DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/DPD RI/II/2013-2014 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI BERKENAAN DENGAN PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI TAHUN 1434 H / 2013 M
JAKARTA 2013
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/DPD RI/II/2013-2014 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI BERKENAAN DENGAN PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI TAHUN 1434 H / 2013 M DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Mengingat:
:
a. bahwa untuk mewujudkan terpenuhinya hak-hak masyarakat dalam melaksanakan ibadah haji, Pemerintah selaku penyelenggara negara berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan ibadah haji, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan, keamanan, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh jamaah haji; b. bahwa untuk mendorong terpenuhinya hak-hak masyarakat dalam melaksanakan ibadah haji tahun 1434 H / 2013 M yang dijamin oleh undang-undang, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia perlu melakukan pengawasan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji berkenaan dengan Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1434 H / 2013 M. 1. Pasal 22D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Nomor 123 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5043); 3. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib; 4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; 5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/ DPD/2007 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Tahun 2007-2009.
1263
Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-8 Masa Sidang II Tahun Sidang 2013-2014 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tanggal 20 Desember 2013 MEMUTUSKAN: Menetapkan
:
PERTAMA
:
KEDUA
:
KETIGA
:
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI BERKENAAN DENGAN PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI TAHUN 1434 H / 2013 M. Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji berkenaan dengan Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1434 H / 2013 M untuk disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Isi dan rincian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA, disusun dalam naskah terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 20 Desember 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN Ketua,
H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA
1264
Wakil Ketua,
Wakil Ketua,
GKR HEMAS
DR. LAODE IDA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/DPD RI/II/2013-2014 TENTANG PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI BERKENAAN DENGAN PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI TAHUN 1434 H / 2013 M I.
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG KEGIATAN PENGAWASAN Ibadah haji adalah rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang memenuhi syarat, baik finansial, fisik, maupun mental. Dengan melaksanakan ibadah haji, derajat ketakwaan seorang Muslim diharapakan semakin meningkat. Peningkatan ketakwaan itu akan berdampak pada perilaku yang baik di masyarakat. Pelaksanaan ibadah haji sebagai bagian dari ajaran agama Islam dijamin oleh ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yaitu negara wajib menjamin kebebasan beragama dan sekaligus menjamin setiap warganya untuk menjalankan agamanya masing-masing. Penyelenggaraan ibadah haji harus didasarkan pada prinsip keadilan yang memberikan akses dan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara yang beragama Islam untuk melakukannya. Selain itu, penyelenggaraan ibadah haji perlu dikelola secara profesional, akuntabel, dan nirlaba dengan mengedepankan kepentingan jamaah haji. Berdasarkan hal di atas, terbitlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (UU Penyelenggaraan Haji). Ketentuan Pasal 6 UU Penyelenggaraan Haji memberikan amanat bahwa Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan layanan administratif, bimbingan ibadah haji, akomodasi, transportasi, layanan kesehatan, keamanan, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh jamaah haji. Implikasi atas ketentuan tersebut menuntut adanya mekanisme pengawasan secara kelembagaan yang dapat memastikan akuntabilitas dan keberlanjutan kualitas penyelenggaraan ibadah haji. Pada penyelenggaraan ibadah haji tahun ini (1434 H / 2013 M) jumlah kuota haji adalah sebanyak 168.800 jamaah (setelah dipotong 20%). Kuota haji tersebut dialokasikan pada kuota haji khusus sebanyak 13.600 jamaah dan kuota haji reguler sebanyak 155.200 jamaah yang telah dibagikan kepada 33 provinsi. Penyelenggaraan ibadah haji yang dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1434 H / 2013 M dapat dinilai secara umum telah mengalami perbaikan dan penyempurnaan kualitas jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Capaian di atas perlu mendapatkan apresiasi dan penghargaan. Meskipun demikian, masih terdapat pelayanan jamaah haji, sebagaimana akan diuraikan dalam hasil pengawasan, yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan pada masa yang akan datang. Berdasarkan uraian di atas, sebagai lembaga yang mewakili masyarakat dan daerah, serta sesuai dengan amanat Pasal 224 ayat (1) huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dewan
1265
Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) memiliki mandat untuk berpartisipasi secara konstitusional dalam melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Pengawasan itu dilaksanakan di daerah calon jamaah haji, pada saat prapelaksanaan haji, ataupun pada masa pelaksanaan haji. Hasil pengawasan DPD RI diharapkan menjadi masukan bagi peningkatan kualitas layanan penyelenggaraan ibadah haji yang dilakukan oleh pemerintah. B. FOKUS DAN SIGNIFIKANSI KEGIATAN PENGAWASAN Fokus kegiatan diarahkan pada pengawasan UU Penyelenggaraan Haji, khususnya yang berkenaan dengan efektivitas dan permasalahan yang ditemukan di lapangan dengan melakukan kunjungan kerja pada tempat asal calon jamaah haji serta kunjungan pada saat prapelaksanaan dan pelaksanaan ibadah haji di Arab Saudi. Signifikansi kegiatan pengawasan itu adalah karena (1) penyelenggaraan ibadah haji dilakukan oleh Pemerintah berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Hal tersebut merupakan landasan sekaligus tanggung jawab yuridis bagi pemerintah untuk menyelenggarakan ibadah haji dan (2) penyelenggaraan haji merupakan kegiatan berkesinambungan setiap tahun dengan melibatkan jamaah haji yang cukup besar sehingga berpeluang menimbulkan masalah dan tantangan yang menuntut koreksi, penyempurnaan, dan perbaikan sehingga diperlukan pengawasan yang berkesinambungan dari DPD RI, khususnya Komite III, sebagai representasi masyarakat dan daerah. C. LANDASAN YURIDIS 1. Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Pasal 224 ayat (1) huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043). 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. 4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib. 5. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. II. PELAKSANAAN PENGAWASAN A. SUBJEK DAN OBJEK PENGAWASAN Subjek pengawasan pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah kelembagaan dan perseorangan yang berperan dalam penyelenggaraan ibadah haji, sedangkan objek pengawasannya adalah pelaksanaan atau implementasi dari undang-undang itu. B. METODE DAN INSTRUMEN PENGAWASAN Metoda yang digunakan adalah 1. pengamatan/observasi secara langsung ke lapangan (objek pengawasan); 2. wawancara; dan 3. telaah data dan dokumentasi. Sementara itu, instrumen pengawasannya menggunakan panduan atau pedoman sebagai acuan. C. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN PENGAWASAN C.1. WAKTU DAN TEMPAT KUNJUNGAN PENGAWASAN Dalam melaksanakan fungsi pengawasan atas persiapan dan penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1434 H / 2013 M, Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melaksanakannya dalam tiga tahap. Tahap pertama, pengawasan di daerah berkenaan dengan persiapan calon jamaah haji, yang dilaksanakan pada saat reses, yaitu tanggal 9 Juli s.d. 12 Agustus 2013 dan pada saat kunjungan kerja (kunker), yaitu tanggal 7 s.d. 13 September 2013. Tahap kedua, pengawasan dalam rangka persiapan pelaksanaan ibadah haji (prahaji) diselenggarakan pada tanggal 12 s.d. 19 September 2013 di Arab Saudi. Tahap ketiga, pengawasan dalam rangka pelaksanaan ibadah haji di Arab Saudi tanggal 7 s.d. 20 Oktober 2013. C.2 BENTUK KEGIATAN Dalam melakukan pengawasan atas penyelenggaraan ibadah haji, selain melakukan kunjungan langsung ke Arab Saudi, Komite III DPD RI juga melakukan: 1. rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan PT Garuda Indonesia dan Rabitha Haji Indonesia, tanggal 17 September 2013; 2. rapat kerja dengan Kementerian Agama Republik Indonesia, tanggal 3 Desember 2013; dan
1266
3. penyerapan aspirasi melalui reses, tanggal 9 Juli s.d. 12 Agustus 2013, dan kunker tanggal 7 s.d. 13 September 2013. III. TEMUAN MENONJOL DARI HASIL PENGAWASAN Pengawasan DPD RI terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji berkenaan dengan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1434 H / 2013 M dapat diamati dari berbagai aspek sebagaimana diatur pada ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (UU Penyelenggaraan Haji). 1. Penetapan dan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU Penyelenggaraan Haji, salah satu kewajiban pemerintah adalah menetapkan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH). Sementara itu, besaran BPIH menurut Pasal 21 ayat (1) UU Penyelenggaraan Haji ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan DPR. Berbeda dengan tahun sebelumnya (1433 H / 2012 M), yaitu penetapan BPIH yang senantiasa bermasalah karena terlambat dan/atau terlalu dekat waktu penyelenggaraan ibadah haji, penetapan BPIH pada tahun 1434 H / 2013 M dinilai lebih baik dan tidak bermasalah. BPIH ditetapkan pada bulan April 2013 sehingga terdapat waktu yang cukup bagi semua pihak, termasuk Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) di daerah dalam melakukan persiapan. Besaran BPIH tahun 1434 H / 2013 M ditetapkan USD 3.527. Jika dibandingkan BPIH tahun 1433 H / 2012 M yang mencapai USD 3.617, BPIH tahun 1434 H / 2013 M mengalami penurunan sebesar USD 90. Atas capaian di atas DPD RI memberikan apresiasi dan penghargaan kepada Pemerintah yang telah memperhatikan berbagai masukan, pandangan, dan pemikiran dari berbagai kalangan, termasuk dari DPD RI yang setiap tahun selalu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Penyelenggaraan Haji sehingga pada tahun 1434 H / 2013 M penetapan BPIH telah mengalami perbaikan, baik dari segi waktu penetapan maupun besaran dana yang dibebankan pada jamaah haji. 2. Pengelolaan Dana Setoran Awal Haji Penetapan besaran BPIH pada tahun 1434 H / 2013 M masih menyisakan persoalan, khususnya terkait dengan subsidi dana setoran awal haji. Berdasarkan keterangan pemerintah, komponen penerbangan pada tahun 2013 mengalami penurunan sebesar 3.150 real dari 4.300 real pada tahun 2012. Sementara itu, biaya pemondokan di Makkah untuk tahun 2013 mengalami peningkatan sekitar dua persen, yaitu sebesar 4.998 real. Namun, calon jamaah haji hanya wajib membayar 2.994 real dan sisanya sekitar 2.400 real dibayar dengan menggunakan subsidi yang berasal dari dana optimalisasi uang setoran awal jamaah haji yang berada di rekening Menteri Agama RI. Sehubungan dengan fakta di atas, DPD RI memerlukan klarifikasi dan penjelasan dari Kementerian Agama RI kepada publik berkenaan dengan persoalan mekanisme, transparansi, dan akuntabilitas besaran BPIH yang disubsidi dana optimalisasi uang setoran awal jamaah haji tersebut. 3. Kuota Haji Setiap penyelenggaraan ibadah haji, persoalan kuota haji, dan daftar waktu tunggu haji senantiasa mengemuka setiap tahun. Kebijakan Pemerintah Arab Saudi yang cenderung semakin memperketat kuota haji berdampak pada semakin lamanya daftar tunggu haji (waiting list) sehingga perlu penyusunan kebijakan skala prioritas yang ketat pula. Jumlah kuota jamaah haji tahun 1434H / 2013 M sebanyak 168.800 jamaah (setelah pemerintah Arab Saudi melakukan kebijakan pemotongan 20%). Kuota haji tersebut dialokasikan pada kuota haji khusus sebanyak 13.600 jamaah dan kuota haji reguler sebanyak 155.200 jamaah yang telah dibagi ke dalam 33 provinsi, sedangkan pendaftar haji saat ini mencapai 2,2 juta orang dan sudah teregistrasi dalam daftar waktu tunggu. Dengan kebijakan pemotongan 20% rata-rata waktu tunggu jamaah haji saat ini adalah 14 tahun. Pembatasan kuota haji dan bertambahnya waktu tunggu jamaah haji menimbulkan kekhawatiran bagi calon jamaah haji kategori usia lanjut (lansia) dan belum pernah menunaikan ibadah haji. Di sisi lain, sampai saat ini kebijakan pemerintah menyangkut pembatasan ibadah haji bagi yang telah melaksanakan ibadah haji belum tercapai secara efektif. 4. Haji Nonkuota Haji nonkuota adalah jamaah haji yang berangkat mandiri, tidak terdaftar, dan tidak berkoordinasi dengan pemerintah, tetapi sering kali memanfaatkan fasilitas jamaah haji kuota sehingga menimbulkan konflik sesama jamaah haji di tanah suci. Pada tahun 1434 H / 2013 M, pemerintah Arab Saudi menerapkan kebijakan yang memberikan sanksi berat bagi penduduk setempat yang memfasilitasi haji nonkuota.
1267
5.
6.
1268
Dampak kebijakan tersebut mendorong penurunan secara drastis jumlah jamaah haji nonkuota. Namun, Pemerintah sampai saat ini kurang menyebarluaskan informasi haji nonkuota beserta kerugiannya kepada masyarakat sehingga masih ada saja masyarakat yang melakukan haji nonkuota pada setiap tahunnya. Pembinaan Ibadah Haji Ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU Penyelenggaraan Haji menegaskan bahwa Pemerintah selaku pelaksana penyelenggara ibadah haji berkewajiban menyiapkan dan menyediakan segala hal yang terkait dengan pelaksanaan ibadah haji, termasuk pembinaan ibadah haji. Hasil pengawasan DPD RI menemukan fakta masih banyak jamaah haji yang melaksanakan ibadah haji tanpa memiliki pengetahuan yang cukup memadai mengenai ibadah haji. Hal tersebut berpengaruh pada kualitas pelaksanaan ibadah haji itu sendiri sehingga diperlukan evaluasi aspek pembinaan ibadah haji, khususnya kualitas manasik haji dan pembimbing haji. Berdasarkan temuan DPD RI di daerah, rendahnya pengetahuan ibadah haji dari jamaah haji disebabkan oleh hal berikut. (1) Permasalahan kualitas dan kuantitas bimbingan pelaksanaan ibadah haji (manasik haji) di daerah. Manasik haji diselenggarakan oleh petugas dari Kantor Urusan Agama (KUA) di daerah yang menghadapi keterbatasan, baik kapasitas aparat, letak geografis (untuk di daerah tertentu seperti kepulauan), maupun pembiayaan sarana prasarana. Selain itu, secara kuantitas, ketentuan delapan kali penyelenggaraan manasik haji sering kali tidak tercapai secara penuh karena pembimbing dari KUA ataupun calon jamaah haji sering mengabaikannya. (2) Keterlambatan distribusi buku manasik haji dan penggunaan bahasa dalam buku manasik haji yang tidak mudah dicerna oleh calon jamaah haji dengan keberagaman tingkat pendidikan. (3) Persoalan standarisasi kapasitas, desain rekrutmen, serta sertifikasi kompetensi yang belum seragam dan komperhensif dalam rekrutmen Tim Pemandu Haji Indonesia (TPHI), Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD), dan Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI). Pelaksanaan Ibadah Haji 6.1 Transportasi Udara (Penerbangan) Sebagaimana ketentuan Pasal 6 UU Penyelenggaraan Haji, salah satu kewajiban pemerintah dalam hal penyelenggaraan haji adalah menyediakan transportasi, baik udara maupun darat. Penyelenggaraan penerbangan jamaah haji tahun ini dilayani oleh Garuda Indonesia sebanyak 59.3% dan Saudi Airlines sebanyak 40.7%. Pemilihan kedua maskapai tersebut didasarkan pada hasil penilaian terhadap persyaratan administratif dan teknis. Berdasarkan hasil evaluasi tahun-tahun sebelumnya, puncak kepadatan penerbangan adalah saat fase awal kedatangan dan fase awal kepulangan. Oleh karena itu, pada tahun ini (1434 H / 2013 M) telah disetujui penggunaan sisi barat terminal oleh Garuda Indonesia untuk mengurai kepadatan. Adapun jumlah kloter dalam operasional haji tahun ini sebanyak 484 kloter dengan dua pembagian maskapai penerbangan yaitu kedatangan dan kepulangan pesawat melalui bandara King Abdul Azis Airlines (KAAIA) Jeddah sebanyak 368 kloter dan melalui bandara AMAIA sebanyak 116 kloter. Bonus pelayanan yang diberikan maskapai Garuda Indonesia adalah setiap jamaah haji mendapatkan 5 liter air zam-zam, sedangkan maskapai Saudi Airlines memberikan 10 liter air zam-zam yang diserahkan di embarkasi. Pada saat pemulangan jamaah haji dari Saudi Arabia ke tanah air terdapat keterlambatan penerbangan akibat aktivitas pemulangan secara bersamaan jamaah haji dari seluruh dunia sehingga menyebabkan antrian yang cukup panjang pada pintu masuk di bandara King Abdul Aziz. 6.2 Transportasi Darat Berdasarkan data Kepala Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Daker Makkah (1434 H / 2013 M), terdapat tiga tipe pelayanan angkutan perhajian di Arab Saudi yang akan dilakukan pengendalian terpadu meliputi: (1) Pelayanan Angkutan Sholawat (Pemondokkan–Harram PP) (Bus 3 Pintu); (2) Pelayanan Angkutan Antarkota Perhajian dengan rute: a. Madinah--Makkah b. Makkah--Madinah c. Makkah--Bandara Jeddah d. Madinah--Bandara Jeddah e. Bandara Jeddah--Makkah f. Bandara Jeddah--Madinah
g. Bandara Madinah--Pemondokan Madinah h. Pemondokan Madinah--Bandara Madinah (3) Pelayanan Angkutan Masyair/Armina (Arofah-Musdalifa-Mina) Kualitas armada transportasi darat bus jamaah haji tidak seluruhnya baik dan layak karena ditemukan kondisi bus pengantar jamaah haji dari Jeddah-Madinah dan Madinah--Makkah (angkutan antarkota perhajian) yang tidak layak dan membahayakan keselamatan jamaah. Terdapat pula beberapa armada bus yang tidak dilengkapi AC sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bagi jamaah haji. Selain itu, masih ada jamaah haji yang harus menunggu bus pengganti dalam waktu cukup lama karena bus yang digunakan sebelumnya mogok saat perjalanan dari Jeddah ke Madinah. Kualitas supir pengendara bus dikeluhkan oleh jamaah haji. Pertama, supir bus pada umumnya adalah warga Mesir atau Yaman yang bukan berprofesi supir sehingga minim keterampilan mengendarai bus. Kedua, sering kali supir bus meminta tambahan tips baksis secara berlebihan. Apabila tidak dipenuhi, supir bus berulah dalam mengendarai bus yang mengancam keselamatan penumpang. 6.3 Akomodasi (Pemondokan) 6.3.1 Makkah Penentuan pemondokan jamaah haji di Makkah dikonsentrasikan di wilayah yang telah dikenal dan memiliki kemudahan akses ke Masjidil Haram bagi jamaah haji Indonesia (Mahbas Jin, Jiyad, Syib Amir, Jumaizah, Ma’abdah, Rei’ Zahir, Jarwal, Hafair, Misfalah, dan Bakhutmah). Persiapan dan pembagian tugas untuk perumahan di setiap sektor ditunjuk koordinator wilayah (korwil) perumahan. Korwil perumahan memiliki tugas menyiapkan, memonitor, dan mengawasi perumahan jamaah haji dengan dibantu oleh pelaksana pengawas perumahan dari sektor. Dalam mengantisipasi adanya kekurangan air bersih atau tidak berfungsinya fasilitas rumah (AC, lift, ranjang, dan lain-lain) serta memastikan kebersihan rumah jamaah, petugas perumahan sektor dibantu petugas kloter memantau rumah jamaah melalui kartu kendali pada setiap rumah jamaah. Temuan di lapangan untuk lokasi pemondokan jamaah haji Indonesia yang berjarak lebih 2.000 meter dari Masjidil Haram hanya ditempatkan di wilayah Mahbas Jin dan Bakhutmah. Penempatan jamaah di Makkah dilakukan dengan sistem qur’ah (undian) agar terdapat rasa keadilan mengingat bervariasinya rumah yang tersedia, baik dari segi kualitas, wilayah, jarak, kapasitas, maupun harga sewa. Meskipun demikian, beberapa daerah meragukan objektivitas sistem qur’ah itu sebab dari daerah tertentu, seperti Provinsi Maluku, setiap tahun berdasarkan qur’ah selalu mendapatkan pemondokan yang kurang baik, sedangkan daerah lain, seperti Provinsi DKI Jakarta, selalu mendapatkan pemondokan yang baik. Temuan lain di lapangan menyangkut kualitas dan kapasitas beberapa pemondokan di Makkah yang bermasalah adalah aspek sanitasi yang tidak sesuai dengan standar kesehatan, minimnya ketersediaan kamar, dan pemondokan yang melebihi kapasitas yang telah ditentukan. 6.3.2 Madinah Pada tahun ini pemondokan haji Indonesia di Madinah, dari aspek lokasi dan sarana prasarana, lebih baik dari tahun sebelumnya, sedangkan dari aspek lokasi, pemondokan haji Indonesia berada di kawasan Markaziyah yang dekat dengan Masjid Nabawi. Jarak paling dekat sekitar 200 meter. Jarak terjauh pemondokan untuk jamaah kurang dari 650 meter dari Masjid Nabawi. Pelayanan pemondokan di Madinah, dilakukan oleh 12 majmuah, yakni Syarikat Al Andalus, Mubarak Group Hotels, Al Zuhdi Group, Wasel Hotels Company, Manazil Al Mukhtarah, Elyas Compony, Manazali C.o., Al Syatta Group, Makarim, Said Makki, Mawaddah, dan Al Isyroq. Selain itu, dalam rangka pelayanan, di sekitar pemondokan ditempatkan beberapa petugas sektor yang siap melayani jamaah. Empat tempat yang digunakan untuk penempatan petugas sektor di antaranya Al Fayroz Season Hotel, Diyar Al Salam, Loulcat Al Andalus dan Rehab Al Musk. 6.3.3 Arafah-Mina Jamaah Haji Indonesia di Arafah berada di Perkemahan Asia Tenggara (Robwah al Hindi) dekat jalur Taradudi. Di Mina Jadid, Muasasah Asia Tenggara telah menetapkan 70 maktab bagi jamaah haji Indonesia. Penempatan jamaah haji pada setiap maktab diawasi petugas, termasuk layanan transportasi dan jasaboga (catering). Kondisi penginapan, baik di Arafah maupun di Mina masih terdapat permasalahan, seperti maktab kelebihan penghuni dan kurangnya jumlah kamar mandi yang dibutuhkan jamaah haji.
1269
6.4
IV.
1270
Konsumsi Secara keseluruhan DPD RI mengapresiasi peningkatan kualitas layanan penyediaan dan distribusi konsumsi jamaah haji yang dilakukan pemerintah dengan lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun demikian, di beberapa tempat masih ditemukan permasalahan terkait dengan konsumsi, seperti tidak disediakannya makan pada saat jamaah haji tiba pertama kali (di Makkah); nasi masih mentah (belum matang), menu tidak variatif, dan porsi sedikit (di Arafah); buruknya sanitasi lingkungan (di Mina); ketidaksesuaian menu dengan selera jamaah haji (meskipun yang memasak berasal dari jasaboga Betawi); serta distribusi makanan terlambat sehingga jamaah haji membeli makanan sendiri dan terjadi miskomunikasi petugas haji dengan jamaah haji terkait dengan konsumsi makanan ringan (pagi hari) yang dikonsumsi malam hari oleh jamaah (di Madinah). 1.5 Kesehatan Beberapa temuan pengawasan terkait dengan kesehatan antara lain adalah sebagai berikut. 1. Pemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sebelum keberangkatan tidak dilakukan secara maksimal. Akibatnya, terdapat cukup banyak jamaah yang sakit di tanah suci, salah satunya disebabkan oleh kondisi yang tidak sehat sejak awal keberangkatan. 2. Masih ada tenaga medis yang seharusnya memberikan pelayanan kesehatan, tetapi pada waktu yang sama tenaga medis tersebut sedang melaksanakan ibadah sehingga kewajibannya terhadap jamaah haji terabaikan. 3. Obat yang tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan jamaah yang sakit dan sediaan obat tertentu sangat terbatas. 4. Belum ada legalitas perizinan dari Pemerintah Arab Saudi terhadap Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI). 5. BPHI memiliki alat kesehatan yang cukup lengkap yang disertai fasilitas pendukung, tetapi alat kesehatan yang dimiliki BPHI tidak portable sehingga sulit digunakan di lapangan. 6. Dalam penyelenggaraan ibadah haji, tidak ditemukan bidan, padahal tenaga bidan sangat dibutuhkan jamaah. 1.6 Petugas Haji Ketentuan Pasal 16 dan Pasal 18 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menegaskan bahwa Menteri berwenang membentuk Panitia Penyelenggara Haji Indonesia (PPHI) tiga bulan sebelum pemberangkat jamaah haji kelompok terbang pertama. Panitia Penyelenggara Ibadah Haji bertugas untuk melakukan pembinaan, pelayanan, dan pelindungan serta melakukan pengendalian dan koordinasi pelaksanaan operasional ibadah haji di dalam negeri dan di Arab Saudi. PPHI di dalam melaksanakan tugasnya dibantu petugas haji yang dapat dikelompokkan ke dalam (i) Tim Pemandu Haji Indonesia (TPHI), (ii) Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI), dan (iii) Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI). Beberapa temuan pengawasan terkait petugas haji, antara lain, adalah sebagai berikut. 1. Keterbatasan jumlah Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI) yang hanya satu orang per kloter akibat ketatnya kebijakan kuota haji berdampak pada pembimbingan haji yang tidak maksimal. 2. Minimnya kapasitas dan kualitas Tim Pembimbing Haji Daerah (TPHD) menyebabkan pelayanan tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya. 3. Kurangnya koordinasi secara optimal antara Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI) dan Tim Pembimbing Haji Daerah (TPHD) berdampak pada kualitas pembimbingan haji bagi jamaah. 4. Pelanggaran administratif yang dilakukan oleh petugas merugikan jamaah calon haji. 1.7 Penanganan Jamaah Haji Usia Lanjut Pelaksanaan ibadah haji tidak hanya memerlukan kesiapan rohani dan finansial, tetapi juga memerlukan dukungan fisik yang sehat. Penanganan terhadap jamaah haji yang berusia lanjut dan yang umumnya sakit belum dilakukan secara optimal dan sistematis, termasuk ketiadaan kebijakan kloter khusus untuk jamaah haji lanjut usia sehingga berdampak pada tidak memadainya penanganan jamaah tersebut. Rekomendasi Berdasarkan pengawasan atas pelaksanaan UU Penyelenggaraan Haji, DPD RI merekomendasikan kepada Pemerintah hal-hal berikut, yaitu
1. mempertahankan kualitas layanan penyelenggaraan haji yang telah baik dan memperbaiki hal-hal yang masih menjadi kendala dalam penyelenggaraan ibadah haji pada tahun yang akan datang; 2. mengoptimalkan transparansi, akuntabilitas, dan pemanfaatan pengelolaan dana setoran awal haji; 3. menyusun kebijakan yang secara konsisten, terlembaga, dan terkendali berkenaan dengan (1) prioritas calon jamaah haji lanjut usia untuk melaksanakan ibadah haji; (2) pembentukan kloter khusus untuk jamaah haji lanjut usia; dan (3) pembatasan jamaah haji yang telah melaksanakan ibadah haji untuk berhaji kembali; 4. melakukan sosialisasi kepada masyarakat secara intensif dan masif mengenai perbedaan haji kuota dan haji nonkuota beserta dampaknya; 5. mengevaluasi pembinaan ibadah haji dan petugas haji dengan: (a) memperbaiki tingkat kepatuhan kuantitas manasik haji, baik bagi pembimbing maupun bagi calon jamaah dan dukungan sarana prasarana manasik haji; (b) memastikan distribusi buku manasik haji kepada calon jamaah tepat pada waktunya dan merevisi penulisan buku manasik haji agar lebih mudah dipahami oleh jamaah haji dengan beragam tingkat pendidikan; (c) standardisasi rekrutmen, kompetensi, dan sertifikasi seluruh petugas haji secara menyeluruh dan seragam, baik di pusat maupun daerah; (d) meninjau ulang kebijakan Tim Pembimbing Haji Daerah (TPHD), khususnya menyangkut kualitas rekrutmen dan kompetensi anggota TPHD; (e) memperbaiki mekanisme koordinasi Tim Pembimbing Haji Daerah dan Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI); (f) mengoptimalkan keterlibatan ketua rombongan (karom) jamaah haji dalam pembimbingan haji untuk mengatasi keterbatasan TPIHI; dan (g) menindak tegas petugas yang melanggar peraturan pelaksanaan ibadah haji agar pada masa yang akan datang tidak terjadi lagi hal-hal yang merugikan masyarakat, khususnya merugikan calon jamaah haji; 6. memperbaiki layanan penyelenggaraan haji yang masih bermasalah di antaranya ialah: (a) pemondokan, khususnya kualitas pemondokan, evaluasi sistem qur’ah (undian) yang dinilai tidak objektif, kapasitas pemondokan, dan kecukupan sarana prasarana (seperti kamar mandi); (b) kualitas konsumsi, terutama variasi menu, jumlah konsumsi, dan ketepatan waktu distribusi konsumsi; (c) kualitas keamanan dan kenyamanan transportasi darat perlu dibuat kerja sama dengan pihak berwenang di Arab Saudi untuk mendapatkan bus yang berkualitas serta supir yang professional dalam mengopersikan bus; 7. memperbaiki dan meningkatkan layanan kesehatan dengan penguatan kapasitas tenaga kesehatan, khususnya bidan, kecukupan ketersediaan obat-obatan yang dibutuhkan jamaah, dan dukungan sarana prasarana yang optimal sesuai dengan kebutuhan jamaah; melakukan analisis secara tepat terhadap kondisi kesehatan calon jamaah, mengantisipasi penyakit baru seperti virus corona; serta menjalin memorandum of understanding (MoU) dengan pemerintah Arab Saudi dalam layanan kesehatan bagi jamaah haji Indonesia; dan 8. mendorong Kementerian Agama melakukan negosiasi agar tidak terjadi pengurangan kuota jamaah haji Indonesia, jika tetap dikurangi, perlu sosialisasi aturan itu kepada masyarakat secara baik.
1271
V.
PENUTUP Demikian hasil pengawasan ini disampaikan sebagai pemenuhan kewajiban konstitusional Dewan Perwakilan Daerah RI terhadap pengawasan pelaksanaan UU Penyelenggaraan Haji.
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN Ketua,
H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA
1272
Wakil Ketua,
Wakil Ketua,
GKR HEMAS
DR. LAODE IDA