DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57/DPD RI/III/2012-2013 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2003 TENTANG PANAS BUMI
JAKARTA 2013
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57/DPD RI/III/2012-2013 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2003 TENTANG PANAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Mengingat
: a. bahwa panas bumi merupakan energi baru dan terbarukan yang harus dikuasai negara dan dipergunakan bagi kemakmuran rakyat serta dikelola secara berkeadilan dan berkelanjutan, sesuai tujuan negara dalam Undang-Undang Dasar 1945; b. bahwa pengembangan energi panas bumi memerlukan komitmen diberbagai pihak dengan memperhatikan aspek sosial dan budaya yang telah menjadi ciri khas dan karakteristik masyarakat setempat; c. bahwa dalam rangka pengembangan energi panas bumi, maka diperlukan pengawasan terhadap kebijakan energi panas bumi; d. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama; e. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d diatas, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugasnya telah melakukan pengawasan atas pelaksanaan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi; f. bahwa hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada huruf e telah disampaikan dan diputuskan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti; g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi; : 1. Pasal 22D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang
269
3.
4. 5. 6.
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043); Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah; Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2/ DPD/2005 tentang Pedoman Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Tertentu; Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-11 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Masa Sidang III Tahun Sidang 2012-2013 Tanggal 28 Maret 2013 MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERTAMA
:
KEDUA
:
KETIGA
:
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2003 TENTANG PANAS BUMI Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Isi dan rincian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA, disusun dalam naskah terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Maret 2013 PIMPINAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA, Ketua,
H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.
270
Wakil Ketua,
Wakil Ketua,
GKR. HEMAS
DR. LAODE IDA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57/DPD RI/III/2012-2013 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2003 TENTANG PANAS BUMI BAB I PENDAHULUAN A. PENGANTAR Kondisi energi Indonesia saat ini masih mengandalkan sektor migas, baik sebagai penghasil devisa maupun sebagai sumber tersedianya kebutuhan energi primer dalam negeri. Namun kenyataannya, cadangan minyak bumi nasional dalam kondisi depleting atau terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun, baik dari sisi produksi maupun kapasitas, meskipun gas bumi cenderung meningkat. Kecenderungan menurunnya cadangan minyak bumi mengharuskan Pemerintah untuk mengembangkan potensi energi baru dan terbarukan (EBT). Selain karena Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan yang beragam dan berlimpah, EBT juga rendah karbon dan tidak menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang berarti sebagaimana dampak ekploitasi dan ekplorasi minyak bumi. Berbagai potensi energi tersebut antara lain: sumber energi nabati, gas, panas bumi, energi nuklir, energi matahari, energi angin dan energi gelombang laut. Namun demikian, pengusahaan, pengelolaan dan pemanfaatan EBT (panas bumi) belum optimal. Permasalahan umum dalam pengembangan energi panas bumi berkelindan dengan isu-isu pokok sektor energi pada umumnya, mencakup diantaranya yaitu kebijakan regulasi tentang energi, akses energi, bauran energi primer, kebijakan harga energi, konservasi energi, serta mitigasi perubahan iklim. Panas bumi sebagai energi baru terbarukan diharapkan dapat menopang ketahanan energi nasional dalam jangka panjang, antara lain karena rendah emisi dan butuh lebih sedikit lahan daripada jenis energi lain. Selain itu, panas bumi berkontribusi dalam mengurangi ketergatungan bahan bakar fosil dan berimplikasi dalam mengurangi beban subsidi energi. Kebijakan energi yang tepat diperlukan dalam rangka memperkuat ketahanan dan keamanan energi di masa yang akan datang. Tantangan Indonesia ke depan adalah memperkuat ketahanan energi nasional melalui berbagai perangkat kebijakan yang ditujukan untuk mendorong pengembangan energi baru terbarukan guna mencapai energi bauran mix energy, meningkatkan efisiensi dan konservasi energi serta memperkuat peran Pemerintah sebagai regulator kebijakan energi. Dalam konteks penguatan ketahanan energi, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa aspek jaminan pasokan energi harus diimbangi dengan adanya akses (daya beli) masyarakat terhadap energi. Hal ini berarti bahwa penguatan ketahanan energi perlu diintegrasikan dengan pembangunan berkelanjutan khususnya yang terkait dengan penguatan daya dukung sosial-ekonomi masyarakat. Sementara itu, terkait dengan upaya pembaharuan kebijakan
271
energi nasional, ke depan diharapkan bahwa potensi sumber-sumber energi Indonesia yang ada terutama energi baru terbarukan (panas bumi) dapat dioptimalkan sehingga dapat menghasilkan output sumber energi yang produktif bagi pembangunan nasional. Di sisi lainnya, konsumsi energi perkapita akan berbanding lurus dengan pendapatan perkapita eksponensial suatu negara. Seperti diketahui, Indonesia memiliki sumberdaya energi panas bumi terbesar di dunia yaitu sekitar 27,6 GWe dengan cadangan terbukti sebesar 2.288 MWe dan cadangan terduga diperkirakan mencapai 11.229 MWe (Badan Geologi, 2008). Sumberdaya panas bumi Indonesia tersebar di 256 lokasi. Distribusi lokasi sumberdaya dan cadangan panas bumi Indonesia diperlihatkan pada Tabel berikut ini. Tabel: Sumber Daya dan Cadangan Panas Bumi Indonesia Tahun 2010 No
Lokasi
Sumber daya
Cadangan (MW)
Total (MW)
1 2 3 4 5 6 7
Sumatra Jawa Bali nusa tenggara Sulawesi Maluku Kalimantan Papua Total
Spekulatif
Hipotesis
Terduga
Mungkin
Terbukti
4,975 1,960 410 1,000 595 45 75 9,060
2,121 1,771 359 92 37 4,380
5,845 3,265 973 982 327 11,392
15 885 150 1,050
380 1,815 15 78 2,288
13,336 9,696 1,757 2,302 959 45 75 28,170
Sumber : Pusdatin ESDM 2010, Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia Beberapa wilayah Indonesia yang memiliki cadangan panas bumi besar adalah: Jawa Barat (1.535 MWe terbukti, 1.452 MWe terduga), Sumatera Utara (1.384 MWe terduga), dan Lampung (1.072 MWe terduga) [sumber: RUKN 2008-2027, 2008]. Pemanfaatan utama energi panas bumi adalah pembangkit litsrik (Tenaga Panas Bumi, PLTP). Dibandingkan sumberdaya yang dimiliki, kapasitas terpasang PLTP Indonesia masih rendah yaitu hanya 1052 MWe (4% dari total sumberdaya). Selain untuk pembangkit listrik energi panas bumi dapat juga dimanfaatkan untuk penyediaan energi thermal pada proses-proses pengolahan produk pertanian. Sampai dengan tahun 2011, sumber energi nasional sebagian besar, masih dihasilkan dari penggunaan bahan bakar minyak yang menyumbang sekitar 49,7%, diikuti dengan penggunaan batubara (24,5%), gas (20,1%), serta energi terbarukan (tenaga air 2% dan panas bumi 1%). Total sumber energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional hanya 5,7% dari target 17 % dan atau 25,9 % versi rancangan dewan energi nasional, termasuk di dalamnya energi panas bumi. Sebaliknya, perekonomian nasional sangat tergantung pada minyak bumi sedangkan kapasitas produksi menurun hingga sekitar 950.000 barel perhari. Pada kondisi ini, pengembangan energi panas bumi bukan hanya suatu kebutuhan yang mendesak tetapi menjadi suatu keharusan. Dengan meningkatnya kebutuhan energi nasioal, sudah saatnya pengutamaan pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri diarahkan pada ketahanan energi nasional yang berkelanjutan (Suistanability energy security). Oleh karena itu, sudah saatnya pula kebijakan ketahanan energi nasional diarahkan tidak hanya untuk mendukung penerimaan negara namun juga mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, sehingga dapat mendorong pertumbuhan produktifitas yang berimplikasi postif bagi pertumbuhan ekonomi nasional. B. TUJUAN Tujuan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi adalah: 1. Terwujudnya suatu kebijakan dan regulasi yang mendukung pengembangan energi baru terbarukan khususnya energi panas bumi dalam rangka mendukung ketahanan dan kemandirian energi untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. 2. Mendukung pengelolaan dan pengusahaan panas bumi yang bertujuan meningkatkan penerimaan negara maupun pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri. 3. Menetapkan lebih lanjut kebijakan energi nasional berdasarkan cadangan dan potensi Sumber Daya Panas Bumi yang ada, dengan mempertimbangkan kemampuan produksi, elastisitas dan intensitas kebutuhan energi panas bumi dalam bauran energi nasional
272
serta mendorong penguasaan teknologi serta, aspek pelestarian lingkungan hidup dengan menempatkan penggunaan energi nasional rendah karbon sebagai bagian dari komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi. 4. Merumuskan kebijakan energi baru terbarukan, khususnya energi panas bumi yang visioner dengan tujuan dan sasaran memperkuat kemampuan dan ketahanan energi nasional di masa yang akan datang. C. OBJEK Objek pengawasan adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. D. DASAR HUKUM PENGAWASAN Fungsi pengawasan DPD RI dilaksanakan berdasarkan pada aturan-aturan yuridis, sebagai berikut; 1. Pasal 22D UUD 1945 2. Pasal 224 huruf e UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. 3. Pasal 112 Keputusan DPD RI Nomor 1/DPD RI/I/2009-2010 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. E. MEKANISME 1. Pasal 224 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 menyatakan bahwa salah satu tugas dan wewenang DPD RI adalah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama. Oleh karena itu, DPD RI memiliki kewenangan untuk menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang tertentu dalam rangka melakukan monitoring/ pemantauan atas pelaksanaan undang-undang tertentu; 2. Ada pun mekanisme pengawasan tersebut dilaksanakan melalui penyerapan aspirasi dan menampung pengaduan masyarakat dan daerah serta kunjungan kerja ke beberapa daerah termasuk melakukan dialog langsung dengan konstituen dan masyarakat umum di daerah. Secara teknis prosedural hal tersebut dilakukan lewat wawancara atau dialog, Rapat Dengar Pendapat, Diskusi kelompok terfokus baik dengan instansi pemerintah daerah, organisasi di daerah, dan elemen masyarakat yang menjadi subjek pengawasan serta melakukan kunjungan langsung ke lokasi terkait. F. ANGGARAN Seluruh biaya atas kegiatan pengawasan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi dibebankan pada Anggaran Rutin DPD RI yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2013.
273
BAB II KESIMPULAN PENGAWASAN A. HASIL PENGAWASAN Berdasarkan temuan-temuan dan hasil kunjungan kerja ke beberapa daerah serta temuan yang diperoleh dari penyerapan aspirasi di beberapa Provinsi, maka dapat dirumuskan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (selanjutnya dalam pengawasan ini disebut UU Panas Bumi), adalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan Undang-Undang Panas Bumi belum sepenuhnya dapat diimplementasikan secara optimal. Hal ini disebabkan antara lain: Pertama kurangnya sosialisasi tentang pentingnya pengembangan energi dan potensi panas bumi kepada masyarakat, khususya masyarakat yang menempati kawasan penambangan. Temuan Komite II DPD RI menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat menemui kesulitan untuk melaksanakan sosialisasi karena tidak semua Pemerintah Kota dan Kabupaten memiliki Organisasi Perangkat Kerja Daerah yang membidangi pengusahaan panas bumi. Kedua, hambatan regulasi dan ketidakpastian hukum yaitu terdapat pertentangan mendasar dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terkait pemanfaatan dan alih fungsi lahan. Sebagaimana diketahui bahwa, wilayah panas bumi adalah sebagian besar (70%) berada di dalam kawasan konservasi dan hutan lindung. Sementara itu, Undang-Undang Panas Bumi tidak memperkenankan penambangan di dalam kawasan konservasi. 2. Terdapat pertentangan dalam konsideran menimbang yang menyatakan bahwa panas bumi adalah sumber daya alam yang dapat diperbarui, berpotensi besar, yang dikuasai oleh negara dan mempunyai peranan penting sebagai salah satu sumber energi pilihan dalam keanekaragaman energi nasional untuk menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan demi terwujudnya kesejahteraan rakyat. Namun berkebalikan dengan konsideran tersebut(vice verca), sebagaimana Pasal 3 Undang-Undang Panas Bumi huruf (b) menyebutkan bahwa tujuan kegiatan pertambangan panas bumi adalah meningkatkan pendapatan negara dan masyarakat untuk mendorong pertumbuhan perekonomian nasional demi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Bagian terbesar dari penerimaan Negara adalah dari sektor minyak dan gas bumi. Dengan demikian, energi panas bumi tidak dapat dikatakan sebagai energi subsitusi. Energi panas bumi adalah sumber energi yang bersifat komplementer. 3. Dalam rangka meningkatkan kapasitas nasional, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Panas Bumi tentang asas yang mengandalkan pada kemampuan sendiri, maka prioritas pengusahaan panas bumi harus berasal dari pengusaha dalam negeri. Hal ini untuk menghindari kemungkinan dominasi asing dalam usaha panas bumi seperti yang terjadi di sektor minyak dan gas bumi yang pengusahaannya telah di dominasi oleh perusahaan asing. 4. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan pelarangan kegiatan penambangan di kawasan hutan lindung dengan pola penambangan terbuka (Pasal 38 ayat (4)). Selanjutnya disebutkan pula bahwa Penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan dilakukan melalui izin pinjam pakai oleh Menteri Kehutanan. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 “Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan. Pengusahaan panas bumi yang bersifat “penambangan” mengakibatkan pertentangan antara kedua undang-undang tersebut di atas. Hal ini menyebabkan hambatan dalam proses pengembangan panas bumi di gunung endut Kaldera Danau Banten (Komplek Gn. Karang, Gn. Pulosari, dan Rawa Danau) dengan potensi 115 MW, Pamancalan di Kabupaten Lebak dengan potensi spekulatif sebesar 225 MW. Demikian pula dengan wilayah kerja pertambangan (WKP) gunung endut Provinsi Banten yang masih dalam kewenangan kementerian kehutanan. Pertentangan dan tumpang tindih undang-undang tersebut diatas merupakan refleksi atas lemahnya harmonisasi kebijakan perundangan. Komite II DPD RI juga menemukan masalah terkait tumpang tindih lahan yang menyebabkan izin eksplorasi Panas Bumi di Guci, Kabupaten Tegal Provinsi Jawa Timur masih terkendala dari Kementerian kehutanan terkait dengan izin kawasan Hutan Konservasi . Temuan lain adalah pengusahaan pembangkit listrik tenaga panas bumi di daerah Muara Enim dan Baturaja di Provinsi Sumatera Selatan. Wilayah Kerja Pertambangan tersebut, merupakan kawasan hutan lindung seluar 118 h.a., yang memerlukan izin dari Kementerian Kehutanan. Demikian pula halnya dengan keberadaan Pasal 16 tentang Penggunaan lahan, Proyek di kawasan Cagar Alam Watukaru bertumpang tindih dan dapat mengancam keberadaan
274
hutan lindung di Provinsi Pulau Bali. Selain itu, Undang-Undang Panas Bumi yang mengatur manajemen dan pengembangan energi panas bumi, baik untuk penggunaan langsung maupun tak langsung juga masih perlu dibenahi terutama dari sisi harga, khususnya jika dibandingkan dengan harga minyak bumi yang terus mendapatkan subsidi. Harga energi panas bumi masih terlalu mahal sehingga tidak efisien dan tidak ekonomis untuk dikembangkan. 5. Pengusahaan dan pengembangan energi panas bumi juga menemui hambatan yang bersifat sosio-kultural dari sisi pemanfaatan lahan. Temuan Komite II DPD RI yang berdimensi sosio-kultural adalah di kawasan Bedugul dan sekitarnya, yaitu mulai Desa Wanagiri disebelah utara sampai di Desa Baturiti disebela selatan, kemudian dari Desa Wongaya Gede (Batukaru) disebelah barat samapi Desa Plaga disebelah timur, merupakan kawasan suci dan sakral. Terdapat prasasti-prasasti kuno yaitu Markandeya Tattwa, Dalem Tamblingan, dan Babad Panji Sakti dan Pura-pura yang merupakan kawasan suci bagi penduduk Provinsi Bali. 6. Terkait penggunaan lahan sebagaimana diatur dalam BAB VII tentang Penggunaan Lahan, IUP hanya dapat diberikan apabila masyarakat sekitar telah mendapatkan ganti rugi pemanfaatan lahan. Temuan Komite II DPD RI di kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara, menunjukkan bahwa Kompensasi/Ganti Rugi Lahan Warga untuk Pembangunan Pembangkit Listrik oleh PT. PLN tidak dilakukan secara adil dan proporsional. 7. Permasalahan lainnya adalah tidak adanya insentif pajak dan bea masuk, baik keringanan bea masuk terhadap teknologi panas bumi yang masih sangat mahal maupun keringanan pajak lainnya, serta tidak adanya jaminan resiko investasi seperti mekanisme cost recoevry dalam kontrak minyak dan gas bumi. 8. Harga jual energi panas bumi masih terlalu murah khususnya untuk tarif pembangkit listrik. Selain tidak kompetitif dibandingkan dengan energi lain, Pemerintah juga tidak menerapkan pemberian insentif dan disinsentif bagi pengembangan dan pengusahaan panas bumi. Kurangnya insentif bagi industri panas bumi baik hulu maupun hilir (PLTP) dan rendahnya dukungan perbankan dalam tahap eksplorasi panas bumi, dan harga listrik panas bumi yang belum mencapai keekonomian merupakan gambaran atas lemahnya koordinasi antar instansi terkait baik pusat, daerah, kementerian teknis maupun sektor perbankan. Pasal 30 Undang-Undang Panas Bumi tersebut menjelaskan bahwa pemegang izin usaha pertambangan wajib membayar penerimaan negara berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 9. Temuan Komite II DPD RI menunjukkan bahwa pembangunan pembangkit listrik energi panas bumi di Desa Mamuya, Kecamatan Galela Kabupaten Halmahera Utara yang pengusahaannya dilakukan langsung oleh PLN merupakan salah satu jalan untuk mempercepat pengembangan panas bumi dan juga untuk mengatasi masalah tarif panas bumi. Di segi lainnya, pengusahaan energi panas bumi oleh PT. PLN yang menggunakan lahan masyarakat harus sesegera mungkin melakukan ganti rugi lahan warga dan sedini mungkin melibatkan masyarakat sekitar dengan memberikan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) sebagai kompesasi dan untuk pengembangan sumber daya manusia sekitar. 10. Temuan Komite II DPD RI menunjukkan bahwa pengusahaan panas bumi masih didominasi oleh BUMN. PT. Pertamina Geothermal Energy (PGE) memiliki 10 wilayah kerja pertambangan di Provinsi Sumatera Selatan. Banyaknya wilayah kerja PGE mengakibatkan penyelesaian penambangan baik eksploitasi maupun ekplorasi tidak dapat diselesaikan dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. 11. BAB VIII tentang perizinan pasal 21 ayat (1) menyatakan bahwa “IUP dikeluarkan oleh menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. Terkait IUP, Pemerintah melaksanakan rekonsialisasi clear and clean (cnc) terhadap Izin Usaha Pertambangan (IUP), baik IUP ekpolorasi maupun iup produksi. Dalam hal rekonsiliasi IUP, banyak keluhan dari daerah terkait sulitnya mendapatkan IUP. Selain itu, terdapat serangkaian izin yang harus dipenuhi antara lain adalah Izin Usaha Pertambangan (IUP), Rekomendasi Gubernur/Bupati untuk pinjam pakai lahan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, Izin Pinjam Pakai Lahan untuk Kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi dari Kementerian Kehutanan, Rekomendasi Teknis dari Perhutani Izin Penggunaan Air Tanah dan Air Permukaan, Izin Lokasi Pembangunan Proyek dari BPN dan Persetujuan AMDAL. 12. Program Coorporate Social Responcibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan yang umumnya berbentuk Community Development (CD), belum memiliki kekuatan hukum. Dalam berbagai temuan Komite II DPD RI di daerah menunjukkan distribusi CSR sering tidak tepat sasaran dan biaya CSR adalah bagian dari penerimaan negara dan daerah. Selain itu, pemahaman tentang CSR oleh perusahaan dan pemda
275
belum integratif. CSR masih dipahami sebatas bantuan sosial (charity). Padahal CSR merupakan tanggung jawab sosial perusahaan yang harus disejajarkan dengan tanggung jawab korporasinya. Minimnya kompensasi yang diberikan kepada masyarakat di daerah Guci Jawa Timur sebagai daerah wisata, tidak dapat dipandang sebagai bagian dari program tanggung jawab sosial. Kompensasi harus dalam bentuk ganti rugi lahan dan pemanfaatan. 13. Dari sisi kerangka regulasi, dalam rentang waktu tiga tahun setelah pemberlakuan Undang-Undang Panas Bumi, Pemerintah hanya mampu menyelesaikan 1 (satu) Peraturan Pemerintah (PP) dari 4 (empat) Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-Undang Panas Bumi yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2007 tentang kegiatan usaha panas bumi. Selain itu, 1 (satu) PP diselesaikan di tahun 2012 yaitu PP tentang jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2012 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementerian energi dan sumber daya mineral. PP yang dimaksud secara berturut-turut adalah PP tentang Wilayah Kerja (BAB V tentang Wilayah Kerja); PP tentang Pemanfaatan Langsung yang berkaitan dengan pemanfaatan energi Panas Bumi (BAB VI Pasal 10 angka (6)); PP Ketentuan mengenai luas Wilayah Kerja yang dapat dipertahankan pada tahap Eksploitasi dan perubahan Luas Wilayah IUP pada setiap tahapan Usaha Pertambangan Panas Bumi (BAB VI Pasal 13 angka (3)); PP tentang jenis dan tarif Penerimaan Negara Bukan pajak (BAB X tentang Penerimaan Negara pasal 30); dan PP tentang pembinaan dan pengawasan (BAB XI Pasal 33). Pemerintah hanya menyelesaikan PP Nomor 59 tahun 2007 tentang kegiatan usaha panas bumi tmt 5 november 2007 dan dalam rancangan yaitu Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pemanfaatan langsung panas bumi. 14. Terkait BAB XI tentang pembinaan dan pengawasan. Undang-Undang Panas Bumi tidak menyebutkan lembaga secara khusus yang berhak melaksanakan pengawasan dan pembinaan. Oleh karena itu, faktor pengawasan pengusahaan panas bumi menjadi bagian penting dalam pengusahaan panas bumi di Indonesia. 15. Terdapat potensi penyalahgunaan wewenang dan tumpang tindih pelaksanaan dan kewenangan penyidikan sebagiaman dijelaskan dalam BAB XII tentang Penyidikan. Dalam Pasal 34 ayat (1) disebutkan selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha pertambangan panas bumi diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan panas bumi. B. REKOMENDASI Terkait dengan pengawasan atas permasalahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, maka DPD RI memberikan rekomendasi sebagai berikut: 1. Dalam rangka akselerasi pengusahaan panas bumi di Indonesia, DPD RI mendesak para pemangku kepentingan (Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Kontaktor Kontrak Kerja Sama), baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama, untuk melakukan sosialisasi yang lebih intensif terutama kepada masyarakat di sekitar wilayah kerja pertambangan. Sosialisasi antara lain adalah pemberian informasi kepada masyarakat bahwa pengusahaan panas bumi akan memberikan nilai tambah ekonomi kepada masyarakat, meningkatkan pendapatan daerah, ramah linkungan dan dapat mendukung ketahanan energi nasional di masa yang akan datang. 2. DPD RI merekomendasikan perubahan pada aras konsep dan filosofisnya. UndangUndang Panas Bumi tidak dapat ditempatkan sebagai energi substitusi menggantikan energi minyak dan gas bumi. Oleh karena itu, pengusahaan panas bumi bukan merupakan sumber penerimaan Negara yang utama sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Panas Bumi, tetapi harus diletakkan sebagai energi alternatif yang berkelanjutan. Selain itu, jika panas bumi dijadikan sebagai energi substitusi, maka Pemerintah berkewajiban mengalihkan sebagian subisidi BBM kepada energi panas bumi. Dalam hal ini, DPD RI mendesak Pemerintah untuk menerapkan insentif baik dari sisi keuangan permodalan maupun dari sisi teknis pengusahaan lainnya. 3. Dalam rangka meningkatkan kapasitas nasional, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Panas Bumi tentang asas yang mengandalkan pada kemampuan sendiri, DPD RI mendesak para pemangku kepentingan, untuk memberikan prioritas pengusahaan panas bumi kepada pengusaha dalam negeri. Hal ini untuk menghindari kemungkinan dominasi asing dalam usaha panas bumi seperti yang terjadi di sektor minyak dan gas bumi yang pengusahaannya telah di dominasi oleh perusahaan asing. Oleh karena itu, Pemerintah berkewajiban melakukan investasi dengan memberikan peluang sebesar-besarnya kepada BUMN dan BUMD untuk melakukan pengusahaan panas bumi dalam rangka mencapai target bauran energi nasional.
276
4. Terkait dengan banyaknya tumpang tindih lahan pada wilayah kerja pertambangan panas bumi dengan kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, DPD RI mendesak untuk segera dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan dan koordinasi antar kementerian teknis terkait (Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup). Sinkronisasi dan harmonisasi diperlukan, terutama mencari jalan keluar pada wilayah kerja pertambangan yang bertumpang tindih. 5. Terkait penolakan masyarakat karena alasan sosio- kultural, DPD RI mendesak sosialisasi dan pendekatan kepada masyarakat secara langsung. Para pemangku kepentingan berkepentingan baik secara sendiri sendiri maupun secara bersama-sama mensosialisakan akan pentingnya pengusahaan dan pengembangan panas bumi. Pertimbangan sosial ekonomi dan lingkungan yang terintegrasi dalam perencanaan kegiatan pengembangan untuk mengantisipasi resiko yang dapat terjadi dan mengancam keberlanjutan pengusahaan panas bumi. Pengakuan terhadap hak masyarakat lokal dengan memastikan partisipasi mereka sejak proses perencanaan hingga pelaksanaan. 6. Terkait penggunaan lahan sebagaimana diatur dalam BAB VII tentang Penggunaan Lahan, DPD RI mendesak agar pemanfaatan lahan masyarakat diberikan ganti rugi yang sesuai dan adil. Eksplorasi dan produksi dapat dilakukan setelah masyarakat mendapatkan ganti rugi pemanfaatan lahan. 7. DPD RI mendesak Pemerintah untuk memberikan insentif bagi pengembangan energi baru terbarukan khususnya pengembangan dan pengusahaan panas bumi. DPD RI merekomendasikan pemberian ganti rugi seperti mekanisme cost recovery di sektor minyak dan gas bumi. Selain itu diperlukan pengaturan perpajakan, keringanan investasi, keringan bunga bank kepada pengusaha panas bumi yang melaksanakan diversifikasi energi atau menerapkan pemanfaatkan energi panas bumi. 8. Dalam hal harga jual energi panas bumi yang relatif lebih murah dibandingkan dengan harga energi minyak dan gas bumi yang ditopang dengan subsidi, DPD RI merekomendasikan penyusunan kebijakan harga energi. Kebijakan pengaturan harga energi, baik BBM maupun Listrik harus sedemikian rupa dengan pemberian insentif dan disinsentif, sehingga mendorong masyarakat dan pemangku kepentingan untuk mengembangkan dan menerapkan penggunaan energi terbarukan dari panas bumi. Harga beli panas bumi oleh Pemerintah harus menggunakan mekanisme dan kebijakan feed in tariff. Kebijakan feed in tariff dapat mendorong perusahaan untuk melakukan investasi di sektor panas bumi secara lebih intensif. Kebijakan feet in tariff juga merupakan salah satu jenis insentif dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi. 9. DPD RI mendesak kepada Pemerintah untuk melakukan penyederhanaan dan kemudahan perizinan dalam rangka mendorong peningkatan kapasitas penggunaan energi panas bumi dan mengurangi berbagai hambatan birokrasi. DPD RI mendesak Pemerintah untuk memberlakukan kebijakan perizinan dengan satu pintu (single window). Dengan kebijakan perizinan yang lebih sederhana dapat memberikan kepastian, baik kepastian hukum maupun kepastian keberlangsungan operasional pengusahaan panas bumi. 10. DPD RI Mendesak Pemerintah untuk ikut serta dalam pengusahaan panas bumi melalui BUMN, BUMD dan Koperasi. Hal ini sejalan dengan amanah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang menegaskan bahwa penyediaan dan pemanfaatan energi baru terbarukan wajib ditingkatkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Penyediaan dan pemanfaatan energi dari sumber energi baru terbarukan dapat memperoleh kemudahan dan/atau insentif dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonomiannya. Oleh karena itu, Pemerintah berkewajiban melakukan investasi dengan memberikan peluang sebesar-besarnya kepada BUMN dan BUMD untuk melakukan pengusahaan panas bumi dalam rangka mencapai target bauran energi nasional. 11. Terkait tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), DPD RI merekomendasikan penting pengaturan program Community Development (CD) yang mampu memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar, pada saat bersamaan mendukung pelaksanaan pengusahaan panas bumi dengan cara menetapkan batas nilai dan mekanisme penyaluran dana CD, melegalisasi program CD dengan cara memasukkan dalam persyaratan perizinan, meiningkatkan peran serta masyarakat secara proporsional dan memberikan penghargaan (award) bagi pihak-pihak termasuk organisasi kemasyarakatan dalam menggalang dan melaksanakan CD untuk pengembangan panasbumi di Indonesia. 12. Dalam hal pelaksanaan diversifikasi dan konservasi energi, DPD RI mendesak Pemerintah untuk melakukan audit energi disetiap sektor dan jenis energi di Indoensia. Audit energi dapat mengkaji potensi penghematan energi yang bisa direalisasikan. Audit energi terutama dapat dilakukan di PT. PLN untuk menghindari penyalahguanaan pemakaian energi yang tidak tepat sasaran. Selain itu, audit energi dapat memaksa PT. PLN untuk membeli EBT, terutama penggunaan energi panas bumi.
277
13. DPD RI mendesak Pemerintah (Kementerian ESDM RI) untuk segera menyusun dan menetapkan peraturan pemerintah. Pemerintah belum menyelesaikan 2 (dua) PP terkait dari 4 (empat) PP yang diamanatkan dalam UU Panas Bumi. 14. Dalam hal pembinaan dan pengawasan, DPD RI merekomendasikan perlunya dibentuk lembaga khusus yang melakukan pengawasan dan pembinaan. Pengawasan dan Pembinaan tidak dapat diberikan kepada lembaga pemberi izin untuk menghindari tumpangtindih kewenangan. Pengawasan diperlukan untuk penerapan audit energi dalam rangka diversifikasi dan konservasi energi di masa yang akan datang. 15. Terkait dengan beragamnya kendala dan hambatan yang dihadapi dalam pengembangan panas bumi yang mengakibatkan terhambatnya pengembangan potensi panas bumi nasional, baik hambatan dari sisi kebijakan dan regulasi, penolakan masyarakat sekitar, aspek sosio-kultural, pengaturan institusi, isu koordinasi lintas sektor, otonomi daerah, sumber daya manusia, isu tata kelola (good governance), kebijakan insentif-disinsentif maupun hal-hal teknis yang bersifat yuridis formal maupun non-teknis implementasi pelaksanaan perundang-undangan, seperti: akurasi data, proses tender, pelibatan masyarakat sejak awal dalam proses-proses pembangunan, negosiasi harga energi panas bumi, perizinan, dan lainnya, maka DPD RI mendesak urgensi perubahan atas Undang-Unadng Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi dalam rangka penyempurnaan dan perbaikan regulasi perundang-undangan. BAB III PENUTUP Demikian Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 17 Maret 2013 PIMPINAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA, Ketua,
H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.
278
Wakil Ketua,
Wakil Ketua,
GKR. HEMAS
DR. LAODE IDA