JURNAL STUDI
Pemud@ ISSN: 2252‐9020 VOLUME 1, NOMOR 1, MEI 2012
DEWAN REDAKSI Ketua Penyunting Muhammad Najib Azca Wakil Ketua Penyunting Subando Agus Margono
Jurnal Studi Pemuda Terbit tiga kali setahun; mengkhususkan diri dalam penerbitan hasil-hasil riset dan kajian ilmiah mengenai isu-isu kepemudaan. Dikelola oleh: YouSure (Youth Studies Centre) Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) http://yousure.fisipol.ugm.ac.id Alamat: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Jl. Sosio Justicia 2, Bulaksumur Sleman 55281 Yogyakarta, Indonesia No. Telepon: +62-274-563362 e-mail:
[email protected] [email protected] http://jurnalstudipemuda.weebly.com Diterbitkan oleh: P2MPS (Perkumpulan Pengkajian Masyarakat dan Perubahan Sosial) Sleman, Yogyakarta Penerbitan ini mendapatkan bantuan dari: Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia
Penyunting Pelaksana Ari Sujito Frans Fiki Djalong Nurul Aini Oki Rahadianto Sutopo Mitra Bestari Ben White (ISS Den Haag) Heru Nugroho (Universitas Gadjah Mada) Merlyna Lim (Arizona State University) Nancy J. Smith-Hefner (Boston University) Noorhaidi Hasan (UIN Sunan Kalijaga) Pamela Nilan (The University of Newcastle) Pratikno (Universitas Gadjah Mada) Pujo Semedi (Universitas Gadjah Mada) Yanuar Nugroho (Manchester University) Pelaksana Tata Usaha Bagus Prihantoro Nugroho Novi Damayanti
,
JURNAL STUDI
Pemud@ ISSN: 22529020
VOLUME 1, NOMOR 1, MEI 2012
Pemuda, Agensi dan Reformasi
Daftar Isi
ii
iii
Pengantar Redaksi
1
Di Sini Senang, di Sana Senang: Melihat Pramuka dari Perspektif Kaum Muda Pujo Semedi
15
Bergaya di Mall: Studi Etnografi Gaya Anak Muda Pasca Konflik di Ambon Hatib Abdul Kadir
31
Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi: Penguatan Resiliensi sebagai Pereduksi Angka Bunuh Diri di Kalangan Pemuda Indonesia Wahyu Budi Nugroho
46
Esai: Mengapa Menerbitkan Jurnal Studi Pemuda? M. Najib Azca & Oki Rahadianto
50
Kampung Youth and Governmentality in Ternate Town, North Maluku Basri Amin
61
Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class Nancy J. Smith-Hefner
83
Tinjauan Buku: Global Youth?: Hybrid Identities, Plural Worlds Oki Rahadianto
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
,
Pengantar Redaksi
Seorang bijak dari Timur, Lao Tzu, berujar bahwa untuk menempuh ribuan mil perjalanan haruslah dimulai dengan langkah pertama. Analogi inilah yang muncul saat merefleksikan mengenai kondisi kajian kepemudaan di Indonesia, Ribuan mil kami ibaratkan sebagai masih banyaknya topik-topik krusial kajian kepemudaan di Indonesia yang belum mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Namun kami sadar bahwa keadaan tidak akan berubah jika hanya diselesaikan melalui lamunan, grundelan dan kegalauan, namun justru yang terpenting adalah bagaimana mengubahnya! Semangat inilah yang menginspirasi Youth Studies Centre (YouSure) Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk memulai langkah pertama melalui jalur publikasi Jurnal Studi Pemuda, jurnal ilmiah pertama di Indonesia yang menspesialisaikan dirinya dalam kajian kepemudaan (youth studies). Kami percaya bahwa praxis knowledge adalah salah satu kekuatan yang mampu mengubah keadaan. Jurnal Studi Pemuda Vol.1 No. 1 Mei 2012 merupakan edisi perdana yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan kajian kepemudaan di Indonesia. Untuk edisi pembuka ini, kami memilih sebuah topik menarik mengenai dunia kawula muda di tanah air, khususnya dalam setting sosial-ekonomi-politik pasca Orde Baru: Pemuda, Agensi dan Reformasi. Meski topik mirip telah kami jadikan sorotan dalam penerbitan kami sebelumnya berjudul Pemuda Pasca Orba: Potret Kontemporer Pemuda Indonesia (2011), namun topik tersebut itu masih menyediakan bahan dan pembahasan yang kaya dan bermakna. Reformasi sosial-politik yang telah dan tengah berlangsung di Indonesia memang telah menghadirkan ruang baru yang lebih demokratis, yang menyediakan arena kiprah baru bagi pemuda dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun di sisi lain, juga muncul semacam “oligarki politik” baru —yang merupakan reproduksi dengan sejumlah revisi dari kekuatan yang hadir dalam rezim lama— yang mendominasi lanskap politik di era reformasi (Robison dan Hadiz, 2004). Sementara itu, panggung sosial dan politik di era reformasi juga menyediakan panggung baru yang lebih lapang bagi maraknya gerakan sosial berbasis “politik identitas”. Di era reformasi, wajah otonomi daerah semakin mengentalkan warna kedaerahan, sehingga warna ‘nasional’ yang mendominasi konstruksi pemuda di era Orde Baru cenderung mengalami pelemahan. Problematika menjadi semakin kompleks ketika peran media, pasar serta teknologi turut memberikan warna yang tidak kalah pentingnya dalam membangun konstruksi ihwal pemuda saat ini. Sosok negara yang acap absen di tengah kehadirannya semakin membuat kompleksitas problematika kepemudaan di era reformasi kian mengemuka. Dengan latar demikian, konstruksi mengenai pemuda di era reformasi menjadi semakin majemuk dan lebih sulit dijawab dengan tegas —dengan aneka permasalahan ekonomi, sosial dan politik yang berubah cepat dan deras.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
iii
,
Dengan demikian, pemuda yang merupakan sosok agensi hadir sebagai pusat dari tarik menarik berbagai nilai dan kekuatan yang dihadirkan baik oleh komunitas, negara, pasar serta globalisasi. Di sisi lain, pemuda bisa jadi juga terlibat dalam dinamika yang liat antara beraneka kelompok yang memiliki basis sosial-ekonomi, ideologi dan afiliasi politik, serta basis nilai agama dan etnisitas yang berbeda. Aspek lain seperti latar belakang dan konteks sosial, seperti desa dan kota, juga turut mempengaruhi bagaimana konstruksi pemuda sebagai being atau becoming dilakukan. Hal itu semua akan memperkaya potret pemuda di era reformasi, seperti termanifestasi dalam beragam topik yang disajikan oleh para kontributor pada edisi ini. Dalam tulisan pembuka, antropolog senior dan dosen UGM, Pujo Semedi, menyajikan etnografi yang kaya dan menarik mengenai gerakan Pramuka (Praja Muda Karana) dan mengajukan interpretasi kritis mengenai keterlibatan pemuda dalam gerakan kepramukaan. Dalam tulisan kedua, antropolog UGM dari generasi lebih muda yang kini menjadi pengajar di Universitas Brawijaya Malang, Hatib Abdul Kadir, memaparkan dengan gaya etnografis yang elok dan sophisticated mengenai gaya hidup anak muda pasca konflik di salah satu mall di Ambon. Dengan cerdas dan kreatif Hatib mampu menggambarkan mall menjadi ruang yang memfasilitasi bertemunya (juga berkontestasi) anak muda dari berbagai keyakinan dan gaya hidup yang berbeda-beda. Dalam artikel ketiga, sosiolog muda alumni UGM yang kini menjadi peneliti independen, Wahyu Budi Nugroho, menguraikan mengenai urgensi resiliensi dalam kehidupan sehari-hari kaum muda, khususnya dalam menghadapi kecenderungan tingginya angka perilaku bunuh diri di lingkungannya. Dalam artikel berikutnya, dosen sosiologi Universitas Negeri Gorontalo yang juga kandidat doktor di Universitas Leiden, Basri Amin, mendedah isu menarik ihwal pemuda dan governmentality di Ternate, Maluku Utara. Dalam paparan yang menarik secara empirik dan teoretik, ia menggambarkan bagaimana pemuda kampung mampu menjadi agensi untuk melakukan negosiasi dengan praktik pengelolaan negara melalui organisasi lokal. Dalam artikel terakhir, dosen antropologi dari Universitas Boston, Nancy J. Smith-Heffner, mengeksplorasi mengenai fungsi sosial dari bahasa gaul yang digunakan oleh kaum muda di Indonesia. Dengan menarik ia menunjukkan bahwa bahasa gaul merupakan ekspresi kaum muda mengenai hubungan sosial baru yang lebih egaliter, cair sekaligus lebih ekspresif dan terindividualisasi. Selain itu dalam jurnal ini juga dimuat esei yang ditulis oleh M. Najib Azca dan Oki Rahadianto mendedahkan sejumlah alasan pentingnya menerbitkan suatu jurnal studi pemuda di Indonesia. Jurnal ditutup dengan tinjauan buku berjudul Global Youth?: Hybrid Identities Plural Worlds, sebuah kumpulan artikel yang dieditori oleh Pamela Nilan dan Carlos Feixa. Dengan tinjauan menarik terhadap buku itu, Oki Rahadianto mendiskusikan dan mewartakan pesan akan pentingnya memunculkan narasi alternatif kaum muda dari belahan bumi selatan di era globalisasi. Akhirul kalam, sebagai edisi perdana tentu terbitan jurnal ini banyak mengandung kesalahan dan kealpaan. Saran dan masukan dari para kolega dan sahabat semua sangat kami harapkan untuk melakukan yang lebih baik lagi di masa depan. Salam Studi Pemuda! :)
iv
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Pujo Semedi
Jurusan Antropologi, Universitas Gadjah Mada
Di Sini Senang, di Sana Senang: Melihat Pramuka dari Perspektif Kaum Muda * AB S T RAK Artikel ini ingin melihat pramuka dari perspektif kaum muda, terutama dengan pendekatan interpretatif. Hal ini sebagai alternatif akan pendekatan selama ini yang di satu sisi cenderung bersifat makro, menekankan pengaruh negara serta normatif, di sisi yang lain, terlalu menekankan pada aktor sosial dan mengabaikan struktur yang lebih luas. Tulisan ini menunjukkan bahwa pramuka masih menjadi kegiatan yang menarik bagi kaum muda Indonesia, melalui pramuka mereka menemukan sebuah ruang sosial dengan kadar kebebasan tinggi untuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan sambil tetap memperoleh kepercayaan dari orang tua dan masyarakat. Kata-kata kunci: Pramuka, kaum muda, pendekatan interpretatif AB S T RACT This article wants to see scouting from the perspective of youth, especially with intepretive approach. This approach becomes an alternative for previous approach, which at one side is closer to macro, focusing on state’s influence and normative, at the other side its too focused on social actor and ignores the wider structures. This article shows that scouting still become an interesting activity for Indonesian youth, through scouting they found a social space with high level of freedom to do some fun activities, while keep getting trust from parents and society. Keywords: scouting, youth, intepretive approach
Pendahuluan Sejak diperkenalkan pada tahun 1912, kepanduan sangat terkenal di kalangan orang Indonesia. Pada tahun 2002 terdapat sekitar 16 juta pemuda Indonesia, mulai usia kelas tiga sekolah dasar hingga mahasiswa perguruan tinggi, tercatat sebagai anggota pramuka (Gerbang, 2005). Popularitas gerakan kepanduan bagi pemuda Indonesia kon-
*
Makalah ini dibuat melalui partisipasi saya dalam Proyek KITLV In Search of Middle Indonesia. Saya berterima kasih untuk dukungan akademis dari proyek ini.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
temporer untuk sebagiannya bisa dijelaskan dengan menelaah peran-peran ideal pandu. Kepanduan digambarkan sebagai “pabrik karakter”, sebuah domain ketiga sosialisasi setelah keluarga dan sekolah. Diyakini bahwa dengan menjadi penggalang putra dan putri, anak-anak dan pemuda dapat mengembangkan karakter yang baik. Mereka bisa mempelajari kualitas dapat dipercaya dan disiplin. Mereka dapat mengembangkan kecerdasan, memperoleh keterampilan dan membuat hasta karya. Mereka bisa menempa kesehatan fisik mereka dan belajar hidup mandiri demi kemaslahatan masyarakat (Baden-Powell, 2004:44-6; Rosenthal, 1986: 4-6; Pramuka, 1969: 10).
1
Pujo Semedi, Di Sini Senang, di Sana Senang: Melihat Pramuka dari Perspektif Kaum Muda
Ideal-ideal umum kepanduan di atas berlaku di seluruh dunia. Sedangkan di Indonesia popularitas pramuka juga disebabkan oleh keterkaitan historis dengan institusi-institusi sosial lebih besar, entah itu keraton, organisasi gerakan nasionalistik, organisasi keagamaan, partai politik dan lembaga pemerintah. Demi mendapatkan dukungan melimpah, termasuk dana dan fasilitas, gerakan pramuka melayani institusi-institusi induk tersebut dengan meningkatkan popularitas dan kesetiaan konstituen. Gerakan kepanduan di Indonesia berfungsi sebagai semacam lahan persemaian untuk menempa kader-kader loyal dan meraih dukungan populer (Muecke, 1980; 408). Namun, penjelasan-penjelasan itu tidak banyak memberi tahu kita tentang alasan bergabung dengan ambalan pramuka begitu populer di kalangan anak-anak dan pemuda. Salah satu arah penjelasan tertuju pada idealideal dan pengaruh tingkat makro. Arah yang lain tertuju pada fenomena dari sudut pandang aktor sosial. Di satu pihak penjelasan yang banyak bertumpu pada retorika Baden-Powell dan pada faktor-faktor pengaruh negara akan menuntun kita pada sebuah gambaran menyesatkan pramuka semata-mata sebagai boneka ideologi atau kebijakan negara bagi pembentukan warga negara patuh yang ideal. Di lain pihak, pendekatan yang melulu berorientasi pada aktor untuk memahami pramuka mengabaikan kerangka struktural di mana gerakan tersebut berjalan. Oleh karena itu perlu ditemukan sebuah kerangka yang menyediakan bagi para aktor ruang gerak, dan juga pengakuan terhadap referensi simbolis yang menjadikan tindakan-tindakan mereka bermakna.
Pendekatan Interpretatif Pendekatan untuk memahami gerakan pramuka dari pengalaman para anggotanya adalah titik yang tepat untuk bertolak. Ada sebuah lagu pramuka yang dinyanyikan dalam semua kesempatan: “Di sini senang, di sana
2
senang. Di mana-mana hatiku senang.” Lagu ini menyiratkan bahwa pramuka adalah agen aktif yang selalu siap sedia memenuhi harihari mereka dengan keriangan. Tetapi gerakan dan kapasitas mereka untuk bergembira difasilitasi —dimungkinkan namun dibatasi— oleh struktur yang ada, struktur retorika moral Baden-Powell yang menjiwai gerakan pramuka di seluruh dunia maupun struktur politik negara Indonesia yang dikukuhkan dalam lembagalembaga induk yang mendukung pramuka di masa lalu dan masa kini. Bab ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut: Apa yang diperoleh pemuda dari keikutsertaan mereka dalam gerakan pramuka? Bagaimana mereka bermanuver dalam arena sosial seketat itu guna mencapai tujuan-tujuan mereka sendiri? Data primer untuk bab ini terutama berasal dari observasi partisipatoris di antara para penegak, pramuka berusia 15-18 di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Pekalongan (selanjutnya SMA 1) pada tahun 2007/2008 selama latihan mingguan dan kegiatan alam bebas mereka, kadangkadang bersama kelompok dari sekolah-sekolah lain. Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber tertulis panduan pramuka, mingguan dan majalah yang dirawat oleh perpustakaan KITLV di Leiden dan oleh beberapa pembina pramuka di Indonesia. Selama observasi fokus peneliti lebih tertuju pada penghimpunan data tentang apa yang benar-benar dilakukan para pramuka bukan pada apa yang mereka katakan tentang yang mereka lakukan, guna menghindari bias di antara dua level data yang berbeda itu. Bisa dikatakan data yang diperoleh dari proses ini adalah data yang terfragmentasi, yang tidak mengatakan apa-apa kecuali peristiwa yang direkam itu sendiri. Mengingat proses dialektika terus-menerus antara manusia dan lingkungannya, bisa kita harapkan akan diperoleh gambaran yang tepat tentang motif dan maksud pemuda Indonesia masuk pramuka serta manuver mereka dalam gerakan itu, ketika data etnografis diletakkan dalam konteks kultural, sosial, politik dan historis yang relevan.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Pujo Semedi, Di Sini Senang, di Sana Senang: Melihat Pramuka dari Perspektif Kaum Muda
Struktur Gerakan Pramuka Indonesia Sejak didirikan di Indonesia selama periode kolonial Belanda, kepanduan selalu dilekatkan dengan organisasi massa atau politik yang mendapat dukungan kuat dari kelas berkuasa maupun politisi atau kedua-duanya. Pada mulanya adalah elite kolonial, orang Belanda, yang tertarik oleh gagasan membawa gerakan pemuda Lord Baden-Powell ke Hindia Belanda. Kurang lebih setahun sebelum pecahnya Perang Dunia Pertama gerakan kepanduan, yang dengan naifnya dianggap “bebas dari pengelompokan agama dan orientasi politis”, didirikan dengan tujuan membentuk pemuda jajahan menjadi warga negara yang baik yang akan setia kepada Raja Belanda, cinta tanah air, patuh dan hormat kepada penguasa yang sah, bertanggung jawab, santun, baik hati dan suka menolong, serta mencintai alam (ENI VI, 1927: 311). Dalam tempo tak terlalu lama para pemimpin gerakan nasionalis Indonesia mendapati potensi besar gerakan kepanduan bagi organisasi dan perjuangan politik mereka. Pertama, kredo patriotik pandu “Negeri dahulu, baru diri sendiri” (Baden-Powell, 2004: 28) cocok benar dengan semangat gerakan nasionalis. Kedua, gerakan kepanduan tidak terlihat sebagai kekuatan subversif. Tanpa membuang-buang waktu gerakan nasionalis Indonesia di seluruh penjuru negeri dari berbagai latar belakang ideologi berlainan membentuk pasukan pandu masing-masing. Janji Pandu Baden-Powell “Kesetiaan kepada Raja, dan kepada para pejabatnya, dan kepada negerinya” segera saja menjadi sasaran penafsiran amat longgar (Padvindersblad, 1923; Sedia, 1938, 16-17: 253; Pryke, 1998: 323). Api pertama disulut oleh Pangeran Mangkunegara VII di Surakarta yang pada September 1916 mendirikan Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) di wilayah kekuasaannya (Suharini, 2000: 18). Tepat seperti yang ditunjukkan nama dan sumpah mereka, para pandu JPO setia
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
kepada “Pangeran Mangkunegara dan Ibu Pertiwi tercinta”. Keanggotaan pandu ini terbatas untuk warga Mangkunegaran. Di sekitar waktu yang sama, gerakan Islam Muhammadiyah, disusul oleh Boedi Oetomo, gerakan politik nasionalis pertama, mengikuti langkah Mangkunegara VII dengan membentuk gerakan kepanduan mereka masingmasing (Pandu Rakjat Indonesia, 1951: 134; Raharjendra, 1990: 40). Tidak mau ketinggalan dari para pesaing mereka, mayoritas organisasi politik, keagamaan, dan massa di Nusantara membentuk gerakan pandu mereka sendiri sebagai cara menempa militansi kader yang akan setia kepada cita-cita organisasi induk, mengikuti semboyan: “Bidji jang baik dan koewat itoe ditanem moelai misi ketjil”, (Politiek, I. 1982: 152) dan “In de jeugd ligt de toekomst”, pada pemuda terletak masa depan (Kwartir Besar SIAP, 1928: 35). Tren tersebut berlanjut hingga Perang Pasifik pecah ketika pemerintah Pendudukan Jepang melarang gerakan kepanduan dan merekrut para pemuda menjadi prajurit dan paramiliter (Anderson, 1961: 48; Metroprawiro, 1992: 26). Tepat setelah perang kemerdekaan, kebiasaan lama organisasi-organisasi massa memelihara gerakan pramuka sendiri muncul kembali. tetapi kali ini dengan antusiasme lebih kuat karena diyakini bahwa pandu bisa dipakai sebagai alat partai politik. Para pandu dikerahkan sebagai penjaga seremonial dalam rapat-rapat partai politik, sebagai pembawa bendera partai dalam kampanye jalanan partai, dan mereka terlibat dalam konflik-konflik yang mencerminkan permusuhan antarpartai. Karena para pandu memberikan kesetiaan mereka lebih kepada organisasi induk mereka ketimbang kepada Tuhan, negara dan kemanusiaan, nilai tertinggi persaudaraan kepanduan hanyalah basa-basi. Pandu yang terkait dengan partaipartai nasionalis memandang pandu yang terkait dengan partai sosialis dan keagamaan sebagai “musuh” dan bukan sebagai saudara sesama pandu, begitu pun sebaliknya. Letih menghadapi situasi demikian Presiden Soe-
3
Pujo Semedi, Di Sini Senang, di Sana Senang: Melihat Pramuka dari Perspektif Kaum Muda
karno pada tahun 1961 mengambil langkah tegas dengan menyatukan pandu Indonesia dalam satu wadah tunggal yang disebut Praja Muda Karana (Pramuka), secara harfiah bermakna Kader Muda Bangsa (Anggaran Rumah Tangga ,1961). Sejak saat itu Pramuka berada di bawah kontrol total pemerintah. Nampaknya bagi Soekarno pemuda merupakan aset nasional yang terlalu berharga untuk diserahkan pada partai-partai politik dan organisasi massa. Ketika Jenderal Suharto mengambil alih mengambil alih kepemimpinan politik negara pada tahun 1966, dia menerima Pramuka warisan Soekarno dengan senang hati. Dia melekatkan struktur sentralistis pramuka ke struktur pemerintah Indonesia Orde Baru dan mengintensifkan kegiatan kepanduan dengan jambore berkala di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten, memberikan dukungan finansial melimpah dari pemerintah. Pada tahun 1971 melalui Dekrit Presiden No. 12/1971, Suharto mengganti Anggaran Rumah Tangga Pramuka 1961 dengan anggaran rumah tangga baru yang menjadikan Presiden Indonesia Ketua Dewan Pembina Nasional Pramuka yang beranggotakan para menteri kabinet dan pejabat tinggi negara lainnya. Pada tingkat di bawahnya, para gubernur ditunjuk sebagai Ketua Dewan Pembina Daerah yang terdiri atas kepala semua dinas pemerintah dan komandan angkatan bersenjata daerah. Pola ini ditiru di tingkat kota madya dan kabupaten, di mana wali kota dan bupati ditunjuk sebagai Ketua Dewan Pembina Cabang. Pemberlakuan anggaran rumah tangga 1971 menempatkan Pramuka di bawah kontrol langsung pemerintah, karena presiden, gubernur, wali kota dan bupati mempunyai akses langsung ke organisasi Pramuka di wilayah masing-masing. Selama beberapa dekade berlaku tradisi bagi para pramuka untuk menambatkan kegiatan mereka di sekolah-sekolah (Gugus Depan Bandung, 2006), walaupun gerakan itu merupakan “milik” masyarakat. Sekolah sengaja “dipinjam” karena mempunyai fasilitas yang diperlukan untuk latihan seperti
4
ruang kelas dan halaman yang luas. Gerakan pramuka juga tertarik dengan sekolah karena sekolah adalah tempat terbaik untuk merekrut anggota baru. Pada tahun 1965 Pimpinan Nasional Pramuka mengeluarkan keputusan bersama dengan Keputusan Menteri Pendidikan No. 165/Kab/1965 yang menganjurkan siswa sekolah dasar dan sekolah menengah agar masuk Pramuka di gugus depan terdekat dari rumah mereka. Anjuran ini diperkuat pada tahun 1978 oleh Menteri Pendidikan. Setiap sekolah negeri dan swasta wajib menjadi gugus depan Pramuka. Sejak saat itu pramuka terkait erat dengan sekolah dan orang sering memandang pramuka setempat sebagai kegiatan ekstrakurikuler suatu sekolah. Walaupun terdapat kebijakan Menteri Pendidikan tersebut, keanggotaan pramuka tetap bersifat sukarela. Perlu dicatat bahwa, untuk menghemat belanja seragam sekolah orang tua —salah satu alasannya— hingga pertengahan 1990-an setiap Jumat dan Sabtu siswa sekolah dasar dan sekolah menengah wajib mengenakan seragam cokelat pramuka, tetapi mereka tidak wajib menjadi anggota pramuka. Keterkaitan pada struktur pemerintah dan sekolah menguntungkan gerakan pramuka selama Orde Baru. Sepanjang periode awal Orde Baru, bagi kebanyakan orang Indonesia banjir darah 1965 masih tergambar jelas dalam benak mereka. Mereka mengetahui nasib para anggota Pemuda Rakjat Partai Komunis setelah peristiwa 1965. Banyak anggota Pemuda Rakjat yang menemui ajal dalam banjir darah. Masyarakat tahu bahwa sebelum bergabung dengan Pemuda Rakyat, banyak dari pemuda bernasib malang itu yang aktif dalam Kepanduan Putra Indonesia, gerakan pramuka Partai Komunis. Sepanjang Orde Baru, masyarakat juga menyaksikan aktivitas brutal pemuda partai politik, Satgas Partai, yang dengan bangganya menampilkan diri sebagai preman partai. Pemuda Satgas Partai boleh jadi dipuji oleh para fungsionaris partai bersangkutan, tetapi aktivitas mereka membangkitkan ketidaksukaan khalayak
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Pujo Semedi, Di Sini Senang, di Sana Senang: Melihat Pramuka dari Perspektif Kaum Muda
luas. Di mata orang tua Indonesia, masuk pramuka jelas jauh lebih baik bagi anak-anak mereka daripada bergabung dengan Satgas Partai. Bagi orang tua, masuk kepanduan aman dan benar secara politis karena tidak ada sangkutannya dengan politik praktis, namun terkait secara sah dengan struktur utama masyarakat, yaitu negara.
Janji Pramuka dan Panitia Dalam arti yang sesungguhnya pramuka adalah sebuah gerakan moral. Para anggota diikat oleh janji untuk menjadi warga negara teladan yang beriman kepada Tuhan, setia kepada Tanah Air, bersikap santun dan bertanggung jawab, serta peduli lingkungan (Abbas dkk, 1990). Institusionalisasi janji ini dilaksanakan dengan membaca ikrar keras-keras dalam upacara pengibaran bendera yang rutin dilakukan pada pembukaan pertemuan mingguan. Pramuka putra dan putri diharapkan menjadi patriot perwira yang sedia membantu orang lain. Para sesepuh Pramuka suka menuturkan kisah betapa di masa muda mereka diwajibkan membawa tiga butir batu seukuran kelereng dalam saku setiap hari. Setiap butir dibuang setiap mereka melaksanakan perbuatan baik —menyingkirkan pecahan kaca di jalan, atau mengantar tetangga yang sakit ke mantri kesehatan misalnya. Di akhir hari tidak boleh ada sebutir batu pun tersisa. Pramuka tidak hanya terlatih mengucapkan janji mereka untuk hidup hemat, cerdik, bertanggung jawab dan lain sebagainya, tetapi juga melaksanakan janji tersebut. Mereka diharuskan merencanakan program pengembangan diri, mengatasi segala persoalan yang mereka hadapi dalam mewujudkan rencana tersebut, dan akhirnya mengevaluasi seluruh proses, semuanya dilakukan sendirian. Pramuka akrab dengan kegiatan permainan dan latihan keterampilan hidup di alam bebas. Sebagian latihan yang masih bertahan hingga hari ini mungkin tampak absurd. Kita mungkin bertanya-tanya
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
siapa pula yang akan menggunakan bendera semafor dan kode Morse untuk berkomunikasi ketika semua orang sudah punya telepon seluler. Akan tetapi walaupun beraroma anakronistik, bagi para pramuka merupakan kegembiraan untuk mempelajari keterampilan langka semacam itu. Lebih dari itu, latihan memberi anak-anak muda arena bermain peran (role playing) otonom. Sebagian dari mereka, karena kecakapan atau terpilih, akan menjadi pelatih sedangkan yang lainnya menjadi peserta latihan, walaupun usia mereka sama. Permainan peran dilakukan dalam hampir semua kegiatan karena pramuka sangat independen dalam mengatur kelompok dan menyelenggarakan program latihan. Untuk sebagian besarnya mereka menguasai lapangan latihan, karena para pembina biasanya hanya mengawasi dari kejauhan dan memberi nasihat serta bantuan jika diperlukan saja (Takijoeddin, 1968: 15). Pramuka menghimpun dana untuk membiayai latihan ambalan mereka dengan menjual kudapan bikinan sendiri, minuman ringan, emblem dan pin pramuka, serta mengumpulkan barang-barang bekas. Pendidikan pramuka didasarkan pada sebuah prinsip pendidikan kelompok. Individu pramuka penegak diorganisasi ke dalam sebuah sangga beranggotakan sekitar sepuluh orang, dan sekitar empat sangga membentuk sebuah ambalan. Masing-masing sangga dipimpin seorang ketua, dan tiap-tiap ambalan memiliki sebuah dewan yang terdiri atas ketua ambalan, wakil ketua, seorang sekretaris dan seorang bendahara (Kwartir Nasional Pramuka, 1987: 231). Dalam struktur ini ketua sangga dan ketua ambalan diharapkan bertindak sebagai model peran. Mereka memberikan bimbingan dan diberi hak memerintah unit masing-masing. Seorang ketua sangga memimpin sangganya berlatih dan meningkatkan keterampilan para anggota serta memantapkan kesatuan sangga. Seorang ketua ambalan bisa mendisiplinkan secara sosial para anggota dan ketua sangga yang tidak mampu melakukan tugas se-
5
Pujo Semedi, Di Sini Senang, di Sana Senang: Melihat Pramuka dari Perspektif Kaum Muda
bagaimana mestinya sebagai anggota ambalan. Ringkasnya, pramuka dilatih untuk mempelajari ide dan praktik kerja tim, bekerja sama dengan teman-teman mereka untuk memecahkan problem bersama, dan mencapai tujuan-tujuan bersama. Secara berkala, mungkin dua kali dalam satu semester, ambalan pramuka mengadakan acara yang lebih besar daripada latihan mingguan. Acara itu bisa berupa mendaki gunung, berkemah, perlombaan antar-ambalan, latihan kepemimpinan, atau jambore regional. Karena melibatkan peserta lebih banyak dari biasanya acara-acara demikian memerlukan periode perencanaan lebih panjang, dana dan perlengkapan lebih banyak, dan manajemen yang lebih rumit. Acara semacam itu tidak bisa dijalankan oleh para ketua sangga dan ambalan saja. Sehingga sebuah komite kerja, panitia, biasanya dibentuk untuk merencanakan dan menjalankan program. Anggota-anggota panitia direkrut dari anggota senior ambalan untuk memberikan dukungan administratif, material dan teknis yang diperlukan untuk acara tersebut. Jika acaranya adalah mendaki maka panitia merencanakan, menyiapkan jalur, menunjuk para senior penanggung jawab titik pemeriksaan, menyiapkan bantuan darurat, dan memilih lokasi. Jika berkemah, panitia akan menyiapkan lokasi perkemahan, menyusun acara perkemahan, melaksanakan acara dan lain sebagainya. Makin besar suatu acara makin besar pula ukuran panitia. Sebuah kegiatan ambalan di alam bebas mungkin memerlukan tidak lebih dari sepuluh penggalang dalam sebuah kepanitiaan, tetapi Jambore Nasional 1981 di Jakarta, misalnya, dengan sekitar 26.000 peserta ditangani oleh panitia yang beranggotakan 2.800 orang (Kwartir Nasional Pramuka, 1981: 23). Ketika seorang pramuka dipilih atau ditunjuk sebagai anggota panitia itu berarti bertanggung jawab atas kerja nyata. Hanya jika panitia bekerja dengan baik kegiatan ambalan akan berjalan lancar. Jika ada ada yang salah dalam suatu acara, biasanya panitia yang pertama kali dipersalahkan (Kincir, 1973, No. 7: 10). Untuk
6
sebagiannya itulah penjelasan bagi keseriusan pramuka dalam melaksanakan tugas-tugas kepanitiaan. Alasannya adalah tanggung jawab panitia dibarengi imbalan berarti untuk mengontrol pelaksanaan suatu acara atau aktivitas penunjangnya. Mereka tidak sekadar melakukan permainan peran pemimpin tetapi juga dibekali dengan kekuasaan riil pemimpin. Agak mengherankan tidak ada artikel atau laporan tentang kepanitiaan dalam majalah atau buletin pramuka. Kepanitiaan pramuka mirip mesin sebuah mobil yang menggerakkan semuanya dan membuahkan hasil, walaupun tersembunyi dari pandangan.
Ritus Sehari: Latihan Gabungan di Pekalongan Pada awal April 2007, para anggota pramuka dari SMA 1, SMA 3 dan SMA Islam Pekalongan mengadakan ujian latihan gabungan sehari. Untuk keperluan ini sebuah kepanitiaan beranggotakan 20 pramuka dari masing-masing ambalan dibentuk. Semuanya adalah siswa tahun kedua karena siswa tahun pertama masih terlalu muda untuk menjadi panitia, sedangkan siswa tahun ketiga sudah tidak aktif karena sibuk belajar menghadapi ujian akhir. Sepekan sebelum latihan diselenggarakan, panitia mengadakan beberapa rapat untuk membicarakan struktur kepanitiaan, acara latihan dan siapa saja yang bertanggung jawab untuk masing-masing komponen acara. Panitia dibagi secara efisien menjadi dewan eksekutif dengan seorang ketua dan wakilnya, dua sekretaris dan dua bendahara, dan tiga ketua seksi untuk urusan umum. Mereka memutuskan latihan diadakan di SMA 3 dan masing-masing ambalan harus mengirim setidak-tidaknya 20 penegak putra dan 20 penegak putri. Dengan cara ini setiap pramuka akan memperoleh kesempatan mengenal dan bekerja sama dengan pramuka dari SMA lain. Setelah melakukan beberapa kali perhitungan bendahara memastikan bahwa latihan membutuhkan biaya Rp 1.400.000, ter-
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Pujo Semedi, Di Sini Senang, di Sana Senang: Melihat Pramuka dari Perspektif Kaum Muda
utama untuk makan siang, makanan kecil dan minuman. Ditarik iuran untuk menutup biaya itu, Rp 100.000 dari masing-masing ambalan dan Rp 7.000 dari tiap-tiap peserta. Rencana anggaran dipersiapkan oleh panitia tanpa campur tangan dari pembina penegak putra maupun putri. Pada hari yang telah ditentukan, satu jam sebelum peserta latihan tiba, panitia tiba di SMA 3. Sehari sebelumnya seksi konsumsi sudah memesan makanan kecil, makan siang dan minuman dari sebuah restoran dan membayar tagihan dengan uang dari bendahara. Tanpa banyak kata sebuah jadwal besar tulisan tangan ditempel di dinding, sementara yang lainnya menyiapkan lima tiang bendera; untuk bendera negara, bendera pramuka, dan bendera ambalan. Pada pukul tujuh tiga puluh sebagian besar peserta sudah sampai, dan kembali tanpa banyak kata seorang pramuka memberi abaaba. Dia membariskan peserta latihan dalam tujuh belas baris lalu mengadakan gladi bersih untuk upacara pembukaan. Di bawah komandonya seratus dua puluh pramuka berubah menjadi satu tubuh kompak, serempak dan patuh, bersiap dan istirahat di tempat, hadap kiri dan hadap kanan, buka dan tutup barisan, melangkah maju dan mundur. Sekitar tiga puluh menit kemudian upacara pembukaan dilangsungkan. Seorang pembina dari ambalan SMA 1 naik ke podium untuk bertindak sebagai inspektur upacara. Setelah penghormatan umum, pembacaan Sumpah dan Janji Pramuka, dan laporan dari ketua panitia tentang hari latihan gabungan, inspektur upacara memberikan sambutan singkat yang diakhiri dengan harapan agar latihan berjalan lancar. Komandan upacara lalu mengistirahatkan barisan di tempat. Selanjutnya, anggota panitia yang lain, seorang penegak putri, tampil dan memberi tahu para peserta bahwa setelah barisan dibubarkan mereka harus membentuk sangga berisi dua puluh penegak sesuai daftar yang sudah dia susun. “Kalian punya waktu lima menit untuk membentuk sangga dan memilih ketua sangga,” dia memerintahkan. Dia membagikan
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
daftar kepada beberapa peserta, melangkah mundur dan komandan upacara membubarkan barisan. Seperti kelereng tumpah dari kaleng para peserta upacara bergerak gaduh ke sana kemari mencari sangga mereka. Seorang panitia putri membawa daftar nama dan berdiri terpisah, dengan lantang ia mulai menyebut nama-nama anggota sangga. Dalam sekejap kegaduhan sirna dan semua peserta latihan berkumpul dalam lingkaran yang masing-masing terdiri atas sepuluh orang di lapangan basket untuk memilih ketua sangga. Dua detik sebelum lima menit yang disediakan habis, panitia putri itu muncul kembali dan meneriakkan hitungan mundur: “Lima, empat, tiga, dua, satu, nol. Bentuk barisan!” Dua belas deret sangga terbentuk dengan baik. Si panitia putri mengumumkan bahwa kegiatan selanjutnya adalah latihan baris-berbaris: “Setiap sangga melaksanakan latihan dasar baris-berbaris dan ada anggota panitia yang akan menilai dan memperbaiki teknik berbaris kalian. Bubar barisan!” Selama satu jam, di bawah terang matahari pagi setiap sangga berlatih barisberbaris. Pelipis dan punggung mereka basah berkeringat tetapi mereka terus bergerak maju mundur dalam langkah berbaris, menghadap ke kanan dan kiri, membuka dan menutup barisan menurut perintah ketua sangga, berusaha mencapai formasi berbaris rapi yang sempurna. Para anggota panitia serius dalam memberikan penilaian “Barisan kalian belum lurus ... Begini.” “Angkat dagu ...!” “Pandangan tetap lurus ...!” Tanpa sepatah kata pun sangga yang dimaksud melakukan yang terbaik untuk mematuhi saran. Latihan baris-berbaris disusul dengan mengikat simpul, yang harus diperlihatkan dengan konstruksi tripod. Tiap sangga diperintahkan membuat tripod bambu diikat dalam tempo lima belas menit. Lagi-lagi beberapa detik sebelum 15 menit yang disediakan berlalu seorang anggota panitia meneriakkan hitungan mundur. Sebelum menit nol kedua belas tripod sudah berdiri di tengah lapangan basket, sementara para peserta duduk di
7
Pujo Semedi, Di Sini Senang, di Sana Senang: Melihat Pramuka dari Perspektif Kaum Muda
tempat-tempat berteduh di lapangan untuk menghindari sengatan matahari. Lima anggota panitia dengan cermat memeriksa simpul ikatan pada tripod dan memanggil seorang wakil dari masing-masing sangga untuk ditanyai soal tripod. Mereka ditanyai tentang apa itu tripod, bagaimana penggunaannya, cara membuatnya, simpul yang dipakai dan lain sebagainya. Tripod terbaik mendapat pujian dan sangga yang bersangkutan menari-nari kegirangan ditingkahi tepuk tangan. Sangga dengan tripod terburuk dihukum menghibur para peserta yang lain dengan nyanyian dan tarian yang mereka lakukan dengan tak kurang gembiranya dari sangga pemenang. Selesai dengan ikatan simpul, para peserta diarahkan ke aula untuk istirahat pagi. Duduk melingkar, panitia berkumpul di tempat berkarpet sementara peserta duduk di lantai tanpa alas. Lima orang panitia dari seksi konsumsi dengan gesit membagikan bungkusan makanan kecil dan es teh. Selama lima belas menit aula riuh rendah, hampir semua orang berbicara. Lantai dipenuhi bungkus makanan kecil dan kantong plastik yang berserakan. Dua orang seksi konsumsi datang membawa kantong-kantong besar membereskan sampah yang berceceran. Atas prakarsa sendiri beberapa peserta bangkit membantu mereka. Secara keseluruhan latihan gabungan sehari berjalan lancar. Kegiatan selanjutnya adalah diskusi, penampilan kesenian, makan siang, dan latihan kelompok dilakukan dengan lancar. Upacara penutupan dilaksanakan pada pukul 16.15, dengan komandan ambalan SMA 3 bertindak sebagai inspektur upacara —karena semua pembina putra dan putri sudah meninggalkan latihan pada pukul sebelas siang. Dia mengatakan kepada para peserta upacara bahwa latihan gabungan dilaksanakan dengan sangat memuaskan, bahwa kegiatan itu memberi mereka kesempatan untuk mengenal satu sama lain dan bekerja sama, dan bahwa dirinya menunggu-nunggu latihan gabungan selanjutnya. Menyusul teriakan perintah bubar barisannya, komandan upacara menempatkan diri di depan jajaran panitia. Hampir secara
8
otomatis anggota panitia yang berdiri paling depan keluar dari barisan, menyalami tangan komandan upacara, mengucapkan selamat berpisah dan menempatkannya di samping dirinya untuk menerima jabat tangan orangorang setelah dirinya. Tanpa berkomentar semua orang dalam barisan mengikuti sesuai urutan dan barisan membesar untuk membentuk lingkaran di lapangan basket. Ketika lingkaran sudah sempurna, setelah semua orang saling berjabat tangan, komandan upacara berseru lantang; “Sekali lagi saudarasaudari saya ucapkan selamat berpisah. Sampai berjumpa pula. Salam Pramuka!” Serempak semua menjawab, “Salam!” Semua orang beranjak pergi, kecuali para anggota panitia. Mereka harus mengumpulkan peralatan dan material serta melakukan pemeriksaan akhir untuk memastikan apakah ada yang tertinggal. Pekan berikutnya mereka akan bertemu kembali untuk menulis laporan teknis dan keuangan latihan gabungan sehari tersebut. Tak ada yang bisa membantah bahwa pada dasarnya latihan bersama tanggal 8 April itu berisi ritus dan permainan, dan mungkin beberapa peserta juga memandangnya demikian, sekadar sebagai aktivitas yang menyenangkan untuk mengisi akhir pekan, yang bisa jadi akan membosankan tanpa kegiatan itu. Namun, bagi para panitia latihan tersebut adalah kerja serius dan menuntut tanggung jawab yang harus direncanakan dan dilaksanakan serius. Sesungguhnya, itu memang pekerjaan serius. Tanpa perencanaan yang baik dan manajemen efisien mustahil menjaga 120 pramuka di satu tempat, tidak berkeliaran ke mana-mana dan melakukan apa yang diperintahkan selama sehari penuh. Barangkali, karena sejarah retorika ideologi dari pemerintah dan lembaga-lembaga kekuasaan lain, di benak para anggota panitia mereka percaya bahwa semua ritus dan permainan pramuka bermanfaat bagi negara dan masyarakat. Namun sesungguhnya apa yang mereka dapatkan secara pribadi dari aktivitas pramuka bukanlah rasa nasionalisme yang kokoh, melainkan pengalaman kerja
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Pujo Semedi, Di Sini Senang, di Sana Senang: Melihat Pramuka dari Perspektif Kaum Muda
kelompok. Mereka memperoleh keterampilan menyelenggarakan acara, mereka menerima peran kepemimpinan dan mereka memiliki kesempatan merasakan hak memerintah orang, manisnya kekuasaan. Mungkin dosisnya kecil, tetapi cukup membuat mereka mengerti betapa manisnya kekuasaan, dan mungkin sudah cukup untuk mendorong mereka merasakan lebih banyak lagi. Variasi dalam tingkat kesungguhan memegang nilai-nilai kepramukaan di antara para pramuka tentu ada, dari yang paling rendah hingga yang paling berkomitmen. Variasi serupa juga terjadi pada penampilan kolektif pramuka sepanjang waktu. Meski begitu secara umum, karena sumpah dan perbuatan baik mereka, pramuka dipuji oleh masyarakat Indonesia sebagai anak muda bermoral lurus. Mereka merepresentasikan orang muda cerdik, disiplin, terampil, terpelajar dan sopan harapan orang tua. Sungguhpun demikian, bagi sebagian anak muda pramuka terkesan anakronistis, ketinggalan zaman. Sejak akhir 1970-an, merebak kelompok-kelompok pemuda pecinta alam, beriringan dengan perluasan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah menengah. Bermacam-macam kelompok dan aktivitas baru memberi anak muda Indonesia alternatif mengisi waktu luang mereka, melepaskan energi mereka, dan membangun identitas mereka (Tsing, 2005; Semedi, 2006: 140). Seperti diisyaratkan oleh penampilan hippie mereka, termasuk celana panjang baggy, baju tentara, dan rambut panjang untuk laki-laki, kelompok-kelompok pecinta alam terkenal karena keyakinan mereka pada kebebasan, dorongan bagi struktur keorganisasian yang longgar, dan —hingga batas tertentu— sikap anti-kemapanan. Dalam tempo singkat ribuan pemuda Indonesia bergabung dengan mereka atau mendirikan kelompok sendiri. Pada saat yang sama, kegiatan ekstrakurikuler (ekskul) dalam bidang sains, seni, olahraga, penerbitan dan kajian keagamaan yang tak kalah menyenangkan, tetapi tidak seketat pramuka —karena tidak mengharuskan seragam, upacara resmi, dan latihan rutin ming-
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
guan— mendapat perhatian siswa sekolah menengah. Para pecinta alam maupun pegiat ekskul cenderung berpandangan sama tentang pramuka, bahwa pramuka benar-benar ketinggalan mode, tidak keren. Meski begitu pandangan ini justru memperkuat citra baik kepanduan bagi generasi tua dan bagi pramuka sendiri, bahwa penegak putra dan penegak putri berperilaku santun, dan bahwa gerakan pramuka nasional adalah, pendek kata, institusi pemuda yang tertata, berorientasi positif, terpercaya secara moral.
Hari-hari Gembira Peraturan negara dan kode-kode moral patriotik menetapkan batas tegas tentang ruang sosial kepramukaan. Pramuka dilarang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan kepentingan negara maupun kodekode moral yang mapan. Karena secara formal mematuhi batas inilah, bagaimanapun juga, penegak putra dan penegak putri mendapatkan kompensasi penting berupa justifikasi sosial dan kepercayaan masyarakat luas untuk melakukan acara-acara mereka sendiri. Misalnya, secara resmi pramuka Indonesia dipisahkan menurut gender, penegak putra dan penegak putri punya ambalan dan sangga sendiri-sendiri. Ketika mereka berkemah atau mengikuti perkemahan besar, penegak putri punya “desa” sendiri dan hingga batas tertentu acara sendiri. Akan tetapi di atas tingkatan ambalan, seperti ditunjukkan contoh di atas, pemisahan berdasarkan jenis kelamin sering kabur dan sebagian besar aktivitas dilakukan bersama. Ketika mendaki gunung, misalnya, para penegak biasa membentuk sangga campuran demi alasan keamanan di sepanjang jalur pendakian. Dalam sebuah acara berkemah biasa, lokasi perkemahan dibagi menjadi tiga bagian utama: desa putri, desa putra dan lapangan umum di mana penegak putra dan putri bisa membaur. Orang tua Indonesia sensitif dengan relasi antar gender di kalangan anak muda. Mereka
9
Pujo Semedi, Di Sini Senang, di Sana Senang: Melihat Pramuka dari Perspektif Kaum Muda
menganggap hal itu sebagai isu moral paling mencemaskan yang harus diperhatikan. Seorang gadis sangat dibatasi untuk pergi keluar bersama seorang pemuda kecuali ada tanda-tanda jelas bahwa hubungan mereka akan berlanjut ke perkawinan. Namun kekhawatiran moral tentang relasi gender ini nampaknya tidak berlaku bagi pramuka putra dan putri. Agaknya masyarakat luas yakin tidak akan terjadi apa-apa antara gadis dan pemuda sejauh mereka berkegiatan di bawah payung pramuka. Minggu 27 April 2007. Pramuka SMA 1 sedang bersiap-siap untuk kegiatan menyusur pantai. Menurut jadwal, mereka berangkat pada pukul 08.30, tetapi sejak pukul 07.00 halaman sekolah sudah ramai dengan obrolan ketika para peserta tiba dan berjalan ke sana kemari dengan riang. Sebagian datang berjalan kaki, sebagian naik sepeda motor atau mobil yang dikemudikan orang tua —yang langsung pergi begitu si anak lari bergabung dengan teman-temannya. Suasana santai dan menyenangkan. Anak-anak muda itu membicarakan berbagai hal dengan cara seperti umumnya anak muda mana pun, memaparkan pengalaman terbaru mereka dengan ini dan itu, kesulitan mereka menangkap pelajaran, menceritakan keanehan para guru dan lain sebagainya. Hanya para anggota panitia yang terlihat serius. Mereka berkumpul di depan kantor guru membicarakan acara. Rani, ketua panitia, siswi tahun kedua yang mengenakan jilbab, sedang melakukan pemeriksaan terakhir urusan transportasi, makanan, dan kegiatankegiatan sepanjang jalur yang disusuri. “Dul, truk siap?” “Beres, Ran!” terdengar jawaban. “Bagaimana dengan air minum, makanan kecil, makan pagi dan makan siang, Wid?” “Sudah siap semua, Ibu Ketua,” jawab Widya. “Titik pemeriksaan, sangga darurat, perlengkapan?” dan seterusnya. “Hari ini kita akan mengurus sendiri, karena Pembina Chisnun tidak bisa ikut. Tidak masalah, kita bisa menangani acara ini,” kata Rani kepada timnya dan tak seorang pun terlihat kaget atau khawatir dengan pengumuman itu. “Suruh
10
para anggota ganti seragam. Sudah hampir delapan seperempat, kita harus segera mulai.” Perintah disampaikan dan tak lama kemudian semuanya mengganti seragam cokelat pramuka mereka dengan kaus biru muda lengan panjang. Setelah upacara pembukaan singkat, di mana Pembina Chisnun menyampaikan pidato tentang nilai positif kegiatan alam bebas dan menasihati mereka agar berlaku santun, seluruh 58 peserta, menggendong ransel ringan, naik ke sebuah truk besar menuju Pantai Sigandu yang berjarak sekitar delapan kilometer jauhnya. Sepanjang perjalanan mereka mengobrol satu sama lain. Tiba di pantai, mereka berbaris dan sangga awal disusun ulang menjadi lima sangga campuran —masing-masing terdiri atas sembilan penegak putri dan putra. “Bagus, teman-teman,” kata Rani, kepada ambalan dia mengatakan, “tujuan akhir kita adalah pantai Ujung Negara. Ada beberapa titik pemeriksaan sepanjang sepuluh kilometer jalur kita. Ikuti saja garis pantai dan kalian tidak akan tersesat. Jangan membuang sampah di pantai. Kalau menjumpai sampah plastik, ambil. Kita buang nanti di titik pemeriksaan. Bawa air minum dan makan pagi kalian. Selamat berjalan-jalan.” Sangga Satu mulai menyusuri jalur. Sangga-sangga berikutnya menyusul dengan selang lima belas menit. Di bawah matahari pagi yang mulai menyengat, Sangga Satu berjalan perlahan-lahan. Ada yang mulai menyanyi tetapi tak ada kawannya yang menyahut. Nampaknya terik matahari menyerap kemauan mereka untuk menyanyi dan mereka justru mengiringi langkah malas mereka dengan mengobrol ringan. Setelah dua kilometer, Sangga Satu tiba di titik pemeriksaan pertama di bawah kerindangan pohon besar. Mereka berbaris dan ketua sangga, seorang penegak putri, memberi hormat kepada penanggung jawab titik pemeriksaan. Ogah-ogahan sangga itu memberikan penghormatan militer. Setelah penanggung jawab titik pemeriksaan membalas penghormatan, ketua sangga melaporkan bahwa sangganya berada dalam
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Pujo Semedi, Di Sini Senang, di Sana Senang: Melihat Pramuka dari Perspektif Kaum Muda
kondisi prima dan siap menerima perintah lebih lanjut. “OK. Perintah pertama untuk kalian adalah ... tapi menyanyi dan menari dulu, dong ...” jawab penanggung jawab titik pemeriksaan. Mungkin karena kerindangan pohon dan segarnya angin pantai, Sangga Pertama kembali mendapatkan keriangan mereka. Dengan gembira mereka menyanyikan sebuah lagu Papua, melambai-lambaikan tangan dan menari-berjalan dalam lingkaran. “Terima kasih untuk penampilan hebat ini. Tugas kalian adalah mengumpulkan sepuluh jenis kulit kerang yang berbeda di sekitar sini dan kalau mungkin menyebutkan nama-nama mereka,” perintah penanggung jawab titik pemeriksaan. Setelah menyelesaikan tugas mereka, Sangga Satu melanjutkan penyusuran, berjalan dalam panas kembali. Di suatu tempat sebelum titik pemeriksaan kedua mereka menjumpai ubur-ubur besar yang terdampar. “Hai, hai, lihat ini ...” “Jangan sentuh dengan jarimu, beracun. Kamu bisa gatal-gatal.” Seseorang menyodok ubur-ubur itu dengan tongkat pramukanya, membalik binatang laut itu. Untuk sesaat perhatian tersedot oleh makhluk laut mati itu, sesuatu yang tidak sering mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi matahari terik dan mereka sudah cukup lama berjalan. “Ada yang mau menolongku? Ranselku berat,” seorang penegak putri memohon. “Apa hadiahnya?” seorang penegak putra menanggapi menggoda. “Tidak ada!” “Buat apa aku susah-susah melakukannya kalau tidak dapat apa-apa?” “Ayolah. Bukankah kamu harus bersikap baik kepada teman.” “Itu pasti. Tapi membawa ransel ekstra berpanas-panas begini berkilo-kilometer dan tidak dapat apa-apa ... Yang bener sajalah.” “Oke, oke ... segelas es teh di Ujung Negara, aku yang traktir.” Tanpa menunggu lagi penegak putra itu membawa ransel rekan perempuannya —yang jelas tidak terlihat berat sama sekali. Sangga Satu melanjutkan penyusuran, tetapi penegak putri itu dan pengangkut ranselnya berjalan agak jauh dari yang lain, bersisian, meski masih dalam jangkauan pendengaran kawan-kawannya.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Dengan cara masing-masing nampaknya semua menikmati perjalanan menyusur pantai itu. Titik pemeriksaan Empat terletak di dekat muara dan penanggung jawabnya bertugas memastikan semua orang menyeberangi muara dengan selamat. Dengan nada serius dia memberi tahu semua sangga bagian muara yang dalam, lalu membimbing mereka menyeberangi muara selebar 20 meter dengan kedalaman sepinggang. Dasar anak muda, bukannya menyeberang muara cepat-cepat, beberapa penegak putra memanfaatkan kesempatan itu bermain perang-perangan air. Mula-mula mereka menyimbur-nyimburkan air sesama mereka, tetapi kemudian juga ke arah penegak putri di dekat mereka. Gadisgadis itu menjerit-jerit antara takut dan senang, mereka membalas serangan. Terikat oleh tanggung jawabnya, penunggu titik pemeriksaan berteriak-teriak dari tepi muara: “Sudah. Hentikan. Cepat menyeberang. Ayo!” Dengan malas-malasan para penegak putra keluar dari muara, disusul rekan-rekan perempuan mereka, lalu kembali berjalan kaki menuju Ujung Negara, setengah kilometer jauhnya. Di Ujung Negara para peserta yang sampai terlebih dahulu berkumpul di lokasi berbatu karang. Sebagian dari mereka dudukduduk di karang, sebagian lainnya bermain di pantai. Pada pukul 13.30 seluruh ambalan tiba. Mereka duduk bersama di bawah pohon besar untuk makan siang disusul dengan acara bebas. Anak-anak muda itu terbagi-bagi menjadi beberapa kelompok dan mengobrol dengan riang gembira. Dalam salah satu kelompok seorang gadis mengatakan bahwa dia merindukan acara televisi Minggu pagi dan pembicaraan beralih ke film-film kartun populer. Di kelompok lain yang dibicarakan adalah pekerjaan rumah yang harus mereka kumpulkan hari Senin. Kelompok lainnya lagi sibuk melihat-lihat dan mengomentari foto-foto yang dijepret salah seorang dari mereka selama perjalanan dengan kamera digitalnya. Pada pukul 14.30 Rani menutup acara, dan memerintahkan ambalan naik truk
11
Pujo Semedi, Di Sini Senang, di Sana Senang: Melihat Pramuka dari Perspektif Kaum Muda
yang membawa mereka pulang ke markas ambalan. Selama perjalanan pulang ambalan tersebut menyanyikan segala macam lagu, mulai dari lagu pramuka hingga lagu film kartun. Di antara lagu-lagu mereka dengan bangga meneriakkan yel-yel ambalan mereka: Satu dua tiga empat
Ambalan kita memang hebat Berpikir cermat Bersikap hemat Bertindak cepat Uraian di atas menunjukkan, persis seperti latihan gabungan sehari, bahwa ambalan pramuka SMA 1 memperoleh pengetahuan produktif dari acara menyusuri pantai. Para anggota panitia belajar tentang cara yang tepat mengadakan acara dengan memelihara ketertiban ambalan, mulai dari penyiapan secara sistematis makanan dan minuman serta menjaga keselamatan. Keseluruhan acara berlangsung dalam suasana ceria dan bebas dari campur tangan dan pengawasan generasi tua. Dilihat dari perspektif orang tua dan guru tampaknya hal-hal mencemaskan bisa terjadi di antara anak-anak muda itu, secara fisik maupun moral. Meski begitu Pramuka nampaknya dikecualikan dari kekhawatiran otomatis generasi tua ini. Bukan karena mereka tidak pernah melakukan sesuatu yang berpotensi menimbulkan kekhawatiran, melainkan karena mereka membuktikan dari masa ke masa bahwa berkat pengawasan kelompok sebaya, juga karena kecerdikan, keterampilan keorganisasian dan fisik mereka, pramuka menyediakan lingkungan aman bagi anak muda. Pramuka putra dan putri diyakini cukup bisa dipercaya untuk dibiarkan mengurusi acara mereka sendiri.
Penutup Sebagian orang mungkin memandang pramuka sebagai sebuah institusi pemuda gaya lama, sarat ritus dan permainan, terhimpit
12
di antara campur tangan negara dan kodekode moral Baden-Powell. Dilihat dari sudut pandang anggota pramuka putra dan putri, bagaimanapun juga, kita harus memberikan sebuah pandangan berbeda. Bagi banyak anak muda Indonesia masuk pramuka masih menarik, karena di situ mereka menemukan sebuah ruang sosial dengan kadar kebebasan tinggi untuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan. Ambalan pramuka menganut sebuah kredo egalitarian “Dari penegak, oleh penegak, untuk penegak”. Terdapat derajat tidak lazim kesetaraan gender dan penegak putri sering memegang peran kepemimpinan. Arena pramuka memang ketat, bagaimanapun juga. Pramuka harus mengenakan seragam, secara moral terikat untuk berperilaku sesuai ideal warga negara yang baik, dan —sejak tahun 1960-an— secara politis dijinakkan. Meski begitu ruang bagu aksi independen masih cukup luas bagi mereka untuk belajar kepemimpinan, kerja kelompok, manajemen dan keterampilanketerampilan keorganisasian lainnya. Bisa dikatakan bahwa dalam praktik kepramukaan mereka melakukan reproduksi struktur kekuasaan masyarakat mereka. Mereka belajar dalam pengertian praktis, misalnya, cara membangun kekuasaan dengan memikul tanggung jawab dalam kepanitiaan dan bagaimana melaksanakan mandat dari ambalan —rekan-rekan sebaya mereka. Pengetahuan praktis yang mereka peroleh akan sangat berguna bagi mereka untuk menjalani kehidupan dalam masyarakat modern yang sangat terstruktur, dicirikan oleh relasi kekuasaan yang mementingkan hierarki dan distribusi tanggung jawab. Dibekali keterampilan untuk mengelola organisasi, anggota pramuka memiliki potensi untuk tidak hanya menjadi penumpang melainkan awak dan perwira kapal kehidupan. Lebih dari itu, mereka bisa menikmati masa-masa penuh gembira saat mempelajari pengetahuan dan mengembangkan percaya diri ini, dengan restu dari keluarga mereka. Pembelajaran pramuka bukanlah pembelajaran sekolah.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Pujo Semedi, Di Sini Senang, di Sana Senang: Melihat Pramuka dari Perspektif Kaum Muda
Pembelajaran itu dilakukan dalam atmosfer kegembiraan sambil tetap memperoleh kepercayaan orang tua dan masyarakat. Dalam ruang sosial ketat gerakan pramuka Indonesia, para penegak putra dan penegak putri melindungi kepentingan mereka untuk bergembira di masa kini seraya melakukan persiapan yang layak bagi masa depan. Mereka mengimbangi kepercayaan yang diberikan oleh para pembina dan orang tua dengan menjaga reputasi sosial dan moral sebagai anak muda yang bisa dipercaya dan bertanggung jawab.
Daftar Pustaka Abbas, M. A. et al., 1990. Pedoman Lengkap Gerakan Pramuka. Semarang: Beringin Jaya. Anderson, Benjamin. 1961. Some Aspects of Indonesian Politics under the Japanese Occupation: 1944-1945. Ithaca: Modern Indonesia Project. Baden-Powell, R.S.S. 2004. Scouting for Boys. Edited with an Introduction, and Notes by E.Boehmer. Orig. 1908. Oxford: Oxford University Press. ENI. 1927. Encyclopaedia van Nederlandsch Indie. No. 1-VI. Gerbang, Majalah. 2005 “Rencana Strategik Gerakan Pramuka 2004-2009”. Vol. IV, No. 2, pp. 69-72. Gugus Depan Bandung. 2006. Sejarah Gerakan Pramuka Gugus Depan (Gudep) 07019-07020 Kodya Bandung. http://www.bandung19.or.id. (accessed May 2006). Kwartier Besar SIAP. 1938. Gedenkboek SIAP-PMI. 1928-1938, 10 Tahoen Oesianja Pemoeda PSII. Djokjakarta: Persatoean. Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. 1981. Petunjuk Pelaksanaan Jambore Nasional 1981.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
______________. 1987. Patah Tumbuh Hilang Berganti. 75 Tahun Kepanduan dan Kepramukaan. ______________. 1973. ‘Taruna Bumi dan Pengembangannya’. Majalah Kincir. No 7. Mertoprawiro, H. S. 1992. Pembinaan Gerakan Pramuka Dalam Membangun Watak dan Bangsa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Muecke, Marjorie A. 1980. “The Village Scouts of Thailand” in Asian Survey. Vol. 20, No. 4. Het Padvindersblad. 1923. ‘Een padvinders is trouw’. No. 10. Pandu Rakjat Indonesia. 1950. 5 Tahun Pandu Rakjat Indonesia. Djakarta: Pengurus Besar PRI. Poeze, Harry A. 1982. Politiek-Politioneele Overzichten van NederlandschIndie. Deel I, 1927-1928. The Hague: Martinus Nijhoff. Pramuka. 1969. Pramuka. Indonesian Boy Scout & Girl Guide Movement. Jakarta: Japenpa. Pryke, Sam. 1998. “The Popularity of Nationalism in the Early British Boy Scout Movement”, in Social History. Vol. 23. No.3. Raharjendra, Surti. 1990. “Perkembangan dan Peran Hizbul Wathan Yogyakarta dalam Bidang Kepanduan (19181961).” BA thesis. Jogjakarta: Dept. of History, Gadjah Mada University. Rosenthal, Michael. 1986. The Character Factory. Baden-Powell and the Origins of the Boy Scout movement. New York: Pantheon Books. Sedia, Madjallah Kepandoean KBI Surabaja. 1938. “Berita dari Kwartier Daerah Djawa Timoer.” No. 9. Semedi, Pujo. 2002. “Petungkriyono: Mitos Wilayah Terisolir” dalam Heddy Shri Ahimsa P. (ed.) Esei-esei Antropologi. Jogjakarta: Kepel.
13
Pujo Semedi, Di Sini Senang, di Sana Senang: Melihat Pramuka dari Perspektif Kaum Muda
Suharini, Theresia Sri. 2000. “Javaansche Padvinders Organisatie: Awal Munculnya Kepanduan Indonesia, 19161942.” BA thesis. Jogjakarta: Dept. of History, Gadjah Mada University. Takijoeddin, Mh. 1968. Petundjuk Pembina Pasukan Gerakan Pramuka. Bandung: Pelita Masa. Tsing, Anna. 2005. Friction. Princeton: Princeton University Press.
14
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Hatib Abdul Kadir
Jurusan Antropologi Budaya, Universitas Brawijaya
Bergaya di Mall: Studi Etnografi Gaya Anak Muda Pasca Konflik di Ambon AB S T RAK Tulisan ini adalah kajian tentang bagaimana pemuda Ambon saling berkomunikasi dalam sebuah ruang publik yakni Ambon Plaza, atau sering disingkat dengan Ampas, yang berdiri sejak 1995. Ini adalah pusat perbelanjaan yang secara signifikan berubah pasca konflik di Ambon tahun 1999-2003. Di pusat perbelanjaan, pengunjung dapat melakukan hubungan yang interaktif, tidak hanya dengan pengunjung lain tetapi juga dengan penjajanya. Amplaz memiliki peran yang penting untuk mempertemukan orang-orang dari agama yang berbeda. Ini adalah tempat di mana kelompok Kristen dan Islam dapat bertemu tanpa rasa takut. Di tempat ini, gaya hidup baru dirayakan, sehingga Amplaz lebih terlihat sebagai arena untuk menunjukkan gaya hidup modern, dibandingkan sebagai arena konflik. Kata Kunci: gaya, ruang publik, pemuda AB S T RACT This paper examines how young Ambonese communicate their style in a public place, which is Ambon Plaza. Ambon Plaza, or called in abbreviation as Amplaz which was build in 1995, is a shopping mall that significantly changed after religious conflict in Ambon 1999-2003. In the mall, people can do interaction actively, not only with friends but also with sellers. Amplaz also has important role for mixing people from different religions. This is a place where either Muslim or Christian can meet and make appointment without fear. New lifestyles have been celebrated in this place. However, Amplaz here is more as a place to show their modern lifestyle, instead as tje battlefield arena. Keyword: style, public space, youth
Pendahuluan: Bergaya di Ruang Publik Ruang-ruang modern seperti plaza menyebabkan sebuah “kecemasan menyenangkan” yang nyaris tidak terpahami dengan baik. Beng Huat (2003) melakukan analisis tindakan berjalanjalan tanpa menghasilkan komoditas yang dibeli. Walter Benjamin (1936) menyebutnya sebagai state of distraction, keadaan yang membingungkan. Sedangkan Appadurai (2003) mengenai optic illusion. Barang menghadirkan imaji ilutif kepada tubuh. Me-
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
limpahnya barang, iklan yang merayu dan selalu berubah-ubah wujud menggerakkan tubuh untuk melakukan repetition (pengulangan); disciplined (disiplin) dan techniques of the body, yang mewajibkan tubuh membuat suatu teknik untuk “berkonsumsi” suatu secara periodik dan teratur (Appadurai, 67-8, 71: 2003). George Duhamel (1931) menyebutnya sebagai “masturbasi mata” (the masturbation of the eye). Tubuh berada pada pengalaman budaya voyeristik dari berbagai multiplikasi barang dan imaji yang berada di depan matanya (Ewen, xxxii:1988). Karena itula Ambon
15
Hatib Abdul Kadir, Bergaya di Mall: Studi Etnografi Gaya Anak Muda Pasca Konflik di Ambon
Plaza sering didatangi secara periodik dan repetitive. Di dalamnya hanya ada anak muda yang “itu-itu saja” mencandu pada tempat yang paling bergaya di Ambon ini. Merleau-Ponty (1962) berpendapat bahwa ruang tidak hadir sebagai materi yang terberikan, tetapi dibangun melalui pengalaman. Dengan demikian, terdapat banyak ruang yang dibuat oleh subjek secara aktif. Dalam pengertian ini, pengalaman memori terhadap ruang selalu bersifat spasial dan melekat di dalamnya. De Carteau melihat bahwa spasialitas memori ini menciptakan munculnya batas atau partisi dan struktur-struktur pada setiap ruang (Carteau, 1984:123). Peran perbatasan atau batas, terutama dalam konteks hubungan kekuasaan, sering didiskusikan dengan maksud untuk melihat kelompok terpinggirkan yang tidak selalu termarjinalkan.
Struktur dan Simbol yang Berubah Pasca konflik keagamaan tahun 2003, telah banyak perubahan terjadi. Bukan hanya pada pola struktur perumahan, struktur kepemimpinan, tapi perubahan juga terjadi pada pola dan gaya berpakaian (Kadir, 2008). Sebagai misal adalah kemunculan jilbab yang menjadi tren pasca konflik. Suli, misalnya salah seorang mahasiswi Kristen melihat bahwa kini setiap ia berjalan ke ruang publik sering menemukan orang-orang berpakaian jilbab dan mengenakan sandal jepit dengan celana menggantung seatas mata kaki. Rata-rata dari laki-laki berjanggut, dengan dua hingga tiga bekas dahi menghitam pada bagian tengah. Sebagaimana dikatakan Suli: “Dulu sebelum konflik itu, hampir tidak ada perempuan pake jilbab, tapi sekarang rata-rata perempuan pake jilbab, sampe anak-anak kecil pake jilbab. Demikian juga laki-laki jalan dengan pake sorban, saya tidak tahu kenapa? Tapi dari katong juga pake kalung salib basar-basar, biar
16
kemana katong mo pergi, apalagi kalo pi Amplaz (Ambon Plaza)”.
Bahkan jilbab di kalangan perempuan muslim, juga dikenakan hingga ke tataran anak SD dan mama-mama (ibu) yang sebelumnya sama sekali tidak pernah mengenakan mode pakaian Muslim tersebut. Pasca konflik keagamaan, ekspresi gaya dan berpakaian cenderung dimunculkan secara mencolok di ruang publik maupun semi publik seperti mall. Dalam tulisan ini saya akan mengkonsentrasikan pembahasan yang sifatnya deskriptif ini pada satu lokasi semi publik bernama Ambon Plaza. Mall kebanggaan orang Ambon ini diresmikan berdiri pada tahun 1995, dan sempat mengalami beberapa kali kebakaran akibat konflik yang terjadi selama lima tahun (1999-2004). Ambon Plaza sebagai satu-satunya mall di kota Ambon saya anggap penting karena ia adalah infrastruktur ampuh untuk membujuk anak muda kota Ambon melakukan pengalaman mencampurkan diri mereka kembali ke kesatuan yang tidak didasarkan identitas primordial apapun. Situasi pusat perbelanjaan memberikan kesempatan anak muda untuk melakukan observasi terhadap berbagai gaya baru yang bermunculan pasca rusuh dan hendak dikoreksi. Pusat perbelanjaan dalam berbagai tulisan ilmiah dikonsepsikan sebagai istana impian (dream palace) atau tempat ibadahnya konsumsi (cathedral of consumption) (Beng Huat, 2003). Di sini pelanggan yang memang ingin benar-benar berbelanja atau hanya sekadar duduk datang dan mendapatkan impiannya. Konsumen dengan sangat bebas menunjukkan keahliannya dalam melihat dan memilih barang, hanya sekadar melihat bahkan hanya mengaduk-aduk sebuah produk. Semua dilakukan untuk menemukan identitas, dan impian tak terkendali dari konsumen di ruang impian. Pengunjung mengkonsepsikan pusat perbelanjaan sebagai tempat bermalas-malasan, bukan hanya pada anak muda semata, melainkan juga para pegawai negeri berseragam yang sering terkena razia
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Hatib Abdul Kadir, Bergaya di Mall: Studi Etnografi Gaya Anak Muda Pasca Konflik di Ambon
di Ambon Plaza. Aktivitas bersantai yang dibuang di dalam mall, mengaktualisasi konsep waktu kaum urban di ruang publik yang tidak dimaknai secara ketat. Pengunjung berhak melakukan “browsing” untuk membuang waktunya. Aktivitas utama yang dilakukan oleh pengunjung di dalam pusat berbelanjaan adalah “mengaduk” sebuah komoditi dan juga menjumpai orang asing, yang hanya dikenal muka dan dikenal dengan baik di antara kerumunan orang yang lalu lalang. Lorong dan jalanan di depan stan pusat perbelanjaan kemudian dianggap sebagai sebuah pengganti dari ruas jalanan kota. Orang-orang sama berlalu lalang, dan sesekali berhenti tiba-tiba di depan sebuah stan, persis sebuah gerakan yang dilakukan ketika berhenti di depan sebuah toko di pedestrian kota. Di pedestrian pusat perbelanjaan inilah tubuh menjadi ajang melihat sekaligus dilihat (to see and be seen). Sebuah aktivitas dobel kesadaran antara memilih sebuah barang dan keinginan mengobservasi wajah-wajah asing yang dilihatnya (Beng Huat, 2003: 42-3). Mall sebagai salah satu penopang interaksi, tidak hanya memucatkan pengalaman face to face interaction secara langsung, namun juga membuat masyarakat berpengalaman layaknya sebuah gelas kaca yang mampu dijadikan sebagai cermin oleh orang lain, di sisi lain gelas kaca tersebut juga mampu memperlihatkan diri kita sendiri (self mirror). Masyarakat sebagai cermin, pada lingkup mikro dapat disaksikan dengan fenomena munculnya budaya tontonan (a culture of spectacle) seperi di wilayah publik (mall; pasar; jalanan; kolam renang bahkan tempat ibadah), semua orang ingin menonton sekaligus ditonton ( to see and to be seen).
Ruang Luar dan Ruang Dalam Ambon Plaza Pusat perbelanjaan ini mulai baru ramai sekitar pukul sepuluh. Musik-musik mulai di-
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
perdengarkan di bagian pintu utama dan di sepanjang badan muka mall. Di bagian depan bangunan ini bertuliskan “Ambon Plaza, tempat hiburan keluarga dan rekreasi”. Berlantai lima. Tampak cokelat dari luaran. Dindingnya mulai diterangkan dengan tambahan dan tambalan warna di sekitaran yang telah rusak. Plaza ini tutup ketika maghrib mulai dikumandangkan. Hanya tersisa sebuah stan pakaian, Matahari di lantai dua buka hingga jam sembilan malam. Selanjutnya terdapat tempat permainan bilyar di lantai empat yang buka hingga jam dua belas malam. Di setiap sudut mall, menghadirkan kekusutan dan kepadatan yang tidak teratur, dan tidak ada satu ruang pun yang kosong karena segan untuk dikunjungi. Dengan kata lain, Ambon Plaza menjadi demikian populis dan kumuh pasca terjadinya kerusuhan panjang. Teras bagian lantai dasar mall ini dikelilingi oleh pedagang kaki lima yang menawarkan berbagai macam sepatu, alat pakaian dan ikat pinggang. Keramaiannya ditambah dengan berbagai musik yang berdentum dari para pedagang VCD bajakan. Tiga keping hingga lima cd bajakan dibungkus menjadi satu, hanya dihargai sepuluh hingga lima belas ribu rupiah. Di dalamnya berisi lagu-lagu lokal atau film bajakan yang tidak sinkron dengan isi sampul di luaran. Tidak ada yang bisa dituntut untuk itu. Liris-liris romantis dari sang penyanyi, yang bersumpah setia tidak akan meninggalkan sang kekasih, menjadi daya tarik beberapa pejalan kaki. Mereka berhenti sejenak, menonton sample beberapa lagu yang ditayangkan. Pasca kerusuhan, sepanjang tahun 2003 dan tahun 2005, para pencopet dan pengemis sering masuk hingga lantai dua. Namun semenjak saya mengunjungi kembali mall ini di tahun 2006 dan 2009, para pengemis tersebut hanya berada di mulut pintu dan mengelilingi area luar mall. Berbeda dengan para pencopet, karena ia bisa saja menyamar dengan pakaian yang necis layaknya anak muda kebanyakan. Menurut beberapa pengakuan dari beberapa anak muda, para pencopet tersebut kini justru lebih banyak di mulut pintu mall yang
17
Hatib Abdul Kadir, Bergaya di Mall: Studi Etnografi Gaya Anak Muda Pasca Konflik di Ambon
memang padat dan semrawut. Sebenarnya untuk mengidentifikasi mereka cukup mudah. Para pencopet tersebut sangat peduli dengan penampilan yang disandang beberapa pengunjung. Mata mereka menatap tajam dan liar dari ujung sepatu, pantat tempat dompet diletakkan, tas kecil yang dijepit di ketiak perempuan. Hingga melihat penampilan di bagian badan. Ini sangat mudah mengingat anak muda di sini akan selalu berpura-pura cuek dengan penampilan anak muda yang melintas di depannya. Meskipun anak muda tersebut berpenampilan lebih bagus dibanding dirinya sendiri. Demi gengsi dan tetap mempertahankan gayanya, pandangan hanya akan dilakukan tatkala orang yang melintas tersebut telah melewati separuh dari tubuh penglihat. Ini berbeda dengan para pencopet yang benarbenar tidak sadar gengsi dan pola pandangan anak muda selayaknya di kota Ambon ini. Penjual yang berada di bagian luar mall baru ditemui pasca kerusuhan. Sebelumnya batas penempatan stan di dalam mall sangatlah tegas. Etalase di bagian luar sama sekali tidak diisi dengan pedagang kaki lima seperti sekarang ini. Meja menjual handphone, kaset lagu tak berhamburan sampai keluar. Ditambah, puluhan anak muda mengenakan yang masih mengenakan helm di kepalanya, kemudian masuk ke plaza dan berkeliling hingga lantai atas. Penjualan produk meluber hingga ke luar batas tegel bergaris kuning. Menurut aturan penjualan tidak boleh melebihi garis ini. Namun siapapun kini tidak menghiraukan perintah tersebut. Memasuki lantai dasar, sesungguhnya tidak membawa perubahan mendasar dengan keberadaan mall di bagian luar. Suhu udara dalam mall pun nyaris berbeda tipis dengan di luar. Pendingin udara yang memanjakan tubuh di beberapa titik bagian kanan Mall dan bagian tengah sama sekali tidak berfungsi. Para pedagang tak berhentinya mengajukan pertanyaan “cari apa abang?” Semua tempat, di lantai ini memberikan waktu dan ruang sebebasnya untuk melakukan tawar menawar. Semua produk yang ada di lantai dasar ini
18
sama dengan apa yang ada di bagian luar mall. Lantai dasar ini adalah pasar tradisional, di mana titik perbedaannya hanya tidak menawarkan bumbu-bumbu dapur dan ikan. Begitu memasuki mall, nuansa keislaman langsung dapat dirasakan. Dua pintu utama yang berada di dalam mall ini menjual perangkat busana muslim dan kopiah. Pada busana muslim warna yang mendominasi di atas di depan etalase berwarna merah muda dan putih. Terdapat sebuah patung kepala perempuan berwajah putih beralis tebal yang diberi kerudung. Sedangkan penjualan tasbih, kopyah dan sajadah berada pada mulut pintu utama di bagian timur. Beberapa penjual berjenggot lebat dan mengenakan celana hingga di atas mata kaki. Sesekali mereka bersalaman tatkala menemui beberapa rekan yang ternyata juga tengah berbelanja. Di lantai satu mall ini menyajikan suasana barang yang tidak mengitimidasi pembeli. Mereka dapat memilih apa saja yang dikehendaki atau sekadar menanyakan harga yang diinginkan. Di bagian tengah anak-anak muda menjual jasa pelayanan yang berhubungan dengan dunia seluler. Mereka melayani download ringtone, wallpaper ponsel, menjual casing, pulsa dan tukar tambah ponsel. Semua penampilan mereka mencirikan anak muda yang memang sadar akan gaya. Celana jeans berukuran lebar bagi laki-laki, dan celana jeans ketat se-betis, dikenakan oleh penjaga stan perempuan. Beberapa anting kecil menghias di telinga para lelakinya, dan anting di bagian hidung menghiasi penjaga perempuan. Rambut mereka juga disemir pada bagian tertentu. Bahkan ada yang semua warna aslinya telah benar-benar diubah menjadi kuning gading. Beberapa anak muda yang hinggap di depan stan ini lebih cenderung berlama-lama di depan para penjaga stan. Mereka telah saling mengenal. Sam, salah satu penjaga stan mengaku bahwa pada setiap tanggal di awal bulan mulai jatuh, maka anak-anak remaja setingkat SMP hingga SMA mendatangi stannya. Dengan tujuan untuk mengganti casing hp. Mereka mengaku bahwa mengubah penampilan dalam satu
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Hatib Abdul Kadir, Bergaya di Mall: Studi Etnografi Gaya Anak Muda Pasca Konflik di Ambon
bulan adalah penting agar tidak menjadi pecundang di lingkungan pergaulan mereka. Stan ponsel, merupakan tempat yang paling sering ditunggui oleh anak muda dengan lama. Selain sesuai untuk tempat nongkrong, mereka juga dapat terus mengamati perkembangan ponsel baru yang datang demikian cepat dengan berbagai fasilitas yang diberikan. Saya sempat terkejut tatkala mall ini mengalami mati lampu berulang kali di tahun 2006-2009. Lift tiba-tiba tidak berjalan. Sensor motor tepat di bawah pintu tidak berjalan. Beberapa perempuan seketika panik. Mereka meninggalkan barang-barang yang akan dibelinya. Memori kolektif mereka justeru bukan mengingatkan pada peristiwa bombom bunuh diri yang dititipkan oleh beberapa kalangan radikal. Melainkan lebih pada ingatan akan konflik lokal beberapa waktu lalu. Lain halnya dengan beberapa anak muda yang tidak mengalami kepanikan. Mereka demikian tenang menghadapi ini. Tak ada yang lari sedikit pun, kecuali hanya menampakkan keterkejutan yang sebentar. Lampu menyala kembali, dan tidak lama kemudian mati kembali. Demikian seterusnya. Menurut beberapa anak muda yang tak panik tatkala saya tanyakan, mereka hanya mengatakan bahwa hal tersebut tak patut ditakuti karena mati lampu di dalam mall ini sudah biasa. Sebentar lagi pasti akan menyala. Secara kasat mata terdapat dua ruangan yang saling berbeda karakter di lantai dasar ini. Pertama adalah karakter stan yang jarang dikunjungi oleh para laki-laki yakni stan pakaian perempuan di belakang penjualan VCD. Para laki-laki hanya akan berhenti pada permukaan stan VCD tersebut, kemudian mereka akan bergerak ke dua arah yakni antara ke arah jalan naik ke atas lantai dua melalui tangga lift. Kedua terdapat supermarket bernama Matahari. Tipikal pertokoan ini sama sekali tidak memberikan ruang tawar menawar sama sekali terhadap para pembeli. Sedangkan sisa dari ruangan di lantai dasar ini adalah menjual pakaian, tas, sepatu dan VCD lagu-lagu daerah
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
serta nasional. Mengikuti perspektif Clifford Geertz selanjutnya saya menyebutnya ruang pertama dengan ruang Firma dan ruang kedua sebagai ruang Bazaar.1 Beberapa anak muda melakukan penawaran di stan-stan sepatu dan tas. Mereka tidak malu melakukan penawaran. Pencapaian sebuah gengsi tidak didapat dengan tanpa pengorbanan. Karena itu melakukan penawaran dengan harga yang hingga meluncur merupakan salah satu jalan privat (semata antara pedagang dan pembeli). Tujuan perilaku ini agar barang yang dikenakan mereka akan dikontestasikan di ruang publik dan antara sesama rekanan. Berbeda dengan pengorbanan melalui ruang publik yang dilakukan dengan bersedia menjadi kernet angkutan kota atau berjualan beberapa barang di pasar. Di lantai satu ini, sistem penawaran dilakukan hingga harga benar-benar di bawah. Membanting harga bersikeras dan bersitegang dengan pedagang justeru harus ditekankan, karena membeli 1
Geertz membagi dua sistem perdagangan. Yakni sistem dagang bazaar dan sistem dagang firma. Sistem dagang pertama terjadi kontak dan interaksi langsung antara konsumen dan pembeli. Pembeli berhak melakukan penawaran terhadap komoditi, sistem dagang ini juga disebut sistem dagang informal. Karakter harga sistem dagang ini disebut sebagai Sliding Price, di mana pembeli melakukan penawaran hingga harga meluncur berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Sedangkan sistem dagang firma bercirikan pada transaksi yang dijalankan melalui kinerja distribusi lebih rapi, terkoordinir dan dikelola oleh beberapa orang ataupun golongan. Interaksi publik di sini nyaris tidak mempunyai sistem komunikasi yang menimbulkan perbedaan antara pedagang dan pembeli. Karena harga telah ditetapkan secara sepihak oleh pedagang. Harga dalam sistem daganng ini berkarakter Fix Price, yakni tidak terjalinnya interaksi sosial dalam bentuk tawar menawar antara pedagang dan pembeli. karena adanya ketetapan harga yang telah tertera dengan jelas pada suatu komoditas. Ini mengecilkan kemungkinan pembeli untuk dapat menawar. Sistem ini menggambarkan bahwa masyarakat seakan percaya kepada pasar sehingga tidak lagi perduli pada harga karena ia percaya pada pasar, atau yang biasa disebut dengan Once Stop Shopping. Lebih lanjut periksa Periksa Clifford Geertz. Penjaja dan Raja. Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia. Gramedia. 1977.
19
Hatib Abdul Kadir, Bergaya di Mall: Studi Etnografi Gaya Anak Muda Pasca Konflik di Ambon
barang yang telah “diinginkan” dipercayai akan sangat menambah kepercayaan diri pada pemakaianya, lebih-lebih jika produk perangkat tubuh tersebut didapat dengan harga murah. Sistem penawaran dilakukan hingga lima puluh persen dari harga semula. Sebagai misal, Fredy Lahulimo adalah anak muda yang sering membeli pakaian di lantai satu Ambon Plaza. Ia mengetahui bahwa jika harga seratus ribu, maka harga yang ditawar pertama kali adalah tiga puluh lima ribu. Jika benar-benar tidak boleh, maka penawaran dilakukan hingga lima puluh ribu. Lima puluh persen dari harga semula, sering mencapai kesepakatan. Jika sekali tawar, tiba-tiba penjual langsung
20
mengiyakan, dapat dipastikan bahwa harga masih bisa ditawar ke bawah lagi. Ini hanya akan menyisakan penyesalan. Kaset-kaset yang dijual sepanjang etalase berisikan nyanyian-nyanyian daerah, relijius dan nasional yang tengah terkenal. Beberapa pengunjung yang telah sepakat dengan harga penawaran, akan langsung memutar kaset tersebut di televisi berukuran 16 inchi. Dentuman suara langsung menggelegar, menambah keriuhan seisi mall yang memang telah riuh rendah. Kaset orisinal keluaran baru dihargai antara dua puluh hingga tiga puluh ribu rupiah. Sedangkan kaset bajakan dihargai antara tujuh ribu hingga sepuluh ribu rupiah. Anak-anak muda yang telah melakukan
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Hatib Abdul Kadir, Bergaya di Mall: Studi Etnografi Gaya Anak Muda Pasca Konflik di Ambon
transaksi di lantai satu tidak langsung pulang, melainkan akan naik langsung ke lantai dua. Pada bagian tengah di depan stan penjualanan VCD terdapat dua buah ATM yang baru saja beroperasi. Di baliknya berjajar stan-stan seluler. Para penjualnya diisi oleh anak-anak muda yang berjajar duduk di balik etalase kaca. Dibanding stan lainnya, mereka adalah anak muda yang lebih bergaya gaul dibanding berbagai stan lainnya. Beberapa darinya, telah menghilangkan kealamiahan rambut. Ia telah berubah menjadi kuning metalik, kuning gading bahkan merah merona. Beberapa rambut berwarna hanya nampak mengintip karena tertutup topi. Kalung besi menguntai di pertengahan leher, diselaraskan dengan gelang besi yang juga melingkar di pergelangan tangan. Ini dipadu padankan dengan celana jeans berukuran besar. Pada bagian pangkal telapak kakinya memang robek akibat terkikis selama berjalan. Gaya penjaga stan yang bermuatan anak muda, membuat para pembeli yang kebanyakan juga anak muda tak semata melakukan transaksi. Sebelum membeli mereka separoh mencermati gaya penjual dan separuh melihat produk yang dijual. Ini dilakukan dalam waktu yang cukup lama, sekitar sepuluh menit. Baru kemudian terjadi transaksi. Pasca itu, stan seluler ini tidak langsung ditinggalkan begitu saja. Kemudian akan terjadi perbincangan yang cukup lama di antara mereka. Stan seluler yang berada pas di tengah ini, memudahkan beberapa anak muda di mulut tangga lift lantai dua untuk mengamati para perempuan cantik dan manis yang tengah berbincang tersebut. Hal yang menghubungkan antara pembeli dan penyampai jasa seluler ini tak hanya dalam produk yang ditawarkan, melainkan juga adanya hubungan yang sama terhadap gaya pakaian yang sangat mereka perdulikan. Sebagai anak muda kota Ambon tentunya. Beberapa anak muda yang membeli minuman dan makanan ringan, dipastikan mengusungnya ke lantai dua hingga empat. Mereka yang mengusung ke lantai empat ber-
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
main game dan membawa minuman sebagai teman yang menyenangkan dan penuh gaya. Ini karena beberapa minuman tersebut langsung dibuka penutupnya. Tas plastik pembungkus tanda toko swalayan tersebut langsung dibuang, setelah membayar. Dengan melakukan perjalanan ke lantai atas, anak-anak muda tersebut meminumnya. Ini menjadi bagian penting sebagai penunjang gaya selama “perjalanan singkat” di keramaian. Pakaian di lantai satu, bercampur antara merk-merk yang asli dengan yang tidak. Mengelilingi stan-stan ini tak begitu menjatuhkan gengsi. Namun tatkala hendak membeli beberapa, beberapa penjual membungkus tas plastik secara acak. Jika kedapatan tas plastik tersebut bagus. Dengan beberapa gambar di bagian warna dasarnya maka anak muda berani menentengnya sembari berjalan-jalan di sepanjang mall. Sebaliknya jika tas plastik yang diberikan berbentuk warna hitam polos atau putih, maka pakaian akan dimasukkan ke dalam tas. Ini merupakan sterategi preventif, demi sebentuk rasa malu ketika bertemu dengan banyak rekan yang ada di dalam mall. Karena tas plastik yang berwarna hitam dipastikan berisi barang yang murah dan tidak asli mereknya.
Tubuh yang Selalu Merasa Diawasi Gaya di ruang publik menjadi penting karena tubuh mereka selalu merasa diawasi. Bagi yang tidak menarik atau berdandan biasa saja, maka pandangan mata dari beberapa anak muda yang memang bertujuan hanya nongkrong di mall ini tidak akan terkonsentrasi pada mereka. Menyadari untuk tidak dilihat benarbenar berada dalam posisi yang menyakitkan. Sebaliknya mereka yang menjadi pusat perhatian berada dalam keadaan yang membanggakan. Perempuan yang termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang mempunyai kulit yang lebih terang dibanding beberapa rombongannya atau mereka yang berambut
21
Hatib Abdul Kadir, Bergaya di Mall: Studi Etnografi Gaya Anak Muda Pasca Konflik di Ambon
keriting tapi mempunyai air muka yang manis. Sedangkan anak muda lelaki berpakaian rapi, menunjukkan kaos yang berharga mahal. Dan mengenakan kaca mata yang sengaja disangkutkan di atas dahi. Untuk menunjang penampilan tersebut, maka minuman ringan yang disandang juga sebagai objek untuk meningkatkan gaya mereka. Minuman ini menandakan bahwa ia dibeli di sebuah ruang fixed price yang dibeli dengan sepele semata. Meski tanpa ada memberikan ruang penawaran sedikitpun. Minuman ringan yang disandang bukan hanya sekadar penghilang haus di mall, yang nyaris tidak ber AC, tapi sekaligus penting untuk menyatakan gaya anak muda. Ruangan full AC, yang hanya dimiliki oleh Matahari menyebabkan hanya diambil kesempatan oleh anak-anak muda untuk mendinginkan tubuhnya sejenak. Tidak sah masuk Amplaz jika tidak masuk ke Matahari, apalagi jika cuaca kota tengah teramat panas. Sehingga tujuan masuk Matahari bukan untuk membeli barang, melainkan hanya cari AC. Apalagi jika setelah berjalan-jalan keliling mall. Para gadis menempatkan diri mereka di tempat duduk untuk mengukur kaki dan sepatu, mereka berpura-pura mengukur sepatu dengan kaki, padahal sesungguhnya hanya ingin beristirahat menikmati dinginnya AC, demikian pengakuan Alpuez. Tempat ber AC di tengah wilayah luas yang lebih panas dalam mall ditaktikkan sebagai wilayah geografis baru yang menyamankan tubuh. Karena itulah Matahari menjadi dewa penolong bagi anak muda kota Ambon yang tidak begitu gaul dan tidak kaya. Ruang Matahari merupakan pusat perbelanjaan yang mempunyai kekuatan untuk mematuhkan tubuh ke dalam tata aturan yang penuh dengan pengawasan. Hasrat pengunjung yang sebenarnya menggebu, dibatasi dengan sistem panopticon (sistem pengawasan yang membuat individu merasa diawasi selalu meski sebenarnya tidak diawasi) baru yang secara empiris membatasi keinginan liar anak muda untuk bisa benar-benar bersantai
22
tanpa pengawasan. Tidak seperti di lantai dan ruang lainnya. Pusat perbelanjaan Matahari tidak memberikan tempat bermalas-malasan atau hanya sekadar duduk mengobrol. Desain ruang ini hanya benar-benar digunakan untuk berbelanja. Mereka yang beristirahatpun diharuskan berpura-pura tengah mencoba sesuatu produk. Seperti yang dilakukan Alpuez di atas. Pada setiap sisi ruang memberikan intimidasi pengunjung untuk berbelanja dan bukan hanya sekadar melihat. Karena itu, pengunjung sebenarnya memberi jarak antara dirinya dengan produk yang sebenarnya hanya ingin dilihat saja. *** Hingga tahun 2004 saya masih menyaksikan terdapat pos militer di tengah lantai dua. Ini cukup mengejutkan. Masih ada trauma dan ketidak percayaan mereka terhadap ruang netral seperti Mall ini. Di dalam posnya terdapa dua hingga tiga orang tentara. Mereka mengapit senjata laras panjang di antara pinggang dan ketiaknya. Beberapa teman lainnya yang masuk ke dalam bagian pertokoan Matahari. Mereka melihat-lihat beberapa potong pakaian. Setelah itu mengintip harga yang tertera di bagian bawah tengkuk pakaian. Beberapa penjaga pakaian tampaknya telah akrab dengan beberapa tentara yang bertugas. Mereka menjaga mall ini telah lebih satu tahun semenjak dibukanya kembali pertokoan Matahari. Ketika menaiki tangga lift di lantai dua, semua pengunjung seakan diawasi oleh anak muda yang berdiri-berdiri di ujung tangga. Mereka melihat siapa saja yang naik dari bawah. Dan ketika beberapa anak muda balas melihat, hanya ada dua respon yang dilakukan, yakni balas menatap tajam atau pura-pura tidak melihat. Menurut beberapa anak muda, mereka mengakui bahwa memasuki ruang fix price supermarket pakaian justeru tidak membawa kebanggaan karena ia identik dengan pakaian yang dipilih dan dikenakan oleh anak muda dari pedalaman. Sedangkan ruang fix
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Hatib Abdul Kadir, Bergaya di Mall: Studi Etnografi Gaya Anak Muda Pasca Konflik di Ambon
price lainnya justeru membawa kebanggaan. Barang akan dibawa oleh mereka dengan tidak diletakkan di dalam tas. Ini berbeda dengan membeli beberapa barang yang dibeli di stanstan yang dapat ditawar. Mereka akan menyembunyikannya di dalam tas, agar tak terlihat. Dengan demikian supermarket Matahari di lantai dua ini merupakan ruang perkecualian yang sama sekali tidak menaikkan gengsi anak mudanya. Ini berbeda dengan toko-toko butik yang dipajang di depan supermarket tersebut. Para gadis urban lebih memilih ke ruang ini, dibandingkan ke Matahari. Cukup membingungkan hendak mengatakan bahwa di dalam butik tersebut memberlakukan harga yang tidak dapat ditawar. Karena para penjual, yang juga rata-rata berusia muda sering dikunjungi oleh pembeli yang mengenalnya dengan baik. Sehingga harga pakaian dapat diturunkan dengan kesepakatan dari kedua belah pihak. Bujukan yang dilakukan pembeli adalah dengan memposisikan dirinya sebagai bagian dari sahabat si penjual di butik. Meski dianggap sebagai tempat anak muda kampung yang membeli barang, namun saya sering menemui calon pembeli di Matahari ini yang memilih pakaian dengan gaya gestur tubuh seperti tengah menyanyi rap. Harga banrol pakaian dibuka kemudian dibentangkan seiring dengan lengan tangan yang juga terbuka, kemudian posisi pundak yang ditinggikan dan kepala yang setengah dimiringkan serta mata yang seakan-akan tengah serius hendak meneliti sesuatu. Yancez salah satu yang menemani saya mengatakan bahwa di tempat ini meskpun pembeli adalah kaum muda kampong tapi gaya “seng mo kalah“ dengan anak muda asli kota. Bisa dikatakan sebagai keluhan atau rahmat jika mengenal setiap orang yang ada di kota berukuran sempit ini. Karena itulah rata-rata dari anak muda mengatakan “Ambon kacil sah”2, yang membuat setiap 2
Konsep “Kacil Sa”, ini yang kemudian nantin akan saya uraikan lebhi lanjut, pada deskripsi di bawah. Namun saya akan menambahkan sedikit narasi.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
anak muda saling mengenal atau telah saling pernah melihat dan dilihat. Membeli di butik ini, dianggap meninggikan gengsi. Harga pakaian yang ditawarkan di stan tersebut bisa mencapai hingga tiga ratus ribu. Maka tak mengherankan setiap gadis muda yang keluar dari ruangan tersebut akan menenteng barangnya di luar tas yang telah dibawanya dari rumah. Produk yang dibeli di mall ini, menjadi parameter sejauh mana gengsi dijaga dan gaya berani ditampilkan anak muda di depan publik. Ujung lantai dua yang sejajar dengan pintu utama di lantai satu adalah stan makanan internasional, KFC. Ruang inilah barometer makan yang penuh gaya anak muda Ambon. Kota yang baru sembuh dari luka ini nyaris belum memberikan alternatif makanan yang dapat dibanggakan oleh anak muda, kecuali ruang ini. Sebenarnya anak muda telah bosan dengan makan ayam. Tapi mereka tetap membeli, karena sepanjang makan, bukan hanya digunakan untuk makan itu sendiri, melainkan menunjukkan ke segala penjuru bahwa ia tengah makan di situ. Mengingat ruang ini diselingi oleh kaca yang nyaris tanpa menghalangi penglihatan. Di depan serta bagian samping merupakan wilayah strategis anak-anak muda untuk melewati daerah ini. Anak yang melihat dari luar, kemungkinan besar akan tahu dan kenal siapa-siapa saja yang makan di dalam. Bisa jadi ia temannya atau hanya “kanal muka”. Dari sanalah kemudian subjek yang tengah makan akan diperbincangkan oleh rekan yang pernah melihatnya. Model perbincangan dinarasikan Pada suatu sore, saya harus segera mengirimkan sebuah surat elektronik ke Yogyakarta. Karena kondisi warnet yang selalu penuh, pada akhirnya saya memilih warnet yang tak begitu bagus fasilitasnya, cenderung lambat. Tapi penjaga di warnet berupa sangat mengesankan. Ia cukup manis dan k has. Dan ketika saya ceritakan pertemuan dengan perempuan berwajah mengesankan tadi, dengan beberapa informan saya, hampir semua mengetahui nama dan biografi umum perempuan ini. Semua cerita tersebut berakhir dengan penegasan para informan “Ambon kacil sa, sama tahu sapa, hah”.
23
Hatib Abdul Kadir, Bergaya di Mall: Studi Etnografi Gaya Anak Muda Pasca Konflik di Ambon
dengan mereka yang saling mengenal satu sama lain. dari sanalah kemudian makna kesalutan akan tumbuh. Karena kemampuan si subjek pemakan dalam mengakses tempat makan yang menjadi satu-satunya barometer makan bergengsi di kota Ambon. “Memaksa” makan di KFC lantai dua ini, adalah karena tidak adanya pilihan lain untuk menyalurkan gaya dan gengsi. Meski telah muak dengan ayam yang dimakannya hanya dengan menu yang tetap. KFC dikonstruksikan sebagai tempat makan keluarga. Memasuki pintu utama, bagian kanan selalu ditempati anak-anak yang tengah merayakan ulang tahun. Diantara kericuhan puluhan anak sebaya, ditemani oleh sang ibu, dan beberapa tante-tante paruh baya. Pada bagian sisi menghadap keluar tidak diberi kaca lebar. Karena hanya dilingkupi dengan dinding. Berbeda dengan di ujung yang berlawanan dengan KFC tempat anak-anak. Ruang KFC di sisi pedestrian mall, ditempati oleh anak-anak muda. Karena di sana mereka dengan bebas dapat langsung berpandangan dengan anak-anak muda yang berada di luaran. Beberapa yang di luar mempelambat ritme jalan, bahkan ada yang berhenti, besandar di bagian pagar dan mencuri-curi pandang ke anak muda di dalam yang telah usai makan. Tidak seperti konsep makanannya, “fast food“, pada setiap ruangan KFC tidak menampilkan orang-orang yang tengah terburu-buru dikejar waktu, melainkan hanya duduk santai sambil mengakumulasi penonton yang menyaksikan dari balik ruangan. Terdapat tiga tipikal dominan mereka yang datang ke tempat ini. Pertama adalah anak muda yang berpasangan atau mereka datang beberapa teman. Kedua, mereka yang datang dengan keluarga dan membawa anakanak, dan ketiga adalah orang paruh baya. Kategori ketiga ini antara lain para om-om berdandan perlente, atau ibu-ibu berseragam pegawai negeri. Mereka datang justeru di jam-jam kerja. KFC bersebelahan dengan supermarket Matahari. Disinilah dua tempat
24
yang sama sekali tidak memberikan ruang penawaran. Selain itu, di setiap harinya hampir semua bangku penuh diisi dengan warga kota yang makan siang di KFC ini. Di sisi kiri ruangan ini, selalu digunakan untuk ulang tahun anakanak. Sepanjang hari bagian pembelian ayam goreng ini dipenuhi dengan permintaan. Jarang yang membungkusnya untuk dibawa pulang. Karena ruang ini seperti sebuah aquarium, di mana jika seorang makan, dapat dipastikan ia akan terlihat dengan jelas dari luar ruangan. Karena itulah beberapa anak muda lebih memilih tempat makan yang berada di dekat jendela. Beberapa anak muda lainnya yang melintas di luar sesekali beradu pandang dengan anak yang berada di dalam ruangan ini. Kesan yang ditampilkan adalah mereka yang berada di dalam ruangan lebih bergengsi dibanding di luar. Karena itu selain membeli ayam, mereka juga membeli jendela yang terang. Ini penting mengingat imaji hirarki antara anak muda yang duduk dengan mereka yang sekadar melintasi ruangan aquarium KFC ini. Stan ponsel dan aksesoris yang terpajang di depan KFC cukup menguntungkan dari perspektif anak muda, karena mereka yang melewati stan ini selalu akan melongok ke dalam ruangan KFC. Mereka berkesan hendak memeriksa siapakah kali ini “anak muda keren dan kaya” yang tengah makan? Beberapa tentara dan juga polisi, berjalanjalan hingga memasuki ruangan supermarket Matahari. Beberapa di antaranya tampak telah akrab dengan karyawan di sana. Mereka berbincang dengan sesekali diiringi tertawa yang ramah. Lantai dua juga dijadikan tempat lanjutan dari lantai pertama. Seragam polisi adalah identitas kemapanan yang penting di dalam mall ini. Ketika menginjak di lantai dua mereka mengesankan tubuhnya bahwa ia masih berusia muda. Dari seragam ini, para tentara dan polisi tersebut mengisyaratkan telah memenuhi tiga prasyarat yang diidealkan oleh anak muda kota Ambon. Yakni “laki-laki gagah”, karena mereka mengenakan topi baret
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Hatib Abdul Kadir, Bergaya di Mall: Studi Etnografi Gaya Anak Muda Pasca Konflik di Ambon
yang diikatkan di pinggang sejajar dengan pisau belati. “laki-laki barsih”, ternilai melalui seragam. Pakaian yang sama menunjukkan dikaburkannya nilai-nilai siapa yang kaya dan siapa yang miskin. Serta siapa yang kotor dan siapa tidak kotor. Semuanya sama dikesankan dalam satu pandangan yakni sama-sama bersih. Inilah kesan yang ingin ditampilkan oleh para aparat tersebut, meskipun dari pandangan anak muda cenderung berbeda. Respon tubuh anak muda akan bereaksi seketika demi melihat ada anak muda lainnya yang berdandan lebih necis, aneh dan lebih seksi bagi perempuan. Rata-rata sikut mereka yang dikenakan untuk menyentuh teman sendiri. Ini merupakan bentuk penyadaran terhadap rekan untuk sama-sama ingin mengetahui dan merasakan anak muda yang dianggap “lain” dengan mereka. Setelah anak muda yang dianggap “lain” tersebut telah lewat maka perbincangan mengenai subjek yang baru lewat tadi mulai dilanjutkan. Perbincangan tersebut antara lain mengenai cara gaya mereka, tatanan rambut dan kebersihan celana yang dikenakan. Perbincangan ini tidak berhenti karena, bagi anak muda yang telah merasa lebih dan lain tadi juga akan melakukan hal serupa jika ia mengalami hal yang sama dengan anak muda yang tadi membincangkannya. Sebuah jalinan kontestasi yang berkelanjutan dan penuh gengsi. Bagi orang-orang di Indonesia bagian barat. Bahasa Ambon terasa cukup cepat. Pembicaraan-pembicaraan terhadap gaya perangkat tubuh yang baru disaksikan ini menambah riuh rendah keberadaan mall ini. Sisi barat, merupakan wilayah yang tak terlalu riuh untuk dilewati dan dikunjungi. Karena di sana hanya terdapat masjid, salon, dan warung makan. Tampak beberapa lakilaki berjenggot, berpakaian ala Osama bin Laden, keluar dari tempat ibadah ini. Mereka usai melakukan peribadatan di siang hari, yakni sholat dhuhur. Di samping masjid terdapat tempat wudlu dan toilet perempuan. Beberapa orang tua di dalam menempatkan masjid di dalam mall ini layaknya masjid di
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
tengah-tengah kampung. Mereka duduk berlama-lama untuk berdoa kemudian mengobrol dengan beberapa rekan hingga waktu yang tidak ditentukan. Wilayah di sudut mall ini sangat bernuansa islami. Lantainya sangat basah dan licin, karena beberapa orang menghambur keluar secepat kilat dari tempat wudlu. Membawa air yang terserap di dalam sandal-sandal karetnya. Nyaris tak ada anak muda dan para gadis yang berada di sekitar area ini. Para anak muda tersebut hanya melewati sebuah rumah makan di samping masjid, kemudian berbelok kembali menuju bagian tengah dari mall ini. Sebuah titik yang paling padat. Sementara rumah makan yang dilewatinya, tak beda dengan warung yang ada di tepi jalan kota. Sebuah etalase bertingkat tiga, berukuran setengah meter dengan tinggi yang sama. Memajang beberapa macam makanan. Ada nasi campur, nasi sayur bahkan nasi lalapan ala Jawa. Ruangan ini sangat sempit dan panas. Tapi berhasil dikamuflase dengan sebuah kipas besar angin. Ia diletakkan di sisi dinding, berputar menggantung dengan sangat kencang. Beberapa pelayan berpantat besar harus hati-hati membawakan makanan. Sesekali ia menyenggol meja di samping jalannya. Ini cukup berisiko, karena meja tersebut penuh sesak dengan piring bermuatan krupuk. Juga di sampingnya terdapat barang pecah belah seperti teh botol. Kaki-kaki para pembeli tampak bersentuhan dengan sisi depannya ketika mereka duduk berhadapan. Kecapan dari mulut yang keluar, saling terdengar jelas. Di sisi kanan dan kiri warung yang sempit ini, sesekali anak muda melewati jalan tersebut. Tidak seperti di ruang makan KFC yang membanggakan dan penuh gaya. Warung makan ini jarang dicermati oleh yang lewat. Dan anak muda yang selesai makan langsung angkat kaki setelah membayar. Mereka merasa di sini bukan gayanya, meski kipas angin deras meniup menipu panas. Berbanding terbalik dengan sisi kanan, di bagian kiri tempat ini terdapat karaoke remang-remang. Ruangan dalamnya tersinari
25
Hatib Abdul Kadir, Bergaya di Mall: Studi Etnografi Gaya Anak Muda Pasca Konflik di Ambon
lampu yang berkekuatan terang 15 watt. Namun suara yang menggaung di balik ruang ini sangat menggaung hinnga keluar. Beberapa perempuan tanpa teman menyanyikan lagulagu daerah Ambon yang berisi romantisisme, kesetiaan, hingga pengkhianatan. Ciri-ciri fisik pekerja di sini, nyaris seperti perempuan pekerja di sisi kanan pub. Rambut mereka semua di rebonding, lipstick merah menyala dan bagian perut bawah yang mulai menonjol turun. Di depan kafe, terdapat beberapa bangku tempat mereka duduk sambil makanmakanan kecil. Hanya beberapa gelintir anak muda saja yang melintasi wilayah ini. Para perempuan penghibur di karaoke ini paham
26
bahwa anak muda hanyalah menonjolkan gaya dalam berpakaian, dan belum tentu mempunyai uang berlebih. Karena itu mereka tak tertarik. Mereka lebih terpesona pada beberapa om yang melintas, karena mempunyai kemungkinan lebih besar untuk berkaraoke bersama dan membeli produk minuman yang ditawarkan. Dua karaoke saling berhadapan. Karena itu meski lintasan sepi, namun masih terkesan riuh dengan suara-suara lagu karaoke yang saling bersahutan. Di kafe yang terdapat di ujung, sisi karaoke. Adalah tempat yang paling potensial untuk sebuah sebuah pertemuan yang telah diatur sebelumnya. Di dalamnya terdapat beberapa perempuan
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Hatib Abdul Kadir, Bergaya di Mall: Studi Etnografi Gaya Anak Muda Pasca Konflik di Ambon
muda yang tengah menunggu sang pasangan. Dengan sesekali mereka mengutak-atik ponselnya. Kemudian tak lama, datanglah orang yang telah ditunggunya. Laki-laki separuh baya dengan gaya necis dan wangi, celana jeans bersih, kaos berkerah. Pada lengannya berbulu dan mengenakan jam tangan besi berwarna putih. Seperti sebuah ritual perjanjian, kafe ini diposisikan sebagai modus untuk menjali hubungan yang tak ingin diketahui oleh publik. Dan sekali lagi tepat karena jarang orang yang melintasi. Anak muda lebih suka mengelilingi area bagian tengah secara memutar secara repetitif. Titik inilah yang terpadat. Berulang karena ruangan mall ini tidak begitu besar dan tidak menyediakan berbagai variasi yang lebih di dalam stannya. Rata-rata barang yang ada di lantai satu juga dapat ditemukan di lantai dua. Sedangkan tubuh yang mengalami gerak berulang-ulang, disempitkan dengan ruangruang yang justeru tidak menyediakan stan sama sekali, seperti di lantai tiga. Berdiri di lantai tiga, seakan mengesankan kota ini masih dalam keadaan konflik. Semua etalase tertutupi oleh berbagai koridor yang berkarat. Berwarna kuning kecoklatan. Lantai-lantai kusam dan kotor karena debu yang mulai menumpuk. Di bagian bawah tangga lift yang menuju ke lantai lima, beberapa pasangan berasyik masyuk membicarakan sesuatu. Ada senyum malu-malu di antara mereka. Sedangkan pada tangga lift, beberapa anak muda duduk-duduk sembari merokok. Kepulan asapnya menggantung di atas topitopi yang mereka kenakan. Ratusan puntung rokok tersangkut di kisi-kisi lift. Beberapa pemuda duduk semata di bagian tangga dengan menghembuskan rokok mereka selepas-lepasnya. Lantai ini memang nyaris lepas dari pengawasan siapapun. Tak ada petugas keamanan yang mengawasi daerah ini. Tak ada polisi ataupun tentara yang sudi melewatinya sekalipun. Ini berbeda dengan dua lantai sebelumnya di bawah. Bahkan beberapa anak muda juga menghisap ganja dengan beberapa
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
rekanannya. Sangat bebas. Kepulan asapnya dinetralisir dengan asap rokok biasa. Maka bau khas ganja akan larut bersama rokok filter biasa tersebut. Demikian strategi yang dijalankan untuk menghilangkan bau. Mabuk di keramaian bagi anak muda mempunyai keunikan dan kenikmatan secara khas. Sedangkan di lantai empat, menurut beberapa informan, mengisahkan bahwa dulu di lantai empat inilah anak muda yang paling padat untuk berkumpul. Sebelum kerusuhan, mereka masih bisa menikmati pub, bar, bioskop 21, billiard, hingga permainan yang seakan sifatnya mengajak tubuh ke dalam kompetisi sebenarnya, yakni Time Zone. Semua anak sekolah berseragam pada awalnya dilarang masuk ke arena hiburan ini. Namun mereka mengakalinya dengan membawa pakaian ganti yang telah dikenakan di salah satu rumah teman. Lantai empat sangatlah penting karena, dianggap sia-sia jika anak muda masuk Ambon Plaza tapi tidak sampai di lantai empat. Karena di lantai ini juga menjadi start kedua setelah mereka memulai start memajang gaya tubuhnya di lantai dasar. Berbeda dengan Ambon Plaza yang tutup jam enam senja, tempat billiard yang terletak di lantai empat buka hingga jam dua belas malam. Karena itulah hingga beberapa waktu saya tidak menemukan satu kalipun para perempuan yang memasuki ruang ini, kecuali tiga pegawainya. Tempat bilyar ini dimaknai sebagai “tempatnya lakilaki” Ketentuan ini berlaku secara kultural. Tanpa ada hitam di atas putih. Tetapi cap buruk yang langsung mengena kepada mereka. Memang pernah pada suatu waktu datang permpuan mengitari meja ini. Tapi kedatangannya dilakukannya dengan temanteman perempuan lainnya. Meski di antara lainnya ada laki-laki, merekalah yang bermain billiard. Sedangkan perempuan lainnya hanya menjadi penonton. Perempuan, jangan sekalisekali datang ke tempat ini. Onco Ltc, salah seorang mahasiswa mengungkapkan bahwa meskipun sering bertandang ke Ambon Plaza, tapi ia tak pernah sekalipun berani masuk
27
Hatib Abdul Kadir, Bergaya di Mall: Studi Etnografi Gaya Anak Muda Pasca Konflik di Ambon
hingga ke lantai empat. “Parampuan seng pantas barmain di sana. Inikan Ambon, kacil sa. Barang kalo sampe dapa beta pung kaka tamang, dong bisa anggap beta parampuan tar bae”. Stigma perempuan yang masuk ke tempat ini sebgai perempuan nakal cukup kental. Karena itulah meja-meja billiard hanya ditujukan sebagai “tempatnya laki-laki”. Para perempuan hanya melintasi area ini kemudian kembali ke lantai dua.
Penutup: Perubahan Ambon Plaza Pasca Konflik Ambon Plaza merupakan cerminan dari kota Ambon. Keadaannya yang kumuh, tidak mengkilap lagi menandakan jejak dari kerusuhan yang baru terjadi lalu. Terusirnya keturunan Tionghoa di pertengahan kota, tampak pula di mall ini. Hanya ditemui beberapa gelintir orang keturunan Tionghoa yang masuk ke mall. Sangat sedikit mereka yang menguasai stan-stan di lantai satu
28
hingga lantai empat. Hal paling mencolok hanya seorang bos keturunan Tionghoa yang menjaga stan VCD di lantai dasar sebelah barat. Ia mempekerjakan tiga perempuan Ambon di stan tersebut. Dulu Mall ini seperti bukan di Ambon, karena hampir didominasi oleh warga kulit putih bermata sipit, yang kini hampir semuanya telah menetap di luar kota Ambon, atau beberapa tinggal di wilayah Kristen. Anak muda Tionghoa, khususnya perempuan hanya berdandan santai memasuki mall, bahkan sering mengenakan rok mini. Gaya model ini sekrang jarang ditemui, mengingat hampir semua bangunan kini dikuasai oleh orang Ambon Islam, yang didapat dari kerusuhan setelah terusirnya kaum Tionghoa di sekeliling Amplaz3. 3
Sebelum melakukan penelitian lapangan, saya mencoba melakukan kontak dengan beberapa anak muda keturunan China yang terdapat di Friendster. Dari Tiga puluh dua anak muda keturunan Tionghoa yang saya hubungi, ada dua puluh satu yang surat balasan yang masuk. Dan tujuh belas di antaranya mengatakan bahwa mereka kini tidak tinggal di Ambon lagi pasca kerusuhan.Dari profilnya saya
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Hatib Abdul Kadir, Bergaya di Mall: Studi Etnografi Gaya Anak Muda Pasca Konflik di Ambon
Stan yang lebih banyak dikuasai oleh orang Islam. Karena letak mall ini di pesisir kota Ambon. Sebuah area yang memang dikuasai oleh kaum muslim. Gaya muslim yang disampaikan anak-anak muda yang berjalan di sepanjang stan. Mereka sering berpapasan dengan teman-teman. Di tengah obrolan, kata-kata “Wallahi”, “Ya’ Allah” seringkali tedengar. Hampir semua butik di lantai satu dan lantai dua diisi dengan gadis-gadis penjual yang mengenakan jilbab. Dan komoditi yang dijual pun lebih merepresentasikan busana yang dikenakan oleh anak muda muslim. Berukuran lebar dan menutupi aurat. Hanya sesekali tampak anak muda Kristen yang mengalungkan salib di leher mereka. Salib tersebut berukuran besar, putih mengkilap dan menjuntai hingga bagian dada. Salib besar digunakan sebagai gerakan defensif anak muda Kristen terhadap berbagai simbol baru yang muncul dari para laskar jihad. Sebelum kerusuhan, jika pun harus mengenakan salib di ruang publik hanya berukuran sewajarnya. Namun salib tersebut kini menjuntai leih besar hingga ke dada. Demikian pula di kalangan Islam yang mulali melebarkan gaya pakaian yang benar-benar menutupi bentuk tubuh. Pasca kerusuhan, anak-anak muda Kristen sekarang mempunyai gerak mobilitas yang sangat terbatas. Mereka hanya bisa bermain dan bergaya sepenuhnya di ruang komunitas Kristen. Demikian juga sebaliknya pada anak muda Muslim. Lantai tiga dan empat adalah contoh ekstrim betapa kota ini telah mengalami penyempitan mobilitas. Selain anak muda Kristen yang enggan bermain hingga di Ambon Plaza, secara umum anak muda Ambon mengalami penyempitan alternatif dan diversifikasi hiburan yang ditampilkan. Kosong dan kumuhnya di kedua lantai ini, memendapati bahwa rata-rata mereka dulu sekolah di SMA Xaverius dan SMA negeri 1 Ambon, kemudian melanjutkan kuliah di beberapa universitas swasta katholik di Surabaya, seperti Atma Jaya dan Ubaya. Sedangkan di Jakarta kuliah di Atmajaya Jakarta, Gunadharma dan Trisakti.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
nyebabkan anak muda hanya maksimal menyatakan gengsi dan menikmati gaya sebatas hingga di lantai dua. Mereka hanya terputar secara berulang di kedua lantai di bawah tersebut. Makna penyempitan ini, menyebabkan anak muda Ambon bukan menganggap Ambon Plaza, atau yang akrab disebut Amplaz, bukan lagi mall, tapi plaza. Menurut mereka plaza berukuran lebih kecil. Sedangkan mall, adalah keberadaan Amplaz, sebelum kerusuhan, karena di dalamnya terdapat berbagai fasilitas seperti mall-mall yang ada di kota besar di Jawa. Sebagaimana yang pernah dikunjungi oeh anak muda di kota ini. Beberapa informan saya jsuteru secara “kejam” mengungkapkan bahwa Amplaz sekarang malah menyerupai pasar tradisional. Karena copet, pengemis hingga gelandangan dapat masuk sepuas dan sesukanya. Ambon Plaza adalah miniature kota, karena hampir semua anak muda akan bertemu dengan orang-orang yang dikenalinya. Mereka bersua, mengobrol sejenak, kemudian berjalan masing-masing melintasi mall ini secara berulang. Sebuah tempat yang penuh dengan kontestasi gaya dan gengsi. Meskipun keadaan pasca rusuh kini nyaris menyerupai pasar tradisional. Gaya dan tetap saling mempertahankan kondisi gengsi untuk dikoreksi secara positif menempatkan perilaku konsumsi pada posisi sektor yang nyaris tidak mempunyai hubungan erat dengan kerentanan ekonomi. Meski baru dilanda krisis dan kerusuhan, ratusan bahkan ribuan anak muda Ambon berbondong memasuki Ambon Plaza. Meski hanya berjalanjalan sambil mengoreksi orang lain, namun keberadaan retail lokal dan anak muda pengangguran masih tetap hidup dan terus saling berhubungan dalam transaksi jual beli suatu produk. Selama mampu meningkatkan gengsi dan gaya di depan publik, suatu produk kapitalisme global langsung dibeli. Meski KFC, misalnya tidak melakukan pendekatan lokalitas apapun, seperti elastisitas berbagai
29
Hatib Abdul Kadir, Bergaya di Mall: Studi Etnografi Gaya Anak Muda Pasca Konflik di Ambon
produk kapital dalam menarik pasar, namun dengan sendirinya ia telah menjadi ikon membanggakan bagi anak muda Ambon. Mengkonsumsinya sekaligus menaikkan gengsi.
Daftar Pustaka Appadurai, Arjun. 2003. Modernity at Large, Cultural Dimension of Globalization. ch. “Consumption, Duration and History.” Minnesota Beng Huat, Chua. 2003. Life is Not Complete Without Shopping: Consumption Culture in Singapore. Singapore University Press. Certeau, M. de. 1984. The Practice of Everyday Life. Berkeley: University of California Press. Ewen,Stuart.1976.CaptainsofConsciousness. Advertising and the Social Roots of the Consumer Culture. Mc GrawHill Book Company. ------------------.1988. All Consuming Images. The Politics of Style in Contemporary Culture. Basic Books. -----------------. 2000. “Images …Without Bottom. …“ (1988) dalam The Consumer Society Reader. Juliet B. Schor (ed). The New Press, New York. -----------------. 1990. “Marketing Dreams: The Political Eelements of Style” dalam Tomlinson, Alan, Consumption, Identity and Style. Marketing, Meanings, and The Packaging of Pleasure. Routledge. Kadir, Hatib Abdul. 2008. Bergaya di Kota Konflik: Mencari Akar Konflik Melalui Gaya Anak Muda. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Merleau-Ponty, M. 1962. Phenomenology of Perception (London: Routledge and Kegan Paul.
30
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho
Peneliti Independen Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sosiologi, Fisipol Universitas Gadjah Mada
Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi: Penguatan Resiliensi sebagai Pereduksi Angka Bunuh Diri di Kalangan Pemuda Indonesia AB S T RAK Artikel ini berupaya mengulas urgensi dimensi resiliensi bagi para pemuda di Indonesia dalam keseharian hidup. Secara sederhana, resiliensi dapat diterjemahkan sebagai kemampuan individu untuk bertahan, beradaptasi berikut bangkit dari berbagai bentuk penderitaan hidup yang menderanya. Persoalan ini menjadi penting mengingat masa muda merupakan periode-periode transisi yang begitu berat bagi setiap individu, di mana ketidakstabilan emosi dan psikologis besar mempengaruhi di dalamnya. Lebih jauh, artikel ini mendiskusikan karakteristik pemuda dan alasan diperlukannya dimensi resiliensi, maraknya aksi bunuh diri yang dilakukan pemuda dewasa ini sebagai implikasi lemahnya dimensi resiliensi, serta berbagai upaya yang dapat ditempuh dalam rangka memperkuat dimensi resiliensi pada diri pemuda guna mengatasi persoalan tersebut. Artikel diawali dengan uraian ihwal perkembangan studi resiliensi, baik menyangkut aspek konseptual maupun kemanfaatannya. Kata kunci: resiliensi, pemuda, transisi, bunuh diri AB S T RACT This article attempts to discuss the urgency of resilience for Indonesian youths in their daily lifes. The concept of resilience can be defined as individual ability to survive, to adapt and, furthermore, to revive from their sufferings. Such ability is important for youths during the transisional period from childhood to adulthood, where usually contains huge psychological and emotional instabilities and troubles. It further discusses the characteristics of youth and the urgency of resilience during the period by highlighting the rise of suicide among youths as consequence of the lack of resilience, and some efforts to empower resiliece among youths. The article begins with a brief discussion on the development of resilience studies, both its conceptual dimensions and its utilities. Keywords: resilience, youth, transition, suicide
“Masa depanku masih ‘perawan’, segala sesuatu masih mungkin terjadi padaku…” (J. P. Sartre, Being and Nothingness)
1. Pendahuluan Berdasarkan data yang dilansir WHO pada tahun 2005, Indonesia masuk dalam kategori negara dengan tingkat bunuh diri yang tinggi, bahkan peringkat Indonesia nyaris mendekati “negara-negara bunuh diri Asia” layaknya Je-
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
pang dan Cina. Tercatat, sedikitnya 50.000 orang Indonesia melakukan aksi bunuh diri setiap tahunnya. Angka tersebut menunjukkan bahwa setidaknya terjadi 150 kasus bunuh diri per hari di tanah air. Perihal yang lebih memprihatinkan lagi adalah turut me-
31
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
ningkatnya kecenderungan angka bunuh diri pada penduduk usia muda —pemuda1— usia 16-30 tahun (Amarullah, 2009; Wirasto, 2012: 98). Sebagai misal, khusus untuk wilayah DKI Jakarta, sepanjang tahun 2003 Polda Metro Jaya mencatat terjadinya 62 kasus bunuh diri pada pemuda. Angka tersebut melonjak tiga kali lipat ketimbang tahun sebelumnya. Dan sebagaimana tahun-tahun setelahnya hingga kini, tren angka bunuh diri pada pemuda di tanah air agaknya cenderung mengalami peningkatan (Zahra, 2011). Upaya mengurai permasalahan tingginya angka bunuh diri pada pemuda dewasa ini kiranya tak dapat lepas dari penelaahan akan apa, siapa dan bagaimana karakteristik dari pemuda itu sendiri. Tak dapat dipungkiri, telah banyak ahli yang mendefinisikan arti dari terminus “pemuda”. Talcott Parsons (dalam Barker, 2009: 339) misalnya, mendefinisikan pemuda sebagai mereka yang memiliki posisi sosial di antara anak-anak dan orang dewasa ditinjau melalui segi institusi keluarga, pendidikan dan pekerjaan. Tak pelak, posisi sosial tersebut berimplikasi pada tanggung jawab pemuda yang jauh lebih besar ketimbang anak-anak, namun mereka tetap berada di bawah kontrol orang dewasa (orang tua), suatu kondisi yang cukup dilematis memang. Namun demikian, Parsons ajeg menekankan bahwa karakteristik utama yang dimiliki pemuda adalah kecenderungannya untuk bergabung dengan dunia orang-orang dewasa. Lebih jauh, dalam ranah psikologi perkembangan, Monks (1985: 230-234) merumuskan beragam karakteristik yang dimiliki pemuda sebagai berikut: (1) Memiliki kecenderungan untuk memisahkan diri dari orang tua dan berkumpul bersama teman-teman seusianya; (2) Menjadikan norma kelompoknya —teman-temannya— sebagai patokan dalam berperilaku; (3) Berada pada masa-masa pencarian jati diri, Erik H. Erikson 1
Istilah “pemuda” di sini mencakup baik remaja putra maupun putri (pemuda/i). Begitu pula, dalam pemaparan selanjutnya istilah pemuda akan digunakan secara bergantian dengan istilah “individu”.
32
menyebutnya sebagai proses pencarian “identitas ego”; (4) Tengah mengalami “krisis orisinalitas” yang ditunjukkan melalui upayanya untuk membedakan diri dari anak-anak maupun orang dewasa, hal tersebut kemudian berimplikasi pada timbulnya gap antargenerasi. Berbagai bentuk ambiguitas pemuda di atas, sedari posisi sosialnya yang “tanggung” di antara anak-anak dan orang dewasa, berikut kejiwaannya yang labil akibat tengah dirundung masa-masa pencarian jati diri serta mengalami krisis orisinalitas, tak heran jika banyak pihak mendaulat masa muda sebagai periode yang cukup berat dalam hidup, layaknya masa transisi pada umumnya. Itulah mengapa, “wajah Janus”2 pemuda menimbulkan ambiguitas tersendiri; di satu sisi, gelora kebebasan yang dimilikinya seakan menjadikan pemuda sebagai sosok yang kuat dan kokoh bahkan mampu menembus batas-batas yang ada, namun di sisi lain, kejiwaannya yang belum mapan (labil) turut mengindikasikan kerapuhan di dalamnya, ibarat sebuah mercusuar yang tampak menjulang tegar di pinggir tebing namun sekonyongkonyong roboh akibat diterpa angin yang tak kencang-kencang amat. Dimensi kerapuhan pemuda sebagai salah satu sisi wajah Janus di atas menarik untuk dicermati lebih lanjut. Sebab cukup absurd bila banyak pihak membebankan serangkaian harapan pada pemuda selaku generasi penerus bangsa namun sang pengembannya sendiri —pemuda— justru mudah ambruk kala menemui berbagai hambatan dan rintangan di tengah jalan. Salah satu bentuk “keambrukkan” tersebut, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ter-representasi-kan melalui contoh paling ekstrem akan banyaknya pemuda yang sengaja mengakhiri hidupnya (baca: bunuh diri) akibat permasalahan yang sesungguhnya dapat dikatakan sepele. Berdasarkan data yang dihimpun Komisi Nasional Perlindungan Anak, pada semester awal tahun 2
“Janus” adalah salah satu nama dewa dalam mitologi Romawi Kuno yang memiliki dua wajah saling berlawanan.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
2011, setidaknya tercatat sebanyak dua puluh tiga pemuda Indonesia melakukan aksi bunuh diri, yang 91 % diantaranya berusia 13-17 tahun. Kasus terbanyak, yakni 19 kasus, ditemui pada mereka yang memiliki permasalahan asmara (putus cinta), 8 kasus akibat persoalan keluarga, dan sisanya, 6 kasus disebabkan oleh persoalan sekolah (Pertiwi, 2011). Begitu pula, kasus yang tengah marak disorot akhir-akhir ini, Sondang (22), mahasiswa tingkat akhir Fakultas Hukum, Universitas Bung Karno-Jakarta, melakukan aksi bakar diri di depan Istana Negara pada 7 Desember 2011. Hingga kini, tindakan Sondang menuai pro-kontra luas terkait bentuknya sebagai aksi heroik ataukah bunuh diri semata (Candra, 2011). Belum tuntas benar kasus Sondang, kekasihnya, Putri Ananda Ningrum, melakukan percobaan bunuh diri di depan makam Sondang dengan menelan dua puluh pil obat malaria hingga overdosis, meski beruntung nyawanya masih dapat diselamatkan (Riz, 2012). Diakui atau tidak, serangkaian kenyataan di atas menimbulkan pesimisme tersendiri ihwal mampu-tidaknya generasi muda saat ini untuk menjadi sosok yang dapat ditempatkan sebagai sandaran segenap asa guna melakukan transformasi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat ke arah yang lebih baik. Dalam artikel ini saya berpendapat bahwa salah satu cara yang dapat ditempuh guna memupus berbagai pesimisme kita atasnya adalah dengan memperkuat dimensi “resiliensi” pada diri pemuda. Sebab aneh jika kita mengharapkan hadirnya para insan muda yang “siap tempur” namun tanpa disertai kuatnya dimensi resiliensi pada diri mereka.
Sekilas mengenai Resiliensi: Studi, Konsep dan Kemanfaatannya Diane E. Scott (2009:1) mendefinisikan resiliensi sebagai, “…the ability to adapt and change when faced with new and often
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
stressful circumstances” [“…kemampuan untuk beradaptasi dan melakukan perubahan kala menghadapi situasi baru yang kerap kali menekan”]. Sementara Redl’s (dalam Fine, 1991: 462) mengartikan resiliensi dengan, “…the ability to recover rapidly from a temporary collapse even without outside help, and the strength to bounce back to normal or even supernormal levels of functioning” [“… kemampuan untuk pulih (bangkit) secara cepat dari kejatuhan, bahkan tanpa bantuan dari pihak lain, serta kekuatan untuk kembali pada keadaan semula (normal), atau bahkan melampauinya”]. Menilik serangkaian pendefinisian di atas, kiranya resiliensi dapat diartikan secara sederhana sebagai “kemampuan individu untuk beradaptasi dengan penderitaan hidup yang dialaminya, untuk kemudian bangkit dan melawan mengatasinya”. Lebih jauh, prinsip atau moralitas utama yang terkandung dalam resiliensi adalah “martabat kemanusiaan” serta persoalan bagaimana agar entitas manusia dapat berguna bagi sesamanya, atau setidaknya bagi dirinya sendiri. Dengan demikian, resiliensi telah melampaui diskursus relativitas nilai dan moral, hal tersebut salah satunya tampak melalui persoalan jatuhnya pilihan individu pada perihal baik ataukah buruk yang turut tercakup dalam kajiannya (Fine, 1991: 458). Melalui prinsip terkait, dapatlah dikatakan bahwa resiliensi merupakan sebentuk konsep yang bercorak modernis mengingat eksistensi nilai-nilai universal yang diusungnya. Secara faktual, studi formal mengenai resiliensi telah dimulai semenjak kurang-lebih tiga puluh lima tahun yang lalu. Studi terkait demikian lekat dengan ranah psikologi mengingat pada mulanya resiliensi ditujukan bagi penanganan korban traumatis perang, bencana alam, penderita sakit kronis, korban pelecehan dan berbagai persoalan lainnya yang berkenaan dengan ketidakberdayaan psikis maupun mental. Namun, seiring kian kompleksnya permasalahan “kerentanan”
33
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
yang dihadapi individu maupun kolektif (sosial) dalam era high-risk dewasa ini, studi resiliensi turut diadopsi oleh para sosiolog, pekerja sosial, bahkan para politisi guna merumuskan kebijakan yang tepat bagi masyarakatnya (Fine, 1991: 462; Ruhl, 2011: 1374). Esensi dari studi resiliensi adalah upaya memetakan beragam respon yang diberikan individu kala menghadapi kesulitan hidup. Sebagian darinya ada yang dengan cepat pulih dari keterpurukan, sedang sebagian yang lain kian larut di dalamnya berikut serasa tak memiliki kuasa untuk membebaskan diri darinya. Individu yang memiliki kemampuan luar biasa untuk bangkit dari keterpurukan dalam tempo singkat, disebut sebagai “individu yang resilien”. Dalam studi terkait, beragam respon individu tersebut nantinya dipetakan, ditelisik faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta diformulasikan sedemikian rupa guna menciptakan individu-individu yang resilien lainnya (Fine, 1991: 457). Memang, studi resiliensi dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa tak semua individu dapat segera bangkit dari keterpurukannya. Bagi Scott (2009: 1), mereka yang mampu seketika bangkit memiliki syarat untuk menyadari kemampuannya sebagai suatu “anugerah” tersendiri. Hal tersebut berarti, pengalaman yang telah dilaluinya mampu membentuknya sedemikian rupa menjadi individu dengan daya pegas menghadapi penderitaan yang kuat —the strength to bounce back. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa individu yang resilien faktual bukanlah mereka yang tak pernah mengalami stres, tekanan atau depresi dalam hidupnya. Begitu pula, dimensi resiliensi yang kuat tak terbentuk dengan sendirinya, melainkan melalui serangkaian proses. Berdasarkan hasil penelitiannya, Goleman (dalam Fine, 1991: 459-460) menyatakan bahwa sesungguhnya “sistem imun” individu yang berkonfrontasi dengan ingatan traumatis masa lalu secara otomatis membentuk pandangan dunia yang lebih
34
optimistik bagi individu terkait. Namun, sering kali hal tersebut tak terbentuk secara optimal akibat terlampau dominannya “ingatan masa lalu yang menganggu”. Guna menghindarkannya, individu niscaya beranjak pada level makna, yakni memiliki kemampuan untuk memprediksi, merubah, memahami serta menerima kondisinya saat ini dengan konteks pemaknaan yang penuh. Selanjutnya, pemaknaan tersebut bakal menimbulkan keyakinan bahwa segala sesuatu berada di bawah kontrol dan demikian membantu dalam masa-masa rehabilitasi atau pemulihan. Banyak tempat di mana individu dapat memperoleh makna atas tindakannya, antara lain pada para pemuka agama, ideologi politik yang dianutnya, bahkan nalar awam (baca: nilai dan norma sosial) yang terdapat dalam masyarakatnya, terdapat pula sebagian individu yang memperolehnya lewat daya intelektual dan kreativitas kala menghadapi kesulitan itu sendiri. Bagi Victor Frankl, pemaknaan merupakan “ihwal terakhir dari kebebasan manusia”, ia menunjukkan bagaimana individu menginterpretasikan beragam tindakannya (Fine, 1991: 465). Adapun kemampuan individu untuk melakukan pemaknaan secara penuh menurut Garmezy (dalam Fine, 1991: 463), dipengaruhi oleh berbagai elemen, antara lain; tingkat tempramental, kapasitas intelektual, rasa humor, empati, ketrampilan memecahkan masalah, serta keahlian mengungkapkan perasaan (berekspresi). Sementara Reivich dan Shatte (2002: 36-47) mengemukakan serangkaian elemen sebagai berikut; pengaturan emosi, pengendalian impuls/dorongan, optimisme, analisis sebab-akibat, efikasi/pemulihan diri, serta reaching out atau daya dobrak pemaknaan individu. Pada gilirannya, satu atau dua di antara berbagai elemen tersebutlah yang nantinya berperan dalam proses penguatan dimensi resiliensi individu mengingat musykil bagi individu untuk memiliki keseluruhan elemen di atas. Menurut Reivich dan Shatte (2002: 15), proses terbentuknya resiliensi
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
merupakan hasil dinamika antara hubungan dunia internal dengan eksternal individu, namun demikian, keduanya sepakat bahwa dunia internal individu jauh lebih menentukan (berpengaruh). Setidaknya, terdapat tiga bentuk resiliensi yang dihasilkan melalui proses di atas. Pertama, kompensasi, yakni menunjuk pada kemampuan individu untuk menyesuaikan diri kala kompetensi yang dimilikinya berkurang drastis akibat stres. Kedua, proteksi, berupa kemampuan untuk memprediksi atau memperkirakan bentuk-bentuk penyesuaian diri yang diperlukan individu saat menghadapi situasi dan kondisi di luar kendalinya. Ketiga, tantangan, yakni pola pikir individu yang justru menempatkan stres sebagai “kompetitor” atau pendorong guna meningkatkan kompetensi (Fine, 1991: 463). Sementara itu, psikolog kenamaan Amerika Serikat, Dr. Salvatore Maddi (dalam Scott, 2009: 1-2), mengemukakan tiga elemen utama yang terdapat dalam dimensi resiliensi, yakni tantangan, komitmen dan kontrol. Menurut Maddi, individu yang resilien bakal melihat stres dan berbagai perubahan yang terjadi dalam hidupnya sebagai sarana pembelajaran diri. Bahkan, sebagian dari mereka justru mengharapkan datangnya tantangan guna menguji mentalitas yang dimiliki. Uniknya lagi bagi Maddi, individu yang resilien umumnya “kurang nyaman” terhadap status quo yang dimilikinya maupun pihak lain. Elemen lain, yakni komitmen, menunjuk pada kemampuan individu yang resilien untuk terlibat aktif dalam berbagai persoalan yang tengah dihadapi. Hal tersebut menyiratkan kemampuannya untuk memahami, menginterpretasi, berikut turut serta mempengaruhi persoalan sembari tetap terlibat pada proses di dalamnya. Bagi individu yang resilien, konflik merupakan perihal wajar dalam keseharian, bahkan mereka menganggapnya sebagai upaya pencapaian pada kondisi yang lebih baik. Elemen terakhir menurut Maddi, yakni kontrol,
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
ditunjukkan individu yang resilien melalui pilihannya untuk lebih menghadapi kesulitan/ penderitaan hidup dan mempengaruhi “hasil akhir” ketimbang ambruk dalam kepasifan berikut ketidakberdayaan. Melalui uraian singkat mengenai resiliensi di atas, dapatlah ditelisik lebih jauh bahwa resiliensi, sebagaimana pengertiannya, berfungsi sebagai tameng kala individu tengah dihadapkan pada beragam persoalan hidup yang tak jarang menimbulkan stres, depresi, bahkan mengarahkan tindakannya pada hal-hal di luar akal sehat. Dengan kata lain, resiliensi merupakan “jaring pengaman” individu dari berbagai tindakan yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Berita baiknya, penelitian seksama yang telah dilakukan para pakar dalam beberapa dekade terakhir memungkinkan resiliensi untuk dipelajari dan diterapkan secara mandiri oleh individu serta khalayak luas. Ekspresi
Dimensi Resiliensi dalam Keseharian
Bagi individu yang resilien, baik disadariatau tidak, kuatnya dimensi resiliensi yang dimilikinya kerap kali tercermin melalui pemikiran, perasaan bahkan tindakan layaknya gumaman atau perkataan dalam hati yang sering kali terceletuk begitu saja (tanpa sadar), semisal: “Ah, itu persoalan kecil buatku”; “Aku pasti bisa menghadapinya!”; “Terlalu konyol bagiku untuk menyerah”. Salah satu contoh ekspresi kuatnya dimensi resiliensi yang terkenal di dunia adalah berbagai tulisan Anne Frank yang tertuang dalam diary-nya, satu di antaranya sebagai berikut (Goodrich & Hackett, 2007: 10). “…aku ikut merasakan penderitaan berjuta-juta orang. Namun saat aku menatap langit, aku merasakan bahwa semuanya akan berubah menjadi lebih baik, dan perang ini akan berakhir, aku juga berpikir, perdamaian dan ketenangan sekali lagi akan kembali. Pada suatu saat aku
35
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
harus berpegang pada idealismeku. Barangkali waktunya akan tiba, saat aku mampu mewujudkannya.”
Begitu pula dengan sebuah puisi yang ditulis seorang anak tak dikenal di kamp konsentrasi Chezlovakia pada tahun 1944 di bawah ini (Fine, 1991: 464). The sun has made a veil of gold
So lovely that my body aches. Above, the heavens shriek with blue Convinced I’ve smiled by some mistake. The world’s abloom and seems to smile. I want to fly but where, how high? If in barbed wire, things can bloom Why couldn’t I? I will not die! Sebagaimana kita saksikan, berbagai tulisan di atas mengekspresikan kuatnya dimensi resiliensi individu secara literal. Di dalamnya terkandung semangat individu untuk bangkit melawan penderitaan, bertahan dalam kesusahan hidup dengan keyakinan bakal melewatinya, dan yang terpenting lagi, menunjukkan semangat individu untuk terus menjalani hidup. Hal tersebut tentu akan jauh berbeda pada individu dengan dimensi resiliensi yang lemah atau bahkan sama sekali tak memilikinya. Mereka akan larut dalam penderitaan, menerimanya secara taken for granted, serta berkencederungan menjadi fatalistik. Tegas dan jelasnya, individu yang demikian dapat diistilahkan sebagai man on the street sebagaimana ungkap Peter L. Berger: menerima apa-apa yang datang kepadanya tanpa mempertanyakannya.
Bunuh Diri dalam Kajian Sosiologi Adalah Emile Durkheim (1858-1917), sosiolog asal Perancis yang untuk pertama kalinya melakukan kajian mengenai fenomena bunuh diri dalam ranah sosiologi. Menurutnya, tindakan bunuh diri yang dilakukan individu
36
dalam masyarakat disebabkan oleh dua faktor: terlampau lemah atau kuatnya integrasi sosial (Samuel, 2010: 56-57). Dalam masyarakat dengan integrasi sosial yang lemah —atomistik dan individualistik— setiap individu di dalamnya syarat menanggung beban hidup seorang diri, tanpa teman atau tempat untuk berbagi dan membudalkan keluh-kesah (baca: uneg-uneg). Di Swiss misalkan, terdapat satu jembatan yang dijaga 24 jamnonstop oleh polisi setempat akibat kerap dijadikan tempat bunuh diri para pemuda. Faktual, tingginya angka bunuh diri di negara tersebut disebabkan oleh kultur masyarakat Swiss yang mengharuskan anak muda usia 17 tahun ke atas untuk keluar rumah, mencari kerja dan hidup secara mandiri (Beautrais & Gold, 2010: 9). Kultur tersebutlah yang kiranya menyebabkan banyak pemuda Swiss merasa tertekan, stres atau depresi sehingga dengan mudah mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya. Di sisi lain, fenomena bunuh diri akibat terlampau kuatnya integrasi sosial menyiratkan pengekangan berlebih individu oleh masyarakatnya, individu serasa dikuasai penuh oleh lingkungan sosial sehingga tak dapat berbuat banyak untuk menghindarinya. Adapun fenomena bunuh diri akibat faktor terkait dibagi ke dalam beberapa tipe. Pertama, bunuh diri akibat kewajiban, dapat dimisalkan dengan tradisi masyarakat India kuno yang mensyaratkan istri turut mati bersama suaminya, sedang apabila sang istri menolaknya, ia akan menuai cemoohan masyarakat berikut dianggap sebagai aib dalam masyarakatnya. Kedua, bunuh diri akibat dukungan masyarakat, hal tersebut dapat dicontohkan dengan seorang prajurit yang mengorbankan dirinya di medan perang demi menyelamatkan teman-temannya yang lain. Tipe bunuh diri terkait merupakan perihal yang “didukung” masyarakat, dalam arti, siapa yang melakukannya bakal menuai penghargaan berikut penghormatan masyarakat. Ketiga, bunuh diri akibat kepuasan diri, menurut Durkheim, tak ada penjelasan ilmiah
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
bagi tindakan bunuh diri dengan tipe ini, sang pelaku sekadar merasa bangga dan puas mempertontonkan tindakan bunuh dirinya di hadapan publik (Samuel, 2010: 60-62). Pada perkembangannya kemudian, ditemui istilah Werther effect atawa ‘efek Werther’ guna me-representasi-kan fenomena bunuh diri yang diakibatkan oleh pengaruh media. Istilah tersebut menunjuk pada novel buah karya Johann Wolfgang Goethe (1749-1832), The Sorrows of Young Werther ‘Penderitaan Pemuda Werther’ (1774) yang membawa Jerman larut dalam gelombang bunuh diri massal. Adapun istilah di atas untuk pertama kali dipopulerkan oleh D. Phillips (1974) dalam penelitiannya mengenai melonjak drastisnya angka bunuh diri di Amerika Serikat akibat kematian bunuh diri megabintang Hollywood, Marilyn Monroe. Phillips mencatat, pasca kematian Monroe, prosentase angka bunuh diri di Amerika Serikat meningkat drastis mencapai angka 12 persen (Bondora & Goodwin, 2005). Di sisi lain, istilah terkait—efek Werther—secara umum kerap pula disebut sebagai fenomena copycat, yakni perilaku entitas individu yang gemar menirukan perilaku individu lain baik dalam hal-hal yang bersifat faktual maupun fiksional (WHO, 2000: 5). Dewasa ini, pengkajian atasnya lekat dengan perkembangan budaya populer layaknya film, televisi, internet, novel, musik dan lain sejenisnya. Beberapa
Catatan Kasus Bunuh Diri Pemuda Tanah Air
Sebelum lebih jauh melangkah pada urgensi dimensi resiliensi sebagai upaya memperkuat daya pegas (ketahanan) pemuda dalam menghadapi berbagai rintangan dan penderitaan hidup, berikut akan dipaparkan beberapa di antara banyaknya catatan kasus bunuh diri pemuda tanah air yang terjadi belakangan ini (lihat Tabel). Pemaparan ini tak lain guna menunjukkan betapa kasus terkait merupakan realitas sosial yang nyata
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
keberadaannya berikut menjadi persoalan yang kita hadapi bersama. Apabila berbagai kasus bunuh diri di atas ditelaah melalui kerangka kajian sosiologis sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, kiranya faktor lemahnya integrasi sosial dan fenomena copycat menjadi penyebab utama marak terjadinya aksi terkait dewasa ini. Ihwal lemahnya integrasi sosial, hal tersebut tercermin pada berbagai persoalan para pelaku yang bersifat personal (pribadi), antara lain akibat putus cinta, studi yang tak kunjung usai, serta himpitan finansial. Serangkaian persoalan tersebut sama sekali tak berhubungan dengan integrasi sosial yang terlampau kuat dalam masyarakat. Dalam hal ini, para pelaku melakukan tindakannya bukan dikarenakan paksaan atau dukungan masyarakat, melainkan lebih dikarenakan persoalannya sendiri dan sama sekali tak berhubungan dengan nilai ataupun norma sosial. Tak dapat dipungkiri, dukungan sosial sebagai wadah berbagi atau sekadar sebagai tempat penghempas kekalutan diri kiranya diperlukan bagi individu dengan dimensi resiliensi yang rendah. Ihwal copycat, sebagaimana ungkap psikolog forensik Universitas Bina Nusantara Reza Indragiri Amriel, bahwa pemberitaan media massa mengenai “keberhasilan” seseorang melakukan aksi bunuh diri justru dapat menginspirasi pihak lain untuk turut melakukannya. Sebagai misal, maraknya aksi bunuh diri yang dilakukan di mal dan seolah sempat menjadi “tren” beberapa waktu lalu. Tercatat, selama dua hari beturut-turut di bulan Januari 2011—tanggal 3-4—terjadi tiga kasus bunuh diri di mal, di mana ketiga pelaku melancarkan aksinya dengan terjun bebas dari ketinggian gedung (Soebijoto, 2011). Kiranya, cukup sulit untuk mengatakan jika peristiwa tersebut sama sekali tak berkaitan dengan pengaruh media. Senada dengan Reza Indragiri, Naoumi Sutikno, psikolog Rumah Sakit Omni, menyatakan bahwa publikasi media cetak maupun elektronik dengan visualisasi (foto/gambar) para korban
37
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
Tabel: Kasus-kasus Bunuh Diri di Kalangan Pemuda Waktu Kejadian
38
Korban
Keterangan
Sumber
15 Januari 2008
Eko Prasetyo (25), mahasiswa salah satu PTS Yogyakarta.
Ditemukan tewas gantung diri di dapur rumahnya di daerah Sanden, Bantul. Prasetyo melakukan aksi bunuh diri akibat skripsinya tak kunjung selesai.
http://news.okezone.com/ read/2008/01/16/1/75585/ stres-urus-skripsimahasiswa-bunuh-diri (diakses pada 01/03/2012)
15 Desember 2008
Indrawan Winata, mahasiswa Fak. Ekonomi, Universitas YAI.
Melakukan aksi bunuh diri dengan cara melompat dari lantai tiga belas gedung universitas. Winata melakukan aksi tersebut akibat skripsinya yang tak kunjung selesai.
http://www.tempo.co/read/ news/2008/12/17/064151493/ Bunuh-Diri-Gara-GaraSkripsi-Tidak-Juga-Selesai (diakses pada 01/03/2012)
31 Juli 2011
Andriyadi (21)
Akibat putus cinta, pemuda terkait nekat hendak bunuh diri dengan memotong urat nadi pergelangan tangan kirinya dengan cutter di rumahnya di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Beruntung korban berhasil diselamatkan.
http://portalkriminal.com/ index.php?option=com_content &view=article&id=14427 (diakses pada 01/03/2012)
5 September 2011
Winarso Riyadi (23), karyawan swasta.
Ditemukan gantung diri dengan kondisi tak bernyawa di plafon rumahnya, Johar Baru, Jakarta Pusat. Riyadi nekat melakukan aksi tersebut dikarenakan putus cinta dengan kekasihnya.
http://poskota.co.id/berita-terkini/ 2011/09/05/bunuh-diri-karenaputus-cinta (diakses pada 01/03/2012)
8 September 2011
Irfanati Syahidah (15)
Ditemukan tewas gantung diri di rumahnya di kawasan Medan Satria, Bekasi. Syahidah melakukan aksi tersebut akibat diputuskan sang pacar melalui pesan singkat (SMS).
http://www.republika.co.id/berita/ regional/jabodetabek/11/09/09/ lr93q6-garagara-putus-cintagadis-belia-gantung-diri (diakses pada 01/03/2012)
29 September 2011
Tjen Alvin (22), mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Bunda Mulia, Jakarta
Bunuh diri dengan cara melompat dari lantai tujuh Imperium Mall Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara. Menurut salah satu teman korban, Adi, pelaku sempat mengirimkan pesan singkat (SMS) perihal kesulitannya mengerjakan salah satu tugas mata kuliah, sedang kala itu merupakan batas waktu pengumpulannya.
http://metro.vivanews.com/news/ read/251362-kenapa-alvin-nekad -terjun-bebas-dari-mall (diakses pada 01/03/2012)
14 Oktober 2011
Af Hardiman (21), mahasiswa Fak. Teknik Elektro, Universitas Bung Hatta, sekaligus atlet dayung peraih medali emas dalam Pekan Olah Raga Provinsi (Porprov) tahun 2012
Diduga akibat terbentur biaya kuliah, Hardiman nekat melakukan aksi bunuh diri, mayatnya ditemukan mengambang di Danau Singkarak, Sumatera Barat.
http://padangekspres.co.id/?news =berita&id=14704 (diakes pada 01/03/2012)
19 Februari 2012
Ricky Ardianto (23), mahasiswa ITB
Melakukan aksi bunuh diri dengan cara melompat dari atap lantai tiga kosnya. Saat berita diturunkan, polisi masih mendalami motif pelaku.
http://www.solopos.com/2012/ patroli/mahasiswa-itb-bunuh-diriloncat-dari-atap-indekos-163729 (diakses pada 01/03/2012)
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
bunuh diri hanya akan menginspirasi pihak lain untuk melakukan tindakan serupa. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa dewasa ini mal menjadi “lokasi favorit” untuk melancarkan aksi bunuh diri karena lokasinya yang mudah dijangkau dan terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat. Di samping itu, terbersit harapan pada diri pelaku agar permasalahan hidup berikut tindakannya menjadi pembicaraan banyak orang (menyita perhatian), dengan melancarkan aksinya di mal maka peluang untuk terekspos media menjadi lebih besar (Dai & Yer, 2011).
Penetrasi Dimensi Resiliensi pada Pemuda Sebagaimana diungkap Dr. Maddi (dalam Scott, 2009: 2), hal pertama yang dapat dilakukan guna meningkatkan dimensi resiliensi pada diri adalah dengan mempelajarinya. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa kajian mengenai resiliensi masih cukup asing bagi para pemuda (baca: mahasiswa) khususnya yang berada di luar disiplin psikologi selaku pencetus konsep terkait, berbeda halnya dengan tradisi akademik Barat yang telah mengadaptasikannya pada berbagai disiplin keilmuan (Ruhl, 2011: 1374). Oleh karenanya, upaya lebih kiranya masih diperlukan guna mempromosikan dan mengenalkan studi resiliensi pada publik akademik tanah air, khususnya dalam ranah keilmuan sosial-humaniora. Setidaknya, hal tersebut sejalan dengan semangat pengintegrasian ilmu sebagaimana didengungkan akhir-akhir ini. Berikut akan dipaparkan berbagai upaya dan strategi guna melakukan penetrasi dimensi resiliensi pada diri pemuda di tanah air. Refleksi
Diri dan Kemampuan Pemaknaan secara Konstruktif
Refleksi diri, atau yang secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai “pemahaman mendalam atas diri”, merupakan proses belajar
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
yang berlangsung secara terus-menerus dalam upaya pembentukan dimensi resiliensi pada diri individu. Terkait hal tersebut, Michael Polanyi dalam The Study of Man (2001:18) mengatakan bahwa sering kali manusia jauh tak mengenal dirinya ketimbang lingkungannya. Hal tersebut disebabkan oleh terlampau “sibuknya” ia menggali pengetahuan tentang alam sekitar, namun melupakan penggalian atas dirinya sendiri. Bagi Polanyi, penggalian yang sekadar berkutat pada alam sekitar (dunia eksternal) barulah mencapai tingkat “intelegensi binatang”. Oleh karenanya, pertanyaan yang hadir kemudian adalah, bagaimanakah cara agar individu mampu melakukan penggalian atas dirinya sendiri (refleksi diri)? Adalah faktual bahwa setiap manusia pernah mengalami pengalaman eksistensial layaknya malu, kecewa, terkucil dan kehilangan yang teramat sangat (Lathief, 2010: 103). Semua hal tersebut sesungguhnya merupakan kesempatan bagi individu untuk melakukan refleksi diri. Rasa malu kita yang disebabkan oleh tatapan mata seseorang misalnya, mengandung pengertian agar kita melakukan penilaian atas diri sendiri. Begitu pula, kekecewaan akibat ditinggal kekasih menimbulkan serangkaian tanya pada diri sendiri: Mengapa? Bagaimana mungkin?. Disadari atau tidak, semua pengalaman tersebut membalikkan struktur dunia objektif menjadi subjektif, kita atau individu-lah yang kemudian “disorot”. Lebih jauh, hal di atas tak lepas dari muatan kesadaran yang terjadi dalam aktivitas refleksi diri, yakni spontanitas impersonal yang lahir melalui ex-nihilo. Dalam arti, berbagai kekosongan yang menjangkiti diri manusia dan terjadi secara tiba-tiba (spontan) tersebutlah yang kemudian justru membuat manusia untuk terus bergerak (bertindak). Namun, sebelum individu melakukan sebentuk tindakan, terdapat ruang kosong antara peristiwa yang dialaminya dengan tindakan yang dilakukannya kemudian. Faktual, ruang kosong tersebut berfungsi sebagai tempat melakukan interpretasi atau pemaknaan sehingga
39
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
menentukan bentuk-bentuk tindakan yang hadir kemudian (Palmer, 2003: 40 & 58-59). Dalam kaitannya dengan persoalan pemuda di tanah air, diduga sebagian besar dari mereka pernah mengalami serangkaian pengalaman eksistensial seperti di atas. Agaknya, dunia objektif memang telah bertransformasi pada dunia subjektif kala mereka tengah mengalaminya, namun sayang banyak dari mereka kurang mampu melakukan pemaknaan penuh secara konstruktif. Hal tersebut diduga disebabkan oleh kurangnya stock of knowledge ‘kapasitas intelektual’, rasa humor serta kemampuan mengekspresikan diri. Di sisi lain, salah satu karakter pemuda sebagaimana telah diutarakan jauh sebelumnya, yakni kecenderungan untuk bergabung dengan teman-teman sejawatnya, kiranya menyebabkan mereka sedikit-banyak lebih berjarak terhadap institusi agama, keluarga serta sosial, sedang berbagai tempat tersebut diyakini sebagai sumber individu untuk memperoleh makna. Kurangnya “gudang” pemaknaan yang dimiliki pemuda kiranya berbanding lurus dengan pola pikir dan tindakannya yang kerap dikatakan “dangkal” oleh banyak pihak. Kedangkalan pikir dan tindakan tersebut tak hanya berkenaan dengan hal-hal yang berbau agresi (kekerasan), semisal menyerang individu lain, aksi tawuran dan lain sejenisnya, melainkan pula kepasifan akut layaknya hanyut dalam ektase miras atau narkoba, bahkan juga: bunuh diri. Tak pelak, serangkaian tindakan tersebut menunjukkan pendeknya rentang ruang kosong tempat pemaknaan dilakukan, seakan stimulus yang datang sontak berbuah respon, dan seolah sekadar terdapat pemaknaan tunggal di dalamnya. Dalam kacamata resiliensi, refleksi diri berfungsi sebagai sarana pengatur emosi, pengendali impuls, “pemeka” analisis sebabakibat, serta pendobrak pemaknaan individu. Dua hal yang dikemukakan terakhir—analisis sebab-akibat dan pendobrak pemaknaan individu—merupakan kemampuan analisis
40
kausalitas serta pemaknaan di luar kelaziman individu-individu lainnya. Sebagai misal, seorang pemuda resilien yang kerap mendapati cemoohan dan pelabelan negatif ayahnya bisa jadi bakal memaknai segala perkataan ayahnya sebagai lontaran “orang sakit”. Ia menempatkan ayahnya sebagai pasien berikut “korban” pendidikan orang-orang terdahulu yang umumnya memang keras dan sewenang-wenang terhadap anak—analisis sebab-akibat. Di sisi lain, sang pemuda akan memainkan peran sebagai seorang psikolog atau psikiater yang dengan segala kapasitasnya mampu membalas setiap lontaran negatif di atas dengan senyum simpul lagi bijak. Dengan demikian, berbagai cemoohan dan pelabelan negatif yang dilayangkan sang ayah pada pemuda resilien tersebut sama sekali tak berdampak pada dirinya. Dapatlah dilihat bahwa pemuda yang resilien mampu merombak it is what it is menjadi it is what it is not. Begitu pula, dalam kasus asmara misalnya, seorang pemuda yang resilien takkan serta-merta bermuram durja, larut dalam derita “kasih tak sampai”, terlebih bunuh diri kala diputuskan kekasihnya. Sebaliknya, ia akan melihatnya sebagai sebuah tantangan tersendiri. Bisa jadi, kemudian ia justru berpikir untuk mendapatkan kekasih baru yang jauh “lebih baik” berikut dalam tempo yang lebih singkat sebelum si mantan kekasih “memamerkan” pengganti dirinya. Demikianlah, sebagaimana ungkap Dr. Maddi (dalam Scott, 2009: 1), salah satu karakter individu yang resilien yaitu menjadikan tekanan dan stres sebagai “saingan” atau kompetitor untuk menguji serta meningkatkan kemampuan diri. Namun harus diakui, kemampuan individu dalam melakukan refleksi diri serta pemaknaan penuh secara konstruktif acap kali berasal dari sumber yang samar, begitu pula dengan terbentuknya dimensi resiliensi pada individu terkait: berasal dari diri sendiri ataukah buah campur tangan pihak lain. Apabila individu tersebut memiliki kapasitas
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
intelektual yang mumpuni dikarenakan kegemarannya melahap buku semenjak lama, atau karena mengkultuskan seorang tokoh yang resilien sehingga berpikir maupun bertindak layaknya tokoh tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa dimensi resiliensi yang dimilikinya merupakan buah bentukannya sendiri. Sebaliknya, apabila ia lebih banyak meminjam pemaknaan yang bersumber dari lingkungan sekitar, maka dimensi resiliensinya merupakan buah campur tangan (bentukan) pihak lain. Institusi
Keluarga: Antara “Zona Aman”, Habitus dan Penciptaan Dimensi Resiliensi
Seakan mengamini tesis mengenai disfungsionalisasi institusi keluarga, studi resiliensi meletakkan perhatian khusus terhadap kebiasaan orang tua yang sejak dini sengaja menghindarkan anak-anaknya dari pengalaman kegagalan berikut kesulitan hidup. Bagi Reivich dan Shatte (2002: 113), kebiasaan tersebut justru merugikan proses pembentukan dimensi resiliensi. Pasalnya, anak selalu dikondisikan dalam “zona aman”, mereka tak pernah dilatih untuk mengalami guncangan mental serta mengatasinya secara mandiri. Karena berada di “zona aman” tak dapat diharapkan terus menerus, maka besar kemungkinan anak-anak tersebut bakal sulit bangkit kala menghadapi keterpurukan hidup di kemudian hari. Terlebih, manusia memang selalu berada dalam kondisi “tak siap” kala berhadapan dengan berbagai hal mengerikan dalam hidup sebagaimana diyakini studi resiliensi (Fine, 1991: 459-460). Lebih jauh, kajian mengenai hubungan antara institusi keluarga dengan penciptaan dimensi resiliensi pada individu kiranya demikian esensial. Hal tersebut mengingat institusi keluarga merupakan tempat pembentukan tingkat tempramental individu/anak, empati, kemampuan berekspresi, dan pada gilirannya menjadi pembentuk kognitif anak guna menerima berbagai pelajaran di sekolah
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
dalam rangka memupuk kapasitas intelektual. Oleh karenanya, dapatlah ditilik betapa besar peran institusi keluarga dalam melahirkan individu-individu yang resilien, bahkan Pierre Bourdieu (dalam Harker [et.al], 2005: 113) pun turut mengakui peran penting keluarga sebagai sarana reproduksi sosial yang secara tak langsung berkenaan dengan berbagai elemen resiliensi di atas. Menurut Bourdieu, terdapat perbedaan yang kentara antara pola pendidikan yang diterapkan keluarga kelas menengah dengan kelas bawah. Umumnya, pola asuh yang diterapkan keluarga kelas menengah bersifat demokratis, anak sengaja didorong untuk “vokal” dan bebas mengekspresikan perasaan berikut aspirasinya. Kursus-kursus di luar jam sekolah pun sengaja diperuntukkan bagi anak guna mendukung berbagai ketrampilan di atas. Sebaliknya, pola asuh dalam keluarga kelas bawah umumnya bersifat otoriter; kondisi serba terbatas yang dimiliki orang tua meniscayakan anak untuk tak banyak menuntut. Sering kali, “pembungkaman” ekspresi dan aspirasi anak tampak melalui kemarahan orang tua yang meletup-letup. Disadari atau tidak, perbedaan kedua pola asuh di atas berimplikasi pada sesuai-tidaknya habitus anak dalam bangku sekolah. Anak dengan pola didikan keluarga yang demokratis cenderung vokal di kelas, tak ragu bertanya dan menjawab, serta berani mencoba berikut berbuat salah. Sebaliknya dengan anak yang dihasilkan melalui pola didikan keluarga otoriter, mereka cenderung diam di kelas, tak berani bertanya berikut menjawab pertanyaan guru—terdapat ketakutan untuk berbuat salah dan dipermalukan/dimarahi (Harker [et.al], 2005: 114-118). Parahnya, berbagai kebiasaan tersebut kerap kali terbawa hingga bangku kuliah, perihal yang tentunya merugikan bagi perkembangan kapasitas intelektual individu dan secara tak langsung turut menyiratkan perihal kontra-resiliensi. Di samping sebagai muara pembentukan dimensi resiliensi, keluarga turut ditempatkan sebagai “daya dukung” resiliensi itu sendiri
41
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
bagi individu. Dapatlah dibayangkan bilamana terdapat pemuda pengidap HIV/ AIDS atau pecandu narkoba yang sama sekali tak mendapat dukungan keluarganya, besar kemungkinan mereka bakal berpikir dan bertindak fatalis. Pemuda ODHA dapat seketika berpikir untuk mengakhiri hidupnya, sedang pemuda pemakai narkoba akan sulit menjalani masa-masa rehabilitasi atau justru kian larut dalam candunya akibat ketiadaan perhatian sama sekali dari keluarga. Hal serupa berlaku pula bagi berbagai kasus pemuda layaknya putus cinta, tak lulus dalam Ujian Nasional (UN), serta mereka yang tengah kesulitan menyelesaikan Tugas Akhir (skripsi) guna menyabet gelar sarjana. Masyarakat:
Re-Interpretasi Mitos “Pulong Gantung”, Sebuah Contoh Kasus
Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan wilayah dengan prevalensi angka bunuh diri tertinggi di tanah air. Tercatat, terjadi 9 kasus bunuh diri per 100.000 penduduk, jauh lebih tinggi ketimbang angka rata-rata kasus bunuh diri tanah air, yakni 1,2 kasus per 100.000 penduduk. Parahnya, sebagian besar pelaku bunuh diri terkategori dalam kelompok usia remaja dan dewasa muda. Memang, di samping akibat persoalan ekonomi, tingginya angka bunuh diri di Gunung Kidul tak lepas dari mitos “pulong gantung” yang menjadikan tindakan tersebut sebagai bisa dimaklumi oleh masyarakat setempat (Amarullah, 2009). Pulong gantung adalah semacam cahaya (bintang) berekor dengan warna-warna tertentu yang jatuh di atap rumah warga dan dipercaya memuat sejumlah pesan. Dikatakan, apabila pulong tersebut berwarna putih atau biru, maka keberuntunganlah yang dibawanya, semisal menang dalam pilihan kepala desa atau mendapat lotre. Namun sebaliknya, apabila pulong tersebut berwarna merah, maka kesialan atau tragedilah yang
42
bakal menimpa, umumnya tragedi tersebut diasosiasikan dengan salah satu warga yang akan melakukan aksi bunuh diri di kemudian hari (Catur, 2010: 39-41). Menilik eksistensinya sebagai local genious ‘kearifan lokal’ masyarakat setempat, mitos pulong gantung memang perlu dihargai. Namun, menilik besarnya implikasi negatif yang ditimbulkannya, mitos tersebut layak ditinjau kembali. Memang, demikian abstrak untuk menggambarkan relasi yang terjadi antara penampakan pulong dengan tindakan bunuh diri mengingat pengkajian terkait berada dalam tataran metafisika. Bisa jadi, seorang warga yang sebelumnya memang telah frustasi dan berniat mengakhiri hidup, bertambah bulat niatnya karena serasa menyaksikan pulong. Dengan demikian, ia akan berpikir bahwa “waktunya telah tiba”. Di sisi lain, pulong tersebut dapat pula sekadar dijadikan kedok atau tameng untuk melegitimasi tindakannya. Dalam hal ini, sang pelaku sama sekali tak melihat penampakkan pulong, namun dikarenakan mitos tersebut ajeg dilestarikan masyarakat sekitar, maka ia merasa leluasa melakukan aksi bunuh diri, toh nanti masyarakat akan menganggapnya sebagai akibat penampakan pulong—menjadi perihal yang dimaklumi sebagaimana telah diutarakan sebelumnya. Oleh karenanya, keberadaan pulong bisa jadi sekadar dijadikan sebagai “kambing hitam”, ia menjadi semacam kedok motif bunuh diri seseorang di hadapan masyarakatnya, meskipun motif yang sesungguhnya bukanlah hal yang dimaksud: penampakan pulong gantung. Salah satu cara guna “menjinakkan” mitos pulong gantung tanpa harus menghilangkan keberadaannya adalah dengan melakukan re-interpretasi atau penafsiran ulang. Di sini, peran pemuka masyarakat dan kaum intelektual diperlukan mengingat kedudukan mereka —pemuka masyarakat, terutama—sebagai pemberi makna dan pembentuk pola pikir masyarakat. Bisa saja pulong gantung tak lagi dimaknai secara saklek sebagai pertanda akan adanya salah satu warga yang
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
hendak bunuh diri, melainkan sebagai pengingat kepada masyarakat untuk menjaga kebersamaan di antara mereka sehingga tidak ada salah satu warganya yang menanggung beban berikut kesulitan hidup seorang diri. Hal tersebut misalnya dapat ditempuh dengan perutinan rembug warga atau acara kumpulkumpul (baca: silaturahmi) yang salah satunya berfungsi sebagai penghilang halangan rentang geografis di daerah Gunung Kidul.3 Melalui re-interpretasi mitos pulong gantung, diharapkan tingginya angka bunuh diri di daerah Gunung Kidul dapat ditekan secara signifikan. Terlebih dengan mengingat bahwa sebagian besar dari pelaku adalah mereka yang tergolong usia remaja dan dewasa muda. Penetrasi
Dimensi Resiliensi melalui Budaya Pop
Sebagaimana diungkapkan Susan B. Fine (1991:466), budaya populer semisal film, musik maupun novel dapat pula digunakan sebagai sarana memperkuat dimensi resiliensi pada individu. Seolah menjadi wacana tanding atas “efek Werther” yang berasosiasi negatif terhadap audiens, penggunaan budaya populer bagi resiliensi berupaya untuk menggenjot dan memicu semangat hidup berikut ketahanan psikis para audiens. Bahkan, upaya tersebut dapat pula dilakukan dengan menginjeksikan hal-hal yang bersifat hiperrealitas, fantasi atau khayal dalam film maupun novel yang dirilis pada publik. Di Indonesia belakangan ini cukup banyak novel yang menggambarkan heroisme pemuda dalam mewujudkan cita-citanya. Bahkan, sebagian di antaranya telah diangkat ke layar lebar. Kisah perjuangan Andrea Hirata yang tertuang dalam Tetralogi Laskar Pelangi, sukses Raditya Dika sebagai penulis muda yang terkisah dalam buku maupun film Kambing Jantan, Ahmad Fuadi dengan 3
Terkait topografi daerah Gunung Kidul yang berbukit-bukit sehingga rentang jarak antara satu rumah warga dengan rumah warga lainnya cukup jauh.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Negeri Lima Menara-nya, hingga novel fiksi karya Habiburrahman El Shirazy, Ayat-ayat Cinta dinilai cukup inspiratif bagi khalayak pembaca dan pemirsa. Munculnya rangkaian karya-karya tersebut ditengarai membawa arus positif bagi penguatan dimensi resiliensi masyarakat pada umumnya serta pemuda pada khususnya. Berkenaan dengan kuatnya pengaruh literarur terhadap pembaca, Oatley (dalam Wirth & Schramm, 2005: 16-17) menjelaskan bahwa hal tersebut tak lepas dari keberadaan emosi internal dan eksternal yang terdapat di dalamnya. Emosi internal terbentuk kala pembaca masuk dan membenamkan diri dalam teks; esensi utama dari proses tersebut adalah aspek “penerimaan” dari pembaca terhadap teks yang dibacanya. Melalui penerimaan tersebut, pembaca mampu mengembangkan perasaan dan bersimpati pada figur-figur yang terdapat dalam teks. Di sisi lain, emosi eksternal bagi Oatley, terbagi dalam dua bentuk: asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan upaya mandiri yang dilakukan pembaca untuk mengisi berbagai kekosongan yang terdapat dalam alur cerita. Di sini, pembaca selalu berkeinginan untuk mengetahui kelanjutan alur cerita, namun dalam rangkaiannya sering kali ditemui ketidaklengkapan atau kekosongan peran, pada celahcelah tersebutlah pembaca mengambilalih peran yang belum terisi. Sedangkan akomodasi menunjuk pada kesenjangan harapan antara narasi yang terdapat dalam teks dengan narasi yang diharapkan oleh pembaca. Dalam hal ini, ketegangan (emosi) membaca muncul akibat adanya berbagai ketidaksesuaian tersebut. Lebih jauh, besarnya potensi pengaruh media visual —film— terhadap audiens dijelaskan oleh Bente dan Fromm (dalam Wirth & Schramm, 2005: 18) melalui empat faktor sebagai berikut. Pertama, personalisasi, yakni presentasi atau penyajian yang berfokus pada alur cerita individu, di sini manusia kebanyakan tak begitu penting keberadaannya. Kedua, otentitas atau keaslian, cerita mengenai orang-orang yang tak terkenal
43
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
(orang biasa) dituturkan secara langsung oleh dirinya sendiri. Ketiga, intimasi, topik-topik pribadi atau personal berikut aspek hubungan interpersonal yang terdapat di dalamnya diubah sehingga menjadi topik publik. Keempat, emosi, setiap tutur dan perilaku yang ada memang sengaja ditujukan guna memancing emosi serta komentar audiens. Dari uraian singkat mengenai ampuhnya media dalam mempengaruhi afeksi berikut perilaku individu tersebut, kiranya dapat dimanfaatkan bagi penguatan dimensi resiliensi pada pemuda.
Kesimpulan dan Penutup Berpijak dari uraian di atas, penguatan dimensi resiliensi dapat menjadi salah satu cara yang ditempuh untuk mereduksi tingginya angka bunuh diri pada pemuda di tanah air dewasa ini. Konsep resiliensi yang menekankan pada ketahanan diri untuk beradaptasi dengan berbagai penderitaan maupun kesulitan hidup, berikut kemampuan untuk bangkit dan melawan mengatasinya, sesuai bagi kondisi kejiwaan pemuda yang mengalami ambiguitas (kelabilan) dengan serba-serbi persoalan yang dihadapinya. Upaya dan strategi untuk memperkuat dimensi resiliensi pada pemuda dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti refleksi diri, menggunakan institusi keluarga dan masyarakat, maupun melalui budaya pop yang akrab dengan keseharian hidup pemuda. Namun demikian, hal terpenting dan cara terbaik untuk memperkuat resiliensi pada pemuda adalah dengan mempelajarinya secara mandiri. Di sini, pengayaan bentuk studi dan ragam analisis mengenai resiliensi memiliki relevansi yang tinggi mengingat masih jarangnya telaah serius mengenai konsep tersebut di tanah air.
44
Daftar Pustaka Buku: Barker, Chris. 2009. Cultural Studies, Kreasi Wacana. Harker, Richard [et.al]. 2005. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktek, Kreasi Wacana. Lathief, Supaat I, 2010, Psikologi Fenomenologi Eksistensialisme, Pustaka Pujangga. Monks, F. J (et.al). 1985. Psikologi Perkembangan, Gadjah Mada University Press. Palmer, Donald D. 2003. Sartre untuk Pemula, Kanisius. Polanyi, Michael. 2001. Kajian tentang Manusia, Kanisius. Reivich, K & A. Shatte. 2002. The Resilience Factor: 7 Essential Skills for Overcoming Life’s Inevitable Obstacles, Broadway Books. Samuel, Hanneman. 2010. Emile Durkheim: Riwayat, Pemikiran dan Warisan Bapak Sosiologi Modern, Kepik Ungu. Jurnal: Bondora, Jeffrey T & Jessica L. Goodwin, “The Impact of Suicidal Content in Popular Media on the Attitudes and Behaviors of Adolescents”, Praxis Journal, Fall 2005 Vol. 5, pp. 5. Fine, Susan B, 1991, “Resilience and Human Adaptability: Who Rises Above Adversity?”, American Journal of Occupational Therapy, Ed. 45/1991, pp. 457-474. Ruhl, J. B, 2011, “General Design Principles for Resilience and Adaptive Capacity in Legal System with Applications to Climate Change Adaptation”, Symposium Journal of Adaptation and Resiliency in Legal System, 2011, pp. 1373-1394.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
Scott, Diane E, 2009, “Exploring Individual Resilience”, Center for American Nurses, November 2009, pp. 1-2. WHO, 2000, “Preventing Suicide: A Resource for Media Professionals”, Mental and Behavioural Disorders, Department of Mental Health, WHO-Geneva, 2000, pp. 5. Wirasto, Ronny T, 2012, “Suicide Prevention in Indonesia: Providing Public Advocacy”, JMAJ, January/February 2012, Vol. 55, No. 1, pp. 98. Wirth, Werner & Holger Schramm, 2005, “Media and Emotions”, Communication Research Trends, Vol. 24 (2005) No. 3, pp. 15-18. Internet: Amarullah, Amril, 2009, Kasus Bunuh Diri di Indonesia, http://nasional.vivanews. com/news/read/110420-kasus_ bunuh_diri_di_indonesia tanggal 4 Maret 2012. BBC Indonesia, 2012, Ketegaran Rakyat Jepang Layak Diteladani, http://www. bbc.co.uk/indonesia/berita_indo nesia/2012/03/120311_indotsunami. shtml tanggal 18 Maret 2012. Candra, Asep, 2011, Mengapa Sondang Bakar Diri?, http://nasional.kompas.com/ read/2011/12/12/09270091/Me ngapa.Sondang.Bakar.Diri. tanggal 5 Maret 2012. Dai & Yer, 2011, Bunuh Diri dengan Terjun dari Ketinggian Makin Marak, http:// www.indopos.co.id/index.php/ arsip-berita-jakarta-raya/53-jakartaraya/15949-bunuh-diri-denganterjun-dari-ketinggian-makin-marak. html tanggal 9 Maret 2012. Goodrich, Frances & Albert Hackett, 2007, The Diary of Anne Frank: An Educa tional Study Guide, http://www.sain thelena.us/school/classrooms/middle
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
/language/images/Annefrank_ theatre_guide.pdf tanggal 6 Maret 2012. Pertiwi, Atmi, 2011, Putus Cinta Sebab Utama Anak Bunuh Diri, http://www. tempo.co/read/news/2011/12/ 20/173372755/Putus-Cinta-SebabUtama-Anak-Bunuh-Diri tanggal 5 Maret 2012. Riz, 2012, Pacar Sondang Hutagalung Laku kan Percobaan Bunuh Diri, http:// www.metrotvnews.com/read/news video/2012/02/18/145537/SatuKeluarga-di-Bali-Hilang-TanpaJejak/1 tanggal 5 Maret 2012. Soebijoto, Hertanto, 2011, Awas Bunuh Diri di MalJadiTren,http://nasional.kompas. com/read/2011/01/05/11054546/ Awas.Bunuh.Diri.di.Mal.Jadi.Tren tanggal 9 Maret 2012. Zahra,Anita, 2011, Pengaruh Gambaran Tubuh terhadap Depresi pada Remaja Awal, http://repository.usu.ac.id/bit stream/123456789/23383/4/ Chapter%20I.pdf tanggal 4 Maret 2012.
45
ESAI: Mengapa Menerbitkan Jurnal Studi Pemuda?
Esai Mengapa Menerbitkan Jurnal Studi Pemuda? M. Najib Azca & Oki Rahadianto
Indonesian youth studies have in many ways followed the general pattern and trends of the broader field of youth studies. (Naafs and White, 2012: 3).
P
engetahuan adalah kuasa, dan konstruksi pengetahuan terpaut rapat dengan relasi kuasa. Juga pengetahuan dan konstruksi pengetahuan ihwal pemuda (youth)—atau pemudi, jika kita bermaksud sensitif gender.1 Sebagai subjek pemuda tak terlepas dari hasil konstruksi pengetahuan, baik yang merepresentasikan kepentingan negara, pasar maupun pemuda itu sendiri sebagai aktor sosial. Ia juga terpapar oleh gelombang pengaruh yang berasal dari berbagai aras: global, nasional maupun lokal. Demikianlah, dengan kata lain pemuda adalah “subjek dalam kontestasi“: proses konstruksi (dan rekonstruksi) pengetahuan ihwal pemuda berlangsung terus menerus tak kunjung rampung seiring perjalanan tarih. Tetapi, siapa sesungguhnya pemuda atau kaum muda itu? Ada beraneka definisi mengenai pemuda. Salah satu kriteria dasar yang lazim digunakan untuk mendefinisikan pemuda adalah rentang usia tertentu. Nah, 1
Demi alasan kepraktisan dan kemudahan, selanjutnya akan digunakan istilah pemuda, meski dengan kesadaran kemungkinan bias gender itu.
46
ada bermacam rentang umur yang digunakan untuk mengkategorisasikan pemuda. Misalnya, UU Kepemudaan No. 40/2009 pasal 1 ayat 1 mendefinisikan pemuda sebagai mereka yang berumur antara 16-30 tahun, sementara PBB mengkategorikan pemuda berumur antara 15-24 tahun. Sejumlah negara di Asia menggunakan batas umur yang berbeda untuk mendefinisikan pemuda: hingga berumur 25 tahun di Thailand, hingga berusia 30 tahun di India, Vietnam and Papua New Guinea sementara di Malaysia hingga berumur 40 tahun (Naafs and White; 2012). Pemutusan rentang umur tertentu sebagai basis kategori untuk menyebut pemuda, tentu, bukan soal ringan dan memiliki implikasi yang rumit. Pemutusan rentang umur 16-30 untuk menyebut pemuda di UU Kepemudaan No. 40/2009, misalnya, mendapat banyak protes keras lantaran sebagian besar pimpinan organisasi pemuda di Indonesia berusia lebih dari 30 tahun. Soal batas umur hanya merupakan salah satu saja dari kompleksitas membaca kaum muda. Dalam reviewnya terhadap perjalanan konsep mengenai ‘youth’, Jones
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
ESAI: Mengapa Menerbitkan Jurnal Studi Pemuda?
(2009: 4) mendapati sekurangnya dua ambiguitas. Pertama, kecenderungan untuk menggambarkan pemuda dan kepemudaan dalam citra paradoks: dipujikan namun sekaligus dipersalahkan, dianggap sebagai pahlawan namun sekaligus sebagai bajingan; “Youth is to be celebrated and deplored, and young people depicted as both heroes and villains.” Kedua, istilah pemuda atau ‘youth’ merujuk pada dua makna, yakni sebagai ‘seseorang’ (sejenis dengan penyebutan ‘anak’ [child] atau ‘dewasa’ [adult]) dan sebagai bagian dari perjalanan usia (sejenis dengan penyebutan ‘masa kanak’ [childhood] dan ‘masa dewasa’ [adulthood]). Uniknya, kajian studi kepemudaan di Indonesia merupakan ranah yang ‘terlantar’. Meski pemuda sebagai subjek sosial-politik nyaris senantiasa hadir dan meninggalkan jejak bermakna di berbagai kurun sejarah di aneka sudut Nusantara, namun pemuda sebagai ‘subjek akademik’ tampaknya merupakan mahluk yang tersisih dan terpinggirkan. Menengok ke belakang, dalam ranah akademis, pemuda sesungguhnya acap hadir dalam berbagai studi dan kajian. Namun yang kerap terjadi adalah: pemuda hanya ditempelkan, atau dititipkan, sebagai semacam asesori dalam kajian dengan fokus mengenai sesuatu yang lain—entah kependudukan, kriminalitas, seksualitas, pembangunan, atau lainnya. Hal ini bisa jadi tidak terlepas dari kebijakan “orde baru” yang sengaja melemahkan pemuda sebagai subjek aktif di ranah sosial-politik dan lebih mengarahkan mereka sebagai objek pembangunan, bilangan dalam perayaan konsumsi serta resipien dalam dinamika kebudayaan. Berbagai konstruksi yang disusun untuk membentuk pemuda ideal “harapan bangsa,” seperti digambarkan oleh Wiratma (2010), acap terpaut dengan hegemoni militer. Akibatnya munculnya stereotip semacam ini: pemuda gondrong dianggap tak akan mampu menjadi pengemban cita-cita pembangunan; dengan kata lain: pemuda yang baik seyogyanya berambut cepak dan rapi! Saking Phobia-nya rezim orde baru pada
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
pemuda berambut gondrong bahkan sampai dibentuk Bakorperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong) bersenjatakan gunting! Dalam sebuah refleksi kritis mengenai studi kepemudaan (youth studies) di Indonesia yang diletakkan dalam perspektif komparatif, Naafs dan White (2012: 3-4) membuat amatan menarik: “Indonesian youth studies have in many ways followed the general pattern and trends of the broader field of youth studies. They have tended to focus largely on urban youth, and particularly in the capital and larger metropolitan cities; they have been interested overwhelmingly in male youth —sometimes implicitly equating ‘youth’ with ‘young men’— except in certain limited fields of study like sexuality; in recent years, they have shown great interest in youth cultures and lifestyles, and much less in young peoples’ practical and material activities and interests (for example, in school-work transitions and youth unand-underemployment); and among many Indonesian and some foreign researchers, they have had a strong focus on youth ‘defectology’ – what’s wrong with the nation’s youth, what needs to be ‘fixed’ – as an intended contribution to policy (i.e., better youth ‘governance’), a tendency not yet matched by critical explorations of youth governance as a dimension of contemporary Indonesian ‘governmentality’”.
Konstruksi pengetahuan mengenai pemuda yang mengikuti perspektif ‘defectologis’ sebagai salah satu residu rezim “orde baru” tentu saja masih hidup hingga sekarang dengan berbagai variasinya. Runtuhnya rezim sentralistik-otoritarian menghadirkan tantangan baru untuk mengkonstruksi wacana baru mengenai pemuda. Youth Studies Centre (YouSure) Fisipol UGM mencoba menjawab tantangan tersebut, antara lain, dengan meluncurkan buku bertajuk Pemuda Pasca Orba: Potret Kontemporer Pemuda Indonesia
47
ESAI: Mengapa Menerbitkan Jurnal Studi Pemuda?
(Azca, Margono, Wildan; 2011). Kehadiran buku tersebut, antara lain, mengusung agenda untuk mengarus-utamakan (mainstreaming) wacana pemuda sebagai agensi. Dengan memunculkan perspektif agensi, artinya pemuda dikonstruksikan sebagai agen berpengetahuan yang mampu memilah dan memilih secara kritis. Wacana semacam itulah yang coba terus-menerus dikembangkan dalam berbagai ranah, sehingga memunculkan wacana alternatif menandingi wacana bentukan negara maupun pasar. Katakanlah memang demikian. Lalu mengapa menerbitkan jurnal studi pemuda? Salah satu media yang diharapkan mampu tampil secara otonom terlepas dari dominasi dan kooptasi negara maupun pasar adalah jurnal akademik. Melalui jurnal inilah kebenaran akademik diperdebatkan guna memunculkan dialog yang terbuka antar-beraneka perspektif. Upaya perintisan penerbitan Jurnal Studi Pemuda ini merupakan salah satu ikhtiar untuk mewujudkan cita-cita tersebut: memberikan ruang bagi wacana dan suara pemuda sebagai subjek untuk hadir dalam diskursus akademis serta berkiprah di ranah publik. Ruang-ruang alternatif diperlukan guna mengurangi distorsi komunikasi selama ini yang menghinggapi pandangan akademik maupun publik mengenai sosok pemuda dan isu-isu kepemudaan. Sebagai subjek akademik dalam youth studies, pemuda semestinya dibicarakan tidak hanya dalam satu koridor ilmu, namun bersifat lintas-disiplin. Jurnal Studi Pemuda berniat untuk membuka ruang dialog lintas disiplin ilmu yang selama ini cenderung mengalami nasib terkurung dalam cangkang sempit dan terkotak-kotak. Mengutip begawan ilmu sosial mendiang Profesor Umar Kayam (1989) bahwa: mbah-kotak akan melahirkan bapak-kotak, akan melahirkan anak-kotak, dan seterusnya, Jurnal ini berhasrat mengubah tradisi semacam itu: mbah-kotak dimungkinkan melahirkan bapak-bulat dan kemudian melahirkan anaksegitiga, dan seterusnya. Dengan membuka
48
ruang dialog lintas-disiplin maka diharapkan akan muncul pemandangan dan lanskap baru dalam studi kepemudaan, yang selanjutnya akan memperkokoh wacana dan konstruksi pemuda sebagai agensi, guna mendobrak dan menggoyahkan dominasi konstruksi tradisional mengenai pemuda yang hadir selama ini. Memunculkan wacana alternatif merupakan langkah awal guna menciptakan demokrasi dalam diskursus kajian kepemudaan. Yang juga harus dipikirkan adalah mendefinisikan warna serta penempatan kajian pemuda di Indonesia di antara kajian kepemudaan dari negara-negara utara/metropole (Connell;2006). Pengetahuan terkait dengan relasi kuasa, ketimpangan hubungan antara utara/metropole dengan selatan/periphery menimbulkan dominasi di salah satu kutub. Hal ini tentu saja bukan merupakan ciri yang sehat dalam mewujudkan demokrasi dalam kajian akademik. Yang terjadi sekarang adalah fenomena kepemudaan di Indonesia “dipaksakan” dibaca dengan teori yang muncul dari pengalaman negara metropole, sehingga kemudian berpotensi untuk mengalami lost in context secara signifikan. Selain itu, dengan posisi sekarang ini Indonesia cenderung untuk hanya dijadikan sebagai lokus riset, lokasi verifikasi teori dari negara pusat, namun tidak mampu memunculkan apa yang dinamakan sebagai kajian kepemudaan berkarakter keindonesiaan. Mengikuti imbauan dari Pamela Nilan (2011) bahwa tren sekarang adalah bagaimana studi kepemudaan harus bercorak cross cultures, dalam arti pengalaman pemuda di negara selatan/periphery seharusnya turut dimunculkan dan dihadirkan dalam diskursus akademik dan konstruksi pengetahuan. Sebagaimana dinyatakan oleh Alatas (2010), dengan memberikan tempat terhormat pada publikasi lokal, salah satunya jurnal akademik, maka diharapkan akan mengurangi apa yang dinamakannya sebagai ketergantungan akademis. Tentu saja tujuan ideal ini masih sangat jauh dari jangkauan dengan melihat kondisi lingkungan akademis di Indonesia
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
ESAI: Mengapa Menerbitkan Jurnal Studi Pemuda?
dewasa ini, dimana warga akademis terpuruk di bawah kuasa birokrasi-akademik yang bebal dan menggurita serta kuasa modal yang semata menghamba pada kehendak pasar. Namun, sebagaimana perspektif agensi yang dijelaskan di atas, dengan adanya kemampuan untuk memilah dan memilih maka diharapkan tercipta ruang kebebasan untuk menentukan mau dibawa kemana masa depan kajian kepemudaan di Indonesia. Akhirul kalam, “Menerbitkan sebuah jurnal ilmiah adalah merawat sebentuk kegilaan,” ujar seorang teman yang tekun merawat penerbitan sebuah jurnal akademis yang berbasis di sebuah kampus di Bogor. Yang ia maksudkan adalah, hanya sedikit insentif yang tersedia untuk merawat penerbitan jurnal akademik, baik secara ekonomis, sosial-politis, maupun popularitas. Kontras bedanya, misalnya, dengan warga kampus yang rajin tampil di media, baik di koran, majalah, radio maupun di televisi. Semoga ‘kegilaan’ itu tidak cepat pudar. Semoga asketisme akademis itu tak gampang lekang oleh waktu… Yogyakarta, 6 Mei 2012
Daftar Pustaka Alatas, Syed Farid. 2010. Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia : Tanggapan Terhadap Eurosentrisme. Jakarta : Mizan. Azca, Najib, dan Subando Agus Margono, Lalu Wildan (ed). 2011. Pemuda Pasca Orba: Potret Kontemporer Pemuda Indonesia. Yogyakarta: Youth Studies Centre Fisipol UGM. Connell, Raewyn. 2006. “Northern Theory: The Political Geography of General Social Theory.” Theory and Society, Vol.35 No.2. Spinger. Jones, Gill. 2009. Youth. UK : Polity Press. Kayam, Umar. 1989. “Transformasi Budaya Kita.” Pidato Pengukuhan Guru Besar. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. Naafs, Suzanne & White, Ben. 2012. “Intermediate generations: reflections on Indonesian youth studies.” The Asia Pacific Journal of Anthropology, vol. 13 issue 1. Pp. 3-20. Canberra: ANU. Nilan, Pamela. 2011. “Youth Sociology Must Cross Cultures.” Youth Studies Australia, Vol. 30 Number 3. Australia. Wiratma, Arya. 2010. Dilarang Gondrong!: Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an. Jakarta: Marjin Kiri.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
49
Basri Amin, Kampung Youth and Governmentality in Ternate Town, North Maluku
Basri Amin
Department of Sociology, Gorontalo State University
Kampung Youth and Governmentality in Ternate Town, North Maluku AB S T RACT This article shows that youths engage in the cultural dynamic of governmentality in Indonesia, particularly through their involvement in youth organization. Practically, the state power at local level is channeled through youth organizations, and not through direct power relation. Through a case of kampong youth in Ternate, this article shows how the agency of youth is manifested through constant negotiation, which resulting in a sort of discourse struggle and territorial interest. Keywords: Pemuda, Kampung, KNPI, organization, Governmentality, Ternate AB S T RAK Tulisan ini menunjukkan bahwa kaum muda terlibat dalam budaya pengaturan yang sangat dinamis di Indonesia, yang berlangsung terutama melalui organisasi kepemudaan. Dalam praktiknya, kekuasaan negara di tingkat lokal disalurkan melalui organisasi pemuda dan tidak melalui suatu relasi kuasa yang bercorak langsung. Kasus pemuda kampung di Ternate merupakan sebuah contoh bagaimana agensi kaum muda diwujudkan melalui negosiasi terus-menerus, yang hasilnya lebih banyak berupa perebutan wacana dan kepentingan teritori. Kata-kata Kunci: Pemuda, Kampung, KNPI, organisasi, Kepemerintahan, Ternate
Introduction This paper intends to contribute to an understanding of organizational dimension of young people’s life and the ways of the youths connecting themselves to the local state. I argue that by using organizations, young people in urban Ternate have an adequate power to interact and negotiate with the larger society, including the state’s agencies, elite groups and other organizations at the local level that have particular interests in ‘capturing’ youth, both for the purposes of control and mobilization. I argue that the more organized a youth group is, the easier it becomes for the state to govern them. This is attributable to a consideration that young people achieve or develop
50
self-regulation which is mostly articulated through an organization. In other words, young people are governing themselves through their associations together with any kind of group knowledge and routines. The kind of organizational attitude of youth is interesting to investigate because that factor will provide a dynamic ground upon which youths experience strategic relationships with the state on the one hand, and the ability of the state to approach youths’ governed (group) attitude on the other. This is critical in order to recognize the Indonesian state’s discourse toward youth groups; the state has a strong self-claim as an agent that determines the standard, rational efforts and even ideal values of the well-being of its citizens.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Basri Amin, Kampung Youth and Governmentality in Ternate Town, North Maluku
The state often acts as a dominant force that gives one-sided definitions of social values suitable for its citizens which includes youths. As part of its many roles, the state has been producing a number of “visible technics” in governing young people. One of them is by legitimizing a particular youth organization that is virtually subsidized by the state, called the KNPI. Applying Foucault’s perspective, it can be said that KNPI has a double-edge governing device: technical organization and knowledge of operations (Inda, 2005). In Ternate, as elsewhere in Indonesian towns, there is a common perception that youth is an agent of political and cultural change. This may be true to a certain extent but not as simple as it seems. Youth studies have indicated the role of the state in mediating youth participation in public affairs and in civic engagements (Hodkinson & Deicke, 2007; Vinken 2005; Brown, 2002; Wyn and White, 1997). In addition, existing literature places emphasis on youth culture and transition from school to work (Ansell, 2005), but attention on the organizational dimension of youth life has been a neglected phenomenon. Therefore, there is a need to investigate how young people at the local level form their collective interests and come up with strategies to negotiate with or refuse state hegemony by using youth organizations. Kampong youth in Ternate town, known as the Pemuda Kampung (hereafter the PK), present themselves as a powerful group in negotiating or rejecting local state penetrations. In recent years, the PK had demonstrated the power to reject any penetration from the local state agencies. This kind of power is partly derived from the ability of kampong youth organizations in claiming their authority within kampong activities as well as their right as free citizens to get services from the state. And more importantly, the PK is the only youth organization that has a very strong claim on territory, which is the kampong itself. This claim is commonly acknowledged by the community. The PK also has a broader
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
position in terms of its political power in Ternate. The local state elites and political groups also tried to engage with kampong youth organizations as a practical way to gain support and to control voters and thus bolster their popularity and political interests, for example in local or national elections. Governmentality is relevant to be reexamined in the matter of youth lives since the practice of power through particular discourses, resources, relations and rational efforts (development), forms of social control (territories, organization and policy) and new knowledge (civic participations, habits of group) are influencing young people’s life (Inda, 2005; Huxley, 2007; Bröckling, et.al, 2011). In fact this is an emerging context in contemporary Indonesia that was partly triggered by the realisation of the ‘decentralization’ policy where a sphere of state-society relations is more open and wellarticulated, generally performed through social organizations (Nordholt & Klinken, 2007). For the youth, organizations not only represent particular ideas or interests, but also relate to a contextual need to find a new source of legitimacy such as spatial identity or traditional legacy. The phenomenon of social and spatial claims as organized by the kampong youth in Ternate town can be a good illustration to explain the layers of mechanism and context that made governmentality practices become culturally and politically ‘actual’ things. However, this has a limitation depending on particular contexts, which is, in the context of this study, the production of organization.
Kampung: A Socio-Historical Overview Urban kampong in Indonesia is a dynamic node for aspiration and practices for young people. It has a place where modernity and global cultures are actively translated on a daily basis (Nas, 2008; Guiness, 2009: 117).
51
Basri Amin, Kampung Youth and Governmentality in Ternate Town, North Maluku
And related to this condition, civic space can be established based on a collective attitude and intension of occupying place-making processes and arenas of civic participation in developing cities (Daniere & Douglass, 2009). This kind of space is strongly demanded by young people in a small provincial town like Ternate. The characteristic of Ternate town lies on its status as coastal town surrounded by abundant historical sites such as fortress and old house quarters (for Chinese, Arabs, etc.) with long beach and mosques as town landmark. However, public sphere which is used as a main quarter for youths, specifically, and locals´ activities in general has shifted seriously. Along 3 KM from coastal line now have been occupied by huge buildings which will be shifted to shopping centres, hotel Boulevard, and big mosque of Ternatan (AlMunawwarah). The recognition of youth at kampong level is not a new phenomenon in Indonesia. During the New Order regime, every kampong already had a youth section, called Karang Taruna that was established by the government in order to assist young people in their routine and occasional gatherings (Guiness, 2009: 121-122). The government also established a number of state-youth organizations. In fact, in the 1990s, youth activities in Ternate were without a political significance; they had leadership but without membership (Kiem, 1993: 175-198). In this paper, kampung refers to the location of residential in Ternate and Ternatans have a specific name and meaning for it. In another context, kampung also refers to an identity which is an effect when social tension or competition arises among kampung residents for example during soccer matches. As a symbol of territorial identity, kampung relates to a unifying symbol among residents during conflicts, since inter-kampung youth fights have occurred many times before. In the eyes of government officers, kampung is
52
an official administrative unit, under the subdistrict authority, called kelurahan. However, an understanding about kampung among youth groups is more than just an administrative category. It has a special meaning because it is a marker of certain (collective) identity. There is a strong need by the youth groups to be associated with them based on their kampung origin, since Ternatan youth is commonly to labeling their fellow youth by asking their kampung origin (ngana tinggal di mana). By mentioning a kampung, then a sense of identity or solidarity which is based on the territory of kampung is represented with all the social memories stick in it. Kampung is also an area with physical boundaries within which hundreds or thousands of households function as a social arena where people construct their everyday interactions. In Ternate, almost everyone acknowledges that they live in a kampung. They are easy to say we live in the Kampong Pisang or in Kampung Makassar, for example. In fact, these kampung are very close to downtown Gamalama, the location where all the symbols of the city are scattered –i.e. malls, shopping centers, restaurants--. Thus the sense of kampung is a very relative image in Ternate. It was not something that should be identical to images of poverty, lower class community or slum community. Kampung is more than just a social site that has been embedded socially in the lives of Ternatans. However, kampung is not a definite category where lower middleclass groups are settled in. It is difficult to say in a strict way that the kampung is identical with the compound of the lower class, because almost in every kampung there are people who have a high employment status with a particular social prestige, such as bureaucrats, parliamentarians, businessmen or civil servants. But, in the same location of kampung there are also those who work as ojeg drivers, informal traders and shopping workers. Of course they are differ in terms of properties such as the size
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Basri Amin, Kampung Youth and Governmentality in Ternate Town, North Maluku
and style of their homes. But, in everyday interactions, there is almost no rigid friction between social classes in Ternate. I witnessed that the identity of the kampung itself became a strong bond between community groups in many kampung. The feeling of man of kampung (orang kampung sini) is profoundly mentioned in many occasions.
Ternatan Kampung Youth: Between The North and The South Generally speaking, Ternate has a typical urban structure which is the kampong solidity and people pride on their kampong identity; and in a more open context, the town has a spatial division, i.e. “north” and “south”. This sociospatial division has started since the colonial era and is remained now rooted into collective memory of the Ternatan people. Communal conflict in 1999, local election contestation (Pilkada) and daily lives characteristics of Ternatan confirm this spatial and socio-cultural division between “north” and “south” (see: Claire, 2009; Bubandt, 2004). Ternate town has 17 kampung and home for kampung youth organizations. Every kampong has its local youth organizations which have various names. The Pemuda Kampung (PK) is a semi-formal organization which eventually became the medium for government intervention or the implementation of state-sponsored programs, for instance activities carried by the neighborhood or the municipal government. Institutionally, “Pemuda kampong” organizations were mainly important in the context of keeping the pace of kampong and local stability.1 Therefore, they were 1
Unfortunately, I often heard about fighting hapened between kampong in 2008. In the evening, usually there were some young men gathering and having beer (minuman keras/miras) together. As far as I know beers, called cap tikus in Ternate mostly came from Manado (North Sulawesi) and entered Ternate by ship. This issue had been
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
always invited to every meeting at the neighborhood hall and they also had special authority in conveying their ideas and even to deny the meeting’s decisions. In many of the interviews I conducted in kampongs in northern Ternate (Dufa-Dufa, Kampung Makassar), the middle part (Santiong and Kampung Pisang) as well as the southern part of Ternate (Toboko and Bastiong) the term “pemuda kampung” often emerges. And yet the term seems to refer to two understandings: on the one hand it refers to a general identity of kampong youth —the local youth mostly name themselves as “anak kampong/the kampung boy” and the word “pemuda” is not commonly used in their daily language. For instance, when I was with Rudi (23) and his friends in Kampung Toboko, a young man passed by in front of Rudi’s house then I suddenly asked “who is he?,” Rudi replied “he’s a kampung boy around” (Dia anak kampong sini). The same pattern appears during a soccer play, most of them called the game as “locally managed by the local boys in the kampung” (Itu anak kampong yang bikin). highlighted by Malut Post quite often. The conflict usually started out by some young men went out to the fiestas, sometimes known as “youth party” (pesta muda-mudi), during the party people might have fierce debate caused by unclear reason, or some bad comments on one’s clothes, or about one’s girlfriend, etc. In February 2008, there was a big fight in kampong Maliaro (southern Ternate). It was a Saturday’s night party where most of the people were drunk. The fight was quite serious because five people had hospitalized. In this context, the leader of kampung youth organization and the head of kampong authority (lurah) are always playing important role as a problem-solver. Recently, fight between the kampungs youth referment in Ternate in 9 July, 2011. For almost two weeks a local media, Malut Posts, reported how a chaotic atmosphere occurred in Ternate, although local governments and police has been trying to reduce the anger between kampong Mangga Dua and Ubo-Ubo in southern Ternate. It has been recorded one death and several injuries in this kampong youth conflict. As expressed by local police and several witnesses, the conflict between two kampungs was triggered by the youth groups who are drunk at the weekend (Malut Post, 11-14 July 2011).
53
Basri Amin, Kampung Youth and Governmentality in Ternate Town, North Maluku
On the other hand the slippage from ‘anak kampung’ to ‘pemuda kampung’ seems to occur. ‘Pemuda kampong’ often refers more to the organization of kampong youth. Therefore one can easily hears of pemuda Makassar, pemuda Bastiong, etc. In general, some of the youth I interviewed state that the term pemuda kampong has been used for sometime and it was not created by the KNPI. However in the process, the KNPI seems to have popularized the usage within its own activities targeted towards the kampong youth. Socially, kampung youth have been actively involved in the informal economy and leisure gatherings. In general, their jobs are quite gendered because there is an explicit division that young men are dominantly working in the ojeg industry, printing shops, arts groups, handicraftsman, repair stations, furniture groceries and some in fishing companies and other services. As for young women, they are mostly working in a family business such as food sellers or as a waiter in restaurants, cell-phone sellers, or as sales girls in some companies in Ternate malls.
North–South Division Based on my observations in 2008 and 2010, kampung youth in southern Ternate are very familiar with informal business life, for example selling cell-phone vouchers, working as waiters, or cashiers in shopping centers, and for young men in particular, working as ojeg drivers and automotive repairs are very popular. Another feature of southern youth was their familiarity about leisure gatherings such as hanging out in boulevards, drinking in cafés, internet chatting, going to music shops, and other shops for youth accessories. This kind of place is mainly located in the central and southern parts of Ternate which provide a space of experiencing a youthful life that is still problematic among Ternatan youth who live in the north. Their social and economic backgrounds have been affecting their responses to this new social landscape
54
of Ternate. In contrast, youth who live in the south area of the town have the necessary social infrastructure to be involved in the new global-culture where life style in terms of fashion, eating, entertainment, drinking, sport and even language are accessible and suitable to them. Spatially, the central and southern part of Ternate is a place for business and interisland transportation. The population is quite crowded especially along seaside areas, and inhabitants are more heterogeneous in terms of ethnicity and religion. For migrants, living in downtown or in the south is more profitable because they can find opportunities to sell goods or offer services. On the cultural level, there is a regular inter-ethnic interaction and encounters being experienced and negotiated in the southern part of the town rather than in the north. That’s why this area has been called by people in the north as an area of migrants (pendatang) and they are not ‘pure” Ternatan, partly because the practice of Ternate-Malay language was largely used in this area. Cultural claim is also a crucial factor for youth in the north. There is a very strong respect for local rituals – which is a significant symbol of Ternatan identity. Many local mysticisms and customary rituals are sustained discussed, including sacred places in surrounding Ternate Island (Kiem, 1993). Respect for the Sultan for instance, is a definite attitude for people in the north. Sometimes this becomes very emotional and can have serious social and political effects, for example in political arenas. When the Sultan’s candidate was defeated after the 2005 mayor’s election, young people in the north did not welcome and the new elected mayor of Ternate, including his supporters like KNPI since it was perceived as part of the mayor circles (Claire, 2009). So their criticism is not without reason. It was a reflection of their traditional loyality to the Sultan.2 2
Generally, youths in the northern Ternate have a homogeneous political orientation. This has a cultural root in terms of respect for authority and adherence
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Basri Amin, Kampung Youth and Governmentality in Ternate Town, North Maluku
In the next section I would like to focus on interactions and tensions between the PK and KNPI. I will combine a discussion between personal points of view of kampong youth by choosing some quotations which I think represent the notion of tensions that are based on a micro level of interests. It is not a fair approach to only collect information at the organizational level of PK because it is over represented by its leader rather than its members. It is the same case with KNPI. Its chairman is a dominant person who is in charge of constructing KNPI’s narrative and its intentions in Ternate.
KNPI: Its Organizational Claim and Class Culture KNPI was established based on a national Youth Declaration on July 23, 1973. In the KNPI’s constitution, it was described that the status of this organization is an assembly place for all Indonesian youth organizations. In carrying out its activities, KNPI is functioned as an open and independent organization. Having read the constitution of KNPI, it is very clear that the KNPI is strongly reinforcing the narratives of Indonesian nationalism, the unity of the nation-state ideology as well as Indonesia’s development agendas. In this regards, KNPI is claiming itself as a national youth assembly. Up to now KNPI has been organized over 75 youth organizations at national level, including 9 youth organizations of political parties and have a network across the province and regency /city, down to district level.3
It is important to emphasize that the basis of youth governing is also related to social class production that is perceived and projected by kampong youths and the KNPI. Although the territory of kampong functions as the bounder of Ternatan youth, it is impossible to deny that KNPI activists have achieved a higher social class than kampong youth groups. Since 2009 Ternate has developed new spaces for social gatherings (shopping centers and entertainment areas) which were to serve the emerging middle class in Ternate town and the surrounding islands. As a result of adjusting to a new urban habit of social gathering, there are life style and consumption challenges for the local youth. It is not easy to be able to involve in this new space of life where money, style of clothing and even language are practically required. This may explain why markets in a small place like Ternate produce strong social and cultural struggles of local society, mainly brought on by the youth. KNPI board members have different habits with kampong youth groups. In terms of place, KNPI activists are familiar with a place where style and self-image is important. Café and malls are their favorite place to meet and chat. They can make an appointment with their friends or usually politicians, businessmen and senior bureaucrats in cafés or hotels. 4 Place in urban context is also a marker of groups and social class where membership and styles are crucial points both for lower-class and middle-class youth (Brake, 1985; Jeffrey, 2010). Places of gatherings or hang-outs 4
to political directions from Sultan of Ternate, which is usually noticeable during political rallies and the local legislative or mayoral elections. In my view, this traditional observance will have a change in the long run because a new generation of northern Ternatan’s youth has emerged as symbolized by their participation in student organizations and other kinds of hobby-based associations. 3
http://knpi.net/index.php?option=com_content&task =view&id=79&Itemid=1 (retrieved on July 10, 2011)
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
There no surprising because Ternate has a collection of new modest hotel and cafes since 2005 and just recently (2010) this town has a new shopping center at seaside area of downtown Gamalama. These places are triggering on how local people realize their mobility and options of gatherings for such pleasure. In contrast, ‘pure’ kampung youth are likely to stay within their kampong. While other youth groups have been recognized places like downtown Gamalama, or sweering shore as a particular place of social life in Ternate.
55
Basri Amin, Kampung Youth and Governmentality in Ternate Town, North Maluku
become a node of aspirations and practices for young people, either kampong youth or middle-class youth who have symbolic and financial resources to buy certain style and taste. Ternatan youth are not an exception in this venture but they have a different notion of cultural adjustment and imaginaries in which tensions are negotiated and navigated. Since place is related to certain constructed and imagined identity, it is also important to note what kind of place practices KNPI activists utilize and experience. I have attended KNPI gatherings many times, and almost all venues that they use are cafés, hotels and government aula, and very rarely utilize campus auditorium or kampong fields except for kampong gatherings. The KNPI’s routine meetings are also held in their rented secretariat office. For personal options, especially the chairman of KNPI and his fellows, he is very familiar with mall cafes, so I had a number of meetings with him in cafes, in a traditional restaurant and in Kie Raha soccer stadium of Ternate. In this context, middle class culture among Ternatan youth is created mostly by the youth activists who are involved in KNPI and some student organizations. Class becomes a real practice among Ternatan youth, consciously or unconsciously, because it constitutes a certain function to their life. Supported by facilities and funds by the local government, KNPI is forming itself as middle class youth organization that has been tried to hegemonize the other youth organization. This phenomenon is relevant to the understanding that class is never an easy entity. It was experienced by the people who share the same interests and social experience, tradition, and value-system. Class exists in a relationship and social role (Thomson, 1995: 130-133). However, in a society where class distinction is quite distorted, self orientation and role is the real sign of class although without a strong class consciousness.
56
Ridwan (30), a member of KNPI board, insists: “Ternate is a small town, quite hot and noisy. So if we have to find fresh ideas in a nice atmosphere, we can go to mall cafés or in hotel lounges. I like there just because of its environment and services. And I fell it is not so expensive too, so for five people we just spent perhaps 100 or 200 thousand rupiah. And for food, I’m basically like to eat traditional foods and very easy to find them at Gamalama market. It is very cheap but healthy, and at the same time we support our informal economy…”
This phenomenon is not so specific. This is a common feature of Indonesian youth organizations, especially for a state-subsidized organization like KNPI. There is no doubt that they represent elite group that have connections to the capital and state facilities. KNPI is an elite youth organization that represents young people with college education. Generally, they are between 22 and 40 years of age. Most of KNPI board members in Ternate are former student activists, dominated by the HMI, although some of them are recruited from political party’s youth organization and other came from business groups. The activists of kampong youth organizations are not likely to be on the KNPI’s board, partly because the PK organization is institutionally not part of the KNPI’s member. From KNPI’s point of view, kampong youth is the KNPI’s partner in some of its programs. This is a very vague claim among KNPI’s board about kampong youth. In fact, both bodies have their power and characteristics and their relationship has seen ups and down, depending on what kind of interests that are projected, agreed and shared. For KNPI activists, organizational experience is important because in order to support elite interest one must be familiar with how to organize people, to create public issues and to attract public events, to persuade mass media
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Basri Amin, Kampung Youth and Governmentality in Ternate Town, North Maluku
and to mobilize popular voters to some extent. KNPI had this ability but has a significant limitation, spatially and politically. This key argument will be discussed in the following pages.
KNPI: Its Images and Narrative KNPI in Ternate is a youth organization which was relatively active in promoting the role of kampong youth. When I was in the field (2008 and 2010), the chairman of KNPI Ternate was Asgar Shaleh. He was a former radio journalist who graduated from Pattimura University, Ambon (Central Maluku). He also was known as one of those in the “inner circle” of the mayor of Ternate, Syamsir Andili (2005-2010). Asgar Saleh’s claims about organization and its management were noticeably progressive. His concern among others was about the importance of the local youth in public affairs. He was also a strong-minded person and had a stance when dealing with local businessmen who were ignorant to their social responsibilities for the local community, particularly in providing job opportunities for the jobless youth in Ternate. Asgar Saleh might be known as the leading promoter for the youth in town as he was often involved in many activities organized by KNPI. Most of the activities are financially supported by the municipal government through its “Division of Youth and Sports Affairs” (Dinas Pemuda dan Olahraga). This is a common issue because KNPI is a semistate youth organization so it has a portion of the region’s budget allocation. Formally, KNPI has become the symbol of an ‘assembly place’ (wadah berhimpun) for all youth organizations in Indonesia. This practice has been sustained since the New Order where at that time the government possessed a strong influence to control and provide facility to these organizations as members of KNPI. Indeed, for Ternate, KNPI
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
was an effectual tool in bridging the interest of local government and the youth organizations. Asgar Saleh has repeatedly said that: “Ternate is a town for every one. The youth should understand this thoroughly if they would like to participate in the town development…”
In fact, KNPI can not control all the youth organizations in Ternate, because the local organizations, specifically kampung youth organization, have a close social bond with the kampong and embedded in the idea of such territorial belonging. This emotional sentiment, however, seems to have existed long before the KNPI’s efforts to engage them in activities jointly created by KNPI and the local government. Furthermore, there are some characteristics which make KNPI quite different from the local organizations in the nature of their membership: KNPI members are educated people and have a strong network with the state. It makes KNPI rather similar to the youth organizations that are affiliated to political parties, religion, or student organizations. KNPI was relatively active in organizing discussions on local politics with topics about youth leadership and youth participation in Ternate town development. For example, KNPI organized a committee for the dissemination of information about the Town Bill on “trash management” (Perda Pengelolaan sampah) in 2008. The KNPI organized hundreds of kampung youth and students to be involved in a campaign to clean the city. They were asked to disseminate flyers in the bus and transport terminals and main streets. The flyers were about how to increase people’s awareness of cleanliness and litter control in the streets, rivers, beaches, and settlement compounds. Although this idea was creative, the activity was not included as the city’s regular event and even looked like lip service being paid by the city authorities. On the other hand, this allowed KNPI to strengthen its reputation and supremacy as an influential organization.
57
Basri Amin, Kampung Youth and Governmentality in Ternate Town, North Maluku
Above all, an element of ‘power game’ in youth life has a strong relation to such organizational position where KNPI is a problematic example of it. Such unremitting efforts are needed by its chairman and board members in order to maintain their legitimacy in a timid space because there is a tendency of refusing KNPI’s influences by kampong youth organizations and to some extent by student organizations. It is quite clear the chairman of KNPI is exploiting the narrative of ‘kampung ties’ in order to maintain his image and legitimacy. In occasions, he is always trying to reinforce and to personalize rhetorically the issue of kampong youth. The chairman of KNPI Ternate in 2008 said: “I am not so different with others. I know this position, as KNPI leader, is not a permanent one and I had a very strong sense with my kampong. No doubt about it…I live in kampong. Every night I sleep in kampong. I had good occasions with my ojeg friends, and I like to sit with them in kampong. But I (am) aware that I do not play soccer with them every day because I have other activities and also if I play there every day then it means that I sabotage their opportunity to play the game, because there are so many boys who need to play. I prefer to ask former players of Persiter (a regional soccer club of Ternate) to play a friendly match in Kier Raha Stadium. Some times we play with journalist teams or police teams and with government officers’ teams. But I did this kind of new friendship without consent of elitism…”
Getting a leadership position in a youth organization has both images and impetus. What has been happened to the chairman of KNPI Ternate, as he expressed above, illustrated a kind of behavior of producing “tricks” by empathizing the kampong life and personalizing his emotional ties to it in order to respond the new pragmatic demands and class
58
perceptions by youth groups that surround his position and roles. One of his priorities is to build an image of his attachments to his kampong and his fellow kampong youths. The chairman of KNPI always tries to be as close as he can to the kampong in order to attract attention and maintain legitimacy. The chairman of KNPI continues his personal rhetoric: “I’m aware, of course, that as a chairman of KNPI there is a kind of perception that I have amount of money, so usually kampung boys (anak-anak kampung) asking me for money if they have a gathering in kampong, or even student organizations, for example music band competitions, soccer cup, etc. I had a lot challenge in this regards because I had also a big family who need my financial support and care. This time is very dilemmatic for me because I’m a parliament member, so people feel that I have a lot of money and facilities, particularly because people know that I have to go to Jakarta many times. It was very problematic. People should know that I do not have luxury facilities, including car and house. I’m still collecting money for it. I had a business but it is not so big. I spent a years of my time as radio journalist, and because I think I have a chance to lead KNPI so then I run for this organization. And no secret that I’m a politician, but I never use KNPI to serve my political interest. I had a lot of friend who happily helped my position… But, you know, it is difficult to make happy for everyone…so I think I will take easy my job…Ternate is a very small city, everybody knows each other…”
Transcending a social position of youth in urban Ternate requires a critical examination. For young people, social position is not a vacuum space that they can be easily produced and maintained. It has been actively situated by the kind of youth aspirations and interest that formed throughout their jobs, everyday leisure activities, group affiliations or organizations and even rebellious attitudes.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Basri Amin, Kampung Youth and Governmentality in Ternate Town, North Maluku
Above all, I argue that PK’s power both in negotiating and refusing local state penetrations was shaped by the PK’s characteristic as place-based organization as well as their ability to obtain their own resources, legitimacy and leadership to perform their interests. But certainly this process is not something static because the condition inside the kampong itself is increasingly heterogeneous in recent years. And clearly the kampong youth is a key actor in neighborhood politics that shaped urban kampong life and also reinforced its interest when it interacts with the local state or other interest groups. Routine practices of youths at practical levels (kampong encounters) and the discursive domain (to be part of the town development) have been situated particularly by the state and local patrons, including youth organizations. Therefore collective interests among kampong youth can be formed successfully through organizational relationships where a need for such routine life productions within the kampong and inter-kampong must be maintained. This supports the idea that “routinization of encounters” is the basis of binding process of strengthening the “fixity” of an institution (Giddens, 1984: 72).
Conclusion This paper has shown that for young people in Ternate, and perhaps elsewhere in Indonesian towns, organization is important. It is not only as a collective vehicle to participate in public affair but also an active arena in making new experiences and life experimentations on power relations. And more importantly, in my view, this was also related to the real textures of agency, where types of negotiation configure the true story of youth agency as a social shifter in the process of social change (Durham, 2004). It seems that to be young in Ternate means to be a potentially rebellious group to the state. However, this trajectory of youth-
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
fulness has been facing struggles, and therefore requires certain strategies. Youth studies literature has mentioned that the state plays an important role in providing a space and institutional support for youth participation, but this idealistic task is never fully realized. The state recognizes youth mainly in terms of ‘policy object’ or as consumer of social services (Wyn & White, 1999: 47-49). The state’s role is partial because the issue of youth should be addressed in the context of citizenship and not just as passive receiver of state services as exemplified by KNPI. The KNPI is an ‘instrument’ of the state that uses youth power and youth individuals. These individuals are agents of the state since they “work” for the state and as a result are rewarded by the state apparatus or bureaucrats and local politicians. It is clear that there are differences in terms of group interests and priorities between the PK and KNPI. But this is not to ignore the fact that there are areas of common or shared interests between both groups from time to time.
References Ansell, N. 2005. Children, Youth and Development. London: Routledge. Brake, M. 1985. Comparative Youth Culture: the Sociology of Youth Culture in America, Britain and Canada. London: Routledge & Kegan Paul. Bröckling, U., S. Krasmann and T. Lemke. (Eds.). 2011. Governmentality: Current Issues and Future Challenges. London & NY: Routledge Brown, B.B., R.W. Larson & T.S. Saraswathi (Eds.). 2002. The World’s Youth: Adolescence in Eight Regions of the Globe. Cambridge: Cambridge University Press. Bubandt, N. 2004. “Menuju Sebuah Politik Tradisi yang Baru?: Desentralisasi,
59
Basri Amin, Kampung Youth and Governmentality in Ternate Town, North Maluku
Konflik dan Adat di Wilayah Indonesia Timur”. Antropologi Indonesia. 74: 12-31. Claire, Q.S. 2009. “The Return of the Sultan?: Patronage, Power, and Political Machines in ‘post’-conflict North Maluku” in Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), eds M. Erb and P. Sulistiyanto, ESAS, Singapore, pp. 303-26. Daniere, A. & M. Douglass (Eds.). 2009. The Politics of Civic Space in Asia. London: Routledge Contemporary Asia Series. Durham, D. 2004. Disappearing Youth: Youth as a Social Shifter in Bostwana. American Ethnologist. 31 (4): 589-605. Giddens, A. 1984. The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration. Berkeley: University of California Press. Guinness, P. 2009. Kampung, Islam and State in Urban Java. Leiden: KITLV Press. Hodkinson, P. and W. Deicke (Eds.). 2007. Youth Culture: Scenes, Subcultures and Tribes. London & NY: Routledge. Huxley,
Moluccan Town, Verlag breitenbach Publishers, Saarbrücken, Germany. Nas, P.J.M., L. Boon, I. Hladka & Tampubolon, N.CHR.A .2008. “The Kampong.” in Indonesian Houses: Survey of Vernacular Architecture in Western Indonesia. Eds. Schefold, R., Nas, P.J.M., Domenig, G., & Wessing, R. Leiden: KITLV Press. Nordholt, H.S. & G.V. Klinken. 2007. Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia. Leiden: KITLV Thomson, E.P. 1966. “The Making of Class.” in Class, edited by Patric Joyce. Oxford: Oxford University Press, pp: 131-133. Vinken, Henk. 2005. “Young People’s Civic Engagement: The Need for New Perspectives.” in Contemporary Youth Research: Local Expressions and Global Connections, edited by Helena Helve and Gumilla Holm. England: Ashgate Publishing. Pp. 147-157 Wyn, J and R. White. 1997. Rethinking Youth. London: Sage Publication.
M. 2007. ”Geographies of Governmentality.” in Space, Knowledge and Power: Foucault and Geography. Edited by Jeremy W. Crampton & Stuart Elden. Burlington, USA: Ashgate Publishing Company.
Inda, J.X. (ed). 2005. Anthropologies of Modernity: Foucault, Governmentality, and Life Politics. Oxford: Blackwell Publishing. Jeffrey, C. 2010. Timepas: Youth, Class and the Politics of Waiting in India. Stanford: Stanford University Press. Kiem, C.G. 1993. Growing up in Indonesia: Youth and Social Change in a
60
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Nancy J. Smith-Hefner
Department of Anthropology, Boston University
Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class * AB S T RACT This article examines the linguistic form and social functions of bahasa gaul, the informal Indonesian “language of sociability,” as it is used among Indonesian university students and in various publications aimed at middle-class Indonesian youth. Bahasa gaul registers youth modernity in both its positive and more contested aspects. It expresses not only young people’s aspirations for social and economic mobility, but also an increasingly cosmopolitan, national youth culture. Perhaps most significantly, bahasa gaul articulates the desire of Indonesian youth for new types of social belonging through the formulation of relationships that are more egalitarian and interactionally fluid as well as more personally expressive and psychologically individualized. Keywords: Indonesia, slang, youth culture, the new middle class, bahasa gaul AB S T RAK Artikel ini mengkaji bentuk linguistik dan fungsi-fungsi sosial bahasa gaul sebagaimana digunakan oleh para mahasiswa dan dalam berbagai publikasi yang ditujukan untuk anak kelas menengah di Indonesia. Bahasa gaul meregistrasi modernitas anak muda baik dalam aspek-aspek positif maupun yang diperselisihkan. Selain mengekspresikan aspirasi anak muda dalam mobilitas ekonomi dan sosial, bahasa gaul juga mencerminkan budaya anak muda nasional yang semakin bercorak kosmopolitan. Selain itu, mungkin yang terpenting, bahasa gaul mengartikulasikan hasrat anak muda Indonesia mengenai bentuk-bentuk baru identitas sosial melalui formulasi hubungan yang lebih egaliter, cair dan interaktif serta lebih ekspresif secara personal dan lebih mempribadi secara psikologis.
Katakunci: Indonesia, bahasa anak muda, budaya anak muda, kelas menengah baru, bahasa gaul.
*
Journal of Linguistic Anthropology, Vol, 17, Issue 2, pp. 184-203, ISSN 1055-1360, EISSN 1548-1395. © 2007 by the American Anthropological Association. All rights reserved. Direct requests for permission to photocopy or reproduce article content through the University of California Press’s Rights and Permissions website, http:// www.ucpressjournals.com/reprintlnfo.asp. DOI: 10.1525/jlin.2007.17.2.184. Acknowledgements. Research was funded by a Fulbright-Hays Faculty Research Grant and a Spencer Foundation Small Grant; write-up was generously supported by the National Endowment for the Humanities. I would like to thank Robert W. Hefner for his careful reading of numerous drafts of this paper and helpful suggestions for revisions. I would also like to thank Asif Agha and three anonymous readers who offered excellent and very useful comments on an earlier version of this article.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
61
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
S
ince the fall of the New Order regime in the spring of 1998, a new Indonesian youth language has captured public attention and has become a lightning rod for the latest social trends. Bahasa gaul, literally’ social language’ or the ‘language of sociability’, is a speech variety associated with Indonesian youth and based on Indonesia’s national language, bahasa Indonesia. Among Indonesian university students bahasa gaul functions as a type of slang, “the ever-changing and fashionable vocabulary of sociability that students use casually with one another” (Eble 1996:1). The casual language of Indonesian student sociability borrows from other informal Indonesian speech varieties, including Jakartan Indonesian/Jakartan Malay and the cant of gangsters and criminals (bahasa prokem), but expresses the particular experiences, preoccupations, and aspirations of the current generation of Indonesian youth. Like the slang used by American college students, bahasa gaul emphasizes a shared social identity and sense of belonging among its speakers. It speaks to solidarity rather than status differentials and to a shared positive value placed on cool and occasionally ironic distancing from the formality and hierarchy of an earlier generation. Gaul differs from American college slang, however, in the degree to which it is oriented both “upward,” expressing aspirations for social and economic mobility, and “outward,” expressing an increasingly cosmopolitan, Indonesian youth culture. Perhaps most significantly gaul articulates the desire of Indonesian youth for new types of social identifications through the formulation of relationships that are more egalitarian and interactionally fluid, as well as more personally expressive and psychologically individualized. This article examines the linguistic forms and social meanings of the informal language of sociability used among Indonesian university students and in various publications aimed at educated, middle-class youth. The
62
research presented here is part of a larger ethnographic project on Indonesian youth and social change. During an eight month period in 1999 and five subsequent month-long visits between 2001 and 2006, I conducted some 200 interviews and participated in innumerable informal discussions with young people on issues pertaining to their lives and experience. In the course of that investigation, I collected several hundred gaul words and expressions within the context of their use. I then crossreferenced them with other available lists and with slang usages in youth publications, including magazines, newspaper advice columns, and self-help books. Periodically, I took my findings back to students and asked them to indicate those words and expressions they used regularly, those they considered gaul (even if they didn’t use them themselves), and those they felt were not gaul or were no longer gaul. Determining what is or is not gaul is of course a slippery slope, as an important part of gaul’s appeal, and of slang’s appeal more generally, lies in its up-to-date or contemporary character. Gaul, like American college slang, is constantly changing as new words or expressions become popular and others fall out of use.1 Bahasa gaul registers youth modernity in both its positive and more contested aspects. Its metapragmatic multivocality and competing ideological valences are central to an understanding of its social role and linguistic value. As a form of slang, bahasa gaul has been disparaged by some Indonesian observers as “ruining good and proper Indonesian.” Its critics argue that that gaul will corrupt the integrity of the standard and limit the linguistic creativity of youth (cf. Sarjono 1
Some terms, however, may stay around for a significantly longer period of time as slang; these words are what Robert L. Moore (2004:59) calls “basic slang.” Basic slang terms are those which may be used for decades and “not wear out” because of the centrality of the values they represent. “Cool,” for example, is one such word. Other words eventually catch on and become part of the everyday, colloquial language.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
2004; Suara Merdeka 2004; Direktorat Pendidikan Menengah Umum n.d.) —to say nothing of the countercultural values associated with its use. In the relaxed social language of university students, however, there is little evidence that gaul is created in special or unfamiliar ways. On the contrary, gaul follows quite regular language patterns in forming new words and in adapting dialectal and foreign word borrowings and does not violate the grammatical patterns of informal, spoken Indonesian. Moreover, in infusing Indonesian with a liveliness, emotional expressivity, and cosmopolitan cachet, bahasa gaul may in fact be increasing the appeal of the national language to young people across Indonesia’s diverse ethnic groups, further eroding the position of regional languages as the codes of informal, in group interactions.
‘Good and Proper Indonesian’ The nation of Indonesia encompasses some fourteen thousand islands from Sumatra in the west to West Papua (Irian Jaya) in the east. With over 234 million inhabitants, Indonesia is the largest Muslim-majority country and the fourth most populous nation in the world. Estimates of the number of languages spoken in Indonesia vary considerably; however, “a figure of 550, one tenth of all the languages of the world, is not excessive” (Sneddon 2003:5). Indonesia’s national language and the country’s sole official language (bahasa Indonesia) is based on a variety of Malay. Indonesian was declared the language of national unity in 1928 at a youth congress in Batavia, then capital of the Dutch East Indies. Young nationalists pledged the celebrated ‘Oath of Youth’ (Sumpah Pemuda) which recognized a ‘unified [Indonesian] people’ (satu bangsa), speaking ‘one [Indonesian] language’ (satu bahasa) in a ‘single [Indonesian] homeland’ (satu nusa) (Errington 2000:208). In the first decades of the twentieth century, Indonesian was the mother tongue of no more than five
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
percent of the population (Sneddon 2003:105). Today, in what is widely acclaimed as a remarkable political and linguistic achievement, the number of Indonesians who can speak their national language is well over 90 percent (Errington 1998:2; Sneddon 2003:11). The achievement is all the more remarkable inasmuch as Indonesia is a multilingual and multi ethnic nation, one in which the majority of Indonesians grow up speaking a regional or ethnic language as their mother tongue and as the language of ingroup interactions. The spread of Indonesian as the national language is widely associated with the often heavy-handed nation-making policies of the New Order state which governed Indonesia from 1966 to 1998 (Anderson 1966; Errington 1998; Liddle 1988). Language standardization was implemented as one aspect of the government’s ambitious development project. Within the context of state ’developmentalism’ (pembangunan) great emphasis was placed on Indonesian’s role as an instrument of modernization and nationmaking; conversely, less attention was paid to Indonesian’s communicative function and cultural meanings (Heryanto 1990). Perhaps not surprisingly government efforts at language planning and standardization focused on formal Indonesian and ignored informal varieties, denigrated as the antithesis of ‘good and proper Indonesian’ (bahasa yang baik dan benar). The Australian linguist James Sneddon (2003:17-18; see also Errington 1998) goes so far as to posit the “essentially diglossic” nature of Indonesian, pointing to the significant differences between the formal standard and colloquial varieties of everyday spoken Indonesian and the rigid compartmentalization of their corresponding functions and contexts of use. Formal Indonesian is learned almost exclusively in school and is associated with print publications, government pronouncements, and official media, but is not used in everyday, informal interactions. It has
63
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
been described as stiff, turgid, and “soulless,” and as too impersonal and humorless to ever function as a language of everyday, social life (Anderson 1966:105-106; Peacock 1973:9). Young people who grew up under the New Order report their experience of formal, schooled, Indonesian as an official voice of the bureaucracy and political elite, as something distant and distinct from their everyday experience. “My generation,” a young Indonesian critic writes, “was taught to see everything in standardized and uniform form” (Swastika 2003:7). Arguments surrounding Indonesian’s alienation from its speech community, however, have typically focused on formal, bureaucratic Indonesian, and have discounted the widespread existence of informal Indonesian varieties. In contrast to the school-based formal standard (bahasa baku), informal Indonesian, sometimes referred to as bahasa sehari-hari (‘everyday language’), is learned outside of school through daily interactions and is often inflected with linguistic elements which reflect the regional language backgrounds of its speakers. Informal Indonesian is used to express familiarity and solidarity, especially but not only, between individuals who speak different regional languages and in situations of status ambiguity (d. Tanner 1972:133). Among university students, informal Indonesian is used in informal student gatherings, in interactions between students from different ethnic backgrounds, and with younger professors or instructors who are Western-educated or with whom one is on friendly footing. In urban areas, informal Indonesian competes with regional and ethnic languages. In the nation’s capital, Jakarta, informal Jakartan Indonesian is the dominant speech variety in all but the most formal contexts, and migrants to the capital not uncommonly lose their regional language and begin to speak the Jakartan dialect of Indonesian within a generation or two (Sneddon 2003:11; see also Oetomo 1990).
64
Bahasa gaul is an informal register of everyday Indonesian which borrows heavily from the Jakartan dialect of Indonesian to articulate an attitude of casual ease and cool cosmopolitanism. Indonesian students identify it as a form of sleng/slenk or slang (‘slang’), itself a foreign language borrowing that hints at knowledge of the latest trends. Gaul’s speakers deliberately strike an attitude of playful disregard for the social strictures and status differentials of formal Indonesian, distancing themselves from what they perceive as the stiffness and inflexibility of the official standard. Gaul, with its focus on interactional flexibility and relaxed informality, hints at the more inclusive aspirations of a current generation of speakers who came of age in the optimistic era of ‘[democratic] reform’ (reformasi).
Gaul Ideology Gaul ideology articulates a rejection of what is viewed as the previous generation’s orientation toward patrimonialism, formality, and fixed social hierarchy. This outdated orientation is jokingly referred to by students with the New Order acronym ABS (asal bapak senang) ‘as long as the boss/ dad/the man in charge is happy’, and occasionally with the more academic bapakisme (literally ‘father-ism’). An index of gaul’s rebellious undercurrent is the incorporation into gaul slang of many words from bahasa prokem. Prokem is a Jakartan slang or cant identified with the world of criminals and gangs. In its origins, prokem is a secret language, used to discuss the illegal activities of a narrowly delimited and proscribed group. Henri Chambert-Loir (1984:105) hypothesizes that elements of bahasa prokem first began to appear in the language of young people in Jakarta in the late 1970s. Borrowings from prokem can still be found in contemporary youth slang (among them giting ‘high, drunk’; jiper ‘afraid’; and
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
cimeng ‘marijuana’) and speak to gaul’s illicit and dangerous roots.2 Despite its countercultural orientation, bahasa gaul cannot be understood as a full blown anti-language in Michael Halliday’s (1976) sense of the term, nor as what Marcyliena Morgan (2002) has called a counterlanguage. An anti-language indexes the value system of anti-society (a society set up within another society as a conscious alternative to it); a counter-language speaks to a widely shared (counter-)cultural ideology developed in response to a history of subjugation. Halliday, for example, describes prisons as antisocieties that may develop anti-languages which directly oppose dominant institutional norms. Morgan (2002:23) describes African American English (AAE) as a counterlanguage marked by strategies of indirectness characteristic of African languages which allow its speakers to maintain an important measure of social face and agency in face-toface encounters. Gaul, by contrast, is not normally used in face-to-face encounters with adults or older people who are not assumed to share the same youth values or orientation. Neither is gaul some kind of secret code used to disguise the discussion of taboo or unacceptable topics in the presence of adults. In most instances the number of gaul items in a single utterance is fairly limited and meaning is typically clear from the context. Utterances made up entirely of gaul items are unusual even in the relaxed conversation of students. When they do occur, it is usually for the purpose of parody or dramatic effect. As is true of language ideologies more generally (Irvine and Gal 2000:35), the ideology of gaul sociability poses bahasa gaul in opposition to the other varieties with which it contrasts in the larger sociolinguistic fieldmost notably, the Indonesian standard, but 2
Historical associations between prokem and gaul are so strong that some Indonesians use the terms interchangeably.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
also regional varieties labeled kampungan (‘rustic, bumpkinish’) and medok (‘heavily accented’). Rural, regional dialects are widely stereotyped by the media and by middle-class youth as unsophisticated and plodding, the antithesis of gaul’s easy fluency and selfconfidence. This stereotype of ‘provincial insecurity’ (minder, kurang percaya diri) and ‘lack of experience’ (kurang pengalaman) explains in part the appeal of gaul sociability among students from rural backgrounds, particularly those from rural Muslim boarding schools (pesantren). Gaul’s associations with a modem cosmopolitanism and social sophistication are summed up in the following comment made by a first-year student of Indonesian language and literature. Gaul means someone who is self-assured and good at adapting socially. A kid who can talk to older people or to people from the village or to city people or modern people is a gaul kid. They’re ‘up-to-date’ (tidak ketinggalan jaman), developed, and ‘advanced’ (maju). Gaul is modern. I think whoever or whatever is not gaul is just not modern.
In this way and others, gaul ideology is very much a product of contemporary political and social developments which have dramatically altered Indonesian definitions of youth.
Youth Culture and Social Change In December of 1998 I returned to Java after a 13 year absence to conduct research on youth and social change in the south-central Javanese city of Yogyakarta. Yogyakarta is home to dozens of high schools and more than one hundred colleges and universities; it also hosts a wide variety of Muslim and nonMuslim religious institutions. Young people come to Yogyakarta from across the country seeking an education. Others come looking for work in the service industry or in the factories which lie on the outskirts of the city.
65
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
I first encountered the term gaul as a label for a new social category in my initial discussions with young people concerning the spectacular increase in the number of modern malls, clothing boutiques, movie theaters, and cafes which had sprung up in Yogyakarta since I had lived there in 1985. Along with these modern developments was the very visible appearance of a particular group of young people who frequented them. These young people, most of them males, dressed in Western-style jeans and in tee-shirts with logos like Marlboro, Nike, and Levis. They socialized in small groups, playing the pinball machines and electronic games on the smoky uppermost floors of the mall and chatting up the foreigners in the cafes, hoping to improve their English, bum a cigarette, or possibly begin a relationship. Though fewer in number, there were similar groups of young women-some of whom dressed in a manner that suggested sexual availability in a way that contrasted sharply with the more modest Muslim dress of the university students I spent my days interviewing. “Oh those people,” I was told, “Those are anak gaul,” literally, ‘social kids’. On further questioning, the category expanded to include not only mallrats but also street kids, runaways, druggies, and suspected prostitutes. Gaul then seemed to be used to refer to an illicit sociability, something over the top, excessive, too familiar, and verging on dangerous-socially and sexually. The presence of anak gaul in the malls and cafes, in urban shopping districts and around tourist hotels in Yogyakarta, was just one indication of a new and widely expanded category of Indonesian youth that had emerged in the 1980s and 1990s under the “New Order” of President Suharto. In May of 1998, after 32 years in office, Suharto had finally been forced out of office and his New Order government officially ended. Indonesian youth had played a vocal and visible role in the political struggle which led to the president’s removal, a role which has given young people a new social and political
66
prominence (Kraince 2003; Madrid 1999; Rahmat and Najib 2001). Although the New Order regime was politically authoritarian, state programs implemented under Suharto contributed significantly to the reformulation of youth identity. Defined as the socially constructed period between childhood and adulthood, the category of youth is linked cross-culturally to lengthy schooling and thus prolonged dependence on parents, to distinct patterns of consumption and leisure, and to “modern” courtship and dating particularly as related to self-choice of marital partner (Robinson and Utomo 2003:5). These aspects of youth culture underwent far-reaching transformation under the New Order as a result of state policies related to universal education and population regulation (Smith-Hefner 2006). During the 1970s and 1980s the New Order government drew on windfall oil profits to expand educational opportunities throughout Indonesia (Hefner 1990; G. Jones 1994; Robinson 2000). Identifying education as crucial for human resource development as well as national development, the government undertook an ambitious program of school construction and made primary education compulsory first through grade six and later through grade nine (Johnson, Gaylord and Chamberland 1993:8; Robinson and Utomo 2003:6). Between 1965 and 1990, the percentage of young adults with basic literacy skills skyrocketed from 40 to 90 percent. The percentage of youths completing senior high school grew from four percent to more than 30 percent today (Hefner 2000:17). These educational reforms have effected a shift in the public perception of youth as inextricably linked to schooling. State policies regarding population regulation and marriage have also impacted Indonesian definitions of youth. In 1975 the government implemented new marriage legislation which set the minimum age for marriage as 16 for women and 19 for men.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
It also “enshrined the principle that the consent of both parties must be obtained prior to marriage” (Robinson and Utomo 2003:6). The new marriage legislation was linked to the anti-natalist policies of the New Order which saw population as a threat to its developmentist ambitions. The new laws specifying minimum ages for marriage were aimed at regulating and limiting fertility. In conjunction with educational reforms, they have had the effect of significantly prolonging the period of time between the onset of puberty and marriage. During this same period, New Order economic policies resulted in the availability of new employment opportunities for young people with the requisite skills in light industry, the greatly expanded civil service, and in the service sector. Today even many factory jobs and service positions require at least a high school diploma. The possibility of obtaining a well-paying job and a foothold in the emerging middle class has served as an incentive for parents to keep their children in school. Lower child mortality rates and smaller family size have gone hand in hand with a more intensive focus on the talents and potential of individual children, both male and female, and a willingness on the part of parents to make economic sacrifices for the education of the next generation (cf. Lubis and Niehof 2003). In the past, young people stayed under the close supervision of parents until they were old enough to marry. Parents oversaw their children’s social lives, made their educational choices, and arranged their marriages. Because of new educational and employment opportunities, today it is increasingly common for young people to leave home at adolescence or shortly thereafter for school or work (G. Jones 1994; Smith-Hefner 2005). On job sites and in university towns, they often live with other young people in dormitories or boarding houses with little or no adult supervision. One effect of these developments is that young people today experience increased
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
opportunities to meet and interact with members of the opposite sex without direct adult oversight, a situation which has caused great anxiety for Indonesian parents. Parental concern has been exacerbated by public moral panics provoked in part by the mass media. The media has regularly featured sensationalist allegations of premarital cohabitation, high school call-girls and coed prostitutes, skyrocketing rates of premarital abortions, and such widespread sexual activity on college campuses that ‘lover 97 per cent of coeds are no longer virgins” (Straits Times Indonesia Bureau 2002; Wijayanto 2003a, 2003b, 2003c; see also, Radar Jogja 2002). The emergence of a new youth culture influenced by Western and East Asian patterns of social interaction and musical, fashion, and consumption tastes has only added to existing concerns about youth morality. Foreign investment, tourism and information technologies have also facilitated culture flows that have proved difficult for parents and public authorities to monitor and control. Initially the New Order government tried to limit and censor the media, particularly films and television programming. However, these policies slackened in the face of protests by well-connected media entrepreneurs (among them Suharto’s own family members), who called for and won a measure of media liberalization as well as a heightened role for private investment capital (Robinson and Utomo 2003:7-8; see also Sen and Hill 2000; Sutton 2003). The new youth culture has not gone unchallenged. Many of the same social and economic conditions that have allowed for the development of a “Westernized” youth culture also opened the way for a more socially and religiously conservative Muslim resurgence. At colleges and universities across Indonesia, Muslim student organizations have expanded their membership and visibility. Conservative groups encourage young people to resist the influence of corrupting Western fashions and consumption and to emulate religious models
67
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
of modesty and piety. On high school and college campuses, increasing numbers of young women have taken up the veil; a smaller number has even adopted full chador (Brenner 1996; Smith-Hefner 2007). Alongside more Westernized styles of social interaction and dating, new conservative Muslim social styles have developed which reject dating as sinful and promote a pattern of courtship which foregoes premarital familiarization completely (Smith-Hefner 2005). Regardless of the depth of their religious engagement, however, as a result of a broadly shared social and political formation, youth in contemporary Indonesia see themselves as actively engaged in a new and modern Indonesian project in which national development and personal development are closely linked. Social observers of the new Indonesian middle class have remarked that a striking characteristic of the new middleclass culture is the conviction that the future of Indonesia depends on individuals shaping themselves through self-cultivation and selffashioning (C. Jones 2003:190-91; Lindquist 2002). A parallel orientation has been identified among Indonesian homosexuals in their efforts to achieve an upwardly mobile subjectivity, an orientation which Tom Boellstorff dubs “person as project” and elsewhere, “personhood-as-career” (Boellstorff 2004,2005). A subtle indication of this new orientation emerged in my discussions with young people concerning their aspirations for the future. Whereas in the early 1980s young people echoed their parents’ hopes that they would grow up and simply menjadi orang, ‘become someone’ (literally, ‘become a person’), in the late 1990s young people had borrowed Western pop-psychological and self-help idioms to speak of ‘selfactualization’ (mengaktualisasikan diri), ‘cultivating [their] potential’ (menggali potensi saya), and even ‘optimalizing [their] aptitude’ (ngoptimalin bakat saya). This new
68
project of personal development and selfdiscovery has typically involved a rejection of regional styles perceived as kampungan (‘rural, unsophisticated’) and feodal (‘feudal, hierarchical’) (cf. C. Jones 2004). In their place, youthful proponents of the new middle class have adopted a more cosmopolitan style of speech and behavior to index a familiarity with “modern” trends and a capacity for communication across social groupings.
From the Margins to Middle class As I continued my research over the next several years, it became clear that gaul is not merely a term of social approbation used in reference to marginals and delinquents; in fact, I found it was increasingly referenced in youth interactions and in the print and electronic media in a strikingly positive manner. The term kuper, which has gaul as its root (an abbreviation for the phrase kurang pergaulan ‘unsophisticated, lacking in social experience’),3 was ubiquitous in my conversations with college students, and also began to appear regularly in magazines and on radio and television programs as a focus of discussions on Indonesian youth. Being labeled or perceived as kuper (or worse, as someone who nggak gaul ’doesn’t [know how to] socialize’) was clearly something students tried anxiously to avoid. Kuper, not unlike the English slang terms “loser” or “dweeb ,” is widely identified as the antithesis of the selfconfident, socially flexible, and cosmopolitan gaul image to which the newest members of the Indonesian middle class aspire. Critical to gaul’s spread and popularity have been the expansion of the Indonesian media, a post-New Order publishing boom, and the general atmosphere of media liberalization which came with Suharto’s fall. As is true of youth culture in the U.S. and 3
The bolded elements of the phrase kurang pergaulan are combined here to make up the blend kuper.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
elsewhere, the Indonesian media have been both an imitator and initiator of youth language.4 In the mid-1990s, MTV arrived in Indonesia under broadcast license to the local television station AN-TV (Swastika 2003:13; see also Sutton 2003). Even before that time, a significant proportion of middle and upper-middle class Indonesians living in urban areas had access to MTV programs through the use of parabola antennas to receive satellite broadcast. Although few of the young people I interviewed viewed MTV on anything resembling a regular basis, the informal, direct, and expressive style of the young announcers or VJs (video jockeys) who introduce songs and act as commentators on MTV quickly became the model for television and radio announcers on other stations. By the late 1990s, the cool speech style of popular VJs like Sarah Sechan, who mixes Jakartan Indonesian with English language borrowings and the latest hip expressions, had become a requirement for the MCs of programs for young audiences, rapidly increasing the spread and popularity of bahasa gaul (Swastika 2003:13). Even more critical to gaul’s spread has been the spectacular increase in the numbers of publishing houses which has occurred since the fall of the New Order. These new publishers have created a flurry of youth publications which have flooded the market, all competing to establish a readership. In their attempts to appeal to a young audience, many of these books are written in casual gaul style-often with gaul items italicized and in some cases, with glosses provided. In the summer of 2005, a computer search in the popular Indonesian bookstore Gramedia identified 47 books with the term gaul in their titles, a number of which were on prominent display. These titles included Debbie Sahertian’s bestselling Kamus Bahasa Gaul (‘The Gaul Dictionary’) which first 4
See, for example, works by Miyako Inoue (2002) and Laura Miller (2004).
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
appeared in 1999 and has since been reprinted twelve times, most recently in 2004. The majority, however, were inexpensive ‘pocket books’ (buku kantong) offering listings of gaul abbreviations and expressions for use in emails and phone messaging (5M5 ‘short message service’), and linking the cultivation of bahasa gaul to instant popularity. Among the titles on display was also Gaul, a glossy weekly television tabloid for young people which was launched in 2002. By 2005, Gaul claimed to have over 1,033,000 readers, the largest following of any popular youth media tabloid on the market (Indosiar 2005). In its spectacular journey from the margins to the middle class, gaul has not jettisoned all of its earlier associations. Like slang more generally, gaul is used to refer to social styles identified as “cool,” “trendy,” and “fashionable,” but can also reference a negative sociability (as too familiar, rude, or brash).5 While some observers, for example, might describe a gaul headscarf for women (jilbab gaul) as an “inappropriately alluring/ sexy headscarf,” others would describe it as a “trendy, casual-style head covering.” Gaul thus has multiple metapragmatic valences, linked to competing interpretations of youth and modernity.
Bahasa Gaul Gaul style is fast, fluent, and self-confident. It is achieved through prosody, intonation, and gesture as well as pragmatics. Kacihaaan deh lho ‘too bad/what a pity’ is said with a lispy, singsong falling/rising intonation and accompanied by an S-like movement traced in the air with the index finger moving downwards. The response, biarin ‘leave it/whatever’, is accompanied by a similar gesture, but moving upward. So what gitu lho ‘who 5
See, for example, Miller’s (2004) discussion of Japanese kogal, a female slang which indexes autonomy and cultural innovation but also gender deviant “misbehavior.”
69
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
cares’ and Please deh, want to know ‘come on, tell me’, are also pronounced with a characteristically playful prosody, often accompanied by a shrug or laughter. For its speakers, however, the most salient element of bahasa gaul is its lexicon. Bahasa gaul has developed against the backdrop of a linguistic culture of multiple codes: elaborate social registers, honorific vocabularies, ritual languages, and extensive word games. There are reports of youth varieties or ludlings called basa walikan ‘backwards languages’, from across Indonesia (d. Chambert-Loir 1984:109). One such backwards language, identified with youth from the city of Malang in East Java, is created by literally “reading” words in their mirror image. Gadis ‘young girl’ thus becomes sidag, manis ‘sweet’ becomes sinam, and Malang becomes Ngalam (Dreyfuss 1983). In another “backwards” language, associated with the youth of Yogyakarta, new words are formed by reassigning pronunciations to the Javanese syllabary and applying these new pronunciations to the corresponding syllables of Indonesian words to effect a transformation (Chambert-Loir 1984:109; Swastika 2003: 16). Most well-known is the word play dagadu which is a transformation of the exclamation matamu! ‘your eyes!’ Dagadu is now the name of a successful tee shirt and poster enterprise in Yogyakarta. These youth languages based on word plays (like pig latin in English) are generally associated with high school (teenaged) groups and seem to have strong links to written forms. While the slang of Indonesian college students has incorporated a number of words or expressions from these backward word plays, their associated word formation processes are largely non-productive in gaul. The vast majority of gaul words is formed either through processes of abbreviation or borrowing. Abbreviations include acronyms, blends, contractions, and clippings. Borrowings include words and phrases from informal regional and social dialects and foreign
70
language borrowings from English. In fact, the two categories (abbreviation and borrowing) overlap and borrowings are subjected to many of the same processes of abbreviation as Indonesian words and phrases. Abbreviation
The most productive word formation processes in gaul involve various forms of abbreviation. Many gaul words, for example, are acronyms, made up of the initial letters of each of the words in a phrase. For example, JJS (/jejeEs/) is an abbreviation of jalan jalan santai ‘to walk around/hang out’. PD or pede (/pede/), is an abbreviation for percaya diri, literally ‘to believe in oneself’, ‘selfconfident’. HTI (/hatei/) stands for hubungan tanpa ikatan literally ‘relations without [legal] connection’ or ‘illicit sex’, also referred to as HTS (/hateEs/) hubungan tanpa status or ‘relations without [legal] status’.6 Other gaul items are abbreviations created by combining the initial, or sometimes final, syllables or segments of two words to make up a single word, a word formation process called blending. Applying this process, curahan hati ‘an outpouring of feelings’ becomes curhat; salah tingkah ‘a wrong or inappropriate move’ becomes salting; and telat mikir ‘slow thinking, dull’ becomes telmi.7 Another common type of abbreviation involves clipping-the process of shortening a word by leaving off a part of the lexeme (typically the loss of one or more syllables). Applying this process, restoran ‘restaurant’ becomes resto. Minimal ‘minimal’ becomes minim. Demonstrasi ‘demonstration’ similar6
Other common gaul acronyms include ABC (/abege/) ‘adolescent’ from anak baru gede (literally ‘a child just recently big/mature’); PHK (/ pehaka/) from putus hubungan kekasih ‘to break up with one’s girl/boyfriend’; and PDKT (/pedekate/) from proses pendekatan dan perkenalan ‘the process of approaching/getting to know someone’.
7
Other blends include ortu from orang tua ‘parents’; jadul from jaman dulu ‘an earlier time/era’; and jakin from jaman kini ‘the current time/ era’.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
ly becomes demo and eksistensi ‘existence’ becomes eksis. These are all examples of clipping involving the loss of phonetic material word finally. Most clippings of this type are multisyllabic foreign words. A second category of clippings involves words that that have lost an initial syllable through the process of aphesis. These forms are quite regular and predictable and are typically common, Indonesian terms. Examples include gini from begini ‘like this’; gitu from begitu ‘like that’; dikit from sedikit ‘a little’; makasi from terima kasih ‘thank you’; and caya from percaya ‘to believe’.8 None of these word formation processes is unique to gaul, though in gaul they may be applied to unique forms or in unique combinations. The linguistic processes of clipping and contraction are widespread in informal styles of spoken Indonesian and speakers of Indonesian generally have no difficulty recovering the full forms.9 Acronyms and blends are also ubiquitous in standard official language and are associated in particular with the various government organizations and programs which proliferated during the New Order era (e.g., PKK, SMA, UMPT, PUSKESMAS, HANSIP, GOLKAR; see also Sneddon 2003:145-149). Some of the playful irreverence of gaul comes from the use of word formation processes identified with government officialdom to create a vocabulary which is anything but governmental, and which is used to talk about the everyday lives and experiences of particular interest to young people.
8
9
Other words in this category include abis (habis ‘finished, used up’); emang (memang ‘right, indeed’); ama (sama ‘same, together /with’); udah (sudah ‘already’); and item (hitam ‘black’). The popular gaul expression ember ‘really /it’s true’ from memang benar is derived via a combination of aphesis and blending. Though in the case of acronyms, speakers may not always know or remember the exact wording of the original phrase, particularly if it contains English borrowings (see below).
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Local
Borrowings
The other significant source of gaul vocabulary consists of borrowings. There are, for example, a significant number of word borrowings in bahasa gaul from the informal language level in Javanese known as ngoko. As Indonesia’s largest single ethnic groupcomprising 40 percent of the country’s population-Javanese have always played a prominent role in national culture and politics, and borrowings from Javanese into Indonesian have always been common. The Javanese words borrowed into gaul include a large number of everyday expressions, particularly adjectives and adverbs, among them: saking (‘because/as a result of), pantes (‘proper/fitting’), banget (‘very/excessively’), gede (‘large/big’), bareng (‘with/together’), mepet (‘tight/pressed’), and rada (‘sort of! rather’).10 Rather than adding specific content to gaul’s lexicon, these words add to the immediacy and informality of student slang, as in the following comment on dating from a discussion with a first year college student. Saking enjoy-nya, kami nggak bisa putus.
‘Because we were so happy / having so much fun [together] we couldn’t break it off. 11 In this example not only is the adverb saking ‘because, as a result of’ borrowed from Javanese, but also the use of 3rd person possessive marker -nya (here following the pattern of the Javanese genitive marker -e/-ne in marking topicalization). Sneddon writes with regard to the use of this pattern in the Indonesian standard, “[i]n most of its occurrences, this construction is avoided and even condemned 10 Borrowings from Javanese can also undergo processes of abbreviation and blending. The popular expression ge-er ‘big headed, proud / conceited’ is a blend derived from Javanese gede rasa which has roughly the same meaning. 11 The gaul elements under discussion in this and subsequent examples are in bold along with their corresponding English translations.
71
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
by some non-Javanese” (2003:159). In bahasa gaul, informal Javanisms are an important element of the flavor of informal youth interactions. According to students they make gaul speech ‘smoother’ (lebih luwes) and ‘more relaxed’ (lebih santai), and as a result ‘more communicative’ (lebih komunikatif).12 The single largest and most significant source of local borrowings into bahasa gaul is the informal dialect of Jakarta (Jakartan Indonesian or Jakartan Malay).13 Jakarta is the capital of Indonesia and is widely considered the center of Indonesian wealth and modernity. The h1donesian film industry is located in Jakarta as is the music industry. In imitating Jakartan speech styles, young people aspire to the hip, modern, and cosmopolitan lifestyle of those who live there (Swastika 2003:14; see also Oetomo 1990). Sneddon writes, To speak like a Jakartan is to be like a Jakartan: up-to-date, prosperous and sophisticated, whatever the reality might be. The speech of Jakarta is particularly popular with youth as a symbol of generational solidarity; using it sets them apart from the backward countryside and allows them to identify with the mystique of the modem metropolis. [2003:155]
Borrowings from Jakartan Indonesian include verb forms like bacot ‘to fuss/talk a lot’, geber ‘to push/spur on’, demen ‘to like’, toyor ‘to hit/beat up’, and gaet ‘to attract/interest’. They also include nouns, pronouns, and adjectives like gue ‘I’, (e)lu ‘you’, cewek ‘girl’, cowok ‘guy’, bonges ‘sexy’, cemong ‘dirty, smudged’, and norak ‘inappropriate’. Borrowings from Jakartan Indonesian are 12 This assessment is no doubt in part a reflection of the Javanese backgrounds of the majority of the young people in my study. There are gaul elements identified as originating from regional dialects other than Javanese in my corpus, but they appeared relatively rarely. 13 Also called bahasa Betawi. For a brief history and description of Jakartan Malay see Sneddon 2003:153-155. For a more detailed grammatical analysis see Grijins 1991.
72
sometimes difficult to distinguish from word borrowings from bahasa prokem (see discussion above). In his article “Those Who Speak Prokem,” Chambert-Loir (1984:111) identifies the infix -ok as a unique feature of prokem vocabulary. A number of items with the -ok infix appear in the gaul vocabulary of university students today. They include among others gokil from gila ‘crazy’; mertoku from [calon] mertua ‘[future] in-laws’; bokap from bapak ‘father’; and nyokap from nyak, Jakartan dialect for ‘mother’. Certain pronunciations are also borrowed from the informal dialect of the capital (e.g., the replacement of syllable-final / a/ by the mid-central vowel (schwa) /12/ in many words, such as dalem instead of dalam ‘inside’), as are some interjections, as well as the verb suffix -in which corresponds to the suffixes -kan and -i in formal Indonesian. Some of these features show up in the following examples. The first is from a male engineering student in a discussion of dating. The second is from a teen magazine for young males in an article on adjusting to college. Pantes, dong, cowok demen cewek.
‘It’s fitting/proper, don’t you know, guys like girls’. Elo bisa jadi target empuk buat ditoyor anak senior.
‘You could become an easy target for a beating by an older student’.14 English
language borrowings
The most distinctive feature of the slang of university students, however, is the number of English language borrowings. Over 30 percent of my corpus of gaul terms come from English. Notable by comparison-particularly in light of the recent resurgent interest in Islamis the dearth of borrowings in youth slang 14 Example is from Hai magazine July 2003, 27(29):16, cited in Supriyanti 2004:64.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
from Arabic (see also Supriyanti 2004:40).15 English borrowings are not only significant in terms of their overall numbers but also in terms of the frequency of their occurrence. They were ubiquitous in my interviews and informal discussions with young people. Cowok suka hunting.
‘Guys like to cruise for girls’. Hubungan kami itu nggak serius, lho! Kami enjoy saja.
‘Hey, our relationship wasn’t serious! We were just having fun’. Itu disebut MBA, ‘marit because accident’.
‘That’s called MBA, “married because [of an] accident” ‘. Doi betul-betul care buat saya.
‘He really cares about me’. A similar pattern of English borrowings is also common in the informal language of many contemporary magazines and novels targeted at a young adult audience, and in advice columns in newspapers which attract a youth readership. The following examples are taken from the letters of young people to advice columnists, the first from a magazine for young men (Hai ‘Hey’) and the second from a magazine for young women (Kawanku ‘My friend’). Soalnya, gue nggak suka klabing.16
‘The problem is I don’t like going clubbing [out to clubs]’. Ada juga temanku yang sudah trendy, playboy pula.17
‘I also have friends who are trendy, even playboys’. 15 A possible exception is tajir meaning ‘rich’, which may be related to an Arabic term for ‘merchant’. 16 Example is from Hai magazine December 2003, 27(52):19, cited in Supriyanti 2004:56. 17 Example is from Kawanku magazine April 2003, 32(43): 33, cited in Supriyanti 2004:60.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Some English borrowings in slang have undergone a process of assimilation to the sound system of Indonesian. Others remain in their original forms. As is evidenced in the examples above, the level of assimilation of English borrowings is also reflected in the spelling of words as they appear in print; with some words spelled as their English originals (like trendy and playboy above) and others reflecting Indonesian pronunciation. ‘Married’ for example is written marit or merit and is pronounced / mErIt/. ‘Clubbing’ may be written clubbing or klabing, and is pronounced /klabiŋ)/. And ‘enjoy’ is written enjoy (sometimes enjoi) and pronounced as in English but with the accent on the initial syllable /En’joi/. English language borrowings are subject to the same derivational processes that affect other gaul lexical items. English phrases, for example, may be reduced to acronyms, like MBA (pronounced /Embea/) ‘married because accident’ in the sentence above. Other English-derived acronyms include ML (/EmEl/) ‘making love’ and BT, also written as bete (/bete/), ‘bad mood’. BF (/beEf/), the acronym for ‘blue film’ (pornographic film), has undergone further transformation through -ok infixation (see discussion of bahasa prokem above) to become bokep; in the process its meaning has expanded to mean ‘pornography’ more generally. There are also English phrases which become blends in gaul, sometimes in combination with an Indonesian word. [H]ilang feeling ‘to lose interest/ feeling for someone’, for example, is ilfil. Jaga imej ‘to guard/protect one’s image’ is jaim, and salah kostum ‘an inappropriate outfit (costume)’ is saltum. Yet other English borrowings undergo clipping. ‘Aggressive’, for example, is agre; ‘America’ is amrik; ‘temperamental’ is tempra; and ‘sensitive’ is sensi. Examples of these types of constructions appear in the quotes below taken from an advice column in a magazine for young men.
73
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
Satu lagi tipe orang yang bikin orang lain gampang ilfil ya ini, sensi dan tempra.18
‘Another type of person who makes others quickly lose interest, is [over] sensitive and temperamental’. Abis mereka nggak mau disebut kelompok cewek jaim.19
‘Because they didn’t want to be put in the category of girls who worry/ obsess about their image’. The presence of so many English borrowings in bahasa gaul raises a number of interesting issues. Connie Eble (1996) has argued that borrowing from foreign languages is not a feature of slang in general or of American college slang in particular. The reason, she says, is the general insularity of slang, its primary function being to bind together people of similar persuasions. “By its very nature,” Eble writes, “slang is not outreaching and cosmopolitan” (Eble 1996:39). In American college slang she finds little evidence of foreign language borrowings. The exceptions are borrowings which enter slang as word plays on phrases learned in introductory language courses. These borrowings poke fun at students’ attempts to pronounce simple foreign phrases. So French s’il vous plait (‘please’) is rendered silver plate or seafood plate and merci beaucoup (French for ‘thank you’) becomes mercy buckets or mercy buttercups. Forcing foreign sounds to approximate words in English, Eble argues, is for many college students a source of humor; at the same time it expresses an attitude which is basically anti-intellectual (See also Hill 1998 on “mock Spanish”). In this way American college students use foreign language borrowings to strengthen their own group ties which are based on shared attitudes 18 Example is from Hai magazine February 2004, 28 (5):27, cited in Supriyanti 2004:44. 19 Example is from Hai magazine July 2003, 37(26):11, cited in Stlpriyanti 2004:33.
74
and experiences and ways of seeing the world (Eble 1996:79). Indonesian college students also create humorous word plays involving English borrowings in gaul. These word plays take the form of literal translations of common Indonesian phrases into English. A common leave-taking in standard Indonesian, for example, is hati-hati di jalan which means ‘be careful on the road’. Hati, however, literally means ‘liver (heart)’; in college student slang the phrase is thus rendered heart-heart on the road. Similarly, the common Indonesian phrase tidak apa-apa ‘it’s nothing (don’t worry about it)’ in literal, word-for-word English translation is rendered no what-what, while terima kasih ‘thank you’ becomes receive love, and kembali [kasih] ‘you’re welcome’ becomes return love. Word plays like these, however, involve only a very small number of the English borrowings which occur in bahasa gaul and are hardly representative of the role English plays in Indonesian student slang.20 The use of English borrowings in gaul is less about poking fun at English or at English speakers than about signaling the speaker’s identification with a fashionably cosmopolitan youth style widely identified with Western and East Asian print media, films, radio and television. Western, even global, youth culture emphasizes the positive value of cool nonchalance and casual informality (cf. Bucholtz 2007; Kiesling 2004). English borrowings show up in many of the gaul words which express this hip, laid back orientation: cool, keren ‘cool’; mellow, casual, cuek ‘to not care’; cuek bebek ‘to not care [at all]’; fresh, funky, friendly; and ngtren/trendy’trendy’. Related terms have to do with a carefree attitude of having fun and being happy: relak/releks ‘relax’; hang out, 20 These and similar word plays seem to be a more central element in bahasa gay, the language associated with the Indonesia’s gay community (cf. Boellstroff 2004).
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
refreshing ‘relaxing’; having fun, funny, enjoi/ enjoy ‘enjoy’; hepi ‘happy’. English borrowings also figure prominently among those words in bahasa gaul which reflect the new concern among youth with the articulation of individual wants, needs, and desires, and with the formulation of new types of social relationships. These terms include: care, concern, sharing, support, first love, cute, charming, date, soul mate, macho, mood, don juan, playboy, jeles/jealous, bossy, killer, agre ‘aggressive’, sensi ‘sensitive’, tempra ‘temperamental’, petting and ML ‘making love’, among others. Students regularly describe borrowed English emotion terms as “more expressive,” offering as an example, the new “in” expression Bete-in banget! ‘It’s so annoying!’ Bete is an acronym derived from the English ‘bad mood’21; -in is the causative affix borrowed from Jakartan Indonesian. Bete-in is therefore ‘to cause to be in a bad mood; annoying’. Conversely, students say that English word borrowings which have sexual referents are emotionally” distancing,” allowing young people to talk about embarrassing or taboo topics with less discomfort. A group of female students explained that it would, for example, “hypothetically” be much easier for a young woman to say to her partner, Beli safting, dong! ‘Buy protection!’ than to use the (older Dutch/English) Indonesianized term kondom.22 (Here, safting, save thing, or safe thing is apparently derived from English ‘safe sex’. A condom is thus a ‘safe thing’.) Acontrasting pattern of English borrowing has been described as characterizing the formal Indonesian of newspaper editorials, academic writing and lectures, and political speeches and publications. The use of English in these contexts often involves technical 21 In this case the final / d/ of ‘mood’ is pronounced and spelled as /t/ and transposed for more “pleasing pronunciation.” 22 Students were anxious to impress upon me that this was a “hypothetical” utterance, not something one of them had ever said.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
or specialized vocabulary. This pattern of borrowing has sometimes been criticized as obscuring rather than adding meaning to the language as exemplified in the following quotation from an Indonesian professor emeritus of law. Postmodernism telah melakukan dekonstruksi terhadap dominasi atau hegemoni negara.
‘Postmodernism has already deconstructed the domination or hegemony of the state’.23 Similar usages involve the use of English words or phrases for ideas or concepts that can easily be expressed in Indonesian. The redundancy of English in these contexts may even be signaled overtly by the use of the equivalent Indonesian term parenthetically after the English word (or the equivalent English word parenthetically after the Indonesian term). This practice in particular has been decried by language purists as eroding the integrity of the national language. The citation below is a quote from a prominent Indonesian newspaper, commenting on the relationship between the Indonesian army and political parties. Banyak pula mantan Pati TNI yang bergabung dengan parpol yang lulus threshold. Tetapi, hal itu dapat juga berarti peringatan (warning) kepada kalangan parpol. Tampaknya persoalan dikotomi sipil-militer politik di Indonesia hanyalah materi percakapan di meja perjamuan kaum scholars saja.
‘There are likewise many former high ranking army officers who have joined together with political parties and have breeched the threshold. This can also constitute a warning to political groupings. It appears that the dichotomy between the military 23 Citation is from the online news journal of Airlangga University Warta Online Airlangga University, http:// www.warta.unair.ac.id (Tim Media Kerjabudaya 2004).
75
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
and politics in Indonesia is only material for discussion at meetings of scholars’.24 In the example above the use of English seems superfluous to the meaning of the passage in the sense that there are common and easily available Indonesian equivalents (ambang pintu, peringatan, sarjana/ ilmiawan) for the borrowed English terms. J. Joseph Errington (2000:216) calls such usages “communicatively gratuitous” and argues that the use of English language borrowings in such contexts serves to underscore the “exemplary” status of the speaker in a pattern not unlike the use of the status marked speech levels of Javanese. These patterns of the use of English borrowings in formal Indonesian add to the stereotyped opacity and formality of the standard. Such usages are particularly widespread among academics, politicians, and bureaucrats and have the effect of identifying the speaker as a person who is able, due to his experience or education, to use language forms which are beyond the expertise of the majority of speakers (Errington 2000:216; see also Lowenberg 1994; Tanner 1972). In this sense the use of superfluous English borrowings in formal Indonesian, as the use of technical and abstract terminology, is a demonstration and reinforcement of status differentials.
Articulating Modernity In contrast to formal Indonesian, bahasa gaul, with its popular, youth culture focus, indexes a more inclusive ideology of gaul sociability. It assumes a shared orientation toward the values of informality and commensurability and an attitude of self-confident cosmopolitanism. As it is used by urban, educated youth, bahasa 24 Citation is from the online news journal of Airlangga University Warta Online Airlangga University, http:// www.warta.unair.ac.id (Tim Media Kerjabudaya 2004).
76
gaul articulates a “modern,” interactional flexibility which emphasizes the expression of individual needs and desires, and distances the speaker from old styles and hierarchies. Not surprisingly, the particular values expanded upon in gaul ideology reflect the social position of its upwardly aspiring speakers (Kroskrity 2000:8). Students have appropriated elements from the speech styles of people at the social margins (gangsters, criminals, street kids), and use them along with other local and foreign borrowings to declare their independence of traditional expectations and established social convention. Through a process of enregisterment “whereby distinct forms of speech come to be socially recognized (or enregistered) as indexical of speaker attributes by a population of language users” (Agha 2005:38), the language of gaul sociability has become widely identified with contemporary middle-class youth culture. In the process, gaul has taken on new associations, becoming a linguistic emblem of the cool, hip, educated, and connected. Agha (1998) and others have emphasized the reflexive relationship that patterns of linguistic usage have to social status; that is, that patterns of linguistic usage both respond to independent status distinctions and promote status valorizations themselves. As bahasa gaul has become increasingly associated with the upwardly mobile and trendy, it has developed its own kind of coercive appeal linked to the assumed (stereotyped) status of its speakers-as revealed in this comment by a third year student attending Gadjah Mada University, Sometimes when I meet up with some kids from Jakarta and they’re really gaul, I feel like I have to adjust to their style and be like them and talk like them even though I’m not that used to using bahasa gaul. But when I’m with them, I do that so that they all think, “She’s really advanced (maju), you know, she’s really modern.” So, I have to use bahasa gaul in that situation.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
Just as might be expected, as gaul style has been drawn up from the world of social marginals to the world of self-realizing, selffulfilling, upward-aspiring individuals, it has become responsive to the sorts of pressures and concerns that animate the new Indonesian middle class. As it has moved from informality and solidarity at the margins to informality within a new and more flexible system of differentiation and hierarchy, gaul has also come to express a new form of linguistic status and identity. After all, if you’re not gaul, you’re not cool, you’re not modern, and you just don’t belong. Complicating the development and trajectory of gaul even further, during its transition from dark and rebellious periphery to the well-heeled and hip new center, the speech style has also come to be mediated by a variety of new social actors, among them: professional managers and media talk show hosts, Dale Carnegie-like self-help authors, and sexual advice columnists.25 In an attempt to both capitalize on and domesticate the new youth subcultures, these experts have expanded on gaul’s concern with the individual and with a more flexible sociability to articulate a whole new catalogue of directives and warnings concerning the proper formulation of cool (but careful) modernity (cf. Miller 2004). These gaul experts use the language of youth sociability to caution young people about the dangers of uncritical acceptance of Western models of behavior and the need to adjust them to an Indonesian value system and social reality. It is particularly ironic that gaul has emerged at more or less exactly the same time that the Islamic resurgence has led many, especially urban, Indonesians to a more religious orientation and pious lifestyle. Perhaps most surprising, a significant number of the new self-help experts and social commentators who have adopted the language 25 See, for example, Alatas 2006; Astuti 2005; Rachman and Omar 2004; Rohani 2004.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
of youth sociability identify themselves as devout Muslims. Books like Zaman Gaul: Tips Menjadi Gaul bagi Remaja Islam Tanpa Kehilangan Identitas Keislamannya (‘The Gaul Era: Tips for Muslim Youth on Becoming Sociable without Losing Your Muslim Identity’) (Salim 2004) and All About Gaul! (‘All About [the New] Sociability!’) (Kurnia 2005) are written in casual, gaul style. Their authors do not condemn gaul ideology but instead intersperse their texts with Qur’anic quotations and passages taken from the hadits (traditions of the life of the Prophet) to emphasize a carefully measured and acceptably Muslim style of gaul social interaction. Even many Muslim youth preachers (ustadh) have begun to appropriate gaul’s informal style and casual exchanges in an attempt to reach out to and engage a youth audience. This is especially true, not surprisingly, of those who are most involved in the glamorous world of radio and television preaching-among them the enormously popular AA Gymastiar and Jefri Al-Buchori, who are often referred to by the media and by their youthful followers as ustadz gaul (‘gaul teachers/preachers’).
Gaul Community Gaul then is the product of a particular type of community increasingly identified with the educated and “mass-mediated” landscapes of modem Indonesia. It is not a community defined by common residence or territoriality. Noris it based on the shared experience of political struggle like that which characterized the early nationalists of the Sumpah Pemuda of 1928, the revolutionary youth of the 19451949 independence war, the activist students of the generation of 1965-1966 (Angkqtan 65-66), or even the moderate Islamist youth engaged in the struggle for democratic reform (1998). Although it has rebellious undercurrents, the culture of gaul is increasingly defined by lifestyle and consumer aspirations, themselves originating, not so much in formal
77
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
politics, as in the educational and mass-media experiences of the new middle class (cf. Liechty 2003). This orientation is toward, not a political project, but a way of being Indonesian in the post-traditional landscape of multiethnic, urban Indonesia. While gaul is very much at home on Indonesian campuses, then, it would be a mistake to view it as just a byproduct of educated youth. That community is itself as much an aspiration and lifestyle as it is a fixed social category. Moreover, the styles and sociability of gaul have now extended well beyond the more promising segments of the new middle class. This is all the more the case inasmuch as pop media and popular consumption styles have themselves become carriers of gaul culture. Gaul is above all an “open” linguistic variety, a style marked by its porousness and enjoyment of new linguistic and lifestyle flows. It is a work in process, unfinished and fast changing-as evidenced, for example, by the recent incorporation of elements of the language of gay culture into its lexicon (cf. Boellstorf 2004). But it is also selective in its appropriations. The cultural logic of its selectivity reflects at its core the aspiration of urban middle-class youth to styles of social identity and interaction profoundly different from those of their parents and the New Order era. The new styles do not constitute a radical and highly politicized counter-language/ counterculture to the establishment center. They instead reflect middle-class youth’s heightened concern for casual informality, greater emotional expressivity, and the communication of a new and constantly evolving popular Indonesian culture. The analysis of language and culture in Indonesian society has frequently been conducted with reference to the idea of the crowning or singular importance of exemplary centers; that is, certain axial points of reference that provide a model and standard for the evaluation of all else (cf. Anderson 1972; Errington 1985; Geertz 1960). In their language styles and social conventions,
78
contemporary members of the Indonesian middle class show that they are still keenly responsive to the estimations of others. However, if there is an exemplary center informing the language choices of middleclass youth today, it has less to do with the centers and standards of Java’s courts or other indigenous aristocracies than it does with the example provided by a diverse array of new media and institutions, among them: the educational system, MTV, a plethora of youth publications, international films and fashions, computers and the internet. In this sense there is not just one settled center invoking the traditions and received conventions of venerated ancestors, but a variety of media and social fields themselves highly permeable to outside influence and continuing cultural change.
References Cited Agha, Asif. 1998. Stereotypes and Registers of Honorific Language. Language in Society 27:151-193. 2005 Voicing, Footing, Enregisterment. Journal of Linguistic Anthropology 15(1):38-59. Alatas, Alwi. 2006. Bikin Gaulmu Makin Gaul: Kiat Bergaul yang Asyik dan Oke (‘Make Your Socializing More Social: The Secret to Great Socializing That’s Still Acceptable’). Jakarta: Hikmah Press. Anderson, Benedict. 1966. “The Languages of Indonesian Politics.” Indonesia 1: 89-111. __________. 1972. “The Idea Javanese Culture” in Politics in Indonesia. ed. Pp. 1-69. Ithaca, University Press.
of Power in Culture and Claire Holt, NY: Cornell
Astuti, Dina. 2005. Gaul OK, Belajar OK: Cerdas Gak Berarti Kuper (‘[Being] Social Is OK, Studying Is OK: Smart Doesn’t Mean Antisocial’). Jakarta: Kawan Pustaka.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
Boellstorff, Tom. 2004. Gay Language and Indonesia: Registering Belonging. Journal of Linguistic Anthropology 14(2):248-268. __________. 2005. The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia. Princeton, NJ: Princeton University Press. Brenner, Suzanne A. 1996. Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and ‘the Veil.’ American Ethnologist 23(4):673-697. Bucholtz, Mary. 2007. “Word Up: Social Meanings of Slang in California Youth Culture.” in A Cultural Approach to Interpersonal Communication: Essential Readings. Jane Goodman and Leila Monaghan, eds. Pp. 243-267. Malden, MA: Blackwell Publishers. Chambert-Loir, Henri. 1984. Those Who Speak Prokem. Indonesia 37:105117. Direktorat Pendidikan Menengah Umum (‘Department of General Secondary Schooling’). N.d Taufik Ismail: Bahasa Indonesia Dalam Proses Perusakan. (‘Taufik Ismail: The Indonesian Language is Being Destroyed’). Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Jakarta. Electronic document, http:/ /www.dikmenum. go.id/, accessed September 24, 2005. Dreyfuss, Jeff. 1983. “The Backwards Language of Jakarta Youth (JYBL), a Bird of Many Language Feathers.” in Studies in Malay Dialects. James Collins, ed. Pp. 52-56. Jakarta: Badan Penyelenggara Seri NUSA, University of Atma Jaya. Eble, Connie. 1996. Slang and Sociability: In-Group Language among College Students. Chapel Hill: University of North Carolina Press.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Errington, J. Joseph. 1985. Language and Social Change in Java: Linguistic Reflexes of Modernization in a Traditional Royal Polity. Athens: Ohio University Center for International Studies. __________. 1998. Shifting Languages: Interaction and Identity in Javanese Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press. __________. 2000. “Indonesian(‘s) Authority.” in Regimes of Language: Ideologies, Polities and Identities. Paul V. Kroskrity, ed. Pp. 205-228. Santa Fe, NM: School of American Research Press. Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press. Grijins, C. D. 1991. Jakarta Malay. Leiden: KITLV Press. Halliday, Michael A. K. 1976. “AntiLanguages.” American Anthropologist 78:570-584. Hefner, Robert W. 1990. Political Economy of Mountain Java. Berkeley: University of California Press. __________. 2000. Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton, NJ: Princeton University Press. Heryanto, Ariel. 1990. “The Making of Language: Developmentalism in Indonesia.” Prisma 50 (September):40-53. Hill, Jane H. 1998. “Language, Race, and White Public Space.” American Anthropologist 100(3):680-689. Indosiar (‘Indobroadcast’). 2005. “Semarak Tiga Tahun Gaul” (‘A Brilliant Three Years for Gaul’). Electronic document,http://www.indosiar. com/. accessed August 23, 2005.
79
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
Inoue, Miyako. 2002. “Gender, Language, and Modernity: Toward an Effective History of Japanese Women’s Language.“ American Ethnologist 29(2):392-422. Irvine, Judith T., and Susan Gal. 2000. “Language Ideology and Linguistic Differentiation.“ in Regimes of Language: Ideologies, Polities, and Identities. Paul V. Kroskrity, ed. Pp. 35-83. Santa Fe, NM: School of American Research Press. Johnson, Karin, Wendy Gaylord, and Gerald Chamberland. 1993. Indonesia: A Study of the Educational System of the Republic of Indonesia. Washington, DC: World Education Series Publication, USAID Jones, Carla. 2003. “Dress for Sukses: Fashioning Femininity and Nationality in Urban Indonesia.” in ReOrienting Fashion: The Globalization of Asian Dress. Sandra Niesson, Anne Marie Leshkowich and Carla Jones, eds. Pp. 185-213. London: Berg Publishers. __________. 2004. “Whose Stress? Emotion Work in Middle-Class Javanese Homes.” Ethnos 69 (4):509-528. Jones, Gavin W. 1994. Marriage and Divorce in Islamic South-East Asia. Oxford: Oxford UnivE:rsity Press. Kiesling, Scott F. 2004. “Dude.” American Speech. 79(3):281-305. Kraince, Richard G. 2003. The Role of Islamic Student Activists in Divergent Movements for Reform during Indonesia’s Transition from Authoritarian Rule, 1998-2001. Ph.D. dissertation, Department of Education, Ohio University. Kroskrity, Paul V. 2000. “Regimenting Languages: Language Ideological Perspectives.“ in Regimes of Language: Ideologies, Polities, and
80
Identities. Paul V. Kroskrity, ed. Pp. 1-34. Santa Fe, NM: School of American Research Press. Kurnia, Adi. 2005. All About Gaul! (‘All About [Gaul] Sociability!’). Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Liddle, William. 1988. Politics and Culture in Indonesia. Ann Arbor: University of Michigan Press. Liechty, Mark. 2003. Suitably Modern: Making Middle-Class Culture in a New Consumer Society. Princeton, NJ: Princeton University Press. Lindquist, Johan. 2002. The Anxieties of Mobility: Development, Migration and Tourism in the Indonesian Borderlands. Ph.D. dissertation, Department of Anthropology, University of Stockholm, Sweden. Lowenberg, Peter H. 1994. “The Forms and Functions of English as an Additional Language: The Case of Indonesian.” in Language Planning in Southeast Asia. Abdullah Hassan, ed. Pp. 230251. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Lubis, Firman, and Anke Niehof. 2003. “Introduction.” in Two Is Enough: Family Planning in Indonesia under the New Order 1968-1998. Anke Niehof and Firman Lubis, eds. Pp. 1-18. Leiden: KITLV Press. Madrid, Robin. 1999. “Islamic Students in the Indonesian Student Movement, 1998-1999: Forces for Moderation.” Bulletin of Concerned Asian Scholars 31(3):]7-32. Miller, Laura. 2004. “Those Naughty Teenage Girls: Japanese Kogals, Slang, and Media Assessments.” Journal of Linguistic Anthropology 14(2):225247. Moore, Robert L. 2004. We’re Cool, Mom and Dad are Swell: Basic Slang
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
and Generational Shifts in Values. American Speech 79(1):59-86. Morgan, Marcyliena. 2002. Language, Discourse and Power in African American Culture. New York: Cambridge University Press. Oetomo, Dede. 1990. The Bahasa Indonesia of the Middle Class. Prisma 50 (September):68-79. Peacock, James. 1973. Indonesia: An Anthropological Perspective. Pacific Palisades, CA: Goodyear Publishing. Rachman, Eileen, and Petrina Omar. 2004. Gaul: Meraih Lebih Banyak Kesempatan (‘Gaul: Take Advantage of More Opportunities’). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Radar Jogja (‘Jogja Radar’). 2002. ‘Iip Wijayanto, Direktur LSC & K: “Silakan Bikin Penelitian Tandingan. (Iip Wijayanto, Director of the Institute for the Study of Love and Humanity: ‘Go Ahead (Please), Conduct Comparative Research’). Radar Jogja, August 4: 4, 26. Rahmat, Andi, and Mukhammad Najib. 2001. Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus. (‘The Opposition Movement from the Campus Mosque’). Surakarta: Purimedia. Robinson, Kathryn. 2000. “Indonesian Women: From Orde Baru to Reformasi.” in Women in Asia: Tradition, Modernity and Globalisation. Louise Edwards and Mina Roces, eds. Pp. 139-169. Ann Arbor: University of Michigan Press. Robinson, Kathryn, and Iwu Dwisetyani Utomo. 2003. “Introduction to Volume on Youth, Sexuality, and Personal Life in Indonesia. RIMA (Review of Indonesian and Malay Affairs) 37(2):5-16. Canberra: Australian Research Council.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Rohani, Wining. 2004. Gaul Smart dengan Dunia (‘Social Smarts for Interacting with the World’). Yogyakarta: Gloria Graffa. Sahertian, Debby. 1999. Kamus Bahasa Gaul (‘Dictionary of Bahasa Gaul’). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Salim, Muhammad Najib. 2004. Zaman Gaul: Tips Menjadi Gaul bagi Remaja Islam Tanpa Kehilangan Identitas Keislamannya (‘The Era of Gaul Sociability: Tips for Muslim Youth on How to Be Gaul without Losing Your Muslim Identity’). Jokjakarta: Diva Press. Sarjono, Agus R. 2004. “Bahasa Ember, Bo!” (‘Really, Truly Language, Man!’). Khazanah, Sunday, June 27: 4. Sen, Krishna, and David T Hill. 2000. Media, Culture and Politics in Indonesia. Oxford: Oxford University Press. Smith-Hefner, Nancy J. 2005. The New Muslim Romance: Changing Patterns of Courtship and Marriage among Educated Javanese Youth. Journal of Southeast Asian Studies 36(3):441-459. __________. 2006. “Reproducing Respectability: Sex and Sexuality among Muslim Javanese Youth.” RIMA (Review of Indonesian and Malay Affairs) 40(1):143-172. Canberra: Australian Research Council. __________. 2007. Javanese Women and the Veil in Post-Soeharto Indonesia. Journal of Asian Studies 66(2):389420. Sneddon, James. 2003. The Indonesian Language: Its History and Role in Modem Society. Sydney NSW: University of New South Wales Ltd. Straits Times Indonesia Bureau. 2002. “Free Sex the Norm among Yogyakarta’s
81
Nancy J. Smith-Hefner, Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class
Varsity Students.” The Straits Times, August 4. Electronic document, http://straitstimes. asia1.com.sg/asia/ story /, accessed August 7, 2002. Suara Merdeka (‘The Free Voice’). 2004. “Bahasa Gaul Bisa Mereduksi Bahasa Baku” (‘Gaul Slang Can Reduce the Standard’). Suara Merdeka, August 23. Electronic document, http:// www.suaramerdeka.com/harian/. accessed May 23, 2006. Supriyanti, Nanik. 2004. “Penggunaan Bahasa Gaul dalam Majalah Remaja” (‘The Use of Bahasa Gaul in Teen Magazines’). B.A. Thesis, The Faculty of Cultural Studies, Gadjah Mada University, Yogyakarta. Sutton, R. Anderson. 2003. “Local, Global, or National? Popular Music on Indonesian Television.” in Planet TV: A Global Television Reader. Lisa Parks and Shanti Kumar, eds. Pp. 320-340. New York: New York University Press.
Language?’). Warta Online Airlangga University (‘Airlangga University Online News’), August 14. Electronic document, http:// www.warta.unair.ac.id.. accessed May 26, 2006. Wijayanto, lip. 2003a. Sex in the “Kost” (‘Sex in the “Boardinghouse”‘). Yogyakarta: Tinta Press. __________. 2003b. Pemerkosaan Atas Nama Cinta: Potret Muram lnteraksi Sosial Kaum Muda (‘Rape in the Name of Love: A Disturbing Portrait of the Social Interactions of Youth’). Yogyakarta: Tinta Press. __________. 2003c Campus “Fresh Chicken” Menelanjangi Praktik Pelacuran Kaum Terpelajar (‘Campus “Fresh Chicken” Uncovering the Practice of Prostitution among Students’). Yogyakarta: Tinta Press.
Swastika, Alia. 2003. “Potret Anak Muda di Ranah Bahasa: Dari Dunia Preman hingga Jakarta Sentrisme” (‘A Portrait of Youth in the Domain of Language: From the Gangster World to Jakarta-Centrism’). Balairung, Gadjah Mada University Student Journal 36(17):7-24. Tanner, Nancy. 1972. “Speech and Society among the Indonesian Elite: A Case Study of a Multilingual Community.” in Sociolinguistics: Selected Readings. J. B. Pride and Janet Holmes, eds.Pp. 125-41. New York: Penguin. Tim Media Kerjabudaya (‘Media Culture Team’). 2004. “Masih Adakah Bahasa (Bangsa) Indonesia?” (‘Is There Still an Indonesian (National)
82
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
TinjauanBuku Judul Editor Penerbit Tahun ISBN Tebal
: : : : : :
Global Youth?: Hybrid Identities, Plural Worlds Pamela Nilan and Carlos Feixa Routledge, London and New York 2006 0-203-03052-4 xii + 218
Oleh: Oki Rahadianto *
G
lobalisasi sebagai proses yang bersifat lounge duree (Wallerstein; 1999) membawa perubahan dalam berbagai dimensi, tidak terkecuali dalam proses pengkonstruksian pemuda baik di belahan dunia utara maupun selatan. Di tengah semakin terhubung serta semakin massifnya infiltrasi ekonomi, budaya, pengetahuan serta teknologi informasi, mengakibatkan pemuda sebagai subjek harus semakin refleksif dalam membentuk identitasnya, atau diistilahkan oleh Nilan dan Feixa sebagai self conscious invention and reinvention in the shaping of youth identities. Dengan kata lain, pemuda dilihat sebagai aktor kreatif yang dapat secara kritis memilih dan memilah apa yang baik untuk dirinya. Selain itu, editor buku ini secara tegas tidak ambil pusing dengan definisi formal mengenai pemuda, namun justru kategori pemuda dilihat berdasarkan perbedaan konteks sosial masing-masing.
*
Sekretaris dan peneliti pada Youth Studies Centre (YouSure) Fisipol UGM, serta pengajar pada Jurusan Sosiologi Fisipol UGM. Email: oki.rahadianto@ugm. ac.id atau
[email protected]
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Asumsi teoritis yang melihat pemuda sebagai agensi, hibriditas dan negara-negara selatan (southern) menjadi kata kunci dalam buku ini. Dengan menyitir Bhabha (1994) yang melihat hybrid dalam konteks relasi kuasa, munculnya ruang ketiga atau in-between-ness akan mendestabilisasi hubungan dominasisubordinasi, tidak hanya dalam konteks relasi pemuda dengan orang tua, budaya global vis a vis lokal, namun juga antara diskursus pengetahuan pemuda yang dikonstruksikan oleh ilmuwan dari metropole/utara vis a vis narasi alternatif dari ilmuwan periphery/selatan (Connell, 2006; 2007; Alatas, 2010). Lebih lanjut dijelaskan oleh Nilan dan Feixa, pemilihan kata kunci youth, hybrid dan global digunakan sebagai titik masuk dalam memahami apa yang dinamakan sebagai the distinctiveness dari budaya pemuda lokal dalam dunia yang terglobalisasi. Buku ini terdiri dari sepuluh artikel yang menjelaskan mengenai keberagaman pengalaman kehidupan pemuda, beberapa tema yang disajikan antara lain terkait dengan bahasa, musik dan gaya hidup. Salah satu hal yang menarik sebagaimana dijelaskan Nilan dan Feixa adalah beberapa penulis belum pernah mempublikasikan karyanya dalam bahasa
83
Tinjauan Buku: Global Youth?: Hybrid Identities, Plural Worlds
Inggris, buku ini mencoba memunculkan narasi-narasi yang berbeda tersebut. Dalam konteks Indonesia, Nilan dalam artikelnya yang berjudul “The Reflexive Youth Culture of Devout Muslim Youth Indonesia” (Bab 5) menjelaskan kompleksitas pembentukan identitas pemuda(i) muslim yang harus bernegosiasi antara nilai lokal, nasional maupun global (barat dan islam). Hasil analisa Nilan dengan mendasarkan pada FGD serta data sekunder lainnya menemukan bahwa pemuda muslim secara aktif menyeleksi produk maupun gaya hidup yang mereka konsumsi, misalnya bagaimana konsumsi mereka akan produk kosmetik yang halal, musik nasyid ataupun majalah pop islami. Proses memilih dan memilah ini menunjukkan bahwa pemuda tidak begitu saja terserap pada nilai-nilai Barat sekaligus nilai-nilai anti barat, namun sebaliknya mereka mampu menjadi agensi yang secara aktif memahami konstelasi lokal, nasional dan global. Dengan kata lain oleh Nilan dijelaskan bahwa proses hibridisasi dalam ruang ketiga ini bersifat kompleks dan ambivalen. Di sisi yang lain, Nilan juga melihat bahwa industri peka dalam melihat keunikan tersebut dan secara halus “masuk” serta melakukan modifikasi produk supaya ramah dengan konteks pemuda Indonesia. Pada Bab 3, Butcher dan Thomas dalam artikelnya “Ingenious : Emerging Hybrid Youth Cultures in Western Sidney“ menjelaskan mengenai kaum muda migran Timur Tengah dan Asia yang termarginalisasi secara sosial dan ekonomi mampu menjadi agensi saat bernegosiasi dengan budaya asal orang tua mereka dengan budaya baru tempat mereka tinggal. Mereka mengalami tekanan yang berbeda saat berada di ruang privat (rumah) serta di ruang publik. Dicontohkan penulis dalam bab ini, bagaimana kaum muda Lebanon dalam ranah privat berbicara, makan, berperilaku ala Lebanon, di ranah publik mereka berdandan ala kaum muda Australia, nongkrong di pantai sambil minum bir, berpesta di klub malam, melihat konser
84
Jennifer Lopez namun tidak melakukan praktik promiskuitas. Hal yang sama juga terjadi pada kaum muda yang mempunyai background Asia. Kaum muda migran mengaku bahwa mereka bangga akan budaya orang tua mereka sekaligus budaya Australia, sebagaimana pernyataan salah satu pemuda migran di bab ini, I’m a Lebo-Australian! Dari sisi yang lain, Munoz dan Marin dalam artikelnya “Music is The Connection: Youth Cultures in Colombia” (Bab 7) bercerita mengenai peran kaum muda sebagai agensi mampu memodifikasi dua genre musik yang berasal dari belahan utara (punk dan hip hop) dengan konteks sosial masyarakat Colombia. Nilai (etos) punk yaitu Do It Yourself (DIY) culture, yang di Inggris lahir sebagai perlawanan golongan menengah terhadap kemapanan, di Kolombia justru diadopsi oleh pemuda marginal untuk digunakan sebagai ruang untuk mensuarakan ketertindasan mereka baik yang disebabkan oleh pemerintah, ketidakadilan global maupun kerasnya kehidupan akibat dominasi kartel narkoba di Kolombia. Melalui lirik lagu baik punk maupun hip hop, suara pemuda marginal disampaikan sekaligus mereka mengajak pemerintah untuk bergerak mengatasi permasalahan sosial, tidak hanya sibuk menstigmasi pemuda Kolombia sebagai kelompok menyimpang. Pengalaman di belahan selatan yang lain seperti hip hop di Senegal (Bab 9), adolechnic di Jepang (Bab 4) serta punk di Catalonia dan Mexico (Bab 8) dalam buku ini menunjukkan fenomena yang sama yaitu kaum muda secara aktif bernegosiasi dengan aspek lokal, nasional maupun global. Bentuk negosiasi ini kemudian memunculkan proses hibridisasi serta keunikan akan masing-masing budaya kaum muda di negara selatan. Terlepas dari temanya yang sangat variatif sehingga terkadang sedikit menyulitkan pembaca yang kurang familiar dengan konteks negara lain, buku ini patut mendapat pujian, yang pertama karena keberhasilannya
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Tinjauan Buku: Global Youth?: Hybrid Identities, Plural Worlds
dalam menunjukkan keberagaman pemuda di belahan dunia selatan sebagai agensi yang aktif membentuk “dunia” serta menyampaikan aspirasi mereka. Buku ini juga berhasil memunculkan narasi alternatif tanpa harus terjebak dalam dominasi konstruksi pengetahuan negara-negara utara, dengan kata lain buku ini ingin menegaskan kembali mengenai pentingnya kajian kepemudaan yang bersifat cross cultures (Nilan, 2011). Bagi kajian kepemudaan di Indonesia, aspek positif yang dapat diambil adalah perlunya penghargaan akan pemuda sebagai agensi yang kreatif, bukan sebagai deviance actor yang harus dinormalkan. Pemuda telah mengalami pendisiplinan dan penormalan yang pahit pada masa orde baru, misalnya dalam hal pembangunan, pendidikan, profesi, politik (Azca, Subando, Wildan; 2011) bahkan hingga merambah pada tubuh, dimana pemuda pada saat itu dilarang berambut gondrong (Wiratma, 2010). Aspek positif lain yang dapat diambil adalah perlunya saling menghargai keberagaman pemuda berdasarkan pengalaman serta konteks masing-masing daerah di Indonesia. Keberagaman bukan merupakan ancaman, justru keberagaman inilah yang harus dirawat untuk menjadi modal bagi Indonesia yang lebih baik di masa depan.
Social Theory.” Theory and Society, Vol.35 No.2. Spinger. ---------------------. 2007. “The Northern Theory of Globalization.” Sociological Theory, Vol.25 No 4. American Sociological Association. Nilan, Pamela. 2011. “Youth Sociology Must Cross Cultures.” Youth Studies Australia, Vol. 30 Number 3. Australia. Wallerstein, Immanuel. 1999. The End of The World : As We Know It. University of Minnesota Press: USA. Wiratma, Aria. 2010. Dilarang Gondrong!: Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an. Jakarta: Marjin Kiri.
Daftar Pustaka Alatas, Syed Farid. 2010. Diskursus Alternatif dalam ilmu Sosial Asia : Tanggapan Terhadap Eurosentrisme. Bandung: Mizan. Azca, Najib, dan Subando Agus Margono, Lalu Wildan (ed). 2011. Pemuda Pasca Orba: Potret Kontemporer Pemuda Indonesia. Yogyakarta: Youth Studies Centre Fisipol UGM. Bhabha, Homie. 1994. Location of Culture. Verso : London. Connell, Raewyn. 2006. “Northern Theory: The Political Geography of General
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
85
,
Biografi Penulis Basri Amin Dosen di Jurusan Sosiologi, Universitas Negeri Gorontalo. Mendapatkan gelar master dari University of Hawai’i sebelum melanjutkan program dokctoral di Universitas Leiden, Belanda. Kini dalam tahap akhir penyelesaian disertasi mengenai politik pemuda di Ternate, Maluku Utara. Bisa dihubungi di
[email protected]. Hatib Abdul Kadir Dosen antropologi budaya di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya Malang. Lulus dari antropologi budaya UGM tahun 2007, lalu melanjutkan studi S2 di CRCS UGM. Tahun ini (2012) mendapat beasiswa Presidential Fulbright Scholarship untuk program doktoral di Universitas California Santa Cruz. Bisa dihubungi di kedang_ori@ yahoo.com Muhammad Najib Azca Penulis adalah dosen Jurusan Sosiologi Fisipol UGM. Lulus sarjana dari UGM (1996), mendapat gelar master dari Australian National University (ANU, 2003) dan doktor dari Universitas Amsterdam (2011). Selain menjadi Direktur Youth Studies Centre (YouSure) Fisipol UGM, ia juga menjadi Ketua Program S1 Jurusan Sosiologi Fisipol UGM. Bisa dihubungi di
[email protected] atau
[email protected] Oki Rahadianto Staf pengajar di Jurusan Sosiologi, Fisipol UGM, serta peneliti dan Sekretaris pada Youth Studies Centre (YouSure) Fisipol UGM. Menyelesaikan S1 Sosiologi UGM serta S2 Sosiologi Universitas Indonesia. Penulis yang juga pemusik ini dapat dihubungi melalui:
[email protected] atau
[email protected]. Pujo Semedi Dosen senior di Jurusan Antropologi UGM yang meminati studi masyarakat pedesaan Jawa. Terlibat dalam proyek kolaborasi riset “In Search of Middle Indonesia” bersama KITLV Leiden, dimana ia menulis antropologi-historis gerakan Pramuka. Bisa dihubungi lewat email di
[email protected]. Nancy J. Smith-Hefner She is Associate Professor and Associate Chair of Anthropology at Boston University. She is a linguistic anthropologist and specialist of religion and gender in Southeast Asia. Her current research takes up questions of gender and sexuality among Muslim Javanese youth. She can be contacted via email at
[email protected]. Wahyu Budi Nugroho Alumni Sosiologi UGM ini kini bekerja sebagai peneliti independen. Selain giat menulis esai di http://kolomsosiologi.blogspot.com/p/detail-profile.html, ia kini menempuh pendidikan pasca sarjana di Jurusan Sosiologi UGM. Ia bisa dihubungi di
[email protected].
86
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Call for Proposal
«®« Ù®Ýã Ýãç® »ÖÃçÄ Berminat melakukan riset mengenai isu-isu kepemudaan? Ingin membuat riset kepemudaan untuk dimuat di jurnal ilmiah?
D
alam rangka pengembangan kajian kepemudaan (youth studies) di tanar air sebagai bagian dari upaya pengarusutamaan (mainstreaming) isu-isu kepemudaan di komunitas akademik, Youth Studies Centre (YouSure) Fisipol UGM, bekerjasama dengan Perkumpulan Pengkajian Masyarakat dan Perubahan Sosial (P2MPS) dan atas dukungan dari Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, memberikan Hibah Riset Studi Kepemudaan (HRSK). Hibah Riset tersebut diberikan dalam dua macam, yaitu HRSK untuk Peneliti Senior dan HRSK untuk Peneliti Yunior. Tersedia dana untuk: • Sepuluh (10) Peneliti Yunior @ Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah); • Empat (4) Peneliti Senior @ Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Yang dimaksud Peneliti Yunior adalah: mahasiswa S1 dan S2; sedangkan Peneliti Senior adalah mereka yang minimal lulusan S2, berstatus sebagai dosen, peneliti atau praktisi. Proposal riset studi kepemudaan, baik kajian empirik maupun literatur yang bisa diajukan mencakup (namun tidak terbatas pada) tema-tema berikut ini. 1. Pengembangan studi kepemudaan yang berperspektif agensi dan berwawasan keIndonesia-an; 2. Pengarusutamaan isu-isu kepemudaan dalam transformasi menuju Indonesia Baru yang lebih maju, bermartabat dan berkeadilan; 3. Dinamika kaum muda dalam dunia yang berubah: globalisasi, demokratisasi, glokalisasi.
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Kriteria Penilaian: (1) Inovasi; (2) Orisinalitas; (3) Kontribusi akademis dan praktis. Ketentuan 1. Proposal dan laporan riset yang diajukan adalah karya sendiri dan tidak sedang diajukan kepada pihak lain pada waktu bersamaan; 2. Proposal minimal memuat dua hal: • Latar belakang masalah dan pertanyaan penelitian; • Tujuan penelitian, pendekatan teoretik, metode penelitian dan kontribusi empirik dan teoretik. 3. Panjang maksimal proposal penelitian: • 1000 kata (untuk Peneliti Senior) • 750 kata (untuk Peneliti Yunior) 4. Proposal dikirimkan lewat email berikut: •
[email protected], dan •
[email protected] Pada subjek, ditulis keterangan: HRSK Yunior [ Nama ], atau HRSK Senior [ Nama ] 5. Batas akhir waktu pengumpulan proposal: 22 Juni 2012. 6. Pengumuman proposal yang lolos seleksi: 16 Juli 2012. 7. Laporan akhir penelitian dalam bentuk artikel (5000-7000 kata untuk Peneliti Yunior; 60008000 kata untuk Peneliti Senior) paling lambat dikirimkan pada 19 Oktober 2012. 8. Artikel yang mendapatkan hibah akan dimuat di Jurnal Studi Pemuda Vol. 1 No. 3, Tahun 2012 dan Vol. 2, No. 1, Tahun 2013. 9. Hak penerbitan bagi artikel pemenang berada di tangan redaksi Jurnal Studi Pemuda. Redaksi Jurnal Studi Pemuda
87
You Sure
YOUTH STUDIES CENTRE FISIPOL UGM
P
usat Kajian Kepemudaan atau Youth Studies Centre (YouSure) Fisipol UGM merupakan pusat kajian yang didirikan dalam rangka mengurangi dan menghilangkan kesenjangan pengetahuan dan lemahnya pengkajian secara serius, mendalam dan sistematis terhadap masalah dan isu-isu kepemudaan di Indonesia (fill in the gap of knowledge and lack of academic studies of youth issues); melakukan advokasi sosial dan kebijakan kepemudaan berbasis riset dan pengetahuan (knowledge-based youth advocacy); serta mendorong upaya-upaya merajut dan mengembangkan potensi dan jejaring sosial pemuda, baik dalam aras lokal, nasional maupun internasional (capacity building and developing youth social networks). Didirikan pada 21 Mei 2011 di Yogyakarta, YouSure bervisi untuk menjadi lembaga penelitian dan pengabdian pada masyarakat di bidang kepemudaan yang terpandang dan berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan untuk kemajuan bangsa. Untuk mewujudkan visi tersebut, YouSure memiliki misi sebagai berikut: 1) Melakukan penelitian, kajian dan publikasi akademik yang berkualitas di bidang kepemudaan; 2) Melakukan advokasi kebijakan kepemudaan dan pemberdayaan pemuda berbasis penelitian dan kajian; 3) Mendiseminasi gagasan dan wacana alternatif kepemudaan kepada publik; 4) Memfasilitasi terbangunnya jaringan sosial antar pemuda di Indonesia lintas daerah, lintas agama dan lintas afiliasi politik untuk pembelajaran horizontal antar pemuda serta peningkatan solidaritas dan kesatuan bangsa. Dalam setahun kehadirannya, YouSure telah melakukan sejumlah kegiatan antara lain: • Seminar Nasional “Paradoks Kepemudaan Indonesia”, Mei 2011, bekerjasama dengan Kemenpora RI; • Kuliah Umum Prof. Merlyna Lim (Arizona State University), September 2011, dengan tema “Youth, Social Media and Popular Movement”; • Indonesian Youth Summit, Oktober 2011; Penerbitan dan Diskusi Buku Pemuda Pasca Orba : Potret Kontemporer Pemuda Indonesia, Oktober 2011; • Workshop Anti Korupsi bekerjasama dengan ICW, Desember 2011; • Kuliah Umum Prof. Ben White (ISS Den Haag), Januari 2012 dengan tema “Rural, Youth and the Future of Farming”; • Youth Focus Group Discussion: Anak Muda Jogja, Apa Ceritamu?, April 2012, bekerjasama dengan Yayasan Kampung Halaman, Yogyakarta. • Saat ini, bekerjasama dengan Kemenpora RI, YouSure sedang menyiapkan rancangan Survei Nasional Longitudinal Pemuda dan Kepemudaan (SNLPK).
You Sure
YOUTH STUDIES CENTRE FISIPOL UGM
struktur kelembagaan
Penanggung Jawab Dekan Fisipol Universitas Gadjah Mada Dewan Pengarah Akademik Prof. Pratikno, M. Soc.Sc., Ph.D. Prof. Heru Nugroho, Ph.D. Direktur Muhammad Najib Azca, M.A., Ph.D. Deputi Direktur Ari Sujito, M.Si. Sekretaris Oki Rahadianto, M.Si. Divisi Riset dan Kajian Subando Agus Margono, M.Si. Lambang Triyono, M.A. Fina Itriyati, M.A. Dian Arimami, M.Hum. Divisi Advokasi dan Pengembangan Jaringan Kepemudaan Derajad Widhyharto, M.Si. Hempri Suyatna, M.Si. Dewi Cahyani Puspitasari, M.A. Milda Longgeita Pinem, M.A. Divisi Publikasi dan Data Base Nurul Aini, M.A. Frans Fiki Djalong, M.A. Muhammad Nyarwi, M.Si. Desintha Dwi Asriani, M.A. Pelaksana Tata Usaha Novi Damayanti Peneliti Ahli Ben White, M.A., Ph.D. (Professor emeritus, Institute of Social Studies, Den Haag) Merlyna Lim, M.A., Ph.D. (Assistant profesor, Arizona State University) Nancy J. Smith-Hefner, M.A., Ph.D. (Associate professor, Boston University) Noorhaidi Hasan, M.A., Ph.D. (Associate professor, UIN Sunan Kalijaga) Pamela Nilan, M.A., Ph.D. (Associate professor, the University of Newcastle) Pujo Semedi, M.A., Ph.D. (Associate professor, Universitas Gadjah Mada) Yanuar Nugroho, M.A., Ph.D. (Lecturer, Manchester University, UK)
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
89
Petunjuk Penulisan Artikel dalam Jurnal Studi Pemuda 1. Artikel merupakan karya sendiri, orisinal, belum pernah dipublikasikan atau tidak sedang dalam proses pengajuan untuk dipublikasikan di media yang lain.
8. Di dalam teks, rujukan ditulis dengan hanya mencantumkan nama belakang penulis, tahun publikasi dan nomor halaman, jika dianggap perlu.
2. Panjang tulisan 4000-8000 kata, tidak termasuk Daftar Pustaka dan catatan kaki.
a. Jika nama penulis termasuk di dalam teks, maka penulisannya harus diikuti dengan tahun publikasi yang ditulis yang diletakkan di dalam kurung ( ). Contoh: Ketika Connell (2006) melakukan penelitian ....
3. Artikel yang ditulis, baik menggunakan bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia, wajib menyertakan abstrak dalam dua bahasa (Inggris dan Indonesia). Panjang abstrak berkisar 200-300 kata, hanya terdiri dalam satu paragraf, serta disertai 3-5 kata kunci. 4. Penulis diwajibkan menyertakan CV (curiculum vitae) singkat pada artikel yang ditulisnya. 5. Tulisan dikirim dalam bentuk file digital, ditujukan ke alamat:
[email protected] atau
[email protected] 6. Dengan mengirimkan artikelnya pada Jurnal Studi Pemuda berarti pula pihak penulis sepenuhnya menyerahkan hak cipta artikelnya kepada Youth Studies Centre (YouSure) Fisipol UGM, termasuk hak menerbitkan ulang dalam berbagai media lainnya. 7. Penulisan rujukan, kutipan dalam teks, catatan kaki, referensi menggunakan format ASA (American Sociological Association). a. Buku dengan satu penulis. Contoh: Berger, Peter L. 1974. Pyramids of Sacrifice. London: Penguin Books. b. Buku dengan dua penulis. Contoh: Berger, Peter L., and Briggite Berger. 1973. Sociology: A Biographical Approach. USA: Basic Books. c. Bab dalam buku. Contoh: Margono, Subando Agus. 2011. “Agensi dan Reposisi Pemuda Terstigma” Pp 167-188 dalam Azca, Margono dan Wildan. Pemuda Pasca Orde Baru: Potret Kontemporer Pemuda Indonesia. Yogyakarta: Youth Studies Centre UGM.
b. Jika nama penulis tidak ada dalam teks, maka penulisan nama belakang penulis dan tahun publikasi diletakkan di dalam kurung ( ). Contoh: Ketika penelitian itu dilakukan .... (Jones 2009) c. Jika nomor halaman ikut dimasukkan setelah tahun publikasi, maka nomor halaman dicantumkan setelah tanda titik dua (:). Contoh: .... Rahadianto (2010: 212) d. Jika ada tiga penulis, ketiga nama belakang penulis dituliskan di awal rujukan teks; dan setelah itu rujukan cukup menyebut nama penulis pertama dan et.al. Contoh: Azca et. al. 2011. e. Kutipan dalam teks harus diawali dan diakhiri dengan tanda kutip (” ”). Rujukan untuk kutipan dicantumkan setelah tanda kutip penutup (”) dan diakhiri titik (.). Contoh: ”Pada 1970, pemuda diperlakukan sebagai objek bahkan mengalami stereotiping oleh negara” (Wiratma 2010: 12). 9. Penulisan catatan kaki diperbolehkan sepanjang dapat membantu argumen yang diajukan, namun diusahakan seminimal mungkin. Catatan kaki ditulis dengan huruf yang minimal, berdasar nomor, letaknya di bawah pada halaman yang sama, serta mencantumkan rujukan yang dianggap perlu. 10. Pada bagian ”Daftar Pustaka”, seluruh rujukan yang terdapat di dalam tulisan harus dicantumkan; ditulis berurutan menurut abjad dari nama belakang penulis utama.