21 TINJAUAN PUSTAKA Indonesia merupakan negara yang penting dalam konteks perubahan iklim dunia karena memiliki luas hutan tropis terbesar setelah Brasil. Namun kanyataannya saat ini degradasi hutan dan lahan di Indonesia sudah semakin bertambah sehingga luas kawasan hutan semakin berkurang seperti kebakaran hutan, perambahan dan penebangan liar (illegal logging), konversi lahan hutan menjadi areal penggunaan lain seperti perkebunan, pertambangan dan usaha-usaha lainnya. Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih-guna lahan tersebut di atas dan sekaligus juga untuk mengatasi masalah pangan. Prinsip penerapan penggunaan lahan melalui sistem ini, baik secara tradisionl maupun semi modern di beberapa daerah di Indonesia telah terbukti memberikan manfaat ganda secara optimal, dimana sasaran dan tujuan utama melalui hasil produksi dari kombinasi tanaman kehutanan dan tanaman pertanian/ perkebunan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Penggunaan Lahan Lahan (land) adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk didalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun masa sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan dan factor-faktor yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Lahan secara umum adalah sebidang tanah yang dipandang sebagai ruang muka bumi yang diatasnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan manusia, dalam ukuran luas, yaitu ha, m2, tumbak, bahu dan lainnya (Wasis
22 2002). Pengelolaan lahan misalnya akan mempunyai dampak-dampak langsung terhadap kesinambungan pertanian, keragaman hayati, lingkungan, perikanan di pedalaman dan di pantai, perkebunan dan produktifitas hutan alam, dan persediaan air. Di sini pola penggunaan lahan akan mencerminkan kegiatan manusia yang dapat memberikan perubahan secara cepat terhadap penggunaan lahan pada suatu wilayah. Menurut Widianto et al (2003). Salah satu fungsi agroforestri pada level bentang lahan (skala meso) yang sudah terbukti di berbagai tempat adalah kemampuannya untuk menjaga dan mempertahankan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, khususnya terhadap kesesuaian lahan. Beberapa dampak positif sistem agroforestri pada skala meso ini antara lain: (a) memelihara sifat fisik dan kesuburan tanah, (b) mempertahankan fungsi hidrologi kawasan, (c) mempertahankan cadangan karbon, (d) mengurangi emisi gas rumah kaca, dan (e) mempertahankan keanekaragaman hayati. Penggunaan lahan secara umum biasanya digunakan untuk tujuan evaluasi lahan secara kualitatif atau dalam survei tinjau seperti untuk kegiatan perkebunan, pertanian tanaman pangan atau kegiatan peternakan atau daerah untuk sarana rekreasi. Sedangkan penggunaan lahan secara khusus adalah tipe penggunaan lahan yang diperinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu lokasi dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu, misalnya tanaman pangan tanah hujan, pengelolaan lahan dengan ternak atau usaha penanaman tanaman hanya untuk satu jenis tanaman atau beberapa jenis tanaman agroforestri. Tipe penggunaan lahan untuk tujuan multiguna atau lebih dari satu jenis tanaman dapat dibedakan juga menjadi tipe penggunaan lahan majemuk (multiple land utilization type) yaitu, penggunaan lahan dengan lebih dari satu jenis sekaligus, dimana masing-masing jenis memerlukan input, syarat-syarat dan memberikan hasil yang berbeda sebagai contoh daerah hutan produksi yang sekaligus digunakan untuk daerah rekreasi. Sebaliknya tipe penggunaan lahan majemuk (compound land utilization type) adalah penggunaan lahan dengan lebih dari satu jenis usaha budidaya, dimana penggunaan lahan yang berbeda akan dilakukan dalam waktu yang berbeda pula misalnya rotasi tanaman atau
23 penggunaan lahan dalam satuan waktu yang sama akan dilakukan penanaman secara bersamaan, misalnya sistem pertanian tumpangsari (Wiradisastra 2006). Berdasarkan uraian di atas maka, menurut penulis yang dimaksud dengan penggunaan lahan adalah segala bentuk campur tangan manusia yang dilakukan dengan menanam berbagai jenis tanaman baik secara monokultur maupun campuran, dan bersifat jangka pendek maupun jangka panjang sehingga menjadi ekosistem hutan sekunder dengan keanekaragaman hayati yang terbentuk.
Produktifitas Lahan Pengetahuan mengenai potensi lahan untuk tujuan pengembangan usaha budidaya tanaman pertanian, perkebunan maupun kehutanan selalu mengarah pada penilaian evaluasi terhadap karakteristik dan kualitas lahan berdasarkan persyaratan faktor pembatas tumbuh tanaman. Penilaian produktifitas suatu lahan umumnya didasarkan pada toleransi terhadap erosi yang masih diperbolehkan dinyatakan dengan simbol Edp atau ada juga yang menyebutnya nilai T, adalah laju erosi yang dinyatakan dalam mm/tahun atau ton/ha/tahun yang terbesar. Laju erosi ini masih boleh ditoleransi karena masih terpeliharanya suatu kedalaman efektif tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman yang diusahakan diatasnya sehingga memungkinkan tercapainya produktifitas yang tinggi secara lestari (Arsyad (1989) ; Hammer (1982) mengatakan bahwa kedalaman ekuivalen tanah adalah kedalaman tanah yang setelah mengalami erosi produktifitasnya berkurang dengan 60 % dari produktifitas tanah yang tidak tererosi. Menurut Junaidy (2006). Pengelolaan lahan adalah untuk meningkatkan atau memperbaiki keadaan lahan sehingga tingkat produktifitasnya tidak menurun, sebaliknya dapat meningkat dengan melakukan pengendalian terhadap bentuk erosi yang mungkin dapat terjadi. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan berkelanjutan dewasa ini sudah mencoba memanfaatkan sebaik-baiknya barangbarang dan layanan-layanan alam tanpa merusak lingkungannya. Rossiter et al. (1994) mengemukakan bahwa produktifitas lahan selalu berhubungan dengan daya dukung tanah sebagai jumlah penduduk yang ditunjang persatuan daerah, pada tingkat teknologi dan tingkat kehidupan tertentu.
24 Wiradisastra (2006) menyatakan bahwa para ahli sekarang ini telah mempelajari hubungan antara tipe tanah, tipe vegetasi dan sistem penggunaan lahan setempat untuk menentukan kepadatan penduduk yang kritis dan hasil kerja mereka terhadap kemajuan metodologi daya dukung. Faktor-faktor utama yang perlu diperhatikan oleh seorang ahli ekologi budaya adalah mempertimbangkan faktor-faktor sosial budaya dalam ukuran luas, kepadatan penduduk, pembagian dan komposisi kelompok-kelompok produktif, hak melakukan produksi dan ukuran penguasaan tanah. Studi penentuan daya dukung saat ini, sudah mengungkapkan langsung dan dapat dipercaya untuk perencanaan penggunaan lahan dengan metode CPD (critical population dencity) sebagai jumlah penduduk maksimum pada suatu areal lahan (pada tingkat teknologi) yang dapat didukung secara permanen tanpa menimbulkan kerusakan pada lahan. Metodologi ini melibatkan penentuan 3 faktor utama yaitu, Kelas Kemampuan Lahan (land capability class), Faktor Penggunaan Lahan (land use factor) dan Faktor Budidaya Tanaman (Cultivation Factor) dimana ; 1) Kelas Kemampuan Lahan ; berhubungan dengan survei tanah dan vegetasi alami, topografi, pemukiman dan informasi areal yang sekarang atau secara potensial dibudidayakan termasuk faktor kerusakan lahan yang mungkin terjadi. 2) Faktor Penggunaan Lahan ; berhubungan dengan informasi ukuran luasan usahatani yang dibudidayakan pada setiap tipe vegetasi alami tanah oleh setiap rumah tangga atau kelompok masyarakat petani setiap musimnya. 3) Faktor Budidaya Tanaman ; berhubungan dengan jumlah tanaman dan produksi tanaman berdasarkan luasan lahan yang diusahakan setiap rumah tangga atau kelompok masyarakat petani setiap musimnya. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka, menurut penulis produktifitas lahan adalah total produksi tanaman budidaya yang diukur berdasarkan nilai ekonomi maupun nilai konservasi lahan yang diterapkan per satuan waktu.
25 Sistem Agroforestri Pengembangan sistem agroforestri sekarang ini, sangat didorong oleh adanya perubahan paradigma terhadap pengelolaan hutan kemasyarakatan yang lebih
mempertimbangkan
basis
sumberdaya
alam
(natural
resources
management). Hal ini bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat yang hidup di sekitar hutan, memperbaiki kualitas lahan hutan, meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pengetahuan lokal petani dan kepedulian global akan kelestarian alam (Utami et al. 2003). Salah satu teknologi yang dinilai sesuai dengan kondisi lahan kering di Indonesia adalah penerapan sistem agroforestri.
Sistem ini lebih berasaskan
kelestarian, serta meningkatkan hasil produksi melalui kombinasi produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan, secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama. Pengertian agroforestri adalah hutan buatan yang didominasi oleh tanaman serbaguna yang dibangun petani pada lahan-lahan pertanian. Di lihat dari jauh agroforestri tampak lebih teratur ketimbang hutan alam primer, namun dari dekat berisi kebun campuran pepohonan rerumputan dan aneka tumbuhan lainnya (ICRAF 2003). Menurut Huxley (1999), agroforestri tergantung dari tipe dan latar belakang orang yang mengamatinya, sering disebut ladang, kebun primitif terlantar, hutan alam atau lahan kosong. Di Indonesia kebun-kebun agroforestri sangat beragam dan memiliki penampilan yang berbeda. Namun secara umum agroforestri dapat dikelompokan menjadi dua sistem usahatani, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah sistem usahatani dimana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim, seperti tanaman pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan atau dengan pola lain seperti berbaris membentuk lorong. Jenis pohon yang ditanam sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomis tinggi (kelapa, karet, cengkeh, kopi kakao, nangka, melinjo, petai mahoni atau bernilai ekonomis rendah (dadap, lamtoro, kaliandra). Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan (padi gogo, jagung, kedelai,
26 kacang-kacangan, ubi kayu), sayuran, rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya. Bentuk agroforestri sederhana ini dapat dijumpai pada sistem pertanian tradisional. Pada daerah yang kurang padat penduduknya, bentuk ini muncul karena adanya kendala alam seperti tanah rawa dan bebatuan. Perpaduan ini juga dapat dijumpai pada daerah berpenduduk padat dengan ciri tanaman-tanaman yang ditanam untuk kebutuhan jangka pendek (tanaman pangan). Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem usahatani menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan. Pada sistem ini selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Ciri utama sistem ini adalah kenampakan fisik dan dinamika didalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforestri (Nair 1993).
Agroforestri dusung di Maluku Di Provinsi Maluku telah dikenal sistim agroforestri tradisional yang di kenal dengan nama dusung. Dusung merupakan suatu sistim penggunaan lahan yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan baik hutan maupun tanaman usaha. Masyarakat Ambon dan Lease mengartikan dusung sebagai suatu lahan yang diusahakan baik dengan tanaman umur panjang (ciri pohon kehutanan), dan tanaman umur pendek (ciri tanaman pertanian) dan di miliki oleh keluarga/marga, mata rumah atau rumahtau. Di atas lahan itu terdapat tanaman umur panjang yang bervariasi atau jenis-jenis tanaman peladangan yang mempunyai waktu produksi berbeda ada yang jangka pendek (1 sampai 3 bulan), menengah (5 sampai 6 bulan) ataupun jangka panjang (1 sampai 2 tahun). Wattimury (2001) pola dusung merupakan pola penggunaan lahan dengan produktifitas tertentu dalam jangka panjang dengan mengacu pada kelestarian sosial dan kelestarian fisik. Kelestarian sosial, bahwa seluruh kerabat keluarga menggantungkan kehidupan secara jangka panjang dapat di kelola pada dusung
27 tersebut. Sedangkan kelestarian fisik bahwa dusung dapat berfungsi sebagai alat konservasi tanah dan air. Sistem penggunaan lahan dusung secara tradisional oleh penduduk sekitar telah diterapkan sejak ratusan tahun lalu, upaya ini dapat mempertahankan fungsi ekonomi, sosial dan fungsi konservasi terhadap sumberdaya hutan yang dapat meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
petani
sambil
memelihara
dan
memperbaiki lingkungan, meningkatkan kualitasnya dan berlanjut sesuai dengan asas konservasi. Menurut Ajawaila (1996), dusung merupakan suatu budaya dan tradisi usahatani masyarakat Maluku dengan tanah-tanah yang digarap atau di perusah dengan segala tanaman yang tumbuh di atasnya. dusung juga di artikan sebagai
tempat
pemukiman
beberapa
kelompok
keluarga
atau
suatu
perkampungan kecil. Beberapa jenis dusung yang dapat dilihat dari segi kepemilikannya seperti, dusung dati, dusung pusaka, dusung perusah, dusung Negeri, dan dusung Raja.
Manfaat Agroforestri Ada beberapa keunggulan dan manfaat agroforestri ditinjau dari segi ekonomi, konservasi dan ekologi untuk daerah tropis ( ICRAF 2003) antara lain; 1. Menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan pangan; a. Meningkatkan persediaan pangan baik tahunan atau tiap-tiap musim; perbaikan kualitas nutrisi, pemasaran dan proses-proses dalam agroindustri b. Diversifikasi produk dan pengurangan risiko gagal panen c. Keterjaminan bahan pangan secara berkesinambungan. 2. Memperbaiki penyediaan energi lokal, khususnya produksi kayu bakar; a. Suplai yang lebih baik untuk memasak dan pemanasan rumah terutama untuk daerah pegunungan atau berhawa dingin. 3. Meningkatkan, memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi produksi bahan mentah kehutanan maupun pertanian; a. Pemanfaatan berbagai jenis pohon dan perdu, khsusnya untuk produkproduk yang dapat menggantikan ketergntungan dari luar seperti zat pewarna, obat-obatan, zat perekat, rempah-rempah dan lainnya.
28 b. Diversivikasi baik berupa produk atau jasa dan mengurangi fruktuasi harga pasar atau menghindari kegagalan fatal pemanenan pada budidaya tunggal. 4. Memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup yang sulit (masyarakat hidup dibawah garis kemiskinan) a. Mengusahakan peningkatan pendapatan, dengan kegiatan usahatani dilahan yang tersedia. b. Mengatur penyediaan tenaga kerja berdasarkan tingkat usia dari setiap keluarga yang masih tradisional berdasarkan adat istiadat dan hak kepemilikan lahan. c. Memelihara nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat 5. Memperbaiki kualitas lingkungan dan menghasilkan kemampuan produksi dan jasa secara berkelanjutan. a. Mencegah terjadinya erosi tanah dan degradasi lahan b. Perlindungan keanekaragaman hayati c. Perbaikan tanah melalui fungsi humufikasi dan ketersedian unsur hara dan mulsa hasil dekomposisi untuk nutrisi tanaman d. Shelterbelt, pohon pelindung (shack trees), wind brake, pagar hidup (life fence). e. Mengatur tata air melalui fungsi hidroorologis
Faktor Erosi Tanah Pengelolaan dan pemanfaatan sistem agroforestri dusung di Maluku sudah dilakukan masyarakat secara turun temurun. Adanya pertambahan penduduk dan perubahan sosial ekonomi masyarakat di Pulau Ambon dan pulau-pulau lainnya diperkirakan akan berdampak pada perubahan penggunaan dan menurunkan nilai produktifitas lahan sebagai sumber kelangsungan hidup bagi masyarakat. Penilaian erosi pada bentuk penggunaan lahan sistem dusung dilakukan dengan metode USLE (Universal Soil Loss Equation).
Sifat sederhana dari
metode ini telah banyak dipakai untuk menilai atau memprediksi besarnya erosi yang terjadi pada suatu bentuk lahan atau areal pertanian.
Pada dasarnya
pengukuran dan perhitungan USLE sangat ditentukan oleh nilai erodibilitas tanah, nilai erosivitas hujan, topografi, vegetasi dan jenis tanaman serta faktor tindakan
29 konservasi yang relatif homogen (Darsiharjo 2004). Besarnya erosi persatuan penggunaan lahan dapat dihitung, seperti faktor iklim (curah hujan); topografi (panjang dan kemiringan); kepekaan tanah (erodibilitas), dan sistem pertanaman (penutupan vegetasi). Berdasarkan data curah hujan tahun 1997 – 2007 rata-rata curah hujan di pulau Ambon 10 tahun terakhir sebesar 134, 9 mm/thn dengan rata-rata jumlah hari hujan 13,92 hari dan curah hujan maksimum 901,35 mm. Pendugaan faktor erodibilitas tanah ditentukan berdasarkan data hasil analisis laboratorium, terutama yang berhubungan dengan tekstur (% pasir, liat dan debu), permiabilitas, struktur tanah dan kandungan bahan organik. Nilai erodibilitas (K) pada berbagai bentuk penggunaan lahan cukup bervariasi tergantung pada kepekaan tanah terhadap erosi. Kondisi topografi sangat menentukan laju erosi yang mungkin terjadi pada saat musim hujan. Oleh karena itu pengukuran panjang (L) dan kemiringan lereng (S) menjadi faktor penentu laju kehilangan lapisan tanah atas karena tercuci oleh adanya pengikisan air melalui aliran permukaan (run off). Keberadaan fungsi dan peran dusung sebagai bentuk usahatani agroforestri apabila dikelola secara baik dan profesional akan memberikan produksi yang tinggi. Namun apakah kondisi ini sampai sekarang masih dapat dipertahankan ?. Untuk memprediksi kerusakan lahan akibat erosi yang telah terjadi pada agroekosistem dusung, maka diperlukan suatu kajian dan analisis kerusakan lahan yang berhubungan dengan produktifitas tanah terutama lapisan top soil pada setiap bentuk penggunaan lahan yang telah ada dan sementara dibudidayakan masyarakat.