TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu hamparan wilayah yang dibatasi oleh pembatas topografi yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai (sub-DAS) dan keluar melalui satu titik (outlet). DAS merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari berbagai komponen dan unsur, yang mana unsur utamanya adalah vegetasi, tanah, air dan manusia dengan segala apa yang dilakukan di daerah tersebut. Komponen vegetasi, tanah dan air membentuk subsistem biofisik, sedangkan komponen manusia dengan perilakunya membentuk subsistem sosial, kedua subsistem ini berinteraksi dalam bentuk ekosistem DAS (Syarief 1997; Arsyad 2000; Sinukaban 2003). Pengelolaan DAS pada dasarnya adalah usaha-usaha penggunaan sumberdaya alam di suatu DAS secara rasional untuk mencapai tujuan produksi yang maksimum dalam waktu yang tidak terbatas (lestari), disertai usaha menekan kerusakan seminimal mungkin sehingga distribusi aliran sungai, pengembangan sosial-ekonomi dan pengaturan tata ruang wilayah dapat berjalan sepanjang tahun. Pengelolaan DAS juga ditujukan untuk produksi dan perlindungan sumberdaya air termasuk di dalamnya pengendalian erosi dan banjir (Sinukaban 2003). Terdapat tiga unsur pokok dalam pengelolaan DAS yaitu lahan, air dan pengelolaan. Lahan meliputi semua komponen dari suatu unit geografis dan atmosfer tertentu seperti tanah, air, batuan, vegetasi, kehidupan mahluk hidup serta perkembangannya. Untuk itu pengelolaan DAS dapat diartikan sebagai pengelolaan lahan untuk produksi air dengan kuantitas optimum, pengaturan produk air dan stabilitas tanah yang maksimum (Arsyad 2000). Salah satu faktor yang mempengaruhi pengelolaan DAS adalah faktor iklim terutama hujan. Intensitas, jumlah dan penyebarannya menentukan kecepatan dan volume aliran permukaan. Jumlah curah hujan rata-rata yang tinggi
11
dalam satu periode kemungkinan tidak akan menyebabkan aliran permukaan jika intensitasnya rendah dan perkolasinya tinggi.
Demikian pula jika hujan
intensitasnya tinggi tetapi dalam waktu atau periode singkat, kemungkinan tidak akan menyebabkan banjir atau erosi tanah (Haryati et al. 1993; Arsyad 2000). Adapun tujuan yang lebih besar dari setiap kegiatan pembangunan dalam suatu DAS seharusnya sama, yaitu untuk memberikan kontribusi pada pembangunan ekonomi nasional, pembangunan daerah atau wilayah dan usaha memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan (Sinukaban 2003). Hal ini dapat diukur dari kondisi tata air tersebut yaitu tersedianya air yang cukup sepanjang waktu baik kuantitas maupun kualitas. Untuk menciptakan tata air tersebut, diperlukan suatu tata kelola air yang diperoleh dari air hujan maupun dari sumber-sumber air yang terjadi karena interaksi antara vegetasi permanen yang terdapat dalam kawasan tersebut, terutama oleh pohon-pohon yang rimbun (Sukmana et al. 1990). Pemanfaatan Lahan Kering di DAS Lahan kering adalah lahan yang dalam keadaan alamiah, bagian atas dan bawah tubuh tanah tidak jenuh air atau tidak tergenang dan sepanjang tahun di bawah kapasitas lapang. Kekeringan tanah tersebut dipengaruhi oleh kondisi cuaca, fisiografis dan faktor edafis. Diperkirakan dari hampir 200 juta hektar luas daratan di Indonesia, sekitar 124 juta hektar berupa lahan kering (Satari et al. 1991; Kartono 1998). Kondisi fisik lahan kering umumnya lahan tadah hujan berciri khas agroekologi lahan yang sangat beragam karena ketersediaan air, tingkat erosi, tingkat adopsi teknologi yang masih rendah dan ketersediaan yang sangat terbatas serta peka terhadap erosi. Penggunaan airnya sampai saat ini masih mengandalkan air yang bersumber dari curah hujan. Menurut Prasad dan Power (1997), lahan kering di Indonesia menurut sifatnya merupakan areal yang dibatasi oleh kendala-kendala berupa: topografi yang tajam dengan penutupan vegetasi jarang sehingga laju infiltrasi dan erosi tanah cukup tinggi, hujan yang tidak merata dan kemampuan tanah untuk menyimpan air yang rendah. Kaidah umum yang dapat dikembangkan adalah
12
lahan kering antara kemiringan 0-15%. Secara ideal lahan kering untuk budidaya tanaman pangan terbatas pada daerah yang relatif datar hingga berombak (kemiringan < 8%). Sedangkan pada kemiringan lebih dari 8% perlu persyaratanpersyaratan penanggulangan erosi jika akan digunakan sebagai areal budidaya (Kusmana 1998; Sitorus 2001). Pengelolaan lahan kering harus bertujuan untuk memantapkan dan melestarikan produktivitas serta mempertahankan keragaman alami masyarakat biotik dalam batas-batas daya dukung lingkungan, konservasi tanah dan air serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bentuk pola tanam yang banyak diusahakan adalah sistem agroforestri dengan pola lorong (alley cropping), pohon pembatas (trees along border), pola campuran (mixed cropping) atau pola baris (alternate rows). Pola ini terlihat lebih dinamis terutama dalam berbagi sumberdaya (resources sharing) baik antar pohon dengan tanaman semusim maupun antar tanaman semusim, terutama dalam penangkapan cahaya matahari (Suryanto et al. 2005). Menurut Irawan dan Pranadji (2002), bahwa pengelolaan lahan kering juga memiliki keragaman agroekologi yang lebih tinggi dibandingkan lahan sawah. Keragaman tersebut mengakibatkan pelibatan jumlah rumah tangga tani pengguna lahan kering jauh lebih besar daripada sawah. Pada tahun 1993 tercatat sekitar 17 juta rumah tangga tani menggunakan lahan kering untuk menjalankan usaha pertaniannya, sedangkan pada lahan sawah hanya sekitar 10 juta rumah tangga tani. Hal ini menunjukkan bahwa lahan kering mampu menyediakan lapangan usaha pertanian yang lebih tinggi dibandingkan lahan sawah. Dari 19.7 juta (1993) rumah tangga tani pengguna lahan pertanian, sekitar 87% menggunakan lahan kering sedangkan yang menggunakan lahan sawah hanya 49%. Untuk wilayah DAS Cianjur pemanfaatan lahan kering umumnya dengan sistem agroforestri. Sistem agroforestri di daerah ini berupa pekarangan (home gardens), kebun campuran (mixed gardens) dan kebun hutan (forest gardens). Sistem agroforestri ini berlangsung sudah cukup lama dalam bentuk tumpang sari dan kebun campuran yang memiliki beberapa keuntungan yaitu pemanfaatan energi yang optimal, mengurangi resiko kerusakan serta dapat mempertahankan
13
keragaman komponen ekosistem (biodeversity).
Dengan karakteristik sistem
semacam ini maka sistem agroforestri dapat meningkatkan produktivitas, stabilitas, kelestarian lahan dan pendapatan petani. Adapun tanaman-tanaman dalam sistem agroforestri ini berupa tanaman buah, sayuran, bumbu, semak/rumput, tanaman penghasil biji-bijian, industri, kayu bakar, bahan bangunan dan tanaman hias (Arifin et al. 2002). Agroforestri Agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang berorientasi sosial dan ekologi dengan mengintegrasikan pepohonan dengan tanaman pertanian dan atau ternak secara simultan atau berurutan untuk mendapatkan total produksi tanaman dan hewan secara berkelanjutan dari suatu unit lahan dengan input teknologi yang sederhana pada lahan-lahan marginal (Nair 1989). Agroforestri juga didefinisikan sebagai suatu sistem manajemen lahan yang
berkelanjutan
untuk
meningkatkan
variasi
hasil
lahan
dengan
mengkombinasikan antara tanaman pertanian dengan pohon dan atau hewan secara simultan atau berurutan dalam unit lahan yang sama dan dengan aplikasi pengelolaan yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat.
Definisi ini
dipertegas kembali bahwa agroforestri merupakan suatu istilah atau nama kolektif untuk sistem pengelolaan lahan dengan teknologi yang sepadan, dimana pohon dengan sengaja diusahakan dalam unit yang sama dengan tanaman pertanian dan atau ternak pada saat yang sama atau berurutan. Dalam sistem agroforestri ini terintegrasi sekaligus aspek ekologis dan aspek ekonomis. King dan Chandler (1978) dan Wijayanto (2002), juga memberikan definisi yang hampir sama, bahwa agroforestri secara luas merupakan suatu sistem usaha tani atau penggunaan lahan yang mengintegrasikan secara spatial, temporal tanaman pohon dan tanaman semusim pada sebidang lahan yang sama. Agroforestri
juga
merupakan
bentuk
penggunaan
lahan
yang
dapat
mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan secara keseluruhan yang merupakan kegiatan campuran antara kegiatan kehutanan dan pertanian baik secara bersama-sama atau secara bergilir dengan menggunakan manajemen
14
praktis yang disesuaikan dengan pola budaya masyarakat setempat. Sistem agroforestri ini mencakup bentuk atau cara pemanfaatan lahan seperti yang umum dilakukan oleh masyarakat Indonesia seperti kebun talun, pekarangan dan kebun campuran. Pengembangan agroforestri juga merupakan salah satu jawaban dalam mengatasi masalah degradasi lahan dan penurunan produktivitas. Menurut Cruz dan Vegera (1987), penerapan agroforestri dapat bermanfaat pada aspek perlindungan yaitu menekan erosi, tanah longsor, run off dan kehilangan hara; aspek rehabilitasi yaitu status hara, bahan organik, pH tanah, dan pada periode jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas tanaman, sosial ekonomi, gizi dan kesehatan. Sedangkan Lai (1995) menyatakan bahwa agroforestri telah menjadi suatu yang penting dalam usaha pengembangan pedesaan sebagai strategi mengurangi kemiskinan di desa dan memperbaki kondisi lingkungan. Salah satu bentuk pola tanam yang banyak digunakan pada sistem agroforestri khususnya di daerah dataran tinggi adalah pola lorong (Alley cropping). Alley cropping merupakan pola agroforestri yang menyisipkan tanaman semusim di antara tanaman pohon.
Penanaman ini bertujuan untuk
merubah dan meningkatkan keragaman tanaman, mengurangi erosi air dan angin, memperbaiki pertumbuhan tanaman, meningkatkan pemanfaatan unsur hara (nutrient) dan menambah stabilitas ekonomi dalam sistem pertanian. Selain itu alley cropping juga dirancang untuk memadukan dua tujuan secara bersamaan yaitu tujuan produksi dan konservasi. Karakter pola lorong ini adalah jarak baris pohon antar lorong dan pola ini baik digunakan pada lahan yang miring. Agroforestri juga dapat meningkatkan produktivitas lahan. Peningkatan produktivitas sistem agroforestri dapat dilakukan melalui peningkatan dan/atau diversifikasi hasil dari komponen yang bermanfaat, dan menurunkan jumlah masukan atau biaya produksi. Contoh upaya penurunan masukan dan biaya produksi yang dapat diterapkan dalam sistem agroforestri yaitu penggunaan pupuk nitrogen dapat dikurangi dengan pemberian pupuk hijau dari tanaman pengikat nitrogen pada sistem agroforestri berbasis pohon ternyata memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih rendah dan tersebar lebih merata per satuan produk
15
dibandingkan sistem perkebunan monokultur. Diversifikasi ini bisa dilakukan pada sistem pertanian dataran tinggi dengan sistem agroforestri yang sesuai dengan daerah tersebut. Misalnya seperti yang dilaksanakan di India yang 65% berupa lahan kering, miring dan merupakan lahan tadah hujan, sistem pertaniannya dirubah dari sistem tradisional yang semula mengandalkan tanaman pangan, kayu dan rumput menjadi tanaman kayu dengan tanaman-tanaman semusim yang memiliki nilai ekonomis tinggi (High Value Cash Crop / HVCC), yang dapat memberikan keuntungan yang lebih besar bagi petani (Shrotriya et al. 2002). Pemilihan jenis tanaman sangat menentukan produktivitas tanaman pada sistem agroforestri. Dalam menentukan jenis tanaman yang akan ditanam pada sebidang lahan haruslah diketahui sifat-sifat jenis tanaman dalam hubungannya dengan faktor iklim, tanah dan kecepatan tumbuhnya (Arsyad 2000 dan Sitorus 2001). Adapun menurut Nair (1989), sifat tanaman yang digunakan dalam pola agroforestri harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Tanaman semusim yang digunakan harus tidak lebih tinggi dari tanaman pokok serta dalam pengambilan zat hara tidak pada tempat yang sama di dalam horizon tanah. 2) Tanaman semusim yang digunakan tahan terhadap hama penyakit dibanding dengan tanaman pohon 3) Dalam penanaman, pemeliharaan dan pemanenan tanaman semusim tidak merusak tanaman pohon. 4) Tanaman semusim yang diusahakan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. 5) Tidak menimbulkan erosi serta merusak struktur tanah setelah tanaman semusim dipanen. Menurut Kusmana (1998), bahwa sistem agroforestri memberikan optimalisasi dalam penggunaan lahan dan penerapan sistem ini memberikan manfaat sebagai berikut: 1) Di dalam sistem agroforestri didapat tanaman yang heterogen dan tidak seumur yang terdiri dari dua strata atau lebih. Bentuk pola tanam seperti itu, tajuk tanaman dapat menutup tanah, sehingga tanah terhindar dari erosi dan
16
produktivitas tanah dapat dipertahankan serta pemanfaatan energi surya oleh tanaman dapat maksimal. 2) Pada sistem agroforestri akan didapat bentuk hutan serba guna atau usaha tani terpadu di luar kawasan hutan yang dapat memenuhi kebutuhan majemuk seperti hijauan makanan ternak, kayu dan lingkungan sehat. Dengan demikian sistem ini dapat meningkatkan produktivitas lahan. Di beberapa negara sistem agroforestri secara umum lebih menguntungkan dari pada monokultur (Tabel 1). Keuntungan ini didapat dari keragaman hasil dari pola yang dikembangkan pada masing-masing negara. Tabel 1. Keuntungan dari sistem agroforestri di beberapa negara Negara
Sistem Agroforestri
NPV dalam US$/Ha
Penghasilan dibandingkan non agroforestri
Tanzania
Tanaman kayu
US$ setelah 5 thn
Uganda
Pohon sebagai tanaman pagar
US$ 155-917 tahun
4
Pendapatan bersih turun US$ 4 setelah 4 tahun dibandingkan penanaman jagung secara terusmenerus.
Nepal
Tanaman kayu
Rata-rata penerimaan/tahun US$ 1 582 atau US$ 2 796 untuk 2 sistem AF
Rata-rata pendapatan tahunan US$ 804 dibandingkan penanaman jagung secara terusmenerus.
Vietnam
Tephosia condida sebagai tanaman pagar dengan padi dataran tinggi
Pendapatan dari kayu turun US$ 50 dan dari padi naik US$ 123 setelah 4 tahun
Pendapatan bersih turun US$ 33 setelah 4 tahun pada monokultur padi dataran tinggi Diasumsikan memiliki peluang 0.
India
AF 6.3 kali lebih besar dari pertanaman jagung tanpa pemupukan. setelah
Jarak pagar (Jatrofa US$ 853 setelah 30 tahun curcas) Sumber : Swallow B dan S Ochola (2006)
Begitu juga di Indonesia, total pendapatan tahunan dari sistem agroforestri juga lebih tinggi dibandingkan dengan monokultur seperti di laporkan Santosa (2005) pada Tabel 2.
17
Tabel 2. Pendapatan dan total pendapatan tahunan pada pertanaman vanili di Desa Padasari, dibandingkan intercropping dengan cash crops di Desa Bugel dan pisang di Cijeunjing pada hutan jati di Sumedang Jawa Barat (Santosa 2005). Lokasi
Padasari Bugel Cieunjing z y
Kontribusi terhadap pendapatan (%) Intercropping Padi Tanaman Lainnya y sawah dataran tinggi z 28 ± 4 18 ± 6 8±3 45 ± 10 26 ± 2 11 ± 5 2±1 61 ± 6 32 ± 3 14 ± 6 3±3 51 ± 48
Total pendapatan tahunan (x 1000 rupiah) 6.105 ± 864 4.770 ± 752 4.164 ± 477
Mean ± S.E = Pendapatan dari gaji/upah, dari dagang dll.
Agroforestri dikenal dengan istilah wanatani yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut De Foresta dan Michon (1997), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar. Jenis-jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao, nangka, melinjo, petai, jati dan mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu, sayurmayur dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya. Sistem agroforestri sederhana yang paling banyak diterapkan di Jawa adalah tumpangsari. Sistem ini juga dikenal dengan “taungya” dan sistem ini terutama dikembangkan di areal hutan jati di Jawa dalam rangka program perhutanan sosial dari Perum Perhutani. Pada lahan tersebut petani diijinkan untuk menanam tanaman semusim di antara pohon-pohon jati muda. Hasil tanaman semusim dipanen oleh petani, namun petani tidak diperbolehkan menebang atau merusak pohon jati dan semua pohon tetap menjadi milik Perum Perhutani.
18
Sistem ini berakhir ketika pohon jati telah dewasa dan tajuk telah menutup sempurna. Bentuk agroforestri sederhana ini juga bisa dijumpai pada sistem pertanian tradisional. Pada daerah yang kurang padat penduduknya, bentuk ini timbul sebagai salah satu upaya petani dalam mengintensifkan penggunaan lahan karena adanya kendala alam, misalnya pada tanah-tanah rawa. Sebagai contoh, kelapa ditanam secara tumpangsari dengan padi sawah di tanah rawa di Sumatra. Perpaduan pohon dengan tanaman semusim ini juga banyak ditemui di daerah berpenduduk padat, seperti pohon-pohon randu yang ditanam pada pematangpematang sawah di daerah Pandaan (Pasuruan, Jawa Timur), kelapa atau siwalan dengan tembakau di Sumenep Madura. Contoh lain, tanah-tanah yang dangkal dan berbatu seperti di Malang Selatan ditanami jagung dan ubikayu di antara gamal atau kelorwono (Gliricidia sepium). Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani serta mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Penciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai Agroforest. Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistem agroforestri kompleks ini dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home garden) yang letaknya di sekitar tempat tinggal dan “agroforest”, yang biasanya disebut “hutan” yang letaknya jauh dari tempat tinggal (De Foresta et al. 2000). Contohnya ‘hutan damar’ di daerah Krui Lampung Barat atau hutan karet di Jambi.
19
Kebaikan dan kelemahan sistem agroforestri Kebaikan sistem agroforestri dapat dilihat dari keuntungan secara ekologis atau lingkungan, secara ekonomis dan keuntungan sosial. Keuntungan secara ekologis dapat berupa: a) pengurangan tekanan terhadap hutan, terutama hutan lindung dan suaka alam, b) lebih efisien dalam siklus hara, terutama pemindahan hara dari solum tanah yang lebih dalam ke lapisan permukaan oleh sistem perakaran pohon yang dalam, c) penurunan dan pengendalian aliran permukaan, pencucian hara dan erosi tanah, d) pemeliharaan iklim mikro seperti terkendalinya temperatur lapisan tanah atas, pengurangan evavorasi dan terpeliharanya kelembaban tanah oleh pengaruh tajuk dan mulsa sisa tanaman, e) adanya perbaikan aktivitas mikroorganisme tanah, f) penambahan hara tanah melalui dekomposisi bahan organik sisa tanaman dan atau hewan dan g) terpeliharanya struktur tanah akibat siklus yang konstan dari bahan organik sisa tanaman dan hewan. Secara ekonomis, sistem agroforestri sangat menguntungkan terutama dalam hal: a) lebih bervariasinya produk yang diperoleh yaitu berupa pangan, papan, serat, kayu, bahan bakar, pupuk hijau dan atau pupuk kandang, b) memperkecil resiko kegagalan panen karena gagal atau menurunnya panen dari salah satu komponen, masih dapat ditutupi oleh hasil dari komponen lain, c) meningkatkan pendapatan petani karena input yang diberikan akan menghasilkan output yang berkelanjutan. Sedangkan secara sosial sistem agroforestri memiliki keuntungan yaitu: a) terpeliharanya standar kehidupan masyarakat pedesaan
dengan keberlanjutan
pekerjaan dan pendapatan, b) terpeliharanya sumber pangan dan tingkat kesehatan masyarakat karena peningkatan kualitas dan keragaman produk agroforestri, dan c) terjaminnya stabilitas komunitas petani dan pertanian lahan kering, sehingga dapat mengurangi dampak negatif urbanisasi (Lai 1995). Adapun kelemahan-kelemahan sistem agroforestri secara ekologis adalah: a) kemungkinan terjadinya persaingan mendapatkan sinar matahari, air tanah dan hara antara pohon dan tanaman semusim, b) adanya kerusakan tanaman pertanian
20
pada saat pemanenan pohon, c) tanaman pohon berpotensi menjadi inang bagi hama dan penyakit tanaman, d) relatif lamanya regenerasi pohon menyebabkan penyempitan lahan untuk tanaman pertanian sejalan dengan semakin besarnya tanaman pohon. Kelemahan dari segi sosial ekonomi antara lain: a) terbatasnya tenaga kerja yang yang berminat di bidang pertanian, khususnya dalam membangun sistem agroforestri, b) terjadinya persaingan antara pohon dan tanaman semusim yang dapat menurunkan hasil, c) waktu yang cukup panjang untuk menunggu panen pohon dapat mengurangi keuntungan sistem agroforestri, d) sistem agroforestri diakui lebih kompleks sehingga lebih sulit diterapkan, apalagi dengan pengetahuan petani yang terbatas dibandingkan dengan sistem pertanian monokultur dan e) keengganan sebagian besar petani untuk menggantikan tanaman pertanian/pangan dengan pohon dan atau sebaliknya yang lebih bernilai ekonomis. Dengan tingkat pengetahuan yang memadai, sebenarnya kelemahankelemahan ini dapat dikendalikan sebagian dan atau seluruhnya dengan jalan: a) penggunaan pohon kacang-kacangan atau tanaman berbuah polong yang relatif sedikit menghambat sinar matahari, sehingga kebutuhan cahaya untuk tanaman dapat terpenuhi, b) memilih pohon yang memiliki perakaran yang dalam, untuk mengurangi persaingan penyerapan hara dan air dengan tanaman pertanian di sekitar permukaan atau tanah lapisan atas, dan c) jarak tanam pohon yang lebih lebar, sehingga mengurangi persaingan cahaya matahari, hara dan air tanah dengan tanaman pertanian. Agroekologi Agroekologi merupakan studi agroekosistem yang holistik, termasuk semua elemen lingkungan dan manusia, dengan penekanan pada bentuk, dinamika dan fungsi hubungan timbal balik antar unsur-unsur tersebut serta proses dimana mereka terlibat.
Adapun yang tampak secara implisit dalam pekerjaan
agroekologi adalah gagasan bahwa dengan memahami hubungan-hubungan dan proses-proses ekologi ini, agroekosistem dapat dimanipulasi untuk memperbaiki
21
produksi dan berproduksi secara lebih berkelanjutan dengan dampak negatif yang lebih sedikit terhadap lingkungan dan masyarakat serta input dari luar yang lebih rendah (Reijntjes 2004). Agroekologi juga mengarah pada pendekatan yang menekankan terjadinya keseimbangan dalam sistem pertanian atau biasa disebut keseimbangan agroekosistem. Agroekosistem menekankan pada analisis yang mengadopsi konsep
sistem
dengan
tujuan
mengidentifikasi
berbagai
faktor
yang
mempengaruhi keragaman sistem usahatani sehingga antara satu tempat dengan tempat yang lain terjadi perbedaan terhadap: produktivitas (productivity), stabilitas produksi (stability), keberlanjutan produksi (sustainability) dan pemerataan distribusi produksi atau pendapatan (equilibilty) (Bey dan Las 1991). Sedangkan menurut Keeney (1990), pemahaman tentang konsep agroekosistem ini diharapkan mampu menciptakan suatu sistem budidaya yang berkelanjutan (sustainable agriculture) dan perbaikan lingkungan, termasuk perlindungan dan perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan tersebut. Agroekosistem juga merupakan kesatuan komunitas tumbuhan dan hewan serta lingkungan kimia dan fisiknya yang telah dimodifikasi oleh manusia untuk menghasilkan makanan, bahan bakar dan produk lainnya bagi konsumsi manusia. Sedangkan dalam budidaya tanaman modifikasi ini diharapkan dapat menciptakan dan mempertahankan kondisi-konsisi tanah sebagai berikut: 1) Ketersediaan air, udara dan unsur hara tepat waktu dalam jumlah seimbang dan mencukupi. 2) Struktur tanah yang gembur yang dapat meningkatkan pertumbuhan akar, pertukaran unsur-unsur gas, ketersediaan air dan kapasitas penyimpanan. 3) Suhu tanah yang dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman. 4) Tidak ada unsur-unsur toksik (racun) yang menghambat pertumbuhan tanaman. Pada agroekosistem terdapat konsep zona agroekologi (agroecological zones). Konsep ini merupakan pendekatan membagi wilayah ke dalam zona-zona fisik yang kurang lebih homogen. Dalam konsep ini evaluasi lahan sangat
22
diperlukan
untuk
pengambilan
keputusan
penggunaan
lahan.
Adapun
parameternya adalah: fisiografi, unsur iklim, ketinggian tempat, vegetasi dan sebaran tanah sampai tingkat sub group (Rositter 1994). Untuk wilayah DAS, parameternya adalah ketinggian dimana secara umum zonanya terbagi menjadi daerah atas (hulu), tengah dan bawah (hilir). Keberlanjutan (Sustainability) Konsep keberlanjutan telah menjadi perhatian dalam pembangunan pertanian dewasa ini.
Dalam bidang pertanian, konsep keberlanjutan yang
mengarah menjadi produktivitas yang berkelanjutan menjadi tujuan akhir pengembangan pertanian oleh Consultatif Group on International Agriculture Research (CGIAR) sejak tahun 1970. Sejak pertanian berkembang dan menjadi konsep yang dinamis, CGIAR mendefinisikan bahwa pertanian berkelanjutan adalah keberhasilan pengelolaan sumberdaya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan masyarakat dengan tetap menjaga kualitas lingkungan dan sumberdaya alam. Pertanian yang berkelanjutan juga merupakan suatu sistem pertanian yang dalam waktu lama dapat mempertahankan kualitas lingkungan dan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia berupa makanan dan serat-seratan dan layak secara ekonomi serta meningkatkan taraf hidup petani maupun masyarakat secara umum. Mugnisjah (2001), menyatakan bahwa pertanian yang berkelanjutan adalah suatu sistem budidaya dimana teknologi budidaya yang digunakan memungkinkan lahan yang dikelola dapat memberikan produksi tanaman dan atau hewan yang memuaskan tanpa menimbulkan kerusakan atas lahan tersebut sehingga produktivitasnya dapat dipertahankan oleh sistem produksi pertanian itu sendiri.
Ada beberapa prinsip dalam pertanian berkelanjutan yaitu: 1)
mengorganisasi produksi tanaman dan hewan serta manajemen sumberdaya usaha tani secara harmonis sehingga tidak bertentanggan dengan sistem alamiah, 2) menggunakan dan mengembangkan teknologi yang tepat berdasarkan pemahaman sistem biologis, 3) mencapai dan memelihara kesuburan tanah untuk mencapai produksi optimum dengan mengandalkan penggunaan sumberdaya yang dapat
23
diperbaharui, 4) melaksanakan diversifikasi untuk mencapai produksi optimum, 5) mengusahakan nilai gizi optimum dari bahan makanan pokok, 6) menggunakan struktur yang terdesentralisasi untuk pengolahan, distribusi dan pemasaran hasil, 7) mengupayakan hubungan yang setaraf antar subyek yang bekerja dan yang hidup di atas lahan usaha tani, 8) menciptakan suatu sistem yang menyenangkan dari segi estetika bagi yang bekerja di dalam sistem tersebut dan bagi orang di luar yang memandangnya, dan 9) menjaga dan melindungi satwa liar yang menjadi habitatnya. Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) juga merupakan bentuk pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi: penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas
produksi,
serta
lingkungannya.
Proses
produksi
pertanian
yang
berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan. Pertanian berkelanjutan ini mancakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi (Sitorus 2004), sedangkan menurut Liu et al. (1999), keberlanjutan mencakup subsistem ekonomi, teknologi, ekologi dan subsistem masyarakat pedesaan.
Untuk
mengukur
tingkat
keberlanjutan,
perlu
dilakukan
analisis
keberlanjutan. Kawasan DAS Cianjur yang meliputi wilayah dari hulu ke hilir, dengan orientasi pengembangan ekonominya berbasis tanaman sayuran dataran tinggi dan tanaman pangan, memerlukan analisis keberlanjutan (sustainability analysis) usahatani agar dapat diupayakan pengelolaan berkelanjutan.
kawasan yang
Salah satu metode analisis adalah menghitung tingkat
keberlanjutan usaha tani (sistem agroforestri), baik pada setiap zona DAS maupun keberlanjutan sistem agroforestri secara umum (seluruh kawasan DAS) berdasarkan kondisi riil masyarakat setempat (existing condition) dengan mengelompokkan (cluster) beberapa aspek keberlanjutan yaitu aspek agronomi, aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek ekologi.
ANALISIS KARAKTERISTIK BIOFISIK DAN AGROKLIMAT SISTEM AGROFORESTRI DI DAS CIANJUR (Analysis Characteristic Biophisics and Agroclimate of Agroforestry System in Cianjur Watershed) ABSTRAK Penelitian dilakukan untuk menganalisis karakteristik biofisik dan agroklimat sistem agroforestri di Daerah Aliran Sungai Cianjur. Pengamatan dilakukan terhadap 30 sampel lahan agroforestri masyarakat dan wawancara/kuisioner yang dilakukan pada 30 petani pelaksana agroforestri pada setiap zona DAS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan karakteristik biofisik (tanah, iklim, vegetasi dan fauna) pada sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur. Perbedaan juga terjadi pada karakteristik agroklimat (suhu udara, curah hujan, kelembaban dan jumlah bulan kering dan bulan basah). Perbedaan karakteristik biofisik dan agroklimat menyebabkan terjadinya perbedaan jumlah jenis pohon, tanaman semusim serta fauna (serangga) parasitoid pada sistem agroforestri di wilayah ini. Di zona hulu, agroforestri dilaksanakan di areal kehutanan dengan topografi berbukit/miring dan areal ini merupakan kawasan penyangga (buffer zone) dari Tanaman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jumlah spesies pohon 5 spesies pohon dan 12 spesies tanaman semusim. Di tengah agroforestri dilaksanakan di lahan-lahan masyarakat dan di lahan perkebuanan teh PTPN 8 pada topografi datar sampai bukit/miring. Pada agroforestri di lahan-lahan masyarakat, jumlah spesies pohon sebanyak 20 spesies dan 12 spesies tanaman semusim. Sedangkan di hilir jumlah spesies pohon sebanyak 23 spesies dan 11 spesies tanaman semusim. Jumlah spesies pohon dan tanaman semusim di tengah lebih banyak dibandingkan di hulu dan hilir, karena zona tengah merupakan zona transisi sehingga ada beberapa jenis pohon dan tanaman semusim baik dari zona hulu maupun hilir yang mampu beradaptasi dan tumbuh di zona tengah. Kata kunci: DAS Cianjur, karakteristik biofisik dan agroklimat, struktur dan komponen agroforestri
ABSTRACT A research was conducted to analyze agroecologycal characteristic of agroforestry system in Cianjur Watershed landscape. Observation and interviews were held to 30 samples of agroforestry field and respondents in the upper stream, the middle stream and the down stream of Cianjur Watershed, respectively. The results showed, that the communities in the three zones of Cianjur Watershed have been conducting agroforestry practice in order to manage their dry land. It’s found the differences characteristic of agroforestry system between the upper stream and the down stream. In the upper
stream, agroforestry practices were found in a forest garden. This area is the buffer zone of Gede Pangrango Mountain. In the upper stream, the number of trees found 5 species and 12 species of plants. In the middle stream area, agroforestry practices were found in community lands and the tea estate plantation. In the community lands the number of trees found 20 species and 12 species of plant. In the down stream area, agroforestry were practiced in community lands and the flat area. The number of trees is 23 species and 11 species of plants. The middle stream agroforestry system characteristic was known as a
25
transition condition between the upper and the down streams. The characteristic of biophisic and agroclimate have affected to total individual number and species of trees and cash crop. Key words: Biophisic and agroclimate characteristic, Cianjur watershed, structure and component of agroforestry
PENDAHULUAN Agroforestri diartikan secara luas sebagai suatu sistem usaha tani atau penggunaan lahan yang mengintegrasikan secara spatial dan temporal tanaman pohon dan tanaman semusim pada sebidang lahan. Menurut King dan Chandler (1978) dan Wijayanto (2002), agroforestri merupakan bentuk penggunaan lahan yang dapat mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan secara keseluruhan yang merupakan kegiatan campuran antara kegiatan kehutanan dan pertanian baik secara bersama-sama atau secara bergilir yang disesuaikan dengan pola budaya masyarakat setempat. Agroforestri telah dikembangkan masyarakat secara turun temurun dan sebagai salah satu alternatif dalam pengelolaan lahan kering di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) termasuk juga di DAS Cianjur. Sinukaban (2003) mendefinisikan bahwa DAS merupakan suatu hamparan wilayah yang dibatasi oleh pembatas topografi yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai (sub-DAS) dan keluar melalui satu titik (outlet). DAS merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari berbagai komponen dan unsur, yang mana unsur utamanya adalah vegetasi, tanah, air dan manusia dengan segala apa yang dilakukan di daerah tersebut. Komponen vegetasi, tanah dan air membentuk subsistem biofisik, sedangkan komponen manusia dengan perilakunya membentuk subsistem sosial, kedua subsistem ini berinteraksi dalam bentuk ekosistem DAS. Dari cakupan wilayah yang luas, maka suatu DAS umumnya memiliki keragaman kondisi biofisik maupun agroklimat terutama dipengaruhi oleh perbedaan ketingian tempat. Perbedaan kondisi biofisik dan agroklimat ini juga berpengaruh terhadap pola penggunaan lahan, dimana pola penggunaan lahan merupakan salah satu faktor yang relatif dinamis, yang pada akhirnya akan mempengaruhi karakter daerah aliran sungai tersebut.
26
Pengelolaan lahan juga terkait erat dengan sumberdaya tanah, air dan manusia di dalamnya, dimana sumberdaya yang ada akan berpengaruh terhadap pola DAS. Sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur yang menjadi lokasi penelitian ini memiliki karakteristik biofisik dan agroklimat yang berbeda. Untuk itu, dilakukan penelitian yang bertujuan: 1) menganalisis karakteristik biofisik (tanah, tanaman dan fauna) pada sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur, 2) menganalisis karakteristik agroklimat (suhu, kelembaban, curah hujan, jumlah bulan basah dan bulan kering) pada sistem agroforestri di DAS Cianjur dan 3) menganalisis vegetasi penyusun (struktur, komponen tanaman dan sebarannya) pada sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di tiga zona DAS Cianjur (Gambar 3.1), sejak Bulan Agustus 2007 sampai dengan Desember 2007.
Gunung Gede Galudra 1300 mdpl Mangunkerta 950 mdpl
Keterangan
Selajambe 300 mdpl
Hutan CianjurCity
Hutan tanaman Kebun hutan Lahan dat tinggi
0
Sawah Areal pemukiman
N 10km
Gambar 3.1. Peta lokasi penelitian sepanjang Daerah Aliran Sungai Cianjur (Sumber: Harashima et al. 2002)
27
Penelitian meliputi: zona hulu (> 900 m dpl); tengah (300-900 m dpl) dan hilir (±300 m dpl). Secara administratif zona hulu masuk wilayah Desa Galudra, zona tengah Desa Mangunkerta masing-masing masuk wilayah Kecamatan Cugenang dan zona hilir masuk wilayah Desa Selajambe Kecamatan Sukaluyu. Pembagian zona ini berdasar pada penelitian Arifin (2001). Adapun secara geografis zona hulu terletak pada S 60 46’ 23”– 60 47’ 15”; E 1060 59’ 7 – 070 3’ 16” pada ketinggian > 900 m dpl, tengah 107003` 11”-107005` 08” BT dan 6048` 14” LS (300-900 m dpl), dan hilir 107003` 11”- 07005` 08” BT dan 6048` 14” LS pada ±300 m dpl. Bahan dan Alat Alat: Global Positioning System (GPS), camera digital, meteran, gunting, hand counter, tali rapia, kantong plastik dan alat tulis. Bahan: peta vegetasi, peta topografi, peta tanah masing-masing skala 1 : 50.000 dan kuisioner. Metode Analisis karakteristik biofisik dan agroklimat dilakukan untuk mengetahui karakter biofisik dan agroklimat pada setiap zona DAS Cianjur. Data karakteristik biofisik (tanah, agroklimat dan fauna) didapat dari data sekunder dan studi pustaka. Data sekunder meliputi data iklim, topografi, dan data tanah diperoleh di stasiun klimatologi setempat. Berdasarkan beberapa studi pendahuluan di ketiga zona DAS ini sudah banyak dilaksanakan praktek agroforestri. Data vegetasi didapatkan dari survei lapangan dengan pengamatan langsung sistem agroforestri dan kebun campuran yang dikembangkan masyarakat. Jumlah sampel pengamatan pada masing-masing zona 30 dan ukuran sampel pengamatan 10 m x 10 m. Sedangkan penentuan responden, didasarkan pada data kepemilikan dan penggunaan lahan masing-masing desa (petani pelaksana agroforestri) secara random dan atau terstruktur serta mengacu pada peta topografi, peta penggunaan lahan dan peta kesesuaian lahan DAS Cianjur (Saroinsong et al. 2007). Lokasi sampel diverifikasi menggunakan Global
28
Position System (GPS), dipetakan dan hasilnya akan dijadikan basis pengamatan lapang sistem agroforestrinya. i
H =
(ni/n) log
2
(ni/n)
i 1
H = indeks keragaman, ni = jumlah individu tiap jenis, n = total individu semua jenis. Survei sistem agroforestri masyarakat dilakukan untuk mengetahui komponen penyusun berupa jenis pohon, jenis tanaman semusim, jumlah jenis dan penyebarannya. Komponen penyusun agroforestri ini selanjutnya dipetakan untuk mengetahui sebaran jenisnya. Pengelompokan jenis dibedakan menjadi 8 (delapan) kelompok yaitu tanaman pangan, buah, sayuran, bumbu, obat, industri, hias dan tanaman lainnya (Arifin 1998b). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik geografi Daerah Aliran Sungai Cianjur secara geografis terletak diantara 106025’00’’ BT - 107014’30’’ BT dan 06025’00’’ LS - 06050’40’’ LS, letaknya berbatasan dengan puncak dan punggung Gunung Gede Pangrango di bagian barat, Waduk Cirata di bagian timur, perbukitan Gunung Geulis di bagian utara dan Gunung Puntang di bagian selatan.
Gambar 3.2. Lokasi penelitian DAS Cianjur
29
DAS Cianjur terdiri dari sungai utama (Sungai Cianjur) dengan beberapa anak sungai (Cigadog, Cianjur Leutik, Cibeureum, dan Cikukulu) yang bermuara pada sungai utama. Kawasan ini mencakup 26 desa, 6 wilayah kecamatan dalam Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat. Kawasan ini merupakan salah satu sub-DAS Citarum Tengah terutama pada Daerah aliran Sungai Cisokan. Oleh sebab itu DAS Cianjur sesungguhnya merupakan sub-DAS Cisokan atau sub-DAS Citarum Bagian Tengah. Luas kawasan yang termasuk dalam kawasan DAS Cianjur adalah 5935.42 ha (berdasarkan delinasi menggunakan peta kontur dan peta sungai skala 1 : 25 000 dengan program ArcView versi 3.2). Luas wilayah DAS Cianjur ini sebesar 24.2% dari luas wilayah administratif tingkat kecamatan (30 810.5 ha) dan hanya 2.1% dari luas total wilayah administratif Kabupaten Cianjur. DAS Cianjur juga merupakan DAS lokal yang berada di wilayah Kabupaten Cianjur, sehingga lebih mudah dalam pengelolaan dan pelestarian fungsi-fungsi DAS bagi pemerintah daerah dalam upaya pengelolaan DAS tersebut. Karakteristik Topografi Topografi kawasan DAS Cianjur bervariasi dan membentang dari ketinggian 275 m dpl sampai dengan 2862.5 m dpl (Tabel 3.1) yang terdiri dari: 1. Dataran rendah (ketinggian 250-500 m dpl) yang mencakup wilayah DAS Cianjur seluas 1854.12 ha. 2. Dataran menengah (ketinggian 500-750 m dpl) yang mencakup wilayah DAS Cianjur seluas 640.5 ha dan ketinggian 700-1000 m dpl seluas 796.56 ha. 3. Dataran tinggi dengan ketinggian 1000-1250 m dpl yang mencakup wilayah DAS Cianjur seluas 1190.05 ha, ketinggian 1250-1500 m dpl dengan luas wilaya 562.11 ha, 1500-1750 m dpl dengan luas wilayah 337.05 ha, 17502000 m dpl dengan luas wilayah 208.32 dan ketinggian >2000 m dpl dengan luas wilayah 341.08 ha. Daerah dataran tinggi merupakan pegunungan dengan kemiringan lereng yang bervariasi dengan pola lereng mengikuti pola alur sungai.
30
Tabel 3.1. Kelas kemiringan lereng wilayah DAS Cianjur beserta luasannya Luasan No 1
Kelas Lereng A
Kemiringan (%) 0-3
2
B
3
Keterangan
(ha)
(%)
Datar
2 017.21
33.99
3-8
Agak Landai
1 350.22
22.75
C
8-15
Landai
71.29
22.99
4
D
15-25
Agak Curam
457.96
7.72
5
E
25-45
Curam
1 149.65
19.37
6
F
>45
189.89
3.18
5 935.42
100
Total
Curam sekali
Sumber: Saroinsong (2002)
Gambar 3.3. Peta kelas lereng DAS Cianjur (Sumber: Rahmad 2007) Karakterisitik Iklim Kondisi iklim di wilayah DAS Cianjur secara umum merupakan daerah iklim hujan tropis, selalu basah dengan curah hujan rata-rata setiap bulannya lebih dari 60 mm (Tabel 3.2).
31
Tabel 3. 2. Data iklim DAS Cianjur tahun 2005 – 2007 Tahun 2005 Bulan
Suhu
RH (%)
0
( C)
Tahun 2006 Curah Hujan
Suhu
RH (%)
0
( C)
Tahun 2007 Curah Hujan
(mm)
Suhu
RH (%)
0
( C)
Curah Hujan
(mm)
(mm)
Jan
20.2
89
377.8
20.0
92
414.0
24.0
86
196.0
Feb
20.2
90
583.2
20.1
92
412.0
20.0
91
330.0
Maret
20.3
89
410.2
20.3
92
105.0
20.1
89
338.0
April
20.3
86
225.9
20.4
92
319.0
28.0
88
320.0
Mei
20.8
85
231.0
20.7
91
139.0
20.9
86
217.0
Juni
20.4
87
195.7
20.0
92
106.0
20.4
86
145.0
Juli
19.9
85
147.3
19.6
92
44.0
20.3
81
12.0
Agt
20.1
84
113.3
19.4
89
30.0
20.4
78
70.0
Sept
19.9
85
131.7
21.1
78
9.0
21.0
76
108.0
Okt
21.1
85
219.4
21.8
78
109.0
221.3
81
337.0
Nop
21.5
85
365.9
22.2
83
220.0
21.6
82
438.0
Des
20.5
91
308.8
21.2
88
403.0
20.8
87
417.0
Rata-rata
20.4
87
275.9
20.6
88
193.0
19.2
84
244.0
Sumber: Stasiun Klimatologi Pacet (2007)
Gambar 3.4. Peta curah hujan di DAS Cianjur (Sumber: Rahmad 2007)
32
Berdasarkan serial curah hujan selama 10 tahun, maka menurut sistem klasifikasi Kopen, kawasan DAS Cianjur termasuk dalam tipe sistem Af yaitu iklim hujan tropis. Rata-rata curah hujan pertahun bervariasi dari 3 572 mm di wilayah DAS hulu sampai dengan 1 858 mm pada bagian hilir. Kelembaban ratarata berkisar antara 80% - 82% dengan suhu rata-rata terendah 16.9 0C dan ratarata tertinggi sekitar 24.840C. Sedangkan jumlah hari hujan pertahunnya juga bervariasi antara 116 hari/tahun sampai dengan 159 hari/tahun. Kondisi iklim ini menunjukkan bahwa di wilayah DAS Cianjur sangat memungkinkan untuk dikembangkan sebagai kawasan agroforestri potensial dengan mempertimbangkan pemilihan jenis tanaman pada setiap zonanya. Kondisi Geologi/tanah Tanah yang berada di lokasi DAS Cianjur meliputi 13 satuan peta tanah (SPT) dengan jenis-jenis tanah meliputi (a) regosol ditrik (sistem klasifikasi Pusat Penelitian Tanah) atau tergolong Inceptisol (menurut klasifikasi USDA Soil Taxonomy). Tekstur lapisan atas dan bawah lempung pasir berkerikil, epipedon ochric, drainase agak cepat, bentuk wilayah agak berbukit sampai bergunung, vulkan dengan bahan induk berupa tufa intermedier. (b) Kambisol vertik atau tergolong inceptisol, tekstur bagian atas dan bawah liat berat, drainase sangat terhambat, epidon ochric bahan induk tufa intermedier. (c) Kambisol distrik atau tergolong inceptisol inceptisol, tekstur bagian atas dan bawah liat berat, dainase sangat terhambat, epidon ochric bahan induk tufa intermedier. (d) Andosol distrik atau tergolong andosol, tekstur lapisan bagian atas liat berdebu, bagian bawah liat, epipedon ochric, drainase cepat, vulkan, bahan induk tufa intermedier. (e) Latosol argilik distrik atau utisol. Tekstur bagian atas dan bawah liat berat, epipedon ochric, drainase cepat, sistem dataran, bahan induk tufa intermedier. (f) Mediteran argilik atau tergolong Alfisol. Tekstur lapisan atas liat, lapisan bawah liat berat, drainase agak terhambat, bentuk wilayah datar. (g) mediteran kambik atau alfisol, tekstur bagian atas dan bawah liat, epipedon ochric, drainase sedang, lereng perbukitan, bahan induk tufa intermedier. (h) Podsolik argilik atau tergolong
33
ultisol, tekstur liat sampai berat, drainase agak terhambat, bentuk wilayah berbukit atau bergelombang.
Gambar 3.5. Peta jenis tanah di DAS Cianjur (Sumber: Rahmad 2007) Penggunaan lahan Pola
penggunaan
lahan
seluruh
kawasan
DAS
Cianjur
dapat
dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu kawasan hutan, kawasan pemukiman dan lahan pertanian (Tabel 3.3). Tabel 3.3. Pola penggunaan lahan dan luasan di lokasi penelitian Luas lahan (ha) Hutan Talun Kebun campuran Lahan kering Sawah (padi) Perumahan Total
Galudra Lahan % (ha) 128.8 26.5 90.3 18.6 0.0 0.0
Mangunkerta Lahan % (ha) 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Selajambe Lahan % (ha) 0.0 0.0 0.0 0.0 15.7 4.3
242.3
49.8
11.9
7.0
50.9
14.0
13.1
2.7
141.0
83.6
274.2
75.6
11.9 486.4
2.4 100
15.9 168.8
9.4 100
22.0 362.8
6.1 100
Sumber: Profile data Desa Galudra, Mangunkerta dan Selajambe (Arifin 2002)
34
Luasan hutan sekitar 1130.64 ha (19.05%) terutama terkonsentrasi di kawasan hulu DAS Cianjur. Kawasan permukiman seluas 954.19 ha membentang dari daerah tengah sampai ke hilir terdiri dari 6 kecamatan yaitu Pacet, Cugenang, Cianjur, Karang Tengah, Cilaku dan Sukaluyu dengan mayoritas penduduk pada 6 kecamatan tersebut berprofesi sebagai petani. Selain itu, kepemilikan dan luasan lahan di wilayah DAS umumnya berbeda, seperti yang terdapat di DAS Cianjur-Cisokan (Tabel 3.4). Tabel 3.4. Luasan lahan dan struktur kepemilikannya di lokasi penelitian Luas lahan (ha) < 0.1 0.1 - 0.5 > 0.5 - 1 > 1 - 1.5 > 1.5 - 2 >2 -5 >5 -8 >8-0 > 10 Total
Galudra Rumah % Tangga 805.0 253.0 25.0 15.0 8.0 3.0 3.0 2.0 1.0 1115
72.2 22.7 2.2 1.3 0.7 0.3 0.3 0.2 0.1 100
Mangunkerta Rumah % Tangga 450.0 350.0 50.0 25.0 27.0 0.0 0.0 0.0 0.0 882
51.0 39.7 5.7 2.8 0.8 0.0 0.0 0.0 0.0 100
Selajambe Rumah % Tangga 581.0 355.0 33.0 22.0 12.0 10.0 4.0 0.0 0.0 1 017
Sumber : Profile data Desa Galudra, Mangunkerta dan Selajambe Arifin (2002).
Gambar 3.3. Peta tutupan lahan di DAS Cianjur (Sumber: Rahmad 2007)
57.1 34.9 3.2 2.2 1.2 1.0 0.4 0.0 0.0 100
35
Lahan pertanian merupakan kawasan paling luas dan terdiri dari beberapa jenis pemanfaatan yaitu sawah dengan luasan 1997.07 ha (33.65%), tegalan dengan luas wilayah 911.06 ha atau sekitar 15.35%, perkebunan teh seluas 451.16 ha atau 7.60%, kebun campuran seluas 366.89 ha atau sekitar 6.18% dan talun seluas 125.40 ha atau 2.11%. Tanaman sayuran yang berpotensi dikembangkan pada sistem agroforestri Karakteristik lahan di DAS Cianjur memungkinkan untuk pengembangan tanaman sayuran. Gambaran produksi dan keadaan tanaman sayuran terdapat pada Tabel 3.5. Tabel 3.5. Keadaan tanaman sayuran tahun 2002 dan 2003 N o
Jenis
1
Bawang Merah Bawang Daun Kentang Kubis Kembang Kol Petsai / Sawi Wortel Lobak Kacang Merah Kacang Panjang Cabe Merah Cabe Rawit Jamur Tomat Terung Buncis Ketimun Labu Siam Kangkung Bayam
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
sayuran
Luas Tanam (ha)
Luas Panen (ha)
2002
2003
2002
2003
21
18
15
2 514 246 906
2 481 95 772
0
Produktivitas (kw/ha)
Produksi Bruto (ton)
2002
2003
26
135.33
136.15
203
354
2 339 191 1 123
2 220 81 677
254.00 299.69 313.00
263.54 336.79 313.00
59 410 5 724 35 150
58 506 2 728 21 190
32
0
22
0
408.18
0
898
1 290 2 153 129
1 454 2 316 169
1 477 2 233 161
1 207 2 392 167
237.35 311.01 218.20
187.48 267.67 195.93
35 056 69 448 3 513
18 448 56 826 3 272
700
472
774
437
158.81
158.79
12 292
6 939
943
948
910
894
152.07
179.94
13 838
16 087
1 501
1 077
1 558
934
183.82
216.52
28 639
20 223
0 0 1 048 494 854 823 823 127 115
648 91 963 463 907 766 766 171 138
0 0 1 258 534 1 026 848 848 136 113
493 30 906 463 800 786 786 123 126
0 0 144.83 220.56 219.92 215.71 215.71 71.03 70.00
121.26 3.67 268.02 257.45 246.58 231.32 231.32 96.26 78.49
0 0 18 220 11 778 22 564 18 292 18 292 966 791
5 978 11 21 495 11 920 19 726 18 182 18 182 1 184 989
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur (2003)
2002
2003
36
Tanaman sayuran juga menjadi tanaman utama pada sistem agroforestri. Tanaman sayuran memiliki potensi untuk dikembangkan karena wilayah ini memang merupakan salah satu sentra produksi untuk tanaman sayuran (terutama sayuran dataran tinggi) untuk wilayah Provinsi Jawa Barat. Karakteristik wilayah penelitian Deskripsi wilayah penelitian di DAS Cianjur terdapat pada Tabel 3.6. Tabel 3.6. Deskripsi lokasi penelitian di Daerah Aliran Sungai Cianjur Deskripsi Zona
Hulu
Tengah
Hilir
Ketinggian tempat (mdpl)
Koordinat/
> 900
S 60 46’ 23” – 60 47’ 15” ; E 1060 59’ 7” – 1070 3’ 16”
300-900
±300
Tofografi
lokasi
S 60 47’ 44” – 60 48’ 14” ; E 1070 3’ 11” – 1070 5’ 8” S 60 48’ 7” – 60 49’ 18” ; E 1070 12’ 17” – 1070 14’ 32”
70% bukit
Jarak dari kota Cianjur (km)
Luas Wilayah (ha)
Jumlah Penduduk (jiwa)
Kepadatan ratarata/km
12.90
373.40
3 807
102
9.80
212.90
5 029
210
10.00
115.48
6 359
287
30% dataran 40% bukit 60% dataran semuanya berupa dataran
Zona Hulu Wilayah penelitian untuk zona hulu adalah Desa Galudra. Desa Galudra masuk wilayah Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur. Galudra ini merupakan wilayah dataran tinggi dan pegunungan pada ketinggian 1 300 m dpl, dengan lanskap lereng yang curam. Beberapa area pedesaan adalah tipe hutan sebagai zona penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Desa Galudra
memiliki luas wilayah sebesar 373 400 ha dengan jumlah penduduk 3 807 jiwa, kepadatan/km 102 dan pendapatan perkapita Rp.1 897 292/tahun.
37
Gambar 3.2. Peta penggunaan lahan wilayah hulu (Ali dan Arifin, 2007) Lahan pertanian Galudra adalah berupa lahan kering. Agroforestri pada kawasan ini dilaksanakan dengan sangat intensif berupa intercropping, multiple cropping, maupun dalam bentuk alley cropping dengan tegakan utamanya berupa pinus dan kayu putih. Pola Agroforestri ini secara intensif dilaksanakan pada lahan-lahan kehutanan yang merupakan bagian dari daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tanaman yang dibudidayakan secara intensif adalah jenis sayuran dataran tinggi tropis seperti wortel, bawang daun, jagung manis, sawi, tomat, cabe, kobis, selada, brokoli, bawang daun dan labu siam. Sedangkan agroforestri berbentuk talun terdapat pada lereng sungai dengan topografi yang curam. Zona Tengah Lokasi penelitian zona tengah DAS Cianjur adalah Desa Mangunkerta. Desa Mangunkerta secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Cugenang. Di sebelah selatan mengalir Sungai Cisarua yang langsung membagi desa dan berbatasan dengan Desa Srampat, sedangkan di sebelah utara mengalir Sungai Cianjur Kecil yang juga langsung membagi desa dan berbatasan langsung dengan Desa Nyalindung. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Gasol dan di sebelah barat berbatasan dengan Desa Sukamulya. Jumlah penduduk desa
38
Mangunkerta sebanyak 5.029 jiwa dengan kapadatan/km 210 jiwa dan pendapatan perkapita Rp 264.839/tahun.
Gambar 3.3. Peta penggunaan lahan wilayah tengah (Ali dan Arifin, 2007) Keberadaan pertanaman tanaman semusim hampir berlangsung sepanjang tahun. Di daerah ini curah hujannya juga cukup tinggi, sehingga tidak ada masalah air. Cara penanaman tanaman semusim lebih teratur dalam baris-baris maupun blok-blok tanaman dengan jarak tertentu, hal ini terjadi karena pada umumnya petani di daerah ini merupakan petani-petani spesialis lahan kering dan praktek agroforestri merupakan pekerjaan pokok bagi sebagian besar petani. Pengolahan tanah optimum, benih dan bibit umumnya beli dari pasar serta dilakukan pemeliharaan tanaman seperti pengendalian hama penyakit dan gulma. Jenis tanaman semusim lebih beragam, sementara untuk pohon dilakukan pemangkasan terutama daun untuk mengurangi pengaruh negatif naungan. Talas Bogor (Colocasia esculenta L ) ditanam terutama di pinggir teras sehingga mempunyai nilai tambah yaitu disamping produksi juga untuk menahan erosi (aspek konservasi). Zona Hilir Zona hilir wilayah penelitian ini adalah Desa Selajambe. Desa Selajambe secara administratif termasuk wilayah Kecamatan Sukaluyu. Di sebalah selatan berbatasan dengan Desa Tanjungsari, sedangkan di sebelah utara berbatasan
39
dengan Desa Sukasirna. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Hegarmanah dan sebalah barat berbatasan dengan Desa Babakan Caringin Kecamatan Karang Tengah. Desa ini berada kurang lebih 10 km dari Kota Cianjur dan 5 km dari ibukota kecamatan. Desa ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 6.359 jiwa dengan luas wilayah seluas 115.48 ha yang terdiri dari sawah setengan teknis 21.6 ha, lahan kering 11.454 ha dan pemukiman 71.560 ha.
Desa ini memiliki
kerapatan 2.087 jiwa/km2. Tanaman utama pada lahan kering (kebun campuran) adalah jagung, cabe, ketela pohon, tomat dan ubi jalar. Penggunaan lahan pada tahun 2000 di zona bawah ini relatif sama dengan jumlah jenis penggunaan lahan pada tahun 1990 sebanyak 4 jenis yaitu sawah, tegal, kebun campuran dan pemukiman (Gambar 3.4).
Pada tahun 2000
penggunaan lahan tetap sama yaitu didominasi oleh sawah sebesar 75.37% dari total keseluruhan luas wilayah. Untuk tegalan seluas 4.64%, pemukiman sekitar 12.91% dan penggunaan lahan untuk kebun campuran sekitar 12.91% dari total luas wilayah.
Gambar 3.4. Peta penggunaan lahan wilayah hilir (Ali dan Arifin, 2007) Penggunaan lainnya mengalami peningkatan luas lahan yaitu penggunaan lahan sawah, kebun campuran dan pemukiman. Pada tahun 1990 luas lahan untuk penggunaan sawah meningkat dari 73.37% menjadi 73.54% pada tahun 2000 atau mengalami perubahan bertambah sebesar 1.83%. Kebun campuran pada tahun 1990 luasnya sebesar 3.98% pada tahun 2000 menjadi 7.08%, sedangkan
40
penggunaan untuk pemukiman pada tahun 1990 sebesar 5.34% pada tahun 2000 berubah menjadi 12.91% dari total luas wilayah lahan keseluruhan. Penggunaan untuk pemukiman ini mengalami perubahan (bertambah) sebesar 7.57% (Ali dan Arifin, 2007). Waktu tanam untuk tanaman semusim umumnya juga terbatas. Penanaman hanya berlangsung selama Bulan Oktober-Desember untuk jenis tanaman cabe, tomat, jagung, terong atau kacang panjang, dan selanjutnya
tanaman dibiarkan
tumbuh sampai tanaman tidak berproduksi (mati). Hal ini terjadi karena keterbatasan air (curah hujan rata-rata tahunan 1000 - 2000 mm/tahun) terutama pada musim kemarau (hanya mengandalkan air hujan) sementara air irigasi teknis hanya dialokasikan untuk pertanian lahan sawah, yang lebih menjadi fokus usaha pertanian mereka. Untuk penanaman selanjutnya beberapa petani menanam ketela pohon yang sebenarnya juga menguntungkan karena dengan umurnya yang cukup panjang dan relatif tahan kekeringan maka tanaman ini cocok sampai masa penanaman tanaman selanjutnya. Penyuluhan tentang agroforestri tidak ada, sementara kelompok tani hanya merupakan kelompok tani sawah. Pengolahan tanah dengan olah tanah minimum (minimum tillage) dengan sekali cangkul atau dengan ditugal, benih dan bibit dibuat oleh petani sendiri, dan hanya sebagian kecil petani yang membeli benih dari pasar. Tingkat pemeliharaan tanaman (pemupukan teratur, pemberantasan hama penyakit dan gulma baik secara mekanis maupun kimiawi) juga sangat rendah, sehingga produktivitas tanaman untuk sistem agroforestri di daerah ini rendah. Karakteristik Sistem Agroforesti Masyarakat di DAS Cianjur Karakter pohon Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan karakter sistem agroforestri masyarakat di tiga zona DAS Cianjur. Di zona hulu, sistem agroforestri berbentuk agroforestri sederhana dengan pola tanam lorong (alley cropping) dan terdapat di Kawasan Penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Di tengah, terdapat 2 sistem agroforestri yaitu agroforestri berbentuk
41
alley cropping berbasis mahoni yang terdapat di lahan milik perkebunan teh dan agroforestri berupa kebun campuran
milik masyarakat.
Sedangkan
di hilir
86.67% sistem agroforestri dengan pola campuran (mixed cropping) dan 13.33% alley cropping berbasis sengon (Tabel 3.5). Tabel 3.5. Karakteristik agroforestri di tiga zona DAS Cianjur Performance Agroforestri
Sistem Agroforestri
Rataan Luasan Agroforestri ( m2 )
Struktur vegetasi
AF sederhana di hulu
Sederhana, pola alley cropping
440 m2
Teratur, bentuk barisan,bedengan, tumpang sari. Jumlah jenis tegakan / pohon = 5 ; Tanaman semusim = 12
AF sederhana di tengah
Sederhana, pola alley cropping dan kebun campuran
820m2
Teratur, bentuk barisan dan blok. Jumlah jenis tegakan / pohon = 20 ; Tanaman semusim = 20
AF kompleks di hilir
Kompleks (kebun campuran)
660 m2
Tidak teratur, banyak jenis. Jumlah jenis tegakan / pohon = 32 ; Tanaman semusim = 21
Pola sebaran pohon pada sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur juga berbeda. Di hulu pohon pinus atau kayu putih ditanam dalam barisan teratur jarak
tanam 4m x 10m.
Pohon pinus berumur rata-rata berumur 4 tahun,
sedangkan kayu putih > 10 tahun. Kondisi pohon pinus dan kayu putih umumnya kurus tidak subur dan selalu dilakukan pemangkasan 2-3 kali dalam 1 tahun. Di
42
zona hulu ini petani sebagai pesanggem dapat memanfaatkan lahan-lahan di bawah tegakan untuk dimanfaatkan untuk budidaya tanaman, namun petani juga memiliki kewajiban menjaga dan merawat pohon. Sedangkan di tengah tegakan/pohon dalam sistem agroforestri didominasi oleh jenis mahoni. Di lahan milik perkebunan teh, tegakan mahoni umur 4 tahun dengan jarak tanam teratur 4m x 10m ditanam pada lahan-lahan yang miring. Sedangkan di hilir, pohon penyusun agroforestri didominasi oleh jenis sengon. Sebagian besar pohon sengon tidak ditanam oleh petani. Adapun gambar/sketsa sebaran pohon pada setiap zona DAS Cianjur terdapat pada Lampiran 3 dan 4. Jumlah spesies pohon dan tanaman semusim juga berbeda di tiga zona DAS Cianjur. Di hulu ditemukan pohon sebanyak 5 spesies, di tengah 20 spesies dan di hilir 23 spesies. Berdasarkan fungsinya, di hulu 80% penghasil kayu dan 20% pohon buah, di tengah 60% penghasil kayu, 30% pohon buah 10% penghasil bunga sedangkan di hilir 56.52% penghasil kayu, 30.43% penghasil buah, 8.70% penghasil bunga dan 4.40% penghasil obat Tabel 3.6. Data spesies pohon dan tanaman penyusun agroforestri pada setiap zona terdapat pada Lampiran 2. Tabel 3.6. Spesies pohon dan tanaman semusim (berdasarkan fungsinya) pada sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur Zona DAS Jenis Penyusun Hulu Jumlah % spesies Tegakan Pohon (kayu) Pohon Buah-buahan Penghasil bunga/hias Penghasil Obat Total Tan Semusim Sayuran Pangan Buah Hias Total
Tengah Jumlah % spesies
Hilir Jumlah spesies
%
4 1 0 0 5
80 20 0 0 100
12 6 2 0 20
60 30 10 0 100
13 7 2 1 23
56.52 30.43 8.70 4.40 100.00
10 1 1 0 12
83.33 8.33 8.33 0 100
13 4 2 1 20
65 20 10 5 100
13 4 2 2 21
62.00 19.04 9.52 9.52 100.00
43
Perbedaan jumlah spesies pohon di hulu dan tengah disebabkan oleh tujuan dari pemilihan pohon yang dikaitkan dengan fungsi ekologis dan ekonomis pohon pada setiap zona DAS. Berdasarkan fungsi ekologis pohon yang dipilih adalah pohon yang mempunyai nilai konservasi tinggi dengan perakaran yang dalam dan perkembangan tajuk yang cepat. Sedangkan dari nilai ekonomis adalah pohon yang mempunyai nilai ekonomis tinggi baik berupa getah maupun kulit kayunya (pinus dan kayu putih). Sistem agroforestri di tengah didominasi pohon mahoni karena disamping memiliki perakaran yang kuat, harga jual kayunya tinggi, ranting bekas pangkasan bisa dimanfaatkan untuk kayu bakar dan daunnya untuk pakan ternak. Sedangkan di hilir, agroforestri berupa kebun campuran dengan jumlah spesies pohon lebih banyak, karena pohon selain untuk memenuhi fungsi ekologis dan ekonomis, juga fungsi produksi yaitu, untuk memenuhi kebutuhan pangan. Rendahnya jumlah spesies pohon di hulu dan tengah juga disebabkan oleh pola alley cropping yang memerlukan spesies pohon tertentu agar tidak terjadi kompetisi antar pohon dan tanaman, baik kompetisi ruang tumbuh maupun kompetisi penyerapan unsur hara. Pada Alley cropping dengan tegakan pinus di hulu dan mahoni di tengah, masih memungkinkan tersedianya ruang tumbuh bagi tanaman semusim. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sabarnurdin et al. (2004), yang menyatakan bahwa pada alley cropping dengan pohon mahoni, pohon memberikan pengaruh pada proses berbagi (sharing) ruang tumbuh dengan tanaman (cash crop). Seiring dengan perkembangan tajuk tegakan mahoni, maka lebar ruang pertanian semakin turun dan ruang pertanian mempunyai ketidakaktifan tinggi pada saat perkembangan tajuk mahoni antar baris sudah bertemu.
Adapun masa aktif ruang pertanian berkisar 5.2 sampai 8.7 tahun.
Sedangkan menurut Kurniawan (2004), pada agroforestri pinus dengan kedelai, dengan melakukan pemangkasan 1/3 tajuk bagian bawah, mampu meningkatkan penangkapan cahaya yang lolos ke bawah pohon dari 20% menjadi 23% pada saat awal pemangkasan (0 hst) dan pada saat kedelai tumbuh vegetatif maksimum (40 hst) meningkat dari 23% menjadi 28%.
44
Faktor lain yang mempengaruhi jumlah spesies pohon adalah tingkat intensifikasi sistem agroforestri. Tingkat intensifikasi pertanian yang makin meningkat ke hulu maka pohon yang dipilih hanya jenis-jenis tertentu yang masih dapat memberi ruang untuk tumbuh dan berkembangnya tanaman yang diusahakan petani. Selain itu dengan tofografi yang umumnya berbukit, maka pohon yang dipilih adalah pohon yang memiliki perakaran yang dalam dan tidak terlalu menyebar, tajuk tidak terlalu lebar, mudah dipangkas, sehingga pohon ini bisa memiliki fungsi ganda yaitu dapat mengurangi erosi, daun pangkasan bisa dimanfaatkan untuk menambah bahan organik tanah dan pakan ternak. Di hilir, 100% agroforestri pada lahan-lahan masyarakat sehingga jenis pohon yang ditanam ditentukan sendiri oleh pemilik/penggarap (Tabel 3.7). Faktor kepemilikan ini mempengaruhi jumlah jenis pohon. Di hulu petani sama sekali tidak memiliki hak atas pohon, begitu juga di tengah pada kebun campuran di areal PTPN, sedangkan di hilir karena kepemilikan ada pada masyarakat (pemilik) maka pemilik memiliki hak untuk memilih dan memanfaatkan pohon yang ditanam sesuai dengan tujuan penanaman. Tabel 3.7. Pola kepemilikan lahan di tiga zona DAS Cianjur No 1 2 3 4
Kriteria Petani/penggarap lahan kehutanan Petani sebagai pemilik sendiri Petani/penggarap milik orang luar desa Petani luar daerah yang menggarap sendiri Jumlah
Zona DAS Tengah
Hulu
Hilir
Jumlah 30
% 100
Jumlah 18
% 60
Jumlah 0
% 0.00
0
0
9
30
6
6.67
0
0
3
10
19
63.33
0
0
0
0
5
16.67
30
100
30
100
30
100.00
Luasan lahan garapan pada sistem agroforestri (kebun campuran) secara umum kita bedakan menjadi 4 (empat). Luas rata-rata lahan garapan petani juga berbeda di tiga zona DAS Cianjur. Di hulu luas lahan garapan petani 100% sempit dengan rata-rata 440 m2 lebih rendah dibanding di tengah sebesar 820 m2 dan di hilir 660 m2 (Tabel 3.8). Perbedaan rata-rata luas lahan garapan ini diduga
45
akan mempengaruhi jenis tanaman dan pohon. Rata-rata luasan lahan yang sempit di hulu disebabkan petani mendapatkan lahan yang hampir merata dari BTNGGP (Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango) dengan luasan 400m2-600m2, begitu juga di tengah, pada lahan milik PTPN 8 (Perkebunan Teh Gunung Gedeh) dengan luasan juga 400m2-600m2. Pada 30 % petani yang menggarap lahan milik sendiri atau orang lain (selain PTPN) luasannya bervariasi antara 400 m2- >1200 m2. Sedangkan di hilir 100% lahan milik petani (milik sendiri atau milik orang lain) maka luasannya juga beragam dengan rata-rata lebih luas dibanding di hulu dan di tengah. Rata-rata luas lahan garapan juga mempengaruhi tingkat intensifikasi pemanfaatan lahan. Di hulu dan tengah dengan luas garapan yang sempit petani akan lebih intensif dalam pemanfaatan lahan. Sedangkan di hilir cenderung kurang intensif (86.68%) dan hanya 13.32% intensif berupa agroforestri sederhana berbasis sengon terutama pada lahan-lahan yang cukup luas dan dimiliki oleh orang lain (dari luar Desa Selajambe). Tabel 3.8. Rata-rata luas lahan garapan pada sistem agroforestri masyarakat di DAS Cianjur <400 (m2)
Zona DAS Hulu Tengah Hilir
Luas Lahan Garapan 400-800 (m2) 800-1200 (m2)
>1200 (m2)
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
0 18 11
0.00 60.00 36.67
30 8 9
100.00 26.60 30.00
0 1 8
0.00 3.33 26.60
0 3 2
0.00 10.00 6.67
Luas rataan (m2) 440 820 660
Selain itu jumlah jenis komponen penyusun juga dipengaruhi oleh status garapan dan sistem bagi hasil dari sistem agroforestri yang dikelola (Tabel 3.9). Tabel 3.9. Status garapan dan sistem bagi hasil agroforestri di tiga zona DAS Cianjur Kriteria Hasil untuk penggarap Bagi hasil (50 : 50) Milik sendiri Pohon untuk penggarap Pohon dibagi hasil Pohon ke pemilik lahan Total
Hulu Jumlah % 30 100.00 0 0.00 0 0 0 0 30
0.00 0.00 0.00 0.00 100.00
Zona DAS Tengah Jumlah % 18 60.00 3 10.00 9 0 0 9 30
30.00 0.00 0.00 0.00 100.00
Hilir Jumlah 6 2
% 20.00 6.67
12 2 0 8 30
40.00 6.67 0.00 26.67 100.00
46
Karakter tanaman semusim Jumlah spesies tanamam semusim di hulu lebih rendah dibandingkan di tengah dan di hilir. Rendahnya jumlah spesies tanaman di hulu disebabkan oleh kondisi agroklimat terutama suhu. Menurut Kiyotaka et al. (2001), setiap kenaikan ketinggian 100m menyebabkan penurunan suhu sebesar 0.590C. Perbedaan suhu yang merupakan representasi dari ketinggian tempat merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman, sehingga jenis tanaman yang diusahakan hanya terbatas pada tanaman sayuran dataran tinggi seperti cabe, tomat, wortel, kobis, sawi, bawang daun dan brokoli. Perbedaan suhu ini juga berpengaruh terhadap produksi, seperti dinyatakan oleh Selari et al. (2007), bahwa perubahan suhu udara dan tanah karena perbedaan elevasi berpengaruh terhadap produksi tanaman. Intensitas penanaman tanaman semusim di hulu sangat intensif. Sangat intensifnya penanaman tanaman semusim ini, mengakibatkan hanya spesies tanaman tertentu yang ditanam petani, dan petani cenderung memilih jenis tanaman semusim yang berumur pendek. Hal ini sesuai dengan pendapat Thakur et al. (2005), yang menyatakan bahwa pemilihan jenis tanaman sangat diperlukan dalam pola tanam intensif. Sementara di tengah dan hilir memungkinkan untuk menanam lebih banyak jenis tanaman, karena selain tujuan penanaman juga disebabkan oleh adanya beberapa tanaman dataran tinggi yang bisa beradaptasi di dataran rendah. Sebagai contoh tanaman cabai dan terong merupakan tanaman sayuran yang dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi (1 200 m dpl) dengan kisaran suhu yang lebih besar yaitu 17 - 320C. Sedangkan tanaman labu siam hanya tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 17- 250C. Hal ini sesuai dengan penelitian Bahrun et al. (2004), yang menyatakan bahwa perbedaan zona karena perbedaan ketinggian tempat menyebabkan terbentuknya zona agroklimat dan mempengaruhi iklim mikro, sehingga komponen penyusun agroforestrinya juga berbeda (kasus di DAS Ciliwung). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada sistem agroforestri baik di hulu, tengah maupun hilir, menanam jenis spesies yang sama, yaitu jenis
47
tanaman sayuran dataran tinggi.
Sedangkan beberapa tanaman pangan yang
ditanam di tengah dan di hilir adalah jagung (jagung dan jagung manis) serta singkong (ubi kayu). Karakteristik fauna Jumlah jenis fauna parasitoid di hulu lebih besar dibandingkan di tengah dan hilir (Tabel 3.10). Hal ini dikarenakan pertambahan jumlah spesies parasitoid ini sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan struktur lanskapnya, dimana semakin beragam habitat tanaman maka jumlahnya semakin banyak. Tabel 3.10. Jumlah spesies fauna (serangga) pada sistem agroforestri di DAS Cianjur Fauna (Jumlah spesies)
Zona Predator
Parasitoid
Polinator
Herbivor
Hulu
58
26
3
3
Tengah
48
21
0
0
Hilir
40
23
2
1
Sumber: Yaherwandi (2005) Selain itu juga karena intensifikasi pengelolaan terutama penggunaan pestisida dapat menyebabkan parasitoid pindah dari habitat yang banyak menggunakan pestisida ke habitat yang lebih sedikit menggunakan (Yaherwandi 2005). SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan: 1. Sistem agroforestri di DAS Cianjur yang dilaksanakan di wilayah hulu berupa agroforestri sederhana, dengan kondisi tanah/topografi berbukit/miring sehingga jenis pohon lebih sedikit karena disesuaikan dengan fungsi pohon yaitu fungsi konservasi. Di tengah, selain fungsi konservasi juga fungsi produksi, sedangkan di hilir pohon yang dipilih adalah pohon yang memiliki fungsi produksi yang tinggi dan nilai jual yang tinggi.
48
2. Perbedaan ketinggian tempat berpengaruh terhadap perbedaan karakter agroklimat terutama suhu yang sangat berpengaruh terhadap sistem agroforestri serta jumlah jenis spesies (tumbuhan dan hewan) yang ada di suatu kawasan DAS. 3. Karakteristik sistem agroforestri di hulu berbeda dengan di tengah dan hilir. Perbedaan karakteristik biofisik dan agroklimat pada sistem agroforestri berpengaruh terhadap komposisi vegetasi penyusunnya. Di zona hulu jumlah spesies tegakan sebanyak 5, di tengah 20 sedangkan di zona hilir 23 spesies. Sedangkan untuk spesies tanamn semusim, di hulu 12 spesies, di tengah 20 spesies dan hilir 21 spesies.
ANALISIS POLA TANAM DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN PADA SISTEM AGROFORESTRI DI DAS CIANJUR (Analysis Cropping Pattern and Productivity of Cash Crops on Agroforestry System in Cianjur Watershed) ABSTRAK Penelitian dilakukan untuk menganalisis karakteristik pola tanam dan produktivitas tanaman semusim pada sistem agroforestri di DAS Cianjur. Pengamatan dan wawancara dilaksanakan pada 30 sampel sistem agroforestri masyarakat dan wawancara terhadap 30 responden (petani) pada setiap zona DAS Cianjur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan karakteristik pola tanam, dimana perbedaan karakteristik pola tanam ini juga berpengaruh terhadap produktivitas tanaman. Sistem agroforestri di zona hulu merupakan agroforestri sederhana dengan pola tanam lorong (alley cropping), tata letak tanaman teratur dalam baris atau blok dengan intensifitas pertanamannya sangat intensif, di tengah sistem agroforestri di areal perkebunan teh (73%) areal dengan pola tanam lorong (alley cropping) tata letak tanaman teratur dalam baris atau blok dengan intensifitas pertanamannya intensif, sedangkan sisanya 27% berupa kebun campuran di lahan milik masyarakat. Sedangkan di hilir sistem agroforestri umumnya berupa kebun campuran dengan tata letak tanaman semusim yang tidak teratur, intensitas penanaman kurang intensif dengan pemilik lahan orang luar Desa Selajambe. Adapun nilai indeks pertanaman masingmasing dari hulu ke hilir berturut-turut adalah 2.93, 2.53 dan 1.43. Produktivitas tanaman semusim di hulu juga lebih tinggi dibanding di tengah dan di hilir, hal ini disebabkan jenis tanaman semusim yang ditanam baik di tengah dan di hilir merupakan tanaman sayuran dataran tinggi. Produktivitas tanaman semusim di tiga zona DAS Cianjur umumnya juga lebih rendah dari potensi hasil setiap jenis tanaman dan dari data Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur. Sedangkan tanaman semusim dominan di hulu adalah wortel, kobis, tomat, bawang daun, sawi dan cabe, di tengah jagung, cabe, tomat, wortel, dan sawi sedangkan di hilir adalah jagung, cabe keriting, tomat dan singkong. Kata kunci : agroforestri, indeks pertanaman, pola tanam, produktivitas tanaman ABSTRACT The study was conducted to analyze characteristics of the cropping pattern and productivity of cash crops of agroforestry systems in the Cianjur watershed landscape. Observation and interviews were held to 30 samples of agroforestry field and respondents in the upper stream, the middle stream and the down stream of Cianjur Watershed, respectively. The results showed, that the communities in the three zones of Cianjur Watershed have been conducting agroforestry practice in order to manage their dry land. It’s found the differences characteristic of agroforestry system between the upper stream and the down stream. The middle stream agroforestry system characteristic was known as a transition condition between the upper and the down streams. The characteristic of the biophisic and agroclimate have affected to total individual number
49
and species of trees and cash crops, cropping pattern and productivity. Planting index of cash crops is 2.93, 2.53 and 1.43 in the upper, middle and down stream, respectively.
The productivity of cash crops in the three zones of Cianjur watershed area, in the generally also lower than the potential yield and data from Cianjur Agriculture Official 2009. Furthermore, the dominant cash crops in the upper stream are carrot, cabbage, tomato, scallion, mustard and chili. In the middle stream are corn, chili, tomato, carrot, and mustard, and than in the down stream are corn, chili, tomato and cassava. Key word : agroforestry, cash crop productivity, planting index, planting pattern PENDAHULUAN Pola tanam diartikan sebagai bentuk pengelolaan pertanaman yang diusahakan pada sebidang lahan yang meliputi cara tanam, bentuk penanaman, waktu/periode tanam dan persiapan lahan. Bentuk pola tanam tanaman semusim pada sistem agroforestri dapat berupa pola tanam tunggal (monocropping) dan pola tanam ganda (multiple cropping). Pola tanam ganda dibagi menjadi pola tanam campuran (mixed cropping) dan tumpang sari (intercropping), dimana kedua pola tanam ini terdapat berbagai jenis pola tanam tergantung dari tujuan usaha tani dan kondisi lahan setempat (Sukmana et al. 1990; Haryati et al. 1993). Pola tanam dan sistem pertanaman di suatu wilayah ditentukan oleh faktor lahan/tanah dan keadaan iklim, serta tujuan dari pengelolaan pada setiap zona agroekologi (Das 2005). Selain itu pola pertanaman juga ditentukan oleh: 1) fasilitas-fasilitas
penunjang
(infrastruktur)
seperti
irigasi,
transportasi,
penyimpanan, pasar/perdagangan, dan pergudangan, 2) faktor sosial ekonomi yaitu modal, kepemilikan, ukuran dan sistem pengelolaan lahan, ketersediaan makanan dan kayu bakar serta tenaga kerja, 3) faktor teknologi yaitu tersedianya varietas tanaman yang baik, teknik budidaya, mekanisasi, sarana penanggulangan hama penyakit serta akses informasi. Sedangkan di tingkat petani faktor yang paling menentukan adalah potensial produksi dan keuntungan secara finansial. Pengaturan pola tanam mempengaruhi keberhasilan sistem agroforestri. Pola tanam yang tepat dapat mengurangi interaksi negatif (kompetisi) antar tanaman sehingga
dapat menghasilkan produksi yang maksimal. Menurut
Partohardjono (2003), dalam pengaturan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman
50
pada sistem agroforestri harus mempertimbangkan kondisi fisik, sosial ekonomi dan peluang yang ada, adanya pelibatan petani dalam perancangan dan pengkajian pola tanam untuk memperlancar proses adopsi teknologi, melibatkan multidisiplin dari berbagai bidang keahlian dan pengembangan pola tanam yang mengarah pada peningkatkan intensitas tanam serta dapat diterima petani. Sedangkan menurut Raintree (1983), bahwa pengembangan agroforestri meliputi beberapa aspek yaitu: a) meningkatkan produktivitas sistem agroforestri, b) mengusahakan keberlanjutan sistem agroforestri yang sudah ada dan c) penyebarluasan sistem agroforestri sebagai alternatif atau pilihan dalam penggunaan lahan yang memberikan tawaran lebih baik dalam berbagai aspek (adaptability). Banyak kendala dalam pengembangan agroforestri. Salah satunya adalah rendahnya produktivitas tanaman yang antara lain disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang pemilihan jenis tanaman dan pengaturan pola tanam. Sebagaimana yang terjadi di DAS Cianjur, produktivitas sistem agroforestri juga masih rendah. Untuk itu diperlukan penelitian yang bertujuan: 1) menganalisis pola tanam tanaman semusim dan tingkat pengelolaannya pada sistem agroforestri di DAS Cianjur, 2) menganalisis produktivitas tanaman semusim pada sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur, 3) Menganalisis motivasi pemilihan jenis tanaman semusim yang diusahakan petani untuk sistem agroforestri di DAS Cianjur, 4) menganalisis kalender pertanaman pada sistem agroforestri di DAS Cianjur untuk mendapatkan sistem agroforestri yang produktif dengan mempertimbangkan perbedaan zona yang didasarkan pada perbedaan ketinggian tempat, dan 5) menganalis peluang pengembangan vegetable agroforetry khususnya di zona hulu. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April 2008 sampai dengan Oktober 2008. Penelitian pola tanam dan produktivitas tanaman juga dilaksanakan di tiga zona Daerah Aliran Sungai Cianjur, yaitu: zona hulu (> 900 m dpl); tengah (300-
51
900 m dpl) dan hilir (±300 m dpl) (Gambar 4.1). Secara administratif zona hulu masuk wilayah Desa Galudra, zona tengah Desa Mangunkerta
masing-masing
masuk wilayah Kecamatan Cugenang dan zona hilir masuk wilayah Desa Selajambe Kecamatan Sukaluyu. Pembagian zona ini berdasar pada penelitian Arifin (2001). Adapun secara geografis zona hulu terletak pada S 60 46’ 23” – 60 47’ 15” ; E 1060 59’ 7” – 1070 3’ 16” pada ketinggian > 900 m dpl, tengah 107003` 11” - 107005` 08” BT dan 6048` 14” LS (300-900 m dpl), dan hilir 107003` 11” - 107005` 08” BT dan 6048` 14” LS pada ±300 m dpl.
Gambar 4. 1. Peta lokasi penelitian sepanjang Daerah Aliran Sungai Cianjur (Sumber: Arifin 2001)
Penelitian didesain berdasarkan hasil analisis penelitian tahap pertama, terutama jenis tanaman dominan yang ditanam dan menjadi kebiasaan masyarakat pada ketiga zona DAS Cianjur. Empat jenis tanaman terpilih didasarkan pada beberapa aspek penting dalam pemilihan jenis tanaman semusim untuk agroforestri yaitu aspek agronomis meliputi kesesuaian lahan, tingkat toleransi terhadap pohon/tanaman tahunan, memiliki daya adaptasi tinggi, tidak terjadi kompetisi dengan pohon (interaksinya positif); aspek ekonomis yaitu tanaman yang ditanam merupakan tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi (Thakur et al. 2005) dan diperlukan masyarakat untuk kehidupan sehari-hari. Aspek ini menurut Santosa (2005) menjadi pertimbangan utama dalam penentuan jenis
52
tanaman semusim untuk agroforestri; aspek ekologis/lingkungan artinya ada kecocokan antara sifat fisik lingkungan dengan persyaratan tumbuh tanaman semusim yang akan dikembangkan dengan memperhitungkan input-input yang diperlukan tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dan berproduksi optimal. Adapun faktor-faktor lingkungan ini adalah suhu, curah hujan, ketinggian tempat, kedalaman tanah, pH, bahan organik serta sifat-sifat pertumbuhan pohon. Sedangkan
penanaman dan pengelolaan tanaman mengacu pada persyaratan
tumbuh masing-masing jenis tanaman semusim terpilih (hasil penelitian sebelumnya), mulai dari persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan sampai pemanenan. Data produktivitas tanaman dikumpulkan dari hasil wawancara dan pengamatan pertumbuhan dan produksi tanaman di pertanaman petani contoh. Wawancara berupa pertanyaan mengenai persiapan tanam sampai pemanenan hasil, produksi, biaya serta nilai jual produksi tanaman pada setiap periode tanam. Sedangkan pengamatan pertumbuhan dan produksi, dilakukan pada petak contoh berukuran 5m x 5m yang ditempatkan pada lahan-lahan petani yang mewakili kondisi pertanaman pada lokasi penelitian. Pengamatan ini dilakukan terhadap 10 tanaman contoh dari setiap petak contoh untuk setiap jenis tanaman, dan setiap petak contoh diulang sebanyak tiga kali. Petak contoh untuk setiap jenis tanaman juga dibuat pada pertanaman monokultur sebagai pembanding. Sedangkan 4 tanaman akan dijadikan sampel destruktif 2 tanaman pada saat fase vegetatif cepat dan 2 tanaman pada fase generatif. Petak contoh pengamatan ini dibuat sebanyak 3 petak (dalam 1 blok atau beda blok) untuk setiap jenis tanaman, dan masingmasing petak ini dianggap sebagai ulangan. Pemilihan petak contoh juga didasarkan pada kesesuaian lahan dan persyaratan penggunaan lahan terutama lahan-lahan yang selama ini telah dikembangkan dalam bentuk agroforestri (kebun campuran) oleh masyarakat. Sampel plot juga dibuat pada pertanaman monokultur (tanpa pohon) untuk mengetahui respon pada kondisi non agroforestri. Penelitian ini merupakan penelitian uji multi lokasi dan didesain dalam bentuk Rancangan Acak Kelompok
53
(RAK) dengan dua faktor yaitu jenis tanaman semusim dan lingkungan (ketinggian tempat), masing-masing diulang tiga kali.
Adapun peubah yang diamati adalah: 1. Produksi tanaman setiap panen (pada tanaman buah dan sayuran). Pengamatan ini untuk mengetahui kecenderungan jumlah produksi dan jumlah produksi total dalam 1 musim tanam. 2. Produksi tanaman segar/sayur (kg/ha), jumlah buah segar (tanaman buah), berat tongkol, jumlah dan berat umbi (kg/ha). 3. Indeks Cropping mengacu pada Ruthenberg’s Cropping Indexs (RCI) dengan rumus: RCI = Tcrop / (Tcrop + Tfallow), dimana: Tcrop = Lamanya lahan ditanami tanaman pertanian (semusim); T fallow = Lamanya lahan bera. 4. Indeks panen (harvest indexs) = Bobot hasil yang dipanen/bobot total tanaman, atau berat kering hasil/berat kering total tanaman. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik pola tanam dan produktivitas tanaman pada sistem agroforestri di DAS Cianjur Karakteristik pola tanam sistem agroforestri di DAS Cianjur Terdapat perbedaan karakteristik pola tanam tanaman semusim di tiga zona DAS Cianjur (Tabel 4.1). Tabel 4.1. Karakteristik pola tanam pada sistem agroforestri di DAS Cianjur Karakteristik Pola Tanam Zona
Hulu
Tengah
Hilir
Bentuk pola tanam
Tata letak tanaman
Intensifikasi pengelolaan
Indeks pertanaman
Pola lorong (Alley cropping)
Teratur, bentuk barisan, bedengan, tumpang sari
Sangat intensif
2.93
Pola lorong (Alley cropping) dan mixed cropping
Teratur, dalam bentuk barisan-barisan dan blok
Intensif
2.53
Kebun campuran (Mixed cropping)
Tidak teratur, banyak jenis
Kurang intensif
1.43
54
Sistem agroforestri di zona hulu dan tengah berupa agroforestri sederhana dengan pola lorong (alley cropping), tata letak tanaman teratur dalam baris dan blok-blok, penanaman sepanjang tahun dengan pengelolaan sangat intensif dan intensif. Perbedaan karakteristik ini dipengaruhi oleh
faktor agroklimat (suhu,
kelembaban dan curah hujan) (Tabel 4.2). Suhu memegang peranan penting terhadap pertumbuhan tanaman. Rosario et al (1986), menyatakan bahwa setiap proses fisiologi seperti respirasi dan fotosintesis dibatasi oleh suhu. Suhu juga dapat mempengaruhi aktivitas enzim menjadi aktif. Contoh pada suhu rendah, kelembaban tinggi dan curah hujan yang tinggi, maka tanaman sayuran seperti kobis, wortel, bawang daun dan brokoli dapat tumbuh dengan baik, bahkan dapat dilaksanakan penanaman sepanjang tahun. Tabel 4.2. Keadaan iklim dan tofografi tiga zona DAS Cianjur Karakter Wilayah
Iklim
Topografi
Hulu
Suhu udara: 19-22C, kelembaban udara: 80-82%, curah hujan: 3388.6 mm/tahun
70% perbukitan, 30% dataran
Tengah
Suhu udara: 21-22C,kelembaban udara: 80-82%, curah hujan: 3388.6 mm/tahun
40% perbukitan, 60% dataran
Hilir
Suhu udara: 25C, kelembaban udara: 8082%, curah hujan: 1963.0 mm/tahun
seluruhnya berupa dataran
Sumber Ali dan Arifin (2007). Bentuk pola tanam Pola tanam lorong (allley cropping) di hulu dilaksanakan di lahan kehutanan di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tegakan utama (pohon) berupa pohon pinus dan kayu putih. Pola tanam berupa intercroping, interplanting dan mix-intercropping. Tamanan pinus telah berumur 4-5 tahun dengan jarak tanam 4m x 5m dan kayu putih yang berumur >10 tahun dengan jarak tanam 10m x 10m. Pengelolaan oleh petani dengan sistem pesanggem (petani bisa memanfaatan lahan-lahan dan mendapatkan hasil dari lahan-lahan di bawah tegakan/pohon sampai tegakan/pohon kehutanan itu tumbuh dengan tajuk sempurna). Pola ini telah berlangsung sejak tahun 1998 dengan melibatkan tiga
55
kelompok tani hutan yaitu Kelompok Tani Hutan Mekar Tani, Jaya Tani dan Kelompok Tani Hutan Subur yang masing-masing beranggotakan 12 petani hutan (total anggota 36 petani) dengan luas lahan setiap petani 400 – 600 m2. Pada tegakan (pohon pinus) dilakukan pemangkasan cabang sebanyak 2-3 kali setahun dimaksudkan selain untuk mendapatkan pohon yang tinggi juga untuk mengurangi tajuk, sehingga ruang antar pohon bisa dimanfaatkan untuk budidaya tanaman semusim oleh masyarakat/petani. Pengelolaan lahan pada pola lorong ini sangat intensif dengan masa bera antara 1-2 minggu. Tanaman yang dominan ditanam berupa tanaman sayuran dataran tinggi yaitu wortel, kobis, tomat, bawang daun, sawi dan cabe baik secara tunggal maupun campuran seperti wortel – sawi, tomat – sawi, tomat – bawang daun. Di zona tengah, sistem agroforestri sederhana dengan pola lorong (alley cropping) dilaksanakan di sebagian areal perkebunan teh, dengan sistem pesanggem serta di kebun yang merupakan kebun-kebun hak milik (milik perseorangan), yang dimiliki oleh masyarakat setempat maupun oleh pendatang (dari luar Desa Mangunkerta). Agroforestri pada lahan-lahan hak milik berupa agroforestri kompleks, sedangkan status petani sebagai petani penggarap. Pada sistem agroforestri di areal perkebunan teh, petani mendapatkan luas lahan ratarata seluas 1 patok (400m2), sedangkan di luar perkebunan teh (30%) milik pribadi dan (10%) sebagai penggarap dengan pemilik orang dari luar Desa Mangunkerta. Luasan garapan rata-rata lebih besar dari 400 m2. Pada alley cropping di areal yang dimiliki perkebunan teh, tegakan/pohon berupa pohon mahoni. Pemangkasan tajuk dilaksanakan sebanyak 2 kali setahun dengan masa bera 2-3 minggu. Tanaman dominan pada pola lorong di tengah adalah jagung, cabe, tomat, wortel, dan sawi. Sistem agroforestri di hilir berupa kebun campuran hak milik, dengan struktur vegetasi yang rapat, jarak tanam tidak teratur. Pemeliharaan tanaman tidak intensif, alokasi waktu untuk pengelolaan kebun juga rendah yang disebabkan oleh terbatasnya air terutama pada musim kemarau akibat rendahnya curah hujan dibandingkan di hulu dan tengah. Selain itu petani di hilir lebih berorientasi pada pengerjaan tanah sawah. Berdasarkan kepemilikannya, petani di
56
hilir umumnya hanya sebagai penggarap, sementara pemilik kebun campuran (73.33%) adalah orang-orang dari luar Desa Selajambe. Tanaman yang dominan ditanam di hilir adalah jagung, cabe keriting, tomat dan singkong. Adapun jenis tanaman semusim dan pola tanam pada alley cropping di tiga zona DAS Cianjur terdapat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3. Jenis tanaman semusim dan pola tanam pada sistem agroforestri masyarakat di DAS Cianjur Zona DAS
Jenis tanaman Dominan
Pola Tanam Monokultur Polikultur
Hulu
Wortel-sawi; Bawang daun wortel, bawang daun, Wortel-sawi, /kubis; cabe/tomat-wortel kobis, cabe Wortel, bwg daun
Tengah
Jagung-cabe, cabe (tanaman Jagung, cabe, tomat, Jagung-cabe, lama – tomat/sawi ; (sawi), wortel Cabe-sawi, serta talas di tepi/pinggir Tomat-Sawi sengkedan.
Hilir
Jagung/cabe keriting/tomat; Jagung, cabe keriting Jagung-cabe, tanaman bumbu dan obat yang dan tomat Jagung-singkong tumbuh di musim penghujan dan sebagian petani menanam singkong dan ubi jalar.
Pola tanam dan sistem pertanaman di suatu wilayah juga ditentukan oleh faktor iklim dan lahan/tanah, serta tujuan pengelolaan pada setiap zona agroekologi (Das, 2005). Pola tanam di hulu dan tengah berlangsung sepanjang tahun, sedangkan di hilir, pola tanam masih didasarkan pada kebiasaan pola musim penghujan (Oktober–Maret) dan kemarau (April-September). Sedangkan untuk kesesuaian lahan, menurut Saroinsong (2002), bahwa petani di tiga zona DAS Cianjur masih menggunakan indikator pertumbuhan dan produktivitas komoditas tertentu pada suatu kawasan serta neighbour effect dimana petani cenderung meniru pengelolaan lahan sebelumnya di dekatnya yang dianggap cukup berhasil. Keadaan ini berpengaruh terhadap rotasi tanaman (Tabel 4.4) dimana, di hulu 73.33% dengan 3 jenis tanaman, sedangkan di tengah dan hilir masing-masing 79.99% dan 73.33% dengan 2 jenis tanaman. Rotasi tanaman yang hampir sama sepanjang tahun ini menurut DAS (2005) akan mengakibatkan
57
terjadinya ketidakseimbangan konsentrasi hara tanah yang berdampak negatif bagi pertumbuhan tanaman. Tabel 4.4. Rotasi tanaman pada sistem agroforestri masyarakat di DAS Cianjur Zona DAS Pola 3 Pola Pola 2 1 Hulu
Tengah
Hilir
Pola 2
Pola 3
Wortel, sawi-bwg daun- Wortel-tomat wortel Wortel, sawi-kobis-wortel Wortel-cabe Wortel-cabe-Kobis
Wortel-bwg daun - kobis - sawi
Wortel-cabe-jagung
Cabe-jagung
Wortel-cabejagung-sawi
Wortel-jagung-sawi
Wortel-jagung Tomat-jagung
Cabe-jagung Tomat-jagung Jagung-ketela pohon
Cabe Tomat Jagung Ketela pohon
-
Pola penanaman tumpang sari pada alley cropping di hulu dan tengah juga dapat menyelamatkan unsur hara yang tercuci ke lapisan bawah. Hal ini disebabkan perbedaan zona perakaran antar pohon dan tanaman semusim. Akar pohon umumnya tumbuh lebih dalam dan dapat menyerap unsur hara pada lapisan tersebut.
Semakin dalam dan berkembang perakaran pohon tersebut, maka
semakin banyak unsur hara yang diselamatkan, sehingga akar pepohonan ini menyerupai jaring yang akan menangkap unsur hara yang mengalir ke lapisan bawah, dan fungsi ini sering disebut sebagai “Jaring Penyelamat Hara”. Contoh pada tanaman petaian yang ditanam di sela-sela tanaman jagung (Hairiyah 2005). Sedangkan di hilir pada kebun campuran dengan struktur tegakan yang rapat, perakaran tidak teratur sehingga ruang untuk tumbuh tanaman semusim terbatas serta memungkinkan terjadinya kompetisi penyerapan hara yang lebih besar.
Gbr 4.2 alley cropping di hulu
Gbr 4.3 Alley cropping di tengah
Gbr 4.4 Kebun Campuran di hilir
58
Frekuensi petani menanam jenis tanaman yang tinggi di hulu dan tengah karena adanya kesesuaian jenis tanaman (genetik) yang dipilih dengan kondisi lingkungannya (Tabel 4.5). Tanaman yang ditanam pada lingkungan yang sesuai maka proses fisiologis tanaman seperti proses pembungaan tidak terganggu. Sementara pada lingkungan yang tidak sesuai tanaman akan mengalami stres, fase pembungaan tidak akan terjadi dan tanaman dorman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Poerwanto (2003), bahwa tanaman perlu mendapatkan lingkungan yang sesuai, karena differensiasi pembungaan terjadi setelah tanaman keluar dari stres. Terganggunya tanaman pada fase ini dalam waktu yang lama mengakibatkan tanaman tidak dapat berproduksi. Tabel 4.5. Frekuensi petani melakukan pola tanam untuk berbagai jenis tanaman pada sistem agroforestri masyarakat di DAS Cianjur. Frekuensi Zona DAS
Satu jenis Jenis
Hulu
Total
Jenis
%
Jenis
%
16.67
Wortel dan sawi
26.67
Wortel, sawi, bwg daun
3.33
B daun
10.00
Wortel dan bwg daun
10.00
Cabe, wortel, bwg daun
3.33
Cabe
6.67
Cabe dan wortel
10.00
Kobis
3.33
Cabe dan b daun
6.67
Tomat
3.33 40.00
53.32
6.67
Cabe
13.33
Cabe, jagung
23.33
Cabe, jagung dan ketela pohon
6.67
Jagung
13.33
Wortel jagung
16.67
Tomat,jagung dan Singkong
3.33
Tomat
1.33
Tomat, jagung
13.33
Wortel
1.33
Kc Panjang
1.33
Total Hilir
%
Tiga jenis
Wortel
Total Tengah
Dua jenis
36.67
53.32
Cabe
23.33
Cabe, jagung
10.00
Tomat
10.00
Tomat, jagung
3.33
Jagung
26.66
Jagung, singkong
Singkong
10.00 69.99
10.00
16.67
29.99
10.00
59
Selain itu, perbedaan frekuensi petani menanam jenis tanaman juga disebabkan oleh perbedaan rentang panen yang panjang pada tanaman sayuran sehingga sangat memungkinkan untuk dikombinasikan dengan pengaruh negatif (kompetisi) yang sangat kecil. Contoh wortel dan sawi yang ditanam bersamaan, pada umur 40-45 hari, sawi sudah dipanen sementara wortel baru dipanen umur 4 bulan. Pola penanaman ini
tidak mengganggu pertumbuhan tanaman wortel,
tetapi justru petani mendapat keuntungan dari sawi. Begitu juga pada wortel dan bawang daun yang dipanen umur 75-90 hari. Analisis motivasi pemilihan jenis tanaman Tujuan penanaman juga berpengaruh terhadap motivasi pemilihan jenis tanaman (Tabel 4.6). Pada zona hulu dan tengah, tujuan penanaman terbesar adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar (kemudahan menjual dan keuntungan yang besar), sehingga pola tanam disesuaikan dengan kecenderungan (trend) permintaan pasar saat itu, sementara di hilir dengan tujuan utama untuk kosumsi sehari-hari, sehingga pola tanam lebih mengarah pada efektivitas pemanfaatan lahan karena adanya rentang musim yang panjang, sedangkan pada musim penghujan seluruh tenaga kerja terkonsentrasikan untuk penanaman padi/sawah baik sebagai petani maupun buruh tani (Gambar 4.5). Tabel 4.6. Motivasi petani dalam menentukan jenis tanaman yang akan ditanam No
Kriteria
Zona Daerah Aliran Sungai Hulu Tengah Hilir
1 Konsumsi sehari-hari -X 10 2 Kemudahan menjual 15 17 3 Keuntungan yang besar 20 15 4 Kesesuaian dengan iklim 5 10 5 Keahlian petani/pengalaman 22 18 6 Kemudahan pemeliharaan 5 10 7 Biaya produksi yang rendah 9 10 8 Kemudahan mendapat benih/bibit 12 5 9 Mengikuti kebijakan 0 0 X Jumlah petani sampel yang memberikan jawaban terhadap masing-masing kriteria
12 15 5 5 5 8 10 18
0
Hasil uji Chi-Square untuk pemilihan jenis tanaman, menunjukkan bahwa di hulu, nilai Asymp Sig< α = 0.05, berarti terdapat perbedaan kriteria pemilihan jenis tanaman. Namun pada uji lanjut dengan membandingan 2 kriteria yang terbanyak dipilih tidak terdapat perbedaan, sehingga kriteria pemilihan jenis
60
tanaman di hulu adalah keahlian petani dan keuntungan yang besar. Di tengah nilai Asymp.Sig>
α
= 0.05, berarti tidak ada perbedaan kriteria dalam memilih
jenis tanaman. Konsum si sehari-hari 25
20 Mudah m endapat bibit
Kem udahan m enjual 15
hulu 10
tengah
5
Biaya prod rendah
0
Kem udahan pem eliharaan
hilir Keuntungan yg besar
Kesesuaian dng iklim
Keahlian/pengalam an petani
Gambar 4.5 Motivasi petani memilih jenis tanaman pada sisten agroforestri di DAS Cianjur Kriteria yang terbanyak dipilih petani menjadi dasar pemilihan jenis tanaman yaitu keahlian petani dan kemudahan menjual, sedangkan di hilir Asymp.Sig< α = 0.05, berarti juga terdapat perbedaan kriteria pemilihan jenis. Uji lanjut terhadap 2 kriteria yang terbanyak dipilih menunjukkan bahwa kemudahan mendapat benih/bibit dan kemudahan menjual menjadi pertimbangan pemilihan jenis tanaman. Pemilihan jenis semacam ini menyebabkan sebagian besar tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik terutama tanaman-tanaman yang peka terhadap naungan yang banyak diusahakan masyarakat. Sedangkan di tengah dan hulu lebih berorientasi kemudahan menjual, keuntungan yang besar dan kebiasaan serta pengalaman petani sehingga sering terjadi petani menanam jenis tanaman yang sama, dan kesempatan ini sering dimanfaatkan pedagang untuk membeli dengan harga yang murah. Intensifikasi pengelolaan lahan sangat intensif di hulu, dan intensif di tengah. Sedangkan di hilir, pengelolaan lahan dengan olah tanah kurang intensif
61
dengan olah tanah minimum (minimum tillage) dengan dicangkul sekali dan/atau ditugal. Pengolahan lahan (pengolahan tanah) yang sangat intensif-intensif di hulu dan tengah berpengaruh terhadap perbaikan struktur tanah. Menurut Titi (2003), struktur tanah yang baik akan merubah konduktivitas dan permeabilitas air, suhu dan aliran udara pada tanah dan keadaan ini dapat memperbaiki transportasi larutan dalam tanah serta distribusi ruangnya. Selain itu pengolahan tanah juga akan berpengaruh terhadap makroporositas, konduktivitas dan kemampuan menyerap tanah (infiltrasi), mengurangi aliran permukaan dan dalam skala besar bisa menurunkan erosi. Tanah dengan makroporositas yang tinggi dilaporkan juga akan meningkatkan resposibilitas terhadap polusi air tanah yang disebabkan oleh bahan kimia yang dipakai dalam budidaya pertanian. Sementara itu pada sistem agroforestri di hilir, dengan pengolahan tanah
minimum
(minimum tillage), maka struktur tanahnya kurang baik. Indeks pertanaman di hulu lebih tinggi dibandingkan di tengah dan hilir (Tabel 4.1). Tingginya indeks pertanaman ini, disebabkan oleh adanya kesesuaian jenis tanaman (genetik) yang dipilih dengan kondisi lingkungannya. Tanaman yang ditanam pada lingkungan yang sesuai maka proses fisiologis tanaman seperti proses pembungaan tidak terganggu. Sementara pada lingkungan yang tidak sesuai tanaman akan mengalami stres, fase pembungaan tidak akan terjadi dan tanaman dorman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purwanto (2003), yang menyatakan bahwa tanaman perlu mendapatkan lingkungan yang sesuai, karena differensiasi pembungaan terjadi setelah tanaman keluar dari stres. Terganggunya tanaman pada fase ini dalam waktu yang lama mengakibatkan tanaman tidak dapat berproduksi secara optimal. Kalender Pertanaman pada Sistem Agoforestri Masyarakat di DAS Cianjur Berdasarkan hasil penelitian (wawancara petani responden), bahwa petani di tiga zona DAS Cianjur belum memanfaatkan data iklim untuk penentuan pola tanam tanaman semusim. Pola tanam masih berdasarkan pada kebiasaan pola musim penghujan (Oktober–Maret) dan kemarau (April-September). Keadaan ini mengakibatkan sering terjadi gagal panen dan menurunnya hasil/produksi akibat perubahan/pergeseran musim (musim hujan dan kemarau).
62
Petani juga terbiasa dengan pengalaman dan kebiasaan mengenai penentuan waktu tanam, cara tanam dan rotasi tanamannya. Tanaman semusim yang ditanam kurang beragam dan cenderung jenis yang sama pada setiap musim tanam (bahkan setiap tahun), dan penanaman jenis yang sama secara terusmenerus
ini
menurut
Das
(2005),
akan
mengakibatkan
terjadinya
ketidakseimbangan konsentrasi hara tanah yang akan berdampak negatif bagi pertumbuhan tanaman. Penentuan pola tanam petani belum didasarkan pada data iklim (Gambar 4.6). Waktu tanam masih mengacu pada pola musim penghujan (Oktober–Maret) dan kemarau (April-September). Hal ini menyebabkan tanaman yang ditanam cenderung jenis yang sama pada setiap musim tanam (bahkan setiap tahun). Penanaman jenis yang sama secara terus-menerus ini, menurut Das (2005) akan mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan hara tanah yang akan berdampak negatif bagi pertumbuhan tanaman. Wilayah DAS Hulu Pola 1
Pola 2 Tengah Pola 1
Bulan Okt
Nop
Des
Jan
Peb
Mar
Wortel + sawi
Apr
Mei
Jun
Juli
Bawang Daun
Jagung manis
Cabe keriting
Wortel +sawi
Bw daun
Tomat
Wortel
Jagung
Cabe keriting
Jagung
Pola 2 Hilir Pola 1
Pola 2
Talas/ubi kayu
Jagung
Ubi kayu
Agus
Cabe keriting
Gambar 4.6. Kalender tanam sistem agroforestri di DAS Cianjur
Sep
63
Sedangkan penentuan kesesuaian lahan dengan jenis tanaman, petani masih menggunakan indikator pertumbuhan dan produktivitas komoditas tertentu pada suatu kawasan serta neighbour effect dimana petani cenderung meniru pengelolaan lahan sebelumnya di dekatnya yang dianggap cukup berhasil (Saroinsong et al. 2007). Produktivitas sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur Produktivitas tanaman semusim di DAS Cianjur terdapat pada Gambar 4.7- Gambar 4.12. Tingginya produktivitas tanaman semusim (tanaman sayuran) di hulu dan tengah (Gambar 4.7 dan 4.8) selain karena kesesuaian faktor iklim juga karena faktor
ton/ha/m us im tanam
60
agronomis.
R ata-rata produktivitas beberapa tanaman s emus im pada z ona hulu
50 40 30
W ortel
20
B awang Daun
10
K obis
0 S urvei
P etak C ontoh
A grofores try
S urvei
Tomat
P etak C ontoh
NonA grofores try
Dis perta C ianjur
P otens i Has il
Gambar 4.7. Rata-rata produktivitas beberapa tanaman semusim di zona hulu Faktor iklim terutama suhu berpengaruh terhadap kecepatan reaksi, peningkatan fungsi enzim, kondisi lingkungan tanah serta meningkatkan aktivitas fisiologi tanaman. Sedangkan pada kelembaban dan curah hujan yang tinggi, maka besarnya evavorasi potensial standart (Eto) akan lebih rendah dari curah hujan bulanan sepanjang tahun. Berdasarkan hal tersebut maka kebutuhan air tidak akan menjadi faktor pembatas pertumbuhan, dan cukup tersedia selama masa pertumbuhannya (Arsyad 1989). Produktivitas juga dipengaruhi oleh jarak pohon pada sistem agroforestri. Di zona hulu dengan jarak tanaman pinus 3m x 4m, memungkinkan tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik karena
64
adanya perbedaan sebaran perakaran dan tingkat kedalaman perakaran antara
ton/ha/m us im tanam
pohon pinus dengan tanaman semusim.
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
R ata-rata produktivitas beberapa tanaman s emus im pada z ona teng ah
W ortel Tomat C abe K eriting S urvei
P etak C ontoh
A grofores try
S urvei
J agung manis
P etak C ontoh
NonA grofores try
Dis perta C ianjur
P otens i Has il
Gambar 4.8. Rata-rata produktivitas beberapa tanaman semusim di zona tengah Perbedaan ini menurut Radjati (2006) akan memberikan keuntungan terhadap peningkatan efisiensi penyerapan hara. Pengaturan jarak antar pohon dan jarak antar pohon dengan tanaman semusim yang tepat memungkinkan pohon dapat berperan positif terhadap tanaman semusim. Pengaturan yang tepat memungkinkan pohon menyerap unsur hara yang tidak terjangkau oleh tanaman semusim (penyelamat unsur hara), serta pohon dapat berperan sebagai penahan angin (shelter belt), serta menjadi tempat hidup hama penyakit tanaman
ton/ha/m us im tanam
R ata-rata produktivitas beberapa tanaman s emus im pada z ona hilir 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Tomat C abe K eriting J agung S urvei
P etak C ontoh
A grofores try
S urvei
P etak C ontoh
NonA grofores try
Ubi K ayu Dis perta C ianjur
P otens i Has il
Gambar 4.9. Rata-rata produktivitas beberapa tanaman semusim di zona hilir
65
Pohon juga bisa menjadi penaung tanaman terutama pada awal masa tumbuh sehingga evavorasi tanaman dapat dikurangi dan tanaman bisa tumbuh dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Mercado et al. (2011), yang menyatakan bahwa penanaman tanaman semusim pada jarak 10-40 kaki (ft) dari pohon, menyebabkan produktivitas beberapa tanaman sayuran meningkat dibandingkan dengan penanaman di tempat terbuka (tanpa pohon). Sistem agroforestri di zona hilir, berupa kebun campuran, kerapatan pohon lebih tinggi, sehingga memungkinkan terjadi cekaman pertumbuhan yang disebabkan oleh naungan, akibatnya produktivitas tanaman menjadi rendah
ton/ha/mus im
(Gambar 4.9). R ata-rata produktivitas wortel pada z ona
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Hulu Tengah S urvei
P etak C ontoh
A grofores try
S urvei
P etak C ontoh
NonA grofores try
Dis perta C ianjur
P otens i Has il
Gambar 4.10. Rata-rata produktivitas wortel di zona hulu dan tengah Gambar (4.10), menunjukkan bahwa tanaman sayuran dataran tinggi (wortel), yang ditanam di zona tengah memiliki produksi yang lebih rendah. Hal ini sesuai dengan hasil beberapa studi tentang ekofisiologi tanaman di bawah naungan seperti pada padi gogo (Chozin et al. 2000), kedelai (Sopandie et al. 2004), talas (Djukri 2003) dan lada (Wahid 1997), yang menunjukkan bahwa dampak dari cekaman intensitas cahaya adalah terganggunya proses metabolisme tanaman, yang menyebabkan menurunnya laju fotosintesis dan sintesis karbohidrat. Hal ini terkait dengan kondisi lingkungan yang kurang sesuai untuk pertumbuhan tanaman wortel. Secara ekologi hal ini juga menunjukkan tingkat adaptasi tanaman, dimana setiap tanaman memiliki dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik jika jika syarat tumbuh untuk tanaman tersebut terpenuhi. Hal ini juga terjadi
67
Terdapat perbedaan produktivitas tanaman pada data survei, pengamatan sample pada petak pengamatan, rataan dari Dinas Pertanian Kab Cianjur dan potensi hasil. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan metode pengumpulan data. Survei wawancara menggunakan data dari laporan petani, data produktivitas pada petak contoh diambil dengan cara mengamati dan
menghitung secara
langsung produktivitas sampel tanaman pada petak yang telah ditentukan, sedangkan data dari Dinas Pertanian Kab Cianjur (2009), merupakan data produktivitas rata-rata yang tidak membedakan kondisi agroforestri atau non agroforestri maupun lahan kering atau lahan basah (sawah). Produktivitas agroforestri masih jauh di bawah nilai potensi hasil. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor pengelolaan tanaman dan faktor lingkungan yang tidak sepenuhnya dapat memenuhi persyaratan tumbuh dari beberapa jenis tanaman tersebut.
SIMPULAN 1. Terdapat perbedaan pola tanam tanaman semusim di tiga zona DAS Cianjur. Di zona hulu sistem agroforestri sederhana dengan pola tanam alley cropping, di tengah 70% agroforestri sederhana dengan pola tanam alley cropping dan 30% kebun campuran, sedangkan di hilir agroforestri kompleks. 2. Secara umum penentuan pola tanam lebih banyak didasarkan pada kebiasaan pola musim penghujan ( Oktober-Maret) dan kemarau (April-September), dan tidak terdapat perbedaan kalender pertanaman. 3. Motivasi pemilihan jenis tanaman di hulu adalah keahlian petani dan keuntungan yang besar, di tengah adalah keahlian petani dan kemudahan menjual, sedangkan di hilir adalah kemudahan mendapat benih/bibit dan kemudahan menjual. 4. Secara umum produktivitas tanaman semusim pada sistem agroforestri di DAS Cianjur lebih rendah dibandingkan non agroforestri, terutama disebabkan perbedaan cara perhitungan produktivitas, faktor pengelolaan dan lingkungan.
68
5. Sistem agroforestri khususnya di zona hulu memiliki peluang/prospek untuk dikembangkan sebagai “Vegetable Agroforestry” yang berorientasi komersial, dengan menagtur jarak antar pohon dan jarak antara pohon dengan tanaman semusim, seperti yang telah dikembangkan di beberapa negara.
ANALISIS KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DAN KEBERLANJUTAN SISTEM AGROFORESTRI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIANJUR (Analysis of social economic and sustainability characteristics of agroforestry systems in Cianjur Watershed) ABSTRAK dilakukan untuk menganalisis karakteristik sosial ekonomi dan keberlanjutan sistem agroforestri di Daerah Aliran Sungai Cianjur. Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder, survei dan wawancara terhadap 30 responden (petani) pada tiga zona DAS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik sosial ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap pendapatan dan motivasi pemilihan jenis tanaman semusim untuk sistem agroforestri. Pendapatan dari nilai tanaman semusim di hulu Rp 5 866 250/ha/musim tanam di tengah Rp 4 771 643/ha/musim tanam, sedangkan di hilir Rp 735 918/ha/musim tanam. Perbedaan ini dipengaruhi oleh perbedaan jenis tanaman yang ditanam, yang berpengaruh terhadap produktivitas tanaman. Sedangkan motivasi pemilihan jenis tanaman di hulu adalah keahlian petani dan keuntungan yang besar, di tengah adalah keahlian petani dan kemudahan menjual, di hilir adalah kemudahan mendapatkan benih/bibit dan kemudahan menjual. Pada sistem agroforestri di DAS Cianjur juga terdapat introduksi teknologi dengan pemilihan jenis tanaman yang mengarah pada orientasi ekonomi (economic oriented). Analisis keberlanjutan yang didasarkan pada analisis B/C ratio, menunjukkan bahwa sistem agroforestri di DAS Cianjur adalah masih berlanjut, dengan nilai di hulu 1.09, di tengah 2.89 dan di hilir 1.02. Sedangkan analisis keberlanjutan yang didasarkan pada aspek keberlanjutan agronomi, aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek ekologi, sistem agroforestri di DAS Cianjur berada pada tingkat keberlanjutan moderat (moderat sustainability) dengan nilai keberlanjutan 12.12. Sedangkan untuk nilai keberlanjutan sistem agroforestri pada masing-masing zona dari hulu ke hilir adalah 12.07, 12.67, dan 11.60. Penelitian
Kata kunci : agroforestri, keberlanjutan, pendapatan, sosial ekonomi ABSTRACT The study was conducted to analyze the sustainability of agroforestry systems in the Watershed Cianjur. Interviews were held to 30 samples of agroforestry field and respondents in the upper stream, the middle stream and the down stream of Cianjur Watershed, respectively. The results showed that, the agroforestry systems in the
three zones Cianjur watershed has a level of sustainability is high. The high level of sustainability can be seen from the aspect of productivity, social, economic, environmental and adoptability. Aspects of productivity, it appears that the productivity of agroforestry systems is high, especially for seasonal crops; socioeconomic aspects, that agroforestry systems can provide a high enough opinion on
69
each zone, while the socially one of them is employment that involves almost all the male family members and adult women, except in the downstream only by adult males (household heads). Agroforestry systems are also adoptable, because agroforestry has been going on for generations and there is the introduction of technology with the choice of plants which leads to the orientation of the economy (economic oriented). The aspects of sustainability can be seen from the B/C ratio, where B/C ratio in the three zones of watersheds Cianjur worth more than 1. The B/C ratio in the upper stream 1:09, in the middle stream 2.89 and the downstream 1:02. The sustainability of agroforestry systems in every zone, was defined for aspects of productivity, socio-economic and adoptability. For the aspect of environmental sustainability, in the upper stream more lower than in the middle and the down stream.The aspects of the use of chemical fertilizers and pesticides, in the downstream is lowest of use of fertilizers and chemical pesticides for the management of agroforestry systems. Key words: agroforestry, income,sosial economic, sustainability PENDAHULUAN Salah satu isu penting dalam pengembangan pertanian di DAS adalah mempertahankan keberlanjutan (sustainability) usaha tersebut. Menurut Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commision on Environment and Development), keberlanjutan adalah suatu usaha tani yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi pada masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya. Untuk mewujudkan usaha tani yang lestari maka harus dapat memproduksi sejumlah produk berkualitas yang mencukupi, melindungi sumberdayanya, serta ramah lingkungan dan menguntungkan secara ekonomi. Ada tiga pilar kelestarian yaitu: 1) kelestarian hasil atau produksi yang terkait dengan tindakan agronomis, 2) kelestarian agroekosistem pada suatu bentang alam atau biasa disebut sebagai kelestarian lingkungan dan 3) kelestarian fungsi agroforestri, baik fungsi ekonomi, ekologi dan sosial. Di kawasan DAS Cianjur, agroforestri menjadi pilihan dalam sistem budidaya pertanian, dan telah dipraktekkan masyarakat secara turun-temurun. Agroforestri yang berkembang terutama di daerah hulu dan tengah DAS menerapkan pola penanaman yang intensif. Pola budidaya yang intensif melibatkan input tinggi untuk pupuk, pestisida serta faktor-faktor produksi
70
lainnya. Terkait intensifikasi tersebut diduga akan berdampak pada keberlanjutan dalam pengelolaan DAS. Banyak penelitian terkait keberlanjutan di kawasan DAS Cianjur, seperti yang dilakukan Wibowo et al. (2007) dan Kaswanto et al. (2007). Wibowo et al. (2007), telah mengkaji keberlanjutan usaha tani sayuran dataran tinggi di Kawasan Agropolitan Pacet Cianjur. Sedangkan Kaswanto et al. (2007), telah mengkaji kelestarian pengelolaan air pada lanskap pedesaan di DAS Cianjur. Aspek keberlanjutan yang ditinjau secara komprehensif belum banyak diungkap. Kajian komprehensif tersebut penting untuk pengembangan dan penyusunan strategi di masa mendatang di tiga zona DAS Cianjur. Untuk itu dilakukan penelitian yang
bertujuan: 1) menganalisis karakteristik sosial ekonomi
masyarakat petani agroforestri di tiga zona DAS Cianjur, 2) menganalisis keberlanjutan sistem agroforestri di berbagai zonaa DAS Cianjur berdasarkan aspek agronomis, aspek ekonomis, aspek sosial budaya dan aspek ekologi. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di 3 (tiga) zona Daerah Aliran Sungai Cianjur, yaitu : zona hulu (> 900 m dpl); zona tengah (300-900 m dpl) dan zona hilir (±300 m dpl) (Gambar 5.1). Penelitian dilaksanakan sejak Bulan Agustus 2007 sampai dengan Desember 2008. Data dikumpulkan melalui wawancara dan kuisioner terhadap 30 responden di masing-masing zona DAS.
Data yang diambil dari instansi
pemerintahan desa/kecamatan meliputi: data wilayah, data kependudukan, luasan dan kepemilikan lahan, pendapatan dan data kelembagaan terutama yang terkait dengan kelembagaan pertanian. Keberlanjutan secara agronomi (KA) didefinisikan sebagai tingkat kesulitan dan alokasi tenaga kerja yang dicurahkan pada sistem agroforestri dibandingkan dengan sistem non agroforestri. Alokasi tenaga kerja merupakan jumlah tenaga kerja yang dialokasikan untuk sistem agroforestri di wilayah ini. Semakin tinggi alokasi tenaga kerja, maka keberlanjutan secara agronomi semakin
71
rendah, dan semakin rendah alokasi tenaga kerja, maka secara agronomi semakin berlanjut. Asumsi tersebut kemudian diberi skor 1, 3 dan 5. Skor 1 adalah alokasi tenaga kerja makin tinggi dan tingkat kesulitan kegiatan budidaya makin tinggi. Skor 3 adalah normal, yaitu dianggap setara dengan alokasi tenaga kerja non agroforestri. Skor 5 artinya sistem semakin berlanjut secara agronomi karena usaha tani tersebut semakin mudah dikerjakan. Keberlanjutan secara ekonomi (KE) diproyeksikan dari data pendapatan petani dari usaha agroforestri. Semakin tinggi pendapatan diasumsikan sistem secara ekonomi dapat berlanjut. Asumsi tersebut kemudian diskor 1, 3 dan 5. Skor 1 adalah jika pendapatan dari usaha agroforestri lebih rendah dibandingkan dengan usaha non agroforestri.
Skor 3 adalah jika pendapatan dari usaha
agroforestri sama dengan usaha non agroforestri. Skor 5 adalah jika pendapatan dari usaha non agroforestri lebih tinggi daripada usaha non agroforestri. Analisis usaha tani dilakukan dengan menghitung pemasukan, pengeluaran serta keuntungan dari lahan yang kelola petani saat ini, dengan analisis anggaran arus uang tunai (cash flow analysis) yang diperoleh dengan cara wawancara dan kuisioner (Soekartawi 2002). Penerimaan usaha tani (TR), merupakan perkalian antara produksi tanaman ke-i (Yi) dan harga produksi tanaman ke-i (Pyi) dapat dinyatakan sebagai : TR = Yi Pyi = ∑ (Y1 Py1 + Y2 Py2+ ... + Yn Pyn) Total biaya (cost) usaha tani merupakan nilai semua pengeluaran yang dipakai dalam usaha tani selama proses produksi baik langsung maupun tidak langsung, dan dinyatakan sebagai berikut : TC = FC + VC VC = Xi Pxi = ∑ (X1 Px1 + X2 Px2+ ... + Xn Pxn) Dimana TC = total biaya usaha tani, FC = biaya tetap, VC = biaya tidak tetap, Xi = input usaha tani ke-i dan Pxi = harga input usaha tani ke-i. Pendapatan bersih usaha tani (π), merupakan selisih antara penerimaan (TR) dan (TC) yang dapat dinyatakan sebagai berikut : π = TR - TC
72
Tingkat keberlanjutan sistem agroforestri juga ditentukan dengan analisis Benefit/Cost Ratio (B/C ratio). Keberlanjutan secara ekologi (KEK) dinilai dari tingkat penggunaan pupuk dan pestisida (pemeliharaan tanaman) secara komulatif yang dikonversi dalam besaran biaya sarana pupuk dan pestisida. Keberlanjutan diukur dalam skala 1-5. Semakin tinggi penggunaan kedua input tersebut dipandang tidak berlanjut secara ekologi (skor 1).
Skor 3 adalah jika input untuk sistem
agroforestri sama dengan input non agroforestri. Skor 5 jika input agroforestri lebih rendah dibandingkan dengan input non agroforestri. Analisis konservasi lahan dilakukan dengan menganalisis bentuk konservasi lahan di sekitar blok-blok penelitian serta kearifan-kearifan lokal sebagai upaya peningkatan konservasi lahan oleh masyarakat. Pengamatan ini dilakukan dengan pengamatan langsung dan wawancara dengan petani. Pengamatan dan wawancara meliputi : 1) bentuk konservasi lahan (arah penanaman, teras, konservasi vegetatif dll), 2) penggunaan pupuk dan pestisida berdasarkan data hasil survei/wawancara dengan petani, 3) ketersedian air untuk tanaman di areal agroforestry, 4) penanganan limbah, baik lembah kimia (pestisida dll) maupun penanganan sisa tanaman sebagai tambahan bahan organik, dan 5) tindakan dari pemilik lahan khususnya mengenai pengelolaan lahan dan pemilihan jenis tanam. Keberlanjutan secara sosial budaya (KSB) dinilai dari keberadaan kelembagaan pertanian, peran lembaga pertanian dan lama pengalaman petani. Kelembagaan yang semakin mantap, peran lembaga pertanian yang baik dan bertani yang lama menunjukkan secara sosial budaya memiliki keberlanjutan yang tinggi. Demikian sebaliknya, kelembagaan yang tidak ada, peran lembaga yang minim dan durasi bertani yang singkat, menunjukkan secara sosial budaya kurang berlanjut. Setiap komponen di skor 1, 3 dan 5 tergantung kriteria rendah, sedang dan tinggi.
Data skoring yang dperoleh kemudian dianalisis menggunakan
pengelompokan (Cluster Analysis), dan untuk selanjutnya disajikan dalam bentuk dendrogram. Struktur analisis keberlanjutan dilakukan secara hierarkis seperti disajikan pada Bagan 5.1.
73
Sustainabilitas (ST) = KA + KE + KEK + KSB ; pembobotan untuk setiap aspek dianggap setara. Dengan demikian, semakin tinggi nilai ST, sistem agroforestri yang diterapkan oleh masing-masing petani semakin tinggi. Nilai akhir setiap zona DAS merupakan rata-rata dari setiap responden pada zona yang bersangkutan. Nilai ST = 4 – 10 berarti tidak berkelanjutan (Not Sustainable), ST = 11-15 berarti keberlanjutan sedang (moderat sustainable) dan ST = 16 – 20. sangat berkelanjutan (very sustainable). Keberlanjutan Usaha Tani (KA) 1
3
5
Rendah
Sedang
Tinggi
Keberlanjutan Ekonomi (KE) 1
3
5
Rendah
Sedang
Tinggi
Keberlanjutan Sosial Budaya (KSB) 1
3
5
Rendah
Sedang
Tinggi
Keberlanjutan Ekologi (KEK) 1
3
5
Rendah
Sedang
Tinggi
Bagan 5.1. Urutan analisis keberlanjutan sistem agroforestri. Skor makin tinggi berarti makin berlanjut. Data dari non agroforestri dijadikan standar dengan skor 3 (sedang).