komposisi sampah yang masuk TPA umumnya dominan organik sehinga potensi penambangan lahan urug adalah kompos. Kendala pada proses penambangan adalah masih terdapatnya gas mudah terbakar, sampah masih tercampur dengan material B3 (bahan beracun berbahaya), resiko kelongsoran pada lahan yang berdekatan serta memperpendek umur excavator yang digunakan, kualitas kompos masih tercampur dengan plastik, terkontaminasi degan logam berat dan kadar C dan C/N ratio yang tidak memenuhi standar. Direkomendasikan untuk melakukan studi karakteristik lokasi, penaksiran kelayakan ekonomi dan biaya pelaksanaan serta memperhatikan kesehatan keselamatan pekerja, perlu adanya NSPM (Norma Standar Pedoman dan Manual) untuk mendukung pelaksanaan penambangan lahan urug. Aplikasi kompos dapat digunakan untuk tanah penutup TPA, pupuk organik untuk penghijauan sekitar TPA, tanaman non pangan dan tanaman keras.
Kata kunci: Rehabilitasi, lahan urug, tempat pemerosesan akhir, sampah Abstract
Because of limitation and difficulty to look for a new Solid Waste Final disposal site in Indonesia; landfill mining becomes one of alternatives to the exvand capacity of Final Disposal site in order to re-using landfill and avoid expenses to buy ant new site for landfill. The objective a to this paper is to know constraint and potency of landfill mining in Indonesia as an effort to rehabilitate of Final Disposal Site. Methodology of data collection of secondary data are from the former research and primary data collection that is taken from questioner, interview, field observation and case study Methodology of data analysss is descriptive and laboratory analysis. It is concluded that landfill mining of compost can be executed at post open dumping site after 6 years. Waste composition which processed to Final Disposal site are dominantly organic so that the high potency of landfill mining is compost. Constraint at process mining is that it may release combustible gas, the waste still mixed with hazardous waste the excavition works may case adjacent landfill to sink or collapse, and the minning process may shorten the life of excavation equipments. Quality of compost is still mixed with plastic, contaminated by heavy metal and it need adjustment of C and C/N ratio. It is recommended before intiating landfill mining it is need to study location characteristic, assess potential economic benefits, pay attention to the health or safety of worker, need the existence of Potensi Rehabilitasi Tempat Pemerosesan … (Sri Darwati)
29
Norm Standard Guidance and Maual to support execution of landfill mining. Compost can be applied for landfill cover, soil caonditioner for greenin, non food croup and hard crop.
Keywords : Rehabilitation, landfill final disposal, solid waste. PENDAHULUAN Keterbatasan dan sulitnya mencari lahan baru untuk Tempat Pemerosesan Akhir (TPA) sampah di perkotaan di Indonesia menjadikan penambangan lahan urug menjadi salah satu afternatif untuk peningkatan umur TPA dan menggunakan kembali lahan TPA lama dan mendapatkan tanah penutup sampah. Penarnbangan lahan urug merupakan pendekatan baru dalam memperluas kapasitas lahan urug dan menghindari biaya untuk mendapatkan lahan yang baru. Di Indonesia, terdapat 460 lokasi TPA (Tempat Pemerosesan Akhir) sampah yang merupakan sistem penimbunan sampah terbuka (penimbunan sampah terbuka). Sampai dengan akhir Pelita V, baru 1,33% dari seluruh TPA yang ada di perkotaan di Indonesia yang menggunakan metoda pembuangan akhir sampah dengan sistem Sanitary Landfill (Adipura 1997). Operasional penimbunan sampah terbuka menimbulkan pencemaran air akibat leachate, pencemaran udara yang menghasilkan emisi gas CH4 dan CO2 yang berpotensi terhadap global warming dimana emisi CH4 sebesar 21 kali lebih besar dan emisi gas CO2. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005, tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum menggariskan kebijakan dan pengolahan sampah dalam pasal 20 ayat 2, yang menyebutkan bahwa pengolahan sampah dilakukan dengan metoda yang ramah lingkungan, terpadu, dengan mempertimbangkan karakteristik sampah, keselamatan kerja dan kondisi sosial masyarakat setempat. TPA harus dirancang dengan sanitary landfill untuk kota besar metropolitan dan control landfill untuk kota sedang kecil. Sedangkan Undang-Undang Pengelolaan Sampah No.18 Tahun 2008 pada Bab X pasal 29 menyebutkan larangan melakukan penanganan sampah dengan 30
pembuangan terbuka di tempat pemerosesan akhir; dan/atau membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah. Dalam upaya mentransformasi penimbunan sampah terbuka menjadi penimbunan sampah terkendali dengan controlled landfill dan atau sanitary landfill harus dilakukan upaya rehabilitasi. Salah satu sistem yang diperkenalkan adalah penambangan lahan urug untuk memuliihkan material yang dapat didaur ulang, menggunakan kembali lahan urug dan mendapatkan tanah penutup TPA dan bahan kompos. Tujuan dari mengetahui nambangan peningkatan Indonesia.
penulisan ini adalah untuk potensi dan kendala pelahan urug sebagai upaya pengelolaan TPA sampah di
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian
Rehabilitasi lahan urug sebagai suatu proses dari penggalian sampah padat dari area penimbunan (Sumber: Visvanathan et.all, 2007).
Tujuan Penambangan Lahan Urug
Tujuan penambangan lahan urug antara lain untuk: Merehabilitasi TPA dan mengurangi beban terhadap lingkungan Pembangunan kembali lokasi lahan urug Konservasi ruang lahan urug Mengeliminasi sumber pencemar utama Pemulihan energi dari sampah Penggunaan kembali material sampah Penambangan lahan urug menggunakan metoda penggalian dan pemilahan sampah dari lokasi eksisting menggunakan langkah /proses untuk pemulihan pada lokasi penimbunan sampah terbuka. Keberhasilan material yang dapat dipulihkan tergantung pada komposisi sampah dan efektifitas Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
teknologi penambangan.
-
Penambangan lahan urug dapat memulihkan material yang dapat didaur ulang, menyediakan ruang sebagai lahan urug dan menghasilkan kompos. Penambangan kompos dari penimbunan sampah terbuka yang sudah stabil dapat menjadikan tersebut menjadi lebih berkelanjutan dan mengurangi dampak lingkungan. Potensi penambangan material dari lokasi penimbunan sampah terbuka dapat diperoleh 50% material yang dapat dipulihkan digunakan sebagai kompos dan material tanah penutup. (Sumber Visvanathan, 2007)
Proses Penambangan Lahan Urug
Proses penambangan lahan urug merupakan proses reklamasi (Sumber EPA, 1997) yang dilaksanakan mengikuti prosedur: Penggalian untuk mengangkat dan memindahkan kandungan dari sel lahan urug Penyaringan dengan alat trommel untuk memisahkan kandungan kompos, plastik, logam, kertas. Penggunaan material hasil penambangan Molt material penutup atau pengisi setelah tanah yang digali dan dilakukan penyaringan.
Kandungan Sampah
Kimia
Timbunan
Kandungan kimia timbunan sampah pada TPA pasca penimbunan (Sumber Puslitbangkim, 1997) adalah: Material pasca penimbunan sampah terbuka dapat dimanfaatkan sebagai kompos setelah berumur > 6 tahun Porositas material pasca lahan penimbunan sampah terbuka berumur 16 tahun adalah 0,45 berarti cukup baik sebagai tanah penutup namun dibutuhkan penyaringan terhadap kandungan plastik Material bekas pasca penimbunan sampah terbuka dapat mencegah timbulnya bau dan lalat pada sistem control landfill Daerah pegunungan Kadar air 26 - 39%, semakin tua umur TPA, kandugan air semakin kecil Potensi Rehabilitasi Tempat Pemerosesan … (Sri Darwati)
Nitrogen 0,4 - 3,5%, sehingga pasca penimbunan sampah terbuka yang dapat dimanfaatkan sebagai kompos setelah lebih dari 6 tahun
Daerah pantai Kadar air 25 - 42%, semakin tua umur TPA kandungan air semakin meningkat Nitrogen 1,04 – 1,64 % dan timbunan pada usia 4-7 sehingga timbunan dapat dimanfaatkan sebagai kompos setelah lebih dari 4 tahun
Gas pada Pasca Sampah Terbuka
Penimbunan
Kandungan gas timbunan sampah pada TPA pasca penimbunan (Sumber Puslitbangkim, 1997), adalah: Gas SO2 hanya terdapat pada timbunan sampah yang baru atau pasca penimbunan 0 tahun dengan nilai 7 ppm, untuk penimbunan > 2 bulan, gas sudah tidak terdeteksi. Gas NO pada umur timbunan sampah 2 bulan masih terdeteksi dengan kadar 23 ppm, sedangkan pada umur pasca 6 bulan gas NO sudah tidak terdeteksi lagi. Gas NO2 pada umur timbunan sampah pasca 2 bulan masih terdeteksi dengan kadar 1.5 ppm, sedangkan pada umur pasca 6 bulan gas NO2 sudah tidak terdeteksi lagi. Gas combustable (mudah terbakar) untuk umur pasca penimbunan < 6 bulan mempertihatkan nilai > 1000 ppm. Untuk pasca penimbunan umur 6 bulan1 tahun masih memperlihatkan nilai 400 ppm. Untuk umur pasca penimbunan 67 tahun, konsentrasi gas berkisar 0-300 ppm.
METODOLOGI PENELITIAN -
-
Pengumpulan data sekunder dan primer dari data penelitian terdahulu, kajian pustaka dan observasi lapangan di TPA Tamangapa Makasar Analisis data secara deskriptif penambangan lahan urug sampah dan analisis laboratoriurn kompos hasil penambangan 31
DATA Penambangan Indonesia
Lahan
Urug
di
Upaya-upaya penambangan lahan urug sudah dilakukan di beberapa lokasi TPA oleh investor swasta antara lain di Makasar, Surabaya dan Balikpapan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa TPA Surabaya dianggap tidak potensial karena dari hasil pemeriksaan kompos TPA, kandungan logam berat tinggi. Aplikasi penambangan kompos dilakukan di Makasar dan Balikpapan.
Komposisi Sampah Masuk TPA
Komposisi sampah yang masuk ke TPA berdasarkan data sekunder di beberapa TPA yaitu TPA Tamangapa Makasar, TPA Suwung Denpasar dan TPA Bantargebang Bekasi dapat dilihat pada gambar 1 berikut: Komposisi Sampah
Persen
100 Organik
50
Anorganik 0
Plastik TPA Mks
TPA Dps
TPA Bks
Kertas
Organik
86,6
86,6
75
Kaca
Anorganik
13,4
13,4
25
Logam
Plastik
5,79
7,68
9
Lain2
Kertas
5,24
4,95
8
Kaca
Lokasi TPA
Sumber : Pengolahan data, Puslibangkim, 2008 Gambar 1. Komposisi Sampah
Studi Kasus Penambangan Lahan Urug di TPA Tamangapa
TPA Tamangapa Makasar, yang terletak ol Kecamatan Manggala, Desa Tamangapa, kira-kira 15 km dari pusat Kota Makasar. TPA Tamangapa beroperasi tahun 1994, luas area 14,3 Ha. Luas area yang digunakan untuk lahan urug (area aktif 8.7 Ha, luas area yang tersisa 5 Ha). Kapasitas lahan diperkirakan hingga tahun 2013, kapasitas yang tersisa 5.922.654,25 m3. Lahan TPA terletak pada kemiringan daerah lereng bukit. Lahan TPA sekitar 14,3 Ha 32
lahan dengan lebar sekitar 4-20 m. Sejak dibukanya TPA ini, diperkirakan sekitar 1.240.000 ton sampah organik telah dibuang ke tempat ini dengan volume sampah yang saat ini diperkirakan sekitar 18.000.000 m3 . Jumlah sampah masuk tahun 2007 adalah 1.184.530.85 m3. Peningkatan kapasitas dan perpanjangan umur penggunaan ini akan dicapai lewat penambangan lahan urug, rehabilitasi sel dan penambahan lahan seluas 4 Ha. Sistem penambangan kompos di TPA Tamangapa dimulai pada tahun 2000 bertujuan membantu Pemerintah Kota Makasar Sulawesi Selatan dalam menanggulangi masalah sampah kota, mendapatkan ruang untuk sel penimbunan sampah yang baru, dan mendapatkan material yang dapat di daur ulang.
Proses Penambangan Lahan Urug di TPA Tamangapa Makasar
Penambangan lahan pasca penimbunan sampah terbuka di TPA Tamangapa dilakukan pada sel TPA yang sudah berumur 6 tahun. Luas sel yang ditambang adalah 1.614 m2, kedalaman 7-10 m, yang sudah ditambang saat ini 938 m2, sisa 631 m2. Proses pengolahan kompos dilakukan dengan mesin trommel kapasitas 100 ton/hari dan 10 ton/hari. Dari bahan baku sampah 60-100 ton perhari dapat menghasikan 30% kompos kualitas namor 1 (KW1), 70% sisa diolah lagi ke dalam mesin trommel mendapatkan 50% kompos kualitas nomor 2 (KW2), sisanya 50% residu. Biaya operasional 270.000/hari untuk unuk trommel kapasitas 100 ton/hari. Dengan 18 karyawan, pada musim kernarau memproduksi kompos 5 ton per hari, musim hujan 3 ton/hari. Untuk kondisi pada waktu musim hujan sulit rnencapai kadar air 40 % sehingga produk maksimum sekitar 3-5 ton/hari, sedangkan pada musim kemarau bisa dihasikan 50 ton/hari. Adapun proses-proses sebagai berikut:
yang
ada
adalah
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
Proses yang terjadi melalui tahapan Penggalian dengan excavator untuk mengangkat dan memindahkan kandungan dari sel lahan urug Pembuatan tumpukan /gunungan material hasil galian untuk mengurangi kadar air. Pengeringan sampai kadar air paling sedikit 40 %. Penyaringan dengan alat trommel untuk menisahkan kandungan kompos, plastik, logam, kertas. Tipe saringan yang digunakan tergantung pada penggunaan material. Penyaringan berdasarkan 3 fraksi organik/kompos, fraksi anorganik dan residu. Ukuran mesin sesuai kebutuhan: Fraksi organik / kompos (KW1) ukuran mesin < 6 mm Fraksi kompos kasar/ residu, (KW2) ukuran mesh < 50 mm Fraksi anorganic, ukuran mesin > 50 mm. Rata-rata jumlah fraksi tanah/kompos adalah 50-60%
Kualitas Kompos nambangan
Hasil
Pe-
Kualitas kompos terbagi atas kualitas nomor 1 (KW 1) dan kualitas nomor 2 (KW2). KW 1 yang halus digunakan untuk semua jenis tanaman termasuk padi dan tambak sedangkan KW 2 untuk pengembangan lahan baru, lahan kritis dan lahan-lahan bekas penambangan. Kompos diuji mutu dan dikemas untuk pertanian, perikanan, pembenihan, penghijauan dan penghutanan.
Aplikasi Kompos TPA Tamangapa Makasar
Pengelola penambangan lahan urug bekerjasama dengan petani Sulawesi /Kalimantan untuk pertanian organik 10-15 ton/hari. Dalam aplikasinya kompos murni digunakan pada lahan setelah lahan persemaian siap/pada saat lahan siap tanam, sedangkan untuk pertanian, kompos dicampur dengan pupuk kimia 5-10% antara lain urea ZA, TSP atau KCL tergantung jenis tanamannya.
Potensi Rehabilitasi Tempat Pemerosesan … (Sri Darwati)
ANALISIS Penambangan lahan urug merupakan salah satu upaya rehabilitasi TPA pasca penimbunan sampah terbuka yang potensial untuk mendapatkan ruang untuk digunakan sebagai lahan penimbunan dan material organik dan tanah penutup TPA. Dalam penerapannya, perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: Komposisi sampah Kualitas kompos Teknis penambangan Manfaat ekonomi dan lingkungan penggunaan kembali lahan TPA Kendala penambangan lahan urug
Komposisi Sampah
Komposisi sampah yang masuk menentukan kualitas hasil penambangan lahan urug. Berdasarkan gambar 1 diketahui bahwa komposisi sampah yang masuk ke TPA dominan organik yaitu 75-86%, sisanya adalah anorganik (antara lain metal, plastik, kaca kertas)
Analisis Kualitas Kompos
Kualitas kompos hasil penambangan lahan urug dapat dilihat dari hasil analisis laboratorium Tabel 1 di bawah. Dari aspek kualitas, TPA sampah yang ditambang adalah sel sampah yang dioperasikan dengan sistem pembuangan sampah terbuka. Sampah yang diurug di TPA Makasar tidak dipilah sehingga resiko tecampur dengan limbah B3 (Bahan Beracun Bebahaya). Dari analisis laboratorium di ketahui logam berat dari kompos TPA Tamangapa beberapa parameter yang diuji belum menenuhi standar kompos yaitu Carbon, C/N ratio, pada sampel dketahui kualitas kompos bervariasi, pada sampel 1 hasil uji Sucofindo Parameter logam berat relatif menenuhi, namun dari sampel 2 diketahui kompos TPA mengandung Cd, Co, Cr, Cu, Ni, Se, Ca, Mg, Fe, Al, Mn yang di atas syarat dalam SNI 197030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. Hal tersebut di atas menjadi indikasi aplikasi kompos perlu penyesuaian kadar Carbon dan 33
C/N rasio agar memenuhi standar. Dilihat dari tingginya kadar logam berat, pupuk organik akan berbahaya jika digunakan untuk tanaman pangan.
tanah penutup memungkinkan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya bahwa porositas material bekas lahan penimbunan sampah terbuka berumur 16 tahun adalah 0,45 berarti cukup baik sebagai tanah penutup namun dibutuhkan penyaringan terhadap kandungan plastik (Puslitbangkim, 1997).
Penggunaan kompos direkomendasikan untuk tanaman non pangan, penghijauan dan tanaman keras atau terutama sebagai tanah penutup TPA. Penggunaan sebagai
Tabel 1. Kandungan Kimia Hasil Penambangan Kompos TPA Tamargapa Makasar No
Parameter
SNI Kompos Satuan
Minimum
Kualitas Kompos Maksimum
1
2
1
Kadar air
%
-
50
-
2
Temperatur
°C
-
Suhu air tanah
-
3
Warna
-
-
Kehitaman
-
4
Bau
-
-
Berbau tanah
5
Ukuran parbkel
Mm
0,55
6
Kemampuan ikat air
7
pH
8
Bahan asing
32,31
25
%
58
-
-
6,8
7,49
%
-
1,5
7,65
7,3
Unsur makro 9
Bahan organik
%
27
58
10
Nitrogen
%
0,4
11
Karbon
%
9,8
32
12
Phospor (P2 O5)
%
0,1
-
13
C/N rasio
%
10
14
Kalium (K2 O)
%
0,2
Unsur Mikro
1,07
0,38
8,89 0,88
22,72 5,8
20
5,5
75,73
-
0,82
1,95 <0,001
15
Arsen
-
13
16
Cadmium (Cd)
mg/kg
-
3
17
Cobalt (Co)
mg/kg
-
34
18
Chromium (Cr)
mg/kg
-
210
19
Tembaga (Cu)
mg/kg
-
100
20
Mercuri (Hg)
mg/kg
-
21
Nikel (Ni)
mg/kg
-
22
Timbal (Pb)
mg/kg
-
150
23
Selenium (Se)
mg/kg
-
2
24
Seng (Zn)
mg/kg
-
500
-
25,5
Kalsium (Ca)
%
26
Magnesium (Mg)
%
-
27
Besi (Fe)
%
-
28
Alumunium (Al)
%
29
Mangan (Mn)
77,73 367,21 1289,27
18,41 <0.005
<0,0001
0,8
-
136,7
62
24,13
11,04
Unur Lain 25
48,25 12,56
5,36 54,01
6,7
2,18
30958,51
0,25
9582,4
0,6
0,2
6030,88
2
0,18
1109,68
-
2,2
0,03
565,56
%
-
0,001
MPN/gr
-
1000
MPN/gr
-
3
Bakteri 30 31
Fecal Coli Salmonell sp
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium, 2008
34
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
Keterangan 1. Kompos TPA Tamangapa ditambang dari sel TPA penimbunan sampah terbuka TPA Tamangapa yang berumur 6 tahun (Sumber Data Sekunder Hasil Analisis Laboratorium Sucofindo Makasar) 2. Kompos TPA Tamangapa ditambang dari sel TPA penimbunan sampah terbuka TPA Tamangapa yang berumur 6 tahun (Sumber Data Primer Puslitbangkim, Hasil Analisis Laboratorium TL ITB) Standar berdasarkan SNI 19-7030-2004, Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik
kualitas baik (KW1), 70% sisa diolah lagi ke dalam trommel mendapatkan 50 % kompos kualitas No. 2 (KW2), sisanya 50% residu. Kompos dapat digunakan untuk keperluan penghijauan di lokasi sekitar dan kompos kasar dapat dimanfaatkan sebagai tanah penutup. Residu dikembalikan lagi ke TPA.
Teknis Penambangan Lahan Urug
Adapun kendala dalam penambangan lahan urug adalah: Pada proses penambangan kemungkinan masih melepaskan gas methana hasil dari dekomposisi sampah, kemungkinan material B3 (Bahan Berat Berbahaya). Dari hasil kajian Puslitbangkim 1997 diketahui untuk pasca penimbunan 6-7 tahun masih mengandung gas-gas yang mudah terbakar dengan konsentrasi 0300 ppm. Proses penggalian dapat menyebabkan kelongsoran pada lahan urug yang berdekatan. Sifat material yang digali yang bersifat asam atau abrasive kemungkinan memperpendek umur peralatan berat yang digunakan Pada musim hujan dimana kadar air kompos tinggi dan kompos sebelum diproses dalam trommel, kriteria kadar air pada kompos minimal 40%, syarat SNI kadar air 50%. Sehingga perlu ada perlakuan-perlakuan tambahan untuk mengurangi kadar air antara lain dengan dengan membuat tumpukan/gunungan material yang digali sebelum diproses masuk ke trommel.
-
Kriteria Penambangan Penambangan lahan urug sampah di TPA Tamangapa dilakukan setelah sel sampah berumur lebih dari 6 tahun, hal ini untuk mendapatkan kompos yang stabil. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa material pasca penimbunan sampah terbuka dapat dimanfaatkan sebagai kompos setelah umur 6 tahun (Sumber Puslitbangkim, 1997).
Namun untuk mengetahui secara pasti kondisi kestabilan kompos, perlu dilakukan pengujian kualitas kompos melalui sampling dibeberapa kedalaman timbunan sampah. -
Peralatan yang digunakan Peralatan yang dapat digunkaan untuk penambangan adalah excavator dan trommel. Namun trommel merupakan peralatan mekanis yang membutuhkan energi. Berdasarkan pengalaman di TPA Tamangapa, bahan bakar solar lebih hemat dibandingkan dengan listrik. Bila tidak memungkinkan penggunaan trommel karena kendala biaya, dapat diganti dengan peralatan yang lebih sederhana dengan sistem manual pada penambangan lahan urug di TPA yang lebih kecil.
Manfaat Ekonomi dan Lingkungan
Dari sel yang sudah ditutup, penambangan kompos akan menghasikan 30% kompos Potensi Rehabilitasi Tempat Pemerosesan … (Sri Darwati)
Sel sarnpah yang sudah ditambang digunakan sebagai sel penimbunan baru untuk penghematan lahan sehingga meningkatkan kapasitas dan TPA.
dapat yang TPA, umur
Kendala Penambangan Lahan Urug
KESIMPULAN 1.
2.
Penambangan lahan urug pasca penimbunan dapat menghasilkan manfaat ekonomi berupa kompos dan meningkatkan kapasitas dan umur TPA. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam penambangan lahan urug adalah komposisi sampah, teknologi pe35
3.
4.
5.
6.
7.
nambangan yang ada di Indonesia, manfaat ekonomi dan lingkungan yang diperoleh. Lahan urug pasca penimbunan sampah terbuka dapat dilakukan penambangan lahan urug setelah 6 tahun. Pengujian kesetabilan kompos dapat dilakukan dengan sampling kualitas kompos sampah di beberapa kedalaman sel sampah. Kendala pada proses penambangan adalah kemungkinan pelepasan gas methana dan kandungan sampah yang mengandung material B3 (Bahan Beracun Berbahaya), resiko kelongsoran serta memperpendek umur peralatan berat yang digunakan. Kualitas kompos masih tercampur dengan plastik, logam berat dan perlu penyesuaian kadar air di musim hujan. Analisis laboratorium kompos TPA Tamangapa di ketahui beberapa parameter yang diuji belum memenuhi standar kompos yaitu Carbon, C/N ratio, kompos diketahui masih mengandung logam berat Cd, Co, Cr, Cu, Ni, Se, Ca, Mg, Fe, Al, Mn yang di atas syarat dalam SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dan Sampah Organik Domestik. Aplikasi penambangan lahan urug saat ini adalah pemanfaatan kompos sebagai pupuk untuk lahan persemaian. Namun kompos dan pasca penimbunan sulit terkontrol kualitasnya, resiko kompos yang mengandung logam berat tinggi berdampak buruk pada tanaman yang dikonsumsi manusia. Penambangan ini membutuhkan peralatan mekanis. Kebutuhan alat minimal adalah excavator dan penyaringan dengan alat mekanis trommel atau manual. Untuk sistem mekanis perlu dipetimbangkan aspek ekonomi untuk penyediaan tenaga listrik atau solar.
REKOMENDASI 1.
36
Sebelum penambangan lahan urug direkomendasikan untuk melakukan studi karakteristik lokasi, penaksiran kelayakan ekonomi dan biaya pelaksanaan serta memperhatikan
2.
3.
4.
kesehatan keselamatan pekerja. Perlu adanya NSPM (Norma Standar Pedoman dan Manual) untuk mendukung pelaksanaan penambangan lahan urug. Aplikasi kompos direkomendasikan sebagai pengganti tanah penutup. Jika digunakan sebagai pupuk organik, kompos hasil penambangan perlu disesuaikan kualitasnya terutama Carbon dan C/N rasio. Aplikasi pupuk organik direkomendasikan untuk tanaman non pangan, penghijauan dan tanaman keras. Penambangan merupakan salah satu altematif rehabilitasi lahan pasca penimbunan sampah, diperlukan peraturan nasional atau lokal yang mendukung.
DAFTAR PUSTAKA ----,
2008, Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2008, Pengelolaan Sampah, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Lembaran Negara RI tahun 2008 No. 69, Jakarta ----, 2006, Peraturan Mental Pekerjaan Umum No. 21 / PRT / M / 2006, Kebijakan dan Strategi Nasional Persampahan, Kantor Mentri Negara Pekerjaan Umum, Jakarta 2005, Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005, Pengembangan Sistern Penyedian Air Minun. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Lembaran Negara RI tahun 2005 No. 33, Jakarta Visvanathan etall, 2007, Landfill Management in Asia-Notions about Future to Appropriate and Sustainable Solutions, Asian Institute of Technology, EEM -SER, Patum-thani 12120, Thailand Visvanathan, 2007. Sustainable Solid Waste Landfill Management In Asia Phase II Review Report Submitted to: Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA), Submitted by: School Of Environment, Resources and Development Enviromental Engineering and Management Programme Asian Institute Of Technology P.O. Box 4, Klong Luang, Patinmthani, 121Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
20,Thailand EPA, 1997, United States, Landfill Reclamation, Solid Waste and Emergency Response (5306 W). EPA 530-F97-001.
Potensi Rehabilitasi Tempat Pemerosesan … (Sri Darwati)
----, 1997, Pusiitbangkim, Laporan Akhir Pengkajian Penanganan Pasca Penimbunan Sampah secara Terbuka. Pusat Penelitian Pengembangan Permukiman, Bandung
37
PAPAN PARTIKEL DARI PELEPAH KELAPA SAWIT Oleh: Nurul Aini S, Kustin Bintani*, Abdul Haris*
Loka Perintisan Bahan Bangunan Lokal Cilacap Jl. Urip Sumoharjo No. 38 Mertasinga Km 10/107 Cilacap * Universitas Winaya Mukti, Bandung E-mail:
[email protected] Tanggal masuk naskah: 24 Juli 2008, Tanggal revisi terakhir: 20 Oktober 2008
Abstrak
Limbah padat kelapa sawit yang tersedia berupa tandan kosong, pelepah, cangkang dan batang kelapa sawit. Setiap pemanenan buah kelapa sawit harus dilakukan pemotongan pelepah sebanyak 2-3 buah per tandan kelapa sawit. Pemanfaatan pelepah ini belum optimal, karena hanya dibiarkan membusuk di kebun. Dalam penelitian ini akan memanfaatkan pelepah kelapa sawit sebagai bahan baku dalam pembuatan papan partikel guna mendapatkan sifat fisis dan mekanisnya. Kadar air, kerapatan, dan pengembagan tebal berturut-turut sebesar 12,60 %, 0,52 g/cm3 dan 21,20 % untuk kadar perekat 10 %, sedangkan untuk kadar perekat 12 % sebesar 13,90 %, 0,56 g/cm 3 dan 12,60 %. Sifat mekanis modulus patah dan modulus elastisitas papan partikel pada kadar perekat 10 % sebesar 24 kg/cm2 dan 5,041 kg/cm2. Sementara pada kadar perekat 12 % sebesar 51,5 kg/cm2 dan 8.906 kg/cm2.
Kata Kunci: Pelepah kelapa sawit, papan partikel Abstract
Oil palm solid wastes are empty fruit bunches, oil palm fronds, ,fruit shell and oil palm trunks. Everytime to harvesting of oil palm fruit must be cut of oil palm fronds 2-3 pieces per fresh fruit bunches. The utilization of oil palm fronds not optimal, because let they rot only in the field. This research to utilize of oil palm fronds as raw materials to make oil palm fronds particleboard. Moisture content, density and thickness swelling on 10 % adhesive are 12.60 %, 0.52 g/cm 3 and 21.2.% and on 12 % adhesive are 13.90 %, 0.56 and 12.60 %. Mechanical properties of particleboard like that modulus of rupture and modulus of elasticity on 10 % adhesive are 24.2 kg/cm2 and 5,041 kg/cm2 . While on 12 % adhesive are 51.5 kg/cm2 and 8,906 kg/cm2.
Key words: Oil palm fronds, particle board PENDAHULUAN Dalam rangka menunjang program pembangunan sejuta rumah yang digalakkan oleh pemerintah, diperlukan adanya terobosan baru dalam penyediaan bahan bangunan yang relatif murah. Bahan bangunan yang relatif murah tersebut tentunya harus memanfaatkan bahan bangunan lokal yang dimiliki oleh daerah, misalnya limbah pengolahan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit telah tersebar di beberapa propinsi antara lain di Kalimantan. Indonesia merupakan pemasok kedua minyak kelapa sawit setelah Malaysia. Sementara itu pemerintah telah melakukan perluasan 38
tanaman kelapa sawit untuk meningkatkan perolehan devisa dari sektor non migas. Kepemilikan perkebunan kelapa sawit dewasa ini dikuasai oleh negara, perkebunan besar swasta dan perkebunan kecil rakyat. Pemanfaatan kelapa sawit hingga saat ini ditujukan hanya untuk memproduksi buah yang digunakan untuk bahan baku pembuatan minyak kelapa sawit yang berupa CPO (Crude Palm Oil) maupun KPO (Kernel Palm Oil). Tanaman kelapa sawit mempunyai umur produktif yaitu 25 - 30 tahun. Hal ini berarti bahwa setelah umur tersebut produksi buah kelapa sawit yang merupakan hasil utama kelapa sawit menurun dan Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
pohonnya sudah terlalu tinggi sehingga menyulitkan dalam pemanenan buah kelapa sawit. Setiap pemanenan buah kelapa sawit harus dilakukan pemotongan pelepah sebanyak 2–3 buah per tandan kelapa sawit. Pemotongan ini dilakukan untuk mempermudah pengambilan buah (tandan kelapa sawit). Pelepah yang merupakan hasil ikutan pemanenan tersebut dibiarkan membusuk dan menumpuk di kebun. Mempertimbangkan potensi pelepah yang cukup besar dan belum termanfaatkannya pelepah secara optimal, perlu dilakukan penelitian pembuatan papan partikel dari pelepah kelapa sawit.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat papan partikel dari pelepah kelapa sawit.
Sasaran Output
Mendapatkan bahan bangunan baru yang berupa papan partikel dari pelepah kelapa sawit.
Outcome
Termanfaatkannya pelepah kelapa untuk pembuatan papan partikel.
sawit
Manfaat
Mengurangi jumlah limbah yang berupa pelepah kelapa sawit dengan memanfaatkannya dalam pembuatan papan partikel.
Lingkup Penelitian
Pembuatan partikel pelepah kelapa sawit; Pembuatan papan partikel dari pelepah kelapa sawit; Pengujian papan partikel
Hipotesa
Pelepah kelapa sawit dapat digunakan untuk pembuatan papan partikel
KAJIAN PUSTAKA Papan Partikel
Papan partikel adalah produk kayu yang
dihasilkan dari hasil pengempaan panas antara campuran partikel kayu atau berlignoselulosa lainnya dengan perekat organik serta bahan pelengkap lainnya yang dibuat dengan cara pengempaan mendatar dengan lempeng datar (SNI 03-2105-1996). Menurut Haygreen dan Bowyer (1993) tipe partikel yang dapat digunakan untuk memproduksi papan partikel sebagai berikut: a) Shaving (pasahan) adalah partikel kayu kecil dengan dimensi tidak menentu yang dihasilkan dari pengetaman lebar dan tebal kayu gergajian. Ketebalan partikel ini bervariasi. b) Flake (selumbar) adalah partikel kayu dengan dimensi yang telah ditentukan sebelumnya, dihasilkan dengan menggunakan peralatan khusus, ukuran ketebalan partikel homogen dan orientasi serat sejajar arah panjang partikel. c) Wafer adalah partikel dengan bentuk menyerupai flake tetapi ukurannya lebih besar, biasanya tebal lebih dari 0,06 cm dan panjang lebih besar dari 2,54 cm. d) Chips adalah serpihan kayu berbentuk lempeng dengan ukuran tidak terlalu seragam yang dibuat dengan cara memotong atau membelah kayu berdiameter kecil. e) Serbuk gergaji (sawdust) adalah partikel yang dihasilkan dari hasil pemotongan kayu gergajian. f) Untaian adalah pasahan panjang, tetapi pipih dengan permukaan sejajar. g) Slivers (kerat) adalah serpihan kayu yang bentuknya hampir persegi dengan ukuran panjang paling sedikit empat kali tebal. h) Wol kayu adalah partikel kayu dengan bentuk berombak dan ramping menyerupai bentuk pita-pita. Klasifikasi papan partikel berdasarkan distribusi ukuran partikel pada satu lembar papan partikel (Maloney, 1977) sebagai berikut: a) Papan partikel homogen yaitu papan partikel yang terdiri atas satu lapis atau disebut single layer board (homogen board).
Papan Partikel dari Pelepah … (Nurul A.S., Kustin B., dan Abdul H.)
39
b)
c)
Papan partikel berlapis tiga yaitu papan partikel yang terdiri atas tiga macam ukuran partikel, pada bagian tengah ukuran partikel lebih kasar dibandingkan dengan permukaannya, jenis ini disebut three layer board. Oriented particle board yaitu papan partikel yang terbuat dari partikel kayu berbentuk strand dan tersusun pada arah yang sama.
Sedangkan penggolongan papan partikel berdasarkan kerapatan (Maloney, 1977) sebagai berikut: a) Tipe kerapatan rendah (low density board), papan partikel dengan kerapatan kurang dari 0,6 g/cm3, bersifat sebagai isolator terhadap panas dan suara serta dapat digunakan untuk pembuatan mebel yang memerlukan kekuatan besar. b) Tipe kerapatan sedang (medium density board), papan partikel dengan kerapatan berkisar antara 0,6 g/cm3 - 0,8 g/cm3, papan ini biasanya digunakan untuk bagian atas dari meja , lemari, peti, tempat tidur, dan lain-lain. c) Tipe kerapatan tinggi (high density board), kerapatan lebih dari 0,8 g/cm3, papan ini digunakan untuk dinding pemisah, langit-langit, lantai dan pintu yang biasanya memerlukan kekuatan besar. Berdasarkan tujuan penggunaannya menurut SNI 03-2105-1996 papan partikel dikelompokkan ke dalam: a) Papan partikel tipe I adalah papan partikel untuk penggunaan di luar ruangan yang tahan terhadap cuaca dalam waktu relatif lama. b) Papan partikel tipe II adalah papan partikel untuk penggunaan di dalam ruangan yang tahan terhadap cuaca dalam waktu relatif pendek. Kollman et al (1975) dan Maloney (1977), beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas papan partikel sebagai berikut: 1. Kayu sebagai bahan baku Berat jenis merupakan ciri terpenting yang mempengaruhi kecocokan jenis bahan baku untuk membuat papan 40
2.
3.
partikel. Kayu berkerapatan rendah lebih disukai daripada berkerapatan tinggi, meskipun secara teknis memungkinkan untuk memproduksi papan partikel dari kayu dengan berbagai kerapatan. Semakin rendah kerapatan kayu semakin tinggi kekuatan papan partikel pada sembarang kerapatan. Apabila kandungan zat ekstraktif bahan baku cukup tinggi akan mengakibatkan pengerasan resin menjadi sulit dan menimbulkan pecah-pecah pada papan secara internal yang disebabkan oleh tekanan internal ekstraktif yang mudah menguap pada saat proses pembebasan tekanan kempa. Kadar air dan distribusinya Kadar air kayu juga sangat mempengaruhi kualitas papan partikel, kayu dengan kadar air yang tinggi akan mempersulit dalam pembuatan papan partikel, karena membutuhkan energi lebih banyak dalam proses pengempaan dan mempersulit proses perekatan. Sedangkan kadar air yang rendah juga mengakibatkan partikel-partikel yang dihasilkan menjadi rapuh atau pecahpecah. Kadar air awal yang tinggi mengakibatkan biaya pengeringan meningkat. Kadar air partikel setelah pengeringan berkisar antara 3%-6%. Kadar air yang tinggi mengakibatkan steam pockets saat pematangan perekat pada proses pengempaan panas. Kadar air papan partikel tergantung pada kondisi udara disekelilingnya, karena papan partikel terdiri dari bahan yang berlignoselulosa sehingga bersifat higroskopis, yang akan mengabsorbsi uap air dari atau ke udara sekelilingnya dalam batas-batas kesetimbangan. Kerapatan papan dan profil kerapatan Kerapatan papan partikel adalah suatu ukuran kekompakan partikel pada suatu lembaran dan sangat tergantung pada kerapatan kayu yang akan digunakan serta tekanan yang diberikan selama proses pengempaan. Semakin tinggi kerapatan papan partikel semakin banyak partikel yang dibutuhkan untuk membuat papan pada ukuran yang sama. Peningkatan penggunaan perekat Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
4.
5.
akan meningkatkan kerapatan papan. Kayu dengan kerapatan rendah lebih disukai karena akan mempermudah dalam proses pengempaan sehingga akan memperoleh ikatan antar partikel yang lebih kuat. Bentuk, ukuran atau geometri partikel dan orientasi pada lembaran Bentuk dan ukuran partikel kayu akan mempengaruhi kekuatan dan stabilitas dimensi papan partikel. Perbandingan panjang dan lebar juga berpengaruh terhadap penyerapan air, pengembangan tebal, pengembangan linier dan keteguhan papan partikel. Dimensi partikel panjang, lebar dan tebal sangat mempengaruhi sifat-sifat papan partikel. Semakin tebal partikel mengakibatkan nilai MOR dan MOE menurun. Sebaliknya nilai MOR dan MOE meningkat dengan semakin panjang partikel, sementara lebar partikel tidak mempengaruhi aspek teknis. Perekat Peningkatan kadar perekat akan meningkatkan kekuatan internal dan kekuatan lentur serta menurunkan ekspansi linier, daya absorbsi dan mengurangi pengembangan tebal papan partikel.
Perekat Urea Formaldehyde (UF)
Perekat adalah suatu bahan yang dapat menggabungkan beberapa bahan lain yang akan dipadukan dengan cara perpautan antar permukaan. Urea formaldehyde merupakan bahan perekat yang paling banyak digunakan terutama untuk industri papan partikel. Perekat ini dibuat secara sintetis dari urea yang merupakan kristal tak berwarna dan gas fomaldehida yang berasal dari methanol. Pembuatan perekat UF secara singkat sebagai berikut : 2NH2 + CO2 H2NCONH2 +H2O CH3OH + ½ O2 CH2O +H2O H2NCONH2 + 2 CH2O HOCH2NHCONHCH2OH Bahan perekat UF sangat peka terhadap pH, terutama dibawah pH 6. Dengan penambahan asam sebagai katalisator maka molekul
UF yang telah mengeras bersifat tidak larut dalam pelarut organik, tahan terhadap beberapa asam dan basa tertentu, tahan air panas hingga suhu 80oC, sedangkan pada suhu 100oC praktis tidak mempunyai daya rekat lagi. Perekat UF bersifat tahan disimpan lama, tidak berwarna, harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan perekat phenol formaldehida, waktu kempa relatif pendek yaitu sekitar 10–20 menit karena selama waktu tersebut perekat mengalami pematangan (Plath 1976, dalam Kollman et al, 1975). Temperatur kempa perekat UF relatif rendah 150oC-200oC, dalam penggunaannya termasuk jenis interior.
Pelepah Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman yang termasuk dalam Klas Monocotyledoneae, Famili Arecaceae (Palmae), Subfamili Cocoidea dan Genus Elaeis. Pelepah adalah tempat menempelnya daun kelapa sawit. Daun ini mempunyai sirip genap dan bertulang sejajar. Pada pangkal pelepah daun terdapat duri-duri dan bulubulu halus sampai kasar. Pelepah daun sejak mulai terbentuk sampai tua membutuhkan waktu ±7 tahun dan pada satu pohon jumlah pelepah dapat mencapai 60 buah dengan panjang pelepah daun mencapai 9 m. Helai anak daun yang terletak ditengah pelepah daun adalah yang paling panjang dan panjangnya dapat melebihi 120 cm. Jumlah anak daun dalam satu pelepah daun dapat mencapai 100–160 pasang. Pertumbuhan pelepah daun tiap tahun pada tanaman muda yang berumur 4–6 tahun mencapai 30–40 helai dan pada tanaman yang lebih tua berjumlah antara 20–25 helai (Setyamidjaja, D. 1995)
METODE PENELITIAN Rancangan Percobaan
Penelitian ini melakukan eksperimen pembuatan papan partikel dari pelepah kelapa sawit yang menggunakan rancangan acak lengkap dengan dua perlakuan. Perlakuan tersebut adalah kadar perekat UF yaitu 10% dan 12%, dengan penambahan
Papan Partikel dari Pelepah … (Nurul A.S., Kustin B., dan Abdul H.)
41
NH4Cl sebanyak 1% dari berat perekat. Papan partikel direncanakan berukuran 30 cm x 30 cm x 2 cm dengan kerapatan target 0,6 g/cm3. Setiap perlakuan dibuat papan partikel dengan ulangan 3 buah. Lebih jelasnya dapat dilhat pada tabel 1. Data hasil pengujian dianalisis dengan membuat analisis ragamnya. Tabel 1. Rancangan Percobaan Pelaksanaan No. Item Penelitian 10 % dan 12 % dari berat papan partikel Perlakuan kadar 1 dengan penambahan perekat NH4Cl sebanyak 1 % dari berat perekat Masing-masing Jumlah benda 2 perlakuan sebanyak 3 uji buah 2 minggu setelah 3 Umur pengujian pencetakan papan partikel Kadar air, kerapatan, pengembangan tebal, 4 Jenis uji modulus patah dan modulus elastisitas
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi: Partikel Pelepah Kelapa Sawit, Perekat Uf NH4Cl Peralatan yang dibutuhkan adalah gergaji, golok, saringan, disk mill, timbangan, bak pencampur, sendok semen, cetakan papan, mesin kempa, kaliper, oven, dan mesin uji sifat mekanis
Pembuatan Papan Partikel
Proses pembuatan papan partikel dilakukan mengikuti prosedur sebagai berikut: 1. Pembuatan partikel; pelepah kelapa sawit dibersihkan dari daun yang menempel, kemudian pelepah tersebut dipotong menjadi potongan kecil berukuran ± 5 cm. Potongan tersebut digiling dalam mesin disk mill untuk memperoleh partikel. Hasil penggilingan pelepah kelapa sawit berupa partikel diayak dengan saringan dan ukuran 42
2. 3.
4.
5. 6.
partikel yang digunakan adalah tertahan ukuran saringan 0,3 mm. Pengeringan partikel; partikel pelepah yang diperoleh dikeringkan dalam oven hingga diperoleh kadar air sebesar 6 %. Pencampuran perekat; bahan baku papan partikel yang berupa partikel pelepah dicampur dengan NH4Cl sebanyak 1 % dari berat perekat, kemudian ditambahkan perekat UF. Pencampuran ini dilakukan secara merata dalam bak pencampur (blender). Pembentukan lembaran; setelah proses pencampuran selesai, adonan dimasukkan ke pencetak lembaran untuk membentuk lembaran contoh uji. Pengempaan; pengempaan panas dilakukan pada suhu 150oC selama 10 menit. Pengkondisian; pengkondisian dilakukan selama 2 minggu untuk menyeragamkan kadar air papan partikel dan melepaskan tegangan sisa yang terdapat dalam lembaran sebagai akibat dari pengempaan panas.
Pengujian Papan Partikel
Pengujian papan partikel terdiri dari sifat fisis dan mekanis; sifat-sifat yang diuji meliputi kadar air, kerapatan, pengembangan tebal, modulus patah dan modulus elastisitas.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air
Kadar air papan partikel lebih rendah dari kadar air bahan baku yaitu adonan partikel dan perekat cair. Kadar air yang rendah disebabkan adanya perlakuan pengempaan panas pada suhu 150oC selama 10 menit dalam pembuatan papan partikel yang dapat menguapkan air yang terkandung. Selain itu partikel dalam papan, kurang dapat menyerap air atau uap air dari lingkungan sekitar karena adanya ikatan rekat antara partikel dan perekat. Selama ikatan tersebut tidak rusak, maka selama itu pula partikel kurang menyerap air atau uap air yang berada disekitarnya. Hasil pengujian, kadar air rataan papan partikel dengan kadar perekat 10 % sebesar 12,60 % dan kadar perekat 12 % sebesar 13,90 %. Kadar air Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
papan partikel dapat dilihat pada gambar 1. Hasil analisis ragam kadar air terlihat bahwa perlakuan kadar perekat tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air papan partikel. Kadar perekat yang tinggi cenderung menghasilkan kadar air papan partikel yang tinggi pula. Hal ini disebabkan perekat yang digunakan berbentuk cair, sehingga menambah kadar airnya walaupun mendapatkan perlakuan pengempaan panas dan telah dikondisioningkan. Kadar air papan partikel memenuhi persyaratan SNI 03-2105-1996 yang mensyaratkan kadar air maksimum sebesar 14 %. 14.0
13.7
13.9
Kerapatan papan partikel memenuhi persyaratan kerapatan papan partikel menurut SNI 03-2105-1996 yaitu sebesar 0,50 g/cm3 sampai dengan 0,90 g/cm3.
14.0
0.57
0.57
11.3
0.56
0.56 0.55
3
KERAPATAN (g/cm )
KADAR AIR (%)
13.2
13.1
12.0
menunjukkan bahwa kadar perekat berpengaruh sangat nyata terhadap kerapatan. Kerapatan papan partikel disajikan pada gambar 2. Dari gambar tersebut terlihat bahwa perbedaan kerapatan antar kadar perekat tidak terlalu besar. Kerapatan rataan pada kadar perekat 10 % sebesar 0,52 g/cm3 dan kadar perekat 12 % sebesar 0,56 g/cm3. Dalam pembuatan papan partikel yang dilakukan secara manual, ketelitiannya cukup baik karena perbedaan kerapatan hanya sebesar 0,04 g/cm3.
10.0 8.0 6.0 4.0 2.0
0.55 0.54 0.53
0.53 0.52
0.52
0.52
1
10
0.51 0.5
0.0
1
10
12
0.49
% PEREKAT
12
% PEREKAT
Gambar 1. Kadar Air Papan Partikel
Kerapatan
Hasil pengujian kerapatan papan partikel menunjukkan bahwa kerapatan yang dihasilkan relatif seragam dengan kisaran antara 0,52 g/cm3 sampai dengan 0,53 g/cm3 untuk kadar perekat 10 % dan 0,55 g/cm3 sampai dengan 0,57 g/cm3 untuk kadar perekat 12 %. Kerapatan papan partikel yang dihasilkan lebih rendah dari kerapatan target, hal ini disebabkan pada saat pembuatan lembaran dilakukan secara manual yang dapat mengakibatkan tidak meratanya pendistribusian partikel dan perekat pada pembentukan lembaran dalam cetakan, walaupun telah diusahakan serata mungkin. Kondisi ini akan menyebabkan kerapatan yang berbeda dalam satu lembaran. Namun Secara tidak langsung hasil pengujian ini menunjukkan bahwa distribusi partikel dan perekat pada saat pembentukan lembaran dapat dilakukan dengan baik. Analisis ragam kerapatan
Gambar 2. Kerapatan Papan Partikel
Pengembangan Tebal
Hasil pengujian pengembangan tebal dapat dilihat pada gambar 3. Pengembangan tebal rataan papan partikel pada kadar perekat 10 % sebesar 21,2 % dan kadar perekat 12 % sebesar 12,6 %. Tingginya pengembangan tebal disebabkan partikel pelepah kelapa sawit masih mengandung bagus yang dapat mengakibatkan ikatan antara partikel dan perekat kurang sempurna. Selain itu dapat disebabkan kurangnya kadar perekat yang digunakan. Pengem- bangan tebal sangat menentukan dalam penggunaan papan partikel untuk keperluan di dalam ruangan (interior) atau di luar ruangan (eksterior). Apabila pengembangan tebal papan partikel tinggi, hal ini menggambarkan bahwa papan partikel tersebut mempunyai stabilitas dimensi yang rendah. Stabilitas dimensi yang rendah tentunya mengakibatkan papan partikel tersebut tidak dapat digunakan untuk
Papan Partikel dari Pelepah … (Nurul A.S., Kustin B., dan Abdul H.)
43
jangka waktu yang lama. Karena papan partikel kekuatannya akan menurun drastis dalam jangka waktu yang relatif pendek.
30.0
27.9
25.0 20.5
70
20.0 15.0
13.4 12.0
12.3
10.0 5.0 0.0
1
60.2
60
15.0
10
MOR (kg/cm²)
PENGEMBANGAN TEBAL 24 JAM (%)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kadar perekat tidak berpengaruh nyata terhadap pengembangan tebal papan partikel. Bila merujuk standar SNI 03-21051996 yang mensyaratkan pengem-bangan tebal sebesar 12 %, maka papan partikel yang dihasilkan tidak memenuhi persyaratan.
perekat 10 % dan 12 % berturut-turut sebesar 5.041 kg/cm2 dan 8.906 kg/cm2. Hasil pengujian modulus elastisitas dapat dilihat pada gambar 5. Pada gambar 5 terlihat bahwa dengan bertambahnya kadar perekat, mengakibatkan peningkatan modulus elastisitas papan partikel. Hasil analisis ragam juga mendukung hal tersebut, karena kadar perekat berpengaruh nyata terhadap modulus elastisitas papan partikel. Modulus elastisitas kedua papan partikel telah memenuhi persyaratan SNI 03-21051996. 60.3
50 40
34.1
30
26.7 21.4
24.5
20
12
10
% PEREKAT 0
1
Gambar 3. Pengembangan Tebal Papan Partikel
Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kadar perekat berpengaruh nyata terhadap modulus patah. Semakin tinggi kadar perekat, maka modulus patah papan partikel semakin tinggi pula. Pada kadar perekat 12 %, diduga ikatan partikel dan perekat lebih sempurna daripada kadar perekat 10 %. Hasil pengujian modulus patah dapat dilihat pada gambar 4. Modulus elastisitas papan partikel pada kadar 44
12
% PEREKAT
Gambar 4. Modulus Patah
Modulus Patah (Kuat Lentur) dan Modulus Elastisitas
120 104 100
MOE (x100 kg/cm²)
Hasil pengujian modulus patah pada kadar perekat 10 % sebesar 24,2 kg/cm2 dan kadar perekat 12 % sebesar 51,5 kg/cm2. Bila dibandingkan dengan SNI 03-2105-1996, maka modulus patah papan partikel yang dihasilkan tidak memenuhi persyaratan. Rendahnya modulus patah diduga karena tidak sempurnanya ikatan antara partikel dan perekat, sebagai akibat belum optimalnya kondisi pembuatan papan partikel khususnya suhu pengempaan. Selian itu partikel pelepah lebih banyak mengandung gabus daripada seratnya.
10
98
80 64 60
53 46
50
40 20 0
1
10
12
% PEREKAT
Gambar 5. Modulus Elastisitas Tabel 2. Rangkuman Analisis Ragam F F tabel Jenis hitung (0,05) (0,01) Pengujian Kadar Air 3,34 7,71 21,20 Kerapatan 30,07** Pengembangan 5,25 tebal Modulus Patah 9,55* (MOR) Modulus 9,11* Elastisitas (MOE) Keterangan: * = Berpengaruh nyata ** = Berpengaruh sangat nyata Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1. Pelepah kelapa sawit dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan papan partikel. 2. Sifat fisis papan partikel kadar air, kerapatan, dan pengembagan tebal berturut-turut sebesar 12,60 %, 0,52 g/cm3 dan 21,2 % untuk persentase perekat 10 % dan untuk persentase perekat 12 % sebesar 13,90 %, 0,56 g/cm3 dan 12,6 %. 3. Modulus patah untuk persentase perekat 10 % sebesar 24,2 kg/cm2 dan persentase perekat 12 % sebesar 51,5 kg/cm2. 4. Modulus elastisitas untuk persentase perekat 10 % sebesar 5.041 kg/cm2 dan persentase perekat 12 % sebesar 8.906 kg/cm2. 5. Kadar air, kerapatan dan modulus elastisitas papan partikel memenuhi persyaratan SNI 03-2105-1996, sedangkan pengembangan tebal dan modulus patah tidak memenuhi persyaratan SNI 03-2105-1996.
Saran
Agar papan partikel pelepah kelapa sawit memenuhi persyaratan SNI, diperlukan penelitian lanjutan dengan variasi panjang partikel, penambahan kadar perekat dan
bagian gabus dalam sebaiknya dikurangi.
partikel
pelepah
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1996. Mutu Papan partikel. SNI 032105-1996. Dewan Standar Nasional. Fauzi, Y. Et. Al.2002. Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta. Haygreen. J.G dan J.L. Bowyer. 1993. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Terjemahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Kollmann.F.F.P and Wilfred A.C. 1975. Principles of Wood Science and Terchnology. Springer-Verlag Berlin Heidelberg New York. Maloney,T.M. 1977. Modern Particleboard and Dry Process Fiberboard Manufacturing. Miller Freeman Publications. San Fransisco. Manalu, E. et al. 1994. Penetapan Umur Ekonomis Tanaman Kelapa Sawit. Berita PPKS Vol. 2 No. 2. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Prayitno. T.A. dan Darnoko. 1994. Karakteristik Papan Partikel dari Pohon Kelapa Sawit. Berita Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Vol. 2. No. 3. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Setyamidjaja, D. 1995. Budidaya Kelapa Awit. Kanisius. Yogyakarta.
Papan Partikel dari Pelepah … (Nurul A.S., Kustin B., dan Abdul H.)
45
NALISIS KINERJA PEREDAM VISCOELASTIS DI ANTARA DUA SUB SISTEM STRUKTUR Oleh: Nuraini Sekretariat Badan Litbang Dep. Pekerjaan Umum Jl. Pattimura No. 20 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan E-mail:
[email protected] Tanggal masuk naskah: 12 Mei 2008, Tanggal revisi terakhir: 23 Juli 2008
Abstrak
Peredam viscoelastis yang akan dibahas dalam tulisan ini tidak dipasang pada sistem pengaku bangunan seperti yang umum dilakukan tetapi sistem peredam ini dipasang diantara dua sub sistem struktur dibawah pembebanan gaya gempa yaitu pada tiap level lantai yang menghubungkan dua buah bangunan. Ada empat model struktur yang akan dibahas lebih lanjut yaitu tiga model struktur dengan peredam viscoelastis dan satu model struktur tanpa peredam viscoelastis. Analisis pertama yang dilakukan adalah memodelisasi masing-masing sub sistem struktur berderajat kebebasan banyak (Multi Degree Of Freedom = MDOF) menjadi sub sistem struktur berderajat kebebasan tunggal (Single Degree Of Freedom = SDOF) dengan menerapkan metode Rayleigh Ritz. Selanjutnya, disusun persamaan gerak untuk seluruh sistem dengan menerapkan prinsip Newton, D’Alembert dan Hooke. Persamaan dinamik ini diselesaikan secara analisis riwayat waktu (Time History Analysis) dengan menggunakan Average Acceleration Method. Metode ini dipilih karena konvergensi, stabilitas dan akurasinya jauh lebih baik bila dibandingkan dengan metode-metode lain. Selanjutnya respon struktur yang berupa perpindahan, kecepatan dan percepatan dilakukan terhadap empat model struktur, simulasi parametrik dengan memvariasikan karakteristik dinamik masing-masing sub sistem struktur dan peredam viscoelastis dilakukan untuk mengetahui kinerja peredam viscoelastis dalam mereduksi efek gempa bumi pada struktur bangunan. Untuk mempermudah proses analisa tersebut maka dibuat pemrograman dengan menggunakan software MATLAB® versi 6.1.0.450 Release 2.1.
Kata kunci : Kinerja peredam viscoelastis, respon struktur perpindahan, kecepatan, percepatan, struktur bangunan
Abstract
The viscoelastic damper installed between two sub systems of structure subjected to earthquake loading. There are four models of structure will be deeply discussed, i.e three models structure with viscoelastic damper and one model without viscoelastic damper. In this case, viscoelastic damper isn’t installed in bracing system of the building as usually used but it is placed at every floor level connecting two buildings. The first analysis is to modelize every sub system of structure of multi degrees of freedom to be a sub system with single degree of freedom by using Rayleigh Ritz method. Further, Equation of motion of the whole system is obtained by applying the Newton principal, D’Alembert as well as Hooke Laws. The equation of motion was solved in time history domain with Average Acceleration Method. The structural responses such as displacement, velocity and acceleration are calculated for all models. Then parametric simulation by warying dynamic characteristics of sub structures as well as viscoelastic damper is carried out to investigate performance of this viscoelastic damper in reducing earthquake effect on the building structure. The software that represents all steps of calculation is written in MATLAB® Version 6.1.0.450 Release 2.1. Base on the result, the most effective structure model for reducing earthquake loading is Model 3 that one of models structure with viscoelastic damper.
Keywords : Viscoelastic damper, displacement, velocity, acceleration, earthquake loading, building structure
46
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
PENDAHULUAN Bangunan yang mendapat gaya gempa umumnya melawan gaya itu dengan cara berubah bentuk. Masalah yang sangat mendasar dalam perencanaan gempa pada gedung bertingkat adalah periode alami fundamental gedung tersebut sering berada didalam rentang dimana gempa memberikan gaya gempa terkuatnya. Kemudian gedung mengalami amplifikasi dan beresonansi terhadap getaran tanah. Percepatan pada tiap-tiap lantai meningkat sehingga timbul tegangan atau gaya pada frame dan terjadi interstory drift yang dapat mengakibatkan kerusakan struktural maupun kerusakan non struktural. Kerusakan tersebut dapat dicegah dengan membuat bangunan tahan terhadap gempa dengan memperkuat bangunan, memperingan bangunan dan memberikan peredam sehingga meski tanah mengalami percepatan, percepatan ini segera berakhir dan tidak diteruskan ke bangunan di atasnya. Dalam hal ini kontrol Massa, Kekakuan, dan Redaman pada struktur bangunan memiliki prinsip kerja dimana penambahan massa akan meningkatkan periode alami bangunan, penambahan kekakuan akan menghasilkan efek yang sebaliknya dan penambahan redaman pada struktur akan memperkecil amplitudo respons. Dengan kata lain redaman struktur adalah kapasitas dari sebuah struktur atau komponen struktur untuk mendisipasi energi. Dalam tulisan ini, akan dibahas tentang kinerja peredam viscoelastis yang dipasang diantara dua sub sistem struktur dibawah pembebanan gaya gempa. Melalui studi simulasi program, ada empat model struktur yang akan diperbandingkan yaitu tiga model struktur dengan peredam viscoelastis dan satu model struktur tanpa peredam viscoelastis seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Sesuatu yang baru dari hal ini adalah dimana peredam viscoelastis tidak dipasang pada sistem pengaku bangunan seperti yang umum dilakukan. Tetapi sistem peredam ini dipasang pada tiap level lantai yang menghubungkan dua buah bangunan.
Analisis Kinerja Peredam Viscoelastis … (Nuraini)
(a)
(b)
(c) (d) Gambar 1. Posisi Peredam Diantara Dua Sub Sistem Struktur Bangunan Keterangan : a). Model 1 (Peredam diletakkan di Perletakan kiri); b). Model 2 (Peredam diletakkan di Perletakan kanan); c). Model 3 (Peredam diletakkan di Kedua Perletakan); d). Model 4 (Modeling Struktur Yang Tidak Dilengkapi Peredam)
Tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk mendapatkan perbandingan analisa kinerja peredam viscoelastis dengan beberapa alternatif posisinya pada struktur portal terhadap respon dinamiknya dengan beberapa variasi variabel seperti dimensi elemen struktur, faktor kekakuan dan rasio redaman.
Metode dan Simulasi Model
Metode pelaksanaan merupakan tahapan yang sistematis dimulai dari memodelisasi masing-masing sub sistem struktur berderajat kebebasan banyak (Multi Degree Of Freedom = MDOF) menjadi sub sistem struktur berderajat kebebasan tunggal (Single Degree Of Freedom = SDOF) dengan menerapkan metoda Rayleigh Ritz. Modelisasi struktur berderajat kebebasan tunggal yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 2.
47
(d)
(a)
Gambar 2. Modelisasi struktur SDOF yang Dihasilkan dari Struktur MDOF Melalui Metoda Rayleigh Ritz Keterangan : a). Model 1 (Peredam diletakkan di Perletakan kiri) ; b). Model 2 (Peredam diletakkan di Perletakan kanan) ; c). Model 3 (Peredam diletakkan di Kedua Perletakan) ; d). Model 4 (Modeling Struktur Yang Tidak Dilengkapi Peredam)
(b)
Selanjutnya, berdasarkan modelisasi struktur yang telah terbentuk, untuk masing-masing model struktur disusun persamaan dinamik struktur berdasarkan sifat (properties) struktur dan beban dinamik yang bekerja pada struktur tersebut dengan menerapkan prinsip Newton, D’Alembert dan Hooke (Persamaan 1 s/d 4). Persamaan Dinamik Struktur untuk model 1 : m1 0 u1 c cu1 k1k k u1 m1 0 ug 0 m Mu c c u k k ku 0 m Mug 2 2 2 2 2 2
………pers(1)
Persamaan Dinamik Struktur untuk model 2 : m1 M 0 u1 c c u1 k1 k k u1 m1 M 0 ug 0 m2 u2 c c u2 k k2 k u2 m2 ug 0
………pers(2)
Persamaan Dinamik Struktur untuk model 3 : m1 0 0 u1 12c 12c 0 u1 k112k 12k 0 u1 m1 0 0 ug 0 M 0 u 1 c c 1 c u 1 k k 1 k u 0 M 0 u 2 2 2 2 g 0 0 m2u2 0 12c 12c u2 0 12k k2 12ku2 0 0 m2ug
…pers(3)
(c)
Persamaan Dinamik Struktur untuk model 4 : M u K u M u g ………pers (4)
48
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
Persamaan dinamik ini diselesaikan secara analisis riwayat waktu (Time History Analysis) dengan menggunakan Average Acceleration Method. Metode ini dipilih karena konvergensi, stabilitas dan akurasinya jauh lebih baik bila dibandingkan dengan metode-metode lain. Dalam penyelesaian persamaan dinamik dengan Average Acceleration Method, beban gempa yang bekerja pada struktur berdasarkan rekaman percepatan gempa El Centro (1940) pada komponen utara-selatan (N-S). Untuk mempermudah proses analisa Average Method tersebut maka dibuat pemrograman dengan menggunakan software MATLAB® versi 6.1.0.450 Release 2.1. Input data dituliskan dalam satuan kilogram–meter– detik : Massa kolom kanan m2, Massa kolom kiri m1, Massa Balok M, Kekakuan kolom kiri k1, Kekakuan kolom kanan k2, Kekakuan peredam k, Percepatan Gravitasi (g), Rasio Redaman ξ dan data percepatan gempa El Centro NS 1940 dengan interval 0.01 detik. Selanjutnya dilakukan simulasi parametrik dengan memvariasikan karakteristik dinamik masing-masing sub sistem struktur dan peredam viscoelastis untuk memperoleh nilai respon struktur yang berupa perpindahan, kecepatan dan percepatan dari empat model struktur. Variasi variabel yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tabulasi Variasi Variabel Simu lasi 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10
Variasi yang digunakan m1 m1 = ½ m2 m1 = 2/3 m2 m1 = m2 m1 = 3/2 m2 m1 = 2 m 2
m1 = m2
M
M= 0.3 m2
M= m2 M= m2 M= m2 M= m2 M= m2
k1
k1 = k2
k
k = 0.3 k2
ξ
ξ= 0.05 %
Simu lasi 11 12 13 14 15
16 17 18 19 20
21 22 23 24 25
Variasi yang digunakan m1
M
m1 = m2
m1 = m2
k1 k2 k1 M= 0.3 k2 m2 k1 k1 k2 k1
k1 = ½ = 2/3 = k2 = 3/2
k
ξ
k = 0.3 k2
ξ= 0.05 %
k= k2 k= k2 k= k2 k= k2 k= k2
ξ= 0.05 %
= 2 k2
M= 0.3 k1 = k2 m2
M1 = M m2= 0.3 mk21 = k2
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5
ξ= 0.00 % ξ= 0.05 % ξ= k = 0.3 k2 0.10 % ξ= 0.15 % ξ= 0.20 %
Untuk menentukan nilai m, k, c standar, berdasarkan metode Rayleigh Ritz diasumsikan bahwa massa ekivalen dari frame 10 lantai struktur MDOF menjadi frame 1 lantai struktur SDOF. Struktur Bangunan terdiri dari Dua Sub Sistem Struktur portal rangka terbuka. Peredam dipasang diantara penghubung kedua portal tersebut. (lihat gambar 3) Panjang Bangunan 7 x 6 m = 42 m Lebar Bangunan 3 x 6 m = 18 m Tinggi kolom tiap lantai sama yaitu 4 m dengan dimensi kolom 80 x 80 cm2 . Asumsi beban gravitasi (beban lantai) yang bekerja q = 7 kN/m2. Mutu beton fc’= 29 MPa,
0.1
' bk
0.2
2 E c 4700 fc ' 25310, 274 N / mm .
0.3 0.4
k1 = k2
k = 0.3 k2
ξ= 0.05 %
= 350 kg/cm2 ,
g = 9.81 m/dt2 ≈ 10 m/dt2 ,
0.5
Analisis Kinerja Peredam Viscoelastis … (Nuraini)
49
Peredam dipasang pada tiap level lantai penghubung dua sub sistem struktur ini
Nilai matriks redaman C diperoleh melalui kombinasi mass proportional damping dan stiffness proportional damping. Asumsi rasio redaman .
Gambar 4. Form Tampilan Input Data
(Input Data : Massa struktur kanan m2, Massa struktur penghubung M, Kekakuan struktur kiri k1, Kekakuan struktur kanan k2, Kekakuan peredam k, Percepatan Gravitasi (g), Rasio Redaman ξ dan data percepatan gempa El Centro NS 1940 dengan interval 0.01 detik) Dimana Variasi variabel yang digunakan terdiri dari 25 variasi untuk model 1, model 2 dan model 3 dan 15 variasi untuk model 4. Secara garis besar variasi variabel tersebut terdiri dari 5 jenis variasi yaitu variasi m 1, variasi M, variasi k1, variasi k dan variasi ξ.
Hasil dan Pembahasan Gambar 3. Denah Bangunan Bertingkat 10 Lantai yang Menjadi Model Simulasi (Merupakan struktur MDOF yang kemudian disederhanakan menjadi struktur SDOF)
Dengan metode analisa Rayleigh Ritz pula diperoleh nilai m2 dan k2 adalah 300 ton dan 30000 kN/m (dengan rumus) 10 ~ m 2, m2 m j 1 j j 2 ~ 10 k 2 k k j j j 1 ). j 1
Hasil Analisa diperoleh dari output program yang berupa data tertulis yang tersimpan dalam sebuah output file berupa MATLAB® M-Files dan MATLAB® figureModel. Data yang tertulis pada output file adalah properties struktur, nama percepatan gempa yang digunakan, frekuensi alami dan periode alami dan respon dinamik berupa perpindahan, kecepatan dan percepatan masingmasing model dari struktur tanpa peredam viscoelastis, struktur tanpa peredam viscoelastis.
0.05
50
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
Dari hasil analisa simulasi parametrik dilakukan perbandingan untuk mengetahui kinerja peredam viscoelastis dalam mereduksi efek gempa bumi pada struktur bangunan untuk setiap kondisi yang berbeda. Langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan perbandingan yaitu dengan mencari u maks terbesar dan terkecil dari keempat model struktur, mencari u maks terbesar dan terkecil dari keempat model
Gambar 5. Hasil Output Program dalam Bentuk MATLAB® M-Files
maks terbesar dan struktur, mencari u terkecil dari keempat model struktur. t
Tabel 2 merupakan rekapitulasi Perbandingan Nilai Respon Struktur Terbesar dan Terkecil pada kondisi sama (variasi 3) untuk keempat model yang telah ditentukan, dimana nilai m1 = m2 , M = 0.3 m2 , k1 = k2 , k = 0.3 k2 , ξ = 0.05 %.
Gambar 6. Hasil Output Program dalam Bentuk MATLAB® Figure Model Tabel 2. Rekapitulasi Perbandingan Nilai Respon Struktur Terbesar dan Terkecil No
Hasil Analisa
Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Respon Terbesar
Respon Terkecil
1
U1 maks terbesar 0,05627
0,07199
0,04223
0,21055
0,21055
Model 4
0,04223
Model 3
2
u1 maks terbesar 0,57282
0,71303
0,46289
1,96592
1,96592
Model 4
0,46289
Model 3
3
1t maks terbesar 4,52125 6,30443 4,03053 18,34169 18,34169 Model 4 u
4,03053
Model 3
Nilai respon struktur yang semakin besar menunjukkan model struktur tersebut semakin tidak efektif mereduksi gaya gempa. Dan nilai respon yang semakin kecil menunjukkan bahwa model tersebut semakin efektif mereduksi gaya gempa. Dari rekapitulasi hasil analisa pada Tabel 2 tersebut maka model 4 (model struktur tanpa peredam viscoelastis) merupakan model yang paling tidak efektif dari keempat model yang dianalisis. Dan model struktur yang paling efektif dalam mereduksi gaya gempa adalah model 3 dimana peredam viscoelastis diletakkan di kedua ujung kiri kanan perletakan.
Analisis Kinerja Peredam Viscoelastis … (Nuraini)
Tabel 3 merupakan rekapitulasi perbandingan antara nilai respon struktur model struktur dengan peredam viscoelastis (model 1, 2, 3) dan model struktur tanpa peredam viscoelastis (model 4). Dan ternyata model struktur dengan peredam viscoelastis (model 1, 2, 3) lebih baik dari model struktur tanpa peredam viscoelastis (model 4) dalam mereduksi gaya gempa. Nilai persentase rata-rata yang semakin besar pada tabel 3 menunjukkan bahwa model tersebut jauh lebih baik dibanding model 4. Dari hasil rekapitulasi tersebut dapat dilihat bahwa model 3 memiliki nilai persentase rata-rata yang terbesar dibanding model 1 dan model 2. 51
Tabel 3. Perbandingan Nilai Respon Struktur Model Struktur dengan Peredam Viscoelastis dan Model Struktur Tanpa Peredam Viscoelastis Perbandingan Nilai Respon Struktur (%) No
Hasil Analisa
Model 1
Model 2
Model 3
Model 4
1
U1 maks terbesar
0,05627
0,07199
0,04223
0,21055
73,275
65,809
79,943
Model 3 lebih baik dibanding model 4
2
u1 maks terbesar
0,57282
0,71303
0,46289
1,96592
70,862
63,730
76,454
Model 3 lebih baik dibanding model 4
3
u1t maks terbesar
4,52125
6,30443
4,03053
18,34169
75,350
65,628
78,025
Model 3 lebih baik dibanding model 4
Model 1 dan Model 3 dan Model 2 dan 4 4 4
Respon struktur akibat gempa akan berkurang dengan diberikannya atau ditambahkannya redaman, karena sistem peredam yang dipasang menyebabkan struktur bersifat fleksibel sehingga dapat melawan arah fase gempa. Untuk kasus pada tulisan ini, berkurangnya respon struktur
No.
1
No.
MODEL
1 2 3 4 5
2
No.
MODEL
3
0.00 0.05 0.10 0.15 0.20
x 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20
x 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20
1
(m)
(m)
0.14214 0.05627 0.04820 0.04170 0.03628
1.39867 0.57282 0.50264 0.44409 0.39616
13.52762 4.52125 4.02310 3.63599 3.23325
U1 maks
U 11 maks u
(m)
(m)
U1t maks 1 u
0.20240 0.07199 0.05943 0.04993 0.04260
1.91221 0.71303 0.60935 0.52885 0.46563
17.69132 6.30443 4.54774 3.57595 3.05981
U1 maks
U 11 maks u
(m)
(m)
U1t maks 1 u
0.08394 0.04223 0.03833 0.03457 0.03108
0.78396 0.46289 0.42597 0.39105 0.35890
Pada Tabel 4 tersebut, nilai respon struktur terus berkurang dengan bertambahnya nilai rasio redaman dari ξ = 0.00 sampai ξ = 0.20 untuk ketiga model tersebut. Rasio redaman ξ yang paling efektif untuk digunakan oleh masing-masing model struktur dengan peredam viscoelastis adalah ξ = 0.05. 52
akibat rasio redaman bertambah dapat dilihat pada Tabel 4 yaitu hasil perbandingan nilai respon struktur model struktur dengan peredam viscoelastis (model 1, 2, 3) untuk kondisi yang telah ditentukan sebelumnya m1 = m2 , M = 0.3 m2 , k1 = k2 , k = 0.3 k2).
Tabel 4. Rekapitulasi Perbandingan Nilai Respon Struktur Berdasarkan Rasio Redaman U1 maks U U1t maks 11 maks u x u MODEL
1 2 3 4 5
1 2 3 4 5
Kesimpulan
(m)
(m)
(m)
7.27526 4.03053 3.48279 3.06843 2.79141
Dengan hanya diberikannya rasio redaman sebesar 0.05 maka respon perpindahan berkurang sebesar 60,4% untuk model 1, 64,4% untuk model 2 dan 49,6% untuk model 3. Untuk respon kecepatan berkurang sebesar 59,04% untuk model 1, 62,7% untuk model 2 dan 40,9% untuk model 3. Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
Untuk respon percepatan berkurang sebesar 66,6% untuk model 1, 64,4% untuk model 2 dan 44,6% untuk model 3. Tetapi untuk pertambahan rasio redaman selanjutnya, tidak terlalu membawa pengaruh terhadap pengurangan respon struktur.
KESIMPULAN Peredam viscoelastis yang dipasang pada tiap level lantai seperti dalam kasus ini dapat dijadikan alternatif sistem peredam struktur untuk bangunan tahan gempa. Model struktur yang paling efektif dalam mereduksi gaya gempa adalah model 3 dimana peredam viscoelastis diletakkan di kedua ujung kiri kanan beam column joint. Kecenderungan hal ini dapat dilihat dari tabel perbandingan respon struktur yang dihasilkan untuk masing-masing model.
DAFTAR PUSTAKA Chopra, Anil K., 1995. Dynamic of Structures Theory and Application to Earthquake Engineering. New York : Prentice Hall Chopra, Anil K., 1980. Dynamic of Structures : A Primer. California : The Earthquake Engineering Research Institute Clough, Ray W. dan Penzien, Joseph., 1993. Dynamics of Structures, Second Edition. Singapore : McGraw-Hill.Inc Lase, Yuskar., 1997. Aspek Struktural Dalam Perencanaan Bangunan Tahan Gempa. Jakarta : UI Lase, Yuskar., 1997. Aspek Metode Analisa Dalam Perencanaan Bangunan Tahan Gempa. Jakarta : UI
53
Analisis Kinerja Peredam Viscoelastis … (Nuraini)
47
STRUKTUR DAN KINERJA INDUSTRI KONSTRUKSI NASIONAL: PENDEKATAN ANALISIS Input-Output Oleh: Andreas Wibowo
Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyawungan Cileunyi Wetan – Kab. Bandung 40393 E-mail:
[email protected] Tanggal masuk naskah: 03 Oktober 2007, Tanggal terakhir revisi: 16 September 2008
Abstrak
Tulisan ini mendiskusikan struktur dan kinerja sektor industri konstruksi sebelum dan setelah krisis moneter 1997/8 secara kuantitatif menggunakan model input-output (I-O). Data yang digunakan adalah data I-O tahun 1990, 1995, 2000, dan 2003 dari Badan Pusat Statistik. Analisis I-O menunjukkan tidak terjadi perubahan berarti dalam hal efisiensi, permintaan akhir, bilangan pengganda output dan input serta upah dan gaji. Perubahan yang cukup substansial hanya terjadi pada pengganda tenaga kerja yang bisa diserap untuk setiap unit permintaan terhadap sektor konstruksi dan rasio nilai tambah bruto dan output yang dihasilkan. Statistik yang ada menunjukkan bahwa industri konstruksi nasional tampaknya sudah kembali ke kinerjanya semula.
Kata kunci: Industri konstruksi, input-output, permintaan akhir, efek pengganda Abstract
Under the input-output (I-O) model framework, the present paper quantitatively discusses the structure and performance of the national construction industry at pre- and post-1997/8 crisis. The paper employs I-O data of 1990, 1995, 2000, and 2003, published the Central-Statistic-Bureau. The I-O analysis reveals that no substantial changes are observed for industry efficiency, final demand, input and output multiplier coefficients, as well as wages and salaries. The only noteworthy changes are found for the labour multiplier of meeting every unit of the final demand for construction and the ratio of net value added to the total output generated. The statistics affirm that the national construction industry has found itself back on track.
Keywords: Construction industry, input-output, final demand, multiplier effect PENDAHULUAN Pada pertengahan tahun 1997 terjadi krisis moneter yang melanda sejumlah negara di kawasan Asia Timur, termasuk Indonesia. Bahkan dari sejumlah negara yang terimbas krisis, Indonesia termasuk yang terparah. Krisis yang semula dipicu oleh terdepresiasinya Bath Thailand terhadap dolar Amerika menimbulkan rentetan kejadian yang mengakibatkan makroekonomi Indonesia amburadul. Mata uang Rupiah jatuh bebas dari sekitar Rp. 2.500 per US$ menjadi Rp. 16.000 per US$, tingkat suku bunga meroket dari hanya sekitar 19% menjadi 60% per tahun serta laju inflasi mencapai 80% di tahun 1998, meningkat pesat bila 54
dibandingkan satu tahun sebelumnya yaitu 11%. Kondisi makroekonomi yang sulit banyak ditengarai menjadi faktor penyebab mati surinya industri konstruksi nasional selama masa krisis. Proyek-proyek konstruksi yang sedang berlangsung, terutama yang didanai oleh sektor swasta, terpaksa harus diberhentikan oleh pemilik dan/atau kontraktornya. Meningkatnya harga material konstruksi dan tingkat suku bunga konstruksi menyebabkan penurunan permintaan di sektor konstruksi secara signifikan yang tentunya berimbas pada keberlangsungan bisnis penyedia jasa konstruksi. Untuk tetap bertahan sejumlah Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
perusahaan jasa konstruksi harus memangkas jumlah staf dan pegawainya sementara yang lain terpaksa harus keluar dari arena bisnis konstruksi karena tidak mampu menahan tekanan finansial yang sedemikian kuat. Setelah sampai pada titik nadi, perekonomian nasional menunjukkan tanda-tanda pemulihan setelah Pemerintah campur tangan memperbaiki kinerja perbankan yang memang terpuruk saat itu. Tingkat suku bunga mulai menurun, nilai tukar rupiah menunjukkan kestabilan pada tingkat tertentu meski tidak sekuat saat sebelum terjadi krisis dan laju inflasi dapat ditekan. Sektor riil termasuk konstruksi menggeliat dan bergerak kembali. Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa indeks konstruksi tahun 1997 kuartal pertama masih mencapai 122,76, turun menjadi 101, 54 di kuartal kedua, dan jatuh bebas sampai pada level 66,53 di kuartal ketiga; artinya indeks anjlok menjadi setengahnya hanya dalam kurun waktu kurang dari satu tahun. Kondisi mulai membaik di kuartal kedua setahun berikutnya sampai tahun 2000 walau sempat mengalami penurunan di kuartal kedua tahun 1999 (BPS Statistics Indonesia 2006). Tulisan ini secara spesifik mendiskusikan industri konstruksi nasional ditinjau dari aspek efisiensi, kebutuhan tenaga kerja, pembentukan nilai tambah dan derajat pengaruhnya terhadap sektor lain sebelum dan setelah terjadinya krisis moneter tahun 1997/8. Model yang digunakan untuk analisis adalah model Input-Output (I-O) yang dikembangkan oleh Wassily Leontif akhir tahun 1930an yang kemudian mengantarkannya meraih penghargaan Nobel bidang ekonomi tahun 1973. Untuk mengevaluasi apakah telah terjadi perubahan sebelum dan setelah krisis digunakan data dari tabel Input-Output (I-O) untuk tahun 1990, 1995, 2000, dan 2003 untuk 66 sektor industri yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik.
Struktur dan Kinerja Industri ... (Andreas W.)
INTERAKSI INTERINDUSTRI ANALISIS I-O
DALAM
Tidak ada satupun sektor industri yang steril dari sektor industri lainnya. Setiap sektor akan senantiasa berinteraksi dengan sektor lainnya untuk tumbuh dan berkembang. Demikian pula halnya dengan sektor konstruksi yang membutuhkan sektor lainnya baik untuk memenuhi input yang dibutuhkan maupun menjual output yang dihasilkan. Industri-industri lainnya pun membutuhkan industri konstruksi untuk hal yang sama. Analisis I-O secara sistematis memformulasikan hubungan timbal balik antarindustri dalam ekonomi dan menyajikannya dalam sebuah tabel transaksi I-O. Baris dalam tabel I-O menunjukkan bagaimana output suatu sektor dialokasikan untuk memenuhi permintaan antara dan permintaan akhir sedangkan kolom dalam tabel I-O menunjukkan pemakaian input antara dan input primer oleh suatu sektor dalam proses produksinya (Badan Pusat Statistik 2002a). Namun sayangnya studi tentang I-O pada industri konstruksi masih relatif jarang, tidak saja secara internasional tetapi juga nasional. Beberapa studi yang dapat disebutkan di sini termasuk Liu dan Song (2005) dan Pietroforte dan Gregori (2003). Studi lainnya yang terkait dengan aplikasi I-O untuk sektor energi dan lingkungan adalah Crawford (2005), Hendrickson dan Horvath (2000). Sementara itu studi I-O yang membahas industri konstruksi nasional adalah Wibowo (2005) dan Wibowo (2006). Dalam konteks analisis I-O transaksi antara (intermediate transactions) yang terjadi antarindustri dapat diformulasikan dalam format matriks sebagai berikut:
X Z Y
(1)
Dengan: X
X 1 X 2 X n
;
Z
Z 11 Z 21 Z n 1
Z
12
Z
1n
Z
22
Z
2n
Z
Z
n 2
nn
55
Y 1 ; Y Y 2 Y n
merupakan salah satu indikator penting dalam perekonomian nasional. Koefisien teknis untuk input primer dapat dituliskan di sini sebagai:
Dengan Xi = output barang atau jasa yang dihasilkan oleh sektor i, Zij = penjualan barang atau jasa dari sektor i ke sektor j, Yi = permintaan akhir oleh sektor i dan n = jumlah sektor dalam ekonomi. Barang atau jasa yang dijual dari sektor i merupakan input antara (in-termediate inputs) untuk sektor j yang digunakan habis dalam proses produksi dan terdiri dari barang tidak tahan lama dan jasa baik yang diperoleh dari hasil produksi dalam negeri maupun yang berasal dari impor (Badan Pusat Statistik 2002b). Nilai X, Z, dan Y dalam Persamaan (1) dapat dinyatakan dalam bentuk moneter atau fisik. Meski demikian nilai dalam bentuk fisik menimbulkan sejumlah permasalahan bila sebuah sektor memproduksi barang lebih dari satu jenis dengan harga yang berbeda sehingga yang lazim digunakan adalah transaksi dalam nilai moneter (Miller and Blair 1985). Persamaan (1) selanjutnya dapat dituliskan ulang sebagai berikut:
X A X Y Dengan a11 a A 21 a n 1
a12 a 22 an 2
(2)
a 1n Z a 2n dan a ij ij X j a nn
Dalam model I-O nilai aij seringkali disebut sebagai koefisien teknis antara (intermediate technical co-efficient). Nilai ini menjelaskan unit input dari sektor i yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output di sektor j. Untuk menghasilkan output selain digunakan input antara juga digunakan input primer yang terdiri atas upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan barang modal, dan pajak tak langsung netto (definisi selengkapnya dapat dilihat di Badan Pusat Statistik 2002b). Input primer ini lebih dikenal sebagai nilai tambah (added value) bruto atau NTB yang 56
V
j
NTB X
(3)
j j
Bersama-sama dengan input antara, input primer membentuk output sehingga: N
a
V j 1
ij
(4)
i 1
Dengan
demikian
antara
N
a ij
dan
Vj
i 1
mempunyai tinggi N
a
ij
hubungan terbalik, semakin semakin rendah Vj dan vice
i 1
versa. Bila permintaan akhir di suatu sektor dapat diprediksi maka dapat dihitung berapa unit output yang harus dihasilkan oleh setiap sektor untuk memenuhi setiap unit permintaan akhir menggunakan Persamaan (2) yang sudah ditulis ulang menjadi:
X I A Y 1
(5)
Dengan I adalah matriks identitas. Elemenelemen matriks (I – A)-1 ini dikenal dengan bilangan pengganda (multiplier). Persamaan (5) dapat didekati dengan (pembuktiannya dapat dilihat di Miller dan Blair 1985):
X I A A2 A3 An Y
(6)
Matriks identitas dalam Persamaan (6) memperlihatkan output yang dihasilkan untuk memenuhi permintaan akhir Y sementara matriks selanjutnya A + A2 + A3 +... An menunjukkan output tambahan yang terjadi karena adanya interaksi antarindustri. Bila tidak terjadi interaksi, X sama dengan Y.
Dampak Produksi
Peningkatan
Kapasitas
Dua indikator lain yang diturunkan dari analisis I-O yang berhubungan dengan dampak peningkatan kapasitas produksi suatu sektor terhadap sektor lain adalah daya penyebaran dan derajat kepekaan. Daya penyebaran menunjukkan dampak dari satu unit permintaan akhir di suatu sektor terhadap pertumbuhan ekonomi di masing-masing sektor Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
secara keseluruhan (backward linkages) sementara derajat kepekaan menjelaskan besarnya pengaruh terhadap suatu sektor yang terbentuk akibat dari satu unit permintaan akhir pada masing-masing sektor perekonomian (forward linkages) (Badan Pusat Statistik 2002b). Jumlah daya penyebaran suatu sektor dapat dirumuskan sebagai berikut:
rj
N
I A ij
1
(7)
i 1
Dengan rj = jumlah daya penyebaran sektor j atau yang disebut oleh Liu dan Song (2005) sebagai indikator output multiplier. Untuk mengetahui apakah daya penyebaran suatu sektor di bawah atau di atas rata-rata nasional, digunakan formulasi berikut: N
I A ij
rˆj
i 1 N
1 n i
1
N
I A
Dengan
rˆj
ij
(8)
1
j 1
= indeks daya penyebaran
sektor j. Indeks rˆj yang lebih besar dari 1,0 menunjukkan bahwa daya penyebaran sektor j lebih tinggi dari rata-rata nasional dan sebaliknya bila lebih kecil dari 1,0 menunjukkan daya penyebaran yang lebih rendah. Sama halnya, indeks derajat kepekaan atau input multiplier bila mengikuti istilah Liu dan Song (2005) suatu sektor dinyatakan sebagai berikut:
si
N
I A ij
1
(9)
j 1
Untuk mengetahui apakah derajat kepekaan suatu sektor lebih tinggi atau lebih rendah dari rata-rata nasional, digunakan rumusan berikut ini N
I A ij
sˆi
1
j 1 N N
1 n i 1
I A ij
1
(10)
sˆi = indeks derajat kepekaaan
Dengan
sektor i. Indeks yang lebih besar dari 1,0 menunjukkan bahwa sektor yang bersangkutan mempunyai derajat kepekaan lebih tinggi dari rata-rata nasional dan indeks kurang dari 1,0 menunjukkan derajat kepekaan yang lebih rendah. Selanjutnya, karena output berhubungan langsung dengan jumlah tenaga kerja, gaji, dan pembentukan nilai tambah bruto (NTB), maka setiap terjadi kenaikan permintaan akhir di suatu sektor akan berpengaruh juga terhadap ketiga hal ini dengan hubungan yang dapat dinyatakan secara eksplisit sebagai berikut:
L LˆX W WˆX V VˆX
(11) (12) (13)
Dengan L1 0 Lˆ 0
0 L2 0
0 W1 0 0 0 ; 0 W2 0 ; Wˆ Ln 0 Wn 0
V 1 0 0 V2 Vˆ 0 0
0 0 V n
Dengan Li = koefisien tenaga kerja untuk sektor i, Wi = koefisien upah untuk sektor i, dan Vi= koefisien NTB untuk sektor i. Koefisien tenaga kerja menunjukkan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output dan koefisien upah menggambarkan upah yang harus dibayarkan kepada tenaga kerja untuk menghasilkan satu unit output. Koefisien NTB menjelaskan jumlah NTB yang bisa dibentuk untuk setiap produksi satu unit output. Bila X disubstitusikan dari Persamaan (5) ke dalam Persamaan (11), (12), dan (13), model hubungan eksplisit antara permintaan akhir dengan kebutuhan tenaga kerja, upah dan pembentukan NTB dapat dihasilkan.
j 1
Struktur dan Kinerja Industri ... (Andreas W.)
57
EFISIENSI SIONAL
KONSTRUKSI
NA-
Efisiensi suatu sektor dapat dilihat dari seberapa besar nilai tambah dapat diciptakan dari output yang dihasilkan. Sebagaimana telah diperlihatkan sebelumnya, semakin tinggi input antara, semakin rendah nilai tambah yang dapat diciptakan. Gambar 1 memperlihatkan tingkat efisiensi sektor industri nasional tahun sebelum krisis (1990 dan 1995) dan setelah krisis (2000 dan 2003). Sebagaimana terlihat, tidak terjadi perbedaan yang mendasar antara sebelum dan setelah krisis terkait dengan efisiensi industri konstruksi nasional. Secara rata-rata nilai tambah yang berhasil diciptakan dari setiap unit output industri konstruksi berada dalam kisaran 30% sampai 34%. Bila dibandingkan dengan industri lainnya, pencapaian tingkat efisiensi industri konstruksi termasuk yang terendah yaitu berada di dalam kelompok kuartil 25% terbawah. Penciptaan nilai tambah secara rata-rata pada level nasional di tahun 2003, misalnya, mencapai 56% yang artinya komponen nilai tambah sudah lebih dari setengah nilai output yang dihasilkan. Ini tentunya memerlukan pemikiran mendalam bagi para pemangku kepentingan di sektor kon-struksi tentang bagaimana nilai tambah dapat ditingkatkan. Pendekatan industrialisasi dan manufakturisasi barangkali merupakan salah satu solusi yang dapat dikaji lebih lanjut. Tabel 1 memperlihatkan sepuluh sektor yang paling dominan sebagai penyedia input antara bagi sektor konstruksi. Hal yang menarik adalah dominasi sektor perdagangan terhadap sektor konstruksi yang relatif tidak berubah sebelum dan setelah krisis. Misal, untuk menghasilkan output senilai Rp. 1 juta di sektor konstruksi dibutuhkan input dari sektor perdagangan antara Rp. 80 ribu sampai Rp. 110 ribu. Perlu diingat bahwa an-
58
alisis I-O menggunakan asumsi constant returns to scale; artinya kebutuhan input linear dengan output. Bila terjadi peningkatan output 100 kali, nilai inputnya pun akan meningkat 100 kali. 100%
80%
60%
40%
20%
0% 1990
1995
Input antara
2000
2003
Input primer
Gambar 1. Rasio Perbandingan Input Antara dan Input Primer
Hal lain adalah berkurangnya dominasi kesepuluh sektor tersebut dalam menyediakan input bagi sektor konstruksi sebelum dan setelah krisis. Bila sebelum krisis input yang disumbang lebih dari setengahnya yaitu 60,78% (1990) dan 57,98% (1995), maka setelah krisis sudah kurang dari setengahnya yaitu 40,73% (2000) dan 48,87% (2003). Industri semen industri yang senantiasa diasosiasikan dengan industri konstruksi– hanya menyumbang sekitar 2,5% sampai 2,8% dari total output, kecuali untuk tahun 2003 yang mencapai 4,2%. Dengan kata lain, untuk setiap juta nilai output di sektor konstruksi, komponen input dari industri semen hanyalah Rp. 25 ribu sampai Rp. 28 ribu, kecuali untuk tahun 2003 yang mencapai Rp. 42 ribu. Dalam bahasa yang lebih sederhana diasumsikan harga 1 zak semen (50kg) adalah Rp. 40 ribu sampai Rp. 45 ribu dan data tahun 2003 yang digunakan ada komponen satu zak semen untuk setiap Rp. 1 juta nilai konstruksi.
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
Tabel 1. Sepuluh Sektor Penyedia Input Terbesar Bagi Sektor Konstruksi per Rp. 1 Juta Nilai Output (dalam Rp. Ribu) Sebelum Krisis 1990 1995 111,4 (1) 105,2 (1) 67,1 (4) 79,3 (2) 65,0 (5) 75,3 (3) 102,3 (2) 64,5 (4) 70,8 (3) 61,6 (5) N/A 49,6 (6) 44,4 (7) 47,4 (7) 39,6 (8) 36,9 (8) 62,1 (6) 35,1 (9) 25,3 (9) 25,0 (10) N/A N/A 20,0 (10) N/A N/A N/A 607,8 57,98%
Sektor Perdagangan Penambangan dan penggalian lainnya Industri dasar besi dan baja Industri barang dari logam Industri bambu, kayu, dan rotan Usaha bangunan dan jasa perusahaan Industri barang-barang dari mineral bukan logam Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik Pengilangan minyak bumi Industri semen Lembaga keuangan Angkutan darat Kayu Total
Sumber:
Setelah Krisis 2000 2003 80,3 (1) 91,3 (2) 58,9 (3) 22,0 (6) 36,3 (4) 11,9 (9) 59,2 (2) 212,5 (1) 29,5 (7) 32,2 (5) 26,0 (9) 9,9 (10) 33,9 (5) 37,1 (4) N/A N/A 33,7 (6) N/A 28,1 (8) 41,5 (3) 21,5 (10) 15,6 (7) N/A N/A N/A 14,6 (8) 40,73% 48,87%
Biro Pusat Statistik (1994a, 1994b, 1998a, 1998b), Badan Pusat Statistik (2002a, 2002b, 2004), data diolah. Nilai dalam kurung menunjukkan peringkat, N/A = tidak termasuk dalam sepuluh besar
DAMPAK PERMINTAAN TERHADAP SEKTOR KONSTRUKSI
digunakan untuk memenuhi permintaan antara (intermediate demand) sebagai input untuk sektor lain dan permintaan akhir (final demand). Gambar 2 menjelaskan bahwa tidak terjadi perubahan yang berarti dalam komposisi permintaan terhadap sektor konstruksi dengan permintaan akhir lebih mendominasi yaitu sekitar 90% dari permintaan total. Permintaan akhir dapat terjadi karena pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran konsumsi Pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok, dan ekspor dan impor (baca definisi selengkapnya di Badan Pusat Statistik 2002b). Komposisi permintaan akhir selengkapnya dapat dibaca di Tabel 2.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya terjadinya kenaikan permintaan di suatu sektor akan mempunyai dampak ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) yang ditunjukkan masing-masing oleh daya penyebaran dan derajat kepekaan. Sebelum melangkah lebih lanjut ada baiknya untuk mengkaji struktur permintaan yang mendorong peningkatan produksi di sektor konstruksi.
Struktur Permintaan Sektor Konstruksi
Terhadap
Output yang dihasilkan oleh sektor konstruksi
Rasio Permintaan Antara dan Akhir
100%
80%
60%
40%
20%
0% 1990
1995
2000
2003
Tahun Permintaan antara
Permintaan akhir
Gambar 2. Rasio Antara Permintaan Antara dan Permintaan Akhir
Struktur dan Kinerja Industri ... (Andreas W.)
59
Sebelum krisis terjadi kenaikan permintaan antara dan akhir yang substansial antara tahun 1990 dan 1995. Tahun 2000 sempat terjadi perlemahan permintaan meski permintaan antara masih tetap meningkat tetapi kemudian meningkat lagi di tahun 2003. Dari
data statistik ini dapat disimpulkan bahwa sektor konstruksi sudah menemukan kembali kinerjanya. Penurunan tajam sebagaimana ditunjukkan oleh jatuh bebasnya indeks konstruksi hanya terjadi selama 1997-1998.
Tabel 2. Permintaan Akhir terhadap Sektor Konstruksi (Harga Konstan Tahun 2000, dalam Rp. Milyar)
Permintaan
Output antara Permintaan akhir Konsumsi rumah tangga Konsumsi pemerintah Pembentukan modal tetap bruto Perubahan stok Ekspor barang dagangan Permintaan total
Sumber:
Sebelum Krisis 1990 1995 8.574 19.303 126.552 215.656 0 0 2.030 0 124.522 215.656 0 0 0 0 135.126 234.959
Biro Pusat Statistik (1994a, 1994b, 1998a, 1998b), Badan Pusat Statistik (2002a, 2002b, 2004), data diolah.
Output dan Input Multiplier
Kenaikan permintaan di sektor konstruksi harus dipenuhi dengan peningkatan produktivitas di sektor tersebut. Peningkatan ini kemudian diikuti dengan rentetan peningkatan produktivitas di sektor-sektor lain. Misal, untuk menghasilkan output bangunan dibutuhkan semen yang diproduksi oleh industri semen, besi dan baja oleh industri dasar besi dan baja, kayu dari industri kayu, dan seterusnya. Untuk memproduksi semen, pabrik semen membutuhkan input dari sektor-sektor lainnya, bahkan mungkin termasuk dari industri konstruksi sendiri untuk pembangunan atau perluasan pabrik, listrik dari sektor energi, bahan baku yang berasal dari penambangan dan penggalian lainnya dan seterusnya. Masing-masing input ini juga kemudian membutuhkan input dari sektor-sektor lainnya sehingga terjadi keterikatan (linkage) antarindustri yang tidak pernah terputus meski efeknya makin lama makin melemah atau bisa digambarkan sebagai spiral yang bergerak ke bawah. Terjadinya multiplier effect ini sebenarnya telah ditunjukkan secara matematis oleh Persamaan (6). Untuk orde yang lebih tinggi, matriks A akan berkurang signifikasinya sehingga pada suatu orde tertentu, misal 60
Setelah Krisis 2000 2003 19.287 19.181 203.390 225.167 0 0 0 0 203.390 225.167 0 0 0 0 222.677 244.348
n =7 atau 8, A akan mendekati nol. Gambar 3 memperlihatkan indikatorindikator keterikatan sektor konstruksi dengan sektor-sektor lainnya. Terlihat dari Gambar 3 tidak ada suatu pola yang jelas tentang perubahan indikator sebelum dan setelah krisis. Tabel 3 memperlihatkan sepuluh sektor yang tergerak menghasilkan output tambahan terbesar untuk setiap penambahan permintaan terhadap sektor konstruksi. 2.4000 2.2000 2.0000 1.8000 1.6000 1.4000 1.2000 1.0000 1990
1995
2000
Output Multiplier
Input Multiplier
Daya Penyebaran
Derajat Kepekaan
2003
Gambar 3. Indeks Dampak Permintaan di Sektor Konstruksi
Secara umum output multiplier sektor konstruksi adalah berada dalam kisaran 1,8 sampai 2,0. Untuk tahun 2003, misalnya, Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
output multiplier sebesar 2,02 menjelaskan bahwa setiap terjadi kenaikan pemintaan akhir sebesar Rp. 1 juta akan mendorong kenaikan output di seluruh sektor sebesar Rp 2,02 juta. Dari jumlah ini, Rp. 1 juta dihasilkan oleh sektor konstruksi untuk memenuhi permintaan akhir dan sisanya merupakan output tambahan yang terjadi karena interaksi antarindustri. Mekanisme yang terjadi sehingga terjadi penambahan output dapat dijelaskan berikut ini. Untuk simplifikasinya, diambil dua sektor saja untuk didiskusikan secara lebih detil. a. Bahwa untuk menghasilkan output konstruksi sebesar satu unit, dibutuhkan, misalnya input dari sektor konstruksi sebesar 0,00410 unit yang merupakan koefisien teknis dari sektor konstruksi ke sektor konstruksi sendiri dan dari sektor lain, misalnya sektor barang dari logam, sebesar 0,212478 unit yaitu koefisien teknis dari sektor barang dari logam ke sektor konstruksi. Untuk tahap per-tama ini telah terjadi permintaan tambahan yaitu sebesar (0,00410)(Rp. 1 juta) = Rp. 4.100 ribu di sektor konstruksi dan (0,212478) (Rp. 1 juta) = Rp. 212.478 di sektor barang dari logam. b. Pada tahap kedua, untuk menghasilkan output di sektor konstruksi sebesar Rp. 4.100 ribu dibutuhkan input dari sektor konstruksi sebesar (0,0041) (Rp. 4.100) = Rp. 17 dan dari sektor barang dari logam sebesar (0,212478) (Rp. 4.100) = Rp. 871. Sementara itu untuk menghasilkan output dari sektor barang dari logam senilai Rp. 212.478 dibutuhkan input dari sektor konstruksi sebesar 0,001544 yang merupakan koefisien teknis dari sektor konstruksi ke sektor barang dari logam atau input yang dibutuhkan dari sektor konstruksi adalah Rp. 328. Dari sektor barang dari logam sendiri dibutuhkan input sebesar 0,088675 sehingga input yang dibutuh-
Struktur dan Kinerja Industri ... (Andreas W.)
kan dari sektor yang sama adalah Rp. 18.841. Dengan demikian sampai tahapan ini telah terjadi peningkatan permintaan di sektor konstruksi sebesar (4.100)+(17)+(328)= Rp. 4.445 dan di sektor barang dari logam sebesar (212.478) + (871) + (18.841) =Rp. 232.191. c. Pada tahapan ketiga terjadi hal yang sama dan ini terus berlangsung sampai efek pengganda akibat interaksi dapat diabaikan. Selain kedua sektor tersebut, masih terdapat 64 sektor lagi yang perlu perhitungan serupa sehingga out-put tambahan secara kese-luruhan sama dengan Rp. 1,02 juta. Sama halnya dengan output multiplier, untuk input multiplier juga tidak teramati adanya perbedaan yang substansial antara sebelum dan setelah krisis. Indikator tertinggi tercapai pada tahun 2000 yaitu sebesar 2,22 yang menunjukkan bahwa bila terjadi kenaikan permintaan akhir satu unit di setiap sektor industri, termasuk industri konstruksi, maka sektor konstruksi harus menghasilkan input untuk setiap industri sebesar 2,22 unit. Tabel 3a sampai 3d juga memperlihatkan sepuluh sektor yang mempunyai input multiplier terbesar terhadap sektor konstruksi. Hal yang menarik dari Tabel 3a3d tersebut adalah bahwa sektor konstruksi juga sangat peka terhadap permintaan akhir yang terjadi di sektor perkebunan, kehutanan, komunikasi, dan angkutan. Setiap kenaikan permintaan sebesar Rp. 1 juta di sektor kelapa, misalnya, akan memerlukan input dari sektor konstruksi sebesar (0,06370)(Rp. 1 juta) = Rp. 63.700 (bila menggunakan data tahun 2000). Di tahun 2003, setiap kenaikan permintaan sebesar Rp. 1 juta di sektor jasa sosial kemasyarakatan membutuhkan input dari sektor konstruksi sebesar (0,05703)(Rp. 1 juta) = Rp. 57.030.
61
Tabel 3a. Output dan Input Multiplier Sektor Konstruksi (Dalam Rp. Juta) Tahun 1990 untuk Setiap Permintaan Sebesar Rp. 1 Juta Peringkat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Output Multiplier Sektor Konstruksi Perdagangan Pengilangan minyak bumi Industri bambu, kayu, dan rotan Penambangan dan penggalian lainnya Industri dasar besi dan baja Industri barang dari logam Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik Penambangan minyak, gas, dan panas bumi Angkutan darat Subtotal Lainnya Total
Input Multiplier Sektor Konstruksi Angkutan kereta api Usaha bangunan dan jasa perusahaan
Nilai 1,00769 0,13767
Peringkat 1 2
0,08243
3
0,07663
4
Komunikasi
0,07472
5
Jasa penunjang angkutan
0,06196
6
Hasil hutan lainnya
0,05682
7
Kelapa sawit
0,04553
8
Listrik, gas, dan air bersih
0,03778
9
Lembaga keuangan
0,03497 1,61620 0,25844 1,87464
10
Tebu Subtotal Lainnya Total
Nilai 1,00769 0,09596 0,08058 0,05738 0,05336 0,02384 0,02101 0,02069 0,01930 0,01855 1,39836 0,45195 1,85031
Tabel 3b. Output dan Input Multiplier Sektor Konstruksi (Dalam Rp. Juta) Tahun 1995 untuk Setiap Permintaan Sebesar Rp. 1 Juta Peringkat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Output Multiplier Sektor Konstruksi Perdagangan Penambangan dan penggalian lainnya Industri bambu, kayu, dan rotan Industri dasar besi dan baja Usaha bangunan dan jasa perusahaan Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik Pengilangan minyak bumi Industri barang dari logam Industri barang-barang dari mineral bukan logam Subtotal Lainnya Total
Input Multiplier Sektor Konstruksi Angkutan kereta api
Nilai 1,00922 0,10585
3
Jasa penunjang angkutan
0,06204
0,07215
4
Usaha bangunan dan jasa perusahaan
0,06023
0,06870
5
Komunikasi
0,04885
0,05944
6
Pemerintahan umum dan pertahanan
0,03957
0,04684
7
Hasil hutan lainnya
0,02534
0,04350 0,04254
8 9
Tanaman perkebunan lainnya Teh
0,02480 0,02313
0,04226
10
Kopi
0,02295
Nilai 1,00920 0,12436
Peringkat 1 2
0,08892
1,59791 0,28207 1,87998
Subtotal Lainnya Total
1,42198 0,49576 1,91774
Tabel 3c. Output dan Input Multiplier Sektor Konstruksi (Dalam Rp. Juta) Tahun 2000 untuk Setiap Permintaan Sebesar Rp. 1 Juta Peringkat 1 2 3 4 5
62
Output Multiplier Sektor Konstruksi Perdagangan Penambangan dan penggalian lainnya Industri barang dari logam Industri dasar besi dan
Output Multiplier Nilai Peringkat Sektor 1,01001 1 Konstruksi 0,11590 2 Angkutan kereta api Jasa penunjang angkutan 0,06383 3 0,06151
4
0,05161
5
Kelapa Penambangan
Nilai 1,01001 0,15865 0,10714 0,06370
dan
penggalian
0,05228
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
Peringkat
Output Multiplier Sektor
Nilai
baja Pengilangan minyak bumi Usaha bangunan dan jasa perusahaan Lembaga keuangan Industri bambu, kayu, dan rotan Industri barang-barang dari mineral bukan logam Subtotal Lainnya Total
6 7 8 9 10
Peringkat
Output Multiplier Sektor
Nilai
lainnya Pemerintahan umum dan pertahanan
0,04870
6
0,04247
7
Tanaman perkebunan lainnya
0,04822
0,03926
8
0,04653
0,03524
9
Hasil hutan lainnya Usaha bangunan dan jasa perusahaan
0,03496
10
Kelapa sawit
0,04175
1,50349 0,26300 1,76649
Subtotal Lainnya Total
0,04839
0,04305
Tabel 3d. Output dan Input Multiplier Sektor Konstruksi (Dalam Rp. Juta) Tahun 2003 untuk Setiap Permintaan Sebesar Rp. 1 Juta Peringkat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sumber:
Output Multiplier Sektor Konstruksi Industri barang dari logam Perdagangan Industri kimia Penambangan batubara dan bijih logam Industri barang-barang mineral bukan logam Industri semen Industri bambu, kayu, dan rotan Lembaga keuangan Industri dasar besi dan baja Subtotal Lainnya Total
0,03776
9
Input Multiplier Sektor Konstruksi Angkutan kereta api Jasa penunjang angkutan Jasa sosial kemasyarakatan Penambangan dan penggalian lainnya Pemerintahan umum dan pertahanan Tebu Usaha bang. dan jasa perusahaan Komunikasi
0,03572
10
Industri gula
Nilai 1,00545 0,23861 0,13855 0,09152
Peringkat 1 2 3 4
0,04327
5
0,04290
6
0,04271
7
0,03894
8
1,71543 0,30455 2,01998
Subtotal Lainnya Total
1,61972 0,60417 2,22389
Nilai 1,00545 0,11411 0,08272 0,05703 0,04364 0,04203 0,02761 0,02600 0,02376 0,01706 1,43941 0,28832 1,72773
Biro Pusat Statistik (1994a, 1994b, 1998a, 1998b), Badan Pusat Statistik (2002a, 2002b, 2004), data diolah.
Tenaga Kerja dan Gaji/Upah
Persamaan (11) menjelaskan bahwa setiap unit permintaan akhir di sektor konstruksi akan mendorong terciptanya lapangan kerja di sektor konstruksi dan sektor-sektor lainnya karena adanya interaksi. Tabel 4 memperlihatkan labour multiplier berikut dengan lima sektor yang paling dipengaruhi oleh kenaikan permintaan di sektor konstruksi senilai Rp. 1 milyar. Nilai ini diambil untuk membuat data Tabel 4 menjadi lebih mudah dibayangkan. Data untuk tahun 2003 tidak ditampilkan karena BPS sendiri dalam Tabel I-O untuk tahun yang bersangkutan tidak menyertakan hasil survei koefisien tenaga kerja. Untuk tahun 1990 jumlah tenaga kerja yang Struktur dan Kinerja Industri ... (Andreas W.)
dibutuhkan adalah 364 orang (tahun 1990), 151 (tahun 1995), dan 36 (tahun 2000) per Rp. 1 milyar nilai permintaan terhadap sektor konstruksi. Tabel 4 juga memperlihatkan dominasi lima sektor dalam hal penyediaan tenaga kerja yang berkisar antara 80% dan 82% dari keseluruhan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan yang diakibatkan kenaikan permintaan di sektor konstruksi. Dari jumlahjumlah ini, jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor konstruksi adalah 194 (tahun 1990), 69 (tahun 1995), dan 19 (tahun 2000) per Rp. 1 milyar nilai permintaan. Hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah alasan terjadinya penurunan jumlah tenaga kerja yang konsisten semenjak tahun 63
1990. Salah satu alasan yang bisa ditawarkan di sini adalah adanya kecenderungan pendekatan prefabrikasi yang membutuhkan tenaga kerja relatif lebih sedikit diban-dingkan pendekatan tradisional.
yang diciptakan untuk sektor-sektor lainnya yang ikut terimbas dari kenaikan permintaan sektor konstruksi pun mengalami peningkatan yang cukup signifikan, malahan lebih besar daripada NTB sektor konstruksi sendiri.
Tabel 5 memperlihatkan dampak permintaan terhadap sektor konstruksi terhadap peningkatan Nilai Tambah Bruto (NTB) di semua sektor, termasuk konstruksi.
Pada tahun 2003, misalnya, NTB total akibat permintaan di sektor konstruksi per Rp. 1 milyar adalah Rp. 749.42 juta yang di dalamnya terdapat NTB sektor konstruksi sebesar Rp. 331.16 juta. Meski demikian terjadi penurunan rasio antara NTB per unit permintaan antara sebelum dan setelah krisis. Bila sebelum krisis, NTB per unit output adalah 0.868 (1990) dan 0.847 (1995), setelah krisis menjadi 0.745 (2000) dan 0.749 (2003).
Dibandingkan sektor lainnya sektor konstruksi termasuk yang terendah dalam hal efisiensi sebagaimana ditunjukkan oleh rendahnya komponen NTB dalam setiap output yang dihasilkan. Meski demikian karena sektor konstruksi mempunyai daya penyebaran di atas rata-rata na-sional, NTB
Tabel 4. Kebutuhan Tenaga Kerja (Orang) untuk Setiap Kenaikan Permintaan di Sektor Konstruksi Sebesar Rp. 1 Milyar 1990 Sektor Konstruksi Perdagangan Industri bambu, kayu, dan rotan
Jumlah 194,06 48,32 25,78
Penambangan dan penggalian lainnya
13,51
Angkutan darat
8,97
Lainnya
73,70
Total
Sumber:
364,34
1995 Sektor Konstruksi Perdagangan Industri bambu, kayu, dan rotan Industri barangbarang dari mineral bukan logam Penambangan dan penggalian lainnya
Jumlah 68,98 26,71 12,69
Total
Jumlah 18,58 5,91 2,16
8,38
Industri bambu, kayu, dan rotan
1,50
6,82
Angkutan darat
1,27
Lainnya
6,68
27,08
Lainnya
2000 Sektor Konstruksi Perdagangan Penambangan dan penggalian lainnya
150,66
Total
36,11
Biro Pusat Statistik (1994a, 1994b, 1998a, 1998b), Badan Pusat Statistik (2002a, 2002b), data diolah. Tabel 5. Nilai Tambah Bruto Akibat Permintaan Terhadap Sektor Konstruksi Sebesar Rp. 1 Milyar Sektor
Impor Upah Surplus Usaha Penyusutan Pajak Subsidi Nilai Tambah Bruto
1990
195,72 280,49 409,96 135,15 42,41 -0,16 867,87
Tabel 6 memperlihatkan tiga komponen utama input primer pembentuk NTB yang diciptakan karena terjadi permintaan terhadap sektor konstruksi per Rp. 1 milyar. Yang menarik adalah meningkatnya rasio 64
1995
153,33 313,61 415,30 77,50 40,27 0,00 846,68
2000
254,87 267,89 372,10 71,28 34,72 -1,33 744,67
2003
306,31 325,66 283,14 106,19 36,03 -1,60 749,42
impor oleh sektor konstruksi terhadap total nilai impor untuk memenuhi permintaan akhir. Tahun 1990 barang atau jasa yang diimpor oleh sektor konstruksi adalah Rp. 118 juta dari total impor senilai Rp. 196 juta Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
atau rasio yang terjadi adalah 60,31% per Rp. 1 milyar permintaan. Tahun 2003 rasio tersebut meningkat cukup substansial menjadi 79,83%. Apakah kenaikan impor ini berkorelasi dengan dengan penurunan jumlah pekerja merupakan salah satu isu yang mungkin dapat didiskusikan lebih mendalam.
1990. Di tahun 2003, komponen tersebut mencapai Rp. 193 juta per Rp. 1 milyar permintaan. Meski terjadi peningkatan secara absolut, bila dibandingkan dengan sektorsektor lainnya komponen pembayaran gaji dan upah sebenarnya tidak mengalami perubahan karena masih dalam kisaran 58% sampai 62% dari seluruh upah dan gaji yang dibayarkan ke semua sektor, termasuk konstruksi, untuk setiap unit permintaan terhadap sektor konstruksi.
Untuk komponen upah dan gaji yang dibayarkan ke tenaga kerja sektor konstruksi adalah sekitar Rp. 167 juta per Rp. 1 milyar permintaan di sektor konstruksi di tahun
Tabel 6. Tiga Komponen Utama Input Primer Akibat Permintaan Akhir Terhadap Sektor Konstruksi Sebesar Rp. 1 Milyar (dalam Rp. Juta) Komponen NTB Impor
Upah dan gaji
Surplus
Sumber:
Sektor Konstruksi Total % Konstruksi Total % Konstruksi Total %
1990 118,04 195,72 60,31 166,75 280,49 59,45 98,10 409,96 23,93
1995 82,97 153,33 54,11 183,08 313,61 58,38 120,88 415,30 29,11
2000 177,00 254,87 69,45 164,72 267,89 61,49 129,67 372,10 34,85
2003 203,47 254,87 79,83 193,21 325,66 59,33 83,98 283,14 29,66
Biro Pusat Statistik (1994a, 1994b, 1998a, 1998b), Badan Pusat Statistik (2002a, 2002b, 2004), data diolah.
KESIMPULAN DAN SARAN Krisis moneter 1997/1998 diyakini telah meluluhlantakkan industri konstruksi nasional. Setelah perekonomian pulih industri konstruksi terbukti telah mampu kembali menemukan kinerjanya sama seperti sebelum krisis. Efisiensi sektor konstruksi beberapa tahun sebelum dan setelah krisis tidak banyak mengalami perubahan berarti; masih tetap rendah. Nilai tambah bruto yang dihasilkan per setiap unit output hanya mencapai 30% sampai 34%, jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai 56%. Meski demikian dampak permintaan terhadap sektor konstruksi yaitu daya penyebaran dan derajat kepekaan terhadap pembentukan output di seluruh sektor industri masih di atas rata-rata nasional. Secara umum output multiplier sektor konstruksi berada dalam kisaran 1,8 sampai 2,0 sementara input multiplier berada dalam rentang 1,7 sampai Struktur dan Kinerja Industri ... (Andreas W.)
2,2. Perbedaan antara sebelum dan setelah krisis terjadi pada kebutuhan tenaga kerja yang berhasil diserap. Analisis menunjukkan adanya kecenderungan penurunan yang cukup signifikan yaitu menjadi 41% untuk periode 1995-1990 dan 24% untuk periode 2000-1995. Meski relatif tidak sesubstansial kebutuhan tenaga kerja, kecenderungan penurunan juga terjadi untuk komponen NTB yang berhasil diciptakan untuk setiap output yang dihasilkan karena adanya permintaan di sektor konstruksi. Studi ini meninggalkan beberapa avenue penelitian lebih lanjut. Misal, adanya kecenderungan penggunaan tenaga kerja yang terus menurun untuk sektor konstruksi merupakan fenomena menarik untuk dikaji lebih lanjut. Hal ini penting menjadi perhatian para pemangku kepentingan, khususnya pemerintah, saat mempertimbangkan sektor konstruksi sebagai salah satu sektor yang padat karya (labor intensive). 65
Persoalan lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah relatif rendahnya efisiensi industri konstruksi dibandingkan industri lainnya, sebagaimana direfleksikan dalam rendahnya nilai tambah bruto yang dapat diciptakan.
DAFTAR PUSTAKA Biro Pusat Statistik. 1994a. Tabel InputOutput Indonesia 1990: Jilid I. Jakarta: Biro Pusat Statistik. Biro Pusat Statistik. 1994b. Tabel InputOutput Indonesia 1990: Jilid II. Jakarta: Biro Pusat Statistik. Biro Pusat Statistik. 1998a. Tabel InputOutput Indonesia 1995: Jilid I. Jakarta: Biro Pusat Statistik. Biro Pusat Statistik. 1998b. Tabel InputOutput Indonesia 1995: Jilid II. Jakarta: Biro Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2002a. Tabel InputOutput Indonesia 2000: Jilid I, Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2002b. Tabel InputOutput Indonesia 2000: Jilid II. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2004. Tabel InputOutput Indonesia 2003: Updating. Jakarta: Badan Pusat Statistik. BPS Statistics Indonesia. 2006. Construction [on-line] www. bps.go.id diakses tanggal 12 Agustus 2006. Crawford, R.H. 2005. Validation of The Use of Input-Output Data for Embodied Energy Analysis of the Australian Construction Industry, Journal of Construction Research, 6(1): 71-90.
66
Hendrickson, C. dan Horvath, A. 2000.Resource Use and Environmental Emissions of U.S. Construction Sectors. Journal of Construction Engineering and Management, 126(1): 38-44. Liu, C. dan Song, Y. 2005. Multifactor Productivity Measures of Construction Sectors using OECD Input-Output Database. Journal of Construction Research, 6(2): 209-222. Miller, R.E. dan Blair, P.D. 1985. InputOutput Analysis: Foun-dations and Extensions. New Jersey: Prentice Hall. Pietroforte, R., dan Gregori, T. 2003. An Input-Output Analysis of the Construction Sector in Highly Developed Economies. Construction Management and Economics, 21: 319-327. Wibowo, A. 2006. Bagaimana Sektor Konstruksi Berperan dalam Menggerakkan Roda Perekonomian Nasional. Prosiding Indonesian Construction Industry Conference di Jakarta, 8-9 November 2006, Departemen Teknik Sipil Universitas Indonesia dan Asosiasi Kontraktor Indonesia: 7-13. Wibowo, M.A. 2005. The Indonesian Construction Industry: An Input-Output Analysis. Prosiding Seminar Peringatan 25 Tahun Pendidikan MRK di Indonesia, Departemen Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung.5
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
JURNAL PERMUKIMAN Vol. 4 No. 1 Mei 2009
ISSN : 1907 – 4352 Abstrak
UDC 628.2 MED Medawaty, Ida S Sanitasi taman salah satu alternatif sistempengolahan air limbah rumah tangga/Ida Medawaty. Jurnal Permukiman. Vol. 4 No.1 Mei 2009. Hal. 1-9. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2009. 71 hlm : ilus; 25 cm Abstrak : Hlm. 1 ISSN : 1907-4352 I. SANITATION II. WASTEWATER TREATMENT 1. Judul Sanitasi taman (Sanita) adalah suatu sistem berdasarkan pendekatan ekosistem dengan mengolah air limbah berupa tinja manusia dan urine sebagai sumber yang bermanfaat untuk di daur ulang. Hasil dari analisis laboratorium air yang keluar dari Sanita menunjukkan adanya penurunan parameter TDS sampai ke 50,2 %, BOD sampai ke 66 %, COD sampai ke 64 %, N-Total sampai ke 20 % dan Phospat sampai ke 50 %. Kata kunci : Air limbah rumah tangga, sanitasi taman (sanita)
UDC 628.4 DAR Darwati, Sri P Potensi rehabilitasi tempat pemrosesan akhir sampah melalui penambangan lahan urug/Sri Darwati. Jurnal Permukiman. Vol. 4 No. 1 Mei 2009. Hal. 29-37. Ban dung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permu kiman, 2009. 71 hlm : ilus; 25 cm Abstrak : Hlm. 29 ISSN : 1907-4352 I. SOLID WASTE II. LANDFILL 1. Judul Penambangan lahan urug merupakan upaya untuk meningkatkan umur pakai tempat pemrosesan akhir sampah dan mendapatkan tanah penutup. Kendala penambangan antara lain masih terdapat gas mudah terbakar, kompos terkontaminasi dengan bahan beracun berbahaya, resiko kelongsoran. Aplikasi kompos dapat digunakan untuk tanah penutup TPA dan sebagai pupuk organik untuk penghijauan sekitar TPA, tanaman non pangan dan tanaman keras. Kata kunci : Rehabilitasi, lahan urug, tempat pemrosesan akhir, sampah UDC 624.01 NUR Nuraini A Analisis kinerja peredam viscoelastis di antara dua sub sistem struktur/Nuraini. Jurnal Permukiman. Vol. 4 No. 1 Mei 2009. Hal. 46-53. Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2009. 71 hlm : ilus; 25 cm Abstrak : Hlm. 46
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
UDC 628.4 SBI Sarbidi k Kajian regionalisasi pemerosesan akhir (TPA) sampah menggunakan metoda analisis SWOT (studi kasus TPA Benowo Surabaya)/Sarbidi. Jurnal Permukiman. Vol. 4 No. 1 Mei 2009. Hal. 10-28. Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2009. 71 hlm : ilus; 25 cm Abstrak : Hlm. 10 ISSN : 1907-4352 I. SOLID WASTE II. TOWN SANITATION 1. Judul Lahan untuk tempat pembuangan akhir (TPA) sampah mulai sulit diperoleh, terutama di wilayah kota besar dan metropolitan. Beberapa kota telah merintis kerjasama regionalisasi TPA, tetapi banyak yang belum terlaksana secara optimal. Berdasarkan hasil analisis data dan informasi pengelolaan TPA Benowo menggunakan teknik analisis manajemen SWOT (strengths, weakness, opportunities, and threats) diketahui bahwa faktor kunci keberhasilan (FKK) dan peta kekuatan organisasi berada pada kwadran-2, sehingga perlu mendayagunakan kekuatan lingkungan internal organisasi saat ini, dan mengantisipasi ancaman dari lingkungan eksternal pada masing-masing pihak terkait, serta perlu menetapkan dan menyepakati skenario kerjasama memanfaatkan sumber daya masing-masing. Kata kunci : Tempat pembuangan akhir, regionalisasi, sampah, strategi, kebijakan, kegiatan UDC 691.115 AIN Aini, Nurul P Papan partikel dari pelepah kelapa sawit/Nurul Aini S; Kustin Bintani dan Abdul Haris. Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009. Hal. 38-45. Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2009. 71 hlm : ilus; 25 cm Abstrak : Hlm. 38 ISSN : 1907-4352 I. PARTICLE BOARD II. BUILDING MATERIAL 1. Bintani, Kustin 2. Haris, Abdul 3. Judul Penelitian ini memanfaatkan pelepah kelapa sawit sebagai bahan baku dalam pembuatan papan partikel. Papan partikel pelepah sawit dengan kadar perekat 10 % mempunyai kadar air, kerapatan, modulus elastisitas, dan modulus patah yang lebih rendah daripada kadar perekat 12 %, sedangkan pengembangan tebalnya lebih tinggi. Kata kunci : Pelepah kelapa sawit, papan partikel
UDC 519.23 WIB Wibowo, Andreas s Struktur dan kinerja industri konstruksi nasional : pendekatan analisis input-output/Andreas Wibowo. Jurnal Permukiman. Vol. 4 No. 1 Mei 2009. Hal. 5466. Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2009. 71 hlm : ilus; 25 cm
67
ISSN : 1907-4352 I. STRUCTURE II. VISCOELASTIC 1. Judul Peredam viscoelastis dipasang pada tiap level lantai yang menghubungkan dua bangunan. Simulasi parametrik dengan memvariasikan karakteristik dinamik masing-masing sub sistem struktur dan peredam viscoelatis dilakukan untuk mengetahui kinerja peredam viscoelastis ini dalam mereduksi efek gempa pada struktur bangunan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, model struktur yang paling efektif dalam mereduksi beban gempa adalah model 3 yaitu salah satu model struktur dengan peredam viscoelastis. Kata kunci : Kinerja peredam viscoelastis, respon struktur perpindahan, kecepatan, percepatan, struktur bangunan
68
Abstrak : Hlm. 54 ISSN : 1907-4352 I. STATISTIC II. CONSTRUCTION INDUSTRY 1. Judul Tulisan ini mendiskusikan struktur dan kinerja sektor industri konstruksi sebelum dan setelah krisis moneter 1997/8 secara kuantitatif menggunakan model input-output (I-O). Analisis I-O menunjukkan tidak terjadi perubahan berarti dalam hal efisiensi, permintaan akhir, bilangan pengganda output dan input serta upah dan gaji. Kata kunci : Industri konstruksi, input-output, permintaan akhir, efek pengganda
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
JURNAL PERMUKIMAN Vol. 4 No. 1 Mei 2009
ISSN : 1907 – 4352 Abstract
UDC 628.2 MED Medawaty, Ida S Sanitation garden one of the alternative processing system of domestic wastewater/Ida Medawaty. Jur nal Permukiman. Vol. 4 No. 1 May 2009. Page 1-9. Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2009. 71 pages : ilus; 25 cm Abstract : page 1 ISSN : 1907-4352 I. SANITATION II. WASTEWATER TREATMENT 1. Title Sanitation garden is a system based on ecosystem approach by processing waste water, human faeces and urine as useful source of recycling. The result of laboratory analysis to the quality of effluent and influent at sanita showed the reduction of parameters TDS up to 50.2 %, BOD up to 66 %, COD up to 64 %, N-Total up to 20 % and phospat up to 50 %. Keywords : Domestic wastewater, sanitation garden
UDC 628.4 DAR Darwati, Sri P Potency of solid waste final disposal sites rehabilitati on through landfill mining/Sri Darwati. Jurnal Permukiman. Vo. 4 No. 1 May 2009. Page 29-37. Bandung: Research Institute for Human Settlements, 2009. 70 pages : ilus; 25 cm Abstract : page 29 ISSN : 1907-4352 I. SOLID WASTE II. LANDFILL 1. Title Landfill mining is an option to the expand capacity of final disposal site in order to re-using landfill and to obtain landfill cover. Constraint at process mining is that it may release combustible gas, the waste is contaminated with hazardous waste, the excavation works may cause adjacent landfill to sink or collapse. Compost can be applied for landfill cover, soil conditioner for greening, non food crop and hard crop.
UDC 628.4 SAR Sarbidi k On the regionalization of the final disposalsite use the SWOT analytical method (case study in the Benowo final disposal site Surabaya)/Sarbidi, Jurnal Permukiman. Vol. 4 No. 1 May 2009. Page 10-28. Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2009. 71 pages : ilus; 25 cm Abstract : page 10 ISSN 1907-4352 I. SOLID WASTE II. TOWN SANITATION 1. Title Some of the big cities or metropolitans need the wider land to be a final disposal site. There are many cities have already made the regional disposal cooperation, but it has not been done well yet. The result of the analytical data and information of the Benowo final disposal site Surabaya used SWOT (strengths, weakness, opportunities, and threats) methode got the success key factors and organization map strength was in the second quadrand. So that it needed to be more and more using the strength of the internal environment organization it self, and also could anticipate the external threat effectively. Beside that, the inter participants also need a scenario of determination and an agreement cooperation is composed by using the resources and environmental condition respectively. Keywords : Final disposal site, regionalization, solid waste, strategy, policy, activity UDC 691.115 AIN Aini, Nurul P Particleboard made of oil palm fronds/Nurul Aini S; Kustin Bintani and Abdul Haris. Jurnal Permukiman. Vol. 4 No. 1 May 2009. Page 38-45. Bandung: Research Institute for Human Settlements, 2009. 71 pages : ilus; 25 cm Abstract : page 38 ISSN : 1907-4352 I. PARTICLE BOARD II. BUILDING MATERIAL 1. Bintani, Kustin 2. Haris, Abdul 3. Title This research to utilize of oil palm fronds as raw materials to make particleboard. The properties of this particleboard with 10 % adhesive are moisture content, density, modulus of elasticity, and modulus of rupture lower than 12 % adhesive, while on thickness swelling is higher. Keywords : oil palm fronds, particle board
Keywords : Rehabilitation, landfill, final disposal, solid waste UDC 624.01 NUR Nuraini A Performance analysis of the viscoelastic damper ins talled between two sub systems of structure/Nuraini. Jurnal Permukiman. Vol. 4 No. 1 May 2009. Page 46 - 53. Bandung : Research Institute Center for Human Settlements, 2009. 71 pages : ilus; 25 cm
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
UDC 519.23 WIB Wibowo, Andreas S The structure and performance of the national cons truction industry : an approach of input-output ana lysis/Andreas Wibowo. Jurnal Permukiman. Vol. 4 No. 1 May 2009. Page 54-66. Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2009. 71 pages : ilus; 25 cm
69
Abstract : page 46 ISSN : 1907-4352 I. STRUCTURE II. VISCOELASTIC 1. Title The viscoelastic damper is placed at every floor connecting two buildings. Parametric simulation by warying dynamic characteristic of sub structures as well as viscoelastic damper is carried out to investigate performance of this viscoelastic damper in reducing earthquake effect on the building structure. Base on the result, the most effective structure model for reducing earthquake loading is model 3 that one of models structure with viscoelastic damper.
Abstract : page 54 ISSN : 1907-4352 I. STATISTICS II. CONSTRUCTION INDUSTRY 1. Title The present paper quantitatively discusses the structure and performance of the national construction industry at preand post- 1997/8 crisis under the framework of inputoutput model. The I-O analysis reveals that no substantial changes are observed for industry efficiency, final demand, input and output multiplier coefficients, as well as wages and salaries.
Keywords : Viscoelastic damper, earthquake effect, building structure
Keywords : Construction demand, multiplier effect
70
industry,
input-output,
final
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
PEDOMAN PENULISAN 1.
2.
Umum a. Redaksi menerima tulisan/naskah karya ilmiah IPTEK bidang Permukiman, baik dari dalam maupun di luar lingkungan Pusat Litbang Permukiman b. Penulis bertanggung jawab penuh terhadap isi tulisan c. Tulisan belum pernah diterbitkan di media cetak lainnya . Naskah a. Naskah dapat berupa : hasil penelitian dan pengembangan tinjauan ilmiah b. Jumlah halaman naskah maksimum 10 halaman cetak, dengan format: Abstrak jenis Tahoma 9 pt Italic, Isi tulisan jenisTahoma, ukuran minimal Judul 14 pt bold, SubJudul 11 pt bold, isi 9 pt kecuali untuk isi tabel, Spasi 1 paragraf c. Naskah harus lengkap dengan : Judul, Nama Penulis dan Institusi, Abstrak dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Susunan penulisan meliputi: Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metoda Penelitian, Hasil, Analisis dan Pembahasan, Kesimpulan dan Saran, Daftar Pustaka. d. Abstrak/abstract berisi maksimum 200 kata dan dilengkapi dengan kata kunci/keywords e. Naskah disampaikan ke redaksi dalam ukuran : 24 x 18 cm (B5 - Potrait) dengan batas margin : kiri 1,5 cm, kanan 2 cm, atas 2 cm, bawah 2 cm dari no. hal dan untuk isi terbagi atas 2 kolom berukuran 6,5 cm yang terpisah/jarak tengah 1 cm f. Pada tahap awal naskah disampaikan ke redaksi dalam bentuk print-out hitarn putih (diatas kertas) sebanyak 3 (tiga) rangkap untuk diteruskan kepada tim Dewan Penelaah. Selanjutnya naskah yang telah diperiksa (apabila disetujui untuk diterbitkan) harus segera disempurnakan dan disampaikan kembali ke redaksi beserta file-nya dengan program MSWord paling lambat 1 (satu) minggu sesudah tanggal diperiksa g. Daftar Pustaka disusun menurut sistem nama dan tahun format : Nama Pengarang, Tahun Penerbitan, Judul Lengkap (Italic), Nama Publikasi/Penerbit, dan Halaman (untuk Jurnal). Daftar Pustaka disusun berurut sesuai dengan abjad nama belakang pengarang. Contoh : Jurnal : Saayman, HM. and JA. Oatley. 1976. Wood Adhesive from Wattle Bark Extract. For Prod. J.26 : 27-33 Buku : Soekanto Soerjono. 1977. Sosiologi Suatu Pengantar. Yayasan Penerbit Universitas Indonesia h. Dewan Penelaah berhak memperbaiki tulisan tanpa mengubah isi dan pengertiannya dan Dewan Penelaah akan berkonsultasi dahulu dengan penulis apabila dipandang perlu untuk mengubah isi tulisan i. Tulisan yang dimuat di dalam jurnal ini menjadi milik Pusat Litbang Permukiman
Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 1 Mei 2009
71