Volume 30 No. 2, Agustus 2013
J. Jalan - Jembatan
Vol. 30
ISSN : 1907 - 0284
No. 2
Hal. 54 - 141
Bandung Agustus 2013
Terakreditasi 484/AU3/P2MI-LIPI/08/2012 Berlaku : 7 Agustus 2012 - 7 Agustus 2015
ISSN 1907 - 0284
Volume 30 No. 2, Agustus 2013
ISSN : 1907 - 0284
Jurnal
JALAN - JEMBATAN Jurnal Jalan-Jembatan adalah wadah informasi bidang Jalan dan Jembatan berupa hasil penelitian, studi kepustakaan maupun tulisan ilmiah terkait yang meliputi Bidang Bahan dan Perkerasan Jalan, Geoteknik Jalan, Transportasi Dan Teknik Lalu-Lintas serta Lingkungan Jalan, Jembatan dan Bangunan Pelengkap Jalan. Terbit pertama kali tahun 1984 dengan frekuensi terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember. Sesuai Surat Keputusan LIPI No.484/AU3/P2MI-LIPI/08/2012 Jurnal Jalan-Jembatan telah mendapat Akreditasi. Pelindung Kepala Pusat Litbang Jalan dan Jembatan Pembina Ka. Ka. Ka. Ka. Ka. Ka. Ka.
Balai Bahan dan Perkerasan Jalan Balai Geoteknik Jalan Balai Teknik Lalu Lintas dan Lingkungan Jalan Balai Jembatan dan Bangunan Pelengkap Jalan Bagian Tata Usaha Bidang Sumber Daya Kelitbangan Bidang Program dan Kerjasama
Penangung Jawab Ka. Bidang Standar dan Diseminasi Redaktur Prof. (R) DR. Ir. Furqon Affandi, M.Sc Penyunting Ir. Benyamin Saptadi., M.Si Dulmanan, SAB Ir. Nono, M.Eng.Sc Dra. Yeyeh Kursiah, Dipl. TEFL Indira (Ira) Dwi Putri, S.Sos. Dewi Siti Bayduri, ST Roro Willis, S.Pd Desain Grafis/ Fotografer Gelar Ermaya Nugraha Internal Editor Prof (R) DR. Ir. Furqon Affandi, M.Sc (Peneliti Utama Bidang Bahan dan Perkerasan Jalan) DR. Djoko Widajat, M.Sc (Peneliti Madya Bidang Bahan dan Perkerasan Jalan) Ir. GJW Fernandez (Peneliti Utama Bidang Geoteknik Jalan) Dr. Ir. M. Eddie Sunaryo, M.Sc (Peneliti Utama Bidang Geoteknik Jalan) Drs. Gugun Gunawan, M.Si (Peneliti Madya Bidang Teknik Lingkungan Jalan) DR. Ir. Hikmat Iskandar, M.Sc (Peneliti Madya Bidang Lalu Lintas Jalan) Prof. (R) Ir. Lanneke Tristanto (Ahli Peneliti Utama Bidang Jembatan & Bangunan Pelengkap Jalan) Mitra Bestari Prof. Prof. Prof. Prof. Prof.
Ir. Wimpy Santosa, M.Sc. PhD (Bidang Transportasi dan Teknik Lalu Lintas Jalan; Universitas Katolik Parahyangan) Ir. Bambang Sugeng S, DEA (Bidang Teknik Perkerasan Jalan; Institut Teknologi Bandung) DR. Ir. Aziz Jayaputra, M.Sc (Bidang Geoteknik; Institut Teknologi Bandung) DR. Ir. Soegijanto, M.Si (Bidang Fisika Teknik/Lingkungan; Institut Teknologi Bandung) DR. Ir. Bambang Suryoatmono, M.Sc (Bidang Teknik Struktur; Universitas Katolik Parahyangan)
Sekretariat Anne K. Panggabean, AMd Bernardus Respati Wibowo, SE
Jurnal Jalan-Jembatan diterbitkan oleh Puslitbang Jalan dan Jembatan Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum. Alamat Redaksi/Penerbit:
Puslitbang Jalan dan Jembatan, Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. A.H. Nasution No. 264, Kotak Pos 2 Ujungberung – Bandung 40294 Tlp. (022)7802251-7802252-7802253 e-mail :
[email protected],
[email protected] Fax. : (022)7802726-7811479
PRAKATA Redaksi mengucapkan selamat bertemu kembali dengan Jurnal Jalan-Jembatan edisi Agustus 2013. Pada edisi ini ada enam tulisan yang disajikan, yaitu sifat beton berserat baja dengan metode pengerjaan pracetak agregat; penggunaan slurry seal untuk pemeliharaan jalan; Efek reaksi tekan gelagar baja komposit dengan menggunakan metode prakompresi; workability pada campuran beraspal panas; pengaruh bahan tambah parafin terhadap campuran beraspal hangat dan analytical hierarchy process untuk alternatif pembiayaan penanganan jalan. Tulisan sifat beton berserat baja, menyampaikan metode alternatif pembuatan beton berserat baja tanpa menimbulkan efek penggumpalan dengan cara praletak adukan agregat kasar dan serat, beserta sifat-sifat beton yang dihasilkannya, seperti kuat tarik lentur dan modulus elastisitasnya. Tulisan yang kedua menyampaikan kajian teknologi slurry seal untuk pemeliharaan preventif jalan berdasarkan percobaan laboratorium dan percobaan lapangan. Tulisan efek reaksi tekan pada gelagar komposit membahas tentang metoda prakompresi untuk peningkatan kapasitas dan daya layan jembatan komposit dengan memberikan tegangan inisial pada lantai jembatan dan gelagar bajanya. Tulisan selanjutnya menyampaikan pengaruh jenis aspal terhadap workability atau kemudahan kerja untuk pencampuran dan pemadatan campuran beraspal panas. Hasil dari kajian menunjukkan bahwa temperatur pencampuran dan pemadatan campuran beraspal dengan bahan tambah, tidak bisa didasarkan dari pengujian viskositas aspal seperti pada campuran beraspal dengan aspal keras biasa. Tulisan berikutnya mengenai pengaruh bahan tambah parafin untuk campuran beraspal hangat, yang mengemukakan penambahan bahan tambah berbahan dasar parafin yang bisa menurunkan temperatur pencampuran dan pemadatan dengan cukup berarti, dengan kualitas campuran beraspalnya yang masih setara dengan kualitas campuran beraspal panas. Tulisan yang terakhir yaitu analytical hierarchy process untuk pemilihan alternatif pembiayaan penanganan jalan, menyampaikan tentang kajian pemilihan terhadap penetapan instrumen pembiayaan untuk penanganan jalan Indonesia. Pada kesempatan ini, kami ucapkan terima kasih banyak kepada Prof. Dr. Ir. Aziz Jayaputra, M.Sc; Prof. Ir. Wimpy Santosa M.Sc. PhD; Prof. Dr. Ir. Bambang Sugeng DEA; Prof. Dr. Ir. Soegijanto. M.Si; Prof. Dr. Ir. Bambang Suryoatmono, M.Sc atas kesediaannya sebagai mitra bestari pada Jurnal Jalan-Jembatan. Mudah-mudahan semua tulisan yang kami sajikan memberikan manfaat besar bagi para pengambil keputusan dan kebijakan di bidang jalan, pelaksana, konsultan dan para mahasiswa serta pembaca pada umumnya. Selamat membaca. Ketua Dewan Redaksi
i
Volume 30 No. 2, Agustus 2013
ISSN : 1907 - 0284
JURNAL JALAN-JEMBATAN DAFTAR ISI Prakata
i
Daftar Isi
ii
Sifat Mekanis Beton Berserat Baja dengan Metode Pengerjaan Praletak Agregat (Mechanical Properties Of Steel-Fiber-Reinforced Concrete Produced By Aggregate Preplacing Method) Sam Randa, Iman Satyarno, Djoko Sulistyo
54 – 70
Penggunaan Slurry Seal untuk Pemeliharaan Perkerasan Jalan (The Use Of Slurry Seal For Maintenance Of Road Pavement) Nono
71 – 79
Efek Reaksi Tekan Gelagar Baja Komposit dengan Menggunakan Metode Prakompresi (Compressive Reaction Effect Of Composite Girder With Precompression System) N. Retno Setiati, Risma Putra
80 – 96
Pengaruh Jenis Aspal pada Temperatur Pemadatan Berkaitan dengan Workability dari Campuran Beraspal Panas (The Effect Of Type Bitumen At Compaction Temperature Related To Workability Of Hot Mix Asphalt ) Neni Kusnianti, Furqon Affandi
97 – 111
Pengaruh Bahan Tambah yang Berbahahan Dasar Parafin Terhadap Kinerja Campuran Beraspal untuk Perkerasan Jalan (The Effect Of Paraffin Based Additive On Bituminous Performance Of Road Pavement) Hendri Hadisi, Furqon Affandi
112 – 126
Analytical Hierarchy Process untuk Pemilihan Alternatif Pembiayaan Penanganan Jalan (Analytical Hierarchy Process (AHP) In Selecting Road Maintanance Finance Alternative Schemes) Gede Budi Suprayoga, Agus Bari Sailendra
127 – 141
ii
SIFAT MEKANIS BETON BERSERAT BAJA DENGAN METODE PENGERJAAN PRALETAK AGREGAT (MECHANICAL PROPERTIES OF STEEL-FIBER-REINFORCED CONCRETE PRODUCED BY AGGREGATE PREPLACING METHOD) Sam Randa1), Iman Satyarno2), Djoko Sulistyo3) 1) 1)
2), 3) 1), 2), 3)
Puslitbang Jalan dan Jembatan
Jl. A. H. Nasution No. 264 Bandung 40294,
Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada
2), 3) Jl. Grafika No. 2 Kampus UGM, Yogyakarta 55281 e-mail:
[email protected];
[email protected];
[email protected]
Diterima: 09 April 2013; direvisi: 03 Juli 2013; disetujui: 01 Agustus 2013
ABSTRAK Jumlah serat yang dapat ditambahkan ke dalam beton berserat yang diaduk secara konvensional dibatasi oleh fenomena penggumpalan serat dalam pengaduk beton. Tulisan ini membahas metode alternatif pembuatan beton berserat dengan indeks perkuatan tinggi dengan cara praletak adukan agregat kasar dan serat. Hubungan indeks perkuatan serat terhadap sifat-sifat mekanis beton agregat-serat praletak dilaporkan secara rinci. Indeks perkuatan volumetrik serat dalam beton adalah 0%, 1%, 1,6% dan 2,0%. Sifat-sifat mekanis yang diteliti mencakup cepat-rambat getaran ultrasonik, modulus elastisitas, kuat tekan, kuat tarik-lentur dan keuletan. Sifatsifat fisis beton meliputi kerapatan massa, penyerapan air, dan volume pori permeabel juga dilaporkan. Didapati bahwa penambahan serat memperbaiki sifat-sifat mekanis beton agregat praletak. Indeks perkuatan serat berkorelasi kuat terhadap sifat-sifat mekanis beton. Untuk beton agregat praletak polos hingga beton agregat praletak berserat dengan indeks perkuatan 2, kuat tekan meningkat secara linier dari 21,9 MPa menjadi 46,9 MPa. Kuat tarik-lentur beton meningkat secara eksponensial dari 3,3 MPa menjadi 15,5 MPa. Di sisi lain, modulus elastisitas beton berkurang secara linier dengan bertambahnya indeks perkuatan serat, yakni dari 31.700 MPa menjadi 23.700 MPa. Pemeriksaan sifat-sifat fisis beton mengindikasikan bahwa beton ini memiliki level durabilitas yang memadai untuk penerapan pada struktur. Kata kunci: beton agregat praletak, beton berserat baja, SIFCON, indeks perkuatan tinggi, sifat-sifat mekanis ABSTRACT Fiber addition into conventionally produced concrete is limited due to the balling of fibers in concrete mixer. This research proposed alternative method in producing fiber-reinforced concrete with a high reinforcing index by preplacing a premixture of coarse aggregates and fibers. Experimental programs were conducted to study the effect of fiber reinforcing index on the mechanical properties of hardened concrete, which are in terms of ultrasonic pulse velocity, elastic modulus, compressive strength, flexural-tensile strength and toughness. Reinforcing indices investigated were 0,0, 1,0, 1,6 and 2,0. The study also examined physical properties of concrete in terms of density, water absorption and volume of permeable voids. It is found that fibers can significantly improved the mechanical properties of concrete. Reinforcing indexstrongly correlates with concrete’s mechanical properties. For plain concrete to fibrous concrete with reinforcing index of 2,0 compressive strength increased linearly from 21,9 MPa to 46,9 MPa respectively. Moreover, flexural-tensile strength of the corresponding concrete increased exponentially from 3,3 MPa to 15,5 MPa respectively. On the other hand, the modulus of elasticity decreased linearly with the addition of fiber reinforcing index, i.e. from 31.700 MPa to 23.700 MPa respectively. Evaluation on their physical properties indicates that these concrete possess sufficient level of durability for structural application. Keywords: preplaced-aggregate concrete, fiber-reinforced concrete, SIFCON, high-reinforcing index, mechanical properties
Sifat Mekanis Beton Berserat Baja dengan Metode Pengerjaan Praletak Agregat (Sam Randa, Iman Satyarno, Djoko Sulistyo)
54
PENDAHULUAN Pada beton berserat, penambahan seratserat ke dalam adukan beton segar membutuhkan pengadukan yang cermat demi menghasilkan sebaran serat yang merata dalam beton. Serat, dengan rasio aspek tinggi, yang ditambahkan dalam kadar volumetrik lebih dari dua persen menjadi sukar bahkan tidak mungkin diaduk dan dicor (Swamy and Mangat 1974; Karki 2011). Pada saat pengadukan terjadi efek penggumpalan serat (balling) dalam mesin pengaduk sehingga bahan-bahan tidak teraduk rata. Kesulitan ini membatasi pengembangan beton berserat konvensional. Penelitian ini dilatari oleh perlunya cara alternatif untuk membuat beton berserat dengan indeks perkuatan tinggi tanpa adanya masalah penggumpalan serat seperti pada metode konvensional. Di sini diuraikan metode beton agregat praletak berserat baja dan sifat-sifat beton yang dihasilkan. KAJIAN PUSTAKA Beton agregat praletak, pertama kali ditemukan oleh Turzillo dan Wertz pada tahun 1937 (ACI Committee 304 1997), dibuat dengan menginjeksi agregat kasar yang ditempatkan pada acuan kedap dengan adukan grout matriks semen. Bersama dengan mengerasnya matriks semen pun mengikat agregat kasar menjadi kesatuan beton. Beton yang dihasilkan memiliki modulus elastisitas yang cenderung lebih tinggi daripada beton normal konvensional (Awal 1984, Abdelgader and Górski 2003). Ini disebabkan kadar agregat kasar yang relatif tinggi dan susunan agregat kasar dalam beton ini berada dalam saling kontak antar butir. Bayer (2004) membuktikan bahwa metode beton agregat praletak bermanfaat mengurangi suhu beton massa akibat reaksi hidrasi semen. Bayer (2004) juga melaporkan sifat-sifat beton massa yang dihasilkan dengan cara praletak agregat meliputi kuat tekan, modulus elastisitas, angka pantul palu beton Schmidt dan cepat-rambat getaran ultrasonik
55
(Ultrasonic Pulse Velocity—UPV). Nilai UPV beton telah diketahui berkorelasi dengan modulus elastisitas beton polos konvensional (BSI 1986, Yildirim and Sengul 2011). Tetapi untuk beton agregat praletak korelasi ini belum banyak dilaporkan. Untuk menghasilkan beton berkadar serat tinggi, metode beton agregat praletak kemudian diadopsi dengan mengganti seluruh agregat kasar dengan serat-serat baja yang diletakkan secara acak dalam acuan beton. Beton jenis ini dinamakan Slurry Infiltrated Fiber Concrete (SIFCON). Beton SIFCON ditemukan oleh Dr. David Lankard pada tahun 1983 dan diperkenalkan pertama kali kepada angkatan bersenjata Amerika sebagai bahan yang berpotensi untuk diterapkan pada strukturstruktur tahan ledakan (Schneider et al. 1988). Beton SIFCON menunjukkan sifat kekuatan tarik dan lentur, keuletan dan kemampuan meregang yang luar biasa tinggi. Hanya saja, modulus elastisitas SIFCON terbilang rendah yakni pada kisaran 7.000 MPa (Homrich dan Naaman 1988) sampai dengan 19.000 MPa (Marrs 1998). Ini berkaitan erat dengan kandungan matriks yang sangat tinggi yang dapat mencapai lebih dari 70% volume beton. Komposisi matriks yang sangat tinggi menyebabkan beton SIFCON kurang ekonomis (Mondragon 1988). Pada beton berserat konvensional, penambahan serat tidak banyak memengaruhi nilai kuat tekan. Namun, keuletan tekan (compressive toughness) beton meningkat drastis dengan adanya regangan yang sangat besar paska beban maksimum dicapai. Perubahan kekuatan lentur beton akibat penambahan serat baja jauh lebih signifikan dibanding pengaruhnya terhadap kekuatan tekan beton (ACI Committee 544 1988, Wang 2006). Sedang keuletan lentur (flexural toughness) yang dikuantifikasi oleh indeksindeks keuletan lentur (ASTM Standard C1018 1998) dapat meningkat menurut kadar penambahan serat (Johnston dan Skarendahl 1992, Mohammadi, Singh dan Kaushik 2008). Kenaikan sifat-sifat mekanik didapati berkorelasi dengan kadar dan karakteristik serat dalam beton. Beberapa peneliti menggunakan
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 54 – 70
indeks perkuatan massa serat (Ezeldin dan Balaguru 1992, Nataraja, Dhang dan Gupta 1999), atau sekedar fraksi volume serat oleh (Wang 2006, Mohammadi, Singh dan Kaushik 2008), sedang beberapa peneliti belakangan telah menyarankan definisi indeks perkuatan volumetrik (volumetric reinforcing index), RIV, sebagai parameter yang berkorelasi kuat dengan sifat-sifat beton berserat (Mansur, Chin dan Wee 1999, Neves dan Fernandes de Almeida 2005, Thomas and Ramaswamy 2007, Ou, et al. 2012). Indeks perkuatan dinyatakan dalam Persamaan (1) berikut ini: RI v = V f ⋅
lf
φf
………………………………...(1)
Keterangan: V f = kadar serat volumetrik lf
= panjang serat
φf
= diameter serat Dari penelitian-penelitian terdahulu ini, capaian indeks perkuatan tertinggi adalah yang dilaporkan oleh Ou et al. (2012) sebesar 1,70. Para peneliti telah mengusulkan rumus-rumus empiris yang menghubungkan antara sifat-sifat mekanik beton berserat konvensional terhadap indeks perkuatan serat (Yurtseven 2004, Thomas dan Ramaswamy 2007, Ou, et al. 2012). Sifat-sifat ini belum mencakup untuk untuk beton berserat dengan metode praletak agregat. HIPOTESIS Dalam penelitian ini dihipotesiskan bahwa dengan menggabungkan teknik beton agregat praletak dan SIFCON, akan dapat dihasilkan beton berserat dengan indeks perkuatan serat volumetrik yang tinggi dengan modulus elastisitas yang berada di rentang antara keduanya. Untuk itu diperlukan suatu komposisi adukan mortar grout dengan sifatsifat segar, meliputi sifat alir dan bleeding, yang memadai untuk keperluan ini. Penelitian ini juga bertujuan untuk memperoleh hubunganhubungan indeks perkuatan serat terhadap sifat-
sifat fisis dan mekanis beton yang dihasilkan dengan metode praletak agregat. METODOLOGI Bahan-bahan dan proporsi adukan Dalam penelitian ini, bahan-bahan yang digunakan dipilih dari bahan-bahan yang memenuhi persyaratan untuk pembuatan beton konvensional. Bahan-bahan yang digunakan meliputi: semen Portland Pozzolana (PPC); Fly Ash dari PLTU Suralaya Banten, ukuran butir ≤150 μm; pasir dari Galunggung, ukuran butir ≤1,18 mm; batu pecah produksi Lagadar di Cimahi, ukuran butir 19 mm – 37,5 mm. Serat baja yang digunakan dalam penelitian ini adalah ex Dramix® RC-80/60-BN produksi Bekaert.Serat baja ini memiliki kait pada kedua ujungnya, panjang serat l = 60 mm , diameter φ = 0,75 mm . Serat terbuat dari baja karbon rendah dengan kuat tarik minimum serat baja adalah 1050 MPa. Superplasticizer yang digunakan tipe polycarboxylate cair. Air pencampur bersumber dari jaringan air bersih di laboratorium Balai Jembatan, Puslitbang Jalan dan Jembatan di Bandung. Proporsi bahan-bahan dalam adukan grout yang digunakan, dipilih melalui prosedur trial-and-error adukan. Kriteria pemilihan formula grout terutama adalah faktor alir dan nilai bleeding. Nilai faktor alir grout ditentukan menurut prosedur SNI 03-6808 (BSN 2002). Nilai bleeding grout ditentukan menurut prosedur SNI 03-6430.3 (BSN 2000). Untuk keperluan pembetonan ini, faktor alir grout yang ditargetkan adalah kurang dari 35 detik. Target ini dianggap cukup mengingat nilai yang disarankan oleh Mondragon (1988) adalah 25 – 40 detik. Formula adukan grout yang diuji ditunjukkan dalam Tabel 1. Nilai bleeding grout 3 jam semula ditetapkan maksimum 5%. Nilai ini semula dianggap cukup karena penelitian oleh Awal (1984) telah menggunakan grout dengan bleeding hingga 10%. Namun dari hasil uji tekan beton keras diamati bahwa nilai bleeding 5% ini menyebabkan pelemahan di bagian sisi
Sifat Mekanis Beton Berserat Baja dengan Metode Pengerjaan Praletak Agregat (Sam Randa, Iman Satyarno, Djoko Sulistyo)
56
atas beton dimana air bleeding terkumpul beberapa saat setelah pengecoran. Selain itu, grout pertama F40-15 WC36 SP0,6 ini tidak direkomendasikan karena, setelah mencermati bleeding grout pada setiap selang waktu 5,15 dan 60 menit selama 3 jam pertama, diamati kecenderungan bahwa bleeding masih akan bertambah setelah 3 jam pengamatan (lihat Gambar 1). Karena itu modifikasi adukan dilakukan pada adukan kedua dengan menetapkan target bleeding maksimum yang baru yakni 2,5% dengan tetap memperhatikan syarat faktor alir. Tabel 2 menampilkan hasil uji sifat-sifat grout yang digunakan dalam penelitian ini. Perhatikan bahwa faktor alir, berat satuan dan kekuatan grout relatif sama untuk kedua grout, tetapi nilai bleeding 3 jam grout kedua hanya setengah nilai bleeding grout yang pertama. Faktor alir grout diperoleh 30 detik dengan bleeding 2,5% konstan mulai menit ke-75 sejak penuangan. Pencampuran serat Dramix dan batu di laboratorium dilakukan dalam mixer beton. Pada saat pengadukan ditambahkan sejumlah air untuk mengurai serat-serat Dramix yang terbundel perekat. Proporsi campuran batu (agregat kasar) dan serat yang digunakan diperoleh setelah menguji kerapatan massa, kadar rongga dan berat jenis gabungan batuserat. Proporsi bahan-bahan dalam campuran batu-serat ditampilkan dalam Tabel 3. Campuran batu-serat yang semula dirancang dengan kadar serat 1,5%, 3,0% dan 4,5%, secara aktual diperoleh masing-masing 1,3%, 2,0% dan 2,5%. Ini disebabkan serat menimbulkan efek pengembangan volume rongga dalam campuran batu-serat (Tabel 4). Sifat-sifat fisis adukan batu serat, yang perlu diperhatikan dalam merancang campuran batuserat, ditampilkan secara rinci dalam Tabel 4. Pembuatan spesimen beton Pelaksanaan pembuatan spesimen beton dilakukan dalam 2 tahapan. Tahap pertama yaitu menyiapkan adukan batu-serat dan menempatkan batu serat ke dalam cetakan. Cetakan harus kedap air dan dipasang dengan kencang. Campuran batu-serat, dalam kondisi
57
kering udara, diisi ke dalam cetakan dan dipadatkan dengan batang baja penumbuk, sesuai dengan cara pemadatan untuk pembuatan spesimen beton normal. Tahapan kedua yaitu membuat adukan grout mortar dan pelaksanaan infiltrasi grout. Alat pengaduk grout yang digunakan tersusun atas mesin bor listrik dan pengayuh (paddle) yang dapat dipasang ke mesin bor, menggantikan mata bor. Bahan-bahan diaduk dalam ember dengan urutan pemasukan bahan: 1. larutan air dan superplasticizer. 2. bahan sementisius. 3. pasir. Campuran bahan-bahan ini diaduk hingga rata. Grout dituangkan ke atas permukaan batu-serat dalam cetakan perlahanlahan, hingga grout berinfiltrasi dan mengisi semua bagian pori batu-serat dalam cetakan. Beton dapat dibuka dari cetakan setelah mengeras (± 20 jam), lalu spesimen direndam air dalam bak pemeraman beton hingga umur 28 hari untuk diuji. Jumlah benda uji disajikan dalam Tabel 5. Pengujian beton Pengujian atas spesimen beton keras terdiri atas uji UPV, uji kerapatan, penyerapan dan rongga permeabel, uji modulus elastisitas, uji tekan aksial dan uji lentur balok 2 titik pembebanan. Beton diuji setelah diperam dengan perendaman air pada umur 28 hari. Pengujian UPV dilakukan menurut prosedur ASTM C 597 (ASTM 2003). Alat yang digunakan adalah alat uji ultrasonik portable merek TICO® dari Proceq. Nilai frekuensi getaran yang dipancarkan oleh alat uji yang digunakan adalah 54 kHz. Benda uji UPV merupakan silinder beton yang sama dengan uji modulus elastisitas dan uji tekan dengan diameter 150 mm tinggi 300 mm. Uji kerapatan, penyerapan dan rongga permeabel beton dilakukan sesuai prosedur SNI 03-6433 (BSN 2000). Spesimen uji diambil dari pengeboran inti patahan balok uji lentur. Diameter benda uji 100 mm tinggi 150 mm. Uji modulus elastisitas tekan beton dilakukan menurut standar ASTM C 469. Regangan tekan diukur dengan
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 54 – 70
compressometer, yang terdiri atas dua buah LVDT dan dipasang secara diametral berlawanan pada benda uji silinder. Uji tekan beton mengikuti prosedur SNI 1974 (BSN 2011). Laju pembebanan tekan konstan 0,24 MPa/s. Uji lentur beton dengan dua titik pembebanan mengikuti prosedur SNI 4431 (BSN 2011).
Pengujian dilakukan terhadap spesimen balok beton agregat praletak berukuran 150 × 150 × 600 mm. Spesimen balok dibebani pada titiktitik sepertiga dari bentangan 450 mm. Beban diberikan pada laju pergerakan stroke konstan 0,07 mm/menit.
Tabel 1. Formula adukan mortar grout yang digunakan Air
Semen
Pasir
Fly Ash
Sp
[kg/m3] 743,0
[kg/m3] 712,9
[kg/m3]
[kg/m3]
F40-15 WC36 SP0,6
[kg/m3] 372,6
297,2
6,24
F20-10 WC40 SP0,5
355,7
741,1
926,3
148,2
4,45
No
Kode Grout
1. 2.
W
C
S
F
Tabel 2. Sifat-sifat adukan mortar grout No.
Kode Grout
F C
W C+F
Sp C+F
C S
1. 2.
F40-15 WC36 SP0,6 F20-10 WC40 SP0,5
40% 20%
0,36 0,40
0,6% 0,5%
1,04 0,80
Faktor Alir [detik] 28,0 30,0
Bliding Akhir [3 jam] 5,0% 2,5%
Kerapatan Massa [kg/m3] 2052 2096
Kuat Tekan [MPa] 46.9 47.5
Tabel 3. Massa bahan penyusun adukan batu-serat per meter kubik Kode Campuran
Massa Serat Baja [kg]
Massa Batu Pecah [kg]
Rasio Massa Serat/Batu
PAC 00
0
1569
0,0000
FPAC 15
102
1236
0,0822
FPAC 30
157
938
0,1670
FPAC 45
193
758
0,2544
Tabel 4. Parameter dan sifat fisis adukan batu-serat Kode Campuran PAC 00 FPAC 15 FPAC 30 FPAC 45
Kadar Serat Volumetrik, Vf [%] 0,0 1,3 2,0 2,5
Rasio Aspek Serat
Indeks Perkuatan
lφ
RI V
80 80 80 80
0,0 1,0 1,6 2,0
Volume Rongga [%] 42,0 53,1 63,5 69,8
Kerapatan Massa [kg/m3] 1569 1338 1094 951
Berat Jenis Gabungan 2,67 2,83 2,99 3,15
Tabel 5. Variasi dan jumlah benda uji Kode PAC 00 FPAC 15 FPAC 30 FPAC 45
Kadar Volume Serat Baja Rancangan 0,0% 1,5% 3,0% 4,5% Jumlah
Jumlah Spesimen untuk Peruntukan Uji Uji Kuat Tekan, Uji Lentur 2 Kerapatan, Penyerapan, Elastisitas dan UPV Titik Beban Pori Permeabel 4 3 3 4 3 3 4 3 3 4 3 3 12 12 12
Sifat Mekanis Beton Berserat Baja dengan Metode Pengerjaan Praletak Agregat (Sam Randa, Iman Satyarno, Djoko Sulistyo)
58
No.
Kode Grout
1.
F40-15 WC36 SP0,6
2.
F20-10 WC40 SP0,5
Kurva Bliding-Waktu
Gambar 1. Nilai bleeding grout terhadap waktu selama 3 jam pertama
HASIL DAN ANALISIS Sifat fisis kerapatan, penyerapan, dan kadar rongga permeabel Sifat-sifat fisis rata-rata untuk setiap variasi beton diberikan dalam Tabel 6. Nilai penyerapan beton agregat praletak bertambah seiring bertambahnya kadar serat dalam beton. Penambahan serat menyebabkan bertambahnya kebutuhan matriks grout dalam beton. Selanjutnya, ini meningkatkan volume pori permeabel beton yang tersekap di dalam grout karena proses pengadukan. Selain itu, peningkatan juga didorong oleh meningkatnya pori permeabel pada antar-muka matriks dan serat baja. Penyerapan rata-rata beton setelah direndam paling tinggi dicapai oleh seri FPAC 45 (kadar serat aktual 2,5%) sebesar 6,58%. Ini menandakan durabilitas beton yang baik, yakni di bawah nilai rekomendasi 10% (Neville 1995). Kerapatan masa beton semakin berkurang dengan semakin bertambahnya kadar serat. Hal ini konsisten dengan hasil pengukuran kerapatan masa adukan batu-serat
59
dalam Tabel 4 yang juga memiliki kecenderungan serupa. Kerapatan masa kering beton agregat praletak berserat dan polos yang telah diuji berkisar antara 2,30–2,45 g/cm3, seluruhnya tergolong dalam rentang nilai beton bobot normal, yakni 2,20–2,50 g/cm3 (BSN 2012). Dengan membandingkan hasil kadar rongga permeabel pada Tabel 6 dan nilai rekomendasi untuk spesimen silinder bor inti dari Cement Concrete & Aggregates Australia (2009), maka beton seluruh spesimen, kecuali FPAC 45, tergolong dalam kelas durabilitas sangat baik dengan nilai kurang dari 12%. Sedang spesimen FPAC 45 tergolong dalam kelas durabilitas baik hingga sedang dengan nilai rata-rata 16%. Sifat mekanis beton Sifat-sifat mekanis beton agregat praletak polos dan berserat rata-rata ditampilkan dalam Tabel 7. Sifat-sifat ini ternyata dipengaruhi oleh indeks perkuatan serat yang ditambahkan pada masing-masing variasi beton agregat praletak yang dibuat seperti ditampilkan dalam Tabel 4.
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 54 – 70
mengindikasikan bahwa grout dapat mengisi rongga-rongga antar batu-serat dengan baik. Gambar 2 menampilkan plot nilai UPV dan modulus elastisitas dari hasil pengujian ini dan Bayer (2004). Selain itu diplot juga hubungan modulus elastisitas dan UPV dari British Standard (BS 1881-203 1986), dan dari Yildirim dan Sengul (2011). Dapat diamati bahwa Persamaan (2) dari Yildirim dan Sengul cocok dengan hasil penelitian ini dan dari Bayer.
Pengaruh tersebut akan diuraikan lebih rinci dalam subpasal-subpasal berikut ini. Cepat-rambat getaran ultrasonik (UPV) Nilai UPV masing-masing variasi beton didaftar dalam baris 1 Tabel 7. Didapati bahwa nilai UPV semakin berkurang seiring dengan bertambahnya kadar serat. Nilai UPV beton agregat praletak polos (PAC 00) sebesar 4,71 km/s, menurun secara gradual pada beton agregat praletak berserat dengan indeks perkuatan 2,0 menjadi 4,32 km/s. Penurunan nilai UPV ini berkaitan erat dengan meningkatnya kadar volume mortar grout, yakni sama dengan kadar rongga adukan batuserat (Tabel 4). Mortar grout mengandung sejumlah gelembung udara yang tersekap di dalamnya. Dengan meningkatnya volume grout dalam beton, meningkat pula gelembung udara yang tersekap dalam beton. Ini menyebabkan rambatan ultrasonik yang lebih lambat. Meski demikian, dengan nilai UPV antara 4,3 km/s sampai 4,7 km/s, berdasarkan penggolongan oleh Whitehurst (Carino 2008), maka beton tergolong baik (3,66 km/s < UPV ≤ 4,57 km/s) hingga sangat baik (UPV > 4,57 km/s). Ini
EC = 6 ⋅ exp(0,076 ⋅ UPV 2 ) ………………… (2)
Keterangan: Ec = modulus elastisitas beton (Gpa) UPV = cepat-rambat getaran ultrasonik (km/c) Dengan adanya rumus empiris ini kita dapat mengestimasi nilai modulus elastisitas beton agregat praletak maupun konvensional dengan pengujian non-destruktif pada struktur yang sudah dibangun (existing) sehingga dapat mengurangi biaya pengujian dalam, misalnya, penilaian kondisi struktur beton.
Tabel 6. Nilai rata-rata sifat fisis beton Sifat Fisis Penyerapan setelah direndam, [%] Penyerapan setelah direndam dan dididihkan, [%] Kerapatan massa kering [g/cm3] Kerapatan massa setelah direndam [g/cm3] Kerapatan massa setelah direndam dan dididihkan [g/cm3] Kerapatan massa semu [g/cm3] Kadar volume rongga permeabel [%]
PAC 00 3,51 3,62 2,43 2,52 2,52 2,67 8,80
Kode Beton FPAC 15 FPAC 30 4,35 4,28 4,50 4,55 2,41 2,40 2,52 2,51 2,52 2,51 2,70 2,70 10,84 10,94
FPAC 45 6,58 6,94 2,32 2,47 2,48 2,77 16,10
Tabel 7. Sifat-sifat mekanis rata-rata beton No. 1. 2. 3. 4. 5.
Sifat Fisis Cepat-Rambat Getaran Ultrasonik [km/s] Modulus Elastisitas [MPa] Kuat Tekan [MPa] Tegangan Lentur Retak Pertama [MPa] Kuat Tarik-Lentur [MPa]
PAC 00 4,71 31.686 21,93 3,185 3,265
Sifat Mekanis Beton Berserat Baja dengan Metode Pengerjaan Praletak Agregat (Sam Randa, Iman Satyarno, Djoko Sulistyo)
Kode Beton FPAC 15 FPAC 30 4,45 4,54 29.070 24.379 29,31 36,28 3,155 4,963 6,939 15,522
FPAC 45 4,32 23.691 46,93 4,445 15,468
60
Gambar 2. Hubungan antara UPV dan modulus elastisitas statik beton
Modulus elastisitas beton Modulus elastisitas varian beton agregat praletak ditampilkan pada baris 2 Tabel 7. Modulus elastisitas beton semakin berkurang dengan semakin bertambahnya kadar serat. Modulus elastisitas paling tinggi dicapai oleh beton agregat praletak polos PAC 00 dengan rata-rata 31.686 MPa, dan paling rendah adalah beton agragat praletak berserat FPAC 45 dengan rata-rata 23.691 MPa. Hasil ini sesuai harapan, karena adanya saling kontak titik-ketitik antar butir agregat kasar dalam beton agregat praletak polos. Beban terdistribusi dalam beton melalui “kerangka” batu pecah. Sedang pada beton agregat praletak berserat, saling kontak antar agregat ini tidak dalam intensitas yang setara dengan beton agregat polos karena berkurangnya kadar batu pecah (Tabel 3) dan bertambahnya kadar volume grout, yang sama dengan kadar volume rongga dalam batu-serat (Tabel 4). Hubungan indeks perkuatan serat dan modulus elastisitas beton diplot dalam Gambar 3. Sumbu horizontal mewakili indeks perkuatan volumetrik serat aktual dalam beton dan sumbu vertikal mewakili nilai rasio modulus elastisitas rata-rata masing-masing seri beton terhadap modulus elastisitas rata-rata beton dengan kadar serat nol. Hasil penelitian terhadap beton berserat konvensional dari sumber pustaka (Neves dan Fernandes de Almeida 2005, Thomas dan Ramaswamy 2007, Ou, et al.
61
2012) diplot bersama dalam Gambar 3 untuk perbandingan. Dapat diamati, hasil penelitian di sini menemukan kecenderungan penurunan modulus elastisitas seiring penambahan indeks perkuatan serat dalam beton agregat praletak berserat. Fenomena ini cenderung berbeda dibanding beton serat konvensional dari hasil penelitian Thomas dan Ramaswamy (2007) dan dari Ou, et al. (2012). Tetapi hasil ini selaras dengan hasil penelitian beton konvensional yang lain dari Neves dan Fernandes de Almeida (2005). Penelitian lain yang menemukan bahwa kadar penambahan serat mengurangi modulus elastisitas yaitu dari Rossi dan Harrouche (1990), Nataraja, et al. (1999) dan Mansur, et al. (1999). Pengaruh volume serat terhadap modulus elastisitas tampaknya belum konsisten dalam beton berserat metode konvensional. Modulus elastisitas beton agregat praletak berserat dapat diprediksi dengan rumus empiris hasil pengujian berikut ini: ECF EC 0 = 1 − 0,1269 ⋅ RIV ……………………(3)
Keterangan: E CF = modulus elastisitas beton agregat praletak berserat (MPa) E C 0 = modulus elastisitas beton agregat praletak polos (MPa) RI V = indeks perkuatan volumetrik serat dalam beton
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 54 – 70
Untuk menghitung modulus elastisitas beton agregat praletak berserat dengan persamaan (3) dibutuhkan dua variabel diketahui yaitu modulus elastisitas beton agregat praletak polos dan indeks perkuatan serat. Indeks perkuatan serat ditentukan dalam perancangan adukan beton. Sedang modulus elastisitas beton agregat praletak polos dapat ditentukan berdasarkan hubungan empiris terhadap kuat tekan beton agregat praletak polos.
Pada Gambar 4 ditampilkan plot hubungan antara modulus elastisitas dan akar kuadrat kuat tekan beton agregat praletak polos PAC 00. Gambar ini juga mengeplot hasil-hasil penelitian sebelumnya (Awal 1984, Abdelgader dan Górski 2003) beserta kurva persamaan empiris dari peraturan beton untuk beton normal dari Amerika (ACI Committee 318 2002) dan Eropa BS EN 1992-1-1 2004 (BSI 2004) serta beton mutu tinggi (ACI Committee 363 1992). Terlihat beton agregat praletak polos memiliki modulus elastisitas yang cenderung lebih tinggi dibanding kurva prediksi untuk beton normal dan mutu tinggi. Rumus empiris yang menghubungkan kuat tekan dengan modulus elastisitas beton agregat praletak polos dinyatakan dalam persamaan (4).
EC 0 = 3151,7 f C 0 + 16681 ………………….(4) Untuk
16 MPa < f C 0 < 55 MPa
Gambar 3. Hubungan indeks perkuatan dan modulus elastisitas beton
Gambar 4.
Hubungan antara modulus elastisitas dan kuat tekan beton agregat praletak polos
Keterangan: f C 0 = kekuatan tekan beton agregat praletak polos (Mpa) Eco = modulus elastisitas beton agregat praletak polos (Mpa) Kuat tekan silinder beton Kekuatan tekan beton ditampilkan dalam baris 3 dari Tabel 7. Kuat tekan beton semakin meningkat dengan semakin banyak serat yang dikandung dalam beton. Nilai kuat tekan beton agregat praletak polos (PAC 00) sebesar 21,9 MPa, meningkat secara gradual pada beton agregat praletak berserat dengan indeks perkuatan 2,0 menjadi 46,9 MPa. Plot hubungan antara indeks perkuatan serat dan kekuatan tekan beton agregat praletak berserat ternormalisasi terhadap beton agregat praletak polosnya ditunjukkan dalam Gambar 7. Hasil dari penelitian lain (Neves dan Fernandes de Almeida 2005, Thomas dan Ramaswamy 2007, Ou, et al. 2012, Wang 2006) pada beton berserat konvensional juga diplot untuk perbandingan. Sebagaimana terlihat, pengaruh penambahan serat pada kuat tekan beton
Sifat Mekanis Beton Berserat Baja dengan Metode Pengerjaan Praletak Agregat (Sam Randa, Iman Satyarno, Djoko Sulistyo)
62
agregat praletak sangat signifikan dibanding kecenderungan pengaruhnya terhadap kuat tekan beton serat metode konvensional. Hubungan empiris antara kekuatan tekan dan indeks perkuatan volumetrik serat baja dalam beton agregat praletak dapat dinyatakan sebagai berikut: f CF f C 0 = 1 + 0,5462 ⋅ RIV ……………………(5)
Keterangan: f C 0 = kekuatan tekan beton agregat praletak polos (Mpa) f CF = kekuatan tekan beton agregat praletak dengan penambahan serat dengan indeks perkuatan RI V (Mpa) RI V = indeks perkuatan volumetrik serat dalam beton Selain nilai kuat tekan, penambahan serat juga berpengaruh pada karakteristik teganganregangan tekan beton. Penambahan serat memberi sifat keuletan (toughness) kepada beton agregat praletak. Sifat ini juga dialami dalam beton berserat konvensional. Gambar 5 (a), (b), (c) dan (d) menunjukkan kurva tegangan-regangan tekan dari masing-masing untuk PAC 00, FPAC 15, FPAC 30 dan FPAC 45. Gambar 6 mengeplot tegangan-regangan rata-rata yang dibuat dengan mengambil nilai rata-rata tegangan pada regangan yang sama dari kurva setiap spesimen yang diuji. Dapat diamati bahwa pada beton dengan kadar serat yang lebih tinggi, regangan tekan yang dapat dicapai jauh lebih besar dari beton agregat praletak polos. Kurva tegangan-regangan seolah mengalami transformasi dilatasi (pembesaran skala) oleh adanya peningkatan kadar serat dalam beton. Perilaku ini memiliki kemiripan dengan hasil uji tekan pasir berserat tersementasi (Consoli, Prietto and Ulbrich 1998, Park 2011). Keuletan tekan beton berserat dapat dinilai berdasarkan parameter rasio keuletan, yang diusulkan oleh Ezeldin dan Balaguru (1992), yang didefinisikan sebagai perbandingan antara luas daerah di bawah kurva teganganregangan hingga regangan 0,015 dibagi hasil
63
kali kuat tekan dan regangan 0,015. Hasil kali tersebut merupakan luas persegi dengan tinggi sama dengan ordinat kuat tekan beton dan lebar sama dengan absis regangan 0,015. Nilai rasio keuletan beton agregat praletak berserat ternormalisasi terhadap rasio keuletan beton agregat praletak polos rata-rata untuk masing-masing varian uji diplot terhadap indeks perkuatan serat dalam Gambar 9. Terlihat bahwa kenaikan rasio keuletan akibat penambahan serat pada beton metode praletak agregat menjadi lebih signifikan dibanding beton cara konvensional yang dilaporkan Ou, et al. (2012). Garis regresi rasio keuletan ternormalisasi terhadap indeks perkuatan untuk beton metode praletak agregat memiliki gradien yang lebih curam dibanding beton serat konvensional. Hubungan kadar serat dan rasio keuletan tekan ini dapat dinyatakan dalam rumus empiris hasil regresi berikut: TRCF TRC 0 = 1 + 1,8727 ⋅ RIV ………………… (6)
Keterangan: TRCF = rasio keuletan tekan beton agregat praletak dengan penambahan serat TRC 0 = rasio keuletan tekan beton agregat praletak polos. Kuat lentur balok
Kekuatan lentur ditampilkan dalam baris 5 Tabel 7. Hasil uji lentur berupa kurva beban terhadap lendutan balok, untuk masing-masing varian beton, diplot dalam Gambar 9. Kekuatan lentur beton mengalami peningkatan bersama dengan bertambahnya indeks perkuatan serat. Kuat lentur beton agregat praletak polos (PAC 00) dari 3,195 MPa, melonjak secara eksponensial hingga beton agregat praletak berserat dengan indeks perkuatan 2,0 menjadi 15,468 MPa. Rasio kuat lentur beton agregat praletak berserat terhadap beton agregat praletak polos diplot terhadap indeks perkuatan serat dalam Gambar 10. Hasil-hasil penelitian terdahulu (Yurtseven 2004, Wang 2006, Thomas and Ramaswamy 2007, Mohammadi, Singh dan Kaushik 2008) atas beton berserat konvensional diplot bersama untuk tujuan
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 54 – 70
perbandingan. Terlihat bahwa kecenderungan kenaikan rasio kuat lentur beton agregat praletak berserat terhadap beton agregat praletak polos dari metode konvensional maupun metode praletak menunjukkan keselarasan. Indeks perkuatan serat yang lebih tinggi yang dicapai pada penelitian ini menghasilkan kenaikan yang lebih tinggi pula. Kenaikan rasio kuat lentur mengikuti trend eksponensial dengan rumus empiris berikut: f RF f R 0 = exp(0,8452 ⋅ RIV ) ………………… (7)
Keterangan: f RF = kekuatan lentur beton agregat praletak berserat (Mpa) f R 0 = kekuatan lentur beton agregat praletak polos (Mpa) Dari kurva beban-lendutan dalam Gambar 9, dapat dihitung indeks-indeks keuletan lentur balok beton agregat praletak berserat sesuai prosedur yang diatur dalam ASTM C 1018 - 97. Indeks keuletan merupakan nilai yang didapat dengan membagi luas daerah di bawah kurva hingga lendutan yang ditetapkan terhadap luas daerah hingga lendutan retak pertama. Nilai-nilai 5,0, 10,0 dan 20,0 untuk masing-masing I 5 , I10 , dan I 20 , seperti didefinisikan berikut ini, merujuk pada perilaku bahan yang elastik hingga retak pertama dan selanjutnya berperilaku plastik sempurna. Nilai indeks I 5 diperoleh dengan membagi luas daerah hingga lendutan 3,0 kali nilai lendutan retak pertama terhadap luasan hingga retak pertama. Nilai indeks I10 diperoleh dengan membagi luas daerah hingga lendutan 5,5 kali nilai lendutan retak pertama terhadap luasan
hingga retak pertama. Nilai indeks I 20 diperoleh dengan membagi luas daerah hingga lendutan 10,5 kali nilai lendutan retak pertama terhadap luasan hingga retak pertama (ASTM 1998). Indeks-indeks ini bernilai sama dengan 1,0 untuk beton agregat praletak polos. Indeks-indeks keuletan I 5 , I10 , dan I 20 yang diperoleh untuk setiap varian beton agregat praletak yang diuji diplot masingmasing dalam Gambar 11, Gambar 12 dan Gambar 13. Dalam gambar-gambar tersebut juga diplot bersama hasil-hasil dari penelitian terdahulu (Johnston dan Skarendahl 1992, Wang 2006, Mohammadi, Singh and Kaushik 2008) terhadap beton berserat metode konvensional untuk perbandingan. Nilai indeks keuletan lentur yang dihasilkan dengan metode konvensional memiliki kecenderungan yang selaras dengan metode praletak. Seluruh spesimen beton agregat praletak berserat yang diperoleh menunjukkan sifat yang tergolong dalam kategori bahan elastik-plastik berdasarkan kriteria batasan dari ASTM C 1018 (ASTM 1998) Kenaikan indeks keuletan linier proporsional terhadap indeks perkuatan serat yang ditambahkan. Rumus-rumus empiris berdasarkan regresi data penelitian ini, yang menyatakan hubungan indeks perkuatan serat terhadap indeks keuletan lentur beton, dinyatakan dalam Persamaan (8), (9) dan (10). I 5 = 3,6886 ⋅ RIV + 1 ………………………… (8) I 10 = 11.1730 ⋅ RI V + 1 ………………………. (9) I 20 = 24,449 ⋅ RIV + 1 ………………………. (10)
Sifat Mekanis Beton Berserat Baja dengan Metode Pengerjaan Praletak Agregat (Sam Randa, Iman Satyarno, Djoko Sulistyo)
64
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 5. Kurva tegangan-regangan spesimen beton agregat praletak
Gambar 6. Kurva tegangan-regangan rata-rata
65
Gambar 7.
Hubungan indeks perkuatan serat dan rasio kuat tekan beton
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 54 – 70
Gambar 8. Hubungan indeks perkuatan serat dan rasio keuletan tekan beton
Gambar 9. Kurva beban-lendutan balok beton agregat praletak polos dan berserat
Sifat Mekanis Beton Berserat Baja dengan Metode Pengerjaan Praletak Agregat (Sam Randa, Iman Satyarno, Djoko Sulistyo)
66
Gambar 10. Hubungan indeks perkuatan serat dan rasio kuat lentur beton
Gambar 12.
Hubungan indeks perkuatan serat dan indeks keuletan I10
PEMBAHASAN Dari segi penyerapan maupun volume rongga permeabel beton agregat praletak berserat FPAC 15 dan FPAC 30 terindikasi handal dan potensial untuk diterapkan pada struktur yang terpapar kondisi lingkungan agresif. Sedang untuk FPAC 45 akan memerlukan tambahan perlindungan pada permukaan bila hendak diterapkan pada struktur di lingkungan agresif.
67
Gambar 11.
Hubungan Indeks Perkuatan Serat dan Indeks Keuletan I5
Gambar 13. Hubungan indeks perkuatan serat danindeks keuletan I20
Sifat-sifat beton agregat praletak berserat menunjukkan bahwa beton ini memiliki potensi untuk dapat diterapkan pada elemen-elemen struktur beton yang memerlukan fleksibilitas dan daktilitas yang tinggi misalnya pada konstruksi yang banyak menerima beban benturan (impact) seperti perkerasan jalan, lantai jembatan, pilar jembatan pada sungai dengan ancaman debris pada saat banjir, bungker dan sebagainya. Untuk itu akan dibutuhkan penelitian dan pengembangan lebih lanjut.
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 54 – 70
d. rasio
keuletan tekan (compressive toughness ratio) beton meningkat secara linier sebanyak 2 kali lipat. e. kuat lentur beton bertambah secara eksponensial dari 3,27 MPa menjadi 15,47 Mpa. f. indeks-indeks keuletan lentur (flexural toughness indices) beton bertambah secara linier.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari uraian diatas dapat diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut: 1. Pembuatan beton berserat baja dengan metode praletak agregat-serat dapat menghasilkan beton dengan indeks perkuatan serat mencapai 2,0. Nilai ini melampaui capaian beton serat normal dengan metode konvensional yakni 1,70 yang dilaporkan dalam Ou, et al.(2012). Masalah balling pada pembuatan beton berserat metode konvensional dengan indeks perkuatan tinggi dapat diatasi dengan metode pembetonan praletak adukan agregat kasar dan serat baja. 2. Proporsi mortar grout yang memberikan kinerja memuaskan untuk beton agregat praletak berserat adalah sebagai berikut: air 355,7 kg/m3; semen PPC 741,1 kg/m3; pasir berbutir kurang dari 1,18 mm 926,3 kg/m3; fly ash 148,2 kg/m3; dan superplasticizer jenis polycarboxylate 4,45 kg/m3. 3. Grout segar dengan komposisi tersebut memberikan nilai faktor alir 30 detik dan volume bleeding 2,5%. Bleeding grout berhenti pada selang waktu 75 menit. Beton agregat praletak yang dihasilkan padat tanpa adanya bagian yang keropos (honeycombing). 4. Beton agregat praletak berserat yang dihasilkan memiliki bobot normal dengan tingkat kekedapan yang memadai untuk level durabilitas baik hingga sangat baik. 5. Peningkatan indeks perkuatan serat dalam beton agregat praletak menyebabkan perubahan-perubahan karakteristik dari beton agregat praletak polos ke beton agregat praletak dengan indeks perkuatan serat 2,0 masing-masing sebagai berikut: a. cepat-rambat getaran ultrasonik (UPV) menurun dari nilai 4,7 km/s menjadi 4,3 km/s. b. modulus elastisitas menurun secara linier dari 31686 MPa menjadi 23691 MPa; c. kuat tekan beton meningkat secara linier dari 21,9 MPa menjadi 46,9 MPa.
Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan untuk kajian selanjutnya adalah: 1. Pengembangan grout dengan mutu yang lebih baik. 2. Kajian teknik pengadukan, pemadatan dan penempatan batu-serat untuk pembetonan. 3. Pengukuran sifat-sifat geoteknis adukan agregat-serat dan korelasinya terhadap sifatsifat beton agregat-serat praletak. 4. Pengembangan model perilaku mekanis beton agregat-serat praletak. 5. Kajian penerapan beton agregat-serat praletak sebagai elemen struktural dan beton massa. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih Kepada: 1. Balai Jembatan dan Bangunan Pelengkap Jalan, Puslitbang Jalan dan Jembatan, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum atas fasilitas laboratorium. 2. Dr.-Ing. Ir. Andreas Triwiyono, Lektor Kepala Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, atas ulasan dan saran-saran dalam penulisan ini. DAFTAR PUSTAKA Abdelgader, Hakim S., dan Jaroslaw Górski. 2003. “Stress-Strain Relations and Modulus of Elasticity of Two-Stage Concrete.” Journal of Materials in Civil Engineering. 15(4), August: 329-334. ACI Committee 304. 1997. Guide for the Use of Preplaced Aggregate Concrete for Structural
Sifat Mekanis Beton Berserat Baja dengan Metode Pengerjaan Praletak Agregat (Sam Randa, Iman Satyarno, Djoko Sulistyo)
68
and Mass Concrete Applications. (ACI 304.1R-92) (Reapproved 1997). Detroit: American Concrete Institute. ACI Committee 318. 2002. Building Code Requirements for Structural Concrete. ACI 318M-02 and Commentary (ACI 318RM-02). Farmington Hills, MI: American Concrete Institute. ACI Committee 363. 1992. State-of-the-Art Report on High-Strength Concrete. ACI 363R-92 (Reapproved 1997). Farmington Hills : American Concrete Institute. ACI Committee 544. 1988. Design Considerations for Steel Fiber Reinforced Concrete. ACI 544.4R-88 (Reapproved 1999). Farmington Hills: American Concrete Institute. American Society for Testing and Materials . 1998. Standard Test Method for Flexural Toughness and First-Crack Strength of FiberReinforced Concrete (Using Beam With Third-Point Loading). ASTM Standard C1018-97. West Conshohocken: ASTM International. __________.2003. Standard Test Method for Pulse Velocity Through Concrete. ASTM C 597 02. 2003. West Conshohocken, PA: ASTM International. Awal, A. S. M. Abdul. 1984. Manufacture and Properties of Prepacked Aggregate Concrete. Master Thesis, University of Melbourne. Badan Standardisasi Nasional. 2000. Metode Pengujian Kerapatan, Penyerapan dan Rongga dalam Beton yang Telah Mengeras. SNI 03-6433. Jakarta: BSN. ________. 2000. Metode Pengujian Ekspansi dan Bleeding Campuran Grout Segar untuk Beton dengan Agregat Praletak di Laboratorium. SNI 03-6430.3. Jakarta: BSN. _________. 2002. Metode Pengujian Kekentalan Grout untuk Beton Agregat Praletak (Metode Pengujian Corong Alir). SNI 03-6808. Jakarta: BSN. _________. 2011. Cara Uji Kuat Tekan Beton dengan Benda Uji Silinder. SNI 1974. Jakarta: BSN _________. 2011. 2011. Cara Uji Kuat Lentur Beton Normal dengan Dua Titik Pembebanan. SNI 4431. Jakarta: BSN. ________. 2012. Tata Cara Pemilihan Campuran untuk Beton Normal, Beton Berat dan Beton Massa. SNI 7656. Jakarta: BSN. Bayer, I. Raci. 2004.Use of Preplaced Aggregate Concrete for Mass Concrete Applications. M.
69
Sc. Thesis., Middle East Technical University. British Standard Institution. 1986. Testing Concrete Part 203: Recommendations for Measurement of Velocity of Ultrasonic Pulses in Concrete. BS 1881-203. London: BSI. _____________ 2004. Eurocode 2: Design of Concrete Structures -- Part 1-1: General Rules and Rules for Buildings. BS EN 19921-1. London: British Standards Institution. Carino, Nicholas J. 2008. “Nondestructive Test Methods.” Bab 21 dalam Concrete Construction Engineering Handbook, disunting oleh Edward G. Nawy. Boca Raton, FL: CRC Press. Cement Concrete & Aggregates Australia. 2009. Chloride Resistance of Concrete. Sidney: CCAA. Consoli, Nilo C., Pedro D. M. Prietto, and Luciane A. Ulbrich. 1998. “Influence of Fiber and Cement Addition on Behavior of Sandy Soil.” Journal of Geotechnical and Geoenvironmental Engineering. 124 (12): 1211-1214. Ezeldin, Samer, and Perumalsamy N. Balaguru. 1992. “Normal- and High-Strength FiberReinforced Concrete under Compression.” Journal of Materials in Civil Engineering 4 (4): 415-429. Homrich, Joseph R., dan Antoine E. Naaman. 1988.Stress-Strain Properties of SIFCON in Uniaxial Compression and Tension. University of Michigan, Kirtland, New Mexico: Air Force Weapons Laboratory, 134. Johnston, C. D., and Å Skarendahl. 1992. “Comparative Flexural Performance Evaluation of Steel Fibre-Reinforced Concretes According to ASTM C 1018 Shows Importance of Fibre Parameters.” Materials and Structures. 25(4): 191-200. Karki, Netra Bahadur. 2011. Flexural Behavior of Steel Fiber Reinforced Prestressed Concrete Beams and Double Punch Test for Fiber Reinforced Concrete. Ph.D. Diss., University of Texas. Mansur, M. A., M. S. Chin, dan T. H. Wee. 1999. “Stress-Strain Relationship of High-Strength Fiber Concrete in Compression.” Journal of Materials in Civil Engineering (ASCE) 11, no. 1: 21-29. Marrs, David Leonard. 1998.The Development of SIFCON for Use in Structural Applications. Ph.D Diss., University of Paisley.
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 54 – 70
Mohammadi, Y., S. P. Singh, and S. K. Kaushik. 2008. “Properties of Steel Fibrous Concrete Containing Mixed Fibres in Fresh and Hardened State.” Construction and Building Materials. 22 (5): 956-965. Mondragon, Ray. 1998. SIFCON with Sand. New mexico: New Mexico Engineering Research Institute. Nataraja, M. C., N. Dhang, dan A. P. Gupta. 1999. “Stress-Strain Curves for Steel-Fiber Reinforced Concrete under Compression.” Cement & Concrete Composites (Elsevier Science Ltd.) 21, no. 5-6: 383-390. Neves, R. D., dan J. C. O. Fernandes de Almeida. 2005. “Compressive Behaviour of Steel Fibre Reinforced Concrete.” Structural Concrete. 6 (1),March: 1-8. Neville, A. M. 1995. Properties of Concrete. 4th ed.. Essex: Pearson Education Ltd. Ou, Yu-Chen, et al. 2012. “Compressive Behavior of Steel-Fiber-Reinforced Concrete with a High Reinforcing Index.” Journal of Materials in Civil Engineering. 24 (2): 207-215. Park, Sung-Sik. 2011. “Unconfined Compressive Strength and Ductility of Fiber-Reinforced Cemented Sand.” Construction and Building Materials. 25 (2): 1134-1138. Rossi, P., dan N. Harrouche. 1990. “Mix Design and Mechanical Behaviour of some Steel-Fibre-
Reinforced Concretes used in Reinforced Concrete Structures.” Materials and Structures (RILEM) 23, no. 4: 256-266. Schneider, et al. 1988. ISST Structure with SIFCON - HFC-2 Test. New Mexico: New Mexico Engineering Research Institute. Swamy, R. N., dan P. S. Mangat. 1974. “Influence of Fibre-Aggregate Interaction on Some Properties of Steel Fibre Reinforced Concrete.” Matériaux et Construction (RILEM) 7, no. 5: 307-314. Thomas, Job, and Ananth Ramaswamy. 2007. “Mechanical Properties of Steel FiberReinforced Concrete.” Journal of Materials in Civil Engineering. 19 (5): 385-392. Wang, Chuanbo. 2006. Experimental Investigation on Behavior of Steel Fiber Reinforced Concrete (SFRC). M.Sc. Thesis, University of Canterbury. Yildirim, Hasan, dan Ozkan Sengul. 2011. “Modulus of Elasticity of Substandard and Normal Concretes.” Construction and Building Materials. 25 (4): 1645-1652. Yurtseven, Alp Eren. 2004. Determination of Mechanical Properties of Hybrid Fiber Reinforced Concrete. M.Sc Thesis, Middle East Technical University.
Sifat Mekanis Beton Berserat Baja dengan Metode Pengerjaan Praletak Agregat (Sam Randa, Iman Satyarno, Djoko Sulistyo)
70
PENGGUNAAN SLURRY SEAL UNTUK PEMELIHARAAN PERKERASAN JALAN (THE USE OF SLURRY SEAL FOR MAINTENANCE OF ROAD PAVEMENT) Nono Pusat Litbang Jalan dan Jembatan
Jalan A.H. Nasution no.264, Bandung, 40294 e-mail:
[email protected]
Diterima: 04 April 2013; direvisi: 22 Mei 2013; disetujui : 01 Agustus 2013
ABSTRAK Sesuai dengan bertambahnya umur, perkerasan akan mengalami penurunan kondisi. Penurunan kondisi akan lebih cepat terjadi apabila beban kendaraan yang cenderung jauh melampaui batas dan disertai dengan kondisi cuaca yang kurang bersahabat. Selama ini pemeliharaan umumnya dilaksanakan menunggu kondisi tidak mantap sehingga berakibat pemeliharaan menjadi tidak efisien dan mahal. Berdasarkan atas tuntutan pengguna jalan serta dalam upaya mengoptimalkan pengelolaan jalan maka pemeliharaan jalan sebaiknya dilakukan dengan preventif. Pemeliharaan preventif adalah penerapan penanganan sebelum terjadi penurunan kondisi yang signifikan. Makalah ini mengkaji salah satu teknologi bahan untuk pemeliharaan preventif, yaitu Slurry Seal. Metodologi penelitian dilaksanakan dengan cara melakukan kajian literatur dan selanjutnya melaksanakan pengujian di laboratorium serta melakukan uji coba skala kecil dilapangan. Hasil penelitian menunjukkan Slurry Seal dengan gradasi Type II yang menggunakan aspal Emulsi Cationic Slow Setting-1 hard (CSS-1h) memiliki ketahanan terhadap pelelehan dan nilai abrasi hasil tes dengan Wet Track Abrasion Test (WTAT) cukup baik. Hasil pengamatan pada saat pelaksanaan uji coba skala kecil dilapangan, aplikasi teknologi Slurry Seal dilapangan memiliki workabilitas cukup baik. Kata kunci: Slurry Seal, aspal emulsi, penurunan kondisi perkerasan, pemeliharaan jalan, preventif. ABSTRACT The increasing of pavement life will cause deterioration of pavement. Deterioration of pavement will be faster when vehicle load is likely to far exceed the limit and the effect of unfriendly climate. So far maintenance is generally carried out until unstable conditions resulting maintenance to be inefficient and expensive. Based on the demands of road users, and in order to optimize the management of road maintenance, it should be done preventively. Preventive maintenance is the application of treatment before a significant decline in condition. This paper examines one of the materials technology for preventive maintenance, namely Slurry Seal. The research methodology was implemented in a way to carry out a literature review and further testing in the laboratory and conduct small-scale field trials. The results showed the Slurry Seal Type II gradation using Cationic Slow Setting-1 hard (CSS-1h) asphalt Emulsion has a resistance to flow and abrasion value test results with Wet Track Abrasion Test (WTAT) is quite well. Observations during the implementation of small-scale field trials, Slurry Seal technology applications in the field has a good workability. Keywords: Slurry Seal, emulsified asphalt, pavement deterioration, pavement maintenance, preventive.
71
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 71 – 79
PENDAHULUAN Kinerja jalan sudah pasti akan mengalami penurunan sejalan dengan repetisi beban lalu-lintas yang dilayaninya, cuaca atau kualitas bahan kurang baik. Kerusakan didefinisikan sebagai suatu kondisi struktur perkerasan yang mengurangi tingkat pelayanan atau mengarah pada pengurangan tingkat pelayanan. Tingkat pelayanan didefinisikan sebagai kemampuan perkerasan untuk memberikan pelayanan yang aman dan nyaman untuk para penggunanya. Disamping itu, tuntutan pengguna jalan mengharapkan kecepatan (waktu tempuh) karena terkait dengan biaya perjalanan yang murah serta pengguna jalan mungkin menuntut pula estetika dan kebersihan lingkungan (bebas kebisingan dan polusi). Selama ini pemeliharaan umumnya dilaksanakan setelah terjadinya kerusakan pada permukaan perkerasan yang dilihat secara visual, seperti lubang, keriting, alur atau retak. Penanganan yang menunggu kondisi tidak mantap akan berakibat terhadap kebutuhan biaya pemeliharaan yang besar. Pola penanganan pemeliharaan yang diterapkan ini dengan menunggu hingga perkerasan rusak atau yang dikenal dengan pemeliharaan reaktif menjadi tidak efisien dan mahal. Berdasarkan atas tuntutan pengguna jalan serta dalam upaya mengoptimalkan pengelolaan jalan maka pemeliharaan jalan sebaiknya dilakukan dengan preventif. Pemeliharaan preventif adalah penerapan penanganan sebelum terjadi penurunan kondisi yang signifikan. Umumnya pemeliharaan preventif memperpanjang umur perkerasan dan biasanya direncanakan. Salah satu teknologi untuk pemeliharaan preventif atau preservasi adalah teknologi Slurry Seal. Teknologi campuran ini sudah lama digunakan di negara maju, namun di Indonesia masih belum diaplikasikan atau masih sekala uji coba, padahal teknologi campuran ini ramah lingkungan karena pencampuran dan penghamparan dilaksanakan secara dingin. Salah satu hambatan penggunaan teknologi slurry seal adalah ketersediaan alat penghampar.
Penggunaan Slurry Seal untuk Pemeliharaan Perkerasan Jalan, (Nono)
Penelitian mengenai Slurry Seal ini bertujuan untuk mengevaluasi keandalannya pada sekala laboratorium serta tingkat kemudahan kerjanya pada aplikasi di lapangan yang dilakukan secara manual. KAJIAN PUSTAKA Pemeliharaan jalan Tujuan utama penanganan/pemeliharaan perkerasan jalan, yaitu: 1. Memperlambat penurunan kondisi sehingga jalan berfungsi sesuai umur rencana. 2. Mengurangi biaya operasi kendaraan. 3. Agar jalan selalu berfungsi sehingga dapat melayani penggunanya. Berdasarkan Caltrans (2008) bahwa terdapat beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan pada proses pemilihan penanganan perkerasan yang tepat, yaitu mencakup umur, kondisi, lalu-lintas dan rencana kedepan yang diharapkan seperti ketersedian anggaran. Untuk tercapainya tujuan pemeliharaan maka setiap jenis pemeliharaan harus dilakukan secara berkesinambungan. Konsekuensi yang harus ditanggung bila tidak berkesinambungan adalah umur layan perkerasan tidak sesuai dengan yang direncanakan atau mengalami kerusakan dini. Pemeliharaan perkerasan adalah kunci untuk preservasi perkerasan. Program preservasi perkerasan yang efektif mengintegrasikan strategi pemeliharaan dan perawatan. Ada tiga jenis pemeliharaan perkerasan (Johnson 2000): Pemeliharaan pencegahan Rencana strategi pemeliharaan dengan biaya efektif untuk sistem jalan yang ada dan perlengkapannya, menghambat kerusakan pada masa depan, dan menjaga atau meningkatkan kondisi fungsional (tanpa meningkatkan kapasitas struktural). Pemeliharaan permukaan yang kurang dari dua inci dengan ketebalan tidak dianggap sebagai penambahan kapasitas struktural.
72
Pemeliharaan korektif Pemeliharaan korektif dilakukan setelah terjadi kerusakan pada perkerasan, seperti rutting sedang hingga rutting parah, raveling atau retak yang luas. Hal ini juga dapat disebut sebagai pemeliharaan "reaktif". Pemeliharaan darurat Pemeliharaan darurat dilakukan selama situasi darurat, seperti lubang yang parah yang perlu perbaikan segera. Ini juga dapat mencakup pemeliharaan sementara sampai perbaikan yang lebih permanen dapat dilakukan. Konsep dan teknik preservasi perkerasan lentur: 1. Pendekatan proaktif dari pemeliharaan preventif 2. Pencegahan pemeliharaan untuk perkerasan dalam kondisi baik 3. Mengurangi tingkat kerusakan 4. Biaya pemeliharaan perkerasan lebih efektif dan efisien Dampak yang menguntungkan dari pemeliharaan preventif tergantung pada karakteristik struktur perkerasan, jenis dan penyebaran kerusakan, serta faktor-faktor lain seperti drainase dan bahan. Untuk pemeliharaan preventif yang efektif, perlu untuk menerapkan penanganan yang tepat terhadap kondisi perkerasan yang tepat serta aplikasinya dengan waktu yang tepat. Teknologi Slurry Seal untuk preservasi perkerasan lentur Slurry Seal adalah campuran dari aspal emulsi mantap lambat, agregat halus dengan gradasi menerus, bahan pengisi, dan air (Hicks 2000). Slurry Seal merupakan campuran yang ramah lingkungan serta aman terhadap kebakaran, karena emulsi berbasis air maka tidak memiliki titik nyala dan tidak mudah terbakar. Karena berbasis air, aspal emulsi tidak menimbulkan risiko kesehatan bagi pekerja. Pemantapan campuran Slurry Seal merupakan proses termal dan umumnya antara 2 (dua) sampai 8 (delapan) jam tergantung pada panas dan kelembaban. Slurry Seal tidak boleh dilaksanakan pada cuaca menjelang serta saat
73
hujan, dan temperatur tidak boleh lebih rendah dari 10°C (Uzarowski 2009). Slurry Seal lebih efektif untuk pemecahan masalah utama, yaitu pengaruh oksidasi berlebihan pada permukaan perkerasan eksisting. Untuk itu penggunaan Slurry Seal ke permukaan perkerasan untuk menghambat pelepasan butir, menutup retak halus, dan meningkatkan gesekan permukaan. Namun penggunaan Slurry Seal tidak akan efektif apabila untuk menangani perkerasan yang mengalami retakan yang luas atau pada perkerasan yang sudah mengalami fatik. Aplikasi Slurry Seal biasanya tidak perlu dipadatkan kecuali apabila aplikasinya pada daerah belokan dengan kecepatan rendah harus dipadatkan dengan berat alat pemadat 5 ton dengan minimum 5 gilasan alat pemadat. Apabila menggunakan alat pemadat pneumatik (roda karet) maka tekanan bannya sebesar 345 kpa atau 50 psi (ASTM 2007). Bahan pengikat atau Aspal Emulsi yang digunakan untuk campuran Slurry Seal adalah Aspal Emulsi tipe CQS-1h, CSS-1h dan SS-1h (Asphalt Institute 2009). Campuran Slurry Seal dapat menggunakan salah satu dari tiga tipe gradasi agregat campuran sesuai dengan persyaratan gradasi Tabel 1. Tabel 1. Gradasi agregat campuran Slurry Seal Ukuran saringan ASTM (mm) 3/8” 9,50 No.4 4,75 No.8 2,36 No.16 1,18 No.30 0,600 No.50 0,300 No.100 0,150 No.200 0,075
% Berat berat yang lolos Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3 100 100 100 90 - 100 70 - 90 90 - 100 65 - 90 45 - 70 65 - 90 45 - 70 28 - 50 40 - 60 30 - 50 19 - 34 25 - 42 18 - 30 12 - 25 15 - 30 10 - 21 7 - 18 10 -20 5 - 15 5 - 15
Sumber : Caltrans (2008)
Berdasarkan Caltrans (2008), aplikasi untuk ke tiga tipe gradasi di atas, yaitu sebagai berikut: 1. Tipe I adalah cocok untuk menutup retakan, mengisi rongga, dan memperbaiki kondisi permukaan yang erosi. Kadar residu aspal
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 71 – 79
emulsi antara 10-16 % terhadap berat agregat kering dan takaran campuran yang harus diterapkan berkisar antara 3,3-5,4 kg/m2. Tipe I ini digunakan pada lapangan terbang di mana penutupan permukaan dan skid resistance adalah merupakan kebutuhan primer. 2. Tipe II cocok untuk mengisi rongga permukaan, memperbaiki permukaan yang mengalami erosi benar-benar parah dan minimum menyediakan lapis permukaan. Kadar residu aspal emulsi berkisar antara 7,5-13,5% terhadap berat agregat kering serta aplikasi campuran yang harus diterapkan berkisar antara 5,4-8,2 kg/m2. Tipe ini digunakan pada lapangan terbang dan perkerasan yang sangat terkikis (erosi), atau memiliki banyak retak. Tipe ini juga dapat digunakan sebagai lapis permukaan di atas lapis fondasi aspal atau fondasi tanahsemen, atau sebagai penutup pada lapis fondasi yang distabilisasi. 3. Tipe III cocok untuk menyediakan suatu lapis permukaan baru atau membangun atau memperbaiki mahkota (crown). Kadar residu aspal emulsi berkisar antara 6,5-12% terhadap berat agregat kering serta harus diterapkan pada takaran minimum 8,2 kg/m2. Mengacu pada Pedoman Bubur Aspal Emulsi Bina Marga (Indonesia 1999) maka tebal padat untuk setiap tipe gradasi di atas adalah seperti disajikan pada Gambar 1.
Tebal: 2-3 mm
Tebal: 4-5 mm
Tebal: 7-10 mm
Sumber : Bina Marga (1999)
Umur layan Slurry Seal di beberapa negara maju Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan di beberapa negara yang dicuplik dari MDT (2006), bahwa pemeliharaan dengan Slurry Seal memiliki umur layan antara 1-10 tahun seperti disajikan pada Tabel 2. Menurut SHRP-2 (TRB 2011), Slurry Seal Tipe III dapat digunakan untuk jalan dengan volume lalu-lintas tinggi dan berdasarkan pengalaman memiliki umur sejalan antara 5-8 tahun. Tabel 2. Umur pelayanan dengan Slurry Seal dari beberapa sumber Rujukan
Umur pelayanan (Tahun)
Bolander, 2005 Bolander, 2005 Geoffroy, 1996 Geoffroy, 1996 Geoffroy, 1996
5-10 5-8 1-6 3-5 3-6
Hicks et al., 2000
2-5
Hicks et al., 2000
2,5,7
Hicks et al., 2000
3-4
Maher et al., 2000
3-8
Catatan Untuk LHR < 100 Untuk LHR 100-500 Menurut NCHRP Menurut FHWA Menurut US Corps of Engineers Umur rata-rata menurut Ohio DOT Min., rata-rata, maksimum Umur yang diharapkan dari Caltrans Umur penanganan yang diharapkan
Sumber: MDT (2006)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan Transportation Research Board (2004) bahwa waktu siklus penanganan dengan Slurry Seal yang direkomendasikan adalah tahunan. Disamping itu, direkomendasikan tahun awal penanganannya adalah 2 sampai dengan 6 tahun dari awal umur perkerasan. Mengacu terhadap hasil penelitian yang disajikan pada Caltrans (2008), umur layan teknologi pemeliharaan dengan Slurry Seal adalah sangat tergantung dengan kondisi perkerasan eksisting. Kondisi existing perkerasan semakin rusak maka umur layan teknologi penanganan yang diterapkan semakin pendek.
Gambar 1. Tipikal tebal lapisan untuk masingmasing tipe Slurry Seal
Penggunaan Slurry Seal untuk Pemeliharaan Perkerasan Jalan, (Nono)
74
Spesifikasi Slurry Seal yang diacu Sebagai acuan dalam melakukan pengkajian Slurry Seal, baik untuk sifat bahan maupun sifat campuran, maka spesifikasi yang diacu adalah Pedoman Perencanaan Bubur Aspal Emulsi (Slurry Seal) No.026/T/BM/1999, Lampiran No.4 Keputusan Direktur Jenderal Bina Marga No. 76/KPTS/Db/1999 Tanggal 20 Desember 1999. Sifat aspal Emulsi CSS-1h yang akan digunakan harus memenuhi persyaratan sesuai SNI 4798:2011 (BSN 2011) (lihat Tabel 3), Persyaratan agregat ditunjukkan pada Tabel 4, Persyaratan gradasi sesuai pada Tabel 1 dan persyaratan campuran pada Tabel 5. Untuk bahan pengisi yang digunakan harus sesuai dengan SNI 03-6723-2002 (BSN 2002) Tabel 3. Ketentuan sifat fisik Aspal Emulsi CSS-1h (SNI 4798:2011) Jenis Pengujian
Metode Pengujian
Viskositas SF pada 50oC, detik cSt
SNI 03-6721-2002
Stabilitas penyimpanan 24 jam, %
SNI 03-6828-2002
Muatan listrik partikel
SNI 03-3644-1994
Analisa saringan tertahan No. 20 Penyulingan :
Spesifikasi Min Mak 20
100
40
200
-
1 Positif
-
0.1
SNI 06-2488-91
Kadar air, % isi
-
-
Kadar minyak , % isi
-
-
Kadar residu, % isi
57
-
40
90
Penetrasi residu, 0,1 mm
SNI 06-2456-91
Daktilitas residu, cm
SNI 06-2432-91
40
Kelarutan residu dalam C2HCl3, %
SNI 06-2438-91
97,5
Tabel 4. Ketentuan kualitas agregat Jenis Pengujian Keausan agregat dengan mesin abrasi Los Angeles, % Nilai Setara Pasir, %
Metoda Pengujian SNI 03-2417-1991
Persyaratan Maks 35 %
SNI 03-4428-1997
Min 55 %
Kelekatan agregat terhadap aspal, % Penyerapan air, %
SNI 03-2439-1991
Min 95%
SNI 03-1970-1990
Maks 3%
Kekekalan bentuk agregat terhadap larutan natrium sulfat, %
SNI 03-3407-1994
Maks 12
75
Tabel 5. Ketentuan campuran Slurry Seal Sifat – Sifat Campuran
Persyaratan Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3
Kadar Residu Aspal Emulsi, % terhadap berat agregat kering
10-16
7-13
6-11
Takaran Pemakaian, kg/m2
3,5-5
5,5-8
5-12
Ketebalan rata-rata, mm
2-3
4-5
7-10
Konsistensi, cm
2-3
2-3
2-3
Waktu pemantapan, menit
15-720
15-720
15-720
Waktu pengeringan, menit
< 720
< 720
< 720
< 800
< 800
< 800
2
Abrasi cara basah, gr/m
Sumber: Bina Marga (Indonesia 1999)
HIPOTESIS Aplikasi Slurry Seal memiliki nilai abrasi cara basah yang memenuhi persyaratan dan memiliki tingkat kemudahan kerja yang baik sehingga dapat dilakukan secara manual. METODOLOGI Untuk mencapai tujuan penelitian, pada tahap awal dilakukan kajian pustaka untuk mengkaji jenis aspal emulsi yang akan digunakan sebagai bahan pengikat dan tipe gradasi campuran Slurry Seal yang akan dikaji, baik untuk skala laboratorium maupun untuk aplikasi skala kecil dilapangan. Kegiatan yang dilakukan di laboratorium meliputi persiapan bahan, pengujian bahan dan pengujian campuran. Persiapan bahan mencakup penyediaan aspal, agregat dan bahan pengikat. Tahapan pengujian di laboratorium adalah sesuai Pedoman Perencanaan Bubur Aspal Emulsi/Slurry Seal (Indonesia 1999). Setelah diperoleh rancangan campuran dilaboratorium maka selanjutnya resep campuran tersebut digunakan untuk uji coba skala kecil di lapangan. Pelaksanaan uji coba dilakukan secara manual.
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 71 – 79
Tabel 8. Karakteristik Aspal Emulsi CSS-1h
HASIL DAN ANALISIS Hasil pengujian teknologi di laboratorium Dalam melakukan uji coba Slurry Seal di laboratorium, agregat yang digunakan memiliki sifat seperti disajikan pada Tabel 6. Dalam pembuatan campuran Slurry Seal, digunakan bahan pengisi semen sebanyak 2% dan gradasi rencana untuk campuran Slurry Seal menggunakan spesifikasi gradasi Tipe 2 seperti disajikan pada Tabel 7. Adapun aspal emulsi yang digunakan adalah aspal emulsi tipe CSS1h yang memiliki karakteristik seperti disajikan pada Tabel 8 dan memenuhi persyaratan sesuai Tabel 3. Pembuatan rancangan campuran mengacu terhadap Pedoman Perencanaan Bubur Aspal Emulsi/Slurry Seal (Indonesia 1999). Tabel 6. Karakteristik agregat untuk Slurry Seal No 1 2 3
4 5 6 7 8
Jenis pengujian Abrasi, % Setara Pasir, % Berat jenis Bulk SSD Apparent Penyerapan, % Angularitas Halus, % Angularitas Kasar, % Kelekatan, % Material lolos # 200, %
Tabel 7.
Jenis pengujian Agregat Agregat Sedang Halus 16,91 55,0 2,664 2,704 2,776 1,52 100/100 95 + 1,8
2,697 2,723 2,770 0,97 45,16 10,03
No . 1. 2. 3. 4. 5.
6. 7. 8.
Jenis Pengujian Viskositas SF pada 500C, detik cSt Stabilitas penyimpanan 24 jam, % Muatan listrik partikel Analisa saringan tertahan No. 20 Penyulingan : - Kadar air, % isi - Kadar minyak, % isi - Kadar residu, % isi Penetrasi, 0,1 mm Daktilitas, cm Kelarutan dalam C2HCl3, %
Hasil Pengujian 59 118 0,3 Positif 0 29,95 0,5 69,55 69 > 140 99,5
Gambaran pengujian Slurry Seal di laboratorium seperti disajikan pada Gambar 2 (uji konsistensi), Gambar 3 (uji waktu pemantapan dan pengeringan) dan Gambar 4 tentang ilustrasi pengujian abrasi cara basah (WTAT).
Gambar 2. Ilustrasi pengujian konsistensi
Gradasi agregat campuran Slurry Seal Tipe 2
Ukuran saringan ASTM
(mm)
3/8” No.4 No.8 No.16 No.30 No.50 No.100 No.200
9,50 4,75 2,36 1,18 0,600 0,300 0,150 0,075
% Berat yang lolos Gradasi Persyaratan Rencana* Gradasi Tipe 2 100 100 96,4 90 - 100 66,4 65 - 90 46,5 45 - 70 30 - 50 30,6 23,2 18 - 30 17,2 10 - 21 13,1 5 - 15
Gambar 3.
Ilustrasi pengujian waktu pemantapan dan pengeringan
*) Gradasi rencana sudah termasuk semen sebanyak 2%
Penggunaan Slurry Seal untuk Pemeliharaan Perkerasan Jalan, (Nono)
76
a. Contoh kondisi basah
b. Contoh kondisi kering
c. Pengujian WTAT
d. Hasil pengujian WTAT
Gambar 4. Ilustrasi pengujian WTAT
a. Kondisi perkerasan eksisting
b. Penghamparan cara manual
d. Permukaan awal dibuka lalulintas
c. Penghamparan cara manual
e. Permukaan Slurry Seal
Gambar 5. Pelaksanaan uji coba Slurry Seal pada lokasi di lingkungan Pusjatan
Sifat campuran Slurry Seal hasil uji coba di laboratorium disajikan pada Tabel 9 dan memenuhi persyaratan sesuai Tabel 5. Uji coba skala kecil di lapangan Berdasarkan hasil pengujian di laboratorium, selanjutnya dilaksanakan uji coba skala kecil di lingkungan Kampus Pusjatan.
77
Kondisi perkerasan eksisting jalan yang akan diperbaiki permukaan aspalnya sudah mengalami penuaan, yaitu yang ditunjukkan dengan adanya pelepasan butiran agregat. Dengan mempertimbangkan ukuran butiran maksimum agregat Slurry Seal yang relatif kecil serta gradasinya yang cukup halus, maka dalam penghamparannya dilakukan secara
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 71 – 79
manual. Gambaran pelaksanaan uji coba disajikan pada Gambar 5. Hasil pengamatan pada hasil penghampran menunujukkan tidak ditemukan terjadinya segregasi. Untuk itu, dengan pelaksanaan yang dilakukan secara manual selain proses pelaksanaan penghamparan cukup mudah dalam penebarannya serta hasilnya cukup merata. Tabel 9. Sifat campuran Slurry Seal Sifat – Sifat Campuran Kadar air penyelimutan (%) Kadar Residu Aspal Emulsi, % berat agregat kering Konsistensi, cm Waktu pemantapan, menit Waktu pengeringan, menit Abrasi cara basah, gr/m2
Hasil Pengujian
Persyaratan Slurry Seal Tipe 2 *
40 12
7-13
2,2 45 380 176
2-3 15-720 < 720 < 800
*) Sumber: Indonesia 1999
PEMBAHASAN Teknologi Slurry Seal dengan bahan pengikat aspal emulsi CSS-1h yang telah dilakukan pengujian dilaboratorium memiliki karakteriktik campuran memenuhi persyaratan. Berdasarkan hasil pengujian yang disajikan pada Tabel 9 diperoleh bahwa kadar residu aspal emulsi sebesar 12%, konsistensi (flow) sebesar 2,2 cm, waktu pemantapan relatif cepat dan abrasi cara basah cukup rendah (179 gr/m2 < 800 gr/m2). Pelaksanaan uji coba skala kecil menggunakan formula rancangan campuran Slurry Seal yang dihasilkan dari hasil kajian di laboratorium. Hasil pengamatan pada saat pelaksanaan diperoleh hal-hal sebagai berikut: 1. Sebagaimana diketahui bahwa pelaksanaan konstruksi perkerasan dengan campuran dingin, memerlukan waktu pemantapan lebih lama. Pada pelaksanaan uji coba dilakukan pada periode musim penghujan dan tipe aspal emulsi yang digunakan adalah
Penggunaan Slurry Seal untuk Pemeliharaan Perkerasan Jalan, (Nono)
CSS-1h dengan tebal hamparan sekitar 0,5 cm. Periode waktu yang diperlukan untuk dibuka untuk lalu-lintas maksimum 2 jam. 2. Berdasarkan pengalaman pelaksanaan uji coba skala kecil tersebut maka pelaksanaan penghamparan Slurry Seal dengan volume pekerjaan yang relatif sedikit masih memungkinkan dilakukan secara manual. Sesuai data yang diperoleh dari hasil uji coba maka teknologi Slurry Seal memerlukan waktu pemantapan sekitar 2 (dua) jam sehingga untuk ruas jalan dengan lalu-lintas yang padat sulit diaplikasikan karena harus menutup lalulintas yang relatif lama. Efektivitas teknologi ini bisa tercapai apabila diaplikasikan pada ruas-ruas jalan yang mengalami kerusakan yang bersifat fungsional. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian di laboratorium dan di lapangan maka dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut: 1. Campuran Slurry Seal dengan gradasi tipe II yang menggunakan aspal emulsi CSS-1h memiliki konsistensi atau ketahanan terhadap pelelehan (flow) cukup baik dan nilai keausan hasil pengujian dengan WTAT cukup rendah atau memenuhi persyaratan. 2. Hasil pengamatan pada saat pelaksanaan uji coba skala kecil di lapangan maka aplikasi teknologi Slurry Seal memiliki tingkat kemudahan kerja cukup tinggi. Khusus untuk volume pekerjaan yang relatif sedikit dapat dilakukan secara manual. Saran
Dari hasil kajian diatas saran yang dapat diberikan adalah: 1. Berhubung teknologi Slurry Seal sebagai bahan untuk perbaikan lapis permukaan yang bersifat fungsional maka untuk ruas jalan yang sudah mengalami kerusakan struktural tidak relevan menggunakan teknologi ini. 2. Untuk mengetahui ketahanan terhadap pengaruh lingkungan dan lalu-lintas, maka
78
perlu dilakukan pengamatan pada lokasi uji coba serta melakukan uji coba lapangan menggunakan alat penghampar mekanis pada lokasi dengan lalu-lintas harian ratarata (LHR) yang lebih tinggi. DAFTAR PUSTAKA American Society for Testing and Materials. 2007. Standard Practices for Design, Testing, and Construction of Slurry Seal. ASTM D3910. 2007. Annual Book of ASTM Standard. Section 4 Construction, volume 04.03. Road and Paving Materials; vehicle-pavement systems. Conshohocken: ASTM Asphalt Institute. 2009. Asphalt in Pavement Preservation and Maintenance. Manual Series 16 (MS-16) Fourth Edition.. Washington DC.: The Asphalt Institute Badan Standardisasi Nasional. 2011. Spesifikasi aspal emulsi kationik. SNI 4798:2011. Jakarta: BSN. Badan Standardisasi Nasional. 2002. Spesifikasi bahan untuk campuran beraspal. SNI 036723-2002. Jakarta: BSN. Caltrans. 2008. Maintenance Technical Advisory Guide Volume I – Flexible Pavement Preservation. 2nd Edition. Sacramento: State of California Department of Transportation, Hicks, R Gary, Seeds, Stephen B, Peshkin, David G. 2000. Selecting a Preventif Maintenance Treatment for Flexible Pavement. Washington DC.: FHWA.
79
Indonesia. Kementerian Pekerjaan Umum. Direktorat Jenderal Bina Marga. 1999. Pedoman Perencanaan Bubur Aspal Emulsi (Slurry Seal). No.026/T/BM/1999. Johnson, Ann . 2000. Best Practices Handbook on Asphalt Pavement Maintenance. Minnesota: Minnesota Department of Transportation Office of Research and Strategic Services. Montana Department of Transport (MDT). 2006. Preventive Maintenance Treatments of Flexible Pavements: A Synthesis of Highway Practice. Montana: Western Transportation Institutes. . Transportation Research Board. 2011. Guidelines for the Preservation of High-Traffic-Volume Roadways. SHRP-2. 2011. Washington D.C.: TRB. Transportation Research Board. 2004. Optimal Timing of Pavement Preventive Maintenance Treatment Applications. National Cooperative Highway Research Program (NCHRP) Report 523. Washington D.C.: TRB. Uzarowski L, Farrington G, and Chung W. 2009. Pavement Preservation – Effective Way of Dealing with Scarce Maintenance Budget. The Pavement Preservation: Supporting the Economy Session of the 2009 Annual Conference of the Transportation. British Columbia: Association of Canada Vancouver
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 71 – 79
EFEK REAKSI TEKAN GELAGAR BAJA KOMPOSIT DENGAN MENGGUNAKAN METODE PRAKOMPRESI (COMPRESSIVE REACTION EFFECT OF COMPOSITE GIRDER WITH PRECOMPRESSION SYSTEM) N. Retno Setiati1), Risma Putra2) 1), 2) 1), 2) 1), 2)
Puslitbang Jalan dan Jembatan
Jalan A.H. Nasution No. 264 Bandung 40294
e-mail:
[email protected];
[email protected] Diterima: 07 Juni 2013; direvisi: 02 Juli 2013; disetujui: 01 Agustus 2013
ABSTRAK Metode prakompresi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan daya layan jembatan komposit, yaitu dengan memberikan tegangan inisial pada pelat beton lantai jembatan atau gelagar baja. Jembatan jenis prakompresi merupakan hasil inovasi teknologi yang sudah pernah diterapkan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya lawan lendut yang dihasilkan pada gelagar baja komposit akibat pemberian bangkitan reaksi tekan pada komponen struktur gelagar tersebut. Metode prakompresi diberikan pada gelagar baja sebelum dilakukan pengecoran lantai jembatan. Analisis didukung dengan membuat benda uji berupa balok baja profil IWF 400.300.9.16 bentang 16 m dengan berat 202118,2 N. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa setelah gelagar diberi gaya prakompresi, lendutan yang terjadi akibat beban hidup lebih kecil dari lendutan sebelum prakompresi yaitu 0,0196 m < 0,058 m. Jembatan dengan bentang 16 meter standar dapat menjadi 20 meter prakompresi, sehingga terjadi kenaikan kapasitas struktur jembatan sebesar 25%. Kata kunci: prakompresi, komposit, lendutan, tegangan, daya layan
ABSTRACT Precompression method is used to increase the capacity and serviceability of composite bridges by providing the precompression initials on the concrete slab or steel girder bridge. Precompression bridge is the result of technology innovation, which until now has been applied in Indonesia. This study aims to determine the magnitude of deflection that occurs in the steel girder given initial stress. Precompression method is given on steel girder before casting the concrete slab of bridge. Analysis is supported by creating a steel beam specimen IWF 400.300.9.16 profile spans 16 m with a weight of 202118,2 N. The result showed that after the girder has been given precompression force, the deflection caused by the live load is smaller than before precompression for 0.0196 m <0.058 m. By precompression, bridge with spans of 16 meters can be 20 meters, so that there is an increase in capacity of 25 % of the bridge structure. Keywords: precompression, composite, deflection, stress, serviceability
Efek Reaksi Tekan Gelagar Baja Komposit dengan menggunakan Metode Prakompresi, (N. Retno Setiati, Risma Putra)
80
PENDAHULUAN Penggunaan bangunan atas gelagar baja komposit masih menjadi pilihan di antara beberapa tipe bangunan atas. Dengan adanya penggunaan komponen material baja, maka kebutuhan penggunaan material baja pada jembatan dengan bangunan atas tipe gelagar baja komposit dirasa masih cukup besar. Selain itu, tingkat kekakuan jembatan gelagar baja komposit standar masih dirasa kurang. Hal ini dapat menyebabkan jembatan dengan gelagar baja komposit rentan terhadap fatik. Metode prakompresi dengan bangkitan reaksi tekan merupakan salah satu inovasi dalam desain gelagar baja komposit. Metode ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu mengurangi tegangan pada serat bawah gelagar baja akibat beban mati, meningkatkan kapasitas gelagar baja komposit, dan mereduksi kebutuhan penggunaan dimensi penampang baja. Penggunaan metode tersebut sudah pernah dilakukan di Indonesia sekitar tahun 80 an oleh Roosseno Soerjohadikusumo (Paten, Composite bridge with precompression system, no paten US 4343123 A). Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan sejak tahun 1978 telah turut membantu proses pengembangan dan pengujian terhadap model gelagar komposit prakompresi di laboratorium. Jembatan Condet merupakan salah satu jembatan komposit prakompresi dengan bentang terpanjang yang pernah dibuat, yaitu 48 meter. Tipe jembatan komposit prakompresi lainnya adalah jembatan Logawa (Purwokwerto) yang mempunyai bentang 32 meter (Puslitbang Jalan dan Jembatan 1995). Penelitian lain yang identik dengan gelagar baja komposit juga pernah dilakukan pada tahun 2007 yaitu sistem perkuatan gelagar baja komposit dengan flens prategang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut sistem flens prategang pada baja dapat mengurangi kebutuhan baja sebesar 13% dari kebutuhan baja tanpa sistem prategang (Puslitbang Jalan dan Jembatan 2007). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa besar lawan lendut yang dihasilkan pada gelagar baja komposit akibat
81
pemberian bangkitan reaksi tekan pada komponen struktur gelagar tersebut. Pembuatan model skala laboratorium dibuat dengan menggunakan profil baja IWF 400.300.9.16. Hasil evaluasi akan dibandingkan dengan penelitian yang sudah dilakukan dengan menggunakan validasi program Structural Analysis Programme (SAP 2000). Struktur jembatan dalam penelitian ini dibatasi hanya untuk struktur gelagar baja komposit dengan bentang standar di atas dua perletakan. Data yang diperlukan dalam perencanaan antara lain: 1. Dimensi jembatan: panjang dan lebar jembatan 2. Jarak antara gelagar 3. Jenis dan mutu material: profil baja, pelat beton 4. Kelas jembatan 5. Jenis dan dimensi gelagar profil baja 6. Tebal lantai beton Hal lain sebagai latar belakang dilakukannya penelitian ini adalah perlu adanya inovasi dalam perencanaan gelagar baja komposit yang dapat mengurangi volume penggunaan baja namun tetap dapat memikul beban rencana sesuai peraturan yang berlaku, dan meningkatkan kekakuan struktur bangunan atas jembatan. Inovasi tersebut diantaranya dengan menggunakan gelagar baja komposit dengan metode prakompresi bangkitan reaksi tekan. KAJIAN PUSTAKA Analisis struktur untuk semua keadaan batas harus didasarkan pada anggapananggapan elastis linier, kecuali bila cara-cara non-linier secara khusus memang dianggap perlu atau secara tidak langsung dinyatakan dalam standar ini, dan/atau bila disetujui oleh yang berwenang (Nawy 2000). Di samping itu, perhitungan struktur baja, beton, dan komposit juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Analisis perhitungan struktur harus dilakukan dengan cara mekanika teknik yang baku.
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 80 – 96
2. Bila dilakukan analisis struktur dengan menggunakan program komputer yang khusus, maka perlu disampaikan penjelasan prinsip dan alur kerja dari program bersangkutan. 3. Percobaan model komponen atau keseluruhan struktur jembatan terhadap suatu pembebanan khusus bisa dilakukan bila diperlukan untuk menunjang analisis teoritis. 4. Analisis dengan menggunakan model matematik bisa dilakukan, asalkan model tersebut memang bisa diterapkan pada struktur dan dapat dibuktikan kebenarannya, atau sudah teruji kehandalannya dalam analisis-analisis struktur terdahulu. Perencanaan gelagar komposit mengacu pada beberapa tahap perencanaan sebagai berikut yaitu perencanaan gelagar komposit, analisis gelagar komposit, lebar efektif sayap beton, lendutan pada beban layan, kapasitas geser vertikal, perencanaan hubungan geser, perencanaan pelat beton, dan pemeriksaan tegangan yang terjadi pada gelagar komposit
(Irawan 1988). Penggunaan dimensi penampang komposit untuk bentang jembatan 8 m s/d 20 m menurut Standar Jembatan Gelagar Komposit yang di keluarkan oleh Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum (Indonesia 2009) dapat dilihat pada Tabel 1. Dari kajian pustaka (Puslitbang Jalan dan Jembatan 1995), metode prakompresi pada gelagar baja komposit dilakukan dengan cara memberikan gaya lawan lendut yang berupa tegangan inisial atau prakompresi pada gelagar baja. Gaya yang diberikan dimaksudkan untuk membuat tegangan sisi serat bawah gelagar baja menjadi daerah tekan dan serat atas menjadi daerah tarik. Pemberian gaya prakompresi dilakukan sebelum pelat beton dicor. Sedangkan gaya bangkitan reaksi tekan merupakan gaya normal alami yang terjadi pada sisi perletakan jepit, yang merupakan gaya lawan akibat adanya lawan lendut pada gelagar. Sebagai ilustrasi, beberapa tahapan pemberian gaya prakompresi dapat dilihat pada Gambar 1 sampai Gambar 5.
Tabel 1. Standar jembatan gelagar komposit bentang 8 m s/d 20 m No
Bentang (meter)
1 2 3 4 5 6 7
8 10 12 14 16 18 20
Profil (mm) HB 250x125x6x9 HB 250x200x6x9 HB 300x200x6x9 HB 350x250x9x16 HB 400x300x9x16 HB 450x300x9x16 HB 500x300x9x16
Mutu Baja BJ 42 BJ 42 BJ 42 BJ 42 BJ 42 BJ 42 BJ 42
Shear Connector (Stud) Diameter Tinggi Stud (mm) (mm) 125 φ22 140 φ22 150 φ22 170 φ22 180 φ22 190 φ22 200 φ22
Penampang beton Tebal bf (mm) (mm) 200 600 200 600 200 600 200 600 200 600 200 600 200 600
Angkur
Mutu beton fc’ (MPa) 20 20 20 20 20 20 20
Angkur
Profil IWF
Jack Hidraulik Temporary Support Beam
Pondasi
Gambar 1. Kondisi gelagar baja dalam keadaan normal
Efek Reaksi Tekan Gelagar Baja Komposit dengan menggunakan Metode Prakompresi, (N. Retno Setiati, Risma Putra)
82
Angkur
Angkur
Profil IWF
Jack Hidraulik Temporary Support Beam
Pondasi
Gambar 2. Gaya prakompresi yang diberikan pada gelagar baja dengan jack hydraulic Angkur
Pengecoran beton
Angkur
Profil IWF
Jack Hidraulik
Pengecoran beton
Temporary Support Beam
Pondasi
Gambar 3. Pengecoran beton penahan Angkur
Angkur
Gambar 4. Lawan lendut terbentuk akibat bangkitan reaksi tekan
qbh qbeton qbaja
Ha
Hb
Va
Vb
Gambar 5. Reaksi pada perletakan jepit akibat beban komposit baja dan beton, serta beban hidup
83
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 80 – 96
pelepasan gaya prakompresi (Gambar 6 sampai Gambar 10). Tahapan tegangan yang bekerja pada gelagar adalah sebagai berikut:
Dari metode keseimbangan, diperoleh diagram tegangan-regangan di tengah bentang pada saat kondisi normal, dibebani gaya prakompresi, dan
Garis Netral Baja
+
Tegangan Akibat Berat Sendiri Gelagar Baja
Gambar 6. Kondisi awal gelagar baja akibat berat sendiri
-
Garis Netral Baja
+
Garis Baja Akibat Gaya Prakompresi
+
+
=
-
+
Tegangan Akibat Gaya Prakompresi
Tegangan Akibat Berat Sendiri Gelagar Baja
-
Tegangan Akibat Berat Sendiri Gelagar Baja dan Gaya Prakompresi
Gambar 7. Kondisi gelagar baja akibat berat sendiri dan gaya prakompresi
-
+
Garis Netral Baja
+
-
Garis Netral Baja Akibat Hilangnya Gaya Prakompresi
+ = +
-
Tegangan Akhir Akibat Berat Tegangan Akibat Sendiri Gelagar Baja dan Pelepasan Gaya Perletakan Jepit-Jepit Prakompresi dan Perubahan Kondisi Perletakan Menjadi Jepit
Tegangan Akibat Berat Sendiri Gelagar Baja dan Gaya Prakompresi
Gambar 8. Kondisi komposit akibat berat sendiri baja, pelepasan gaya prakompresi dan perubahan kondisi perletakan menjadi jepit-jepit
-
+
-
+
+
-
Tegangan Akibat Berat Sendiri Gelagar Baja
-
=
+
-
Tegangan Akibat Tegangan Gaya Tegangan Akibat Normal Akibat Gaya Normal dan Berat Sendiri Beban Mati Perletakan JepitPelat Beton Komposit Jepit
Gambar 9. Kondisi komposit akibat berat sendiri komposit dan gaya normal
-
Garis Netral Baja
-
+
Tegangan Akibat Gaya Normal dan Beban Mati Komposit
+
=
Tegangan Akibat Beban Hidup
+
Tegangan Akibat Gaya Normal, Beban Mati Komposit dan Beban Hidup
Gambar 10. Kondisi komposit akibat berat sendiri baja-beton, gaya normal dan beban hidup
Efek Reaksi Tekan Gelagar Baja Komposit dengan menggunakan Metode Prakompresi, (N. Retno Setiati, Risma Putra)
84
Sistem perletakan berupa angkur penahan yang didesain mengikuti profil gelagar baja yaitu lebar flens atas dan tinggi web yang direncanakan. Terdapat dua kondisi untuk merencanaan perletakan yaitu: 1. Kondisi pada saat pemberian gaya prakompresi, dimana perletakan direncanakan untuk dapat menahan gaya vertikal akibat gaya prakompresi, dan dapat bergerak bebas pada arah memanjang gelagar baja dengan perletakan angkur. 2. Kondisi pada saat pasca pemberian gaya kompresi dimana lawan lendut pada gelagar telah tercapai sesuai perencanaan, dan perletakan berubah menjadi jepit-jepit. Untuk menahan gaya lawan pada gelagar, maka kedua ujung gelagar diberikan tahanan dengan beton penahan pada sisi kepala jembatan.
Sistem perletakan saat pemberian gaya prakompresi yaitu angkur penahan. Kuat tarik dan geser pada angkur dihitung berdasarkan reaksi yang terjadi akibat pemberian gaya prakompresi pada gelagar baja yang berupa reaksi gaya vertikal dan gaya normal.
Angkur Penahan
Profil IWF
Angkur Penahan yang tertanam pada kepala jembatan
Gambar 12. Perletakan dengan sistem angkur penahan
Sistem sambungan antara perletakan dengan gelagar baja yaitu berupa jepit dengan pengecoran beton. Kuat tekan beton direncanakan sesuai dengan gaya normal yang terjadi. Angkur kepala jembatan
Angkur penahan t
h
H
Angkur gelagar baja
Profil IWF
Gambar 13. Tampak samping perencanaan perletakan jepit
Gambar 11. Tampak samping perletakan dengan sistem angkur
Gambar 11 menunjukkan detil sistem angkur saat bekerjanya gaya prakompresi dengan posisi gelagar melendut ke atas. Angkur dari kepala jembatan disambung dengan angkur gelagar baja dengan cara dilas. Penyambungan angkur ini dilakukan setelah gaya prakompresi diberikan pada gelagar baja. Sistem penyambungan angkur tersebut dapat dilihat pada Gambar 12 (Puslitbang Jalan dan Jembatan 2011).
Dari Gambar 13, tebal beton penahan angkur yang diperlukan untuk mengakomodir tegangan yang bekerja dililustrasikan pada Gambar 14. Besarnya dimensi dari beton penahan dapat dilihat pada hasil perhitungan (Lampiran A). t
h
Gambar 4. Tebal beton penahan
85
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 80 – 96
HIPOTESIS Pemberian gaya prakompresi dapat meningkatkan kapasitas struktur jembatan dengan mempertahankan dimensi dari profil gelagar baja. METODOLOGI Metode pemberian gaya prakompresi yang dilakukan dalam penelitian ini berbeda dengan metode yang sudah dilakukan dalam penelitian sebelumnya (Paten, Composite bridge with precompression system, no paten US 4343123 A). Pada penelitian yang dilakukan oleh Soeryohadikusumo (1982), pemberian tekanan dilakukan pada lantai jembatan dengan menggunakan alat ”Flate Jack”. Pemberian tekanan tersebut menimbulkan momen negatif pada bangunan atas jembatan sehingga pada penampang gelagar komposit akan bekerja gaya aksial dan momen negatif yang akan mengurangi momen positif akibat beban gravitasi. Sedangkan dalam penelitian ini, pemberian gaya prakompresi dilakukan pada gelagar bagian bawah dengan menggunakan ”Jack Hydraulic”. Pemberian gaya prakompresi dilakukan pada kondisi perletakan sendi-rol, agar beban aksial (P) yang diberikan untuk mencapai lawan lendut rencana lebih mudah tercapai (Gambar 15).
PPrakompresi Gambar 15. Pemberian gaya prakompresi pada gelagar baja
Setelah lawan lendut di tengah bentang tercapai, maka kedua ujung perletakan diubah menjadi jepit dengan cara dilas, seperti terlihat pada Gambar 16. Pada saat perletakan sendi rol diubah menjadi jepit-jepit dan gaya kompresi jack hydraulic tidak bekerja, maka gaya prakompresi akan hilang sebesar 50%. Setelah diberikan gaya prakompresi, kemudian pelat lantai dicor. Semua data yang terkumpul baik data sekunder maupun primer dievaluasi dan dianalisis yang kemudian dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan parameter-parameter baru dalam perencanaan gelagar baja komposit prakompresi dengan bangkitan reaksi tekan. Untuk validasi data menggunakan program bantu software Structural Analysis Programe SAP 2000 (CSI 2013).
PPrakompresi di lepas
N
N
Perletakan diubah menjadi jepit-jepit
Gambar 16. Pelepasan gaya prakompresi dan perletakan diubah menjadi jepitjepit Tabel 2. Berat dan volume gelagar komposit bentang 8 m s/d 20 m No.
1 2 3 4 5 6 7
L (meter)
Dimensi Gelagar HB (mm)
Berat Gelagar Total (N)
8 10 12 14 16 18 20
250.125.6.9 250.200.6.9 300.200.6.9 350.250.9.16 400.300.9.16 450.300.9.16 500.300.9.19
37496,7 59544,4 76168,7 143844,3 202118,2 238582,5 272196,9
Volume Beton (m3) fc’ 19 MPa
fc’ 25 MPa
18,51 27,50 29,10 34,71 40,69 46,46 52,40
0,8 1,0 1,2 1,4 1,6 1,8 2,0
Tulangan (N) 24180 30130 36410 42050 47720 53990 59730
Catatan: Untuk lebar kendaraan 1,00 m + 7,00 m + 1,00 m
Efek Reaksi Tekan Gelagar Baja Komposit dengan menggunakan Metode Prakompresi, (N. Retno Setiati, Risma Putra)
86
Tabel 3. Reaksi perletakan pada tiap abutment jembatan bentang 8 m s/d 20 m
No.
L (meter)
1 2 3 4 5 6 7
8 10 12 14 16 18 20
Beban mati (A) (kN) 359,25 461,21 559,25 693,78 824,53 941,63 1059,59
Beban hidup (B) (kN)
Beban hidup + kejut (C) (kN)
Beban Total (A+C) (kN)
472,73 522,73 572,73 622,73 672,73 722,73 772,73
566,77 613,64 660,70 707,95 755,37 802,94 850,65
926,03 1074,84 1219,95 1401,73 1579,90 1744,57 1910,24
Catatan: Untuk lebar kendaraan 1,00 m + 7,00 m + 1,00 m
HASIL DAN ANALISIS Data konstruksi yang digunakan mengacu pada Standar Jembatan Gelagar Komposit bentang jembatan (8–20) m dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3 di atas. Dipakai profil 400.300.9.16 dimana pada standar jembatan gelagar profil tersebut dipakai untuk bentang 16 m (202118,2 N) dengan lebar lantai kendaraan 1,00 m + 7,00 m +1,00 m. Berat gelagar untuk bentang 20 m adalah 2542647,8 N. Reaksi perletakan pada bentang 16 m dapat dilihat pada Tabel 3 diatas, dengan menggunakan profil yang sama reaksi perletakan untuk bentang 20 m adalah: Beban mati = 171770 N Beban hidup+ kejut = 124300 N Beban total = 296070 N Momen akibat beban mati yaitu: 1 𝑀𝑀𝑀𝑀 = 𝑄𝑄𝑄𝑄𝑙𝑙𝑙𝑙2 8
1 𝑀𝑀𝑀𝑀 = 1,72𝑥𝑥𝑥𝑥202 8
𝑀𝑀𝑀𝑀 = 86 𝑡𝑡𝑡𝑡. 𝑚𝑚𝑚𝑚 = 860 kNm
Momen akibat beban hidup+beban kejut
1 1 𝑀𝑀𝑀𝑀 = 1,125𝑥𝑥𝑥𝑥202 + 8,575𝑥𝑥𝑥𝑥20 4 8 𝑀𝑀𝑀𝑀 = 99,125 𝑡𝑡𝑡𝑡. 𝑚𝑚𝑚𝑚 = 991,25 kNm
Modulus elastisitas Momen inersia Batas lendutan L/240
= 2.1E+08 MPa = 0,001 m4 = 0,083 m
Lendutan akibat beban mati sebagai berikut: 𝛿𝛿𝛿𝛿𝑚𝑚𝑚𝑚𝛿𝛿𝛿𝛿𝑥𝑥𝑥𝑥 = 𝛿𝛿𝛿𝛿𝑚𝑚𝑚𝑚𝛿𝛿𝛿𝛿𝑥𝑥𝑥𝑥 =
5 𝑥𝑥𝑥𝑥𝑄𝑄𝑄𝑄𝑥𝑥𝑥𝑥𝐿𝐿𝐿𝐿4 /(𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸 𝑥𝑥𝑥𝑥 𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝑚𝑚𝑚𝑚) 384
5 𝑥𝑥𝑥𝑥17,2𝑥𝑥𝑥𝑥204 /(2.1𝐸𝐸𝐸𝐸 + 08 𝑥𝑥𝑥𝑥 0,00122) 384
𝛿𝛿𝛿𝛿𝑚𝑚𝑚𝑚𝛿𝛿𝛿𝛿𝑥𝑥𝑥𝑥 = 0,146𝑚𝑚𝑚𝑚
Lendutan akibat beban lajur D yaitu: 𝛿𝛿𝛿𝛿𝑚𝑚𝑚𝑚𝛿𝛿𝛿𝛿𝑥𝑥𝑥𝑥 =
𝛿𝛿𝛿𝛿𝑚𝑚𝑚𝑚𝛿𝛿𝛿𝛿𝑥𝑥𝑥𝑥 =
1 𝑥𝑥𝑥𝑥𝑝𝑝𝑝𝑝𝑥𝑥𝑥𝑥𝐿𝐿𝐿𝐿3 /(𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸 𝑥𝑥𝑥𝑥 𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝑚𝑚𝑚𝑚) 48
1 𝑥𝑥𝑥𝑥85,75𝑥𝑥𝑥𝑥203 /(2.1𝐸𝐸𝐸𝐸 + 08 𝑥𝑥𝑥𝑥 0,00122) 48
𝛿𝛿𝛿𝛿𝑚𝑚𝑚𝑚𝛿𝛿𝛿𝛿𝑥𝑥𝑥𝑥 = 0,058𝑚𝑚𝑚𝑚
Lendutan akibat beban hidup 0,058 m < lendutan ijin elastis = 0,083 m.
1 1 𝑀𝑀𝑀𝑀 = 𝑄𝑄𝑄𝑄𝑙𝑙𝑙𝑙2 + 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑥𝑥𝑥𝑥𝑥𝑥𝑥𝑥 4 8
87
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 80 – 96
Besarnya lendutan akibat kombinasi pembebanan yang terjadi digunakan sebagai lawan lendut pada gelagar, besarnya gaya prakompresi yang dibutuhkan dengan lendutan 0,058 yaitu:
Pprakompresi =
48 × δ × EI = 85,19 kN L3
Gambar 17 menunjukkan hasil output gayagaya dalam berdasarkan program SAP 2000 sebagai berikut: 1. Gaya geser = 79,844 kN 2. Momen = 195, 154 kNm 3. Lendutan maksimum = 0,0196 m Lendutan yang terjadi akibat beban hidup setelah gelagar diberikan gaya prakompresi adalah 0,0196 m < 0,058 m (lendutan akibat beban hidup sebelum prakompresi).
𝑓𝑓𝑓𝑓𝑡𝑡𝑡𝑡𝐼𝐼𝐼𝐼 = 𝑀𝑀𝑀𝑀 ×
106 𝑛𝑛𝑛𝑛 × 𝑊𝑊𝑊𝑊𝑡𝑡𝑡𝑡𝐼𝐼𝐼𝐼
Tegangan pada sisi atas baja 𝑓𝑓𝑓𝑓𝑡𝑡𝑡𝑡𝐸𝐸𝐸𝐸 = 𝑀𝑀𝑀𝑀 ×
106 𝑊𝑊𝑊𝑊𝑡𝑡𝑡𝑡𝐼𝐼𝐼𝐼
Tegangan pada sisi bawah baja 10 6
𝑓𝑓𝑓𝑓𝑏𝑏𝑏𝑏𝐸𝐸𝐸𝐸 = 𝑀𝑀𝑀𝑀 × 𝑊𝑊𝑊𝑊
𝑏𝑏𝑏𝑏𝐸𝐸𝐸𝐸
Tegangan ijin beton 100% fc’ = 10 MPa. Teganan ijin baja 100% fs = 224 MPa. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai n = 9,8 dan Wtc = ,7x10 7 mm2, Wbs = 0,998x107 mm2.
Gambar 17. Output analisis program (computers and structures SAP 2000 versi 14 2013)
Efek Reaksi Tekan Gelagar Baja Komposit dengan menggunakan Metode Prakompresi, (N. Retno Setiati, Risma Putra)
88
Tabel 4. Tegangan yang terjadi pada gelagar komposit kondisi normal Tegangan pada tumpuan gelagar Jenis beban
Momen M (kN.m)
Gelagar komposit kondisi normal Serat atas Serat bawah Serat atas baja beton baja ftc (MPa) fts (MPa) fbs (MPa)
Berat sendiri Beban lajur “D”
860,00 991,25
10,12 11,67
0,434 0,499
197,38 227,50
Total Keterangan
1851,25
21,79 > fc (not OK)
0,933 < fs (OK)
424,88 > fs (not OK)
Tabel 5. Tegangan yang terjadi setelah diberi gaya prakompresi Tegangan pada tumpuan gelagar
Momen M (kN.m)
No.
Jenis beban
1 2
Berat sendiri Beban lajur “D”
466,34 335,25
5,50 3,95
0,235 0,169
107,21 76,94
Total Keterangan
801,59
9,45 < fc (OK)
0,404 < fs (OK)
184,15 < fs (OK)
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis dapat ditentukan besarnya tegangan yang terjadi pada gelagar komposit dalam keadaan normal dan keadaan setelah diberi gaya prakompresi (Tabel 4 dan Tabel 5). Dari Tabel 4 diketahui bahwa tegangan yang terjadi pada sisi atas beton dan sisi bawah baja telah terlampaui (lebih besar dari tegangan ijin). Tegangan pada sisi atas beton telah terlampaui sebesar 11,8 MPa dan tegangan pada sisi bawah baja sebesar 200,885 MPa. Setelah girder diberi gaya prakompresi (Tabel 5) tegangan yang terjadi tidak melampaui tegangan ijin yaitu pada sisi atas beton 9,45 MPa (< 10 MPa) dan pada sisi bawah baja 184,16 MPa (< 224 MPa). Hal ini terjadi karena kelebihan tegangan diakomodir oleh tegangan akibat gaya prakompresi. Berdasarkan hasil analisis dapat dilihat bahwa beban yang bekerja pada gelagar komposit biasa adalah berat sendiri dan beban hidup yang masing-masing menghasilkan momen MDL dan MLL, dimana kapasitas penampang gelagar yang direncanakan harus dapat memikul total momen tersebut. Sedangkan pada gelagar prakompresi,
89
Gelagar komposit kondisi normal Serat atas beton Serat bawah baja Serat atas baja fts (MPa) ftc (MPa) fbs (MPa)
total momen yang harus dipikul gelagar tersebut adalah MDL dan MLL ditambah dengan momen negatif akibat prakompresi. Profil penampang gelagar jembatan standar dengan panjang bentang 16 meter dapat menjadi 20 meter prakompresi dalam memikul besarnya pengaruh beban luar. Akan tetapi menurut hasil studi yang telah dilakukan sebelumnya (Puslitbang Jalan dan Jembatan 1995), ada beberapa kerugian dari jembatan komposit prakompresi, di antaranya jembatan tersebut akan mengalami kehilangan gaya prakompresi setelah melewati masa pelayanan tertentu. Perencanaan perletakan pasca pemberian gaya prakompresi Sistem sambungan antara perletakan dengan gelagar baja yaitu berupa jepit dengan pengecoran beton. Besarnya momen dan gaya geser yang bekerja pada ujung gelagar akibat gaya prakompresi adalah, momen akibat gaya kompresi 68,299 tm. Gaya geser akibat gaya prakompresi 6,8299 t. Spesifikasi baut yang direncanakan untuk sistem sambungan dapat dilihat dalam Tabel 6.
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 80 – 96
Tabel 6. Spesifikasi angkur baut (AISC 2010) No. 1
Karakteristik
Simbol
Jenis angkur baut
A-325
Besaran
Satuan
-
-
b
2
Tegangan tarik putus
fu
825
MPa
3
Tegangan leleh
fy
400
MPa
4
Diameter
D
19
mm
5
Jumlah angkur pada sisi tekan
nc
2
buah
6
Jarak baut terhadap pusat penampang gelagar
F
214,5
mm
7
Panjang angkur yang tertanam di beton
La
500
mm
Berdasarkan spesifikasi pada Tabel 6 dan gaya-gaya dalam yang bekerja pada tumpuan, dapat ditentukan jumlah dan dimensi baut pada sambungan (lampiran A). Perencanaan perhitungan tumpuan (bearing) gelagar prakompresi pada lampiran A mengacu pada RSNI-T-12-200. (Indonesia 2004), ”Perencanaan Struktur Beton Untuk Jembatan”, dan RSNI T-03-2005 (Indonesia 2005), ”Perencanaan Struktur Baja Untuk Jembatan” (Indonesia 2005). Dari hasil analisis dan evaluasi didapat bahwa tegangan yang terjadi pada serat atas gelagar baja akibat gaya prakompresi lebih kecil dari tegangan ijin pada gelagar baja. Untuk memperkecil kehilangan gaya prakompresi pada gelagar baja, maka sistem perletakan jepit yang terdiri dari beton penahan, tulangan angkur antara gelagar baja dengan kepala jembatan harus terintegrasi. Akibat dari sistem yang terintegrasi antara gelagar baja dengan kepala jembatan, maka jembatan tidak memerlukan sambungan siar muai dan perletakan karet. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari uraian diatas dapat diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut: 1. Metode prakompresi pada gelagar baja komposit bila ditinjau dari segi mekanika teknik dapat memberikan keuntungan dengan timbulnya momen negatif yang melawan pengaruh sebagian beban luar yang bekerja.
2. Gaya prakompresi dapat menyebabkan terjadinya tegangan awal (initial stress) pada komponen baja profil yang menimbulkan regangan tekan pada serat bawah baja. 3. Dari hasil analisis, lendutan yang terjadi akibat beban hidup pada gelagar baja komposit prakompresi lebih kecil dibandingkan gelagar tanpa prakompresi (0,0196m < 0,058m). Makin besar gaya prakompresi, lendutan akibat beban hidup makin kecil, hal ini mengakibatkan perilaku balok menjadi lebih kaku dengan bertambahnya gaya prakompresi. 4. Jembatan dengan bentang 16 meter standar dapat menjadi 20 meter prakompresi, sehingga terjadi kenaikan kapasitas struktur jembatan sebesar 25%. Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan untuk kajian selanjutnya adalah: 1. Pemilihan lokasi untuk pembangunan jembatan dengan metode prakompresi perlu memperhitungkan lokasi penempatan temporary support sebagai perletakan jack hydraulic. 2. Agar tidak terjadi tekuk lokal pada gelagar baja, maka daerah perletakan dan daerah pemberian gaya prakompresi perlu ditambahkan pengaku. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kehilangan gaya prakompresi aktual, yang diperlukan sebagai input data dalam perencanaan gelagar baja komposit prakompresi dengan bangkitan rekasi tekan.
Efek Reaksi Tekan Gelagar Baja Komposit dengan menggunakan Metode Prakompresi, (N. Retno Setiati, Risma Putra)
90
DAFTAR PUSTAKA American Institute of Steel Construction . 2010. Specification for Structural Steel Buildings. Chicago: AISC Computers and Structures, Inc. 2013. Integrated Solution for Structural Analysis and Design. SAP 2000 version 14.00. California: CSI. Hicks, Tyler G. ,2002. McGraw-Hill Pocket Reference, Civil Engineering FormulasPocket Guid. New York : The McGraw-Hill Companies. Indonesia. Kementerian Pekerjaan Umum. 2004. Perencanaan Struktur Beton Untuk Jembatan. RSNI-T-12-200. Jakarta: Kementerian PU. _________. 2005. Perencanaan Struktur Baja Untuk Jembatan. RSNI T-03-2005. Jakarta: Kementerian PU. _________. 2009. Kementerian Pekerjaan Umum. Direktorat Jenderal Bina Marga. Standar Jembatan Gelagar Komposit Bentang Jembatan 8 m - 20 m. Jakarta: Ditjen Bina Marga.
91
Irawan P, Ridwan I. 1988. Studi Analisis Perilaku Balok Komposit Beton Baja Sistem Prakompresi. Thesis. Institut Teknologi Bandung, Nawy, Edward G. 2000. Prestressed Concrete. Third Edition. Michigan: Prentice-Hall. Puslitbang Jalan dan Jembatan. 2011. Pembuatan Model Fisik Skala Laboratorium Gelagar Komposit Prakompresi dengan Bangkitan Reaksi Tekan. Laporan Akhir Penelitian dan Pengembangan. Bandung: Pusjatan. _________. 2007. Penyusunan DED Perkuatan Gelagar Baja Komposit dengan Sistem Flens Prategang Baja. Laporan Akhir. Bandung: Pusjatan. _________. 1995. "Pengkajian Nilai Sisa Kekuatan Jembatan Komposit Prakompresi. Bandung: Pusjatan. Soerjohadikusumo, Roosseno . 1982. Composite bridge with precompression system. US Patent 4343123 A . www.google.com.br/patents.
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 80 – 96
LAMPIRAN A
LAMPIRAN A
Efek Reaksi Tekan Gelagar Baja Komposit dengan menggunakan Metode Prakompresi, (N. Retno Setiati, Risma Putra)
92
93
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 80 – 96
Efek Reaksi Tekan Gelagar Baja Komposit dengan menggunakan Metode Prakompresi, (N. Retno Setiati, Risma Putra)
94
95
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 80 – 96
Efek Reaksi Tekan Gelagar Baja Komposit dengan menggunakan Metode Prakompresi, (N. Retno Setiati, Risma Putra)
96
PENGARUH JENIS ASPAL PADA TEMPERATUR PEMADATAN BERKAITAN DENGAN WORKABILITY DARI CAMPURAN BERASPAL PANAS (THE EFFECT OF TYPE BITUMEN AT COMPACTION TEMPERATURE RELATED TO WORKABILITY OF HOT MIX ASPHALT ) Neni Kusnianti 1), Furqon Affandi 2) 1)
Pusat litbang Jalan dan Jembatan
1),2)
1), 2)
Jl. AH.Nasution 264 Bandung 40294 e-mail:
[email protected];
[email protected] Diterima: 10 Juni 2013; direvisi: 02 Juli 2013; disetujui: 01 Agustus 2013
ABSTRAK Penggunaan bahan tambah pada campuran beraspal panas telah mengalami perkembangan baik dari sifatnya maupun kegunaannya. Hal ini berkaitan erat dengan workability campuran atau temperatur pencampuran maupun temperatur pemadatan yang diperlukan. Umumnya jenis aspal yang dipergunakan ialah aspal keras dengan berbagai tingkatnya, yang mana penentuan workability campurannya, didasarkan pada temperatur pencampuran dan pemadatan yang mengikuti batasan nilai viskositas aspal 170 ± 20 cSt untuk pencampuran dan 280 ± 30 cSt untuk pemadatan. Tulisan ini menyampaikan penelitian pengaruh bahan tambah aspal pada penentuan temperatur pemadatan atau tingkat workability campuran, melalui percobaan eksperimental di laboratorium dan evaluasi serta analisis dari hasil percobaan campuran beraspal panas untuk lapisan aus. Jenis aspal yang diteliti ialah aspal Pen 60 tanpa dan dengan bahan tambah wax 1%, aspal modifikasi elastomer tanpa dan dengan bahan tambah wax 1%, serta aspal Pen 60 yang ditambah Styrene Butadyne Styrene 4,5% dan wax 1%. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa batasan viskositas untuk penentuan temperatur pencampuran dan pemadatan yang umum selama ini digunakan, tidak sesuai untuk aspal dengan bahan tambah wax. Temperatur pemadatan dari campuran dengan bahan tambah wax berdasarkan rongga dalam campuran (void in mix) yang sesuai dengan spesifikasi yang digunakan, lebih rendah sebesar 30°C dari temperatur berdasarkan batasan viskositas aspal. Berdasarkan hal tersebut, penentuan temperatur pemadatan berkaitan dengan workability campuran beraspal dengan bahan tambah, lebih baik didasarkan pada pengujian kepadatan atau temperatur pemadatan minimum yang masih bisa menghasilkan rongga dalam campuran (Void In Mix) sesuai dengan batasan Void In Mix pada spesifikasi yang dipergunakan. Kata kunci: Viskositas, temperatur pemadatan, Void In Mix, bahan tambah, wax, workability. ABSTRACT The use of additive material for hot mix asphalt has been developed either its properties or usage. It is closely related to the workability of mix and mixing or compaction temperature required. Bitumen type which commonly used is straight bitumen with various grade, which determination of mix workability is based on mix and compaction temperature that following bitumen viscosity limit of 170 ± 20 cSt and 280 ± 30 cSt for mixing and compaction respectively. The paper explains the research result on the effect of asphalt additive material on determination of compaction temperature or mix workability level through the laboratory experiments and evaluation as well as the analysis of hot mix asphalt experiment for wearing course. Bitumen type examined is 60 Pen grade with and without 1% of wax, modified bitumen use elastomer with and without 1% wax 60 Pen grade bitumen added by 4,5% of Styrene Butadyne Styrene and 1% of wax. The result showed that viscosity limit for determination of mix and compaction temperature which commonly used recently not in accordance with bitumen with additive wax. Compaction temperature of mix with additive wax based on voids in mix conforming with specification of bituminous mixes used is 30 0C lower than temperature which based on asphalt
97
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 97 – 111
viscosity limit. Accordingly, the determination of compaction temperature related to asphalt mix workability with additive material, preferably based on density test or minimum compaction temperature which still produce voids in mix in accordance with the limit of void in mix in specification used. Keywords: Viscosity, compaction temperature, Void Iin Mix, additive, wax, workability
PENDAHULUAN Sejalan dengan peningkatan jumlah dan beban lalu-lintas pada saat ini, penggunaan jenis aspal dituntut sesuai dengan beban lalulintas yang harus dilayaninya. Pada saat yang lalu aspal yang dipergunakan di Indonesia umumnya ialah aspal keras Pen 60, namun sejak beberapa tahun terakhir ini, telah disyaratkan penggunaan aspal modifikasi untuk jalan dengan beban lalu-lintas berat (Indonesia 2010). Penggunaan aspal modifikasi seperti aspal polymer di Indonesia, dipandang sesuai karena disamping beban lalu-lintas berat yang perlu dilayani, juga dikarenakan temperatur yang cukup tinggi di Indonesia ini. Workability merupakan hal penting dalam campuran beraspal panas, untuk mencapai kualitas yang diinginkan. Pada aspal modifikasi seperti aspal polimer, tingkat workability dari campuran beraspal panas akan turun pada temperatur tertentu, dikarenakan polimer sebagai bahan tambah akan menaikkan kekentalan aspal. Dengan demikian pemadatan campuran beraspal yang menggunakan aspal modifikasi-aspal polimer akan lebih sulit untuk mencapai kepadatan tertentu dibandingkan dengan campuran beraspal biasa atau aspal tanpa bahan modifikasi. Begitu juga pada aspal konvensional, waktu tempuh yang lama dari Asphalt Mixing Plant (AMP) ke lokasi penghamparan akan menurunkan tingkat workability campuran beraspal tersebut. Jika komposisi dari campuran seperti sifat fisik agregat dan gradasi dibuat sama, maka workability dari campuran beraspal panas pada dasarnya merupakan fungsi dari sifat aspal pada temperatur tertentu. Semakin tinggi temperatur dari campuran beraspal, semakin baik tingkat workability campuran tersebut, karena kekentalan aspal akan menurun sejalan dengan naiknya temperatur aspal. Akan tetapi,
menaikkan temperatur campuran untuk mendapatkan tingkat workability yang baik, tidak selalu merupakan cara yang baik. Pemanasan campuran beraspal yang tinggi akan memunculkan permasalahan seperti kerusakan dari sifat aspalnya (menimbulkan kerusakan pada bahan tambah-polimer), menaikkan penggunaan bahan bakar, dan menaikkan emisi buang. Pengertian workability diartikan sebagai kemudahan pelaksanaan suatu campuran beraspal panas dikerjakan setelah dihampar diatas lapis perkerasan jalan. Workability yang baik merupakan hal yang penting, guna mendapatkan lapisan dari campuran beraspal yang baik dengan kepadatan yang memadai pada saat pemadatan dengan alat pemadat yang dipergunakan. Campuran beraspal yang sudah mengalami penurunan temperatur yang cukup besar, akan mempunyai tingkat workability yang rendah, sehingga sulit untuk mendapatkan lapisan perkerasan yang baik. Lapisan beraspal dengan tingkat derajat kepadatan yang rendah akan menghadapi berbagai masalah yang disebabkan oleh rongga dalam campuran yang tinggi. Masalah tersebut ialah seperti masalah permeabilitas dan oksidasi yang akan menyebabkan penuaan dari aspal (aging). Penuaan aspal akan terjadi dengan cepat sehingga akan mereduksi umur pelayanan perkerasan jalan tersebut. Pada umumnya nilai viskositas atau kekentalan aspal dipergunakan untuk menentukan temperatur pencampuran dan pemadatan dari campuran beraspal panas. Temperatur pemadatan dengan cara ini secara langsung mempengaruhi workability campuran beraspal. Seiring dengan meningkatnya penggunaan aspal modifikasi, seperti aspal polimer atau penambahan bahan untuk pencampuran beraspal hangat memerlukan penelitian berkaitan dengan temperatur
Pengaruh Jenis Aspal pada Temperatur Pemadatan Berkaitan dengan Workability dari Campuran Beraspal Panas, (Neni Kusnianti, Furqon Affandi)
98
pemadatan tersebut. Tujuan dari tulisan ini adalah mengkaji pengaruh bahan tambah terhadap temperatur pemadatan dan workability dari campuran beraspal panas dengan jenis aspal Pen 60, aspal modifikasi dengan polimer dan aspal Pen 60 yang ditambah Styrene Butadyne Styrene (SBS) dan wax. KAJIAN PUSTAKA Workability campuran beraspal tergantung pada komposisi dari campuran, seperti kelas atau tingkat aspal, sifat agregat (tipe gradasi), begitu juga workability tergantung pada parameter luar lainnya seperti peralatan dan temperatur. Marvillet dan Bougalt’s ( 1979 ) menyampaikan bahwa: 1. Workability dari campuran beraspal naik ketika viskositas aspal turun. 2. Perubahan pada kadar aspal tidak mempunyai hubungan langsung dengan workability. 3. Bila kadar filler pada campuran beraspal naik, maka workability nya turun. 4. Campuran dengan menggunakan butiran agregat angular yang tinggi mempunyai workability yang lebih rendah dibanding campuran yang menggunakan agregat yang semi-angular atau agregat bulat. Ada beberapa alat yang bisa digunakan untuk mengukur workability campuran beraspal. Salah satu peralatan tersebut ialah workability - dua titik. Pada alat ini diukur torsi yang dibutuhkan untuk memutar impeller pada kecepatan konstan yang berada dalam campuran beraspal. Alat lainnya yang bisa dipergunakan ialah alat Giratory Compactor Machine (GTM) yang disampaikan oleh Siswosoebrotho, Ginting dan Soedirdjo (2005) sebagaimana yang dikemukakan oleh Cabrera dan Dixon (1994). Penggunaan bahan tambah dan aspal modifikasi telah berkembang pada beberapa tahun terakhir ini termasuk di Indonesia, yang ditujukan untuk jalan yang melayani lalu-lintas berat. Beberapa bahan tambah untuk memodifikasi aspal, diantaranya ialah bahan elastomer, bahan plastomer dam bahan aspal
99
alam seperti Aspal batu Buton/Asbuton (Indonesia 2010). Aspal modifikasi mempunyai beberapa kelebihan dalam perkerasan beraspal. Menurut Terrel dan Epps (1998) penggunaan aspal modifikasi ini adalah untuk meningkatkan: 1. Ketahanan terhadap retak fatigue. 2. Ikatan antara aspal dan agregat dan sekaligus mengurangi stripping. 3. Ketahanan terhadap aging atau oksidasi. 4. Kekuatan serta stabilitas dari campuran beraspal. Selain keuntungan dari penggunaan aspal modifikasi, ada juga beberapa permasalahan yang terjadi yaitu yang berkaitan dengan pelaksanaan seperti: 1. Temperatur pencampuran dan pemadatan yang lebih tinggi dari aspal biasa (aspal Pen 60/70). 2. Masalah pemompaan aspal modifikasi di AMP. 3. Masalah aging karena temperatur pemanasan yang tinggi. Aspal modifikasi memerlukan temperatur yang tinggi untuk pemadatan, hal ini dapat menimbulkan banyak permasalahan, yaitu dapat menyebabkan terjadinya pemisahan antara bahan modifikasi dan aspal dasarnya sendiri, dan bila ini terjadi maka efektifitas dari modifikasi aspal ini akan berkurang. Permasalahan lainnya, pemanasan yang berlebihan akan mengakibatkan aspal mengalami oksidasi, yang pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya retak dini pada perkerasan (Read and Whiteoak 2003). Akibat pemasalahan tersebut, bahan modifikasi bisa terpisah dari campuran beraspal dan melekat pada permukaan perkerasan akibat pemadatan awal (breakdown rolling). Selanjutnya hal ini akan menyebabkan terangkatnya bahan campuran beraspal tersebut bila dipadatkan oleh pemadat roda karet, yang akhirnya dapat mengakibatkan tekstur permukaan perkerasan menjadi tidak rata. Temperatur pemadatan yang tinggi, akan memerlukan temperatur pencampuran yang lebih tinggi lagi. Hal seperti ini, akan menyebabkan terjadinya “pengaliran aspal“ atau drain down dari aspal sewaktu pengangkutan diatas truk, seperti campuran
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 97 – 111
Stone Mastic Asphalt dan Open Graded Friction Course yang memerlukan kadar aspal yang tinggi. Penentuan temperatur pencampuran dan pemadatan Penentuan temperatur pencampuran dan pemadatan, yang diusulkan oleh Asphalt Institute ialah berdasarkan viskositas kinematik, yang dilakukan pada berbagai temperatur dan kemudian di buat suatu grafik hubungan antara temperatur dan viskositas kinematik tersebut. Selanjutnya temperatur pencampuran ditentukan berdasarkan viskositas antara 170 ± 20 cSt, dan untuk temperatur pemadatan 280 ± 30 cSt, yang kemudian dilakukan pengujian campuran berdasarkan metoda Marshall. Perencanaan campuran beraspal dengan metoda Superpave, prinsip dasarnya sama seperti metoda Asphalt Institute, yaitu berdasarkan hubungan viskositas dan temperatur, tetapi satuan viskositasnya berubah menjadi Pascal–Second (Pa-s), serta pengukuran viskositasnya menggunakan alat “rotational viscometer” pada temperatur 135°C dan 165°C. Setelah hubungan antara viskositas dan temperatur didapat, maka temperatur pencampuran diambil pada daerah antara viskositas 0,17 ± 0,02 Pa-s dan untuk temperatur pemadatan pada daerah yang memberikan viskositas antara 0,28 ± 0,03 Pa-s. Dari uraian diatas, penentuan temperatur pencampuran dan pemadatan didasarkan pada masing-masing nilai viskositas tertentu yang harus dicapai. Berdasarkan hal ini, maka aspal modifikasi memerlukan temperatur pencampuran dan pemadatan yang lebih tinggi dari aspal konvensional Pen 60/70. Gudimettla J.M (2003) menjelaskan bahwa aspal konvensional yang bukan aspal modifikasi pada dasarnya mengikuti hukum Newtonian, dimana viskositasnya tidak tergantung pada kecepatan geser. Aspal modifikasi pada temperatur
tertentu cenderung mempunyai sifat yang disebut shear thinning, atau pseudo – plasticity, dimana viskositas tergantung pada besarnnya geser. Besarnya geser pada alat rotational viscometer tidak menggambarkan geser yang terjadi pada alat Superpave gyratory compactor selama pelaksanaan pemadatan. Dalam tulisannya menyarankan pertama harus menghitung geser yang terjadi pada giratory compactor dan grafik hubungan antara temperatur-viskositas harus didapat dengan melakukan pengukuran viskositas pada kecepatan geser tersebut. Setelah dua titik didapat, maka hubungan temperatur–viskositas dapat dipergunakan untuk menentukan temperatur pencampuran dan pemadatan. Berdasarkan uraian tersebut, maka workability dari campuran beraspal panas tergantung pada tipe aspal, tipe gradasi, bahan tambah dan temperatur dari campuran beraspal. Metoda konvensional menggunakan hubungan antara viskositas dan temperatur dalam menentukan temperatur pencampuran dan temperatur pemadatan yang dikembangkan untuk aspal konvensional (bukan aspal modifikasi). Pada metoda ini tidak memperhitungkan sifat agregat dan atau gradasi agregat dalam menentukan temperatur pemadatan. Pengaruh tipe aspal Faktor lainnya yang mempengaruhi workability ialah tipe aspal seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Analisa Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) telah dilakukan dalam rangka mengevaluasi perbedaan yang signifikan antara berbagai tipe aspal berdasarkan Tabel 1, campuran beraspal yang menggunakan aspal Performance Grade PG) 76-22, memerlukan torsi yang jauh lebih besar daripada campuran dengan aspal PG 70-22 dan PG 64-22. Hasil percobaan ini menunjukkan juga bahwa tidak ada perbedaan antara antara campuran dengan PG 70-22 dan PG 64-22.
Pengaruh Jenis Aspal pada Temperatur Pemadatan Berkaitan dengan Workability dari Campuran Beraspal Panas, (Neni Kusnianti, Furqon Affandi)
100
Pegaruh temperatur Sumber : Gudimettla 2003
Jenis aspal Sumber: Gudimettla (2003)
Gambar 1. Pengaruh tipe aspal pada workability Tabel 1. Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) ranking untuk berbagai tipe aspal Tipe aspal PG 76 - 22 PG 70 - 22 PG 64 - 22
Rata-rata nilai torsi ( in – lb) 307 236 236
Sumber: Gudimettla (2003)
DMRT Ranking A B B
Hasil yang diperlihatkan pada Tabel 1, menyatakan bahwa mungkin modifikasi dibawah level tertentu, tidak akan mempengaruhi tingkat workability. Akan tetapi jika modifikasi di atas level tersebut, workability dari campuran beraspal akan berkurang dengan sangat berarti. Selanjutnya workability sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu jenis aspal, temperatur, tipe agregat dan ukuran nominal maksimum agregat (Gudimettla 2003). Hal ini diilustrasikan pada Gambar 2, campuran beraspal dengan aspal PG 64 – 22 dan PG 70 – 22 mempunyai sifat workability yang serupa, baik dalam besaran maupun dalam kemiringannya. Akan tetapi, campuran beraspal dengan bahan aspal PG 76 – 22 tingkat workability nya kurang (karena perlu nilai torsi yg tinggi) dan lebih dipengaruhi oleh temperatur yang ditunjukkan oleh kemiringan yang lebih tajam.
101
Sumber: Gudimettla (2003)
Gambar 2. Hubungan workability dengan kelas aspal
Pengaruh lainnya yang begitu besar ialah pengaruh temperatur. Campuran menjadi lebih kaku dan sulit di kerjakan pada temperatur yang lebih rendah. Pengaruh temperatur pada workability diperlihatkan pada Gambar 3, dimana diperlukan torsi yang lebih besar pada temperatur yang lebih rendah.
Sumber: Gudimettla (2003)
Gambar 3. Pengaruh temperatur terhadap workability
Pengaruh tipe agregat Workability dipengaruhi oleh tipe agregat, ukuran nominal maksimum agregat, tipe aspal dan temperatur. Tetapi workability tidak dipengaruhi secara signifikan oleh gradasi (Gudimettla 2003). Gambar 4 memperlihatkan
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 97 – 111
bahwa gradasi agregat mempunyai pengaruh yang besar untuk agregat dengan ukuran nominal maksimum 12,5 mm dari pada agregat dengan gradasi yag mempunyai ukuran nominal maksimum 19 mm. Sedangkan pada Gambar 5, diperlihatkan workability antara dua campuran beraspal dengan tipe aspal yang sama (PG 76-22), jenis agregat yang sama yaitu batu kapur dan gradasi yang sama tetapi berbeda ukuran agregat maksimumnya. Keberadaan ukuran agregat maksimum 19 mm, memerlukan torsi yang besar pada temperatur tertentu yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa workability menurun dengan adanya ukuran agregat nominal maksimum yang makin besar.
Bentuk agregat juga sangat mempengaruhi workability campuran beraspal, Siswosoebrotho (2005) menyampaikan bahwa agregat yang pipih mempengaruhi workability campuran beraspal panas, semakin banyak prosentase agregat pipih, semakin sulit campuran beraspal dikerjakan (tingkat workability-nya rendah). Pengujian workability dilakukan dengan menggunakan alat giratory sesuai ASTM D 4123-82 dengan pulse account = 5, condition pulse period = 3000 ms, test pulse period = 2000 ms, rise time = 50 ms, peak loading force = 1000 N dan poision ratio = 0,35. Hubungan antara kadar agregat pipih dengan Workability Index (WI), ditunjukkan pada Gambar 6 (Siswosoebrotho 2005). Terlihat peningkatan kadar agregat pipih menurunkan tingkat workability campuran beraspal.
Sumber: Gudimettla (2003) Keterangan: ARZ Above Restrictic Zone BRZ Below Restrictic zone
Gambar 4. Pengaruh gradasi agregat terhadap workability Sumber: (4) Siswosoebrotho
Gambar 6. Hubungan kepipihan agregat dengan workability
HIPOTESIS
Sumber: Gudimettla (2003)
Gambar 5. Pengaruh ukuran agregat maksimum terhadap workability
Penentuan temperatur pemadatan berkaitan dengan workability campuran beraspal yang menggunakan bahan tambah aspal, tidak dapat ditentukan dari batasan viskositas aspalnya, tetapi harus berdasarkan temperatur yang memberikan Void In mix (VIM) sesuai batasan VIM yang ditentukan dalam spesifikasi.
Pengaruh Jenis Aspal pada Temperatur Pemadatan Berkaitan dengan Workability dari Campuran Beraspal Panas, (Neni Kusnianti, Furqon Affandi)
102
METODOLOGI Metoda yang digunakan pada penelitian ini, ialah metoda experimental di laboratorium, yang diikuti dengan evaluasi dan analisa dari hasil percobaan laboratorium tersebut. Percobaan yang dilakukan di laboratorium meliputi pengkajian atas sifat aspal, terutama sifat viskositas dikaitkan dengan sifat campuran beraspal yang erat kaitannya dengan workability suatu campuran beraspal. Sedangkan campuran beraspal yang digunakan pada penelitian ini adalah campuran beraspal untuk lapisan aus yang sesuai dengan Spesifikasi Umum revisi 2 (Indonesia 2010). Kesamaan dari campuran beraspal yang digunakan pada percobaan ini, ialah kesamaan dari jenis agregat, gradasi agregat dan ukuran butir maksimumnya, sehingga faktor yang mempengaruhi workabilitas campuran beraspal hanya dari pengaruh sifat aspalnya saja, dan temperatur yang digunakan pada campuran tersebut. Alat yang dipergunakan untuk mengkaji tingkat workability campuran beraspal ialah alat Gyratory Compactor Machine (GCM), dimana tingkat workability dilakukan dengan cara mengukur ketinggian secara otomatis dari contoh selama pemadatan pada setiap interval jumlah pemadatan tertentu, untuk setiap jenis aspal yang digunakan pada campuran beraspal tersebut. Jenis aspal yang digunakan pada percobaan ini ialah aspal keras penetrasi 60 dari Indonesia, aspal penetrasi 60 yang dimodifikasi dengan elastomer, aspal Pen 60 yang ditambah “wax”, aspal modifikasi, aspal modifikasi ditambah wax serta aspal penetrasi 60 yang ditambah SBS dan wax. Wax sebagai bahan tambah ini berbentuk rantai alifatik karbon yang panjang (C40-C115), yang ditambahkan suatu senyawa sintetik lain (Fazaeli 2012). Pemilihan jenis aspal Pen 60, didasarkan bahwa jenis aspal tersebut paling banyak dipergunakan dan umum diproduksi di Indonesia, sedangkan aspal Pen 60 yang dimodifikasi dengan bahan elastomer pemilihannya didasarkan bahwa aspal tersebut
103
sudah banyak digunakan di Indonesia untuk lalu-lintas berat. Dan pemilihan aspal Pen 60 yang dimodifikasi dengan bahan SBS lainnya ditambah dengan bahan berbasis wax, dikarenakan jenis aspal tersebut sudah mulai banyak digunakan di dunia untuk mengurangi temperatur pencampuran dan emisi buang, (Gierhart 2009). HASIL DAN ANALISIS Aspal
Hasil pengujian sifat rheologi aspal Pen 60, aspal Pen 60 yang dimodifikasi dengan elastomer, serta aspal Pen 60 yang dimodifikasi dengan bahan SBS dan bahan tambah berbasis wax, ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil pengujian aspal No
Jenis Pengujian
Metode Pengujian
Hasil Pengujian Aspal Aspal Aspal Aspal Satuan Pen Pen 60 Modifikasi Pen 60 60 + + SBS Wax + Wax 1% 1% 1 Penetrasi pada 25oC, SNI 06-2456- 66 63 65,7 52 dmm 100 g, 5 detik 1991 2 Viskositas pada SNI 06-6441- 424 400 1286 cSt 135oC 2000 o 3 Titik lembek SNI 06-2434- 49,2 49,1 61,3 57,9 C 1991 4 Daktilitas pada 25oC, SNI 06-2432- > 140 > 140 > 140 > 140 Cm 5 cm/menit 1991 o 5 Titik nyala (COC) SNI 06-2433- 334 315 312 329 C 1991 6 Kelarutan dalam SNI 06-2438- 99,25 99,52 99,85 99,18 % C2HCL3 1991 7 Berat jenis SNI 06-2441- 1,037 1,035 1,033 1,014 1991 8 Kehilangan berat SNI 03-6835- 0,021 0,012 0,008 0,012 % (RTFOT) 2002 9 Penetrasi setelah SNI 06-2456- 86,4 86 84,2 84,6 % RTFOT 1991 o 10 Titik lembek setelah SNI 06-2434- 51,7 50,8 64,0 57,2 C RTFOT 1991 11 Daktilitas setelah SNI 06-2432- > 140 > 140 > 140 118 Cm RTFOT 1991 12 Keelastisan setelah AASHTO T 85 71,85 % pengembalian 301-98 13 Perkiraan suhu AASHTO-72- 153- 152172-177 183-190 oC pencampuran 1990 159 158 14 Perkiraan suhu AASHTO-72- 141- 140160-165 169-175 oC pemadatan 1990 146 145
Pada setiap jenis aspal tersebut, dilakukan pengujian viskositas pada berbagai temperatur dengan menggunakan alat viskositas kinematik sesuai dengan metoda 7729:2011 (BSN 2011). Hasil pengujian tersebut ditunjukkan pada Gambar 7.
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 97 – 111
Terlihat dari Gambar tersebut, bahwa grafik viskositas terhadap temperatur untuk berbagai jenis aspal yang diuji. Letak antara aspal Pen 60 ditambah wax dan aspal Pen 60, sangat berdekatan atau dapat dikatakan hampir berimpit, kemudian aspal modifikasi dan aspal modifikasi yang ditambah wax 1% juga sangat berdekatan sekali. Terakhir aspal Pen 60 tambah SBS 4,5% ditambah wax 1%, agak jauh di sebelah kanan.
Gambar 7. Hubungan antara viskositas dengan temperatur
Tingkat kemudahan perubahan sifat viskositas aspal terhadap temperatur, pada aspal Pen 60 dan aspal Pen 60 tambah wax 1%, tidak begitu berbeda bahkan dapat dikatakan sama, walaupun terlihat pada temperatur yang lebih rendah dari 140°C, nilai viskositas dari aspal penetrasi 60 ditambah wax, sedikit lebih rendah sedikit dari viskositas aspal penetrasi 60. Sedangkan pada aspal modifikasi dan aspal modifikasi yang ditambah wax 1% walaupun berdekatan tetapi tidak konsisten, dimana pada suhu yang lebih rendah dari 174°C viskositas aspal modifikasi yang ditambah wax lebih tinggi, dan pada temperatur yang lebih tinggi dari 174°C, viskositas aspal modifikasi tambah wax 1% lebih rendah dari aspal modifikasi itu sendiri. Sedangkan untuk aspal Pen 60 yang ditambah SBS 4,5% dan wax 1% nilai viskositasnya paling tinggi. Bila menggunakan batasan dari Asphalt Institute, dimana temperatur
pencampuran dan pemadatan didasarkan pada nilai viskositas antara 170 ± 20 cSt dan 250 ± 30 cSt, maka temperatur pencampuran dan pemadatan dari masing masing aspal yang tanpa dan dengan bahan tambah wax tersebut tidak jauh berbeda seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3 Bila dilihat dari Tabel 3 tersebut, terlihat bahwa temperatur pencampuran dan pemadatan untuk aspal penetrasi 60 dan aspal Pen 60 yang ditambah wax hampir sama dimana perbedaannya hanya 1°C. Sedangkan untuk aspal modifikasi lebih tinggi dari aspal Pen 60 sekitar 20°C dan 30°C. Perbedaan temperatur pencampuran dan pemadatan dari aspal modifikasi dan aspal modifikasi tambah wax 1%, yaitu masing masing sekitar 1,5°C dan 2,5°C. Aspal penetrasi 60 yang ditambah SBS 4,5% dan wax 1% mempunyai temperatur pencampuran dan pemadatan sekitar 6°C dan 8°C lebih tinggi dari aspal modifikasi. Bila berdasarkan batasan viskositas yang disampaikan oleh Asphalt Institute seperti yang disebut diatas, maka bisa diartikan bahwa tingkat workability dari aspal Pen 60 dan aspal Pen 60 tambah wax sangat dekat atau hampir sama. Sedangkan workability untuk pemadatan dari aspal modifikasi sedikit lebih tinggi dari workability aspal modifikasi ditambah wax 1%. Tabel 3. Perkiraan temperatur pencampuran dan temperatur pemadatan (berdasarkan nilai viskositas). Jenis aspal Pen 60 plus wax 1% Pen 60 Aspal modifikasi Aspal modifikasi plus wax 1% Aspal Pen 60 plus SBS 4,5% dan wax 1%
Temperatur pencampuran (°C ) 151,4 - 158 151,1 - 158 173,9 -181 174– 180
Temperatur pemadatan (°C ) 140,2 -144,5 140 – 144 160,1 – 165,2 162 – 167
181,3– 188,2
168,5 – 174
Aspal Pen 60 tambah dengan SBS 4,5% dan wax 1%, workability-nya paling rendah, karena memerlukan temperatur yang paling tinggi baik untuk pencampuran maupun untuk pemadatan. Namun perlu diingat, bahwa ini
Pengaruh Jenis Aspal pada Temperatur Pemadatan Berkaitan dengan Workability dari Campuran Beraspal Panas, (Neni Kusnianti, Furqon Affandi)
104
hanya berdasarkan sifat aspalnya saja dan berdasarkan batasan viskositas dari Asphalt Institut Manual Series 2 (Asphalt Institute 1993), yang selama ini dipergunakan, yang belum menggambarkan sifat workability dari campuran beraspalnya sendiri. Campuran beraspal Campuran beraspal yang dipergunakan, ialah campuran beraspal untuk lapisan aus dari Spesifikasi Umum revisi 2 (Indonesia 2010), dengan gradasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Persyaratan campuran beraspal ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Persyaratan campuran lapisan aus (wearing course) Laston
Sifat-sifat Campuran Penyerapan aspal (%) Jumlah tumbukan per bidang
Maks
Rongga dalam campuran (VIM) (%) Rongga dalam Agregat (VMA) (%) Rongga terisi aspal (%) Stabilitas Marshall (kg) Pelelehan Minimum (mm) Marshall Quotient (kg/mm) Stabilitas Marshall Sisa (%) Rongga dalam campuran (%) pada Kepadatan membal (refusal)
Min. Maks Min.
WC
BC 1,2
Base
75
Min. Min. Min. Min. Min. Min.
112 3 5 14
15 65
63 800 3 250
13 60 1500 4,5 300
90 2
Sumber: Spesifikasi Umum revisi 2 (Indonesia 2010).
Jenis dan gradasi agregat yang dipergunakan pada percobaan ini semua sama, sebagaimana ditunjukkan oleh garis putus putus pada Gambar 8, yang terletak antara batas bawah dan batas atas dari persyaratan gradasi tersebut. Dengan demikian workability dari campuran beraspal tidak dipengaruhi oleh jenis dan gradasi agregat
105
Gambar 8. Gradasi yang dipergunakan pada percobaan ini dan persyaratannya
Dalam rangka mengkaji workability campuran beraspal, pertama tama dicari kadar aspal optimum Untuk masing-masing campuran dengan aspal yang berbeda, berdasarkan percobaan Marshall (AASHTO 2008), yang mengacu pada ketentuan campuran beraspal sesuai Spesifikasi Umum revisi 2 (Indonesia 2010). Dari hasil percobaan tersebut, didapat kadar aspal optimum untuk campuran beraspal dengan aspal Pen 60 sebesar 5,7%, campuran beraspal dengan aspal Pen 60 dan wax sebesar 5,8% dan campuran beraspal dengan aspal Pen 60 ditambah SBS dan wax 1% juga sebesar 5,8%. Jadi kadar aspal optimum dari masing masing campuran sangat dekat sekali atau dapat dikatakan sama. Selanjutnya, pengujian workability campuran beraspal menggunakan alat gyratory compactor pada berbagai temperatur sebagai mana diperlihatkan pada Tabel 5. Tabel 5. Temperatur pemadatan pada waktu pengujian dengan alat GCM Jenis aspal Aspal Pen 60 Aspal Pen 60 + wax Aspal Pen 60 dimodifikasi Aspal Pen 60 dimodifikasi + wax Aspal Pen 60 + SBS + wax
Temperatur 144 134 124 132 122 112 163 153 143
Pemadatan (° C ) 114 84 74 102 82 72 133 123 115 105
163 153 143 133 123 103 93 171 161 151 141 131 124 114
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 97 – 111
Prinsip dari pemadatan dengan alat GCM ini, yaitu dengan memberikan tekanan vertikal yang konstan dan pada waktu yang bersamaan dilakukan pemberian gaya dinamis sehingga berupa gaya pemadatan bukan tumbukan dengan sudut girasi sebesar 2 derajat. Pada pengkajian ini pemadatan dengan gyropac dilakukan dengan beban vertikal sebesar 240 kPa, sudut girasi sebesar 2 derajat dan kecepatan girasi 60 rpm. Pemadatan dengan cara ini merupakan simulasi dari cara pemadatan yang dilakukan di lapangan. Selama pemadatan tinggi benda uji diukur secara otomatis, sesuai dengan jumlah girasi yang sedang berjalan. Cabrerra dan Dixon (1994) menggunakan workability dengan menggunakan besaran Workability Index (WI) yang merupakan kebalikan dari sifat rongga dalam campuran dimana perputaran atau girasinya sama dengan nol. Perhitungan Workability Index Perhitungan Workability Index pada pengujian ini, didasarkan pada rongga dalam campuran (Void in Mix), dengan mencatat tinggi benda uji dan menghitung volume dari benda uji pada setiap girasi tertentu. Perhitungan yang dilakukan: A) Perhitungan volume benda uji selama pemadatan dengan GCM: Vi = 0,25 x π x d2 x hi ………………...… (1) Keterangan: Vi = volume benda uji pada I puritan gyropac d = diameter benda uji (cm) hi = tinggi benda uji pada putaran pemadat mesin ke- i B) Perhitungan kepadatan dan rongga dalam campuran (VIM ) - Kepadatan: γdi = W / Vi ……………………….…..... (2)
- Rongga dalam campuran (VIM) VIM = 100 (1 –γdi / SG) …………………. (3) Keterangan: γdi = kepadatan benda uji pada putaran gyropac ke i (kg/cm3) W = berat benda uji (gram) Vi = volume benda uji pada putaran pemadat mesin ke i (cm3) SG = Specific Gravity dari campuran beraspal VIM = Void In Mix dari campuran (%) Workability Index (WI ) = 100/A ……..…. (4) Nilai A ialah VIM pada girasi sama dengan nol, yaitu dengan membuat extrapolasi hubungan antara VIM dengan jumlah girasi dari alat GCM. Perhitungan volume, kepadatan dan rongga dalam (VIM) ditunjukkan pada Tabel 6, yang selanjutnya digambarkan seperti pada Gambar 9. Tabel 6. Perhitungan rongga dalam campuran (VIM) pada temperatur 144°C untuk campuran beraspal dengan aspal Pen 60 Temperatur Pemadatan (°C)
Putaran gyropac ke
144
1 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 275 300 325 350
Tinggi benda uji (cm) 8,99 7,42 7,26 7,18 7,12 7,07 7,04 7,01 6,99 6,96 6,94 6,93 6,91 6,90 6,89
Pengaruh Jenis Aspal pada Temperatur Pemadatan Berkaitan dengan Workability dari Campuran Beraspal Panas, (Neni Kusnianti, Furqon Affandi)
Volume Kepadatan benda uji grm/cm3 (cm 3) 705,7 582,5 569,9 563,6 558,9 555,0 552,6 550,3 548,7 546,4 544,8 544,0 542,4 541,7 540,9
1,850 2,241 2,291 2,316 2,336 2,352 2,362 2,372 2,379 2,389 2,396 2,400 2,407 2,410 2,414
VIM (%) 25,59 9,84 7,86 6,83 6,04 5,38 4,98 4,57 4,30 3,88 3,61 3,47 3,19 3,05 2,91
106
Gambar 9. Hubungan antara jumlah girasi dan VIM untuk campuran dengan aspal Pen 60
Dengan cara yang sama, dilakukan perhitungan rongga dalam campuran (VIM) pada temperatur lainnya dan jenis campuran beraspal dengan aspal Pen 60 yang ditambah bahan dasar wax, aspal modifikasi dan aspal Pen 60 yang dimodifikasi dengan SBS dan bahan tambah wax. Hasil pengujian diperlihatkan pada Tabel 7, Gambar 10, Tabel 8 dan Gambar 11 serta Tabel 9 dan Gambar 12. Tabel 7. Rongga dalam campuran (VIM) dari campuran beraspal dengan aspal Pen 60 dan bahan tambah wax Temperatur pemadatan (° C ) 142
107
Putaran gyropac ke
Volume (cm3)
Kepadatan (gr/cc)
VIM (%)
1 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 275 300 325 350
710,4 594,2 581,7 575,4 571,5 567,6 564,4 562,8 560,5 559,7 558,1 557,4 555,0 554,2 554,2
1,845 2,206 2,254 2,278 2,294 2,310 2,323 2,329 2,339 2,342 2,349 2,352 2,362 2,366 2,366
25,65 11,11 9,19 8,20 7,57 6,93 6,42 6,15 5,76 5,63 5,36 5,23 4,83 4,69 4,69
Gambar 10. Hubungan antara jumlah girasi dan VIM (void in mix) untuk Pen 60 dan 1% wax Tabel 8. Rongga dalam campuran dari campuran beraspal dengan aspal modifikasi Temperatur pemadatan (° C ) 143
Putaran gyropac ke 1 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 275 300 325 350
Volume (cm3)
Kepadatan (gr/cc)
VIM (%)
697,1 574,6 562,8 555,0 550,3 547,1 544,0 540,9 539,3 537,7 536,2 534,6 533,0 532,2 531,4
1,798 2,181 2,226 2,258 2,277 2,290 2,303 2,317 2,324 2,330 2,337 2,344 2,351 2,354 2,358
26,90 11,32 9,46 8,18 7,39 6,86 6,32 5,78 5,51 5,23 4,95 4,67 4,39 4,25 4,11
Gambar 11. Hubungan jumlah girasi dan VIM campuran dengan aspal modifikasi dan wax 1%
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 97 – 111
Tabel 9. Rongga dalam campuran dari campuran beraspal dengan aspal Pen 60, SBS dan wax 1% Temperatur pemadatan (° C) 141
Putaran gyropac ke 1 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 275 300 325
Volume (cm3)
Kepadatan (gr/cc)
VIM (%)
723,0 597,4 580,9 573,1 567,6 563,6 560,5 558,1 555,8 553,4 551,9 550,3 548,7 547,1
1,729 2,092 2,152 2,181 2,202 2,218 2,230 2,239 2,249 2,258 2,265 2,271 2,278 2,284
29,49 14,67 12,25 11,05 10,19 9,56 9,05 8,67 8,28 7,89 7,63 7,37 7,10 6,84
beraspal dengan aspal Pen 60; aspal Pen 60 ditambah bahan tambah wax 1%; aspal modifikasi; aspal modifikasi tambah wax 1%; aspal Pen 60 ditambah SBS dan bahan 1% wax. Jenis campuran Temperatur pemadatan ( C ) A Nilai WI Jenis campuran Temperatur pemadatan ( C ) A Nilai WI Jenis campuran Temperatur pemadatan ( C ) A Nilai WI Jenis campuran Temperatur pemadatan ( C ) A Nilai WI Jenis campuran Temperatur pemadatan ( C ) A Nilai WI
Gambar 12. Hubungan jumlah girasi dengan VIM dengan aspal Pen 60, SBS dan wax 1%
Dari semua hasil percobaan dan perhitungan tersebut, untuk masing masing jenis aspal yang dipergunakan dan berbagai temperatur pemadatan, dibuat grafik hubungan antara jumlah putaran alat pemadat GCM dan VIM guna mendapatkan nilai “A” yaitu nilai antara perpotongan garis hubungan antara jumlah putaran alat GCM terhadap VIM tersebut dengan sumbu Y. Contoh hubungan antara jumlah putaran GCM dengan VIM untuk campuran beraspal dengan aspal Pen 60 dan nilai “A” ditunjukkan pada Gambar 9. Selanjutnya dilakukan hal yang sama untuk berbagai campuran beraspal dengan aspal lainnya dan berbagai temperatur pemadatan, dimana hasilnya ditunjukkan pada Tabel 10 dan Gambar 13.
Campuran beraspal dengan aspal Pen 60 144 134 124 114 84 74 18,18 18,12 18,39 20,53 24,33 27,25 5.50 5.52 5.45 4.87 4.11 3.67 Campuran beraspal dengan aspal Pen 60+SBS+Wax1% 171 161 151 141 131 124 114 21,32 22,32 22,57 22,37 21,88 23,98 24,81 4.69 4.48 4.43 4.47 4.57 4.17 4.03 Campuran beraspal dengan aspal Pen 60 +wax 1% 132 122 112 102 82 72 16,31 17,03 18,18 20,45 24,27 25,71 6.13 5.87 5.50 4.89 4.12 3.89 Campuran beraspal dengan aspal Modifikasi 163 153 143 133 123 115 105 19,27 19,84 20,16 20,66 22,27 24,09 24,21 5.19 5.04 4.96 4.84 4.49 4.15 4.13 Campuran beraspal dengan aspal Modifikasi +wax 1% 163 153 143 133 123 103 93 18,97 19,01 19,65 20,66 22,17 24,69 24,87 5.27 5.26 5.09 4.86 4.51 4.05 4.02
Dari Gambar 13 tersebut, terlihat bahwa untuk nilai workability index yang sama, campuran beraspal dengan aspal Pen 60 tambah wax 1% dapat dicapai pada temperatur yang paling rendah, diikuti dengan campuran beraspal menggunakan aspal Pen 60, kemudian aspal modifikasi yang ditambah wax 1%, dikuti dengan aspal modifikasi dan terakhir aspal Pen 60 tambah SBS 4,5% dan wax 1%. Dari Gambar 13 ini terlihat jelas urutan workability index dari masing masing jenis aspal tersebut, dimana campuran dengan aspal Pen 60 tambah wax 1% lebih mudah dikerjakan, dari pada campuran aspal Pen 60 saja, diikuti dengan campuran aspal modifikasi tambah wax 1%, kemudian aspal modifikasi dan terakhir aspal modifikasi tambah SBS tambah wax 1%. Pengaruh penambahan wax membuat campuran lebih mudah dipadatkan, yang ditunjukkan dengan grafiknya yang terletak disebelah kiri dari aspal yang sama tanpa tambahan wax.
Tabel 10. Nilai WI dari berbagai campuran
Pengaruh Jenis Aspal pada Temperatur Pemadatan Berkaitan dengan Workability dari Campuran Beraspal Panas, (Neni Kusnianti, Furqon Affandi)
108
Tabel 11.
Pengujian kepadatan dan VIM pada berbagai temperatur
Jenis campuran beraspal Temperatur pemadatan (°C) γd ( gr/cc) VIM (%) Jenis campuran beraspal Temperatur pemadatan (°C) γd ( gr/cc) VIM (%)
Gambar 13. Hubungan antara nilai WI pada berbagai temperatur pemadatan dengan berbagai jenis aspal.
Pengujian kepadatan campuran beraspal pada berbagai temperatur Pengujian kepadatan atau rongga dalam campuran (VIM) dari campuran beraspal pada berbagai temperatur, dimaksudkan untuk melihat besarnya kepadatan atau rongga dalam campuran yang bisa dicapai. Hal ini bisa menunjukkan tingkat workability dari campuran beraspal tersebut. Campuran beraspal dengan berbagai jenis aspal pada kadar aspal optimumnya seperti yang disampaikan sebelumnya, dipadatkan dengan alat Marshall sebanyak 2x75 tumbukan. Temperatur pemadatan untuk aspal tanpa bahan tambah dilakukan pada temperatur pemadatan berdasarkan nilai viskositas untuk temperatur pemadatan, sedangkan yang menggunakan bahan tambah dilakukan pada berbagai temperatur pemadatan dari yang tinggi sampai yang rendah. Pada setiap temperatur pemadatan, dihitung parameter campuran seperti stabilitas, kepadatan dan rongga dalam campuran yang bisa didapat sampai batas temperatur yang paling rendah, tetapi masih memenuhi batas – batas ketentuan spesifikasi yang digunakan. Hasil pengujian terkait dengan temperatur pemadatan minimum terhadap kepadatan dan rongga dalam campuran yang masih dalam batas Spesifikasi Umum revisi 2 (Indonesia 2010), ditunjukkan pada Tabel 11.
109
Jenis campuran beraspal Temperatur pemadatan (°C) γd ( gr/cc) VIM (%) Jenis campuran Temperatur pemadatan (°C)
γd (gr/cc) VIM (%)
Campuran dengan aspal Pen 60 144 (144)* 2,375 4 Campuran dengan aspal Pen 60 +wax 1% 112 ( 142 )* 2,369 4,5 Campuran dengan aspal Modifikasi 163(163)* 2,355 4,2 Campuran dengan aspal Modifikasi +wax 1% 132 (163)* 2,353 4,4
Jenis campuran beraspal
Campuran dengan aspal Pen 60+SBS+Wax1% Temperatur pemadatan (°C) 141( 171)* 2,328 γd (gr/cc) VIM (%) 4,9 *) temperatur pemadatan berdasarkaan viskositas
Dari Tabel 11 tersebut, terlihat bahwa dengan VIM yang nasih sesuai dengan batasan spesifikasi, temperatur pemadatan dari campuran dengan aspal penetrasi 60 ditambah wax 1% lebih rendah sekitar 30°C dari temperatur pemadatan berdasarkan viskositas. Pada campuran dengan aspal modifikasi yang ditambah wax, temperatur pemadatannya 31°C lebih rendah dari temperatur berdasarkan viskositasnya. Begitu juga temperatur pemadatan dari campuran dengan aspal penetrasi 60 tambah SBS 4,5% tambah wax 1% lebih rendah 30°C dari temperatur pencampuran berdasarkan viskositas sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 11. Dari Tabel 11 tersebut terlihat, kepadatan dari masing-masing campuran beraspal dengan temperatur yang berbeda dapat dikatakan sama
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 97 – 111
karena kepadatannya berkisar antara 2,328 sampai 2,375 gr/cc. Nilai nilai temperatur pemadatan ini berbeda dengan temperatur pemadatan yang berdasarkan batasan viskositas dari Asphalt Institute MS2 (Asphalt Institute 1993), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3. PEMBAHASAN Dari hasil pengujian viskositas aspal untuk berbagai temperatur pengujian, didapat temperatur pemadatan yang didasarkan atas nilai viskositas antara 280 ± 30 cSt untuk aspal Pen 60 dan aspal Pen 60 ditambah wax 1%, dapat dikatakan tidak menunjukkan perbedaan karena perbedaanya sangat kecil sekitar 0,2°C sampai 0,3°C, hal ini menunjukkan bahwa workability dari campuran dengan aspal tersebut sama saja. Begitu juga dengan aspal modifikasi dan aspal modifikasi yang ditambah wax 1%, temperatur pemadatan yang didasarkan pada nilai viskositas 280 ± 30 cSt juga perbedaanya kecil antara 3°C sampai 3,2°C. Keadaan ini disebabkan oleh karena kurva viskositas terhadap temperatur antara aspal Pen 60 dan aspal Pen 60 ditambah wax hampir berimpitan, hal yang sama didapat untuk aspal modifikasi dan aspal modifikasi tambah wax 1%. Namun kalau kita melihat dari nilai WI, terlihat jelas bahwa penambahan wax bisa meningkatkan workability campuran beraspal, dimana untuk temperatur yang sama, aspal yang mengalami penambahan wax mempunyai nilai WI yang lebih tinggi daripada aspal tanpa penambahan wax, sebagaimana terlihat pada Gambar 13. Kurva WI terhadap temperatur dari aspal Pen 60 ditambah SBS 4,5% dan wax1% terletak paling bawah, hal ini dimungkinkan karena penambahan bahan SBS yang cukup tinggi sebesar 4,5%. Selanjutnya dari batasan spesifikasi campuran beraspal sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 3, salah satu parameter yang harus dipenuhi ialah rongga dalam campuran (VIM) antara 3-5%. Melalui
percobaan Marshall, target VIM 3-5% dapat dicapai dengan temperatur pemadatan 30°C lebih rendah pada campuran dengan bahan tambah wax dibanding dengan temperatur pemadatan berdasarkan batasan viskositas , baik pada aspal penetrasi 60, aspal modifikasi maupun aspal Pen 60 tambah SBS. Hal ini menunjukkan bahwa workability campuran beraspal yang sama dapat dicapai pada temperatur yang lebih rendah pada campuran dengan menggunakan bahan tambah wax. Hal ini sejalan dengan percobaan yang dilakukan oleh Zaumanis (2010) yang menyatakan bahwa penentuan temperatur pencampuran dan pemadatan dari campuran beraspal dengan bahan tambah, tidak dapat menggunakan dasar viskositas aspal. Temperatur pemadatan yang bisa lebih rendah ini, diperkirakan karena tegangan permukaan aspal yang ditambah wax lebih kecil dari tegangan permukaan aspal biasa seperti yang disampaikan oleh Hadisi dan Affandi (2013). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari uraian diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Tidak terlihat adanya pola yang konsisten dari pengaruh bahan tambah terhadap korelasi temperatur dan viskositas aspal yang menggunakan bahan tambah. 2. Batasan viskositas aspal untuk penentuan temperatur pemadatan, tidak dapat diterapkan untuk campuran beraspal dengan bahan tambah. 3. Pengujian Workability Index campuran beraspal memberikan gambaran yang jelas, tentang tingkat workability suatu campuran. 4. Perbedaan temperatur pemadatan yang berdasarkan batasan viskositas aspal dan berdasarkan VIM dari campuran yang ditambah wax melalui percobaan Marshall, cukup besar sekitar 30°C. 5. Penentuan temperatur pemadatan dari suatu campuran beraspal dengan bahan tambah, lebih cocok didasarkan batasan kepadatan atau VIM yang ingin dicapai.
Pengaruh Jenis Aspal pada Temperatur Pemadatan Berkaitan dengan Workability dari Campuran Beraspal Panas, (Neni Kusnianti, Furqon Affandi)
110
Saran Penentuan temperatur pemadatan campuran beraspal dengan bahan tambah, sebaiknya didasarkan atas target VIM (Void In Mix) yang harus dipenuhi. DAFTAR PUSTAKA American Association of State Highway and Transportation Officials. 2012. Resistance to plastic flow of Bituminous Mixtures Using Marshall Apparatus. AASHTO T 24597(2008) . Standard Specifications for Transportation Materials and Methods of Sampling And Testing , Washington, DC.: AASHTO. Asphalt Institute. 1993. Mix Design Methods for Asphalt Concrete and Other Hot Mix Types. MS -2 Sixth Edition. Lexington: Asphalt Institute. Badan Standardisasi Nasional. 2011. Cara uji viskositas aspal pada temperature tinggi dengan alat saybolt furol. SNI 7729:2011. Jakarta: BSN. Cabrera, J.G and Dixon, J.R. 1994. “Performance and durability of bituminous material”. In Proceeding of symposium . Leed: University of Leed. Fazaeli, H,.et.al. 2012. “High and low temperatures properties of FT-Paraffin-modified bitumen”. Advances in Materials Science and Engineering. 2012: p. 7-
111
Gierhart, D. 2009.”Warm mix asphalt – what is it and how can we benefit?”. In SE States Pavement Association Management and Design Conference Southeast Pavement Preservation Partnership Meeting. Lexington: Asphalt Institute. Gudimettla J M, Cooley A, Brown E R. 2003. Workability for hot mix asphalt. Technology Report 03 – 03. Auburn: National Center for Asphalt. Hadisi dan Affandi 2013. Pengaruh Bahan Tambah Leadcap Terhadap Perubahan Tegangan Permukaan Aspal Pen 60/70. Proceeding Kolokium Jalan dan Jembatan. Bandung: Pusjatan Indonesia. Kementerian Pekerjaan Umum. 2010. Spesifikasi Umum revisi 2. Jakarta: Ditjen Marga. Marvillet, J. and P. Bougalt. 1979. Workability of Bituminous Mixes. Development of a Workability Meter. Proceedings, Association of Asphalt Paving technologists. Volume 48. Denver: AAPT Read and Whiteoak .2003. The Shell Bitumen Handbook. London: Thomas Telford Ltd. Siswosoebrotho B I, Ginting K, Soedirdjo T L. 2005.” Workability and Resilient Modulus of Asphalt Concrete Mixtures Containing Flaky Aggregate Shape” Journal of the eastern Asia of society for transportation studies Vol 6: pp 1302 – 1312. Terrel, R. L., J. A. Epps, and C. Crawford. 1988. Making the Most of Temperature, Viscosity Characteristics. Information Series 102. Maryland: NAPA. Zaumanis M. 2010. Warm mix asphalt Investigation. Master of Science Thesis, Riga Technical University.
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 97 – 111
PENGARUH BAHAN TAMBAH BERBAHAN DASAR PARAFIN TERHADAP CAMPURAN BERASPAL HANGAT (THE EFFECT OF PARAFFIN BASED ADDITIVE ON WARM MIX ASPHALT) Hendri Hadisi1), Furqon Affandi2) 1),2)
1),2)
Puslitbang Jalan dan Jembatan
Jl. A.H Nasution 264 Bandung 40294
1), 2) e-mail:
[email protected];
[email protected] Diterima : 20 Mei 2013; direvisi: 19 Juli 2013; disetujui: 01 Agustus 2013
ABSTRAK Kualitas campuran beraspal panas sangat dipengaruhi oleh temperatur pencampuran dan pemadatannya yang harus sesuai dengan jenis aspal yang digunakan, karena penurunan temperatur akan menghasilkan campuran beraspal atau perkerasan yang tidak baik. Hal ini memerlukan disiplin dalam pengerjaanya disamping temperatur yang tinggi tersebut memerlukan penggunaan bahan bakar dan emisi yang cukup besar. Tulisan ini membahas pengaruh bahan tambah berbahan dasar parafin pada campuran beraspal panas untuk lapisan aus (wearing course) berdasarkan hasil percobaan dan analisa di laboratorium. Kadar bahan tambah berbahan dasar parafin yang optimal untuk penambahan ke campuran beraspal ialah 1% terhadap berat aspal, dimana campuran tersebut dapat menurunkan temperatur pencampuran / pemadatan sebesar 31°C terhadap temperatur campuran beraspal panas tanpa bahan tambah dari 157°C menjadi 126°C, dengan kualitas campuran dan nilai parameter yang setara dan masih memenuhi persyaratan campuran yang ditentukan. Parameter campuran yang mudah mengalami perubahan akibat penurunan temperatur pencampuran dan pemadatan, ialah parameter rongga dalam campuran (VIM), Marshall Quotient dan stabilitas rendaman sedangkan, stabilitas langsung, kepadatan, rongga antar agregat (VMA), rongga terisi aspal (VFB) tidak mudah terpengaruh. Pengaruh kadar bahan tambah berbahan dasar parafin terhadap kecepatan penurunan modulus campuran beraspal pada temperatur pengujiuan 25°C ke 35°C hampir sama. Penurunan temperatur pencampuran dan pemadatan sebesar 31°C, dapat menunjang pembangunan jalan ramah lingkungan, karena dapat menurunakan emisi CO2 sebesar sekitar 54% . Kata kunci: Bahan Tambah berbahan dasar parafin, temperatur, kualitas campuran beraspal, parameter campuran beraspal, modulus, emisi.
ABSTRACT The quality of hot mix asphalt is strongly influenced by mix and compaction temperatur which must be suitable with the type of asphalt used, because the decrease in temperatur will result in unsatisfied asphalt mix or pavement. This requires discipline in the process in addition to the high temperatur which in turn quite large fuel use and emissions are needed. This paper discusses the effect of Paraffin based which has paraffin-base on hot asphalt mixture for wearing course based on the results of experiments and analysis in the laboratory. Optimum Paraffin based content for asphalt mix is 1% of asphalt weight, where the asphalt mixture with 1% Paraffin based can lower mixing and compaction temperatur of 310 C to hot asphalt mix without additive from 157 C to 126 C, with the quality of mix and parameter values are equal to and still comply with the requirements of specified mixture. Mix parameters which easily changed due to the decrease of mixing and compaction temperaturs are Void In Mix, Marshall Quotient and retain Marshall stability, while the direct stability, density, Voids in Mineral Aggregates (VMA), Voids Filled with Bitumen (VFB are not easily changed. The influence of Paraffin based content on the decrease rate of modulus of asphalt mixures at a temperatur of
Pengaruh Bahan Tambah Berbahan Dasar Parafin Terhadap Campuran Beraspal Hangat, (Hendri Hadisi, Furqon Affandi)
112
25 °C to 35 °C is almost the same. The decrease in mixing and compaction temperaturs of 31 °C, can support the green construction, because it can reduce CO2 emissions of approximately 54% Keywords: Paraffin based additives, temperatur, quality of bituminous mixes, parameter of bituminous mixes properties, modulus, emission.
PENDAHULUAN Dibidang konstruksi perkerasan jalan, jenis perkerasan yang banyak dan populer digunakan, termasuk di Indonesia ialah campuran beraspal panas (hot mix). Sesuai dengan nama dan sifatnya, campuran beraspal panas tersebut memerlukan pemanasan pada suhu tertentu yang cukup tinggi pada Asphalt Mixing Plant (AMP), serta pemadatan tertentu pula, sesuai dengan jenis aspal yang digunakannya guna mendapatkan kualitas sesuai spesifikasi yang diinginkan. Penurunan temperatur pencampuran dan pemadatan dari yang ditentukan, akan menurunkan kualitas perkerasan jalan tersebut. Untuk memenuhi keperluan pembangunan dan pemeliharaan perkerasan aspal di Indonesia, setiap tahun diperlukan aspal sekitar 1,2 – 1,3 juta ton aspal keras dimana sekitar 900.000 ton untuk jalan nasional dan 300.000 – 400.000 ton untuk jalan-jalan di daerah. Bila dianggap semua jenis campuran yang digunakan ialah campuran beraspal panas dengan perkiraan rata-rata kadar aspal dalam campuran 6%, maka akan menghasilkan (100/6) x 1,3 juta ton = 21,6 juta ton campuran beraspal panas. Angka ini cukup besar, yang berarti besar pula bahan bakar yang diperlukan maupun emisi yang akan dihasilkan. Disisi lain pembangunan yang berwawasan lingkungan, sudah menjadi tuntutan di seluruh dunia, sehingga upaya ke arah tersebut dalam segala bidang terus ditingkatkan. Salah satu pertemuan penting ialah “Protocol Kyoto” mengenai “Global Warming and Climate Change” tahun 1997, dimana dunia akan menekan emisi buang akibat pembangunan yang dilakukan. Berkaitan dengan hal tersebut, berdasarkan Copenhagen summit, global temperaturs tahun 2009,
113
Indonesia akan mengurangi emisi buangnya sebesar 26% pada tahun 2020 (Marbun J 2012). Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh bahan tambah berbahan dasar parafin, terhadap kinerja campuran beraspal panas. KAJIAN PUSTAKA Temperatur dan klasifikasi teknologi Teknologi campuran beraspal hangat telah menjadi metode utama dalam penggunaan pembangunan jalan di Amerika Serikat maupun di dunia, hal tersebut dikarenakan penghematan penggunaan bahan bakar dalam proses campuran beraspal hangat, pengurangan emisi karbon dioksida, pengurangan oksidasi aspal, pembukaan lalu lintas yang lebih cepat dan lingkungan yang lebih bersih dan ramah pada saat kerja (Prowel 2011). Pengurangan emisi dalam campuran beraspal hangat di Indonesia sangat berkaitan dan mendukung Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.5 Tahun 2011 (Kementerian Lingkungan Hidup, 2011), bahwa pemenuhan kriteria peringkat hijau ditunjukkan dengan sudah dilakukannya efisiensi energi, penurunan emisi melalui reduksi hidrokarbon dan konservasi pemakaian air melalui re-injeksi air terproduksi untuk peningkatan kapasitas produksi. Teknologi campuran beraspal hangat merupakan salah satu teknologi dalam perkerasan jalan yang ramah lingkungan. Salah satu bahan yang inovatif pada akhir-akhir ini adalah bahan tambah organik yang berbahan dasar parafin, dimana komposisi utamanya adalah perekayasaan pada struktur kristal parafin dan bahan sintesis buatan (Kim Yongjoo 2011).
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 112 – 126
Salah satu hal yang diperlukan dalam membuat campuran beraspal panas di AMP, ialah perlunya temperatur pencampuran dan temperatur pemadatan yang cukup tinggi, sesuai dengan jenis dan grade aspal yang digunakan. Temperatur pencampuran ialah temperatur dimana aspal mempunyai viskositas 170 ± 20 cSt sedangkan untuk temperatur pemadatan viskositas aspalnya antara 280 ± 30 cSt. (Asphalt Institute 1993) Campuran beraspal dengan aspal minyak penetrasi 60, umumnya memerlukan temperatur pencampuran sekitar 160°C, sedangkan untuk aspal modifikasi yang ditujukan untuk lalulintas berat, sebagaimana dicantumkan pada Spesifikasi Umum revisi 2 (Indonesia 2010) memerlukan pemanasan untuk pencampuran di AMP yang lebih tinggi lagi, sekitar 175°C. Penurunan temperatur pencampuran dan pemadatan, akan mengakibatkan viskositas aspal naik, sehingga peneyelimutan agregat oleh aspal bisa berkurang dan kesulitan pada proses pemadatan. Hal ini akan mengakibatkan sifat campuran seperti rongga dalam campuran menjadi besar, kepadatan berkurang, stabilitas campuran menurun drastis, yang pada akhirnya menjadikan perkerasan menjadi cepat rusak. Dikarenakan tuntutan akan pembangunan yang lebih ramah lingkungan dan efisiensi penggunaan bahan bakar, dibeberapa negara lain telah dikembangkan campuran beraspal dengan temperatur pencampuran dan pemadatan yang lebih rendah dari campuran beraspal panas, atau yang dikenal dengan WMA – Warm Mix Asphalt dengan berbagai bahan tambahnya. Campuran beraspal hangat ini, diproduksi di AMP dan dipadatkan di lapangan dengan tetap dapat menjaga workability yang diperlukan sehingga dapat dihampar dan dipadatkan dengan baik (Gierhart 2009). Workability merupakan hal yang penting pada campuran beraspal dengan temperatur yang lebih rendah dari campuran beraspal panas (Cabrera and Dixon 1994). Salah satu klasifikasi Campuran Beraspal Hangat (CBH) ialah berdasarkan pengurangan temperatur pencampuran, dimana campuran beraspal panas diklasifikasikan bila temperatur pencampuran lebih besar dari 135°C, sedangkan
campuran beraspal hangat ialah lebih besar dari 100°C dan campuran setengah beraspal hangat mixtures) bila (half – warm asphalt temperaturnya lebih rendah dari 100°C. (Gierhart 2009) Klasifikasi campuran beraspal hangat berdasarkan teknologinya, dapat diklasifikasikan atas tiga macam, yaitu berdasarkan penggunaan bahan tambah kimia (additive), proses yang menggunakan air dan proses yang menggunakan air serta additive. (Gierhart 2009; SE States Pavement Association Management; 2009). Tipe bahan tambah kimia berfungsi sebagai “asphalt flow improver”, dimana bahan tersebut bisa menurunkan viskositas aspal, sehingga akan menurunkan temperatur yang diperlukan untuk pencampuran maupun pemadatan (Damm 2002). Fungsi bahan tambah dengan memanfaatkan air yang dikandungnya, bisa untuk memperbesar volume aspal sewaktu pencampuran dan sekaligus memudahkan tingkat pengerjaan pencampuran maupun pemadatan (Hurley and Prowel 2009). Sedangkan bahan tambah yang menggunakan air, aspal dan bahan kimia, misalnya Evotherm® yang dasarnya ialah merupakan satu paket kimia, yang didalamnya sudah termasuk additive untuk perbaikan kelekatan terhadap agregat (coating) dan kemudahan kerja, meningkatkan adhesi dan emulsifikasi agent, dengan penggunaan sekitar 0,5 % dari berat aspal. Bahan tambah lainnya dengan memanfaatkan air, ialah Advera dan Aspha– min® yang berasal dari Jerman. Aspha-min® dibuat dari sodium aluminium silicate sintesis dengan rongga yang besar dan dapat menahan dan melepaskan air dengan cepat tanpa merusak struktur kristalnya, yang lebih dikenal dengan nama Zeolit (Hurley and Prowel; Gierhart 2009). Temperatur pemadatan untuk campuran beraspal hangat dapat dilakukan dengan cara mencoba coba sedemikian rupa sehingga kepadatan dari campuran beraspal hangat yang dipadatkan pada temperatur tertentu sama dengan kepadatan dari campuran beraspal panas (Zaumanis 2010). Penentuan kadar aspal optimum pada campuran beraspal hangat
Pengaruh Bahan Tambah Berbahan Dasar Parafin Terhadap Campuran Beraspal Hangat, (Hendri Hadisi, Furqon Affandi)
114
diambil sama dengan kadar aspal pada campuran beraspal panas, dengan pertimbangan keawetan, permeabilitas dan ketahanan terhadap air, walaupun ada indikasi tidak langsung terhadap kadar aspal optimum tersebut. Indikasi itu ialah kadar aspal pada campuran beraspal hangat bisa lebih rendah karena penyerapan aspal oleh agregat akan lebih sedikit serta pemadatan pada campuran beraspal hangat bisa lebih baik, sehingga rongga dalm campuran akan menjadi lebih kecil (Zaumanis 2010). Stiffenss Modulus campuran beraspal Modulus campuran beraspal merupakan salah satu parameter penting dalam suatu sifat campuran beraspal, dimana salah satunya dari sifat ini ialah menunjukkan kekuatan dari campuran beraspal tersebut, dan berpengaruh terhadap tebal lapisan yang diperlukan pada suatau susunan konstruksi perkerasan untuk suatu beban lalu lintas tertentu. Modulus campuran beraspal ini sudah banyak dipelajari sebelumnya, dimana salah satunya ialah yang disampaikan oleh Read and Whiteoak (2003), bahwa modulus campuran beraspal tersebut tergantung pada sifat aspal dan volumetrik campuran serta sifat aspalnya sendiri, yaitu tergantung pada modulus aspalnya sendiri, volume agregat dalam campuran dan volume aspal dalam campuran (Read and Whiteoak 2003). Pengukuran modulus campuran beraspal secara langsung, dipandang lebih baik, yang bisa dilakukan di laboratorium dengan menggunakan alat UMATTA (Universal Material Testing Apparatus) pada kondisi pengujian tertentu seperti temperatur dan waktu pembebanan yang diinginkan.
mempunyai yang mudah menjadikan campuran beraspal mengalami retak pada temperatur rendah. (Cho Dong Woo 2013; Cho Dong Woo 2012). Aditif berbahan dasar parafin ini dibentuk rantai alifatik karbon yang panjang (C40C115), yang ditambahkan suatu senyawa sintetik lain (Fazaeli 2012). Bahan ini berupa pelet butiran kecil dengan ukuran sekitar 5 sampai 10 mm mm, dan sangat mudah mencair pada temperatur dibawah 100°C. Perkembangan penggunaan campuran campuran beraspal hangat Penggunaan teknologi campuran beraspal hangat tengah dikembangkan di berbagai negara, diantaranya ialah menggunakan bahan tambah bersifat kimia dengan merek dagang seperti Sasobit yang telah dicoba sejak tahun 1997. Bahan tambah ini telah digunakan pada 142 proyek dengan jumlah 2.271.499 m2, di beberapa Negara seperti Austria, Belgia, Cina, Denmark, Perancis, Jerman, Hongaria, Itali, Macau, Malaysia, Belanda, Selandia Baru, Rusia, Afrika Selatan, Swedia, Switzerland, Inggris dan Amerika Serikat dengan berbagai jenis campuran beraspal seperti campuran beraspal bergradasi rapat, Stone Mastic Asphalt dan Gussasphalt. Penggunaan Sasobit sekitar antara 0,8% sampai 4% dari berat aspal (Hurley and Prowel 2011).
Bahan tambah berbahan dasar parafin Bahan tambah berbahan dasar parafin merupakan bahan buatan yang terbuat dari bahan dasar parafin yang berbeda dengan parafin normal, dimana bahan berbahan dasar parafin ini mengandung crystal controller dan bahan peningkat kelekatan. Bahan ini bisa mengontrol kristal dengan cara mereduksi pengaruh kristalisasi. Parafin normal mempunyai sifat pengristalan yang tinggi, sehingga
Penggunaan bahan bakar dan emisi Dari sisi penggunaan bahan bakar, campuran beraspal hangat lebih rendah sekitar 32% dibanding konsumsi bahan bakar pada campuran beraspal panas. Zaumanis (2010) menyampaikan bahwa pengurangan bahan bakar saat produksi tergantung pada jenis bahan tambah yang digunakan, bervariasi antara 30% - 40% bila menggunakan bahan tambah Foam, 30% bila menggunakan Aspha–Min, 20% bila menggunakan Sasobit dan antara 50% - 70% bila menggunakan Evoterm. Payne & Dolan (2009) menyampaikan bahwa pengurangan bahan bakar saat produksi sekitar antara 11% 25%. Konsentrasi emisi CO2 yang dihasilkan dari campuran beraspal dapat diukur di
115
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 112 – 126
laboratorium melalui pengujian pada tabung gelas 2000 ml yang berisi 200 gram campuran beraspal yang dapat dihitung dengan persamaan CCO2 = 2,175.e0,039.T (Tao and Mallick 2009). Disisi lain pengurangan CO2 juga disampaikan oleh Mallick dan Bergendahi (2009), seperti ditunjukkan pada Tabel 1. HIPOTESIS Campuran beraspal hangat dengan bahan tambah berbahan dasar parafin bisa menurunkan temperatur campuran dan mempunyai kualitas campuran yang setara dengan campuran beraspal. METODOLOGI Metode eksperimental,
penelitian berupa metode melalui percobaan serta
pengamatan di laboratorium dari campuran beraspal hangat, yang selanjutnya dianalisa dan dievaluasi melalui telaahan dan pengamatan sifat fisik serta hasil pengujian. Ringkasan jenis percobaan dan bahan tambah yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 2. Bahan Analisa dilakukan terhadap bahan untuk percobaan tersebut, meliputi: 1. Sifat agregat yang akan digunakan. 2. Sifat aspal keras penetrasi 60 3. Sifat aspal keras pen 60 yang telah ditambah bahan tambah. Baik sifat agregat maupun sifat aspal akan dibandingkan dengan persyaratan umum dari agregat dan aspal untuk campuran beraspal panas pada Spesifikasi Umum revisi 2 (2010).
Tabel 1. Prakiraan pengurangan CO2 untuk berbagai penurunan temperatur Temperatur Hot Mix (perkiraan °C)
Emisi Hot Mix Asphalt ( ppm)
Temperatur Warm Mix Asphalt (campuran hangat – °C )
Emisi Warm Mix Asphalt (campuran hangat) (ppm)
% pengurangan emisi
150
755,23
140
511.3
32,29
150
755,23
130
346.2
54,16
150
755,23
120
234.4
68,96
Sumber: Mallick, R.B dan Bergendahi, J (2009)
Tabel 2. Ringkasan rancangan percobaan untuk evaluasi pengaruh dari bahan tambah berbahan dasar parafin terhadap campuran beraspal Jumlah satuan benda uji Kontrol
Bahan tambah Berbahan dasar parafin
Satuan
Sifat aspal dengan dan tanpa bahan tambah
V
V
Set
Perencanaan campuran dan analisa sifat volumetric
V
V
Set Marshall
Sifat pemadatan (densifikasi)
V
V
Set
Resilient Modulus
V
V
Set
Jenis Pengujian Pengujian di Laboratorium
Catatan: V = Kegiatan yang dilakukan
Pengaruh Bahan Tambah Berbahan Dasar Parafin Terhadap Campuran Beraspal Hangat, (Hendri Hadisi, Furqon Affandi)
116
Campuran beraspal Analisa akan dilakukan terhadap hasil percobaan, yang meliputi pengujian sifat semua campuran yang direncanakan seperti, sifat volumetric, sifat pemadatan (densifikasi) dan resilient modulus. Sifat campuran dan volumetrik nya, termasuk modulus campuran beraspalnya dilakukan dengan cara melakukan pengujian pada berbagai temperatur pencampuran dan pemadatan dengan beberapa kadar bahan tambah berbahan dasar parafin serta membandingkanya dari setiap sifat tersebut antara yang tanpa bahan tambah (standar) dan yang ditambah dengan bahan tambah pada berbagai temperatur pemadatan. Perbandingan tersebut didasarkan atas data hasil pengujian secara langsung, dan hasil dari analisis. Bahan aspal yang digunakan pada dasarnya aspal keras pen 60 yang ditambah dengan bahan tambah berbahan dasar parafin, yang diperkirakan bisa membuat campuran beraspal pada temperatur yang lebih rendah, dibanding dengan campuran beraspal biasanya, sedangkan agregat dan gradasi yang dipergunakan tetap sama. HASIL DAN ANALISIS Hasil pengujian aspal dan aspal yang ditambah bahan tambah Pengujian aspal dilakukan pada aspal keras pen 60 baik tanpa maupun yang ditambah dengan berbahan dasar parafin Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. Hasil pengujian viskositas untuk menentukan temperatur pencampuran dan pemadatan diperlihatkan pada Gambar 1. Temperatur pencampuran didapat berdasarkan viskositas antara 170 ± 20 CSt sedangkan untuk temperatur pemadatan diambil pada viskositas antara 280 ± 30 CSt sesuai dengan ketentuan pada Asphalt Institute MS 2 (1993) yang selama ini dipergunakan. Pada Gambar 1 tersebut terlihat bahwa grafik antara viskositas dan temperatur dari aspal yang tanpa dan ditambah berbahan dasar parafin letaknya sangat berdekatan.
117
Gambar 1. Hubungan antara viskositas dan temperatur untuk aspal pen 60/70 dan aspal pen 60/70 yang ditambah berbagai kadar bahan tambah berbahan dasar parafin Temperatur pencampuran dan pemadatan untuk aspal pen 60 dengan bahan tambah hanya menunjukan perbedaan 5°C sampai 4°C lebih rendah dari aspal pen 60 tanpa bahan tambah. Kalau dilihat dari viskositas dan dikaitkan dengan temperatur pencampuran dan pemadatan saja, maka seolah-olah penambahan bahan tambah ini tidak bisa menurunkan temperatur pencampuran dan pemadatan dengan berarti. Hal ini sejalan dengan percobaan yang dilakukan oleh Zaumanis M (2010), bahwa pengukuran viscositas dan ketentuan dengan cara tersebut hanya cocok untuk aspal konvensional atau aspal modifikasi, tetapi tidak cocok untuk pengujian aspal bagi campuran beraspal hangat. Pengujian agregat Pengujian agregat dilakukan terhadap dua macam agregat, yaitu agregat kasar dan agregat halus, yang keduanya diambil dari sumber yang sama yaitu dari P.T Kadi, di Karawang Timur. Hasil pengujian sifat sifat teknis agregat, memenuhi persyaratan agregat untuk campuran beraspal panas dari Spesifikasi Umum revisi 2 (Indonesia 2010). Gradasi gabungan agregat untuk campuran beraspal Gradasi agregat untuk campuran beraspal, didasarkan pada spesifikasi lapisan
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 112 – 126
aus (wearing course), Spesifikasi Umum revisi 2 (Indonesia 2010). Adapun gradasi agregat campuran tersebut, dapat dilihat pada Gambar 2.
Campuran beraspal Sifat campuran beraspal mengacu pada Spesifikasi Umum revisi 2 (Indonesia 2010), untuk lapisan aus (wearing course) seperti disajikan pada Tabel 5.
Gambar 2. Gradasi agregat gabungan untuk lapisan aus (wearing course) dan batasannya Tabel 3. Hasil pengujian aspal konvensional pen 60/70
1. Penetrasi pada 25 C, 100 g, 5 detik
Metode Pengujian SNI 06-2456-1991
2. Titik lembek
SNI 06-2434-1991
50.9
3. Daktilitas pada 25 C, 5 cm / menit
SNI 06-2432-1991
>140
≥ 100
cm
4. Titik nyala (COC)
SNI 06-2433-1991
-
≥ 232
o
No.
Jenis Pengujian o
o
Hasil Spesifikasi*) Pengujian 65.3 60 - 70 ≥ 48
Satuan dmm o
C C
5. Kelarutan dalam C2HCL3
SNI 06-2438-1991
99.63
≥ 99
%
6. Berat jenis
SNI 06-2441-1991
1.0359
≥ 1,0
-
7. Kehilangan berat (TFOT)
SNI 06-2440-1991
0.0174
≤ 0,8
%
8. Penetrasi setelah TFOT
SNI 06-2456-1991
83.9
≥ 54
9. Titik lembek setelah TFOT
SNI 06-2434-1991
53.4
-
10. Daktilitas setelah TFOT
SNI 06-2432-1991
>140
≥ 100
11. Kadar parafin
SNI 03-3639-1994
-
≤2
% o
C
cm %
12. Perkiraan suhu pencampuran
ASSHTO-27-1990
154-160
-
o
13. Perkiraan suhu pemadatan
ASSHTO-27-1990
143-147
-
o
ASSHTO T-201-03
420
≥ 300
Cst
-0.331
≥ -1
-
o
14. Viskositas 135 C
15. Indeks Penetrasi *) Spesifikasi Umum revisi 2 (Indonesia 2010)
-
Pengaruh Bahan Tambah Berbahan Dasar Parafin Terhadap Campuran Beraspal Hangat, (Hendri Hadisi, Furqon Affandi)
C C
118
Tabel 4. Pengujian sifat aspal untuk campuran hangat dengan bahan tambah berbahan dasar parafin (0,75 %; 1,0% dan 1,25 % ) Metoda Pengujian No Pengujian 1. Penetrasi pada 25 oC, 100 g, 5 detik SNI 06-2456-1991 2. Titik lembek SNI 06-2434-1991 SNI 06-2432-1991 3. Daktilitas (25 oC, 5 cm/menit) 4. Titik nyala ( COC ) SNI 06-2433-1991 SNI 06-2438-1991 5. Kelarutan dalam C2HCL3 6. Berat jenis SNI 06-2441-1991 7. Kehilangan berat ( TFOT ) SNI 06-2440-1991 8. Penetrasi setelah TFOT SNI 06-2456-1991 9. Titik lembek setelah TFOT SNI 06-2434-1991 SNI 06-2432-1991 10. Daktilitas setelah TFOT SNI 03-3639-1994 11. Kadar paraffin 12 Uji kelekatan SNI 03-2439-1991 ASSHTO-27-1990 13. Perkiraan suhu pencampuran ASSHTO-27-1990 14. Perkiraan suhu pemadatan 15 Indeks Penetrasi *) Spesifikasi Umum revisi 2 (Indonesia 2010)
0.75% 76 46.2 >140 315 99. 92 1.0362 0.0160 76 49 >140 0.2482 99 152-159 138 -144 -1.213
Hasil Pengujian 1,0% 1,25% 75 72,6 47,95 48,05 > 140 >140 315 315 99,86 99,89 1,0361 1,0317 0,0241 0,0165 78 83 49,2 49 >140 >140 0,25 0,25 99 99 152 - 159 150 - 155 139 - 144 139-144 -0.747 -0.807
Satuan dmm o C cm o C % % % o C cm % o
C C -
o
Tabel 5. Persyaratan campuran beraspal untuk lapisan aus (wearing course) Laston Sifat-sifat Campuran Penyerapan aspal (%) Jumlah tumbukan per bidang Rongga dalam campuran (VIM) (%) Rongga dalam Agregat (VMA) (%) Rongga terisi aspal (%) Stabilitas Marshall (kg) Pelelehan Minimum (mm) Marshall Quotient (kg/mm) Stabilitas Marshall Sisa (%) Rongga dalam campuran (%) pada Kepadatan membal (refusal) *) Spesifikasi Umum revisi 2 (Indonesia 2010)
119
WC Maks Min. Maks Min. Min. Min. Min. Min. Min. Min.
BC 75
15 65
800 3 250
1,2 3 5 14 63
90 2
Base 112 13 60 1500 4,5 300
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 112 – 126
Campuran beraspal dengan aspal konvensional Pen 60 Untuk mendapatkan pembanding dari campuran beraspal dengan bahan tambah yang akan dicoba, terlebih dahulu dibuat campuran beraspal sesuai spesifikasi yang diacu, dengan menggunakan jenis aspal keras pen 60, dengan menggunakan metode Marshall AASHTO T245 (AASHTO 2012). Percobaan Marshall dilakukan pada kadar aspal antara 5% sampai 7% dengan kenaikan setiap 0,5%, yang dilakukan pada temperatur pencampuran dan temperatur pemadatan sesuai dengan hasil pengujian aspal konvensional pen 60 yang akan dipergunakan, yaitu antara 154°C–160°C, sedangkan temperatur pemadatan antara 143°C–147°C. Pada percobaan ini ditetapkan untuk temperatur pencampuran 157°C dan temperatur pemadatan 145°C. Berdasarkan hasil percobaan Marshall tersebut diperoleh kadar aspal optimum 5,9%, dengan sifat campuran seperti ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Sifat campuran beraspal dengan aspal konvensional Pen 60 Marshall Suhu Normal Pengujian pada Kadar Aspal Optimum
Temp. Pencampuran/ Pemadatan 157°C / 145°C
*)Persyaratan
Kadar Aspal (%) 5.9 Kepadatan (t/m³) 2.357 VMA (%) 16.31 min 15 3.0 - 5.0 VIM (%) 4.04 VFB (%) 75.35 min 65 Stabilitas (kg) 1245.1 min 800 Indirect Tensile Stregth Retain (%) 82 min 80 Persen Stabilitas Sisa (%) 88.7 min 90 Kelelehan (mm) 3.84 min 3 Marshall Quotien (MQ) (kg/mm) 310.8 min 250 *) Spesifikasi Umum revisi 2 (Indonesia 2010)
Percobaan campuran beraspal dengan bahan tambah berbahan dasar parafin Bahan berbahan dasar parafin yang dipergunakan pada percobaan ini, ialah
berbahan dasar parafin. Percobaan Marshall untuk campuran beraspal dengan bahan tambah berbahan dasar parafin ini, pertama tama dilakukan berdasarkan temperatur pencampuran dan pemadatan yang didapat dari hasil pengujian viskositas aspal di laboratorium, dimana temperatur pencampuran dan pemadatan untuk kadar berbahan dasar parafin 0,75% dan 1,0% adalah 156ºC dan 142ºC, sedangkan untuk kadar berbahan dasar parafin 1,25% temperatur pencampurannya ialah 153ºC dan temperatur pemadatannya 142ºC. Berdasarkan literatur bahwa penambahan bahan tambah untuk campuran hangat umumnya bisa menurunkan temperatur pencampuran sebesar 30°C, maka pada percobaan ini dilakukan pemadatan sampai 40°C dibawah temperatur pencampuran dan pemadatan berdasarkan viskositas sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1. Sesuai dengan petunjuk dari produsen berbahan dasar parafin bahwa penambahan berbahan dasar parafin yang disarankan antara 1% sampai 1,5% terhadap berat aspal (Korea Institute of Construction Technology 2011), maka percobaan dilakukan dengan variasi kadar berbahan dasar parafin mulai dari 0,75% sampai 1,25% dengan interval 0,25%. Ringkasan hasil pengujian tersebut diperlihatkan pada Gambar 3. Prinsip kerja berbahan dasar parafin dalam campuran beraspal panas Pemanasan aspal pada campuran beraspal panas, merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dari campuran beraspal itu sendiri. Temperatur yang diperlukan untuk memanaskan aspal, tergantung pada tingkat penetrasi aspal tersebut yang harus mencapai tingkat keenceran yang diinginkan (viskositas tertentu). Bahan berbahan dasar parafin bisa merupakan pelumas tambahan pada aspal yang dipanaskan, sehingga akan memberikan pengaruh kemudahan pada saat pencampuran dan pemadatan. Kemudahan pencampuran dan pemadatan ini karena tegangan permukaan aspal dengan bahan tambah berbahan dasar parafin menjadi lebih kecil dari aspal penetrasi 60 tanpa bahan
Pengaruh Bahan Tambah Berbahan Dasar Parafin Terhadap Campuran Beraspal Hangat, (Hendri Hadisi, Furqon Affandi)
120
tambah. Semakin besar prosentase bahan tambah berbahan dasar parafin yang dicampurkan terhadap aspal, semakin kecil tegangan permukaan yang terjadi. Tegangan permukaan dari aspal pen 60 pada temperatur 160°C ialah sebesar 1,1 kg/ dt2 , akan menurun menjadi sebesar 0,60; 0,47; 0,40; 0,20 dan 0,17 kg/dt2 untuk masing masing penambahan berbahan dasar parafin sebesar 0,75%; 1,0%; 1,25%; 3,25% dan 3,50%. (Hadisi dan Affandi 2013). Sifat campuran beraspal dengan bahan tambah Berbahan dasar parafin Campuran beraspal, mengacu kepada Spesifikasi Umum revisi 2 (Indonesia 2010), untuk lapisan aus, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 5 sebelumnya. Percobaan dilakukan menggunakan kadar aspal yang bervariasi dari 5% sampai 7%, dengan tingkat kenaikan kadar aspal setiap 0,5%, baik. Kadar berbahan dasar parafin yang digunakan ialah sebanyak 0,75%; 1% dan 1,25% terhadap berat aspal. Untuk mengetahui kemampuan campuran yang menggunakan bahan tambah berbahan dasar parafin, dilakukan pengujian campuran pada temperatur pencampuran dan pemadatan yang lebih rendah dari temperatur yang normal, pada kadar aspal optimum sesuai hasil yang didapat sebelumnya. Temperatur pencampuran atau pemadatan yang digunakan ialah 156°C/142°C; 146°C/132°C; 136°C/122°C; 126°C/112°C dan 116°C/102°C, untuk campuran beraspal dengan kadar berbahan dasar parafin 0,75% dan 1,0%, sedangkan untuk campuran dengan kadar berbahan dasar parafin 1,25% dilakukan pencampuran dan pemadatan pada temperatur 153°C/142°C; 143°C/132°C; 133°C/122°C; 123°C/112°C dan 113°C/102°C. Untuk memudahkan penyajian, yang dimasukkan pada sumbu horizontal pada gambar hanya temperatur pencampurannya saja, tetapi artinya ada temperatur pemadatan yang mengikutinya, misalnya tertulis dalam grafik 156°C artinya pencampuran 156°C dan
pemadatannya 142°C, begitu seterusnya sesuai dengan kadar berbahan dasar parafin yang dipergunakan. Pengaruh penurunan temperatur campuran/pemadatan terhadap karakteristik campuran yang diperiksa berdasarkan pengujian Marshall diperlihatkan pada Gambar 3. Pada campuran beraspal hangat dengan kadar berbahan dasar parafin 0,75% dimana temperatur pencampuran/pemadatan sebesar 126°C/112°C, dan 116°C/102ºC, nilai besaran VIM sudah keluar dari batas yang ditentukan, walaupun pada temperatur 126°C/112ºC nilai VIM yang diluar batas sangat kecil sekali (0,1%) sedangkan sifat campuran lainnya seperti stabilitas, VFB, kelelehan (flow), Marshall Quotient (MQ) dan prosen stabilitas rendaman masih memenuhi persyaratan yang ditentukan, tetapi pada temperatur pencampuran/pemadatan 116°C/102 °C besaran besaran VIM dan prosen stabilitas rendaman sudah keluar dari batas – batas yang ditentukan. Pada campuran beraspal dengan kadar berbahan dasar parafin 1%, hampir semua parameter campuran dipenuhi pada berbagai temperatur pencampuran dan pemadatan, kecuali satu parameter yaitu prosen stabilitas sisa pada pencampuran dan pemadatan 116°C/102ºC berada dibawah persyaratan, yaitu hanya 87,6%. Sedangkan pada campuran beraspal dengan kadar berbahan dasar parafin 1,25%, dengan temperatur pencampuran dan pemadatan sebesar 113°C/102ºC, parameter VIM, MQ dan prosen stabilitas rendaman berada diluar batas spesifikasi, sedangkan semua besaran parameter pada berbagai temperatur pencampuran/pemadatan diatasnya berada dalam batasan spesifikasi yang ditentukan. Berdasarkan hasil pengujian tersebut, terlihat bahwa kadar berbahan dasar parafin yang paling baik untuk campuran beraspal hangat tersebut, ialah sebesar 1%, dengan temperatur pencampuran dan pemadatan paling rendah sebesar 126°C/112ºC.
121
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 112 – 126
Gambar 3. Pengaruh kadar berbahan dasar parafin terhadap karakteristik campuran beraspal pada berbagai temperatur pencampuran/pemadatan
Pengaruh Bahan Tambah Berbahan Dasar Parafin Terhadap Campuran Beraspal Hangat, (Hendri Hadisi, Furqon Affandi)
122
Pengaruh bahan tambah berbahan dasar parafin terhadap modulus campuran. Pengujian resilient modulus, dilakukan pada contoh yang menggunakan aspal konvensional pen 60 maupun aspal dengan bahan tambah berbahan dasar parafin 0.75% sampai dengan 1,25% (campuran hangat), dengan menggunakan alat UMMATA. Pengujian dilakukan pada temperatur 25ºC, 35ºC; dan hasilnya dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5. Campuran dengan bahan tambah berbahan dasar parafin dicampur dan dipadatkan pada temperatur 126°C/112°C untuk kadar berbahan dasar parafin 0,75% dan 1%, dan campuran dengan berbahan dasar parafin 1,25% dicampur dan dipadatkan pada 123°C/112°C sedangkan campuran dengan aspal pen 60 tanpa berbahan dasar parafin (sebagai kontrol) dicampur dan dipadatkan pada temperatur 157°C/143°C, sesuai hasil pengukuran viskositas.
Gambar 4. Hasil pengujian resilient modulus pada temperatur 35ºC dan 25ºC
Gambar 5. Pengaruh kadar berbahan dasar parafin terhadap modulus
123
Pada Gambar 4, terlihat modulus campuran beraspal dengan aspal pen 60, lebih tinggi dari campuran yang menggunakan bahan tambah berbahan dasar parafin untuk setiap temperatur pengujian. Besar modulus pada temperatur pengujian 25°C dari campuran beraspal dengan Pen 60 saja sebesar 3425 MPa sedangkan pada temperatur 35°C sebesar 945 MPa, dan pada campuran hangat dengan berbahan dasar parafin 0,75%; 1% dan 1,25% masing masing sebesar 3097 MPa dan 3043 MPa dan 3153 MPa pada temperatur pengujian 25°C dan menurun menjadi masing – masing sebesar 783 MPa; 796 MPa; serta 922 MPa pada temperatur pengujian 35ºC. Secara umum pengujian yang dilakukan pada 35°C akan menurunkan nilai Stifness Modulus campuran beraspal tanpa bahan tambah sekitar 73%, sedang yang menggunakan bahan tambah antara 71% sampai 75%. Kecepatan penurunan modulus akibat peningkatan temperatur pengujian, antara campuran dengan aspal pen 60 dan dengan yang ditambah bahan tambah berbahan dasar parafin, hampir dapat dikatakan sama terlihat dari kemiringan garisnya yang hampir sejajar, walaupun kecepatan penurunan modulus pada campuran dengan aspal Pen 60 saja, sedikit lebih besar yang ditandai dengan kemiringan garisnya yang sedikit lebih curam, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 5. Pengaruh temperatur pencampuran terhadap emisi buang Dari hasil percobaan di atas, campuran beraspal dengan bahan tambah berbahan dasar parafin dapat dicampur pada temperatur yang lebih rendah yaitu minimal sebesar 126°C dan pemadatannya lebih rendah lagi, yaitu sebesar 112°C, untuk campuran dengan kadar berbahan dasar parafin 1% . Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mallick dan Bergendahi (2009), tentang pengaruh penurunan temperatur campuran beraspal terhadap emisi buang, seperti yang ditujukan pada Tabel 1 dapat digunakan untuk memperkirakan pengurangan emisi dari campuran beraspal hangat.
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 112 – 126
Dengan menggunakan Tabel 1 dan temperatur campuran dengan aspal Pen 60 saja (hot mix), sebesar 157°C (sekitar 150°C) dan campuran dengan berbahan dasar parafin 126°C (sekitar 120°C) didapat pengurangan emisi buang yang dihasilkan sekitar sebesar 54 %. PEMBAHASAN Sifat berbahan dasar parafin sebagai pelumas, memudahkan pencampuran dan pemadatan campuran beraspal pada temperatur yang lebih rendah. Hal ini terlihat dari sifat kepadatan campuran dengan bahan tambah berbahan dasar parafin yang hampir sama dengan kepadatan dengan campuran tanpa berbahan dasar parafin. Kemudahan pencampuran dan pemadatan dari campuran dengan bahan tambah berbahan dasar parafin ini, didukung oleh tegangan permukaan aspal yang ditambah berbahan dasar parafin lebih rendah dari tegangan permukaan aspal tanpa berbahan dasar parafin, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya. Tegangan permukaan dari aspal dengan penambahan bahan tambah berbahan dasar parafin 1% terhadap berat aspal bisa menurunkan tegangan permukaan sebesar 57% sampai 43% pada temperatur pencampuran masing-masing sebesar 160°C dan 140°C. Sifat ini memudahkan pencampuran dengan agregat secara merata dan sekaligus memudahkan pemadatannya. Pembuatan campuran beraspal hangat dengan berbahan dasar parafin ini, bisa menurunkan temperatur pencampuran dan pemadatan sampai 31°C, yaitu dari temperatur pencampuran dan pemadatan tanpa berbahan dasar parafin sebesar 157°C/145°C menjadi 126°C/112°C dengan kadar bahan berbahan dasar parafin 1%, dimana semua persyaratan campuran beraspal masih bisa dipenuhi seperti stabilitas, rongga dalam campuran (VIM), rongga dalam agregat (VMA), flow (kelelehan), Marshall Quotient sesuai Spesifikasi Umum revisi 2 (Indonesia 2010). Parameter campuran beraspal dari campuran dengan bahan tambah berbahan dasar parafin, akibat penurunan temperatur campuran dan pemadatan yang paling cepat
mengalami perubahannya dibandingkan dengan besaran pada campuran beraspal panas ialah rongga dalam campuran (VMA), Marshall Quotient serta stabilitas rendaman, sebagaimana ditunjukkan oleh perbedaan besaran pada grafik yang cukup besar antara campuran dengan berbahan dasar parafin dan campuran beraspal panas atau batasan spesifikasi yang dipergunakan, sebagaimana terlihat pada Gambar 3. Parameter campuran yang sedikit mengalami perubahan akibat penurunan temperatur pencampuran dan pemadatan serta masih bisa memenuhi batas spesifikasi yang dipergunakan, ialah kepadatan, rongga dalam agregat (VMA), stabilitas, rongga terisi aspal (VFB) yang ditunjukkan oleh masing-masing grafik yang nilainya cukup berdekatan dengan nilai dari campuran beraspal tanpa berbahan dasar parafin sebagaimana terlihat pada Gambar 3. Campuran beraspal dengan bahan tambah berbahan dasar parafin ini, mempunyai batasan temperatur terendah yang dapat dilakukan sangat dipengaruhi oleh sifat stabilitas dan Marshall Quotient-nya, dimana kedua parameter ini membatasi temperatur pencampuran dan pemadatan minimum yang masih memenuhi spesifikasi pada temperatur 126°C seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Penggunaan bahan tambah berbahan dasar parafin pada campuran beraspal ini ditinjau dari penurunan temperatur yang dapat dilakukan, menurunkan temperatur pencampuran sebesar 30°C, setara dengan bahan tambah lain untuk campuran hangat seperti sasobit, evoterm, advera yang bisa menurunkan temperatur pencampuran sekitar 30°C. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari percobaan ini, ialah: 1. Bahan tambah berbahan dasar parafin dapat digunakan untuk menurunkan temperatur pencampuran/pemadatan sebesar 31°C lebih rendah dari campuran beraspal panas (hot mix), yaitu dari 157°C menjadi 126°C.
Pengaruh Bahan Tambah Berbahan Dasar Parafin Terhadap Campuran Beraspal Hangat, (Hendri Hadisi, Furqon Affandi)
124
2. Kadar bahan tambah berbahan dasar parafin yang sesuai untuk campuran beraspal serta menghasilkan campuran beraspal yang setara dengan hot mix asphalt, ialah 1% terhadap berat aspal. 3. Mutu campuran beraspal hangat dengan bahan tambah berbahan dasar parafin 1% yang dicampur dan dipadatkan pada temperatur 31°C lebih rendah dari campuran beraspal panas mempunyai kualitas setara dengan campuran beraspal panas. 4. Pengaruh kenaikan temperatur pengujian dari 25°C ke 35°C terhadap tingkat penurunan modulus campuran beraspal yang mengandung berbahan dasar parafin, adalah relatif sama dengan penurunana dari campuran beraspal panas, yang ditunjukkan dengan garis penurunan kemiringan yang hampir sama. 5. Penurunan temperatur pencampuran dan pemadatan dari campuran dengan berbahan dasar parafin bisa mengurangi emisi buang sebesar 54% dan sekaligus menunjang pembangunan jalan ramah lingkungan . 6. Parameter rongga dalam campuran (VIM), Marshall Quotient dan stabilitas rendaman, merupakan parameter yang lebih mudah mengalami perubahan akibat penurunan temperatur dibanding parameter stabilitas langsung, kepadatan, rongga antar agregat (VMA), rongga terisi aspal (VFB) akibat penurunan temperatur pencampuran dan pemadatan. 7. Penentuan temperatur campuran beraspal dengan bahan tambah berbahan dasar parafin, tidak bisa didasarkan atas pengujian viskositas aspalnya, sebagaimana yang biasa digunakan untuk campuran beraspal panas dengan aspal keras. Saran
Perlu dilakukan pengamatan uji coba lapangan dari campuran beraspal dengan bahan tambah berbahan dasar parafin di Indonesia, untuk mendapatkan gambaran lengkap dari sifat campuran beraspal tersebut.
125
DAFTAR PUSTAKA American Association of State Highway and Transportation Officials. 2012. Resistance to plastic flow of Bituminous Mixtures Using Marshall Apparatus. AASHTO T 24597(2008). Standard Specifications for Transportation Materials and Methods of Sampling And Testing, Washington, DC.: AASHTO. Asphalt Institute. 1993. Mix Design Methods for Asphalt Concrete and Other Hot Mix Types. MS -2 Sixth Edition. Lexington: Asphalt Institute. Cabrera, J.G and Dixon, J.R. 1994. “Performance and durability of bituminous material”. In Proceeding of symposium . Leed: University of Leed. Cho, Doong Woo. 2012. “Development of Warm Mix Asphalt Technology”. In Joint Work shop between KICT and IRE October 29 – 30, 2012 . Bandung: IRE. _________. 2013. “Development and Aplication of High RAP Warm Mix Asphalt Technology”. In The 11th Indonesia – Korea Road Conference . Yogyakarta: IRE. Damm, K. et al. 2002. “Asphalt flow improvers as, Intelligent Fillers’ for hot asphalt – A New Chapter”. Asphalt Technology”. Journal of Applied Asphalt Binder Technology, April 2002: pp 36 – 69. Fazaeli, H,. dkk. 2012. “High and low temperaturs properties of FT-Paraffin-modified bitumen”. New York: Hindawi Publishing Corporation Advances in Materials Science and Engineering. 2012. Gierhart, D. 2009.”Warm mix asphalt – what is it and how can we benefit?”. In SE States Pavement Association Management and Design Conference Southeast Pavement Preservation Partnership Meeting. Lexington: Asphalt Institute. Hadisi dan Affandi 2013. “Pengaruh Bahan Tambah Leadcap terhadap perubahan tegangan permukaan aspal pwn 60/70. Proceeding Kolokium Jalan dan Jembatan. Bandung: Pusjatan. Hurley, Graham C. and Brian D Prowell. 2009. Evaluation of potential processes for use in warm mix asphalt, North Carolina: National Center for Asphalt Technology.
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 112 – 126
Indonesia. Kementerian Pekerjaan Umum. 2010. Spesifikasi Umum revisi 2. Jakarta: Ditjen Bina Marga. Kementerian Lingkungan Hidup. 2011. Peraturan menteri negara lingkungan hidup Republik Indonesia nomor 05 tahun 2011 tentang program penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Jakarta: KLH. Kim, Yongjoo. 2011. “Laboratory and Field Experiences of Low Energy and Low CarbonDioxide Asphalt Pavement in Korea. Geotechnical Special Publication No. 212. Reston: ASCE. Korea Institute of Construction Technology- 2011. LEADCAP Warm Mix Asphalt Pavement Guidelines . Korea: KICT. Mallick.R.B dan Bergendahi. J. 2009. “ A laboratory study on CO2 emission from asphalt binder and its reduction with the use of warm mix asphalt” International Journal of Sustainable Engineering Volume 2. December 2009: 275 – 283.
Marbun, J. 2012. “Masa Depan Dan Road Map Green Road Indonesia” . Workshop Penerapan Green Road di Indonesia. Jakarta: Pusjatan. Payne & Dolan. 2009. “Warm Mix Asphalt a Contractor’s prespective”. In AASHTO Subcommittee on Construction Annual Meeting, Washington, DC.: AASHTO. Prowell, B. D, Hurley, G. C and B. Frank. 2011. Warm-Mix Asphalt: Best Practices, National Asphalt Pavement Association, Lanham: NAPA. Read dan Whiteoak .2003. The Shell Bitumen Handbook. London: Thomas Telford. States Pavement Association Management and Design. 2009. Conference Southeast Pavement Preservation Partnership Meeting, Nashville: SEPPP. Tao, M. O’Sullivan dan Mallick R. 2009. Warm Mix Asphalt. Maine: DOT Zaumanis M. 2010. Warm mix asphalt Investigation. Master of Science. Thesis, Riga Technical University.
Pengaruh Bahan Tambah Berbahan Dasar Parafin Terhadap Campuran Beraspal Hangat, (Hendri Hadisi, Furqon Affandi)
126
ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS UNTUK PEMILIHAN ALTERNATIF PEMBIAYAAN PENANGANAN JALAN (ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) IN SELECTING ROAD MAINTANANCE FINANCE ALTERNATIVE SCHEMES) Gede Budi Suprayoga1), Agus Bari Sailendra2) 1), 2) 1), 2)
Puslitbang Jalan dan Jembatan
Jl. A.H. Nasution No. 264 Bandung, 40294 1), 2) e-mail:
[email protected];
[email protected] Diterima: 06 Mei 2013; direvisi: 02 Juli 2013; Disetujui: 01 Agustus 2013
ABSTRAK Berbagai produk regulasi dapat mendorong berkembangnya alternatif instrumen pembiayaan penanganan jalan di Indonesia. Pengkajian ini bertujuan untuk melakukan pemilihan terhadap penetapan instrumen pembiayaan untuk penanganan jalan di Indonesia melalui teknik evaluasi kebijakan. Kajian dilakukan dengan menstrukturkan tujuan pembiayaan jalan ke dalam kriteria dan sub kriteria yang mencerminkan pilihan kebijakan yang dianggap ideal dalam kerangka permasalahan dan kesesuaian pilihan instrumen berdasarkan regulasi. Dengan menggunakan teknik Analytical Hierarchy Process (AHP), diperoleh hasil bahwa aspek yang perlu diperhatikan dalam pembiayaan penanganan jalan di Indonesia meliputi finansial dengan bobot 48,3%, teknis dengan bobot 28,5%, dan sosial politik dengan bobot 23,2%. Kriteria tersebut dapat dikembangkan lebih lanjut ke dalam sub kriteria yang lebih rinci untuk dipertimbangkan dalam penetapan alternatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa dana preservasi jalan dapat diterapkan sebagai alternatif pembiayaan jalan di Indonesia didasarkan atas urutan prioritas dalam analisis, yaitu sebesar 55,9%, diikuti oleh earmarking dan status quo 31,3% dan 12,8% secara berturut-turut. Hasil kajian ini dapat menjadi rekomendasi bagi penetapan alternatif pembiayaan jalan di Indonesia yang berkelanjutan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Kata kunci: Analytical Hierarchy Process, alternatif, dana preservasi jalan, pembiayaan jalan, kriteria. ABSTRACT Various legislation products affected development in financing alternatives for road maintenance and rehabilitation in Indonesia. The aim of the study is to rationalize the establishment of the financing instruments through policy evaluation techniques by structuring financing issues into criteria and sub-criteria that reflect the policy options that should be considered. Therefore, the study used Analytical Hierarchy Process (AHP) technique obtaining aspects needed to be considered in selecting a financing alternative for road maintenance and rehabilitation as well as the prioritized scheme chosen. The study used purposive sampling involving selected experts in the field of road development. Based on the analysis, the weight for financial criteria 48.3%, technical 28.5%, and social and political 23.2%. Criteria can be further developed into more detailed subcriteria to determine a chosen alternative. This study showed that road preservation fund can be proposed as an alternative to finance road maintance and rehabilitation based on the order of priorities in the AHP amounted to 55.9%, followed by earmarking and status quo at 31.3%, and 12.8% respectively. The result of the study can be used as an input to the selection for alternative road finance scheme Indonesia. Keywords: Analytic Hierarchy Process, alternatives, road preservation fund, road finance, criteria
127
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 127 – 141
PENDAHULUAN Beban kebutuhan pembiayaan penanganan jalan ke depan cenderung terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan panjang jalan, peningkatan beban dan volume lalu lintas serta akibat perubahan (dampak) lingkungan (banjir, longsor, dan sebagainya). Bagi negara-negara sedang berkembang pada umumnya ketersediaan anggaran penanganan tidak meningkat secara signifikan bahkan jauh dari kebutuhan yang seharusnya dialokasikan. Dengan membiarkan jalan tidak tertangani sesuai kebutuhan dan standar yang ditetapkan dapat menyebabkan kerugian yang besar secara ekonomi. Heggie dan Vicker (1999) menunjukkan apabila jalan dibiarkan dalam kondisi rusak, dan tiap anggaran bagi penanganan/pemeliharaan jalan yang seharusnya dilakukan sebesar 1 dolar Amerika Serikat, akan meningkatkan Biaya Operasional Kendaraan (BOK) antara 2–3 dolar Amerika Serikat. Pembiayaan sektor jalan memerlukan kebijakan alokasi yang dapat memastikan pemenuhan atas kebutuhan pananganannya. Umumnya, tidak memungkinkan bisa menyediakan seluruh dana sesuai yang dibutuhkan. Heggie and Vicker (1999) memperlihatkan bahwa pembiayaan jalan menyerap pengeluaran pemerintah sebesar 510% dan pada kondisi perlakuan di Indonesia yang berlaku kurang lebih sama. Menurut, Suprayoga (2011a) alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) secara umum dianggap belum memadai dalam memenuhi seluruh kebutuhan pembiayaan penanganan jalan. Sebagai ilustrasi di Jawa Barat, kebutuhan anggaran pengelolaan jalan membutuhkan sampai dengan 60% dari anggaran yang dapat disediakan, namun dialokasikan hanya 5%. Dengan tidak berimbangnya kondisi tersebut, maka penanganan jalan belum memadai. Persoalan ini menyebabkan backlog dan dapat menjadi isu terhadap beban biaya yang secara kumulatif makin tinggi pada masa mendatang (Suprayoga 2011b).
Dengan situasi dan kondisi tersebut, dibutuhkan alternatif pembiayaan penanganan jalan yang dapat disandingkan dengan instrumen yang ada. Lingkup penanganan jalan didasarkan atas pengertian dalam Pasal 84 Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2006 tentang Jalan, yang meliputi pemeliharaan dan peningkatan jalan. Pembangunan jalan baru tidak dimasukkan ke dalam lingkup penanganan jalan di dalam penelitian ini. Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, terdapat peluang untuk melakukan alokasi dengan besaran tertentu atau earmarking dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) maksimal sebesar 10% bagi pembangunan dan pemeliharaan jalan. Demikian juga, dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan, pasal 29 s.d 32 berpeluang diterapkannya instrumen Road Fund (melalui dana preservasi jalan). Berdasarkan uraian di atas, maka ada tiga pendekatan dalam instrumen pembiayaan jalan yang dapat direkomendasikan (tersedia), dengan asumsi dua diantaranya merupakan skema alternatif. Ketiga instrumen tersebut, yaitu: pembiayaan secara “status quo” (tetap menggunakan skema yang ada saat ini), alokasi tetap melalui earmarking, dan dana preservasi jalan. Kajian ini ditujukan untuk memberikan rekomendasi atas penetapan alternatif pembiayaan penanganan jalan di Indonesia melalui teknik evaluasi kebijakan. Dengan demikian, dapat mewujudkan penanganan jalan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Teknik analisis menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) melalui penyusunan struktur masalah pembiayaan yang mencerminkan pilihan alternatif yang dianggap prioritas. KAJIAN PUSTAKA Pengambilan keputusan publik merupakan complex decision problem dengan berbagai aspek yang berbeda yang membutuhkan pertimbangan secara simultan. Abastante (2012) menyatakan dibutuhkannya pertimbangan komponen teknis yang
Analytical Hierarchy Process untuk Pemilihan Alternatif Pembiayaan Penanganan Jalan, (Gede Budi Suprayoga, Agus Bari Sailendra)
128
didasarkan atas observasi empiris maupun komponen non teknis yang didasarkan atas visi sosial, preferensi, dan perasaan. Berritella (2013) mengevaluasi efektivitas kebijakan transportasi guna menghasilkan pilihan rasional atas berbagai alternatif tindakan untuk mengurangi dampak perubahan iklim akibat transportasi. Dalam berbagai penelitian maupun analisis kebijakan publik, usaha untuk menetapkan kebijakan yang optimal didasarkan atas proses menyusun struktur permasalahan (Dunn 2011). Berbagai perangkat untuk membantu analisis pun dikembangkan. Dalam kaitannya dengan pemecahan persoalan kompleks, dimungkinkan menganalisis secara simultan berbagai aspek kajian dan telah menunjukkan bukti efektivitasnya (Abastante, Bottero, Lami 2012). Pembiayaan penanganan jalan merupakan proses pengambilan kebijakan publik dengan berbagai alternatif yang tersedia, sehingga dapat menerapkan proses yang sama. Saat ini, instrumen pembiayaan jalan berkembang melalui berbagai regulasi yang diterbitkan. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah menetapkan hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) paling sedikit 10%, termasuk yang dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota yang
dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan. Instrumen lainnya adalah dana yang khusus digunakan untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi jalan secara berkelanjutan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Hal tersebut dikenal dengan Dana Preservasi Jalan dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan. Implementasi atas Dana Preservasi Jalan memiliki konsekuensi pembentukan unit pengelola yang berada di luar pihak penyelenggara jalan untuk menjamin adanya akuntabilitas dan transparansi dalam alokasi. Instrumen ini memberikan peluang sumber daya pendanaan baru yang potensial untuk diterapkan. Dalam pemilihan alternatif kebijakan terdapat beberapa kriteria dan subkriteria untuk dipertimbangkan. Pricewaterhouse Coopers (2007) mengembangkan 3 (tiga) parameter dan 10 (sepuluh) prinsip pembiayaan sektor jalan yang selanjutnya dikembangkan ke dalam kriteria dan subkriteria. Uraian dan penjelasan atas kriteria dan subkriteria tersebut disampaikan dalam Tabel 2. Kriteria dan subkriteria dalam Tabel 2 digunakan dalam melakukan strukturisasi persoalan pemilihan alternatif pembiayaan jalan.
Tabel 1. Alternatif pembiayaan penanganan jalan No.
Alternatif
Penjelasan
1.
Status quo
Sumber dana yang disediakan secara konvensional, dimana sumber dana berasal dari anggaran publik melalui APBN dan APBD yang diambil dari berbagai sumber penerimaan negara dan daerah yang resmi yang sudah ditetapkan berdasarkan ketentuan yang ada. Dengan demikian, tidak ada alternatif kebijakan baru dalam penentuan pola sumber pembiayaan dari yang sudah dilaksanakan selama ini.
2.
Alokasi secara earmarking
Dana spesifik atau yang dikenal dengan istilah earmarking merunut pada UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi memungkinkan dilakukannya alokasi tetap dalam alokasi sumber anggaran pemerintah. Hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) paling sedikit 10%, termasuk yang dibagihasilkan kepada kabupaten/ kota, dialokasikan untuk pembangunan dan/ atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
3.
Dana Preservasi Jalan
Suatu konsep komersialisasi jalan dengan menggunakan metoda biaya pelayanan (fee for service basis). Instrumen ini diperkenalkan dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang khusus digunakan untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi jalan. Dana Preservasi Jalan dapat bersumber dari Pengguna Jalan dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
129
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 127 – 141
Tabel 2. Kriteria dan sub kriteria pemilihan alternatif No. 1.
2.
Kriteria Finansial (terkait dengan dukungan atas keberlanjutan alokasi dana)
Teknis (terkait dengan pengambilan keputusan atas alokasi yang dapat dipertanggung jawabkan)
3.
Sosial dan Politik (dukungan sosial politik dan pencapaian tujuan pembangunan oleh pemerintah)
Sub Kriteria
Penjelasan Atas Sub Kriteria
A. Kemampuan untuk mendorong sumber daya finansial tambahan
Kemampuan alternatif pendanaan untuk mendorong adanya dana tambahan bagi pengeluaran sektor jalan
B. Kemampuan untuk meningkatkan sumber daya finansial yang memadai
Kemampuan alternatif pendanaan untuk menyakinkan bahwa pembiayaan jalan guna memperoleh sumber dana yang stabil dan mencukupi
C. Adanya sumber daya finansial yang senantiasa siap sedia
Kemampuan alternatif pendanaan untuk menyakinkan adanya sumber dana yang didedikasikan secara khusus dan terpisah dari anggaran yang telah ada
D. Akuntabilitas dan tata kelola yang baik
Kemampuan alternatif pendanaan untuk menyakinkan adanya akuntabilitas dan tata kelola yang mampu mendorong perbaikan pelayanan jalan
E. Transparansi dalam alokasi sumber daya finansial
Kemampuan sumber pendanaan untuk menyakinkan adanya otonomi yang cukup yang diberikan kepada pelaksana dan dapat diketahui oleh seluruh stakeholder
F. Fleksibilitas dalam alokasi finansial
Kemampuan sumber pendanaan untuk menyakinkan alternatif pendanaan terpisah dari sumber pendanaan sektor lainnya yang memungkinkan adanya keleluasaan alokasi atas sektor jalan
G. Mengakomodasi kepentingan seluruh stakeholder
Kemampuan sumber pendanaan untuk menjangkau kepentingan seluruh stakeholder dan kemanfaatan terhadap stakeholder dapat ditingkatkan
H. Representasi atas seluruh stakeholder secara optimal
Kemampuan sumber pendanaan untuk memberikan peluang bagi keterwakilan atas stakeholder yang berbeda
I. Mendapatkan dukungan politis yang relatif besar
Kemampuan alternatif pendanaan untuk dukungan atas efisiensi dan ketepatan waktu implementasi oleh unsur penyelenggara jalan
J. Mengakomodasi tujuan pembangunan oleh pemerintah secara cepat
Kemampuan alternatif pendanaan untuk mengakomodasi sejumlah tujuan sosial pemerintah dan akan lebih lanjut meningkatkan dukungan masyarakat terhadap pemerintah dan pelayanan oleh pemerintah
Sumber: Pricewaterhouse Coopers (2007) dengan modifikasi
HIPOTESIS Hipotesis adalah penetapan alternatif pembiayaan penanganan jalan dapat diwujudkan dengan menggunakan teknik AHP melalui penyusunan struktur masalah dalam rangka menjamin kepastian dan keberlanjutan pembiayaan jalan. METODOLOGI Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan teknik untuk mengukur, memformulasikan, dan menganalisis keputusan.
Metode ini dikembangkan oleh Saaty (1980) yang ditujukan sebagai perangkat pengambilan keputusan untuk memecahkan persoalan kompleks. Metode ini turut membantu pengambil keputusan melalui kaitan antara pengalaman, pengetahuan, dan intuisi (Boterro 2012). Penggunaan teknik AHP diawali dengan penyusunan struktur masalah, diikuti oleh secara bertutur-turut: penilaian kriteria dan subkriteria yang dibandingkan secara berpasangan, penentuan rasio konsistensi penilaian tiap kriteria dan subkriteria, penetapan alternatif, dan analisis sensitivitas. Penentuan informan dilakukan secara purposif melalui pemilihan informan yang
Analytical Hierarchy Process untuk Pemilihan Alternatif Pembiayaan Penanganan Jalan, (Gede Budi Suprayoga, Agus Bari Sailendra)
130
termasuk para peneliti, praktisi, pengambil keputusan, dan akademisi. Pemilihan sampel berdasarkan bidang keahlian dan kepakaran dalam bidang pengelolaan jalan. Dalam penelitian ini diperoleh sebanyak 7 (tujuh) informan yang diseleksi melalui teknik sampling purposif. Jumlah sampel bukan didasarkan atas representasi, melainkan untuk memperoleh respon yang tidak bias apabila hanya bersumber dari satu responden (Berritella 2007). Penentuan informal ditujukan agar penilaian tidak bias yang kemungkinan besar terjadi apabila dilakukan perorangan. Pakar tidak perlu menyetujui kriteria atau ranking tiap alternatif. Dalam pengolahan data, digunakan piranti lunak Expert Choice ™ 11.1. Dalam penyusunan struktur masalah, dekomposisi persoalan ke dalam kriteria berdasarkan karakteristik dan tingkatannya. Tingkat paling tinggi merupakan fokus persoalan yang hendak dipecahkan atau tujuan utama yang ditetapkan melalui pemilihan alternatif. Tingkat menengah merupakan kriteria atau subkriteria, sementara tingkat terendah merupakan alternatif. Tiap tingkatan bergantung pada tingkatan yang ada di atasnya, sehingga hirarki dapat dinyatakan lengkap. Dalam melakukan penilaian digunakan skala Saaty (1980) berupa perbandingan berpasangan antara kriteria maupun subkriteria.
Empat tingkatan AHP diaplikasikan dengan tingkat pertama terdiri dari tujuan (goal), yaitu “Mewujudkan pembiayaan bagi penanganan jalan yang berkelanjutan sesuai dengan standar yang ditetapkan”, dengan merujuk kepada tujuan pembiayaan jalan dalam UU No. 22 Tahun 2009. Tingkat kedua merupakan kriteria basis dari persoalan pengambilan kebijakan yang hendak dievaluasi. Tingkat ketiga menyampaikan subkriteria yang diturunkan dari kriteria di atasnya. Tingkat keempat merupakan pilihan atau alternatif yang tersedia. Para responden membandingkan secara berpasangan tingkat kepentingan atau bobot prioritas dari berbagai elemen pada tiap tingkatan dalam Skala Saaty. Tingkatan analisis dapat disimak dalam Gambar 1. Berdasarkan perbandingan berpasangan (pairwise comparison), matriks penilaian disusun. Matriks digunakan pula untuk menghitung prioritas dan indeks konsistensi. Untuk menghitung prioritas tiap elemen alternatif, matriks penilaian disusun sebagai berikut: 𝑎𝑎𝑎𝑎11 𝑎𝑎𝑎𝑎21 𝐴𝐴𝐴𝐴 = � … 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑛𝑛𝑛𝑛1
𝑎𝑎𝑎𝑎12 𝑎𝑎𝑎𝑎22 … 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑛𝑛𝑛𝑛2
… 𝑎𝑎𝑎𝑎1𝑛𝑛𝑛𝑛 … 𝑎𝑎𝑎𝑎2𝑛𝑛𝑛𝑛 … … � ….…………… (1) … 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛
Tabel 3. Skala penilaian Nilai
Skala verbal
Penjelasan
1
Memiliki tingkat kepentingan yang sama
Dua elemen berkontribusi sama
3
Memiliki tingkat kepentingan lebih moderat dibandingkan yang lain
Pengalaman dan penilaian lebih condong pada salah satu
5
Memiliki tingkat kepentingan dibandingkan yang lainnya
7
Memiliki tingkat kepentingan dibandingkan yang lainnya
9
Memiliki tingkat kepentingan yang ekstrem tinggi dibandingkan yang lainnya
Sangat dominan pada satu elemen
Nilai antara
Digunakan untuk penilaian di atas
2,4,6,8
131
yang yang
lebih
tinggi
Condong pada satu elemen
sangat
tinggi
Lebih dominan pada satu elemen
mengkompromikan
dua
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 127 – 141
Analytical Hierarchy Process untuk Pemilihan Alternatif Pembiayaan Penanganan Jalan, (Gede Budi Suprayoga, Agus Bari Sailendra)
132
Sub Kriteria 1: Kemampuan untuk mendorong sumber daya finansial tambahan
Sub Kriteria 2:
Kemampuan untuk meningkatkan sumber daya finansial yang mencukupi
Kriteria 1: Finansial
Alternatif 1: “Status Quo”
Sub Kriteria 3: Adanya sumber daya finansial yang senantiasa siap sedia Sub Kriteria 6: Fleksibilitas dalam alokasi finansial
Alternatif 2: Earmarking atas Pajak Kendaraan Bermotor
Sub Kriteria 5: Transparansi dalam alokasi sumber daya finansial
Mengakomodasi kepentingan seluruh stakeholder
Sub Kriteria 7:
Gambar 1. Tingkatan analitik pengambilan keputusan
Sub Kriteria 4: Akuntabilitas dan tata kelola yang baik
Kriteria 2: Teknis
Tujuan: Mewujudkan pembiayaan bagi penanganan jalan yang berkelanjutan sesuai dengan standar yang ditetapkan
Alternatif 3: Dana Preservasi Jalan
Sub Kriteria 8: Representasi stakeholder secara optimal
Sub Kriteria 9: Mendapatkan dukungan politis yang kuat
Sub Kriteria 10: Mengakomodasi tujuan pembangunan oleh pemerintah
Kriteria 3: Sosial dan Politik
Dimana aij mewakili perbandingan berpasangan antara elemen i dan elemen j dari sebuah tingkatan terhadap tingkatan yang lebih tinggi. Input nilai aij dipengaruhi oleh persyaratan sebagai berikut: aij > 0; aij = 1/ aij; aij = 1. Berdasarkan Saaty (1980, 2008), prioritas dari tiap elemen dapat diperoleh dengan mencari eigenvector dari matriks A, yaitu:
inkonsistensi dapat diterima. CI untuk tiap matrik dengan orde ke-n didefinisikan sebagai berikut: 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 =
Vektor W yang dinormalisasi menjadi vektor prioritas dari tiap elemen pada salah satu tingkatan terhadap tingkatan yang lebih tinggi. 𝜆𝜆𝜆𝜆𝑚𝑚𝑚𝑚𝑎𝑎𝑎𝑎𝑚𝑚𝑚𝑚 merupakan eigenvalue terbesar dari Matriks A. Dalam kasus matriks perbandingan berpasangan memenuhi transitivitas untuk seluruh perbandingan, dapat diistilahkan bahwa matriks bersifat konsisten dan mengikuti hubungan sebagai berikut: ,
………………………….…. (5)
Apabila tiap prioritas lokal dari tiap elemen dalam tingkatan yang berbeda telah tersedia, untuk memperoleh prioritas akhir dari tiap alternatif ai tiap prioritas dapat diagregasikan sebagai berikut:
𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 = 𝜆𝜆𝜆𝜆𝑚𝑚𝑚𝑚𝑎𝑎𝑎𝑎𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐴𝐴𝐴𝐴 …………………….……... (2)
𝑎𝑎𝑎𝑎𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 = 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖
𝜆𝜆𝜆𝜆 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑎𝑎𝑎𝑎𝑚𝑚𝑚𝑚 −𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑛𝑛𝑛𝑛 −1
𝑆𝑆𝑆𝑆(𝑎𝑎𝑎𝑎𝑖𝑖𝑖𝑖 ) = ∑𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑤𝑤𝑤𝑤𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑖𝑖𝑖𝑖 (𝑎𝑎𝑎𝑎𝑖𝑖𝑖𝑖 ) ………….………... (6)
Dimana wk merupakan prioritas elemen k dan 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑖𝑖𝑖𝑖 (𝑎𝑎𝑎𝑎𝑖𝑖𝑖𝑖 ) merupakan prioritas bagi alternatif ai terhadap elemen k pada tingkatan yang lebih tinggi.
HASIL DAN ANALISIS
∀𝑖𝑖𝑖𝑖, 𝑖𝑖𝑖𝑖, 𝑖𝑖𝑖𝑖 ………………..… (3)
Berdasarkan matriks perbandingan kriteria pada Tabel 5, kriteria finansial menempati prioritas untuk dipertimbangkan dalam pemilihan alternatif pembiayaan dengan bobot sebesar 48,3%. Dua kriteria lainnya, teknis dan sosial politik, memiliki bobot kepentingan sebesar 28,5% dan 23,2% secara berturut-turut. Nilai CI dari Tabel 5 adalah 0,003. Berdasarkan RI pada Matriks 3 x 3, maka nilai CR matriks adalah 0,005. Dengan demikian, urutan prioritas kriteria adalah finansial, teknis, dan sosial politik dengan rasio konsistensi yang masih dapat diterima.
Konsistensi tiap matriks penilaian ditentukan oleh ukuran yang disebut dengan rasio konsistensi (Consistency Ratio = CR): CI
𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 = RI …………………………..………. (4)
CI merupakan singkatan dari Consistency Index dan RI merupakan singkatan dari Random Index. Teknik AHP memungkinkan adanya inkonsistensi, tetapi menyediakan ukuran inkonsistensi pada tiap kelompok penilaian. Saaty (1980, 1990) menyediakan konsistensi rata-rata (nilai RI) untuk sejumlah N matriks (Tabel 4). Apabila CR ≤ 0,100 maka
Tabel 4. Skala penilaian N
1
RI 0 Sumber: Saaty (1980) Kriteria
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0
0,58
0,90
1,21
1,24
1,32
1,41
1,45
1,49
Tabel 5. Matriks perbandingan kriteria Finansial
Teknis
Sosial Politik
Vektor Prioritas
Finansial
1,000
1,794
1,974
0.483
Teknis
0,704
1,000
1,298
0.285
Sosial Politik 0.507 0,770 Sumber: hasil analisis penulis berdasarkan hasil skoring dalam Lampiran A
133
1.000 0.232 CI = 0,003; CR = 0,005
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 127 – 141
Tabel 6. Prioritas global tiap subkriteria No. 1
2
Kriteria
Sub Kriteria
Prioritas
CI
CR
A
0,165
0,003
0,005
B
0,154
0,010
0,017
Finansial
Teknis
C
0,164
0,050
0,086
D
0,128
0,020
0,018
E
0,051
0,000
0,000
F
0,046
0,040
0,036
G
0,030
0,005
0,001
H
0,030
0,040
0,000
I
0,137
0,002
0,000
J 0,081 Sumber: Hasil analisis penulis berdasarkan hasil skoring Lampiran B
0,000
0,000
3
Sosial Politik
Subkriteria pada kriteria finansial memiliki bobot prioritas lokal yang lebih tinggi dibandingkan dengan subkriteria – subkriteria pada dua kriteria lainnya. Tabel 6 menunjukkan pemilihan alternatif memprioritaskan pada aspek finansial melalui penyediaan dana yang berkelanjutan (subkriteria A) dan kemampuan pemeroleh sumber pendanaan tambahan (subkriteria B) dengan representasi bobot prioritas untuk dua subkriteria tersebut adalah sebesar 16,5% dan 15,4% secara berturut-turut. Akuntabilitas dan tata kelola yang baik (subkriteria I) memiliki representasi bobot 13,7%. Nilai bobot terbesar berikutnya adalah subkriteria D (12,8%) pada kriteria teknis. Subkriteria lainnya memiliki representasi bobot prioritas di bawah 10%, meliputi: subkriteria E (5,1%), F (4,6%), dan J (8,1%). Dua subkriteria dengan bobot prioritas terbawah adalah G dan H, yaitu sebesar 3,0% yang merupakan penjabaran atas kriteria teknis. Dengan nilai CR ≤ 0,100 maka seluruh penilaian prioritas subkriteria menunjukkan nilai rasio konsistensi yang dapat diterima.
Tabel 7 menunjukkan bahwa alternatif pembiayaan dana preservasi jalan memiliki bobot prioritas tertinggi pada seluruh subkriteria dalam kriteria finansial dan kriteria teknis. Dua nilai bobot tertinggi untuk alternatif tersebut berada pada subkriteria B (64,7%) dan D (61,6%). Alternatif pembiayaan dana preservasi jalan memiliki bobot prioritas terendah pada subkriteria I dengan bobot 46,3%. Pembiayaan melalui status quo memiliki bobot terbesar pada subkriteria I (17,9%) yang diikuti dengan subkriteria H (17,8%) dan subkriteria I (17,6%). Alternatif pembiayaan tersebut dinilai memiliki bobot yang rendah pada subkriteria dalam kriteria finansial. Alternatif pembiayaan secara earmarking memiliki bobot tertinggi pada subkriteria subkriteria A 37,6% dan diikuti subkriteria C (35,2%). Secara umum, bobot prioritas lokal tiap subkriteria pada alternatif ini lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan instrumen yang ada saat ini.
Tabel 7. Prioritas lokal tiap subkriteria Alternatif
Kriteria A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Status Quo
0,083
0,103
0,108
0,130
0,146
0,123
0,162
0,178
0,176
0,179
Earmarking
0,376
0,250
0,352
0,254
0,304
0,301
0,241
0,222
0,360
0,299
Dana Preservasi Jalan 0,541 0,647 0,540 0,616 0,550 Sumber: hasil analisis penulis berdasarkan hasil skoring Lampiran B
0,576
0,598
0,600
0,463
0,522
Analytical Hierarchy Process untuk Pemilihan Alternatif Pembiayaan Penanganan Jalan, (Gede Budi Suprayoga, Agus Bari Sailendra)
134
Sumber: hasil analisis penulis
Sumber: hasil analisis penulis
135
Gambar 2. Pilihan prioritas kebijakan
Gambar 3. Bobot kriteria dan hirarki alternatif
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 127 – 141
Gambar 2 memperlihatkan prioritas tiap alternatif menurut urutan analisis secara visual. Dana preservasi jalan menempati urutan pertama diikuti dengan alokasi melalui earmarking dan status quo dengan bobot 55,9%, 31,2%, dan 12,8% secara berturut-turut. Dengan membandingkan berbagai bobot kriteria yang diterapkan, maka alternatif dana preservasi jalan memiliki bobot tertinggi kriteria finansial (27,8%) dan teknis (17,0%). Alternatif pembiayaan melalui earmarking memiliki bobot tertinggi pada kriteria finansial sebesar 15,9%. Alternatif status quo memiliki bobot terendah pada seluruh kriteria.
Gambar 4 menunjukkan bobot kriteria finansial sebesar 48,3% yang diturunkan menjadi 38,6% tidak menyebabkan perubahan urutan hirarki alternatif. Dengan bobot alternatif dana preservasi jalan menurun menjadi 54,1%, sedangkan pembiayaan melalui earmarking meningkat menjadi 31,9%, dan status quo meningkat menjadi 14,0%. Dengan meningkatnya bobot kriteria untuk dua alternatif tersebut, maka alternatif status quo menjadi kurang dominan. Gambar 4A mengindikasikan hal tersebut.
(A)
Gambar 4. Sensitivitas dinamis (dynamic sensitivity) dan sensitivitas kinerja (performance sensitivity): (A) Perubahan bobot pada kriteria finansial dari 48,3% menjadi 38,6%,
Analytical Hierarchy Process untuk Pemilihan Alternatif Pembiayaan Penanganan Jalan, (Gede Budi Suprayoga, Agus Bari Sailendra)
136
(B)
Gambar 4. Sensitivitas dinamis (dynamic sensitivity) dan sensitivitas kinerja (performance sensitivity): (B) Perubahan bobot pada kriteria teknis dari 23,2% menjadi 33,2%.
Dengan bobot kriteria sosial politik yang ditingkatkan dari 23,2% menjadi 33,2%, hirarki alternatif tidak berubah. Bobot prioritas alternatif dana preservasi jalan dan status quo meningkat menjadi 53,6% dan 14,3% (Gambar 4B). Melalui simulasi tersebut, ternyata urutan ranking alternatif memperlihatkan kestabilan. Teknik AHP dapat menggambarkan bahwa penetapan alternatif dana preservasi jalan memiliki bobot tertinggi pada seluruh kriteria. Dari analisis sensitivitas diperoleh keajegan pemilihan alternatif, yang menunjukkan bahwa hasil AHP dapat diimplementasikan dalam penetapan alternatif pembiayaan jalan.
Dalam penetapan alternatif pembiayaan jalan, aspek finansial berperan lebih dibandingkan aspek teknis maupun sosial politik. Heggie dan Vicker (1998) menempatkan kriteria finansial ke dalam isu strategis dalam merancang instrumen pembiayaan jalan yang mudah diaplikasikan dan berkaitan langsung dengan pemanfaatan jalan, serta dapat dipisahkan dari pajak tak langsung dan mudah dikelola. Meskipun dianggap sebagai aspek yang penting, Newbery dan Santos (1999) mengungkapkan bahwa persoalan penyediaan sumber daya finansial
137
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 127 – 141
PEMBAHASAN
cenderung disikapi kurang serius dan belum melalui mekanisme pengambilan keputusan secara rasional. Kriteria teknis merepresentasikan bobot prioritas sebesar 31,3% yang merupakan tertinggi kedua setelah kriteria finansial. Heggie dan Vicker (1998) mengkaitkan aspek ini dengan isu operasional dan teknis dalam pengembangan alternatif pembiayaan jalan. Alternatif pembiayaan seyogyanya dapat menyakinkan akuntabilitas dan tata kelola yang mendorong perbaikan pelayanan jalan. Tata kelola dan akuntabilitas diperuntukkan untuk menjaga agar dana yang dikeluarkan memiliki jaminan efisiensi dan keterbukaan informasi alokasi (Heggie dan Vicker 1998; Newbery dan Santos 1999; The World Bank 2012). Dalam kaitannya dengan aspek teknis, terkait dengan aspek teknis ini, ADB (2003) menekankan peran yang lebih besar kepada keterwakilan dan pelibatan pengguna jalan dalam pengambilan keputusan pembiayaan jalan yang secara konsisten diterapkan. Hasil analisis menunjukkan kriteria sosial politik memperoleh bobot prioritas yang paling rendah yang mengindikasikan bahwa persoalan alternatif pembiayaan cenderung didasari oleh aspek ketersediaan anggaran dan teknis. Pengelolaan jalan yang efisien mendorong kinerja jalan sebanding dengan dana yang dikeluarkan yang ditunjukkan oleh transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas penyelenggara jalan (ADB 2003; The World Bank 2012). Selama pemerintah memiliki kepercayaan atas integritas pengelolaan sektor, maka skema pembiayaan yang dijalankan akan menghasilkan efisiensi alokasi yang tinggi (Newbery dan Santos 1999). Hasil analisis turut menunjukkan alternatif dana preservasi jalan menempati prioritas tertinggi untuk diterapkan. Selain itu, alternatif memiliki bobot prioritas tertinggi pada seluruh kriteria. Dana preservasi jalan merupakan mekanisme pembiayaan jalan yang menghubungkan fungsi pengeluaran dan pendapatan yang direfleksikan oleh tarif jalan menurut jenis kendaraan, lama penggunaan jalan, atau potensi tingkat kerusakan jalan yang mungkin ditimbulkan (Departemen Keuangan
(2007). Dengan pemungutan dana dari pengguna jalan dimungkinkan adanya alokasi pengeluaran yang dapat diprediksikan, stabil, dan memadai. Dari aspek teknis, alternatif pembiayaan ini mempengaruhi kelembagaan penyelenggaraan jalan yang dapat memperbaiki tata kelola dan akuntabilitas (Heggie dan Vickers 1998; ADB 2003). Alokasi pembiayaan melalui earmarking menciptakan kepastian besaran dana yang dapat digunakan. Instrumen ini memiliki resistensi politik yang terkecil karena publik telah membayar pelayanan jalan melalui pajak yang terkait dengan pemanfaatan jalan. Namun, instrumen ini tidak dapat dikatakan berkelanjutan karena adanya fluktuasi dalam besaran penerimaan yang diperoleh (Suprayoga 2011a). Terdapat faktor lain yang berpengaruh antara lain adanya ketergantungan yang sangat kuat di daerah terhadap kebijakan transfer pusat karena sebagian besar anggaran di daerah merupakan dana bagi hasil, selain belum tertibnya pengelolaan aset jalan (Kemitraan Australia-Indonesia 2010; The World Bank 2012). Dengan memperhatikan urutan prioritas alternatif, alternatif pembiayaan yang diterapkan saat ini memerlukan perubahan agar mencapai tujuan yang ditetapkan. Dengan demikian, terbuka peluang menerapkan alternatif pembiayaan yang lain. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari kajian diatas maka didapat kesimpulan sebagai berikut: 1. Dengan memanfaatkan teknik AHP, penetapan instrumen pembiayaan yang dapat mewujudkan penyelenggaraan jalan yang berkelanjutan adalah dengan menerapkan dana preservasi jalan. Penetapan alternatif ini diproyeksikan mampu mendukung kepastian dan keberlanjutan pembiayaan penanganan jalan Instrumen ini pun memiliki bobot prioritas tertinggi dalam seluruh kriteria yang ditetapkan tersebut.
Analytical Hierarchy Process untuk Pemilihan Alternatif Pembiayaan Penanganan Jalan, (Gede Budi Suprayoga, Agus Bari Sailendra)
138
2. Melalui penetapan ini, penyelenggara jalan dapat mengaplikasikan alternatif tersebut dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kesiapan SDM dan pengorganisasian, serta berbagai peraturan teknis dan operasional lainnya yang tepat, yang mendukung terwujudnya azas keterbukaan, akuntabilitas, dan memenuhi harapan (SPM) yang diinginkan. Saran
Secara teoritis, alternatif pembiayaan yang ditawarkan sebagai hasil dengan bobot prioritas tertinggi dapat diterapkan. Namun dalam implementasinya dibutuhkan penelitian lebih lanjut terkait dengan teknis penerapannya. DAFTAR PUSTAKA Abastante, et al. 2012. “Using the Analytical Network Process for Address a Transport Decision Problem”. International Journal of the Analytical Hierarchy Process 4, Issue 1 : 41-59 Asian Development Bank (ADB). 2003. Road Funds and Road Maintenance: An Asian Perspective. Manila: The Asian Development Bank Berritella, M., dkk. An Analytic Hierarchy process for the Evaluation of Transport Policies to Reduce Climate Change Impacts. http://www.feem.it/userfiles/attach/Publicatio n/NDL2007/NDL2007-012.pdf [akses: 10 Juli 2013] Bottero, Marta, et al. 2012. “Assessing the Sustainability of Alternative Transport Infrastructures”. International Journal of the Analytical Hierarchy Process 4, Issue 1 : 6176
139
Departmen Keuangan. 2007. Kajian Fiskal Penerapan Road Fund. Jakarta: Badan Fiskal Departemen Keuangan Dunn, William N. 2011. Public Policy Analysis (5th Edition). Pearsons Heggie, Ian G., dan Vickers, Piers. 1998. Commercial Management and Financing of Roads. Washington D.C.: The World Bank Indonesia. 2008. Undang – Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ________. 2009. Undang– Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kemitraan Australia Indonesia. 2010. Perencanaan Pengeluaran dan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) pada Direktorat Jenderal Bina Marga. Jakarta: Indonesia Infrastructure Initiative Newbery, David M., dan Santos, Georgina. 1999. “Road Taxes, Road User Charges and Earmarking. Fiscal Studies 20, (2): 103-132 Pricewaterhouse Coopers. 2007. Himachal Pradesh Road Sector Finance Study: Final Road Fund Report. Pricewaterhouse Coopers. Saaty, Thomas L. 1980. The Analytic Hierarchy Process. New York: McGraw Hill _________________. 1990. “How to Make a Decision: The Analytic Hierarchy Process”. European Journal of Operational Research 48 : 9 – 26 ________________. 2008. “Decision Making with the Analytic Hierarchy Process”. International J. Services Sciences 1 (1): 8398 Suprayoga, Gede Budi. 2011a. Laporan Akhir Penelitian Kebijakan Dana Preservasi Jalan. Puslitbang Jalan dan Jembatan Suprayoga, Gede Budi. 2011b. “Bom Waktu Kerusakan Jalan di Bali”. Bali Post, 15 September The World Bank. 2012. Investing in Indonesia’s Roads: Improving Efficiency and Financing Gap. The World Bank
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 127 – 141
LAMPIRAN A:
HASIL PENILAIAN (SKORING) OLEH INFORMAN PADA TIAP KRITERIA
Finansial Finansial Teknis Sosial Politik
1,00000 0,55743 0,50650
Teknis 1,79396 1,00000 0,76995
Sosial Polik 1,97435 1,29879 1,00000 CI = 0,003
Kriteria "Finansial" A A 1,00000 B 0,66854 C 0,71963
B 1,49579 1,00000 0,76472
C 1,38960 1,30766 1,00000 CI = 0,110
Kriteria "Teknis" D D E F G H
1,00000 0,43885 0,34199 0,19376 0,23987
Kriteria "Sosial Politik" H H 1,00000 I 0,54074
E 2,27870 1,00000 0,50000 0,53023 0,44816
F 2,92402 1,37473 1,00000 0,94547 0,59360
G 5,16112 1,88597 1,05768 1,00000 0,72302
H 4,16895 2,23136 1,68463 1,38309 1,00000 CI = 0,030
I 1,84931 1,00000 CI = 0,000
Analytical Hierarchy Process untuk Pemilihan Alternatif Pembiayaan Penanganan Jalan, (Gede Budi Suprayoga, Agus Bari Sailendra)
140
LAMPIRAN B: HASIL PENILAIAN (SKORING) OLEH INFORMAN PADA TIAP SUB KRITERIA Sub Kriteria "A" Status Quo Status Quo Earmarking Dana Preservasi Jalan
1,00000 0,20730 0,16210
Earmarking 4,82386 1,00000 0,65642
Dana Preservasi Jalan
Sub Kriteria "B" Status Quo
Earmarking
Dana Preservasi Jalan
6,16914
Status Quo
1,00000
2,63667
5,79316
1,52342
Earmarking
0,37927
1,00000
2,79817
1,00000
Dana Preservasi Jalan
0,17262
0,35738
1,00000
CI = 0,003 Sub Kriteria "C" Status Quo
Earmarking
Dana Preservasi Jalan
CI = 0,010 Sub Kriteria "D" Status Quo
Earmarking
Dana Preservasi Jalan
Status Quo
1,00000
3,68893
4,44542
Status Quo
1,00000
2,23904
4,15493
Earmarking
0,27108
1,00000
1,72847
Earmarking
0,44662
1,00000
2,76823
Dana Preservasi Jalan
0,22495
0,57855
1,00000
Dana Preservasi Jalan
0,24068
0,36124
1,00000
CI = 0,050 Sub Kriteria "E" Status Quo Status Quo Earmarking Dana Preservasi Jalan
1,00000 0,48631 0,26207
Earmarking 2,05630 1,00000 0,56081
Dana Preservasi Jalan
CI = 0,020 Sub Kriteria "F" Status Quo Status Quo
Earmarking
Dana Preservasi Jalan
1,00000
3,01824
3,82870
1,78312
Earmarking
0,33132
1,00000
2,34901
1,00000
Dana Preservasi Jalan
0,26119
0,42571
1,00000
3,81583
CI = 0,000 Sub Kriteria "G" Status Quo Status Quo Earmarking Dana Preservasi Jalan
1,00000 0,72302 0,25097
Earmarking 1,38309 1,00000 0,43383
Dana Preservasi Jalan
CI = 0,040 Sub Kriteria "H" Status Quo
Earmarking
Dana Preservasi Jalan
3,98450
Status Quo
1,00000
1,55246
2,72376
2,30506
Earmarking
0,64414
1,00000
3,34468
1,00000
Dana Preservasi Jalan
0,36714
0,29898
1,00000
CI = 0,005 Sub Kriteria "I" Status Quo Status Quo Earmarking Dana Preservasi Jalan
Earmarking
Dana Preservasi Jalan
1,00000
1,94416
2,75892
0,51436
1,00000
1,22221
0,36246
0,81819
1,00000 CI = 0,002
141
CI = 0,040 Sub Kriteria "J" Earmarking
Dana Preservasi Jalan
1,00000
1,71225
2,84405
0,58403
1,00000
1,79396
0,35161
0,55743
1,00000
Status Quo Status Quo Earmarking Dana Preservasi Jalan
CI = 0,000
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 2 Agustus 2013, 127 – 141
PETUNJUK PENULISAN NASKAH 1.
Redaksi menerima naskah/karya ilmiah bidang jalan dan jembatan dari dalam dan luar lingkungan Pusat Litbang Jalan dan Jembatan. Dewan Redaksi dan Mitra Bestari akan memeriksa naskah yang masuk dan berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan.
2.
Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian yang belum dan tidak akan dipublikasikan dalam media cetak lain.
3.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia, diserahkan dalam bentuk file elektronik dalam program MS Office disertai satu eksemplar cetakan. Jumlah naskah maksimum 15 halaman, termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar rujukan. Bila lebih dari 15 halaman, Redaksi berhak untuk menyunting ulang, dan apabila dianggap perlu akan berkonsultasi dengan penulis.
4.
Sistematika penulisan disusun sebagai berikut : Bagian awal: nama penulis, abstrak (abstrak dan kata kunci ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris dengan huruf italic). Bagian utama: pendahuluan, kajian pustaka, hipotesis, Metodologi, hasil dan analisa, pembahasan, kesimpulan dan saran. Bagian akhir: keterangan simbol (bila perlu), ucapan terima kasih (bila perlu), daftar pustaka minimal 10 referensi (wajib) berupa buku teks atau jurnal terbaru dan lampiran (jika ada).
5.
Judul naskah sesingkat mungkin dan harus mencerminkan isi tulisan serta tidak memberikan peluang penafsiran yang beraneka ragam, ditulis dengan huruf kapital posisi tengah.
6.
Nama penulis ditulis : a) Di bawah judul tanpa gelar diawali huruf kapital ditulis posisi tengah dan tidak diawali kata “oleh”; apabila penulis lebih dari satu orang, nama-nama tersebut ditulis pada satu baris. b) Nama lengkap disertai keterangan alamat instansi dan kotanya, apabila penulis lebih dari satu orang, semua nama penulis dicantumkan secara lengkap.
7.
Abstrak memuat permasalahan, tujuan, metodologi, hasil dan kesimpulan (antara 150-250 kata) ditulis dalam satu alinea, ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Hindari penggunaan singkatan dalam abstrak. Di bawah abstrak dicantumkan minimal 5 kata kunci.
8.
Teknik penulisan : a) Naskah ditulis pada kertas ukuran A4, ketikan satu spasi dengan 2 kolom, jarak kolom pertama dan kedua 1 cm. b) Batas pengetikan : tepi atas dan tepi bawah 3 cm, sisi kiri dan sisi kanan 2,5 cm. Alinea baru pada satu cm batas tepi kiri, antara alinea tidak diberi tambahan spasi. c) Penggunaan Font Times New Roman - Judul, ditulis di tengah halaman, Kapital 14 pt, bold - Isi, 11 pt - Nama penulis, ditulis di tengah halaman, 11 pt, bold - Persamaan/rumus, 10 pt - Nama instansi, ditulis di tengah halaman, 10 pt - Keterangan Persamaan/Rumus, 10 pt - Alamat instansi dan email, ditulis di tengah halaman, 9 pt - Judul tabel dan gambar, 10 pt - Sub judul, ditulis di tepi kiri, Kapital 11 pt, bold - Tulisan tabel dan gambar, 10 pt, bold - Isi Abstrak, 10 pt, Italic - Sumber tabel dan gambar, 9 pt - Kata kunci, 10 pt, Italic - Isi daftar pustaka, 10 pt d) Kata asing ditulis dengan huruf italic, apabila sudah ada bahasa Indonesia kata asing ditulis dalam kurung, untuk selanjutnya istilah yang sama cukup ditulis istilah Indonesianya. Bilangan ditulis dengan angka kecuali pada awal kalimat. e) Ketentuan Tabel/Gambar : - Tabel dan gambar harus diberi keterangan yang jelas. Judul tabel diletakkan di bagian atas tabel (rata kiri dengan tabel), sedangkan judul gambar di bagian bawah gambar (rata kiri dengan gambar), - Tabel dan Gambar tidak menggunakan garis pinggir, tabel menggunakan jenis “table simple 1”, - Gambar, foto dan grafik berwarna, - Sumber tabel dan gambar dicantumkan di bawah tabel dan gambar. f) Sumber pustaka (sitasi dalam teks) terdiri dari nama penulis dan tahun penerbitan yang diacu, ditulis dalam kurung. Contoh: (Calvez 2004). Untuk kutipan langsung ditambah nomor halaman (Calvez 2004, 73). g) Daftar pustaka dan sitasi bibliografis menggunakan Chicago Manual of Style (Author-Date System), ditulis dalam urutan abjad nama penulis dan disusun dengan urutan : a. Untuk buku : pengarang (nama keluarga diikuti nama pertama), tahun terbit, judul buku, kota dan nama penerbit b. Untuk jurnal : pengarang (nama keluarga diikuti nama pertama), tahun terbit, judul majalah (judul prosiding), judul artikel, volume, nomor, bulan, halaman. c. Karya di internet: URL dan karya tersebut diakses Contoh: Buku (monograf) Okuda, Michael, dand Denis Okuda. 1993. Star Trek chronology: The history of the Future. New York: Pocket Books. Artikel Jurnal Wilcox, Rhonda V. “Shifting Roles and Synthetic Woman in Star Trek: The Next Generation. “ Studies in Popular Cultur 13 (April 1991):53-65. Terbitan Pemerintah Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum. Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan. 2010. Pedoman Perencanaan Perkerasan Lentur. Jakarta : Kementerian Pekerjaan Umum. h) Jika dalam Daftar pustaka ada pencantuman nama seseorang lebih dari 1 kali, nama kedua tidak perlu ditulis kembali, cukup mengganti nama dengan titik putus-putus. i) Contoh Daftar pustaka tanpa tahun dan tanpa penerbit a. Caltrans California Departement of Transportation. [s.n]. Highway Design Manual. California : D.O.T b. Caltrans California Departement of Transportation. 1996. Highway Design Manual. California: [s.n]
9.
Dewan Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isi naskah.
10. Penulis wajib menyertakan alamat korespondensi dengan jelas. 11. Dewan Redaksi dapat menyesuaikan bahasa dan/atau istilah tanpa mengubah isi dan pengertiannya dengan tidak memberitahukan kepada penulis, dan apabila dianggap perlu akan berkonsultasi dahulu dengan penulis. 12. Naskah yang dimuat dalam jurnal ini menjadi hak milik Pusat Litbang Jalan dan Jembatan, Badan Litbang Pekerjaan Umum.
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PUSAT LITBANG JALAN DAN JEMBATAN
ISSN 1907 - 0284 9
771907
028497