Jurnal Permukiman Volume 5 No. 3 November 2010
ISSN : 1907 – 4352
Jurnal Permukiman adalah majalah berkala yang memuat karya tulis ilmiah di bidang permukiman meliputi kawasan perkotaan/ perdesaan, bangunan gedung yang berada di dalamnya, serta sarana dan prasarana yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Diterbitkan sejak tahun 1985 dengan nama Jurnal Penelitian Permukiman dan tahun 2006 berganti menjadi Jurnal Permukiman dengan frekuensi terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan November. Pelindung Penanggung Jawab
: :
Kepala Pusat Litbang Permukiman Kepala Bidang Standar dan Diseminasi
Mitra Bestari
:
Prof. R. Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M. Agr. (Bidang Bahan Bangunan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Prof. Ir. Iswandi Imran, MASc. Ph. D. (Bidang Rekayasa Struktur, Institut Teknologi Bandung) Dr. Ir. Tri Padmi (Bidang Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung) Ir. Indra Budiman Syamwil, MSc., Ph. D. (Bidang Arsitektur, Institut Teknologi Bandung)
Dewan Penelaah Naskah
:
Prof. R. Dr. Ir. Suprapto, MSc. FPE. (Bidang Fisika dan Keselamatan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman) Lasino, S.T. APU. (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman) Andriati Amir Husin, MSi. (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman) Ir. Nurhasanah Sutjahjo, M.M. (Bidang Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Pusat Litbang Permukiman) Dr. Ir. Anita Firmanti, E.S., M.T. (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman) Ir. Arief Sabaruddin, CES. (Bidang Perumahan dan Permukiman, Pusat Litbang Permukiman) Dra. Inge Komardjaja, Ph. D. (Bidang Permukiman dan Aksesibilitas, Pusat Litbang Permukiman) Ir. Lya Meilany S., M.T. (Bidang Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Pusat Litbang Permukiman) Ir. Silvia F. Herina, M.T. (Bidang Rekayasa Teknik Sipil, Pusat Litbang Permukiman) Dra. Sri Astuti, MSA. (Bidang Bangunan dan Lingkungan, Pusat Litbang Permukiman) Ir. Maryoko Hadi, M.T. (Bidang Struktur dan Konstruksi, Pusat Litbang Permukiman)
Redaksi Pelaksana
:
Drs. Duddy D. Kusumo, MBA. Dra. Roosdharmawati Drs. Arif Sugiarto, MSi. Mayoci Hentrinno Gilang Risang Aji, S. Ds. Widiayu Renzani Avriantari, S. Sos. Dini Herfiani, S.S. Adang Triana
Alamat Redaksi
:
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung 40393 P.O. Box 812 Bandung 40008 Tlp. 022-7798393 (4 saluran) Fax. 022-7798392 E-mail :
[email protected]
Akreditasi Jurnal Permukiman ditetapkan sebagai Majalah Berkala Ilmiah : Terakreditasi B Nomor 299/AU2/P2MBI/08/2010 Berdasarkan Kutipan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 754/D.2/2010 Tanggal 26 Agustus 2010
Jurnal Permukiman Volume 5 No. 3 November 2010
ISSN : 1907 – 4352
Pengantar Redaksi Ucapan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas kehendakNya pula kami dapat kembali mempersembahkan hasil karya penulis melalui terbitan Jurnal Permukiman. Membuka edisi ini, kami menampilkan tulisan mengenai bangunan vernakular yang dilanda gempa dimana kelebihan bangunan tersebut hanya mengalami kerusakan kecil. Namun kelebihan yang ada tidak dipotensialkan karena munculnya perubahan-perubahan pada perkembangan bangunan meliputi bentuk, sistem struktur, material yang digunakan, dan sistem konstruksi (sambungan). Iwan Sudrajat, Sugeng Triyadi, dan Andi Harapan memaparkannya dalam tulisan yang berjudul “Perkembangan Tipologi Rumah Vernakular dan Responnya terhadap Bahaya Gempa. “Tipologi Kawasan Perumahan dengan Kepadatan Penduduk Tinggi dan Penanganannya” yang ditulis oleh Heni Suhaeni, menjelaskan mengenai cara efektif untuk mempermudah dalam menemukenali kondisi kawasan perumahan kumuh berdasarkan faktor penentu melalui penyusunan klasifikasi yang sistematis. Penelitian “Studi Peluang Penghematan Pemakaian Energi pada Gedung Sekretariat Jenderal Pekerjaan Umum” ditulis oleh Wahyu Sujatmiko. Gedung Sekjen Pekerjaan Umum dikaji tingkat efisiensi penggunaan energinya melalui selubung bangunan, intensitas konsumsi energi, profil energi, tingkat pencahayaan, kondisi termal ruangan, dan persepsi termal penghuni. Upaya pemanfaatan lumpur Sidoarjo untuk pembuatan bata merah dan genteng keramik yang kedap dan kuat dilakukan dengan menambahkan bahan penyetabil fly ash sebanyak 10% hingga 40% dari berat bahan, suhu bakar minimum 800ºC untuk bata dan 1000ºC untuk genteng serta dengan waktu sintering selama 3 jam. Tulisan ini disampaikan oleh Lasino, Moch. Edi Nur dan Dany Cahyadi dalam judul “Penelitian Pemanfaatan Lumpur Sidoarjo untuk Bata Merah dan Genteng”. Sebagai penutup, Sarbidi memaparkan mengenai “Kajian Ketersediaan Air Tawar untuk Air Baku Di Pulau Kecil”, dimana pulau tersebut mempunyai kemampuan yang kecil untuk menyimpan cadangan air tawar untuk air baku. Selain itu pula evapotranspirasinya sangat berpengaruh terhadap fluktuasi potensi air tawar untuk air bersih rumah tangga.
i
Jurnal Permukiman Volume 5 No. 3 November 2010
ISSN : 1907 – 4352 Daftar Isi
Pengantar Redaksi
i
Daftar Isi
ii
Perkembangan Tipologi Rumah Vernakular dan Responnya terhadap Bahaya Gempa, Studi Kasus : Desa Duku Ulu, Bengkulu Iwan Sudrajat, Sugeng Triyadi, Andi Harapan
107 – 115
Tipologi Kawasan Perumahan dengan Kepadatan Penduduk Tinggi dan Penanganannya Heni Suhaeni
116 - 123
Studi Peluang Penghematan Pemakaian Energi pada Gedung Sekretariat Jenderal Pekerjaan Umum Wahyu Sujatmiko
124 - 131
Penelitian Pemanfaatan Lumpur Sidoarjo untuk Bata Merah dan Genteng Lasino, Moch. Edi Nur, Dany Cahyadi
132 - 138
Kajian Ketersediaan Air Tawar untuk Air Baku Di Pulau Kecil, Studi Kasus : Pulau Miangas Sarbidi
139 - 146
Abstrak/Abstract
147 – 150
Indeks Subjek
151
Indeks Pengarang
152 - 153
ii
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010:107-115
PERKEMBANGAN TIPOLOGI RUMAH VERNAKULAR DAN RESPONNYA TERHADAP BAHAYA GEMPA Studi Kasus: Desa Duku Ulu, Bengkulu Iwan Sudrajat1, Sugeng Triyadi2, Andi Harapan3 Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10 Bandung Email:
[email protected],
[email protected],
[email protected] Diterima: 17 Juni 2010; Disetujui: 06 Oktober 2010
Abstrak Desa Duku Ulu, Bengkulu merupakan salah satu desa tua di Kabupaten Rejang Lebong, yang sudah sering mengalami kejadian gempa yang menyebabkan banyak bangunan yang rusak (ringan, sedang, dan berat). Uniknya terdapat beberapa bangunan vernakular khas daerah tersebut yang masih bertahan (hanya mengalami rusak kecil). Sayangnya kelebihan ini tidak dipotensialkan oleh masyarakat, perkembangan bangunan yang muncul sekarang justru banyak mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi adalah perubahan bentuk, sistem struktur, material yang digunakan, dan sistem konstruksi (sambungan). Terdapat 5 tipologi bangunan vernakular di desa ini yang merupakan hasil perkembangan bangunan yang ada. Tipologi 1 merupakan rumah lama masyarakat Rejang (yang keberadaannya sudah sangat jarang, yang dinyatakan masyarakat sebagai rumah paling tua di Rejang Lebong, yang terbuat dari kayu yang dibangun sekitar tahun 1800-an). Tipologi 2 merupakan perkembangan dari tipologi 1 tetapi dengan bentuk yang lebih sederhana (hanya tinggal 5 bangunan). Tipologi 3 merupakan tipologi kolonial, yang pembangunannya dibantu oleh Belanda sekitar tahun 1924. Tipologi 4 merupakan tipologi yang dibangun oleh tukang dari Sungai Musi (Palembang), yang dibangun sekitar tahun 1980-an. Tipologi yang terakhir adalah tipologi 5 yang banyak dikembangkan oleh penduduk yang dibangun tahun 1990-an. Perubahan bentuk yang terjadi menunjukkan perkembangan bangunan rumah vernakular kearah pengurangan terhadap respon gempa, yang dapat dilihat dari bentuk bangunan, sistem struktur bangunan, material yang digunakan, dan sistem konstruksi (sambungan). Gempa yang seharusnya menjadi indikator peningkatan pengetahuan lokal penduduk untuk merespon gempa justru tidak terjadi. Kejadian gempa menyebabkan semakin buruknya respon bangunan terhadap resiko gempa. Tidak heran ketika gempa tahun 1979, 1997, dan 2000 banyak bangunan rumah vernakular tersebut yang rusak berat. Hilangnya kemampuan penduduk disebabkan oleh 3 faktor, yaitu: 1) semakin berkurangnya ahli (tukang) yang membangun bangunan, 2) susahnya mencari material kayu, 3) budaya instan, yang ingin cepat membangun rumah. Kata Kunci: Rumah vernakular, gempa, Desa Duku Ulu
Abstract Desa Duku Ulu, one of the oldest kampong in Rejang Lebong Region, is the earthquake area. Some of earthquakes made several damages especially for buildings. Interestingly, many of vernacular houses are survived and got only light damages while there are many modern building got great damages. Unfortunately, the potential of vernacular houses are not optimized by the local people. As time pass by, many house has been constructed with different ways. The study methods used are field study, semistructured interview and forum group discussion with local community and documentation by field measuring and building redrawing. Field study and semi-structured interview focus on two aspects of observations, which are: 1) traditional building and 2) skill & local resource use. Observations to vernacular building include 4 aspects: 1) house form & design, 2) structural system, 3) material used, 4) joinery & other details (construction system). Observation to skills and local resource include: 1) building skill, and 2) culture (such as solidarity). Based on the study methods, the different ways of vernacular building construction related can be seen in the houses form, structural system, material, and construction system. There are five typologies of vernacular houses in this Kampong. Typology 1 is old vernacular house of Rejang people. It was constructed at 1800s and made by wood. Typology 2 is developed and simplified form of typology 1. Typology 3 is Colonial Typology, because it was made with a help form Dutch in 1920s. Typology 4 is made by craftsmen from Meranjat, Palembang at 1980s. Typology 5 is house that had been developed by people in 1990s. The changes of houses typology show the degradation responses to earthquake. It can be seen in building form, structural system, material, and construction system (joint). The trial and error process of learning from earthquake is not happened. No wonder, when earthquakes come in 1979, 1997, and 2000 107
Perkembangan Tipologi Rumah… (Iwan Sudrajat, Sugeng Triyadi, Andi Harapan)
many vernacular houses got heavy damages. It is because of three factors: 1) lack of craftsmen, 2) lack of wood, 3) instant culture in constructing houses. Keywords: Vernacular house, earthquake, Desa Duku Ulu
PENDAHULUAN Provinsi Bengkulu yang terletak di Pulau Sumatra bagian Selatan sebelah Barat, terletak pada garis Lintang 2° – 5°LS dan 101° – 104° Bujur Timur, merupakan daerah yang rawan terhadap gempa. Gempa besar yang pernah tercatat untuk Bengkulu ini adalah terjadi pada tahun 1833, 1914, 1952, 1979, 1991, 1997, 2000, 2007 dan yang terakhir pada tahun 2009. Ketika gempa terjadi tahun (2007) yang berkekuatan 7,8 Skala Richter lebih dari 15.000 unit rumah mengalami kerusakan. Lebih spesifik lagi bangunan rumah yang mengalami kerusakan berat hingga roboh adalah bangunan rumah yang menggunakan struktur dan konstruksi batu bata (tembok). Rumah rakyat vernakular yang menggunakan struktur dan konstruksi bangunan dari kayu dan berkarakter lokal masih tetap kokoh berdiri walau terkena gempa. Hal ini merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dikaji, dimana bangunan-bangunan rumah rakyat dimaksud adalah rumah yang dibangun oleh masyarakat setempat yang umumnya tidak memiliki pengetahuan dan keahlian khusus di bidang pertukangan. Ada beberapa bagian dari bangunan (contohnya kuda-kuda atap) yang dibuatnya tidak tepat dilihat dari aspek pengetahuan modern (penyaluran gaya/ beban, sistem sambungan tarik, tekan, dsb), tetapi secara keseluruhan, bangunan ini cukup kuat terhadap goncangan gempa. Kearifan lokal pada bangunan rumah vernakular masyarakat Bengkulu yang telah terbukti bangunannya kuat terhadap gempa, adalah sesuatu yang akan diuraikan dalam kesempatan ini. Metode kajian yang digunakan adalah pengamatan lapangan, pendokumentasian melalui pengukuran lapangan dan penggambaran ulang bangunan, serta mengadakan wawancara atau forum group discussion dengan masyarakat setempat.
KAJIAN TEORI Bangunan Vernakular dan Gempa Bangunan rumah vernakular adalah bangunan rumah tinggal yang dibangun dan digunakan oleh masyarakat kebanyakan. Rumah-rumah ini umumnya meniru rumah tradisional dalam bentuk maupun susunannya, tetapi dengan cara membangun yang berbeda (khas masyarakat). Demikian pula biasanya dimensinya akan lebih kecil dari rumah tradisional yang dimiliki, dan tidak semua simbolisme, ragam hias, dll dicontoh untuk rumahnya. Rumah vernakular seperti ini 108
diistilahkan sebagai bangunan rumah rakyat oleh Triyadi & Harapan (2007, 2008-a, 2009-b-c), Gutierrez (2004) dan Rapoport (1969). Bangunan vernakular merupakan bangunan yang mempunyai keunikan tersendiri. Menurut Gutierrez (2004) keunikan bangunan vernakular disebabkan oleh membangunnya yang turun temurun dari ancient tradition, baik dari segi pengetahuan maupun metodenya (trial and error). Sesuai dengan kebutuhan dan kebiasaan masyarakatnya serta menyesuaikan dan tahan terhadap lingkungan alamnya, sehingga bangunan vernakular tetap eksis hingga sekarang. Rapoport (1969) juga menyatakan bahwa karakteristik bangunan vernakular adalah sebagai berikut: 1) bangunannya tidak didukung oleh prinsip dan teori bangunan yang benar, 2) menyesuaikan dengan lingkungannya, 3) sesuai dengan kemampuan masyarakatnya (teknologi dan ekonomi), 4) menggambarkan budaya masyarakatnya (sebagai penanda, simbol, dll), 5) terbuka terhadap sumberdaya alam yang ada disekitarnya dan selalu dapat menerima perubahan-perubahan (trial & error) sehingga dapat bertahan. Dari aspek pembentukan bangunan vernakular, Rapoport juga menyatakan bahwa pembentukannya didasarkan pada model dan variasi. Variasi diperoleh dari pengkayaan suatu model. Lazimnya dimulai dari bentuk-bentuk sederhana (unsur-unsur utama bangunan) kemudian dielaborasi detail-detailnya. Jigyasu (2002) menyatakan bahwa suatu komunitas yang berada di suatu wilayah rentan gempa akan mempunyai solusi untuk menghadapi kerentanan tersebut. Lebih lanjut Jigyasu menyatakan bahwa sifat ini banyak diterapkan kepada bangunan rumah masyarakat tersebut sehingga bangunan rumah tersebut mempunyai respon terhadap bahaya yang ada. Untuk daerah gempa menurut Triyadi & Harapan (2008-b, 2009-b,c) bangunan vernakular juga telah melakukan penyesuaian atau respon terhadap bahaya gempa yang ada di lingkungannya. Hal itu terbukti bahwa bangunan vernakular di daerah gempa masih eksis hingga sekarang walaupun telah terkena gempa beberapa kali. Dari hasil pengamatan Triyadi & Harapan (2009-b) salah satu contoh bangunan vernakular tersebut adalah bangunan vernakular di Lampung Barat, tepatnya di Liwa.
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010:107-115
Di daerah Bengkulu yang termasuk rawan gempa, ternyata mempunyai bangunan vernakular yang telah merespon resiko terhadap bahaya gempa, dan dalam kesempatan ini akan dibahas adalah di Desa Duku Ulu. Suatu bangunan vernakular dapat dikatakan tahan gempa, selain terbukti dapat berdiri ketika gempa terjadi, juga memenuhi kaidah-kaidah: bentuk bangunan umumnya simetris, adanya sistem struktur dinding, seperti dinding penyekat yang teratur, menggunakan material ringan, khususnya pada atap, kolom saling terhubung (Boen, 1978). Lebih lanjut Gutierrez (2004) dan Jigyasu (2002) mengkategorikan bangunan vernakular dapat dikatakan tahan gempa jika memenuhi kaidah: 1) denah atau bentuk bangunan harus sederhana dan simetris, 2) material yang digunakan harus ringan, 3) sistem sambungan harus rigid dan fleksibel, dan 4) sistem struktur dan konstruksi yang menyatu, terutama pada struktur atap, dinding, dan pondasi. Dari uraian ini maka pembahasan yang dijadikan aspek pengamatan sebagai kaidah-kaidah perancangan bangunan tahan gempa pada rumah vernakular Bengkulu di Desa Duku Ulu adalah: 1) denah dan bentuk bangunan, 2) sistem struktur dan konstruksi bangunan, 3) material bangunan, dan 4) sistem sambungan komponen bangunan. Desa Duku Ulu dan Bangunan Vernakularnya Rumah vernakular di Provinsi Bengkulu umumnya terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu rumah vernakular Rejang dan rumah vernakular Melayu. Rumah vernakular Rejang berasal dari rumah tradisional Rejang (Umeak Potong Jang atau Umeakan) yang sudah dipengaruhi oleh bentuk rumah Meranjat (bentuk rumah suku bangsa yang ada di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan). Duku Ulu merupakan desa di Kabupaten Rejang Lebong, Kecamatan Curup Timur yang meyimpan bangunan-bangunan vernakular khas Rejang. Desa ini terdiri dari 297 rumah dengan pola perkampungan menghadap ke jalan.
Gambar 1 Suasana Desa Duku Ulu
Desa Duku Ulu merupakan salah satu desa tua di Kabupaten Rejang Lebong, yang masih menyimpan banyak bangunan vernakular khas Rejang. Terdapat 5 tipologi bangunan vernakular di desa ini, yang dapat dibedakan dari bentuk dan umur bangunan. Perkembangan bangunan rumah vernakular di Desa Duku Ulu sangat unik, yang menunjukkan kearah penurunan terhadap respon gempa. Tipologi pertama merupakan tipologi awal yang dibangun tahun 1800-an. Bangunan ini dapat dikatakan sudah tidak ada, bentuk bangunan ini merupakan bentuk asli yang menyerupai bangunan tradisional khas Rejang. Secara bentuk bangunan ini mempunyai ukuran hampir kotak (rata-rata 7,2 x 8,4) dan dibangun dengan sistem bongkar pasang (knock down). Ketika gempa terjadi tahun 1833 bangunan ini bertahan, sayangnya atap bangunan yang terbuat dari ijuk mudah terbakar sehingga penggunaan atap dengan ijuk hilang. Tipologi kedua pengembangan dari tipologi pertama, yang membedakannya adalah material atap serta bentuk bangunan yang sudah semakin tidak kotak (7,15 x 10,58). Bangunan ini mulai banyak dibangun tahun 1900-an, khususnya tahun 1920. Tipologi bangunan ini banyak bertahan ketika terjadi beberapa kali gempa (mulai dari tahun 1914, 1952, 1979, dll). Sayangnya ketika gempa terjadi tahun 1914, banyak dari tipologi bangunan ini mengalami kerusakan pada kaki pondasi. Sehingga masuknya kolonial tahun 1920an ke kampung ini menyebabkan kaki pondasi banyak diganti dengan beton, yang diistilahkan penduduk sebagai “beton Belanda”, yang memunculkan tipologi 3. Bentuk bangunan semakin memanjang, akibatnya ketika gempa tahun 1979 banyak bagian dari bangunan ini yang rusak khususnya pada bagian dapur (terlalu panjang/ tidak sebanding antara panjang dan lebar). Teknologi pondasi yang dikembangkan saat kolonial merupakan teknologi prefabrikasi yang tidak diketahui penduduk bagaimana membuatnya. Setelah kejadian gempa tahun 1979, banyak bentuk bangunan ini dirubah karena tidak diketahui tukang untuk membuat pondasi. Tukang dari Palembang (Meranjat) banyak masuk, yang memunculkan tipologi 4. 109
Perkembangan Tipologi Rumah… (Iwan Sudrajat, Sugeng Triyadi, Andi Harapan)
Bentuk tipologi 4 tipikal sama dengan bentuk bangunan di daerah Meranjat, Palembang. Bentuk bangunan semakin panjang. Gempa tahun 1991 dan 1997 menyebabkan berbagai kerusakan pada bangunan ini. Bentuk atap yang unik (khas Melayu), sangat sulit untuk diikuti oleh tukang lokal di Desa Duku Ulu, sehingga muncul tipologi 5, yang merupakan tipologi yang berkembang sampai sekarang.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi lapangan, semi-structured interview, FGD (forum group discussion) dengan masyarakat lokal,
dan dokumentasi melalui pengukuran bangunan vernakular. Empat (4) aspek yang digunakan sebagai dasar pengamatan terhadap bentuk dari pengetahuan lokal terkait dengan bangunan rumah vernakular, yaitu: bentuk bangunan rumah vernakular, sistem struktur, metode membangun, dan material yang digunakan. Secara keseluruhan penelitian ini dilakukan dalam lima tahapan, mulai dari kajian pustaka, pengambilan data lapangan (observasi lapangan), analisis, rekayasa tipologi bangunan vernakular, hingga kesimpulan dan rekomendasi terhadap ke-5 tipologi bangunan tersebut terkait dengan gempa.
Bahaya Gempa Kapasitas Indigenous Knowledge
Bangunan Vernakular Tipologi Bangunan Vernakular
Tipologi 1
Tipologi 2
Tipologi 3
Tipologi 4
Tipologi 5
Aspek Pengamatan Analisis tipologi bangunan dikaitkan dengan aspek pengamatan
Kesimpulan
Gambar 2 Metode Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Empat aspek yang menjadi tolok ukur ketahanan gempa bangunan vernakular di Desa Duku Ulu, yaitu: 1) bentuk bangunan, 2) sistem struktur, 3) material yang digunakan, dan 4) sistem konstruksi. Dari aspek bentuk bangunan, ke-4 tipologi bangunan mempunyai bentuk yang berbeda-beda. Sayangnya secara kaidah gempa bentuk yang terjadi menunjukkan ketidaksemetrisan. Perkembangan bentuk yang terjadi semakin rendah responnya terhadap gempa. Secara keseluruhan sistem struktur bangunan terdiri dari 3 bagian utama, yaitu: 1) sistem struktur atas (komponen atap dan langit-langit), 2) sistem struktur tengah (komponen dinding), dan 3) sistem struktur bawah (komponen lantai dan pondasi). Ke-5 tipologi bangunan menggunakan pondasi umpak dengan ukuran kaki pondasi yang semakin kecil. Material yang digunakan untuk struktur adalah kayu dan bambu (untuk tipologi 1). 110
Perkembangan sistem struktur semakin lama semakin tidak menunjukkan satu sistem yang menyeluruh. Dimensi dan sistem sambungan yang semakin tidak rigid sangat mempengaruhi sistem struktur secara keseluruhan. Material yang digunakan ke-5 tipologi bangunan merupakan material ringan, kecuali pada tipologi 3 yang menggunakan material beton untuk pondasi (kaki dan telapak pondasi). Secara material bangunan tipologi 1 merupakan tipologi yang paling ringan, yang sangat aman terhadap bahaya gempa. Sistem konstruksi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah detail-detail konstruksi, seperti sambungan, coakan, dll. Perkembangan sistem sambungan ke 5 bangunan vernakular sangat berbeda. Pada tipologi 1 dan 2 sistem sambungan knock down diterapkan secara menyeluruh (khususnya pada tipologi 1). Sedangkan pada tipologi 3, 4, dan 5 penggunaan paku semakin tinggi.
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010 : 107-115
Tabel 1 Perbandingan Tipologi Bangunan Rumah Vernakular Bengkulu di Desa Duku Ulu Berdasarkan Aspek Pengamatan (Bentuk Bangunan, Sistem Struktur, Material yang Digunakan, dan Sistem Konstruksi/ Detail) No Aspek Pengamatan Tipologi 1 Tipologi 2 Tipologi 3 Tipologi 4 Tipologi 5 1 Bentuk Bangunan
Denah Bangunan
2
Bentuk bangunan adalah kotak dengan ukuran 7,20 x 2 8,24 m
Bentuk bangunan adalah kotak dengan ukuran 7,15 2 x 10,58 m
Bentuk bangunan adalah kotak 2 dengan ukuran 6,74 x 13,58 m
Bentuk bangunan adalah Bentuk bangunan ini adalah kotak dengan ukuran 6,70 x kotak dengan ukuran 5,23 x 2 2 15,08 m 16,42 m
Menggunakan sistem struktur rangka kayu dan bambu Menggunakan sistem struktur rangka kayu dan bambu
Menggunakan sistem struktur rangka kayu
Menggunakan sistem struktur rangka kayu
Menggunakan sistem struktur rangka kayu
Menggunakan sistem struktur rangka kayu
Menggunakan sistem struktur rangka kayu
Menggunakan sistem struktur rangka kayu
Menggunakan sistem struktur rangka kayu
Menggunakan sistem struktur rangka kayu
Sistem Struktur
Rangka Atap
Rangka Langit-Langit
111
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010 : 107-115
Bagian Atas
Perkembangan Tipologi Rumah … (Iwan S., Sugeng T., Andi H.)
Rangka Dinding
Rangka dinding merupakan Rangka dinding Rangka dinding merupakan Rangka dinding merupakan Rangka dinding merupakan rangka kayu yang terdiri dari merupakan rangka kayu rangka kayu yang terdiri dari rangka kayu yang terdiri dari rangka kayu yang terdiri kolom (struktur utama) yang terdiri dari kolom kolom (struktur utama) disatukan kolom (struktur utama) dari kolom (struktur utama) disatukan oleh balok kayu (struktur utama) disatukan oleh balok kayu (horisontal dan disatukan oleh balok kayu disatukan oleh balok kayu (horisontal dan vertikal) oleh balok kayu (horisontal vertikal) sehingga membentuk (horisontal dan vertikal) (horisontal dan vertikal) sehingga membentuk suatu dan vertikal) sehingga suatu struktur rangka yang solid sehingga membentuk suatu sehingga membentuk suatu struktur rangka yang solid membentuk suatu struktur struktur rangka yang solid struktur rangka yang solid rangka yang solid
Bagian Bawah
Rangka Lantai
Rangka lantai terdiri dari Rangka lantai terdiri dari Balok anak serta papan kayu Rangka lantai terdiri dari Balok anak serta papan balok induk lantai yang balok induk lantai yang sebagai penutup lantai balok induk lantai yang kayu sebagai penutup lantai terintegrasi solid dengan terintegrasi solid dengan terintegrasi solid dengan balok dan didukung oleh balok dan didukung oleh balok dan didukung oleh balok-balok anak serta balok balok papan kayu sebagai penutup lantai Pondasi menggunakan Pondasi menggunakan Pondasi menggunakan sistem Pondasi menggunakan Pondasi menggunakan sistem umpak yang terdiri sistem umpak yang terdiri umpak yang terdiri dari kaki sistem umpak yang terdiri sistem umpak yang terdiri dari kaki pondasi dan dari kaki pondasi dan pondasi dan telapak pondasi. dari kaki pondasi dan dari kaki pondasi dan telapak pondasi. Kaki telapak pondasi. Kaki Berbeda dengan tipologi rumah telapak pondasi. Kaki telapak pondasi. Kaki pondasi disambung dengan pondasi disambung lainnya, kaki pondasi menyatu pondasi disambung dengan pondasi disambung dengan sistem knock down dan dengan sistem knock down dengan telapak yang terbuat dari sistem knock down dan sistem knock down dan dipasak dengan kolom dan dan dipasak dengan kolom beton. Teknologi ini dipasak dengan kolom dan dipasak dengan kolom dan rangka lantai. Kaki pondasi dan rangka lantai. Kaki diperkenalkan oleh Belanda rangka lantai. Kaki pondasi rangka lantai. Kaki pondasi diletakkan pada telapak pondasi hanya diletakkan (tahun 1920-an). Kolom dan hanya diletakkan pada hanya diletakkan pada pondasi yang dibuat khusus pada telapak pondasi. rangka lantai ditopang oleh kaki telapak pondasi. telapak pondasi. berbentuk kotak dari batu. pondasi dengan diberikan coakan sebagai tempat penyanggah.
Pondasi
3
Material yang digunakan Bagian Penutup Atap Atas Rangka Atap
Bagian Tengah
112
Langit-Langit Rangka Langit-Langit Dinding Rangka Dinding
Ijuk Kayu Bulat (utuh)
Seng Kayu Bulat (utuh) Anyaman Bambu Kayu + Bambu
Seng Kayu Kotak (½ tidak utuh/ ½ olahan) Papan Kayu
Seng Kayu Kotak (tidak utuh/ olahan) Papan Kayu
Seng Kayu Kotak (tidak utuh/ olahan) Papan Kayu
Anyaman Bambu Kayu + Bambu Kayu + bambu (dapur) Kayu
Kayu Kayu
Kayu Kayu
Kayu Kayu
Kayu Kayu
Perkembangan Tipologi Rumah … (Iwan Sudrajat, Sugeng Triyadi, Andi Harapan)
112
Bagian Tengah
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010 : 107-115
Bagian Bawah
Sistem Konstruksi Bagian Atas
Penutup Atap Rangka Atap
Langit--Langit
Rangka Langit-Langit
113
Bagian Tengah
Dinding
Kayu bulat Kayu + Bambu Kayu + Bambu Umpak, terdiri dari kaki pondasi (kayu) dan telapak pondasi (batu kotak).
Kayu bulat Kayu Kayu Kayu Kayu Kayu Kayu + Bambu Kayu Kayu Umpak, terdiri dari kaki Umpak, kaki pondasi dan telapak Umpak, terdiri dari kaki pondasi (kayu) dan telapak pondasi menjadi satu dan terbuat pondasi (kayu) dan telapak pondasi (batu) kotak). dari beton. pondasi (batu bulat).
Knock Down
Knock Down
Knock Down
Ijuk diikat ke reng menggunakan tali rotan. Disambung menggunakan sistem pasak
Seng di paku.
Seng dipaku ke reng.
Disambung menggunakan sistem pasak.
Sebagian disambung menggunakan sistem pasak dan paku. Papan digunakan sebagai penutup langit-langit menggunakan paku. Disambung menggunakan paku
Bambu sebagai penutup langit-langit diikat menggunakan tali rotan. Disambung menggunakan pasak dan sebagian diperkuat dengan diikat tali rotan. Papan disusun secara vertikal dan disambung menggunakan sistem pasak
Bambu sebagai penutup langit-langit diikat menggunakan tali rotan. Disambung menggunakan pasak dan sebagian diperkuat dengan diikat tali rotan. Papan disusun secara Papan disusun secara vertikal dan vertikal dan disambung dipaku ke rangka dinding (tanpa menggunakan sistem penomoran).
Kayu Kayu Kayu Umpak, terdiri dari kaki pondasi (kayu) dan telapak pondasi (beton).
Sebagian Knock Down – sebagian lagi tidak. Seng dipaku ke reng.
Sebagian Knock Down – sebagian lagi tidak. Seng dipaku ke reng.
Disambung menggunakan paku.
Disambung menggunakan paku.
Papan digunakan sebagai penutup langit.
langit menggunakan paku.
Disambung menggunakan paku.
Disambung menggunakan paku.
Papan sebagian disusun secara horisontal dan vertikal dan dipaku (tanpa
Papan sebagian disusun secara horisontal dan vertikal dan dipaku (tanpa
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010 : 107-115
4
Kolom Lantai Rangka Lantai Pondasi
Perkembangan Tipologi Rumah … (Iwan S., Sugeng T., Andi H.)
Rangka Dinding
Bagian Bawah
114
Lantai
Rangka dinding dihubungkan dengan sistem coakan dan dipasak.
pasak dan diberikan penomoran. Rangka dinding dihubungkan dengan sistem coakan dan dipasak.
penomoran). Rangka dinding dihubungkan dengan sistem coakan dan dipaku.
penomoran).
Rangka dinding Rangka dinding dihubungkan dengan sistem dihubungkan dengan sistem coakan dan dipaku. coakan dan dipaku.
Penutup lantai adalah papan Penutup lantai adalah Penutup lantai adalah papan. Penutup lantai adalah Penutup lantai adalah dan bambu belah pada area papan. papan. papan. dapur. Rangka Lantai Rangka lantai dihubungkan Rangka lantai dihubungkan Rangka lantai dihubungkan Rangka lantai dihubungkan Rangka lantai dihubungkan dengan sistem coakan dan dengan sistem coakan dan dengan sistem coakan dan dengan sistem coakan dan dengan sistem coakan dan dipasak. dipasak. dipaku. dipaku. dipaku. Pondasi Kaki pondasi disambung ke Kaki pondasi disambung ke Kaki pondasi merupakan satu Kaki pondasi disambung ke Kaki pondasi disambung ke kolom dan rangka lantai kolom dan rangka lantai kesatuan dengan telapak pondasi kolom dan rangka lantai kolom dan rangka lantai dengan coakan dan dipasak. dengan coakan dan (dari beton). Beton dicoak dengan coakan dan dipasak. dengan coakan dan Kaki pondasi diletakkan dipasak. Kaki pondasi sebagai alas kolom dan rangka Kaki pondasi diretakkan dipasak. Kaki pondasi diatas telapak pondasi diletakkan diatas telapak lantai. diatas telapak pondasi diletakkan diatas telapak berbentuk kotak (dari batu). pondasi berbentuk bulat berbentuk bulat (dari batu). pondasi berbentuk kotak (dari batu). (dari beton).
Perkembangan Tipologi Rumah … (Iwan Sudrajat, Sugeng Triyadi, Andi Harapan)
114
dan diberikan penomoran.
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010 : 107-115
KESIMPULAN Perkembangan tipologi bangunan vernakular di Desa Duku Ulu semakin tidak merespon bahaya gempa, padahal daerah Bengkulu merupakan salah satu daerah yang rawan terhadap gempa. Berkurangnya respon dapat dilihat dari bentuk bangunan yang semakin tidak kotak (semakin panjang), sistem struktur yang semakin tidak rigid. Material yang digunakan untuk semua tipologi bangunan dapat dikategorikan sebagai material ringan, yang aman terhadap bahaya gempa. Sistem sambungan menunjukkan penurunan yang sangat drastis. Penggunaan paku semakin menurunkan teknik konstruksi melalui sistem sambungan coak dan pasak. Masyarakat Bengkulu, khususnya di Desa Duku Ulu perlu diberitahu dan diajarkan muatan lokal lama khas daerahnya yang mempunyai keunikan yang dapat merespon gempa. Sayangnya ketika perkembangan sekarang semakin tidak aman, yang memunculkan penggunaan beton atau bata tanpa prinsip gempa secara benar.
DAFTAR PUSTAKA Triyadi, Sugeng, Harapan, Andi, Pribadi, Krishna S., Hidayat, B. 2009. Indigenous Knowledge on House Building System in West Sumatra and Southern-West Java, Indonesia. Text Book Indigenous Knowledge and Disaster Risk Reduction, From Policy to Practice, Editor : Rajib Shaw, Anshu Sharma, Yukiko Takeuchi. USA: NOVA Publisher. Ambrose, James & Vergum, Dimitry. 1999. Design for Earthquakes. New York: John Wiley & Sons, Inc. Brush, Stephen B. & Stabinsky, Doreen. 1996. Valuing Local Knowledge: Indigenous People and Intellectual Property Rights. USA: Island Press. Boen, Teddy. 1978. Manual Bangunan Tahan Gempa (Rumah Tinggal). Jakarta: Teddy Boen & Rekan. Boen, Teddy et al. 1995. Manual Perbaikan dan Perkuatan Bangunan yang Rusak Akibat Gempa Bumi. Jakarta: Teddy Boen & Rekan. Ellen, Roy; Parkes, Peter; & Bicker, Alan. 2005. Indigenous Environmental Knowledge and Its Transformations. Amsterdam: Harwood Academic Publisher. Gutierrez, Jorge. 2004. “Notes on the Seismic Adequacy of Vernacular Buildings”. 13th World Conference on Earthquake Engineering.
Vancouver. B.C. Canada August 1-6. Paper No. 5011. Jigyasu, Rohit. 2002. Reducing Disaster Vulnerability through Local Knowledge and Capacity. Dissertation of Faculty of Architecture and Fine Art, Department of Town and Regional Planning, Norwegian University of Science and Technology. Rapoport, A. 1969. House, Form and Culture. London: Prentice-Hall International, Inc. Triyadi, Sugeng & Harapan, Andi. 2007. Kajian Pengetahuan Lokal-Indigeneous Struktur dan Konstruksi Tahan Gempa pada Rumah Vernakular Sunda di Pangandaran. Laporan Riset KK-Teknologi Bangunan, Institut Teknologi Bandung. Triyadi, Sugeng & Harapan, Andi. 2008. Studi Sistemik Bangunan Vernakular Sunda. Laporan Riset KK-Teknologi Bangunan 2008, Institut Teknologi Bandung. Triyadi, Sugeng dan Harapan, Andi. 2008. “Kearifan Lokal Rumah Vernakular di Jawa Barat Bagian Selatan dalam Merespon Gempa”. Jurnal EMAS, Fak. Teknik UKI, Jakarta, Vol. 18, No. 2, Mei 2008-a, ISSN: 0853-9723, Halaman 123134. Triyadi, Sugeng & Harapan, Andi. 2008. “Kajian Struktur & Konstruksi Bangunan Rumah Rakyat (Vernakular) dari Konsep Sustainabilitas”. Prosiding Seminar Nasional Universitas Budi Luhur, Jakarta, hal. 2.1-2.15, 8 April 2008-b, ISBN 978-979-15842-1-0. Triyadi, Sugeng & Harapan, Andi. 2008. “Sustainable House Design in Vernacular Housing, Case Study: Dukuh Kampong, West Java”. International Proceeding "Green Architecture & Environment", Hasanudin Universities, Makassar, 14 October 2008-c, Halaman 109-118, ISBN: 878-979-15469-4-2. Triyadi, Sugeng. 2009-a. “Penggunaan Bambu sebagai Material Bangunan pada Rumah Tradisional-Vernakular Sunda di Jawa Barat, Studi Kasus: Kampung Cikondang dan Kampung Dukuh”. Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Bambu sebagai Bahan Bangunan Ramah Lingkungan, Yogyakarta. Triyadi, Sugeng & Harapan, Andi, 2009-b, PotensiPotensi Lokal untuk Mereduksi Resiko Gempa pada Bangunan Rumah Vernakular Lampung Barat (Liwa, Belalau, dan Sekitarnya), Prosiding Seminar Nasional Universitas Teknologi Yogyakarta, Jakarta.
115
Tipologi Kawasan Perumahan… (Heni Suhaeni)
TIPOLOGI KAWASAN PERUMAHAN DENGAN KEPADATAN PENDUDUK TINGGI DAN PENANGANANNYA Heni Suhaeni Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan-Kabupaten Bandung 40393 Email:
[email protected] Diterima: 04 Februari 2010; Disetujui: 23 Juni 2010
Abstrak Kawasan perumahan kumuh memiliki kompleksitas masalah yang rumit, karena berbagai faktor fisik, sosial dan ekonomi ikut terkait didalamnya. Pada dasarnya setiap faktor yang terkait dengan kawasan perumahan kumuh membutuhkan perlakuan yang spesifik agar secara sistemik perbaikan dan pembangunan kawasan perumahan kumuh dapat berlangsung lebih efektif. Sementara itu, Pemerintah Indonesia telah menetapkan bahwa Indonesia akan mencapai target bebas dari kawasan perumahan kumuh pada tahun 2025. Penyusunan sebuah klasifikasi secara sistematis adalah merupakan suatu cara yang efektif untuk mempermudah dalam menemukenali kondisi sebuah kawasan perumahan kumuh berdasarkan faktor penentu agar dapat ditangani sesuai dengan masalah yang dihadapi. Dalam penelitian ini dilakukan klasifikasi sistematis sehingga menghasilkan tipologi kawasan perumahan berdasarkan kondisi fisik, sosial dan ekonomi serta alternatif penanganannya. Tujuan penelitian ini adalah menemukan cara klasifikasi sistematis yang terukur, sehingga dapat mempermudah dan mempercepat dalam menentukan penanganan kawasan perumahan kumuh tepat sasaran dan efektif. Metodologi yang digunakan adalah data primer yang dikumpulkan dari lokasi penelitian di kawasan perumahan kumuh diolah melalui analisis statistik SPSS (Statistical Package for the Social Sciences). Faktor-faktor yang diklasifikasikan adalah karakteristik fisik perumahan dan infrastruktur dasar serta karakteristik sosial dan ekonomi penduduk. Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi sistematis yang dilakukan melalui analisis SPSS dapat menghasilkan klasifikasi terukur, cepat dan mudah serta dapat menghasilkan beberapa klasifikasi atau tipologi berdasarkan faktor-faktor penentu yang dominan. Kata Kunci: Tipologi, klasifikasi, kepadatan penduduk, kumuh, perkotaan, perumahan
Abstract Human settlement in the urban slum areas generally have a complicated problem, because physical, social and economic factors are involved in such matters. Basically, each factor which is involved in such matters requires specific solution. The government of Indonesia has targeted to achieve free from slum in 2025. However, to gain the target that Indonesia is free from slum in 2025 is required to classify systematically. Classification is useful for the process of problem identification, it can make easier to determine which factor influences such problem accurately. This research is focused on the classification of the urban slum areas to gain typology of urban slum and its alternative solution. The objective of this research is to find out the method which can be used as a basis for handling and improving environmental housing quality. Method of study is primary data which are collected from urban slum area is analyzed by SPSS. The variables which are assessed are the characteristic of housing and its infrastructure, the social and economic characteristic of dwellers. The result of this research indicates that the classification of urban slum area can be classified quickly and accurately through cluster analysis SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) which are based on determinant factors. Keywords: Typology, classification, high density, slum, urban, housing
PENDAHULUAN Data dari UNFA menunjukkan bahwa tahun 2008 diperkirakan merupakan tahun dimana lebih dari 50% atau sekitar 3,3 triliun penduduk dunia tinggal di kawasan perkotaan. Tahun 2030, jumlah tersebut diproyeksikan meningkat menjadi 5 triliun, kawasan perkotaan diperkirakan akan mengalami peningkatan jumlah penduduk secara signifikan (UNFPA, 2007). Pada beberapa kawasan perkotaan telah mengalami kepadatan penduduk
116
tinggi karena pembangunan infrastruktur dasar yang tidak merata, kualitas lingkungan perkotaan mulai mengalami penurunan, sehingga daya dukung lingkungan pun mulai menurun. Kondisi ini terutama dialami oleh kota-kota yang berada di negara yang sedang berkembang. Hal ini terjadi karena pertambahan penduduk yang relatif lebih pesat, tidak merata dan tidak disertai dengan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan secara berimbang dari aspek fisik, ekonomi ataupun sosial.
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 116-123
Terkait dengan program Millenium Development Goal’s Indonesia yang salah satu sasarannya adalah memperbaiki dan mewujudkan kualitas lingkungan perumahan perkotaan yang aman dan sehat (Bappenas, 2007), Pemerintah telah melakukan berbagai upaya perbaikan untuk kawasan perumahan kumuh melalui berbagai program kegiatan, seperti kampung improvement program (KIP) dan peremajaan kawasan kumuh perkotaan (urban renewal). Akan tetapi sejauh ini masih tercatat pada sejumlah kawasan perumahan dengan kepadatan tinggi, kualitas lingkungannya mengalami penurunan (Pusdata, 2008). Disamping itu, penyelenggaraan urban renewal yang dilakukan pun seringkali kurang tepat sasaran (Darrundono, 2006). Merujuk pada hasil kajian yang pernah dilakukan di negara lain tentang penanganan kawasan perumahan kumuh perkotaan, telah memberikan informasi baru bahwa menyusun sebuah tipologi untuk kawasan perumahan kumuh adalah cara yang efektif agar dapat memperbaiki perumahan kumuh secara tepat sejalan dengan faktor-faktor kunci yang mempengaruhinya (Naimeh, 2008). Brenda Scheer tahun 1998 juga pernah menjelaskan bahwa masalah perumahan yang menjadi kumuh karena mengalami penurunan kualitas lingkungan, akan lebih efektif ditangani apabila dilakukan dengan cara melakukan tipologi atau klasifikasi. Dengan cara melakukan tipologi atau klasifikasi terhadap perumahan kumuh dapat ditemukenali berbagai variabel yang berpengaruh terhadap terbentuknya kawasan perumahan menjadi kumuh. Hasil klasifikasi sistematis ini dapat ditampilkan dalam bentuk tipologi kawasan perumahan kumuh. Tipologi yang ditampilkan dapat ditunjukkan dalam berbagai pola atau tingkatan dan berbagai ukuran parameter sesuai dengan keperluannya guna mencapai efisiensi serta mempermudah pilihan-pilihan penanganan secara optimal dan tepat sasaran. Secara umum kegiatan penelitian untuk kawasan perumahan kumuh dengan kepadatan penduduk yang tinggi di kota-kota Indonesia sudah pernah dilakukan. Contohnya hasil kajian yang pernah dilakukan oleh Zarmawis tahun 2000 dengan lokasi sampel penelitian Kota Yogyakarta. Hasilnya menunjukkan bahwa karakteristik sosial ekonomi penduduk ditandai dengan mayoritas penduduk yang berpenghasilan rendah, bekerja di sektor informal perkotaan dengan jenis aktivitas ekonomi yang beragam. Mereka tinggal dalam lingkungan permukiman dengan fasilitas dan prasarana yang berada dibawah standar minimal. Kepadatan penduduk mencapai>200 jiwa/ha dan kepadatan
bangunan >110 bangunan/ha (Zarmawis, 2000). Karakteristik lain yang disebutkannya adalah lokasi berada di lokasi yang sangat strategis sampai dengan lokasi yang sangat berbahaya (Zarmawis, 2000). Dari gambaran tersebut sebenarnya klasifikasi kawasan perumahan dengan kepadatan tinggi pernah dilakukan beberapa tahun yang lalu pada kepadatan penduduk> 200 jiwa/ha. Dengan pertimbangan rentang waktu yang telah lama berlalu dimana kondisinya berbeda dengan kondisi saat ini, terutama terkait dengan tingkat kepadatan yang meningkat dan lokasi yang berbeda, maka penelitian yang dilakukan disini adalah menggunakan data primer di lokasi sampel penelitian Kota Bandung dengan kepadatan penduduk mencapai 500 jiwa/ha. Disamping itu, data primer hasil survei diolah dengan menggunakan keunggulan analisis statistik diharapkan dapat memudahkan dalam proses pengolahan, analisis dan tampilan hasil penelitian (Klenieski, 2006).
FOKUS PENELITIAN Penelitian ini difokuskan pada klasifikasi sistematis kawasan perumahan kumuh dengan kepadatan penduduk 500 jiwa/ha. Klasifikasi dilakukan berdasarkan karakteristik fisik rumah, karakteristik sosial dan ekonomi penduduknya, sehingga diperoleh tipologi kawasan perumahan kumuh dan alternatif penanganan yang dapat dilakukan secara bertahap sejalan dengan keperluannya.
TUJUAN PENELITIAN Menyusun klasifikasi untuk mempermudah pengorganisasian, perbaikan dan pembangunan kawasan perumahan kumuh dengan kepadatan penduduk yang tergolong tinggi di perkotaan.
SASARAN Menemukan konsep tipologi kawasan perumahan kumuh berdasarkan karakteristik fisik rumah, sosial dan ekonomi yang dapat dijadikan dasar acuan dalam menangani kawasan perumahan kumuh perkotaan.
METODOLOGI Lokasi penelitian yang dijadikan sampel adalah Kelurahan Jamika dengan kepadatan penduduk ≥ 500 jiwa/ha (BPS, 2005). Lokasi ini berada di Kecamatan Bojongloa Kaler dan merupakan kawasan perumahan perkotaan dengan kepadatan penduduk tertinggi di tingkat kelurahan Kota Bandung.
117
Tipologi Kawasan Perumahan… (Heni Suhaeni)
Kriteria kepala keluarga yang dipilih sebagai sampel penelitian adalah penduduk dengan lama tinggal di kawasan perumahan tersebut selama 3 tahun atau lebih dengan asumsi bahwa mereka mengenal kondisi kawasan perumahan tersebut sebagai tempat tinggal mereka. Cara pemilihan sampel digunakan stratifikasi yang proporsional untuk setiap kelompok sampel. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner terstruktur yang dirancang untuk dapat menjaring karakteristik fisik perumahan serta karakteristik sosial dan ekonomi penduduk. Setiap kuesioner yang sudah diisi secara lengkap dikompilasi dengan format excel untuk mempermudah dalam mengolah data menjadi informasi dalam bentuk format excel ataupun SPSS. Hasil kompilasi data divalidasi dengan cara crosscheck melalui metode focus group yang dilakukan di kantor kelurahan yang dihadiri oleh ”mantri” statistik, tenaga lapangan, beberapa orang penduduk setempat dan tokoh masyarakat. Pada tahap berikutnya, data diberikan coding, nominal angka atau pembobotan. Pengolahan untuk analisis data dilakukan dengan beberapa cara, descriptive statistics frequency, two step cluster, dan K-mean cluster. Pada dasarnya ketiga cara tersebut sama yaitu proses identifikasi data melalui klasifikasi sampel data atas dasar kesamaan karakteristik dan faktor dominan.
TINJAUAN PUSTAKA Tipologi Menurut Kamus Sosiologi yang disusun oleh Marshall tahun 1994 tipologi diartikan sebagai klasifikasi. Dalam ensiklopedia tipologi diterjemahkan sebagai klasifikasi sistematis. The Great Soviet Encyclopedia (1979) tipologi dapat didefinisikan sebagai klasifikasi sistematis berdasarkan karakteristik tertentu. Dalam konteks perkotaan istilah tipologi diartikan oleh Lozano (1990) sebagai pengenalan suatu objek atau elemen yang inti dasarnya mempunyai kemungkinan untuk dapat ditemukan di tempat lain yang sejenis. Istilah tipologi ini biasa digunakan dalam mengidentifikasi pola-pola ruang perkotaan (Lozano, 1990). Tipologi dapat terbentuk dari berbagai varian dengan berbagai kombinasi tanpa kehilangan ciri atau karakteristik utama dari objek tersebut dan dibentuk melalui proses selektif berdasarkan pada objek atau elemen dasar. Dalam perkembangannya tipologi tidak hanya dapat terbentuk dari objek atau elemen fisik, tetapi juga kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan budaya mempengaruhi terbentuknya tipologi. Sebagai contoh komponen teknologi berperan penting dalam membentuk tipologi perkotaan, karena teknologi merupakan salah satu dari komponen 118
budaya masyarakat dan penggerak utama yang membangun tipologi perkotaan. Teknologi adalah fasilitator yang mendorong seseorang atau kelompok masyarakat mengerjakan sesuatu, contohnya gedung-gedung bertingkat adalah produk teknologi dan trend budaya yang mendorong pola-pola perilaku masyarakat melakukan sesuatu secara terarah karena kepentingan atau kebutuhannya (Lozano, 1990). Tipologi dapat dibedakan antara satu tipologi dengan tipologi lainnya berdasarkan masanya (waktunya). Dalam masa pembentukan, sebuah tipologi dibangun untuk memenuhi suatu standar serta beradaptasi dengan beragam kondisi dan persyaratan. Selama periode tersebut konsep tipologi yang ditampilkan akan diperjelas menjadi sebuah model yang dibangun berdasarkan ciri dan pola yang memenuhi persyaratan/standar yang diminta. Akan tetapi, pada masa transisi seringkali menuntut adanya perubahan dan aturan baru yang perlu dimodifikasi. Contohnya fenomena meningkatnya jumlah kendaraan pribadi menuju pusat kota merupakan sebuah proses perubahan sosial yang berimplikasi terhadap community design. Kondisi tersebut merupakan proses perubahan sosial yang perlu dipahami oleh para designer atau planner, bagaimana proses tersebut akan berlangsung dan berpengaruh terhadap komunitas, apakah tipologi yang diciptakan masih akan tetap sama seperti semula dengan konsekuensi menimbulkan konflik-konflik internal, ataukah harus mencari tipologi yang adaptif dengan perubahan baru (Lozano, 1990). Kawasan Perumahan Perkotaan Proses urbanisasi yang terjadi di negara-negara sedang berkembang bukan disebabkan oleh faktor revolusi industri seperti yang terjadi di negaranegara barat, akan tetapi proses urbanisasi yang terjadi karena migrasi penduduk (Kleniewski 2006). Migrasi penduduk merupakan sebuah respon penduduk terhadap pembangunan yang tidak merata (Pacione, 2001). Ada dua faktor mengapa migrasi penduduk terjadi, yaitu faktor pendorong dan penarik (Drakakis-Smith, 2000). Faktor pendorong terjadi karena adanya tekanan yang memaksa penduduk untuk berpindah. Faktor penarik, yaitu dasar-dasar yang memberikan daya tarik tempat tujuan migrasi, contohnya, kehidupan perkotaan. Beberapa bukti menunjukkan bahwa migrasi penduduk ke kota banyak disebabkan oleh peluang penghasilan, pekerjaan, pendidikan dan kehidupan sosial yang lebih dinamis di perkotaan daripada di perdesaan yang cenderung statis. Jumlah penduduk yang terus bertambah dan lahan perkotaan yang dimanfaatkan semakin penuh
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 116-123
sesak, sehingga kawasan perumahan dengan kepadatan tinggi di kawasan perkotaan terbentuk tanpa dapat dihindari. Kota-kota di negara sedang berkembang cenderung membentuk ukuran kota yang semakin besar melebar dan proporsi penduduk terkonsentrasi pada satu kota utama (Kleniewski, 2006). Kondisi-kondisi tersebut pada akhirnya dapat memperburuk kualitas lingkungan internal pada skala unit neigbourhood kawasan perumahan perkotaan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi pasokan air bersih yang tidak memadai dan kurang memenuhi standar kesehatan (Pacione, 2001). Keberadaan polutan karena saluran air kotor, sampah dan drainase yang tidak mendapatkan perlakukan yang tepat. Kondisi tempat berkehidupan yang penuh sesak mengganggu sirkulasi dan kualitas udara serta kesehatan penduduk yang berpengaruh terhadap kondisi kesehatan dan keselamatan penduduk. Beberapa penyakit yang mudah menular dalam kondisi tersebut seperti Tubercolose (TBC), influenza, diare yang merupakan penyakit menular melalui ruang udara yang sempit, atau menular melalui air yang tidak mencukupi. Standar unit hunian sehat untuk satu keluarga yang dihuni oleh 4 orang mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI) selayaknya berukuran 36 m2 dengan ukuran kapling 60 m2. Akan tetapi, pada banyak kasus, seringkali penduduk terpaksa harus tinggal dengan menempati ruang-ruang yang sempit. Satu unit rumah dihuni oleh lebih dari 5 orang anggota keluarga. Apabila kondisi tersebut tidak ditunjang oleh asupan makanan yang memadai berakibat pada daya tahan tubuh yang lemah dan rentan sakit (Pacione, 2001). Kondisi tersebut di atas dapat dilihat sebagai masalah yang kompleks, karena berbagai faktor saling terkait dan sulit teruraikan ”benang merahnya”, sehingga akhirnya penanganannya dinilai tidak tepat sasaran. Oleh sebab itu diperlukan proses identifikasi yang seksama dan klasifikasi atas beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kondisi kawasan perumahan, terutama pada kawasan perumahan yang memiliki kemudahan akses yang tinggi terhadap pusat kegiatan ekonomi, karena lokasi tersebut secara sosial seringkali menjadi tempat yang disukai sebagai tempat berkehidupan dan secara ekonomi sebagai tempat mencari nafkah keluarga. Secara umum terdapat 4 (empat) sumber utama penyediaan perumahan sebagai tempat hunian keluarga (Hartshorn, 1992 dan Pacione, 2001), yaitu:
Public housing dibangun secara konvensional oleh pemerintah atau oleh swasta, bersifat formal dan merupakan adopsi dari bentuk penyediaan perumahan yang mengacu pada berbagai standar negara maju. Squatter settlements yaitu rumah-rumah yang terbangun tanpa perencanaan dengan status illegal, karena dibangun tanpa prosedur dasar hukum yang berlaku dan seringkali melahirkan rasa tidak aman bagi para penghuninya. Private housing yaitu perumahan yang dibangun oleh swasta dan umumnya berorientasi pada harga pasar. Di negara-negara sedang berkembang umumnya private housing ini tidak populer karena harga unit yang ditawarkan tidak terjangkau oleh kebanyakan penduduknya. Slum settlements atau permukiman kumuh pada umumnya merupakan perumahan permanen dengan status kepemilihan yang legal, akan tetapi menjadi kumuh karena kurangnya pemeliharaan, perbaikan dan usia bangunan yang sudah tua, sehingga menjadi kumuh. Biasanya jenis permukiman kumuh ini tersebar luas dan mudah ditemukan di negara-negara sedang berkembang. Permukiman kumuh ini sering menjadi tempat favorit sebagai tempat pertama untuk bertahan dan berkehidupan di perkotaan oleh orang-orang yang bermigrasi atau pindah ke kota terutama untuk mencari penghasilan tetapi tidak memiliki keahlian, pengetahuan atau keterampilan dalam bekerja.
HASIL ANALISIS DATA PENELITIAN Hasil analisis data yang dilakukan dengan cara yang paling sederhana yaitu dengan analisis data SPSS melalui descriptive statistic, cara ini adalah yang paling mudah untuk membuat klasifikasi atau pengelompokkan serta menghitung besarannya sesuai dengan kepentingan penanganan. Sebagai contoh atas dasar asumsi bahwa standar unit hunian rumah sehat dapat dilihat melalui ukuran unit kapling atau unit rumah, maka klasifikasi dilakukan berdasarkan pada ukuran standar unit kapling dan rumah. Karakteristik Fisik Perumahan Hasil klasifikasi atau tipologi yang ditampilkan ternyata ditemukan luas unit kapling yang kurang dari 60 m2 mencapai jumlah 61,67% (lihat grafik 1), apabila standar minimal unit kapling terkecil sebesar 60 m2, maka ukuran kapling yang kurang dari 60 m2 dapat dinyatakan sebagai ukuran kapling yang tidak memenuhi standar untuk sebuah unit hunian keluarga. Untuk ukuran kapling antara 60-99 m2 teridentifikasi sebesar26,67% dan kapling dengan ukuran > 100 m2 hanya mencapai 10%. 119
Tipologi Kawasan Perumahan… (Heni Suhaeni)
Grafik 2 Luas Lantai Rumah
terbangun secara merata. Sementara jalan-jalan lingkungan yang terbangun pada sebagian area adalah jalan-jalan yang sempit dengan lebar ≤ 1 m dalam keadaan darurat jalan-jalan tersebut tidak dapat dilalui kendaraan. Ruang terbuka untuk area bermain anak-anak dan berinteraksi antar penduduk tidak terfasilitasi. Hasil observasi pun terlihat bahwa penduduk dapat saling berkomunikasi dari pintu rumahnya masingmasing karena ukuran rumah atau kapling yang kecil dan jarak diantara satu pintu rumah ke rumah lainnya saling berdekatan.
Hasil analisis data berikutnya dengan cara yang sama seperti cara pertama dilakukan terhadap variabel data untuk ukuran unit hunian atau rumah tinggal. Hasil klasifikasi atau tipologi ditemukan bahwa ukuran unit rumah terkecil mulai dari 5 m2 sampai dengan 21 m2 (lihat grafik 2) dengan jumlah mencapai 33,33% dan dihuni oleh 3-6 orang. Untuk ukuran unit hunian 24-35 m2 mencapai jumlah 18,33%.
Karakteristik Sosial dan Ekonomi Hasil pengolahan data berikutnya dilakukan terhadap variabel sosial-ekonomi, yaitu kemampuan dalam membiayai pengeluaran untuk angsuran atau cicilan rumah perbulan. Hasil pengolahan data mengindikasikan bahwa kemampuan untuk dapat mengangsur unit hunian relatif rendah. Rata-rata hanya sekitar Rp. 350.000,- perbulan (grafik 5).
Grafik 1 Kapling Tanah
Dari hasil analisis data diatas menunjukkan bahwa 51,66% unit hunian di kawasan perumahan kumuh dan padat penduduk ini merupakan rumah-rumah yang sempit yang berfungsi sebagai unit hunian keluarga. Dengan mengacu pada ukuran standar minimal sebesar sebesar 36 m2, maka secara fisik sebagai unit hunian keluarga tidak memenuhi standar minimal dan jumlahnya sudah mencapai lebih dari 50%, sehingga secara fisik perumahan tersebut perlu perbaikan. Dari hasil analisis berikutnya ditemukan juga bahwa lebih dari 65% rumah tidak memiliki halaman (ruang terbuka) dan jalan lingkungan menuju rumahnya mempunyai lebar jalan 1 meter, bahkan 10% rumah berada pada gang-gang yang sempit yang lebarnya kurang dari 1 meter (lihat grafik 3 dan grafik 4).
Grafik 5 Kemampuan Membayar Angsuran Rumah Per Bulan
Hasil analisis data cara lainnya adalah dengan melalui klasifikasi K-mean cluster dengan SPSS. Klasifikasi dilakukan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pertama (I) dan kedua (II) seperti dapat dilihat dari tabel 1 dibawah ini. Tabel 1 Klasifikasi Kawasan Perumahan Kumuh Parameter Kelompok Anggota rumah tangga 2
Luas kapling (m )
Grafik 4 Jaringan Jalan
Kondisi rumah-rumah tersebut dapat disebut sebagai kawasan perumahan yang kurang sehat karena lebih dari 60% bangunan rumahnya tidak memiliki halaman (grafik 3), artinya area untuk ruang terbuka dan ruang untuk resapan air hujan tidak tersedia, bahkan saluran drainase tidak
120
II 5
105
25
Luas rumah (m )
99
24
Jalan akses (m)
2
1
Halaman rumah (m)
6
0
Terwadahi
ya
tidak
2
Grafik 3 Halaman Rumah
I 7
Bersedia tinggal di flats
ragu
ragu
Bersedia pindah rumah
tidak
tidak
Sumber : Hasil Analisis Data
Hasilnya terlihat pada tabel 1. yang menunjukkan bahwa kelompok pertama merupakan kelompok dengan luas rumah dan kapling yang relatif luas,
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 116-123
rata-rata antara 99-105 m2, sehingga walaupun jumlah anggota keluarga lebih banyak unit huniannya masih dapat mewadahi kebutuhan ruang keluarga. Kelompok kedua dengan luas unit rumah dan kapling yang sempit, rata-rata antara 24 – 25 m2, sehingga kebutuhan ruang keluarga tidak terwadahi. Walaupun demikian, kedua kelompok menunjukkan sikap yang sama bahwa kedua kelompok tersebut tidak mau untuk pindah ke tempat lain dan kedua kelompok tersebut raguragu untuk tinggal di rumah vertikal, karena alasan kemampuan finansial yang tidak mau menjadi beban baru atau tambahan yang harus menjadi tanggungannya. Pada awalnya, kawasan perumahan kumuh ini merupakan kampung lama yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat setempat. Dalam perkembangan selanjutnya, kawasan perumahan ini dengan kepadatan penduduk yang terus meningkat belum mampu ditata, dimanfaatkan dan dikembangkan ke arah pemanfaatan ruang vertikal yang mampu menambah dan mengakomodasi kebutuhan ruang yang terus bertambah. Hasil analisis data terhadap karakteristik sosial dan ekonomi masyarakat ditemukan bahwa mayoritas penduduk berpenghasilan rendah, tingkat pendidikan tamat Sekolah Dasar, bekerja di sektor informal sebagai pedagang atau buruh, tidak memiliki keterampilan yang dapat dijadikan andalan untuk bersaing mendapatkan penghasilan dalam kehidupan kota yang perlu biaya tinggi. Terkait dengan rencana Pemerintah Daerah untuk melakukan peningkatan nilai kawasan dengan pembangunan perumahan secara vertikal, hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat kelompok masyarakat yang setuju dan bersedia tinggal di perumahan vertikal dan kelompok masyarakat yang tidak setuju dan tidak bersedia tinggal diperumahan vertikal. Karakteristik yang ditampilkan dari hasil tipologi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Masyarakat yang setuju dan bersedia tinggal di perumahan vertikal adalah : - Kelompok masyarakat yang belum memiliki rumah dan membutuhkan rumah tinggal di lokasi yang strategis. - Kelompok masyarakat yang memiliki anggota keluarga lebih dari 5 orang dan tinggal di unit hunian yang ukuran rumahnya sempit atau terbatas, sehingga kurang mengakomodasi kebutuhan ruang keluarga. - Kelompok karyawan yang menginginkan tempat tinggal yang lokasinya strategis; memiliki aksesibilitas tinggi terhadap pusat kegiatan. Sedangkan masyarakat yang tidak setuju dan tidak bersedia tinggal di perumahan vertikal adalah
kelompok masyarakat yang unit huniannya tergolong sempit yaitu kaplingnya kurang dari 60 m2 dengan unit rumah kurang dari 21 m2 serta sudah terbiasa tinggal di kawasan perumahan kumuh. Bagi kelompok ini umumnya yang menjadi prioritas dalam hidupnya adalah pemberdayaan ekonomi keluarga. Oleh sebab itu pula, apabila tempat huniannya direncanakan untuk dibangun, maka mereka akan merasa terganggu karena mereka tidak memiliki pilihan akan tinggal dimana lagi. Kondisi ini diperkuat dengan status hunian rumah ternyata sekitar 76% merupakan rumah milik sendiri dan hanya 23% rumah yang dihuni merupakan rumah dengan status kontrak atau sewa (grafik 6). Sedangkan status tanah yang ditempati menunjukkan hanya 31% merupakan tanah sertifikat hak milik, 39% merupakan tanah hak guna bangunan, sisanya sebesar 30% penduduk tidak tahu persis apa status tanah yang ditempatinya (grafik 7). 80
76.67
38.97
40 35
60
31.13
29.9
30 25
40 23.33
20 15
20
10 5
0 milik sendiri
sew a / kontrak
Grafik 6 Status Hunian
0
sertifikat
HGB
tdk jelas
Grafik 7 Status Tanah
Hal ini dapat diartikan bahwa mereka umumnya bertempat tinggal pada tanah yang kurang aman secara hukum. Penanganan Kawasan Perumahan Kumuh dengan Kepadatan Penduduk Tinggi Kawasan perumahan ini berada di lokasi yang sangat strategis, berada pada radius 2 km di kawasan pusat kota dan pusat kegiatan ekonomi Kota Bandung. Akses lokasi yang dilalui oleh moda transportasi dari dan menuju berbagai tujuan perjalanan sangat menguntungkan baik bagi penghuni ataupun pengguna kawasan pusat kota tersebut. Oleh sebab itu pula penduduk memanfaatkan kawasan ini bukan hanya sebatas sebagai tempat hunian keluarga, tetapi juga sebagai tempat mencari nafkah untuk kehidupan keluarganya. Secara finansial, penduduk setempat sangat diuntungkan, karena seluruh aktivitas kehidupan berada dalam jarak yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Dalam kasus ini, berdasarkan hasil tipologi atau klasifikasi sistematis, perbaikan kawasan perumahan kumuh dapat dilakukan berdasarkan karakteristik – karakteristik, yaitu: Secara fisik perumahan dengan luas kapling dan luas dasar bangunan tidak seragam, tidak terorganisasi secara teratur serta penggunaan 121
Tipologi Kawasan Perumahan… (Heni Suhaeni)
lahan tidak efisien dan tidak produktif, maka untuk mencapai efisiensi penggunaan lahan serta tata ruang yang aman dan sehat perlu penataan ulang dengan cara urban renewal dibangun rumah susun sederhana. Alasan utamanya jelas bahwa perumahan tersebut tidak memenuhi standar dasar minimal sebagai tempat hunian keluarga yang sehat dan aman. Pembebasan tanah dapat mengikuti Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 36/2005, yaitu pembangunan untuk kepentingan umum. Akan tetapi, Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu mengeluarkan subsidi yang besar. Tanpa subsidi besar dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah akan sulit dicapai tujuan agar penduduk awal dapat bermukim kembali di lokasi semula, karena secara finansial tidak mampu membayar biaya angsuran untuk perumahan. Revitalisasi ataupun urban renewal untuk mengoptimalkan fungsi dan nilai lahan perkotaan dapat bekerjasama dengan investor. Penggantian harga lahan dapat mengikuti harga pasar, akan tetapi penduduk awal diperkirakan akan mengalami kesulitan untuk mendapatlan akses dan bekerja di kawasan semula, karena alasan keterjangkauan. Penduduk yang berasal dari dari kawasan tersebut pun akan menderita kehilangan peluang kerja dan kesulitan untuk melanjutkan kehidupannya. Kondisi ini pun akan tetap menjadi beban bagi Pemerintah atau Pemerintah Daerah apabila dikaitkan dengan target MDG’s tahun 2025 Indonesia bebas kumuh. Oleh sebab itu, masalah kawasan perumahan kumuh bukan semata-mata masalah fisik, tetapi juga harus mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi penduduknya.
bidang pendidikan, tenaga kerja, kesehatan, perdagangan, industri atau yang lebih spesifik dengan UKM (Usaha Kecil dan Menengah). Penanganan ini sepantasnya dilaksanakan sebagai program jangka pendek, menengah dan panjang dan berkelanjutan tanpa terputus disertai evaluasi yang terukur pada kasus-kasus tersebut. Kawasan perumahan dengan kepadatan tinggi umumnya menimbulkan masalah bukan hanya bagi Pemerintah, tetapi juga bagi penduduknya, karena sepanjang waktu aktivitas terbanyak yang dikerjakan oleh masyarakat dilakukan di lingkungan rumah. Secara teoritis, seringkali pada kawasan kepadatan penduduk tinggi tidak dapat dihindarkan untuk selalu bertemu orang, merespon atau bereaksi, dan selama itu pula tubuh dan mental seseorang terus bekerja. Tanpa sadar seseorang secara psikologis bisa mengalami kelelahan. Untuk mengurangi kondisi tersebut seseorang dapat mengurangi interaksi, respons atau mencari ruang lain untuk beristirahat atau bisa juga dengan cara menurunkan sensitivitasnya dengan sedikit acuh, sehingga tubuh tidak perlu memberikan respon. Akan tetapi konsekuensinya adalah sensitivitasnya menjadi imun dan tidak peka terhadap lingkungan sekitarnya. Oleh sebab itu pula sebagian masyarakat terlihat seolah mereka kurang perhatian terhadap lingkungannya.
KESIMPULAN Hasil pengolahan dan analisis data dapat disimpulkan bahwa kawasan perumahan dengan kepadatan penduduk tinggi memiliki tipologi sebagai berikut :
Secara ekonomi dan sosial, ada dua alternatif yang perlu ditangani, yaitu kelompok kepala keluarga lulusan SD dengan penghasilan rendah dan tidak memiliki keterampilan. Penanganan yang perlu diberikan adalah pendidikan dan pelatihan untuk dapat meningkatkan keterampilan dan penghasilan, bukan hanya untuk para kepala keluarganya saja tetapi juga memperhatikan anakanak generasi berikutnya. Walaupun kebijakan wajib belajar mulai diberlakukan sampai sembilan tahun, sebagai upaya pencegahan bertambahnya penduduk yang tidak terdidik, maka pengendalian dan evaluasi terkait dengan hal tersebut tetap harus diperhatikan apabila sasaran MDG’s tahun 2025 bebas kumuh ingin diraih.
- Klasifikasi ukuran unit rumah yang paling kecil adalah 5-21 m2 dan 24-35 m2. Ukuran unit rumah ini dengan luas kapling kurang dari 60 m2 dan jumlahnya mencapai 61%. Secara fisik perumahan ini kurang atau tidak memenuhi standar minimal sebagai unit hunian keluarga, karena kebutuhan ruang keluarga tidak terwadahi sepenuhnya. Perumahan inipun menjadi kumuh tanpa organisasi tata ruang perumahan yang sehat dan aman, penggunaan lahan menjadi tidak optimal dan kurag produktif, karena tidak memanfaatkan ruang produktif vertikal, seperti halnya rumah susun yang mampu menciptakan ruang secara vertikal untuk memenuhi dan mewadahi kebutuhan ruang masyarakat.
Demikian juga dengan lulusan SMA walaupun penghasilan bisa lebih baik daripada lulusan SD, tetapi standar hidup di kota perlu biaya hidup yang lebih tinggi agar mampu hidup lebih layak. Sektor sosial dan ekonomi sebaiknya ditangani secara terpadu oleh dinas atau sub-dinas terkait dengan
- Klasifikasi secara sosial dan ekonomi terhadap penduduk di perumahan kumuh dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok penghasilan rendah sampai dengan menengah ke bawah, dengan karakteristik bekerja pada sektor informal dan secara ekonomi bergantung pada
122
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 116-123
keberuntungan lokasi sebagai pusat kegiatan ekonomi, contohnya bekerja sebagai pedagang kaki lima, tukang parkir, buruh, kuli, pendidikan kebanyakan hanya lulus SD dan tidak memiliki keterampilan. Penanganan perumahan dengan kondisi tersebut perlu dilakukan dalam program jangka pendek, menengah dan panjang. Hal ini berkaitan dengan target waktu dan juga masalah sosial dan ekonomi penduduk yang tidak dapat ditangani dalam waktu singkat. Penanganan dilakukan secara terpadu antar sektor dan sub-sektor melalui kerjasama antar dinas dan sub-dinas terkait. Penyediaan alokasi biaya atau dana yang proporsional, base data yang akurat, serta program yang berkelanjutan akan mampu menghasilkan penanganan yang terukur, efektif dan tepat sasaran serta diharapkan mampu mencapai target Indonesia bebas kumuh tahun 2025.
SARAN -
Penelitian ini disarankan untuk dilakukan di kota lain selain Kota Bandung untuk dapat menemukan tipologi kawasan kepadatan tinggi dengan jenis, pola atau bentuk yang mungkin berbeda dengan hasil yang ditemukan di kota Bandung, sehingga dapat memperkaya temuan tipologi lainnya.
-
Untuk mencapai sasaran MDG’s 2025 dimana setiap individu atau kelompok dapat tinggal di lingkungan perumahan yang sehat dan aman, maka setiap kota atau kabupaten perlu memiliki base data untuk keperluan penanganan tersebut, agar setiap rencana pembangunan dapat mencapai sasaran yang terukur dan tepat sasaran.
DAFTAR PUSTAKA BPS. 2005. Bandung Dalam Angka 2005. Badan Pusat Statistik Bandung (BPS). Darrundono. 2006. Kawasan Kumuh Kota dan Pembangunan Berkelanjutan. Seminar & Workshop Pusat Litbang Permukiman Bandung. Drakakis-Smith. 2000. Third World Cities. London: Routledge, 11 New Fetter Lane. The Great Soviet Encyclopedia. 1979. http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/ typology diunduh tgl 27 Januari 2010.
Hartshorn. TA. 1992. Interpreting the City, an Urban Geography. New York: John Wiley & Sons. Kleniewski, N. 2006. Cities, Change and Conflict: A Poltitical Economy of Urban Life. USA: 3rd Thomson Wadworth Belmont, CA. Lozano, E.E. 1990. Community Design and the Culture of Cities, the Crossroad and the Wall. New York: Cambridge University Press. Marshall, G. 1994. The Concise Oxford of Sociology. New York: Oxford University Press. Naimeh, R. Alireza, E. and Zienab, R. 2008. The Principle of Housing Typology in Renewal of Detereorated Fabrics. Faculty of Architecture University College of Fine Arts. University of Teheran. 2nd International Conference on Built Environment in Developing countries (ICBEDC 2008). Pacione, M. 2001. Urban Geography a Global Perspective. London: Routledge. Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum Pusdata. 2008. Buku Induk Statistik Pekerjaan Umum (BIS PU). Pusat Pengolahan Data Sekretariat Jenderal Departemen Pekerjaan Umum. Scheer, B.C. 1998. Typology and Urban Design Guidelines: Preserving the City Without Dictating Design dalam buku Rethinking XIX Century City. Petruccioli., A (eds). Cambridge, Massachusettes: Aga Khan Programme for Islamic Architecture. Tim Bappenas. 2007. Summary Report Millennium Development Goals Indonesia Bappenas. Jakarta: Ministry for National Development Planning / National Development Planning Agency. UNFA. 2007. Peering into the Dawn of an Urban Millenium. United Nations Population Fund, Online Report, Stateof World Population (UNFA), www.unfpa.org/swp/2007/ diunduh tanggal 17Desember 2009. Zarmawis Ismail. 2006. Penanggulangan Kemiskinan Masyarakat Perkampungan Kumuh di Yogyakarta: Kasus Kelurahan Keparakan. Jakarta: Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
123
Studi Peluang Penghematan… (Wahyu Sujatmiko)
STUDI PELUANG PENGHEMATAN PEMAKAIAN ENERGI PADA GEDUNG SEKRETARIAT JENDERAL PEKERJAAN UMUM Wahyu Sujatmiko Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan-KabupatenBandung 40393 Email:
[email protected] Diterima: 23 Juni 2010; Disetujui: 06 Oktober 2010
Abstrak Gedung lama seperti Gedung Sekretariat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum yang telah berusia lebih 25 tahun perlu dikaji tingkat efisiensi penggunaaan energinya. Terkait dengan tujuan tersebut, studi peluang penghematan energi pada Gedung Sekjen-PU telah dilakukan dengan mengkaji selubung bangunan (OTTV dan RTTV), Intensitas Konsumsi Energi (IKE), profil energi, tingkat pencahayaan, kondisi termal ruangan dan persepsi termal penghuni. Hasil studi memperlihatkan bahwa OTTV 21,71 W/m 2, RTTV 7,31 W/m2, IKE 154,815 kWh/m2/tahun (12,9 kWh/m2/bulan), faktor daya 0,922, berarti kategori efisien, akan tetapi fasa tidak seimbang sehingga terjadi arus netral yang cukup besar, konsentasi CO 2 rendah, yakni 762,5 ppm, tetapi rata-rata temperatur dan kelembaban tinggi, yakni 26,3 oC dan 61,3%, berarti terdapat kebocoran energi. Rentang rata-rata tingkat pencahayaan 98-147 lux, berarti di bawah standar 250 lux. Penghuni merasakan bahwa kondisi ruangan lebih rendah dari netral, tidak seluruh penghuni menerima kondisi ini dan cenderung ingin kondisi temperatur lebih rendah. Dengan demikian direkomendasikan untuk melakukan penghematan dengan perbaikan tingkat kebocoran pemakaian pengkondisian udara dan meningkatkan tingkat pencahayaan saat ini. Kata Kunci: Bangunan perkantoran, konservasi energi, IKE, OTTV, RTTV, kesan termal, Gedung Sekjen-PU Abstract Old buildings like the General Secretary of Ministry of Public Works building, which has been aged over 25 years, are needed to examine the level of efficiency in the use of energy. Related to this goal, studies on energy saving opportunities in the General Secretary of Ministry of Public Works building has been done by reviewing building envelope (OTTV and RTTV), Energy Consumption Intensity (IKE), energy profile, the level of lighting, thermal conditions of the room and occupant thermal perception. Results of studies show that OTTV is 21.71 W/m2, RTTV is 7.31 W/m2, IKE is 154.815 kWh/m2/year (12.9 kWh/m2/month), power factor is 0.922, which means all efficient, but phase currents are not balanced so there is neutral currents, CO2 concentration is relatively low, i.e 762.5 ppm, but the average temperature and humidity are high, i.e 26.3 oC and 61.3% respectively, thus there is the possibility of energy leakage. The range of average level of illumination is 98-147 lux, which means far below the standard, i.e 250 lux. The occcupants feel that the room condition is cooler than neutral, not all occupants receive this condition and tend to the lower temperature conditions. Thus recommended to make savings by improving the level of leakage of air conditioning usage and improve the current level of lighting. Keywords: Office building, energy conservation, IKE, OTTV, RTTV, thermal perception, General Secretary of Ministry of Public Works Building
PENDAHULUAN Mulai tahun 2010, berdasarkan ketentuan UU No. 28 tentang Bangunan Gedung, bangunan perkantoran harus memiliki sertifikat laik fungsi (SLF), dengan salah satu persyaratannya adalah hemat energi dan nyaman. Terkait dengan SLF tersebut, perlu dilakukan audit energi pada Gedung Sekretariat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum yang telah berusia lebih dari 25 tahun untuk mencari peluang penghematan energi dan untuk mengetahui respon kenyamanan termal penghuni. Audit energi dilakukan untuk menghitung besarnya konsumsi energi pada bangunan gedung 124
dan mengenali cara-cara untuk penghematannya (SNI 03-6196-2000). Kegiatan audit energi berkaitan dengan upaya konservasi energi, yakni upaya mengefisienkan pemakaian energi agar pemborosan energi dapat dihindarkan (SNI 036196-2000). Penulisan karya tulis ini dimaksudkan untuk mengetahui peluang penghematan pemakaian energi listrik dan mengetahui tingkat kenyamanan termal penghuni Gedung Sekretariat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum.
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 124-131
TINJAUAN TEORITIS Salah satu ukuran hemat tidaknya suatu bangunan dalam memakai energi adalah Intensitas Konsumsi Energi (IKE). IKE adalah besaran yang menyatakan tingkat konsumsi energi per satuan luas lantai bangunan gedung. Satuan IKE adalah kWh/m2/tahun atau dapat juga dihitung perbulan kWh/m2/bulan. Kriteria IKE menurut Dirjen LPE diberikan pada tabel 1 dan menurut ASEAN Data Base Office 1990 diberikan pada tabel 2 (Nugroho, dkk, 2007). IKE maksimum menurut Lomba Gedung Hemat Energi 2006 untuk kantor adalah 200 kWh/m2/tahun (Nugroho, dkk, 2007). Tabel 1 Standar Kriteria IKE Menurut Dirjen LPE 2 IKE (kWh/m /bln) Kriteria 4,17 – 7,92 Sangat efisien 7,92 – 12,08 Efisien 12,08 – 14,58 Cukup efisien 14,58 – 19,17 Agak boros 19,17 – 23,75 Boros 23,75 –37,5 Sangat boros Sumber : Nugroho, dkk, 2007
Tabel 2 Standar Kriteria IKE Menurut ASEAN 2 IKE (kWh/m /tahun) Kriteria 340 ± 5% Energy Intensive 240 ± 5% Base Case 180 ± 5% Energy Standard 145 ± 5% Energy Efficient Sumber : Nugroho, dkk, 2007
Pemakaian energi dalam suatu bangunan perkantoran di daerah tropis sekitar 60% untuk pengkondisian udara (Nugroho, dkk, 2007). Beban pengkondisian udara dipengaruhi oleh beban eksternal (yakni radiasi matahari) dan beban internal (yakni penghuni, pencahayaan dan peralatan). Beban eksternal dapat dikurangi dengan mendesain selubung bangunan yang hemat energi. Pada standar selubung bangunan Indonesia (SNI 03-6389-2000) ditetapkan nilai maksimum OTTV (Overall Thermal Transfer Value) dan RTTV (Roof Thermal Transfer Value) maksimal sebesar 45 W/m2. OTTV dengan satuan W/m2 dihitung memakai persamaan (SNI 03-6389-2000):
Uf T
= transmitansi termal fenestrasi (W/m2.K). = beda temperatur perencanaan (diambil 5K)
RTTV dengan satuan W/m2 dihitung memakai persamaan (SNI 03-6389-2000): RTTV = .(A r
x U r x TD Ek ) (A s x U s x T) (A s x SC x SF) (2) A0
dengan: α = absorbtansi radiasi matahari Ar = luas atap yang tak tembus cahaya (m2) As = luas skylight (m2) Ao = luas total atap = Ar + As (m2) Ur = transmitansi termal atap tak tembus cahaya (W/m2.K) TDEk = beda temperatur ekuivalen (K) SC = koefisien peneduh dari sistem fenestrasi SF = faktor radiasi matahari (W/m2) Us = transmitansi termal fenestrasi (skylight) (W/m2.K) T = beda temperatur perencanaan (5 K) Untuk pencahayaan, Gedung Sekjen selaku gedung perkantoran harus memiliki tingkat pencahayaan 250 lux (SNI 03-6197-2000). Besar temperatur ruangan bangunan pemerintah untuk penghematan energi menurut Inpres No. 10 Tahun 2010 adalah temperatur bola kering (Tdb) 25 oC. Sedangkan kadar CO2 ruangan untuk menghasilkan pertukaran udara yang hemat 15 cfm (cycle per minute) menurut standar ASHRAE adalah 700 ppm di atas kadar CO2 luar bangunan (ASHRAE 61.1, 2007). Persepsi atau kesan kenyamanan termal penghuni bangunan dapat digali dengan pertanyaan tentang kenetralan termal (diberi kode KusA1), keterterimaan termal (kode KusA2) dan preferensi termal (kode KusA3) (Sujatmiko, W., dkk, 2008) sebagai berikut: (KusA1) Mohon Saudara beri tanda (V) pada skala di bawah ini yang menggambarkan kesan termal Saudara terhadap ruangan ini: (Jika diinginkan boleh memberi tanda di antara dua skala)
OTTV = [(UW x (1- WWR)] x TDEk + (SC x WWR x SF) I________I________I________I_________I________I________I -3 -2 -1 0 1 2 3 + (Uf x WWR x T)(1) Dingin
dengan: = absorbtansi radiasi matahari UW = transmitansi termal dinding tak tembus cahaya (Watt/m2.Kelvin, disingkat 2 W/m .K) WWR = perbandingan luas jendela dengan luas seluruh dinding luar TDEk = beda temperatur ekuivalen (K) SF = faktor radiasi matahari (Watt/m2 2 disingkat W/m ) SC = koefisien peneduh dari sistem penestrasi.
Sejuk Agak Sejuk Netral Agak Hangat Hangat Panas
(KusA2) Menurut Saudara, kondisi termal ruangan ini sudah sesuai/ cocok dengan kondisi tubuh Saudara? 1. Ya (dapat diterima/ sudah sesuai) 2. Tidak (tidak dapat diterima/ tidak sesuai)
(KusA3) Silahkan pilih lingkaran di bawah ini sesuai dengan yang Saudara harapkan saat ini: Saya ingin ruangan ini menjadi: 1. lebih sejuk, 2. tidak berubah / tetap, 3. lebih hangat
125
Studi Peluang Penghematan… (Wahyu Sujatmiko)
METODE PENELITIAN Objek penelitian berupa Gedung Sekretariat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum yang terdiri dari 85 ruangan dalam 1 basement dan 4 lantai, terletak di kompleks Kementerian Pekerjaan Umum Jalan Pattimura 20 Jakarta Selatan sebagaimana tertera pada gambar 1. Penelitian dilaksanakan bulan April – Mei 2009. Pertamatama dilakukan pengamatan selubung bangunan, dihitung tingkat hemat selubung dengan menghitung nilai OTTV menggunaan persamaan 1 dan RTTV dengan persamaan 2. Kemudian dilakukan perhitungan IKE menggunakan data rekening listrik yang diperoleh dari pengelola bangunan dan membagi terhadap luasan lantai yang dikondisikan (menggunakan mesin pendingin/ mesin pengkondisian udara) 10.637,5 m2. Selanjutnya pengukuran profil pemakaian energi dengan HIOKI Power Meter pada 4 panel listrik bergantian, masing-masing panel 7 hari dalam seminggu siang malam. Panel listrik induk Gedung Sekjen adalah: Panel 1:220 V memasok listrik lantai II dan VIP lantai 1-2-3, Panel 2: 220 V memasok listrik lantai 1, Panel 3:110 V memasok
listrik lantai 3 & 4 dan Panel 4:110 V memasok lift dan basement. Kemudian dilakukan pengukuran kondisi termal ruangan (temperatur Tdb, temperatur radian Tglobe dan kelembaban RH menggunakan alat ukur “Questemp”), tingkat pencahayaan dengan lux meter “Lestem” pada titik ukur bidang kerja (0,75 m dari lantai) tepat di bawah lampu (disebut Lux tinggi) dan tidak tepat atau jauh dari lampu (disebut Lux rendah), kadar CO2 ruangan dengan “Testo” (tiap ruangan satu titik ukur) dan kesan termal penghuni menggunakan kuesioner kenetralan termal (KusA1), preferensi termal (KusA2) dan keterterimaan termal (KusA3). Responden dipilih satu orang yang bersedia mengisi kuesioner untuk tiap ruangan yang ada penghuninya saat pengukuran berlangsung. Diperoleh data 76 responden dari 670 karyawan yang hadir dengan jumlah karyawan keseluruhan terdata 744 orang.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perhitungan OTTV dilakukan dengan menggunakan persamaan 1 dengan dihitung bertahap.
Up
Up
Up
(b)
(a)
17 m
142,8 m
(c)
Gambar 1 Gedung Sekretariat Jenderal PU (a) Lokasi Dalam “Google Earth” (Tanda Garis Merah Putus-Putus), (b) Selubung Bangunan dan (c) Denah Lantai Tipikal (Hasil Analisis)
Pertama menghitung konduksi panas melalui dinding (tabel 3), kemudian menghitung konduksi panas melalui kaca (tabel 4) dan transmitansi panas melalui kaca (tabel 5). Dengan menjumlah total aliran panas dan total luasan, diperoleh OTTV selubung sebesar 21,71 W/m2. Adapun perhitungan RTTV menggunakan persamaan 2 dengan memakai data-data berikut: luas atap Ar 2803,15 m2, tranmitansi termal bahan atap Ur 0,5 W/m2.K, α beton ekspos 0,61 dan TDek24, diperoleh hasil RTTV sebesar 7,31 W/m2.
126
Dengan demikian hasil perhitungan OTTV dan RTTV tersebut memenuhi ketentuan maksimal 45 W/m2. Dengan demikian menurut SNI 03-63892000 bangunan Gedung Sekjen PU tergolong berselubung hemat energi. Selanjutnya pada gambar 2 disampaikan data rekening pemakaian listrik (kWh) untuk perhitungan IKE. Pada gambar 2.a ditampilkan rekening bulan April 2006 – Desember 2007. Terlihat pemakaian listrik berfluktuatif seiring aktifitas penghuni, dimana menurut hasil
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 124-131
wawancara dengan pengelola, pemakaian listrik bulan Januari 2007 tertinggi karena pada bulan tersebut penghuni banyak kerja lembur untuk menyelesaikan Laporan APBN 2006. Total pemakaian listrik setahun pada tahun 2007 adalah 1.646.851,2 kWh, sehingga diperoleh IKE pertahun 154,815 kWh/m2/tahun dan IKE perbulan 12,9 kWh/m2/bulan untuk luasan bangunan yang dikondisikan. Hasil ini menurut Standar Dirjen LPE (tabel 1) cukup efisien dan menurut ASEAN (tabel 2) tergolong kategori energi standar. Pada gambar 2.b ditampilkan rekening bulan Januari – April 2009. Terlihat rata-rata pemakaian listrik tiap bulan lebih rendah, yakni 103.428,00 kWh, sehingga diperoleh IKE perbulan 9,7 kWh/m2/bulan. Apabila dibandingkan dengan IKE perbulan tahun 2007, terlihat terjadi penurunan IKE yang cukup besar 25% dibandingkan IKE tahun 2007. Menurut pihak pengelola gedung, selama tahun 2008 terjadi langkah-langkah penghematan dengan pengurangan jumlah lampu dan pembatasan waktu lembur. Selanjutnya dianalisis profil pemakaian energi 24 jam selama satu minggu pada keempat panel pasokan listrik PLN. Grafik hasil pengukuran ditampilkan satu saja, yakni hasil pengukuran panel 1 seperti tertera pada gambar 3. Perbandingan data keempat panel disampaikan pada tabel 6. Hasil pengukuran keempat panel memperlihatkan adanya karakteristik yang sama, yakni terdapat ketidakseimbangan fasa R-S-T, beban utama terjadi pada hari kerja Senin – Jumat dengan beban puncak pada rentang pukul 11 – 14
dan faktor daya naik turun mengikuti besar arus pemakaian dengan nilai rata-rata 0,922. Pada tabel 7 disampaikan data perbandingan pemakaian listrik untuk hari libur (hari Jumat jam 21.00 – sampai Senin jam 06.00). Terlihat faktor daya yang relatif sama dengan pemakaian hari biasa dan pada hari libur pemakaian listrik tetap ada, mencapai 14,07%. Berdasarkan data tabel 6, dapat dihitung penurunan daya untuk penghematan listrik. Dari tabel 6 terlihat bahwa beban puncak maksimal 345,14 kVA. Sedangkan daya terpasang yang terbaca pada rekening PLN adalah 630 kVA, jadi beban puncak saat pengukuran sekitar 55% dari daya terpasang. Biaya beban per kVA adalah Rp. 23.800. Jadi tiap bulan pengelola Gedung Sekjen PU harus membayar Rp. 23.800 x 630 = Rp.14.994.000. Dapat dipertimbangkan di sini kemungkinan penurunan daya terpasang. Seandainya daya terpasang diturunkan menjadi sekitar Rp. 23.800 x 400 = Rp. 9.520.000. Jadi terdapat penghematan sebesar Rp. 14.994.000 – Rp. 9.520.000 = Rp. 5.474.000,- tiap bulan. Namun, pengurangan daya perlu mempertimbangkan hal berikut; dari data rekening 2006 – 2007 terlihat bulan pemakaian energi terbesar adalah Desember – Januari dan Agustus – September. Sedangkan pada survei ini pengukuran dilakukan bulan April – Mei. Dengan demikian bukan dilakukan pada bulan-bulan dengan kecenderungan terbesar pemakaian, sehingga hasil ini perlu mempertimbangkan kecenderungan tersebut.
Tabel 3 Perhitungan OTTV-Konduksi Panas Melalui Dinding Tembok Arah
Bahan
Utara
dinding bata
Selatan Barat Timur Jumlah
dinding dinding dinding roster dinding dinding
2
SC
U
α
626
12
2.71
0.6
12215,10
1276,56 2033,65 75,1 319,4 255,52 4586.19
12 12 12 12 12
2.71 2.71 2.71 2.71 2.71
0.6 0.6 0.6 0.6 0.6
24908,23 39680,59 1464,87 6231,65 4985,32 89485.74
Luas (m )
Hasil kali (W)
Sumber: Hasil Analisis
Tabel 4 Perhitungan OTTV-Konduksi Panas Melalui Kaca Arah
Bahan
Utara Selatan
2
Luas (m )
SC
SF
CF
Barat
kaca bening 5 mm kaca bening 5 mm lubang roster dinding ventilasi
390,61 117,2 54,62 30,65
0.3 0.3 0.3 0.3
130 97 97 243
0.72 0.74 0.74 1.23
10968,32 2172,35 1616,67 2746,05
Timur
dinding ventilasi
24,52
0.3
112
1.23
1012,52
Jumlah
638.01
Hasil kali (W)
18867.37
Sumber: Hasil Analisis
127
Studi Peluang Penghematan… (Wahyu Sujatmiko)
Tabel 5 Perhitungan OTTV-Transmitansi Panas Melalui Kaca Arah Utara Selatan
Bahan kaca bening 5 mm kaca bening 5 mm lubang roster dinding ventilasi dinding ventilasi
Barat Timur
2
Luas (m ) 390,61 117,2 75,1 30,65 24,52
Jumlah
∆T 5 5 5 5 5
U(Ur) 5.93 5.93 5.93 5.93 5.93
Hasil kali (W) 11581,59 3474,99 2225,96 908,05 726,44
638.01
18917.00
Sumber: Hasil Analisis
(a)
Besar Pemakaian (kWh) x 10000
Besar konsumsi listrik (kWh) Gedung Sekjen PU Tahun 2009 10,9 10,7 10,5 10,3 10,1 9,9 9,7 9,5
Total kWh
Januari
Februari
Maret
April
Bulan
(b)
Gambar 2 Profil Tagihan Konsumsi Listrik (kWh) Gedung Utama Dep PU (a) April 2006 – Desember 2007, dan (b) Januari – April 2009 (Hasil Analisis)
(a)
128
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 124-131
(b)
(c)
Gambar 3 Profil (a) Besar Arus, (b) Faktor Daya dan (c) Besar Daya Hasil Pengukuran Panel 1 Gedung Sekjen PU (Hasil Analisis) Tabel 6 Perbandingan Hasil Pengukuran Pemakaian Listrik pada Ke-4 Panel Induk Daya Arus Daya Daya Semu Faktor Panel Semu Puncak (kVA) Daya Fasa R Fasa S Fasa T Tiga Fasa Aktif (kW) Reaktif (kVAr) Semu (kVA) (%) 1 535218 620022 784963 646734 389696 189341 439028 36,93 117,2 0,895 2
662337 408991 625741
565689
363809
995551
377632
31,76
103,3
0,961
3
649966 521798 427675
533146
190548
54305
199254
16,76
60,6
0,925
4
446865 451952 469699
456173
160701
61013
172971
14,55
64,0
0,905
1104754
1300210
1188885
100,00
345,14
0,922
Total Sumber : Hasil Analisis
Tabel 7 Perbandingan Hasil Pengukuran Pemakaian Listrik Hari Libur Panel
Daya semu hari libur (kVA)
Persentase Daya Semu
Faktor daya hari libur
Persentase pemakaian hari libur
1
53.271
31,85
0,886
12,13
2
55.518
33,19
0,964
14,70
3
40.072
23,96
0,914
20,11
4 Total
18.406 167.267
11,00 100,00
0.882 0,912
10,64 14,07
Sumber : Hasil Analisis
129
Studi Peluang Penghematan… (Wahyu Sujatmiko)
Tabel 8 Hasil Pengecekan Fasa R-S-T-N pada Panel Pembagi Tiap Lantai No
Panel Induk Asal
Lokasi Panel Pembagi
Hasil Pengukuran
Keterangan
1
Panel Bsm 110 V
Basement
R 31,04
S 61,97
T 75,24
N
2 3 4
Panel Lt 1 220 V Panel Lt 2 220 V Panel Lt 3 110 V
Lantai 1 Lantai 2 Lantai 3
68,71 87,65 91,80
101,70 100,99 80,80
154,68 141,10 79,00
76,97 136,21 0,00
Tidak ada N
5
Panel Lt 3 220 V
Lantai 3
49,08
76,37
49,07
65,74
Ground = 0.15 A
6 7
Panel Lt 4 110 V Panel Lt 4 220 V
Lantai 4 Lantai 4
181,10 52,90
193,70 17,80
192,40 66,70
11,53
Tidak ada N Panel kecil
Tidak ada N
Sumber : Hasil Analisis
Tabel 9 Total Persentase Rating Nominal Peralatan Terpasang Pemakaian Watt Peralatan kantor (komputer, printer, fotokopi, proyektor digital) 178.075 Peralatan lain-lain (TV, kulkas, dispenser, fan) 23.850 AC 357.000 Lampu 24.812 Total 583.737
Persentase 30,51 4,09 61,16 4,25 100,00
Sumber : Hasil Analisis
Tabel 10 Statistik Deskriptif Kondisi Termal Ruangan N Statistic Tdb 79 Tglobe 79 RH 79 CO2 75 Lux Rendah 75 Lux Tinggi 75 Ket. : Lux Rendah Lux Tinggi
Minimum Maximum Mean Statistic Statistic Statistic 24.80 27.90 26.3418 24.50 28.10 26.4722 44.00 86.00 61.3544 500.00 1604.00 762.8133 20.00 240.00 98.0800 25.00 320.00 147.7467 : titik ukur bidang kerja tidak di bawah lampu : titik ukur bidang kerja terdekat di bawah lampu
Std. Deviation Statistic .82113 .84807 8.06391 209.78037 47.29001 66.86091
Sumber : Hasil Analisis
N Statistic KusA1 KusA2 KusA3
76 76 76
Tabel 11 Statistik Deskriptif Kesan Termal Minimum Maximum Statistic Mean Statistic Statistic -3.00 3.00 -.5658 .00 2.00 1.2500 1.00 2.00 1.3947
Std. Deviation Statistic 1.47951 .46547 .49204
Sumber : Hasil Analisis
Selanjutnya pada tabel 8 disampaikan hasil pengukuran fasa R-S-T dan N pada panel pembagi lantai dan diperoleh adanya ketidakseimbangan fasa dan arus netral yang cukup besar. Arus netral perlu mendapat perhatian karena kabel netral umumnya berdiameter kecil sehingga cepat panas tidak dipasang saklar pengaman karena tidak dipersyaratkan PUIL 2000. Selanjutnya, pada tabel 9 disampaikan hasil pendataan peralatan, AC dan lampu yang dipergunakan pada seluruh ruangan yang ada. Terlihat dengan melihat rating nominal peralatan yang ada tanpa memperhitungkan lama waktu pemakaian (lama waktu pemakaian diasumsikan sama), diperoleh AC peringkat tertinggi, lalu peralatan kantor, peralatan lain-lain dan lampu.
130
Pada tabel 10 ditampilkan hasil statistik kondisi termal ruangan. Terlihat kondisi temperatur ruangan rata-rata Tdb dan Tglobe masing-masing 26,34 oC dan 26,47 oC atau hampir sama. Hal ini menandakan kondisi selubung bangunan yang relatif bagus dalam menahan panas radian. Sebagai perbandingan udara luar rata-rata Tdb 30,7 oC, Tglobe 33,39 oC dan RH 75,5% dan koridor tak dikondisikan Tdb 27,1 oC, Tglobe 27,5 oC dan RH 74,86%. Rata-rata Tdb ruangan di atas 25 oC memenuhi ketentuan penghematan energi. Selanjutnya, pada tabel 10 tertera nilai rata-rata CO2 ruangan sebesar 762,8 ppm dan RH 61,3%, jauh dari ketentuan ASHRAE 62.1-2000 yang mengizinkan untuk penghematan energi kadar CO2 ruangan hingga 700 ppm di atas udara luar. Kadar CO2 udara luar rata-rata 488,71 ppm, sehingga
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 124-131
kadar CO2 maksimal 1189 ppm masih bisa diterima. Kadar CO2 rendah, padahal Tdb dan RH relatif tinggi, hal ini diduga akibat jendela yang dibiarkan terbuka ketika mesin AC menyala dan lubang-lubang pada dinding yang tidak tertutup rapat. Tercatat 25 ruangan (berarti 29,4%) yang terbuka saat pengukuran padahal mesin AC sedang dijalankan. Pada tabel 10 hasil pengukuran tingkat pencahayaan menunjukkan hasil rata-rata 98 – 147,7 lux, berarti jauh di bawah ketentuan standar 250 lux5. Dengan demikian langkah konservasi yang telah dilaksanakan pengelola dengan mematikan sebagian lampu dipandang tidak tepat, tidak sesuai dengan tujuan konservasi, yang diharapkan dapat menghasilkan bangunan hemat tanpa mengesampingkan aspek kenyamanan, baik termal maupun visual. Pada tabel 11 tertera rata-rata statistik KusA1 dari 76 responden adalah -0,57 berarti antara pilihan agak hangat dan hangat. Dengan demikian kondisi ruangan dirasakan penghuni lebih sejuk dari netral. Untuk KusA2 diperoleh rata-rata 1,25 berarti responden memilih antara menerima dan tidak menerima, yang berarti tidak semua menerima kondisi ruangan. Sedangkan KusA3 diperoleh rata-rata 1,39 yang berarti antara tidak berubah dan ingin lebih sejuk, berarti cenderung ingin kondisi bertemperatur lebih rendah dan hasil korelasi menunjukkan bahwa antara KusA1 dan KusA2 berkorelasi positif 0,589 dan antara KusA1 dan KusA3 negatif -0,468.
KESIMPULAN Selubung bangunan Gedung Sekjen PU termasuk selubung hemat energi (OTTV 21,71 W/m2 dan RTTV 7,31 W/m2), IKE 154,815 kWh/m2/tahun (12,9 kWh/m2/bulan) tergolong cukup efisien dan termasuk kategori energi standar, faktor daya bagus 0,922 tapi terdapat ketidakseimbangan fasa R-S-T sehingga terukur arus netral yang cukup besar, daya terpakai sekitar 55% daya terpasang, hari libur ada pemakaian listrik 14,10%, pencahayaan 98-147 lux (di bawah standar 250 lux), ada kebocoran udara(kadar CO2 rendah 762,5 ppm, rata-rata temperatur dan kelembaban tinggi 26,3oC dan 61,3%. Ruangan dirasakan sebagian penghuni lebih dingin dari netral, tapi tidak semua menerima kondisi ini dan ingin temperatur lebih rendah.
Dengan demikian pemakaian listrik Gedung Sekjen-PU tergolong hemat, akan tetapi kondisi kenyamanan visual dan termal penghuni belum dipenuhi. Untuk memenuhi kondisi yang hemat tapi juga nyaman secara visual dan termal perlu dilakukan sejumlah langkah sebagai berikut : penurunan daya, pembenahan ketidakseimbangan fasa R-S-T, perbaikan tingkat penerangan dan perbaikan kebocoran energi pengkondisian udara.
SARAN Pada penelitian ini kenyamanan visual hanya dibandingkan antara data terukur dengan standar acuan, tetapi tidak mempertimbangkan kesan kenyamanan visual penghuni. Pada penelitian selanjutnya untuk melengkapi kuesioner kenyamanan termal perlu dimasukkan juga kuesioner kenyamanan visual.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis sampaikan kepada Fefen Suhendi, ST atas bantuannya selama pengukuran dan kepada Prof. Dr. Masno Ginting atas bimbingannya selama penulisan karya tulis ini saat Diklat Peneliti.
DAFTARPUSTAKA UU No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Dirjen Cipta Karya-PU. SNI 03-6196-2000 Prosedur Audit Energi pada Bangunan Gedung. BSN. Nugroho, dkk, 2007, Audit Energi Gedung Dirjen LPE. PPE-ITB. SNI 03-6389-2000 Konservasi Energi pada Selubung Bangunan. BSN. SNI 03-6197-2000 Konservasi Energi Sistem Pencahayaan. BSN. Sujatmiko, W, W. Hendradjit, dan Soegijanto, 2008, Menuju Penyusunan Standar Kenyamanan Adaptif di Indonesia, Prosiding Pertemuan Ilmiah Standardisasi (PPIS) 2008. BSN. Inpres No. 10 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi pada Bangunan Pemerintah. ASHRAE 62.1-2007, 2007, ASHRAE StandardVentilation for Acceptable Indoor Air Quality, Atlanta-USA. ASHRAE. BSN, 2000, Peraturan Umum Listrik Indonesia (PUIL).BSN.
131
Penelitian Pemanfaatan Lumpur Sidoarjo … (Lasino, Moch. Edi Nur, Dany Cahyadi)
PENELITIAN PEMANFAATAN LUMPUR SIDOARJO UNTUK BATA MERAH DAN GENTENG Lasino1, Moch. Edi Nur2, Dany Cahyadi3 Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan-Kabupaten Bandung 40393 Email:
[email protected],
[email protected],
[email protected] Diterima: 25 Januari 2010; Disetujui: 24 Agustus 2010
Abstrak Lumpur Sidoarjo (LUSI), merupakan bahan mineral yang dikeluarkan dari dalam bumi akibat kegagalan teknis dalam pengeboran (eksplorasi) migas yang terjadi di Porong Sidoarjo sejak tahun 2006. Bahan ini berbentuk butiran halus, berwarna abu-abu kehitaman, sangat plastis dan memiliki nilai susut kering yang tinggi. Unsur kimia yang terkandung didominasi oleh silika (> 50%), alumina (26%) dan beberapa unsur lain seperti besi, kalsium dan magnesium dengan jumlah yang relatif kecil. Dalam upaya pemanfaatannya, dicoba untuk dikembangkan sebagai bahan bangunan seperti bata merah dan genteng keramik melalui proses pembakaran sehingga diperoleh produk yang keras dan stabil. Karena sifat teknis dari bahan dasar yang kurang baik, maka untuk memperbaikinya perlu ditambahkan bahan penyetabil yang dalam penelitian ini menggunakan fly ash sebanyak 10 sampai 40% dari berat bahan. Proses pembentukan bata dan genteng dilakukan setelah bahan baku dicampur dengan air sampai menjadi adonan yang lembab dan dibentuk dengan menggunakan alat cetak. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa untuk pembuatan bata suhu bakar minimum adalah 800 oC dan untuk pembuatan genteng harus mencapai suhu bakar 1000 oC dengan waktu sintering selama 3 jam menghasilkan bata merah dan genteng yang kedap dan kuat. Dengan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lumpur tersebut dapat dikembangkan sebagai bahan bangunan keramik seperti bata merah dan genteng dengan menambahkan abu batubara. Kata Kunci: Lumpur Sidoarjo, fly ash, bahan bangunan keramik, bata merah, genteng keramik
Abstract Mud of Sidoarjo (LUSI)/ representing mineral material that is produced from within the earth as an effect of technical failure in oil & gas drilling (exploration) in Porong Sidoarjo since 2006. In general, the shape of this materials is very fine particle, grey-black colour, very plastic and have high value of dry shrinkage. The chemical composition contained in the mud is dominated by silica (> 50%), alumina (26%), and small amount of some other elements such as iron, calcium and magnesium. In the effort of utilizing this materials it has been tried to develop to be an red brick and roof tile ceramic through combustion process to obtaine a good and stabile product. Repairement of mud basic nature is done by adding stabilizing materials where in this research is conducted by using fly ash with the amount of 10 to 40% by weight of total materials. The forming process of granular materials is conducted after raw material is mixed with water until the mixture become soft and wet which further was formed by using brick and tile molding. The research result has obtained that minimum combustion temperature for making red brick reached at 800 and for roof tile at 1000 oC with 3 hours of burning time, which produced of red brick and roof tile with good performance, hard and stabile. The result indicated that the materials of mud Sidoarjo can be developed for ceramic building materials such as red brick and roof tile with fly ash as a substitution materials. Keywords: Mud of Sidoarjo, fly ash, ceramic base material, red brick, roof tile
PENDAHULUAN Peristiwa semburan lumpur panas di Porong Sidoarjo yang sampai saat ini belum dapat ditanggulangi terus menambah penderitaan bagi masyarakat yang terkena dampak secara langsung di daerah tersebut. Kondisi ini diperparah dengan jatuhnya musim hujan yang menambah volume air dalam waduk sehingga meluber dan memacu meluasnya genangan lumpur ke permukiman penduduk. Akibat dari kejadian tersebut telah
132
menyebabkan berbagai dampak, baik sosial, ekonomi (stagnasi usaha), gangguan transportasi dan sebagainya. Dalam tahap penanggulangan lumpur tersebut memang telah dibentuk tim nasional guna mengendalikan luapan lumpur dan mengurangi terjadinya korban jiwa, harta benda dan rusaknya lingkungan yang lebih luas, namun kekhawatiran terhadap dampak tersebut tidak dapat dihilangkan.
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 132-138
Selanjutnya untuk jangka panjang, dalam upaya pemanfaatan mineral serta mendukung kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan perlu dikembangkan pemanfataan lumpur tersebut sebagai bahan bangunan. Berdasarkan sifat-sifat dasar yang dimiliki serta hasil uji coba yang telah dilakukan ternyata lumpur tersebut setelah ditambah dengan fly ash dapat dikembangkan menjadi bata merah dan genteng keramik melalui proses pembakaran dengan hasil yang cukup baik, keras, stabil dan memiliki bobot lebih ringan dibanding dengan produk pada umumnya. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sifat teknis bahan baku khususnya sebagai bahan dasar dalam pembuatan bata dan genteng. Dengan demikian dalam pengembangannya dapat diberikan suatu perlakuan yang tepat untuk menghasilkan produk yang baik dan memenuhi syarat baik dari aspek proporsi bahan tambahan (substitusi), optimalisasi suhu bakar dan waktu pembakaran yang diperlukan. Lingkup penelitian meliputi analisis bahan baku/ lumpur (sifat kimia, fisik dan mekanik), uji coba pembakaran skala laboratorium dari berbagai proporsi bahan tambahan (fly ash), serta pengujian mutu bata dan genteng yang dihasilkan. Melalui serangkaian penelitian tersebut, maka akan diperoleh suatu produk yang memenuhi persyaratan teknis dengan proporsi campuran dan suhu bakar yang optimum.
KAJIAN PUSTAKA Tanah/ Lempung Tanah/ lempung adalah akumulasi partikel mineral yang ikatan antar partikelnya lemah, yang terbentuk karena pelapukan dari batuan. Ikatan lemah tersebut disebabkan oleh pengaruh karbonat/ oksida yang tersenyawa diantara partikel atau adanya bahan organik. Pembentukan tanah dapat disebabkan oleh pengaruh fisik atau kimiawi. Bahan yang berbutir < 0,002 mm disebut lempung. Pelapukan dapat menyebabkan terjadinya tanah primer (terdapat ditempat terjadinya disintegrasi) dan tanah sekunder (tanah mengalami transportasi). Beberapa klasifikasi tanah/ lempung yang digunakan dalam industri bahan bangunan seperti: a. Berdasarkan sifat fisiknya (lempung marl, lempung merah, lempung loams, batu lempung dll.) b. Berdasarkan mineralnya (lempung kaolinit, halloysit, illit, montmorilonit, kaolonithalloysit) c. Berdasarkan distribusi butirannya, lempung tersusun 3 fraksi yaitu fraksi 20-2 mikron,
lebih besar dari 20 mikron dan lebih kecil dari 2 mikron d. Berdasarkan komposisi kimianya, tanah liat tersusun dari oksida-oksida sebagai berikut : SiO2 : 50 – 70% Al2O3 : 10 – 35% Fe2O3 : 2 – 8% TiO2 : 0,1 – 2% CaO : 0,5 – 15% MgO : 0,2 – 5% SO3 : 0 – 0,5% HP : 3 – 12% e. Spesifikasi tanah liat sebagai bahan bangunan keramik disajikan dalam Tabel 1. 1) Berdasarkan partikel butiran : Tabel 1 Ukuran Partikel Tanah Liat Ukuran (mm) Persentase (%) > 1,0
0–3
> 0,20
0 – 20
> 0,09
8 - 25
> 0,06
10 -30
> 0,02
15 - 45
> 0,002
20 - 65
< 0,002
15 – 50
Sumber : Suripto, Teknologi Bahan Bangunan dari Tanah Liat, Bandung 1995
Untuk mendapatkan gambaran tanah yang cocok sebagai bahan baku untuk jenis bahan bangunan (Suripto, 1995), dapat dikelompokkan berdasarkan distribusi butirannya sebagai berikut : Tabel 2 Fraksi Butir yang Cocok untuk Produk yang Sesuai Jenis produk Fraksi butiran < 2 mikron, min (% ) < 20 mikron, min (% )
Bata pejal
Genteng
20 24 28 50 59 60
25 30 45 50
Block dinding 25 35 45 35 32 25
Sumber : Suripto, Teknologi Bahan Bangunan dari Tanah Liat, Bandung 1995
2) Berdasarkan plastisitasnya Batas plastisitas (PL) adalah menunjukkan jumlah air tertentu yang ditambahkan dimana massa lempung air tidak dapat mempertahankan bentuk setelah dikenai tekanan. Batas cair (LL) adalah dimana lempung air tidak dapat mempertahankan plastisitasnya karena mulai mengalir.
133
Penelitian Pemanfaatan Lumpur Sidoarjo … (Lasino, Moch. Edi Nur, Dany Cahyadi)
Indeks plastisitas (IP) adalah selisih kadar air antara batas cair dengan batas plastis (dari percobaan Atterberg). IP IP IP IP
= < 10%, = 10 – 20%, = 20 – 30% = > 30%,
lempung tidak plastis lempung agak plastis lempung plastis lempung sangat plastis.
3) Berdasarkan kepekaan terhadap pengeringan/ DSe). Berdasarkan nilai kepekaan terhadap pengeringan/ DSE (Suripto, 1995), yang mana teori didasarkan pada hubungan antara kadar air setelah dikeringkan sampai penyusutan berhenti. Setelah digambarkan, akan diperoleh 2 (dua) daerah yaitu sebelah atas garis kadar air kritis disebut daerah bahaya dan sebelah bawah garis kadar air kritis disebut daerah aman. Kemudian dihitung nilai kepekaan terhadap pengeringan/ Dse yaitu : Dse = < 1, tidak peka terhadap pengeringan, Dse = 1 – 2, peka terhadap pengeringan Dse = > 2, sangat peka terhadap pengeringan Nilai Dse > 2, biasanya tidak disarankan, karena akan menimbulkan kesulitan pada proses pengeringan. Selanjutnya bila dilihat dari nilai susut keringnya adalah sebagai berikut : < 6%, tidak peka terhadap pengeringan, 6 – 10%, peka terhadap pengeringan, > 10%, sangat peka terhadap pengeringan. Variasi besarnya penyusutan bergantung pada teknologi yang digunakan serta geometri barang yang dibuat. - pembentukan cara cor (casting) : susut > 10% - pembentukan cara masa kering, setengah kering : susut 6% - pembentukan cara massa plastis keras, plastis lunak susut 6–10% 4) Berdasarkan kekuatan kering (green strength) Contoh uji tanah kering harus mempunyai kuat lentur > 10 kg/cm2. Bata Merah Bata merah pejal untuk pasangan dinding adalah bahan bangunan yang berbentuk prisma segi empat panjang, pejal atau berlubang dengan volume lubang maksimum 15%, dan digunakan untuk konstruksi dinding bangunan, yang dibuat dari tanah liat dengan atau tanpa dicampur bahan aditif dan dibakar pada suhu tertentu. Bentuk standar bata merah adalah prisma segi empat panjang, bersudut siku-siku dan tajam,
134
permukaannya rata dan tidak menampakkan adanya retak-retak yang merugikan. Ukuran standar bata merah seperti pada Tabel 3 berikut : Tabel 3 Ukuran Bata Merah Pejal Standar Modul
Ukuran, mm Tinggi
Lebar
Panjang
M – 5ª
65± 2
90± 3
190± 4
M – 5b
65± 2
100± 3
190± 4
M – 6a
52 ± 2
110± 4
230± 5
M – 6b
55 ± 3
110± 6
230± 5
M – 6c
70 ± 3
110± 6
230± 5
M – 6d
80 ± 3
110± 6
230± 5
Sumber : SNI 15-2094-2000 Bata Merah Pejal untuk Pasangan Dinding
Bata merah pejal harus mempunyai kekuatan tekan yaitu kuat tekan rata-rata yang diperoleh dari hasil pengujian 30 buah contoh, berikut koefisien variasinya untuk masing-masing kelas bata, seperti ditentukan pada Tabel 4. Bata merah pejal tidak boleh mengandung garam yang dapat larut sedemikian banyaknya sehingga pengkristalan dapat mengakibatkan lebih dari 50% permukaan bata tertutup tebal oleh bercak-bercak putih. Tabel 4 Kuat Tekan Rata-rata dan Koefisien Variasi yang Diizinkan Kelas Mutu
Kekuatan tekan rata-rata kg f/cm
2
N/mm
2
Koefisien variasi maks,%
50
50
5
22
100
100
10
15
150
150
15
15
Sumber : SNI 15-2094-2000 Bata Merah Pejal untuk Pasangan Dinding
Genteng Keramik Genteng keramik adalah suatu unsur bangunan yang berfungsi sebagai penutup atap dan yang dibuat dari tanah liat dengan atau tanpa dicampur dengan bahan lain, dibakar sampai suhu yang cukup tinggi, sehingga tidak hancur apabila direndam dalam air. Definisi ini mencakup genteng lengkung cekung, genteng lengkung rata dan genteng rata tidak berglasir atau tidak diberi lapisan engobe. Genteng keramik menurut syarat-syarat mutu (pandangan luar, ketepatan ukuran, ketepatan bentuk, ketepatan terhadap perembesan air dan
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 132-138
kekuatan menahan beban lentur) dibagi dalam 3 (tiga) tingkat mutu: • Tingkat mutu I • Tingkat mutu II • Tingkat mutu III • Tingkat mutu IV • Tingkat mutu V Syarat Mutu Pandangan luar, ketepatan bentuk dan kekuatan lentur dari genteng keramik sesuai Tabel 5. Tabel 5 Syarat Mutu Genteng Keramik Tingkat Mutu
Beban lentur, kg 2
I
minimum 110
rata 150
II
90
120
III
60
80
IV
35
50
V
25
30
Syarat fisik Warna rata, bunyi nyaring Kerapatan baik
Sumber : SNI 03-2095-1991 Genteng Keramik
Bila diuji penyimpangan bentuk genteng keramik rata–rata maksimum 3%. Genteng keramik untuk semua tingkat mutu harus tahan terhadap perembesan air. Pada pengujian perembesan air, air tidak boleh menetes dari bagian bawah genteng dalam waktu kurang dari 2 jam.
METODOLOGI Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental, dengan melakukan percobaan di laboratorium dari berbagai variabel dan benda uji. Percobaan laboratorium dimaksudkan untuk mengetahui sifat-sifat dasar bahan tanah/ lumpur untuk bahan baku bata dan genteng yang akan dikembangkan. Selanjutnya hasil yang diperoleh dibandingkan dengan persyaratan teknis (spesifikasi) yang berlaku untuk mengetahui jenis produk yang memenuhi syarat dan layak dikembangkan. Uraian kegiatan laboratorium ini meliputi : 1) Pemeriksaan Sifat-sifat Dasar Tanah/ Lumpur Pemeriksaan sifat-sifat dasar tanah liat/ lumpur yang dimaksudkan untuk mengetahui sifat-sifat fisik, mekanis dan kimia, sebelum dikembangkan lebih lanjut. 2) Rancangan Percobaan Percobaan pembuatan bata dan genteng dibagi menjadi 2 (dua) tahap, yaitu pertama pemberian bahan tambahan dengan berbagai variabel untuk mendapatkan kadar optimal berdasarkan karakteristik produk yang dihasilkan, kedua adalah uji bakar untuk mendapatkan suhu sintering dimana bata dan
genteng sudah mencapai tingkat kematangan yang baik, stabil dan tidak rapuh. Selanjutnya secara rinci rancangan percobaan dapat diuraikan dalam Tabel 6. Tabel 6 Variasi Kadar LBB Proporsi Suhu bakar No. campuran (%) Keterangan o ( C) Lusi LBB 1
90
10
2
80
20
3
70
30
4
60
40
800 s.d 1000
Kadar LBB untuk 800 s.d 1000 pembuatan bata 10-30%, 800 s.d 1000 dan untuk pembuatan genteng 20 – 40% 800 s.d 1000
Sumber : Rancangan Penelitian
3) Rangkaian Kegiatan Kegiatan ini akan dilaksanakan dengan rangkaian sebagai berikut : • Persiapan bahan baku (pengeringan, pengcrusher-an, pengayakan). • Pengujian bahan baku : a. Analisa fisik b. Analisa kimia • Pembuatan benda uji bata dan genteng dengan berbagai proporsi campuran seperti tercantum dalam Tabel 7. Tabel 7 Proporsi Campuran Bata dan Genteng Bata merah Lumpur Limbah No. Sidoarjo Batubara (lusi) (Lbb) 1 90% 10%
Genteng keramik Lumpur Limbah Sidoarjo Batubara (lusi) (Lbb) 80% 20%
2
80%
20%
70%
30%
3
70%
30%
60%
40%
Sumber : Rancangan Penelitian
• Pembakaran benda uji dengan suhu 800°C, dan 1000°C • Pengujian benda uji : - Kuat tekan - Beban lentur - Perembesan air - Penyerapan air - Berat Jenis - Section rate - Sifat-sifat fisik lainnya
HASIL PENELITIAN Hasil Pengujian Lumpur 1. Pengujian sifat fisik-mekanik dari lumpur disajikan dalam Tabel 8. 2. Hasil analisis kimia dari lumpur disajikan dalam Tabel 9. Hasil Pengujian Produk Pembakaran/ Keramik 1. Hasil pengujian kuat lentur dan kuat tekan contoh uji keramik. 135
Penelitian Pemanfaatan Lumpur Sidoarjo … (Lasino, Moch. Edi Nur, Dany Cahyadi)
Benda uji dari hasil pembakaran pada suhu 800 s.d 1000 oC dari berbagai variabel campuran, berbentuk balok ukuran 15 x 2,5 x 2,5 cm untuk uji kuat lentur dan kubus ukuran 2,5 x 2,5 x 2,5 cm untuk uji kuat tekan, hasil pengujian disajikan pada Tabel 10. Tabel 8 Hasil Pengujian Sifat Fisik-Mekanik Lumpur No.
Uraian uji
1
Plastisitas Batas cair (LL),% Batas plastis (PL),% Indeks plastis (IP),% Klasifikasi
2
3
4
5 6 7 8
Berat isi basah, 3 g/cm Berat isi kering, 3 g/cm Besar butir, > 2 mm,% > 0,02 mm,% 0,02-0,002 mm,% < 0,002 mm,% Nilai DSe, Susut kering,% Susut bakar,% Kuat lentur kering, 2 kg/cm
Hasil uji
Syarat
Ket.
< 30,00
Sangat plastis
65,50 28,10 37,40
CH
2.
Hasil pengujian bata merah Benda uji merupakan hasil pembakaran dengan tungku bakar pada suhu 800 s.d 1000 oC dengan waktu pijar (sintering) selama 3 jam. Sesuai dengan persyaratan mutu yang ditetapkan, pengujian bata merah meliputi ukuran, kuat tekan, section rate, penyerapan air dan berat jenis. Rangkuman hasil pengujian disajikan dalam Tabel 11 dan Tabel 12.
1,79
1,12
0,00 22,00 36,00 52,00 1,09
Peka thd pengeringan Peka thd pengeringan
7,10 0,72 11,20
> 10,00
Cukup baik
Tabel 9 Hasil Analisis Kimia Lumpur No. 1
Uraian uji/unsur SiO2, .................. %
Hasil uji 52,79
Syarat 50 – 70
2
Al2O3 ................. %
26,35
10 – 35
3
Fe2O3,................ %
8,51
2–8
4
CaO, .................. %
1,97
0,5 – 15
5
MgO, ................. %
2,53
0,2 – 5
6
K2O,................... %
2,86
-
7
Na2O3, ............... %
2,08
-
8
SO3, ................... %
0,98
0 - 0,5
9
HP, .................... %
1,92
3 - 12
136
Sumber : Hasil Penelitian
Lanau plastisitas tinggi
Sumber : Hasil Penelitian
Sumber : Hasil Penelitian
Tabel 10 Hasil Pengujian Kuat Tekan dan Kuat Lentur Suhu Kuat lentur, Kuat tekan, No Lusi: LBB o 2 2 bakar, C kg/cm kg/cm 1 100 : 0 800 7,4 61,84 2 100 : 0 900 7,8 64,26 3 100 : 0 1000 8,7 72,62 4 90 : 10 800 7,6 65,81 5 90 : 10 900 8,2 71,93 6 90 : 10 1000 8,9 80,56 7 80 : 20 800 8,6 85,84 8 80 : 20 900 9,7 94,92 9 80 : 20 1000 11,4 108,61 10 70 : 30 800 11,8 82,74 11 70 : 30 900 13,4 90,12 12 70 : 30 1000 15,8 98,56
Tabel 11 Hasil Pengujian Sifat Fisik Bata Merah Hasil uji Hasil uji Hasil uji No. Uraian uji Kadar LBB Kadar LBB Kadar LBB 10% 20% 30% Berat jenis, 1 1,53 1,49 1,40 gr/cc Penyerapan 2 24,34 26,74 30,02 air,% 3 Kadar air,% 0,57 1,03 1,33 Section rate, 4 12,7 13,5 15,2 2 gr/cm /mnt Sumber : Hasil Penelitian
Tabel 12 Hasil Pengujian Sifat Mekanis Bata Merah Luas Kuat tekan 2 Kode bidang Berat Beban (kg/cm ) No. sampel tekan (gram) (kg) 2 2 Masing Rata 2 (cm ) 1 (90:10) 90,25 1.698,8 4000 44,32 43,21 2 (90:10) 90,25 1.799,2 3800 42,10 3 (90:10) 90,25 1.945,6 3900 43,21 1 2 3
(80:20) (80:20) (80:20)
90,25 90,25 90,25
1.622,1 4400 1.763,8 4300 1.744,6 4300
48,75 47,64 47,64
52,01
1 2 3
(70:30) (70:30) (70:30)
90,25 90,25 90,25
2.149,6 2850 1.749,6 2860 1.873,3 2790
31,02 31,69 30,91
38,21
Sumber : Hasil Penelitian
3. Hasil pengujian genteng keramik Sesuai dengan persyaratan mutu yang ditetapkan, pengujian genteng keramik
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 132-138
meliputi sifat fisik dan mekanik atau beban lenturnya. Rangkuman hasil pengujian disajikan dalam Tabel 13. Tabel 13 Hasil Pengujian Genteng Keramik Beban Perembesan Penyerapan Kode No. lentur, air air, (%) kgf A 1 40,2 (80 : 20) 2 38,9 3 37,6 4 39,4 5 36,8 6 37,5 Rata-rata 38,4 tdk rembes 8,24 B (70 : 30)
1
56,8
2 3 4 5 6
58,2 54,7 55,4 57,1 55,0 56,2
Rata-rata C (60 : 40)
1
23,6
2 3 4 5 6
26,1 28,4 22,7 24,6 29,4 25,8
Rata-rata
tdk rembes
rembes
12,36
21,29
Sumber : Hasil Penelitian
PEMBAHASAN Sifat Fisik Lumpur Sidoarjo (LUSI) Secara fisik, lumpur Sidoarjo sangat halus, plastis dan memiliki penyusutan yang tinggi, kondisi ini menyebabkan hasil yang diperoleh dalam produksi agregat akan mengalami kerusakan baik dalam tahap pengeringan maupun pembakaran sehingga tidak memenuhi persyaratan. Oleh karena itu perlu bahan tambahan sebagai penyetabil dari bahan yang memiliki kadar silika tinggi misalnya fly ash untuk mendapatkan produk yang stabil, kuat dan presisi. Sifat Kimia Kandungan kimia dalam lumpur didominasi oleh silika, alumina dan besi dengan jumlah lebih dari 87% sehingga sangat baik digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan bahan bangunan keramik, walaupun tetap harus melihat terhadap sifat-sifat teknis lainnya. Uji Coba Bakar Semakin besar kandungan limbah batubara (LBB) dalam campuran menghasilkan produk yang semakin ringan, hal ini disebabkan abu batubara
yang memiliki berat jenis yang relatif rendah dibanding tanah liat serta terjadinya rongga dalam komponen setelah dibakar karena abu batubara tersebut masih banyak mengandung karbon yang dapat terbakar dan menjadi rongga. Dalam uji coba bakar dengan berbagai variasi bahan tambahan (LBB) dan suhu bakar diperoleh data bahwa suhu bakar optimum untuk pembuatan bata merah adalah 800 oC sedangkan untuk genteng keramik 900 oC dan agregat adalah 1000 oC, hal ini dikarenakan karakteristik fisik yang berbeda dari produk yang dihasilkan sehingga memerlukan titik leleh (sintering) yang berbeda pula dengan kadar LBB 30%. Dari uji coba ini terlihat bahwa semakin tinggi kadar LBB dan suhu bakar semakin tinggi pula kekuatannya, hal ini disebabkan bahwa pemberian bahan tambahan tersebut memberikan kontribusi kestabilan fisik, kimia dan sifat sintering dari bahan tersebut. Indikasi perubahan sifat fisik ini dapat terlihat pula pada tahap pengeringan dan setelah dibakar, yang mana lumpur asli banyak mengalami retak dan pecah setelah mengering dan dibakar sedangkan contoh uji yang diberi bahan tambahan antara 20 s.d 30% cukup stabil, keras dan memiliki kekuatan yang lebih tinggi. Uji Bata Merah Hasil pengujian bata merah memberikan nilai kuat tekan yang cukup baik dengan sifat fisik (berat jenis, penyerapan air, section rate) dan performance bata yang sangat bagus dan dapat memenuhi persyaratan untuk dinding non struktural atau digunakan untuk rumah sederhana. Hal ini dikarenakan oleh sifat-sifat bahan baku yang cukup baik (sifat fisik dan unsur kimia) setelah dilakukan pencampuran dengan LBB, serta proses pembentukan sampai pembakaran yang memenuhi prosedur baku pembuatan bahan keramik. Untuk pengembangan bata merah kadar abu batubara optimum diperoleh pada komposisi 20% dari berat tanah/ lumpur dengan kekuatan tekan rata-rata sebesar 52 kg/cm2 dan dapat dikategorikan masuk ke kelas 50, kondisi ini juga didukung dengan unsur kimia yang ada setelah dicampur yang menjadi lebih proporsional terutama unsur silika meningkat dibanding sebelum dicampur. Uji Genteng Keramik Sedangkan pembuatan genteng kadar abu batubara optimum diperoleh pada komposisi 30% dari berat tanah/ lumpur dengan beban lentur rata-rata sebesar 56,2 kg dengan perembesan yang cukup baik dan ringan dan dapat dikategorikan masuk ke kelas mutu IV, genteng ini dapat digunakan untuk
137
Penelitian Pemanfaatan Lumpur Sidoarjo … (Lasino, Moch. Edi Nur, Dany Cahyadi)
rumah sederhana dengan konstruksi/ struktur ringan. Demikian pula halnya untuk pembuatan genteng, pada kadar abu batubara 20% dan 40%, memiliki beban lentur yang lebih rendah, hal ini disebabkan pada proporsi tersebut memiliki penyusutan dan kadar rongga yang belum seimbang sehingga kekuatannya tidak optimal.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Lumpur Sidoarjo (LUSI) dapat dikembangkan sebagai bahan bangunan keramik khususnya bata merah dan genteng. Karena lumpur tersebut sangat halus dan memiliki sifat kepekaan pengeringan serta nilai susut yang tinggi, maka diperlukan bahan tambahan berupa fly ash/ abu batubara atau pasir silica untuk meningkatkan kekuatan dan stabilitasnya. Semakin besar kandungan abu batubara (fly ash) dalam campuran menghasilkan produk yang semakin ringan, hal ini disebabkan abu batubara yang memiliki berat jenis yang relatif rendah dibanding tanah liat serta terjadinya rongga dalam komponen setelah dibakar karena abu batubara tersebut masih banyak mengandung karbon yang dapat terbakar dan menjadi rongga. Untuk pembuatan bata merah, suhu bakar optimum dapat dicapai pada 800 oC, dengan waktu sintering selama 3 jam dan penambahan LBB 20% dimana dapat menghasilkan mutu bata yang kuat ringan serta dapat memenuhi syarat mutu kelas 50. Sedangkan untuk pembuatan genteng suhu bakar optimum dapat dicapai pada temperatur 1000 oC, dengan waktu sintering 3 jam dan penambahan LBB 30% dimana dapat menghasilkan mutu genteng yang cukup baik,
138
ringan, kedap air dan dapat memenuhi syarat mutu kelas IV. Rekomendasi Untuk pengembangan bata dan genteng skala produksi perlu disesuaikan dengan pola penanganan lumpur di lapangan, untuk menjaga keselamatan kerja dan keamanan lingkungan serta mendapatkan hasil endapan yang cukup baik sehingga mudah dalam penanganan dan pengolahannya. Bila akan didirikan unit produksi sebaiknya berlokasi disekitar bencana untuk memudahkan dalam penyediaan bahan sekaligus sebagai upaya dalam memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat. Kelayakan secara ekonomis dari unit usaha ini perlu dikaji lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA Craig FF, Budi Susilo. S. 1995. Mekanika Tanah, edisi keempat. Jakarta: Penerbit Erlangga. Fanani Hamzah, dkk. 1995. Laboratorium Teknologi Keramik. Bandung: Balai Besar Industri Keramik. Lasino, 2007. Penelitian Pemanfaatan Lumpur Sidoarjo untuk Agregat Buatan. Bandung. Lasino, dkk. 1997. Buku Pegangan Kuliah Pusdiktek: Pengetahuan Bahan di Bidang Sarana dan Prasarana ke-PU-an. Bandung. Randing. 1997. Penelitian Tanah Liat dari Lahan Gambut untuk Bahan Bangunan. Bandung. Suripto, MA. 1995. Teknologi Bahan Bangunan dari Tanah Liat. Bandung: Balai Besar Industri Keramik. Watson, DA. 1972. Construction Materials and Processes. Mc Graw Hill Book Company. -------. SNI 15-2094-2000. Bata Merah Pejal untuk Pasangan Dinding. -------. SNI 03-2095-1991. Genteng Keramik.
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 139-146
KAJIAN KETERSEDIAAN AIR TAWAR UNTUK AIR BAKU DI PULAU KECIL Studi Kasus : Pulau Miangas Sarbidi Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan-Kabupaten Bandung 40393 Email:
[email protected] Diterima: 11 Januari 2010; Disetujui: 27 September 2010
Abstrak Pulau Miangas adalah salah suatu pulau kecil di Indonesia mempunyai luas 3,15 km2. Pulau umumnya untuk permukiman, kebun kelapa, kebun campuran, hutan, rawa dan pantai. Suhu maksimum 35 C dan minimum 20C. Curah hujan antara 1581 mm – 4313 mm. Tahun 2005 berpenduduk 645 jiwa diproyeksikan menjadi 872 jiwa pada tahun 2030. Sumber air tawar untuk air bersih sangat terbatas. Tulisan menyajikan air tawar untuk air baku. Kajian mencakup identifikasi permasalahan, pengumpulan data klimatogi dan curah hujan dari stasiun hujan terdekat. Evapotranspirasi dianalisis dengan rumus Penman, debit andalan dan debit rata-rata menggunakan metode Dr. F.J. Mock. Kajian menyimpulkan Pulau Miangas mempunyai kemampuan kecil dalam menyimpan cadangan air tawar, evapotranspirasi sangat mempengaruhi fluktuasi potensi air, debit andalan 80% setengah bulanan maksimum 4,31 m3/dt, minimum 0,06 m3/dt dan rata–rata 0,1955 m3/dt serta debit rata-ratanya maksimum 0,529 m3/dt, minimum 0,076 m3/dt dan rata-ratanya 0,258 m3/dt, trend ketersediaan debit air tawar terus menurun menghadapi kebutuhan air bersih yang terus meningkat hingga tahun 2030, potensi air yang tersedia hanya mampu memenuhi kebutuhan air baku untuk air bersih. Untuk menjaga kelestarian potensi air disarankan agar melestarikan kawasan hutan untuk konservasi air, mengolah air laut untuk kebutuhan air baku non domestik dan melibatkan masyarakat mengelola sumber daya air. Kata Kunci: Klimatologi, curah hujan, evapotranspirasi, potensi air, air baku, konservasi
Abstract Miangas Island is one of small island in Indonesia has the 3.15 km 2. Island generally used the settlement, coconut, mix planting, bush, swamp and coastal area. Maximum temperature is 35 C minimum is 20C. Rain intensity is 1.581 mm to 4.313 mm. It has 645 people predicted is 875 in year of 2030. Freshwater sources are limited. Article explains freshwater potential is for domestic raw water. Research involves the identification, collecting data climatology and rainfall. Evapotranspiration analyzed with Penman, reliability rate used Dr. F.J. Mock method. Research concludes island has low capacity in water storing; evapotranspiration influences the fluctuation of potential water; 80% reliability rate of a half month was maximum 4.31 m 3/sec, minimum 0.06 m3/sec, average was 0.1955 m3/sec; the average rate was maximum 0.529 m3/sec, minimum 0.076 m3/sec, average was 0.258 m3/sec; the trend of raw water potential decleans to faces the water demand lifts until 2030; existing water potential only able to fulfill the clean water demand. To save the potential water resources is suggested to preserve the forest area to be the water conservation; treats the sea water is to services the non domestic water demand and involves the local community in managing the water resources. Keywords: Climatology, rainfall, evapotranspiration, water potential, raw water, conservation
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia terdiri dari 17.508 pulau, besar maupun kecil (diantaranya 5.000 pulau bernama dan berpenghuni) dengan luas wilayah 2,02 juta kilometer persegi serta 2/3 nya berupa lautan. Sebagian besar pula merupakan pulau kecil dan jumlahnya tersebar dari Sabang hingga Merauke. Pulau-pulau kecil memiliki arti penting dari sisi politik, sosial, ekonomi, budaya dan pertahanan
keamanan Indonesia. Sebagian besar pulau-pulau kecil ini terletak di wilayah Timur Indonesia. Pulau kecil adalah puIau dengan luas kurang dari atau sama dengan 2000 km2 (Undang-Undang RI No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air) atau pulau yang mempunyai lebar kurang dari 10 km (IHE-UNESCO, 1999). Pulau-pulau kecil didefinisikan berdasarkan dua kriteria utama yaitu luasan pulau dan jumlah penduduk yang menghuninya. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 Tahun 2000 Jo Keputusan Menteri Kelautan dan 139
Kajian Ketersediaan Air… (Sarbidi)
Perikanan No. 67 Tahun 2002, definisi pulau kecil adalah pulau yang berukuran kurang dari atau sama dengan 10.000 km2 dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 200.000 jiwa.
timbul pertanyaan : Berapa besar cadangan ketersedian air baku yang ada ? Apa saja kegiatan yang seyogyanya dilakukan untuk menjaga kelestarian sumber daya air tersebut ?
Secara ekologis, pulau-pulau kecil terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insular. Pulau kecil mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi, tidak mampu mempengaruhi hidroklimat. Dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulaupulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya. Dari segi luas wilayah, pulau kecil memiliki daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil, sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut. Padahal air merupakan kebutuhan dasar manusia untuk mendukung pengembangan sosial, ekonomi dan budaya masyarakatnya.
Rumusan Masalah Analisis ketersediaan air untuk mengetahui potensi sumber air, bagi pulau yang memiliki daerah tangkapan air kecil, seperti kasus Pulau Miangas dengan luas hanya sekitar 3,15 km2 perlu dikaji secara baik, sehingga dapat dibuat rencana pengembangan kebutuhan air baku, air tawar yang tepat untuk keperluan pulau kecil tersebut.
Pulau-pulau terkecil terluar ada 92 pulau, dimana 67 pulau diantaranya berbatasan langsung dengan 10 negara tetangga, antara lain yang terletak paling utara, yaitu Pulau Miangas di Kabupaten Talaud Propinsi Sulawesi Utara berbatasan dengan Filipina. Posisi Pulau Miangas sangat strategis bagi keutuhan wilayah Republik Indonesia bagian utara. Karena posisinya tersebut maka Pulau Miangas ditetapkan sebagai wilayah khusus yang dikenal dengan “checkpoint border crossing area”. Dalam Peraturan Presiden RI No. 78 Tahun 2005 telah ditetapkan 5 (lima) bidang kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecil, yaitu : 1. Sumber daya alam dan lingkungan hidup 2. Infrastruktur dan perhubungan 3. Pembinaan wilayah 4. Pertahanan dan keamanan 5. Ekonomi, sosial dan budaya Pembangunan pulau-pulau kecil, selain dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya dan pemerataan kemajuan di seluruh wilayah nasional, juga untuk menjaga eksistensi, keutuhan wilayah dan pengamanan kekayaan sumber daya alam yang ada di dalamnya. Pembangunan pulau kecil sebagaimana yang diamanatkan dalam peraturan presiden di atas, antara lain membutuhkan dukungan ketersediaan daya air yang cukup, khususnya ketersedian air baku. Kasus penelitian atau kajian ditetapkan di Pulau Miangas, karena luas Pulau Miangas hanya sekitar 3,15 km2. Sehingga daerah tangkapan air (catchment area) relatif sangat kecil. Dengan keberadaan luas pulau yang kecil tersebut maka
140
Perencanaan kebutuhan air baku yang bijaksana sangat tergantung ketersediaan data-data hidrologi dan data meteorologi. Data hidrologi dan meteorologi/klimatologi akan dijadikan dasar untuk menganalisis ketersediaan air dan potensi air, serta perencanaan suplai air baku untuk air minum, pertanian dan sebagainya. Permasalahannya, seberapa besar potensi, ketersediaan dan rencana pengembangan air baku di Pulau Miangas. Tulisan ini difokuskan pada pembahasan hasil-hasil kajian mengenai neraca ketersediaan air di Pulau Miangas. Data dan informasi diambil dari survei investigasi dan desain air baku pulau-pulau kecil (Pulau Miangas, Pulau Karatung, Pulau Marampit dan lain-lain) dari Ditjen Sumber Daya Air tahun 2005.
METODOLOGI Identifikasi Masalah Permukiman di kawasan Pulau Miangas, sangat rentan rawan air akibat luas daerah tangkapan air hujan yang kecil dan sumber air baku terbatas. Identifikasi terhadap potensi air berguna untuk merencanakan jumlah dan keperluan air baku bagi masyarakat, yang mampu terlayani dengan potensi yang ada. Data dan studi hidrologi digunakan untuk menganalisis seberapa besar potensi sumber air dan dapat digunakan untuk keperluan air baku bagi masyarakat setempat. Ada bermacam metode yang dapat dipakai dalam menganalisis potensi air (debit andalan). Pada tulisan ini menggunakan metode yang dikembangkan oleh DR. F.J. Mock sebagai acuan dasar dalam perhitungan keseimbangan air yang ada. Curah hujan rata-rata bulanan daerah tangkapan air dihitung dari data pengukuran curah hujan stasiun hujan Naha dan Beo. Analisis evapotranspirasi menggunakan rumus Penman.
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 139-146
Gambar 1 Letak Pulau Miangas (Laporan Survei Tahun 2006)
METODE PELAKSANAAN
KAJIAN PUSTAKA
Pelaksanaan kajian dibagi dalam tiga kegiatan, yaitu identifikasi ketersediaan dan potensi air baku, pengumpulan data sekunder (kajian pustaka) dan data primer (data hujan tahunan dari stasiun hujan serta iklim dari kantor meteorologi setempat).
Pulau Miangas Secara administratif Pulau Miangas termasuk bagian wilayah dari Kecamatan Nanusa Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. Secara geografis Pulau Miangas terletak 60 – 40 Lintang Utara dan 128 – 130 Bujur Timur. Pulau Miangas mempunyai luas sekitar 3,15 km2 (tim survei, 2006). Gambaran tentang bentang alam Pulau Miangas ditampilkan pada Gambar 1.
Pengumpulan Data Sekunder Data sekunder dikumpulkan dari berbagai hasil studi yang pernah dilaksanakan oleh institusi berwenang dan data pustaka lainnya, antara lain: peta Pulau Miangas, standar kebutuhan air bersih untuk kebutuhan dasar manusia (human basic need) di pedesaan. Pengumpulan Data Primer Data primer adalah hujan 12 tahunan, yaitu data hujan dari stasiun Naha dan Beo. Dan data iklim dari kantor meteorologi terdekat. Pengolahan Data Data hujan diolah dengan metode DR. F.J. Mock (Ditjen. Sumber Daya Air 2005, hal 4-4) dan data evapotranspirasi menggunakan Rumus Penman (Wangsadipura, Muljana 2003, hal IV-13). Pembahasan Data yang telah diolah diatas akan dibahas dengan statistik deskriptif data runtut waktu. Hasil yang akan didapatkan adalah kondisi potensi air dan kebutuhan air tawar untuk air baku di pulau-pulau kecil, khususnya kasus Pulau Miangas.
Iklim di Pulau Miangas banyak dipengaruhi oleh iklim muson sehingga tergolong beriklim tropis dengan suhu rata-rata maksimum 35 dan minimum 20 C. Musim penghujan jatuh pada bulan Mei sampai Januari dengan rata-rata tertinggi pada bulan Desember sebesar 686 mm dengan jumlah hari hujan 28 hari, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan April sebesar 87 mm dengan jumlah hari hujan 10 hari. Musim kemarau jatuh pada bulan Februari sampai April. Kombinasi luas pulau, iklim, vegetasi lahan termasuk tata guna lahan menghasilkan potensi beberapa sumber air baku yaitu: mata air, air rawa/ danau berupa air payau, yang berasa agak asin. Di Pulau Miangas sudah ada sarana air bersih pemipaan yang dibangun oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sangihe Talaud (tim survei, 2006).
141
Kajian Ketersediaan Air… (Sarbidi)
Pada umumnya Pulau Miangas berupa dataran rendah, kecuali pada ujung sebelah Timur Laut terdapat dataran tinggi dan bukit dengan ketinggian antara 30 m sampai dengan 200 m dari permukaan laut. Kawasan bukit ditutup tanaman alang-alang, pohon atau kayu campuran dan semak belukar. Di tengah pulau terdapat rawa berupa cekungan dengan kedalaman mencapai 50 – 100 cm ditumbuhi oleh tanaman Galuga yang merupakan salah satu konsumsi bagi masyarakat. Bagian Utara-Timur terdapat bukit menyusuri pantai kurang lebih 2 kilometer, dimana dibagian Utara mulai landai. Bagian Selatan-Barat terdapat bangunan dermaga yang saat ini berfungsi sebagai tambatan kapalkapal yang bersandar. Pada bagian ini terdapat permukiman penduduk yang menjorok masuk ke tengah pulau. Bagian Barat-Utara merupakan batas Pulau Miangas yang mengarah ke batas wilayah terluar Republik Indonesia bagian Utara. Bagian Utara merupakan daerah yang perlu diamankan karena telah terjadi pergeseran garis pantai. Penggunaan lahan di Pulau Miangas, terdiri atas permukiman penduduk (berlokasi di sisi pantai sebelah Barat Daya), perkebunan kelapa (dominan), kebun campuran, hutan belukar, rawarawa dan wilayah pantai, dengan hamparan pasir putih di seluruh pantai. Pada bagian tengah pulau terdapat rawa-rawa yang banyak ditumbuhi tanaman jenis talas (galuga) dan sagu, yang merupakan makanan asli penduduk setempat. Penggunaan lahan secara lebih terperinci (Tata Ruang Kabupaten Talaud, 2005) diperkirakan sebagai berikut : a. Wilayah pantai sekitar 25,6 Ha (8%); b. Wilayah permukiman sekitar 19,2 Ha (6%); c. Wilayah kebun kelapa dan kebun campuran sekitar 217 Ha (68%); d. Wilayah rawa-rawa sekitar 44,8 Ha (14%); e. Wilayah hutan belukar sekitar 12,8 Ha (4%). Tahun 2005 berpenduduk 645 jiwa dan rumah 132 buah. Pulau Miangas merupakan pulau kecil terluar di wilayah Utara Indonesia. Jarak Miangas dengan kota kabupaten 185 mil, dengan kota kecamatan Nanusa 75 mil dan dengan Tibanban Filipina hanya 50 mil. Formula Analisis Ketersediaan Air Dalam menganalisis debit andalan (potensi air) dapat menggunakan metode debit rata-rata minimum, metode flow characteristic, basic year dan basic month dan simulasi DR. F.J. Mock. Metode DR. F.J. Mock lebih praktis, sehingga banyak 142
digunakan. Perhitungan yang dilakukan dengan metode DR. F.J. Mock didasarkan pada simulasi berbagai formula. Dalam perhitungan ketersediaan air kawasan, Direktorat Irigasi Departemen Pekerjaan Umum menetapkan bahwa : Data curah hujan yang digunakan adalah curah hujan harian atau bulanan rata-rata Harga faktor resesi K diambil = 60% Harga infiltrasi rate Ii = 0.40 dari curah hujan Storm run off R1 diambil 5% dari curah hujan untuk soil moisture yang defisit dan R untuk soil moisture maksimum Soil moisture maksimum diambil = 200 mm. Standar Kebutuhan Dasar Air Bersih Pedesaan Pulau kecil terutama Pulau Miangas merupakan daerah pedesaan. Oleh karena itu, layanan kebutuhan air bersih sesuai standar pedesaan, yakni diutamakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia (human basic need), yaitu 60 liter/orang/hari. Standar air bersih untuk kebutuhan dasar pada Tabel 1. Tabel 1 Standar Kebutuhan Dasar Air Bersih Daerah Pedesaan No. Uraian Satuan Kriteria 1. Sambungan Rumah (SR) L/org/hr 90 2.
Hidran Umum (HU)
L/org/hr
30
3.
Lingkup Pelayanan
%
60 – 100
4.
Perbandingan HU : SR
-
20:80 – 50:50
5.
%
5
%
15
-
1,5 x Qr
8.
Kebutuhan NonDomestik Kehilangan air akibat kebocoran Faktor puncak untuk hari maksimum Pelayanan SR
org/unit
10
9.
Pelayanan HU
org/unit
100
10.
Jam operasi
Jam/hr
12
11.
Aliran maksimum SR
L/hr
900
12.
Aliran maksimum HU
L/hr
3000
13.
Periode perencanaan
Tahun
10
6. 7.
Sumber : Pedoman Teknis Air Bersih Ibu Kota Kecamatan (IKK) Pedesaan, Tahun 1990. L = Liter; org = orang; hr = hari; Qr = debit rata-rata.
Proyeksi Penduduk Kebutuhan air pada suatu kawasan pedesaan atau perkotaan didasarkan pada besarnya jumlah penduduk, termasuk proyeksinya beberapa tahun mendatang, dikalikan dengan tingkat kebutuhan air per kapita. Proyeksi jumlah penduduk Pulau Miangas dihitung dengan formula statistik yang biasa digunakan untuk memprediksi populasi.
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 139-146
Dengan laju pertumbuhan penduduk Pulau Miangas sebesar 0,12. Proyeksi penduduk sampai tahun 2030, disajikan pada Tabel 2.
HASIL KAJIAN LAPANGAN Curah Hujan dan Klimatologi Data hidrologi dan klimatologi Pulau Miangas diperoleh dari stasiun Naha Tahuna dan Beo. Dari kedua stasiun diperoleh besarnya curah hujan harian, bulanan dan tahunan rata-rata berkisar antara 1581 – 4313 mm. Tabel 2 Proyeksi Penduduk Pulau Miangas Sampai Tahun 2030 Jumlah Penduduk No. Tahun (orang) 1. 2005 645 2. 2010 685 3. 2015 728 4. 2020 773 5. 2025 821 6. 2030 872 Sumber : Hasil Analisis
Pada umumnya musim hujan terjadi pada bulan Mei – November, sedangkan musim kemarau terjadi antara bulan Februari sampai April. Data curah hujan tahunan rata-rata ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3 Curah Hujan Maksimum Kawasan Hujan Harian Hujan Harian Maksimum Maksimum No. Tahun Stasiun Naha Stasiun Beo (mm) (mm) 1. 1991 0.00 143.00
Evapotranspirasi dan Potensi Air Potensi air kawasan Pulau Miangas dipengaruhi oleh evapotranspirasi. Analisis evapotranspirasi menggunakan metode Penman. Hasil analisis evapotranspirasi dengan metode Penman ditampilkan pada grafik Gambar 2. Potensi air adalah debit air minimum yang tersedia di suatu wilayah, yang kemungkinan terpenuhi, untuk keperluan tertentu. Debit minimum dianalisis atas dasar data pendekatan curah hujan. Potensi air untuk keperluan air baku ditentukan waktunya untuk setengah bulanan atau bulanan. Kajian ini menggunakan periode ulang setengah bulanan. Analisis potensi air menggunakan metode DR. F.J. Mock. Hasil analisis potensi air dengan metode DR. F.J. Mock ditampilkan pada grafik Gambar 3. Tabel 4 Data Klimatologi Kawasan Penyi Kec. Temnaran Tekanan Kelem Et0 Angin Bulan peratur Mata Udara baban (mm (km/hari hari (milibar) (%) ) (C) ) (%) Jan. 26.20 38.70 1011.66 84.0 174.40 3.90 Feb
26.60
40.80
1011.66
81.5
168.60 4.10
Maret
26.50
46.00
1011.63
84.0
176.70 4.30
Apr
27.00
55.40
1011.14
81.8
165.40 4.10
Mei
27.10
49.80
1011.12
81.4
159.90 3.90
Jun
26.70
52.80
1011.66
80.0
150.60 3.60
Jul
26.50
63.00
1012.16
79.3
159.10 3.70
2.
1992
90.00
288.00
Agst
26.60
63.40
1012.46
77.8
174.20 4.10
3.
1993
150.00
146.00
Sept
26.80
66.50
1012.68
76.8
181.40 4.30
4.
1994
172.00
191.00
Okt
27.10
49.70
1012.35
76.5
194.20 4.40
5.
1995
144.00
123.00
Nov
27.10
52.00
1011.50
77.8
182.30 4.10
6.
1996
250.00
102.00
Des
26.70
33.00
1011.88
81.2
181.30 3.90
7.
1997
128.00
128.00
Min
26.20
33.00
1011.12
76.5
150.60 3.60
8.
1998
95.00
172.00
Rata2
26.74
50.93
1011.83 80.18
172.51 4.03
9.
1999
164.00
102.00
Maks
27.10
66.50
1012.68 84.00
194.20 4.40
10.
2000
113.00
130.00
Sumber : Data BMG Stasiun Naha, 2004
11.
2001
205.00
123.00
12.
2002
0.00
132.00
Kebutuhan Air Baku Dari hasil survei dan wawancara dengan masyarakat Pulau Miangas pada tahun 2006 diketahui bahwa pada umumnya kebutuhan air hanya untuk air bersih domestik. Oleh karena itu dasar perhitungan kebutuhan air baku setempat berdasarkan kebutuhan air bersih tersebut. Hasil analisis kebutuhan air ditampilkan pada grafik Gambar 4.
Sumber : Stasiun Naha dan Beo
Data klimatologi yang didapat di stasiun Naha, yaitu temperatur, kelembaban relatif, lama penyinaran matahari, kecepatan angin dan nilai potensial evapotranspirasi yang ada ditampilkan pada Tabel 4.
143
Kajian Ketersediaan Air… (Sarbidi)
PEMBAHASAN Luas wilayah Pulau Miangas relatif kecil (± 3,15 km2), sehingga mempunyai kemampuan menyimpan cadangan air baku tawar yang relatif sedikit. Potensi air harus dilestarikan dengan menjaga kelestarian kawasan hutan, kebun, tanaman lain menjadi kawasan konservasi yang baik. Pada Gambar2, tercatat bahwa nilai evapotranspirasi yang terjadi di Pulau Miangas
mempunyai kecenderungan fluktuatif, naik bulan November (3,66 mm/hari), lalu turun hingga Desember, naik lagi hingga bulan April (3,99 mm/hari), lalu turun hingga Juni. Kemudian naik lagi hingga tertinggi pada bulan September (4,26 mm/hari), turun lagi hingga bulan Oktober (3,72 mm/hari), terus turun dan kembali ke bulan November tahun berikutnya. Demikian siklus itu berjalan secara alamiah. Evapotranspirasi rata-rata sepanjang tahun 3,678 mm/hari, minimimum 3,02 mm/hari dan maksimum 4,26 mm/hari.
Gambar 2 Evapotranspirasi Kawasan Pulau Miangas Setengah
Series1 Debit rata-rata
Series2 Debit andalan 80%
Gambar 3 Debit Andalan 80% dan Debit Rata-Rata Ketersediaan Air Kawasan Pulau Miangas (Hasil Analisis)
144
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 139-146
Gambar 4 Neraca Kebutuhan Air Kawasan Pulau Miangas (Hasil Analisis)
Pada Gambar 3, tercatat bahwa potensi air baku (debit andalan) yang ada di Pulau Miangas mempunyai kecenderungan fluktuatif. Debit andalan 80%, pada bulan Januari sebesar 4,31 m3/dt (maksimum), akhir Mei sebesar 0,098 m3/dt, Debit rata-rata, pada Januari sebesar 0,529 m3/dt (maksimum), akhir Mei sebesar 0,126 m3/dt, awal September 0,076 m3/dt (minimum) dan akhir Desember sebesar 0,412 m3/dt. Selanjutnya berkecenderungan naik kembali hingga Januari. Demikian siklus itu berjalan secara alamiah. Sedangkan debit rata-rata setengah bulanan sebesar 0,258 m3/dt. Pada bulan-bulan yang mana nilai evapotranspirasi mempunyai kecenderungan mengecil maka debit potensi air membesar (pada bulan Desember). Artinya secara alamiah cadangan air melimpah. Sebaliknya ketika nilai evapotranspirasi mempunyai kecenderungan membesar maka debit potensi air mengecil (pada bulan September). Artinya secara alamiah cadangan air menipis. Pada saat ini, di Pulau Miangas belum ada kebutuhan air untuk irigasi, pariwisata, hankam, dan lain-lain. Kebutuhan air hanya untuk memenuhi kebutuhan air bersih rumah tangga untuk layanan kebutuhan dasar, yaitu sebesar 60 liter/orang/hari. Pada Gambar 4, neraca air di Pulau Miangas antara tahun 2005 hingga 2030 memperlihatkan suatu kondisi kontradiktif, antara kapasitas sumber air yang ada, kapasitas air boleh dimanfaatkan terhadap kapasitas air yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat. Kapasitas air yang tersedia cenderung menurun dan kapasitas penggunaan berkecenderungan meningkat dari tahun ke tahun.
Dari kajian ini dapat diketahui bahwa cadangan air yang ada, masih dapat memenuhi kebutuhan air baku jika hanya untuk kebutuhan air bersih. Permasalahan krisis air tawar untuk air baku akan muncul, manakala Pulau Miangas dikembangkan untuk kegiatan lain, seperti kawasan pertanian, pariwisata, industri, hankam, dan lain-lain. Untuk memenuhi kebutuhan air baku non domestik tersebut harus dilakukan pengolahan air laut. Di Pulau Miangas terdapat lembaga adat, yang mengurus tata tertib masyarakat yang berkaitan dengan adat budaya turun temurun dan mempunyai kearifan lokal mengelola hutan dan/atau penebangan pohon dan pengaturan keseimbangan penduduk, seyogyanya dilibatkan dalam pengelolaan sumber daya air setempat, untuk dapat menjaga kelestarian sumber air.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan kajian curah hujan, klimatologi, bentang alam dan kebutuhan air bersih Pulau Miangas diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Luas wilayah Pulau Miangas relatif kecil, hanya ± 3,15 km2 mempunyai kemampuan yang kecil untuk menyimpan cadangan air tawar untuk air baku. 2. Evapotranspirasi di Pulau Miangas sangat mempengaruhi fluktuasi potensi air tawar, untuk air bersih rumah tangga. 3. Debit andalan 80% setengah bulanan, maksimum sekitar 4,31 m3/dt, minimum sekitar 0,06 m3/dt dan rata–rata sekitar 0,1955 m3/dt dan debit rata-ratanya maksimum sekitar 0,529 m3/dt, minimum sekitar 0.076 m3/dt dan rata-ratanya sekitar 0,258 m3/dt.
145
Kajian Ketersediaan Air… (Sarbidi)
4. Kapasitas air tawar untuk air baku yang tersedia terus menurun berhadapan dengan kebutuhan air yang terus meningkat hingga tahun 2030. 5. Potensi air tawar yang ada saat ini, hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan air baku untuk air bersih. Untuk memenuhi kebutuhan yang lain, seperti pariwisata, industri, hankam, dan lain-lain harus dilakukan pengolahan air laut. Saran Untuk menjaga kelestarian air tawar yang ada saat ini disarankan hal-hal sebagai berikut : 1. Melakukan dan menjaga kelestarian kawasan hutan, kebun dan tanaman lain dengan baik, agar menjadi kawasan konservasi air. 2. Melakukan pengolahan air laut untuk memenuhi kebutuhan air baku non domestik, terutama untuk keperluan kapasitas dalam jumlah yang besar. 3. Melibatkan masyarakat dalam mengelola sumber daya air melalui kearifan lokal dalam mengelola hutan dan/ atau penebangan hutan.
DAFTAR PUSTAKA Ditjen. Sumber Daya Air. eds 2005. Draft final report: SID Air Baku Pulau-Pulau Kecil di Perbatasan dengan Philipina (Pulau Miangas, Karatung, Marampit, Kakorotan, Mangumpang, Garat, Intata dan Pulau Mala. Satker Sementara Irigasi Sangihe Talaud dan Pulau Kecil Sulawesi Utara. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 Tahun 2000 Jo Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 67 Tahun 2002 tentang Pulau-pulau kecil. Linsley, Ray K., Kohler, Max A, and Paulhus, Joseph L. H, eds. 1996. Hidrologi untuk Insinyur, edisi3. Penerjemah Yandi Hermawan.Jakarta: Penerbit Erlangga. Mohammed, M Mohamed, and Al Mualla, Aysha A. eds 2010. Water Demand Forecasting in Umm Al-Quwain (UAE) using the IWR – MAIN Specify Forecasting Model. Journal of Water Resources
146
Management. Volume 1/1984 – volume 24/2010. ISSN 0920 – 4741 (print) 1573 – 1650 (online). Publish: Springer Netherlands. http://www.google.co.id. http://www.springer link.com Peraturan Presiden RI No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar. 28 Desember 2005. Retraubun, Alex S.W. dan Atmini, Sri. eds 2004. Profil Pulau-pulau Kecil Terluar di Indonesia (12 Pulau yang Membutuhkan Perhatian Khusus). Direktorat Pemberdayaan PulauPulau Kecil, Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan. Cetakan I. Tim Survei. Eds 2006. Laporan Survei: Kajian Pembangunan Prasarana dan Sarana PU Perkim Kawasan Pulau-pulau Kecil. Pulau Miangas Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud Propinsi Sulawesi Utara. Satker Puslitbang Permukiman. Bandung: April 2006. Undang-Undang RI No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Vasiliades, Lampros., Loukas, Athanasios, and Liberis. eds 2010. A Water Balance Derived Drougth Index for Pinios River Basisn. Journal of Water Resources Management. Volume 1/1984 – volume 24/2010. ISSN 0920 – 4741 (print) 1573 – 1650 (online). Publish: Springer Netherlands. http://www.google.co.id. http://www.springer link.com Wangsadipura, Muljana. Eds 2003. Applied Hydrology. Catatan Kuliah SI-664 Hidrologi Terapan. Bandung: Program Magister Profesional ITB. Zhang, Weihua., Wei, Chaofu, and Zhou. eds 2010. Optimal Allocation of Rainfall in the Sichuan Basin Southwest China. Journal of Water Resources Management. Volume 1/1984 – volume 24/2010. ISSN 0920 – 4741 (print) 1573 – 1650 (online). Publish: Springer Netherlands. http://www.google.co.id. http://www.springer link.com.
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 147-150
Abstrak UDC 624.159.14 Sud Sudrajat, Iwan p Perkembangan tipologi rumah vernakular dan responnya terhadap bahaya gempa, studi kasus : Desa Duku Ulu, Bengkulu/ Iwan Sudrajat, Sugeng Triyadi, Andi Harapan. --Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 3 November 2010.--Hal. 107 – 115.--Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2010. 48 hlm. : ilus.;25 cm Abstrak : hlm. 107 ISSN : 1907-4352 I. EARTHQUAKE 1.HOUSING 2. Judul Desa Duku Ulu, Bengkulu merupakan salah satu desa tua di Kabupaten Rejang Lebong yang sudah sering mengalami kejadian gempa yang menyebabkan banyak bangunan yang rusak. Uniknya terdapat beberapa bangunan vernakular khas daerah tersebut yang masih bertahan. Terdapat 5 tipologi bangunan vernakular di desa ini yang merupakan hasil perkembangan bangunan yang ada. Perubahan bentuk yang terjadi menunjukkan perkembangan bangunan rumah vernakular ke arah pengurangan terhadap respon gempa, yang dapat dilihat dari bentuk bangunan, sistem struktur bangunan, material yang digunakan, dan sistem konstruksi (sambungan). Kejadian gempa menyebabkan semakin buruknya respon bangunan terhadap resiko gempa. Tidak heran ketika gempa tahun 1979, 1997, dan 2000 banyak bangunan rumah vernakular tersebut yang rusak berat. Hilangnya kemampuan penduduk disebabkan oleh 3 faktor, yaitu : 1) semakin berkurangnya ahli (tukang) yang membangun bangunan, 2) susahnya mencari material kayu, 3) budaya instan yang ingin cepat membangun rumah Kata kunci : rumah vernakular, gempa, Desa Duku Ulu UDC 711.4 Suh Suhaeni, Heni t Tipologi kawasan perumahan dengan kepadatan penduduk tinggi dan penanganannya/ Heni Suhaeni.-Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 3 November 2010.--Hal. 116 – 123.--Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman 2010. 48 hlm. : ilus.;25 cm Abstrak : hlm. 116 ISSN : 1907-4352 I. URBAN PLANNING 1. TYPOLOGY 2. Judul Penyusunan sebuah klasifikasi secara sistematis dapat membantu dan mempermudah dalam menemukenali kondisi sebuah kawasan perumahan kumuh berdasarkan faktor penentu yang dominan agar dapat ditangani sesuai dengan masalah yang dihadapi. Dalam penelitian ini dilakukan identifikasi dan klasifikasi sistematis sehingga menghasilkan tipologi kawasan perumahan berdasarkan kondisi fisik, sosial dan ekonomi serta alternatif penanganannya. Kata kunci : tipologi, klasifikasi, kepadatan penduduk, kumuh, perkotaan, perumahan UDC 621.317.38 Suj Sujatmiko, Wahyu s Studi peluang penghematan pemakaian energi pada gedung Sekretariat Jenderal Pekerjaan Umum/ Wahyu Sujatmiko. --Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 3 November 2010.--Hal. 124 – 131.--Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman 2010. 48 hlm. : ilus.;25 cm Abstrak : hlm. 124 ISSN : 1907-4352 I. ENERGY 1. Judul Gedung lama seperti Gedung Sekretariat Jenderal Pekerjaan Umum yang telah berusia lebih dari 25 tahun perlu dikaji tingkat efisiensi penggunaan energinya. Hasil studi memperlihatkan bahwa OTTV 21,71 W/m², RTTV 7,31 W/m², IKE 154,815 kWh/ m²/tahun (12,9 kWh/ m²/bulan), faktor daya 0,922, berarti kategori efisien, akan tetapi fasa tidak seimbang sehingga terjadi arus netral yang cukup besar, konsentrasi CO2 rendah, yakni 762,5 ppm, tetapi rata-rata temperatur dan kelembaban tinggi, yakni 26,3ºC dan 61,3%, berarti terdapat kebocoran energi. Rentang rata-rata tingkat pencahayaan 98-147 lux, berarti di bawah standar 250 lux. Kata kunci : bangunan perkantoran, konservasi energi, IKE, OTTV, RTTV, kesan termal, Gedung Sekjen PU UDC 691.41 Las Lasino p Penelitian pemanfaatan lumpur Sidoarjo untuk bata merah dan genteng/ Lasino, Moch. Edi Nur, Dany Cahyadi. --Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 3 November 2010.--Hal. 132 – 138.--Bandung : Pusat Penelitian
147
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 147-150
dan Pengembangan Permukiman, 2010. 48 hlm. : ilus.;25 cm Abstrak : hlm. 132 ISSN : 1907-4352 I. MUD 1. MATERIAL 2. Judul Dalam upaya pemanfaatan lumpur Sidoarjo, dicoba untuk dikembangkan sebagai bahan bangunan seperti bata merah dan genteng keramik melalui proses pembakaran. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa untuk pembuatan bata suhu bakar minimum adalah 800ºC dan untuk pembuatan genteng harus mencapai suhu bakar 1000ºC dengan waktu sintering selama 3 jam menghasilkan bata merah dan genteng yang kedap dan kuat. Kata kunci : lumpur Sidoarjo, fly ash, bahan bangunan keramik, bata merah, genteng keramik UDC 628.1 Sar Sarbidi k Kajian ketersediaan air tawar untuk air baku di pulau kecil, studi kasus : Pulau Miangas/ Sarbidi.--Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 3 November 2010,--Hal. 139 – 146. – Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2010. 48 hlm. : ilus.;25 cm Abstrak : hlm. 139 ISSN : 1907-4352 I. WATER SUPPLY 1. FRESHWATER 2. Judul Pulau Miangas adalah pulau kecil yag mempunyai luas 3,15 km². Berdasarkan kajian bahwa Pulau Miangas mempunyai kemampuan kecil untuk menyimpan cadangan air tawar. Debit andalan 80% setengah bulanan maksimum 4,31 m³/dt, minimum 0,06 m³/dt dan debit rata-rata maksimum 0,529 m³/dt, minimum 0,076 m³/dt. Ketersediaan cadangan air tawar terus menurun menghadapi kebutuhan air bersih yang terus meningkat. Untuk menjaga kelestarian cadangan air harus menjaga kelestarian kawasan hutan, mengolah air laut untuk kebutuhan air baku non domestik dan melibatkan masyarakat mengelola sumber daya air. Kata kunci : klimatologi, curah hujan, evapotranspirasi, potensi air, air baku, konservasi
148
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 147-150
Abstract UDC 624.159.14 Sud Sudrajat, Iwan v Vernacular houses typology and it’s respond to the earthquake, case study : Desa Duku Ulu, Bengkulu/ Iwan Sudrajat, Sugeng Triyadi, Andi Harapan.--Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 3 November 2010.--Page. 107 – 115. –Bandung : Research Center for Human Settlements, 2010. 48 pages : ilus.;25 cm Abstract : page 107 ISSN : 1907-4352 I. EARTHQUAKE 1. HOUSING 2. Title Desa Duku Ulu, one of the oldest kampong in Rejang Lebong Region, is the earthquake area. Some of earthquakes made several damages especially for buildings. Interestingly, many of vernacular houses are survived and got only light damages while there are many modern building got great damages. There are five typologies of vernacular houses in this kampong. The changes of houses typology show the degradation responses to earthquake. It can be seen in building form, structural system, material, and construction system (joint). The trial and error process of learning from earthquake is not happened. No wonder, when earthquakes come in 1979, 1997, and 2000 many vernacular houses got heavy damages. It is because of three factors : 1) lack of craftsmen, 2)lack of wood, 3) instant culture in constructing houses. Keywords : vernacular house, earthquake, Desa Duku Ulu UDC 711.4 Suh Suhaeni, Heni t Typology of urban housing in the high density area and its alternative solution/ Heni Suhaeni,--Jurnal. Permukiman.--Vol. 5.--No. 3 November 2010.--Page. 116 – 123.--Bandung : Research Center for Human Settlements, 2010. 48 pages : ilus.;25 cm Abstract : page 116 ISSN : 1907-4352 I. URBAN PLANNING 1. TYPOLOGY 2. Title Classification is useful for the process of problem identification. It can make easier to determine which factor is dominated such problem accurately. This research is focused on the process identification and classification of the urban slum areas to gain typology of slum and its alternative solution. The objective of this research is to find out the method and its result which can be used as a basis for handling and improving environmental housing quality. Keywords : typology, classification, high density, slum, urban, housing UDC 621.317.38 Suj Sujatmiko, Wahyu s Study of electrical energy consumption saving opportunities in General Secretary Ministry of Public Works building/ Wahyu Sujatmiko,--Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 3 November 2010.--Page. 124 – 131.-Bandung : Research Center for Human Settlements, 2010. 48 pages : ilus.;25 cm Abstract : page 124 ISSN : 1907-4352 I. ENERGY 1. Title Old building like the General Secretary of Ministry of Public Works building, which has been aged over 25 years, are needed to examine the level of efficiency in the use of energy. Results of studies show that OTTV is 21.71 W/m², RTTV is 7.31 W/m², IKE is 154.815 kWh/m²/year (12.9 kWh/m²/month), power factor is 0.922, which means all efficient, but phase currents are not balanced so there is neutral currents, CO2 concentration is relatively low, i.e. 762.5 ppm, but the average temperature and humidity are high, i.e. 26.3 ºC and 61.3% respectively, thus there is the possibility of energy leakage. The range of average level of illumination is 98-147 lux, which means far below the standard, i.e. 250 lux. Keywords : office building, energy conservation, IKE, OTTV, RTTV, thermal perception, General Secretary of Ministry of Public Works Building UDC 691.41 Las Lasino r Research utilization mud of Sidoarjo for red bricks and tiles/ Lasino, Moch. Edi Nur, Dany Cahyadi.-Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 3 November 2010.--Page. 132 - 138.--Bandung : Research Center for Human Settlements, 2010.
149
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 147-150
48 pages : ilus.;25 cm Abstract : page 132 ISSN : 1907-4352 I. MUD 1. MATERIAL 2. Title In an effort of utilizing mud of Sidoarjo, tried to be developed as building materials such as red brick and ceramic roof tile through combustion process. The research result has obtained that minimum combustion temperature for making red brick reached at 800ºC and for ceramic roof tile at 1000ºC with 3 hours of burning time, which produced at red brick and roof tile with good performance, hard and stabile. Keywords : mud of Sidoarjo, fly ash, ceramic base material, red brick, roof tile UDC 628.1 Sar Sarbidi r Research on fresh water availability as raw water in small island, case study Miangas Island/ Sarbidi.-Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 3 November 2010.--Page. 139 - 146. – Bandung : Research Center for Human Settlements, 2010. 48 pages : ilus.;25 cm Abstract : page 139 ISSN : 1907-4352 I. WATER SUPPLY 1. FRESHWATER 2. Title Miangas Island is a small island which has area 3.15 km². Based on research concluded that Miangas Island has low capacity in fresh water storing. 80% reliability rate of a half month was maximum 4.31 m³/sec, minimum 0.06 m³/sec and the average rate was maximum 0.529 m³/sec, minimum 0.076 m³/sec. Raw water potential decline to face the water demand lifts continuously. To save the potential water resources is suggested to preserve the forest area, treats the sea water is to services the non domestic water demand and involves the local community in managing the water resources. Keywords : climatology, rainfall, evapotranspiration, water potential, raw water, conservation
150
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 151
Indeks Subjek A Air Baku = 139, 140, Air Tawar = 139, 145,146 Ancient tradition = 108, B Bata Merah = 132, 133, 135, 136 Bengkulu = 107, 108 C Catchment area = 140 Curah hujan = 139, 145 Community design = 118, D Desa Duku Ulu = 107, 109, 110, 115 Daerah tangkapan air = 140 Descriptive Statistic = 118, 119 E Evapotranspirasi = 139, 140, 143, 144, 145 F Fly Ash = 132, 133, 137, 138
L Lempung = 133 Lumpur Sidoarjo (LUSI) = 132, 137, 138 O Overall Thermal Transfer Value (OTTV) = 124, 125, 126, 128, 131 P Perumahan kumuh = 116, 117, 121 Private housing = 119 Public housing = 119 Pulau Miangas = 139, 140, 143, 144 Plastisitas = 133, 134 R Rigid = 109, 110, 115 Roof Thermal Transfer Value (RTTV) = 124, 125, 126, 131 S Selubung bangunan = 124, Sertifikat Laik Fungsi (SLF) = 124 Slum settlement = 119 Squatter settlement = 119
G Gedung Sekjen-PU = 124, 127, 131 Gempa = 107, 108, 109, 110 Genteng keramik = 132, 133, 135, 136 Green Strength = 133
T Termal = 124, 131
I Intensitas Konsumsi Energi (IKE) = 124, 125, 126
V Vernacular = 107, 108,109, 110, 115
U Urban renewal = 117, 122,
K Knock down = 109, 110, 113 K-mean Cluster = 118, 120
151
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 152-153
Indeks Pengarang Aan Sugiarto. Sifat Fisis dan Mekanis Panel Semen Pelepah Kelapa Sawit. Volume 5 No.1 April 2010. Hal. 7-12. Andriati Amir Husin. Penelitian Pengaruh Larutan Garam Sulfat terhadap Kualitas Beton Ringan. Volume 5 No. 2 Agustus 2010. Hal. 78 – 84. Andi Harahap. Perkembangan Tipologi Rumah Vernakular dan Responnya terhadap Bahaya Gempa, Studi Kasus : Desa Duku Ulu, Bengkulu. Volume 5 No. 3 November 2010. Hal. 107 – 115. Aris Prihandono. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurut UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang dan Fenomena Kebijakan Penyediaan RTH di Daerah. Volume 5 No. 1 April 2010. Hal. 13-23. Bunawas. Studi Penurunan Konsentrasi Gas Radon Dalam Ruangan Menggunakan Beton Ringan. Volume 5 No. 1 April 2010. Hal. 1-6. Dani Cahyadi. Penelitian Pemanfaatan Lumpur Sidoarjo untuk Bata Merah dan Genteng. Volume 5 No. 3 November 2010. Hal. 132 – 138. Fitrijani Anggraini. Penerapan Infrastruktur Persampahan di Pulau-pulau Kecil Studi Kasus : Di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu. Volume 5 No. 1 April 2010. Hal. 36 – 43 Heni Suhaeni. Tipologi Kawasan Perumahan dengan Kepadatan Penduduk Tinggi dan Penanganannya. Jurnal Permukiman. Volume 5 No. 3 November 2010. Hal. 116 – 123. Iskandar Muda Purwaamijaya. Analisis Sosial-Ekonomi Penghuni Perumahan Setiabudhi Regency, Graha Puspa, Triniti. Volume 5 No. 2 Agustus 2010. Hal. 67 – 77. Iwan Sudrajat. Perkembangan Tipologi Rumah Vernakular dan Responnya terhadap Bahaya Gempa Studi Kasus : Desa Duku Ulu, Bengkulu. Volume 5 No. 3 November 2010. Hal. 107 – 115. Lia Yulia Iriani. Pengaruh Izin Mendirikan Bangunan terhadap Penataan Permukiman di Kampung Muara. Volume 5 No. 2 Agustus 2010. Hal. 85 – 91. Lasino. Penelitian Pemanfaatan Lumpur Sidoarjo untuk Bata Merah dan Genteng. Volume 5 No.3 November 2010. Hal. 132 – 138. Moch Edi Nur. Penelitian Pemanfaatan Lumpur Sidoarjo untuk Bata Merah dan Genteng. Volume 5 No. 3 November 2010. Hal. 132 – 138. Nana Pudja Sukmana. Perilaku n-Panel System dalam Menahan Beban Lateral Siklik Statik. Volume 5 No. 1 April 2010. Hal. 24 – 35. Nurhasanah Sutjahjo. Standar Pelayanan Minimal untuk Biaya Satuan Program Bidang Air Minum. Volume 5 No. 2 Agustus 2010. Hal. 92 – 101. Nurul Aini S. Sifat Fisis dan Mekanis Panel Semen Pelepah Kelapa Sawit. Volume 5 No. 1 April 2010. Hal. 7 – 12. Sri Darwati. Kajian Penerapan Penilaian Indeks Resiko Tempat Penimbunan Sampah di Indonesia. Volume 5 No. 1 April 2010. Hal. 44 – 51. Sarbidi. Pengendalian Kerusakan Lingkungan Permukiman Kawasan Pantai Pulau Miangas dengan Pencegahan Erosi dan Abrasi. Volume 5 No. 2 Agustus 2010. Hal. 58 – 66. Sarbidi. Kajian Ketersediaan Air Tawar untuk Air Baku di Pulau Kecil, Studi Kasus : Pulau Miangas Volume 5 No. 3 November 2010. Hal. 139 – 146. Siti Aisyah Nurjannah. Perilaku n-Panel System dalam Menahan Beban Lateral Siklik Statik. Volume 5 No. 1 April 2010. Hal. 24 – 35. Sugeng Triyadi. Perkembangan Tipologi Rumah Vernakular dan Responnya terhadap Bahaya Gempa Studi Kasus : Desa Duku Ulu, Bengkulu. Volume 5 No. 3 November 2010. Hal. 107 – 115.
152
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 152-153
Syarbaini. Studi Penurunan Konsentrasi Gas Radon Dalam Ruangan Menggunakan Beton Ringan. Volume 5 No. 1 April 2010. Hal.1-6. Tuti Kustiasih. Penerapan Infrastruktur Persampahan di Pulau-pulau Kecil Studi Kasus : Di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu. Volume 5 No. 1 April 2010. Hal. 36 – 43. Wahyu Sujatmiko. Studi Peluang Penghematan Pemakaian Energi pada Gedung Sekretariat Jenderal Pekerjaan Umum. Volume 5 No. 3 November 2010. Hal. 124 – 131.
153
Pedoman Penulisan Naskah Redaksi menerima naskah karya ilmiah ilmu pengetahuan dan teknologi bidang permukiman, baik dari dalam dan luar lingkungan Pusat Litbang Permukiman 2. Naskah disampaikan ke redaksi dalam bentuk naskah tercetak hitam putih sebanyak 3 rangkap dengan jumlah naskah maksimum 15 halaman termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar pustaka 3. Naskah akan dinilai oleh Dewan Penelaah. Kriteria penilaian meliputi kebenaran isi, derajat, orisinalitas, kejelasan uraian dan kesesuaian dengan sasaran jurnal. Dewan Penelaah berwenang mengembalikan naskah untuk direvisi atau menolaknya 4. Penelaah berhak memperbaiki naskah tanpa mengubah isi dan pengertiannya, serta akan berkonsultasi dahulu dengan penulis apabila dipandang perlu untuk mengubah isi naskah. Penulis bertanggung jawab atas pandangan dan pendapatnya di dalam naskah 5. Jika naskah disetujui untuk diterbitkan, penulis harus segera menyempurnakan dan menyampaikannya kembali ke redaksi beserta filenya dengan program (software) “Microsoft Office Word” paling lambat satu minggu setelah tanggal persetujuan 6. Bila naskah diterbitkan, penulis akan mendapatkan reprint (cetak lepas) sebanyak 3 eksemplar dan naskah akan menjadi hak milik instansi penerbit 7. Naskah yang tidak dapat diterbitkan akan diberitahukan kepada penulis dan naskah tidak akan dikembalikan, kecuali ada permintaan lain dari penulis 8. Keterangan yang lebih terperinci dapat menghubungi Sekretariat Redaksi 9. Secara teknis persyaratan naskah adalah : Sistematika penulisan : Bagian awal: Judul, Keterangan Penulis, Abstrak. Abstrak disusun dalam satu alinea yang berisi tujuan penelitian, metodologi, hasil pembahasan dan simpulan antara 150-200 kata dalam dua bahasa (IndonesiaInggris) disertai minimal 5 kata kunci Bagian utama: Pendahuluan, Kajian Pustaka, Hipotesis (jika ada), Metodologi, Hasil dan Analisis, Pembahasan, Kesimpulan dan Saran Bagian akhir: Ucapan Terima Kasih (bila perlu), Daftar Pustaka dan Lampiran (jika ada) Teknik penulisan: a. Naskah ditulis pada kertas ukuran A4 portrait (210 x 297 mm), ketikan satu spasi dengan 2 kolom, jarak kolom pertama dan kedua 1 cm. b. Margin: tepi atas 3 cm, tepi bawah 2,5 cm, sisi kiri 3 cm dan kanan 2 cm. Alinea baru diberi tambahan spasi (+ ENTER). Penggunaan huruf: Judul, ditulis di tengah halaman, Cambria 14 pt. Kapital Bold Isi Abstrak, Cambria 10 pt italic 1 spasi Sub judul, ditulis di tepi kiri, Cambria Kapital 11pt, Bold Isi, Cambria 10 pt, 1 spasi Penomoran halaman menggunakan angka arab c. Daftar Pustaka sebaiknya menggunakan referensi terbaru, maksimal penerbitan 5 (lima) tahun terakhir, kecuali untuk handbook yang belum ada cetakan revisi/ terbaru. d. Daftar pustaka ditulis sesuai contoh sebagai berikut: Buku (monograf) Kourik, R. 1998. The lavender garden: beautiful varieties to grow and gather. San Francisco: Chronicle Books. Artikel Jurnal Terborgh, J. 1974. Preservation of natural diversity: The problem of extinction-prone species. Bioscience 24:715-22. Situs Web Thomas, Trevor M. 1956. Wales: Land of Mines and Quaries. Geographical Review 46, No. 1: 59-81. http://www.jstor.org/ (accessed June 30, 2005). 1.