2 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Sumberdaya Ikan Pelagis Ikan pelagis adalah ikan yang hidupnya di dekat permukaan laut. Salah satu
sifat ikan pelagis yang paling penting bagi pemanfaatan usaha perikanan yang komersil adalah sifat mengelompok. Karena adanya sifat mengelompok ini, ikan dapat ditangkap dalam jumlah besar. Pola tingkah laku berkelompok pada ikan pelagis juga dipengaruhi oleh jenis dan ukurannya. Ikan pelagis pada umumnya berkelompok dan akan naik ke permukaan pada sore hari. Ikan-ikan tersebut akan menyebar di lapisan pertengahan perairan setelah matahari terbenam dan akan turun ke lapisan yang lebih dalam saat matahari terbit (Laevastu dan Hela 1970). Hal-hal yang menyebabkan ikan membentuk gerombolan antara lain adalah: 1) sebagai perlindungan diri dari pemangsa/predator; 2) mencari dan menangkap mangsa; 3) pemijahan; 4) musim dingin; 5) ruaya dan pergerakan; dan 6) pengaruh faktor dari lingkungan (Mantiefel dan Radakov diacu dalam Gunarso 1985). Penyebaran ikan pelagis dipengaruhi oleh perubahan lingkungan yang sesuai dengan kondisi tubuhnya. Daerah yang banyak diminati ikan pelagis adalah daerah yang banyak mendapatkan cahaya matahari yang dikenal sebagai daerah fotik dengan suhu optimal yaitu berkisar 28 - 30 0C. Pada siang hari suhu lapisan permukaan akan lebih tinggi sehingga ikan pelagis beruaya ke lapisan bawah (Gunarso 1985). Pengkonsentrasian plankton mempengaruhi pengelompokan ikan pelagis. Plankton mengadakan migrasi harian secara vertikal dengan berbagai mekanisme. Pola pergerakan plankton akan diikuti oleh pola migrasi ikan-ikan pelagis (Nybakken 1988). Berdasarkan
ukurannya,
Direktorat
Jendral
Perikanan
(1999)
mengelompokan ikan pelagis menjadi dua jenis, yaitu: 1) jenis ikan pelagis besar yaitu jenis ikan pelagis yang memiliki ukuran panjang 100 cm – 250 cm (ukuran dewasa) antara lain adalah tuna (Thunnus sp), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomorus spp), tongkol (Euthynus spp), setuhuk (Xiphias spp) dan lemadang (Coryphaena spp). Jenis ikan pelagis besar, kecuali tongkol biasanya
5
berada di perairan yang lebih dalam dengan salinitas yang lebih tinggi; 2) jenis ikan pelagis kecil yaitu jenis ikan pelagis yang memiliki ukuran 5 cm – 50 cm (ukuran dewasa) antara lain adalah ikan layang (Decapterus spp), selar (Selaroides spp), teri (Stolephorus spp), japuh (Dussumieria spp), tembang (Sardinella fimbriata), lemuru (Sardinella longiceps) dan kembung (Rastrelliger spp).
2.2
Deskripsi Unit Perikanan Purse Seine
2.2.1 Alat tangkap (purse seine) Pukat cincin atau purse seine merupakan alat tangkap yang aktif. Operasi penangkapan menggunakan alat tangkap ini dilakukan dengan cara melingkari jaring pada ikan yang bergerombol di permukaan (pelagic fish), kemudian bagian bawah jaring dikerucutkan dengan menarik tali kerut (purse line). Sehingga, ikan yang tertangkap dalam jaring tidak dapat melarikan diri. Fungsi dari badan jaring tersebut bukan sebagai penjerat, melainkan sebagai dinding yang akan menghalangi lolosnya ikan. Purse seine merupakan alat tangkap ikan yang digolongkan dalam kelompok alat tangkap jaring lingkar (surrounding nets) (Martasuganda 2004). Menurut Baskoro (2002), purse seine adalah jaring yang umumnya berbentuk empat persegi panjang, yang dilengkapi dengan tali kerut pada bagian bawah jaring (tali ris bawah), sehingga dengan menarik tali kerut bagian bawah jaring dapat dikuncupkan dan jaring akan berbentuk seperti mangkuk pada akhir proses penangkapan. Menurut Brandt (1984), purse seine merupakan alat tangkap yang lebih efektif untuk menangkap ikan pelagis di sekitar permukaan air. Purse seine dibuat dengan diding jaring yang panjang, terkadang hingga beberapa kilo meter, dengan panjang jaring bagian bawah sama atau lebih panjang dari bagian atas. Bentuk konstruksi jaring seperti ini, tidak ada kantong yang berbentuk permanen pada jaring purse seine. Karakteristik jaring purse seine terletak pada cincin yang terdapat pada bagian bawah jaring.
6
Dilihat dari segi konstruksinya maka komponen utama purse seine dapat dikelompokan dalam 5 bagian, yaitu: 1) badan jaring; 2) tali kerut; 3) cincin (ring); 4) pelampung dan pemberat; dan 5) tali selambar (Martasuganda 2004). Menurut Subani dan Barus (1989), konstruksi purse seine terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut: 1)
Jaring yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu; jaring utama, jaring sayap dan jaring kantong.
2)
Selvedge; berfungsi untuk
memperkuat jaring pada saat dioperasikan
terutama pada saat penarikan jaring. 3)
Tali ris; terbagi menjadi dua bagian, yaitu: tali ris atas yang berfungsi menghubungkan antar pelampung dan tali ris bawah yang befungsi menghubungkan antar pemberat.
4)
Tali kerut; berfungsi untuk mengerutkan bagian bawah jaring.
5)
Tali selambar; berfungsi untuk menarik jaring saat setting.
6)
Pelampung dan pemberat; berfungsi untuk memberikan gaya apung dan gaya tenggelam pada alat tangkap.
7)
Cincin; berfungsi untuk penempatan tali kerut. Bahan yang biasanya digunakan adalah kuningan, baja putih dan besi yang digalvanisir.
2.2.2 Kapal Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan pasal 1, kapal perikanan adalah kapal, perahu atau alat apung lain yang dipergunakan
untuk
melakukan
penangkapan
ikan,
mendukung
operasi
penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan dan penelitian/eksplorasi perikanan. Kapal atau perahu penangkapan merupakan sarana pendukung dalam operasi penangkapan ikan, dan berfungsi sebagai alat transportasi di perairan. Kapal pukat cincin (purse seiner) adalah kapal yang secara khusus dirancang dan dibangun untuk menangkap ikan dengan jenis alat tangkap pukat cincin (purse seine) dan sekaligus menampung, menyimpan, mendinginkan dan mengangkut hasil tangkapannya. Secara umum karakteristik purse seiner adalah di atas dek terdapat power block dengan tiangnya di bagian depan ruang nahkoda. Dek bagian lambung hingga haluan luas untuk kegiatan operasional, sedangkan
7
bagian buritan cenderung digunakan sebagai ruang nahkoda, ruang mesin dan kamar ABK (Diniah 2008). Kapal purse seine membutuhkan stabilitas yang baik dan mudah berolah gerak untuk keberhasilan operasi penangkapan. Dengan demikian, diperlukan nilai rasio L/B, L/d dan B/D yang cukup besar untuk mendukung kierja operasi penangkapan di laut (Iskandar dan Pujiati 1995). Nilai rasio tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini: Tabel 1 Nilai rasio dimensi utama kapal berdasarkan metode pengoperasian alat tangkap Kelompok Kapal L/B B/D L/D Encircling gear 2,60-9,30 0,56-5,00 4,55-17,43 Static gear 2,83-10,12 0,96-4,68 4,58-17,28 Towed gear 2,86-8,30 1,25-4,41 7,20-15,12 Multi purpose 2,88-9,42 0,35-6,09 8,69-17,55 Sumber: Iskandar dan Pujianti 1995
Nilai rasio dimensi utama kapal ini sangat penting diperhatikan dalam menentukan karakteristik kapal. Nilai L/B berpengaruh terhadap tahanan gerak kapal, semakin kecil nilai ini maka tahanan geraknya semakin besar dan kecepatan kapal akan berkurang. Nilai B/D berpengaruh terhadap stabilitas kapal, semakin kecil nilai ini maka stabilitas kapal akan buruk, namun meningkatkan kemampuan tenaga penggeraknya. Nilai L/D berpengaruh terhadap kekuatan memanjang kapal, semakin kecil nilai ini maka kekuatan kapal secara memanjang akan semakin besar (Ayodhoya 1972). 2.2.3 Nelayan Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Nelayan dapat didefinisikan juga sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan, binatang lainnya atau tanaman air. Lain halnya dengan orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat atau perlengkapan ke dalam perahu atau kapal, tidak dimaksudkan sebagai nelayan. Namun, juru masak dan ahli mesin yang bekerja di atas kapal penangkapan, dapat dimaksudkan sebagai nelayan, walaupun tidak secara langsung melakukan penangkapan. Berdasarkan waktu kerjanya, nelayan dapat dikategorikan menjadi:
8
1)
Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan.
2)
Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakaukan operasi penangkapan ikan.
3)
Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan. Nelayan pada perikanan purse seine adalah orang yang ikut dalam operasi
penangkapan ikan secara langsung maupun tidak langsung. Nelayan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam usaha penangkapan ikan, karena segala kegiatan operasi penangkapan tidak akan berjalan tanpa adanya tenaga kerja. Dalam melakukan operasi penangkapan ikan setiap nelayan memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing, sehingga operasi penangkapan ikan dapat berjalan dengan lancar. Jumlah nelayan yang mengoperasikan purse seine yaitu berkisar 18-22 orang termasuk kapten kapal. Dalam pembagian tugas, kapten kapal memiliki tanggung jawab paling besar terhadap kelancaran operasi penangkapan ikan. 2.2.4 Alat bantu penangkapan (rumpon) Menurut SK Mentan Nomor 51/Kpts/IK250/1/97, rumpon didefinisikan sebagai alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut. Berdasarkan tempat pamasangan dan pemanfaatan rumpon menurut SK tersebut, dikategorikan ada 3 jenis rumpon, yaitu: 1)
Rumpon perairan dasar; merupakan alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada dasar perairan laut.
2)
Rumpon perairan dangkal; merupakan alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman sampai dengan 200 meter.
3)
Rumpon perairan dalam; merupakan alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman lebih dari 200 meter. Persyaratan umum komponen-komponen dari konstruksi rumpon menurut
Tim Pengkaji Rumpon Institut Petanian Bogor (1987) adalah: 1)
Pelampung (floater);
9
(1)
Berkemampuan mengapung dengan baik (bagian yang terapung lebih dari 1/3 bagian)
2)
3)
(2)
Konstruksi yang kuat
(3)
Tahan terhadap gelombang
(4)
Mudah dikenali dari jarak jauh
(5)
Bahan konstruksinya mudah diperoleh.
Pemikat (attractor); (1)
Memiliki daya pikat yang baik terhadap ikan
(2)
Tahan lama
(3)
Terbuat dari bahan yang kuat dan tahan lama.
Tali-temali (rope); (1)
Terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mudah busuk
(2)
Harga relatif murah
(3)
Memiliki daya apung yang cukup tinggi untuk mencegah gesekan terhadap arus
(4) 4)
Tidak bersimpul.
Pemberat (sinker); (1)
Berbahan kuat dan mudah diperoleh
(2)
Massa jenisnya besar, permukaan tidak licin dan dapat mencengkram.
Panjang tali rumpon umumnya satu setengah kali kedalaman laut tempat rumpon tersebut ditanam. Menurut Badan Litbang Pertanian (1992), rumpon yang dikembangkan saat ini dikelompokkan berdasarkan: 1)
Posisi dari pemikat atau pengumpul (aggregator), yang terbagi menjadi rumpon perairan dasar, lapisan tengah dan permukaan. Rumpon perairan permukaan dan lapisan tengah terdiri dari jenis rumpon perairan dangkal dan rumpon perairan dalam.
2)
Kriteria portabilitas, yang dikelompokkan menjadi rumpon yang dijangkar secara tetap (statis) dan rumpon yang dijangkar namun dapat dipindahkan (dinamis).
3)
Tingkat teknologi yang digunakan, yang dikelompokkan menjadi rumpon tradisional dan rumpon modern.
10
Menurut Simbolon (2004), rumpon dimaksudkan untuk memikat dan mengkonsentrasi ikan, baik ikan yang berada disekitar pemasangan rumpon maupun ikan yang sedang beruaya, sehingga ikan akan berada lebih lama di sekitar pemasangan rumpon dan penangkapan ikan dapat dilakukan dengan lebih mudah, efektif dan efisien. Penggunaan rumpon dalam aktivitas penangkapan ikan juga dapat menghemat waktu dan bahan bakar, karena tidak pelu lagi mencari dan mengejar gerombolan ikan (Subani 1986). Monintja (1993) menyatakan lebih lanjut bahwa manfaat yang diharapkan dengan penggunaan rumpon selain menghemat waktu dan bahan bakar juga dapat meningkatkan hasil tangkapan dalam satuan upaya penangkapan.
2.3
Metode Pengoperasian Pukat Cincin (Purse Seine) Metode penangkapan ikan dengan purse seine pada umumnya dilakukan
dengan cara sebagai berikut: 1)
Pencarian dan pengejaran gerombolan ikan yang akan dijadikan target penangkapan, biasanya dengan menggunakan bantuan fish finder.
2)
Penurunan jaring (setting) dari sisi lambung kanan kapal. Posisi kapal disesuaikan agar jaring tidak terpuntal pada baling-baling kapal. Tahapan setting berturut-turut dimulai dari salah satu ujung jaring, lalu pelampung pertama, diikuti bagian badan jaring dan bagian bawah jaring hingga akhirnya bagian ujung jaring lainnya. Disela-sela penurunan jaring (setting) tersebut, beberapa ABK menyisipkan cincin dengan tali kerut pada tali ris bawah jaring yang telah dipasangi tali ring.
3)
Penurunan jaring (setting) disertai pergerakan kapal dengan cepat melingkari
gerombolan
ikan
yang
sebelumnya
telah
dideteksi
keberadaannya. 4)
Setelah jaring melingkari gerombolan ikan, kemudian tali kerut ditarik dengan cepat hingga jaring membentuk seperti kantong untuk mengurangi peluang ikan meloloskan diri.
5)
Ikan yang berada dalam kantong kemudian diambil dengan menggunakan alat bantu serok dan langsung diangkat ke dalam palkah kapal.
11
Sumber: FAO.org (2012)
Gambar 1 Metode pengoperasian purse seine dengan satu kapal (one boat system)
2.4
Daerah Penangkapan Ikan Daerah penangkapan merupakan suatu tempat yang terdapat banyak ikan,
dapat dioperasikannya alat tangkap, ekonomis dan tidak dilarang oleh peraturan dan undang-undang. Menurut Sadhori (1985), syarat-syarat daerah penangkapan untuk alat tangkap purse seine yang baik adalah sebagai berikut: 1)
Perairan yang terdapat ikan hidup secara bergerombol (schooling)
2)
Jenis ikan tersebut dapat dikumpulkan dengan alat bantu pengumpul ikan (lampu dan rumpon)
3)
Keadaan perairan sebaiknya lebih dalam dari pada kedalaman alat tangkap yang digunakan. Klasifikasi daerah penangkapan dapat didasarkan pada:
1)
Spesies ikan yang akan ditangkap
2)
Jenis alat tangkap yang akan digunakan
3)
Pengoperasian di daerah perairan
4)
Pengoperasian di laut bebas.
12
2.5 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) 2.5.1 Definisi dan kriteria PPI Definisi Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) adalah sama dengan Pelabuhan Perikanan ditinjau dari fungsi dan berbagai kegiatan khusus yaitu, menurut Lubis et al. (2010) pelabuhan yang berfungsi untuk berlabuh atau bertambatnya kapal yang hendak mengisi bahan perbekalan atau bongkar muat ikan hasil tangkapan. Menurut Lubis (2012) definisi pelabuhan perikanan adalah suatu wilayah perpaduan antara wilayah daratan dan lautan yang digunakan sebagai pangkalan kegiatan penangkapan ikan dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas sejak ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan, memiliki kriteria sebagai berikut: 1)
Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di perairan pedalaman dan perairan kepulauan.
2)
Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurangkurangnya 3 GT.
3)
Panjang dermaga sekurang-kurangnya 50 m, dengan kedalaman kolam minus 2 m.
4)
Mampu menampung sekurang-kurangnya 20 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 60 GT kapal perikanan sekaligus. Pangkalan pendaratan ikan bila dilihat dari segi konstruksi bangunannya
yang sebagian besar termasuk dalam pelabuhan alam dan atau semialam. Artinya tipe pelabuhan ini umumnya terdapat dimuara atau tepi sungai, di daerah yang menjorok ke dalam atau terletak di suatu teluk dan tidak ada dermaga atau hanya sebagian kecil mempunyai dermaga sehingga hasil tangkapan didaratkan di tepitepi pantai. Pada umumnya, PPI ini ditujukan untuk tempat berlabuh atau bertambatnya perahu-perahu penangkapan ikan tradisional yang berukuran lebih kecil dari 5 GT atau untuk perahu-perahu layar tanpa motor. Hasil tangkapan yang didaratkan kurang atau sama dengan 20 ton per hari dan ditujukan terutama untuk pemasaran lokal (Lubis 2012). 2.5.2 Fungsi PPI Menurut Pemerintah UU No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan dalam Lubis (2012), fungsi PPI adalah sama dengan Pelabuhan Perikanan yaitu mendukung
13
kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya, hal tersebut dapat berupa: 1)
Pelayanan tambat dan labuh kapal perikanan.
2)
Pelayanan bongkar muat.
3)
Pelaksanaan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan.
4)
Pemasaran dan distribusi ikan.
5)
Pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan.
6)
Tempat pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan.
7)
Pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan.
8)
Tempat pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumberdaya ikan.
9)
Pelaksanaan kesyahbandaran.
10)
Tempat pelaksanaan fungsi karantina ikan.
11)
Publikasi hasil pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas kapal perikanan.
12)
Tempat publikasi hasil riset kelautan dan perikanan.
13)
Pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari.
14)
Pengendalian lingkungan. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
No. KEP.16/MEN/2006 dalam Lubis (2012), menjelaskan bahwa fungsi pelabuhan perikanan sebagai sarana penunjang untuk menigkatkan produksi adalah sebagai berikut: 1)
Perencanaan, pengembangan, pemeliharaan serta pemanfaatan sarana pelabuhan perikanan.
2)
Pelayanan teknis kapal perikanan.
3)
Koordinasi pelaksaan urusan keamanan, ketertiban, dan pelaksaaan kebersihan kawasan pelabuhan perikanan.
4)
Pelaksaaan fasilitas dan koordinasi di wilayahnya untuk peningkatan produksi, distribusi, dan pemasaran hasil perikanan.
5)
Pelaksanaan
pengawasan
penangkapan,
penanganan,
pengolahan,
pemasaran, dan mutu hasil perikanan. 6)
Pengembangan dan pengelolaan sistem informasi dan publikasi hasil riset, produksi, dan pemasaran hasil perikanan di wilayahnya.
14
7)
Pemantauan wilayah pesisir dan fasilitas wisata bahari. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. Target fungsi pelabuhan perikanan terakhir kiranya terlalu luas dan akan
lebih sulit dicapai mengingat sebagian besar pelabuhan perikanan yang masih berskala kecil dengan kemampuan sumberdaya manusia pengelola yang terbatas. Berdasarkan berbagai hasil penelitian, masih sulit kiranya pelabuhan untuk mencapai terlaksananya 7 fungsi yang lama karena berbagai keterbatasan seperti fasilitas dan kualitas sumberdaya manusia pengelolanya (Lubis 2012). 2.5.3 Fasilitas PPI Menurut
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
PER.16/MEN/2006 pasal 1 dalam Yumi (2007) , fasilitas pelabuhan perikanan adalah sarana dan prasarana yang tersedia di pelabuhan perikanan untuk mendukung operasional pelabuhan. Pasal 22 dalam Peraturan Menteri tersebut, fasilitas-fasilitas yang terdapat disuatu pelabuhan perikanan atau pangkalan pendaratan ikan umumnya terdiri dari tiga kelompok, yaitu fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang. 1)
Fasilitas pokok Lubis (2012), menyatakan bahwa, fasilitas yang berfungsi untuk menjamin keamanan dan kelancaran kapal baik sewaktu berlayar, keluar masuk pelabuhan maupun sewaktu berlabuh di pelabuhan. Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.16/MEN/2006 pasal 23 dalam Yumi (2007), fasilitas pokok yang wajib ada pada pelabuhan perikanan sekurang-kurangnya antara lain dermaga, kolam perairan dan alur perairan.
2)
Fasilitas fungsional Lubis
(2012), menyatakan bahwa fasilitas
yang berfungsi
untuk
meninggikan nilai guna dari fasilitas pokok sehingga dapat menunjang aktifitas di pelabuhan. Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.16/MEN/2006 pasal 23 dalam Yumi (2007), fasilitas fungsional yang wajib ada pada pelabuhan perikanan sekurang-kurangnya antara lain kantor, air bersih, listrik dan fasilitas penanganan ikan. 3)
Fasilitas penunjang
15
Lubis (2012), fasilitas penunjang adalah fasilitas yang secara tidak langsung meningkatkan peranan pelabuhan atau para pengguna mendapatkan kenyamanan dalam melakukan aktifitas di pelabuhan. Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.16/MEN/2006 pasal 23 dalam Yumi (2007), fasilitas penunjang yang wajib ada pada pelabuhan perikanan antara lain pos jaga dan MCK.