TINJAUAN PUSTAKA Kesesuaian Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun masa sekarang (FAO, 1976). Menurut FAO (1976) beberapa ahli mengemukakan bahwa istilah “capability” atau kemampuan dan “suitability” atau kesesuaian, merupakan dua istilah yang mempunyai arti sama sehingga dapat saling menggantikan. Namun demikian, pengertian yang umum dianut dewasa ini adalah bahwa “kemampuan lahan” (land capability) berarti potensi lahan untuk penggunaan pertanian secara umum, sedangkan istilah “kesesuaian lahan” (land suitability) berarti potensi lahan untuk penggunaan jenis tanaman tertentu. Dengan demikian “kesesuaian lahan” adalah kecocokan suatu lahan untuk tipe penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu. Kesesuaian lahan dilakukan untuk tujuan evaluasi lahan yaitu menentukan nilai (kelas) suatu lahan untuk tujuan tertentu. Dalam kaitan ini FAO (1976) menyatakan dalam evaluasi lahan perlu juga memperhatikan aspek ekonomi, sosial, serta lingkungan dan berkaitan dengan perencanaan tata guna tanah. Dalam tahapan evaluasi lahan, pertama harus ditetapkan tujuan yang jelas mengapa evaluasi lahan itu dilakukan. Selanjutnya menentukan faktor-faktor yang digunakan sebagai penciri, dimana faktor-faktor tersebut harus merupakan sifat-sifat yang dapat diukur atau ditaksir dan erat hubungannya dengan tujuan evaluasi. Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan dengan cara membandingkan kualitas lahan masing-masing satuan lahan dengan persyaratan penggunaan lahan yang akan diterapkan. Pendekatan dalam evaluasi lahan dapat dilalukan melalui dua cara (FAO, 1976), yaitu: 1. Pendekatan dua tahap (two stage approach) Tahap pertama dari pendekatan ini adalah merupakan evaluasi lahan secara kualitatif, sedangkan tahap kedua (kadang-kadang tidak dilakukan) terdiri dari analisa ekonomi dan sosial. Pendekatan dua tahap ini sering dilakukan untuk evaluasi perencanaan penggunaan lahan secara umum dalam tingkat survai tinjau.
6
Klasifikasi kemampuan lahan dalam tahap pertama didasarkan pada kecocokan lahan untuk penggunaan tertentu. Peranan analisa ekonomi dan sosial dalam tahap ini terbatas pada pengecekan terhadap relevansi tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan. Setelah tahap pertama selesai dan hasilnya disajikan dalam bentuk peta dan laporan, maka tahap kedua yaitu analisa ekonomi dan sosial dapat dilakukan segera atau beberapa waktu kemudian. Pendekatan dua tahap ini lebih sistematis karena memiliki kegiatan yang jelas terpisah. Survai tanah fisik dilakukan lebih dulu, baru kemudian survai dan analisa ekonomi-sosial, sehingga memungkinkan penjadwalan kegiatan dan penggunaan staf. 2. Pendekatan paralel (parallel approach) Pendekatan paralel merekomendasikan analisa ekonomi dan sosial terhadap jenis penggunaan lahan yang direncanakan dilakukan secara bersamaan dengan analisa sifat-sifat fisik dan lingkungan dari lahan tersebut. Hasil pendekatan ini biasanya memberi petunjuk mengenai modifikasi penggunaan lahan untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Pendekatan paralel diharapkan dapat memberi hasil yang lebih tepat dalam waktu yang lebih cepat. Cara ini memberi kemungkinan yang lebih baik untuk memusatkan kegiatan survai dan pengumpulan data pada keterangan-keterangan yang diperlukan untuk evaluasi. Ada berbagai sistem evaluasi kesesuaian lahan yang umum dipakai, yaitu; 1. Sistem USDA atau sering juga dikenal sistem Klingebiel dan Montgomery (1961) dimana dalam tingkat kelas, kemampuan lahan menunjukkan kesamaan besarnya faktor-faktor penghambat. Tanah (lahan) dikelompokkan ke dalam kelas I sampai kelas VIII, dimana semakin tinggi kelas berbanding lurus dengan kualitas lahan yang semakin jelek. Ini berarti resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah dan pilihan penggunaan lahan yang dapat diterapkan semakin terbatas. 2. Sistem FAO (1976) membagi kesesuaian lahan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu; ordo, kelas, sub kelas, dan unit. Kesesuaian lahan tingkat ordo dan kelas biasanya digunakan dalam pemetaan tanah tinjau, sub kelas untuk pemetaan tanah semi detail, dan unit biasanya digunakan untuk pemetaan skala detail (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001).
7
Kawasan Pesisir Berbagai pengertian dan batasan mengenai istilah “pesisir” telah dikemukakan oleh para ahli. Namun dari semua pendapat tersebut tidak ada yang dianggap paling benar, karena penggunaan pengertian dan batasan tersebut dapat dianggap benar apabila sesuai dengan tujuan penelitian atau kajian yang akan dilakukan. Pengertian wilayah pesisir menurut Bakosurtanal (1990) dalam Sutikno (1999) adalah suatu jalur saling pengaruh antara darat dan laut, yang memiliki ciri geosfer yang khusus, ke arah darat dibatasi oleh pengaruh sifat fisik laut dan sosial ekonomi bahari, sedangkan ke arah laut dibatasi oleh proses alami serta akibat kegiatan manusia terhadap lingkungan di darat. Batas wilayah pesisir arah ke daratan tersebut ditentukan oleh; (a) pengaruh sifat fisik air laut, yang ditentukan berdasarkan seberapa jauh pengaruh pasang air laut, seberapa jauh flora yang suka akan air akibat pasang tumbuh (water loving vegetation) dan seberapa jauh pengaruh air laut ke dalam air tanah tawar, dan (b) pengaruh kegiatan bahari (sosial), seberapa jauh konsentrasi ekonomi bahari (desa nelayan) sampai ke arah daratan. Menurut Aprilani (1986) dalam Pethic (1988) yang dimaksud dengan wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan dan laut. Bird (1969) berpendapat bahwa wilayah pesisir adalah mintakat yang lebarnya bervariasi, yang mencakup tepi laut (shore) yang meluas ke arah daratan hingga batas pengaruh marine masih dirasakan. Apabila batasan yang dikemukakan Aprilani dan Bird dipadukan maka mirip dengan pengertian pesisir yang dikemukakan oleh Bakosurtanal tersebut di atas. Pandangan yang lebih moderat dikemukakan oleh Dahuri et al. (1996) bahwa batas wilayah pesisir umumnya berdasarkan tiga kriteria. Pertama, garis linier secara arbitrer tegak lurus terhadap garis pantai (coastline atau shoreline). Kedua, batas-batas administrasi dan hukum. Ketiga, karakteristik dan dinamika ekologis (biofisik), yaitu atas dasar sebaran spasial dari karakteristik alamiah (natural features) atau kesatuan proses-proses ekologis, seperti aliran air sungai, migrasi biota, dan pasang surut. Contoh batas satuan pengelolaan wilayah pesisir menurut kriteria ketiga ini adalah batasan menurut daerah aliran sungai (catchment area atau watershed). Batas wilayah atas dasar kriteria ekologi, sekalipun dianggap mengikuti kaidah-kaidah konservasi, tidak dapat diberlakukan. Akibatnya para perencana
8
dan pengelola cenderung memilih batasan wilayah pesisir menurut kriteria garis lurus secara arbitrer dan administratif (Nugroho dan Dahuri, 2004). Contoh nyata dari penerapan kriteria ini adalah Proyek MREP (Marine Resource Evaluation and Planning atau Perencanaan dan Evaluasi Sumberdaya Kelautan) menetapkan batas ke arah laut suatu wilayah pesisir untuk keperluan praktis proyek adalah sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) skala 1:50.000 yang telah diterbitkan Badan Koordinasi dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), sedangkan batas ke arah darat mencakup batas administratif seluruh desa pantai (Dahuri et al., 1996). Lingkungan pesisir merupakan daerah yang selalu mengalami perubahan, karena daerah tersebut menjadi tempat bertemunya dua kekuatan, yaitu berasal dari daratan dan dari laut. Perubahan lingkungan pesisir dapat terjadi secara lambat hingga sangat cepat, tergantung pada imbang daya antara topografi, batuan dan sifat-sifatnya dengan gelombang, pasang surut dan angin. Perubahan lingkungan pesisir sangat bervariasi antara satu tempat dengan tempat lainnya, sehingga kajian keruangan dari lingkungan pesisir diperlukan dalam rangka pengelolaannya. Lingkungan pesisir perlu dikelola dengan baik mengingat fungsinya dalam kehidupan manusia sangat besar sejak jaman dahulu hingga jaman sekarang bahkan di masa mendatang. Selanjutnya Sutikno (1999) menyatakan, berhubung perubahan wilayah pesisir pasti terjadi maka dalam pemanfaatan pesisir sedapat mungkin menyesuaikan dengan karakteristiknya. Pendekatan satuan lahan (land unit) dapat diterapkan untuk identifikasi permasalahan lingkungan pesisir dan mengevaluasinya. Analisis Spasial Pengertian analisa spasial dipahami secara berbeda antara ilmuwan geografi dengan ilmuwan berlatar belakang sosial (termasuk ekonomi). Perbedaan keduanya bersumber dari perbedaan dalam dua hal, pertama perbedaan pengertian kata “spasial” atau ruang itu sendiri dan kedua perbedaan fokus kajiannya (Rustiadi et al., 2005). Dari pandangan geografi, pengertian spasial adalah pengertian yang bersifat rigid (kaku), yakni segala hal yang menyangkut lokasi atau tempat. Definisi suatu “tempat” atau lokasi dalam sudut pandang geografis sangat jelas, tegas dan lebih terukur karena setiap lokasi di atas permukaan bumi dalam ilmu geografi dapat diukur secara kuantitatif. Fokus kajian para ahli
9
geografi tertuju pada cara mendeskripsikan fakta, atau dengan kata lain lebih memfokuskan pada aspek “apa” (what), “bagaimana” (why), dan bahkan “dimana” (where) yang terjadi di atas permukaan bumi. Domain kajian ilmu geografi lebih banyak menekankan pada bagaimana mendeskripsikan fenomena spasial, oleh karenanya ilustrasi-ilustrasi spasial dengan “peta” yang memiliki akurasi informasi spasial didalamnya sangat penting. Analisis mengenai pola-pola spasial (pemusatan, penyebaran, kompleksitas spasial, dan lainnya), kecenderungan spasial, bentuk-bentuk dan struktur interaksi spasial secara deskriptif menjadi kajian yang banyak mendapat perhatian ahli geografi. Semuanya dikaji tanpa harus mendalami permasalahan sosial ekonomi yang ada di dalamnya. Dalam kerangka konsep geografis, analisis spasial telah lama dikembangkan oleh para ahli geografi untuk memenuhi kebutuhan pemodelan dan analisa data spasial. Bailey (1995) dalam Rustiadi et al. (2005) mendefinisikan analisis spasial sebagai upaya memanipulasi data spasial ke dalam bentuk-bentuk dan mengekstrak pengertian-pengertian tambahan sebagai hasilnya. Analisis data spasial berbeda dengan spatial summarization of data. Spatial summarization of data dilakukan untuk menciptakan fungsi dasar pengambilan informasi spasial secara selektif di suatu areal dengan pendekatan komputasi, tabulasi atau pemetaan dari berbagai statistik informasi yang dimaksudkan. Analisis spasial lebih terfokus pada kegiatan investigasi pola-pola dan berbagai atribut atau gambaran di dalam studi kewilayahan dan dengan menggunakan permodelan berbagai keterkaitan untuk meningkatkan pemahaman dan prediksi atau peramalan. Lebih lanjut Haining (1995) dalam Rustiadi et al. (2005) mendefinisikan analisis spasial sebagai sekumpulan teknik-teknik untuk pengaturan spasial dari kejadian-kejadian tersebut. Kejadian geografis (geographical event) dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis atau areal yang berlokasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilai-nilai atribut. Dengan demikian analisis spasial membutuhkan informasi baik berupa nilai-nilai atribut maupun lokasi-lokasi geografis obyek-obyek dimana atribut-atribut melekat di dalamnya. Berdasarkan proses pengumpulan informasi kuantitatif yang sistematis, tujuan analisis spasial adalah: 1. mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruang geografis (termasuk deskripsi pola) secara cermat dan akurat.
10
2. menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian atau obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi. 3. meningkatkan kemampuan melakukan prediksi atau pengendalian kejadiankejadian di dalam ruang geografis. Berdasarkan atas aplikasinya, Fischer et al. (1996) dalam Rustiadi et al. (2005) menyatakan bahwa model spasial digunakan untuk tiga tujuan, yaitu; pertama, peramalan dan penyusunan skenario, kedua, analisis dampak terhadap kebijakan, dan ketiga, adalah penyusunan kebijakan dan desain. Data spasial atau data yang mempunyai referensi geografis, visualisasi digunakan untuk membuktikan hipotesis-hipotesis mengenai pola atau pengelompokkan di dalam ruang geografis serta mengenai peranan lokasi terhadap aktivitas manusia dan sistem lingkungannya (Mac Eachren, 1995 dalam Rustiadi et al. 2005). Disamping perkembangan metode-metode analisis spasial, peranan Sistim Informasi Geografis (SIG) di dalam visualisasi data spasial akhir-akhir ini semakin signifikan. Menurut Getis (1995) dalam Rustiadi et al. (2005), tujuan utama SIG adalah pengelolaan data spasial. SIG mengintegrasikan berbagai aspek pengelolaan data spasial seperti pengolahan database, algoritma grafis, interpolasi, zonasi, dan network analysis. Sistim Informasi Geografi (SIG) Sistim Informasi Geografis (SIG) mempunyai peran yang semakin penting dalam berbagai aspek kehidupan dewasa ini. Melalui SIG berbagai macam informasi dapat dikumpulkan, diolah dan dianalisa serta dikaitkan dengan letaknya di muka bumi. Menurut Danudoro (2006) SIG tumbuh sebagai respon atas kebutuhan akan pengelolaan data keruangan yang lebih efisien dan mampu menyelesaikan masalah-masalah keruangan. Secara garis besar, perkembangan SIG dipicu oleh setidak-tidaknya tiga hal utama, yaitu; (a) perkembangan teknologi komputer dan sistem informasi, (b) perkembangan metode analisis spasial di bidang geografi dan ilmu keruangan lainnya, dan (c) tuntutan kebutuhan aplikasi yang menginginkan kemampuan pemecahan masalah di bidang masing-masing, yang terkait dengan aspek keruangan (spasial). Pengertian SIG sendiri telah diuraikan oleh banyak ahli dan memiliki arti yang relatif sama. Barus dan Wiradisastra (2000), menyatakan SIG adalah suatu sistim informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi
11
spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistim basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Sedangkan Aronoff (1989) dalam Dulbahri (2003) menyebutkan bahwa SIG adalah sistim informasi yang mendasarkan pada kerja dasar komputer yang mampu memasukkan, mengelola, memanipulasi dan menganalisis data serta memberi uraian. Pernyataan Aronoff sejalan dengan pernyataan Danudoro (2006) bahwa SIG adalah sebuah sistim untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan atau manipulasi, analisis, dan penayangan data; yang mana data tersebut secara keruangan (spasial) terkait dengan muka bumi. Berdasarkan berbagai pengertian SIG, tercermin adanya pemrosesan data keruangan dalam bentuk pemrosesan data numerik. Pemrosesan yang mendasarkan pada kerja mesin, dalam hal ini komputer yang mempunyai persyaratan tertentu. Data sebagai masukan harus dalam bentuk numerik, artinya data masukan apapun bentuknya harus diubah menjadi angka digital, sedangkan data lain adalah data atribut (Dulbahri, 2003). Komponen utama SIG terbagi dalam empat kelompok yaitu perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen) dan pemakai. Porsi masingmasing komponen tersebut berbeda dari satu sistim ke sistim lainnya, tergantung dari tujuan dibuatnya SIG (Barus dan Wiradisastra, 2000). Fasilitas perangkat lunak SIG digital pada dasarnya dapat dirinci menjadi tiga sub sistem yang saling terkait, yaitu; (1) sub sistem pemasukan data, (2) sub sistem pemrosesan data, dan (3) sub sistem output data. Sementara itu, Chang (2002) membagi SIG ke dalam komponen-komponen berikut; (a) sistem komputer meliputi perangkat keras dan sistem operasinya, (b) perangkat lunak SIG yang meliputi program dan user interface untuk mengendalikan perangkat keras, (c) brainware untuk pengendalian aspek tujuan, manfaat, alasan dan justifikasi dalam penggunaan SIG, dan (d) infrastruktur yang mencakup lingkungan fisik, organisasional, administratif, serta kultural untuk mendukung mendukung operasi SIG, yang juga meliputi ketrampilan, standarisasi, data clearinghouse, serta pola organisasional. Salah satu isu utama dalam SIG adalah pemodelan spasial. Pemodelan spasial digunakan untuk memodelkan dunia nyata (real world), dan hal ini dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah lingkungan atau kewilayahan. Danudoro (2006) menyatakan terdapat lima macam model dalam SIG yang biasanya digunakan untuk pemodelan lingkungan dan kewilayahan, yaitu:
12
(1) Model biner, yang bertumpu pada logika biner (boolean logic) pada pengambilan keputusan masuk-tidaknya (atau memenuhi-tidaknya) suatu informasi digunakan pada tahap proses selanjutnya. Karena dasar pengambilan keputusan adalah logika biner (ya atau tidak), risiko kekeliruan pada penentuan nilai/kondisi ambang (threshold) juga cukup tinggi. Model ini biasanya hanya sesuai diterapkan pada skala kecil, di mana tidak tersedia cukup informasi rinci sebagai dasar pengambilan keputusan. Model biner dapat diterapkan dengan SIG vektor maupun raster, (2) Model indeks, melibatkan penggunaan skor untuk setiap kategori yang berbeda dalam suatu peta tematik. Tumpangsusun peta-peta dengan model indeks biasanya akan melibatkan proses kalkulasi aritmetik, baik penjumlahan, pengurangan, perkalian atau pembagian. Indeks atau skor akhir yang dimiliki oleh satuan-satuan pemetaan baru pada peta turunan (peta baru) akan menggambarkan kondisi atau performa gabungan dari berbagai kriteria, yang dijadikan dasar pengambilan keputusan. Model ini dapat diterapkan pada SIG vektor maupun raster, (3) Model regresi, merupakan model yang memanfaatkan persamaan regresi untuk mengubah nilai pada peta menjadi nilai baru yang menggambarkan suatu kecenderungan (trend) fenomena tertentu. Model ini biasa diterapkan pada SIG raster, di mana nilai piksel diubah melalui persamaan regresi, dan peta raster berubah menjadi peta kuasi-kontinyu nilai kuantitatif, (4) Model proses, adalah model yang menggunakan pengetahuan mengenai proses lingkungan di dunia nyata ke dalam suatu himpunan persamaan untuk mengkuantifikasi proses tersebut. Model ini lebih efektif dijalankan dalam lingkungan SIG raster, khususnya apabila datanya bersifat kuasi-kontinyu, dan (5) Model jaringan, merupakan jenis pemodelan SIG yang hanya dapat dijalankan pada SIG vektor yang mempunyai struktur topologi (topological vector). Struktur topologi dalam data vektor itu secara eksplisit menyatakan hubungan antar-entitas spasial dalam peta; titik (point), garis (arc) dan area (polygon).