Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012
ISSN : 1907 – 4352
Jurnal Permukiman adalah majalah berkala yang memuat karya tulis ilmiah di bidang permukiman meliputi kawasan perkotaan/ perdesaan, bangunan gedung yang berada di dalamnya, serta sarana dan prasarana yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Diterbitkan sejak tahun 1985 dengan nama Jurnal Penelitian Permukiman dan tahun 2006 berganti menjadi Jurnal Permukiman dengan frekuensi terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan November. Pelindung Penanggung Jawab
: :
Kepala Pusat Litbang Permukiman Kepala Bidang Sumber Daya Kelitbangan
Mitra Bestari
:
Prof. R. Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M. Agr. (Bidang Bahan Bangunan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Prof. Ir. Iswandi Imran, MASc. Ph. D. (Bidang Rekayasa Struktur, Institut Teknologi Bandung) Dr. Ir. Tri Padmi (Bidang Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung) Ir. Indra Budiman Syamwil, MSc., Ph. D. (Bidang Arsitektur, Institut Teknologi Bandung)
Dewan Penelaah Naskah
:
Andriati Amir Husin, MSi. (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman) Ir. Nurhasanah Sutjahjo, M.M. (Bidang Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Pusat Litbang Permukiman) Dr. Ir. Anita Firmanti, E.S., M.T. (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman) Drs. Achmad Hidajat Effendi (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman) Ir. Silvia F. Herina, M.T. (Bidang Teknik Sipil, Pusat Litbang Permukiman) Ir. Arief Sabaruddin, CES. (Bidang Perumahan dan Permukiman, Pusat Litbang Permukiman) Dra. Sri Astuti, MSA. (Bidang Bangunan Tapak, Pusat Litbang Permukiman) Dr. Andreas Wibowo, S.T., M.T. (Bidang Struktur dan Konstruksi, Pusat Litbang Permukiman) Sarbidi, S.T., M.T. (Bidang Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Pusat Litbang Permukiman) Lia Yulia Iriani, S.H. (Bidang Kebijakan Ilmu dan Teknologi, Pusat Litbang Permukiman)
Redaksi Pelaksana
:
Drs. Rudy Ridwan Effendi, M.T. Dra. Roosdharmawati Drs. Arif Sugiarto, M.M. Nitnit Anitya, S.S.
Alamat Redaksi
:
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung 40393 P.O. Box 812 Bandung 40008 Tlp. 022-7798393 (4 saluran) Fax. 022-7798392 E-mail :
[email protected]
Akreditasi Jurnal Permukiman ditetapkan sebagai Majalah Berkala Ilmiah : Terakreditasi Nomor 485/AU3/P2MI-LIPI/08/2012 Berdasarkan Kutipan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 742/E/2012 Tanggal 07 Agustus 2012
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012
ISSN : 1907 – 4352
Pengantar Redaksi Ucapan puji syukur tercurah kepada Allah SWT karena berkat rahmat-Nya jua redaksi pada tahun ini dapat menerbitkan Jurnal Permukiman edisi kedua. Edisi kali ini menyajikan enam tulisan berkaitan dengan bahasan teknologi struktur dan konstruksi bangunan, perumahan dan lingkungan, komponen bahan bangunan alternatif, serta penyehatan lingkungan permukiman. Bahasan mengenai teknologi konstruksi mengawali edisi kali ini. Selain mengedepankan aspek ekonomi (biaya dan waktu) dan aspek teknis (kekuatan konstruksi), isu lingkungan menjadi pertimbangan agar dapat diimplementasikan dalam penilaian rancangan konstruksi. Wahyu Wuryanti menuangkan bahasan tersebut dalam tulisan yang berjudul “Keputusan Multikriteria Dalam Menilai Konstruksi Rumah Tinggal terhadap Lingkungan”. “Faktor-faktor Disain Rumah Susun yang Berpengaruh terhadap Kenyamanan Termal” dipaparkan oleh Arief Sabaruddin, Rumiati R. Tobing, dan Tri Harso Karyono. Berdasarkan hasil analisis, dinyatakan bahwa faktor-faktor disain yang mempengaruhi kenyamanan termal dan berpeluang menghasilkan emisi CO2 adalah orientasi bangunan dan tipe bangunan. Akibat perpindahan penduduk ke pinggiran kota menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positif dari aspek ekonomi akan menciptakan lapangan kerja dan investasi, dampak negatifnya berupa menurunnya kualitas lingkungan seperti terjadinya alih guna lahan pertanian produktif dan konservasi menjadi kawasan permukiman dan industri. Nanang S. Santosa, Santun R.P. Sitorus, Machfud, dan Ramalis Sobandi membahasnya melalui “Analisis Keberlanjutan Kawasan Permukiman Perkotaan Cisauk Di DAS Cisadane”. Minimnya bahan baku untuk pembuatan papan partikel, menjadi bahan penelitian untuk mengembangkan dan memanfaatkan dengan optimal kayu cepat tumbuh sebagai komponen bahan bangunan alternatif pengganti kayu. Kayu cepat tumbuh yang dimanfaatkan adalah kayu acasia (Acasia mangium) dan sengon (Paraserienthes falcataria) oleh Dany Cahyadi, Aan Sugiarto, Anita Firmanti, dan Bambang Subiyanto dalam penelitiannya tentang “Sifat Fisis dan Mekanis Papan Semen Partikel Kayu Akasia (Acasia mangium) dan Sengon (Paraserienthes falcataria)”. Berkaitan dengan penyehatan lingkungan permukiman, dibahas oleh Aryenti mengenai “Peran Pendamping Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah 3R (Reduce, Reuse, Recycle) di Kota Banjar”. Selama program pendampingan berlangsung, diperlukan sumber daya manusia yang mampu berperan sebagai fasilitator, komunikator dan dinamisator. Dan program ini dikatakan berhasil apabila mampu mengembangkan pola pikir, pola sikap dan pola tindak pada masyarakat yang didampingi. Program kegiatan pendampingan masyarakat di Kota Banjar berhubungan dengan pengelolaan sampah 3R dengan memfasilitasi masyarakat pada proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan sampah 3R di lingkungannya. Tulisan Yulinda Rosa dan Ratna Jatnika mengenai “Faktor Penentu Kebutuhan Rumah, Studi Kasus Kota Cirebon” merupakan tulisan penutup. Ketidakakuratan informasi kebutuhan rumah berakibat pada ketidaktepatan program-program pembangunan perumahan. Untuk memperoleh data yang akurat maka penentuan faktor kebutuhan rumah merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Semoga tulisan yang kami sajikan bermanfaat. Selamat membaca. Bandung, Agustus 2012 Redaksi
i
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012
ISSN : 1907 – 4352
Daftar Isi Pengantar Redaksi
i
Daftar Isi
ii
Keputusan Multikriteria Dalam Menilai Konstruksi Rumah Tinggal terhadap Lingkungan – Multicriteria Decision in Assess the House Construction to Environment Wahyu Wuryanti
66-75
Faktor-faktor Disain Rumah Susun yang Berpengaruh terhadap Kenyamanan Termal – The Influence of Design Factors Toward the Thermal Comfort in Flats Arief Sabaruddin, Rumiati R. Tobing, Tri Harso Karyono
76-87
Analisis Keberlanjutan Kawasan Permukiman Perkotaan Cisauk Di Derah Aliran Sungai (DAS) Cisadane – Sustainable Analysis of Cisauk Urbanized Settlement at Cisadane River Basin Nanang S. Santosa, Santun R.P. Sitorus, Machfud, Ramalis Sobandi Sifat Fisis dan Mekanis Papan Semen Partikel Kayu Akasia (Acasia mangium) dan Sengon (Paraserienthes falcataria) – Physical and Mechanical Properties of Acasia (Acasia mangium) and Falcata (Paraserienthes falcataria) Wood Cement Bonded Particle Board Dany Cahyadi, Aan Sugiarto, Anita Firmanti, Bambang Subiyanto Peran Pendamping Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah 3R (Reduce, Reuse, Recycle) di Kota Banjar – Task Field Officer in Waste Management 3R (Reduce, Reuse, Recycle) Concept Community in Banjar City Aryenti
88-94
95-100
101-109
Faktor Penentu Kebutuhan Rumah, Studi Kasus Kota Cirebon – Determinants of Housing Needs, Case Study of Cirebon City Yulinda Rosa, Ratna Jatnika
110-120
Katalog dan Abstrak
121-124
Indeks Subjek
125
ii
Keputusan Multikriteria dalam Menilai … (Wahyu Wuryanti)
KEPUTUSAN MULTIKRITERIA DALAM MENILAI KONSTRUKSI RUMAH TINGGAL TERHADAP LINGKUNGAN Multicriteria Decision in Assess the House Construction to Environment Wahyu Wuryanti Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan - Kabupaten Bandung 40393 E-mail:
[email protected] Diterima : 06 Januari 2012; Disetujui : 10 Mei 2012
Abstrak Selama ini dalam penilaian rancangan rumah masih mengedepankan pendekatan konvensional seperti aspek ekonomi dan aspek teknis. Sementara itu isu lingkungan yang seharusnya juga dipertimbangkan sebagai fenomena global belum disentuh. Ketika kebutuhan rumah tinggal masih tinggi di Indonesia, industri konstruksi akan menjadi penyebab terbesar polusi lingkungan. Keputusan penggunaan teknologi konstruksi dan bahan bangunan sepatutnya telah mempertimbangkan beberapa aspek termasuk aspek lingkungan. Tulisan ini menyajikan penilaian multikriteria terhadap empat alternatif rancangan konstruksi rumah tinggal. Metodologi penelitian menggunakan teknik analisis keputusan multikriteria yakni metoda simple additive weighting dan metoda multiplicative exponential weighting. Hasil studi menunjukkan bahwa konstruksi rumah yang menggunakan rangka beton bertulang dengan dinding panel dan penutup atap asbes mendapatkan skor tertinggi berarti merupakan pilihan terbaik dalam evaluasi. Namun untuk pengembangan produksi rumah massal hasil evaluasi ini perlu disikapi dengan bijaksana karena produk asbes berbahaya bagi kesehatan. Kata Kunci : Rumah tinggal, multi-kriteria, simple additive weighting, multiplicative exponential weighting
Abstract During this time in the assessment of houses design still emphasizes the conventional approaches such as economic aspects and technical aspects. Meanwhile, environmental issues should also be considered as a global phenomenon has not been addressed. When the house needs still high in Indonesia, the construction industry will be the biggest cause of environmental pollution. Decision of the use of technology of construction and building materials should have been considering several aspects including environmental aspects. This paper presents the multi-criteria assessment of four alternatives of house construction. The research methodology uses multi-criteria decision analysis consisting of simple additive weighting and the multiplicative exponential weighting methods. Results of the study showed that house construction using reinforced concrete frame with wall panels and roof cover asbestos get highest score means is the best option in the evaluation. However, for the development of mass production this evaluation results should be handled wisely because the product of asbestos harmful to health. Keywords : House, multi-criteria, simple additive weighting, multiplicative exponential weighting
PENDAHULUAN Di Indonesia, program pembangunan rumah tapak (landed house) tetap diselenggarakan untuk menghadapi animo masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah untuk memiliki rumah tapak masih tetap tinggi. Dalam penilaian rancangan konstruksi selama ini menggunakan pendekatan konvensional yang lebih mengedepankan aspek ekonomi yaitu biaya dan waktu konstruksi dan aspek teknis yaitu kekuatan konstruksi. Sementara itu isu lingkungan yang juga seharusnya dipertimbangkan sebagai sebuah fenomena global masih menjadi wacana dan belum diimplementasikan.
Seperti disinyalir dalam berita media elektronik bahwa Indonesia termasuk penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia, disebabkan terutama dari industri, pembangkit listrik dan transportasi (Indolife, 29 Desember 2011). Industri konstruksi ditengarai sebagai penyumbang 40% emisi gas CO2. Telah diketahui bahwa gas rumah kaca terdiri dari beberapa gas dan gas CO2 memberikan kontribusi terbesar yaitu sebanyak 56%. Oleh sebab itu upaya untuk mengurangi emisi gas CO2 dan meningkatkan teknologi konstruksi ramah lingkungan perlu terus digalakkan khususnya dari sektor industri konstruksi. Program tersebut tidak mudah dan
66
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 66-75
perlu usaha keras dan kerjasama yang baik dari seluruh pemangku kepentingan. Salah satunya adalah melalui penggunaan bahan bangunan rendah emisi dalam rancang bangunan. Di awal suatu rancangan konstruksi ada tantangan tersendiri dalam memutuskan jenis bahan bangunan dan teknologi konstruksi yang akan digunakan. Tidak mudah mengumpulkan rekaman penilaian suatu produk bahan secara lengkap. Perlu melibatkan perencana sebagai konseptor rancangan akhir, kontraktor sebagai aktor pelaksana lapangan, dan estimator yang menilai aspek ekonomisnya. Saat kini banyak produk bahan yang telah dikembangkan dan menjadi pilihan untuk diaplikasikan dalam konstruksi bangunan. Memilih bahan bangunan dengan kadar emisi gas rendah semata-mata belum tentu menjadi pilihan terbaik dan efisien manakala proses pelaksanaannya sulit. Perlu mempertimbangkan beberapa kriteria seperti aspek ekonomi, aspek teknis, estetika, tren, dan/atau lainnya. Kenyataannya tidak ada satu pun bahan bangunan yang selalu memiliki keunggulan pada setiap kriteria penilaian. Tergantung pada kriteria apa yang digunakan dalam menilai performa bahan (Garrison, 2008). Menjadi tantangan tersendiri bagi pengambil keputusan dalam memberikan keputusan yang tepat menghadapi berbagai alternatif dalam proyek konstruksi. Hal ini tidak mudah. Melalui teknik Multi Criteria Decision Analysis (MCDA) telah dikembangkan metoda pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan berbagai kriteria penilaian. Suatu keputusan akan tergantung pada nilai dan preferensi dari pengambil keputusan, sehingga perlu ditetapkan dahulu tujuan dan kriteria yang diharapkan. Dalam tulisan ini membahas penilaian multikriteria untuk memutuskan pengaruh konstruksi rumah tinggal terhadap lingkungan. Objek penilaian lebih mengutamakan pada penggunaan bahan bangunan. Tujuannya adalah menentukan pilihan terbaik terhadap empat alternatif pilihan unit konstruksi rumah yang ditinjau dari berbagai kriteria penilaian. Kajian Pustaka Dalam membuat suatu keputusan penggunaan produk konstruksi, perlu ditetapkan nilai-nilai penerimaan (acceptable values) secara kuantitatif untuk memudahkan dalam analisis pengambilan keputusan.
67
Dampak Bangunan terhadap Lingkungan Energi yang digunakan selama hidup bangunan dapat dibedakan menjadi dua jenis energi yaitu embodied energy dan energi operasional. Pengertian embodied energy adalah jumlah energi yang dikonsumsi dalam seluruh proses produksi material atau sistem. Sementara energi operasional adalah konsumsi energi selama bangunan beroperasi sehingga tergantung pada pengguna. Emisi embodied CO2 (emisi ECO2) merupakan jumlah total emisi gas rumah kaca (GHG) yang dihitung sebagai satuan karbon dioksida equivalen (CO2-e) selama proses mulai dari ekstrasi bahan baku, transportasi, fabrikasi sampai menjadi produk akhir siap pakai (Chen, et al 2010). Dalam menghitung emisi gas dari bahan bangunan perlu angka konversi dari konsumsi energi menjadi emisi ECO2. Jumlah total emisi ECO2 merupakan perkalian volume bahan dengan faktor emisi ECO2 menggunakan persamaan (1). ECO2 Qi ECO factor i ................................. (1) i
Dengan Qi adalah kuantitas material i dan ECOfactor i adalah faktor konversi tergantung pada jenis penggunaan bahan bakar. Tidak mudah untuk menghitung jumlah emisi ECO2 sehingga banyak metoda yang dikembangkan sesuai batasan sistem. Banyak penelitian berusaha menghitung angka ECOfactor (Chen, et al 2010) dan telah menerbitkan daftar angka faktor. Seperti faktor emisi ECO2 yang dihasilkan oleh Seo dan Hwang, 2001 dalam penelitiannya di Australia yang menghitung berdasarkan konsumsi bahan bakar fosil dan produksi semen. Penelitian Hammond dan Jones, 2008, di Inggris menghitung berdasarkan konsumsi bahan bakar. Sementara penelitian Chen dan rekan-rekannya 2010 juga menghitung angka faktor ECO2 berdasarkan kondisi di Australia dan Inggris. Angka faktor yang telah dihasilkan tersebut tidak dapat dibandingkan satu dengan lainnya, karena metoda, waktu dan lokasinya berbeda. Tabel 1 menyajikan daftar angka ECOfactor yang dihasilkan dari beberapa penelitian sebelumnya. Sampai saat ini belum ada riset dan database yang menghitung faktor ECO2 untuk produk-produk bahan bangunan Indonesia, sehingga data-data yang dikembangkan di negara lain meski tidak akurat tetapi cukup signifikan digunakan dan dapat memberikan informasi yang relevan dalam memperkirakan emisi ECO2. Emisi ECO2 yang ditimbulkan untuk transportasi tergantung pada jenis bahan bakar, jumlah
Keputusan Multikriteria dalam Menilai … (Wahyu Wuryanti)
konsumsi bahan bakar dan moda transportasi dari lokasi pengambilan sampai lokasi proyek. Tabel 2 menampilkan faktor emisi sesuai jenis bahan bakar. Tabel 1 Faktor ECO2 dari Penelitian Sebelumnya Building Material
Hammond and Jones, 2008 kg-CO2/kg n.a 1,77 0,22 0,163* 0,056 0,159 0,241 0,102 0,28 0,061 0,12 0,85 0,46 0,59 0,177 0,005 0,81 0,83
Seo and Hwang, 2001 kg-CO2/kg 0,0109 0,4252 0,0114 n.a 0,0017 0,0125 n.a n.a n.a n.a 0.2293 0,269 0,0262 0,2061 n.a 0,0005 0,1996 0,2204
Chen, et al, 2010 kg-CO2/m3 1668,6 12207 290,8 153,9 n.a 333,6 n.a 302,5 196,9 564 301,8 1380,5 204,5 1920 418 51 650,1 n.a
Asbes Baja tulangan Bata Batako Batu belah Beton Beton bertulang Beton FB** Beton ringan Genteng beton Gypsum board Kaca Kayu Keramik Mortar 1:4 Pasir Plywood Portland cement Note : *diasumsikan campuran mortar 1:1:6 semen:kapur:pasir **beton ringan campuran dengan fly bottom ash
Tabel 2 Faktor Emisi Bahan Bakar Jenis Bahan Bakar Diesel Petrol Bio-diesel Sumber : Joosen and Luttmer, 2007
Faktor Emisi [kg CO2 per Liter] 2,63 2,32 0,67
Perkalian antara jarak tempuh dan faktor emisi menghasilkan jumlah emisi CO2 transportasi sesuai persamaan (2). TCO2 D ECO fuel .............................................. (2)
Dengan D jarak tempuh dan ECOfuel adalah emisi bahan bakar. Dengan demikian total emisi ECO2 pengunaan bahan bangunan merupakan penjumlahan emisi ECO2 dan TCO2 sesuai dengan persamaan (3).
Emisi CO2 ECO2 TCO2 ................................ (3) Identifikasi Kriteria Penilaian Secara tradisional dalam mengevaluasi suatu produk konstruksi hanya berdasarkan pertimbangan ekonomi menggunakan parameter nominal biaya/harga. Namun saat kini dan perkembangan teknologi dan permasalahan masyarakat pengambilan keputusan dalam mengekspresikan nilai keberterimaan tidak hanya berdasarkan faktor ekonomi, tetapi juga
berdasarkan faktor non-finansial seperti lokasi, aksesibilitas, keamanan, dan sebagainya. Menurut Noris and Marshall (1995) dalam mengevaluasi performa bangunan atau sistem bangunan menggunakan kriteria sebagai berikut dan masing-masing kriteria dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhannya dan tidak perlu seluruhnya harus ada. (1) Estetika yaitu tampilan dan daya tarik disain di dalam dan luar gedung serta lingkungan sekitar (2) Fungsi bangunan yaitu kinerja bangunan dalam memenuhi kebutuhan pemilik/ pengguna gedung, termasuk efisiensi tata dan fungsi ruang (3) Durabilitas yaitu ketahanan gedung dan fasilitasnya selama waktu tertentu (4) Ekonomi yaitu nilai, efisiensi dan profitabilitas gedung atau komponen bangunan (5) Dampak lingkungan yaitu dampak udara, air, lahan dan sumber energi (6) Fleksibilitas penggunaan yaitu kemudahan dan fleksibilitas penggunaan gedung (7) Kelengkapan fasilitas teknologi yaitu kapasitas dan fleksibilitas infrastruktur teknologi informasi dalam gedung, termasuk suplai energi, jaringan telekomunikasi dan komputer (8) Lokasi yaitu penempatan bangunan untuk menunjang tujuan pemilik gedung (9) Ketersediaan penghunian yaitu lama penghunian dan ketersediaan penghuni (10) Operasional dan pemeliharaan yaitu kemudahan dan kenyamanan operasional, pemeliharaan, pembersihan, dan perbaikan (11) Keandalan yaitu kemampuan sistem bangunan selama beroperasi pada kondisi normal maupun abnormal (12) Keamanan yaitu perlindungan pada pengguna, pengunjung dan aset (gedung dan isinya) (13) Ketahanan suara dan pandangan yaitu privasi dan kenyamanan terhadap bunyi, pandangan dan pencahayaan (14) Ketahanan udara dan termal yaitu kondisi suhu ruangan, kelembaban, ventilasi, kualitas udara (15) Transportasi yaitu efisiensi dan kemudahan perpindahan orang dan barang dari dan ke bangunan Kriteria penilaian produk konstruksi dapat didetailkan dalam sub-kriteria bila perlu. Pada penilaian suatu produk bahan bangunan kriteria
68
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 66-75
penilaiannya dapat diperinci seperti disajikan dalam tabel 3. Tabel 3 Kriteria Penilaian Bahan Bangunan Kriteria Estetika Ketersedian bahan (availability)
Keterangan Tampilan produk Ketersediaan bahan dalam kuantitas yang cukup untuk menghadapi kebutuhan pasar Kekuatan dan Kuat tekan/tarik/lentur sesuai tujuan kekakuan (strength penggunaan. Kekakuan ditinjau dari and stiffness) nilai Modulus Young Ekonomi Harga suatu produk Ketahanan api Ketahanan api Durabilitas Masa pakai suatu produk untuk efisiensi biaya pemeliharaan Limbah (disposal) Penggunaan kembali bongkaran bahan Instalasi Kemudahan bongkar pasang Transportasi Kemudahan pengangkutan termasuk biaya mobilisasi Keberterimaan Penerimaan pengguna terhadap produk (acceptance) bahan Sumber : Dirangkum dari beberapa literatur
Pada dasarnya tidak ada produk bahan yang unggul dalam seluruh kriteria disain. Suatu produk bahan bila ditinjau pada satu kriteria mempunyai nilai unggul dibandingkan produk lainnya, tetapi bila dinilai terhadap kriteria lainnya dapat sebaliknya (Wuryanti, 2011). Kenyataannya setiap produk bahan mempunyai keuntungan dan kerugian. Teknik Analisis Multikriteria Multi Criteria Analysis (MCA) dikembangkan tahun 1960-an untuk membantu pengambil keputusan dalam menghadapi empat masalah (communities and local government, 2009) : a) Mengidentifikasi alternatif pilihan paling mendekati preferensi (kasus pemilihan) b) Mengklasifikasikan alternatif pilihan sesuai aspek tertentu (kasus klasifikasi) c) Meranking alternatif pilihan (kasus ranking) d) Mengindetifikasi alternatif pilihan sesuai deskripsi penerimaannya (kasus deskripsi) Prosedur dalam menggunakan MCA melalui : (1) Pendeskripsian tujuan yang diharapkan dan siapa pengambil keputusan (2) Identifikasi beberapa opsi solusi (3) Tetapkan tujuan dan kriteria yang dapat direfleksikan pada setiap opsi (4) Deskripsikan nilai performa pada setiap opsi terhadap masing-masing kriteria (5) Lakukan pembobotan setiap kriteria untuk menetapkan tingkat kepentingannya (6) Pilih teknik analisis yang akan digunakan (7) Lakukan analisis untuk memilih opsi solusi (8) Validasikan hasil perhitungan
69
Membuat keputusan multikriteria (multi criteria decision making, MCDM) dapat diklasifikasi sesuai dengan model analisis, yaitu : (i) Scoring model, yaitu memilih alternatif yang memiliki skor tertinggi (utilitas maksimum); contoh simple addictive weighting, hierarchical addictive weighting, dan multiplicative exponential weighting (ii) Compromising model, yaitu memilih alternatif yang paling mendekati (closest) dengan solusi ideal; contoh technique for order preference by similarity to ideal solution (TOPSIS), LINMAP (iii) Concordance model; meranking sesuai preferensi; contoh metoda permutasi, linear assignment method dan Elimination et Choice Traduisant la Realite (ELECTRE) Bila ada n kriteria untuk mengevaluasi m alternatif maka akan diperoleh matriks berdimensi n x m sesuai dengan persamaan (7).
D=
w1
w2
w3
...
wn
bobot
K1
K2
K3
...
Kn
Kriteria
A1
X11
X12
X13
X1n
A2
X21
X22
X23
X2n
A3 . . .
X31
X32
X33
X3n
Am
Xm1 Xm2 Xm3
Xmn
Alternatif
(7)
Perhitungan bobot dengan metoda Analytical Hierarchy Process (AHP) dilakukan menggunakan skor sesuai dengan tabel 4. Tabel 4 Skor Relatif Pairwise Comparison Skor Deskripsi 1 Sama penting (Equal importance) 3 Agak penting (Moderate importance) 5 Penting (Strong importance) 7 Sangat penting (Very strong importance) 9 Mutlak penting (Absolute importance) 2,4,6,8 Skor antara Sumber : Saaty (2008)
Matriks resiprokal dalam AHP dirangkum dari opini pakar (expert opinion) dan dianalisis menggunakan rasio kepentingan relatif atau biasa disebut pairwise comparison (perbandingan pasangan). Untuk perhitungan konsistensi menggunakan rasio konsistensi (Consistency Ratio, CR). Nilai CR dihitung dari rasio indeks konsistensi (Consistency Index, CI) terhadap indeks random (Random Index, RI), sesuai persamaan (5) dan (6) CI
max n n 1
(5)
Keputusan Multikriteria dalam Menilai … (Wahyu Wuryanti)
CR
(6)
CI RI
Dengan max = eigenvalue maksimum, n =jumlah atribut dalam matriks, RI = sesuai jumlah n n RI
1 0
2 0
3 0,52
4 0,89
5 1,11
6 1,25
7 1,35
Secara prosedur yang didasarkan pada pengalaman (bukan teori) bila CR 0,1 maka cukup konsisten, sehingga bobot penilaian yang dihasilkan dapat digunakan. Dalam MCDM dengan metoda Simple Additive Weighting (SAW), prosedur analisisnya sebagai berikut : a) Untuk setiap alternatif, hitung skor dengan mengalikan rating setiap atribut dengan bobot relatif dan menjumlahkan hasil perkalian untuk seluruh atribut b) Skala yang digunakan harus sama, bila tidak harus ditransformasikan terlebih dahulu menggunakan persamaan (8) dan (9). xij
xij
, jika nilai maksimum
(8)
max xij i
xij
min xij , jika nilai minimum i xij
(9)
c) Pilih alternatif yang memiliki skor tertinggi. Kriteria optimalisasi matriks dihasilkan dari perkalian bobot dengan kriteria sesuai persamaan (10). d) n n (10) A* A max w x / x
i
i
j 1
j
ij
j 1
j
Dengan wj merupakan bobot dari setiap kriteria. Pada metoda Multiplicative Exponential Weighting (MEW) atau Weighting Product Method (WPM) prosedur analisisnya sebagai berikut : 1) Untuk setiap alternatif, pangkatkan rating setiap atribut dengan bobot atribut dan kemudian dihitung produknya 2) Persyaratan atribut harus numerik dan comparable 3) Pilih alternatif dengan produk tertinggi dengan kriteria optimalisasi dihitung dengan persamaan (11). n w A* Ai max X ij j i j 1
.................... (11)
METODOLOGI Metoda yang digunakan dalam studi ini melalui pendekatan Multi Criteria Decision Analysis (MCDA) dengan metoda scoring. Perhitungan bobot setiap kriteria menggunakan metoda AHP. Untuk pengolahan dengan AHP data diperoleh dari opini pakar di bidang struktur konstruksi, arsitektur dan mekanikal. Untuk mendapatkan penilaian gabungan dilakukan dengan menghitung rataan geometri sesuai persamaan (12). Xg n
n
X
(12) i
i 1
Dalam beberapa kasus, pada kenyataannya dengan metoda yang berbeda akan memperoleh hasil yang berbeda. Oleh sebab itu dalam studi ini digunakan dua metoda yaitu SAW dan MEW. Dalam metoda SAW skor keseluruhan adalah sebagai jumlah ratarata tertimbang dari nilai-nilai atribut. Sementara dalam metoda MEW skor keseluruhan adalah nilai eksponen dari setiap nilai atribut. Kriteria penilaian terhadap aspek lingkungan dibatasi tidak pada seluruh siklus hidup proyek tetapi dihitung sampai batas pekerjaan pembangunan selesai. Atribut lingkungan yang digunakan sebagai penilaian konstruksi rumah tinggal terhadap lingkungan adalah nilai kadar emisi gas CO2. Nilai emisi gas pengadaan bahan bangunan di lokasi proyek meliputi kadar CO2 yang terkandung selama produksi bahan bangunan dan kadar CO2 yang digunakan dalam transportasi pengadaan bahan bangunan di lokasi proyek. Untuk memberikan keputusan berimbang selain aspek lingkungan diperhitungkan pula penilaian aspek kekuatan, kemudahan, kenyamanan dan ekonomi. Aspek kekuatan dalam merupakan kekuatan bahan bangunan sebagai bahan konstruksi. Aspek kemudahan dihitungkan dari jumlah waktu konstruksi. Aspek ekonomi merupakan kriteria penilaian yang paling tradisional diekspresikan dengan nilai biaya konstruksi bangunan yang diperlukan untuk pembelian bahan dan pembayaran upah tukang. Dalam upah kerja tergantung pada aspek kemudahan pelaksanaan, sehingga waktu konstruksi untuk pembangunan unit rumah terkait pula dengan aspek ekonomi. Aspek kenyamanan menurut Undang-undang Bangunan Gedung meliputi kenyamanan ruang gerak, pandangan, termal, kenyamanan terhadap getaran dan kebisingan. Pada kenyamanan ruang gerak, pandangan, dan getaran, karena pada kasus yang ditinjau setiap alternatif memiliki denah tata 70
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 66-75
ruang dan lokasi rumah sama, maka tidak relevan digunakan sebagai pembanding, sehingga digunakan ketahanan termal dan insulasi bunyi dari bahan bangunan yang digunakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil akhir yang diharapkan dalam studi ini adalah meranking tipe konstruksi sesuai skor tertinggi berdasarkan pertimbangan berbagai interaksi beberapa kriteria penilaian. Data diperoleh dari dokumen perencanaan rumah tinggal meliputi gambar rencana, spesifikasi dan rencana anggaran biaya, yang diperoleh penulis ketika menangani kegiatan penelitian tahun 2010 di Pusat Litbang Permukiman. Alternatif Konstruksi Rumah Terdapat 4 (empat) alternatif pilihan konstruksi rumah tinggal. Keempat rumah dibangun di lokasi yang sama di kawasan Turangga Kota Bandung dan didirikan pada akhir tahun 2010. Keempat alternatif rumah masing-masing mempunyai luas bangunan seluas 36 m2 berdiri pada lahan seluas 90 m2 dengan denah ruang seperti pada gambar 1 dan layout ke empat rumah dituangkan dalam gambar 2.
Gambar 1 Denah rumah
UnitR-4 Rumah
UnitR-1 Rumah E N
S W
R-1
UnitR-2 Rumah
UnitR-3 Rumah
Gambar 2 Layout Penempatan Ke-4 Unit Rumah
Masing-masing alternatif konstruksi rumah mempunyai karakteristik sebagai berikut : Alternatif 1, rumah batako (A1); menggunakan fondasi menerus pasangan batu kali, rangka utama beton bertulang, dinding pasangan batako,
71
rangka kuda-kuda kayu dan penutup atap genteng beton Alternatif 2, rumah bata (A2); menggunakan fondasi menerus pasangan batu kali, rangka utama beton bertulang, dinding pasangan bata merah, rangka kuda-kuda kayu dan penutup atap genteng beton Alternatif 3, rumah baberi (A3); menggunakan fondasi menerus pasangan batu kali, rangka utama beton bertulang, dinding pasangan bata beton ringan, rangka kuda-kuda kayu dan penutup atap genteng beton Alternatif 4, rumah panel (A4); menggunakan fondasi menerus pasangan batu kali, rangka utama beton bertulang, dinding hollow panel berukuran 2400x600x70 mm3, rangka kuda-kuda kayu dan penutup atap asbes. Panel dinding merupakan bahan beton ringan yaitu campuran semen agregat terdiri dari pasir dan limbah abu batubara (fly bottom ash) diperkuat dengan kawat anyam. Komposisi campuran bahan panel 1 semen : 3 agregat. Komposisi agregat 60% pasir : 20% fly ash : 20% bottom ash. Kriteria Penilaian Keputusan Dengan fungsi dan denah bangunan sama, maka kriteria penilaian konstruksi dipersempit menjadi enam kriteria meliputi : (1) kriteria ramah lingkungan diekspresikan dengan nilai emisi CO2 pengunaan material bangunan meliputi emisi embodied CO2, ECO2 dan emisi transportasi, TCO2. (2) kriteria ekonomi diekspresikan dengan biaya bahan dan pelaksanaan pembangunan konstruksi satu unit rumah. (3) kriteria kenyamanan terhadap panas yaitu kemampuan untuk menghantar panas. Kenyamanan alami rumah tinggal tergantung selain pada letak bukaan juga pada penggunaan bahan bangunan terutama dinding dan atap. Dengan demikian kriteria kenyamanan dihitung berdasarkan nilai kumulatif nilai konduktivitas termal bahan dinding dan bahan penutup atap. (4) kriteria kekuatan bahan diekspresikan dengan nilai kuat tekan dan kuat lentur. Kekuatan bahan sepatutnya didasarkan pada semua bahan yang digunakan per unit rumah. Akan tetapi karena jenis rangka utama untuk ke-4 alternatif adalah sama, kecuali untuk bahan dinding dan penutup atap. Untuk kriteria kekuatan yang digunakan merefer pada kekuatan bahan dinding. Pada dinding pasangan digunakan kuat tekan per unit bata, batako dan bata beton ringan, sedangkan dinding panel digunakan kuat tekan lentur.
Keputusan Multikriteria dalam Menilai … (Wahyu Wuryanti)
(5) Kriteria kenyamanan terhadap kebisingan pada rumah tinggal didominasi karakteristik bahan dinding. Dengan demikian pada kriteria ini diekspresikan dengan nilai insulasi bunyi bahan dinding. (6) Kriteria kemudahan pengerjaan di lapangan diekspresikan dengan durasi pelaksanaan pembangunan konstruksi tiap unit rumah. Semakin cepat waktu yang digunakan artinya mudah pengerjaannya. Bobot Tiap Kriteria Hasil perhitungan konsistensi setiap opini pakar disajikan dalam tabel 5 sampai 7. Notasi masingmasing kriteria adalah sebagai berikut : K1 = emisi CO2 K2 = biaya pembangunan konstruksi K3 = konduktivitas termal K4 = kekuatan bahan K5 = insulasi bunyi K6 = waktu konstruksi Tabel 5 Skor Relatif dan Konsistensinya O1 K1 K1 K2 K3 K4 K5 K6
K2
K3
K4
K5
K6
CR
1/7
1/3 3
1/2 2 1/3
1/4 3 3 3
1/7 1 1/5 1/2 1/2
0,061 Atau 6%
Tabel 6 Skor Relatif dan Konsistensinya O2 K1 K1 K2 K3 K4 K5 K6
K2
K3
K4
K5
K6
1/7
1/5 3
1/7 1/3 1/3
1/3 3 3 5
1/7 1 1/3 3 1/3
CR 0,040 Atau 4%
Tabel 7 Skor Relatif dan Konsistensinya O3 K1 K1 K2 K3 K4 K5 K6
K2 3
K3
K4
1 1/5
1/5 1/5 1
K5
K6 3 3 5 3
1/5 1 5 5 1/3
CR 0,080 Atau 8%
Dalam nilai-nilai tabel 5 menunjukkan seberapa penting nilai Ki terhadap Kj, dengan i adalah nomor baris dan j adalah nomor kolom. Misalnya nilai sel baris 1 kolom 2 mempunyai arti bahwa K1 mempunyai 1/7 lebih penting dari K2. Sedangkan nilai pada sel-sel yang kosong artinya mempunyai nilai kebalikan dari pada nilai sel tertimbang.
Demikian seterusnya untuk nilai pada sel-sel lainnya dalam tabel 5. Pemahaman serupa juga dilakukan untuk tabel 6 dan tabel 7. Dengan nilai CR lebih kecil dari 10% untuk ketiga opini maka ketiganya dapat dianalisis menjadi matriks tunggal menggunakan persamaan (7) disajikan dalam tabel 8 menghasilkan bobot setiap kriteria. Pengertian dalam memahami nilai-nilai yang dihasilkan digunakan pengertian yang sama seperti pada tiga tabel sebelumnya. Tabel 8 Matriks Tunggal Opini Pakar K1 K1 K2 K3 K4 K5 K6
CR
K2 0,394
2,537 2,466 0,822 4,121 2,466 1,442 0,333 2,140 1,000 W1 W2 0,069 0,179 0,0155 atau 2%
K3
K4
K5
K6
0,405 1,216
0,243 0,405 0,481
0,693 3,000 3,557 3,557
0,467 1,000 0,693 1,957 0,333
2,080 0,281 1,442 W3 0,167
0,281 0,511 W4 0,330
3,000 W5 0,069
W6 0,186
Nilai Matriks Inisial Volume bahan utama yang digunakan pada masing-masing alternatif konstruksi disajikan dalam tabel 9. Selanjutnya dihitung emisi ECO2 dengan mengalikan faktor ECO2. Karena data faktor ECO2 menurut hasil riset Hammond dan Jones, 2008, memberikan data paling lengkap maka data tersebut yang digunakan, lihat tabel 1. Tabel 9 Penggunaan Bahan Utama Per Rumah Bahan
Sat
A1
A2
A3
A4
Asbes Baja tulangan Bata beton ringan Bata merah Batako Batu belah Beton bertulang Beton FB ash Genteng beton GRC 4 mm Kaca Kayu Keramik Mortar 1:5 Pasir Plywood PC
lbr kg bh bh bh m3 m3 m3 bh lbr m2 m3 m2 kg m3 lm kg
0 868 0 0 1500 7,56 3,34 0 416 75 7 1,14 48 416 6,48 21 4833
0 868 0 6000 0 7,56 3,34 0 416 75 7 1,14 48 416 6,48 21 4833
0 868 1500 0 0 7,56 3,34 0 416 75 7 1,14 48 416 6,48 21 4833
60 868 0 0 130 7,56 3,34 1,33 0 75 7 0,94 48 416 6,48 21 4833
Untuk menghitung emisi transportasi TCO2 maka perlu informasi jarak tempuh yang dihitung dari pabrik produksi bahan dengan lokasi proyek. Data lokasi pabrik produksi bahan bangunan dan jarak disajikan dalam tabel 10.
72
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 66-75
Tabel 10 Faktor Emisi dan Jarak Transportasi Bahan
Berat Jenis
ftr ECO2 per kg
Lokasi Produksia
Dengan menggunakan persamaan (1), (2) dan (3) diperoleh jumlah emisi CO2 setiap rumah. Data mengenai karakteristik bahan sebagian besar diperoleh dari hasil uji di laboratorium Pusat Litbang Permukiman dan lainnya diperoleh dari literatur. Matriks inisial yang digunakan sebagai data untuk analisis disajikan dengan tabel 11. Tabel 11 Data Analisis sebagai Matriks Inisial K1
Sat kg-CO2
ECO TCO K2 K3
juta Rpa W/m Kb dinding atap
A1 12793 12255 538 81,42 1,770 0,710 1,060 1,71c 57 59
A2 12572 12021 551 82,37 1,750 0,609 1,060 2,28c 54 62
A3 11560 10925 635 87,37 1,524 0,464 1,060 3,65d 47 55
A4 10103 9577 526 79,45 1,350 1,184 0,166 5,02e 52 40
K4 N/mm2 K5 STCf K6 hari Catatan : a Analisis biaya tahun 2010 Kota Bandung b Data Pusat Litbang Permukiman dan informasi www.engineeringtoolbox.com/thermal-conductivity-d c Laporan uji proyek Pusat Litbang Permukiman-Koica, 2002 d Informasi http//jayacelcon/using jaya celcon.pdf e Laporan penelitian Pusat Litbang Permukiman 2010 f Berdasarkan korelasi massa
Analisis Ranking Metoda SAW dan MEW Berdasarkan matriks inisiasi pada tabel 11 dilakukan kompilasi setiap kriteria. Data arah optimasi dan bobot disajikan dalam tabel 12.
73
Kriteria
Jrkb
Kg/m3 Kg-CO2 km Asbes 2100 0,011c Purwakarta 70 Baja tulangan 7850 1,77 Cilegon 112 Bata ringan 700 0,28 Serang 277 Bata 1500 0,22 Nagrek 63 Batako 2200 0,163 Cileunyi 30 Batu belah 2200 0,056 Karawang 112 Batu split 1650 0,056 Karawang 112 Beton 2400 0,241 ------Beton FB ash 1680 0,102 Cileunyi 30 Genteng 2200 0,061 Cibinong 129 GRC 4 mm 2100 0,12 Citeureup 129 Kaca 1150 0,85 Cikampek 90 Kayu 800 0,46 Majalengka 91 Keramik 2600 0,59 Serang 277 Mortar 2200 0,177 ------Pasir 1700 0,81 Cimalaka 52 Plywood 600 0,83 Tangerang 212 PC 2700 n.a Citeureup 129 a Digunakan informasi dari pemborong, jarak terdekat dengan lokasi proyek b Diperoleh dari data http//doctoc.com tabel jarak antar kota di Jawa Barat c Berdasarkan data dari Seo and Hwang, 2001
Kriteria
Tabel 12 Optimasi dan Bobot Tiap Kriteria K1 Emisi CO2 K2 Biaya konstruksi K3 Kondisi termal K4 Kekuatan bahan K5 Insulasi bunyi K6 Waktu konstruksi
Sat.
Opt.
Bobot
kg-CO2 juta Rp W/m K N/mm2 STC hari
min min min max min min
0,069 0,179 0,167 0,330 0,069 0,186
Dari hasil analisis pembobotan dalam tabel 12 ternyata kriteria kekuatan bahan mempunyai bobot paling tinggi di antara lima kriteria lainnya, mendekati 2 kali dari bobot biaya konstruksi dan waktu konstruksi. Ketika isu penggunaan bahan bangunan ramah lingkungan menjadi penting, ternyata dalam kriteria penilaian konvensional yang meliputi kekuatan, biaya dan waktu konstruksi masih tetap menjadi prioritas dan lebih penting sekitar 3 kali dibandingkan dengan kriteria ramah lingkungan. Hal ini menjadi gambaran bahwa isu untuk lebih peduli pada lingkungan masih sulit diwujudkan. Dengan memperhatikan kondisi optimasi diperoleh matriks inisial untuk setiap kriteria mengikuti tabel 13. Tabel 13 Matriks Inisial dan Optimasi K1 K2 K3 K4 K5 K6
Opt. min min min max min min
A1 12793 81,42 1,770 1,71 57 59
A2 12572 82,37 1,750 2,28 54 62
A3 11560 87,37 1,524 3,65 47 55
A4 10103 79,45 1,350 5,02 52 40
Agar mendapatkan skala yang sama dilakukan transformasi nilai menggunakan persamaan (8) dan (9), dihasilkan matriks normalisasi disajikan dalam tabel 14. Tabel 14 Matriks Normalisasi SAW dan MEW K1 K2 K3 K4 K5 K6
A1
A2
A3
A4
0,790 0,976 0,763 0,341 0,825 0,678
0,804 0,965 0,771 0,454 0,870 0,645
0,874 0,909 0,886 0,727 1,000 0,727
1,000 1,000 1,000 1,000 0,904 1,000
Analisis menggunakan persamaan (10) disajikan dalam tabel 15 dan ranking sesuai nilai tertinggi Hasil analisis dengan metoda SAW diperoleh bahwa konstruksi rumah yang menggunakan dinding panel campuran beton dengan limbah batu bara merupakan tipe konstruksi terbaik berdasarkan penilaian enam kriteria. Sedangkan konstruksi dengan dinding batako merupakan pilihan terburuk.
Keputusan Multikriteria dalam Menilai … (Wahyu Wuryanti)
Tabel 15 Keputusan dengan Metoda SAW K1 K2 K3 K4 K5 K6 A* SAW Ranking
A1
A2
A3
A4
0,054 0,174 0,128 0,112 0,057 0,126 0,652 4
0,055 0,172 0,129 0,150 0,060 0,120 0,687 3
0,060 0,162 0,148 0,240 0,069 0,136 0,815 2
0,069 0,179 0,167 0,330 0,063 0,186 0,993 1
Hasil analisis multikriteria dengan metoda MEW menggunakan persamaan (11) disajikan dalam tabel 16. Tabel 16 Keputusan dengan Metoda MEW K1 K2 K3 K4 K5 K6 A* MEW Ranking
A1
A2
A3
A4
0,984 0,996 0,956 0,701 0,987 0,930 0,603 4
0,985 0,994 0,957 0,771 0,990 0,922 0,659 3
0,991 0,983 0,980 0,900 1,000 0,942 0,810 2
1,000 1,000 1,000 1,000 0,993 1,000 0,993 1
Hasil analisis dengan metoda MEW diperoleh keputusan yang sama seperti pada metoda SAW. Berdasarkan urutan skor tertinggi menunjukkan bahwa rumah panel merupakan pilihan terbaik. Diikuti dengan konstruksi rumah bata beton ringan dan terakhir adalah konstruksi rumah batako. Diskusi Bila ditinjau dari hasil analisis SAW dan MEW telah diputuskan bahwa konstruksi terbaik dari 4 pilihan alternatif adalah rumah panel yaitu rumah dengan konstruksi rangka utama beton bertulang normal, dinding panel dengan campuran limbah fly bottom ash dan penutup atap asbes. Skoring yang dihasilkan rumah panel rata-rata 1,58 kali lebih baik dari rumah batako, dan 1,48 kali dari rumah bata yang mana keduanya merupakan jenis konstruksi yang paling banyak digunakan.
secara teratur setiap 5 tahun meski belum menunjukkan tanda-tanda rusak. Demikian tingginya risiko terhadap keselamatan manusia sehingga pemakaian produk asbes sebagai bahan konstruksi perlu diawasi dengan ketat. Meski dari hasil studi ini diputuskan bahwa rumah panel dengan atap asbes merupakan tipe konstruksi terbaik, karena volume produk asbes yang digunakan sedikit melalui penilaian aspek lingkungan hanya berdasarkan pada kandungan emisi CO2, maka hasil keputusan masih dianggap valid. Namun demikian ketika keputusan tersebut akan digunakan untuk memproduksi rumah massal maka kriteria penilaian aspek lingkungan sebaiknya tidak hanya berdasarkan pada kadar emisi CO2 saja tetapi perlu dilengkapi dengan kriteria lain yang berkaitan dengan parameter lingkungan. Faktor lain yang mempengaruhi hasil keputusan adalah penggunaan bahan dinding, sebagai komponen bahan yang pemakaiannya paling dominan. Keputusan yang menetapkan bahwa rumah dinding panel sebagai pilihan terbaik telah mengindikasikan bahwa teknologi prefabrikasi dalam pengembangan rumah massal merupakan salah satu solusi terbaik untuk memproduksi rumah ramah lingkungan.
KESIMPULAN
Keputusan tersebut di atas merupakan hasil analisis data satu unit rumah sederhana. Keputusan optimis tersebut perlu direspon dengan hati-hati ketika memperhatikan penggunaan asbes sebagai bahan penutup atap. Dari keempat alternatif yang dikaji hanya rumah panel yang menggunakan penutup atap asbes sementara lainnya menggunakan atap genteng.
Memutuskan tipe konstruksi terbaik hanya meninjau satu kriteria penilaian semata belum tentu dapat menghasilkan keputusan terbaik. Melalui keputusan multikriteria dapat membantu pengambil keputusan dalam menentukan pilihannya berdasarkan preferensi tertentu. Tulisan ini menilai tipe konstruksi rumah terbaik terhadap lingkungan berdasarkan analisis multikriteria. Terdapat empat tipe rumah yang distudi yaitu rumah batako, rumah bata, rumah bata beton ringan dan rumah panel. Pengambilan keputusan berdasarkan enam kriteria penilaian yakni aspek lingkungan, ekonomi, kenyamanan termal, kekuatan bahan, kenyamanan suara dan kemudahan. Masing-masing diekspresikan dengan nilai emisi CO2, biaya konstruksi, konduktivitas termal, kekuatan bahan, insulasi suara dan waktu konstruksi.
Telah disadari bahwa paparan debu asbes dapat membahayakan kesehatan manusia, sehingga perlu regulasi khusus untuk menggatur penggunaan asbes. Menurut panduan penggunaan asbes yang dikeluarkan oleh pemerhati bahan bangunan menyarankan untuk mengganti penutup atap asbes
Dari hasil analisis diperoleh keputusan bahwa rumah panel menghasilkan skor tertinggi yaitu rata-rata 0,993. Hal ini berarti rumah panel yaitu rumah dengan konstruksi rangka beton bertulang normal, dinding panel dengan bahan campuran fly bottom ash dan penutup atap asbes merupakan
74
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 66-75
pilihan terbaik di antara empat alternatif. Pilihan selanjutnya adalah rumah bata beton ringan dengan skor rata-rata 0,812, rumah bata dengan skor rata-rata 0,673, dan yang terburuk adalah rumah batako dengan skor rata-rata 0,628. Meski telah diputuskan bahwa rumah panel merupakan tipe konstruksi terbaik pengaruhnya terhadap lingkungan, tetapi penggunaan bahan asbes sebagai bahan penutup atap tidak disarankan karena risiko paparan debu asbes berbahaya terhadap kesehatan manusia. Dengan demikian keputusan ini harus disikapi dengan bijaksana bila tipe rumah berdinding panel beratap asbes akan digunakan dalam mengembangkan produksi rumah massal dan ramah lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Baker, D., Bridge, D., et al., 2001. Decision making guidebook. Department of energy, USA http://www.dss.dpem.tuK.gr. (Diakses 15 Jan 2011). Chew, D., Syme, M., Seo, A., Chan, W.Y., Zhou, M., and Medding, S., 2010. Development of An Embodied CO2 Emission Module for Accurate. Forest & Wood Product Australia, CSIRO Sustainable Ecosystems. Castro, Eduardo, Bastos, Leopoldo., Virgone, Joseph, 2008. Using multicriteria analysis to aid building conception. Proceeding International Conference on Engineering Optimization, Rio de Jeneiro, 01-05 June 2008
75
Communities and local government, 2009. Multicriteria Analysis : A Manual. Department for Communities and Local Government; London Garison, P. 2005. Basic Structure for Engineer. Blackwell Publishing. Hammond, G., Jones, C., 2008. Inventory of Carbon & Energy (ICE) version 1.6a, Sustainable Energy Research Team (SERT) Department of Mechanical Engineering, University of Bath, UK. http://www.bath.ac.uk/mech-eng/sert /embodied (diakses 12 Agst 2011). Indolife, 2011. Multimedia message layanan telkomsel, 29 Des 2011. Joosen, S. And Luttmer, M., 2007. Cooking Book: CO2 Balancing: In Framework of the Balance Project. ECOFYS. The Netherlands Saaty, T.L., 2008. Decision Making with the Analytic Hierarchy Process. Int. J. Services Sciences, Vol. 1, No. 1, http://www.colorado.edu/geography /leyk/geog_5113/readings/saaty_2008.pdf (diakses 15 Agst 2011). Seo, S., Hwang, Y., 2001. Estimation of CO2 Emissions in Life Cycle or Residential Buildings, Journal of Construction Engineering and Management, September/October. Wuryanti, W., 2011. Multi criteria decision of type and building material for simple house construction. Proceeding the 3rd international conference of European Asian Civil Engineering Forum (EACEF). Yogyakarta, Indonesia 20-22 September 2011.
Faktor-Faktor Disain Rumah … (Arief S., Rumiati R. Tobing, Tri Harso K.)
FAKTOR-FAKTOR DISAIN RUMAH SUSUN YANG BERPENGARUH TERHADAP KENYAMANAN TERMAL The Influence of Design Factors Toward the Thermal Comfort in Flats 1Arief
Sabaruddin, 2Rumiati R. Tobing, 3Tri Harso Karyono
1 Pusat
Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan - Kabupaten Bandung 40393 E-mail :
[email protected] 2 Pengajar Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Parahyangan Jl. Ciumbuleuit No. 94 Bandung E-mail :
[email protected] 3 Pengajar Fakultas Arsitektur Universitas Tarumanegara dan Peneliti BPPT E-mail :
[email protected] Diterima : 12 Januari 2012 ; Disetujui : 26 Maret 2012
Abstrak Isu kenaikkan muka air laut akibat pemanasan global, telah menjadi topik yang menarik pada abad ini, namun belum banyak yang dapat digali antara keterkaitan disain bangunan yang menjadi faktor pemicu terbentuknya emisi CO2 tersebut. Penelitian ini merupakan kajian terhadap faktor-faktor disain bangunan yang berpengaruh terhadap kenyamanan visual yang berpengaruh pada besarnya penambahan emisi CO 2, pada studi kasus rumah susun di Kota Bandung. Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan metoda statistik faktorial disain. Faktor-faktor yang digali merupakan bentuk pola perlakuan disain, yang meliputi; orientasi bangunan, tipe bangunan serta posisi unit hunian. Dari hasil analisis terbukti bahwa faktor-faktor disain yang mempengaruhi kenyamanan termal dan berpeluang menghasilkan emisi CO2 adalah orientasi bangunan dan tipe bangunan. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan kriteria disain bangunan rendah emisi CO2, pada tahap operasional. Kata Kunci : Emisi CO2, disain, orientasi, tipe bangunan, posisi unit hunian
Abstract The issue of sea rise due to global warming has become a topic of interest in this century, but not many people can be developed between entanglement design buildings into factors trigger the establishment of CO2 emissions. This research is the study of factors designs of buildings that affect the comfort visual effect on CO2 emissions, the amount of additional in case study flats in the city of Bandung. The method used in this study is quantitative research using statistics method factorial design. A factor excavated is a pattern treatment design, which includes orientation; building, type of building and the position unit occupancy. The analysis proven that design factors affecting comfort thermal and could produce CO2 emissions are equivalent orientation buildings and type of the building. The results of this research are expected to be material input design criteria of low CO2 emissions, at the operational stage. Keyword : CO2 emission, design, orientation, building tipe, dwelling unit position
PENDAHULUAN Latar Belakang Emisi CO2 merupakan penambahan gas CO2 di atmospher yang memiliki jumlah dengan intensitas yang sangat tinggi, melampaui jumlah ideal yaitu 10% - 20% [5]. Tingginya gas CO2 di atmospher dapat mengakibatkan lapisan atmospher tertutup oleh gas CO2 yang sangat tebal, sehingga dapat menahan dan mengembalikan radiasi dan panas matahari ke permukaan bumi. Proses tersebut dinyatakan sebagai proses efek gas rumah kaca (GRK) [4].
Menurut data terakhir dari Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC), dalam dekade 100 tahun ke belakang sejak 1880 sampai dengan 1980, temperatur bumi telah meningkat 20C, yang merupakan dampak dari efek gas rumah kaca [6]. Hal tersebut menyebabkan terjadinya proses pencairan es di kutub utara dan selatan, bahkan juga es yang berada di pegunungan yang amat tinggi, seperti pada kasus pegunungan Kilimanjaro Afrika dan Puncak Jaya Papua puncak gunungesnya sudah mengalami pengurangan volume es akibat mencair, selanjutnya air tersebut berkumpul
76
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 76-87
di laut yang mengakibatkan terjadi kenaikkan muka air laut (sea level rise). Kenaikkan muka air laut yang disebabkan oleh mencairnya cadangan air, diperkirakan dapat menenggelamkan pulau-pulau kecil dan permukiman yang berada di sepanjang pantai. Padahal sebagaimana diketahui, bahwa 70% penduduk dunia tinggal di kawasan pantai. Hal tersebut menunjukkan bahwa dampak kenaikkan permukaan air laut akan mengganggu lebih dari setengahnya penduduk dunia. Begitu juga dengan Indonesia, karena sebagian besar penduduknya tinggal di kawasan pantai, dan Indonesia memiliki pantai yang sangat panjang. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan terjadi bencana kemanusiaan, seperti kelaparan, kemiskinan dan gangguan kesehatan. Perubahan iklim saat ini sudah sangat menghawatirkan, dimana karbon dioksida merupakan gas utama penyebab pemanasan global. Kondisi iklim yang tidak menentu pada akhir-akhir ini merupakan salah satu gejalanya, banjir dan kekeringan silih berganti, hal tersebut mengakibatkan pada perubahan ekosistem laut, hutan dan daratan, yang akan berpengaruh pada kesehatan manusia. Data pada tahun 1994, 83% peningkatan radiasi gas rumah kaca disebabkan oleh CO2, lainnya 15% CH4 dan sisanya N2O dan CO [1]. Jumlah emisi terbesar di Indonesia disebabkan oleh eksploitasi hutan dan konversi lahan (74%), diikuti konsumsi energi (23%) dan proses industri (3%). Menurut Massachusetts Institute of Technology kandungan CO2 di alam mencapai 3,64 triliun ton, mengalami peningkatan 800 ton setiap detiknya, dan 30% emisi CO2 dihasilkan oleh bangunan [7]. Dampak dari eksploitasi sumber daya alam berupa sampah/polutan, yang salah satunya adalah emisi CO2 yang berasal dari dampak pembakaran dalam memproduksi energi maupun proses industrialisasi. Demikian juga sampah domestik yang telah menghasilkan gas methan (CH4), yang memiliki daya rusak terhadap pemanasan global 20 – 30 kali dibandingkan dengan gas CO2[4]. Kondisi tersebut, harus segera disikapi oleh berbagai sektor dan disiplin ilmu, termasuk disiplin ilmu arsitektur (melalui disain bangunan). Bahwa sejauh mana peran disain dapat berkontribusi dalam persoalan global, hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam proses dan aspek disain, agar dalam proses dan penyelenggaraan bangunan, mampu menjaga keseimbangan alam. Apa yang kita bangun saat ini
77
akan memberikan manfaat yang dapat dirasakan baik oleh pengguna saat ini maupun generasi mendatang. Bagaimana konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), dengan melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim melalui pendekatan disain bangunan, sebagai upaya mitigasi terhadap perubahan iklim (dan pemanasan global). Bangunan sebagai wujud arsitektur keberadaannya tidak dapat dilepaskan dan sumber daya alam, sebagai tempat yang memungkinkan bangunan tersebut ada dan berfungsi. Wujud arsitektur dibentuk dari sumber daya alam, begitu juga setelah bangunan terwujud bangunan dapat berfungsi bila disuplai oleh sejumlah sumber daya alam. Suplai sejumlah sumber daya alam memiliki keterkaitan dengan disain bangunan itu sendiri. Faktor-faktor disain apa yang mempengaruhi kenyamanan dan berdampak pada besar-kecil-nya emisi CO2 ? Pada kajian ini sampel penelitian dilakukan pada bangunan gedung dengan fungsi hunian, yakni rumah susun. Tiga jenis rumah susun yang dikaji, yakni rumah susun Cigugur Tengah Cimahi (Tower), rumah susun Industri Dalam mewakili tipa Block Double Loaded (BDL), dan Rumah Susun Sarijadi mewakili tipe Block Single Loaded (BSL). Tujuan Melihat seberapa kuat pengaruh dari faktor-faktor disain (posisi unit hunian; orientasi; dan tipe bangunan) terhadap faktor kenyamanan termal. Manfaat Manfaat diketahuinya faktor-faktor disain yang mempengaruhi kenyamanan adalah sebagai bahan masukan kriteria disain dan rancang bangun rumah susun rendah emisi CO2. Kajian Pustaka Bangunan merupakan tempat dimana manusia melakukan aktivitas kehidupan dan kehidupannya. Melalui sebuah disain bangunan yang baik, manusia dapat melakukan kegiatannya dengan baik. Kondisi bangunan baik bilamana manusia merasakan nyaman dalam melakukan kegiatannya di dalam bangunan tersebut, rasa nyaman yang tercipta merupakan konsekuensi dari disain, tanpa harus banyak dibantu oleh peralatan pengatur kenyamanan. Bangunan menurut Undang-undang Bangunan Gedung Nomor 28 Tahun 2002 terdiri dari bangunan umum dan bangunan perumahan. Sebagian besar emisi CO2 dihasilkan dari kegiatan
Faktor-Faktor Disain Rumah … (Arief S., Rumiati R. Tobing, Tri Harso K.)
domestik 27% [3], sehingga upaya menurunkan emisi CO2 sangat efektif bila dilakukan pada bangunan perumahan. Emisi CO2 yang dipengaruhi oleh disain secara langsung adalah aspek kenyamanan termal, dimana untuk mendapatkan rasa nyaman pada suatu bangunan dapat dilakukan dengan pendekatan aktif dan pasif disain. Sebuah disain yang baik bila kenyamanan tersebut dicapai melalui pendekatan disain pasif (passive design) bukan disain aktif (active design). Pendekatan aktif disain pada sebuah bangunan adalah upaya mendapatkan rasa nyaman dengan memanfaatkan peralatan pengatur kenyamanan mekanik (artifisial), seperti Air Conditioner (AC) atau kipas angin. Pendekatan tersebut berpotensi menghasilkan emisi CO2. Hal tersebut dikarenakan berbagai jenis peralatan tersebut digerakkan oleh energi listrik. Besarnya konsumsi energi memiliki korelasi dengan besarnya emisi CO2. Pendekatan disain secara pasif merupakan domain disiplin ilmu arsitektur, dimana peran ordering principle salah-satunya adalah keseimbangan, menjadi fokus dalam sebuah proses rancangbangunan. Sedangkan pendekatan disain secara aktif dilakukan bilamana iklim mikro tidak memiliki kualitas udara yang baik, maka pemanfaatan peralatan (instrument) untuk mengkondisikan keadaan bangunan yang lebih baik dapat dipilih. Sebagai gambaran, ketika sebuah bangunan berada pada kawasan dengan pencemaran udara yang sangat tinggi, maka sirkulasi udara alamiah pada bangunan tidak diizinkan. Maka penggunaan alat pengatur udara (Air Conditioner) dapat digunakan pada konteks tempat tersebut. Laju pertumbuhan penduduk diperkotaan di Indonesia rata-rata mencapai 1,82%, dengan laju pertumbuhan tertinggi adalah Kota Bekasi dengan 3,99%. Kota Bandung sebagai lokus penelitian merupakan kota metropolitan dengan tingkat kepadatan 137 jiwa/ha. Diprediksikan pada akhir tahun 2010 [11], 50% jumlah penduduk Indonesia bertempat tinggal di perkotaan. Laju pertumbuhan penduduk di perkotaan meningkat lebih pesat dibandingkan dengan perdesaan, sehingga trendnya, sebagian besar penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan. Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia setelah sandang dan pangan, sehingga jumlah penduduk yang terkonsentrasi di perkotaan tersebut akan membutuhkan perumahan yang cukup besar. Harga lahan yang semakin tinggi dan semakin terbatas ketersediaannya, menuntut pendekatan
Compact City dengan rumah bersusun merupakan solusi yang tidak dapat dihindarkan. Meskipun keberadaan rumah bersusun belum terlalu signifikan jumlahnya, akan tetapi bila melihat pada laju pertumbuhan penduduk perkotaan, maka peluang emisi CO2 akan cukup besar. Mengacu pada komposisi penduduk berdasarkan penghasilan, maka masyarakat yang berpenghasilan menengah dan berpenghasilan rendah merupakan golongan terbesar, yaitu 70% dari penduduk Indonesia. Maka rumah susun dengan peruntukan golongan ini memiliki peluang besar dalam menghasilkan emisi CO2. Upaya pencegahan melalui pendekatan rancang bangun arsitektur perumahan, diharapkan menjadi langkah kongkret untuk menurunkan emisi CO2 pada lingkup arsitektur. Dari beberapa latar belakang tersebut di atas, maka ditentukan objek penelitiannya adalah pada disain rumah susun sederhana dengan subjek penelitian pada aspek kenyamanan termal yang berpengaruh pada penambahan emisi CO2 dengan lokus perkotaan yakni Kota Bandung. Penelitian ini ditujukan untuk menggali sejauhmana pengaruh disain terhadap kenyamanan termal dan berpeluang menambah emisi CO2 yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Orientasi Unit Hunian Orientasi adalah arah hadap bangunan berdasarkan arah matahari, pada pengertian lain orientasi juga dapat diartikan sebagai posisi bangunan pada muka bumi yang mengakibatkan terbentuknya pola iklim tertentu yang diterima oleh bangunan. Orientasi dalam kajian ini lebih diarahkan pada arah hadap bangunan berdasarkan mata-angin. Orientasi bangunan pada konteks rumah susun, dapat diartikan arah garis tegak lurus terhadap sumbu memanjang bangunan, sehingga sebagian besar bidang bangunan menghadap pada arah mata angin. Arah hadap posisi unit hunian adalah arah hadap unit hunian berdasarkan letak pintu masuk utama terhadap koridor dari bangunan rumah susun. Sehingga titik pengamatan pada unit hunian ditentukan pada ruang utama yang berdekatan dengan pintu masuk. Konsekuensi dari orientasi adalah pada sistem pencahayaan alami. Bangunan dengan orientasi barat-timur berpeluang mendapat cahaya matahari langsung, yang mengakibatkan ruangan teradiasi oleh cahaya matahari langsung. Bangunan dengan arah hadap utara-selatan berpeluang sedikit memasukkan radiasi matahari secara langsung, 78
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 76-87
sehingga penerangan siang hari pada ruangan lebih memanfaatkan cahaya langit. Menurut aspek kenyamanan termal dan visual, akibat dari sinar matahari langsung selain mengakibatkan efek silau juga mengakibatkan tingginya temperatur dalam ruangan. Bangunan lebih membutuhkan efek pencahayaan yang bersumber dari cahaya langit, selain kualitas cahaya yang tidak menyilaukan juga temperatur ruang lebih nyaman. Besarnya arah cahaya matahari langsung baik yang memiliki arah hadap barat-timur maupun utara selatan, sepanjang tahunnya senantiasa berbeda. Garis edar matahari terhadap sumbu bumi sepanjang tahun selalu berubah, dimana pada bulan Maret dan bulan September matahari berada tepat digaris katulistiwa. Kota Bandung yang berada pada sekitar 90-00” Lintang Selatan posisi matahari tepat berada di Kota Bandung adalah sekitar awal bulan Maret dan September. Sehingga bulan-bulan tersebut adalah saat yang baik untuk mengamati kondisi udara pada unit rumah susun, sehingga nilai rata-rata kondisi udara dapat digunakan untuk mengambil kesimpulan dari kondisi bangunan dalam waktu satu tahun. Tipe Bangunan Dalam ilmu tipologi. Tipologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pengelompokkan sebuah objek. Tipologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari “tipo” yang berarti pengelompokkan dan “logos” yang berarti ilmu. Tipologi bangunan
berarti ilmu yang digunakan dalam pengelompokkan bangunan berdasarkan karakter fisik tertentu dari bangunan. Rumah susun berdasarkan tipologi bangunan dapat diartikan sebagai pengelompokkan bangunan rumah susun berdasarkan karakteristik fisik tertentu. Dalam konteks ini pengelompokkan dapat dilakukan melalui pengelompokkan berdasarkan pola sirkulasi dalam ruangan sebagai sarana penghubung diantara unit-unit hunian, pengelompokkan didasarkan pada pola orientasi dari kelompok unit hunian dalam satu blok rumah susun, pengelompokkan berdasarkan pola susunan lantai-lantai bangunan berdasarkan fungsi, pengelompokkan berdasarkan peruntukan atau target grup penghuni, dan bentuk pengelompokkan lainnya. Tipe bangunan dalam konteks penelitian ini diarahkan pada pengelompokkan berdasarkan pola sirkulasi, komposisi unit hunian pada satu lantai, dan pengelompokkan berdasarkan homogenitas penghuni dalam arti kesamaan tingkat sosial. Berdasarkan pola sirkulasi, terdapat tiga tipe pola sirkulasi yang berfungsi sebagai penghubung antara unit-unit hunian, yakni pola terpusat, dimana sirkulasi yang terjadi terkonsentrasi pada satu titik, kedua pola sirkulasi linier yang terbagi lagi menjadi dua pola, yakni pola sirkulasi linier dengan sistem layanan satu sisi (koridor single loaded) dan pola sirkulasi linier dengan layanan dua sisi (koridor double loaded).
Pola Terpusat Pola Linier Satu Sisi Layanan Pola Linier Dua Sisi Layanan Gambar 1 Pengelompokkan Bangunan Rumah Susun Berdasarkan Pola Sirkulasi
Berdasarkan tipe sirkulasi rumah susun dapat dibagi menjadi tiga, yaitu rumah susun dengan sirkulasi memusat, rumah susun dengan sirkulasi
Cluster
Linear satu arah Linier dua arah Gambar 2 Pengelompokkan Bangunan Rumah Susun Berdasarkan Komposisi
Berdasarkan komposisi dari kelompok unit hunian pada setiap lantai, terdiri dari tiga tipe, yakni kelompok dengan komposisi unit hunian menghadap pada satu titik orientasi membentuk
79
linier satu sisi layanan dan rumah susun dengan sirkulasi linier dua sisi layanan.
sebuah orientasi, komposisi kedua adalah komposisi unit hunian dengan susunan memanjang secara linier dengan menghadap pada satu arah mata angin yang sama, dan komposisi ketiga
Faktor-Faktor Disain Rumah … (Arief S., Rumiati R. Tobing, Tri Harso K.)
adalah komposisi unit hunian yang memiliki dua arah orientasi serta terdapat unit yang saling berhadapan. Dari dua tipologi di atas, dapat disimpulkan bahwa rumah susun memiliki tiga tipe, yang dapat dinyatakan sebagi rumah susun tipe memusat dengan sebutan tipe Tower, tipe memanjang linier dengan koridor satu sisi layanan yakni tipe Block Single Loaded, dan tipe memanjang dengan koridor melayani dua sisi yakni tipe Block Double Loaded. Antara komposisi dengan pola sirkulasi keduanya saling menyatu sehingga membentuk satu tipologi. Posisi Unit Hunian Posisi unit hunian adalah letak unit hunian terhadap bangunan secara keseluruhan. Posisi unit hunian diindikasikan memiliki perbedaan karakteristik berdasarkan posisi pada arah vertikal dan arah horizontal. Pada arah vertikal memiliki kecenderungan akan mengalami perbedaan pengaruh dari lingkungan luar. Dari aspek angin semakin atas memiliki kecepatan lebih tinggi, cahaya semakin atas memiliki peluang semakin rendah gangguan atau pembayangan dari elemenelemen lingkungan seperti pohon atau bangunan lainnya, suara selain atas semakin jauh dari sumber kebisingan. Pada arah horizontal, yakni arah memanjang sejajar lantai, memiliki peluang perbedaan pada posisi unit hunian yang berada di sisi pojok dengan unit hunian yang berada pada posisi tengah. Perbedaan kondisi antara posisi pojok dan posisi tengah adalah pada jumlah sisi yang berinteraksi langsung dengan udara luar, yang lebih banyak pada sisi pojok, sedangkan sisi tengah justru memiliki dua sisi yang berbatasan langsung dengan unit hunian lainnya. Jenis Bahan Bangunan Bahan bangunan memiliki sifat fisik yang memungkinkan memberikan dampak pada penghuni yang berbeda, dari aspek kemampuan merambatkan termal terdapat bahan bangunan yang cepat merambatkan pada dari satu sisi ke sisi lain, bahan bangunan yang memiliki kemampuan cukup lama menyimpan panas dan dingin, juga terdapat bahan bangunan yang berpori dan yang pejal. Seluruh sifat-sifat bahan bangunan tersebut dapat mempengaruhi faktor kenyamanan pada ruang dalam bangunan. Dari aspek proses produksi bahan bangunan tersebut, memiliki beberapa karakteristik, bahan bangunan yang merupakan raw material yang bersumber langsung dari alam, bahan bangunan sekunder yang merupakan hasil pengolahan dari
raw material, bahan bangunan tersier dan dimungkinkan juga perpaduan antara bahan bangunan raw material dengan sekunder, seperti conblok yang merupakan produk dari komposisi raw material seperti pasir dengan semen yang merupakan bahan bangunan sekunder. Dalam proses produksi bahan bangunan diperlukan sejumlah peralatan yang digerakkan oleh sejumlah energi melalui pembakaran bahan bakar, selain itu juga pada beberapa proses pembuatan bahan bangunan terjadi proses oksidasi. Kepadatan Hunian (Spasial) Kenyamanan spasial ditentukan oleh tingkat kepadatan hunian, artinya terdapat kesesuaian antara luas unit hunian dengan jumlah penghuni, menurut Kepmen Kimpraswil Nomor 403/KPTS/M/2002, kebutuhan ruang minimal adalam 9 m2 per jiwa [10]. Untuk rata-rata jumlah jiwa dalam sebuah unit hunian sebanyak 4 orang maka luas unit hunian yang diperlukan untuk keluarga tersebut adalah 36 m2.
METODOLOGI Metoda yang digunakan adalah factorial design, dimana tipe, orientasi unit hunian serta posisi unit hunian sebagai bentuk perlakuan. Tipe bangunan terdiri dari tiga taraf, yakni tipe tower, tipe block double loaded, dan tipe block single loaded. Orientasi unit hunian terdiri dari empat taraf, yaitu; orientasi utara, barat, selatan, dan timur. Posisi unit hunian terdiri dari sembilan taraf, yaitu; pada arah vertikal dan horizontal masing-masing dibagi menjadi tiga posisi, sehingga total perlakuan menjadi sembilan. Ketiga perlakuan tersebut dikatagorikan sebagai variabel independen. Variabel dependen yang didapat dari hasil pengukuran langsung di lapangan meliputi; suhu (0C), kelembaban (%), angin (m/s) dan intensitas cahaya (lux). Sampel yang dipilih meliputi rumah susun Cigugur Tengah merupakan tipe tower, rumah susun Industri Dalam merupakan tipe block double loaded, dan rumah susun Sarijadi merupakan tipe block single loaded. Metoda statistik uji perbandingan secara komprehensif dengan melakukan uji antara variabel dependen dan variabel independen secara serentak, melalui uji MANOVA. Uji ini untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh dan perbedaan diantara variabel independen, yang dapat mempengaruhi variabel dependen. Variabel independen merupakan grup dinyatakan sebagai variabel faktor, yang terdiri dari variabel faktor 1 80
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 76-87
tipe bangunan, faktor 2 orientasi dan faktor 3 lokasi hunian. Variabel dependen terdiri dari variabel suhu, variabel kelembaban, variabel angin dan variabel cahaya.
sampel 108 sampel, masing-masing rumah susun terdiri dari 36 sampel. Tabel 1 Kompilasi Data Pengukuran N
Persamaan model linier yang akan diuji dari pengamatan disain acak sempurna, adalah : Yij = μ + Vi + Hj + VHij + Єk(ij) Dimana : i = 1, 2, .., v (banyaknya perlakuan pada faktor 1) j = 1, 2, .., h (banyaknya perlakuan pada faktor 2) k = 1, 2, .., n (banyaknya obeservasi untuk setiap kombinasi perlakuan) dengan : Yij : variabel respon karena pengaruh bersama taraf ke I faktor A dan taraf ke j faktor B yang terdapat pada obeservasi ke K μ : efek umum atau efek rata-rata yang sebenarnya Vi : efek sebenarnya dari taraf ke I Faktor V Hj : efek sebenarnya dari taraf ke j Faktor H VHij : efek sebenarnya dari interaksi antara ke I faktor A dan taraf ke j faktor B Єk(ij) : efek sebenarnya dari unit eksperimen ke k dalam kombinasi perlakuan (ij) Rumus hipotesa yang akan diuji adalah : Hipotesa 1 H01 : Vi = 0 untuk i = 1, 2, …. v (tidak terdapat adanya efek Faktor V) H11 : Vi ≠ 0 (terdapat adanya efek Faktor V) Hipotesa 2 H02 : Hj = 0 untuk j =1, 2, …. h (tidak terdapat adanya efek Faktor H) H12 : Hj ≠ 0 (terdapat adanya efek Faktor H) Hipotesa 3 H03 : VHij = 0 untuk i = 1, 2, …. v, dan untuk j = 1, 2, …. H (tidak terdapat adanya efek Faktor V dan Faktor H) H13 : VHij ≠ 0 (terdapat adanya efek Faktor V dan Faktor H)
HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Data Observasi dilakukan pada tiga rumah susun, masing-masing dibagi pada empat kelompok observasi berdasarkan orientasi, pada setiap orientasi ditentukan sembilan sampel posisi unit hunian, terdiri dari kiri-atas, kiri tengah, kiri bawah, tengah atas, tengah-tengah, tengah-bawah, kanan-atas, kanan-tengah, dan kanan-bawah. Masing-masing sampel diakukan 12 kali pengukuran, yang dilakukan setiap jam dari jam 07:00 sampai dengan 18:00, sehingga total jumlah pengukuran (N) 1296 pengukuran. Jumlah unit
81
Suhu Kelembaban Kcp. Angin Cahaya Valid N (listwise)
1296 1296 1296 1296 1296
Range
Min.
Max.
Mean
7,20 23,30 30,50 26,9225 51 46 97 67,13 1,20 0,00 1,20 0,1186 690,00 60,00 750,00 292,4537
Std. Deviation 1,41100 7,191 0,22631 159,931
Setelah melalui proses analisis data dinyatakan berkarakteristik normal sehingga analisis disain faktorial dapat dilakukan kecuali pada data angin yang distribusi datanya tidak normal, sedangkan data kelembaban dapat dinyatakan normal. Dari hasil pengujian homogenitas sampel menunjukkan data identik kecuali data angin. Ketiga sampel lainnya menunjukkan nilai signifikansi di atas 5%, yang meliputi; data intensitas cahaya nilai signifikansi 0,107; suhu 0,989; kelembaban 0,903; dan angin 0,000. Rumah Susun Cigugur Tengah Pada setiap posisi unit hunian didefinisikan kedalam dua faktor pelakukan berdasarkan posisi pada arah vertikal dan posisi pada arah horisontal. Masing-masing faktor terdiri dari tiga (3) level yaitu; untuk Faktor Vertikal terdiri dari bawah (1), tengah (2), dan atas (3); untuk Faktor Horisontal terdiri dari kiri (A), tengah (B), dan kanan (C). Sehingga dapat dinyatakan untuk analisis faktoral V (vertikal) – H (horizontal) terdiri dari sembilan sampel. Hasil analisis faktorial V-H Tipe Tower dengan orientasi utara, dinyatakan bahwa matrik varianscovarians sama, baik pada posisi hunian vertikal maupun horizontal, hal ini ditunjukkan pada nilai signifikansi hasil tes Levene menurut Santoso [8], dimana kenyamanan visual 0,080 dan kenyamanan termal 0,082. Artinya ketika variabel tersebut varians-covarians-nya sama. Namun tidak dengan nilai kecepatan angin dan kelembaban memiliki nilai signifikansi 0,000, karena nilai signifikansinya dibawah 5%. Walaupun nilai signifikansi pada Box’s M adalah 0,012 kurang dari 5%, menurut Santoso [8] karena Levene test tiga variabel tersebut melebihi 5% maka varians-covarians-nya dianggap sama. Dengan hipotesa H0 : rata-rata variabel dependen (suhu, kelembaban, angin dan cahaya) dari masingmasing posisi (Faktor V dan H) tidak menunjukkan perbedaan yang disebabkan oleh faktor posisi unit hunian horizontal dan vertikal H1 : Rata-rata variabel dependen (suhu, kelembaban, dan cahaya) menunjukkan perbedaan yang jelas pada masingmasing lokasi unit (faktor Orientasi, Faktor V dan
Faktor-Faktor Disain Rumah … (Arief S., Rumiati R. Tobing, Tri Harso K.)
H, interaksi O-V; O-H; dan H-V). Jika nilai probabilitas lebih besar dari 5% maka H0 diterima, jika nilai signifikansi kurang dari 5% maka H0 ditolak.
adanya pengaruh orientasi dengan posisi hunian pada arah vertikal maupun horizontal terhadap nilai suhu, intensitas cahaya dan kelembaban ruang.
Orientasi, memiliki nilai signifikansi sama dengan nol (0), menurut Santoso [10] mengacu pada nilai Pillai's Trace, Wilks' Lambda, Hotelling's Trace, atau Roy's Largest Root artinya H0 ditolak sehingga ratarata variabel dependen (suhu, kelembaban, dan cahaya) menunjukkan perbedaan yang jelas pada setiap orientasi bangunan (utara, selatan, barat, dan timur).
H0 : Variabel dependen (suhu, kelembaban, angin, dan cahaya) memiliki varians-covarians yang sama, baik pada tingkat orientasi, Faktor V maupun Faktor H. H1 : Variabel dependen (suhu, kelembaban, angin, dan cahaya) memiliki varianscovarians yang berbeda, baik pada tingkat orientasi, Faktor V maupun Faktor H. Karena signifikansi variabel suhu (0,999), RH (0,372), dan Cahaya (0,05) berada di atas 5%, maka variabel tersebut memiliki varians-kovarians yang sama pada tingkat orientasi, Faktor V dan Faktor H.
Faktor H memiliki nilai signifikansi sama dengan nol (0), nilai Pillai's Trace, Wilks' Lambda, Hotelling's Trace, maupun Roy's Largest Root artinya H0 ditolak, sehingga rata-rata variabel dependen (suhu, kelembaban, dan cahaya) menunjukkan perbedaan yang jelas antara masingmasing lokasi unit pada posisi horizontal. Faktor V memiliki nilai signifikansi 0,004, nilai Pillai's Trace dan Wilks' Lambda, dan 0,003 menurut Hotelling's Trace, sedangkan nol (0) menurut Roy's Largest Root artinya nilai signifikansi masih di bawah 5%, yang berarti H0 = ditolak, sehingga rata-rata variabel dependen (suhu, kelembaban, dan cahaya) menunjukkan perbedaan yang jelas antara masing-masing lokasi unit pada posisi horizontal. Hipotesis untuk interaksi variabel, H0 : tidak ada interaksi antara orientasi dengan posisi unit hunian (Faktor V atau H); H1 : ada interaksi antara orientasi dengan posisi unit hunian (Faktor V atau H). pada baris Orientasi*Faktor V maupun Orientasi* Faktor H kedua-duanya memiliki nilai signifikansi di bawah 5%, yaitu nol (0), maka H0 ditolak. Sehingga dapat disimpulkan adanya interaksi antara orientasi dengan variabel posisi unit hunian, baik posisi pada arah vertikal maupun pada arah horizontal. Sedangkan nilai signifikansi antara interaksi Faktor V*Faktor H memiliki nilai signifikansi jauh di atas 5%, yaitu 0,995, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi interaksi antar posisi unit hunian. Demikian juga interaksi 3 faktor, yaitu; Orientasi*Faktor V*Faktor H memiliki nilai signifikansi di atas 5%. Rumah Susun Industri Dalam Objek studi bangunan rumah susun dengan tipe Block Double Loaded (BDL) adalah pada rumah susun Industri Dalam Blok A, Blok B, dan Blok C. Tiga variabel menurut uji Levene memenuhi syarat (Sig. lebih besar dari 5%) untuk dilakukan analisis
Analisis Multivariate Tests menunjukkan, apakah terdapat perbedaan yang nyata antara output, diuji melalui hipotesa Ho : Variabel dependen (suhu, RH, cahaya) secara bersama-sama tidak menunjukkan perbedaan pada tingkat orientasi/Faktor V/Faktor H. H1 : Variabel dependen (suhu, RH, cahaya) secara bersama-sama menunjukkan perbedaan pada tingkat orientasi/Faktor V/Faktor H. ketiga variabel menurut hasil tes Multivariate menunjukkan nilai signifikansi kurang dari 5% pada variabel orientasi, variabel Faktor H dan variabel Faktor V, maka Ho pada ketiga variabel tersebut ditolak, artinya; variabel suhu, RH, dan cahaya secara bersama-sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada tingkat orientasi. Dimungkinkan orientasi yang berbeda, posisi unit hunian yang berbeda akan memberikan tingkat kenyamanan yang berbeda. Hipotesis untuk variabel dependen Ho : tidak ada interaksi antara orientasi, dengan faktor lokasi vertikal, dengan faktor lokasi horizontal, H1 : ada interaksi antara variabel-variabel orientasi, Faktor Hunian vertikal, dengan faktor hunian horizontal. Jika Sig. > 0,05 maka Ho diterima, sebaliknya jika Sig. < 0,05 maka Ho ditolak. Mengacu pada nilai signifikansi lebih besar dari 5% maka H0 diterima, artinya tidak ada interaksi antara variabel-variabel orientasi, Faktor V dan Faktor H. Nilai signifikansi dari orientasi * Faktor H, orientasi * Faktor V, Faktor H * Faktor V, dan Orientasi * Faktor H * Faktor V nilainya berada di atas 5% maka H0 diterima, yang menunjukkan tidak ada interaksi antara variabel orientasi dengan Faktor H dengan Faktor V. Masing-masing variabel mempengaruhi variabel suhu, RH dan cahaya secara masingmasing. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya tidak dapat
82
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 76-87
ditentukan oleh variabel orientasi dan posisi unit secara bersama-sama, namun dapat ditentukan melalui orientasi dan posisi unit hunian secara masing-masing. Baik orientasi, posisi unit hunian dapat menentukan tinggi rendahnya temperatur, kelembaban dan intensitas cahaya, namun kombinasi dari orientasi dan posisi unit hunian tidak dapat digunakan sebagai penentu tinggi rendahnya suhu, kelembaban, maupun intensitas cahaya. Tabel tests of Between-Subjects Effects menurut Santoso [10] adalah untuk melihat signifikansi dari masing-masing variabel dependen, apakah ada efek yang signifikan dari orientasi, posisi unit hunian (Faktor V maupun Faktor H) secara masing-masing terhadap nilai suhu, RH dan pencahayaan. Asumsi hipotesis adalah Ho : rata-rata nilai temperatur (suhu); kelembaban (RH); pencahayaan (lux) tidak menunjukkan perbedaan pada kenyamanan visual, kenyamanan termal, kenyamanan udara (kelembaban), H1 : rata-rata nilai temperatur (suhu); kelembaban (RH); pencahayaan (Lux) menunjukkan perbedaan yang jelas pada kenyamanan visual, kenyamanan termal, kenyamanan udara (kelembaban). Jika angka Sig. > 0,05 maka Ho diterima, jika Sig. < 0,05 maka Ho ditolak. Orientasi dengan nilai signifikansi nol (0) yakni kurang dari 5%, maka H0 ditolak, artinya H1 diterima, rata-rata temperatur/ kenyamanan termal (0,000), kenyamanan udara kelembaban (0,000), dan kenyamanan visual (0,002) menunjukkan perbedaan yang jelas pada setiap orientasi yang berbeda (utara-selatan-barattimur). Variabel/Faktor V dan Faktor H dengan nilai siginfikansi di atas 5%, maka Ho diterima, dengan demikian rata-rata temperatur/kenyamanan termal, kenyamanan udara kelembaban, dan kenyamanan visual menunjukkan tidak ada perbedaan pada setiap orientasi yang berbeda (utara-selatan-barat-timur). Dengan demikian variabel Orientasi * Faktor V * Faktor H secara bersama-sama tidak dapat digunakan sebagai indikator terhadap perbedaan termal, kelembaban maupun intensitas cahaya. Rumah Susun Sarijadi Objek studi bangunan single loaded adalah rumah susun Sarijadi, yang memiliki perbedaan dengan kasus rumah susun Cigugur Tengah Cimahi, yaitu pada lantai dasar berbatasan langsung dengan muka tanah, berbeda dengan Cigugur dimana pada
83
bagian bawah lantai berhubungan dengan ruang publik (sarana ruang bersama). Dari tabel tes Levene, menurut Santoso [8] dapat disimpulkan bahwa data suhu dan data pencahayaan merupakan data yang homogen, karena nilai signifikansi dari variabel kenyamanan visual lebih besar dari 5%, yaitu 0,161. Sama halnya dengan variabel kenyamanan termal memiliki nilai signifikansi 0,058 lebih besar sedikit dari 5%. Sedangkan untuk variabel kelembaban dan variabel kecepatan angin nilai signifikansi di bawah 5% artinya kedua data tersebut tidak homogen. Untuk variabel angin karena distribusi data tidak normal, maka data ini tidak digunakan dalam analisa mutivarian ini. Dari hasil analisis faktorial antara variabel Orientasi*Faktor V*Faktor H, menunjukkan bahwa nilai signifikansi dari orientasi bangunan memiliki nilai nol (0) yang berarti lebih kecil dari 5%, maka dapat disimpulkan bahwa variabel orientasi bangunan berpengaruh secara signifikan terhadap besar kecilnya nilai kenyamanan termal, visual maupun udara. Faktor H memiliki nilai signifikansi nol (0) yang berarti adanya perbedaan suhu, termal dan kelembaban yang disebabkan oleh faktor posisi unit hunian. Adanya perbedaan yang signifikan dari variabel dependen tersebut pada setiap posisi unit hunian yang berbeda. Hal yang sama juga terjadi pada Faktor V memiliki nilai signifikansi nol (0) yang berarti adanya perbedaan suhu, termal dan kelembaban yang disebabkan oleh faktor posisi unit hunian. Adanya perbedaan yang signifikan dari variabel dependen tersebut pada setiap posisi unit hunian yang berbeda. Interaksi antara Orientasi*Faktor H memiliki nilai signifikansi dari Pillai's Trace, Wilks' Lambda, dan Hotelling's Trace lebih besar dari 5%, yaitu 0,512; 0,513; 0,514 berbeda dengan nilai signifikansi dari Roy's Largest Root memiliki nilai kurang dari 5%, yaitu 0,035. Artinya interaksi Orientasi*Faktor H memiliki pengaruh terhadap perbedaan nilai suhu, intensitas cahaya, maupun kelembaban. Berbeda dengan tiga metoda sebelumnya yang menghasilkan nilai signifikansi lebih besar dari 5% yang berarti interaksi Orientasi*Faktor H tidak memiliki perbedaan yang nyata pada variabel suhu, termal dan kelembaban. Untuk itu, kesimpulan diambil berdasarkan metoda dari Roy's Largest Root.
Faktor-Faktor Disain Rumah … (Arief S., Rumiati R. Tobing, Tri Harso K.)
Interaksi antara Orientasi*Faktor V bernilai signifikansi nol (0), hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara orientasi dengan posisi unit hunian pada arah vertikal memiliki pengaruh terhadap besar kecilnya nilai suhu, intensitas cahaya dan kelembaban unit hunian. Memperhatikan nilai signifikansi dari interaksiinteraksi selanjutnya yang berada di bawah 5%, menunjukkan bahwa interaksi orientasi dengan Posisi unit hunian pada arah vertikal, interaksi antara posisi unit hunian vertikal dengan posisi unit hunian horizontal serta interaksi antara ketiganya, yaitu orientasi, posisi unit hunian arah vertikal dan horizontal memiliki nilai yang berbeda pada variabel suhu, cahaya dan kelembaban. Perbandingan Ketiga Rumah Susun Analisa faktorial tipe bangunan terhadap orientasi dan posisi unit hunian dilakukan untuk mengetahui sejauh mana masing-masing faktor serta interaksi antara faktor mempengaruhi pada variabel dependen (suhu, kelembaban, angin dan cahaya). Tahap pertama dalam analisis variabel dependen adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang berarti ? Dari efek rata-rata tiap taraf serta meneliti secara bersama efek daripada beberapa faktor serta kombinasi antara faktor. Tiga faktor perlakuan disain meliputi; Faktor_1 adalah orientasi yang dikatagorikan ke dalam; orientasi arah utara (1), timur (2), selatan (3) dan barat (2). Faktor_2 meliputi tipe bangunan yang terdiri dari tiga taraf, yakni tipe Tower (1), tipe BDL (2), dan tipe BSL (3). Serta faktor_3 Posisi Unit Hunian. Dari total 1.296 observasi (N) dapat dikelompokkan menjadi (1) pengamatan berdasarkan perlakuan pertama, yakni; Faktor_1 dilakukan pengamatan sebanyak 324 kali dari masing-masing objek yang diamati, diambil 9 hasil pengamatan. (2) pengamatan terhadap perlakuan kedua Faktor_2 tipe bangunan, yang dibagi dalam tiga taraf, dengan masing-masing data observasi sebanyak 432 pengamatan, dan (3) pengamatan terhadap posisi unit hunian yang terdiri dari sembilan taraf dengan jumlah observasi sebanyak 144 pengamatan dengan masing-masing 12 kali observasi. Analisa untuk Orientasi (Faktor_1), Tipe Bangunan (faktor_2) dan Posisi Unit Hunian (faktor_3) secara independen, diajukan hipotesis H0 : empat sampel orientasi rata-rata vektor sampel dari skor ratarata adalah identik, H1 : empat sampel orientasi rata-rata vektor sampel dari skor rata-rata adalah
berbeda. Penyimpulan mengacu pada alat analisis dari Pillai’s Trace, Wilks’ Lambda, Hotelling’s Trace atau Roy’s Largest Root, dimana bila nilai signifikasi > 5% maka H0 diterima dan bila < 5% maka H0 ditolak. Nilai signifikasi dari Faktor_1 (Orientasi) menunjukkan angka kurang dari 5%, hal ini berarti H0 ditolak. Yang berarti keempat sampel Orientasi rata-rata vektor sampel dari skor rata-rata adalah berbeda. Faktor_2 (Tipe Bangunan) juga memiliki nilai signifikansi kurang dari 5%, hal ini menunjukkan ketiga sampel dari tipe bangunan rata-rata vektor sampel dari skor rata-rata adalah berbeda. Demikian halnya dengan posisi unit hunian memiliki nilai signifikansi kurang dari 5%, menunjukkan bahwa posisi unit hunian mempengaruhi variabel dependen suhu, pencahayaan dan kelembaban. Analisa interaksi antara 2 variabel dan 3 variabel, meliputi interaksi antara variabel Orientasi dengan Tipe Bangunan, interaksi antara variabel orientasi dengan posisi unit hunian dan interaksi antara variabel tipe bangunan dengan posisi unit hunian serta interaksi diantara ketiga variabel secara bersama-sama (Orientasi-Tipe Bangunan, dan Posisi Unit Hunian), apakah berpengaruh terhadap variabel dependen suhu, pencahayaan, kelembaban dan angin. Hipotesa yang diajukan adalah H0 : tidak ada dampak interaksi antara variabel Faktor_1, Faktor_2 dan atau Faktor_3 terhadap variabel dependen Suhu, Kelembaban, Kecepatan Angin dan Cahaya. H1 : ada dampak interaksi antara variabel Faktor_1, Faktor_2 dan atau Faktor_3 terhadap variabel dependen Suhu, Kelembaban, Kecepatan Angin dan Cahaya. Kesimpulan diambil berdasarkan nilai probabilitas, jika nilai signifikansi (probabilitas) lebih besar dari 5% maka H0 diterima, jika nilai signifikansi kurang dari 5% maka H0 ditolak. Interaksi antara Orientasi dan Tipe Bangunan mempengaruhi (berdampak) pada rata-rata nilai suhu, kelembaban, angin dan pencahayaan. Sedangkan interaksi antara Orientasi dan Posisi Unit Hunian tidak berdampak pada nilai rata-rata suhu, kelembaban, angin dan pencahayaan. Rata-rata nilai dari variabel dependen dipengaruhi oleh Orientasi dan Tipe secara bersama-sama. Sedangkan antara Orientasi dengan Posisi Unit Hunian tidak berpengaruh terhadap nilai dari variabel dependen. Sehingga dalam proses disain rumah susun rendah emisi, aspek yang harus
84
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 76-87
mendapat perhatian adalah kombinasi antara Orientasi dengan Tipe. Uji variabel dependen suhu, kelembaban, kecepatan angin dan cahaya, hipotesa H0 = keempat variabel dependen mempunyai variankovarians yang sama, baik pada arah orientasi, tipe bangunan dan posisi unit hunian. Hi = keempat variabel dependen mempunyai matrik varianskovarians yang berbeda, baik pada orientasi, tipe bangunan maupun posisi unit hunian. Untuk nilai signifikansi > 0,05 maka H0 diterima dan jika nilai signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak. Mengacu pada setiap variabel dependen, maka tidak secara bersama-sama pengaruh setiap faktor memiliki nilai pengaruh yang sama. Faktor Orientasi dan Tipe Bangunan mempengaruhi semua aspek (suhu, kelembaban, angin dan cahaya) yang diterima oleh unit hunian. Sedangkan faktor posisi unit hunian berpengaruh hanya pada aspek pencahayaan, artinya setiap posisi yang berbeda akan mempengaruhi pada besar kecilnya kualitas cahaya dalam unit hunian. Interaksi antara orientasi dengan tipe bangunan secara signifikan mempengaruh perbedaan kualitas cahaya, suhu, angin maupun kelembaban, sedangkan interaksi antara orientasi dengan posisi unit hunian tidak berdampak pada perbedaan suhu, kelembaban, angin maupun cahaya pada setiap unit hunian. Sedangkan interaksi antara orientasi dan posisi unit hunian, hanya berpengaruh pada kualitas pencahayaan, terhadap suhu, kelembaban serta angin tidak memiliki dampak apapun. Demikian halnya dengan interaksi antara ketiga faktor Orientasi*Tipe Bangunan *Posisi Unit Hunian tidak memberikan dampak pada perbedaan suhu, kelembaban, angin maupun kualitas cahaya. Tabel 2 Pengelompokkan Tipe Bangunan terhadap Aspek Kenyamanan Visual Kelompok Homogen Jumlah Observasi 1 2 BDL (Industri Dalam) 432 193.0556 Tower (Cigugur Tengah) 432 331.5509 BSL (Sarijadi) 432 352.7546 Sig. 1.000 .065 Tipe Bangunan
Pengelompokkan tingkat kenyamanan termal dan visual berdasarkan tipe bangunan menurut Santoso [8] mengacu pada metoda Tukey HSD tabel 2. Dari aspek pencahayaan terdapat dua kelompok dengan tingkat homogenitas yang tidak terlalu kuat, yakni kelompok dengan intensitas cahaya rendah terdapat pada bangunan tipe BDL dan kelompok dengan tingkat pencahayan baik dan
85
cenderung dalam satu kelompok adalah tipe Tower dan Tipe BSL, dengan nilai signifkansi 0,065. Mengacu pada nilai signifikansi tersebut, maka tingkat homogenitas antara tipe Tower dan BSL hampir tidak homogen (kurang kuat). Tabel 3 Pengelompokkan Tipe Bangunan terhadap Aspek Kenyamanan Termal Jumlah Observasi Tower (Cigugur Tengah) 432 BSL (Sarijadi) 432 BDL (Industri Dalam) 432 Sig. Tipe Bangunan
Kelompok Homogen 1 2 26.0736 27.2836 27.4102 1.000 .300
Dari aspek kenyamanan termal tabel 3. berdasarkan tipe bangunan terdapat dua pengelompokkan tingkat homogenitas, yakni kelompok pertama rumah susun tipe Tower memiliki tingkat kenyamanan lebih baik dengan temperatur rata-rata 26,070C. Kelompok homogenitas kedua terdiri dari rumah susun tipe BDL dan tipe BSL, masing-masing memiliki tingkat kenyamanan dengan rata-rata temperatur untuk BSL 27,28 0C dan tipe BDL 27,41 0C. Pada kelompok kedua tingkat kepercayaan dengan nilai signifikansi 0,30 menunjukkan nilai yang tidak terlalu kuat. Rata-rata temperatur pada bangunan rumah susun tipe Tower mendekat pada suhu nyaman sesuai dengan standar kenyamanan termal. Bila ditinjau dari aspek kenyamanan termal, maka peluang emisi CO2 pada rumah susun dengan tipe Tower lebih kecil dibandingkan dengan rumah susun tipe Block. Tabel 4 Pengelompokkan Tipe Bangunan terhadap Aspek Kenyamanan Udara (Kelembaban) Kelompok Homogen Jumlah Observasi 1 2 3 BDL (Industri Dalam 432 64,1829 Tengah) Tower (Cigugur 432 68,1227 Tengah) BSL(Sarijadi) 432 69,0833 Sig. 1,000 1,000 1,000 Tipe Bangunan
Dari aspek tingkat kelembaban tabel 4 terjadi tiga pengelompokkan dari tiga tipe yang diuji, artinya masing-masing tipe bangunan memiliki tingkat kelembaban yang berbeda-beda. Masing-masing tipe bangunan berpengaruh terhadap kualitas kelembaban udara (aspek kelembaban). Dimana tipe BDL memiliki tingkat kelembaban paling rendah yakni 64,18%, tipe Tower 68,12% dan tipe BSL 69,08%. Dengan demikian tipe BDL memiliki nilai rata-rata kelembaban sesuai dengan tingkat kenyamanan udara.
Faktor-Faktor Disain Rumah … (Arief S., Rumiati R. Tobing, Tri Harso K.)
Kualitas pergerakan udara dari aspek kecepatan angin, meskipun data kecepatan angin terdistribusi tidak normal, namun kondisi unit hunian pada setiap tipe dapat digambarkan seperti pada tabel 5. yakni terjadi tiga pengelompokkan dengan tingkat kenyamanan berada pada tipe Tower dan tipe BDL, dengan nilai-rata berada pada range tingkat kenyamanan di bawah nilai standar.
Sedangkan tipe BDL memiliki karakteristik yang jauh berbeda dengan tipe Tower dan BSL.
Tabel 5 Pengelompokkan Tipe Bangunan terhadap Aspek Kenyamanan Udara Angin Tipe Bangunan BDL (Industri Dalam) Tower (Cigugur Tengah) BSL (Sarijadi) Sig.
Jumlah Kelompok Homogen Observasi 1 2 3 432 .00165 432 .11321 432 .24086 1.000 1.000 1.000 Grafik 4 Pola Distribusi Suhu Berdasarkan Tipe dan Orientasi
Berdasarkan tipe dan orientasi dari aspek kenyamanan visual bangunan rumah susun dengan tipe BDL, rata-rata intensitas pencahayaan berada pada range standar kenyamanan visual, yakni antara 120 lux s.d. 250 lux. Perilaku intensitas cahaya pada tipe BDL terhadap orientasi memiliki pola yang berbeda dengan tipe Block, baik tipe Tower maupun tipe BSL. Pada tipe BDL arah utaraselatan memiliki rata-rata intensitas yang lebih tinggi (di atas) dan intensitas pada arah barattimur cenderung menurun atau di bawah. Pola pada tipe Block justru berbanding terbalik dibandingkan dengan tipe BDL, pada arah utaraselatan kualitas cahaya berada pada nilai rata-rata rendah (di bawah), sedangkan pada arah orientasi barat-timur nilai rata-rata intensitas cahaya berada pada tertinggi. Hal ini menunjukkan dampak dari tipe akan mempengaruhi pola penerangan pada unit hunian bangunan rumah susun. Dari aspek kualitas cahaya tipe Tower dan BSL juga memiliki nilai jauh di atas rata-rata bangunan tipe BDL.
Dari grafik 2. aspek termal tidak terdapat perbedaan pola ditribusi rata-rata suhu pada berbagai orientasi untuk setiap tipe yang berbeda. Bangunan dengan orientasi utara-selatan cenderung memiliki kualitas suhu lebih rendah dibandingkan dengan orientasi barat-timur. Perbedaan terdapat pada tipe, dimana tipe Tower memiliki nilai rata-rata lebih rendah di bawah ratarata suhu tipe Block. Dari aspek pengelompokkan tipe Tower berada pada kelompok yang terpisah dengan tipe Block, dimana tipe Block baik tipe BDL maupun tipe BSL memiliki karakteristik dan pola distribusi rata-rata temperatur yang sama.
Grafik 5 Pola Distribusi Kelembaban Berdasarkan Tipe dan Orientasi
Grafik 3 Pola Distribusi Cahaya Berdasarkan Tipe dan Orientasi
Dari grafik 1. aspek pencahayaan berdasarkan orientasi antara tipe Tower dengan tipe BSL berada pada kelompok homogenitas yang sama.
Pada grafik 3. aspek kelembaban unit hunian pada berbagai tipe bangunan terdapat perbedaan pada ketiga tipe berdasarkan arah orientasi yang berbeda. Secara keseluruhan tipe BDL memiliki kualitas kelembaban lebih rendah dari tipe Tower maupun tipe BSL, kecuali pada unit hunian tipe BDL dengan arah orientasi selatan memiliki nilai
86
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 76-87
tinggi mendekati rata-rata nilai tertinggi dari kelembaban pada tipe bangunan BSL. Secara pola distribusi tipe BDL memiliki kesamaan pola dengan tipe Tower dimana arah utara-selatan memiliki nilai rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan arah orientasi barat-timur. Namun pada tipe BDL dengan arah timur nilai kelembaban naik melampaui nilai kelembaban rata-rata tipe Tower, sedangkan arah orientasi barat-timur serta arah utara pada bangunan BDL berada jauh di bawah tipe Tower. Pola berbeda terjadi pada tipe BSL, yakni berbanding terbalik dengan tipe Tower maupun tipe BDL, dimana arah utara-selatan memiliki nilai rata-rata kelembaban lebih rendah dibandingkan dengan arah barat-timur. Dengan demikian dari aspek kelembaban unit hunian berdasarkan orientasi dan tipe bangunan, maka terdapat tiga pengelompokkan, atau ketiga tipe masing-masing memberikan dampak yang berbeda terhadap aspek kelembaban bangunan.
KESIMPULAN Pada rumah susun Cigugur Tengah, Industri Dalam, dan Sarijadi bahwa variabel dependen suhu, variabel kelembaban, dan variabel cahaya dipengaruhi oleh orientasi dan posisi unit hunian, serta dipengaruhi oleh adanya interaksi antara orientasi dengan posisi baik pada arah vertikal maupun arah horizontal. Orientasi bangunan memberikan pengaruh yang kuat terhadap nilai kenyamanan termal, sehingga akan mempengaruhi besar-kecilnya nilai emisi CO2 pada tahap operasional bangunan. Bangunan dengan orientasi utara-selatan memiliki tingkat kenyamanan lebih baik, sehingga nilai emisi CO2 rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan emisi CO2 bangunan dengan orientasi barat-timur. Pengaruh orientasi cukup signifikan pada bangunan tipe Block, baik rumah susun Industri Dalam (Doubel Loaded) maupun rumah susun Sarijadi (Single Loaded). Berbeda dengan rumah susun Cigugur Tengah (tipe Tower) orientasi bangunan nyaris tidak memiliki perbedaan tingkat kenyamanan ada setiap arah orientasi, sehingga nilai emisi CO2-nya pada berbagai orientasi akan relatif sama.
87
Faktor tipe, orientasi dan posisi unit hunian merupakan faktor yang berpengaruh terhadap disain dengan bobot 13,2%, dimana 90,9% dipengaruhi oleh tipe bangunan, 8,3% oleh orientasi dan 0,075% oleh posisi unit hunian. Sehingga faktor dominan yang berpengaruh terhadap kenyamanan termal pada rumah susun adalah, Tipe Bangunan, selanjutnya Orientasi Bangunan serta interaksi antara Orientasi*Tipe Bangunan. Sedangkan posisi unit hunian hampir tidak berpengaruh besar terhadap kenyamanan.
DAFTAR PUSTAKA ________, 2005, Status Lingkungan Hidup Indonesia 2005, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, RI. Baker, S., 2006, Sustainable Development, Routledge Taylor and Francis Group, London and New York. Edwards, B., and Turrent, D., 2000, Sustainable Housing, Principles and Practice, E & FN SPON, Taylor and Francis Group, London and New York. Fatiah, A. A., 2008, Global Warming, Sebuah Isyarat Dekatnya Akhir Zaman dan Kehancuran Dunia, Granada Mediatama, Jawa Tengah. IPCC, 2003, Progress Report on the Establishment of a Database on GHG Emission Factor, http://www.ipcc.com IPCC, Mangino, J., Mareckova, K., et al. 2010, Establishment of the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Emission Factor Database, http://www.ipcc.com Karyono, T.H., 2010, Green Architecture, Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. Santoso, S., 2010, Statistik Multivariate, Konsep dan Aplikasi dengan SPSS, Elex Media Komputindo. Vale, Brenda & Vale, Robert., 1991, Green Architecture, Design for an Energy-Conscious Future, A Bulfinch Book, Little, Brown and Company, London. ___________ 2002, Pedoman Teknis Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil Nomor 403/KPTS/M/2002. ___________ 2010, Data Kependudukan, Badan Pusat Statistik Indonesia.
Analisis Keberlanjutan Kawasan … (Nanang S.S., Santun R.P.S., Machfud, Ramalis S.)
ANALISIS KEBERLANJUTAN KAWASAN PERMUKIMAN PERKOTAAN CISAUK DI DAS CISADANE Sustainable Analysis of Cisauk Urbanized Settlement at Cisadane River Basin 1 Nanang
S. Santosa, 2 Santun R. P. Sitorus, 3 Machfud, 4 Ramalis Sobandi 1 Kementerian
Perumahan Rakyat Jl. R. Patah I No.1, Jakarta Selatan E-mail :
[email protected] 2, 3 Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) Jl. Raya Darmaga, Gedung Andi Hakim Nasoetion 2 E-mail :
[email protected] 3 E-mail :
[email protected] 4 Ditjen Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Pattimura No. 20 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan E-mail :
[email protected] Diterima : 09 Oktober 2011; Disetujui : 04 April 2012
Abstrak Urbanisasi telah memacu pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia dengan pesat. Penyebaran penduduk perkotaan terkonsentrasi di kota-kota besar, dan diperkirakan sekitar 20% berada di Jabodetabek. Banyak penduduk di kota-kota besar yang migrasi ke pinggir kota karena harga lahan relatif terjangkau. Kecamatan Cisauk – Kabupaten Tangerang yang berada di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane merupakan daerah pinggiran Metropolitan Jakarta yang strategis karena didukung oleh kemudahan akses. Perpindahan penduduk ke pinggiran kota antara lain ke Cisauk menimbulkan dampak positif dari aspek ekonomi seperti terciptanya lapangan kerja dan investasi, dan dampak negatif berupa menurunnya kualitas lingkungan seperti terjadinya alih guna lahan pertanian produktif dan konservasi menjadi kawasan permukiman atau industri, serta menurunnya kondisi DAS Cisadane akibat aktifitas domestik dan industri. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi eksisting keberlanjutan pengelolaan kawasan permukiman perkotaan di Cisauk dan keterkaitannya dengan daya dukung DAS Cisadane. Dengan menggunakan metode MDS-Rapfish dan analisis prospektif, hasil kajian ini menunjukkan bahwa dari aspek sosial dan ekonomi pengelolaan kawasan permukiman tersebut cukup berkelanjutan namun dari aspek ekologi masih kurang berkelanjutan. Daya dukung lingkungan masih dapat menampung perkembangan yang ada namun perlu perbaikan seperti prasarana lingkungan antar cluster permukiman, pengendalian penambangan pasir dan kondisi jalan akses. Kata Kunci : Urbanisasi, kawasan permukiman, DAS Cisadane, berkelanjutan, daya dukung lingkungan
Abstract Urbanization has rapidly increased the growth of the urban population in Indonesia. Spreading an urban population is concentrated in big cities, and is expected to be around 20 % in Jabodetabek. Many urban people moved to the fringe area due to relatively affordable price of land. Cisauk sub district – Tangerang Regency located at Cisadane river basin at the fringe of Jakarta Metropolitan area has a strategic location because of a good access of transportation. The movement of people to Cisauk generates positive impacts in economic aspects such as job creation and investment and negative impacts in environment protection such as agriculture and conserved land conversion into housing and industrial area as well as decline trends of Cisadane condition due to domestic and industrial activities. This study has a purpose to understand the sustainability of existing condition of urban settlement management in Cisauk and its relation with the Cisadane river basin capacity. By using MDS-Rapfish and prospective analysis method, the study shows that in term of social and economic aspects, the urban settlement management is sustainable enough but in term of ecology is not sustainable. The environment capacity is still accommodate the development however there are some activities need to be improved such as cluster infrastructures, sand mining, and street access. Keywords : Urbanization, urban settlement, Cisadane river basin, sustainable, environment capacity
PENDAHULUAN Penduduk perkotaan di Indonesia pada tahun 1980 berjumlah 32,8 juta jiwa atau 22,3% dari total
penduduk nasional dan berdasarkan sensus penduduk 2000 jumlahnya mencapai 85 juta jiwa atau 42% dari total penduduk nasional. Diperkira88
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 88-94
kan pada 2015, jumlah tersebut mencapai 150 juta jiwa atau sekitar 60% dari total penduduk nasional (BPS 2003). Penyebaran penduduk perkotaan tersebut lebih banyak terkonsentrasi di kota-kota besar, dan diperkirakan sekitar 20% diantaranya berada di Jabodetabek. Pertambangan penduduk perkotaan yang pesat tersebut mengakibatkan kelangkaan sumber daya lahan dan perubahan fungsi lahan di kawasan strategis perkotaan dari permukiman menjadi kawasan perdagangan dan jasa. Banyak penduduk perkotaan yang akhirnya bermigrasi ke pinggir kota karena harga lahan relatif masih terjangkau. Sehingga di kawasan pinggiran kota terjadi alih guna lahan pertanian produktif dan konservasi menjadi kawasan permukiman, industri dan lainnya. Kota Jakarta merupakan kota metropolitan terbesar di Indonesia, dengan luas 60.000 Ha, jumlah penduduk sekitar 8,5 juta jiwa (BPS DKI Jakarta, Maret 2009), dan aglomerasinya berupa Metropolitan Jakarta yang mencakup sebagian wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten. Ekstensi intensif Jakarta ke arah barat daya berlangsung sejak tahun 1990 terutama setelah pembangunan jalan tol Jakarta–Serpong dan pengembangan permukiman skala besar yaitu Kota Mandiri Bumi Serpong Damai (BSD City). Kecamatan Cisauk di Kabupaten Tangerang dengan penduduk 46.645 jiwa pada tahun 2008 menjadi hinterland kota Serpong dengan aksesibilitas yang tinggi berupa jalan tol, jalur KA, dan jaringan jalan regional. Kecamatan Cisauk-Kabupaten Tangerang berada di wilayah tengah dari kawasan sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Cisadane yang subur namun dengan kondisi teknis yang buruk disebabkan oleh aktifitas domestik dan industri. DAS Cisadane yang wilayahnya meliputi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang dan luasnya 140.046 ha merupakan sub DAS dengan wilayah terluas di Jabodetabek. Kurang lebih 17,7% dari total luas sub DAS ini adalah lahan terbangun dan seluas ± 15,45% merupakan daerah permukiman. Perkembangan penduduk dan pembangunan yang pesat membawa dampak positif dan negatif terhadap Kecamatan Cisauk. Terciptanya peluang investasi dan lapangan kerja merupakan dampak positif. Sementara dampak negatif berupa penurunan kualitas lingkungan seperti alih fungsi lahan pertanian produktif dan konservasi menjadi lahan permukiman dan industri, tidak sinkronnya prasarana lingkungan antar cluster permukiman, kerusakan jalan akses yang parah dan polusi debu akibat dilewati truk-truk pengangkut pasir dari
89
beberapa penambangan pasir di Kecamatan Cisauk guna mensuplai pengembangan permukiman di sekitar Cisauk termasuk BSD. Dampak ini diperparah dengan sebagian masyarakat masih membuang limbah domestik ke Sungai Cisadane sehingga mempengaruhi kualitas air sungai yang menjadi air baku PDAM Kabupaten Tangerang. Heripoerwanto (2009) dalam penelitian permukiman di pinggiran kota metropolitan dengan studi kasus Kabupaten Tangerang mengungkapkan bahwa faktor penyebab utama pertumbuhan permukiman di kawasan pinggiran metropolitan yang tidak terencana (suburban sprawl) merupakan kombinasi kepentingan antara pengembang dengan pemilik-penghuni. Organisasi berbasis komunitas perlu didorong untuk menjamin terselenggaranya sistem pengelolaan permukiman yang efektif dan ramah lingkungan. Dalam penyusunan Rencana Rinci Tata Ruang di Cisauk, Kabupaten Tangerang (Kemenpera, 2007) diungkapkan bahwa untuk mengintegrasikan antar cluster permukiman di Cisauk perlu keterpaduan tata masa bangunan, sirkulasi jalan, sistem utilitas (terutama drainase), sarana fasos dan fasum, serta ruang terbuka hijau. Konsep perumahan dan permukiman yang berwawasan lingkungan mencakup prinsip-prinsip mempertahankan ekosistem yang ada, penggunaan energi yang minimal, pengendalian limbah dan pencemaran, dan menjaga kelanjutan sistem sosial-budaya lokal. Daerah aliran sungai merupakan suatu ekosistem yang terdiri atas empat komponen utama, yaitu desa, sawah/ ladang, sungai dan hutan dan terbagi kedalam wilayah hulu, tengah dan hilir (Asdak, 2002). Karakteristik sub DAS wilayah tengah umumnya merupakan daerah transisi antara bagian hulu yang umumnya merupakan daerah konservasi dan daerah hilir yang merupakan daerah pemanfaatan. Rahardjo (2003) mengungkapkan bahwa desentralisasi pemerintahan dalam bentuk otonomi memberikan keleluasaan pada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri. Sisi negatif dari kebijakan ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan yang disebabkan kurang baiknya pengelolaan dan pemanfaatan lahan. Diperlukan koordinasi yang sifatnya lintas wilayah yang baik di era otonomi ini dan sesuai dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan rencana tata ruang (Rustiadi et al., 2004). Pengelolaan pengembangan permukiman perlu memperhatikan ketersediaan sumberdaya pendukung dan keterpaduannya dengan aktifitas lain (Kuswara, 2004). Hubungan yang saling terkait antara kota
Analisis Keberlanjutan Kawasan … (Nanang S.S., Santun R.P.S., Machfud, Ramalis S.)
metropolitan dan DAS tersebut memerlukan pendekatan multi-aspek guna mempertahankan keberlanjutannya (Djayadiningrat, 2001; Krebs, 2001; URDI, 2002; Soenarno, 2004). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui status keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk pada saat ini dan mengetahui faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di pinggiran metropolitan DKI Jakarta.
METODOLOGI Lokasi penelitian secara administratif berada di Kecamatan Cisauk, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten (gambar 1). Waktu penelitian berlangsung dari bulan Nopember 2009 sampai bulan Juni 2011 berupa survai lapangan untuk pengumpulan data sekunder dan data primer, serta pengolahan data dan penulisan hasil penelitian. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode Multidimensional Scalling
(MDS) dengan software Rapsettlement (Rapid Appraisal for Settlements) yang merupakan penyesuaian dari Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries). Teknik Rapsettlement adalah suatu metode multi disiplin yang digunakan untuk mengevaluasi perbandingan permukiman berkelanjutan berdasarkan jumlah atribut yang banyak akan tetapi mudah dinilai. Ordinasi Rapsettlement dibentuk oleh aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Hasil statusnya menggambarkan keberlanjutan di setiap aspek yang dilaporkan dalam bentuk skala 0 sampai 100%. Manfaat dari teknik Rapsettlement ini adalah dapat menggabungkan berbagai aspek untuk dievaluasi komponen keberlanjutannya dan dampaknya terhadap permukiman dalam ekosistem (Alder et al., 2000). Pada penelitian ini digunakan empat kategori status keberlanjutan (Kavanagh, 1999), yaitu: tidak berkelanjutan (0 – <25), kurang berkelanjutan (25 – <50), cukup berkelanjutan (50 – < 75), dan berkelanjutan (75 – 100).
LEGENDA/ LEGEND : Ibukota Provinsi / Capital of Province Ibukota Kabupaten / Capital of Regency Ibukota Kecamatan / Capital of District Jalan Tol / Tol Road Jalan Nasional / National Road Jalan Provinsi / Province Road Jalan Kabupaten / Regency Road Jalan Kereta Api / Railway Batas Provinsi / Province Boundary Batas Kabupaten / Regency Boundary Batas Kecamatan / District Boundary Pelabuhan Laut / Harbour Gunung / Mountain Sungai / River Danau / Lake
Gambar 1 Letak Kecamatan Cisauk, Kabupaten Tangerang
Pada tahap selanjutnya, dilakukan analisis sensitivitas untuk melihat atribut apa yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan kawasan permukiman di lokasi penelitian. Pengaruh dari setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan root mean square (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu X atau skala sustainabilitas (Alder et al., 2000). Semakin
besar nilai perubahan RMS dimensi akibat hilangnya suatu atribut dimensi tertentu maka semakin besar pula peranan atribut tersebut dalam pembentukan nilai indeks keberlanjutan kawasan permukiman pada skala sustainabilitas, atau dengan kata lain semakin sensitif atribut tersebut dalam menentukan keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di lokasi penelitian. 90
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 88-94
HASIL DAN PEMBAHASAN Kecamatan Cisauk yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Tangerang, Provinsi Jawa Barat luasnya adalah + 4.285,85 ha dan secara geografis terletak di ketinggian 24 – 62 meter di atas permukaan laut dengan topografi relatif datar dengan kemiringan 3-8%, memiliki kesesuaian lahan untuk kegiatan perkotaan. Jumlah penduduk Kecamatan Cisauk pada tahun 2009 adalah 46.615 jiwa dengan kenaikkan rata-rata per tahun sebesar 4,13%. Pola pengembangan perumahan dan permukiman mengikuti pola jalan raya dan pada umumnya berupa sistem cluster dan terdiri dari tipe landed house dari tipe kecil sampai sedang. Pengembangan kawasan permukiman yang terjadi di Cisauk telah menyebabkan tejadinya pergeseran fungsi lahan dari pertanian produktif dan konservasi menjadi kawasan permukiman, industri dan perdagangan. Menurut laporan bulanan kantor Kecamatan Cisauk (2009), lahan terbangun meliputi 47,74% luas wilayah, didominasi pemukiman dan pekarangan (46,16%); sisanya
(1,58%) terdiri dari: bangunan pemerintah dan sekolah (0,50%); perdagangan (0,84%); serta industri (0,23%). Sementara lahan tidak terbangun (52,26%) terdiri dari: sarana olah raga (0,61%); pertanian lahan basah (21,73%); pertanian lahan kering/ladang/tegalan (15,59%); perkebunan (8,00%); empang/kolam (1,49%); danau/rawa (1,30%); pekuburan (0,72%); dan lain-lain (2,83%). Sebagian besar (45,77%) kondisi rumah di Ciasuk berupa rumah permanen (tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat tersebut sudah cukup bagus namun disisi lain menggambarkan adanya gap terhadap masyarakat yang kurang mampu ditandai dengan kondisi rumahnya yang masih temporer (19,53%) yang potensial menjadi kumuh jika tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari stakeholders terkait. Sebagian besar rumah temporer dan semi permanen tersebut berada di Desa Mekarsari dan Dangdang yang kondisi lingkungannya masih seperti perdesaan dan masyarakatnya sebagian besar bekerja sebagai petani.
Tabel 1 Jumlah dan Kondisi Rumah di Kecamatan Cisauk Tahun 2009 Luas Wilayah Temporer (ha) 1 Mekarwangi 434,05 500 2 Dangdang 512 97 3 Suradita 664 490 4 Cibogo 411 312 5 Cisauk 484,70 210 6 Sampora 325 17 Jumah 1,626 2.830,75 Sumber : Kantor Kecamatan Cisauk, tahun 2009 No.
Desa
% 56,81 10,45 18,21 35,17 9,44 2,37 19,53
Kawasan Cisauk sejak tahun 1980 terkenal sebagai daerah penambangan pasir dengan cara menggali lahan (galian C) guna memenuhi kebutuhan material pembangunan permukiman di sekitar Cisauk. Saat ini terdapat 2 (dua) area yang masih aktif melaksanakan kegiatan penambangan pasir tersebut, akan tetapi penggalian yang dilakukan dengan menggunakan alat berat menjadi lebih eksploitatif dan kurang memperhatikan kelestarian lingkungan. Hal ini terlihat dari bekas galian yang dibiarkan sehingga menjadi situ yang cukup besar dan dalam serta tidak jelas sempadannya sehingga membahayakan penduduk di sekitarnya. Jalan akses menjadi rusak parah dan berdebu karena dilewati truk-truk besar yang mengangkut pasir tersebut. Lahan di Cisauk yang terkategori sebagai lahan budidaya berupa lahan yang terbangun dan tak terbangun. Pada tahun 2009 komposisi lahan terbangun sebesar 47,74% dan lahan tak 91
Semi Permanen (unit) 200 485 1,500 420 258 25 2.888
% 22,72 52,26 55,76 47,35 11,60 3,48 34,69
Permanen 180 346 700 155 1.755 675 3.811
% 20,47 37,29 26,03 17,48 78,89 94,15 45,77
Jumlah (unit) 880 928 2.690 887 2.223 717 8.325
terbangun sebesar 52,26%. Lahan terbangun didominasi oleh permukiman sebesar 46,16% dan lahan tak terbangun sebagian besar berupa lahan pertanian tadah hujan (basah dan kering) sebesar 37,32%. Kecenderungan yang terjadi adalah lahan terbangun terus meningkat sedangkan lahan pertanian cenderung menurun. Untuk mendukung ketahanan pangan dan melindungi penduduk dengan mata pencaharian sebagai petani (petani penggarap dan buruh tani) yang cukup banyak yaitu sebanyak 6.715 orang atau 54,52% dari 12.315 orang angkatan kerja di Kecamatan Cisauk pada tahun 2009, maka kebijakan pemerintah yang melarang lahan pertanian produktif untuk dialih gunakan ke pemanfaatan non pertanian adalah cukup tepat. Namun kebijakan ini masih rawan dalam konsistensi pelaksanaannya sehingga harus didukung dengan pengendalian yang dibarengi dengan penegakan hukum yang tegas. Tingginya rumah tangga yang tergolong miskin disebabkan
Analisis Keberlanjutan Kawasan … (Nanang S.S., Santun R.P.S., Machfud, Ramalis S.)
sebagian masyarakatnya hanya mengandalkan penghasilannya dari pertanian subsistem atau sebagai buruh kasar. Hubungan permukiman di Cisauk dengan Sungai Cisadane cukup signifikan (lihat gambar 2). Dari diagram tersebut terlihat bahwa kawasan permukiman menggunakan Sungai Cisadane sebagai tempat penyaluran (sebagian) drainase, limbah, dan sampah. Disamping itu permukiman mengambil air baku, penambangan pasir dari Sungai Cisadane. Sampai dengan tahun 2010, kawasan permukiman di Cisauk belum pernah
mengalami banjir karena topografi lahan yang cukup tinggi dan banyak kawasan resapan air. Menurut pengamatan, yang perlu mendapatkan perhatian adalah limbah yang dibuang ke sungai baik domestik maupun industri harus sesuai dengan ketentuan. Untuk mengurangi aliran (runoff) termasuk kandungan sedimentasinya, perlu dilakukan perbaikan drainase yang masih alami dan pembuatan sumur-sumur resapan terutama di kawasan permukiman yang padat. Monitoring dan sosialisasi ke masyarakat dan aparat terkait perlu lebih diintensifkan.
DAS Cisadane Pasir dan batu Pengolahan Air baku Hujan
Menguap
Menguap
Hujan
Drainase Air limbah
Permukiman
Ke hilir/laut
Sungai
Sedimentasi Sampah Air tanah
Meresap ke tanah
Licit TPA, kompos
Gambar 2 Diagram Hubungan Permukiman di Cisauk – Sungai Cisadane
Status Keberlanjutan Kawasan Permukiman Analisis status keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk dengan metode MDS (multidimension scalling) terhadap atribut-atribut yang tercakup dalam tiga dimensi ekologi, sosial, dan ekonomi menunjukkan kondisi keberlanjutan kawasan permukiman secara multi dimensi, berdasarkan kategori dalam tabel 1, dengan nilai 55,93% yang tergolong cukup berkelanjutan. Begitu pula secara dimensi sosial dan ekonomi kondisinya cukup berkelanjutan dengan nilai masing-masing 57,61% dan 64,82%. Sementara dari dimensi ekologi kurang berkelanjutan karena nilainya 45,35% (<50%). Hasil kajian ini cukup layak karena parameter statistik yang diperoleh dari analisis MDS yaitu nilai stress dan r2/koefisien determinasi (lihat tabel 2) menunjukkan angka 0,14 (<0,25) dan 0,95 (mendekati 1). Tabel 2 Hasil Analisis Dua Parameter Statistik MDS Keberlanjutan Kawasan Nilai Multi Dimensi Ekologi Sosial Ekonomi Statistik Stress 0,14 0,14 0,14 0,14 r2 0,95 0,95 0,95 0,95 Jumlah Iterasi 2,00 2,00 2,00 2,00 Sumber : Hasil Analisis (2011)
Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram layanglayang (kite diagram) seperti terlihat pada gambar 3. EKOLOGI 100
80
60
45.35 40 20 0
57.61 SOSIAL
64.82
EKONOMI
Gambar 3 Ilustrasi Indeks Keberlanjutan Setiap Dimensi.
Faktor-Faktor Paling Berpengaruh terhadap Keberlanjutan Kawasan Dari analisis sensitivitas dapat diketahui atributatribut yang sangat sensitif dalam mempengaruhi nilai keberlanjutan kawasan dari masing-masing dimensi dilihat dari perubahan root mean square (RMS) ordinasi pada sumbu X atau skala sustainabilitas seperti terlihat berturut-turut pada gambar 4, 5, dan 6. 92
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 88-94
Leverage of Attributes DIMENSI EKONOMI 0.77
Penyerapan tenaga kerja Peningkatan kesejahteraan masyarakat
1.53
Attribute
Peningkatan pendapatan asli daerah
0.96 1.09
Tingkat penghasilan penghuni
1.08
Nilai ekonomi perumahan
1.69
Nilai ekonomi lahan
1.26
Keuntungan/profit Perkembangan sarana ekonomi (10 thn terakhir)
1.82
0 0.5 1 1.5 2 Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 4 Atribut Sensitif pada Dimensi Ekologi
Gambar 5 Atribut Sensitif pada Dimensi Ekonomi
Faktor pengungkit dimensi ekologi adalah drainase, penambangan pasir dan batu, alih fungsi lahan pertanian produktif, dan kondisi sub DAS Cisadane. Faktor pengungkit dimensi ekonomi adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat, nilai ekonomi lahan, dan perkembangan sarana ekonomi. Faktor pengungkit dimensi sosial adalah tingkat pendidikan penghuni, kohesi sosial, perkembangan penduduk, dan pemberdayaan masyarakat. Gambar 6 Atribut Sensitif Dimensi Sosial
Hasil analisis prospektif yang melibatkan pakar terhadap 11 faktor-faktor pengungkit menghasilkan 4 faktor yang paling berpengaruh yaitu alih fungsi lahan pertanian, perkembangan sarana ekonomi, kohesi sosial, dan perkembangan penduduk. Selain ke empat faktor tersebut, faktor
kondisi sub DAS Cisadane merupakan faktor yang mempunyai pengaruh yang kuat walaupun mempunyai ketergantungan yang tinggi. Implikasi dari hal ini adalah sub DAS Cisadane merupakan faktor kritis yang menentukan keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk (lihat Gambar 7).
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh Pada Sistem yang Dikaji 2.00 1.80
DAS Cisa da ne (runoff)
Perkemba nga n penduduk 1.60 1.40
Alih fungsi la ha n perta nia n
Pengaruh
1.20
Perkem ba nga n sa ra na ekonomi
Kohesi sosia l
1.00 0.80
Pena m ba ngan pa sir & Ba tu
Dra ina se
0.60
Pem berda ya an ma sya rakat
0.40 Tingka t pendidika n penghuni
0.20
Nila i ekonomi la ha n Peningka ta n keseja htera an ma sya rakat
0.00
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
Ketergantungan
Gambar 7 Pengaruh dan Ketergantungan antar Faktor Pengungkit Kawasan Permukiman
93
Analisis Keberlanjutan Kawasan … (Nanang S.S., Santun R.P.S., Machfud, Ramalis S.)
KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan kawasan permukiman di Cisauk pada saat ini cukup berkelanjutan akan tetapi belum sepenuhnya memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Selengkapnya kesimpulan penelitian adalah sebagai berikut : 1.
Status keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk saat ini secara multi dimensi menunjukkan kondisi yang cukup berkelanjutan dengan nilai 55,93%. Demikian juga kondisi keberlanjutan kawasan untuk dimensi sosial dengan nilai 57,61% dan dimensi ekonomi dengan nilai 64,82% tergolong cukup berkelanjutan. Namun untuk dimensi ekologi kurang berkelanjutan dengan nilai 45,35%. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan kawasan permukiman yang dilakukan selama ini masih kurang memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Faktor-faktor pengungkit untuk masingmasing dimensi berturut-turut untuk dimensi ekologi adalah drainase, penambangan pasir, alih fungsi lahan pertanian produktif, dan kondisi sub DAS Cisadane. Untuk dimensi ekonomi adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat, nilai ekonomi lahan, dan perkembangan sarana ekonomi. Untuk dimensi sosial adalah tingkat pendidikan penghuni, kohesi sosial, perkembangan penduduk, dan pemberdayaan masyarakat.
2.
Faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk dimasa mendatang adalah alih fungsi lahan pertanian produktif, pengembangan prasarana dan sarana dasar, kohesi sosial, dan perkembangan penduduk serta penyebarannya. Selain ke empat faktor tersebut, faktor kondisi sub DAS Cisadane merupakan faktor yang mempunyai pengaruh yang kuat walaupun mempunyai ketergantungan yang tinggi. Implikasi dari hal ini adalah bahwa sub DAS Cisadane merupakan faktor kritis yang menentukan keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk.
DAFTAR PUSTAKA Alder J, Zeller D, Pitcher T. 2000. Method for Evaluating Marine Protected Area
Management. Fisheries Centre, University of British Columbia, Vancouver, Canada. Coastal Management, 30:121-131. Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2003. Statistik Indonesia 2003. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2009. Jakarta Dalam Angka 2009. Sensus Penduduk 2010. Jakarta. Katalog BPS: 1403.31 Djayadiningrat ST, 2001. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta : Universitas Terbuka. Heripoerwanto, 2009. Rancang Bangun Pengelolaan Permukiman Di Pinggiran Kota Metropolitan dengan Studi Kasus Kabupaten Tangerang. [Disertasi] Bogor : Sekolah Pasca Sarjana IPB. Kavanagh P, 1999. Rapfish SPSS automation and analysis of technique. UBC Fisheries Center, Unpublished report. [Kemenpera] Kementerian Negara Perumahan Rakyat, 2007. Penyusunan Rencana Rinci Tata Ruang di Cisauk, Kabupaten Tangerang – Banten. Jakarta. PT. Sugitek Patih Perkasa. Krebs CJ, 2001. Ecology : The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. 5th Ed. California : Benjamin Cummings, Menlo Park. Kuswara, 2004. Penataan Sistem Perumahan dan Permukiman Dalam Rangka Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah. Jurnal Penelitian Permukiman. 20:23-29. Rahardjo P. 2003. Upaya Pengendalian Lahan Perkotaan. Jurnal Real Estat. 8:12-20 Rustiadi E. Saefulhakim S., Panuju DR. 2004. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Konsep dan Teori. Bogor. Fakultas Pertanian-IPB. Soenarno, 2004. Pembangunan Perumahan: Menuju Terbentuknya Pemenuhan Kebutuhan Papan Guna Meningkatkan Kualitas Hidup dan Jatidiri Bangsa Melalui Pengembangan Satu Juta Rumah. Jurnal Penelitian Permukiman. 20:2-7. [URDI] Urban and Regional Development Institute dan Yayasan Sugiyanto Soegiyoko. 2005. Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 2. Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Jakarta : Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia.
94
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 95-100
SIFAT FISIS DAN MEKANIS PAPAN SEMEN PARTIKEL KAYU AKASIA (ACASIA MANGIUM) DAN SENGON (PARASERIENTHES FALCATARIA) Physical and Mechanical Properties of Acasia (Acasia mangium) and Falcata (Paraserienthes falcataria) Wood Cement Bonded Particle Board 1Dany
Cahyadi, 2Aan Sugiarto, 3Anita Firmanti, 4Bambang Subiyanto
1,2,3 Pusat
Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Panyawungan, Cileunyi Wetan – KabupatenBandung 40393 1E-mail :
[email protected] 2E-mail :
[email protected] 3E-mail :
[email protected] 4 Pusat Inovasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta Selatan E-mail :
[email protected] Diterima : 05 Desember 2011; Disetujui : 23 Mei 2012
Abstrak Kayu yang dapat diperoleh saat ini sebagian besar adalah kayu cepat tumbuh yang mempunyai sifat-sifat dasar yang berbeda dengan jenis kayu komersial. Informasi dasar pemanfaatan kayu cepat tumbuh sebagai bahan baku dalam pembuatan papan partikel dengan perekat semen masih minim, sehingga untuk memperkaya informasi perlu dilakukan penelitian pemanfaatan kayu cepat tumbuh sebagai bahan bangunan alternatif seperti kayu akasia (Acasia mangium) dan sengon (Paraserienthes falcataria). Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan seoptimal mungkin kayu cepat tumbuh sebagai komponen bahan bangunan alternatif pengganti kayu. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian eksperimental berupa pembuatan papan semen skala penuh berukuran 60 cm x 120 cm x 0,9 cm di kempa dingin dengan tekanan 30 kg/cm2 menggunakan mesin kempa dingin selama 1 menit untuk mencapai target kerapatan 1,15 gr/cm3 kemudian di klem selama 24 jam. Komposisi semen dan bahan kayu yang digunakan adalah 1 : 2,75 dengan faktor air-semen sebesar 0,5; dan CaCl2 sebagai katalisator sebesar 2,5% dari berat semen. Hasil pengujian menunjukkan bahwa papan semen kayu cepat tumbuh dapat digunakan sebagai bahan bangunan alternatif, tetapi harus dikembangkan lebih lanjut dengan variasi komposisi yang lebih banyak dan adanya perlakuan pendahuluan terhadap partikel kayu yang akan digunakan. Kata Kunci : Papan semen partikel, kayu cepat tumbuh, akasia, sengon, sifat fisis dan mekanis
Abstract Nowadays, most of timber available in the market is fast-growing wood species, which timber which can be obtained at this time is mostly from fast-growing wood species which have basic properties different from commercial timber species. Basic information about utilization of fast-growing wood as raw material in the manufacture of cement bonded particle is still minimal, to enrich the information needs to be done the study of fast-growing wood species utilization as an alternatif of building materials such as acasia timber (Acasia mangium) and sengon timber (Paraserienthes falcataria). This study aims to develop and optimally utilize fast-growing timber as a component of wood alternative building materials. The research method used in this research is experimental method in the form of full-scale manufacture of cement bonded board with dimension 60 cm x 120 cm x 0,9 cm and used a cold press machine with 30 kg/cm2 pressure for 1 minute to achieve a target density of 1.15 g / cm3 then clamps it for 24 hours. The composition of cement and wood materials used are 1: 2.75 with water-cement ratio of 0,5, and the used of CaCl2 as the catalyst of 2.5% by weight of cement. Test results show that the fast-growing wood cement bonded board can be used as an alternative building material, but it should be further developed with more variations in composition and the pretreatment of wood particles. Keywords : Cement bonded particle board, fast growing wood species, acasia, falcata, physical and mechanical propertis
95
Sifat Fisis dan Mekanis … (Dany C., Aan S., Anita F., Bambang S.)
PENDAHULUAN Eksploitasi sumber daya alam dalam memenuhi kebutuhan bahan bangunan, menimbulkan berbagai permasalahan yang signifikan dan berdampak terhadap kerusakan lingkungan. Disisi lain kebutuhan akan bahan bangunan terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan pembangunan sarana dan prasarana fisik bidang ke-PU-an. Meningkatnya pemenuhan kebutuhan bahan bangunan ini berakibat terhadap tingginya harga bahan bangunan, karena tidak seimbangnya antara pemenuhan kebutuhan dengan permintaan di pasaran. Kondisi semacam ini setiap tahunnya terus berkesinambungan, apalagi ditambah dengan adanya kebijakan pemerintah di bidang moneter dan keuangan, seperti kenaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dapat dipastikan sangat berpengaruh terhadap kondisi kenaikkan harga bahan bangunan. Salah satu yang dilakukan dalam menangani permasalahan-permasalahan tersebut diatas sesuai dengan kemajuan teknologi saat ini adalah melalui terobosan inovasi teknologi produksi bahan bangunan organik sebagai bahan bangunan alternatif yang memenuhi persyaratan teknis, ekonomis tetapi kelestarian lingkungan dapat terkendali. Berdasarkan aspek persyaratan tersebut diatas, sumber alam bahan organik yang dimungkinkan dapat dikembangkan dan mempunyai prospek pasar yang cerah di masa mendatang adalah bahan baku tegakan seperti kayu cepat tumbuh. Kayu cepat tumbuh merupakan kayu yang ditanam pada hutan tanaman industri. Tanaman yang ditanam pada areal HTI harus mempunyai sifatsifat yang cepat tumbuh (fast growing species) dengan tinggi dan produksi yang cukup besar, contohnya Sengon (P. falcataria), Akasia (A. mangium) dan Agathis (A. dammara). Salah satu pemanfaatan kayu cepat tumbuh sebagai bahan bangunan alternatif yaitu dengan memanfaatkan kayu cepat tumbuh seperti Acasia mangium dan sengon sebagai bahan pembuatan papan semen. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa papan semen dari kayu-kayu cepat tumbuh memiliki sifat fisis dan mekanis yang memenuhi syarat (Firmanti, A. 2002; Tachi, M. et al., 2004). Papan semen dipilih karena perekatnya mudah diperoleh, produk yang dihasilkan relatif tahan cuaca dan tahan serangan organisme perusak. Sifat-sifat khusus dari papan semen partikel ditentukan oleh dua komponen utama yaitu kayu dan semen yang digunakan. Kayu mempunyai
berat yang ringan, elastis dan mudah dikerjakan, sedangkan semen mempunyai sifat tahan terhadap api, air, jamur, dan rayap. Dalam pembuatan papan partikel dengan perekat semen, kecocokan bahan baku papan partikel dengan semen merupakan faktor yang penting. Firmanti (2002) menyatakan bahwa jenis kayu HTI termasuk akasia dan sengon mempunyai nilai kecocokan yang cukup tinggi dalam pembuatan papan partikel dengan perekat semen, walaupun nilai kecocokan tersebut lebih rendah sedikit dibandingkan dengan partikel yang diberi perlakuan perendaman air panas dan air dingin. Papan semen partikel dapat dilapisi dengan vinyl foils, kertas dinding tiruan dan vinir dengan menggunakan perekat. Papan semen partikel mempunyai daya hantar panas yang hampir sama dengan kayu utuh dan papan partikel dengan perekat resin (Anonimous, 1975). Sifat-sifat lainnya antara lain papan semen partikel tidak mudah diserang oleh serangga dan juga tahan terhadap api serta tidak memerlukan bahan pengawet, serta papan semen partikel mudah digergaji, dipakai, disekrup, diplester, dicat dan disemprot. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa penelitian pembuatan papan partikel dengan perekat semen yang menggunakan bahan baku kayu cepat tumbuh hanya pada skala kecil atau skala laboratorium. Dalam rangka aplikasi hasil penelitian papan partikel dengan perekat semen sebagai bahan baku alternatif bahan bangunan maka perlu dilakukan scale-up dalam pembuatannya, terutama yang menggunakan bahan baku kayu cepat tumbuh. Oleh karena itu, dalam penelitian dilakukan pembuatan papan partikel dengan perekat semen berbahan baku kayu cepat tumbuh kayu akasia dan sengon. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik papan partikel perekat semen berbahan baku kayu cepat tumbuh akasia dan sengon pada skala pilot.
METODOLOGI Bahan baku yang digunakan yaitu kayu akasia (Acasia mangium) dan kayu sengon (Paraserienthes falcataria). Kedua kayu tersebut di buat dalam bentuk chip dengan menggunakan mesin drum chipper kemudian dihaluskan dengan menggunakan mesin pembuat partikel ring flaker merk Pallmann. Kedua jenis partikel tersebut dikondisikan kadar airnya 60% sehari sebelum dilakukan pencampuran dengan bahan lainnya dengan cara menyemprotkan air dan diaduk
96
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 95-100
sampai rata kemudian disimpan dalam kantong plastik yang kedap udara. Papan semen yang dibuat berukuran 60 cm x 120 cm x 0,9 cm dengan target kerapatan 1,15 g/cm3, dan perbandingan kayu dan semen sebesar 1 : 2,75 berdasarkan berat. Partikel dengan kadar air 60% ditambah air lagi yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan air berdasarkan 0,5 dari berat semen yang telah dicampur dengan larutan CaCl2 sebagai katalisator sebesar 2,5% dari berat semen. Partikel ini kemudian dicampur dengan semen dan diaduk sampai rata, selanjutnya dibentuk hamparan dengan menaburkan dengan tangan sampai merata ketebalan dan kepadatannya. Hamparan ini dimasukkan dalam kempa dingin dan dikempa dengan tekanan 30 kg/cm2 selama 1 menit untuk mencapai target kerapatan 1,15 gr/cm3, kemudian di klem selama 24 jam. Klem dilepas setelah 24 jam, kemudian diangin-anginkan selama 28 hari untuk mencapai kondisi optimum pengerasan semen. Selanjutnya dilakukan pengujian fisis papan semen seperti sifat kadar air, kerapatan, penyerapan air, dan pengembangan tebal. Untuk pengujian pengembangan tebal dan daya serap air dilakukan pengukuran setelah direndam 2 jam dan 24 jam. Sedangkan pengujian sifat mekanisnya adalah kuat lentur (MOE dan MOR), serta kuat rekat. Pengujian sifat fisis dan mekanis tersebut dilakukan berdasarkan standar JIS A 5908 tentang papan partikel dengan jumlah ulangan masing-masing 6 buah. Dalam analisa sifat fisis dan mekanis dilakukan ekstrapolasi dari kerapatan hasil pengukuran terhadap kerapatan target untuk setiap data yang diperoleh.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar air papan semen partikel acasia mangium dan sengon memiliki kadar air dibawah 15% sehingga masih memenuhi persyaratan teknis untuk papan semen. Rata-rata kadar air papan semen dari kayu akasia dan sengon masing-masing berturut-turut 7,9% dan 10,4%. Hal ini menunjukkan bahwa papan semen sudah memenuhi syarat untuk dilakukan pengujian sifat fisis dan mekanisnya.
97
Dari hasil pengujian kerapatan papan semen semua benda uji memiliki kerapatan melebihi kerapatan target yaitu 1,15 kg/cm3. Prosentase rata-rata perbedaan kerapatan benda uji dengan kerapatan target untuk papan semen akasia dan sengon yaitu 13% dan 7%. Hal ini tejadi karena adanya pengaruh pada proses pembuatan papan semen yang menggunakan mixer terbuka dan dikarenakan berat jenis kayu lebih ringan dari pada berat jenis semen sehingga pada waktu pencampuran banyak partikel-partikel kayu yang terbang keluar dari mixer sehingga komposisi semen lebih banyak daripada kayu. Untuk mengetahui sifat papan partikel yang dihasilkan pada kerapatan target dilakukan ekstrapolasi. Pada gambar 3 dan gambar 4 menunjukkan masing-masing hasil pengujian pengembangan tebal dan penyerapan air dari papan semen. Dari gambar telihat bahwa pengembangan tebal dan penyerapan air setelah perendaman 2 jam maupun 24 jam pada papan semen yang terbuat dari kayu akasia lebih tinggi dari pada papan semen dari kayu sengon. Nilai sifat pengembangan tebal dari papan partikel semen yang terbuat dari kayu akasia dan sengon masing-masing 2,3% dan 0,7% pada perendaman 24 jam. Sifat pengembangan tebal dari papan partikel kayu akasia dan sengon ini lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian Tachi et al., (1988) yang menggunakan bahan baku yang sama. Demikian juga dibandingkan dengan hasil penelitian Ma (1997) dan Hermawan (2001) yang masing-masing menggunakan bahan baku bambu dan pelepah kelapa sawit dengan menggunakan bahan aditif CaCl2 pada kadar yang sama yaitu 2,5% dari berat semen pada penelitian ini menunjukkan bahwa sifat pengembangan tebal papan semen lebih baik. Nilai penyerapan air papan semen partikel kayu akasia dan kayu sengon yang dihasilkan dapat dilihat pada gambar 4. Sifat daya serap air menunjukkan nilai kenaikkan yang signifikan walaupun hanya direndam selama 2 jam baik untuk papan partikel perekat semen dari kayu akasia maupun kayu sengon, tetapi kenaikkannya kurang signifikan setelah perendaman selama 24 jam.
Sifat Fisis dan Mekanis … (Dany C., Aan S., Anita F., Bambang S.)
Pengembangan tebal (%)
3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 acasia
sengon
Jenis papan semen TS2 : Rendaman 2 jam
TS24 : Rendaman 24 jam
Gambar 3 Hasil Pengujian Pengembangan Tebal Papan Semen
Penyerapan air (%)
30 25 20 15 10 5 0 acasia
sengon Jenis papan semen
WA2 : Penyerapan air 2 jam
WA24 : Penyerapan air 24 jam
Gambar 4 Hasil Pengujian Penyerapan Air Papan Semen
Hasil uji lentur pada kedua papan semen yaitu papan semen yang terbuat dari kayu akasia dan sengon masing-masing dapat dilihat pada gambar 5 dan gambar 6. Kedua gambar menunjukkan bahwa papan semen kayu akasia memiliki modulus elastisitas lentur (MOE) dan keteguhan lentur patah (MOR) hampir sama dengan papan semen kayu sengon. Sifat modulus elastisitas lentur (MOE) dari kedua jenis papan semen tersebut telah memenuhi standar komersial Bison (Anonim, 1975) yang mensyaratkan nilai MOE dari papan semen harus mempunyai nilai lebih dari 30.000 kgf/cm2, dan nilai MOE dari papan semen pada penelitian ini adalah 44,827 kgf/cm2 dan 39,568 kgf/cm2 masing-masing untuk papan semen terbuat dari kayu akasia dan sengon. Demikian juga untuk sifat keteguhan lentur patah (MOR) belum memenuhi standar komersial Bison (Anonim, 1975) yang mensyaratkan sifat MOR 90-
150 kgf/cm2, dan nilai MOR dari papan semen pada penelitian ini adalah 89,16 kgf/cm2 dan 77,27 kgf/cm2 masing-masing untuk papan semen terbuat dari kayu akasia dan sengon. Nilai MOE dan MOR papan semen partikel yang dihasilkan dalam penelitian ini menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang menggunakan bahan bahan baku yang sama (Tachi et al., 1988) maupun dengan menggunakan bahan baku bambu (Ma, et al., 1997) dan pelepah daun kelapa sawit (Hermawan, et.al., 2001) yang menggunakan bahan aditif CaCl2 pada konsentrasi yang sama yaitu 2,5% dari berat semen. Selanjutnya kedua peneliti tersebut menyatakan bahwa sifat MOE dan MOR dari papan partikel perekat semen akan semakin meningkat dengan bertambahnya penambahan konsentrasi aditif CaCl2 dan MgCl2. 98
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 95-100
Modulus Elastisitas Lentur (kgf/cm2)
60000 acasia 50000
sengon
40000 30000 20000 10000 0 acasia
sengon Jenis papan semen
Gambar 5 Hasil Pengujian MOE Papan Semen
Keteguhan Lentur Patah (kgf/cm2)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
acasia sengon
acasia
sengon Jenis papan semen
Keteguhan Rekat (kgf/cm2)
Gambar 6 Hasil Pengujian MOR Papan Semen
12 acasia
10
sengon 8 6 4 2 0 acasia
sengon Jenis papan semen
Gambar 7 Hasil Pengujian Keteguhan Rekat Papan Semen
Hasil pengujian keteguhan rekat papan semen akasia dan sengon dapat dilihat pada gambar 7. Keteguhan rekat papan semen akasia lebih tinggi dari papan semen sengon, hal ini dapat diartikan
99
bahwa bahan kayu yang digunakan selain berpengaruh pada MOE dan MOR papan semen juga berpengaruh keteguhan rekat papan semen tersebut. Hasil uji keteguhan rekat papan yang
Sifat Fisis dan Mekanis … (Dany C., Aan S., Anita F., Bambang S.)
dihasilkan lebih tinggi daripada standar JIS yang menetapkan minimum nilai keteguhan rekat 1,5 kgf/cm2, yaitu untuk papan semen kayu akasia dan sengon masing-masing sebesar 9,5 kgf/cm2 dan 4,0 kgf/cm2. Nilai sifat keteguhan rekat papan partikel semen dari kayu akasia lebih tinggi dari pada hasil penelitian Hermawan et.al. (2001), sedangkan untuk papan semen kayu sengon nilainya hampir sama, dan keduanya lebih tinggi dari pada hasil penelitian Ma et.al. (1997) yang menggunakan bambu sebagai bahan baku.
KESIMPULAN Dapat disimpulkan bahwa kayu cepat tumbuh seperti kayu akasia dan kayu sengon dapat digunakan sebagai bahan baku papan partikel perekat semen, dan kayu akasia lebih baik. Pada sifat fisis, papan semen partikel kayu akasia dan sengon memiliki kadar air dibawah 15%. Pengembangan tebal dan penyerapan air papan semen acasia mangium setelah 24 jam lebih tinggi daripada papan semen sengon, hal tersebut disebabkan oleh tingginya kembang susut partikel kayu akasia dibandingkan dengan partikel sengon. Hasil pengujian sifat mekanis, MOE kedua jenis papan semen tersebut berada di atas 10.000 kgf/cm2, tetapi MOR kedua jenis papan semen ini masih rendah yaitu dibawah 100 kgf/cm2. Namun, MOR papan semen partikel yang dihasilkan masih lebih baik dari hasil penelitian terdahulu dengan jenis kayu yang sama (Tachi et al., 1988). Untuk keteguhan rekat papan semen yang dihasilkan lebih tinggi daripada standar JIS yang menetapkan
minimum nilai keteguhan rekat 1,5 kgf/cm2 yaitu untuk papan semen kayu akasia dan sengon, masing-masing sebesar 9,5 kgf/cm2 dan 4,0 kg/cm2.
DAFTAR PUSTAKA Firmanti, Anita, 2002. Penelitian pemanfaatan kayu-kayu dari HTI untuk papan partikel semen. Belum diterbitkan. Marsoem, S.N, 2004. Pemanfaatan Hasil Hutan Tanaman Acasia mangium dalam “Pembangunan Hutan Tanaman Acasia mangium”, PT. Musi Hutan Persada, Palembang. Suhardiman, I, 1997. Sifat Ketahanan Api Cuplikan Campuran Semen dan Partikel Kayu Agathis (Agathis alba) Mangium (Acasia mangium) dan Sengon (Paraserienthes falcataria) Berbentuk Silinder. Universitas Winaya Mukti, Jatinangor. Tidak diterbitkan. Tachi, M; Nagadomi, W; Tange, J; Yasuda, S. Terashima, N. 1988. Manufacture of WoodCement Bonded Board. Mokuzai Gakkaishi. Vol. 34 (9), 761-764. Ma, L., Y. Kuroki, W. Nagadomi, B. Subiyanto, S. Kawai, and H. Sasaki, 1997. Manufacture of Bamboo-Cement Composites II. Effects of Additives on Hydration Characteristics of Bamboo-Cement Mixture. Mokuzai Gakkaishi, Vol. 43 (9), 754-761. Hermawan, D., B. Subiyanto, and S. Kawai, 2001. Manufacture and Properties of Oil Palm Frond Cement-Bonded Board. Jurnal Wood Science. Vol. 47, 208-213.
100
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 101-109
PERAN PENDAMPING MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH 3R (REDUCE, REUSE, RECYCLE) DI KOTA BANJAR Task Field Officer in Waste Management 3R (Reduce, Reuse, Recycle) Concept Community in Banjar City Aryenti Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan - Kabupaten Bandung 40393 E-mail :
[email protected] Diterima : 21 Juni 2010; Disetujui : 17 Februari 2012
Abstrak Pendampingan merupakan upaya untuk menyertakan masyarakat dalam mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki sehingga mampu mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik. Kegiatan pendampingan pengelolaan sampah 3R di Kota Banjar dilaksanakan untuk memfasilitasi masyarakat pada proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan sampah 3R di lingkungannya. Dalam pelaksanaan program pendampingan ini diperlukan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yang mampu berperan sebagai fasilitator, komunikator dan dinamisator selama program berlangsung. Seorang pendamping adalah pemeran kunci dalam mengembangkan masyarakat sehingga masyarakat mampu mengatasi sendiri permasalahan sampah di lingkungannya. Pendampingan pengelolaan sampah 3R di Kota Banjar dilaksanakan selama dua tahun. Hasil dari monitoring dan evaluasi yang telah dilaksanakan, masih belum optimal. Pendampingan dapat dikatakan berhasil apabila hasil dari pendampingan mampu mengembangkan pola pikir, pola sikap dan pola tindak pada masyarakat yang didampinginya. Tindak lanjut yang dilakukan oleh pendamping dalam mengoptimalkan peranserta masyarakat dalam pengelolaan sampah 3R adalah mendirikan KOMPAS (Komunitas Pengelola Sampah), bank sampah, sosialisasi pada instansi terkait, dan uji coba padi organik dengan menggunakan kompos yang telah dihasilkan. Kata Kunci : Peran, pendamping, masyarakat, perilaku, pengelolaan, sampah 3R
Abstract Mentoring is an attempt to include the community in developing a wide range of potential so that they can be able in achieving a better quality of life. Mentoring activities in city waste management 3R Banjar implemented to facilitate the public in the decision-making process in waste management in its environment. 3R in the implementation of this program of mentoring is required the availability of human resources (HR) a quality that is able to act as facilitators, communicators and dinamisator during the program in progress. A companion is cast of key in developing the society able to overcome own the waste problem in their environment. Flanking waste management mentoring 3R in Banjar implemented over the past two years. The result of monitoring and evaluating that has been performed, flanking for two years not yet been optimal. Flanking can be said to be successful if the result of a pattern of thought, flanking capable of developing a pattern of attitudes and a pattern follow up on people who was accompanied by. The follow-up carried out by in optimizing the role of companion as well as the community in waste management is founded on a COMPASS (Community Manager Waste), waste bank, socialization on related institutions, trials using composted organic rice that have been produced. Keywords : Task, field officer, community, behaviour, management, 3R concept
PENDAHULUAN Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, menyebutkan bahwa sampah telah menjadi permasalahan nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi sehat bagi masyarakat dan aman bagi
101
lingkungan serta dapat merubah masyarakat dalam pengelolaan sampah.
perilaku
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Sebagai produk masyarakat dalam menjalankan aktivitas penanganannya harus melibatkan masyarakat secara langsung. Program pengolahan sampah organik dan anorganik
Peran Pendamping Masyarakat … (Aryenti)
berbasis komunitas berupaya membangun kesadaran masyarakat sekaligus memfasilitasi dalam proses pengolahan sampah. Pelibatan masyarakat akan tumbuh apabila aktivitas yang dilakukan memberikan manfaat kepada masyarakat. Selain hal tersebut perumusan program sejak awal direncanakan bersama masyarakat dengan menggali potensi yang ada di masyarakat dalam pengolahan sampah. Dengan demikian tumbuh rasa memiliki karena ide dan pemikiran masyarakat diakomodasi mulai dari awal pelaksanaan program. Berdasarkan hal tersebut, pengelolaan sampah dengan penerapan konsep 3R pada masyarakat perlu pendamping yang dapat memberikan arahan dan memotivasi agar masyarakat dapat mengelola sampah di lingkungannya sejak dari sumber sampai pada mendaur ulang sampah menjadi suatu yang bermanfaat. Dalam pelaksanaannya program pendampingan diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yang mampu berperan sebagai fasilitator, komunikator dan dinamisator selama program berlangsung dan berfungsi sebagai konsultan sewaktu diperlukan oleh kelompok. Tenaga pendamping dapat berasal dari tenaga pendamping lokal di wilayah setempat (Tokoh Masyarakat, Karang Taruna, Kepala Desa, Ketua RT atau RW) maupun tenaga pendamping yang berasal dari luar (LSM, Perguruan Tinggi) sepanjang memenuhi kriteria pendamping. Peran pendamping dalam pengelolaan sampah 3R, difokuskan pada perubahan perilaku masyarakat agar dapat mandiri dan kreatif dalam pengelolaan sampah di lingkungannya. Pendampingan diperlukan agar potensi yang terdapat dalam masyarakat dapat dikembangkan secara optimal (Gunawan Sumodiningrat 2005). Sedangkan (Jim Ife) mengemukakan bahwa ada empat peranan utama yang dimainkan oleh seorang pendamping (field officer) agar terwujud tujuan sebuah program pengembangan masyarakat, yaitu yaitu peran fasilitatif (facilitatif roles), peran pendidikan (educational roles), peran perwakilan (representational roles), dan peranan teknis (technical roles). Pendampingan dapat dikatakan berhasil apabila mampu mengembangkan pola pikir, pola sikap, pola tindak pada tingkat komunitas, dampak dari pendampingan dalam pengelolaan sampah 3R adalah berkembangnya nilai-nilai kepedulian masyarakat dalam mengelola sampah di lingkungannya. Sedangkan pada tingkat
pemerintahan ditandai dengan terjadinya kebijakan-kebijakan baru yang dapat mengatasi masalah persampahan. Untuk itu dalam penelitian ini akan mengkaji sampai sejauh mana peran pendamping dalam pengelolaan sampah 3R di Kota Banjar. Identifikasi Masalah Kajian peran pendamping dalam pengelolaan sampah 3R di Kota Banjar difokuskan pada pertanyaan, yaitu : - Sampai sejauh mana peran pendamping dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah 3R di Kota Banjar ? - Bagaimana kondisi, sosial, budaya dan ekonomi, termasuk kebiasaan masyarakat setempat dalam menangani sampah di lingkungan mereka sehari-hari ? - Pendampingan yang bagaimana yang dapat dikatakan berhasil ? - Berapa lama pendampingan yang ideal ? - Peran pemerintah seperti apa ? - Peran swasta seperti apa ? - Peran masyarakat seperti apa ? Tujuan Untuk mengetahui sampai sejauh mana peran pendamping dalam pengelolaan sampah 3R di Kota Banjar dapat merubah sikap, perilaku dan memotivasi, agar masyarakat dapat mengelola sampahnya secara mandiri sesuai dengan konsep 3R.
METODOLOGI Kegiatan pendampingan masyarakat dalam pengelolaan sampah 3R ini menggunakan metode pendekatan partisipatif, dengan menerapkan metode PRA (Participatory Rural Appraisal). Pendekatan partisipatif dilakukan untuk mempelajari dan mengamati perilaku masyarakat dalam mengelola sampah di lingkungannya, sedangkan teknis analisis yang digunakan adalah dengan cara kualitatif data yang telah ada selanjutnya disusun dianalisis sesuai dengan kepentingan studi ini.
Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam pengelolaan sampah 3R ini, dikumpulkan dari data primer dan sekunder, data primer dikumpulkan melalui wawancara dan observasi secara langsung pada masyarakat binaan dan para pengelola di TPS (Tempat Pembuangan Sampah Sementara) dan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) dengan bantuan kuesioner serta pengamatan langsung di lapangan.
102
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 101-109
Sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui data literatur, hasil-hasil penelitian terdahulu yang telah dilaksanakan, penelusuran melalui data internet, serta hasil rembug warga, hasil lokakarya, hasil konsultasi intansional. Kajian Pustaka Pendampingan masyarakat dalam pengelolaan sampah 3R dilakukan pada intinya adalah untuk membantu masyarakat dalam merumuskan permasalahan dan memecahkan masalah di lingkungannya, pendampingan diarahkan untuk mengembangkan sikap dan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah. Upaya ini dapat dilakukan melalui transfer ilmu pengetahuan dan teknologi pada masyarakat, dengan mencari solusi dan tindak lanjut dalam penyelesaian masalah-masalah sampah di lingkungannya. Peran pendamping masyarakat sangat diperlukan dalam suatu program yang akan dilaksanakan, terutama untuk menumbuhkan, mengembangkan dan membina masyarakat secara intensif dan terarah dalam upaya penanaman kesadaran dan perubahan perilaku. Tugas dan Peran Pendamping Pendamping harus siap terjun ke masyarakat. Sebagai pendamping perlu diberikan pelatihan agar memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam melakukan pendampingan terhadap kelompok binaannya. Peran pendamping umumnya mencakup 4 peran utama, yaitu; sebagai fasilitator, pendidik, perwakilan dari masyarakat yang dibinanya dan peran-peran teknis bagi masyarakat binaannya seperti berikut ini : 1. Sebagai fasilitator, masyarakat pada umumnya mempunyai keterbatasan dalam mengembangkan dirinya, oleh karena itu diperlukan pendamping untuk membuka dialog dengan masyarakat. Pendamping dapat membuka jalur informasi dan akses yang perlukan oleh masyarakat yang tidak dapat diperolehnya sendiri, yaitu dengan pemberian motivasi, kesempatan dan dukungan bagi masyarakat. Beberapa tugas yang berkaitan dengan ini antara lain menjadi model, melakukan mediasi dan negoisasi, memberikan dukungan, membangun konsensus bersama, serta melakukan pengorganisasian dan pemanfaatan sumbersumber yang ada di masyarakat baik sumber alam, SDM, maupun sumber-sumber lain yang dapat menunjang program pengelolaan sampah 3R. 2. Sebagai pendidik, pendamping berperan aktif sebagai agen yang memberi masukan positif dan direktif berdasarkan pengetahuan dan
103
pengalamannya serta bertukar gagasan dan pengetahuan dengan masyarakat yang di dampinginya. Membangkitkan kesadaran masyarakat, menyampaikan informasi, melakukan konfrontasi, menyelenggarakan pelatihan bagi masyarakat adalah beberapa tugas yang berkaitan dengan peran pendidik. Lingkup pembinaan yang dilakukan oleh para pendamping meliputi upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, yakni kualitas para anggota dan pengurus kelompok serta peningkatan kemampuan usaha anggota. 3. Sebagai perwakilan masyarakat, peran ini dilakukan dalam kaitannya dengan interaksi antara pendamping dengan lembaga-lembaga eksternal atas nama dan demi kepentingan masyarakat dampingannya. Pendamping dapat bertugas mencari sumber-sumber, melakukan pembelaan, menggunakan media, meningkatkan hubungan masyarakat, dan membangun jaringan kerja dengan pihak luar. Untuk melaksanakan tugastugasnya secara efektif, pendamping harus siap bertugas setiap waktu, menghadiri pertemuan kelompok, mengorganisasikan program pelatihan untuk maksud tersebut, pendamping perlu mengenal dan mengadakan komunikasi yang intensif dengan kelompok binaan. 4. Sebagai pelaksana teknis, peran pendamping mengacu pada aplikasi keterampilan yang bersifat praktis. Pendamping dituntut tidak hanya mampu menjadi manajer perubahan yang mengorganisasi kelompok, melainkan pula mampu melaksanakan tugas-tugas teknis seperti; proses pengelolaan sampah mulai dari pewadahan, pengumpulan, pengangkutan dan pemrosesan, sampai dapat mendaur ulang sampah organik dan anorganik.
Kebijakan Pengelolaan Sampah 3R Kebijakan pengelolaan sampah 3R (Reduse, Reuse, Recycle) telah ditetapkan sebagai strategi nasional dalam pengelolaan sampah yang dilaksanakan untuk mengurangi beban pengelolaan persampahan. Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008, tentang pengelolaan sampah dikatakan bahwa pengelolaan sampah rumah tangga, terdiri dari pengurangan sampah dan penanganan sampah. Pengurangan sampah yang dimaksud meliputi kegiatan : 1. Pembatasan timbulan sampah 2. Pendaur ulang sampah, dan atau, 3. Pemanfaatan kembali sampah Sistem pengelolaan sampah yang ada harus berupaya melakukan pengurangan sampah semaksimal mungkin sejak dari sumbernya. Dalam
Peran Pendamping Masyarakat … (Aryenti)
upaya pengurangan sampah tersebut, pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan kegiatan antara lain memfasilitasi penerapan teknologi yang ramah lingkungan, memfasilitasi kegiatan daur ulang sampah dan memfasilitasi pemasaran produk-produk daur ulang sampah sampah organik dan anorganik. Untuk mencapai keberhasilan pengelolaan dan daur ulang sampah tersebut di atas, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan sampah 3R dilingkungan permukiman adalah peranserta masyarakat sebagai penghasil sampah perlu mendapat perhatian disamping faktor penunjang lainnya. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Dalam meningkatkan peranserta masyarakat diperlukan seorang motivator yang dapat memotivasi masyarakat agar berperan aktif dalam setiap kegiatan. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah dapat dilakukan melalui sosialisasi/penyuluhan, pelatihan, percontohan, dan pengembangan kegiatan.
Data Lapangan
Tabel 1 Luas Wilayah Kota Banjar Menurut Kecamatan (km2)
1 2 3 4
Kecamatan
Banjar Pataruman Purwaharja Langensari Jumlah
Luas Wilayah (Ha)
2.623,84 5.405,66 1.826,74 3.340,99 13.197,23
Sumber : Kota Banjar Dalam Angka
Tabel 2 Wilayah Binaan Pengelolaan Sampah Bulanan 3R di Kota Banjar No. 1 A
2 A 3 A
4
- Kondisi Umum Kota Banjar Kota Banjar adalah salah satu kota yang berada di Provinsi Jawa Barat dengan ketinggian antara 20 sampai dengan 500 meter di atas permukaan laut dengan luas wilayah 13.197,23 Ha, dengan jumlah kecamatan seperti pada tabel 1 serta beriklim tropis. Kota Banjar menjadi salah satu kawasan andalan bagi kawasan sekitarnya yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Kota Banjar di resmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 21 Februari 2002 dari kota administratif menjadi Kota Banjar yang di kepalai oleh seorang walikota. Dalam perkembangannya Kota Banjar merupakan jalur lalulintas penghubung antara Provinsi Jawa Barat-Jawa Tengah-Jawa Timur sehingga diharapkan mampu tumbuh sebagai kota industri, perdagangan, jasa dan pariwisata bagi wilayah Jawa Barat bagian timur.
No.
- Kondisi Eksisting Pengelolaan Sampah di Kota Banjar Pengelolaan sampah domestik di Kota Banjar lebih banyak dimusnahkan dengan metode in situ yaitu dengan jalan dibakar dan dibuang ke lahan-lahan kosong sekitar rumah. Sedangkan untuk sampah pasar dan sebagian perumahan di perkotaan dilakukan dengan cara pengumpulan oleh petugas yang ditunjuk untuk dibuang ke tempat pembuangan sampah sementara (TPS) sedangkan alat pengangkutan sampah ke TPA dilakukan dengan dump truck atau container truck.
2 0 0 4
6 6 4 6 22
2 0 0 5
6 6 4 6 22
Jumlah Desa 2 0 0 6
7 7 4 6 24
2 0 0 7
7 7 4 6 24
2 0 0 8
7 7 4 6 24
Kecamatan Kelurahan Kecamatan Banjar Kelurahan Banjar : Dusun Pintu Singa Dusun Banjar Kolot Kecamatan Petaruman : Dusun Jelat Dusun Sukamanah Kecamatan Langensari : Kelurahan Langensari Dusun Sirna Galih Kelurahan Mukti Sari Dusun Babakan Kecamatan Purwaharja Kelurahan Karang Panimbal Kelurahan Mekarharja
Wilayah Binaan
RW 17 dan 18 RW 15 dan 16 RW 4 (RT 12, 13) RW 2 RW 6
RW 4 RW6 RW 3 dan 4 Dusun Parung Sari Dusun Randengan RW 3
Sumber : Laporan Draf Akhir Pengelolaan Sampah 3R di Kota Banjar, 2009
Profil Kawasan Binaan Pendampingan Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah 3R di Kota Banjar a. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sebagian besar masyarakat di wilayah binaan bekerja di sektor pertanian (80%). Mata pencaharian tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, karena untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat mengandalkan dari hasil pertanian, sedangkan sisanya disamping bertani mata pencaharian masyarakat adalah sebagai buruh di sawah, buruh bangunan, tukang becak, tukang ojek, pedagang keliling, sebagian kecil PNS, ABRI. b. Kondisi Perumahan Kondisi perumahan warga umumnya sudah permanen. Bangunan rumah umumnya sudah di tembok, bahan bangunan merupakan bahan lokal setempat dengan menggunakan bahan semen, batu bata, batu kali, dengan atap genting dan berdinding tembok. c. Kondisi Jalan Lingkungan Untuk sarana mobilisasi warga terdiri dari jalan utama dan jalan lingkungan. Jalan utama umumnya jalan yang sudah diaspal, dengan lebar ± 8 s.d. 10
104
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 101-109
meter, dapat dilalui oleh kendaraan besar maupun kecil. Jalan lingkungan merupakan jalan yang sudah diperkeras dengan semen dengan lebar ± 1-
2 meter merupakan hasil swadaya masyarakat. Disekitar perumahan masih banyak lahan-lahan kosong yang belum dimanfaatkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 3 Gambaran Pengelolaan Sampah Kondisi Awal dan Kondisi Setelah Pendampingan di Kota Banjar No 1.
2.
3.
Penangganan Sampah
Kondisi Setelah Kondisi Awal Pendampingan Ada/Tidak Ada/ Tidak
Keterangan
Skala Individual Pewadahan Pemilahan Daur ulang Pengomposan
Ada Tdk Tdk Tdk
Ada Ada Ada Ada
Sebagian masyarakat masih ada yang membuang sampah ke sungai, selokan, lahan terbuka, ditimbun.
Skala Komunal Pewadahan Pemilahan Daur ulang Pengomposan
Tdk Tdk Tdk Tdk
Ada Ada Ada Ada
Pemilahan belum optimal masih ada masyarakat membuang sampah tercampur.
Skala Lingkungan (TPS) Pemilahan Daur ulang Pengomposan
Ada Ada Ada
Ada Ada Ada
Pemilahan, pengomposan, daur ulang sampah plastik telah berjalan.
Tindak Lanjut Tindak lanjut yang dilakukan pendamping dalam pengelolaan sampah 3R yang telah berjalan di Kota Banjar adalah dengan mendirikan: - KOMPAS (Kegiatan Kelompok Masyarakat Pengelola Sampah). - Bank Sampah Untuk memfasilitasi masyarakat dalam pemasaran kompos dan daur ulang sampah anorganik.
Sumber: Hasil Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Sampah di Kota Banjar , 2009
Kondisi Awal Eksisting Pengelolaan Sampah Sebelum Pendampingan Pada umumnya masyarakat di wilayah binaan belum menerapkan program 3R dalam mengelola sampahnya, baik pengelolaan secara individual maupun komunal. Sampah rumah tangga dibuang secara tercampur tanpa pemilahan terlebih dahulu. Sebagian masyarakat ada yang membuang sampahnya ke sungai, lahan kosong atau ditimbun. Sedangkan pengelolaan sampah secara komunal oleh masyarakat belum ada. Penanganan sampah dari sumber ke TPS dilakukan oleh petugas sampah dengan cara diangkut menggunakan gerobak sampah. Kondisi Pengelolaan Sampah Setelah Pendampingan Pengelolaan Sampah Individual Kondisi pengelolaan sampah 3R setelah pendampingan. Pada umumnya masyarakat telah menerapkan program 3R. Masyarakat sudah mulai memilah sampah sejak di sumber, melakukan pengomposan dan memisahkan sampah organik dan anorganik. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah di sumber, masih diperlukan upaya peningkatan pengetahuan kepada masyarakat secara menyeluruh sehingga masyarakat sadar pentingnya peran aktif mereka dalam menunjang proses pengelolaan sampah. Upaya yang dilakukan pendamping dalam meningkatkan kesadaran masyarakat di wilayah binaan adalah dengan menyelenggaran pertemuan105
pertemuan warga melalui pemaparan media, mempraktekkan secara langsung cara pembuatan kompos. Pengelolaan Sampah Komunal Komposter komunal ditempatkan dimasing-masing RT, dimana masing-masing RT binaan mendapat dua komposter. Pengomposan secara komunal belum dilakukan secara optimal, masih ada masyarakat yang membuang sampahnya secara tercampur. Karena penggunaannya untuk umum kurang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu diperlukan kesadaran yang tinggi dari masyarakat. Untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat di wilayah binaan dalam memilah sampah pendampingan dilakukan secara intensif dengan sasaran pemaparan pengetahuan tentang tatacara pemilahan sampah dan pengenalan cara pemakaian teknologi pengomposan. Melakukan pula pendekatan-pendekatan dan penyadaran pada masyarakat agar mereka dapat merubah perilaku dalam menanggani sampahnya. Pengelolaan Sampah Skala Lingkungan (TPS) Pengelolaan sampah skala lingkungan di TPS pada beberapa lokasi binaan telah berjalan. Hasil monitoring pada beberapa lokasi uji coba model diantaranya Desa Neglasari telah menghasilkan ± 10-20 ton perbulan, namun kompos yang telah diproduksi masyarakat belum dapat dipasarkan
Peran Pendamping Masyarakat … (Aryenti)
secara optimal mengingat koperasi kompos dan hasil olahan sampah masih dalam proses pengukuhan hukum. Kesepakatan bersama antara dinas terkait dalam pemanfaatan kompos belum berjalan mengingat keterbatasan dana APBN. Akibatnya kompos yang telah dihasilkan hanya menumpuk di gudang dan tidak dapat dipasarkan karena belum ada produsen yang menampung hasil kompos. Tidak terjualnya kompos membuat modal kerja tidak kembali. Akibat kurang terserapnya kompos yang dihasilkan masyarakat kehilangan motivasi untuk meneruskan pembuatan kompos dan biaya produksipun tidak ada untuk melanjutkan pembuatan kompos. Peran pendamping dalam mengatasi hal ini adalah dengan mengadakan pendekatan pada instansi terkait untuk pemasaran kompos. Program Pendampingan Masyarakat Pendampingan masyarakat dalam pengelolaan sampah 3R di Kota Banjar, dilaksanakan mulai dari tahap sosialisasi program. Pelaksanaan survei dengan melibatkan tokoh masyarakat (RT, RW), yang difokuskan pada perubahan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah 3R dari hulu sampai hilir, kampanye secara terus menerus melalui FGD (Focus Group Discussion) dan Event Collection. Pelaksanaan program berupa sosialisasi 3R diseluruh wilayah binaan, konsolidasi kader kota, pelatihan daur ulang plastik untuk kerajinan, pelatihan kader 3R, studi banding ke wilayahwilayah yang telah menerapkan program 3R di dua lokasi di Jawa Barat, diskusi pembiayaan pengelolaan sampah, serta pengembangan media, kegiatan masyarakat mandiri. Tindak Lanjut Peran Pendamping Dalam Pengelolaan Sampah 3R Pendampingan masyarakat dalam pengelolaan sampah 3R di Kota Banjar masih perlu ditindak lanjuti agar program 3R yang telah berjalan dapat berkelanjutan dan masyarakat di wilayah binaan dapat merasakan manfaat dari pengelolaan sampah yang telah mereka lakukan. Untuk mencapai usaha tersebut pendamping melakukan beberapa terobosan untuk dapat menindaklanjuti beberapa permasalahan yang masih menghambat terlaksananya pengelolaan sampah 3R di wilayah binaan diantaranya dengan mendirikan : KOMPAS (Komunitas Pengelola Sampah) Untuk menindaklanjuti pengelolaan sampah di Kota Banjar agar dapat berjalan dengan tertib dan dapat dipertanggungjawabkan maka dibentuk Kelompok Masyarakat Pengelola Sampah, tujuan didirikannya kelompok ini agar masyarakat dapat mengikuti peraturan teknis dan non teknis yang
disepakati bersama diantanya adalah kesepakatan dalam : - Penentuan besaran iuran - Penentuan jadwal pengangkutan - Penentuan kesepakatan penangganan sampah di sumber misalnya pemilahan dan pengomposan sampah di sumber. KOMPAS ini didirikan secara musyawarah, dalam menjalankan tugasnya juga melibatkan masyarakat. Seluruh kegiatan yang akan dilakukan dimusyawarahkan bersama sampai mendapat kesepakatan bersama. Untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sampah di Kota Banjar KOMPAS akan membangun koperasi pengelola sampah Kota Banjar. Tujuan didirikannya koperasi adalah untuk menampung sampah organik dan anorganik dari masyarakat. Dalam tugasnya KOMPAS juga akan mengkoordinir kader-kader di seluruh kelurahan untuk diberi pelatihan-pelatihan dalam pengelolaan sampah dan akan menjajaki kerjasama dengan pihak swasta dalam permodalan dan pemasaran. Bank Sampah Solusi bagi masalah pemasaran produk kompos adalah dengan mendirikan bank sampah. Bank sampah adalah salah satu alternatif yang dilakukan pendamping untuk menampung kompos dan sampah anorganik masyarakat binaan. Perintisan bank sampah dilakukan untuk membangun mekanisme penjualan kompos pada pihak-pihak terkait yang memerlukan kompos. Perintisan bank sampah dilakukan pada tingkat kelurahan dan skala kota. Dengan berdirinya bank sampah diharapkan dapat memicu partisipasi masyarakat dalam mengelola sampahnya serta memberikan bukti pada masyarakat bahwa kegiatan pengelolaan sampah rumah tangga dapat menguntungkan. Untuk pemasaran kompos bank sampah akan melakukan pendekatan pemasaran pada Dinas Pertanian dalam penjualan kompos sebagai media tanam untuk tanaman padi dan palawija, sedangkan untuk sampah anorganik bank sampah akan bermitra dengan pengepul dan pabrik daur ulang. Pengelolaan bank sampah akan diserahkan pada KOMPAS, dalam pelaksanaannya akan didampingi oleh Tim Pendamping. Kerjasama dengan Dinas Pertanian Untuk memanfaatkan pupuk organik yang telah dihasilkan oleh masyarakat, pendamping bekerja sama dengan petani melalui Dinas Pertanian dengan melatih para petani di seluruh kecamatan dalam menggunakan pupuk organik untuk
106
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 101-109
mendukung pembangunan dempolt padi organik di setiap kecamatan. Sikap dan Perilaku Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah 3R Hasil monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sampah 3R melalui pendampingan di Kota Banjar dapat dilihat dari gambaran sikap dan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah seperti berikut ini : Perubahan Perilaku Masyarakat Setelah Pendampingan Hasil pendampingan pengelolaan sampah 3R di Kota Banjar yang telah dilaksanakan selama dua tahun belum secara optimal dapat merubah sikap dan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah. Sebagian masyarakat masih terbebani dengan adanya pemilahan. Pada beberapa rumah tangga masih ada masyarakat yang membuang sampahnya ke komposter secara tercampur. Hal ini disebabkan masih kurangnya kesadaran masyarakat dalam kebersihan dan bahaya yang diakibatkan oleh sampah. Untuk retribusi sampah pada umumnya masyarakat masih keberatan, hal ini disebabkan faktor ekonomi masyarakat yang kurang mampu. Masyarakat lebih mengutamakan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari pada membayar iuran sampah, disamping hal tersebut ketersediaan lahan yang cukup untuk menimbun sampah dimana saja atau membakar sampah tidak menjadikan sampah sebagai sesuatu yang bermasalah bagi mereka. Sedangkan untuk keberlanjutan pengelolaan sampah harus ditunjang oleh adanya dana untuk pengoperasian, pemeliharan dan upah pekerja. Sehubungan dengan hal tersebut di atas pendampingan masih perlu dilanjutkan agar masyarakat benar-benar menyadari bahwa dengan mengelola sampah akan memberi keuntungan bagi mereka bila di jalankan secara benar dengan kesabaran akan membuahkan hasil. Pendampingan yang Ideal Kegiatan pendampingan perlu memiliki tujuan dan sasaran yang jelas dan dapat diukur, sehingga kegiatan pencapaian tujuan dan sasaran akan lebih terarah apabila dirumuskan secara berjenjang dan bertahap, sehingga hasil dari pendampingan dapat dimonitor dan dievaluasi apakah memiliki kemajuan atau stagnan atau tidak menunjukkan adanya perubahan. Pendampingan masyarakat dengan menggunakan informasi kontak langsung seperti memberikan pelatihan sharing ilmu dan pengalaman baik teknis 107
maupun non teknis pada masyarakat akan mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah, dibandingkan dengan informasi tanpa kontak langsung seperti melalui jalur pendidikan maupun penyebaran di media. Pendampingan yang telah dilakukan di Kota Banjar dalam pengelolaan sampah 3R pada umumnya telah memenuhi kriteria pendampingan yang ideal, namun masih perlu dilanjutkan secara periodik oleh pemda setempat agar lebih optimal dalam penyadaran masyarakat. Pendampingan dapat dikatakan berhasil apabila hasil dari pendampingan mampu mengembangkan pola pikir, pola sikap dan pola tindak pada level komunitas yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan dapat berkembang terus. Pertanyaan yang mungkin akan timbul adalah berapa lama program pendampingan yang ideal yang dapat dikatakan berhasil ? Pendampingan tidak mengenal batas waktu, sebaiknya pendampingan dilakukan secara terus menerus sampai tujuan tercapai, dan hasil dari pendampingan dapat merubah sikap dan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah. Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah 3R Peranserta masyarakat dalam pengelolaan sampah 3R di Kota Banjar adalah kegiatan yang dilakukan secara individu maupun kelompok. Peranserta masyarakat yang diharapkan dalam kegiatan pengelolaan sampah 3R setelah pendampingan adalah perubahan perilaku masyarakat terhadap sampah yaitu masyarakat diharapkan sudah memilah dan mendaur ulang sampah sejak dari sumber yaitu rumah tangga, agar sampah yang masuk ke TPA jumlahnya berkurang dan biaya pengangkutan dapat ditekan. Masyarakat dapat mendaur ulang sampah organik dan anorganik untuk mengurangi pencemaran lingkungan dan untuk meningkatkan pendapatan. Masyarakat mau membayar retribusi sampah untuk keberlangsungan pengelolaan sampah. Peran Pemerintah sebagai Pendamping Masyarakat Upaya untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah 3R di perlukan campur tangan pemerintah, beberapa peran yang diharapkan dari pemerintah dalam pelaksanaan pengelolaan sampah 3R sebagai pendamping masyarakat adalah : - Peran sebagai pelayan masyarakat, sebagai pelayan masyarakat pemerintah merupakan pilar utama yang diharapkan dapat
Peran Pendamping Masyarakat … (Aryenti)
-
-
memberikan bimbingan membantu masyarakat untuk meningkatkan keterampilan agar bisa berkembang secara optimal dalam mengatasi permasalahan di lingkungannya terutama menangani masalah persampahan. Peran sebagai fasilitator, sebagai fasilitator pemerintah diharapkan dapat bersatu dengan masyarakat, bersahabat, menghargai pendapat masyarakat, memberikan solusi dalam penanganan sampah di lingkungan permukiman mereka. Peran pemerintah sebagai fasilitator dalam pengelolaan sampah 3R dapat berupa memberikan bimbingan teknis dan mencari pemasaran untuk kelangsungan pengelolaan sampah 3R. Sebagai pendamping masyarakat pemerintah harus siap melayani dan memfasilitasi kebutuhan masyarakat, memposisikan diri sebagai teman, sahabat dan mitra dalam mendiskusikan pengelolaan sampah 3R, saling mengisi, mendukung keinginan-keinginan, dan aspirasi-aspirasi masyarakat tidak memaksakan kehendak dalam solusi penanganan sampah yang dapat mematikan kreativitas masyarakat dan akhirnya membuat masyarakat menjadi pasif. Peran sebagai penyandang dana, sebagai penyandang dana diharapkan pemerintah dapat mendukung dan membiayai kegiatan pengelolaan sampah 3R mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan, sampai pada pemasaran hasil, sehingga pengelolaan sampah 3R dapat dijadikan sebagai usaha masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bagi keluarganya.
Keberhasilan pengelolaan sampah 3R di Kota Banjar disamping pendampingan pada masyarakat juga perlu kerjasama antara OPD (Organisasi Perangkat Daerah). Walikota Banjar telah memfasilitasi koordinasi antara OPD dengan membuat suatu kesepakatan bersama dengan mendukung pengelolaan sampah 3R dimana Balihka (Balai Latihan Kemasyarakatan) ditunjuk sebagai koordinator dan fasilitator. Peran Swasta sebagai Pendamping Masyarakat Untuk keberlanjutan pengelolaan sampah 3R di Kota Banjar dapat melibatkan pihak swasta. Keterlibatan pihak swasta dalam pengelolaan sampah 3R dapat mengurangi beban pemerintah dalam penanganan sampah. Pihak swasta dapat berperan sebagai konsultan perencana/ pengawas, kontraktor pembangunan fasilitas, kontraktor pelaksana operasional, pengadaan barang dan jasa. Pada dua lokasi bermitra dengan
pengelolaan sampah telah pihak swasta didalam
operasionalnya. Berbagai potensi yang dimiliki pihak swasta dalam pengelolaan sampah diantaranya : - Manajemen, pihak swasta mempunyai kemampuan manajemen yang cukup baik dalam pengelolaan sampah, hal ini dapat dilihat banyaknya usaha swasta di bidang kebersihan, baik skala besar maupun kecil, banyak kotakota besar di Indonesia sampahnya dikelola oleh pihak swasta. - Teknologi, nilai lebih yang ditawarkan pada pihak swasta adalah berupa teknologi pengolahan sampah yang murah dan efisien. - Dukungan investasi dana yang dimiliki pihak swasta cukup besar dibandingkan dana yang disediakan pemerintah.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pendampingan adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan menempatkan tenaga pendamping dalam pengelolaan sampah 3R di Kota Banjar, tenaga pendamping berperan sebagai fasilitator, dinamisator, dan komunikator. 2. Kegiatan pendampingan masyarakat dalam pengelolaan sampah 3R di Kota Banjar yang sudah dilaksanakan selama 2 tahun dan masih perlu dibina. 3. Pendampingan dapat dikatakan berhasil apabila dapat merubah pola sikap, pola tindak pada level komunitas yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan dapat berkembang secara terus menerus. Pendampingan tidak mengenal batas waktu, sebaiknya pendampingan dilakukan secara terusmenerus sampai tujuan berhasil. 4. Kondisi awal pengelolaan sampah di Kota Banjar belum menerapkan program 3R. Penanganan sampah dengan cara ditimbun, dibuang ke lahan kosong, dimasukkan ke tong sampah secara tercampur. 5. Kondisi setelah pendampingan, masyarakat sudah melakukan pemilahan dan pengomposan. 6. Sebagian besar masyarakat di lokasi binaan bekerja di sektor pertanian (80%), selebihnya mata pencaharian penduduk buruh, bangunan, tukang ojek, pedagang keliling, tukang becak, PNS dan ABRI. 7. Untuk keberhasilan pengelolaan sampah 3R di Kota Banjar perlu kesepakatan bersama antara OPD (Organisasi Perangkat Daerah), baik dalam pembinaan maupun dalam pemasaran. 108
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 101-109
8.
Peran swasta, sebagai konsultan perencana/ pengawas, kontraktor pembangunan fasilitas, kontraktor pelaksana operasional, pengadaan barang dan jasa. 9. Peran masyarakat memilah, mendaur ulang dan membayar iuran untuk kelangsungan operasional pengelolaan sampah. 10. Tindak lanjut peran pendamping dalam pengelolaan sampah 3R di Kota Banjar dengan mendirikan KOMPAS (Komunitas Pengelola Sampah), dan bank sampah, sosialisasi program 3R dengan instansi terkait, dan mengadakan kerjasama dengan Dinas Pertanian dalam uji coba implementasi padi organik menggunakan kompos.
Saran Monitoring dan evaluasi perlu dilakukan secara berkala, untuk mengetahui perubahan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah sampai sejauh mana, sehingga dapat diketahui faktor penghambat dan faktor pendorong, kemudian dicarikan solusi penanganan lebih lanjut agar Kota Banjar dapat menjadi kota percontohan dalam pengelolaan sampah 3R bagi kota-kota sedang lainnya di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA ----------, 2008. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 : Pengelolaan Sampah,
109
Jakarta; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Lembaran Negara RI Tahun 2008 Nomor 69. Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa. 1998. Pedoman Aktualisasi Peran Pendamping Masyarakat. Departemen Dalam Negeri. RI. Life, Jim, 1995. Pendampingan sebagai Pemberdayaan Masyarakat. Word Press. Com/..../ Tambolok. Pusat Litbang Permukiman, 2009. Laporan Draf Akhir Pengelolaan Sampah 3R di Kota Banjar Departemen Pekerjaan Umum. Pusat Litbang Permukiman, 2010, Laporan Akhir Pendampingan Masyarakat dalam Pelaksanaan Pengelolaan Sampah dengan Pola 3R di Kota Banjar. Riyanto, Slamet, Darwin, Mardianto, Rahmawati, Aulia, 2010. Korelasi antara Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Pemilahan Sampah Kering dan Basah. Desa Pendem Kecamatan Junrejo Kota Batu http://G:/SAMPAH%201.htm Sumodiningrat, Gunawan, 2005. Pojok Pemberdayaan Kaum Mustd’afinguide Pendampingan Durrulizz Multiply. Com/ reviews/Tamolok. http:// wapedia.mobi/id/Jakarta Utara http:// wapedia.mobi/id/Muara Angke
Faktor Penentu Kebutuhan … (Yulinda R., Ratna J.)
FAKTOR PENENTU KEBUTUHAN RUMAH, STUDI KASUS KOTA CIREBON Determinant of Housing Needs, Case Study of Cirebon City 1Yulinda
Rosa, 2Ratna Jatnika
1) Pusat
Litbang Permukiman, Badan Litbang Pekerjaan Umum Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan - Kabupaten Bandung 40393 E-mail :
[email protected] 2) Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Pajajaran (UNPAD) Jl. Raya Jatinangor Km 21 Kabupaten Sumedang E-mail :
[email protected] Diterima : 26 Januari 2012 ; Disetujui : 23 Mei 2012
Abstrak Faktor penentu kebutuhan rumah Kota Cirebon berdasarkan analisis faktor eksploratori terdiri dari (9) sembilan faktor yaitu: 1) karir perumahan, 2) lokasi rumah, 3) usaha untuk pengadaan rumah, 4) cara mendapatkan rumah, 5) faktor pendorong keputusan menempati rumah untuk tempat tinggal, 6) harapan mendapat rumah, 7) konstruksi rumah, 8) mata pencaharian, 9) lama bermukim. Kesembilan faktor tersebut dapat menjelaskan variasi kebutuhan rumah sebesar 69,566%. Tiga faktor terbesar yang dapat menjelaskan variasi kebutuhan rumah yaitu faktor karir perumahan dapat menjelaskan sebesar 13,468%, faktor lokasi (jarak terdekat rumah dengan akses ekonomi, pendidikan, peribadatan dan kesehatan) dapat menjelaskan sebesar 10,664%, dan usaha pengadaan dana untuk rumah sebesar 10,456%. Ketiga faktor tersebut dapat menjelaskan sebesar 34,586% dari faktor kebutuhan rumah. Metoda eksploratori digunakan karena rumusan konsep faktor yang mempengaruhi kebutuhan rumah masih harus di cari terlebih dahulu. Hasil analisis di atas didapat dari data primer 480 responden yang diambil secara sampling dengan metode sampling bertingkat (multy stage sampling). Kata Kunci : Faktor penentu, kebutuhan rumah, analisis faktor, sembilan faktor, Kota Cirebon
Abstract Determinants of Cirebon City housing needs based on exploratory factor analysis which consists of nine (9) factor : 1) a housing career, 2) the house location , 3) effort for the procurement of a house, 4) a way of getting home, 5) a factor thruster decision occupies a house to shelter, 6) an expectation for getting a house, 7) construction of a house, 8) livelihood, 9) of the old living. The ninth of these factors can explain the variation in housing needs is about 69.566%. Three of the biggest factors that can account for variations in the needs of the home factor could explain the career of housing 13.468%, location (closest distance of a house with an access to economic, educational, religious, and health) can be explained by 10.664%, and procurement of funds for home business amounted to 10.456%. All three of these factors can be explained by factors of 34.586% of housing needs. The exploratory method is used for estimating the concept oh house needs must still in looking beforehand. The result of the analysis above obtained from primary data of 480 respondents taken as sampling by method multy stage sampling. Keywords : Determinants, housing needs, factor analysis, nine factor, the City of Cirebon
PENDAHULUAN Penentuan faktor kebutuhan rumah sangat penting dilakukan, untuk mendapatkan perumusan kebutuhan rumah, sehingga didapatkan data akurat. Ketersediaan data akurat sangat menunjang keberhasilan program penyediaan perumahan. Ketidak akuratan informasi kebutuhan rumah berakibat pada ketidaktepatan program-program pembangunan perumahan. Padahal kebutuhan dana untuk menjalankan program pembangunan perumahan tidak sedikit dengan waktu tidak pendek. Seperti program pembangunan rumah murah untuk rakyat Pada tahun 2012
direncanakan dialokasikan dana dalam APBN sebesar Rp 168,1 triliun (Menpera, 2012). Data kebutuhan rumah di Indonesia masih simpang siur. Salah satu penyebabnya adalah belum ada kesepakatan bersama mengenai perumusan dan konsep perhitungan kebutuhan rumah, sehingga data yang dikeluarkan oleh beberapa instansi berbeda untuk jenis informasi sama. Bukan hanya itu saja, pelaksanaan program penyediaan rumah bagi masyarakat seringkali tidak berdasarkan data permintaan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan rumah, sehingga masih ditemukan rumah terbangun untuk masyarakat terlantar begitu saja tanpa dihuni. 110
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 110-120
Kesimpangsiuran informasi kebutuhan rumah dapat dilihat dari beberapa pernyataan yang dikeluarkan oleh beberapa instansi terkait. Pada tahun 2010, menurut data Kemenpera, backlog sebanyak 8,2 juta rumah, sedangkan data Bappenas menyebutkan 9.000.000 rumah (Menpera, 2011). Data backlog yang dikeluarkan BPS pada tahun 2011, berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan 13,6 juta rumah tangga tidak memiliki rumah, sedangkan berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) mencapai lebih dari 14,2 juta unit rumah (Menpera, 2011). Tahun 2012 REI mengeluarkan perhitungan kebutuhan rumah, jumlah backlog nasional hanya delapan juta unit. Jika diasumsikan angka itu bisa dipenuhi dalam jangka waktu 20 tahun, artinya jumlah backlog pertahun mencapai 400 ribu unit rumah (delapan juta : 20 tahun). Sehingga total kebutuhan rumah di Indonesia per tahun = pertumbuhan penduduk + kualitas rumah buruk/tidak layak huni/rehabilitasi + backlog = 729.000 unit + 1.479.000 unit + 400.000 unit = 2.608.000 unit rumah per tahun. Selain perbedaan data terjadi perbedaan konsep dasar persepsi backlog. Persepsi backlog menurut Menpera dan REI berdasarkan konsep kepala keluarga, sedangkan BPS berdasarkan konsep rumah tangga. Dengan adanya permasalahanpermasalahan di atas, mungkin saja menjadi salah satu penyebab dari terlantarnya bangunanbangunan hunian yang telah disiapkan melalui program-program yang telah disusun. Misalnya dari sejumlah 193 rusunawa terbangun baru sekitar 130 rusunawa dihuni. Sejumlah 63 rusunawa sisanya belum dihuni walau sudah selesai dibangun. Perlu dilihat secara terintegrasi dalam suatu sistem penyediaan perumahan, inti permasalahannya dimana, banyak faktor yang mempengaruhi misalnya : kebutuhan rumah (housing need), pendanaan, regulasi, dan penyediaan lahan. Adanya penelitian-penelitian tersistematis merupakan salah satu langkah yang perlu dilakukan sehingga didapatkan sistem penyediaan perumahan yang efektif dan efisien untuk diterapkan di Indonesia. Dalam rangka memenuhi kebutuhan di atas dalam tulisan ini akan dibahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan rumah di Kota Cirebon. Penelitian dilakukan terhadap 480 sampel kepala keluarga (KK) dari 298.000 orang jumlah penduduk Kota Cirebon. Bila setiap keluarga diasumsikan beranggotakan empat orang, maka jumlah kepala keluarga Kota Cirebon adalah 298.000/4 = 74.500 kepala keluarga (KK) 111
Teori dan hasil penelitian sebelumnya sebagai referensi dalam penelitian mengenai faktor-faktor penentu kebutuhan rumah adalah : (The British Columbia States, Population) dalam (Eka, 2008) permintaan perumahan dipengaruhi oleh faktor demografi dan ekonomi. Faktor demografi yang mempengaruhi permintaan perumahan yaitu jumlah migrasi, jumlah populasi penduduk, perubahan struktur usia penduduk, dan komposisi keluarga. Sedangkan faktor ekonomi yang mempengaruhi permintaan perumahan meliputi harga rumah, pendapatan serta tingkat kemauan (willingness to pay) dan kemampuan (affordability) untuk mendapatkan rumah. Menurut Turner dalam Rindarjono, 2007 merujuk pada teori tentang kebutuhan dasar Maslow, terdapat kaitan antara kondisi ekonomi seseorang dengan skala prioritas kebutuhan hidup dan prioritas kebutuhan perumahan. Faktor jarak antara lokasi rumah dengan tempat kerja menempati prioritas utama. Faktor kejelasan status kepemilikan lahan dan rumah menjadi prioritas kedua, sedangkan bentuk dan kualitas bangunan tetap menempati prioritas yang paling rendah. Berdasarkan hasil penelitian Studi Kasus Kaum Miskin Kota di Kota Semarang, teori tersebut hanya berlaku untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah yang tinggal di permukiman dekat dengan pusat kegiatan.
METODOLOGI Metoda pengambilan sampel di Kota Cirebon dilakukan secara sampling sistematik. Kota Cirebon terdiri dari lima kecamatan, yaitu : 1. Kecamatan Harja Mukti, terdiri dari lima kelurahan, 76 RT; 2. Kecamatan Lemah Wungkuk, terdiri dari empat kelurahan, 42 RT; 3. Kecamatan Pekalipan, terdiri dari empat kelurahan, 39 RT; 4. Kecamatan Kesambi, terdiri dari lima kelurahan, 55 RT; 5. Kecamatan Kejaksaan, terdiri dari empat kelurahan, 35 RT. Sampel diambil secara bertingkat (bertahap), dengan tahapan : 1. Tahap pertama pemilihan sampel Rukun Tetangga (RT). Pemilihan RT, dilakukan secara sistematik dengan interval 8. Nilai interval 8 didapatkan dari perhitungan jumlah seluruh RT/jumlah blok sensus. Jumlah blok sensus di Kota Cirebon 30 blok sensus. Interval = 247/30 = 8,23 di bulatkan menjadi 8. Seluruh RT yang
Faktor Penentu Kebutuhan … (Yulinda R., Ratna J.)
ada diberikan nomor dari 1 sampai dengan 247. RT terpilih adalah RT dengan nomor : Sampel RT pertama, RT dengan nomor sampel 1; Sampel RT kedua, RT dengan nomor sampel 1+8=9 Sampel RT ketiga, RT dengan nomor sampel 9 + 8 = 9, dan seterusnya sampai mencapai nomor 247. Jumlah sampel RT yang terpilih adalah 247/8 = 30,875 atau 31 sampel RT. 2. Tahap kedua, pemilihan kepala keluarga dari setiap RT yang terpilih. Pemilihan kepala keluarga dari setiap sampel dilakukan dengan teknik yang sama dengan pemilihan sampel RT. Dari setiap daftar kepala keluarga di setiap RT diberi nomor, kemudian diambil sampel kepala keluarga dari setiap RT dengan teknik sampling sistematik, jarak interval 8, sama seperti pada pengambilan sampling RT. Jumlah kepala keluarga terpilih rata-rata 15 orang/keluarga, jadi jumlah total kepala keluarga sebagai total sampel adalah : jumlah sampel RT x 15 = 31 x 15 = 465 kepala keluarga. Untuk keamanan ukuran sampel yang diambil 480 kepala keluarga. Data diambil dari setiap responden anggota sampel terpilih dengan menggunakan alat ukur kuesioner terstruktur, terdiri dari item-item pertanyaan tertutup dan terbuka. Teknik analisis penentuan faktor kebutuhan rumah dapat di lakukan secara : 1. Analisis Deskriptif, yaitu teknik yang digunakan untuk menganalisis data tanpa melakukan generalisasi untuk lingkup subjek yang lebih luas. Faktor yang berpengaruh terhadap kebutuhan rumah didapatkan melalui ukuran korelasi antara tempat tinggal yang menjadi pilihan penghuni dengan variabel-variabel yang mempengaruhi pilihan tersebut tanpa melakukan pengujian keberartian koefisien korelasi. Nilai korelasi yang diperoleh hanya dapat menggambarkan lingkup sejumlah subjek yang diambil. 2. Analisis induktif, yaitu teknik analisis data yang digunakan dengan tujuan melakukan generalisasi untuk lingkup objek lebih luas, melalui pengujian hipotesis. Analisis induktif digunakan dalam suatu penelitian yang dilakukan melalui pengambilan sampel, untuk mengambil generalisasi dari suatu populasi. Walaupun umumnya sebelum dilakukan generalisasi terhadap populasi, pada tahap awal tetap dilakukan analisis deskriptif untuk
mengetahui gambaran sampel yang diambil. Analisis deskriptif ini dapat membantu untuk memberikan gambaran bahwa kesimpulan gambaran populasi diambil dari sampel dengan gambaran yang didapat informasinya melalui analisis deskriptif. Satuan pengukuran analisis deskriptif yang digunakan umumnya dalam bentuk frekuensi, rata-rata, sebaran data (simpangan baku) dan persentase. Analisis faktor adalah suatu prosedur yang dipergunakan untuk mereduksi atau meringkas variabel, dimana jumlah variabel yang semula banyak akan diubah menjadi sedikit, dengan tujuan untuk memudahkan interpretasi. Dalam analisis faktor, variabel tidak dikelompokkan menjadi variabel bebas dan variabel tak bebas. Dalam analisis faktor akan dilihat teknik interdependensi dimana seluruh set hubungan yang interdependen diteliti Terdapat dua jenis analisis faktor yaitu : analisis faktor eksploratori dan analisis faktor konfirmatori. Analisis faktor eksploratori dilakukan bila : 1) model rinci yang menunjukkan hubungan antara variabel laten dengan variabel teramati (observed) tidak dispesifikasikan terlebih dahulu; 2) jumlah variabel laten tidak ditentukan sebelum analisis dilakukan; 3)semua variabel laten diasumsikan mempengaruhi semua variabel teramati; 4) kesalahan pengukuran (measurement error) tidak boleh berkorelasi (Wijayanto, 2008). Analisis faktor konfirmatori digunakan bila : 1) model sudah dibentuk lebih dahulu; 2) jumlah variabel laten ditentukan oleh analisis; 3) pengaruh suatu variabel laten terhadap variabel teramati (observed) ditentukan lebih dahulu; 4) beberapa efek langsung variabel laten terhadap variabel teramati (observed) dapat ditetapkan sama dengan nol atau suatu konstanta; 5) kesalahan pengukuran (measurement error) boleh berkorelasi; 6) kovarian variabel-variabel laten dapat diestimasi atau ditetapkan pada nilai tertentu; 7) identifikasi parameter diperlukan (Marija, 1993). Dalam tulisan ini akan dibahas teknik analisis faktor eksploratori, dimana model hubungan variabel-variabel kebutuhan rumah belum terbentuk. Menurut Hair dan Anderson (1995) analisis faktor eksploratorik dapat digunakan untuk : 1. Mengidentifikasikan struktur hubungan di antara variabel, dan kombinasi yang logik dari variabel-variabel tersebut. Melalui analisis faktor ini akan teridentifikasi dimensi laten dari sejumlah variabel manifes yang terbentuk, yang biasanya disebut variabel laten.
112
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 110-120
2. Memperoleh variabel yang representatif dari sejumlah variabel dengan muatan faktor yang tinggi dan mempunyai daya pembeda dengan faktor lainnya. 3. Menciptakan suatu variabel baru, yang terbentuk dari gabungan variabel manifes yang semula diproposisikan sebagai variabel yang diberi label yang berbeda. Pertimbangan penghuni ketika memutuskan untuk memilih rumah untuk dijadikan tempat tinggal diukur melalui beberapa variabel yang mempengaruhinya yaitu : 1. Variabel sosekbud diukur melalui sub variabel : frekuensi pindah kerja, frekuensi pindah rumah, arti dan fungsi rumah, pengaturan keuangan antara pendapatan dan pengeluaran sehari-hari, pengeluaran/bulan, cara mendapatkan rumah, kebiasaan menabung; umur, jumlah anggota keluarga, jenis pekerjaan dan pendidikan. 2. Variabel karir perumahan diukur melalui sub variabel : umur pertama kali meninggalkan rumah orang tua, umur mulai bekerja atau mulai hidup mandiri, umur menikah pertama kali, umur mempunyai anak pertama kali, umur tinggal dengan keluarga inti pertama kali, dan umur punya rumah sendiri. 3. Variabel lokasi/jarak bangunan fisik rumah diukur melalui sub variabel jarak rumah terhadap lokasi terdekat tempat kegiatan : ekonomi (pasar/swalayan), pendidikan (sekolah SD, SMP, SMA), pelayanan kesehatan (PUSKESMAS), ibadah (mesjid, gereja, dll). 4. Variabel harapan mendapatkan rumah diukur melalui sub variabel : jumlah dua kebutuhan ruang, status tanah dan jenis tempat tinggal yang dibutuhkan (sewa, apartemen, kontrak, rumah sendiri), status rumah, struktur rumah bertingkat/tidak bertingkat, kebutuhan dan ketersediaan sarana RTH. Sub variabel-sub variabel di atas diukur melalui skala pengukuran ordinal, interval dan rasio dengan satuan yang berbeda-beda, untuk itu setiap nilai yang diukur sebelum dianalisa perlu di lakukan standarisasi dengan konversi ke normal baku. Data dikumpulkan menggunakan alat ukur kuesioner tertutup dan terbuka. Tahapan analisis faktor kebutuhan rumah : 1. Menentukan variabel-variabel yang mempengaruhi penghuni dalam memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal. 2. Melakukan penyaringan terhadap variabelvariabel yang dapat dimasukkan dan memenuhi syarat untuk dianalisis, dengan melakukan 113
pengujian terhadap variabel tersebut, melalui tahapan sebagai berikut : a. Memasukkan semua variabel yang ada, kemudian pada variabel tersebut dikenakan beberapa pengujian. Logika pengujian adalah jika sebuah variabel mempunyai kecenderungan mengelompok dan membentuk sebuah faktor, maka variabel tersebut akan mempunyai korelasi yang cukup tinggi dengan variabel lain. Sebaliknya, variabel dengan korelasi lemah dengan variabel lain cenderung tidak akan mengelompok dengan dengan variabel lain. b. Bila variabel-variabel yang akan dianalisis mempunyai satuan yang berbeda-beda, maka lakukan proses standarisasi data dengan mentransformasi data ke bentuk zscore. c. Tingkat pengelompokkan tersebut dapat dilihat dari nilai correlation matrix, nilai ini menggambarkan besar korelasi antar variabel. Correlation matrix yang diperoleh kemudian diuji menggunakan Bartlett’s test, untuk mengetahui apakah correlation matrix yang diperoleh merupakan matrix identitas atau bukan. Apabila correlation matrix yang diperoleh merupakan matrix identitas, analisis faktor tidak dilanjutkan, karena tidak terdapat korelasi antar variabelvariabel yang akan dianalisis. d. Lihat nilai KMO (Kaiser Meyer Olkin) Measure of Sampling Adequacy. Angka KMO berkisar 0 sampai 1, dengan kriteria : KMO antara 0,5-1, analisis faktor dapat dilakukan secara tepat. KMO < 0,5 analisis faktor tidak tepat untuk dilakukan e. Lihat nilai MSA (measure of sampling adequacy) pada anti image matrices. Angka MSA berkisar 0 sampai 1, dengan kriteria : MSA = 1, variabel tersebut dapat diprediksi tanpa kesalahan oleh variabel yang lain. MSA > 0,5, variabel masih bisa diprediksi dan bisa dianalisis lebih lanjut. MSA< 0,5, variabel tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dianalisis lebih lanjut, atau dikeluarkan dari variabel lainnya. 3. Lakukan ekstraksi terhadap variabel-varibel, sehingga terbentuk satu atau lebih faktor. Perhatikan nilai faktor loadings pada component matrix untuk setiap faktor terbentuk. Nilai tersebut menunjukkan besar korelasi antara satu variabel dengan faktor. Penentuan suatu variabel masuk ke faktor yang mana, dilihat dengan mengambil nilai faktor loading paling besar untuk setiap variabel. Metode ekstraksi
Faktor Penentu Kebutuhan … (Yulinda R., Ratna J.)
faktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis komponen utama (principal component analysis). Menurut Hair dan Anderson (1995), metode analisis komponen utama dilakukan apabila peneliti berkeinginan memperoleh sejumlah faktor minimum yang dapat terbentuk. 4. Untuk memudahkan interpretasi hasil faktor loadings, maka perlu dilakukan rotasi. Metode rotasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode Varimax. Metode ini dapat memaksimumkan jumlah variansi muatan pada matriks faktor, sehingga mudah dideteksi muatan faktor pada variabel manifes yang membentuk suatu variabel laten. Dengan demikian penafsiran terhadap faktor yang terbentuk menjadi lebih mudah (Hair dan Anderson, 1995). 5. Memberikan penamaan untuk setiap faktor, dan lanjutkan dengan memberikan interpretasi untuk setiap faktor yang terbentuk.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada setiap responden di lakukan pengukuran terhadap variabel-variabel yang menjadi pertimbangan penghuni ketika menentukan pilihan rumah untuk menjadi tempat tinggal : 1. Variabel sosekbud penghuni, diukur melalui pengukuran 19 sub variabel : pengeluaran per bulan, jumlah anggota keluarga, pendidikan terakhir, umur kepala keluarga, jenis pekerjaan, frekuensi keluarga menginap di rumah, fungsi rumah, arti rumah, kota tempat kerja suami/istri, lama tinggal bersama mertua/orang tua setelah menikah, pertimbangan tinggal bersama orang tua setelah menikah, alasan memutuskan ingin membeli/memiliki rumah sendiri, cara memperoleh sumber dana untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal, pilihan cara membangun tempat tinggal, kebiasaan menabung, strategi yang diambil bila pengeluaran lebih besar dari pendapatan, pengaturan keuangan yang dilakukan, frekuensi pindah kerja dan frekuensi pindah rumah. 2. Variabel harapan mendapatkan rumah, diukur melalui pengukuran 10 sub variabel : jenis struktur tempat tinggal (bertingkat/tidak bertingkat), status kepemilikan rumah yang didiami, status kepemilikan lahan yang didiami, jumlah kamar tidur yang dibutuhkan, status kepemilikan rumah yang dibutuhkan, jenis tempat tinggal yang dibutuhkan, alasan menguntungkan tinggal di lokasi tempat yang ditinggali, ketersediaan RTH di lingkungan
tempat tinggal, kebutuhan RTH di lingkungan tempat tinggal, dan jumlah rumah yang dimiliki. 3. Variabel karir perumahan penghuni, diukur melalui pengukuran tujuh sub variabel : umur mulai lepas/meninggalkan rumah orang tua, umur mulai bekerja dan dapat penghasilan, umur dapat membiaya hidup sendiri sepenuhnya (mandiri), umur menikah pertama kali, umur mempunyai anak pertama kali, umur pertama kali tinggal dengan keluarga inti, dan umur mempunyai rumah sendiri. 4. Variabel lokasi rumah, diukur melalui pengukuran delapan sub variabel jarak rumah dengan : tempat kerja suami, tempat kerja istri, pasar/supermarket terdekat, sekolah SD terdekat, sekolah SMP terdekat, sekolah SMA terdekat, PUSKESMAS terdekat dan tempat beribadah terdekat. Semua sub variabel tersebut dimasukkan dalam proses penyaringan variabel. Karena setiap sub variabel mempunyai satuan pengukuran yang berbeda, sehingga semua nilai sub variabel perlu dilakukan transformasi ke dalam normal baku.
Penyaringan Variabel/Sub Variabel Setelah melakukan identifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi kebutuhan rumah, kemudian semua variabel tersebut dimasukkan ke dalam analisis faktor. Alat uji yang digunakan adalah KMO dan Bartlett’s test of sphericity dan Anti-image, sebagai alat uji awal apakah data yang ada dapat diurai menjadi sejumlah faktor. Dengan menggunakan program Statistical Package for Social Sciences (SPSS) didapatkan hasil sebagai berikut : Tabel 1 Hasil perhitungan KMO and Bartlett’s Test Proses Penyaringan Sub Variabel pada Analisis Faktor KMO and Bartlett's Test Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy Bartlett's Test of Sphericity
Approx. Chi-Square Df
Sig. Sumber : Hasil Analisis, Januari 2011
.685 8996.04 861 .000
Dari tabel tersebut terlihat bahwa nilai KMO = 0.685, yang menunjukkan bahwa analisis faktor dapat dilakukan pada data yang diperoleh secara tepat. Sedangkan Bartlett’s test menunjukkan nilai p = 0.000; yang berarti bahwa matrik korelasi yang diperoleh bukan merupakan matrik identitas, sehingga analisis faktor dapat dilanjutkan karena terdapat korelasi antara variabel-variabel yang akan dianalisis. Langkah selanjutnya melakukan penganalisaan setiap variabel sebagai proses penyaringan variabel yang memenuhi syarat untuk
114
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 110-120
dianalisis. Penyaringan variabel yang dimasukan dalam proses analisis faktor, dari nilai MSA pada anti image matrices. MSA berkisar 0 sampai 1, dengan kriteria : 1. MSA antara 0,5-1, analisis faktor dilakukan lebih lanjut 2. MSA < 0,5, analisis faktor tidak tepat dilanjutkan
dapat dilihat Angka dapat untuk
Berdasarkan kriteria tersebut di atas, maka untuk sub variabel-sub variabel dengan nilai MSA< 0,5, sub variabel tersebut tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dianalisis lebih lanjut, atau dikeluarkan dari sub variabel lainnya, dan dipertimbangkan tidak diikutkan pada proses analisis faktor selanjutnya. Nilai MSA variabel didapat dari tabel anti image correlation matrices, variabel-variabel dengan besar korelasi yang bertanda MSA < 0,5 adalah : 1. i15 ( status rumah yang diinginkan ), nilai MSA = 0,461; 2. i16 (tempat yang dibutuhkan), nilai MSA = 0,479
3. i19 (keberadaan RTH), nilai MSA = 0,79 4. Umur kepala keluarga, nilai MSA = 0,466 5. Jumlah anggota rumah tangga, nilai MSA = 0,439 6. h5_2.3a (Jarak rumah ke pasar /super market terdekat), nilai MSA = 0,495 7. h5_2.8a ( Jarak rumah ke tempat beribadah terdekat), nilai MSA = 0,383 Karena nilai MSA di bawah 0,5 ada tujuh variabel, maka variabel yang dikeluarkan dan tidak diikutkan dalam proses analisis faktor selanjutnya adalah variabel dengan nilai MSA terkecil (dari tujuh variabel tersebut) yaitu variabel jarak terdekat rumah ke tempat peribadatan dengan nilai 0,383. Selanjutnya proses pengujian diulang. Langkah penyaringan seperti di atas terus di ulang dan berhenti bila semua nilai korelasi yang bertanda a pada tabel anti image matrices bernilai ≥ 0,5. Hasil langkah penyaringan secara lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 1 Rekap Penyaringan Sub Variabel Bebas Berdasarkan Hasil MSA and Bartlett’s Test dan Anti Image Matrices untuk Variabel dengan Nilai Korelasi Bertanda a < 0,5 (Hasil Olahan Program SPSS) Item Pertanyaan/Sub Variabel Kode
Uraian
Nilai Korelasi yang Bertanda a pada Tabel Anti Image Matrices Tahap I Tahap II Tahap III Tahap IV Tahap V
i15
Keterangan
Status rumah yang 0,461 0,460 0,462 0,459 diinginkan Item Pertanyaan/Sub variabel nilai korelasi yang bertanda a pada tabel anti image matrices i16 Tempat yang dibutuhkan 0,479 0,479 0,479 0,483 0,573 i19
Keberadaan RTH
0,479
0,483
0,482
Umur kepala keluarga
0,466
0,467
0,460
Jumlah anggota keluarga
0,439
0,437
h5_2.3a Jarak rumah ke pasar 0,495 0,498 terdekat h5_2.8a Jarak rumah ke tempat 0,383 beribadat terdekat Nilai KMO and Barlett’s Test 0,684 0,687
0,497
0,689
0,478
0,479
0,497
0,495
0,694
0,705
Di keluarkan dari proses analisis faktor pada tahap IV Keterangan Tahap V nilai MSA > 0,5, tetap masuk proses analisis faktor Di keluarkan dari proses analisis faktor pada tahap V Di keluarkan dari proses analisis faktor pada tahap III Di keluarkan dari proses analisis faktor pada tahap II 0,592 Tahap VI nilai MSA > 0,5, tetap masuk proses analisis faktor Di keluarkan dari proses analisis faktor pada tahap I 0,731
Sumber : Hasil Analisis, Januari 2011
Untuk lebih jelas dapat di lihat dari tabel di atas dengan memperhatikan nilai MSA (korelasi yang bertanda a) pada tabel anti image matrices dapat di lihat bahwa : 1. Proses penyaringan pada tahap satu, dari tujuh sub varibel dengan nilai korelasi < 0,5, sub variabel jarak rumah ke tempat beribadat terdekat mempunyai nilai korelasi terkecil yaitu sebesar 0,383, sehingga dikeluarkan dari proses analisis faktor. Dengan mengeluarkan satu variabel jarak rumah ke tempat beribadat terdekat, proses kembali untuk mendapatkan
115
Nilai KMO dan Bartlett’s Test dan Anti Image Matrices. 2. Tahap dua, dengan mengeluarkan sub variabel jarak rumah ke tempat beribadat terdekat, nilai korelasi jarak rumah ke pasar terdekat meningkat menjadi > 0,5, dan jumlah sub variabel dengan nilai korelasi < 0,5, berkurang dari tujuh sub variabel menjadi enam sub variabel. Nilai korelasi terkecil didapat untuk sub variabel jumlah anggota keluarga dengan nilai 0,437, dan dikeluarkan dari proses analisis faktor. Disamping itu dengan mengeluarkan
Faktor Penentu Kebutuhan … (Yulinda R., Ratna J.)
3.
4.
5.
6.
satu variabel dengan nilai korelasi terkecil menaikkan nilai KMO and Bartlett’s Test. Tahap tiga, dengan mengeluarkan dua sub variabel jumlah anggota keluarga dan sub variabel jarak rumah ke tempat beribadat terdekat, nilai korelasi terkecil menaikkan nilai KMO and Bartlett’s test meningkat menjadi 0,689. Pada tahap ini terdapat lima sub variabel yang mempunyai nilai korelasi < 0,5. Dari lima sub variabel tersebut didapatkan sub variabel umur kepala keluarga mempunyai nilai terkecil yaitu dengan nilai 0,460, sehingga dikeluarkan dari proses analisis faktor. Tahap empat, setelah mengeluarkan tiga sub variabel dari proses analisis faktor menaikkan nilai KMO and Bartlett’s test menjadi 0,794, masih terdapat empat sub variabel yang mempunyai nilai korelasi < 0,5 dan sub variabel status rumah yang diinginkan mempunyai nilai korelasi yang terkecil dengan nilai 0,459, sehingga dikeluarkan dari proses analisis faktor. Tahap lima, setelah mengeluarkan empat sub variabel dari proses analisis faktor menaikkan nilai KMO and Barlett’s test menjadi 0,705, pada tahap ini masih terdapat tiga sub variabel yang mempunyai nilai korelasi < 0,5 dan sub variabel keberadaan RTH mempunyai nilai korelasi terkecil dengan nilai 0,479, sehingga dikeluarkan dari proses analisis faktor. Pada tahap enam, sudah tidak ada lagi sub variabel pada tabel anti image matrices yang mempunyai nilai lebih kecil nilai korelasi < 0,5, sehingga proses penyaringan diberhentikan.
Langkah selanjutnya adalah melakukan reduksi variabel, sebagai alat untuk mengukur reduksi variabel digunakan nilai faktor loading.
Proses Reduksi Variabel Alat ukur yang digunakan untuk reduksi variabel adalah nilai faktor loading yang didapat dari component matrix. Dengan memasukkan 29 sub variabel dari 34 sub variabel yang ada (lima variabel dikeluarkan pada proses penyaringan). Faktor loading Tahapan yang dilakukan dalam proses reduksi faktor adalah : 1. Pertama, perhatikan nilai faktor loading yang didapat dari rotted component matrix untuk setiap sub variabel. Bandingkan nilai tersebut untuk setiap faktor yang terbentuk. Pilih nilai yang paling besar. Untuk sub variabel i1 (rumah bertingkat/tidak), nilai faktor loading terbesar terletak pada faktor 9 dengan nilai 0,776,
sehingga sub variabel rumah bertingkat/tidak, dikelompokkan pada faktor 11. Terus lakukan langkah yang sama seperti tersebut di atas, untuk semua sub variabel. Selanjutnya, perhatikan nilai faktor loading terbesar untuk setiap sub variabel, bila terdapat nilai < 0,5 atau terdapat dua atau lebih nilai terbesar mempunyai selisih yang kecil atau mempunyai nilai hampir sama (ambigu untuk mengelompokkan ke suatu faktor), maka variabel tersebut dikeluarkan dari proses reduksi sub variabel. Hasil Analisis faktor dapat dilihat bahwa sub variabel pendidikan terakhir kepala keluarga (kode tabel Zscore pendidikan) mempunyai dua nilai faktor loading terbesar yang hampir sama yaitu nilai 0,498 (pada faktor sembilan) dan 0,479 (pada faktor satu), sehingga pada langkah selanjutnya variabel ini di keluarkan dari proses reduksi sub variabel. Secara lengkap hasil reduksi variabel pada tahap satu dapat dilihat pada tabel 3. Pada tahap ini, sub variabel penentu kebutuhan rumah di Kota Cirebon terbagi dalam 10 kelompok (faktor). 2. Lakukan langkah satu, dan berhenti ketika semua nilai faktor loading yang terbesar < 0,5, atau tidak ada lagi dua nilai faktor loading atau lebih mempunyai nilai berdekatan. 3. Untuk analisis reduksi sub variabel penentu kebutuhan rumah di Kota Cirebon ini berhenti pada tahap ke – 4, karena ketentuan dua sudah terpenuhi. Hasil akhir reduksi variabel untuk nilai faktor loading pada rotated component matrix tahap 4 dapat dilihat pada tabel 2. Sebagai hasil akhir reduksi sub variabel, terdapat sembilan faktor penentu kebutuhan rumah di Kota Cirebon, secara rinci dapat dilihat pada tabel 2 (tabel component matrix hasil analisis faktor tahap satu sampai dengan tahap empat atau hasil akhir). Selanjutnya untuk mempermudah dalam melakukan interpretasi hasil analisis faktor, maka perlu diberikan penamaan pada setiap faktor yang terbentuk. Kekuatan pengukuran sub variabel terhadap faktor yang terbentuk dapat dilihat dari nilai faktor loading pada tabel 3. Nilai korelasi 0< r ≤0,399 menggambarkan derajat hubungan antara sub variabel dengan faktor yang membentuknya mempunya derajat hubungan sangat rendah sampai rendah; 0,4≤ r ≤ 0,599 menggambarkan derajat hubungan cukup; dan 0,6≤ r ≤ 1 menggambarkan derajat hubungan yang kuat sampai sangat kuat.
116
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 110-120
Tabel 2 Rekap Hasil Reduksi Sub Variabel pada Proses Analisis Faktor Tahap 1 Sub Variabel Nilai KMO And Bartlett’s Test
Nilai 0,705
Tahap 2 Sub Variabel Nilai KMO and Bartlett’s Test
Faktor 1 Arti rumah Fungsi rumah Kebutuhan RTH Frekuensi pindah tempat Alasan menentukan beli rumah Kebiasaan menabung Pengeluaran lebih besar dari pendapatan
-0,774 0,608
0,723
Umur menikah pertama
0,933
Umur pertama punya anak Umur pertama tinggal dengan keluarga inti Faktor 3 Jarak ke super market terdekat Jarak ke SD terdekat Jarak ke SMP terdekat Jarak ke SMA terdekat
0,899
Jarak ke terdekat
0,808
0,936
0,809 0,805 0,485 0,698
Faktor 4 Frekuensi keluarga menginap Alasan tinggal di kawasan Frekuensi pindah tempat kerja Lama tinggal bersama orang tua Cara mendapatkan rumah Faktor 5 Status rumah Status tanah Lama tinggal di rumah sekarang Faktor 6 Cara membangun rumah Cara pengaturan keuangan rumah tangga Faktor 7 Jumlah kebutuhan ruang tidur Memiliki rumah >1 Jarak ke tempat kerja istri
Arti rumah
0,725
Arti rumah
Nilai 0,706
Faktor 3 0,725
Tahap 4 Nilai Faktor Loading Sub Variabel Nilai KMO and Bartlett’s 0,708 Test Faktor 3/Usaha untuk pengadaan rumah Arti rumah 0,737
Alasan menentukan 0,545 Alasan menentukan beli 0,545 Alasan menentukan beli 0,530 beli rumah rumah rumah Kebiasaan menabung -0,796 Kebiasaan menabung -0,796 Kebiasaan menabung -0,803 Pengeluaran lebih 0,611 Pengeluaran lebih besar 0,611 Pengeluaran lebih besar 0,605 besar dari dari pendapatan dari pendapatan pendapatan Pengeluaran/bln 0,712 Pengeluaran/bln 0,712 Pengeluaran/bln 0,702 Faktor 1 Faktor 1 Faktor 1/Karir perumahan Umur pertama 0,640 Umur pertama bekerja 0,632 Umur pertama bekerja 0,633 bekerja Umur pertama 0,772 Umur pertama 0,764 Umur pertama membiayai 0,765 membiayai hidup membiayai hidup sendiri hidup sendiri sendiri Umur menikah 0,922 Umur menikah pertama 0,926 Umur menikah pertama 0,925 pertama Umur pertama punya 0,874 Umur pertama punya 0,879 Umur pertama punya anak 0,878 anak anak Umur pertama tinggal 0,896 Umur pertama tinggal 0,900 Umur pertama tinggal 0,899 dengan keluarga inti dengan keluarga inti dengan keluarga inti Faktor 2 Faktor 2 Faktor 2/Lokasi rumah Jarak ke super market 0,773 Jarak ke super market 0,773 Jarak ke super market 0,774 terdekat terdekat terdekat Jarak ke SD terdekat 0,827 Jarak ke SD terdekat 0,834 Jarak ke SD terdekat 0,838 Jarak ke SMA terdekat Jarak ke PUSKESMAS terdekat Faktor 5
0,735
Jarak ke SMA terdekat
0,729
Jarak ke SMA terdekat
0,898
Jarak ke terdekat
0,905
Jarak ke PUSKESMAS 0,905 terdekat Faktor 5/Faktor pendorong keputusan menempati rumah
PUSKESMAS Faktor 5
0,728
0,478 0,566 0,638 0,733
Alasan tinggal di 0,529 Alasan tinggal di kawasan 0,509 Alasan tinggal di kawasan kawasan Frekuensi pindah 0,700 Frekuensi pindah tempat 0,699 Frekuensi pindah tempat tempat kerja kerja kerja Lama tinggal bersama 0,776 Lama tinggal bersama 0,781 Lama tinggal bersama orang tua orang tua orang tua
0,536 0,692 0,767
0,357
0,751 0,600 -0,508
0,789 0,647
0,627 -0,658 0,411
Faktor 6 Faktor 9 Faktor 9 Status rumah 0,630 Status rumah 0,499 Status tanah 0,741 Status tanah 0,694 Status tanah 0,613 Lama tinggal di -0,451 Lama tinggal di rumah 0,717 Lama tinggal di rumah 0,826 rumah sekarang sekarang sekarang Tempat tinggal yang 0,539 dibutuhkan Faktor 4 Faktor 4 Faktor 4/Cara mendapatkan rumah Cara membangun 0,779 Cara membangun rumah 0,787 Cara membangun rumah 0,777 rumah Cara pengaturan 0,710 Cara pengaturan 0,741 Cara pengaturan keuangan 0,736 keuangan rumah keuangan rumah tangga rumah tangga tangga Faktor 7 Faktor 7 Faktor 6/Kebutuhan rumah Jumlah kebutuhan -0,565 Jumlah kebutuhan ruang -0,581 Jumlah kebutuhan ruang -0,588 ruang tidur tidur tidur Memiliki rumah >1 0,762 Memiliki rumah >1 0,767 Memiliki rumah >1 0,771
Sumber : Hasil Analisis, Januari 2011
117
Tahap 3 Sub Variabel Nilai KMO and Bartlett’s Test
Faktor 3 0,636 0,388 0,489 0,379 0,537
Pengeluaran/bln Faktor 2
PUSKESMAS
Nilai 0,705
Faktor Penentu Kebutuhan … (Yulinda R., Ratna J.)
Tabel 3 Hasil Perhitungan Keterangan Variasi Variabel
Sumber : Hasil Analisis, Januari 2011
Penamaan Setiap Faktor dan Interpretasi Hasil Analisis Faktor Penamaan faktor harus memperhatikan atau mengakomodir sifat-sifat atau ciri-ciri kesamaan dari sub variabel-sub variabel yang membentuk faktor tersebut. Hasil akhir reduksi faktor dapat dilihat pada tahap empat tabel 2. Penamaan untuk sembilan faktor yang dihasilkan adalah : 1. Faktor satu, diukur melalui sub variabel : a. Umur pertama bekerja; b. Umur pertama membiayai hidup sendiri; c. Umur menikah pertama; d. Umur punya anak pertama; e. Umur pertama tinggal dengan keluarga inti. Kelima sub variabel tersebut digunakan untuk mengukur variabel karir perumahan, oleh karena itu faktor satu diberi nama faktor karir perumahan. 2. Faktor dua, diukur melalui sub variabel : a. Jarak ke supermarket terdekat; b. Jarak ke SD terdekat; c. Jarak ke SMA terdekat; d. Jarak ke PUSKESMAS terdekat. Keempat sub variabel tersebut digunakan untuk mengukur variabel lokasi, oleh karena itu faktor ke dua diberi nama faktor lokasi. 3. Faktor tiga, diukur melalui sub variabel : a. Arti rumah; b. Alasan memutuskan beli rumah; c. Kebiasaan menabung; d. Pengeluaran lebih besar dari pendapatan; e. Pengeluaran per bulan. Kelima sub variabel tersebut merupakan sub variabel yang berkaitan dengan pengukuran
pilihan tempat tinggal sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan, faktor tiga diberi nama faktor usaha untuk mengadakan rumah/tempat bermukim. 4. Faktor empat, diukur melalui sub variabel : a. Cara membangun rumah; b. Cara pengaturan keuangan. Kedua sub variabel tersebut merupakan sub variabel yang berkaitan dengan pengukuran cara mendapatkan tempat tinggal dari segi pengadaan bangunan fisiknya dan penyediaan dana. Faktor empat diberi nama faktor cara mendapatkan rumah. 5. Faktor lima, diukur melalui sub variabel : a. Alasan tinggal di kawasan yang sekarang dijadikan tempat tinggal; b. Frekuensi pindah tempat kerja; c. Lama tinggal dengan orang tua/mertua. Kedua sub variabel tersebut merupakan sub variabel yang berkaitan dengan pendorong seseorang atau kepala rumah tangga untuk mengadakan atau mencari tempat tinggal. Faktor lima diberi nama faktor pendorong keputusan mengadakan rumah. 6. Faktor enam, diukur melalui sub variabel: a. Jumlah kebutuhan ruang tidur; b. Memiliki rumah > 1. Kedua sub variabel tersebut merupakan sub variabel yang berkaitan dengan rumah yang dibutuhkan, bila kepala keluarga bekerja di luar kota dan hidup terpisah dengan keluarga maka akan mempengaruhi jumlah kebutuhan rumah. Disamping itu jumlah kebutuhan ruang juga mengindikasikan jenis rumah yang dibutuhkan.
118
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 2 Agustus 2012 : 110-120
Oleh karena itu faktor enam diberi nama harapan mendapat rumah. 7. Faktor tujuh, diukur melalui sub variabel : a. Rumah bertingkat/tidak; Sub variabel tersebut merupakan sub variabel yang berkaitan dengan konstruksi fisik rumah. Faktor tujuh diberi nama faktor konstruksi rumah. 8. Faktor delapan, diukur melalui sub variabel : a. Jarak ke tempat kerja suami b. Jenis pekerjaan. Kedua sub variabel tersebut berkaitan dengan mata pencaharian. Faktor delapan diberi nama faktor mata pencaharian. 9. Faktor sembilan, diukur melalui sub variabel : a. Status tanah yang dimiliki; b. Lama tinggal di rumah yang sekarang; Kedua sub variabel tersebut merupakan subvariabel yang berkaitan dengan kecenderungan penghuni untuk tetap tinggal di rumah atau tempat bermukim yang saat ini di huni. Bila status tanah milik, ada kecenderungan rumah tersebut akan di huni dalam rentang waktu yang lama, lain halnya bila sewa atau kontrak. Faktor sembilan diberi nama faktor lama bermukim.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Faktor penentu kebutuhan rumah masyarakat Kota Cirebon dapat dilihat dari hasil perhitungan total variance explained. Dari nilai ini dapat diterangkan faktor-faktor penentu utama masyarakat Kota Cirebon dalam memilih tempat tinggal, secara rinci dapat di lihat pada tabel 3. Faktor-faktor penentu (yang menjadi pertimbangan/alasan) masyarakat Kota Cirebon dalam memilih tempat tinggal yaitu : 1. 69,566% faktor penentu kebutuhan rumah masyarakat Kota Cirebon ditentukan oleh sembilan faktor sebagai berikut : 1) faktor karir perumahan; 2) faktor lokasi; 3) faktor usaha untuk mengadakan rumah/tempat bermukim; 4) faktor cara mendapatkan rumah; 5) faktor pendorong keputusan mengadakan rumah; 6) faktor harapan mendapatkan rumah; 7) faktor konstruksi rumah; 8) faktor mata pencaharian; 9) faktor lama bermukim, sedangkan sisanya 30,434% ditentukan oleh faktor lain, yang tidak teramati dalam penelitian. Dengan arti lain 69,566% masyarakat Kota Cirebon memilih tempat tinggal berdasarkan pertimbangan/ alasan sembilan faktor di atas, sedangkan sisanya
119
2.
3.
4.
5.
sebesar 30,434% ditentukan oleh faktor lain (diluar sembilan faktor). Dari 69,566% faktor penentu kebutuhan rumah masyarakat Kota Cirebon, 34,586% ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu : faktor karir perumahan, faktor lokasi, dan faktor pengadaan dana untuk rumah. Sedangkan 34,98% faktor penentu kebutuhan rumah masyarakat Kota Cirebon ditentukan oleh enam faktor lainnya yaitu : 1) faktor cara mendapatkan rumah; 2) faktor pendorong keputusan mengadakan rumah; 3) harapan mendapatkan rumah; 4) faktor konstruksi rumah; 5) faktor mata pencaharian; 6) faktor lama bermukim. Dengan arti lain, tiga faktor utama yaitu : faktor karir perumahan, faktor lokasi, dan faktor dijadikan sebagai pertimbangan/alasan 34,586% masyarakat Kota Cirebon dalam memenuhi kebutuhan akan rumah. Sedangkan 34,98% masyarakat Kota Cirebon menjadikan enam faktor : 1) faktor cara mendapatkan rumah; 2) faktor pendorong keputusan mengadakan rumah; 3) faktor harapan mendapatkan rumah; 4) faktor konstruksi rumah; 5) faktor mata pencaharian; 6) faktor lama bermukim sebagai pertimbangan/alasan dalam memilih rumah. Faktor karir perumahan diukur melalui lima sub variabel terkait dengan usia kepala keluarga ketika pertama bekerja, pertama membiayai hidup sendiri, menikah pertama, punya anak pertama dan pertama tinggal dengan keluarga inti. Karir perumahan ini digunakan untuk mengukur waktu atau kondisi seperti apa seseorang memenuhi tempat tinggal (rumah). Jadi terdapat sekelompok orang yang mengadakan atau memenuhi tempat tinggal karena alasan sudah bekerja, untuk menunjukkan kemandiriannya, sudah menikah, atau sudah punya anak. Faktor lokasi diukur melalui lokasi atau jarak terdekat rumah dengan fasilitas ekonomi, pendidikan, peribadatan dan pelayanan kesehatan. Artinya terdapat sekelompok orang yang memilih tempat tinggal karena kedekatan dengan akses pelayanan kesehatan (rumah sakit), akses pendidikan, dan akses ekonomi. Faktor usaha pengadaan dana untuk rumah diukur melalui kaitan dengan ketersedaan dana, dan arti rumah itu sendiri. Terdapat sekelompok orang yang memilih tempat tinggal karena alasan terkait dengan ketersediaan dana atau pandangan seseorang berkaitan dengan arti rumah tersendiri.
Faktor Penentu Kebutuhan … (Yulinda R., Ratna J.)
Saran Faktor-faktor penentu kebutuhan rumah yang dihasilkan dari penelitian ini hanya dapat menerangkan 69,566% faktor dari keseluruhan faktor yang berpengaruh terhadap kebutuhan rumah di Kota Cirebon. Untuk menerangkan faktor kebutuhan rumah lainnya sebesar 30,434% di Kota Cirebon, perlu ditelusuri lagi faktor-faktor yang belum teramati dalam penelitian. Oleh karena itu perlu dikaji kembali berdasarkan teori-teori penunjang lainnya berkaitan faktor-faktor penentu kebutuhan rumah. Kemudian untuk mengetahui kesesuaian teori dengan kenyataan di lapangan untuk kondisi Kota Cirebon perlu ditunjang dengan pengembangan penelitian dengan materi sama.
DAFTAR PUSTAKA Andrew, Beer., Faulkener, and Gabriel Michele, 2006, 21st Century Housing Carreers and Housing Australia Future, February 2006, ISBN-1 920 441959. Hair, J.F. Anderson, R.L. Tatham dan W.C. Black, 1995, Multivariate Data Analysis with Readings, 4th Edition, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. Norusis, Marija J. 1993, SPSS for Windows Profesional Statistics Release 6, United States of America, 1993, ISBN 0-13-178831-0.
Rilva, Eka Diana, 2008, Identifikasi Tingkat Kebutuhan Perumahan di Kota Bandung dan Permintaan Perumahan di Kecamatan Kiaracondong Bandung, Institut Teknologi Bandung. Rindarjono, 2007, Residential Mobility di Pinggiran Kota Semarang Jawa Tengah, Forum Geografi, Vol. 21, No. 2, Desember 2007: 135 – 146. Wijayanto, Setyo Hari, 1998, Structural Equation Modeling dengan Lisrel 8.8, Edisi Pertama, 2008, Graha Ilmu, Yogyakarta. ---------, 2011, Urusan Perumahan Harus Satu Pintu, Satu Kebijakan, Zulfi S. Koto http:// www.realestatindonesia.org/Diunduh tanggal 2 Maret 2012. ---------, 2011, Prasarana Umum Perlu Tingkatkan Akurasi Basis Data, Menpera, http://groups. yahoo.com / Diunduh tanggal 2 Maret 2012. ---------, 2012, Kebutuhan Rumah di Indonesia Capai 2,6 Juta Unit Per Tahun, Menpera, http://www. haluanriaupress.com / Diunduh tanggal 2 Maret 2012. ---------, 2012, Program Pembangunan Rumah Murah Tahun 2012, Menpera, http:// www.setkab. go.id./ Diunduh tanggal 2 Maret 2012.
120
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 2 Agustus 2012: 121-124
Katalog dan Abstrak UDC 614.94 Wur Wuryanti, Wahyu k Keputusan multikriteria dalam menilai konstruksi rumah tinggal terhadap lingkungan / Wahyu Wuryanti .--Jurnal Permukiman.-- Vol. 7 No. 2 Agustus 2012.-- Hal. 66-75.-- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2012. 125 hlm. : ilus.; 30 cm Abstrak ISSN
: hlm. 66 : 1907-4352
I. HOUSING – CONSTRUCTION
1. Judul
Penentuan rancangan terbaik suatu konstruksi rumah tinggal perlu mempertimbangkan beberapa aspek. Selain aspek teknis dan ekonomi perlu juga mempertimbangkan isu lingkungan. Penilaian dilakukan terhadap empat alternatif rumah tinggal dengan menggunakan metoda analisis keputusan multikriteria. Kata kunci : rumah tinggal, multi-kriteria, simple additive weighting, multiplicative exponential weighting UDC 69.032.2 Sab Sabaruddin, Arief f Faktor-faktor disain rumah susun yang berpengaruh terhadap kenyamanan termal / Arief Sabaruddin, Rumiati R. Tobing dan Tri Harso Karyono.--Jurnal Permukiman.-- Vol. 7 No. 2 Agustus 2012.-- Hal. 76-87.-Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2012. 125 hlm. : ilus.; 30 cm Abstrak ISSN
: hlm. 76 : 1907-4352
I. MULTISTORY BUILDING – THERMAL 2. Karyono, Tri Harso 3. Judul
1. Tobing, Rumiati R.
Orientasi, tipe, dan posisi unit hunian merupakan aspek disain rumah susun yang berfungsi untuk mengontrol termal dalam ruang. Dari hasil analisa orientasi bangunan berpengaruh lebih besar dibandingkan dengan tipe, sedangkan posisi unit hunian tidak berpengaruh terhadap kenyamanan termal. Kata kunci : emisi CO2, disain, orientasi, tipe bangunan, posisi unit hunian UDC 69.058.4 San Santosa, Nanang S. a Analisis keberlanjutan kawasan permukiman perkotaan Cisauk di daerah aliran sungai (DAS) Cisadane / Nanang S. Santosa, Santun R.P. Sitorus, Machfud, dan Ramalis Sobandi. – Jurnal Permukiman.-Vol. 7 No. 2 Agustus 2012.-- Hal. 88-94.--Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2012. 125 hlm. : ilus.; 30 cm Abstrak ISSN
: hlm. 88 : 1907-4352
I. SETTLEMENT - URBAN 3. Sobandi, Ramalis
1. Sitorus, Santun R.P. 4. Judul
2. Machfud
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi eksisting keberlanjutan pengelolaan kawasan permukiman perkotaan di Cisauk-Tangerang. Hasil kajian menunjukkan secara multi dimensi cukup berkelanjutan, namun dari aspek ekologi kurang berkelanjutan. Daya dukung lingkungan masih dapat menampung perkembangan yang ada namun perlu perbaikan prasarana lingkungan antar cluster permukiman, penambangan pasir dan jalan akses. Kata kunci : urbanisasi, kawasan permukiman, DAS Cisadane, keberlanjutan, daya dukung lingkungan
121
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 2 Agustus 2012: 121-124
UDC 691.11 Cah Cahyadi, Dany s Sifat fisis dan mekanis papan semen partikel kayu akasia (Acasia mangium) dan sengon (Paraserienthes falcataria) / Dany Cahyadi, Aan Sugiarto, Anita Firmanti, dan Bambang Subiyanto.-- Jurnal Permukiman.-Vol. 7 No. 2 Agustus 2012.-- Hal. 95-100.-- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2012. 125 hlm. : ilus.; 30 cm Abstrak ISSN
: hlm. 95 : 1907-4352
I. TIMBER – BUILDING MATERIAL 3. Subiyanto, Bambang
1. Sugiarto, Aan 4. Judul
2. Firmanti, Anita
Kayu yang dapat diperoleh saat ini sebagian besar adalah kayu cepat tumbuh yang mempunyai sifat-sifat dasar yang berbeda dengan jenis kayu komersial. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan seoptimal mungkin kayu cepat tumbuh sebagai komponen bahan bangunan alternatif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian eksperimental berupa pembuatan papan semen skala penuh berukuran 60cm x 120cm x 0,9cm dikempa dingin dengan tekanan 30kg/cm 2. Komposisi semen dan bahan kayu yang digunakan adalah 1 : 2,75 dengan faktor air-semen sebesar 0,5; dan CaCl2 sebagai katalisator sebesar 2,5% dari berat semen. Hasil pengujian menunjukkan bahwa papan semen kayu cepat tumbuh kayu akasia dan sengon dapat digunakan sebagai bahan bangunan alternatif. Kata kunci : papan semen partikel, kayu cepat tumbuh, akasia, sengon, sifat fisis dan mekanis UDC 621.039.7 Ary Aryenti p Peran pendamping masyarakat dalam pengelolaan sampah 3R (reduce, reuse, recycle) di Kota Banjar / Aryenti .-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 7 No. 2 Agustus 2012.-- Hal. 101-109.-- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2012. 125 hlm. : ilus.; 30 cm Abstrak ISSN
: hlm. 101 : 1907-4352
I. WASTE MANAGEMENT
1. Judul
Pendampingan adalah upaya melibatkan masyarakat dalam mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki. Dalam pelaksanaan pendampingan diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Pendampingan masyarakat dalam pengelolaan sampah 3R di Kota Banjar dilaksanakan selama dua tahun. Hasil monitoring dan evaluasi belum optimal. Pendampingan dapat dikatakan berhasil apabila hasil dari pendampingan mampu mengembangkan pola piker, pola sikap dan pola tindak pada masyarakat yang didampinginya. Kata kunci : peran, pendamping, masyarakat, pengelolaan, sampah 3R UDC 332.822.6 Ros Rosa, Yulinda f Faktor penentu kebutuhan rumah, studi kasus Kota Cirebon / Yulinda Rosa dan Ratna Jatnika.-- Jurnal Permukiman. -- Vol. 7 No. 2 Agustus 2012. -- Hal. 110-120. -- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2012. 125 hlm. : ilus.; 30 cm Abstrak ISSN
: hlm. 110 : 1907-4352
I. HOUSING NEEDS
1. Jatnika, Ratna
2. Judul
Faktor penentu kebutuhan rumah Kota Cirebon berdasarkan analisis faktor eksploratori terdiri dari sembilan (9) faktor, yaitu : 1. karir perumahan, 2. lokasi rumah, 3. usaha untuk pengadaan rumah, 4. cara mendapatkan rumah, 5. faktor pendorong keputusan menempati rumah untuk tempat tinggal, 6. kebutuhan rumah, 7. konstruksi rumah, 8. mata pencaharian, 9. lama bermukim. Kesembilan faktor tersebut dapat menjelaskan variasi kebutuhan rumah sebesar 69,566%. Kata kunci : faktor penentu, kebutuhan rumah, analisis faktor, sembilan faktor, Kota Cirebon
122
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 2 Agustus 2012: 121-124
Catalogue and Abstract UDC 614.94 Wur Wuryanti, Wahyu m Multicriteria decision in assess the house construction to environment / Wahyu Wuryanti –Jurnal Permukiman. --Vol. 7 No. 2 August 2012. -- Page 66-75. -- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2012. 125 Pages : Ilus.; 30 cm Abstract ISSN
: Page 66 : 1907 – 4352
I. HOUSING – CONSTRUCTION
1. Title
Determining the best design of house construction has to consider some aspects. Beside of technical and economic aspects, the environmental issue should be addressed too. The assessment has be done to four house design alternatives with use method multicriteria decision analysis. Keywords : house, multi-criteria, simple additive weighting, multiplicative exponential weighting UDC 69.032.2 Sab Sabaruddin, Arief t The influence of design factors toward the thermal comfort in flats / Arief Sabaruddin, Rumiati R. Tobing, and Tri Harso Karyono. -- Jurnal Permukiman. -- Vol. 7 No. 2 August 2012. -- Page 76-87. -- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2012. 125 Pages : Ilus.; 30 cm Abstract ISSN
: Page 76 : 1907 – 4352
I. MULTISTORY BUILDING - THERMAL 2. Karyono, Tri Harso 3. Title
1. Tobing, Rumiati R.
Orientation, building type, and position of adwelling unit are parts of design aspect in building a flat, which has control function to the thermal comfort. From the results of this research, it could be seen that design variable building types has bigger impact compare to building orientation, while unit position variable does not have any impact to the thermal comfort. Keywords : CO2 emission, design, orientation, building type, dwelling unit position UDC 69.058.4 San Santosa, Nanang S. s Sustainable analysis of Cisauk urbanized settlement at Cisadane river basin / Nanang S. Santosa, Santun R.P. Sitorus, Machfud, and Ramalis Sobandi.-- Jurnal Permukiman. -- Vol. 7 No. 2 August 2012. -Page 88-94. -- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2012. 125 Pages : Ilus.; 30 cm Abstract ISSN
: Page 88 : 1907 – 4352
I. SETTLEMENT – URBAN 3. Sobandi, Ramalis
1. Sitorus, Santun R.P. 4. Title
2. Machfud
This study has a purpose to understand the sustainability of existing condition of urban settlement management in Cisauk-Tangerang. The results show that in term of multidimension, it is sustainable enough but in term of ecology it is not sustainable. The environment capacity can still accommodate the development however there are some needs of improvements such as cluster infrastructures, sand mining, and street access. Keywords : urbanization, urban settlement, Cisadane river basin, sustainable, environment capacity
123
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 2 Agustus 2012: 121-124
UDC 691.11 Cah Cahyadi, Dany p Physical and mechanical properties of acasia (Acasia mangium) and falcata (Paraserienthes falcataria) wood cement bonded particle board / Dany Cahyadi, Aan Sugiarto, Anita Firmanti and Bambang Subiyanto. -– Jurnal Permukiman. -- Vol. 7 No. 2 August 2012. -- Page 95-100. -- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2012. 125 Pages : Ilus.; 30 cm Abstract ISSN
: Page 95 : 1907 – 4352
I. TIMBER – BUILDING MATERIAL 1. Sugiarto, Aan 3. Subiyanto, Bambang 4. Title
2. Firmanti, Anita
Nowadays, most of timber available in the market is fast-growing wood species, which have basic properties different from commercial timber species. This study aims to develop and optimally utilize fast-growing timber as a component of wood alternative building materials. The research method used in this research is experimental method in the form of full-scale manufacture of cement bonded board with dimension 60cm x 120cm x 0,9cm and a cold press machine with 30kg/cm2 of pressure. The composition of cement and wood materials are 1 : 2.75 with water-cement ratio of 0.5 and CaCl2 is used as the catalyst of 2.5% by weight of cement. The test results show that the fast-growing wood cement bonded board can be used as an alternative building material. Keywords : cement bonded particle board, fast growing wood species, acasia, falcate, physical and mechanical properties UDC 621.039.7 Ary Aryenti t Task field officer in waste management 3 R (reduce, reuse, recycle) concept community in Banjar City / Aryenti . -- Jurnal Permukiman. --Vol. 7 No. 2 August 2012. -- Page 101-109. --Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2012. 125 Pages : Ilus.; 30 cm Abstract ISSN
: Page 101 : 1907 – 4352
I. WASTE MANAGEMENT
1. Title
Mentoring is an effort to involve the community in developing its potential. Necessary assistance in the implementation of quality human resources. Community assistance in the 3R concept of waste management in the town of Banjar conducted a tender for two years. The results of monitoring and evaluation on the people of Banjar, metoring for two years has not been optimal. Assistance can be said to succeed if the result of mentoring can develop the mindset, attitudes and patterns of patterns that accompany the action on. Keywords : field officer, community, behavior, management, 3R concept UDC 332.822.6 Ros Rosa, Yulinda d Determinants of housing needs, case study of Cirebon City / Yulinda Rosa and Ratna Jatnika. -- Jurnal Permukiman. -- Vol. 7 No. 2 August 2012. -- Page 110-120. --Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2012. 125 Pages : Ilus.; 30 cm Abstract ISSN
: Page 110 : 1907 – 4352
I. HOUSING NEEDS
1. Jatnika, Ratna
2. Title
Determinants Cirebon City housing needs based on exploratory factor analysis consists of nine (9) factors : 1. housing career, 2. location of the home, 3. Business for the procurement of the home, 4. how to get home, 5. factors driving the decision to occupy the house place of residence, 6. requirement home, 7. construction of a house, 8. livelihoods, 9. old settled. The nine factors can explain variations in housing needs of 69.566%. Keywords : determinants, housing needs, factor analysis, nine factors, the City of Cirebon
124
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 2 Agustus 2012
Indeks Subjek A Akasia = 95, 96, 97, 98, 99, 100. Analisis faktor = 110, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118.
A 3R concept = 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109. Acasia = 95, 96, 97, 98, 99, 100.
B Berkelanjutan = 88, 92.
B Behaviour = 101, 107. Building tipe = 76, 79, 84, 85, 87.
D DAS Cisadane = 88, 89, 93. 94. Daya dukung lingkungan = 88. Disain = 76, 77, 78, 81, 87. E Emisi CO2 = 76, 77, 78, 87. F Faktor penentu = 110, 116, 120. K Kawasan permukiman = 88, 89, 90, 91, 92, 94. Kayu cepat tumbuh = 95, 96. Kebutuhan rumah = 110, 111, 113, 118, 119. Kota Cirebon = 110, 111, 116, 119, 120. M Masyarakat = 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109. Multi-kriteria = 66, 75. Multiplicative exponential weighting = 66. O Orientasi = 76, 77, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87.
C Cement bonded particle = 95, 96, 100. Cisadane river basin = 88, 89, 93. 94. CO2 emission = 76, 77, 78, 87. Community = 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109. D Design = 76, 77, 78, 81, 87. Determinants = 110, 116, 120. Dwelling unit position = 76, 81, 82, 83, 84, 85, 87. E Environment capacity = 88. F Factor analysis = 110, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118. Falcata = 95, 96, 97, 98, 99, 100. Fast growing wood species = 95, 96. Field officer = 101, 102, 103, 106, 107, 108, 109. H House = 66. Housing needs = 110, 111, 113, 118, 119.
P Papan semen partikel = 95, 96, 100. Pendamping = 101, 102, 103, 106, 107, 108, 109. Pengelolaan = 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109. Peran = 101, 102, 103, 104, 107, 108, 109. Posisi unit hunian = 76, 81, 82, 83, 84, 85, 87. Perilaku = 101, 107.
M Management = 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109. Multi-criteria = 66, 75. Multiplicative exponential weighting = 66.
R Rumah tinggal = 66.
O Orientation = 76, 77, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87.
S Sampah 3R = 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109. Sembilan faktor = 110, 118. Sengon = 95, 96, 97, 98, 99, 100. Sifat fisis dan mekanis = 95, 96, 97. Simple additive weighting = 66.
P Physical and mechanical properties = 95, 96, 97.
T Tipe bangunan = 76, 79, 84, 85, 87. U Urbanisasi = 88.
125
N Nine factor = 110, 118.
S Simple additive weighting = 66. Sustainable = 88, 92. T Task = 101, 102, 103, 104, 107, 108, 109. The City of Cirebon = 110, 111, 116, 119, 120. U Urban settlement = 88, 89, 90, 91, 92, 94. Urbanization = 88.
Pedoman Penulisan Naskah 1. 2. 3.
4.
5.
6. 7. 8. 9.
Redaksi menerima naskah karya ilmiah ilmu pengetahuan dan teknologi bidang permukiman, baik dari dalam dan luar lingkungan Pusat Litbang Permukiman Naskah disampaikan ke redaksi dalam bentuk naskah tercetak hitam putih sebanyak 3 rangkap dengan jumlah naskah maksimum 15 halaman termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar pustaka Naskah akan dinilai oleh dewan penelaah. Kriteria penilaian meliputi kebenaran isi, derajat, orisinalitas, kejelasan uraian dan kesesuaian dengan sasaran jurnal. Dewan penelaah berwenang mengembalikan naskah untuk direvisi atau menolaknya Penelaah berhak memperbaiki naskah tanpa mengubah isi dan pengertiannya, serta akan berkonsultasi dahulu dengan penulis apabila dipandang perlu untuk mengubah isi naskah. Penulis bertanggung jawab atas pandangan dan pendapatnya di dalam naskah Jika naskah disetujui untuk diterbitkan, penulis harus segera menyempurnakan dan menyampaikannya kembali ke redaksi beserta filenya dengan program (software) “Microsoft Office Word” paling lambat satu minggu setelah tanggal persetujuan Bila naskah diterbitkan, penulis akan mendapatkan reprint (cetak lepas) sebanyak 3 eksemplar dan naskah akan menjadi hak milik instansi penerbit Naskah yang tidak dapat diterbitkan akan diberitahukan kepada penulis dan naskah tidak akan dikembalikan, kecuali ada permintaan lain dari penulis Keterangan yang lebih terperinci dapat menghubungi Sekretariat Redaksi Secara teknis persyaratan naskah adalah : Sistematika penulisan : Bagian awal : Judul, Keterangan Penulis, Abstrak. Abstrak disusun dalam satu alinea antara 150200 kata berisi : alasan penelitian dilakukan, pernyataan singkat apa yang telah dilakukan (metode), pernyataan singkat apa yang telah ditemukan, pernyataan singkat apa yang telah disimpulkan disertai minimal 5 kunci. Judul, Abstrak dan Kata Kunci disusun dalam 2 (dua) bahasa (Indonesia-Inggris) Bagian utama : Pendahuluan, Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan Bagian akhir : Ucapan Terima Kasih (bila perlu), Daftar Pustaka dan Lampiran (jika ada) Teknik penulisan: a. Naskah ditulis pada kertas ukuran A4 portrait (210 x 297 mm), ketikan satu spasi dengan 2 kolom, jarak kolom pertama dan kedua 1 cm. b. Margin: tepi atas 3 cm, tepi bawah 2,5 cm, sisi kiri 3 cm dan kanan 2 cm. Alinea baru diberi tambahan spasi (+ ENTER). Penggunaan huruf: Judul, ditulis di tengah halaman, Cambria 14 pt. Kapital Bold Isi Abstrak, Cambria 10 pt italic 1 spasi Sub judul, ditulis di tepi kiri, Cambria Kapital 11pt, Bold Isi, Cambria 10 pt, 1 spasi Penomoran halaman menggunakan angka arab c. Daftar Pustaka sebaiknya menggunakan referensi terbaru, maksimal penerbitan 5 (lima) tahun terakhir, kecuali untuk handbook yang belum ada cetakan revisi/ terbaru. d. Daftar pustaka ditulis sesuai contoh sebagai berikut: Buku (monograf) Kourik, R. 1998. The lavender garden: beautiful varieties to grow and gather. San Francisco: Chronicle Books. Artikel Jurnal Terborgh, J. 1974. Preservation of natural diversity: The problem of extinction-prone species. Bioscience 24:715-22. Situs Web Thomas, Trevor M. 1956. Wales: Land of Mines and Quaries. Geographical Review 46, No. 1: 59-81. http://www.jstor.org/ (accessed June 30, 2005).