DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59/DPD RI/III/2012-2013 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN EKONOMI KHUSUS
JAKARTA 2013
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59/DPD RI/III/2012-2013 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: a. bahwa penyelenggaraan perekonomian secara khusus adalah bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mengutamakan potensi sumberdaya nasional yang dimiliki dengan tujuan mewujudkan masyarakat adil, makmur dan, sejahtera berdasarkan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; b. bahwa untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah ditengah persaingan regional maupun global maka pembentukan kawasan ekonomi khusus diwujudkan untuk mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pengembangan ekonomi nasional; c. bahwa dalam pelaksanaan kawasan ekonomi khusus, diperlukan pengawasan yang terintegritas dari berbagai pemangku kepentingan sehingga tujuan kawasan ekonomi khusus dapat tercapai secara optimal; d. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama; e. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d diatas, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugasnya telah melakukan pengawasan atas pelaksanaan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus; f. bahwa hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada huruf e telah disampaikan dan diputuskan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti; g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f perlu menetapkan Keputusan
293
Mengingat
: 1. 2.
3.
4. 5. 6. .
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus; Pasal 22D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043); Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah; Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2/ DPD/2005 tentang Pedoman Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Tertentu; Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-11 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Masa Sidang III Tahun Sidang 2012-2013 Tanggal 28 Maret 2013 MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERTAMA
:
KEDUA
:
KETIGA
:
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN EKONOMI KHUSUS Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Isi dan rincian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA, disusun dalam naskah terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Maret 2013 PIMPINAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA, Ketua,
H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.
294
Wakil Ketua,
Wakil Ketua,
GKR. HEMAS
DR. LAODE IDA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59/DPD RI/III/2012-2013 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN EKONOMI KHUSUS BAGIAN I PENDAHULUAN A.
PENGANTAR Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 diterbitkan berdasarkan pertimbangan bahwa (a) masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus diwujudkan melalui penyelenggaraan pembangunan perekonomian nasional berdasar atas demokrasi ekonomi; (b). bahwa untuk mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah dalam kesatuan ekonomi nasional, perlu dikembangkan Kawasan Ekonomi Khusus; (c). bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, ketentuan mengenai Kawasan Ekonomi Khusus diatur. Salah satu instrumen kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk mengurangi laju pengangguran dan kemiskinan adalah penanaman modal dalam negeri dan asing yang dikelola dalam suatu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Pada Pasal 2 disebutkan bahwa KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional.
Gambar 1. Pemanfaatan Lahan dalam Struktur Tataruang (Nurlambang,FMIPA UI)
295
Dalam sudut pandang geografi, pemanfaatan lahan secara ekonomis terbagi dalam dua sudut pandang yakni kepentingan makro geoekonomi yang melibatkan unsur-unsur kebijakan lahan, struktur kota/daerah dan rencana pemanfaatan lahan. Sedangkan kepentingan mikro geopemasaran meliputi pemanfaatan lahan untuk lokasi usaha, kawasan industri dan permukiman. Oleh karena suatu KEK merupakan geoeknomi yang memiliki keunggulan yang dapat menampung aktivitas ekonomi bernilai tambah dan berdaya saing tinggi, maka pemahaman atas kedua sudut pandang tersebut seyogyanya tercermin dalam penetapan kritera-kriteria KEK. Perbedaan utama KEK dengan kawasan ekonomi lainnya, selain kemudahan yang diberikan adalah peranan Pemerintah Daerah, baik dalam pengelolaannya maupun dalam penyediaan infrastruktur dan lahan. Hal itu menyebabkan perlunya kerjasama PemerintahSwasta melalui mekanisme Public-Private Partnership dalam pengelolaan KEK, yang membutuhkan ketersediaan alokasi dana sangat besar. Hasil studi dari beberapa negara menunjukkan, KEK yang sepenuhnya dikelola oleh swasta memperlihatkan kemajuan yang lebih besar dibandingkan yang dikelola oleh Pemerintah. Dengan dukungan instruksi Presiden mengenai pelaksanaan pembangunan dilakukan dengan pola pembiayaan pembangunan sistem ini akan mengurangi beban pembiayaan yang ditanggung Pemerintah sekaligus memberikan kesempatan bagi pihak swasta maupun BUMN untuk ikut berperan secara optimal dalam pembangunan daerah. Secara historis, KEK telah diatur oleh beragam Peraturan, seperti terlihat dalam Tabel 1 berikut ini. Tantangan dalam pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus tercantum dalam RPJMN 2010-2014, yang menargetkan pembentukan 5 lokasi Kawasan Ekonomi Khusus di tahun 2014. Dari lima lokasi tersebut, baru dua lokasi yang ditetapkan Pemerintah yakni Sei Mangke di Provinsi Sumatera Utara dan Tanjung Lesung di Provinsi Banten. Dua lokasi menyusul adalah Kota Palu di Provinsi Sulawesi Tengah dan Kota Bitung di Provinsi Sulawesi Utara, kedua lokasi ini sudah masuk pembahasan Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus. Tabel 1. Ringkasan Undang-undang dan Peraturan tentang Kawasan Ekonomi Khusus Landasan Hukum UU NO.4 /1970
PP No. 33/1996 Menjadi PP No.32/2009 Keppres No 41/1996 menjadi PP No. 24 /2009 Keppres Pembentukan Kapet No. 26/2007 UU No 37/2000 PP No 46, 47, 48 Tahun 2008 UU No. 39/2009: KEK Perpres No. 33/2010: Dewan Nasional dan Dewan KEK Keppres No. 8/2010 Dewan Nasional KEK PP No. 29/2012 KEK Sei Mangke Keppres No. 40/2012 Dewan Nasional KEK Sumatera Utara Keppres No 41/ 2012 KEK Provinsi Banten
Substansi 1. Tahun 1970 Pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas 2. Tahun 1972 Kawasan Berikat (Bounded Warehouse) 3. Tahun 1989 dikembangkan Kawasan Industri. 4. Tahun 1996 dikembangkan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Kawasan dengan batas tertentu untuk pengolahan barang asal impor dan DPIL yang hasilnya untuk tujuan ekspor, yakni Kawasan Berikat di 7 Lokasi Kawasan pemusatan kegiatan industri yang dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri sejumlah 86 Lokasi Kawasan yang memiliki potensi cepat tumbuh, sektor unggulan dan potensi pengembalian investasi yang besar sejenis Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) sejumlah 13 Lokasi. Kawasan dengan batas tertentu yang terpisah dari daerah pabean sehingga terbebas dari bea masuk, PPN, PPnBM dan cukai, sejenis Free Trade Zone sejumlah 4 lokasi. Kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah NKRI untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian yang bersifat khusus dan memperoleh fasilitas tertentu. Terdapat 50 pengusul Kawasan Ekonomi Khusus dari 27 Provinsi, yang telah disetujui salahsatunya Sei Mangke di Sumatera Utara dan Provinsi Banten.
Sumber: Modifikasi dari Hasil Olahan Deputi Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2010. Pemerintah Daerah Kabupaten Donggala melalui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Donggala Tahun 2011–2031 yang mengatur pemanfaatan wilayah dalam beberapa kawasan yang mendatangkan manfaat ekonomi kedalam KEK dan melibatkan peran serta aktif masyarakat dari mulai perencanaan hingga pelaksanaan dari pembagian zonasi tata ruang wilayah Donggala hingga Tahun 2031.
296
Provinsi Kalimantan Barat mendapat prioritas untuk membangun empat kawasan ekonomi khusus dengan pusat ekonomi di Pontianak. Pembangunan kawasan ekonomi khusus itu bertujuan untuk memberikan nilai tambah bagi sumber daya alam yang melimpah di Kalimantan Barat, selain juga untuk mempercepat dan memperluas pembangunan. Adapun Pemerintah Daerah lainnya yang sudah mengajukan KEK adalah Biak Numfor (Papua), Sorong (Papua Barat), Manado-Bitung (Sulawesi), Jawa Timur, Dumai (Riau), Batam-Bintan- Karimun (Kepri), Medan-Deli (Sumut), Makassar-Maros, Sungguminasa, Takalar (Sulsel), Gemopolis-Lamongan (Jatim), dan Kedung Semar (Jateng). Provinsi Kalimantan Timur akan membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Kabupaten Kutai Timur dan kawasan ini khususnya Kalimantan Timur masuk dalam ALKI II yang akan menghubungkan kawasan ekonomi terintegritas untuk kawasan Asia Pasifik. Gambar2.
Kedudukan Kawasan Ekonomi Khusus dalam Koridor Ekonomi MP3EI, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011 Perlu menjadi pemahaman bersama bahwa Kawasan Ekonomi Khusus (Special Economic Zone) yang diatur dalam UU No 39 Tahun 2009, meliputi kawasan khusus Free Trade Zone, yakni kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Free Trade Zone diatur dalam peraturan perundang-undangan yakni UU No 44 Tahun 2007 jo UU No 36 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas jo PP No 46 s.d No 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan dan Karimun. Dengan berlakunya UU No 39 Tahun 2009, tidak terjadi lagi pembentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. B.
TUJUAN Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus merupakan dasar hukum Ketentuan Kawasan Ekonomi Khusus dalam undang-undang ini mencakup pengaturan fungsi, bentuk, dan kriteria Kawasan Ekonomi Khusus, pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus, pendanaan infrastruktur, kelembagaan, lalu lintas barang, karantina, dan devisa, serta fasilitas dan kemudahan. Sehingga UU No 39 Tahun 2009 diharapkan mampu memfungsikan Kawasan Ekonomi Khusus untuk melakukan dan mengembangkan usaha di bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi, maritim dan perikanan, pos dan telekomunikasi, pariwisata, dan bidang lain. Pelaksanaan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus adalah dalam rangka menjaga agar norma, tujuan dan visi-misi yang hendak dicapai dapat terwujud secara terencana dan terukur, agar masyarakat dan bangsa Indonesia merasakan dampak positif lahir dan ditegakkannya peraturan perundang-undangan dimaksud. Adanya penegakan dan pengawasan terhadap sebuah produk hukum tersebut bermakna adanya upaya memberikan jaminan hak-hak setiap warga negara dan terpenuhinya tujuan-tujuan yang digariskan oleh produk hukum dimaksud.
C.
OBJEK Objek pengawasan pelaksanaan undang-undang yang dilakukan Komite II DPD RI adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus.
D.
LANDASAN HUKUM PENGAWASAN Fungsi pengawasan DPD RI dilaksanakan berdasarkan pada aturan-aturan yuridis, sebagai berikut;
297
1. 2. 3.
4. 5. 6.
Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); Pasal 146 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043); Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah; Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/ DPD/2007tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2/DPD/2005tentang Pedoman Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Tertentu.
E.
MEKANISME 1. Pasal 224 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 menegaskan bahwa salah satu tugas dan wewenang DPD RI adalah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama. Oleh karena itu, DPD RI memiliki kewenangan untuk menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang tertentu dalam rangka melakukan monitoring/pemantauan atas pelaksanaan undangundang tertentu; 2. Ada pun mekanisme pengawasan tersebut dilaksanakan melalui penyerapan aspirasi dan menampung pengaduan masyarakat dan daerah serta kunjungan kerja ke beberapa daerah termasuk melakukan dialog langsung dengan konstituen dan masyarakat umum di daerah. Secara teknis prosedural hal tersebut dilakukan lewat wawancara atau dialog, Rapat Dengar Pendapat, Diskusi kelompok terfokus baik dengan instansi pemerintah daerah, organisasi di daerah, dan elemen masyarakat yang menjadi subjek pengawasan serta melakukan kunjungan langsung ke lokasi terkait.
F.
ANGGARAN Seluruh biaya atas kegiatan dan upaya pengawasan pelaksanaan undang-undang ini dibebankan kepada Anggaran Rutin DPD RI yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
298
BAGIAN II KESIMPULAN PENGAWASAN A.
HASIL PENGAWASAN Berdasarkan temuan-temuan dan hasil kunjungan kerja ke beberapa daerah atas pengawasan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus, dapat dirumuskan hasil pengawasan sebagai berikut; 1. Kriteria Kawasan Ekonomi Khusus yang tersebut dalam Pasal 3 adalah: (1) KEK terdiri atas satu atau beberapa Zona, yakni: (a). pengolahan ekspor; (b). logistik; (c). industri; (d). pengembangan teknologi; (e). pariwisata; (f). energi; dan/atau (g). ekonomi lain. (2) Di dalam KEK dapat dibangun fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. (3) Di dalam setiap KEK disediakan lokasi untuk usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), dan koperasi, baik sebagai Pelaku Usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada di dalam KEK. Aspirasi masyarakat: Enam bentuk kawasan yakni (a). kawasan industri (UU No 5/1984 Pasal 20 dengan PP no 24/2009 dalam kewenangan Kementerian Perindustrian), (b) kawasan berikat (UU No 17/2006 Pasal 1 dengan PP No 32/2009 dalam kewenangan Kementerian Keuangan), (c) kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas atau free trade zone (UU no 36/2000 dan UU no 44/2007 dengan PP No 46, 47, 48 Tahun 2007 dalam kewenangan Kementerian Perdagangan), (d) kawasan pengembangan ekonomi terpadu (Keppres No 89/1996 diubah dengan Keppres No 150/2000 dalam kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum), (e) kawasan khusus, misalnya kawasan pariwisata dan kawasan industri kecil (UU No. 32/2004 dengan PP No 43/2010 dalam kewenangan Kementerian Dalam Negeri). Semua kawasan tersebut dapat ditingkatkan statusnya menjadi (f) Kawasan Ekonomi Khusus (UU No. 39 Tahun 2009) agar mendapat fasilitas dan kemudahan berupa insentif fiskal, insentif kebijakan dan kemudahan untuk memperoleh Hak Atas Tanah, serta jaminan kepastian hukum yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Dalam Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang MP3EI, disebutkan bahwa pengembangan KEK yang disertai dengan penguatan konektivitas antara pusat pertumbuhan ekonomi dengan lokasi kegiatan ekonomi serta infrastruktur pendukungnya, secara keseluruhan menciptakan Koridor Ekonomi Indonesia. Semestinya dengan berlakunya UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus, diharapkan terdapat satu kesatuan pengaturan mengenai kawasan khusus di bidang ekonomi yang ada di Indonesia. Namun, di beberapa Provinsi dan Kabupaten/Kota yang memiliki: 1) Wilayah perbatasan (Aruk dan Entikong daerah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat, Bolok dan Mbai daerah perbatasan Indonesia-Timor Leste di Nusa Tenggara Timur); 2) Kota pantai (Sabang di Nanggroe Aceh Darussalam, Marunda di DKI Jakarta, Morotai dan Banda di Kepulauan Maluku), kawasan pariwisata (Mandalika di NTB), kawasan industri (Kota Palu Sulawesi Tengah, Donggala di Sulawesi Tenggara, Tanjung Merah-Bitung di Sulawesi Utara); 3) Lingkungan industri kecil (Kendal di Jawa Tengah); 4) Koridor Ekonomi-MP3EI Kutai Timur dengan luasan mencapai 32,8 ribu hektar dan memiliki Alur Laut Kepulauan Indonesia II (ALKI II) Hingga saat ini penetapan kawasan-kawasan tersebut belum mendapat persetujuan dari Dewan Nasional KEK dan belum diterbitkan Keppres penetapannya, berpengaruh pada masa pembangunan yang harus diselesaikan dalam kurun waktu 36 bulan. Pemerintah Daerah telah melakukan kajian kelayakan kawasan-kawasan tersebut agar statusnya ditingkatkan menjadi KEK dalam kesatuan Koridor Ekonomi–MP3EI. 2. Pasal 4 UU No. 39 Tahun 2009 disebutkan bahwa persyaratan utama pengusulan Kawasan Ekonomi Khusus ini adalah : (a) sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak berpotensi mengganggu Kawasan Lindung, (b) terletak pada posisi yang dekat dengan jalur perdagangan/pelayaran Internasional, (c) mempunyai batas yang jelas, serta (d) Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota mendukung Kawasan Ekonomi Khusus. Sedangkan ketentuan luas minimum tidak dicantumkan, guna membuka peluang bagi pengembangan kawasan ekonomi yang berbasis teknologi tinggi atau teknologi informasi, seperti technopark, IT Center, dan sebagainya. Aspirasi Masyarakat: Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung lesung yang terletak di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten dengan Jarak dari Jakarta sekitar 180 Km. Terletak antara ikon wisata Provinsi Banten yakni Gunung Krakatau dan Taman Nasional Ujung Kulon, sesungguhnya tidak berada tepat pada jalur perdagangan internasional. Namun, karena usulan KEK Tanjung Lesung ini berasal dari Badan Usaha, dikuatirkan Kawasan Ekonomi Khusus justru menjadi jalan lapang bagi investasi asing untuk mengeruk sumber daya alam Indonesia, sedang kemanfaatan dan keuntungan yang diperoleh bagi masyarakat
299
3.
4.
5.
6.
7.
300
sekitar tidak sebanding dengan kerusakan alam yang ditimbulkan, akibat pengelolaan dengan argumen Kawasan Ekonomi Khusus. Sesuai dengan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi, dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional antara pengusaha bermodal besar, UMKM dan Koperasi. Pasal 5 ayat (1) tentang Pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus diusulkan kepada Dewan Nasional oleh Badan Usaha, Pemerintah kab/kota, atau Pemerintah provinsi. Aspirasi Masyarakat: Keberadaan badan usaha (swasta) diperbolehkan membentuk Kawasan Ekonomi Khusus, artinya hanya pemilik-pemilik modal besar yang mendapatkan kesempatan dalam pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus. Terlebih lagi Kawasan Ekonomi Khusus ini memang sengaja dibangun bertujuan untuk menarik investasi asing dengan berbagai fasilitas infrastruktur yang lengkap dan modern, serta insentif fiskal yang menarik. Kondisi ini tentu hanya menguntungkan pemodal besar baik dari dalam maupun luar negeri. Pasal 10 ayat (1): “Berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota menetapkan Badan Usaha untuk membangun KEK sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ayat (2): “Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh: a. pemerintah provinsi dalam hal lokasi KEK berada pada lintas kabupaten/ kota; dan b. pemerintah kabupaten/kota dalam hal lokasi KEK berada pada satu kabupaten/kota”. Aspirasi Masyarakat: Pembangunan infrastruktur dasar dalam Kawasan Ekonomi Khusus yang meliputi infrastruktur air, listrik, gas, sarana dan prasarana jalan dan pelabuhan, pasar, dan fasilitas sosial lainnya, merupakan kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi bila KEK berada pada lintas kabupaten/kota atau Pemerintah Kabupaten/Kota dalam hal loasi KEK berada pada satu kabupaten/kota. Penyediaan infrastruktur dasar tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai aspek finansial, melainkan merupakan subsidi investasi pemerintah yang kemanfaatannya berupa penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga, alokasi dana pembangunan KEK di Provinsi atau Kabupaten/kota adalah paduan dana APBN dan APBD dan kemitraan dengan BUMN/BUMD. Khusus alokasi APBN, prioritas untuk pembangunan infrastruktur dasar air dan listrik di wilayah pelosok. Makin terisolasi suatu kawasan, maka insentif pendanaan infrastrukturnya oleh APBN makin besar. Akibat dari permasalahan tersebut, kawasan yang semula dipilih menjadi KEK, menjadi wilayah lahan tidur yang tidak memiliki daya tarik investor untuk melakukan aktivitas ekonomi yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Pasal 16 tentang Dewan Nasional pada ayat (1): “diketuai oleh Menteri yang menangani urusan Pemerintahan di bidang perekonomian dan beranggotakan Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintahan non Kementerian”. Aspirasi Masyarakat: Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus belum melibatkan KADIN berpartisipasi dalam penyelenggaraan pengembangan KEK, menyusun Rencana Induk Nasional KEK dan memberikan rekomendasi pembentukan atau peningkatan status kawasan-kawasan yang tersebut di poin 1 menjadi Kawasan Ekonomi Khusus. Pelibatan KADIN dalam Dewan Nasional penting karena pengusaha adalah aktor yang menggerakkan aktivitas ekonomi Kawasan Ekonomi Khusus. Pasal 19 ayat 1 tentang “Dewan Kawasan dibentuk pada setiap provinsi sebagian wilayahnya ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus” dan Pasal 20 ayat 1 “Dewan Kawasan terdiri atas ketua, yaitu gubernur, wakil ketua, yaitu bupati/walikota, dan anggota yaitu unsur Pemerintah di provinsi, unsur pemerintah provinsi dan unsur pemerintah kabupaten/kota”. Aspirasi Masyarakat:. Pemangku kepentingan di daerah pun semisal KADINDA belum dilibatkan sebagai unsur pengusaha dalam Dewan Kawasan yang menggerakkan aktivitas ekonomi di Provinsi atau Kabupaten/Kota. Belum adanya kejelasan dalam kewenangan Dewan Kawasan, agar penanganan Kawasan Ekonomi Khusus di Provinsi lebih jelas dan fokus karena saat ini hanya dikoordinasi oleh BAPPEDA saja, belum ada institusi di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota yang benar-benar ditugaskan untuk sebagai leading sektor penanganan KEK ini Pasal 30 tentang Fasilitas dan Kemudahan Perpajakan, Kepabeanan dan Cukai ayat 4: “Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah” dan Pasal 35: ayat (1) “Setiap wajib pajak yang melakukan usaha di Kawasan Ekonomi Khusus diberikan insentif berupa pembebasan atau keringanan pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) “Selain insentif pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah
daerah dapat memberikan kemudahan lain”. Aspirasi Masyarakat: Insentif pembebasan pajak atau keringanan pajak daerah dan retribusi daerah bagi pelaku usaha di Kawasan Ekonomi Khusus, berdampak pada potensi pendapatan yang berkurang akibat pembebasan pajak daerah dan retribusi daerah, yang akan mempersulit posisi keuangan daerah untuk membiayai pembangunan maupun pemeliharaan infrastruktur di dalam Kawasan Ekonomi Khusus secara mandiri, sedangkan alokasi APBN untuk dukungan pengembangan KEK belum ada. 8. Pasal 36 tentang Pertanahan, Perizinan, Keimigrasian dan Investasi: “Di Kawasan Ekonomi Khusus diberikan kemudahan untuk memperoleh hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal 38 ayat (1): “Di Kawasan Ekonomi Khusus diberikan kemudahan dan keringanan di bidang perizinan usaha, kegiatan usaha, perindustrian, perdagangan, kepelabuhan dan keimigrasian bagi orang asing pelaku bisnis, serta diberikan fasilitas keamanan”. Aspirasi Masyarakat: pelayanan satu atap yang filosofinya adalah memberikan fasilitas kemudahan investasi, pada kenyataannya justru menambah biaya operasional akibat dari lamanya persetujuan ijin-ijin. Pengalaman KEK di negara lain seperti Hongkong, China dan India, hanya diperlukan satu saja ijin investasi yang memayungi beragam ijin usaha yang dikelola oleh Administrator KEK yang bertanggung jawab pada Pemerintah Daerah, termasuk ijin yang mengatur aspek hak atas lahan dan ketenagakerjaan dan masa berlaku ijin investasi ini bersifat jangka panjang hingga 30 tahun lebih. 9. Undang-undang No. 39 Tahun 2009 telah memiliki PP No. 2 Tahun 2011 yang berubah menjadi PP No. 100 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan kawasan ekonomi khusus yang meliputi (a) pengusulan KEK; (b). penetapan KEK; (c). pembangunan KEK; (d). pengelolaan KEK; dan (e). evaluasi pengelolaan KEK. Perubahan PP tersebut dikarenakan PP No. 2 Tahun 2011 belum mengatur secara rinci mengenai pelaksanaan pembangunan dan pengoperasian Kawasan Ekonomi Khusus dengan memberikan pilihan-pilihan tata cara pembangunan dan pengoperasian Kawasan Ekonomi Khusus. Kesenjangan waktu yang cukup lama terbitnya PP ini berakibat ada permasalahan bagi Provinsi pengusul KEK, karena harus merevisi kembali kelengkapan persyaratan yang telah diajukan sebelumnya menyesuaikan dengan persyaratan baru yang diatur PP baru tersebut. 10. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 ini tidak mencantumkan tujuan diterbitkannya undang-undang tersebut dan azas-azas yang menjadi prinsip dasar bagi suatu produk hukum Undang-undang. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terutama Pasal 5 dan Pasal 6 mengatur tentang asas pembentukan peraturan perundang-undangan. B.
REKOMENDASI Berdasarkan fakta-fakta temuan diatas DPD RI merekomendasikan beberapa hal dibawah ini yaitu: 1. DPD RI merekomendasikan Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden pembentukan Badan Koordinasi KEK yang berfungsi antara lain (1) Bank Tanah meliputi penyediaan tanah untuk pengembangan KEK, mengendalikan dan mengatur harga tanah untuk menjaga stabilitas harga tanah; (2) koordinator pelaksanaan percepatan pembangunan infrastruktur dasar (air, listrik, gas, sarana dan prasarana jalan dan pelabuhan) yang berlandaskan prinsip-prinsip ramah lingkungan dan pembangunan infrastruktur penelitian dan pengembangan yang fokus pada peningkatan nilai tambah sektor unggulan di KEK; (3) memberi pendampingan teknis bagi Pemerintah Daerah dalam pembuatan kajian kelayakan suatu usulan KEK, agar persetujuan dan penetapan usulan KEK oleh Dewan Nasional KEK dapat segera diterbitkan Keppresnya; (4) memberi saran kebijakan atas telaah peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan bentuk-bentuk kawasan (Kawasan Industri, Kawasan Berikat Nusantara, Free Trade Zone, KAPET, Kawasan Khusus, dan KEK) dan jenis-jenis insentif yang diberikan, guna menjamin kepastian hukum bagi investor di KEK; (5) memberi pelayanan satu atap bagi perijinan investasi. 2. DPD RI merekomendasikan kepada Pemerintah untuk menegaskan pelaksanaan Pasal 3 dan Pasal 4 tentang kriteria KEK khususnya pada wilayah perbatasan yang diperuntukkan bagi KEK memerlukan insentif kebijakan khusus yang mefasilitasi kebijakan harga produk ekspor dan impor untuk mencegah penyelundupan akibat disparitas harga. Status Kawasan Berikat Nasional dan Kawasan Industri dapat diterapkan di KEK wilayah perbatasan, sebagai langkah awal dari pembentukkan KEK. Penegasan pelaksanaan Pasal 3 dan Pasal 4 juga diperuntukkan pada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk diusulkan menjadi KEK, baik dalam jangka waktu maupun setelah berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan.
301
3. DPD RI merekomendasikan dilakukan perubahan/revisi terhadap empat Pasal-pasal antara lain: (1) Pasal 5 tentang pengusulan KEK yang perubahannya memuat kriteria pengusulan KEK dan kriteria pihak pengusul dari Badan Usaha, untuk kesempatan yang seimbang antara Pengusaha Besar, UMKM dan Koperasi sebagai pengusul KEK; (2) Pasal 10 tentang penetapan pembangunan KEK perlu ditegaskan bahwa pembangunan infrastruktur dasar (air, listrik, gas, sarana dan prasarana pelabuhan dan jalan) di KEK merupakan kewenangan Badan Koordinator KEK bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dan mendapat prioritas alokasi dana APBN, APBD dan joint venture dengan BUMN/BUMD atau Swasta; (3) Pasal 16 dan Pasal 19 yang mencantumkan perubahan dalam hal mempertegas keterlibatan KADIN dalam Dewan Nasional KEK dan keterlibatan KADINDA dalam Dewan Kawasan di tiap Provinsi dan Kabupaten/Kota; (4) Pasal 30 tentang Fasilitas dan Kemudahan Perpajakan, Kepabeanan dan Cukai yang mempertegas kompensasi yang diterima daerah berupa pertumbuhan ekonomi daerah yang meningkat sebagai dampak aktivitas ekonomi di KEK khususnya perdagangan ekspor-impor dan pengurangan pengangguran. Kompensasi ini guna menutupi kekurangan pendapatan asli daerah sebagai akibat dari insentif fiskal yang diterapkan di KEK. 4. DPD RI mendesak Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah terhadap Pasal 36 tentang Pertanahan, Perizinan, Keimigrasian, dan Investasi yang berisi tentang satu saja perijinan investasi yang masa berlakunya 20 tahun melalui evaluasi tiap 3 tahun bagi investor di KEK. Ijin investasi tunggal (single investment permit) dimaksud sudah mencakup hak atas tanah, ijin usaha, perindustrian, perdagangan, kepelabuhan, keimigrasian, keamanan dan ketenagakerjaan. Bagi KEK di wilayah perbatasan, ijin investasi tunggal ini dikuatkan dengan dokumen kesepakatan bilateral Indonesianegara tetangga yang berbatasan langsung. Institusi yang menangani ini adalah institusi yang dibentuk oleh Peraturan Presiden, misalnya, Badan Koordinasi KEK.
BAGIAN III PENUTUP Demikian Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus yang telah dilakukan oleh DPD RI. Ditetapkan di Jakarta tanggal Maret 2013 PIMPINAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA, Ketua,
H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.
302
Wakil Ketua,
Wakil Ketua,
GKR. HEMAS
DR. LAODE IDA