DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52/DPD RI/III/2012-2013 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PERBATASAN ANTAR DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
JAKARTA 2013
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52/DPD RI/III/2012-2013 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PERBATASAN ANTAR DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Mengingat
: a. bahwa dalam rangka mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah dan antar Daerah salah satunya adalah pengelolaan perbatasan antar Daerah yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara sehingga perlu dilakukan pengawasan atas penyelenggaraannya; c. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Perbatasan Antar Daerah berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; : 1. Pasal 22D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran
205
Negara Republik Indonesia Nomor 5043); 3. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib; 4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; 5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2/ DPD/2005 tentang Pedoman Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-undang Tertentu; 6. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/ DPD/2007 tentang Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia 2007-2009; Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-11 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Masa Sidang III Tahun Sidang 2012-2013 Tanggal 28 Maret 2013 MEMUTUSKAN: Menetapkan
:
PERTAMA
:
KEDUA
:
KETIGA
:
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PERBATASAN ANTAR DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Perbatasan Antar Daerah berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Isi dan rincian Hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA, disusun dalam naskah terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 28 Maret 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN, Ketua,
H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.
206
Wakil Ketua,
Wakil Ketua,
GKR. HEMAS
Dr. LAODE IDA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52/DPD RI/III/2012-2013 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PERBATASAN ANTAR DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH BAB I PENDAHULUAN A. UMUM Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang Pemerintahan Daerah) sekarang ini sedang dalam proses perubahan dan menjadi salah satu prioritas yang akan dibahas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2013. Dalam masa sidang sebelumnya DPD RI selalu konsisten untuk melakukan tugas-tugas konstitusionalnya dengan memberikan pandangan dan/ataupun memberikan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Daerah tersebut. Hal ini merupakan wujud akuntabilitas pelaksanaan mandat konstitusional yang diemban DPD RI untuk senantiasa menyuarakan berbagai aspirasi yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat daerah. Selain itu, juga menandaskan bahwa keterbatasan kewenangan yang dimiliki DPD RI sekarang ini, tidak mengurangi kualitas output kinerja yang dihasilkan DPD RI secara umum. Salah satu pokok persoalan yang seringkali mengemuka dalam konteks pelaksanaan pemerintahan daerah adalah terkait dengan penegasan batas wilayah. Hal ini juga berkaitan dengan maraknya aspirasi daerah untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan melalui pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB). Pintu aspirasi melalui DOB ini memang diakomodasi pemerintah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Demikian juga sejalan dengan mandat DPD RI sebagai perwakilan masyarakat daerah, maka DPD RI senantiasa mendukung setiap aspirasi yang berkembang, satu diantaranya adalah terkait dengan pembentukan DOB. Tentu sesuai dengan koridor konstitusi dan kewenangan yang dimiliki DPD RI sebagaimana telah diatur dalam perundang-undangan RI. B. DASAR HUKUM 1) Pasal 22D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Dewan Perwakilan Daerah yang berbunyi “Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti”. 2) Pasal 224 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang berbunyi: “dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undangundang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama”.
207
3) Pasal 224 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang berbunyi: “menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undangundang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti”. 4) Pasal 233 huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang berbunyi: “menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat”. 5) Pasal 240 ayat (4) huruf a Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang berbunyi: “melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang bidang tertentu”. 6) Pasal 259 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang berbunyi: “DPD menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undangundang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) huruf f kepada DPR sebagai bahan pertimbangan”. 7) Pasal 5 ayat (1) huruf e Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib, yang berbunyi: “melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama”. 8) Pasal 5 ayat (1) huruf f Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib, yang berbunyi: “menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti”. 9) Pasal 68 ayat (4) huruf a Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib, yang berbunyi: “melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang bidang tertentu”. 10) Pasal 70 Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib, yang berbunyi: “dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPD, Komite I mempunyai lingkup tugas dengan memperhatikan urusan daerah dan masyarakat sebagai berikut; pemerintahan daerah, hubungan pusat dan daerah serta antardaerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pemukiman dan kependudukan, pertanahan dan tata ruang, politik, hukum, HAM, dan ketertiban umum, serta permasalahan daerah di wilayah perbatasan negara”. 11) Pasal 159 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib, yang berbunyi: “pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh Anggota dan Komite”. C. MAKSUD DAN TUJUAN Dalam rangka pelaksanaan tugas DPD RI pada periode Tahun Sidang 2012 s.d. 2013, maka DPD RI telah menentukan program-program kerja dan target capaian yang dialokasikan dalam 4 (empat) masa sidang melalui masing-masing Komite sebagai alat kelengkapan. Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan sesuai amanat konstitusi, DPD RI memfokuskan pada pengawasan terhadap pelaksanaan beberapa undang-undang, diantaranya Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Adapun fokus persoalan yang menjadi titik berat dalam pengawasan undang-undang tersebut meliputi 3 (tiga) hal, yaitu: 1) Masalah batas antar daerah, 2) Pemilihan kepala daerah, dan 3) Desa. Namun demikian untuk mempermudah pemahaman dan efektivitas hasil pengawasan, maka output dari pengawasan tersebut dibuat dalam laporan terpisah. Hasil Pengawasan ini disampaikan dalam Sidang Paripurna DPD RI ke-11 pada Masa Sidang III Tahun Sidang 2012-2013 pada tanggal 28 Maret 2013 guna disahkan menjadi produk pengawasan DPD RI. Hasil Pengawasan selanjutnya disampaikan kepada DPR RI, Pemerintah, dan lembaga-lembaga negara terkait guna ditindaklanjuti sesuai mekanisme dan ketentuan undang-undang yan berlaku. D. KELUARAN DAN TINDAK LANJUT Kegiatan-kegiatan dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud akan menghasilkan keluaran berupa Hasil Pengawasan DPD RI terhadap Pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Daerah atas Permasalahan Batas Antar Daerah. Hasil Pengawasan ini disampaikan dalam Sidang Paripurna DPD RI ke-11 pada Masa Sidang III Tahun Sidang 2012-2013 pada tanggal 28 Maret 2013 guna disahkan menjadi produk pengawasan DPD RI untuk kemudian disampaikan kepada DPR RI, Pemerintah, dan lembaga-lembaga negara terkait guna ditindaklanjuti sesuai mekanisme dan ketentuan undang-undang yan berlaku.
208
BAB II PELAKSANAAN PENGAWASAN ATAS PERBATASAN ANTAR DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH A. OBJEK KEGIATAN PENGAWASAN Pelaksanaan fungsi pengawasan DPD RI diarahkan pada obyek pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta terkait pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama dalam perspektif perdaerahan. 1. Objek Pengawasan Salah satu program kerja DPD RI pada Masa Sidang III Tahun Sidang 20122013 adalah pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Daerah terutama terkait dengan Perselisihan batas antar daerah yang saat ini marak terjadi, terutama pada Daerah Otonom Baru (DOB). Potensi konflik batas antar daerah biasanya terjadi karena adanya potensi sumberdaya alam di batas antarkedua wilayah. Penting digarisbawahi kiranya bahwa program pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Daerah ini merupakan kristalisasi dari pembahasan tindak lanjut terhadap aspirasi masyarakat yang berhasil ditampung anggota DPD RI. 2. Pengawasan Atas Pelaksanaan Perundang-Undangan Pengawasan DPD RI ini difokuskan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Daerah termasuk juga Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 tentang Penegasan Batas Antar Daerah. Hal ini mengingat persoalan batas antar daerah merupakan salah satu aspirasi yang berkembang di daerah yang didapatkan anggota DPD RI baik ketika melaksanakan kegiatan di daerah pada masa reses maupun ketika melaksanakan kunjungan kerja di daerah. B. ASPEK PENGAWASAN DPD RI Pengawasan terhadap UU No. 32 Tahun 2004 ini terdiri dari 2 (dua) aspek, yaitu pengawasan yuridis dan pengawasan sosio-politik. 1. Aspek Yuridis Secara yuridis, Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menegaskan bahwa: ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintah daerah, yang diatur dengan Undang-Undang.” Sebagai pelaksanaan dari amanat UUD 1945 tersebut, maka terbit Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana Pasal 4 ayat (2) undang-undang tersebut menyebutkan bahwa daerah dibentuk dengan Undang-Undang Pembentukan Daerah, antara lain mencakup: nama, ibukota, cakupan wilayah, dan batas. Selain itu, dalam Pasal 198 Undang-Undang Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa setiap Undang-Undang pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) mengamatkan bahwa penentuan batas wilayah daerah secara pasti di lapangan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Setiap daerah mempunyai dua macam kekuasaan, yakni: Otonomi, ialah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya; Medebewind (setatantra), ialah hak menjalankan peraturan-peraturan dari pemerintah pusat atau daerah tingkat atasan berdasarkan perintah pihak atasan tersebut. Dalam menjalankan kekuasaannya, suatu daerah setatantra berada di bawah pengawasan instansi di atasnya. Bagi suatu propinsi, pengawasan dilakukan oleh Presiden, sedangkan bagi tingkat-tingkat daerah lainnya diawasi oleh daerah setingkat di atasnya (propinsi mengawasi kabupaten/kota di dalam wilayahnya, sebaliknya kabupaten/kota besar mengawasi desa/kota kecil yang berada di bawahnya). Peraturan pelaksana Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang didalamnya mengatur batas daerah dan/atau pengaturan kewenangan pemerintah daerah telah diturunkan dalam peraturan perundang-undangan dibawahnya dalam bentuk 2 (dua) Peraturan Pemerintah, yaitu: Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Selain kedua PP tersebut di atas, peraturan teknis yang mengatur tentang batas daerah telah diatur dalam peraturan setingkat Menteri yaitu Permendagri Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.
209
2. Aspek Sosio-Politik Dalam konteks perbatasan daerah dengan Negara tetangga, Undang-Undang Pemerintahan Daerah memberikan rambu yang jelas untuk diatur dengan peraturan perundangundangan tersendiri yaitu pada Pasal 229, yang berbunyi: “Batas daerah provinsi atau kabupaten/kota yang berbatasan dengan wilayah negara lain, diatur berdasarkan peraturan perundang.” Namun batas antar daerah sendiri tidak diatur secara jelas dalam undang-undang tersebut. Padahal tidak jarang persoalan batas daerah ini justru menjadi pemicu dari konflikkonflik selama ini. Apalagi dikaitkan dengan maraknya pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB), dimana tidak jarang potensi konflik batas muncul antar kedua wilayah karena potensi SDA yang ada di daerah tersebut. Namun demikian dengan banyaknya kasus batas antar daerah yang terjadi, maka perlu untuk dianalisa, apakah dari sisi legal formal regulasi setingkat Kemendagri tersebut di atas, sudah cukup kuat secara yuridis dan memiliki kekuatan mengikat seluruh pihak yang berselisih, atau perlu untuk diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi? Masalah penentuan Batas Daerah terkait dengan Pembentukan Daerah Baru dimana setiap Undang-Undang Pembentukan Daerah Otonom Baru mengamanatkan penentuan batas wilayah secara pasti di lapangan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal ini menunjukkan bahwa setelah diterbitkannya Undang-Undang Pembentukan Daerah, maka secara mutlak Menteri Dalam Negeri mempunyai kewajiban untuk melakukan penegasan batas daerah tanpa menunggu usulan dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Sebagian besar daerah otonomi baru yang dibentuk batas daerahnya belum mempunyai kekuatan yang ditetapkan dengan Menteri Dalam Negeri. Hal ini menimbulkan berbagai persoalan bagi pemerintah daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi tanggungjawabnya. Batas antar daerah yang jelas sebagai dasar perhitungan luas daerah yang akurat dan memperjelas penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah. Arti pentingnya luas wilayah yang pasti akan menjadi salah satu komponen dalam perhitungan DAU oleh Pemerintah dan dasar perencanaan tata ruang wilayah. Hal ini terkait dengan kewenangan dan perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Kejelasan batas antar daerah menentukan kewenangan terhadap pengelolaan sumberdaya alam. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, mengamanatkan adanya Dana Bagi Hasil (DBH) yang bersumber dari sumber daya alam yang berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi. Pemerintah menetapkan alokasi DBH yang berasal dari sumber daya alam sesuai dengan penetapan dasar perhitungan dari daerah penghasil. Di samping terkait dengan sumberdaya alam, batas daerah juga diperlukan dalam penentuan kebijakan terkait Pemilukada, Luas Wilayah, Tata Ruang, dan Pelayanan kepada masyarakat. Untuk dapat melaksanakan amanat Undang-Undang tersebut diperlukan batas daerah yang jelas agar sumberdaya alam yang ada secara pasti masuk dalam wilayah administrasi daerah tertentu. Tanpa kepastian akan mempersulit untuk menentukan daerah mana ditetapkan sebagai daerah penghasil. Hal ini diutamakan pada sumberdaya alam yang letaknya pada kawasan perbatasan antar daerah baik antar provinsi maupun antar kabupaten/kota. C. METODE DAN INSTRUMEN PENGAWASAN Sebagaimana diatur dalam Pasal 58 Peraturan Tata Tertib DPD RI mengatur bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dilakukan melalui rangkaian kegiatan: pembahasan terhadap aspirasi masyarakat, inventarisasi masalah, dan pengayaan materi pengawasan, yang selanjutnya disusun menjadi sebuah Hasil Pengawasan. Dalam rangka penyusunan Hasil Pengawasan terhadap Pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, maka Komite I DPD RI telah menggunakan metode dan istrumentasi melalui penyerapan aspirasi masyarakat, rapat dengar pendapat dengan pakar dan ahli. Berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (2) Peraturan Tata Tertib DPD RI, maka pembahasan materi pemerintahan daerah, dan hubungan pusat dan daerah merupakan ruang lingkup tugas Komite I DPD RI. D. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN KEGIATAN Guna mencapai target dan sasaran yang dimaksud dalam pengawasan ini, maka dilakukan berbagai kegiatan yang pada prinsipnya guna menginventasisasi seluruh aspirasi masyarakat, serta pandangan dari berbagai pakar/ahli. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut, berdasarkan tempat dan waktu pelaksanaan sebagai berikut:
210
1. Inventarisasi materi, yang disarikan dari kegiatan-kegiatan: a. Penyerapan aspirasi masyarakat, meliputi: i. Penyerapan aspirasi masyarakat oleh Anggota DPD RI di masing-masing provinsi selama periode Masa Sidang III Tahun Sidang 2012 - 2013; ii. Penyerapan aspirasi masyarakat melalui kegiatan Kunjungan Kerja Komite I DPD RI ke wilayah-wilayah perbatasan di 4 (empat) Provinsi yaitu, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, NTT dan Maluku, pada rentang waktu 17 s/d 22 Maret 2013; iii. Penyerapan aspirasi masyarakat melalui kegiatan Kunjungan Kerja Daerah Anggota Komite I DPD RI pada masing-masing daerah pemilihan pada rentang waktu tanggal 18 s/d 25 Maret 2012; b. Rapat Kerja dengan Kementerian Negara dan lembaga-lembaga negara, antara lain: i. Pimpinan KPU dan Pimpinan Bawaslu dan pada tanggal 27 Februari 2013; ii. Dirjen Pemerintahan Umum, Kementerian Dalam Negeri dan Kepala Badan Pertanahan Nasinal (BPN) pada tanggal 4 Maret 2013. 2. Penyusunan Pokok-Pokok Materi Hasil Pengawasan DPD RI Terhadap Pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004; 3. Penyusunan Hasil Pengawasan DPD RI Terhadap Pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004, pada tanggal 25 s/d 27 Maret 2013.
211
BAB III TEMUAN MENONJOL PENGAWASAN ATAS PERBATASAN ANTAR DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Undang-Undang Pemerintahan Daerah sudah berlaku efektif selama 9 tahun dan telah memberikan kontribusi cukup positif bagi perimbangan baru hubungan pusat-daerah yang lebih adil, serta berkontribusi bagi perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Fakta di berbagai daerah memperlihatkan bahwa dampak pemberian otonomi telah memberikan ruang gerak untuk berinovasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang lebih baik bagi masyarakat, serta pengembangan tata pemerintahan yang baik. Namun demikian ada beberapa masalah krusial dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang masih menjadi perhatian dan patut ditinjau sekaligus dianalisa secara mendalam dalam konteks akademis, guna memberikan berbagai masukan baik sifatnya politis maupun teknis implementasi di lapangan. Oleh karena itu, hasil temuan DPD RI tatkala kunjungan kerja di lapangan, rapat kerja dengan lembaga-lembaga Negara terkait dan juga rapat dengan pendapat dengan berbagai pakar menjadi bahan utama dalam penyusunan pengawasan DPD RI ini. A. HASIL TEMUAN LAPANGAN TERKAIT BATAS DAERAH 1. Kepemimpinan Gubernur yang tidak efektif Ketidakefektifan penyelesaian batas wilayah sebenarnya tidak lepas dari konstruksi otonomi daerah yang berjalan selama ini, dimana kewenangan provinsi yang terbatas tidak efektif dalam melaksanakan koordinasi dengan Kabupaten/Kota yang ada di bawahnya. Padahal PP No. 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi terutama Pasal 9 ayat (1) huruf d, dimana Gubernur melaksanakan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota salah satunya melakukan pengawasan kinerja pemerintah daerah kabupaten/ kota. Ketidakefektifan gubernur dalam menyelesaikan masalah batas antar daerah ini terjadi di NTB, yaitu antara lain: Kab. Sumbawa Barat dan Sumbawa Timur, serta Provinsi Maluku antara Kab. Serang Bagian Barat dan Maluku Tengah, serta Provinsi NTT antara Kab. Ngada dan Manggarai Timur yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. Persoalan batas antar daerah merupakan salah satu masalah menonjol dari pelaksanaan kewenangan daerah pasca otonomi daerah berlaku. Yang dimaksud dengan batas daerah adalah pemisah wilayah penyelenggaraan kewenangan suatu daerah dengan daerah lain. UndangUndang Pemerintahan Daerah sendiri sebagai payung pelaksanaan otonomi daerah, tidak mengatur secara khusus dalam klausul yang tegas tentang batas antar daerah, terkecuali Bab IX Kerjasama dan Penyelesaian Perselisihan, Pasal 195 s/d Pasal 198. Itupun dalam konteks penyelesaian perselisihan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Data yang disampaikan oleh Dirjen PUM, Kemendagri, menyatakan bahwa pada tahun 2012, terdapat 72 sengketa tapal batas di seluruh wilayah Indonesia.1 Fakta di lapangan diyakini sebagian besar anggota DPD RI, bahwa sengketa tapal batas lebih dari data yang diungkapkan Kemendagri. Konflik atau sangketa tapal batas yang sampai saat ini belum selesai itu karena dipicu masalah pengelolaan sumber daya alam (SDA) di kawasan perbatasan seperti potensi tambang dan perkebunan. Terkait dengan persoalan batas antar daerah, baru marak pasca era reformasi, dimana pada zaman Orde Baru boleh dikatakan persoalan batas antar daerah sama sekali tidak pernah mengemuka, jikalaupun ada pasti dapat di selesaikan oleh Gubernurnya.2 Secara umum faktor-faktor penyebab perselisihan batas daerah, antara lain: a) perbedaan persepsi terhadap peta lampiran undang-undang pembentukan daerah yang diakibatkan ketidakjelasnya ”sketsa peta”; b) inkonsistensi antara undang-undang pembentukan daerah yang berbatasan; c) inkonsistensi antara batang tubuh dan peta lampiran undang-undang pembentukan daerah; d) terdapat hubungan emosional masyarakat akibat pemekaran daerah; e) konsekuensi logis diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004, dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah terutama dalam penetapan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Dari temuan faktar di lapangan sebagaimana terjadi di Papua Barat, dimana konflik wilayah perbatasan menjadi persoalan yang hampir merata di Papua Barat terutama bagi daerah pemekaran dengan Kabupaten Induk maupun Kabupaten lainnya. Misalnya saja konflik
1
Kemendagri Tangani 72 Tapal Batas Daerah, diunduh dari http://www.antaranews.com/berita/347538/kemendagri-tangani-72-sangketa-tapal-batas-daerah 2 Permendagri No. 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah
212
batas antara Kabupaten Raja Ampat dan Kab. Induknya, Kab. Sorong di Provinsi Papua Barat. Sejak menjadi Daerah Otonom Baru pada tahun 2002. Kepulauan Salawati yang secara struktur adat dan kewilayahannya berada di Kabupaten Raja Ampat, namun diambil sebagian kepulauan Salawati yang memiliki SDA (minyak dan gas) dan masuk wilayah Kabupaten Sorong dan sebagian Kepulauan Salawati yang tidak memiliki Sumber Daya Alam masuk ke wilayah Kabupaten Raja Ampat. Persoalan ini terus terjadi sampai sekarang dimana masyarakat adat menghendaki keseluruhan kepulauan Salawati harus masuk Kabupaten Raja Ampat, sehingga utuh menjadi 4 (empat) kepulauan yang disebut Raja Ampat. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Raja Ampat diantaranya menemui Gubernur Papua Barat. Namun belum diselesaikan oleh Gubernur. Bupati Raja Ampat juga sudah melayangkan surat kepada Menteri Dalam Negeri, itupun belum dapat ditanggapi juga. Pasca otonomi daerah dimana daerah dituntut agar dapat mengembangkan kreativitas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, maka daerah berlomba-lomba meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sumber pemasukan PAD, selain diperoleh dari retribusi dan pajak di daerah, dan eksplorasi sumber daya alam. Dalam pengelolaan SDA ini tidak jarang terjadi persinggungan kepentingan, terutama bila terdapat di antara batas wilayah masing-masing daerah, baik Kabupaten/kota maupun antar Provinsi. Di Provinsi Jambi, persoalan sengketa tapal batas kabupaten yang belum terselesaikan adalah tapal batas antara Kabupaten Muara Bungo dengan Kabupaten Tebo yang masih berada di wilayah dusun Babeko, kecamatan Bathin II Babeko. Kedua kepala daerah masih mempertahankan pendapat masing–masing yaitu berdasarkan UU No. 54 Tahun 1999 tentang Kabupaten Sorolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Persoalan konflik batas wilayah juga ditemui di Kaltim, terutama tapal batas antara kabupaten Tana Tidung dengan Kabupaten Nunukan, dimana persoalan utama adanya masalah tapal batas tersebut adalah adanya potensi sumber daya alam di wilayah tapal batas tersebut. Selain itu, masalah Tapal Batas antara Kabupaten PPU dan Kota Balikpapan. Tidak terdapatnya patok-patok batas antar kabupaten/kota maupun Propinsi dan Desa sehingga menjadi rawan menimbulkan konflik horisontal. Provinsi Kepulauan Riau, juga terdapat konflik tapal batas, antara Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas yang hingga saat ini belum selesai, terutama yang berbatasan dengan laut. Di samping disebabkan oleh faktor karakteristik Kabupaten Anambas yang merupakan kepulauan yang tersebar, selain itu juga disebabkan adanya pemekaran desa di wilayah tersebut, sehingga penentuan tapal batas masih belum selesai hingga sekarang. Persoalan batas wilayah di Sulawesi Tenggara yang belum selesai adalah antara Kabupaten Konawe Selatan dan Pemerintah Kota Kendari dimana kedua wilayah tersebut pada dasarnya merupakan dua daerah yang memiliki batas wilayah masing-masing berdasarkan Peta Awal pada saat pembentukan daerah tersebut menjadi daerah otonom. Kedua daerah ini memiliki dasar hukum Peraturan Menteri Dalam Negeri yang menjadi pedoman namun kedua daerah tersebut tidak memiliki kata sepakat. Persoalan batas antar daerah di Sultra juga terjadi di daerah pemekaran baru. Dengan adanya pemekaran Kabupaten Kolaka Timur, maka secara otomatis tapal batas dari kabupaten induk harus dibuatkan peraturan dan ketetapan baru tentang tapal batas antara Kabupaten Bombana berbatasan dengan Kabupaten Kolaka, Kabupaten Bombana berbatasan dengan Kabupaten Kolaka Timur, Kabupaten Bombana berbatasan dengan Kabupaten Konawe Selatan sehingga masing-masing tapal batas daerah harus diberi patok. Tapal batas antara Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana terjadi tarik menarik yang sangat serius karena belum adanya kejelasan tentang batas-batas wilayah dimana kedua daerah tersebut masih saling klaim tentang batas wilayah, karena batas wilayah tidak dibarengi dengan patok dan adanya titik koordinat batas masing-masing wilayah yang belum jelas. Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana adalah dua daerah yang saat ini memiliki tingkat kerawanan yang paling tinggi akibat Tapal batas yang tidak jelas dan yang menyangkut tentang apa yang dimiliki oleh masing-masing daerah khususnya terdapatnya tambang di daerah perbatasan. Di Provinsi Riau dari hasil kunker anggota DPD RI ditemukan ada 12 (dua belas) masalah tapal batas kabupaten/kota yang masih dalam proses penyelesaian oleh Pemerintah Provinsi. Selain itu ada juga yang diajukan ke Kemendagri Kementerian Dalam Negeri untuk dimintakan keputusannya. 2. Penentuan Batas Daerah terkait dengan Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) Terdapat berbagai kendala dalam penentuan batas antar daerah pada Daerah Otonom Baru (DOB), yang secara sederhana dapat dipilah dalam 2 ranah, yaitu: ranah teknis dan ranah politis. 2.1 Kendala Ranah Teknis Kendala teknis yang dimaksud adalah sebagaimana diamanatkan Permendagri No. 76 Tahun 2012, dimana Pasal 8 untuk batas darat dan Pasal 12. Hal-hal teknis yang dipersiapkan
213
dalam penentuan batas daerah antara lain: 1) penyiapan dokumen; 2) pelacakan batas; 3) pengukuran dan penentuan posisi batas; dan 4) pembuatan peta batas. Penyiapan dokumen sebagaimana dimaksud meliputi penyiapan: a. peraturan perundang-undangan tentang pembentukan daerah; b. peta dasar; dan/atau c. dokumen lain yang berkaitan dengan batas wilayah administrasi yang disepakati para pihak. Sedangkan untuk pelacakan batas dilakukan melalui : a. pelacakan; b. pemasangan tanda batas; c. pengukuran dan penentuan posisi tanda batas; dan d. pembuatan peta batas. Untuk pengukuran dan penentuan batas daerah di laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan paling jauh 12 (dua belas) mil laut untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Pengukuran dan penentuan batas daerah di laut sebagaimana dimaksud dilakukan dengan cara: a. Batas antara dua daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berdampingan, diukur mulai dari titik batas sekutu pada garis pantai antara kedua daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota ke arah laut lepas atau perairan kepulauan yang ditetapkan berdasarkan prinsip sama jarak; b. Batas antara dua daerah provinsi yang saling berhadapan dengan jarak kurang dari 24 mil laut diukur berdasarkan prinsip garis tengah dan kabupaten/kota yang saling berhadapan mendapat 1/3 bagian dari garis pantai ke arah garis tengah; c. Batas antara dua daerah kabupaten dan daerah kota dalam satu daerah provinsi yang saling berhadapan dengan jarak kurang dari 12 (dua belas) mil laut, diukur berdasarkan prinsip garis tengah dan kabupaten/kota yang berhadapkan mendapat 1/3 bagian dari garis pantai ke arah garis tengah; d. Batas daerah di laut untuk pulau yang berada dalam satu daerah provinsi dan jaraknya lebih dari dua kali 12 mil laut, diukur secara melingkar dengan lebar 12 mil laut. Selain ketentuan penentuan batas antar daerah yang sudah diatur secara rigid dalam Permendagri No. 76 Tahun 2012, juga bilamana terjadi perselisihan sudah ditentukan mekanisme dan batas waktu penyelesaiannya. Apabila sengketa batas wilayah antar kabupaten dalam satu provinsi yang wajib menyelesaikannya adalah gubernur. Waktu penyelesaiannya paling lambat 6 (enam) bulan setelah rapat pertama penyelesaian perselisihan dilaksanakan. Sedangkan penyelesaiannya perselisihan di tingkat Kementerian, Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Pemerintahan Umum paling lambat 30 (tiga puluh) hari. Demikian pula apabila, salah satu pihak yang berselisih tidak hadir dalam rapat dan/atau tidak melaksanakan tindak lanjut hasil rapat, maka pihak yang tidak hadir dan/atau tidak melaksanakan tindak lanjut hasil rapat dianggap telah sepakat. Tahapan penegasan batas daerah tidak serta merta dapat dilakukan dengan mudah di setiap provinsi. Terdapat beberapa provinsi yang sangat sulit untuk melakukan penegasan batas daerah. Provinsi yang sebagian besar wilayahnya mempunyai kondisi topografi berbukit, pegunungan, dan rawa serta ketersediaan aksesibilitas tahapan penegasan batas daerah sulit dilakukan secara ideal. Selain itu, kendala teknis lainnya adalah perbedaan persepsi terhadap peta lampiran undang-undang pembentukan daerah yang diakibatkan ketidakjelasan ”sketsa peta.” Selama ini perbatasan wilayah hanya ditarik di atas peta, padahal perbatasan tersebut menyangkut berbagai kepentingan, antara lain: 1) masalah administrasi wilayah; 2) masalah etnis, dan 3) masalah budaya. Hal yang menjadi persoalan kemudian, apabila di daerah perbatasan ada Sumber Daya Alam tambang sehingga menjadi obyek ekonomi, maka antardesa, kabupaten, kota, dan provinsi akan saling berebut dan memindahkan perbatasan. Sebab itu, dalam persyaratan pengajuan kabupaten/kota/provinsi harus ada peta yang jelas tentang perbatasan yang disepakati oleh antarpemerintahan Gubernur/Bupati/ Walikota sampai dengan Camat bahkan Kepala Desa. Masalah teknis penentuan batas lainnya adalah terkait dengan biaya. Untuk menetapkan batas daerah memerlukan biaya yang tidak kecil untuk seluruh wilayah Indonesia. Hal tersebut menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota. Hal ini juga kerap menjadi kendala bagi daerah dalam mengupayakan biaya penetapan batas daerah. Kendala pembiayaan revisi pemetaan wilayah ditemukan di Provinsi NTB antara Kab. Dompu dan Kab. Bima serta Kab. Dompu dan Kab. Sumbawa. Mengacu pada Kemendagri No. 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah, langkah/tahapan yang harus dilakukan dalam penetapan batas daerah yaitu: penelitian
214
dokumen, pelacakan batas, pengukuran dan penentuan posisi pilar batas, pemasangan pilar batas, dan pembuatan peta batas. Tahapan penegasan batas daerah tidak serta merta dapat dilakukan dengan mudah di setiap provinsi. Terdapat beberapa provinsi yang sangat sulit untuk melakukan penegasan batas daerah. Provinsi yang sebagian besar wilayahnya mempunyai kondisi topografi berbukit, pegunungan, dan rawa serta ketersediaan aksesibilitas tahapan penegasan batas daerah sulit dilakukan secara ideal. 2.2 Kendala Ranah Politik Maraknya pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) pasca reformasi, di samping memenuhi hasrat demokratisasi di tingkat lokal, namun dalam sisi lain, menimbulkan ekses atas kekurangpastian hukum. Masalah utama adalah terkait dengan penentuan batas wilayah, apabila masing-masing pihak punya kepentingan di wilayah perbatasan tersebut. Dalam konteks perbatasan daerah dengan Negara tetangga, UU No. 32 Tahun 2004 memberikan rambu yang jelas untuk diatur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri, Pasal 229, “Batas daerah provinsi atau kabupaten/kota yang berbatasan dengan wilayah negara lain, diatur berdasarkan peraturan perundang.” Namun batas antar daerah sendiri tidak diatur secara jelas dalam dalam UU tersebut. Padahal tidak jarang persoalan batas daerah ini justru menjadi pemicu dari konflik-konflik selama ini. Apalagi dikaitkan dengan daerah otonom baru, potensi konflik batas wilayah tidak jarang muncul karena potensi SDA yang ada di daerah tersebut. Persoalan karut marutnya batas antar daerah juga disebabkan oleh kuatnya masingmasing ego sektoral. Hal ini termanifestasikan dalam UU Pertanahan yang tumpang tindih dengan Undang-undang atau Peraturan lainnya. Selain itu, belum selesainya pembahasan tentang RUU Hak Atas Tanah. Sengketa Pertanahan sering terjadi akibat masih lemahnya sistem pengawasan dalam pelaksanaan Undang-undang tentang Pertanahan. Pada realitas di lapangan, UndangUndang Pokok Kehutanan dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) saat ini berbenturan dalam pelaksanaannya utamanya dalam kaitan kawasan kehutanan. Faktor-faktor yang biasanya menjadi penyebab perselisihan batas daerah, antara lain: 1) perbedaan persepsi terhadap peta lampiran undang-undang pembentukan daerah yang diakibatkan ketidakjelasan ”sketsa peta”; 2) inkonsistensi antara undang-undang pembentukan daerah yang berbatasan; 3) inkonsistensi antara batang tubuh dan peta lampiran undang-undang pembentukan daerah; 4) terdapat hubungan emosional dan kultural masyarakat akibat pemekaran daerah; 5) konsekuensi logis diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, terutama menyangkut masalah Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil. Arti pentingnya luas wilayah yang pasti akan menjadi salah satu komponen dalam perhitungan DAU oleh Pemerintah dan dasar perencanaan tata ruang wilayah. Kaitan batas daerah dengan cakupan wilayah, antara lain: 1) Jika seluruh segmen batas daerah selesai maka cakupan wilayah kabupaten/kota telah jelas, 2) Batas antar daerah yang jelas sebagai dasar perhitungan luas daerah yang akurat dan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah. Dari aspek yuridis formal, sebagai peraturan pelaksana UU No. 32 tahun 2004 yang mengatur pedoman batas daerah sudah dibuat oleh Kemendagri dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Wilayah. Penegasan batas daerah bertujuan untuk untuk menciptakan tertib administrasi pemerintahan, memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap batas wilayah suatu daerah yang memenuhi aspek teknis dan yuridis (pasal 2, Permedagri No. 76 Tahun 2012). Penegasan batas daerah sendiri tidak menghapus hak atas tanah, hak ulayat, dan hak adat pada masyarakat. Secara normatif mekanisme penyelesaian perselisihan batas antar daerah sudah diatur dalam Permendagri No. 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas daerah, terutama pasal 25 ayat (1), (2) dan (3): (1) Dalam hal terjadi perselisihan dalam penegasan batas daerah dilakukan penyelesaian perselisihan batas daerah. (2) Penyelesaian perselisihan batas daerah antar kabupaten/kota dalam satu provinsi dilakukan oleh gubernur. (3) Penyelesaian perselisihan batas daerah antar provinsi, antara provinsi dengan kabupaten/ kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan kabupaten/kota di luar wilayahnya, dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Masalah penentuan Batas Daerah terkait dengan Pembentukan Daerah Baru dimana setiap UU Pembentukan Daerah Otonom Baru mengamanatkan penentuan batas wilayah secara pasti di lapangan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal ini menunjukkan bahwa setelah diterbitkannya UU pembentukan daerah, maka secara mutlak Menteri Dalam Negeri mempunyai kewajiban untuk melakukan penegasan batas daerah tanpa menunggu usulan dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Sebagian besar daerah otonomi baru yang dibentuk batas daerahnya belum mempunyai kekuatan yang ditetapkan dengan Menteri Dalam Negeri. Hal ini menimbulkan berbagai persoalan bagi pemerintah daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi tanggungjawabnya.
215
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Dari hasil temuan DPD RI yang didapatkan dari aspirasi masyarakat ada 2 (dua) persoalan utama terkait dengan batas antar daerah, yaitu: 1) Tidak efektifnya penyelesaian konflik batas daerah yang dilakukan oleh Gubernur. Hal ini tidak terlepas dari lemahnya kedudukan Gubernur dalam PP No. 19 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi. Kelemahan ini menjadi bahan masukan berharga dalam penyempurnaan RUU Pemerintahan Daerah yang sekarang ini sedang dalam tahap pembahasan di DPR RI. 2) Batas Daerah terkait dengan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB). Ada 2 (dua) ranah persoalan terkait dengan Batas Daerah di DOB yaitu ranah teknis, terkait dengan masih banyaknya daerah yang belum ada penetapan Menteri Dalam Negeri setelah diundangkannya UU Pembentukan Daerah Otonom, sebagaimana amanat dari Permendagri No. 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Persoalan lainnya adalah terkait dengan ranah politis. Dimana banyak konflik batas daerah ini tidak dapa terselesaikan karena secara regulasi Permendagri No. 76 Tahun 2012 tidak mampu memberikan sanksi yang tegas dan mengikat pada para pihak yang berselisih. Hal ini menjadi pertimbangan utama untuk membuat peraturan setingkat peraturan pemerintah untuk lebih menguatkan aspek penegakan yuridisnya. Sebagai lembaga politik, maka pengawasan DPD RI ini merupakan pengawasan dalam domain politik. Meskipun demikian domain teknis yang memiliki pengaruh politik juga menjadi perhatian yang dituangkan dalam Pengawasan DPD RI ini. Diharapkan bahwa hasil pengawasan ini akan membawa dampak bagi pembaharuan politik dan/atau tekanan politik yang mempengaruhi cara berpikir mitra kerja DPD RI, baik dari pemerintah, DPR maupun lembaga Negara lainnya. Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah otonom (daerah) adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengertian tersebut mengandung arti bahwa batas wilayah menentukan kewenangan teritorial daerah tertentu. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti UU No. 32 tahun 2004, batas antar daerah menjadi hal yang sangat penting menjadi perhatian daerah. Arti penting batas daerah berkaitan dengan batas kewenangan daerah yang kemudian berimplikasi pada kewenangan pengelolaan sumber-sumber daya di daerah. Pokok persoalan utama dalam masalah batas antar daerah karena mekanisme penyelesaian berjenjang selama ini tidak efektif dan tidak memiliki kekuatan pemaksa, sehingga tidak ada ketundukan bagi para pihak yang bersengketa. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya peraturan setingkat Peraturan Pemerintah. Selain itu, perlu disusun sebuah mekanisme punishment bagi daerah yang tidak dapat mengikuti keputusan penyelesaian konflik batas daerah. Misalnya penahanan dan/atau pemotongan DAU dan DAK. Di samping punishment tentu perlu dibuat formulasi yang dapat memberikan insentif bagi daerah yang mampu menjaga batas daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di batas tersebut. Batas antar daerah sendiri tidak diatur secara jelas dan tegas dalam dalam UU No. 32 Tahun 2004. Meskipun demikian Permendagri No. 76 Tahun 2012 mengatur secara jelas penyelesaian konflik berjenjang antar daerah administrative yang memiliki persoalan batas daerah. Namun pada praktiknya, tidak mudah menyelesaikan tapal batas tersebut karena dalam Permendagri tersebut tidak memiliki ketentuan sanksi yang bagi pihak yang tidak melaksanakan kesepakatan. Selain itu, perlu ada peraturan yang lebih tinggi setingkat peraturan pemerintah untuk menguatkan keputusan hukum atas konflik tapal batas. Padahal tidak jarang persoalan batas daerah ini justru menjadi pemicu dari konflik-konflik selama ini. Apalagi dikaitkan dengan daerah otonom baru, potensi konflik batas wilayah tidak jarang muncul karena potensi SDA yang ada di daerah tersebut. Arti pentingnya tapal batas yang jelas antara lain: a. memperjelas cakupan wilayah administrasi – cakupan wilayah kewenangan suatu pemerintahan daerah; b. meningkatkan efisiensi – efektivitas pelayanan kepada masyarakat; c. adanya kejelasan luas wilayah; d. adanya kejelasan administrasi kependudukan; e. kejelasan daftar pemilih (pemilu, pemilukada); f. kejelasan administrasi pertanahan; g. kejelasan perijinan pengelolaan sumber daya alam; dan h. menghindari overlapping pengaturan tata ruang daerah.
216
B. REKOMENDASI 1. DPD RI perlu menegaskan kembali adanya batas-batas yang jelas bagi wilayah provinsi/ kabupaten/kota hingga batas-batas desa/kampung/nagari sehingga cakupan wilayah administrasi menjadi jelas dan efisien dalam pelayanan kepada masyarakat, sehingga bermanfaat bagi administrasi kependudukan, keluasan wilayah, kejelasan daftar pemilih, daftar administrasi pertanahan, dan perizinan pengelolaan sumber daya alam sehingga menghindari konflik perselisihan antarwarga di daerah perbatasan antarwilayah. 2. Penguatan kewenangan Gubernur dalam menyelesaikan konflik batas dalam revisi UU Pemerintahan Daerah 3. DPD RI mendesak kepada Pemerintah dan DPR RI agar segera merevisi berbagai Peraturan yang tumpang tindih sehingga tidak terjadi kesalahpahaman di antara wilayah yang menjadi batas. 4. Diharapkan kepada Pemerintah, DPR RI, DPD RI segera tuntaskan RUU tentang Desa, RUU tentang Pemda, serta penyelesaian RUU tentang Hak Atas Tanah: 5. Disarankan kepada pemerintah agar menyatukan persepsi terhadap batas-batas wilayah berdasarkan Patok dan Titik koordinat Peta Wilayah. 6. Bahwa untuk menghindari terjadinya sertifikat ganda, sebaiknya Penerbitan Sertifikat dari BPN diberlakukan secara on line agar tanah-tanah yang sudah terdaftar dan sudah memperoleh sertifikat hak atas tanah dapat terlihat dan terdeteksi secara jelas pada semua kantor BPN yang ada di Indonesia 7. Diharapkan Kementerian yang terkait agar menyelesaikan masalah Tapal batas sesegera mungkin dalam rangka penyelesaian Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten dan kota.
217
BAB V PENUTUP Demikian Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Permasalahan batas antar daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hasil pengawasan ini disahkan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia ke-11 dan selanjutnya disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti sesuai mekanisme dan ketentuan perundang-undangan. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada Bangsa dan Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 28 Maret 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN Ketua,
H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.
218
Wakil Ketua,
Wakil Ketua,
GKR. HEMAS
Dr. LA ODE IDA