DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19/DPD RI/I/2013-2014 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG
JAKARTA 2013
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19/DPD RI/I/2013-2014 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional berdasarkan Wawasan Nusantara yang sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan semakin besar kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang, serta memperhatikan perkembangan situasi dan kondisi nasional dan internasional yang menuntut penegakan prinsip keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi, kepastian hukum, dan keadilan dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang yang baik maka perlu dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tata ruang demi menjaga keserasian dan keterpaduan antardaerah dan antara pusat dan daerah agar tidak menimbulkan kesenjangan antardaerah; c. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama; d. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, dan huruf c di atas, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugasnya telah melakukan pengawasan atas Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; e. bahwa hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada huruf d telah disampaikan dan diputuskan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai Hasil Pengawasan Dewan
943
Mengingat
Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; : 1. Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043); 3. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib; 4. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/ DPD/2007 tentang Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; 5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 6/ DPD/2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-6 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Masa Sidang I Tahun Sidang 2013-2014 Tanggal 25 Oktober 2013
Menetapkan
:
PERTAMA
:
KEDUA
:
KETIGA
:
MEMUTUSKAN: KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG. Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Isi dan rincian Hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Diktum Pertama, disusun dalam naskah terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN, Ketua,
Wakil Ketua,
GKR. HEMAS
944
H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.
Wakil Ketua,
Dr. LAODE IDA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19/DPD RI/I/2013-2014 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penataan Ruang adalah salah satu kebijakan pembangunan nasional yang menjadikan ruang sebagai matra pembangunan untuk semua program atau kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Sebagai matra pembangunan, kedudukan penataan ruang harus dapat memberi kepastian hukum bagi semua stakeholder. Saat ini penyelenggaraan penataan ruang yang mengacu kepada UU No.26 tahun 2007 telah memasuki masa 6 (enam) tahun dalam praktek implementasinya. Berdasarkan data dan laporan yang berkembang di masyarakat, mekanisme penyelenggaraan penataan ruang baik di pusat dan di daerah masih memiliki berbagai kendala, salah satunya adalah pada aspek percepatan penyusunan dan penetapan rencana ruang wilayah baik untuk tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Untuk dapat menyelenggaraan kegiatan penataan ruang yang terdiri dari aspek perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian dibutuhkan adanya kepastian hukum berupa penetapan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRWP dan RTRW Kab/Kota). Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan salah satu perangkat dokumen teknis dan peraturan daerah yang diharapkan mampu untuk memberikan kepastian hukum dan menjadi acuan sinkronisasi serta koordinasi pelaksanaan program pembangunan yang telah disusun melalui RPJM. Saat ini perkembangan penyusunan rencana tata ruang (RTRW) Provinsi dan Kabupaten/Kota belum sepenuhnya memenuhi target pencapaian yang ditetapkan oleh UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Seharusnya pada tahun 2010 seluruh RTRW Kabupaten/kota sudah diperdakan. Hingga saat ini baru sekitar 173 Kabupaten/kota (35,23 %) yang sudah di Perdakan dari seluruh 491 kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Mengacu kepada laporan Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah – Republik Indonesia (DPD-RI) Nomor 27 /DPD RI/III/2009-2010 tahun 2010 terhadap Pelaksanaan UU No.26 tahun 2007 kondisinya hingga saat ini masih menghadapai berbagai kendala dan masalah baik teknis maupun non-teknis. Untuk memahami kendala dan permasalahan tersebut diperlukan penanganan yang tepat dan efektif serta dibutuhkan masukan-masukan dari daerah untuk memperbaiki sistem kerja penyelenggaraan penataan ruang yang berjalan saat ini. Untuk memenuhi harapan tersebut,maka DPD RI sesuai dengan fungsi dan perannya yang diwakilkan oleh Komite I perlu untuk melakukan kegiatan pengawasan kembali terhadap penyelenggaran kegiatan Penataan Ruang yang telah diamanatkan oleh UU No.26 tahun 2007. Sesuai dengan bidang tugasnya DPD RI memerlukan berbagai masukan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah guna memberi usulan dan pertimbangan untuk menyelesaikan dan menjembatani berbagai masalah tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, maka kegiatan”Kegiatan Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Penataan Ruang” adalah bagian penting dari strategi kebijakan yang harus dilakukan oleh DPD RI guna memberikan pertimbangan dan perbaikan terhadap pelaksanaan UU No.26 tahun 2007.
945
1.2. Dasar Hukum Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) sebagai sebuah lembaga negara tercantum dalam Pasal 22C dan 22D Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sebagai suatu lembaga perwakilan daerah, fungsi serta tugas dan wewenang DPD RI ditegaskan dalam Pasal 223 dan 224 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yakni dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR RI, ikut membahas RUU tertentu, dan dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu. Dalam rangka pelaksanaan tugas DPD RI pada periode 2009-2013, DPD RI telah menentukan program-program kerja dan target capaian yang dialokasikan dalam 4 (empat) masa sidang melalui masing-masing Komite sebagai alat kelengkapan. Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan sesuai amanat konstitusi, DPD RI memfokuskan pada pengawasan terhadap pelaksanaan beberapa Undang-Undang, diantaranya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 1.3. Maksud dan Tujuan a. Maksud Kegiatan 1. “Kegiatan Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Penataan Ruang” merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh Dewan Perwakilan Daerah, guna pelaksanaan fungsinya untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU No. 26 tahun 2007 yang telah ditetapkan. 2. Kegiatan Pengawasan ini dimaksudkan untuk mengawasi Pemerintah Pusat (sektor) dan Pemerintah Daerah untuk mensinergikan fungsi dan perannya dalam kegiatan penyelenggaraan penataan ruang yang meliputi kegiatan, perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. 3. Secara khusus hubungan keterkaitan antar ketiga komponen (perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang) ini akan menjadi kerangka dasar untuk menjadi media pengamatan yang digunakan oleh DPD RI sebagai bahan evaluasi terhadap kegiatan penyelenggaran penataan ruang. b. Tujuan 1. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menjelaskan berbagai permasalahan di dalam implementasi dari kegiatan Penyelenggaran Penataan Ruang, yang dimulai dari perkembangan kegiatan di aspek perencanaan, kemudian pemanfaatan dan terakhir pengendalian. 2. Secara khusus kegiatan ini juga bertujuan agar fungsi fasilitasi yang diberikan oleh DPD RI dapat memberikan masukan untuk usaha perbaikan atas bentuk-bentuk pelaksanaan kegiatan penataan ruang yang telah dilaksanakan selama hampir 6 (enam) tahun penyelenggaraannya (2007-2013), sehingga setiap bentuk masalah dan kendala yang dihadapi dapat menemukan solusi atau jalan keluar demi percepatan penyusunan dan penetapan perda, atau aspek-aspek pemanfaatan dan pengendalian tata ruang lainnya.
946
BAB II PELAKSANAAN PENGAWASAN ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG 2.1 Obyek Pengawasan Salah satu program kerja DPD RI pada Masa Sidang I dan Masa Sidang II Tahun Sidang 2012-2013 adalah pelaksanaan fungsi Pengawasan terhadap Pelaksanaan Undang-Undang tentang Penataan Ruang. Salah satu yang menjadi alasan perlunya dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang ini adalah bahwa penyesuaian Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) khususnya di tingkat kabupaten/kota yang ditentukan selama 3 (tiga) tahun sebagaimana diamanatkan dalam Ketentuan Peralihan UndangUndang tentang Penataan Ruang, akan berakhir pada tahun 2010,namun sampai dengan tahun 2013 masih 16 Provinsi (48.48 %) dan 176 Kab/Kota (35,85 %) belum selesai membuat Perda penyesuaian RTRW. Dengan demikian DPD RI memandang perlu untuk mengetahui apakah amanat undang-undang ini telah berjalan dengan baik, dengan ditemukannya bahwa RTRW baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota tidak dapat disesuaikan tepat waktu. Sejalan dengan itu, tentu akan ditemui faktor-faktor pendorong sekaligus kendala dalam proses penyesuaian tersebut. Di samping itu, selain aspek kuantitas, maka aspek kualitas dalam dokumen RTRW yang telah disesuaikan juga perlu mendapat perhatian. Demikian pula apakah penyelenggaraan aspek pengendalian dapat berjalan dengan baik. Penting untuk digarisbawahi bahwa program pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang tentang Penataan Ruang dimaksud merupakan kristalisasi dari pembahasan tindak lanjut terhadap aspirasi masyarakat yang berhasil ditampung oleh Anggota DPD RI. Berdasarkan aspirasi yang disampaikan masyarakat di berbagai provinsi diketahui bahwa terdapat permasalahan-permasalahan terkait dengan penyelenggaraan tata ruang yang sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pembangunan di daerah. DPD RI memandang bahwa pembahasan materi penataan ruang sangat terkait dengan permasalahan pertanahan/agraria. Oleh karena itu pengawasan terhadap pelaksanaan UndangUndang tentang Penataan Ruang dilakukan secara simultan dengan penyusunan Pengawasan terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sebagai kesatuan obyek pengawasan. Namun kompleksitas permasalahan, titik-titik krusial sumber permasalahan, serta kemungkinan dampak yang diakibatkan, yang ditemui pada perkembangan pembahasan membawa konsekuensi logis pada tekad yang kuat untuk menyusun hasil pengawasan yang berkesesuaian, berdayaguna dan berhasilguna. 2.2. Mekanisme Penyusunan Hasil Pengawasan Sebagaimana diatur dalam Pasal 58 Peraturan Tata Tertib DPD RI, pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dilakukan melalui rangkaian kegiatan pembahasan terhadap aspirasi masyarakat, inventarisasi masalah, dan pengayaan materi pengawasan, guna disusun menjadi sebuah Hasil Pengawasan. Berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (2) Peraturan Tata Tertib DPD RI, maka pembahasan materi penataan ruang merupakan salah satu ruang lingkup tugas Komite I DPD RI. Dengan demikian penyusunan hasil pengawasan DPD RI terhadap Undang-Undang ini dilakukan melalui Komite I. 2.3. Bentuk dan Pelaksanaan Kegiatan Dalam rangka penyusunan Hasil Pengawasan terhadap Undang-Undang tentang Penataan Ruang, DPD RI melakukan bentuk-bentuk kegiatan sebagai berikut: a) Penyerapan aspirasi masyarakat, meliputi: 1) Penyerapan aspirasi masyarakat oleh Anggota DPD RI di masing-masing provinsi a) Dengar Pendapat Umum, dengan pakar tata ruang: 1. Drs. Yayat Supriatna, MSP; 2. Dr. Ir Ernan Rustiandi MAgr; 3. Dr. Ir. Setia Hadi; 4. Dr. Ir Omo Rusdiana M.Sc b) Rapat Kerja, dengan Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum. c) Kunjungan Lapangan pada tanggal 7 Oktober 2013 dalam rangka kegiatan pengawasan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ke wilayah Jabodetabekjur. 2. 4. Lokasi Kegiatan Lingkup wilayah kunjungan yang dilakukan oleh para anggota DPD RI ini guna pelaksanaan fungsi pengawasannya adalah pelaksanaan kunjungan lapangan ke daerah Perwakilan masingmasing.
947
BAB III HASIL KEGIATAN (TEMUAN) PENGAWASAN TERHADAP PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG 3.1. Bidang Perencanaan Tata Ruang Mengacu kepada Ketentuan Umum UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang dimaksud dengan Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Wujud bentuk fisik dari hasil proses penyusunan rencana tata ruang adalah tersusunnya Naskah Akademis (dokumen) perencanaan teknis yang akan menjadi dasar dalam menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik di tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Perda RTRW dan Perda RPJM akan menjadi landasan kebijakan strategis wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk menyusun program-program pembangunan di daerah. 3.1.1 Pengawasan terhadap Kegiatan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) RTRW Provinsi, Kabupaten dan Kota. 3.1.1.1 Dasar Hukum Pengawasan Terhadap Bidang Perencanaan Penataan Ruang Pengawasan terhadap bidang perencanaan Penataan Ruang ini mengacu kepada: 1) Ketentuan Pasal 14 UU No.26 thn 2007 tentang Perencanaan Tata Ruang, terkait ketentuan pasal 14 ayat 1 tentang perencanaan tata ruang dilakukan dilakukan untuk menghasilkan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang. 2) Ketentuan Pasal 22, Pasal 25 dan 28 UU No. 26 tahun 2007 tentang Perencanaan Tata Ruang Provinsi, Kabupaten dan kota, 3) Ketentuan Pasal 78 Ketentuan Penutup ayat 4 butir b, perihal semua peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi disusun atau disesuaikan paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak UU ini diberlakukan 4) Ketentuan pasal 78 Ketentuan Penutup ayat 4 butir c, perihal semua peraturan daerah kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota disusun atau disesuaikan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak UU ini diberlakukan. 3.1.1.2. Fakta Perkembangan RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota Sesuai dengan ketentuan amanat UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang seharusnya pada tahun 2010 seluruh ketentuan yang mengatur penyelenggaraan penataan ruang nasional, provinsi dan kabupaten/ kota sudah diselesaikan. Tetapi pada faktanya realisasi dari amanat UU ini tidak sepenuhnya dapat dijalankan karena berbagai kendala. Hingga bulan Oktober 2013 masih banyak kegiatan penataan ruang di daerah tidak dapat diselenggarakan secara optimal karena keterlambatan penetapan Perda RTRW. Penyelesaian Perda RTRW di daerah per tanggal 18 Oktober 2013 dapat lihat pada Tabel 1. di bawah ini. Tabel.1. Penyelesaian Perda RTRWProvinsi RTRW dan RTRW Kabupaten/Kota Per Tanggal 18 Oktober 2013 No
Wilayah
Jumlah
Perda
Persub MPU
BKPRN
Rekomendasi Gubernur
Revisi
1
Provinsi
33
0
0
Kabupaten/Kota
491
16 (48,48%) 173 (35,23%)
0
2
17 (51,52%) 313 (63,75 %)
5 (1.02%)
0
0
Dari perkembangan data diatas kondisi penyelesaian Perda RTRW ini jauh lebih maju dibanding posisi pada tanggal 11 Mei 2010 sebagai batas akhir penyesuaian RTRW. Pada masa akhir waktu penyesuaian status perkembangan Perda tentang RTRW masih sangat sedikit. Adapun perkembangannya adalah sebagai berikut: Tabel 2. Penyelesaian Perda RTRW Provinsi RTRW dan RTRW Kabupaten/Kota Per Tanggal 11 Mei 2010 STATUS PERDA RTRW Revisi RTRW Belum Revisi Proses Revisi Proses Persetujuan Substansi Rekomendasi Provinsi Persetujuan di BKPRN Mendapatkan Persetujuan Substansi Perda RTRW Total Progres Penyelesaian Perda
Sumber: www.penataanruang.net
948
PROVINSI 8 0 8 14
5 6 33 18,2%
KABUPATEN 324 11 313 60 39 21 6 8 398 2.0%
KOTA 70 0 70 20 8 12 2 1 93 1,1%
Sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku maka setiap keterlambatan penetapan Perda akan berimplikasi terhadap hal-hal sebagai berikut: (1) Terhambatnya investasi di daerah; (2) Terbukanya potensi konflik dalam pemanfaatan ruang; dan (3) Menurunnya pelayanan publik bidang penataan ruang. Pada hakekatnya untuk penetapan RTRW Provinsi, Kabupaten, dan Kota saat ini sudah harus menjadi tanggungjawab sepenuhnya dari setiap Pemerintah Daerah. Mengingat hampir seluruhnya dokumen RTRW sudah mendapatkan Persetujuan Subtansi (Persub) dari Kementerian Pekerjaan Umum melalui Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Hingga saat ini hanya tersisa 5 dokumen RTRW Kabupaten /kota yang masih dibahas di tingkat BKPRN (1,02 %) dan selanjutnya dapat diajukan untuk mendapatkan persetujuan subtansi dari Menteri Pekerjaan Umum. Diharapkan dibulan Oktober seluruh dokumen sudah selesai dibahas di BKPRN. 3.1.1.3. Ruang Lingkup Permasalahan RTRW Berdasarkan hasil rangkuman dari kegiatan kunjungan lapangan yang dilaksanakan oleh Komite I DPD RI terhadap permasalahan dalam penyelesaian atau penetapan Perda RTRW Provinsi, Kabupaten, dan Kota maka permasalahannya dapat diklasifikasikan menjadi 5 ruang lingkup yakni masalah usulan batas kawasan hutan menjadi area penggunaan air, masalah batas wilayah, masalah penetapan RTH, masalah komunikasi dan kendala administrasi. 1. Masalah Usulan Batas Kawasan Hutan Menjadi Area Penggunaan Lain (APL), merupakan salah satu masalah utama yang menjadi kendala dalam penetapan Perda RTRW. Usulan perubahan kawasan hutan sering kali menjadi penghambat belum ditetapkannnya Perda RTRW. Banyak daerah Provinsi mengaukan tata batas kawasan hutan yang baru, namun belum mendapat persetujuan Kementerian Kehutanan. Proses perubahan kawasan hutan menjadi APL ternyata membutuhkan waktu dan proses yang penjang dan cukup lama dan tidak jarang ditemui ketidaksesuaian pendapat antara daerah dengan Kementerian Kehutanan, akibatnya penetapan Perda RTRW Provinsi mengalami hambatan, dan dengan demikian akan menghambat proses penetapan Perda RTRW Kabupaten dan Kota di lingkup wilayah Provinsi tersebut. Implikasi dari proses perubahan kawasan hutan di atas adalah: • Keputusan Menteri tentang perubahan peruntukan kawasan hutan harus diintegrasikanoleh Gubernur dalam revisi rencana tata ruang wilayah provinsi untuk ditetapkan dalam peraturan daerah provinsi (Pasal 32 PP 10/2010) • Sesuai ketentuan Pasal 34 angka 2 PP 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, peruntukan kawasan hutan pada rencana tataruang wilayah kabupaten mengacu pada peruntukan kawasan hutan yang ditetapkan pada rencana tataruang wilayah provinsi. 2. Masalah Batas Wilayah. Permasalahan yang sering muncul adalah terdapat sengketa batas wilayah yang meliputi : 1) terdapat area yang tidak diklaim oleh dua daerah yang berbatasan; 2) terdapat area yang diklaim oleh dua daerah yang berbatasan; dan (3) terdapat ketidakselarasan guna lahan pada dua daerah yang berbatasan. Penyelesaian terhadap batas wilayah ini harus segera dituntaskan dengan tetap mengacu kepada Permendagri no.76 tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. 3. Masalah Penetapan RTH. Ketentuan penetapan Ruang Terbuka Hijau (RTH) mengacu kepada ketentuan Pasal 29 UU No.26 tahun 2007 tentang Proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) paling sedikit 30 (tigapuluh) persen dari luas wilayah kota. Hingga saat ini terdapat enam Kota yang masih terkendala RTH yaitu Kota Jambi, Kota Prabumulih, Kota Makassar, Kota Kotamobagu, Kabupaten Tabalong, dan Kabupaten Tapin terkait pemenuhan standar RTH perkotaan 30%. 4. Masalah Komunikasi. Ketentuan terkait dengan Pasal 28, pasal 33 dan Pasal 37 PP No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang untuk pengesahan Perda RTRW. Konflik kepentingan antara Lembaga Eksekutif dengan Lembaga Legeslatif di daerah menjadi isu sentral terkait seringnya perbedaan pandangan baik secara internal maupun eksternal yang meliputi : 1) Kurangnya good will pemerintah daerah untuk menuntaskan penyusunan perda RTRW; 2) Konflik internal stakeholder; 3) Perbedaan pandangan antara DPRD dan Pemda; dan 4) Pemerintah provinsi tidak mau mengevaluasi RTRW jika RTRW Provinsi belum di-perda-kan. 5. Kendala Administrasi, menjadi masalah yang juga ikut menghambat penetapan Perda RTRW. Terdapat beberapa permasalahan administrasi yang sering menjadi kendala penyelesaian perda seperti belum dianggarkannya RTRW dalam APBD, terbatasnya atau minimnya anggaran kegiatan penataan ruang di daerah serta lamanya jadwal pembahasan RTRW oleh DPRD. 3.1.1.4. Tantangan Kerja yang Semakin Berat Tahun 2014 Beban kerja untuk percepatan penetapan Perda RTRW pada tahun 2013 dapat diperkirakan akan semakin berat terkait dengan masa persiapan tahun politik 2014. Jika pada tahun 2013 ini berdasarkan data pekerjaan yang tersisa dari kegiatan percepatan penyusunan RTRW yang telah dilaksanakan pada tahun 2011 dan 2012.
949
Gambar 1. Perkiraan Beban Kerja Penyelesaian Perda RTRW Kabupaten/Kota Tahun 2013 Berdasarkan status penyelesaian RTRW pada 18 Oktober 2013 dapat dilihat bahwa: • Dari 33 provinsi yang ada, baru 17 RTRW provinsi yang sudah penetapan Perda dan 16 RTRW Provinsi masih pada tahap memperoleh Persetujuan Substansi. Dengan demikian, kegiatan percepatan penetapan Perda Provinsi akan menangani percepatan proses penetapan Perda untuk 16 provinsi. • Dari 491 kabupaten/kota, ada 313 kabupaten/kota yang RTRW-nya sudah di-Perdakan. • Dari 491 kabupaten/kota masih ada 5 kabupaten/kota yang masih berada pada tahap pembahasan BKPRN . Pada kabupaten/kota ini, pendampingan harus lebih intens karena proses yang harus ditempuh untuk mencapai penetapan Perda tinggal sedikit lagi, yaitu persetujuan subtansi dari Menteri Pekerjaan Umum dan penetapan Perda. • 173 RTRW kabupaten/kota yang sudah memperoleh Persetujuan Substansi harus segera memulai proses penetapan Perda. Jumlah ini cukup banyak, yaitu 35,85 % dari jumlah kabupaten/kota. 3.1.1.5. Tidak Ada Sanksi bagi daerah yg tidak menyelesaikan RTRWnya Salah satu kendala untuk mempercepat proses penyelesaian Penetapan RTRW di tingkat kabupaten/kota adalah tidak adanya sanksi khusus yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah yang hingga saat ini belum menetapkan perda RTRW-nya. Perlu dilakukan kajian dan pertimbangan apakah untuk mempercepat penyelesaian RTRW ini ditetapkanya ketentuan sanksi sebagai bentuk disinsetif kepada daerah yang belum memiliki Perda RTRW. Sebaliknya perlu juga dipertimbangkan bentuk insentif kepada daerah-daerah yang telah menetapkan Perda RTRW-nya tepat waktu. 3.1.2. Masalah Koordinasi Didalam Penetapan Rencana Tata Ruang di Pusat dan Daerah Mekanisme Koordinasi Bidang Penataan Ruang di daerah mengacu kepada ketentuan Kepmendagri No. 50 tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah. Mengacu kepada ketentuan ini setiap kepala daerah Provinsi/Kabupaten/Kota wajib membentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD). Selain ketentuan tersebut ketentuan lain yang menjadi acuan kegiatan penataan ruang adalah PP Nomor 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Fungsi Koordinasi dalam penyelenggaran penataan ruang dimaksudkan sebagai upaya mencapai suatu kesatuan sikap pandangan dan gerak langkah melalui kegiatan yang meliputi penentuan pembagian pekerjaan, hubungan kerja dan penyaluran tanggung jawab masingmasing unsur yang terlibat dalam penyelenggaraan suatu tugas untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dan/atau tumpang tindih. Selain ketentuan Terdapat beberapa hal yang menjadi kendala dalam penetapan Perda RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota terkait dengan sistem tata kelola secara nasional dan daerah. Kendala/ masalah yang dihadapi dalam pelakasanaan sistem ini antara lain sebagai berikut: 1) Kurangnya koordinasi antar pelaku terkait kepastian waktu penyelesaian semua kasuskasus yang dihadapi daerah dikarenakan belum semua wilayah memilki kapasitas kelembagaan yang kuat dan kurangnya informasi terkait mekanisme sistem kelola nasional di daerah. 2) Kurangnya koordinasi antar pelaku didaerah dan di pusat terkait dalam penyepakatan target penetapan Raperda RTRW.
950
3) Masih lemahnya strategi penyelesaian masalah di dalam RTRW Provinsi dan Kabupaten yang dilaksanakan oleh masing-masing sektor, khususnya pada sektor Kehutanan sehingga dinilai belum mampu menjawab tuntutan dan keinginan daerah yang terus menerus “memaksakan “ kehendaknya agar dapat dipenuhi. 4) Laporan/informasi yang diberikan oleh pihak pendamping (sektor) dari pusat yang diutus ke daerah tidak mampu memberikan gambaran yang tuntas dan jelas untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang dihadapi di daerah sehingga kapasitasnya tenggelam oleh tuntutan aspirasi melalui DPRD yang menginginkan semua aspirasi atas nama “rakyat” dapat dipenuhi. 3.1.3. Masalah Kualitas Substansi Dokumen RTRW yang telah Disusun Permasalahan yang dibahas di atas adalag permasalahan dalam konteks percepatan penyelesaian Perda RTRW di daerah (aspek kuantitas), dimana belum disinggung aspek kualitas substansi RTRW itu sendiri. Salah satu kelemahan dari dokumen RTRW yang ada adalah bahwa kebanyakan dokumen RTRW tersebut tidak dapat diimplementasikan atau tidak dapat menjadi acuan dalam pemanfaatan ruang. Kelemahan substansi yang ada adalah : (1) Tencana tata ruang yang ada lebih kepada legalisasi terhadap penyimpangan pemanfaatan ruang yang telah dilakukan pada masa sebelumnya; (2) Rencana tata ruang belum bersifat konprehensif, tetapi lebih bersifat sektoral/kegiatan pembangunan yang berbasis ruang; (3) Rencana tata ruang belum mengintegrasikan antara analisis data atribut dengan analisis data spasial, sehingga tidak jarang hasil analisis data atribut hanya dialokasikan ke dalam analisis spasial (peta), tanpa membawa informasi yang terkandung dalam analisis data atribut ke dalam data spasial seperti aspek daya dukung dan daya tampung ruang. Permasalahan kualitas substansi dokumen RTRW ini menjadi sangat penting untuk mengatasi permasalahan dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam arti dokumen RTRW tersebut dapat menjadi acuan dalam pembangunan. Salah satu rekomendasi yang dianjurkan adalah perbaikan dalam metodologi penyusunan RTRW. 3.2. Bidang Pemanfaatan Ruang Mengacu kepada Ketentuan Umum UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang dimaksud dengan Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program dan pembiayaannya. Program-program yang disusun didalam pemanfaatan ruang mengacu kepada sinergitas dengan rencana program sektoral, guna menghasilkan kegiatan yang bermanfaat dan saling mengisi guna tercapainya efisiensi dan efektifitas kegiatan dalam pemanfaatan ruang. Pengawasan terhadap pengawasan pemanfaatan ruang mengacu kepada ketentuan pasal 32 , 33 dan 34 UU No.26 tahun 2007 tentang pengaturan dan mekanisme tata cara pemanfaatan ruang. Sementara terkait sinergitas koordinasi antar sektor dalam program pemanfaatan ruang pengawasan mengacu kepada PP No.15 tahun 2010 pasal 110, pasal 115 dan 120 tentang program pemanfaatan ruang Provinsi, kabupaten dan kota. Didalam mewujudkan struktur ruang dan pola ruang serta penyusunan program sektoral terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaannya diantaranya adalah masalah kehutanan, penyediaan lahan pangan berkelanjutan, penyusunan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), pertambangan dan penyediaan lahan permukiman. 3.2.1. Masalah Kehutanan Hingga saat ini masalah kehutanan menjadi masalah utama penyebab terhambatnya penyelesaian Perda RTRW. Pihak Kementerian Kehutanan, relatif masih cukup lama untuk memberikan kepastian hukum atas SK Kehutanan yang akan dikeluarkan Menteri Kehutanan. Acuan yang dipergunakan oleh Kementerian Kehutanan adalah PP 10 tahun 2010 yang dirubah dengan PP 60 tahun 2012 dan Permenhut P.34/menhut-ii/2010 tentang Tata Cara Perubahan Status Fungsi Kawasan hutan. Penunjukan baru kawasan hutan ditetapkan dengan SK Menhut untuk setiap Provinsi. Akibat tuntutan perubahan fungsi hutan yang cukup banyak dari setiap daerah , pada beberapa daerah provinsi,kabupaten dan kota , menjadikan masalah kehutanan ini sebagai isu politik dalam pembahasan Perda RTRW. Masih banyak Pemda yang menuntut perubahan alih fungsi hutan dengan alasan demi kepentingan pembangunan dan masyarakatnya. Isu kehutanan dijadikan “sandera” politik, untuk menunda pembahasan perda RTRW. Dengan belum selesainya permasalahan batas kawasan hutan ini, maka di banyak daerah ditemui ketidakpastian pemanfaatan ruang seperti ditemuinya pemanfaatan ruang di dalam kawasan hutan untuk berbagai kegiatan di luar kegiatan sektor kehutanan, seperti : (1) untuk perkebunan; (2) untuk pertambangan; (3) untuk pembukaan tambak; (4) untuk permukiman; bahkan di beberapa daerah, ibu kota kabupaten (perkotaan) masih berstatus kawasan hutan. Dengan demikian permasalahan pemanfaatan ruang yang terkait dengan status kawasan hutan menjadi permasalahan utama penyelenggaraan penataan ruang dalam aspek pemanfaatan ruang di daerah.
951
REKAPITULASI PROGRES PERSETUJUAN SUBTANSI KEHUTANAN September 2013 Selesai
Kajian Internal Kemenhut
Kajian Tim Terpadu
(26 Provinsi)
(6 Provinsi)
(2 Provinsi)
16. 17. 18. 19. 20.
Ada Perubahan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Gorontalo Bengkulu Sumatera Barat Jambi *) Kalimantan Selatan Sulawesi Tenggara *) Papua Maluku Utara Kalimantan Tengah Sulawesi Barat *) Kep. Bangka Belitung *) Sulawesi Utara *) Kepulauan Riau *) Kalimantan Timur *) Sulawesi Tengah *)
Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Maluku Kalimantan Barat
21. Aceh 22. Papua Barat
3.2.2. Penyediaan Lahan Pangan Berkelanjutan. Penyediaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) sebagai amanat UU 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, demi kebijakan untuk mempertahankan cadangan pangan nasional hingga saat ini tidak mendapatkan respon yang positif dari daerah. Penyediaan lahan pangan berkelanjutan adalah amanat dari UU Penataan Ruang yang diwujudkan dalam pembentukan UU No.41 tahun 2009. Mengingat Undang-undang No.41 ini ditetapkan pada tahun 2009, banyak daerah yang tidak memasukan lahan cadangan pangan di dalam RTRW-nya dengan pertimbangan sudah menetapkan Perda RTRWnya. Sementara daerah lainnya belum menetapkan karena minimnya data tentang lahan pertanian yang direkomendasikan. Beberapa kabupaten/kota, tidak menetapkan kebijakan LP2B ini didalam Perda RTRWnya, atau mengalami kendala dalam penetapan Lahan LP2B, karena tidak mendapatkan dukungan kebijakan dari BPN dalam masalah sertifikasi lahannya. Selain masalah sertifikasi, masalah lain yang mengganjal implementasi kebijakan LP2B yang diamanatkan UU 41 tahun 2009 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari UU No.26 tahun 2007 ttg Penataan Ruang, masih minim dalam prakteknya. Data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2004 menunjukkan ancaman konversi lahan sawah untuk peruntukan lain yang masuk dalam rencana RTRW Provinsi maupun RTRW Kabupatan/Kota (Tabel 4). Dari data pada Tabel 4 di bawah, maka menurut RTRW KK, ada rencana alih fungsi lahan sawah yang merupakan LP2B sebesar 3,099 juta Ha. Hal ini perlu diantisipasi dalam proses penyesuaian RTRW yang masih berjalan saat ini Tabel 4. LuasSawah dan Rencana Alih Fungsi menurut RTRWKK (BPN, 2004) Pulau
LuasSawah Ha
NonIrigasi %
Ha
Irigasi Ha
Dirubah (RTRW) %
Ha
%
Sumatera
2.036.690
23,9
414.780
1.621.910
22,2
710.230
43,8
Jawadan Bali
3.933.370
44,2
542.120
3.391.250
44,4
1.669.600
49,2
Kalimantan
1.253.130
14,1
375.200
877.930
12,0
58.360
6,7
Sulawesi
982.410
11,0
124.270
858.140
11,7
414.290
48,3
NT & Maluku
566.100
6,4
67.050
499.050
6,9
180.060
36,1
Papua
131.520
1,5
65.060
66.460
0,9
66.460
100,0
8.903.220
100,0
1.588.480
7.314.740
82,2
3.099.000
42,4
Total
952
3.2.3. Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah amanat dari UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32 tahun 2009 yang mensyaratkan setiap penyusunan RTRW Kabupaten/kota harus memiliki dokumen KLHSnya. KLHS suatu rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/ atau program (UU No 32 Tahun 2009 tentang PPLH Pasal 1 angka 10). Landasan hukum KLHS yang harus menjadi dokumen wajib pendamping tata ruang adalah pada bagian kedua Pencegahan, Paragraf 1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis, pasal 14 sampai 19. Penyusunan KLHS tidak sepenuhnya diijalankan di setiap Kabupaten/kota, karena minimnya institusi yang mengawal atau memantau kegiatan penyusunan dokumen KLHS sebagai bagian dari Perda RTRW ini. Selain masalah minimnya institusi yang memantau, masalah keterbatasan anggaran yang harus disediakan oleh pemerintah daerah juga menjadi kendala dalam implementasinya. Perlu dilakukan inventarisasi terdapat keseluruhan dari Perda atau Raperda yang telah diusulkan agar memenuhi persyaratan KLHS, sebagai acuan bagi kebijakan untuk perlindungan dan keselamatan lingkungan. 3.2.4. Masalah Pertambangan Masalah pertambangan sangat erat kaitannya dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah (Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota). Dalam prakteknya, usaha kegiatan pertambangan masih banyak yang berjalan tanpa memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Berdasarkan kondisi yang ada banyak penyusunan rencana tata ruang yang tidak didukung dengan peta potensi deposit tambang atau data-data yang terkait aspek Regulasi Pertambangan; Penetapan Batas Wilayah dan Penetapan Kawasan Pertambangan. Masalah lain yang dihadapi terkait dengan masalah pertambangan antara lain: • Arsip pendataan terhadap perijinan dibidang kehutanan termasuk bidang pertambangan di beberapa wilayah terkadang tidak terdata sehingga kabupaten baru hasil pemekaran tersebut tidak terdaftar • Tidak adanya koordinasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam penentuan suatu areal yang akan dijadikan sebagai pencadangan wilayah arean suatu perijinan dibidang pertambangan sehingga mengakibatkan ijin lokasi yang diberikan tumpang tindih dengan perijinan lainnya. • Belum jelasnya tata batas atau peta penunjukan wilayah kabupaten, sehingga terjadi Kepala Daerah memberikan perijinan diluar wilayah kewenangannya, menjadi salah satu faktor terjadinya tumpang tindih perijinan. Dengan adanya kondisi yang demikian tersebut maka dampak implementasinya di lapangan adalah terjadi disharomonisasi dalam penerbitan perijinan, seperti contohnya: Belum serasinya antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW). Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan pertambangan di daerah perlu dilakukan pembenahan dalam tata kelola perijinannya. Mengingat hingga saat ini masih terdapat beberapa masalah terkait masalah konsesi ijin tambang yang tidak sepenuhnya dijabarkan dalam rencana tata ruang wilayah. Inventarisasi ini menjadi hal penting guna menghindari benturan kewenangan antar sektor terhadap perubahan peruntukan ruang dalam skala yang cukup luas. 3.2.5. Penyediaan Lahan Permukiman Amanat UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang mensyaratkan adanya pembangunan perumahan dalam satu hamparan belum sepenuhnya dimasukkan dalam RTRW. Perlu dikaji kembali sejauhmana antisipasi penyediaan lahan untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat. Mengingat jumlah kekurangan rumah (backlog) terus meningkat dari tahun ke tahun belum sepenuhnya diakomodir didalam rencana tata ruang, khususnya pada pencadangan lahan untuk perumahan di perkotaan. Pada tahun 2004 kekurangan rumah berjumlah 5,8 juta, tahun 2009 mencapai 7,4 juta dan tahun 2010 meningkat menjadi 13,6 juta. Setiap tahun, jumlah permintaan rumah meningkat sebanyak 900.000 unit dengan kemampuan membangun yang hanya 200.000 unit. Dengan kata lain, terjadi kekurangan 700.000 unit rumah tiap tahunnya. Dengan hitung-hitungan tersebut, diperkirakan jumlah backlog di Indonesia pada saat ini telah mencapai 15 juta unit.Tingginya kebutuhan rumah saat ini belum menjadi prioritas pada rencana tata ruang khususnya pada kawasan perkotaaan yang sudah menetapkan cadangan bagi penyediaan lahan untuk perumahan. 3.3. Bidang Pengendalian Tata Ruang Kegiatan pengendalian menurut ketentuan UU Penataan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Bentuk pengawasan yang dilakukan mengacu
953
kepada ketentuan Pasal 35 tentang pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi. 3.3. 1. Kelengkapan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi. Pasal yang mengatur tentang kewajiban Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota untuk menyusun RDTR dan peraturan Zonasi adalah Pasal 36 UU Penataan Ruang. taetapi hingga saat ini dari seluruh 491 Kabupaten/kota di seluruh Indoneseia belum memiliki Perda tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi sebagai alat /instrument yang akan digunakan untuk memberi perijinan dan pengawasan dalam pemanfaatan ruang secara lebih akurat. RDTR dan Peraturan Zonasi adalah kelengkapan sistem aturan yang harus tersedia guna menjadi pedoman dalam pengendalian tata ruang. Untuk mempercepat penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi dalam bentuk perda perlu dilakukan upayaupaya peningkatan kapasitas kelembagaan dan sosialisasi kegiatan penataan ruang di daerah, agar penetapan Perda RDTR dan Peraturan Zonasi ini tidak menimbulkan konflik baru dengan masyarakat karena terkait hak-hak property right yang melekat pada setiap individu. Hal lain yang menghambat penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi adalah ketersediaan peta dalam skala 1 : 5000, yang sangat dibutuhkan sebagai peta dasar dalam perencanaannya. Keterbatasan ketersediaan peta akan menjadi kendala besar dalam menyusun RDTR dan Peraturan Zonasi. Dibutuhkan dukungan Badan Informasi Geospatial (BIG) untuk mendukung percepatan penyediaan peta dasar bagi daerahdaerah yang akan segera menyusun RDTRnya. 3.3.2. Mekanisme Perijinan Ketentuan yang mengatur masalah perijinan adalah Ketentuan Pasal 37 UU Penataan Ruang yang mengarahkan penyusunan perijinan yang harus mengacu kepada ketentuan perundang-undangan. Perijinan yang dikeluarkan dan diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar batal demi hukum. Masalah dalam kegiatan perijinan dibidang penataan ruang, adalah terkait dengan keterbukaan sistem informasi. Hingga saat ini banyak dokumen tata ruang yang sudah diperdakan tidak disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga masyarakat banyak yang tidak memahami tata ruang dan mengalami kesulitan dalam proses permohonan ijin. Selain mekanisme perijinan, pelanggaran dalam bentuk “tidak memiliki” izin kegiatan, atau izin membangun saat ini marak terjadi didaeradaerah. Hal-hal yang perlu dilakukan dan ditingkatkan dalam penyelenggaraan tata ruang yang terkait dengan perijinan adalah bidang pengawasan yang masih sangat lemah. Bidang pengawasan saat ini hanya terkait dengan aspek bangunan, belum terkait dengan pengawasan terhadap bentuk peruntukan lainnya. Terkait dengan mekanisme perijinan dalam pemanfaatan ruang yang masih sangat lemah, maka dampaknya adalah hampir seluruh konplik yang terjadi di masyarakat sebagian besar terkait dengan konflik pemanfaatan ruang. 3.3.3. Pemberian Insentif dan Disinsentif Ketentuan yang mengatur masalah insentif dan disinsentif mengacu kepada Pasal 38 UU Penataan Ruang, yang dapat diberikan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. Pengaturan terkait insentif dan disinsentif saat ini hanya masih dalam bentuk ‘normatif”, belum banyak daerah yang dapat menjalankan kebijakan insentif karena kendala ketidakpahaman terkait aturannya dan benturan dengan ketentuan UU lain, misalnya dengan UU Perpajakan. UU tata ruang belum bersinergi dengan UU perpajakan. Insentif yang diusulkan masih sangat terkait dengan masalah fiskal, sementara dalam bentuk bantuan infrastrtuktur, bantuan-bantuan sosial ekonomi pada masyarakat yang masih mempertahankan Ruang Terbuka Hijau (RTH) atau kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) masih sangat minim dilakukan karena pertimbangan anggaran yang terbatas. 3.3.4. Pemberian Sanksi Pengenaan sanksi dalam pelanggaran terhadap tata ruang mengacu kepada ketentuan Pasal 39 UU Penataan Ruang, berupa tindakan penertiban yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi. Kebijakan pemberian sanksi hukuman dalam penataan ruang, masih terkait dengan masalah perijinan bangunan. Belum ada kejadian pemberian sanksi kurungan hukuman badan atau penggantian materi kerugian secara sosial dan ekonomi terhadap pelanggar dibidang tata ruang. Pemberian sanksi rendah implementasinya karena lemahnya unsur pengawasan dan minimnya pengaduan yang diberikan oleh masyarakat terhadap kejadian pelanggaran atas tata ruang. Minimnya pengaduan dari masyarakat, disebabkan hingga saat ini mekanisme bagaimana prosedur pengaduan belum melembaga di tingkat kabupaten dan kota.
954
BAB IV REKOMENDASI Berdasarkan masukan dari hasil kunjungan lapangan dan berbagai kajian yang telah dilakukan terhadap penyelenggaraan penataan ruang maka terdapat beberapa rekomendasi yang harus diperhatikan dalam peningkatan dan perbaikan penyelenggaraan kegiatan penataan ruang mencakup Bidang Pembinaan, Peran Masyarakat dan Mekanisme Pelaksanaan. 4.1. Bidang Pembinaan Untuk bidang pembinaan, maka hal-hal yang direkomendasikan terkait dengan berbagai permasalahan tersebut di atas adalah sebagai berikut: 1) Aspek pembinaan terhadap kelembagaan penyelenggaran penataan ruang masih sangat kurang mendapatkan perhatian, baik untuk kalangan pemerintah ataupun ditingkat masyarakat . Perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan pembinaan maupun pelatihan, khususnya pada wilayah di luar Pulau Jawa, seperti wilayah Indonesia Bagian Timur. 2) Perlu dilakukan upaya peningkatan kegiatan sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman terhadap produk peraturan Perundang-undangan Bidang Penataan Ruang kepada masyarakat dan instansi terkait, khususnya terhadap Perda RTRW yang telah ditetapkan. 3) Perlu peningkatkan sinergi antara kebijakan rencana tata ruang dan rencana pembangunan, (RTRW dan RPJMD) khususnya pada rencana sektor untuk membangun sinergitas dan harmonisasi dalam pemanfaatan ruang. 4) Perlu peningkatan peran BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah) untuk mengatasi masalah konflik di penataan ruang. 5) Perlu dilakukan peningkatan koordinasi antar instansi terkait dengan masalah perijinan dengan kegiatan yang mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan peruntukan ruang. 6) Peningkatan jumlah tenaga PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) bidang penataan ruang yang sudah mendapatkan pelatihan. Diperlukan jumlah PPNS untuk meningkatkan fungsi pengawasan dan penyidikan atas penyimpangan terhadap pelanggaran dibidang penataan ruang. 7) Perlu peningkatan anggaran terhadap penyelenggaraan penataan ruang pada wilayah – wilayah yang mengalami peningkatan pemanfaatan ruangnya dan didukung dengan aspek pengendalian yang handal. 4.2. Peran Masyarakat Terkait dengan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang di daerah direkomendasikan hal-hal sebagai berikut : 1. Mekanisme pengaduan dari masyarakat terhadap penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang, belum terbentuk proses pengaduannya. Perlu ditetapkan fungsi kelembagaan manakah di daerah yang diberikan amanat untuk menerima pengaduan dan melakukan tindak lanjutnya untuk menyelesaikan masalah tata ruang. 2. Peningkatan perkembangan Sistem Informasi dan Komunikasi Penataan Ruang kepada masyarakat. Penyelenggaran penataan ruang didaerah saat ini belum sepenuhnya didukung dengan sistem informasi yang layak dan belum banyak tersedia website tentang Penataan Ruang. 3. Diperlukan penyusunan tentang Standar Pelayanan Minimal bidang Penataan Ruang yang saat ini masih minim diberlakukan. 4.3. Mekanisme Pelaksanaan Dalam mekanisme pelaksanaan direkomendasikan sebagai berikut: 1) Diperlukan adanya sinkronisasi program yang dilakukan antar rencana sektor/SKPD dengan rencana tata ruang, sehingga dapat dihindari terjadinya penyimpangan dalam pemanfaatan ruang. 2) Diperlukan pemetaan terhadap aturan regulasi yang terkait dengan pemanfaatan antara lain terhadap : • UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara; • UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah; • UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan; • UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem; • UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; • UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang; 3) Diperlukan adanya forum konsultasi atau forum bersama untuk membahas kesulitankesulitan dalam mengimplementasikan rencana tata ruang. 4) Peningkatan anggaran bidang penataan ruang yang diberikan dalam APBD Provinsi, Kabupaten dan Kota. Saat ini anggaran penataan ruang khususnya bidang pengendalian masih sangat minim dan belum mencukupi untuk kebutuhan pelaksanaan kegiatan penataan ruang di daerah. 5) Sebelumnya Dewan Perwakilan Daerah pernah merekomendasikan RevisiUndang-
955
UndangNomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah merupakan suatu keharusan. Apabila upaya percepatan, baik terhadap pembentukan Peraturan-Peraturan Pemerintah maupun terhadap proses pengesahan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah sulit dilakukan, maka Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang harus direvisi. Namun kemudian rekomendasi ini berubah menjadi pengawasan. Hal ini perlu dicermati, walau sdh terdapat kemajuan dalam penyesuaian dan penyusunan Perda RTRW, tapi masih banyak yang belum selesai. 6) Diperlukan koordinasi untuk mengevaluasi kebijakan Penyelenggaraan Penataan Ruang guna mensinergikan kembali dengan kebijakan-kebijakan strategis yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Sektor yang terkait dengan tata rauang, seperti pencadangan lahan pertanian, penyediaan lahan permukiman, dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) . 7) Diperlukan penguatan fungsi kelembagaan terkait masalah pengawasan dalam penataan ruang khususnya pada mekanisme fungsi pelaporan dan tindakan sanksi atas pelanggaran yang masih minim didalam praktek penyelenggaraan penataan ruang. 4.4. Sinkronisasi Terhadap Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan Undang-Undang Terkait. Mengagendakan DPD RI khususnya Komite I untuk melaksanakan pengawasan terhadap sinkronisasi pelaksanaan Undag-Undang Nomor 26 tahun 2007 dalam konsteks Undang-Undang terkait dengan mengambil wilayah Jabodetabekjur dan sekitarnya sebagai sampel dalam implementasi.
956
BAB V PENUTUP Demikian Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Terhadap Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Hasil pengawasan ini disahkan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia ke - 6 dan selanjutnya disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti sesuai mekanisme dan ketentuan perundang-undangan. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada Bangsa dan Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN Ketua,
H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA Wakil Ketua,
Wakil Ketua,
GKR. HEMAS
Dr. LAODE IDA
957
Lampiran : PERKEMBANGAN PENYELESAIAN PERSETUJUAN/PENETAPAN PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PROVINSI No.
PROVINSI
PERSETUJUAN /PENETAPAN MENHUT
Keterangan
1
Lampung
S.519/Menhut-VII/2009
06/07/2009
Selesai
2
NTB
S.727/Menhut-VII/2009
14/09/2009
Selesai
3
Bali
S.728/Menhut-VII/2009
14/09/2009
Selesai
4
D.I Yogyakarta
S.932/Menhut-VII/2009
11/12/2009
Selesai
5
Jawa Tengah
S.933/Menhut-VII/2009
11/12/2009
Selesai
6
Jawa Barat
S.276/Menhut-VII/2010
10/06/2010
Selesai
7
Banten
S.277/Menhut-VII/2010
10/06/2010
Selesai
8
Jawa Timur
S.581/Menhut-VII/2010
11/11/2010
Selesai
9
NTT
S.5/Menhut-VII/2011
03/01/2011
Selesai
10
DKI Jakarta
S.97/Menhut-VII/2011
03/03/2011
Selesai
11
Sulawesi Selatan
SK.434/Menhut-II/2009
23/07/2009
Selesai
12
Gorontalo
SK.324/Menhut-II/2010
25/05/2010
Selesai
13
Bengkulu
SK.643/Menhut-II/2011
10/11/2011
Selesai
14
Sumatera Barat
SK.141/Menhut-II/2012
15/03/2012
Selesai
15
Jambi
SK.727/Menhut-II/2012
10/12/2012
Selesai (Bagian berproses di DPR)
16
Kalimantan Selatan
SK.435/Menhut-II/2009
23/07/2009
Selesai
17
Sulawesi Tenggara
SK.465/Menhut-II/2011
09/08/2011
Selesai (Bagian berproses di DPR)
18
Papua
SK.458/Menhut-II/2012
15/08/2012
Selesai
19
Maluku Utara
SK.490/Menhut-II/2012
05/09/2012
Selesai
20
Kalimantan Tengah
SK.529/Menhut-II/2012
25/09/2012
Selesai
21
Sulawesi Barat
SK.726/Menhut-II/2012
10/12/2012
22
Bangka Belitung
SK.798/Menhut-II/2012
27/12/2012
23
Sulawesi Utara
SK.434/Menhut-II/2013
17/06/2013
24
Kepulauan Riau
SK.463/Menhut-II/2013
27/06/2013
25
Kalimantan Timur
SK.554/Menhut-II/2013
02/08/2013
26
Sulawesi Tengah
SK.635/Menhut-II/2013
24/09/2013
27
Maluku
Finalisasi Persetujuan
-
-
28
Sumatera Utara
Finalisasi Persetujuan
-
-
29
Kalimantan Barat
Finalisasi Persetujuan
-
-
30
Sumatera Selatan
Finalisasi Persetujuan
-
-
31
Riau
Finalisasi Persetujuan
-
-
32
Aceh
Kajian Timdu
-
-
33
Papua Barat
Kajian Timdu
-
-
958
Selesai (Bagian berproses di DPR) Selesai (Bagian berproses di DPR) Selesai (Bagian berproses di DPR) Selesai (Bagian berproses di DPR) Selesai (Bagian berproses di DPR) Selesai (Bagian berproses di DPR)
DPCLS
DPCLS
DPCLS DPCLS DPCLS DPCLS DPCLS DPCLS