Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012
ISSN : 1907 – 4352
Jurnal Permukiman adalah majalah berkala yang memuat karya tulis ilmiah di bidang permukiman meliputi kawasan perkotaan/ perdesaan, bangunan gedung yang berada di dalamnya, serta sarana dan prasarana yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Diterbitkan sejak tahun 1985 dengan nama Jurnal Penelitian Permukiman dan tahun 2006 berganti menjadi Jurnal Permukiman dengan frekuensi terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan November. Pelindung Penanggung Jawab
: :
Kepala Pusat Litbang Permukiman Kepala Bidang Sumber Daya Kelitbangan
Mitra Bestari
:
Prof. R. Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M. Agr. (Bidang Bahan Bangunan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Prof. Ir. Iswandi Imran, MASc. Ph. D. (Bidang Rekayasa Struktur, Institut Teknologi Bandung) Dr. Ir. Tri Padmi (Bidang Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung) Ir. Indra Budiman Syamwil, MSc., Ph. D. (Bidang Arsitektur, Institut Teknologi Bandung)
Dewan Penelaah Naskah
:
Prof. R. Dr. Ir. Suprapto, MSc. FPE. (Bidang Teknik Struktur, Pusat Litbang Permukiman) Andriati Amir Husin, MSi. (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman) Ir. Nurhasanah Sutjahjo, M.M. (Bidang Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Pusat Litbang Permukiman) Dr. Ir. Anita Firmanti, E.S., M.T. (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman) Drs. Achmad Hidajat Effendi (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman) Ir. Silvia F. Herina, M.T. (Bidang Teknik Sipil, Pusat Litbang Permukiman) Ir. Arief Sabaruddin, CES. (Bidang Perumahan dan Permukiman, Pusat Litbang Permukiman) Dra. Sri Astuti, MSA. (Bidang Bangunan Tapak, Pusat Litbang Permukiman) Dr. Andreas Wibowo, S.T., M.T. (Bidang Struktur dan Konstruksi, Pusat Litbang Permukiman) Sarbidi, S.T., M.T. (Bidang Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Pusat Litbang Permukiman) Lia Yulia Iriani, S.H. (Bidang Kebijakan Ilmu dan Teknologi, Pusat Litbang Permukiman)
Redaksi Pelaksana
:
Drs. Rudy Ridwan Effendi, M.T. Dra. Roosdharmawati Drs. Arif Sugiarto, M.M. Nitnit Anitya, S.S.
Alamat Redaksi
:
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung 40393 P.O. Box 812 Bandung 40008 Tlp. 022-7798393 (4 saluran) Fax. 022-7798392 E-mail :
[email protected]
Akreditasi Jurnal Permukiman ditetapkan sebagai Majalah Berkala Ilmiah : Terakreditasi B Nomor 299/AU2/P2MBI/08/2010 Berdasarkan Kutipan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 754/D.2/2010 Tanggal 26 Agustus 2010
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012
ISSN : 1907 – 4352
Pengantar Redaksi Segenap puji syukur kami panjatkan kehadirat-Nya karena redaksi dapat kembali menyajikan Jurnal Permukiman edisi pertama pada tahun 2012. Dalam edisi kali ini, kami menampilkan tujuh tulisan berkaitan dengan bahasan bahan bangunan alternatif, penyehatan lingkungan permukiman, serta perumahan dan lingkungan. Tulisan diawali dengan bahasan mengenai teknologi pembuatan bambu laminasi menggunakan kempa dingin terutama bambu yang berbentuk pelupuh menggunakan perekat polyurethane oleh Dany Cahyadi, Anita Firmanti, dan Bambang Subiyanto dalam judul “Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Laminasi Bahan Berbentuk Pelupuh (Zephyr) dengan Penambahan Metanol sebagai Pengencer Perekat”. Sedangkan hasil pembakaran batubara, dimanfaatkan untuk membuat conblock dan paving block yang memenuhi SNI dengan menggunakan peralatan semi masinal maupun full-machinal. Dan berdasarkan hasil analisis pasar, bahwa unit produksi bahan bangunan yang dikembangkan sangat prospektif terutama bila dikaitkan dengan kebutuhan pembangunan rumah dan jalan lingkungan. Analisis ini dilakukan oleh Anita Firmanti, Aventi, Dany Cahyadi, Aan Sugiarto, Bambang Sugiarto, dan Bambang Subiyanto dalam tulisan “Analisis Pengembangan Unit Produksi Conblock dan Paving Block Berbasis Limbah Batubara dalam Rangka Mendukung Pembangunan Rumah Murah”. Silvia F. Herina meneliti mengenai “Pengaruh Kadar Kehalusan Butir terhadap Ketahanan Geser Tanah Pasir Vulkanik”. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa pasir vulkanik mempunyai karakteristik geser yang sama dengan pasir alluvial dan penambahannya tidak mempengaruhi kenaikan kuat gesernya, bahkan dengan gradasi yang baik dapat meningkatkan kuat geser tanah. Berkaitan dengan penyehatan lingkungan permukiman, dibahas oleh Sri Darwati dan Fitrijani Anggraini tentang “Peran Komunitas dalam Pengelolaan Sampah Berbasis Pola Kumpul Pilah terhadap Reduksi Sampah Kota”, serta Aryenti dan Sri Darwati tentang “Peningkatan Fungsi Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu”. Dalam tulisan pertama disimpulkan bahwa kunci keberhasilan dalam pola pilah kumpul olah adalah perubahan perilaku masyarakat, serta adanya fasilitasi tokoh masyarakat dan pemerintah. Untuk tulisan kedua, memfungsikan kembali TPST diperlukan adanya pendampingan masyarakat dalam pengelolaan secara teknis, kelembagaan dan pendanaan, serta dukungan pemerintah terkait dengan peningkatan sarana dan prasarana, legalitas kelembagaan dan teknis pengelolaan persampahan. “Karakteristik Ruang Tradisional pada Desa Adat Penglipuran, Bali” dibahas oleh I Putu Agus Wira Kasuma dan Iwan Suprijanto. Desa Adat Penglipuran memiliki tatanan pola ruang yang unik dan merupakan juga warisan budaya yang harus dipertahankan. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan kebutuhan pada saat ini, diperlukan adanya regulasi mengenai aturan tata ruang dan teridentifikasinya karakteristik ruang tradisional Desa Adat Penglipuran sebagai landasan untuk menyusun konsep tata ruang Desa Adat Penglipuran yang ideal. Sebagai penutup adalah tulisan Heni Suhaeni mengenai “Parameter untuk Menyusun Stratifikasi Penghasilan”. Parameter ini berguna untuk mengukur dan mempertimbangkan rencana pembangunan perumahan dan penduduk yang menghuninya dan bertujuan dalam menentukan kelompok sasaran subsidi perumahan. Semoga tulisan yang kami sajikan bermanfaat. Selamat membaca. Bandung, April 2012 Redaksi
i
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012
ISSN : 1907 – 4352 Daftar Isi
Pengantar Redaksi
i
Daftar Isi
ii
Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Laminasi Bahan Berbentuk Pelupuh (Zephyr) dengan Penambahan Metanol sebagai Pengencer Perekat - Physical and Mechanical Properties of Zephyr-Shaped Laminated Bamboo with Addition of Methanol as Adhesives Diluents Dany Cahyadi, Anita Firmanti, Bambang Subiyanto Analisis Pengembangan Unit Produksi Conblock dan Paving Block Berbasis Limbah Dalam Rangka Mendukung Pembangunan Rumah Murah - Analysis on the Development of Production Unit of Conblock and Paving Block Using Waste from Burnt Coal to Support the Supply of Low-Cost Housing Anita Firmanti, Aventi, Dany Cahyadi, Aan Sugiarto, Bambang Sugiharto, Bambang Subiyanto Pengaruh Kadar Kehalusan Butir terhadap Ketahanan Geser Tanah Pasir Vulkanik - Effect of Fine Soils Content of the Volcanic Sand Shear Resistance Silvia F. Herina Peran Komunitas Dalam Pengelolaan Sampah Berbasis Pola Pilah Kumpul Olah terhadap Reduksi Sampah Kota - The Role of Community in Solid Waste Management Based on Pattern Sorting, Collecting and Treating to Reduce City Waste Sri Darwati, Fitrijani Anggraini
1-4
5-12
13-23
24-32
Peningkatan Fungsi Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu - Improved Function Place of Integrated Waste Management Aryenti, Sri Darwati
33-39
Karakteristik Ruang Tradisional pada Desa Adat Penglipuran, Bali - Characteristic of Traditional Space in the Traditional Village of Penglipuran, Bali I Putu Agus Wira Kasuma, Iwan Suprijanto
40-50
Parameter untuk Menyusun Stratifikasi Penghasilan, Studi Kasus : Kecamatan Ngampilan Kota Yogyakarta - Parameter for Stratified Incomes, Case Study of Ngampilan Sub-Dustrict, Yogyakarta City Heni Suhaeni Katalog dan Abstrak
51-57 58-61
Indeks Subjek
62
ii
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 1-4
SIFAT FISIS DAN MEKANIS BAMBU LAMINASI BAHAN BERBENTUK PELUPUH (ZEPHYR) DENGAN PENAMBAHAN METANOL SEBAGAI PENGENCER PEREKAT Physical and Mechanical Properties of Zephyr-Shaped Laminated Bamboo with Addition of Methanol as Adhesive Diluents 1Dany 1, 2Pusat
Cahyadi, 2Anita Firmanti, 3Bambang Subiyanto
Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan - Kabupaten Bandung 40393 3Pusat Inovasi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta Selatan ¹E-mail :
[email protected] ²E-mail :
[email protected] ³E-mail :
[email protected] Diterima : 16 November 2011 ; Disetujui : 13 Maret 2012
Abstrak Penelitian bambu laminasi dengan menggunakan bahan berbentuk pelupuh (zephyr) dengan menggunakan perekat thermosetting yang artinya menggunakan kempa panas telah banyak dilakukan. Tetapi teknologi pembuatan bambu laminasi dengan menggunakan kempa dingin belum banyak dilakukan terutama berbahan baku bambu berbentuk pelupuh dengan menggunakan perekat poly urethane. Salah satu masalah penggunaan perekat ini adalah kekentalannya yang cukup tinggi sehingga menyulitkan pada proses pelaburan perekat pada bambu. Untuk mengatasi hal tersebut, dilakukan penelitian pembuatan bambu laminasi berbahan bambu berbentuk pelupuh yang dalam proses pembuatannya menggunakan perekat water based polymer-isocyanate (Koyobond) yang diencerkan dengan metanol. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penambahan metanol terhadap sifat fisis dan mekanis bambu laminasi berbahan bambu berbentuk pelupuh. Dalam pembuatan panel bambu komposit dengan ukuran 85 cm x 40 cm x 5 cm dengan variasi berat labur 150 g/m2, 200 g/m2, dan 250 g/m2, serta variasi kadar metanol 1%, 3%, dan 5% dari berat perekat. Kemudian dilakukan pengujian sifat fisis dan mekanis. Hasil pengujian menunjukkan bahwa penambahan metanol dapat menurunkan penyerapan air dan pengembangan tebal, dan dapat meningkatkan sifat mekanisnya. Kata Kunci : Bambu laminasi, kempa dingin, pelupuh, polyurethane, metanol
Abstract The Research on zephyr-shaped laminated bamboo with thermosetting adhesives has been widely conducted. But laminated bamboo technology with cold press has not been widely conducted especially made from zephyr-shaped bamboo using polyurethane adhesive. Problem occurred using this adhesive that it has a very high viscosity, making it hard on the process of resurfacing the adhesive on the bamboo. To overcome this, the research carried out making laminated bamboo made from zephyr-shaped bamboo which in the manufacturing process uses water based polymer-isocyanate adhesive (Koyobond) diluted with methanol. The purpose of this study is to determine the effect of addition of methanol to the physical and mechanical properties of laminated bamboo from zephyr-shaped bamboo. In the manufacture of bamboo composite panels with a size 85 cm x 40 cm x 5 cm with a variation of adhesive weight surfacing 150 g/m2, 200 g/m2 and 250 g/m2, and the variation of methanol content of 1%, 3%, and 5% by weight adhesives. Then do the physical and mechanical properties testing. Test results showed that the addition of methanol may decrease the absorption of water and the thickness swelling, and it can improve the mechanical properties. Keywords : Laminated bamboo, cold press, zephyr-shaped, polyurethane, methanol
PENDAHULUAN Saat ini kayu yang berkualitas semakin sulit diperoleh di pasaran, sehingga perlu dicari bahan baku alternatif lain sebagai penggantinya. Bambu adalah salah satu jenis tanaman yang dapat digunakan, karena selain mempunyai masa panen hanya 3 sampai 5 tahun, potensinya cukup besar di beberapa daerah dan bersifat renewable resources
serta sangat sesuai dengan kebutuhan industri. Beberapa aspek sifat bambu lebih baik daripada kayu, tetapi bambu memiliki kekurangan untuk digunakan sebagai bahan konstruksi secara langsung (Firmanti, 1996). Kemajuan teknologi saat ini memungkinkan untuk dapat mengolah bahan bambu menjadi balok mirip kayu dengan kekuatan yang tinggi. 1
Sifat Fisis dan Mekanis … (Dany C., Anita F., Bambang S.)
Hasil penelitian sebelumnya (Tim Peneliti, 2007) menunjukkan bahwa dengan menggunakan perekat resin (cara pres panas atau dingin) atau semen, dapat dihasilkan suatu suatu bahan bangunan komposit yang mempunyai kekuatan tinggi sehingga dapat menandingi kekuatan kayu. Disamping itu Subiyanto dkk (1995) menyatakan bahwa dengan menggunakan perekat fenol formaldehid dan proses kempa panas menunjukkan bahwa komposit bambu dapat menggantikan kayu karena dapat dibentuk menjadi balok. Sejalan dengan kondisi pemanasan global dan perhatian yang tinggi tentang lingkungan maka perlu upaya untuk menghemat penggunaan energi serta adanya larangan penggunaan bahan yang emisi formaldehidanya tinggi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pembuatan bambu komposit dengan menggunakan perekat yang tidak mengeluarkan emisi gas formaldehida. Salah datu perekat yang tidak mengeluarkan gas emisi dan menggunakan kempa dingin adalah perekat polymer-isocyanate. Kelemahan perekat ini dalam aplikasinya untuk pembuatan bambu komposit adalah kekentalannya yang tinggi sehingga menyulitkan pelaburannya pada bambu berbentuk pelupuh. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan pengencer metanol untuk meningkatkan kinerja produk yang dihasilkan. Penggunaan pengencer metanol didasarkan pada asumsi bahwa metanol tidak bereaksi dengan komponen kimia utama perekat serta dapat menguap pada waktu setelah proses pengempaan (conditioning). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat fisis dan mekanis bambu laminasi sistem pelupuh dengan menggunakan perekat yang diencerkan dengan metanol.
BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bambu tali segar dibelah dan dibuat pelupuh (zephyr) dengan menggunakan mesin bamboo crusher. Bambu berbentuk pelupuh kemudian dikeringkan dengan pengeringan alami sampai mencapai kadar air 20%. Bambu pelupuh yang kering kemudian dimasukkan dalam mesin glue spreader untuk mencampurkan perekat. Perekat yang digunakan adalah perekat water based polymer-isocyanate merk Koyobond dengan penambahan hardener sebesar 15% dari perekat. Berat labur perekat divariasikan dari 150, 200, dan 250 g/m2. Untuk pengencerannya dalam perekat ditambahkan metanol yang divariasikan dari 1, 3
2
dan 5% dari berat perekat. Panel bambu komposit dibuat dengan ukuran 85 cm x 40cm x 5 cm. Target kerapatan panel adalah 0,7 g/cm3. Pelupuh yang sudah dicampur perekat disusun secara sejajar serat untuk semua lapisan, kemudian dimasukkan ke dalam kempa dingin dengan kiri kanannya diberi pengganjal setebal 5 cm, kemudian dikempa dengan tekanan 30 kgf/cm2 selama 10 menit dan diklem selama 24 jam. Bambu laminasi dikeluarkan dari klem dan dikondisioning selama 2 minggu kemudian di uji sifat fisis dan mekanisnya. Sifat fisis yang diuji adalah kerapatan, kadar air, penyerapan air dan pengembangan tebal berdasarkan SNI 03-2105-2006 tentang papan partikel. Sedangkan untuk sifat mekanis yang diuji adalah kuat lentur berdasarkan SNI 03-3959-1995 tentang metode pengujian kuat lentur kayu di laboratorium, kuat rekat dan kuat cabut sekrup berdasarkan SNI 03-2105-2006 tentang papan partikel. Untuk analisis data, pada semua contoh uji dilakukan pula pengujian kerapatan dan hasil yang diperoleh diekstrapolasikan terhadap kerapatan target.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari target kerapatan 0,7 g/cm3 diperoleh kerapatan bambu komposit lebih rendah dan atau sama dengan target kerapatan yaitu berkisar antara 0,6-0,7 g/cm3. Sedangkan dari hasil pengujian kadar air pada balok bambu komposit terlihat bahwa pada semua perlakuan berat labur dan kadar metanol, hasil uji kadar air berkisar antara 10 – 14 %, hal ini menunjukkan bahwa kadar bambu komposit yang dihasilkan memiliki kadar air dibawah 15% sehingga masih memenuhi persyaratan teknis sebagai bahan struktural untuk dilakukan pengujian sifat fisis dan mekanis lainnya (RSNI 3, 2002 (PKKI NI-5)). Berat labur perekat dan kadar metanol mempengaruhi daya serap air bahan komposit yang dibuat sebagaimana terlihat pada gambar 1. Semakin tinggi berat labur menunjukkan semakin rendah daya serap air. Begitu pula semakin tinggi kadar metanol semakin rendah daya serap air. Hal tersebut dapat dimengerti karena dengan semakin banyaknya perekat yang menutupi bagian bambu maka semakin kedap komposit yang dibuat. Semakin tinggi kadar metanol semakin encer perekat sehingga semakin mudah diserap oleh bambu. Semakin rendah daya serap air menunjukkan semakin baik perekat untuk masuk ke dalam serat bambu.
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 1-4
A
Gambar 2 Hasil Pengujian Keteguhan Lentur (MOE)
B
Gambar 1 Hasil Pengujian Pengembangan Tebal (B)
Penyerapan
Air
(A)
dan
Begitu pula yang terjadi pada pengujian pengembangan tebal, pada gambar 1 terlihat semakin tinggi berat labur dan kadar metanol maka semakin rendah pengembangan tebal yang terjadi pada bambu komposit. Hasil pengujian modulus elastisitas lentur (MOE) dan kuat lentur patah (MOR) pada balok bambu komposit masing-masing dapat dilihat pada gambar 2 dan 3. Dari gambar terlihat dengan bertambahnya berat labur serta penambahan metanol dapat meningkatkan modulus elastisitas lentur (MOE) dan kuat lentur patah (MOR) pada balok bambu komposit. Modulus elastisitas lentur (MOE) maksimum yang dicapai yaitu sebesar 80.000 kgf/cm2 pada variasi campuran berat labur 250 g/m2 dan kadar metanol 5%. Nilai MOE minimum yang dipersyaratkan dalam standar tata cara perencanaan konstruksi kayu Indonesia (RSNI 3, 2002) untuk kuat acuan E10 adalah sebesar 90.000 kgf/cm2. Sedangkan untuk kuat lentur patah (MOR) sebesar 404 kgf/cm2 pada variasi campuran berat labur 250 g/m2 dan kadar metanol 5% telah memenuhi syarat MOR untuk kayu bangunan kuat acuan E17 yaitu sebesar 380 kgf/cm2. MOE dan MOR balok bambu komposit masih lebih baik dari penelitian sebelumnya, penelitian bambu paralam dengan cara celup dan berat labur 26% menghasilkan nilai MOE sebesar 15.723 kgf/cm2 dan nilai MOR sebesar 364,784 kgf/cm2 (Nurliana, 2007).
Gambar 3 Hasil Pengujian Keteguhan Lentur Patah (MOR)
Hasil pengujian kuat rekat balok bambu komposit dapat dilihat pada gambar 4. Dari gambar ini terlihat bahwa semakin banyak kadar metanol semakin tinggi kuat rekatnya, tetapi nilai kuat rekat maksimumnya sebesar 1,5 kgf/cm2, dimana nilai ini masih berada di bawah persyaratan teknis yang mensyaratkan kuat rekat minimun sebesar 3,1 kgf/cm2 (SNI 03-2105-2006). Kerusakan yang terjadi pada benda uji saat di tarik paling banyak terjadi pada bagian daging dari bambu, sedangkan bagian rekatan antar lapisan bambu masih kuat. Hal ini menunjukkan bahwa berat labur diterapkan pada penelitian ini masih kurang karena luas permukaan bambu berbentuk pelupuh lebih luas dari pada permukaan bambu yang berbentuk bilah.
Gambar 4 Hasil Pengujian Kuat Rekat (Internal Bond)
Dari hasil pengujian kuat cabut sekrup terlihat bahwa kuat cabut sekrup sejajar serat lebih kuat
3
Sifat Fisis dan Mekanis … (Dany C., Anita F., Bambang S.)
dari pada kuat cabut sekrup tegak lurus serat seperti yang disajikan pada masing-masing gambar 5 dan 6. Kuat cabut sekrup maksimum sebesar 150 kgf dengan berat labur 200 g/m2 dan kadar metanol 5%.
sebesar 150 kgf dimana kuat cabut sekrup sejajar serat lebih kuat dari pada kuat cabut sekrup tegak lurus serat. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk meningkatkan sifat mekanis bambu komposit dengan meningkatkan jumlah berat labur perekat.
DAFTAR PUSTAKA
Gambar 5 Hasil Pengujian Kuat Cabut Sekrup Tegak Lurus Serat
Gambar 6 Hasil Pengujian Kuat Cabut Sekrup Sejajar Serat
KESIMPULAN Dapat disimpulkan bahwa penambahan metanol sebagai pengencer perekat dapat meningkatkan sifat fisis dan sifat mekanis bambu laminasi dengan bahan baku bambu berbentuk pelupuh (zephyr). Semakin tinggi kadar metanol yang ditambahkan maka semakin rendah daya serap air dan pengembangan tebal bambu laminasi. Pada sifat mekanis, kuat lentur maksimum yang dicapai yaitu sebesar 80.000 kgf/cm2 pada variasi campuran berat labur 250 g/m2 dan kadar metanol 5%, kuat rekat maksimum yang tercatat sebesar 1,5 kgf/cm2 masih berada di bawah persyaratan teknis yang mensyaratkan kuat rekat minimum sebesar 3,1 kgf/cm2, kuat cabut sekrup maksimum
4
Felix Yap, K. H., 1979, Bambu sebagai Bahan Bangunan, Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan, Bandung. Firmanti A., 1996. Pengawetan dengan Metode Gravitasi. Jurnal Penelitian Permukiman Vol. XII. Bandung. Nurliana, 2007. Sifat Fisis dan Mekanis Parallam dan Bambu Lapis dari Bambu Tali (Gigantochtoa apus (BI.ex Schult.f.) Kurz) dengan Menggunakan Perekat Koyobond. Skripsi, Universitas Winaya Mukti, Jatinangor. Subiyanto, Bambang dan Subyakto. Teknologi Pembuatan Bambu Komposit sebagai Pengganti Kayu. Prosiding Seminar Teknik Kimia “Energi & Lingkungan”, Surabaya 13 Nopember 1995. Subiyanto, Bambang, Kurnia Damayanti, Sudijono, Mohamad Gopar. Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Tali (Gigantochloa apus Kurz) Setelah Diberi Perlakuan Rendaman. Prosiding Seminar Nasional III Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia, Jatinangor. 23-22 Agustus 2000. Subyakto, Bambang Subiyanto, Sudijono, Yanni Sudiyani, Wahyu Dwianto, dan Mohamad Gopar. Pengembangan Papan Bambu Komposit. Prosiding Seminar Ilmiah Hasilhasil Penelitian Puslitbang Fisika Terapan LIPI. Serpong 4-5 Mei 1993. Tim Peneliti, 2007. Inovasi Teknologi Bambu dan Kayu Cepat Tumbuh sebagai Bahan Bangunan Alternatif untuk Mendukung Pembangunan Perumahan. Laporan Akhir, Pusat Litbang Permukiman, Bandung. -------. 2002. Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI NI-5). RSNI-3. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. -------. 2006. Papan Partikel. SNI 03-2105-2006. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 5-12
ANALISIS PENGEMBANGAN UNIT PRODUKSI CONBLOCK DAN PAVING BLOCK BERBASIS LIMBAH BATUBARA DALAM RANGKA MENDUKUNG PEMBANGUNAN RUMAH MURAH Development of Production Unit of Conblock and Paving Block Using Waste from Burnt Coal to Support the Supply of Low-Cost Housing 1Anita
Firmanti, 2Aventi, 3Dany Cahyadi, 4Aan Sugiarto, 5Bambang Sugiharto, 6Bambang Subiyanto
1, 2, 3, 4, 5
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan-Kabupaten Bandung 40393 6 Pusat Inovasi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta Selatan ¹E-mail :
[email protected] 2E-mail :
[email protected] 3E-mail :
[email protected] 4E-mail :
[email protected] 5E-mail :
[email protected] 6E-mail :
[email protected] Diterima : 24 Februari 2012 ; Disetujui : 22 Maret 2012
Abstrak Fly-ash dan bottom ash yang merupakan hasil samping (by-product) pada pembakaran batubara untuk energi dapat dimanfaatkan untuk conblock maupun paving block yang memenuhi SNI. Selain dilakukan validasi terhadap kualitas produk yang dihasilkan, untuk mengetahui kelayakan juga dilakukan analisis pasar, analisis keekonomian dan finansial serta dilakukan analisis lingkungan pengembangan conblock dan paving block yang diproduksi dengan peralatan semi masinal maupun full-machinal. Hasil analisis pasar menunjukkan bahwa unit produksi bahan bangunan yang dikembangkan sangat prospektif terutama bila dikaitkan dengan kebutuhan pembangunan rumah dan jalan lingkungan. Berdasarkan analisis NPV, IRR, BEP dan PI diketahui bahwa unit produksi bahan bangunan yang dikembangkan terutama yang dengan fullmachinal sangat menguntungkan. Hasil analisis lingkungan menunjukkan bahwa beton/bata fly-ash atau bottom ash tidak berbahaya yang didukung pula dari nilai uji TCLP yang menunjukkan nilai terlarut di bawah baku mutu yang disyaratkan. Kata Kunci : Conblock, paving block, fly-ash, bottom ash, feasibility study
Abstract Fly-ash and bottom ash as by product of fired coal in industry could be utilized as concrete block and paving block that comform to Indonesian National Standard (SNI). Beside validation of the product to the previous research, the feasibility study on the development of conblock and paving block with semi-machinal and fullmachinal have been conducted through market analysis, economy and financial analysis as well as environmental analysis. Based on the market analysis, the data showed that development of building materials using fly-ash or bottom ash in related to housing and road development is a prospective project. The NPV, IRR, BEP and PI analysis gave a figure that such developed unit is beneficial especialy the one using full-machinal production system. Environmental analysis showed that concrete block or brick made of fly-ash or bottom ash is classified as non-hazardous material supported by the data of TCLP. Keywords : Concrete block, paving block, fly-ash, bottom-ash, feasibility study
PENDAHULUAN Melalui berbagai kebijakan yang dilatarbelakangi semakin menipisnya ketersediaan bahan bakar minyak, pemerintah memberikan dorongan untuk menggantikan bahan bakar minyak menjadi bahan bakar batubara pada industri. Pada tahun 2005 penggunaan batubara sebagai bahan energi pada PLTU saja mencapai 25,13 juta ton dan secara
keseluruhan mencapai 35,34 juta ton (Puslitbang Tekmira, 2006). Kontribusi batubara untuk energi listrik dan energi campur menurut Suryatono (2004) diperkirakan akan terus meningkat dan pada tahun 2015 diperkirakan mencapai 57 juta ton untuk energi listrik dan 70 juta ton untuk energi campur. Pembakaran batu bara untuk energi menghasilkan limbah yang dikenal sebagai fly-ash dan bottom-ash. Pemanfaatan fly-ash yang 5
Analisis Pengembangan Unit … (Anita F., Aventi, Dany C., Aan S., B. Sugiharto, B. Subiyanto.)
merupakan limbah sebagai bahan bangunan akan dapat mengurangi pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan dan juga menghemat penggunaan energi. Penggunaan 25% fly-ash untuk campuran semen dapat menghemat energi sebanyak 20% sedangkan bahan pozolan kapur menghemat energi hingga 75% (Jha & Prasad, 2011). Di PT PLN Tanjung Jati B saat ini dihasilkan tidak kurang dari 40.000 ton fly-ash dan bottomash dan akan meningkat secara signifikan dalam waktu tidak terlalu lama. Limbah berupa fly-ash dan bottom-ash tersebut apabila tidak dimanfaatkan akan menumpuk dan dapat mencemari lingkungan (Pusat Litbang Permukiman, 2010). Di sisi lain, berbagai studi telah dilakukan untuk memanfaatkan fly-ash maupun bottom-ash sebagai bahan bangunan. Pusat Litbang Permukiman telah memulai pemanfaatan fly-ash sebagai bahan bangunan sejak tahun 1987. Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa fly-ash dapat dimanfaatkan sebagai bahan pozolan yang dapat dicampur dengan semen dan agregat dalam pembuatan komponen bangunan seperti bata beton dan produk lain maupun sebagai bahan campuran semen. Secara teknis-teknologis pemanfaatan fly-ash sebagai bahan bangunan tidak terlalu rumit dan dapat dilakukan oleh industri besar maupun kecil. Dikaitkan dengan kebutuhan rumah yang sangat besar saat ini dimana menurut BPS back-log pembangunan rumah mencapai 11,2 juta unit pada tahun 2011 dan kebutuhan rumah per tahun tidak kurang dari 800 ribu unit, maka upaya pemanfaatan fly-ash sebagai bahan bangunan akan dapat mendukung upaya penghematan sumberdaya alam yang besar. Namun, dalam PP Nomor 85 Tahun 1999 tentang limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), fly-ash dan bottom-ash masuk dalam kategori limbah B3 karena mengandung oksida logam berat yang akan mengalami pelindihan secara alami dan mencemari lingkungan (PP Nomor 85 tahun 1999). Dengan adanya jumlah limbah pembakaran batubara berupa fly-ash dan bottom-ash yang cukup besar yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan sementara kebutuhan pembangunan rumah sangat tinggi, maka diperlukan adanya kajian teknis-ekonomis serta lingkungan di daerah sekitar pembangkit listrik yang menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya. Untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif maka kajian ini difokuskan untuk daerah di sekitar PLN Tanjung Jati B-Jepara. Kegiatan pengkajian ini meliputi validasi teknis teknologis, keekonomian, pembiayaan juga analisis terhadap lingkungan. Hasil validasi teknis berupa hasil uji kuat tekan conblock yang dikembangkan 6
dengan menggunakan komposisi campuran 1:6, 1:8 dan 1:10 masuk dalam klasifikasi conblock kelas II, III dan IV secara berurutan (SNI 03-0349-1989). Sedangkan hasil uji paving block dengan komposisi 1:3, 1:4 dan 1:5 masuk dalam kategori B, C dan D (SNI 03-0691-1996). Pada penelitian ini nilai pada perbandingan nilai 1 merupakan jumlah semen dengan variasi agregat yang terdiri atas campuran pasir dan fly-ash dan bottom-ash (Pusat Litbang Permukiman, 2011). Berdasarkan hasil validasi teknis di atas yang telah memenuhi standar, maka dilanjutkan kajiannya untuk validasi ekonomisnya. Oleh karena itu pada karya tulis ini pembahasan dititikberatkan pada analisis keekonomian dan lingkungan. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui kemanfaatan teknis-ekonomis termasuk dampak lingkungan dari pemanfaatan fly-ash sebagai bahan bangunan,
METODE PENGKAJIAN Sebagaimana diuraikan di atas bahwa unit produksi bahan bangunan berbasis fly-ash yang dikembangkan memanfaatkan bahan baku dari PT. PLN Tanjung Jati B di Jepara, data yang diperlukan pada kajian ini didapatkan dengan melakukan survei di Kabupaten Jepara. Dengan ketentuan bahwa perhitungan pemasaran dibatasi hingga 80 km dari Kabupaten Jepara. Analisis Pasar Dalam pengembangan bahan bangunan, diperlukan data perkiraan kebutuhan bangunan di lokasi studi. Untuk memperkirakan kebutuhan bahan bangunan dilakukan survei di daerah sekitar Jepara. Data dikumpulkan melalui pengumpulan data sekunder dari buku Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2010, data yang diambil adalah jumlah rumah tangga dan jumlah rumah yang terbangun. Untuk setiap kabupaten/kota berdasarkan data statistik yang ada, kebutuhan rumah dihitung berdasarkan jumlah rumah tangga dikurangi jumlah rumah. Perhitungan kebutuhan dalam jangka panjang dihitung berdasarkan akumulasi angka pertumbuhan penduduk di berbagai kota/kabupaten yang berjarak kurang dari 80 km dari Jepara. Selain dilakukan analisis perkiraan kebutuhan rumah, untuk mendapatkan gambaran kompetitor produk yang akan dikembangkan dilakukan pengambilan contoh produk berupa conblock dan paving block yang sudah ada di pasaran di setiap kota/kabupaten. Lokasi pengambilan contoh ditentukan berdasarkan data dari perindustrian yang dilengkapi dengan pertimbangan wilayah tengah, bagian utara, selatan, barat dan timur. Pada setiap lokasi diambil produk sebanyak 3 buah
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 5-12
produk berupa conblock dan paving block secara acak dan dilakukan pengujian kuat tekan di laboratorium. Disamping itu dilakukan pula survei untuk pengumpulan data harga, jumlah produksi, asal bahan baku. Analisis Keekonomian Kelayakan ekonomi pengembangan bahan bangunan lokal berbasis fly-ash mencakup penyusunan anggaran investasi, struktur dan sumber pembiayaan proyek yang akan dibangun, perkiraan jumlah standar biaya produksi, kemampuan proyek menghasilkan keuntungan dan analisis break event point. Hasil dari analisis kelayakan ekonomi selanjutnya diujicobakan untuk unit produksi semi masinal dan full-machinal. Untuk melengkapi, analisis juga dilakukan bila dukungan finansial yang akan dikembangkan menggunakan model koperasi atau Kelompok Usaha Bersama dari industri bahan bangunan yang diaplikasikan secara konvensional pada pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Metode untuk mengetahui apakah pengembangan bahan bangunan dari fly-ash ini menguntungkan atau tidak digunakan metode discounted cash-flow dimana nilai waktu uang diperhatikan dengan menghitung (Sutojo, 2000) : 1. Net present value (NPV); 2. Internal rate of return (IRR); 3. Profitability index (PI). Dari nilai NPV, IRR dan PI dapat ditentukan apakah suatu proyek sebaiknya dilaksanakan atau tidak. Proyek tidak layak bila memiliki nilai NPV negatif, IRR lebih kecil daripada tingkat bunga pinjaman dan PI lebih kecil daripada 1 (Haming dan Basalamah, 2010). Dalam analisis kelayakan proyek perlu dilakukan perhitungan break event point (BEP) untuk mengetahui mulai kapan proyek mencapai suatu kondisi tidak merugikan sekaligus tidak menguntungkan. Analisis Lingkungan Mengingat bahwa limbah batubara dikategorikan sebagai limbah B3 maka dilakukan pula uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP). Kajian lingkungan dilengkapi kajian literatur peraturan tentang penggunaan fly-ash pada bangunan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan kajian dari peta Jawa Tengah maka kota-kota yang terpilih untuk lokasi studi ini adalah Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Rembang. Prospek Pemasaran Produk Dalam membangun rumah, kebutuhan akan bahan bangunan menempati biaya yang tertinggi dari
biaya konstruksi. Berdasarkan data hasil studi diketahui bahwa di negara berkembang biaya untuk bahan bangunan menempati tidak kurang dari 70% biaya konstruksi rumah tinggal dengan bagian terbesarnya untuk dinding (Turin, 1969). Dari berbagai studi terdahulu diketahui bahwa masyarakat pada umumnya masih menyukai konstruksi pasangan (masonry building) terutama dengan bata merah dibandingkan dengan konstruksi lainnya karena faktor sosial budaya (Ministry of Construction Japan, 1988). Mengingat bahan untuk pembuatan bata adalah tanah liat yang merupakan bahan alam yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable material) serta dengan kebutuhan pembangunan yang terus meningkat, maka ketersediaan bahan baku untuk pembuatan bata merah terus berkurang sehingga harga bata merah semakin mahal. Bata beton (conblock) merupakan bata yang terbuat dari campuran semen dan pasir yang penggunaannya dapat menggantikan bata merah. Analisis yang dilakukan oleh Pusat Litbang Permukiman pada awal-awal pengembangan conblock di Indonesia untuk pembangunan rumah Perum Perumnas diketahui bahwa harga dinding dengan conblock lebih ekonomis dibandingkan dengan dinding bata merah (Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan, 1987). Untuk dapat mengetahui kebutuhan conblock di masamasa mendatang telah dilakukan analisis berdasarkan data yang tertera dalam Buku Daerah Dalam Angka Pemerintah Propinsi Jawa Tengah (2011). Data statistik jumlah rumah tangga di Kabupaten dan Kota sekitar Jepara dapat dilihat pada tabel 1. Kabupaten dan kota-kota yang ada di sekitar Jepara dapat dikatakan hampir merata jumlah rumah tangganya kecuali Kabupaten Semarang dan Kabupaten Pati. Tabel 1 Jumlah Rumah Tangga di Wilayah Jepara dan Sekitarnya Tahun 2007 2008 2009 Jepara 274624 275937 285516 Kendal 248698 254781 264067 Semarang 352929 373920 413806 Kudus 182466 183672 185400 Pati 334182 341002 347961 Rembang 156412 159151 162057 Total 1549311 1588463 1658807 Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka (2011) Kabupaten
Untuk memperkirakan jumlah kebutuhan bahan dinding untuk pembangunan rumah di masa mendatang, berdasarkan jumlah rumah tangga di atas dan dibandingkan dengan rumah yang sudah ada, dilakukan analisis regresi dengan hasil sebagaimana terlihat pada gambar 1. Dari gambar 1 tersebut terlihat bahwa prediksi jumlah rumah tangga di kota/kabupaten sekitar Jepara
7
Analisis Pengembangan Unit … (Anita F., Aventi, Dany C., Aan S., B. Sugiharto, B. Subiyanto.)
Bila diperkirakan rumah yang dibangun adalah rumah sederhana tipe 36 (sebagaimana amanat Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman Nomor 1 tahun 2011) dan dari jumlah rumah yang dibangun 20 % menggunakan conblock, maka pada tahun 2014 potensi pasar yang ada sebesar 272.677.120 buah.
Jumlah Rumah Tangga
Untuk paving block, perhitungan kebutuhan didasarkan pada panjang jalan lingkungan yang ada. 440000 435000 430000 425000 420000 415000 410000 405000 400000 395000 390000 385000
y = 20735x + 370717 R² = 0,972
y = 6098,8x2 - 3660,6x + 391046 R² = 1
0
2007 1
2008 2
2009 3
2010
4
Tahun
Tabel 2 Panjang Jalan Lingkungan di Kabupaten Sekitar Jepara No
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6
Panjang jalan (km)
Jepara Demak Semarang Kudus Pati Rembang Total Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka (2011)
740,38 426,51 638,52 482,38 542,90 776,12 3606,81
Kompetitor dari Produk yang Akan Dikembangkan Untuk mengetahui kompetitor dari produk yang dikembangkan telah dilakukan survei terhadap kinerja conblock dan paving block di Jepara dan sekitarnya. Hasil pengujian conblock dan pembandingannya terhadap kuualitas produk conblock yang dikembangkan dicantumkan pada histogram pada gambar 2. Kuat tekan (kgf/cm2)
berkembang mengikuti trend kwadratik daripada linear dengan memperhatikan nilai koefisien determinasi yang lebih tinggi yaitu r2 = 1. Diperkirakan pada tahun 2014 mendatang jumlah rumah yang harus dibangun sebesar 852.116 unit.
60 50 40 30 20 10 0
Gambar 1 Jumlah Rumah yang Harus Dibangun di Kabupaten Sekitar Jepara
Pembangunan jalan lingkungan di perkotaan sebagian besar menggunakan paving block karena jalan dengan paving block lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan jalan beraspal. Pada jalan lingkungan yang menggunakan paving block air hujan masih dapat meresap ke dalam tanah sehingga surface run-off dapat dikurangi. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka diasumsikan bahwa 50 % trotoar jalan kota selebar 2 m dibangun dengan menggunakan paving block maka kebutuhan paving block secara keseluruhan adalah : Jumlah luasan jalan yang potensial menggunakan paving block = 0,5 x 3.606.810 x 2 = 3.606.810 m2 Jumlah kebutuhan paving block = 3.606.810 x 28 = 100.990.680 buah
8
Asal Conblock Gambar 2 Kuat Tekan Conblock dari Kabupaten Sekitar Jepara Dibandingkan dengan Conblock yang Dikembangkan Keterangan : Alternatif 1, 2 dan 3 Hasil Validasi Teknis (Pusat Litbang Permukiman, 2011).
Dari histogram tersebut terlihat bahwa kualitas conblock yang ada di pasaran kualitasnya jauh lebih rendah daripada yang dikembangkan baik untuk yang menggunakan campuran 1:6; 1:8 maupun 1:10. Sedangkan untuk paving block, hasil pengujian kualitas paving block di pasaran sangat beragam untuk setiap kabupaten/kota yang merupakan lokasi studi. Gambar 3. memperlihatkan histogram kualitas paving block yang ada di pasaran maupun yang dikembangkan. Harga conblock di pasaran berkisar antara Rp. 2.900,- - Rp. 3.100,- perbuah.
Kuat tekan (kgf/cm2)
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 5-12
250 200 150 100 50 Jepara low Jepara high Demak low Demak high Semarang low Semarang high Pati low Pati high Kudus low Kudus high Rembang low Rembang high Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif33
0
Asal Paving block Gambar 3 Kuat Tekan Paving Block dari Kabupaten Sekitar Jepara Dibandingkan dengan Paving Block yang Dikembangkan Keterangan : Alternatif 1, 2 dan 3 Hasil Validasi Teknis (Pusat Litbang Permukiman, 2011)
Dari gambar 3 terlihat bahwa hanya di Rembang dan Demak diperoleh paving block yang memiliki kekuatan di atas kekuatan paving block yang dibuat dari campuran semen dan agregat 1:5. Sedangkan di lokasi lain semua paving block yang ada di pasaran lebih rendah daripada paving block yang dikembangkan dengan campuran semen dan agregat 1:5; 1:4 dan 1:3. Dengan adanya data tersebut maka dapat dikatakan bahwa paving block yang dikembangkan memiliki kompetitor yang lemah. Paving block yang ada di pasaran berharga Rp. 30.000,- - Rp. 40.000,- per m2 (28-29 buah). Aspek Teknis Produksi Conblock dan Paving Block dari Bahan Berbasis Fly-ash Berdasarkan hasil validasi terhadap teknologi produksi conblock dan paving block yang memanfaatkan fly-ash (Pusat Litbang Permukiman, 2011) diperoleh data bahwa fly-ash dari PT. PLN Tanjung Jati B yang diambil dari tempat penyimpanan limbah di lapangan lebih baik berfungsi untuk agregat dibandingkan sebagai pengganti sebagian semen. Hasil validasi tersebut juga menunjukkan bahwa komposisi agregat yang terdiri atas pasir : fly-ash : bottom-ash sebesar 20% : 40% : 20% merupakan campuran yang terbaik. Sebagaimana terlihat pada gambar 2 dan gambar 3 di atas bahwa alternatif 3 untuk conblock maupun paving block menunjukkan kekuatan yang lebih baik daripada yang ditemukan di pasir dan juga masih memenuhi standar SNI maka dalam pembahasan aspek ekonomi akan menggunakan alternatif 3 yaitu campuran semen : agregat untuk conblock 1: 10 dan untuk paving block 1 : 5. Terdapat tiga pilihan teknologi untuk menghasilkan conblock dan paving block, yaitu teknologi produksi conblock dan paving block
secara manual hanya dengan tenaga manusia, teknologi semi masinal menggunakan tenaga listrik untuk pencampuran dan pengepresan namun masih menggunakan tenaga manusia untuk proses lainnya dan yang terakhir dengan proses fullmachinal artinya menggunakan tenaga listrik untuk seluruh proses baik pencampuran bahan baku, pengepresan maupun handling produknya. Produksi conblock dan paving block secara manual menggunakan alat sederhana dengan kapasitas sekitar 200 buah setiap hari untuk dua orang pekerja. Untuk semi masinal jumlah kapasitas produksinya adalah 1.500-2.000 buah perhari dengan jumlah pekerja 3 orang per mesin sedangkan untuk full-machinal dapat dihasilkan 10.000 buah dengan 6 orang tenaga kerja. Dengan memperhatikan jumlah bahan baku fly-ash yang ada, maka dalam studi ini produksi conblock dan paving block secara manual tidak dipilih dan dibahas dalam karya tulis ini. Analisis Aspek Ekonomi dan Finansial Perhitungan aspek ekonomi dan finansial dilakukan melalui perhitungan investasi untuk bangunan, peralatan dan juga biaya produksi bahan bangunan yang dikembangkan. Dalam perhitungan ini, digunakan biaya untuk produksi selama 3 (tiga) bulan dengan pertimbangan bahwa umur conblock atau paving block yang dikembangkan baru dapat dijual setelah berumur 28 hari. Tidak digunakan perhitungan biaya untuk persediaan lebih lama karena akan menambah harga jual yang jauh lebih besar. Analisis keekonomian untuk bahan yang dikembangkan dilakukan pada bahan bangunan yang dikembangkan dengan alat semi masinal maupun full-machinal. Perhitungan untuk conblock yang diproduksi secara semi masinal dan full-machinal jumlah produksi untuk semi masinal sebanyak 1.500 buah/unit mesin/hari sedangkan fullmachinal sebanyak 9.000 buah perhari. Biaya investasi termasuk modal kerja untuk 3 bulan bagi conblock dengan dua sistem tersebut dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3 Biaya Investasi Produksi Conblock No 1. 2. 3. 4. 5.
Uraian Investasi peralatan (mixer, mesin press, alas dan alat bantu Pematangan tanah dan fondasi Bangunan Instalasi listrik Modal kerja 3 bulan Total
Biaya (x 1.000 rph) Semi Full 131.000 382.000 30.000 45.000 129.600 147.600 20.000 30.000 369.000 1.112.600 679.600 1.711.600
Perhitungan untuk paving block yang diproduksi secara semi masinal dihitung dengan kapasitas produksi 2.000 buah/mesin/hari, sedangkan yang full-machinal sebanyak 4.500 buah perhari. Dalam 1 tahun dihitung sebanyak 300 hari kerja efektif. 9
Analisis Pengembangan Unit … (Anita F., Aventi, Dany C., Aan S., B. Sugiharto, B. Subiyanto.)
Untuk paving block biaya investasinya dapat dilihat pada tabel 4.
harga jual conblock yang ada di pasaran (Rp. 2.900 – Rp. 3.100,-) yang kekuatannya jauh lebih rendah.
Analisis keekonomian dan finansial menggunakan perhitungan :
Dari analisis NPV untuk 9 tahun diketahui bahwa nilai sekarang (present value) pabrik conblock. Baik yang semi masinal maupun full-machinal memiliki nilai positif dengan nilai PV jauh di atas nilai investasi. IRR; yang merupakan tingkat keuntungan senyatanya dari proyek; dengan discount rate sebesar 14 % untuk conblock semi masinal mencapai 30,4 % sedangkan untuk yang full-machinal mencapai 62,2 %. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengembangan bahan bangunan berupa conblock yang memanfaatkan fly-ash dari PT. PLN Tanjung Jati II akan lebih menguntungkan bila menggunakan teknik fullmachinal daripada semi masinal. Hal tersebut juga didukung dari data PI yang menunjukkan nilai lebih besar pada full-machinal dibandingkan dengan semi masinal. Dengan nilai PI yang lebih dari 1 maka dapat dikatakan nilai investasi proyek cukup sehat (Sutojo, 2000). Kekurangan dari sistem full-machinal adalah perlu investasi yang hampir 3 kali semi masinal dan tenaga kerja yang diserap lebih sedikit serta perlu persyaratan khusus bagi operatornya.
Bunga bank : 14 % Biaya sendiri : 25% dari investasi Pinjaman : 75 % dari investasi Tabel 4 Biaya Investasi Produksi Paving Block No
Uraian
1.
Investasi peralatan (mixer, mesin press, alas dan alat bantu Pematangan tanah dan fondasi Bangunan Instalasi listrik Modal kerja 3 bulan Total
2. 3. 4. 5.
Biaya (x 1.000 rph) Semi Full 138.000 382.000 30.000 45.000 129.600 147.600 20.000 30.000 181.500 209.187,5 499.100 721.287,5
Nilai harga jual, NPV, IRR, PI dan BEP untuk semua jenis bahan bangunan dapat dilihat pada tabel 5. Dari tabel tersebut terlihat bahwa conblock yang dibuat dengan semi masinal maupun full-machinal memiliki harga jual setelah keuntungan pabrik 10% dan pajak 10% hampir sama (Rp. 2.150,–Rp. 2.200,-) dan masih lebih rendah daripada
Tabel 5 Hasil Analisis Harga Jual, NPV, IRR, BEP dan PI Produksi Conblock dan Paving Block Berbahan Dasar Limbah Batubara No.
Uraian
Harga Jual (rph)
NPV (rph)
IRR (%)
BEP
PI
1.
Conblock semi masinal
2.160,-
1.212.687. 435,-
679.600.000,-
30,4
4,1
1,78
2.
Conblock full-machinal
2.200,-
6.788.031.620,-
1.711.600.000,-
62,2
3,5
3,96
3.
Paving block semi masinal
895,-
670.605.390,-
499.100.000,-
21,9
3,8
1,34
4.
Paving block full-machinal
995,-
1.534.549.820,-
721.287.500,-
37,5
2,5
2,12
Untuk paving block yang dibuat dengan alat semi masinal lebih murah Rp. 100,- per buah daripada yang dibuat dengan alat full-machinal namun keduanya masih lebih murah daripada harga paving block yang dijual di pasaran (Rp.1.100 – Rp.1.450,-) dengan kekuatan yang jauh lebih rendah (lihat gambar 3). Hasil analisis keekonomian paving block tidak jauh berbeda dengan conblock yaitu unit pengembangan paving block merupakan unit yang menguntungkan dilihat dari NPV untuk discount rate 14 % yang di atas nilai investasi. Dari perhitungan nilai keekonomian terlihat bahwa pengembangan dengan cara full-machinal lebih menguntungkan yang dibuktikan dari nilai IRR yang lebih besar, BEP yang lebih pendek dan nilai PI yang lebih besar pada pengembangan dengan full-machinal dibanding dengan semi masinal. Sebagaimana pada conblock, maka kekurangan pengembangan dengan sistem machinal membutuhkan investasi yang lebih besar, tenaga kerja yang diserap lebih sedikit serta 10
Investasi
membutuhkan khusus.
operator
dengan
persyaratan
Aspek Lingkungan Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 tahun 1999, Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang disempurnakan pada PP Nomor 85 pada tahun yang sama disebutkan bahwa fly-ash dan bottom ash yang merupakan pembakaran batubara untuk industri (D223) masuk dalam kategori B3. Bila suatu bahan masuk dalam kategori B3 maka penanganannya harus sesuai dengan PP Nomor 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan B3. Untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat racun fly-ash telah dilakukan uji TCLP dengan hasil terlihat pada tabel 6. Liu et.al. (2009) melakukan uji emisi merkuri, emisi radon gas, juga uji TCLP dan menyatakan bahwa pada bata yang menggunakan fly-ash tidak ditemukan adanya emisi merkuri, juga tidak ditemukan emisi gas radon, kelarutan polutan yang tidak berarti pada bata yang terkena hujan dan hasil TCLP yang
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 5-12
memasukkan material.
fly-ash
sebagai
non-hazardous
Hasil uji TCLP pada tabel 6 juga memperlihatkan nilai yang jauh lebih kecil daripada baku mutu standar EPA. Pemanfaatan fly-ash dan bottom ash sebagai bahan pengganti semen dalam pembuatan conblock dan paving block akan mengurangi emisi CO2 yang diperlukan dalam pembuatan semen. Sedangkan pemanfaatan keduanya sebagai pengganti agregat dapat mengurangi eksploitasi sumberdaya alam dan mengurangi emisi merkuri dan bahan berbahaya lain yang biasanya terjadi di tempat penyimpanan fly-ash atau bottom ash yang pada umumnya di lapangan terbuka. Adanya manfaat yang cukup banyak, serta adanya bukti bahwa fly-ash dan bottom-ash yang dihasilkan oleh PT PLN Tanjung Jati B masih memenuhi baku mutu yang disyaratkan maka sebaiknya pemanfaatan fly ash dan bottom ash untuk conblock atau paving block dapat diberikan izin. Untuk mengurangi kemungkinan dampak yang timbul sebaiknya prosedur tetap mengikuti PP Nomor 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan B3, namun semua pihak sebaiknya dengan semangat yang sama yaitu sebesar-besarnya manfaat bagi masyarakat luas. Tabel 6 Hasil Uji TCLP Fly-Ash Hasil Analisis (mg /l) Baku Mutu*) PPB-L03 Arsen 0,037 5,0 Barium < 0,5 100,0 Boron < 10 500,0 Kadmium < 0,01 1,0 Kromium 0,08 5,0 Tembaga 0,05 10,0 Timbel 0,05 5,0 Raksa < 0,0001 0,2 Selenium 0,37 1,0 Seng 0,03 50,0 Ket. : PPB-L03 = fly ash, *) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1999 Parameter
Tabel 7 Hasil Uji TCLP Bottom-Ash Hasil Analisis (mg /l) Baku Mutu PPB-L04 Arsen < 0,001 5,0 Barium < 0,5 100,0 Boron < 10 500,0 Kadmium < 0,01 1,0 Kromium 0,03 5,0 Tembaga 0,09 10,0 Timbel < 0,01 5,0 Raksa < 0,0001 0,2 Selenium < 0,001 1,0 Seng 0,27 50,0 Ket : PPB-L04 = bottom ash, *) = Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1999 Parameter
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan India telah mengeluarkan suatu kebijakan terkait dengan upaya pemanfaatan fly-ash yang lebih besar yaitu : 1) untuk area dalam radius 100 km dari pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar batubara, pabrik bata atau batu beton harus
menggunakan fly-ash minimal 25 % dalam produknya; 2) untuk kontraktor pembangunan gedung yang berada dalam radius 50-100 km; pembangkit listrik tersebut maka 100 % pembangunannya harus menggunakan bata/beton yang mengandung fly-ash (Jha & Prasad, 2012).
KESIMPULAN Conblock dan paving block yang dihasilkan dengan menggunakan fly-ash maupun bottom ash memenuhi SNI dan memiliki kekuatan dan sifatsifat yang lebih baik daripada conblock atau paving block yang ada di pasaran. Berdasarkan hasil analisis keekonomian diperoleh data bahwa kedua bahan bangunan yang dikembangkan memiliki harga jual yang lebih rendah sehingga bersaing dengan bahan bangunan yang ada di pasaran. Berdasarkan NPV diketahui bahwa unit produksi bahan bangunan conblock atau paving block yang dikembangkan dengan peralatan semi masinal maupun full-machinal cukup prospektif. Demikian pula hasil analisis nilai PI. Pengembangan bahan bangunan dengan peralatan full-machinal lebih menguntungkan daripada semi masinal namun biaya investasi yang diperlukan jauh lebih besar, penyerapan tenaga kerja lebih sedikit dan memerlukan persyaratan tenaga kerja yang khusus agar produksi berjalan lancar. Hasil uji TCLP menunjukkan bahwa fly-ash dan bottom ash yang ada di PT. PLN Tanjung Jati B jauh di bawah baku mutu yang disyaratkan, beberapa literatur juga menunjukkan bahwa tidak ada emisi merkuri dan gas radon pada bata yang dibuat dengan menggunakan fly-ash, namun sebaiknya pemanfaatannya sebaiknya tetap mengikuti peraturan yang berlaku. Pengembangan bahan bangunan berupa conblock dan paving block yang memanfaatkan fly-ash dan bottom-ash dari PT. PLN Tanjung Jati B sebaiknya segera dapat direalisasikan mengingat manfaat yang ditimbulkan jauh lebih banyak daripada kerugiannya. Dikaitkan dengan kebutuhan akan bahan bangunan yang sangat besar saat ini untuk pembangunan perumahan, sebaiknya semua pihak dan pemangku kepentingan dapat saling sinergis dan mendukung upaya yang lebih banyak manfaatnya daripada kerugiannya.
DAFTAR PUSTAKA Badan Standarisasi Nasional. SNI 03-0349-1989. Bata beton untuk pasangan dinding. Badan Standarisasi Nasional. SNI 03-0691-1996. Bata beton (paving block).
11
Analisis Pengembangan Unit … (Anita F., Aventi, Dany C., Aan S., B. Sugiharto, B. Subiyanto.)
Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan. 1987. Laporan Pengembangan Bahan Bangunan Lokal. Proyek Perintisan Bahan Bangunan Lokal. Haming, M. Basalamah, S. 2010, Studi Kelayakan Investasi Proyek & Bisnis. Penerbit Bumi Aksara. Jha, C.N. Prasad, J.K. 2005, Fly ash : a resource material for innovative building materialIndian perspective. BMTPC. Page 1-9. http://bmtpc.org/pubs/papers/paper4.html Liu, H. Banerji, S,K. Burkett, W.J. and Engelenhoven, J.V. 2009. Environmental properties of fly ash bricks. http://www.greenbuilding.com/corhut/7815 95-flyash-brick-calstrim. Ministry of Construction Japan 1988, Report on overseas development project for research and development on building materials. Tokyo-Japan. Tidak diterbitkan. Pemerintah Prop. Jawa Tengah. 2011, Jawa Tengah Dalam Angka 2010, http://www.jateng.bps. go.id/index. content. php//option.com.:jateng Pemerintah Republik Indonesia. PP Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Pemerintah Republik Indonesia PP Nomor 85 Tahun 1999 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
12
Pemerintah Republik Indonesia PP Nomor 74/2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. Pusat Litbang Permukiman. 2010. Laporan akhir penelitian rumah sederhana bagi masyarakat berpenghasilan menengah. Pemanfaatan limbah batubara sebagai bahan bangunan. Tidak diterbitkan. Pusat Litbang Permukiman. 2011. Laporan akhir model sistem pembangunan rumah sederhana sehat untuk percepatan pemenuhan kebutuhan rumah. Tidak diterbitkan. Pusat Litbang Tekmira. 2006. Batubara Indonesia, Dikompilasi oleh Tim Kajian Batubara Nasional. Kelompok Kajian Batubara Nasional. http://www.tekmira.esdm.go,id/data/files/B atubara%20Indonesia.pdf Suyartono. 2004, Hidup dengan Batubara. Dari Kebijakan Hingga Pemanfaatan, No: 001/IX/ 2001, ISBN: 979-96649-0-X Sutojo, Siswanto. 2000. Studi Kelayakan Proyek, Konsep, Teknik & Kasus. Seri Manajemen Bank Nomor 66. Penerbit PT Damar Mulia Pustaka Turin, D. A. 1969, The Construction Industry : Its Economic Significance and Its Role in Development. University College Research Group. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 13-23
PENGARUH KADAR KEHALUSAN BUTIR TERHADAP KETAHANAN GESER TANAH PASIR VULKANIK Effect of Fine Soils Content of the Volcanic Sand Shear Resistance Silvia F. Herina Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan-Kabupaten Bandung 40393 E-mail:
[email protected] Diterima : 02 November 2011 ; Disetujui : 11 Januari 2012
Abstrak Tanah pasir vulkanik yang merupakan hasil erupsi dari gunung berapi terdapat di hampir seluruh wilayah Indonesia. Tanah ini umumnya berbentuk menyudut, dari tinjauan sifat mekanis faktor ini dianggap menguntungkan terutama bagi kekuatan geser tanah karena posisinya yang seolah bisa saling mengunci. Namun karena partikel pasir yang bisa digolongkan sebagai partikel kasar, pasir murni tetap akan lebih mudah terurai, berdilatasi atau berkontraksi jika mengalami tegangan geser dibandingkan dengan tanah berkaraktersitik lain, seperti clay atau silty clay. Ada beberapa kontroversi pendapat bahwa penambahan kadar butir halus pada pasir dapat meningkatkan kuat gesernya, karenanya penelitian ini selain untuk mengkaji adanya pengaruh butiran halus pada pasir vulkanik juga dimaksudkan untuk mengkaji kontroversi yang ada. Dalam penelitian ini diuji sebelas sampel pasir vulkanik yang berasal dari daerah Srandakan (Bantul, Yogyakarta) dan Gantiwarno (Klaten-Yogyakarta). Pengujian kuat geser dilakukan di laboratorium dengan menggunakan alat triaxial dengan menerapkan beban monotonik tidak teralir (consolidated undrained). Hasil pengujian menunjukkan bahwa pasir vulkanik mempunyai karaktersitik geser yang sama dengan pasir alluvial, penambahan kadar butiran halus dalam tanah pasir vulkanik tidak mempengaruhi kenaikan kuat gesernya, tetapi gradasi yang baik terbukti dapat meningkatkan kuat geser tanah (Sr 1-4; Sr 2-4 ; Sr 3-4 ; Sr 4-4). Karena adanya perbedaan dari beberapa hasil studi terdahulu termasuk kajian ini, disimpulkan bahwa adanya butiran halus dalam tanah pasir, baik itu pasir vulkanik atau alluvial (endapan) belum dapat disimpulkan akan meningkatkan ketahanan geser statis maupun siklik. Beberapa faktor lain harus ditinjau, seperti adanya perbedaan plastisitas tanah atau perbedaan riwayat pada tanah yang mengandung butiran halus. Kata Kunci : Pasir vulkanik, kadar kehalusan butir, kuat geser, gradasi butir, wet tamping
Abstract Volcanic sand which is the result of eruptions of volcanoes are found in almost all parts of Indonesia. The sands is generally shaped angle, from a review of mechanical properties of these factors are considered especially beneficial for soil shear strength due to its position that seemed to be interlocked. However, because the sand particles can be classified as coarse particles, clean sand would be easier dilated or contracted under a shear stress, compared with other characteristics soil, like clay or silty clay. There is some controversy of opinion that the addition of the fine grain of sand levels can increase the shear strength, therefore this study in addition to assessing the influence of fine grains in the volcanic sand is also intended to review the existing controversy. In this study tested a sample of eleven volcanic sand from the area Srandakan (Bantul, Yogyakarta) and Gantiwarno (Klaten-Yogyakarta). Shear strength tests performed in laboratory using triaxial equipment by applying monotonic consolidated undrained. Test results show that the volcanic sand has the same characteristic shear with alluvial sand, additional levels of fine grains in the volcanic sand soil did not affect the increasing of shear strength. Some of the gains obtained by high shear strength soils Sr. 1-4; Sr. 2-4; Sr. 3-4; 4-4 Sr content proved that well graded soil may affect the shear stress resisting of soil. Because of differences in the results of several previous studies including this study, it was concluded that the presence of fine grains of sand in the soil, either volcanic or alluvial sand (sediment) can not be concluded will increase the static and cyclic shear resistance. Several other factors must be considered, such as the existence of differences in soil plasticity, or differences in soil histories of fine grains. Keywords : Volcanic sands, fines content, shear stress, gradation, wet tamping
PENDAHULUAN Tanah vulkanik merupakan hasil erupsi dari gunung berapi yang terdistribusi secara eksklusif
di daerah volcano aktif, biasanya jenis tanah ini mendominasi wilayah sekitar gunung berapi, dan terdapat di hampir seluruh wilayah Indonesia.
13
Pengaruh Kadar Kehalusan … (Silvia F. Herina)
Tanah ini di golongkan dalam dua grup utama yaitu piroklastik (pyroclastic) berupa deposit yang ditembakkan keluar oleh gas pijar yang berkecepatan tinggi, termasuk dalam deposit ini adalah batuan dan pasir, juga batuan scoria (vesiculated scoria), dan partikel-partikel lain, deposit ini terbang tinggi sebelum jatuh ke bumi dalam kondisi dingin. Deposit grup kedua dikenal dengan nama epiclastic yang merupakan semua bahan vulkanik yang dikeluarkan dengan cara mengalir, termasuk debris vulkanik longsoran, mudflows, debris flows, juga lahar, alluvium volcano dan volcanic loess. Kedua grup di atas mengalami resedimentasi, dalam posisi tercampur tanah dari lokasi asal yang dilewatinya atau tertimbun oleh tanah setempat yang bergerak karena suatu getaran atau gerakan lempeng bumi. Partikel butiran pasir yang terdapat pada deposit tanah vulkanik segar pada umumnya berbentuk menyudut, keadaan ini tampak jelas pada pasir deposit piroklastik muda yang belum lama terendapkan. Dari tinjauan sifat mekanis faktor ini dianggap menguntungkan terutama bagi kekuatan geser tanah karena posisinya yang bisa saling mengunci. Namun karena partikel pasir yang bisa digolongkan sebagai partikel kasar, pasir murni tetap akan lebih mudah terurai, berdilatasi atau berkontraksi jika mengalami tekanan dibandingkan dengan tanah berkarakteristik lain, seperti clay atau silty clay. Jika ada gaya geser yang bekerja secara cepat, seperti beban gempa, terhadap lapisan pasir yang ada dalam kondisi jenuh atau dibawah muka air tanah, air pori yang tidak sempat keluar membuat tekanan air pori naik dan menyebabkan tegangan yang dipunyai lapisan tersebut menurun sehingga butiran pasir bergerak dan saling menggelincir. Sebagaimana banyak ditemui, beberapa faktor yang mempengaruhi kuat geser tanah pasir adalah void ratio atau kepadatan relatif, bentuk partikel, distribusi keragaman butir, kekasaran permukaan partikel, air, ukuran partikel, tegangan awal yang pernah diterima. Kuat geser ini memegang peranan penting ketika tanah tersebut akan digunakan sebagai dasar bangunan di daerah yang rawan terhadap gempa ataupun longsoran. Saat kuat geser mencapai batas runtuhnya tanah pasir dapat mencair (liquifaksi), terjadi penyebaran lateral atau menggelincir. Bangunan di atasnya dapat mengalami penurunan, retak dan bahkan runtuh. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji peranan butiran halus dalam deposit pasir vulkanik, serta mengkaji kontroversi pendapat yang ada saat ini. Kajian kuat geser dilakukan dengan pengujian laboratorium menggunakan alat uji Triaxial dan menerapkan metode “terkonsolidasi tidak teralir” (consolidated undrained). 14
TINJAUAN LITERATUR Chang et al (1982) menyusun pendekatan secara sistematis untuk mengevaluasi pengaruh kadar kehalusan butir pada kuat geser siklik dari pasir kelanauan (silty sands), kadar kehalusan diukur dengan penambahan lanau 10% sampai 60% pada pasir. Chang menemukan bahwa sampel yang mempunyai kadar kehalusan (lanau) 10% sampai 30% mempunyai kuat geser yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan pasir yang mengandung 60% lanau. Pengaruh keberadaan butiran halus terhadap kuat geser tanah yang diperoleh Brandon, Th. L.; Clough, G.W.; Rahardjo, P.P., 1990, memberikan hasil yang berbeda. Brandon et al melakukan uji geser terhadap beberapa sampel pasir alluvial dengan kadar kehalusan butir yang berbeda, dan menemukan bahwa penambahan kadar kehalusan butir hampir tidak mempunyai pengaruh terhadap kenaikan kuat geser siklik tanah (gambar 1).
Gambar 1 Kuat Geser Pasir Alluvial vs Kadar Butiran Halus
Meskipun ada beberapa kontroversi, ada beberapa ahli (Chang et al, 1982; Ishihara, K., 1996 dll) yang menyatakan keberadaan butiran halus dalam lapisan pasir dapat mengurangi potensi mencairnya tanah jika mengalami getaran atau menerima gaya geser. Sementara itu dengan mengacu pada hasil uji penetrasi di lapangan, Ishihara, K., 1996 menemukan bahwa pasir bersih dengan kuat geser yang sama, ketahanan penetrasinya lebih kecil dengan adanya penambahan butir halus, dan kenyataannya dengan ketahanan penetrasi yang sama, pasir yang mengandung butiran halus mempunyai kuat geser yang lebih tinggi dibandingkan pasir bersih. Kajian Ishihara ini diilustrasikan pada gambar 2. Beberapa studi lain yang berhubungan dengan kuat geser pasir dan kadar kehalusan butir yang dikandungnya diilustrasikan dalam tabel 1.
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 13-23
Gambar 2 Pengaruh Penambahan Kadar Kehalusan Butir terhadap Ketahanan Penetrasi (N1) dan Kuat Geser Siklik (sumber : Ishihara, K., 1996) Tabel 1 Beberapa Studi Laboratorium Ketahanan Geser Pasir yang Mengandung Butiran Halus Lokasi
Material
Koto A
Sandy silt
Koto A
Silt
Koto B
Silty sand
Suzuki
% Fines
D50 (mm)
IP
Penyiapan Sampel
Void Ratio
τ/σ’o τ/σ’o OCR=1 OCR=2
Konklusi
58
0.061
20
Slurry
0.83-0.85
0.281
0.417
100
0.023
20
Slurry
0.89-1.02
0.281
0.479
15
0.282
N/A
Slurry
0.82-0.90
0.238
Silt
100
0.009
N/A
Slurry
1.40-1.60
0.350
Thsago
Sand
0
0.180
N/A
Slurry
0.82-0.91
0.255
OCR menaikkan tegangan geser, pengaruhnya 0.321 lebih tampak pada tanah 0.478 dengan kadar 0.334 kehalusan tinggi
Owl-Fls
Silty sand
35
0.102
Low Undisturbed
0.75-0.85
0.255
N/A
20.58
N/A
N/A Undisturbed
Referensi
Ishihara et al, 1978
Silty fine Upper S.Fernando Hyd fill
sand
Coarse sand
Lower S.Fernando Silty sand Hyd fill Sumber : Brandon,Th. L et al
0.25
N/A
N/A Undistrubed Dr=51.58%
0.250
N/A
0.05
<0.32
N/A Undisturbed
0.258
N/A
METODE PENELITIAN Sistem Kerja Triaxial Terkonsolidasi Tidak Teralir Untuk memperoleh prediksi ketahanan geser, tanah pasir diuji dibawah beban monotonik terkonsolidasi tidak teralir (Triaxial CU). Dilakukan pengujian CU terhadap 11 sampel uji dari Srandakan (Bantul), Gantiwarno (Klaten).
0.48-0.71
Tidak tampak jelas perbedaannya pada fine silty sand dan clean sand Tidak ada perbedaan
Lee et al, 1975
Hsing and Seed, 1988
Penyiapan sampel yang sebagian besar merupakan tanah pasir lepas dilakukan dengan metoda penempatan secara lembab (wet tamping). Ketentuan dasar yang harus dipenuhi dalam metode ini adalah sampel harus homogen atau void rationya terdistribusi secara seragam. Sel triaxial merupakan silinder transparan dari flexi glass yang diletakkan diantara suatu pelat dasar (base plate) dan top plate. Sistem kerja alat triaxial yang
15
Pengaruh Kadar Kehalusan … (Silvia F. Herina)
digunakan dilengkapi dengan sistem tekanan sel melalui katup c, sistem tekanan balik melalui katub b, sistem tekanan air pori pada bagian bawah sampel melalui katup a, dan katup d yang digunakan untuk melakukan vakum udara. Sumber tekanan berasal dari sebuah kompresor yang
a
dilengkapi dengan regulator tekanan. Alat pengukur tekanan balik dan tekanan sel berupa manometer, untuk pembacaan tekanan air pori yang lebih teliti, digunakan pipa U berskala berisi air raksa (gambar 3).
b
Gambar 3 a. Sketsa Sel Triaxial; b. Sistem Alat Uji Triaxial (Sumber : K.H. Head)
Tekanan air pori diukur dari dasar sampel, drainasi sampel dilakukan melalui top plate. Pengukuran tekanan air pori memanfaatkan null indicator sebagai acuan, perubahan pada posisi null indicator menunjukkan adanya perubahan volume, hal ini dicegah dengan memberikan tekanan sampai null indicator kembali pada posisi semula. Perubahan volume pada tahap konsolidasi diukur dari pembacaan perubahan tinggi muka air pada buret.
dilakukan dengan menyiapkan spesimen uji sesuai dengan metode yang akan diambil.
Persiapan peralatan sebelum pengujian dimulai dengan pemeriksaan sistem pengukur tekanan air pori, terutama untuk mencegah adanya gelembung udara dan kebocoran dalam sistem yang dapat menganggu aliran air dan penjenuhan spesimen. Prosedur pemeriksaan digambarkan dalam sketsa di gambar 4 . Sebelum air dari silinder kontrol dimasukkan, dipastikan semua katup yang menuju pelat dasar, dan katup a yang berhubungan dengan null indicator dalam posisi tertutup. Null diputar pada posisi horizontal sehingga semua air raksa masuk ke reservoir. Dorong air dari silinder kontrol, katup a dibuka, jika pelat dasar tidak dapat terbasahi, diberikan beberapa tetes aquades, prosedur ini digunakan untuk menghilangkan adanya gelembung-gelembung udara dalam selang sehingga air yang dialirkan benar-benar merupakan deaired water. Kemudian katub I dibuka, tekanan diberikan, tekanan yang terbaca pada manometer diamati, jika pembacaan dapat berjalan secara konstan, dapat diartikan tidak ada kebocoran. Setelah prosedur ini, pengujian 16
Gambar 4 Pembilasan Selang Air (Sumber K.H. Head)
Metode Penyiapan dan Bahan Sampel Tanah pasir yang mempunyai sifat lepas atau semi lepas tidak dapat diambil secara “undisturbed”, sehingga semua sampel disiapkan secara rekonstitusif. Tiga macam cara yang umumnya dilakukan untuk rekonstitusi sampel, yaitu metode penempatan secara lembab (wet tamping) dengan menentukan kepadatan relatif yang diinginkan terlebih dahulu, kedua adalah metode deposisi kering, sampel pasir dituang secara langsung pada mold yang dipasang di atas pelat dasar Triaxial, kepadatan relatif sulit ditentukan sehingga parameter yang digunakan biasanya adalah void
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 13-23
ratio setelah pengujian. Cara yang ketiga adalah metode sedimentasi dalam air, biasanya cara ini digunakan untuk sampel yang diperoleh dari tempat yang secara kontinyu terendam air, seperti
a
tepi sungai atau lembah yang tergenang. Sketsa ketiga metode ini dapat dilihat pada gambar 5 dibawah ini :
b
c
Gambar 5 Metode Penyiapan Sampel Rekonstitusi, a. Metode Penempatan secara Lembab, b. Metode Deposisi Kering, c. Metode Sedimentasi dalam Air
Untuk menjaga homogenitas di sepanjang sampel, dalam kajian ini dipilih metode penempatan secara lembab karena dari analisa saring yang dilakukan, diketahui jenis tanah beragam, lempung, lempung, silt dan pasir. Sampel bukan merupakan pasir bersih (clean sand). Pasir sampel kering oven dibagi menjadi lima atau enam bagian yang mempunyai berat sama, dicampur dengan air, pada kadar air kira-kira 5%. Membran dipasang pada mould yang dapat dibuka, yang ditaruh di atas pedestal dasar (pelat bawah) dari peralatan uji. Masing-masing bagian dari pasir yang agak lembab tersebut ditaburkan dengan jari sampai ketinggian 1/6 bagian tinggi sampel yang ditentukan. Pada setiap tahapan, pukul pelan dengan tamper agar kepadatan merata. Karena adanya efek kapilaritas antar partikel, pasir lembab ini dapat digolongkan sebagai struktur sangat lepas yang dapat mencapai void ratio maksimum sebagai pasir kering (seperti prosedur dalam metode uji ASTM atau JSSMFE).
Jumlah energi optimum untuk menyiapkan struktur awal sampel yang lepas harus ditentukan lebih dahulu. Jika energi tamping kecil, sampel akan sangat lepas sehingga kontraksi volume saat saturasi sangat besar dan reduksi diameter sampel cenderung menyebabkan kerut-kerut vertikal pada membran. Untuk menyiapkan sampel yang paling lepas dengan metode ini Ishihara (1996) menyarankan energi tamping disesuaikan sehingga kontraksi volume saat saturasi kurang lebih sekitar 5% (2mm). Jika sampel yang lebih padat yang akan disiapkan, jumlah tamping untuk kompaksi ditambah pada setiap tahap taburan sampel. Dengan prosedur ini “state of sand” dengan setiap kombinasi void ratio dan tegangan keliling dapat dihasilkan dengan menerapkan energi kompaksi saat tamping yang berbeda. Sampel yang di dapat bisa sangat lepas dan kontraktif tinggi atau dilative pada pembebanan berikutnya, tergantung pada void ratio pada saat penyiapan sampel.
Gambar 6 Penyiapan Sampel, Metode Penempatan secara Lembab
17
Pengaruh Kadar Kehalusan … (Silvia F. Herina)
Pengujian Pengujian ini dimaksudkan untuk memperoleh parameter tegangan total dan efektif, serta regangan dari sampel, prosedur uji mengikuti metode uji dari ASTM D 4767-02, ”Test method for consolidated undrained triaxial compression test for cohesive soils”. Pengujian dibagi dalam tiga fase yaitu fase saturasi, fase konsolidasi dan fase penggeseran. Sebelum fase pengujian dimulai, sesudah membran sampel ditutup, top cap dipasang, dipasang vacuum 20–50 kPa selama kurang lebih 2 jam (gambar 5), prosedur ini dimaksudkan untuk menghilangkan/mengurangi udara yang terperangkap dalam spesimen, kemudian air tanpa udara dialirkan. Saturasi dilakukan dengan memberikan tekanan awal sel, tekanan air pori dicatat, kemudian diberikan tekanan balik (back pressure) yang diatur 0,1 kg/cm2 lebih kecil dari tekanan sel (ASTM D 476702), tekanan air pori dicatat, fase ini dilakukan
terus bergantian sehingga di dapat nilai koefisien tekanan pori = B > 0.90 melalui perubahan volume sel. Selama proses saturasi, reduksi volume akan terjadi seiring dengan runtuhnya struktur awal sampel. Void ratio terukur setelah saturasi diambil sebagai void ratio awal dari sampel. Proses sebelum dan sesudah saturasi sangat penting mengingat struktur celah intra partikel spesimen yang besar.
= Keterangan : B : koefisien tekanan air pori ∆u : peningkatan tekanan air pori akibat peningkatan tekanan sel ∆σ cell : peningkatan tekanan sel
Vacuum set
a
b
Gambar 7 Pelaksanaan Vacuum pada Spesimen, a. Specimen yang Sedang di Vacuum, b. Alat Vacuum dengan Kapasitas 100kPa
Setelah tersaturasi, spesimen dikonsolidasikan dibawah tegangan sel (p) yang dikehendaki, σ1, σ2 dan σ3 sama. Meskipun pasir mempunyai permeabilitas tinggi, fase konsolidasi ini terkadang berjalan lambat, waktu konsolidasi tidak sama antara satu dan lain spesimen. Tekanan sel yang diberikan pada fase konsolidasi dimulai dengan penentuan tekanan efektif sel (σ’3) yang dikehendaki, tekanan sel adalah tekanan efektif ini ditambahkan tekanan balik terakhir pada fase saturasi. σ3 = σ’3 + BP besarnya perubahan pada buret BP dan tekanan air pori dicatat per interval waktu t = 0,1,4,9,16,25,36,49,64,81,100,121,144 menit dan 24 jam, fase ini dianggap selesai setelah disipasi minimal sudah tercapai 90% atau pembacaan tekanan air pori sama dengan tekanan balik. Plot hasil bacaan konsolidasi ( t vs selisih nilai BP) ini digunakan untuk menentukan kecepatan penggeseran. Kecepatan kompresi =
18
mm/menit
Keterangan : εf : regangan runtuh perkiraan (18%, KH Head, Vol 3, bab 13) H : tinggi spesimen t100 : waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsolidasi 100% (menit) Pada fase penggeseran, semua pengujian dilakukan dalam kondisi “ tidak teralir”. Tekanan keliling (cell) diukur dan dipertahankan. Pengujian ini dilakukan dengan mengontrol regangan, sesuai dengan ASTM D4767, tingkat regangan ditentukan berdasarkan tingkat konsolidasi spesimen.
DISKUSI DAN ANALISIS HASIL UJI Hasil uji dipresentasikan dalam diagram grafik pada gambar 8 sampai dengan 17, gambar 8,9,10 menunjukkan grafik analisa saring butir tanah, tanah Srandakan Sr 1-17 ; Sr 2-17 ; Sr 3-17 mempunyai kadar pasir 73,7% dan kadar butiran halus 26,3% ; tanah Gantiwarno Gt 1; Gt 2; Gt 3 ; Gt 4 mempunyai kadar pasir 70,7 dan kadar butiran halus 27,3%,
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 13-23
sedangkan tanah Srandakan Sr 1-4; Sr 2-4 ; Sr 3-4 ; Sr 4-4 mengandung pasir 87,1% dengan kadar butiran halus 12,9%. Jika ketiga jenis tanah ini di plotkan pada grafik Tsuchida 1970 (gambar 11) tanah tersebut termasuk dalam daerah sangat berpotensi mencair ketika mengalami penggeseran. Kenyataan di lapangan menunjukkan kondisi tinggi muka air tanah di daerah Srandakan berkisar antara 2,0 – 3,0 m dan di daerah Gantiwarno antara 1,0 – 2,0m, atau dengan kata lain tanah kepasiran tersebut ada dalam kondisi jenuh air, tanah berkarakteristik kepasiran dan jenuh, berpotensi mencair jika ada gaya geser yang bekerja padanya, jadi dapat dikatakan sampel tanah kepasiran yang diambil dari kedua daerah tersebut rentan terhadap tegangan geser. Asumsi kemungkinan peningkatan ketahanan geser karena adanya peningkatan sifat kohesif tanah dengan adanya sejumlah butiran halus di dasarkan pada persamaan Coulomb’s sebagai berikut : f
= σ tan
+c
Keterangan : : kuat geser f tanσ : tegangan yang diberikan : sudut geser C : kohesi dan c adalah parameter geser tanah. Jika sudut geser atau kohesi bertambah kemungkinan kuat geser juga akan meningkat.
Sudut geser dalam dan kohesi yang diperoleh dari pengujian Triaxial diilustrasikan gambar 12, 14,16, untuk Sr 1-17 ; Sr 2-17 ; Sr 3-17, = 28,90 dan sudut geser efektifnya =34,70; dengan kohesi c = 7 kPa dan c’= 3kPa; untuk Gt 1; Gt 2; Gt 3; Gt 4, = 36,70 dan ’= 37,30 serta c =8 dan c’ = 5; untuk Sr 1-4; Sr 2= 25.10 dan = 31,30 serta c = 1 4; Sr 3-4; Sr 4-4, dan c’=0. Tegangan puncak atau tegangan runtuh yang ditandai dengan tepat pada titik menurunnya tegangan aksial (perbedaan antara major dan minor principal stress) dengan berjalannya terus regangan axial diilustrasikan dalam grafik stress path pada gambar 13, 15 dan 17. Hasil uji kuat geser yang dikombinasikan dengan hasil analisa saring di tabelkan pada tabel 3. Tabel 2 Program Pengujian Kode Sampel Kepadatan Relatif Tekanan Efektif Cell (Wet Tamping) (%) (kPa) Sr 1-17 60 30 Sr 2-17 60 60 Sr 3-17 60 120 Gt 1 60 30 Gt 2 60 60 Gt 3 60 120 Gt 4 60 200 Sr 1-4 60 30 Sr 2-4 60 60 Sr 3-4 60 120 Sr 4-4 60 200 Keterangan : Sr 1-17 ; Sr 2-17 ; Sr 3-17 tanah Srandakan, kedalaman 17.00-18.50 m Gt 1; Gt 2; Gt 3 ; Gt 4 tanah Gantiwarno kedalaman 2.00-2.50 m Sr 1-4; Sr 2-4 ; Sr 3-4 ; Sr 4-4 tanah Srandakan, kedalaman 1.10-4.00 m.
Gambar 8 Hasil Uji Analisa Saring Pasir Srandakan, Sr 1-17 ; Sr 2-17 ; Sr 3-17
Gambar 9 Hasil Uji Analisa Saring Pasir Gantiwarno, Gt 1; Gt 2; Gt 3 ; Gt 4
19
Pengaruh Kadar Kehalusan … (Silvia F. Herina)
Gambar 10 Hasil Uji Analisa Saring Tanah Pasir Srandakan, Sr 1-4; Sr 2-4 ; Sr 3-4 ; Sr 4-4
Gambar 11 Grafik Potensi Pencairan Tanah Berdasarkan Analisa Saring Tsuchida, 1970
Gambar 12 Lingkaran Mohr Tegangan Tanah Srandakan, Sr 1-17 ; Sr 2-17 ; Sr 3-17
Gambar 13 Stress Path Hasil Uji Triaxial CU, Tanah Srandakan, Sr 1-17 ; Sr 2-17 ; Sr 3-17
20
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 13-23
Gambar 14 Lingkaran Mohr Tegangan Tanah Gantiwarno, Gt 1; Gt 2; Gt 3 ; Gt 4
Gambar 15 Stress Path Hasil Uji Triaxial CU, Tanah Gantiwarno, Gt 1; Gt 2; Gt 3 ; Gt 4
Gambar 16 Lingkaran Mohr Tegangan Tanah Srandakan, Sr 1-4; Sr 2-4 ; Sr 3-4 ; Sr 4-4
Gambar 17 Stress Path Hasil Uji Triaxial CU, Tanah Srandakan, Sr 1-4; Sr 2-4 ; Sr 3-4 ; Sr 4-4
21
Pengaruh Kadar Kehalusan … (Silvia F. Herina)
Tabel 3 Hasil Uji Triaxial CU vs Analisa Saring Tegangan Keliling Efektif (kPa)
Mean Grain Size D50 (mm)
Cc
Sr 1-17 = 30
0,23
Sr 2-17= 60 Sr 3-17= 120
Sudut Geser (0) Cu
Total ( )
Efektif ( ’)
Kadar Kehalusan Butir (%)
Failure Stress (kPa)
77,45
775
28,9
34,7
26,3
66
0,23
77,45
775
28,9
34,7
26,3
140
0,23
77,45
775
28,9
34,7
26,3
237
Gt 1= 30
0,16
14,13 102,3
25,1
31,3
27,3
70
Gt 2= 60
0,16
14,13 102,3
25,1
31,3
27,3
120
Gt 3= 120
0,16
14,13 102,3
25,1
31,3
27,3
195
Gt 4= 200
0,16
14,13 102,3
25,1
31,3
27,3
324
Sr 1-4= 30
0,23
2,98
8,7
36,7
37,3
12,9
106
Sampel I
Sampel II
Sampel III Sr 2-4= 60
0,23
2,98
8,7
36,7
37,3
12,9
165
Sr 3-4= 120
0,23
2,98
8,7
36,7
37,3
12,9
356
Sr 4-4= 200
0,23
2,98
8,7
36,7
37,3
12,9
600
Keterangan : Cc : koefisien kelengkungan Cc = (D30)2 / (D10) (D60) Cu : koefisien keseragaman Cu = D60 / D10 Tanah tergradasi baik jika : 1 < Cc < 3 Cu > 6
Dengan tegangan keliling efektif yang sama, kenaikan kadar kehalusan butir pada pasir vulkanik tidak meningkatkan tegangan runtuh dan sudut geser, dibawah tegangan keliling 30 kPa, dengan kadar kehalusan 26,3%, tanah pasir Sr 1-17 mencapai sudut geser total : 28,9 o, dan tegangan maksimum 66 kPa, sedangkan tanah pasir Gt 1 yang mempunyai kadar kehalusan butir 27,3%, sudut geser total : 25,1o, tegangan maksimum 70 kPa, tetapi tanah Sr 1-4 dengan kadar kehalusan butir yang hanya 12,9 % mampu mencapai tegangan maksimum 106 kPa dengan sudut geser total 36,7 o. Hal tersebut terjadi pula pada sampel yang dibebani tegangan keliling efektif 60 kPa, 120 kPa, dan 200 kPa, sampel Sr 1-4, Sr 2-4, Sr 3-4, dan Sr 4-4 mempunyai kadar kehalusan butir yang paling rendah, tetapi dapat mencapai tegangan maksimum atau tegangan runtuh paling tinggi. Beberapa kemungkinan yang dapat di nyatakan pada masalah ini adalah karena faktor plastisitas tanah (index plasticity), keberadaan air mempengaruhi tingkat perilaku kritis tanah, kadar air yang membuat tanah masih dalam kondisi plastis membuat tanah tersebut mempunyai kuat geser lebih besar dari pada sejumlah kadar air yang membuat tanah berada dalam kondisi liquid. Gradasi yang baik ternyata juga sangat mempengaruhi kenaikan kuat geser tanah. Hal lain yang dapat mempengaruhi hasil uji kuat geser ini adalah juga proses penyiapan sampel, perbedaan tinggi jatuh alat pemadat menyebabkan perbedaan energi yang dipindahkan sehingga terjadi
22
perbedaan kepadatan sampel yang tentunya mempengaruhi kuat geser tanah, tanah yang lebih padat akan mempunyai kuat geser lebih tinggi.
KESIMPULAN Kajian kuat geser pasir vulkanik menunjukkan bahwa pasir ini mempunyai karakteristik sama dengan pasir alluvial yang dilakukan oleh Brandon, Th.L.; Clough, G.W.; Rahardjo, P.P., bahwa kenaikan kadar kehalusan butir tidak mempengaruhi kenaikan kuat gesernya, tetapi ternyata kuat geser ini dipengaruhi oleh adanya gradasi yang baik (tanah Sr 1-4; Sr 2-4 ; Sr 3-4 ; Sr 4-4). Adanya beberapa hasil yang berbeda, menunjukkan bahwa adanya butiran halus dalam tanah pasir, baik itu pasir vulkanik atau alluvial (endapan) belum dapat disimpulkan akan meningkatkan ketahanan geser statis maupun siklik. Beberapa faktor lain harus ditinjau, seperti adanya perbedaan plastisitas tanah atau perbedaan riwayat pada tanah yang mengandung butiran halus (tanah yang pernah terkonsolidasi mempunyai kuat geser yang lebih tinggi). Penarikan kesimpulan secara umum apakah keberadaan butiran halus dalam pasir vulkanik meningkatkan gaya geser tanah, memerlukan lebih banyak pengujian, dengan menggunakan sistem dan penyiapan sampel yang beragam dengan kepadatan yang berbeda.
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 13-23
DAFTAR PUSTAKA Brandon, Th.L., Clough, G.W., Rahardjo, P.P., 1990, “Evaluation of Liquefaction Potential of Silty Sands Based on Cone Penetration Resistance”, National Science Foundation, Virginia Tech Blackburg. Chang, N.Y. et al, 1982, “Liquefaction Potential of Clean and Silty Sands”, Proceedings of the 3rd
International Earthquake Microzonation Conference, Vol. II, 1017-1032. Head, K.H., 1985, “Manual of Soil Laboratory Testing”, ELE International Limited, 1986. Herina, S.F., 2009, “Evaluasi Potensi Liquifaksi Pasir Vulkanik”, Studi Independen, Pasca Sarjana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Ishihara, K., 1996, “Soil Behaviour in Earthquake Geotechnics” Oxford University Press Inc, New York.
23
Peran Komunitas dalam … (Sri D., Fitrijani A.)
PERAN KOMUNITAS DALAM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS POLA PILAH KUMPUL OLAH TERHADAP REDUKSI SAMPAH KOTA The Role of Community in Solid Waste Management Based on Pattern Sorting, Collecting and Treating to Reduce City Waste 1Sri
Darwati, 2Fitrijani Anggraini
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan-Kabupaten Bandung 40393 1E-mail :
[email protected] 2E-mail :
[email protected] Diterima : 08 April 2012 ; Disetujui : 02 Januari 2012
Abstrak Komunitas memegang peranan kunci dalam perubahan paradigma pengelolaan sampah dari pola kumpulangkut-buang menjadi pilah-kumpul-olah. Probolinggo merupakan kota yang berhasil dalam melibatkan peran komunitas dalam pemilahan sampah. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah dimulai dengan membentuk Kelompok Masyarakat (Pokmas) dalam pemilahan dan pengumpulan sampah rumah tangga. Pemda Probolinggo menetapkan kebijakan terkait dengan Sistem Pemilihan dan Pengumpulan Sampah dan memfasilitasi masyarakat dalam pelatihan, pendanaan dan penguatan kelembagaan. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan peran komunitas, organisasi masyarakat dan pemerintah dalam menerapkan pola pilah kumpul dengan mengambil studi kasus Kota Probolinggo dalam menunjang reduksi sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah. Metoda pengumpulan data diperoleh dari data sekunder, observasi lapangan, wawancara terstruktur dengan pengelola persampahan. Metode analisis dilakukan deskriptif evaluatif terhadap aspek teknis, pembiayaan dan kelembagaan. Disimpulkan bahwa kunci keberhasilan dalam pola pilah kumpul olah adalah perubahan perilaku masyarakat serta adanya fasilitasi tokoh masyarakat dan pemerintah. Pola pilah kumpul dilakukan masyarakat dan olah dilakukan oleh pemerintah di unit pengomposan di TPA. Untuk meningkatkan pemasaran, pola pemasaran kompos dengan ketentuan keuntungan 70% untuk kelompok masyarakat dan 30% untuk Dinas Kebersihan merupakan upaya yang efektif dalam mendorong partisipasi dan memberikan reward terhadap masyarakat dalam melakukan pemilahan dan pengumpulan di sumber. Kata Kunci : Peran, komunitas, pengelolaan sampah, pilah, kumpul, olah, reduksi
Abstract Community has a key role in paradigm change of solid waste management based on collecting-transportingdumping to sorting-collecting-treating. Probolinggo is a city succeeded in increasing the role of community participation concerns with solid waste sorting. The community to organize Community Grouping sorting and collecting of solid waste. The Local Government of Probolinggo set policy concern with Sorting System and Collecting of Solid Waste and facilitated to the community in training, financing and strengthening the community institution. This paper focus on description of the community role, community organization and Government in implementation pattern of collecting-transporting–dumping to sorting-collecting-treating with the case study of Probolinggo city to reduce solid waste at Final Processing Site. Methodology of data collection are secondary data, field observation, interview. The analysis by descriptive evaluative of technical, financial and institutional aspects. In conclusion, the key success in sorting-collecting-treating are the change of community behavior with the facilitated by community leader and government. The sorting-collecting of solid waste is done by community and treating of solid waste is done by the Cleaning Agency at composting site creates a role sharing and partnership between Community and The Cleaning Agency. To improve the compost marketing, the pattern with benefit sharing of compost 70% for community group and 30% for the Cleaning Agency is on effective effort in encouraging participation and rewarding to the community in doing the sorting and collection at source. Keywords : Role, community, solid waste management, sorting, collecting, treating, reduction
PENDAHULUAN Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen Permukiman dan 24
Prasarana Wilayah (2003) menyebutkan bahwa pada lima tahun terakhir ini pengelolaan kebersihan kota di Indonesia mengalami
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 24-32
penurunan sebagai akibat timbulnya krisis ekonomi. Pada tahun 2000 hanya 32,1% penduduk perkotaan yang mendapat pelayanan persampahan atau sejumlah 35,2 juta orang dari penduduk sejumlah 109,4 juta di 384 kota seluruh Indonesia. Kondisi ini jauh lebih buruk dari kondisi hasil catatan Biro Statistik tahun 1998, dimana 49,9% penduduk dapat terlayani. Situasi yang digambarkan di atas menggambarkan beratnya untuk mengusahakan pelayanan pengelolaan persampahan dalam memenuhi target kesepakatan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi Johannesburg pada tahun 2015. Targetnya adalah tambahan pelayanan 50% dari yang belum memperoleh pelayanan selama ini. Tambahan pelayanan yang diusahakan ini merupakan amanat yang tertuang dalam Millenium Development Goal (MDG), bahwa pada tahun 2015 minimal 50% penduduk yang selama ini belum terlayani akan mendapat pelayanan pengelolaan persampahan. Salah satu upaya percepatan pencapaian target MDG adalah penerapan pola pilah kumpul dan olah dalam pengelolaan masyarakat. Penerapan pola ini memerlukan peran aktif masyarakat sebagai pelaku kunci pengelolaan sampah di sumbernya. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan peran komunitas, organisasi masyarakat dan pemerintah dalam menerapkan pola pilah kumpul dan olah dengan mengambil studi kasus kota Probolinggo dalam menunjang reduksi sampah di TPA.
KAJIAN PUSTAKA Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, BAB IX PERAN MASYARAKAT, Pasal 28 menyebutkan : (1) Masyarakat dapat berperan dalam pengelolaan sampah yang diselenggarakan oleh pemerintah dan / atau pemerintah daerah. (2) Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui : a. pemberian usul, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah dan/atau pemerintah daerah; b. perumusan kebijakan pengelolaan sampah; dan/atau c. pemberian saran dan pendapat dalam penyelesaian sengketa persampahan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah dan/atau peraturan daerah. Dalam melakukan langkah-langkah percepatan pembangunan sanitasi ini, Kementerian Pekerjaan
Umum sudah mengeluarkan kebijakan dan strategi persampahan (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2006) yang memuat 5 (lima) butir kebijakan sebagai berikut : Kebijakan (1) : Pengurangan sampah semaksimal mungkin dimulai dari sumbernya Kebijakan (2) : Peningkatan peran aktif masyarakat dan dunia usaha/ swasta sebagai mitra pengelolaan Kebijakan (3) : Peningkatan cakupan pelayanan dan kualitas sistem pengelolaan Kebijakan (4) : Pengembangan kelembagaan, peraturan dan perundangan Kebijakan (5) : Pengembangan alternatif sumber pembiayaan. Keinginan pemerintah mengedepankan pendekatan 3R telah secara nyata dikemukakan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum 21/PRT/M/2006 yang memfokuskan upaya 3R sebagai strategi nasional yang menggariskan bahwa sampai tahun 2014 pengurangan sampah hendaknya mencapai 20%. Target strategi nasional pada sektor pengelolaan sampah adalah sebagai berikut : 1. Mendukung pencapaian tingkat pelayanan pengolahan sampah 60% pada tahun 2010. 2. Mendukung pengurangan jumlah sampah melalui 3R sampai 20% pada tahun 2014. 3. Meningkatkan kualitas landfill : - Controlled Landfill (CLF) untuk kota kecil dan menengah. - Sanitary Landfill (SLF) untuk kota besar dan kota metropolitan. - Penghentian Open Dumping. 4. Mendukung pelaksanaan di tingkat institusi dan kerjasama regional. Masyarakat memiliki hak dan kewajiban dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan lingkungan. Hal tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Undangundang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pada pasal 5 sebagai berikut : 1. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 2. Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup. 3. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendekatan Peningkatan Peran Masyarakat Pada umumnya, ada 3 pendekatan dalam mengoptimalkan interaksi antara masyarakat umum dengan pengelolaan sampah kota.
25
Peran Komunitas dalam … (Sri D., Fitrijani A.)
1. Peningkatan kesadaran masyarakat Pendekatan ini didasarkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan lingkungan berimplikasi terhadap pengurangan pembuangan sampah secara illegal dan menjamin kerjasama yang baik dalam program pengumpulan, pemilahan dan pengolahan sampah kota. Motif masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah adalah : - Kemungkinan pengurangan biaya pengumpulan sampah. - Ketertarikan masyarakat terhadap kebersihan lingkungan. 2. Penyediaan pelayanan yang baik Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa masyarakat secara otomatis akan berpartisipasi jika prasarana pengumpulan sampah dekat dan mudah dijangkau termasuk bagi anak-anak dan pelayanan masyarakat dan pengangkutan sampah berjalan teratur sehingga terjaga kebersihan lingkungan. 3. Peraturan lingkungan Pendekatan ini didasarkan bahwa masyarakat akan bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah jika ada peraturan lingkungan yang ketat yang disertai dengan sanksi bagi yang melanggar. Hal ini membutuhkan monitoring yang mahal terhadap pengendalian perilaku masyarakat. Peran Masyarakat dalam Pola Pilah Kumpul Olah Pengelolaan sampah saat ini masih mengandalkan sistem konvensional yaitu kumpul-angkut-buang sehingga masih bergantung pada Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah sedangkan TPA yang tersedia sangat terbatas sesuai dengan umur pakai (Riatno, P., Setijati, H., dan Vidyaningrum W., 2007). Kondisi demikian menuntut perubahan paradigma pengolahan menjadi pola pilah, kumpul dan olah (Sonhadji, 2008). Perubahan paradigma pengelolaan sampah dari pola kumpul, angkut dan buang menjadi pola pilah, kumpul dan olah membutuhkan pelibatan aktif masyarakat. Pilah dan kumpul dilakukan oleh masyarakat sejak dari sumber yaitu rumah tangga, selanjutnya olah dilakukan oleh pemerintah sebelum masyarakat sendiri mampu melakukan pengolahan. Tanpa adanya peran serta masyarakat, program pengelolaan persampahan yang direncanakan banyak yang gagal. Salah satu pendekatan masyarakat untuk membantu keberhasilan program pemerintah adalah membiasakan tingkah laku masyarakat sesuai dengan program persampahan yaitu merubah persepsi masyarakat terhadap pengelolaan sampah yang tertib, lancar 26
dan merata; merubah kebiasaan masyarakat dalam pengelolaan sampah yang kurang baik dan merubah faktor-faktor sosial, struktur dan budaya setempat (Ni Komang Ayu Artiningsih, 2008). Pengalaman Beberapa Kota Dalam Reduksi Sampah Melalui Program 3R Beberapa kota telah cukup berhasil melakukan program 3R yang menunjang reduksi sampah kota hingga 7-8% antara lain Cimahi dan Jakarta. Saat ini produksi sampah rumah tangga di Kota Cimahi masih mencapai 1.300 meter kubik per hari. Namun, jumlah itu telah berhasil direduksi hingga 7-9 persen per tahun. Reduksi dilakukan dengan pemilahan dan pengolahan sampah menjadi produk kriya dari tingkat rumah tangga dan pengomposan. (www.pikiranrakyat.com, 18 Maret 2011). Program pengelolaan sampah melalui konsep 3R yang digalakkan Pemprov DKI Jakarta mulai membuahkan hasil. Setidaknya, sekitar tujuh persen sampah dari total produksi 29.344 meter kubik per hari atau 6.525 ton per hari. Pengurangan terjadi di 94 titik. Dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) 2007-2012, sampah harus dapat dikurangi 12 hingga 15 persen. Sehingga, selain pembangunan TPST, peran aktif masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengelola sampah sendiri. Pengelolaan sampah di Jakarta saat ini dilakukan dengan sistem swastanisasi dengan penerapan teknologi tinggi untuk mengarahkan pengolahan bisa berdampak menjadi aset daerah. (http://megapolitan.infogue. com/dki_berhasil_reduksi_sampah_7_persen).
METODOLOGI PENELITIAN Pengumpulan data diperoleh dari data sekunder dilakukan melalui observasi lapangan dan wawancara terstruktur terhadap 10 responden stakeholder kunci yaitu: (1) Bagian Teknis Persampahan, Badan Lingkungan Hidup Kota Probolinggo (2) Pengelola UPTD Komposting di TPA Probolinggo (3) Pengelola Pokmas (4) Pengelola PAPESA (5) Pengelola Komunitas FORJAMANSA (6) Pengelola Komunitas EcoPesantren (7) Pengelola Komunitas Rembug KAHBI (8) Pengelola Paguyuban Kader Lingkungan (PKL) (9) Ketua RT/RW (10) Kader Lingkungan. Data wawancara terhadap pemerintah berupa data karakteristik fisik daerah penelitian dan data mengenai kondisi sistem pengelolaan sampah yang ada meliputi sarana persampahan yang tersedia, pengelolaan persampahan serta timbulan sampah Kota Probolinggo. Wawancara terhadap komunitas meliputi peran dalam pemilahan, pengumpulan, pemanfaatan sampah organik, sosialisasi, perencana program, pelatihan, dialog, partnership dan pendanaan. Wawancara terhadap masyarakat
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 24-32
meliputi peran dan kerjasama dengan pemerintah dalam pola pilah, kumpul dan olah. Metode analisis dilakukan deskriptif evaluatif terhadap aspek pembiayaan dan kelembagaan.
HASIL Pengelolaan Sampah Kota Probolinggo Visi dan Misi Bidang Persampahan Probolinggo terletak di Jawa Timur. Penduduk pada tahun 2008 adalah sebesar 216.833 jiwa (http://probolinggokota.go.id, Januari 2011). Kota Probolinggo merupakan kota sedang yang mempunyai visi : mewujudkan pemanfaatan sampah berbasis komunitas untuk menunjang terwujudnya Probolinggo bersih, hijau dan lestari. Untuk mencapai visi tersebut, misi yang diemban adalah : 1. memfasilitasi pemilahan dan pengumpulan sampah sejak dari sumber sampah 2. melaksanakan pengolahan sampah 3. melaksanakan distribusi hasil pengolahan sampah
4. melaksanakan diseminasi dan sosialisasi pengolahan sampah dan pemanfaatannya 5. mengembangkan pengelolaan sampah berbasis komunitas Visi dan misi tersebut diwujudkan dengan berpegang pada nilai-nilai dasar, yaitu : 1. Komitmen dalam menjalankan tugas 2. Mengupayakan keberlanjutan program 3. Melibatkan peran serta masyarakat 4. Berprinsip kerja learning by doing Pengelolaan Sampah Produksi dan Komposisi Sampah ditampilkan pada tabel 1, tabel 2 dan tabel 3. Tabel 1 Volume Timbulan Sampah Kota Probolinggo Volume Timbulan Sampah (m3/hari) 1. Permukiman 512,11 2. Industri 186,3 3. Pasar 84,8 4. Fasilitas perdagangan 44,2 5. Fasilitas kesehatan 3 Total 830,41 Sumber : BLH-Bidang Kebersihan, 2007 No
Sumber Sampah
Tabel 2 Komposisi Sampah Kota Probolinggo No
Jenis Penggunaan Lahan
1. 2. 3. 4. 5.
Perumahan Fasilitas perdagangan dan jasa Fasilitas kesehatan Pasar Industri Rata-rata Sumber : BLH-Bidang Kebersihan, 2007
Organik 76,14 17,70 32,00 92,00 53,36 49,36
Kertas 12,00 37,23 29,00 1,00 36,67 27,93
Komposisi Sampah (%) Plastik Kaca 9,29 1,14 42,12 31,00 7,00 10,00 19,00 0,19
Logam 3,00 0,5
Lainnya 1,43 2,95 5,00 2,68
Tabel 3 Volume Sampah yang Terangkut Ke TPA Probolinggo No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Sumber Sampah
Permukiman Industri Pasar Pertokoan Perkantoran Hotel dan restoran Alun-alun dan terminal Fasilitas kesehatan Total Sumber : BLH-Bidang Kebersihan, 2008
Rata-rata Per Hari (m3)
Rata-rata Per Bulan (m3)
Total 1 Tahun (m3)
%
128,1 93,3 73,4 38,7 23,1 16,9 13,4 3,7 390,5
3.896,3 2.838,9 2.232,6 1.176,8 703,8 514,1 407,0 111,1 11.880,5
46.755 34.067 26.791 14.121 8.446 6.169 4.884 1.333 142.566
32,8 23,9 18,8 10,0 5,9 4,4 3,4 0,9 100,0
Program Pilah, Kumpul, Olah Terkait dengan kegiatan pengelolaan sampah, berbagai koridor kebijakan telah dibuat. Dalam kaitan dengan kebersihan dan pengolahan sampah, telah ditetapkan Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 17 Tahun 2002 tanggal 11 November 2002 Kebersihan dan Keputusan Walikota Probolinggo Nomor 11 Tahun 2003 tanggal 8 Februari 2003 tentang Sistem Pemilahan dan Pengumpulan Sampah.
- Pengomposan Rumah Tangga BLH Kota Probolinggo memberikan setiap Rumah Tangga satu KOMPOSTER untuk dikelola oleh warganya. Contohnya di Perumahan Kopian Indah, BLH telah menyediakan KOMPOSTER AEROB ini secara cuma-cuma. - Pengomposan kawasan Di Kota Probolinggo, saat ini ada empat lokasi pengolahan sampah menjadi kompos. Lokasi
27
Peran Komunitas dalam … (Sri D., Fitrijani A.)
adalah Unit Pelaksanaan Teknis Pengolahan Sampah dan Limbah yang menjadi induknya serta UPT Pengolahan Sampah Pasar Baru Kota Probolinggo hasil kerjasama dengan Yayasan Danamon Peduli. Kedua unit pengolahan tersebut untuk skala kawasan. Sedangkan dua unit lainnya termasuk skala lingkungan adalah Pengolahan Sampah di Perumahan Sumber Taman dan Perumahan Ketapang. Unit Pengolah Sampah di TPA Proses pengolahan sampah organik menjadi kompos dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Komposting pada Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Probolinggo yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah dan Peraturan Walikota Probolinggo Nomor 23 Tahun 2005 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Badan Lingkungan Hidup. Pengolahan sampah organik dengan pengomposan dirintis dari kerjasama dengan BPPT, sistem pengolahan sampah organik dan sampah halaman terpilah. Sampah bersumber dari masyarakat yang sudah melakukan pemilahan dan pengumpulan sampah organik dan anorganik. Kegiatan pengomposan dilaksanakan di areal komposting yang dibangun di atas sebuah lahan di dalam kompleks TPA (area sebelah timur), prasarana ini memiliki 2 unit bangunan terbuka untuk kegiatan operasional dan 1 unit bangunan kantor untuk kegiatan administratif dimana perkembangan proses pengomposan dicatat dan dipantau secara periodik dalam upaya mendapatkan hasil yang optimal dan memenuhi Standar Kualitas Produk. Sebagai penunjang aktifitas pengomposan, prasarana ini juga dilengkapi dengan 1 unit Trash Crusher Machine yang berfungsi untuk mencacah / menghancurkan sampah organik. Fungsi utama yang menjadi landasan kerja UPTD Komposting adalah : Mengolah sampah organik menjadi produk yang bermanfaat; Mendesiminasikan pengolahan kompos dan pemanfaatannya sebagai bentuk pemberdayaan komunitas dan pendidikan. Produk kompos dibuat tipe kompos biasa dan kompos granular dengan diberi pewarnaan (hitam dan putih) dan diberi merk produk, seperti ditampilkan pada tabel 4. Pada tahun 2008 UPTD melengkapi dengan mesin pengolah plastik, namun belum dioperasikan karena menunggu catu daya listrik 110.000 watt.
28
Tabel 4 Jumlah Sampah Organik yang Diolah Menjadi Kompos Tahun
Jumlah Sampah Organik yang Jumlah Dikomposkan (Ton) Kompos (Ton) 2006 17,1 42,8 2007 122 48,8 2008 308 77 Sumber : Sonhadji, 2008
Pelibatan Komunitas Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah dimulai dengan membentuk Kelompok Masyarakat (Pokmas) dalam pemilahan dan pengumpulan sampah rumah tangga. Proses pembentukan Pokmas dilakukan melalui sosialisasi kepada masyarakat mulai tingkat RW maupun kelurahan yang selanjutnya diberikan pelatihan teknis dan penguatan kelembagaan Satu kelompok masyarakat (pokmas) terdiri atas 10 hingga 15 rumah tangga yang bertugas melakukan pemilahan sampah organik dan anorganik dari rumah tangganya masing-masing. Selanjutnya dikumpulkan dalam zak-zak plastik. Setelah terkumpul minimal 5 zak sampah organik, maka ketua Pokmas menghubungi Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Komposting pada Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Probolinggo agar sampah yang sudah terkumpul diambil petugas komposting untuk diproses menjadi kompos. Untuk sampah anorganik yang masih bernilai ekonomi dapat langsung dijual ke pasar pengepul sampah. Hasil pengolahan sampah berupa kompos selanjutnya dikembalikan kepada Pokmas dengan ketentuan 70% untuk masyarakat dan 30% dikelola UPTD Komposting. Pengembalian kompos kepada Pokmas dimaksudkan sebagai penghargaan atas partispasi pokmas dalam melakukan pemilahan dan pengumpulan yang sudah dimulai dari sumber. Sedangkan 30% yang dikelola UPTD sebagai bentuk jasa pengolahan sampah yang telah dilakukan. Pemanfataan kompos oleh masyarakat diharapkan untuk memupuk tanaman di lingkungan atau kegiatan pertanian, selain itu Pokmas dapat menjual kompos kepada konsumen. Pemerintah Kota Probolinggo tidak mengambil keuntungan dari proses ini, karena kegiatan ini merupakan bagian dari pelayanan masyarakat yang diberikan oleh Kota Probolinggo agar masyarakat termotivasi untuk meningkatkan sikap sehat dan bersih. Satu kelompok masyarakat (pokmas) terdiri atas 10 hingga 15 rumah tangga. Kelompok ini bertugas mengumpulkan dan memilah sampah yang dihasilkan di lingkungan masing-masing. Jika sudah terkumpul, koordinator menghubungi rumah kompos agar sampahnya segera diambil. Hingga sekarang, sudah terbentuk kurang-lebih 100 kelompok masyarakat.
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 24-32
Organisasi Kemasyarakatan Bidang Pengelolaan Sampah 1. Paguyuban Peduli Sampah (PAPESA) Dalam perkembangannya, Pokmas mengorganisasikan diri dalam wadah-wadah yang berfungsi mengkoordinasi kegiatan pemilahan, pengumpulan dan pemanfaatan sampah yaitu dengan membentuk Paguyuban Peduli Sampah yang dibentuk dengan Keputusan Walikota Probolinggo Nomor 188.45/257/KEP/425.012/2006 tanggal 28 September 2006. Selain itu Pemda memberikan legalitas terhadap keberadaaan lembaga sosial masyarakat tersebut, organisasi ini diberikan alokasi dana untuk kegiatan operasional, dimana kelompok-kelompok dapat mengajukan proposal program dan sosialisasi serta studi banding. Pembentukan PAPESA kota Probolinggo yang diprakarsai oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Komposting Kota Probolinggo ini bertujuan untuk : - Memberikan pemahaman secara lebih komprehensif kepada masyarakat mengenai berbagai kondisi, permasalahan dan potensi persampahan rumah tangga dan lingkungan; - Menimbulkan kepedulian serta menciptakan wadah kegiatan bagi masyarakat untuk turut berperan serta dalam proses pengelolaan sampah rumah tangga; - Menciptakan dan mengembangkan kemandirian masyarakat agar mampu baik secara program maupun kelembagaan dalam melakukan pengelolaan persampahan rumah tangga; - Mereduksi sampah rumah tangga yang dibuang ke Tempat Pengumpulan Akhir (TPA) melalui berbagai kegiatan pemanfaatan dan pengolahan sampah; - Menciptakan net working dalam pengelolaan sampah rumah tangga melalui jalinan pola kemitraan dengan masyarakat dan swasta. 2. Forum Jaringan Manajemen Sampah Kota (FORJAMANSA) Sebagai wujud dari kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk turut berperan serta secara aktif dalam memecahkan dan mengatasi berbagai permasalahan dalam pengelolaan persampahan di Kota Probolinggo, pada tanggal 17 Maret 2005 telah dibentuk sebuah wadah bagi kegiatan pemikiran, perencanaan serta pengimplementasian berbagai program pengelolaan sampah yaitu Forum Jaringan Manajemen Sampah (Forjamansa) yang mana jaringan kegiatan forum tersebut dibentuk secara menyeluruh dan berjenjang hingga lapisan terbawah yaitu tingkat RT/RW (POKMAS). Forum ini bernaung di bawah jaringan tingkat nasional yaitu Jaringan Pengelolaan Sampah
Nasional (JALA-Sampah) yang dibentuk pada tanggal 14 Juni 2003. Susunan kepengurusan FORJAMANSA terdiri dari Dewan Pertimbangan, Pengurus Harian dan Humas. Sedangkan bidang yang dijadikan sebagai fokus kegiatan terdiri dari 4 Pilar Garapan yaitu : a. Infrastruktur b. Regulasi c. Pemberdayaan Masyarakat d. Partnership Beberapa program pengelolaan sampah yang telah dirumuskan dan dicanangkan Forum Jaringan Manajemen Sampah (FORJAMANSA) adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia, perbaikan sistem manajemen sampah, optimalisasi pemanfaatan sarana dan prasarana, tenaga dan dana serta sosialisasi kegiatan pemilahan dan reduksi sampah. 3. Kegiatan Rembug KAHBI (Kampungku Hijau, Bersih dan Indah) Adalah forum komunikasi publik yang bertujuan untuk mewujudkan Kampung Hijau Bersih dan Indah yang dilaksanakan secara bergiliran di tiap kelurahan di Kota Probolinggo. Rembug KAHBI dipimpin langsung oleh Walikota Probolinggo dengan didampingi oleh seluruh Kepala Unit Kerja termasuk Muspida. Rembug KAHBI dihadiri oleh perwakilan masyarakat kelurahan yang terdiri atas RT, RW, tokoh agama, tokoh masyarakat dan LSM untuk diskusi atau urun rembug antara warga dengan pemerintah seputar masalah kebersihan dan keindahan di lingkungan mereka. Kegiatan ini juga merupakan salah satu bentuk dari upaya proaktif pemerintah dan warga masyarakat untuk secara bersama-sama mewujudkan peningkatan kemandirian masyarakat dalam mengelola kebersihan di lingkungan mereka. 4. Paguyuban Eco-Pesantren Adalah wadah bagi pondok pesantren memfasilitasi terwujudnya pondok pesantren berwawasan lingkungan. Program yang dilakukan adalah pengolahan sampah organik menjadi kompos dan memberikan sosialisasi kepada pondok pesantren di Kota Probolinggo dalam mengubah paradigma pengelolaan sampah di lingkungan pondok pesantren. 5. Paguyuban Kader Lingkungan (PKL) Adalah wadah dari Kader Lingkungan PKK kecamatan dan kelurahan se-Kota Probolinggo yang kegiatannya berkaitan dengan pengelolaan kebersihan khususnya dalam hal penanganan pemanfaatan sampah organik serta secara aktif menstimulasi pelibatan dan pemberdayaan masyarakat dalam mengurangi sampah sejak dari sumbernya yaitu dengan menggunakan pendekatan dan paradigma baru dalam 29
Peran Komunitas dalam … (Sri D., Fitrijani A.)
PEMBAHASAN
penanganan sampah yaitu Reduce, Reuce dan Recycle. Peningkatan peran kader lingkungan ini antara lain dengan memberikan pelatihan social worker dan Pelatihan Daur Ulang Sampah.
Peran Komunitas Peran komunitas terhadap kegiatan pengelolaan sampah dapat dilihat pada tabel 5 berikut.
Tabel 5 Peran Komunitas dalam Pengelolaan Sampah di Kota Probolinggo No
Kegiatan
1 Pemilahan 2 Pengumpulan 3 Pemanfaatan Sampah Organik 4 Sosialisasi 5 Perencana Program 6 Peningkatan SDM / Pelatihan 7 Forum Dialog 8 Networking / Partnership 9 Mencari sumber dana Sumber : Hasil Analisis, 2009
Pokmas Papesa √ √ √
Peran Pemerintah Pemda banyak memfasilitasi gerakan partisipasi masyarakat dengan pelibatan stakeholder dan kerjasama kemitraan antara Pemda, masyarakat. Fasilitasi berupa pelatihan dan pendanaan terhadap aktivitas kelompok-kelompok peduli sampah sehingga memotivasi masyarakat dalam melakukan gerakan pengelolaan sampah dan menumbuhkan kerjasama yang baik masyarakat dengan Pemda. Program-program Pemerintah telah menimbulkan mutiplier effect yang besar pengaruhnya terhadap bidang-bidang kehidupan masyarakat. Program ini telah menumbuhkan gerakan partisipasi masyarakat dari berbagai kalangan baik secara langsung melakukan pengolahan sampah maupun forum diskusi yang memberikan advokasi kepada berbagai stakeholders pembangunaan Kota Probolinggo untuk memberikan perhatian terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Secara rinci peran pemerintah ditampilkan pada tabel 6. Tabel 6 Peran Pemerintah No Kegiatan 1 Penetapan kebijakan 2 Sosialisasi 3 Pelatihan teknis 4 Penguatan kelembagaan 5 Pendanaan 6 Jasa pengolahan sampah 7 Dukungan legalitas 8 Forum dialog 9 Advokasi Sumber : Hasil Analisis, 2009
Pola Kemitraan Pemerintah dan Masyarakat Pola pilah kumpul yang dilakukan masyarakat dan olah yang dilakukan oleh pemerintah ke unit pengomposan di TPA menciptakan pembagian peran yang baik antara masyarakat dan Dinas Kebersihan. Dari aspek penyediaan bahan baku
30
√ √ √ √ √ √
Forja Mansa
√ √ √ √ √ √
Eco Pesantren
Rembug KAHBI
√ √ √ √ √ √
√ √ √
PKL
√
pengomposan, pola ini menjadi unit pengomposan di TPA dapat berkelanjutan. Jika komitmen ini terus berjalan dan Pokmaspokmas dapat mewujudkan pengolahan sampah terpadu berbasis 3R di sumber sampah dan TPA merupakan pemrosesan sampah. Fasilitas pengolahan sampah menjadi pupuk organik dapat membantu pemerintah daerah menyelesaikan timbunan sampah serta mengembangkan pertanian organik di Kabupaten Probolinggo dan sekitarnya. Dalam kerjasama tersebut pemerintah daerah berkewajiban menyediakan sebidang lahan, sedangkan pihak swasta membangun rumah kompos dan memberikan bantuan mesin-mesin produksi, peralatan-peralatan kerja dan pelatihan. Reduksi Sampah Pengelolaan persampahan Kota Probolinggo bisa dioptimalkan dengan penerapan konsep daur ulang dan composting untuk mengurangi timbulan sampah Kota Probolinggo. Pada tahun 2008, sampah permukiman yang dihasilkan adalah 512,11 m3/hari. Pada tahun 2008, komposisi sampah Kota Probolinggo adalah 76,14% sampah organik, sangat menunjang untuk didaur ulang untuk menjadi kompos dan 23,86% sampah anorganik. Jadi total sampah organik yang dapat diolah sebanyak 389,83 m3/hari. Melalui rangkaian proses sistem reduksi sampah domestik skala rumah tangga dan komunal akhirnya, jumlah sampah organik yang diolah menjadi kompos sebesar 272,88 m3/hari. Program pengolahan persampahan terpadu 3R menargetkan pengurangan sampah hingga 12–15%, yaitu sebanyak 32,75 m3/hari. Jadi prosentase sampah domestik yang berhasil direduksi adalah sebesar 6% atau sekitar 6,4 ton/hari. Tingkat keberhasilan yang cukup, dari target 2012 untuk reduksi sampah 12%-15% lewat program 3R.
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 24-32
Penerapan daur ulang dan komposting dapat mengurangi jumlah timbulan yang masuk ke TPA. Dalam konsep reduksi sampah dengan komposting dan daur ulang ini pada awal perencanaan tahun 2008 dapat mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA sebanyak 6,4 ton/hari. Manfaat Ekonomi Program pengolahan sampah organik menjadi kompos adalah program yang bersifat public servis sehingga operasional pengelolaan program termasuk biaya operasional Paguyuban Peduli Sampah seluruhnya didanai dari APBD Kota Probolinggo. Komponen-komponen pembiayaan operasional program meliputi : gaji dan upah, alat tulis, bimbingan teknis dan sosialisasi, pengadaan bahan material penunjang, publikasi dan BBM transportasi. Sedangkan komponen Paguyuban Peduli Sampah meliputi biaya sosialisasi kepada masyarakat. Hasil pengolahan sampah berupa kompos selain dikembalikan kepada Pokmas sebesar 70% dan 30% dimanfaatkan oleh UPT Pengolahan Sampah dan Limbah selanjutnya dijual ke konsumen. Hasil penjualan ke konsumen dibedakan menjadi 3 macam yaitu penjualan melalui penitipan di stand-stand (membayar jika sudah laku), penjualan langsung kepada masyarakat umum di lokasi TPA dan penjualan kepada kelompok tani. Khusus penjualan kepada kelompok tani diberikan bantuan keuangan dalam bentuk subsidi harga sebesar 50% dari harga yang telah ditetapkan sebesar Rp. 750,-/kg, yaitu sebesar Rp. 350,-/kg. Pemberian subsidi harga kepada kelompok tani ditetapkan melalui Keputusan Walikota Probolinggo Nomor 11 Tahun 2007. Hasil penjualan kompos disetorkan ke kas daerah. Selain itu, ada manfaat lain yang diperoleh masyarakat yaitu pembuatan kerajinan dari sampah non organik. Ada usaha pembuatan souvenir di pokmas berupa tas dan dompet. Pekerjaan ini sebagian besar dilaksanakan oleh kaum perempuan. Pembuat kerajinan dari sampah non organik dapat menjual kerajinannya langsung atau melalui koperasi yang didukung oleh kantor lingkungan hidup Kota Probolinggo. Masyarakat telah memisahkan sampah organik dan anorganik selama tiga tahun, dan pada dua tahun terakhir membuat kerajinan dari sampah plastik, mendapat tambahan penghasilan antara Rp. 20.000,– Rp. 30.000,- per hari dari kerajinan ini. Masyarakat sangat bangga pada kegiatan yang dijalaninya. Sampah dapat membuat masalah, tetapi jika ditangani dan dimanfaatkan dengan baik, sampah bisa menambah penghasilan bagi keluarga.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pola pilah kumpul yang dilakukan masyarakat dan olah yang dilakukan oleh Pemerintah daerah di unit pengomposan di TPA menciptakan pembagian peran dan kemitraan yang baik antara masyarakat dan pemda dalam pengelolaan sampah di Kota Probolinggo. 2. Pola pilah kumpul dan olah dapat meningkatkan/menghasilkan reduksi volume sampah domestik yang masuk TPA ± 6,4 ton/ hari (6%) dan masyarakat mendapat tambahan penghasilan antara Rp. 20.000,– Rp. 30.000,per hari. 3. Pola pemasaran kompos dengan ketentuan 70% untuk masyarakat dan 30% dikelola UPTD Komposting meningkatkan penghargaan atas partisipasi pokmas dalam melakukan pemilahan dan pengumpulan yang sudah dimulai dari sumber. 4. Kunci keberhasilan dalam pengelolaan sampah adalah perubahan perilaku masyarakat serta adanya pembinaan dari tokoh penggerak masyarakat/fasilitator. Perubahan perilaku perlu didukung oleh kegiatan yang dapat menumbuhkan motivasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan penghargaan dan motif keuntungan ekonomi dan lingkungan. Saran Diharapkan peran serta masyarakat terus berlanjut. Kelompok masyarakat yang ada sekarang ini sangat membantu dalam proses pengolahan sampah organik menjadi kompos dan sampah anorganik menjadi kerajinan yang bernilai ekonomis. Pengelolaan sampah di sumber akan mengurangi penumpukan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA). Kegiatan pembuatan pupuk organik kompos di Kota Probolinggo supaya terus dikembangkan, sehingga dapat mereduksi sampah > 6,4 ton per hari dan sebaiknya direplikasi di daerah-daerah di Indonesia karena bermanfaat dalam penyediaan pupuk organik, menjaga kebersihan kota dan memberi manfaat ekonomi bagi pengelola kebersihan.
DAFTAR PUSTAKA Artingsih, Ni Komang Ayu. 2008. Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (Studi Kasus di Sampangan dan Jomblang, Kota Semarang). Tesis Program Magister Ilmu Lingkungan. Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang. Darwati, S, Anggraini, F, Murdiyati dan Widyahantari, R. 2008. Penerapan 3R di Kota
31
Peran Komunitas dalam … (Sri D., Fitrijani A.)
Malang dan Probolinggo. Pusat Penelitan dan Pengembangan Permukiman. Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan. 2003. Executive Summary: National Action Plan Bidang Persampahan. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KNSP-SP). Riatno, P., Setijati, H.E., dan Vidyaningrum, W., 2007. Studi Evaluasi Pengelolaan Sampah dengan Konsep 3R (Studi Kasus : Kec. Cilandak, Jakarta Selatan). Jurnal Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti Vol 4 No 1.
32
Jakarta. Jurusan Teknik Lingkungan, FALTL, Universitas Trisakti. Program Kerja Bidang Kebersihan Tahun 2008. Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Probolinggo. Sonhadji, M. 2008. Pelayanan Pengolahan Sampah Berbasis Komunitas di Kota Probolinggo. Badan Lingkungan Hidup. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang Nomor 18 Republik Indonesia Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. http://megapolitan.infogue.com/dki_berhasil_redu ksi_sampah_7_persen http://probolinggokota.go.id
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 33-39
PENINGKATAN FUNGSI TEMPAT PENGELOLAAN SAMPAH TERPADU Improved Function Place of Integrated Waste Management 1Aryenti, 2Sri
Darwati
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan-Kabupaten Bandung 40393 1E-mail:
[email protected] 2E-mail:
[email protected] Diterima : 12 Juli 2011 ; Disetujui : 24 Januari 2012
Abstrak Kebijakan persampahan saat ini adalah pencapaian sasaran cakupan pelayanan 60% pada tahun 2010 dan pengurangan kuantitas sampah hingga 20% pada tahun 2010 (Jakstra PU, 2009). Salah satu strategi yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri PU Nomor 21 Tahun 2006 adalah melalui pengurangan sampah semaksimal mungkin dimulai dari sumbernya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pengelolaan sampah berbasis 3 R di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST). Dari hasil evaluasi terhadap program TPST di 201 kota di Indonesia tahun 2007 - 2009, sebanyak 30% yang berfungsi baik dan 70% nya kurang optimal (PLP PU Cipta Karya, 2009). Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi faktor-faktor penyebab ketidak berhasilan, potensi, peluang dan solusi untuk mengoptimalkan fungsi TPST dengan studi kasus di TPST Tampomas di Perumahan Baros Kencana, Kelurahan Baros, Kecamatan Baros Kota Sukabumi. Metode pengumpulan data melalui observasi lapangan, kuesioner, wawancara, focuss group discussion dan sampling komposisi sampah. Analisis dengan deskriptif evaluatif kinerja pengelolaan sampah di TPST, potensi pengolahan sampah dan upaya yang dilakukan dalam memfungsikan kembali TPST. Disimpulkan bahwa untuk memfungsikan kembali TPST perlu adaya pendampingan masyarakat dalam pengelolaan secara teknis, kelembagaan dan pendanaan. Perlunya dukungan Pemerintah terkait peningkatan sarana dan sarana, legalitas kelembagaan dan teknis pengelolaan persampahan. TPST dapat dikembangkan sebagai tempat pengolahan sampah melalui pengomposan dan daur ulang sampah anorganik. Dukungan masyarakat dilakukan melalui pelibatan masyarakat dan ibu-ibu rumah tangga dalam pengelolaan sampah. Kata Kunci : Peningkatan, fungsi, pengelolaan, sampah, terpadu
Abstract Current waste management policy is achieving the target coverage of 60% by 2010 and reducing the quantity of waste to 20% in 2010 (Jakstra PU, 2009). One of the strategies set out in the Ministerial Regulation of Public Work no 21 year 2006 is waste reduction starting from the source. One effort is waste management based on 3 R (Reduce, Reuse, Recycling) in Integrated Waste Management (IWM) . Evaluation result of 201 IWMs in 201 cities in Indonesia that developed during 2007 to 2009, about 30% are functioning well and 70% are not optimally function (Data Directorat PLP-Cipta Karya Public Works 2009). The purpose of this study is to evaluate the factors that cause lack of success, potential, opportunities and solutions to optimize the function of IWM with a case study is IWM Tampomas in Baros Kencana Residence, sub district Baros, District Baros, Sukabumi City. Methods of collecting data are field observations, questionnaires, interviews, group discussion sampling waste composition and its generation, and focuss group disccusion. Method of analysis is descriptive evaluative of waste management performance in IWM, the potential for waste and efforts to optimize the function of IWM. It is concluded that for functioning IWM are community assistance in the management of technical, institutional and funding. The need for government support related to facilities and infrastructure improvement, institutional and technical legality waste management. IWM can be developed as processing waste through composting and recycling the organic waste. Community support is done through community involvement of housewives in waste management. Keywords : Improvement, function, management, waste, integrated
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebijakan persampahan saat ini adalah pencapaian sasaran cakupan pelayanan 60% pada tahun 2010 dan pengurangan kuantitas sampah hingga 20% pada tahun 2010 (Jakstra PU, 2009). Salah satu
strategi yang ditetapkan dalam Permen PU Nomor 21 Tahun 2006 adalah melalui pengurangan sampah semaksimal mungkin dimulai dari sumbernya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pengelolaan sampah berbasis 3 R di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST).
33
Peningkatan Fungsi Tempat … (Aryenti, Sri Darwati)
Upaya peningkatan program 3 R telah dilakukan Pemerintah. Pada tahun 2007 - 2009, Pemerintah melalui PU Cipta Karya telah membangun TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) di 201 lokasi di Indonesia. Pembangunan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) meliputi bangunan serta sarana dan prasarana persampahan seperti alat pemilah sampah. Dari hasil evaluasi TPST sebanyak 30% yang berfungsi baik dan 70% nya kurang optimal (PLP PU Cipta Karya, 2009). TPST adalah sebagai tempat untuk dilaksanakannya kegiatan, pemilahan, pengumpulan, menggunakan ulang, mendaur ulang, pengolahan sampah. TPST dibangun di lingkungan permukiman untuk skala kawasan atau RT/RW. Pendekatan pengelolaan TPST adalah berbasis pada peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah dilakukan melalui pemberdayaan dan pendampingan dari aspek teknik dan kelembagaan. Konsep pengelolaan TPST adalah : - Aspek teknis. Pengelolaan sampah dekat dengan sumber, hal ini akan mengurangi biaya transportasi. - Kelembagaan, adanya pihak yang bertanggung jawab dalam mengatur dan mengawasi pengelolaan sampah di TPST, sehingga dapat dipertanggungjawabkan. - Keuangan, adanya pihak yang mengatur ke uangan TPST, sehingga pengeluaran dan pemasukan uang dapat dipertanggungjawabkan. - Manajemen, adanya manajemen antara lain pembukuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Kajian ini dimaksudkan untuk mengevaluasi kinerja pengelolaan sampah di TPST dengan studi kasus di TPST Tampomas Perumahan Baros Kencana, Kota Sukabumi. Aspek yang dikaji adalah aspek teknis, kelembagaan, pemberdayaan masyarakat, sarana dan prasarana. Tujuan kajian adalah peningkatan fungsi TPST dalam pengelolaan sampah di lingkungan perumahan tersebut dengan sasaran : - Berfungsinya kembali TPST - Meningkatkan perubahan perilaku masyarakat dalam menangani sampah - Berkurangnya beban pencemaran lingkungan - Meningkatkan peluang usaha dan ekonomi dalam pengelolaan sampah - Mengurangi biaya operasional pengelolaan sampah yang ditanggung pemerintah.
34
KAJIAN PUSTAKA Sarana dan Prasarana TPST Sarana dan prasarana adalah salah satu faktor penunjang dalam menjalankan kegiatan pengelolaan sampah di TPST. Untuk kebutuhan sarana dan prasarana dalam pengelolaan sampah di TPST dapat mengacu pada luasnya daerah pelayanan (Direktorat Jenderal Cipta Karya. 2009). - Untuk kawasan perumahan baru (cakupan pelayanan 2.000 rumah) diperlukan TPST dengan luas 1.000 m2. Sedangkan untuk cakupan pelayanan skala RW (200 rumah), diperlukan TPST dengan luas 200-500 m2. - TPST dengan luas 1.000 m2 dapat menampung sampah dengan atau tanpa proses pemilahan sampah di sumber. - TPST dengan luas < 500 m2 hanya dapat menampung sampah dalam keadaan terpilah (50%) dan sampah campur 50%. - TPST dengan luas < 200 m2 sebaiknya hanya menampung sampah tercampur 20% dan sampah yang sudah terpilah 80%. Fasilitas TPST meliputi wadah komunal, areal pemilahan, areal pengomposan dan dilengkapi dengan fasilitas penunjang lain seperti saluran drainase, air bersih, listrik, barrier (pagar tanaman hidup) dan gudang penyimpanan bahan daur ulang maupun produk kompos serta biodigester (opsional). Pemberdayaan Masyarakat Ife (1996: 182), menyatakan bahwa pemberdayaan adalah konsep untuk meningkatkan kapasitas masyarakat (to take increase their capacity) sehingga dapat menentukan masa depannya sendiri sesuai dengan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki. Konsep ini memberikan kesempatan sebesarbesarnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan. Untuk tercapainya tujuan partisipasi perlu dilakukan proses fasilitasi masyarakat (Winarni 2004 : 140), agar masyarakat memiliki berbagai kemampuan, yaitu : - Menganalisis situasi yang ada di lingkungannya. - Mencari pemecahan masalah berdasarkan kemampuan dan sumberdaya yang mereka miliki. - Mengembangkan usahanya dengan segala kemampuan dan sumberdaya yang mereka miliki. - Mengembangkan sistem untuk mengakses sumberdaya yang diperlukan.
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 33-39
Selanjutnya Adi (2002 : 181) dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat memerlukan tahapantahapan yang harus dilalui, yaitu : - Tahap persiapan, penyiapan tenaga dan persiapan lapangan. - Tahap pengkajian, baik secara individual maupun kelompok-kelompok masyarakat. - Tahap perencanaan alternatif pembuatan program. - Tahap pemformulasian rencana aksi, cara atau langkah mencapai tujuan. - Tahap pelaksanaan program, implementasi kegiatan lapangan. - Tahap evaluasi, penilaian dan pengawasan. - Tahap terminasi, mengakhiri suatu kegiatan. Aspek Keberlanjutan Program Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam beberapa aspek keberlanjutan dalam pengelolaan sampah 3 R berbasis masyarakat adalah sebagai berikut : - Adanya lembaga kelompok masyarakat sebagai organisasi pengelola yang tidak formal namun terlegalisir serta sesuai dengan aspirasi masyarakat. - Adanya dukungan peraturan setingkat kelurahan untuk pelaksanaan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. - Adanya dana untuk operasional pengelolaan maupun biaya pemeliharaan atau investasi penambahan prasarana dan sesuai dengan kebutuhan. Pengelolaan dana perlu diketahui bersama secara transparan - Adanya dukungan teknologi ramah lingkungan untuk prasarana dan sarana persampahan skala kawasan sesuai kebutuhan masyarakat. - Adanya peran aktif masyarakat untuk melaksanakan program 3R terutama yang berkaitan dengan perubahan perilaku dan budaya memilah sejak dari sumbernya. - Adanya dukungan dari instansi pengelola sampah tingkat perkotaan untuk pengangkutan residu, penyerapan produk kompos dan material daur ulang serta penanganan lanjutan sampah B3 rumah tangga sesuai ketentuan yang berlaku. - Adanya pola monitoring dan evaluasi dari instansi terkait baik ditingkat kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten bahkan tingkat yang lebih tinggi, yaitu propinsi dan pemerintah pusat. Hasil monitoring dan evaluasi dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi proses replikasi atau pengembangan yang diperlukan serta pendataan yang lebih akurat untuk mengetahui hasil pencapaian program 3R secara nasional.
METODOLOGI Metode pengumpulan data adalah : - Kuesioner dan wawancara kepada Dinas Kebersihan, Bappeda, PU, tokoh masyarakat dan pengelola TPST. - Focus Group Discussion dengan masyarakat di daerah layanan TPST - Observasi lapangan kondisi TPST dan lingkungan di daerah layanan TPST - Sampling komposisi dan timbulan sampah di daerah layanan TPST. Jumlah sampel sebanyak 30 responden yang mewakili dari RW 16 dan RW 17. Responden adalah ibu rumah tangga dan kader lingkungan. - Sampling dilakukan selama 3 hari dengan membagikan kantong plastik kepada responden untuk mengetahui berat sampah dan komposisi untuk jenis sampah organik, kertas, plastik, kaca, B3 rumah tangga dan lainnya. Selanjutnya dilakukan penimbangan sampah, pengukuran volume sampah dan berat jenis sampah. Lokasi penelitian adalah di RW 16 dan RW 17 Perumahan Baros Kencana Kelurahan Baros, Kecamatan Baros Kota Sukabumi. Metoda analisis dengan deskriptif evaluatif kinerja pengelolaan sampah di TPST, potensi pengolahan sampah dan upaya yang dilakukan dalam memfungsikan kembali TPST.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum TPST Tampomas TPST Tampomas dibangun pada 2007-2008, merupakan kegiatan bersumber pada pendanaan Propinsi Jawa Barat. Luas TPST 170 m2, luas lahan 200 m2, terletak pada Fasilitasi Umum Perum Baros Kencana Kelurahan Baros, Kecamatan Baros Kota Sukabumi. Sarana prasarana yang ada bangunan kantor, area pengomposan, roda sampah terpilah, kontainer pengumpul sampah dan pompa air bersih. Cakupan layanan terdiri dari 2 RW yaitu RW 16 dan RW 17 dengan jumlah pelayanan 380 KK. Pengelolaan TPST dilaksanakan oleh pengelola yang ditunjuk masyarakat. Pengelolaan TPST berjalan selama 1 tahun Januari 2008 sampai dengan Januari 2009 selanjutnya pengoperasian berhenti karena beberapa hal antara lain pergantian kepengurusan dan minimnya dana operasional. Pendampingan Masyarakat Untuk meningkatkan fungsi TPST, dilakukan pendampingan kepada masyarakat melalui rembug
35
Peningkatan Fungsi Tempat … (Aryenti, Sri Darwati)
warga melalui Rembug Warga (Focus Group Discussion) bertempat di Sekretariat RW 17 Perum Baros Kencana. Rembug warga dihadiri oleh, Camat, Perwakilan dari Dinas Pengelolaan Persampahan dan Pemakaman Kota Sukabumi, Pengelola TPST, masyarakat kedua RW yaitu RW 17 dan RW 16. Dalam Rembug warga dilakukan : - Sosialisasi/penyuluhan - Pemilihan pengurus TPST - Pelatihan managemen sampah - Pelatihan daur ulang sampah plastik - Pelatihan penghijauan di sekitar TPST Dalam rembug warga kesepakatan diantaranya :
dihasilkan
beberapa
- masyarakat sepakat memfungsikan kembali TPST - pemilihan pengurus TPST secara demokratis - pengaturan sistem pengumpulan sampah - pembiayaan operasional dan perawatan Untuk keberlanjutan TPST, masyarakat bersedia membayar iuran sampah. Masing-masing RW bertanggung jawab di wilayahnya masing-masing dalam hal pengangkutan sampah dan membayar gaji pengangkut sampah. Untuk gaji pengurus/pengelola dari hasil pengelolaan sampah organik dan anorganik setelah dipotong biaya perawatan sarana dan prasarana dan biaya pembelian bahan. Peningkatan Sarana dan Prasarana TPST Peningkatan sarana dan prasarana TPST meliputi bangunan dan peralatan TPST seperti dapat dilihat pada tabel 1 berikut : Tabel 1 Sarana dan Prasarana TPST Tampomas No 1 2 3 4
Sarana dan Prasarana Bangunan TPST, Mesin pompa air Timbangan Kontainer Gerobak sampah terpilah
5 6 7 8 9 10 11
Peralatan : Baju kerja Sepatu boot Sarung tangan Masker Pengki Garpu Golok/parang
Jumlah Keterangan 1 Bangunan masih bagus Permanen 1 Pagar, pompa dan 1 gerobak rusak 3 perlu perbaikan 4 stel 4 4 4 4 2 3
(Sebagian peralatan hilang perlu diadakan kembali)
Sumber : Hasil Observasi Lapangan Tim Advis Teknis Puskim, 2010
Untuk meningkatkan fungsi TPST sebagai tempat pengelolaan sampah diperlukan perbaikan dan peningkatan sarana dan prasarana agar kinerja TPST dapat berjalan lancar.
36
Untuk operasional TPST, minimal harus ada wadah komunal terpilah atau bersekat, yang dapat menampung sampah secara terpilah dan gerobak sampah yang terpilah. Ruangan TPST perlu dibagi atas areal pemilahan dan areal komposting. Fasilitas penunjang yang rusak perlu diperbaiki antara lain pompa air, saluran drainase, listrik. Pada TPST juga perlu dibuat barrier (pagar tanaman hidup) dan gudang penyimpanan bahan daur ulang maupun produk kompos. Sarana penunjang untuk pekerja sudah ada namun sebagian sudah hilang berupa sarung tangan, masker, sepatu boot, sedangkan sarana untuk kelengkapan kerja berupa sapu lidi, skop untuk membalik dan mengaduk sampah. Untuk peningkatan sarana dan prasarana akan dibantu pendanaannya oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Sukabumi sedangkan pendanaan operasional TPST berasal dari iuran sampah warga. Kelembagaan TPST 0rganisasi pengelola adalah sebagai kunci sukses terlaksananya pengelolaan sampah di TPST, organisasi pengelola tersebut nantinya akan mengatur dan mengkoordinir tenaga-tenaga kerja di TPST. Kelembagaan TPST dapat berdiri sendiri atau bersatu dengan kepengurusan RW. Dalam kepengurusan TPST skala RW secara sederhana, telah dipilih dan disepakati susunan pengurus seperti berikut : - Penasehat/Pelindung, Lurah atau Camat setempat. - Ketua, mengatur dan mengkoordinir pengelolaan sampah di TPST, dan juga merangkap bagian pemasaran. - Sekretaris, mencatat segala yang berhubungan dengan kinerja TPST. - Bendahara, mengkoordinir keuangan TPST. - Pekerja pemilah sampah di TPST, minimal 2 orang. - Petugas pengambil sampah ke rumah-rumah penduduk. Kepengurusan dapat dikembangkan disesuaikan dengan kebutuhan kinerja TPST. Dalam fasilitasi Tim Pusat Litbang Pemukiman telah dilakukan rapat warga untuk memilih dan menetapkan pengurus TPST secara demokratis yang selanjutnya disahkan oleh Kelurahan Baros, Kecamatan Baros Kota Sukabumi.
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 33-39
Struktur Organisasi Pengurus TPST dapat dilihat pada gambar 1. PENGAWAS Rezi (Dinas Kebersihan Kota Sukabumi
PEMBINA Lurah Baros
PENANGGUNG JAWAB KETUA RW 16 DAN 17
KETUA TPS Sumartono
BENDAHARA Ibu Cece
SEKRETARIS Yanto
PEMILAH SAMPAH Iwan
PENARIK SAMPAH Irwan/Joni
Gambar 1 Struktur Organisasi TPST Tampomas (Sumber : Keputusan Lurah Baros Kecamatan Baros Kota Sukabumi No. 658.1/Kep.02/05.102/VII/2010 tanggal 5 Juli 2010) Keterangan : : Garis komando ------------- : Garis koordinasi
Potensi Sampah yang dapat Dikomposkan dan di Daur Ulang Untuk mengetahui potensi sampah yang dapat dikomposkan atau di daur ulang dilihat dari timbulan sampah dan komposisi sampah. - Timbulan sampah Berdasarkan hasil sampling timbulan sampah di kedua RW yaitu RW 16 dan 17 dengan sampel sebanyak 30 KK diperoleh timbulan sampah 2,27 liter/orang/hari atau 0,41 kg/orang/hari. Berat jenis 179 kg/m3.
- Komposisi sampah Komposisi sampah TPST Tampomas seperti pada tabel 2. Sedangkan potensi sampah yang dapat dikomposkan dan didaur ulang dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 2 Komposisi Sampah TPST Tampomas No 1 2 3 4 5
Komposisi
Persentase 37% 19% 26% 11 % 7% Total 100 % Sumber: Hasil Sampling Tim Advis Teknis Puskim, 2010 Organik Kertas Plastik Kaca Lain-lain
Tabel 3 Potensi Sampah yang Dapat Dikomposkan dan Didaur Ulang TPST Tampomas No
Jenis Sampah
Komposisi Sampah 1) (%)
Faktor Recovery (%) 2)
Sampah TPST (Kg/hari) 3)
Potensi Pengomposan di TPST 4)
1.
Organik
37
80
640
189
2.
Kertas
19
40
640
48
3.
Plastik
26
50
640
83
4.
Kaca
11
70
640
35
5.
Lain-lain
7
-
-
-
Potensi Bank Sampah -
Sumber : Hasil Analisis Keterangan : 1) Data sampling komposisi sampah, Tim Peneliti, 2010 2) Sumber : Trihadiningrum, 2006 3) Perhitungan = jumlah KK (RW16+RW17) x 4 orang/KK x 0,4 kg/orang/hari = 400 X 4 x 0,4 = 640 kg/hari 4) Potensi pengomposan : sampah organik (%)x factor recovery(%) x jumlah sampah TPST 5) Potensi bank sampah : sampah anorganik kertas, plastik dan kaca (%) x factor recovery (%) x jumlah sampah TST
37
Peningkatan Fungsi Tempat … (Aryenti, Sri Darwati)
Berdasarkan tabel 3 tersebut di atas, diketahui bahwa potensi sampah yang dapat dikomposkan adalah sampah organik 189 Kg/hari. Untuk sampah yang dapat didaur ulang adalah sampah anorganik yaitu kertas 48 Kg/hari, plastik 83 Kg/hari, kaca 35 Kg/hari, lain-lain 7%. Pengembangan Bank Sampah TPST Tampomas dapat dikembangkan sebagai Bank Sampah. Melihat potensi bahan anorganik yang cukup tinggi dan adanya rencana penambahan wilayah pelayanan dari RW lain yang akan bergabung dalam pengelolaan TPST Tampomas. Dengan mendirikan Bank Sampah di TPST diharapkan dapat menarik minat masyarakat untuk memilah sampahnya sejak di sumber. Sosialisasi dilakukan dengan mengenalkan cara kerja Bank Sampah, keuntungan dan manfaat menabung pada Bank Sampah Dukungan dari PKK Terbentuknya kepengurusan TPST Tampomas didukung oleh ibu-ibu PKK yang siap membantu pengelola dalam administrasi maupun memungut iuran di masing-masing RT. Untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan masyarakat dan ibu-ibu PKK dalam pengelolaan sampah 3R perlu dilakukan beberapa upaya diantaranya melalui pelatihan pengomposan, kerajinan daur ulang sampah organik, pengembangan penghijauan dengan pemanfaatan kompos hasil pengolahan sampah
KESIMPULAN DAN SARAN Disimpulkan bahwa untuk memfungsikan kembali TPST perlu adanya pendampingan masyarakat dalam pengelolaan secara teknis, kelembagaan dan pendanaan. Perlunya dukungan Pemerintah terkait peningkatan sarana dan sarana, legalitas kelembagaan dan teknis pengelolaan persampahan. TPST dapat dikembangkan sebagai pengolahan sampah melalui pengomposan dan daur ulang sampah anorganik. Dukungan masyarakat dilakukan melalui pelibatan masyarakat dan ibu-ibu PKK dalam pengelolaan sampah. Disarankan untuk Pemda melakukan pendampingan yang berkelanjutan dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat. TPST perlu dikembangkan selain melalui pengomposan juga daur ulang sampah anorganik melalui pengembangan Bank Sampah untuk meningkatkan pemasukan untuk keberlanjutan pembiayaan operasional pengelolaan TPST.
38
DAFTAR PUSTAKA Adi, Rukminto Isbandi. 2002. Pemikiran-pemikiran dalan Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI. Darwati, Sri, Aryenti. 2010. Laporan Advis Teknis. Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Tampomas, Perum Baros Kencana. Kota Sukabumi. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2003, Pedoman Pengelolaan Persampahan Perkotaan Bagi Pelaku Pelaksana. Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Pedesaan. Jakarta. Direktorat Jenderal Ciptakarya. 2009, 3R Berbasis Masyarakat di Kawasan Permukiman. Buku Pedoman. Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman. Departemen PU. Ife, Jim.1996. Community Development: Creating Community Alternatives – Vision, Analysis and Practice. Longman. Laporan bulanan, 2010, Pengelolaan Sampah di TPST Tampomas Bumi Baros Kencana RW 16 dan 17 Sukabumi. Pusat Litbang Permukiman Balitbang PU, 2010, Pendampingan Masyarakat dalam Pelaksanaan Pengelolaan Sampah dengan Pola 3R di Kota Banjar. Laporan bulan ke 3. Pemberdayaan Masyarakat. 2008. Laporan bulanan, 2010. Bank Sampah, Green and Clean, RW 13 Kelurahan Babakan Surabaya Kiaracondong. Bandung. Slamet Riyanto, Mardianto Darwin, Aulia Rahmawati. 2010. Korelasi Antara Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Pemilahan Sampah Kering dan Basah. Desa Pendem Kecamatan Junrejo Kota Batu http://G:/SAMPAH%201.htm Sanitation. Dimsum Indonesia http//www. Dimsum. Hs. Ac. Id. Trihadiningrum, Y.S. Wignyosoebroto, N.D. Simatupang, S. Tirawaty, and O. Damayanti, 2006. “Reduction Capacity of Component in Municipal Solid Waste of Surabaya City, Indonesia” Proc. International Seminar on Environment Technology and Management Converence 2006. Bandung, September 7-82006. Winarni, Tri. 2004. ”Pemberdayaan Masyarakat Miskin melalui Pengembangan Modal Usaha” dalam Sunartiningsih. Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Institusi Lokal. Yogyakarta: Aditya Media. ----------, 2008. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008: Pengelolaan Sampah, Jakarta; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Lembaran Negara RI Tahun 2008 Nomor 69.
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 33-39
............, 2005. Penggalian Potensi Swadaya Masyarakat; Materi Penyuluhan Dalam Rangka Orientasi Pokja P2LT. Pemugaran Perumahan dan Lingkungan Desa secara Terpadu. ............., 2002. Pelatihan Pelatih Fasilitator ”Pemberdayaan Masyarakat Bidang
Permukiman dan Prasarana Wilayah” Pusat Pengembangan Peran Masyarakat sebagai Mitra Anda dalam Melaksanakan Pengembangan Peran Masyrakat di Bidang Permukiman dan Prasarana Wilayah. Departemen PU.
39
Karakteristik Ruang Tradisional … (I Putu A. W. K., Iwan S.)
KARAKTERISTIK RUANG TRADISIONAL PADA DESA ADAT PENGLIPURAN, BALI Characteristic of Traditional Space in the Traditional Village of Penglipuran, Bali 1I
Putu Agus Wira Kasuma, 2Iwan Suprijanto
Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar, Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Danau Tamblingan No. 49, Sanur, Denpasar, Bali 1E-mail :
[email protected] 2E-mail :
[email protected] Diterima : 19 September 2011; Disetujui : 16 Desember 2011
Abstrak Lingkungan permukiman tradisional di Bali memiliki banyak potensi salah satunya adalah pola ruang tradisional yang mencerminkan aktivitas sosial dan budaya masyarakatnya. Seperti halnya Desa Adat Penglipuran yang memiliki tatanan pola ruang yang unik dan merupakan warisan budaya yang harus dipertahankan. Dinamika pertumbuhan penduduk serta arus perkembangan kebutuhan masa kini menimbulkan kebutuhan akan ruang yang dapat merusak tatanan ruang tradisional yang ada. Di lain pihak belum adanya regulasi yang berisikan mengenai aturan tata ruang Desa Adat Penglipuran menjadi faktor ancaman bagi keberlanjutan dari pola ruang yang sudah dijaga sampai sekarang. Permasalahannya adalah belum teridentifikasinya karakteristik ruang tradisional di Desa Adat Penglipuran sebagai landasan untuk menyusun konsep tata ruang Desa Adat Penglipuran yang ideal. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan rasionalisme. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif yaitu berusaha untuk menggambarkan kondisi pola ruang tradisional di Desa Adat Penglipuran dan mengidentifikasi karakter dari masing-masing ruang yang ada. Hasil penelitian adalah ruang tradisional Desa Adat Penglipuran terdiri dari tiga tingkatan ruang yang berdasarkan konsep Tri Mandala, yaitu Utama, Madya dan Nista dimana pada masing-masing ruang memiliki tingkat kesucian, lokasi/ penempatan, guna lahan dan fungsi ruang yang berbeda. Kata Kunci : Lingkungan, permukiman tradisional, karakteristik ruang, desa adat, pola ruang tradisional
Abstract Traditional neighborhoods in Bali has lots of potential, one of them is the traditional spatial patern that reflects the social activities and culture of the community. As in the Traditional Village of Penglipuran, which has a unique order of spatial pattern and a cultural heritage that must be maintained. The dynamics of population growth and development flow of current needs raises the need for space that can be destructive to the present tradional spatial pattern. On the other hand, the absence of regulations containing rules regarding spatial order of the Traditional Village of Penglipuran becoming a threat to the sustainability of the spatial pattern that has been mantained until now. The problem is the characteristics of the tradional space in the Traditional Village of Penglipuran has not been identified to use as a basis to formulate the concept of the village’s ideal spatial order. This study is a qualitative with rationalism approach. Data analysis was conducted in qualitative descriptive method, to try describing the condition of the tradional spatial pattern in the Traditional Village of Penglipuran and identify the character of each existing space. The output of the study is that the Traditional Village of Penglipuran consists of three different spatial level based on concept of Tri Mandala, i.e. Utama, Madya and Nista where in each space has a different purity level, location/ placement, land use, and different function of space. Keywords : Neighbourhood, traditional settlements, the characteristics of space, traditional village, traditional spatial patern
PENDAHULUAN Latar Belakang Penglipuran adalah salah satu desa tradisional atau desa tua di Bali atau sering disebut Bali Aga atau Bali Mula. Seperti kebanyakan desa Bali Aga di Bali, masyarakat Desa Adat Penglipuran adalah masyarakat yang tidak menganut sistem kasta. Desa Tradisional Penglipuran memiliki potensi
40
budaya yang sampai saat ini tetap terpelihara dengan baik. Potensi paling unik yang dimiliki adalah pola tata ruang dan arsitektur bangunan tradisional Bali khas Penglipuran sehingga disebut Desa Adat Tradisional Penglipuran. Keunikan yang dimiliki desa ini adalah modal besar yang menjadikan Desa Adat Penglipuran ditetapkan
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 40-50
sebagai desa wisata oleh Pemerintah Daerah Bali sejak tahun 1992 (Astuti, 2002). Kondisi pola ruang ini memberikan dampak positif yang sangat besar bagi desa dan masyarakat Penglipuran sendiri. Local genius masyarakat setempat menimbulkan suatu tatanan kehidupan sosial yang nyaman, dimana terdapat suatu pola hubungan yang saling terkait yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana. Dalam konsep Tri Hita Karana terdapat hubungan yang selaras antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya (Monografi Desa Adat Penglipuran, 2001). Keadaan tata ruang dan sosial masyarakat Penglipuran ini adalah daya tarik yang besar bagi wisatawan lokal maupun asing dan menjadi jati diri desa yang khas yang harus dipertahankan. Potensi ancaman terhadap kondisi tata ruang Desa Adat Penglipuran datang dari banyak faktor. Faktor internal yang harus diwaspadai adalah pertumbuhan penduduk yang cepat dan membutuhkan banyak ruang sehingga mendorong terjadinya alih fungsi lahan yang kadang tidak sesuai dengan peruntukannya. Kemudian dinamika pertumbuhan penduduk juga berdampak pada perubahan intensitas dan kepadatan bangunan di area Desa Penglipuran karena akan terjadi penambahan ruang-ruang baru pada kompleks permukiman tradisional. yang menyebabkan rusaknya pola tatanan ruang tradisional. Ancaman lain datang dari tren pembangunan dan pengembangan wilayah masa kini. Bali yang merupakan pulau seribu pura dimana menjadi salah satu pusat pariwisata dunia dihadapkan pada pembangunan-pembangunan di sektor pariwisata yang dapat mengancam kelestarian yang dimiliki oleh Pulau Bali. Sebagai contoh, Desa Ubud dan Desa Kuta yang merupakan desa tradisional Bali daratan kini berubah menjadi desa wisata akibat dari pengaruh pariwisata yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial budaya masyarakat. Di sisi lain, pola tata ruang Desa Adat Penglipuran belum memiliki kekuatan hukum yang jelas. Secara formal, aturan ruang Desa Penglipuran masuk dalam dokumen RDTRK Ibu Kota Kecamatan Bangli 2005-2015. Namun di dalam dokumen tersebut tidak dibahas secara rinci tentang aturan ruang tradisional Desa Adat Penglipuran karena kedalaman rencana tidak detail, sehingga belum terdapat aturan tata ruang yang khusus mengatur dan mengendalikan pola tata ruang untuk wilayah Penglipuran. Maka dari itu perlu disusun sebuah konsep tata ruang Desa Adat Penglipuran yang ideal yang mampu mengakomodasi kebutuhan masa kini tanpa menyalahi nilai-nilai tradisional yang ada.
Permasalahan Penelitian Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah belum teridentifikasinya karakteristik ruang tradisional Desa Adat Penglipuran, dimana dapat menjadi acuan dalam penyusunan konsep tata ruang Desa Adat Penglipuran yang mampu mempertahankan nilai-nilai tradisional di tengah perkembangan terhadap kebutuhan masyarakat masa kini. Pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah Bagaimana karakteristik ruang tradisional yang ada di Desa Adat Penglipuran? Tujuan Penelitian Mengidentifikasi karakteristik ruang tradisional Desa Adat Penglipuran. Manfaat Penelitian Sebagai acuan dan data dasar untuk menyusun regulasi tata ruang Desa Adat Penglipuran yang ideal yang mampu mengakomodasi kebutuhan masa kini tanpa menyalahi nilai-nilai tradisional.
METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan rasionalisme. Penelitian ini mengkaji literatur/ teori dengan kondisi/ data empiris lapangan. Metode penelitian dilakukan secara kualitatif dimana digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, peneliti adalah instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan) dengan mengkaji data-data sekunder dan mengamati objek penelitian secara langsung di lapangan, teknik analisis data dilakukan secara kualitatif dan bersifat induktif dimana hasil penelitian disajikan secara narasi deskriptif.
KAJIAN PUSTAKA/ TEORI Tata Ruang Tradisional Bali Pola tata ruang tradisional Bali pada dasarnya dilandasi oleh falsafah Makrokosmos dan Mikrokosmos yang umumnya dikenal dengan istilah “Bhuana Agung” dan “Bhuana Alit”. Terdapat beberapa konsep keruangan tradisional yang mengatur hubungan Bhuana Agung (makrokosmos) dan Bhuana Alit (mikrokosmos), antara lain Tri Hita Karana, Tri Angga dan Sanga Mandala. Tri Hita Karana yang secara harfiah Tri berarti tiga; Hita berarti kemakmuran, baik, gembira, senang dan lestari; dan Karana berarti sebab musabab atau sumbernya sebab (penyebab), atau tiga sebab/ unsur yang menjadikan kehidupan (kebaikan), yaitu: 1). Atma (zat penghidup atau jiwa/roh), 2). Prana (tenaga), 3). Angga (jasad/fisik). Bhuana agung (alam semesta) yang sangat luas tidak mampu digambarkan oleh 41
Karakteristik Ruang Tradisional … (I Putu A. W. K., Iwan S.)
manusia (bhuana alit), namun antara keduanya memiliki unsur yang sama, yaitu Tri Hita Karana, oleh sebab itu manusia dipakai sebagai cerminan. Konsepsi Tri Hita Karana dipakai dalam pola perumahan tradisional yang diidentifikasi; Parhyangan /Kahyangan Tiga sebagai unsur Atma/jiwa, Krama/warga sebagai unsur Prana tenaga dan Palemahan/tanah sebagai unsur Angga/jasad (Kaler dalam Andhika, 2004). Bila dijabarkan lebih lanjut, maka yang dimaksud dengan: (1) Parhyangan adalah hal-hal yang mengatur hubungan yang berkaitan dengan Ketuhanan dan dilandasi oleh kepercayaan dan agama Hindu dalam memuja Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta dan sebagai asal dan tujuan manusia; (2) Pawongan adalah hal-hal yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupannya bermasyarakat sehingga terjadi kebaikan, kesenangan maupun kelestarian, (3) Palemahan merupakan wilayah teritorian dimana manusia hidup dengan lingkungannya (Andhika, 2004). Dalam konsep Tri Hita Karana sebagai suatu relasi akan terlihat jelas adanya saling berhubungan, dan biasanya dapat dibedakan ke dalam hubungan yang bersifat menegak (vertikal) dan hubungan yang mendatar (horizontal). Teori Relasi dikaitkan dengan secara vertikal terlihat hubungan antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan) dan manusia dengan alam (palemahan), sedangkan secara horizontal dapat terlihat dalam gambar di bawah ini adalah hubungan satu manusia dengan manusia lainnya maupun kelompok manusia dengan kelompok lainnya.
tradisional sendiri mengandung tiga elemen, yaitu ruang dengan elemen-elemen penyusunnya (bangunan dan ruang sekitarnya), tatanan (formation) yang mempunyai makna komposisi serta pattern atau model dari suatu komposisi. Menurut Acwin (2003), dari konsep Sanga Mandala yang bersifat abstrak diterjemahkan ke dalam kosep fisik, baik dalam skala rumah dan perumahan. Pada skala rumah, tiap segmen peruntukan didasarkan atas tingkat sakral dan profan. Elemen ruang yang paling sakral seperti Merajan (pura rumah tangga) ditempatkan pada segmen sakral (utama), yaitu kaja-kangin. Meten (tempat tidur), dan tempat bekerja ditempatkan pada segmen madya, kandang ternak atau kotoran ditempatkan pada segmen nista. Dalam skala permukiman, penerapan konsep Sanga Mandala, ada 3 macam pola tata ruang, yaitu : a) Pola Perempatan (Catus Patha) Pola Perempatan, jalan terbentuk dari perpotongan sumbu kaja - kelod (utara-selatan) dengan sumbu kangin-kauh (timur-barat). Berdasarkan konsep Sanga Mandala, pada daerah kaja-kangin diperuntukan untuk bangunan suci yaitu pura desa. Letak Pura Dalem (kematian) dan kuburan desa pada daerah kelod-kauh (barat daya) yang mengarah ke laut. Peruntukan perumahan dan Banjar berada pada peruntukan madya (baratlaut).
Tuhan
Hubungan Vertikal Manusia
Manusia Hubungan Horizontal Hubungan Vertikal
Alam
Sumber : Jiwa Atmaja dalam Suyasa (2006) Gambar 1 Hubungan Teori Relasi dengan Tri Hita Karana
Pola Permukiman Adat Bali Wikantiyoso dalam Udiyana (2008), menyatakan bahwa permukiman tradisional adalah aset kawasan yang dapat memberikan ciri ataupun identitas lingkungan. Identitas kawasan tersebut terbentuk dari pola lingkungan, tatanan lingkungan binaan, ciri aktifitas sosial budaya dan aktifitas ekonomi yang khas. Pola tata ruang permukiman 42
Sumber : Acwin (2003) Gambar 2 Pola Permukiman Catus Patha
b) Pola Linier Pada pola linier konsep Sanga Mandala tidak begitu berperan. Orientasi kosmologis lebih didominasi oleh sumbu kaja-kelod (utara-selatan) dan sumbu kangin-kauh (timur-barat). Pada bagian ujung Utara perumahan (kaja) diperuntukan untuk Pura (pura bale agung dan pura puseh). Sedang di ujung selatan (kelod) diperuntukan untuk Pura Dalem (kematian) dan kuburan desa. Diantara kedua daerah tersebut terletak perumahan penduduk dan fasilitas umum (bale banjar dan pasar) yang terletak di plaza umum. Pola linier pada umumnya terdapat pada perumahan di daerah pegunungan di
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 40-50
Bali, dimana untuk mengatasi geografis yang berlereng diatasi dengan terasering.
Pustaka/teori mengenai pola ruang tradisional Bali pada dasarnya memiliki konsep yang sama, yaitu membagi ruang menjadi beberapa tingkat yang mencirikan perbedaan kesucian serta kepentingan di dalamnya. Komparasi dari teori konsep pola ruang tradisional Bali dapat dilihat pada tabel di bawah. Tabel 1 Komparasi Konsep Pola Ruang Tradisional Bali dalam Lingkup Desa Konsep Pola Ruang Tradisional Bali Tri Hita Tri Angga/ Sanga Karana Tri Mandala Mandala Utama Utamaning Parhyangan Mandala Utama Pawongan
Sumber : Acwin (2003) Gambar 3 Pola Permukiman Linier
Madya Mandala
Nista Mandala Sumber : Penulis (2008) Palemahan
Madyaning Madya Nistaning Nista
Indikator Kahyangan Tiga (Pura Desa) Warga desa, Perumahan/ permukiman desa Setra/ kuburan desa
Secara konseptual, kajian mengenai konsep pola ruang tradisional Bali terimplementasi pada lingkup pedesaan dengan keberadaan ruang-ruang (kawasan) yang mewadahi indikator/ manivestasi dari masing-masing perwujudan konsep. Ruang yang menampung manivestasi tersebut merupakan lingkup ruang tradisional yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Sumber : Acwin (2003) Gambar 4 Pola Permukiman Kombinasi
a) Pola Kombinasi Pola kombinasi merupakan paduan antara pola perempatan (Catus patha) dengan pola linier. Pola sumbu perumahan memakai pola perempatan, namun demikian sistem peletakan elemen bangunan mengikuti pola linier. Peruntukan pada fasilitas umum terletak pada ruang terbuka (plaza) yang ada di tengah-tengah perumahan. Lokasi bagian sakral dan profan masing-masing terletak pada ujung utara dan selatan perumahan.
Berdasarkan komparasi di atas, dapat ditarik benang merah bahwa di dalam lingkup desa, konsep pembagian ruang tradisional Bali adalah membagi ruang menjadi tiga tingkatan. Dalam tulisan ini, pembagian ruang tradisional yang digunakan sebagai variabel penelitian adalah Ruang Utama, Ruang Madya dan Ruang Nista. Karakteristik ruang yang dituju dalam tulisan ini adalah identitas dari ruang tradisional yang mencakup : 1. Tingkat kesucian 2. Letak/ lokasi ruang 3. Guna lahan 4. Fungsi ruang Selanjutnya, definisi operasional dari masingmasing variabel dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2 Variabel Penelitian Karakteristik Ruang Tradisional Desa Adat Penglipuran Variabel Ruang Utama
Sub Variabel
Definisi Operasional Ruang yang diperuntukkan sebagai kawasan suci, tidak diperuntukkan sebagai tempat bermukim, terdapat perlindungan terhadap area pura (kawasan suci) dengan akses dibatasi untuk kepentingan atau kegiatan-kegiatan tertentu yang pada umumnya bersifat keagamaan. Ruang Ruang Madya- Ruang tempat tinggal (permukiman) perdesaan dengan kepadatan lemah-sedang, sebagai tempat Madya Pekarangan masyarakat desa melakukan aktivitas, berinteraksi dan dilengkapi dengan infrastruktur perumahan. Ruang Madya- Ruang desa di areal madya yang diperuntukkan sebagai ruang terbuka, tempat masyarakat bekerja Tegalan (bermatapencaharian) Ruang Ruang NistaRuang yang dilindungi karena terdapat pura dan kawasan yang berfungsi sebagai area kotor dalam Nista Sakral rangkaian kegiatan keagamaan (kuburan) Ruang NistaRuang desa di areal nista yang diperuntukkan sebagai ruang terbuka, tempat masyarakat bekerja Tegalan (bermatapencaharian) Sumber : Penulis (2008)
43
Karakteristik Ruang Tradisional … (I Putu A. W. K., Iwan S.)
Rona Lingkungan Desa Adat Penglipuran Desa Adat Penglipuran merupakan salah satu desa tradisional pegunungan Bali yang terletak pada ketinggian 600 meter di atas permukaan laut, yang termasuk dataran tinggi. Permukaan tanah yang relatif datar dengan perbedaan ketinggian berkisar 5-15 meter. Jenis tanah di desa ini agak merah kekuningan dengan keadaan subur yang sesuai untuk berbagai macam tanaman/pohon. Namun, jenis tanaman yang paling cocok adalah kelapa, bambu, salak dan kopi. Luas Desa Tradisional Penglipuran ±112 Ha, terdiri dari pekarangan, hutan bambu, hutan vegetasi lainnya dan lahan pertanian.
Secara administratif, Desa Tradisional Penglipuran terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Bali. Adapun batas-batas wilayah Desa Adat Penglipuran adalah : Utara Timur Selatan Barat
: Desa Adat Kayang : Desa Adat Kubu : Desa Adat Gunaksa : Desa Adat Cekeng
Wilayah Desa Adat Penglipuran dapat dilihat pada Peta Desa Penglipuran di bawah.
Wilayah Penelitian (Desa Adat Penglipuran)
Sumber : RDTRK Ibukota Kecamatan Bangli 2005 Gambar 5 Peta Lokasi Desa Adat Penglipuran
Penggunaan lahan di Desa Penglipuran dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu Pekarangan, Tegalan, Laba Pura, Kuburan, Hutan dan lainnya. Sebagian besar jenis penggunaan
44
lahan di Desa Penglipuran adalah tegalan. Berdasarkan catatan Statistik Lingkungan Penglipuran Tahun 2007-2008, penggunaan lahan desa adalah :
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 40-50
Penggunaan Lahan Desa Adat Penglipuran Tahun 2008 2% 5% Pekaranagan Pekarangan Tegalan
42% 43% 7%
Laba Pura Kuburan Hutan
1%
Lain-lain
Sumber : Statistik Lingkungan Penglipuran 2007-2008 Gambar 6 Diagram Penggunaan Lahan Desa Adat Penglipuran Tahun 2008
Dari chart di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar lahan di Desa Adat Penglipuran masih berupa kawasan tak terbangun. Lebih dari 80% lahan di Desa Penglipuran merupakan hutan dan tegalan. Untuk lebih jelas, penggunaan lahan Desa Adat Penglipuran dapat dilihat pada Peta Penggunaan Lahan di bawah.
masyarakat sebagian besar sebagai petani dan peternak pada daerah pedalaman atau pegunungan. Desa Adat Penglipuran merupakan tipologi desa tradisional dataran tinggi (desa pegunungan) yang terlihat dari orientasi desa mengarah ke arah Utara/Kaja (Gunung Batur) dan Selatan/Kelod. Dengan posisi desa pada daerah dengan kemiringan yang merata dari arah Utara ke Selatan.
PEMBAHASAN Perkembangan Permukiman Desa Sebagai desa yang berdiri dari sebuah tempat peristirahatan prajurit zaman dahulu, Desa Adat Penglipuran mulanya hanya merupakan sebuah benteng dan dihuni oleh beberapa kelompok prajurit Kerajaan Bangli yang berasal dari Desa Bayung Gede. Dari waktu ke waktu, akhirnya warga terus bertambah karena berkeluarga dan sudah layak membentuk sebuah desa dan akhirnya memisahkan diri dan sepakat membentuk desa tersendiri. Pola penataan ruang yang dianut oleh desa ini mengambil konsep pola ruang yang digunakan pada desa leluhurnya yaitu Desa Bayung Gede. Kondisi awal wilayah Desa Adat Penglipuran sebagai desa tradisional pegunungan memperlihatkan dua ciri yang menonjol, yaitu sebagai berikut : A. Persebaran pola pemukiman cenderung bersifat linier hanya sepanjang poros utama desa; dan B. Susunan (lay out) sarana penting desa memperlihatkan pola desa tradisional pegunungan (pola linier).
Sumber : Statistik Lingkungan Penglipuran 2007-2008 Gambar 7 Peta Penggunaan Lahan Desa Adat Penglipuran 2008
Berdasarkan Monografi Desa Adat Penglipuran Tahun 2001, dari pendekatan tradisi dan ciri yang ditampilkan Desa Adat Penglipuran merupakan Desa Bali Aga yang merupakan bagian dari zaman kehidupan Bali Kuno, dimana pusat-pusat permukiman, pemerintahan dan penghidupan
Pada mulanya permukiman adat Desa Penglipuran yang terdiri dari 76 pekarangan ini hanya merupakan permukiman yang berada dipinggir (sepanjang) poros utama desa. Pada sisi Barat dan Timur aksis linier ini membentang pekarangan warga yang masing-masing memiliki luas yang sama yaitu sikut satak (2,5 are). Sedangkan wilayah lainnya masih merupakan kawasan tak terbangun yang berupa hutan dan tegalan termasuk lahan dibelakang pekarangan sikut satak tersebut. Pada lingkup kawasan ruang sikut satak tersebut terbangun beberapa bangunan tradisional yang menjadi ciri khas Desa Adat Penglipuran yaitu : o Dapur Tradisi Penglipuran, terletak di sebelah Utara dan sekaligus sebagai tempat tidur bagi yang sudah jompo. o Bale Saka Enem, terletak di sebelah Selatan sebagai tempat upacara yadnya (manusia yadnya, pitra yadnya, dll). o Loji, terletak di sebelah Barat sebagai tempat tidur keluarga, tempat menerima tamu dan ruang bermain anak-anak. 45
Karakteristik Ruang Tradisional … (I Putu A. W. K., Iwan S.)
Jalan (Sumbu Utama) D
B
D
A
C
A
Bangunan Sanggah
A
C
Keterangan : Lingkup satak
B
B
Dapur Tradisional
C
Bale Saka Enam
D
Bangunan Loji
U
Sikut
Sumber : Pengamatan Lapangan, 2008 Gambar 9 Alokasi dan Orientasi Bangunan Tempat Tinggal
Dan selanjutnya penduduk yang terus bertambah membutuhkan ruang untuk tempat tinggal sehingga semakin banyak keluarga yang menghuni setiap pekarangan di Desa Adat Penglipuran. Hal ini menyebabkan semakin luasnya area terbangun di masing-masing pekarangan sehingga permukiman desa semakin meluas. Meluasnya setiap pekarangan ke arah belakang mulai terjadi pada awal tahun 1980. Hal ini menyebabkan lahan tegalan yang ada di belakang pekarangan berubah fungsi menjadi bangunan tempat tinggal. Perkembangan permukiman terjadi melebar ke arah pinggir Barat dan Timur namun tetap sepanjang akses linier Utara-Selatan sebagai poros utama desa. Perkembangan yang lebih pesat terjadi di jejer permukiman sebelah Timur yang berdekatan dengan akses jalan kolektor menuju pusat Kota Bangli. Sedangkan jejer permukiman di sebelah Barat masih mempertahankan pekarangannya yang terbukti dengan lebih luasnya proporsi kawasan tak terbangun. Untuk mengantisipasi perkembangan yang tidak teratur ini, pada akhir periode 1980 dibangun jalan lingkar yang mengelilingi desa dan permukiman di sekitar poros utama desa. Namun perkembangan jumlah penduduk tidak mampu ditampung oleh kawasan permukiman adat (inti) terutama pada permukiman jejer Timur. Keadaan jumlah penduduk yang terus meningkat setiap tahun menyebabkan muncul banyak permukiman di sepanjang jalan lingkar desa sampai pada kawasan Selatan yang merupakan zona tegalan dan hutan. Pada awal tahun 2000an permukimanpermukiman baru muncul di luar zona permukiman inti bersifat bangunan permukiman modern. Selain itu permukiman-permukiman baru ini juga memiliki penggunaan ganda (mix use) yaitu sebagai sarana permukiman dan sarana komersial di sepanjang jalan lokal.
46
Sumber : Wawancara, 2009 Gambar 10 Perkembangan Permukiman
Karakteristik Ruang Tradisional Desa Adat Penglipuran Secara konseptualistik, Desa Adat Penglipuran mengikuti pola Hulu-Teben (linier) dimana As utama yaitu poros Utara-Selatan merupakan aksis linier desa yang sekaligus berfungsi sebagai open space untuk kegiatan bersama-sama. Open space ini membagi desa menjadi dua bagian, yaitu jejer Barat dan jejer Timur. Orientasi arah Hulu-Teben yaitu pada daerah hulu merupakan kawasan suci dan pada daerah teben merupakan kawasan nista dan diperuntukan untuk daerah kuburan. Jalan utama desa yang memanjang dari arah Utara ke Selatan merupakan “pusat” yang tidak hanya berfungsi sebagai sirkulasi umum tetapi juga berfungsi sebagai “plaza” dan ruang terbuka yang mampu meningkatkan hubungan antar gang/jalan setapak/pedestarian yang menuju ke pekarangan setiap unit rumah. Pusat ruang ini juga berfungsi sebagai pusat orientasi ruang publik pada saat pelaksanaan upacara adat (ritual ceremony). Pekarangan hanya berfungsi sebagai tempat tinggal untuk mengadakan upacara dan berhubungan dengan keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, penduduk mengusahakan kebun/ladang/pategalan di luar desa (di luar areal permukiman). Keterbatasan lahan dan keinginan untuk berinteraksi dengan jalan utama menyebabkan terjadi pengembangan perumahan ke arah pinggiran, tetapi tetap mempertahankan
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 40-50
untuk tidak membangun di sekitar/luanan Pura (Pura Puseh dan Pura Penataran). Menurut konsepsi orang Bali pada umumnya, terdapat suatu pemikiran yang bersifat baku dalam menerangkan kedudukan manusia di dalam alam semesta ini. Konsep itu menjelaskan bahwa alam semesta ini bentuknya seperti wadah dengan batas yang jelas dan tidak berubah-ubah. Sebagai suatu wadah, alam semesta ini mempunyai isi, yaitu elemen-elemen yang terlihat maupun tidak, yang masing-masing berdiri dan berfungsi sendiri, tetapi saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Seperti halnya alam semesta, rumah dan pekarangan dikonsepsikan juga sebagai suatu alam kecil (mikro kosmos) yang di dalamnya juga terdiri atas elemen-elemen fisik yang terlihat dan yang tidak terlihat. Elemen-elemen yang terlihat adalah seluruh unsur yang menjadi isi dari alam kecil tersebut. Misalnya, unsur-unsur mineral (tanah, batu), makhluk hidup dan termasuk pula sifat-sifat alam yang lain seperti panas, dingin dan sebagainya yang dapat dirasakan. Isi alam kecil yang tidak terlihat dikonsepsikan pula sebagai suatu ”jiwa” yang dianggap menggerakkan seluruh elemen yang lainnya itu. Hampir seluruh elemen yang mengisi rumah maupun pekarangan itu dikonsepsikan ke dalam tiga hakikat pokok, yaitu fisik, jiwa atau atma, dan tenaga (energi) yang satu sama lainnya berada dalam kesatuan yang utuh. Konsep tersebut terkristalisasi ke dalam apa yang disebut tiga penyebab utama kebahagiaan (Tri Hita Karana). Kebahagiaan itu menyangkut kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup jasmaniah (lahiriah) maupun rohaniah. Manifestasi dari Konsep Tri Hita Karana dalam ketataruangan biasanya terwujud sebagai bentuk tiga bagian dari keseluruhan ruang yang ada, yaitu ruang utama (suci) yang disebut parhyangan, ruang madya sebagai wadah interaksi dan kegiatannya yang disebut pelemahan, dan manusia yang disebut pawongan. Selanjutnya konsep makro Tri Hita Karana ini diturunkan dalam pola keruangan Desa Adat Penglipuran menjadi suatu tatanan ruang yang berdasar pada konsep tata ruang Tri Mandala. Pada hakekatnya manifestasi pola keruangan konsep Tri Mandala tidak jauh berbeda dari konsep Tri Hita Karana yang juga membagi ruang menjadi tiga bagian utama yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri. Berdasarkan studi literatur, dirumuskan variabel penelitian yang akan digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik ruang dalam pola ruang tradisional Desa Adat Penglipuran yaitu :
Ruang Utama Ruang Madya o Ruang Madya Pekarangan o Ruang Madya Tegalan Ruang Nista o Ruang Nista Sakral o Ruang Nista Tegalan Selanjutnya variabel tersebut akan dikaji berdasarkan kondisi lapangan yang ada di Desa Adat Penglipuran yang terkait dengan identitas dari masing-masing ruang untuk mengetahui karakteristi masing-masing ruang tersebut. Identifikasi karakteristik ruang tradisional Desa Adat Penglipuran bertujuan untuk mengetahui karakter masing-masing ruang yang terdapat di Desa Adat Penglipuran. Karakter yang dimiliki masing-masing ruang yang ada menjadi pertimbangan dalam perumusan konsep tata ruang Desa Adat Penglipuran. Karakter masing-masing ruang adalah : Ruang Utama Ruang Utama adalah tempat/ ruang yang paling disucikan, yang terletak pada bagian Utara desa dengan dataran paling tinggi dan merupakan dunianya para dewa/ nenek moyang leluhur. Pada zona utama ini, ditempatkan fasilitas kegiatan spiritual desa dan areal hutan, yaitu : - Pura Desa/Puseh - Pura Penataran - Pura Rambut Sri Sedana - Pura Dukuh - Pura Peneluah - Pura Empu Adi - Hutan bambu - Hutan kayu Sesuai dengan peruntukkannya sebagai zona untuk aktivitas yang berhubungan dengan Tuhan, maka sebagian besar bangunan yang ada pada zona Utama memiliki fungsi sebagai tempat ibadah. Sedangkan kawasan lainnya dalam ruang utama ini merupakan kawasan/lahan hutan bambu dan hutan kayu yang sepenuhnya menjadi kawasan konservasi. Hutan bambu ini merupakan bahan baku bangunan rumah tradisional Penglipuran sekaligus bahan baku kerajinan. Didukung adanya lab dan workshop bambu, Penglipuran berpotensi menjadi pusat studi dan museum hidup bambu. Dengan karakter yang dimiliki ruang utama ini sebagai ruang konservasi, maka segala kegiatan yang dilakukan pada ruang ini harus memperoleh izin dari Desa Adat Penglipuran, termasuk kegiatan penebangan bambu oleh warga setempat. Zona konservasi merupakan zona yang sebagian besar terdiri dari lahan basah yang memiliki akses sangat minim. Aksesibilitas ke hutan bambu ini hanya
47
Karakteristik Ruang Tradisional … (I Putu A. W. K., Iwan S.)
difasilitasi oleh jalan setapak dengan perkerasan tanah, sedangkan akses menuju kawasan pura sudah diperkeras dengan paving dan batu kali. Selain berfungsi sebagai zona suci karena terdapat tempat ibadah, zona ini juga berfungsi sebagai kawasan serap air dan penyimpan cadangan air tanah bagi kawasan sekitarnya, terutama kawasan permukiman. Ruang Madya Ruang Madya adalah bagian ruang kedua di Desa Adat Penglipuran yang secara horizontal terletak ditengah-tengah. Karakter ruang Madya Desa Adat Penglipuran dapat dibagi menjadi dua yaitu pekarangan (permukiman adat) dan tegalan disekitarnya. 1. Ruang Madya-Pekarangan Ruang ini merupakan tempat permukiman warga (dunianya manusia), dengan bangunan-bangunan rumah tinggal yang secara garis besar terbagi dalam 2 jejer pekarangan, yaitu jejer Barat dan jejer Timur. Pada zone ini terdapat juga beberapa sarana keagamaan dan berbagai fasilitas pelayanan umum seperti misalnya : - Balai Kulkul - Balai Banjar - Balai Penyimpenan - Kantor Kepala Lingkungan - Pura Dalem Tampuangan - Pura Ratu Pingit - Pura Catur Pala - Tugu Pahlawan - SD N 2 Kubu Pada sisi Selatan ruang ini terdapat Tugu Pahlawan yang memiliki ruang terbuka dan Balai Pertemuan, yang setiap tahun dipakai untuk memperingati hari wafatnya pahlawan Bangli “Anak Agung Anom Jaya Mudita” dan hari bersejarah lainnya. Pintu masuk menuju lingkungan Desa Adat Penglipuran adalah melalui jalan di sebelah Timur desa dengan pintu gerbang besar beratapkan bambu yang menjadi salam pertama memasuki Desa Adat Penglipuran. Terdapatnya beberapa pura di areal Madya ini lebih berfungsi sebagai pura fungsional yaitu pura yang ada karena kebutuhan dari suatu aktivitas masyarakat. Jadi, sebagian besar bangunan yang ada pada zona Madya-Pekarangan memiliki fungsi ruang sebagai permukiman dan sarana permukiman.
48
2. Ruang Madya-Tegalan Ruang ini berupa area tak terbangun dengan guna lahan jenis hutan, tegalan dan ladang yang terletak dalam susunan tengah-tengah Desa Adat Penglipuran. Ruang ini umumnya terletak di belakang pekarangan warga. Ruang ini memiliki potensi penghasil kekayaan alam seperti agrikultur dan forestry. Ruang ini memiliki fungsi peruntukan sebagai wadah/kawasan aktivitas penduduk dalam memenuhi kebutuhan perekonomian dan sebagai tempat bekerja (mata pencaharian) Ruang Nista Ruang Nista adalah bagian ruang yang ketiga yang terletak di bagian paling Selatan Desa Adat Penglipuran yang menyimbulkan dunia paling tidak suci dan berada pada dataran paling rendah. Karakter ruang yang ada pada zona ini dapat ditinjau menjadi dua, yaitu : 1. Ruang Nista-Sakral Pada kawasan ruang ini terletak kuburan warga dan beberapa pura, seperti Pura Dalem, Pura Prajapati, Pura Ratu Mas Ayu Manik Malasem. Beberapa pura dalam kawasan ini memiliki fungsi dan manifestasi dari kondisi lingkungan sekitarnya yang merupakan areal sakral yang menghubungkan manusia dengan alam. Ruang nista ini bersifat konservasi karena adanya kuburan dan beberapa pura tersebut merupakan area dengan akses terbatas dan aktivitas tertentu yang berkaitan dengan dunia tidak suci (hubungan manusia dangan bagian alam yang tidak suci). 2. Ruang Nista-Tegalan Ruang Nista ini berupa hutan dan ladang (tegalan) seperti halnya yang terdapat pada zona madya. Zona ini merupakan tempat penduduk melakukan aktivitas perekonomian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Peruntukkan kawasan tegalan ini seperti kegiatan perkebunan, pertanian, peternakan, dsb. Pada zona nista ini juga terdapat pondok yang merupakan sarana bermukim terletak dekat dengan tegalan. Pondok terbentuk karena aktivitas pada tegalan. Sesuai dengan peruntukkannya sebagai zona untuk aktivitas yang berhubungan dengan alam, maka sebagian besar bangunan dan ruang yang ada pada zona Palemahan memiliki fungsi sebagai sarana ekonomi dan sarana permukiman. Secara keseluruhan, karakter ruang tradisional Desa Adat Penglipuran dapat dikomparasikan pada tabel di bawah ini.
Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 1 April 2012 : 40-50
Tabel 3 Karakteristik Ruang Tradisional Desa Adat Penglipuran Karakter Ruang Klasifikasi Ruang Utama
Madya
MadyaPekarangan
Tingkat Letak/ Kesucian Penempatan/ Ruang Lokasi Ruang Ruang paling Utara/Hulu Desa suci Adat Penglipuran, pada dataran tinggi Tingkat Tengah-tengah Ruang Kedua Desa Adat (tengahPenglipuran tengah)
Guna Lahan Ruang
Fungsi Ruang
Tempat suci/ tempat peribadatan (pura) Sebagai kawasan dan terdapat penggunaan lahan sebagai peribadatan dan kawasan konservasi hutan bambu milik konservasi hutan adat
Permukiman warga beserta atribut desa Sebagai sarana dengan penggunaan lahan : perumahan, permukiman fasilitas peribadatan (pura klan), fasilitas umum dan sosial MadyaLadang, kebun dan tegalan Sebagai wadah aktivitas Tegalan perekonomian Nista Nista-Sakral Tingkat Selatan/ Teben Pura Dalem dan kuburan (setra) Sebagai kawasan sakral Ruang Ketiga Desa Adat penghubung manusia (paling tidak Penglipuran, dengan alam tidak suci Nistasuci) pada dataran Ladang, kebun dan tegalan Sebagai wadah aktivitas Tegalan paling rendah perekonomian Sumber : Hasil Analisa 2009
Dan secara spasial, pembagian ruang tradisional Desa Adat Penglipuran dapat dilihat pada Peta Ruang Desa Adat Penglipuran.
Sumber : Hasil Analisa, 2009 Gambar 11 Peta Karakteristik Ruang Tradisional Desa Adat Penglipuran
49
Karakteristik Ruang Tradisional … (I Putu A. W. K., Iwan S.)
KESIMPULAN Karakteristik ruang tradisional Desa Adat Penglipuran, adalah : Ruang Utama, merupakan ruang dengan tingkat kesucian paling tinggi, yang terletak di bagian Utara yaitu pada dataran tinggi desa. Penggunaan lahan pada ruang ini adalah pura sebagai fasilitas peribadatan dan hutan bambu sebagai kawasan konservasi. Ruang Madya, merupakan ruang dengan tingkat kesucian sedang, yang terletak di tengah-tengah desa. Ruang ini dikatagorikan menjadi dua, yaitu Ruang Madya Pekarangan dengan penggunaan lahan perumahan, peribadatan, fasilitas umum dan sosial yang merupakan ruang dengan fungsi permukiman; Ruang Madya Tegalan dengan penggunaan lahan tegalan dan kebun yang berfungsi sebagai tempat aktivitas perekonomian warga. Ruang Nista, merupakan ruang dengan tingkat kesucian paling rendah yang terletak di bagian Selatan/ bawah desa. Ruang ini dikatagorikan menjadi dua, yaitu Ruang Nista Sakral dengan penggunaan lahan pura dan kuburan yang berfungsi sebagai kawasan sakral penghubung manusia dengan alam tidak suci; Ruang Nista Tegalan dengan penggunaan lahan kebun dan tegalan yang berfungsi sebagai tempat aktivitas perekonomian warga.
SARAN Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan untuk merumuskan konsep tata ruang Desa adat Penglipuran yang ideal yang mampu mengakomodasi kebutuhan masa kini tanpa menyalahi nilai tradisional yang ada. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam menyusun suatu regulasi aturan ruang tradisional pada desa Adat Penglipuran khususnya dan desa-desa tradisional Bali umumnya. Perlu dilakukan identifikasi mengenai karakter budaya masyarakat adat Penglipuran serta
50
persepsi masyarakat terkait aturan tata ruang yang diinginkan mengingat masyarakat sendirilah yang berperan sangat penting dalam keberlanjutan nilai-nilai tradisional yang dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA Acwin Dwijendra, Ngakan Ketut. 2003. Perumahan dan Permukiman Tradisional Bali. Jurnal Permukiman Natah Vol. 1. Andhika, I Made. 2004. Pola Penataan Ruang Unit Pekarangan Di Desa Bongli Tabanan. Program Studi Arsitektur Universitas Udayana. Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar. 2008. Laporan Akhir: Pengembangan Model Ecoarchitecture dan Ecotourism pada Lingkungan Permukiman Tradisional. Buku Monografi Desa Adat Penglipuran Kelurahan Kubu, Bangli Tahun 2001. Kasuma, I Putu Agus Wira. 2009. Persepsi Masyakarat Adat sebagai Dasar Perumusan Konsep Tata Ruang Desa Adat Penglipuran, Bali. Tugas Akhir Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITS. Surabaya. Rencana Detail Tata Ruang Kota Ibukota Kabupaten Bangli Tahun 2005-2015. Sugiyono, Prof. Dr. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta. Suyasa, I Nyoman. 2006. Strategi Pelestarian Pusat Kota Bangli Berdasarkan Prinsip-Prinsip Ruang Tradisional Bali. Tugas Akhir Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITS, Surabaya. Stasistik Lingkungan Penglipuran Tahun 20072008. Udiyana, Artha. 2008. Hubungan Sosial Budaya Ekonomi Dalam Pembentukan Ruang Permukiman Tradisional Baliaga Di Desa Adat Pengotan Kabupaten Bangli. Skripsi. Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Malang.
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012 : 51-57
PARAMETER UNTUK MENYUSUN STRATIFIKASI PENGHASILAN STUDI KASUS : KECAMATAN NGAMPILAN KOTA YOGYAKARTA Parameter for Stratified Incomes Case Study of Ngampilan Sub-District, Yogyakarta City Heni Suhaeni
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan-Kabupaten Bandung 40393 E-mail :
[email protected] Diterima : 20 Januari 2012 ; Disetujui : 26 Maret 2012
Abstrak Secara umum, parameter untuk penyusunan stratifikasi penghasilan penduduk perkotaan berguna untuk mengukur dan mempertimbangkan rencana pembangunan perumahan dan penduduk yang menghuninya. Idealnya stratifikasi penghasilan ini dapat disusun secara berkala. Pertanyaannya adalah ukuran dasar apa yang dapat dijadikan acuan untuk menyusun stratifikasi tersebut, dan apa tujuan yang ingin dicapainya. Dalam penelitian ini dilakukan penyusunan stratifikasi penghasilan penduduk perkotaan berdasarkan 4 parameter. Tujuan penelitian ini berguna untuk menentukan kelompok sasaran subsidi perumahan. Sampel penelitian adalah data penghasilan penduduk kecamatan Ngampilan kota Yogyakarta sebagai studi kasus. Excel dan SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) digunakan untuk mengolah dan menganalisis data. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan menggunakan 4 parameter dapat disusun stratifikasi penghasilan penduduk secara lebih akurat, dan ternyata kelompok masyarakat berpenghasilan rendah adalah kelompok masyarakat terbesar. Dengan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin adalah yang terbesar, maka program subsidi perumahan seharusnya diprogramkan lebih spesifik, agar subsidi perumahan lebih tepat sasaran dan mampu memperbaiki kualitas kehidupan penduduk yang lebih layak. Kata Kunci : Penghasilan, stratifikasi sosial-ekonomi, kebutuhan dasar, tempat tinggal, dan perkotaan
Abstract Generally, parameter for stratified income of urban population is useful for the necessity of housing planning and development and it should be up-dated periodically. However, the question is, what the basis measurement can be used as a reference to arrange stratified income, and what the objective can be achieved by preparation of stratified income. This paper elaborates stratified income of urban residents which are based on four parameters. The sample for this study is the income data of residents who live in sub-district of Ngampilan Yogyakarta city as case study. The objective of this study is useful to determine the real target groups who need subsidies for urban dwelling units. Excel and SPSS (Statistical Package for the Social) are used to process and analyze data. The result shows that through 4 parameters stratified income can be arranged accuratelly and the low income community and the poor are the largest community, thus the subsidy of housing program should be more specific to gain the appropriate subsidies for the appropriate target group and to improve qualities of life. Keywords : Income, sosio-economic stratification, basic needs, housing and urban area
PENDAHULUAN Penduduk perkotaan di Indonesia memiliki heterogenitas yang tinggi, baik secara budaya, sosial maupun ekonomi. Selain wilayah perkotaan di Indonesia didiami oleh penduduk dari berbagai etnis, secara finansial terdiri atas kelompokkelompok penduduk berpenghasilan rendah, menengah dan tinggi. Secara ekonomi, keragaman tersebut dapat disusun mengikuti stratifikasi sosioekonomi, yaitu pengelompokan berdasarkan tingkatan penghasilan. Stratifikasi penduduk berdasarkan penghasilan dapat digunakan untuk memperkirakan ukuran minimum mendapatkan subsidi perumahan.
Secara fisik, sebenarnya stratifikasi pada kawasan perumahan dapat ditemukenali melalui kondisi tempat tinggal yang ditempati, contohnya kelompok masyarakat berpenghasilan rendah cenderung bertempat tinggal di kawasan kumuh tidak terpelihara, dengan infrastruktur dasar perumahan yang terbatas. Kelompok masyarakat berpenghasilan menengah dan tinggi cenderung bertempat tinggal di perumahan formal, elit atau mewah. Secara formal, penyusunan stratifikasi sosio-ekonomi penduduk pernah dilakukan untuk keperluan arahan pembangunan perumahan berimbang. Stratifikasi pembangunan rumah
51
Parameter untuk Menyusun … (Heni Suhaeni)
berimbang pernah diterbitkan melalui Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat (Kepmen Menpera) Nomor 4/KPTS/BK4N/1995. Dalam Kepmen tersebut dijelaskan bahwa proporsi antara penduduk berpenghasilan rendah, menengah dan tinggi berbanding antara 6 : 3 : 1. Perbandingan proporsi tersebut di atas dapat diartikan bahwa 60% dari populasi merupakan proporsi masyarakat berpenghasilan rendah, 30% merupakan proporsi masyarakat berpenghasilan menengah, dan hanya 10% merupakan masyarakat berpenghasilan tinggi. Hanya ukuran dasar yang dijadikan acuan penentuan stratifikasi tersebut tidak dijelaskan, dan belum pernah diperbaharui sejalan dengan perubahan sosio-ekonomi masyarakat, sehingga sulit untuk menentukan seberapa besar proporsi masyarakat berpenghasilan rendah yang memerlukan subsidi perumahan perkotaan, serta apakah dengan jumlah tersebut telah mengalami perubahan yang signifikan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi kota. Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Pusat Litbang Pemukiman untuk Kota Bandung dan Semarang tahun 2000 menunjukkan bahwa stratifikasi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah mencapai 90% dari populasi yang tidak mampu untuk memperoleh tempat tinggal apabila mengikuti harga pasar perumahan (Suhaeni, et. al, 2001). Komponen penghasilan memainkan peranan penting bagi masyarakat perkotaan untuk mendapatkan tempat tinggal atau rumah. Seperti yang dijelaskan oleh Anand dan Sen (2000) bahwa penghasilan berkaitan erat dengan daya beli atau kemampuan belanja untuk membiayai kehidupannya secara nyata. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sard (2001) menunjukkan bahwa 75% masyarakat berpenghasilan rendah di Amerika tinggal pada rumah-rumah sewa yang rusak dengan penghasilan sekitar 30% dibawah rata-rata. Pada umumnya, penghasilan penduduk Amerika lebih banyak diserap untuk biaya tempat tinggal, karena tempat tinggal merupakan prioritas utama guna melindungi penghuninya dari iklim sub-tropis yang dapat berubah secara ekstrim mengikuti musimnya, sementara biaya untuk kebutuhan hidup lainnya dapat dibatasi atau dikurangi. Berbeda dengan Indonesia, cuaca dan iklim selama ini bukan ancaman besar karena temperatur udara di negara beriklim tropis relatif stabil, sehingga kebutuhan dasar atas tempat tinggal seringkali terabaikan. Kebanyakan penduduk masih dapat hidup bertempat tinggal dengan kondisi bangunan
52
rumah seadanya, tanpa takut terhadap ancaman musim atau cuaca yang ekstrim. Padahal tempat tinggal atau rumah di mana pun adalah kebutuhan dasar bagi setiap orang. Tempat tinggal menjadi komponen penting dalam kehidupan manusia, karena secara fisik dapat melindungi manusia dari iklim atau cuaca, secara sosial dan psikologis merupakan tempat pertama manusia memulai proses berbudaya, bermasyarakat dan berpendidikan. Rumah menjadi tempat belajar melewati proses kehidupan. Dalam kehidupan bermasyarakat, tempat tinggal dapat menunjukkan jati diri seseorang atau keluarga. Interaksi antar rumah tangga juga dimulai dari tempat tinggal yang di sebut rumah. Kebutuhan untuk mendapatkan tempat tinggal bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah seringkali harus bersaing dengan berbagai kebutuhan lainnya dengan kemampuan finansial yang serba terbatas. Dari perspektif masyarakat berpenghasilan rendah, mereka terpaksa harus membatasi kebutuhan dasar hidup agar sebagian penghasilannya dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan, contohnya kebutuhan untuk biaya sewa rumah, makanan sehari-hari, pendidikan, dan pakaian, sehingga rumah yang ditempati adalah rumah murah yang kondisinya sebagai rumah substandar. Asupan makanan dikurangi, dan akses terhadap pelayanan kesehatan tidak menjadi perhatian. Keadaan ini merupakan cerminan dari masyarakat miskin. Ukuran Dasar Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Masyarakat Miskin BPS (2008) mendefinisikan penduduk miskin sebagai penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, berupa kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Ukuran standar kondisi miskin seseorang pada setiap daerah relatif sama bila ukurannya konsumsi makanan dan bukan makanan, tetapi akan berbeda-beda untuk setiap kota / kabupaten apabila dikonversikan dalam nilai rupiah, karena setiap kabupaten / kota memiliki indeks harga masing-masing. Contohnya, BPS (2011) menetapkan garis kemiskinan berdasarkan hasil susenas tahun 2010 untuk kota Yogyakarta sebesar Rp 265.752,- per bulan per kapita, atau sebesar sebesar Rp. 982.282,- per bulan per keluarga dengan rata-rata satu keluarga terdiri atas 3-4 orang (3,7) per keluarga, tetapi untuk kabupaten di Yogyakarta sebesar Rp. 217.923,- per bulan per kapita, atau sekitar Rp. 806.315,-per bulan per rumah tangga. BPS (2011) menghitung ukuran Garis Kemiskinan Nasional tahun 2011 untuk kawasan perkotaan
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012 : 51-57
berdasarkan hasil susenas tahun 2010 setara dengan Rp. 253.016,- per bulan per kapita, atau sekitar Rp. 986.762,- per bulan per rumah tangga yang terdiri atas seorang ibu, ayah dan dua anak. BPS juga telah mengembangkan 14 kriteria penduduk yang dikatagorikan rumah tangga miskin. Menurut kriteria BPS, apabila sebuah rumah tangga memiliki 9 atau lebih dari 14 kriteria yang tercantum dalam tabel 1, maka rumah tangga tersebut termasuk rumah tangga miskin (lihat tabel 1). Di Indonesia, dengan ukuran kemiskinan seperti diuraikan di atas, sangat rentan apabila terjadi krisis ekonomi, penduduk miskin bisa bertambah seketika. Oleh sebab itu pula dalam program memerangi kemiskinan selama 2-3 dekade, penurunan jumlah penduduk miskin tidak terjadi secara signifikan, karena parameter yang ditetapkan berada dalam dalam batas-batas yang kritis, sehingga mudah sekali bergeser dalam posisinya. Apabila dibandingkan dengan standar kemiskinan negara Singapura, sebuah keluarga dikatagorikan miskin, apabila hidup pas-pasan, sehingga tidak dapat menabung. Ukuran kemiskinan ini lebih stabil ketika krisis ekonomi terjadi.
meningkat menjadi 11,05 juta jiwa, sementara jumlah penduduk miskin perdesaan tahun 1996 sebesar 24,59 juta jiwa menurun menjadi 18,97 juta jiwa. Hal ini sejalan dengan migrasi penduduk ke kota dan laju pertumbuhan penduduk perkotaan yang terus bertambah. Pada grafik 1 dapat dilihat ada dua trendline angka kemiskinan perkotaan selama periode 1996-2010. Tredline pertama menunjukkan kecenderungan prosentase angka kemiskinan menurun (lihat garis trendline terputus-putus), Sedangkan trendline kedua menunjukkan kecenderungan angka kemiskinan yang tetap stabil (lihat garis trendline berwarna hitam), artinya jumlah penduduk miskin perkotaan di Indonesia akan tetap ada, bertahan dan bertambah secara perlahan (lihat grafik 1). Kamaluddin (2004) menjelaskan bahwa tingkat kemiskinan di perkotaan bebannya akan terus semakin berat, karena daya dukung lingkungan semakin berkurang.
Tabel 1 Kriteria Penduduk Tergolong Miskin Parameter 1 2 3
Luas lantai < 8 m2 per orang. Jenis lantai tanah, bambu, atau kayu kualitas rendah. Dinding bambu, kayu kualitas rendah, atau tembok tanpa plester. 4 Tidak ada fasilitas tempat buang air besar. 5 Sumber air minum sumur atau mata air tidak terlindungi. 6 Penerangan bukan listrik. 7 Bahan bakar harian minyak tanah, kayu bakar atau arang. 8 Konsumsi daging/susu/ayam sekali per minggu. 9 Hanya sanggup membeli pakaian 1 stel per tahun per orang. 10 Hanya sanggup makan 1-2 kali sehari. 11 Tidak sanggup membayar biaya pengobatan puskesmas. 12 Penghasilan per bulan Rp 600.000,- per rumah tangga. 13 Pendidikan tertinggi SD, tidak tamat SD, atau tidak sekolah 14 Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual seharga Rp. 500.000,Sumber : BPS, 2009.
Hasil penelusuran terhadap data statistik BPS (2011) ternyata jumlah penduduk miskin perkotaan sebesar 9,23% lebih kecil jika dibandingkan dengan penduduk miskin perdesaan sebesar 15,72%. Akan tetapi angka kemiskinan perkotaan meningkat lebih besar dari tahun ke tahun, sementara angka kemiskinan perdesaan menurun. Pada tahun 1996 jumlah penduduk miskin sebesar 9,42 juta, sedangkan pada tahun 2011 jumlah penduduk miskin di perkotaan
Dari beberapa parameter sosial dan ekonomi yang dapat dijadikan indikator penentuan stratifikasi, berikut ini 4 parameter yang dapat dijadikan dasar ukurannya, yaitu: 1. Rata-rata Pengeluaran Per Bulan Per Kapita Rata-rata pengeluaran per bulan per kapita dapat dijadikan ukuran dasar penentuan stratifikasi penghasilan, karena ukurannya menunjukkan batas kebutuhan dasar rata-rata yang dikeluarkan untuk biaya hidup per kapita per bulan. 2. Rata-rata Upah Pekerja / Buruh / Karyawan Upah pekerja /buruh / karyawan rata-rata yang diterima secara rutin atau reguler per bulan termasuk didalamnya gaji pokok dan tunjangan yang diperhitungkan cukup untuk biaya hidup per bulan. 3. Upah Minimum Per Bulan Upah terendah untuk pekerja /buruh golongan terendah dengan masa kerja kurang dari satu 53
Parameter untuk Menyusun … (Heni Suhaeni)
tahun, umumnya diperuntukan bagi buruh yang masih lajang. Upah minimum dapat dijadikan ukuran dasar stratifikasi penghasilan, karena upah minimum diasumsikan sebagai batas minimum penghasilan pekerja/buruh pemula. 4. Garis Kemiskinan Per Kapita Per Bulan Perhitungan besarnya nilai rupiah per kapita per bulan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan yang dibutuhkan seorang individu untuk tetap berada pada kehidupan yang layak. Secara umum, subsidi perumahan merupakan kebijakan negara dalam memberikan kemudahan akses dalam memenuhi kebutuhan rumah (Kardiyanto, et. Al., 2001). Menurut King (1998) program subsidi muncul, karena pada kenyataannya tidak semua penduduk terfasilitasi atau mampu memasuki harga pasar perumahan, sehingga perlu diberikan subsidi, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Pemberian subsidi perumahan di Indonesia umumnya diberikan dengan cara selisih bunga yang lebih rendah. Tetapi masalah yang sering muncul dalam hal subsidi perumahan adalah kelompok sasaran yang tidak jelas kriterianya, karena dalam kelompok masyarakat berpenghasilan rendah pun bukan satu-satunya kelompok dengan berpenghasilan rendah, karena dibawah tingkatannya masih ada kelompok masyarakat pra-sejahtera, miskin dan sangat miskin.
IDENTIFIKASI MASALAH Inti masalahnya adalah ukuran dasar apa yang dijadikan acuan untuk menentukan stratifikasi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau kelompok masyarakat miskin. Apa perbedaan yang mendasar antara penduduk berpenghasilan rendah dengan miskin. Berdasarkan stratifikasi penghasilan tersebut berapa banyak penduduk perkotaan yang sesungguhnya memerlukan subsidi perumahan ?
METODE PENELITIAN Data primer yang digunakan sebagai studi kasus pada penelitian ini adalah data primer penduduk Kecamatan Ngampilan Kota Yogyakarta. Data tersebut diperoleh dari kegiatan penelitian Kebutuhan Perumahan yang dilaksanakan oleh Tim Peneliti Pusat Litbang Permukiman tahun 2011. Jumlah sampel yang dijadikan data peenelitian sebanyak 200 unit data. Metoda pengambilan sampel dilakukan dengan cara random stratification sampling, yaitu pengambilan data berdasarkan acak yang terstruktur mengikuti kelompoknya masing-masing untuk mencapai
54
representasi dari sebuah populasi. SPSS dan Excel digunakan untuk pengolahan dan analisis data. Data skunder juga digunakan untuk melengkapi data penelitian ini.
TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang ingin dicapai adalah menyusun stratifikasi penghasilan masyarakat yang didasarkan pada 4 parameter, yaitu rata-rata pengeluaran, rata-rata upah buruh / pegawai / karyawan, upah minimum, dan garis kemiskinan. Penelitian ini bermanfaat dalam menentukan kelompok sasaran yang perlu diperhatikan terkait dengan kebutuhan tempat tinggal perkotaan.
PEMBAHASAN DATA DAN ANALISIS Hasil pengolahan dan analisis data secara kuantitatif dengan menggunakan 4 parameter BPS (2011) diperoleh gambaran sebagai berikut : 1. Rata-rata pengeluaran Rp 625.043,- /kapita BPS (2011) menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran untuk biaya hidup per bulan per kapita Kota Yogyakarta sebesar Rp 625.043,atau sebesar Rp 2.312.659,- per keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan dua anak. Artinya, apabila penghasilan dibawah rata-rata besaran tersebut maka dapat dikatagorikan sebagai kelompok penduduk yang rata-rata pengeluarannya berada dibawah kelompok rata-rata penduduk. 2. Upah Buruh/Pegawai/Karyawan Rp1.394.960,BPS (2011) menunjukkan besaran rata-rata upah buruh/pegawai/karyawan atau yang setingkatannya di Kota Yogyakarta sebesar Rp 1.394.960,- bila besaran tersebut dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran biaya hidup sebesar Rp 2.312.659,- maka upah rata-rata buruh / pegawai / karyawan atau setingkatannya masih tetap berada dibawah ukuran ratarata. 3. Garis kemiskinan sebesar Rp265.75,- /kapita Berdasarkan hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (BPS, 2010) Garis Kemiskinan untuk Kota Yogyakarta sebesar Rp. 265.75,- per kapita per bulan, atau sebesar Rp. 983.282,- per keluarga per bulan dengan perhitungan jumlah rata-rata anggota keluarga sebesar 3,7%. Hal ini berarti bahwa satu rumah tangga dengan anggota keluarga 4 orang memiliki penghasilan sebesar Rp. 983.282,- dianggap dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum untuk berada pada kehidupan yang layak, walaupun rata-rata biaya pengeluaran untuk biaya hidup di Kota Yogyakarta sebesar Rp 2.312.659,-, karena garis kemiskinan ini didasarkan pada batas minimum bertahan hidup secara layak, bukan batas rata-rata pengeluaran.
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012 : 51-57
4. Upah minimum sebesar Rp. 808.000,Upah minimum Kota Yogyakarta tahun 2011 ditetapkan sebesar Rp. 808.000,-. Upah minimum ini merupakan upah terendah dari golongan terendah dengan masa kerja kurang dari 1 tahun dan diasumsikan sebagai pekerja yang masih lajang. Apabila Upah Minimum sebesar Rp. 808.000.- dibandingkan dengan besarnya rata-rata pengeluaran per bulan per kapita sebesar Rp. 625.043,- maka Upah Minimum sebesar Rp. 808.000,- ini diasumsikan dapat mencukupi untuk biaya hidup sebulan per orang. Masalahnya hanya timbul apabila dalam satu keluarga atau satu rumah tangga seorang buruh harus menanggung beban hidup anggota keluarga lain yang yang tidak produktif atau belum bekerja. Keempat parameter tersebut di atas dapat dijadikan dasar penyusunan stratifikasi penghasilan. Pada tabel 2 dapat dilihat besarnya rata-rata upah/gaji buruh / pegawai / karyawan, ataupun upah minimum yang berada di bawah rata-rata pengeluaran. Tabel 2 Indikator Stratifikasi Penghasilan Penduduk Kecamatan Ngampilan Yogyakarta Parameter Indikator
Rata-rata Per Kapita Per Bulan (Rp.)
Perbedaan antara kelompok masyarakat berpenghasian rendah dengan masyarakat miskin adalah : 1. kelompok masyarakat miskin dengan penghasilannya yang berada dibawah garis kemiskinan sebesar < Rp 983.282,2. kelompok masyarakat berpenghasilan rendah adalah penduduk yang penghasilannya di atas garis kemiskinan yang dianggap mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup minimal secara layak, yaitu sebesar > Rp 983.282,Rumah tangga yang disubsidi selama ini adalah rumah tangga yang memiliki kemampuan untuk akses dengan pinjaman bank. Artinya, rumah tangga yang disubsidi adalah rumah tangga yang mempunyai penghasilan dengan 30% upahnya dapat dialokasikan untuk mengangsur harga unit rumah, dan 70% untuk membiayai kehidupan keluarganya. Tabel 3 Stratifikasi Penghasilan dan Proporsi Penduduk di Bawah Ukuran Rata-rata Parameter Indikator Rata-rata pengeluaran biaya hidup Rata-rata upah buruh / pegawai / karyawan
Rata-rata Per Keluarga Per Bulan (Rp)
Rata-rata Pengeluaran Rata-rata Upah Buruh/ Pegawai / Karyawan
625.043
2.312.659
-
1.394.960
Garis Kemiskinan Upah Minimum (lajang masa kerja < 1 tahun) Sumber : BPS, Tahun 2011
265.752
983.282
808.000
-
Kelompok pekerja yang upah / gajinya telah melampaui garis kemiskinan dapat disebut sebagai kelompok yang dapat hidup dalam batas minimum yang layak, tetapi mereka hidup dalam batas yang pas-pasan, uang penghasilannya tidak dapat disisihkan untuk membiayai tempat tinggal yang layak huni.
Garis kemiskinan
Rata-rata Per Keluarga Per Bulan (Rp)
Proporsi di Bawah Ukuran Ratarata (%)
2.312.659
75,5
1.394.960
51,5
983.282
35
Upah minimum Propinsi 808.000 Sumber : BPS, Tahun 2011 dan Pengolahan Data Primer
30,5
Bila diasumsikan harga lahan kapling di Kecamatan Ngampilan berdasarkan harga perkiraan pasar rata-rata hasil pengumpulan data primer sebesar Rp. 915.435,-. Atau apabila dibandingkan dengan perkiraan rata-rata harga pasar kapling yang paling dominan sebesar Rp 1.000.000,- per meter persegi (lihat grafik 2).
Apabila indikator rata-rata pengeluaran per bulan sebesar Rp. 2.312.659,- dijadikan ukuran dasar stratifikasi, ternyata penduduk yang memiliki penghasilan per bulan di bawah Rp. 2.312.659, mencapai proporsi 75,5% (lihat tabel 3). Dengan menggunakan indikator rata-rata upah/gaji buruh / pegawai / karyawan sebesar Rp. 1.394.960,- pun proporsi penduduk yang penghasilannya dibawah rata-rata upah/ gaji proporsinya masih mencapai 51,5%. Artinya lebih dari setengah penduduk Kecamatan Ngampilan diperkirakan tergolong dalam kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Diolah dari hasil survei : Tim Peneliti Pusat Litbang Permukiman
55
Parameter untuk Menyusun … (Heni Suhaeni)
Apabila lahan untuk satu unit rumah dibutuhkan seluas 60 M2 untuk satu keluarga, maka harga lahan per kapling sebesar Rp. 60.000.000,- dan harga bangunan tipe 36 diasumsikan seharga Rp. 1.000.000,-, per M2, sehingga perhitungan kasar satu unit rumah diperkirakan seharga Rp. 96.000.000,Apabila unit tempat tinggal tersebut diangsur untuk jangka 20 tahun dengan uang muka Rp. 6.000.000,-, maka uang cicilannya diperkirakan sekitar Rp.400.000,- sampai dengan Rp. 500.000,per bulan dengan bunga 8-9%. Artinya penduduk yang dapat / mampu mengangsur cicilan rumah harus memiliki penghasilan di atas Rp. 1.500.000,per bulan, dan tabungan untuk uang muka sebesar Rp. 6.000.000,Hal ini berarti bukan untuk konsumsi penduduk yang penghasilannya dibawah Rp. 1.500.000,- per bulan, sehingga kelompok yang memiliki penghasilan setingkat buruh / pekerja sekitar Rp. 1.394.960,- atau setingkat dengan upah minimum Rp. 808.000,- akan mengalami kesulitan mendapatkan tempat tinggal, mereka sangat memerlukan subsidi. Dari penyusunan stratifikasi sosio-ekonomi dengan menggunakan hierarchical cluster, penghasilan penduduk Kecamatan Ngampilan sebenarnya hanya dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu kelompok kaya dan kelompok miskin, karena perbedaan nilai penghasilan tertinggi dan terendah sangat lebar, yaitu dari mulai rumah tangga yang tidak produktif lagi atau tidak mempunyai penghasilan tetap sampai dengan rumah tangga atau keluarga yang sangat kaya raya sebagai pengusaha (lihat tabel 4). Tabel 4 Stratifikasi Penghasilan Strata
Parameter
Penghasilan (Rp)
Proporsi f
(%)
Sangat tinggi
>50 juta
1
0,5
Tinggi
10-50jt
3
1,5
Cukup tinggi
9,9-5 jt
7
3,5
Diatas rata-rata
3-4,9jt
27
13,5
2-2,9
33
16,5
1-1,9 jt
59
29,5
70
35
Rata-rata Rendah
Miskin <0,9 Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer, 2011
Akhirnya, dengan menggunakan data primer untuk variabel penghasilan, secara manual stratifikasi penghasilan penduduk Kecamatan Ngampilan dapat disusun menjadi 7 tingkatan, seperti dapat dilihat pada tabel 4. Penyusunan stratifikasi penghasilan ini mempertimbangkan upah minimum, garis kemiskinan, upah kebanyakan buruh / pegawai / 56
karyawan, upah minimum, dan rata-rata pengeluaran rumah tangga yang mengacu pada hasil survei susenas 2011 Propinsi / Kota Yogyakarta. Tabel 4 menunjukkan jumlah populasi dengan penduduk berpenghasilan rendah ataupun miskin menunjukkan nilai proporsi yang tinggi, sedangkan populasi dengan penghasilan yang tinggi menunjukkan nilai proporsi yang kecil, sehingga stratifikasi penghasilan menyerupai bentuk piramida (kerucut). Padahal formasi ideal yang diharapkan menyerupai belah ketupat dimana penghasilan yang tergolong rata-rata adalah yang terbesar, penghasilan yang tergolong tinggi dan rendah atau miskin adalah kelompok yang jumlahnya kecil. Dari hasil analisis data statistik, ternyata rata-rata penghasilan penduduk Kecamatan Ngampilan sebesar Rp. 2.991.213,- dan penduduk yang penghasilannya berada di bawah angka tersebut mencapai 81% Dengan kondisi stratifikasi sosial ekonomi penduduk seperti tersebut di atas, masih perlu kerja keras untuk mengurangi kesenjangan tersebut. Tampaknya puluhan tahun bekerja memerangi kemiskinan, angka kemiskinan belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Penduduk kelompok berpenghasilan rendah akan tetap mengalami kesulitan untuk memperoleh tempat tinggal yang layak dan akan menjadi masalah bagi pemerintah kota, karena keterbatasan kemampuan finansial. Kalaupun penduduk mampu meningkatkan stratanya masuk dalam kelompok penghasilan rata-rata penduduk, masih sulit untuk memperoleh tempat tinggal, karena penentuan upah, gaji tidak sejalan dengan kebutuhan dasar minimal yang layak masyakat kota. Dengan kata lain, ketentuan upah minimum, upah buruh, gaji rata-rata pegawai / karyawan belum atau tidak dapat dijadikan ukuran mampu bertempat tinggal di perkotaan dengan layak, karena harga tempat tinggal ditentukan oleh parameter harga pasar. Masalah yang akan muncul dikemudian hari adalah, kepadatan penduduk terus meningkat dan harga lahan perkotaan ditentukan dengan harga pasar, artinya harga tempat tinggal perkotaan akan semakin tidak terjangkau apabila tidak ada intervensi kebijakan dalam bentuk subsidi. Penyusunan stratifikasi penghasilan di perkotaan, diharapkan dapat memberikan masukan bahwa setiap penetapan penghasilan ataupun keputusan subsidi berdasarkan rujukan tertentu, seharusnya dapat dipahami dengan memperkirakan juga konsekuensi selanjutnya pada masyarakat dan
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012 : 51-57
pada kondisi perumahan perkotaan, termasuk jumlah penduduk masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin yang terus bertambah.
KESIMPULAN 1.
2.
3.
Stratifikasi penghasilan dengan menggunakan 4 parameter, yaitu upah minimum, upah buruh, garis kemiskinan dan rata-rata pengeluaran perbulan untuk biaya hidup, pada penduduk Kecamatan Ngampilan Yogyakarta dapat dikelompokkan dalam 7 stratifikasi, yaitu : sangat tinggi, tinggi, cukup tinggi, diatas rata-rata, rata-rata, rendah dan miskin dengan formasi menyerupai bentuk piramida, artinya kelompok masyarakat yang tergolong miskin, rendah, dibawah rata-rata tercatat paling dominan. Penduduk yang memerlukan subsidi perumahan diperkirakan lebih dari 51%, apabila ukuran parameternya adalah rata-rata upah / gaji buruh, pegawai, karyawan kota Yogyakarta. Penduduk miskin perkotaan adalah penduduk berpenghasilan dibawah ukuran garis kemiskinan setara dengan Rp 983.282,- per keluarga per bulan. Sedangkan masyarakat berpenghasilan rendah adalah penduduk yang masih mampu membiayai kehidupannya dengan pendapatan di atas Rp 983.282,-
SARAN Penelitian ini merupakan studi kasus Kecamatan Ngampilan Kota Yogyakarta. Hasil studi kasus ini dapat dijadikan masukan untuk pengelola kota dalam memperhitungkan kondisi sosio-ekonomi penduduknya saat ini dan perkiraan di masa yang akan datang. Oleh sebab itu, disarankan setiap pengelola kota dapat menyusun stratifikasi penghasilan penduduknya masing-masing untuk keperluan perencanaan dan pembangunan kota beserta penduduknya ke depan.
DAFTAR PUSTAKA ________, 2006, Berita Resmi Statistik, Berita Kemiskinan di Indonesia, Nomor 47/2006/ Tahun IX, September 2006, BPS, Jakarta. ________, 2010, Berita Resmi Statistik, Profil Kemiskinan di Indonesia, Nomor 45/2007/Tahun XIII, Juli 2010. BPS, Jakarta ________, 2011, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia, BPS, Jakarta. _________, 2008, Statistik Indonesia Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta. Anand., S., dan Sen., A., 2000, The Income Component of Human Development Index, Journal of Human Development Index., Volume 1, Nomor 1., p83-106 Kamaluddin, 2004, Kemiskinan Perkotaan Di Indonesia : Perkembangan, Karakteristik dan Upaya Penanggulangannya, Seminar Pengembangan Perkotaan dan Wilayah, Universitas Trisakti, Fakultas Ekonomi, Jakarta, 1 Nopember 2004. Kardiyanto, D., et. al., 2001, Subsidi Dalam Penyediaan Perumahan Sederhana di Bandung, Jurnal Penelitian Perumahan, Volume 18 Nomor 1, 2001, Bandung. p51-58 Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 4/KPTS/BK4N/1995, tentang Perumahan Berimbang. King, P. 1998, Housing, Individuals and the State, Routledge, London. Sard, B., 2001, Housing Voucher Should Be a More Component of Future Housing Policy for the Lowest Income Family., Cityscape: A Journal of Policy Development and Research, Volume 5, Nomor 2, tahun 2001, P. 89-110. Suhaeni, et.al., 2001, Strata Sosio-ekonomi Masyarakat sebagai Basis Pengembangan Perumahan yang Proporsional, Jurnal Penelitian Permukiman, Volume 17, Nomor 3, 2001, Bandung, P. 51-58.
57
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012: 58-63
Katalog dan Abstrak UDC 691.12. Cah Cahyadi, Dani s Sifat fisis dan mekanis bambu laminasi bahan berbentuk pelupuh (zephyr) dengan penambahan metanol sebagai pengencer perekat / Dany Cahyadi, Anita Firmanti, dan Bambang Subiyanto.--Jurnal Permukiman.-- Vol. 7 No. 1 April 2012.-- Hal. 1-4.-- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2012. 65 hlm. : ilus.; 30 cm Abstrak ISSN
: hlm. 1 : 1907-4352
I. LAMINATED BAMBU 3. Judul
1. Firmanti, Anita
2. Subiyanto, Bambang
Telah dilakukan penelitian pembuatan bambu laminasi berbahan bambu berbentuk pelupuh yang dalam proses pembuatannya menggunakan perekat yang diencerkan dengan metanol. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penambahan metanol terhadap sifat fisis dan mekanis bambu laminasi berbahan bambu berbentuk pelupuh. Panel bambu komposit dibuat dengan ukuran 85cm x 40cm x 5cm dengan variasi berat labur 150g/m 2, 200g/m2, dan 250g/m2, serta variasi kadar metanol 1%, 3%, dan 5% dari berat perekat. Hasil pengujian menunjukkan bahwa penambahan metanol dapat menurunkan penyerapan air dan pengembangan tebal, dan dapat meningkatkan sifat fisisnya. Kata kunci : bambu laminasi, kempa dingin, pelupuh, polyurethane, metanol UDC 693.75 Fir Firmanti, Anita a Analisis pengembangan unit produksi conblock dan paving block berbasis limbah batubara dalam rangka mendukung pembangunan rumah murah / Anita Firmanti, Aventi, Dany Cahyadi, Aan Sugiarto dan Bambang Subiyanto. --Jurnal Permukiman.-- Vol. 7 No. 1 April 2012.-- Hal. 5-12.-- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2012. 65 hlm. : ilus.; 30 cm Abstrak ISSN
: hlm. 5 : 1907-4352
I. PAVING BLOCK 3. Sugiarto, Aan 6. Judul
1. Aventi 4. Sugiharto, Bambang
2. Cahyadi, Dany 5. Subiyanto, Bambang
Fly-ash dan bottom-ash yang merupakan hasil samping (by product) pada pembakaran batubara untuk energi dapat dimanfaatkan untuk conblock maupun paving block yang memenuhi SNI. Selain dilakukan validasi terhadap kualitas produk yang dihasilkan, untuk mengetahui kelayakan juga dilakukan analisis pasar, analisis keekonomian dan finansial serta dilakukan analisis lingkungan pengembangan conblock dan paving block yang diproduksi dengan peralatan semi masinal maupun full-machinal. Hasil analisis pasar menunjukkan bahwa unit produksi bahan bangunan yang dikembangkan sangat prospektif terutama bila dikaitkan dengan kebutuhan pembangunan rumah dan jalan lingkungan. Berdasarkan analisis NPV, IRR, BEP dan PI diketahui bahwa unit produksi bahan bangunan yang dikembangkan terutama yang dengan full-machinal sangat menguntungkan. Hasil analisis lingkungan menunjukkan bahwa beton/bata fly-ash atau bottom-ash tidak berbahaya yang didukung pula dari nilai uji TCLP yang menunjukkan nilai terlarut di bawah baku mutu yang disyaratkan. Kata kunci : conblock, paving block, fly-ash, bottom-ash, feasibility study UDC 691.213 Her Herina, Silvia F. p Pengaruh kadar kehalusan butir terhadap ketahanan geser tanah pasir vulkanik / Silvia F. Herina. -Jurnal Permukiman.-- Vol. 7 No. 1 April 2012.-- Hal. 13-23.--Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2012. 65 hlm. : ilus.; 30 cm Abstrak ISSN
: hlm. 13 : 1907-4352
I. VOLCANIC SANDS
1. Judul
Meskipun bentuk butirnya yang menyudut memungkinkan pasir vulkanik mempunyai ketahanan geser yang cukup tinggi. Sebagai tanah berbutir kasar, pasir tersebut akan mudah berdilatasi dan bergeser. Dalam studi ini dikaji efek makin tingginya kadar butiran halus pada massa pasir vulkanik terhadap peningkatan kekuatan gesernya. Kata kunci : pasir vulkanik, kadar kehalusan butir, kuat geser, gradasi butir, wet tamping
58
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012: 58-63
UDC 628.336.56 Dar Darwati, Sri p Peran komunitas dalampengelolaan sampah berbasis pola pilah kumpul olah terhadap reduksi sampah kota / Sri Darwati dan Fitrijani Anggraini.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 7 No. 1 April 2012.-- Hal. 24-32.-Bandung : Pusat Penelitian dan PengembanganPermukiman, 2012. 65 hlm. : ilus.; 30 cm Abstrak ISSN
: hlm. 24 : 1907-4352
I. SOLID WASTE – MANAGEMENT 1. Anggraini, Fitrijani
2. Judul
Probolinggo merupakan kota yang berhasil melibatkan peran komunitas dalam pemilahan sampah melalui pembentukan Kelompok Masyarakat (Pokmas) dalam pengelolaan sampah di sumber. Kunci keberhasilan terletak pada perubahan perilaku masyarakat dan fasilitasi tokoh masyarakat dan pemerintah. Kata kunci : peran, komunitas, pengelolaan sampah, pilah, kumpul, olah, reduksi UDC 621.039.7 Ary Aryenti p Peningkatan fungsi tempat pengelolaan sampah terpadu / Aryenti dan Sri Darwati.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 7 No. 1 April 2012.-- Hal. 33-39.-- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2012. 65 hlm. : ilus.; 30 cm Abstrak ISSN
: hlm. 33 : 1907-4352
I. WASTE MANAGEMENT
1. Darwati, Sri
2. Judul
TPST adalah tempat pengelolaan sampah terpadu tempat untuk melaksanakannya kegiatan pemilahan, pengumpulan, mendaur ulang, pengolahan dan pemrosesan akhir sampah. Hasil monitoring dan evaluasi, pengelolaan sampah di sumber masih kurang mendapat dukungan dari masyarakat. Berdasarkan Permen PU Nomor 21/PRT/M/2006 pengurangan sampah dengan konsep 3R di beberapa kota di Indonesia baru dapat mereduksi kurang lebih 3% dari jumlah sampah yang ada. Untuk itu peningkatan fungsi TPST sebagai tempat pengelolaan perlu digalakkan agar sampah yang tidak terolah di sumber dapat ditangani di TPST. Kata kunci : peningkatan, fungsi, pengelolaan, sampah, terpadu UDC 69. 058 4 Kas Kasuma, I Putu Agus Wira k Karakteristik ruang tradisional pada desa adat Penglipuran, Bali / I Putu Agus Wira Kasuma dan Iwan Suprijanto.-- Jurnal Permukiman. -- Vol. 7 No. 1 April 2012. -- Hal. 40-50. -- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2012. 65 hlm. : ilus.; 30 cm Abstrak ISSN
: hlm. 40 : 1907-4352
I. TRADITIONAL SETTLEMENT
1. Suprijanto, Iwan
2. Judul
Tatanan pola ruang Desa Adat Penglipuran yang unik merupakan warisan budaya yang harus dipertahankan ditengah dinamika pertumbuhan penduduk serta arus perkembangan kebutuhan masa kini yang menimbulkan kebutuhan akan ruang. Namun, belum adanya regulasi yang berisikan mengenai aturan tata ruang menjadi faktor ancaman bagi keberlanjutan dari pola ruang yang sudah dijaga sampai sekarang. Permasalahannya adalah belum teridentifikasinya karakteristik ruang tradisional di Desa Adat Penglipuran sebagai landasan untuk menyusun konsep tata ruang Desa Adat Penglipuran yang ideal. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan rasionalisme dan analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian adalah ruang tradisional Desa Adat Penglipuran terdiri dari tiga tingkatan ruang yang berdasarkan konsep Tri Mandala, yaitu Utama, Madya dan Nista dimana pada masing-masing ruang memiliki tingkat kesucian, lokasi/penempatan, guna lahan dan fungsi ruang yang berbeda. Kata kunci : lingkungan, permukiman tradisional, karakteristik ruang, desa adat, pola ruang tradisional
59
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012: 58-63
UDC 316.34 Suh Suhaeni, Heni p Parameter untuk menyusun stratifikasi penghasilan, studi kasus : Kecamatan Ngampilan Kota Yogyakarta/ Heni Suhaeni.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 7 No. 1 April 2012.-- Hal. 51-57.-- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2012. 65 hlm. : ilus.; 30 cm Abstrak ISSN
: hlm. 51 : 1907-4352
I. STRATIFICATION – SOCIAL
1. Judul
Secara umum, parameter untuk menyusun stratifikasi penghasilan penduduk perkotaan berguna untuk mengukur dan mempertimbangkan rencana pembangunan perumahan dan penduduk yang menghuninya. Pertanyaannya adalah ukuran dasar apa yang dapat dijadikan acuan untuk menyusun stratifikasi tersebut, dan apa tujuan yang ingin dicapainya. Dalam penelitian ini dilakukan penyusunan stratifikasi penghasilan penduduk perkotaan berdasarkan 4 parameter yang bertujuan untuk menentukan kelompok sasaran subsidi perumahan. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan menggunakan 4 parameter dapat disusun stratifikasi penghasilan penduduk secara akurat. Kelompok masyarakat berpenghasilan rendah adalah kelompok masyarakat terbesar, sehingga program subsidi perumahan seharusnya lebih spesifik, agar subsidi perumahan lebih tepat sasaran dan mampu memperbaiki kualitas kehidupan penduduk yang lebih layak. Kata kunci : penghasilan, stratifikasi sosial-ekonomi, kebutuhan dasar, tempat tinggal, perkotaan
60
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012: 58-63
Catalogue and Abstract UDC 691.12 Cah Cahyadi, Dany p Physical and mechanical properties of zephyr-shaped laminated bamboo with addition of methanol as adhesives diluents / Dany Cahyadi, Anita Firmanti, and Bambang Subiyanto. --Jurnal Permukiman. --Vol. 7 No. 1 April 2012. -- Page 1-4. -- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2012. 65 Pages : ilus.; 30 cm Abstract ISSN
: Page 1 : 1907 – 4352
I. LAMINATED BAMBOO 3. Title
1. Firmanti, Anita
2. Subiyanto, Bambang
The research carried out the making of laminated bamboo made from zephyr-shaped bamboo which in the manufacturing process use adhesive diluted with methanol. The purpose of this study is to determine the effect of addition of methanol to the physical and mechanical properties of laminated bamboo from zephyr-shaped bamboo. Bamboo composite panels was manufactured with a size 85cm x 40cm x 5cm with a variation of adhesive weight surfacing 150g/m2, 200g/m2, and 250g/m2 and the variation of methanol content of 1%, 3%, and 5% by weight adhesives. Test results showed that the addition of methanol may decrease the absorption of water and the thickness swelling, and it can improve the mechanical properties. Keywords : laminated bamboo, cold press, zephyr-shaped, polyurethane, methanol UDC 693.75 Fir Firmanti, Anita a Analysis on the development of production unit of conblock and paving block using waste from burnt coal to support the supply of low-cost housing / Anita Firmanti, Aventi, Dany Cahyadi, Aan Sugiarto, Bambang Sugiharto, and Bambang Subiyanto. -- Jurnal Permukiman. –- Vol. 7 No. 1. April 2012. -– Page 512. -– Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2012. 65 Pages : ilus.; 30 cm Abstract ISSN
: Page 5 : 1907 – 4352
I. PAVING BLOCK 3. Sugiarto, Aan 6. Title
1. Aventi 4. Sugiharto, Bambang
2. Cahyadi, Dany 5. Subiyanto, Bambang
Fly-ash and bottom-ash as by products in burnt coal for energy cold be utilized for building materials that conform to National Standard. In this feasibility study, market analysis, economical analysis, financial analysis as well as environmental analysis for the development of semi-machinal and full-machinal production units had been conducted beside validated the technical quality of the products. The market analysis showed that production unit of new developed building materials is prospective in related to the demand of houses and pedestrian. Based on the NPV, IRR, BEP and PI, the result showed that developed production unit especially with full-machinal technology seemed highly profitable. The environmental analysis showed that conblock or paving block made of fly-ash and / or bottom-ash categorized as non-hazardous materials supported by the test result of TCLP that showed the dissolved materials lower the maximum point of standard. Keywords : concrete block, paving block, fly-ash, bottom-ash, feasibility study UDC 691.213 Her Herina, Silvia F. e Effect of fine soils content of the volcanic sand shear resistance / Silvia F. Herina.-- Jurnal Permukiman. --Vol. 7 No. 1 April 2012. --Page 13-23. -- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2012. 65 Pages : ilus.; 30 cm Abstract ISSN
: Page 13 : 1907 – 4352
I. VOLCANIC SANDS
1. Title
Altough an angled shaped shape that allows volcanic sand have a fairly high shear resistance, as a coarse grained soil will possibly dilated and sheared. In this study assessed the effect of the increasingly of contents on the volcanic sand shear strength increased. Keywords : volcanic sands, fine content, shear stress, gradation, wet tamping
61
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012: 58-63
UDC 628.336.56 Dar Darwati, Sri t The role of community in solid waste management based on pattern sorting, collecting and treating to reduce city waste / Sri Darwati and Fitrijani Anggraini. -– Jurnal Prmukiman. -- Vol. 7 No. 1 April 2012.-- Page 24-32. -- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2012. 65 Pages : ilus.; 30 cm Abstract ISSN
: Page 24 : 1907 – 4352
I. SOLID WASTE - MANAGEMENT
1. Anggraini, Fitrijani
2. Title
Probolinggo is a city succeeded in increasing the role of community participation concerns with solid waste sorting through organization of Community Groups in solid waste management at source. The key success in sortingcollecting-treating are the chane of community behavior with the facilitated by community leader and government. Keywords : role, community, solid waste management, sorting, collecting, treating, reduction UDC 621.039.7 Ary Aryenti i Improved function place of integrated waste management / Aryenti and Sri Darwati. -- Jurnal Permukiman. -- Vol. 7 No.1 April 2012. –- Page 33-39. -- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2012. 65 Pages : ilus.; 30 cm Abstract ISSN
: Page 33 : 1907 – 4352
I. WASTE MANAGEMENT
1. Darwati, Sri
2. Title
TPST is where integrated waste management activities places to permit the collection, sorting, recycling, processing and the processing of final waste. Results of monitoring and evaluation, management of waste at the source of still less had the support of community, based on Cabinet Minister Rule PU No. 21/PRT/M/2006 waste reduction with the concept of 3R to more cities in Indonesia can reduce approximately 3% of the amount of crap that is. For that increase in function as a place of management need TPST publicating that garbage that is not reduce at the source can be handled in TPST. Keywords : improvement, function, management, waste, integrated UDC 69.058 4 Kas Kasuma, I Putu Agus Wira C Characteristic of traditional space in the traditional village of Penglipuran, Bali / I Putu Agus Wira Kasuma and Iwan Suprijanto. -- Jurnal Permukiman. -- Vol. 7 No. 1 April 2012. -- Page 40-50. -Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2012. 65 Pages : ilus.; 30 cm Abstract ISSN
: Page 40 : 1907 – 4352
I. TRADITIONAL SETTLEMENTS
1. Suprijanto, Iwan
2. Title
The unique spatial pattern on the traditional village of Penglipuran is a cultural heritage that has to be preserved amid the dynamics of population growth and development flow of current needs that raises the need for space. On the other hand, the absence of regulations containing rules regarding spatial order of the traditional village of Penglipuran becoming a threat to the sustainability of the spatial pattern that has been maintained until now. The problem is that the characteristics of the traditional space in the traditional village of Penglipuran has not been identified to used as a basis to formulate the concept of the village’s ideal spatial order. This study is a qualitative with rationalism approach and data analysis was conducted in qualitative descriptive method. The output of the study is that the traditional village of Penglipuran consists of three different spatial level based on concept of Tri Mandala, i.e. Utama, Madya and Nista where in each space has a different purity level, location/placement, land use, and different functional of space. Keywords : neighbourhood, traditional settlements, the characteristics of space, traditional village, traditional spatial pattern
62
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012: 58-63
UDC 316.34 Suh Suhaeni, Heni a Parameter for stratified incomes, cased study of Ngampilan Sub District, Yogyakarta City / Heni Suhaeni. -- Jurnal Permukiman. -- Vol. 7 No. 1 April 2012. -- Page 51-57. -- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2012. 65 Pages : ilus.; 30 cm Abstract ISSN
: Page 51 : 1907 – 4352
I. STRATIFICATION – SOCIAL
1. Title
Generally, parameter for stratified income of urban population is useful for the necessity of housing planning and development and it should be up-dated periodically. However, the question is, what the basis measurement can be used as a reference to arrange stratified income, and what the objective can be achieved by preparation of stratified income. This paper elaborates stratified income urban residents which are based on four parameters. The objective of this study is useful to determine the real target groups who need subsidies for urban dwelling units. The result shows that through 4 parameters stratified income can arranged accurately and the low income community and the poor are the largest community, thus the subsidy of housing program should be more specific to gain the appropriate subsidies for the appropriate target group and to improve qualities of life. Keywords : income, socio-economic stratification, basic needs, housing, urban area
63
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012: 64-65
Indeks Subjek B Bambu laminasi = 1, 2. Bottom ash = 5, 6, 7, 9, 10, 11.
B Basic needs = 51, 52. Bottom ash = 5, 6, 7, 9, 10, 11.
C Conblock = 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11.
C Cold press = 1,2. Collecting = 24, 25, 26, 27. Community = 24, 25, 27, 28. Concrete block = 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11.
D Desa adat = 40, 41, 44, 45, 46, 47, 49, 50. F Feasibility study = 5. Fly-ash = 5, 6, 7, 9, 10, 11. Fungsi = 33, 34, 35, 38. G Gradasi butir = 13. K Kadar kehalusan butir = 13, 15, 22. Karakteristik ruang = 40, 41, 49, 50. Kebutuhan dasar = 51, 52. Kempa dingin = 1, 2. Komunitas = 24, 25, 27, 28. Kuat geser = 13, 15, 16, 22. Kumpul = 24, 25, 26, 27.
F Feasibility study = 5. Fines content = 13, 15, 22. Fly-ash = 5, 6, 7, 9, 10, 11. Function = 33, 34, 35, 38. G Gradation = 13. H Housing = 51, 52, 53, 54, 57. I Improvement = 33, 38. Income = 51, 52, 55. Integrated = 33.
L Lingkungan = 40, 42.
L Laminated bamboo = 1,2.
M Metanol = 1, 2, 3, 4.
M Management = 33, 34, 35, 36, 38. Methanol = 1,2,3,4.
O Olah = 24, 26, 27. P Pasir vulkanik = 13, 22. Paving block = 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11. Pelupuh = 1, 2. Pengelolaan = 33, 34, 35, 36, 38. Pengelolaan sampah = 24, 25, 26, 27, 29, 30, 31,32. Penghasilan = 51, 52, 55. Peningkatan = 33, 38. Peran = 24, 25, 27. Perkotaan = 51, 52, 53, 54, 57. Permukiman tradisional = 40, 42. Pilah = 24, 25, 26, 27. Pola ruang tradisional = 40, 41. Polyurethane = 1. R Reduksi = 24, 26, 29, 30, 31. S Sampah = 33, 34, 35, 36, 37, 38. Sosial-ekonomi = 51, 52, 56, 57. Stratifikasi = 51, 52, 54, 55, 56. T Tempat tinggal = 51, 52. Terpadu = 33.
64
N Neighborhoods = 40, 42. P Paving block = 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11. Polyurethane = 1. R Reduction = 24, 26, 29, 30, 31. Role = 24, 25, 27. S Shear stress = 13, 15, 16, 22. Social-economic = 51, 52, 56, 57. Solid waste management = 24, 25, 26, 27, 29, 30, 31,32. Sorting = 24, 25, 26, 27. Stratification = 51, 52, 54, 55, 56. T The characteristics of space = 40, 41, 49, 50. Traditional settlement = 40, 42. Traditional spatial patern = 40, 41. Traditional village = 40, 41, 44, 45, 46, 47, 49, 50. Treating = 24, 26, 27. U Urban area = 51, 52.
Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 1 April 2012: 64-65
W Wet tamping = 13, 15, 16.
V Volcanic sands = 13, 22. W Waste = 33, 34, 35, 36, 37, 38. Wet tamping = 13, 15, 16. Z Zephyr-shaped = 1,2.
65
Pedoman Penulisan Naskah 1. 2. 3.
4.
5.
6. 7. 8. 9.
Redaksi menerima naskah karya ilmiah ilmu pengetahuan dan teknologi bidang permukiman, baik dari dalam dan luar lingkungan Pusat Litbang Permukiman Naskah disampaikan ke redaksi dalam bentuk naskah tercetak hitam putih sebanyak 3 rangkap dengan jumlah naskah maksimum 15 halaman termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar pustaka Naskah akan dinilai oleh dewan penelaah. Kriteria penilaian meliputi kebenaran isi, derajat, orisinalitas, kejelasan uraian dan kesesuaian dengan sasaran jurnal. Dewan penelaah berwenang mengembalikan naskah untuk direvisi atau menolaknya Penelaah berhak memperbaiki naskah tanpa mengubah isi dan pengertiannya, serta akan berkonsultasi dahulu dengan penulis apabila dipandang perlu untuk mengubah isi naskah. Penulis bertanggung jawab atas pandangan dan pendapatnya di dalam naskah Jika naskah disetujui untuk diterbitkan, penulis harus segera menyempurnakan dan menyampaikannya kembali ke redaksi beserta filenya dengan program (software) “Microsoft Office Word” paling lambat satu minggu setelah tanggal persetujuan Bila naskah diterbitkan, penulis akan mendapatkan reprint (cetak lepas) sebanyak 3 eksemplar dan naskah akan menjadi hak milik instansi penerbit Naskah yang tidak dapat diterbitkan akan diberitahukan kepada penulis dan naskah tidak akan dikembalikan, kecuali ada permintaan lain dari penulis Keterangan yang lebih terperinci dapat menghubungi Sekretariat Redaksi Secara teknis persyaratan naskah adalah : Sistematika penulisan : Bagian awal : Judul, Keterangan Penulis, Abstrak. Abstrak disusun dalam satu alinea antara 150200 kata berisi : alasan penelitian dilakukan, pernyataan singkat apa yang telah dilakukan (metode), pernyataan singkat apa yang telah ditemukan, pernyataan singkat apa yang telah disimpulkan disertai minimal 5 kunci. Judul, Abstrak dan Kata Kunci disusun dalam 2 (dua) bahasa (Indonesia-Inggris) Bagian utama : Pendahuluan, Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan Bagian akhir : Ucapan Terima Kasih (bila perlu), Daftar Pustaka dan Lampiran (jika ada) Teknik penulisan: a. Naskah ditulis pada kertas ukuran A4 portrait (210 x 297 mm), ketikan satu spasi dengan 2 kolom, jarak kolom pertama dan kedua 1 cm. b. Margin: tepi atas 3 cm, tepi bawah 2,5 cm, sisi kiri 3 cm dan kanan 2 cm. Alinea baru diberi tambahan spasi (+ ENTER). Penggunaan huruf: Judul, ditulis di tengah halaman, Cambria 14 pt. Kapital Bold Isi Abstrak, Cambria 10 pt italic 1 spasi Sub judul, ditulis di tepi kiri, Cambria Kapital 11pt, Bold Isi, Cambria 10 pt, 1 spasi Penomoran halaman menggunakan angka arab c. Daftar Pustaka sebaiknya menggunakan referensi terbaru, maksimal penerbitan 5 (lima) tahun terakhir, kecuali untuk handbook yang belum ada cetakan revisi/ terbaru. d. Daftar pustaka ditulis sesuai contoh sebagai berikut: Buku (monograf) Kourik, R. 1998. The lavender garden: beautiful varieties to grow and gather. San Francisco: Chronicle Books. Artikel Jurnal Terborgh, J. 1974. Preservation of natural diversity: The problem of extinction-prone species. Bioscience 24:715-22. Situs Web Thomas, Trevor M. 1956. Wales: Land of Mines and Quaries. Geographical Review 46, No. 1: 59-81. http://www.jstor.org/ (accessed June 30, 2005).