4
TINJAUAN PUSTAKA Pisang Pisang merupakan tanaman buah dengan kuantitas yang besar di dunia, yang tumbuh dengan baik di negara tropis maupun subtropis termasuk Indonesia. Pisang dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu pisang yang dapat langsung dimakan yang dikenal dengan istilah pisang meja (banana) dan yang umumnya dimakan setelah melalui proses pengolahan (dimasak) dikenal dengan pisang plantain (Musa paradisiaca). Banana terdiri dari dua varietas yaitu (1) Musa sapientum var. Paradisiaca Baker dan Musa nana Lour (M. Chinensis sweet, M.cavendishii Lamb). Pisang jenis plantain memiliki ciri-ciri khusus yaitu mempunyai genom triploid (AAB, Acuminata, Acuminata, Balbasiana) sehingga tidak semua jenis pisang olahan dapat dikategorikan sebagai plantain. Pisang olahan dengan ciri genom yang berbeda dari plantain dapat dikategorikan sebagai cooking banana (Valmayor et al, 2005 diacu dalam Yusraini, 2007). Banyak jenis pisang olahan yang ada di Indonesia, dari beberapa pisang olahan yang ada di Mentawai pisang kepok merupakan pisang yang produksinya sangat melimpah dan sangat mudah dijumpai. Komposisi kandungan gizi pisang kepok dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3
Komposisi Kimia Pisang Kepok per 100 gram Bahan Komposisi Kimia
Air (g) Karbohidrat (g) Serat Kasar (g) Protein (g) Lemak (g) Abu (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Sodium (mg) β- karotein (mg) Thiamine (mg) Riboflavin (mg) Asam Askorbat (mg) Kalori (kal) Sumber : Satuhu dan Supriyadi, (1999)
Jumlah 70 27 0,5 1,2 0,3 0,9 80 290 2,4 0.5 0.5 120 104
5
Pisang sudah mulai berproduksi dan dipungut hasilnya pada umur 12 hingga 15 bulan setelah tanam atau 4 – 6 bulan setelah tanaman berbunga, tergantung dari pada varietasnya. Berikut umur panen beberapa varietas tanaman pisang. Tabel 4 Umur Panen Beberapa Varietas Tanaman Pisang No 1 2 3 4 5 6 7 8
Varietas Ambon putih Ambon hijau Ambon lumut Raja sere Cempedak Kepok Tanduk Badak
Umur berbunga (hari) 454 450 470 390 383 393 412 375
Dari bunga s/d panen (hari) 163 163 157 149 157 167 141 140
Dari tanam s/d panen (hari) 617 613 627 539 540 560 553 515
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 1995, dalam Satuhu dan Supriyadi (1999)
Buah pisang yang telah mencapai derajat kemasakan optimal umumnya menampakkan tanda-tanda sebagai berikut: a) Buah pisang sudah berbentuk bulat dan tampak berisi atau minimal sudah ¾ bulat, b) Buah sudah berwarna hijau kekuningan atau buah yang terdapat pada sisir bagian atas sudah ada yang berwarna kekuningan atau sudah ada yang matang, c) Bunga atau tangkai putik yang terdapat pada ujung buah telah mengering dan gugur, dan d) Daun bendera sudah mengering. Penggorengan Teknik Penggorengan Bahan Pangan Penggorengan adalah proses perpindahan panas dan uap air secara simultan yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air bahan yang dipindahkan dari permukaan bahan yang digoreng dengan minyak sebagai media panghantar panas. Tujuan penggorengan adalah mengurangi kadar air bahan akibat dari penguapan karena pemanasan. Sedangkan menurut Azkenazi et al (1984), menyatakan bahwa penggorengan adalah suatu teknik pemasakan dan pengeringan melalui kontak dengan minyak atau lemak panas yang melibatkan pindah panas dan massa secara simultan. Pada proses penggorengan pemanasan bahan berlangsung secara cepat
6
dengan penetrasi jauh kedalam, sehingga penurunan nilai gizi dan kualitas sensorisnya lebih kecil. Menurut Lawson (1995), proses penggorengan dapat dibedakan menjadi 3 metode yaitu: griddling, pan frying, dan deep fat frying. Metode griddling dan pan frying banyak digunakan dalam pengolahan pangan skala rumah tangga. Metoda griddling adalah proses penggorengan dengan menggunakan griddle (alat penggoreng dengan permukaan datar) dan minyak goreng yang sangat sedikit, sehingga membentuk lapisan film minyak pada permukaan griddle. Sedangkan Goreng gangsa (pan frying/contact frying) adalah teknik menggoreng dimana bahan bersentuhan langsung dengan pemanas dan hanya dibatasi oleh selapis tipis minyak/lemak. Secara tradisional umumnya proses ini hanya berlangsung pada satu permukaan dari bahan yang digoreng, sehingga bahan perlu dibolak-balik agar matang secara merata. Sedangkan metode deep fat frying yaitu proses menggoreng dengan menggunakan pindah panas yang langsung dari minyak yang panas kemakanan yang dingin (Lawson, 1995). Dimana metode ini biasa digunakan dalam industriindustri makanan. Pengertian menggoreng cenderung mengarah ke pengertian “deep fat frying”, dimana seluruh bagian bahan pangan terendam dalam banyak minyak dan seluruh bagian permukaannya mendapat perlakuan panas yang sama sehingga berwarna seragam. Proses penggorengan ini terdiri dari 4 tahap. Tahap pertama disebut tahap pemanasan awal. Pada tahap ini pindah panas yang terjadi antara minyak dan bahan adalah konveksi dan belum terjadi penguapan air dari bahan. Sedangkan pada tahap kedua lapisan luar bahan pangan mulai mendidih, dan penguapan air bahan mulai terjadi sehingga terbentuk renyahan. Tahap ketiga (falling rate) ditandai dengan banyaknya keluar air dari bahan pangan dengan suhu permukaan bahan diatas 100oC, temperatur lapisan core mulai mencapai titik didih dan lapisan renyahan terus terbentuk. Sedangkan pada tahap keempat yang disebut dengan bubble end point, proses yang terjadi yaitu laju penguapan air berkurang dan tidak ada gelembung terlihat dilapisan permukaan bahan.
7
Perpindahan massa yang terjadi dalam proses penggorengan ada dua, yaitu penguapan air dan penyerapan minyak. Bahan makanan mengalami penurunan kadar air selama proses penggorengan dalam dua cara, pertama transfer massa air terjadi dari dalam ke permukaan bahan kemudian menguap kelingkungan, dan kedua perubahan massa air menjadi uap terjadi di dalam bahan. Deep fat frying Prinsip penggorengan “deep fat frying”, minyak, bahan pangan dan panas adalah input proses sedangkan outputnya berupa makanan gorengan, uap air, uap minyak, minyak jelantah dan remah-remah bahan pangan (Robertson, 1967). Metode ini sangat penting karena prosesnya cepat, mudah dan produknya mempunyai tekstur dan aroma yang lebih disukai.
Uap air + Panas
by products berminyak
Bahan Mentah
Uap minyak panas
Minyak Goreng
Produk gorengan berminyak
Panas Gambar 1
remah-remah berminyak
Kesetimbangan masa dan panas pada proses penggorengan secara deep fat frying (modifikasi Robertson, 1967).
Akibat proses penggorengan terjadi perubahan-perubahan fisik yang bersifat spesifik yaitu (1) kenaikan suhu produk ke level yang dikehendaki, (2) evaporasi air, (3) kenaikan suhu permukaan hingga terjadi pencoklatan dan terbentuknya kerak, (4) perubahan dimensional bahan pangan, (5) terserapnya minyak kedalam bahan, dan (6) perubahan densitas produk gorengan yang menyebabkan produk timbul tenggelam selama proses berjalan (Block, 1955). Struktur Produk Gorengan Struktur dasar pangan gorengan terdiri dari “inerzone” atau inti, “outerzone” atau kerak dan “outerzone surface” atau permukaan kerak
8
(Robertson, 1967). Inti adalah bagian yang masih mengandung air. Pada pangan tipis seperti keripik, bagian inti ini hampir tidak ada yang tertinggal hanya bagian kerak saja. Core (innerzone)
Lapisan renyahan (outerzone) Permukaan Luar (outerzone surface)
Gambar 2 Struktur Bahan Pangan yang di Goreng Kerak “outerzone” adalah bagian luar pangan gorengan yang mengalami dehidrasi, semakin tebal bagian ini maka makin banyak minyak yang terserap. “Outerzone surface” adalah bagian paling luar dari bahan pangan gorengan yang berwarna coklat kekuningan. Warna coklat umumnya merupakan hasil reaksi “Maillard” yang dipengaruhi oleh komposisi makanan, suhu dan lama penggorengan. Ada dua cara untuk menggolongkan produk hasil gorengan. Yang pertama dikemukakan oleh Azkenazi, et al (1984) serta Blumenthal (1991) dimana mereka membagi produk gorengan menjadi (a) produk gorengan tanpa kerak contohnya ayam goreng, (b) produk dengan kerak contohnya “French fries” dan (c) produk yang keseluruhannya berupa kerak seperti keripik kentang. Transfer Panas Penggorengan merupakan fenomena transfer yang terjadi secara simultan yaitu transfer panas, transfer massa air dan transfer minyak. Panas yang ditransfer dari minyak ke bahan, massa air diuapkan dari bahan dan minyak diserap oleh bahan (Whitaker 1977a; Sahin et al. 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi proses transfer panas dan massa tersebut adalah sifat-sifat thermal dan physicochemical bahan dan minyak, suhu minyak dan perlakuan bahan sebelum digoreng (Krokida et al. 2001). Kecepatan transfer panas dari minyak ke bahan sangat dipengaruhi oleh suhu minyak, koefisien transfer panas, konduksi bahan dan bentuk dimensi serta ukuran bahan. Kecepatan transfer massa air dari bahan ke lingkungan (minyak) dipengaruhi oleh kadar air awal produk yang akan digoreng, difusifitas bahan dan
9
bentuk dimensi serta ukuran bahan. Kecepatan transfer minyak oleh bahan dipengaruhi oleh suhu minyak, viskositas minyak, porositas bahan, dan perbedaan tekanan kapiler. Panas merupakan dasar dari proses pemasakan, yang diakibatkan dari meningkatnya temperatur berakibat terhadap energi input. Suhu Penggorengan Suhu penggorengan harus lebih tinggi dari titik didih air, tetapi tidak boleh tinggi karena akan mempercepat kerusakan minyak. Biasanya suhu penggorengan yang dipakai adalah 177-221oC (Winarno, 1997), atau 163-196oC (Block, 1964), tergantung bahan pangan yang akan digoreng. Penggorengan pada suhu 165-178oC baik untuk menggoreng kacang dan berbagai jenis keripik, sedangkan pada suhu 190oC baik untuk menggoreng donat (Robertson, 1967). Pedoman umum dalam menggoreng telah dirumuskan oleh Weiss (1985) yakni untuk makanan yang berbentuk irisan kecil penggorengan dilakukan secara cepat menggunakan suhu tinggi. Sedangkan untuk irisan besar yang membutuhkan waktu yang lama untuk penetrasi panas, sebaiknya digoreng pada suhu yang rendah. Tindakan ini untuk mencegah pemasakan yang berlebihan atau gosongnya permukaan bahan pangan. Temperatur penggorengan yang tinggi menyebabkan air dalam bahan makanan menjadi panas dan terpompa keluar kedalam minyak disekitarnya dalam bentuk uap air. (Varela, dkk, 1988). Sebagian air akan menguap dari ruang kosong yang semula diisi air kemudian diisi oleh minyak. Perubahan Kandungan Air Bahan Pindah massa selama proses penggorengan terutama ditandai dengan hilangnya sejumlah kandungan air bahan yang terjadi karena menguapnya air dari bagian kerak dan menurunnya kapasitas pengikatan air (water holding capacity) bahan pada saat kenaikan suhu (Hallstrom, 1980). Kadar air merupakan parameter penting untuk diterima oleh konsumen karena akan menentukan sifat keripik. Menurut Prashad dan Mathur (1956) kehilangan air paling banyak terjadi pada menit pertama dan jumlahnya semakin bertambah dengan meningkatnya suhu penggorengan (Irawan, 1992).
10
Pada awal terbentuknya kerak, air yang diuapkan pada lapisan tersebut ditransfer keluar permukaan bahan melalui media pemanas cair yang terlihat dalam bentuk gelembung kecil. Pada saat itu terjadi penurunan kadar air yang paling besar. Dengan meningkatnya waktu penggorengan, kerak makin tebal dan menghalangi jalannya uap air, akibatnya laju penurunan kadar air semakin berkurang. Pembentukan lapisan kerak yang kering pada bagian luar bahan menyebabkan adanya gradient difusi uap air pada bagian tersebut dan gradient tekanan uap air dibawah lapisan kerak (Irawan, 1992). Pengaruh Penggorengan Terhadap Kerusakan Nutrisi Oksidasi
pada
lemak
dapat
menyebabkan
terjadinya
ketengikan
(Autooksidasi). Menurut Ketaren (1986) faktor-faktor yang mempercepat oksidasi adalah (1) radiasi oleh panas dan cahaya; (2) bahan pengoksidasi (oxidizing agent); (3) katalis metal khususnya garam dari logam berat; (4) system oksidasi yang diakibatkan adanya katalis organik yang labil terhadap panas. Kerusakan akibat oksidasi pada bahan pangan yang berlemak terdiri atas dua tahap, tahapan pertama disebabkan oleh reaksi lemak dengan oksigen, tahapan kedua yang merupakan kelanjutan dari tahapan pertama, yang prosesnya dapat merupakan proses oksidasi maupun non oksidasi. Pada oksidasi ini umumnya terjadi pada setiap jenis lemak seperti minyak goreng. Oksidasi lemak akan bereaksi dengan komponen bukan berasal dari lemak yaitu dengan protein. Perubahan oksidatif dari fraksi lemak adalah kecil tergantung dari kadar asam lemak tidak jenuh pada makanan yang digoreng. Senyawa peroksida yang mengalami dekomposisi oleh panas dalam waktu yang lama akan mengakibatkan destruksi beberapa vitamin dalam bahan pangan yang berlemak. Peroksida ini juga dapat mempercepat proses timbulnya bau tengik dan flavor yang tidak dikehendaki dalam bahan pangan. Jika jumlahnya lebih besar daro 100 maka dia bersifat racun dan tidak dapat dimakan (Ketaren, 1986). Menurut Ketaren (1986), autooksidasi acyl-lipid ini dapat dihambat dengan tiga cara yaitu (1) dengan meminimalkan kontak dengan oksigen, (2) penyimpanan pada suhu rendah bebas cahaya, dan (3) dengan penggunaan kemasan vakum atau dengan pemberian oksidasi glukosa.
11
Penyerapan Minyak Goreng Pada dasarnya minyak adalah campuran trigliserida, yang terbentuk dari satu molekul gliserol dan 3 asam lemak (Ketaren, 1986). Trigliserida dapat berwujud padat atau cair, hal ini tergantung pada komposisi dari asam lemak yang menyusunnya. Sebagian besar minyak nabati berbentuk cair karena mengandung asam lemak tidak jenuh yaitu asam olet, linoleat dan linolenat dengan titik cair yang rendah. Didalam proses penggorengan, jenis minyak akan berpengaruh terhadap kualitas produk. Penyerapan minyak dinyatakan sebagai jumlah minyak yang terserap oleh produk gorengan per unit berat produk akhir. Robertson (1967) menyatakan bahwa absorbsi minyak merupakan proses menyerapnya minyak goreng ke dalam bahan pangan. Absorbsi menyebabkan suatu bahan mengalami perubahan tekstur dimana minyak yang terabsorbsi tersebut akan melunakkan bagian luar (crust) dan membasahi produk. Menurut Block (1964) faktor yang mempengaruhi penyerapan minyak dikelompokkan menjadi dua group, (a) faktor material, terdiri atas komposisi dan karakteristik permukaan bahan , dan (b) faktor proses terdiri atas komposisi atau kondisi minyak. Sedangkan menurut Djatmiko dan Enie (1985) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan minyak oleh bahan selama proses penggorengan adalah kualitas dan komposisi minyak, temperatur dan lama waktu penggorengan, bentuk dan kandungan air bahan, komposisi bahan, perlakuan terhadap bahan sebelum digoreng, perlakuan terhadap lapisan permukaan bahan, porositas bahan, dan ketebalan lapisan renyahan pada bahan. Sedangkan menurut Velasco (2004), parameter utama yang mempengaruhi hilangnya air dan penyerapan minyak yaitu suhu dan waktu penggorengan, dimana pada suhu tinggi penyerapan minyak pada permukaan bahan akan lebih rendah dibandingkan dengan digoreng pada suhu rendah. Pada proses penggorengan keripik kentang faktor-faktor tersebut adalah (1) total padatan ubi, (2) suhu minyak, (3) lama penggorengan, dan (4) ketebalan irisan. Peningkatan suhu proses penggorengan akan menurunkan tingkat penyerapan minyak goreng. Rendahnya viskositas minyak pada suhu lebih tinggi menyempurnakan proses penirisan minyak dari “chips” masak.
12
Setelah proses penggorengan hampa dihentikan, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah mengeluarkan bahan dari dalam minyak sebelum tekanan ruang penggoreng mencapai satu atmosfir. Tindakan ini dapat mencegah penyerapan minyak lemak yang berlebihan. Selama uap dibebaskan secara cepat dari irisan yang dimasak, tingkat penyerapan minyak akan berbeda pada tingkat yang paling rendah. Pada tahap akhir penggorengan, lapisan uap air pada permukaan bahan dilepaskan, sehingga perannya sebagai lapisan pelindung akan hilang, akibatnya minyak akan
masuk
dan mengisi rongga-rongga dalam jaringan yang telah mongering (Block, 1964). Selain itu penyerapan minyak goreng selama proses penggorengan meningkat dengan bertambah lamanya waktu penggorengan dan bertambah tingginya suhu penggorengan. Hal ini disebabkan karena semakin lama waktu dan semakin tinggi suhu penggorengan maka akan semakin tebal renyahan yang terbentuk, sehingga semakin banyak ruang-ruang kosong yang secara otomatis akan “diisi” dengan penyerapan minyak. Selama penggorengan produk menyerap minyak dan kadar minyak dalam produk biasanya dihubungkan dengan kadar air awal bahan (Gamble et al, 1987). Minyak sebagai medium pemanas dan penghantar panas memiliki sifat yang tidak dapat menyatu dengan air padahal buah-buahan banyak mengandung air, karena sifat alami air dan minyak yang tidak dapat menyatu, keduanya memegang peranan penting dalam proses penggorengan. Menurut Pinthus dan saguy, (1993) mekanisme absorbsi minyak pada bahan makanan disebabkan oleh tekanan kapiler, dan sebagian lainnya disebabkan oleh kondensasi uap pada saat memindahkan produk dari penggorengan. Penyerapan minyak merupakan fenomena kompleks yang terjadi ketika produk diangkat atau dipindahkan dari penggorengan selama periode pendinginan. Jumlah kandungan minyak yang diserap oleh bahan setelah digoreng dapat menentukan penerimaan dan kenampakan produk (Krokida et al, 2001). Massa minyak akan masuk ke dalam bahan dengan cara difusi karena adanya perbedaan konsentrasi minyak pada bagian permukaan dengan bagian dalam bahan. Pengeringan parsial irisan kentang mentah sebelum digoreng akan menurunkan jumlah minyak yang terserap dalam chips. Pencucian dengan air
13
panas (untuk mengeluarkan gula pereduksia) akan meningkatkan penyerapan minyak. Penelitian oleh Gamble et al (1987) mengungkapkan bahwa terdapat korelasi yang baik (r = 0.989) antara jumlah minyak yang diserap dengan jumlah air yang hilang selama proses penggorengan pada suhu 145oC, 165oC, dan 185oC. peningkatan waktu pengorengan donat sebesar 5% akan meningkatkan penyerapan minyak dari 2 oz pada operasi normal menjadi 2.1 – 2.2 oz (Block, 1964). Selain itu Lawson (1995) menyatakan bahwa, bahan pangan menyerap minyak dengan persentase penyerapannya tergantung pada jenis bahan yang digoreng. Sebagai contoh minyak yang diabsorbsi oleh keripik kentang sekitar 40%, potato stick 35%, kue (doughnut) 20-25%, udang goreng dan kerang 1215%, ikan goreng (fish stick) 10-12%, kentang goreng Prnacis 7-12% (Robertson, 1967 dikutip oleh Ketaren, 1986).
Penggorengan Hampa Hingga saat ini alat yang selalu dipakai untuk mengolah buah dan sayur menjadi keripik adalah mesin vacuum frying. Mesin ini berfungsi untuk mengolah buah-buahan dan sayuran yang memiliki kadar air tinggi menjadi keripik buah/sayur yang kering dengan tetap mempertahankan warna, aroma, dan citarasa alami buah/sayur. Adapun buah yang biasa diolah adalah cempedak, apel, pepaya, nanas, salak, waluh, pisang, rambutan, mangga, labu kuning atau melon. Jenis sayuran: jamur tiram, brokoli, buncis, kacang tanah, jagung, wortel, kacang panjang atau terong. Sedangkan menurut Shing (2003) penggorengan vakum umumnya digunakan
untuk
mengeringkan
buah-buahan,
sayuran,
daging,
produk
mengandung air dan lain-lain. Dimana proses ini akan memberikan pengaruh oksidasi yang minimum, sehingga umur simpan produk lebih panjang. Menurut Haryadi dkk (2000), prinsip kerja dari penggorengan vakum yaitu kompor gas digunakan untuk mensuplai panas ke minyak yang berada ditanki penggorengan. Kerja pompa dan water jet akan menurunkan tekanan pada ketel penggorengan. Dengan penurunan tekanan maka suhu penggorengan bisa
14
dilakukan relatif lebih rendah dibandingkan suhu penggorengan dengan tekanan atmosfer. Penggorengan keripik pada tekanan vakum dilakukan pada suhu 120130oC dengan tekanan vakum 50-100 mmHg, dan proses ekspansi akan berjalan optimal pada tekanan 0-160 mmHg. Menurut Lastriyanto (1997), penggorengan hampa dilakukan dalam ruangan tertutup dengan kondisi tekanan vakum, dimana kondisi yang baik untuk menggoreng buah secara vakum adalah suhu 90o C, tekanan vakum 700 mmHg dan waktu penggorengan 1 jam. Mesin penggoreng vakum (Vacuum Fryer), terdiri dari 5 (lima) komponen, yakni: 1) pompa vakum, 2) tabung penggoreng, 3) pengendali temperatur, 4) kondensor, dan 5) sumber pemanas. Secara skematis hubungan antar komponen ditunjukkan pada
Gambar 3, adapun fungsi bagian-bagian
tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pompa vakum: merupakan komponen terpenting dari sistem penggoreng vakum, dipergunakan pompa vakum sistem water-jet, karena mempunyai kelebihan: tidak mempergunakan oli, seal, bantalan, dan poros sehingga rendah biaya operasinya dan pemeliharaannya. Pompa vakum ini berfungsi untuk menghisap udara didalam ruang penggorengan sehingga tekanannya menjadi rendah dan juga sekaligus berfungsi pula untuk menghisap uap air hasil penggorengan. 2. Tabung penggoreng yang berfungsi untuk mengkondisikan bahan yang diproses agar sesuai dengan tekanan yang direkomendasikan. Didalamnya berisi minyak sebagai media pindah panas yang dilengkapi dengan pengaduk dan mekanik angkat celup (liting & dipping mechanism). 3. Kondensor: berfungsi untuk mengembunkan uap air yang dikeluarkan selama penggorengan dan menurunkan suhu uap air dari ruang penggorengan sebelum masuk ke pompa vakum, kondensor ini mempergunakan air sebagai media pendingin pada pabrik besar pendinginan mempergunakan menara pendingin. 4. Unit pemanas: sumber panas dapat mempergunakan boiler, namun memerlukan biaya investasi dan operasi tersendiri. Untuk mesin skala industri
15
rumah tangga sebaiknya mempergunakan LPG karena sistem kendalinya tidak terlalu sulit. 5. Unit pengendali operasi: Unit ini keberadaannya sangat penting, karena suhu proses dilakukan pada suhu dibawah suhu didih media pemanas. Toleransi suhu sangat rendah sehingga pemilihan sensitivitas pengendali suhu menjadi sangat penting.
Gambar 3 Bagan Skema Mesin Penggoreng vakum Sistem Jet Air 1. 2. 3. 4. 5.
Sumber pemanas Tabung penggoreng Tuas pengaduk Pengendali suhu Penampung kondensat
6. Pengukur vakum 7. Keranjang Penampung bahan 8. Kondensor 9. Saluran hisap uap air 10. Water Jet
11. Pompa sirkulasi 12. Saluran air pendingin 13. Bak air sirkulasi 14. Kerangka
Aplikasi Proses Penggorengan Hampa Berbagai kondisi proses penggorengan hampa telah digunakan dalam pembuatan keripik buah-buahan. Paramita (1999) menggunakan suhu 95oC dan waktu penggorengan 40 menit untuk memproduksi keripik buah sawo, Fitriani (1999) menggunakan suhu 90oC selama 50 menit untuk memproduksi buah jambu biji, sedangkan surya (1999) menggunakan suhu 90oC Selama 50 menit untuk memproduksi keripik buah salak. Kemudian Sudjud (2000) menyatakan bahwa penggunaan suhu 90oC selama waktu 30 menit akan memperoleh kualitas mutu yang terbaik untuk memproduksi keripik buah cempedak. Winarti (2000) mutu keripik buah mangga masih dapat dipertahankan pada suhu 85oC selama waktu 35 menit.
16
Sedangkan Garayo (2001), membandingkan keripik kentang yang digoreng pada suhu (118, 132, 144oC) dan tekanan vakum (16.661, 9.888, dan 3.115 kPa) dengan keripik kentang goreng dalam kondisi atmosfer (165oC). Ternyata keripik dengan penyerapan minyak terendah dengan kualitas produk atribut seperti penyusutan, warna, dan tekstur terbaik didapatkan pada keripik kentang yang digoreng pada kondidi suhu 144oC dengan tekanan vakum 3.115 kPa. Pengemasan Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus pangan baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak. Fungsi pengemasan produk pangan adalah untuk : (a) Menjaga produk pangan agar tetap bersih, terlindung dari kotoran/kuman dan kontaminasi, (b) Menjaga produk pangan dari kerusakan fisik, pengaruh sinar, perubahan kadar air, bau, warna maupun bentuk, (c) Memudahkan dalam penanganan dan distribusi, (d) Menyeragamkan produk dalam ukuran, bentuk dan bobot yang sesuai standar, (e) Menampakkan identifikasi, informasi, daya tarik dan tampilan yang jelas sehingga membantu penjualan, dan (f) Memberikan informasi melalui sistem labelling, bagaimana cara penggunaan produk, tanggal kadaluarsa dan lain-lain. Pengemasan dapat memperlambat kerusakan produk, menahan efek yang bermanfaat dari proses, memperpanjang umur simpan, dan menjaga atau meningkatkan kualitas dan keamanan pangan. Pengemasan juga dapat melindungi produk dari pengaruh luar, yaitu kimia, biologis dan fisik. Perlindungan kimia mengurangi perubahan komposisi yang cepat oleh pengaruh lingkungan, seperti terpapar gas (oksigen), uap air, dan cahaya (cahaya tampak, infra merah atau ultraviolet). Perlindungan biologis mampu menahan mikroorganisme (pathogen dan agen pembusuk), serangga, hewan pengerat, dan hewan lainnya. Perlindungan fisik menjaga produk dari bahaya mekanik dan menghindari goncangan dan getaran selama pendistribusian. Disatu sisi kemasan memberikan keuntungan, disisi lain kemasan juga perlu diwaspadai. Tidak semua bahan pengemas aman terhadap pangan. Oleh karena itu kemasan tersebut harus memenuhi syarat keamanan, yakni: (1)
17
Kemasan tidak bersifat toksik dan beresidu terhadap pangan, (2) Kemasan harus mampu menjaga bentuk, rasa, kehigienisan, dan gizi bahan pangan, (3) Senyawa toksik kemasan tidak boleh bermigrasi ke dalam bahan pangan terkemas, (4) Bentuk, ukuran dan jenis kemasan memberikan efektifitas, dan (5) Bahan kemasan tidak mencemari lingkungan hidup. Beberapa jenis kemasan yang biasa digunakan untuk produk olahan makanan yang banyak tersedia dipasaran diantaranya, yaitu kemasan seperti berikut: Aluminium Foil Foil adalah bahan kemas dari logam, berupa lembaran aluminium yang padat dan tipis dengan ketebalan kurang dari 0.15 mm. Aluminium foil didefinisikan sebagai aluminium murni (derajat kemurniannya tidak kurang dari 99.4%) walaupun demikian dapat diperoleh dalam bentuk campuran yang berbeda-beda (Syarief et. al. , 1989). Foil mempunyai sifat hermetis, fleksibel, tidak tembus cahaya. Pada umumnya digunakan sebagai bahan pelapis (laminan) yang dapat ditempatkan pada bagian dalam (lapisan dalam) atau lapisan tengah sebagai penguat yang dapat melindungi bungkusan. Politen atau Polietilen (PE) Berdasarkan densitasnya, PE dibagi atas: (1) Low Density Polyethylene (LDPE) : dihasilkan dengan mengekspos etilen pada suhu antara 150° dan 200°C pada tekanan 1200 atm dengan melibatkan sedikit oksigen (Sacharow dan Griffin, 1980). Paling banyak digunakan untuk kantung, mudah dikelim dan sangat murah. (2) Medium Density Polyethylene (MDPE) : Lebih kaku daripada LDPE dan memiliki suhu leleh lebih tinggi dari LDPE (Syarief et al, 1989). (3) High Density Polyethylene (HDPE): HDPE dihasilkan pada suhu antara 60o dan 160oC dan pada tekanan 40 atm dengan katalis alkilmetal (Sacharow dan Griffin,1980). Paling kaku diantara ketiganya, tahan terhadap suhu tinggi (120oC) sehingga dapat digunakan untuk produk yang harus mengalami sterilisasi (Syarief et al, 1989). Sifat umum PE menurut Syarief et al, (1989) antara lain: penampakannya bervariasi dari transparan, berminyak sampai keruh (translusid) tegantung dari cara pembuatannya serta jenis resin yang digunakan. Mudah dibentuk, lemas dan
18
gampang ditarik. Daya rentang tinggi sampai sobek. Mudah dikelim panas sehingga banyak digunakan untuk laminasi dengan bahan lain. Meleleh pada suhu 120oC. Tidak cocok untuk pengemas produk-produk yang berlemak, gemuk atau minyak. Tahan terhadap asam, basa, alkohol, deterjen, dan bahan kimia lainnya. Dapat digunakan untuk penyimpanan beku sampai dengan -50oC. Transmisi gas cukup tinggi sehingga tidak cocok untuk mengemas makanan yang beraroma. Mudah lengket satu sama lain, sehingga menyulitkan dalam proses laminasi. Diperlukan penambahan bahan penambah ke dalam proses pembuatannya untuk mengurangi
hambatan
tersebut. Dapat
dicetak
setelah
mengoksidasikan
permukaannya dengan proses elektronik. Memiliki sifat yang kedap air dan uap air (HDPE, MDPE, LDPE). Polipropilen (PP) Sifat-sifat utama dari polipropilen menurut Syarief et al, (1989) yaitu: (a) Ringan (densitas 0.9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk film. Tidak transparan dalam bentuk kemasan kaku. (b) Mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari PE. Pada suhu rendah akan rapuh, dalam bentuk murni pada suhu -30oC mudah pecah sehingga perlu ditambah PE atau bahan lain untuk memperbaiki ketahanan terhadap benturan. Tidak dapat digunakan untuk kemasan beku. (c) Lebih kaku dari PE dan tidak gampang sobek sehingga mudah dalam penanganan dan distribusi. (d) Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang, tidak baik untuk makanan yang peka terhadap oksigen. (e) Tahan terhadap suhu tinggi sampai dengan 150oC, sehingga dapat dipakai untuk makanan yang harus disterilisasi. (f) Titik leburnya tinggi, sehingga sulit dibuat kantung dengan sifat kelim panas yang baik. Mengeluarkan benang plastik pada suhu tinggi. (g) Tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak. Baik untuk kemasan sari buah dan minyak. Tidak terpengaruh oleh pelarut pada suhu kamar kecuali HCl. (h) Pada suhu tinggi PP akan bereaksi dengan benzen, siklen, toluen, terpentin dan asam nitrat kuat. Polivinilklorida Polivinilklorida adalah film yang disiapkan dengan mempolimerkan vinilklorida dengan melibatkan katalis yang sesuai. Dengan menambahkan plastisizer, dapat menghasilkan film fleksibel. Film vinil kopolimer digunakan
19
sebagai pengganti “oriented films” untuk produk susu, daging, permen dan kemasan minuman juga untuk komponen pelapisan (Sacharow dan Griffin,1980). Tabel 5
Karakteristik Kemasan Aluminum Foil dan PP
Jenis Kemasan Alumunium foil
PP
Ketebalan (mm)
Densitas (g/cm3)
Gramatur (g/cm3)
WVTR* (g/m2/24 jam)
O2TR** (cc/m2/24 jam)
0,05
0,721
36,037
0,5749
0,8492
0,08 0,1 0,03 0,05 0,08
1,058 1,103 -
84,617 110,273 -
0,1298 0,0768 83,685 71,380 41,320
0,2933 0,3199 792,529 1,258,803 679,188
*Temperatur = 37,8˚C, RH = 100% ** Temperatur = 21˚C, RH = 55% Sumber: Laporan hasil uji laboratorium dan kalibrasi BBKK, 2009. dalam Putra dan Latifah (2010)
Penentuan umur simpan bahan pangan dalam kemasan memerlukan pengetahuan mengenai transmisi uap air melalui permeabilitas kemasan. Laju transmisi uap air dan oksigen dari udara adalah faktor utama dalam melakukan kontrol umur simpan dari makanan kering dan produk pangan lain yang mengandung lipid atau komponen yang sensitif terhadap oksigen. Laju transmisi uap air atau water vapour transmission rate (WVTR) adalah jumlah uap air yang melewati satu unit permukaan luas dari suatu bahan selama satu satuan waktu pada kondisi suhu dan RH yang relatif konstan.
Pendugaan Umur Simpan (Shelf Life Prediction) Umur simpan suatu produk didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan untuk mempertahankan mutu atau sifat karakteristik suatu produk pada kondisi penyimpanan tertentu hingga produk tersebut tidak dapat diterima oleh konsumen (Anderson & Scott, 1991). Umur simpan suatu produk ditentukan oleh tiga faktor yaitu: a). Karakteristik produk; b) lingkungan dimana produk berada selama distribusi dan c) karakteristik kemasan (Robertson, 1993). Sedangkan Menurut Speigel (1992) umur simpan produk berkaitan erat dengan nilai kadar air kritis, suhu dan kelembaban. Aspek lain dari umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh komponen material kemasan plastik untuk bermigrasi pada bahan makanan
20
sampai batas maksimal kadar yang diperkenankan. Berbeda dengan kemasan metal dan gelas, pada kemasan plastik dalam suhu kamar, senyawa dengan berat molekul kecil masuk kedalam makanan secara bebas baik yang berasal dari aditif maupun plasticizers. Tergantung dari jenis plastik yang digunakan, migrasi zat-zat plastik, monomer maupun zat-zat pembantu polimerisasi, dalam kadar tertentu dapat larut kedalam makanan padat atau cair, berminyak (non polar) maupun cairan tak berminyak (polar) (Winarno, 1997). Kerusakan yang paling mudah terjadi pada bahan makanan perlu diketahui lebih dahulu dalam menentukan umur simpan suatu bahan pangan. Jenis kerusakan ini kemudian diukur laju degradasinya dengan menggunakan model matematis tertentu (Labuza, 1982). Dasar Penurunan Mutu Penyimpanan suatu produk dari mutu awal disebut deteriorasi. Produk pangan mengalami deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya, atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini juga dapat diawali oleh hentakan mekanis seperti vibrasi dan kompresi (Arpah, 2001). Tingkat deteriorasi produk dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan. Umur simpan adalah waktu hingga produk mengalami deteriorasi tertentu. Reaksi deteriorasi pada produk pangan dapat disebabkan oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi didalam produk berupa reaksi kimia, reaksi enzimatis, atau lainnya seperti proses fisika dalam bentuk penyerapan uap air atau gas dari sekeliling. Ini akan menyebabkan perubahanperubahan terhadap produk
yang meliputi: perubahan tekstur, flavor, warna,
penampakan fisik, nilai gizi dan lain-lain (Arpah, 2001).
21
Tabel 6 Pengaruh beberapa faktor terhadap reaksi deterorasi pada produk pangan Faktor Utama Oksigen
Uap air
Cahaya
Kompresi/Bantingan, Vibrasi, Abrasi, Penanganan secara kasar Bahan kimia toksik/bahan kimia off flavor
• • • • • • • • • • • • • • • •
Efek Deteriorasi Oksidasi lipid Kerusakan vitamin Kerusakan protein Oksidasi pigmen Kehilangan/kerusakan vitamin Perubahan organoleptik Oksidasi lipida Oksidasi Pembentukan bau/perubahan flavor Kerusakan vitamin Perubahan organoleptik Kebocoran bahan pengemas Of flavor Perubahan organoleptik Perubahan bahan kimia Pembentukan racun
Kriteria Kerusakan Keripik Pisang Keripik merupakan bahan pangan yang memiliki karakteristik berpori dan memiliki kadar air yang rendah. Kerusakan yang sering terjadi adalah terjadinya reaksi oksidasi lipid yang menyebabkan timbulnya rasa tengik dan penyerapan uap air oleh keripik cempedak dan pisang sebagai reaksi kondisi lingkungan. Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti CU, Fe, Co dan Mn dan enzim-enzim lipoksidase (Winarno, 1997). Perubahan pada tekstur akibat reaksi deteriorasi dapat berupa: a) pengempukan, b) perubahan kekentalan, c) perubahan kekerasan, d) warna dan masih
banyak
lagi
penyimpangan.
Penyimpangan-penyimpangan
ini
menyebabkan produk pangan tidak menyerupai tekstur aslinya, seperti pada awal produksi. Tergantung pada tingkat deteriorasi yang berlangsung, perubahan tersebut dapat menyebabkan produk pangan tidak dapat digunakan untuk tujuan seperti yang seharusnya, atau bahkan tidak dapat dikonsumsi sehingga dikategorikan sebagai bahan kadaluarsa (Arpah, 2001).
22
Penyerapan uap air ditandai dengan peningkatan kadar uap air. Perubahan kadar air selama penyimpanan dapat diketahui dengan mengukur kadar air selama penyimpanan dengan interval tujuh hari. Peningkatan kadar air menyebabkan hilangnya kekerasan keripik. Metode Pendugaan Umur Simpan Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakuakn dengan dua metode yaitu metode Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS). ESS atau yang sering disebut metode konvensional adalah penentuan tanggal kadarluarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun memerlukan waktu yang lama dan analisa parameter yang relatif banyak. Metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi penurunan mutu produk pangan. Kelebihan metode ini adalah waktu pengujian yang relatif singkat, namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi tinggi. Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk produk-produk pangan tertentu. Model-model yang diterapkan pada penelitian akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan yaitu: (1) pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktifasi air sebagai kriteria kadaluarsa, dan (2) pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori kinetika yang pada umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk pangan. Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin cepat. Untuk menentukan kecepatan reaksi kimia bahan pangan dalam kaitannya dengan perubahan suhu, Labuza (1982) menggunakan pendekatan Arrhenius. Persamaan Arrhenius -
(1)
23
Keterangan: k
= konstanta kecepatan reaksi
ko
= konstanta pre-eksponensial
Ea
= energi aktifasi (KJ/mol
R
= konstanta gas (1.986 Kal/mol)
T
= suhu mutlak (K)
Persamaan di atas dapat diubah menjadi: -
(2)
maka akan diperoleh kurva berupa garis linier pada plot nilai ln k terhadap 1/T dengan slope –Ea/R seperti pada berikut ini ln k
-Ea/R
1/T Gambar 4 Grafik antara nilai ln k dan 1/T dalam persamaan Arrhenius Nilai umur simpan dapat diketahui dengan memasukkan nilai perhitungan ke dalam persamaan reaksi ordo nol atau satu. Menurut Labuza (1982) reaksi kehilangan mutu pada makanan banyak dijelaskan oleh rekasi ordo nol dan satu, sedikit yang dijelaskan oleh ordo reaksi lain. Reaksi Ordo Nol Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti kinetika reaksi ordo nol meliputi reaksi kerusakan enzimatis, pencoklatan enzimatis, dan oksidasi (Labuza, 1982). Penurunan mutu ordo reaksi nol adalah penurunan mutu yang konstan. Kecepatan penurunan mutu tersebut berlangsung tetap pada suhu konstan dan digambarkan dengan persamaan berikut: (3)
24
Untuk menentukan jumlah kehilangan mutu, maka dilakukan integrasi terhadap persamaan: (4)
Sehingga menjadi: -
Dimana:
-
(5)
At = jumlah konsentrasi A (parameter mutu) pada awal waktu t Ao = jumlah awal
Reaksi Ordo Satu Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti kinetika reaksi ordo satu meliputi: ketengikan, pertumbuhan mikroba, produksi off-flavor (penyimpangan flavor) oleh mikroba pada daging, ikan dan unggas, kerusakan vitamin, penurunan mutu protein dan lain sebagainya (Labuza, 1982). Persamaan reaksinya: (6) Untuk menentukan jumlah kehilangan mutu, maka dilakukan integrasi terhadap persamaan: (7)
Sehingga menjadi: -
-
(8)
Dimana: At = Jumlah konsentrasi A (parameter mutu) pada awal waktu t Ao = Jumlah awal A Biaya Dan Analisis Biaya Biaya Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dengan uang yang telah terjadi atau kelak terjadi untuk mencapai tujuan tertentu. Biaya dapat digolongkan dalam beberapa cara, antara lain penggolongan atas objek pengeluaran, penggolongan atas dasar fungsi pokok pada perusahaan, penggolongan atas hubungannya dengan pusat biaya dan penggolongan biaya
25
berdasarkan perubahan biaya terhadap perubahan volume produk atau kegiatan (Simangunsong, 1989 dalam Revinaldo, 1992). Berdasarkan fungsi pokok dalam perusahaan, biaya digolongkan atas biaya produksi, biaya pemasaran, biaya administrasi dan umum. Biaya langsung dan biaya tidak langsung adalah penggolongan biaya berdasarkan hubungan dengan produk, sedangkan penggolongan biaya menurut perubahannya terhadap volume produksi adalah biaya tetap, biaya variabel dan biaya semi variabel. Selanjutnya William (1973) dalam Revinaldo (1992) menyatakan, bahwa biaya tetap adalah biaya yang totalnya tetap sampai batas kapasitas tertentu, meskipun volume produksi berubah. Biaya variabel merupakan biaya yang sebanding dengan perubahan volume produksi, sedangkan biaya semi variabel berubah tidak sebanding dengan volume produksi. Analisis Biaya Analisis biaya merupakan suatu kegiatan meliputi identifikasi biaya, pengukuran, alokasi dan pengendalian yang merupakan kegiatan penting dalam suatu perusahaan. Biaya Pokok Produksi Menurut Manullang (1980) dalam Adhipratiwi (2001), biaya pokok produksi adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi suatu barang, ditambah biaya lainnya sehingga barang tersebut dapat digunakan. Sedangkan menurut Wasis (1988) dalam Adhipratiwi (2001), biaya pokok adalah biaya yang tidak dapat dihindarkan yang dapat dipakai dalam proses produksi yang dapat diperhitungkan. Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa biaya pokok adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi suatu barang dan jasa sampai barang tersebut dapat digunakan atau dijual di pasar. Menurut Wasis (1988) dalam Adhipratiwi (2001), tujuan perhitungan biaya pokok adalah (a) menentukan harga penjualan, (b) menentukan laba atau rugi perusahaan, (c) menetapkan kebijaksanaan perusahaan, (d) memberikan penilaian di dalam neraca, dan (e) menentukan efesiensi perusahaan.
26
Menurut Pramudya dan Dewi (1992) biaya pokok dapat dihitung dengan menggunakan rumus: (9) Keterangan: BP
= Biaya Pokok (RP/tahun)
B
= Biaya Total (Rp/tahun)
PT
= Produksi Total (RP/tahun)
Analisis Kelayakan Dalam mengevaluasi suatu proyek dibutuhkan analsis kelayakan finansial. Analisis kelayakan finansial tersebut dilakukan dengan menggunakan Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Benefit Cost Ratio (B/C a. Net Present Value Net Present Value (NPV) yaitu seluruh angka net cash flow yang digandakan dengan discount faktor yang telah ditentukan. Menurut Gray et al. (1985), untuk menghitung NPV dapat digunakan rumus: (10) Keterangan: NPV
= Net Present Value (NPV)
N
= Umur Produksi (tahun)
T
= Tahun ke-t
B
= Manfaat (Rp/tahun)
C
= Biaya (Rp/tahun)
I
= Discount faktor (% tahun)
Jika
: NPV > 0 proyek menguntungkan NPV = 0 proyek tidak menguntungkan NPV < 0 proyek merugikan
b. Internal Rate of Return Internal Rate of Return (IRR) atau tingkat pengembalian internal, yaitu suatu tingkat pengembalian yang dinyatakan dalam persen yang identik dengan biaya investasi.
27
(11) Keterangan: IRR
= Internal Rate of Return (IRR)
i1
= Tingkat bunga pada saat NPV yang didapat positif (%)
i2
= Tingkat bunga pada saat NPV yang didapat negatif (%)
IRR adalah tingkat bunga yang membuat NPV = 0 Jadi, bila IRR≥
discount faktor proyek menguntungkan sehingga proyek layak untuk dikembangkan
Dan, bila IRR < discount faktor proyek merugikan sehingga proyek tidak tidak layak untuk dikembangkan c. Benefit Cost Ratio (B/C) Benefit Cost Ratio (B/C), yaitu nilai perbandingan antara jumlah nilai manfaat dan nilai biaya. Nilai manfaat didapat dari hasil penjualan dan nilai sisa alat. Sedangkan nilai biaya adalah didapat dari biaya investasi dan biaya tahunan untuk perawatan dan pemeliharaan. Benefit Cost Ratio (B/C) terdiri dari dua jenis, yaitu Net B/C dan Gross B/C. Namun Gross B/C dianjurkan untuk tidak digunakan analisis benefit cost. Menurut Gray et al. (1985), untuk menghitung Net B/C dapat digunakan rumus: (12)
Dimana:
Net B/C merupakan nilai perbandingan antara jumlah nilai sekarang yang bernilai positif dengan jumlah nilai sekarang yang bernilai negatif Jika:
B/C > 1 proyek menguntung
28
B/C = 1 proyek tidak menguntungkan dan tidak merugikan, manfaat yang diperoleh hanya cukup untuk menutup biaya (tercapai titik impas) B/C < 1 proyek merugikan, sehingga proyek tidak layak untuk dikembangkan