Jurnal Permukiman Volume 6 No. 3 November 2011
ISSN : 1907 – 4352
Jurnal Permukiman adalah majalah berkala yang memuat karya tulis ilmiah di bidang permukiman meliputi kawasan perkotaan/ perdesaan, bangunan gedung yang berada di dalamnya, serta sarana dan prasarana yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Diterbitkan sejak tahun 1985 dengan nama Jurnal Penelitian Permukiman dan tahun 2006 berganti menjadi Jurnal Permukiman dengan frekuensi terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan November. Pelindung Penanggung Jawab
: :
Kepala Pusat Litbang Permukiman Kepala Bidang Sumber Daya Kelitbangan
Mitra Bestari
:
Prof. R. Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M. Agr. (Bidang Bahan Bangunan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Prof. Ir. Iswandi Imran, MASc. Ph. D. (Bidang Rekayasa Struktur, Institut Teknologi Bandung) Dr. Ir. Tri Padmi (Bidang Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung) Ir. Indra Budiman Syamwil, MSc., Ph. D. (Bidang Arsitektur, Institut Teknologi Bandung)
Dewan Penelaah Naskah
:
Prof. R. Dr. Ir. Suprapto, MSc. FPE. (Bidang Teknik Struktur, Pusat Litbang Permukiman) Andriati Amir Husin, MSi. (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman) Ir. Nurhasanah Sutjahjo, M.M. (Bidang Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Pusat Litbang Permukiman) Dr. Ir. Anita Firmanti, E.S., M.T. (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman) Drs. Achmad Hidajat Effendi (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman) Ir. Silvia F. Herina, M.T. (Bidang Teknik Sipil, Pusat Litbang Permukiman) Ir. Arief Sabaruddin, CES. (Bidang Perumahan dan Permukiman, Pusat Litbang Permukiman) Dra. Sri Astuti, MSA. (Bidang Bangunan Tapak, Pusat Litbang Permukiman) Dr. Andreas Wibowo, S.T., M.T. (Bidang Struktur dan Konstruksi, Pusat Litbang Permukiman) Sarbidi, S.T., M.T. (Bidang Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Pusat Litbang Permukiman) Lia Yulia Iriani, S.H. (Bidang Kebijakan Ilmu dan Teknologi, Pusat Litbang Permukiman)
Redaksi Pelaksana
:
Drs. Rudy Ridwan Effendy, M.T. Dra. Roosdharmawati Drs. Arif Sugiarto, M.M. Nitnit Anitya, S.S.
Alamat Redaksi
:
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung 40393 P.O. Box 812 Bandung 40008 Tlp. 022-7798393 (4 saluran) Fax. 022-7798392 E-mail :
[email protected]
Akreditasi Jurnal Permukiman ditetapkan sebagai Majalah Berkala Ilmiah : Terakreditasi B Nomor 299/AU2/P2MBI/08/2010 Berdasarkan Kutipan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 754/D.2/2010 Tanggal 26 Agustus 2010
Jurnal Permukiman Volume 6 No. 3 November 2011
ISSN : 1907 – 4352
Pengantar Redaksi Puji syukur selalu kami panjatkan kepadaNya karena redaksi dapat kembali menerbitkan hasil karya penulis didalam edisi yang ketiga dan juga sebagai edisi penutup pada tahun ini. Diawali dengan tulisan Tuti Kustiasih mengenai “Penentuan Angka Kebutuhan Oksigen Kimia Air Limbah dengan Mempertimbangkan Faktor Ketidakpastian, Kasus IPAL di Puslitbang Permukiman”. Agar air dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sesuai dengan tingkat mutu air yang diinginkan perlu menjaga atau mencapai kualitas air. Pengendalian kualitas air ini merupakan upaya untuk memelihara fungsi air agar kualitasnya tetap pada kondisi alamiah. “Kinerja Kolam Sanita dalam Pengolahan Air Limbah Rumah Tangga Perkantoran” adalah tulisan hasil karya Ida Medawaty dan R. Pamekas. Dipaparkan didalamnya bahwa dalam pengembangan sistem pengelolaan air limbah skala perkotaan yang menerapkan proses pengolahan secara kimiawi dan biologi belum mampu menyelesaikan permasalahan pencemaran air limbah. Untuk mengurangi beban pencemaran di suatu kawasan, maka dikembangan sistem pengolahan air limbah terpusat. Penelitian yang dilakukan oleh Nurhasanah Sutjahjo, Fitrijani Anggraini, dan R. Pamekas ini berjudul “Konsumsi dan Pelanggan Air Minum Di Kota Besar dan Metropolitan”. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ulang pelayanan air minum di kota besar dan metropolitan terpilih. Dalam evaluasi digunakan parameter jumlah elemen tarif air, banyaknya pelanggan, banyaknya air yang didistribusikan kepada pelanggan, dan konsumsi atau pemakaian air rata-rata per kapita dan per hari. Rina Marina Masri dan Iskandar Muda Purwaamijaya melakukan penelitian mengenai ”Analisis Dampak Lingkungan untuk Pembangunan Perumahan Di Kawasan Bandung Utara Berbasis Model Sistem Dinamis”. Guna mencari penjelasan permasalahan sosial jangka panjang yang terjadi berulang-ulang didalam struktur internal maka digunakan sistem dinamis dimana untuk memahami struktur sistemnya, umpan balik merupakan konsep intinya. Emisi CO₂ dihasilkan oleh bangunan yaitu pada saat proses pembangunan dan pada saat pemanfaatan bangunannya. Upaya mitigasi terhadap pemanasan global adalah dengan mengendalikan emisi CO₂ yang dihasilkan oleh bangunan tersebut baik pada tahap perencanaan maupun tahap pelaksanaan. Adapun tools yang digunakan dapat memberi informasi besarnya harga satuan emisi CO₂ pada bangunan gedung per meter persegi. Bahasan “Model Perhitungan Kandungan Emisi CO₂ pada Bangunan Gedung” dipaparkan oleh Arief Sabaruddin, Tri Harso Karyono dan Rumiati Tobing. Menutup edisi akhir tahun, adalah tulisan Wahyu Sujatmiko, Fanny Kusumawati dan Aan Sugiarto mengenai “Kenyamanan Termal Adaptif Hunian Kawasan Mangrove Centre, Batu Ampar Balikpapan”. Pada dasarnya kajian kenyamanan termal adaptif merupakan upaya untuk mengetahui kenetralan kondisi termal, keterterimaan kondisi termal dan preferensi kondisi termal penghuni suatu hunian serta perilaku adaptif penghuni guna memperoleh kenyamanan termal dengan didukung sarana yang ada pada bangunan tersebut.
i
Jurnal Permukiman Volume 6 No. 3 November 2011
ISSN : 1907 – 4352 Daftar Isi
Pengantar Redaksi
i
Daftar Isi
ii
Penentuan Angka Kebutuhan Oksigen Kimia Air Limbah dengan Mempertimbangkan Faktor Ketidakpastian, Kasus IPAL di Puslitbang Permukiman (Determination of the Chemical Oxygen Demand of Wastewater by Considering the Uncertainty Factor, in the Case of WasteWater Treatment Plant at the Research Institute for Human Settlements) Tuti Kustiasih Kinerja Kolam SANITA Dalam Pengolahan Air Limbah Rumah Tangga Di Perkantoran (Sanitation Pond Performance in Domestic Wastewater Treatment in the Office) Ida Medawaty, R. Pamekas Konsumsi dan Pelanggan Air Minum Di Kota Besar dan Metropolitan (Drinking Water Consumption and Customers in Big Cities and Metropolitan) Nurhasanah Sutjahjo, Fitrijani Anggraini, R. Pamekas Analisis Dampak Lingkungan untuk Pembangunan Perumahan Di Kawasan Bandung Utara Berbasis Model Sistem Dinamis (Environmental Impact Assessment for Housing Development in North Bandung Zone Based on Model of Dynamic System) Rina Marina Masri, Iskandar Muda Purwaamijaya Model Perhitungan Kandungan Emisi CO₂ pada Bangunan Gedung (The Calculation Model Embodied CO₂ Emissions for Building) Arief Sabaruddin, Tri Harso Karyono, Rumiati Tobing
121-128
129-137
138-146
147-153
154-163
Kenyamanan Termal Adaptif Hunian Kawasan Mangrove Centre, Batu Ampar Balikpapan (Residential’s Adaptive Thermal Comfort in the Mangrove Centre Area, Batu Ampar Balikpapan) Wahyu Sujatmiko, Fanny Kusumawati, Aan Sugiarto
164-174
Katalog dan Abstrak
175-178
Indeks Subjek
179
Indeks Pengarang
180-181
ii
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 121-128
PENENTUAN ANGKA KEBUTUHAN OKSIGEN KIMIA AIR LIMBAH DENGAN MEMPERTIMBANGKAN FAKTOR KETIDAKPASTIAN KASUS IPAL DI PUSAT LITBANG PERMUKIMAN
Determination of the Chemical Oxygen Demand of Wastewater by Considering the Uncertainty Factor Incase of Wastewater Treatment Plant at Research Institute for Human Settlements Tuti Kustiasih Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan-Kabupaten Bandung 40393 Email:
[email protected] Diterima : 01 Maret 2011; Disetujui : 22 Juni 2011
Abstrak Dalam mengestimasikan ketidakpastian pengukuran semua faktor atau komponen ketidakpastian yang penting perlu dianalisis sesuai dengan ketentuan dalam ISO 17025 tahun 2008. Sebagai laboratorium pengujian harus menerapkan prosedur pelaksanaan estimasi ketidakpastian pengukuran untuk semua jenis pengujian. Kesalahan (error) adalah penyimpangan nilai yang diukur dari nilai benar X o. Dalam melaporkan ketidakpastian pengukuran dalam pengujian kimia, perlu mempertimbangkan jenis metoda uji, validasi metode dan tertelusur. Penelitian menggunakan metode eksploratif terhadap efisiensi instalasi pengolahan air limbah di kantor Pusat Litbang Permukiman melalui penentuan angka COD pada influen dan efluen. Tujuan penelitian adalah menentukan angka COD air limbah influen dan effluen di instalasi pengolahan air limbah yang dianalisis dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi dan prosedur perhitungan ketidakpastian pengukuran. Penentuan kebutuhan oksigen kimia (COD) dilakukan secara kimia dengan menggunakan oksidator kuat Kalium Bikromat (K2Cr2O7) yang digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent) pada kondisi asam dan panas dengan katalisator Perak Sulfat. Hasil pengujian kualitas kebutuhan oksigen kimia (COD) air limbah dari instalasi pengolahan limbah biofilter di Pusat Litbang Permukiman, dengan tingkat kepercayaan 95% dan k = 2, disimpulkan bahwa pada influen = 33.43 ± 0,26 mg/L dan efluen = 13,53 ± 0,10 mg/L. Efisiensi pengolahan air limbah di Pusat Litbang Permukiman untuk parameter kebutuhan oksigen kimia (COD) adalah 59,53%. Kata Kunci : Ketidakpastian, biofilter, oksidator, katalisator, kualitas
Abstract In estimating the uncertainty, measurement of all factors or components of uncertainties is important and need to be analyzed in accordance ISO 17025 in 2008. Test laboratories shall apply the procedures of estimation of measurement uncertainty to all types of testing. Error is the deviation from the measured value of true value xo. Reporting measurement uncertainty in chemical testing needs to consider the types of test methods, validation methods and traceability. This research employs explorative methods of efficiency of wastewater treatment plant in the Office of Research Institute for Human Settlements (RIHS) through determination of COD in the influent and effluent. The objectives of the study are to determine the COD number of wastewater in the influent and effluent at wastewater treatment plants that were analyzed by taking into account the factors that influence the uncertainty of measurement and calculation procedures. Chemical oxygen demand (COD) is chemically determined using a strong oxidizing agent Potassium Bichromate (K2Cr2O7) as a source of oxygen (oxidizing agent) in acidic conditions and heat with silver sulfate catalyst. From the results of testing the quality of chemical oxygen demand (COD) of wastewater from sewage treatment plant biofilter at RIHS, with 95% confidence level and k = 2, it is concluded that COD in the influent is 33.43 ± 0.26 mg / L and in the effluent = 13.53 ± 0.10 mg / L. Efficiency of wastewater treatment plant at RIHS for the parameters of chemical oxygen demand (COD) is 59.53%. Keywords :
Uncertainty, biofilter, oxidant, catalyst, quality
PENDAHULUAN Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001, tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air, bahwa air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan dan perikehidupan manusia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga merupakan modal dasar dan 121
Penentuan Angka Kebutuhan … (Tuti Kustiasih)
faktor utama pembangunan. Untuk melestarikan fungsi air perlu dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air secara bijaksana dengan memperhatikan kepentingan generasi sekarang dan mendatang serta keseimbangan ekologis. Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya dan menjamin agar kualitas air tetap dalam kondisi alamiahnya, maka diperlukan pemeriksaan kualitas air secara berkala, terutama terhadap parameter-parameter yang merupakan indikator adanya pencemaran di dalam air, antara lain pemeriksaan parameter pH, TSS, COD dan BOD, yang dapat digunakan sebagai salah satu ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik. Dalam mengestimasikan ketidakpastian pengukuran semua faktor atau komponen ketidakpastian yang penting perlu dianalisis sesuai dengan ketentuan dalam ISO 17025 tahun 2008. Sebagai laboratorium pengujian harus menerapkan prosedur pelaksanaan estimasi ketidakpastian pengukuran untuk semua jenis pengujian. Tujuan penelitian adalah menentukan angka COD air limbah influent dan efluent di instalasi pengolahan air limbah yang dianalisis dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi dan prosedur perhitungan ketidakpastian pengukuran. Untuk menjaga atau mencapai kualitas air sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sesuai dengan tingkat mutu air yang diinginkan, maka perlu upaya pelestarian dan atau pengendalian. Pelestarian kualitas air merupakan upaya untuk memelihara fungsi air agar kualitasnya tetap pada kondisi alamiahnya. Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan, perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112, Tahun 2003). Air yang kondisi kualitasnya lebih baik dari baku mutu air berarti masih memiliki kemampuan untuk menerima beban pencemaran. Apabila beban pencemaran yang masuk melebihi kemampuan air menerima beban tersebut maka akan menyebabkan pencemaran air, yaitu kondisi kualitas air tidak memenuhi baku mutu air. Oleh sebab itu air limbah sebelum masuk ke badan air perlu dilakukan pengolahan terlebih dulu. Teknologi pengolahan air limbah domestik telah banyak dikembangkan, salah satunya adalah
122
sistem atau teknologi biofilter yang diterapkan di kantor Pusat Litbang Permukiman. Prinsip kerja pengolahan air limbah dengan sistem biofilter di Pusat Litbang Permukiman adalah biodegrabilitas organik air limbah rumah tangga dapat secara aerobik (penambahan aksigen) dan anaerobik (tanpa penambahan oksigen) yang berlangsung pada fluida dan media kontaktor yang ada dalam instalasi. Pengolahan air limbah dengan sistem biofilter ini merupakan suatu tangki pengolahan air limbah yang terdiri dari beberapa kompartemen, berisi media kontraktor yang sesuai sebagai tempat tumbuhnya bakteri pengurai. Pemeriksaan kualitas air masuk (influent) dan air keluaran (efluent) dari instalasi perlu dilakukan secara periodik, untuk mengetahui efisiensi operasional dan pemeliharaan instalasi. Selain itu untuk pemantauan kualitas efluent sebelum dibuang ke badan air (sesuai persyaratan baku mutu) atau ke pengolahan lanjutan kolam Sanita, parameter yang diperiksa antara lain pH, TSS, COD dan BOD. Dalam tulisan ini yang akan dibahas adalah penetapan angka COD karena banyak faktor yang mempengaruhi hasil dalam penentuan angka COD, antara lain pengaruh penetapan normalitas Ferro Ammonium Sulfat (FAS), kemurnian bahan, penentuan titik akhir pada proses titrasi. Setiap pengukuran pasti memunculkan sebuah ketidakpastian pengukuran, yaitu perbedaan antara dua hasil pengukuran. Ketidakpastian juga disebut kesalahan, sebab menunjukkan perbedaan antara nilai yang diukur dan nilai sebenarnya. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Sumber-sumber kesalahan yang dimaksud antara lain : 1. Personil 2. Peralatan : kinerja dan kalibrasi 3. Metode uji 4. Bahan acuan/standar 5. Kondisi lingkungan 6. Bahan/reagen yang digunakan Faktor itu dibagi dalam 2 garis besar, yaitu : ketidakpastian bersistem dan ketidakpastian acak. Kesalahan (error) adalah penyimpangan nilai yang diukur dari nilai benar xo. Ada 3 macam kesalahan, yaitu : 1. Kesalahan umum/keteledoran, kesalahan disebabkan si pengamat antara lain kurang terampil dengan alat yang dipakai 2. Kesalahan acak, kesalahan disebabkan fluktuasi-fluktuasi halus diantaranya gerak molekul udara, dll. Kesalahan acak menghasilkan simpangan yang tidak dapat
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 121-128
diprediksi terhadap nilai benarnya (xo) sehinga peluangnya di atas atau di bawah nilai benar. Kesalahan acak tidak dapat dihilangkan tetapi dapat dikurangi dengan mengambil nilai ratarata hasil pengukuran. 3. Kesalahan sistematis, kesalahan oleh kalibrasi alat, kesalahan titik nol, kesalahan komponen dan kesalahan arah pandang/paralaks. Kesalahan sistematis yang besar menyebabkan pengukuran tidak akurat. Hasil pengukuran dikatakan akurat bila nilai ratarata hasil pengukuran mendekati/ hampir sama dengan nilai yang benar. Bila nilai rata-rata jauh dari nilai benar maka hasil pengukuran dikatakan tidak akurat. Dalam melaporkan ketidakpastian pengukuran dalam pengujian kimia, perlu mempertimbangkan jenis metoda uji, validasi metode dan ketelusuran. Dalam pengujian kimia dimungkinkan untuk mengelompokkan beberapa sumber ketidakpastian menjadi estimasi tunggal, seperti presisi. Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimia (KOK) adalah jumlah oksigen (mg O2) yang diperlukan untuk mengurai atau mengoksidasi seluruh bahan organik yang terkandung dalam 1 (satu) liter air. Hal ini karena bahan organik yang ada sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan oksidator kuat kalium bikromat (K2Cr2O7) yang digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent) pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat, sehingga segala macam bahan organik, baik yang mudah terurai maupun yang kompleks dan sulit terurai akan teroksidasi. Dengan demikian, selisih nilai antara COD dan BOD memberikan gambaran besarnya bahan organik yang sulit terurai yang ada di perairan. Jadi COD menggambarkan jumlah total bahan organik yang ada. Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut : ΔE
CaHbOc + Cr2O72- + H+Ag SO CO2 + H2O + 2Cr3+
Zat organis
(Warna kuning)
2
4
(Warna hijau)
Perak Sulfat Ag2SO4 ditambahkan sebagai katalisator untuk mempercepat reaksi. Sedangkan merkuri sulfat ditambahkan untuk menghilangkan gangguan klorida yang umumnya terdapat di dalam air buangan. Pemerintah telah menetapkan baku mutu air ambien tersebut berupa Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 82 Tahun 2001, tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air menetapkan baku mutu air tawar dalam empat kelas, ditampilkan pada tabel 1.
Tabel 1 Penggolongan Kualitas Air Menurut PP 82 Tahun 2002 No Parameter Gol I Gol II Gol III Gol IV 1 pH 6-9 6-9 6-9 5-9 2 BOD (mg/L) 2 3 6 12 3 COD (mg/L) 10 25 50 100 4 DO (mg/L) 6 4 3 0 Sumber : PP Nomor 82 Tahun 2002, Penggolongan Kualitas Air
Salah satu faktor yang sangat penting dalam menjaga mutu adalah kebenaran pengukuran tiap komponen. Kebenaran pengukuran ini dinyatakan oleh laboratorium penguji/kalibrasi yang berkompeten, untuk memahami dan melaksanakan kegiatan menjaga kompetensi laboratorium penguji dengan menerapkan Sistem Manajemen Laboratorium berdasarkan ISO/IEC 17025:2008. Unsur penting dalam penerapan sistem manajemen ini salah satunya adalah perhitungan ketidakpastian pengukuran.
METODE PENELITIAN Penelitian menggunakan metode eksploratif terhadap efisiensi instalasi pengolahan air limbah di kantor Pusat Litbang Permukiman dalam menguraikan zat organik dengan cara menentukan angka COD pada influent dan efluent. Penelitian menggunakan data primer, yaitu data hasil pengujian kualitas COD terhadap contoh uji yang diambil pada titik sampling air influent dan efluent IPAL, yang dilakukan pada tanggal 10 Januari 2010. Dari masing-masing contoh uji tersebut dihomogenkan dan dibagi ke dalam 10 Erlemenyer masing-masing 100 mL, kemudian dilakukan titrasi dengan FAS. Prinsip penetapan angka COD dengan memperhatikan faktor ketidakpastian : 1) Penetapan angka COD menggunakan metode analisis berdasarkan SNI 06-6989.15-2004. 2) Melakukan uji ketidakpastian pengukuran baku, gabungan dan ketidakpastian diperluas menggunakan diagram fishbone untuk menggambarkan pengaruh pengujian dan rumusan perhitungan untuk masing-masing ketidakpastian. 3) Pelaporan hasil 4) Menghitung efisiensi instalasi dalam pengolahan COD Penetapan ketidakpastian baku dari presisi/ repeatability untuk penetapan ketidakpastian normalitas FAS dan penetapan ketidakpastian COD, dilakukan dengan cara : a) Penetapan dilakukan 10 kali perhitungan b) s adalah standar deviasi yang diperoleh dari pengulangan penetapan normalitas FAS sebanyak 10 kali di atas. c) s yang diperoleh tersebut merupakan ketidakpastian baku asal presisi/repeatability 123
Penentuan Angka Kebutuhan … (Tuti Kustiasih)
yang mencakup presisi/repeatability penimbangan, volume titrasi dan titik akhir sebesar. Langkah-langkah estimasi ketidakpastian adalah sebagai berikut : 1. Penentuan spesifikasi kuantitas yang diukur dengan formula/persamaan; 2. Menyusun model dari sistem pengujian; 3. Membuat/mengidentifikasi sumber-sumber ketidakpastian (yang dapat memberikan kontribusi kesalahan terhadap hasil akhir); 4. Mengelompokkan sumber-sumber ketidakpastian ke dalam Kategori komponen ketidakpastian (tipe A dan Tipe B); 5. Komponen ketidakpastian diestimasi sehingga ekivalen dengan simpangan baku (s), yang disebut ketidakpastian baku (µ); 6. Ketidakpastian baku kemudian digabungkan (combined uncertainty/ketidakpastian gabungan) untuk menghasilkan ketidakpastian hasil pengujian secara keseluruhan (µc); 7. Menghitung expanded uncertainty (ketidakpastian diperluas) = U, yaitu dengan mengalikan dengam nilai faktor cakupan (k) U = µc x k 8. Pelaporan hasil uji Y ± U dengan faktor cakupan k Langkah dalam menentukan hasil uji COD yang dipengaruhi ketidakpastian pengukuran sampai pelaporan dapat dilihat pada diagram alir langkah perhitungan ketidakpastian pengujian ditampilkan pada gambar 2 : MULAI
Tetapkan formulasi pengukuran
Identifikasi sumber ketidakpastian
Kelompokkan sumber ketidakpastian
Kelompokan sumber ketidakpastian menjadi komponen ketidakpastian
Hitung/ubah komponen ketidakpastian menjadi komponen gabungan
Hitung ketidakpastian baku menjadi ketidakpastian gabungan
Hitung ketidakpastian yang diperluas
MULAI
Laporan
Gambar 1 Diagram Alir Penentuan Ketidakpastian
124
Penentuan estimasi ketidakpastian pengukuran dihitung dari berbagai sumber informasi pada saat persiapan dan pengujian. Sumber informasi yang dimaksud antara lain sebagai berikut : 1. Data pengukuran sebelumnya; 2. Data dari validasi metode; 3. Data verifikasi; 4. Sertifikat kalibrasi alat yang digunakan; 5. Spesifikasi pabrik; 6. Data dari kalibrasi laboratorium/uji profisiensi/QC; 7. Berdasarkan pengalaman atau data pustaka. Penetapan ketidakpastian COD disederhanakan menjadi 2 proses perhitungan yaitu : - Penetapan ketidakpastian normalitas FAS; - Penetapan ketidakpastian COD
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengolahan air limbah di Pusat Litbang Permukiman menggunakan sistem biofilter. Konsentrasi COD air limbah yang diambil di titik influent dan efluent instalasi pengolahan air limbah ini dapat dilihat pada tabel 2 : Tabel 2 Hasil Pengujian COD Parameter Influent Efluent COD (mg/L) 33,43 13,53 Sumber : Hasil Uji Laboratorium Lingkungan Permukiman, 2010
Berdasarkan PP Nomor 82 Tahun 2002, bahwa efluen air limbah, 13,53 mg/L masih berada di bawah ketentuan pada golongan II, yaitu 25 mg/L. Penetapan Ketidakpastian FAS Identifikasi sumber ketidakpastian menggunakan diagram fishbone seperti pada gambar 2. Penetapan Ketidakpastian COD Identifikasi ketidakpastian pengujian COD menggunakan diagram fishbone, seperti terlihat pada gambar 3. Penetapan masing-masing sumber ketidakpastian diubah menjadi standar deviasi atau ketidakpastian baku berdasarkan sebagai berikut : Repetabilitas Titrasi Hasil repetabilitas titrasi pada penetapan FAS ditampilkan pada tabel 3. Pemakaian FAS untuk mentitrasi larutan blanko adalah 12,30 mL. Ketidakpastian Baku dari Penimbangan K2Cr2O7 Ketidakpastian baku asal penimbangan berasal dari sertifikat kalibrasi neraca. Ketidakpastian = 0,1 mg pada tingkat kepercayaan 95% dengan faktor cakupan k = 2, maka diperoleh nilai ketidakpastian baku : = 0,05 mg
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 121-128
Ketidakpastian baku gabungan dari 2 tahap penimbangan yaitu penimbanan cawan kosong dan cawan kosong+K2Cr2O7. Maka ketidakpastian baku asal penimbangan adalah : penimbanga n
2(0,05) 2
0,0707 mg
Tabel 3 Repetabilitas Titrasi Titrasi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 n n
Vol FAS mL mL FAS Inlet mL FAS Outlet 25,11 11,90 12,14 25,18 11,90 12,10 25,13 11,93 12,10 25,11 11,95 12,14 25,13 11,92 12,11 25,11 11,85 12,15 25,15 11,90 12,14 25,12 11,89 12,12 25,15 11,91 12,12 25,13 11,84 12,13 251,32 119,00 121,25 10 10 10 25,13 11,90 12,125 Stdev 0,0225 0,0335 0,0178 N FAS 0,0995 COD (mg/L) 33,43 13,53 Sumber : Pengukuran dan Perhitungan, 2010
Ketidakpastian dari Volume Buret Dalam penentuan ketidakpastian baku dari volume buret yang digunakan pada saat titrasi, data diperoleh dari beberapa sumber, ketidakpastian baku, yaitu : 1. ketidakpastian baku data kalibrasi buret, berasal dari kalibrasi buret, yaitu dari sertifikat nilai ketidakpastian buret = 0,01 mL dengan nilai cakupan k = 2, µVol buret = 0,005 mL ; 2. ketidakpastian baku pengaruh suhu, merupakan perbedaan suhu saat buret dikalibrasi dengan suhu laboratorium. Perbedaan suhu pada saat pengukuran adalah 2oC, maka : µpengaruh suhu = 1o C 3. ketidakpastian baku bias titik akhir (dengan menganggap pada tetesan terakhir saat titrasi dianggap dapat diabaikan). Ketidakpastiaan baku volume FAS (µvol FAS) adalah berasal dari kalibrasi buret dan pengaruh suhu laboratorium.
Gambar 2 Sumber Ketidakpastian Penetapan Normalitas FAS
(Eurocham/CITAC Guide CG4, “Quantifying Uncertainty in Analytical Measurement”, Second Edition, 2000) Gambar 3 Penetapan Ketidakpastian COD
125
Penentuan Angka Kebutuhan … (Tuti Kustiasih)
Hasil perhitungan ketidakpastian dari volume buret dapat dilihat pada tabel 4. Pada informasi dari label menunjukkan kemurnian K2Cr2O7 99,99%, maka ketidakpastian dari
kemurnian tersebut adalah 0,01% atau 0,0001, karena tidak adanya nformasi apapun tentang faktor cakupan sehingga dianggap distribusinya adalah distribusi rectangular.
Tabel 4 Perhitungan Ketidakpastian Baku dan Gabungan Titrasi No
Uraian
1
Penetapan FAS
(mL) 0,0528
(mL) 0.0530
2
Titrasi Sampel
0.0249
0.0245
3
Titrasi Blanko
0.0259
0.0265
4
Volume Pipet Ukur
0.021
0.0224
Dari sertifikat kalibrasi pipet 0,002 mL dengan tingkat kepercayaan 95% dan k = 2
Sumber : Hasil Perhitungan, 2010
Ketidakpastian baku dari kemurnian adalah :
Tabel 6 Ketidakpastian Baku Gabungan Asal Massa K2Cr2O7 No
Ketidakpastian baku dari bobot molekul K2Cr2O7 dapat dilihat pada tabel 5 dan ketidakpastian baku gabungan massa K2Cr2O7 pada tabel 6. Tabel 5 Ketidakpastian Baku dari Bobot Molekul K2Cr2O7 Berat Atom Ketidakpastian Ketidakpastian No Unsur (g/mol) (g/mol) baku (g/mol) 1 K 39.0983 0.0001 5,7735 E-5 2 Cr 51.9961 0.0006 0,00035 3 O 15.9994 0.0003 0,00017 Sumber : IUPAC Commission on Atomic Weights and Isotopic Abundances dan Hasil Perhitungan
Ketidakpastian gabungan asal massa K2Cr2O7 adalah : Dari hasil perhitungan di atas, maka ketidakpastian gabungan dari seluruh komponen ketidakpastian penetapan FAS dapat dilihat pada tabel 7.
K2Cr2O7
Ketidakpastian baku
1 2 3
2K (2 x 5,7735 E-5) 0,00012 2Cr (2 x 0,00035) 0,00069 7O (7 x 0,00017) 0,00121 BM K2Cr2O7 = 294,1846 mg/mol Sumber : Hasil Perhitungan, 2010
Normalitas FAS yang digunakan adalah 0,0995 N. Sehingga diperoleh ketidakpastian baku FAS : 2.11E-5 N Ketidakpastian diperluas : dengan tingkat kepercayaan 95%, digunakan faktor cakupan k = 2, sehingga diperoleh ketidakpastian Normalitas FAS adalah : Ketidakpastian dari normalitas FAS diketahui sebesar : 0,0123 N dengan faktor cakupan 2. Maka Ketidakpastian baku dari Normalitas FAS adalah : 0.000237N
Dan ketidakpastian gabungan seluruh komponen pada penetapan FAS dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 7 Ketidakpastian Gabungan dari Seluruh Komponen Ketidakpastian Penetapan FAS No
Nilai (x)
Ketidakpastian Baku (µ)
Ketidakpastian Baku Relatif (µ/x)
1
Massa K2Cr2O7
Uraian
12259 mg
0,0707 mg
5,7672E-6
2
Vol Fas
15,80 mL
0,03355 mL
0,000212
3
BM K2Cr2O7
294,1846 g/mol
0,0014 g/mol
4,758E-06
4
Kemurnian
99,99
0,00005
0,5E-07
Sumber : Hasil Perhitungan, 2010
Ketidakpastian gabungan tanpa presisi : = 2.11E-5 N
126
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 121-128
Tabel 8 Ketidakpastian Gabungan dari Seluruh Komponen Ketidakpastian Penetapan FAS No
Uraian
Nilai (x)
Ketidakpastian Baku (µ)
Ketidakpastian Baku Relatif (µ/x)
11,90 mL 12,30 mL
0,0245 mL 0,0265 mL
0,0021 0,0022
12,125 mL 10 mL 0,0995 N
0,0245 mL 0,0224 mL 0,000237 N
0,0020 0,0022 0.0024
Influent 1 2
Vol FAS untuk sampel Vol FAS untuk blanko Efluent 1 Vol FAS untuk sampel 2 Vol contoh dan blanko 3 Normalitas FAS Sumber : Hasil Perhitungan, 2010
Ketidakpastian gabungan tanpa presisi : 0,0038 0,0044 Ketidakpastian dan pelaporan hasil pengujian kualitas COD untuk sampel uji air limbah dari hasil monitoring instalasi pengolahan air limbah sistem
biofilter di Pusat Litbang Permukiman, dengan tingkat kepercayaan 95% dan faktor cakupan k = 2, dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9 Ketidakpastian dan Pelaporan Hasil Pengujian Kualitas COD Air Limbah Dari Instalasi Pengolahan Limbah di Pusat Litbang Permukiman No 1 2
Ketidakpastian Gabungan UN Tingkat Kepercayaan 95%, k = 2 UN = k x µG
Titik COD Sampling (mg/L) (mg/L) Influent Efluent
33,43 13,53
0,13 0,05
0,13 0,05
0,26 0,10
Dari hasil pemeriksaan terhadap kualitas COD air limbah dari efluent instalasi pengolahan air limbah di Pusat Litbang Permukiman adalah 13,53 ± 0,10 mg/L, berdasarkan PP Nomor 82 Tahun 2002, tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air masih berada di bawah golongan B (kelas dua), yaitu 25 mg/L. Golongan B atau golongan kelas dua adalah air yang peruntukkannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertamanan, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Dengan memperhitungkan ketidakpastian seluruh komponen pada saat pengujian kadar COD, ketidakpastian gabungan UN dengan Tingkat Kepercayaan 95%, k = 2, hasil yang dapat diterima adalah : influent berkisar 33,17 – 33,69 mg/L efluent 13,43 – 13,63 mg/L Efisiensi pengolahan limbah di Pusat Litbang Permukiman untuk parameter COD mencapai 59,53%.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Hasil pengujian kualitas COD instalasi pengolahan air limbah di Pusat Litbang
Pelaporan Hasil Tingkat Kepercayaan 95%, k =2 (mg/L) 33,43 ± 0,26 13,53 ± 0,10
Permukiman dengan tingkat kepercayaan 95% dan k = 2, yang dipengaruhi oleh ketidakpastian pengukuran adalah: Kualitas influent = 33.43 ± 0,26 mg/L dan Kualitas efluent = 13,53 ± 0,10 mg/L. Efluent dari instalasi pengolahan air limbah di Pusat Litbang Permukiman berada dibawah baku mutu golongan B atau kelas dua, yaitu sebesar 25 mg/L berdasarkan PP Nomor 82 Tahun 2002, tentang pemeriksaan kualitas air dari sistem pengolahan air limbah perlu dilakukan secara berkala untuk mengetahui layak tidaknya efluent di buang ke badan air. 2. Efisiensi pengolahan COD instalasi pengolahan air limbah Pusat Litbang Permukiman adalah 59,53%, perlu ada peningkatan kinerja dengan memperbaiki operasional dan pemeliharan IPAL. 3. Dalam pengujian kualitas air dalam hal ini kualitas COD banyak faktor yang mempengarungi hasil pengukuran antara lain pengulangan pengujian, penimbangan, hasil kalibrasi alat yang digunakan, titik akhir titrasi, temperatur, berat molekul, kemurnian, massa. Saran-saran 1. Pemeriksaan kualitas influent dan effulent IPAL disarankan dilakukan secara periodik.
127
Penentuan Angka Kebutuhan … (Tuti Kustiasih)
2.
Pengoperasian dan pemeliharaan IPAL Pusat Litbang Permukiman harus dilakukan sesuai persyaratan yang berlaku dan secara periodik.
DAFTAR PUSTAKA ……
2005. Materi Pelatihan Ketidakpastian Pengukuran Dalam Pengujian. Bandung. Eurocham/CITAC Guide CG4. 2000. “Quantifying Uncertainty in Analytical Measurement”. Second Edition.
128
ISO/IEC 117025 (SNI 19-17025-2005). Sistem Mutu Laboratorium. IUPAC, Commission on Atomic Weights and Isotopic Abundances, Journal Pure Appl. Chem. Vol 69, PP.2471-2473, 1997. Kep. Men LH No. 112 Tahun 2003. Baku Mutu Air Limbah Domestik. PP Nomor 82 Tahun 2002. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. SNI 06-6989.15-2004. Pengujian Kadar COD Sistem Reflux Terbuka.
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 129-137
KINERJA KOLAM SANITA DALAM PENGOLAHAN AIR LIMBAH RUMAH TANGGA DIPERKANTORAN Sanitation Pond Performance in Domestic Wastewater Treatment in the Office 1Ida
Medawaty, 2R. Pamekas
Pusat Litbang Permukiman Jalan Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung 1Email:
[email protected] 2Email:
[email protected] Diterima : 21 Februari 2011; Disetujui : 22 September 2011
Abstrak Pengembangan sistem pengelolaan air limbah skala perkotaan, pada umumnya telah mengaplikasikan proses pengolahan secara kimiawi maupun biologi. Namun, sistem tersebut belum mampu menyelesaikan seluruh permasalahan pencemaran air limbah. Pengembangan sistem pengolahan air limbah terpusat memang dapat mengurangi beban pencemaran di suatu kawasan. Penelitian ini ditujukan untuk mengoptimalkan pengolahan akhir air limbah dengan mengambil contoh air limbah perkantoran sebagai obyek penelitian. Metoda dengan penelitian pada kolam Sanita yang dimodifikasi dengan membagi kolam menjadi 2 (dua) unit sistem yang masing-masing unit dibagi lagi menjadi 2 (dua) kolam. Setiap kolam ditanami dengan tanaman air dengan jenis dan kerapatan yang berbeda. Setiap kolam dilengkapi dengan 6 (enam) titik pengambilan contoh air limbah untuk mengukur pengaruh waktu retensi terhadap pola perubahan kualitas air limbah di dalam kolam Sanita. Analisa kualitas dilakukan dengan tabel silang, sedangkan hubungan parameter dengan teknik regresi sederhana, hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kolam Sanita mampu memperbaiki mutu hasil olahan satu kelas lebih tinggi, dan kinerjanya mencapai angka maksimal ketika air limbah hasil olahan dapat dipakai mengairi tanaman hias. Tetapi pola perbaikan mutu air oleh kolam-1 dan kolam-3 lebih teratur dari pada kolam lainnya. Kata kunci: Air limbah, kolam Sanita, ekologi, perkantoran, rumah tangga
Abstract Development of an urban-scale waste water management system has generally applied both chemical and biological processing. However, the system has not been able to solve all problems concerning wastewater pollution. Development of centralized wastewater treatment system shall reduce the pollution load in an area. This research is aimed at optimizing final wastewater management by using office building wastewater as research object. This study employs methods research on the modified Sanitation Pond which is divided into two system units. Each unit is then divided into two sub ponds. Each sub pond is planted with different types and numbers of water plants. Each sub pond is also equipped with six sample points to measure the effect of retention time to the input as well as the output and pattern of wastewater quality improvement within the Sanitation Pond. Quality analysis is performed using the cross table, while the determination of parameters of the relationship uses simple regression techniques. The study concludes that the sanitation pond could improve the wastewater input one level higher, and its performance reaches maximum value when the treated wastewater is used to irrigate flowering plants. However the pattern of improvement of pond-1 and pond-3 are more regular than the other ponds. Key words: Wastewater, sanitation pond, ecology, office, domesti
PENDAHULUAN Air limbah pada umumnya mengandung unsurunsur yang hampir sama dengan air bersih di daerah bersangkutan dan ditambah dengan beberapa impuritis lainnya yang berasal dari proses yang menghasilkan limbah tersebut. Pada dasarnya air limbah mengandung solid (baik yang terlarut maupun yang tersuspensi) sekitar 1.000 mg/L, berarti 0,1% dari berat air. Untuk
memperoleh gambaran karakteristik suatu sampel air limbah, maka perlu pengukuran sifat sifat air dan analisis kualitas, dibawah ini karakteristik air limbah rumah tangga. Berbagai penelitian dan pengembangan yang berhubungan perbaikan kualitas air limbah, akhir akhir ini banyak dilakukan. Hasil-hasilnya juga telah dipublikasikan, misalnya ekoteknologi sebagai pengendali pencemaran air (Ratna Hidayat
129
Kinerja Kolam Sanita … (Ida Medawaty, R. Pamekas)
& Simon SB, 2007), Sanitasi Taman (SANITA) sebagai alternatif sistem yang dapat memperbaiki kualitas air limbah rumah tangga (Medawaty, 2009), serta aplikasi teknologi hijau untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (Nana Terangna Ginting, 2008:129-136). Berdasarkan teori, pengolahan air limbah ditujukan untuk menghilangkan bahan pencemar baik senyawa organik maupun senyawa anorganik. Di dalam metoda pengolahannya umumnya dilakukan dengan cara pengolahan secara kimia untuk menghilangan senyawa anorganik, sedangkan untuk penghilangan bahan pencemar organik biasanya dilakukan dengan proses biologis atau biokimia (Metcalf and Eddy, 2002). Tabel 1 Tipikal Karakteristik Air Limbah Rumah Tangga Karakteristik (mg/l) BOD COD TOC SS N-ammonia N-NO3 Sumber : Tebbutt, 2001
Air baku 300 700 200 400 40 <1
Pengendapan 175 400 90 200 40 <1
Efluen 20 90 30 30 5 20
Pengembangan sistem pengelolaan air limbah skala perkotaan, pada umumnya telah mengaplikasikan proses pengolahan secara kimiawi maupun biologi. Namun, sistem tersebut belum mampu menyelesaikan seluruh permasalahan pencemaran air limbah. Pengembangan sistem pengolahan air limbah terpusat memang dapat mengurangi beban pencemaran di suatu kawasan. Namun, seringkali menimbulkan persoalan baru terhadap kawasan dihilirnya. Sanitasi Ekologis (Ecological Sanitation), akhir-akhir ini menjadi alternatif solusi terhadap persoalan tersebut. Sanitasi ekologis adalah suatu sistem sanitasi yang menempatkan air limbah sebagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, sanitasi ekologis telah dirancang sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan persoalan baru bagi kawasan dihilirnya, bahkan sebaliknya menyediakan manfaat baru dari pendayagunaan sumberdaya terbarukan (Metcalf and Eddy, 2002). Sanitasi ekologis dapat diterapkan secara luas, jika telah dilakukan pemilihan material organik dengan tidak bercampur dengan limbah padat/sampah kering maka material organik tersebut dapat digunakan sebagai materi yang berguna (recyclable). Grey water dapat diolah menggunakan sistem biologi seperti evatransportation bed dan constructed wetlands. Prinsip dasar kolam Sanita mengolah limbah secara biologis ini adalah proses respirasi
130
tanaman air (hydrophyte) yang mampu menghisap oksigen dari udara melalui daun, batang dan akar kemudian dilepaskan kembali pada daerah sekitar perakaran tanaman. Pusat Litbang Permukiman (2009, 2010) telah melakukan uji coba dengan hasil kualitas efluen telah memenuhi syarat untuk dibuang ke lingkungan atau badan air. Namun, dari penelitian tersebut belum diketahui berapa lama waktu yang dibutuhkan (waktu detensi) untuk mengolah air limbah secara optimal, sehingga dalam perancangan akan dapat ditentukan dimensi kolam yang tepat dan tidak berlebihan. Selain itu, penelitian yang lalu belum dapat menjawab pertanyaan bagaimana hubungan antara waktu retensi dengan pola reduksi beban cemaran yang masuk ? dan bagaimana pengaruh variasi tanaman air terhadap efisiensi penurunan beban cemaran ? Untuk menjawab pertanyaan pertanyaan tersebut, telah dilakukan penelitian inovatif untuk mendapatkan model kolam Sanita yang optimum sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam perencanaan teknik dan layak secara ekonomi. Tulisan ini membahas karakteristik baku air limbah yang akan diperbaiki kualitasnya di kolam Sanita, korelasi antar parameter baku air limbah, pola perubahan kualitas air di kolam Sanita berdasarkan perubahan waktu retensi dan efisiensi serta perbaikan kelas mutu efluen kolam Sanita.
76 cm
330 cm
66 cm
520 cm
70 cm 83 cm
640 cm
30 cm 40 cm 130 cm
894 cm 1070 cm
Gambar 1 Denah Kolam Sanita
45 cm
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 129-137
6,0 m Kolam Sanita-I
1,5 m
Kolam Sanita-II
1,5 m
Efluen dari Jokaso Bak Kontrol Kolam Sanita-III
1,5 m Kapasitas Disain Kolam Sanita = 2 x 14,07 m3/hari = 28,14 m3/hari/36 m2 = 0,78 m3/hari/ m2 atau = 28,14 m3/hari/111 orang = 0,25 m3/kary/hari
Kolam Sanita-IV
1
2
3
1,5 m
4
5
6
6 Titik Sampling @ 1,0 m
Ke Kolam Ikan
Gambar 2 Flow Diagram Kolam Sanita
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di kampus Pusat Litbang Permukiman di Cileunyi Bandung. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan atas pertimbangan telah tersedianya benda uji, dan tersedianya laboratorium pengujian kualitas air. Penelitian ini merupakan penelitian percobaan (experimental research) dengan memodifikasi benda uji skala lapangan yang telah ada di kampus Pusat Litbang Permukiman (gambar 1 dan gambar 2). Kolam Sanita yang ada digunakan sebagai benda uji. Kolam Sanita tersebut dibagi dalam 2 (dua) unit sistem pengolahan air limbah, dan setiap unit terdiri dari 2 (dua) kolam, sehingga seluruhnya terdapat 4 (empat) kolam uji. Setiap unit dialiri air limbah yang akan diolah sebesar 14,04 m3/hari atau debit pengaliran masingmasing kolam adalah 7,02 m3/hari. Luas permukaan setiap kolam Sanita adalah 1,5 m x 6,0 m = 9 m2, sehingga disain beban permukaan benda uji kolam Sanita adalah 7,02 m3/hari : 9 m2 = 1,76 m3/m2/hari.
Pada setiap kolam diisi media berbutir yang berfungsi sebagai media untuk tempat hidup dan berkembang biaknya bakteri. Tinggi atau ketebalan media berbutir yaitu kerikil pada masing-masing kolam adalah 56 cm (Kolam-1), 55 cm (Kolam-2), 58 cm (Kolam-3), dan 57 cm (Kolam-4). Ruang bebas (free board) masing-masing bak adalah 10 cm, sehingga kedalaman efektif masing-masing bak adalah 66 cm (Kolam-1), 65 cm (Kolam-2), 68 cm (Kolam-3), dan 67 cm (Kolam-4).
Pada masing-masing bak dilengkapi dengan 6 (enam) pipa pengambil contoh air limbah hasil olahan.
Pada kolam Sanita tersebut ditanami jenis tanaman yang berbeda dan ditanam secara seri. Kolam ke-1 ditanami 3 (tiga) jenis tanaman yaitu (i) Papirus mini, (ii) Melati Air dan (iii) Alicia dengan jumlah masing-masing 8 (delapan) buah. Kolam ke-2 juga ditanami 3 (tiga) jenis tanaman air yaitu (i) Kana Ungu, (ii) Papirus mini dan Alicia, tetapi dengan jumlah masing-masing 5 (lima) buah. Kolam ke-3 ditanami 4 (empat) jenis tanaman air yaitu (i) Kana Kuning, (ii) Soluna, (iii) Papirus Mini, dan (iv) Alicia dengan jumlah masing-masing 4 (empat) buah. Kolam ke-4 ditanami 5 (lima) jenis tanaman air yaitu (i) Kana Ungu, (ii) Bambu Air, (iii) Melati Air, (iv) Pakis Air, dan (v) Alicia, dengan jumlah masing-masing 3 (tiga) buah, secara ringkas pada tabel 2.
Dengan enam titik sampling tersebut lama waktu retensi masing-masing titik adalah 1,65 jam, 3,30 jam, 4,95 jam, 6,60 jam, 8,25 jam dan 9,90 jam. Dengan demikian, terdapat 7 (tujuh) ruang permukaan dengan luas masing-masing 1,5 x 1,0 m = 1,5 m2.
Pengambilan contoh air dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali yaitu pada tanggal 4 November 2010, 16 November 2010, dan 2 Desember 2010. Pengambilan contoh dilakukan di 4 (empat) kolam yang masing-masing mempunyai 7 (tujuh) titik sampling termasuk inlet, sehingga Jumlah contoh 131
Kinerja Kolam Sanita … (Ida Medawaty, R. Pamekas)
Tabel 2 Data Kolam Sanita Uraian K-1 K-2 K-3 K-4 1 Panjang 6m 6m 6m 6m 2 Lebar 1,5 m 1,5 m 1,5 m 1,5 m 3 Dalam 0.8 m 0.8 m 0.8 m 0.8 m 4 Tinggi media 56 cm 55 cm 58 cm 57 cm 5 Tinggi free board 10 cm 10 cm 10 cm 10 cm 6 Tanaman Jenis 2 3 4 5 jumlah @8bh @5bh @ 4 bh @ 3 bh Sumber : Penelitian Tim Pusat Litbang Permukiman, 2010
Analisis data kualitas air dilakukan dengan menggunakan tabel silang (cros tab) bertujuan untuk mengetahui hubungan antar parameterparameter kualitas air dengan hasil pengujian serta standar yang ditetapkan, sedangkan hubungan antar parameter yang diamati, dilakukan dengan metode dan teknik regresi sederhana yaitu bertujuan untuk mengetahui hubungan antara 2 (dua) variabel yaitu variabel dependent (variabel yang dipengaruhi) dengan variabel independent (variabel yang dipengaruhi), apakah bersifat positif atau negatif. Perhitungan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan paket program Excel MSWord 2007. Interpretasi data dilakukan dengan mempelajari kesesuaian analisis dengan teori teori yang berhubungan dengan kualitas air. Sintesis dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan membandingkan kualitas input air limbah dengan kualitas output hasil olahan yang dinyatakan dengan nilai komposit parameter yang diperiksa. Indeks kualitas yang menjelaskan angka komposit tersebut adalah akar kuadrat dari jumlah nilai hasil lab. Seluruh parameter yang diperiksa.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik air limbah yang akan diolah di kolam Sanita, dirangkum pada tabel 3. Air limbah yang diolah dalam kolam Sanita adalah efluen dari IPAL Johkaso aerobik yang mengolah seluruh air limbah dari kamar mandi dan WC kampus Pusat Litbang Permukiman di Cileunyi Kabupaten Bandung. Sebagaimana yang tertera pada tabel 2 tersebut, kualitas input air limbah ke kolam Sanita, secara keseluruhan belum memenuhi persyaratan untuk air baku air minum, tetapi sudah memenuhi persyaratan air untuk prasarana dan sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar,
132
peternakan, dan air untuk mengairi pertamanan. Demikian juga parameter BOD, NH4 dan Phosphat belum memenuhi persyaratan untuk seluruh kelas baku mutu air. Parameter COD sudah memenuhi syarat untuk baku mutu kelas-3 dan kelas-4 yaitu untuk budidaya ikan air tawar, peternakan dan mengairi pertamanan. Unsur lainnya yaitu TSS dan N sudah memenuhi persyaratan untuk peruntukan seluruh kelas baku mutu air. Selain itu, efluen IPAL Johkaso yang menjadi input air limbah kolam Sanita berfluktuatif berdasarkan perubahan waktu pengukuran. Pada awal pengukuran beban masuk sebesar 29,37 skala indeks, dan meningkat menjadi 55,60 skala indeks atau meningkat 47,17%, kemudian menurun kembali menjadi 40,00 skala indeks atau penurunan sebesar 13,67%. Dengan fluktuasi demikian, maka selama satu bulan proses pengolahan air limbah (4 November - 02 Desember 2010) terdapat peningkatan beban input sebesar 38,8%. Perubahan beban air limbah tersebut, kemungkinan terkait dengan pola operasional kantor yaitu 5 (lima) hari bekerja dan 2 (dua) hari libur. Sementara itu berdasarkan tanggal pengukuran, waktu tinggal (retensi) air limbah di IPAL Johkaso untuk pengukuran tanggal 4 November adalah 5 (lima) hari, untuk pengukuran tanggal 16 November adalah 2 (dua) hari, dan untuk pengukuran tanggal 2 Desember adalah 4 (empat) hari. Hal tersebut membuktikan adanya hubungan antara waktu retensi dengan perubahan beban input pada kolam Sanita. Pola hubungan tersebut disajikan pada gambar 3. 60.0 55.0 Indeks Beban Air Limbah
air limbah yang diambil adalah 84 (delapan puluh empat) contoh. Parameter air limbah yang diperiksa dari setiap contoh tersebut adalah BOD, COD, TSS, pH, NH4, N, Phospat, Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Dengan demikian data parameter yang terkumpul menjadi 84 x 6 data = 504 data.
50.0 45.0 y = -8.037x + 73.79 R² = 0.827
40.0 35.0
y = -4.943x2 + 25.86x + 23.65 R² = 1
30.0 25.0 1.50
2.50
3.50
4.50
5.50
Waktu Retensi Sumber : Hasil Analisa, November-Desember 2010 Gambar 3 Hubungan antara Beban Air Limbah dengan Waktu Retensi
Rumusan atau model matematis yang menyatakan hubungan linier antara beban air limbah dengan waktu retensi tersebut adalah sebagai berikut : BAL = -8,037 WR + 73,79 ............................................1) (R2 = 0,827, r = 0,909)
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 129-137
BAL = -4,943WR2 + 25,86WR + 25,65 .................. 2) (R2 = 1,000, r = 1,000) Keterangan : BAL : Beban air limbah (skala indeks) WR : Waktu retensi (hari) R2 : Koefisien determinasi r : Koefisien korelasi 73,79 : Konstanta model-1 (model regresi sederhana) 25,65 : Konstanta model-2 (model kuadratik) Persamaan ke-1 adalah model regresi sederhana, sedangkan persamaan ke-2 adalah model polinomial atau model kuadrat, dengan catatan bahwa kedua model berlaku untuk waktu retensi antara 2,0 hari sampai dengan 5,0 hari dan beban air limbah antara 29,37 – 55,60 skala indeks. Koefisien determinasi yang mendekati 1,0 mencerminkan tingkat probabililitas yang tinggi untuk memprediksi besarnya perubahan beban air limbah apabila waktu retensi berubah. Berdasarkan rumus 1 dan 2 tersebut diketahui bahwa setiap satu hari air limbah tinggal di dalam instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Johkaso, terjadi penurunan beban air limbah sebesar 8,037 skala indeks (model-1), dan 4,943 skala indeks (model-2). Ketelitian model-1 yang diukur dari selisih antara nilai observasi dengan nilai prediksi adalah 9,90% sedangkan ketelitian model-1 adalah 0,09% (lihat tabel 4). Tabel 4 Perbandingan antara Observasi dan Prediksi Beban Air Limbah Reduksi-1 WR Model-1 (linier) BAL = -8,037* WR + 73,79
BAL (Prediksi) BAL (Observasi) Rata-rata R2
-16.074
-24.111 -32.148
-40.185 -48.222
1
2
3
4
5
6
57.716 55,6
49.679
41.642 48
33.605 29,37
25.568
-3,7%
29,5%
Selisih
r Model-2 (Polinomial) BAL = -4,943 WR2 + 25,86 WR + 25,65
-8.037 65.753
3,7%
9,9% 0,827 0,909
Reduksi-2
-4.943
-19.772
33.093
24.352
5.725
BAL (Prediksi)
44.557
55.578
56.713
47.962
29.325
BAL (Observasi) Selisih Rata-rata
55,6
48
29,4
0,04%
0,08%
0,15%
0,802
0,09%
Indeks beban air limbah (BAL) adalah nilai komposit dari 7 (tujuh) parameter air limbah yang diukur. Nilai indeks tersebut diperoleh dari akar dari jumlah kuadrat parameter-parameter yang diukur, dan merupakan resultan dari seluruh beban yang terkandung pada ketujuh parameter yang diukur. Pola perubahan beban air limbah per satuan waktu untuk masing-masing parameter tidak sama. Kecenderungan perubahan beban air limbah untuk 4 (empat) parameter air limbah yaitu BOD, COD, TSS, dan N adalah sama dengan indek kompositnya (tabel 1). Tiga parameter lainnya yaitu pH, NH4, dan Phospkat cenderung berbeda dengan angka kompositnya. Hal tersebut memberi indikasi bahwa kecenderungan pola perubahan beban air limbah per satuan waktu dipengaruhi
oleh parameter-parameter BOD, COD, TSS, dan Nitrogen (N). Korelasi Antar Parameter Input Air Limbah Nilai beban cemaran masing-masing parameter air limbah yang diukur dan yang menjadi input kolam Sanita tidak sama (tabel-2). Parameter-parameter hubungan (korelasi) diantara parameter input beban air limbah kolam Sanita, dirangkum pada tabel 5. Tabel 5 Korelasi Parameter Input Air Limbah BOD BOD
COD
TSS
0,9529
TSS
0,1095 0,1949
NH4
0,6943 0,8792 0,6387
PO4
N
PO4
0,9529 0,1095 0,6943 0,5235 0,9482
COD
N
NH4
0,1949 0,8792 0,2429 0,8087 0,6387 0,9033 0,4183 0,2470 0,4301
0,5235 0,2429 0,9033 0,2470
0,7668
0,9482 0,8087 0,4183 0,4301 0,7668
Sumber : Hasil Analisa November-Desember 2010
Sebagaimana tertera pada tabel 3, parameterparameter input kolam Sanita seluruhnya mempunyai hubungan (berkolerasi) positif atau menunjukkan arah yang sama. Parameterparameter yang hubungannya (korelasinya) dinilai cukup kuat adalah parameter-parameter (i) BOD dengan COD, Phosphat dan NH4 (ii) parameter COD dengan NH4 dan Phospat, (iii) TSS dengan NH4 dan N, dan (iv) N dengan Phospat. Sementara itu parameter-parameter yang hubungannya (korelasinya) dinilai lemah adalah parameter (i) TSS dengan BOD, COD, Phosphat, (ii) COD dengan N, (iii) NH4 dengan N, dan (iv) NH4 dengan N, dan Phosphat. Menurut Santoso, 2002, kekuatan dan kelemahan hubungan (korelasi) dapat dikenali dari besarnya angka korelasi yang nilainya ≥ 0,5 (kuat) dan nilainya < 0,5 (lemah). Hubungan positif tersebut memberi arti bahwa ketika satu parameter meningkat beban cemarannya, maka meningkat pula beban pencemaran parameterparameter yang berkorelasi. Pada kasus contoh input air limbah kolam Sanita (tabel-1) terlihat bahwa peningkatan konsentrasi BOD pada pengukuran tanggal 16 November 2010 diikuti pula dengan peningkatan konsentrasi COD, Phosphat dan NH4. Demikian pula dengan peningkatan konsentrasi COD yang diikuti oleh peningkatan konsentrasi NH4 dan Phosphat, Peningkatan konsentrasi parameter TSS diikuti peningkatan konsentrasi NH4 dan N. Peningkatan konsentrasi N diikuti peningkatan konsentrasi Phosphat. Peningkatan BOD dan COD sebenarnya diikuti pula oleh peningkatan TSS, tetapi nilainya tidak terlalu besar sehingga dikategorikan tidak signifikan.
133
Kinerja Kolam Sanita … (Ida Medawaty, R. Pamekas)
Dengan mengetahui adanya hubungan tersebut, maka pada pengukuran lanjutan tidak seluruh parameter perlu dianalisis di laboratorium, tetapi hanya parameter-parameter tertentu saja. Parameter lainnya dapat diperkirakan perubahannya dengan memperhatikan kuat atau lemahnya hubungan dengan parameter lain yang diprediksi. Hal tersebut, selain dapat mempercepat pelaksanaan monitoring, juga dapat menghemat
biaya yang monitoring.
diperlukan
untuk
melakukan
Pola Perubahan Kualitas Air Limbah di Kolam Sanita Gambar 3, menyajikan hasil analisis perubahan konsentrasi beban pencemaran di kolam Sanita ke1 pada setiap perubahan waktu retensi (retention time atau detention time).
Tabel 3 Input Beban Air Limbah Kolam Sanita Tanggal Pengukuran
BOD
COD
TSS
pH
NH4
N
04-Nov’10
12,5
22
10
7,3
4
3,1
6,6
29,37
16-Nov’10
26,4
46,56
12
7,2
3,8
3,5
2,02
55,6
Phosphat Indeks Beban Air Limbah
02-Des’10
20,1
42,3
0,5
7,7
3,7
2,8
5,4
48
Baku Mutu-1
2
10
50
06-Sep
0,5
10
0,2
52,01
Baku Mutu-2
3
25
50
06-Sep
0,002*)
10
0,2
56,87
Baku Mutu-3
6
50
400
06-Sep
0,002*)
20
1
403,65
Baku Mutu-4
12
100
400
05-Sep
0,002*)
20
5
413
Catatan : Q Air Limbah = 0,1667 liter/detik/Unit = 14,04 m3/hari/unit *) Untuk perikanan, kandungan amonia bebas untuk ikan yang peka <=0,002 mg/liter Sumber : Hasil Analisa, November-Desember 2010
Kolam-1
Kolam-2
Gambar 4 Pola Perubahan Kualitas Air Limbah di Kolam-1 dan Kolam-2 Sanita Sumber : Hasil Analisa Tim Peneliti
Sebagaimana dapat dipelajari dari gambar 4 tersebut, terdapat penurunan beban cemaran air limbah seiring dengan peningkatan waktu retensi, Besarnya perbedaan (gap) antara nilai beban cemaran pada input (retensi = 0 jam) dengan output (retensi 9,90 jam) mencerminkan efisiensi kolam Sanita dalam memperbaiki kualitas air limbah yang masuk. Namun, besarnya perubahan pada masing-masing parameter air limbah tidak sama, bahkan pola perubahannyapun tidak sama pula. Pola penurunan BOD, COD, Phosphat dan NH4 pada kolam-1 dan kolam-2 mencerminkan adanya hubungan (korelasi) diantara parameterparameter tersebut. Hubungan tersebut juga selaras dengan hubungan input air limbah ke
134
kolam Sanita. Hal itu berarti bahwa korelasi diantara parameter input air limbah ke kolam Sanita berpengaruh pula terhadap pola hubungan parameter selama proses pengolahan di kolam Sanita. Pola perubahan kualitas air limbah di kolam-1 lebih teratur apabila dibandingkan dengan yang terjadi di kolam ke-2. Hal tersebut tampak jelas dari arah perubahan yang terjadi yang mendekati garis lurus. Sementara itu pada kolam-2 terjadi loncatan atau kenaikan pada beberapa titik pengamatan. Secara teoritis, dengan peningkatan waktu retensi, maka reduksi beban cemaran semakin besar sehingga perubahan kualitas air berlangsung secara konsisten mengikuti lamanya
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 129-137
waktu retensi. Beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab tidak teraturnya pola perubahan kualitas air limbah tersebut antara lain adalah : 1) Pengaruh susunan jenis dan kerapatan tanaman yang berbeda di setiap kolam
2) Pengaruh cuaca diluar kolam seperti suhu, curah hujan, angin 3) Kesalahan manusia (human eror) pada saat pengambilan contor air limbah dari kolam.
50,00
50,00
Indeks
Indeks
BOD
45,00
BOD
45,00
COD
COD
TSS
40,00
TSS
40,00
NH4
N
35,00
Beban Cemaran (mg/liter)
Beban Cemaran (mg/liter)
NH4 P 30,00
25,00
20,00
15,00
N
35,00
P 30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
10,00
5,00
5,00
0,00 0
1,65
3,30
4,95
6,60
8,25
9,90
Waktu Retensi (Jam)
0,00 0
1,65
3,30
4,95
6,60
8,25
9,90
Waktu Retensi (Jam)
Kolam - 3
Kolam- 4
Gambar 5 Pola Perubahan Kualitas Air Limbah di Kolam-3 dan Kolam-4 Sanita
Pada penelitian ini, seluruh kolam Sanita sudah ditanami dengan berbagai jenis tanaman, dengan struktur, jenis, dan jumlahnya pada setiap kolam berbeda. Pola perilaku perubahan kualitas air limbah di kolam ke-3 relatif sama dengan pola perubahan di kolam-1, sedangkan pola perubahan kualitas air di kolam ke-4 relatif sama dengan perubahan di kolam-2 (gambar 5). Kolam kontrol tanpa tanaman air, diperlukan untuk mengukur pengaruh tanaman terhadap perubahan kualitas air limbah yang terjadi di kolam yang ada tanamannya. Oleh karena itu kolam kontrol tersebut dapat berfungsi sebagai base line. Kerapatan tanaman diperkirakan dapat berpengaruh pada pengaliran air di dalam kolam. Kemungkinan adanya turbulensi di sekitar batang tanaman dan dekat dengan titik sampling dapat terjadi. Semakin rapat tanaman, semakin besar turbulensi aliran permukaan. Perubahan cuaca, dari panas ke hujan dan sebaliknya, kemungkinan berpengaruh pula pada pola aliran dan proses pengenceran air limbah didalam kolam. Air hujan yang masuk kedalam kolam dapat memperbesar debit pengaliran, dan bahkan kemungkinan besar dapat berpengaruh kehidupan bakteri yang menempel pada media kerikil. Akhirnya, teknik pengambilan sampel, juga diperkirakan dapat terjadi apabila pengambilan contoh air limbah dilakukan oleh operator, apalagi tidak disertai dengan pengawasan dan pengendalian yang memadai. Jawaban terhadap kemungkinan
kemungkinan tersebut hanya dapat diperoleh dengan melakukan penelitian lanjutan. Efisiensi dan Perbaikan Kelas Mutu Efluen Kolam Sanita Secara kasat mata, efisiensi pengolahan kolam Sanita, dapat diamati dari grafik pada gambar 4 dan gambar 5. Secara lebih terinci, nilai efisiensi pengolahan kolam Sanita, untuk masing-masing kolam percobaan Sanita dapat dipelajari dari hasil analisis yang dirangkum pada tabel 6. Secara keseluruhan, efisiensi kolam Sanita ke-3 paling tinggi bila dibandingkan dengan kolam Sanita lainnya yaitu 59,10%. Kemudian, diikuti berturut turut oleh kolam Sanita ke-1 (53,7%), ke2 (50,40%, dan ke-4 (46,6%). Namun, efisiensi pengolahan masing-masing parameter, tidak sama diantara ke-empat kolam Sanita tersebut. Efisiensi kolam Sanita ke-3 paling tinggi untuk parameter COD dan Phosphat, efisiensinya tetapi paling rendah untuk parameter BOD. Kolam-1 memiliki peringkat efisien ke-2 dalam mengolah seluruh parameter air limbah secara terintegrasi. Efisiensi kolam ke-1 Sanita, paling tinggi untuk menurunkan BOD, tetapi efisiensinya paling rendah dalam menurunkan TSS, NH4, N, dan Phosphat. Kolam ke2 Sanita memiliki peringkat ke-3 dalam mengolah air limbah secara terintegrasi. Efisiensi kolam Sanita ke-3, paling tinggi untuk mereduksi TSS, dan Phosphat, dan efisiensi reduksi parameter lain tidak ada yang termasuk kategori rendah. Efisiensi kolam Sanita ke-4 berada pada peringkat terendah dalam mengolah air limbah secara 135
Kinerja Kolam Sanita … (Ida Medawaty, R. Pamekas)
terintegrasi. Tetapi, kolam Sanita ke-4 ini efisiensinya paling tinggi dalam mereduksi parameter NH4 dan N. Efisiensi terendah dari kolam-4 Sanita adalah dalam mengolah parameter COD. Atas dasar fakta tersebut, maka masingmasing kolam Sanita memiliki keunggulan. Kolam1 unggul dalam mereduksi BOD, kolam-2 unggul dalam mereduksi TSS, kolam-3 unggul dalam mereduksi COD, dan kolam-4 unggul dalam mereduksi NH4 dan N. Fenomena tersebut, perlu diteliti lebih lanjut untuk menggali faktor penentu keunggulan masing-masing kolam dalam mereduksi parameter-parameter tersebut. Dengan efisiensi kolam Sanita antara 28,7% - 61,7%, maka parameter-parameter yang berubah kelas mutunya adalah (i) parameter BOD yang semula belum memenuhi standar semua kelas mutu air limbah menjadi memenuhi standar untuk kelas mutu air limbah ke-3 yaitu untuk kolam Sanita ke-3, dan kelas mutu air limbah ke-4 untuk efluen kolam Sanita ke-1, ke-2, dan ke-4, (ii) parameter COD yang semula telah memenuhi standar kelas mutu
air limbah ke-3, meningkat menjadi kelas mutu air limbah ke-2 untuk semua kolam Sanitasi percobaan. Tetapi kelas mutu air limbah untuk parameter Phosphat masih tetap sama yaitu kelas4 meskipun beban pencemarannya telah berkurang dari 2,02-6,60 mg/liter menjadi 2,202,8 mg/liter. Parameter TSS, NH4 dan N yang telah berada pada kelas mutu ke-1, masing-masing telah mengalami perbaikan beban pencemaran yaitu : 1) NH4 dari sekitar 3,7-4,00 mg/liter menjadi 2,73,53 mg/liter, 2) N dari 2,8-3,1 mg/liter menjadi 2,23-2,73 mg/liter, 3) TSS dari 0,50-10,0 mg/liter menjadi 3,7-8,33 mg/liter. Adanya perubahan kelas mutu air limbah tersebut, maka efluen kolam Sanita, minimal dapat digunakan untuk mengairi pertamanan, budidaya ikan air tawar, prasarana dan sarana rekreasi air, bahkan untuk keperluan baku air minum, khususnya parameter TSS,NH4, dan N.
Tabel 6 Efisiensi Pengolahan Kolam Sanita Kolam
Indeks
BOD
COD
TSS
NH4
N
Phosphat
I
53,70%
57,80%
59,60%
-11,10%
7,80%
12,80%
40,10%
II
50,40%
46,90%
52,80%
50,70%
13,00%
16,00%
52,90%
III
59,10%
16,90%
61,70%
19,60%
16,00%
16,00%
52,90%
IV
46,60%
50,50%
47,10%
0,28
28,70%
28,70%
45,80%
Maks
59,10%
57,80%
61,70%
50,70%
28,70%
28,70%
52,90%
Min
46,60%
16,90%
47,10%
-11,10%
7,80%
12,80%
40,10%
Sumber : Hasil Perhitungan
KESIMPULAN
3.
Kesimpulan yang dapat dirumuskan dari hasil percobaan optimalisasi kolam Sanita untuk pengolahan akhir air limbah perkantoran adalah sebagai berikut : 1. Kolam Sanita mampu memperbaiki kualitas input air limbah yang semula tidak memenuhi standar semua kelas mutu air limbah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 82 Tahun 2001; BOD = 12 mg/L, COD = 100 mg/L, TSS = 400 mg/L, NH3-N = 20 mg/L menjadi memenuhi standar mutu kelas -3 dan kelas -4. 2. Pola perbaikan kualitas air limbah berdasarkan perubahan waktu retensi di kolam ke-1 membutuhkan waktu retensi (td) minimal 9,98 ~ 10 jam; di kolam -2 membutuhkan waktu retensi (td) minimal 7 jam; di kolam – 3 membutuhkan waktu retensi (td) minimal 6,65 jam; di kolam – 4 membutuhkan waktu retensi (td) minimal 3,33 jam.
SARAN
136
1.
2.
Optimalisasi kolam Sanita dalam pengolahan akhir air limbah domestik, tercapai ketika nutrient yang terdapat pada input kolam Sanita dipakai mengairi tanaman Kana Kuning, Soluna, Papirus Mini, dan Alicia pada waktu retensi selama 9,90 jam. Hal tersebut terbukti dari peningkatan status mutu limbah olahan dari semula belum memenuhi syarat baku mutu menjadi memenuhi syarat untuk dikembalikan ke media lingkungan hidup.
Karena penelitian ini difokuskan pada pengaruh waktu retensi, maka kontribusi tanaman terhadap peningkatan efisiensi kolam Sanita belum dapat diukur. Oleh karena itu, penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengukur besarnya pengaruh tanaman terhadap perbaikan kualitas air limbah berdasarkan jenis, dan kerapatan tanaman. Dalam upaya penanganan penyehatan lingkungan permukiman dengan berbagai alternatif pengolahan air limbah rumah tangga
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 129-137
perlu dikembangkan lebih lanjut agar diperoleh suatu model yang lebih efisien, murah dan mudah dalam pengoperasiannya.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran Air. Eriatno, 2003. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Jilid Satu. IPB Press. 2003. Ginting Nana T., 2008. Mitigasi dan Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Melalui Penerapan Teknologi Hijau. Jurnal Permukiman Volume 3. Juli 2008 (129-136). Hidayat R., Brahmana Simon, 2007. Mengenal Lebih Dekat: Ekoteknologi sebagai Pengendali Pencemaran Air. Badan Litbang PU. Jakarta.
[KLH], Kementerian Lingkungan Hidup, 2004. Himpunan Peraturan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Penegakan Hukum Lingkungan. Medawaty Ida, 2009. Sanitasi Taman Salah Satu Alternatif Sistem Pengolahan Air Limbah Rumah Tangga. Jurnal Permukiman Volume 4 Nomor 1. 2009 (1-9). Santoso S., 2002. Mengolah Data Statistik secara Profesional. PT Alex Media Komputindo. Jakarta. Metcalf and Eddy, 2002. Wastewater Engineering, Treatment and Reuse 4th Edition International Edition Mc Graw Hill. Boston-USA. AMPL, Maret 2010. Pencemaran Sumber Air Tanah di Kota-kota Besar Indonesia.
137
Konsumsi dan Pelanggan … (Nurhasanah S., Fitrijani A., R. Pamekas)
KONSUMSI DAN PELANGGAN AIR MINUM DI KOTA BESAR DAN METROPOLITAN Drinking Water Consumption and Customers in Big Cities and Metropolitan 1Nurhasanah
Sutjahjo, 2Fitrijani Anggraini, 3R. Pamekas
Pusat Litbang Permukiman Jalan Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung 40393 1Email:
[email protected] 2Email:
[email protected] 3Email:
[email protected] Diterima : 14 Januari 2011; Disetujui : 14 Juli 2011
Abstrak Air adalah kehidupan, sehingga tanpa air tidak akan ada kehidupan. Ketersediaan air tawar dan jernih di lingkungan permukiman mencerminkan kapasitas lingkungan untuk mendukung kehidupan. Salah satu indikator yang telah digunakan secara global untuk mengukur daya dukung lingkungan adalah akses penduduk terhadap sumber air yang aman. Namun, indikator tersebut hanya bermanfaat untuk penetapan kebijakan. Selain itu, indikator itu tidak dapat digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan air minum. Para perancang dan perencana memerlukan indikator yang cepat dan tepat untuk merencanakan pelayanan air minum yang berkelanjutan. Keragaman disain kriteria dapat menyebabkan kesulitan dalam menciptakan pelayanan air minum yang memadai. Oleh karena itu, penelitian inovasi dan deskriptif ini dilaksanakan untuk mengkaji ulang pelayanan air minum di kota besar dan metro terpilih. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode statistik deskriptif dan statistik inferensial. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan parameter jumlah elemen tarif air, banyaknya pelanggan, banyaknya air yang didistribusikan kepada pelanggan, dan konsumsi atau pemakaian air rata-rata per kapita dan per hari. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pelanggan rumah tangga merupakan pemakai air minum terbesar antara 65-85% dengan konsumsi air minum rata-rata untuk rumah sederhana antara 135-145 liter /orang/hari, rumah menengah antara 146-155 liter/orang/hari, dan rumah mewah antara 156-245 liter /orang/hari. Kata kunci: Air minum, pelayanan, konsumsi air, kota besar, kota metropolitan
Abstract Water is life and without water there will be no life. The availability of fresh and clean water in the settlement area represented the capacity of the environment to carry out life. One of the indicators that has been used globally to measure that environmental capacity is the access of population to safe water sources. However, the indicator is useful only for policy and decision making. In addition, this indicator cannot be used to measure the quality of water supply services. Designers and planners need fast and accurate indicators to design sustainable water supply services. The variety of the available design criteria may cause difficulties to create a proper water supply service. Therefore, this innovation and descriptive study is conducted to review drinking water services in selected big and metropolitan cities. The services are analyzed using descriptive statistics and inferential statistics and the results are evaluated using the parameters of a number of elements such as water tariffs, number of customers, amount of water distributed to customers, and consumption or average water consumption per capita and per day. This study concludes that domestic customers are the largest water users between 65-85% with the average consumption of drinking water of 135-145 liters/cap/day for simple housing, 146-155 liters /cap/day for medium housing and 156-245 liters cap/day for luxury housing. Keyword: Drinking water, service, water consumption, big city, metro city
PENDAHULUAN Air adalah kehidupan dan tanpa air tidak akan ada kehidupan. Air termasuk kategori sumber daya karena kemampuannya untuk memenuhi atau menangani kebutuhan manusia dan juga menjadi
138
sumber persediaan, menunjang dan memberi bantuan terhadap kehidupan. Air dapat dikategorikan sebagai sumberdaya tak terbarukan apabila kemampuan memulihkan diri lebih kecil daripada volume pemanfaatannya. Oleh karena itu, sumber air tanah yang terbatas dapat
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 138-146
dikategorikan sebagai sumber air tak terbarukan Sebaliknya, menjadi sumberdaya terbarukan apabila kemampuan memulihkan diri lebih besar dari pada volume pemakaiannya. Air sungai yang melimpah dikategorikan sebagai sumberdaya terbarukan (Fauzi, 2004). Kemampuan lingkungan menunjang kehidupan dan penghidupan manusia dan mahluk hidup lainnya disebut daya dukung lingkungan. Kemampuan lingkungan menerima zat zat yang masuk atau dimasukkan kedalamnya disebut daya tampung lingkungan (UU 32/2009). Sebagai sumber persediaan, kelestarian air harus dijaga sehingga dapat dimanfaatkan sebesar besarnya untuk menunjang kehidupan manusia (pasal-33 UUD 45). Oleh karena itu, ketersediaan air tawar dan jernih di suatu lingkungan permukiman tertentu, mencerminkan kemampuan lingkungan dalam mendukung kehidupan dan peri kehidupan. Indikator untuk mengukur daya dukung air di lingkungan permukiman adalah kemampuan lingkungan tersebut menyediakan air baku minimum sebesar 220 liter/orang/hari atau setara dengan 80,3 m3/orang/tahun. Indikator lainnya yang digunakan dalam pembangunan milenium, khususnya tujuan ke-7 adalah akses penduduk terhadap sumber air yang aman. Namun, indikator tersebut hanya bermanfaat untuk penetapan kebijakan. Selain itu, indikator itu juga tidak dapat digunakan untuk mengukur kualitas pemakaian air minum. Sementara itu, para perancang dan perencana memerlukan lebih banyak indikator untuk merencanakan pelayanan air minum yang berkelanjutan. Sayangnya, teknologi yang telah tersedia belum banyak yang diperbaharui. Teknologi dimaksud antara lain adalah perencanaan pemakaian air untuk fasilitas bangunan gedung tahun 1960, klasifikasi kebutuhan dasar air bersih yang diluncurkan pada peringatan dasawarsa air bersih dan penyehatan lingkungan tahun 1983, yang telah ditetapkan berdasarkan klasifikasi kota (metropolitan, besar, sedang, kecil dan IKK) dan penelitian yang telah dikaji oleh Pusat Litbang Permukiman dengan LAPI ITB (1988), rekomendasi pemakaian air rata-rata 178 liter/org/hari berdasarkan kategori kota (Pusat Litbang Permukiman, 2000). Terakhir rekomendasi pemakaian air (Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2005) dengan menghasilkan pemakaian air rata-rata sebesar 144 liter/orang/hari dan standar yang mendukung untuk klasifikasi pemakaian air menurut Standar Plambing SNI 03-7065-2005.
Beberapa kriteria tersebut mungkin sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang. Keragaman disain kriteria dapat menyebabkan kesulitan dalam menciptakan pelayanan air minum yang memadai. Keadaan tersebut semakin rumit ketika perkembangan penyediaan air minum perpipaan di Indonesia belum menggembirakan. Kemajuan penyediaan air minum perkotaan yang dinilai dari akses rumah tangga terhadap air minum perpipaan justru menurun dalam 5 tahun terakhir dari 36,2 persen (tahun 2000) menjadi hanya 30,8 persen pada tahun 2006 (United Nation, Bappenas, 2007). Namun, indikator pemakaian air bersih belum digunakan untuk mengukur kualitas pembangunan milenium. Menurut buku Direktori PERPAMSI 2010, jumlah PDAM seluruh Indonesia 401 perusahaan yang dibagi atas 5 klasifikasi jumlah pelanggan PDAM yaitu : tipe A 212 perusahaan (53,1% dengan jumlah pelanggan s.d. 10.000), tipe B 136 perusahaan (34% dengan jumlah pelanggan 10001-30.000), tipe C 20 perusahaan (5% dengan jumlah pelanggan 30.001-50.000), tipe D 19 perusahaan (4,8% dengan jumlah pelanggan 50.001-100.000) dan tipe E 12 perusahaan (3% dengan jumlah pelanggan > 100.000). Mengacu pada pengertian pembangunan berkelanjutan, maka pelayanan air minum harus memperhitungkan potensi terjadinya kelangkaan sumber air baku setempat ataupun yang dapat dipasok dari luar. Persoalannya adalah bagaimana mendistribusikan air diantara para pemakai air yang berbeda secara berkeadilan dan bagaimana mengendalikan konsumsi air minum agar pemakaiannya optimal. Bagaimana mengalokasikan air diantara daerah yang berbeda ? Untuk menjawab permasalahan tersebut, dilakukan penelitian inovasi dan deskriptif serta evaluatif mengkaji ulang pelayanan air minum di kota besar dan metropolitan terpilih. Makalah ini membahas hasil penelitian tersebut yang meliputi karakteristik pelayanan air minum, volume air yang disalurkan ke pelanggan, konsumsi air per pelanggan dan untuk setiap orang per harinya serta pertumbuhan pelanggan maupun pertumbuhan konsumsi air.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian inovasi dan dalam analisisnya menggunakan statistik deskriptif. Kota studi yang dipilih adalah kota Bogor dan Malang yang mewakili kota pegunungan, kota Medan dan Jakarta yang mewakili kota pantai. Kota Bogor dan Malang, juga mewakili kota besar,
139
Konsumsi dan Pelanggan … (Nurhasanah S., Fitrijani A., R. Pamekas)
sedangkan kota Medan dan kota Jakarta mewakili kota metropolitan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode survei, khususnya ke PDAM kota kota studi. Data yang akan dianalisis disusun dalam bentuk matrik dua sisi sehingga mempermudah dalam melakukan perhitungan perhitungan yang menggunakan paket Excel MS Words. Matrik yang disajikan, membentuk model kualitatif yang menjelaskan adanya hubungan antar unsur-unsur atau sel-sel didalamnya (Muhamadi dkk, 2001). Analisis dilakukan dengan menggunakan metode statistik deskriptif. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan parameter jumlah elemen tarif air, banyaknya pelanggan, banyaknya air yang didistribusikan kepada pelanggan, dan konsumsi atau pemakaian air rata-rata per kapita per hari. Interpretasi data dilakukan dengan memperhatikan landasan teori dengan model statistik yang digunakan. Interpretasi dilakukan dengan cara menafsirkan hubungan-hubungan didalam telaah data hasil penelitian dan disebut interpretasi analitis. Selain itu, interpretasi dilakukan dengan mengupayakan pengertian yang lebih luas terhadap hasil penelitian atau interpretasi sintesis yang menyatukan interpretasi analitis untuk menjawab tujuan penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pelanggan Air Minum Berdasarkan Permendagri Nomor 2 Tahun 1998 tentang Peraturan Penetapan Tarif Air Minum 2006, kategori tarif yang berlaku secara nasional, pelanggan PDAM dapat dibagi menjadi 6 (enam) kelompok pelanggan yaitu (i) sosial, (ii) rumah tangga, (iii) instansi, (iv) niaga, (v) industri, dan (vi) pelanggan lainnya.
Setiap kelompok pelanggan tersebut dapat dibagi lagi menjadi beberapa sub kelompok atau elemen elemen pelanggan berdasarkan kebutuhan dan keadaan pelanggannya. Semakin banyak jumlah pelanggannya dan semakin bervariasi fungsinya, maka semakin banyak pembagian kategori pelanggannya. Sebagaimana tertera pada tabel 1 pelayanan air minum yang berhubungan dengan jumlah kategori tarif dengan jumlah pelanggan. Hal tersebut memberi indikasi bahwa pembagian kategori tarif pelanggan air minum telah dirancang sesuai dengan ketentuan pasal-3 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 (PP 16/2005) tentang pengembangan sistem penyediaan air minum (SPAM). Ketentuan dimaksud menyatakan bahwa pengembangan SPAM harus diselenggarakan berdasarkan azas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keberlanjutan, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas. Dari kedelapan azas tersebut penetapan jumlah tarif pada dasarnya mengikuti ketentuan azas kemanfaatan umum dan azas keadilan. Dikatakan bermanfaat untuk umum karena penyediaan air minum dilakukan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan umum secara efektif dan efisien serta berkeadilan. Oleh karena pelayanan air minum telah diupayakan untuk dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga setiap warga yang berada di wilayah pelayanan air minum dapat memperoleh kesempatan yang sama untuk menikmati pelayanan yang diberikan oleh PDAM.
Tabel 1 Pelayanan Air Minum dengan Kategori Tarif dan Jumlah Pelanggan PDAM No
Nama Kota (PDAM)
Kategori Tarif
1 Jakarta 54 2 Medan 18 3 Bogor 8 4 Malang 24 Sumber : PDAM Kota Studi (Diolah)
Jumlah Pelanggan (Ribu Unit)
Keterangan
645,71 361,11 87,87 23,50
PDAM Jakarta dikelola oleh 2 (dua) perusahaan konsesi yaitu PT Aetra dan PT Palyja. Namun, jumlah kategori tarifnya sama
Jumlah kategori tarif penyediaan air minum, berkorelasi cukup signifikan dengan jumlah pelanggan (gambar 1). Hal tersebut dijelaskan melalui persamaan empiris pelayanan air minum yang dibentuk oleh jumlah tarif dan jumlah pelanggan. Hubungan tersebut membentuk persamaan linier dengan variabel “kategori tarif” dan variabel “jumlah pelanggan”. Artinya, setiap perubahan jumlah pelanggan (Y), akan menimbulkan perubahan pada jumlah pembagian kategori tarif
140
(X). Sebaliknya, adanya perubahan atas jumlah pelanggan, maka akan berubah pula jumlah kategori pelanggannya. Persamaan yang dihasilkan dari analisis regresi sederhana terhadap data pelanggan dan kategori tarif adalah sebagai berikut : PELG = 11,572 * KTRF – 22,766 (R2 = 0,6504) 1) Atau KTRF = (PELG+22,766)/11,572 ........................... 2)
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 138-146
Dimana, PELG KTRF 11,572 22,766
: : : :
adalah untuk pelanggan niaga yaitu antara 3%20,5%, kemudian pelanggan terbesar ketiga adalah pelanggan sosial yaitu antara 5%-7%. Pemakaian air untuk pelanggan instansi menempati urutan ke4 (empat), dan pemakaian air untuk industri menempati urutan kelima, dan terakhir adalah untuk pemakaian lainnya seperti hidran umum, MCK, tongkang air dan lain sebagainya.
Pelanggan Air Minum (ribu unit) Jumlah Kategori Tarif Koefisien Regresi (ribuan) Konstanta
700,00
Jumlah Pelanggan (Ribu)
600,00
y = 11,572x - 22,766
500,00
R2 = 0,6504
400,00 300,00 200,00 100,00 0,00 0
10
20
30
40
50
60
Jumlah Kategori Tarif
Gambar 1 Hubungan antara Jumlah Pelanggan dengan Kategori Tarif
Persamaan tersebut menjelaskan bahwa setiap perubahan jumlah pelanggan sebanyak 100 ribu unit, akan memerlukan penambahan jumlah kategori tarif sebanyak 8-9 kategori. Penambahan kategori tarif tersebut, selain untuk mempermudah pelaksanaan pelayanan pelanggan, juga untuk menciptakan keadilan bagi para pelanggannya. Keadilan tersebut tercermin dari penetapan tarif dasar yang dihubungkan dengan jumlah pemakaian air minum sebesar 20 m3/pelanggan/bulan. Pemakaian di atas jumlah tersebut berlaku tarif progresif yang nilainya berbeda untuk setiap kategori tarif. Penyaluran Air Minum Kepada Pelanggan Berdasarkan volume air yang tercatat pada meter air, penyaluran air minum kepada pelanggan berdasarkan kategori tarif, dirangkum pada tabel 2. Berdasarkan tabel 2, proporsi pemakaian air untuk pelanggan rumah tangga tercatat paling besar diantara ke-6 (enam) pelanggan air minum PDAM yaitu antara 65%-82%. Pemakaian terbesar kedua
Namun, distribusi pemakaian air tersebut berbeda diantara keempat kota yang dikaji. Di daerah pelayanan air PT Palyja Jakarta, PT Aetra Jakarta, kota Medan, dan kota Bogor, distribusi pemakaian air untuk niaga menempati posisi ke-2 (dua) terbesar setelah pemakaian air untuk pelanggan rumah tangga. Tetapi di kota Malang, pemakaian air untuk pelanggan instansi menempati posisi kedua terbesar setelah pemakaian air untuk pelanggan rumah tangga. Perbedaan tersebut mencerminkan adanya perbedaan permintaan. Permintaan dari sektor niaga di kota Jakarta, Medan, dan Bogor, lebih tinggi bila dibandingkan dengan permintaan pelanggan lainnya. Sementara permintaan pelanggan sosial dan pemerintahan di kota Malang lebih tinggi bila dibandingkan dengan permintaan dari pelanggan niaga. Kondisi ini juga mengindikasikan kemampuan lingkungan dalam menyediakan sumberdaya air. Penyediaan air baku di kota Malang, khususnya air yang berasal dari sumber setempat misalnya mata air, dan sumur dangkal kemungkinan lebih mudah bila dibandingkan dengan kota Jakarta, Medan dan Bogor. Adanya kemudahan tersebut mendorong pelanggan niaga menyediakan sendiri kebutuhan air minumnya. Jangkauan pelayanan yang belum mencapai seluruh wilayah administratif kota, juga dapat menjadi faktor rendahnya permintaan dari pelanggan niaga. Pelanggan industri, hanya terdapat di kota Jakarta dan Medan. Namun, karena lokasi kawasan industri ditempatkan diluar kawasan permukiman, maka pemakaian air untuk kategori ini bukan untuk kebutuhan proses produksi, melainkan untuk konsumsi air minum pekerja industri, khususnya industri rumah tangga.
Tabel 2 Penyaluran Air Minum Berdasarkan Kategori Pelanggan PDAM Kategori Pelanggan
Bogor
Medan
Malang
Jkt Atrea
Jkt Palyja
1.
Sosial
5,6%
5,6%
5,8%
5,7%
6,7%
2.
Rumah Tangga
81,1%
79,1%
81,7%
70,2%
65,4%
3.
Instansi
4,3%
2,9%
9,5%
5,5%
5,5%
4.
Niaga
9,0%
11,7%
3,0%
10,2%
20,5%
5.
Industri
0,0%
0,4%
0,0%
6,5%
1,9%
6.
Lainnya
0,0%
0,5%
0,0%
2,0%
0,0%
Sumber : PDAM Kota Studi (Diolah)
141
Konsumsi dan Pelanggan … (Nurhasanah S., Fitrijani A., R. Pamekas)
Konsumsi Air Minum untuk Rumah Tinggal Besarnya pemakaian atau konsumsi air minum untuk setiap orang dan setiap harinya, dapat dihitung secara teliti apabila terdapat catatan PDAM tentang pemakaian air dan jumlah orang per unit pelanggannya serta lama waktu penyaluran air ke pelanggan. PDAM umumnya telah memiliki catatan pemakaian air untuk setiap pelanggannya. Namun, catatan tentang jumlah orang di setiap pelanggan tidak dimiliki, karena PDAM hanya berkepentingan terhadap banyaknya air yang disalurkan kepada pelanggan atau banyaknya penerimaan dari hasil penjualan air. Selain itu, catatan tentang lamanya penyaluran air di setiap bagian atau blok pelayanan juga jarang dilakukan. Oleh karena itu untuk memperoleh angka yang teliti tentang pemakaian air per orang dan perhari dalam berbagai kategori pelanggan diperlukan penelitian khusus dan komprehensif. Konsumsi air minum untuk pelanggan rumah tinggal, dapat diperkirakan dengan membagi pemakaian air dengan jumlah orang/jiwa di setiap pelanggan. Jumlah jiwa per pelanggan tidak sama antara kota besar dengan kota metropolitan. Demikian pula dengan jumlah jiwa per tipologi rumah. Dengan mempertimbangkan kepadatan penduduk dan status hunian rumah tinggal, maka terdapat 3 (tiga) skenario perhitungan (tabel 3). Skenario-1 memperhitungkan seluruh rumah yang ada, apakah dihuni atau kosong, permanen atau tidak permanen. Skenario-2 hanya mem-
perhitungkan jumlah rumah yang dihuni saja, baik permanen ataupun non permanen. Skenario-3 memperhitungkan rumah permanen yang dihuni. Dengan menggunakan skenario tersebut, maka hasil perhitungan konsumsi air rumah tangga berdasarkan kategori rumah sederhana, rumah menengah dan rumah mewah, dirangkum pada tabel 4. Sebagaimana tertera pada tabel 4 tersebut, terdapat tiga angka perhitungan konsumsi air minum rumah tangga. Berdasarkan skenario-1 konsumsi air minum rata-rata untuk rumah sederhana adalah 161,0 liter/orang/hari, rumah menengah adalah 170,6 liter/orang/hari, sedangkan rumah mewah adalah 249,7 liter/ orang/hari. Berdasarkan skenario-2, konsumsi air minum rumah sederhana adalah 152,8 liter/ orang/hari, rumah menengah adalah 164,5 liter/ orang/hari, dan rumah mewah adalah 236,6 liter/orang/hari. Berdasarkan skenario-3, konsumsi air untuk rumah sederhana 141,5 liter/orang/hari, rumah menengah adalah 151,9 liter/orang/hari, dan rumah mewah adalah 213,9 liter/orang/hari. Tabel 3 Skenario Perhitungan Kepadatan Penduduk dan Status Hunian Kota Skenario-1 Skenario-2 Skenario-3 Studi (Jiwa/Rumah) (Jiwa/Rumah) (Jiwa/Rumah) 1 Bogor 4,02 4,37 4,60 2 Malang 4,81 5,40 6,11 3 Medan 4,07 4,12 4,33 4 Jakarta 3,50 3,39 3,70 Sumber : BPS 2001-2009 (Diolah) No
Tabel 4 Konsumsi Air Rumah Tangga Berdasarkan Tipologi Rumah Uraian
Rumah Sederhana
Rumah Menengah
RT-1
Skenario-1 (L/O/H) Rata-rata (L/O/H) Maksimum (L/O/H) Minimum (L/O/H) Standar Deviasi
Rumah Mewah
RT-2 RT-3 161,0 164,48 157,54 172,81 263,17 197,88 306,47 125,04 132,90 129,22 39,96 21,47 44,84 Standar Deviasi rata-rata : 28,7
RT-4 170,6 168,41 198,91 142,50 17,04
RT-5 180,32 231,78 137,37 28,28
RT-6 249,7 319,17 355,03 288,94 20,70
Skenario-2 (L/O/H) Rata-rata (L/O/H) Maksimum (L/O/H) Minimum (L/O/H) Standar Deviasi
155,73 234,42 123,52 30,50
152,8 149,97 165,41 181,91 316,42 131,28 127,65 15,44 42,20 Standar Deviasi rata-rata :27,8
164,5 163,69 205,36 140,77 17,72
175,92 232,72 135,70 29,16
236,6 297,34 366,55 274,26 31,80
Skenario-3 (L/O/H) Rata-rata (L/O/H) Maksimum (L/O/H) Minimum (L/O/H) Standar Deviasi
144,0 207,2 102,4 27,0
141,5 139,0 153,4 172,9 289,9 108,6 109,0 16,7 40,6 Standar Deviasi rata-rata : 27,3
151,9 150,4 188,2 123,9 18,5
161,9 212,1 113,9 28,4
213,9 265,9 335,8 242,4 32,6
28
28
7
N data Sumber : Hasil Pengolahan Data
142
34
34
36
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 138-146
Dari ketiga skenario perhitungan tersebut, apabila ditinjau dari nilai rata-rata standar deviasi, maka standar deviasi skenario-3 (27,3) paling kecil bila dibandingkan dengan nilai standar deviasi ratarata untuk skenario-1 (28,7) dan skenario-2 (27,8). Hal tersebut memberi indikasi bahwa tingkat kesalahan perhitungan untuk skenario-3 lebih kecil bila dibandingkan dengan skenario lainnya. Artinya, skenario-3 lebih teliti bila dibandingkan dengan skenario lainnya. Meskipun, perbedaan nilai standar deviasi rata-rata ketiga skenario tersebut relatif kecil yaitu antara 1,83% sampai dengan 5,13%, perbedaan nominal cukup signifikan. Hal itu berarti bahwa untuk acuan pengembangan standar konsumsi air minum rumah tangga, lebih aman apabila digunakan angka konsumsi pada skenario-3. Selain ditinjau dengan menggunakan standar deviasi, tingkat ketelitian perhitungan ditinjau pula
terhadap nilai koefisien determinasi (R2) dan nilai korelasi antara konsumsi air minum dengan tipe pelanggan rumah tangga. Koefisien determinasi yang mendekati 1,0 mencerminkan tingkat probabililitas yang tinggi untuk memprediksi besarnya perubahan konsumsi air minum terhadap perubahan tingkat ekonomi pelanggan rumah tangga. Kategori pelanggan rumah tipe sangat sederhana sampai dengan rumah mewah mencerminkan perbedaan tingkat ekonomi pelanggan rumah tangga. Koefisien korelasi yang merupakan akar kuadrat dari koefisien determinasi, juga mencerminkan tingkat kepercayaan terhadap penggunaan model untuk prediksi. Sebagaimana halnya dengan koefisien determinasi, nilai korelasi yang mendekati 1,0 juga mencerminkan tingkat ketelitian perhitungan. Koefisien determinasi (R2) untuk ketiga skenario diperoleh dari persamaam linier dan persamaan kuadratis sebagaimana tertera pada gambar 2.
325,00
325,00 265
265,00 245,00 y = 23,925x + 110,05 R2 = 0,5229
225,00 205,00 185,00
305,00
245
285,00
Konsumsi Air (L/Or/Hari)
y = 12,777x2 - 65,517x + 229,31 R2 = 0,841
285,00
Konsumsi Air (L/Or/Hari)
Konsumsi Air (L/Or/Hari)
305,00
y = 9,5197x2 - 47,344x + 190,41 R2 = 0,8571
225 205
y = 19,294x + 101,56 R2 = 0,5641
185 165
y = 11,126x2 - 55,475x + 210,1 R2 = 0,8581
265,00 245,00
y = 22,405x + 106,26 R2 = 0,5623
225,00 205,00 185,00 165,00
165,00 145
145,00
145,00 125
125,00 0
Skenario-1
2
4
6
Type Rumah Ke-
8
125,00
0
Skenario-2
2
4
Type Rumah Ke-
6
8
0
Skenario-2
2
4
6
8
Type Rumah Ke-
Gambar 2 Model Konsumsi Air Berdasarkan Tipologi Rumah (Hasil Analisis)
Sebagaimana tertera pada gambar 2 tersebut, terdapat 2 (dua) persamaan yang dapat digunakan untuk merumuskan besarnya konsumsi air berdasarkan tipologi rumah. Persamaan pertama adalah persamaan regresi sederhana, sedangkan persamaan kedua adalah persamaan kuadratis. Kedua persamaan tersebut mempunyai angka koefisien determinasi (R2) yang cukup signifikan yaitu diatas 0,50 untuk persamaan regresi sederhana dengan nilai korelasi (r) lebih besar dari (0,5)^0,5 = 0,71, sedangkan angka koefisien determinasi (R2) untuk persamaan kuadratis lebih dari 0,80 dengan nilai korelasi (r) lebih besar dari (0,8)^0,5 = 0,89. Apabila kedua angka koefisien determinasi maupun koefisien korelasi tersebut dirata-ratakan, maka angka determinasi skenario1, skenario-2 dan skenario-3 masing-masing adalah sebesar R2-1 = 0,68195 (r-1= 0,8258), R2-2 = 0,7102 (r-2 = 0,8927), dan R2-3 = 0,7106 (r-3 =
0,8429). Pada perhitungan ini, rata-rata koefisien determinasi dengan koefisien korelasi skenario-3 paling besar diantara skenario lainnya. Namun, perbedaannya relatif kecil yaitu antara 0,05% sampai dengan 4,20%. Memperhatikan hasil perhitungan konsumsi air untuk masing-masing tipologi rumah, yang dikaji berdasarkan perbedaan nilai standar deviasi, angka koefisien determinasi dan koefisien korelasi, skenario-3 mempunyai tingkat probabilitas yang lebih tinggi untuk digunakan sebagai instrumen peramalan, bila dibandingkan dengan skenario lainnya, meskipun angka perbedaannya relatif kecil yaitu pada kisaran 0,05% sampai dengan 5,0%. Hal itu berarti bahwa angka-angka dari ketiga skenario yang dikaji, dapat digunakan acuan untuk perumusan standar konsumsi air berdasarkan tipologi hunian rumah.
143
Konsumsi dan Pelanggan … (Nurhasanah S., Fitrijani A., R. Pamekas)
Selanjutnya, untuk merumuskan dan menetapkan nilai konsumsi air minum dalam satuan liter/ orang/hari, selain mengacu pada angka-angka konsumsi rata-rata, minimum dan maksimum dari hasil perhitungan pada skenario-3, dipertimbangkan pula angka standar deviasi masing-masing tipologi RT, dan potensi kesalahan yang dilakukan pengguna standar. Sebagaimana tertera pada tabel 4, angka hasil perhitungan konsumsi air rata-rata untuk RT-1 adalah 144 liter/orang/hari dengan standar deviasi 27%. Sementara itu, angka perhitungan konsumsi air RT-2 adalah 139 liter/orang/hari dengan standar deviasi 16,7%. Hal tersebut memberi indikasi bahwa perhitungan angka konsumsi 139 liter/orang/hari untuk RT-2 lebih teliti bila dibandingkan dengan hasil perhitungan konsumsi untuk RT-1. Hal yang sama juga terjadi pada hasil perhitungan konsumsi untuk RT-4 (150 liter/ orang/hari) dengan nilai standar deviasi sebesar 18,5%, lebih teliti bila dibandingkan dengan hasil perhitungan konsumsi untuk RT-3 (153 liter/orang/hari) dengan standar deviasi 40,6%. Mempertimbangkan hal tersebut, maka angka standar konsumsi air rumah tangga adalah : untuk tipe RT-1 diperhitungkan 135 liter/orang/hari sampai dengan 140 liter/orang/hari. Untuk tipe RT-2 diperhitungkan 141 liter/orang/hari sampai dengan 145 liter/orang/hari. Untuk tipe R-3 diperhitungkan 146 liter/orang/hari sampai dengan 150 liter/orang/hari. Selanjutnya untuk tipe R-4 harus lebih besar daripada R-3, sehingga diperhitungkan 155 liter/orang/hari. Untuk tipe R5, juga harus lebih besar dari R-4, sehingga diperhitungkan antara 156 liter/orang/hari sampai dengan 195 liter/orang/hari). Akhirnya, konsumsi untuk tipe R-6 diperhitungkan antara 196 liter/orang/hari sampai dengan 245 liter/orang/hari). Memperhatikan hasil perhitungan konsumsi air untuk masing-masing tipologi rumah yang dibagi 2 tipe, nilai standar deviasi rumah sederhana tipe-2 (RT-2) lebih kecil daripada rumah sederhana tipe1 (RT-1). Demikian pula halnya dengan nilai standar deviasi rumah menengah tipe-2 (RT-4) lebih kecil daripada tipe-1 (RT-3). Hal tersebut memberi indikasi bahwa dalam praktek di lapangan, nilai konsumsi air untuk rumah sederhana tipe-1 (R-1) seharusnya memang lebih kecil daripada nilai konsumsi air untuk rumah sederhana tipe-2 (R-2). Demikian halnya dengan
144
nilai konsumsi air untuk rumah menengah tipe-1 (R-3) seharusnya juga lebih kecil dari pada konsumsi air untuk rumah menengah tipe-2 (R-4). Hal itu berarti bahwa hasil perhitungan konsumsi air berdasarkan rumah permanen yang dihuni, lebih dapat dipercaya. Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka perencanaan kebutuhan air minum yang menggunakan tipologi rumah sebagai landasan perhitungan, dapat menggunakan acuan yang tertera pada tabel 5. Apabila hubungan antara tipe rumah dengan besarnya konsumsi air dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan analisis regresi sederhana, maka akan didapat persamaan linier yang disertakan pada gambar 3. Y adalah konsumsi air minum rata-rata dalam liter/orang/hari, sedangkan X adalah tipologi hunian rumah yang mencerminkan tingkat ekonomi pemilik atau penyewa rumah. Persamaan kuadratik tersebut menjelaskan bahwa setiap perubahan tipe rumah, maka angka konsumsi air minum rata-rata bertambah sebesar 134,23 liter/orang/hari. Persamaan regresi sederhana menjelaskan bahwa setiap perubahan tipe rumah, maka angka konsumsi air minum rata-rata bertambah sebesar 114,74 liter/orang/hari. Hasil peramalan persamaan kuadrat lebih besar daripada hasil peramalan persamaan regresi sederhana. Perbedaan tersebut adalah sebesar 16,98%. Untuk keperluan penyediaan air baku, maka hasil peramalan yang lebih besar akan lebih aman bila dibandingkan dengan hasil peramalan persamaan regresi sederhana. Namun, untuk tujuan pengendalian pemakaian air distribusi, maka hasil peramalan persamaan regresi sederhana lebih aman bila dibandingkan dengan persamaan kuadratis. Oleh karena itu, pemilihan persamaan perlu disesuaikan dengan tujuan dan sasaran peramalan itu sendiri. Tabel 5 Usulan Standardisasi Perencanaan Air Minum Perumahan Kategori Konsumsi Air Minum Penyaluran Air Tipe Rumah (liter/orang/hari) (% Total) 1 Rumah Tipe-1 135-140 40%-30% Sederhana Tipe-2 141-145 2 Rumah Tipe-1 146-150 35%-40% Menengah Tipe-2 151-155 3 Rumah Tipe-1 156-195 25%-30% Mewah Tipe-2 196-245 Sumber : Hasil Pengolahan Data No
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 138-146
Konsumsi Air Rata rata (Liter/Orang/Hari)
250
y = 5,8482x 2 - 20,866x + 149,25 R2 = 0,9224
230 210 190 170 150 130
y = 20,071x + 94,667
110
R2 = 0,781
90 0
1
2
3
4
5
6
7
Tipe Rumah Ke-
Gambar 3 Model Standar Konsumsi Air Berdasarkan Tipologi Rumah
Dari kedua persamaan konsumsi air tersebut, persamaan kuadratik mempunyai koefisien determinan (R2) sebesar 0,9224 dan koefisien korelasi (r) sebesar (0,9224)0,5 = 0,96042. Sementara itu, persamaan regresi mempunyai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,781 dan koefisien korelasi (r) sebesar (0,781)0,5 = 0,8837. Dengan nilai koefisien determinasi dan koefisien korelasi yang mendekati angka 1,0, maka kedua persamaan tersebut dapat memberikan angka prediksi konsumsi air berdasarkan tipologi rumah yang direncanakan. Dengan menggunakan tabel maupun kedua persamaan tersebut, maka konsumsi air berdasarkan tipologi rumah dapat diperkirakan besarnya. Oleh karena itu, apabila jumlah dan tipe rumah di suatu lingkungan perumahan sudah diketahui, maka kebutuhan air minum dapat dihitung berdasarkan angka-angka pada tabel tersebut. Angka persentase penyaluran air minum dapat digunakan sebagai acuan ketika pembagian rencana peruntukan rumah belum diperoleh secara lengkap. Artinya, apabila hanya terdapat satu informasi saja tentang jenis rumah yang akan dibangun di suatu kawasan perumahan, misalnya hanya rumah sederhana saja, maka banyaknya alokasi air untuk tipe lainnya dapat diperkirakan dengan mengunakan angka persentase tersebut. Selanjutnya, kebutuhan air minum untuk kawasan permukiman perkotaan, dapat dilakukan dengan menambahkan keperluan air untuk keperluan lainnya seperti fasilitas sosial dan umum, fasilitas niaga dan sebagainya. Penambahan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan persentase pada tabel 2 tentang penyaluran air minum berdasarkan kategori pelanggan. Idealnya dilakukan penelitian khusus tentang pola konsumsi air minum untuk pelanggan non rumah tangga, sedemikian sehingga penetapan persentase terhadap konsumsi rumah tangga dapat dipercaya.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang dapat dirumuskan dari hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pelanggan air minum terdiri dari pelanggan rumah tangga, sosial, instansi, niaga, industri, dan pelanggan diluar kelima kategori tersebut. Jumlah kategori tarif meningkat sebanyak 8-9 kategori tarif untuk setiap peningkatan 100 (seratus) ribu unit pelanggan. 2. Pelanggan rumah tangga merupakan pemakai air minum terbesar, diikuti oleh pelanggan niaga. 3. Konsumsi air minum rata-rata untuk rumah sederhana berkisar antara 135-145 liter/ orang/hari, rumah menengah antara 146-155 liter/orang/hari, dan rumah mewah antara 156-245 liter/orang/hari. 4. Struktur penyaluran air untuk rumah sederhana berkisar antara 30%-40%, rumah menengah antara 35%-40%, dan rumah mewah antara 25%-30%. 5. Variabel konsumsi air minum dengan tipe rumah yang dilayani mempunyai hubungan (korelasi) positif yang signifikan. 6. Penggunaan persamaan (model) peramalan secara empiris (matematis) yang dikembangkan dari penelitian ini perlu disesuaikan dengan tujuan peramalan Untuk melengkapi standar perencanaan kebutuhan air minum untuk rumah tinggal, perlu dilakukan penelitian tentang besarnya kebutuhan air minum untuk non rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2005. Ringkasan Eksekutif Pola Konsumsi Air Minum di Indonesia dan Kebutuhan Pokok Minimal Air Minum, Direktorat Jenderal Cipta Karya.
145
Konsumsi dan Pelanggan … (Nurhasanah S., Fitrijani A., R. Pamekas)
Fauzi. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Muhammadi, Erman Amirulah, Budhi Susilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis, Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Jakarta: UMJ Press. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Pusat Litbang Permukiman. 2000. Laporan Akhir Optimasi Pemakaian Air Melalui Penataan Penggunaan Sumber Air di Lingkungan Permukiman. Pusat Litbang Permukiman.
146
Nurhasanah, Anggraini, F. dan Murdiyati. 2010. Laporan Akhir Pemakaian Air di Perkotaan Indonesia. SNI 03-7065-2005. Tata Cara Perencanaan Sistem Plambing. UN, Bappenas. 2007. Laporan Pencapaian Millenium Development Goal. United Nation, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 147-153
ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN UNTUK PEMBANGUNAN PERUMAHAN DI KAWASAN BANDUNG UTARA BERBASIS MODEL SISTEM DINAMIS Evironmental Impact Assessment for Housing Development in North Bandung Zone Based on Model Dynamic System 1 Rina
Marina Masri, 2 Iskandar Muda Purwaamijaya
Teknik Sipil-Universitas Pendidikan Indonesia Jl. Dr. Setiabuhi No. 207, Bandung 40154 1Email:
[email protected] 2Email:
[email protected] Diterima: 11 Januari 2011; Disetujui: 10 Juni 2011
Abstrak Penyimpangan pembangunan perumahan terhadap penataan ruang di kawasan Bandung Utara secara faktual didukung oleh data dan analisis keruangan. Tahapan-tahapan penelitian, yaitu : survei pendahuluan, pembuatan model konseptual dan instrumen, pengumpulan data dan validasi instrumen, pembuatan model fungsional, pemasukan data empirik dan simulasi, implementasi model awal, revisi model dan menguji validitas model, menguji sensitivitas model, penyusunan hasil dan merumuskan kebijakan. Tujuan penelitian yaitu : mengetahui faktor-faktor pemicu yang paling berpengaruh terhadap pembangunan perumahan, menyusun prediksi prioritas dampak penting hipotetik pembangunan perumahan berdasarkan pelingkupan, mengetahui dampak lingkungan pembangunan perumahan dan menyusun kebijakan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan di kawasan Bandung Utara berdasarkan analisis sensitivitas model sistem dinamis. Metode yang digunakan adalah deskriptif dan analitik eksplanatoris. Penelitian dilakukan dari Maret sampai dengan November 2010. Hasil meliputi faktor-faktor pemicu paling berpengaruh terhadap pembangunan perumahan, prioritas dampak penting hipotetik hasil pelingkupan, analisis dampak pembangunan perumahan terhadap lingkungan dan kebijakan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan di kawasan Bandung Utara berdasarkan analisis sensitivitas model sistem dinamis. Manfaat penelitian untuk meningkatkan kesadaran stakeholder berperanserta dalam pembangunan perumahan yang berwawasan lingkungan serta menjadi naskah akademik untuk merevisi serta menyempurnakan peraturan dan perundangan pembangunan perumahan di kawasan Bandung Utara. Kata kunci: Analisis, dampak, pembangunan, perumahan, model sistem dinamis
Abstract This study discusses deviation of housing development in spatial arrangement in North Bandung zone, factually supported by spatial data and analysis. Research phases consist of preliminary survey, designing conceptual model and instruments, data collection and instruments validation, designing of functional model, empiric data input and simulation, implementation of initial model, model revision, and model validation testing, model sensitivity testing, determining results and formulating policies. The objectives of the research are identifying triggering factors influential to housing development, predicting the hypothetic significant impact priority of housing development based on scoping, identifying environmental impact on housing development and designing policy of environmental management and monitoring plan in North Bandung zone based on sensitivity analysis of dynamic system model. The methods used are descriptive and explanatory analyses. Research was conducted from March to November 2010. The research results in the triggering factors highly influential to housing development, hypothetic important impact priority based on scoping, impact analysis of housing development to environment and policy of environmental management and monitoring plan in North Bandung zone based on sensitivity analysis of dynamic system model. The benefits of the research are to increase awareness of stakeholders to participate in housing development with environmental insight and to compose an academic source text for revising and perfecting regulation and constitution of housing development in North Bandung zone. Keywords: Analysis, impact, development, housing, model system dynamic
PENDAHULUAN kawasan Bandung Utara adalah kawasan yang berfungsi lindung di perbatasan Kabupaten dan Kota Bandung. Kawasan ini merupakan daerah
resapan air bagi hidrologis Kota Bandung. Pengembangan kawasan Bandung Utara di masa datang dilakukan dengan lebih berorientasi pada pengamanan fungsi lindung melalui kebijakan 147
Analisis Dampak Lingkungan … (Rina M. M., Iskandar M. Purwaamijaya)
pembatasan pengembangan fisik kawasan khususnya melalui pembatasan jenis pembangunan serta pembatasan area liputan bangunannya (Rancangan Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Bandung, 2007). kawasan Bandung Utara adalah kawasan di utara Bandung yang memiliki ketinggian di atas garis kontur +760 meter dari permukaan air laut ratarata. Wilayah kawasan Bandung Utara terkena perkembangan Kota Bandung yang sangat pesat dan mendapat tekanan urbanisasi dari Kota Bandung. Pembangunan di kawasan Bandung Utara dapat dibedakan berdasarkan tiga jenis kegiatan, yaitu (1) pembangunan karena desakan kebutuhan perumahan, (2) pembangunan yang berkaitan dengan kegiatan pariwisata, seperti : hotel dan tempat rekreasi, (3) pembangunan berkaitan dengan pelayanan, seperti : fasilitas pendidikan dan pelatihan, fasilitas pelayanan kota, perkantoran, pertokoan dan lain-lain. Pembangunan kawasan perumahan yang berizin lokasi adalah kegiatan yang mendominasi pembangunan di kawasan Bandung Utara. Pembangunan perumahan di kawasan Bandung Utara bersifat sporadis dan tidak ada kaitan satu dengan lainnya, kecuali keterkaitan dalam hal penggunaan prasarana. Penyimpangan pembangunan perumahan di kawasan Bandung Utara terhadap peraturan dan perundangan yang berlaku menimbulkan degradasi lingkungan di kawasan Bandung Utara dan dampak negatif terhadap wilayah lain berupa bencana banjir. Situmorang (2004) dalam kajiannya mengenai teknologi pengembalian fungsi hidrologis lahan perumahan di kawasan inti Bandung Raya Utara, mengemukakan bahwa adanya penyimpangan penggunaan tataguna lahan di Bandung Utara sehingga menyebabkan dampak kerugian per tahun terhadap produksi sumur sebesar Rp. 218.764.575 sumur pompa sebesar Rp. 537.316.500 dan PDAM sebesar Rp. 230.278.500. Perubahan debit infiltrasi berakibat terhadap akuifer cekungan Bandung berupa pengurangan volume akuifer sebesar 1,45% dari total imbuhan Bandung Utara. Perubahan tataguna lahan di kawasan Villa Istana Bunga berakibat terhadap berkurangnya debit aliran dasar sungai Cimahi yang merupakan sumber air baku PDAM Cimahi sehingga mengancam pemenuhan air bersih Kota Cimahi. Darsihardjo (2004) dalam penelitiannya mengenai model pemanfaatan lahan berkelanjutan di daerah hulu Sungai Cikapundung Bandung Utara menyatakan telah terjadi kesalahan penempatan jenis penggunaan lahan. Sebagian besar (70,52%) 148
penggunaan lahan yang ada saat itu di daerah hulu Sungai Cikapundung tidak sesuai dengan kesesuaian lahannya untuk berbagai penggunaan lahan tersebut, sedangkan penggunaan lahan saat itu yang sesuai dengan kesesuaian lahannya sebesar 29,48%. Tanah di kawasan Bandung Utara telah mengalami penipisan ketebalan tanah yang sangat cepat terutama di daerah tegalan serta terjadi peningkatan koefisien aliran permukaan sebesar 0,378% setiap tahunnya dan menimbulkan banjir di Kota Bandung dan hilir setiap tahunnya serta terus meningkat. Kuswara (2004) dalam kajiannya mengenai penataan sistem perumahan dan permukiman dalam rangka gerakan nasional pengembangan satu juta rumah mengemukakan bahwa pengembangan dan penataan perumahan pada lokasi yang sesuai akan mendukung tidak hanya program perumahan dan permukiman itu sendiri, tetapi juga program pembangunan kota secara keseluruhan. Upaya penataan sistem perumahan perlu dilakukan pada tahap pemilihan dan penyediaan lokasi untuk pengembangan perumahan dan permukiman. Dua hal utama yang perlu dijadikan dasar pertimbangan adalah arah dan perkembangan kota dalam lingkup internal maupun regional serta jenis pengembangan perumahan dan permukiman itu sendiri. Sistem dinamis digunakan untuk mencari penjelasan permasalahan sosial jangka panjang yang terjadi secara berulang-ulang di dalam struktur internal. Umpan balik (feed-back) merupakan konsep inti yang digunakan dalam sistem dinamis untuk memahami struktur sistem. Diasumsikan bahwa keputusan secara sosial atau individu dibuat berdasarkan informasi tentang keadaan sistem atau lingkungan disekitar pengambil keputusan berada (Gordon, 1989). Syarat awal untuk memulai berpikir sistemik adalah adanya kesadaran untuk mengapresiasi dan memikirkan suatu kejadian sebagai sebuah sistem (systemic approach). Hal ini relevan dan penting dalam menghadapi tantangan kerumitan dan perubahan cepat dari lingkungan domestik dan global dalam abad 21 (Muhammadi, et.all, 2001). Kejadian apapun baik fisik maupun non fisik dipikirkan sebagai unjuk kerja atau dapat berkaitan dengan unjuk kerja dari keseluruhan interaksi antar unsur sistem dalam batas lingkungan tertentu (Saeed, K.1981). Tujuan penelitian adalah merancang model dampak lingkungan dan mewujudkan prinsip pembangunan berkelanjutan di kawasan Bandung Utara berbasis simulasi sistem dinamis. Sasaran khusus penelitian adalah (1) memperoleh komponen-komponen lingkungan di kawasan
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 147-153
Bandung Utara terkait dengan pembangunan perumahan, (2) memperoleh informasi deskripsi kegiatan pembangunan perumahan tahap pra konstruksi, konstruksi dan pasca operasi di kawasan Bandung Utara dan memperoleh informasi proses penyusunan pelingkupan analisis dampak pembangunan perumahan di kawasan Bandung Utara, (3) memperoleh informasi analisis dampak lingkungan pembangunan perumahan berbasis sistem dinamis di kawasan Bandung Utara, (4) memperoleh informasi rencana kelola lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan pembangunan perumahan di kawasan Bandung Utara.
penyimpangan penggunaan lahan di kawasan budidaya non perumahan dan kawasan lindung. Penyimpangan penggunaan lahan di kawasan budidaya maupun di kawasan lindung untuk perumahan mengurangi keanekaragaman hayati (biodiversity). Pengurangan biodiversity baik secara kualitatif maupun kuantitatif akan menurunkan manfaat lingkungan (jasa lingkungan berupa pemandangan alam dan kenyamanan lingkungan. Jasa lingkungan yang berkurang menurunkan nilai manfaat pembangunan atau menaikkan nilai pengorbanan pembangunan bagi penduduk. Diagram sebab akibat dapat dilihat pada gambar 1.
METODOLOGI Metode yang digunakan adalah deskriptif dan analitik eksplanatoris. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2010 sampai dengan November 2010 melalui pengumpulan data primer dan data sekunder. Analisis data meliputi analisis faktor, analisis identifikasi dampak potensial, scooping, analisis kualitas fisik-biologi-ekonomi lingkungan, prediksi perubahan lingkungan, analisis sistem dan sintesis model dinamis, analisis kebijakan berdasarkan nilai sensitivitas. Software yang digunakan adalah SPSS 15, ArcView 3.3 dan Powersim versi 2.5C. Lima langkah membuat model (bangunan pemikiran) menurut Muhammadi (2001) adalah : 1. Identifikasi proses menghasilkan kejadian nyata (apa penyebab langsung suatu kejadian merujuk kepada objektivitas), 2. Identifikasi kejadian yang diinginkan (pandangan kedepan atau visi yang feasible dan acceptable). 3. Identifikasi kesenjangan antara kenyataan dengan keinginan. 4. Identifikasi dinamika menutup kesenjangan. Dinamika adalah aliran informasi tentang keputusan yang telah bekerja dalam sistem. 5. Analisis kebijakan yaitu Alternatif Policy untuk mempengaruhi actual transformation (proses nyata) dalam menciptakan actual state (kejadian nyata) untuk mencapai desired state (kejadian yang diinginkan). 6. Pengembangan dan penetapan alternatif dipilih setelah melakukan pengujian dengan simulasi komputer atau simulasi pendapat berdasarkan kriteria aman (unrisky) dan manjur (effective). Pemodelan analisis dampak pembangunan perumahan terhadap lingkungan berbasis sistem dinamis dimulai dengan mengenali sistem yang terjadi di alam, yaitu sistem pembangunan perumahan. Perumahan menjadi objek dan merupakan tempat proses aktivitas. Berkurangnya lahan untuk perumahan berdampak pada tingginya
InMigrasi + +
+ +
Natalitas
+
-
Populasi
+
-
-
+
+
OutMigrasi
+
Pembangunan Rumah Baru
Mortalitas
+
-
+
Alokasi Dana Pembangunan
Nilai Tambah Manfaat Pembangunan Jasa Lingkungan per kapita
+ + Lahan untuk Pembangunan Baru Perumahan
+
Indeks Jasa Lingkungan
+
+
-
+
Luas Kawasan Budidaya Non Perumahan
-
Luas Kawasan Lindung
Indeks Keindahan Lingkungan
Indeks Kenyamanan Lingkungan
Luas Lahan Terbangun
+
Jumlahdan dan Jumlah Jenis flora Florayang yang Jenis hilang Hilang +
+
+
Jumlah dan dan Jumlah Jenis Jenis Fauna Fauna yang hilang yang Hilang
+
-
Indeks Biodiversity
-
Gambar 1 Diagram Sebab Akibat (Causal Loop)
Pembangunan perumahan yang meningkat berdampak pada menurunnya kualitas kesuburan tanah yang menyebabkan menurunnya ketersediaan produksi pertanian perkapita. Model Diagram Alir (Flow Chart): Populasi - Luas lahan terbangun - Luas Kawasan Budidaya/Kawasan Lindung - Ketersediaan Produksi Pertanian Perkapita/Ketersediaan Biomassa Hutan Lindung tertera pada gambar 2.
149
Analisis Dampak Lingkungan … (Rina M. M., Iskandar M. Purwaamijaya)
Lahan_Budidaya_Awal_Belum_Terbangun Konversi_Lahan_Budidaya_untuk_Perumahan Luas_Lahan_Kawasan_Budidaya Kawas an_Perairan_di_Lahan_Budidaya Lahan_untuk _Pembangunan_Rumah_Baru Lahan_Lindung_Awal_Belum_Terbangun
Luas_Lahan_Kawasan_Lindung Konversi_Lahan_Kawasan_Lindung_untuk_Perumahan
kawasan Bandung Utara yang akan terjadi adalah penurunan produksi pertanian, penurunan keanekaragaman hayati, penurunan kesejahteraan masyarakat. Bagan alir pelingkupan tertera pada lampiran 1.
Kawas an_Perairan_di_Lahan_Lindung
Konversi_Lahan_Budiday a_untuk_Perumahan Rasio_Luas_Lahan_Semak
Rasio_Luas_Tegalan
Konversi_Lahan_Tegalan
Konversi_Lahan_Semak
Rasio_Luas_Sawah_Irigasi
Rasio_Luas_Lahan_Kebun_Campuran
Konversi_Lahan_Sawah_Irigasi
Konversi_Lahan_Kebun_Campuran
Analisis dampak pembangunan perumahan terhadap lingkungan menunjukkan bahwa berkurangnya lahan untuk perumahan berdampak pada tingginya penyimpangan penggunaan lahan di kawasan budidaya non perumahan dan kawasan lindung.
Konversi_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan
Rasio_Luas_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan
Konversi_Lahan_Kawasan_Lindung_untuk _Perumahan
3 Rasio_Luas_Hutan_Lindung
Konversi_Luas_Hutan_Lindung
Konversi_Luas_Konservasi
150,000,000 3
M^2
Rasio_Luas_Konservas i
100,000,000
1 2
50,000,000 Lahan_Budidaya_Awal_Belum_Terbangun
1
1 2
2
12
3
3
3
3
3
1
2
2,000
2,010
2
3
1
0 Kawas an_Perairan_di_Lahan_Budidaya
2
2,020
2,030
2,040
1 2,050
Luas_Lahan_Kawasan_Budidaya Luas_Lahan_Kawasan_Lindung Luas_Lahan_Terbangun
1 2,060
Tahun Lahan_Sawah_Awal_Belum_Terbangun
Rasio_Luas_Sawah_Irigasi
Gambar 4 Pengurangan Luas Lahan Luas_Lahan_Sawah
Luas_Lahan_Kawasan_Budidaya Rasio_Luas_Sawah_Irigasi
Gambar 2 Model Diagram Alir (Flow Chart Loop)
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan faktor pemicu pembangunan perumahan di kawasan Bandung Utara selain dipengaruhi oleh faktor fisik lingkungan luas lahan dengan panorama indah dan sejuk juga dipengaruhi oleh faktor aksesibilitas yang baik dan kedekatan dengan tempat kerja. Hasil analisis faktor komponen yang berpengaruh dalam perubahan lingkungan akibat pembangunan perumahan disajikan dalam gambar 3.
0.593 0.767
Sistem Drainase Daya Dukung
0.214 1.168
Kedekatan Luas Lahan
1.32
Jalan Masuk
1.276
Panorama
1.286
Skor… Gambar 3 Komponen yang Berpengaruh
Urutan komponen yang paling berpengaruh terhadap perubahan lingkungan akibat pembangunan perumahan, yaitu : luas lahan (1,32), panorama (1,286), jalan masuk (1,276) dan kedekatan (1,168). Prioritas dampak penting hipotetik pembangunan perumahan berdasarkan hasil pelingkupan di 150
1 1
3,000
1 1
2,000 1,000 0
1 2
1 2
2
2
Produksi_Padi_Sawah Produksi_Padi_Gogo
2
2 12 1 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 2,050 2,060
Gambar 5 Grafik Pengurangan Produksi Padi
0.471
Ketersedian Fasos Ketersediaan Fasos Pengelolaan Limbah Pengelolan Limbah
4,000
Tahun
0.739
Harga
Menurunnya luas lahan pertanian di kawasan budidaya mempengaruhi ketersediaan produksi pertanian perkapita. Hasil simulasi menunjukkan produksi pertanian untuk komoditas padi sawah akan mengalami penurunan dari 3.987 ton pada tahun 1995 menjadi 0 ton pada tahun 2048, sedangkan produksi pertanian untuk komoditas padi gogo akan mengalami penurunan dari 954 ton pada tahun 1995 menjadi 0 ton pada tahun 2048.
Ton
Rasio_Luas_Lahan_Sawah_Tadah_Hujan
Konversi lahan kawasan budidaya dan kawasan lindung menjadi lahan perumahan berpengaruh terhadap menurunnya kerapatan jumlah jenis flora dan fauna di kawasan budidaya dan lindung. Jumlah jenis flora dan fauna dengan nilai diversitasnya mempengaruhi keanekaragaman hayati atau nilai indeks biodiversity kawasan disamping luas kawasan yang terbangun. Ketersediaan Volume Biomasa Hutan tertera pada gambar 6. Pengurangan biodiversity baik secara kualitatif maupun kuantitatif akan menurunkan manfaat lingkungan (jasa lingkungan berupa pemandangan alam dan kenyamanan lingkungan). Hasil simulasi menunjukkan nilai indek kenyamanan lingkungan semakin menurun dari 60,00 pada tahun 1995 menjadi 0,67 pada tahun 2058. Indek keindahan lingkungan semakin menurun dari 40,00 pada
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 147-153
1,000
M^3 per orang
1 1 1
2
500 3 1
5
4
4 4
1
5
23
0
2,000
23
6
2,010
23
5 1
45
6
6
2,020
45
5
236
23
2,030
6
1 4
2,040
Ketersediaan_Volume_Biomassa_Rimba_Campuran_per _kapita Ketersediaan_Volume_Biomassa_Mahoni_per_kapita Ketersediaan_Volume_Biomassa_Acacia_Mangium_per _kapita Ketersediaan_Volume_Biomassa_Rasamala_per_kapita Ketersediaan_Volume_Biomassa_Pinus_per_kapita Ketersediaan_Volume_Biomassa_Jati_per_kapita
6 23456 2,050
2,060
Tahun
Gambar 6 Pengurangan Volume Biomasa 100
1 1 1
2 50
1 2
1 2
3
3
2 3
2 1 3
3
1
2,010
2,020
2,030
Indeks_Kenyamanan_Lingkungan Indeks_Keindahan_Lingkungan
2 3
0 2,000
Indeks_Biodiversity
2,040
23
2,050
25,000,000
Rupiah per orang
tahun 1995 menjadi 0,45 pada tahun 58. Nilai indek kenyamanan lingkungan dan indek keindahan lingkungan selain dipengaruhi oleh nilai biodiversity, dipengaruhi pula oleh bobot keindahan dan kenyamanan. Semakin luas lahan terkonversi perumahan, semakin kecil nilai keanekaragaman hayati kawasan. Semakin kecil nilai keanekaragaman hayati di kawasan Bandung Utara, semakin kecil nilai kenyamanan dan keindahan lingkungan.
20,000,000
15,000,000
10,000,000
5,000,000
0 2,000
2,010
2,020
2,030
2,040
2,050
2,060
Tahun
Gambar 8 Nilai Tambah Manfaat Pembangunan
Kebijakan rencana kelola lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan dari hasil analisis sensitivitas model adalah dengan merevisi dan menyempurnakan penataan ruang dengan memanfaatkan instrumen teknologi, hukum dan perundangan, program insentif dis-insentif untuk mengendalikan laju pembangunan perumahan, menekan laju pembangunan perumahan, mengendalikan laju pertambahan jumlah penduduk, menghentikan kegiatan konversi lahan kawasan lindung menjadi lahan perumahan dan kegiatan lain, meningkatkan pendapatan daerah melalui keunggulan wilayah serta mengalokasikan dana untuk dapat meningkatkan ketersediaan produksi pertanian, keanekaragaman hayati, dan kegiatan-kegiatan yang dapat menambah kenyamanan dan keindahan lingkungan.
1 2,060
Tahun
Gambar 7 Indeks Keindahan-Kenyamanan
Keanekaragaman hayati di kawasan ini dapat dikategorikan sangat baik pada tahun 1995 dan kemudian menurun menjadi sangat buruk pada tahun 2060. Nilai indeks kenyamanan lingkungan dan nilai indeks keindahan lingkungan yang menurun baik secara kualitatif maupun kuantitatif menurunkan nilai manfaat lingkungan. Nilai tambah manfaat pembangunan dalam bentuk nilai jasa lingkungan yang naik akan mengalami penurunan menjadi Rp. 3,95 juta pada tahun 2058 serta Rp. -546,506 pada tahun 2059. Nilai tambah manfaat pembangunan dalam bentuk nilai jasa lingkungan selain dipengaruhi oleh nilai indeks kenyamanan dan keindahan lingkungan juga dipengaruhi oleh jumlah pertambahan populasi. Penyimpangan penggunaan lahan di kawasan budidaya maupun kawasan lindung untuk perumahan mengurangi keanekaragaman hayati (biodiversity). Pengurangan biodiversity baik secara kualitatif maupun kuantitatif akan menurunkan manfaat lingkungan (jasa lingkungan berupa pemandangan alam dan kenyamanan lingkungan). Jasa lingkungan yang berkurang menurunkan nilai manfaat pembangunan atau menaikkan nilai pengorbanan pembangunan bagi penduduk.
KESIMPULAN Kesimpulan penelitian, yaitu : 1 Faktor yang paling berpengaruh terhadap perubahan lingkungan akibat pembangunan perumahan di kawasan Bandung Utara adalah tersedianya luasan lahan tertentu yang memiliki panorama yang indah dan jalan masuk serta dekat dengan tempat bekerja. 2 Dampak penting pembangunan perumahan di kawasan Bandung Utara diprediksikan akan menurunkan produksi pertanian, menurunkan keanekaragaman hayati dan menurunkan kesejahteraan masyarakat. 3 Analisis dampak lingkungan perumahan di kawasan Bandung Utara yaitu berupa semakin meningkatnya penyimpangan penggunaan lahan, menurunnya luas lahan pertanian dan menurunnya produksi pertanian. Kerapatan jumlah flora dan fauna semakin menurun dan ketersediaan biomasa hutan semakin berkurang. Manfaat jasa lingkungan menurun karena keindahan dan kenyamanan lingkungan menurun. 4 Analisis sensitivitas model menunjukkan revisi dan penyempurnaan penataan ruang dengan memanfaatkan instrumen teknologi, peraturan dan perundangan perlu dilakukan untuk mengendalikan dan menekan laju pertumbuhan perumahan di kawasan Bandung Utara. Pengendalian pertambahan jumlah penduduk,
151
Analisis Dampak Lingkungan … (Rina M. M., Iskandar M. Purwaamijaya)
menghentikan kegiatan konversi lahan, meningkatkan pendapatan daerah serta mengalokasikan dana untuk meningkatkan ketersediaan produksi pertanian, keanekaragaman hayati dan kegiatan-kegiatan yang menambah keindahan dan kenyamanan lingkungan.
SARAN Saran konservasi kawasan Bandung Utara adalah : 1. Meniadakan perizinan pembangunan permukiman dan membongkar perumahan yang tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) serta tidak mentaati ketentuan BCR, peningkatan pengelolaan infrastruktur perumahan, peningkatan kesuburan tanah, program kampanye melalui poster dan brosur yang disebarkan ke setiap rumah penduduk dan program pengabdian masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya flora dan fauna bagi ekosistem. 2. Pemanfaatan hasil analisis dampak pembangunan perumahan dijadikan salah satu sumber naskah akademik bagi Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dalam menyusun atau merevisi hukum dan perundangan tentang PSDA (pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan) serta penataan ruang (perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang).
152
3.
Penelitian ini perlu dilanjutkan dengan pembelajaran tentang proses dinamis secara holistik dalam membawa kesadaran berpikir sistemik yang kreatif dengan pandangan antisipatif ke depan.
DAFTAR PUSTAKA Darsihardjo. 2004. Model Pemanfaatan Lahan Berkelanjutan di Daerah Hulu Sungai Cikapundung Bandung Utara. IPB. Bogor. Gordon, G. 1989. System Simulation. Prentice-Hall, New Delhi. India. Kuswara. 2004. Penataan Sistem Perumahan dan Permukiman dalam Rangka Gerakan Nasional Pengembangan Satu Juta Rumah. Jurnal Permukiman XX (l): 9 -16. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Departemen Kimpraswil. Bandung. Muhammadi, E. Aminullah dan B. Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis, UMJ Press. Jakarta. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat. 2008. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung Tahun 2007 Sampai Tahun 2027. Pemerintah Kabupaten Bandung. Saeed, K.1981. Modelling with System Dynamics Approach. Mc Graw Hill. Situmorang, E. 2004. Kajian Teknologi Pengembalian Fungsi Hidrologis Lahan Perumahan di Kawasan Konservasi Inti Bandung Raya Utara. ITB. Bandung.
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 147-153 RENCANA KEGIATAN 1. Pra Konstruksi 2. Konstruksi 3. Operasi
DAMPAK POTENSIAL : A. Identifikasi Dampak Potensial
RONA LINGKUNGAN : A.
B.
C.
D.
FISIK – KIMIA 1. Iklim (makro dan mikro) 2. Kualitas udara 3. Getaran dan kebisingan 4. Fisigrafi 5. Sedimentasi muara sungai 6. Perubahan neraca air 7. Kualitas air (sungai & sumur) 8. Jenis tanah 9. Kesesuaian lahan 10. Kesuburan tanah 11. Erosi 12. Alih fungsi lahan BIOLOGI 1. Vegetasi hutan 2. Tanaman budidaya 3. Satwa (fauna darat) 4. Biota air 5. OPT SOSEKBUD 1. Kecemburuan sosial 2. Kesempatan kerja 3. Aksesibilitas 4. Tingkat pendapatan keluarga 5. Aktifitas perekonomian 6. Pendapatan Asli Daerah (PAD) 7. Sistem nilai KESLINGMAS 1. Sanitasi lingkungan 2. Kesehatan masyarakat
B.
C.
D.
Metode Matriks
FISIK - KIMIA 1. Iklim mikro 2. Kualitas udara 3. Getaran dan kebisingan 4. Sedimentasi muara sungai 5. Perubahan neraca air 6. Kualitas air 7. Kesuburan tanah 8. Erosi 9. Alih fungsi lahan BIOLOGI 1. Vegetasi hutan 2. Tanaman budidaya 3. Satwa (fauna darat) 4. Biota air 5. OPT SOSEKBUD 1. Kecemburuan Sosial 2. Aksessibilitas 3. Kesempatan kerja 4. Tingkat pendapatan keluarga 5. Aktifitas perekonomian 6. Pendapatan Asli Daerah 7. Sistem nilai KESLINGMAS 1. Sanitasi lingkungan 2. Kesehatan masyarakat
DAMPAK PENTING HIPOTETIK : A. Evaluasi Dampak Potensial
B.
C.
D.
FISIK – KIMIA 1. Iklim mikro 2. Sedimentasi muara sungai 3. Perubahan neraca air 4. Kualitas air 5. Kesuburan tanah 6. Erosi 7. Alih fungsi lahan BIOLOGI 1. Vegetasi hutan 2. Satwa (fauna darat) 3. Biota air 4. OPT SOSEKBUD 1. Kecemburuan Sosial 2. Aksesibilitas 3. Kesempatan kerja 4. Tingkat pendapatan keluarga 5. Aktifitas perekonomian 6. Sistem nilai KESLINGMAS 1. Sanitasi lingkungan 2. Kesehatan masyarakat
Diskusi antar pakar Studi pustaka Survey lapang Proffesional judgment
PRIORITAS K L A S I F i K A S I
DAMPAK PENTING HIPOTETIK 1. Produksi pertanian 2. Keanekaragaman hayati 3. Kesejahteran masyarakat
KLASIFIKASI & PRIORITAS Metode Analisis Keterkaitan
Lampiran 1 Bagan Alir Pelingkupan (scooping) AMDAL Pembangunan Perumahan di Kawasan Bandung Utara (Permen Lingkungan Hidup No. 08/2006)
153
Model Perhitungan Kandungan … (Arief S., Tri Harso K., Rumiati T.)
MODEL PERHITUNGAN KANDUNGAN EMISI CO2 PADA BANGUNAN GEDUNG CO2 Emission Greenhouse Gas Effect and Global Warming Building Energy 1Arief
Sabaruddin, 2Tri Harso Karyono, 3Rumiati Tobing 1Pusat
Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan-Kabupaten Bandung 40393 Email :
[email protected] 2Pengajar Fakultas Arsitektur Universitas Tarumanegara dan Peneliti BPPT Email :
[email protected] 3Pengajar Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Parahyangan Jl. Ciumbuleuit No. 94 Bandung Email:
[email protected] Diterima : 28 September 2011; Disetujui : 27 Oktober 2011
Abstrak Meningkatnya kandungan CO2 di atmospher telah menyebabkan efek gas rumah kaca, yang mengakibatkan naiknya temperatur bumi, sehingga terjadi pencairan cadangan es di kutub utara dan selatan serta cadangan es di dataran tinggi. Peningkatan gas CO 2 disebabkan oleh proses pembakaran yang dibutuhkan dalam menjalankan sarana dan prasarana penunjang kehidupan kehidupan dan penghidupan manusia. Bangunan gedung berpeluang mengeluarkan 30% dari total emisi CO 2 yang dihasilkan oleh kehidupan manusia. Terdapat 2 cara emisi CO 2 yang berasal dari bangunan, yaitu emisi CO2 yang dihasilkan ketika proses pembangunan (embodied CO2 emission) serta emisi CO2 yang dihasilkan pada pemanfaatan bangunan. Konsep green building adalah salah satu pendekatan untuk menjamin terjaganya kualitas lingkungan agar tetap langgeng. Salah satu indikatornya adalah bangunan tersebut harus mengkonsumsi energi secara efisien sampai dengan zero energy. Namun nyatanya pemanasan global belum dapat diukur oleh besar konsumsi energi, akan tetapi dari besarnya emisi CO 2 yang dihasilkan oleh bangunan. Hal tersebut disebabkan, besarnya emisi CO2 yang dihasilkan oleh setiap pembangkit listrik memiliki nilai yang berbeda-beda. Pembangkit listrik tenaga uap dengan batu bara menghasilkan emisi CO 2 940 gr CO2 setiap 1 kWh, sedangkan energi listrik tenaga diesel menghasilkan 581 gr CO 2 untuk 1 kWh. Sebagai upaya mitigasi terhadap pemanasan global, sudah saat-nya, besarnya emisi CO2 yang dihasilkan oleh bangunan tersebut dikendalikan. Proses pengendalian dapat dilakukan pada tahap perencanaan maupun tahap pelaksanaan, sebagai upaya untuk menurunkan emisi CO2 yang dikandung oleh bangunan. Untuk menunjang proses perencanaan bangunan gedung rendah emisi CO2 tersebut diperlukan tools, yang berfungsi untuk mengukur/menghitung besarnya emisi CO2 pada bangunan. Tools tersebut akan memberi informasi besarnya harga satuan emisi CO2 pada bangunan gedung per meter persegi (HSEBG). Kata Kunci: Emisi CO2, efek gas rumah kaca, pemanasan global, bangunan gedung
Abstract The increased content of CO2 in the atmosphere has caused the greenhouse gas effect, which causes the earth's rising temperature, resulting in melting ice reserves in the North and South poles as well as ice reserves on plateaus. The increase of CO2 gas is caused by combustion processes required in running the facilities and infrastructure supporting human life and livelihood. Buildings contribute 30% of total CO2 emissions produced by humans. There are two types of CO2 emissions produced by buildings: the CO2 emissions produced in the development process (embodied CO2 emission) and the resulting CO2 emissions when the building is in use. The concept of green building is an approach to ensure the preservation of environmental quality in order to preserve the environment. One indicator is the building must decrease the consumption of energy efficiently up to zero energy. However, global warming cannot be measured from the large energy consumption, but the size of the CO2 emissions generated by buildings. This is due to the different amount of CO2 emissions produced by each power plant. Steam power plant with coal produces CO2 emissions of 940 grams of CO2 for every 1 kWh, while the diesel-generated electrical energy produces 581 grams of CO2 for 1 kWh. In an effort to mitigate global warming, it is required that the amount of CO2 emissions generated by buildings be controlled. Controlling process can be conducted during the planning and implementation stages, in an effort to reduce embodied CO2 emissions. To support the planning process of building low embodied CO2 emissions, certain tools are needed to measure / calculate the amount of CO2 emissions in buildings. These tools will provide information on the rate of CO2 emissions in buildings per square meter. Keywords: CO2 emissions, greenhouse gas effect, global warming, building 154
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 154-163
PENDAHULUAN Pemanasan global yang terjadi saat ini tidak secara langsung disebabkan oleh tingginya konsumsi energi, akan tetapi lebih disebabkan oleh jenis dan sumber energi yang digunakan. Setiap jenis sumber energi menghasilkan nilai emisi CO2 yang berbeda. Energi listrik yang bersumber dari bahan bakar minyak menghasilkan emisi CO2 sebesar 540 gr CO2 per setiap kWh [Fatiah, 2008], sedangkan energi listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik uap yang digerakkan dengan bahan bakar batu bara menghasilkan emisi CO2 sebesar 940 gr CO2 per kWh [Fatiah, 2008]. Sementara pembangkit listrik tenaga air maupun tenaga nuklir tidak menghasilkan emisi CO2 [Calkins, 2009]. Kandungan gas CO2 di atmosfer terus bertambah dengan cepat, sehingga mengakibatkan konsentrasi gas CO2 di atmosfer melampaui ambang batas (10% - 20%) [UNEP, 2008]. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya efek gas rumah kaca, yang berfungsi menahan dan mengakibatkan panas matahari terperangkap dan meradiasi permukaan bumi. Berdasarkan catatan UNEP, dalam seratus tahun terakhir telah terjadi peningkatan panas mencapai 20C [UNEP, 2008]. Bila tidak ditangani segera, maka peningkatan panas pada tahun-tahun mendatang akan meningkat dengan pesat. Akibatnya terjadi perubahan iklim yang mengganggu kesehatan dan kesejahteraan manusia. Perubahan iklim berpeluang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan di bumi. Antara lain naiknya permukaan air laut, mencairnya cadangan es di kutub utara dan selatan serta puncak pegunungan, terjadinya badai ekstrim dengan tingkat bahaya yang lebih besar, musnahnya berbagai biodiversity, terganggunya stok pangan akibat gagal panen dan lain sebagainya. Ujungujungnya berimbas pada terganggunya kesejahteraan manusia. Penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana diamanatkan pada Undang-undang Bangunan Gedung Nomor 28 Tahun 2002, harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesinambungan lingkungan. Keberadaan bangunan gedung berpeluang menambah beban terhadap lingkungan, akibat penyediaan sejumlah sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan bangunan. Konsumsi sumber daya alam sudah dimulai sejak bangunan tersebut dibangun, sampai dengan dihapuskan. Pada tahap pembangunan diperlukan sejumlah bahan bangunan, yang diperoleh dari alam dan diolah lebih lanjut menjadi industri bahan bangunan. Proses industri tersebut membutuhkan sejumlah energi.
Besarnya emisi CO2 pada bangunan gedung melalui sebuah proses yang panjang, mulai sejak tahap perencanaan bangunan sampai dengan tahap pemusnahan bangunan itu. Pada tahap perencanaan bangunan emisi CO2 yang terjadi merupakan emisi tidak langsung. Emisi berasal dari sejumlah energi yang digunakan pada proses kegiatan perencanaan, dalam bentuk kegiatan administrasi atau perkantoran, seperti contohnya penggunaan kertas, komputer, penerangan juga pengkondisian udara (AC). Pada tahap konstruksi, emisi CO2 ditimbulkan secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan yang mengakibatkan emisi langsung berasal dari penggunaan peralatan yang digerakkan oleh bahan bakar fosil, serta penggunaan bahan bangunan yang di dalamnya telah mengandung emisi tak langsung ketika tahap produksi bahan bangunan tersebut. Pada tahap pemanfaatan dan pemeliharaan bangunan. Pada tahap pemanfaatan bangunan, energi digunakan untuk menunjang kegiatan manusia di dalam bangunan. Selain itu proses pemeliharaan bangunan dapat menimbulkan emisi CO2 melalui penambahan dan penggantian bahan bangunan yang sudah melampaui durability bahan bangunan tersebut. Bila usia bangunan secara keseluruhan sudah melampaui usia bangunan yang direncanakan, maka bangunan tersebut sudah harus mengalami pembongkaran. Pada tahap pembongkaran beberapa bahan bangunan yang tidak dapat digunakan kembali atau diolah kembali akan melakukan pelepasan carbon, yang dapat mengemisi atmospher [Fay, et al, 2000]. Usia bangunan berdasarkan SNI 03-1726-2002, direncanakan selama 50 tahun. Sehingga bila usia bangunan lebih dari 50 tahun maka bangunan tersebut harus mendapatkan perlakuan khusus, seperti halnya menjadikan bangunan heritage, yang akan membutuhkan biaya pemeliharaan cukup tinggi. Berdasarkan tahapan-tahapan tersebut, diharapkan para pelaku penyelenggara bangunan gedung dapat melakukan mitigasi terhadap perubahan iklim melalui kegiatan rancang bangun bangunan gedung, sesuai dengan amanat Undangundang Bangunan Gedung 28/2002. Masalah Telah terjadi peningkatan konsentrasi emisi CO2 di atmosfer, yang disebabkan oleh kegiatan rancangbangunan bangunan gedung dan perumahan. Peluang terjadinya emisi CO2 tersebut melalui proses industri bahan bangunan, pembangunan
155
Model Perhitungan Kandungan … (Arief S., Tri Harso K., Rumiati T.)
dan kegiatan manusia di dalam bangunan gedung tersebut. Tujuan Untuk menyusun formula yang digunakan untuk menghitung kandungan emisi CO2 pada bangunan gedung. Manfaat Upaya melakukan mitigasi terhadap perubahan iklim melalui penyelenggaraan bangunan gedung yang dapat dilakukan oleh pemerintah, perencana, maupun pelaksana pembangunan (kontraktor), serta pemilik bangunan.
METODOLOGI Melakukan identifikasi faktor-faktor desain bangunan gedung yang berpengaruh terhadap besar-kecilnya emisi CO2, selanjutnya faktor-faktor tersebut diuji melalui evaluasi bill of quantity untuk mendapatkan jenis pekerjaan yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pembentukan emisi CO2.
MEKANISME TERBENTUKNYA EMISI CO2 Embodied Energy dan Embodied CO2 Emisi CO2 yang dihasilkan oleh bangunan menurut Calkins bersumber dari penggunaan energi serta proses kimia yang terjadi pada saat proses produksi bahan bangunan. Konsumsi energi yang dimaksudkan terdiri dari penggunaan energi langsung seperti proses pembakaran serta penggunaan energi tidak langsung seperti transportasi dan penggunaan energi yang digunakan oleh kegiatan perkantoran dari industri terkait. Sejumlah energi yang digunakan ketika proses produksi bahan bangunan dinyatakan sebagai embodied energy (EE). Contoh EE pada produksi semen adalah sejumlah energi yang digunakan ketika proses pembakaran clinker, yaitu proses pembakaran batu kapur/kasium karbonat (CaCO3), pada proses pembakaran tersebut menghasilkan emisi CO2 (ECE) yang dihasilkan dari penggunaan energi. Kalsium karbonat ketika dipanaskan akan terjadi reaksi kimia yang akan menguraikan senyawa CaO (kapur) dan CO2 yang bersifat mengemisi atmosfer, proses emisi CO2 tersebut dinyatakan sebagai embodied CO2 (EC). Perbedaan antara embodied energy (EE) dan embodied CO2 (EC) dapat dijelaskan melalui persamaan (1) dan (2), yaitu, persamaan (1) EE tidak memiliki perbedaan pengaruh pada jenis sumber energi, sedangkan persamaan (2) EC sangat dipengaruhi oleh jenis sumber energi.
156
Embodied Energy (EE) Persamaan (1a) menjelaskan besarnya embodied energy, yaitu berdasakan besarnya energi yang digunakan dalam proses produksi sebuah bahan bangunan. Indikator yang digunakan dalam EE adalah besar daya dan waktu produksi per satuan bahan [Calkins, 2008]. EE = (P x H) ........................... (1a) Keterangan : EE : Embodied Energy P : Daya listrik (watt, kilowatt) H : Waktu proses produksi bahan bangunan (jam) (P x H) : Energi (kWh)
Setiap satuan energi akan menghasilkan emisi CO2, yang tergantung dari jenis dari pembangkit tenaga listrik yang digunakan. Pembangkit listrik tenaga air per setiap kWh menghasilkan zero CO2 emissions. Pembangkit tenaga listrik disel (PLTD) menghasilkan emisi CO2 (eE) sebesar 570 gr CO2 per kWh, sedangkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan bahan bakar batu bara menghasilkan emisi CO2 (eE) sebesar 940 gr CO2 per kWh (KLH, 2009). Sehingga melalui persamaan (1a) dan (1b) tersebut dapat dijelaskan besarkecilnya EE tidak memiliki relevansi langsung dengan besar-kecilnya emisi CO2 dari setiap jenis pembangkit tenaga listrik. Besarnya emisi CO2 yang dihasilkan oleh setiap pembangkit tenaga listrik tergantung dari besarnya CO2 yang dikeluarkan oleh setiap bahan bakar yang digunakan untuk membangkitkan tenaga listrik. ECE = [EE x
eE] ........................... (1b)
Keterangan : ECE : Embodied Emisi CO2 per Konsumsi Energi P : Daya listrik (watt, kilowatt) H : Waktu proses produksi bahan bangunan (jam) (P x H) : Energi (kWh) eE : Besarnya emisi CO2 yang dilepaskan dari setiap kWh (kg CO2)
Naiknya harga minyak mentah dunia telah mendorong penggunaan batu bara sebagai alternatif yang digunakan pada pembangkit tenaga listrik, karena harga batu bara lebih murah serta memiliki cadangan lebih besar dan harganya lebih murah. Berdasarkan aspek biaya produksi, listrik dengan bahan bakar batu bara memang lebih murah dari bahan bakar diesel/solar, namun biaya dampak lingkungannya akan lebih mahal. Sebab selain berdampak kerusakan perubahan fisik lingkungan tambang batu bara, tingkat emisi CO2 nya lebih besar hampir 2 kali.
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 154-163
Tabel 1 Kadar Unsur Kimia Jenis Bahan Bakar
9.
Persamaan (1b) menunjukkan terbentuknya embodied CO2 emission pada setiap konsumsi energi per kWh. Pada persamaan tersebut ditunjukkan, bahwa proses industri bahan bangunan yang membutuhkan sejumlah energi, menjadikan setiap bahan bangunan akan memiliki nilai EE, serta berpeluang memiliki EC. Tergantung dari bagaimana energi tersebut dihasilkan. Emisi CO2 pada Proses Kimia Produksi Bahan Bangunan (enE) Menurut Calkin [2009], beberapa jenis bahan bangunan yang diproduksi dari raw material akan menghasilkan emisi CO2 yang disebabkan oleh proses kimia bahan ketika diproduksi. Adapun jenis bahan bangunan yang mengeluarkan emisi CO2 dari proses kimia tersebut adalah : 1. Bahan bakar fosil bukan untuk energi, banyak digunakan sebagai bahan campuran seperti bahan cat 2. Proses produksi semen, semen merupakan bahan bangunan yang diproduksi dari bahan dasar kapur (CaCO), ketika proses pembakaran bahan kapur akan melepaskan karbon yang mengalami oksidasi sehingga menghasilkan CO2. 3. Proses produksi baja, emisi CO2 langsung yang dihasilkan dari bahan baja adalah berasal dari bahan anorganik karbon yang terdapat pada biji besi. Selain gas CO2 pada produksi besi baja juga menghasilkan gas methana (CH4), yang memiliki daya rusak terhadap atmosfer lebih besar dari CO2. 4. Proses produksi kapur dan proses produksi batu kapur 5. Proses produksi alumunium, gas CO2 yang dihasilkan ketika alumina diubah menjadi alumunium. 6. Produksi cat dan plastik (Titanium Dioxide) gas CO2 yang dihasilkan ketika proses zat chlorida yang menggunakan kokas minyak bumi dan clorine sebagai bahan baku. 7. (Baja dan besi campur), gas CO2 yang dihasilkan dari produksi pada beberapa jenis baja dan stainless steel. 8. Produksi Zinc, CO2 terbentuk pada tahap pertama maupun tahap berikutnya dalam
produksi zink melalui proses produksi elektro termal. Produksi Petrochemical, CO2 dihasilkan dari produksi polimer
Berdasarkan persamaan (2a) dan (2b) setiap bahan bangunan akan menghasilkan EC, yang berasal dari emisi CO2 akibat penggunaan energi listrik (ECE) maupun emisi CO2 yang dihasilkan dari proses kimia bahan bangunan tersebut (enE). Memerhatikan pada persamaan tersebut, maka setiap jenis bahan bangunan akan nilai embodied CO2 emission (EC) meskipun energi yang digunakan pada produksi bahan bangunan tersebut menggunakan energi yang terbarukan. EC = ECE +
enE ..................................... (2a)
EC = [EE x
eE] + enE ...................... (2b)
Keterangan : EC : Embodied CO2 EE : Embodied Energy eE : Besarnya emisi CO2 yang dilepaskan dari setiap kWh (kg CO2) enE : Emisi CO2 hasil reaksi kimia bahan baku
Mengacu pada persamaan (2) bila dibandingkan dengan persamaan (1) maka besarnya EC tidak selalu memiliki korelasi langsung dengan besarnya EE. Bila mengacu pada penyebab dari kerusakan lingkungan secara langsung disebabkan oleh konsentrasi gas CO2 di atmosfer yang melampaui batas, sehingga mengakibatkan terjadi efek gas rumah kaca yang mengakibatkan suhu permukaan bumi meningkat. Nilai embodied CO2 yang dihasilkan dari proses pembakaran raw material dan proses kimia yang terjadi pada raw material tersebut menghasilkan nilai total kandungan emisi CO2 yang dinyatakan sebagai Nilai Dasar Emisi CO2 Bahan Bangunan (Hde).
MENGUKUR EMISI CO2 Emisi CO2 langsung (Direct CO2 Emissions) adalah pencemaran udara yang disebabkan oleh konsumsi sejumlah bahan bangunan, dimana dalam proses eksploitasi dan pengolahan bahan bangunan tersebut telah menghasilkan sejumlah emisi CO2. Pada proses eksploitasi sumber daya alam yang digunakan sebagai bahan baku bagi sejumlah bahan bangunan, menghasilkan emisi CO2 yang disebabkan oleh penggunaan berbagai alat bantu sampai dengan pengiriman bahan baku tersebut sampai tujuan tempat pengolahan. Beberapa jenis bahan bangunan yang digunakan di dalam pembangunan bangunan gedung, meliputi 3 kelompok besar bahan berikut ini. Bahan 157
Model Perhitungan Kandungan … (Arief S., Tri Harso K., Rumiati T.)
bangunan primer (pasir, air, batu) yaitu jenis bahan bangunan yang langsung digunakan dari bahan alam. Jenis bahan bangunan ini dikelompokkan lagi dalam 2 kategori, yaitu bahan galian (C, B, dan A) serta bahan tegakan (kayu dan bambu). Bahan bangunan sekunder (batako cetak, batako rakyat, beton, baja tulangan, baja profil, semen, kaca, paku, mur-baut, plat baja, kusen pintu-jendela, lantai keramik, lantai ubin PC, dsb) yaitu bahan bangunan yang berasal dari bahan baku yang berasal dari alam dan telah melalui proses industri, dimana pada proses industri tersebut terjadi proses oksidasi yang menghasilkan gas CO2. Bahan bangunan tersier (teralis, tangga besi, dsb) yaitu bahan bangunan yang diproduksi dari bahan bangunan sekunder. Emisi yang dikandung oleh berbagai jenis bahan bangunan dapat dikelompokkan seperti pada tabel 2, dan dinyatakan sebagai Nilai Dasar Emisi CO2 Bahan Bangunan (Hde). Nilai dasar emisi CO2 bahan bangunan dimungkinkan terdapat perbedaan yang disebabkan oleh jenis sumber energi yang digunakan ketika bahan bangunan tersebut diproduksi, seperti telah diuraikan di atas. Beberapa jenis bahan bangunan yang memiliki nilai kandungan emisi CO2 cukup tinggi dan tingkat penggunaannya cukup besar dalam bangunan adalah, semen dengan nilai emisi CO2 sebesar 0,97 kg CO2 per kg semen [Calkins, 2008], baja tulangan adalah 1 s.d. 1,7 kg CO2 per kg baja [Gielen, 1997]. Kedua jenis bahan bangunan tersebut pada bangunan memiliki volume yang cukup besar, baik pada pekerjaan beton bertulang, maupun pekerjaan dinding, lantai, serta komponen bahan bangunan dinding seperti batako cetak, seluruh jenis bahan bangunan dan pekerjaan tersebut membutuhkan semen. Nilai emisi bahan bangunan sesuai lampiran1. Produktifitas kinerja juga menentukan nilai emisi CO2, hal tersebut ditunjukkan dalam indeks analisa biaya konstruksi dalam sebuah perencanaan biaya. Sama halnya dengan emisi CO2, besarnya emisi CO2 setiap item pekerjaan memiliki nilai yang berbeda. Setiap bahan bangunan yang digunakan akan mengalami pengurangan volume, ketika diolah dalam setiap tahap pekerjaan, yang diakibatkan oleh penyusutan maupun akibat terbuang. Besarnya nilai penyusutan dalam menghitung nilai emisi CO2 tersebut digunakan acuan SNI analisa biaya konstruksi. Satuan yang digunakan dalam pekerjaan dinyatakan dalam m1 untuk satuan panjang, m2 untuk satuan luas, dan m3 untuk satuan volume. Formula yang digunakan dalam analisa nilai emisi [AEKp] dinyatakan dengan persamaan (3) sebagai berikut : 158
AEKp =∑ {bb[Indx Hde]}Kg CO2 per satuan pekerjaan ……………
(3)
Keterangan : AEKp : Analisa emisi CO2 konstruksi pekerjaan bb : Bahan bangunan Ind : Indeks bahan bangunan Hde : Nilai dasar emisi CO2 bahan bangunan
Indeks bahan bangunan per satuan pekerjaan mengacu pada nilai indeks dari SNI Analisa Biaya Konstruksi. Nilai indeks tersebut menunjukkan kebutuhan volume bahan bangunan yang digunakan pada setiap pekerjaan. Sebagai contoh untuk melakukan analisa emisi CO2 satuan pekerjaan mengerjakan 1 m3 pekerjaan pondasi batu belah campuran 1 PC : 3 PP (SNI 2836 : 2008), adalah diperlukan : 1. 2. 3.
Batu belah 1,2 m3 Portland Cement (PC) 202 kg Pasir pasang 0,485 m3
Masing-masing bahan bangunan tersebut mengandung harga dasar emisi CO2 (Hde), yakni untuk batu belah EC dihasilkan dari sejumlah energi yang digunakan pada alat berat ketika melakukan eksploitasi batu belah dari alam dan bahan bakar yang digunakan untuk transportasi pengiriman bahan batu belah ke site. Tabel 2 Nilai Dasar Emisi CO2 Bahan Bangunan (Hde) Primer Agregat (halus s.d kasar) Air Bambu Biji baja Kasium karbonat Kayu log Tanah lempung Minyak bumi Batu bara
Tersier N (campuran) Semen Beton Panel Baja tulangan Beton beton Baja profil bertulang cetak Paku Mur-baut Keramik Kabel litrik Bata merah (NYM, dsb) Genteng Batako cetak Kayu lapis (glulam, Buis beton LVL) Kusen Kayu balok-papan alumunium Kloset Pintu Bak mandi alumunium Profil alumunium Plat alumunium Panel gypsum Besarnya emisi CO2 ditentukan oleh proses oksidasi dari material, energi yang digunakan oleh industri untuk memproduksi bahan bangunan (langsung, tidak langsung), serta transportasi Sekunder
Besarnya emisi CO2 ditentukan oleh bahan bakar yang digunakan oleh sejumlah peralatan dalam proses eksploitasi serta bahan bakar yang digunakan untuk transportasi dari lokasi ke tempat pemrosesan. Catatan : Satuan bahan bangunan tersebut dinyatakan dalam kgCO2 setiap satuan produksi bahan bangunannya; yang meliputi; per lembar, per meter persegi, per meter kubik, per meter panjang, per kilogram berat bahan, per buah
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 154-163
Besarnya EC (Hde)pada batu belah adalah 0,00095 kg CO2 per m3 batu belah [Hwang, 2001]. Juga pada bahan PC mengandung emisi CO2 (Hde) sebesar 0,97 kg CO2 per kg semen. [Gielen, 1997] Nilai emisi CO2 pada bahan pasir pasang adalah 0,845 kg CO2 per m3 pasir pasang [Hwang, 2001]. Sehingga dapat dihitung besarnya emisi CO2 pada pekerjaan tersebut ditunjukkan pada tabel 3. Hasil analisa emisi satuan pekerjaan pondasi batu belah ditemukan besarnya emisi CO2 pekerjaan pondasi batu belah per m3 adalah 195,941 kg CO2, yaitu : Tabel 3 Analisa Emisi CO2 Satuan Pekerjaan Pondasi Batu Belah per m3 Bahan Batu Belah 15 cm/20 cm Portland Cement (PC) Pasir Pasang (PP)
Satuan m3 Kg m3
Indeks
NDE Bahan
1,20000 0,00098 202,00000
Sub Total E
Total E
Sat
0,001
0,97 195,940
0,48500 0,00045
dicantumkan dengan satuan dalam analisa nilai emisi satuan pekerjaan (AEK). Nilai emisi CO2 satuan pekerjaan yang dihasilkan dari adopsi nilai indeks satuan pekerjaan sesuai dengan SNI ABK, seluruh hasil analisa emisi CO2 pekerjaan dimasukkan pada kolom ini. Tahap selanjutnya adalah mengkalikan antara volume pekerjaan dengan nilai emisi CO2 pekerjaan
3.
4.
Keempat tahapan tersebut disusun dalam sebuah tabel dengan bantuan software spreadsheet data, seperti MS Excel, untuk memudahkan perhitungan secara otomatis. Contoh (lampiran 2) bentuk penyusunan tabel tersebut seperti pada contoh tabel 4 di bawah ini : Tabel 4 Contoh Tabel Perhitungan Nilai Emisi CO2 Bangunan Gedung (RE)
0,000 195.941 kg CO2/m3
Besarnya emisi CO2 yang ditimbulkan oleh pekerja diabaikan, karena variabelnya sangat luas dan masih sulit untuk ditentukan, sebab terdapat faktor budaya yang mempengaruhi produktifitas kerja. Kondisi ideal, produktifitas kerja dapat ditentukan nilai emisi CO2 nya ketika para pekerja bangunan sudah dapat dilakukan sertifikasi. Sehingga setiap pekerjaan yang dikerjakan oleh berbagai karakter pekerja yang berlatar belakang berbeda akan menghasilkan nilai yang sama. Selanjutnya berdasarkan BQ (bill of quantity) dari RAB (rencana anggaran biaya) diketahui informasi volume pekerjaan, yang sudah dihitung berdasarkan gambar kerja. Setiap volume pekerjaan tersebut bila dikalikan dengan hasil analisa nilai emisi CO2 pekerjaan, maka akan didapat nilai emisi CO2 yang dikandung oleh bangunan tersebut. Untuk mendapatkan nilai emisi CO2 per m2 bangunan maka nilai total emisi CO2 tersebut dibagi dengan luas bangunan. Formula tersebut dapat dinyatakan dengan persamaan (4) sebagai berikut : RE = ∑Pek (Vol x AEKp) Kg CO2 .....(4) Keterangan : RE : Rencana emisi CO2 Pek : Jenis pekerjaan Vol : Volume pekerjaan AEKp : Analisa emisi CO2 konstruksi pekerjaan
Persamaan 4 disusun dalam tabel Nilai Emisi Bangunan, yang terdiri dari : 1. Jenis pekerjaan, yang disusun berdasarkan tahapan pekerjaan sesuai dengan tabel bill of quantity (Rencana Anggaran Biaya). 2. Volume pekerjaan setiap item pekerjaan dengan mencantumkan satuan, perlu mendapat perhatian kesesuaian satuan yang
No
Item Pekerjaan Jenis pekerjaan disusun berdasarkan tahapan pekerjaan
Volume Volume pekerjaan dihitung berdasarkan gambar
Sat M’ M2 M3
Hde Hasil dari analisa AEK
Total Emisi CO2 Bangunan
NE Total hasil perkalian antara volume dan Hde HSE
Selanjutnya untuk menentukan nilai satuan emisi CO2 pada bangunan gedung per meter persegi adalah menggunakan persamaan (5) : HSE = RE : LbKg CO2 per m2 Keterangan : HSE RE Lb
......... (5)
: Nilai satuan emisi CO2 bangunan gedung per m2 luas bangunan : Rencana emisi CO2 : Luas total bangnan
Dengan formula tersebut, nilai emisi CO2 sudah dapat ditentukan. Tentunya melalui penelitian ini, ambang batas emisi CO2 pada setiap bangunan dapat dikembangkan lebih lanjut, hasilnya dapat digunakan sebagai ketentuan dalam standar emisi CO2 yang diizinkan oleh pemerintah daerah dalam pengendalian emisi CO2. Juga dapat menjadi sebuah persyaratan IMB dengan memenuhi ambang emisi CO2 yang diizinkan. Bangunan Gedung Nilai dasar emisi CO2 bahan bangunan yang sama dimungkinkan terjadi perbedaan antara satu produsen dengan produsen lainnya, hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan penggunaan sumber energi yang berbeda pada setiap industri. Sumber energi yang saat ini banyak digunakan di Indonesia adalah energi yang bersumber dari PLTU dengan bahan bakar batu bara, yang memiliki resiko tingkat emisi CO2 paling tinggi dibandingkan dengan sumber energi lainnya, namun dari aspek harga, batu bara merupakan sumber energi yang paling murah. 159
Model Perhitungan Kandungan … (Arief S., Tri Harso K., Rumiati T.)
Untuk menurunkan emisi CO2 pada sektor bangunan gedung, perlu dimulai dari proses produksi bahan bangunan yang menggunakan sumber energi yang terbarukan, seperti halnya pengembangan komponen bangunan seperti lampu hemat energi, kloset dual flush, dsb.
mutu emisi CO2 yang diizinkan pada bangunan gedung, sesuai dengan fungsi bangunan.
Hampir seluruh bahan bangunan yang digunakan dalam pembangunan gedung mengandung emisi CO2, namun tidak seluruh bahan bangunan tersebut berkontribusi sama besar pada emisi yang ditimbulkan, karena hal tersebut juga ditentukan oleh volume bahan bangunan yang digunakan. Beberapa bahan bangunan dikonsumsi lebih kecil dibandingkan dengan beberapa jenis bahan bangunan lainnya. Misalnya semen digunakan hampir pada setiap item pekerjaan, mulai dari pekerjaan pondasi, struktur, pengisi bangunan bahkan pada pekerjaan plumbing dan utilitas bangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Menurut Gielen [1997] beberapa jenis bahan bangunan yang memiliki modus penggunaan di dalam konstruksi bangunan gedung adalah semen, baja tulangan, bahan-bahan jenis keramik (bata merah, genteng keramik, lantai keramik) serta kayu, baik kayu struktur maupun kayu pengisi.
KESIMPULAN DAN SARAN Melalui formula (3) dan (4) yang disusun pada tabel 4, dapat dilakukan perhitungan nilai emisi CO2 pada bangunan gedung. Dengan tersedianya model perhitungan emisi CO2 pada bangunan gedung, maka selanjutnya dapat dilakukan kegiatan penelitian penentuan baku
160
Model ini dapat digunakan sebagai alat kendali dalam proses perencanaan bangunan gedung rendah emisi CO2.
_______________, 2008. SNI Analisa Biaya Konstruksi. BSN-Pusat Litbang Permukiman, JakartaBandung Brenda, Vale, R., 1991. Green Architecture, Design for an Energy-Conscious Future. A Bulfinch Book. Little, Brown and Company. London Calkins, M., 2009. Materials for Sustainable Sites. John Wiley & Sons. Inc. Canada. Fatiah, A.A., 2008. Global Warming. Sebuah Isyarat Dekatnya Akhir Zaman dan Kehancuran Dunia. Granada Mediatama. Jawa Tengah. Fay, R., Treloar, G., Iyer-Raganiga, U., 2000. Lifecycle Energy Analysis of Building: a case study. Journal Building Research & Information. E. & FN Spon. Gielen, D.J., 1997. Building Material and CO2. Western Europe Emission Reductions Strategies. Netherlands Energy Research Fondation ECN. Seo, S., & Y. Hwang, 2001. Estimation of CO2 Emission in Life-cycle of Residential Building. Journal of Construction, Engineering and Management. Vol 127. No. 5 September – October. UNEP, 2008. Kick the Habit, a UN Guide to Climate Neutrality. UNEMG. UNEP/GRID-Arendal.
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 154-163
Lampiran 1 Harga Dasar Emisi CO2 (Hde) Nilai Emisi CO2 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 23 24 26 27 28 29 30 31
Jenis Bahan Bangunan
Batu Belah 15 cm / 20 cm Portland Cement (PC) Pasir Pasang (PP) Pasir Urug (PU) Pasir Beton (PB) KerikiI(KR) Bata Merah 5 x 11 x 22 Coblock HB 10 Besi Beton Kawat Beton Asbes Plat Paku tripleks Paku 5, 7, 10 Pa ku seng Skrup fixer Mur baut Kayu Lapis 4 mm Kayu Lapis 12 mm Kayu Lapis (90 x 2.20) Profit aIumunium kusen Gypsumm board Paku skup gypsum Tepung gypsum Kayu kelas IV/ galam Kayu kelas III Kayu kelas II Lantai keramik 30 x 30 Lantai keramik 20 x 20 32 kasar 33 Lantai plint 30 x 10 35 Genteng keramik 36 Fiber semen gelombang 38 Bubungan keramik 40 Plat baja 42 Kaca 3 mm 47 Pipa PVC di a 1/2” 48 Pipa PVC di a 3/4” 49 Pipa PVC di a 1” 50 Pipa PVC di a 3” 51 Pipa PVC di a 4” 54 Kabel NYM 0,25 mm 58 Arde listrik 59 Arde penangkalan petir 60 Kabel penangkalan petir Penangkal petir 64 Sealent Sumber : 1 : Hwang 2 : Vale R. 3 : Gielen NE : Nilai Emisi CO2
Satuan Bahan
Sumber Data 1
2
3
NE
Satuan
0,00095 0,97000 0,00045 0,00045 0,00045 0,00045 0,20610 0,01900 0,85152 0,34538 0,01085 1,70000 1,70000 1,70000 1,70000 1,70000 0,19957 0,30914 0,15966 3,03285 0,22930 0,37753 0,02624 0,02624 0,02624 0,02624 0,20610
kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2
0,20610
0,20610
kg CO2
0,20610 0,13111 0,01085 0,13111 0,42503 0,22685 0,36230 0,54345 0,72460 0,90575 1,08690 1,59510 1,59510 1,59510 1,59510 1,59510 1,23280
0,20610 0,13111 0,01085 0,13111 0,42503 0,22685 0,36230 0,54345 0,72460 0,90575 1,08690 1,59510 3,75000 3,75000 3,75000 3,75000 1,23280
kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2 kg CO2
m3 kg m3 m3 m3 m3 bh bh kg kg m2 kg kg kg bh kg Ibr lbr lbr ml lbr kg kg m3 m3 m3 bh
0,00095 0,22040 0,00045 0,00045 0,00045 0,00045 0,01900 0,42559 0,34538 0,01085 0,37753 0,37753 0,37753 0,37753 0,37753 0,19957 0,30914 0,15966 3,03285 0,22930 0,37753 0,02624 0,02624 0,02624 0,02624 0,20610
bh bh bh bh bh kg m2 btg btg btg btg btg m1 m1 m1 m1 bh tube
0,97000
0,20610 0,85152
1,70000
1,70000 1,70000 1,70000 1,70000 1,70000
3,75000 3,75000 3,75000 3,75000
Keterangan
~'
161
Model Perhitungan Kandungan … (Arief S., Tri Harso K., Rumiati T.)
Lampiran 2 Contoh Perhitungan Harga Emisi CO2 Bangunan Gedung pada Rumah Susun Cigugur Tengah Cimahi NILAI EMISI C02 PEKERJAAN BANGUNAN RUMAH SUSUN Rusunawa Cigugur Dimensi m3 Harga Satuan Volume Jenis Pekerjaan Dasar Bangunan No. m2 Set. Emisi CO2 Rumah susun (kg CO2) m1 t p l bh Volume 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A. BANGUNAN BERSAMA A.l. Struktural 1 Pondasi sumuran 1,00 1,00 5,00 42,00 210,00 m3 296,094011 2 Poor 1,00 1,00 0,60 42,00 25,20 m3 463,3674005 3 Sloof 7,00 0,25 0,30 50,00 26,25 m3 509,1830923 4 Kolom 30/40 0,30 0,40 2,80 170,00 61,12 m3 602,5143135 5 Kolom 20/20 0,20 0,20 2,80 40,00 8,48 m3 602,5143135 6 Balok 30/40 0,30 0,40 8,00 100,00 96,00 m3 511,2245043 7 Balok anak 30/40 0,30 0,40 3,00 250,00 90,00 m3 511,2245043 8 Tangga beton 3,00 6,00 0,12 4,00 8,64 m3 559,0018912 9 Plat lantai 0,12 21,00 14,00 4,00 141,12 m3 465,8349093 10 Plat lantai koridor 0,12 4,50 4,00 4,00 8,64 m3 465,8349093 11 Kuda-kuda 0,08 0,12 750,00 1,00 7,20 m3 17,794314 12 Penutup atap 1,00 23,00 16,00 4,00 1.472,00 m2 5,786668581 13 Hubungan 60,00 1,00 1,00 1,00 60,00 m' 1,446667145 A.II. Arsitektural 1 Plafond 2 Lantai selasar 3 Lantai tangga 4 Railing tangga 5 Tailing selasar 6 Lantai dasar 7 Dinding pasangan konblok 8 Plesteran 9 Acian skoning
0,12 21,00 26,00 12,00 3,00 5,00 6,00 1,00 30,00 1,00 0,12 21,00 13,00 2,80 1,00 1,00 1,00 1,00
A.III. Mekanikal dan Elektrikal 1 Kabel NYM 2 Armatur lampu koridor 3 Saklar utama koridor 4 Tembaga penangkal petir 5 Kabel penangkal petir 6 Arde penangkal petir 7 Arde listrik
18,00 8,00 2,00 1,00 75,00 2,50 2,50
B. BANGUNAN INDIVIDU (unit) B.I. Struktural 1 Kolom praktis 2 Plat beton dapur 3 Balok lintel
Total Emisi C02 (Kg C02) 10 307.571,51859 62.179,74231 11.676,85849 13.366,05617 36.825,67484 5.109,32138 49.077,55241 46.010,20539 4.829,77634 65.738,62240 4.024,81362 128,11906 8.517,97615 86,80003
1,00 1,00 2,00 2,00 1,00 1,20 16,00 1,00 ' 1,00
1,00 4,00 4,00 4,00 4,00 1,00 4,00 -
2,52 1.248,00 120,00 48,00 120,00 3,02 2.329,60 -
m2 m2 m2 m' m' m2 m2 m2 m'
0,35662722 13,62822025 13,62822025 2,62811831 2,62811831' 0,1039413 1,552' 13,22305215 0,48500585
22.701,68109 0,89870 17.008,01887 1.635,38643 126,14968 315,37420 0,31402 3.615,53920 -
3,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
5,00 4,00 4,00 5,00 1,00 2,00 2,00
270,00 32,00 8,00 5,00 75,00 5,00 5,00
m' bh bh bh m' m' m'
1,5951 0,0001 0,0001 3,75 1,5951 3,75 3,75
606,56350 430,67700 0,00320 0,00080 18,75000 119,63250 18,75000 18,75000
0,10 0,01 0,10
0,10 1,20 0,10
2,40 0,50 3,00
2,00 1,00 1,00
0,05 0,00 0,03
m3 m3 m3
283,507328 283,507328 283,507328
2,96409 13,60835 0,85052 8,50522
B.ll. Arsitektural 1 Penutup lantai 2 Plint 3 Penutup plafond 4 Kusen pintu dan jendela 5 Daun pintu panel 6 Daun pintu kamar mandi 7 Daun jendela 8 Teralis 9 Railing
3,00 16,00 3,00 0,05 0,04 1,00 0,04 1,50 3,50
6,00 1,00 6,00 0,12 0,10 1,00 0,07 1,50 1,00
1,00 1,00 1,00 1,00 6,40 1,00 4,20 1,00 1,00
1,00 1,00 1,00 1,00 2,00 1,00 2,00 1,00 1,00
18,00 16,00 18,00 0,01 0,05 1,00 0,02 2,25 3,50
m2 m' m2 m3 bh bh bh kg m'
0,1038413 1,816242025 0,35662722 0,368864 0,0014496 0,211742 0,046326 2,62811831 2,62811831
52,67497 1,86914 29,05987 6,41929 0,00221 0,00007 0,21174 0,00095 5,91327 9,19841
B.III. Mekanikal dan Elaktrikal 1 Kabel NYM 2 Armatur lampu 3 Saklar 4 Stop kontak 5 Pipa PVC 6 Kran 7 Floor drain 8 Bak mandi 9 Kloset jongkok/ duduk 10 -
40,00 3,00 1,00 1,00 6,00 2,00 1,00 1,00 1,00 1,00
1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
1,00 1,00 2,00 2,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
40,00 m' 3,00 bh 2,00 bh 2,00 bh 6,00 m' 2,00 bh 1,00 bh 1,00 bh 1,00 bh 1,00 bh
1,5951 0,0001 0,0001 0,0001 1,0869 0,0001 0,0001 0,0001 -
70,32650 63,80400 0,00030 0,00020 0,00020 6,52140 0,00020 0,00010 0,00010 -
162
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 154-163
Lampiran 3 Rekapitulasi Nilai Emisi CO2 Rumah Susun Cigugur Tengah Cimahi REKAPITULASI Cigugur Tengah Cigugur Tengah No.
Kelompok Pekerjaan
A. BANGUNAN BERSAMA A. I. Struktural A.II. Arsitektural A. III. Mekanikal dan Elektrikal B. BANGUNAN INDIVIDU (unit) B.I. Struktural B.II. Arsitektural B.III. Mekanikal dan Elektrikal
Jumlah Unit Dalam Satu Unit
48
TOTAL EMISI C02 bobot
Nilai Emisi CO2 (kg CO2)
Total Emisi Bangunan (kg CO2)
Total Emisi Per Unit (kgCO2)
307.571,52 22.701,68 606,56
330.879,76
6.407,74 472,95 12,64
22,96 46,26 70,33
1.102,28 2.220,27 3.375,67
6.698,22
337.577,98 96,13%
13.591,55 3,87%
% Bgn Unit 99,02% 50,72%
1,98%
49,28%
100% 100%
100%
Dari hasil perhitungan dan analisis di atas didapatkan nilai emisi CO2 bangunan (NE) sebesar 337,577,98 kg CO2. Diketahui luas bangunan keseluruhan adalah 1.770 m2, maka nilai dasar emisi CO2 bangunan (HSE) per m2 adalah 190,72 kg CO2 per m2.
163
Kenyamanan Termal Adaptif … (Wahyu S., Fanny K., Aan S.)
KENYAMANAN TERMAL ADAPTIF HUNIAN KAWASAN MANGROVE CENTRE-BATU AMPAR-BALIKPAPAN Adaptive Thermal Comfort of Mangrove Residential Area, Batu Ampar Balikpapan 1Wahyu
Sujatmiko, 2Fanny Kusumawati, 3Aan Sugiarto
Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan-Kabupaten Bandung 40393 1Email:
[email protected] 2Email:
[email protected] 3Email:
[email protected] Diterima : 07 Juli 2011; Disetujui : 01 Agustus 2011
Abstrak Pada karya tulis ini disampaikan kajian kenyamanan termal adaptif responden perumahan Graha Indah Kawasan Mangrove Center Batu Ampar Balikpapan. Metoda penelitian adalah eksperimen lapangan. Diperoleh 49 data kesan termal dari penghuni 20 rumah, 10 rumah merupakan asli T36 dan sisanya modifikasi. Kondisi netralitas termal dirasakan responden pada Tdb = 29,4oC, ET* = 31,3 oC, SET* = 31,7 oC, TSENS = 1,01, DISC 1,94, dan PMV = 1,72, kondisi rata-rata termal Tdb = 29,2oC, ET* = 31,1 oC, SET* = 31,5 oC, TSENS = 0,97, DISC 1,86, dan PMV = 1,67, yang berarti responden menginginkan kondisi netral sedikit di atas kondisi rata-rata. Adapun kondisi preferensi termal adalah Tdb = 28,1oC, ET* = 30 oC, SET* = 30,2 oC, TSENS = 0,74, DISC 1,47, dan PMV = 1,37. Hasil analisis kinerja termal unit bangunan memperlihatkan bahwa konstruksi selubung bangunan memiliki waktu tunda termal yang rendah, tercipta kondisi ruangan siang hari yang tidak nyaman (temperatur antara 27,8oC – 34oC dengan kelembaban rata-rata 78%). Hasil analisis data iklim memperlihatkan kondisi ekstrim minimum dan maksimum sepanjang tahun yang selalu di luar zona nyaman 80% ASHRAE. Konstruksi bangunan asli T36 yang masih memungkinkan terjadinya ventilasi silang untuk kenyamanan termal menjadi hilang oleh pemenuhan lahan dalam renovasi bangunan. Kata kunci: Kenyamanan termal adaptif, responden rumah tinggal, konstruksi ringan, waktu tunda rendah
Abstract This paper presents an adaptive thermal comfort study of respondents from Graha Indah residential area in Mangrove Center, Batu Ampar, Balikpapan. The research method employed is field experiment. There are 49 thermal data obtained from residents of 20 houses, which comprise 10 original T36 houses and the rest is modified. Respondents perceived the condition of thermal neutrality in dry bulb temperature Tdb = 29,4oC, thermal indices of ET* = 31,3 oC, SET* = 31,7 oC, TSENS = 1,01, DISC 1,94, and PMV = 1,72, average thermal conditions in Tdb = 29,2oC, ET* = 31,1 oC, SET* = 31,5 oC, TSENS = 0,97, DISC 1,86, and PMV = 1,67, which means that the respondents want a neutral condition slightly above average condition. The condition of thermal preference is Tdb = 28,1oC, ET* = 30 oC, SET* = 30,2 oC, TSENS = 0,74, DISC 1,47, and PMV = 1,37. The results of the analysis of thermal performance of building units show that the construction of the building envelope has a low thermal time lag, resulting in uncomfortable day room temperatures (temperature range is 27.8 oC - 34oC and humidity 78% on average). Results of the analysis of climate data show the minimum and maximum extreme conditions throughout the year are always outside the comfort zone of 80% ASHRAE. T36 construction of the original building that still allows for cross ventilation for thermal comfort is lost due to the usage of the whole land for the renovation of the house building. Keywords: Adaptive thermal comfort, residential building, lightweight construction, low time lag
PENDAHULUAN Penelitian ini bertujuan mengkaji kenyamanan termal hunian adaptif pada kompleks permukiman di kawasan Mangrove Centrer Batu Ampar Kecamatan Balikpapan Utara, Kota Balikpapan. Kajian kenyamanan termal adaptif pada dasarnya adalah upaya untuk mengetahui kenetralan kondisi termal (thermal neutrality), keterterimaan kondisi
164
termal (thermal acceptability), dan preferensi kondisi termal (thermal preference) responden suatu hunian, serta perilaku adaptif penghuni tersebut guna memperoleh kenyamanan termal dengan didukung sarana yang ada pada bangunan tersebut. Terkait dengan riset kenyamanan adaptif hunian rumah tinggal di Indonesia ini, terdapat dua
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 164-174
permasalahan yang membutuhkan pengkajian lanjutan : 1. bagaimana model matematis kenyamanan termal adaptif penghuni bangunan hunian tidak bersusun dan bersusun. Pada penelitian sebelumnya (Sujatmiko, 2007) telah dilakukan penelitian kenyamanan termal adaptif untuk hunian rumah tinggal bukan rumah susun (rusun), yang terletak di Surabaya, Bandung, Semarang, dan Bekasi. Model yang diperoleh diperbandingkan dengan model kenyamanan termal adaptif dan statik dari ASHRAE 55 / ISO 7790. Perlu dilakukan pengkajian pada penghuni rusun dan juga penambahan pengkajian responden non rusun pada kota lain. 2. Bagaimana karakteristik termal hunian kawasan yang disurvei. Tujuan penulisannya adalah menyampaikan sebagian dari upaya pemecahan kedua permasalahan di atas, yakni : 1. mendapatkan basis data baru berupa persamaan model adaptif kenyamanan termal penghuni bangunan hunian tidak bersusun di kawasan Mangrove Center Batu Ampar Kota Balikpapan. 2. mengetahui karakteristik termal hunian responden di kawasan Mangrove Center Batu Ampar Kota Balikpapan.
TINJAUAN TEORITIS Penelitian Sebelumnya Penel;itian kenyamanan termal dengan metoda adaptif ASHRAE awalnya dilakukan untuk penghuni bangunan perkantoran atau hunian dengan banyak orang seperti ruang kelas, agar dapat dilakukan setting temperatur ruangan secara kolektif. Penerapan metoda adaptif tersebut untuk hunian rumah tinggal di Indonesia dimulai oleh riset Sujatmiko (2007) untuk hunian rumah tinggal. Ide ini dilanjutkan dengan survei rumahrumah tradisional di Sumba, Flores, Timor, Lombok, dan Sumbawa (a.l. Sujatmiko dan M. Aryati, 2010), rusun Cigugur Cimahi (Sujatmiko, 2010), dan rusun Pasar Jumat (Sujatmiko, 2010). Penerapan metoda ASHRAE ini pada hunian rumah tinggal relatif lebih sulit dalam upaya perolehan data kesan termal, karena harus mendatangi responden dari rumah ke rumah, berbeda dengan perkantoran yang dengan sekali datang pada suatu ruangan kantor, dapat terdapat banyak orang sekaligus.
Berdasarkan data temperatur bola kering Tdb, temperatur radian rata-rata Tmrt, kelembaban udara RH, kecepatan angin Va, tingkat aktifitas responden met, dan tingkat insulasi pakaian responden clo, dapat dihitung besaran indeks termal temperatur efektif ET*, SET*, TSENS, DISC, dan PMV. Penjelasan mengenai indeks termal ini dapat dilihat pada Sujatmiko (2007). Sebagai pembanding terhadap hasil survei lokasi Balikpapan yang akan disampaikan pada makalah ini, hasil Sujatmiko (2007) untuk responden rumah tinggal dan kantor berventilasi alami (387 data) di kota Bandung, Bekasi, dan Semarang, kondisi netral dirasakan responden pada Tdb = 27,3oC, ET* = 29,4 oC, SET* = 30,1 oC, DISC = 1,7, TSENS 1,1, dan PMV = 1,1. Kondisi preferensi dirasakan pada Tdb = 25,3oC, ET* = 27,3 oC, SET* = 27,2 oC, DISC = 0,8, TSENS 0,7, dan PMV = 0,5. Apabila kondisi kenetralan diperbandingkan kondisi preferensi, terlihat responden menginginkan kondisi preferensi yang lebih rendah dari kondisi netral, kondisi ini merupakan tipikal kondisi daerah tropis dan pengukuran musim kemarau (Sujatmiko 2007 dan Kwok 1998). Kondisi Iklim Data iklim terdekat diperoleh berdasarkan data iklim Bandara Sepinggan Balikpapan. Jarak antara bandara dengan lokasi apabila ditarik garis lurus pada peta adalah 9,6 km. Kedua lokasi sama-sama berada pada dataran rendah, dengan beda iklim mikro kalau bandara dekat pantai sedangkan lokasi survei Batu Ampar di tepi hutan mangrove. Ekosistem mangrove atau hutan bakau termasuk ekosistem pantai atau komunitas bahari dangkal yang terdapat pada perairan tropik dan subtropik, dengan jenis pohon yang relatif seragam dan selalu hijau. Mangrove menghendaki lingkungan tumbuh yang membutuhkan air asin, berlumpur, dan selalu tergenang karena sifat pohon mangrove yang halofit, artinya tahan akan tanah yang mengandung garam dan genangan air laut (Irwan, hal 135). Dengan demikian dari segi kenyamanan termal hutan mangrove selain dapat menurunkan temperatur karena dedaunan hijaunya juga menyumbangkan kelembaban yang tinggi karena kondisi lingkungan yang selalu tergenang.
165
Kenyamanan Termal Adaptif … (Wahyu S., Fanny K., Aan S.)
Besar temperatur (oC)
Gambar 1 Lokasi survei, Perumahan Graha Indah Kelurahan Batu Ampar, Balikpapan Utara, Kota Balikpapan. (Gambar diolah dari http://www.balikpapan.go.id/components/com_peta/ batu%20ampar.jpg dan Google Earth)
36.0 34.0 32.0 30.0 28.0 26.0 24.0 22.0 20.0
Zona Nyaman 80% Tn ASHRAE untuk Temperatur Kota Balikpapan Min Th 2009 Maks Th 2009 Rata-rata Th 2009 Rata-rata Th 20022006 Tn ASHRAE (data Th 2009)
1
2
3
4
5
6
7
Bulan ke
8
9
10
11
12
Tn ASHRAE (data Th 2002-2006)
Gambar 2 Zona 80% Temperatur Kenetralan (Tn) (Temperatur Nyaman) Menurut ASHRAE 55-2004 Berdasarkan Data Iklim Balikpapan (Hasil Analisis)
METODE PENELITIAN Pertama-tama dilakukan survei kesan termal terhadap responden penghuni bangunan rumah tinggal di kawasan Mangrove Centre Perum Graha Indah Batu Ampar Kota Balikpapan. Pengukuran mencakup pengukuran kesan termal dan besaran fisik lingkungan responden. Responden Pengukuran kesan termal dilakukan terhadap responden penghuni bangunan yang telah teraklimatisasi (yakni merupakan penghuni hunian yang disurvei dan telah ada di ruangan minimal 15 menit sebelum disurvei), dengan aktifitas santai 166
mantap 1 -1,2 met. Keseluruhan diperoleh 49 data kesan termal dari 49 responden (masing-masing mengisi 1 kali) yang tersebar di 20 unit rumah yang ada di Kompleks Perumahan Graha Indah daerah Mangrove Center Batu Ampar. Detil responden beserta indeks termal tertera pada tabel L1. Responden laki-laki dan perempuan hampir sama, yakni laki-laki 44,9% dan perempuan 55,1%. Kota Balikpapan merupakan kota multi etnis, demikian juga kondisi lokasi survei, suku bangsa responden beragam, yakni Jawa 38,8%, Banjar 24,5%, dan lainnya 36,7% terdiri atas beragam suku yakni Bugis, Toraja, Sunda, Madura, Manado, Palembang, dan Kutai. Umur responden beragam,
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 164-174
terbesar 31-40 tahun (38,8%), lalu 41-50 tahun (18,2%), 51-57 tahun (16,3%), 21-30 tahun (14,2%), dan 13-20 tahun (12,1%). Pendidikan mayoritas jenjang SMA-D3 (67,3%), diikuti SMP (16,3%), D4-S1 (8,2%) dan SD (8,2%). Kuesioner Terhadap responden tersebut diberikan kuesioner (disampaikan pada bagian lampiran makalah ini) terkait kenetralan kondisi termal, keterterimaan kondisi termal, preferensi kondisi termal, kondisi angin, kondisi keringat, dan kondisi kenyamanan umum. Diperoleh 49 data kesan termal sebagaimana tertera pada tabel L1. Pengukuran Lingkungan Fisik Pengukuran besaran fisik sekitar responden dilakukan mengikuti metoda kelas II menurut de Dear sebagaimana disampaikan dalam Sujatmiko (2007), di mana seluruh variabel fisik lingkungan dalam ruangan (baik yang ditaksir yakni nilai clo pakaian dan besar kegiatan (met) responden), maupun yang diukur, yakni temperatur bola kering Tdb, temperatur globe Tglobe, kecepatan angin Va, dan kelembaban RH yang diperlukan untuk menghitung indeks kenyamanan ET*, SET*, TSENS, DISC, dan PMV dikumpulkan pada waktu dan tempat bersamaan pengumpulan kuesioner. Pengukuran dilakukan pada ketinggian 0,6 m di atas lantai untuk mengukur ketinggian responden duduk. Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: Corona untuk mengukur temperatur udara bola kering Tdb dan kelembaban udara (RH), Questemp 34 untuk mengukur temperatur globe Tglobe guna menghitung temperatur radian rata-rata Tmrt (formulasi dapat dilihat pada Sujatmiko, 2007) dan Kanomax Anemomaster untuk mengukur kecepatan angin Va. Prosedur Analisis Data Kedua, berdasarkan data yang diperoleh pada langkah pertama di atas, dilakukan perhitungan indeks termal menggunakan perangkat lunak ASHRAE Thermal Comfort untuk menghitung besaran indeks termal ET*, SET*, DISC, TSENS, dan PMV. Masukan yang dibutuhkan adalah Tdb, Tmrt, Va, dan RH, clo, dan met. Ketiga, dilakukan analisis kenetralan kondisi termal, keterterimaan kondisi termal, dan preferensi kondisi termal. Analisis kenetralan kondisi termal dilakukan dengan melalukan analisis regresi terhadap hasil jawaban kuesioner kenetralan kondisi termal. Analisis regresi dilakukan terhadap hasil besaran fisik dan indeks termal yang telah diperoleh dari hasil pengukuran dan perhitungan, mencakup besaran utama Tdb, ET*, SET*, DISC, TSENS, dan PMV. Dengan analisis regresi ini akan diperoleh harga kenetralan kondisi termal responden. Analisis keterterimaan kondisi
termal dilakukan terhadap hasil jawaban kuesioner keterterimaan kondisi termal. Analisis keterterimaan kondisi termal dilakukan dengan memplot prosentase rata-rata jawaban responden pada bin tertentu temperatur bola kering. Analisis preferensi kondisi termal dilakukan dengan menganalisis hasil kesan termal terkait kuesioner preferensi kondisi termal. Persamaan preferensi termal dihitung dengan menggunakan regresi biner. Dengan jawaban biner ini dilakukan analisis regresi biner menggunakan perangkat lunak SPSS, dengan kesan termal preferensi (dalam kuesioner disebut KusA3) sebagai variabel dependent dan besaran yang ingin dikaji (yakni temperatur bola kering Tdb, indeks termal ET*, SET*, TSENS, DISC, dan PMV) sebagai covariate, sehingga menurut Darlington dalam Sujatmiko (2007) diperoleh harga kemiringan b dan konstanta a dari persamaan regresi biner Logit (PS) = a + b.K, di mana K adalah besaran yang ingin dikaji. Sehingga K = [Logit (PS) - a]/b, dengan Logit (PS) = ln (PS/1PS). Perhitungan Logit (PS) dilakukan dengan perangkat lunak spreadsheet MS Excel. Iklim Keempat, analisis kondisi iklim. Hasil analisis temperatur kenetralan ASHRAE untuk data iklim Balikpapan disampaikan pada gambar 2. Dari gambar 2 terlihat bahwa besar temperatur sepanjang tahun 2009 sebagai perwakilan data berada pada zona nyaman 80% ASHRAE, namun temperatur maksimum dan minimum berada di luar zona nyaman. Berarti meskipun secara ratarata dapat dikatakan berada pada zona nyaman, kota Balikpapan mengalami kondisi ekstrim maksimum sepanjang tahun yang selalu di atas zona nyaman 80% ASHRAE maupun kondisi minimum di bawah zona nyaman 80% ASHRAE. Bangunan Kelima, pada lokasi pengukuran Komplek Perum Graha Indah ini diambil sampel 20 unit bangunan rumah tinggal T36, dengan kode unit tertera pada tabel L1 (lampiran). Dari 20 unit tersebut, 10 unit merupakan bangunan yang masih asli, sisanya sudah dimodifikasi. Dari daftar pada tabel L1, unit yang masih asli (bahan dan bentuk utama bangunan masih tetap sesuai rancangan awal tipe rumah sederhana sehat, beberapa dengan modifikasi sedikit penambahan dapur dan atap peneduh) adalah AB8, AA8, Z35, AB9, AA19, AA21, AB85, X2, Z7, dan AC6. Adapun bangunan lainnya merupakan bangunan renovasi. Sedangkan untuk unit hunian yang dilakukan pengukuran temperatur siang malam sebagaimana tertera pada gambar 4 adalah merupakan unit T36 dengan bahan dan bentuk yang asli dengan sedikit modifikasi pada penambahan peneduh di samping kiri bangunan. 167
Kenyamanan Termal Adaptif … (Wahyu S., Fanny K., Aan S.)
Gambar 3 Lokasi survei pada RT 85 Perum Graha Indah Batu Ampar Balikpapan Utara. Gambar Google Earth diambil dari pencitraan tahun 2003 sisi kanan dan 2007 sisi kiri. Tampak lokasi survei dikelilingi hutan mangrove (Hasil Analisis).
Gambar 4 Rumah responden yang diukur temperatur siang-malam di RT 85 Perum Graha Indah Batu Ampar Balikpapan Utara (Hasil Analisis).
Gambar 5 Profil pengukuran siang malam di salah satu rumah penduduk di RT 85 Perum Graha Indah Batu Ampar Balikpapan Utara (Hasil Analisis).
168
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 164-174
HASIL DAN PEMBAHASAN Kenetralan, Keterterimaan, dan Preferensi Kondisi Termal Pada tabel 1 dan 2 disampaikan mengenai besaran fisik, pakaian, aktifitas termal responden, indeks termal dan pilihan aktual responden terkait kesan termal, meliputi nilai minimum, maksimum, dan rata-rata. Terlihat rata-rata temperatur ruangan cukup tinggi 29,2oC. Kondisi temperatur rata-rata yang cukup tinggi ini karena pengukuran dilakukan siang hari, antara jam 10,00 – 17.30, dengan prosentase terbesar antara 11.00 – 14.00. Hal ini sesuai dengan profil pengukuran temperatur siang malam pada gambar 5, di mana pada gambar 5 terlihat bahwa pada rentang pukul 11.00 – 14.00 temperatur berada pada rata-rata sekitar 30oC dengan puncak mencapai 32oC. Selanjutnya, pada tabel 3 disampaikan hasil persamaan kenetralan termal. Dari tabel 3 terlihat bahwa kondisi netral dirasakan responden pada Tdb = 29,4oC, ET* = 31,3 oC, SET* = 31,7 oC, TSENS = 1,01, DISC 1,94, dan PMV = 1,72, yang berarti responden menginginkan kondisi netral sedikit di atas kondisi rata-rata (Tdb = 29,2oC, ET* = 31,1 oC, SET* = 31,5 oC, TSENS = 0,97, DISC 1,86, dan PMV = 1,67). Hasil ini berkebalikan dengan kasus yang umum (Sujatmiko, 2007) di mana umumnya kondisi netral lebih rendah dari kondisi rata-rata. Harga PMV netral diatas 0, berarti kondisi netral menurut responden berada jauh di atas prediksi netral menurut pendekatan statik. Hasil analisis rentang keterterimaan termal tertera pada tabel 4. Pada tabel 4 terlihat bahwa penerimaan 100% keterterimaan kondisi termal hampir terjadi pada semua rentang temperatur dari terbawah 27,0oC hingga teratas 31,2,9oC. Penting untuk dicatat di sini responden menerima kondisi termal pada temperatur sisi atas rentang keterterimaan termal dan kondisi netral dirasakan lebih tinggi dari kondisi rata-rata. Besar kemungkinan responden telah beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan kondisi lingkungan yang masih dikelilingi hutan bakau membuat ekspektasi responden terhadap kenyamanan menjadi lebih lebar dan tinggi. Hasil analisis preferensi termal yang disampaikan pada tabel 5 memperlihatkan bahwa kondisi preferensi adalah Tdb = 28,1oC, ET* = 30 oC, SET* = 30,2 oC, TSENS = 0,74, DISC 1,47, dan PMV = 1,37. Apabila dibandingkan antara hasil rata-rata termal, hasil kenetralan termal, dan hasil preferensi termal maka terlihat bahwa kenetralan termal berada sedikit lebih tinggi dari kondisi rata-rata termal dan kondisi rata-rata termal lebih tinggi dari kondisi preferensi termal. Kondisi responden yang menginginkan preferensi termal lebih rendah dari
kenetralan termal serupa dengan hasil sebelumnya dan keadaan ini merupakan tipikal daerah tropis dan pengukuran musim kemarau (Sujatmiko, 2007). Hanya untuk hasil kondisi kenetralan termal yang lebih tinggi dari rata-rata termal dan respon menghuni yang menerima kondisi termal hingga batas atas rentang pengukuran merupakan temuan yang perlu dikaji lebih lanjut. Dengan demikian hasil di atas menunjukkan bahwa kenetralan termal dan preferensi termal merupakan kondisi termal yang berbeda. Hasil ini seusai dengan yang dilaporkan Sujatmiko (2007). Dengan demikian, untuk menyatakan kenyamanan termal, perlu dibedakan antara kedua kondisi tersebut. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kondisi kenetralan selalu lebih tinggi dari kondisi preferensi, berarti terdapat harga selisih yang positif, yang berarti responden menginginkan kondisi yang lebih dingin dari kondisi kenetralan. Untuk kondisi Indonesia, dengan memperbandingkan hasil studi peneliti lain (Sujatmiko, 2007, juga penelitian Hawai oleh Kwok, 1998), kondisi yang lebih sesuai untuk menyatakan kenyamanan termal adalah kondisi preferensi termal. Hasil kuesioner terkait masalah angin, keringat, dan kenyamanan umum disampaikan pada tabel 6. Tertera pada tabel 6, terkait kondisi angin, diperoleh harga rata-rata pilihan responden adalah 4,45, artinya cenderung mendekati cukup sesuai atau cukup dapat diterima dan responden juga mengatakan bahwa aliran angin yang ada adalah 2,47, artinya responden menginginkan kondisi angin antara kondisi tetap dan di bawah kondisi ingin lebih banyak angin. Dengan demikian ada responden yang menyatakan tetap dan ada yang menginginkan lebih banyak angin. Untuk kondisi keringat di ruangan dirasakan responden 2,59 atau keringat keluar sedang dan sedikit.. Keringat yang keluar dirasakan responden rata-rata 1,9 atau mendekati cepat menguap dan tidak lengket. Tingkat kenyamanan umum responden 5,06 atau menurut responden hunian mereka cukup nyaman. Profil Temperatur Siang Malam Hasil pengukuran temperatur siang malam disampaikan pada gambar 5. Berdasarkan hasil tersebut, terlihat bahwa konstruksi selubung bangunan (yakni perimeter bangunan yang terpapar radiasi matahari atau bersentuhan dengan udara luar) merupakan konstruksi ringan, yakni memiliki waktu tunda (time lag) termal yang rendah, terlihat besar temperatur udara dalam bangunan berfluktuasi mengikuti temperatur udara luar dengan berjalan hampir beriringan, dalam arti hampir tanpa pengurangan pada besar puncak gelombang atau besar temperatur, bahkan
169
Kenyamanan Termal Adaptif … (Wahyu S., Fanny K., Aan S.)
terlihat jauh lebih besar di siang hari yang menciptakan kondisi tidak nyaman. Terukur rentang temperatur dalam ruangan antara 27,8oC – 34oC. Barangkali mengacu data tersebut mendorong responden beradaptasi pada kondisi temperatur netral dan preferensi yang cukup tinggi dibandingkan daerah lain berdasarkan data Sujatmiko (2007). Apabila dicermati hasil analisis temperatur kenetralan ASHRAE untuk data iklim Balikpapan sebagaimana disampaikan pada gambar 2, terlihat bahwa besar temperatur sepanjang tahun 2009 sebagai perwakilan data berada pada zona nyaman 80% ASHRAE, namun temperatur maksimum dan minimum berada di luar zona nyaman. Berarti meskipun secara rata-rata dapat dikatakan berada pada zona nyaman, kota Balikpapan mengalami kondisi ekstrim maksimum sepanjang tahun yang selalu di atas zona nyaman 80% ASHRAE maupun kondisi minimum di bawah zona nyaman 80% ASHRAE. Dari hasil pengukuran siang malam ini teramati bahwa pada jam siang terlihat pada rentang pukul 11.00 – 14.00 temperatur berada pada rata-rata sekitar 30oC dengan puncak mencapai 32oC. Salah satu solusi untuk karakteristik konstruksi termal yang ringan ini adalah selubung bangunan harus banyak menciptakan aliran angin ventilasi silang di dalam bangunan. Meski harus di jaga di
malam hari karena siang hari kelembaban sudah cukup tinggi (pada tabel 1 terbaca rata-rata 78%, apalagi kondisi malam hari, mengingat sekeliling lingkungan permukiman merupakan kawasan mangrove centre. Terkait penciptaan ventilasi silang ini, konstruksi asli bangunan memungkinkan untuk itu, terlihat dari adanya bukaan atau celah antara atap asbes dengan dinding batako, untuk mengurangi panasnya ruangan akibat beratapkan asbes tanpa adanya plafon, jendela yang terbuka,dan pintu masuk di depan dan pintu dapur belakang umumnya selalu terbuka jika penghuni di rumah. Halaman bangunan di kiri dan kanan bangunan asli T36 masih menyisakan ruang yang cukup untuk memungkinkan terjadinya ventilasi silang, dan adanya tanaman di halaman bangunan memungkinkan penurunan temperatur lingkungan yang sangat membantu mengurangi panasnya udara di dalam bangunan. Adapun rumah-rumah yang telah dimodifikasi tampak ada yang berhasil dengan pembangunan ventilasi silang memanfaatkan menara atap, namun ada yang gagal karena telah menutup habis seluruh balaman, sedangkan tetangga pun juga demikian, sehingga terhalanglah kemungkinan terjadinya aliran angin untuk ventilasi silang, sebagai akibatnya hunian menjadi panas kurang angin, dan mesin pengkondisian udara (AC) yang dipasang terasa tidak mencukupi.
Tabel 1 Besaran Fisik, Pakaian, dan Aktifitas Termal Responden Batu Ampar-Balikpapan Besaran Tdb dalam ruangan Va dalam ruangan RH dalam ruangan Clo Met Sumber : Hasil Analisis
Jumlah Data (N)
Minimum
Maksimum
Rata-rata
Standar Deviasi
49 49 49 49 49
27,0 0,1 65,0 0,60 1,00
32,1 0,1 92,0 0,80 1,00
29,2 0,1 78,3 0,66 1,00
1,50 0,00 8,27 0,08 0,00
Tabel 2 Indeks Termal dan Kesan Termal Responden Batu Ampar-Balikpapan Indeks Termal ET* SET* TSENS DISC PMV Kenetralan Keterterimaan Preferensi Sumber : Hasil Analisis
Jumlah Data (N)
Minimum
Maksimum
Rata-rata
Standar Deviasi
49 49 49 49 49 49 49 49
28,8 28,7 0,5 1,0 0,91 -3,00 1,00 1,00
33,9 35,1 1,6 3,1 2,63 3,00 2,00 3,00
31,1 31,5 0,97 1,86 1,67 -0,12 1,02 1,71
1,41 1,64 0,30 0,52 0,47 1,9 0,14 0,71
Tabel 3 Persamaan Kenetralan Termal Responden Batu Ampar-Balikpapan No
Jumlah Data
1 49 2 49 3 49 4 49 5 49 6 49 Sumber : Hasil Analisis
170
Persamaan Kenetralan Termal (KT) KT = 0,599.Tdb – 17,637 KT = 0,599.ET* - 18,739 KT = 0,490.SET* - 15,546 KT = 2,943.TSENS - 2,976 KT = 1,496.DISC - 2,906 KT = 1,894.PMV – 3,270
Koef. R 0,468 0,441 0,419 0,419 0,406 0,468
Kenetralan (N) Tdb = 29,4oC ET* = 31,3 oC SET*= 31,7 oC TSENS = 1,01 DISC = 1,94 PMV = 1,72
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 164-174
Tabel 4 Keterterimaan Termal Responden Batu Ampar-Balikpapan Pilihan
Keterterimaan Termal (%) 27,0-27,9oC
Ya
28,0-28,9oC
29,0-29,9oC
30,0-30,9oC
31,0-31,9oC
32,0-32,9oC
91,67
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Tidak
8,33
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Jumlah
100
100
100
100
100
100
Sumber : Hasil Analisis
Tabel 5 Preferensi Termal Responden Batu Ampar-Balikpapan No
Besaran Termal
Jumlah Data (N)
Preferensi (P)
Selisih (N*)-P)
49 49 49 49 49 49
28,1 oC 30 oC 30,2 oC 0,74 1,47 1,37
1,3 1,3 1,5 0,27 0,47 0,35
1 Tdb 2 ET* 3 SET* 4 TSENS 5 DISC 6 PMV *)N = kenetralan termal (Tabel 4) Sumber : Hasil Analisis
Tabel 6 Hasil Kuesioner Kondisi Angin, Keringat dan Kenyamanan Umum Kuesioner Kondisi angin 4.A Kondisi angin 4.B Kondisi keringat 5.A Kondisi keringat 5.B Kenyamanan umum (6) Sumber : Hasil Analisis
Jumlah Data (N)
Minimum
Maksimum
Rata-rata
Standar Deviasi
49 49 49 49 49
2 2 1 1 4
6 4 4 2 6
4,45 2,47 2,59 1,90 5,06
1,022 0,544 1,079 0,306 0,317
KESIMPULAN Diperoleh 49 data kesan termal dari penghuni 20 rumah, 10 rumah merupakan asli T36 dan sisanya modifikasi. Kondisi netralitas termal dirasakan responden pada Tdb = 29,4oC, ET* = 31,3 oC, SET* = 31,7 oC, TSENS = 1,01, DISC 1,94, dan PMV = 1,72, kondisi rata-rata termal Tdb = 29,2oC, ET* = 31,1 oC, SET* = 31,5 oC, TSENS = 0,97, DISC 1,86, dan PMV = 1,67, yang berarti responden menginginkan kondisi netral sedikit di atas kondisi rata-rata. Kondisi kenetralan yang lebih tinggi dari rata-rata dan respon menghuni yang menerima kondisi termal hingga batas atas rentang pengukuran merupakan temuan yang perlu dikaji lebih lanjut. Adapun kondisi preferensi termal adalah Tdb = 28,1oC, ET* = 30 oC, SET* = 30,2 oC, TSENS = 0,74, DISC 1,47, dan PMV = 1,37. Apabila dibandingkan antara kondisi termal rata-rata, kenetralan, dan preferensi maka terlihat bahwa kenetralan termal berada sedikit lebih tinggi dari rata-rata dan ratarata lebih tinggi dari preferensi termal. Kondisi responden yang menginginkan preferensi lebih rendah dari kenetralan serupa dengan hasil sebelumnya dan keadaan ini merupakan tipikal daerah tropis dan pengukuran musim kemarau. Hasil ini menunjukkan bahwa kenetralan termal dan preferensi termal merupakan kondisi termal yang berbeda. Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan Sujatmiko (2007). Dengan demikian, untuk menyatakan kenyamanan termal, perlu
dibedakan antara kedua kondisi tersebut. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kondisi kenetralan selalu lebih tinggi dari kondisi preferensi, berarti terdapat harga selisih yang positif, yang berarti responden menginginkan kondisi yang lebih dingin dari kondisi kenetralan. Untuk kondisi Indonesia, dengan memperbandingkan hasil studi peneliti lain (juga Kwok), kondisi yang lebih sesuai untuk menyatakan kenyamanan termal adalah kondisi preferensi termal. Hasil analisis kinerja termal unit bangunan memperlihatkan bahwa konstruksi selubung bangunan (yakni perimeter bangunan yang terpapar radiasi matahari atau bersentuhan dengan udara luar) merupakan konstruksi ringan, yakni memiliki waktu tunda (time lag) termal yang rendah, terlihat besar temperatur udara dalam bangunan berfluktuasi mengikuti temperatur udara luar dengan berjalan hampir beriringan, dalam arti hampir tanpa pengurangan pada besar puncak gelombang atau besar temperatur, bahkan terlihat jauh lebih besar di siang hari yang menciptakan kondisi tidak nyaman. Terukur rentang temperatur dalam ruangan antara 27,8oC – 34oC. Hasil analisis data iklim memperlihatkan kondisi ekstrim minimum dan maksimum sepanjang tahun yang selalu di atas zona nyaman 80% ASHRAE maupun kondisi minimum di bawah zona nyaman 80% ASHRAE.
171
Kenyamanan Termal Adaptif … (Wahyu S., Fanny K., Aan S.)
Salah satu solusi untuk karakteristik konstruksi termal yang ringan ini adalah selubung bangunan harus banyak menciptakan aliran angin ventilasi silang di dalam bangunan. Meski harus di jaga di malam hari karena siang hari kelembaban sudah cukup tinggi (78%, apalagi kondisi malam hari, mengingat sekeliling lingkungan permukiman merupakan kawasan hutan bakau. Terkait penciptaan ventilasi silang ini, konstruksi asli bangunan yang masih menyisakan tanah kosong memungkinkan untuk itu. Bangunan-bangunan baru renovasi justru menghilangkan peluang tersebut.
SARAN Data penelitian perlu digabungkan dengan data dari lokasi lain untuk menjadi basis data penelitian kenyamanan termal adaptif responden Indonesia, sehingga dihasilkan persamaan yang mewakili Indonesia.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis sampaikan kepada Pusat Litbang Permukiman atas terlaksanakannya kegiatan penelitian ini sebagai bagian dari kegiatan APBN 2010 Sub Kegiatan Kajian Kenyamanan Termal Hunian pada Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Kriteria Perencanaan Arsitektur, Struktur, dan Utilitas.
DAFTAR PUSTAKA http://www.balikpapan.go.id/index.php?option=c om_balikpapan&task=iklim, diunduh 15 Oktober 2010.
172
Irwan, Z. D., 2003. Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem Komunitas dan Lingkungan. Bumi Aksara. Kwok, A.G., 1998. Thermal comfort in tropical classrooms. ASHRAE Transactions Symposia SF-98-7-5. Sujatmiko, W, M. N. Alfata, F. Kusumawati, dan A. Sugiharto, 2011. Respon Termal Penghuni dan Rancangan Model Selubung untuk Kenyamanan Termal Hunian: Studi Kasus Rumah Tinggal di Malang, Ambon, dan Balikpapan, serta Rusun Pasar Jumat dan Kemayoran Jakarta. Prosiding Kolokium Hasil Litbang Permukiman 2011. Pusat Litbang Permukiman-PU. Sujatmiko, W, W. Hendradjit, dan Soegijanto, 2008. Menuju Penyusunan Standar Kenyamanan Adaptif di Indonesia. Prosiding Pertemuan Ilmiah Standardisasi (PPIS) 2008. BSN. Sujatmiko, W., 2010. Kajian Tingkat Kenyamanan Termal Rusunawa Cigugur Cimahi Berdasarkan Hasil Pengukuran Lapangan. Jurnal Teknik Sipil UPH Vol. 7 No. 1 Maret 2010. Sujatmiko, W., 2010. Studies on Thermal Comfort Level and Occupants Thermal Adaptive Behaviours in the Pasar Jumat Multi-Stories Building. Proceeding 2nd International Seminar on Eco-Settlements. Sanur. 2-5 November 2010, RIHS. Sujatmiko, W., Made Aryati, 2010. Studi Kenyamanan Termal Bangunan Tradisional Sumbar. Prosiding Seminar Nasional Jelajah Arsitektur Negeri 2010. Balai PTPT DenpasarPusat Litbang Permukiman PU.
Jurnal Permukiman Vol. 6 No. 3 November 2011 : 164-174
LAMPIRAN
Sabtu, 31-7-10
11:00 AC 8 11:30 AC 4 12:15 AC 2 13:30 X 45 10:00 AA 5
10:55 AA 29
11:30 AA 8
12:05 Z 35
14:00
X9
15:06 AB 9 15:46 AA 19 16:00 AA 21 17:00 AB 85
17:30 AA 14 11:05
Y2
11:40
Z5
12:00 Z 36
12:15
Z7
13:00 AC 6
clo
Er Es Ju Ab Ha Si St Am Yu Sa Id Ch Nu Su Ma Mh Fr Ti Sf Ha Ye Hd Yt Fa De Ah Gd Si Nu Im Mu Wa El Hi Ah Ha Mu As Sf Rs To Su Ha Mu In Yu An Re Nu
0,7 0,6 0,8 0,7 0,6 0,6 0,6 0,7 0,6 0,7 0,8 0,7 0,8 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,7 0,6 0,7 0,8 0,8 0,6 0,8 0,6 0,7 0,6 0,6 0,6 0,6 0,8 0,6 0,7 0,6 0,7 0,6 0,7 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,7 0,7 0,6 0,8 0,6
met
Unit
Responden
Jam
10:00 AB 8
Minggu, 1 Agust
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Senin, 2-8-2010
No
Hari & Tgl
Tabel L1 Data responden Batu Ampar-Balikpapan
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Besaran Fisik Ruangan
Indeks Termal
Kesan Termal
Tdb RH Va ET* SET* TSENS DISC PMV (oC) (%) (m/s) 27,7 27,7 28,7 28,7 28,7 28,7 29,2 29,2 29,2 29,2 27,7 27,7 27,7 28,4 28,4 28,4 28,7 28,7 28,7 29,2 29,2 29,2 32,1 32,1 32,1 32,1 31,1 31,1 31,5 31,5 31,1 31,1 30,2 30,2 30,2 30,1 30,1 27,2 27,2 27 27 27,2 27,2 27,2 29,2 29,2 29,2 29,6 29,6
83 83 81 81 81 81 80 80 80 80 83 83 83 82 82 82 81 81 81 80 80 80 66 66 66 66 65 65 65 65 67 67 69 69 69 71 71 89 89 92 92 91 91 91 81 81 81 81 81
0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1
29,5 29,3 31,0 30,8 30,6 30,6 31,2 31,4 31,2 31,4 29,7 29,5 29,7 30,2 30,2 30,2 30,6 30,6 30,6 31,4 31,2 31,4 33,9 33,9 33,7 33,9 32,3 32,4 32,8 32,8 32,5 32,5 31,8 31,6 31,7 31,6 31,8 28,9 29,2 28,8 28,8 29,0 29,0 29,0 31,5 31,5 31,3 32,3 31,9
30,1 29,2 32,2 31,4 30,6 30,6 31,3 32,1 31,3 32,1 30,9 30,1 30,9 30,3 30,3 30,3 30,6 30,6 30,6 32,1 31,3 32,1 35,1 35,1 33,9 35,1 32,5 33,1 33,0 33,0 32,7 32,7 33,0 31,7 32,4 31,8 32,5 28,9 29,8 28,7 28,7 29,0 29,0 29,0 32,2 32,2 31,4 33,5 32,1
0,7 0,6 1,0 0,9 0,8 0,8 0,9 1,0 0,9 1,0 0,8 0,7 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 1,0 0,9 1,0 1,6 1,6 1,5 1,6 1,3 1,3 1,4 1,4 1,3 1,3 1,2 1,1 1,2 1,1 1,2 0,5 0,7 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 1,0 1,0 0,9 1,2 1,0
1,4 1,1 2,1 1,8 1,6 1,6 1,8 2,0 1,8 2,0 1,7 1,4 1,7 1,5 1,5 1,5 1,6 1,6 1,6 2,0 1,8 2,0 3,1 3,1 2,6 3,1 2,1 2,3 2,3 2,3 2,2 2,2 2,3 1,9 2,1 1,9 2,1 1,1 1,3 1,0 1,0 1,1 1,1 1,1 2,1 2,1 1,8 2,6 2,0
1,2 1,1 1,7 1,6 1,4 1,4 1,6 1,7 1,6 1,7 1,4 1,2 1,4 1,3 1,3 1,3 1,4 1,4 1,4 1,7 1,6 1,7 2,6 2,6 2,5 2,6 2,2 2,2 2,3 2,3 2,2 2,2 2,0 1,9 2,0 1,9 1,9 1,0 1,1 0,9 0,9 1,0 1,0 1,0 1,7 1,7 1,6 2,0 1,8
Kenetralan
Keterterimaan
Preferensi
-3 -3 1 0 -3 -1 -2 -3 3 3 -2 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 -2 3 0 0 0 3 3 3 3 3 1 -2 0 -2 -2 0 -1 -2 -2 -2 0 -2 -2 -2 0 0
1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
3 3 1 2 3 3 1 2 1 1 2 2 3 1 1 1 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 3 2 2 1 1
Sumber : Hasil Analisis
173
Kenyamanan Termal Adaptif … (Wahyu S., Fanny K., Aan S.)
KUESIONER 1.
2.
3.
4.
174
Kenetralan Termal. Mohon Saudara beri tanda (V) pada skala di bawah ini yang menggambarkan kesan termal Saudara terhadap ruangan tempat Saudara berada saat ini: (jika diinginkan boleh memberi tanda diantara dua skala): -3 dingin -2 sejuk -1 agak sejuk 0 netral 1 agak hangat 2 hangat 3 panas. Keterterimaan Termal. Menurut Saudara, apakah kondisi termal ruangan ini sudah sesuai/cocok dengan kondisi tubuh Saudara? 0 Ya (dpat diterima/sudah sesuai) 0 Tidak (tidak dapat diterima/tidak sesuai) Preferensi Termal. Silakan pilih lingkaran dibawah ini sesuai dengan yang Saudara harapkan saat ini: Saya ingin ruangan ini menjadi: 30 lebih hangat 20 tidak berubah/tetap 10 lebih sejuk Kondisi Angin. A. Silakan pilih lingkaran di bawah ini sesuai dengan yang saudara rasakan saat ini berkaitan dengan kondisi aliran udara (angin) di ruangan ini: 60 sangat sesuai/sangat
5.
6.
dapat diterima 50 cukup sesuai/cukup dapat diterima 40 agak sesuai/agak dapat diterima 30 agak tidak sesuai/agak tidak dapat diterima 20 cukup tidak sesuai/cukup tidak dapat diterima 10 sangat tidak sesuai/sangat tidak dapat diterima B. Saya ingin di ruangan ini: 30 lebih banyak aliran udara (angin) 20 tetap seperti ini (tidak berubah) 10 lebih sedikit aliran udara (angin) Kondisi Keringat. A. Di ruangan ini kondisi keringat Saudara? 40 tidak keluar 30 keluar sedikit 20 keluar sedang 10 keluar banyak. B. Keringat yang keluar: 20 cepat menguap dan tidak terasa lengket 10 tidak cepat menguap dan terasa lengket di kulit Kenyamanan Umum. Seberapa nyaman ruangan ini menurut Saudara? 60 sangat nyaman 50 cukup nyaman 40 agak nyaman 30 agak tidak nyaman 20 cukup tidak nyaman 10 sangat tidak nyaman.
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 3 November 2011: 175-178
Katalog dan Abstrak UDC 54.002.68 Kus Kustiasih, Tuti p Penentuan angka kebutuhan oksigen kimia air limbah dengan mempertimbangkan faktor ketidakpastian, kasus IPAL di Puslitbang Permukiman / Tuti Kustiasih.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 6 No. 3 November 2011.-- Hal. 121-128. -- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2011. 181 hlm. : ilus. : 30 cm Abstrak ISSN
: hlm. 121 : 1907-4352
I. OXYGEN – WASTE WATER
1. Judul
Kesalahan pengukuran adalah penyimpangan nilai yang diukur dari nilai benar X0. Tujuan penelitian adalah menentukan angka COD air limbah pada influen dan efluen di instalasi pengolahan air limbah di Pusat Litbang Permukiman dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi dan prosedur perhitungan ketidakpastian pengukuran. Penentuan kebutuhan oksigen kimia (COD) dilakukan secara kimia menggunakan oksidator kuat Kalium Bikromat (K₂Cr₂07) pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat. Hasilnya pada tingkat kepercayaan 95% dan k = 2, adalah influen = 33,43 ±0,26mg/L dan efluen =13,53 ±0,10mg/L, maka efisiensi pengolahan air limbah adalah 59,53%. Kata kunci : ketidakpastian, biofilter, oksidator, katalisator, kualitas UDC 626.814 Med Medawaty, Ida k Kinerja kolam Sanita dalam pengolahan air limbah rumah tangga di perkantoran / Ida Medawaty dan R. Pamekas.—Jurnal Permukiman.-- Vol. 6 No. 3 November 2011.-- Hal. 129-137. -- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2011. 181 hlm. : ilus. : 30 cm Abstrak ISSN
: hlm. 129 : 1907-4352
I. WASTE WATER – MANAGEMENT
1. Pamekas, R.
2. Judul
Metoda penelitian dengan modifikasi kolam dibagi menjadi 2 (dua) unit sistem. Setiap kolam ditanami tanaman yang berbeda jenis dan kerapatannya. Analisa kualitas meggunakan tabel silang, sedangkan hubungan parameter menggunakan teknik regresi sederhana. Hasil olahannya satu kelas lebih tinggi. Kata kunci : air limbah, kolam Sanita, ekologi, perkantoran, rumah tangga UDC 546.212 Sut Sutjahjo, Nurhasanah k Konsumsi dan pelanggan air minum di kota besar dan metropolitan / Nurhasanah Sutjahjo, Fitrijani Anggraini dan R. Pamekas. -- Jurnal Permukiman.-- Vol. 6 No. 3 November 2011.-- Hal. 138-146.-Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2011. 181 hlm. : ilus. : 30 cm Abstrak ISSN I. WATER 3. Judul
: hlm. 138 : 1907-4352 1. Anggraini, Fitrijani
2. Pamekas, R.
Keragaman disain kriteria konsumsi air menciptakan pelayanan air minum yang tidak memadai sehingga dilakukan kaji ulang pada kota besar dan metropolitan terpilih. Evaluasi dilaksanakan terhadap parameter tarif air, banyaknya pelanggan, banyaknya air yang didistribusikan, dan konsumsi air. Kesimpulan pelanggan rumah tangga pemakai air minum terbesar 65-85% dengan konsumsi air minum rata-rata untuk rumah sederhana 135-145 L/org/hari, rumah menengah 146-155 L/org/hari, dan rumah mewah 156-245 L/org/hari. Kata kunci : air minum, pelayanan, konsumsi air, kota besar, kota metropolitan
175
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 3 November 2011: 175-178
UDC 728 Mas Masri, Rina Marina a Analisis dampak lingkungan untuk pembangunan perumahan di kawasan Bandung Utara berbasis model sistem dinamis / Rina Marina Masri dan Iskandar Muda Purwaamijaya.-- Jurnal Permukiman.-- Vol.6 No. 3 November 2011.-- Hal.147-153.-- Bandung : Pusat Penelitian dan PengembanganPermukiman, 2011. 181 hlm. : ilus. : 30 cm Abstrak ISSN
: hlm. 147 : 1907-4352
I. HOUSING DEVELOPMENT
1. Purwaamijaya, Iskandar Muda
2. Judul
Hasil penelitian meliputi faktor-faktor pemicu paling berpengaruh terhadap pembangunan perumahan, prioritas dampak penting hipotetik hasil pelingkupan, analisis dampak pembangunan perumahan terhadap lingkungan dan kebijakan rencana pengelolaan serta pemantauan lingkungan di kawasan Bandung Utara berdasarkan analisis sensitivitas model sistem dinamis. Kata kunci : analisis, dampak, pembangunan, perumahan, model, sistem, dinamis UDC 725 Sab Sabaruddin, Arief m Model perhitungan kandungan emisi CO₂ pada bangunan gedung / Arief Sabaruddin, Tri Harso Karyono dan Rumiati Tobing.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 6 No. 3 November 2011.-- Hal. 154-163.-- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2011. 181 hlm. : ilus. : 30 cm Abstrak ISSN
: hlm. 154 : 1907-4352
I. BUILDING 3. Judul
1. Karyono, Tri Harso
2. Tobing, Rumiati
Model perhitungan kandungan emisi CO₂ pada bangunan gedung adalah alat untuk menghitung kandungan emisi CO₂ pada bangunan gedung yang menggunakan acuan SNI Analisa Biaya Konstruksi. Kata kunci : emisi CO₂, efek gas rumah kaca, pemanasan global, bangunan gedung, energi UDC 725.141 Suj Sujatmiko, Wahyu k Kenyamanan termal adaptif hunian kawasan Mangrove Centre, Batu Ampar Balikpapan/ Wahyu Sujatmiko, Fanny Kusumawati dan Aan Sugiarto.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 6 No. 3 November 2011.— Hal. 164-174.-- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2011. 181 hlm. : ilus. : 30 cm Abstrak ISSN
: hlm. 164 : 1907-4352
I. RESIDENTIAL – BUILDING 3. Judul
1. Kusumawati, Fanny
2. Sugiarto, Aan
Dikaji kenyamanan termal adaptif responden perumahan Graha Indah Balikpapan. Responden menginginkan kondisi netral sedikit di atas kondisi rata-rata dengan kondisi preferensi Tdb = 28,1ºC, ET*=30ºC. Hasil analisis iklim memperlihatkan kondisi ekstrim minimum dan maksimum sepanjang tahun yang selalu di luar zona nyaman 80% ASHRAE. Kata kunci: kenyamanan termal adaptif, responden rumah tinggal, konstruksi ringan, waktu tunda rendah, ventilasi silang
176
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 3 November 2011: 175-178
Catalogue and Abstract UDC 54.002.68 Kus Kustiasih, Tuti d Determination of the chemical oxygen demand of wastewater by considering the uncertainty factor in case of wastewater treatment plant at the Research Institute for Human Settlements / Tuti Kustiasih. –Jurnal Permukiman. – Vol. 6 No. 3 November 2011. – Page 121 – 128. – Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2011. 181 Pages : Ilus. : 30 cm Abstract ISSN
: Page 121 : 1907 – 4352
I. OXYGEN – WASTE WATER
1. Title
Measurement error is the deviation of the measured values of the true value of X0. Objectives of the study is to determine the COD number of wastewater in influent and effluent at wastewater treatments plant in the Research Institute for Human Settlements by considering factors that influence the calculation of measurements uncertainty and procedures. Determination of chemical oxygen demand (COD) is chemically using a strong oxidizing agent Potassium Bicrhomate (K₂Cr₂07) under acidic conditions and heat with Silver Sulfate catalyst. The result at 95% confidence level and k = 2, is the influent = 33.43 ±6 mg/L and effluent =13.53 ± 0.10 mg/L, then the efficiency of wastewater treatment plan is 59.53%. Keywords : uncertainty, biofilter, oxidant, catalyst, quality UDC 626.841 Med Medawaty, Ida s Sanitation pond performance in domestic wastewater treatment in the office/ Ida Medawaty and R. Pamekas. -- Jurnal Permukiman. –- Vol. No. 3 November 2011. -– Page 129 – 137. -– Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2011. 181 Pages : Ilus. : 30 cm Abstract ISSN
: Page 129 : 1907 – 4352
I. WASTE WATER – MANAGEMENT
1. Pamekas, R.
2. Title
Research method with a modification of the pond that is divided into two units of the system, each pond is planted with different plant species and density, quality analysis and relationships with cross. Table parameter with simple regression, the results of research that could improve the quality of the sanitation pond processed on grade higher. Keywords : wastewater, sanitation pond, ecology, office, domestic UDC 546.212 Sut Sutjahjo, Nurhasanah d Drinking water consumption and customers in big cities and metropolitan / Nurhasanah Sutjahjo, Fitrijani Anggraini and R. Pamekas.-- Jurnal Permukiman. –- Vol. 6 No. 3 November 2011. – -Page 138– 146. -Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2011. 181 Pages : Ilus. : 30 cm Abstract ISSN I. WATER 3. Title
: Page 138 : 1907 – 4352 1. Anggraini, Fitrijani
2. Pamekas, R.
The variety of the available design criteria of water consumption to create a proper water supply service are inadequate. Thus be reexamined in big cities and metro selected. The evaluation of parameters water tariffs customers, number of water distributed to customers, and consumption or average water consumption per capita and per day. Conclusion customers are the largest water users 65-85% with the average consumption of drinking water of 135-145 L/cap/day for simple housing, 146-155 L/cap/day for medium housing and 156-245 L/cap/day for luxury housing. Keywords : drinking water, service, water consumption, big city, metro city
177
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 3 November 2011: 175-178
UDC 728 Mas Masri, Rina Marina e Environmental impact assessment for housing development in North Bandung zone based on model dynamic system / Rina Marina Masri and Iskandar Muda Purwaamijaya. -– Jurnal Permukiman. -- Vol. 6 No. 3 November 2011. -- Page 147 – 153. –- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2011. 181 Pages : Ilus. : 30 cm Abstract ISSN
: Page 147 : 1907 – 4352
I. HOUSING DEVELOPMENT
1. Purwaamijaya, Iskandar Muda
2. Title
Result of research are trigger factors which factors which most influenced to housing development, hypotetic important impact priority resulted scooping, impact analysis of housing development to environment and policy environmental management and monitoring plan in North Bandung zone based on sensitivity analysis of dynamic system model. Keywords : analysis, impact, development, housing, model, system, dynamic UDC 725 Sab Sabaruddin, Arief t The calculation model embodied CO₂ emissions for building / Arief Sabaruddin, Tri Harso Karyono and Rumiati Tobing. -- Jurnal Permukiman. – -Vol. 6 No. 3 November 2011. –- Page 154 – 163. --Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2011. 181 Pages : Ilus. : 30 cm Abstract ISSN
: Page 154 : 1907 – 4352
I. BUILDING 3. Title
1. Karyono, Tri Harso
2. Tobing, Rumiati
Model calculation of the content of CO₂ emissions in building is a tool to calculate the content of CO₂ emissions in buildings that use reference SNI Construction Cost Analysis. Keywords : CO₂, emissions, greenhouse gas effect, global warming UDC 725.141 Suj Sujatmiko, Wahyu a Adaptive thermal comfort of Mangrove Center residential area, Batu Ampar Balikpapan / Wahyu Sujatmiko, Fanny Kusumawati and Aan Sugiarto. –- Jurnal Permukiman. -– Vol. 6 No. 3 November 2011. –Page 164 – 174. –- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2011. 181 Pages : Ilus. : 30 cm Abstract ISSN
: Page 164 : 1907 – 4352
I. RESIDENTIAL – BUILDING 3. Title
1. Kusumawati, Fanny
2. Sugiarto, Aan
Assessed an adaptive thermal comfort in the Graha Indah Balikpapan results show that the respondents wanted a neutral condition slightly above average condition with thermal preference is Tdb = 28.1ºC, ET* = 30ºC. Results of climatic analysis shows that the minimum and maximum extreme conditions throughout the year which is always outside the comfort zone of 80% ASHRAE. Keywords : adaptive thermal comfort, residential building, lightweight construction, low time lag
178
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 3 November 2011: 180-183
Indeks Subjek A Air limbah = 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137. Air minum = 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146. Analisis = 147, 149, 150, 151. B Bangunan gedung = 154, 155, 159. Biofilter = 121. D Dampak = 147, 149, 150, 151. E Efek gas rumah = 154, 155. Ekologi = 129. Emisi CO2 = 154, 155, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163. K Katalisator = 121, 123. Kenyamanan termal adatif = 164, 165. Ketidakpastian = 121, 122, 123, 124, 125, 128. Kolam Sanita = 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136. Konstruksi ringan = 164, 170. Kota besar = 138, 142. Kota metropolitan = 138, 139, 140, 141, 142. Kualitas = 121, 122, 123. Konsumsi air = 138, 139, 142, 143, 144, 145. M Model sistem dinamis = 147, 149. O Oksidator = 121.
A Adaptive thermal comfort = 164, 165. Analysis = 147, 149, 150, 151. B Big city = 138, 142. Biofilter = 121. Building = 154, 155, 159. C Catalyst = 121, 122. D Development = 147, 149, 150, 151. Domestic = 129, 130, 137. Drinking water = 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146. E Ecology = 129. Emisi CO2 = 154, 155, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163. G Global warming = 154. Greenhouse gas effect = 154, 155. H Housing = 147, 148, 149, 150. I Impact = 147, 149, 150, 151. L Lightweight construction = 164, 170. Low time lag = 164, 169.
P Pelayanan = 138, 140, 141, 142. Pemanasan global = 154. Pembangunan = 147, 149, 150, 151. Perkantoran = 129. Perumahan = 147, 148, 149, 150.
M Metro city = 138, 139, 140, 141, 142. Model system dinamic = 147, 149.
R Responden rumah tinggal = 164. Rumah tangga = 129, 130, 137.
Q Quality = 121, 122, 123.
W Waktu tunda rendah = 164, 169.
O Office = 129. Oxidant = 121.
R Residential building = 164. S Sanitation pond = 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136. Service = 138, 140, 141, 142. U Uncertainty = 121, 122, 123, 124, 125, 128. W Waste water = 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137. Water consumption = 138, 139, 142, 143, 144, 145
179
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 3 November 2011: 180-183
Indeks Pengarang Aan Sugiarto. Kenyamanan termal adaptif hunian kawasan Mangrove Centre, Batu Ampar Balikpapan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Hal. 164174. Aan Sugiarto. Komposisi campuran optimum bata beton berlubang dengan limbah batubara dari industri tekstil. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 1 April 2011. Hal. 47-52. Agus Sarwono. Kriteria kelayakan penerapan fire safety management (FSM) pada bangunan gedung dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 1 April 2011. Hal. 1 - 8. Agus Sarwono. Peningkatan layanan institusi pemadam kebakaran melalui penerapan rencana induk kebakaran (RIK), studi kasus : Kota Pontianak Kalimantan Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 2 Agustus 2011. Hal. 100-107. Alex Abdi Chalik. Formulasi kebijakan sistem pengolahan sampah perkotaan berkelanjutan, studi kasus : DKI Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman.Vol. 6 No. 1 April 2011. Hal. 18 – 30. Arief Sabaruddin. Model perhitungan kandungan emisi CO₂ pada bangunan gedung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Hal. 154-163. Aryenti. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan cara 3R (reduce, reuse, recycle) di lingkungan permukiman ditinjau dari segi sosial ekonomi masyarakat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 2 Agustus 2011. Hal. 75-83. Aryenti. Peningkatan peran serta masyarakat melalui gerakan menabung pada bank sampah di Kelurahan Babakan Surabaya, Kiaracondong Bandung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 1 April 2011. Hal. 40-46. Deasy Widyastomo. Perubahan pola permukiman tradisional suku Sentani di pesisir Danau Sentani. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 2 Agustus 2011. Hal. 84-92. Fanny Kusumawati. Kenyamanan termal adaptif hunian kawasan Mangrove Centre, Batu Ampar Balikpapan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Hal. 164-174. Fitrijani Anggraini. Konsumsi dan pelanggan air minum di kota besar dan metropolitan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Hal. 138-146. Fitrijani Anggraini. Aspek kelembagaan pada pengelolaan tempat pemrosesan akhir sampah regional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 2 Agustus 2011. Hal. 65-74. Heni Suhaeni. Kepadatan penduduk dan hunian berpengaruh terhadap kemampuan adaptasi penduduk di lingkungan perumahan padat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 2 Agustus 2011. Hal. 93-99. Heni Suhaeni. Sistem spasial berbasis budaya menghasilkan ruang produktif untuk industri kreatif. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 1 April 2011. Hal. 53-59 Ida Medawaty. Kinerja kolam Sanita dalam pengolahan air limbah rumah tangga di perkantoran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Hal. 129137. Ida Medawaty. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan air limbah rumah tangga secara komuna. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 1 April 2011. Hal. 31 – 39. Iskandar Muda Purwaamijaya. Analisis dampak lingkungan untuk pembangunan perumahan di kawasan Bandung Utara berbasis model sistem dinamis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Hal. 147-153.
180
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 3 November 2011: 180-183
Muhammad Nurfajri Alfata. Studi kenyamanan termal adaptif rumah tinggal di Kota Malang, studi kasus : Perumahan Sawojajar 1 Kota Malang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 1 April 2011. Hal. 9 -17. Nurhasanah Sutjahjo. Konsumsi dan pelanggan air minum di kota besar dan metropolitan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Hal. 138-146. R. Pamekas. Konsumsi dan pelanggan air minum di kota besar dan metropolitan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Hal. 138-146. R. Pamekas. Kinerja kolam Sanita dalam pengolahan air limbah rumah tangga di perkantoran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Hal. 129137. Rina Marina Masri. Analisis dampak lingkungan untuk pembangunan perumahan di kawasan Bandung Utara berbasis model sistem dinamis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Hal.147-153. Rumiati Tobing. Model perhitungan kandungan emisi CO₂ pada bangunan gedung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Hal. 154-163. Suprapto. Pengaruh temperatur tinggi terhadap kekuatan leleh dan kuat tarik pada bahan baja melalui uji api. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 2 Agustus 2011. Hal. 108-115 Sutjahjo. Konsumsi dan pelanggan air minum di kota besar dan metropolitan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Hal. 138-146. Teguh Esa Wibawa. Pengaruh temperatur tinggi terhadap kekuatan leleh dan kuat tarik pada bahan baja melalui uji api. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 2 Agustus 2011. Hal. 108-115. Tri Harso Karyono. Model perhitungan kandungan emisi CO₂ pada bangunan gedung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Hal. 154-163. Tuti Kustiasih. Penentuan angka kebutuhan oksigen kimia air limbah dengan mempertimbangkan faktor ketidakpastian, kasus IPAL di Puslitbang Permukiman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Hal. 121-128. Wahyu Sujatmiko. Kenyamanan termal adaptif hunian kawasan Mangrove Centre, Batu Ampar Balikpapan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Hal. 164-174.
181
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 3 November 2011: 180-183
Indexs Authors Aan Sugiarto. Adaptive thermal comfort of Mangrove Center residential area, Batu Ampar Balikpapan. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6. No. 3 November 2011. Page 164 – 174. Aan Sugiarto. The optimum mix design of charge coal waste from textile factory for concrete hollow block. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 1 April 2011. Page. 47 - 52. Agus Sarwono. Feasibility criteria for application of fire safety management in buildings and influenced factors. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 1 April 2011. Page. 1 – 8. Agus Sarwono. Service improvement of fire department through the implementation of fire urban master plan (FUM) Pontianak, West Kalimantan case study. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 2 August 2011. Page 100 – 107. Alex Abdi Chalik. Policy formulation for sustainable urban solid waste treatment system, the case study : Jakarta Metropolitan Area. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 1 April 2011. Page. 18 – 30. Arief Sabaruddin. The calculation model embodied CO₂ emissions for building. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Page 154 – 163 . Aryenti. Community participation through traffic increase in waste bank or village cart Kiaracondong Bandung, Babakan Surabaya. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 1 April 2011. Page. 40 - 46. Aryenti. Increase of community participation in management of trash using 3R (reduce, reuse, recycle) program in settlement environment from socio-economic aspect. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 2 August 2011. Page 75 – 83 Deasy Widyastomo. The alteration in the traditional settlement patterns of Sentani tribe lake shores. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 2 August 2011. Page 84 – 92. Fanny Kusumawati. Adaptive thermal comfort of Mangrove Center residential area, Batu Ampar Balikpapan. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6. No. 3 November 2011. Page 164 – 174. Fitrijani Anggraini. Drinking water consumption and customers in big cities and metropolitan. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Page 138– 146. Fitrijani Anggraini. Institutional aspects in the management of regional final waste processing site. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 2 August 2011. Page 65 – 74. Heni Suhaeni. Population density has effected on the inhabitants adaption in the densely. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 2 August 2011. Page 93 – 99. Heni Suhaeni. Spatial system which cultural basis results productive space for creative industry. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 1 April 2011. Page. 53 – 59. Ida Medawaty. Community development in waste water domestic management by communal. Research Institute for Human Settlements.Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 1 April 2011. Page. 31 - 39. Ida Medawaty. Sanitation pond performance in domestic wastewater treatment in the office. Research Institute for Human Settlements. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Page 129 – 137. Iskandar Muda Purwaamijaya. Environmental impact assessment for housing development in North Bandung zone based on model dynamic system. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Page 147 – 153. Muhammad Nurfajri Alfata. Study of adaptive thermal comfort of residential housing in Malang City, case study : Sawojajar 1 Malang City. Research Institute for Human Settlements. Jurnal. Permukiman. Vol. 6 No. 1 April 2011.
182
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 3 November 2011: 180-183
Nurhasanah Sutjahjo. Drinking water consumption and customers in big cities and metropolitan. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Page 138– 146. R. Pamekas. Drinking water consumption and customers in big cities and metropolitan. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Page 138– 146. R. Pamekas. Sanitation pond performance in domestic wastewater treatment in the office. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Page 129 – 137. Rina Marina Masri. Environmental impact assessment for housing development in North Bandung zone based on model dynamic system. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Page 147 – 153. Rumiati Tobing. The calculation model embodied CO₂ emissions for building. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Page 154 – 163. Suprapto. Impact of fire temperature to the melting and tensile strength of steel structure. Research Center for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 2 August 2011. Page 108 – 115. Teguh Esa Wibawa. Impact of fire temperature to the melting and tensile strength of steel structure. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 2 August 2011. Page 108 – 115. Tri Harso Karyono. The calculation model embodied CO₂ emissions for building. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Page 154 – 163. Tuti Kustiasih. Determination of the chemical oxygen demand of wastewater by considering the uncertainty factor in case of wastewater treatment plant at the Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6 No. 3 November 2011. Page 121 – 128. Wahyu Sujatmiko. Adaptive thermal comfort of Mangrove Center residential area, Batu Ampar Balikpapan. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 6. No. 3 November 2011. Page 164 – 174.
183
Pedoman Penulisan Naskah 1. 2. 3.
4.
5.
6. 7. 8. 9.
Redaksi menerima naskah karya ilmiah ilmu pengetahuan dan teknologi bidang permukiman, baik dari dalam dan luar lingkungan Pusat Litbang Permukiman Naskah disampaikan ke redaksi dalam bentuk naskah tercetak hitam putih sebanyak 3 rangkap dengan jumlah naskah maksimum 15 halaman termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar pustaka Naskah akan dinilai oleh dewan penelaah. Kriteria penilaian meliputi kebenaran isi, derajat, orisinalitas, kejelasan uraian dan kesesuaian dengan sasaran jurnal. Dewan penelaah berwenang mengembalikan naskah untuk direvisi atau menolaknya Penelaah berhak memperbaiki naskah tanpa mengubah isi dan pengertiannya, serta akan berkonsultasi dahulu dengan penulis apabila dipandang perlu untuk mengubah isi naskah. Penulis bertanggung jawab atas pandangan dan pendapatnya di dalam naskah Jika naskah disetujui untuk diterbitkan, penulis harus segera menyempurnakan dan menyampaikannya kembali ke redaksi beserta filenya dengan program (software) “Microsoft Office Word” paling lambat satu minggu setelah tanggal persetujuan Bila naskah diterbitkan, penulis akan mendapatkan reprint (cetak lepas) sebanyak 3 eksemplar dan naskah akan menjadi hak milik instansi penerbit Naskah yang tidak dapat diterbitkan akan diberitahukan kepada penulis dan naskah tidak akan dikembalikan, kecuali ada permintaan lain dari penulis Keterangan yang lebih terperinci dapat menghubungi Sekretariat Redaksi Secara teknis persyaratan naskah adalah : Sistematika penulisan : Bagian awal : Judul, Keterangan Penulis, Abstrak. Abstrak disusun dalam satu alinea antara 150200 kata berisi : alasan penelitian dilakukan, pernyataan singkat apa yang telah dilakukan (metode), pernyataan singkat apa yang telah ditemukan, pernyataan singkat apa yang telah disimpulkan disertai minimal 5 kunci. Judul, Abstrak dan Kata Kunci disusun dalam 2 (dua) bahasa (Indonesia-Inggris) Bagian utama : Pendahuluan, Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan Bagian akhir : Ucapan Terima Kasih (bila perlu), Daftar Pustaka dan Lampiran (jika ada) Teknik penulisan: a. Naskah ditulis pada kertas ukuran A4 portrait (210 x 297 mm), ketikan satu spasi dengan 2 kolom, jarak kolom pertama dan kedua 1 cm. b. Margin: tepi atas 3 cm, tepi bawah 2,5 cm, sisi kiri 3 cm dan kanan 2 cm. Alinea baru diberi tambahan spasi (+ ENTER). Penggunaan huruf: Judul, ditulis di tengah halaman, Cambria 14 pt. Kapital Bold Isi Abstrak, Cambria 10 pt italic 1 spasi Sub judul, ditulis di tepi kiri, Cambria Kapital 11pt, Bold Isi, Cambria 10 pt, 1 spasi Penomoran halaman menggunakan angka arab c. Daftar Pustaka sebaiknya menggunakan referensi terbaru, maksimal penerbitan 5 (lima) tahun terakhir, kecuali untuk handbook yang belum ada cetakan revisi/ terbaru. d. Daftar pustaka ditulis sesuai contoh sebagai berikut: Buku (monograf) Kourik, R. 1998. The lavender garden: beautiful varieties to grow and gather. San Francisco: Chronicle Books. Artikel Jurnal Terborgh, J. 1974. Preservation of natural diversity: The problem of extinction-prone species. Bioscience 24:715-22. Situs Web Thomas, Trevor M. 1956. Wales: Land of Mines and Quaries. Geographical Review 46, No. 1: 59-81. http://www.jstor.org/ (accessed June 30, 2005).