II. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
SINGKONG
Singkong merupakan umbi akar dari tanaman pangan berupa perdu yang dikenal dengan nama lain ubi kayu, ketela pohon atau cassava. Singkong berasal dari benua Amerika, tepatnya dari negara Brazil. Singkong mudah ditanam dan dibudidayakan, dapat ditanam di lahan yang kurang subur, risiko gagal panen 5 %, dan tidak mudah terserang hama. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia pada tahun 1852. Di Indonesia, singkong menjadi bahan pangan pokok setelah beras dan jagung. Dengan perkembangan teknologi, singkong dijadikan bahan dasar pada industri makanan dan bahan baku industri pakan. Selain itu, digunakan pula dalam industri obat - obatan (Departemen Pertanian 1999).
Gambar 1. Singkong Secara botani, klasifikasi tanaman singkong adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae atau tumbuh - tumbuhan Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae atau biji berkeping dua Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Manihot Spesies : Manihot esculenta Crantz sin. Tanaman singkong mempunyai umur rata-rata 7-12 bulan. Singkong memiliki umbi berdiameter rata-rata 5 cm - 10 cm dan panjang 50 cm - 80 cm. Singkong mengandung senyawa sianogenik yang dikenal dengan linamarin (93 %) dan lotaustralin (7 %) (Okigbo 1980). Kadar senyawa sianogenik tersebut dapat berbeda-beda tergantung pada jenis tanaman, umur tanaman, dan kondisi lingkungan seperti kondisi tanah, kelembaban, dan suhu. Produksi singkong di Indonesia merupakan produksi pangan terbesar ke-2 setelah padi, sehingga singkong mempunyai potensi besar sebagai bahan baku yang penting bagi berbagai produk pangan dan industri. Sebagai bahan pangan yang kaya akan pati, singkong memiliki beberapa kekurangan yaitu kadar protein yang rendah (< 2 %) dan nilai gizinya yang tidak seimbang.
3
Disamping itu, ada singkong yang berkemungkinan mengandung kadar HCN yang tinggi dan rasa pahit (Deptan 2011). Sejak dipanen, singkong merupakan komoditi yang mudah rusak yang praktis hanya tahan sekitar 1 - 3 hari, sehingga pemanfaatannya harus secepat mungkin sebelum rusak. Masalah utama singkong setelah dipanen adalah sifatnya yang sangat peka terhadap jamur dan mikroba lain. Oleh karena itu, daya simpan dalam bentuk segar relatif pendek. Melalui proses penanganan sederhana dan telah umum dilakukan seperti pengeringan, akan diperoleh daya simpan yang lebih lama yaitu sekitar 2 - 4 minggu (Ospina & Wheatley 1990).
2.2.
PROSES PENGOLAHAN SINGKONG
Penanganan pascapanen bertujuan untuk mempertahankan mutu produk dan meningkatkan nilai tambah. Agar dapat memperpanjang masa simpan produk, diperlukan proses pengawetan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan proses pengeringan. Beberapa tahapan proses yang dilakukan yaitu pengupasan, pencucian, pengirisan, blanching, dan pengeringan (Akingbala et al 1991).
2.2.1. Pengupasan Pengupasan kulit singkong merupakan tahap terpenting apabila singkong akan dikeringkan. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat proses pengeringan dan meningkatkan kualitas karena kenampakannya akan lebih baik dan bersih. Pengupasan kulit singkong dapat dilakukan dengan menggunakan pisau. Sekitar 22 % dari massa total umbi akan hilang akibat proses pengupasan.
2.2.2. Pencucian Proses pencucian dilakukan untuk membersihkan daging singkong dari kotoran seperti tanah yang masih menempel. Pencucian dilakukan di bawah pancuran air kran, atau dengan merendamnya dalam suatu wadah selama beberapa waktu. Apabila kotoran menempel dengan kuat, maka pencucian dapat dikombinasikan dengan penyikatan dan penyemprotan air.
2.2.3. Pengirisan Proses pengirisan (perajangan) juga merupakan tahap terpenting agar singkong lebih mudah kering. Semakin tipis bahan yang dikeringkan, semakin cepat penguapan air sehingga mempercepat waktu pengeringan. Sedangkan semakin tebal suatu irisan mengakibatkan pengurangan kadar air dalam bahan agak sulit dan memerlukan waktu yang lama. Proses pengirisan dapat dilakukan dengan menggunakan mesin maupun secara manual memakai pisau dengan tebal irisan sampel sekitar 3 mm (Usman & Idakkwo 2011).
2.2.4. Blanching Blanching merupakan proses pemanasan bahan dengan menggunakan uap atau air dengan suhu tinggi dalam waktu singkat. Hal ini bertujuan untuk inaktivasi enzim katalase dan peroksidase, dan mencegah bau dan warna yang tidak dikehendaki selama pengeringan dan penyimpanan. Blanching
4
akan menyebabkan udara dalam jaringan akan keluar dan pergerakan air tidak terhambat, sehingga proses pengeringan menjadi lebih cepat. Proses blanching irisan singkong dilakukan dengan merendam terlebih dahulu dalam air bersuhu 90 C selama 5 menit (Bacelos & Almeida 2011).
2.2.5. Pengeringan Pengeringan irisan singkong dapat dilakukan di bawah cahaya matahari langsung, alat pengering bertenaga surya, atau dengan mesin pengering. Pengeringan dengan menggunakan cahaya matahari langsung membutuhkan waktu yang agak lama, karena tergantung pada intensitas dan lama penyinaran. Pengeringan dengan alat pengering bertenaga surya juga memiliki ketergantungan pada intensitas dan lama penyinaran, tetapi waktunya relatif lebih singkat. Pengeringan dengan mesin memberikan hasil yang lebih cepat dan mutunya lebih baik, tetapi harus diperhatikan pengontrolan suhu dan kelembaban relatif nya.
2.3.
TEORI PENGERINGAN
Proses pengeringan merupakan proses pengambilan atau penurunan kadar air sampai batas tertentu sehingga dapat menghambat laju kerusakan bahan pertanian akibat aktivitas biologis dan kimia (Henderson & Perry 1989; Brooker et al 1992). Mujumdar & Devahastin (2001) menyatakan bahwa pengeringan adalah sebuah operasi yang rumit meliputi perpindahan panas dan massa transien dengan beberapa laju proses seperti transformasi fisik dan kimia yang pada akhirnya dapat menyebabkan perubahan mutu. Perubahan fisik yang terjadi meliputi penyusutan, penggembungan, proses kristalisasi, dan transisi gelas. Sedangkan perubahan secara kimia menyebabkan perubahan warna, tekstur, bau, dan sifat - sifat bahan lainnya. Pengeringan biasanya menggambarkan proses termal, dimana panas dibutuhkan untuk menguapkan air dari bahan yang dikeringkan, sedangkan media penghantar panas dapat menggunakan udara (Brooker et al. 1974). Panas yang diberikan dapat dilakukan secara konveksi, konduksi, dan radiasi. Mengacu pada Mujumdar & Devahastin (2001), bahwa lebih dari 85 % pengering industri merupakan tipe konveksi dengan medium udara panas atau gas buang. Panas diberikan pada lapisan batas bahan yang dikeringkan dan selanjutnya terdifusi ke dalam bahan secara konduktif. Air dalam bahan akan bergerak ke lapisan batas dan kemudian menguap dan dibawa oleh udara pengeringan. Hasil dari proses pengeringan adalah bahan kering yang mempunyai kadar air setara dengan kadar air keseimbangan udara (atmosfir) normal atau setara dengan nilai aktivitas air (aw) yang aman dari kerusakan enzimatis, mikrobiologis, dan kimiawi (Henderson & Perry 1976). Dasar proses pengeringan biasanya akan melibatkan dua kejadian yaitu panas yang harus diberikan pada bahan dan air yang harus dikeluarkan dari bahan. Dua fenomena ini menyangkut pindah panas dan pindah massa air yang terjadi secara simultan. Yang dimaksudkan dengan pindah panas adalah peristiwa perpindahan energi dari udara ke dalam bahan yang dapat menyebabkan berpindahnya sejumlah massa (kandungan air) karena gaya dorong untuk keluar dari bahan (pindah massa). Air yang diuapkan terdiri atas (1) air bebas, yang disebut juga free water dan mempunyai sifat air normal dan mudah terlepas. Selain itu, (2) air terikat secara fisik, air yang terikat pada rongga - rongga kapiler dari bahan dan yang terikat pada permukaan bahan sehingga memiliki daya ikat lemah dan mudah diputuskan. (3) Air terikat secara kimia, yaitu air yang terikat pada senyawa lain (bagian dari senyawa bahan itu sendiri) seperti protein dan karbohidrat. Air bebas dapat dengan mudah diuapkan pada proses pengeringan karena diperlukan energi yang lebih kecil daripada air terikat. Kadar air suatu
5
bahan menunjukkan jumlah air yang dikandung bahan tersebut, baik berupa air bebas maupun air terikat yang berada di dalam bahan (Henderson & Perry 1976). Selama proses pengeringan, yang pertama kali mengalami penguapan adalah air bebas. Laju penguapan air bebas sebanding dengan perbedaan tekanan uap air pada permukaan dengan tekanan uap pada udara pengering (Henderson & Pabis 1961). Bila konsentrasi air pada permukaan cukup besar, sehingga permukaan bahan tetap basah maka akan terjadi laju penguapan yang tetap. Periode ini disebut dengan laju pengeringan konstan. Setelah air bebas menguap karena pengeringan, maka akan terjadi perpindahan air dan uap secara difusi dari bagian dalam ke permukaan bahan. Hal ini terjadi akibat perbedaan konsentrasi atau tekanan uap antara bagian dalam dan bagian luar bahan. Pola penurunan kadar air bahan dapat diilustrasikan sebagai berikut.
Gambar 2. Kurva penurunan kadar air terhadap waktu (Hall 1957) Seperti terlihat pada Gambar 2 dan Gambar 3, bahwa selama proses pengeringan terdapat dua laju pengeringan, yaitu laju pengeringan konstan dan laju pengeringan menurun. Laju pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan (satuan berat) per satuan waktu tertentu. Laju pengeringan konstan (B-C) terjadi setelah proses inisiasi yaitu pemanasan bahan (A-B). Laju pengeringan menurun (C-E) terjadi setelah akhir laju pengeringan konstan. Laju pengeringan ini sebanding dengan perbedaan tekanan uap air antara dalam dan luar bahan. Semakin kecil kandungan air di bagian dalam maka tekanan uapnya juga semakin kecil sehingga laju pengeringan semakin menurun. Laju pengeringan menurun sering dikelompokkan menjadi dua tahap, yaitu tahap laju pengeringan menurun pertama dan laju pengeringan menurun kedua. Laju pengeringan menurun pertama: pada titik C, dimulai saat kadar air berada pada akhir periode laju pengeringan konstan (critical moisture content). Pada titik ini, permukaan dari bahan (solid) tidak jenuh dan laju pengeringan menurun seiring menurunnya kandungan air. Pada titik D, kandungan air yang berada pada lapisan permukaan sudah teruapkan sepenuhnya dan lebih lanjut, laju pengeringan dikontrol oleh laju dari pergerakan uap dari dalam bahan (Rizvi & Mittal 1992). Laju pengeringan menurun kedua: pada periode (D-E) menunjukkan kondisi bahwa penguapan terjadi di bagian dalam bahan dan uap air kemudian berdifusi ke permukaan.
6
Gambar 3. Kurva karakteristik pengeringan (Hall 1957) Selama proses pengeringan, laju pengeringan semakin lama akan semakin menurun. Besarnya laju pengeringan berbeda-beda pada setiap bahan. Faktor - faktor yang mempengaruhi laju pengeringan tersebut adalah: 1. Bentuk bahan, ukuran, volume, dan luas permukaan. 2. Sifat termofisik bahan, seperti: panas laten, panas jenis spesifik, konduktivitas termal, dan emisivitas termal. 3. Komposisi kimia bahan, misalnya kadar air awal. 4. Keadaan di luar bahan, seperti suhu, kelembaban udara, dan kecepatan aliran udara pengering.
2.4.
MODEL MATEMATIKA PENGERINGAN LAPISAN TIPIS
Hall (1980) menyatakan bahwa pengeringan lapisan tipis adalah pengeringan bahan dimana semua bagian bahan yang terdapat dalam lapisan tersebut dapat menerima langsung panas yang berasal dari udara pengering. Pengeringan lapisan tipis menyebabkan semua bahan pada lapisan tersebut mengalami pengeringan secara seragam. Perubahan kadar air bahan selama pengeringan lapisan tipis dapat diduga dengan mengembangkan model matematis baik secara teoritis, semi teoritis, dan empiris.
2.4.1. Model Teoritis Mengacu pada Luikov (1966) dalam Brooker et al. (1992) telah mengembangkan model matematis dalam bentuk persamaan diferensial untuk menggambarkan proses pengeringan dari produk hasil pertanian seperti biji - bijian. Disertai dengan hukum kekekalan massa dan energi, diperoleh persamaan untuk kadar air dan suhu pada pengeringan satu dimensi sebagai berikut: =
+
=
+
(1)
7
dimana dan adalah koefisien fenomenologis (misalnya = D dan = 1/ ), dan nilai K lainnya menunjukkan koefisien gabungannya. Koefisien gabungan tersebut merupakan perpaduan dari kadar air dan gradien suhu pada transfer uap dan energi. Umumnya, pengeringan bahan-bahan biologik mengikuti periode laju pengeringan menurun. Pada periode ini, perpindahan air atau migrasi uap air melibatkan satu atau lebih mekanisme transport seperti difusi cair, difusi uap, difusi Knudsen, difusi permukaan, perbedaan tekanan hidrostatik, dan kombinasi dari mekanisme - mekanisme yang ada (Mujumdar & Devahastin 2001). Difusivitas efektif ( ) didefinisikan untuk menggambarkan laju perpindahan air di dalam bahan tanpa memandang mekanisme transport yang terjadi, biasanya dinyatakan dalam m2/detik. Persamaan difusi diturunkan dari hukum Fick kedua, =
(2)
dengan mengasumsikan koefisien difusivitas konstan untuk seluruh proses pengeringan, kadar air bahan seragam dengan anggapan bahwa resistensi perpindahan air tersebar secara merata di dalam bahan yang homogen, dan tidak terjadi perubahan volume akibat penyusutan maka persamaan (2) dapat ditulis menjadi: =
(3)
Apabila persamaan (3) dilakukan pemecahan dengan menggunakan kondisi batas sesuai bentuk masing - masing untuk berbagai bentuk standar (slab, silinder, dan bola) (Pakowski & Mujumdar 1995). Adapun, persamaan umum untuk bentuk datar (slab) dapat dituliskan sebagai berikut: MR =
=
exp
(4)
Persamaan (4) tersebut, kemudian disederhanakan lagi dengan cara hanya mempertimbangkan suku pertama dari ruas kanan persamaan tersebut. Kemudian, melalui pendekatan yang dilakukan dengan cara semi - teoritis dan empiris, maka akan diperoleh suatu model pengeringan yang sesuai dengan data percobaan.
2.4.2. Model Semi Teoritis dan Empiris Persamaan pengeringan lapisan tipis diturunkan pula secara semi teoritis dan empiris untuk menyederhanakan penyelesaian persamaan difusi dan pengeringan. Model semi - teoritis pada umumnya diperoleh dari penyederhanaan deret umum dari hukum Fick kedua atau modifikasi dari penyederhanaan model dan berlaku pada selang suhu, RH, dan kecepatan udara dimana model dibangun (Ozdemir & Derves 1999). Beberapa model persamaan matematis yang dapat digunakan dalam perhitungan pengeringan lapisan tipis untuk produk hasil pertanian dapat dilihat pada Tabel 1.
8
Tabel 1. Model-model persamaan matematis pengeringan lapisan tipis (Akpinar EK 2006; Hii et al. 2009; Kaleemullah & Kailappan 2006; Ojediran & Raji 2010; Shen et al. 2011) No
Model
Persamaan
1
Lewis
MR = exp (- kt)
2
Henderson-Pabis
3
Page
MR = exp (- ktn)
4
Modified Page
MR = exp (- kt)n
5
Logarithmic
6
Two-term
7
Midilli-Kucuk
8
Wang and Singh
MR = a exp (- kt)
MR = a exp (- kt) + c MR = a exp (-
t) + b exp (-
t)
MR = a exp (- t)n + b.t MR = 1+ a t + b t2
Setiap produk hasil pertanian memiliki model persamaan yang berbeda. Penelitian karakteristik pengeringan lapisan tipis telah banyak dilakukan pada berbagai jenis bahan pertanian dan mendapatkan beragam model persamaan yang sesuai pada masing-masing bahan tersebut. Seperti yang telah dilakukan oleh Mohammadi et al. (2008) dan Hulasare (1997) menggunakan persamaan Page untuk pengeringan masing-masing produk kiwi dan gandum. Selain itu, Ojediran & Raji (2010) mendapatkan bahwa model Modified Page merupakan model yang paling sesuai dibandingkan beberapa model lainnya untuk jawawut, Shen et al. (2011) mendapatkan bahwa model Wang & Singh merupakan model terbaik untuk batang sorgum. Adapun, beberapa model pengeringan lapisan tipis yang dipilih karena biasa digunakan oleh para peneliti dalam menggambarkan karakteristik pengeringan lapisan tipis dari berbagai produk pertanian (Kashaninejad 2007): 1. Lewis model Model ini mengasumsikan bahwa tahanan dalam (internal resistance) dapat diabaikan. Hal ini berarti tidak ada perlawanan untuk bergeraknya air dari dalam bahan menuju ke permukaan bahan. Model ini paling umum digunakan karena sederhana. 2. Henderson & Pabis model Model ini merupakan salah satu pendekatan dan variasi dari model difusi yang telah digunakan oleh para peneliti dalam pemodelan karakteristik produk pertanian. 3. Page model Page mengusulkan bahwa ada dua konstanta empiris sebagai modifikasi dari model eksponensial (model Lewis) untuk memperbaiki kekurangannya dan menghasilkan model yang sesuai untuk berbagai bahan pertanian.
2.5.
KONSTANTA PENGERINGAN
Konstanta pengeringan merupakan karakteristik bahan dalam mempertahankan air yang terkandung didalamnya terhadap pengaruh udara panas. Konstanta pengeringan dinyatakan sebagai persatuan waktu (1/menit atau 1/jam). Semakin tinggi nilai konstanta pengeringan, semakin cepat suatu bahan membebaskan airnya. Konstanta pengeringan (k) dalam sistem pengeringan lapisan tipis
9
tergantung pada kondisi bahan (kadar air, suhu, dan geometri bahan) dan kondisi pengeringan (suhu, kelembaban, dan laju udara pengeringan). Secara empiris, konstanta - konstanta pengeringan dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan (5) atau dikenal juga dengan model Page (Mohammadi et al. 2008). MR =
= exp (- ktn)
(5)
Konstanta pengeringan merupakan koefisien yang berkaitan dengan nilai difusivitas bahan sehingga nilai konstanta pengeringan juga merupakan fungsi dari suhu dan RH udara pengeringan. Semakin tinggi suhu, maka semakin tinggi nilai konstanta pengeringannya. Hubungan antara konstanta pengeringan (k dan n pada model Page) dan suhu pengeringan dapat dinyatakan menggunakan persamaan berikut (Mohammadi et al. 2008): k, n = a + bT + cT2 (6) Demikian juga, hubungan antara konstanta pengeringan dan RH pengeringan dapat dinyatakan secara empiris menggunakan persamaan sebagai berikut: k, n = a + b(RH) + c(RH)2 (7) dimana a, b, dan c merupakan konstanta persamaan yang diperoleh dengan regresi non-linier, T adalah suhu pengeringan dan RH merupakan kelembaban relatif udara pengeringan.
2.6.
PENYUSUTAN DAN PENGOLAHAN CITRA
Berkurangnya air karena proses pengeringan menyebabkan penyusutan pada bahan. Penyusutan biasanya merupakan karakteristik yang dapat diketahui dengan menentukan perubahan yang terjadi pada volume dan atau dimensi bahan (Wang et al. 2007). Penyusutan pada bahan juga menyebabkan pengerutan, peretakan, dan pembengkokan. Difusivitas pada bahan akan berkurang sejalan dengan berkurangnya kadar air. Pada kasus yang ekstrim, difusivitas air terhalang oleh kulit yang kedap air, sehingga kadar air pada bagian dalam bahan tidak berubah (tetap). Hal ini disebut dengan case hardening. Semua hal tersebut dapat diminimalkan dengan penurunan laju pengeringan, sehingga penyusutan pada permukaan bahan berkurang dan difusivitas bahan akan mendekati konstan. Oleh karena itu, perlu mengontrol laju pengeringan dengan mengontrol kelembaban udara pengering. Pengolahan citra adalah suatu cara yang mudah diterapkan untuk melihat perubahan bentuk bahan. Fernandez et al (2005) menggunakan analisis citra untuk mengetahui perubahan warna, bentuk, dan penyusutan selama pengeringan buah apel berlangsung. Semua parameter yang berhubungan dengan bentuk (area, perimeter, fourier energy) diteliti dengan menggunakan sistem standar pengambilan citra, seperti camera digital, iluminasi, komputer (hardware dan software). Pengolahan citra merupakan suatu metode yang digunakan untuk memproses atau memanipulasi gambar dalam bentuk dua dimensi. Secara umum, tujuan dari pengolahan citra adalah mentransformasikan atau menganalisis suatu gambar, sehingga informasi baru tentang gambar yang dibuat lebih jelas. Mengacu pada Niblack (1986) dalam Manalu (2011), terdapat empat klasifikasi dasar dalam pengolahan citra yaitu, point, area, geometri, dan frame. Pada operasi point, pemrosesan nilai piksel suatu citra dilakukan berdasarkan nilai dan posisi dari piksel tersebut. Hal - hal yang termasuk dalam operasi ini adalah pengaturan brightness, kontras, color balance, negatif, gray scaling, serta sephia. Pada operasi area, pemrosesan nilai piksel suatu citra dilakukan berdasarkan nilai piksel tersebut beserta nilai piksel sekelilingnya. Hal yang termasuk dalam operasi area ini adalah sharpening dan smoothing. Operasi geometri digunakan untuk mengubah posisi dari sebuah piksel menjadi posisi lain yang dikehendaki. Hal yang termasuk dalam operasi ini adalah translasi, scaling, rotasi, dan flip.
10
Kebanyakan kamera menangkap citra dalam bentuk gelombang analog yang kemudian dilakukan pengambilan sampel dan dikuantisasi untuk mengkonversikannya ke dalam bentuk citra digital. Pada proses selanjutnya representasi tersebut yang akan diolah secara digital oleh komputer. Pengolahan citra pada umumnya sangat erat kaitannya dengan computer aided analysis yang bertujuan untuk mengolah suatu objek citra dengan cara mengekstrasi informasi penting yang terdapat didalamnya. Sehingga, dari informasi tersebut dapat dilakukan proses analisis dan klasifikasi secara cepat memanfaatkan algoritma perhitungan komputer. Pengolahan citra sangat berhubungan dengan teknologi komputer dan algoritma matematik untuk mengenali, membedakan, serta menghitung gambar yang terdiri dari langkah perolehan citra dan segmentasi. Sistem pengambilan citra (gambar) terdiri atas empat komponen dasar, yaitu iluminasi, kamera, hardware, dan software. Format data citra digital berhubungan erat dengan warna. Hal ini berkaitan untuk keperluan penampilan secara visual. Format citra digital yang banyak dipakai adalah citra biner (monokrom), citra skala keabuan (gray scale), citra warna (true color), dan citra warna berindeks. Proses segmentasi suatu objek citra dilakukan dengan menerapkan threshold dan mengurangi latar belakang untuk memperoleh citra biner, serta memperkecil nilai noisy (gangguan) pada gambar (Da Fontoura & Marcondes 2001). Thresholding atau binerisasi yaitu pengelompokan piksel-piksel dalam citra berdasarkan batas nilai intensitas tertentu. Pada operasi ini hasil proses suatu titik atau piksel tidak tergantung pada kondisi piksel-piksel disekitarnya dan dalam operasi binerisasi, satu piksel pada citra asal akan dipetakan menjadi piksel objek atau latar belakang. Operasi thresholding dapat dilakukan dengan hanya melihat nilai-nilai intensitas sinyal merah, sinyal hijau, atau sinyal biru, atupun dengan citra grayscale yang dihasilkan dengan merata-ratakan nilai intensitas ketiga sinyal di atas. Keempat cara thresholding ini digunakan untuk memberi keleluasaan kepada pengguna untuk menghasilkan citra terbaik berdasarkan kondisi citra warna yang akan diproses. Cahaya di dalam ruang, harus datang dari segala arah agar tidak menimbulkan bayangan dan harus kuat agar tidak menimbulkan efek pantulan pada permukaan objek, terutama untuk objek yang mempunyai permukaan licin. Adanya pantulan pada permukaan objek akan menghilangkan informasi warna karena permukaan akan menjadi putih atau sangat terang (warna telah dinetralkan) (Ahmad 2005). Terdapat dua substansi pendekatan yang berbeda dalam membuat model persamaan penyusutan bahan pangan selama pengeringan. Pertama, disusun berdasarkan model empiris dari data penyusutan sebagai fungsi kadar air. Pendekatan yang kedua, didasarkan pada interpretasi fisik dari sistem pangan yang kemudian digunakan untuk menduga perubahan bentuk bahan berdasarkan hukum kekekalan massa dan volume. Pada kedua pendekatan tersebut dihasilkan baik model linier maupun non-linier untuk menjelaskan perilaku penyusutan terhadap kadar air (Mayor & Sereno 2004). Perubahan dimensi dan bentuk bahan terjadi secara simultan dan difusi air mempengaruhi laju kehilangan air pada saat pengeringan. Pada umumnya, model penyusutan didasarkan pada geometri standar, yaitu bentuk bola, silinder, kubus, dan datar (slab). Sedangkan dimensi yang dikaitkan dengan perubahan kadar air bahan, yaitu ketebalan, diameter, luas permukaan, atau volume.
11