Jurnal Peradaban Islam
Vol. 7, No. 1, April 2011
ISSN: 1411-0334
DEWAN REDAKSI Azhar Arsyad (UIN Alauddin Makasar) Nur Ahmad Fadil Lubis (IAIN Sumatera Utara Medan) Amiur Nuruddin (IAIN Sumatera Utara Medan) Syamsuddin Arif (IIU Malaysia) Amal Fathullah Zarkasyi (ISID Gontor) Hamid Fahmy Zarkasyi (ISID Gontor) Muhammad Chirzin (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) Ali Mufrodi (IAIN Sunan Ampel Surabaya) Thoha Hamim (IAIN Sunan Ampel Surabaya) Shobahussurur (UIN Syahid Jakarta) PIMPINAN REDAKSI Sujiat Zubaidi Saleh WAKIL PIMPINAN REDAKSI Mohammad Muslih EDITOR BAHASA Dihyatun Masqon Nasrullah Zainul Muttaqin SEKRETARIS REDAKSI Khoirul Umam Eko Nurcahyo PUBLIKASI Jumhurul Umami Daniar Siahaan Alamat Redaksi Kampus Pusat Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Jl. Raya Siman Ponorogo Telp. (0352) 483762; Fax. (0352) 488182 Email:
[email protected] TSAQAFAH, terbit dua kali dalam setahun (April dan Oktober), sebagai sarana pengembangan etos ilmiah. Redaksi menerima artikel karangan ilmiah maupun hasil laporan penelitian, yang sesuai dengan sifatnya sebagai jurnal Peradaban Islam. Naskah yang dikirim minimal 15-20 halaman kwarto (A4), spasi satu setengah. Tulisan disertai biodata dan abstrak. Terakreditasi oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional RI Nomor 51/DIKTI/Kep./2010
Vol. 7, No. 1, April 2011
ISSN: 1411-0334
Daftar Isi Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an Hamid Fahmy Zarkasyi
1
Membandingkan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir Achmad Khudori Soleh
31
Keanekaragaman dalam al-Qur’an Muhammad Chirzin
51
Akidah Sayyid Qut}b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi terhadap al-Qur’a>n Yusuf Rahman 69 Kajian atas Pemikiran John Wansbrough tentang al-Qur’an dan Nabi Muhammad Muhammad Alfatih Suryadilaga
89
Epistemologi Penafsiran Ilmiah al-Qur’an Sujiat Zubaidi Saleh
109
Hubungan Simbiotik al-Qur’an dan al-Hadits dalam Membentuk Diktum-Diktum Hukum Abu Yasid
133
Dynamic of Pondok Pesantren as Indegenous Islamic Education Centre in Indonesia Dihyatun Masqon
155
Al-Isyka>liyya>t al-Lughawiyyah fi Tarjamah Ma'a>ni al-Qur'a>n al-Kari>m ila> al-Lughah al-Indo>ni>siyyah Saifullah Kamalie
169
‘Aqidah al-Tauh}i>d ‘Inda Ibn Taimiyah Amal Fathullah Zarkasyi
193
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an Hamid Fahmy Zarkasyi Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo Email:
[email protected]
Abstract Orientalism is a field of study that deals with Eastern and Islamic studies as it object of study. Being a discipline of knowledge it must have specific theory and methodology or framework of study. However, since it emerged in Western intellectual tradition, it is permeated by Western worldview. In other words, being a science orientalism is value laden. This paper tries to prove the correlation between the traditions of orientalism, where religious, cultural and political melieu permeated their framework, with the study of the Qur’an. The finding suggests that the framework of orientalis in their study of the Qur’an could be resumed into four: trying to employ previous sacred text as their standard of Qur’anic studies, preferring the textual studies rather than narration, questioning the process of compilation, examining the content of the Qur’an using their own logic and experience, and finally employing the Biblical methodology. Those frameworks inevitably has resulted ini incongruencies that could lead one to be misunderstanding the Qur’an.
Keyword:
biblical criticism, oriental studies, etnocentris, mushaf, tafsir
Pendahuluan
O
rientalisme adalah tradisi kajian ketimuran dan keislaman di dunia Barat yang telah berumur berabad-abad, karena itu maka semangat dan kualitas kajian dapat dikatakan ilmiah. Namun, karena subyek kajian ini umumnya adalah manusia Barat maka bias * Program Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, telp. (0352) 488220.
Vol. 7, No. 1, April 2011
2
Hamid Fahmy Zarkasyi
ideologis, kultural dan religius tidak dapat dihindari.1 Akibat dari bias-bias tersebut orientalisme menghasilkan frameworknya sendiri dalam mengkaji masalah-masalah ketimuran dan keislaman. Framework ini bagi cendekiawan Muslim yang tidak kritis akan nampak objektif dan bahkan baru sehingga diadopsi. Salah satu bidang kajian keislaman yang menunjukkan frameworknya yang khas orientalis adalah bidang kajian al-Qur’an.2 Makalah ini mencoba menemukan benang merah antara nilai-nilai dan metodologi yang menjadi latar belakang bidang studi orientalis dengan metodologi atau framework kajian al-Qur’an. Dalam kaitannya dengan itu, maka framework orientalis yang mencoba menjadikan kitab-kitab terdahulu sebagai standar kajian al-Qur’an, mengutamakan rasm (teks dari riwayah), mempermasalahkan proses pembentukan mushaf, mempersoalkan kandungan al-Qur’an dan penggunaan metodologi Bible merupakan topik-topik yang akan menjadi kajian makalah ini. Namun agar kajian ini lebih komprehensif, framework kajian al-Qur’an orientalis perlu dicari benang merahnya dengan worldview orientalis. Maka dari itu akan dipaparkan terlebih dahulu tradisi orientalisme dalam mengkaji Islam yang menyangkut motif kajian, fase perkembanganya dan objektifitas kajiannya.
Tradisi Orientalisme Gerakan pengkajian ketimuran (oriental studies) diberi nama orientalisme baru abad ke 18, meskipun aktivitas kajian bahasa dan sastra ketimuran (khususnya Islam) telah terjadi jauh sebelumnya.3 Namun istilah orientalis muncul lebih dulu daripada istilah orientalisme. A.J. Arberry (1905-1969) dalam kajiannya menyebutkan istilah orientalis muncul tahun 1638, yang digunakan oleh seorang anggota gereja Timur (Yunani). Menurutnya orientalis adalah “orang yang mendalami berbagai bahasa dan sastra dunia timur.” Adapun definisi dan skop kajian orientalisme yang merujuk akar kata orient (timur) yang merupakan lawan kata occident (barat) adalah scholarship or learning in oriental subject.4 Dalam kaitannya 1
Edward Said, Orientalism, (New York: Vintage Books, 1979), h. 204. Kajian lebih detail mengenai pemikiran kelima tokoh orientalis tentang al-Qur’an lihat Muhammad Mohar Ali, The Qur’an and the Orientalists: An Examination of their Main Theories and Assumption,s Jam’iyat Ihyaa’ Minhaaj al-Sunnah (JIMAS) 2004. 3 The Oxford English Dictionary, Oxford, 1933, vol. VII, h.200 2
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an
3
dengan agama-agama pengertian ini dapat dipersempit menjadi kegiatan penyelidikan para ahli ketimuran di Barat tentang agamaagama di Timur. Namun secara luas berarti kegiatan kajian tentang hal-hal yang menyangkut bangsa-bangsa di dunia Timur beserta lingkungannya sehingga meliputi berbagai bidang kehidupan. Hal ini menyangkut bidang sejarah, bahasa, agama, kesusasteraan, istiadat, politik, ekonomi dan sebagainya. Secara disipliner Edward Sa‘id mendifinisikan orientalisme sebagai: …..bidang pengetahuan atau ilmu yang mengantarkan pada [pemahaman] dunia timur secara sistematis sebagai suatu objek yang dapat dipelajari, diungkap, dan diaplikasikan.”5
Jika orientalisme merupakan bidang pengetahuan, maka sudah tentu ia memiliki metode, obyek kajian, teori dan bahkan framework kajiannya sendiri. Namun sebagai suatu disiplin ilmu, sejarahnya tentu diwarnai oleh latar belakang ideologi, agama, kepercayaan masyarakat Barat. Jadi sejarah ilmu orientalisme diwarnai milleu keagamaan, politik dan keilmuan.6 Motif keagamaan Barat yang di dominasi oleh Kristen memandang Islam sebagai agama yang sejak awal menentang doktrindoktrinnya. Islam yang misinya menyempurnakan millah sebelumnya telah banyak melontarkan koreksi terhadap agama itu. Islam dianggap “menabur angin” dan lalu menuai badai perseteruan dengan Kristen. Bahkan lebih ekstrim lagi, perseteruan itu ada sejak sebelum Islam datang. Thomas Wright, penulis buku Early Christianity in Arabia, A Historical Essay7 mensinyalir perseteruan antara Islam dan Kristen terjadi sejak bala tentara Kristen pimpinan Abrahah menyerang Ka’bah dua bulan sebelum Nabi lahir. Menurutnya, kalau saja tentara Abrahah itu tidak kalah mungkin seluruh jazirah itu berada ditangan Kristen, dan tanda salib sudah terpampang di Ka’bah. Muhammad pun mungkin mati sebagai pendeta. Selain itu perang salib yang berjalan hampir selama dua abad (sejak tahun 1096 hingga tahun 1271) telah cukup menambah 4
Longman Dictionary of English Language, (Burnt Mill, Harlow, Longman, 1984),
h. 1035 5
Edward Said, Orientalism…, h. 92 Ibid., h. 204. 7 Thomas Wright, Early Christianity in Arabia, A Historical Essay (New Jersey:Theological Seminary Princeton, tt.), h. 92 6
Vol. 7, No. 1, April 2011
4
Hamid Fahmy Zarkasyi
milleu perseteruan tersebut. Di saat-saat seperti inilah keingin tahuan orang Barat tentang Islam mulai tumbuh. Selanjutnya, orientalisme lahir dari milleu politik dimana Islam dianggap sebagai ancaman besar bagi kekuasaan politik dan agama mereka. Realitas sejarah menunjukkan bahwa kekuasaan Islam telah tersebar kepelbagai pelosok dunia termasuk ke Eropah dan sangat mengganggu stabilitas politik di Negara-negara Barat waktu itu. Menurut W.C. Smith permusuhan yang lebih sengit terjadi pada masa kekuasan Turkey Uthmani pada akhir abad 19, tidak hanya dalam bentuk kekuatan militer, tapi telah menyangkut alam pikiran dan aqidah.8 Milleu politik ini kemudian mendorong penaklukan balas yang membawa konsekuensi ekonomi atau perdagangan yang akhirnya berubah menjadi kolonialisme. Namun, di sisi lain, meski Islam-Barat mengalami suasana perseturuan politik yang hebat, hubungan keilmuan antara keduanya snagat erat. Bahkan sejak sebelum terjadi perang salib aktifitas penterjemahan karya-karya Muslim kedalam bahasa Latin di Spanyol sudah cukup pesat. Suasana politik, agama, budaya dan keilmuan itulah yang mengiringi kelahiran tradisi orientalisme yang akhirnya berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri. Sebenarnya ketiga milleu tersebut diatas tidak terjadi pada satu waktu tertentu atau berjalan secara monoton, namun berjalan menyusuri waktu dengan perkembangan yang berbeda-beda intensitas kajiannya. Meski nama bidang kajian orientalisme baru diberikan pada abad ke 18, namun aktivitasnya telah terjadi sejak abad ke 8, namun sejatinya kajian serius orientalisme baru dapat dilacak dari sejak abad ke 16. Oleh sebab itu fase perkembangan orientalisme dibagi menjadi empat: Fase pertama dimulai pada abad ke enambelas (abad 16). Pada fase ini orientalisme dapat dikatakan sebagai simbol gerakan anti-Islam yang dimotori oleh Yahudi dan Kristen. Bagi orang Eropah Islam adalah trauma yang tak pernah berakhir. Southern dalam bukunya Western Views of Islam in the Middle Ages, menulis bahwa “orang Kristen ingin agar Timur dan Barat Eropah bersepakat bahwa Islam itu adalah Kristen yang sesat (misguided version of Christianity).” 9 Bahkan tidak sedikit yang menulis bahwa Muhammad adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur 8
W.C.Smith, Islam in Modern History, 4th edition, (Princation, 1996), h. 166. R.W. Southern Western Views of Islam in the Middle Ages, 3rd edition, (Harvard: Harvard University Press, 1978), h. 91-92, 108-109. 9
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an
5
dsb yang kesemuanya itu diambil dari doktrin kagamaan yang dibawanya.10 Fase kedua orientalisme terjadi pada abad ke 17 dan 18 M. Fase kedua ini adalah fase penting orientalisme, sebab ia merupakan gerakan yang bersamaan dengan modernisasi Barat. Barat berkepentingan menimba ilmu bagaimana Islam bisa menjadi peradaban yang handal selama 7 abad. Pada periode inilah raja-raja dan raturatu di Eropah sepakat untuk mendukung pengumpulan segala macam informasi tentang ketimuran. Untuk menyebut beberapa, Erpernius (1584-1624), menerbitkan pertama kali tatabahasa Arab, dan diikuti muridnya Jacob Goluis (1596-1667), dan oleh Lorriunuer Franz Meurnski dari Austria tahun 1680. Selain itu Bedwell W (15611632) mengedit tujuh jilid buku Kamus Bahasa Arab dan menulis tentang sejarah hidup Nabi Muhammad. Meskipun Barat memerlukan Islam, tapi api perseteruan masih tetap membara. Maka dari itu selain mengumpulkan informasi tentang Timur mereka juga menyebarkan informasi negatif tentang Timur kepada masyarakat Barat. Fase ketiga orientalisme adalah abad ke 19 dan seperempat pertama abad ke 20. Fase ini adalah fase orientalisme terpenting baik bagi Muslim maupun bagi orientalis sendiri. Sebab pada fase ini Barat telah benar-benar menguasai negara-negara Islam secara politik, militer, kultural dan ekonomi. Mungkin karena orang Barat telah masuk dan menguasai negeri-negeri Islam, mereka mudah mendapatkan bahan-bahan tentang Islam. Oleh sebab itu pada waktu yang hampir bersamaan lembaga-lembaga studi keislaman dan ketimuran didirikan di mana-mana. Tahun 1822 di Paris didirikan Society Asiatic of Paris, Royal Asiatic Society of Great Bretain and Ireland didirikan tahun 1823 di Inggeris; tahun 1842 di Amerika juga didirikan American Oriental Society; tahun 1916 di University of London, didirikan School of Oriental Studies sekarang menjadi SOAS (School of Oriental and African Studies). Dengan berdirinya pusatpusat studi keislaman maka framework kajian orientalis berubah dari fase caci maki menjadi serangan sistimatis dan ilmiah. Tapi sistematis dan ilmiah tidak berarti tanpa kesalahan dan bias. Fase keempat orientalisme ditandai dengan adanya Perang Dunia ke II. Khusus di Amerika, Islam dan ummat Islam menjadi 10 Norman Daniel, Islam and the West, The Making of an Image, (Boston: Oneworld Publication, 2000), h. 246-296.
Vol. 7, No. 1, April 2011
6
Hamid Fahmy Zarkasyi
obyek kajian yang populer. Kajian itu bukan saja dilakukan untuk kepentingan akademis, tapi juga untuk kepentingan kebijakan politik dan juga bisnis. Sekali lagi pada fase ini kajian orientalisme berubah lagi, dari sentimen keagamaan yang vulgar menjadi lebih lembut. Cantwell Smith terang-terangan mengatakan “Pencarian ilmu selalu siap merubah hypotesanya. Faktanya memang orangorang Barat non-Muslim baru saja mulai memperlembut (sikapnya terhadap Islam) dan bahkan menarik kata ‘tidak’nya”.11 Sir Hamilton Gibb secara diplomatis mengatakan bahwa ia menerima pendapat bahwa wahyu adalah gambaran pengalaman pribadi Nabi Muhammad, tapi Islam perlu menafsirkan ulang konsep-konsep di dalamnya yang tidak bisa dipertahankan lagi itu.12 Perubahan sikapnya begitu kentara, berubah dari menuduh Nabi sebagai penipu, mereka kemudian mempersoalkan konsep wahyunya, dan kini mereka mulai mempersoalkan interpretasinya.
Objektivitas Orientalis Jadi demikianlah, mulanya para orientalis itu hanyalah sebuah circle yang memiliki semangat anti-Islam, dalam perkembangannya nuansa anti-Islamnya lalu dikurangi dan diganti dengan pendekatan yang menggunakan logika, pengetahuan dan argumentasi. Meskipun demikian tujuan orientalisme adalah tetap sama. Contoh yang jelas adalah jurnal The Muslim World yang diterbitkan oleh Samuel Zwemmer tahun 1920. Pada mulanya jurnal ini terangterangan diperuntukkan bagi media informasi bagi para missionaris tentang Islam dan dunia Islam. Ini sesuai dengan motto mereka yang terkenal yaitu know your enemy, (ketahuilah musuhmu). Tapi kemudian jurnal itu menjadi media kajian Islam yang serius dan ilmiah. Oleh sebab itu orientalisme dikenal sebagai suatu tradisi kajian ilmiah tentang Islam yang menggunakan jubah intelektualisme dan dedikasi akademik.13 Mereka bahkan dianggap memiliki disiplin dan sikap ilmiah yang ‘khas’, yang membentuk sebuah framework pengkajian. 11
Lihat W.Cantwell Smith On Understanding Islam-Selected Studies, (the Hague, 1981),
h. 296 12 Sir Hamilton Gibb, Pre-Islamic Monotheism in Arabia, (Harvard: Harvard Theological Review, 55, 1962), h. 269. 13 Lihat Dr. Afaf, al-Mushtashriku>n wa Mushkilat al-H}ad}a>rah, (Cairo: Dar al-NahÌah al-‘Arabiyyah, 1980), h. 33-34
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an
7
Namun meski bersifat ilmiah dan terkesan objektif, framework kajian orientalis tidak lepas dari warna dan latar belakang agama, politik, worldview dan nilai-nilai peradaban Barat. Bagi yang berfikir kritis perubahan sikap orientalis ini akan mendapati bahwa kajian para orientalis itu berpijak pada subyektifitas mereka sebagai orang Barat. Kajian Edward Said melahirkan kesimpulan bahwa apa saja yang dikatakan oleh orang Eropah tentang Timur tetap saja rasial, imperialis dan etnocentris.14 Subyektivitas itu digambarkan dengan sangat jelas sekali oleh Anwar al-Jundi dalam bukunya al-Fikr al‘Arabi al-Mu‘a>s}ir fi> Ma’rakat al-Taghri>b.15 Menurutnya para orientalis itu pertama-tama menentukan tujuan dan proposisi. Kemudian untuk membuktikan proposisi mereka, mereka mengumpulkan berbagai macam data, seperti teks-teks keagamaan, cerita-cerita fiksi, syair-syair, kisah-kisah, dan lain-lain yang otentik ataupun yang tidak dan kemudian menafsirkan sesuai dengan tujuan dan proposisi mereka itu. Data yang tidak sesuai dengan tujuan mereka dibuang. Proposisi digunakan untuk membuat teori-teori “baru”, tanpa memperdulikan apakah teori-teori mereka itu sesuai dengan fondasi ajaran Islam atau tidak. Kajian al-Jundi hanyalah salah satu dari sekian framework kajian orientalis. Berbeda bidang kajian berbeda pula frameworknya, dan berbeda periode berbeda pula tehnik dan metode kajiannya. A.L. Tibawi penulis buku English Speaking Orientalists, menyimpulkan bahwa ketika para orientalis ahli polemik periode awal terlibat dalam penghinaan dan penafsiran yang salah tentang Islam, tujuan mereka hanyalah destruktif. Tapi setelah adanya motif missionaris mereka mulai menggunakan pendekatan objektif. Metodenya merupakan campuran antara penghinaan dan pengungkapan hal-hal negatif tentang Islam, namun dengan menggunakan fakta-fakta yang solid, tapi tetap dipahami dalam perspektif Kristen. Metode yang pertama telah ditinggalkan sedangkan metode yang kedua menjadi lemah atau diberi baju baru. Ini jelas sekali ketika diketahui bahwa para orientalis itu gencar menyarankan, mendorong dan bahkan kasarnya memprovokasi agar Islam itu direformasi.16 14
Edward Said, Orientalisme…, h. 204 Anwar al-Jundi, al-RisÉlah, (Cairo, tt.), h. 133-137 16 A.L. Tibawi, “A Critique of Their Approach to Islam and Arab Nationalism”, dalam The Islamic Quarterly, London 1964, vol. VIII, no. 1-2, h. 41. 15
Vol. 7, No. 1, April 2011
8
Hamid Fahmy Zarkasyi
Sebagai contoh dapat dilihat dari pendapat Montgomery Watt. Watt menyatakan bahwa “rekonstruksi intelektual pandangan hidup Islam secara mendasar adalah penting jika bertujuan untuk menghilangkan elemen-elemen yang salah dan keliru, dan untuk memberikan gambaran yang lebih tepat tentang kedudukan Islam dalam dunia kontemporer.”17 Dia memberikan beberapa contoh tentang “apa yang dianggap kesalahan yang serius menurut kritik sejarah Barat,” seperti kisah Maryam yang terdapat dalam Al-Qur’an, yang oleh Watt dianggap salah karena Al-Qur’an tidak membedakan antara Miriam saudara Harun (Maryam [19]: 28) dan Meri, ibunda Nabi Isa a.s. Kesalahan lain yang lebih serius tentang informasi sejarah, menurut Watt, adalah penolakan Al-Qur’an terhadap cerita yang mengatakan bahwa Nabi Isa a.s. disiksa dan mati di tiang salib (anNisa’ [4]: 157), sedangkan menurut mereka “penyiksaan yang membawa kematian Nabi Isa a.s. adalah satu diantara bukti sejarah masa silam yang paling pasti.”18 Selain itu Watt ternyata meragukan otentisitas ajaran Islam. Ia mencoba membuktikan bahwa beberapa bagian al-Qur’an dan Hadits itu dibuat-buat dan tidak konsisten, dan karena itu tidak bisa dijadikan sumber pandangan hidup Islam. Ia bahkan mencurigai adanya “ayat-ayat setan” dalam al-Qur’an.19 Kajian orientalis tentang Islam dan sejarahnya nampak sangat canggih (baca: soophisticated) dan subtil sehingga pembaca awam, alias bukan pakar tidak mudah mengetahui implikasi-implikasi negatifnya. Pernyataan mereka itu umumnya berdasarkan spekulasi, penentuan sumber data yang selektif demi tujuan dan kepentingan tertentu. Edward Said baik dalam Orientalism (1978) maupun dalam The World, The Text and the Critic,20 yakin bahwa Orientalis dan Barat adalah diskrimatif. Batas rasial, kultural dan bahkan saintifik sangat kental. Antara “kami” dan “mereka”, minna dan minhum merasuk kedalam kajian sejarah, linguistic, teori ras, filsafat, antropologi dan bahkan biologi hingga abad ke 19. Selain dari itu, pandangan dan kritik orientalis berdasarkan kajian mereka yang sangat spesifik. Artinya jika mereka mengkaji 17 William Montgomery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity (London and New York: Routledge, 1988), h. 88. 18 Ibid., h. 83, 88. 19 M.Watt, Muhammad at Mecca, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1960), h. 103 20 Edward Said, The World, the Text, and the Critic, (Cambridge: Harvard University Press, 1984), h. 14.
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an
9
suatu bidang tertentu, mereka melewatkan bidang kajian yang lain. Orientalis ahli Fiqih melontarkan kritik-kritik yang tidak dikaitkan dengan Kalam misalnya, kritik dalm bidang filsafat tidak dikaitkan dengan aqidah, kritik dan kajian al-Qur’an tanpa disertai ilmu tafsir, bahkan tidak aneh jika para orientalis mengkaji al-Qur’an dengan metodologi Bibel, mengkaji politik Islam dalam perspektif politik Barat sekuler dst. Dan yang pasti disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam itu tidak dikaji dengan framework pandangan hidup Islam, tapi Barat. Jadi, kajian orientalis yang dianggap objektif dan ilmiah itu sangat mungkin untuk terjerumus dalam kesalahan. Cara pandang mereka terhadap Nabi, al-Qur’an dan Islam sebagai agama masih tidak bisa lepas bebas dari pengaruh orientalis periode awal yang diwarnai permusuhan dan oleh pengalaman manusia Barat. Artinya orientalisme sebagai ilmu itu tidak bebas nilai.
Framework Studi al-Qur’an Orientalis Pengaruh worldview Barat terhadap framework kajian orientalis nampak dalam kajian mereka terhadap al-Qur’an. Asumsi dasar mereka bahwa al-Qur’an itu bukan wahyu menjadi landasan dan sekaligus tujuan kajian mereka terhadap al-Qur’an. Kajian sejarah teks al-Qur’an yang dipelopori khususnya oleh Theodore Noldeke dan Arthur Jeffery,21 teori revisi teks al-Qur’an oleh Richard Bell dan M.Watt,22 ataupun asumsi J.A.Bellamy tentang kesalahan penulisan al-Qur’an membuktikan akan hal itu. Bahkan Bergtrasser, Mingana, Pretzl, Tisdal, Wansbrough, Puin dan banyak lagi lainnya telah mencurahkan seluruh kehidupan mereka guna menyingkap perubahan teks al-Qur’an. Di antara karya-karya yang tercatat dalam sejarah adalah: 1) A. Mingana and A. Smith (ed.), Leaves from Three Ancient Qurans, Possibly Pre-’Othmanic with a List oftheir Variants, Cambridge, 1914; 2) G. Bergtrasser, “Plan eines Apparatus Criticus zum Koran”, Sitrungsberichte Bayer. Akad., Munchen, 1930, Heft 7; 3) O. Pretzl, “Die Fortfuhrung des Apparatus (‘riticus zum Koran”, Sitzungsberichte Bayer. Akad., Miinchen, 1934, Heft 5; dan 4) A. 21
Arthur Jeffery, “Progress in the Study of the Qur’an Text”, Muslim World, 1935, h.
4-16. 22 Richard Bell & W.M.Watt, Introduction to the Qur’an, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970)
Vol. 7, No. 1, April 2011
10
Hamid Fahmy Zarkasyi
Jeffery, The Qur’an as Scripture, R.F. Moore Company, Inc., New York, 1952. Karena terpengaruh oleh worldview dan nilai-nilai Barat, maka dalam mengkaji al-Qur’an para orientalis hanya menggunakan pendekatan dan metode penelitian ilmu-ilmu sosial yang mereka miliki. Sebagai konsekuensi dari pendekatan tersebut maka masalah-masalah yang mereka jadikan topik bahasan disesuaikan dengan metode tersebut. Berikut ini dipaparkan beberapa model kajian orientalis yang berdasarkan framework mereka sendiri. 1. Mengaitkan dengan Teks terdahulu Karena pengaruh milleu keagamaan mereka yakni Yahudi dan Kristen, para orientalis menggunakan kitab mereka sebagai standar penilaian. Di antara caranya adalah dengan mencari kesamaan-kesamaannya. Abraham Geiger (1810-874), seorang intelektual Yahudi Liberal Jerman, mengajukan teori mengenai pengaruh Yahudi terhadap al-Qur’an. Pada tahun 1833, dalam esainya yang berjudul “Apa Yang Telah Muhammad Pinjam Dari Yahudi?”, memaparkan sejumlah indikasi bahwa al-Qur’an merupakan imitasi dari Taurat dan Injil antara lain dari segi kosa kata yang berasal dari bahasa Ibrani yaitu. Tabut, Taurat, Jahannam, Taghut, dan sebagainya. Selain itu, Geiger juga berkeyakinan bahwa muatan al-Qur’an sangat terpengaruh oleh agama Yahudi seperti penjelasan al-Qur’an mengenai: (a) hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin, (b) peraturanperatuan hukum dan moral dan (c) pandangan tentang kehidupan.23 Geiger juga berpendapat bahwa kecaman al-Qur’an terhadap Yahudi disebabkan oleh kejahilan dan kesalah fahaman nabi Muhammad terhadap doktrin-doktrin agama Yahudi.24 Sedangkan Richard Bell menganggap al-Qur’an berasal dari tradisi dan kitab suci Kristen. Richard Bell mengatakan, pengaruh Kristen belum terjadi pada masa akhir Makkah dan awal Madinah. Indikasinya, surah al-Ikhlas bukan polemik antara Muhammad dan orang Kristen, tetapi dengan orang musyrik yang percaya bahwa Allah mempunyai tiga anak perempuan. Kemudian ketika surah al-Alaq ayat 1 sampai 5 turun pengaruh Kristen juga belum nampak, 23 Lihat dalam Andrew Rippin, Introduction The Quran: Style and Contents, editor Andrew Rippin (Hampshire: Ashgate Publishing Limited, 2001), h. xi, 24 Abraham Geiger, “What Did Muhammad Borrow from Judaism’?” dalam The Origins of the Koran, editor Ibn Warraq (New York: Prometheus Books, 1998), h. 165-26.
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an
11
karena disitu dinyatakan bahwa manusia diciptakan dari segumpal darah. Sementara dalam konsep Bibel manusia itu diciptakan dari tanah. Baru kemudian pada surat al-Mu’min 67 dinyatakan bahwa: “Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, sesudah itu segumpal darah, kemudian kamu dilahirkan sebagai seorang anak..”. Di dalam surah ini pengaruh Kristen baru terbaca. Selain itu, menurut Bell, pengaruh Bibel terhadap al-Qur’an dapat dilihat dari konsep penolakan penyaliban Yesus. Konsep ini, menurutnya diambil dari satu sekte Kristen di Syiria. Selain itu Bell juga berpendapat bahwa wahyu yang dialami Muhammad merupakan peristiwa natural, bukan peristiwa supranatural. Hal ini merujuk kepada pengalaman orang-orang Kristen bahwa pengetahuan tentang agama Kristen diaktualkan sebagi wahyu melalui trance-medium (keadaan tak sadar) dalam suasana mistik seperti kehidupan para dukun. Bell mengartikan wahyu dengan sugesti yang muncul sebagai kilasan Inspirasi, dan sugesti itu terjadi secara alami. Sudah tentu masalah-masalah tersebut muncul karena dalam pandangan mereka hal-hal yang bersifat supranatural tidak dapat dikaji secara saintifik.25 Sikap orientalis yang mengaitkan atau menyamakan al-Qur’an dengan Bible diakui oleh Karl-Heinz Ohlig, guru besar teologi di Universitas Saarbucken, Jerman. Ia menyatakan: Bercermin dari [sejarah Kristen] dimana ajaran dan riwayat hidup Jesus dibentuk secara kerygmatic dan dibangun melalui tradisi [yang berkembang] dalam komunitas [para pengikutnya] selama 40 tahun sampai munculnya Injil Markus, sehingga Jesus sejarah [yang sesungguhnya] hampir mustahil untuk diketahui, maka [bercermin dari kasus ini] boleh jadai tradisi [riwayat-riwayat] mengenai Nabi Muhammad saw pun melalui proses serupa.26
Selain Bell dari kalangan Kristen terdapat nama Theodore Noldeke, seorang pendeta Kristen yang juga berasal dari Jerman. Ia mengukur kebenaran al-Qur’an dari Bibel. Maka, apa pun yang terkandung di dalam al-Qur’an yang bertentangan dengan Bibel akan dianggap salah. Seperti penolakan al-Qur’an terhadap penyaliban 25
Richard Bell, The Origin of Islam in its Christian Environment, (London: 1926), h.
17-52. 26 Karl Heinz Ohlig et.al, “Neue Wege der Koranforschung” seperti dikutip oleh Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, h.11
Vol. 7, No. 1, April 2011
12
Hamid Fahmy Zarkasyi
Nabi Isa. Dalam satu artikel Encyclopedia Britannica (1891) Noldeke, menyebutkan banyak kekeliruan di dalam al-Qur’an karena “kejahilan Muhammad” tentang sejarah awal agama Yahudi. Menurutnya terdapat kecerobohan dalam menyebut nama-nama yang dicuri dari sumber-sumber Yahudi.27 Dengan membuat daftar kesalahan la menyebut: [Bahkan] orang Yahudi yang paling tolol sekalipun tidak akan pernah salah menyebut Haman (menteri Ahasuerus) untuk menteri Fir’aun, ataupun menyebut Miriam saudara perempuan Musa dengan Maryam (Miriam) ibu dari al-Masih.28
Pandangan Noldeke ini sebenarnya juga merupakan kecerobohan. Sebab menyimpulkan bahwa Fir’aun tidak memiliki seorang menteri yang bernama Haman, hanya karena tidak disebut dalam Kitab Suci yang terdahulu, adalah naïf. Sebab ia sendiri tidak memiliki bukti kuat bahwa menteri Fir’aun itu bukan orang yang bernama Haman atau nama lain. Jika pun bukti itu ada dan diambil dari kitab Bible tentu tidak tepat pula, sebab ia belum membuktikan apakah Bible lebih otentik dibanding al-Qur’an sehingga standar yang digunakan adalah Bible. Padahal, jika ia percaya bahwa kedua kitab itu adalah wahyu Tuhan, tentu ia akan mengikuti apa firman Tuhan yang datang belakangan, yakni al-Qur’an. Demikian pula ketika menyalahkan al-Qur’an dalam soal hubungan kekerabatan Maryam (Ibu Isa al-Masih) sebagai “saudara perempuan Harun” bukan Musa. 29 Noldeke salah sebab Maryam atau Elizabeth sebagai “saudara-saudara perempuan Harun” atau “anak-anak perempuan `Imran” (ayah Harun).30 Gagasan Noledeke untuk mengkaitkan al-Qur’an dengan kitab terdahulu mempengaruhi orientalis yang lain. Diantaranya adalah murid Noledeke sendiri yaitu Israel Schpiro (m.1957). Ia menulis disertasi dalam bahasa Jerman dengan judul Elemen-elemen Haggadi dalam Bagian Kisah al-Qur’an. Ia meneliti secara detail kisah-kisah Nabi Yusuf dalam Surah Yusuf dan membandingkannya dengan 27
Lihat “The Koran”, Encyclopedia Britannica, ed. ke 9, 1891, jld. 16, hlm. 597ff. Dicetak kembali dalam Ibn Warraq (ed.), The Origins of the Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book, (NY: Prometheus Books, Amherst, 1998), h. 36-63. 28 T. Noldeke, “The Koran”, dalam Ibn Warraq (ed.), The Origins of the Koran, h. 43. 29 Qur’an 19: 28 30 Lihat komentar Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an, mengenai ayat 3: 35 dan 19: 28.
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an
13
Taurat dan Injil. Selain Noldeke terdapat nama AJ Wensick, murid Christian Snouck Horgronye. Dalam bukunya yang berjudul Muhammad dan Yahudi di Madinah (Mohammed en de Joden te Medina, Leiden 1908), ia menyatakan bahwa nabi Muhammad itu terpengaruh oleh Yahudi.31 Selain mempengaruhi orientalis lainnya, Noledeke dkk juga telah mempengaruhi Ali Dashti, pemikir Syiah Liberal. Pernyataannya yang banyak dikutip kembali oleh orientalis adalah sbb: “In the field of moral teachings, however, the Qor ’an cannot be considered miraculous. Mohammad reiterated principles which mankind had already conceived in earlier centuries and many places. Confucius, Buddha, Zoroaster, Socrates, Moses, and Jesus had said similar things.” 32
Jika hanya mencari kesamaan isi al-Qur’an dengan kitab-kitab sebelum Islam sudah tentu akan ditemukan dengan mudah. Karena jika diingat bahwa al-Qur’an adalah penyempurna kitab-kitab sebelumnya, maka itu adalah wajar. Selain itu, kesamaan itu justru harus dianggap mukjizat al-Qur’an, karena Nabi Muhammad yang ummi itu ternyata dapat merekam ajaran-ajaran yang ada dalam kitab sebelumnya. Hal ini menunjukkan pula bahwa ajaran moral yang dibawa oleh al-Qur’an itu adalah universal dan sesuai dengan fitrah manusia. Masalahnya, mereka lupa bahwa dalam al-Qur’an terdapat ajaran-ajaran yang tidak terdapat dalam kitab-kitab terdahulu. 2. Mengutamakan Rasm dari Riwayah Al-Qur ’an adalah bacaan yang berbeda dari ucapan dan perbuatan Nabi yang direkam dan disimpan secara terpisah dalam bentuk Hadits yang secara literer berarti berita, laporan atau narasi.33 Seorang orientalis yang objektif, Michael Zwettler mencatat bahwa pada zaman kuno, ketika menulis jarang digunakan, hafalan dan transmisi oral diamalkan dan diperkuat pada tingkat yang kini tidak 31 Seperti dikutip oleh Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 139. 32 Ali Dashti’s Twenty-Three Years: A study of the Prophetic Career of Mohammad, (London: Allen and Unwin, 1985), h. 45 33 Muhammad Hamidullah, Introduction to Islam, (London: MWH Publishers, 1979), h. 17
Vol. 7, No. 1, April 2011
14
Hamid Fahmy Zarkasyi
dapat diketahui. Maka, sebagian besar dari wahyu dengan mudah dihafalkan oleh sebagian besar orang dalam komunitas Nabi.34 Ini berarti Zwettler mengakui adanya tradisi periwayatan daripada tulisan. Namun, para orientalis yang terpengaruh oleh ilmu-ilmu social Barat dan juga oleh metodologi kajian Bible menekankan pada faktafakta empiris yang berlebihan sehingga bukti-bukti lain selain yang memiliki fakta fisik (habeas corpus) tidak dapat diterima. Hal ini terbukti dari besarnya perhatian orientalis yang berlebihan dalam mengkaji sejarah kompilasi teks al-Qur’an atau sejarah teks alQur’an.35 Ini nampaknya berdasarkan pengalaman mereka dalam melacak sejarah Bible yang hanya mengandalkan pada tulisan manuscript dalam bentuk papyrus, scroll dan sebagainya. Manuscript itulah yang berperan dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi penulisan Gospel. Dengan metode ini John Wansbrough menganggap al-Qur’an sebagai karya sejarah atau rekaman situasi dari budaya Arab abad ke 7 dan 8 Masehi. 36 Dengan metode sejarah terks itu pula Arthur Jeffery menyimpulkan bahwa mushaf yang ada sekarang ini tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya, padahal dia sendiri tidak menunjukkan bentuk asli. Karena itu ia kemudian membuat al-Qur’an edisi kritis (critical edition of the Qur’an) berdasarkan manuskrip-manuskrip yang diperoleh tanpa memperhatikan riwayat dari manuskrip tersebut.37 Dengan pendekatan tekstual itu maka orientalis mengkaji alQur’an dengan berdasarkan sebuah asumsi bahwa Al-Qur’an adalah ‘dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’, qira’ah. Dengan asumsi keliru ini (taking the Qur’an as text) mereka lantas mau menerapkan metode-meode filologis yang lazim digunakan dalam penelitian Bible, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism. Logika tekstual itulah yang mengkibatkan anggapan bahwa al-Qur ’an sebagai hasil 34 Michael Zwettler, The Oral Tradition of Classical Arabic Poetry, (Ohio: Ohio State Press, 1978), p.14. 35 Menurut Jeffery, “Para ilmuwan Barat tidak sependapat bahwa susunan teks AlQur’an yang ada di tangan kita sekarang, sama dengan apa yang terdapat pada zaman Nabi Muhammad “, maksudnya dalam hal susunan surah dan ayat-ayatnya. 36 Lihat John Wnasbrough, Qur’anic Studies, Sources and Methods of Scriptural Interpretation, (Oxfrod: Oxford University Press, 1977). 37 Lihat Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’an: The Old Codices, (Leiden, E.J.Brill, 1937).
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an
15
interaksi orang Arab abad ke-7 dan 8M dengan masyarakat sekeliling mereka. Selain itu mereka juga beranggapan bahwa mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (tanpa mengetahui bagaimana teks aslinya itu) dan karena itu mereka lantas membuat edisi kritis, merestorasi teksnya, maupun membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada. Sebenarnya, dalam Islam Al-Qur’an bukanlah ‘tulisan’ (rasm, text atau writing) tetapi merupakan ‘bacaan (qira>’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses turun (pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan (transmisi)-nya dilakukan melalui lisan dan hafalan. Dari dahulu, yang dimaksud dengan ‘membaca’ al-Qur’an adalah ‘membaca dari ingatan’ (qara>’a ‘an zhahri qalbin). Rasm dalam berbentuk tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun dan lain sebagainya hanya berfungsi sebagai alat penyimpan dari apa yang ada dalam hafalan para Qari’. Hafalan qari’ ini kemudian ditransmisikan dengan isnad secara mutawatir dari generasi ke generasi hingga zaman sekarang sehingga tetap seperti yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi.38 Maka dari itu prinsip yang terkenal dikalangan para ulama dlam hal ini adalah bahwa “al-rasm ta>bi li al-riwa>yah” (tulisan itu mengikuti riwayat). Bagaimana hafalan itu dapat terjaga dari lupa, para sahabat dan para ulama menggunakan metode isnad yang mutawaatir dari generasi ke generasi. Hafalan seorang alim di cross check dengan ulama yang lain. Terdapat tiga pedoman yang harus dipenuhi sebelum sebuah bacaan suatu ayat diterima sebagai al-Qur’an: pertama, qira’at mesti tidak diriwayatkan hanya dari satu sumber yang memiliki otoritas, melainkan melalui sejumlah riwayat besar (yang cukup untuk melenyapkan kemungkinan adanya kesalahan yang masuk), yang juga sampai kepada Nabi Muhammad yang dapat menjamin keaslian dan kepastian bacaan. Kedua, teks bacaan mesti sama dengan apa yang terdapat Mushaf Uthmani. Ketiga, cara pengucapan mesti senada dengan tata bahasa Arab yang benar.39 38
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Intellektual, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), h. 10 39 MM. Al-Az}ami>, “The History of the Qur’anic Text, comparative Study with the Old and New Testaments, From Revelation to Compilation”, di Indonesiakan oleh Sohirin Solihin dkk, Sejarah Teks al-Qur’an, dari Wahyu sampai Kompilasi, (Jakarta: Gema Insani Press, International Islamic University, 2005), h. 224
Vol. 7, No. 1, April 2011
16
Hamid Fahmy Zarkasyi
3. Menyoal Pembentukan Mushaf Para orientalis pada umumnya sepakat bahwa keaslian alQur’an dapat dilacak dari abad pertama Hijrah atau ketujuh Masehi di Makkah dan Madinah. Keaslian disini bukan sebagai wahyu Allah kepada nabi Muhammad, tapi keaslian al-Qur’an sebagai karangan Nabi Muhammad. Sebagai pengarang, Nabi bagi mereka tidak meninggalkan susunan teks resmi yang lengkap dan definitif, karena itu materi al-Qur’an dalam bentuk tulisan dan ucapan baru disusun setelah dua puluh tahun dari wafatnya Nabi oleh Uthman bin Affan dan diterbitkan sebagai satu-satunya teks yang resmi. Keaslian alQur’an – yang menurut W.Montgomery Watt dan Richard Bell dianggap sebagai karangan Nabi Muhammad – dalam tradisi Islam hanya dibuktikan dari keseragaman bahasanya,40 sudah tentu bagi mereka bukti ini adalah lemah. Jika Watt dan Bell meragukan keaslian wahyu karena tidak adanya bukti teks yang lengkap, John Wansbrough mempersoalkan bagaimana cara-cara teks itu disusun menjadi teks seperti yang ada sekarang ini. Baginya sumber analisa hanya berdasarkan kajian fakta sejarah dan menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi meragukan. Sebenarnya, menurut Wansbrough, sumber-sumber Muslim tentang asal usul Islam, termasuk al-Qur’an dan Hadits, sunnah nabi, tafsir dan sejarah adalah produk dari aktifitas kesusasteraan yang harus dianalisa sebagai sastra dengan menggunakan juga metode kritik sastra (literary-critical methods). Sebab, alasannya, kesimpulan terbaik dari fakta-fakta sejarah itu adalah analisis kesusasteraan41 dan itu ia ambil dari kajian bible (biblical studies). Metode kritik kesusasteraan ini pada akhirnya berujung pada kesimpulan bahwa kepercayaan tradisional Muslim tentang al-Qur’an yang diwahyukan melalui Nabi Muhammad dan teks resminya itu merupakan koleksi dan perbaikan redaksi tidak lama dari meninggalnya Nabi adalah tidak benar. Kepercayaan ini menurut Wansbrough hanyalah fiksi, yang nampaknya mengikuti model kitab suci Yahudi. Dalam dua bukunya Qur’anic Studies: Sources and Method of Scriptural Interpretation42 Wansbrough menggambarkan perlunya 40 W. M.Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970), h. 2-3. 41 J.Wansbrough, The sectarian milieu: Content and composition of Islamic salvation history (Oxford: Oxford University Press, 1978), h. ix, 118–19. 42 John Wansbrough, Qur’anic Studies: Sources and Method of Scriptural Interpretation, (Oxford: Oxford University Press, 1977)
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an
17
kajian kritis terhadap kualitas sumber informasi dari perspektif kesusateraan agar terhindar dari pengaruh pendekatan teologis. Oleh sebab itu pertanyaan pertama yang diajukannya dan tidak pernah dipersoalkan orang dalam studi Islam adalah “apa buktinya?” Dan ketika arah pertanyaan Wansbrough ditujukan ke al-Qur’an maka pertanyaan menjadi:”Bukti apakah yang ada untuk membuktikan akurasi sejarah dari penjelasan Muslim tradisional tentang “kompilasi” al-Qur’an sesudah wafatnya Nabi Muhammad?” Pertanyaan curiga ini dijadikan landasan untuk mengkaji teks al-Qur’an dengan dalih bahwa seluruh dokumentasi kitab harus dilihat dari analisas kesusasteraan yang disebut dengan teori “salvation history”. Model analisa ini dikembangkan dengan serius oleh Bultmann dan Neusner dalam kajian Bible.43 Teorinya bermula dari proposisi bahwa meskipun dokumentasi tentang “salvation history” menunjukkan dirinya sebagai peristiwa yang seakan-akan sama dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Tapi sejatinya itu adalah gambaran yang dibuat sesudah peristiwa itu terjadi, dan menunjukkan bahwa penjelasan itu berdasarkan pandangan yang ditulis sesudah peristiwa itu terjadi untuk tujuan-tujuan zaman itu. Apa yang sebenarnya terjadi dikesampingkan untuk tujuan interpretasi. Pendekatan yang digunakan untuk Bible ini kemudian ditrapkan untuk kajian al-Qur’an, sehingga teorinye menjadi begini: apa yang akan dibuktikan oleh al-Qur’an, apa yang akan dijelaskan oleh tafsir, sira dan kajian-kajian teologis tidak dari upaya untuk mengaitkan segala peristiwa dizaman Nabi itu dengan Tuhan. Seluruh aspek dari sejarah keselamatan Islam (Islamic Salvation History) diarahkan untuk kepentingan keimanan bahwa Tuhan berperan besar dalam mengarahkan nasib manusia.44 Disini jelas sekali bahwa framework orientalis, meski menampakkan keseriusan 43 Teorinya dapat dibaca dari Rudolf Bultmann, The History of the Synopic Tradition, trans. John Marsh, 2nd ed., Oxford: Blackwell, 1968; sedangkan Neusner menulis dalam bentuk makalah-makalah seperti misalnya “The Study of Religion as the Study of Tradition in Judaism” dalam Roberts D. Baird, Methodological Issues in Religious Studies, (Chicago, California: New Horizon Press, 1975), h. 31-48. Salvation history bukan penjelasan sejarah yang dapat dikaji oleh sejarawan, tapi merupakan kesusasteraan yang memiliki konteks sejarahnya sendiri. Sebab sejarah keselamatan ini menurut Bultmann diterima dari generasi ke generasi dalam bentuk sastra dan harus didekati dengan cara yang sesuai yaitu analisas kesusasteraan. 44 Lihat Andrew Rippin, “Literary, Analysis of Qur’an, Tafsir and Sira, The Methodologies of John Wansbrough”, dalam Richard C. Martin (Ed) Approach to Islam In Religious Studies, (Oxford: Oneworld, 2003), h. 151-163.
Vol. 7, No. 1, April 2011
18
Hamid Fahmy Zarkasyi
kajiannya, namun pengaruh metode kajian Bible dengan kritik kesusasteraannya tidak dapat disembunyikan. Para orientalis pada umumnya tidak percaya pada fakta tentang keberadaan al-Qur’an dalam bentuk lisan dari tradisi hapalan di kalangan orang-orang Arab pada waktu itu. Dengan memberi penekanan pada substansi al-Qur’an sebagai sebuah teks, kalangan orientalis berusaha menepis sejarah penulisan dan kompilasinya di masa Muhammad dan di masa khalifah Abu Bakr, namun menerima upaya kompilasi yang dilakukan oleh ‘Uthman. Hanya saja mereka kemudian menduga adanya kemungkinan terjadinya kesalahan dalam teks Al-Qur’an di masa itu. Sebab antara wafatnya Rasulullah dengan distribusi naskah Al-Qur’an ke pelbagai wilayah Dunia Islam selisih lima belas tahun. Mereka menganggap dalam rentang waktu ter-sebut telah terjadi distorsi dan pemalsuan teks aslinya. Padahal, ilmuwan Kitab Injil tidak mempermasalahkan sejarah Bibel, meskipun beberapa Kitab Perjanjian Lama ditulis berdasarkan transformasi lisan setelah berselang delapan abad lamanya. Sebaliknya naskah bahasa Yahudi, yang mengalami transmisi saat kembalinya orang Yahudi itu dari Babilonia ke bumi Palestina sejak masa penawanan, sama sekali tanpa bukti ilmiah dan hal demikian berlaku selama dua ribu tahun hingga terjadinya kontak dengan orang-orang Arab Muslim yang memacu mereka dalam hal tersebut. Meskipun anggapan bahwa selisih waktu lima puluh tahun sebagai sarana pembuktian kepalsuan naskah al-Qur’an dan kemungkinan adanya keragu-raguan, sangat tidak masuk akal. Kajian-kajian orientalis seakan mempertanyakan, jika AlQur’an sudah ditulis sejak zaman Nabi Muhammad, dan disimpan baik dalam pengawasan beliau maupun para Sahabat, mengapa pula ‘Umar takut kehilangan Al-Qur’ an karena syahidnya para h}uffa>z}? ‘Umar merasa khawatir dengan kematian para h} uffa> z } pada peperangan Yamamah dan kemudian memberi tahu Abu Bakr akan kemungkinan lenyapnya Kitab Suci ini lantaran kematian mereka? Lebih jauh lagi, mengapa bahan-bahan yang telah ditulis tidak disimpan di bawah pemeliharaan Nabi Muhammad sendiri? Jika demikian, mengapa pula Zaid bin Thabit tidak dapat memanfaatkan dalam menyiapkan S}uh}uf itu? Meskipun berita itu diriwayatkan oleh al-Bukhari dan dianggap sah oleh semua kaum Muslimin, penjelasan itu tetap dianggap oleh kalangan Orientalis bahwa apa yang didiktekan sejak awal dan penulisannya adalah palsu. Selain itu
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an
19
mereka juga mempertanyakan jika terdapat satu naskah al-Qur’an milik Nabi Muhammad mengapa beliau lalai menyerahkannya pada para Sahabat untuk disimak dan dimanfaatkan? Jika naskah itu terdapat, mengapa Zaid bin Tsabit tidak memakainya sebagai narasumber di zaman pemerintahan Abu Bakr? Jadi, karena Nabi tidak pernah menyerahkan bahan-bahan tertulis kepada para sahabat, maka tidak ada unsur kesaksian yang terjadi pada naskah kertas kulit yang dapat digunakan sebagai sumber utama untuk tujuan perbandingan, baik oleh Zaid maupun orang lain. Pertanyaan-pertanyaan tersebut boleh saja dilontarkan, namun fakta sejarah menunjukkan bahwa para h}uffa> z} yang jumlahnya ribuan itu memperoleh ilmu pengetahuan al-Qur’an langsung dari Nabi Muhammad atau melalui mata rantai sanad yang telah diuji kepercayaannya secara komprehensif sehingga tidak memungkinkan adanya kesalahan. Maka dari itu hingga wafatnya Rasulullah SAW hampir seluruh catatan-catatan awal para sahabat nabi yang merupakan koleksi pribadi dengan perbedaan kualitas dan kuantitasnya telah wujud. Karena untuk keperluan masing-masing, banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir) dipinggir ataupun disela-sela ayat yang mereka tulis. Namun, sekali lagi rekaman catatan para sahabat itu tidak lebih utama dari hapalan mereka. Itulah sebabnya mengapa setelah susutnya jumlah penghafal Al-Qur’an karena gugur di medan perang, Khalifah Abu Bakr as-Siddiq r.a berusaha mengkodifikasikan (jam’) dengan membentuk sebuah tim pengumpul hingga Al-Qur’an terkumpul dalam satu mushaf, berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawaatir dari Nabi SAW. Setelah wafatnya Abu Bakr r.a (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar r.a sampai beliau wafat (23H/644M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah Utsman r.a. Pada masa inilah, atas desakan permintaan sejumlah sahabat, sebuah tim ahli sekali lagi dibentuk dan diminta mendata kembali semua qira’at yang ada, serta meneliti dan menentukan nilai keshahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standarisasi demi mencegah kekeliruan dan perselisihan. Untuk membuat kompilasi S}uh}uf, Abu Bakr bertahan pada pendiriannya bahwa setiap orang tidak hanya harus membawa ayat, melainkan juga membawa dua orang saksi guna membuktikan bahwa penyampaian bacaan itu benar-benar datang langsung dari Nabi Muhammmad. Hukum
Vol. 7, No. 1, April 2011
20
Hamid Fahmy Zarkasyi
kesaksian ini juga dihidupkan kembali di zaman pemerintahan ‘Uthman. Jadi otoritas saksi merupakan poin paling penting dalam menentukan keutuhan nilai sebuah dokumen. Ayat-ayat yang telah ditulis tetap terpelihara di suatu tempat tertentu. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standard yang masing-masing mengandung qira>’at mutawa>tirah yang disepakati keshahihan periwayatannya dari Nabi SAW. Jadi sangat jelaslah fakta sejarah dan proses kodifikasinya. 4. Mempersoalkan Kandungan al-Qur’an Dari menekankan pada substansi al-Qur ’an sebagai teks orientalis kemudian beralih mempersoalkan kandungan teks alQur’an. Dengan menggunakan pendekatan historis dan fenomenologis, W. Montgomery Watt misalnya beranggapan bahwa sumber wahyu al-Qur’an itu ada dua yaitu Tuhan dan nabi Muhammad. Dari anggapan ini ia kemudian menafsirkan bahwa wahyu al-Qur’an itu bersumber dari Allah tetapi diproduksi oleh Muhammad dengan bahasanya sendiri dalam konteks lingkungan dan sosio-religius (Yahudi dan Kristen). Watt di satu sisi tidak menolak Islam yang fundamental, tetapi disisi lain dia menerapkan pendekatan Historisme yang bertentangan dengan keyakinan Islam. Watt menolak malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Baginya wahyu turun dari Tuhan hanya dalam bentuk makna, bukan dalam bentuk lafal. Karena ada peranan Nabi Muhammad dalam subtansi wahyu, maka dari sini menurutnya dimungkinkan terjadinya kekeliruan dalam al-Qur’an. Contoh kekeliruan yang ia tunjukkan adalah penolakan terhadap penyaliban Yesus dalam al-Qur’an (QS 4:157). Ajaran seperti ini menurut Watt diambil Muhammad dari sekte Kristen Syiria yang keliru. Watt berkesimpulan bahwa dengan keterlibatan Nabi Muhammad dalam subtansi wahyu, maka bisa terjadi kekeliruan dalam Al-Qur’an bila kekeliruan seperti penolakan Yesus dihilangkan, maka Islam dan Kristen bisa bersatu. Kajian terhadap kandungan al-Qur’an dengan menggunakan framework Barat dilakukan oleh Joseph Schacht dalam karyanya Introduction to Islamic Law. Schacht membagi hukum dalam Islam kepada judul judul berikut: orang (persons), harta (property), kewajiban umum (obligations in general), kewajiban dan kontrak khusus (obligations and contracts in particular), dan lain-lain. 45 45 J. Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Oxford Univ. Press, 1964), lihat kandungan isi.
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an
21
Susunan seperti ini berdasarkan tata hokum Romawi dan bukan tata hukum Islamdan tidak ada kaitannya sama sekali dengan topik bahasan serta pembagi-annya yang digunakan dalam sistem perundang-undangan Islam. Wansbrough melakukan hal yang sama terhadap Al-Qur’an dengan membagi Quranic Studies menurut empat prinsip-prinsip penafsiran (Principles of Exegesis) yaitu: (1) Tafsiran Masoreti (Masoretic exegesis); (2) Penafsiran Hagadi (Haggadic exegesis); (3) Deutungsbedurftigkeit; (4) Penafsiran Halaki (Halakhic exegesis); dan (5) Retorika dan simbol perumpamaan (Rhetoric and allegory). Tafsir-tafsir seperti ini tidak dipahami oleh para ilmuwan Muslim baik yang berlatar belakang pendidikan Timur mau pun Barat. Barangkali hanya pendeta Yahudi yang dapat menjelaskan peristilahan Perjanjian Lama yang mengerti jenis tafsir itu. Mengapa mereka melakukan itu semua, tidak lain adalah untuk membuktikan bahwa isi kandungan al-Qur’an itu bersumber dari Yahudi dan Kristen.46 Ini dapat diperkuat oleh pandangan Wansbrough, yang menyatakan bahwa “Doktrin ajaran Islam secara umum, hahkan ketokohan Muhammad, dibangun di atas prototype kependetaan agama Yahudi.”47 Kritikan orientalis mengenai kandungan al-Qur’am telah dibahas dengan baik diantaranya oleh Muhmammad Khalifa, dalam The Sublime Qur’an and Orientalism. Dalam buku ini Khalifa adalah Konsep Tuhan dalam al-Qur’an, pengertian Islam, kepercayaan dalam Islam, ritual-ritual dalam Islam, sikap al-Qur’an terhadap agama lain, Konsep moralitas dalam al-Qur’an, masalah Qada-Qadar dan masalah-masalah metafisis seperti ruh, jiwa, kematian, neraka, surga, hari akhir, pembalasan dan lain sebagainya.48 5. Menggunakan Metodologi Bibel Karakteristik orientalis yang lain adalah penerapan metodologi kajian Bibel kedalam kajian al-Qur’an. Metodologi tersebut adalah kritis historis. Tokohnya adalah pendeta Edward Sell (m. 1932), salah 46 M.M al-A’zami, The History of The Qur’anic Text - From Revelation to Compilation, terjemahan Bahasa Indonesia, Sejarah Teks Al-Quran - Dari Wahyu Sampai Kompilasinya, Gema Insani Press dan Universitas Islam Internasional Malaysia, (Jakarta: 2005), h. 337-343; lihat juga J. Wansbrough, Quranic Studies, lihat Daftar Isi. 47 Lihat R.S. Humpreys, Islamic History: A Framework for Inquiry, Revised edition, (Princeton: Princeton Univ. Press, 1991), h. 84. 48 Khalifa, Mohammad, The Sublime Qur’an and Orientalism, (London and New York: Longman, 1983), lihat Daftar Isi.
Vol. 7, No. 1, April 2011
22
Hamid Fahmy Zarkasyi
seorang misionaris terkemuka di Madras, India. Ia mendesak agar kajian kritis-historis al-Qur’an dilakukan dengan menggunakan kritik Bibel (biblical criticism). Ia sendiri merealisasikan gagasannya dengan menulis Historical Development of the Qur’an, yang diterbitkan pada tahun 1909 di Madras, India.49 Ia juga menjadikan karya Theodore Nöldeke, Geschichte des Qorans, sebagai model untuk kajian kritis al-Qur’an.50 Jejak Sell kemudian diikuti oleh Pendeta Alphonse Mingana (m. 1937) yang menyatakan: Sudah tiba masanya untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap Bibel Yahudi yang berbahasa Ibrani-Aramaik dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani. 51
Selain itu Arthur Jeffery (m. 1959), seorang orientalis dari Australia melihat konsep kesucian al-Qur’an sebagaimana konsep kesucian Bibel. Kesucian Bibel bukan karena dirinya sendiri, akan tetapi oleh karena tindakan komunitas masing-masing agama. Jeffery mengatakan: Komunitaslah yang menentukan masalah suci dan tidaknya [kitab suci]. Komunitaslah yang memilih dan mengumpulkan bersama tulisan-tulisan tersebut untuk kegunaannya sendiri, yang mana komunitas merasa bahwa ia mendengar suara otoritas keagamaan yang otentik yang sah untuk pengalaman keagamaan yang khusus.”52
Jeffery mencoba menyamakan apa yang terjadi di dalam komunitas lintas agama. Komunitas Kristen (Christian community) misalnya, memilih 4 dari sekian banyak Gospel, menghimpun sebuah korpus yang terdiri dari 21 Surat (Epistles), Perbuatan-Perbuatan 49 Lihat Canon Sell, Studies in Islam (Delhi: B. R. Publishing Corporation, 1985; pertama kali terbit tahun 1928), h. 253-56. 50 Arthur Jeffery, “The Quest of the Historical Mohammed,” The Moslem World 16 (1926), h. 330. 51 Mingana menyatakan: “The time has surely come to subject the text of the Kur’a>n to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian Scriptures.” Lihat Alphonse Mingana, “Syiriac Influence on the Style of the Kur’Én,” Bulletin of the John Rylands Library 11: 1927. 52 Arthur Jeffery menyatakan: “It was the community which decided this matter of what was and what was not Scripture. It was the community which selected and gathered together for its own use those writings in which it felt that it heard the authentic voice of religious authority valid for its peculiar religious experience.” Lihat Arthur Jeffery, “The Qur’a>n as Scripture,” The Moslem World 40 (1950), h. 43.
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an
23
(Acts) dan Apocalypse yang kesemua itu membentuk Perjanjian Baru (New Testament). Ini sama dengan komunitas Muslim, dimana penduduk Kufah, misalnya, menganggap Mushaf ‘Abdullah ibn Mas‘ud sebagai al-Qur’an edisi mereka. Penduduk Basra menganggap Mushaf Abu Musa sebagai milik mereka, sedangkan penduduk Damaskus dengan Mus} h } a f Miqdad ibn al-Aswad, dan penduduk Syiria dengan Mushaf Ubay.53 Jeffery menyatakan sikap awal kaum Muslimin tersebut paralel sekali dengan sikap masing-masing pusatpusat utama gereja terdahulu yang menetapkan sendiri ragam variasi teks untuk Perjanjian Baru. Teks Perjanjian Baru memiliki berbagai versi seperti teks Alexandria (Alexandrian text),54 teks Netral (Neutral text),55 teks Barat (Western text),56 dan teks Kaisarea (Caesarean text).57 Masing-masing teks tersebut memiliki varian bacaan tersendiri. Bukan hanya itu, Jeffery juga menghimbau para cendekiawan Muslim untuk melakukan kritik teks kepada al-Qur’an, sebagaimana yang telah dilakukan kepada Bibel. Hal ini tampak menurut Jeffery, karena belum ada satupun dari para mufasir Muslim yang menafsirkan al-Qur’an secara kritis. Ia mengharapkan agar tafsir kritis terhadap teks al-Qur’an bisa diwujudkan. Caranya dengan mengaplikasikan metode kritis ilmiah (biblical criticism). Jeffery meyatakan: 53 Arthur Jeffery, The Qur’a>n as Scripture (New York: Russell F. Moore Company, 1952), h. 94-95. 54 Menurut Westcott dan Hort, teks Alexandria dalam tahap tertentu terjaga di dalam kodeks Ephraemi (C), kodeks Regius (L), kodeks 33, dan versi-versi Koprik (Khususnya Bohairik), sebagaimana juga kutipan-kutipan dari Gerejawan Alexandria, Klement, Origen, Dionysius, Didymus dan Cyril. Dikutip dari Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, h. 133. 55 Dalam pandangan Westcott dan Hort, teks Netral adalah teks yang paling bebas dari kerusakan dan percampuran dan yang paling dekat dengan teks otograf. Kodeks Vaticanus (B) dan kodeks Sinaiticus (à) yang paling mewakili teks Netral. Lihat lebih lanjut Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, h. 133. 56 Teks Barat terjaga di dalam manuskrip-manuskrip inci tertentu yang dalam dua bahasa (certain bilingual uncial manuscripts), utamanya kodeks Bezae tentang Bibel dan Perbuatan-Perbuatan (D) dan kodeks Claromontanus tentang Surat-Surat (Dp) dalam versi Latin Kuno (s) dan dalam manuskrip-manuskrip Kuretonia (Curetonian) yang berbahasa Syiriak Kuno. Lihat penjelasan lebih lanjut di Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, 132; 213-14. 57 Mungkin teks Kaesarea berasal dari Mesir dan dibawa oleh Origen ke Kaesarea, dan dari situ dibawa ke Israil. Karakteristik khusus dari teks Kaesarea adalah percampuran antara bacaan Barat (Western readings) dan Alexandria (Alexandria readings). Lihat Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, 214-15.
Vol. 7, No. 1, April 2011
24
Hamid Fahmy Zarkasyi
Apa yang kita butuhkan, bagaimanapun, adalah tafsir kritis yang mencontohi karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk tafsir al-Qur ’an.”58
Dari mencontoh kritik terhadap Bibel (biblical criticism), Jeffery merancang proyek ambisius yaitu mengedit al-Qur’an secara kritis (a critical editon of the Qur’an). Namun proyek Jeffery tersebut gagal karena kematian kolega-koleganya dalam perang dunia ke-2 yang menghancurkan 40.000 naskah lebih yang telah terhimpun di Munich. Dalam upayanya untuk membuat al-Qur’an edisi kritis ia berpendapat bahwa kosa kata asing di dalam al-Qur’an mesti diteliti dan dirujuk hingga ke sumber asalnya. Dengan cara demikian, ia berharap bisa memahami sumber-sumber yang mempengaruhi Muhammad saw. dalam mengajarkan risalahnya. Karena menurutnya Muhammad termasuk orang yang haus darah, sehingga kebanyakan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an bersifat tidak humanis. Dimana ayat-ayat al-Qur’an banyak dihasilkan dari pada apa yang dilihat oleh Muhammad disekitarnya, seperti menyebarkan Islam dengan pedang, hukum rajam, qhisas dan lain-lain. Tidak hanya itu, beberapa kandungan hukum al-Qur’an, banyak bertentangan dengan hukum moral dan hukum ketuhanan. Legitimasi seorang untuk dapat kawin lebih dari satu, menurut mereka bertentangan dengan moral dan merupakan pelecehan seksual terhadap kaum perempuan. Demikian pula hukum pidana dalam al-Qur’an seperti hukum rajam, qishas dan lain-lain banyak bersifat lokal dan tidak humanis. Pola pikir ini bermula dari sebuah konsep yang subjektif, yaitu bahwa Muhammad saw. adalah penulis al-Qur’an yang sebenarnya. Usaha untuk mengadopsi metodologi Bibel kepada al-Qur’an, masih terus berlanjut. Pada pertengahan abad ke 20, John Wansbrough (m. 2002) dalam karyanya Quranic Studies yang terbit pada tahun 1977, menggunakan kritik sumber (source criticism) ke dalam studi al-Qur’an. Ia menyatakan: “As a document susceptible of analysis by the instruments and techniques of Biblical criticism it is virtually unknown.”59 58 Arthur Jeffery menulis: “What we needed, however, was a critical commentary which should embody the work done by modern Orientalists as well as apply the methods of modern critical research to the elucidation of the Koran. Lihat Arthur Jeffery, Progress in the Study of the Qur’Én Text, The Moslem World 25 (1935), h. 4. 59 John Wansbrough, Quranic Studies; Sources and Methods of Scriptural Interpretation (Oxford: Oxford University Press, 1970), h. ix
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an
25
Berlanjut sehingga kini, orientalis terus-menerus mengaplikasikan metodologi Bibel dalam studi al-Qur’an. Baru-baru ini ketika mereview Die syro-aramäische Lesart des Koran. Ein Beitrag zur Entsclüsselung der Koransprache (Cara membaca al-Qur’an dengan bahasa Syria-Aramaik. Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesulitan memahami bahasa al-Qur’an), karya Christoph Luxernberg (nama samaran), Robert R. Phenix Jr. and Cornelia B. Horn menyatakan: “Tidak di dalam sejarah tafsir al-Qur’an karya seperti ini pernah dihasilkan. Karya-karya yang sama hanya dapat ditemukan di dalam bentuk kesarjanaan kritis teks Bibel.” (Not in the history of commentary on the Qur’an has a work like this been produced. Similar works can only be found in the body of text-critical scholarship on the Bible.)60 Akibat penerapan biblical criticism dalam studi al-Qur’an, para orientalis melontarkan berbagai pendapat yang kontroversial mengenai al-Qur’an seperti: al-Qur’an telah mengalami berbagai penyimpangan; standartisasi al-Qur’an disebabkan rekayasa politik dan manipulasi kekuasaan; Utsman ibn Affan salah karena telah mengkodifikasi al-Qur’an; perlunya mewujudkan al-Qur’an edisi kritis; al-Qur’an ditulis bukan dengan bahasa Arab tetapi bahasa Aramaik; al-Qur’an adalah karangan Muhammad; terdapat sejumlah kesalahan dalam penulisan al-Qur’an; tidak ada di dalam al-Qur’an yang orisinal dan berasal dari langit karena wujudnya pengaruh Yahudi-Kristen yang sangat dominant dalam al-Qur’an, menyamaratakan qira’ah mutawatirah dengan qira’ah shadhdhah, merubah kata dan kalimat dalam al-Qur’an dan lain sebagainya.
Penutup Dari uraian diatas jelaslah bahwa pemahaman orientalis terhadap Islam didorong oleh motif-motif tertentu yang penuh dengan kepentingan Barat. Demikian pula kajian mereka terhadap sejarah al-Qur ’an, proses kompilasinya, status ontologisnya, kandungannya dan metodologinya dipengaruhi oleh pendekatan 60 Robert R. Phenix Jr. and Cornelia B. Horn, Christoph Luxenberg (ps.) “Die syroaramaeische Lesart des Koran; Ein Beitrag zur Entschüsselung der Qur’ansprache.” Hugoye: Journal of Syiriac Studies, 1. Dikutip dari http://syrcom.cua.edu/Hugoye/Vol6NO1/ HV6N1PRPhenixhorn.html
Vol. 7, No. 1, April 2011
26
Hamid Fahmy Zarkasyi
ilmu pengetahuan Barat sekuler dan diwarnai oleh kepercayaan dan tradisi agama Kristen dan Yahudi. Karena pendekatan ini berbeda dengan apa yang terdapat dalam tradisi intelektual Islam maka hasilnya pun akan berbeda. Ketika mereka menerapkan metodologi Bibel, teks al-Qur’an dianggap sama dengan teks Bibel, padahal keduanya berbeda secara historis maupun secara tekstualnya. Kajian terhadap al-Qur’an mensyaratkan adanya unsur keimanan, sedangkan para orientalis itu mengkaji al-Qur’an tanpa keimanan, sehingga hal-hal yang bersifat doktriner ditinggalkan. Kajian yang hanya mengandalkan akal hanya akan menimbulkan keraguan ketika menemui masalah-masalah yang tidak bisa dijangkau oleh akal.
Satu hal yang perlu diakui adalah bahwa setiap teks memiliki latar belakang sejarahnya sendiri sendiri. Oleh sebab itu, menerapkan metodologi suatu teks, seperti Bible kedalam kajian teks yang lain, khususnya al-Qur’an tidaklah tepat. Metodologi yang tidak sesuai untuk mengkaji al-Qur’an akan menggiring kesimpulan yang justru bertentangan dengan esensi al-Qur’an sendiri. Alasan lainnya al-Qur’an telah memiliki metodologi tersendiri. Metodologi kajian al-Qur’an yang diwarisi dari para ulama itu adalah ‘ulum al-Qur’an. Meskipun ada beberapa persamaan antara ‘ulum al-Qur’an dan biblical criticism, namun terdapat sejumlah perbedaan yang mendasar terutamanya status teks itu sendiri. Jika metodologi Bibel diterapkan dalam kajian al-Qur’an sudah tentu metode tafsir al-Qur’an juga dapat diterapkan dalam kajian Bibel. Jika kajian al-Qur’an diterapkan ke dalam kajian teks Bible, tentu Bibel menjadi tidak berarti apa-apa. Jadi Biblical criticism hanya tepat diterapkan untuk Bibel dan bukan untuk kajian al-Qur’an. Sebab Bibel itu adalah hasil karangan beberapa orang penulis yang hidup dalam zaman yang berlain-lainan. Latar belakang penulis yang beragam mewarnai isi Bibel. Oleh sebab itu, textus receptus dan teks standar Bibel memang harus ditolak karena justru menghilangkan keaneka-ragaman yang memang sejak awal sudah terjadi. Jika teks Bibel bisa disamakan dengan teks-teks lain yang dikarang oleh manusia, maka al-Qur’an tidak demikian, karena ia adalah tanzil yang tidak bisa disamakan dengan teks karangan Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an
27
manusia. Bahkan anggapan sementara orang bahwa al-Qur’an telah tercampur oleh perkataan Nabi Muhammad telah terbantah oleh firman Allah SWT yang artinya: “Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya”. Allah juga berfirman yang artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).[] Daftar Pustaka Afaf, al-Musytasyriqu> n wa Musykila> t al-H} ad} a > r ah, (Cairo: Dar alNahdah al-‘Arabiyyah, 1980) al-A’zami, M.M, The History of The Qur’anic Text - From Revelation to Compilation, terjemahan Bahasa Indonesia, Sejarah Teks AlQuran - Dari Wahyu Sampai Kompilasinya, (Jakarta: Gema Insani Press dan Universitas Islam Internasional Malaysia, 2005). Ali Dashti’s Twenty-Three Years: A study of the Prophetic Career of Mohammad, (London: Allen and Unwin, 1985). Ali, Muhammad Mohar, The Qur’an and the Orientalists: An Examination of their Main Theories and Assumption,s Jam’iyat Ihyaa’ Minhaaj al-Sunnah (JIMAS) 2004. al-Suyu>t}i>, Jala>l al-Di>n, al-Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabiy, 2003). Arif, Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Intellektual, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008). Armas, Adnin, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005. Bell, Richard, & W.M.Watt, Introduction to the Qur’an, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970) Bell, Richard, The Origin of Islam in its Christian Environment, (London: 1926). Bultmann, Rudolf, The History of the Synopic Tradition, trans. John Marsh, 2nd ed., (Oxford: Blackwell, 1968).
Vol. 7, No. 1, April 2011
28
Hamid Fahmy Zarkasyi
Daniel, Norman, Islam and the West, The Making of an Image, (Boston: Oneworld Publication, 2000). Geiger, Abraham, “What Did Muhammad Borrow from Judaism’?” dalam Ibn Warraq (ed.), The Origins of the Koran, (New York: Prometheus Books, 1998). Gibb, Sir Hamilton, Pre-Islamic Monotheism in Arabia, (Harvard: Harvard Theological Review, 55, 1962). Hamidullah, Muhammad, Introduction to Islam, (London: MWH Publishers, 1979) H}ibba>n, Ima>m Abi> Ha>tim Muh}ammad ibn, Kitab al-Majru>h}i>n min al-Muh}additsi>n wa al-D}u’afa>’ wa al-Matru>ki>n, editor Mah}mu>d Ibra>hi>m Za>yid (H}alb/Aleppo: Da>r al-Wa’y, 1396 H) Humpreys, R.S., Islamic History: A Framework for Inquiry, Revised edition, (Princeton: Princeton Univ. Press, 1991) Jeffery, Arthur, “Progress in the Study of the Qur’an Text”, Muslim World, 1935. ______, “The Quest of the Historical Mohammed,” The Moslem World 16, 1926. ______, “The Qur’a>n as Scripture,” The Moslem World 40 (1950). ______, Materials for the History of the Text of the Qur’an: The Old Codices, (Leiden: E.J.Brill, 1937). ______, Progress in the Study of the Qur’a>n Text, The Moslem World 25 (1935). ______, The Qur’a> n as Scripture (New York: Russell F. Moore Company, 1952). Khalifa, Mohammad, The Sublime Qur’an and Orientalism, Longman London and New York, 1983. Longman Dictionary of English Language, (Burnt Mill, Harlow, Longman, 1984) Metzger, Bruce M., The Text of the New Testament, 133. Mingana, Alphonse, “Syiriac Influence on the Style of the Qur’a>n,” Bulletin of the John Rylands Library 11: 1927. Neusner “The Study of Religion as the Study of Tradition in Judaism” dalam Roberts D. Baird, Methodological Issues in Religious Studies, (Chicago, California: New Horizon Press, 1975). Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an
29
Phenix Jr., Robert R. and Cornelia B. Horn, Christoph Luxenberg (ps.) “Die syro-aramaeische Lesart des Koran; Ein Beitrag zur Entschüsselung der Qur’ansprache.” Hugoye: Journal of Syiriac Studies, 1. Dikutip dari http://syrcom.cua.edu/Hugoye/ Vol6NO1/HV6N1PRPhenixhorn.html Rippin, Andrew, “Literary, Analysis of Qur’an, Tafsir and Sira, The Methodologies of John Wansbrough”, dalam Richard C. Martin (Ed) Approach to Islam In Religious Studies, (Oxford: Oneworld, 2003). ______, Introduction The Quran: Style and Contents, editor Andrew Rippin (Hampshire: Ashgate Publishing Limited, 2001). Said, Edward, Orientalism (New York: Vintage Books, 1979) ______, The World, the Text, and the Critic, (Cambridge: Harvard University Press, 1984). Schacht, J., An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Oxford Univ. Press, 1964). Sell, Canon, Studies in Islam (Delhi: B. R. Publishing Corporation, 1985; pertama kali terbit tahun 1928) Smith, W.C., Islam in Modern History, 4th edition, (Princation, 1996). ______, On Understanding Islam-Selected Studies, (the Hague, 1981). Southern, R.W.: Western Views of Islam in the Middle Ages, 3rd edition, (Harvard: Harvard University Press, 1978). The Oxford English Dictionary, Oxford, 1933, vol. VII Tibawi, A.L. “A Critique of Their Approach to Islam and Arab Nationalism”, dalam The Islamic Quarterly, London 1964, vol. VIII, no. 1-2). Wansbrough, John, The sectarian milieu: Content and composition of Islamic salvation history (Oxford: Oxford University Press, 1978). ______, Qur’anic Studies: Sources and Method of Scriptural Interpretation, (Oxford: Oxford University Press, 1977). Warraq, Ibn, (ed.), The Origins of the Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book, (Amherst, NY: Prometheus Books, 1998). Watt, William Montgomery, Bell’s Introduction to the Qur’an (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970). Vol. 7, No. 1, April 2011
30
Hamid Fahmy Zarkasyi
______, Islamic Fundamentalism and Modernity (London and New York: Routledge, 1988). ______, Muhammad at Mecca, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1960). Wright, Thomas, Early Christianity in Arabia, A Historical Essay, (New Jersey: Theological Seminary Princeton, tt). Zwettler, Michael, The Oral Tradition of Classical Arabic Poetry, Ohio State Press, 1978.
Jurnal TSAQAFAH
Membandingkan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir Achmad Khudori Soleh Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki, Malang Email:
[email protected]
Abstract Hermeneutic as interpretation knowledge can be classified into three categories: objective, subjective, and liberation. 1). Objective hermeneutic means an effort to interpret and to understand the meaning of text as the author means. 2). Subjective hermeneutic means an effort to interpret and to understand the meaning of text based on the social context at this time without any consideration to the author thought. 3). Liberation hermeneutic means an effort to interpret and to understand the meaning of text based on the spirit of circumstance and try to make the result of interpretation as the spirit to change the life and the circumstance of the interpreter and the reader. In Islamic perspective, objective hermeneutic can be compared with tafsir bi al-ma’tsur, and subjective hermeneutic can be compared with tafsir bi al-ra’y. However, hermeneutical discourse has been giving much contribution for the development of interpretation knowledge, so it can appear hermeneutic of liberation. It is a new penetration. If it is applied in Islam, interpretation does not only understand the meaning of al-Qur’an text as God means or based on the context, but also an effort how to make the result of interpretation as the spirit for Muslim society to change their society become better and the best.
Keyword:
hermeneutic, tafsir and tradition, interpretation, Islamic perspective
H
ermenutika sebagai sebuah kajian filsafat maupun sebagai sebuah metode penafsiran, sesungguhnya, bukan hal yang baru di tanah air. Sebab, buku-buku maupun jurnal yang
* Fak. Psikologi UIN Malang, Jl. Gajayana 50 Malang Telp/ Fax. (0341) 558916
Vol. 7, No. 1, April 2011
32
Achmad Khudori Soleh
mendiskusikan hal itu telah banyak terbit sejak tahun 90-an. Meski demikian, sampai sejauh itu kajian tentang hermenutika masih bersifat umum dan global, biasanya sekitar model penafsiran yang triardik, tiga kaki. Selain itu, oleh sebagian kalangan, hermenutika juga dilihat dengan penuh curiga karena ia berasal dari Barat dan digunakan untuk analisis terhadap Bibel. Karena itulah, kemudian muncul perbedaan pendapat bahkan “kontroversial” tentang hermenutika. Sebagian kalangan menerima hermeneutika dan menganggapnya sebagai metode modern, bagus dan valid, sehingga menepikan tradisi-tradisi pemikiran Islam yang sesungguhnya tidak kalah canggih. Sebagian lainnya menolak hermenutika dengan alasan bahwa ia adalah metode yang “berbahaya” yang dapat merusak teks suci umat Islam dan seterusnya.1 Tulisan ini tidak ingin melibatkan diri dalam tarik menarik dua kutub pro-kontra tersebut, atau mendukung salah satunya, melainkan hanya mendiskusikan hermeneutika sebagai sebuah metode penafsiran, secara sederhana, juga perbedaan-perbedaan yang ada di antara model-modelnya, kemudian membandingkannya dengan ilmu tafsir yang telah dikenal dalam tradisi pemikiran Islam.
Pengertian Hermeneutika Hermeneutika berasal dari akar kata Yunani hermeneuein berarti ‘menafsirkan’, sedang hermeneia sebagai derivasinya berarti ‘penafsiran’. Kedua kata tersebut diasosiasikan mempunyai kaitan dengan tokoh yang bernama Hermes atau Hermeios yang dalam mitologi Yunani kuno dianggap sebagai utusan dewa Olympus yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke dalam bahasa yang bisa dipahami manusia.2 Menurut Gerhard Ebeling, proses penjelasan yang dilakukan Hermes mengandung tiga konsep dasar hermeneutika: (1) mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran ke dalam bentuk kata-kata (utterance, speaking) sebagai bentuk penyampaian, (2) menjelaskan 1
Pandangan yang sedikit curiga atau bahkan menolak hermenutika, dengan segala argumentasinya, antara lain, misalnya dapat dilihat pada Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, ed. 1 / Thn I, Maret 2004, yang mengambil tema kajian “Hermenutika vs Tafsir al-Qur’an. 2 Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, (Evanston: Northwestern University, 1969), h. 12-13
Jurnal TSAQAFAH
Membandingkan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir
33
secara rasional (interpretation, explanation) sesuatu yang masih samar agar makna atau maksudnya dapat dipahami dengan jelas, (3) menerjemahkan (translating) suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa yang lebih dikuasai audiens.3 Akan tetapi, dalam literatur hermeneutika modern, proses pengungkapan pikiran dengan kata-kata, penjelasan secara rasional dan penterjemahan bahasa seperti itu, masih jauh dari pengertian hermeneutika. Apa yang ditulis Ebeling justru lebih dekat dengan makna exegesis (penafsiran). Di sinilah perbedaan antara hermeneutika dengan exegesis. Exegesis lebih merupakan tindakan praktis menafsirkan teks atau komentar aktual atas teks, sedang hermeneutika berkaitan dengan perbagai aturan, metode dan teori yang membimbing seorang mufassir dalam melakukan exegese.4 Karena itu, secara sederhana hermeneutika biasanya diartikan sebagai seni dan ilmu untuk menafsirkan teks-teks.5 Dalam definisi yang lebih jelas, hermeneutika diartikan sebagai sekumpulan kaidah atau pola yang harus diikuti oleh seorang mufassir dalam memahami teks.6 Namun, dalam perjalanan sejarahnya, hermeneutika ternyata tidak hanya digunakan untuk memahami teks, khususnya teks suci keagamaan, melainkan meluas untuk semua bentuk teks, baik sastra, karya seni maupun tradisi masyarakat.
Tiga Model Hermeneutika Hermeneutika, sebagai sebuah teori dan metode penafsiran, setidaknya dapat diklasifikan dalam tiga model. Pertama, hermeneutika objektif yang dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Emilio Betti (1890-1968). 7 Menurut model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dimaksudkan pengarang, sebab apa yang disebut teks, menurut Schleiermacher, 3 Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, (Yale, Yale University Press, 1994), h. 20 4 Palmer, Hermeneutics, h. 34 5 Kurt F. Leidecker, “Hermeneutics” dalam Dagobert Russel (ed), Dictionary of Philosophy, (New York, Adams & Co, 1976), h. 126 6 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, I, (Jakarta, Gramedia, 1981), h. 225 7 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung, Pustaka, 1985), h. 9-10. Rahman memasukkan juga Emilio Betti dalam tradisi hermeneutika objektif ini
Vol. 7, No. 1, April 2011
34
Achmad Khudori Soleh
adalah ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga seperti juga disebutkan dalam hukum Betti, apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan kita melainkan diturunkan dan bersifat intruktif.8 Karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut, menurut Schleiermacher, ada dua cara yang dapat ditempuh: lewat bahasanya yang mengungkapkan hal-hal baru, atau lewat karakteristik bahasanya yang ditransfer kepada kita. Ketentuan ini didasarkan atas konsepnya tentang teks. Menurut Schleiermacher, setiap teks mempunyai dua sisi: (1) sisi linguistik yang menunjuk pada bahasa yang memungkinkan proses memahami menjadi mungkin, (2) sisi psikologis yang menunjuk pada isi pikiran si pengarang yang termanifestasikan pada style bahasa yang digunakan. Dua sisi ini mencerminkan pengalaman pengarang yang pembaca kemudian mengkonstruksinya dalam upaya memahami pikiran pengarang dan pengalamannya. 9 Menurut Abu Zaid, di antara dua sisi ini, Schleiermacher lebih mendahulukan sisi linguistik dibanding analisa psikologis, meski dalam tulisannya sering dinyatakan bahwa penafsir dapat memulai dari sisi manapun sepanjang sisi yang satu memberi pemahaman kepada yang lain dalam upaya memahami teks.10 Selanjutnya, untuk dapat memahami maksud pengarang sebagaimana yang tertera dalam tulisan-tulisannya, karena style dan karakter bahasanya berbeda, maka tidak ada jalan bagi penafsir kecuali harus keluar dari tradisinya sendiri untuk kemudian masuk ke dalam tradisi di mana si penulis teks tersebut hidup, atau paling tidak membayangkan seolah dirinya hadir pada zaman itu. Sedemikian, sehingga dengan masuk pada tradisi pengarang, memahami dan menghayati budaya yang melingkupinya, penafsir akan mendapatkan makna yang objektif sebagaimana yang dimaksudkan si pengarang.11 Mengikuti metode hermenutika objektif di atas, dalam aplikasinya pada teks keagamaan, misalnya dalam penafsiran atas teks-teks al-Qur‘an, maka yang harus dilakukan adalah, (1) kita 8
Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics, (London, Routlege & Kegan Paul, 1980), h. 29; Nasr Hamid Abu Zaid, Isykâliyât al-Ta‘wîl wa Aliyât al-Qirâ’ah, (Kairo, alMarkaz al-Tsaqafi, tt), h. 11; Sumaryono, Hermeneutik, (Yogyakarta, Kanisius, 1996), h. 31 9 Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics, h. 14 10 Abu Zaid, Isykâliyât al-Ta‘wîl, h. 12-3 11 Bertens, Filsafat Barat Abad XX, h. 230
Jurnal TSAQAFAH
Membandingkan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir
35
berarti harus mempunyai kemampuan gramatika bahasa Arab (nahw-s}araf) yang memadai, (2) memahami tradisi yang berkembang di tempat dan masa turunnya ayat, sehingga dengan demikian kita dapat benar-benar memahami apa yang dimaksud dan diharapkan oleh teks-teks tersebut. Begitu pula dalam kasus teks-teks sekunder keagamaan, seperti karya-karya al-Syafi‘i (767-820 M). Selain memahami karakter bahasa dan istilah-istilah yang biasa digunakan, kita juga harus paham tempat dan tradisi di mana karyakarya tersebut ditulis. Qaul al-qadîm dan qaul al-jadîd disampaikan di tempat dan tradisi yang berbeda. Selain itu, juga harus memahami kondisi psikologis Syafi‘i sendiri, apakah ketika itu menjadi bagian dari kekuasaan, sebagai oposan atau orang yang netral. Karya-karya Ibn Rusyd (1126-1198 M), misalnya, sangat berbeda ketika ia berposisi sebagai bagian dari kekuasaan (menjadi hakim) dan saat menjadi filosof. Tanpa pendekatan-pendekatan tersebut, menurut Schleiermacher, kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pemahaman menjadi sangat besar dan tidak terelakkan. Kedua, hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern khususnya Hans-Georg Gadamer (1900-2002) dan Jacques Derida (l. 1930).12 Menurut model yang kedua ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif yang dimaksud si penulis seperti yang diasumsikan dalam model hermeneutika objektif melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri.13 Titik tekan model kedua ini adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan pada ide awal si penulis. Inilah perbedaan mendasar antara hermeneutika objektif dan subjektif. Dalam pandangan hermeneutika subjektif, teks bersifat terbuka dan dapat diinterpretasikan oleh siapapun, sebab begitu sebuah teks dipublikasikan dan dilepas, ia telah menjadi berdiri sendiri dan tidak lagi berkaitan dengan si penulis. Karena itu, sebuah teks tidak harus dipahami berdasarkan ide si pengarang melainkan berdasarkan materi yang tertera dalam teks itu sendiri. Bahkan, penulis telah “mati” dalam pandangan kelompok ini. Karena itu pula, pemahaman atas tradisi si pengarang seperti yang disebutkan dalam hermeneutika objektif, tidak diperlukan lagi. Menurut Gadamer, seseorang tidak perlu melepaskan diri dari tradisinya sendiri untuk kemudian masuk 12 13
Rahman, Islam dan Modernitas, h. 13 Bertens, Filsafat Barat Abad XX, I, h. 231
Vol. 7, No. 1, April 2011
36
Achmad Khudori Soleh
dalam tradisi si penulis dalam upaya menafsirkan teks. Bahkan, hal itu adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena keluar dari tradisi sendiri berarti mematikan pikiran dan “kreativitas”. Sebaliknya, seseorang justru harus menafsirkan teks berdasarkan apa yang dimiliki saat ini (vorhabe), apa yang dilihat (vorsicht) dan apa yang akan diperoleh kemudian (vorgriff).14 Jelasnya, sebuah teks diinterpretasikan justru berdasarkan pengalaman dan tradisi yang ada pada si penafsir itu sendiri dan bukan berdasarkan tradisi si pengarang, sehingga hermeneutika tidak lagi sekedar mereproduksi ulang wacana yang telah diberikan pengarang melainkan memproduksi wacana baru demi kebutuhan masa kini sesuai dengan subjektifitas penafsir. Meski demikian, menurut Sumaryono, Gadamer sebenarnya tidak sepenuhnya menganggap salah pertimbangan-pertimbangan atas tradisi sebelumnya seperti dalam hermeneutika objektif, meski ia menganggap sebagai negatif atau rendah. Sebab, memang ada beberapa pertimbangan yang dianggap berlaku, yang menentukan realitas historis eksistensi seseorang, seperti bildung, misalnya. Namun, realitas historis masa lalu tersebut tidak dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari masa kini melainkan satu kesatuan atau tepatnya sebuah kesinambungan.15 Bagi Gadamer, jarak antara masa lalu dan masa kini tidak terpisahkan oleh jurang yang menganga melainkan jarak yang penuh dengan kesinambungan tradisi dan kebiasaan yang dengannya semua yang terjadi di masa lalu menampakkan dirinya di masa kini. Inilah yang membentuk kesadaran kita akan realitas historis. 16 Dalam konteks keagamaan, teori hermeneutika subjektif ini berarti akan merekomendasikan bahwa teks-teks al-Qur‘an harus ditafsirkan sesuai dengan konteks dan kebutuhan kekinian, dan apa yang dimaksud sebagai asbâl al-nuzûl adalah realitas historis saat ini. Ketiga, hermeneutika pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh muslim kontemporer seperti Hasan Hanafi (l. 1935), Farid Esack (l. 1959) dan termasuk Nasr Hamid Abu Zaid. 17 14
Ibid, 232; Sumaryono, Hermeneutik, h. 77 Sumaryono, ibid 16 Abu Zaid, Isykâliyât al-Ta‘wîl, h. 38 17 Nasr Hamid Abu Zaid, sekilas tampak berada pada posisi ketiga ini. Namun, menurut muridnya yang pernah dekat dengannya, Nur Ikhwan, Abu Zaid belum beranjak dari aturan baku Gadamer. Ia masih berada dalam lingkar model hermeneutika kedua. Paling tidak, salah satu kakinya masih berada pada model hermenutika subjektif, meski kakinya yang lain sudah mulai menginjak model hermeneutika pembebasan. Nur Ikhwan, “Al-Qur`an 15
Jurnal TSAQAFAH
Membandingkan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir
37
Hermeneutika ini sebenarnya didasarkan atas pemikiran hermeneutika subjektif, khususnya dari Gadamer. Namun, menurut para tokoh hermeneutika pembebasan ini, hermeneutika mestinya tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau metode pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi.18 Apa yang diinginkan dalam model hermeneutika pembebasan adalah lebih dari sekedar pemahaman. Sebab, kenyataannya hermeneutika sampai sejauh itu memang masih lebih banyak berkutat dalam lingkaran wacana, belum pada aksi. Gadamer sendiri menyebut hermeneutika lebih hanya merupakan permainan bahasa, karena segala yang bisa dipahami adalah bahasa (being that can be understood is language).19 Hal yang sama juga terjadi dalam tradisi pemikiran Islam yang masih lebih bersifat teosentris daripada antroposentris, lebih banyak bicara tentang alam metafisis daripada daripada kenyataan empirik.20 Hermeneutika pembebasan mengisi kekurangan-kekurangan tersebut. Bagi hermeneutika pembebasan, interpretasi bukan sekedar masalah memproduksi atau mereproduksi makna melainkan lebih dari itu adalah bagaimana makna yang dihasilkan tersebut dapat merubah kehidupan. Sebaik apapun konsep dan hasil interpretasi tetapi jika tidak mampu membangkitkan semangat hidup masyarakat dan merubah mereka menuju pada kehidupan yang lebih baik, berarti nol besar.21 Karena itu, dalam kaitannya dengan al-Qur‘an, Hasan Hanafi menyatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis, dan juga tranformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia. Hermeneutika sebagai sebuah proses pemahaman hanya menduduki tahap kedua dari keseluruhan proses hermeneutik. Yang pertama adalah kritik historis untuk menjamin keaslian teks dalam sejarah. Ini penting, karena tidak akan terjadi pemahaman yang benar jika tidak ada kepastian bahwa yang dipahami tersebut secara historis adalah asli. Pemahaman atas teks yang tidak asli akan Sebagai Teks Hermeneutika Abu Zaid” dalam Abd Mustaqim (ed), Studi Al-Qur`an Kontemporer, (Yogyakarta,Tiara Wacana, 2002), h. 163 18 Hasan Hanafi, Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Firdaus, (Yogyakarta, Prisma, 2003), h. 109 19 Gadamer, Truth and Method, (New York, The Seabury Press, 1975), h. 450; Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics, h. 116 20 Hasan Hanafi, Min al-Aqîdah ilâ al-Tsaurah, I, (Kairo, Maktabah Matbuli, 1991), h. 59 21 Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, h. 22-25
Vol. 7, No. 1, April 2011
38
Achmad Khudori Soleh
menjerumuskan orang pada kesalahan.22 Setelah diketahui keaslian teks suci tersebut dan tingkat kepastiannya —benar-benar asli, relatif asli atau tidak asli— baru kemudian dipahami secara benar sesuai dengan aturan hermeneutika sebagai ilmu pemahaman, berkenaan terutama dengan bahasa dan keadaan-keadaan kesejarahan yang melahirkan teks. Dari sini kemudian melangkah pada tahap ketiga, yakni menyadari makna yang dipahami tersebut dalam kehidupan manusia, yaitu bagaimana makna-makna tersebut berguna untuk memecahkan persoalan-persoalan kehidupan modern. Dalam bahasa fenomenologis,23 hermeneutika ini dikatakan sebagai ilmu yang menentukan hubungan antara kesadaran manusia dengan objeknya, dalam hal ini teks suci al-Qur‘an: (1) memiliki “kesadaran historis” yang menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya, (2) memiliki “kesadaran eiditik” yang menjelaskan makna teks dan menjadikannya rasional, (3) “kesadaran praxis” yang menggunakan makna-makna tersebut sebagai sumber teoritis bagi tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia, dan di dunia ini sebagai struktur ideal yang mewujudkan kesempurnaan dunia. Secara lebih luas, hermeneutika Hasan Hanafi di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, kritik historis, untuk menjamin keaslian teks suci. Menurut Hanafi,24 keaslian teks suci tidak ditentukan oleh pemuka agama, tidak oleh lembaga sejarah, tidak oleh keyakinan, dan bahkan keaslian teks suci tidak dijamin oleh takdir. Takdir Tuhan tidak menjamin keaslian teks suci dalam sejarah, apalagi lembaga sejarah atau keyakinan; bahkan keyakinan dan lembaga sejarah bisa menyesatkan. Keaslian teks suci hanya bisa dijamin oleh kritik sejarah, dan kritik sejarah ini harus didasarkan aturan objektivitasnya sendiri yang bebas dari intervensi teologis, filosofis, mistis, atau bahkan fenomenologis. Untuk menjamin keaslian sebuah teks suci, mengikuti prinsipprinsip kritik sejarah, Hanafi mematok aturan-aturan sebagai berikut; (1) teks tersebut tidak ditulis setelah melewati masa pengalihan secara lisan tetapi harus ditulis pada saat pengucapannya, dan ditulis secara in verbatim (persis sama dengan kata-kata yang diucapkan pertama kali). Karena itu, narator harus orang yang hidup pada zaman yang 22
Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), h. 1 Ibid, h. 2 24 Ibid, h. 4 23
Jurnal TSAQAFAH
Membandingkan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir
39
sama dengan saat dituliskannya kejadian-kejadian tersebut dalam teks. (2) Adanya keutuhan teks. Semua yang di sampaikan oleh narator atau nabi harus disimpan dalam bentuk tulisan, tanpa ada yang kurang atau berlebih. (3) Nabi atau malaikat yang menyampaikan teks harus bersikap netral, hanya sekedar sebagai alat komunikasi murni dari Tuhan secara in verbatim kepada manusia, tanpa campur tangan sedikitpun dari fihaknya, baik menyangkut bahasa maupun isi gagasan yang ada di dalamnya. Istilah-istilah dan arti yang ada di dalamnya bersifat ketuhanan yang sinomin dengan bahasa manusia. Teks akan in verbatim jika tidak melewati masa pengalihan lisan, dan jika nabi hanya sekedar merupakan alat komunikasi. Jika tidak, teks tidak lagi in verbatim, karena banyak kata yang hilang dan berubah, meski makna dan maksudnya tetap dipertahankan.25 Jika sebuah teks memenuhi persyaratan sebagaimana di atas, ia dinilai sebagai teks asli dan sempurna. Dengan kaca mata ini, Hanafi menilai bahwa hanya al-Qur‘an yang bisa diyakini sebagai teks asli dan sempurna, karena tidak ada teks suci lain yang ditulis secara in verbatim dan utuh seperti al-Qur‘an.
Kedua, proses pemahaman terhadap teks. Sebagaimana yang terjadi pada tahap kritik sejarah, dalam pandangan Hanafi,26 pamahaman terhadap teks bukan monopoli atau wewenang suatu lembaga atau agama, bukan wewenang dewan pakar, dewan gereja, atau lembaga-lembaga tertentu, melainkan dilakukan atas aturan-aturan tata bahasa dan situasi-situasi kesejarahan yang menyebabkan munculnya teks. Dalam proses pemahaman teks ini, Hanafi mempersyaratkan, (1) penafsir harus melepaskan diri dari dogma atau pemahaman-pemahaman yang ada. Tidak boleh ada keyakinan atau bentuk apapun sebelum menganalisa linguistis terhadap teks dan pencarian arti-arti. Seorang penafsir harus memulai pekerjaannya dengan tabula rasa, tidak boleh ada yang lain, kecuali alat-alat untuk analisa linguistik. (2) Setiap fase dalam teks, mengingat bahwa teks suci turun secara bertahap dan mengalami “perkembangan”, harus dipahami sebagai suatu keseluruhan yang berdiri sendiri. Masingmasing harus dipahami dan dimengerti dalam kesatuannya, dalam
25 26
Ibid, h. 5-8 Ibid, h. 16
Vol. 7, No. 1, April 2011
40
Achmad Khudori Soleh
keutuhannya dan dalam intisarinya.27 Syarat yang kedua ini ditujukan untuk menganalisa fase dan perkembangan teks suci secara keseluruhan, mulai dari kitab perjanjian lama, perjanjian baru sampai al-Qur`an. Di sini, Hanafi ingin menunjukkan bahwa al-Qur`an lebih sempurna daripada perjanjian baru dan perjanjian lama, karena ia datang belakangan yang berarti bersifat koreksi dan penyempurna dari sebelumnya. Namun, jika diterapkan pada teks al-Qur`an sendiri, berarti juga bahwa teks-teks madaniyah lebih sempurna atau menyempurnakan teks-teks makkiyah, karena teks madaninah turun belakangan dibanding teks-teks makkiyah. Konsekuensinya, bagi yang mempercayai nasih mansukh, teks-teks madaniyah yang turun belakangan bisa menasikh teks-teks makiyah yang turun sebelumnya, tidak bisa sebaliknya seperti yang disampaikan Abdullah A. Na`im.28 Selanjutnya, Hasan Hanafi memberikan operasionalisasi tahap kedua dalam memahami teks sebagai berikut; 1. Analisa linguistik. Meski diakui bahwa analisa bahasa bukan merupakan analisa yang baik, tetapi ia merupakan alat sederhana yang akan membawa penafsir pada pemahaman terhadap makna teks yang sesungguhnya. Karena itu, disini teks harus dilihat dalam bahasa aslinya, bukan terjemahan. Ini penting karena setiap kata atau bahasa mempunyai makna yang berbeda, dan setiap kata setidaknya memiliki tiga jenis makna: (a) Makna etimologis, yang menunjukkan timbulnya makna kata itu di dunia. Makna ini memberikan jaminan pada teks sebagai suatu kenyataan dan mencegah timbulnya penafsiran-penafsiran yang bersifat metafisik, mistis, teoritis dan formal; (b) Makna biasa yang mengikat teks pada penggunaan kata dalam satu masyarakat, dalam satu ruang dan waktu. Makna biasa inilah yang membuat teks sesuai dengan satu situasi khusus; (c) Makna baru yang diberikan teks yang tidak terkandung dalam makna etimologis dan makna biasa, yang mungkin biasa disebut sebagai semangat teks (maqa>s}id lafadz). Makna inilah yang menjadi dasar pemikiran turunnya teks dan memberikan petunjuk baru bagi tindakan manusia serta dorongan bagi kemajuannya. Namun, 27 Ibid, h. 17. Untuk bentuk-bentuk operasionalisasi dari metode Hanafi ini, lihat A. Khudori Soleh (ed), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta, Jendela, 2003); Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), h. 45-9
Jurnal TSAQAFAH
Membandingkan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir
41
makna baru ini tidak bersifat adikodrati, antirasional maupun misterius, melainkan justru alamiah, rasional dan jelas.29 2. Analisa situasi historis (asbab al-nuzul). Hasan Hanafi membagi situasi sejarah ini dalam dua macam: (a) contoh situasi, yaitu situasi saat turunnya teks, (b)situasi saat, yaitu situasi tertentu yang menyebabkan turunnya teks. Pembedaan ini bertujuan untuk tetap memberikan ruang pada analisa sejarah pada teksteks yang dianggap tidak mampunyai “asbab al-nuzul”. 3. Generalisasi makna-makna yang dihasilkan dengan situasi luar, situasi kekinian yang di luar situasi saat maupun contoh situasi di mana teks tersebut pertama turun, sehingga teks tetap tampak segar, baru dan modern. Namun, generasalisasi tetap diawasi dalam batas-batas aturan linguistik, sehingga tidak akan terjadi generalisasi yang ektrim dan liar.30 Ketiga, kritik praksis. Menurut Hanafi, kebenaran teoritis tidak bisa diperoleh dengan argumentasi tertentu melainkan dari kemampuannya untuk menjadi sebuah motivasi bagi tindakan. Sebuah dogma akan diakui sebagai sistem ideal jika tampak dalam tindakan manusia. Begitu pula hasil tafsiran, akan dianggap positif dan bermakna jika dapat dikenali dalam kehidupan, bukan atas dasar faktafakta material. Karena itu, pada tahap terakhir dari proses herme28
Menurut Abdullah A. Naim, dengan menukil pendapat Mahmud Taha, gurunya, bahwa ayat-ayat Makiyah bersifat universal daripada ayat-ayat madaniyah yang hanya berbicara untuk umat Islam. Menurut keduanya, Tuhan sesungguhnya menghendaki aturanaturan universal ini, tetapi masyarakat muslim saat itu belum belum siap, sehingga kemudian ditunda dan diganti dengan ayat-ayat madaniyah yang lebih bersifat khusus. Artinya, di sini ayat-ayat madaniyah hanya bersifat sementara yang akan segera diganti dengan ayat-ayat makkiyah jika kondisi telah memungkinkan. Artinya lagi, ayat-ayat makiyah yang datang lebih dulu menasikh ayat-ayat madaniyah yang datang belakangan. Abdullah A. Naim, Dekonstruksi Syariah, (Yogyakarta, LKiS, 1994), h. 109-110. Sejalan dengan itu, Masdar F. Mas‘udi membagi ayat dalam dua bagian: qath‘i (primer) dan zanni (sekunder). Ayat qath‘i adalah ayat-ayat yang mengandung ajaran universal dan fundamental sedang ayat zanni adalah ayat yang bersifat sebagai implementasi dari prinsip qath‘i. Ia tidak self-evident (tidak mempunyai kebenaran pada dirinya sendiri), karena ia terikat dalam ruang dan waktu tertentu, oleh situasi dan kondisi. Masdar F. Mas‘udi, Islam & Reproduksi Perempuan, (Bandung, Mizan, 1997), h. 31; Masdar F Mas’udi, Agama Keadilan, (Jakarta, LP3M, 1993), h. 17. 29 Hanafi, Agama & Revolusi, 18. Ini agaknya tidak berbeda dengan konsep Nasr Hamid Abu Zaid. Menurutnya, setiap kata setidaknya mengandung tiga level makna: makna historis, makna metaforis dan makna signifikasi. Makna historis adalah makna tekstual dari kata dan ini bersifat tunggal, makna metaforis adalah makna majaz dari teks, sementara makna segnisikan adalah makna “ciptaan” dalam kaitannya dengan konteks kekinian. 30 Ibid, h. 21.
Vol. 7, No. 1, April 2011
42
Achmad Khudori Soleh
neutika ini, yang penting adalah bagaimana hasil penafsiran ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan manusia, bisa memberi motivasi pada kemajuan dan kesempurnan hidup manusia. Tanpa keberhasilan tahap ketiga ini, betapapun hebatnya hasil interpretasi tidak ada maknanya. Sebab, di sinilah memang tujuan akhir dari diturunkannya teks suci.31 Adapun menurut Esack, dengan mengutip pendapat Bultman, hermeneutika mengasumsikan bahwa setiap orang mendatangi teks dengan persoalan dan harapannya sendiri, sehingga sangat tidak mungkin untuk menuntut penafsir lepas sepenuhnya dari subjektivitas dirinya dan menafsirkan suatu tanpa dipengaruhi pemahaman dan pertanyaan awal yang berada dalam benaknya.32 Dengan demikian, ada tiga model hermeneutika yang berbeda. Pertama, hermeneutika objektif yang berusaha memahami makna teks seperti yang dimaksud pengarang dengan cara mengajak kembali ke masa lalu di mana si pengarang hidup; kedua, hermeneutika subjektif yang memahami makna teks dalam konteks kekinian sebagaimana yang dipahami si pembaca saat ini; ketiga, hermeneutika pembebasan yang berusaha memahami makna teks sebagai dasar atas aksi dan perubahan sosial yang dilakukan si pembaca.
Tafsir dan Hermeneutika. Kata “tafsir” dari bahasa Arab “fassara” berarti penjelasan (ibânah) atau menyingkapkan sesuatu yang masih tertutup.33 Menurut al-Zarkasyi, tafsir adalah suatu ilmu yang digunakan untuk memahami al-Qur’an, menjelaskan makna-maknanya dan menyampaikan hukum-hukum serta hikmahnya. Sementara itu, menurut Dzahabi, tafsir adalah seni atau ilmu untuk menangkap dan menjelaskan maksud-maksud Tuhan dalam al-Qur`an sesuai dengan tingkat kemampuan manusia (bi qadr al-t} âqah al-basyariyah). 34 Tegasnya, tafsir adalah seni, ilmu atau metode untuk memahami sebuah teks, sehingga tafsir sebagai sebuah metode tidak berbeda dengan hermeneutika sebagaimana telah diuraikan di atas. 31
Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, h. 22-25 Farid Esack, Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of Inter-religious Solidarity against Oppression”, (England, One World, 1997), 51; Rudolf Bultman, Essays, Philosophical, and Theological, (London: SCM Press, 1955), h. 251. 33 Al-Fairuzabadi, Al-Qâmûs al-Muhîth, (Beirut, Muassasah al-Risalah, 1996), h. 587. 34 M. Ali al-Shabuni, Al-Tibyân fî Ulûm al- Qur’an, (Beirut, Alam al-Kutub, 1985), h. 65; Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, I, (Beirut, Dar al-Fikr, 1976), h. 15 32
Jurnal TSAQAFAH
Membandingkan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir
43
Secara umum, tafsir dapat dibagi dalam dua bagian: tafsîr bi al-ma’tsûr dan tafsîr bi al-ra’y. Tafsîr bi al-ma’tsûr adalah interpretasi al-Qur‘an yang didasarkan atas penjelasan al-Qur‘an dalam sebagian ayat-ayatnya, berdasarkan atas penjelasan Rasul, para shahabat atau orang-orang yang mempunyai otoritas untuk menjelaskan maksud Tuhan.35 Poin penting yang harus di catat dalam tafsir model ini adalah bagaimana memahami dan menjelaskan teks al-Qur’an sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengarang yang dalam hal ini adalah Tuhan (bayân wa taud}îh li lurâd Allah mîn nus}ûs} kitâbih alkarîm). 36 Untuk dapat memahami teks sebagaimana yang dimaksudkan oleh si penulis atau pengarang tersebut, ada dua hal pokok yang harus dilakukan. Pertama, mengkonfirmasikan maknanya kepada sang pengarang sendiri, atau kepada orang dekatnya atau kepada orang-orang tertentu yang dinilai dapat memahami dan menjelaskan maksud di pengarang. Karena itulah, kenapa dalam model tafsîr bi al-ma’tsûr ini, proses penafsirannya dilakukan dengan cara menggali informasi dari sebagian ayat al-Qur’an yang lain, atau didasarkan atas sabda-sabda Rasul atau didasarkan atas pendapat para shahabat. Dalam konteks ini, Rasul dinilai sebagai orang yang dekat dengan Tuhan dan para shahabat dianggap sebagai orang-orang yang dapat memahami maksud-Nya. Kedua, memahami konteks dan situasi historis di mana teks tersebut di tulis atau sebuah ayat itu turun (asbâb al-nuzûl). Konteks historis ini digunakan agar kita dapat memahami teks secara benar dan tidak salah dalam menangkap maksud pengarang. Beberapa tokoh tafsir sebagaimana dikutip al-Suyuthi secara jelas menyatakan hal itu. Al-Wahidi, misalnya, menyatakan, “tidak mungkin kita dapat memahami sebuah ayat tanpa mengetahui situasi historis di mana ayat tersebut turun”. Ibn Daqiq bahkan mengatakan, “memahami situasi historis (asbâb al-nuzûl) adalah cara paling kuat dan efektif untuk memahami sebuah teks”.37 Berdasarkan uraian tersebut, maka hermeneutika objektif berarti tidak berbeda dengan tafsir. Yaitu, bahwa keduanya sama-sama berusaha memahami teks sebagaimana yang dimaksudkan si pengarang dengan cara memahami konteks historis di mana si penga35
Al-Dzahabi, ibid, h. 152. Ibid. 37 Jalal al-Din al-Suyuthi, Al-Itqân fî Ulûm al-Qur’an, I, terj. Tim editor indiva, (Surakarta, Indiva, 2008), h. 124. 36
Vol. 7, No. 1, April 2011
44
Achmad Khudori Soleh
rang itu hidup atau teks tersebut ditulis atau ayat itu diturunkan. Kedua, model tafsîr bi al-ra’y, yaitu sebuah metode penafsiran atas teks dengan didasarkan atas ijtihad atau pemikiran si pembaca sendiri.38 Dalam konteks al-Qur’an, menurut al-Dzahabi, seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebelum melakukan penafsiran. Antara lain, (1) menguasai ilmu gramatika bahasa Arab, mulai nahwu, sharaf, balaghah dan seterusnya; (2) menguasai ilmuilmu bantu penalaran, seperti ushûl a-fiqh, ulûm al-qur’an, ilmu qira’ah dan seterusnya; (3) memahami ajaran dan doktrin-doktrin keagamaan, seperti ushûl al-dîn; (4) memahami sejarah dan situasi historis turunnya ayat (asbâb al-nuzûl); (5) memahami hadits-hadits yang digunakan sebagai bahan penafsiran. Syarat-syarat tersebut harus dipenuhi dan mutlak dikuasai agar seseorang mampu memahami teks suci secara benar.39
Berdasarkan ketentuan tersebut, sekilas tampak bahwa model tafsîr bi al-ra’y tidak berbeda dengan model tafsîr bi alma’tsûr. Yaitu, bahwa keduanya sama-sama berusaha untuk memahami al-Qur’an sebagaimana yang dimaksudkan Tuhan atau memahami teks sebagaimana yang dimaksudkan si pengarang. Perbedaan di antara keduanya hanya terletak pada “sumber” yang digunakan: yang satu menggunakan nash atau data-data yang telah ada dan diakui, sedang yang lainnya menggunakan ijtihad atau pemikirannya sendiri. Akan tetapi, jika kita melihat contoh tafsir-tafsir yang diklasifikasikan sebagai bagian dari model tafsîr bi al-ra’y dan apa yang dilakukan seorang mufassir ketika menjelaskan makna sebuah teks, tampak sekali bahwa perbedaan di antara keduanya bukan hanya pada aspek “sumber” rujukan, melainkan juga pada aspek-aspek yang lain. Pertama, aspek dasar pijak penafsiran atau “world view” sang penafsir. Pada model tafsir bi al-ra’y, dasar pijak penafsiran tampak bukan pada analisis linguistik untuk memahami makna teks melainkan pada prapemahaman atau pengamalan si penafsir sendiri kemudian berusaha mencari legitimasinya atau 38 39
Ali al-Shabuni, Al-Tibyân, 155; Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, I, h. 255. Al-Dzahabi, ibid, h. 266-268.
Jurnal TSAQAFAH
Membandingkan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir
45
kesesuaiannya dalam teks tersebut.40 Artinya, tafsir bukan untuk memahami makna teks sebagaimana yang dimaksud pengarang melainkan memahami teks sebagaimana yang dipahami oleh si penafsir atau si pembaca sendiri. Karena itu, kedua, ketika makna tekstualitas atau makna eksplisit teks berbeda atau bahkan bertentangan dengan makna rasionalitas atau makna yang diharapkan si penafsir, maka mereka akan melakukan takwil.41 Maksudnya, mereka tidak akan menerima makna eksplisit yang telah jelas melainkan memberikan makna lain yang sesuai dengan apa yang diharapkan atau mendukung pemahaman sang penafsir sendiri. Sejalan dengan itu, ketiga, apa yang dimaksud sebagai situasi historis (asbâb al-nuzûl) tidak mengacu kepada situasi di mana ayat itu turun atau sebuah teks tersebut di tulis, melainkan berdasarkan atas kondisi dan situasi di mana sang penafsir atau si pembaca hidup. Tegasnya, asbâb al-nuzûl tidak dikaitkan dengan kondisi masa lalu melainkan masa sekarang, kondisi saat ini yang membutuhkan solusi dan jawaban dari teks. Pernyataan di atas dapat dilihat pada apa yang dilakukan Ibn Arabi (1165-1240 M). Ketika menafsirkan ayat Dia membiarkan kedua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu (QS. al-Rahman, 19), Ibn Arabi yang sufistik tidak memulai tafsirannya berdasarkan pembacaannya atas teks tetapi berdasarkan atas prinsip-prinsip ajaran dan pengalaman spiritualitasnya, kemudian mencari justifikasinya dalam teks. Karena itu, menurutnya, yang dimaksud dua lautan dalam ayat di atas adalah lautan substansi raga yang asin dan pahit dan lautan ruh yang murni, yang tawar dan segar yang keduanya saling bertemu dalam wujud manusia. 42 Ini berbeda dengan tafsir-tafsir lainnya yang bersifat objektif. Kenyataan lain juga dapat dilihat pada al-Farabi (850-970 M). Ketika menafsirkan kata 40 Abu Zaid, Isykâliyât al-Ta‘wîl, 2. Meski demikian, menurut Abu Zaid, hal itu bukan berarti kita sama sekali mengabaikan teks dan apa yang ditunjukkan dalam maknanya. Bagi Abu Zaid, teks al-Qur‘an dan maknanya tetap tetapi lafat-lafat yang dipakainya yang itu merupakan kode-kode senantiasa memberikan pesan “baru” kepada kita. Dari situlah penafsir kemudian mampu menangkap signifikansi teks untuk kondisi saat ini. Nasr Hamid Abu Zaid, Al-Qur‘an, Hermenutik dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi, (Yogyakarta, RqiS, 2003), h. 96. 41 Takwil biasanya diartikan sebagai mengalihkan lafat dari makna yang kuat kepada makna lain yang lemah karena adanya dalil yang mendukung. Ibn Taimiyah, Majmûah alFatâwâ, III, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), h. 55. 42 Tafsir Ibn Arabi, II, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), h. 280
Vol. 7, No. 1, April 2011
46
Achmad Khudori Soleh
al-malâikah, al-Farabi yang filosof yang dikenal dengan konsepnya tentang intelek aktif (al-‘aql al-fa‘âl), tidak menunjuk makhluk supra-natural dan supra-rasional Tuhan dengan tugas-tugas khusus sebagaimana yang biasanya dipahami dalam tafsir-tafsir klasik, melainkan pengetahuan orisinil yang berdiri sendiri atau intelek aktif yang mengetahui persoalan yang Maha Tinggi.43 Berdasarkan atas kenyataan tersebut, maka metode tafsir bi al-ra’y berarti tidak berbeda dengan hermenutika subjektif. Yaitu, bahwa keduanya sama-sama didasarkan atas “asumsi”, “ideologi” dan pemahaman sang penafsir sendiri yang kemudian dicarikan justifikanya dalam teks suci, dan apa yang dimaksud sebagai situasi historis (asbâb al-nuzûl) tidak didasarkan atas konteks masa lalu melainkan kondisi saat ini yang dialami oleh sang penafsir.
Plus Minus Lepas dari soal kesamaan antara hermeneutika dan ilmu tafsir sebagaimana didiskusikan di atas, ada beberapa hal yang patut disampaikan berkaitan dengan model-model hermenutika dan tafsir tersebut. Pertama, tentang hermenutika objektif. Hermenutika model ini, yang berusaha memahami teks sebagaimana yang dipikirkan penulis atau pengarang, secara umum, lebih sesuai dengan apa yang dimaksud dengan “memahami”. Menurut penulis, memahami teks sesungguhnya adalah memang memahami apa yang dipikirkan oleh si penulis teks lewat teks-teks yang ditulisnya, karena dialah yang mempunyai, berkuasa dan tahu apa yang dimaksudkan atas teks yang ditulinya. Ini juga sesuai dengan kaidah ushûl al-fiqh, “maqâshid al-lafdh alâ niyyat al-lâfizh” (makna sebuah teks adalah sesuai dengan yang dimaksudkan oleh si penulis teks).44 Karena itu, ketika seseorang sudah berusaha memahami makna teks dengan cara memahami konteks psikologis si penulis, konteks budaya dan historis ketika teks itu ditulis dan seterusnya, maka secara metodologis, validitas pemahaman atas teks dapat dan mudah untuk dipertanggungjawabkan. Ini adalah sisi positif atau kelebihan dari hermeneutika objektif dan tafsîr bi al-ma’tsûr. 43 Ali al-Usiy, “Metode Penafsiran al-Qur`an” dalam Jurnal al-Hikmah, (Bandung, edisi 4, 1992), h. 16 44 Abd Hamid Hakim, Al-Sulam, II (Jakarta, Maktabah al-Sakdiyah, tt), h. 55.
Jurnal TSAQAFAH
Membandingkan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir
47
Namun, di sisi lain, ketika konteks historis harus dikembalikan kepada situasi di mana teks itu di tulis, maka pemahaman atas teks menjadi terasa tidak kontekstual. Konteks budaya saat ini yang harus dicari jawabannya dari teks harus ditepikan dan dihilangkan untuk digantikan oleh konteks masa lalu. Kenyataannya, dalam konteks agama, tidak sedikit orang mengatakan bahwa kita harus berpikir dan berperilaku sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasul dan para shahabat (secara tektual dan harfiyah) jika ingin Islami. Tegasnya, dalam bahasa harfiyah, kita yang harus mengikuti agama dan bukan agama yang mengikuti kita. Karena itu, banyak kritik terhadap pemikiran keagamaan model ini dan Islam dinilai tidak modern. Kedua, hermeneutika subjektif. Munculnya hermenutika subjektif dan tafsîr bi al-ra’y yang berusaha memahami teks sesuai dengan konteks kekinian, lepas dari konteks masa lalu, menjadikan pemahaman keagamaan dan makna atas teks lebih sesuai dengan kebutuhan dan senantiasa sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Dalam konteks agama, ini sesuai dengan jargon bahwa ajaran Islam senantiasa (shâlih li kulli zamân wa makân). Inilah sisi positif dan kelebihan hermenutika atau tafsir model ini sekaligus mengisi kekurangan yang ada pada model sebelumnya. Karena itu, banyak kalangan pemikir modern yang cenderung setuju dan mendukung penalaran model ini. Akan tetapi, ketika hermeneutika subjektif dan tafsîr bi alra’y melepaskan diri dari konteks masa lalu dan berganti pada konteks sekarang, atau dalam konteks agama hanya berpegangan pada maqâshid al-syarî’ah, maka pemahaman atas teks dapat lepas kendali dan “liar”, karena tidak ada parameter yang baku da pasti. Yang terjadi bukan memahami dan menjelaskan makna teks sesuai dengan konteks sekarang melainkan “memperkosa” teks agar sesuai dengan ide, gagasan dan ideologi si penafsir sendiri. Selain itu, apa yang dimaksud sebagai konteks masa kini dan pemahaman atas maqâshid al-syarî’ah, sesungguhnya, juga sangat “subjektif”, sehingga secara metodologis, validitas makna dan pemahaman atas teks yang dihasilkan menjadi sulit di pertanggungjawabkan. Inilah kelemahan hermeneutika subjektif dan tafsîr bi al-ra’y. Ketiga, hermenutika pembebasan. Hermeneutika model ini belum ada padanannya dalam ilmu tafsir, meski umat Islam senantiasa menyatakan bahwa Islam, al-Qur’an dan ajarannya diturunkan sebagai pembebas manusia. Kelebihan model ini adalah bahwa teks dan pemahamannya bukan sekedar wacana tetapi benar-benar
Vol. 7, No. 1, April 2011
48
Achmad Khudori Soleh
aplikatif dan fungsional, karena dalam konteks agama, al-Qur’an dan ajarannya memang diturunkan untuk membebaskan manusia (rahmah). Dalam beberapa contoh kasus, model hermenutika pembebasan yang diterapkan atas teks Injil berhasil untuk merubah masyarakat Kristen di sebagian wilayah Amerika Latin, begitu pula yang diterapkan atas teks al-Qur’an berhasil merubah dan membangkitkan kesadaran sebagian masyarakat muslim di Afrika Selatan.45 Meski demikian, hermeneutika model ini mempunyai kelemahan mendasar, yaitu, bahwa ia sangat rentan terjadi “pemerkosaan” teks demi menunjang dan mendukung ide, gagasan dan cita-cita si penafsir atau sang pembebas itu sendiri. Hal ini dapat dilihat pada kasus Farid Esack. Meski ia telah mematok syarat dan aturan yang ketat dalam proses hermeneutik, tapi tak ayal Esack masih sering mengambil argumentasi secara tidak utuh, sepotongpotong, semata-mata demi menjustifikasi gagagasannya. Ini dapat menyesatkan di samping dikhawatirkan akan dapat terjadi “pelacuran hermeneutika”, sesuatu yang sangat dikecam oleh Esack sendiri. Hal yang sama juga terjadi pada Gutierrez. Dasar pijakan yang digunakan adalah realitas. Menurutnya, realitas masyarakat di sekitarnya tidak ideal, tidak sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam kitab suci. Karena itu, Gutoerrz kemudian mencari teks atau ayat yang dapat merubah dan mendorong masyarakat kepada suatu keadaan yang lebih baik, sesuai dengan apa yang dipahaminya dari teks suci. Artinya, di sana benar-benar bersifat subjektif, tidak ada parameter yang baku yang dapat dijadikan landasan kebenaran, kecuali terjadinya perubahan masyarakat itu sendiri.
Penutup Ilmu tafsir sesungguhnya tidak kalah canggih dan modern dibanding hermenutika, sehingga kita tidak harus terlalu gandrung dengan hermeneutika dan menepikan ilmu tafsir. Meski demikian, ada beberapa hal yang perlu dikembangkan dalam tradisi tafsir ini, sehingga menjadi lebih modern dan canggih. Pertama, masalah struktur penalaran dengan argumen-argumen logis. Selama ini ada 45 Lihat teks Injil, lihat Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation: History, Politics and Salvation (New York, Orbis Books, 2001); konteks al-Qur’an, lihat A Khudori Soleh & Erik S Rahmawati, Kerjasama Umat Beragama dalam al-Qur’an Perspektif Hermenutika Farid Esack (Malang, UIN Press, 2011).
Jurnal TSAQAFAH
Membandingkan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir
49
kesan bahwa metode-metode tafsir yang ada lebih bersifat dokmatis tanpa ada penjelasan dengan argumen-argumen logis. Kedua, yang berkembang dalam tradisi tafsir justru model bi al-ma’tsûr yang klasik dan bukan model bi al-ra’y. Lebih dari itu, tafsir bi al-ra’y justru dianggap menyimpang atau minimal harus dijauhi. Akibatnya, ilmu-ilmu tafsir menjadi sangat ketinggalan dalam menjawab problem-problem masyarakat modern. Lebih parah lagi, karena tafsir bi al-ma’tsûr dianggap yang paling baik dan selamat, sebagian masyarakat menjadi anti kemoderenan dan harus kembali kepada masa klasik jika ingin menjadi muslim yang baik, benar dan selamat. Ketiga, perkembangan tafsir masih lebih bersifat “teoritis” dan teosentris, belum banyak berbicara tentang problem-problem umat Islam, apalagi soal-soal kemanusiaan dan ketertindasan. Inilah tantangan tafsir di masa depan, sehingga al-Qur`an benar-benar mampu menjadi rahmah (membawa perubahan dan kebaikan), bukan sekedar hudan (petunjuk-petunjuk teoris setelah dipelajari), apalagi syifâ’ (obat dengan cara dibaca sebagai amalan-amalan wirid). Wallahu a`lam.[]
Daftar Pustaka Abu Zaid, Nasr Hamid, Al-Qur‘an, Hermenutik dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi, (Yogyakarta, RqiS, 2003) Abu Zaid, Nasr Hamid, Isykâliyât al-Ta‘wîl wa Aliyât al-Qirâ’ah, (Kairo, al-Markaz al-Tsaqafi, tt) Bertens, K, Filsafat Barat Abad XX, I, (Jakarta, Gramedia, 1981) Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics, (London, Routlege & Kegan Paul, 1980) Bultman, Rudolf, Essays, Philosophical, and Theological, (London: SCM Press, 1955) Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, I, (Beirut, Dar al-Fikr, 1976) Esack, Farid, Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression”, (England, One World, 1997) Fairuzabadi, Al-Qâmûs al-Muhîth, (Beirut, Muassasah al-Risalah, 1996) Gadamer, Truth and Method, (New York, The Seabury Press, 1975) Grondin, Jean, Introduction to Philosophical Hermeneutics, (Yale, Yale University Press, 1994) Gutierrez, Gustavo, A Theology of Liberation: History, Politics and Salvation (New York, Orbis Books, 2001) Vol. 7, No. 1, April 2011
50
Achmad Khudori Soleh
Hakim, Abd Hamid, Al-Sulam, II (Jakarta, Maktabah al-Sakdiyah, tt). Hanafi, Hasan, Dialog Agama dan Revolusi, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994) Hanafi, Hasan, Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Firdaus, (Yogyakarta, Prisma, 2003) Hanafi, Hasan, Min al-Aqîdah ilâ al-Tsaurah, I, (Kairo, Maktabah Matbuli, 1991) Ibn Taimiyah, Majmûah al-Fatâwâ, III, (Beirut, Dar al-Fikr, tt) Ikhwan, Nur, “Al-Qur`an Sebagai Teks Hermeneutika Abu Zaid” dalam Abd Mustaqim (ed), Studi Al-Qur`an Kontemporer, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002) Leidecker, Kurt F., “Hermeneutics” dalam Dagobert Russel (ed), Dictionary of Philosophy, (New York, Adams & Co, 1976) Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, ed. 1 / Thn I, Maret 2004 Mas‘udi, Masdar F., Islam & Reproduksi Perempuan, (Bandung, Mizan, 1997) Mas‘udi, Masdar F., Agama Keadilan, (Jakarta, LP3M, 1993) Naim, Abdullah A., Dekonstruksi Syariah, (Yogyakarta, LKiS, 1994) Palmer, Richard E., Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, (Evanston: Northwestern University, 1969) Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung, Pustaka, 1985) Shabuni, M. Ali al-, Al-Tibyân fî Ulûm al- Qur’an, (Beirut, Alam alKutub, 1985) Soleh, A. Khudori (ed), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta, Jendela, 2003) Soleh, A. Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004) Soleh, A Khudori & Erik S Rahmawati, Kerjasama Umat Beragama dalam al-Qur’an Perspektif Hermenutika Farid Esack (Malang, UIN Press, 2011). Sumaryono, Hermeneutika, (Yogyakarta, Kanisius, 1996) Suyuthi, Jalal al-Din al-, Al-Itqân fî Ulûm al-Qur’an, I, terj. Tim editor indiva, (Surakarta, Indiva, 2008) Tafsir Ibn Arabi, II, (Beirut, Dar al-Fikr, tt) Usiy, Ali al-, “Metode Penafsiran al-Qur`an” dalam Jurnal al-Hikmah, (Bandung, edisi 4, 1992) Jurnal TSAQAFAH
Keanekaragaman dalam al-Qur’an Muhammad Chirzin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Email:
[email protected]
Abstract The diversity of race, language, class, and culture is a wealth; basically, it is a beautiful gift in this life. However, the reality is precesely the social conflict among the society. This article explores the issue of diversity contained in AlQur’an. Some of the key themes included: diversity as sunnatullah, diversity in unity, religious and ethnic diversity, and diversity of professions. Al-Qur’an has mentioned several groups of religious believers and provided guidance association order among religious believers. Religious diversity certainly makes Muslim necessitates acknowledging and respecting other religion save Islam. Al-Qur’an has mentioned also a variety of occupations based on interests, talents, expertise, and particular skills. The fragmentation and understanding diversity have caused by egoism and truth claiming of each group and individual, but no one has knowledge covering everything from different sides or corners. Above all knowledge is the Almighty owner off all knowledge. With feeling most true some one or group tends to feel the best and have the right to insult any others. That is the base of the dispute and spiritual decline. Mukmin has to preserve the noble character in association, and keep away from bad manner. Among mukmin must love each other and maintain good manners. Finally, this study is intended to promote the establishment of harmony, peace and happiness of living together.
Keywords: sunnatullah, profesi, kebinekaan, sekte, etnik
Pendahuluan
A
llah subhanahu wata’ala menghadirkan umat manusia menjadi khalifah; pengelola dan pemakmur bumi dan menganugerahi nya nafsu yang dapat membawanya ke puncak tertinggi dan
* Jurusan Tafsir Hadis Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Jl. Laksda Adisucipto Yogyakarta Telp./fax. 0274-512156
Vol. 7, No. 1, April 2011
52
Muhammad Chirzin
dapat pula menjerumuskannya ke lembah yang terendah. Kekuatan berkehendak atau ikhtiar menyertai mereka agar manusia dapat mengemudikan bahteranya sendiri. Kekuatan berkehendak ini akan memberi kekuasaan dalam mengatasi nasibnya sendiri dan alam. Khalifah yang sempurna ialah yang mempunyai kemampuan inisiatif sendiri, tetapi kebebasan bertindaknya memantulkan adanya kehendak Penciptanya dengan sempurna.1 Allah subhanahu wata’ala menciptakan keanekaragaman di alam semesta dan dalam kehidupan manusia. Perbedaan dalam realitas kehidupan adalah anugerah terindah dalam hidup ini.2 Keanekaragaman suku, bahasa, agama, golongan dan budaya merupakan kekayaan, tetapi tidak jarang menimbulkan konflik sosial di tengah-tengah masyarakat.3 Pembahasan ini dimaksudkan untuk mendorong terwujudnya kerukunan, kerjasama, kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan hidup bersama dan menghindarkan konflik yang merugikan, baik moril maupun materiil.
Keanekaragaman sebagai Sunnatullah Sunnatullah adalah ketetapan Allah yang azali dan abadi yang berlaku pada makhluk-makhluk-Nya di alam semesta. Allah subhanahu wata’ala berfirman tentang sunnah-Nya sebagai berikut. Demikian itulah sunnah Allah yang juga berlaku bagi mereka yang terdahulu, dan tidak akan kaudapatkan perubahan pada hukum Allah. (Al-Ahzab/33:62) Dan mereka bersumpah demi Allah dengan bersungguh-sungguh bersumpah. Bila ada seorang pemberi peringatan datang kepada mereka, mereka akan mengikuti bimbingannya lebih baik dari umat mana pun. Tetapi bila pemberi peringatan sudah datang kepada mereka, mereka malah lebih menjauhkan diri dari kebenaran. Karena keangkuhan mereka di muka bumi dan mereka merencanakan kejahatan. Tetapi rencana kejahatan hanyalah akan menggilas perencananya. Adakah yang 1 Perhatikkanlah! Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Aku akan membuat khalifah di bumi” mereka berkata: “Engkau akan menciptakan orang yang akan merusak di sana, yang akan membuat pertumpahan darah, padahal kami bertasbih memuji-Mu dan menguduskan Dikau?” Ia menjawab: “Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (AlBaqarah/2:30). Abdullah Yusuf Ali, Quran Terjemahan dan Tafsirnya, terjemah Ali Audah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 24 footnote 47. 2 Alim Ruswantoro, Mochamad Sodik, M. Irfan Tuasikal, Nilai-nilai Masyarakat Madani dalam Pemberdayaan Ekonomi (Yogyakarta: Puskadiabuma, 2008), h. 43. 3 A. Rosyad Sholeh, “Kerukunan Umat Beragama” dalam Suara Muhammadiyah No 06/Tahun ke 96 16-31 Maret 2011, h. 27.
Jurnal TSAQAFAH
Keanekaragaman dalam al-Qur’an
53
mereka lihat hanya ketentuan orang-orang terdahulu? Tetapi tidak akan kaudapati perubahan dalam ketentuan sunnah Allah, dan tidak akan kaudapati penyimpangan dalam sunnatullah. (Fathir/35:42-43)
Kehendak Allah tetap selalu pada jalurnya dan tak akan dapat disimpangkan.4 Ketentuan Tuhan sudah pasti, dan cara-Nya memperlakukan mereka yang melakukan perbuatan dosa sama sepanjang zaman. Kaum Nabi terdahulu sudah berulang kali diberi kesempatan dan mereka menolak. Akibatnya, mereka pun benarbenar hancur.5 Allah subhanahu wata’ala berfirman, Tujuan mereka hendak menakut-nakuti engkau supaya keluar dari negeri ini; tetapi dalam hal ini tak ada yang akan tinggal di sana setelah engkau pergi selain sebagian kecil saja. Demikianlah rencana Kami dengan para rasul yang telah Kami utus sebelum kamu, dan tidak akan kaujumpai rencana Kami yang dapat berubah. (Al-Isra‘/17:76-77)
Ayat itu berkenaan dengan musuh-musuh Islam yang menakut-nakuti orang beriman supaya keluar dari tengah-tengah mereka. Begitu mereka keluar, mereka akan dibiarkan hidup terasing. Tetapi mereka tidak memperhitungkan ketentuan Allah. Kalau mereka menyiksa orang-orang beriman, berarti mereka menggali kuburan mereka sendiri. Allah akan melindungi rencana-Nya sendiri.6 Umat manusia beraneka ragam tradisi, budaya, warna kulit, bahasa dan agama serta profesinya sepanjang zaman. Allah subhanahu wata’ala berfirman tentang keanekaragaman itu sebagai berikut. Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya Ia menciptakan langit dan bumi, dan aneka macam perbedaan bahasa dan warna kulit. Sungguh, yang demikan ialah tanda-tanda bagi orang yang berpengetahuan. (Ar-Rum/30:22 )
Perbedaan bahasa dan warna kulit; ada yang hitam, kuning, sawo matang dan putih, padahal bersumber dari asal-usul yang sama, merupakan tanda kebesaran dan kekuasaan Allah subhanahu wata’ala.7 Semua umat manusia diciptakan dari sepasang orangtua, ibu bapak, tetapi kemudian mereka bertebaran ke berbagai negeri dengan iklim yang berbeda-beda dan berkembang menjadi berbagai 4
Abdullah Yusuf Ali, Quran Terjemahan..., h. 1129, footnote 3938. Ibid., h. 1230, footnote 4461. 6 Ibid., h. 716, footnote 2273, 2274. 7 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, volume 11 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 5
37-38.
Vol. 7, No. 1, April 2011
54
Muhammad Chirzin
macam bahasa dan warna kulit. Namun dasar kesatuannya tetap tidak berubah. Mereka merasakan dalam cara yang sama dan samasama di bawah perlindungan Tuhan.8 Dalam ayat yang lain Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Dan demikian pula di antara manusia, binatang melata dan hewan ternak, terdiri dari berbagai macam warna. Yang benar-benar takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya, hanyalah mereka yang berpengetahuan; karena Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun.” (Fathir/35:28) Ayat di atas menyitir perbedaan bentuk dan warna makhluk hidup dan menggarisbawahi kesatuan sumber materi, namun menghasilkan aneka perbedaan. Sperma sebagai bahan penciptaan dan cikal bakal kejadian manusia tampak tidak berbeda, tetapi begitu bayi dilahirkan satu dengan yang lain tidak sama. Faktor genetislah yang menjadikan tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia tetap memiliki ciri khasnya dan tidak berubah hanya karena habitat dan makanannya.9 Di alam lahir, melalui warna-warna manusia dapat mengerti dan menghayati tingkat-tingkat warna yang sungguh menakjubkan itu. Tetapi dalam dunia rohani, aneka warna atau tingkat-tingkat warna itu bahkan lebih lembut dan lebih padat.10
Keanekaragaman dalam Kesatuan Allah subhanahu wata’ala menciptakan manusia satu umat dengan agama yang suci murni pada sisi Allah, sejak Nabi Adam ‘alaihissalam hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu agama tauhid.11 Orang-orang dengan watak dan bawaan yang berbeda membentuk persaudaraan yang lebih erat yang dipersatukan dalam bentuk ibadah yang tertinggi kepada Allah subhanahu wata’ala. 12 Pada dasarnya manusia satu umat, lalu Allah mengutus para nabi membawa kabar gembira dan peringatan, dan bersama mereka Allah menurunkan Kitab yang membawa kebenaran, untuk memberi keputusan antara manusia tentang 8
Abdullah Yusuf Ali, Quran Terjemahan..., terjemah Ali Audah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 1032 footnote 3527. 9 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, volume 11 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 465. 10 Abdullah Yusuf Ali, Quran Terjemahan..., h. 1124, footnote 3913. 11 Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Quran (Bandung: Fa. Sumatra, 1978), h. 509. 12 Abdullah Yusuf Ali, Quran Terjemahan..., h. 837, footnote 2749.
Jurnal TSAQAFAH
Keanekaragaman dalam al-Qur’an
55
perkara yang mereka perselisihkan; dan yang berselisih hanya mereka yang beroleh Kitab setelah kemudian datang bukti-bukti yang nyata karena kedengkian antar sesama mereka. Maka dengan karunia-Nya Allah telah memberi petunjuk orang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan. Dan Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki ke jalan yang lurus. (Al-Baqarah/2:213)
Agama yang diturunkan Allah satu; pesan Allah untuk selamanya satu, dan Rasul-rasul-Nya pun memperlakukan semua itu satu. Hanya orang yang berpandangan sempit yang datang kemudian yang merusak risalah itu dan memecah-belah persaudaraan ke dalam kotak-kotak dan sekte-sekte.13 Semua nabi membentuk satu persaudaraan dan membawa agama yang bersumber dari Allah subhanahu wata’ala sendiri. Mereka menyembah Allah Yang Satu Yang mencintai dan memelihara mereka, dan mereka melaksanakan kewajiban kepada-Nya semata;14 bertakwa kepada-Nya. 15 Tetapi karena dikuasai oleh sifat mementingkan diri sendiri dan egoisme, timbul perbedaan-perbedaan antara orang-seorang, ras-ras dan bangsa-bangsa. Karena kasih-Nya yang tak terhingga, Ia mengutus para rasul menyampaikan ajaran-ajaran kepada mereka sesuai dengan keanekaragaman mental mereka. Allah hendak menguji mereka dengan segala pemberian-Nya, dan mendorong mereka berlomba dalam kebaikan dan ketakwaan.16 Dahulu kala orang Arab itu satu bangsa dengan satu agama, yakni agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.17 Setiap kelompok memecah-belah persatuan dan membuat sekte-sekte; dan setiap sekte merasa puas dengan ajarannya sendiri yang sempit.18 Jika Allah subhanahu wata’ala menghendaki, pasti Ia menjadikan manusia satu umat; tetapi Ia memberikan kebebasan berkehendak untuk memberikan petunjuk dan membiarkan mereka yang menolak petunjuk itu untuk mau kembali kepada-Nya. Selama manusia diberi pilihan, ia akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.19 “Jika Allah menghendaki, pasti kamu dijadikan-Nya satu umat; tetapi Ia 13
Ibid., h. 837, footnote 2750. Ibid., h. 873, footnote 2909. 15 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, volume 9, h. 198-199. 16 Abdullah Yusuf Ali, Quran Terjemahan..., h. 488, footnote 1406. 17 Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Quran, h. 298. 18 Abdullah Yusuf Ali, Quran Terjemahan..., h. 873, footnote 2910. 19 Ibid., h. 882, footnote 2133. 14
Vol. 7, No. 1, April 2011
56
Muhammad Chirzin
membiarkan sesat siapa yang dikehendaki dan diberi petunjuk siapa yang Ia kehendaki, dan pasti kamu akan ditanyai tentang apa yang sudah kamu lakukan.” (Al-Nahl/16:93) Dalam ukuran tertentu manusia mempunyai kebebasan berkehendak yang menyebabkan timbulnya perbedaan-perbedaan. Jika semua manusia dengan jujur dan rendah hati mau mencari keridhaan Allah subhanahu wata’ala, maka tidak akan terjadi kezaliman, dan akan terhindar dari mementingkan diri sendiri.20 Maka hadapkanlah wajahmu benar-benar kepada agama; menurut fitrah Allah yang atas polanya itu Ia menciptakan manusia. Tiada perubahan pada ciptaan Allah; itulah agama yang baku; tetapi kebanyakan manusia tidak tahu. Bertobatlah kepada-Nya dan bertakwalah; dan dirikanlah shalat dan janganlah termasuk golongan orang-orang musyrik. Mereka yang memecah-belah agamanya menjadi beberapa golongan, - dan masing-masing pihak membanggakan apa yang ada pada mereka. (Ar-Rum/30:30-32)
Mereka yang menerima kebenaran agama harus tetap teguh, tidak boleh ragu atau menyimpang. Manusia cenderung pada kebenaran dan kebajikan dan dibekali dengan pengertian tentang kedudukannya di alam ini dan kesempurnaan Allah, kebijaksanaan dan kekuasaan-Nya. Tetapi manusia terbelenggu oleh adat dan serakah. Ajaran yang salah membuatnya suka bertengkar, kotor, palsu, menginginkan segala yang dilarang, menyimpang dari rasa cinta kepada sesama manusia dan ibadah yang murni hanya kepada Allah Yang Maha Esa. Tantangan orang beriman ialah menghadapi dan mengobati segala ketidakberesan ini serta memperbaiki kembali sifat atau fitrah manusia kepada yang semestinya sesuai dengan perintah Allah subhanahu wata’ala.21 Fitrah Allah mengandung maksud bahwa manusia diciptakan Allah subhanahu wata’ala mempunyai naluri beragama tauhid. Manusia yang tidak beragama tauhid itu lantaran pengaruh lingkungan dan menganut pelbagai kepercayaan menurut hawa nafsu mereka.22 Bertobat tidak berarti sekadar menyesali perbuatan salah lalu bersedih hati dan putus asa. Tobat ialah meninggalkan penyakit untuk hidup sehat; dari ketidakjujuran yang tidak normal kepada jalan yang lurus, memperbaiki kembali kepalsuan yang dibawa oleh 20 21 22
Ibid., h. 546, footnote 1622. Ibid., h. 1035, footnote 3541. Al-Quran dan Terjemahnya, footnote 1168,1169.
Jurnal TSAQAFAH
Keanekaragaman dalam al-Qur’an
57
bujukan setan kepada sifat seperti diciptakan oleh Allah subhanahu wata’ala. Seperti dalam tamsil jarum kompas yang benar selalu mengarah ke utara. Kalau jarum itu berbalik ke belakang karena ada gangguan, harus dikembalikan kepada kebebasannya semula, sehingga dengan demikian ia akan kembali benar lagi menunjuk ke kutub magnet.23 Ayat terakhir di atas memerikan tentang sektarianisme yang merasa puas diri, sebagai lawan fitrah agama tauhid.24
Keanekaragaman Agama dan Etnik Al-Quran menyebutkan beberapa kelompok pemeluk agama dan memberikan bimbingan tata pergaulan antarumat beragama. Kebinekaan agama meniscayakan Muslim mengakui dan menghormati agama-agama selain agama Islam. Muslim menghargai pemeluk agama-agama bukan Islam. Di samping itu Muslim juga meyakini tidak ada paksaan dalam agama.25 Mengakui keragaman agama dan keberagamaan bukan berarti menyamakan semua agama dan bukan pula membenarkan agama lain atau menyamakan semua agama.26 Allah subhanahu wata’ala berfirman, Mereka yang beriman kepada Al-Quran, orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin, yang beriman kepada Allah dan hari kemudian dan melakukan kebaikan, pahala mereka ada pada Tuhan, mereka tak perlu khawatir, tak perlu sedih. (Al-Baqarah/2:62) Mereka yang beriman kepada Al-Quran, orang-orang Yahudi, Shabiin, Nasrani, Majusi dan kaum musyrik, Allah akan memberi keputusan tentang mereka pada hari kiamat. Allah menjadi saksi atas segalanya. (Al-Hajj/22:17)
Orang-orang mukmin, orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah, beriman kepada Muhammad s} a llallahu ‘alaihi wasallam, percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari Allah. Di samping empat agama pertama, pada ayat kedua Allah menyebutkan kaum Majusi dan kaum musyrik, tetapi tidak menyebutkan bahwa kedua yang terakhir akan mendapat rahmat Allah, tetapi hanya akan memberi keputusan mengenai berbagai macam kepercayaan itu.27 23
Abdullah Yusuf Ali, Quran Terjemahan..., h. 1036, footnote 3543. Ibid., h. 1036, footnote 3544. 25 Muhammad Chirzin dkk., Modul Pengembangan Pesantren untuk Tokoh Masyarakat (Yogyakarta: Puskadiabuma, 2006), h. 119, 121. 26 Alim Ruswantoro, Mochamad Sodik, M. Irfan Tuasikal, Nilai-nilai Masyarakat Madani, 44. 27 Abdullah Yusuf Ali, Quran Terjemahan dan Tafsirnya, h. 846, footnote 2788. 24
Vol. 7, No. 1, April 2011
58
Muhammad Chirzin
Segala macam kepercayaan yang sungguh-sungguh ikhlas, dan tidak sekadar keras kepala, adalah masalah yang tak dapat dicampuri manusia. Kewajiban Muslim ialah bersikap toleransi, berlapang dada, dalam batas-batas yang bisa ditoleransi, yakni sepanjang tidak ada penindasan, perlakuan tidak adil dan penganiayaan.28 Perbedaan agama tidak menghalangi Muslim untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada pemeluk agama lain. Allah tidak melarang kamu dari mereka yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu, untuk bersikap baik dan adil terhadap mereka. Allah mencintai orang-orang yang adil. (AlMumtahanah/60:8)
Tentang kebinekaan dalam etnisitas, Allah subhanahu wata’ala menciptakan umat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku bangsa yang berbeda-beda untuk tujuan tertentu, yakni agar saling berkenalan, saling belajar, dan tolong-menolong dalam arti yang seluasluasnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa, supaya kamu saling mengenal (bukan saling membenci). Sungguh, yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa. Allah Maha Tahu, Maha Mengenal. (Al-Hujurat/49:13)
Ayat ini ditujukan kepada umat manusia seluruhnya, tak hanya kepada kaum Muslimin. Sebagai manusia ia diturunkan dari sepasang suami-istri. Suku, ras dan bangsa mereka merupakan namanama untuk memudahkan saja, sehingga dengan itu kita dapat mengenali perbedaan sifat-sifat tertentu. Di hadapan Allah mereka semua satu, dan yang paling mulia ialah yang paling bertakwa.29 Melalui perkenalan itu mereka saling belajar, saling memahami, saling mengerti dan saling memperoleh manfaat, baik moril maupun materiil. Kemajemukan niscaya menjadikan hidup mereka dinamis dan menginspirasi semua pihak untuk menjadi lebih baik dari yang lain dan untuk berkompetisi, berlomba-lomba untuk berbuat yang terbaik.30 28
Ibid., h. 846, footnote 2788. Ibid., h. 1332, footnote 4933. 30 M. Muchlas Abror, “Kemajemukan dan Kerukunan” dalam Suara Muhammadiyah, Nomor 06 Tahun ke 96, 16-31 Maret 2011, h. 43. 29
Jurnal TSAQAFAH
Keanekaragaman dalam al-Qur’an
59
Nabi Muhammad s} a llallahu ‘alaihi wasallam telah berhasil menghimpun dan mempersatukan bangsa Arab pada umumnya dan masyarakat Madinah pada khususnya dengan Piagam Madinah.31 Kebinekaan etnisitas tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak berlaku sopan dan santun kepada sesama serta menjaga tatakrama.
Keanekaragaman Profesi Al-Quran menyebutkan aneka ragam bidang pekerjaan yang dilandasi minat, bakat, keahlian dan ketrampilan tertentu yang mengisyaratkan bermacam-macam profesi, yakni petani, pedagang, guru, hakim, bendahara, tentara, penenun, penggembala, pembuat kapal dan baju. Profesi petani tergambar dalam ayat berikut. Muhammad adalah Utusan Allah. Dan mereka yang bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, kasih sayang antara sesamanya. Akan kaulihat mereka rukuk dan sujud dalam shalat, mencari karunia dan ridha-Nya. Di wajah mereka ada tanda-tanda bekas sujud. Itulah perumpamaan mereka dalam Taurat dan perumpamaan mereka dalam Injil: seperti benih yang mengeluarkan tunas, kemudian bertambah kuat, lalu bertambah besar, dan dapat tegak di atas batangnya; menyebabkan para penanam takjub bercampur gembira. Akibatnya, orang-orang kafir jadi marah kepada mereka. Allah menjanjikan kepada orang beriman dan yang mengerjakan kebaikan di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al-Fath/48:29)
Kata az-zurra’ dalam ayat tersebut adalah bentuk jamak dari az-zari’ yang artinya peladang, petani atau penanam tanaman. Bertani merupakan profesi kuno untuk mencari nafkah kehidupan. Indonesia adalah negara agraris, tetapi kini sektor pertanian telantar karena kebijakan ekonomi nasional yang tidak berpihak pada para petani dengan lahan sempit dan bermodal kecil. Allah subhanahu wata’ala membuat perumpamaan infak pada jalan-Nya seperti tanaman yang berbuah banyak. “Perumpamaan mereka yang menyumbangkan harta di jalan Allah seperti sebutir biji menumbuhkan tujuh bulir, pada setiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan bagi dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.” (AlBaqarah/2:261) Allah subhanahu wata’ala mengisyaratkan bahwa Nabi Musa ‘alaihissalam peternak, penggembala kambing. Musa berkata: “Ini 31 Muhammad Chirzin, Kontroversi Jihad di Indonesia: Modernis Versus Modernis (Yogyakarta: Pilar Media, 2006), h. 1, 74, 202, 214-219.
Vol. 7, No. 1, April 2011
60
Muhammad Chirzin
tongkatku, untuk aku bertelekan padanya dan merontokkan daundaunan untuk kambingku, dan dengan itu masih banyak keperluan yang lain.” (Thaha/20:18) Nabi Muhammad s} a llallahu ‘alaihi wasallam pada masa mudanya juga bekerja menggembala kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah, yang menyebabkan dia banyak merenung dan berpikir. Dengan rasa gembira beliau menyebutkan saat yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya beliau berkata, “Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing.” Katanya lagi, “Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad.” Dalam udara yang bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam sudah bertahta, beliau menemukan suatu tempat yang serasi untuk pemikiran dan permenungannya.32 Selain menghasilkan daging dan susu untuk dikonsumsi, di antara binatang–binatang ternak itu, yakni domba, menghasilkan bulu yang dapat dibuat wol untuk pakaian. Allah subhanahu wata’ala mengajarkan kepada Nabi Daud pembuatan baju besi. Selama manusia memerlukan sarana untuk menutup tubuh, selama itu profesi pembuat baju selalu dibutuhkan. Dan Kami mengajarkan kepada Daud pembuatan baju besi untuk kamu, guna melindungi kamu dari kekerasan. Maka adakah kamu bersyukur? (Al-Anbiya‘/ 21:80)
Allah subhanahu wata’ala mengajari Nabi Nuh membuat kapal. Teknologi pembuatan kapal dari masa ke masa hingga kini diperlukan dan masih terus berkembang. Buatlah bahtera di bawah pengawasan Kami dan dengan wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan lagi kepada-Ku tentang orang yang sudah berbuat durhaka; mereka niscaya akan tenggelam. (Hud/11:37) Maka Kami mewahyukan kepadanya: “Buatlah bahtera di bawah pengawasan Kami dan atas petunjuk Kami. Maka bila sudah tiba perintah Kami, dan mata air pun menyembur keluar, muatkanlah ke dalamnya masing-masing jenis sepasang, dan keluargamu, kecuali hukuman yang sudah berlaku lebih dulu atas orang di antara mereka; dan janganlah kaubicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim, sebab mereka akan ditenggelamkan dalam banjir. (Al-Mu`minun/ 23:27) 32 Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terjemah Ali Audah (Jakarta: Balai Pustaka, 1980), h. 68.
Jurnal TSAQAFAH
Keanekaragaman dalam al-Qur’an
61
Profesi pedagang terungkap dalam ayat berikut. “Hai orangorang beriman! Janganlah kamu saling makan harta kamu dengan tidak sah, kecuali dengan cara perdagangan atas dasar suka sama suka. Janganlah kamu membunuh diri kamu sendiri. Allah sungguh Maha Penyayang kepadamu.” (Al-Nisa`/4:29) “Tetapi jika mereka melihat perdagangan atau permainan, mereka menyerbu ke sana dan membiarkan kau berdiri. Katakanlah: “Apa yang ada pada Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan, dan Allah Pemberi rezeki terbaik untuk segala keperluan.” (Al-Jumu’ah/62:11)
Rasulullah s} a llahu ‘alaihi wasallam pada masa mudanya berdagang ke negeri Syam dengan membawa dagangan Khadijah yang di kemudian hari menjadi istrinya. Dengan kejujuran dan kemampuannya pemuda Muhammad bisa memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara berdagang yang lebih baik dan lebih menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya.33 Profesi lainnya adalah hakim. Allah subhanahu wata’ala berfirman,”Dan janganlah kamu memakan harta di antara sesama kamu secara tidak sah dan janganlah digunakan untuk menyuap para hakim, dengan tujuan agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah/2:188) Ayat tersebut mengandung pesan agar manusia memakan harta yang halal dan tidak melakukan penyuapan kepada para hakim dengan tujuan agar mendapat harta, atau dimenangkan dalam perkaranya. Secara tersirat ayat tersebut mengandung pesan kepada para hakim agar tidak menerima suap dari orang yang berperkara. Rasulullah s} a llallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “La’ana rasulullah s} a llallahu ‘alaihi wasallam ar-rasyiya wal murtasyiya warra`isya ya’ni alladzi yamsyi bainahuma – Rasulullah s}a llallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang melakukan suap dan orang yang menerima suap serta orang yang menjadi perantara antara penyuap dan penerima suap.” (HR Ahmad) Ayat berikut mengisyaratkan aktivitas manusia dalam mencari nafkah dan penghidupan dengan memintal kain. “Dan janganlah seperti seorang perempuan yang merombak benang pintalannya lepas terurai sesudah dijalin kuat-kuat. Juga janganlah gunakan sumpahmu 33
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, h. 72.
Vol. 7, No. 1, April 2011
62
Muhammad Chirzin
untuk menipu antara sesamamu, supaya menjadi golongan yang lebih besar jumlahnya daripada golongan yang lain. Tetapi dengan ini Allah hendak menguji kamu; dan pada hari akhirat pasti Ia menjelaskan apa yang kamu perselisihkan.” (Al-Nahl/16:92) Ikrar yang mengikat kita dalam pengertian rohani membuat kita kuat, seperti serat katun halus yang dipintal menjadi benang yang kuat. Ini juga memberikan pengertian kepada kita tentang keselamatan kita dari berbagai macam kejahatan di dunia ini. Bodoh sekali orang yang sesudah memintal benang yang serupa itu lalu serat yang sudah terjalin itu dibongkarnya kembali dan dirusaknya menjadi cerai-berai.34 Profesi berikutnya adalah tentara. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan di hadapan Sulaiman terhimpunlah tentaranya, dari jin, manusia, burung-burung, dan mereka semua dalam barisan yang teratur.” (An-Naml/27:17) Di zaman sekarang semua negara di dunia memiliki tentara untuk menjaga keamanan di dalam negeri maupun untuk kepentingan-kepentingan lain.
Keanekaragaman dan Persatuan Allah subhanahu wata’ala memperkembangkan manusia dari satu diri, sejak zaman Nabi Adam ‘alaihissalam, menjadi bermiliarmiliar hari ini, dan entah berapa hingga akhir zaman. Manusia berasal dari ayah manusia seluruhnya, Adam dan pasangannya, Hawa. Lahirlah dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak.35 “Hai umat manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan menciptakan darinya pasangannya; dan dari keduanya Ia memperkembangbiakkan sebanyak-banyaknya lakilaki dan perempuan. Bertakwalah kepada Allah yang dengan namaNya kamu meminta dan hormatilah rahim yang mengandung kamu; karena Allah selalu menjaga kamu.” (Al-Nisa`/4:1) 34
Abdullah Yusuf Ali, Quran Terjemahan dan Tafsirnya, h. 681, footnote 2129. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, volume 2, 314-315. Hal itu sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-Hujurat/49:13, “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mengenal.” 35
Jurnal TSAQAFAH
Keanekaragaman dalam al-Qur’an
63
Allah subhanahu wata’ala melarang orang-orang beriman saling memperolok karena perbedaan-perbedaan di antara mereka. “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah ada suatu golongan memperolok golongan yang lain, bolehjadi yang diperolok lebih baik daripada yang memperolok; juga jangan ada perempuan yang merendahkan perempuan yang lain, bolehjadi yang direndahkan lebih baik daripada yang merendahkan. Janganlah kamu saling mencela dan nama ejekan. Sungguh jahat nama yang buruk itu setelah kamu beriman. Barang siapa tidak bertobat, orang itulah yang zalim.” (Al-Hujurat/49:11). Saling mengejek bila ada rasa kesombongan, keangkuhan ataupun kedengkian bukan lagi bergurau.36 Mencemarkan nama orang dapat berupa kata-kata tak baik yang ditujukan kepada orang lain, dengan lisan atau tulisan, atau dengan perbuatan demikian rupa, seperti memberi kesan menuduh orang. Menyinggung perasaan, menyakiti hati, mencela atau menyindir-nyindir termasuk hal-hal yang dilarang.37 Setiap kelompok mempunyai kecenderungan untuk merasa kelompoknya paling bagus dan patut dibanggakan. Tiaptiap golongan amat bangga menyangkut apa yang ada pada mereka.38 Melengkapi bimbingan tentang pergaulan antar sesama yang terhormat, santun dan bermartabat Allah subhanahu wata’ala berpesan agar manusia menghindari prasangka, saling memata-matai dan menggunjing. “Hai orang-orang beriman! Jauhilah prasangka sebanyak mungkin, karena sebagian prasangka adalah dosa. Dan janganlah saling memata-matai, jangan saling menggunjing. Adakah di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tidak, kamu akan merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah. Allah selalu menerima dan Maha Pengasih.” (Al-Hujurat/49:12) Kebanyakan prasangka tanpa dasar itu hendaknya dihindari, sebab prasangka itu kejam dan menimpa orang yang tak bersalah. Memata-matai atau menyelidiki terlalu dalam mengenai persoalan orang lain adalah perbuatan iseng dan sia-sia. Dengan menghindari dugaan dan prasangka buruk, anggota masyarakat akan hidup tenang dan tenteram serta produktif, karena mereka tidak akan ragu terhadap pihak lain dan eneginya tidak akan tersalurkan pada halhal yang sia-sia.39 Rasulullah s}allallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 36
Abdullah Yusuf Ali, Quran Terjemahan dan Tafsirnya, h. 1331, footnote 4929. Ibid., h. 1331, footnote 4930. 38 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, volume 11 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 61-63. 39 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, volume 13, h. 253-255. 37
Vol. 7, No. 1, April 2011
64
Muhammad Chirzin
dan saling mendukung, sehingga menambah besarnya harapan dapat selamat.42 Konteks ayat tersebut bahwa Yatsrib pernah diporakporandakan oleh perang saudara dan kesukuan serta pertentangan yang hebat sebelum Rasulullah s} allallahu ‘alaihi wasallam menapakkan kakinya yang suci ke permukaan tanah ini. Setelah itu ia menjadi Kota Nabi tempat tali persaudaraan yang tak ada bandingannya dan menjadi poros Islam.43 Orang beriman niscaya mengaitkan diri satu dengan yang lain dengan tuntunan Allah subhanahu wata’ala sambil menegakkan disiplin. Kalau ada yang lupa diingatkan, atau ada yang tergelincir dibantu bangkit agar semua dapat bergantung pada tali Allah.44 Untuk menghindarkan perpecahan harus ada kelompok yang peduli mengajak kepada kebaikan; menyuruh orang berbuat makruf dan melarang perbuatan mungkar. Ma’ruf ialah segala perbuatan yang dikenal, yang diketahui baik dan mendekatkan kepada Allah,45 sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang tak dikenal, diingkari, perkara yang keji dan menjauhkan kita dari padaNya. 46 “Hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang mengajak kepada kebajikan, menyuruh orang berbuat benar dan melarang perbuatan munkar. Mereka itulah orang yang beruntung”. (Ali Imran/3:104) Masyarakat Muslim yang ideal ialah penuh kebahagiaan, tidak terganggu oleh perselisihan atau rasa curiga, punya kepastian, kuat, bersatu dan sejahtera. Semua itu mengajak kepada yang baik; mengajak kepada kebaikan dan mencegah kejahatan.47 Masyarakat Islam yang ideal ialah yang terhindar dari perselisihan dan perpecahan, apa pun alasannya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Dan janganlah seperti mereka yang bercerai-berai dan berselisih paham sesudah menerima keterangan yang jelas. Mereka itulah yang akan mendapat azab yang berat.” (Ali Imran/3:105) 42
Ibid., h. 149, footnote 429. Ibid., h. 149, footnote 430. 44 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, volume 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 158-160. 45 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1984), h. 988-989. 46 Al-Quran dan Terjemahnya, footnote 217, Ahmad Warson Munawwir, Kamus AlMunawwir, h. 1561. 47 Abdullah Yusuf Ali, Quran Terjemahan..., h. 150, footnote 431. 43
Jurnal TSAQAFAH
Keanekaragaman dalam al-Qur’an
65
Cerai-berai dan selisih paham itu disebabkan antara lain oleh egoisme dan klaim kebenaran masing-masing kelompok maupun individu, padahal tak ada satu pihak pun yang pengetahuannya meliputi segalanya dari berbagai sisi atau sudutnya. Di atas semua yang berilmu ada Yang Maha Berilmu.48 Dengan merasa paling benar seseorang atau suatu kelompok cenderung merasa paling baik dan berhak menjelek-jelekkan pihak lain. Itulah pangkal perselisihan dan kemunduran secara rohani. Nabi s} a llallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Abu Darda’ RA berkata bahwa Nabi SAW bersabda: Tak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin di hari kiamat daripada baik budi. Dan Allah membenci orang yang keji kelakuannya. (Tirmidzi)
Mukmin niscaya senantiasa menjaga akhlak mulia dalam pergaulan, menjauhi kelakuan yang keji. Sesama mukmin niscaya saling mencintai dan menjaga budi pekerti yang baik. Rasulullah s} a llallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Anas RA berkata bahwa Nabi SAW bersabda: Tidak sempurna iman seseorang, hingga ia menyayangi saudaranya sebagaimana ia menyayangi dirinya sendiri. (Bukhari & Muslim)
Abu Hurairah RA berkata: Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang apa yang paling sering memasukkan orang ke dalam surga, jawabnya: Taqwa kepada 48 Kami mengangkat derajat siapa pun yang Kami kehendaki; dan di atas semua yang berilmu ada yang Maha Berilmu. (Yusuf/12:76)
Vol. 7, No. 1, April 2011
66
Muhammad Chirzin
Abu Hurairah RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Hindarilah buruk sangka, karena buruk sangka itu sedusta-dustanya berita. (HR Bukhari)
Menggunjing juga merupakan bibit dari jenis yang sama karena rasa dengki, yang hanya menambah dosa saja.40 Allah subhanahu wata’ala menyerupakan menggunjing dengan memakan bangkai manusia. Memikirkan saja sekalipun, tak ada orang mau akan halhal yang menjijikkan, seperti memakan daging saudaranya sendiri yang sudah menjadi bangkai. Dengan cara yang sama mukmin diminta untuk tidak melukai perasaan orang lain yang hadir, apalagi mengatakan sesuatu di belakangnya.41 Rasulullah s}allallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Ibn Mas’ud RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Mencaci maki seorang muslim berarti fasik, dan memerangi orang muslim berarti kufur. (HR Muslim)
Orang-orang beriman niscaya bersatu-padu, berpegang teguh pada tali Allah dan tidak berpecah belah. Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah yang diulurkan kepadamu dan janganlah terpecah-belah. Ingatlah kamu akan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepadamu tatkala kamu sedang saling bermusuhan lalu Ia memadukan hatimu dengan rasa kasih, sehingga dengan karunia-Nya kamu jadi bersaudara. Ketika itu kamu berada di tepi jurang api, lalu Ia menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu mendapat petunjuk.” (Ali Imran/3:103) Ayat di atas mengandung perumpamaan seperti orang yang berjuang di dalam air agar tidak tenggelam, yang dengan inayah Allah subhanahu wata’ala mendapat uluran tali yang kuat untuk menyelamatkan dirinya. Semua berpegang kuat-kuat pada tali itu 40 41
Abdullah Yusuf Ali, Quran Terjemahan..., h. 1331, footnote 4931. Ibid., h. 1331, footnote 4932.
Jurnal TSAQAFAH
Keanekaragaman dalam al-Qur’an
67
Allah dan baik budi. Dan ketika ditanya: Apakah yang sering memasukkan orang ke dalam neraka? Jawabnya : Mulut dan kemaluan. (Tirmidzi).
Penutup Keanekaragaman adalah sunnatullah. Perbedaan suku, bangsa, bahasa, budaya, tradisi, agama, profesi dan sebagainya niscaya menjadi peluang bagi manusia untuk bekerjasama, saling belajar, saling membantu dan saling memperoleh keuntungan bersaama. Perbedaan menginspirasikan setiap individu maupun kelompok untuk berlomba dalam kebaikan dan meraih prestasi dalam mewujudkan kehidupan yang maju, bermartabat, sejahtera, damai, adil, makmur, sentosa dan bahagia.[]
Daftar Pustaka Ali, Abdullah Yusuf, Quran Terjemahan dan Tafsirnya, terjemah Ali Audah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993). Badudu, J.S. dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994). Baqi, Muhammad Fuad Abdul, Al-Mu’jamul Mufahras li Alfazhil Quran al-Karim (Kairo: Darul Hadits, 1991). Chirzin, Muhammad dkk., Modul Pengembangan Pesantren untuk Tokoh Masyarakat (Yogyakarta: Puskadiabuma, 2006). Chirzin, Muhammad, Kamus Pintar Al-Quran: 1000 Kata Kunci dalam Al-Quran beserta Rujukan Ayat-ayatnya ( Jakarta: Gramedia, 2011). Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya. (Jakarta: Depag RI). Haekal, Muhammad Husain, Riwayat Hidup Muhammad, terjemah Ali Audah (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980). Kontroversi Jihad di Indonesia: Modernis versus Fundamentalis (Yogyakarta: Pilar Media, 2006). Lajnah Pentashihah Mushaf Al-Quran, Hubungan Antar-Umat Beragama (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama RI, 2008).
Vol. 7, No. 1, April 2011
68
Muhammad Chirzin
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1984). Ruswantoro, Alim, Mochamad Sodik, M. Irfan Tuasikal, Nilai-nilai Masyarakat Madani dalam Pemberdayaan Ekonomi (Yogyakarta: Puskadiabuma, 2008). Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2005). Sholeh, A. Rosyad, “Kerukunan Umat Beragama” dalam Suara Muhammadiyah No 06/Tahun ke 96 16-31 Maret 2011. Surin, Bachtiar, Terjemah dan Tafsir Al-Quran (Bandung: Fa. Sumatra, 1978), 509.
Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi terhadap al-Qur’a
Abstract This article discusses the ideology of Sayyid Qut}b and how this ideology has influenced his approach to the Qur’a>n. Although, in the beginning of his life he saw the Qur’a>n as the literary text and hence the literary approach to the Qur’a>n is the preferred approach, in his later life – when he became Islamist — he revised this approach and treat the Qur’a>n as a political document. Because of this political interpretation of the Qur’a>n, his tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n has influenced many radical groups in Egypt and other countries. The primary sources of this article are Sayyid Qut}b’s works, especially al-Tas}wi>r al-Fanni> fi alQur’a>n, Masya>hid al-Qiya>mah fi> al-Qur’a>n, and Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n. These works are read chronologically and historically to see the development of Qut}b’s thought and the shifting of his ideology. Thus, the knowledge of the social-historical and political context of Egypt is important to determine its influece to Qut}b and vice versa. Finally, this article concludes that Qut}b’s literary approach to the Qur’a>n has been transformed into ideological and political approach, because of his involvement with the Islamist groups.
Keywords: kita>b adabi>, wijhah fanniyyah, tas}wi>r, kita>b da‘wah, manhaj Islami>, h}a>kimiyyah.
Pendahuluan
T
ulisan ini untuk menunjukkan bahwa berbeda dengan karya para sarjana Muslim yang telah menggunakan pendekatan sastrawi terhadap al-Qur’a>n, seperti Ami>n al-Khu>li> (1895-1966)
* Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jl. Kertamukti No.5 Pisangan Barat, Ciputat, Tangerang Telp. 021 7401472
Vol. 7, No. 1, April 2011
70
Yusuf Rahman
dan para penerusnya hingga Nas}r H{a>mid Abu> Zayd (1943-2010), yang masih dikecam oleh kebanyakan masyarakat Muslim, karya Sayyid Qut}b (1906-1966) justru meraih dukungan dan bahkan ideologi yang dikembangkannya menjadi salah satu yang paling berpengaruh. Tesis yang ingin ditunjukkan dalam tulisan ini adalah bahwa prasupposisi atau praanggapan seseorang terhadap al-Qur’an>lah yang mempengaruhi respon dan tanggapan masyarakat Muslim yang berbeda. Walaupun sama-sama menggunakan tafsir sastrawi, respon masyarakat Muslim terhadap karya-karya Qut}b lebih positif dibandingkan dengan mazhab Ami>n al-Khu>li>. Sebelum mendiskusikan gagasan-gagasan Qut}b, perhatian khusus harus diberikan kepada edisi suntingan dan edisi cetakan karya-karya Qut}b. Sebagaimana yang telah ditekankan oleh banyak sarjana pengkaji karya Qut}b,1 Qut}b sering merevisi buku-bukunya dalam cetakan-cetakan selanjutnya dan, konsekuensinya, ide-ide yang dituangkan dalam buku edisi revisi biasanya mengurangi, mengoreksi atau menambah gagasan-gagasan edisi sebelumnya.
Prasupposisi dalam Penafsiran Dalam artikelnya, “Tafsir from T{abari> to Ibn Katsi>r,” Norman Calder (1950-1998) menulis bahwa kualitas yang membedakan seorang penafsir dengan yang lain bukan terletak pada kesimpulannya sehubungan dengan apa yang al-Qur’a>n maksudkan, melainkan pada pengembangan dan penunjukkan teknik-teknik yang menjadi 1 Banyak sarjana yang mengkaji Qut}b biasanya merujuk kepada berbagai perubahan di antara edisi-edisi Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n karya Qut}b. Lihat, misalnya, Adnan A. Musallam, “The Formative Stages of Sayyid Qut}b’s Intellectual Career and His Emergence as an Islamic Da>‘iyah, 1906-1952" (Disertasi, the University of Michigan, 1983), 231; ‘Abdulla>h ‘Awadh al-Khabba>sy, Sayyid Qut}b al-Adi>b al-Na>qid (Yordania: Maktabat al-Mana>r, t.t. [1983?]), 313; Mhd. Syahnan, “A Study of Sayyid Qut}b’s Qur’a>n Exegesis in Earlier and Later Editions of His Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n With Special Reference to Selected Themes,” (Tesis Magister, McGill University, 1997). Namun, edisi berbeda buku-bukunya yang lain juga memperlihatkan berbagai perubahan dan penambahan. Lihat, misalnya, William E. Shepard yang mengkaji edisi berbeda karya Qut}b, al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah fi> al-Isla>m, dalam Sayyid Qut}b and Islamic Activism (Leiden: E.J. Brill, 1996), h. xviii-ff.; dan Musallam, “The Formative Stages,” h. 192. Lihat juga Kristiya>n Tsi>ska> (Christian Szyska), “H}awla Mafhu>m ‘al-Adab al-Multazim’ ‘inda Udaba>’ al-H{araka>t al-Islajmiyyah,” dalam al-Karmil (Abh}a>ts fi> al-Lughah wa al-Adab) 20 (1999), h. 36, n. 15.
Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi
71
tanda penguasaan mereka atas bidang sastra.2 Dengan kata lain, berbagai metode yang digunakan oleh para penafsir bisa dianggap lebih penting ketimbang hasil penafsirannya. Sering juga dikatakan bahwa berbagai kesimpulan berbeda dalam penafsiran utamanya adalah karena variasi metode yang digunakan oleh para penafsir.3 Tetapi, di samping metode-metode tersebut, pra-konsepsi yang diadopsi oleh para penafsir sering jauh lebih berpengaruh dalam memproduksi hasil-hasil yang bervariasi ketimbang perbedaan mereka dalam metode. Para sarjana seringkali berbeda dalam penilaiannya terhadap teks yang sama. Pada kasus al-Qur’a>n, misalnya, Asy‘ariyyah menekankan kekadimannya, sementara Mu‘tazilah yakin akan ke-makhlukan-nya. Pra-konsepsi ikut terlibat dalam setiap aspek hubungan antara sang penafsir dengant teksnya. Pada umumnya, para sarjana membuat perbedaan antara pra-konsepsi (presuppositions) dan prasangka (prejudice). Pra-konsepsi adalah titik awal yang bersifat filosofis atau teologis yang digunakan seorang penafsir, sementara prasangka berarti faktor-faktor personal yang mempengaruhi penilaian seorang penafsir.4 Tak ada sarjana yang lebih ekspresif dalam penjelasannya mengenai pra-konsepsi dari seorang teolog dan ahli hermeneutika Jerman, Rudolf Bultmann (1884-1967). Dalam karyanya yang berpengaruh, “Is Exegesis Without Presupposition Possible?,” Bultmann menyatakan bahwa tak akan ada penafsiran tanpa adanya prakonsepsi (there cannot be any such thing as presuppositionless exegesis),5 karena setiap orang terkondisikan oleh individualitas, bias, dan 2
Calder, “Tafsi>r from T{abari> to Ibn Kathi>r: Problems in the Description of a genre, illustrated with Reference to the Story of Abraham,” dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kadir A. Shareef (eds.) Approaches to the Qur’a>n (London dan New York: Routledge, 1993), h. 106. 3 J. Wansbrough menulis dalam karyanya Quranic Studies bahwa “setelah semuanya, kesimpulan-kesimpulan lebih banyak bergantung kepada metode dibanding bahan [yang digunakan] (Results are, after all as much conditioned by method as by material). Lihat dalam karyanya, Quranic studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation (Oxford: Oxford University Press , 1977), h. 91. 4 Graham N. Stanton, “Presuppositions in New Testament Criticism,” dalam I. Howard Marshall (ed.), New Testament Interpretation: Essays on Principles and Methods (Exeter: The Paternoster Press, 1977), h. 61. 5 Bultmann, “Is Exegesis without Presuppositions Possible?” diseleksi, diterjemahkan dan diberi kata pendahuluan oleh Schubart M. Ogden, Existence and Faith: Shorter Writings of Rudolf Bultmann, cetakan ke-5 (Cleveland and New York: The World Publishing Company, 1966), h. 290.
Vol. 7, No. 1, April 2011
72
Yusuf Rahman
kepentingannya sendiri. Dalam artikelnya yang lain, “The Problem of Hermeneutics,” Bultmann berargumen bahwa untuk menuntut sang penafsir menghindar dari subjektivitas dan individualitasnya adalah usaha yang keliru, karena hal itu akan merusak kondisi penafsirannya, yaitu “hubungan yang hidup” antara sang penafsir dan subjeknya. 6 Namun, Bultmann membuat perbedaan antara pra-konsepsi dan prasangka. Penafsiran, menurutnya, harus tanpa prasangka, dalam arti bahwa prasangka tak boleh lebih dahulu memutuskan bagaimana hasil penafsirannya itu nantinya, atau memanipulasi suatu teks untuk menegaskan sebuah opini tertentu.7 Mengomentari akan bahaya prasangka dalam suatu penafsiran, Bultmann memperingatkan: setiap penafsiran yang diatur oleh berbagai prasangka dogmatis tidak mendengar apa yang teks bicarakan, tapi hanya membiarkan teks berkata apa yang ingin didengarkan prasangka dogmatis itu (every exegesis that is guided by dogmatic prejudice does not hear what the texts say, but only let the latter say what it wants to hear).8 Prapemahaman, di sisi lain, adalah sebuah asumsi terbuka yang akan mendengar sebuah teks berbicara dan siap dikritisi atau dikoreksi olehnya selama perjumpaannya dengan teks tersebut. Dengan penjelasan seperti di atas, kita akan mengidentifikasi pra-konsepsi Qut}b terhadap al-Qur’a>n. Dan di sini kita akan melihat transformasi dan perubahan pra-konsepsi Qut}b terhadap al-Qur’a>n, sebagaimana yang tercermin dari karya-karyanya.
Perubahan Prasupposisi Sayyid Qut}b terhadap al-Qur’a>n Dalam karyanya, al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n — edisi pertamanya terbit tahun 19459— Qut}b berargumen bahwa keindahan 6 Bultmann, “The Problem of Hermeneutics,” dalam idem, Essays Philosophical and Theological (London: SCM Press Ltd., 1955), 255. Lihat juga, h. 241, 242. 7 Bultmann, “Exegesis without Presuppositions?,” h. 289, dan idem, “The Problem of Hermeneutics,” h. 255. 8 Bultmann, “Exegesis without Presupposition?,” h. 290. 9 Sayangnya, penulis tidak bisa merujuk kepada edisi pertama ini. Buku ini dikembangkan dari artikel-artikelnya di al-Muqtat}af tahun 1939 dan al-Risa>lah tahun 1944-1945 mengenai subjek yang sama. Lihat Musallam, “The Formative Stages,” h. 130-137; Boullata, “Sayyid Qut}b’s Literary Appreciation,” dalam Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’a>n, dalam Issa J. Boullata (Richmond, Surrey: Curzon Press, 2000), h. 355, 368, nn. 9-10; Sayyid Basyi>r Ahmad Kasymi>ri>, ‘Abqari> al-Isla>m Sayyid Qut}b: al-Adi>b al-‘Imla>q wa al-Mujaddid alMulham fi> D{aw’ A>tsa>rih wa Inja>za>tih al-Adabiyyah (Kairo: Da>r al-Fadhi>lah, 1994), h. 280-281.
Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi
73
sastrawi al-Qur’a>n harus dikembangkan sebelum lanjut kepada tujuan-tujuan penafsiran yang lain. Qut}b menegaskan bahwa dia telah menulis buku tersebut bukan untuk menekankan kesucian religius al-Qur’a>n ataupun bukan untuk kepentingan dakwah Islam, tapi: agar kita bisa menemukan keindahan artistik murni [al-Qur ’an], elemen yang esensial di dalam dirinya, yang akan kekal di dalam alQur’a>n, yang dipenuhi oleh seni dan lepas dari semua ketertarikan dan tujuan. Tentunya, keindahan ini bisa dinikmati dengan sendirinya [tanpa yang lain] dan cukuplah ia, [tapi saat] ia disandingkan dengan tujuan-tujuan agama, maka nilai[nya] bertambah.10
Dalam artikelnya “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi< al-Qur’a>n al-Kari<m” terbit dalam al-Muqtat}af 94, 2 (1 Februari 1939), 206-207, Qut}b secara jelas menyatakan bahwa dia akan menafsirkan/memperlakukan alQur’a> n sebagai sebuah teks sastra (kita>b adabi>). 11 Di sinilah kita melihat bahwa tafsir sastrawi, menurut Qut}b, adalah pengkajian alQur’a> n hanya dari perspektif artistik (al-wijhah al-fanniyyah albah}tah). Menurut Qut}b, tujuan utama suatu seni adalah untuk menghasilkan berbagai pengaruh emotif, menyebarkan kepuasan artistik, menimbulkan suatu kehidupan yang tersembunyi di balik pengaruh ini, dan untuk mengisi imajinasi dengan suatu gambaran (fa-waz{ifat al-fann al-u> l a> hiya itsa>rat al-infi‘a>l a> t al-wijda> n iyyah, wa isya>‘ at alladhdhah al-fanniyyah bi-ha> d hihi al-itsa> r ah, wa ija> s yat al-h} a ya> t alka>minah bi-ha>dhihi al-infi‘a>la>t, wa taghdhiyat al-khaya>l bi-al-s}uwar).12 Tujuan artistik ini, lanjut Qut}b, akan ditemukan dalam gaya-gaya berekspresi al-Qur’a>n, yang ia sebut dengan istilah tas}wi>r (penggambaran artistik), takhyi> l (pembentukan imaginasi) dan tasykhi> s } (personifikasi). Mengomentari editor al-Muqtat}af yang menyatakan kepadanya bahwa Perjanjian Lama dan Baru telah dikaji secara sastrawi di Barat, Qut}b menyatakan bahwa al-Qur’a>n dengan gayanya yang unik lebih pantas (awla>) untuk pendekatan sastrawi itu. 10
Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1994), cetakan kesebelas, h. 23. 11 Lihat Qut}b, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m” terbit dalam al-Muqtat}af 94, 2 (1 Februari 1939), h. 206-207, Qut}b secara jelas menyatakan bahwa dia akan menafsirkan/ memperlakukan al-Qur’a>n sebagai sebuah teks sastra (kita>b adabi>). 12 Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni>, h. 242.
Vol. 7, No. 1, April 2011
74
Yusuf Rahman
Dalam mengomentari klaim Qut}b bahwa tak ada seorangpun sebelumnya yang berusaha mengkaji al-Qur’a>n berdasarkan suatu pendekatan sastrawi,13 Bint al-Sya>t}i’ (1913-1998) menulis dalam alAhra>m bahwa metode ini telah diajarkan di Cairo University; sebuah komentar yang ditolak Qut}b seraya menantangnya untuk bisa menyebut sebuah karya yang merekomendasikan pendekatan ini.14 Namun dalam edisi ketiga bukunya al-Tas}wi>r al-Fanni>, terbit tahun 1953, Qut}b menyadari bahwa hanya beberapa saat—setelah edisi pertama bukunya terbit—Ami>n al-Khu>li> telah mengajarkan para mahasiswanya aspek-aspek metode sastrawi (nawa>h}i> min ha>dha> aliitija>h)15 di Fakultas Adab Cairo University. Menariknya, penulis tidak menjumpai catatan ini dalam edisi-edisi al-Tas} w i> r al-Fanni> selanjutnya.16 Di dalam al-Tas}wi>r al-Fanni>, Qut}b menceritakan perkenalan dan pergaulannya dengan al-Qur’a>n sejak kecil hingga akhirnya dia “menemukan” al-Qur’a>n (laqad wajadtu al-Qur’a>n). Di waktu kecil ketika membaca al-Qur’a>n dia dapat melihat suatu gambaran (als}u>rah al-sa>dhijah) yang tertanam dalam imajinasinya, walaupun dia belum bisa memahami maknanya maupun tujuannya. Dan ketika beranjak dewasa dan membaca karya-karya tafsir, yang dia dapatkan hanyalah al-Qur’a>n yang sulit dan kompleks (‘usr mu‘aqqad), di mana dia tidak temukan lagi gambaran yang indah yang dulu pernah ia rasakan. Akhirnya, setelah membaca langsung al-Qur’a> n tanpa melalui kitab-kitab tafsir, dia menemukan kembali al-Qur’a>n yang menggembirakan dan indah (al-ladhi>dh al-jami>l),17 yaitu al-Qur’a>n yang atraktif dalam gaya pengekspresiannya.
13
Lihat, Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni>, h. 9. Argumen balik Qut}b diterbitkan dalam artikelnya “Maba>hi} ts ‘an al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n,” al-Risa>lah 620 (21 Mei 1945), h. 529. Lihat juga al-Khabba>sy, Sayyid Qut}b, h. 307; Kasymi>ri>, ‘Abqari> al-Isla>m, h. 298. 15 Lihat al-Tas}wi>r al-Fanni>, edisi ke-3, t.t. [1953?], 9, n. 1. Karena penulis tidak bisa merujuk kepada edisi yang kedua, penulis tidak yakin jika Qut>b menulis catatan ini untuk edisi tersebut. Penanggalan edisi ketiga tahun 1953 didasarkan pada catatan Qut}b sendiri saat dia menyatakan bahwa edisi kedua Masya>hid al-Qiya>mah “muncul pada tahun ini, 1953” (tas}dur fi> ha>dha> al-‘a>m, 1953). Lihat al-Tas}wi>r al-Fanni>, edisi ketiga, h. 113, n. 1. 16 Namun, dalam kata akhir (postscript)-nya untuk edisi ke-3 al-Tas}wi>r al-Fanni>, dia memberikan beberapa arahan bahwa beberapa pengkaji al-Qur’a>n dan para guru di banyak sekolah (universitas?) mengaplikasikan pendekatan sastrawi terhadap al-Qur’a>n juga. Lihat kata akhir yang dicetak dalam edisi ke-14 (1993), h. 254. 17 Lihat Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni>, h. 7-8. 14
Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi
75
Setelah penemuan al-Qur’a>n ini dan pada saat yang sama menemukan di dalam dirinya kelahiran kembali al-Qur’a>n (mawlid al-Qur’a>n min jadi>d),18 Qut}b berusaha menyebarkan penemuan ini kepada publik melalui berbagai artikel yang dia publikasikan di dalam al-Muqtat} a f 19 dan al-Risa> l ah, 20 yang akhirnya diterbitkan kembali dalam bentuk buku berjudul al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n tahun 1945. Dalam karya yang disebut terakhir ini pembahasan Qut}b mengenai tas}wi>r dalam syair pra-Islam, syair masa Islam, syair pada Perjanjian Lama dan syair dalam kesusasteraan Barat yang telas dibahas di majalah al-Muqtat}af dan al-Risa>lah tidak dimasukkan. Pembahasan tersebut dimasukkan dalam karyanya yang lain al-Naqd al-Adabi> . 21 Selanjutnya, pada tahun 1947, Qut}b mengaplikasikan teori tas}wi>r-nya dan mengembangkan diskusinya tentang penggambaran al-Qur’a>n akan Hari Kiamat yang ada dalam al-Tas}wi>r al-Fanni> menjadi sebuah buku yang terpisah, berjudul Masya>hid al-Qiya>mah fi> al-Qur’a>n.22 Dalam mengimplementasikan teori utamanya, tas}wi>r, yang Qut}b tegaskan sebagai “instrumen yang lebih unggul dalam gaya pada ayat-ayat Al-Qur’a>n,” Qut}b mengumpulkan dalam karyanya ini 150 gambaran (masya>hid) mengenai Hari Kebangkitan dari 80 surat (baik surat Makkiyyah ataupun Madaniyyah), dan menyusunnya secara kronologis.23 Qut}b secara sadar menggunakan istilah masyhad lantaran hanya ayat-ayat yang memiliki gambaran 18
Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni>, h. 10. Qut}b, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m,” dalam al-Muqtat}af 94, h. 2 (1 Februari 1939), h. 206-211; idem, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m,” al-Muqtat}af 94, h. 3 (1 Maret 1939), h. 313-318. 20 Qut}b, “al-Ma‘a>ni> wa al-Z{ila>l,” al-Risa>lah 581 (21 Agustus 1944), 690-693; “Baqiyyah fi> al-Ma‘a>ni> wa al-Z{ila>l,” al-Risa>lah 583 (4 September 1944), 728-731; “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> alQur’a>n,” al-Risa>lah 601 (8 Januari 1945), h. 43-45; “al-Tana>suq al-Fanni> fi> Tas}wi>r al-Qur’a>n,” al-Risa>lah 611 (19 Maret 1945), h. 278-281. 21 Hal-hal ini didiskusikan dalam “al-Ma‘a>ni> wa al-Z{ila>l” dan “Baqiyyah fi> al-Ma‘a>ni> wa al-Z{ila>l”, secara berurut. Keduanya masuk ke dalam karya Qut}b, al-Naqd al-Adabi>: Us}u>luh wa Mana>hijuh, edisi ketiga (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1960), h. 22-30. 22 Dalam edisi ketujuh Masya>hid al-Qiya>mah, Qut}b menasihati para pembacanya untuk menelaah karyanya, al-Tas}wi>r al-Fanni>, sebelum beranjak kepada Masya>hid alQiya>mah, karena karya yang pertama menjelaskan kerangka teoritis gaya ekspresi al-Qur’a>n, sedangkan buku yang kedua secara ekstensif merujuk ke teori itu. Lihat Qut}b, Masya>hid alQiya>mah (1981), h. 229. Nasihat ini, yang merupakan kata akhirnya (kalimah fi> al-khita>m), tidak muncul dalam edisi keduanya. Penulis yakin bahwa hal ini ditambahkan oleh Qut}b mulai dengan edisi ketiga atau keempatnya. 23 Qut}b, Masya>hid al-Qiya>mah, h. 10. 19
Vol. 7, No. 1, April 2011
76
Yusuf Rahman
personifikasi dan bergerak (masyhad sya>khis} aw mutah}arrik)24 yang diperhatikan dalam diskusinya, sementara ia mengabaikan ayat-ayat lain yang juga menggambarkan Hari Kiamat. Sama dengan tujuan penulisan buku pertamanya, tujuan Qut}b dalam menulis Masya>hid al-Qur’a>n adalah juga murni untuk tujuan sastrawi (hadafi> huna> hadaf fanni> kha>lis} mah}d}).25 Lantaran minatnya yang terlalu berorientasi kepada sastra, ia dikritik oleh H}asan alBanna> (1906-1949), tokoh utama al-Ikhwa>n al-Muslimu>n, lantaran mengabaikan aspek religius al-Qur’a>n.26 Ada juga beberapa sarjana yang mengkritik Qut}b karena mengaplikasikan ide-ide sekuler terhadap teks Tuhan, seperti pengaplikasian kriteria syair terhadap alQur’a>n, seperti tas}wi>r dan takhyi>l, atau memperlakukan nabi-nabi yang maksum layaknya orang biasa.27 Penting untuk disebutkan bahwa dalam edisi ketiga bukunya, al-Tas}wi>r al-Fanni> yang terbit tahun 1953, saat menjawab berbagai keberatan atas penggunaan istilah “seni” (fanni>) atas al-Qur’a>n, Qut}b menegaskan bahwa dia tidak bermaksud mengatakan bahwa al-Qur’a>n adalah karya fiksi, yang tercipta atau berlandaskan sekadar pada imajinasi (mulaffaq, al-mukhtara‘ aw al-qa>’im ‘ala> mujarrad al-khaya>l), tapi bahwa istilah seni yang diatributkan kepada al-Qur’a>n maksudnya adalah “keindahan” dalam konteks penyampaian, eksekusi, dan efisiensi dalam produksi [makna]” (jama> l al-‘ard} , tansi> q al-ada> ’ wa bara> ‘ at alikhra> j ). 28 Banyak sarjana yang mengklasifikasi kedua karya Qut}b ini, al-Tas}wi>r al-Fanni> dan Masya>hid al-Qiya> mah, sebagai karya yang masuk dalam fase “pra-Islamis.”29 Christian Szyska mencatat bahwa pemahaman Qut}b terhadap seni atau sastra berubah dengan penerbitan karyanya, al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah fi> al-Isla>m, tahun 1949.30 24
Qut}b, Masya>hid al-Qiya>mah, h. 10. Qut}b, Masya>hid al-Qiya>mah, h. 12. 26 Lihat, Musallam, “Formative Stages,” h. 138-139. 27 Lihat review-review Naji>b Mahfu>z} dan ‘Abdullat}i>f al-Subki> mengenai al-Tas}wi>r alFanni> dalam al-Risa>lah 616 (23 April 1945), h. 433 dan al-Risa>lah 620 (21 Mei 1945), h. 542, secara berurut. Lihat juga jawaban Qut}b dalam al-Risa>lah 620 (21 Mei 1945), h. 527 dan alRisa>lah, h. 620, 621 (28 Mei 1945), h. 569-570. 28 Lihat kata akhir Qut}b untuk edisi ketiga yang dicetak ulang dalam edisi al-Tas}wi>r al-Fanni> yang ke-14, h. 255. 29 Sarjana lain menggunakan kategori “Sekularis Muslim” (Muslim Secularist) seperti Shepard, Sayyid Qut}b and Islamic Activism, h. xvi, n. 13; “Pra-Islami” (pre-Islamic) seperti Ronald Nettler, “A Modern Islamic Confession of Faith and Conception of Religion: Sayyid Qut}b’s Introduction to the Tafsi>r, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n,” British Journal of Middle Eastern 25
Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi
77
Karya yang membicarakan keadilan sosial dalam Islam ini dianggap oleh banyak sarjana31 sebagai buku pertama Qut}b yang berhaluan Islamis. Namun, jika kita membandingkan edisi pertama al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah dan edisi-edisi selanjutnya, kita menemukan bahwa setidaknya hingga edisinya yang ketiga, yang terbit tahun 1952, pemahaman Qut}b akan seni dan perannya dalam masyarakat hampir sama dengan yang telah diekspresikannya dalam buku-buku lain seperti al-Naqd al-Adabi>. Pada buku yang disebut terakhir itu, Qut}b menegaskan bahwa karya sastra adalah ekspresi tentang suatu pengalaman emotif dalam bentuk verbal (al-ta‘bi> r ‘an tajriba syu‘u>riyyah fi> s}u>rah mu>h}iyah),32 yang tujuannya adalah memproduksi efek emosional dalam jiwa-jiwa orang lain (mutsi>rah li-al-infi‘a>l alwijda>ni> fi> nufu>s al-a>khari>n).33 Dalam edisi-edisi awal al-‘Ada>lah alIjtima> ‘ iyyah, 34 sang pengarang juga menyatakan bahwa sastra memiliki pengaruh terkuat dalam menciptakan ide emosional kehidupan di dalam diri seseorang, dan ia menambahkan bahwa “karena itu kita harus berhati-hati untuk menyeleksi sastra Barat macam apa yang kita sampaikan kepada generasi muda kita, baik dalam bahasa Arab atau bahasa Eropa.”35 Studies 21, 1 (1994), 102; “Sécularisme Neutre” seperti Olivier Carré dalam “‘A L’Ombre du Coran’ Revisité: Les lendemains possibles de la pensée de Sayyid Qut}b et du ‘Qut}bisme’,” Arabica 48 (2001), 87. Lihat juga Boullata, “Sayyid Qut}b’s Literary Appreciation,” dalam LSRMQ, 354. Bandingkan dengan Leonard Binder dan John Calvert yang berpendapat bahwa paham Islamisme Qut}b telah bermula dari konsepsinya mengenai apresiasi estetika AlQur’a>n; jadi, dari karyanya, al-Tas}wi>r al-Fanni>. Lihat Binder, Islamic Liberalism (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 170-205; dan Calvert, “Qur’a>nic Aesthetics in the Thought of Sayyid Qut}b,” Religious Studies and Theology 15, h. 2-3 (Desember 1996), h. 6176. Musallam menanggalkan komitmen Qut}b kepada Islam tahun 1947, khususnya dengan publikasi jurnal Islam al-Fikr al-Jadi>d. Lihat Musallam, “Formative Stages,” h. 187-191. 30 Szyska, “H{awla Mafhu>m ‘al-Adab al-Multazim’,” h. 36-37. Dia mengakui bahwa dia tidak bisa merujuk kepada edisi pertama buku ini namun bergantung kepada edisi selanjutnya, 1980. Menurut Shepard, al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah ditulis tahun 1948, namun diterbitkan tahun 1949. Melalui banyak perubahan, karya ini diterbitkan kembali sebanyak lima kali selama masa hidup Qut}b. 31 Lihat, misalnya, Shepard, Sayyid Qut}b and Islamic Activism, h. x. 32 Qut}b, al-Naqd al-Adabi>, h. 7. 33 Ibid., h. 8. 34 Menurut Shepard, edisi 1-3. Lihat Shepard, Sayyid Qut}b and Islamic Activism, 335, no. 182. 35 Lihat Qut}b, al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah fi> al-Isla>m, edisi ke-3 (Kairo: Da>r al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1952), h. 255. Lihat Shepard, Sayyid Qut}b and Islamism Activism, 335, no. 182. Cf. Terjemahan John B. Hardie dalam Sayed Kotb, Social Justice in Islam (New York: Octagon Books, 1970), h. 257.
Vol. 7, No. 1, April 2011
78
Yusuf Rahman
Hanya pada edisi-edisi al-‘Ada> lah al-Ijtima>‘iyyah yang selanjutnya kita dapat temukan Qut}b mengaplikasikan ideologi Islamis radikalnya ke wilayah kesusasteraan/kesenian.36 Pernyataan yang dikutip di atas diganti dalam edisi selanjutnya dengan “karena itu kita memerlukan sastra yang berasal dari konsepsi Islami dan maka mungkin baik bahwa kita berbicara secara detail mengenai pengembangan sastra Islami.” Dari poin ini dan seterusnya, Qut}b mendiskusikan konsepsi sastra Islam. Dia berargumen bahwa sastra dan seni-seni yang lain tercipta dari “suatu konsep kehidupan yang spesifik” (tas} a wwur mua‘ayyan li-al-h} a ya> h ), sementara Islam memiliki sebuah konsepsi hidup yang khusus.37 Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa baru setelah tahun 1964, karya-karya Qut}b mulai kental dengan ideologi Islamisnya. Jika dalam edisi-edisi awal al-Tas}wir al-Fanni> dan Masya>hid alQiya>mah, Qut}b memandang al-Qur’a>n sebagai teks sastra (nas}s} adabi>) dan mengkajinya dari perspektif artistik (al-wijhah al-fanniyyah) dan untuk tujuan sastrawi (hadaf fanni> kha>lis}), maka setelah memasuki fase Islamis, dalam edisi al-Tas}wi>r al-Fanni> yang selanjutnya, alQur’a>n ditempatkan sebagai kitab da‘wah diniyyah.38 Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n adalah karya Qut}b yang lain yang secara spesifik berhubungan dengan al-Qur’a>n selain al-Tas}wi>r al-Fanni> dan Masya>hid al-Qiya>mah. Mulanya karya ini ditulis untuk al-Muslimu>n milik Sa‘i>d Ramad}a>n, tokoh terkemuka al-Ikhwa>n al-Muslimu>n, dan selama periode di saat Qut}b secara konstan menjalin komunikasi dengan al-Ikhwa>n al-Muslimu>n. Sebagaimana karya Qut} b yang pra-Islamis sebelumnya, dalam Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n edisi pertama, Qut}b masih menekankan keindahan artistik al-Qur ’a> n . Sebagaimana yang dicatat oleh Boullata, Qut} b masih mengusung topik tas{w i> r , sering merujuk kepada dua bukunya yang berkaitan dengan masalah keindahan 36 Menurut kajian Shepard, dalam edisi-edisi al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah yang kelima dan selanjutnya, Qut}b menambahkan lebih dari 20 paragraf akan diskusinya mengenai seni/ kesusasteraan. Lihat Shepard, Sayyid Qut}b and Islamic Activism, h. 308-312. 37 Lihat Shepard, Sayyid Qut}b and Islamic Activism, 310-311, no. 191-197. Dalam alNaqd al-Adabi>, Qut}b juga mencatat bahwa, setelah terpengaruh oleh konsepsi Islamis, dia tidak sependapat dengan mereka yang mendeskripsikan berbagai kelemahan dalam hidup. Lihat Qut}b, al-Naqd al-Adabi>, 30, n. 1. Karena tujuannya dalam buku selanjutnya adalah untuk menyampaikan teori kritik sastra secara umum, dia tidak secara detail menjelaskan konsepsi Islami mengenai kesusasteraan. 38 Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni>, h. 119.
Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi
79
artistik al-Qur’a> n, dan bahkan memperkenalkan sebuah konsep sastra yang baru, yaitu kesatuan surat al-Qur’a>n yang koheren dan juga al-Qur’a> n secara keseluruhan.39 Sebagaimana dalam bukubukunya yang awal, dalam mukadimahnya pada edisi pertama Fi> Z{ i la> l al-Qur’a> n , Qut} b menegaskan bahwa dia berusaha mengekspresikan makna keindahan artistik al-Qur’a>n. Demikian juga, ia menekankan bahwa dia tidak ingin terlalu banyak berkutat dengan analisa linguistik, teologi, dan hukum yang bisa “menyembunyikan Al-Qur’a>n dari jiwaku dan jiwaku dari al-Qur’a>n” (tah}jub al-Qur’a>n ‘an ru>h}i> wa tah}jub ru>hi> ‘an al-Qur’a>n).40 Namun dalam edisi-edisi Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n selanjutnya, Qut}b memperkenalkan tafsirnya dengan menyampaikan deklarasi—”confession” dalam istilah Ronald Nettler41— Islamis, sebagai hasil pengalamannya “hidup” dalam bayang-bayang al-Qur’a>n.42 Jika di dalam mukadimah Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n edisi pertama, Qut}b mendiskusikan metode yang diadopsi dalam mendekati al-Qur’a>n dan menekankan keindahan artistik al-Qur’a>n, maka pada edisi Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n yang selanjutnya Qut} b meletakkan pemikiran keagamaan dan gagasan masyarakat Islam yang berlandaskan “sistem Allah” (manhaj Alla>h) dibandingkan dengan masyarakat ja>hiliyyah. Mulai saat itulah, tujuan utama Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n bukanlah lagi untuk kepentingan sastra, tapi untuk tujuan religius, yaitu untuk merevolusionisasikan masyarakat, menangkal masyarakat ja>hiliyyah, dan untuk dakwah Islam.43 Menarik untuk mengkaji istilah-istilah kunci yang Qut} b gunakan dalam mukadimahnya, dan dari sana ia kemudian meng39
Lihat Boullata, “Sayyid Qut}b’s Literary Appreciation,” 362ff. Lihat Qut}b, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-Ihya>’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1953), 1:6. Dari sekarang, karya ini akan dirujuk sebagai Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n edisi pertama. 41 Lihat Nettler, “A Modern Islamic Confession of Faith,” h. 104. Olivier Carré mendiskusikan teologi Qut}b seperti yang direpresentasikan dalam Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n dalam karyanya “Eléments de la ‘aqi>da de Sayyid Qut}b dans Fi> z}ila>l al-qur’a>n,” Studia Islamica 91 (2000), h. 165-197. 42 Lihat Qut}b, “Muqaddimah,” Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, edisi ke-15 (Beirut: Da>r al-Syuru>q, 1988), 1:11-18. Dari sekarang, karya ini akan dirujuk sebagai Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15. Untuk kajian detailnya atas muqaddimah dari edisi selanjutnya, lihat Nettler, “A Modern Islamic Confession of Faith,” h. 104-114. 43 Untuk kisah penulisan Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n oleh Qut}b, lihat al-Khabba>sy, Sayyid Qut}b, 311-313; Kasymi>ri>, ‘Abqari> al-Isla>m, 313-315. Lihat juga Syahnan, “A Study of Sayyid Qut}b’s Qur’a>n Exegesis in Earlier and Later Editions of His Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n,” khususnya Bab Tiga. 40
Vol. 7, No. 1, April 2011
80
Yusuf Rahman
elaborasikannya dalam penafsirannya secara keseluruhan. Namun, sebelum mendiskusikan istilah-istilah kunci ini, seseorang tak bisa menghindar untuk melihat transisi ekspresi Qut}b dari “Aku telah menemukan al-Qur’a>n” (laqad wajadtu al-Qur’a>n) dalam bukunya Fi> al-Tas} wi> r al-Fanni> , menjadi “Aku telah hidup dalam bayangbayang al-Qur’a>n” (‘Isytu fi> Z{ila>l al-Qur’a>n) dalam mukadimah Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n.44 Perubahan ini adalah untuk mengingatkan para pembaca bahwa sang pengarang telah bergerak dari tingkatannya yang awal menuju tingkatan yang selanjutnya yang dia anggap sebagai yang lebih tinggi, tempat “ia mendengar Allah berfirman kepadanya” (yatah} a ddats ilayya). 45 Dengan mempresentasikan maqa>m yang baru ini, seakan-akan Qut} b akan membandingkan pengalamannya dengan pengalaman Nabi Muh}ammad saat sang Nabi menerima wahyu, dan berbicara dengan Tuhan melalui malaikat Jibril. Setelah hidup dan merasakan nikmatnya hidup di dalam bayang-bayang al-Qur’a>n – yang merupakan posisi yang tertinggi, Qut}b kemudian melihat ke-ja>hiliyyah-an masyarakat yang ada di sekelilingnya. Keadaan ja>hiliyyah itu, menurut keyakinan kuat dan meyakinkan Qut}b (yaqi>n ja>zim h}a>sim),46 adalah lantaran manusia berpaling dari Allah dan dari perintah Al-Qur’a>n untuk berhukum berdasarkan sistem Allah (al-ih}tika>m ila> manhaj Alla>h).47 Demikianlah dapat dilihat secara nyata perubahan dan perkembangan tesis Qut}b terhadap al-Qur’a>n. Jika di dalam karyakaryanya yang awal – masa pra-Islamis –, seperti al-Tas}wir al-Fanni>, Masya>hid al-Qiya>mah, bahkan Fi Z}ila>l al-Qur’a>n, Qut}b memandang al-Qur’an sebagai teks sastra dan dengan demikian pendekatan terhadapnya adalah pendekatan sastrawi (wijhah fanniyya), maka setelah memasuki fase Islamis, al-Qur’a>n ditempatkan sebagai teks agama dan kitab dakwah. Bahkan dalam edisi Tafsi>r Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n yang selanjutnya, Qut}b tidak hanya meletakkan al-Qur’a>n sebagai
44
Lihat Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15, 1:11. Dalam Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi pertama, 1:5-7, Qut}b mengkaitkan bagaimana dia menemukan hasrat terpendam (raghbah khafiyyah) di dalam dirinya untuk dihidupkan dalam bayang-bayang al-Qur’a>n sebelumnya akhirnya dia hidup di dalamnya. Dia juga berharap dengan menulis tafsir ini, orang lain akan mengikuti jejaknya. 45 Lihat Qut}b, “Muqaddimah,” Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15, 1:11. 46 Lihat Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15, 1:15. 47 Lihat Qut}b, “Muqaddimah..., 1:15.
Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi
81
kitab dakwah, tapi melebihi dari itu, yaitu sebagai kitab jalan kehidupan (manhaj al-h} a ya> h).48 Perubahan ini tentu saja dipengaruhi oleh konteks sosial politik di saat Qut}b menulis dan merevisi karya-karyanya yang pra-Islamis. Pembahasan sebelumnya telah menunjukkan bagaimana H}asan alBanna> menegur Qut}b yang mengkaji al-Qur’a>n hanya dari aspek sastra; komentar beberapa peresensi bukunya yang menyayangkan penggunaan teori sastra sekuler terhadap al-Qur’a>n; pergaulannya dengan tokoh-tokoh Ikhwa>n al-Muslimu>n; dan tentu saja pengaruh dari kehidupannya yang beberapa kali dimasukkan ke penjara. Beberapa karyanya, terutama Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, diselesaikan dan direvisi ketika ia di dalam penjara. Tambahan atas fakta ini adalah kenyataan bahwa pada tahun 1950-an konsep komitmen (iltiza>m) dalam kesusasteraan muncul dalam kajian kritik sastra, sehingga muncullah konsepsi sastra Islami>. Hal ini tentu berbeda dengan tesis para pendukung pendekatan sastrawi dari mazhab Ami>n al-Khu>li.49 Al-Khu>li> misalnya menulis di Mana>hij al-Tajdi>d fi> al-Nah}w wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al-Adab bahwa al-Qur’a>n adalah “karya berbahasa Arab yang paling agung dan paling besar pengaruh sastrawinya” (kita>b al-‘arabiyyah al-akbar wa atsaruha> al-adabi> al-a‘z}m).50 Dan sebagai kitab terbesar sastra maka al-Qur’a>n harus dikaji dengan perspektif sastrawi sebelum mengkajinya dari perspektif agama. Pendekatan ini mengkritik metode penafsiran M. Abduh (1849-1905) yang menyatakan bahwa tujuan penafsiran adalah untuk mencari petunjuk (al-ihtida>’) dan untuk mengambil manfaat (al-intifa>‘) dari kandungan al-Qur’a>n.51 Bagi al-Khu>li>, pendekatan sastrawi harus lebih didahulukan dari kepentingan lainnya. Baru setelah terpenuhinya studi sastra, seorang pembaca/penafsir bisa meranjak untuk mendeskripsikan berbagai kesimpulan lain dari al-Qur’a>n sesuai dengan kebutuhannya, seperti masalah hukum, teologi, etika dan lain-lain. 48 Lihat Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15, 1:55. Dalam Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi pertama, 1:28, istilah manhaj al-haya>h tidak disebutkan. 49 Untuk melihat penafsiran sastrawi Mazhab al-Khu>li>, lihat Yusuf Rahman, “al-Tafsi> alAdabi> fi> al-Qur’a>n: a Study of Ami>n al-Khu>li>’s and Muhammad Khalaf Alla>h’s Literary Approach to the Qur’a>n,” Mimbar Agama & Budaya, XIX, 2 (2002), h. 129-151. 50 Al-Khu>li, Mana>hij al-Tajdi>d fi> al-Nah}w wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al-Adab (Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-‘A>mmah li al-Kita>b, 1995), h. 229. 51 Al-Khu>li, Mana>hij al-Tajdi>d, 229. Lihat ‘Abduh, “Muqaddimat al-Tafsi>r,” dalam Tafsi>r al-Mana>r (Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-’A>mmah li al-Kita>b, 1972), Jilid 1, 17.
Vol. 7, No. 1, April 2011
82
Yusuf Rahman
Demikian pula dengan pandangan pengikut mazhab al-Khu>li>, yaitu Nas}r H}a>mid Abu> Zayd (1943-2010). Dia menulis di Mafhu>m al-Nas}s} bahwa al-Qur’a>n adalah teks kebahasaan (nas}s} lughawi>)52 yang terkait dengan budaya dan konteks tertentu. Di dalam karyanya yang lain ia menyatakan “teks-teks keagamaan adalah teks-teks kebahasaan yang bentuk-bentuknya adalah sama dengan bentuk teks-teks yang lain dalam suatu kebudayaan” (anna al-nus}u>s} aldiniyyah nus} u>s} lughawiyya sya’nuha> sya’n ayyat nus}u>s } ukhra> fi altsaqa> f a). 53 Prasupposisi dan tesis inilah — yang menyamakan al-Qur’a>n dengan teks-teks lain54 – yang membedakan karya mazhab al-Khu>li> dengan karya Qut}b pada masa Islamis. Dan ini pula salah satu yang menyebabkan respon negatif masyarakat Muslim terhadap karyakarya mazhab al-Khu> li> . 55 Berbeda dengan respon negatif yang diterima Mazhab al-Khu>li>, karya Qut}b – terutama karya-karyanya pada masa Islamis – sangat berpengaruh terhadap beberapa kelompok dan kalangan Islam radikal di dunia Muslim.
Pengaruh Penafsiran Sayyid Qut}b Pengaruh tafsir Qut}b yang paling kentara bukan terletak pada penafsiran sastrawinya, namun pada penafsiran h}araki>-nya. Sebagaimana sudah dijelaskan pada pembahasan di atas, bahwa di dalam mukaddimah tafsir Fi Z}ila>l al-Qur’a>n — yang edisi Islamis (edisi ke-15) – Qut}b telah menjelaskan akidah Islamisnya secara tegas. Di sana ia menegaskan tentang sistem Islam (manhaj al-Islam), konsep Islam (tas}awwur Isla>mi), dan menyatakan bahwa dunia dan bahkan juga masyarakat Muslim sudah berada dalam ke-ja>hiliyyah-an karena menyimpang dari sistem Islam tersebut. Ja>hiliyyah merupakan konsep utama dalam penafsiran h}araki Qut}b. Di sini, kita tidak hanya melihat tafsir politik Qut}b, tapi juga, yang utamanya, pandangannya tentang al-Qur’a>n sebagai dokumen 52 Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}s} : Dira>sah fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: al-Markaz alTsaqa>fi> al-‘Arabi, 1998), h. 9, 10, 18,19, 25, dst. 53 Abu> Zayd, Naqd al-Khit}a>b al-Di>ni> (Kairo: Si>na> li al-Nasyr, 1992), h. 197. 54 Lihat Yusuf Rahman, “Al-Qur’a>n sebagai Teks Sastra: Penafsiran Sastrawi terhadap al-Qur’a>n,” (dalam proses penerbitan). 55 Lihat Yusuf Rahman, “Islamist Thinkers vis a vis Muslim Liberal Thinkers: Responses of Egyptian Islamists to Nashr H}a>mid Abu> Zayd,” Jauhar: Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual 3, 1 (2002), h. 52-84.
Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi
83
politik.56 Dengan mengusung al-Qur’a>n sebagai dokumen politik, Qut}b selalu berusaha menafsirkan berbagai situasi sosio-politik dalam kaitannya dengan kisah-kisah al-Qur’a>n dan melihat bahwa solusi satu-satunya atas krisis yang terjadi saat ini adalah kembali kepada al-Qur’a>n. James Barr menyebut ajakan kembali kepada kitab suci ini sebagai model teokratik (theocratic model),57 karena model ini meyakini bahwa kitab suci telah mengungkap jalan hidup ilahi (manhaj ila>hi>) di mana suatu masyarakat semestinya hidup. Maka tidak mengejutkan bahwa dalam penafsiran alQur’a>nnya, Qut}b mengaitkan kisah dalam al-Qur’a>n dengan situasi masa sekarang.58 Misalnya, analisanya terhadap ja>hiliyyah pra-Islam, menurutnya, juga muncul dalam masa modern ini. Menurut Qut}b, ja>hiliyyah mengandung arti mengedepankan kekuasaan manusia yang tidak berdasar di atas cara-cara Islami (al-manhaj al-Isla>mi>). Berdasarkan definisi ini, istilah ja>hiliyyah tidak mengindikasikan suatu masa sejarah yang telah lewat -seperti yang selama ini dipahami, yaitu masa pra Islam-,59 tapi sesuatu yang berlanjut muncul kembali di saat suatu masyarakat menyimpang dari cara-cara Islami, baik di masa lalu, masa kini atau masa mendatang. Dalam Fi Z}ila>l al-Qur’a>n, Qut}b menulis: Dan ja> h iliyya bukan sebuah periode sejarah; tapi ia adalah suatu keadaan yang muncul kapanpun konstituennya hadir dalam sebuah situasi atau sistem ... inti dari [konstituen] ini adalah pilihan dalam berhukum dan berlegislasi menurut nafsu manusia, dan bukan menurut jalan Allah dan undang-undang-Nya dalam kehidupan.60
“Korespondensi” antara kedua jenis ja>hiliyyah ini, menurut Qut}b, berarti hidup dalam landasan sistem manusia; dan karena itu, solusi satu-satunya atas situasi ini adalah kembali kepada sistem 56 Penulis meminjam istilah ini dari karya James Barr “The Bible as a Political Document” dalam karyanya, Explorations in Theology 7: The Scope and Anuthority of the Bible (London: SCM Press, 1980), h. 91-110. 57 Lihat Barr, “The Bible as a Political Document,” h. 94. 58 Clodovis Boff menyebut metode ini “correspondence of relationships” seperti dikutip oleh Tim Gorringe dalam karyanya “Political Readings of Scripture,” dalam The Cambridge Companion to Biblical Interpretation, h. 74. 59 Lihat diskusi tentang ja>hiliyyah dan perkembangan maknanya dalam William E. Shepard, “Age of Ignorance,” Encyclopaedia of the Qur’a>n, volume 1 (Leiden: Brill, 2001), h. 37-40, dan Shepard, “Sayyid Qut}b’s Doctrine of Ja>hiliyya,” International Journal of Middle East 35 (2003), h. 521-545. 60 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15, 2:891.
Vol. 7, No. 1, April 2011
84
Yusuf Rahman
dan hukum Allah. Penulis menyebut tipe penafsiran ini, mengikuti analisa Tim Gorringe dalam penafsiran Bibel, adalah “penafsiran politik al-Qur’a>n.” Penafsiran politik Qut}b terhadap al-Qur’a>n diperkuat lagi dengan konsep h}a>kimiyyah – yaitu berhukum berdasarkan sistem Allah –, yang merupakan lawan dari konsep ja>hiliyyah, berhukum kepada sistem manusia. Akidah ini didasarkan pada pemahaman Qut}b terhadap ayat al-Qur’a>n wa man lam yah}kum bi-ma> anzala lLa>hu fa-’ula>’ika humu l-ka>firu>n (Q.S. 5: 44), wa man lam yah}kum bima> anzala l-La> h u fa-’ula> ’ ika humu l-z} a > l imu> n (Q.S. 5: 45), wa man lam yah} kum bi-ma> anzala l-La>hu fa-’ula> ’ika humu l-fa> siqu> n (Q.S. 5: 47). Yang menarik adalah Qut}b menafsirkan ayat-ayat ini berarti siapapun yang tidak “memerintah” (to govern, to rule) berdasarkan pada apa yang telah diturunkan Allah.61 Padahal, kalau dilihat konteks dan muna>sabah ayat serta asba>b nuzu>l-nya, ayat ini tidak berkaitan dengan pemerintahan. Terjemahan Al Qur’an dan Terjemahnya, misalnya, menerjemahkan ayat ini dengan “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah ...” 62 Dengan demikian, ia menerjemahkan kata yah} k umu dengan “memutuskan” bukan “memerintah” seperti yang ditafsirkan Qut}b. Dan terjemahan ini sesuai dengan asba>b al-nuzu>l ayat ini yang memang mengisahkan tentang bagaimana Nabi Muh}ammad memutuskan perkara orang Yahudi yang melakukan zina dengan putusan rajam.63 Namun, tafsiran Qut} b terhadap ayat h} a > k imiyyah ini, dan membawanya ke ranah politik dan pemerintahan, akhirnya telah banyak mempengaruhi kelompok radikal di Mesir dan juga di tempat yang lain. Para pembela pendirian Negara Islam selalu merujuk kepada ayat ini, dan menentang bentuk pemerintahan yang tidak berdasar pada sistem Allah. Bahkan atas dasar pengaruh penafsiran politik ini, Presiden Mesir Anwar Sadat pada tahun 1981 dibunuh kelompok al-Jiha>d karena dianggap tidak memerintah berdasarkan 61 Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15. Lihat juga Shahrough Akhavi, “Qut}b, Sayyid,” The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, ed. John L. Esposito (New York: Oxford University Press, 1995), vol. 3, h. 402. 62 Khadim al-Haramain al-Syarifain, Al Qur’an dan Terjemahnya, h. 167-168. 63 Al-Wa>h}idi> al-Ni>sa>bu>ri>, Asba>b Nuzu>l al-Qur’a>n (al-Mans}u>rah: Maktabat al-I>ma>n, 1996), h. 133.
Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi
85
pada hukum Allah,64 padahal Mesir disebut sebagai negara Islam. Qut}b dan para pendukungnya berpendapat bahwa sebagai pemimpin dan pemerintah negara Islam, ia harus “memerintah” dengan sistem Islam. Dan ketika pemerintahan Islami itu tidak terwujud, maka ia berhak untuk dihukum.
Penutup Artikel ini telah berusaha untuk menunjukkan bahwa pendekatan sastrawi terhadap al-Qur’a>n yang dilakukan Sayyid Qut}b telah mengalami beberapa perkembangan. Jika pada awalnya ia melihat bahwa ¾ (tsalatsat arba>‘) dari al-Qur’a>n merupakan karya sastra dan dengan demikian pendekatan sastrawi merupakan pendekatan yang lebih baik untuk memahaminya, maka pada karyanya yang kemudian ia menyatakan al-Qur’a>n sebagai kita>b da‘wah dan pedoman politik, dan semua bentuk penafsiran -termasuk penafsiran sastrawi- ditujukan untuk menerapkan pedoman ini dalam kehidupan riil. Pergeseran dan perubahan cara pandang terhadap al-Qur’an ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan cara sikap Qut}b dari seorang Muslim “sekuleris” menjadi Muslim “ideologis”, dan bahkan di akhir hidupnya ia merupakan seorang teoretikus ideologi Islamis.[]
Daftar Pustaka ‘Abduh, Muh}ammad. Tafsi>r al-Mana>r. Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-‘A>mmah li al-Kita>b, 1972. Abu> Zayd, Nas}r H}a>mid. Mafhu>m al-Nas}s} : Dira>sah fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: al-Markaz al-Tsaqa>fi al-‘Arabi>, 1998. _______, Naqd al-Khit}a>b al-Dini. Kairo: Si>na> li al-Nasyr, 1992. Akhavi, Shahrough. “Qut}b, Sayyid.” The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. Ed. John L. Esposito/ New York: Oxford University Press, 1995. Vol. 3. Barr , James. “The Bible as a Political Document.” Dalam James Barr. Explorations in Theology 7: The Scope and Anuthority of the Bible. 64 Lihat Akhavi, “Qut}b, Sayyid,” h. 403, Shepard, “Sayyid Qut}b’s Doctrine of Ja>hiliyya,” h. 535.
Vol. 7, No. 1, April 2011
86
Yusuf Rahman
London: SCM Press, 1980. Binder, Leonard. Islamic Liberalism. Chicago: University of Chicago Press, 1988. Boullata, Issa J. “Sayyid Qut}b’s Literary Appreciation.” Dalam Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’a>n. Dalam Issa J. Boullata. Richmond, Surrey: Curzon Press, 2000. Bultmann, Rudolf. “Is Exegesis without Presuppositions Possible?” Diseleksi, diterjemahkan dan diberi kata pendahuluan oleh Schubart M. Ogden. Existence and Faith: Shorter Writings of Rudolf Bultmann. Cetakan ke-5. Cleveland and New York: The World Publishing Company, 1966. _______, “The Problem of Hermeneutics.” Dalam Bultmann. Essays Philosophical and Theological. London: SCM Press Ltd., 1955. Calder, Norman.”Tafsi>r from T}abari> to Ibn Kathir: Problems in the Description of a genre, illustrated with Reference to the Story of Abraham.” Dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kadir A. Shareef (eds.). Approaches to the Qur’a> n . London dan New York: Routledge, 1993. Calvert, John. “Qur’a>nic Aesthetics in the Thought of Sayyid Qut}b.” Religious Studies and Theology 15, 2-3 (Desember 1996). Carré, Olivier. “‘A L’Ombre du Coran’ Revisité: Les lendemains possibles de la pensée de Sayyid Qut}b et du ‘Qut}bisme’.” Arabica 48 (2001). _______, “Eléments de la ‘aqida de Sayyid Qut}b dans Fi> z}ila>l alqur’a>n.” Studia Islamica 91 (2000). Gorringe, Tim. “Political Readings of Scripture.” Dalam The Cambridge Companion to Biblical Interpretation, 74. Kasymi>ri>, Sayyid Basyi>r Ahmad. ‘Abqari> al-Isla>m Sayyid Qut}b: alAdi> b al-‘Ima> q wa al-Mujaddid al-Mulham fi> D} aw’ A>tsa> rih wa Inja>za>tih al-Adabiyyah. Kairo: Da>r al-Fadhi>lah, 1994. Al-Khabba> s y, ‘Abdulla> h ‘Awadh. Sayyid Qut} b al-Adi> b al-Na> q id. Yordania: Maktabat al-Mana>r, t.t. [1983?]). Al-Khu>li>, Ami>n. Mana>hij al-Tajdi>d fi> al-Nah}w wa al-Bala>ghah wa alTafsi>r wa al-Adab. Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-‘A>mmah li al-Kita>b, 1995.
Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi
87
Mahfu>z}, Najib. “Review terhadap al-Tas}wi>r al-Fanni>.” al-Risa>lah 616 (23 April 1945). Musallam, Adnan A. “The Formative Stages of Sayyid Qut} b ’s Intellectual Career and His Emergence as an Islamic Da>‘iyah, 1906-1952.” Disertasi, the University of Michigan, 1983. Nettler, Ronald. “A Modern Islamic Confession of Faith and Conception of Religion: Sayyid Qut}b’s Introduction to the Tafsir, Fi Z}ila>l al-Qur’a>n.” British Journal of Middle Eastern Studies 21, 1 (1994). al-Ni> s a> b u> r i> , Al-Wa> h } i di> . Asba> b Nuzu> l al-Qur’a> n . al-Mans} u > r ah: Maktabat al-I>ma>n, 1996. Qut}b, Sayyid. “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m.” al-Muqtat}af 94, 2 (1 Februari 1939), 206-207. al-Risa>lah 620 (21 Mei 1945), 527 dan al-Risa>lah 620, 621 (28 Mei 1945). _______, “Maba>h}its ‘an al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n.” al-Risa>lah 620 (21 Mei 1945). _______, al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah fi> al-Isla>m. Edisi ke-3. Kairo: Da>r al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1952 John B. Hardie dalam Sayed Kotb, Social Justice in Islam (New York: Octagon Books, 1970). _______, Masya> hid al-Qiya> mah (1981) _______, al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n. Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1994. Cetakan kesebelas. _______, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n. Edisi ke-15. Beirut: Da>r al-Syuru>q, 1988. Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15. _______, Fi> Z} i la> l al-Qur’a> n . Kairo: Da> r al-Ihya> ’ al-Kutub al‘Arabiyyah, 1953. Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi pertama. _______, “Baqiyyah fi> al-Ma‘a> n i> wa al-Z} i la> l .” al-Risa> l ah 583 (4 September 1944). _______, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m.” al-Muqtat}af 94, 3 (1 Maret 1939). _______, “al-Ma‘a>ni> wa al-Z}ila>l.” al-Risa>lah 581 (21 Agustus 1944). _______, “al-Tana>suq al-Fanni> fi> Tas}wi>r al-Qur’a>n.” al-Risa>lah 611 (19 Maret 1945). _______, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m.” al-Muqtat}af 94, 2 (1 Februari 1939). Vol. 7, No. 1, April 2011
88
Yusuf Rahman
_______, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n,” al-Risa>lah 601 (8 Januari 1945). _______, al-Naqd al-Adabi>: Us}u>luh wa Mana>hijuh. Edisi ketiga. Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1960. Rahman, Yusuf. “Al-Qur’a>n sebagai Teks Sastra: Penafsiran Sastrawi terhadap al-Qur’a>n.” Dalam proses penerbitan. _______, “al-Tafsi> al-Adabi> fi> al-Qur’a>n: a Study of Ami>n al-Khu>li>’s and Muhammad Khalaf Alla> h ’s Literary Approach to the Qur’a>n.” Mimbar Agama & Budaya, XIX, 2 (2002). _______, “Islamist Thinkers vis a vis Muslim Liberal Thinkers: Responses of Egyptian Islamists to Nashr H}a>mid Abu> Zayd.” Jauhar: Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual 3, 1 (2002). Shepard, William E. “Age of Ignorance.” Encyclopaedia of the Qur’a>n. Volume 1. Leiden: Brill, 2001. _______, “Sayyid Qut}b’s Doctrine of Ja>hiliyya.” International Journal of Middle East 35 (2003). _______, Sayyid Qut}b and Islamic Activism. Leiden: E.J. Brill, 1996. Stanton, Graham N. “Presuppositions in New Testament Criticism.” Dalam I. Howard Marshall (ed.). New Testament Interpretation: Essays on Principles and Methods. Exeter: The Paternoster Press, 1977. al-Subki> , ‘Abdullat} i > f . “Review terhadap al-Tas} w i> r al-Fanni> . ” alRisa>lah 620 (21 Mei 1945). Syahnan, Mhd. “A Study of Sayyid Qut}b’s Qur’a>n Exegesis in Earlier and Later Editions of His Fi> Z} i la> l al-Qur’a> n With Special Reference to Selected Themes.” Tesis Magister, McGill University, 1997. Tsi>ska>, Kristiya>n (Christian Szyska). “H}awla Mafhu>m ‘al-Adab alMultazim’ ‘inda Udaba>’ al-H}araka>t al-Isla>miyyah.” al-Karmil (Abh}a >ts fi> al-Lughah wa al-Adab) 20 (1999). Wansbrough, J. Quranic studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation. Oxford: Oxford University Press, 1977.
Jurnal TSAQAFAH
Kajian atas Pemikiran John Wansbrough tentang Al-Qur’an dan Nabi Muhammad Muhammad Alfatih Suryadilaga Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Email:
[email protected]
Abstract The study of Islam among Western thinkers seems not monolithic. In the real of orientalists who use historical analysis to respond Islam with a negative value, such as regarding Islam none more than a Christian heresy. Meanwhile, a positive understanding toward Islam has done by some Islamolog, such as W. Montgomery Watt. The differences are more based on their worldview, phenomenological approach, and interpretations. Then, other understanding of Islam according to sociologists, secularists, humanists, and Western modernists. This article discusses the views of John Wansbrough toward al-Qur’an and the Prophet Muhammad. The study focused on the work of John Wansbrough, entitled “Qur’anic Studies Source and Methods of Scriptural Interpretation”. There are three issues raised in this article: Wansbrough’s view on Al-Qur’an, Muhammad prophethood, and Isra’ (nocturnal journey). Regarding to Al-Qur’an, Wansbrough sees that Al-Qur’an has influenced by Jews and Christian, it is a fusion of tradition, and even it is the creation of the post-prophetic. Therefore, the criticism from other thinkers, such as orientalists as well as coming from Muslims themselves also received a sufficient portion. There are two methods utilized by Wansbrough, historical method and literary analysis. He used historical approach to study the contents of al-Qur’an, and literary analysis to analyze the revealed stories in the Qur’an.
Keywords: tradisi, skeptisisme, historis, orientalis, islamologi
* Jurusan Tafsir Hadis Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Jl. Laksda Adisucipto Yogyakarta Telp./fax. 0274-512156
Vol. 7, No. 1, April 2011
90
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Pendahuluan
K
ehadiran agama Islam tidak terlepas dari diutusnya Nabi Muhammad saw. Bagi umat Islam, Nabi Muhammad saw. mempunyai peran penting terutama dalam penyebaran ajaran Islam. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad saw. dibekali Tuhan wahyu yang dikenal dengan sebutan al-Qur’an. Ia berfungsi sebagai pedoman pokok bagi semua umat manusia. Al-Qur’an dan kitab-kitab Tuhan lainnya merupakan jalinan utuh di mana semuanya berasal dari risalat yang universal dan identik serta berasal dari sumber yang tunggal.1 Oleh karena itu, umat manusia harus mempercayai semuanya. Adanya hubungan tersebut, Nabi Muhammad saw. mengakui nabi Nuh as., Ibrahim as., Musa as. dan Isa as. serta kitab-kitabnya.2 Fenomena terhadap kajian agama Islam di kalangan pemikir Barat berbeda-beda.3 Di kalangan orientalis yang menggunakan pisau analisis historis lebih banyak menyikapi Islam dengan nilai negatif, misalnya dengan menganggap Islam tak lebih dari bid’ah Kristen.4 Sedangkan pemahaman secara positif lebih banyak dilakukan para Islamolog, misalnya W. Montgomery Watt. Titik pandang yang berbeda tersebut didasari atas perbedaan cara pandang, pendekatan dan interpretasi yang dilakukan. Di sisi lain, terdapat pula pemahaman agama Islam menurut sosiolog, sekularis, humanis dan modernis Barat.5 Atas dasar pemahaman di atas, makalah ini akan mencoba mendeskripsikan Islam dalam konteks Yahudi. Kajian ini difokuskan pada karya John Wansbrough yang berjudul Quranic Studies Source 1
Lihat QS. al-Zuhruf (43): 4, al-Ra’d (13): 39 al-Waqi’ah (56): 78 Lihat QS. al-Syura (42): 15. 3 Islam dijadikan sebagai obyek kajian dikarenakan Islam tidak saja sebagai sumber agama melainkan juga Islam sebagai sumber peradaban dan kekuatan sosial, politik dan kebudayaan yang diperhitungkan. Lihat M. Natsir Mahmud, Studi al-Qur’an dengan Poendekatan Historisisme dan Fenemenologi: Evaluasi terhadap Pandangan Barat tentang alQur’an (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1993), h. 1. 4 R.W. Southern, West View of Islam Interpretasi the Midle Ages (Harvard University Press), h. 38. Lihat juga Anniemarie Schimmel, Desiphering of the Sign of God A Phenemenological Approaches to Islam diterjemahkan oleh Rahmani Astuti dengan judul Rahasia Wajah Suci Ilahi (Cet. I: Bandung: Mizan, 1987), h. 11. 5 Lihat Maryam Jameelah, Islam and Orientalism diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul Islam dan Orientalisme sebuah Kajian Analitik (Cet. I; Jakarata: Rajawali Press, 1994), h. 93-164. Lihat juga Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Cet. VII; Yogyakarta: Rakesarasin, 1996), h. 175-178. 2
Jurnal TSAQAFAH
Kajian atas Pemikiran John Wansbrough tentang Al-Qur’an...
91
and Methods of Scriptural Interpretation. Pembahasan dilakukan dengan mengungkap pemikiran John Wansbrough sebagaimana terdapat dalam bukunya tersebut dan dianalisa dengan menggunakan metode yang digunakannya serta diberikan ulasan yang bersifat komentar atas pemikirannya baik yang mendukung maupun membantahnya.
John Wansbrough dan Kajiannya tentang Nabi Muhammad dan al-Qur’an 1. Setting Historis John Wansbrough John Wansbrough adalah seorang ahli tafsir terkemuka di London. Ia memulai karier akademiknya tahun 1960. Pada saat itu, ia menjadi staf pengajar di Departemen Sejarah di School of Oriental and Africa Studies (SOAS University of London). Kemudian, ia menjadi dosen Bahasa Arab yang berada di naungan Departemen Sastra Timur Dekat. John Wansbrough sempat menjabat direktur di universitas tempat ia bekerja.6 John Wansbrough adalah pemikir produktif terbukti banyak literatur yang ditulisnya. Salah satunya adalah yang sedang dikaji dalam makalah ini yang berjudul Quranic Studies: Source and Methods of Scriptural Interpretation. Buku ini ditulis John Wansbrough dalam kurun 1968 sampai Juli 1972 dan dicetak tahun 1977 di Oxford University Press. Karya lain yang ditulis John Wansbrough adalah “A Note on Arabic Rethoric” dalam Lebende Antike: Symposium fur Rudolf Suhnel, “Arabic Rethoric and Qur’anic Exegesis”, dalam Buletin of the School of Oriental and African Studies, Majas alQur’an: Peripharastic Exegesis, The Sectarian Millieu: Content and Composition of Islamic Salvation History.7 Dari sini nampak bahwa John Wansbrough sangat intens dalam mengkaji al-Qur’an dan yang terkait di dalamnya. Sampai di sini, tidak banyak hal yang ditemukan berkenaan dengan pribadi John Wansbrough dan aktivitas keilmuannya di SOAS University of London, walaupun sudah dilakukan penelusuran lewat internet melalui search engine. 6 Muhammad Nur Kholis Setiawan, Interaksi Sarjana Barat dengan Islam tentang Sejarah Teks al-Qur’an (Yogyakarta: Puslit IAIN Sunan Kalijaga, 1998), h. 20. 7 Ibod., h. 21.
Vol. 7, No. 1, April 2011
92
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Secara umum karya John Wansbrough memberikan kritik yang tajam atas kenabian Muhammad dan al-Qur’an. Kenabian Muhammad dianggap sebagai imitasi (tiruan) dari kenabian Nabi Musa as. yang dikembangkan secara teologis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Arab. al-Qur’an bagi John Wansbrough bukan merupakan sumber biografis Muhammad melainkan sebagai konsep yang disusun sebagai teologi Islam tentang kenabian.8 Oleh karena itu, pemikiran yang dilontarkan John Wansbrough banyak berseberangan dengan pemikir lainnya baik di kalangan orientalis Barat maupun umat Islam pada khususnya. 2. Pemikiran tentang Nabi Muhammad saw. Berdasarkan petunjuk al-Qur’an, kata John Wansbrough dalam keyakinan umat Islam tidak ada perbedaan antara satu nabi dengan lainnya. Akan tetapi umat Islam meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. adalah sayyid al-mursalin. Padahal al-Qur’an mengatakan tidak ada perbedaan di antara para nabi. Misalnya dalam QS. al-Baqarah (2): 285. Dalam hal ini John Wansbrough mengatakan: “of the later doctrinal development with granted the Arabian prophet supperiority (sayyid al-mursalin) over God’s other emmissaries, there is no enequivocal trace in Muslim scripture, indeed such statement As. QS. 2: 285 (simmilary 2: 136; 3: 83) clearly mark the opposit point, namely that among prophet there was no distinction in rank. 9
Sebaliknya, kata John Wansbrough Nabi Muhammad saw. tidak bisa disamakan dengan nabi lainnya, bahkan ia lebih rendah derajatnya dari Musa as. Dalam konteks ini John Wansbrough mengatakan: “... Such as. it is, the scriptal may be enlisted to support the particula position of the Moses in the prophetical hierarchy but hardly that the Muhammad. The paradigm was not only Biblical but Rabbanic. 10
Keunggulan Nabi Musa sering diungkap dalam al-Qur’an, misalnya dalam QS. al-Nisa’ (4): 164 di mana Tuhan berbicara langsung kepada Nabi Musa as., QS. al-A’raf (7): 143 menunjukkan 8 John Wansbrough, Quranic Studies: Source and Methods of Scriptual Interpretation (Oxford: Oxford University Press, 1977), h. 56-57. 9 Ibid., h. 55. 10 Ibid., h. 55-56.
Jurnal TSAQAFAH
Kajian atas Pemikiran John Wansbrough tentang Al-Qur’an...
93
bahwa keadaan Nabi Musa as. ingin melihat Tuhannya, al-Syu’ara’ (26): 10 Tuhan menyeru kepada Musa dengan firmannya dan mukjizat tongkat Nabi Musa as., dalam QS. al-Naml (27): 8-12 dan al-Qasas (28): 30-31. Inilah yang menurut John Wansbrough menunjukkan kelebihan Nabi Musa as. dibanding dengan Nabi Muhammad saw. 11 Selain hal tersebut, John Wansbrough juga meletakkan Nabi Muhammad saw. di bawah nabi-nabi lain semisal Nabi Isa as.12, Nabi Ibrahim as.,13 dan Nabi Adam.14 Berdasarkan pada pendapat John Wansbrough di atas dengan menganalisa adanya persamaan nabi-nabi dalam al-Qur’an dan beberapa keistimewaan Nabi Musa as. akhirnya John Wansbrough berkesimpulan Nabi Muhammad saw. berada di bawah nabi Musa as. dan nabi-nabi lainnya. 3. Pemikirannya tentang al-Qur’an Al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Muhammad saw. menurut John Wansbrough adalah merupakan kepanjangan dari kitab Taurat, seperti pengambilan kata setan dalam al-Qur’an. John Wansbrough mengatakan: “... Qur’anic adaption of the Judae-Christian Satan will not have been a consequence merely of autonamasia, not yet ofan attempt to sparate prophet form poet (from both might be devinely inspirated) but rather of the persuasion that all inspirations requered an intermediarry....” 15
Selanjutnya John Wansbrough mengatakan: “That the logia once collected and canonized might be granted enhanced status as the inimitanble and uncreated world of God would not appear to have been either logical or neccessary. Both qualtes how ever may be seen as reflexes of Rabbanic attitudes toward to Mosaic relevation,possibly adobted and modified of the cource of the Judeo-Muslim polemic.” 16
11
Ibid., h. 56. Nabi Isa lahir dengan kalam dan diperkuat dengan roh Kudus. Lihat QS. al-Nisa’ (4): 191 dan QS. al-Baqarah (2): 253. 13 Ibrahim dijadikan sebagai imam seluruh manusia. Lihat QS. al-Baqarah (2): 124. 14 Keistimewaan Adam as. adalah ia diajarkan nama-nama benda alam semesta oleh Tuhan lihat QS. al-Baqarah (2): 31, penerimaan beberapa kalimat QS. al-Baqarah (2): 37. 15 John Wansbrough, op. cit., h. 61. 16 Ibid., h. 78 12
Vol. 7, No. 1, April 2011
94
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Akan tetapi isi-isi al-Qur’an dinaikkan derajatnya oleh umat Islam menjadi kitab suci yang bernilai mutlak. John Wansbrough lebih jauh mengatakan: “Whatever body of prophetical wisdom might from time to time have been regarded as suplemantary tio the contents af scripture it was with an organized corpus of recognizable logia that mainstream of Islamic theology was concerned and not with a source of connected wisdom for the elect. 17
Yang lebih fatal lagi dengan merujuk pada QS. al-A’raf (7) 71, al-Saffat (31): 156, John Wansbrough memberi arti kata al-Kitab/ Kitabullah yang ada dalam al-Qur’an dengan ketetapan (dorcee), otoritas (autority) atau usulan bukan dengan kitab suci. 18 Atas keengganan untuk menyebut kitab suci tersebut, nampaknya tujuan yang hendak dicapai oleh John Wansbrough adalah melepaskan al-Qur’an dari jalinan yang transendental yaitu wahyu Allah. Oleh karena itu, dimunculkanlah anggapan kata-kata yang disinyalir sebagai tambahan dari Nabi Muhammad saw. John Wansbrough menganggap bahwa kata qul dalam QS. al-An’am (6): 15, al-Ra’d (13): 36 dan al-Ankabut (29): 52, kata tersebut sengaja disisipkan untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah benar wahyu Allah. Keberadaannya justru menjadikan al-Qur’an tidak logis karena tidak sejalan dengan hegomonitas bahasa yang berlebihan.19 Dengan demikian, John Wansbrough menyamakan al-Qur’an dengan karya sastra syair lain yang harus konsisten dalam penggunaan gaya bahasa. 4. Isra’ Nabi Muhammad saw. Berkenaan dengan perjalanan isra’ Nabi Muhammad saw. yang disebut dalam al-Qur’an, John Wansbrough mengungkapkan bahwa informasi dalam al-Qur’an adalah tidak benar. Di dalam QS. al-Isra’ (17): 1 menunjukkan adanya tambahan. Ayat tersebut merupakan ayat yang menjelaskan perjalanan malam Nabi Musa as. dan kemudian dimodifikasi oleh penulis al-Qur’an sehingga seolah-olah Nabi Muhammad saw. sendiri yang melakukan perjalanan malam. Hal ini bertentangan dengan pemahaman atas al-Qur’an sendiri di 17
Ibid., h. 61 Ibid., h. 75-76. 19 Ibid., h. 67-68. 18
Jurnal TSAQAFAH
Kajian atas Pemikiran John Wansbrough tentang Al-Qur’an...
95
mana ayat tersebut menjelaskan perjalanan Nabi Muhammad saw. dari masjid al-h}aram ke masjid al-aqs}a. Ia menunjuk kata asra dalam QS. Taha (20): 77 dan al-Syu’ara’ (26): 52 dengan ﺃﻥ ﺃﺳﺮan asri dan kata
(faasri) dalam QS. al-Dukhkhan (44): 23.
Gagasan tersebut memberi petunjuk bagi John Wansbrough yang berkesimpulan bahwa ayat tersebut ada tambahan yang dilakukan oleh para penulis al-Qur’an dalam konteks Arab. Tambahan tersebut adalah karena masjid al-haram terletak di Makkah. 20 Oleh karena itu, yang otentik adalah subhanallazi . Dengan demikian seolah-olah Nabi Muhammad saw. yang melakukan perjalanan malam. Namun, apa yang diungkapkan oleh John Wansbrough tersebut tidak dapat dibenarkan karena ia mengabaikan dua ayat lain yang menyebut kata (faasri) yang ditujukan kepada Nabi Luth dalam QS. al-Hijr (15): 65 dan QS. Hud (11): 81. Dengan demikian, kata tersebut tidak saja digunakan kepada Nabi Musa as saja, melainkan juga kepada nabi-nabi lain.
ﺍﳌﺴﺠﺪﻣﻦ ﻓﺄﺳﺮ ﺍﻻﻗﺼﺎ ﺍﳊﺮﺍﻡ ﺇﱃ ﺁﻳﺎﺗﻨﺎ ﺑﻌﺒﺪﻩ ﻟﻨﺮﻳﻪ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﺍﻟﺬﻯ ﻣﻦ ﺳﺒﺤﺎﻥ
Analisa Metodologis dan Kritik atas Pemikiran John Wansbrough Berpijak dari pandangan yang diungkapkan oleh John Wansbrough di atas, secara akademisi perlu dibincangkan melalui diskusi-diskusi dan kajian-kajian yang mendalam. Tujuan yang hendak dicapai dari adanya kajian ini adalah mendudukkan kajian secara jernih dan bebas dari bias atau prasangka. 1. Metode Historis dan Literary Analysis Hasil kajian yang dilakukan John Wansbrough dalam menganalisa ayat-ayat al-Qur’an adalah adanya keterpengaruhan YahudiKristen, perpaduan antar tradisi dan al-Qur’an sebagai penciptaan post-profetik. Kajian-kajian tersebut, telah dimuat oleh John Wansbrough dalam bukunya Qur’anic Studies. Dalam melakukan kajiannya, ia menggunakan analisa historis, sebagaimana digunakam oleh para orientalis sebelumnya dan literary analysis. 20
Ibid., h. 67-68.
Vol. 7, No. 1, April 2011
96
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Pendekatan historis dilakukan John Wansbrough dalam kaitannya dengan isi al-Qur’an. Dalam al-Qur’an terdapat adanya kesamaan dengan kitab sebelumnya. Oleh karena itu, John Wansbrough mengatakan al-Qur’an dipengaruhi oleh agama atau tradisi sebelumnya, Yahudi dan Kristen. Andrew Rippin, dalam menganalisa tulisan John Wansbrough mengungkap akan metode ini.21 John Wansbrough memandang dalam sejarah Islam tidak ada catatan sejarah awal Islam, rekaman sejarah Islam baru mulai ada setelah generasi sesudahnya (sahabat).22 Tesis ini dapat dilihat dalam contoh yang di kemukakan di atas, cerita isra’ (exodus) Nabi Muhammad saw. yang dianggap sebagai tambahan belaka pada zaman sesudahnya dan yang terjadi sebenarnya terhadap Nabi Musa as. Tesis yang dikemukakan John Wansbrough di atas juga senada apa yang diungkap oleh Gustav Weil. 23 Weil beranggapan ayat tersebut bertentangan dengan keyakinan di kalangan umat Islam bahwa Nabi Muhammad saw. hanyalah seorang rasul biasa dan bukan pembuat mukjizat. Ia beranggapan peristiwa ini hanyalah ilusi belaka. Menurut John Wansbrough sadar atau tidak kemungkinan memberlakukan al-Qur’an, seperti agama Yahudi dan Kristen dalam konteks historis. Senada dengan hal tersebut, Andrew Rippin mengatakan: “Wether out of teological of merely uncussiously modern scolarship has approaced Islam in the same way that it has traditionaly treted Judaism and Cristianity as religion of history that is as a relegion that has a taken history”. 24
Dilihat dari dasar metodologisnya, John Wansbrough di dalam tulisannya mengajukan pertanyaan yang penting sekali dan tidak 21 Lihat Andrew Rippin, “Literary of al-Qur’an and Sira the Methodology of John Wansbrough” dalam Richard C. Martin, Aproaches to Religious Studies (USA: The Univeresity of Arizona Press, 1985), h. 151-163. Ia adalah seorang guru besar pada studi keagamaan Universitas Calgray, Canada. Ia Gelar Ph.D diraihnya di McGill University dengan mempertahankan disertasi yang berjudul Asbab al-Nuzul. Lihat Muhammad Nur Kholis Setiawan, Op. cit., h. 35. 22 Ibid., h. 154-156. 23 Lihat Taufik Adnan Amal, al-Qur’an di Mata Barat Kajian Baru John Wansbrough dalam Ulum al-Qur’an Jurnal Ilmu dan Kebudayaan No. 4, Vol 1 tahun 1990/1410 H., h. 39. 24 Lihat Andrew Rippin, “Literary op. cit. h. 156.
Jurnal TSAQAFAH
Kajian atas Pemikiran John Wansbrough tentang Al-Qur’an...
97
bisa dipergunakan dalam studi Islam, yaitu what is evidence? 25 Mengenai evidensi tersebut Andrew Rippin mengatakan: “Do we have witness to the Muslim accounts of the formation of their own community in any early, diintersed sourced? the Qur’an (in the from collected “between two covere” as al-Qur’an known today) Islam good example what is the evidence. Are there for the historical accurancy of the tradition accounts of the comilation of that book shortly after the death of Muhammad? The earliest non Islamic source tasfying to the existence of the Qur’an appear to stem from the scon/eight century...” 26
Pendekatan yang dilakukan oleh John Wansbrough lebih jauh ungkap Rippin adalah skeptisisme, ketika menjawab pertanyaan yang diajukan mengenai ketidakpercayaan atas sumber-sumber Islam. pandangan ini sama dengan John Burton yang memandang bahwa ada kontradiksi dalam sumber muslim tentang pengumpulan al-Qur’an. 27 Berbeda dengan pandangan yang telah berkembang di Barat dan keyakinan Umat Islam bahwa al-Qur’an telah dikumpulkan pada masa Khalifah Usman ibn Affan.28 John Wansbrough menegasikan akan upaya Usman tersebut dan mengatakan hal itu hanyalah ilusi atau fiksi belaka. Pendekatan historis dalam kajian keislaman menimbulkan nilai yang berbeda tergantung bidang apa yang dikaji. Metode ini memiliki kelemahan di mana menampakkan sisi luar dari fenomena keagamaan yang dikaji dan tidak mampu mengungkapkan makna yang esensial dan substansial. Kekurangan tersebut sering juga didukung oleh tidak tersedianya sumber kajian yang lengkap dan sumber yang salah. Dengan demikian, kritik sejarah yang dilakukan dalam alQur’an menampilkan sosok al-Qur’an sebagai sesuatu yang historis dan non historis. Al-Qur’an dikatakan historis karena ia merupakan jalinan kesinambungan wahyu Tuhan sebelumnya dengan adanya penyesuaian waktu dan tempat serta kondisi. Tampaknya dari sisi ini Muhammad Abduh menjadi justifikasi pandangan ini ketika 25
Ibid., h. 154. Ibid. 27 Ibid., h. 152. 28 Lihar W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Quran (Edinburg: Edinburg University Press, 1970), h. 44. 26
Vol. 7, No. 1, April 2011
98
Muhammad Alfatih Suryadilaga
mengemukakan teori evolusi wahyu di mana wahyu Allah sesuai dengan taraf kemajuan umat manusia dan kesempurnaannya adalah wahyu Nabi Muhammad saw.29 Oleh karena itu, tidak heran kalau dalam al-Qur’an ada kesamaan dengan kitab-kitab sebelumnya, bukan berarti ini peniruan atau Nabi Muhammad saw. mengkaji kitab-kitab sebelumnya kemudian baru menjiplaknya. Sedangkan kajian al-Qur’an dalam bingkai non historis mendapatkan hasil eseni wahyu yang berada di luar sejarah dan bersumber dari Tuhan. Tuhan dalam hal ini berdasarkan kehendaknya dapat memilih seorang rasul yang dipercayai untuk menyampaikan tugas suci-Nya. Adanya perbedaan pandangan tersebut disebabkan penggunaan Biblical criticism. John Wansbrough menolak mushaf Usmani, ia mengundurkan penulisan al-Qur’an selama tiga ratus tahun kemudian. Hal ini diidentikkan dengan kodifikasi perjanjain Lama yang ditulis selama 900 tahun yang diambil dari tradisi lisan. Inilah tesis lain dari yang diungkapkan John Wansbrough selain adanya perpaduan tradisi Yahudi dan Kristen dalam al-Qur’an. Untuk membuktikan tesis adanya perpaduan tradisi, John Wansbrough berupaya mengkritisi ayat-ayat al-Qur ’an yang berkenaan dengan kisah Nabi Syu’aib yang terdapat dalam QS. alA’raf (7): 85-93, Hud (11): 84-95, dan al-Syu’ara’ (26): 176-190. Dalam ketiga surat tersebut terdapat adanya perbedaan-perbedaan dalam penyajian ceritanya. Hanya pada QS. al-A’raf yang dianggap lengkap oleh John Wansbrough. Sebaliknya, dalam QS. al-Syu’ara’ didapat cerita yang kurang lengkap.30 Adanya perbedaan demikian, John Wansbrough berkesimpulan adanya campur tangan dari tradisi sebelumnya, di mana al-Qur’an menjiplak tradisi dan motif yang ada dalam Bibel. Tesis lain yang diungkap John Wansbrough adalah ungkapan surga (jannatani) dalam QS. al-Rahman (55): 46-61 dan 6277. 31 Dari apa yang diungkap John Wansbrough di atas, nampak adanya penggunaan analisa literal dalam memahami al-Qur’an. AlQur’an dianggap sebagai karya sastra dan bukan mempunyai nilai transenden. Oleh karena itu, al-Qur’an dianggap sebagai buku-buku biasa yang seseorang dengan bebas dapat memberikan penilaian dan 29
Lihat Muhammad Abduh, Risalat al-Tauhid (Mesir: Al-Manar, 1955), h. 107. Lihat Taufik Adnan Amal, al-Qur’an di.. op. cit., h. 40. 31 Ibid., h. 41. 30
Jurnal TSAQAFAH
Kajian atas Pemikiran John Wansbrough tentang Al-Qur’an...
99
apalagi John Wansbrough tidak memiliki keterikatan teologis dalam mempercayai al-Qur’an sebagai kitab suci. Adapun metode literary analysis diterapkan John Wansbrough dalam menganalisa cerita-cerita yang diungkapkan dalam al-Qur’an. Baginya, adanya perbedaan cerita dalam al-Qur’an menunjukkan adanya perpaduan tradisi di dalamnya. Uraian lebih lanjut terhadap masalah ini dapat dilihat dalam beberapa penjelasan di bawahnya. Dari pembahasan di atas tampak bahwa metode yang digunakan dalam mengkaji al-Qur’an akan menghasilkan hasil yang berbeda pula. Oleh karena itu, dalam pembahasan berikutnya akan dibahas adanya metodologi yang dapat menjernihkan dan meninggalkan prasangka dalam mengkaji sesuatu. 2. Kritik Sarjana Barat dan Muslim Pemikiran John Wansbrough telah menimbulkan berbagai kritik. Kritik tidak saja berasal dari sarjana Muslim melainkan juga sarjana Barat. Titik tekan kritik yang menjadi bahan adalah berkenaan dengan prasangka dogmatik dan metode yang digunakannya. Pendapat John Wansbrough di atas dikritik oleh Watt dengan mengatakan bahwa asumsi yang dilakukan adalah meragukan walaupun kajiannya dilakukan secara ilmiah. Penyanggah lain adalah Bucaille, ia menyetarakan penulisan Bibel dengan Hadis.32 Sedangkan al-Qur’an tidak dapat disangkal keotentikannya dan telah ada dan ditulis sejak zaman Nabi Muhammad saw. dan dikumpulkan oleh sahabat-sahabat di masa nabi hidup. Apakah dapat dibuktikan adanya ketergantungan agama Islam dengan agama Yahudi dan Kristen? Fazlur Rahman dalam hal ini mengungkapkan bahwa all relegions are in history. Ini berlaku juga pada Yahudi, Kristen dan Islam. Walaupun ketiganya berasal dari Tuhan, namun Tuhan telah mengintervensi dalam kesejarahan untuk kepentingan umat manusia. 33 Oleh karena itu, kajian ini perlu dilakukan agar distinct and clear dalam memahami al-Qur’an dan kenabian Muhammad. 32
M. Natsir Mahmud, op. cit., h. 297-298. Fazlur Rahman, “Historical versus Literary Criticism pp, 198-202” dalam Issa J. Boullata (ed), An Anthology of Islamic Studies (Canada: McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992), part 1 the origin tulisan terakhir, no. 7. 33
Vol. 7, No. 1, April 2011
100 Muhammad Alfatih Suryadilaga Dalam hal ini harus ditelusuri sejarah kedua agama tersebut di daerah Arab.34 Pada prinsipnya yang terpenting agama Yahudi masuk wilayah selatan Arab ketika pedagang masuk daerah tersebut. Sedangkan agama Kristen sudah ada sejak tahun 3 M. dengan pusat pengaruh di Hira’, Syiria, dan Yaman Selatan. Adapun di Makkah, agama tersebut dianut oleh individu bukan secara kelompok (kabilah).35 Sebelum Islam datang umat Islam menganggap agama yang dipeluk penduduk Arab dengan sebutan Jahiliyah, pada waktu itu kepercayaannya kepada berhala. Kaitannya dengan hal di atas, Islam atau al-Qur’an mempunyai jalinan yang erat dengan agama sebelumnya yang mempunyai latar belakang historis. Fazlur Rahman mengungkapkan untuk mendapat latar belakang historis harus dicari dalam tradisi Arab sendiri bukan pada tradisi Yahudi atau Kristen. 36 Dari hal ini nampak bahwa alQur’an tetap transenden tapi disesuaikan dengan masyarakat waktu itu dan mempunyai segi universal. Adanya keterpengaruhan ajaran Islam dengan agama sebelumnya dan adakah Islam berdiri sendiri walaupun ia berasal dari Yahudi dan Kristen telah banyak dikaji oleh para orientalis.37 Mereka ini bersemangat untuk membuktikan secara geneologis Islam berasal dari agama sebelumnya. Menurut Fazlur Rahman yang terpenting bukanlah orisinalitas Islam melainkan persepsi Muhammad mengenai dirinya sendiri dan misinya yang berhubungan erat dengan nabi-nabi sebelumnya dan agama-agama mereka serta kaum mereka.38 Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang mengungkapkan adanya kitab-kitab sebelum al-Qur’an adalah dari Allah dan bahkan nabinabi yang menyampaikan adalah nabi Allah.39 Sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan interpretasi digunakan juga pendekatan fenomenologis.40 Dalam kajian keagama34
Tentang situasi yang dihadap masyarakat muslim di Makkah. Lihat Fazlur Rahman, The Major Themes of the Quran diterjemahkan oleh Anas Mahyudin dengan judul Tema Pokok al-Qur’an (Cet. I; Bandung: Pustaka, 1985), h. 261-232. 35 Ibid., h. 235-238. 36 Lihat Fazlur Rahman, Ápproach to Islam in Religious Studies” dalam Richard C. Martin, Aproaches to Religious Studies (USA: The Univeresity of Arizona Press, 1985), h. 202. 37 Lihat Fazlur Rahman, The Major Themes.... op. cit., h. 233-234. 38 Ibid., h. 234. 39 Ibid., h. 234-235. 40 Lihat M. Natsir Mahmud, Fenemenologi dan Aplikasinya dalam Studi Agama dalam Uswah No. 8 tahun 1996, h. 64-65.
Jurnal TSAQAFAH
Kajian atas Pemikiran John Wansbrough tentang Al-Qur’an...
101
an merupakan suatu tuntutan dengan prinsip memahami agama orang lain sebagaimana yang dipahami oleh pemeluknya. Upaya ini dipergunakan dengan tujuan mendapatkan esensi agama secara holistik dan totalitas. Kajian secara fenomenologis ada dua trend besar yaitu fenomenologi esensial dan konkrit.41 Jika dihubungkan dengan kajian keislaman, keduanya akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Pandangan yang pertama menghasilkan monisme Islam dan pemahaman yang kedua menghasilkan pluralisme Islam.42 Namun dalam kajian fenomenologis juga dapat menyebabkan kesimpulan yang salah. Penyebab kesalahannya adalah tidak menggunakan data yang relevan dan minimnya sumber yang ada. Di samping itu, ada atau tidaknya bias individu dalam melakukan interpretasi.43 Untuk mengadakan pendekatan secara utuh fenomenologis perlu dibantu pendekatan historis. Upaya ini banyak dilakukan oleh pemikir Barat seperti W. Montgomery Watt. Pemahaman yang demikian lebih bisa diterima oleh umat Islam yang juga dilengkapi dengan pendekatan realisme metafisis. Dalam kajiannya yang tetap mengakui adanya realitas yang metafisis dan otonom serta obyektif. Dari sinilah kemudian memunculkan institusi dan ilmu pengetahuan. Jika dihubungkan dengan al-Qur’an maka realisme-metafisis memandang kebenaran itu tunggal. Dengan demikian, kitab samawi yang diturunkan Tuhan dalah tunggal yang berintikan ajaran tauhid, ketaatan manusia kepadanya adalah muslim. Adanya perbedaan kitab-kitab suci adalah disebabkan oleh penyesuaian dengan kondisi masyarakat dan al-Qur’an sebagai kitab samawi terakhir adalah kitab paling sempurna dari kitab sebelumnya. Di samping beberapa kritik di atas, juga didapatkan beberapa kritik lain terutama ketika magnum opus-nya diterbitkan, buku itu tidak lepas dari adanya kritik. Salah satunya adalah Issa J. Boullata. Ia mengkritik John Wansbrough di saat meresensi buku tersebut. Ia mempertanyakan keabsahan metode yang dipakainya.44 Boullata menyangsikan metode from criticism dan redaction criticsm dalam menganalisa al-Qur’an. Apa yang dilakukan John Wansbrough adalah seleksi bukan merupakan suatu representasi. 41
Ibid., h. 65-66. Ibid., h. 167-168. 43 M. Natsir Mahmud, al-Qur’an... op. cit., h. 23. 44 Lihat Taufik Adnan Amal, al-Qur’an ... op. cit., h. 43. 42
Vol. 7, No. 1, April 2011
102 Muhammad Alfatih Suryadilaga Selain itu masih banyak yang menilai negatif karya John Wansbrough. Kendati demikian, ada peneliti yang memberikan acungan jempol atas metode yang dipakai John Wansbrough terutama berkaitan erat dengan dimensi aksiologisnya dalam wacana keilmuan. Pendapat ini diungkapkan oleh Joseph van Ess.45 Dukungan lain juga dapat dikemukakan oleh Patricia Crone dan Michael Cooks dalam Hagarism: the Making of the Islamic World.46 Dalam karya tersebut dijelaskan kebenaran atas metode yang dipakai John Wansbrough dan sekaligus dipakainya dalam melakukan studi lebih lanjut. Senada dengan Crone dan Cooks, A.H. Johns mencoba menerapkan metode John Wansbrough dalam beberapa kajian tafsir, terutama ketika ia membahas tafsir al-Razi dalam menafsirkan kisahkisah Nabi Ibrahim as. dan tamu-tamunya dalam al-Qur’an. 47 Demikian juga Andrew Rippin yang mendukung dalam kajian keislaman yang berkaitan erat dengan al-Qur’an, tafsir dan biografi nabi. 48 Di antara sarjana muslim yang memberikan kritikan pedas pada John Wansbrough adalah Fazlur Rahman. Ia memberikan tanggapan dalam empat tulisannya, yaitu: Some Recent Books on the Qur’an by Western Authors, Approaches to Islam in Relegious Studies: Review Essays, Major Themes of the Quran dan Islamic Studies and the Future of Islam. Dalam kajiannya, ia menganggap bahwa kajian John Wansbrough mengancam masa depan orientalisme dan bertentangan dengan prasangka dogmatik kaum muslimin. Cendekiawan asal Pakistan ini berusaha memetakan kecenderungan kajian Barat tentang al-Qur’an dan membaginya menjadi tiga kelompok, karya yang condong kepada penemuan adanya keterpengaruhan Yahudi-Kristen di dalam al-Qur’an, karya yang berupaya menilik ulang kronologi al-Qur’an dan karya yang menggambarkan isi al-Qur’an baik secara keseluruhan maupun sebagian saja. Dari ketiga bentuk ini, Rahman lebih banyak memberikan porsi 45
Ibid. Patricia Crone dan Michael Cook, “Hagarism: the Making of the Islamic World pp. 3-9, 152-161” dalam Issa J. Boullata (ed), An Anthology of Islamic Studies (Canada: McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992), part I no. 5. 47 Lihat QS. al-Zariyat (51): 24-34; al-Hijr (15): 51-60; Hud (11): 69-75, al-Ankabut (29): 31-32. 48 Lihat Taufik Adnan Amal, al-Qur’an di Mata... op. cit., h. 44. 46
Jurnal TSAQAFAH
Kajian atas Pemikiran John Wansbrough tentang Al-Qur’an...
103
pada bentuk pertama di mana kajian John Wansbrough masuk di dalam wilayah ini. Tesis utama yang hendak dibuktikan John Wansbrough adalah al-Qur’an penuh dengan tradisi karena tercipta di dalam suasana yang penuh dengan perdebatan sektarian Yahudi-Kristen, al-Qur’an merupakan perpaduan berbagai tradisi, dan al-Qur’an merupakan karya pasca Nabi Muhammad saw.49 Analisis yang dilakukan John Wansbrough dalam kaitan tesisnya yang kedua dan terakhir menurut Rahman tidak memiliki pijakan yang tegas. Hal ini disebabkan oleh minimnya data historis mengenai asal-usul, karakter, evaluasi dan individu-individu yang terlibat dalam tradisi. Al-Qur’an menurut Rahman hanya dapat dipahami secara kronologis dan antara satu dengan yang lainnya merupakan keutuhan. Dalam memperkuat argumennya Rahman memberikan ilustrasi tentang mukjizat dan komunitas yang berkembang akibat perbedaan waktu. Oleh karena itu, tesis John Wansbrough tersebut dibangun berdasarkan duplikasi dan repetisi dalam al-Qur’an. Fazlur Rahman lebih jauh mengungkapkan beberapa contoh yang mendukung argumentasinya bahwa adanya doktrin pemilihan dan yang tersisa dalam Yahudi yang dianggap John Wansbrough mempengaruhi redaksi final al-Qur’an adalah tidak benar.50 Katakata seperti baqiyah, baqiyah dan baqiyun tidak pernah disebut dalam al-Qur’an. Lebih jauh Rahman mengungkap ayat-ayat yang disinyalir oleh John Wansbrough dengan mengungkap konteksnya, seperti dalam QS.al-Zukhruf (43): 28 yang mengindikasikan ajaran Ibrahim yang tetap terjaga dan terus dijalankan oleh keturunannya. Kritik lain yang dialamatkan Rahman kepada John Wansbrough adalah berkaitan dengan analisa literal yang dipakai John Wansbrough. Wansbrough dalam menganalisa al-Qur ’an melalui literary analysis mampu menghadirkan empat tema pokok tradisi Yahudi. Keempat tradisi tersebut adalah balas jasa, perlambang, pengusiran dan perjanjian. Rahman menyanggah adanya hal itu dalam al-Qur’an. Baginya, hal itu tidak dapat digunakan sebagai bukti adanya pengaruh Yahudi-Kristen dalam al-Qur’an.51 49
Lihat Fazlur Rahman, The Major.... op. cit., h. xii. Lihat Taufik Adnan Amal, al-Qur’an... op. cit., h. 45. 51 Rahman, Approaches... h. 200-201. 50
Vol. 7, No. 1, April 2011
104 Muhammad Alfatih Suryadilaga Di samping berbagai kritik di atas, Rahman juga mengkritik sinyalemen John Wansbrough tentang versi kisah Syu’aib. Bagi Rahman, John Wansbrough tidak menghayati tentang bentuk kisahkisah al-Qur’an. Adanya kisah-kisah yang berbeda itu merupakan suatu i’jaz tersendiri bagi al-Qur’an dan pengulangannya menunjukkan arti tersendiri. Adapun terhadap tesis yang diungkapkan oleh John Wansbrough berkenaan dengan perpaduan tradisi sebagaimana diungkapkannya dalam kisah nabi Syu’aib, sebagaimana diungkapkan di atas terdapat adanya indikasi perbedaan dengan orientalis sebelumnya. Ia meletakkan konteks pemahaman generasi awal (abad pertama dan kedua Hijriyah). Hal ini menimbulkan konsekuensi di mana adanya pengulangan dalam ayat-ayat al-Qur’an dianggap sebagai buatan kaum muslimin dalam setiap generasinya. Sedangkan para pemerhati al-Qur’an sebelumnya meletakkan al-Qur’an dalam koridor sejarah Nabi Muhammad saw. dan isi yang dikandung alQur’an. Sementara dalam kajiannya tentang surga, John Wansbrough mengungkapkan adanya diskursus yang mendalam sebelumnya. Kajian terhadap itu telah dilakukan oleh ulama klasik semisal Zamakhsyari. Apa yang diungkap oleh ulama tersebut mendukung apa yang dikemukakan John Wansbrough. Lahirnya tuduhan yang dilancarkan oleh John Wansbrough tersebut tidak didasari atas pemahaman Islam yang utuh. Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran semacam ini dan yang berkembang banyak di kalangan Barat (orientalis) cenderung menimbulkan berbagai konflik antar agama. Hal ini tidak menunjukkan adanya esensi keagamaan yang digagas dalam metode filsafat, di mana Popper telah memulainya dengan memetakan tiga dunia dalam bingkai epistemologi dan tidak mengandalkan dirinya (agamanya) yang benar, yang lain salah. Atau dalam wacana nasionalisme terkenal dengan slogan right or wrong is my country. Bagi Popper dunia yang paling rawan menimbulkan konflik adalah dunia kedua di mana subyektivitas sangat dominan. Sementara dunia kedua dianggap sebagai dunia obyektif di mana dilihat god it self. Berbeda dengan dunia pertama dan kedua, dunia ketiga dianggap sebagai dunia teori di mana dapat diadakan dialog dan pengujian kembali. Dari sini memungkinkan dicapai adanya persamaan dalam perbedaan. Hal ini juga dapat ditemukan dalam
Jurnal TSAQAFAH
Kajian atas Pemikiran John Wansbrough tentang Al-Qur’an...
105
al-Qur’an yang menunjuk adanya common platform. Gagasan John Wansbrough ini, layak disebut sebagai bom atomnya Yahudi-Kristen atas Islam, sebagaimana terdapat pemikir Islam yang telah membabat habis berbagai ketimpangan Kristen, Yahudi dan agama-agama sebelumnya berkaitan erat dengan nilai ketuhaan, peribadatan dan sebagainya. Sehingga layak juga tulisan Syed Ameer Ali ini dikatakan bom atomnya Islam atas Yahudi. 52 Berbeda dengan perkembangan mutakhir. Usaha pencapaian adanya persamaan dan meminimalisir perbedaan banyak dilakukan oleh pemikir Barat dan Islam. Salah satu sarjana Barat yang amat terkenal dengan upaya dialog antar iman Kristen-Islam adalah Watt.53 Watt berusaha mendialogkan tataran doktrinal terutama berkait erat dengan keesaan Tuhan, kebaikan Tuhan dan hari akhir di antara kedua agama tersebut dengan melalui sikap keterbukaan. Usaha Watt kemudian banyak direspon oleh pemerhati agama Islam lain, terutama yang terkait erat dengan al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw. Di Barat juga tercatat nama Wilfred C. Smith juga punya andil yang besar dalam meletakkan metodologi penelitian agama dalam kajian keislaman dan kajian-kajian lain seperti dialog keagamaan.54 Beberapa penelitian yang dilakukan tersebut mempunyai arti penting bagi perkembangan orientalisme di Barat dan studi oksidentalisme di Timur. Al-Qur’an dalam memberi respon atas adanya berbagai agama sebelumnya adalah dengan mengakui, memberikan koreksi dan mengajarkan toleransi.55 Ajakan al-Qur’an untuk bertoleransi terlihat 52 Lihat kajiannya terutama dalam bagian dua, sebab kajian yang dilakukan pada bagian pertama hanyalah berisi tentang kehidupan dan kebaktian Nabi Muhammad saw. Bagian kedua merupakan inti pokok dari semangat-semangat Islam yang membabat habis keyakinan, paham dan bentuk-bentuk peradaban sebelum Islam. Islam datang dengan menyempurnakannya. Lebih lanjut lihat Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam A History of Evolution and Ideals Islam With a Life of The Prophet (India: Idarah-I Adabiyat-I, 1978). Adapun penilaian atas pemikiran Syed Ameer Ali dapat dilihat dalam H.A.R. Gibb, Modern Trends in Islam diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul Aliran-aliran Modern dalam Islam (Cet. IV; Jakarta: Rajawali Press, 1993), h. 100, 118-119. A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan (Cet. I; Bandung: Mizan, 1993), h. 144-145. Fazlur Rahman, Islam diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad dengan judul Islam (Bandung: Pustaka, 1994), h. 339. 53 Lihat antara lain dalam W. Montgomery Watt, Islam and Christianity Today a Contribution to Dialogue (London: Routletge & Kegan Paul, 1983), h. xiii. 54 Misalnya dalam tulisan W.C. Smith, Comparative Relegion Whither and Why? dalam Mircea Elida dan Yoseph eds, The History of Relegion: Essays and Methodologi (Chicago: University Press). 55 Djam’annuri, Islam dan Pluralisme Agama dalam Jurnal Esensia Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin Vol. 1. No. 1 Januari 2000 Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2000, h. 4
Vol. 7, No. 1, April 2011
106 Muhammad Alfatih Suryadilaga jelas dalam kehidupan masyarakat yang nampak dalam beberapa negara mayoritas berpenduduk muslim dan ini tidak dijumpai manakala umat Islam menjadi minoritas dan tertekan. Kenyataan tersebut dapat dijumpai dalam masyarakat muslim Moro di Filipina yang berusaha melepaskan dari Philipina yang mayoritas beragama Kristen. Demikian juga dikawasan lain seperti Thailand, India dan sebagainya. Tragedi tersebut, nampak juga terjadi di Indonesia, di mana terdapat kecenderungan saling membunuh di antara umat beragama. Sebut saja di Maluku mulai tragedi Ambon, Halmahera dan kejadian mutakhir di Poso Sulawesi Tengah menambah catatan buram adanya pertikaian antar agama. Kejadian-kejadian di atas tentunya tidak sepantasnya terjadi apabila diadakan pemahaman adanya persamaan dalam perbedaan. Kajian-kajian seharusnya diintensifkan agar konflik tidak meluas. Pembahasan tentu tidak hanya dalam perspektif keagamaan saja melainkan juga atas hal-hal lain yang dapat mendukung terjadinya pertikaian dan pembunuhan tersebut. Dengan melihat kajian ini dan mendialogkan akan tercapai pemahaman yang tidak mengarah pada adanya turth claim.
Penutup John Wansbrough adalah salah satu pemerhati al-Qur’an dan kajian yang dilakukan terdapat bias Yahudi-Kristen. Terdapat bukti, bahwa pemikiran yang ditelorkan bertentangan dengan pemerhati al-Qur’an di Barat sendiri dan di sisi lain bertentangan pula dengan keyakinan umat Islam. Tiga tesis yang diajukan John Wansbrough adalah adanya perpaduan berbagai tradisi dan al-Qur’an diciptakan post-profetic. Kajian yang dilakukan John Wansbrough mendapat berbagai kritik dari para pemikir lain, baik sesama orientalis maupun dari umat Islam sendiri. Walaupun demikian, ada juga yang mendukungnya terutama pada metode yang dipakai John Wansbrough dapat diaplikasikan dalam kajian-kajian lain. Kendatipun metodenya dapat dipakai namun, hasil yang dicapai John Wansbrough ditolak. Hal ini diungkapkan oleh Joseph van Ess ketika mengomentari karya John Wansbrough. Sementara, Fazlur Rahman adalah salah satu kritikus muslim yang gencar menyerang pemikiran John Wansbrough. Ia menganggap hasil yang dilakukan tidak memiliki bukti yang tegas
Jurnal TSAQAFAH
Kajian atas Pemikiran John Wansbrough tentang Al-Qur’an...
107
dan bagi Rahman untuk mengetahui al-Qur’an haruslah dicari dalam al-Qur’an sendiri. Kajian yang lebih obyektif dalam memandang al-Qur’an dan Islam diperlukan dengan melalui pendekatan selain historis semisal fenomenologi dan realisme-metafisis. Upaya ini dapat memberikan kesejukan di antara pemeluk agama dengan memperkuat adanya common platform.[]
Daftar Pustaka Abduh, Muhammad. Risalat al-Tauhid. (Mesir: Al-Manar, 1955). Ali, A. Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Cet. I; (Bandung: Mizan, 1993). Ali, Syed Ameer. The Spirit of Islam A History of Evolution and Ideals Islam With a Life of The Prophet. (India: Idarah-I Adabiyat-I, 1978). Amal, Taufik Adann. al-Qur’an di Mata Barat Kajian Baru John Wansbrough dalam Ulum al-Qur’an Jurnal Ilmu dan Kebudayaan No. 4, Vol 1 tahun 1990/1410 H. Crone, Patricia dan Michael Cook, “Hagarism: the Making of the Islamic World” dalam Issa J. Boulatta (ed), An Anthology of Islamic Studies. (Canada: McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992). Djam’annuri, Islam dan Pluralisme Agama dalam Jurnal Esensia Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin Vol. 1. No. 1 Januari 2000. (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2000). Fazlur Rahman, The Major Themes of the Quran diterjemahkan oleh Anas Mahyudin dengan judul Tema Pokok al-Qur’an. Cet. I; (Bandung: Pustaka, 1985). ______, Ápproach to Islam in Religious Studies” dalam Richard C. Martin, Aproaches to Religious Studies. (USA: The Univeresity of Arizona Press, 1985). ______, “Historical versus Literary Criticism pp, 198-202" dalam Issa J. Boullata (ed), An Anthology of Islamic Studies. (Canada: McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992). ______, Islam diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad dengan judul Islam. (Bandung: Pustaka, 1994).
Vol. 7, No. 1, April 2011
108 Muhammad Alfatih Suryadilaga Gibb, H.A.R. Modern Trends in Islam diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul Aliran-aliran Modern dalam Islam. Cet. IV. (Jakarta: Rajawali Press, 19 Ali, 93). Jameelah, Maryam. Islam and Orientalism diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul Islam dan Orientalisme sebuah Kajian Analitik. Cet. I. (Jakarata: Rajawali Press, 1994). Mahmud, M. Natsir. Fenemenologi dan Aplikasinya dalam Studi Agama dalam Uswah No. 8 tahun 1996. ______, Studi al-Qur’an dengan Poendekatan Historisisme dan Fenemenologi: Evaluasi terhadap Pandangan Barat tentang al-Qur’an. (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1993). Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet. VII; (Yogyakarta: Rakesarasin, 1996). Rippin, Andrew. “Literary of al-Qur’an and Sira the Methodology of John Wansbrough” dalam Richard C. Martin, Aproaches to Religious Studies. (USA: The Univeresity of Arizona Press, 1985). Schimmel, Anniemarie. Desiphering of the Sign of God A Phenemenological Approaches to Islam diterjemahkan oleh Rahmani Astuti dengan judul Rahasia Wajah Suci Ilahi. Cet. I: (Bandung: Mizan, 1987). Setiawan, Muhammad Nur Kholis. Interaksi Sarjana Barat dengan Islam tentang Sejarah Teks al-Qur’an. (Yogyakarta: Puslit IAIN Sunan Kalijaga, 1998). Smith, W.C. Comparative Relegion Whither and Why? dalam Mircea Elida dan Yoseph eds, The History of Relegion: Essays and Methodologi. (Chicago: University Press). Southern, R.W. West View of Islam Interpretasi the Midle Ages. (Harvard: University Press). Wansbrough, John. Quranic Studies: Source and Methods of Scriptual Interpretation. (Oxford: Oxford University Press, 1977). Watt, W. Montgomery. Bell’s Introduction to the Quran. (Edinburg: Edinburg University Press, 1970). ______, Islam and Christianity Today a Contribution to Dialogue. (London: Routletge & Kegan Paul, 1983).
Jurnal TSAQAFAH
Epistemologi Penafsiran Ilmiah al-Qur’an Sujiat Zubaidi Saleh Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo email:
[email protected]
Abstract The main objective in interpretating al-Qur’an is to explain the will of God and the operationalization of the will in the field of faith, laws or ethics. At the phase of Islamic civilization, when the linguistic and philosophy science codified, raises the various method (Manhaj), and interpretation streams (ittijahat), exegesis school (madzhab) of Al-Qur’an. In addition, also found in various shades of interpretation such as: fiqhi, kalami, balaghi, and isyari/sufi, even philosophical. It was also discovered methods of tafsir ‘ilmi oriented to the utilization of the discovering science in order to prove the truth of scientific fact. The last pattern was ignited pro and contra among scholars and mufassir. As we know that AlQur’an was not descended in the condition of cultural vacuum but it is a form of dialectics and the response to the condition and social situation, politic and religion. This is relevant to the characteristics of Al-Qur’an, which can be applied throughout the periods. As we understood that interpretation is one of reflections of thought and civilization products. It always developed and influenced by the dynamics of human civilization, so in its development, science and AlQur’an can be brought together in dialogue, although with some prerequisites specified interpretation.
Keywords: tafsir ilmi, i’jaz al-Qur’an, manhaj, ittijah al-tafsir, epistemologi
Pendahuluan
S
ering muncul pelbagai pertanyaan yang terkait dengan hubungan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan, Pertama, apakah dengan mencari keselarasan ilmu pengetahuan dalam
* Program Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, telp. (0352) 488220.
Vol. 7, No. 1, April 2011
110 Sujiat Zubaidi Saleh al-Qur’an, atau sebaliknya termasuk kedudukannya sebagai sumber penafsiran (baca: epistemologi tafsir), mampu mengantarkan pemahaman bagaimana metode dan pendekatan yang digunakan beserta batasannya; Kedua, apakah al-Qur’an dipahami hanya sebagai spirit yang ditujukan kepada manusia untuk mengembangkan pengetahuannya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, juga mengenal Tuhan sebagai pencipta alam semesta dan keajaibankeajaiban di dalamnya; Ketiga, ataukah al-Qur ’an dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dalam keutuhan yang integral sehingga satu sama lainnya seperti dua kawan yang bekerja sama. Perlu digarisbawahi, bahwa al-Qur’an bukanlah kitab ilmiah, sebagaimana kitab-kitab ilmiah yang dikenal saat ini. Salah satu hal yang memberi penguatan terhadap pernyataan tersebut adalah sikap al-Quran yang diajukan oleh sahabat Nabi saat muncul pertanyaan tentang keadaan bulan, “mereka bertanya kepadamu tentang bulan..”. Menurut ayat tersebut, mereka bertanya, mengapa bulan sabit itu terlihat mulai awal bulan dan muncul setiap malam, sampai terlihat penuh pada bulan purnama, kemudian mengecil dan mengecil hingga menghilang. Uniknya, pertanyaan di atas tidak dijawab alQuran, sebagaimana yang dijelaskan oleh astronom misalnya, melainkan diarahkan pada upaya memahami hikmah dan manfaat darinya.1 “Katakanlah, yang demikian itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji”.
Sejarah dan Konsep Tafsir Ilmi Sejatinya, tujuan utama setiap usaha menafsirkan Al-Qur’an, sejak dahulu hingga kini, adalah menjelaskan kehendak Allah swt dan operasionalisasi kehendak itu di bidang akidah dan hukumhukum syar’i yang dikandungnya, serta nilai-nilai etis dan keadaban yang dibawa oleh Al-Qur’an untuk perbaikan dan pembersihan jiwa manusia. Di era puncak keemasan peradaban Islam, ilmu-ilmu bahasa, filsafat dan sains telah dikodifikasi. Begitu juga dengan mazhab-mazhab fikih dan aliran kalam. Perkembangan yang sangat maju dirasakan juga di bidang penerjemahan karya-karya klasik dari peradaban pra-Islam seperti Yunani, Persia, dan India. 1 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), cet. II, h. 165
Jurnal TSAQAFAH
Epistemologi Penafsiran Ilmiah al-Qur’an
111
Pada fase peradaban inilah, muncul pelbagai metode dan aliran tafsir Al-Qur’an. Selain ditemukan corak tafsir yang berorientasi pada beberapa aspek seperti: fiqhi, kalami, balaghi, dan isyari/sufi, bahkan falsafi, maka ditemukan pula metode tafsir ‘ilmi yang berorientasi pada pemanfaatan hasil temuan di bidang sains untuk membuktikan berbagai kebenaran fakta ilmiah yang pernah disebutkan oleh AlQur’an.2 Tokoh-tokoh seperti Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H), Fakhruddin al-Razi (w 606 H), Ibn Abi al-Fadl al-Mursi (570-655 H) adalah representasi pemikir muslim klasik yang menandakan gelombang pertama berupa isyarat keharusan menafsirkan AlQur’an dengan bantuan penemuan sains di zamannya. Tesis penafsiran sains juga diperkuat dalam literatur ‘Ulum Al-Qur’an, terutama dua karya induk yang fenomenal yaitu ‘al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an’ yang disusun oleh Badruddin al-Zarkasyi (w 794 H) dan ‘al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an’ yang ditulis oleh Jalaluddin al-Suyuthi (w 911 H). Maksud dari pada sains di sini adalah ilmu-ilmu pengetahuan tentang alam semesta seperti: ilmu teknik, astronomi, matematika, biologi, kimia, ekonomi-sosial, flora-fauna, geologi dan lain sebagainya. Ada beberapa definisi yang diberikan beberapa pakar tentang tafsir ilmi/saintifik ini, diantaranya: Pertama, definisi yang diajukan oleh Amin al-Khuli adalah: “Tafsir yang memaksakan istilah-istilah keilmuan kontemporer atas redaksi Al-Qur’an, dan berusaha menyimpulkan berbagai ilmu dan pandangan-pandangan filosofis dari redaksi Al-Qur’an itu.”3 Kedua, definisi yang diajukan oleh ‘Abdul Majid ‘Abdul Muhtasib adalah: “Tafsir yang mensubordinasikan redaksi Al-Qur’an ke bawah teori dan istilah-istilah sains-keilmuan dengan mengerahkan segala daya untuk menyimpulkan pelbagai masalah keilmuan dan pandangan filosofis dari redaksi Al-Qur’an itu.”4 Kedua definisi 2 Rasyid Ahmad Sulandari, Qur’anic Exegesis and Classical Tafsir (Islamic Quarterly, 1980), h. 74. Bandingkan dengan Abdul Hayy al-Farmawi dalam Muqaddimah fi al-Tafsir alMaudhu’i, yang dijelaskan dalam empat metode dan 6 tren (ittijah) penafsiran kontemporer, di antaranya adalah tafsir ilmi, yang masuk dalam metode tahili. Fahd bin Abdurrahman AlRumi, dalam Ittijahat al-Tafsir fi al-Qarn al-Rabi’ Asyar al-Hijri, menegaskan bahwa perjalanan metode tafsir telah bergeser dari tekstual ke rasional; dengan munculnya tafsir ilmi yang sangat kuat dan cepat perkembangannya. Dalam ulasannya, Fahd juga menyinggung tentang model tafsir ilmi yang dipandang tidak dapat dijadikan acuan, karena metode yang dipakai tidak valid, hanya berdasar pada trial and error sebagai intellectual exercise sang penafsir saja. 3 Amin al-Khuli, Dirasat Islamiyah, (Kairo: Matba’ah Darul Kutub al-Misriyah, 1996), h. 28-31. Lihat juga karya lainnya, Amin al-Khuli, Eann al-Qaul, (Kairo: Matba’ah Darul Kutub al-Misriyah, 1996), h. 137. 4 ‘Abdul Majid ‘Abdul Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fi al-‘Asr al-Hadits, (Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyah, 1998), h. 247
Vol. 7, No. 1, April 2011
112 Sujiat Zubaidi Saleh di atas tampak mirip, dan dapat kita beri catatan dalam dua hal; Pertama, kedua definisi tersebut mendiskreditkan model tafsir saintifik, sebab memberi kesan bagi orang awam yang membaca definisi itu bahwa corak tafsir itu harus dihindari karena dinilai telah “menundukkan redaksi Al-Qur’an” ke dalam teori-teori sains yang kerap berubah-ubah. Lagi pula sosok Abdul Muhtasib ini dikenal berada di barisan ulama yang kontra dan tak menyetujui corak tafsir ini. Kedua, definisi tersebut tidak mampu menggambarkan konsep sebenarnya yang diinginkan para pendukung tafsir ilmi. Para pendukungnya tak pernah berkeinginan untuk memaksakan istilahistilah keilmuan modern dalam redaksi Al-Qur’an, atau menundukkan redaksi Al-Qur’an itu pada teori-teori sains yang selalu berubah. Oleh sebab itu, kiranya definisi yang lebih cocok untuk corak tafsir ilmi dan sesuai dengan realitas di lapangan adalah: “Tafsir yang berbicara tentang istilah-istilah sains yang terdapat dalam Al-Qur’an dan berusaha sungguh-sungguh untuk menyimpulkan pelbagai ilmu dan pandangan filosofis dari istilah-istilah Al-Qur’an itu.”5 Atau definisi lain yang dapat dikemukakan di sini adalah: “Tafsir yang diupayakan oleh penafsirnya untuk: 1) Memahami redaksi-redaksi Al-Qur’an dalam sinaran kepastian yang dihasilkan oleh sains modern, dan 2) Menyingkap rahasia kemukjizatannya dari sisi bahwa Al-Qur’an telah memuat informasi-informasi sains yang amat dalam dan belum dikenal oleh manusia pada masa turunnya AlQur’an, sehingga ini menunjukkan bukti lain akan kebenaran fakta bahwa Al-Qur’an itu bukan karangan manusia, namun ia bersumber dari Allah swt, pencipta dan pemilik alam semesta ini.6 Di dalam Al-Qur’an tak kurang dari 800 ayat-ayat kauniah dalam hitungan Muhammad Ahmad al-Ghamrawi. Bahkan, menurut Zaghlul al-Najjar terdapat 1000 ayat yang sarih dan ratusan lainnya yang secara tidak langsung terkait dengan fenomena alam semesta. Tafsir ilmiah atas ratusan ayat-ayat Al-Qur’an itu dengan bantuan ilmu pengetahuan dan sains modern yang disikapi berbedabeda oleh para pakar Al-Qur’an.7 Penyikapan yang berbeda atas 5 As-Sayyid al-Jumaili, al-I’jaz al-Ilmi fi al-Qur’an, (Beirut: Dar wa Maktabah al-Hilal, 1992), Cet. II, h. 94 6 Abdul Salam Hamdan Al-Lauh, Al-I’jaz Al-Ilmi fi al-Qur’an al-Karim, (Gaza Palestina: Afaq’ li Nasyr wa al-Tauzi’, 2002), Cet. II, h. 135 7 Zaghlul Raghib Al-Najjar, Tafsir al-Ayat al-Kauniyyah fi al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Maktabah al-Tsarwah al-Dauliyyah, 2001), Jilid IV, Cet. II, h. 71
Jurnal TSAQAFAH
Epistemologi Penafsiran Ilmiah al-Qur’an
113
upaya ini terutama sekali setelah iptek dan filsafat peradaban lain telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan gerakan kodifikasi ilmu pengetahuan mengalami puncaknya. Pertanyaan seputar hal ini berkisar pada satu masalah yaitu: apakah teks Al-Qur ’an mengandung seluruh ilmu pengetahuan seperti filsafat, sosiologi, politik, ekonomi, etika religius, dan applied sciences lainnya, ataukah Al-Qur’an itu hanya sebagai kitab petunjuk dan pedoman bagi umat? 8 Para pakar Al-Qur ’an berbeda pandangan menyikapi pertanyaan mendasar tadi. Kelompok pertama, percaya dan berusaha menafsirkan istilah keilmuan dalam Al-Qur’an berikut redaksinya sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan kontemporer. Kelompok kedua, menolak kecenderungan pertama dengan membedakan secara tegas mana yang menjadi hakikat keagamaan yang menjadi inti Al-Qur’an dan mana yang merupakan konklusi ilmiah dan sebatas produk inovasi dan penelaahan akal manusia yang terbatas. Diskursus seputar hal ini, akan penulis ulas dalam pembahasan di bawah.
Dari Tantawi Jauhari sampai Zaghlul al-Najjar Meski, telah banyak mufassir yang lebih menitikberatkan corak tafsirnya pada aspek ilmiah, semacam Abu Su’ud - yang menulis dalam lima jilid tebal – yang oleh Abdul Qadir Ahmad Atha’ dinilai melebihi Zamakhsyari maupun Abdul Qahir Al-Jurjani dalam pembahasan bahasa, dan lebih mendalam dalam kajian tafsir ilmi dari pada Hanafi Ahmad.9 Namun dalam artikel ini, penulis akan mengulas dua mufassir yang berkecenderungan tinggi terhadap tafsir ilmi; Tantawi Jauhari dan Zaghlul Al-Najjar, sebagai representasi dari dua generasi yang berbeda. Tafsir yang cukup fenomenal berjudul “al-Jawahir fi Tafsir alQur’an al-Karim” yang ditulis oleh Tantawi Jauhari menarik untuk diketengahkan dalam tulisan ini. Ia berangkat dari ketertarikannya terhadap fenomena-fenomena keajaiban alam yang ada di langit dan 8 Baha’ al-Amir, Al-Nur al-Mubin, Risalah fi Bayan i’jaz al-Qur’an al-Karim, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2002), Cet. I, h. 84 9 Abu Su’ud bin Muhammad al-Imadi al-Hanafi, Tafsir Abi Su’ud, Irsyad al-”Aql alSalim ila Mazaya al-Kitab al-Karim, ed. Abdul Qadir Ahmad ‘Atha, (Riyadh: Maktabah alRiyadh al-Haditsah, 1971), Cet. I
Vol. 7, No. 1, April 2011
114 Sujiat Zubaidi Saleh bumi, sebagaimana ayat-ayat al-Qur’an juga berbicara tentang fenomena-fenomena tersebut. Menurutnya, dalam al-Qur ’an terdapat 750 ayat yang berbicara tentang berbagai ilmu pengetahuan dan hanya 150 ayat yang berbicara tentang fiqih secara jelas. Sayangnya perhatian intelektual Islam terhadap pemikiranpemikiran tersebut sangat minim, sementara di sisi lain kebutuhan terhadap ilmu pengetahuan seperti yang ditunjukkan dalam ayatayat yang berbicara tentang hewan, tumbuh-tumbuhan, langit dan bumi juga tidak bisa dinafikan disamping kebutuhan terhadap hukum dan sebagainya.10 Beberapa contoh sebagaimana berikut: Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya.” Musa berkata: “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta.” QS. (2): 61. Ia mengaitkan ayat diatas dengan terminologi medis, kemudian ia menyebutkan perkembangan dunia medis di Eropa. Ia mengatakan bahwa ayat tersebut menegaskan makan-makanan yang lebih baik dan sehat dari daging dan rempahrempah seperti madu dan makanan-makanan yang manis. Sementara berkaitan dengan “fawatih al-suwar” sebagaimana disebutkan pada QS. (3): 1. Ia mengaitkannya dengan rahasia-rahasia kimia. Huruf-huruf tersebut adalah ungkapan bahasa, sementara bahasa adalah sarana untuk memahami hakikat ilmiah termasuk matematika dan sains. Bagaimana bahasa itu digunakan untuk memahami sesuatu yang lain tanpa memahami hakekat bahasa itu sendiri kecuali dengan menganalisisnya sebagaimana matematika dengan mengetahui hakikat angka-angka dan kimia dengan mengatahui hakikat molekul-molekul.11 Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. QS. (24): 24. Ayat di atas, juga QS. (41): 2022 dan QS. (36): 65 di mana di dalamnya terdapat penyebutan tangan, kaki, kulit dan kesaksiannya pada hari kiamat menurutnya menunjukkan rahasia-rahasia di dalamnya. 10
Tantawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1922), Jilid 1, h. 66-67. 11 Manna’ al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), h. 360.
Jurnal TSAQAFAH
Epistemologi Penafsiran Ilmiah al-Qur’an
115
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? QS. (21): 30. Ayat di atas menurutnya menunjukkan mu’jizat al-Qur’an, di mana Ia berbicara mengenai sesuatu yang terjadi ratusan tahun sebelumnya, yaitu tentang langit dan bumi, matahari dan bintangbintang. Pengetahuan-pengetahuan tersebut sebelumnya tidak diketahui oleh manusia hingga datangnya era modern.12 Penafsiran model Tantawi Jauhari di atas kemudian banyak dinilai melenceng dari kaidah-kaidah dan prinsip penafsiran pada umumnya, bahkan tidak memiliki hubungan dan relevansi dengan al-Qur’an. Beberapa kritik yang dilontarakan kepada karya Tantawi Jauhari, di antaranya: 1. Menafsirkan al-Qur ’an secara tekstual dan ringkas, lebih banyak menunjukkan pemikiran-pemikiran sains Timur dan Barat modern untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an juga berbicara tentang hal itu. 2. Menggunakan teori-teori sains tanpa memperhatikan kaidahkaidah penafsiran pada umumnya dan melenceng dari tujuantujuan al-Qur’an. 3. Tidak memperhatikan dan keluar dari kaidah-kaidah Ilmuilmu al-Qur’an termasuk menggunakan rumus-rumus matematika yang pada umumnya tidak dibenarkan. 4. Menunjukkan ilustrasi gambar, foto, tabel tentang hewanhewan, tumbuhan, pemandangan alam yang dimaksudkan untuk menjelaskan kepada pembaca secara gamblang. 5. Menggunakan referensi dari Injil (Barnabas), sementara para kritikus menilai banyak terjadi penyelewengan dan perubahan didalamnya. Meskipun demikian, Tantawi Jauhari membela diri dengan menjelaskan bahwa pendekatannya terhadap teks al-Qur’an tidak lebih serupa dengan tafsir-tafsir hukum. Ia menegaskan, bukankah dengan cara yang sama dilakukan oleh para ahli hukum Islam yang mendasarkan sistem-sistem hukum berupa peringatan-peringatan 12
Tantawi Jauhari, Ibid, h. 243
Vol. 7, No. 1, April 2011
116 Sujiat Zubaidi Saleh moral al-Qur’an yang masih samar. Mufassir ilmiah (tafsir ilmi) menurutnya juga bisa menarik kesimpulan benda-benda angkasa dari al-Qur’an. Dengan demikian, corak tafsir ilmi tidak berbeda dari tafsir-tafsir hukum. Jika tafsir ilmi menyangkut hukum-hukum alam maka tafsir hukum menyangkut persoalan hukum-hukum manusia. Kecenderungan penafsiran ilmiah sebagaimana Tantawi, dilakukan juga oleh Zaghlul Raghib Muhammad an-Najjar, seorang pakar geologi asal Mesir yang mendapat pendidikan tinggi sampai tingkat magister di Cairo University dan lulus pada tahun 1955 dengan predikat ‘Summa Cum Laude’. Sebagai lulusan terbaik ia diberikan “Baraka Award” untuk kategori bidang geologi. Ia kemudian meraih gelar Ph.D bidang geologi dari Walles University of England pada tahun 1963. Dan sejak tahun 2001 menjadi Ketua Komisi Kemukjizatan Sains Al-Qur’an dan al-Sunnah di “Supreme Council of Islamic Affairs” Mesir. Zaghlul berkeyakinan penuh bahwa AlQur’an adalah kitab mukjizat dari aspek bahasa dan sastranya, akidah-ibadah-akhlaq (tasyri’), informasi kesejarahannya, dan tak kalah pentingnya adalah dari sudut aspek isyarat ilmiahnya. 13 Dimensi kemukjizatan yang disebut terakhir ini maksudnya adalah keunggulan kitab ini yang memberikan informasi yang menakjubkan dan akurat tentang hakikat alam semesta dan fenomenanya yang mana ilmu terapan belum sampai ke hakikat itu kecuali setelah berabad-abad turunnya Al-Qur’an. Hal ini merupakan bukti penguat bagi ahli ilmu pengetahuan di zaman ini bahwa Al-Qur’an itu benar-benar firman Allah yang menyeru umat manusia sejak pertama kali diturunkan itu agar berpijak pada dasar yang kokoh. Oleh sebab itu menurut Zaghlul, kita hanya diperkenankan untuk membuktikan kemukjizatan ilmiah Al-Qur’an dengan memanfaatkan fakta dan hukum sains yang tetap saja tak berubah lagi, meski dimungkinkan adanya penambahan dan penguatan hakikat itu di masa yang akan datang. 14 Ketentuan ini berlaku umum bagi ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an, dengan pengecualian ayat-ayat penciptaan; baik terkait alam semesta, kehidupan, dan manusia. 13 Zaghlul Raghib An-Najjar, Qadiyyat al-I’jaz al-’Ilmiy li al-Qur’an al-Karim wa Dawabit al-Ta’amul Ma’aha, (Beirut: Maktabah al-Tsarwah al-Dauliyyah, 2001), Jilid II, Cet. II, h. 45 14 Zaghlul Raghib Al-Najjar, Tafsir al-Ayat al-Kauniyyah fi al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Maktabah al-Tsarwah al-Dauliyyah, 2001), Jilid IV, Cet. II. H. 42
Jurnal TSAQAFAH
Epistemologi Penafsiran Ilmiah al-Qur’an
117
Dalam pandangan Zaghlul, proses penciptaan adalah bersifat gaib dan absolut karena tak ada seorang manusia pun yang menyaksikan kejadian besar itu, dan karenanya, tak dapat tunduk kepada penglihatan dan indera manusia. Allah swt berfirman: Aku tidak menghadirkan mereka (iblis dan anak cucunya) untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri; dan tidaklah Aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong. Qs. (18): 51. Meski demikian, Al-Qur’an tetap menyuruh umat manusia untuk merenungi proses penciptaan –yang tak pernah disaksikan oleh manusia- dalam banyak ayat, diantaranya: Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, Kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Katakanlah: “Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, Kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Qs. (29): 19-20) Lebih lanjut ia menilai dalam rangka mengkompromikan konteks dan tujuan ayat-ayat di atas, penciptaan langit dan bumi, kehidupan, juga manusia yang memang terjadi di luar kesadaran manusia yang mutlak. Namun Allah swt menyisakan beberapa bukti di lempengan bumi dan lapisan langit yang dapat membantu manusia untuk menyatakan asumsi proses penciptaan. Akan tetapi asumsi yang bisa diraih oleh ilmuwan di bidang ini baru sebatas teori belaka, dan belum sampai pada tingkatan hakikat/fakta keilmuan.15 Zaghlul menilai bahwa ilmu terapan di bidang hakikat penciptaan tak dapat melampaui teorisasi belaka. Varian teori penciptaan ini pun tergantung asumsi dan keyakinan para pencetusnya. Pada posisi inilah, bagi ilmuwan muslim tersedia cahaya Allah swt yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi. Cahaya yang diberikan secara cuma-cuma oleh Allah dan Rasul-Nya itu dapat membantu ilmuwan muslim untuk mengangkat salah satu teori dan asumsi sains ke tingkat hakikat ilmiah, bukan karena ilmu terapan itu yang menetapkannya, akan tetapi lebih karena terdapat isyarat hakikat ilmiah itu dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.16 Artinya kita telah 15 Zaghlul Al-Najjar, Khawatir fi Ma’iyyat Khatam al-Anbiya’ wa al-Mursalin Sayyidina Muhammad SAW, (Kairo: Nahda Masr, 2002), Cet. I, h. 62 16 Zaghlul Raghib An-Najjar, Qadiyyat al-I’jaz al-’Ilmiy, ibid, h. 92
Vol. 7, No. 1, April 2011
118 Sujiat Zubaidi Saleh memenangkan ilmu dengan informasi Al-Qur’an atau Sunnah dan bukan sebaliknya, memenangkan Al-Qur’an dengan bantuan ilmu.
Tafsir Ilmi: Dinamika Penafsiran Pemahaman dan penafsiran terhadap al-Qur’an, selain sebagai produk juga sebagai proses dinamika antara teks, penafsir dan realitas selalu berhubungan. Hal ini dapat dilihat dari metode, corak, karakteristik dan kecenderungan produk tafsir yang selalu mendekati alQur’an juga mengalami perkembangan dan pergeseran. 17 Tafsir adalah salah satu bentuk cerminan produk pemikiran dan peradaban manusia secara umum, karena ia juga selalu mengalami perkembangan dan dipengaruhi dinamika peradaban manusia. Salah satu jenis epistemologi tafsir yang menarik untuk dibahas di sini adalah sebuah tafsir yang pada awalnya dibangun berdasarkan asumsi bahwa al-Qur’an mengandung berbagai macam ilmu, baik yang sudah maupun yang belum ditemukan (baca: tafsir ilmi). Ada juga yang mendefinisikan sebagai tafsir yang mencoba memindahkan semua pengetahuan kemanusiaan yang memungkinkan ke dalam penafsiran al-Qur’an. Lebih spesifik Khalid ‘Abdurrahman al-‘Akk mengkategorikan tafsir ini dalam tafsir isyari karena bergerak terbatas hanya pada isyarat-isyarat kauniyah dalam ayat-ayat alQur’an, sehingga dalam pengertian ini ilmu pengetahuan dapat menjadi epistemologi penafsiran.18 Abu Hamid al-Ghazali disebut-sebut sebagai salah satu tokoh generasi awal, di mana dianggap ikut memberikan legitimasi terhadap munculnya penafsiran ini. Hal itu ditunjukkan melalui ungkapan-ungkapan dan riwayat-riwayat yang disebutkan dalam beberapa karyanya. “Sesungguhnya al-Qur’an mencakup tujuh puluh tujuh ribu seratus ilmu. Setiap kalimat adalah ilmu yang dilipatgandakan empat kali, memiliki makna lahir dan batin.” Di samping itu ditegaskan bahwa “Setiap ilmu adalah manifestasi dari dzat, sifat dan perbuatan Allah. Hal ini diisyaratkan secara keseluruhan dalam alQur’an. Ilmu ini tidak terbatas, akan tetapi terjadi perbedaan pendapat dan rasionalitas terhadap hal itu, sehingga memerlukan teori17
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 33 Khalid ‘Abdurrahman al-‘Akk, Usul at-Tafsir wa Qawa’iduhu (Beirut: Dar al-Nafa’is, 1986), Cet. II, h. 217 18
Jurnal TSAQAFAH
Epistemologi Penafsiran Ilmiah al-Qur’an
119
teori dan dalil-dalil yang hanya dipahami oleh para ahli.”19 Selain Al-Ghazali, adalah Abu al-Fadl al-Mursi, yang mengatakan bahwa al-Qur’an mencakup ilmu klasik dan modern secara keseluruhan. Tiada yang mengetahuinya secara sempurna selain Allah, kecuali yang disampaikan kepada Nabi Muhamad saw, dan diwariskan kepada para sahabat. Dalam perkembangannya, generasi penerus sahabat tersebut menurut al-Mursi tidak mampu merepresentasikan ilmu-ilmu tersebut secara baik dan menyeluruh, sehingga lahir golongan-golongan yang hanya concern terhadap disiplin yang mereka kuasai. Menurut al-Mursi, ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu-ilmu yang dikenal oleh generasi awal (awwalun) dalam tradisi Islam. Di luar ilmu-ilmu tersebut dalam al-Qur’an juga tedapat ilmu-ilmu lain seperti kedokteran, astronomi, arsitektur, aljabar, pertanian dan perbintangan.20 Selain itu menurut al-Mursi, dalam al-Qur’an juga terdapat dasar-dasar industri termasuk alat-alat yang digunakan seperti menjahit, pandai besi, tukang kayu, memintal, menenun, bertani, kerajinan kaca, gerabah, pelayaran dan navigasi, tulis menulis, pembuat roti, memasak, tukang batu dan lainnya.” Dalam realitasnya tokoh-tokoh tersebut tergolong merepresentasikan pemahaman yang relatif sama bahwa seluruh ilmu pengetahuan, ketrampilan dan teknik-teknik yang diperlukan untuk menerangi upaya-upaya ilmiah manusia memiliki dasar dan landasan dalam al-Qur’an. Dengan demikian benih-benih tafsir ilmi telah muncul dan berkembang dalam kurun waktu 11 abad (mulai abad 2–13 H atau 8–19 M) dengan mencari hubungan dan kesesuaian antara pernyataan atau ungkapan dalam al-Qur’an dengan penemuan-penemuan ilmiah pada masa itu.21 Dalam perjalanannya, tafsir ilmi mengalami perkembangan dan mendapat perhatian cukup besar dari kalangan intelektual muslim. Jika pada awal kemunculannya lebih bermuara pada pengaruh-pengaruh tradisi Yunani, arus perkembangan tafsir ilmi pada era selanjutnya sangat berkaitan dengan pengaruh superioritas 19
Abu Hamid al-Ghazali, Jawahir al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), h. 7-9. Namanya lengkapnya Muhahmmad Ibn ‘Abdullah Ibn Abi al-Fadl as-Sulami alMursi, disebut-sebut memiliki karya tafsir lebih dari 20 jilid dan diberi nama “Rayy azZaman.” 21 Fahd bin Abdurrahman Sulaiman al-Rumi, Al-Madrasah al-Aqliyyah al-Haditsah alTafsir, (Riyadh, Riyasah al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta’, 1983), h. 90. 20
Vol. 7, No. 1, April 2011
120 Sujiat Zubaidi Saleh Barat beserta teknologinya dan dunia Islam.22 Terlebih pada saat terjadi ekspansi Barat dan Eropa di kawasan muslim, semisal pendudukan Inggris di Mesir. Berbagai pembicaraan hubungan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan pada masa ini tercatat dalam berbagai tulisan, di antaranya: 1. Muhammad Ibn Ahmad al-Iskandarani dengan karyanya “Kasyf al-Asrar an-Nuraniyyah al-Qur’aniyyah, fi ma Yata’allaqu bi al-Ajram as-Samawiyyah, wa al-Ardiyyah wa al-Hayawanat wa an-Nabatat wa al-Jawahir al-Ma’daniyyah,” ditulis dalam 3 (tiga) jilid, yang menjelaskan tentang bendabenda angkasa, bumi, hewan-hewan, serangga-serangga, mineral dan sebagainya. Karyanya yang lain “Tibyan al-Asrar ar-Rabbaniyyah,” dipublikasikan setelah penjajahan Inggris. 2. Abu Su’ud bin Muhammad al-Imadi al-Hanafi, Tafsir Abi Su’ud, Irsyad al-”Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim, ed. Abdul Qadir Ahmad ‘Atha, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, 1971), terdiri dari 5 (lima) jilid tebal. 3. Taufiq Sidqi dengan karyanya “ad-Din fi Nazar al-‘Aql asSahih” dan “Durus Sunan Ka’inat, Muhadarat Tibbiyyah ‘Ilmiyyah Islamiyyah” yang membicarakan tentang kimia, biologi dan sebagainya. 4. Tantawi Jauhari “al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim” yang merupakan tafsir eksiklopedik mirip dengan buku ilmiah dan “al-Qur’an wa al-‘Ulum al-‘Asriyyah” 5. Hanafi Ahmad “Mu’jizat al-Qur’an fi Wasf al-Ka’inat” dicetak ulang dengan judul “at-Tafsir al-‘Ilmi li al-Ayat al-Kauniyyah” Pada era perkembangan ini, arah perdebatan pada sekitar persoalan apakah ilmu pengetahuan non-Islam dan non-Arab dari Barat dapat diterima di kalangan muslim, atau apakah pemakaian mesin-mesin teknik Eropa diperbolehkan menurut hukum Islam dan sebagainya. Lebih jauh, Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Ignaz Golziher menyatakan bahwa kajian terhadap berbagai ilmu pengetahuan merupakan tujuan utama dalam bentuk praksis yang terkait langsung dengan posisi didunia Islam. Menurutnya 22 Auliffe, Jane Dammen Mc, Exegetical Sciences, dalam Andrew Rippin (editor), The Blackwell Companion to The Qur’an, (Oxford: Wiley-Blackwell, 2009), h. 309
Jurnal TSAQAFAH
Epistemologi Penafsiran Ilmiah al-Qur’an
121
memerangi kelompok non-muslim adalah sebuah kewajiban ketika dunia Islam diperangi. Hal itu hanya dapat diwujudkan melalui sistem pertahanan dan militer yang kuat termasuk persenjataan yang memadai, semisal penangkal rudal, kapal-kapal perang, tank dan sebagainya yang memerlukan pengetahuan-pengetahuan modern.23 Dengan asumsi bahwa tidak mungkin al-Qur’an mengandung suatu ajaran yang bertentangan dengan hakikat ilmu pengetahuan. Maka menafsirkan al-Qur’an dan mengembangkan teknologi secara mandiri adalah sebuah keniscayaan bagi dunia Islam.
Korelasi antara Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Pada hakikatnya, membahas hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyak atau tidaknya cabangcabang ilmu pengetahuan yang dikandungnya, tetapi lebih pada adakah Al-Quran atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan atau mendorongnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya diukur melalui sumbangan yang diberikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembangkannya, tetapi juga pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang diwujudkan, sehingga mempunyai pengaruh baik positif maupun negatif terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.24 Sejarah membuktikan bahwa Galileo —ketika mengungkapkan penemuan ilmiahnya— tidak mendapat tantangan dari suatu lembaga ilmiah, melainkan dari masyarakat di mana ia hidup. Mereka memberikan tantangan kepadanya atas dasar kepercayaan agama. Akibatnya, Galileo pada akhirnya menjadi korban penemuannya sendiri. Dalam Al-Quran ditemukan kata-kata “ilmu” —dalam berbagai derivasinya— yang terulang sebanyak 854 kali. Di samping itu, banyak pula ayat-ayat Al-Quran yang menganjurkan untuk menggunakan akal pikiran, penalaran, dan sebagainya, sebagaimana dikemukakan oleh ayat-ayat yang menjelaskan hambatan kemajuan ilmu pengetahuan, antara lain: adanya subjektivitas, taqlid atau mengikuti tanpa alasan, bergegas-gegas dalam mengambil keputusan, dan sebagainya. 23 Ignaz Goldziher, Madzahib al-Tafsir al-Islami, diterjemahkan oleh Abdul Halim an-Najjar (Kairo Mesir: Maktabah al-Khanjim 1955), h. 132 24 Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman al-Rumi, Al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Haditsah fi al-Tafsir, (Riyadh: Ri’asah al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta’, 1983), Cet. II, h. 320
Vol. 7, No. 1, April 2011
122 Sujiat Zubaidi Saleh Ayat-ayat semacam inilah yang mewujudkan iklim ilmu pengetahuan sehingga melahirkan pemikir-pemikir dan ilmuwanilmuwan Islam dalam berbagai disiplin ilmu. “Tiada yang lebih baik dituntun dari suatu kitab agama menyangkut bidang ilmu kecuali anjuran untuk berpikir, serta tidak menetapkan suatu ketetapan yang menghalangi umatnya untuk menggunakan akalnya atau membatasinya menambah pengetahuan selama dan di mana saja ia kehendaki.”25 Inilah korelasi pertama dan utama antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan. Korelasi kedua dapat ditemukan pada isyarat-isyarat ilmiah yang tersebar dalam sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam raya dan fenomenanya. Isyarat-isyarat tersebut sebagiannya telah diketahui oleh masyarakat Arab ketika itu. Namun, apa yang mereka ketahui itu masih sangat terbatas dalam perinciannya.26 Selain isyarat ilmiah di atas, banyak isyarat lain yang juga sering diungkap oleh para ilmuwan dan mufassir, misalnya, dalam proses kejadian alam, al-Qur ’an menjelaskan bahwa langit dan bumi merupakan suatu gumpalan kemudian dipisahkan. Meski al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana terjadinya pemisahan itu. Namun, apa yang dikemukakan tentang keterpaduan alam dan kemudian terjadi pemisahan dibenarkan oleh observasi pada ilmuwan. Misalnya, temuan Edwin P. Hubble – peneliti di Observatorium Mount Wilson, California - melalui teropong bintang pada tahun 1925 menunjukkan adanya pemuaian alam semesta. Yang menarik tentang alam raya ini, adalah apa yang dikenal dewasa ini dengan istilah The Expanding Universe atau dalam diskursus Ibn Rusyd dan Al-Ghazali disebut dengan istilah Tawassu’ al-‘A
Hifni Muhammad Syaraf, I’jaz Qur’an Bayani, baina al-Nadhariyyah wa al-Tatbiq, (Jeddah: Majil A’la li al-Syu’un Al-Islamiyah, 1994), h. 49 26 Hanafi Ahmad, Al-Tafsir al-Ilmi li al-Ayat al-Kauniyyah fi al-Qur’an. (Kairo: Dar alMa’arif, tt), h. 205-207 27 Michael E. Mamura, The Conflict Over the World’s Pre-Eternity in the Tahafur of AlGhazali and Ibn Rusyd, (Michigan: University of Michigan Press, 1958), h. 30-2
Jurnal TSAQAFAH
Epistemologi Penafsiran Ilmiah al-Qur’an
123
penjuru. Langit yang kita lihat saat ini, sejatinya semakin tinggi dan menjauh dari bumi dengan kecepatan yang luar biasa. Inilah agaknya, yang dijelaskan dalam al-Qur’an “Tidakkah mereka memperhatikan bagaimana langit ditinggikan” (QS; 88: 18). Selain itu dalam ayat lain juga disebutkan, “Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan Kami, dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskan/mengembangkannya” (QS, 51: 47). Di samping itu, al-Qur’an juga menjelaskan seputar kejadian manusia yang secara detail mengenai reproduksi manusia, seperti tahapan yang dilaluinya sampai berbentuk manusia ciptaan Allah yang paling sempurna (ah}sanu taqwi>m). Al-Qur’an menyebutkan bahwa nut}fah merupakan bagian terkecil dari mani yang dituangkan ke dalam rahim. Secara etimologi, kata nut}fah adalah setetes yang dapat membasahi.28 Informasi al-Qur’an tersebut sejalan dengan penemuan ilmiah pada abad 20 bahwa pancaran mani yang menyembur dari alat kelamin pria mengandung lebih dari dua ratus juta benih manusia, sementara yang berhasil bertemu dengan ovum hanya satu. Itulah yang dimaksud oleh al-Qur’an nut}f atan min maniyyin yumna> (nut}fah dari mani yang memancar). (QS. 75: 37). Informasi yang lebih tegas, disebutkan dalam surat al-Najm bahwa dari setetas nut}fah yang memancar itu Allah menciptakan kedua jenis manusia; lelaki dan perempuan. Penemuan ilmiah membuktikan bahwa adanya dua macam kandungan sperma yakni kromosan lelaki dengan lambang “Y” dan kromosom perempuan yang dilambangkan dengan “Y”. Sementara itu, ovum hanya memiliki satu kromosom, yakni “X” saja. Apabila yang membuahi ovum adalah sperma yang memiliki kromosom Y, maka anak yang dikandung adalah laki-laki (YX), dan bila sperma berkromosom X, maka anak yang dikandung adalah perempuan (XX). Jadi, yang menentukan jenis kelamin adalah nut}fah yang dituangkan oleh sang ayah.29 Salah satu ayat yang mengisyaratkan kontribusi sperma dalam menentukan jenis kelamin anak adalah Nisa>’ukum h}artsun lakum fa’tu> h}artsakum anna> syi’tum. Analognya, jika seorang petani menanam jagung, maka jangan diharap yang tumbuh akan menghasilkan buah jeruk, karena ladang hanya menerima benih. Hal ini menunjuk28 Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufrada>ti Alfa>dz al-Qur’a>n, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, 1997), Cet. I, h. 551-2 29 Husein Fazlullah, Al-Istinsakh, Jadal al-Ilmi wa al-Din wa al-Akhla>q, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1997), Cet. I., h. 215
Vol. 7, No. 1, April 2011
124 Sujiat Zubaidi Saleh kan bahwa yang menentukan jenis tanaman adalah petani bukan ladangnya.30 Wanita oleh ayat di atas diibaratkan ladang. Maka bukan wanita yang menentukan jenis kelamin anak, tetapi benih yang ‘ditanam’ ayah di dalam rahim. Selanjutnya, al-Qur’an menegaskan bahwa hasil pertemuan antara sperma dan ovum disebut nut}fah amsya>j (QS, 76:2). Menarik untuk dicatat di sini, bahwa kata amsya>j berbentuk jama’ sedang bentuk tunggalnya adalah masya>j. Padahal nut}fah berbentuk tunggal, bentuk jama’nya adalah nut}af. Jika dilihat dari gramatika bahasa Arab, sepintas redaksi nut}fah amsya>j tidak lurus sepadan, karena ia sebagai ajektif dari nut} fah, sedangkan dalam bahasa Arab, sifat menyesuaikan yang disifatinya, jika tunggal sifatnya tunggal dan jika jama’ sifatnya juga jama’. Lalu, mengapa tidak sepadan? Para pakar bahasa menyatakan bahwa jika sifat dari satu hal yang berbentuk tunggal mengambil bentuk jama’, hal itu mengisyaratkan bahwa sifat tersebut mencakup seluruh bagian kecil yang disifatinya. Dalam konteks nut}fah, maka sifat amsya>j (bercampur) bukan sekadar bercampurnya dua hal sehingga menyatu, tetapi percampuran itu demikian utuh sehingga mencakup seluruh bagian dari nutfah tadi. 31 Artinya, nut} f ah amsya> j merupakan percampuran sperma dan ovum, yang masing-masing memiliki 46 kromosom, yang disebut oleh Thomas Hunt Morgan dalam penelitiannya tahun 1912 bahwa kromosom membentuk janin, artinya jika kromosom kurang dari jumlah tersebut, maka janin akan terlahir dalam kondisi yang tidak lengkap.32 Dengan demikian, wajar jika al-Qur’an menggunakan bentuk jama’ untuk menyifati nut}fah yang memiliki banyak kromosom itu Selanjutnya, al-Qur’an menggunakan istilah ‘alaqah sebagai proses lanjutan dari nut}fah, sebagaimana terdapat dalam QS, 23: 14. Pakar embriologi menyatakan bahwa setelah terjadi pembuahan (amsya>j), maka nut}fah berdempet di dinding rahim. ‘Alaqah dalam beberapa kamus berarti segumpal darah, atau sejenis cacing yang 30
Ziyad Ahmad Salamah, Atfal al-Anabib Baina al-Ilm wa al-Syari’ah, (Beirut: AlDar al-Arabiyah li al-Ulum, 1996), Cet. I, h. 131. Untuk perbandingan, lihat juga Hani Rizq, Biolojiya al-Istinsakh, dalam Hussein Fazlullah (ed.), Al-Istinsakh, Jadal al-Ilm wa al-Din wa al-Akhlaq, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1997), Cet. I, h. 9 31 Muhammad Na’im Yasin, Abhats Fiqhiyyah fi Qadaya Tibbyyah Mu’asirah, (Yordan: Dar al-Nafa’is, 1996), Cet. I, h. 55 32 Lihat Muhammad Kamil Abd Samad, Al-I’jaz al-‘Ilmi fi al-Qur’an, (Kairo: Dar alTahrir, 1998), h. 201
Jurnal TSAQAFAH
Epistemologi Penafsiran Ilmiah al-Qur’an
125
bila diminum dapat lengket di tenggorokan. Karena kata ‘alaqah berasal dari ‘aliqa berarti ‘tergantung’/lengket. Di sini al-Qur’an menggunakan dalam konteks reproduksi manusia yang lengket di dinding rahim.33 Dari sini, penafsiran kata itu dengan implantasi, seperti apa yang dikemukakan oleh embriolog ketika membicarakan proses kejadian manusia, tidak dapat ditolak. Muhammad ‘Abduh berpendapat bahwa adalah lebih baik memahami arti kata-kata dalam redaksi satu ayat, dengan memperhatikan penggunaan al-Qur’an terhadap kata tersebut dalam berbagai ayat dan kemudian menetapkan arti yang paling tepat dari arti-arti yang digunakan oleh al-Qur’an itu.34 Pelbagai contoh di atas, merupakan sebagian bentuk penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Namun perlu digarisbawahi, bahwa adanya sifat penemuan ilmiah sebagaimana dikemukakan di atas adalah hasil pemikiran seseorang yang dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalamannya. Perkembangan ilmu pengetahuan sudah sedemikian pesatnya, sehingga dari faktor ini saja pemahaman terhadap redaksi al-Qur’an dapat berbeda-beda.35 Seseorang bahkan tidak dapat mengatasnamakan al-Qur’an terhadap perincian penemuan ilmiah yang tidak dikandung oleh redaksi ayat-ayatnya, karena al-Qur’an tidak memerinci seluruh ilmu pengetahuan, walaupun ada yang berpendapat bahwa al-Qur’an mengandung pokok-pokok segala macam ilmu pengetahuan. Dalam ayat 30 surah Al-Anbiya’, yang menjelaskan bahwa langit dan bumi pada suatu ketika merupakan suatu gumpalan kemudian dipisahkan Tuhan, merupakan suatu hakikat ilmiah yang tidak diketahui pada masa turunnya al-Qur’an oleh masyarakatnya. Tetapi ayat ini tidak memerinci kapan dan bagaimana terjadinya hal tersebut. Setiap orang bebas dan berhak untuk menyatakan pendapatnya tentang “kapan dan bagaimana”, tetapi ia tidak berhak untuk mengatasnamakan al-Qur ’an dalam kaitannya dengan pendapatnya jika pendapat tadi melebihi kandungan redaksi ayat33 Baha’ al-Amir, Al-Nu>r al-Mubi>n, Risa>lah fi Baya>n i’ja>z al-Qur’a>n al-Kari>m, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2002), Cet. I, h. 79 34 Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsi>r Al-Mana>r, (Kairo: Dar al-Manar, 1996), Jilid 6, h. 58 35 Hassan Hanafi, Method of Thematic Interpretation of the Qur’an, dalam Stefan Wild (ed), The Qur’an as Text, (Leiden: E.J. Brill, 1996), h. 103
Vol. 7, No. 1, April 2011
126 Sujiat Zubaidi Saleh ayat tersebut. 36 Tetapi, hal ini bukan berarti bahwa seseorang dihalang-halangi untuk memahami arti suatu ayat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Hanya saja pemahaman dan penafsiran tersebut harus sejalan dengan prinsip ilmu tafsir yang telah disepakati.37
Diskursus antara Dua Madhhab Jika ditelusuri, terdapat dua kelompok ulama’/mufassir yang mengambil sikap terhadap penafsiran ilmiah dalam al-Quran. Pertama, tokoh/ulama yang mendukung adalah Ibn Sina, ketika menafsirkan wa yahmilu ‘arsya rabbika fauqahum yaumaidzin tsama> niyah. Kata ‘Arsy diartikan bintang dari segala bintang. Sementara malaikat disebut dengan delapan bintang (bulan, matahari, venus, merkurius, saturnus, yupiter, mars dan bintang yang tetap). Selain itu adalah Imam Al-Ghazali yang menyebut dalam Jawa>hir al-Qur’an bahwa banyak ilmu yang terkandung dalam al-Qur’an. Al-Fakhr alRazi juga mufassir yang mendukung tafsir ilmi, terlihat dari tafsirnya Mafatih al-Ghaib. Bahkan, ia menjelaskan tentang astronomi kuno karya Ptolemeus dan para sarjana India, China, Mesir, Romawi dan Syam. Tak beda dengan ketiganya, Tantawi Jauhari dalam tafsirnya Tafsir al-Jawahir, Badruddin al-Zarkasyi dan Jalaluddin Al-Suyuthi menegaskan dukungannya terhadap corak tafsir ilmi ini. Mereka menyatakan bahwa penggunaan sains dalam menafsirkan al-Qur’an akan menuntun pemahaman ayat-ayatnya menjadi lebih baik, karena mampu menjelaskan isyarat ilmiah dalam alQur’an. Misalnya, kita mememerlukan temuan-temuan kedokteran dalam “ilmu genetik” untuk memahami dan menafsirkan ayat (12-13) dari surat al-Mu’minun. Demikian pula ayat 5 dari surat alhajj untuk mengetahui fase penciptaan manusia, dan seterusnya. Tafsir ilmi juga dapat mendorong non-Muslim mempelajari alQur’an. Hal itu karena temuan-temuan ilmiah menegaskan kebenaran isyarat ilmiah yang disebutkan dalam al-Qur’an. Seorang Maurice 36
Abdul Wahhab al-Rawi, Mu’jiza>t al-Qur’a>n al-Ilmiyyah fi al-Insa>n, Muqa>balah ma’a al-Taurat wa al-Injil, (Yordania: Dar al-Ulum, 2008), Cet. I, h. 80 Bandingkan dengan Abdus Salam Hamdan Al-Lauh, Al-I’ja>z Al-Ilmi fi al-Qur’a>n al-Karim, (Gaza Palestina: Afaq’ li Nasyr wa al-Tauzi’, 2002), Cet. II, h. 186 37 Muhammad Husain Al-Thabathaba’iy, Tafsir Al-Mi>za>n, (Beirut: Dar Al-Kutub AlIslamiyah, 1397 H), cet. III, jilid I, h, 272
Jurnal TSAQAFAH
Epistemologi Penafsiran Ilmiah al-Qur’an
127
Bucaille dalam bukunya “Taurat, Injil, al-Qur’an dan Sains Modern”, mengakui kebenaran dan kemukjizatan al-Qur ’an, sekaligus penyimpangan Taurat dan Injil dari berbagai persoalan sains. Tafsir ilmiah seharusnya dipakai untuk menghilangkan kontradiksi antara ayat-ayat al-Qur’an dan temuan-temuan ilmiah. Umpamanya, teori Ptolemeus yang mengatakan bahwa ada 9 bintang, ini bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang mengatakan adanya 7 langit. Maka, arasy dan kursi mesti diinterpretasikan sebagai bintang kedelapan dan kesembilan agar kontradiksi antara lahiriyah ayat dengan sains bisa dihilangkan pada saat yang sama. Kedua, ulama yang menentang penafsiran ilmiah, di antaranya Abu Ishaq al-Syatibiy (790 H) dalam bukunya “al-Muwâfaqât” yang menolak tafsir ilmiah dan menyanggah argumen-argumen yang mendukungnya. Ia mengatakan: “Bangsa Arab ketika al-Qur’an diturunkan memiliki ilmu pengetahuan seperti perbintangan, pengetahuan tentang waktu-waktu turunnya hujan, pengobatan, retorika, geologi, ramalan, dan lain sebagainya. Islam telah mengklasifikasikan ilmu-ilmu tersebut menjadi dua, ilmu yang benar, dan Islam memberikan modifikasi terhadap ilmu-ilmu itu, dan ilmu yang tidak benar (perdukunan, ramalan dan lain-lain).”38 Islam menjelaskan manfaat dan bahaya dari masing-masing ilmu tersebut, kemudian Islam memberikan contoh-contohnya dalam al-Qur’an. Syaikh Mahmud Syaltut juga termasuk ulama al-Azhar yang menentang dengan keras terhadap jenis tafsir ini dalam tulisantulisannya yang dimuat dalam majalah “al-Risâlah”. Syaltut mengatakan: Pandangan seperti ini terhadap al-Qur’an tidak disangsikan bahwa hal itu adalah keliru. Sebab, Allah tidak menurunkan alQur’an agar al-Qur’an menjadi sebuah kitab yang berbicara kepada manusia mengenai teori-teori sains, seluk beluk seni dan jenis-jenis pengetahuan.39 Ini sudah barang tentu salah karena pandangan tersebut mendorong orang yang terkait dan yang menafsirkannya untuk melakukan interpretasi atas al-Qur’an dengan interpretasi yang dipaksakan. Sebab hal tersebut akan menjadikan al-Qur’an dijadikan objek sains di setiap ruang dan waktu. Padahal, sains tidak mengenal kepastian, dan kata akhir. Bisa saja yang sekarang dalam pandangan 38 Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, (Beirut: dar al-kutub alIlmiyyah, tt), jld II, 69-71 39 Abd al-Ghafur Mahmud Mustafa Ja’far, Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n fi Tsaubihi alJadi>d, (Kairo: Dar al-Salam, 2007), Cet. I, h. 762-3
Vol. 7, No. 1, April 2011
128 Sujiat Zubaidi Saleh sains benar akan tetapi besok menjadi salah karena diruntuhkan oleh teori arau penemuan baru. Jika kita menerapkan al-Qur’an terhadap masalah-masalah ilmiah yang berubah-ubah itu, tentu kita menjadikan al-Qur’an akan jatuh bangun bersama masalah-masalah tersebut dan akan terjebak dalam kekeliruannya. Selain itu, Husein al-Dzahabiy - guru besar dalam bidang Ulum al-Qur’an wa al-Hadits di Universitar al-Azhar, yang menulis buku “al-Tafsîr wa al-Mufassirun” – juga mengikuti jejak al-Syatibiy dalam menolak tafsir ilmiah. Ia menegaskan bahwa keyakinan yang benar adalah pendapat al-Syatibiy, sebab argumen yang diajukan untuk mendukung klaimnya adalah valid dan kuat, tidak ada kelemahan dan cacat.40 Karena, jawabannya terhadap argumen-argumen yang diajukan oleh mereka yang menentangnya merupakan jawaban yang tepat sehingga tidak ada argumen lain. Konstruk argumen yang disajikan adalah al-Qur’an tidak diturunkan untuk menjelaskan masalah-masalah sains, melainkan secara khusus untuk hukum dan masalah-masalah ibadah. Di antara argumen terpenting dalam menyanggah tafsir ilmiah adalah bahwa konsep ilmu itu empiris, tidak pasti, dan tidak tetap. Hal ini menyebabkan munculnya keraguan manusia terhadap al-Qur’an.41 Ketika sebagian mufassir, misalnya mengaplikasikan al-Qur’an terhadap “sembilan bintang” dalam astronomi kuno Ptolemeus, dan ternyata setelah beberapa waktu salah, maka sebagian orang beranggapan bahwa al-Qur’an bertentangan dengan teori-teori astronomi modern (Copernikus). Di samping itu, menggunaan tafsir ilmiah dan menyebutkan berbagai masalah sains melalui tafsir ini menyebabkan tujuan asli dari al-Qur’an menjadi hilang, yaitu tujuan untuk menyucikan dan memberi hidayah, seperti yang terjadi pada tafsir al-Jawahir, yang ditilis oleh Tantawi Jauhari. Dengan kata lain, tafsir ilmiah menyebabkan munculnya salah duga atas al-Qur’an dan fungsinya.42 Al-Qur’an disangka diturunkan untuk menjelaskan masalah-masalah sains. 40 Muhammad Husein Al-Dhahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2002), juz II, hlm. 691-692. 41 Hindun Syalabi, Al-Tafsi>r Al-Ilmi li al-Qur’an al-Karim Baina Naz}ariyyah wa alTat}biq, (Gaza Palestina: Afaq’ li Nasyr wa al-Tauzi’, 2002), Cet. II, h. 203 42 Al-Awaji, Muhammad bin Abdul Aziz, I’jaz al-Qur’an al-Karim inda Syaikh Ibn Taimiyyah Ma’a al-Muqaranah bi Kitab I’jaz al-Qur’an li al-Baqillani, (Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, 2007), Cet. I, h. 114
Jurnal TSAQAFAH
Epistemologi Penafsiran Ilmiah al-Qur’an
129
Menurut hemat penulis, tafsir ilmi dapat diterima dengan sejumlah prasyarat dan ketentuan; Pertama, mufassir harus menguasai sejumlah ilmu. Di antaranya pengetahuan tentang bahasa Arab, mengetahui masalah yang berkaitan dengan turunnya ayat, mengetahui sejarah Nabi saw, sejarah Islam masa awal terkait dengan ayat, mengetahui ilmu-ilmu al-Qur’an seperti nasikh-mansukh, mengetahui hadis-hadis dan ushul fiqh, mengetahui pendapatpendapat yang bersifat filosofis, ilmiah, sosial dan etika, menghindari diri untuk tidak mengikuti secara buta terhadap para mufassir lain. Kedua, memperhatikan tafsir-tafsir yang bisa diterima, seperti mengikuti metode yang relevan, menjauhkan diri untuk tidak terpengaruh oleh ide-ide yang menyimpang, tafsirnya tidak bertentangan dengan ayat-ayat lain dan penilaian rasional subjektif, serta memanfaatkan sumber-sumber yang valid dalam tafsir. Ketiga, makna lahiriyah ayat harus jelas terkait dengan masalah ilmiah, tidak memunculkan anggapan membebani makna (memaksa). Dengan kata lain, kita harus menghindari penjelasan yang tidak dapat dibenarkan dan penafsiran yang menyalahi lahiriyah teks. Selanjutnya, memanfaatkan metode yang benar dalam menafsirkan. Maksudnya, menggunakan sains untuk memahami dan menjelaskan al-Qur’an, bukan memanfaatkan yang tidak benar, seperti menelorkan sains dari al-Qur’an dan memaksakan teori-teori terhadap al-Qur’an.
Penutup Al-Qur’an adalah wahyu Allah, petunjuk dalam bahasa simbol, berisikan pesan-pesan yang bersifat universal, absolut dan mutlak kebenarannya. Kesempurnaannya bukan berarti ia berbicara tentang segala sesuatu secara menyeluruh akan tetapi terletak pada dasardasar, pokok dan isyarat-isyarat yang terkandung di dalamnya. Ia juga tidak turun dalam kondisi yang hampa kultural namun sebagai bentuk dialektika dan respon terhadap kondisi dan situasi sosial, politik dan religius bangsa Arab pada masa itu sehingga upaya pemahaman atau penafsiran tidak akan pernah lepas dari konteks zaman. Hal ini relevan dengan karakteristik al-Qur’an yang selalu dapat dipahami dan diaplikasikan sepanjang masa. Sebagaimana dipahami bahwa Tafsir adalah salah satu bentuk cerminan produk pemikiran dan peradaban manusia. Ia selalu
Vol. 7, No. 1, April 2011
130 Sujiat Zubaidi Saleh mengalami perkembangan dan dipengaruhi dinamika peradaban manusia, hingga dalam perjalanannya “sains” dan al-Qur ’an kemudian dapat dipertemukan secara dialogis. []
Daftar Pustaka Abdul Muhtasib, ‘Abdul Majid, Ittija>ha>t al-Tafsi>r fi al-‘As}r al-H}adi>ts, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998) Abu Sa’dah, Rauf, Min I’ja>z al-Qur’a>n, Al-Alam al-A’jami fi al-Qur’a>n Mufassiran bi al-Qur’a> n , Wajhun fi I’jaz al-Qur’a> n al-Jadid, (Kairo: Dar al-Hilal, 1998), Cet. II Ahmad, Hanafi, Al-Tafsi> r Al-’Ilmi li Al-Aya>t Al-Kawniyyah fi AlQur’a>n, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, cet. II, tt.) Ahmad Salamah, Ziyad, At}fa>l al-Ana>bib Baina al-Ilm wa al-Syari’ah, (Beirut: Al-Dar al-Arabiyah li al-Ulum, 1996), Cet. I. Al-‘Akk, Khalid ‘Abdurrahman, Us}u>l at-Tafsi>r wa Qawa>’iduhu (Beirut: Dar al-Nafa’is, 1986), Cet. II Al-Amir, Baha’, Al-Nu>r al-Mubi>n, Risa>lah fi Baya>n i’ja>z al-Qur’a>n alKarim, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2002), Cet. I Al-Asfahani Raghib, Mu’ja>m Mufrada>ti Alfa>dz al-Qur’a>n, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), Cet. I Al-Awaji, Muhammad bin Abdul Aziz, I’ja>z al-Qur’a>n al-Karim inda Syaikh Ibn Taimiyyah Ma’a> al-Muqaranah bi Kitab I’ja> z alQur’a>n li al-Baqillani, (Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, 2007), Cet. I Al-Dhahabi, Muhammad Husein, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, ( Kairo: Maktabah Wahbah, 2002), juz II Al-Gamrawiy, Muhammad Ahmad, Al-Isla>m fi ‘Asr Al-’Ilmiy, Dar Al-Kutub Al-Haditsah Al-Sa’adah Kairo 1978, h. 375. Al-Hanafi, Abu Su’ud bin Muhammad al-Imadi, Tafsi>r Abi Su’ud, Irsya>d al-’Aql al-Salim ila Maza>ya al-Kita>b al-Karim, ed. Abdul Qadir Ahmad ‘Atha, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, 1971), Jilid I, Cet. I Al-Jumaili, As-Sayyid, al-I’ja> z Ilmi fi al-Qur’a> n, (Beirut: Dar wa Maktabah al-Hilal, 1992), Cet. II
Jurnal TSAQAFAH
Epistemologi Penafsiran Ilmiah al-Qur’an
131
al-Khamsy, Na’im, Fikrah I’ja>z al-Qur’a>n Min al-Bi’tsah ila Asrina alH}adi>r, (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1980), Cet. II Al-Khauli, Amin, Dira>sa>t Islamiyyat, (Kairo: Matba’ah Darul Kutub al-Misriyyah, 1996) Al-Lauh, Abdus Salam Hamdan, Al-I’ja> z Al-Ilmi fi al-Qur’a>n alKari>m, (Gaza Palestina: Afaq’ li Nasyr wa al-Tauzi’, 2002), Cet. II Al-Najjar, Zaghlul Raghib, Tafsi>r al-Ayat al-Kauniyyah fi al-Qur’a>n al-Karim, (Beirut: Maktabah al-Tsarwah al-Dauliyyah, 2001), Jilid IV, Cet. II. ———, Khawatir fi Ma’iyya> t Khata> m al-Anbiya’ wa al-Mursalin Sayyidina Muhammad SAW, (Kairo: Nahda Masr, 2002), Cet. I ———, Qad}iyyat al-I’jaz al-’Ilmiy li al-Qur’an al-Karim wa D}awabit al-Ta’amul Ma’aha, (Beirut: Maktabah al-Tsarwah al-Dauliyyah, 2001), Jilid II, Cet. II. Al-Rawi, Abdul Wahhab, Mu’jiza>t al-Qur’a>n al-Ilmiyyah fi al-Insa>n, Muqa>balah ma’a al-Taurat wa al-Injil, (Yordania: Dar al-Ulum, 2008), Cet. I al-Syatibi, Abu Ishaq, Al-Muwafa>qa>t fi Us}u>l al-Syari’ah, (Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), jld II, 69-71 Al-Thabathaba’i, Muhammad Husain, Tafsi>r Al-Mi>za>n, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 1397 H), cet. III, jilid I, Auliffe, Jane Dammen Mc, Exegetical Sciences, dalam Andrew Rippin (editor), The Blackwell Companion to The Qur’an, (Oxford: Wiley-Blackwell, 2009), Goldziher, Ignaz, Madha>hib al-Tafsi>r al-Isla>mi, diterjemahkan oleh Abdul Halim an-Najjar (Kairo Mesir: Maktabah al-Khanjim 1955) Hanafi, Hassan, Method of Thematic Interpretation of the Qur’an, dalam Stefan Wild (ed), The Qur’an as Text, (Leiden: E.J. Brill, 1996) Ja’far, Abd al-Ghafur Mahmud Mustafa Al-Tafsir wa al-Mufassiru>n fi Tsaubihi al-Jadi>d, (Kairo: Dar al-Salam, 2007), Cet. I Jauhari, Tantawi, al-Jawa>hir fi Tafsi>r al-Qur’a>n (Kairo: Mustafa alBabi al-Halabi, 1922), Jilid 1
Vol. 7, No. 1, April 2011
132 Sujiat Zubaidi Saleh Mamura, Michael E., The Conflict Over the World’s Pre-Eternity in the Tahafur of Al-Ghazali and Ibn Rusyd, (Michigan: University of Michigan Press, 1958) Mustaqim, Abdul, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Rizq, Hani, Biolojiya al-Istinsakh, dalam Hussein Fazlullah (ed.), AlIstinsa>kh, Jadal al-Ilm wa al-Din wa al-Akhla>q, (Beirut: Dar alFikr al-Mu’asir, 1997), Cet. I Shihab, M. Quraish, Mukjizat al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), cet. II Sulaiman al-Rumi, Fahd bin Abdurrahman bin, Al-Madrasah al‘Aqliyyah al-H}aditsah fi al-Tafsir, (Riyadh: Ri’asah al-Buh} u>ts al-Ilmiyyah wa al-Ifta’, 1983), Cet. II Sulaiman al-Rumi, Fahd bin Abdurrahman bin, Ittija>ha>t al-Tafsir fi al-Qarn al-Ra>bi’ Asyar al-Hijri, (Riyadh: Wizarah al-Ta’lim alAli, 1405 H), Syalabi, Hindun, al-Tafsir al-Ilmi li al-Qur’an al-Karim Baina alNaz}ariyyah wa al-Tat}bi>q, (Tunisia: Raf’ al-Masahim, 1985) Syaraf, Hifni Muhammad, I’ja>z Qur’a>n Bayani, Baina al-Naz}ariyyah wa al-Tat} biq, (Jeddah: Majil A’la li al-Syu’un Al-Islamiyah, 1994).
Jurnal TSAQAFAH
Hubungan Simbiotik al-Qur’an dan al-Hadits dalam Membentuk Diktum-Diktum Hukum Abu Yasid Pascasarjana IAI Ibrahimy Situbondo Jawa Timur Email:
[email protected]
Abstract Al-Qur’an and Hadits are not other than a primary resource of law which can not be hesitated; also they have a symbiotic relationship between each other in determining the dictums of law. This article will elaborate the purposed of their relationship. There are at least four problems should be revealed: the case toward terminology of Al-Qur’an and Hadits, the hierarchy of both, the function of Hadits toward Al-Qur’an, and the elucidation of Hadits toward Al-Qur’an. As the matter of fact, that Al-Qur’an has lot designations, than also Hadits has not single designations, but it has some, such as al-Sunnah, al-khabar, and al-at}sar. The most prominent function of Hadits in Islamic jurisprudence is to elaborate and describe the varied content of the Al-Qur’an that is still global and multiinterpretation. This function can be understood because of the main task of the Prophet as the messenger was not other than elaborating and explaining all what Allah has revealed in the holy books to the universe. In the term of it wurud, AlQur’an has reached the degree of Qath’i and different to Hadits which it level of isnad validation is dhanni except hadits mutawatir . Yet, seeing from the point of law or dalalah, Al-Qur’an and Hadits are having an equal degree.
Keywords: kitab suci, sumber primer, istinbath, wahyu, hierarki.
Pendahuluan
A
l-Qur’an dan al-Hadits diyakini menjadi sumber primer ajaran agama lantaran dari keduanya diktum-diktum hukum Islam dikreasi dan dibentuk sesuai mekanisme istinbath sebagaimana
* Program Pascasarjana IAI Ibrahimy, Sukorejo Banyuputih Situbondo 68374 Jawa Timur, Telp / Fax : 0338-452570
Vol. 7, No. 1, April 2011
134 Abu Yasid dijabarkan dalam ilmu ushul fiqh. Al-Qur’an tak lain adalah serangkaian firman Allah SWT yang ditransmisi kepada ummat manusia melalui seorang utusannya, Muhammad SAW. Selain dapat dibaca dan berimplikasi reward (pahala) bagi yang membacanya, al-Qur’an juga menjadi guide-line atau panduan kesehariaan bagi kehidupan ummat manusia. Sebagai sumber primer ajaran agama, al-Qur’an dapat menyelesaikan aneka persoalan ummat manusia baik menyangkut kemasyarakatan, perekonomian, politik dan aspek kehidupan yang lain. Al-Qur’an meletakkan dasar-dasar umum penyelesaian segala persoalan sehingga ia mampu bertahan dalam segala bentuk rupa perubahan serta tidak lekang dengan waktu. Sebagai wahyu verbal yang memuat banyak aturan secara global, al-Qur’an memerlukan penjelasan al-Hadits sebagai bentuk wahyu yang lain. Jika al-Qur’an merupakan firman Tuhan maka alHadits adalah sabda nabi yang banyak memberikan penjabaran terhadap kemujmalan al-Qur’an. Hubungan simbiotik al-Qur’an dan al-Hadits tidak dapat dipasung oleh pemahaman bahwa yang tersebut kedua bersifat inferior dibanding yang pertama. Sebaliknya, baik al-Qur’an maupun al-Hadits mempunyai perannya sendiri dalam membentuk diktum-diktum hukum sebagai aturan operasional. Bahkan, dalam batas tertentu, kebutuhan al-Qur’an terhadap al-Hadits terkesan lebih dominan ketimbang ketergantungan al-Hadits kepeda al-Qur’an. Dari sudut kedatangannya sebagai wahyu, al-Qur’an memang dalam posisi superior di atas al-Hadits. Sebab, jika yang mencapai derajat qat}’i (qat}’iy al-wuru>d) dari al-Hadits terbatas pada haditshadits mutawatir maka dalam al-Qur’an seluruh ayatnya dapat dikatakan mencapai tingkatan qat}’i. Akan tetapi dari sudut indikasi hukumnya, al-Qur’an dan al-Hadits mempunyai derajat sebangun lantaran sama-sama diukur dari aspak dala>lah atau penunjukan hukumnya. Dalam kaitan ini, al-Hadits sebagai penjabar dan penjelas terhadap al-Qur’an sering mempunyai tingkat kepastian hukum yang lebih besar. Sebab dalam memberikan penjabaran seringkali teks al-Hadits membatasi keumuman dan kemutlakan al-Qur’an (takhs}is} al-‘am wa taqyid al-mut}laq). Dalam kondisi seperti ini, lafadz yang kushus (khas} ) dan lafadz yang terikat dengan batasan tertentu (muqayyad) relatif lebih mempunyai tingkat kepastian hukum lebih tinggi ketimbang lafadz ‘am dan lafadz mut}laq yang masih perlu dibatasi cakupan dan ruang lingkupnya.
Jurnal TSAQAFAH
ﻳﺴﺘﻔﺘﻮﻧﻚ ﰲ ﻋﻦ ﻳﺴﺄﻟﻮﻧﻚ
Hubungan Simbiotik al-Qur’an dan al-Hadits...
135
Hubungan simbiotik al-Qur’an dan al-Hadits pada kenyataannya tidak dapat membendung adanya hierarki di antara keduanya. Sudah menjadi ungkapan umum di kalangan para Juris Islam bahwa al-Qur’an merupakan sumber hukum pertama sedangkan al-Hadits adalah sumber rujukan kedua. Urutan seperti ini paling tidak dibuat untuk keperluan rujukan sumber-sumber hukum dalam aktivitas istinbath. Sebelum merujuk pada sumber hukum kedua, tentunya para Mujtahid merefer terlebih dahulu pada sumber hukum pertama. Begitu pula setelah merujuk pada kedua sumber primer ini, mereka perlu mempertimbangkan mekanisme istidla>l dengan memperhatikan sumber-sumber hukum lain seperti qiyas, istih}sa> n, mas} lah} ah mursalah dan lain-lain.
Terminologi al-Qur’an dan al-Hadits Tidak seperti kitab suci lainnya –Taurat dan Injil misalnya— yang turun sekaligus kepada Nabi Musa dan Isa as, al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril as secara bertahap sesuai konteks realitas masyarakat Arab waktu itu. Bahkan tidak jarang al-Qur’an turun dalam bentuk jawaban atas pertanyaan masyarakat Arab menyangkut persoalan tertentu. Karenanya, sering kita temukan dalam lembaran al-Qur’an ungkapan .... (mereka bertanya kepadamu Muhammad tentang…) atau ... (mereka minta fatwa padamu Muhammad soal…), lalu teks al-Qur ’an melanjutkan dengan jabaran dan penjelasan menyangkut prsoalan yang sedang ditanyakan masyarakat tersebut. Dalam terminologi ilmu al-Qur’an (ulu>m al-Qur’a>n) kumpulan teks al-Qur’an identik dengan beberapa sebutan, yaitu: al-Qur’an (QS al-Qiyamah: 17 dan QS al-Isra’: 9); al-kitab (QS al-Anbiya’: 10); al-furqan (QS al-Furqan: 1); al-nur (QS al-Nisa’: 174); al-dzikr (QS al-Hijr: 9); dan al-tanzil (QS al-Syu’ara’: 192). Selain itu, kumpulan teks al-Qur’an juga sering disebut mushhaf (sebendel kertas yang berisikan tulisan). Bisa disebut al-Mus}h}af karena ia ditulis dalam naskah tertentu dengan nama dan sebutan tertentu juga. Konon, penyebutan mus}h}af ini mula-mula dilakukan sahabat Abu Bakar alShiddiq setelah berunding dengan para sahabat yang lain. Abu Bakar memberi nama mushhaf setelah rampung melakukan pengumpulan lembaran-lembaran al-Qur’an yang sebelumnya tercerai berai di
Vol. 7, No. 1, April 2011
136 Abu Yasid berbagai sudut tempat menjadi satu manuskrip tertentu.1 Belakangan dalam wacana agama, lembaran wahyu al-Qur’an dan al-Hadits sering disebut dengan istilah teks agama atau nash syar’i (al-nus}us} al-syar’iyyah). Nashr Hamid Abu Zaid, pemikir Islam asal Mesir, misalnya, dalam banyak karya ilmiahnya sering menggunakan term teks (nas}) untuk mengupas kandungan ayat-ayat alQur’an dan al-Hadits secara keseluruhan. Sekurang-kurangnya hal ini juga tercermin dalam tajuk sebuah karyanya, Mafhum al-Nas}: Dira>sah fi Ulu>m al-Qur’a>n (Pemahaman Teks: Sebuah Kajian IlmuIlmu al-Qur ’an). Muhammad Adib Shalih juga menggunakan terminologi teks dalam tajuk disertasi doktornya di Universitas Kairo, Mesir, yaitu Tafsir al-Nus}us} fi al-Fiqh al-Isla>mi (Penafsiran Teks dalam Fiqh Islam). Karya ilmiah yang sudah diterbitkan ini mengupas mekanisme tafsir dan istinba>t} hukum dari aneka ragam lafadz dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Per-definisi, al-Qur ’an adalah kalam (firman) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan mempunyai nilai ibadah jika dibaca. 2 Sebagai firman dzat yang maha kuasa dan maha bijaksana, al-Qur’an diyakini dapat menyelesaikan segala persoalan kemanusiaan, baik menyangkut rohani, jasmani, rasio, kemasyarakatan, perekonomian, politik dan aspek kehidupan yang lain. AlQur’an meletakkan dasar-dasar umum penyelesaian segala persoalan sehingga ia mampu bertahan dalam segala bentuk rupa perubahan zaman, tempat dan keadaan. Sebagaimana pendapat yang pernah dikutip pejuang Islam asal Mesir, Hasan al-Banna, bahwa dengan berpedoman pada al-Qur’an, Islam merupakan agama komprehensif mencakup segala aspek kehidupan. Ia mengatur persoalan negara dan tanah air, pemerintahan dan keummatan, perangai dan kekuatan, rahmat dan keadilan, budaya dan peraturan perundangundangan, ilmu dan peradilan, materi dan khazanah, usaha dan kekayaan, jihad dan dakwah, bala tentara dan pemikiran, aqidah yang lurus serta ibadah yang benar.3 Berbeda dengan al-Qur’an yang membacanya mempunyai nilai ibadah, al-Hadits tidaklah demikian halnya. Membaca al-Hadits sama halnya dengan membaca teks-teks lain selain al-Qur’an. Secara termi1 Dr. Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, Juz I, h.14 – 15; Manna’ al-Qatthan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 21 – 22. 2 Manna’ al-Qatthan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 21 3 Ibid, h. 19.
Jurnal TSAQAFAH
Hubungan Simbiotik al-Qur’an dan al-Hadits...
137
nologi, al-Hadits adalah segala bentuk rupa perkataan, perbuatan, pengakuan, serta sifat-sifat Nabi SAW.4 Hadits Nabi, secara umum, dapat diklasifikasi menjadi dua bagaian, yaitu: tauqifi dan taufiqi. Tauqifi merupakan jenis hadits yang kandungan makna dan hukumnya langsung diterima Rasulullah SAW dalam bentuk wahyu dari Allah SWT. Karena kandungan isinya yang begitu jelas dan lugas maka Rasulullah SAW langsung dapat menyampaikan hadits ini kepada ummat sesuai misi risalah yang diembannya. Jenis hadits seperti ini betapapun kandungan maknanya dapat dinisbatkan langsung kepada Allah namun ia masih dalam koridor sabda Rasul sehingga tidak bisa setaraf dengan al-Qur’an.5 Sedangkan taufiqi adalah jenis hadits yang kandungan maknanya tidak langsung dari Allah SWT melainkan dari hasil kreativitas ijtihad atau istinba>t} (penggalian makna) yang dilakukan Rasulullah SAW. Karena kandungan makna dilakukan melalui proses istinbat} maka keberadaan hadits ini dapat diakui sebagai wahyu jika hasil pemahaman melalui istinba>t} itu ternyata benar sesuai kehendak Allah. Sebaliknya, jika ternyata tidak benar maka datanglah wahyu susulan sebagai koreksi terhadap pemahaman makna yang kurang sesuai.6 Sebagai contoh jenis hadits ini adalah hasil ijtihad Rasul yang membolehkan tawanan perang Badar membayar tebusan kepada pihak kaum muslimin. Pendapat Rasul ini sebagai wujud persetujuan beliau terhadap gagasan sahabat Abu Bakar. Lalu Allah ternyata mengoreksi pendapat Rasul ini dan turunlah ayat:
Artinya: Tidak boleh Nabi itu mempunyai tawanan-tawanan perang sehingga dia bertindak berlebihan di atas bumi, kamu sekalian menghendaki kekayaan dunia sedangkan Allah menghendaki akhirat. QS al-Anfal (8): 67.
Baik jenis hadits pertama (tauqifi) maupun kedua (taufiqi) sesungguhnya sama-sama berpangkal pada sumber wahyu Tuhan. Hal ini sebagaimana pernah diisyaratkan Tuhan dalam QS al-Najm (53): 4
Ibid, h. 24. Ibid, h. 27; Dr. Abu Yasid, LL.M., Nalar & Wahyu, h. 24 – 25. 6 Ibid. 5
Vol. 7, No. 1, April 2011
138 Abu Yasid 3 bahwa segala apa yang disabdakan Nabi tak lain adalah wahyu dari Allah. Kedua jenis hadits ini selain memiliki posisi sentral dalam proses tasyri’, juga mempunyai hubungan simbiotik yang saling melengkapi dengan al-Qur’an dalam proses pembentukan diktum-diktum hukum. Bedanya, jika al-Qur’an merupakan wahyu yang turun lafz}an wa ma’nan (secara lafadz dan makna) melalui malaikat Jibril as, maka al-Hadits adalah wahyu tanpa mediasi malaikat sehingga secara verbal dinisbatkan kepada Rasulullah SAW bukan kepada Allah SWT. Simplifikasi dari itu semua, al-Qur’an lalu disebut firman Allah, sementara Hadits Nabi diidentifikasi sebagai sabda Rasul. Hadits Qudsi memiliki sedikit aspek perbedaan dengan Hadits Nabi. Jika Hadits Nabi merupakan perkataan Nabi yang direct (langsung), maka Hadits Qudsi adalah perkataan Nabi yang indirect, yakni masih disandarkan kepada Allah SWT. Contoh Hadits Qudsi adalah jika dalam sebuah redaksi Hadits dikatakan: “Rasulullah SAW bersabda: berfirman Allah SWT……..”. 7 Bobot wahyu yang dimiliki hadits nabi tidak berbeda dengan muatan wahyu dalam Hadits Qudsi. Namun demikian, dari segi proses turunnya, Hadits Qudsi memiliki segi-segi perbedaan dengan Hadits Nabi. Jika redaksi Hadits Nabi langsung dinisbatkan kepada Rasulullah SAW tanpa ada pernyataan verbal bahwa ia dari Allah SWT maka Hadits Qudsi tidaklah demikian. Hadits Qudsi masih dinisbatkan kepada Allah SWT oleh Nabi betapa pun redaksi dan bahasanya tetap dari Nabi sendiri. Makna dan kandungan Hadits Qudsi adalah dari Allah SAW dengan proses pewahyuan biasa, sementara lafadz dan redaksi-nya dikreasikan sendiri oleh Rasulullah SAW. Inilah letak perbedaan Hadits Qudsi dengan hadits biasa pada umumnya. Seandainya redaksi Hadits Qudsi muncul dari Allah SAW sebagaimana maknanya niscaya tidak ada perbedaan signifikan lagi antara Hadits Qudsi dengan al-Qur’an. 8 Begitu juga seandainya redaksi Hadits Qudsi tidak dinisbatkan kepada Allah maka tidak ada lagi jarak perbedaan antara Hadits Qudsi dengan Hadits Nabi. Dengan demikian, dari sudut substansi, baik al-Qur’an, Hadits Nabi maupun Hadits Qudsi memiliki muatan yang sama sebagai wahyu 7 8
Ibid, h. 25. Ibid, h. 27.
Jurnal TSAQAFAH
Hubungan Simbiotik al-Qur’an dan al-Hadits...
139
Tuhan. Yang membedakan satu sama lainnya tak lain adalah mekanisme dan proses pewahyuan yang dilakukan Tuhan melalui Rasulnya. Aspek perbedaan hadits Nabi dan Hadits Qudsi di atas di sisi lain dapat menyiratkan beberpa aspek perbedaan pula antara alQur’an dan Hadits Qudsi. Jika al-Qur’an merupakan kalam Tuhan yang mandiri maka Hadits Qudsi masih menungu pemberitaan dari Nabi SAW. Selain itu, jika setiap penggalan ayat dalam al-Qur’an mengandung mukjizat yang dapat menaklukkan pujangga manapun untuk dapat menandingi uslub dan susunan bahasanya, maka Hadits Qudsi, betapa pun ia merupakan kalam Allah juga, tidaklah memiliki dimensi kemukjizatan seperti halnya al-Qur’an. Perbedaan lain, keseluruhan teks al-Qur’an dinukil secara mutawatir sehinga keberadaannya sebagai wahyu Tuhan tidak dapat dipungkiri lagi (qat}’i al-wuru>d). Ini berbeda dengan Hadits Qudsi dan juga Hadits pada umumnya yang kebanyakan periwayatannya dilakukan secara tidak mutawatir sehingga kwalitas sanadnya masih dalam kategori ah}ad yang masih debatable, bisa menjadi s}ahi>h, hasan, atau d}a’if.
Hierarki al-Qur’an dan al-Hadits Ditinjau dari segi wuru>dnya (datangnya dari wahyu), al-Qur’an mempunyai indikasi qat}’i (pasti), yakni tidak diragukan lagi keberadaannya sebagai wahyu Tuhan. Sebaliknya, al-Hadits, selain yang mutawatir, mempunyai indikasi sebaliknya, d}anni, yakni kedatangannya dari wahyu masih diperdebatkan karena sanad atau mekanisme periwayatannya yang masih belum konstan seperti halnya al-Qur’an. Atas dasar penyekatan seperti ini para Ulama’ pada umumnya lalu mengklasifikasi al-Qur’an sebagai sumber ajaran pertama dan al-Hadits sebagai sumber kedua. Hierarki seperti ini juga dilandaskan pada beberapa bukti lain, di antaranya sejumlah hadits Nabi yang menjelaskan bahwa urutan al-Hadits di bawah al-Qur’an. Hal ini seperti tercermin dalam dua hadits berikut ini : 1.
Vol. 7, No. 1, April 2011
140 Abu Yasid Artinya: Rasulullah SAW bersabda kepada Mu’adz bin Jabal: Bagaimana kamu akan memutuskan perkara jika dihadapkan pada suatu persoalan hukum? Mu’adz menjawab: saya akan memutuskannya berdasarkan kitab Allah (al-Qur’an). Rasulullah bersabda: jika kamu tidak menjumpainya dalam al-Qur’an?. Mu’adz menjawab: maka berdasarkan pada sunnah Rasul. Rasulullah bersabda: jika tidak menjumpainya juga dalam sunnah Rasul? Muadz menjawab: saya akan berijtihad berdasarkan akal pikiran saya. HR Imam Abu Dawud.
2.
Artinya: Barangsiapa dihadapkan pada persoalan hukum setelah hari ini maka hendaknya dia memutuskannya berdasarkan kitab Allah (al-Qur’an). Jika datang persoalan yang tidak ada (jawabannya) dalam kitab Allah maka hendaknya memutuskannya dengan apa yang pernah diputuskan Nabi Allah SAW. HR Imam al-Turmudzi.
Argumen lain yang menunjukkan adanya hierarki di atas adalah sebuah kenyataan bahwa al-Hadits mempunyai fungsi penjabar terhadap al-Qur’an. Secara logika, pihak yang menjelaskan mempunyai kedudukan lebih rendah ketimbang yang dijelaskan. Sebab, jika tidak ada yang dijelaskan (al-Qur’an) maka sudah barang tentu tidak perlu ada penjelasan al-Hadits. Sebaliknya, jika tidak ada penjelasan berupa al-Hadits maka tidak semestinya sesuatu yang dijelaskan ikut tidak ada pula.9 Di luar mainstream pemikiran seperti di atas, terdapat penilaian sejumlah kalangan bahwa al-Hadits sesungguhnya memmiliki tempat lebih tinggi dan lebih strategis ketimbang al-Qur’an. Bahkan, menurut mereka, al-Hadits merupakan penentu terhadap al-Qur’an karana di “tangan” hadits-lah pemaknaan final al-Qur’an dapat dirumuskan. Begitu sentralnya peran al-Hadits terhadap al-Qur’an sampai-sampai Imam al-Auza’i (w. 157 H) pernah menandaskan bahwa ketergantungan al-Qur’an terhadap al-Hadits lebih besar ketimbang ketergantungan al-Hadits kepada al-Qur’an.10 Pernyataan ini dilandaskan pada kenyataan bahwa al-Hadits mempunyai fungsi menjabarkan secara lebih elaboratif terhadap 9
Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah Juz IV, h. 3. DR. Ra’uf Syalabi, al-Sunnah al-Islamiyyah baina Ithbat al-Fahimin wa Rafdli alJahilin, h. 62. 10
Jurnal TSAQAFAH
Hubungan Simbiotik al-Qur’an dan al-Hadits...
141
kandungan al-Qur’an yang masih kurang detail; merinci dan memperjelas segala apa yang masih mujmal (berupa garis besar) dalam al-Qur’an; membatasi sesuatu yang masih bersifat mut}laq; memberikan ketentuan khusus terhadap kandungan al-Qur’an yang masih bersifat umum; menjabarkan lafadz-lafadz al-Qur’an yang masih rumit (mausykil) maknanya; membentangkan kandungan lafadzlafadz al-Qur’an yang masih bersifat simpel (mujaz); serta menganalogikan dan mempersamakan kasus-kasus hukum lain dengan ketentuan hukum al-Qur’an.11 Secara hierarkis memang sudah menjadi ungkapan umum bahwa al-Qur’an merupakan sumber hukum pertama sedangkan al-Hadits adalah sumber rujukan kedua. Urutan seperti ini dibuat untuk keperluan para Mujtahid dalam merujuk sumber-sumber wahyu. Dalam aktivitas istinbat} hukum, seorang Mujtahid mesti merujuk terlebih dahulu kepada al-Qur’an sebelum menelusuri muatan hukum yang terdapat dalam beberapa hadits nabi. Baru jika tidak menemukan sumber rujukan dalam al-Qur’an dia lalu beralih kepada sumber kedua, hadits nabi. Faktor lain yang dapat meletakkan al-Qur’an di posisi superior atas hadits nabi adalah persoalan sanad. Sebab kedudukan hadits, selain hadits mutawatir, jelas berada di bawah urutan al-Qur’an yang periwayatannya dilakukan secara mutawatir. Kenyataan inilah yang sulit dielak untuk menempatkan al-Qur’an pada posisi superior dan al-Hadits pada level yang inferior. Di luar persoalan hierarki formal ini, al-Qur’an dan al-Hadits sesungguhnya dapat diposisikan sejajar karena peran hadits yang begitu sentral dan strategis dalam memberikan interpretasi dan penjabaran terhadap ke-mujmal-an al-Qur’an itu sendiri. Pada tingkat validasi kandungan hukum, misalnya, muatan hukum yang terdapat dalam teks al-Hadits tidaklah lebih rendah kwalitasnya ketimbang apa yang terdapat dalam kandungan al-Qur’an. Sebab, dari sudut indikasi hukum, baik al-Qur’an maupun al-Hadits sama-sama memliki klasifikasi hukum qat}’i dan d}anni. Artinya, tidak semua teks al-Hadits mempunyai indikasi hukum qat}’i sehingga tidak dapat dijamah oleh nalar ijtihad. Sebaliknya, dalam anatomi teks al-Hadits justru lebih banyak yang berindikasi hukum d}anni dan memungkinkan untuk dikembangkan melalui mekanisme interpretasi dan istinbat} hukum. Al-Qur’an, yang secara hierarkis tadi berada di atas al-Hadits, mempunyai klasifikasi tidak berbeda dengan al-Hadits. 11
Ibid, h. 62 – 63.
Vol. 7, No. 1, April 2011
142 Abu Yasid Dengan demikian, produk hukum yang dibangun melalui kerangka teks al-Qur’an dan al-Hadits memliki tingkat validasi yang sama. Nilai kesetaraan al-Qur’an dan al-Hadits seperti ini diakui sendiri oleh beberapa ayat dalam al-Qur’an, seperti :
هللا عاطأ دقف لوسرلا عطي نم Artinya: Barangsiapa yang taat kepada Rasul maka berarti dia taat kepada Allah. QS al-Nisa’ (4): 80.
ىحوي يحو الإ وه نإ ىوهلا نع قطني امو Artinya: Dan Nabi tidaklah berbicara berdasar hawa nafsunya, sebaliknya apa yang diucapkannya tak lain adalah wahyu dari Allah. QS al-Najm (53): 23.
اوهتناف هنع مكاهن امو هو ذخف لوسرلا مكاتآ امو Artinya: Apap-apa yang Rasul berikan kepadamu maka ambillah dan apa-apa yang dia larang maka jauhilah. QS al-Hasyr (59): 7.
Fungsi al-Hadits terhadap al-Qur’an Ulama’ ushul fiqh membagi fungsi al-Hadits terhadap alQur’an menjadi tiga kemungkinan, yaitu: 1. Al-Hadits mempunyai fungsi memperkuat dan mengokohkan kembali apa yang pernah ditetapkan al-Qur’an. Dengan demikian, kandungan hukum yang ditetapkan memiliki dua dalil sekaligus, yaitu al-Qur’an sebagai penyampai pesan dan al-Hadits sebagai penguat.12 Sebagai contoh adalah hadits nabi yang berbunyi:
Artinya: Islam dibangun atas lima (fondasi): persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa di bulan Ramadhan, dan haji ke Baitullah bagi yang mampu melakukan perjalanan ke sana. HR Imam Muslim.
Fungsi hadits ini tak lain memperkuat apa yang sudah pernah difirmankan Allah dalam al-Qur’an berkaitan dengan anjuran shalat, zakat, puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah. Hal ini 12
Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 39.
Jurnal TSAQAFAH
Hubungan Simbiotik al-Qur’an dan al-Hadits...
143
sebagaimana tercermin dalam ayat-ayat berikut :
Artinya: Dirikanlah olehmu shalat, bayarlah zakat dan ruku’lah bersama orangorang yang ruku’. QS al-Baqarah (2): 43;
Artinya: Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu. QS al-Baqarah (2): 18;
Artinya: Melakukan ibadah haji ke Baitullah merupakan kewajiban manusia terhadap Allah bagi mereka yang mampu melakukan perjalanan ke sana. QS Ali Imran (3): 97.
2. Al-Hadits berfungsi memberikan penafsiran dan penjabaran lebih konkret terhadap ketentuan dalam al-Qur’an yang masih mujmal, yakni hanya mengatur persoalan secara garis besarnya saja. Sebagai contoh adalah ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara soal anjuaran shalat, zakat, dan haji di atas. Ayat-ayat tersebut berisi anjuran secara global dan garis besarnya. Lalu hadits nabi datang untuk menjelaskan teknis melakukan amalan ibadah tersebut secara lebih mendetail dan aplikatif.13 Paparan contoh lebih terperinci menyangkut fungsi penjabar dan penjelas hadits terhadap al-Qur’an ini adalah sbb,: a) Dalam masalah shalat, al-Qur’an hanya menyinggung soal anjuran melakukan shalat secara umum (garis besarnya saja) dan tidak sampai pada aturan teknis bagaimana tata cara melakukannya. Dalam kaitan ini, al-Hadits lahir untuk menjelaskan teknis melakukan shalat secara benar sesuai apa yang dimaksudkan wahyu Tuhan. Lalu Rasulullah memberi penjelasan dengan memperagakan tata cara melakukan shalat yang benar, baik menyangkut syarat-syaratnya, jumlah raka’atnya, dan urutan rukun-rukunnya. b) Dalam soal zakat, teks al-Qur’an hanya berbicara soal anjuran atau kewaiaban setiap muslim megeluarkan zakat sebagai wujud 13
Ibid.
Vol. 7, No. 1, April 2011
144 Abu Yasid pensucian dari segala harta benda yang dimiliki. Sementara detail operasionalnya menyangkut jenis-jenis harta beserta kadar zakat yang mesti dikeluarkan al-Qur’an tidak merincinya secara lebih menyeluruh. Dalam keadaan seperti ini al-Hadits datang memberikan penjelasan dan penjabaran lebih konkret. Seperti hadits tentang nishab zakat binatang ternak, hasil pertanian, emas dan perak, hasil perdagangan dan lain sebagainya. Dalam soal ibadah haji demikin juga halnya, al-Qur’an hanya memaparkan secara umum berkenaan dengan anjuran haji. Lalu Rasulullah memperagakan praktik amalan haji yang benar secara mendetail sesuai apa yang dimaksudkan al-Qur’an. Penjelasan Rasulullah tentang amalan haji dilakukan secara praktis menyangkut syarat-syarat, rukun, dan wajib haji. Selesai memperagakan amalan hai kemudian beliau bersabda:
Artinya: Ambillah dari saya praktik haji (yang mesti) engkau (lakukan). HR Imam Muslim dan al-Turmudzi.
3. Al-Hadits memiliki fungsi dan peran memunculkan hukum yang belum pernah diatur dalam al-Qur’an. Seperti pengharaman mengumpulkan atau mengawini secara bersama-sama antara seorang perempuan dengan bibinya, pengharaman makan daging binatang buas yang memiliki taring, burung yang mempunyai kuku pencakar dan ketentuan-ketentuan hukum lain yang hanya dijelaskan oleh al-Hadits namun tidak pernah disinggung oleh al-Qur’an.14 Fungsi al-Hadits ketiga ini memicu perdebatan di kalangan para Ulama’, atau sekurang-kurangnya membelah sudut pandang mereka dalam memaknai fungsi tersebut. Apa yang menjadi ajang perdebatan, adalah apakah al-Hadits dapat menetapkan ketentuan hukum secara independen tanpa bergantung pada alQur’an? Ataukah sebaliknya, penetapan itu juga mengacu pada al-Qur’an walaupun secara tidak langsung. Dalam kaitan ini pendapat para Ulama’ tebelah menjadi dua. Pendapat pertama menyebutkan bahwa Rasulullah mempunyai otoritas penuh menetapkan segala ketentuan hukum yang tidak ditetapkan oleh al-Qur’an. Alasannya, selagi Rasulullah 14
Ibid, h. 40.
Jurnal TSAQAFAH
Hubungan Simbiotik al-Qur’an dan al-Hadits...
145
diyakini ma’shum (terpelihara dari dosa) maka tidak ada halangan bagi beliau untuk merumuskan segala persoalan yang belum diatur secara khusus oleh al-Qur’an. Pendapat ini mengajukan beberapa argumen, di antaranya sbb.: a) Tuhan dalam banyak firmannya telah mendelegasikan Rasulullah untuk menetapkan ketentuan hukum serta menganjurkan kepada ummat agar tunduk dan patuh terhadap segala apa yang dibawanya. Hal ini sepeti tercermin dalam ayat berikut:
Artinya: Ingat, demi Tuhanmu, mereka tidak akan beriman sehinga mereka bertahkim kepadamu dalam persoalan yang mereka perdebatkan di antara mereka. QS al-Nisa’ (4): 65.15
b) Dalam banyak teks hadits disebutkan tentang celaan bagi orang yang hanya memegangi al-Qur’an dan mengabaikan alHadits.16 Logikanya, jika al-Hadits itu include kepada al-Qur’an dan segala apa yang ada dalam al-Hadits dengan sendirinya sudah tercover dalam al-Qur’an maka tidak terbayangkan adanya sekolompok manusia dapat mengabaikan al-Hadits dan hanya berpegangan pada al-Qur’an. Kenyataannya, seperti diisyaratkan banyak teks Hadits, pengingkaran pada salah satu dua sumber ajaran pokok ini terbukti ada. Atas dasar ini, maka Rasulullah sesungguhnya mempunyai otoritas secara independen merumuskan ketentuan yang belum pernah ditetapkan al-Qur’an. Sebab, kenyataannya tidak semua persoalan yang tertuang dalam hadits nabi sudah pasti terwujud pula dalam al-Qur’an.17 c) Sebuah hasil penelitian menyebutkan bahwa dalam al-Hadits terdapat beragam persoalan yang tak terhitung jumlahnya dan 15 16
Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, h. 6. Di antara hadits yang berbicara soal ini adalah:
Artinya: Salah seorang di antara kamu sekalian hampir mendustakan aku, dia bersandar di atas sofanya sambil menceritakan haditsku, lalu dia berkata: di antara kita terdapat kitab Allah maka sesuatu yang kita dapatkan di dalamnya berupa barang halal maka kita halalkan dan sesuatu yang kita dapatkan di dalamnya berupa perkara haram maka kita haramkan. (Rasulullah bersabda): Ingatlah bahwa sesuatu yang diharamkan Rasulullah sama halnya dengan sesuatu yang diharamkan Allah. HR Imam Ahmad dan Ibnu Majah. 17 Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, h. 7.
Vol. 7, No. 1, April 2011
146 Abu Yasid sama sekali belum pernah ditetapkan al-Qur’an. Kenyataan seperti ini menyiratkan besarnya peranan al-Hadits dalam merumuskan segala persoalan secara mandiri tanpa harus bergantung pada apa yang pernah disinggung ayat al-Qur’an sebelumnya.18 Pendapat kedua mengatakan bahwa Rasulullah tidak mempunyai kewenangan merumuskan syari’at sendiri. Sebaliknya, apapun yang ditetapkan Rasululah mesti ada rujukannya dalam al-Qur’an. Bagi pendapat ini, al-Hadits tidak lebih sebagai penjelas dan penjabar dari apa yang sudah ditetapkan dalam al-Qur’an sebelumnya. Fungsi penjelas seperti ini sesuai apa yang sudah digariskan Tuhan dalam sebuah ayatnya,
Artinya: Dan aku turunkan kepadamu al-Qur’an agar kamu dapat menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka. QS al-Nahl (16): 44.
Pendapat kedua ini diperkuat juga oleh ayat lain dalam alQur’an : Artinya: Sesungguhnya engkau Muhammad sungguh berada dalam posisi budi pekerti yang luhur. QS al-Qalam (68): 4.
Lantaran al-Qur’an sudah menggaransi Rasulullah berperangai baik maka segala apa yang dilontarkan beliau sesungguhnya tidak akan berpapasan dengan apa yang digariskan al-Qur’an itu sendiri. Karena itu, A’isyah RA, Istri Rasul, suatu ketika memberi penjelasan bahwa ayat di atas telah mengidentikkan perangai Rasul dengan alQur’an. Ketika ditanya Sahabat tentang perangai dan budi pekerti Rasulullah, A’isyah menjawab:
Artinya: Budi pekerti Rasulullah adalah al-Qur’an. HR Imam Abu Dawud dan al-Nasa’i.
Penjelasan singkat A’isyah ini menunjukkan bahwa apapun yang dikatakan, dilakukan serta ditetapkan Rasulullah mengacu pada al-Qur’an dan tidak berdiri sendiri. Bagi pendapat ini, anjuran tunduk 18
Ibid, h. 7 – 8.
Jurnal TSAQAFAH
Hubungan Simbiotik al-Qur’an dan al-Hadits...
147
kepada segala yang dibawa Rasulullah adalah dalam kapasitas beliau sebagai penjelas terhadap al-Qur’an, bukan dalam rangka Rasulullah membuat ketentuan sendiri di luar apa yang telah ditetapkan alQur’an. 19 Penjelasan al-Hadits terhadap al-Qur’an Fungsi al-Hadits paling menonjol adalah sebagai penjelas dan penjabar terhadap seluruh kandungan al-Qur’an yang masih global dan multi-interpretasi. Hal ini dapat dimaklumi karena tugas pokok Rasulullah sebagai penyampai Risalah tak lain memaparkan dan menjelaskan kepada ummat segala apa yang diturunkan Allah kepadanya melalui Jibril. Persoalan apakah ketika memberi penjelasan teks alQur’an Rasulullah berkapasitas sebagai penjabar semata ataukah memiliki kompetensi merumuskan sesuatu yang masih baru dan belum ditetapkan al-Qur’an bukanlah masalah yang strategis. Sebab, perdebatan semacam itu sesungguhnya berkutat pada persoalan teknis penyampaian wahyu Tuhan melalui mediator utamanya, Rasululah, dan bukan pada tataran persoalan substansi. Penjelasan Rasulullah terhadap wahyu al-Qur’an penting diapresiasi karena materinya mempunyai jangkauan luas serta dapat mencakup hampir semua aspek kehidupan ummat sehari-hari. Seperti dalam wilayah ibadah, hukum keluarga, hukum pidana, ekonomi, serta tetek bengek kehidupan ummat manusia sehari-hari. 1. Penjelasan tentang Ibadah Kandungan teks al-Qur’an tentang shalat dan zakat, sebagaimana diurai di atas, hanya sebatas anjuran secara garis besar menyangkut wajibnya setiap mukallaf melakukan ibadah shalat dan mengeluarkan zakat. Hal ini sebagaimana tercermin dalam firman Allah:
Artinya: Kerjakanlah shalat dan tunaikanlah zakat. QS al-Baqarah (2): 43.
Sementara menyangkut detail operasional pelaksanaan shalat dan zakat al-Qur’an tidan membicarakan lebih banyak. Dalam kaitan ini teks al-Hadits banyak memberikan penjelasan, misalnya, tentang jumlah shalat yang wajib dilaksanakan, jumlah jenis-jenis shalat yang 19
Ibid, h. 6.
Vol. 7, No. 1, April 2011
148 Abu Yasid disunnahkan, jumlah bilangan raka’at masing-masing aneka ragam jenis shalat, dan lain-lain. Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah SAW setelah memperagakan tata cara praktik shalat yang benar lalu bersabda:
Artinya: Lakukanlah sembahyang olehmu sebagaimana kamu lihat saya melakukannya.
Begitu pula dalam hal praktik pelaksanaan zakat, teks Hadits banyak memberikan penjelasan terhadap kemujmalan teks al-Qur’an, baik menyangkut jenis-jenis harta benda yang mesti dikeluarkan zakatnya, menyangkut kadar harta yang dizakatkan (nishab), waktu pelaksanaannya dan lain-lain.20 2. Penjelasan Tentang Ekonomi Ungkapan al-Qur’an tentang persoalan ekonomi dituangkan dalam simbol-simbol ketentuan umum. Dalam soal infaq dan sedekah, misalnya, penjelasan al-Qur’an sangat simpel. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam salah satu firmannya,
ﺎ Artinya: Mereka yang menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah maka berilah kabar gembira mereka itu dengan siksaan yang pedih. QS al-Taubah (9): 34.
Mulanya para Sahabat memahami bahwa apa yang dimaksud dengan kata “ ” adalah menafkahkan segala apa yang mereka punyai. Namun Rasulullah kemudian menjelaskan bahwa fungsi zakat diwajibkan tak lain untuk mensucikan harta benda yang dimiliki setiap muslim. Dengan demikian, apa yang mesti dikeluarkan sebagai zakat adalah sebagian harta benda saja untuk mensucikan sisa harta bendanya. Atas penjelasan hadits Nabi terhadap keumuman teks al-Qur’an ini lalu sahabat Umar bin al-Khatthab melakukan takbir sebagai ekspresi kegembiraan mendapatkan penjelasan ketentuan agama yang amat dibutuhkan setiap muslim.
20 Dr. Ra’uf Syalabi, al-Sunnah al-Islamiyyah baina Ithbat al-Fahimin wa Rafdli alJahilin, h. 63.
Jurnal TSAQAFAH
Hubungan Simbiotik al-Qur’an dan al-Hadits...
149
Contoh lain adalah bahwa teks al-Qur’an tentang seluk beluk harta warisan tidak membahas mekanisme pewarisan secara lengkap. Dalam kaitan ini teks hadits banyak memberikan penjelasan secara lebih mendetail, seperti jika seorang ahli waris membunuh pihak yang akan mewariskan hartanya (muwarrits) maka hak untuk menerima harta warisan menjadi batal demi hukum; jika seorang ahli waris terdiri dari orang kafir, sementara muwarrits-nya seorang muslim maka tidaklah terjadi hukum waris-mewariskan dalam Islam; dan lain-lain.21 3. Penjelasan Tentang Hukum Pidana Teks al-Qur’an mengungkapkan persoalan ketentuan hukum pidana secara global dan garis besarnya saja. Hal ini sebagaimana tercermin dalam ayat-ayat tentang qishash, pencurian dan lain-lain. Dalam sebuah ayat al-Qur’an, misalnya, Allah berfirman:
Artinya: Dan kami wajibkan dalam kitab Taurat bahwa (membunuh) jiwa (dibalas) dengan (membunuh) jiwa pula, (menghilangkan) mata (dibalas) dengan (menghilangkan) mata pula. QS al-Ma’idah (5): 45.
Dalam QS al-Ma’idah (5): 38 Allah juga berfirman tentang pidana pencurian:
Artinya: Adapaun pencuri laki-laki dan pencuri perempuan maka potonglah tangan-tangan mereka.
Dalam ayat pertama Allah sebatas memberikan penjelasan umum menyangkut wajibnya hukuman qishash ditegakkan atas tindak pidana pembunuhan. Terhadap ketentuan umum seperti ini lalu Rasulullah melalui beberapa haditsnya menjabarkan secara lebih mendetail apa yang berkaitan dengan seluk beluk hukum qishash. Hal ini seperti tercermin dalam sebuah haditsnya:
21
Ibid, h. 64.
Vol. 7, No. 1, April 2011
150 Abu Yasid Artinya: Ingat, tidak dapat dijatuhi hukuman qishash bagi seorang Muslim yang membunuh orang kafir. HR Imam al-Bukhari dan Ahmad.
Ayat kedua demikian juga, yaitu memberikan penjelasan secara umum dan garis besarnya saja menyangkut hukuman potong tangan yang mesti ditegakkan terhadap tindak pidana pencurian. Terhadap ketentuan umum seperti ini Rasulullah melalui beberapa haditsnya lalu menjabarkan mekanisme pelaksanaannya secara lebih mendetail. Seperti soal tangan kanan atau tangan kiri yang dipotong, batas ruas tangan yang akan dipotong, dan lain-lain.22 4. Penjelasan dalam Soal Hukum Keluarga Ungkapan al-Qur’an tentang hukum keluarga juga sering dituangkan dalam ketentuan-ketentuan umum yang dalam level pelaksanaannya amat membutuhkan penjabaran lebih jauh dari hadits Nabi. Hal ini sebagaimana dalam ketentuan al-Qur’an tentang wanita-wanita yang boleh dikawini oleh seorang laki-laki. Dalam kaitan ini Allah berfirman,
Artinya: ….dan (haram juga atas kamu) mengumpulkan dua orang perempuan bersaudara kecuali apa-apa yang sudah berlalu. QS al-Nisa’ (4): 23.
Dalam ayat ini, selesai menjelaskan perempuan-perempuan yang haram dikawini laki-laki, seperti ibu, anak perempuan, saudari, bibi dan lain-lain kemudian Allah juga menyebutkan pengharaman mengumpulkan dua orang perempuan bersaudara menjadi istri-istri seorang laki-laki. Terhadap penjelasan yang cukup simpel ini lalu hadits Nabi menjabarkan lebih detail tentang siapa saja yang tidak boleh dikawini secara bersamaan atau dikumpulkan dalam satu perkawinan. Dalam kaitan ini Rasulullah menjelaskan bahwa yang tidak boleh dikumpulkan dalam satu perkawinan tersebut bukan hanya dua orang perempuan bersaudara tetapi juga dua orang perempuan yang masih ada hubungan kekerabatan, seperti seorang perempuan dengan bibinya, seorang perempuan dengan ponaannya dan lain-lain. Pada kesimpulannya, Rasulullah mengatakan dalam sebuah haditsnya,
22
Ibid, h. 65.
Jurnal TSAQAFAH
Hubungan Simbiotik al-Qur’an dan al-Hadits...
151
Artinya: Sesungguhnya kamu jika melakukan demikian (mengawini dua perempuan yang berkerabat dekat) maka berarti memutuskan tali kekerabatan kamu.
Contoh serupa adalah mengawani kerabat dari faktor susuan. Dalam hal ini al-Qur’an hanya menyebutkan Ibu susuan dan saudari perempuan susuan yang haram dinikahi, sebagaiamana dalam firman Allah,
Artinya: Dan (haram juga dikawini) ibu-ibu kamu yang menyusui kamu dan saudara-saudara perempuan kamu dari susuan. QS al-Nisa’ (4): 23.
Atas penjelasan al-Qur’an yang sangat simpel ini kemuadian hadits Nabi datang memberikan penjelasan panjang lebar. Dalam penjelasan hadits, semua kerabat dekat dari faktor nasab diharamkan juga dikawini dari aspek susuan. Seperti bibi susuan, anak susuan dan seterusnya. Tidak terbatas pada apa yang dijelaskan al-Qur’an, yaitu ibu susuan dan saudari susuan saja. Dalam kaitan ini Rasulullah bersabda,
Artinya: Sesungguhnya Allah mengharamkan (dikawini) dari faktor susuan, wanita-wanita yang diharamkan dari faktor nasab. HR Imam al-Bukhari dan Muslim23
5. Penjelasan Tentang Kehidupan Sehari-hari Teks al-Qur ’an yang berkaitan dengan kebutuhan hidup sehari-hari pada umumnya dituangkan dalam bentuk pernyataanpernyataan umum secara garis besarnya saja. Dalam persoalan penghalalan dan pengharaman jenis makanan, misalnya, teks al-Qur’an hanya berbicara normatif, seperti dalam sebuah ayat:
Artinya: Dan dia menghalalkan atas mereka makanan-makanan yang suci dan mengharamkan atas mereka makanan-makanan yang kotor. QS al-A’raf (7): 157.
23
Ibid, h. 67.
Vol. 7, No. 1, April 2011
152 Abu Yasid Jenis makanan suci dan najis, seperti disebutkan al-Qur’an di atas, masih bersifat mujmal dan sangat memerlukan penjelasaan lebih mendetail. Lalu hadits nabi lahir untuk menjelaskan persoalan ini secara lebih rinci satu persatu. Hal ini seperti terlihat dalam salah satu hadits nabi:
Artinya: Rasulullah SAW melarang makan hewan yang mempunyai taring berupa binatang buas dan hewan yang mempunyai cakar berupa burung dan Rasulullah melarang pula makan daging keledai peliharaan, beliau berkata: sesungguhnya itu semua adalah najis. HR Imam Muslim, al-Turmudzi dan al-Nasa’i.
Contoh lain, Allah berfirman dalam soal kehalalan binatang laut dan keharaman bangkai,
Artinya: Dihalalkan atas kamu binatang laut. QS al-Ma’idah (5): 96;
Artinya: Diharamkan atas kamu bangkai. QS al-Ma’idah (5): 3.
Dalam kedua ayat tersebut dijabarkan kehalalan binatang laut dan keharaman bangkai. Apa yang tersisa dalam persoalan ini adalah status hukum bangkai ikan atau binatang yang ada dalam laut, apakah termasuk binatang buruan yang halal sebagaimana penjelasan dalam ayat pertama? Atau termasuk kategori bangkai yang diharamkan sebagaimana penjelasan ayat kedua? Atas pertanyaan seperti ini lalu hadits nabi datang memberi penjelasan bahwa bangkai yang ada dalam laut termasuk kategori ayat pertama yang dihalalkan. Dalam kaitan ini Nabi bersabda:
Artinya: Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. HR Imam al-Turmudzi dan al-Nasa’i. 24 24
Ibid, h. 67 – 68.
Jurnal TSAQAFAH
Hubungan Simbiotik al-Qur’an dan al-Hadits...
153
Penutup Dari segi wuru>d atau datangnya dari wahyu, al-Qur’an telah mencapai derajat qat}’i (konstan) yang tak dapat terbantahkan lagi secara akademis. Ini berbeda dengan al-Hadits yang tingkat validasi sanadnya masih bersifat d}anni selain hadits-hadits mutawatir yang sangat terbatas jumlahnya. Akan tetapi dari sudut indikasi hukum atau dala> l ahnya, al-Qur ’an dan al-Hadits mempunyai derajat sebangun lantaran sama-sama diukur dari aspak penunjukannya terhadap hukum-hukum tertentu. Karena itu, betapapun secara hierarkis al-Qur’an berada dalam posisi superior dibanding al-Hadits, namun dari segi fungsi menelorkan diktum-diktum hukum operasional keduanya mempunyai hubungan simbiotik yang sebangun dan tak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain. Sebagai sabda Nabi, hadits mempunyai peran sangat strategis dalam memberikan penjelasan terhadap ungkapan-ungkapan dalam ayat al-Qur’an yang masih mujmal dan multi-interpretasi. Nyatanya, kebanyakan teks dalam al-Qur’an memerlukan penjelasan lebih rinci melalui artikulasi Nabi dengan realitas masyarakat arab saat itu. Tugas pokok Rasulullah sebagai penyampai Risalah tak lain memaparkan dan menjelaskan kepada ummat segala apa yang diturunkan Allah kepadanya melalui Jibril. Sebagai penjelas dan penjabar terhadap al-Qur’an, al-Hadits justru mempunyai tingkat kepastian hukum yang lebih besar. Sebab dalam praktiknya, teks al-Hadits seringkali membatasi keumuman dan kemutlakan al-Qur’an. Dalam kondisi seperti ini, teks yang memberikan batasan ruang lingkup terhadap teks lain dapat dikatakan relatif lebih mempunyai tingkat kepastian hukum lebih tinggi. Apa yang membedakan al-Qur’an dan al-Hadits adalah proses pewahyuan yang dilakukan Tuhan melalui Rasulnya. Jika al-Qur’an merupakan wahyu yang turun secara lafadz dan makna melalui malaikat Jibril AS maka al-Hadits adalah wahyu tanpa mediasi malaikat sehingga secara verbal dinisbatkan kepada Rasulullah SAW bukan kepada Allah SWT. Simplifikasi dari hal tersebut, al-Qur’an lalu disebut firman Allah, sedangkan Hadits Nabi diidentifikasi sebagai sabda Rasul. Sementara dari sudut artikulasinya membentuk ketentuan hukum, baik al-Qur’an maupun al-Hadits memiliki perannya masing-masing setra saling melengkapi satu sama lain. []
Vol. 7, No. 1, April 2011
154 Abu Yasid Daftar Pustaka Abd al-Wahhab Khalaf (1978), ‘Ilmu Us}u>l al-Fiqh. Kuwait: Dar alQalam. Abu Yasid, Dr., LL.M. (2007), Nalar & Wahyu: Interrelasi dalam Proses Pembentukan Syari’at. Jakarta: Penerbit Erlangga. Ahmad bin Muhammad Bin Hanbal (tt), Al-Musnad. Mesir: Dar alMa’arif Li al-Thiba’ah wa al-Nasyr. Ibnu Majah Al-Qazuyini (1988), Sunan Ibn Majah. Beirut: al-Maktab al-Islami. Manna’ Khalil al-Qatthan (1990), Maba>h}its fi ‘Ulu>m al-Qur’an. Beirut: Mu’assasah al-Risalah. Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani (1406 H), al-Qawa’id alAsa>siyyah fi ‘Ilm Mus}t}alah} al-H}adits. Jeddah: Mathabi’ Sahar. Ra’uf Syalabi, Dr. (1982), al-Sunnah al-Islamiyyah baina Itsba> t alFahimin wa Rafd}i al-Ja>hilin. Kuwait: Dar al-Qalam. Al-Syathibi, Abu Ishaq Ibrahim al-Lakhmi al-Gharnathi (tt), alMuwa>faqa>t fi Us}ul al-Syari’ah. Beirut: Dar al-Ma’rifah. Wahbah al-Zuhaili, Dr., Prof. (1991), al-Tafsir al-Muni>r Fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir.
Jurnal TSAQAFAH
Dynamic of Pondok Pesantren as Indegenous Islamic Education Centre In Indonesia Dihyatun Masqon Institut Studi Islam Daarussalam (ISID) Gontor Ponorogo Email:
[email protected]
Abstract In Indonesia pesantren is known as the indigenous religious educational institution. The basic elements of pondok pesantren are: Kiai as a central figure, santri as a student who persues knowledge, pondok as dormitory where santri lives, and mosque which constitutes as the center of educational activities. In general, due to the system and method of teaching, pondok pesantren classified into two kinds; traditional and modern. Never the less they are having the same vision and mission, that is to say that education is pondok pesantren is community oriented education by cultivating values, moral attitude, and character building of muslim community. That is the main reason that life atmosphere inside pesantren is in inspired strongly by what so called Panca Jiwa – Five spirits – namely; sincerity, simplicity, self – reliance, Islamic Brotherhood, and accountable freedom. In modern Indonesia today the expectation towards the role of pesantren move on since early twentieth century, it is not only performing it’s three traditional roles as locus for transforming religious education, preserving muslim traditions, and producing scholars, but nowadays it plays an important role to educate and prepare leaders of tomorrow who posses specific qualities.
Keywords: religious education, element, five spirits, character building, indegenous.
* Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, Kampus ISID Pusat, Jl. Raya Siman Ponorogo, telp. 0352 - 483762
Vol. 7, No. 1, April 2011
156 Dihyatun Masqon Introduction
P
esantren, madrasah and school are three kinds of the National Educational System in Indonesia. Different from school and madrasah, pesantren has been identified with Islamic and indigenous originality, infect pondok pesantren is the oldest educational institution known in Indonesia. In the early development, many pondok pesantren only focused their program on religious learning (tafaqquh fiddin) and reading a variety of Islamic classical books such as in the field of fiqh (Islamic law), theology and tasawwuf (Islamic mysticism). The main reason for attending pondok pesantren was to gain the blessings of Allah. Therefore, a certificate of learning graduation was not given adequate attention, and there was not a precise regulation regarding the study program. In pondok pesantren, santri, student of pesantren, would learn to become Muslims who obey God’s commands, have good characters, show strong and comprehensive personal features, possess intellectual capability and are independent. Upon returning to their community, santris have been projected to be good examples for them to spread Islamic message as rah}matan li al’a>lamin. There are a number of principles adopted by pondok pesantren such as sincerity, modesty, peace, wisdom, accountable freedom, autonomy, togetherness, harmonious relationships (among santris, teachers, parents, and community). Element of Pondok Pesantren
First, Kiai. The kiai is always a central figure in pondok pesantren. The Kiai is not only a spiritual leader, but also a holistic leader in all aspects of life in pondok pesantren. In traditional pesantren the kiai teaches classical Islamic textbooks with a sorogan method, i.e. a teaching - learning process in which the kiai personally addresses Jurnal TSAQAFAH
Dynamic of Pondok Pesantren as Indegenous Islamic Education Centre...
157
individual students (known as santri ) or a small group of santri at elementary level. Another popular method employed by the kiai is wetonan or bandongan, that is what in modern terms is called ‘lecture’. The kiai gives specific, scheduled lectures on certain topics of some classical textbooks (kitab kuning) in front of a large number of intermediate audiences.1 As for more advanced santri or takhas}s}us}, usually the kiai employs a teaching-learning method called musyawarah in delivering his lecture, which is similar to a conference. Second, Santri. The santri is someone or a group of people who pursue knowledge in pondok pesantren and is usually accounted as an indicator of its progress and popularity. Santri usually have a strong solidarity and familiar bond among themselves or between them and the kiai. Third, Pondok. Pondok is a dormitory where santri live and study under the guidance of the kiai. In a number of pondok pesantren it is santri themselves who take care of their pondok and all their other needs under the supervision of senior santri. Fourth, Mosque. Mosque constitutes a main resource and space in which the kiai carries out his obligation to educate and train his santri, to perform ibadah (divine certitude), learning Islamic textbooks and conducting social activities. Functionally, the mosque is not only for praying, but it is usually can be used for empowering muslims in a broad sense.2 According to Education Management Information System (EMIS), Directorate General of Islamic Institution. The total number of Pondok Pesantren in Indonesia 14.361, 1.381 located in Sumatra, 11.664 in Java, 336 in Bali & Nusatenggara, 294 in Kalimantan, 661 in Celebes, and 25 in Papua.3 It is worth mentioned that traditional pondok pesantren give more attention to the Islamic classical textbooks, known as kitab kuning (yellow books), the reservoir of the intellectual richness inherited from previous Muslim scholars from the early and medieval periods of Islamic history. These textbooks in fact contain analytical 1 Martin van Bruinessen, “Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 146 (1990), p. 226-269. 2 Imam Zarkasyi Diktat Pekan Perkenalan, (Gontor: Darussalam Press, 2009), p. 3-5 3 Departemen Agama, Dinamika Kehidupan Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Direktur Jenderal Pendidikan Islam, 2004), p. 17
Vol. 7, No. 1, April 2011
158 Dihyatun Masqon thoughts of earlier ulama responding to religious, political, economic as well as social and cultural problems of their time and places. Mean while modern pondok pesantren have departed to study more recent books, and treat the classical ones as complementary subjects.
In any case, pondok pesantren have contributed a lot in developing the quality of Islamic education and of religious and national life where the government can fight ignorance and solve the universal human problems. The Spirit of Pondok Pesantren
As it was mentioned before that the silent features of pesantren as a religious educational institution is the presence of a learned Muslim scholar, usually called Kiai, who plays the role of central figure in the system, the availability of dormitories, named Pondok, the presence of students, called santri, and the existence of a mosque as the center of activities and religious education. It is within those pillars along with its spirit that pesantren education was very effective in developing morality and mentality, as well as intellectuality of the students. This spirit, according to Imam Zarkasyi, can be simplified into five spirits, Panca Jiwa, namely: Sincerity (al-ikhlâs}), Simplicity (albasât}ah), Self-Reliance (al-i’tima>d ‘ala-l-nafsi), Islamic Brotherhood (al-ukhuwah al-Isla> miya), Freedom (al-h}uriyâh).4 Sincerity is a principle for work, it is the spirit of all activities, the Holy Qur’an suggests that one should follow those who do not ask for salary and they are among the guided people. Simplicity is a way of behaving that is applicable to an individual conduct in his or her daily life, it is very positive conduct 4
Imam Zarkasyi , Pelajaran Fiqh 1, (Gontor: Trimurti Press, 1995), p. 5-9
Jurnal TSAQAFAH
Dynamic of Pondok Pesantren as Indegenous Islamic Education Centre...
159
towards every situation of life. This implies that one should live based on his or her basic needs and not on demand, because this spirit will cultivate strength, courage, determination, and self control. Self-Reliance is an important spirit applicable for both individual and institutional principle. This means the students of pesantren do not depend on others, each student manages his extramural activities independently, while students as a whole are given total responsibility to manage all their students’ activities in the boarding system. The pesantren it self as an education institution is managed to be self-reliance which means it does not depend on the help of others. People may give financial or material support but pesantren develops not because of supports of others, pesantren has to rely on its own resources without having to be dependent on others for aids or assistance. Islamic Brotherhood is a principle through which every student learns how to build strong friendship and empathetic solidarity towards others, and how to respect each other. Fighting, quarrel, or other types of dispute among students are regarded as a crime. As far as freedom is concerned, it is a mental attitude in which one should be free of group fanatism. This spirit makes santri optimistic in facing the problem of life, freedom in shaping his future and selecting his way of life. There were, infect, more than those five spirits taught to the students in the pesantren system, both traditional and modern one. These were reiterated in various occasions inside as well as outside the class, pasted on the walls of the campus, and written in books, brochure and guide-book of the pesantren. The Arab maxim man jadda wajada (whosoever works hard will get), for example, is the famous spirit of work that none of the santri will ever forget. Other maxims like: Hidup sekali, hiduplah yang berarti (you live once hence live meaningfully), and: wa ma> al-ladhdhah illa> ba’da al-ta’ab (no gain without pain), man yazra’ yah}s}ud (whosoever sows he will reap) are learned by heart. It means that pesantren’s system of education is values-oriented which are mainly derived from the teachings of Islam.
Vol. 7, No. 1, April 2011
160 Dihyatun Masqon The Ideal Model of Pesantren The expectations towards the role of pondok pesantren amongst the Muslim community in Indonesia move on since the early twentieth century. Pondok Pesantren in this due regard, has in many different ways responded to the demands of the modern Islamic education and social economic changes of Indonesian society, it is not only to perform its three traditional roles as a locus for transforming Islamic learning, preserving Muslim traditions and reproducing scholars. Further more, as we shall discuss in the case of Pondok Modern Darussalam Gontor (Darussalam Modern Islamic Institution Gontor, commonly known as Gontor), it becomes center to educate leaders of tomorrow with specific qualities, namely: noble character, sound body, broad knowledge, and independent mind. It is worth noted that pondok pesantren can maintain its development and progress not only because it has flexibility to make adjustments and readjustments to the ever-changing situations and needs, but also due to the fact that pondok pesantren has a strong bond and proximate relationships with its surrounding community. This closeness may be traced back through the historic account that education in pondok pesantren is community oriented education and therefore it serves as community based learning center. Pondok Modern Darussalam Gontor located at Gontor, Ponorogo, East Java, 200 km from Surabaya, the capital of East Java Province. Historically Gontor founded on September. 20.1926 by three brothers; K.H. Ahmad Sahal (1901-1977), K.H. Zainuddin Fanani (1908-1967) and K.H. Imam Zarkasyi (1910-1985). They were known as Trimurti. The main characteristic of Gontor is its distinct approach towards modernizing Islamic education by using integrated system of pondok pesantren and madrasah into a new system of Islamic education. The madrasah was a good system for formal education but not for non-formal and informal education. Students may learn well in the class but what happen outside the class was beyond the system. The madrasah is precisely like the modern school system and is not sufficient to inculcate other Islamic teachings that are not covered by the madrasah curriculum. The positive aspect of pondok pesantren was to be found in its boarding system where non-formal and informal education and activities can be carried out within the spirit and bound of Islam. Imam Zarkasyi, one of the founding fathers and a real architect of Gontor system of Islamic education, tried his Jurnal TSAQAFAH
Dynamic of Pondok Pesantren as Indegenous Islamic Education Centre...
161
best to integrate both of them in one system by adopting the positive aspects of both the madrasah and the pesantren system assimilating them within a specific identity.5 The nature of this new system is discernable from his statement below: “This pondok pesantren, Gontor, is an Islamic educational institution like any other institution. The difference is only in its teaching method. We use modern teaching method but do not teach something new in religion. This pondok is a waqf for the Muslim ummah and is not the property of Kiai anymore. This pondok is not inclined to any political party; therefore its motto is Berdiri di atas dan untuk semua golongan (stand above and for all groups). Its educational goal is to produce a Muslim who has noble character, sound body, broad knowledge, and independent mind. The final objective of this pondok is li I’la’i kalimatillah”.6 In the mean time, to actualize this integrated system Gontor has adopted the best prototype of educational institution in the world. There were four ideal institutions in this regard, namely: al-Azhar University in Egypt, Shinquit in Mauritania, Aligarh Muslim University and Shantiniketan both were in India. Al-Azhar University is known as the center of Islamic knowledge in the Muslim world and was highly reputed with its survival for centuries due to its waqf property. Al-Azhar University could give scholarship to Muslim students from all over the world. Shinquit was a well known institution, not only for its boarding system but also for the sincerity of its founders and teachers, and their hospitality as well. Located in a remote area in Mauritania and under the guidance of its founding father Sidi Abdullah, it could accommodate around 3000 to 5000 students with full scholarship. Allegedly, the graduate of this institution played a pivotal role in the spread of Islam in North West Africa in 19th century. Shantiniketan was basically a traditional boarding school that belongs to Rabindranath Tagore, a Hindu philosopher and nobel prize winner. Located in a village and under the authoritative figure of 5
Hamid Fahmy Zarkasyi, Imam Zarkasyi’s Reform of Traditional Pesantren in Indonesia, article presented at 7th World Conference on Islamic Education, International Islamic University Collage of Selangor, (Kuala Lumpur, 2009), p. 9 6 Imam Zarkasyi, Pidato pada Resepsi Kasyukuran Setengah Abad Pondok Modern Darussalam Gontor dan Peresmian Masjid Jami’ Gontor. (Gontor: unpublished text of Speech, 1976), p. 7
Vol. 7, No. 1, April 2011
162 Dihyatun Masqon Tagore, this institution inculcated the philosophy of life, the most important of which is the principle of simplicity of life with peaceful atmosphere, shantiniketan etymologically means abode of peace. In this institution teachers and students learn together in a milieu that is fully designed for education. The fourth and the last model is Aligarh Muslim University (AMU) which was and is still an Islamic university in the history of India. It was founded in 1920 under the name Mohammedans Anglo Oriental Collage by Sir Syed Ahmad Khan but later it became first university in India, it main objectives was to revive the Muslim ummah by the inclusion of knowledge through education. It was because of its objective that Gontor made it a model for the future of Islamic education.7 So the ideal educational institution envisioned by Gontor was an Islamic educational institution that was to be the center of learning for Islamic studies, which could generate its own fund and able to give scholarship to its students. This institution should be driven by the spirits of sincerity, simplicity, brotherhood, self reliance and accountable freedom, and other Islamic spirits which are instrumental for one’s religious and worldly life. By this spirits and principles the institution could hopefully be a world class educational institution.
The Characteristic of Gontor Institution We shall discuss this point only on certain important matters pertaining two important aspects, namely: new Islamic educational system and new institutional system founded by Trimurti to reform pondok pesantren. 1. New Islamic educational system a). In Gontor’s eyes there is no dichotomy of knowledge in Islam, santri learns religious subjects, fiqh, aqida, nahw s}arf, bala>ghah, h}adits, tafsir with modern teaching method, and studies socialnatural sciences, method of teaching, mathematics, biology, algebra, physics and cosmography with religious approaches. When former President Soeharto visited Gontor in 1971, he 7 Panitia Penulisan Biografi KH. Imam Zarkasyi, Dari Gontor Merintis Pesantren Modern, (Gontor: Gontor Press, 1996), p. 476-480
Jurnal TSAQAFAH
Dynamic of Pondok Pesantren as Indegenous Islamic Education Centre...
163
asked Imam Zarkasyi about the ratio of social-natural sciences and religious sciences in the curriculum. Imam Zarkasyi replied: “Here the curriculum consists of 100% religious and 100% social-natural sciences.” By this new curriculum model Gontor intended to produce Muslim intellectual who are conversant of not only religious knowledge but also socialnatural sciences. The ideal out put for this system, as reiterated by Imam Zarkasyi in many occasions was: “to produce Ulama with high intellectual capacity and not intellectual who knows little about religion (Ulama yang intelek dan bukan intelek yang tahu agama).8 The implication of Imam Zarkasyi’s obsession is quite clear that in the future there should be Muslim scientist who speaks about their expertise from Islamic perspective. b). Beside this new curriculum system, Gontor also applied new instructional methods, especially in teaching Arabic and English.9 The main idea of this principle was that the method of teaching is more important than the subject taught (al-t}ari>qah ahammu min al-ma> d dah), however the teacher is more important than the method (al-mudarris ahammu min alt}ari>qah). To simplify this maxim Imam Zarkasyi used to draw the parable of the knife and the apple. The skill of cutting the apple is more important than the knife, yet knowledge about the skill is not important for someone who is already skillful. So, the personal factor of a teacher is the most important one, and that is the spirit of the teacher (rûh} al-mudarris). To improve the spirit of teachers, Gontor employed the religions approach by enforcing the spirit of pesantren that the teacher should have, for example the spirit of sincerity (ikhlas) when he teaches his students. c). Apart from the enforcement of Islamic spirit by utterance or verbal and written words, Gontor designed student activities with the objectives of inculcating mental skill. Imam Zarkasyi asserted that mental skill is more important than job skill. On this point he disagreed with the national education system that 8
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Imam Zarkasyi’s Reform…, p. 11 Dihyatun Masqon, al-Ittijahat al-Haditsah fi Ta’limi al-Lughah al-‘Arabiyah Li ghairil-Nathiqien biha fi Indonesia, Thesis presented as partial fulfillment for Ph.D Degree in the faculty of Humanities and Language, Jamia Millia Islamia, (New Delhi, unpublished, 2001), p. 320-348 9
Vol. 7, No. 1, April 2011
164 Dihyatun Masqon emphasizes on job skills. True Islamic education should be directed for worshiping Allah (ibadah), for seeking knowledge (t}alab al-‘ilmi) not for becoming government servant. Imam Zarkasyi used to say that it is better to become an entrepreneur who manages his own business and employs many officers rather than to become government servant. This is what he meant by self-reliance (al-i’timâd ‘alâ al-nafsi) as one of the spirits of the pondok pesantren. The learning strategy for inculcating mental skill, according to him, is “learning by doing” which can be carried out by involving all students through informal and non-formal education. In this system students are given the responsibilities to manage their own activities under the umbrella of Student Organizations. The guiding principle in this regard is that everyone should be “ready to lead and ready to be led” (siap memimpin dan siap dipimpin) sincerely based on the spirits of pesantren. As a result, from early morning of Subuh prayer, four o’clock in the morning, until ten a clock at night, all students are preoccupied with activities. Imam Zarkasyi is of the opinion that young men should be kept busy and should not be free from any meaningful activities. “Take break or rest is no other than shifting from one activity to another” (al-ra>h}atu hiya al-intiqa>l min ‘amalin ila> ‘amalin akhar). That is the best way for inculcating the mental skill to the students, such as the spirit of team works, leadership and sense of responsibility, entrepreneurship and management, beside, of course, cultivating discipline habit. 2. New Institutional System Another innovative and reformative step taken by Gontor is concerning the status of the institution, its organization and its future. As a matter of fact, the traditional pesantrens mostly plagued with stagnancy and ineffective educational management. Kiai, the central figure, and his family were so dominant that when he died, he would be substituted by his son or son-in-law, otherwise the pesantren would case to operate. This indicates that the weak point of pesantren system was its regeneration process and the structure of its organization. Trimurti the founding fathers of Pondok Modern Darussalam Gontor have initiated a new pesantren system, which applied Jurnal TSAQAFAH
Dynamic of Pondok Pesantren as Indegenous Islamic Education Centre...
165
effective and efficient management, and adopt modern ideas of progress as well as modern system of education. At the outset, they endowed almost all the land inherited from their parent for the sake of pesantren. They started with a small step in educating the illiterate villagers that was in 1926 but they have in their minds big aspirations, great idealism of building a world class education institution. The real institutional system began three decades after the establishment of pesantren that was in 1958, when they declared that they endowed sincerely in writing all their inheritance to the Muslim ummah. From that moment the pesantren was no longer the property of the founders or their descendents. The waqf declaration also mentioned that survival of the pesantren should be the responsibility of the fifteen appointed members of Waqf Board. Another point of the declaration asserted that the pesantren should be developed further to qualify as an Islamic University and become major center for Arabic Islamic Studies that offers its service to the ummah. 10 At present, after the death of the last Trimurti, K.H.Imam Zarkasyi in 1985, Gontor has survived well and has been properly maintained under the dynamic leadership of Dr. K.H. Abullah Syukri Zarkasyi, M.A., K.H. Hasan Abdullah Sahal, and K.H. Syamsul Hadi Abdan. Its property has been successfully developed. Gontor today has fifteen branches to fulfill the demand of society using the same curriculum, the same method and inculcate the same values as well with total students more than 20.000, these are: 1. Gontor 2, at Madusari, Ponorogo, East Java. 2. Gontor 3, at Gurah, Kediri, East Java. 3. Gontor 1 for girls, at Mantingan, Ngawi, East Java. 4. Gontor 2 for girls, at Mantingan, Ngawi, East Java. 5. Gontor 3 for girls, at Widodaren, Ngawi, East Java. 6. Gontor 4 for girls, at Konda, Konawe Selatan, South East Celebes.
10
Piagam Penyerahan Wakaf Pondok Modern Gontor, Ponorogo, 1958, p. 15-17
Vol. 7, No. 1, April 2011
166 Dihyatun Masqon 7. Gontor 5 for girls, at Kandangan, Kediri, East Java. 8. Gontor 5, at Kaligung, Banyuwangi, East Java. 9. Gontor 6, at Sawangan, Magelang, Middle Java. 10. Gontor 7, at Podahoa, Konawe Selatan, South East Celebes. 11. Gontor 8, at Labuhan Ratu, Eastern Lampung. 12. Gontor 9, at Kalianda, Southern Lampung. 13. Gontor 10, at Seulimeun, Nangroe Aceh Darussalam. 14. Gontor 11, at Sulit Air, Padang. 15. Gontor 12, at Tanjung Jabung Timur, Jambi. Presently, Gontor has no less than 29 business enterprises in various sectors such as book store, pharmacy, mini market, rice field, publishing house, radio station, packing mineral water and the likes. Not less than 828,05 Ha of land possessed by Gontor, and its system had been developed and modeled by its graduate in about 215 pesantren.11
Conclusion Until today, Pondok Pesantren still and always implement its commitments to be the center for community development by cultivating positive moral attitude and character building of the muslim community mainly based on values derived from Islamic teaching, for a man to be successful in life character is more essential than erudition. This character becomes so significant keeping in mind that cultivating good ethics has to include developing desired attitude, comprehending values system as well as personal appreciation which must be manifested in people’s behavior. At this very point, in modern Indonesia Pondok Pesantren work hand in hand with the government to prepare qualified human resources who are pious, virtuous, intelligent, and meaningful for the sake of better tomorrow.[]
11 Tim Redaksi Wardun Wardun, Warta Dunia Pondok Modern Darussalam, vol.63, Sya’ban 1431 (Tahun Ajaran 2009-2010), p. 25-65.
Jurnal TSAQAFAH
Dynamic of Pondok Pesantren as Indegenous Islamic Education Centre...
167
Bibliography Bruinessen, Martin van, “Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 146 (1990). Dasuki, A. Hafidh, Sejarah Pondok Modern Gontor, vol. I, Gontor, Pondok Modern Gontor, 1960. Departemen Agama, Dinamika Kehidupan Pesantren di Indonesia, (Jakarta 2004). Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi pesantren: Studi tentang pandangan hidup kyai. Jakarta: LP3ES. 1982. Koentjaraningrat “Ikhtisar Sejarah Pendidikan di Indonesia” in Koentjaraningrat (ed),, Masalah-masalah Pendidikan di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1982 Masqon, Dihyatun, al-Ittija>ha> t al-Hadi> tsah fi Ta’li> m al-Lughah al‘Arabiyah Li ghairi-l-Nat}iqien biha fi Indonesia, Thesis presented as partial fulfillment for Ph.D Degree in the faculty of Humanities and Language, Jamia Millia Islamia, (New Delhi, unpublished, 2001). Panitia Penulian, Biografi KH. Imam Zarkasyi, Dari Gontor Merintis Pesantren Modern, Gontor Press, 1996. Piagam Penyerahan Wakaf Pondok Modern Gontor, Ponorogo, 1958. Rasyid Rida, Muhammad (1350 H/1931 M), Tarikh al-Ustadz alImam Muhammad ‘Abduh, (Egypt: Matba’ah al-Manar, n.d.). Tim Redaksi, Wardun, Warta Dunia Pondok Modern Darussalam, Tahun Ajaran 2008-2009, vol. 62, Sya’ban 1430. _____, vol.63, Sya’ban 1431 (Tahun Ajaran 2009-2010). Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1985. Zarkasyi, Amal Fathullah, Konsep Tauhid Ibn Taymiyah dan Pengaruhnya di Indonesia Kajian Kes Terhadap Penggubalan Kurikulum Pengajian Akidah di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Indonesia, Thesis presented as partial fulfillment for doctoral degree in the faculty of Usuluddin, department of Theology and Islamic thought, Academy of Islamic Studies, University Malaya, (Kuala Lumpur: unpublished, 2005).
Vol. 7, No. 1, April 2011
168 Dihyatun Masqon Zarkasyi, Imam, Pelajaran Fiqh 1, Gontor: Trimurti Press, 1995. _____, “Pembangunan Pondok Pesantren dan Tata Usaha untuk Menghidupkannya” Working paper in the national conference of Pondok Pesantren. Yogyakarta, 1965. _____, Diktat Pekan Perkenalan, (Gontor: Darussalam Press, 2009). _____, Pidato pada Resepsi Kasyukuran Setengah Abad Pondok Modern Darussalam Gontor dan Peresmian Masjid Jami’ Gontor. (Gontor: unpublished text of Speech, 1976). Zarkasyi, Hamid Fahmy, Imam Zarkasyi’s Reform of Traditional Pesantren in Indonesia, article presented at 7 th World Conference on Islamic Education, International Islamic University Collage of Selangor, (Kuala Lumpur, 2009).
Jurnal TSAQAFAH
Saifullah Kamalie Fakultas Sastra Universitas Al-Azhar Indonesia Jakarta Email:
[email protected]
Abstract Translating the Qur’an into Indonesian language, is a crucial issue, complicated and difficult. Because the Qur’an has a structure, pattern and style of a particular language that can not be interpreted as translating Arabic books other. Although understand the Qur’an without going through the translation into Indonesian, is clearly more difficult. Recognizing the need for Qur’anic translation, the writer, attempts to affirm the various aspects before translating to eliminate some errors, in terms of both language and content. From the translator qualifications, he must understand well a few things; understand well the target and source language, semantics, and distinguish various linguistic structures such as synonyms, antonyms and metaphor. According to Mildred L. Larsen, a translator must consider three aspects: a). differences in characteristics of language, b). sort out the confusion between the source language and its target, c) recognize the differences in the context of the uses of each word. Last but not least, the authors expect no results for translations of the Qur’an which maintained the validity - at least approached with the intention of the verses of the Qur’an - so it helps to understand the Qur’an properly. For that, the authors suggested, there needs to be a special team consisting of language experts and competent to translate the Qur’an in a collocation and groups.
ﺍﻹﺷﻜﺎﻟﻴﺎﺕ ﺍﻟﻠﻐﻮﻳﺔ
ﰲ ﺗﺮﲨﺔ ﻣﻌﺎﱐ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺍﻟﻜﺮﱘ ﺇﱃ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻹﻧﺪﻭﻧﻴﺴﻴﺔ
Keywords: isykaliyyah, al-lughah al-hadaf, al-lughah al-masdar, tarjamah al-Qur’an, tarkib
* Program Studi Sastra Arab, Fakultas Sastra, Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta, Telp: (021) 72792753, 7263344
Vol. 7, No. 1, April 2011
170
Saifullah Kamalie
Jurnal TSAQAFAH
Al-Isyka>liyya>t al-Lughawiyyah fi Tarjamah...
171
Vol. 7, No. 1, April 2011
172
Saifullah Kamalie
Jurnal TSAQAFAH
Al-Isyka>liyya>t al-Lughawiyyah fi Tarjamah...
173
Vol. 7, No. 1, April 2011
174
Saifullah Kamalie
Jurnal TSAQAFAH
Al-Isyka>liyya>t al-Lughawiyyah fi Tarjamah...
175
Vol. 7, No. 1, April 2011
176
Saifullah Kamalie
Jurnal TSAQAFAH
Al-Isyka>liyya>t al-Lughawiyyah fi Tarjamah...
177
Vol. 7, No. 1, April 2011
178
Saifullah Kamalie
Jurnal TSAQAFAH
Al-Isyka>liyya>t al-Lughawiyyah fi Tarjamah...
179
Vol. 7, No. 1, April 2011
180
Saifullah Kamalie
Jurnal TSAQAFAH
Al-Isyka>liyya>t al-Lughawiyyah fi Tarjamah...
181
Vol. 7, No. 1, April 2011
182
Saifullah Kamalie
Jurnal TSAQAFAH
Al-Isyka>liyya>t al-Lughawiyyah fi Tarjamah...
183
Vol. 7, No. 1, April 2011
184
Saifullah Kamalie
Jurnal TSAQAFAH
Al-Isyka>liyya>t al-Lughawiyyah fi Tarjamah...
185
Vol. 7, No. 1, April 2011
186
Saifullah Kamalie
Jurnal TSAQAFAH
Al-Isyka>liyya>t al-Lughawiyyah fi Tarjamah...
187
Vol. 7, No. 1, April 2011
188
Saifullah Kamalie
Jurnal TSAQAFAH
Al-Isyka>liyya>t al-Lughawiyyah fi Tarjamah...
189
Vol. 7, No. 1, April 2011
190
Saifullah Kamalie
Jurnal TSAQAFAH
Al-Isyka>liyya>t al-Lughawiyyah fi Tarjamah...
191
Vol. 7, No. 1, April 2011
192
Saifullah Kamalie
Baker, Mona. 1992. In Other Words. London & New York: Routledge. Basnett, Susan. 1980, Translation Studies. London & New York: Routledge. Eugene A. Nida and Charles R. Taber. 1974. The Theory and Practice of Translation. Leiden: E. J. Brill. Larson, Mildred L.,1984, Meaning-Based Translation, New York: University Press of America.
Jurnal TSAQAFAH
ﻋﻘﻴﺪﺓ ﺍﻟﺘﻮﺣﻴﺪ ﻋﻨﺪ ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴــﺔ Amal Fathullah Zarkasyi Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo Email:
[email protected]
Abstract There were various explications of the concept of tawhid presented by Muslim scholars in the past, especially among mutakallimun and falasifah, but most of them emphasized on the unity of essence, attribute activities. Ibn Taymiyyah is one of the most celebrated Muslim theologians and regarded by some as mujaddid or reformer on Islamic theological thought. His reformative thought could be discerned from his concept of tawhid, which is deemed unique and worthy of further studies. However, it is not only of his concept that he was regarded as reformer, but also his framework of theological studies. The method employed in this research is literary studies, yet it is also supported by historical, descriptive, inductive and critical analytical method. The finding of this research is that Ibn Taymiyyah’s concept of Tawhid consists of unity of God, unity of Allah worship and the unity of essence and attribute. The first means the belief in the existence of God as the Creator; the second is the manifestation of belief in the form worship by heart, speech and good deed; the last one is the belief in the perfect attributes of Allah based on the Qur’an and sunnah. He also emphasized that one who does not believe in these three kinds of tawhid, or believe only in the unity of God could not save from the Hell. Regarding the framework, Ibn Taymiyyah restricts that the theological discourses should commit to the Qur’an and Hadith, rely on rational capacity of man, rebuff kalam interpretation and prefer revelation from reason.
Keyword:
Rububiyyah, uluhiyyah and al-Asma’ wa al-Sifat, Takwil alKalami.
* Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, Kampus ISID Pusat, Jl. Raya Siman Ponorogo, telp. 0352 - 483762
Vol. 7, No. 1, April 2011
194 Amal Fathullah Zarkasyi
Jurnal TSAQAFAH
‘Aqidah al-Tauh}i>d ‘Inda Ibn Taimiyah
195
Vol. 7, No. 1, April 2011
196 Amal Fathullah Zarkasyi
Jurnal TSAQAFAH
‘Aqidah al-Tauh}i>d ‘Inda Ibn Taimiyah
197
Vol. 7, No. 1, April 2011
198 Amal Fathullah Zarkasyi
Jurnal TSAQAFAH
‘Aqidah al-Tauh}i>d ‘Inda Ibn Taimiyah
199
Vol. 7, No. 1, April 2011
200 Amal Fathullah Zarkasyi
Jurnal TSAQAFAH
‘Aqidah al-Tauh}i>d ‘Inda Ibn Taimiyah
201
Vol. 7, No. 1, April 2011
202 Amal Fathullah Zarkasyi
Jurnal TSAQAFAH
‘Aqidah al-Tauh}i>d ‘Inda Ibn Taimiyah
203
Vol. 7, No. 1, April 2011
204 Amal Fathullah Zarkasyi
Jurnal TSAQAFAH
‘Aqidah al-Tauh}i>d ‘Inda Ibn Taimiyah
205
Vol. 7, No. 1, April 2011
206 Amal Fathullah Zarkasyi
Jurnal TSAQAFAH
‘Aqidah al-Tauh}i>d ‘Inda Ibn Taimiyah
207
Vol. 7, No. 1, April 2011
208 Amal Fathullah Zarkasyi
Jurnal TSAQAFAH
‘Aqidah al-Tauh}i>d ‘Inda Ibn Taimiyah
209
Vol. 7, No. 1, April 2011
210 Amal Fathullah Zarkasyi
Jurnal TSAQAFAH
‘Aqidah al-Tauh}i>d ‘Inda Ibn Taimiyah
211
Vol. 7, No. 1, April 2011
212 Amal Fathullah Zarkasyi
Jurnal TSAQAFAH
‘Aqidah al-Tauh}i>d ‘Inda Ibn Taimiyah
213
Vol. 7, No. 1, April 2011
214 Amal Fathullah Zarkasyi
Jurnal TSAQAFAH
Ketentuan Penulisan Tsaqafah Naskah, artikel/tulisan yang akan dikirimkan ke redaksi Jurnal Tsaqafah, akan dipertimbangkan pemuatannya, jika memenuhi beberapa kriteria berikut ini: 1. Naskah/artikel bersifat ilmiah, berupa kajian atas masalahmasalah keagamaan kontemporer dalam masyarakat. Di samping itu, memuat gagasan-gagasan orisinil, yang merupakan ringkasan hasil penelitian, survei dan review buku. 2. Naskah yang dikirim merupakan hasil tulisan orisinil dan belum pernah dipublikasikan dalam penerbitan apapun dan atau tidak sedang diminta penerbitannya oleh media lain. 3. Naskah yang ditulis, secara berurutan terdiri dari judul, nama penulis, abstrak, kata kunci, isi dan daftar pustaka. a. Judul harus ringkas dan lugas. b. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia yang memuat ringkasan artikel yang menggambarkan pengantar tulisan, metode dan kesimpulan. Abstrak ditulis antara 150 s/d 200 kata. c. Kata kunci minimal 3 (tiga) dan maksimal 5 (lima) kata yang mencerminkan isi naskah. d. Isi naskah minimal 15 s/d 25 halaman ukuran A4 (1,5 spasi). e. Daftar pustaka disusun secara alfabetis dengan memuat nama penulis, judul buku, kota penerbit, nama penerbit dan tahun penerbitan. 4. Naskah ditulis dengan menggunakan footnote (catatan kaki) dengan ketentuan: Nama pengarang tanpa gelar, judul buku (italic), volume/jilid (jika ada), buka kurung kota penerbit, nama penerbit, tahun penerbitan, kurung tutup, dan halaman. Contoh kutipan dari buku: Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Mifta> h } Da> r al-Sa’a> d ah, Jilid II (Mesir: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), Cet. IV, h. 204
Vol. 7, No. 1, April 2011
5.
6. 7. 8.
Contoh kutipan dari Terjemahan: Roger Scruton, Sejarah Singkat Filsafat Modern dari Descartes sampai Wittgenstein, terj. Zainal Arifin Tandjung (Jakarta: PT. Pantja Simpati, 1986), h. 1. Contoh kutipan dari jurnal/majalah: Fara Dieva Huwaida, 2006, “Misteri Gender antara Idealisme dan Pragmatisme, Menelusuri Utopia Musdah Mulia”, dalam Tsaqafah, Vol 4, Nomor 2, Gontor, Institut Studi Islam Darussalam (ISID), h. 123. Semua artikel ditulis dalam format MS Word, dan diserahkan dalam bentuk soft copy dan hard copy dikirim melalui pos, atau melalui e-mail dengan alamat:
[email protected] dengan menggunakan attachment file. Penulis berhak memperoleh hard copy sebanyak 2 (dua) eksemplar. Tidak keberatan jika naskah yang dikirim mengalami penyuntingan atau perbaikan tanpa mengubah isi. Setiap kata asing yang bukan nama orang, tempat dan sebagainya, ditulis italic (miring).
TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi ̟
=
f
Transliterasi yang digunakan dalam tulisan berbahasa ̣ = Arab-Latin q Indonesia atau Inggris pada Jurnal Tsaqafah adalah transliterasi ̧ model L.C.=(Librarykof Congress), dipadu dengan model DEPAG RI yang berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri ̫ ditetapkan = l Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. ̯
b = ̳ t = ts̻ = j̷ = h} = ʔ kh = d̿ =
=
= = = = =
m
dh = r = w z = s = h sy = ‘ s} = y d} =
n
t} = z} = ‘ = gh = f = q = k =
l m n w h -’ y
= = = = = = =
A. Transliterasi Model L.C. dan Depag RI. Untuk Madd dan Diftong âa>
=
a panjang
îi>
=
i panjang
u> û
=
u panjang
̻˛
=
aw
̻˛
=
uw
̿˛
=
ay
̿˛
=
iy
Vol. 7, No. 1, April 2011
B. Modifikasi (untuk tulisan berbahasa Indonesia). 1. Nama orang ditulis biasa dan diindonesiakan tanpa transliterasi. Contoh: As-Syahrastani, bukan Al-Syahrastani, dicetak biasa bukan italic. 2. Istilah asing yang belum masuk ke dalam Bahasa Indonesia, ditulis seperti aslinya dan dicetak miring (italic), bukan garis bawah (underline). Contoh:…. Al-qawa> i d al-fiqhiyya; isyra> q iyyah; ‘urwah al-wutsqa> , dan lain sebagainya. Sedangkan istilah asing yang sudah populer dan masuk ke dalam Bahasa Indonesia, ditulis biasa, tanpa transliterasi. Contoh: Al-Qur’an bukan Al-Qur’a>n; obyektif, bukan objektive; 3. Judul buku ditulis seperti aslinya dan dicetak miring. Huruf pertama pada awal kata dari judul buku tersebut menggunakan huruf kapital, kecuali al yang ada di tengah. Contoh: Irsyad al-Fuh}u>l.