Volume 10, No. 2, Oktober 2010
ISSN 1411-4623
Jurnal
Agripet Halaman Pola Usaha Peternakan Kambing dan Kinerja Produktivitasnya di Wilayah Eks-Karesidenen Banyumas Jawa-Tengah Akhmad Sodiq
1-8
Purifikasi Imunoglobulin Yolk Pada Ayam yang Divaksin terhadap Ekskretori/Sekretori Stadium L3 Ascaridia galli Darmawi, Ummu Balqis, Risa Tiuria, Muhammad Hambal dan Samadi
9-15
Pengaruh Pengurangan Jagung Sebagai Sumber Pati terhadap Laju Alir Pellet Pada Proses Produksi Berkesinambungan Yuli Retnani, Reani Syafrina Rachman dan Heri Ahmad Sukria
16-20
Pertambahan Bobot Badan dan Waktu Pembusukan Daging Ayam Broiler yang Diberi Ekstrak Jaloh Dikombinasi dengan Kromium Sugito, Erdiansyah R, Azhari, dan M. Isa
21-26
Penambahan Molases Untuk Meningkatkan Kualitas Amoniasi Jerami Padi dan Pengaruhnya terhadap Produk Fermentasi Rumen Secara In-Vitro Muhamad Bata dan Nur Hidayat
27-33
Kemampuan Susu Fermentasi Lactobacillus plantarum Menghambat Salmonella typhymurium Secara In Vitro Zuraida Hanum
34-39
Pengaruh Penggunaaan Tepung Buah Mengkudu terhadap Bobot Organ Pencernaan Ayam Pedaging Nurhayati
40-44
Kajian Potensi Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak Ruminansia di Kabupaten Aceh Besar Samadi, Yunasri Usman dan Mira Delima
45-53
Kualitas Karkas Domba Lokal yang Diberi Pakan Jerami Padi Fermentasi dengan Suplementasi Minyak Kedelai Peni Patriani, Juni Sumarmono dan Wardana Suryapratama
54-58
Pengaruh Imbangan Jerami Padi, Dedak Padi dan Onggok Terfermentasi terhadap Kecernaan dan Produk Fermentasi Rumen Secara In Vitro Suwandyastuti, Rimbawanto dan Ning Iriyanti
59-63
Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
Vol. 10 No (2), Oktober 2010
ISSN : 1411- 4623
JURNAL
Agripet JURUSAN PETERNAKAN, FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM – BANDA ACEH
Tim Redaksi Ketua
: Dr. Ir. Samadi, M.Sc.
Anggota
: Dr. Ir. M. Yunus Ibrahim, M.Sc. Dr. Ir. M. Aman Yaman, M.Sc. Dr. Ir. Yusdar Zakaria, M.S. Dr. Ir. Agus Nashri, M.Si. Ir. Asril M. Rur. Sc. Ir. Sulaiman Ibrahim, M.Sc. Ir. Cut Aida Fitri, M.Si
Administrasi dan Kesekretariatan
: Mega Husni, S.Pt
Alamat Redaksi
: Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Darussalam - Banda Aceh Telp.: (0651) 51097, 51977 Pes. 253, 4312. Hp : 0813 8373 6633 e-mail :
[email protected]
Jurnal Agripet merupakan jurnal ilmu-ilmu berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi peternakan yang dikeluarkan pertama sekali tahun 2000 oleh Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala.
Terbit 2 (dua) kali dalam setahun pada Bulan April dan Oktober.
Volume 10, No. 2, Oktober 2010
ISSN : 1411- 4623
Jurnal
Agripet Halaman Pola Usaha Peternakan Kambing dan Kinerja Produktivitasnya di Wilayah Eks-Karesidenen Banyumas Jawa-Tengah Akhmad Sodiq
1-8
Purifikasi Imunoglobulin Yolk Pada Ayam yang Divaksin terhadap Ekskretori/Sekretori Stadium L3 Ascaridia galli Darmawi, Ummu Balqis, Risa Tiuria, Muhammad Hambal dan Samadi
9-15
Pengaruh Pengurangan Jagung Sebagai Sumber Pati terhadap Laju Alir Pellet Pada Proses Produksi Berkesinambungan Yuli Retnani, Reani Syafrina Rachman dan Heri Ahmad Sukria
16-20
Pertambahan Bobot Badan dan Waktu Pembusukan Daging Ayam Broiler yang Diberi Ekstrak Jaloh Dikombinasi dengan Kromium Sugito, Erdiansyah R, Azhari, dan M. Isa
21-26
Penambahan Molases Untuk Meningkatkan Kualitas Amoniasi Jerami Padi dan Pengaruhnya terhadap Produk Fermentasi Rumen Secara In-Vitro Muhamad Bata dan Nur Hidayat
27-33
Kemampuan Susu Fermentasi Lactobacillus plantarum Menghambat Salmonella typhymurium Secara In Vitro Zuraida Hanum
34-39
Pengaruh Penggunaaan Tepung Buah Mengkudu terhadap Bobot Organ Pencernaan Ayam Pedaging Nurhayati
40-44
Kajian Potensi Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak Ruminansia di Kabupaten Aceh Besar Samadi, Yunasri Usman dan Mira Delima
45-53
Kualitas Karkas Domba Lokal yang Diberi Pakan Jerami Padi Fermentasi dengan Suplementasi Minyak Kedelai Peni Patriani, Juni Sumarmono dan Wardana Suryapratama
54-58
Pengaruh Imbangan Jerami Padi, Dedak Padi dan Onggok Terfermentasi terhadap Kecernaan dan Produk Fermentasi Rumen Secara In Vitro Suwandyastuti, Rimbawanto dan Ning Iriyanti
59-63
Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
Pola Usaha Peternakan Kambing dan Kinerja Produktivitasnya di Wilayah Eks-Karesidenen Banyumas Jawa-Tengah (Goat farming pattern and their productivity in the area of eks-karesidenan banyumas, central java) Akhmad Sodiq1 Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman Jln. Dr. Soeparno, Po. Box 110, Purwokerto, Jawa-Tengah 1
ABSTRACT Goats play an important role in the livelihood of rural people in upland and lowland farming systems in the areas of Eks-Karesidenan Banyumas Central Java. The main focus of this study presented in this paper, consist of (i) documenting the regional goat farming pattern, and (ii) find out the level of goat productivity in their farming. Importance of this study related to the development strategic fof their goat farming. Study was conducted in the areas of Eks-Karesidenan Banyumas Central Java (consist of Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, and Cilacap regencies). Upland and lowland areas were selected by purposive sampling method. Qualitative and quantitative descriptive statistic was applied in this study. Most of goats are raised within traditional system, characterized by small-scale production. The production in upland and lowland areas focused on single purposes for producing kid goats from Peranakan Etawah (PE) and Jawa Randu (JR)
breeds. PE goats focus on dual purposes for producing milk and meat are mostly found on upland. Flock size of PE and JR goats in upland and lowland ranges from 2 to 9 head (mean: 3.8 head) and from 1 to 6 head (mean: 2.7 head), respectively. Flock size of PE goat focus on dual purposes ranges from 8 to 75 head. PE and JR goats in upland and lowland were dominated by double litter, followed by single and triplets. The highest litter size (1.89 kids) was found in lowland, followed by single purpose of PE and JR goats in upland (1.78 kids), and dual porposes PE goats in upland areas (1.66 kids). Pre-weaning mortality was highest (9.5%) in lowland areas for single purpose of PE and JR goats. Does reproduction and productivity ranges from 1.76-5.24 kids/does/year and 12.92-87.42 kg/does/year, respectively. Doe productivity was lowest (12.92 kg/does/year) in single purpose of PE and JR at lowland due to low of their survival rate and weaning weight.
Key words: Goat farming pattern, goat productivity
2010 Agripet : Vol (10) No. 2: 1-8 PENDAHULUAN1 Ternak kambing mampu berkembang dan bertahan di semua zona agroekologi dan hampir tidak terpisahkan dari sistim usaha tani (Devendra and McLeroy, 1982; Wilson, 1995). Di banyak negara berkembang, ternak kambing telah dijadikan sebagai komuditas strategis sebagai instrumen pengentasan kemiskinan (poverty alleviation) oleh kelembagaan internasional. Peran ternak tersebut sangat strategis bagi kehidupan masyarakat pedesaan dan berkembang di hampir seluruh wilayah Indonesia. Ternak kambing memainkan peran yang penting sebagai sumber pendapatan dan mengurangi kemiskinan (FAO, 1999;
Devendra 2000; Sodiq, 2005) di samping itu berperan sebagai pemacu program peningkatan konsumsi protein hewani. Kontribusi ternak kambing terhadap petani adalah substansial, Sabrani dan Knipscheer (1995) melaporkan rataan sumbangan ruminansia kecil terhadap total pendapatan usaha tani sangat berarti, yaitu 17, 26 dan 14 persen masing-masing untuk dataran rendah, perkebunan karet dan dataran tinggi. Dua tipe utama sistim produksi peternakan kambing meliputi sistim tradisional dan modern (Gatenby, 1995). Sistim integrasi tanaman dan ternak merupakan bagian integral dari usaha pertanian secara umum (Devendra, 2002) dan untuk waktu kedepan memiliki prospek dalam pemenuhan daging asal ternak
Corresponding author:
[email protected]
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
1
ruminansia (Thomas et al., 2002). Sistim peternakan kambing yang ditemukan di wilayah Indonesia pada umumnya termasuk kategori sistim tradisional smallholders, dan dari sisi pengembangan usaha termasuk kategori usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pengembangan UMKM termasuk pada subsektor peternakan kambing, dewasa ini dirasakan semakin penting dan memiliki peranan yang sangat strategis, apalagi disaat pemerintah belum sepenuhnya mampu mengatasi berbagai dampak krisis ekonomi seperti terbatasnya kesempatan kerja serta masih banyaknya jumlah penduduk miskin. Kajian pola usaha peternakan kambing di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas yang mencakup upland dan lowland serta pencapaian tingkat produktivitasnya dibutuhkan dalam rangka penyusunan strategi pengembangan untuk meningkatkan UMKM subsektor peternakan kambing. Tujuan penelitian ini adalah mendokumentasikan pola usaha peternakan kambing beserta karakteristiknya dan mengetahui tingkat produktivitasnya. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di wilayah EksKaresidenan Banyumas (meliputi kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara dan Cilacap) dan ditujukan pada peternakan kambing dalam bentuk individual maupun tergabung dalam bentuk kelembagaan (kelompok). Sasaran utama penelitian ini adalah peternakan (ternak dan peternak) kambing dan masuk kategori Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Purposive Samping Method digunakan untuk penetapan lokasi penelitian dengan mempertimbangkan topografi upland dan lowland. Dilibatkan 347 peternak yang berasal dari peternak kambing Peranakan Etawah (PE) dan kambing Jawa Randu yang berada di daerah upland dan lowland. Variabel penelitian meliputi variabel pola usaha peternakan kambing beserta karakteristiknya, serta variabel kinerja produktivitas kambing mencakup litter size, preweaning mortality, doe reproduction index dan doe productivity. Digunakan analisis
deskriptif kualitatip dan kuantitatip untuk analisis data. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Usaha Peternakan Kambing Sistim produksi ternak ruminansia termasuk kambing secara tradisional dikembangkan sebagai respon terhadap iklim dan beberapa aspek lain dari lingkungan (Gatenby, 1995). Peternakan kambing yang ditemukan di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas dikategorikan sistim tradisional dalam bentuk smallholder. Pola usaha peternakan kambing di wilayah EksKaresidenan Banyumas dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipologi (model) berdasarkan tujuan pemeliharaan (Sodiq, et al., 2006), yaitu: (1) Tipologi usaha untuk menghasilkan anakan (meat purpose) yaitu model usaha pemeliharaan kambing untuk memproduksi anakan (cempe) yang akan dibesarkan untuk tujuan sebagai calon bibit ataupun dibesarkan (digemukan) untuk tujuan disembelih (Tipologi Model I); (2) Tipologi usaha untuk menghasilkan daging dan susu (dual purposes) atau model kombinasi, yakni model peternakan kambing PE yang bertujuan untuk memproduksi anakan (cempe) dan juga untuk memproduksi susu (Tipologi Model II); dan (3) Tipologi usaha kambing sebagai cabang usaha tani (model integrasi) penderes gula kelapa. Model peternakan kambing PE yang diusahakan secara bersama dengan usaha pembuatan gula kelapa. Pada tipe ini peternak kambing juga berprofesi sebagai penderes nira kelapa. Tipologi usaha ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan sumber tenaga kerja yang tersedia pada keluarga petani serta mengoptimalkan fungsi lahan untuk tanaman hijauan pakan ternak disela-sela tanaman atau pinggiran areal perkebunan kelapa (Tipologi Model III). Pada umumnya usaha peternakan kambing PE masih diusahakan untuk tujuan menghasilkan anakan (cempe) dan hanya sebagian kecil peternak yang melakukan usaha pemeliharaan kambing PE untuk tujuan penghasil anakan sekaligus penghasil susu (dual purposes). Hasil pengamatan di kabupaten Purbalingga tidak ditemukan peternak yang mengusahakan kambing PE
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
2
untuk tujuan produksi susu. Di wilayah kabupaten Banjarnegara dan Cilacap masingmasing ditemukan satu peternak yang mengusahakan kambing PE untuk tujuan produksi susu, sedangkan di kabupaten Banyumas dapat dijumpai pada dua lokasi (yaitu Purwokerto dan Gumelar) dengan jumlah peternak mencapai 15 orang. Usaha kambing perah dari jenis PE dan persilangan (kambing Sanen) dapat ditemukan di daerah tersebut. Peternak kambing PE di wilayah Gumelar tergabung dalam suatu pengorganisasian Kelompok Tani Ternak Kambing “Peranakan Etawah Gumelar Banyumas (Pegumas)” yang memiliki anggota 32 orang dengan total populasi kambing PE mencapai 920 ekor dengan beragam umur fisiologis dan jumlah induk yang yang berproduksi sekitar 16 persen (68 ekor induk). Penampilan kambing PE pada peternakan Tipologi Model II nampak lebih baik dibandingkan penampilan kambing PE pada peternakan Tipologi Model I. Penampilan kambing dapat ditunjukkan dengan ukuran morfologis tubuh seperti tinggi pundak, panjang badan, bentuk profil muka dan panjang telinga. Kambing dewasa di peternakan kambing PE tipologi Model II (di Banyumas, Banjarnegara dan Cilacap) sebagian besar memiliki ukuran tinggi pundak lebih dari 80 cm untuk betina dewasa dan 105 cm untuk pejantan, dengan panjang telinga lebih dari 30 cm. Adapun kambing dewasa di peternakan kambing PE Tipologi Model I dan III (seperti di Purbalingga, dan Banyumas) pada umumnya memiliki ukuran tinggi pundak kurang dari 55 cm untuk betina dewasa dan sekitar 80 cm untuk pejantan, dengan panjang telinga lebih dari 25 cm. Keragaan kepemilikan ternak pada pola usaha penghasil anakan (Tipologi Model I) maupun model integrasi (Tipologi Model III) relatip bervariasi antar peternak. Jumlah kepemilikan kambing relatip bervariasi. Kepemilikan kambing PE dan Jawa randu setiap peternak pada wilayah upland berkisar 2-9 ekor dengan rataan 3,8 ekor, sedangkan pada wilayah lowland berkisar 1-6 ekor dengan rataan 2,7 ekor.
Secara umum usaha peternakan kambing di daerah upland maupun lowland pada wilayah Eks-Karesidenan Banyumas hampir seluruhnya berupa usaha peternakan rakyat dan merupakan komponen pendukung dari sistim usaha tani. Hasil penelitian terdahulu di daerah lain oleh Djajanegara dan Setiadi (1991) dan Soedjana (1993) menunjukkan bahwa mendekati 99 persen ternak ruminansia kecil berada di tangan petani kecil dan kurang dari satu persen diusahakan secara komersial penuh. Kebanyakan ternak dipelihara oleh petani kecil di pedesaan dengan tatalaksana secara tradisional (Chaniago, 1993) dengan jumlah yang kecil (4-5 ekor per peternak) dibawah kondisi tradisional, dengan cut-and-carry feeding system, dengan penggembalaan setiap hari yang dibatasi (Djajanegara dan Setiadi, 1991). Tiga kategori sistim produksi ternak ruminansia, yaitu sistim ekstensip, sistim kombinasi arrable cropping (pinggiran jalan, sistim penggembalaan pada pangonan umum maupun lahan tanaman, tethering, cut-and-carry feeding), dan sistim integrasi tanaman dengan ternak. Di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas ditemukan berbagai pola, yaitu pada dataran rendah (wilayah Cilacap dan Purbalingga) dijumpai pola pemeliharaan ekstensip dan model tethering pada pinggiran jalan dan persawahan, serta areal lapangan dan pinggiran pantai (wilayah pesisir Cilacap). Bangsa kambing yang dipelihara pada sistim tersebut sebagian besar adalah kambing Jawa Randu. Pertanyaan yang cukup mendasar apakah usaha ternak kambing berpeluang dikembangkan menjadi industri peternakan yang efisien. Di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas, hingga saat ini ternak kambing pada umumnya masih diusahakan secara sambilan, namun ada kecenderungan pada beberapa daerah bergeser dari usaha sambilan yang bersifat ”subsisten” menjadi cabang usaha (mix-farming) maupun menjadi skala industri peternakan kambing. UMKM peternakan kambing PE di wilayah EksKaresidenan Banyumas masih bersifat sambilan dengan menerapkan sistim tradisional dalam bentuk usaha rumah tangga. Pada usaha skala subsisten fungsi pemeliharaan ternak kambing PE hanya sebatas sebagai tabungan
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
3
yang sewaktu-waktu dapat diuangkan bila ada keperluan mendesak. Perhitungan ekonomis termasuk biaya produksi dan tenaga kerja yang dilibatkan pada usaha tersebut belum menjadi perhatian utama. Pada tipologi Model I untuk menghasilkan anakan (meat purpose) usaha peternakan kambing cenderung masih bersifat tradisional sehingga belum memerlukan investasi dan melibatkan lembaga perbankan. Pada tipologi Model II (usaha untuk dual purposes) atau model kombinasi yaitu model peternakan kambing PE yang bertujuan memproduksi anakan (cempe) sekaligus untuk memproduksi susu, ada kecenderungan mengarah pada cabang usaha mix-farming maupun menjadi skala industri. Hal tersebut didasari adanya perolehan tambahan keuntungan yang relatif besar dari hasil penjualan susu (sebagai daily income) disamping hasil penjualan calon bibit, cempe atau pembesaran cempe. Hasil evaluasi kelayakan usaha ternak kambing PE di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas (Sodiq et al., 2006), membuktikan bahwa usaha peternakan kambing PE sebagai ternak dual purpose (penghasil anakan dan susu) memberikan nilai keuntungan usaha yang jauh lebih tinggi dibanding dengan usaha hanya sebagai penghasil cempe. Parameter ekonomi Profitability Indeks (PI) dan Internal Rate of Return (IRR) pada usaha kambing PE sebagai ternak dual purpose (5,92 dan 105,12%) lebih tinggi dibanding hanya sebagai penghasil anakan (1,002 dan 20,05%). Oleh sebab itu usaha kambing PE dapat mempunyai nilai strategis ekonomis, membantu program pengentasan kemisikinan di pedesaan, serta berperan dalam program ketahanan pangan dengan menyediakan protein hewani berupa daging dan susu. Untuk pengembangan UMKM peternakan kambing PE, terdapat tiga pelaku investasi dalam pengembangan agribisnis kambing yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat/komunitas peternak. Investasi pemerintah dalam agribisnis ternak kambing mencakup beberapa aspek yaitu (i) pelayanan kesehatan hewan, (ii) dukungan penyediaan bibit (pejantan) unggul dan induk berkualitas, (iii) kegiatan penelitian, pengkajian dan pengembangan yang terkait dengan aspek
pakan dan manajemen pemeliharaan, serta (iv) pengembangan kelembagaan untuk mempercepat arus informasi, pemasaran, promosi, permodalan, dll. Kegiatan di subsistim hulu yang tidak kalah pentingnya dan perlu dilakukan oleh pemerintah antara lain: (i) penyediaan infrastruktur untuk memudahkan arus barang input-output serta pemasaran produk, (ii) ketersediaan laboratorium kesehatan hewan, pakan dan reproduksi, serta (iii) penyiapan lahan usaha peternakan dan penetapan tata ruang agar pengembangan ternak tidak terganggu oleh masalah kesehatan hewan, sosial, hukum dan lingkungan. Investasi swasta, mengacu kepada karakteristik usaha ternak kambing dan kondisi riil yang ada, maka strategi yang tepat adalah mendorong peran peternak kecil dengan tetap memberi kesempatan swasta untuk berkiprah. Kombinasi pendekatan ini dinilai ideal, mengingat keterbatasan kemampuan peternakan rakyat serta risiko yang dihadapi oleh pihak swasta. Dalam skala terbatas swasta dapat bergerak dalam sektor produksi (budidaya), namun secara mandiri swasta dapat bergerak di sektor hulu (usaha penyediaan calon induk, penyediaan pejantan, penyediaan semen beku, pabrik pakan mini, dll), serta di kegiatan hilir (RPH, industri pengolahan daging, susu, kulit, kompos). Usaha ternak budidaya oleh swasta dilakukan dengan pola kemitraan, peternak menghasilkan bakalan dan inti membeli untuk digemukkan atau langsung dipasarkan. Investasi masyarakat sebagian besar berasal dari pemanfaatan aset yang telah dimiliki, atau sumber pendanaan baru yang berasal dari lembaga keuangan, bantuan pemerintah, kerjasama dengan swasta (inti) atau bantuan keluarga/kelompok. Pengembangan investasi jelas akan mampu menciptakan lapangan kerja baru, baik peluang untuk menjadi peternak mandiri maupun lowongan pekerjaan yang terlibat pada sektor hulu dan hilir. Investasi masyarakat untuk pengembangan agribisnis ternak kambing dapat berupa investasi sumberdaya dan produksi yang meliputi perkandangan, ternak, pakan, obat, peralatan kandang serta bahan pembantu lainnya. Sumber pembiayaan dapat berupa kredit dari perbankan ataupun dari
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
4
lembaga keuangan formal lainnya serta tidak menutup kemungkinan berasal dari lembaga keuangan non formal seperti pinjaman kelompok atau koperasi bersama. Hastuti (2004) dan Supadi dan Sumedi (2004) melaporkan bahwa aksesibilitas masyarakat desa terhadap lembaga pembiayaan formal relatif kecil, oleh karena itu diperlukan kreasi kelembagaan pembiayaan yang tepat. Sodiq (2009 dan 2010) merekomendasikan perlunya penguatan kelembagaan kelompok dengan fasilitasi teknologi untuk meningkatkan aksesibilitas penguatan modal dari perbankan yang harus didukung oleh kebersamaan dan sinergis berbagai komponen yaitu Government, Academician, Businessman-Bank, and Social Community (GABBS). Produktivitas Ternak Kambing Hasil pendataan terhadap 347 peternak diperoleh bahwa kepemilikan kambing PE dan Jawa Randu setiap peternak pada wilayah upland berkisar 2-9 ekor (rataan 3,8 ekor), sedangkan pada wilayah lowland berkisar 1-6 ekor (rataan 2,7 ekor). Pada pemeliharaan untuk tujuan dwi-guna penghasil cempe dan susu, kepemilikan berkisar dari 8-75 ekor. Tujuan pemeliharaan pada umumnya sebagai usaha sambilan, dan beberapa peternak sudah mengarah sebagai cabang usaha maupun usaha pokok terutama pada skala usaha di atas 50 ekor. Keragaan produktivitas yang meliputi jumlah anak sekelahiran (litter size), mortalitas cempe prasapih, indeks reproduksi dan produktivitas induk disajikan pada Tabel 1. Jumlah anak sekelahiran berkisar dari 1-3 ekor dengan frekuensi kelahiran kembar dua cenderung lebih (59-79%), diikuti kelahiran tunggal dan kelahiran kembar tiga. Rataan jumlah anak sekelahiran pada kambing adalah1,66 ekor (PE dwi-guna di wilayah upland), serta 1,78 dan 1,89 ekor masingmasing pada kambing PE dan Jawa Randu di wilayah upland dan lowland. Jumlah anak sekelahiran induk kambing lebih tinggi dari yang didapatkan oleh Handiwirawan et al. (1996), yaitu sebesar 1,29 ekor, dan lebih rendah dari hasil penelitian Ngadiono dkk.(1984) yakni sebesar 1,56 ekor. Hasil penelitian ini mendekati laporan Astuti (1983) yakni sebesar 1,70 ekor. Jumlah anak
sekelahiran (litter size) merupakan penampilan reproduksi induk kambing lokal yang dapat dijadikan indikator kualitas atau mutu induk kambing, hal ini akan membantu program seleksi dalam usaha untuk mempercepat perbaikan performans. Sifat dewasa dini dan fekunditas (jumlah anak/bunting) dan fertilitas tinggi memberi gambaran kemampuan meningkatkan populasi. Tabel 1. Keragaan produktivitas kambing di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas Karakteristik Produksi
Kambing PE tipe dwiguna (Upland)
Kambing PE dan Jawa Randu (Upland)
Kambing PE dan Jawa Randu (Lowland)
Litter Size pada Saat Beranak: Rataan litter size (ekor)
1,66
1,78
1,89
Litter size tunggal (%)
36,82
30,76
15,78
Litter size kembar dua (%)
59,88
60,00
78,94
Litter size kembar tiga (%)
3,29
9,23
5,26
6,04
7,30
9,43
Rataan (ekor/induk/tahun)
2,54
2,67
2,03
Minimal (ekor/induk/tahun)
1,56
1,50
0,93
Maksimal (ekor/induk/tahun)
5,14
5,14
3,60
Rataan (kg/induk/tahun)
42,85
37,66
28,44
Minimal (kg/induk/tahun)
26,53
21,00
12,92
Maksimal (kg/induk/tahun
87,42
72,00
50,40
Mortalitas Cempe Prasapih: Rataan mortalitas prasapih (%) Indeks Reproduksi Induk:
Produktivitas Induk:
Induk kambing dapat beranak lebih dari satu ekor dan lamanya bunting lebih pendek dari ruminansia besar. Jumlah anak tiap kelahiran tergantung dari kemampuan betina, yakni banyaknya ovum yang masak dan jumlah telur yang dibuahi. Kemampuan ini dipengaruhi oleh sifat-sifat pembawaan (bakat), pengaruh luar (lingkungan), dan interaksinya (Hardjosubroto, 1994). Tabel 1 memperlihatkan bahwa mortalitas cempe prasapih di bawah 10 persen berkisar 6-9,4 persen. Mortalitas pra-sapih umumnya sering terjadi pada anak kambing yang lahir kembar daripada anak kambing yang lahir tunggal. Hal ini kemungkinan disebabkan anak kambing yang lahir tunggal lebih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan air susu dari induknya dibandingkan dengan anak kambing yang lahir kembar. Sedangkan Handiwirawan et al. (1996) melaporkan kematian cempe
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
5
banyak ditemui pada induk kambing yang diberi pakan dengan tingkat protein rendah (10%) dan tanpa suplementasi mineral mikro. Laju mortalitas cempe ini juga lebih rendah dibandingkan dengan laporan Setiadi et al. (1984) yaitu sebesar 34,23 persen dan Handiwirawan et al. (1996) sebesar 45 persen.. Indeks reproduksi induk atau laju reproduksi induk (LRI) merupakan gambaran kemampuan induk dalam merawat cempe sampai disapih. LRI kambing di wilayah penelitian berkisar 0,95-5,14 ekor anak sapih/induk/tahun. Rataan nilai LRI tertinggi (2,67 ekor anak sapih/induk/tahun) diperoleh pada kambing PE dan Jawa Randu di wilayah upland. Kemampuan seekor induk untuk menghasilkan bobot cempe sapihan digunakan indikator produktivitas induk (PI). Tabel 1 memperlihatkan bahwa nilai PI berkisar dari 12,92-87,42 kg cempe sapihan/induk/tahun. Rataan nilai PI tertinggi (42,85 kg cempe/induk/tahun) diperoleh pada kambing PE tipe dwi guna, diikuti oleh kambing PE dan Jawa Randu pada wilayah upland dan lowland masing-masing 37,66 dan 28,66 kg cempe/induk/tahun. Nilai PI meningkat sebagai akibat meningkatnya bobot sapih cempe, seperti pada kambing PE tipe dwiguna mampu mencapai 18 kg. Greyling (2000) dan Marai et al. (2002) melaporkan bahwa penampilan produksi sangat ditentukan oleh interaksi faktor genetik dengan, dan pengaruh paritas sangat nyata terhadap produktivitas kambing. Hasil penelitian Ndlovu dan Simela (1996) menunjukkan bahwa akibat rendahnya laju pertumbuhan cempe dan panjangnya jarak beranak berakibat penurunan produktivitas induk dalam menghasilkan jumlah kg bobot cempe sapihan dalam periode tertentu. Rataan PI kambing meningkat sejalan peningkatan paritas hingga paritas keempat dan kelima, kemudian berangsur menurun. Steve and Marco (2001) memperlihatkan tingkat produktivitas kambing dapat berkorelasi positip dengan umur kematangan induk, dan kemampuannya menurun drastis setelah iduk berumur 9 tahun. Beberapa upaya untuk meningkatkan LRI dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah anak sekelahiran, menurunkan laju
mortalitas prasapih dan memperpendek selang beranak. Untuk meningkatkan jumlah anak sekelahiran dapat dilakukan dengan jalan memelihara induk kambing yang sering beranak kembar. Pemeliharaan induk dengan jumlah anak kembar, harus diiringi dengan manajemen pemeliharaan yang lebih intensif untuk menekan laju mortalitas cempe prasapih. Jarak beranak dapat diperpendek dengan memperbaiki tatalaksana perkawinan, yaitu dengan mempercepat perkawinan induk kambing setelah masa involutio uteri selesai sekitar 2−3 bulan setelah induk beranak. KESIMPULAN Pola usaha peternakan kambing di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas diklasifikasikan menjadi tiga tipologi (model) berdasarkan tujuan pemeliharaan: (i) Tipologi usaha meat purpose yaitu model usaha pemeliharaan kambing untuk memproduksi cempe dengan tujuan calon bibit ataupun dibesarkan (digemukan) untuk disembelih, (ii) Tipologi usaha dual purposes yaitu untuk menghasilkan daging dan susu, dan (iii) Tipologi usaha kambing sebagai cabang usaha tani (model integrasi) dengan penderes gula kelapa. Tipologi usaha ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan sumber tenaga kerja yang tersedia pada keluarga petani serta mengoptimalkan fungsi lahan untuk tanaman hijauan pakan. Kepemilikan kambing PE dan Jawa randu pada pola single purpose di wilayah upland berkisar 2-9 ekor (rataan 3,8 ekor), sedangkan pada wilayah lowland berkisar 1-6 ekor (rataan 2,7 ekor). Kepemilikan kambing pada pola dual porposes berkisar 8-75 ekor. Pada upland maupun lowland, tipe beranak didominasi oleh kelahiran kembar dua, diikuti tunggal dan kembar tiga. Rataan jumlah anak sekelahiran pada kambing PE dan Jawa Randu pola single purpose di lowland (1,89 ekor) dan upland (1,78 cempe), sedangkan pada kambing PE pola dual porposes di upland sebesar 1,66 ekor. Kematian cempe tertinggi (9,5%) terjadi di lowland. Laju reproduksi dan produktivitas induk masing-masing berkisar dari 1,76-5,24 cempe/induk/tahun dan 12,92-87,42 kg/induk/ tahun. Tingkat produktivitas induk terendah
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
6
(12,92 kg/dinduk/tahun) dijumpai pada kambing PE dan Jawa Randu di lowland disebabkan oleh rendahnya daya hidup dan pencapaian bobot sapih cempe. UCAPAN TERIMAKASIH Tulisan ini merupakan bagian dari hasil Riset Strategis Nasional (Stranas) melalui Universitas Jenderal Soedirman. Kepada para peternak dan pengurus kelompok tani ternak kambing di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas dihaturkan terimakasih atas kerjasamanya. DAFTAR PUSTAKA Astuti,
M., 1983. Parameter Produksi Kambing dan Domba di Daerah Dataran Tinggi Kec. Tretep Kab. Temanggung. Dalam: Prosiding Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. Bogor, Indonesia. 22-23 Nopember 1983. pp.114-117. Chaniago, T.D., 1993. Present Management System. In: Small Ruminant Production in the Humid Tropics, Manika Wodzicka. T., et al. (Ed.). UNS-Press, Surakarta. pp.34-50. Devendra, C., 2002. Crop–animal systems in Asia: future perspectives. Agric. Syst. 71, 179– 186. Devendra, C., 2000. Challenges for research and development of goats. In: Proceedings International Conferences on Goats. France, 19-21 May 2000. Devendra, C. and McLeroy, 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics. Intermediate Tropical Agricultural Series, Longman Group Limited, Essex, UK. 271pp. Djajanegara, A. and Setiadi, B., 1991. Goat Production in the Asian Humid Tropics : Goat Production in Indonesia. In: Proceeding of an International Seminar Goat Production in the Asian Humud Tropics. Prince of Sankla University of Thailand. FAO, 1999. Poverty Alleviation and Food Security in Asia: Role of Livestock. RAP Publication 1999/4. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Bangkok 10200, Thailand.
Gatenby, R.M., 1995. The Tropical Agriculturalist: Goats. Macmillan Education Ltd. London and Basingstoke. 153pp. Greyling, J.P.C., 2000. Reproduction traits in the Boer goat doe. Small Rum. Res. 36:171-177. Handiwirawan, E., Setiadi, B. dan Anggaeni, D., 1996. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Produktivitas Induk Ternak Ruminansia Kecil pada Kondisi Peternakan Rakyat di Kabupaten Lebak. In: Prosiding Badan Litbang Pertanian. Deptan. Bogor. Hastuti, LE., 2004. Aksesibilitas Masyarakat Terhadap Kelembagan Pembiayaan Pertanian di Pedesaan. ICASERD Working Paper No.57. Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development. Hardjosubroto, W., 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Gramedia Widiasarana Indonesia. Marai, I.F.M., Abou-Fandoud, E.I., Daader, A.H., and Abu-Ella, A.A., 2002. Reproductive doe traits of the Nubian (Zaraibi) goats in Egypt. Small Rum. Res. 46:201-205. Ndlovu and Simela, 1996. Effect of season of birth and sex of kid on the production of live weaned single born kids in smallholder East African goat flocks in North East Zimbabwe. Small Rum. Res. 22:1-6. Sabrani, M. and Knipscheer, H.C., 1995. Small Ruminant for Small Farmers. Ministry of Agriculture, Agency for Agricultural Research and Development. Jakarta, Indonesia. Setiadi, B dan Sitoorus, P., 1984. Penampilan Reproduksi dan Produksi Kambing Peranakan Etawah. In: Prosiding Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil Domba dan Kambing di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
7
Sodiq,
A., 2010. Improving Livestock Production System of Peranakan Etawah Goat Farming for Increasing Accessibility to Bank. In: Proceedings International Seminar on Prospects and Challenges of Animal Production in Developing Countries in the 21st Century, Malang, March 23-25, 2010. Sodiq, A., 2009. Aksesibiltas terhadap Perbankan dalam Mendukung Pembangunan Peternakan. Makalah Utama Sidang Pleno. Pertemuan Teknis Fungsi-Fungsi Pembangunan Peternakan, Mataram, NTB, 23-25 April 2009. Sodiq, A., 2005. Small ruminants: Implication and research strategies on rural poverty alleviation. J. Rural Dev. 1(7):1-7. Sodiq, A., Setianto, N.A., Sumarmono, J., Utami, S. dan Mustaufik. 2006. Kajian Pola Pembiayaan Ternak Kambing PE dan Pengolahan Susu Kambing PE di Wilayah Eks- Karesidenan Banyumas. Final Report. Kerjasama antara BI dengan Fak. Peternakan Unsoed, Purwokerto. Soedjana, T.D., 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia: Ekonomi Pemeliharaan Ternak Ruminansia Kecil. Sebelas Maret University Press. Surakarta Indonesia. Steve, D.C. and Marco, F.B., 2001. Reproductive success in female mountain goats: the influence of age and social rank. Anim. Behaviour 62:173-181. Supadi dan Sumedi, 2004. Tinjauan Umum Kebijakan Kredit Pertanian. ICASERD Working Paper No.25. Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development. Thomas, D., Zerbini, E., Rao, P.P. and Vaidyanathan, A., 2002. Increasing animal productivity on small mixed farms in South Asia: a systems perspective. Agric. Syst. 71(1-2): 4157 Wilson, R.T., 1995. Livestock Production System. Macmillan Education, Ltd., Paris. 141pp.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
8
Purifikasi Imunoglobulin Yolk Pada Ayam yang Divaksin terhadap Ekskretori/Sekretori Stadium L3 Ascaridia galli (Purification yolk immunoglobulin of hens vaccinated against excretory/secretory Ascaridia galli L3 larvae stage) Darmawi1, Ummu Balqis2, Risa Tiuria3, Muhammad Hambal 4 dan Samadi5 Staf Pengajar Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala 2 Staf Pengajar Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala 3 Staf Pengajar Helmintologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor 4 Staf Pengajar Parasitologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala 5 Staf Pengajar Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala
1
ABSTRACT The main immunoglobulin fraction of poultry is called IgY, in order to distinguish it from the mammalian IgG. This article focus on purification yolk immunoglobulin of hens vaccinated against excretory/secretory Ascaridia galli larvae to obtained purity IgY. Active vaccinations with excretory/secretory antigen were applied intra muscularly of chickens with an initial dose of 80 µg. The vaccinations were repeated three times with dose of each 60 µg with an interval of one week. The first vaccinations were excretory/secretory antigen mixed with Fruend Adjuvant Complete and subsequently mixed with Freund Adjuvant Incomplete. Antibody response in yolk was detected at weekly intervals by agar gel
precipitation test (AGPT). The chicken’s eggs were collected from 49 day after vaccinations. IgY was extracted from egg yolks by means of ammonium sulphate and purified using fast performance liquid chromatography (FPLC). The purity of antiekscretory/secretory IgY protein was determined by Bradford method (λ = 280 nm). The result showed that antibody in yolk was begun detect with AGPT at four weeks after vaccination. IgY concentration after purification was 0,875 ± 0.251 mg/ml. This study has shown that the product released in vitro by L3 stage A. galli is capable of stimulating humoral immunity by mean of producing antibody through yolk as biologic manufacturer could be a good choice.
Key words: Ascaridia galli, excretory/secretory antigen, yolk Immunoglobulin
2010 Agripet : Vol (10) No. 2: 9-15 PENDAHULUAN2 Kuning telur (yolk) dari ayam yang diimunisasi sudah sangat terkenal sebagai salah satu sumber antibodi. Produksi immunoglobulin yolk (IgY) dengan memanfaatkan kuning telur ayam sebagai pabrik biologis mempunyai beberapa keunggulan. Ayam memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap pemaparan antigen asing, sehingga sistem imun ayam sangat responsif dan persisten untuk produksi IgY (Hau dan Hendriksen, 2005). Keunggulan lainnya adalah IgY dapat diperoleh dari telur dengan konsisten menjaga animal welfare, tanpa harus menyakiti hewan, misalnya:
produksi antibodi pada mencit, kelinci, kuda, dan hewan model lainnya harus menderita stres yang lama saat-saat serumnya dipanen. Jumlah IgY yang dihasilkan oleh ayam petelur juga lebih banyak dibandingkan antibodi hewan model lainnya. Diantara tiga kelas imunoglobulin unggas (IgA, IgM, dan IgY) yang analog dengan imunoglobulin mamalia, IgY adalah imunoglobulin yang tersedia dalam jumlah yang paling banyak ditemukan pada serum dan didepositkan ke dalam kuning telur. Riset yang membuktikan kelimpahan dan kegunaan IgY yang didepositkan ke dalam kuning telur ayam dibuktikan oleh Carlander (2002), bahwa ayam yang telah diimunisasi dengan antigen Pseudomonas aeruginosa dapat menghasilkan
Corresponding author:
[email protected]
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
9
40 – 100 mg IgY dalam setiap butir telur ayam. Tiap-tiap butir telur dari ayam White Leghorn yang diimunisasi empat kali dengan 20 – 500 μg antigen secara subcutan mengandung 90 – 100 mg IgY, dimana 1 – 10% diantaranya adalah IgY spesifik (Haak-Frendscho, 1994). Ada beberapa hal penting yang membedakan IgG dengan IgY, yaitu IgY lebih resisten terhadap suhu, pH dan kekuatan ion daripada IgG. Antibodi yang mirip IgG dengan rantai berat y seberat 50.000 Da tidak ditemukan pada ayam. IgY ayam tidak berikatan dengan reseptor Fc manusia dan juga tidak bereaksi dengan anti-mamalia antibodi manusia, seperti faktor rhematoid dan anti-IgG manusia (Schade et al., 1999). Penelitian ini akan fokus pada evaluasi sifat imunogenik ekskretori/sekretori L3 A. galli sebagai pemicu respons imunitas ayam petelur, khususnya respons humoral yang berimplikasi kepada terbentuknya IgY di dalam kuning telur. Antibodi anti-ekskretori/sekretori L3 A. galli di dalam kuning telur dideteksi dengan uji agar gel precipitation test (AGPT). IgY dipurifikasi melalui kromatografi fast performance liquid chromatography (FPLC). Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan IgY murni pada kuning telur dari ayam yang divaksinasi dengan antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli. Diharapkan IgY murni yang diperoleh dari penelitian ini berpeluang dimanfaatkan pada kepentingan imunodiagnostik untuk mendeteksi antigen A. galli.
BAHAN DAN METODE Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan enam ekor ayam petelur jenis Hysex Brown yang dibagi atas dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari tiga ekor ayam yang tidak divaksin. Kelompok kedua terdiri dari tiga ekor ayam yang divaksin dengan 260 g ekskretori/ sekretori L3 A. galli secara intramuskular. Semua ayam dipastikan bebas dari infeksi cacing melalui pemeriksaan telur tiap gram tinja. Ayam dipelihara secara individual dalam kandang baterei yang diberi pakan komersial dan air minum secara ad libitum. Sampel yolk
diperiksa setiap minggu mulai dari satu minggu pertama praimunisasi sampai minggu keenam pascaimunisasi. IgY yang terbentuk diuji secara kualitatif dengan Agar Gel Precipitation Test (AGPT). Apabila uji AGPT sudah menunjukkan hasil positif, maka telur ayam dikoleksi untuk dilakukan purifikasi IgY melalui Fast Performan Liquid Chromatography (FPLC). Kuantitas protein IgY pada tiap-tiap tahap purifikasi dihitung mengikuti metode Bradford. Teknik Imunisasi Menggunakan Ekskretori/ Sekretori L3 A. galli Untuk mendapatkan ekskretori/ sekretori L3 A. galli, A. galli dipelihara secara in vivo dan in vitro. Antigen ekskretori/sekretori dipreparasi mengikuti metode Hintz et al. (1998) seperti dijelaskan oleh Darmawi et al. (2008). Konsentrasi protein antigen ekskretori/ sekretori L3 A. galli dosis 260 g ditentukan berdasarkan uji Bradford seperti dijelaskan oleh Darmawi et al. (2009) digunakan pada penelitian ini. Vaksinasi dilakukan empat kali dalam interval waktu satu minggu setiap vaksinasi. Teknik yang digunakan adalah suntikan pertama 80 g ekskretori/sekretori larva A. galli dalam emulsi Freund’s Complete Adjuvant (FCA) yang diikuti dengan tiga kali suntikan booster (60 g/imunisasi) dalam emulsi Incomplete Freund’s Adjuvant (IFA) (Lanyi dan Bergan 2003 dan Camenisch et al. 1999). Satu minggu pertama praimunisasi sampai minggu keenam pascaimunisasi sampel kuning telur diuji dengan AGPT. Purifikasi IgY dari kuning telur dilakukan apabila hasil AGPT sudah positif. Uji Spesifisitas IgY Secara Kualitatif: Agar Gel Precipitation Test Agar dibuat dengan melarutkan 0,4 g agarose (Serva, Germany) dan 1,2 g polietilin glikol (PEG 6000, Merck, Germany) ke dalam 20 ml aquadest dan 20 ml PBS 0,5 M dengan pH 7,2 (Merck). Campuran tersebut ditangas pada air mendidih sampai jernih. Agar cair tersebut dituang dengan menggunakan pipet 10 ml di atas gelas objek dan dibiarkan sampai mengeras. Lubang-lubang dibuat di atas agar dengan menggunakan alat gel puncher. Lubang tengah diisi dengan ekskretori/sekretori L3 A.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
10
galli sedangkan lubang di sekitarnya diisi dengan kuning telur yang telah diencerkan dengan PBS pada perbandingan 1 : 3. Gelas objek diletakkan di atas kertas saring basah supaya terjaga kelembabannya. Reaksi dibaca setelah 18 – 48 jam untuk melihat adanya garis presipitasi yang menunjukkan antara antibodi di dalam kuning telur dan antigen ekskretori/ sekretori L3 A. galli tersebut terjadi reaksi homolog (Lanyi dan Bergan, 2003). Purifikasi Imunoglobulin Y (IgY) dari Kuning Telur Purifikasi IgY dilakukan melalui Fast Performan Liquid Chromatography (FPLC) dengan alat AKTATM explorer 10S, kolom HiTrapTM IgY Purification (Amersham pharmacia biotech). Ligan (matriks) kolom mempunyai afinitas spesifik terhadap IgY yang dikemas dengan medium absorpsi thiophilic, 2mercaptopyridine yang terikat pada spharose high performance. Semua selang pada FPLC dicuci dengan etanol 20% dan air bebas ion (mili Q) untuk menghilangkan sisa-sisa protein dan zat lainnya, menghindari kontaminan bahan yang akan dipurifikasi. Matriks dalam kolom dibilas dengan buffer K2SO4 0,5 M dalam larutan NaH2PO4 20 mM pada pH 7,5 (Soejoedono et al., 2005). Kuning telur dari ayam yang telah divaksinasi dengan antigen asal L3 A. galli diencerkan dengan 9 bagian aquadest pH 5,0 – 5,2 dan diinkubasikan selama 6 jam pada suhu 4oC. Larutan disentrifus pada 10.000 g selama 25 menit pada suhu 4oC. Supernatan ditambahkan dengan amonium sulfat 60% dan disentrifus pada 10.000 g selama 25 menit pada suhu 4oC. Endapan diresuspensi menjadi ½ volume kuning telur dan didialisis selama satu malam dengan PBS pH 8,0 (Akita dan Nakai, 1992). Dialisat dilarutkan dalam buffer K2SO4 0,5 M dan dimasukkan ke dalam kolom HiTrap IgY Purification Hp 5 ml yang telah terpasang pada alat. Larutan binding (K2SO4 0,5 M dalam larutan NaH2PO4 20 mM pada pH 7,5) dialirkan ke dalam kolom untuk memberikan kesempatan matriks dalam kolom mengikat IgY sedangkan protein lain akan lolos dan dibuang. IgY yang terikat pada matriks dielusi dengan NaH2PO4 20 mM pada pH 7,5. Eluat terdeteksi oleh monitor
absorban ditandai dengan naiknya garis sampai terbentuk garis puncak. Setiap fraksi eluat ditampung ke dalam tabung pada alat fraksimeter. Fraksi eluat konsentrasi puncak diambil, dipekatkan pada volume semula dan didialis selama 24 jam dalam larutan PBS pH 8. Matriks dicuci dengan cleaning buffer propanol 30% dalam larutan NaH2PO4 20 mM pada pH 7,5 (Soejoedono et al., 2005). Kuantitas Protein IgY Kuantitas protein IgY pada tahap purifikasi pengendapan dengan ammonium sulfat, dialisis, pemekatan dengan PEG 6000, dan hasil FPLC dihitung mengikuti metode Bradford menggunakan spektrofotometer ultraviolet (UV). Sebanyak satu ml reagen Bradford dicampurkan dalam 100 μl antibodi dan diinkubasi selama lima menit. Absorban sampel ditentukan dengan pembacaan panjang gelombang 280 nm (Paryati, 2006). HASIL DAN PENELITIAN Uji Spesifisitas IgY Secara Kualitatif: Agar Gel Precipitation Test Antibodi tidak terdeteksi pada semua ayam yang tidak diimunisasi. Pada ayam yang diimunisasi, antibodi juga tidak terdeteksi sampai minggu ketiga pascaimunisasi. Antibodi terdeteksi pada minggu keempat, kelima, dan keenam pascaimunisasi berturut-turut pada satu, dua, dan tiga ekor ayam yang diimunisasi (Tabel 1). Tabel 1. Hasil uji AGPT terhadap IgY pada telur ayam Perlakuan Minggu (pascaimunisasi pertama)
Ayam tidak di vaksin
Ayam divaksin
1
2
3
1
2
3
-1
-
-
-
-
-
-
0
-
-
-
-
-
-
1
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
3
-
-
-
-
-
-
4
-
-
-
-
-
-
5
-
-
-
-
-
-
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
11
6
-
-
-
-
-
-
Keterangan: - = reaksi negatif, + = reaksi positif, terlihat garis presipitasi
Antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli yang digunakan pada penelitian merupakan imunogen yang baik karena terbukti dapat menggertak sistem imunitas ayam petelur yang berimplikasi pada terbentuknya IgY di dalam kuning telur pada satu, dua, dan tiga ekor ayam berturut-turut pada minggu ke-4, ke-5, dan ke-6 pascavaksinasi (Tabel 1). Seperti yang dilaporkan Darmawi et al. (2008) bahwa Harnett et al. (1997) telah membuktikan bahwa aplikasi 300 µg ekskretori/sekretori Ochocerca gibsoni jantan dewasa yang diimunisasikan 50 µg setiap hari selama 6 hari berturut-turut dapat memicu respons humoral hewan percobaan. Vaksinasi pertama dan kedua antigen diemulsikan FCA dan IFA berturut-turut. Sedangkan pada 4 kali booster selanjutnya digunakan PBS. Menurut Yoshihara et al. (1993) cairan tubuh cacing A. suum betina dewasa dapat digunakan sebagai antigen untuk mendiagnosa ascariosis pada babi melalui uji ELISA. Terbukti bahwa reaksi spesifik terjadi antara cairan tubuh cacing dengan antibodi di dalam serum babi yang diinfeksi. Fraksi protein 105 kDa dari cairan tubuh cacing dewasa bereaksi sangat spesifik dengan IgG di dalam serum babi yang diinfeksi dengan A. suum. Pada penelitian ini, IgY yang dipicu oleh pemaparan antigen ekskretori/sekretori larva A. galli sudah terdeteksi melalui uji AGPT mulai minggu keempat pascaimunisasi (Tabel 1). Sebenarnya, antibodi antiekskretori/sekretori L3 A. galli mulai didepositkan ke dalam yolk mulai pada minggu kedua, dan mencapai puncaknya pada minggu kedelapan dan kesembilan pascaimunisasi yang dapat dibuktikan melalui uji enzyme linked immunosorbant assay (ELISA) (Darmawi et al., 2008). Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada minggu kedua titer antibodi yang didepositkan ke dalam yolk masih rendah sehingga tidak dapat dideteksi dengan uji AGPT. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan laporan Soejoedono et al. (2005) bahwa pemaparan antigen ke dalam tubuh induk ayam akan menghasilkan antibodi spesifik terhadap
antigen yang disuntikkan. Ayam petelur yang diimunisasi dengan Streptococcus mutans, Salmonella enterotidis, dan Escherichia coli menunjukkan serum dan ekstraksi kuning telur positif mengandung IgY terhadap bakteri tersebut dua minggu pascaimunisasi. Purifikasi Imunoglobulin Y (IgY) dari Kuning Telur Kromatogram hasil pengujian IgY anti A. galli menunjukkan peak terbentuk pada fraksi keempat (Gambar 1). Gambar 1. Kromatogram FPLC IgY anti-ekskretori/ sekretori A. galli
Hasil FPLC pada penelitian ini menunjukkan bahwa IgY dapat dideteksi oleh monitor absorban. Garis grafik mulai naik pada fraksi ketiga sampai terbentuk puncak (peak) pada fraksi keempat dan grafik menurun kembali pada fraksi kelima (Gambar 1). Prisip purifikasi IgY melalui FPLC adalah interaksi IgY dengan ligan dapat berlangsung akibat adanya pertukaran elektron donor dan penerimaan aksi pada ligan. Absorpsi thiofilik dikembangkan oleh struktur garam-air yang memberikan interaksi IgY dan hasil ligan dari aksi kombinasi pemberian dan penerimaan elektron dari ligan atau campuran model interaksi hidrofilik-hidrofobik antara ligan dan IgY. Teknik yang digunakan adalah FPLC dengan alat AKTATM explorer 10S, kolom HiTrapTM IgY Purification (Amersham pharmacia biotech). Ligan (matriks) kolom mempunyai afinitas spesifik terhadap IgY yang dikemas dengan medium absorpsi thiophilic, 2mercaptopyridine yang terikat pada spharose high performance. Ikatan IgY pada matriks
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
12
dapat dielusi oleh larutan NaH2PO4 20 mM pH 7,5. Eluat IgY dapat dideteksi oleh monitor absorban yang menyebabkan naiknya garis sehingga terbentuk puncak (peak). Kolum HiTrapTM IgY Purification memiliki kelebihan antara lain: didapatkan kemurnian IgY yang lebih baik, purifikasi IgY cepat dan mudah dari kuning telur, dan masing-masing column mengikat IgY dari 1-4 kuning telur. Untuk kapasitas yang lebih besar, kolum dapat dihubungkan dalam rangkaian (Amersham, 2003).
Kuantitas Protein IgY Untuk mengetahui kuantitas protein dilakukan pemerikasaan kandungan protein IgY dengan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 280 nm. Sampel diambil pada tiap-tiap tahap dari empat tahapan purifikasi. Kuantitas protein IgY pada tiap-tiap tahap purifikasi disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kuantitas protein kuning telur pada tiaptiap tahapan purifikasi IgY Tahap purifikasi Pengendapan ammonium sulfat
Kuantitas protein (mg/ml) 6.936
Dialisis
4.685
Pengendapan PEG 6000
6.74
FPLC
0.875
Kuantitas protein IgY yang ditemukan pada purifikasi FPLC adalah 0,875 mg/ml (Tabel 2). Nilai tersebut diperoleh pada ratarata volume kuning telur HySex Brown adalah 10,1 – 14,9 ml/yolk, setara dengan kuantitas protein IgY adalah 18 – 26 mg dalam setiap butir telur HySex Brown. Sebagai perbandingan, Haak-Frendscho (1994) melaporkan bahwa ayam petelur White Leghorn yang diinjeksi pada beberapa lokasi subcutan dengan 20 – 500 μg antigen yang dicampur dengan FCA dan diikuti 2-3 kali booster dapat menghasilkan 90 – 100 mg IgY, 1 -10% (1 -10 mg) diantaranya adalah IgY spesifik dalam setiap butir telur. Rollier et al. (2000) membuktikan bahwa dalam setiap butir telur yang dihasilkan oleh ayam yang diimunisasi dengan antigen Hepadnavirus
ditemukan 60 – 100 mg IgY spesifik terhadap antigen virus tersebut. Hal ini membuktikan bahwa IgY yang didepositkan ke dalam kuning telur bervariasi kuantitasnya, tergantung pada jenis antigen dan jenis ayam yang digunakan. Selain itu, respons imun terhadap antigen yang berasal dari cacing biasanya lemah bila dibandingkan dengan respons imun yang dirangsang oleh antigen yang berasal dari bakteri atau virus. IgY mengemban fungsi yang setara dengan IgG mamalia. IgY berevolusi dan diduga menjadi cikal bakal IgG dan IgE mamalia. Namun, berdasarkan struktur fundamennya ada perbedaan antara IgG mamalia dan IgY unggas. Molekul IgY terdiri dari dua rantai berat dan dua rantai ringan. Rantai berat tidak memiliki engsel dan tersusun atas empat domain variabel yaitu Cv1, Cv2, Cv3, dan Cv4. IgY memiliki berat molekul ~180 kDa yang masing-masing rantai beratnya ~65-68 kDa, koefisien sedimentasi 7,8 S, dan titik isoelektrik 5,7-7,6 (Chio, 2002 dan Davalos-Patoja et al., 2000). Penggunaan IgY yang terbentuk oleh rangsangan antigen tertentu telah diaplikasikan untuk kepentingan imunodiagnostik dan imunoterapi. Schmidt et al. (1989) telah memproduksi IgY anti-virus distemper terhadap anjing untuk kepentingan imunokimia. IgY dapat berperan lebih baik dibanding antibodi mamalia dalam imunodiagnostik, pencegahan dan pengobatan terhadap patogen pada infeksi gastrointestinal (Szabo et al., 1998). Penyakit infeksius enterik yang disebabkan oleh mikroba pada manusia dan hewan dapat diobati melalui pemberian IgY spesifik secara oral sebagai imunisasi pasif (Mine dan Kovacs-Nolan, 2002). IgY yang didapatkan dari hasil penelitian ini diharapkan berpeluang digunakan sebagai imunodiagnostik untuk mendeteksi antigen A. galli, khususnya untuk pemeriksaan antigen yang dilepaskan ke dalam tinja (kopro antigen). Biasanya, deteksi kecacingan menggunakan sampel tinja untuk menemukan telur cacing. Metode tersebut tidak akurat manakala cacing muda belum bertelur sehingga tidak ditemukan telur di dalam tinja. IgY antiekskretori/sekretori stadium L3 A. galli
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
13
berpotensi digunakan untuk mendeteksi secara dini keberadaan kopro antigen yang dilepaskan oleh cacing muda (larva) ke dalam tinja selama establish di dalam saluran pencernaan inang.
KESIMPULAN Berdasarkan disimpulkan:
hasil
penelitian
dapat
1. Ayam yang divaksinasi dengan ekskretori/sekretori L3 A. galli dapat membentuk antibodi muali pada minggu ke-4 pascavaksinasi. 2. Antibodi yang terbentuk adalah IgY antiekskretori/sekretori yang dapat dipurifikasi melalui kromatografi FPLC, dan mempunyai konsentrasi protein 0,875 mg/ml.
DAFTAR PUSTAKA Akita, E.M., Nakai, S., 1992. Immunoglobulins from Egg Yolk: Isolation and Purification. J. of Food Sci.57: 629 – 634. Amersham. 2003. Amersham Biosciences, BioDirectory. Amersham Biosciences Ltd. Camenisch, G., Tini, M., Chilov, D., Kvietikova, I., Srinivas, V., Caro, J., Spielmann,P., Wenger, R.H., Gassmann, M., 1999. General Applicability of Chicken Egg Yolk Antibodies: the Performance of IgY Immunoglobulins Raised Against the Hypoxia-inducible Factor 1 . J. FASEB. 13: 81-88. Carlander, D., 2002. Avian IgY Antibody: in vitro and in vivo. Dissertation, Acta Universitatis Upsaliensis, Uppsala. Chio, V., 2002. Ducks Antibodies for IVD Applications. IVD Technology. http://www. decifelink.com/ivdt/archive/02/04/003. html. (20-02-2003). Darmawi, Balqis, U., Tiuria, R., Hambal, M. dan Samadi. 2008. Kajian Titer Antibodi Pada Yolk Dari Ayam Yang
Diimunisasi Dengan Antigen Ekskretori/Sekretori Stadium L3 Ascaridia galli. Jurnal Agripet 8(2): 21– 26, Tahun 2008 Darmawi, Balqis, U., Tiuria, R., Soejoedono R.D., Pasaribu, F.H., Hambal. 2009. Konsentrasi Protein dan Penentuan Berat Molekul Ekskretori/Sekretori L3 Ascaridia galli. J. Ked. Hewan 3(1): 197 – 202. Davalos-Patoja, L., Ortego-Vinuesa, J.L., Bastos-Gonzales, D., Hidalgo-Alvarez, R., 2000. Colloidal Stability of IgG and IgY-coated Latex Microspheres, Colloids and Surfaces B: Biointerfaces. 20(2): 165-175. Haak-Frendscho, M., 1994. Why IgY? Chicken Polyclonal Antibody, an Appealing Alternative. Promega Notes Magazine (46): 11. Hau,
J. and Hendriksen, C.F.M., 2005. Refinement of Polyclonal Antibody Production by Combining Oral Immunization of Chickens with Harvest of Antibodies from the Egg Yolk. J. ILAR. 46(3) (online issues). Hintz, M., Schares, G., Taubert, A., Geyer, R., Zahner, H., Stirm, S., Conraths, F.J., 1998. Juvenile Female Listomosoides sigmodontis Produce an ExcretorySecretory Antigen (Juv-p120) Highly Modified with Dimethylaminoethanol. J. of Parasitol. 171: 265-271. Lanyi, B. and Bergan, T., 2003. Bacterial Aglutination. Method in Microbiology, 10: 93 – 168. Mine, Y., Kovacs-Nolan, J., 2002. Chicken Egg Yolk Antibodies as Therapeutics in Enteric Infectious Disease: A Review. J. Med. Food 5: 159 – 169. Paryati, S.P.Y., 2006. Antibodi Anti-idiotipe Sebagai Kandidat Vaksin Rabies. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rollier, C., Charollois, C., Jamrd, C., Trepo, C., and Cova, L., 2000. Maternally Transferred Antibodies from DNAImmunized Avians Protect Offspring
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
14
Against Hepadnavirus Infection. J. of Virol. 74(10): 4908 – 4911. Schade, R., Henklein, P. and Hlinak, A., 1999. The Production of Avian (Egg Yolk) Antibodies: IgY. The Report and Recommendations of ECVAM Workshop 211,2. Reprinted with Minor Amendments from ATLA 24: 925 934. Schmidt, P., Wiedemann, V., Kühlmann, R., Wanke, R., Linckh, E. and Lösch, U., 1989. Production of Antibodies to Canine Distemper Virus in Chicken Eggs for Immunochemistry. J. of Vet. Med. B 36: 661 – 668. Soejoedono, R.D., Wibawan, I.W.T, dan Hayati, Z., 2005. Pemanfaatan Telur Ayam Sebagai Pabrik Biologis: Produksi ”Yolk Immunoglobulin” (IgY) Anti Plaque dan Diare dengan Titik Berat pada Anti Streptococcus mutans, Escherichia coli dan Salmonella enterotidis. Laporan Riset Unggulan Terpadu, Kementrian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Szabo, C.S., Bardos, L., Losonczy, S. and Kachesz, K., 1998. Isolation of Antibodies from Chicken and Quail Eggs. Presented at INABIS ’98 – 5th Internet World Congress on Biomedical Sciences at McMaster University, Canada, December 7 – 16th. http://www.mcmaster.ca/inabis98/imm unology/-szabo0509/index.html (20-1106) Yoshihara, S., Oya, T., Furuya, T., Goto, N.. 1993. Use of Body Fluid of Adult Female Ascaris suum as an Antigen in the Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) for Diagnosis of Swine Ascariosis. J. of Helminthol. 67: 279 – 286.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
15
Pengaruh Pengurangan Jagung Sebagai Sumber Pati terhadap Laju Alir Pellet Pada Proses Produksi Berkesinambungan (The effect of reduction of maize as starch source on flow rate of pellet in continous production process) Yuli Retnani1, Reani Syafrina Rachman1 dan Heri Ahmad Sukria1 1 Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor ABSTRACT This experience was conducted to determine effect of reduction of maize as starch source on flow rate of pellet in continuous production process. Design of the experiment used was a completely randomized design with 3 treatments and 3 replicates. The data is analyzed by using of ANOVA and if there is a significance among treatments would tested using by contrast orthogonal. The variables observed were angle of repose, loose bulk density, compacted bulk density, and flow rate. The results showed that the reduction of maize as starch source did not give the significant effect on the variable that observed. The analized angle of repose showed variation 24.200 to
25.690, loose bulk density showed variation 621.6kg/m3 to 658kg/m3, compacted bulk density showed variation 668.3kg/m3 to 676.8kg/m3, and flow rate showed variation 449.69kg/minute to 491.41kg/minute. Based on the result that the reduction of maize as starch source (corn, sorghum, menir) did not give the significant effect on flow rate of pellet and the pellet treatment with menir has the fastest pellet production time so flowability pellet from pelleter to material hadling (bucket elevator) machine is faster. As higher the values of flow rate, so the time of material movement from bin to the package is shorter.
Key words : pellet, flow rate, sorghum, broken rice and continuous production process.
2010 Agripet : Vol (10) No. 2: 16-20 PENDAHULUAN3 Bahan perekat diperlukan untuk mengikat komponen-komponen bahan pakan agar mempunyai struktur yang kompak sehingga tidak mudah hancur dan mudah dibentuk selama proses pembuatannya. Salah satu contoh bahan perekat alami yang dapat digunakan dalam pakan adalah pati. Pati terdapat pada bahan-bahan sumber karbohidrat seperti jagung, sorgum dan menir. Sorgum sebagai bahan pakan mempunyai kandungan nutrisi yang hampir sama dengan jagung. Kandungan energi, protein kasar dan pati jagung adalah 3394 kkal/kg, 8,9% dan 60-61,5%, pada sorgum adalah 3250 kkal/kg, 10% dan 70-75% (Mudjisihono, 1990). Sedangkan pada menir kandungan energi dan pati adalah 3100 kkal/kg dan 85-87,8% (Kriangsak et al., 1990). Sehingga sorgum dan menir dapat digunakan
dalam penyusunan ransum untuk menggantikan jagung. Jahan et al. (2006) menyatakan bahwa pelet adalah hasil modifikasi dari mash yang dihasilkan dari pengepresan mesin pelet menjadi lebih keras. Faktor yang mempengaruhi kualitas pelet antara lain proses produksi, alat produksi dan bahan baku yang digunakan. Proses produksi pelet terdiri dari proses produksi berkesinambungan dan proses produksi terputus. Hal ini disebabkan oleh alur produksi yang berlangsung secara terusmenerus atau berkesinambungan sehingga menghindari resiko pelet rusak atau hancur pada saat pemindahan dari satu proses ke proses berikutnya seperti pada proses produksi terputus. Proses produksi dalam suatu pabrik pakan memegang peranan penting dalam menentukan kualitas dan kuantitas ransum. Kualitas fisik pakan dapat diketahui dari sifat fisik suatu bahan dan produk pakan, misalnya ransum bentuk pelet. Pembuatan pelet pada
Corresponding author:
[email protected]
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
16
penelitian ini menggunakan mesin pakan dengan proses produksi berkesinambunga. Proses produksi berkesinambungan adalah proses produksi secara terus-menerus dimulai dari pemasukan bahan sampai menghasilkan suatu produk pakan melalui suatu rangkaian mesin processing. Proses produksi ini lebih efisien, menghemat waktu produksi, mencegah berkurangnya bahan baku yang akan dicampur, dapat mengurangi biaya produksi, serta mengurangi biaya pemindahan bahan dalam pabrik, biaya tenaga listrik dan biaya tenaga kerja. Laju alir pakan adalah kecepatan aliran massa pakan dari wadah melalui lubang pengeluaran. Laju alir pakan penting diketahui dalam proses pemindahan dan pengangkutan pakan. Laju alir pakan mencakup aspek yang sangat penting dalam suatu proses produksi. Pengetahuan tentang laju alir pakan terkait erat dengan jumlah produk yang dihasilkan per satuan waktu (menit). Behnke (1998) dalam Briggs et al. (1999) menyatakan bahwa ransum pelet dapat meningkatkan daya alir pakan (flowability), mengurangi kehilangan pakan baik karena tercecer atau diterpa oleh angin. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas fisik dan laju alir pelet pakan broiler finisher yang mengandung jagung sebagai sumber pati dan setelah substitusi 10% jagung dengan bahan sumber pati lain yaitu sorgum dan menir. BAHAN DAN METODE Ransum Penelitian Pembuatan formulasi ransum broiler finisher disusun berdasarkan NRC (1994) dengan kebutuhan PK 20% dan kebutuhan energi metabolis (EM) 3200 kkal/kg. Formulasi ransum dibuat dengan menggunakan metode trial and error (coba-coba). Formulasi ransum broiler finisher dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Formulasi Ransum Broiler Finisher Perlakuan (%) R1 R2 R3 Jagung 45 35 35 Sorgum 0 10 0 Menir 0 0 10 Pollard 7,5 7,5 7,5 CGM 13,5 13,5 13,5 Dedak padi 16 16 16 CPO 3,8 3,8 3,8 Tepung ikan 5,6 5,6 5,6 Bungkil kelapa 6,5 6,5 6,5 CaCO3 0,8 0,8 0,8 Premix 0,3 0,3 0,3 Phosphat 1 1 1 Total 100 100 100 Kandungan Zat Makanan EM (kkal/kg) 3222 3200,3 3200,1 PK (%) 20,2 20 20 SK (%) 4,5 4,5 4,5 Ca (%) 0,9 0,9 0,9 P (%) 0,4 0,4 0,4 Metionin (%) 0,45 0,43 0,46 Lysin (%) 1 1 1 Keterangan : R1 = ransum dengan 45% jagung R2 = ransum dengan 35% jagung + 10% Sorgum R3 = ransum dengan 35% jagung + 10% Menir Bahan Pakan
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan pada evaluasi laju alir pelet ransum yang mengandung jagung dan setelah mengalami pengurangan sebesar 10% dan diganti dengan sorgum dan menir adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) 3 perlakuan dan 3 ulangan. Penelitian pertama terdiri dari: R1 = ransum dengan 45% jagung R2 = ransum dengan 35% jagung + 10% Sorgum R3 = ransum dengan 35% jagung + 10% Menir Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji kontras ortogonal (Steel dan Torie, 1993). Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah : sudut tumpukan, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan dan laju alir pelet. Pembuatan Pelet Proses pembuatan pelet diawali dengan menggiling bahan yang masih dalam bentuk bijian seperti jagung, sorgum dan menir, sementara bahan-bahan yang sudah dalam bentuk tepung tidak perlu digiling lagi. Selanjutnya bahan dimasukkan satu persatu ke dalam hopper sesuai dengan formulasi, dimulai
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
17
dari bahan yang memiliki persentase besar (makro ingredient) sampai bahan yang memiliki persentase kecil (mikro ingredient) seperti premix, posphat, dan CaCO3. Bahan dengan persentase kecil langsung dimasukkan ke dalam mixer, begitu juga dengan CPO langsung dimasukkan kedalam mixer tetapi terlebih dahulu dicampur dengan jagung. Bahan-bahan yang telah dimasukkan ke dalam hopper akan diangkut oleh bucket elevator menuju mixer. Pencampuran bahan dilakukan di dalam mixer selama 10 menit. Ransum yang telah homogen dialirkan ke dalam bin yang kemudian akan diangkut oleh conveyor menuju pelleter. Selanjutnya ransum akan dicetak menjadi pelet. Setelah keluar dalam bentuk pelet selanjutnya pelet akan dialirkan melalui bucket elevator ke cooler. Dari cooler, pelet dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam karung-karung yang telah disiapkan kemudian ditimbang beratnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Sudut Tumpukan Pengurangan jagung sebagai sumber pati tidak nyata mempengaruhi sudut tumpukan pelet (Tabel 2) ini menunjukkan kisaran antara 24,200-25,690 sehingga termasuk kategori pelet dengan sifat mengalir yang tinggi (McEllhiney, 1994). Bahan yang sangat mudah mengalir memiliki sudut tumpukan berkisar antara 20300 (Fasina dan Sokhansanj, 1993). Pelet R1 dan R2 memiliki sudut tumpukan yang lebih tinggi dibandingkan R3. Pelet R3 yang menggunakan menir memiliki sifat mengalir yang lebih baik dan merupakan pakan yangTabel 2. Sudut Tumpukan (0) Perlakuan Ulangan R1
R2
R3
1
24,49
25,69
24,20
2
24,50
24,74
24,67
3
24,85
25,04
24,23
Rataan
24,61 ± 0,21
25,16 ± 0,49
24,37 ± 0,26
Keterangan : R1 = ransum dengan 45% jagung R2 = ransum dengan 35% jagung + 10% Sorgum R3 = ransum dengan 35% jagung + 10% Menir
paling mudah dituang ke wadah lain, karena sudut tumpukan pelet yang diharapkan dalam proses pengolahan pada industri pakan adalah sudut tumpukan yang kecil. Sudut tumpukan akan mempengaruhi flowability atau daya alir suatu bahan terutama akan berpengaruh terhadap kecepatan dan efisiensi proses pengosongan silo secara vertikal pada saat pemindahan dan pencampuran bahan (Khalil, 1999b). Kerapatan Tumpukan Pengurangan jagung sebagai sumber pati dalam pembuatan pelet tidak nyata mempengaruhi kerapatan tumpukan. Kerapatan tumpukan dipakai untuk menghitung volume ruang yang dibutuhkan untuk menempatkan suatu bahan dengan berat tertentu. Semakin besar nilai kerapatan tumpukan suatu bahan, volume ruang yang dibutuhkan akan semakin sedikit. Pelet R1 dan R3 memiliki rataan nilai kerapatan tumpukan yang lebih besar dibanding pelet R2 (Tabel 3). Pelet R1 memiliki rataan kerapatan tumpukan sebesar 646,27 kg/m3, artinya untuk menyimpan 1 ton pelet R1 dibutuhkan volume wadah sebesar 1,54 m3. Pelet R3 memiliki nilai rataan sebesar 649,90kg/m3, artinya untuk menyimpan 1 ton pelet R3 dibutuhkan volume wadah sebesar 1,53m3. R2 memiliki rataan yang lebih rendah dibanding R1 dan R3 yaitu sebesar 643,83 kg/m3, artinya untuk menyimpan 1 ton pelet R2 dibutuhkan wadah penyimpanan sebesar 1,55 m3. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai kerapatan tumpukan suatu bahan, wadah penyimpanan atau penampungan yang dibutuhkan akan semakin kecil dna efisiensi penyimpanan akan semakin baik. Ukuran partikel berpengaruh terhadap kerapatan tumpukan, yaitu pengecilan ukuran partikel secara nyata akan menyebabkan penurunan nilai kerapatan tumpukan pada bahan pakan (Khalil, 1999a). Mwithiga dan Sifuna (2006) bahwa yang mempengaruhi nilai kerapatan tumpukan yaitu kadar air, semakin tinggi nilai kadar air maka akan menurunkan nilai kerapatan tumpukan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yaitu peningkatan kadar air menyebabkan penurunan nilai kerapatan tumpukan.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
18
Tabel 3. Kerapatan Tumpukan (Kg/m3) Perlakuan Ulangan R1
R2
R3
1
658
621,6
657,7
2
644,5
655,1
653,7
3
636,3
654,8
638,3
Rataan
646,27 ± 10,96
643,83 ± 19,26
649,90 ± 10,24
Keterangan : R1 = ransum dengan 45% jagung R2 = ransum dengan 35% jagung + 10% Sorgum R3 = ransum dengan 35% jagung + 10% Menir
dan R2 berturut-turut 477,59 dan 470,84 kg/menit (Tabel 5). Hal ini berarti dalam proses penuangan atau pemindahan pelet dari suatu wadah atau antar tingkat proses produksi pelet R3 dapat dituang sebanyak 29280 kg/jam. Sedangkan pelet R1 dan R2 berturut-turut 28655,4 dan 28250,4 kg/jam. Semakin tinggi nilai laju alir maka waktu pemindahan bahan dari bin penyimpanan ke kemasannya akan semakin singkat (Wirakartakusumah et al., 1992). Tabel 5. Laju Alir (Kg/menit)
Kerapatan Pemadatan Tumpukan
Perlakuan
Khalil (1999a) menyatakan bahwa kerapatan pemadatan tumpukan sangat berpengaruh terhadap kapasitas silo, kontainer dan pengemasan. Hasil pengamatan (Tabel 4) terhadap kerapatan pemadatan tumpukan menunjukkan bahwa pengurangan jagung sebagai sumber pati tidak nyata mempengaruhi nilai kerapatan pemadatan tumpukan. Pelet R3 memiliki nilai kerapatan pemadatan tumpukan lebih besar dibanding pelet R1 dan R2. Artinya penggantian 10% jagung dengan menir dalam pembuatan pelet cenderung dapat meningkatkan nilai kerapatan pemadatan tumpukan dan volume ruang yang dibutuhkan untuk kemasan akan lebih kecil. Rameshabu (1996) menyatakan bahwa semakin tinggi kadar air bahan maka kerapatan pemadatan tumpukan semakin menurun. Tabel 4. Kerapatan Pemadatan Tumpukan (Kg/cm3) Perlakuan Ulangan R1
R2
R3
1
673,5
671,3
674,2
2
675,5
672,1
671,3
3
668,3
672,5
676,8
Rataan
672,43 ± 3,72
717,97 ± 0,61
674,10 ± 2,75
Keterangan : R1 = ransum dengan 45% jagung R2 = ransum dengan 35% jagung + 10% Sorgum R3 = ransum dengan 35% jagung + 10% Menir
Laju Alir (Flow Rate) Pengamatan terhadap pelet penelitian ini menunjukkan bahwa pengurangan jagung sebagai sumber pati tidak nyata mempengaruhi terhadap kebebasan bergerak pelet sehingga tidak nyata mempengaruhi laju alir pelet. Pelet R3 memiliki laju alir yang paling tinggi dibanding R1 dan R2 yaitu dengan rataan sebesar 483,80kg/menit sedangkan pelet R1
Ulangan R1
R2
R3
1
486,26
449,69
491,14
2
476,28
484,12
483,08
3
470,22
478,72
476,91
Rataan
477,59 ± 8,10
470,84 ± 18,52
483,80 ± 7,28
Keterangan : R1 = ransum dengan 45% jagung R2 = ransum dengan 35% jagung + 10% Sorgum R3 = ransum dengan 35% jagung + 10% Menir
KESIMPULAN Pengurangan 10% jagung sebagai sumber pati dan penggantian 10% jagung dengan sorgum dan menir sama-sama tidak nyata mempengaruhi sudut tumpukan, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan dan laju alir. Penggantian 10% jagung dengan menir cenderung memiliki laju alir pelet lebih cepat daripada penggantian 10% jagung dengan sorgum. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada seluruh tim peneliti atas kerjasamanya dalam menyelesaikan penelitian, juga ucapan terimkasih kami sampaikan kepada Ketua Departemen INTP dan Dekan Fakultas Peternakan IPB yang telah mendukung penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Briggs, J., Maier, D.E., Watkins, B. A. and Behnke, K.C., 1999. Effect of ingredients and processing parameters
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
19
on pellet quality. J. Poult. Sci. 78: 1464-1471. Fasina, O. D. and Sokhansanj, S., 1993. Effect of Moisture on bulk handling properties of alfalfa pellets. J . Canada Agricultur Engeener: 35(4): 269-272. Jahan, M. S., Asaduzzaman, M. and Sarkar, A. K., 2006. Performance of broiler fed on mash, pellet and crumble. Int. J. Poultry Sci. 5(3) : 265-270. Khalil. 1999a. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap sifat fisik pakan lokal: kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan dan berat jenis. Media Peternakan Vol 22 (1): 1-11. Khalil. 1999b. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap sifat fisik pakan lokal: sudut tumpukan, daya ambang dan faktor higroskopis. Media Peternakan Vol 22 (1): 33-42. Kriangsak, S., Vearasilp, T. and Vajrabukka, C., 1990. Digestibility of starch of cassava chips, ground paddy and broken rice in the digestive tract of dairy cows. Jurnal of Agriculture. 6 : 265-280. McEllhiney, R. R., 1994. Feed Manufacturing Industry 4th Ed. American Feed Industry assosiaction Inc. Arlington. Mudjisihono, R., 1990. Struktur dan karakter biji sorgum serta pemanfaatannya untuk bahan makanan. Reflektor. Vol. 3 N0. 1-2. Mujnisa, A., 2007. Uji sifat fisik jagung giling pada berbagai ukuran partikel (test the nature of physical milled maize at various particle size). Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 6 (1) : 1-9. Mwithiga, G. and Sifuna, M. M., 2006. Effect of moisture content on the physical properties of three varieties of shorgum seeds. J. Food Engineering 75 (4): 480486. Rameshabu, M., Jayas, D. S., Muir, W. E., White, N. D. G. and Mills, J. T., 1996. Bulk and handling properties of hulles barley. J. Canadian Agricultural Engineering. 38: 31-35.
Steel, R. G. D. dan Torrie, J. H., 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: M. Syah. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta. Wirakartakusumah, M. A., 1992. Sifat Fisik Pangan. Depdikbud. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
20
Pertambahan Bobot Badan dan Waktu Pembusukan Daging Ayam Broiler yang Diberi Ekstrak Jaloh Dikombinasi dengan Kromium (The gain body weight and Spoilage of meat broiler which giving jaloh extract to combine with chromium) 1
Sugito1, Erdiansyah R1, Azhari1, dan M. Isa1 Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
ABSTRACT A study was conducted on broiler chickens under heat stress to evaluate the effect of combined jaloh (Salix tetrasperma Roxb) extract with chromium mineral in the body weight, value of feed ratio convertion, and time to meat to become decomposed. Twenty four of 20-day old Cobb female broiler chickens were randomly assigned and devided to 4 treatment groups. Completely randomized design was used in this study. The treatments were as follows: 1) chickens given no heat stress and jaloh extract nor chromium (tCp); 2) chickens under heat stress without given jaloh extract nor chromium (Cp); 3) chickens under heat stress and given jaloh extract in 1.000 mg/lt drinking water (Cp+Ej); and 4) chickens under heat stress, given jaloh extract in 1.000 mg/lt drinking water, and chromium in 1.000 ug/lt drinking water
(Cp+Ej+Cr). Heat stress given was 33 ± 1oC of cage temperature during 4 hours per day within 15 days. Jaloh extract and chromium treatments in drinking water were given at 2 hour before cage temperature reaching 33 ± 1 oC and were stopped being given after 1 hour, when cage temperature back to room temperature. On the 16th day of the study chickens were measured before slaughtered. Samples obtained were chicken meat that taken from breast part (musculus pectoralis). The result suggested that either giving jaloh extract per se at the dose of 1.000 mg/lt in drinking water or combine it with chromium that given two hours before cage temperature reaching 33 ± 1 oC, can prevent chickens from decreasing their body weight, decreasing value of feed ratio convertion, and extending time to meat to become decomposed.
Key words : heat stress, salix, chromium,spoilage
2010 Agripet : Vol (10) No. 2: 21-26 PENDAHULUAN4 Ayam dapat berproduksi secara optimum dan hidup dengan nyaman bila faktor-faktor internal dan ekternal berada dalam batasan-batasan normal yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Keadaan suhu lingkungan merupakan salah satu faktor ekternal, yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan produktivitas ayam. Keadaan suhu yang tinggi pada suatu lingkungan pemeliharaan ayam menyebabkan terjadinya cekaman panas. Cekaman panas (heat stress) menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan pada ayam broiler (Mashaly et al., 2004), perubahan terhadap cita rasa, dan kualitas daging (McKee dan Sams, 1997). Penurunan pertumbuhan bobot badan ini terkait dengan penurunan konsumsi pakan dan peningkatan Corresponding author:
[email protected]
konsumsi air minum selama ayam mengalami cekaman panas (Cooper dan Washburn, 1998). Sugito et al. (2007) melaporkan bahwa pemberian ekstrak jaloh dapat memperbaiki performans dan mengurangi kerusakan jaringan pada ayam broiler akibat cekaman panas. Demikian juga pemberian mineral kromium (Cr) dapat mengurangi efek cekaman panas pada ayam broiler (Ahmad et al., 2004 dan Toghyani et al., 2007). Pada ayam yang mengalami cekaman panas, jalur utama untuk menjaga keseimbangan suhu tubuh adalah pelepasan panas tubuh melalui saluran pernapasan dengan cara panting dan melalui penguapan air di permukaan kulit (Hoffman dan Walsberg, 1999). Perubahan mikrovaskular pada jaringan paru dan kulit adalah upaya tubuh melepaskan panas melalui evaporasi (Ophir et al., 2002). Menurut Sugito (2008) pemberian ekstrak
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
21
etanol kulit batang jaloh pada ayam broiler yang mengalami cekaman panas dapat meningkatkan jumlah enzim iNOS (indusicible nitrate oxide synthase) pada jaringan paru dan diduga enzim ini berperan dalam meningkatkan pelepasan panas melalui saluran pernapasan. Pada kondisi seperti ini, memungkinkan cairan tubuh banyak yang hilang. Duclos et al. (2007) menjelaskan bahwa kapasitas mengikat air merupakan faktor penentu terhadap mutu daging karena berpengaruh langsung terhadap keadaan fisik daging seperti keempukan, warna, tekstur, kelezatan, serta pengerutan daging. Bila pelepasan panas (evaporasi) tidak lancar menyebabkan jaringan daging menjadi memar kemerahan di beberapa bagian tubuh ayam dan ini akan mempercepat proses pembusukan daging ayam setelah dipotong sehingga menurunkan kualitas daging ayam tersebut. Daging ayam merupakan makanan yang mempunyai nilai gizi tinggi, memiliki rasa dan aroma yang enak, dan tekstur yang lunak. Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan, dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah genetik, spesies, dan stres. Faktor setelah pemotongan antara lain meliputi proses pemotongan, pelayuan, pembersihan sampai dengan pemasakan (Duclos et al., 2007). Dengan asumsi adanya efek sinergis antara ekstrak jaloh dan mineral Cr bila diberikan bersamaan (dikombinasi), maka efektivitas ekstrak jaloh dalam mengurangi dampak cekaman panas diharapkan jauh lebih efektif jika dibandingkan pemberiannya secara tunggal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol kulit batang jaloh yang dikombinasi dengan mineral kromium pada ayam broiler yang mengalami cekaman panas terhadap pertambahan bobot badan (pbb), rasio konversi pakan (rkp), waktu pembusukan, dan uji cita rasa (organoleptik) daging. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Penelitian Bahan ekstrak kulit batang jaloh yang digunakan diperoleh dari Kecamatan Kuta
Baru, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Serbuk kulit batang jaloh diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan etanol 70%. Untuk pengentalan dilakukan dengan alat penguap berputar. Mineral kromium (Cr) yang digunakan merupakan kromium klorid. Penelitian ini menggunakan ayam broiler betina jenis pedaging galur Cobb berumur 20 hari. Pakan yang diberikan adalah pakan komersil ayam pedaging jenis starter (511). Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kadar protein kasar adalah 19,1%, lemak kasar 5,3%, serat kasar 4,5%, abu 6%, kalsium 0,85%, dan energi bruto 2.900 kkal/g. Kandang berpemanas yang digunakan berukuran panjang 4,5 m, lebar 3,5 m, dan tinggi 3,25 m dan di dalam kandang berpemanas ini ditempatkan blok-blok kandang perlakuan dengan ukuran panjang 150 cm, lebar 100 cm, dan tinggi 70 cm. Sistem kandang menggunakan litter sekam kayu. Pemberian cekaman panas dilakukan dengan meningkatkan suhu di dalam kandang berpemanas dengan menggunakan alat pemanas (heater) yang terbuat dari komponen kawat nikelin berdaya 1.000 Watt. Sebagai pengontrol suhu pada heater dipasang termoregulator berskala 0 sampai 40oC. Untuk mengukur temperatur dan kelembaban dalam kandang, dipakai termometer dan higrometer digital corona. Suhu dalam kandang berpemanas dinaikkan secara perlahan-lahan yang dimulai pukul 09.00. Berdasarkan pengaturan heater yang tersedia dan luas kandang berpemanas yang digunakan, suhu ruangan mencapai 33 ± 1oC pada kisaran pukul 12.00 WIB. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap menggunakan sebanyak 24 ekor ayam broiler umur 20 hari. Ayam dibagi ke dalam 4 perlakuan, yaitu: 1) ayam tanpa diberi cekaman panas dan tanpa diberi ekstrak jaloh maupun kromium (tCp); 2) ayam yang diberi cekaman panas tanpa diberi ekstrak jaloh maupun kromium (Cp); 3) ayam diberi cekaman panas dan ekstrak jaloh 1000 mg/lt air minum (Cp+Ej); 4) ayam diberi cekaman panas,
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
22
ekstrak jaloh 1000 mg/lt air minum, dan kromium 1000 ug/lt air minum (Cp+Ej+Cr). Ekstrak jaloh dan kromium diberikan 2 jam sebelum suhu dalam kandang mencapai 33 ± 1oC (pukul 10.00) dan dihentikan setelah 1 suhu dalam kandang diturunkan (pada kisaran pukul 17.00). Pemberian cekaman panas dilakukan selama 4 jam perhari dalam waktu 15 hari. Kisaran suhu pada siang hari di dalam kandang perlakuan tanpa cekaman panas (perlakuan tCp) adalah 28-31oC. Penimbangan bobot badan dilakukan pada pagi hari 16, sebelum dilakukan pemotongan (pada saat umur ayam 36 hari). Penimbangan bobot badan menggunakan timbangan digital 5 kg (Electronic Bistro, Model EK3450) dengan deviasi 1 gr. Perhitungan rasio konversi pakan (rkp) atau feed convertion ratio (frc) adalah membandingkan antara jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pertumbuhan bobott badan ayam selama penelitian. Sampel daging ayam yang digunakan untuk uji waktu pembusukan (uji H2S) adalah daging bagian dada (musculus pectoralis) yang diambil sesaat setelah pemotongan. Uji Waktu Pembusukan. Penilaian pembusukan dilakukan melalui uji H2S. Secara singkat uji H2S dilakukan sebagai berikut: satu bagian daging ditambahkan 10 bagian air yang telah didinginkan selama 10 menit pada suhu kamar. Ekstrak daging yang sudah disaring sebanyak 10 ml dimasukkan dalam cawan petri yang berisi MgO. Bagian luar dan dalam tutup petri ditempelkan kertas lakmus merah, cawan petri ditutup. Cawan petri tersebut dimasukkan ke dalam waterbath 50oC selama 5 menit. Kemudian dilihat perubahan warna pada ketas lakmus. Pengamatan waktu pembusukan dilakukan pada interval waktu 1 jam. Analisis Statistik Data pbb, rkp, dan waktu pembusukan diolah dengan menggunakan analisis sidik ragam RAL dan bila menunjukkan adanya pengaruh perlakuan, maka data selanjutnya di uji dengan Duncan. Perhitungan statistik dilakukan dengan menggunakan bantuan program Minitab 14 for Windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pertambahan Bobot Badan (PBB) dan Rasio Konversi Pakan (RKP) Selama penelitian, ayam secara klinis telihat dalam keadaan normal dan tidak ada kematian. Rata-rata pbb dan rkp pada ayam yang diberi cekaman panas maupun yang tidak diberi cekaman panas dan diikuti pemberian ekstrak jaloh dan dikombinasi dengan mineral Cr disajikan pada Tabel 1. Pemberian cekaman panas dengan suhu kandang 33 ± 1oC selama 4 jam setiap hari selama 15 hari sejak ayam berumur 20 hari dapat menurunkan (P<0,05) pertambahan bobot badan ayam. Pemberian cekaman panas tanpa diberi ekstrak jaloh dan mineral Cr (perlakuan Cp) dapat menyebabkan kehilangan bobot badan sebesar 29,4% jika dibandingkan dengan pbb ayam pada perlakuan tCp (yang tidak diberi cekaman panas). Hasil penelitian ini sejalan seperti yang dilaporkan Al-Fataftah dan Abu-Dieyeh (2007) serta Austic (2000). Austic (2000) melaporkan bahwa pemeliharaan ayam broiler berumur 3-5 minggu pada suhu kandang pada 30oC dapat menyebabkan penurunan bobot badan sebesar 15 sampai 25%. Tabel 1. Rata-rata (± SD) pbb dan rkp ayam broiler yang diberi perlakuan cekaman panas, ekstrak jaloh dan yang dikombinasikan dengan kromium selama 15 hari. tCp
Rata-rata (± SD) pbb (gr) 1.138,0a ± 131,3
Rata-rata rkp 1,44a
Cp
803,6b ± 92,1
2,07b
Cp+Ej
a
1,46a
Perlakuan
1.014,9 ± 67,6 a
Cp+Ej+Cr 1.083,1 ± 100,7 1,66a Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p < 0,05). Keterangan: tCp = tanpa cekaman panas; Cp = cekaman panas; Cp+Ej = cekaman panas dan diberi ekstrak kulit batang jaloh; dan Cp+Ej+Cr = cekaman panas, diberi ekstrak kulit batang jaloh, dan mineral Cr.
Pemberian ekstrak etanol secara tunggal (Cp+Ej) ataupun dikombinasi dengan mineral Cr (perlakuan Cp+Ej+Cr) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05) dibanding dengan pbb ayam tanpa cekaman panas (perlakuan tCp). Pertumbuhan ayam yang diberi cekaman panas dan diberi ekstrak kulit batang jaloh ataupun dikombinasikan dengan mineral Cr dapat menyamai
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
23
Waktu Pembusukan Daging Hasil pengamatan rata-rata permulaan waktu pembusukan berdasarkan uji H2S pada daging ayam broiler setelah diberi cekaman panas dan ekstrak etanol kulit batang jaloh secara tunggal dan dikombinasi dengan mineral Cr disajikan pada Gambar 1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian cekaman panas menyebabkan daging ayam lebih cepat membusuk (P>0,05) jika dibandingkan daging ayam yang tidak mengalami cekaman panas. Pemberian cekaman panas menyebabkan daging telah terdeteksi membusuk rata-rata terjadi dalam waktu 17 jam sedangkan pada daging ayam tanpa perlakuan cekaman panas, daging baru membusuk dalam waktu 22 jam. Dalam hal ini, 5 jam daging ayam yang diberi cekaman panas
terdeteksi lebih cepat membusuk dibadingkan dengan tanpa cekaman panas. 25.0
Waktu Pembusukan (jam)
pertumbuhan ayam yang tidak diberi cekaman panas. Artinya pemberian perlakuan tersebut (Cp+Ej dan Cp+Ej+Cr) dapat mengurangi kehilangan bobot badan ayam broiler akibat cekaman panas, sehingga pbb dan rkp-nya mendekati pbb dan rkp pada ayam perlakuan tanpa cekaman panas. Hasil penelitian ini sejalan seperti yang dilaporkan Sugito et al. (2006) dan Sugito et al. (2007). Peran pemberian ekstrak kulit batang jaloh terhadap pbb dan peningkatan efisiensi pakan pada ayam yang mengalami cekaman panas terjadi melalui perbaikan pertumbuhan vili usus kecil (Sugito et al., 2007). Pada penelitian ini terlibukti bahwa efek pemberian mineral Cr yang dikombinasi dengan ekstrak jaloh, ternyata tidak serta merta mampu memperbaiki pbb dan rkp melebihi pemberian tunggal ekstrak jaloh. Padahal menurut Sahin et al. (2003) dan Ahmad et al. (2004) pemberian mineral Cr berpengaruh positif terhadap laju pertumbuhan dan efisiensi penggunaan pakan pada ayam broiler yang menderita cekaman panas. Tidak lebih besarnya efek kombinasi ini terhadap laju pertumbuhan dan efisiensi penggunakan pakan diduga terkait faktor-faktor pembatas pertumbuhan, seperti faktor genetik dan juga penggunaan energi pada saat ayam mengalami cekaman panas yang lebih banyak digunakan untuk homeostasis dibandingkan penggunaan untuk pertumbuhan.
22.0a
20.0
22.0a
21.0a
17.0b
15.0 10.0 5.0 0.0 tCp
Cp
Cp+Ej
Cp+Ej+Cr
Perlakuan
Gambar 1. Grafik rata-rata waktu permulaan pembusukan berdasarkan uji H2S yang dilakukan pada daging ayam broiler yang diberi perlakuan. Superskrip huruf yang berbeda pada ujung grafik gambar di atas menunjukkan perbedaan nyata (p < 0,05).
Pembusukan yang lebih cepat pada penelitian ini diduga terkait dengan komposisi daging. Waktu pembusukan daging yang lebih cepat pada ayam yang menderita cekaman panas terkait rendahnya kandungan glikogen dalam daging. Penggunaan glikogen untuk aktrivitas homeostasis tubuh pada saat ayam mengalami cekaman sehingga kadar glikogen dalam daging menjadi rendah. Buckle et al. (1985) menjelaskan bahwa pada daging yang dipotong tanpa stres kandungan glikogennya cukup tinggi dan ini akan mempengarui pH daging dan juga kandungan air dalam daging. Kadar air yang tinggi dalam daging merupakan salah satu faktor yang mendukung perkembangan jamur atau mikro organisme. Ketika ayam mengalami stres, otot akan kehilangan energi lebih cepat dan rigor mortis terjadi lebih cepat pula. Pada Gambar 1 terlihat bahwa pemberian ekstrak kulit batang jaloh (perlakuan Cp+Ej) dapat memperlambat waktu pembusukan akibat dampak cekaman panas 5 jam sedangkan pemberian ekstrak jaloh dikombinasi dengan kromium (perlakuan Cp+Ej+Cr) dapat memperlambat waktu pembusukan 4 jam. Efek esktrak jaloh memperlambat waktu pembusukan ini diduga terkait dengan kandungan senyawa
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
24
bioaktifnya, terutama asam lemak. Sugito et al. (2008) melaporkan bahwa hasil analisis ekstrak jaloh dengan menggunakan GC-MS ditemukan kandungan dominan dalam ekstrak jaloh adalah asam lemak. Dengan demikian keberadaan asam lemak pada daging dapat berfungsi sebagai emulsi dan anti mikroba. Asam lemak bebas, ester monogliserol, dan trigliserida memperlihatkan aktivitas melawan beberapa bakteri. Selain itu peran ekstrak jaloh dan kromium dalam memperlambat waktu pembusukan diduga terkait dengan aktivitas sebagai antioksidan. Menurut Kahkonen et al. (1999) hasil uji ekstrak berbagai tanaman obat menunjukkan bahwa bahan ekstrak asal tanaman Salix spp memiliki efek antioksidan yang lebih tertinggi dibandingkan dari 60 jenis tanaman pohon yang biasa dipakai sebagai bahan tanaman obat. KESIMPULAN Pemberian ekstrak kulit batang jaloh dengan dosis 1.000 mg/lt air minum secara tunggal ataupun dikombinasi dengan mineral Cr dengan dosis 1000 ug/lt air minum yang diberikan 2 jam sebelum suhu dalam kandang meningkat (pada 33 ± 1oC) dapat mengurangi terjadinya penurunan pbb, nilai rkp, dan lama waktu pembusukan. Pemberian ekstrak jaloh yang dikombinasi kromium ternyata tidak bersifat lebih efektif dalam mengurangi dampak cekaman panas, terutama terhadap pbb dan rkp ayam broiler yang diberi cekaman panas. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dapat terselenggara Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, melalui Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Nomor : 212/SP2H/PP/DP2M/V/2009, tanggal 30 Mei 2009, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan juga kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian ini sehingga dapat berjalan dengan baik. DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, F., Javed, M. T., Sandhu, M. A., Kausar, R., 2004. Effects of higher levels of chromium and copper on broiler health and performance during the peak tropical summer season. Vet. Arhiv. 74: 395-408. Al-Fataftah, A. A. and Abu-Dieyeh, Z. H. M., 2007. Effect of chronic heat stress on broiler performance in Jordan. Intern. J. Poult. Sci. 6 (1): 64-70. Austic, R.E., 2000. Feeding Poultry in Hot and Cold Climates. Di dalam MK Yousef, editor. Stress Physiology in Livestock Vol III, Poultry. Florida: CRC Pr. pp. 123-136.
Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H. dan Wooton, M., 1987. Ilmu Pangan. Purnomo dan Adiono. (Penerjemah). Universitas Indonesia Press, Jakarta Cooper, M. A. and Washburn, K. W., (1998). The Relationships of body temperature to weight gain, feed consumption, and feed utilization in broilers under heat stress. Poult. Sci. (77): 237-242. Duclos, M. J., Berri, C. and Le Bihan-Duval, E., 2007. Muscle growth and meat quality (Review). J. Appl. Poult. Res. 16:107–112 Hoffman, T.Y. C.M. and Walsberg, G.E., 1999. Inhibiting ventilatory evaporation produce an adaptive increase in cutaneous evaporation in mourning doves Zenaida macroura. J. Experiment. Biol. 202:3021-3028. Kahkonen, M.P., Hopia, A.I., Vuorela, H.J., Rauha, J.P., Pihlaja, K., Kujala, T.S. and Heinonen, M., 1999. Antioxidant activity of plant extracts containing phenolic compounds. J. Agric. Food Chem. 47: 3954-3962. Mashaly, M.M., Hendrricks, G. L., Kalama, M. A., Gerhad, A. E., Abbas, A. O. and Pattersom, P. H., 2004. Effect of heat stres on production parameters and immune responses of commercial laying hens. Poult. Sci. (03):009-894. McKee, S. R. and Sams, A. R., 1997. The effect of seasonal heat stress on rigor
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
25
development and the incidence of pale, exudative turkey meat. Poult. Sci. 76: 1616–1620. Ophir, E, Arieli Y., Marder J. and Horowitz, M., 2002. Cutaneous blood flow in the pigeon Columba livia: its possible relevance to cutaneous water evaporation. J. Expirement. Biol. 205: 2627-2631. Sahin K., Sahin, N. and Kucuk, O., 2003. Effects of chromium, and ascorbic acid supplementation on growth, carcass traits, serum metabolites, and antioxidant status of broiler chickens reared at a high ambient temperature (32°C). Nutr. Res. 23(2): 225-238. Sugito. 2008. Respon Pemberian Ekstrak nHeksan Tanaman Jaloh pada Ayam Broiler yang diberi Cekaman Panas terhadap Ekspresi Enzim iNOS pada Jaringan Paru, Kadar Glukosa dan Kalsium dalam Serum. JITV 13(3): 174-181. Sugito, Erdiansyah, R. dan Sumarni, R., 2008. Penentuan Dosis Letal Ekstrak NHeksan Kulit Batang Jaloh (Salik tetrasperma Roxb) dan Efeknya terhadap Perubahan Histopatologi Hati dan Ginjal Mencit. Proseding Seminar BKS. Sugito, Manalu, W., Astuti, D. A., Handharyani, E. dan Chairul. 2007. Morfometrik usus dan performans ayam broiler yang diberi cekaman panas dan ekstrak n-heksan kulit batang ”jaloh” (Salix tetrasperma Roxb). Media Pet. 30 (3): 198-206. Sugito, Manalu, W., Astuti, D. A. Handharyani, E. dan Chairul. 2006. Evaluasi pemberian ekstrak jaloh (Salix tetrasperma Roxb) terhadap performans dan indikator stres pada ayam broiler yang diberi cekaman panas. Majalah Obat Tradisional. 11(36): 29-36.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
26
Penambahan Molases Untuk Meningkatkan Kualitas Amoniasi Jerami Padi dan Pengaruhnya terhadap Produk Fermentasi Rumen Secara In-Vitro Supplementation of molasses to improve the quality of rice straw ammonization and its effect on fermentation product in-vitro Muhamad Bata1 dan Nur Hidayat1 1 Fakultas Peternakan, Unsoed Purwokerto, Jawa Tengah ABSTRACT Aimed of this research was to find out the optimal level of molasses addition at straw rice ammonization process to N-NH3 production, VFA and microbe protein synthesis. Material used was rumen fluid of fistula cattle, rice straw, water, urea and molasses. Treatment tried was level of molasses addition 0%, 15% and 30% on rice straw which given urea. Research was carried out by experimental method as in vitro, was conducted use completely randomized design. Variable measured were N-NH3, VFA and microbe protein synthesis. Intake data entered in data tabulation and analyzed variance then continued by orthogonal polynomial test. Research result after ammonization indicated that acidity level and concentration of released NH3 decrease parallel with addition of molasses level, and also increase the nutrient content which was crude protein increase and crude fiber decrease. Variance analysis and Test of orthogonal polynomial result indicated that treatment of molasses addition have highly significant effect (P<0.01) and linier respond to concentration of
released NH3 after ammonization. Research result as in vitro indicated concentration N-NH3 and VFA total decrease while microbe protein synthesis increase. Variance analysis result indicated that molasses addition treatment at straw rice ammonization process have highly significant (P < 0.01) on concentration of N-NH3, VFA total and Microbe Protein Synthesis. Test of orthogonal polynomial for molasses addition at straw rice ammonization process indicated linier respond on concentration of NH3 N-NH3 and VFA total, but microbe protein synthesis quadratic had respond (P < 0,01) white regression equation Y= 52.1871.089222X + 0.11X2 (r2) 87.27 and (r) 0.9341. Research result could conclude that molasses addition up to level 30% able to improve quality of straw rice ammonization process by NH3 fixation so that increase nutrient ingredient, decrease NH3 that lost to atmosphere, improve utilization of N-NH3 and VFA and also increase microbe protein synthesis.
Key words: rice straw, ammoniation, rumen microbes, VFA, NH3
2010 Agripet : Vol (10) No. 2: 27-33 PENDAHULUAN5 Teknik pengolahan untuk meningkatkan kualitas jerami padi yang dapat dilakukan antara lain dengan amoniasi menggunakan urea. Amoniasi jerami padi menggunakan urea dapat meningkatkan palatabilitas, konsumsi, kecernaan pakan dan meningkatkan non protein nitrogen (NPN). Namun demikian, proses amoniasi tersebut melepaskan 60 – 70% nitrogen (N) ke lingkungan dalam bentuk amoniak (NH3) (Taiwo et al. 1995 dan Dass et al. 2003) dan efisiensi penggunaan N dalam rumen rendah Corresponding author:
[email protected]
sehingga banyak N yang terbuang baik melalui urin dan feces yang juga dapat meningkatkan NH3. Semua ini dapat berkontribusi pada pemanasan global (Sarwar dan Ali, 2000). Selain itu, pada konsentrasi tinggi dan waktu lama, NH3 dapat menyebabkan kebutaan bahkan kematian ternak (Khan et al. 2004). Di Eropa, teknik amoniasi jerami secara konvensional dengan urea tidak dianjurkan karena dianggap tidak ramah lingkungan (ter Meulen 2007, komunikasi pribadi). Hal ini disebabkan oleh tingginya pH selama proses amoniasi karena rendahnya karbohidrat fermentable yang terkandung dalam jerami padi. Oleh karena itu penurunan pH mutlak
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
27
dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut bisa dilakukan dengan penambahan asam organik maupun anorganik, namun demikian tidak menguntungkan karena asam mahal. Alternatif lain adalah menggunakan bahan pakan sumber karbohidrat fermentable yang berasal dari limbah pertanian atau perkebunan dan salah satu diantaranya adalah molasses. Molases merupakan media fermentasi yang baik, karena masih mengandung kadar gula sekitar 48 – 58 persen (Migo, 1993) sehingga diharapkan sebagai media atau sumber energi bagi mikroba asam laktat. Mikroba memanfaatkan NH3 dan juga memproduksi asam laktat yang dapat bereaksi dengan NH3, sehingga penggunaan NH3 yang optimal dapat meningkatkan kandungan nutrien (protein kasar), selain itu dengan kondisi asam juga membantu melonggarkan ikatan selulosa dan lignohemiselulosa yang pada akhirnya berdampak positif pada aktifitas mikroba rumen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui taraf yang optimal penambahan molases pada amoniasi jerami padi terhadap kualitas produk jerami padi amoniasi dan efisiensi penggunaannya dalam rumen. MATERI DAN METODE PENELITIAN Materi dan Metode Penelitian Materi yang digunakan dalam penelitian adalah cairan rumen yang diambil dari 1 ekor sapi Peranakan FH (PFH) laktasi kedua berfistula di Experimental Farm Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman sebagai sumber inokulum. Jerami padi dengan kadar bahan kering 65% digiling dan ditimbang sebanyak 0,5 kg yang dimasukkan kedalam poliback. Urea sebanyak 5% dari berat jerami dan dilarutkan dalam air sehingga konsentrasinya menjadi 10%. Molases ditambahkan dalam larutan urea sesuai dengan perlakuan yaitu 0, 15 dan 30% dari berat jerami padi, kemudian dicampur dengan jerami giling dalam kantong plastik. Kantong plastik yang dipasang selang plastik dan diikat rapat supaya kondisinya dalam keadaan anaerob dan diinkubasi selama 15 hari. Penelitian dilaksanakan dengan metode eksperimental secara in vitro menggunakan metode Tilley dan
Terry (1963) yang dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (Steel dan Torrie, 1993) dengan 3 perlakuan dan setiap perlakuan diulang 6 kali. Peubah yang diamati adalah produksi VFA total dengan menggunakan metode destilasi uap, N-NH3 baik hasil amoniasi maupun N-NH3 rumen dianalisis menggunakan metode Difusi Conway (Departement of Dairy Science Universitas of Wisconsin, 1966), dan sintesis protein mikroba yang dianalisis menggunakan metode Analisis Purin menurut (Zinn dan Owens, 1986). Analisis Kimia Analisis proksimat terhadap substrat maupun residu dilakukan menurut petunjuk AOAC (1990), produksi VFA total dengan menggunakan metode destilasi uap (Departement of Dairy Science, 1966), konsentrasi N-NH3 dengan menggunakan metode difusi Conway (Departement of Dairy Science Universitas of Wisconsin, 1966), dan sintesis protein mikroba rumen dengan menggunakan metode analisis Purin menurut Zinn dan Owens (1986). Analisis Statistik Data dianalisis menggunakan analisis variansi kemudian dilanjutkan dengan uji orthogonal polinomial (Stell dan Torrie,1980). HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Produk Jerami Amoniasi Hasil analisis kandungan nutrien pada Tabel 1, menunjukkan bahwa kandungan serat kasar mengalami penurunan dibandingkan dengan control (amoniasi yang hanya menggunakan urea saja). Penurunan serat kasar karena ammonia maupun aktfitas mikroba dan asam laktat yang dihasilkan pada teknik ini dapat menghancurkan ikatan-ikatan lingoselulosa, lingo-hemiselulosa dan silika yang merupakan faktor penyebab rendahnya daya cerna jerami padi bagi ternak (Cheeke, 1999). Tabel 1. Kandungan Nutrien Hasil Amoniasi dengan Penambahan Molases No
Perla kuan
Air
BK (%)
1. 2.
RO R1
33,07 33,47
66,93 66,53
PK (%) 8,105 10,122
% BK SK (%) 33,96 30,65
Abu (%) 24,22 22,77
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
28
3.
R2
33,20
66,80
9,345
24,25
21,71
Penambahan molases pada amoniasi juga menyebabkan peningkatan protein (tabel 1). Hasil yang sama juga ditemukan melalui penggunaan onggok basah sebagai sumber karbohidrat fermentable pada proses amoniasi jerami padi dapat meningkatkan penggunaan NH3 (Kartika, 2007; Krisma, 2007; Elkafi, 2007). Penggunaan NH3 yang optimal dapat meningkatkan kandungan nutrien (protein kasar) jerami padi, selain itu dilihat dari karakteristik setelah amoniasi (Tabel 2) juga dapat menurunkan bau amonia, pH dan NH3 yang lepas ke atmosfer. Hasil sidik ragam (Lampiran 1) menunjukkan bahwa penambahan molases pada amoniasi jerami padi memberikan pengaruh sangat nyata terhadap NH3 yang lepas setelah amoniasi dan menunjukkan respon linier sejalan dengan penambahan level molases. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Masuda et al. (2000) yang menyatakan bahwa penambahan bahan yang kaya akan karbohidrat fermentable dapat mempercepat penurunan pH, karena karbohidrat fermentable merupakan energi bagi pertumbuhan bakteri pembentuk asam laktat dan asam laktat yang dihasilkan bereaksi dengan NH3. Selain itu bakteri juga dapat memfiksasi NH3 sebagai sumber N untuk perkembangbiakannya, sehingga mengurangi jumlah amonia (NH3) yang terlepas ke atmosfer. Dass et al. (2001) yang menyatakan bahwa penambahan asam pada amoniasi jerami padi terbukti dapat menangkap amonia yang terlepas sebesar 30%. Tabel 2. Karakteristik amoniasi Perlakuan R0 R1 R2
fisik dan kimia hasil
Karakteristik Pasca Amoniasi Produksi NH3 Menyengat 12,2 Agak menyengat 7,8 Tidak menyengat 5,2 Bau
pH 7 6 5,5
Konsentrasi N-NH3 dan VFA Hasil penelitian (Tabel 3) menunjukkan bahwa rataan konsentrasi N-NH3 berkisar antara 34,96 ± 0,87 (perlakuan R2) sampai 45,3 ± 1,23 (perlakuan R0). Sementara itu rataan konsentrasi Volatile Fatty Acid (VFA) yang dihasilkan (Tabel 3) berkisar antara 302 ± 13,83 mM (perlakuan R2), sampai 343,33 ±
17,46 mM (perlakuan R0). Hasil penelitian ini lebih tinggi dari yang dibutuhkan untuk perkembangan mikroba rumen yang optimal. Mc Donald et al. (1987) yang menyatakan bahwa kisaran konsentrasi amonia yang cukup untuk pertumbuhan mikroba yang maksimal adalah 85-300 mg/L atau setara dengan 2,7 – 14,3 mM/L dan konsentrasi VFA pada kisaran 70 sampai 130 mM/L (Wanapat dan khampa, 2006). Hal ini membuktikan bahwa molases memiliki tingkat fermentabilitas yang tinggi. Bata et al. (1996) menyatakan bahwa tinggi rendahnya konsentrasi VFA menggambarkan mudah tidaknya karbohidrat difermentasi, makin tinggi VFA makin mudah karbohidrat tersebut untuk difermentasi. Tabel 3. Rataan Konsentrasi N-NH3 dan VFA Total (mM/L) Perlakuan R0 R1 R2
Rataan Konsentrasi N-NH3 45,30 ± 1,23 39,60 ± 0,56 34,96 ± 0,87
Rataan Konsentrasi VFA Total 343,33 ± 17,46 323,33 ± 15,78 302,16 ± 13,83
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan molases pada amoniasi jerami padi berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap konsentrasi N-NH3 dan Volatile Fatty Acid (VFA) total. Uji Orthogonal Polynomial menunjukkan menunjukkan respon linier (Gambar 1) terhadap konsentrasi N-NH3 dan VFA dengan persamaan garis berturut-turut Y = 45,122 – 0,344 X dengan koefisien determinasi (r2) = 96,12 persen dan koefisien korelasi (r) = 0,98 serta Y = 343,527774 – 1,372222 X dengan koefisien determinasi determinasi (r2) = 57,68 persen dan koefisien korelasi (r) = 0,75. Gambar 1 menunjukkan bahwa konsentrasi N-NH3 dan VFA semakin menurun sejalan dengan penambahan molases (dalam hal ini sampai level 30%). Hal ini disebabkan karena molases mengandung karbohidrat fermentable, sehingga penambahan dari molases menyebabkan peningkatan aktifitas mikroba rumen. Ranjhan (2001) menyatakan bahwa bila jumlah karbohidrat yang mudah difermentasi meningkat, produksi amonia akan turun, karena terjadi peningkatan penggunaan amonia untuk sintesis protein mikroba. Peningkatan aktifitas mikroba tersebut
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
29
KONSENTRASI N-NH3 DAN VFA Total (mM/L)M
REGRESI LINIER 370 360 350 340 330 320 310 300 290 280 270 260 250 240 230 220 210 200 190 180 170 160 150 140 130 120 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
343,52 322,94 302,36
Sintesis Protein Mikroba (SPM) Serta Hubungannya dengan N-NH3 dan Volatile Fatty Acid (VFA) Rataan konsentrasi sintesis protein mikroba hasil penelitian berkisar 51,57 ± 3,69 (perlakuan R0), 60,35 ± 1,32 (perlakuan R1) dan 119,36 ± 19,4 (perlakuan R2). Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa penambahan molases pada amoniasi jerami padi memberikan pengaruh yang sangat nyata (p < 0,01) terhadap sintesis protein mikroba cairan rumen. Uji orthogonal polinomial menunjukkan adanya respon regresi kuadrater dengan persamaan Y = 52,187 – 1,0892222 X + 0,11 X2 dengan koefisien determinasi (r2) = 75,46% dan koefisien korelasi (r) = 0,86. Hubungan antara penambahan molases dengan sintesis protein mikroba tertera pada Gambar 2. Regresi Kuadrater
KONSENTRASI SPM (mg/ml)
menyebabkan penggunaan N-NH3 dan VFA meningkat pula, sehingga terjadi penurunan konsentrasi N-NH3 dan VFA sejalan peningkatan level molases. Hal ini sesuai dengan pendapat Kalbande dan Thomas (2001) yang menyatakan bahwa ammonia akan digunakan oleh mikroba rumen untuk dikonversi menjadi protein mikroba dan VFA digunakan sebagai sumber energi dalam melakukan sintesis asam amino atau protein mikroba tersebut ( Xia dan Kerley, 2000). Menurunnya konsentrasi N-NH3 mungkin juga disebabkan karena sumber protein ransum perlakuan tahan degradasi rumen sejalan penambahan level molasses karena menurunnya pH (Table 2). Arora (1995) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya konsentrasi N-NH3 antara lain: (1) sumber protein ransum sangat tahan degradasi mikroba rumen, (2) tingginya sintesis protein mikroba sehingga sisa N-NH3 yang tidak dimanfaatkan akan semakin kecil, (3) rendahnya taraf energi pakan, (4) nisbah C dan N serta (5) rendahnya pertumbuhan mikroba.
125 120 115 110 105 100 95 90 85 80 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
118,51
Y = 52,187 - 1,0892222 X + 0,11 X
60,598
52,187 49,59
49,59
0
15
30
LEVEL MOLASES (%)
Y = 343,527774 - 1,372222 X
Gambar 2. Sintesis Protein Mikroba pada Berbagai Level Penambhan Molases N-NH3 VFA Total
Y = 45,122 - 0,344 X 45,122 39,962
0
15
34,802
30
LEVEL MOLASES (%)
Gambar 1. Konsentrasi N-NH3 dan VFA Total pada Berbagai Level Penambahan Molases
Gambar 2 menunjukkan bahwa penambahan molases pada amoniasi jerami padi mula-mula menurunkan SPM sebesar 49,49 mg/ml yaitu pada level penambahan molases 4,95%. Setelah itu sintesis protein mikroba mengalami peningkatan sejalan dengan penambahan molases sampai level 30% sebesar 118,51 mg/ml. Pada level penambahan molases yang rendah, produksi sintesis protein mikroba sedikit. Hal ini disebabkan mikroba rumen masih adaptasi dan belum tercukupinya kebutuhan energi mikroba untuk metabolism sehingga produksi protein mikroba rendah atau dengan kata lain ketersediaan N yang tidak diimbangi dengan ketersediaan energy.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
30
Nuswantara et al. (2001) yang menyatakan apabila ketersediaan amonia lebih cepat dari fermentasi karbohidrat maka amonia untuk pembentukan protein mikroba tidak efisien. Peningkatan level molases dapat meningkatkan sintesis protein mikroba, hal ini disebabkan peningkatan ketersediaan energy dari molasses untuk mengimbangi ketersediaan N atau dengan kata lain terjadi sinkronisasi antara ketersediaan energy dan N. Fenomena tersebut terjadi karena mikroba mampu memanfaatkan sumber N dari Non Protein Nitrogen (NPN) yang berasal dari amoniasi jerami padi yang diimbangi dengan ketersediaan energi fermentabel dalam bentuk VFA, selain itu juga kandungan protein perlakuan mengalami peningkatan sehingga dapat memenuhi kebutuhan mikroba. Faktor utama yang mempengaruhi sintesis protein mikroba dalam rumen adalah ketersediaan dan konsentrasi dari prekusor seperti glukosa, asam nukleat, asam amino, NH3, mineral dalam cairan rumen, kebutuhan hidup pokok mikroba rumen, penghancuran atau perusakan bakteri oleh protozoa predator (Leng et al., 1998), HUBUNGAN N-NH3, VFA dan SPM 380
140
360 340 120
320 300
100
260 240 220
80
200 180 60
160 140
Konsentrasi SPM (mg/ml)
Konsentrasi N-NH3 dan VFA (mM/L)
280
N-NH3 (mM/L) VFA total (mM/L) SPM (mg/ml)
120 40
100 80 60
20
40 20 0
0 0
15
Gambar 3 menunjukkan hubungan antara VFA, N-NH3 dengan SPM. Semakin tinggi penambahan molases maka konsentrasi N-NH3 dan VFA menurun, akan tetapi sintesis protein mikroba meningkat walaupun mulamula SPM cenderung menurun sampai pada level molasses 4,95%. Hal ini menunjukkan bahwa N-NH3 dan VFA digunakan untuk sintesis protein mikroba. Penggunaan N-NH3 dan VFA meningkat maka konsentrasinya menurun sejalan dengan peningkatan sintesis protein mikroba. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa produksi sintesis protein mikroba dapat optimal apabila antara N-NH3 dan energi fermentable harus seimbang. Hal ini sesuai dengan pendapat Kalbande dan Thomas (2001) yang menyatakan bahwa ammonia akan digunakan oleh mikroba rumen untuk dikonversi menjadi protein mikroba dan VFA digunakan sebagai sumber energi dalam melakukan sintesis asam amino atau protein mikroba tersebut (Meng, Xia dan Kerley, 2000). Selain itu hasil analisis Rumen Degradable Intake Protein (RDIP) dan Undegradable Intake Protein (UIP) juga menunjukkan peningkatan sejalan dengan penambahan level molases (Fitri, 2008), sehingga mendukung untuk produksi sintesis protein mikroba. Hal ini sesuai dengan pendapat Broster dan Swan (1979) yang menyatakan bahwa laju dan jumlah sintesis protein mikroba rumen berkaitan erat dengan ketersediaan NNH3 yang berasal dari degradasi protein atau nitrogen pakan oleh mikroba.
30
Level Molases
Gambar 3. Hubungan Konsentrasi N-NH3, VFA dan Sintesis Protein Mikroba
sedangkan menurut Arora (1995) menyatakan bahwa sintesis protein mikroba tergantung pada kecepatan pemecahan nitrogen pakan, kecepatan absorbsi amonia dan asam-asam amonia, kecepatan alir dari bahan keluar dari rumen.
KESIMPULAN DAN SARAN Penambahan molases sampai dengan level 30% mampu meningkatkan kualitas proses amoniasi jerami padi melalui fiksasi NH3 sehingga meningkatkan kandungan nutrien, pengurangan NH3 yang terbuang ke atmosfer, meningkatkan pemanfaatan N-NH3 dan VFA serta dapat meningkatkan sintesis protein mikroba. DAFTAR PUSTAKA Arora, S.P., 1995. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Hal : 25-26, 43-53. Bata, M., Irawan, I., Rahayu, S. dan Pangestu. M., 1996. Pengaruh Suplementasi
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
31
Ampas Tahu pada Onggok terhadap Produk Fermentasi Rumen, Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Secara In Vitro. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Peternakan Unsoed. Purwokerto. (tidak dipublikasikan). Broster, W.H. and Swan, H., 1979. Feeding Strategy for Yielding Dairy Cows. Published By Dranada Publishing. London. Pp. 92-93 Dalam Bata, M., Suwandiastuti dan N. Hidayat. 1999. Pengaruh Penambahan Urea dan Belerang pada Campuran Tape Onggok dan Ampas Tahu Terhadap Kecernan Protein dan Darah Domba Jantan. Journal Animal Production. 1 (2) : 75-91 Cheeke, Peter. R., 1999. Applied Animal Nutrition; Feed and Feeding. Third Edition. Prentice-Hall, Inc : New Jersey. Dass, R. S., Verma, A. K., Mehra, U. R. and Sahu, D. S., 2001. Nutrient Utilisation and Rumen Fermentation Pattern in Murrah Buffaloes Fed Urea and Urea Plus Hydrochloric Acid Treated Wheat Straw. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 14 (11):1542-1548. Departement of Dairy Science. 1966. General Laboratory Procedures. University of Wisconsin.USA. Pp : 142-157. Kalbande, V.H. and Thomas, C. T., 2001. Effect of Feeding By Pass Protein on Rumen Fermentation Profile of Crossbred Cows. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 14 (7) : 974-978. Kartika, C.D.P., 2007. Penambahan Onggok Segar pada Pembuatan Amoniasi Jerami Padi dan Pengaruhnya terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik Secara In Vitro. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Hal : 1-2. Khampa, S., Wanapat, M., Wachirapakorn, C., Nontaso, N. and Wattiaux, M., 2006. Effects of Urea Level and Sodium dlMalate in Concentrate Containing High Cassava Chip on Ruminal Fermentation Efficiency, Microbial
Protein Syntesis in Lactating Dairy Cows Raised Under Tropical Condition. Asian-Aust. J. Anim Sci. 19 : 837-844. Krisma, A., 2007. Penambahan Onggok Segar pada Pembuatan Amoniasi Jerami Padi dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Serat Kasar dan Produksi VFA Secara In Vitro. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Hal : 30,35. Leng, R. A. and J. Kanjanapruthipong. 1998. The Effects of Daitary Urea on Microbial Populations in The Rumen of Sheep. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 11 : 661-672 Mc. Donald, P., Edwards R. A. and Greenhalg, J.P.D., 2002. Animal Nurtition, sixth Ed. Prentice Hall. Gosport. London. Pp. 42-153 Masuda, Y., Yunus, M., Onba, N., Shimojo, M., and Furuse, M., 2000. Effect of Urea Molases on Napiergrass Silage Quality. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 13 (11) : 1542-1547. Meng, Q.X., Xia, Z.G. and Kerley, M.S., 2000. The Requirement of ruminal Degradable Protein for Non-Structural Carbohidrate-fermenting Microbes and Its Reaction with Dilution Rate in Continuous Culture. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 13 (1) : 1399-1406. Migo, V.P., Matsumura, M., Rosariodan, E.J.D., Kataoka, H., 1993. Decolorization of Molasses Wastewate Using Inorganic Flocculant. J. Of Fermentation Bioengineering 75(6), 438-442. Nuswantara, L.K., Soejono, M. dan Widyobroto, B.P., 2001. Sintesis Protein Mikroba Pada Sapi Peranakan Ongole dan Kerbau Yang Diberi Pakan Tunggal Glirisida, Jerami Jagung dan Kaliandra. Agrosains. 14: 165-176. Ranjhan, S.K., 1980. Animal Nutrition in Tropic. Vikas Publishing How. New Delhi. Pp. 121-138. Stell, R.G.D. and Torrie, J.H., 1980. Principles and Procedures of Statitics. Terjemahan oleh B. Sumantri. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika suatu
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
32
Pendekatan Biometrik. Edisi Kedua. PT. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. Hal 237-267. Taiwo, A.A., Adebowale, E.A., Greenhalgh, J.F.D. and Akinsoyinu, A.O., 1995. Technique For Trapping Ammonia Generated from Urea Treatment of Barley Sraws. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 56 : 133. Tilley, J. M. A., and Terry. 1963. A Two Stage Technique for The In Vitro Digestion of Forage Crops. Journal of The British Grassland Society. (18) : 104. Zinn, R.A and Owens, F.V., 1986. Rapid Procedure Purine Measurement and Its Use for Estimating Net Ruminant Protein Syntesis. Can. J. Anim. Sci. 66:157-166.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
33
Kemampuan Susu Fermentasi Lactobacillus plantarum Menghambat Salmonella typhymurium Secara In Vitro (The ability of Lactobacillus plantarum fermented milk to inhibit Salmonella typhymurium in vitro) Zuraida Hanum1 Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
1
ABSTRACT This research used Lactobacillus plantarum as a milk starter (concentration 3, 4, 5 %) and incubated for 48 hours at room temperature. Observation fermented begin from the first day of this product until 7 days and its still stored at room temperature. First analysis conducted on milk in this research were Storch, pH, acidity titration, fat, and dry matter. Milk fermentation analysis of Lactobcillus plantarum including pH, degre of dornik acidity and microbe activity test. Experimental design used is Repeated Measurement with three replications. Data colected analyzed by ANOVA test. If there is significant different between treatments, followed by Least Significant Test. Complete pasturization result test (Storch) found that milk stay white, it means that
peroksidase enzime completely dissappear and milk completely pasturization. The ability of suppresing observed by Salmonella typhymurium in Nutrient Agar and challenge with Lactobacillus plantarum fermented milk 3%, 4% and 5% (50 µl/well). Tetracyline, chloramphenicol and a plain paper disc are used as control. Lactobacillus plantarum fermented milk of starter concentration 5%-first day has the biggest inhibitation zone by Salmonella typhimurium (9.39 mm). Range of pH showed between 4.84 to 4.14 and the acidity between 114.67 0D to 365.67 0D. Sensitivity test showed that Salmonella typhymurium more sensitive than chloramphenicol and tetracyline antibiotic.
Key words : Fermented Milk, Lactobacillus plantarum and Salmonella typhymurium
2010 Agripet : Vol (10) No. 2: 34-39 PENDAHULUAN6 Susu merupakan bahan pangan sumber protein hewani dengan kandungan gizi lengkap. Gangguan pencernaan berupa kembung dan diare yang timbul setelah mengkonsumsi susu, biasanya disebabkan adanya akumulasi laktosa yang tidak terurai menjadi monosakarida yakni glukosa dan galaktosa dalam saluran pencernaan, yang dikenal dengan istilah lactose intolerance. Susu fermentasi didefinisikan sebagai produk susu yang melibatkan mikroorganisme untuk menghasilkan flavour, warna, tekstur dan konsistensi yang diinginkan dan mampu mencegah lactose intolerance (Vinderola et al., 2002). Di wilayah bekas kekuasaan Uni Sovyet terdapat lebih dari 200 jenis susu fermentasi seperti Prostokvasha, Caucasian kefir, Matsum, Syuzma dan lain-lain. Dari Corresponding author:
[email protected]
Arab Saudi dikenal nama Torba, Kurut, di Irak dikenal dengan Leben dan Kushuk, dari Iran terdapat Daough dan Kashk, di Libanon dikenal Laban, Jamid dan Rawbah, selanjutnya dari Finlandia ada Villi dan Vellia, dari Eropa Timur ada Yoghurt dan Bulgarian milk. Produk-produk susu dari Asia adalah Koumiss, Shubat, Dahi, Susu fermentasi dan banyak lagi produk fermentasi lainnya (Kanbe, 1992). Jenis mikroba yang memegang peranan penting dalam proses fermentasi susu digolongkan sebagai bakteri asam laktat (BAL), yaitu beberapa spesies dari Streptococcus dan Lactobacillus. Asam laktat sebagai salahsatu asam organik, dapat dihasilkan secara alami oleh tumbuhan maupun hewan. Asam organik merupakan bahan preservasi makanan yang aman digunakan (Lin et al., 2002). Sejak ditemukannya berbagai keuntungan mengkonsumsi minuman yang mengandung asam laktat terhadap
Kemampuan Susu Fermentasi Lactobacillus plantarum Menghambat Salmonella typhymurium Secara In Vitro (Zuraida Hanum, S.Pt, M.Si)
34
perkembangan mikroflora dalam saluran pencernaan, BAL sering digunakan sebagai kultur starter untuk memfermentasi susu (Svenson, 1992). Elida (2002) mengatakan bahwa Lactobacillus plantarum tergolong bakteri asam laktat homofermentatif yang tumbuh pada suhu 15 - 37 0C, masih dapat tumbuh pada pH 3.0-4.6, dengan ciri-ciri sel berbentuk batang pendek, warna koloni putih susu sampai abu-abu, serta mempunyai viabilitas tinggi untuk digunakan sebagai starter. Di Nigeria, L. plantarum yang diisolasi dari makanan fermentasi mampu memproduksi bakteriosin dan mampu menghambat aktivitas beberapa bakteri patogen. Bakteriosin yang diproduksi dari L. plantarum dihasilkan pada suhu 20 - 30 0C (Ogunbawo et al., 2003). Sedangkan di Jerman, L. plantarum juga ditemukan dalam makanan seperti es krim rendah lemak dan bubur gandum yang difermentasi dengan pemberian flavor aneka rasa seperti strawberry dan blueberry. Penambahan L. plantarum pada bubur gandum sebanyak 5 x 107 CFU/ml, memperlihatkan potensial menghambat bakteri patogen dan membantu kerja saluran pencernaan (Gabby dan Matt, 2002). Gangguan saluran pencernaan sering terjadi akibat pencemaran oleh golongan Enterobacteriacea terutama Salmonella. Hal ini sering terjadi di negara Berkembang yang kurang memperhatikan sanitasi. Salmonellosis
dapat terjadi dimana-mana, terutama di daerah beriklim tropis. Dalam produk pangan bakteri asam laktat tidak berbahaya bagi kesehatan dan memenuhi status Generally Recognize as Safe (GRAS). Sifat antimikroba yang dimiliki bakteri asam laktat disebabkan ketersedian nutrisi yang cocok, sehingga unggul dalam persaingan dengan bakteri patogen (Surono, 1999). BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Kitwan Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah susu sapi segar dari Rumah Sakit Hewan, FKH-IPB, media deMan Rogosa Sharpe (MRS) (CM 359 Oxoid) dan lainnya. Isolat bakteri yang digunakan Lactobacillus. plantarum BCC B2249 dan kultur bakteri patogen yang digunakan Salmonella typhimurium ATCC 14028. Penelitian ini meliputi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan metode pembuatan susu fermentasi yang paling sesuai yang akan digunakan pada penelitian utama. Gambar 1 memperlihatkan proses persiapan starter yang digunakan dalam pembuatan susu fermentasi Lactobacillus plantarum.
Kultur starter kering L. plantarum Susu murni Disegarkan dalam MRS Broth 1 hari pada suhu 35 0C Pengentalan susu hingga + 50% Kultur stok dalam MRS agar (dihitung jumlah koloni) Disegarkan dalam MRS Broth 1 hari pada suhu 37 0C
Didinginkan pada suhu kamar
Penuangan dalam gelas piala Starter kerja dalam susu skim diinkubasi 1 hari pada 37 0C Inkubasi 48 jam pada suhu kamar Inokulasi starter (3%, 4%, 5%) Susu fermentasi
Kemampuan Susu Fermentasi Lactobacillus plantarum Menghambat Salmonella typhymurium Secara In Vitro (Zuraida Hanum, S.Pt, M.Si)
35
Gambar 1. Skema proses persiapan starter dan pembuatansusu fermentasi Lactobacillus plantarum
Pada penelitian pendahuluan, digunakan isolat dalam bentuk kering beku, sedangkan untuk penelitian utama disimpan dalam MRS Broth dan starter kerja dalam skim. Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui daya hambat susu fermentasi Lactobacillus plantarum terhadap Salmonella typhymurium secara in vitro dan mengetahui sensitivitas Salmonella typhymurium yang digunakan dalam penelitian terhadap antibiotika. Susu yang akan digunakan penelitian, akan diuji terlebih dahulu terhadap kesempurnaan pasteurisasi (uji Storch). Analisis awal dilakukan pada susu yang digunakan dalam penelitian meliputi: uji Storch, uji pH, titrasi keasaman, kadar lemak, uji berat jenis dan kadar bahan kering. Analisis susu fermentasi Lactobcillus plantarum meliputi pH, derajat keasaman dornik dan pengujian aktivitas mikroba. Rancangan percobaan yang dipergunakan adalah rancangan percobaan dengan pengamatan berulang (Repeated Measurement) dengan tiga kali ulangan. Peubah yang diamati yaitu konsentrasi starter (3%, 4%, 5%) dan waktu penyimpanan sebagai perlakuan berulang (0 hari sampai dengan 7 hari). Data hasil penelitian dianalisis dengan analisis sidik ragam ANOVA. Bila diantara perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) dan (p<0.01), maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) (Mattjik dan Sumertajaya, 2002). Hasil pengujian terhadap antibiotika disajikan dalam bentuk grafik.
musnah dan susu telah mengalami pasteurisasi sempurna. Tabel 1. Hasil Pengamatan Karakteristik Susu Sebelum Proses Pembuatan fermentasi Susu Lactobacillus plantarum o
N Pemeri
Penga matan susu segar
1
- putih kekuningan - khas susu, agak manis -encer
ksaan Organo
leptik: -warna -bau dan rasa konsistensi 2 pH
Peng amatan susu setelah pasteurisasi putih -khas susu, agak manis -kental
6.59 6.45
3 Derajat asam(0 D) 4 Kadar Lemak(%) 5 Berat Jenis 6 Bahan Kering (%) 7 Kadar Air (%)
14.6
17.6 8
3.5
5.3
1.026 1.041 11.44
17.7 7
64.50
Hasil pengujian kesempurnaan pasteurisasi (uji Storch) ditemukan susu tetap berwarna putih, hal ini menandakan enzim peroksidase telah musnah dan susu telah mengalami pasteurisasi sempurna. Nilai pH yang diperoleh berdasarkan pengamatan sesuai dengan sifat fisik susu segar yang dinyatakan oleh Soejodono (1999) sebesar 6.5 sampai dengan 6.7. Susu yang digunakan dalam batas normal yang dinyatakan oleh (Soejodono 1999) sebesar 15180 D dan yang dinyatakan (Niro, 2000) sebesar 14 - 170 D.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada analisis awal diperoleh kualitas susu yang digunakan sebelum fermentasi tertera pada Tabel 1. Uji organoleptik susu yang digunakan untuk pembuatan fermentasi susu Lactobacillus plantarum telah sesuai dengan syarat normal susu (menurut Kodeks susu). Hasil pengujian kesempurnaan pasteurisasi (uji Storch) ditemukan susu tetap berwarna putih, hal ini menandakan enzim peroksidase telah
Kemampuan Susu Fermentasi Lactobacillus plantarum Menghambat Salmonella typhymurium Secara In Vitro (Zuraida Hanum, S.Pt, M.Si)
36
Gambar 2. Hasil uji Storch (a): Susu Mentah berwarna biru (b): Susu Setelah Pemanasan berwarna putih.
pH Susu fermentasi Lactobacillus plantarum Nilai pH yang diperoleh dari susu fermentasi Lactobacillus plantarum yang dikaitkan dengan konsentrasi starter dan lama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 2.
Derajat Keasaman (0Dornik) Susu fermentasi Lactobacillus plantarum Dalam pengukuran pH yang terukur sebenarnya adalah konsentrasi ion hidrogen yang ada pada saat itu, yaitu bentuk terdisosiasi. Sedangkan dalam pengukuran total asam yang terukur adalah jumlah hidrogen total, baik dalam bentuk yang terdisosiasi dan tidak terdisosiasi, sehingga nilai pH berbanding terbalik dengan total keasaman (Cahyadi et al., 1995). Lee dan Wong (1998) menyatakan penurunan pH susu fermentasi, akan meningkatkan jumlah total asam yakni hasil penguraian laktosa menjadi asam laktat. Perubahan Keasaman (0D) susu fermentasi Lactobacillus plantarum yang dikaitkan dengan konsentrasi starter dan lama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai keasaman (0D) susu fermentasi Lactobacillus plantarum dikaitkan dengan konsentrasi starter dan lama penyimpanan Waktu penyimpanan (hari)
% Starter 0
Tabel 2. Nilai pH susu fermentasi dikaitkan dengan konsentrasi starter dan lama penyimpanan
3
114.67
1 a
129.67
2 a
128.67
3 a
170.67
4 b
168.67
5 b
214.00
6 c
189.00
7 bc
277.67d
4
127.33a
142.67a
190.00b
224.00c
280.00e
254.67d
339.67f
358.00g
5
136.67a
172.33b
212.00c
226.67cd
242.00d
338.33e
354.67ef
365.67f
Waktu penyimpanan (hari)
% Starter 0
1
2
3
4
5
6
7
3
4.84d
4.62c
4.51bc
4.54bc
4.16a
4.43b
4.17a
4.17a
4
4.72d
4.58cd
4.46bc
4.46bc
4.39ab
4.24a
4.76d
4.41abc
5
4.73e
4.59d
4.53c
4.42b
4.76e
4.52c
4.15a
4.14a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama berarti berbeda tidak nyata
Tabel 2 memperlihatkan bahwa faktor konsentrasi starter dan waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap nilai pH. Susu fermentasi starter 3 % pH terendah dicapai pada hari ke - 4, ke -6 dan ke - 7. Susu fermentasi konsentrasi 4% pH terendah adalah hari ke - 5 sedangkan susu fermentasi starter 5% nilai pH terendah terjadi pada hari ke – 7, adanya kenaikan pH seiring dengan rusaknya susu fermentasi Hal ini ditandai dengan pecahnya padatan dalam susu fermentasi, tekstur yang berubah menjadi kasar, meningkatnya cairan yang memisah dari padatan dan timbulnya bau yang kurang sedap.
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama berarti berbeda tidak nyata
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi starter yang diberikan dan waktu penyimpanan sangat mempengaruhi terhadap nilai total keasaman dalam susu fermentasi Lactobacillus plantarum yang dihasilkan (Tabel 3). Semakin tinggi konsentrasi starter dan lama penyimpanan yang dilakukan meningkatkan jumlah total asam pada susu fermentasi Lactobacillus plantarum. Sudarwanto dan Lukman (1993) menyatakan susu fermentasi (yoghurt) mempunyai derajat asam berkisar antara 45 – 55 0SH. Jika angka ini dikonversikan kedalam derajat asam dornik diperoleh 112.5 - 137.5 0D , sehingga jika dibandingkan pada susu fermentasi Lactobacillus plantarum yang dihasilkan, pemberian konsentrasi starter optimum dicapai pada tingkat 3%, sedangkan
Kemampuan Susu Fermentasi Lactobacillus plantarum Menghambat Salmonella typhymurium Secara In Vitro (Zuraida Hanum, S.Pt, M.Si)
37
pada waktu penyimpanan dicapai pada hari ke 0. Hal ini menyimpulkan bahwa dengan konsentrasi 3% dan lama waktu penyimpanan 0 hari diperoleh susu fermentasi Lactobacillus plantarum dengan kualitas terbaik. Waktu penyimpanan akan meningkatkan nilai total asam pada susu fermentasi Lactobacillus plantarum.
penelitian ini terhadap Tetrasiklin dan kloramfenikol dengan menggunakan cakram 30 μg. Penggunaan kedua jenis antibiotika karena daya kerjanya yang luas dalam merusak ribosom dari bakteri patogen antara lain pada S. typhimurium. 20
Tabel 4. Daya hambat dadih dikaitkan dengan konsentrasi starter dan lama penyimpanan terhadap Salmonella typhimurium (mm) Waktu penyimpanan (hari)
% Starter 0
1
2
3
4
5
6
7
3
7.25
6.06
6.75
6.07
5.15
4.28
4.02
3.75
4
8.10
7.20
7.43
7.42
6.92
5.11
4.78
4.79
5
9.30
9.39
8.27
8.07
5.26
6.98
6.07
6.29
Untuk konsentrasi starter 3% diperoleh hari penyimpanan hari ke - 1 yang membentuk zona hambat tertinggi, sedangkan untuk konsentrasi 4%, zona hambat tertinggi juga diperoleh hari ke - 1. Konsentrasi starter yang paling paling baik digunakan dalam menghambat S. typhimurium, dadih dengan starter 5% dan waktu penyimpanan hari ke - 1 dengan zona hambatan sebesar terbentuk 9.39 mm, hal ini dimungkinkan dari total bakteri asam laktat yang terbentuk pada penambahan starter tertinggi. Kontrol Antibiotika Kloramfenikol dan Tetrasiklin
typhimurium
Tingkat kepekaan bakteri S. yang digunakan dalam
16 Kepekaan (mm)
Daya Hambat Susu Fermentasi Lactobacillus plantarum terhadap Salmonella typhimurium Hasil pengamatan, ditemukan adanya daya hambat susu fermentasi Lactobacillus plantarum terhadap pertumbuhan S. typhimurium.Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4. Secara statistik terlihat perlakuan konsentrasi starter yang ditambahkan dan lamanya penyimpanan yang dilakukan, tidak berpengaruh nyacta pada daya hambat susu fermentasi Lactobacillus plantarum terhadap S. typhimurium.
Sensitfitas S almonella typhimurium TerhadapAntibiotika
18 14 12 10 8 6 4 2 0 1
2
3 4 Waktu (hari) T etrasiklin
5
6
7
8
kloramfenikol
Gambar 3 . Sensitifitas Salmonella typhymurium terhadap Tetrasiklin dan Kloramfenikol
Tingkat kepekaan yang diperoleh terhadap kedua jenis antiotika ini terlihat pada Gambar 3 di atas. Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa bakteri yang digunakan dalam penelitian masih menunjukkan sensitivitas terhadap antibiotika. Terlihat kepekaan kloramfenikol yang digunakan dalam penelitian ini masih tinggi terhadap Salmonella typhymurium. Antibiotika kloramfenikol masih dipakai sebagai obat standar, dibandingkan antibiotik lainnya dalam kemampuannya membunuh kuman. Untuk strain kuman yang sensitif terhadap kloramfenikol, antibiotika ini memberikan efek klinis paling baik dibandingkan obat lain, tetapi kloramfenikol mempunyai efek toksik terhadap sumsum tulang (Karsinah et a.,l 1994). KESIMPULAN DAN SARAN Keimpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dadih susu sapi dapat menghambat laju pertumbuhan Salmonella typhymurium sebesar 9.39 mm. Kerusakan pada susu fermentasi Lactobacillus plantraum mulai terjadi pada hari ke 4, ditandai dengan meningkatnya kadar air dan tekstur dadih mulai pecah. Untuk tujuan
Kemampuan Susu Fermentasi Lactobacillus plantarum Menghambat Salmonella typhymurium Secara In Vitro (Zuraida Hanum, S.Pt, M.Si)
38
kesehatan dianjurkan menggunakan dadih pada konsentrasi 5% tanpa penyimpanan atau dadih dengan konsentrasi starter 3% dengan penyimpanan sampai dengan hari ke-3 dalam suhu ruang. Saran Perlu disosialisasikan kepada masyarakat bahwa susu fermentasi lactobacillus plantarum baik digunakan untuk menghambat laju pertumbuhan bakteri patogen spesies Salmonella typhymurium. DAFTAR PUSTAKA Cahyadi, N., Sirait, C.H., Panggabean, T., Putu, I.G., 1995. Peningkatan mutu olahan dadih. Kumpulan Hasil-hasil Penelitian APBN 1994/1995. Balai Penelitian Ternak Ciawi. Bogor: 6771.
editor. Lactic Acid Bacteria. New York: Marcell Dekker Inc. Lin, M.C., Moon, S.S., Doyle, M.P., Watter, K.Y., 2002. Inactivation of Escherichia coli O157H17, Salmonella enteritica Serotype enteritidis and Listeria monocytogenes on lettuce by hydrogen peroxide and lactic acid with mild heat. J Food Pro 65:1215-1220. Vinderola, C.G., Mocchiutti, P., Reinheimer, J.A., 2002. Interactions among lactic acid starter and probiotic bacteria used for fermented dairy products. J Dairy Sci 85: 721-729.
Elida, M., 2002. Profil bakteri asam laktat dari dadih yang difermentasi dalam berbagai jenis bambu dan potensinya sebagai probiotik [Tesis].Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Gabby, A.R., Matt, B., 2002. Documentation of Lactobacillus plantarum 299v. http://www.newhope.com/new.cfm [6 Okt 2004]. Kanbe, M., 1992. Traditional fermented milk of the world. Di dalam : Nakazawa Y, Hosono ADN, editor. Functions of Fermented Milk Challenges for the Health Science. London and New York : Elsevier Science. Karsinah, Lucky, H.M., Suharto, Mardiastuti, H.W., 1994. Batang Negatif Gram, Ed revisi. Di dalam: Staf Pengajar FKUI, Mikrobiologi Kedokteran, Jakarta: UIPr. Lee, Y.K., Wong, S.F., 1998. Stability of Lactic Acid Bacteria In Fermented Milk. Di dalam: Salminen, Wright,
Kemampuan Susu Fermentasi Lactobacillus plantarum Menghambat Salmonella typhymurium Secara In Vitro (Zuraida Hanum, S.Pt, M.Si)
39
Pengaruh Penggunaaan Tepung Buah Mengkudu terhadap Bobot Organ Pencernaan Ayam Pedaging (Effect of noni fruit powder on digestive organs weight of broiler chickens) Nurhayati1 Fakultas Peternakan, Universitas Jambi Kampus Pinang Masak KM 15 Mendalo Darat Jambi 36361 1
ABSTRACT The experiment aimed to determine the effect of using Noni fruit powder (NFP) up to 10 percent in the ration on digestive organs weight of male broiler chickens fed commercial feed. A hundred day old male broiler chickens were used in this experiment. Chickens were divided into five treatment groups; R0 (control, chickens fed commercial feed without offering NFP), R1 (the ration contained 2.5 % of NFP), R2 (the ration contained 5 % of NFP), R3 (the ration contained 7.5 % of NFP) and R4 (the ration contained 10 % of NFP). Each treatment group was replicated 4 times.
Chickens were housed in the colony cages where 5 chickens each. The ration and drinking water were offered ad libitum. Parameters measured were feed intake, slaughter weight, gizzard weight, liver weight, small intestine weight and length. The results showed that using Noni fruit powder in the ration up to 10 percent caused no significant different effect on all parameters. It concluded that Noni fruit powder can be mixed into the ration up to 10 percent without any adverse effect on the digestive organs.
Key words: broiler chicken, digestive organs, noni fruit powder
2010 Agripet : Vol (10) No. 2: 40-44 PENDAHULUAN7 Mengkudu atau Noni (Morinda citrifolia) merupakan tumbuhan asli Indonesia yang lebih dikenal sebagai tanaman pekarangan untuk kebutuhan pengobatan. Hal ini dikarenakan adanya dugaan bahwa mengkudu mengandung sejumlah zat aktif yang secara sinergi menghasilkan efek yang baik bagi kesehatan tubuh seperti anti bakteri dan anti kanker (Wang et al., 2002). Bangun dan Sarwono (2002) melaporkan bahwa zat anti bakteri yang terkandung didalam buah mengkudu antara lain antrakuinon, acubin dan alizarin. Zat zat ini dapat digunakan untuk mengatasi masalah pencernaan seperti radang saluran pencernaan. Selain mengandung zat aktif tersebut, buah mengkudu juga mengandung zat zat nutrisi dan energi yang dibutuhkan oleh tubuh seperti protein, xeronin dan precursor xeronin (proxeronin). Proxeronin akan diubah menjadi xeronin didalam usus oleh enzim proxeronase dan zat zat lain. Selanjutnya xeronin akan diserap oleh sel sel
tubuh guna mengaktifkan protein protein yang tidak aktif, mengatur struktur dan bentuk sel yang tidak aktif. Hasil Analisis Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi mendapatkan bahwa tepung buah mengkudu mengandung 87,10% bahan kering, 24,99 % serat kasar, 9,02% protein kasar dan 4382 kkal/kg energi Bruto. Serat kasar yang tinggi dalam ransum akan mempengaruhi kerja dari organ pencernaan terutama empedal dalam mencerna dan menyerap zat zat makanan seperti protein. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan intensitas kerja dari organ pencernaan dalam mencerna dan menyerap zat makanan sehingga bobot organ pun akan terpengaruh pula. Oleh karena itu, penggunaan tepung buah mengkudu dalam ransum harus dibatasi sehingga tidak pemberiannya kepada ternak tidak mengakibatkan efek yang negatif bagi ternak. Berdasarkan dugaan tersebut, maka telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh penggunaan tepung buah mengkudu dalam ransum terhadap bobot organ
Corresponding author:
[email protected]
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
40
pencernaan ayam pedaging jantan yang mengkonsumsi ransum komersil. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran seberapa banyak tepung buah mengkudu dapat digunakan dalam ransum dan berapa persen sebaiknya digunakan sebagai campuran pakan tanpa mengakibatkan pengaruh yang negatif terhadap organ pencernaan. MATERI DAN METODE Penelitian ini menggunakan seratus ekor ayam pedaging jantan strain Platinum MB 202 umur satu hari yang diproduksi oleh PT. Multi Breeder Adhirama Indonesia (Grup PT Jafpa Comfeed Indonesia) Bandar Lampung. Ayam dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan ransum dan ditempatkan kedalam 20 kandang koloni yang masing masing kandang berisi 5 ekor ayam. Ayam dipelihara selama empat minggu. Kandang yang digunakan berupa kandang koloni yang berukuran 100 50 50 cm sebanyak 20 unit. Lantai kandang terbuat dari kawat ram dan setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan, tempat air minum dan lampu pijar sebagai alat penerangan. Keseluruhan kandang ditempatkan dalam bangunan kandang berukuran 8 x 8 meter. Ransum yang digunakan dalam penelitian ini berupa ransum komersil yang berbentuk tepung dan tepung buah mengkudu. Tepung buah mengkudu diperoleh dari hasil pengolahan buah mengkudu matang yang berwarna putih kekuningan yang diolah hingga menjadi tepung. Ransum perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari R0 (kontrol, ransum komersil tanpa mengandung tepung buah mengkudu), R1 (97,5 % ransum komersil dan 2,5 % tepung buah mengkudu), R2 (95 % ransum komersil dan 5 % tepung buah mengkudu), R3 (92,5 % ransum komersil dan 7,5 % tepung buah mengkudu) dan R4 (90 % ransum komersil dan 10 % tepung buah mengkudu). Setiap perlakuan terdiri dari 4 ulangan. Kandungan zat makanan dalam ransum komersil dan tepung buah mengkudu hasil analisis Laboratorium Makanan Ternak
dan Laboratorium Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi tertera dalam Tabel 1. Tabel 1. Kandungan zat makanan dalam ransum komersil, tepung buah mengkudu dan ransum perlakuan (%) Zat Maka nan Bahan Kering Protein Kasar Lemak Kasar Serat Kasar Energi Bruto (EB, kkal/kg) Energi Metabol is (EM, kkal/kg)
Ransum Komers il
Tepung Buah Mengku du
Perlakuan R0
R1
R2
R3
R4
88,57
87,10
88,57
88,54
88,50
88,46
88,42
20,88
9,02
20,88
20,59
20,29
19,99
19,69
4,79
2,65
4,79
4,74
4,68
4,63
4,58
5,39
24,99
5,39
5,89
6,38
6,87
7,36
3943,00
4382,46
3943,00
3953,99
3964,97
3979,96
3986,95
2858,68
3117,28
2858,68
2866,63
2874,60
2882,58
2890,53
Keterangan : EM = 0,725
EB (NRC, 1994)
Selama penelitian, ransum dan air minum disediakan ad libitum. Penimbangan ransum yang diberikan dan sisa ransum dilakukan sekali seminggu. Setelah empat minggu pemeliharaan, 4 ekor ayam dari setiap perlakuan diambil secara acak untuk dipotong dan diambil serta diamati organ pencernaannya (ventrikulus, hati, dan usus halus). Parameter yang diamati adalah konsumsi ransum, bobot potong, bobot relatif ventrikulus, bobot relatif hati dan bobot relatif usus halus. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) sesuai dengan rancangan yang digunakan yaitu rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Jika terdapat pengaruh yang nyata maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1980). HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diamati terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh Perlakuan terhadap Parameter yang Diamati dalam Penelitian Parameter Konsumsi Ransum (g/ekor/hari) Bobot Potong (g/ekor) Bobot Ventrikulus (g/100 g bobot potong) Bobot Hati
R0
R1
68,43
68,71
1306,85
Perlakuan R2
Pr > F
R3
R4
68,70
69,07
65,99
0,3772
1297,88
1320,78
1267,35
1265,08
0,8290
1,59
1,79
1,60
1,65
1,56
0,5274
2,03
1,99
2,02
1,95
1,98
0,6012
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
41
(g/100 g bobot potong) Bobot Usus Halus (g/100 g bobot potong)
2,00
2,03
1,71
2,01
1,84
0,6750
Konsumsi Ransum Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa penggunaan tepung buah mengkudu dalam ransum sampai 10 % berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap konsumsi ransum. Hal ini menunjukkan bahwa palatabilitas ransum dan nafsu makan ternak tidak terpengaruh dengan adanya tepung buah mengkudu didalam ransum sehingga selera makan ayam tidak terganggu. Sejalan dengan hasil penelitian An et al. (2007) yang memberikan produk tanaman obat yaitu biji merica merah sampai 10% tidak nyata meningkatkan konsumsi ransum ayam broiler. Walaupun secara statistik konsumsi ransum belum berpengaruh, tetapi secara kuantitatif sudah terlihat adanya peningkatan konsumsi ransum sampai taraf penggunaan 7,5 % dan kemudian terlihat penurunan konsumsi ransum pada saat level penggunaan mencapai 10. Peningkatan konsumsi ransum sampai perlakuan R3 diduga karena zat zat makanan yang terkandung dalam ransum perlakuan R0 – R3 masih dalam kisaran kebutuhan ternak sesuai dengan anjuran NRC (1994). Sedangkan penurunan konsumsi saat penggunaan tepung buah mengkudu melebihi 7,5 % diduga karena semakin meningkatnya energi yang terkandung dalam ransum dengan meningkatnya penggunaan tepung buah mengkudu. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Wahju (1997) bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah kandungan energi ransum. Konsumsi akan meningkat bila kandungan energinya rendah begitu pula sebaliknya konsumsi akan menurun bila energi dalam ransum meningkat. Selain itu kandungan serat kasar yang juga meningkat mengakibatkan ayam cepat merasa kenyang sehingga terjadi penurunan konsumsi ransum karena serat kasar bersifat “bulky”. Serat kasar yang tinggi juga menyebabkan energi yang dibutuhkan untuk mencernanya menjadi lebih banyak. Hal lain yang diduga juga menyebabkan penurunan ransum yang
dikonsumsi adalah masih terdapatnya senyawa polifenol dalam tepung buah mengkudu. Menurut Mursito (2002) bahwa didalam daun dan buah mengkudu terkandung senyawa polifenol. Kadar polifenol akan semakin berkurang dengan semakin matangnya buah mengkudu. Ini ditandai dengan rasa sepatnya yang semakin berkurang jika mengkudu sudah semakin matang. Guler et al. (2006) melaporkan bahwa terjadi peningkatan konsumsi ransum walaupun tidak nyata pada ayam yang mengkonsumsi ransum dasar mengandung sampai 3% biji kumin hitam (Nigella sativa L). Bobot Potong Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa penggunaan tepung buah mengkudu sampai taraf 10 % dalam ransum berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap bobot potong ayam pedaging. Hal ini sejalan dengan konsumsi ransum yang juga berpengaruh tidak nyata. Sebagaimana diketahui bahwa bobot potong erat kaitannya dengan konsumsi ransum. Semakin tinggi konsumsi ransum maka zat makanan yang masuk kedalam tubuh juga akan semakin tinggi sehingga pertumbuhan ternak akan semakin baik yang pada akhirnya akan meningkatkan bobot potong yang dihasilkan. Begitu pula sebaliknya jika ransum yang dikonsumsi sedikit. Pada Tabel 2 terlihat bahwa adanya peningkatan bobot potong sampai perlakuan R2, kemudian saat level penggunaan ditingkatkan terlihat kecenderungan penurunan bobot potong walaupun masih dalam taraf tidak nyata. Hal ini sejalan dengan konsumsi ransum. Pada saat serat kasar yang ada dalam ransum melebihi kebutuhan ternak maka ternak akan membutuhkan lebih banyak energi untuk mencernanya sehingga energi yang dapat digunakan untuk mencerna protein dan zat makanan lainnya menjadi berkurang. Hal ini mengakibatkan protein tercerna yang dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk membentuk dan memperbaiki jaringan urat daging menjadi berkurang. Akibatnya bobot potong yang dihasilkan juga menjadi lebih rendah. Selain itu diduga dengan meningkatnya penggunaan tepung buah mengkudu mengakibatkan
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
42
senyawa proxeronin yang merupakan precursor xeronin tidak dapat diserap secara sempurna oleh sel sel tubuh sehingga peranannya dalam pengaktifan protein yang tidak aktif, pengaturan struktur dan bentuk sel yang tidak aktif tidak optimal. Hasil penelitian ini bertentangan dengan yang dilaporkan Buchanan et al. (2009) bahwa pada herba tanaman obat terdapat senyawa phytogenik, minyak esensial dan asam organic yang dapat meningkatkan performans ayam. Hal yang sama juga dilaporkan para peneliti sebelumnya yang memberikan berbagai jenis herba atau tanaman yang berkhasiat obat kepada ayam broiler (Onibi et al., 2009 dan Javed et.al., 2009). Mereka melaporkan bahwa terdapat terdapat pengaruh positif pemberian herbal feed additive terhadap bobot potong ayam broiler yang diduga karena suplementasi herbal atau tanaman yang berkhasiat obat dapat memperbaiki proses pencernaan zat makanan sehingga dapat memperbaiki pertambahan bobot badan ayam broiler dan meningkatkan bobot potong. Hernandez et al. (2004) bahwa minyak esensial yang terdapat dalam tanaman obat akan meningkatkan kecernaan pada ayam broiler. Uunganbayar et al. (2006) menyimpulkan bahwa teh hijau dapat dicampurkan dalam ransum ayam tanpa memberikan pengaruh negatif terhadap penampilan ayam. Onibi et al. (2009) bahkan melaporkan terjadinya peningkatan kualitas dan aroma daging yang dihasilkan dengan pemberian bawang putih ke dalam campuran ransum. Level terbaik untuk dicampurkan kedalam ransum adalah 5 g/kg ransum dengan bobot potong yang dihasilkan mencapai 2,1 kg pada umur 56 hari. Javed et al. (2009) melaporkan pemberian ekstrak beberapa jenis tanaman obat sebanyak 10 ml/L air minum dapat memperbaiki bobot akhir ayam broiler yang dihasilkan yaitu mencapai rata rata 1,4 kg pada umur 35 hari dengan persentase karkas rata rata 62%. Bobot Ventrikulus, Hati dan Usus Halus Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan tepung buah mengkudu sampai taraf 10 % dalam ransum tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi bobot ventrikulus, hati
dan usus halus. Hal ini diduga karena senyawa aktif yang terkandung dalam buah mengkudu yang bersifat sebagai anti mikroba, tidak mengandung racun atau bersifat toksik sehingga tidak mengakibatkan organ pencernaan bekerja lebih keras. Bobot ventrikulus yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar rata rata antara 1,56 – 1,79 % dari bobot badan (20 – 23 gram). Bobot hati yang dihasilkan yaitu rata rata 1,95 – 2,03 gram per 100 gram bobot badan atau masih dalam kisaran normal sedangkan bobot usus halus yang dihasilkan yaitu 1,71 – 2,03% dari bobot badan. Hal ini diduga karena bentuk dan tekstur ransum perlakuan yang sama yaitu berbentuk tepung sehingga kerja ventrikulus dalam menggiling dan menghaluskan makanan menjadi partikel partikel yang lebih halus relatif sama. Akibatnya saat makanan masuk masuk ke dalam usus halus sudah berbentuk pasta dan tidak menyebabkan usus halus bekerja keras untuk mencerna dan menyerap zat zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini juga terlihat dari tidak terdapat perbedaan ketebalan dinding usus halus ayam antar perlakuan. Tidak berbedanya ketebalan dinding usus halus menunjukkan bahwa tepung buah mengkudu tidak mengandung racun yang dapat membahayakan ternak ataupun senyawa yang dapat mengaktifkan mikroorganisme pathogen. Dinding usus halus yang tebal dapat terjadi jika adanya rangsangan racun atau mikroorganisme yang menghasilkan racun. Wang et al. (2002) menyatakan bahwa mengkudu mengandung senyawa yang bersifat sebagai anti bakteri, anti jamur dan anti kanker yang sangat berguna untuk kesehatan tubuh. Selanjutnya dinyatakan bahwa buah mengkudu dapat melindungi hati dari kerusakan dan mencegah terjadinya kanker hati. KESIMPULAN Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa tepung buah mengkudu dapat digunakan dalam ransum ayam pedaging sampai taraf 10 persen tanpa menimbulkan pengaruh negatif pada organ pencernaan.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
43
DAFTAR PUSTAKA An, B.K., Im, H.H. and Kang, C.W., 2007. Nutritional Values of Red Pepper Seed Oil Meal and Effects of Its Supplementation on Performances and Physiological Responses of Broiler Chicks. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 20 (6) : 971 – 975. Buchanan, N.P., Hott, J. M. Cutlip, S. E., Rack, A. L., Asamer, A. and Moritz, J. S., 2008. The Effects of a Natural Antibiotic Alternative and A Natural Growth Promoter Feed Additive on Broiler Performance and Carcass Quality. J. Appl. Poult. Res. 17 : 202 – 210. Bangun, A.P. dan Sarwono, B., 2002. Khasiat dan Manfaat Mengkudu. AgroMedia Pustaka, Jakarta . Guler, T., Dalkılıç, B., Ertas, O.N. and Çiftçi, M., 2006. The Effect of Dietary Black Cumin Seeds (Nigella sativa L) on the Performance of Broilers. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 19 (3) : 425 – 430. Hernandez, F., Madrid, J., Garcia, V., Orengo, J. and Megias, M.D., 2004. Influence of Two Plant Extract on Broiler Performance, Digestibility and Digestive Organ Size. Poult. Sci. 83: 169 – 174. Javed, M., F-R. Durrani, Hafeez, A., Khan, R. U. and Ahmad, I., 2009. Effect of aqueous extract of plant mixture on carcass quality of broiler chicks. ARPN Journal of Agricultural and Biological Science 4 (1) : 37 – 40. Mursito, B., 2002. Ramuan Tradisional untuk Penyakit Malaria. Penebar Swadaya, Jakarta. NRC (National Research Council), 1994. Nutrient Requirement of Poultry. National Academy of Science Washington. Onibi, G.E., Adebisi, O. E., Fajemisin, A. N., and Adetunji, A.V., 2009. Response of broiler chickens in terms of performance and meat quality to garlic (Allium sativum) supplementation. African Journal of Agricultural Research Vol. 4 (5) : 511 – 517.
Steel, R.G.D. dan Torrie, J.H., 1980. Prinsip dan Prosedur Statistik. Suatu Pendekatan Biometrik. Alih Bahasa: Sumantri, B. Gramedia, Jakarta. Uunganbayar, D., Shin, I.S. and Yang, C.J., 2006. Comparative Performance of Hens Fed Diets Containing Korean, Japanese and Chinese Green Tea. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 19 (8) : 1190 – 1196. Wahju, J., 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Wang, M.Y., West, B.J., Jensen, C.J., Nawicki, D., Su, C., Palu, A.K. and Anderson, G. 2002. Morinda citrifolia (Noni) : A literature review and research advances in Noni research. Acta Pharmacol. Sin. 23 (12): 1127 – 1141.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
44
Kajian Potensi Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak Ruminansia di Kabupaten Aceh Besar (Evaluation of the potency of agricultural by product as ruminant animal feed in aceh besar regency) 1
Samadi1, Yunasri Usman1 dan Mira Delima1 Fakultas Pertanian, Jurusan Peternakan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
ABSTRCT A research to evaluate the potency of agricultural by product as animal feed was conducted in Aceh Besar Regency from June to December 2009. The purpose of this research is to evaluate the availability of local feed from agricultural by product including its production and quality, to calculate animal capacity of ruminant animals by using animal unit (AU) based the production and quality of agricultural by product. This research was carried out by survey method. Data consist of primary and secondary data to calculate the production and quality of agricultural by products in Aceh Besar Regency. The production of agricultural by products was calculated based on dry matter, crude protein and total digestible nutrient. Animal capacity which is calculated based on agricultural by products with the following measurement ; 1 animal unit consumes dry matter with the average of 6,25
kg/day (2.282,25 kg/year), crude protein with average of 0,06 kg/day (240,9 kg/year) and total digestible nutrient with the average of 4,3 kg/day (1.569,5 kg/year). Based on the calculation was found that total of dray matter, crude protein and total digestible nutrient from agricultural by product in Aceh Besar regency was 197.510 ton, 9443,8 ton and 89.167,7 ton respectively. The capacity of ruminant animals fed from agricultural by product in Aceh Besar regency was 87.061 AU, 39.202 AU, and 57.125 AU for dry matter, crude protein and total digestible nutrient respectively. It can be concluded that Aceh Besar regency has a big potency to develop animal production by using agricultural by products. Therefore, agricultural by products in Aceh Besar regency should be used optimally.
Key words: agricultural by products, animal unit, and animal capacity
2010 Agripet : Vol (10) No. 2: 45-53 PENDAHULUAN8 Latar Belakang Ternak sebagai salah satu komponen pemenuhan kebutuhan pangan memegang peranan penting dalam kaitannya sebagai sumber protein. Kolaborasi berbagai institusi pangan dunia untuk menjadikan ternak sebagai komoditi penting terlihat dari misi yang dicanangkan “Livestock to 2020, the next food revolution”. Lengkapnya kandungan asamasam amino dalam protein hewani dibandingkan dengan protein nabati mengakibatkan produk hewani seperti daging, susu dan telur selayaknya dikonsumsi guna tercapainya pertumbuhan dan perkembangan optimal.
Corresponding author:
[email protected]
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) beberapa dekade yang lalu merupakan salah satu sentra peternakan di bagian utara Sumatera. Namun dalam beberapa tahun belakangan ini jumlah populasi dan produksi ternak di provinsi NAD menurun dan untuk memenuhi konsumsi daging di NAD harus didatangkan dari Sumatera Utara dan provinsi lainnya seperti Lampung. Menurut Dinas Peternakan Provinsi NAD (2008) jumlah populasi ternak yang didatangkan ke provinsi NAD setiap tahunnya adalah 13.588 ekor sapi dan 76 ekor kerbau. Untuk itu perlu suatu rancangan pemikiran bagaimana dengan berbagai sumber daya alam yang melimpah di Provinsi NAD bisa dimanfaatkan untuk pengembangan kawasan peternakan. Sehingga ketergantungan ternak dari daerah lain bisa diminimalisir.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
45
Ketersediaan lahan sebagai sumber pakan ternak semakin berkurang akibat digunakan lahan terbuka untuk perumahan dan kecendrungan dari petani untuk menanam lahan dengan tanaman pertanian yang dapat bermanfaat langsung untuk kebutuhan manusia. Maka pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan alternatif adalah salah satu solusi untuk menanggulagi kekurangan pakan ternak ruminansia. Dengan diversifikasi pemanfaatan produk samping (by-product) yang sering dianggap sebagai limbah (waste) dari limbah pertanian dan perkebunan menjadi pakan dapat mendorong perkembangan agribisnis ternak ruminansia secara integratif dalam suatu sistem produksi terpadu dengan pola pertanian dan perkebunan melalui daur ulang biomas yang ramah lingkungan atau dikenal “zero waste production system” (Wahyono et al., 2003). Sampai saat ini belum ada informasi tentang potensi limbah pertanian dan industri pertanian disetiap kawasan di provinsi NAD dikaitkan daya tampung ternak ruminansia. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian tentang potensi limbah pertanian di salah satu kawasan NAD dengan mengambil Kabupaten Aceh Besar sebagai sample kegiatan. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Aceh Besar selama enam bulan (Juni-Desember 2009), sementara analisa kualitas pakan ternak dilakukan di Laboratorium Makanan Ternak Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini berupa data primer (survey ke lapangan), Forum Group Diskusi (FGD) dan data sekunder yang diperoleh dari instansi atau dinas-dinas terkait (Dinas Perternakan, Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Perkebunan, Badan Perencana Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik). Data pendukung lainnya berkaitan dengan
penelitian ini diperoleh dari laporan studi atau kajian dan berbagai sumber pustaka lainnya. Menurut Dirjen Peternakan dan Fakultas Peternakan UGM, 1982 o Padi, kacang kedelai, kacang tanah dan ketela rambat Dilakukan pengubinan dengan 2.5 x 2.5 m2 dengan 3 kali ulangan o Jagung Dilakukan pengubinan 5 x 5 m2 dengan 3 kali ualangan Analisis Data a. Keragaan, Populasi, Satuan Ternak dan Kepadatan Ternak Keragaan ternak ruminansia di Kabupaten Aceh Besar dihitung dalam lima tahun terakhir (2005-2009) berdasarkan laju populasi ternak yaitu jumlah populasi ternak, jumlah pemotongan ternak, produksi ternak (daging) dari masing-masing ternak ruminansia. Nilai satuan ternak dari masing-masing ternak ruminansia dihitung dengan cara mengalikan jumlah populasi ternak masingmasing ternak ruminansia dengan nilai standar satuan ternak. Kepadatan ternak dihitung menurut kepadatan ekonomi, usaha tani dan wilayah seperti yang dikemukakan oleh Ditjen Peternakan dan Balitnak (1995) bahwa terdapat tiga tipe kepadatan ternak yang dibedakan menurut kepadatan ekonomi, kepadatan usaha tani dan kepadatan wilayah 1. Kepadatan ekonomi ternak diukur berdasarkan jumlah populasi (ST) yang terdapat dalam 1000 penduduk. Dengan cara ini dapat dikualifikasikan ternak ruminansia di suatu daerah berdasarkan kepadatan ekonomi yaitu sangat padat >300, padat>100-300, sedang 50-100, jarang <50. 2. Kepadatan usaha tani dinilai berdasarkan jumlah populasi (ST) per hektar lahan usaha tani (lahan sawah dan kebun). Dengan cara ini dapat dikualifikasikan ternak ruminansia di suatu daerah berdasarkan kepadatan usaha tani adalah >2, padat >1-2, sedang 0,25-1,0 dan jarang <0,25.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
46
3. Kepadatan berdasarkan wilayah yaitu jumlah populasi (ST) per km2. Dengan cara ini dapat dikualifikasikan ternak ruminansia di suatu daerah berdasarkan b. Survey Limbah Pertanian dan Kualitas Limbah Pertanian Survey limbah pernatian dan industri pertanian bertujuan untuk mengambil sampel dari masing-masing limbah yang akan digunakan dalam penelitian ini. Produksi limbah pertanian diketahui dengan mengambil ubinan dari setiap komoditi yang akan diteliti. Untuk mengetahui kualitas masing-masing limbah dialukan analisa proksimat yang meliputi analisa bahan kering, lemak kasar, serat kasar, protein kasar, bahan ekstrak tampa nitrigen dan abu. Analisa bahan pakan dilakukan di Laboratorim Makanan Ternak Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Prosedur analisa berdasarkan AOAC (1990). c. Produksi Limbah Pertanian dan Daya Dukung dari Limbah Pertanian Produksi limbah pertanian dihitung berdasarkan produksi Bahan Kering (BK), produksi Protein Kasar (PK) dan produksi Total Degestible Nutrient (TDN) terhadap luas panen masing-masing limbah. TDN dihitung dengan menggunakan persamaan sumatif Haris et al. (1972) berdasarkan kandungan proximat masing-masing tanaman pangan sebagai berikut: %TDN = 92,464-3,338(SK)-6,945(LK)-0,726(BETN)+ 1,115(PK) +0,031(SK)2-0,031(SK)20,133(LK)2+0,036(SK)(BETN) +0,207(LK)(BETN)+0,100(LK)(PK)0,022(LK)2(PK)
Dimana: SK (serat kasar): LK (lemak kasar): BETN (Bahan Ekstrak tanpa Nitrogen): PK (Protein Kasar). Sementara perhitungan produksi total limbah adalah sebagai berikut: 1. Produksi Total BK(a,b,c,d,e,f) = Prod. BKpanen(a,b,c,d,e,f) (ha) (a,b,c,d,e,f) (ton/ha) x luas
2. Produksi PK(a,b,c,d,e,f) = Prod Total BK(a,b,c,d,e,f) (ton) x kandungan PK(a,b,c,d,e,f) 3. Produksi TND(a,b,c,d,e,f) = Prod Total BK(a,b,c,d,e,f) (ton) x TND(a,b,c,d,e,f) Keterangan : a b c d e f
: Jerami Jagung, : Jerami kacang kedelai , : Jerami kacang tanah : Jerami padi, : Jerami Kacang Hijau : Pucuk Ubi Jalar
Daya dukung pakan dari limbah pertanian (DDLP) dihitung dengan asumsi bahwa satu satuan ternak (1 ST) ruminansia rata-rata membuthkan bahan kering sebanyak 6,25 Kg/hari atau 2.282,25 kg/tahun (NRC,1985), kebutuhan protein kasar 0,06kg/hari atau 240,9 kg/tahun dan kebutuhan TDN sebesar 4,3 kg/hari atau 1.569,5 kg/tahun (Dirjen Peternakan dan Fakultas Peternakan UGM,1982). Perhitungan DDLP dengan rumus sebagai berikut : 1.
DDLP Berdasarkan BK(a,b,c,d,e,f,) =
Produksi BK(a,b,c,d,e,f,) Kebutuhan BK 1 ST/tahun
2.
DDLP Berdasarkan PK(a,b,c,d,e,f,) =
Produksi PK(a,b,c,d,e,f,) Kebutuhan PK 1 ST/tahun
3.
DDLP Berdasarkan TND(a,b,c,d,e,f,) =
Produksi TND(a,b,c,d,e,f, Kebutuhan TND 1 ST/tahun
Keterangan : a : Jerami jagung, b: Jerami kacang kedelai, c. Jerami kacang tanah, d. Jerami padi, e. Jerami kacang hijau, f. Jerami ubi jalar.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Gambaran Umum Kabupaten Aceh Besar Letak Geographis dan Luas Wilayah Kabupaten Aceh Besar terletak pada garis 5,2°. 53’- 5,8° .21’ Lintang Utara dan 95°.20’ – 95,8°. 21’ Bujur Timur Daerah tingkat II Kabupaten Aceh Besar dengan luas wilayah 2.974,12 km² (297.412 ha). Kabupaten Aceh Besar memiliki 23 Kecamatan, 68 Kemukiman, 5 Kelurahan, Bayaknya Gampong/ Desa 599 (Bappeda Aceh Besar, 2008). Jumlah dan luas per kecamatan di Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat pada Tabel 1
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
47
Tabel 1. Luas wilayah (km2) berdasarkan kecamtan di Kabupaten Aceh Besar No
Kecamatan
Luas Wilayah (km²)
Persentase (%)
Penduduk Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Aceh Besar Uraian
1
Lhong
125.00
4.2
2
Lhoknga
98.95
3.3
3
Leupung
76.00
2.6
4
Indrapuri
298.75
10.0
5
Kuta Cot Glie
231.75
7.8
6
Seulimeum
487.26
16.4
7
Kota Jantho
274.04
9.2
8
Lembah Selawah
307.85
10.4
9
Mesjid Raya
110.38
3.7
10
Darussalam
77.66
2.6
11
Baitussalam
36.52
1.2
12
Kuta Baro
83.81
2.8
13
Montasik
94.10
3.2
14
Ingin Jaya
73.68
2.5
15
Krueng Barona Jaya
9.06
0.3
16
Sukamakmur
98.51
3.3
17
Kuta Malaka
43.54
1.5
18
Simpang Tiga
54.95
1.8
19
Darul Imarah
32.95
1.1
20
Darul Kamal
16.20
0.5
21
Peukan Bada
31.90
1.1
22
Pulo Aceh
240.75
8.1
23
Blang Bintang
70.51
2.4
2974.12
100
Sumber: Badan Perencanaan Daerah Kab. Aceh Basar 2008
Dari tabel di atas terlihat bahwa dari 23 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Aceh Besar, kecamatan Seulimum memiliki wilayah terluas sekitar 16,4% dari keseluruhan total luas wilayah di Kabupaten Aceh Besar, sementara Kecamatan Krueng Barona Jaya memiliki luas wilayah terendah sekitar 9.06 km2 (0.3 % dari total keseluruhan wilayah di Kabipaten Aceh Besar) Adapun batas – batas daerah Kabupaten Aceh Besar adalah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatas dengan Selat Malaka dan Kota Banda Aceh Sebelah Selatan dengan Kabupaten Aceh Jaya Sebelah Timur dengan Kabupaten Pidie Sebelah Barat dengan Samudra Indonesia
Jumlah Jiwa
%
Laki-laki
157.962
51,10
Perempuan
151.124
48,90
309.086
100
Penduduk berdasarkan jenis kelamin
Total Rata-rata kepadatan penduduk (jiwa/km2) Sumber: BPS Provinsi NAD 2009
103,92
Berdasarkan data BPS NAD (2009) jumlah penduduk di Kabupaten Aceh Besar adalah 309.086 Jiwa dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 51,10% (157.926 jiwa) : 48,90 % (151.124 jiwa). Rata-rata kepadatan penduduk di Kab. Bireuen adalah 103,92 jiwa/ km2. 2. Karakteristik Ternak Ruminansia di Kabupaten Aceh Besar Keragaan Ternak Ruminansia Ternak Ruminansia di Kabupaten Besar umumnya bangsa sapi Aceh, tetapi mulai diminati sapi bali dan persilangan. Untuk meningkatkan populasi pemerintah kabupaten melalui dinas peternakan sebangai pelaksana progam memperbaiki mutu genetik melalui inseminasi buatan (IB). Perkembangan ternak ruminansia selama kurun waktu empat tahun 2005-2009 terjadi peningkatan dari 79.824 ekor tahun 2005 menjadi 93.348 ekor. Peningkatan yang cukup signifikan adalah terjadi pada ternak sapi dan kambing. Hal ini berkaitan dengan banyaknya program pemerintah berkaitan dengan swasembada daging 2010 dan juga berbagai bantuan dari lembaga donor sebagai bantuan dari tsunami. Bantuan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat juga lebih banyak terfokus dibidang peternakan. Ini juga merupakan salah satu faktor meningkatanya populasi ternak ruminansia di Aceh Besar. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai program pemerintah terutama breeding program ikut berperan dalam peningkatan produksi ternak ruminansia di Aceh Besar.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
48
Perkembangan populasi ternak ruminansia di Kab. Aceh Besar dapat dilihat pada Tabel. 4
ekor (70.361 ST). Populasi ternak terbesar di Kabupaten Aceh Besar adalah sapi (43,74%), diikuti dengan kambing dan kerbau dengan jumlah 49.372 ekor (24,73%) dan 36.322 ekor (18,19%). Sementara populasi ternak domba 26.612 ekor (13,33%) (Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Besar, 2009). Beberapa kecamatan di Kabupaten Aceh Besar memiliki penyebaran ternak yang tinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Kecamatan Sukamakmur, Seulimun, Kuta Cot Glie dan Kuta Baro memiliki satuan ternak terbesar dengan jumlah 8719 ST, 7816 ST, 5998 ST dan 5586 ST. Sementara Kecamatan Leupung, Pulo Aceh, Lhoong dan Lhoknga memilki satuan ternak terkecil dengan jumlah 288 ST, 383 ST, 595 ST dan 595 ST. Populasi ternak sapi terbesar terdapat di kecamatan Baitussalam (4702 ST) dan terendah di kecamatan Leupung (14 ST).
Tabel 4. Perkembangan populasi, pemotongan ternak dan produksi ternak ruminansia di Aceh Besar selama 4 tahun terakhir (2005-2008) Tahun
Uraian 2005
2006
2007
2008
Populasi ternak/ekor Sapi
17,660
19,975
18,534
25,871
Kerbau
23,298
21,960
22,338
22,887
Kambing 20,611 23,582 24,057 29,606 Domba 18,255 18,529 18,909 19,984 Sumber: Dinas Peternakan Kab. Aceh Besar (2009)
Jumlah Populasi Ternak Ruminansia Populasi ternak ruminansia per kecamatan di Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat di Tabel. 5 Jumlah populasi ternak ruminansia di Kabupaten Aceh Besar 199.633
Tabel 5. Populasi Ternak Ruminansia di Kabupaten Aceh Besar Tahun 2008 No
Populasi Ternak (Ekor)
Kecamatan Sapi
Populasi Ternak (ST) Kambing
Domba
1
Lhoong
550
526
197
26
275
302
16
2
595
2
Lhoknga
812
274
350
47
406
158
28
3
595
3
Leupung
27
457
127
20
14
263
10
1
288
4
Indrapuri
5689
931
2643
934
2845
535
211
65
3657
5
Kuta Cot Glie
7217
3185
6582
446
3609
1831
527
31
5998
6
Seulimum
5157
6900
15112
873
2579
3968
1209
61
7816
7
Kota Jantho
2701
1878
1582
594
1351
1080
127
42
2598
8
Lembah Selawah
5233
1104
8
1569
2617
635
1
110
3362
9
Mesjid Raya
1509
478
1899
116
755
275
152
8
1189
10
Darussalam
6733
1730
129
257
3367
995
10
18
4390
11
Baitussalam
9403
239
326
189
4702
137
26
13
4878
12
Kuta Baro
7511
1724
4681
6635
3756
991
374
464
5586
13
Montasik
3060
1193
1404
828
1530
686
112
58
2386
14
8556
668
4713
7076
4278
384
377
495
5534
15
Ingin Jaya Krueng Barona Jaya
1514
323
4
1649
757
186
0
115
1059
16
Sukamakmur
9015
6548
4227
1549
4508
3765
338
108
8719
17
Kuta Malaka
1467
1955
1644
1913
734
1124
132
134
2123
18
Simpang Tiga
2291
1105
1526
176
1146
635
122
12
1915
19
Darul Imarah
1613
661
1631
321
807
380
130
22
1340
20
Darul Kamal
6627
3334
4
1368
3314
1917
0
96
5327
21
Peukan Bada
495
583
513
13
248
335
41
1
625
22
Pulo Aceh Blang Bintang
147
526
71
13
74
302
6
1
383
0
0
0
0
0
0
0
0
0
87,327
36,322
49,372
26,612
43,664
20,885
3,950
1,863
70,361
23
TOTAL
Kerbau
Kambing
Domba
Sapi
Kerbau
Total (ST)
Sumber : Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Besar 2009.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
49
Dibangdingkan dengan ternak berbagai jenis ternak ruminansia di Kabupaten Aceh Besar, populasi ternak domba adalah yang terendah dengan jumlah 26.612 ekor. Kecamatan Ingin Jaya memiliki satuan ternak domba cukup signifikan dibandingkan dengan kecamatan lainnya dengan jumlah 495 ST. Untuk ternak ruminansia kecil, ternak kambing lebih dimanati dibandingkan dengan domba dengan perbandingan 3950 ST : 1863 ST. Penyebaran populasi ternak ruminansia kecil terbesar dalah di kecamatan Kuta Baro dan Ingin Jawa dengan jumlah satuan ternak kambing dan domba 374 ST : 456 ST dan 377 ST dan 495 ST. Kepadatatan Ternak Ruminansia Menurut Ditjen Peternakan dan Balitnak (1995) kepadatan ternak ruminansia dikatagorikan kedalam 3 bagian yaitu kepadatan berdasarkan ekonomi, kepadatan usaha tani dan kepadatan wilayah. Tabel. 8 memperlihatkan kepadatan ternak di Kabupaten Aceh Besar. Berdasarkan Ditjen Peternakan dan Balitnak (1995) kepadatan ekonomi ternak diukur jumlah populasi ternak ruminansia (ST) di dalam suatu wilayah dibagi dengan 1000 penduduk. Apabila kepadatan ternak >300 ST per 1000 penduduk termasuk wilayah yang sangat padat, 100-300 ST per 1000 penduduk padat, 50-100 ST per 1000 penduduk sedang dan < 50 ST per 1000 penduduk adalah jarang. Dari hasil kalkulasi berdasarkan kepadatan ekonomi secara keseluruhan di Kabupaten Aceh Besar dikatagorikan ke dalam padat 265 ST per 1000 penduduk. Beberapa kecamatan di Kabupaten Aceh Besar terdapat kepadatan ternak sangat tinggi seperti kecamatan Darul Kamal, Suka Makmur dan Kuta Cot Gliedengan kepadatan ternak 825 ST, 661 ST dan 518 ST. Beberapa kecamatan di Aceh Besar seperti Darul Imaran dan Lhoknga tergolong kepada jarang apabila ditinjau dari kepadatan ekonomi dengan jumlah satuan ternak 32 ST/1000 jiwa dan 45 ST/1000 jiwa. Syamsu (2006) menyatakan di wilayah ternak dengan kepadatan yang sangat tinggi terjadinya kompetisi dalam penyediaan
pakan, terutama pakan dalam bentuk kosentrat yang berkompetisi dengan ternak monogastrik dan manusia, hal ini mengakibatkan harga pakan menjadi lebih mahal. Kepadatan berdasarkan usaha tani diukur dengan membandingkan antara ternak dengan luas usaha tani dalam hal ini termasuk kebun dan sawah. Adapun kriteria yang digunakan adalah sangat padat >2, padat 1-2, sedang 0,25-1,0 dan jarang <0,25. Secara keseluruhan Kabupaten Aceh Besar digolongkan ke dalam wilayah yang sangat padat 5,78 ST per ha luas usaha tani. Tingginya satuan usaha tani di Kabupaten Aceh Besar, karena beberapa wilayah mempunyai angka usaha tani yang cukup besar yaitu kecamatan Mesjid Raya dan Baitussalam dengan nilai 56,6 ST/ha dan 24,4 ST/ha. Beberapa kecamatan di Aceh Besar juga mempunyai kepadatan yang rendah di tinjau dari usaha tani seperti kecamatan Pulo Aceh, Ingin Jaya dan Lhoong dengan kepadatan hanya 0,01 ST/ha, 1,0 ST/ha. Kecamatan dengan kepadatan yang rendah sangat berpotensi untuk dikembangkan wilayah peternakan karena ketersediaan lahan yang masih luas. Seperti diketahui bahwa produk dari limbah pertanian dapat digunakan sebagai pakan ternak ruminansia, oleh karena itu perimbangan antara lahan usaha tani dengan kapasitas ternak disuatu wilayah perlu diperhatikan, sehingga limbah pertanian dapat digunakan secara maksimal. Berdasarkan luas wilayah kepadatan ternak dibagi berdasarkan jumlah populasi ternka (ST) per luas wilayah. Wilayah dengan katagori sangat padat memiliki angka > 50 ST per km2, padat >20-50 ST per km2 , sedang 1020 padat dan jarang < 10 ST per km2. Kabupaten Aceh Besar termasuk kedalam katagori sangat padat dengan angka 51,67 ST per km2. Beberapa kecamatan memiliki populasi ternak sangat padat berdasarkan luas wilayah yaitu kecamatan Darul Kamal, Baitussalam dan Sukamakmur. Beberapa wilayah memiliki kepadatan yang jarang seperti Pulo Aceh Leupung dan Lhoong. Pulo Aceh memiliki kepadatan ternak yang cukup jarang 1,6 ST per ha Sehingga wilayah ini masih berpotensi untuk dikembangkan populasi ternaknya. Kepadatan ternak
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
50
berdasarkan kepadatan wilayah dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kepadatan ternak ruminasia per kecamatan di Kabupaten Aceh Besar yang dibagi berdasarkan kepadatan ekonomi, kepadata usaha tani dan wilayah Jenis Kepadatan Ternak N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Kecamatan Lhoong Lhoknga Leupung Indrapuri Kuta Cot Glie Seulimum Kota Jantho Lembah Selawah Mesjid Raya Darussalam Baitussalam Kuta Baro Montasik Ingin Jaya Krueng Barona Jaya Sukamakmur Kuta Malaka Simpang Tiga Darul Imarah Darul Kamal Peukan Bada Pulo Aceh Blang Bintang Rata – Rata
Ekonomi Ternak ( ST/1000 Jiwa )
Status
Usaha Tani (ST/Ha)
Status
Wilayah (ST/Km2)
Status
65 46 85 211 518 390 322
2 1 2 3 4 4 4
1,0 1,8 3,8 1,6 3,7 1,9 7,2
3 3 4 3 4 3 4
4,8 6,0 3,8 12,2 25,9 16,0 9,5
1 1 1 2 3 2 1
390 87 213 386 279 135 228
4 2 3 4 3 3 3
3,2 56,6 1,6 24,4 1,2 0,4 1,0
4 4 3 4 3 2 3
10,9 10,8 56,5 133,6 66,6 25,4 75,1
2 2 4 4 4 3 4
90 661 391 362 32 825 55 80 na 265
2 4 4 4 1 4 2 2 na 3
1,7 2,4 1,8 0,9 1,4 5,0 4,4 0,01 na 5,78
3 4 3 2 3 4 4 1 na 4
116,8 88,5 48,8 34,9 40,7 328,8 19,6 1,6 na 51,67
4 4 3 3 3 4 2 1 na 4
Keterangan: Kepadatan Ekonomi ternak sangat padat >300(4), padat>100-300(3) sedang 50-100(2), jarang <50(1) Usaha tani adalah Sangat Padat >2(4), padat >1-2 (3), sedang 0,25-1,0 (2) dan jarang <0,25 (1). Kepadatan wilayah yaitu sangat padat>50 (4), padat>20-50(3), sedang >10-20(2) dan jarang <10(1).
3. Daya Dukung Limbah Pertanian Sebagai Bahan Pakan Ternak Ruminansia Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak ruminansia telah dikenal luas, hal ini dikarenakan kemampuan ternak ruminansia mengkonversi bahan pakan yang mengandung serat kasar menjadi produk-produk yang bermanfaat untuk pertumbuhan dan reproduksi ternak ruminansia. Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang tersedia melimpah sepanjang tahun, namun kualitas jerami padi adalah sangat rendah karena tingginya kadar serat kasar. Shanahan et al. (2004) mengatakan bahwa hasil dari limbah pertanian mempunyai keterbatasan dalam penggunaannya sebagai pakan ternak karena rendahnya kualitas yang dimiliki oleh pakan ternak tersebut.
Tabel
7.
Kapasitas Daya Dukung Ternak Ruminansia di Kabupaten Aceh Besar Berdasarkan Produksi Limbah Pertanian Daya Dukung Ternak (ST)
No
Kecamatan BK
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Lhoong Lhoknga Leupung Indrapuri Kuta Cot Glie Seulimum Kota Jantho Lembah Selawah Mesjid Raya Darussalam Baitussalam Kuta Baro Montasik Ingin Jaya Krueng Barona Jaya Sukamakmur Kuta Malaka Simpang Tiga Darul Imarah Darul Kamal Peukan Bada Pulo Aceh Blang Bintang Jumlah
PK
TDN
1.244,23 648,61 138,25 5.174,08 3.542,51 9.052,74 670,42 2.079,78 29,44 6.022,02 35,26 10.733,02 14.302,10 12.034,78
587 350 122 2.279 1.634 3.991 422 1.188 22 2.653 40 4.699 6.254 5.356
817,59 442,31 110,23 3.364,51 2.338,11 5.887,09 497,43 1.489,38 23,71 3.909,44 27,79 6.952,15 9.255,62 7.916,95
1.342,48 7.944,22 2.579,81 4.573,18 2.105,40 2.387,74 315,81 109,9 na
588 3.472 1.127 2.017 1.019 1.158 145 79 na
869,91 5.138,79 1.668,78 2.976,12 1.488,80 1.663,68 206,19 80,7 na 57,125
87.061
39.202
Seperti yang telah disebut di atas bahwa kemapuan ternak ruminansia memanfaatkan bahan pakan yang mengandung serat kasar maka potensi dari limbah pertanian tersebut perlu dikaji potensinya. Limbah pertanian sebagai pakan ternak bisa dikalkulasi berdasarkan kebutuhan bahan kering (BK), protein kasar (PK) dan total digestible nutrient (TDN). Kebutuhan ternak ruminansia akan pakan dapat dihitung berdasarkan beberapa acuan yang telah dikenala luas. NRC (1984) mengatakan bahwa kebutuhan pakan ternak ruminansia (1 ST) akan bahan kering 6,25 kg/ha. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ditjen Peternakan dan Fapet UGM (1982) mengkalkulasi bahwa kebutuhan pakan ternak ruminansia (1 ST) untuk protein adalah 0,66 kg/ha dan untuk TDN adalah 4,3 kg/ha. Berdasarkan kebutuhan pakan ternak ruminansia tersebut dapat dikalkulasikan kapasitas daya tampung ternak berdasarkan ketersediaan limbah pertanian di suatu wilayah Tabel 7. memperlihatkan daya tampung ternak ruminansia (ST) per kecamatan di Kab. Bireuen yang dihitung berdasarkan bahan kering, protein kasar dan TDN.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
51
Kapasitas daya dukung ternak ruminansia dari limbah pertanian di Kabupaten Aceh Besar adalah 87.061 ST berdasarkan bahan kering, 39.202 ST berdasarkan protein kasar dan 57.125 ST berdasarkan TDN. Melihat tingginya satuan ternak yang dapat ditampung dari limbah pertanian ini, perlu adanya suatu usaha yang untuk memamfaatkan potensi yang ada secara optimal. Berdasarkan ketersediaan bahan kering kecamatan Montasik adalah tertinggi yang dapat menampung satuan ternak 14.302 ST, hal ini dikarenakan luasnya lahan persawahan di daerah tersebut. Sementara kecamatan Mesjid Raya adalah yang terendah daya tampung ternak yang dikalkulasikan berdasarkan bahan kering dengan jumlah ternak yang dapat ditampung 29 ST. Sementara daya tampung ternak ruminansia yang dihitung berdasarkan protein kasar yang tertinggi adalah di kecamatan Montasik dengan daya tampung ternak 6254 ST, tingginya daya tampung berdasarkan protein kasar di kecamatan Montasik karena luasnya usaha tani yang menghasilkan limbah pertanian, terutama dari hasil sawah. Kecamatan Mesjid Raya hanya mampu menampung 22 ST apabila dihitung berdasarkan kebutuhan protein kasar. Sementara apabila dihitung berdasarkan TDN, kecamatan Montasik dapat menampung jumlah unit ternak terbanyak (9.255 ST) diikuti oleh kecamtan Kuta Baro (6952 ST) dan yang terendah adalah kecamatan Mesjid Raya (23 ST). Kualitas dari limbah pertanian adalah sangat rendah, agar limbah pertanian tersebut dapat digunakan secara optimal oleh ternak perlu adanya usaha-usaha untuk meningkatkan daya cerna dari limbah tersebut. Berbagai metode dapat diterapkan untuk menigkatkan limbah pertanian tersebut baik secara fisik, kimia maupun biologis. Teknologi pakan yang murah dan tepat guna seperti amoniasi jerami padi, penambahan urea molases block pada pemberian pakan yang mengandung kadar serat kasar tinggi perlu diterapkan. KESIMPULAN limbah
Dari hasil penelitian kajian potensi pertanian sebagai pakan ternak
ruminansia di Kabupaten Aceh Besar dapat diambil kesimpulan bahwa kepadatan ternak di Kabupaten Aceh Besar tergolong ke dalam padat baik ditinjau dari kepadatan ekonomi ternak (265 ST / 1000 jiwa), usaha tani (5,78 ST/ha) dan wilayah (51,67 ST/ha). Sementara, berdasarkan hasil kalkulasi kebutuhan ternak ruminansia per satuan ternak, kapasitas daya dukung ternak ruminansia dari limbah pertanian di Kabupaten Aceh Besar adalah 87.061 ST dihitung berdasarkan bahan kering, 39.202 ST dihitung berdasarkan protein kasar dan 57.125 ST dihitung berdasarkan TDN. DAFTAR PUSTAKA AOAC Association of Official Analytica Chemists. 1990.Official Methods of Analysis. Association of Official analytical Chemists,Washinton DC. Bappeda Aceh Besar, 2008. Wilayah Aceh Besar, Jantho. BPS NAD, 2008. Aceh Dalam Angka, Badan Pusat Statistik, Banda Aceh. Bundy, C.E and Diggins, R.V., 1961. Livestock and Poultry Prodaction – hall, Inc, Englewood Cillf ,New York. Didiek, E. W dan Hardianto, R., (2004), Pemanfaatan sumberdaya pakan lokal untuk Pengembangan Usaha Sapi Potong. Loka Penelitian Sapi Potong, Grati, Pasuruan 67184 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. Dinas Peternakan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. Program Strategis pembangunan peternakan, Banda Aceh. Dinas Peternakan Aceh Besar, 2009. Data Statistik Peternakan Aceh Besar. Jantho. Ditjen Peternakan dan Fapet UGM. 1982. Laporan survey inventarisasi limbah pertanian. Direktorat Jenderal Peternakan-Fak.Peternakan UGM, Jakarta Ditjen Peternakan dan Balitnak Direktorat Jenderal Peternakan dan Balai Penelitian Ternak. 1995. Pedoman Analisis Potensi Wilayah Penyebaran dan Pengembangan Peternakan.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
52
Direktorat Jenderal Peternakan dan Balai Penelitian Ternak. Jakarta Harris, L.E., Kearl, L.C., Fonnesbeck, P.V., 1972. Use of regression equation in predicting availability of energy and pritetion. J. Amin. Sci, 65 : 658-664 NRC. 1976. Nutrient Requirement of Beef Cattle, National Academy of Science, Washington, DC. Shanahan, J.F., Smith, D.H., Stanto, T.L. and Horn, B.E., 2004. Crop Residues for Livestock Feed. http://www.ext.colostate.edu/pubs/crop s/00551.html [23Desember 2005] Wahyono, D.E., Hardianto, R., Anam, C., Wijono, D.B., Purwanto, T. dan Malik, M., 2003. Strategi Pemanfaatan Limbah Pertanian dan Agroindustri Untuk Pembuatan Pakan Lengkap Ruminansia. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Sapi Potong, Lembang, Jawa Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang Pertanian, Bogor.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
53
Kualitas Karkas Domba Lokal yang Diberi Pakan Jerami Padi Fermentasi dengan Suplementasi Minyak Kedelai (Carcass quality of local sheep fed fermented rice straws supplemented with soybean oil) Peni Patriani1, Juni Sumarmono1 dan Wardana Suryapratama1 1 Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman Jln. Dr. Soeparno Kotak Pos 110 Purwokerto 53125 ABSTRACT The aim of this study was to determine if suplementation of soybean oil in the ration in order to increase conjugated linoleic acid of meat has concurrent effects on carcass characteristics and qualities of thin-tailed sheep. Sheep were fed fermented ricestraws suplemented with 0, 3 and 6% soybean oil. The experimental design used was a Randomized Completely Block Design. Eighteen sheep with initial age of 6-8 months and initial bodyweight of 17.46 ± 1.61 kg were used. The treatments consisted of soybean oil supplementation 0, 3 and 6%. Variables measured were carcass conformation, GR thickness, backfat thickness, subcutaneous fat score, and kidney and pelvic fat score. Result showed that sheep fed ration with 0 % soybean oil produced carcass with carcass conformation score of 8.50 ± 1.05, GR thickness 11.50 ± 1.05 mm, back fat thickness 2.67 ± 0.82
mm, subcutaneus fat score 3.50 ± 0.55 mm, kidney and pelvic fat score 2.00 ± 0.00. Sheep feed ration with 3% soybean oil; carcass conformation score 8.67 ± 1.21, GR thickness 11.67 ± 1.21 mm, back fat thickness 2.83 ± 0.98 mm, subcutaneus fat score 3.50 ± 0.55, kidney and pelvic fat score 1.83 ± 0.4. Sheep feed ration with 6% soybean oil; carcass conformation score 9.00 ± 1.26, GR thickness 12.50 ± 1.52 mm, back fat thickness 3.33 ± 0.82 mm, subcutaneus fat score 3.50 ± 0.55, kidney and pelvic fat score 1.83 ± 0.41. Score of carcass conformation, thickness of GR, thickness of back fat, score of subcutaneus fat, and score of kidneypelvic fat were not influenced by suplementation of soybean oil. In conclusion, suplementation soybean oil in the ration to increase conjugetaed linoleic acid has no significant concurrent effect on carcass quality characteristics of local sheep.
Key words : Soybean oil, fermentated ricestraw, carcass quality, sheep
2010 Agripet : Vol (10) No. 2: 54-58 PENDAHULUAN9 Penambahan minyak kedelai dalam pakan dilaporkan dapat memperbaiki kualitas kimia daging dan susu yaitu meningkatkan conjugated linoleic acid atau CLA (Sultana et al., 2008; Chen et al., 2008; Fatahnia et al., 2008; Choi 2009). CLA berperan sebagai anti kanker, anti diabetis dan anti kegemukan sehingga kandungan yang tinggi pada daging atau susu merupakan diharapkan dapat meningkatkan sifat fungsional dan nilai ekonomis produk ternak. Namun demikian, modifikasi pakan untuk meningkatkan CLA pada daging tidak boleh mengorbankan
Corresponding author:
[email protected]
karakteristik dan kualitas karkas. Rizzi et al. (2002) melaporkan bahwa domba yang diberi pakan kedelai halus 15 persen dan biji bunga matahari 0 persen tidak berubah persentase lemak dan tulangnya. Bessa et al. (2005) melaporkan bahwa suplementasi minyak kedelai 10 persen dalam konsentrat dapat menurunkan bobot karkas tetapi suplementasi minyal kedelai 10 persen dalam Lucerne meningkatkan bobot karkas. Engle et al. (1978) menyatakan bahwa penambahan minyak kedelai 4 persen dalam pakan dapat mengurangi tebal lemak punggung dan skor marbling pada karkas sapi. Penambahan minyak kedelai pada pakan domba yang berupa jerami padi fermentasi merupakan upaya untuk memaksimalkan potensi sumber pakan yang berupa limbah
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
54
pertaian. Fermentasi jerami padi menggunakan probiotik ditujukan untuk menyederhanakan struktur selulosa jerami sehingga meningkatkan nutrisinya. Syamsi (2003) melaporkan bahwa pertumbuhan sapi Bali yang diberi pakan fermentasi jerami padi dengan probiotik lebih tinggi dibanding jerami padi segar. Artikel ini melaporkan karakteristik dan kualitas karkas domba lokal, yaitu konformasi karkas, tebal GR dan perlemakan (tebal lemak punggung, skor lemak subkutan, skor lemak ginjal dan pelvis, yang diberi pakan basal jerami padi fermentasi dan konsentrat dengan penambahan minyak kedelai dengan tujuan utama meningkatkan kandungan CLA daging. MATERI DAN METODE Materi penelitian berupa 18 domba ekor tipis, jantan, umur 6-8 bulan, bobot badan 17,46 kg. Bahan pakan terdiri atas jerami padi fermentasi dan konsentrat (jagung 20 persen, pollard 25 persen, bungkil kelapa 19 persen, onggok kering 14 persen, dedak 20 persen, garam 1 persen dan mineral mix 1 persen (ultra mineral). Minyak kedelai yang digunakan adalah happy salad oil. Sebelum penelitian, domba diberi obat cacing (ivomec) dengan dosis 1 ml/10-20 kg bobot badan. Adaptasi terhadap pakan dilakukan selama 2 minggu. Pakan yang diberikan berupa jerami padi yang difermentasi dan konsentrat yang dicampur minyak kedelai 0, 3 dan 6% selama 60 hari. Pakan diberikan tiga kali sehari yaitu pada pukul 06.00, pukul 11.00, dan pukul 15.30. Setelah 60 hari pembeian pakan, domba dipotong dan dilakukan pengukuran peubah, yaitu konformasi karkas, tebal jaringan GR dan perlemakan (tebal lemak punggung, skor lemak subkutan, skor lemak ginjal dan pelvis). Skor lemak subkutan diukur dengan sistem skor 1 - 5 (Colomer-Rocher et al., 1987) Tebal jaringan GR diukur pada tulang rusuk 12 dan 110 mm dari garis tengah (Kirton et al., 1985). Skor konformasi karkas menggunakan 15 point (Oman et al., 1999). Tebal lemak subkutan diukur pada posisi ketebalan ¾ iga ke 12 dan 13 otot (Sumarmono, 2004). Skor
lemak ginjal-pelvis ditafsir dengan sistem 3 poin (Colomer-Rocher et al., 1987). Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis kovariansi, sebagai kovariat adalah bobot badan domba pada awal penelitian kemudian diteruskan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil menunjukan bahwa suplementasi minyak kedelai pada pakan tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap karkas domba. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian Beaulieu et al. (2002) bahwa suplementasi minyak kedelai 2,5; 5,0 dan 7,5% tidak memiliki efek pada kualitas karkas. Awadedeh et al. (2009) melaporkan suplementasi yellow grease dan minyak kedelai dengan 32 gr/kg barley tidak memiliki efek besar terhadap pengukuran karkas dan kaki. Pengaruh minyak kedelai terhadap karkas domba dapat dilihat pada Tabel 1. Patriani et al. (2010) melaporkan bahwa suplementasi minyak kedelai dan pemberian jerami padi fermentasi mempengaruhi kualitas daging domba yaitu meningkatkan cooking loss dan drip loss. Tabel 1. Pengaruh Minyak Kedelai Terhadap Kualitas Karkas Domba Karakteristik karkas Skor konformasi karkas Tebal GR (mm) Tebal lemak punggung (mm) Skor lemak ginjal pelvis** Skor lemak subkutan***
*
Penambahan minyak kedelai pada pakan (%) 0 3 6 8,50 ± 1,05 8,67 ± 1,21 9,00 ± 1,26 11,50 ± 1,05 11,67 ± 12,50 ± 1,21 1,52 2,67 ± 0,82 2,83 ± 0,98 3,33 ± 0,82 1,83 ± 0,41
2,00 ± 0,00
1,83 ± 0,41
3,50 ± 0,55
3,50 ± 0,55
3,50 ± 0,55
*15 point skor konformasi kelas karkas (Oman et al., 1999) **3 poin skor lemak ginjal-pelvis (Colomer-Rocher et al. 1987) *** 5 poin skor lemak subkutan (Colomer-Rocher et al. 1987).
Total rataan skor konformasi karkas domba pada penelitian ini sebesar 8,72 ± 1,13 atau lebih tinggi dari penelitian yang dilaporkan Diestre dan Colomer-Rocher (1969) bahwa domba Aragonesa pada bobot 15,2 kg skor konformasi karkas sebesar 5,2. Atti et al. (2003) melaporkan bahwa skor konformasi domba Barbarine yang diberi pakan konsentrat sebesar 7,4. Skor konformasi karkas dapat dipengaruhi oleh perbedaan laju deposisi lemak karena faktor genetik, nutrisi, dan jenis domba. Karkas domba tanpa penambahan minyak kedelai, penambahan minyak kedelai 3
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
55
persen dan penambahan minyak kedelai 6 persen dapat dilihat pada (Gambar 1).
R0
R1
R2 Gambar 1. Karkas domba tanpa penambahan minyak kedelai (R0), penambahan minyak kedelai 3 persen (R1) dan penambahan minyak kedelai 6 persen (R2)
GR merupakan singkatan nama dari E. Greville dari Meat Producers Board Chief Supervising Graders (Kirton, 1989). Tebal GR pada penelitian lebih tinggi dibanding domba Iranian Mughani memiliki GR sebesar 3,50 ± 1,58 mm (Kiyanzad, 2004). Ramsey et al. (1991) melaporkan bahwa sayatan pada letak pengukuran dapat menurunkan atau meningkatkan nilai GR apabila jaringan lunak berpindah dari potongan. Gerakan letak jaringan karkas yang digantung pada jeruji dan kesalahan pengukuran dapat memberikan kontribusi kurang akuratnya pengukuran karkas. GR dapat dipengaruhi oleh jenis domba, jenis pakan dan metode pengukuran yang berbeda. Selain hal tersebut, GR juga berhubungan dengan pengukuran lemak dan komposisi karkas ternak. Fadili et al. (2001) melaporkan tebal lemak punggung domba D’man dan Timahdite sebesar 1,98 dan 2,32 mm. Tebal lemak punggung pada penelitian ini lebih rendah dibanding domba dengan penambahan sun flower oil , 3 persen sebesar 4,32 mm dan 6 persen sebesar 4,06 mm (Boles et al., 2005) perbedaan tebal lemak punggung dapat disebabkan jenis domba yang berbeda. Corino et al. (2003) menyatakan CLA 0,25 dan 0,5% tidak berpengaruh nyata terhadap tebal lemak
punggung babi. Meski minyak kedelai tidak memberi pengaruh yang nyata namun tebal lemak punggung pada penelitian ini cukup memadai. Skor konformasi ginjal dan pelvis merupakan salah satu pengukuran untuk mengestimasi jumlah lemak dalam tubuh. Hasil penelitian lebih tinggi dari yang dilaporkan Caneque et al. (2001) domba yang disapih pada umur 45 hari skor lemak saluran ginjal sebesar 1,63. Caneque et al., (2003) domba pada drylot yang diberi barley dan konsentrat skor lemak ginjal sebesar 2,04 dan 1,88. Perbedaan bobot potong memiliki efek pada skor lemak yaitu lebih tinggi pada domba yang lebih berat. Menurut Purbowati et al. (2005) Pertumbuhan lemak pada domba relatif terhadap lemak karkas, jika bobot lemak subkutan bertambah maka lemak intermusculer, lemak ginjal dan pelvis tetap dengan meningkatnya bobot lemak karkas. Soeparno (2005) melaporkan bahwa lemak subkutan merupakan lemak yang terdeposisi dibawah kulit. Skor lemak subkutan pada penelitian cukup baik dan lebih tinggi dari penelitian yang dilakukuan Hatendi et al. (1990) bahwa kambing yang diberi hay sebesar 50, 33, 22 dan 10 persen memiliki skor lemak subkutan masing-masing sebesar 2,5; 2,8; 2,7; 3,3. Purbowati et al. (2005) bahwa karkas domba jantan mengarah ke lemak subkutan dengan bertambahnya bobot tubuh. KESIMPULAN Penambahan minyak kedelai sampai dengan 6% pada domba dengan pakan basal jerami padi fermentasi tidak menyebabkan perubahan yang nyata pada karakteristik dn kualitas karkas yang meliputi konformasi, tebal jaringan GR, tebal lemak sub-kutan dan skor lemak pelvis-ginjal. DAFTAR PUSTAKA Atti, N., Salema, H.B., Priolo, A., 2003. Effects of polyethylene glycol in concentrate or feed blocks on carcass composition and offal weight of Barbarine lambs fed Acacia cyanophylla Lindl. Foliage. Anim. Res. 52 : 363-375.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
56
Awawdeh, M.S., Obeidat, B.S., Abdullah, A.Y., Hananeh, W.M., 2009. Effects of yellow grease or soybean oil on performance, nutrient digestibility and carcass characteristics of finishing Awassi lambs. Anim. feed sci. and technology. 153 : 3-4. Beaulieu, A.D., Drackley, J.K., and Merchen, N.R., 2002. Concentrations of conjugated linoleic acid (cis-9, trans11-octadecadienoic acid) are not increased in tissue lipids of cattle fed a high-concentrate diet supplemented with soybean oil. Anim. Sci. 80 : 847861. Boles, J.A., Kott, R.W., Hatfield, P.G., Bergman, J.W., Flynn, C.R., 2005. Supplemental safflower oil affects the fatty acid profile, including conjugated linoleic acid, of lamb. Anim. Sci. 83 : 2175-2181. Bessa, R.J.B., Portugal, P.V., Mendes I.A., Santo. S.J., 2005. Effect of lipid supplementation on growth performance, carcass and meat quality and fatty acid composition of intramuscular lipids of lambs fed dehydrated lucerne or concentrate. Livestock Prod. Sci. 96 : 185-194. Caneque, V., Velascoa, S., Diaz M.T., De Huidobro, F.R., Perez, C., Lauzuria, S., Manzanares, C., and Gonzalez, J., 2001. Effect of weaning age and slaughter weight on carcass and meat quality of Talaverana breed lambs raised at pasture. Anim. Sci 73 : 85-95. Caneque, V., Velascoa S., Diaz, M.T., De huidobro, F.R., Perez, C., Lauzuria, S., 2003. Use of whole barley with a protein supplement to fatten lambs under different management systems and its effect on meat and carcass quality. Anim. Res 52 :271-285. Chen, P., Ji, P., L, S.L., 2008. Effect of feeding extruded soybean, ground canolla seed and whole cotton seed on ruminal fermentation, performance and milk fatty acid protein in early lactation dairy cows. Asian-Australian J Anim. Sci. 21: 204-213.
Choi, Y.H., 2009. Conjugated linoleic acid as a key regulator of performance, lipid metabolism, development, stress and gene expression in chikens. AsianAustralian J. Anim. Sci 22 : 448-458. Colomer-Rocher, F., Morand-Fehr, P., and Kirton, A. H., 1987. Standard methods and procedures for goat carcass evaluation, jointing and tissue separation. Livestock Prod. Sci. 17 : 149-159. Corino, C., Magni, S., Pastorelli, G., Rossi, R.., Mourot, J., 2003. Effect of conjugated linoleic acid on meat quality, lipid metabolism, and sensorycharacteristics of dry-cured hams from heavy pigs. Anim. Sci. 81 : 2219-2229. Engle,T. E., pears, J. W., Fellner, V., Odle, J., 2000. Effects of soybean oil and dietary copper on ruminal and tissue lipid metabolism in finishing steers. Anim. Sci. 78 : 2713-1731. Fadili, M.El., Michaux, C., Detilleux, J., and Leroy, P.L., 2001. Evaluation of fattening performances and carcass characteristics of purebred, first and second cross lambs between Moroccn Timahdite, D'man and improved meat rams. Anim. Sci. 72 : 251-257. Fatahnia, F., Nikkah, A., Zamiri, M.J., Kahrizi, D., 2008. Effect of dietary fish oil and soybean oil on milk production and composition of Holdstein cows in early lactation. Asian-Australian Journal of Anim. Sci. 2 : 386-391. Hatendi, T., Smith, L., Ndlovu and Mutisi, C., 1990. Fattening mature indigenous (Matabele) goats Effects on animal performance, body and carcass composition. In: Proceeding Biennial Conference of the African Small Ruminant Res. pp: 5 Kirton, A.H., 1989. Principles of classification and grading. In: Purchas, R.W., ButlerHogg, B.W., and Davies, A.S., (eds.) Meat production and processing. New Zealand Society of Animal Production. 143-158. Kirton, A.H., Duganzich, D.M., Feist, C.L., Bennett, G.L., and Wood, J.D., 1985. Prediction of lamb carcass composition
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
57
from GR and carcass weight. In: Proceeding of New Zealand Society of Animal Production. pp. 45: 63-65. Kiyanzad, M.R., 2004. Using linear body measurements of live sheep to predict carcass characteristics for two Iranian Fat-Tailed sheep breeds. AsianAustralian Anim. Sci. 17 : 693-699. Oman, J.S., Waldron, D.F., Griffin, D.B., and Savell, W., 1999. Effect of breed-type and feeding regimen on goat carcass traits. Anim. Sci 77 : 3215-3218. Patriani, P., Sumarmono, J., Suryapratama, W., 2010. Penambahan Minyak Kedelai dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Daging Domba. Prosiding Seminar Nasional Perspektif Pengembangan Agribisnis Peternakan di Indonesia, Fakultas Peternakan UNSOED. pp: 163-168. Purbowati, E., Sutrisni, C.I., Baliarti, E., Budi, S.P.S., dan Lestariana, W., 2005. Tumbuh kembang karkas dan komponen karkas domba Lokal jantan yang dipelihara di pedesaan. Dalam prosiding: Seminar Nasional dan Teknologi Peternakan Veteriner. pp: 487-494 Ramsey, C.B, Kirton, A.H., Hogg, B., Dobbie, J.L., 1991. Ultrasonic, needle, and carcass measurements for predicting chemical composition of lamb carcasses. Anim. Sci. 69 : 3655-3664. Rizzi, L., Simioli, M., Sardi, L., Monetti. P.G., 2002. Carcass quality, meat chemical and fatty acid composition of lambs fed diets containing extruded soybeans and sunflower seeds. Anim. Feed. Sci. and Technology. 97 : 103-114. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Sultana, H., Ishida, T., Shintaku, T., Kanda, S., Itabashi. S., 2008. Effect of feeding CaSalt of fatty acids from soybean oil and linseed oil on c9, t11-CLA production in ruminal fluid and milk of holstein dairy cows. Asian-Australian Journal of Animal Science 21: 1262-1270. Sumarmono, J., 2004. Growth and carcass composition of male goats. Doctoral
Thesis. University of Queensland. Australia. Syamsu, J. A, 2003. Kajian fermentasi jerami padi dengan probiotik sebagai pakan sapi Bali di Sulawesi Selatan. Ilmu Ternak 3: 2-9
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
58
Pengaruh Imbangan Jerami Padi, Dedak Padi dan Onggok Terfermentasi terhadap Kecernaan dan Produk Fermentasi Rumen Secara In Vitro (The influence of the ratio of fermented rice straw, rice bran and cassava solid waste upon the In vitro digestibility and rumen fermentation product) Suwandyastuti1, Rimbawanto1 dan Ning Iriyanti1 Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, Jln. Dr. Soeparno, Po. Box 110, Purwokerto Telp/Fax. +62281638792
1
ABSTRACT Chemical and physical treatments have been attempted to improve the utilization of agro industrial wastes, but the result is not efficient and caused pollution. Besides, biological treatments using the microbes have been used to improve the nutritive value and utilization of agro industrial wastes. The current experiment was conducted to find out the optimal ratio of fermented rice straw, fermented rice bran and fermented tapioca waste. There were five kinds of ratio of fermented rice straw, fermented rice bran and fermented tapioca waste, namely: K1 (70% fermented rice straw + 15% fermented rice bran + fermented tapioca waste), K2 (60% fermented rice straw + 20% fermented rice bran + 20% fermented tapioca waste), K3 (50% fermented rice straw + 25% fermented rice bran + 25% fermented tapioca waste), K4 (40% fermented rice straw + 30% fermented rice bran + 30% fermented tapioca waste) and K5 (30% fermented rice straw + 35% fermented rice bran + 35% fermented tapioca
waste) An in vitro technique, using completely Randomize Block Design was applied and each treatment was repeated four times. Variables measured were Dry matter and Organic matter digestibility and rumen fermentation products (volatile fatty acid and N-NH3 concentration). The dry matter digestibility of K1, K2, K3, k4 and K5was 29.39, 31.27, 32.33, 33.71 and 34.82%, respectively. The organic matter digestibility of K1, K2, K3, K4 and 5 was 30.82, 31.27, 32.73, 34.94, and 34.92, respectively. Volatile fatty acid concentrations of K1, K2, K3, K4 and K5 were 95.19, 91.77, 87.21, 104.31, 106.59 mM/l, respectively. N-NH3 concentrations of K1, K2, K3, K4 and K5 were 0.97, 0.93, 0.93, 1.00, 1.04 mM/l, respectively. Significant difference (P<0.01) was only found in dry matter digestibility among treatments, while others variables were not significantly different among treatments. It was indicated that the optimal ratio was K4.
Key words : agro industrial waste, nutritive value and utilization.
2010 Agripet : Vol (10) No. 2: 59-63 PENDAHULUAN10 Komponen penyusun utama biomasa limbah asal tanaman pertanian maupun perkebunan seperti limbah kayu, bagase dan limbah penggilingan, adalah selulosa yang tersusun dari sepuluh sampai sepuluh ribu unit glukosa. Limbah ini memiliki potensi tinggi sebagai bahan makanan ternak apabila molekul glukosa penyusunnya dapat dipecah menjadi gula sederhana yang lebih mudah dicerna (Buxton and Redfearn, 1997). Banyak perlakuan sudah dicoba baik fisik maupun kimia dalam upaya meningkatkan
nilai manfaat limbah pertanian. Walaupun perlakuan fisik dan kimiawi berhasil meningkatkan koefesien cerna dan palatabilitas, tetapi tidak efisien dari segi biaya dan cenderung menyebabkan pencemaran lingkungan (Hoover, 1986). Perlakuan biologis dengan menggunakan mikroba diharapkan sebagai teknologi alternative untuk meningkatkan kualitas limbah pertanian, karena : (1) relative mudah diterapkan; (2) murah biayanya; (3) tidak menimbulkan pencemaran lingkungan; dan (4) mampu meningkatkan manfaat limbah pertanian (Suwandyastuti et al., 1997). Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan
Corresponding author:
[email protected]
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
59
imbangan antara jerami padi, dedak padi dan onggok terfermentasi dengan kultur mikroba terpilih dari hasil uji kecernaan dan pegukuran produk metabolisme rumen secara in vitro. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan dengan metode experimental secara in vitro. Percobaan dilaksanakan dengan rancangan acak kelompok (RAK) (Gill, 1978; Steel and Torrie, 1981). Perlakuan yang diuji adalah 5 taraf imbangan jerami padi, onggok dan dedak padi terfermentasi seperti tertera pada tabel di bawah ini. Sebagai kelompok adalah sumber inokulum dari 5 ekor sapi jantan umur ± 10 bulan. Setiap perlakuan diulang 4 kali.
Tabel 1. Konsentrat percobaan Konsentrat Bahan
K1
K2
K3
K4
K5
Yij = nilai yang diamati dari ulangan sumber inokulum ke-j yang mendapat ransum ke-i; µ = nilai rataan umum; Ri = pengaruh ransum ke-i; Kj = pengaruh sumber inokulum ke-j; εij = pengaruh sisa dari ulangan sumber inokulum ke-j yang dapat ransum ke-i Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang
diuji terhadap peubah respon yang diamati, dilakukan sidik ragam. Perbedaan antar perlakuan diuji dengan beda nyata terkecil (Steel and Torrie,1981). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian terhadap 5 macam kombinasi imbangan jerami padi, dedak padi dan onggok terfermentasi memberikan hasil seperti pada Tabel 2 di bawah ini : Tabel 2. Rangkuman analisis ragam kecernaan dan produk metabolit konsentrat percobaan. Peubah respon
----------- (persen) ----------Jerami padi terfermentasi
70
60
50
40
30
Dedak padi terfermentasi
15
20
25
30
35
Onggok fermentasi
15
20
25
30
35
Sumber inokulum diambil dari sapi yang telah beradaptasi dengan ransum percobaan selama 14 hari. Percobaan in vitro menggunakan system Batch culture menurut metode Tilley and Terry (1963) dan modifikasinya (Univercity of Wisconsin, 1966). Peubah yang diamati dan diukur adalah kecernaan bahan kering dan bahan organik (Tilley and Terry, 1963); VFA total diukur dengan metode penyulingan uap (Krooman et al., 1967) dan N-NH3 diukur dengan menggunakan cawan Conwey (Davis dan Smith, 1958). Model matematis dari rancangan acak kelompok yang digunakan (Snedecor et al., 1975), adalah sebagai berikut : Yij = µ + Ri + Kj + εij (i = 1,2,3,4,5 j = 1,2,3,4,5
Sumber Keragaman
Kecernaan Bahan Kering
Kecernaan Bahan Organik
Produk VFA total
Produk N-NH3
Kelompok
0.491
1.917
3.816 ** 0.058
Perlakuan
5.664 **
2.745
1.115 0.704
Keterangan : **) Berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%
Tabel 2 menunjukkan bahwa antar konsentrat (imbangan jerami padi, dedak padi dan onggok terfermentasi) percobaan hanya berpengaruh sangat nyata (P < 0.01) terhadap kecernaan bahan kering, sedangkan pada kecernaan bahan organik, produk VFA total dan N-NH3 tidak berpengaruh nyata (P > 0.05). Jumlah hijauan berkualitas rendah dalam ransum sangat berpengaruh terhadap kecernaan (Leng, 1990). Ditinjau dari imbangan jerami padi dengan dedak padi dan onggok terfermentasi menunjukkan bahwa, komposisi konsentrat percobaan mempengaruhi kecernaan bahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya jumlah jerami padi terfermentasi yang digunakan dalam ransum akan menurunkan nilai nutrien konsentrat kecuali kadar selulosa.
r = 1,2,3)
Keterangan :
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
60
Tabel 3. Rataan kecernaan bahan kering dan bahan organic konsentrat percobaan. Kecernaan
K1
K2
K3
K4
K5
Bahan Kering (%)
29.39
31.27
32.33
33.71
34.82
Bahan Organik (%)
30.82
31.27
32.73
34.94
34.92
Keterangan : K = Konsentrat yang terdiri jerami padi : (dedak padi + onggok) terfermentasi ; K1 = imbangan 70 : 30 ; K2 = 60 : 40 ; K3 = 50 : 50 ; K4 = 40 : 60 ; K5 = 30 : 70.
Tabel 4. Komposisi kimia kensentrat percobaan. K1
K2
K3
K4
K5
--------------------------- B K---------------------------Protein (%)
18.25
18.81
19.37
19.93 20.49
a. Protein tercerna dalam ruman (%)
80.63
82.09
83.54
85.00 86.44
b. Protein terlarut dalam pepsin (%)
30.69
31.72
32.76
33.79 34.82
Total Asam Amino (%)
5.01
5.19
5.37
Gula reduksi (%)
13.30
13.59
13.89
14.18 14.47
Selulosa (%)
15.26
14.51
13.77
13.02 12.27
3054.28 3157.85
3261.42 3365. 00
Energi (kkal/g)
2950.70
5.55
5.73
Mineral (%) a. Ca
19.55
17.77
15.99
14.21 12.43
b. Mg
17.12
17.40
17.67
17.95 18.23
c. Na
4.49
4.87
5.25
d. K
31.09
31.85
32.61
e. Zn
2.34
2.24
2.14
2.04
1.94
f. Cu
-
0.01
0.01
0.01
0.01
g. Fe
7.83
8.51
9.19
9.87 10.57
h. Mn
6.01
5.76
5.51
5.26
5.01
i. Co
0.06
0.05
0.04
0.04
0.03
j. P
1.64
1.78
1.93
2.08
2.22
k. S
0.72
0.81
0.90
0.99
1.08
5.63
ini menunjukkan bahwa meningkatnya prosentase dedak padi dan onggok terfermentasi sebanding dengan meningkatnya nilai nutrisi bahan tersebut. Setiap konsentrat mempunyai produk fermentasi rumen yang berbeda-beda, banyak factor yang berinteraksi mempengaruhi produk akhir fermentasi tersebut. Produk VFA total sangat dipengaruhi oleh sifat kimia, fisik dan komposisi ransum (Hoover, 1986). Produk VFA dapat digunakan sebagai petunjuk total kecepatan fermentasi, yang merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia. Selain produk VFA, ketersediaan nitrogen-amonia (N-NH3) yang merupakan produk degradasi protein makanan oleh mikroba rumen, juga dapat digunakan untuk mengetahui laju dan jumlah sintesis protein mikroba rumen (Martin and Nisbet, 1990). Hasil percobaan ini menunjukkan, bahwa kelima konsentrat percobaan dapat dikatakan sama berdasarkan produk VFA total dan NNH3 atau imbangan jerami padi, dedak padi dan onggok yang terfermentasi dengan mikroba terpilih tidak mempengaruhi produk fermentasi rumen. Berdasarkan nilai rataan produk VFA total dan N-NH3 menunjukkan bahwa produk fermentasi rumen tersebut dipengaruhi oleh komposisi konsentrat percobaan (Tabel 5).
6.01
33.37 34.13
Bila dikaji dari kecernaan bahan organik, responnya sebanding dengan kecernaan bahan kering walaupun hasilnya tidak berpengaruh nyata, karena kelima konsentrat percobaan mempunyai kadar nutrisi relatif sama. Meskipun demikian, kelima konsentrat yang diuji menunjukkan laju kecepatan fermentasi bahan kering maupun organik yang berbeda. Perbedaan ini cenderung mengalami peningkatan dengan menurunnya jumlah jerami padi terfermentasi yang digunakan, hal
Tabel 5. Rataan produk asam lemak atsiri total dan N-NH3 konsentrat percobaan. Produk
K1
K2
K3
K4
VFA total (mM/1)
95.19
91.77
87.21
104.31 106.59
0.97
0.93
0.93
N-NH3 (mM/1)
1.00
K5
1.04
Tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa produksi VFA total masih di bawah kisaran normal kecuali konsentrat K4 dan K5, yaitu pada taraf imbangan jerami padi terfermentasi 60 dan 70 persen. Keragaman konsentrasi VFA total di dalam rumen ini menggambarkan bahwa VFA tidak mutlak merupakan hasil proses fermentasi. Selain itu kerangka karbon yang berasal dari VFA dapat juga digunakan untuk sintesis protein mikroba (Martin and Nisbet, 1990).
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
61
Berbeda dengan produksi VFA, produk nitrogen ammonia pada percobaan ini sangat rendah, bahkan jauh di bawah normal yang dibutuhkan oleh mikroba rumen. Pertumbuhan mikroba rumen yang optimal membutuhkan nitrogen amonia 3.65–7.30 mM/1 cairan rumen. Rendahnya produksi nitrogen amonia dalam percobaan ini dimungkinkan karena semakin tinggi penggunaan jerami padi terfermentasi, semakin tinggi pula sintesis protein mikroba, sehingga nitrogen amonia banyak dimanfaatkan (Orskov, 1986). Hal ini mungkin sekali terjadi, karena semakin tinggi penggunaan jerami padi terfermentasi dalam konsentrat percobaan menyebabkan penurunan produksi VFA yang diikuti pula produksi nitrogen amonia.
Gambar 1. Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan dan Produk Fermentasi Rumen.
Fermentabilitas konsentrat yang diuji dapat dilihat pada Gambar 1, nampak bahwa menurunnya penggunaan jerami padi terfermentasi atau dengan meningkatnya penggunaan campuran dedak padi dan onggok terfermentasi menunjukkan peningkatan fermentabilitas, walaupun berdasarkan uji statistik tidak menunjukkan perbedaan nyata (P > 0.05). Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat digunakan untuk menetapkan bahwa
ransum percobaan yang terpilih untuk percobaan pemberian konsentrat ransum pada sapi potong percobaan adalah konsentrat K5 (30 % jerami padi terfermentasi, 35 % dedak padi terfermentasi dan 35 % onggok terfermentasi).
KESIMPULAN Berdasarkan peubah respon yang diukur, dapat diambil kesimpulan bahwa imbangan terbaik antara jerami padi, dedak padi dan onggok terfermentasi dengan masingmasing mikroba terpilih adalah 30 persen jerami padi, 35 persen dedak padi dan 35 persen onggok. DAFTAR PUSTAKA Buxton, D.R. and Redfearn D.D., 1997. Plant limitation to fiber digestion and utilization, J. Nutr. 27 (5) : 8145 – 8185. Gill, J.L., 1978. Design and Analysis Experiment in the Animals and Medical Sciences. Val. 2. The Iowa State University of Florida, Gainesville, Florida. Hoover, W.H., 1986. Chemical factors involved in ruminal fibre digestion. J. Dairy Sci. 69 : 2755 – 2766. Kroman, R.P., Meyer J.H. and Stielan, W.J., 1967. Steam Destillation of Volatile Acids in Rumen Ingesta. J. Dairy Sci., 50 : 73. Leng, R.A., 1990. Factors affecting the utilization of poor quality farage by ruminants, particularly under tropical condition. Nut. Res. Rev. 3 : 277– 303. Martin, S.A. and Nisbet, D.J., 1990. Effect of Aspergillus Oryzae Fermentation Extract on Fermentation of Amino Acids, Bermudagrass and Starch by mixed Rumial microorganism in vitro. J. Anim. Sci. 68 : 3392 - 3398 Orskov, E.R., 1986. Starch digestion and utilization on Ruminants. J. Anim. Sci. 63 : 1624 – 1633 Snedecor, G.W. and Cochran, W.G., 1975. Statistical Methods. 2nd Ed. Indian Reprint. Oxford and IBH Publs, Co., Calcuta – Bombay – New Delhi.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
62
Steel, R.G.D. and Torrie, J.H., 1981. Principles and Procedures of Statistics, A Biometrical Approach. 2nd Ed. Mc Graw Hill Kogaskusha, Ltd, Tokyo. Suwandyastuti, S.N.O,, Subardjo, B., Rimbawanto E.A. dan Prayitno, 1997. Pemanfaatan Limbah Berserat Sebagai Pakan Ternak Ruminansia Melalui Peningkatan Kualitas Energi dan Protein dengan Mikroba. Sub judul 3 Sifat dan Kualitas Protein Hidrolisat Jerami Padi, Dedak Padi dan Onggok terfermentasi. Laporan Kegiatan Penelitian Hibah Bersaing III/3 Perguruan Tinggi tahun 1996/1997. DP2M Dirjen Dikti Depdiknas. Fakultas Peternakan UNSOED. Purwokerto, Tilley, J.M.A. and Terry, R.A., 1963. A twostage Technique for the In Vitro Digestion of Forage Crops. J. Beit. Grassl. Soc., 18(2) : 104 University of Wisconsin, 1996. Several Laboratory Procedures. Department of Dairy Science, Wisconsin.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
63
Penuntun Penulisan Jurnal Agripet Ketentuan Umum: Naskah yang dikirim ke jurnal Agripet merupakan hasil penelitian, review artikel dan studi kasus dalam ruang lingkup peternakan dan belum pernah dipublikasikan di jurnal ilmiah lain ataupun sedang dalam pertimbangan untuk diterbitkan di jurnal ilmiah lainnya. Naskah yang telah pernah dipresentasikan pada seminar, harap mencantumkan nama seminar, lokasi dan waktu pada catatan kaki. Bahasa : Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris Format: Naskah terdiri dari Judul, Nama Penulis, Abstark, Kata Kunci, Pendahuluan, Bahan dan Metoda, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan, Ucapan Terima Kasih (bila ada) dan Daftar Pustaka. Naskah diketik dengan Microsoft Word versi 6.0 (atau lebih tinggi) pada kertas A4 (210 mm x 297 mm) dalam bentuk ketikan 2 spasi (Times Roman font 12). Margin kiri 3 cm, margin kanan 2,5 cm, margin atas 3 cm dan margin bawah 2 cm. Setiap halaman diberi nomor. Jumlah halaman antara 10-12 halaman termasuk Table, Grafik dan Gambar yang diketik pada file terpisah dari teks. Heading: Kata dalam Heading diketik dengan menggunakan huruf kapital (bold) dan diletakan ditengah meliputi: ABSTRACT, PENDAHULUAN, MATERI DAN METODE, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN, UCAPAN TERIMA KASIH dan, DAFTARA PUSTAKA. Sub Heading: Diketik dengan huruf kapital hanya pada awal kata diletakan dipinggir kiri (bold) Judul: Jumlah kata dalam judul tidak lebih dari 16 kata (Times Roman font 16). Ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris (jelas dan informatif). Setiap awal kata pada judul naskah menggunakan hurup kapital kecuali kata: di, ke dari, dan, yang, untuk, terhadap, dalam (kecuali kata tersebut terletak pada posisi awal judul). Nama Penulis: Ditulis lengkap tanpa gelar, disertai nama instansi tempat penulis bekerja, no telpon serta alamat e-mail (correspondence author) Abstrak: Ditulis antara 250-300 kata (Times Roman font 10), berisi ringaksan dari penelitian mulai dari latar belakang, materi dan metode hasil dan kesimpulan. Kata Kunci: Ditulis sebanyak-banyaknya 5 kata kunci. Pendahuluan: Ditulis secara lengkap dan efisien menggambarkan tentang latar belakang, tujuan disertai dengan pustaka yang mendukung. Materi dan Metode: Ditulis secara lengkap dan terperinci (bahan-bahan yang digunkan dalam penelitian serta unit yang dipakai. Desain penelitian juga ditulis secara jelas. Hasil dan Pembahasan: Berisikan tantang hasil yang diperoleh berikut pembahasan dengan didukung berbagai kepustakaan berkaitan dengan pembahasan. Kesimpulan: Ditulis secara ringkas dan jelas kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian. Ucapan Terima Kasih: Kalau ada
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
64
Gambar, Grafik dan Tabel: Dibuat pada kertas terpisah dari narasi (diakhir naskah) dan disajikan berurutan sesuai dengan urutan kemunculan. Setiap gambar dan tabel diberikan keterangan singkat yang diletakan di bawah untuk keterangan gambar dan di atas untuk keterangan tabel. Gambar berupa foto dikirim dalam bentuk asli. Apabila gambar atau tabel dikutip, sumbernya disebutkan sesuai dengan Daftar Pustaka. Tabel diketik 1 spasi dan garis vertikel tidak digunakan. Huruf standard yang digunakan untuk penulisan tabel adalah (Times Roman font 12). Ukuran maksimum gambar tidak melibihi 10 x 15 cm.
Tata Nama : Kata dalam bahasa latin dicetak miring (italics) misalanya nama yang digunakan untuk tananam, serangga, mikroorganisme, hewan dan penyakit. Satuan: Pengukuran dipakai satuan Internasional (SI) Penulisan angka desimal: Dalam tabel untuk naskah bahasa Indonesia dipakai tanda koma (,), sementara naskah dalam bahasa Inggris dipakai titik (.)
Daftar Pustaka: Ditulis berdasarkan abjad pengarang. Berikut beberapa acuan cara penulisan Buku AOAC, 2000. Official Methods of Analsys. 17th ed.Assos. Off Anal Chem., Arlington, Virginia NRC, 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9th ed. National Academy of Science, Washington DC. Jurnal Rosa, A.P., Pesti, G.M., Edwards, Jr. H.M., Bakalli, R.I., 2001. Tryptophan requirements of different broiler genotypes. Poult. Sci. 80: 1718-1722. Sebastian, S., Touchburn, S.P., Chauez, E.R., Lague, P.C., 1997. Apparent digestibility of protein and amino acids in broiler chickens fed a corn-soybean diet supplemented with microbial phytase. Poult. Sci: 76: 1760-1769. Sterling, K.G., Pesti, G.M., Balkali, R.I., 2003. Performance of broiler chicks fed various levels of dietary Lysine and crude protein. Poult. Sci. 82:1939-1947. Artikel dalam Buku Boorman, J. and Baker, H.K., Responses to amino acids. In: Fischer, C., and Boorman, K.N., (eds) Nutrients Requirement of Poultry and Nutritional Research. Bottherworths, London. Choi, H. 2000. Traditional Oriental Medicine in Livestock Health. In: T.M. Morris (eds). Alternative and Herbal Health Conference: A Scientific Review of Current Knowledge. University of Connicticut Bishop Center Storrs, Connicticut.
Prosiding Liebert, F., Samadi and Suender, A., 2004. Estimation of the potential for protein deposition of extensive genotype of growing chicken in different age periods. In: Proceeding of Society Nutritional Physiology. 13:53 Ramli, R. dan Firdaus., 2008. Kajian Kualitas Silase Ransum Komplit Berbahan Pakan Lokal dalam Mewujudkan Ketahanan Pakan di Naggro Aceh Darussalam. Dalam Prosising:
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
65
Seminar Nasional Hasil Penelitian Antar Univeristas Sains dan Teknologi, Banda Aceh.pp:53-58
Skripsi/Tesis/Diserasi Rimbach, M., 2002. Potential of Protein Deposition on Growing Chickens Depending on Genotype and Sex. Dissertation PhD, Göttingen Universität, Cuvillier, Göttingen, Germany. Safira, R., 2005. Pengaruh Pemberian ß3-Agonnist Terhadap Penampilan dan Kualitas Daging Domba. Thesis Master, Universitas Syiah Kuala, Unsyiah Press, Banda Aceh, Indonesia. Internet Asmanan, M, 2005. Cara Beternak Ternak Kambing. Agrima Permata. http://agri.org.csh/jas.2375/usp.com. [ 23Maret 2007] Terry, J. and Melisa, W.A., 2008. Methoninie in Chickens Feeding. Derosa. http://derosa.org.aus/index.cos.345..2897/usp.com. [14 november 2008]
Pengiriman Naskah: Penulis mengirim naskah dalam bentuk print out (2 exp) dan soft copy Alamat Pengiriman Naskah Redaksi Agripet Fakultas Pertanian – Jurusan Peternakan Universitas Syiah Kuala – Darussalam Banda Aceh – NAD Indonesia Alamat email:
[email protected]
Penerbitan: Naskah Dewan Penyunting Ahli Agripet akan memutuskan naskah yang layak terbit atau tidak berdasarkan kriteria penilainya yang telah disepakati Bagi penulis yang naskahnya diterima, diwajibkankan untuk memperbaiki kembali naskah apabila ada perbaikan dari tim reviewer Penulis yang naskahnya diterima diwajibkan membayar biaya administrasi ke redaksi Agripet sebanyak Rp. 150.000,Segala hak cipta atas naskah yang dimuat adalah milik Agripet.
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010
66