Jurnal Permukiman Volume 5 No. 2 Agustus 2010
ISSN : 1907 – 4352
Jurnal Permukiman adalah majalah berkala yang memuat karya tulis ilmiah di bidang permukiman meliputi kawasan perkotaan/ perdesaan, bangunan gedung yang berada di dalamnya, serta sarana dan prasarana yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Diterbitkan sejak tahun 1985 dengan nama Jurnal Penelitian Permukiman dan tahun 2006 berganti menjadi Jurnal Permukiman dengan frekuensi terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan November. Pelindung Penanggung Jawab
: :
Kepala Pusat Litbang Permukiman Kepala Bidang Standar dan Diseminasi
Mitra Bestari
:
Prof. R. Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M. Agr. (Bidang Bahan Bangunan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Prof. Ir. Iswandi Imran, MASc. Ph. D. (Bidang Rekayasa Struktur, Institut Teknologi Bandung) Dr. Ir. Tri Padmi (Bidang Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung) Ir. Indra Budiman Syamwil, MSc., Ph. D. (Bidang Arsitektur, Institut Teknologi Bandung)
Dewan Penelaah Naskah
:
Prof. R. Dr. Ir. Suprapto, MSc. FPE. (Bidang Fisika dan Keselamatan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman) Lasino, S.T. APU. (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman) Andriati Amir Husin, MSi. (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman) Ir. Nurhasanah Sutjahjo, M.M. (Bidang Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Pusat Litbang Permukiman) Dr. Ir. Anita Firmanti, E.S., M.T. (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman) Ir. Arief Sabaruddin, CES. (Bidang Perumahan dan Permukiman, Pusat Litbang Permukiman) Dra. Inge Komardjaja, Ph. D. (Bidang Permukiman dan Aksesibilitas, Pusat Litbang Permukiman) Ir. Lya Meilany S., M.T. (Bidang Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Pusat Litbang Permukiman) Ir. Silvia F. Herina, M.T. (Bidang Rekayasa Teknik Sipil, Pusat Litbang Permukiman) Dra. Sri Astuti, MSA. (Bidang Bangunan dan Lingkungan, Pusat Litbang Permukiman) Ir. Maryoko Hadi, M.T. (Bidang Struktur dan Konstruksi, Pusat Litbang Permukiman)
Redaksi Pelaksana
:
Drs. Duddy D. Kusumo, MBA. Dra. Roosdharmawati Drs. Arif Sugiarto, MSi. Mayoci Hentrinno Gilang Risang Aji, S. Ds. Widiayu Renzani Avriantari, S. Sos. Dini Herfiani, S.S. Adang Triana
Alamat Redaksi
:
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung 40393 P.O. Box 812 Bandung 40008 Tlp. 022-7798393 (4 saluran) Fax. 022-7798392 E-mail :
[email protected]
Akreditasi Jurnal Permukiman ditetapkan sebagai Majalah Berkala Ilmiah : Terakreditasi C Nomor 222/AU1/P2MBI/08/2009 Berdasarkan Kutipan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 816/D/2009 Tanggal 28 Agustus 2009
Jurnal Permukiman Volume 5 No. 2 Agustus 2010
ISSN : 1907 – 4352
Pengantar Redaksi Ucapan rasa syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan segala perkenan-Nya Jurnal Permukiman dapat kembali diterbitkan dan dihadirkan kepada para pembaca. Sebagai pembuka kami menyajikan tulisan berjudul “Pengendalian Kerusakan Lingkungan Permukiman Kawasan Pantai Pulau Miangas dengan Pencegahan Erosi dan Abrasi” yang ditulis oleh Sarbidi. Dalam tulisan ini dijelaskan mengenai kerusakan pantai Pulau Miangas yang diakibatkan oleh erosi dan abrasi. Kerusakan pantai Pulau Miangas yang telah terjadi pada bagian Utara, Barat-Barat Laut dan Selatan ke arah Barat dan sebelah kanan dermaga dapat dikendalikan dengan penerapan beberapa pemecah gelombang sejajar pantai dan penanaman pohon bakau; bagian Selatan ke arah Timur, khususnya di sebelah kiri dermaga dapat diterapkan konstruksi tembok laut atau revetment di sepanjang pantai yang mengalami kerusakan. Kemudian tulisan “Analisis Sosial-Ekonomi Penghuni Perumahan Setiabudhi Regency, Graha Puspa, Triniti” hasil penelitian Iskandar Muda Purwaamijaya, menjelaskan tentang peningkatan pembangunan perumahan di kawasan pinggiran metropolitan khususnya lingkungan Kota Bandung. Kawasan yang seharusnya digunakan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH), sekarang telah beralih fungsi menjadi perumahan, hal ini dikarenakan meningkatnya perkembangan sosial-ekonomi masyarakat sekitar. “Penelitian Pengaruh Larutan Garam Sulfat terhadap Kualitas Beton Ringan” yang ditulis oleh Andriati Amir Husin, menjelaskan bahwa beton ringan merupakan beton yang memakai agregat ringan atau campuran agregat kasar ringan dan pasir sebagai pengganti agregat halus ringan dengan ketentuan tidak boleh melampaui berat isi maksimum beton 1.850 kg/m3. Dalam percobaannya agregat yang digunakan adalah berasal dari limbah industri berupa fly ash dan bottom ash serta limbah katalis dari proses Residium Catalytic Cracking (RCC), ternyata unsur-unsur tersebut dapat berfungsi ganda yaitu sebagai bahan pozolan buatan dan sebagai agregat ringan. Lia Yulia Iriani dalam penelitiannya mengenai “Pengaruh Izin Mendirikan Bangunan terhadap Penataan Permukiman di Kampung Muara” memaparkan bahwa aspek Izin Mendirikan Bangunan (IMB) merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada penataan permukiman. Studi kasus mengambil contoh di RT 05 dan RT 09, RW 07 Kampung Muara, Desa Sukawarga, Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut, dapat disimpulkan bahwa Izin Mendirikan Bangunan berpengaruh terhadap penataan permukiman di lokasi sasaran, sehingga diperlukan implementasi kebijakan Izin Mendirikan Bangunan secara terpadu dan terkoordinasi. Tulisan penutup, Nurhasanah Sutjahjo dalam penelitiannya mengenai “Standar Pelayanan Minimal untuk Biaya Satuan Program Bidang Air Minum” menjelaskan tentang standar pelayanan bidang air minum sangat dibutuhkan untuk menjamin penyelenggaraan penyediaan air minum yang memenuhi syarat kualitas, kuantitas dan kontinuitas.
i
Jurnal Permukiman Volume 5 No. 2 Agustus 2010
ISSN : 1907 – 4352 Daftar Isi
Pengantar Redaksi
i11
Daftar Isi
ii1
Pengendalian Kerusakan Lingkungan Permukiman Kawasan Pantai Pulau Miangas dengan Pencegahan Erosi dan Abrasi Sarbidi
58 - 661
Analisis Sosial-Ekonomi Penghuni Perumahan Setiabudhi Regency, Graha Puspa, Triniti Iskandar Muda Purwaamijaya
67 - 771
Penelitian Pengaruh Larutan Garam Sulfat terhadap Kualitas Beton Ringan Andriati Amir Husin Pengaruh Izin Mendirikan Bangunan terhadap Penataan Permukiman Di Kampung Muara Lia Yulia Iriani Standar Pelayanan Minimal untuk Biaya Satuan Program Bidang Air Minum Nurhasanah Sutjahjo Abstrak/Abstract
78 - 841
85 - 911 92 - 101 102 - 105
Indeks Subjek
106
ii
Pengendalian Kerusakan Lingkungan… (Sarbidi)
PENGENDALIAN KERUSAKAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN KAWASAN PANTAI PULAU MIANGAS DENGAN PENCEGAHAN EROSI DAN ABRASI Sarbidi Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan Cileunyi Wetan-Kabupaten Bandung Email:
[email protected] Diterima: 28 Juli 2009; Disetujui: 22 Juni 2010
ABSTRAK Pulau Miangas adalah pulau kecil terluar di wilayah bagian utara Negara Indonesia berbatasan dengan wilayah Negara Filipina. Oleh karena itu, setiap meter pengikisan pantai Pulau Miangas akan menggeser pula wilayah laut beserta seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya dari klaim penguasaan teritorial Negara Indonesia. Penelitian menyoroti kerusakan pantai Pulau Miangas yang diakibatkan oleh erosi dan abrasi. Kajian mencakup identifikasi permasalahan, pengumpulan data batimetri, data pasang surut, peta Miangas dari citra satelit, peramalan gelombang signifikan dari data angin lima tahunan dan observasi kawasan pantai secara langsung. Gelombang signifikan dianalisis dengan metode SverdrupMunk Bretschneider. Kerusakan pantai menggunakan gambar jaring elemen yang disimulasikan dengan program Surface Water Modeling System dan pembacaan peta citra satelit. Kajian menyimpulkan pantai Pulau Miangas sebelah Utara, sebelah Barat-Barat Laut, sebelah Selatan ke arah Barat dan Selatan ke arah Timur sudah mengalami kerusakan akibat erosi dan abrasi. Lahan pantai bagian Barat -Barat Laut dikikis sekitar 3 m per tahun. Kerusakan pantai bagian Utara, Barat-Barat Laut dan Selatan ke arah Barat dan bagian sebelah kanan dermaga dapat dikendalikan dengan penerapan beberapa pemecah gelombang sejajar pantai dan penanaman pohon bakau; bagian Selatan ke arah Timur, khususnya di sebelah kiri dermaga dapat menerapkan konstruksi tembok laut atau revetmen di sepanjang pantai yang mengalami kerusakan. Kata Kunci: Erosi, abrasi, pengendalian, pemecah gelombang, tembok laut, pohon bakau
ABSTRACT Miangas Island is the most outside of a small island in northern of the Indonesia which is border to the Philippines. Therefore every meter erosion and abrasion of shoreline will shift the offshore area and the natural ocean resources from the authority of the Indonesian territorial. The research explored destruction of beach of Miangas Island caused by erosion and abrasion. The research involves the problems identification, bathymetry, tidal, map of Miangas Island, significant wave hind casting by the five years wind data and observation of the coastal area. Significant wave analyzed by Sverdrup -MunkBretschneider method. The coastal destruction used the drawing of net elements simulated by Surface Water Modeling System and the satelite image map. The research concludes that the beach in North, West to the Northwest, South to the West and South to the East direction have already destructed by erosion and abrasion. The beach land in West to the Northwest eroded about 3 meters per year. Destruction control of North, West to the Northwest, and South to the West coastal line, and the right side of port apply some of detached breakwaters combined with mangrove trees; south to the East direction apply seawall or revetment is precisely in the destruction beach area. Keywords: Erosion, abrasion, control, detached breakwater, revertment, mangrove trees
PENDAHULUAN Latar Belakang Pulau Miangas adalah pulau kecil terluar dari wilayah bagian Utara Republik Indonesia. Pulau ini berbatasan dengan wilayah Negara Filipina. Karena posisinya tersebut maka Pulau Miangas ditetapkan sebagai wilayah khusus yang dikenal dengan “checkpoint border crossing area”.
Pulau Miangas mempunyai luas sekitar 3,15 km2, dihuni oleh sebanyak 678 jiwa dan merupakan bagian dari Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, Propinsi Sulawesi Utara. Jarak Pulau Miangas terhadap Nanusa (gugusan kepulauan terdekat di wilayah Indonesia) sekitar 145 mil laut, sedangkan jarak Pulau Miangas dengan Filipina hanya 48 mil laut. Oleh karena itu, 58
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Agustus 2010: 58-66
interaksi kehidupan sosial, ekonomi dan budaya dengan Filipina tidak dapat dihindarkan terutama untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Letak Pulau Miangas sangat strategis dalam menjaga luas dan keutuhan wilayah Republik Indonesia. Eksistensi pulau ini harus dipertahankan dengan sungguh-sungguh. Dengan letaknya yang spesifik sebagai pulau terluar, maka erosi pantai Pulau Miangas harus ditangani dengan baik. Setiap meter pengikisan pantai Pulau Miangas terluar akan menggeser pula wilayah laut beserta seluruh kekayaan yang terkandung didalamnya dari klaim penguasaan teritorial Negara Republik Indonesia. Kerusakan pantai pulau ini bukan hanya menjadi isu lokal akan tetapi menjadi isu nasional. Secara teoritis, erosi pantai dapat disebabkan faktor alam dan artifisial. Faktor alam didorong oleh hantaman gelombang laut yang terusmenerus. Faktor artifisial dipicu oleh perbuatan manusia, yang secara tidak terkendali mengeksploitasi kawasan pantai, misalkan membangun permukiman yang masuk dalam sempadan pantai, membangunan struktur pantai yang tidak memenuhi persyaratan teknis, merusak kawasan penyanggah (buffer zone) hutan bakau, dan lain-lain. Teknik pencegahan erosi pantai dapat melalui pendekatan teknis dan non teknis secara terpadu. Pendekatan teknis, antara lain membuat bangunan pengaman pantai yang sesuai untuk kondisi gelombang sekitar Pulau Miangas, menempatkan permukiman di luar garis sempadan pantai dan menjaga kelestarian hutan bakau. Secara non teknis adalah memberikan pemahaman pada masyarakat mengenai dampak negatif erosi pantai, bagi kelestarian pulau dan kehidupan mereka sendiri. Rumusan Masalah Energi yang dikandung oleh ombak, yang terus menerus menghantam pantai dapat menyebabkan erosi pada pantai dan abrasi pada tebing pantai batuan padat yang masif. Erosi dan abrasi dapat dicegah dengan membangun infrastrukstur peredam energi gelombang, membangun pemecah gelombang dan menanam tumbuhan pereduksi ombak di sekitar pantai (biasanya hutan bakau). Peristiwa pasang surut turut pula mempengaruhi garis pantai, meskipun kadarnya kecil dibanding ombak dan arus laut. Pasang surut berpengaruh terhadap dinamika air di sekitar pantai. Vegetasi atau hutan bakau yang tumbuh subur di sepanjang pantai dapat berfungsi sebagai penangkap sedimen (sediment trap) di kawasan pantai, sehingga membantu pertumbuhan pantai.
59
Aktifitas manusia yang memanfaatkan pantai untuk berbagai kepentingan, juga dapat merubah morfologi atau bahkan merusak lingkungan di kawasan pantai. Permasalahannya, bagaimana menentukan teknik konstruksi yang tepat untuk mencegah kerusakan pantai Pulau Miangas. Tulisan ini akan membahas metode teknik struktural pencegah kerusakan kawasan pantai pulau tersebut. Data dan informasi diambil dari survei investigasi dan desain pengaman pantai Pulau Miangas, Ditjen Sumber Daya Air tahun 2005.
METODOLOGI Identifikasi Masalah Lingkungan di kawasan pantai Pulau Miangas, sangat rentan erosi dan abrasi, karena letaknya jauh dari kawasan pulau besar, juga berada pada perairan Samudra Pasifik yang berombak besar. Seberapa besar kejadian erosi dan abrasi ini, sangat dipengaruhi oleh tinggi gelombang, periode gelombang dan gelombang dominan. Biasanya parameter-parameter gelombang tadi diperoleh dari model transformasi gelombang, yaitu transformasi gelombang dari laut dalam menuju laut dangkal atau daerah pantai. Pemodelan menggunakan analisis numerik, dengan kombinasi refraksi dan defraksi gelombang. Metode Pelaksanaan Pelaksanaan kajian dibagi dalam tiga kegiatan, yaitu identifikasi permasalahan kawasan pantai, pengumpulan data sekunder (kajian pustaka) dan data primer (observasi lapangan), penetapan titik pemodelan numerik (penentuan area perairan dan daratan yang akan dan tidak terkena model). Dalam tulisan ini terdapat tiga lokasi penting yang memerlukan penanganan erosi pantai. Pengumpulan Data Sekunder Data sekunder dikumpulkan dari berbagai hasil studi yang pernah dilaksanakan oleh institusi berwenang dan data pustaka lainnya, antara lain: peta Pulau Miangas, peta bathimetri, data angkutan litoral, data pasang surut, dan lain-lain. Pengumpulan Data Primer Data primer adalah angin, yaitu data angin dari stasiun terdekat. Data angin berasal stasiun Naha di Pulau Sangihe. Selanjutnya dilakukan analisis windrose, fetch dan gelombang signifikan. Pengolahan Data Data angin yang ada diolah dengan metode matematik menghasilkan windrose, fetch dan dengan menggunakan metode Sverdrup-MunkBretschneider (SMB) didapatkan nilai gelombang signifikan, selanjutnya menggunakan statistik Gumbel didapatkan nilai gelombang maksimum.
Pengendalian Kerusakan Lingkungan… (Sarbidi)
Pemodelan gelombang pada perairan Pulau Miangas menggunakan model gelombang, yang dikembangkan oleh University of Maine bekerjasama dengan U.S. Army Corps of Engineers, Waterways Expriment Station. Model gelombang adalah model finit elemen yang dihubungkan dengan model SMS (Surface Water Modeling System). Analisis dan Pembahasan Analisis dan pembahasan ditujukan untuk penentuan prioritas pengembangan infrastruktur pencegahan erosi dan abrasi pantai Pulau Miangas pada area pemodelan.
KAJIAN PUSTAKA Pantai (shore) adalah daerah di tepi perairan laut, yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Shore dapat dibagi dalam tiga zona (Hang Tuah, S, 2003), yaitu: 1. Back shore zone adalah bagian pantai, yang hanya tergenang pada saat pasang tertinggi dan pada saat badai. 2. Fore shore zone adalah bagian pantai berbatasan dengan backshore zone, yaitu bagian yang tergenang pada saat air pasang sampai dengan pada air surut. 3. Offshore zone bagian pantai yang dibatasi oleh pantai yang sedikit di bawah muka air surut sampai ke batas kedalaman, dimana interaksi gelombang dengan dasar tidak ada lagi. Garis pantai tidak akan mengalami perubahan bila arah gelombang datang dari lepas pantai adalah tegak lurus garis pantai. Kondisi ini hampir tidak mungkin terjadi, karena adanya hidrodinamika air laut, yang menyebabkan garis pantai akan selalu berubah, kecuali garis pantai yang berada di antara dua headland, itupun setelah berbentuk logarithmic and parabolic (Silvester dan Shu, 1993). Wind Stress Factor Gelombang laut terbentuk karena faktor tekanan air yang bertiup dari laut dalam menuju laut dangkal. Perhitungan tinggi gelombang atau yang disebut dengan hindcasting atau pembangkitan gelombang menggunakan data angin dari stasiun Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) atau lapangan terbang terdekat. Data angin yang diperoleh, biasanya adalah data angin harian yang isinya adalah: Urata-rata: kecepatan angin rata-rata harian. Uterbesar: kecepatan angin maksimum harian. Arah angin: arah datangnya angin bertiup. Langkah pertama menganalisis data angin adalah mendapatkan nilai Wind Stress Factor (UA), yaitu sebagai nilai yang akan digunakan dalam melakukan peramalan gelombang (Bambang, Triatmojo, 1999). Namun sebelumnya perlu
melakukan koreksi-koreksi terhadap elevasi pengukuran angin, kecepatan angin rata-rata, pengaruh stabilitas temperatur antara udara dan air laut, lokasi pengamatan dan koefisien seret. Fetch Efektif Fetch adalah daerah bangkitan gelombang di laut. Ruang fetch dapat dibatasi oleh suatu pulau atau daratan yang mengelilingi laut tersebut (Bambang, Triatmojo, 1999). Fetch diperlukan untuk hindcasting. Kecepatan dan arah angin dalam fetch konstan. Panjang fetch efektif untuk masing-masing arah angin dapat dihitung dengan rumus matematik. Gelombang Signifikan Berdasarkan Shore Protection Manual, Volume-1, tinggi gelombang signifikan dihitung menggunakan persamaan atau rumus Sverdrup-MunkBretschneider (SMB). Penggunaan rumus tersebut didasarkan pada perhitungan durasi kritis (tc). Apabila diperoleh durasi kritis (tc) < data durasi (t) disebut fetch limited. Kondisi demikian biasa disebut dengan non-fully developed seas dan perhitungan tinggi gelombang (H) dan periode gelombang (T) menggunakan data gelombang signifikan dengan nilai fetch yang telah diketahui. Apabila durasi kritis (tc) > data durasi (t) disebut duration limited dan perhitungan tinggi gelombang (H) dan periode gelombang (T) menggunakan data gelombang signifikan dengan nilai fetch minimum yang dihitung dengan rumus matematik. Prosedur Simulasi Gelombang Merujuk pada Surface Water Modeling System, simulasi gelombang dibagi ke dalam beberapa tahap sebagai berikut: 1. Penentuan konsep model, yaitu penentuan batas area daratan dan perairan, yang akan dan tidak dimasukkan dalam pemodelan. 2. Pembangkitan jaringan elemen. 3. Menginput data amplitudo, arah dan periode gelombang, gravitasi, jumlah iterasi dan ketelitian yang akan dicapai. 4. Eksekusi simulasi model gelombang. Keluaran pemodelan dapat berupa grafik, gambar kontur perambatan gelombang atau jaring elemen segitiga dan animasi. Kerusakan Pantai Akibat Erosi dan Abrasi Erosi pantai adalah kerusakan garis pantai akibat dari terlepasnya material pantai, seperti pasir atau lempung yang terus menerus dihantam oleh gelombang laut, atau dikarenakan oleh terjadinya perubahan keseimbangan angkutan sedimen di perairan pantai (Hang Tuah, S, 2003). Erosi menyebabkan kedudukan semula.
mundurnya
pantai
dari
60
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Agustus 2010: 58-66
Erosi dapat terjadi akibat dari: pembuatan bangunan pantai yang menjorok ke laut yang mengubah keseimbangan pantai penebangan hutan pantai (bakau/ mangrove) matinya karang pantai dan hutan bakau yang berfungsi sebagai pemecah gelombang, akibat pencemaran perairan pantai pengambilan material pantai (pasir atau karang pantai) dan material di sungai (pasir dan batu) Abrasi pantai adalah erosi pada jenis pantai yang masif seperti cadas, batu atau lapisan beton. Erosi dan abrasi dapat menyebabkan kerusakan lahan dan properti atau aset yang berada di dekat pantai. Penanggulangan Erosi dan Abrasi Pantai Pada pantai yang seimbang, proses alami membentuk suatu sistem perlindungan terhadap erosi pantai. Untuk pantai berpasir perlindungan tersebut dapat berupa timbunan pasir di sisi belakang pantai. Pada daerah tropis, pantai berpasir seringkali terlindungi dari gempuran ombak oleh terumbu karang yang hidup di sepanjang pantai. Selain itu, di daerah belakang pantai (back shore) tumbuhan pantai seperti pandan dan rumput membantu menjaga agar pasir yang terdapat di gundukan pasir tidak terbawa oleh angin keluar dari daerah pesisir. Pada daerah pantai berlumpur, perlindungan alam berupa tumbuhan bakau atau pohon api-api dan lapisan lumpur yang tebal dapat pula meredam energi gelombang yang datang. Pola penangguhan erosi pantai dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu: Bertahan dan melindunginya, dengan cara membatasi erosi yang terjadi supaya tidak bertambah parah. Membiarkan erosi yang terjadi, mundur dari pantai, merelokasi atau memindahkan aset sumber daya pantai yang berharga menjauhi pantai, serta mempersiapkan daerah belakang pantai supaya aman terhadap erosi atau dengan menyesuaikan peruntukan lahannya. Maju dan bekerja sama dengan alam, mengembalikan garis pantai ke posisi semula dengan cara memasang bangunan pengaman pantai, melakukan reklamasi, melakukan penghijauan pantai, penumbuhan terumbu karang, atau perlakuan yang terpadu. Pola menangani erosi tergantung pada beberapa aspek seperti: - Tujuan yang akan dicapai - Keadaan gelombang, arus dan angkutan sedimen - Keadaan bathimetri dan material dasar
61
Bahan bangunan yang tersedia Keadaan mekanika tanah Keadaan lingkungan Peruntukan lahan dan rencana pengembangan daerah - Kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat - Pendanaan -
Jenis bangunan pengaman pantai yang biasa diterapkan (US Army Corps of Engineers, 1992): Tembok laut (seawall): Jenis konstruksi pantai yang masif dan ditempatkan sejajar dengan garis pantai, menempel pada tebing pantai dan membatasi secara langsung bidang daratan dengan air laut; dapat digunakan sebagai pengaman pada pantai berlumpur atau berpasir. Fungsi utama: mencegah erosi pantai bagian darat, yang secara langsung terkena hantaman gelombang dan arus laut, melindungi langsung pantai bagian darat di belakang struktur, serta berfungsi juga sebagai tembok penahan tanah yang ada di belakang konstruksi. Bahan konstruksi yang dipergunakan berupa pasangan batu dan beton. Revetment: Jenis konstruksi yang tidak masif. Fungsinya untuk melindungi langsung pantai bagian darat di belakang struktur. Bahan konstruksi yang digunakan yaitu batu kosong, blok-blok beton, plat beton, pasangan batu dan beton. Susunan batu kosong atau blok-blok beton dengan kemiringan tertentu, disebut konstruksi tipe rubble mound, yang mempunyai lapis pelindung luar disebut armor. Antara pantai yang dilindungi dan revetment harus ada lapisan filter yang berfungsi mencegah hanyutnya material pantai yang halus. Groin: Jenis konstruksi pengaman erosi pantai yang dipasang tegak lurus garis pantai. Fungsinya untuk menjaga keseimbangan angkutan pasir sejajar pantai (longshore sand drift). Groin tegak lurus pantai berfungsi menahan atau mengurangi besarnya angkutan pasir sejajar pantai. Groin hanya cocok untuk pantai yang berpasir saja. Bahan konstruksi yang dipergunakan antara lain susunan batu kosong, pasangan batu, tiang pancang beton atau baja dan balok-balok beton. Dengan dipasangnya groin maka gerakan sedimen sejajar pantai akan tertahan dibagian hulu (updrift) dan sebaliknya akan terjadi erosi dibagian hilir (downdrift). Proses erosi dan sedimentasi pantai antara dua groin yang berurutan akan terhenti (tercapai keseimbangan) bila garis pantai membentuk sudut 90 derajat dengan arah gelombang yang dominan dan apabila tidak dikehendaki terjadi erosi maka perlu penambahan pasir atau filling the groins.
Pengendalian Kerusakan Lingkungan… (Sarbidi)
Detached Breakwater. Jenis konstruksi pengaman erosi pantai dipasang pada bagian laut, yang relatif jauh dari pantai, posisi bangunan sejajar garis pantai. Fungsinya untuk menambah garis pantai yang berada antara pantai dan breakwater itu sendiri. Bahan konstruksi yang dipergunakan antara lain susunan batu kosong, pasangan batu, tiang pancang beton atau baja dan balok-balok beton. Tanggul laut: Jenis konstruksi pantai yang masif dibuat sejajar dengan garis pantai tetapi tidak menempel pada tebing pantai. Jika pada breakwater, diantara breakwater yang satu dengan lainnya dibuat celah, maka pada tanggul laut struktur dibuat menerus. Lokasi tanggul laut tergantung keperluan, pada umumnya terletak antara 10 sampai 30 m dari garis pantai. Pengisian pasir: merupakan usaha pengaman pantai yang tidak menimbulkan dampak negatif, sehingga dipandang sebagai usaha pengaman pantai yang terbaik dibandingkan bangunan pengaman pantai yang lain (Syamsudin, 2001). Dengan adanya pengisian pasir maka pantai akan maju dari kedudukan semula. Majunya garis pantai diharapkan sesuai dengan keperluan. Agar pasir yang diisikan tidak cepat hilang maka pengisian pasir umumnya dikombinasikan dengan groin. Penanaman bakau: pada erosi yang diakibatkan oleh adanya penebangan bakau maka usaha pengaman pantai dapat dilakukan dengan penanaman bakau kembali. Agar bakau tidak rusak oleh gelombang maka penanaman bakau dapat dikombinasikan dengan struktur pemecah gelombang (Hang Tuah, S, 2003), sehingga bakau dapat tumbuh dan tidak hanyut oleh gelombang.
HASIL KAJIAN LAPANGAN Pulau Miangas Secara geografis, Pulau Miangas terletak pada 6o8’ – 4o35’ Lintang Utara dan 127o11’ – 126o24’ Bujur Timur. Luas wilayah 3,2 Km2. Pada sisi sebelah Barat, umumnya berupa dataran rendah, pada beberapa tempat terdapat bukit batu karang/ kapur serta goa; daerah dataran didominasi oleh tanaman kelapa dengan hamparan pasir putih terdapat hampir seluruh pantai. Wilayah Pulau Miangas terdiri dari daerah dataran dan perbukitan, dimana di tengah pulau terdapat rawa berupa cekungan dengan kedalaman mencapai 50 – 100 cm ditumbuhi oleh tanaman galuga yang merupakan salah satu konsumsi bagi masyarakat. Secara administratif, Pulau Miangas termasuk dalam wilayah Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, Propinsi Sulawesi Utara. Letak pulau ditampilkan pada Gambar 1.
Pulau Miangas adalah pulau kecil terluar bagian Utara dari wilayah Negara Republik Indonesia. Pulau ini berbatasan dengan wilayah Negara Filipina. Karena itu ditetapkan sebagai wilayah khusus yang dikenal dengan “checkpoint border crossing area”.
Pulau Miangas
Lokasi Stasiun Angin Naha
Pulau Miangas
Gambar 1 Letak Pulau Miangas (Laporan Tim Survei 2006)
Pada bagian Utara-Timur Pulau Miangas terdapat bukit menyusuri pantai kurang lebih 2 kilometer, yang mana dibagian Utara mulai landai. Bagian Selatan-Barat terdapat bangunan dermaga yang saat ini berfungsi sebagai tambatan kapalkapal yang bersandar. Pada bagian ini terdapat permukiman penduduk yang menjorok masuk ke tengah pulau. Bagian Barat-Utara merupakan batas Pulau Miangas yang mengarah ke batas wilayah terluar Republik Indonesia bagian Utara. Bagian Utara merupakan daerah yang perlu diamankan karena telah terjadi pergeseran garis pantai. Bagian Barat-Selatan yang merupakan daerah permukiman. Disini sudah terjadi erosi pantai. Disini beberapa bangunan sudah sangat dekat dengan garis pantai. Pada saat ini, gelombang yang datang memang tidak langsung masuk ke dalam permukiman penduduk, tetapi akibat erosi pantai terus berkelanjutan akan mendorong, permukiman penduduk terkena gangguan gelombang. Bagian pantai Timur-Selatan tepatnya di daerah dermaga sudah terdapat pengaman pantai namun sudah rusak.
62
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Agustus 2010: 58-66
Tahun 2005 berpenduduk 645 jiwa dan rumah 132 buah. Pulau Miangas merupakan pulau kecil terluar di wilayah Utara Indonesia. Jarak Miangas dengan kota kabupaten 185 mil, dengan kota kecamatan Nanusa 75 mil dan dengan Tibanban Filipina hanya 50 mil.
Gelombang Signifikan Nilai perkiraan untuk gelombang signifikan dihitung dengan metode statistik analisa frekuensi. Hasil perhitungan dengan error terkecil adalah nilai gelombang signifikan yang mungkin terjadi pada perioda ulang tertentu.
Kejadian Gelombang Kejadian gelombang diramalkan berdasarkan data angin harian time series 5 lima tahunan, antara tahun 2000 sampai tahun 2004. Data angin diperoleh dari Stasiun Meteorologi kelas III Naha yang berada pada lokasi bandar udara di Pulau Sangihe. Posisi stasiun pada 03o41’ Lintang Utara dan 125o31’ Bujur Timur, tinggi stasiun 8 meter. Lokasi stasiun ditampilkan pada Gambar 1.
Gelombang signifikan yang mungkin terjadi pada perairan laut sekitar Pulau Miangas untuk periode ulang 2, 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun ditampilkan pada Tabel 2.
Data angin digunakan untuk peramalan gelombang (hindcasting). Kejadian gelombang di sekitar Pulau Miangas berasal dari seluruh arah angin, seperti diperlihatkan pada Tabel 1. Kejadian gelombang yang paling berpengaruh terhadap seluruh pantai Miangas, terbesar berasal dari arah Barat Daya 26,67%; dari arah Timur Laut 21,78%; arah Timur 15,45%; arah Utara 12,36%; arah Selatan 7,58%; arah Barat 5,96%. Gelombang yang merambat dari Barat Laut dan Tenggara kurang dari 5%. Secara visual ditampilkan pada Gambar 2. Tabel 1 Persentase Kejadian Gelombang (tahun 2000 sampai tahun 2004) Jumlah Tinggi Gelombang (m) (%) 0 - 1 1 - 2 2 - 3 3 - 4 > 4 CALM Utara 9.93 2.13 0.22 0.00 0.07 0.00 12.36 Timur Laut 18.25 2.80 0.47 0.00 0.00 0.00 21.78 Timur 10.23 4.78 0.37 0.07 0.00 0.00 15.45 Tenggara 2.21 0.66 0.00 0.00 0.00 0.00 2.87 Selatan 3.53 3.24 0.81 0.00 0.00 0.00 7.58 Barat Daya 13.98 10.15 3.09 0.44 0.00 0.00 27.67 Barat 3.24 1.40 0.88 0.37 0.07 0.00 5.96 Barat laut 2.94 0.88 0.22 0.00 0.00 0.00 4.05 CALM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.28 2.28 Jumlah 64.31 26.05 6.33 0.88 0.14 2.28 100 Sumber: Hasil Analisis Pembangkitan Gelombang Arah Gelombang
U BL
TL
B
T 0% 10% 20% 40% 60%
BD
TG
S
Gambar 2 Wave Rose Tahunan Pantai Pulau Miangas (Hasil Analisis)
63
Batimetri Pemetaan situasi batimetri Pulau Miangas untuk keperluan pemodelan ditetapkan pada elevasi +1,0m; 0m; -5m sampai dengan -63,0m (Ditjen SDA, 2005). Tabel 2 Tinggi dan Periode Gelombang Signifikan Tinggi Gelombang Periode Ulangan (Return Period), (m) Tahunan Arah H,T 2 5 10 25 50 100 Hs 2,20 3,33 4,13 5,19 6,02 6,88 Utara Ts 8,24 9,66 10,5 11,5 12,2 12,83 Hs 2,39 2,73 2,82 2,86 2,86 2,86 Timur Laut Ts 8,44 8,91 9,03 9,07 9,08 9,08 Hs 1,96 2,06 2,09 2,13 2,14 2,15 Timur Ts 7,80 7,95 8,02 807, 8,08 8,10 Hs 1,48 1,61 1,71 1,83 1,93 2,03 Tenggara Ts 6,95 7,20 7,37 7,59 7,76 7,92 Hs 2,09 2,37 2,54 2,73 2,86 2,98 Selatan Ts 8,00 8,41 8,64 8,87 9,03 9,19 Hs 2,79 3,39 3,66 3,90 4,02 4,12 Barat Daya Ts 8,98 9,71 10,0 10,3 10,4 10,49 Hs 3,04 4,13 4,69 5,30 5,69 6,04 Barat Ts 9,09 10,6 11,4 12,3 12,8 13,31 Hs 1,59 1,90 2,09 2,30 2,45 2,60 Barat Laut Ts 7,12 7,58 7,89 8,28 8,57 8,86 Sumber: Hasil Analisis Pembangkitan Gelombang Hs: tinggi gelombang siginifikan Ts: perioda gelombang
Pasang Surut Tipe pasang surut yang terjadi pada perairan Pulau Miangas adalah jenis campuran. Posisi muka air terendah (Low Water Surface, LWL) = 0,00; muka air rata-rata (Mean Sea Level, MSL) = +1,30 dan muka air tinggi (High Wáter Surface, HWL = 2,62 (Ditjen SDA, 2005). Kerusakan Lingkungan Pantai Simulasi kerusakan (erosi dan abrasi) pantai Pulau Miangas menggunakan pemodelan gelombang di 3 lokasi pantai. Lokasi 1 pantai Utara (pertanian), lokasi 2 pantai Selatan-Barat (permukiman), lokasi 3 pantai Selatan-Timur (dermaga). Posisi lokasi pemodelan ditampilkan pada Gambar 3. Masukan data adalah gelombang signifikan periode ulang 25 tahun, posisi batimetri dan pasang surut. Hasil pemodelan kerusakan pantai Pulau Miangas ditampilkan pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Pengendalian Kerusakan Lingkungan… (Sarbidi)
Wilayah pulau yang terkena erosi dan abrasi merupakan kawasan pertanian, permukiman penduduk dan sekitar dermaga, sebagaimana ditampilkan pada Gambar 6. Oleh karena itu pencegahan erosi dan abrasi sangat penting bagi Pulau Miangas.
Keterangan: Erosi pantai pada lokasi 1, lokasi 2 dan lokasi 3.
Erosi 1
Erosi
Erosi Erosi
3
2
Gambar 3 Sketsa Lokasi Pemodelan Kerusakan Pantai Pulau Miangas (Tanpa Skala) (Ditjen SDA 2005, hal 7-14)
Pulau Miangas relatif datar (kurang dari 5%). Berdasarkan observasi diketahui bahwa pada titiktitik simulasi telah terjadi erosi dan abrasi yang disebabkan oleh gelombang laut. Menurut penduduk setempat, gelombang besar dapat merendam permukiman dan telah mengurangi lahan di kawasan pantai. Abrasi mampu mengikis areal kelapa sekitar 3 m per tahun.
Gambar 5 Sketsa Geometri Pantai Pulau Miangas (Tanpa Skala), Tahun 2005 (Ditjen SDA 2005, hal 7-34)
Keterangan: Erosi pada lokasi 1, lokasi 2 dan lokasi 3.
Permukiman
Erosi Erosi Erosi
Erosi
(a) Hasil pada lokasi 1
Erosi
Erosi
(b) Hasil pada lokasi 2 dan 3
Gambar 4 Sketsa Hasil Pemodelan Jaring Elemen pada Pantai Pulau Miangas (tanpa skala), Tahun 2005 (Ditjen SDA 2005, hal 7-35)
Dermaga
Gambar 6 Kerusakan (Erosi dan Abrasi) Pantai Kawasan Permukiman Pulau Miangas (Iconos, skala 1:3,500)
Pencegahan Kerusakan Lingkungan Pantai Kerusakan pantai Pulau Miangas sudah mulai terjadi pada bagian Utara, Selatan-Barat dan Selatan-Timur. Sampai saat ini belum ada upaya untuk mencegah abrasi, padahal gelombang besar hampir terjadi sepanjang tahun. Teknik pencegahan kerusakan pantai Pulau Miangas, yang sebaiknya dilakukan khususnya pada bagian Utara, Selatan-Barat dan SelatanTimur adalah sebagai berikut: - Bagian Utara, bagian Selatan-Barat dan bagian Barat-Barat Laut: dipasang detached breakwaters karena model ini dapat menambah pantai (tombolo) yang berada di bagian
64
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Agustus 2010: 58-66
-
belakangnya. Model dikombinasi dengan penanaman pohon bakau (mangrove). Bagian Selatan-Timur: khusus sebelah kiri dermaga, dibangun konstruksi tembok laut atau revetment sepanjang pantai yang rusak. Model dikombinasi dengan penanaman pohon bakau (mangrove). Sedangkan bagian sebelah kanan dermaga dipasang detached breakwaters, dikombinasi dengan penanaman pohon bakau (mangrove).
Pembangunan konstruksi pengaman pantai berguna untuk melestarikan eksistensi Pulau Miangas dan batas wilayah Negara RI, mencegah gangguan lingkungan permukiman penduduk, lahan pertanian kelapa dan kawasan dermaga (Gambar 6). Terjadinya kerusakan pantai ditandai adanya perubahan garis pantai. Erosi atau abrasi dapat merusak permukiman dekat pantai, kawasan penyanggah (buffer zone) dan properti lainnya. Pada musim gelombang maksimum atau tinggi, permukiman berada dekat pantai akan mudah terkena jangkauan limpasan gelombang laut (wafe run-up) dan bencana banjir. Kerusakan lingkungan pantai Pulau Miangas selain dapat dicegah dengan membangun struktur pengaman pantai yang sesuai untuk daerah pantai Miangas, juga dilakukan penataan permukiman dan melarang pendirian perumahan di luar garis sempadan pantai.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pulau Miangas adalah pulau kecil terluar bagian Utara dan berbatasan langsung dengan wilayah Negara Filipina. Posisi geografis Pulau Miangas sangat penting bagi keutuhan Wilayah Negara Indonesia. Kejadian gelombang di sekitar Pulau Miangas berasal dari seluruh arah angin. Tinggi gelombang signifikan untuk periode ulang 2 tahun hingga 100 tahun, seperti ditampilkan pada Tabel 2. Informasi mengenai kondisi gelombang signifikan merupakan hal yang mendasar dan penting untuk mengkaji permasalahan pantai, khususnya untuk mengkaji pengaruh gelombang laut terhadap kerusakan garis pantai. Berdasarkan hasil kajian gelombang signifikan, citra satelit dan observasi lapangan diketahui bahwa di pantai Pulau Miangas sudah terjadi kerusakan atau pengikisan yang disebabkan oleh erosi dan abrasi. Kerusakan tersebut menghantam permukiman penduduk, lahan pertanian kelapa dan kawasan dermaga.
65
Pencegahan kerusakan pantai Pulau Miangas dapat dilakukan dengan beberapa kegiatan sebagai berikut: Pencegahan Kerusakan Pantai Sebelah Utara Bagian Utara Pulau Miangas terdapat bukit karang dan pantai yang landai di sebelah Barat. Usaha penanggulangan dapat dilakukan dengan membuat detached breakwaters dan penanaman pohon bakau (mangrove). Model dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang, untuk melindungi bukit karang di sebelah Utara serta kawasan pertanian kelapa di sebelah Barat-Barat Laut atau Timur Laut. Detached breakwaters, merupakan stuktur type rubble mound dengan armor dari blok beton (kubus dan tetrapod). Di belakang breakwater diharapkan akan terbentuk endapan pasir membentuk formasi tombolo atau salien. Antara Detached breakwaters diharapkan menjadi pantai yang stabil berpasir putih yang dapat dikembangkan sebagai sarana pariwisata. Pada lahan tombolo ditanam pohon mangrove. Pencegahan Kerusakan Pantai Sebelah Barat Bagian Barat Pulau Miangas terdapat kawasan pertanian kelapa yang terbentang hingga ke kawasan permukiman yang berada di sebelah Selatan pulau. Usaha penanggulangan dengan membuat detached breakwaters dan penanaman pohon bakau (mangrove). Model dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang dan pembentuk formasi tombolo atau salien. Pencegahan Kerusakan Pantai Bagian Selatan, Sebelah Timur Usaha penanggulangan pantai sebelah Selatan, ke arah Timur sudah dilakukan dengan pembuatan tembok laut (khusus sebelah kiri dermaga), namun sudah rusak sehingga perlu dimodifikasi, tetapi sebelah kanan dermaga belum ada usaha pencegahan. Bangunan pengaman pantai yang baru dapat dibuat dengan tipe revetment dari blok beton bergerigi dari susunan batu kosong atau dengan susunan buis beton diisi siklop. Tembok laut atau revetment yang baru juga merupakan bangunan masif dengan pasangan batu karang gunung yang berasal dari luar Pulau Miangas, misalnya dari pulau Talaud. Revetment ini dibuat dengan kemiringan 1 : 3 agar memudahkan para pejalan kaki yang akan turun dan naik ke pantai maupun ke darat. Lebar mercu tembok ± 3 m untuk memungkinkan lalu lintas pejalan kaki di sepanjang pantai. Di belakang tembok dipasang saluran drainase untuk menampung limpasan gelombang. Bagian Selatan ke arah Utara dipasang beberapa detached breakwaters.
Pengendalian Kerusakan Lingkungan… (Sarbidi)
Pencegahan Kerusakan Pantai Bagian Selatan dan Sebelah Barat Erosi pantai yang terjadi di daerah permukiman penduduk dan kawasan pertanian kelapa belum ada usaha penanggulangannya. Bangunan pengaman pantai yang disarankan juga merupakan detached breakwaters dan dikombinasi dengan penanaman pohon bakau (mangrove).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan kajian kejadian gelombang signifikan, pemodelan gelombang dan peta citra satelit diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Kerusakan pantai Pulau Miangas yang disebabkan oleh erosi dan abrasi sudah mulai terjadi pada bagian Utara, Selatan-Barat dan Selatan-Timur. 2. Penyebab utama kerusakan kawasan pantai Pulau Miangas adalah hantaman gelombang besar, yang menyebabkan erosi dan abrasi terjadi hampir sepanjang tahun. 3. Erosi dan abrasi telah mampu mengikis pantai pada areal kebun kelapa sekitar 3 m per tahun. 4. Sampai saat ini belum ada upaya-upaya teknis untuk mencegah kerusakan kawasan pantai. 5. Kerusakan kawasan pantai Pulau Miangas dapat dicegah dengan membangun struktur pengaman pantai, seperti detached breakwater, revertment dan tembok laut, yang dikombinasikan dengan penanaman pohon bakau (mangrove). Saran Untuk mencegah kerusakan kawasan pantai Pulau Miangas disarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Terapkan pencegahan secara terpadu antara struktural dan vegetatif. 2. Gunakan data gelombang ekstrim, periode ulang 25 tahun, dalam perancangan struktur detached breakwater, revertment dan tembok laut. 3. Gunakan batu-batu besar yang berasal dari luar Pulau Miangas ketika membuat struktural pengaman pantai. 4. Libatkan masyarakat penghuni Pulau Miangas dalam membangun struktur dan vegetasi pengaman pantai.
DAFTAR PUSTAKA Bambang, Triatmojo. eds (1999). Teknik Pantai, Edisi Kedua. Yogyakarta: Beta Offset. Ditjen Sumber Daya Air. eds 2005. Draft Final Report: SID Bangunan Pengaman Pantai Pulau
Miangas. Satker Sementara Irigasi Sangihe Talaud dan Pulau Kecil Sulawesi Utara. Figlus, Jens., Kobayashi, Nobuhisa., Gralher, Christine, and Iranzo, Vicente. eds 2010. Wave Overtoping and Over Wash of Dunes. Journal of Waterway, Port, and Ocean Engineering. Volume 136, Issue 5. ISSN – 0733 – 950X/eISSN – 1943 – 5460. American Society of Civil Engineering. http://www.google.co.id. Hang Tuah, S. eds 2003. Mekanisme Abrasi dan Sedimentasi di Pantai. Bandung: Program Studi Teknik Kelautan ITB. Hang Tuah, S. eds 2003. Teori Gelombang. Bandung: Program Studi Teknik Kelautan ITB. Hang Tuah, S. eds 2003. Sistem Proteksi Erosi Pantai. Bandung: Program Studi Teknik Kelautan ITB. Kim, Kyuhan., Seo, Henijung, and Kobayashi, Nobuhisa, eds. 2010. Field Assesment of Sea Water Exchange Breakwater. Journal of Waterway, Port, and Ocean Engineering. Volume 136, Issue 5. ISSN – 0733 – 950X/eISSN – 1943 – 5460. American Society of Civil Engineering. http://www.google.co.id. R. Bakhtyar, A. Brovelli, D.A. Barry, and L. Li. eds 2010. Wave-Induced Water Table Fluctuation, Sediment Transport and Beach Profile Change: Modeling and Comparation with Large-Scale Laboratory Expriments. Coastal Engineering Journal. ISSN: 0378 – 3839. Imprint: Elsevier. http://www.google.co.id. Syamsudin. eds 2001. Pengamanan Pantai dengan Cara Pengisian Pasir. Denpasar, Bali: Workshop on Integrated Bali Beach Conservation Program. Suastika, I Ketut, and J.A. Battjes, eds 2009. A Model for Blocking of Periodic Waves. Coastal Engineering Journal. Vol 3 pp 153 – 162. http://www.google.co.id. http://its.ac.id/cgibin/htsearch. Tim Survai. eds 2006. Laporan Survei: Kajian Pembangunan Prasarana dan Sarana PU Perkim Kawasan Pulau-Pulau Kecil. Pulau Miangas Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud Propinsi Sulawesi Utara. Satker Puslitbang Permukiman. Bandung: April 2006. US Army Corps of Engineers. eds (1984). Shore Protection Manual, Volume-1. Washington D.C: Government Printing Office. US Army Corps of Engineers. eds 1992. Enggineering Manual: Coastal Groins and Nearshore Breakwater. Washington D.C: Government Printing Office.
66
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Agustus 2010: 67-77
ANALISIS SOSIAL-EKONOMI PENGHUNI PERUMAHAN SETIABUDHI REGENCY, GRAHA PUSPA, TRINITI Iskandar Muda Purwaamijaya Jurusan Pendidikan Teknik Sipil-Universitas Pendidikan Indonesia Jl. Dr. Setiabudhi 207, Bandung 40154 Email:
[email protected] Diterima: 11 September 2009; Disetujui: 22 Juni 2010
ABSTRAK Pembangunan perumahan di kawasan pinggiran metropolitan semakin meningkat. Hal ini terjadi karena kondisi alam yang masih bersih dan faktor ekologis yang nyaman. Kawasan yang seharusnya digunakan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH), sekarang beralih fungsi menjadi perumahan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya perkembangan sosial-ekonomi. Bukan hanya lahan hijau saja yang telah beralih fungsi, tetapi mobilitas penduduk di sekitar kawasan tersebut meningkat pula. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Bandung yang akan berdampak pada penurunan kemampuan pemulihan pencemaran udara dan penurunan kualitas lingkungan Kota Bandung. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kondisi sosial-ekonomi penghuni perumahan Setiabudhi Regency, Graha Puspa dan Triniti terkait dengan pembangunan perumahan berwawasan lingkungan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kuantitatif klasifikasi, yaitu penelitian yang didasarkan atas data deskripsi suatu status, keadaan, sikap, hubungan atau suatu sistem pemikiran yang menjadi objek penelitian. Metode deskriptif penelitian adalah studi kasus, yaitu penelitian yang tidak ditandai oleh penelitian pada satu unit atau kasus saja tetapi lebih mendetail atau mendalam. Hasil pe nelitian menunjukkan bahwa walaupun lebih dari setengah penghuni perumahan berpendidikan dan berkecukupan secara finansial tetapi tidak memiliki wawasan cukup tentang pembangunan perumahan berwawasan lingkungan. Sebagian besar penghuni perumahan tinggal di perumahan karena alasan fisik lingkungan yang nyaman dan infrastruktur sesuai harapan saja tetapi tidak mengetahui dampak negatifnya terhadap lingkungan. Kata Kunci: Perumahan, kawasan pinggiran metropolitan, Ruang Terbuka Hijau (RTH), sosial-ekonomi, mobilitas penduduk
ABSTRACT Housing development in sub-urban area of the metropolitan is increasing. It happens because of the fresh nature and comfortability of ecological factors in that area. The area which should be used for green open spaces has been functioned as a housing area. This is related with the increase of social-economic development. Not only has the green area changed, but also the citizen’s mobility in this area increased. As a result, the green open space in Bandung is decreasing. It will affect to the decrease of recovery air polution ability and environmental quality in Bandung. The purpose of the research is to know the social-economic condition of the owners of Setiabudhi Regency, Graha Puspa, Trinity linked to housing development which environmental insight. The research method used in this study is quantitative descriptive classification. This method is based on descriptive data of status, condition, behavior relation of the object being researched. This descriptive research is a case study which is marked by not only one unit or case, but also in detail and in depth. The result of the study showed that more than half of the owners are educated and have a good financial resource but not have enough knowledge about the housing development with an awareness of the environment. The majority of owners live in residential areas because of the comfortable physical environment and the infrastructures which suit their hope, but do not know the negative impact of the environment. Keywords: Housing, sub-urban area, green open spaces, social-economic, citizen’s mobility
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan teknologi yang semakin pesat sangat memicu perkembangannya suatu kota.
67
Perkembangan dan kemajuan suatu kota tidak terlepas dari aspek pembentuk kota. Aspek pembentuk tersebut meliputi: sosial budaya, ekonomi, pemukiman, kependudukan, sarana dan prasarana serta transportasi. Semakin banyaknya
Analisis Sosial-Ekonomi… (Iskandar Muda Purwaamijaya)
jumlah penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah yang tidak disertai dengan penambahan fasilitas yang memadai akan menimbulkan masalah baru. Semakin banyak pembangunan perumahan di pusat kota akan semakin mempersempit lahan di pusat kota. Semakin sempit lahan di pusat kota akan semakin menimbulkan banyaknya pembangunan perumahan baru di pinggiran kota. Hal ini merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari, karena rumah merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Suatu lokasi perumahan dapat dikatakan baik apabila mempunyai aksesibilitas yang baik dan mudah serta aman untuk mencapai tempat kerja (aktivitas). Pemilihan lokasi perumahan juga salah satu faktor yang harus mendapat perhatian khusus, karena kondisi lingkungan perumahan dalam struktur kota dapat mempengaruhi perkembangan kota tersebut. Kesadaran individu sebagai manusia yang tidak lepas dari kodratnya sebagai mahkluk sosial, merupakan hal yang harus diperhatikan baik oleh individu maupun oleh organisasi manusia itu sendiri. Meningkatnya sosial-ekonomi yang terjadi pada masyarakat sekarang, sangat pesat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya perumahan-perumahan yang semakin padat. Sebagai salah satu contoh adalah perumahan yang berada di Kabupaten Bandung Barat, yaitu perumahan Setiabudhi Regency, Graha Puspa, Triniti, yang memiliki kondisi ekologis yang nyaman karena berada pada ketinggian di atas 750 meter di atas permukaan air laut rata-rata. Perumahan Setiabudhi Regency, Graha Puspa dan Triniti menjadi objek perhatian karena secara faktual berada di Kawasan Bandung Utara yang merupakan kawasan resapan air dan berada pada zona buruk untuk perumahan yang memiliki topografi bukit dan gunung. Kawasan di Perumahan Setiabudhi Regency, Graha Puspa dan Triniti yang seharusnya digunakan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH), sekarang beralih fungsi menjadi perumahan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya perkembangan sosial-ekonomi. Bukan hanya lahan hijau saja yang telah beralih fungsi, tetapi mobilitas penduduk di sekitar kawasan tersebut meningkat pula. Perumusan Masalah Bagaimanakah kondisi sosial-ekonomi penghuni perumahan Setiabudhi Regency, Graha Puspa dan Triniti terkait dengan pembangunan perumahan berwawasan lingkungan ?
Tujuan Penelitian Tujuan penulisan ini adalah untuk mengevaluasi kondisi sosial-ekonomi penghuni perumahan Setiabudhi Regency, Graha Puspa dan Triniti terkait dengan pembangunan perumahan berwawasan lingkungan.
KAJIAN PUSTAKA Pengertian dan Ruang Lingkup Ekonomi Kependudukan (Amien, 1992: halaman 68) Ekonomi kependudukan pada dasarnya memiliki dua aspek pengertian. Pertama, ekonomi kependudukan adalah ilmu yang mengkaji tentang bagaimana dampak ekonomi yang ditimbulkan dari dinamika penduduk. Kedua, ekonomi kependudukan adalah ilmu yang menganalisis dinamika penduduk dengan menggunakan peralatan ekonomi. Pengertian dinamika penduduk sendiri mencakup perubahan jumlah, struktur dan persebaran penduduk yang diakibatkan oleh variabel fertilitas, mobilitas dan mortalitas. Pada pengertian di atas, ekonomi kependudukan mengkaji tentang posisi penduduk dalam pembangunan ekonomi, baik di tingkat mikro maupun di tingkat makro. Secara umum penduduk ditempatkan sebagai (a) input produksi, dalam konteks menyediakan tenaga kerja yang diperlukan dalam proses produksi, dan; (b) sebagai konsumen yang menggunakan berbagai sumber daya ekonomi. Posisi Penduduk dalam Teori Pertumbuhan Ekonomi (Amien, 1992: halaman 113) Analisis posisi penduduk dalam pembangunan ekonomi makin berkembang sejalan dengan munculnya teori pertumbuhan ekonomi. Dalam teori pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh berbagai ekonom selalu disinggung tentang posisi (jumlah) penduduk dalam pembangunan ekonomi. Sebab pertumbuhan ekonomi sendiri selalu terkait dengan jumlah penduduk. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Kata per kapita menunjukkan ada dua sisi yang perlu diperhatikan yaitu sisi output totalnya dan sisi jumlah penduduknya. Dengan demikian proses kenaikan output per kapita, tidak bisa tidak, harus dianalisis dengan jalan melihat fenomena yang terjadi dengan output total di satu pihak dan jumlah penduduk di pihak lain. Suatu teori pertumbuhan ekonomi yang lengkap haruslah dapat menjelaskan fenomena yang terjadi dengan GDP total dan fenomena yang terjadi dengan jumlah penduduk. Dengan kata lain, teori tersebut harus mencakup teori mengenai pertumbuhan GDP total dan teori mengenai pertumbuhan penduduk. Hanya apabila kedua aspek tersebut bisa dijelaskan, maka perkembangan output per kapita 68
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Agustus 2010: 67-77
bisa dijelaskan. Para ekonom yang mencetuskan teori pertumbuhan ekonomi selalu menempatkan faktor penduduk dalam analisis pertumbuhan ekonomi. Rona Wilayah untuk Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (Amien, 1992: halaman 9) Kajian rona wilayah adalah kajian untuk menemukan potensi dan masalah pembangunan wilayah serta jenis tipologis wilayah untuk menyusun skenario penataan wilayah dalam rangka mencapai sasaran pembangunan. Rona wilayah terdiri dari komponen fisik-kimia, biologis dan sosial. Komponen fisik-kimia terdiri dari iklim, fisiografis, hidrologis, ruang, lahan, tanah, kualitas udara dan kebisingan. Komponen biologis terdiri dari flora dan fauna. Komponen sosial terdiri dari demografis, ekonomis, budaya dan kesehatan masyarakat. Kajian rona wilayah dapat dikelompokkan berdasarkan pendekatan taksonomi wilayah atau mengikuti model perkembangan rona sosial, ekonomis, fisik (sumber daya alam dan lingkungan), struktur tata ruang dan alokasi pemanfaatan ruang serta kelembagaan. Pendekatan taksonomi wilayah dibagi menjadi 6 tipologis wilayah, yaitu: 1. Wilayah yang memiliki growth potentials (keunggulan sumber daya atau lokasi) yang besar, tetapi tingkat dan arah perkembangannya memiliki potensi untuk melampaui daya dukung wilayahnya. 2. Wilayah yang tingkat perkembangannya memadai karena ketersediaan sumber daya yang berskala ekonomis dan posisi geografis yang memiliki keunggulan lokasi. 3. Wilayah yang belum berkembang tetapi memiliki growth potentials yang cukup besar. 4. Wilayah yang memiliki growth potentials yang relatif terbatas dan tidak memiliki skala ekonomi untuk diolah.
69
5. 6.
Wilayah yang telah memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya walaupun jumlahnya sangat terbatas (marginal). Wilayah yang memiliki sumber daya dalam skala marginal tetapi telah dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga mengancam kelestarian lingkungan.
METODOLOGI Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kuantitatif klasifikasi, yaitu penelitian yang didasarkan atas data deskripsi suatu status, keadaan, sikap, hubungan atau suatu sistem pemikiran yang menjadi objek penelitian. Metode ini dilakukan untuk mengetahui kondisi di lapangan secara faktual kuantitatif untuk dikelompokkan berdasarkan kriteria tertentu. Data yang dikumpulkan, disusun, dianalisis dan diinterpretasikan bergantung pada teknik penelitian yang digunakan. Metode deskriptif penelitian ini adalah studi kasus, yaitu penelitian yang ditandai oleh penelitian pada satu unit atau kasus saja tetapi lebih mendetail atau mendalam. Unit objek penelitian dapat berbentuk suatu kelompok orang atau masyarakat. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di kompleks perumahan Setiabudhi Regency, Graha Puspa, dan Triniti. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan April 2009. Jenis dan Sumber Data Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bandung Barat, kecamatan Cigugur Girang, Parongpong dan Lembang, yang melibatkan 3 perumahan yaitu Setiabudhi Regency, Graha Puspa dan Triniti, dengan 164 responden yang dilakukan pada bulan April 2009 melalui pengumpulan data primer dari lapangan (angket). Data primer diperoleh dari hasil angket yang disebar pada 3 perumahan tersebut.
Analisis Sosial-Ekonomi… (Iskandar Muda Purwaamijaya)
LEGENDA JALAN
LEGENDA KAFLING JALANKOMERSIL AREA KAFLING BATAS DESA AREA KOMERSIL DANAU BATAS DESA DAERAH HIJAU DANAU SUNGAI DAERAH HIJAU
SETIABUDI REGENCY RENCANA TAPAK SUNGAI
SKALA
1 : 1000
RENCANA TAPAK SETIABUDI REGENCY SKALA
1 : 1000
Gambar 1 Peta Lokasi Perumahan Setiabudhi Regency (Digitasi Peta Developer Setiabudhi Regency) LEGENDA JALAN LEGENDA JALAN KAFLING
N
P ENGH I JAUAN
KAFLING
N
UA
P ENGH I JAUAN
AREA KOMERSIL
GH
GH
IJA
IJA
UA
AREA KOMERSIL
PEN
PEN
BATAS DESA DESA BATAS TAMAN AIR
TAMAN AIR TA
M
A
N
DAERAH HIJAU
TAM
AN
TA
M
A
N
TA M
AN
DAERAH HIJAU
KE CIS AR LE N
N UA
RU
NG
G
SA
HI
BA
CI
M
JA
KE
TAMAN
UA
KE LE
N UA HI
TAMAN
G
NG
N
PE
BA
PENGHIJAUAN
M
JA
KE
TAMAN
PE
A
AN
TAMAN
TAMAN
PENGHIJAUAN
TAMAN
PENGHIJAUAN
TAMAN
PE
N
G
H
IJ
AU
PENGHIJAUAN
TAMAN
TAMAN
PE N
GH
IJ A
UA
N
Danau
AREA KO MERS IL
P E N G H I J A U A N
AN
TAMAN
TAMAN
TAMAN
PENGHIJAUAN
H OT EL
S P O R T CENTRE
AREA KO MERS IL
IJ
AU
PENGHIJAUAN TAMAN
PE
N
G
H
TAMAN
RENCANA TAPAK GRAHA PUSPA SKALA
H OT EL
PEN
TAMAN
S P O R T CENTRE
GH
IJ A
UA
1 : 1000
N
Gambar 2 Peta Lokasi Perumahan Graha Puspa (Digitasi Peta Developer Graha Puspa)
AREA KO MERS IL
Danau
AREA KO MERS IL
P E N G H I J A U A N TAMAN
TAMAN
70
TAMAN
RENCANA TAPAK GRAHA PUSPA SKALA
1 : 1000
RR 11 285
RR 9 375
RR 9A 345
RR 10 290
RR 8A 290 A ARE
RR
RR 1 288
RR 2 316
5
6 RR 0 36
D 21 645 D 19 477
300
A I 49 359
I 46 342
D 15 1.336
I 42 83 1
I 47 532
I 45 600
D 21 645 D 19 477
D 17 598
D 11 1.0 A 46
I 40 81 6
D 11 83 0
I 38 87 7
D 9 77 9
736
I 28 652
528
M 17 1.06 0
I 36 847 I 34 I 32 M5 1.05 5
JL
M 19 1.11 2
G IN R
D 14 1000
10
10
45
JL DAHL IA
D 7 77 0
F
TAMAN
I 26 685
EY
L AL
M 21 1.13 0
689 736
I 30
528
G6 1048
TAMAN
M 37 596
G9 851
G8
M 35 700
SP
RI
G7 746
JL
NG
F
10 45
10
EY
G 10 742
LL VA
G 12 771
G6 1048
G 11 791
C
H7 646
I 16 596
I 21 967
CH 5 310
M 27 861
636
G6 1048
H9
817
M 25 893
A 26 957
M 33 743
G9 851
G8
G7 746
G 10 742
I 12 516
G 17 953
H 15 746
G 18 919
G 21 637
H2
G 20 500
L 1 82 1A 1
A1
KB 5 225 KB 8 225
H 17 729
G 19 919
H 19 685
I8 629
G 21 637
H 19 685
H 21 810
G 22 500
C
H 21 810
I 11 757
I6 620
H6 575
A3 700
G 24 503
G 24 503
I2 581
H8 522
JL SPRING
EA
A6 641
G 26 I9 400795
A5 700
JL ASALL
A2 657
EY
G 26 400
Y VALLE
I7 939
A 23 1.305
A 63 8 0
I5 89 9
0
I3 1.0 00
A 11 85 0
A 67 12A 8
I3 1.00
A 67 12A 8
A 11 85 0
A 70 12 2
A 70 12 2
I5 89 9
A 63 10 0
A9 83 1
TAMAN
A 63 8 0
A 63 10 0
A 9 83 1
TAMAN
TAMAN
A7 0 1.10
A 23 1.305
TAMAN
A7 1.100
I7 939
NG VALL
A6 641
I9 795
JL SPRI
A5 700
LEA
A 14 1.226
A 2A 25 1.075 657
229
199
337
341
319
328
295
243
A 21 973
I2 581
H8 522
I 15 758
C
I8 629
H2 588
G 20 500
I 17 885
G 22 500
A1 935
H 575
K9
K7
A 21 K8 973
K6
K5
K3
K2
K1
JL ASAL
I 11 757
I6 620
GAN LAPAN TENIS 6
L 11 82 A 1
A3 700
KB 3 243
KB 3A 355
A 27 1.028
I 15 758
KB 1 240
KB 6 225 KB 7 225
L 17 72 1.1 L 19 1.220
A 14 1.226
A 25 1.075
L 15 8 99
229
199
K1 K2
KB 3A 355
A 27 1.028
KB 3 243
KB 2 240
N LAPANGA TENIS
A 16 896 935
TAMAN
I 17 885
L 11 892
CH 10 588 299
G 16 709
H 11A 785
H3 494
H 17 729
L 9A 514
L1 735
A 18 806
A 31 547
JB 1 225
JB 2 225
KB 10 225
KB 9 225
JB 3A 225
A 29 670
CH 12 310
CH 11 310
CH 1 240
L3 420
G 19 919
G 11A 780
G 15 736
I 10 572
G 14 715
H 11 673
H1 808
I 19 908
G 18 919
H5 G22417 221 953
I 5A
G 12 771
G 11 791
C
H7 646
I 16 596
L 3A 425
A 20 806
L 11 892
TAMAN
A 16 896
KB 1 240
KB 7 225
KB 6 225
KB 2 240
KB 5 225 KB 8 225
JB 3 225
KB 12 225 KB 11 225
A 33 512
L9 515
H 15 240 746
CH 3 CH 2
I 21G 16 967 709
H3 494
CLUB HOUSE
I 10 572
L 7A 381
KB 14 225
CH 10 299
JB 6 225
JB 5 225
A 35 514
L 5A 435 L 5 430
L 9A 514
L1 735
A 29 670
JB 2 225
KB 9 225
L7 416
310 H 11A240 785
CH 5
636
G6 1048
H9
G 11A 780
817
G 15 736
G 14 715
H 11 673
DANAU
H1 808
I 19 908
A 22
KB 17 225 KB 16 225
KB 15 225
CH 12 310
CH 11 310
JB 7 225
JB 8 225
A 37 515
CH 1953 240
I 5A H5 224 221
I 12 516
M 29 1.190
M 31 958
A 24 1.105
A 39 539
JB 9 225
CH 3 CH 2 240 240
JB 12 225
L9 515
JB 10 225
KB 18 225 KB 19 225
JB 11 225
J1 377
L7 416
L3 420
A 18 806
A 31 547
AREA KOMERSIL
JB 3A JB 1 225 225 JB 3 225
KB 12 225
SUNGAI L 19 1.220
J5 386
J3 368
CLUB HOUSE J2 276
L 7A 381
L 3A 425
A 33 512
A 20 806
JB 6 225
JB 5 225
A 35 514
L 5A 435 L 5 430
A 22 953
A 37 515
JB 8 225 JB 7 225
KB 14 225
L 17 72 1.1
A 28A 500
A 28 298
J6 236
J7 364
DANAU
A 39 539
JB 9 225 JB 10 225
M 29 1.190
M 31 958
A 24 1.105
JB 12 225 JB 11 225
KB 17 225
HIJAU DAERAH SUNGAI L 15 998
M 27 861
J 17 J 15 J 11A J 11 J 9 206 221 223 224 226
J 16 J 14 J 12 J 277 226 10 J 8 246 244 242
A 30 589
VM 3 800
M1 701
A 26 957
M 33 743
A 30A 541
SP
M 25 893
I 30
M 15 1.07 3
M7 1.09 2
A 32 1.121
I 32
M 11A
M9 668
TAMAN
A 34 700
N2 N2 793 793
689
C1 663
M 11 600
I 26 N 6856796
TAMAN
I 34
N8 620
S1 253
M 21 1.130
A 28 298
M 35 700
A 28A 500
M 37 596
847
D 7 77 0
JL DAH LIA
C7 600
I 49 820
D 14 1000
I 44 70 4
A IC ARE
PICN
RR 8A 290
RR 9 375
RR 9A 345
RR 10 290
RR 11 285
I 51 561
RR 8 328
RR 12
385
RR 7
I 53 357
I 52 539
CAMPING AREA
D 17 598 C5 600
C3 548
I 28 652
S3 249
M3 800
M1 701
A 30 589
I 36
PICNIC
D 11 83 0 D 9 77 9
S2 177
S5 242
M 19 1.112
A 30A 541
C
300
RR 8 328
RR 12
RR 7 385
TAMAN
D 11 1. A 04 6
C 3A 488
C
6
0 36
R
D 15 1.336
I 40 81 6
S6 230
S7 235
M 17 1.060
M5 1.055
A 32 1.121
J2 276
IA
R
I 44 70 4 I 42 83 1
I 38 87 7
S 17 S 13 194 216 S 11 S 9 222 229
M7 1.092
M 15 1.073
S 16 S 14 232 S 12 S 10 242 238 233 S 8 231
I 45 600
I 47 532
A
M9 668
M 11
N6 679
A 34 700
N2 N2 793 793
J6 236
F2
KB 18 225
A 11 79 A 6
I1 2.1 83
A 17 52 2
A 15 85 0
A 17 52 2
A 15 85 0
3
I1 2.18
A 17 52 A 2
A 11 79 A 6
A 17 52 A 2
RENCANA TAPAK TRINITI DAERAH KOMERSIL
TAPAK TRINITI RENCANA SKALA 1 : 1000 SKALA 1 : 1000
DAERAH KOMERSIL
Rata – rata dari jumlah penduduk yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dengan jumlah persentase sebesar 44,5%, sedangkan yang lainnya ada yang bekerja sebagai wiraswasta dengan jumlah persentase 26,8 %, sebagai pegawai swasta 24,4 % dan sisanya sebagai dosen dengan jumlah persentase sebesar 3,7 %.
Grafik 2 Tingkat pendidikan penghuni perumahan (Hasil Analisis)
Grafik 3 Pekerjaan penghuni perumahan (Hasil Analisis)
50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00%
YA N
KB 19 225
319
328
295
243
Dari 3 perumahan yang disurvei ternyata jumlah penduduknya sebanyak 687 orang termasuk anak– anak dan orang dewasa. Laki–laki dengan jumlah persentase 52,40 %, sedangkan perempuannya menduduki tingkat persentase sebesar 47,60 %.
45.00% 40.00% 35.00% 30.00% 25.00% 20.00% 15.00% 10.00% 5.00% 0.00%
Grafik 1 Informasi jenis kelamin penghuni perumahan (Hasil Analisis)
DA HL
5
I 46 342
I 49 820
C1 663
M 11 600
C7 600
N8 620
S1 253
J 16 J 14 J 12 J 277 226 10 J 8 246 244 242
J1 377 J3 368 J5 386
K7
K6
PEREMPUAN
JL
R
I 51 561 A I 49 359
S3 249
C3 548
C5 600
S5 242
S2 177
J7 364
K3
LAKI LAKI
KAFLING KB 11 225
K8
Informasi Responden 1. Jenis Kelamin
60 2
D A H LIA
R
I 53 357
I 52 539
S6 230
S7 235
C 3A 488
CAMPING AREA
TAMAN
S 17 S 13 194 216 S 11 S 9 222 229
RR 1 288
RR 2 316
S 16 232
S 14 S 12 S 10 242 238 233 S 8 231
J 17 J 15 J 11A 206 221 223 J 11 J 9 224 226
KB 15 225
K5
HASIL DAN PEMBAHASAN
U DANA
5 G
HIJAU DAERAH DANAU U
Tingkat pendidikan yang banyak ditempuh oleh penduduk di tempat lokasi adalah Strata 1 dengan persentase sebesar 41,46 %, kemudian disusul oleh SMA dengan jumlah persentase sebesar 18,29 %, sedangkan penduduk yang menempuh pendidikan dengan tingkat lain hanya beberapa persen saja, Strata 2 hanya mendapat nilai 16,46 %, D3 9,15 %, S3 4,88 %. Tetapi dari jumlah keseluruhan penduduk ada juga yang tidak menempuh pendidikan yaitu sebanyak 5,49 %. 100% 80% 60% 40% 20% 0%
DANAU
RD EN A
3 G 55 2
F8
DANAU DANAU ~ 273
F6 57 4
JALAN KOMERSIL AREA 56 5 JL
KAFLING LEGENDA 1 G
FL
AM
12 D
BATAS DESA ~ 275
5 D
56 4 65 8
KB 16 225
KB 10 225
71
~ 251 K 10
~ 240 K 12
~ 328 K 14
60 1
JALAN ICA
10 D
D 70 3 5
D 96 1 8
5
JL
66 4 ER
JL
LEGENDA F8
BO
57 9
E 37 1 7,5 E 37 1A 0
E
60 2
53 3
I 18 85 2 I 25 55 7
YA N
GA
I 23 61 4 CH 8 24 0 CH 7 24 0 ~ 271
F2
7 E
3
G 55 2
F6
57 4
E G 3 1. 095 5
56 5 RD EN A U
GA JL
1 G
AM
12 D
FL JL
66 4
32 1
BATAS DESA ~ 282
DANA
~ 236 K 11
~ 271 K 17
12 ~ 240
K 15
10 ~ 251
~ 276 K 19
14 ~ 328
K 16
11 ~ 236
K 18
~ 272
CH 51 6 0
~ 298
K 16 ~ 273
60 2
RR
3 26 0
60 2
I 27 52 4
K 19 ~ 276
K 21
CH 24 9 0
K 18 ~ 272
K 22
K 17 ~ 271
K 20
K 15 ~ 275
32 1
56 4 65 8
I 20 70 7
RR
I 20 70 7 I 29 53 5
K 20 ~ 282
5 D
I 22 54 3 I 31 57 1
CH 51 6 0 K 21 ~ 298
E7
I 24 73 5
K 22 ~ 271
E5
DANA
I 23 61 4 CH 24 9 0
CH 8 24 0 CH 7 24 0
53 3
I 18 85 2 I 25 55 7 I 27 52 4
60 1
10
D 96 1 8
ER ICA JL
E 1. 3 09 5
3 26 0
BO
57 9
I 24 73 5
D
D 70 3 5 I 22 54 3 I 31 57 1
I 29 53 5
E 37 1 7,5 E 37 1A 0 DANAU
JL
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Agustus 2010: 67-77
Gambar 3 Peta Lokasi Perumahan Triniti (Digitasi Peta Developer Triniti)
3. Pekerjaan
2. Tingkat pendidikan
Analisis Sosial-Ekonomi… (Iskandar Muda Purwaamijaya)
4. Kendaraan yang dimiliki 100.00% 80.00%
60.00% 40.00% 20.00% 0.00% Beroda dua
Beroda lebih dari dua
Grafik 4 Kendaraan yang dimiliki penghuni perumahan (Hasil Analisis)
Dari 164 responden kebanyakan dari mereka sudah mempunyai kendaraan pribadi, baik kendaraan roda 2 maupun kendaraan roda empat. Kendaraan yang beroda 2 hanya mendapatkan nilai sebesar 6,2 % dan responden yang memiliki kendaraan roda empat sebanyak 93,8 %. Dari jumlah persentase tersebut hanya beberapa responden saja yang tidak memiliki kendaraan pribadi. 5. Alat komunikasi
Rata–rata pendapatan responden yang berada di 3 perumahan, Setiabudhi Regency, Triniti dan Graha Puspa mempunyai pendapatan/bulan rata –rata di atas Rp. 2.000.000,00 dengan jumlah persentase sebesar 84,14 %, sedangkan 15,86 % berpenghasilan dibawah Rp.2.000.000,00. 7. Pengeluaran/bulan Rata–rata pengeluaran dari responden adalah kurang dari Rp. 2.000.000,00 dengan jumlah persentase sebesar 98,17 % sedangkan yang pengeluaran/bulannya yang lebih dari Rp. 2.000.000,00 hanya mendapatkan nilai sebesar 1,8 %. 8. Pengeluaran/tahun
60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00%
80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00%
0.00% < 2 Juta
> 2 Juta
Grafik 7 Pengeluaran/tahun (Hasil Analisis)
TELEPON GENGGAM
TELEPON RUMAH
Grafik 5 Alat komunikasi yang dimiliki penghuni perumahan (Hasil Analisis)
Tidak jauh berbeda dengan alat komunikasi yang dimiliki. Kebanyakan responden sudah memiliki alat komunikasi baik telepon genggam maupun pesawat telepon rumah. Hal tersebut membuktikan bahwa responden sudah dapat menguasai teknologi komunikasi. Jumlah responden yang memiliki handphone mendapat nilai sebesar 73,2 %, sedangkan responden yang memiliki pesawat telepon rumah hanya mendapat nilai sebesar 26,8 %.
Begitu pula dengan pengeluaran responden yang mempunyai pengeluaran/tahun di atas Rp.2.000.000,00 hanya mendapatkan nilai persentase sebesar 40,24 %, sedangkan lainnya mempunyai pengeluaran/tahun kurang dari Rp. 2.000.000,00 dengan jumlah persentase sebesar 59,76 %. Alasan Tinggal di Lokasi Perumahan 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
6. Pendapatan/bulan
100.00% 80.00% 60.00% 40.00% 20.00% 0.00%
Grafik 8 Alasan tinggal di lokasi perumahan (Hasil Analisis)
DIBAWAH 2 JUTA DIATAS 2 JUTA
Grafik 6 Pendapatan/ bulan (Hasil Analisis)
Alasan responden tinggal di tempat yang mereka tempati sekarang adalah berbeda–beda: ada yang karena kelayakan tanahnya, yaitu dengan jumlah persentase sebesar 77 %; ada juga yang tinggal dengan alasan karena lokasi perumahan strategis atau dekat dengan lokasi bekerja dan sekolah, yaitu sebesar 25 %, ada juga yang mempunyai alasan 72
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Agustus 2010: 67-77
karena panorama alam yang indah, yaitu sebesar 64 %. Responden yang lain mempunyai alasan karena akses jalan yang baik dengan jumlah persentase sebesar 21 %, alasan lahan perumahan yang memadai sebesar 29 %, harga terjangkau 52 %, fasilitas memadai 13 %, drainase yang baik 35 %; ada juga responden yang mengatakan bahwa pengelolaan limbah yang baik yaitu dengan jumlah persentase sebesar 38 %.
80% 70% 60% 50%
40% 30%
20% 10% 0%
Kondisi Infrastruktur Perumahan
pengelolaan pengelolaan pengelolaan pengelolaan airkotor airkotor airkotor airkotor baik sedang sangat baik buruk
Grafik 11 Pendapat penghuni perumahan tentang pengelolaan air kotor (Hasil Analisis)
35% 30% 25% 20% 15%
10% 5% 0% kondisi jalan baik
kondisi jalan buruk
kondisi jalan sangat baik
kondisi jalan sangat buruk
Grafik 9 Pendapat penghuni perumahan tentang kondisi jalan (Hasil Analisis)
Keadaan infrastruktur perumahan responden seperti lebar jalan, drainase, pengelolaan air kotor, pengelolaan limbah tinja, pengelolaan sampah, listrik dan air bersih rata–rata baik. Pendapat responden tentang jenis jalan dan jenis perkerasan yang paling banyak adalah baik dengan jumlah persentase sebesar 35 %. Ada juga responden yang mengatakan buruk dengan jumlah 35 % sedangkan yang lainnya berpendapat sangat baik dengan jumlah 14 %; ada juga yang berpendapat sangat buruk dengan jumlah 16 %.
Pendapat responden tentang pengelolaan air kotor pun berbeda–beda: ada yang berpendapat bahwa pengelolaan air kotor di tempat mereka adalah baik dengan jumlah persentase sebesar 73 %; ada juga yang berpendapat sedang dengan jumlah 18 %, berpendapat sangat baik 1,8 % dan sisanya berpendapat buruk dengan jumlah persentase sebesar 7,2 %. 60%
50%
40%
30%
20%
10%
0% Pengelolaan limbah tinja sangat baik
Pengelolaan limbah tinja baik
Pengelolaan limbah tinja sedang
Pengelolaan limbah tinja buruk
Pengelolaan limbah tinja sangat buruk
Grafik 12 Pendapat penghuni perumahan tentang pengelolaan tinja (Hasil Analisis)
Tentang pengelolaan limbah tinja pun berbeda– beda. Mereka kebanyakan berpendapat baik dengan jumlah persentase sebesar 51 %, berpendapat sangat baik 31 %, berpendapat sedang 11 % dan sisanya 7 % berpendapat buruk.
50% 40% 30% 20% 10% 0% drainase drainase drainase drainase sedang baik buruk sangat buruk
Lahan dan Perumahan 1. Status kepemilikan 90.00% 80.00% 70.00%
Grafik 10 Pendapat penghuni perumahan tentang drainase (Hasil Analisis)
Berbeda dengan pendapat responden tentang drainase; kebanyakan mengatakan bahwa sistem drainase yang berada di lingkungan mereka adalah sedang, yaitu dengan jumlah persentase sebesar 46 %; mereka yang mengatakan baik sebesar 38 %, merasa sangat buruk 6,7 % dan buruk 9,3 %.
73
60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% Milik Sendiri
Keluarga
Mengontrak
Dinas
Grafik 13 Status kepemilikan rumah (Hasil Analisis)
Analisis Sosial-Ekonomi… (Iskandar Muda Purwaamijaya)
Status tempat tinggal yang ditempati responden kebanyakan adalah milik sendiri dengan jumlah persentase sebesar 85,37 %, sedangkan yang lainnya hanya beberapa persen saja. Milik keluarga hanya 9,15 %, kontrak 3,66 % dan ada juga yang merupakan rumah dinas dengan jumlah persentase sebesar 1,82 %. 2.
Perolehan Hak Tinggal
Begitu juga dengan informasi tentang kesesuaian lahan untuk perumahan mereka pun tidak mengetahuinya dengan jumlah 81 %, yang tahu hanyalah sebesar 19 % saja. 5. Informasi Tutupan Lantai Rumah 90.00% 80.00% 70.00%
90.00%
60.00%
80.00%
50.00%
70.00%
40.00%
60.00%
30.00%
50.00%
20.00%
40.00%
10.00%
30.00%
0.00% Tahu
20.00% 10.00%
Grafik 17 Informasi luas tutupan lantai (Hasil Analisis)
0.00% kredit
tunai
Grafik 14 Perolehan hak tinggal (Hasil Analisis)
Perolehan hak rumah yang ditempuh oleh responden adalah dengan cara membayar tunai dengan jumlah persentase sebesar 84,76 % sedangkan responden yang menempuh dengan jalur kredit hanya mendapat nilai sebesar 15,24 %. 3.
Tidak Tahu
Informasi Lokasi Perumahan
100% 80% 60% 40% 20%
Tidak jauh berbeda dengan informasi tentang perbandingan luas tutupan lantai rumah dengan lahan. Mereka yang mengetahui hanya 12 % kurang dari bila dibandingkan dengan mereka yang tidak mengetahuinya yaitu sebesar 88 %. 6. Informasi Ruang Terbuka Hijau
70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
0%
tahu tahu
tidak tahu
tidak tahu
Grafik 15 Informasi lokasi perumahan (Hasil Analisis)
Kebanyakan responden tidak mengetahui tentang kemampuan lahan perumahan yang mereka tempati. Responden yang tidak mengetahui informasi tentang kemampuan lahan perumahan berjumlah 83 % sedangkan yang mengetahui tentang kemampuan lahan hanya 17 % saja.
Grafik 18 Informasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) (Hasil Analisis)
Informasi tentang ruang terbuka hijau pun kurang mereka ketahui dengan jumlah responden sebesar 65 %, sedangkan yang mengetahui tentang ruang terbuka hijau hanya 35 % saja. 7. Informasi tentang AMDAL
4. Informasi Kesesuaian Lahan 100% 80%
90.00% 80.00%
60%
70.00% 60.00%
40%
50.00% 40.00%
20%
30.00% 20.00%
0%
10.00% 0.00% Tidak Tahu
Tahu
Grafik 16 Informasi kesesuaian lahan (Hasil Analisis)
tahu
tidak tahu
Grafik 19 Informasi AMDAL (Hasil Analisis)
74
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Agustus 2010: 67-77
Informasi tentang analisis dampak lingkungan: responden yang mengetahui hanya 14 %, sedangkan responden yang tidak mengetahui sebesar 86 %.
Begitu juga dengan informasi tentang rumah berwawasan lingkungan: kebanyakan dari responden tidak mengetahui, yaitu sebesar 75 % dan yang mengetahui hanya 25 %.
8. Informasi tentang Bencana
11. Informasi tentang Rumah Tahan Gempa
90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% tahu
tidak tahu
Grafik 20 Informasi bencana (Hasil Analisis)
Informasi tentang bencana-bencana yang mungkin timbul: responden yang tidak mengetahui berjumlah 89 % dan yang mengetahui sebesar 11 %. 9. Informasi tentang Hubungan Lahan dengan Banjir
90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% tahu
Grafik 23 Informasi tentang rumah tahan gempa (Hasil Analisis)
Informasi tentang rumah tahan gempa hanya 13 % yang mengetahui, sedangkan sisanya sebesar 87 % tidak mengetahui. 12. Informasi tentang Bahan Bangunan
100%
100%
80%
80%
60%
60%
40%
40%
20%
20%
0%
0% tahu
tidak tahu
tahu
tidak tahu
tidak tahu
Grafik 21 Informasi tentang hubungan lahan dengan banjir (Hasil Analisis)
Grafik 24 Informasi tentang bahan bangunan (Hasil Analisis)
Tidak jauh berbeda dengan informasi tentang hubungan lahan dengan bencana banjir: mereka pun tidak mengetahuinya dengan jumlah persentase sebesar 83 % dan yang mengetahuinya hanya 17 %.
Informasi tentang bahan bangunan yang murah dan kuat pun responden kurang mengetahui dengan jumlah responden yang mengetahui 15 % saja, sedangkan mereka yang tidak mengetahuinya 85%.
10. Informasi tentang Rumah Berwawasan Lingkungan
13. Informasi tentang Flora dan Fauna
100%
80%
80%
60%
60%
40%
40%
20%
20% 0%
0% tahu
tidak tahu
Grafik 22 Informasi tentang rumah berwawasan lingkungan (Hasil Analisis)
75
tahu
tidak tahu
Grafik 25 Informasi tentang flora dan fauna (Hasil Analisis)
Analisis Sosial-Ekonomi… (Iskandar Muda Purwaamijaya)
Begitu juga dengan informasi tentang flora dan fauna lokal: kebanyakan dari mereka tidak mengetahuinya dengan jumlah responden sebesar 84%, sedangkan yang mengetahuinya hanya 16 %. Kepuasan dan Saran Responden
Setiabudhi Regenci
100
Trinity 50 Graha Puspa 0
1
2
3
4
5
Grafik 26 Kepuasan dan Saran Responden (Hasil Analisis) 1 = sangat puas, ingin menetap seterusnya 2 = puas, tetapi ingin ada perbaikan lingkungan perumahan 3 = cukup puas, tetapi ada pertimbangan mencari lokasi perumahan lain 4 = tidak puas, ingin pindah ke lokasi perumahan memungkinkan 5 = sangat tidak puas, ingin segera pindah ke lokasi lain
Kepuasan terhadap Lokasi Perumahan 80.00% 60.00% 40.00% 20.00%
0.00% puas puas dengan menetap perbaikan
cukup tidak puas puas
Grafik 27 Kepuasan terhadap lokasi perumahan (Hasil Analisis)
Setelah melakukan survei ternyata banyak responden yang merasa puas dengan keadaan lingkungan perumahan yang ditempatinya dengan jumlah persentase sebesar 73,78 %. Meskipun seperti itu, mereka menginginkan ada perbaikan lingkungan di daerah perumahan yang mereka tempati. Ada juga responden yang merasa puas dengan keadaan lingkungan perumahan yang mereka tempati, bahkan ingin menetap seterusnya dengan jumlah persentase 15,85 %. Ada juga yang merasa cukup puas, tetapi ada pertimbangan akan mencari lokasi perumahan lain dengan jumlah 6,09 % dan responden yang merasa tidak puas sebesar
4,28 %, karena kerusakan konstruksi jalan dan kemacetan lalu-lintas. Saran terhadap pemerintah daerah tentang penataan ruang Saran-saran yang diberikan responden untuk pemerintah daerah adalah keterbukaan informasi kegiatan pembangunan, perencanaan ruang, subsidi pembangunan perumahan untuk rakyat, izin-izin pembangunan perumahan, pengendalian pembangunan perumahan dan saran untuk insentif pembangunan vertikal/ rumah bertingkat. Responden yang memberikan saran tentang informasi kegiatan pembangunan supaya lebih terbuka lagi yaitu sebanyak 90,24 %, yang memberikan saran untuk perencanaan ruang sebanyak 90,24 %, saran subsidi pembangunan perumahan untuk rakyat 86,58 %, pengendalian pembangunan perumahan 89 % dan yang memberikan saran tentang insentif pembangunan vertikal atau tentang rumah bertingkat adalah sebanyak 81,09 %.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Walaupun lebih dari setengah penghuni perumahan Setiabudhi Regency, Graha Puspa dan Triniti adalah masyarakat berpendidikan dan berkecukupan secara finansial tetapi tidak memiliki wawasan cukup tentang pembangunan perumahan yang berwawasan lingkungan. 2. Sebagian besar penghuni perumahan Setiabudhi Regency, Graha Puspa dan Triniti tinggal di lokasi perumahan karena alasan kondisi fisik lingkungan yang nyaman dan infrastruktur yang sesuai harapan saja, tetapi tidak mengetahui dampak negatifnya terhadap lingkungan. Saran 1. Kegiatan penyuluhan dan pelatihan terpadu tentang pembangunan perumahan berwawasan lingkungan, selayaknya diupayakan oleh pemerintah kabupaten/ kota, perguruan tinggi dan LSM terhadap para penghuni perumahan Setiabudhi Regency, Graha Puspa dan Triniti untuk meningkatkan wawasan dan kepeduliannya terhadap perumahan berwawasan lingkungan. 2. Pemerintah kabupaten/kota selayaknya mempertimbangkan suatu peraturan dan perundangan tentang perlunya para pengembang mencantumkan status kelayakan lingkungan (ANDAL, RKL, RPL, UKL, UPL) dalam memasarkan perumahan dan permukimannya.
76
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Agustus 2010: 67-77
DAFTAR PUSTAKA Amien, M. 1992. Studi Tipologi Kabupaten. Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah. Ujung Pandang: Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. Barlowe, R. 1978. Land Resource Economics. New Jersey: Prentice-Hall Inc. Direktorat Jenderal Bina Marga. 1997. Manual Kapasitas Jalan. Jakarta. Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik: Konsep Sistem dan Permodelan untuk Industri dan Lingkungan. Bogor: Seameo Biotrop. Harsono, B. 2002. Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Jakarta: Penerbit Djambatan.
77
____________, 2003. Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Penerbit Djambatan. Keputusan Presiden nomor 26 tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional. Mertokusumo, S. 2003. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Tim Penyusun Agenda 21 Sektoral: 2001. Agenda Permukiman untuk Pengembangan Kualitas Hidup Berkelanjutan. Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup. http:en.wikipedia.org (accessed May 2010).
Penelitian Pengaruh Larutan … (Andriati Amir Husin)
PENELITIAN PENGARUH LARUTAN GARAM SULFAT TERHADAP KUALITAS BETON RINGAN Andriati Amir Husin Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan-Kab. Bandung 40393 Email:
[email protected] Diterima: 13 Januari 2010; Disetujui: 24 Juli 2010
ABSTRAK Beton ringan adalah beton yang memakai agregat ringan atau campuran agregat kasar ringan dan pasir sebagai pengganti agregat halus ringan dengan ketentuan tidak boleh melampaui berat isi maksimum beton 1.850 kg/m3. Dalam percobaan ini agregat yang digunakan berasal dari limbah industri yang berupa fly ash dan bottom ash serta limbah katalis dari proses Residium Catalytic Cracking (RCC). Komposisi campuran yang digunakan adalah satu bagian berat semen berbanding dua bagian berat agregat. Agregat yang digunakan merupakan agregat gabungan yaitu: 75 % fly ash dan 25 % pasir, 75 % pasir dan 25 % limbah katalis RCC dan 100 % bottom ash. Dari hasil percobaan ternyata fly ash, bottom ash dan limbah katalis RCC dapat berfungsi ganda yaitu dapat sebagai bahan pozolan buatan dan sebagai agregat ringan. Untuk komposisi campuran 1 bagian semen: 2 bagian agregat (75 % fly ash, 25 % pasir) dengan penambahan foam agent sebesar 0,8 %, dapat digunakan untuk paparan lingkungan sulfat berat dan sangat berat. Kata Kunci: Beton ringan, agregat ringan, garam sulfat, limbah industri, limbah katalis
ABSTRACT Lightweight concrete is concrete that use lightweight aggregate or mixture coarse aggregate and sand as light fine aggregate with unit weight of concrete maximum 1,850 kg/m3. The research employs aggregate of industry waste products, namely fly ash, bottom ash and RCC catalytic waste with the mix design in a ratio of 1:2 of cement to aggregate by weight. The aggregate used are 75 % fly ash and 25 % sand, 75 % sand and 25 % RCC catalytic waste and 100 % bottom ash. The experimental results demonstrates that fly ash, bottom ash and RCC have double functions - that are as artificial pozzoland material and as lightweight aggregate. The composition of 1 part of cement: 2 parts of aggregate (75 % fly ash, 25 % sand) with addition foam agent 0,8 %, satisfies the specified requirements for both heavy sulphate and very heavy sulphate areas. Keyword: Lightweight concrete, lightweight aggregate, sulphate salt, industry waste, catalytic waste
PENDAHULUAN Pembangunan nasional dewasa ini menganut paradigma baru selain bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga ditujukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Pembangunan jangka panjang Indonesia di masa mendatang masih akan difokuskan pada sektor industri dan pertanian. Kegiatan pembangunan selain menghasilkan berbagai produk dan jasa, juga akan menghasilkan limbah yang diantaranya adalah limbah dari kegiatan industri, antara lain bottom ash, fly ash dan limbah katalis dari proses Residium Catalytic Cracking (RCC). Proses pemanfaatan limbah dapat dilakukan dengan cara perolehan kembali (recovery), pemanfaatan kembali (reuse) dan daur ulang (recycle). Pemanfaatan ini akan mengurangi limbah yang dihasilkan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas dan juga akan mengoptimalkan penggunaan sumber daya alam.
Pada saat ini pabrik tekstil telah menggunakan batubara sebagai bahan bakar, dimana menurut perkiraan untuk setiap harinya dapat menghasilkan limbah yang berupa bottom ash ± 510 ton. Industri PLTU Suralaya per tahun dapat menghasilkan fly ash sebanyak 288.000 ton dan bottom ash sebanyak 547.500 ton sedangkan PLTU Paiton dapat menghasilkan limbah yang berupa fly ash sekitar 72.157 ton dan bottom ash sebanyak 18.039 ton per tahun. Sedangkan UP VI Pertamina Balongan Indramayu setiap harinya dapat menghasilkan limbah kira-kira 10 ton RCC (Amir, 2008). Sejak tahun 1996 Pusat Litbang Permukiman telah mengadakan penelitian mengenai pemanfaatan limbah batubara untuk komponen bangunan antara lain bata beton berlubang, bata beton pejal, genteng beton, paving block dan beton normal.
78
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 78-84
Tujuan dari penelitian ini adalah memanfaatkan limbah industri dan limbah katalis untuk beton ringan yang tahan terhadap sulfat.
TINJAUAN PUSTAKA Serangan Sulfat dan Akibat yang Ditimbulkan pada Beton Garam-garam sulfat yang umum terdapat secara alami dalam tanah merupakan garam-garam sulfat yang merugikan karena merupakan kontaminasi sulfat akibat adanya reaksi kimia yang ditimbulkan dengan semen atau beton. Garam-garam tersebut adalah Natrium sulfat dan Magnesium sulfat, yang banyak ditanah alkalis. Garam-garam tersebut mempunyai dampak yang lebih merugikan daripada kerugian yang ditimbulkan oleh gips (Kalsium sulfat), karena garam-garam tersebut tidak hanya lebih mudah larut, tetapi juga menghasilkan konsentrasi sulfat yang lebih besar dalam air tanah dan bereaksi dengan mineral semen, sehingga menyebabkan kerusakan total pada pasta semen (Masruri, 1993). Pengrusakan akibat senyawa sulfat pada semen dapat dituangkan mekanismenya sebagai berikut: Pada pengerasan semen portland akan terbentuk a. b.
2C2S + 4H CH = Ca(OH) 2 2C3S + 6H
Serangan sulfat dijembatani oleh pembebasan Ca(OH)2, maka untuk mengurangi terjadinya pengrusakan sulfat, dilakukan pencampuran semen portland biasa dengan bahan yang dapat mengikat kapur (fly ash atau tras) dan atau menggunakan semen yang berkadar C3 rendah (tipe II atau tipe V) (Anonim, 1989). Dalam penelitian ini, dicoba untuk menggunakan fly ash, bottom ash dan limbah katalis RCC seperti dimaksud di atas. Pengaruh Larutan Sulfat pada Semen Garam-garam sulfat dengan berbagai bases dapat menyerang semen yang telah mengeras sangat umum. Natrium, Kalium, Ammonium dan beberapa garam sulfat lainnya bereaksi dengan Kalsium hidroksida dalam semen yang mengeras membentuk Kalsium sulfat dan dengan Kalsium aluminat hidrat membentuk garam Kalsium sulfoaluminat yang tidak larut lebih banyak. Reaksi Natrium sulfat dapat dituliskan sebagai berikut: (1) Ca(OH)2 + Na2SO4 10H2O CaSO4 2H2O + NaOH + 8H2O
C3S2H3 + CH
(2) 4CaO Al2O3 19H2O +3 CaSO4 2H2O + 16H2O 3CaO.A12O33CaSO4 31H2O + Ca(OH)2
C3S2H3 + 3CH
Terjadinya reaksi (1) tergantung pada kondisi. Dalam air yang mengalir, dengan supply garam Natrium sulfat dan keluarnya Natrium hidroksida yang konstan, reaksi tersebut tidak pernah selesai atau sempurna. Natrium hidroksida mengumpul sampai akan dicapai suatu keseimbangan, tergantung pada konsentrasi Natrium sulfat.
Jadi bila semen mengeras, tiap molekul dikalsium silikat akan membebaskan 0,5 mol kapur dan tiap mol trikalsium silikat akan melepaskan 1,5 mol kapur. Jadi bila semen portland yang dipakai tinggi kadar C3 nya, kapur yang akan dibebaskan selama semen mengeras akan lebih besar, dibanding dengan semen yang kadar C2 nya tinggi. Terjadinya pembebasan kapur selama semen mengeras, maka pada pasta semen terbentuk saluran kapiler, dimana Ca(OH)2 akan mengalir keluar (bila ia dapat mengalir) atau pada saluran itu terisi kapur. Bila pasta terendam dalam larutan yang mengandung SO42- maka kapur tadi akan bersenyawa membentuk gips. CaSO4, terbentuknya Kalsium sulfat ini bila kemudian suasanya kering, gips akan membentuk kristalnya yang seperti jarum dan mengembang, mendesak sisi sekitarnya sehingga terjadi pengrusakan pada sisi sekitar itu dan dapat terlihat pasta atau adukan betonnya merapuh. Bila setelah terbentuk gips suasananya basah (lembab) maka gips akan bereaksi dengan C3A yang ada dalam semen (beton) membentuk garam calcium trisulfat (ettringite). C3A + 3CaSO4 2H2O + 26 H2O C3A 3CaSO4 32 H2O Ettringite dikenal dengan nama cement bacillus (kuman semen) akibat terbentuknya garam ini, 79
maka beton akan merapuh karena kristal ettringite membesar.
Kemudian dengan 5 % Na2SO4 hanya kira-kira sepertiga dari Sulfur trioksida yang ditimbun sebagai Kalsium sulfat apabila keseimbangan tercapai dan dengan larutan 2 % Na2SO4 hanya kira-kira seperlimanya. Dengan Kalsium sulfat hanya reaksi (2) dapat terjadi. Alkali sulfat tidak menyerang Kalsium silikat hidrat. Untuk beberapa tingkat reaksi cukup besar, karena lebih tidak larut daripada Kalsium sulfat dan akan dihasilkan Alkali silikat. Kalsium hidroksida dihasilkan dalam proses pengerasan tri dan di kalsium silikat bereaksi menurut persamaan (3). Kristal dari gypsum segera terbentuk dari tri kalsium silikat, tetapi dengan di kalsium silikat reaksi berlangsung lebih lambat, cocok dengan kecepatan yang sangat lambat pada senyawa splits dari Kalsium hidroksida dalam air. Magnesium sulfat mempunyai keseimbangan yang tercapai lebih jauh daripada sulfat lainnya dan menguraikan Kalsium silikat hidrat berlebih bila bereaksi dengan Aluminat dan Kalsium hidrat. Apabila tri atau
Penelitian Pengaruh Larutan … (Andriati Amir Husin)
dikalsium silikat berada dalam larutan Magnesium sulfat, pembentukan kristal gypsum terjadi sangat cepat. Kalsium silikat hidrat bereaksi umumnya sebagai berikut: (3) 3CaO2SiO2 aq + 3 MgSO4 7H2O CaSO4 2H2O + 3 Mg(OH)2 + 2SiO2 aq Alasannya kenapa peristiwa ini berlangsung sempurna, sedang dengan Natrium sulfat tidak terjadi. Hal itu didapatkan dalam kelarutan yang rendah dari Magnesium hidroksida dan menghasilkan pH rendah dalam larutan yang jenuh dan hanya larut pada tingkat kira-kira 0,01g/L. Larutan jenuhnya mempunyai pH kira-kira 10,5. Ini lebih rendah daripada pH yang dibutuhkan untuk menstabilkan Kalsium silikat hidrat (Masruri, 1993). Bahan Baku Abu batubara terdiri dari partikel-partikel abu yang berukuran lebih besar dan jatuh ke dasar tungku sebagai abu dasar (bottom ash) sekitar 20 % dan partikel-partikel abu yang berukuran lebih kecil diangkut ke atas oleh gas pembakaran (flue gas) dan dikumpulkan dengan Electrostatic Precipitator (ESP) atau bag houses sebagai abu terbang (fly ash) sekitar 80 %. Karakteristik kualitas abu batubara ditentukan oleh sifat kimia dan sifat fisiknya sehingga karakteristik abu batubara tergantung pada tipe batubara, kadar abu dalam batubara, proses penggilingan, tipe tungku dan efisiensi proses pembakaran batubara (Anonim, 2006). 1. Abu Dasar (bottom ash) Adalah butiran yang berwarna coklat kekuning-kuningan atau keabu-abuan gelap sampai hitam, berpori, kebanyakan berukuran sama dengan pasir atau partikel-partikel abu dasar yang jauh lebih kasar dari pada abu terbang dengan kisaran ukuran butir dari pasir halus sampai kerikil. Karakteristik abu dasar tergantung pada tipe tungku boiler yang digunakan untuk membakar batubara, variasi batubara, sistem pengangkutan (kering atau basah), apakah abu dasar digiling sebelum pengangkutan dan penyimpanan. Pada pokoknya, komposisi kimia abu dasar sama dengan komposisi kimia abu terbang, tetapi secara khas mengandung banyak karbon yang lebih besar, abu dasar cenderung menjadi lebih tidak reaktif secara relatif karena partikel-partikelnya lebih besar dan lebih leleh daripada abu terbang. Karena partikel-partikel ini sangat leleh sehingga cenderung untuk memperlihatkan aktifitas pozolan dan kurang cocok sebagai bahan pengikat dalam semen atau produk semen.
2. Abu Terbang (fly ash) Adalah butiran halus yang dikumpulkan dari aliran gas pembakaran dengan ESP, bag houses atau alat mekanis cyclones. Partikel-partikel abu terbang sangat halus, kebanyakan bulat dan bervariasi diameternya yang menyerupai gelembung bulat dengan berbagai ukuran. Ukuran partikel rata-rata 10 µm tetapi dapat bervariasi dari < 1 µm sampai lebih dari 150 µm. 3.
Limbah Katalis Residium Catalytic Cracking (RCC) Merupakan bahan yang dihasilkan dari proses perengkahan katalitik pada pemisahan minyak mentah seperti komponen bensin, produk samping LPG (Liquified Petrollium Gas) dan olefin rendah yang diolah secara proses konversi. Limbah katalis ini mengandung silica dan alumina yang tinggi serta mempunyai sifat pozzolanic yang menguatkan bila dicampur semen atau bahan lain, sehingga dapat dimanfaatkan untuk bahan baku berbagai bahan bangunan (Subagja, 2000).
4.
Air Air yang dimaksud adalah air sebagai bahan pembantu dalam konstruksi bangunan meliputi kegunaanya dalam pembuatan dan perawatan beton, pemadaman kapur, adukan pasangan dan adukan plesteran. Air untuk keperluan pembuatan beton tidak boleh mengandung lumpur atau benda-benda halus lainnya, seperti bahan tanah liat; bahanbahan golongan zat organik, seperti gula, asam humat, dan lain-lain; bahan-bahan yang terlarut seperti garam-garam sulfat, khlorida, asam dan basa (Anonim, 2002). Persyaratan air untuk beton: Air harus bersih; Tidak mengandung lumpur, minyak dan benda terapung lainnya yang dapat dilihat secara visual; Tidak mengandung benda-benda tersuspensi lebih dari 2g/L; Tidak mengandung garam-garam yang dapat larut dan dapat merusak beton (asam-asam, zat organik, dsb) lebih dari 15 g/L. Kandungan khlorida tidak lebih dari 500 ppm dan senyawa sulfat tidak lebih dari 1000 ppm sebagai SO3; Bila dibandingkan dengan kekuatan tekan adukan dan beton yang memakai air suling, maka penurunan kekuatan adukan dan beton yang memakai air yang diperiksa tidak lebih dari 10%;
80
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 78-84
Semua air yang mutunya meragukan harus dianalisa secara kimia dan dievaluasi mutunya menurut pemakaiannya; Khusus untuk beton pratekan, kecuali syarat-syarat di atas air tidak boleh mengandung khlorida lebih dari 50 ppm.
Pelaksanaan Penelitian Data yang dikumpulkan merupakan data primer. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental dengan membuat benda uji di laboratorium bahan bangunan.
Foam Agent Foam agent adalah suatu larutan pekat dari bahan surfactant, dimana apabila hendak digunakan harus dilarutkan dengan air.
Ukuran benda uji: kuat tekan, berat jenis dan absorpsi adalah 5 cm x 5 cm x 5 cm, kuat tarik sesuai dengan ASTM C 190 dan ketahanan terhadap garam sulfat adalah 5 cm x 5 cm x 3 cm.
Detergent (CH3(CH2)15OSO3-Na+) mengandung zat “surface active” (surfactant). Dilihat dari struktur molekulnya, detergent mempunyai dua gugus yang penting yaitu gugus liofil (yang menarik pelarut) dan gugus liofob (yang menolak pelarut). Gugus liofil dapat berupa gugus khlorida atau gugus bromida, atau gugus lain yang umumnya merupakan gugus yang pendek. Gugus liofob biasanya terdiri dari rantai alifatik atau aromatik yang umumnya terdiri dari paling sedikit sepuluh atom karbon. Dalam pelarut air, gugus liofil yang juga disebut gugus hidrofil akan menarik molekul air, sedangkan gugus liofob yang juga disebut hidrofob akan menghadap ke udara (Anonim, 2008).
Jenis pengujian: kuat tekan, kuat tarik, berat jenis, absorpsi dan ketahanan terhadap garam natrium sulfat dengan benda uji untuk setiap pengujian masing-masing tiga buah.
5.
Dalam percobaan ini surfactant yang digunakan adalah foam cement admixture. Dengan menggunakan Fosroc foam generator maka dapat dihasilkan pre foam awal yang stabil dalam kondisi basa, oleh karena itu cocok untuk digunakan pada produksi mortar yang mengandung busa. Dengan mengontrol banyaknya pre foam yang ditambahkan ke dalam premixed mortar maka berat jenis yang diinginkan dapat tercapai dengan mengadakan percobaan-percobaan. Biasanya jika berat jenis yang diinginkan turun sampai 1000 kg/m3 maka campuran yang digunakan adalah 2 bagian agregat dan 1 bagian semen tetapi apabila diinginkan berat jenis dibawah 1000 kg/m3 maka campuran yang digunakan adalah 1 bagian agregat dan 1 bagian semen. Diagram Beton Ringan dapat dilihat pada gambar 1 (terlampir).
METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah: fly ash, bottom ash, limbah katalis RCC, pasir, semen portland, garam Natrium sulfat, foam agent, air dan lain-lain. Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah: ayakan, timbangan, gelas ukur, mixer, cetakan, alat uji dan lain-lain. 81
Pengujian dilakukan sesuai dengan: Kuat tekan (SNI 15-2049), kuat tarik (ASTM C 190) dan ketahanan terhadap garam sulfat (ASTM C301). Rancangan Percobaan Komposisi campuran yang digunakan adalah 1 bagian berat semen: 2 bagian berat agregat. Agregat yang digunakan: - Campuran I : 75 % fly ash, 25 % pasir dan foam agent sebanyak 0,8 % - Campuran II : 100 % bottom ash dan foam agent sebanyak 0,8 % dan - Campuran III : 25 % RCC, 75 % pasir dan foam agent sebanyak 0,8 %.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian bahan baku, ketahanan terhadap garam sulfat, berat jenis, kuat tekan, kuat tarik dan absorpsi dapat dilihat pada tabel 1 s.d. tabel 4. Tabel 1 Data Hasil Pengujian Sifat Fisik Bahan Baku Limbah Bottom No Parameter Pasir Fly ash Katalis Ash RCC 1. Kadar Air (%) 0,30 0,43 1,23 5,83 Kadar Bahan yang Lolos 2. 14,18 85,62 26,83 73,39 Saringan 0,075 mm (%) 3. Zat Organic Negatif Negatif Negatif Negatif Bobot Isi (kg/L): 4. Gembur 1,333 0,836 0,975 0,817 Padat 1,574 1,067 1,192 1,042 5. Berat Jenis (g/cc) 2,58 1,19 1,21 1,89 6. Angka Kehalusan 2,5 1,8 3,1 1,1 Sumber: Laboratorium Bahan Bangunan, Puskim
Tabel 2 Data Hasil Pengujian Ketahanan terhadap Garam Sulfat No.
Campuran
Kehilangan Berat (%)
1. 2. 3.
I II III
7,68 8,26 11,09
Sumber: Laboratorium Bahan Bangunan, Puskim
Penelitian Pengaruh Larutan … (Andriati Amir Husin)
Tabel 3 Data Hasil Pengujian Berat Jenis, Kuat Tekan dan Kuat Tarik Berat Jenis Kuat Tekan Kuat Tarik No. Campuran (g/cc) (MPa) (MPa) Hasil Hasil Hasil 1. I 1,85 31 2,9 2. II 1,48 24 2.0 3. III 1,57 12 0,9 Sumber: Laboratorium Bahan Bangunan, Puskim
No. 1. 2. 3.
Tabel 4 Data Hasil Pengujian Absorpsi Absorpsi (24 jam, %) Campuran Berdasarkan Berat Kering Oven I 6,04 II 6,59 III 8,33
Sumber: Laboratorium Bahan Bangunan, Puskim
Kadar air pasir, fly ash dan bottom ash masingmasing sebesar 0,30 %, 0,43 % dan 1,23 % dapat memenuhi syarat sebagai bahan pozolan yaitu sebagai mineral admixture untuk beton, menurut ASTM C 618-03 kadar air yang disyaratkan adalah 3 %. Sedangkan kadar air limbah katalis RCC tidak memenuhi syarat, karena hasil yang diperoleh dari percobaan adalah 5,83 %, jadi apabila akan digunakan limbah katalis RCC harus dikeringkan terlebih dahulu. Menurut penelitian terdahulu kandungan oksida silika, besi dan alumunium dari fly ash, bottom ash dan limbah katalis RCC lebih besar dari 70 % jadi ketiga bahan tersebut dapat dikategorikan sebagai bahan pozolan buatan. Bahan pozolan dapat menambah reaktifitas semen, stabilitas dimensi dan memproduksi gas sehingga dapat menciptakan rongga dalam beton yang dapat meningkatkan workabilitasnya. Pasir, fly ash, bottom ash dan limbah katalis RCC tidak mengandung zat organik karena warna larutan yang berada di atas bahan tersebut lebih muda dari larutan standar, jadi bahan tersebut dapat memenuhi syarat sebagai bahan pencampur beton. Berat isi gembur fly ash, bottom ash dan limbah katalis RCC berkisar antara 0,817 kg/L - 0,975 kg/L. Menurut SNI 03-2461-2002, bobot isi gembur agregat halus maksimum 1,100 kg/L, jadi ketiga bahan tersebut dapat memenuhi syarat sebagai agregat ringan untuk beton struktural. Berdasarkan beratnya agregat dapat dibagi menjadi tiga, yaitu agregat ringan, agregat normal dan agregat berat. Agregat ringan mempunyai berat jenis sampai dengan 1,8 g/cc. Dari hasil penelitian ternyata berat jenis fly ash, bottom ash masing-masing sebesar 1,19 g/cc dan 1,21 g/cc, jadi fly ash, bottom ash dapat memenuhi syarat sebagai agregat ringan. Sedangkan berat jenis RCC yang dicapai pada penelitian ini sedikit lebih besar daripada yang dipersyaratkan. Angka kehalusan pasir, fly ash dan bottom ash dapat memenuhi syarat, dimana persyaratan modulus kehalusan
untuk agregat halus menurut SNI 03-1750-1990. adalah 1,5 – 3,8. Menurut SNI 03-1750-1990, persyaratan agregat terhadap larutan jenuh Natrium sulfat adalah 12 %. Jadi keempat campuran tersebut dapat memenuhi syarat (tabel 2). Menurut SNI 03-2461-2002 persyaratan kuat tekan dan kuat tarik ditentukan oleh berat jenis betonnya pada umur 28 hari dan pemakaian agregat ringannya. Apakah semuanya menggunakan agregat ringan atau agregat ringan dicampur dengan pasir. Pada percobaan ini agregat yang digunakan dicampur dengan pasir. Dari tabel 3 ternyata kuat tekan untuk campuran III tidak memenuhi syarat sedangkan untuk campuran yang lainnya dapat memenuhi syarat. Menurut SNI 032915-1992, kuat tekan minimum 31 MPa dapat digunakan untuk paparan lingkungan sulfat berat dan sangat berat. Hal ini dapat dicapai oleh campuran I dimana nilai kuat tekan rata-rata yang dicapai sebesar 31 MPa. Struktur-struktur beton yang berhubungan dengan air, kedap air lebih penting daripada kekuatannya. Untuk mendapatkan beton kedap air maka dilakukan salah satunya adalah pengujian absorpsi dengan menambahkan fly ash, bottom ash dan RCC ke dalam beton. Penambahan fly ash, bottom ash dan RCC dapat memperbaiki sifat-sifat beton karena fly ash, bottom ash dan RCC mempunyai sifat pozolan. Dari hasil pengujian absorpsi (tabel 4) ternyata campuran I dan campuran II dapat memenuhi syarat dengan nilai berkisar antara 6,04 % - 6,59 % sedangkan untuk campuran III tidak memenuhi syarat. Hal ini karena bentuk partikel limbah katalis RCC lebih halus daripada yang lainnya. Syarat absorpsi apabila direndam dalam air selama 24 jam maksimum 6,5 % terhadap berat kering oven.
KESIMPULAN 1. Fly ash, bottom ash dan limbah katalis RCC dapat berfungsi sebagai bahan pozolan buatan 2. Fly ash, bottom ash dan limbah katalis RCC dapat berfungsi sebagai agregat ringan 3. Hasil pengujian ketahanan terhadap sulfat, kehilangan beratnya berkisar antara 7,68 % 11,09 % 4. Dilihat dari kuat tekan, fly ash dan bottom ash dapat memenuhi syarat sebagai agregat ringan untuk beton struktural sedangkan limbah katalis RCC tidak memenuhi syarat 5. Beton dengan campuran 1 bagian semen : 2 bagian agregat (75 % fly ash, 25 % pasir), foam agent 0,8 % dapat digunakan untuk paparan lingkungan sulfat berat dan sangat berat 6. Hasil pengujian berat jenis beton berkisar antara 1,48 g/cc – 1,85 g/cc
82
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 78-84
7. Hasil pengujian absorpsi dapat memenuhi persyaratan dimana nilai absorpsi yang dipersyaratkan menurut SNI 03-2914-1992 adalah 6,5 %.
DAFTAR PUSTAKA Amir, A.H. dan Setiadji, R, 2008. Pengaruh Penambahan Foam Agent terhadap Kualitas Beton. Jurnal Permukiman Volume 3 No. 3: 196-207. Anonim. 1989. Penelitian dan Pengembangan Bahan dan Konstruksi Perpipaan Air Limbah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. ………. 1990. SNI 03-1750-1990: Mutu dan Cara Uji Agregat Beton. Badan Standardisasi Nasional. ...…... 1992. SNI 03-2914-1992: Spesifikasi Beton Bertulang Kedap Air. Badan Standardisasi Nasional. ..….... 2002. SNI 03-2915-2002: Spesifikasi Beton Tahan Sulfat. Badan Standardisasi Nasional.
83
……… 2002. SNI 03-2461-2002: Spesifikasi Agregat Ringan untuk Beton Ringan Struktural. Badan Standardisasi Nasional. .............. 2002. SNI 03-6861.1-2002: Spesifikasi Bahan Bangunan Bagian A (Bahan Bangunan Bukan Logam). Badan Standardisasi Nasional. ………. 2006. Pedoman Pengelolaan Abu Batubara. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. ............. 2007. Pengembangan Teknologi Limbah Industri sebagai Beton Ringan untuk Mendukung Pembangunan Perumahan. Pusat Litbang Permukiman. Masruri, N. 1993. Pengaruh Garam Sulfat terhadap Beton dan Cara Pencegahannya. Jurnal Pemukiman Volume IX No. 11 - 12. Subagja, A. 2000. Kajian Laboratorium: Pemanfaatan Limbah Katalis RFCC sebagai Bahan Substitusi Semen Portland pada Mortar dan Beton. Bandung: Politeknik Negeri Bandung.
Penelitian Pengaruh Larutan … (Andriati Amir Husin)
Lampiran:
Beton ringan
No fine aggregate concrete
Lightweight aggregate concrete
Aerated concrete
Agregat kasar ringan
Proses chemical
Proses foaming mixture
Organic material Non organic material
Al-powder Hydrogen perokside + baking powder
Preformed foamed Air entrained foam
Agregat hasil sampingan
Agregat alam ringan
Agregat ringan buat
Agglomerated cool shale Sintered Pulverized fuel ash Granulated blast furnace slag
Pumice Scoria Tufa Batuan Vulkanik Diatomite Lava
Expanded clay, shale, obsidian, perlit Expanded pell, fly ash Expanded diatomite Coated pumice Hollow ceramic part
Gambar 1 Diagram Beton Ringan (Anonim, 2007)
84
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 85-91
PENGARUH IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN TERHADAP PENATAAN PERMUKIMAN DI KAMPUNG MUARA Lia Yulia Iriani Pusat Litbang Permukiman JL. Panyaungan Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung Email:
[email protected] Diterima: 13 Januari 2010; Disetujui: 25 Juni 2010
Abstrak Aspek Izin Mendirikan Bangunan merupakan salah satu faktor terkait yang berpengaruh pada penataan permukiman. Studi kasus di RT 05 dan RT 09, RW 07 Kampung Muara, Desa Sukawarga, Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, merupakan lokasi penerapan model Konsep Eco Settlement. Status lahan pada umumnya tidak mempunyai sertifikat bukti kepemilikan lahan secara legal dari Badan Pertanahan Nasional. Hasil penelitian sebagian masyarakat membayar Pajak Bumi dan Bangunan, RT 05 sebanyak 12 Kepala Keluarga atau 27,91 %, dan RT 09 4 Kepala Keluarga atau 5,48 %. Penelitian ini mengkaji pengaruh sistem Izin Mendirikan Bangunan terhadap pelaksanaan penataan permukiman. Metode yang digunakan adalah deskriptif analitis, untuk menggambarkan pengaruh variabel bebas yaitu Izin Mendirikan Bangunan terhadap variabel terikat yaitu penataan permukiman. Analisis yang digunakan adalah analisis jalur (path analysis), dengan cara menggabungkan data kuantitatif dengan data kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa Izin Mendirikan Bangunan berpengaruh terhadap penataan permukiman di lokasi sasaran, sehingga diperlukan implementasi kebijakan Izin Mendirikan Bangunan secara terpadu dan terkoordinasi. Kata Kunci: Izin mendirikan bangunan, status tanah, penataan permukiman, aspek hukum, konsep eco settlement
Abstract Building Permit is an inevitable factor that is related to the planning of human settlements. The case study has been done in the neighborhoods of RT 05 and RT 09, RW 07 Kampung Muara, Desa Sukawarga, Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, which is the location to implement the model of the eco settlement concept . The status of the land in general, do not have legal certificates of ownership from the National Land Agency. The results of the study point out that part of the community pay property tax, which means that 12 heads of family or27.91 %, in RT 05 and 4 heads of family or 5.48% pay the tax. This research analysis the effect of the Building Permit on the implementation of the planning of human settlements. The method for this research is a descriptive analysis, to describe the effect of the independent variable, i.e. how the building permit affects the independent variable, the planning of human settlements. The path analysis is employed to combine the quantitative and qualitative data. The result of the analysis shows that the Building Permit has an effect on the planning of human settlements in the targeted location. This needs a coordinated implementation of the building permit. Keywords: Building permit, land status, human settlements arrangement, legal aspect, eco settlement concept
PENDAHULUAN Aspek Izin Mendirikan Bangunan merupakan produk pelayanan (delivery service) oleh pemerintah daerah terhadap masyarakat. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Jo Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2004, tentang retribusi daerah beserta perubahannya UU No. 8 tahun 2007. Berdasarkan pasal 7 ayat 1 huruf a Undang-Undang No. 4 Tahun 1992, salah satu persyaratan dalam pembangunan perumahan dan permukiman, adalah Izin Mendirikan Bangunan, sehingga tertib
85
pembangunan sesuai peruntukannya.
dengan
fungsi
dan
Puslitbang Permukiman, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum, menerapkan konsep penataan kawasan berbasis eco settlement, sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk, di RT 05 dan RT 09 RW 07, Kampung Muara, dimana salah satu permasalahan yang dikemukakan dalam hal ini terkait aspek Izin Mendirikan Bangunan. Penulis dalam hal ini akan menguraikan hasil penelitian seberapa besar pengaruh Izin Mendirikan Bangunan terhadap penataan kawasan permukiman.
Pengaruh Izin Mendirikan Bangunan … (Lia Yulia Iriani)
Permasalahan Permasalahan yang berhubungan dengan lemahnya sistem Izin Mendirikan Bangunan, di lokasi penelitian adalah: - pelayanan Izin Mendirikan Bangunan bersifat tidak terbuka serta memerlukan waktu relatif lama; - penentuan besarnya biaya yang harus dikeluarkan (retribusi), terkesan tidak transparan; - kurangnya sosialisasi dan informasi kepada masyarakat terkait proses dan mekanisme Izin Mendirikan Bangunan; - tidak konsistennya pelaksanaan sanksi dalam rangka penegakan hukum terhadap pelanggaran ketentuan Izin Mendirikan Bangunan yang telah diberikan. Berdasarkan permasalahan tersebut pertanyaan penelitian adalah adakah pengaruh Izin Mendirikan Bangunan terhadap pelaksanaan penataan permukiman di lokasi sasaran ? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh sistem Izin Mendirikan Bangunan terhadap pelaksanaan penataan permukiman.
KAJIAN PUSTAKA Pengertian Izin adalah salah satu kewenangan Kepala Daerah dalam mengatur, mengarahkan dan mengendalikan pelaksanaan fungsi kepala daerah di bidang pemerintahan, kemasyarakatan, pembangunan dan pelayanan, (ps 25 UU No. 32/2004, beserta perubahannya UU No.3 dan No. 8/2005). Di bidang pembangunan perumahan dan permukiman, izin mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai alat pengawasan dan pengendalian terhadap pemanfaatan ruang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan. Dasar Teori Secara hukum izin (permit) adalah kewenangan pemerintah daerah, meliputi penetapan sesuatu kegiatan dan atau penguasaan yang berhubungan dengan kebijaksanaan pemerintah berupa kepentingan umum dan perkembangan pembangunan. Pelaksanaan Izin Mendirikan Bangunan, merupakan implementasi suatu kebijakan pemerintah untuk ketertiban dan pengendalian pembangunan, yang dalam pelaksanaannya diperlukan sosialisasi dan komunikasi. Mengenai hal ini menurut Edward lll (1980), yang dijelaskan kembali oleh Widodo (2006:20), faktor implementasi kebijakan pemerintah bidang Izin Mendirikan Bangunan, dipengaruhi oleh:
komunikasi (communication), sumber daya (resource), disposisi (disposition), struktur birokrasi (bureaucratic structure). Status Tanah dan Bangunan di Lokasi Penelitian Jumlah penduduk RT 05 adalah 43 KK atau 215 jiwa dan sebanyak 13 KK/ 30,32 % yang membayar Surat Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) dan RT 09 dengan jumlah 33 KK atau 165 jiwa, sebanyak 4 KK/12,12 % yang membayar SPPT. Status tanah di lokasi tersebut 9 KK/1,40 %, yang mempunyai hak tanah berupa Leter C atau Girik dan 92 %, menempati rumah secara turun temurun 72 %, berdasarkan warisan dari orang tua 20 %, menempati rumah karena perkawinan atau menumpang pada saudara, 8 %. Berdasarkan ketentuan sempadan sungai, terdapat 12 rumah/ 27,91% yang melanggar Garis Sempadan Sungai yaitu minimal 10 m dari sungai, terutama rumah di RT 05 yang menempati rumah dengan jarak 2 m sampai 5 m. Garis Sempadan Sungai (GSS) Peraturan Garis Sempadan Sungai untuk kawasan Kabupaten Garut berdasarkan Perda No. 4 tahun 2002, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Garut, yaitu sungai besar kiri kanan 100 m, anak sungai kiri kanan 50 m, di lingkungan permukiman 10–15 m. Perda tersebut saat ini sedang direvisi mengacu kepada UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Izin Mendirikan Bangunan Mengenai Izin Mendirikan Bangunan di lokasi sasaran tidak ada satupun yang mempunyai IMB. Kondisi ini jangankan di daerah pegunungan di perkotaan pun masih banyak masyarakat yang tidak punya IMB. Program pemutihan atau monitoring serta pengawasan terhadap IMB ini untuk lokasi Kabupaten Garut belum ada realisasi serta belum terprogram. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Sukawarga Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, dengan luas lahan 559,682 Ha, terdiri dari 9 RW, yaitu RW 1 terdiri dari 8 RT, RW 2 terdiri dari 4 RT, RW 3 terdiri dari 5 RT, RW 4 (8 RT), RW 5 (6 RT), RW 6 (5 RT), RW 7 (5 RT), RW 8 (8 RT), RW 9 (6 RT). Secara administratif berbatasan dengan sebelah Utara Desa Sukatani, sebelah Selatan Desa Marga Mulya, sebelah Barat Kehutanan, sebelah Timur Desa Mekarsari. Jarak ke kecamatan kurang lebih 7 KM, ke Kabupaten 25 KM, ke Ibukota Propinsi 99 Km, sedangkan ke Ibukota Negara 190 Km. 86
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 85-91
dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan berdasarkan strata, random atau daerah, tetapi didasarkan atas tujuan tertentu. Hal ini dilakukan agar keberadaan data yang diperoleh dapat digunakan sebagai ukuran besaran pengaruh dari setiap variabel penelitian, yaitu dari variabel bebas x secara simultan terhadap variabel tidak bebas Y dan variabel bebas x secara parsial terhadap variabel tidak bebas Y. (Sugiyono 2008:42). Desain penelitian, tercantum pada gambar 1: RT 05 & RT 09 Kp. Muara, Desa Sukawarga
Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian (Hasil Analisis)
Kondisi Sosial Masyarakat RT 05 dan RT 09 Kampung Muara, Desa Sukawarga bermatapencaharian 87 % sebagai petani penggarap, 4,5 % buruh bangunan, 6,5 % dagang, 2 % wiraswasta, tingkat pendidikan 99 % sekolah dasar. Itupun ada yang tamat maupun hanya bersekolah sampai kelas 2 dan 3 saja. Hal ini didasarkan karena kesibukan mereka membantu orang tua untuk berladang bagi anak laki-laki dan bagi anak perempuan membantu orangtua mengerjakan pekerjaan rumah. Mata pencaharian dan tingkat pendidikan masyarakat RT 05 dan RT 09, secara lengkap tercantum pada diagram 1. Kondisi Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat Kp. Muara, RT 05 - RT 09 99% 87%
90% 85% 80% Mata Pencaharian
Pyx X Gambar 2 2008:42)
Y Desain
variabel
penelitian
(Sugiyono
Keterangan: X : Sistem Izin Mendirikan Bangunan Y : Penataan permukiman : Variabel luar yang “mempengaruhi Y“ dan tidak diteliti
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, untuk menggambarkan berbagai data mengenai pengaruh variabel terhadap variabel lainnya. Penggabungan dilakukan melalui data kuantitatif dengan data kualitatif. Dimana data kualitatif ini merupakan data yang berskala ordinal yaitu bedasarkan angka. Data kualitatif tersebut harus diubah menjadi data berskala analitis. Analisis yang digunakan adalah analisis jalur (path analysis), yaitu uji pengaruh antara seberapa besar Izin Mendirikan Bangunan berpengaruh terhadap penataan permukiman.
100% 95%
Py
Tingkat Pendidikan
Diagram 1 Mata Pencaharian dan Tingkat Pendidikan
METODE DAN DESAIN PENELITIAN
Teknik Pengumpulan Data Data primer, meliputi aspek–aspek terkait dengan variabel penelitian. Ada dua variabel yang akan dikaji, yaitu Izin Mendirikan Bangunan, sebagai variabel bebas dan penataan permukiman sebagai variabel terikat.
Desain penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan makna pengaruh hubungan korelasi antara gejala atau fenomena secara lengkap.
Pengumpulan data diperoleh melalui studi kepustakaan, kajian lapangan dengan cara wawancara secara langsung dengan tokoh setempat, yaitu kepala desa, RW, RT, tokoh masyarakat dan masyarakat di lokasi penelitian.
Pengumpulan data dilakukan melalui teknik purposive sampling atau sampling bertujuan, yaitu
Angket digunakan untuk menjaring data primer. Format jawaban menggunakan skala Likert,
87
Pengaruh Izin Mendirikan Bangunan … (Lia Yulia Iriani)
dengan lima alternatif jawaban, untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi orang atau kelompok orang, dalam kajian tulisan ini terkait dengan Izin Mendirikan Bangunan, informasi dan sosialisasi dari aparat yang berwenang sebagai salah satu bentuk pelayanan publik, dampak dan pengaruhnya terhadap pengendalian permukiman. Pendekatan penelitian ini bersifat kuantitatif dalam pelaksanaannya memerlukan data kualitatif, sebagai data pendukung melalui kajian langsung ke lapangan. Kategori jawaban responden dan skor nilai pernyataan, tercantum pada tabel 1. Tabel 1 Skor Jawaban Responden Pilihan Jawaban
Skor (+)
(-)
a. Sangat setuju (ss)
5
1
b. Setuju (s)
4
2
c. Antara Setuju tidak Setuju (ASTS)
3
3
d. Tidak setuju (TS)
2
4
e. Sangat tidak setuju (STS)
1
5
Sumber: (Sugiyono:48)
Populasi dan Sampel Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling atau sampling bertujuan yang dilakukan atas dasar tujuan tertentu. Purposive sampling ini hanya ditujukan kepada stakeholders atau pihak terkait dalam proses Izin Mendirikan Bangunan, dalam penataan permukiman di RT 05, RT 09, Kampung Muara, Desa Sukawarga, Kec. Cisurupan, Kab. Garut, dengan perincian sbb:
Variabel X1 X2 X3 X4 Total
Tabel 2 Sampel Penelitian No
1 Pegawai Dinas Permukiman dan Cipta Karya, Bidang Tata Bangunan 2 Pegawai Dinas Permukiman Tata Ruang dan Cipta Karya, Bidang Tata Ruang 3 Pegawai Dinas Permukiman Tata Ruang dan Cipta Karya, Bidang Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan Permukiman 4 Pegawai Dinas Permukiman Tata Ruang dan Cipta Karya, Bidang Permukiman 5 Aparat Desa Sukawarga 6 RT/RW dan staf 7 Tokoh masyarakat RT 05 dan RT 09 8 Masyarakat RT 05 dan RT 09 Jumlah
Hasil tersebut mencerminkan rendahnya sosialisasi dan informasi terhadap mekanisme dan prosedur Izin Mendirikan Bangunan yang berlaku
8 orang
8 orang 10 orang 10 orang 18 orang 94 0rang 156 orang
Sumber : Hasil survei, 2009
HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem Izin Mendirikan Bangunan berpengaruh secara simultan terhadap penataan permukiman. Bentuk hipotesis statistik untuk menguji hipotesis penelitian dan teori yang mendasari pengaruh Izin Mendirikan Bangunan tersebut, meliputi; Ho: PYX1= 0; tidak terdapat pengaruh secara simultan terhadap penataan permukiman di RT 05, RT 09 Kampung Muara. H1: PYX1 # 0; terdapat pengaruh terdapat pengaruh Izin Mendirikan Bangunan secara simultan terhadap penataan permukiman di RT 05, RT 09 Kampung Muara. Pengaruh langsung dan tidak langsung dimensi Izin Mendirikan Bangunan terhadap penataan permukiman di RT 05, RT 09 Kampung Muara. Tercantum pada tabel berikut:
Tabel 3 Dimensi Izin Mendirikan Bangunan terhadap Penataan Permukiman Pengaruh tidak Langsung Korelasi Koefisien Pengaruh Total tidak Melalui Jalur Langsung Langsung X1 X2 X3 X4 X1 X2 X3 X4 0,06 0,004 0 0,61 0,61 0,31 0 0,027 0,01 0,001 0,8167 O,65 0,423 0,61 0 0,8 0,28 0,002 0 0,009 0,004 0,2013 0,24 0,058 0,61 0,8 0 0,28 0,001 0,019 0 0.007 0,2001 0,07 0,005 0,31 0,28 0,28 0 0,007 0,007 0,003 0 0,0712 0,1693
Berdasarkan tabel 5 di atas, pengaruh langsung sistem Izin Mendirikan Bangunan terhadap penataan permukiman di RT 05, RT 09 Kampung Muara, sebesar 57 %, sedangkan sisanya sebesar 43 % merupakan pengaruh di luar penelitian atau di luar prosedur Izin Mendirikan Bangunan.
Jumlah Sampel 6 orang
Responden
pada masyarakat, ditimbulkannya.
serta
Total Langsung
dampak
0,1767 0,4513 0.8401 0,5612 0,0293
yang
Hasil pengujian, menunjukan bahwa F hitung > jika dibandingkan dengan F tabel yaitu sebesar F hitung = 211,288 > F tabel = 1,29. Artinya setelah dilakukan pengujian secara statistik menjelaskan bahwa Izin Mendirikan Bangunan berpengaruh secara simultan terhadap penataan permukiman di RT 05, RT 09 Kampung Muara.
88
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 85-91
Persamaan jalur dari hasil penelitian memperlihatkan bahwa sistem Izin Mendirikan Bangunan di RT 05, RT 09 Kampung Muara, dipengaruhi oleh kurangnya informasi dan sosialisasi dari aparat yang berwenang, sebagai salah satu bentuk pelayanan publik. Dampak yang ditimbulkan apabila hal tersebut tidak dipenuhi oleh masyarakat, diantaranya akan menghambat proses pelaksanaan perbaikan lingkungan permukiman ke arah lebih sejahtera bagi masyarakat itu sendiri. Kontribusi dari setiap dimensi tersebut tercantum pada persamaan jalur sebagai berikut: Y = 0,6X1 + 0,65 X2 + 0,24X3 + 0,7X4 + Py Persamaan di atas, menjelaskan bahwa dimensi sistem perizinan berupa prosedur izin status lahan, Izin Mendirikan Bangunan, peraturan garis sempadan bangunan dan peraturan garis sempadan sungai, dipengaruhi oleh faktor lain diluar penentuan hasil berbagai aspek hukum lainnya. Hal ini berarti bahwa perlakuan secara bersamaan dari dimensi-dimensi yang diukur menjelaskan bahwa tercapainya pelaksanaan perizinan oleh masyarakat dipengaruhi oleh informasi, sosialisasi dan penyederhanaan prosedur perizinan oleh aparat yang berwenang sebagai salah satu bentuk pelayanan publik. Sistem Perizinan Berpengaruh secara Parsial terhadap Penataan Permukiman Pengujian secara parsial pengaruh sistem perizinan terhadap penataan Permukiman di RT 05, RT 09 Kampung Muara, akan diuraikan dari dimensi aspek prosedur izin status lahan, Izin Mendirikan Bangunan, peraturan garis sempadan bangunan dan peraturan garis sempadan sungai, pada uraian berikut ini: Dimensi Status Lahan Berpengaruh terhadap Penataan Permukiman Bentuk hipotesis statistik untuk menguji hipotesis penelitian dan pembuktian teori yang mendasari pengaruh prosedur izin status lahan di RT 05, RT 09 Kampung Muara. Ho : PYX1 = 0; tidak terdapat pengaruh perizinan secara simultan terhadap penataan permukiman di RT 05, RT 09 Kampung Muara. H1 : PYX1 # 0; terdapat pengaruh perizinan secara simultan terhadap penataan permukiman di RT 05, RT 09 Kampung Muara. Hasil perhitungan atas pengujian mengenai pengaruh status lahan penataan permukiman di RT 05, RT 09 Kampung Muara, menjelaskan bahwa terdapat pengaruh prosedur izin status lahan di 89
RT 05, RT 09 Kampung Muara pada penataan permukiman di lokasi tersebut sebesar 0,1767 atau sebesar 41 %. Apabila pemerintah Kabupaten Garut ingin melakukan penataan permukiman, maka harus ditetapkan terlebih dahulu mengenai penertiban terhadap status lahan sesuai dengan rencana penataan kawasan yang ingin dicapai. Hal ini dapat dilakukan antara lain melalui informasi dan sosialisasi prosedur perizinan, sehingga mempermudah dalam melakukan evaluasi atas kinerja yang telah ditetapkan. Penentuan status lahan masyarakat memiliki kontribusi kepada tercapainya penataan permukiman sebesar 41 %, sehingga pengaruhnya cukup kuat. Dimensi Izin Mendirikan Bangunan Berpengaruh terhadap Penataan Permukiman Bentuk hipotesis statistik untuk menguji hipotesis penelitian dan pembuktian teori implementasi kebijakan pemerintah dari Edward lll, mendasari pengaruh prosedur Izin Mendirikan Bangunan di RT 05, RT 09 Kampung Muara. Ho : PYX1 = 0; tidak terdapat pengaruh perizinan secara simultan terhadap penataan permukiman di lokasi tersebut. H1 : PYX1 # 0; terdapat pengaruh perizinan secara simultan terhadap penataan permukiman di RT 05, RT 09 Kampung Muara. Hasil perhitungan atas pengujian mengenai pengaruh Izin Mendirikan Bangunan terhadap penataan permukiman di RT 05, RT 09 Kampung Muara, menjelaskan bahwa terdapat pengaruh Izin Mendirikan Bangunan di RT 05, RT 09 Kampung Muara pada penataan permukiman di lokasi tersebut sebesar 0,4513 atau sebesar 43,45 %. Apabila pemerintah Kabupaten Garut ingin melakukan penataan permukiman, maka harus ditetapkan terlebih dahulu mengenai sejauh mana penertiban Izin Mendirikan Bangunan telah dicapai di lokasi sasaran, sehingga dapat memudahkan dalam upaya penertiban timbulnya permukiman secara sporadis dan tidak terkendali. Dimensi Peraturan Garis Sempadan Bangunan Berpengaruh terhadap Penataan Permukiman Bentuk hipotesis statistik untuk menguji hipotesis penelitian dan pembuktian teori yang mendasari pengaruh peraturan garis sempadan bangunan di RT 05, RT 09 Kampung Muara. Ho : PYX1 = 0; tidak terdapat pengaruh perizinan secara simultan terhadap penataan permukiman di lokasi tersebut.
Pengaruh Izin Mendirikan Bangunan … (Lia Yulia Iriani)
H1 : PYX1 # 0; terdapat pengaruh perizinan secara simultan terhadap penataan permukiman di RT 05, RT 09 Kampung Muara. Hasil perhitungan atas pengujian mengenai pengaruh peraturan garis sempadan bangunan terhadap penataan permukiman di RT 05, RT 09 Kampung Muara, menjelaskan bahwa terdapat pengaruh peraturan garis sempadan bangunan di RT 05, RT 09 Kampung Muara pada penataan permukiman di lokasi tersebut sebesar 0,8401 atau sebesar 7,84 %.
simultan terhadap penataan permukiman di RT 05, RT 09 Kampung Muara.
-
Apabila pemerintah Kabupaten Garut ingin melakukan penataan permukiman, maka harus memperhatikan sejauhmana penerapan peraturan garis sempadan bangunan ditetapkan terlebih dahulu. Hal ini akan berpengaruh terhadap penataan prasarana dan sarana lingkungan yang akan dicapai sesuai dengan potensi sumber daya alam dan teknologi yang akan diterapkan. Dimensi Peraturan Garis Sempadan Sungai Berpengaruh terhadap Penataan Permukiman Bentuk hipotesis statistik untuk menguji hipotesis penelitian dan pembuktian teori yang mendasari pengaruh peraturan garis sempadan sungai di RT 05, RT 09 Kampung Muara. Ho : PYX1 = 0; tidak terdapat pengaruh perizinan secara simultan (bersama) terhadap penataan permukiman di lokasi tersebut. H1 : PYX1 # 0; terdapat pengaruh perizinan secara simultan terhadap penataan permukiman di RT 05, RT 09 Kampung Muara. Hasil perhitungan atas pengujian mengenai pengaruh peraturan garis sempadan sungai terhadap penataan permukiman di RT 05, RT 09 Kampung Muara, menjelaskan bahwa terdapat pengaruh peraturan garis sempadan sungai di RT 05, RT 09 Kampung Muara pada penataan permukiman di lokasi tersebut sebesar 0,5612 atau sebesar 1,56 %. Apabila pemerintah Kabupaten Garut ingin melakukan penataan permukiman, maka peraturan garis sempadan sungai, harus diimplementasikan, karena kebijakan tersebut berpengaruh terhadap Daerah Aliran Sungai, supaya tidak tercemari oleh berbagai limbah baik padat maupun cair yang dapat mencemari lingkungan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan - Aspek perizinan terkait status lahan, Izin Mendirikan Bangunan, ketentuan masyarakat harus mentaati garis sempadan bangunan dan garis sempadan sungai, berpengaruh secara
-
Hal ini ditunjang oleh dimensi berbagai dampak yang ditimbulkan dengan tidak dilaksanakannya peraturan tersebut, yaitu timbulnya permukiman sporadis, banjir dan keberadaan pembangunan perumahan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dimensi status lahan berpengaruh terhadap penataan permukiman, maka harus ditetapkan terlebih dahulu mengenai penertiban terhadap status lahan masyarakat di RT 05, RT 09 Kampung Muara. Hal ini didasarkan pada rencana penataan kawasan yang ingin dicapai, melalui informasi dan sosialisasi prosedur perizinan, sehingga mempermudah dalam melakukan evaluasi atas kinerja yang telah ditetapkan. Penentuan status lahan masyarakat memiliki kontribusi kepada tercapainya penataan permukiman sebesar 4,1 %, sehingga pengaruhnya cukup kuat. Pencapaian target pengendalian dan penataan permukiman merupakan salah satu aspek yang harus dilaksanakan oleh masyarakat maupun instansi yang berwenang. Pelaksanaan hal tersebut diantaranya melalui sosialisasi dan prosedur kemudahan serta relatif waktu yang singkat dengan biaya dan prosedur yang sederhana, sehingga memudahkan masyarakat maupun berbagai aspek terkait dalam melakukan penataan permukiman di lokasi yang bersangkutan.
Saran - Aspek perizinan merupakan salah satu pengendalian dalam pengendalian permukiman. Secara simultan dan parsial berpengaruh pada penataan kawasan permukiman, sehingga perlu perencanaan dari pemerintah Kabupaten Garut dalam hal pelaksanaan implementasi kebijakan tersebut secara terprogram. - Penertiban DAS Cimanuk yang bermuara di Kabupaten Garut, memerlukan koordinasi instansi terkait dan peran masyarakat. Sehingga hasil penataan akan tercapai secara optimal sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. - Faktor informasi dan sosialisasi program yang akan dilaksanakan kepada masyarakat merupakan indikator yang mempengaruhi dimensi berpengaruhnya pelaksaaan permukiman terhadap kesejahteraan masyarakat di lokasi sasaran.
90
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 85-91
DAFTAR PUSTAKA Hermit Herman. 2004. Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah Pemerintah Daerah, Teori dan Praktek, Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bandung : Mandar Maju. Hamzah Andi, Suandra l Wayan, Kamalu. 2000. Dasar - Dasar Hukum Perumahan. Jakarta: Rineka Cipta. Iriani Yulia. 2001. Tinjauan Yuridis tentang Sistem Perizinan dalam Pelaksanaan Pembangunan Perumahan Permukiman di Daerah. Jurnal Penelitian Permukiman, Vol.17, No.4:9. Puslitbang Permukiman, Dep. PU. 2008. Laporan Akhir: Konsep Penerapan Eco Settlement. Bandung: Puslitbang Permukiman, Dep.PU.
91
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. 2007. No.24/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung. Jakarta: Ditjen Cipta Karya Dep.PU. Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif dan Research and Development. Bandung; Alfa Beta. Undang-Undang No.32 Tahun 2004, beserta perubahannya Undang-Undang No. 8 tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No.4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Widodo. 2006. Formulasi, Evaluasi, Implementasi, Kebijakan Publik. Jakarta: Pustaka Jakarta.
Pengaruh Izin Mendirikan Bangunan … (Nurhasanah Sutjahjo)
STANDAR PELAYANAN MINIMAL UNTUK BIAYA SATUAN PROGRAM BIDANG AIR MINUM Nurhasanah Sutjahjo Pusat Litbang Permukiman Jalan Panyaungan, Cileunyi Wetan Kabupaten Bandung Email:
[email protected] Diterima: 11 September 2009; Disetujui: 23 Juli 2010
ABSTRAK Penyelenggaraan pelayanan prasarana dan sarana (P&S) permukiman, termasuk diantaranya penyediaan air minum telah menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah Tingkat II (kota maupun kabupaten). Untuk menjamin penyelenggaraan penyediaan air minum yang memenuhi syarat kualitas, kuantitas dan kontinuitas, maka diperlukan suatu standar pelayanan. Sampai akhir Pelita VI, prasarana dan sarana permukiman (PSP) yang dibangun, belum mencapai standar pelayanan minimal yang ditetapkan., sehingga banyak yang sudah tidak berfungsi sebelum umur ekonomisnya berakhir. Oleh karena itu dilaksanakan suatu kajian standar pelayanan minimal dengan suatu metodologi penelusuran pustaka dan informasi ilmiah dari buku, jurnal, laporan penelitian dan internet. Komponen materi standar pelayanan bidang air minum mencakup 3 bagian utama, yaitu yang berhubungan dengan bidang pemrograman, pelaksanaan oleh operator dan pemanfaatan oleh masyarakat. Ketiga bidang tersebut pada dasarnya mempunyai kaitan yang erat satu sama lain. Dalam pembahasan ketiga materi standar ini dibagi dalam klasifikasi tipikal perkotaan, yaitu kota kecil, kota sedang, kota besar dan kota metropolitan. Untuk penyelenggaraan pelayanan dan penyusunan standar daerah disesuaikan dengan kondisi spesifik daerah masing-masing, namun masih dalam kriteria-kriteria yang distandarkan. Materi teknis dengan hasil berupa komponen biaya satuan program dan biaya operasional. Penetapan standar pelayanan minimal PSP dapat digunakan sebagai acuan perencanaan, pemrograman, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta tindak lanjut pengembangannya. Kata kunci: Pelayanan minimal, air minum, biaya satuan program, permukiman, prasarana dan sarana permukiman
ABSTRACT Organizing the infrastructure and services settlements, including the provision of drinking water has become the responsibility of the Local Government Level II (cities or districts). To ensure the implementation of the provision of drinking water that meets the requirements of quality, quantity and continuity, we need a standard of service. Until the end of Pelita VI, the infrastructure and settlements (PSP) that was built, has not reached the specified minimum service standar. Some of them are not in function are already not working before its economic life ends. For this reason, a study concerning a minimum service standard was conducted using literature study methodology (textbooks, journals, research reports, electronic information). Material components of drinking water standard of service area includes three main sections, dealing with programming field, implementation by the operator and utilization by the community. The third field basically has a close relationship with each other. In the discussion, the standard material are divided into typical urban classification, which is small city, medium city, major city and metropolitan city. For the management of service and the preparation of regional standards appropriated to specific conditions of each area, but still in their standardized criteria. Technical materials are the results of the program unit cost component and operational costs. Determination of minimum service standards of PSP can be used as a reference design, programming, implementation, monitoring, evaluation and follow-up development. Keywords: Minimal services, drinking water, unit cost of the program, housing, infrastructure settlements
PENDAHULUAN Permukiman yang sehat adalah ketersediaan pelayanan air minum dan kualitas sanitasi yang memenuhi syarat standar kesehatan. Awal abad ke-21 dibuka dengan salah satu isu masih rendahnya akses manusia terhadap kebutuhan
dasar air minum. Kurang lebih sebanyak 1,6 milyar penduduk dunia hingga saat ini belum terlayani air minum dengan layak. Data IMF dan Bank Dunia pada tahun 2003 menunjukkan bahwa 2 dari 10 orang di negara sedang berkembang tidak mempunyai akses terhadap safe water. Tragedi kemanusiaan terus berlangsung karena lebih dari 92
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 92-101
2,2 juta penduduk setiap tahun atau sekitar 7.000 orang setiap hari meninggal karena penyakit yang terkait dengan air. Maka tidak mengherankan kalau World Water Day 2005 mencanangkan Water for Life. Perhatian terhadap pentingnya penyediaan air minum, telah dilakukan hampir 5 dekade yang lalu saat pertemuan Organisasi Kesehatan Dunia ke-12 pada tahun 1959 memulai Community Water Supply Program dan berpuncak dengan United Nations General Assembly Resolution di New York pada September 2000 mengenai Millennium Development Goals (MDG), yang kemudian diikuti dengan World Summit on Sustainable Development di Johannesburg pada September 2002 yang menyepakati pelaksanaan dalam target 10 dari MDG dimana disebutkan komitmen seluruh dunia untuk “Tahun 2015, mengurangi separuh dari proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air minum dan sanitasi”. Deklarasi Kyoto (World Water Forum) 24 Maret 2003 menegaskan peningkatan akses terhadap air minum adalah penting bagi pembangunan berkelanjutan dan penanggulangan kemiskinan serta kelaparan. Di Indonesia, dengan berlakunya Undang-undang No. 22 dan 25 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, maka penyelengaraan pelayanan prasarana dan sarana permukiman, diantaranya penyediaan air minum menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah Tingkat II (Kota maupun Kabupaten). Untuk menjamin penyelenggaraan penyediaan air minum yang memenuhi syarat kualitas, kuantitas dan kontinuitas, sudah dicanangkan standar pelayanan minimal (SPM), dimana 55-75 % penduduk terlayani, dengan pemakaian air 60-220 L/or/hari untuk permukiman di perkotaan, 30-50 L/or/hari untuk lingkungan perumahan dan memenuhi standar air bersih (Kepmen KIMPRASWIL No. 534/KPTS/M/2001). Karena tidak terlalu dijabarkan, maka diperlukan suatu Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang dapat digunakan sebagai patokan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah pada pelaksanaan tugasnya di bidang air minum. Komponen materi standar pelayanan bidang air minum mencakup 3 bagian utama, yaitu yang berhubungan dengan bidang pemrograman, pelaksanaan oleh operator dan pemanfaatan oleh masyarakat. Ketiga bidang tersebut pada dasarnya mempunyai kaitan yang erat satu sama lain. Dalam pembahasan, ketiga materi standar ini dibagi dalam klasifikasi tipikal perkotaan, yaitu kota kecil, kota besar dan kota metropolitan.
93
Materi standar pelayanan bidang air minum ini ditujukan sebagai bahan panduan pemerintah kota dan pemerintah kabupaten untuk menyelenggarakan pelayanan di bidang air minum, serta untuk menyusun pelayanan air minum di kota atau kabupaten tersebut. Penggunaan panduan penyelenggaraan yang disesuaikan dengan kondisi spesifik daerah masing-masing. namun masih dalam kriteria-kriteria yang distandarkan. Lingkup/ batasan pemrograman di bidang air minum adalah terhadap biaya satuan program, sistem produksi, sistem distribusi terhadap kapasitas pelayanan, dengan kuantitas terhadap konsumsi pemakaian air dan kehilangan air, serta kualitas air terhadap Peraturan Menteri Kesehatan. Dengan hipotesis stándar pelayanan minimal dapat dicapai, maka akan diperoleh efisiensi dalam pemakaian air sehingga akan ada peningkatan pelayanan dan kepuasan masyarakat pengguna dalam pelayanan air yang memenuhi kuantitas, kualitas dan tekanan.
TINJAUAN PUSTAKA Prinsip-Prinsip Standar Pelayanan Minimal (SPM) - (PP No. 65 tahun 2005) 1. SPM disusun dan ditetapkan dalam rangka penyelenggaraan Pemda Provinsi/ Kota/ Kab. yang berkaitan dengan pelayanan dasar 2. SPM disusun sebagai alat pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat 3. SPM ditetapkan oleh pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh Pemda Provinsi/ Kota/ Kab. 4. SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggung jawabkan serta mempunyai batas waktu pencapaian 5. Parameter SPM diusahakan independen sehingga parameter-parameternya tidak duplikasi Sistem Penyediaan Air Minum Sistem penyediaan air minum (SPAM) merupakan satu kesatuan sistem fisik (teknis) dan non fisik dari SPAM dengan jaringan pemipaan, sesuai dengan PP No. 16 tahun 2005 tentang Pengembangan SPAM, terdiri atas unit air baku, unit produksi, unit distribusi, unit pelayanan dan unit pengelolaan. Unit air baku terdiri dari bangunan pengambilan atau penyadapan yang merupakan sarana pengambilan air baku. Unit transmisi berfungsi untuk mengalirkan air baku dari intake ke unit produksi atau sering pula
Pengaruh Izin Mendirikan Bangunan … (Nurhasanah Sutjahjo)
digunakan pipa untuk mengalirkan dari reservoir air minum ke jaringan pipa distribusi. Unit produksi merupakan prasarana dan sarana yang dapat digunakan untuk mengolah air baku menjadi air minum melalui proses fisik, kimiawi dan biologi. Unit produksi terdiri dari bangunan pengolahan dan perlengkapannya perangkat operasional, alat pengukuran dan peralatan pemantauan serta bangunan penampungan air minum. Unit distribusi adalah sarana untuk mengalirkan air minum dari reservoir sampai ke unit pelayanan. Sistem jaringan distribusi dapat berbentuk cabang (branch), tertutup (loop) atau kombinasi, bentuk jaringan pipa distribusi ditentukan oleh kondisi topografi, lokasi reservoir, luas wilayah pelayanan, jumlah pelanggan dan jaringan jalan dimana pipa akan dipasang. Unit pelayanan dapat berupa: a. Sistem pemipaan: 1. Sambungan rumah (SR) 2. Kran umum (KU) 3. Hidran kebakaran b. Sistem non pemipaan: 1. Sumur gali 2. Sumur pompa tangan (SPT dangkal/ dalam) 3. Sumur dalam 4. Saringan rumah tangga (Sarut) 5. Sistem instalasi pengolahan air sederhana (SIPAS) 6. Hidran umum (HU) 7. Penampungan air hujan (PAH) Pembiayaan pada Sistem Air Minum Biaya program SPAM meliputi pekerjaan studi kelayakan, perencanaan, konstruksi dan supervisi. Biaya program sistem diuraikan atas jenis pekerjaan, yang tersusun dalam elemen bahan dan upah. Penguraian, jenis pekerjaan menjadi elemen tenaga kerja dan bahan didasarkan pada analisis Burgeslijke Opanbare Werken (BOW) atau Analisis Biaya Konstruksi (ABK). Biaya konstruksi diperkirakan berdasarkan volume rinci (bill of quantity) dikalikan harga satuan tertentu. Secara umum, biaya konstruksi terdiri atas biaya bahan, biaya peralatan dan upah. Biaya tersebut dipengaruhi oleh kondisi lokasi, transportasi waktu dan nilai tukar mata uang. Secara praktis, pembiayaan dikelompokkan ke dalam komponen/ jenis pekerjaan. Untuk melihat perkembangan kerja dan biaya satuan setiap komponen dilakukan analisis untuk memperoleh trend perkembangan upah dan harga bahan terhadap kondisi regional, spesifik lokasi dan waktu. Faktor-faktor penyesuai lokasi proyek dan
faktor penyesuai regionalisasi dianggap independensi terhadap waktu. Selain itu, penyesuaian terhadap waktu diperlukan untuk mengakomodasi perkembangan teknologi, fluktuasi harga pasaran, karena pengaruh inflasi dan devaluasi moneter dan sebagainya. Materi Standar terdiri dari: Pemrograman Penyusunan materi pemrograman ini dimaksudkan untuk menjadi pegangan pihak eksekutif (pemerintah pusat) dalam menentukan kebijakan dan regulasi dalam hal penyusunan program pembangunan prasarana dan sarana penyediaan air minum. Materi teknis yang dibahas adalah komponen biaya satuan program, kuantitas dan komponen kualitas. Biaya Satuan Program (BSP): Materi ini menganalisis biaya satuan investasi (mencakup komponen produksi dan distribusi) yang akan diperlukan pada saat memperkirakan biaya investasi untuk membangun, rehabilitasi dan mengoptimalkan sistem penyediaan air minum dalam satuan per L/det; per sambungan langsung dan satuan per kapita di daerah pelayanan. Biaya satuan per L/det; merupakan perkiraan biaya satuan investasi (mencakup komponen produksi dan distribusi) yang akan diperlukan untuk membangun/ mengembangkan, rehabilitasi dan mengoptimalkan sistem penyediaan air minum dalam satuan kapasitas per satuan waktu. Biaya satuan persambungan langsung (SL) merupakan perkiraan biaya satuan investasi yang diperlukan membangun sistem penyediaan air minum dalam sambungan langsung. Biaya satuan per kapita; merupakan biaya satuan investasi yang diperlukan untuk membangun sistem penyediaan air minum dalam satuan jumlah penduduk yang terlayani. Kuantitas: Materi ini membahas tentang kuantitas konsumsi pemakaian air, tingkat kehilangan air, potensi kecepatan pemasangan SL dalam suatu daerah pelayanan. Kualitas: Materi ini menerangkan persyaratan kualitas air minum dan pada konsep ini yang digunakan sebagai referensi adalah standar kualitas air minum yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan yang berlaku saat ini. Operator Penyusunan materi standar untuk operator (pengelola) ini dimaksudkan untuk menjadi pegangan pihak pengelola pada pengelolaan prasarana dan sarana sistem penyediaan air minum. Materi standar yang dianalisis adalah 94
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 92-101
faktor-faktor yang pada kualitas pelayanan bidang air minum yang seharusnya telah disediakan (dilaksanakan) oleh pihak pengelola untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan (kebutuhan minimal ditambah kenyamanan), seperti komponen teknis, aspek keuangan dan aspek kelembagaan. 1. Teknis: materi ini membahas tingkat cakupan dalam melayani konsumen, tingkat produksi pengelola, komponen parameter teknis dalam sistem distribusi dan tingkat kehandalan sistem dalam melayani pelanggan. 2. Keuangan: materi ini membahas proporsi ideal biaya yang diperlukan untuk mengoperasikan suatu SPAM. 3. Kelembagaan: materi ini membahas bentuk dan struktur kelembagaan instansi pengelola dan personalia. Alternatif bentuk pengelola dapat berupa perusahaan (PDAM dan swasta), koperasi dan masyarakat. Pada personalia akan dibahas jumlah dan proporsi pegawai yang layak untuk suatu pengelola. Pengguna (Masyarakat) Penyusunan materi standar bagi pengguna (masyarakat) ini dimaksudkan untuk menjadi pegangan pihak konsumen dalam menilai kesiapan dan kinerja pengelola dalam hal pemenuhan kebutuhan air minum masyarakat. Materi standar yang dibahas adalah faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan kepuasan konsumen pelayanan air minum, seperti komponen teknis dan aspek kehandalan sistem. Teknis: materi ini membahas kualitas pelayanan air minum yang diterima konsumen, meliputi parameter jam pelayanan, tekanan kritis dan konsumsi air. Kehandalan sistem: membahas kualitas operator pada proses pemasangan SL baru, tanggapan terhadap keluhan pelanggan, dan penyebaran informasi kepada masyarakat/ pelanggan. Hasil uraian materi standar selengkapnya dapat dilihat pada tabel mengenai konsep materi standar pelayanan bidang air minum. Pembiayaan dengan Model Matematik Secara umum perhitungan biaya satuan pekerjaan pembangunan penyediaan air minum dapat dipengaruhi oleh upah pekerjaan dan harga bahan bangunan. Berdasarkan pengamatan data lapangan
95
dapat dipastikan bahwa upah dan harga akan berubah mengikuti perkembangan waktu. Perhitungannya dapat dilakukan melalui dua tahap perkiraan yaitu dengan membuat plot dari upah dan bahan untuk semua kemungkinan bentuk model berdasarkan perubahan waktu, kemudian diikuti dengan perhitungan bentuk modelnya untuk trend yang dipilih. Trend harga bahan bangunan dan upah pekerjaan dinyatakan dalam bentuk koefisien harga akibat perubahan waktu. Sedangkan faktor lain yang diperhatikan adalah lokasi pekerjaan yang dirinci menjadi faktor regional serta faktor spesifik dari kondisi geologi. Biaya sistem PAB adalah jumlah dari komponen kegiatan pembentuk penyediaan air bersih, yang dapat ditaksir melalui model matematik berikut: UC I j t = BCI j t * IIr, ………………..…..……………………... [1] Dimana: UC I j t = biaya satuan komponen PAM ke I pada lokasi j dan waktu ke t BCI j t t = harga satuan dasar untuk komponen ke I di lokasi ke j dan pada waktu ke t IIr = indeks regional komponen ke I pada lokasi tertentu. Sedangkan BCI j t dihitung melalui persamaan berikut: BCI j t = UCij * IHIt * ISPI j ……..…...........................…[2] Dimana: UCij = harga satuan pekerjaan yang ada di komponen ke I di lokasi ke j IHIt = indeks harga komponen ke I pada waktu tertentu ISPI j = faktor penyesuaian untuk komponen spesifik dari kondisi lokasi Faktor yang berhubungan dengan lokasi ini dapat dinyatakan sebagai berikut : ISPI j = C1ij * C2ij …................................…………….…..…[3] Dimana: Pada kondisi normal koefisien adalah ISPij = 1. C1ij = faktor yang tergantung pada transmisibilitas tanah C2ij = faktor yang tergantung pada kondisi topografi i menunjukkan komponen j menunjukkan lokasi
Pengaruh Izin Mendirikan Bangunan … (Nurhasanah Sutjahjo)
Tabel 1 Konsep Materi Standar Pelayanan Minimum Bidang Air Minum No
Uraian kegiatan
1
Pemrograman - Biaya satuan program - Biaya satuan per Liter/detik *) Pemanfaatan kapasitas - Produksi - Distribusi Peningkatan kapasitas - Produksi - Distribusi - Biaya satuan per sambungan (SL) - Biaya satuan per kapita - Kuantitas - Konsumsi pemakaian air - Kehilangan air (kebocoran) Teknis Non teknis - Kecepatan pemasangan SL - Kualitas
2
3
Operator/ pengelola - Teknis - Tingkat pelayanan - Cakupan pelayanan Pelayanan SL Pelayanan HU/ TA - Produksi Kapasitas produksi terpasang Pemakaian air untuk instalasi - Distribusi Flushing minimal/tahun Perbandingan Q puncak ratarata Sisa tekanan di titik ujung Jam operasi - Kehandalan Keluhan pelanggan Jumlah hari penagihan Efisiensi penagihan - Keuangan - Biaya tetap - Biaya variabel - Kelembagaan - Bentuk pengelolaan - Personalia Rasio karyawan/1000 SL Jumlah tenaga teknik Pengguna/ masyarakat - Teknis Jam pelayanan Tekanan air pada SL terjauh Konsumsi air yang tersedia - Kehandalan sistem Proses pemasangan SL baru Tanggapan keluhan pelanggan terhadap jumlah SL
Satuan
Metro
Besar
Sedang
Kecil
Juta Rp Juta Rp Juta Rp Juta Rp Juta Rp Juta Rp Juta Rp Juta Rp
73,8 -136,8 18,0-80,1 56,4-56,7 236-411,3 48,0-222,6 188,0-88,7 4,62-8,1 0,78-1,4
101,7-166,8 18,0-80,0 83,7-86,7 327,0-511,8 48,0-222,6 278,7-289,5 4,74-7,41 0,78-1,23
169,2-234,9 18,0-80,1 151,2-154,8 552,0-738,9 48,0-222,6 504,0-516,3 5,76-8,22 1,14-1,65
204,6-312,3 18,0-80,1 186,6-232,2 670,2-996,6 48,0-222,6 622,2-774,0 5,6-8,3 1,1-1,7
L/o/h % % % unit/thn
150 -200 25 20 5 10000-30000
120-150 25 20 5 5000-15000
100-125 25 20 5 2000-3000
90-100 25 20 5 500-1000
%
80
80
80
80
% %
95 -100 0–5
90 -100 0 – 10
80 -100 0 – 20
80 -100 0 – 20
% %
70 – 90 4–9
75 – 90 4–9
80 – 90 4–9
80 – 90 4–9
kali
05-Okt 1,5 – 2,25
05-Okt 1,5 – 2,0
05-Okt 1,25 – 2,0
05-Okt 1,25 – 1,75
mka jam
5 – 12,5 24
5 – 12,5 24
5 – 12,5 24
5 – 12,5 24
% hr %
0,3 40 – 50 90
0,4 40 – 50 90
0,5 40 – 50 90
0,6 40 – 50 90
% %
40 60
40 60
40 60
40 60
Pegawai %
5–8 60-75
8 – 10 55 – 65
8 – 10 55 – 65
10 – 12 55 – 60
Jam mka L/or/hr
24 5 – 12,5 150 – 200
24 5 – 12,5 120 – 150
24 5 – 12,5 100 – 125
24 5 – 12,5 90 – 110
hari %/ bulan
7 – 14 3–4
7 – 14 4–5
5 – 10 5–6
5 – 10 6 –8
Ket
*) Biaya satuan berdasarkan Pedoman SPM Bid. Air Minum tahun 2004
Kepmenkes No.907/2002
Juknis (target MDG) Komposisi HU/TA Kepmendagri No. 34/2000
Sumber: Pedoman Standar Pelayanan Minimal Bidang Air Minum (Ditjen. Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan), tahun 2004
METODE PENELITIAN Pelaksanaan kajian dibagi dalam tiga kegiatan, yaitu: identifikasi permasalahan, pengumpulan data sekunder (kajian pustaka), pengolahan/ analisis data.
Metode Pengumpulan Data Data sekunder dikumpulkan dari berbagai hasil studi yang pernah dilaksanakan oleh institusi berwenang dan data pustaka, informasi ilmiah dari buku, jurnal, laporan penelitian dan internet.
96
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 92-101
Metode Analisis Data Metode pengolahan/ analisis data yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: Analisis kuantitatif: untuk menghitung biaya operasi dan pemeliharaan, kapasitas sistem, dan desain struktur dan konstruksi SPAM. Analisis deskriptif: untuk memberikan gambaran secara lengkap mulai dari pembuatan prasarana dan sarana SPAM.
HASIL DAN PEMBAHASAN Biaya satuan program sistem distribusi Penentuan biaya satuan program sistem distribusi didasari dengan asumsi-asumsi yang dibagi berdasarkan klasifikasi tipologi seperti yang tertera pada tabel 2 Asumsi Perhitungan Sistem Distribusi. Asumsi-asumsi tersebut kemudian dipakai sebagai dasar analisis dan simulasi pengembangan jaringan distribusi. Berdasarkan analisis dan simulasi pengembangan jaringan distribusi tersebut kemudian dapat ditentukan biaya satuan investasi sistem distribusi yang diperlukan. Tabel 2 Asumsi Perhitungan Sistem Distribusi Uraian
Distribusi setiap Jenis Kota Satuan Kecil Sedang Besar Metro jiwa/ha 100 200 300 400
Kepadatan Tingkat Pelayanan % 80 Kehilangan air % 25 Pelayanan RT % 90 Rasio Pelayanan SL % 90 Rasio Pelayanan HU/TA % 10 Pelayanan/ SL jiwa 5 Konsumsi SL L/or/hr 100 Pelayanan/ HU or 50 Konsumsi HU L/or/hr 30 Pelayanan non domestik (RT) % 10 Konsumsi non domestk (RT) L/un/hr 2000 Kemiringan lahan % Datar
80 25 85
80 25 80
80 25 70
90
90
90
10 5 125 50 30
10 5 150 50 30
10 5 200 50 30
10
10
10
2000
2000
2000
Datar
Datar Datar
Sumber: Hasil Analisis
Klasifikasi jenis kota dibagi menjadi: Kota kecil (K): kota dengan jumlah penduduk 20.000-100.000 jiwa. Kota sedang (S): kota dengan jumlah penduduk 100.000-500.000 jiwa. Kota besar (B): kota dengan jumlah penduduk 500.000-1.000.000. jiwa. Kota metropolitan (M): kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 jiwa. Dalam analisis dan simulasi pengembangan jaringan distribusi, komponen sistem distribusi 97
yang dikembangkan terdiri dari reservoir distribusi, jaringan distribusi utama (primer dan sekunder), jaringan distribusi tersier (retikulasi), serta sistem pipa dinas dan sambungan langsung. Biaya satuan program sistem produksi Penentuan biaya satuan program (BSP) sistem produksi didasari tipikal asumsi yang sama untuk setiap kota. BSP diperoleh dari analisis perkiraan biaya investasi yang diperlukan untuk membangun suatu sistem produksi. Sistem produksi tersebut terdiri dari komponen bangunan sadap, sistem transmisi, sistem unit operasi dan komponen bangunan pelengkap. Sistem unit operasi yang dipakai data dasar penentuan biaya satuan program terdiri dari unit koagulasi, flokulasi, sedimentasi dan filtrasi dengan jenis konstruksi beton. Biaya operasional Asumsi sistem yang dipakai dalam penentuan proporsi biaya operasional adalah sistem pengolahan lengkap untuk Instalasi Pengolahan Air sistem produksi. Sedangkan untuk sistem distribusi asumsi yang digunakan adalah sama dengan asumsi sistem distribusi dengan menggunakan pemompaan. Pemrograman 1. Biaya Satuan Program Biaya satuan program (BSP) adalah biaya investasi yang diperlukan untuk membangun suatu satuan sistem. Satuan sistem dapat berupa kapasitas pelayanan (L/det) per komponen sistem (produksi, distribusi, atau bagiannya), per sambungan, per kapita dan lain-lain. Biaya satuan program yang dihitung terdiri atas BSP untuk pembangunan per L/det, per sambungan langsung (SL) dan per kapita. Contoh penggunaan: a. Jika pihak pemrogram ingin mengembangkan sistem pelayanan air minum pada satu lokasi kota dengan rencana penambahan jumlah SL sebesar 1000 unit, maka biaya program investasi pengembangan dihitung sebagai berikut: 1. Tetapkan kategori kota (misal kota sedang); 2. Dari Tabel 1 ditetapkan BSP (Rp 1.140.000Rp 1.650.000), misal Rp 1.500.000; 3. Perkiraan biaya program untuk 1000 unit adalah sebesar Rp. 1.500.000.000. Biaya ini mencakup biaya untuk komponen produksi dan distribusi. b. Jika pihak pemrogram ingin mengembangkan sistem pelayanan air minum pada satu lokasi kota dengan rencana penambahan kapasitas pelayanan sebesar 100 L/det, maka biaya program investasi pengembangan kapasitas dihitung sebagai berikut:
Pengaruh Izin Mendirikan Bangunan … (Nurhasanah Sutjahjo)
1. Tetapkan kategori kota (misal kota besar). 2. Tetapkan BSP (dari Tabel 1 berkisar Rp 327.000.000 - Rp 511.800.000), misal Rp 450.000.000. 3. Perkiraan biaya program pengembangan kapasitas sebesar 100 L/det adalah Rp 45.000.000.000. 4. Biaya ini mencakup biaya untuk komponen produksi dan distribusi. Biaya satuan per L/det peningkatan kapasitas, maupun pemanfatan kapasitas dan biaya satuan persambungan langsung (SL) tersebut diatas dianggap untuk daerah propinsi DKI Jaya, maka pendekatan analisis biaya satuan program untuk propinsi lain, dapat menggunakan indeks regional harga satuan komponen pembentuk sistem penyediaan air bersih (sumber DJCK Dep. PU dan LP UNPAD tahun 1987) 2. Kuantitas a. Konsumsi Pemakaian Air Konsumsi pemakaian air adalah jumlah air yang digunakan oleh pelanggan per hari. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, maka konsumsi pemakaian air per kategori kota akan berbeda. Semakin besar kota semakin besar konsumsi pemakaian air per kapita. Sesuai dengan hasil analisis PDAM yang telah dilakukan, maka diusulkan konsumsi pemakaian air per kapita adalah sebesar 150-200 L/hari untuk kota metropolitan dan 90-110 L/hari untuk kota kecil (lihat Tabel 1). Contoh penggunaan: Jika pihak pemrogram ingin mengembangkan sistem pelayanan air minum pada satu lokasi kota dengan rencana penambahan pelanggan sebesar 10.000 jiwa, maka kebutuhan penambahan kapasitas sistem dihitung sebagai berikut: 1. Tetapkan kategori kota (misal kota metropolitan). 2. Tetapkan konsumsi pemakaian air (Tabel 1 (150-200) L/or/hr, misal 200 L/or/hr. 3. Perkiraan penambahan kapasitas adalah sebesar (10.000 jiwa X 200 L/or/hr)/ 86400 det/hr = 23,15 L/det. 4. Jika diperhitungkan faktor kebocoran sebesar 25 % (teknis dan non teknis), maka jumlah penambahan kapasitas adalah 23,15 + 5,79 = 28,94 L/det. b. Kehilangan Air Kehilangan air merupakan selisih antara produksi air dengan jumlah air yang tercatat pada meter air pelanggan. Kehilangan non teknis adalah kehilangan air yang diakibatkan faktor-faktor kesalahan administratif dan
keuangan, seperti kesalahan pembacaan meter air, penyambungan liar dan lain-lain. Kehilangan teknis adalah kehilangan air yang diakibatkan faktor-faktor penggunaan air untuk operasional dan pemeliharaan unit proses sistem produksi, serta kerusakan pada komponen fisik sistem distribusi dan pelayanan (seperti pipa dan aksesoris). c. Kecepatan Pemasangan SL Kecepatan pemasangan SL adalah potensi kemampuan pengelola air minum untuk memasang SL baru dalam rangka meningkatkan cakupan pelayanan air minum dalam satu tahun tertentu. Dengan demikian maka kecepatan pemasangan ini bukan merupakan sasaran yang harus dicapai oleh pengelola per tahun. Umumnya digunakan untuk satu tahun tertentu pada masa pengembangan. Contoh penggunaan: Jika pihak pemrogram ingin mengembangkan cakupan pelayanan sebesar 500 L/det pada satu kota (kota besar), maka dengan adanya penambahan sebesar 500 L/det tersebut, tambahan jumlah pelanggan yang dapat dilayani adalah sebesar 36.000 SL. Pemrogram dapat merencanakan besarnya penambahan pelanggan pada satu tahun berjalan berdasarkan angka kecepatan pemasangan SL yang telah ditentukan. Penetapan tersebut terutama harus memperhitungkan tingkat permintaan di daerah pelayanan (ditetapkan berdasarkan tingkat pelayanan eksisting kemudahan mendapatkan sumber air minum pada daerah pelayanan). Kebutuhan penambahan pelanggan pada satu tahun berjalan ditentukan sebagai berikut: 1. Tetapkan kategori kota (misal kota besar); 2. Tetapkan kebutuhan penambahan cakupan, misalnya diperlukan penambahan kapasitas 500 L/det atau setara dengan 36.000 SL; 3. Tetapkan potensi kecepatan pemasangan SL (pada tabel 5.000-15.000 SL/tahun), misal diambil angka 12.000 SL/tahun; 4. Berdasarkan kemampuan sumber daya yang ada pada institusi pengelola, misalnya ditetapkan pencapaian target hingga 4 tahun dengan rincian penambahan pada tahun pertama 12.000 SL, pada tahun kedua 10.000 SL dan pada tahun ketiga dan keempat masing-masing 7.000 SL;
98
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 92-101
5. Empat tahun kegiatan pengembangan tersebut bersifat insidentil. Pada tahun berikutnya bisa tidak dilakukan penambahan SL karena target cakupan pelayanan sudah tercapai dan tidak ada permintaan penambahan kebutuhan SL. 3. Kualitas Kualitas air minum harus memenuhi peraturan yang berlaku, dalam hal ini Keputusan Menkes No. 907/MENKES/ SK/VII/2002, tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Operator (Pengelola) 1. Teknis a. Tingkat Pelayanan Tingkat pelayanan adalah persentase jumlah penduduk yang dilayani dari jumlah total penduduk di daerah pelayanan besaran yang digunakan adalah 80 % atau disesuaikan dengan rumusan MDG pada tahun 2015, yaitu pertambahan sebesar 50 % dari sisa yang belum mendapatkan akses pelayanan. Contoh penggunaan: Jika tingkat pelayanan suatu kota sebesar 40 %, maka target pertambahan pelayanannya adalah 100-40 % x 0,5 = 30 %, sehingga target pelayanannya adalah (40 + 30) % = 70 % b. Cakupan Pelayanan Cakupan pelayanan adalah proporsi antara cakupan pelayanan SL dengan cakupan pelayanan hidran umum dan terminal air. Contoh penggunaan: Jika suatu kota (kota kecil) mengembangkan sistem penyediaan air minum berkapasitas 20 L/det, maka jumlah pelayanan melalui SL berkisar antara 16-20 L/det dan pelayanan melalui HU dan TA berkisar 0-4 L/ det. c. Produksi Kapasitas produksi adalah kapasitas IPA untuk memproduksi air minum. Kapasitas terpasang kapasitas desain IPA yang direncanakan. Penetapan perbandingan kapasitas produksi dengan kapasitas terpasang adalah dalam rangka menjaga kesinambungan pengembangan pelayanan air minum oleh pengelola (PDAM). Sebagai contoh, untuk pengelola pada kota metropolitan yang mempunyai tingkat produksi 70–90 % dari kapasitas terpasang, berarti memiliki cadangan kapasitas 10-30 %. Dengan adanya sisa kapasitas terpasang yang belum termanfaatkan sebesar 10-30 % tersebut,
99
maka pada tahun berikutnya pengelola (PDAM) masih mampu melakukan pengembangan (penambahan cakupan pelayanan atau memenuhi penambahan tingkat konsumsi pelanggan). Cadangan 1030 % diperlukan untuk membangun suatu instalasi dengan waktu yang cukup lama (lebih dari satu tahun). Berdasarkan pertimbangan dan analisis terhadap kondisi eksisting PDAM, ditetapkan angka perbandingan kapasitas produksi dengan kapasitas terpasang sebesar 70-90 % untuk kota metropolitan dan 80-90 % untuk kota kecil. Contoh penggunaan: Untuk kota metropolitan jika kapasitas produksi telah melampaui batas yang ditetapkan 90 %, maka pengelola harus melakukan penambahan kapasitas untuk menjaga kesinambungan pengembangan. Pemakaian air untuk kebutuhan instalasi adalah jumlah air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air fasilitas produksi pada saat proses produksi. Angka pemakaian air untuk kebutuhan instalasi diusulkan sebesar 4-9 % sesuai dengan hasil penelitian yang telah disepakati. d. Distribusi Air 1. Kehilangan air Kehilangan air distribusi telah dibahas pada pemrograman butir 2.b. 2. Penggelontoran Jaringan Distribusi Penggelontoran pipa dilakukan untuk menghindari adanya endapan pada jaringan pemipaan sehingga menjaga kualitas air minum yang sampai kepada pelayanan. Penggelontoran ini dilakukan secara periodik 5-10 tahun sekali. Perbandingan debit puncak dengan debit rata-rata atau disebut faktor jam puncak adalah merupakan kemampuan suatu institusi pengelola untuk memenuhi kebutuhan air pada saat jam puncak. Makin besar nilai faktor jam puncak, makin tinggi tingkat kehandalan suatu sistem penyediaan air minum. Dihubungkan dengan aspek pembiayaan, maka semakin tinggi faktor jam puncak yang digunakan pada suatu sistem, semakin tinggi pula biaya operasi yang diperlukan untuk menjalankan sistem diusulkan nilai faktor jam puncak kota metropolitan adalah 1,5-2,25, lebih tinggi daripada faktor jam puncak kota besar, sedang dan pada kota kecil: 1,25-1,75.
Pengaruh Izin Mendirikan Bangunan … (Nurhasanah Sutjahjo)
3. Sisa tekanan di titik ujung/ kritis Titik kritis merupakan titik terjauh dari suatu daerah pelayanan yang menyebabkan terjadinya sisa tekanan air distribusi minimum. Besaran sisa tekanan akan berpengaruh pada biaya operasi dan berpengaruh pada kualitas pelayanan kepada pelanggan. Semakin tinggi sisa tekanan maka semakin besar biaya operasi dan semakin baik kualitas pelayanan kepada pelanggan. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka perlu dipilih sisa tekanan yang tidak terlalu memberatkan pengelola namun juga dapat memberi kualitas pelayanan yang cukup baik kepada pelanggan. Diusulkan besaran sisa tekanan di titik ujung/ kritis adalah sebesar 5-12,5 mka. Dengan angka sisa tekanan sebesar 5 mka maka penyaluran air minum akan mampu melayani pelanggan pada bangunan tingkat 2. 4. Konsumsi pemakaian air Konsumsi pemakaian air telah dibahas pada pemrograman butir 2.a. 5. Jam operasi (distribusi) per hari Pengoperasian distribusi selama 24 jam per hari adalah untuk mencegah infiltrasi dan kontaminasi air dari luar pipa ke dalam pipa air minum serta menjaga kontinuitas pengaliran kepada pelanggan. Berdasarkan alasan tersebut, yaitu untuk menjaga kualitas pelayanan air minum, maka jam operasi distribusi ditetapkan 24 jam per hari. e. Kehandalan Sistem Kehandalan sistem diukur dengan persentase maksimum jumlah keluhan pelanggan per bulan. Angka ini menunjukkan kehandalan pengelola dalam pelayanan air minum. Makin rendah angka persentase jumlah keluhan pelanggan terhadap jumlah yang terlayani, maka makin baik kehandalan suatu sistem pengelolaan. Diusulkan besaran persentase keluhan pelanggan kota metropolitan memiliki persentase yang paling kecil yaitu 0,3 % dibanding kota besar, kota sedang dan kecil adalah 0,6 %. Contoh penggunaan: Suatu kota kecil melayani 10.000 SL, maka jumlah maksimum keluhan pelanggan terhadap institusi pengelola penyediaan air minum kota tersebut adalah 60 keluhan per bulan.
2. Keuangan Aspek keuangan diukur oleh proporsi antara biaya tetap dan biaya variabel. Proporsi antara biaya tetap dan biaya variabel pada masingmasing jenis kota sama. 3. Kelembagaan a. Bentuk pengelola Bentuk pengelola institusi penyediaan air minum dapat berbentuk perusahaan, koperasi (kelompok masyarakat) dan masyarakat. Peraturan yang mengatur bentuk dan struktur kelembagaan PDAM diatur dalam Kepmendagri No. 34 Tahun 2000 tentang Pedoman Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum dan Kepmen Otda No. 8 Tahun 2000 tentang Pedoman Akuntansi Perusahaan Daerah Air Minum. Untuk kerjasama antara perusahaan swasta dan pemerintah diatur Kepmen KIMPRASWIL No. 489/KPTS/002 tentang Pedoman Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Penyelenggaraan Air Minum dan Sanitasi. Adapun untuk institusi bentuk koperasi atau kelompok masyarakat bentuk dan strukturnya diatur oleh AD/ ART koperasi atau Pokmas tersebut. Selain itu dapat pula pengelola penyediaan air minum adalah masyarakat yang bentuk dan strukturnya tidak diatur secara spesifik. b. Personalia Rasio karyawan per 1000 SL menunjukkan tingkat efesiensi personil institusi pengelola dalam penyediaan air minum. Makin kecil rasio karyawan per 1000 SL, maka makin efesien institusi pengelola penyediaan air minum tersebut. Jumlah tenaga teknik menunjukkan proporsi tenaga teknik terhadap karyawan keseluruhan. Berkaitan institusi pengelola penyediaan air minum sebagai suatu perusahaan yang berorientasi pelayanan pada masyarakat serta kegiatan intinya berkaitan dengan teknis penyediaan air minum, maka diperlukan tenaga teknik yang lebih banyak daripada tenaga administrasi/ umum. Makin besar proporsi tenaga teknik, maka makin efisien dan efektif institusi pengelola air minum. Pelanggan (Masyarakat) 1. Teknis a. Jam Pelayanan Jam pelayanan sama dengan jam operasi distribusi telah dibahas pada operator (pengelola) butir 1.c. b. Tekanan air pada SL terjauh/ kritis Telah dibahas pada operator (pengelola) butir 1.c. 100
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 92-101
Konsumsi air yang tersedia telah dibahas pada pemrograman butir 2.a. 2. Kehandalan Sistem a. Proses pemasangan SL baru Proses pemasangan baru adalah jumlah waktu yang diperlukan untuk merealisasikan pemasangan satu SL setelah seluruh syarat administrasi dilengkapi oleh calon pelanggan. Pengaturan tentang waktu ini perlu ditetapkan agar calon pelanggan mempunyai satu jaminan pelayanan pada saat proses pemasangan yang sesuai dengan kompleksitas kota, maka waktu yang diperlukan untuk proses pemasangan SL baru ini ditetapkan lebih cepat pada kota kecil dibandingkan kota besar. Waktu pemasangan SL pada kota kecil dan kota sedang adalah (5-10) hari, sedangkan pada kota besar dan kota metropolitan (7-14) hari. b. Tanggapan terhadap keluhan pelanggan Tanggapan terhadap keluhan pelanggan adalah lamanya waktu tanggapan tertulis dari pihak pengelola terhadap keluhan pelanggan. c. Penyebaran informasi Penyebaran informasi ini merupakan pegangan pihak pelanggan untuk mengetahui informasi mengenai potensi jumlah SL yang tersedia dan informasi mengenai lokasi SL yang tersedia. Frekuensi penyebaran informasi di kota kecil dan kota sedang lebih kecil (1 kali per tahun) dibanding frekuensi penyebaran informasi di kota besar dan kota metropolitan (2 kali per tahun).
KESIMPULAN Dari hasil analisis data dan cara penggunaan/ penerapan biaya satuan program, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam rangka penyelenggaraan yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan sebagai alat pemerintah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat serta meningkatkan keadilan melalui penerapan SPM. 2. Biaya satuan program (BSP) adalah biaya investasi yang diperlukan untuk membangun suatu satuan sistem, dapat berupa kapasitas pelayanan (L/det) per komponen sistem (produksi, distribusi, atau bagiannya), per sambungan, per kapita dan lain-lain. 3. Penggunaan BSP adalah pada perencanaan program, khususnya yang berkaitan dengan
101
penentuan perkiraan biaya yang diperlukan untuk membangun suatu sistem. 4. Analisis BSP pada biaya satuan per L/det untuk pemanfaatan kapasitas kota metropolitan adalah paling kecil dan meningkat seterusnya untuk kota besar, sedang dan kecil, begitu juga biaya satuan per L/det untuk peningkatan kapasitas, untuk biaya satuan per sambungan (SL) yang paling tinggi di kota sedang, dan mulai menurun di kota kecil, besar dan metropolitan, dengan biaya satuan perkapita diambil data paling minimal, yaitu untuk kota metropolitan dan kota besar adalah Rp. 0,78 juta, kota sedang naik Rp. 1,14 juta, kota kecil menurun lagi Rp. 1,1 juta.
SARAN 1. Untuk pengembangan model pembiayaan satuan program sistem penyediaan air minum pada waktu yang akan datang disarankan melakukan penyesuaian data dan informasi pada kegiatan pembangunan fisik proyek yang sedang berlangsung di lapangan. 2. Untuk penambahan tingkat signifikansi model matematis, disarankan untuk dilakukan uji validasi pada lokasi yang dinilai efisien dalam mengelola biaya pekerjaan fisik proyek sistem penyediaan air minum.
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Cipta Karya, Dep. PU 1998. No. AB-K/LW/TC/-002/98. Petunjuk Teknis Tata Cara Estimasi Biaya Pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum. Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) Dep. PU. Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan. 2004. Pedoman Standar Pelayanan Bidang Air Minum. Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2001. No. 534/KPTS/M/2001. Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal Bidang Penataan Ruang. Peraturan Pemerintah No. 16. 2005. Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Peraturan Pemerintah No. 65. 2005. PrinsipPrinsip Standar Pelayanan Minimal. R. Dewey and Dickson. 1976, Cost Estimating Manual. James M. Montgomery, Consulting Engineering, Inc. Sarbidi, Dadang. S dan Ichwan. S. 2004, Pengembangan Model Analisis Pembiayaan Program Sistem Penyediaan Air Bersih. Jurnal Permukiman.
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Agustus 2010: 102-105
Abstrak UDC 504.06 Sar Sarbidi p Pengendalian kerusakan lingkungan permukiman kawasan pantai Pulau Miangas dengan pencegahan erosi dan abrasi/Sarbidi.--Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 2 Agustus 2010.--Hal. 58 – 66.--Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2010. 44 hlm. : ilus.;25 cm Abstrak : hlm. 58 ISSN : 1907-4352 I. ENVIRONMENT II. SEA SHORE 1. Judul Pulau Miangas adalah pulau kecil terluar berbatasan dengan wilayah Negara Filipina. Berdasarkan penelitian disimpulkan erosi dan abrasi telah merusak pantai Pulau Miangas sebelah Utara, Barat-Barat Laut, Selatan kearah Barat dan Selatan ke arah Timur. Lahan pantai Bagian Barat-Barat Laut dikikis sekitar 3 m per tahun. Kerusakan pantai dapat dikendalikan dengan penerapan beberapa pemecah gelombang sejajar pantai dan penanaman pohon bakau. Khususnya di sebelah kiri dermaga dapat diterapkan konstruksi tembok laut. Kata kunci : erosi, abrasi, pengendalian, pemecah gelombang, tembok laut, pohon bakau UDC 69.058.4 Pur Purwaamijaya, Iskandar Muda a Analisis sosial-ekonomi penghuni perumahan Setiabudhi Regency, Graha Puspa, Triniti/Iskandar Muda Purwaamijaya.--Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 2 Agustus 2010.--Hal. 67 – 77.--Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2010. 44 hlm. : ilus.;25 cm Abstrak : hlm. 67 ISSN : 1907-4352 I. SETTLEMENT II. SOCIAL-ECONOMIC 1. Judul Lebih dari setengah penghuni perumahan berpendidikan dan berkecukupan secara finansial tetapi tidak memiliki wawasan cukup tentang pembangunan perumahan berwawasan lingkungan. Sebagian besar penghuni perumahan tinggal di perumahan karena alasan fisik lingkungan yang nyaman dan infrastruktur sesuai harapan saja tetapi tidak mengetahui dampak negatifnya terhadap lingkungan. Kata kunci : perumahan, kawasan pinggiran metropolitan, ruang terbuka hijau (RTH), sosial-ekonomi, mobilitas penduduk UDC 691.3 Hus Husin, Andriati Amir p Penelitian pengaruh larutan garam sulfat terhadap kualitas beton ringan/Andriati Amir Husin. --Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 1 Agustus 2010.--Hal. 78 – 84.--Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2010. 44 hlm. : ilus.;25 cm Abstrak : hlm. 78 ISSN : 1907-4352 I. CONCRETE 1. Judul Beton ringan adalah beton yang memakai agregat ringan atau campuran agregat kasar ringan dan pasir. Dalam percobaan ini agregat yang digunakan adalah fly ash, bottom ash, dan Residium Catalytic Cracking (RCC) dengan komposisi campuran satu bagian berat semen berbanding dua bagian berat agregat. Agregat yang digunakan adalah : 75 % fly ash dan 25 % pasir, 75 % pasir dan 25 % RCC, 100 % bottom ash. Dari hasil percobaan ternyata fly ash, bottom ash dan RCC berfungsi ganda yaitu sebagai bahan pozolan buatan dan sebagai agregat ringan. Komposisi campuran 1 bagian semen : 2 bagian agregat (75 % fly ash, 25 % pasir) dengan penambahan foam agent sebesar 0,8% dapat digunakan untuk paparan lingkungan sulfat berat dan sangat berat. Kata kunci : beton ringan, agregat ringan, garam sulfat, limbah industri, limbah katalis UDC 351.778.511 Iri Iriani, Lia Yulia p Pengaruh izin mendirikan bangunan terhadap penataan permukiman di Kampung Muara/ Lia Yulia Iriani. --Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 2 Agustus 2010.--Hal. 85 – 91.--Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2010. 44 hlm. : ilus.;25 cm Abstrak : hlm. 85 ISSN : 1907-4352
102
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Agustus 2010: 102-105
I. BUILDING PERMIT II. SETTLEMENT 1. Judul Penelitian ini mengkaji pengaruh sistem Izin Mendirikan Bangunan terhadap pelaksanaan penataan permukiman. Studi kasus di RT 05 dan RT 09 RW 07 Kampung Muara, Desa Sukawarga, Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, merupakan lokasi penerapan model konsep eco-settlement. Status lahan pada umumnya tidak mempunyai sertifikat bukti kepemilikan lahan secara legal dari Badan Pertanahan Nasional. Hasil analisis menunjukkan bahwa Izin Mendirikan Bangunan berpengaruh terhadap penataan permukiman di lokasi sasaran, sehingga diperlukan implementasi kebijakan Izin Mendirikan Bangunan secara terpadu dan terkoordinasi. Kata kunci : Izin Mendirikan Bangunan, status tanah, penataan permukiman, aspek hukum, konsep eco-settlement UDC 64.066.24 Sut Sutjahjo, Nurhasanah s Standar pelayanan minimal untuk biaya satuan program bidang air minum/ Nurhasanah Sutjahjo.-Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 2 Agustus 2010,--Hal. 92 – 101.--Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2010. 44 hlm. : ilus.;25 cm Abstrak : hlm. 92 ISSN : 1907-4352 I. INFRASTRUCTURE SETTLEMENT II. WATER 1. Judul Prasarana dan Sarana Permukiman (PSP) yang dibangun belum mencapai standar pelayanan minimal (SPM) yang ditetapkan. Kajian SPM yang mencakup 3 bagian yaitu : bidang pemrograman, pelaksanaan oleh operator dan pemanfaatan oleh masyarakat diperlukan sebagai acuan untuk menyelenggarakan pelayanan di bidang air minum sehingga diperoleh efisiensi dalam pemakaian, yang dapat meningkatkan pelayanan dan kepuasan masyarakat pengguna dalam pelayanan air yang memenuhi kuantitas, kualitas dan tekanan. Kata kunci : pelayanan minimal air minum, biaya satuan program, permukiman, prasarana dan sarana permukiman
103
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Agustus 2010: 106
Abstract UDC 504.06 Sar Sarbidi d Damage control of coastal human settlement in Miangas Island uses the erosion and abrasion prevention/ Sarbidi.--Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 2 August 2010.--Page. 58 – 66.--Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2010. 44 pages : ilus.;25 cm Abstract : page 58 ISSN : 1907-4352 I. ENVIRONMENT II. SEA SHORE 1. Title Miangas Island is the most outside of a small island where border to the Philippines. Based on the research concluded that erosion and abrasion have damaged the beach Miangas Island in North, West to the Northwest, South to the West and South to the East. The beach land in West to the Northwest eroded about 3 meters per year. Damaged control of North, West to the Northwest. South to the West coastal line and the right side of port apply some of detached breakwaters combined with mangrove trees. Especially South to the East direction can applied seawall or revetment is precisely in the destruction beach area. Keywords : erosion, abrasion, control, detached breakwater, revetment, mangrove trees UDC 69.058.4 Pur Purwaamijaya, Iskandar Muda s Social and economic analysis of Setiabudhi Regency, Graha Puspa and Triniti residential owners/ Iskandar Muda Purwaamijaya,--Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 2 August 2010.--Page. 67 – 77.--Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2010. 44 pages : ilus.;25 cm Abstract : page 67 ISSN : 1907-4352 I. SETTLEMENT II. SOCIAL-ECONOMIC 1. Title More than half of the owners are educated and have a good financial resource but does not have enough knowledge about the housing development with an awareness of the environment. The majority of owners live in residential areas because of the comfortable physical environment and the infrastructures which suit their hope, but do not know the negative impact of the environment. Keywords : housing, sub-urban area, green open spaces, social-economic, citizen’s mobility UDC 691.3 Hus Husin, Andriati Amir r Research on influence of sulphate salt solution to lightweight concrete quality/ Andriati Amir Husin,-Jurnal Permukiman. --Vol. 5.--No. August 2010.--Page. 78 – 84.--Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2010. 44 pages : ilus.;25 cm Abstract : page 78 ISSN : 1907-4352 I. CONCRETE 1. Title Lightweight concrete is concrete that use lightweight aggregate or mixture lightweight coarse aggregate and sand. The research employs aggregate are fly ash, bottom ash and RCC with the mix design in a ratio of 1 : 2 of cement to aggregate by weight. The aggregate used are 75 % fly ash and 25 % sand, 75 % sand and 25 % RCC, 100 % bottom ash. The experimental results demonstrates that fly ash, bottom ash and RCC have double functions-that are as artificial pozzoland material and as lightweight aggregate. The composition 1 part of cement : 2 part of aggregate (75 % fly ash, 25 % sand) with addition foam agent 0.8 % satisfies the specified requirements for both heavy sulphate areas. Keywords : lightweight concrete, lightweight aggregate, sulphate salt, industry waste, catalytic waste UDC 351.778.511 Iri Iriani, Lia Yulia t The influence of building permit to the planning of human settlements in Kampung Muara/ Lia Yulia Iriani.--Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 2 August 2010.--Page. 85 - 91.--Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2010. 44 pages : ilus.;25 cm Abstract : page 85 ISSN : 1907-4352
104
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Agustus 2010: 102-105
I. BUILDING PERMIT II. SETTLEMENT 1. Title This research analysis the effect of the building permit on the implementation of the planning of human settlements. The case study has been done in the neighborhoods of RT 05 and RT 09, RW 07 Kampung Muara, Desa Sukawarga, Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, which are the locations to implement the model of the eco settlement concept. The result of the analysis shows that the building permit has an effect on the planning of human settlements in the targeted location. This needs a coordinated implementation of the building permit. Keywords : building permit, land status, human settlements arrangement, legal aspect, eco-settlement concept UDC 64.066.24 Sut Sutjahjo, Nurhasanah p Minimum service standards unit cost of program for drinking water/ Nurhasanah Sutjahjo.--Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 2 August 2010.--Page. 92 - 101. -- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2010. 44 pages : ilus.;25 cm Abstract : page 92 ISSN : 1907-4352 I. INFRASTRUCTURE SETTLEMENT II. WATER 1. Title Infrastructure and housing facility that was built, has not reached the minimum service standards (MSS) stipulated. Study in MSS which includes 3 parts : the field of programming, implementation by the service and utilization by the community is needed as a reference to hold services in the field of drinking water in order to obtain efficiency in the use, which can improve services and satisfaction of user communities in water services that meet the quantity, quality and pressure. Keywords : minimal services of drinking water, the unit cost of the program, housing, infrastructure settlements
105
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 2 Agustus 2010: 106
Indeks Subjek A Abrasi = 58, 59, 60, 61, 63 Agregat = 78, 84 Air minum = 92, 93, 98, 99 B Bandung = 67, 68 Beton = 78, 79, 84 Bottom ash = 78, 79, 80, 81, 82 D Defraksi = 59 Detached breakwater = 58, 62, 65, 66 E Erosi = 58, 59, 60, 61, 63 F Fly ash = 78, 79, 80, 81, 82 G Groin = 61 Growth potentials = 69
H Hidecasting = 63 M Miangas = 58, 59, 65, 66 P Perumahan = 67, 68, 69 Purposive sampling = 87, 88 R Refraksi = 59 Revetment = 61, 65, 66 Ruang Terbuka Hijau (RTH) = 67, 68, 74 S Seawall = 61 Shore = 60 Sverdrup-Munk Bretshneider (SMB) = 58, 59 Standar Pelayanan Minimal (SPM) = 93, 101 T Tanggul laut = 62
106
Pedoman Penulisan Naskah 1. 2. 3.
4.
5.
6. 7. 8. 9.
Redaksi menerima naskah karya ilmiah ilmu pengetahuan dan teknologi bidang permukiman, baik dari dalam dan luar lingkungan Pusat Litbang Permukiman Naskah disampaikan ke redaksi dalam bentuk naskah tercetak hitam putih sebanyak 3 rangkap dengan jumlah naskah maksimum 15 halaman termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar pustaka Naskah akan dinilai oleh Dewan penelaah. Kriteria penilaian meliputi kebenaran isi, derajat, orisinalitas, kejelasan uraian dan kesesuaian dengan sasaran jurnal. Dewan penelaah berwenang mengembalikan naskah untuk direvisi atau menolaknya Penelaah berhak memperbaiki naskah tanpa mengubah isi dan pengertiannya, serta akan berkonsultasi dahulu dengan penulis apabila dipandang perlu untuk mengubah isi naskah. Penulis bertanggung jawab atas pandangan dan pendapatnya di dalam naskah Jika naskah disetujui untuk diterbitkan, penulis harus segera menyempurnakan dan menyampaikannya kembali ke redaksi beserta filenya dengan program (software) “Microsoft Office Word” paling lambat satu minggu setelah tanggal persetujuan Bila naskah diterbitkan, penulis akan mendapatkan reprint (cetak lepas) sebanyak 3 eksemplar dan naskah akan menjadi hak milik instansi penerbit Naskah yang tidak dapat diterbitkan akan diberitahukan kepada penulis dan naskah tidak akan dikembalikan, kecuali ada permintaan lain dari penulis Keterangan yang lebih terperinci dapat menghubungi Sekretariat Redaksi Secara teknis persyaratan naskah adalah : Sistematika penulisan : Bagian awal: Judul, Keterangan Penulis, Abstrak. Abstrak disusun dalam satu alinea yang berisi tujuan penelitian, metodologi, hasil pembahasan dan simpulan antara 150-200 kata dalam dua bahasa (Indonesia-Inggris) disertai minimal 5 kata kunci Bagian utama: Pendahuluan, Kajian Pustaka, Hipotesis (jika ada), Metodologi, Hasil dan Analisis, Pembahasan, Kesimpulan dan Saran Bagian akhir: Ucapan Terima Kasih (bila perlu), Daftar Pustaka dan Lampiran (jika ada) Teknik penulisan: a. Naskah ditulis pada kertas ukuran A4 portrait (210 x 297 mm), ketikan satu spasi dengan 2 kolom, jarak kolom pertama dan kedua 1 cm. b. Margin: tepi atas 3 cm, tepi bawah 2,5 cm, sisi kiri 3 cm dan kanan 2 cm. Alinea baru diberi tambahan spasi (+ ENTER). Penggunaan huruf: Judul, ditulis di tengah halaman, Cambria 14 pt. Kapital Bold Isi Abstrak, Cambria 10 pt italic 1 spasi Sub judul, ditulis di tepi kiri, Cambria Kapital 11pt, Bold Isi, Cambria 10 pt, 1 spasi Penomoran halaman menggunakan angka arab c. Daftar Pustaka sebaiknya menggunakan referensi terbaru, maksimal penerbitan 5 (lima) tahun terakhir, kecuali untuk handbook yang belum ada cetakan revisi/ terbaru. d. Daftar pustaka ditulis sesuai contoh sebagai berikut: Buku (monograf) Kourik, R. 1998. The lavender garden: beautiful varieties to grow and gather. San Francisco: Chronicle Books. Artikel Jurnal Terborgh, J. 1974. Preservation of natural diversity: The problem of extinction-prone species. Bioscience 24:715-22. Situs Web Thomas, Trevor M. 1956. Wales: Land of Mines and Quaries. Geographical Review 46, No. 1: 59-81. http://www.jstor.org/ (accessed June 30, 2005).