BAB VI KESIMPULAN Sebagaimana dirumuskan dalam bagian pengantar, pertanyaan penelitian disertasiini adalah bagaimana linkage (tautan) politik antara parlemen dan organisasi masyarakat sipil (OMS) beroperasi di Indonesia pasca Orde Baru. Guna mendapatkan jawaban yang komprehensif atas pertanyaan di atas, disertasiini memusatkan perhatian pada tiga studi kasus pembentukan regulasi. Masing-masing studi kasus mewakili substansi yang berbeda. Pertama, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi mewakili pergulatan panjang politik Indonesia dengan persoalan identitas. Kedua, UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mewakili pergulatan politik Indonesia (bahkan banyak negara lainnya) dengan persoalan regional question atau relasi pusat – daerah. Dan ketiga, UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara mewakili persoalan bagaimana negara mendamaikan kebutuhan keamanan dan demokrasi yang sama-sama merupakan public goods yang sangat diperlukan masyarakat. Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan di atas, ketiga kasus yang ada diurai kedalam tiga kategori pertanyaan turunan. Pertama adalah kategori pertanyaan di seputar aktor; termasuk di dalamnya adalah pertanyaan mengenai siapa yang menginisiasi tautan politik. Kedua adalah kategori pertanyaan guna mengungkap proses yang berlangsung; termasuk di dalamnya pertanyaanmengenai bagaimana tautan politik dimulai? Dan bagaimana tautan politik dimapankan? Ketiga adalah kategori pertanyaan yang terkait dengan (substansi) isu, termasuk di dalamnya pertanyaanmengenai bagaimana pengaruh jenis isu dalam bangunan tautan politik serta sejauh mana karakteristik tautan politik mempengaruhi kualitas produk kebijakan? Dari ketiga kategori pertanyaan tersebut, studi ini mencoba untuk menemukan tipologi tautan politikyang berlangsung di Indonesia pasca Orde Baru.
183
1. Aktor, Proses, dan Isu Disertasi ini mengeksplorasi pola relasi antara dua lembaga politik yang berperan penting dalam proses demokratisasi di Indonesia yang memiliki watak berbeda, yaitu lembaga parlemen sebagai lembaga representasi politik berbasis elektoral yang formal dan organisasi masyarakat sipil yang berbasis pada pengorganisasian sukarela yang lebih bersifat informal dalam konteks pembuatan kebijakan publik. Sebelum mendiskusikan tipologi relasi dari kedua kategori lembaga tersebut, perlu kiranya kita mendapatkan gambaran awal perbandingan proses pembuatan tiga kebijakan berdasarkan kategori pertanyaan tentang aktor, proses, dan isu (lihat Tabel 6.1). Tabel 6.1 Karakter Ikatan Politik Parlemen dan Masyarakat Sipil UU UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
Aktor Islam Konservatif dan Nasionalis+non Muslim DPR, DPRD Aceh, dan JDA DPR dan Pro Patria
Proses Mobilisasi
Isu Politik identitas
Partisipasi
Politik regional
Teknokrasi
Politik nasional
Dari sisi aktor, disertasi ini menunjukan secara jelas karakter dari lembaga organisasi masyarakat sipil dan parlemen yang terlibat dalam proses kebijakan. Dalam kasus UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, sejak fase inisiasi dan terus berlangsung hingga fase penetapan sebagai UU, OMS dan lembaga parlemen terbelah secara vertikal ke dalam dua kutub (kelompok) dikotomi menurut garis-garis identitas atau ideologi. Pertama, kelompokIslam dan kedua, kelompok nasionalis. Kelompok pertama diisi oleh partai-partai politik dengan ideologi Islam yang bersinergi dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil dengan ideologi yang sama. Sedangkan kekuatan kedua diisi oleh partaipartai dengan ideologi Nasional dan sekaligus kelompok-kelompok masyarakat abangan
184
dan non-Muslim.Pada awal kelahirannya, undang-undang tersebut diinisiasi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sangat prihatin dengan kondisi maraknya penyebaran content pornografi dalam masyarakat. Inisiatif ini mendapatkan dukungan yang terus meluas yang tergambar dari tingginya densitas para aktor yang terlibatdan luasnya sebaran geografi yang dicakup. Ruang aktivitas para aktor tidak hanya terbatas pada satu atau beberapa locus, tapi menyebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Demikian pula dengan tingkat kedalaman kaitan politik yang tidak hanya terbatas di tingkatan nasional, namun juga merasuk jauh ke ranah lokal. Tingginya densitas dan luasnya wilayah aktivitas para aktor mengindikasikan identitas (masih) merupakan mesin utama yang menggerakan politik Indonesia. Hal yang agak berbeda nampak dalam proses pembuatan UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Meskipun densitas para aktor juga tinggi, namun mereka tidak terbelah ke dalam kutub-kutub dikotomi menurut garis ideologi ataupun identitas. Para aktor yang terlibat disatukan oleh isu politik yang sama yakni, yakni tuntutan agar otonomi yang bersifat asimetris (khusus) diberlakukan di Aceh sebagai pilihan dari relasi antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh. Locus aktivitas juga bersifat terbatas, hanya berpusat pada Banda Aceh dan Jakarta sebagai dua locus utama. Dalam kasus UU Pemerintahan Aceh (UUPA), yang memulai inisiatif adalah juga masyarakat sipil, yakni JDA (Jaringan Demokrasi Aceh). Sebuah jaringan dari banyak OMS yang keanggotaannya didominasi oleh para aktivis, akademisi dan sejumlah politisi. Pembahasan isu ini berlangsung secara paralel di DPRD dan masyarakat, sebelum berakhir sebagai agenda resmi DPR RI setelah melalui proes sinkronisasi di Departemen Dalam Negeri. Sejak fase awal, dan terlebih lagi setelah memasuki fase pembahasan di parlemen, JDA berkomunikasi secara intens dengan anggota DPR RI yang berasal dari provinsi Aceh dengan latar belakang beragam fraksi. Para politisi ini menjadi pintu masuk awal menuju parlemen, yang akhirnya membentuk kaitan politik di antara keduanya. Setelah itu, DPR membentuk Pansus Rancangan UU Tentang Pemerintahan Aceh.
185
Dalam kasus UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, densitas para aktor jauh lebih renggang dengan kepentingan yang sifatnya homogen. Jauh berbeda dengan dua UU sebelumnya, dalam kasus UU Pertahanan Negara, tautan politik diinisiasi dan dirawat oleh para ahli yang memiliki pengetahuan mendalam di bidang ini. Mereka membentuk kelompok dan sekaligus difasilitasi oleh kelompok yang bernama ProPatria, sebuah kelompok cair yang terdiri dari akademisi kampus dan ahli di lembaga penelitian. ProPatriamembentuk sebuah tim ahli yang disebut dengan ProPatria Working Group on Security Sector Reform. Kelompok inilah yang menginisiasi sekaligus memperjuangkan terbentuknya tautan politik antara OMS dengan parlemen dalam rangka mendorong penataan kembali kebijakan pertahanan nasional agar di satu sisi tetap mampu memenuhi kebutuhan Indonesia sebagai negara modern akan keamanan. Di sisi yang yang lain dapat selaras dengan tuntutan demokrasi Indonesia. Ruang aktivitas yang dicakup dalam pembuatan UU Pertahanan Negara sangat terbatas dengan Jakarta sebagai locus utamanya. Dari sisi proses, kita juga dapat melihat perbedaan dari ketiga kasus yang dipilih sebagai obyek studi disertasiini. Dalam kasus UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi,disertasi ini menunjukan adanya mobilisasi sebagai dasar yang mempertautkan lembaga parlemen dan organisasi-organisasi masyarakat sipil. Mobilisasi berlangsung massal dan bergerak di semua lapis, baik di tingkatan nasional maupun lokal. Sedangkan dalam kasus UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, disertasi ini menunjukkan kecenderungan sebaliknya, yakni kuatnya pola partisipatif sebagai fondasi yang menghubungkan lembaga parlemen dan organisasi-organisasi masyarakat sipil, baik di Jakarta maupun di Aceh; dan antara sesama OMS pada locus yang berbeda (Jakarta dan Banda Aceh). Untuk kasus UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, disertasi ini justru menunjukan pola yang sama sekali berbeda, yakni pola teknokrasi yang menghubungkan lembaga parlemen dan kelompok masyarakat sipil. Karakter aktor dan proses yang bekerja dalam pembuatan tiga undang-undang tersebut berbeda-beda karena isu yang diusung oleh ketiga kebijakan ini juga sangat berbeda. Topik yang berkembang dalam proses pembuatan UU No. 44 tahun 2008 tentang
186
Pornografi adalah soal identitas. Pornografi sebagai label formal dalam proses perdebatan tenggelam oleh pergulatan masing masing kelompok dalam menyatakan dan melindungi identitas askriptif masing-masing. Sedangkan tema sentral dari proses pembuatan UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh adalah soal politik regional yang merupakan salah satu persoalan krusial yang dihadapi bukan saja oleh Indonesia tapi juga banyak negara lainnya seperti Philipina dengan persoalan Moro, Thailand dengan persoalan di kawasan Selatan, Myanmar dengan persoalan suku Karen dan Rohingya di kawasan Asia Tenggara ataupun Spanyol dengan persoalan Basque di Eropa, India dan Pakistan dengan isu Khasmir di Asia Selatan, Iraq dengan persoalan Kurdi, Canada dengan persoalan Quebeq, dan masih banyak negara lainnya. Hal yang berbeda berlangsung untuk proses pembuatan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Proses pembentukan UU ini ditandai oleh kentalnya isu politik nasional, terutama terkait dengan kapasitas dan keharusan bagi negara dalam menciptakan rasa aman sebagai salah satu public goods tanpa harus mengorbankan kebutuhan akan demokrasi. Ketiga kategori pertanyaan yang dipilih, yaitu aktor, proses, isu sangat mempengaruhi tinggi atau rendahnya perhatian publik yang direpresentasikan oleh OMS. Selain itu, ketiga kategori pertanyaan tersebut juga menentukan luas dan sempitnya pelibatan publik melalui OMS baik dalam bentuk dukungan maupun penolakan.Pada akhirnya,hal ini sangat mempengaruhi kualitas produk kebijakan, maupun tautan politikyang terbentuk antara OMS dan lembaga parlemen. 2. Tipologi Tautan Politik Dari ketiga kasus yang dipilih, disertasi ini memetakan tipologi tautan politik antara parlemen dan organisasi-organisasi masyarakat sipil di Indonesia periode Reformasi. Terdapat dua tipologi tautan politik yang utama diantara kedua lembaga tersebut. Pertama, tipologi tautan politik yang bersifat politik. Dalam tipologi ini, relasi kepentingan dan kontestasi kekuasaan antar para aktor menjadi sangat dominan dalam ikatan politik antara lembaga parlemen dan kelompok-kelompok masyarakat sipil. Tipologi yang didorong oleh politik ini berlaku pada kasus pembuatan UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi dengan 187
isu politik identitas. Tipologi yang sama juga berlaku dalam proses pembuatan UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dengan isu politik regional. Yang kedua adalah tipologi tautan politik yang bersifat teknokratik. Dalam tipologi ini, keahlian dan penguasaan ilmu pengetahuan menjadi kunci dalam membentuk tautan politik antara lembaga parlemen dan kelompok masyarakat sipil. Tipologi jenis ini sangat jelas terlihat pada kasus pembuatan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Di antara keduanya, kedekatan secara individual (dengan beragam alasan) berdiri sebagai variabel penting terutama pada fase inisiasi tautan politik. Jika kita kaitkan studi ini dengan studi Lawson, terdapat titik temu diantara keduanya. Tipologi tautan politik dengan kategori politik seperti yang berlaku pada proses pembuatan UU No.44 tahun 2008 tentang Pornografi dan UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh lebih dekat dengan tipologi tautan partisipatif dan tautan kebijakanresponsif dari Lawson. Lebih spesifik lagi, proses pembuatan UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi lebih dekat ke tipologi tautan kebijakan-responsif. Sedangkan proses pembuatan UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh lebih dekat kepada tautan partisipatif. Tidak ada indikasi yang memadai yang menunjukkan bahwa proses pembuatan kedua undang-undang tersebut ditujukan untuk pertukaran kekuasaan dengan suara. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya partai politik yang berusaha untuk membuat isu ini sebagai komoditas politik, terutama dalam masa kampanye pemilu. Hal yang sama juga berlaku untuk tautan politik directive. Demokratisasi dan liberalisasi politik di Indonesia tampaknya tidak memberikan ruang bagi kehadiran (kembali) tipe tautan politik ini. Namun demikian, tautan politik dengan tipologi teknokratik tidak dapat dikaitkan dengan tipologi tautan politik yang dibuat oleh Lawson. Boleh jadi hal ini terkait dengan substansinya yang sangat spesifik, tidak secara langsung dirasakan dalam kehiduan sehariharimasyarakat, dan hanya mereka yang memiliki pengetahuan (para ahli/expert) yang dapat menjadi bagian dari isu tersebut. Dengannya, isu ini sulit untuk menjadi bagian dari isu publik sebagaimana isu UU Pornografi. Inilah salah satu kontribusi teoritik penting disertasi ini ke dalam kajian topik besar tautan politik.
188
Karena fokus disertasi ini diberikan pada kinerja lembaga parlemen dan organisasi kelompok masyarakat sipil, maka tipologi yang dikembangkan Kitschelt yang memusat pada peran individu tidak akan didiskusikan lebih jauh dalam disertasi ini. Sekalipun demikian perlu digaris bawahi bahwa sebagaimana didiskusikan di bab-bab sebelumnya, peran individu sangat penting, terutama dalam membangun rasa saling percaya sebagai modal bukan saja sebelum tautan politik tapi juga pada fase inisiasi dan perawatan tautan politik yang sudah terbentuk. Sebagaimana didemonstrasikan lewat bab-bab sebelumnya, kedekatan hubungan antara individu menjadi salah satu kunci penting dalam menjelaskan fase awal pembentukan tautan politik antar kedua lembaga demokrasi yang diteliti. Kedekatan yang sama, berfungsi dalam merawat keberlanjutan tautan politik yang terbentuk. Namun demikian, peran individu ada limitasinya. Ketika isu ini telah berada di arena formal parlemen dan ruang publik, peran individu memudar digantikan oleh peran para aktor yang lebih luas skalanya yang merepresentasikan lembaga. Fraksi, komisi, rapat dengar pendapat umum, organisasi yang merepresentasikan masyarakat menjadi institusiinstitusi yang memainkan peran tautan politik. Mencermati tipologi tautan yang dibuat oleh Rosenau dan kaitannya dengan temuan disertasi ini, dapat dilihat tingkat kedalaman dan keluasan dari para aktor yang terlibat dalam proses pembuatan tiga kebijakan tersebut. Dilihat dari sudut kebijakan sebagai sebuah rangkaian proses, disertasi ini mendemonstrasikan tingkat penetrasi organisasi masyarakat sipil bahkan menukik jauh secara vertikal ke wilayah atau tahapan yang secara tradisional merupakan willayah sakral para pemegang otoritas formal pengambil kebijakan, yakni agenda setting. Sementara secara horizontal, disertasi ini juga menunjukkan keluasan tautan politik yang melampaui sekadar forum “dengar pendapat”. Intensitas pertukaran informasi dengan memanfaatkan teknologi komunikasi modern membuat tembok-tembok pembentuk ruang pembatas antara pemegang otoritas formal pengambil kebijakan dengan OMS kehilangan fungsinya. Rapat yang secara formal dinyatakan “tertutup” yang secara simbolik ditandai oleh deklarasi “rapat tertutup” dan berlangsung dalam ruang rapat yang juga tertutup, dalam realitasnya merupakan ruang politik terbuka dimana OMS bisa dengan mudah masuk dan keluar. Teknologi komunikasi 189
telah memainkan fungsi strategis dalam menciptakan ruang politik baru melalui mekanisme “konsultasi” dan “pertukaran informasi” di antara aktivis OMS dan anggota parlemen. Disertasi ini juga mengungkapkan, kombinasi antara tautan politik yang diinisiasi oleh elit dengan isu yang asing dari keseharian masyarakat semisal isu pertahanan menghasilkan tipologi tautan politik yang cenderung memiliki watak teknokrasi yang tinggi. Proses pembuatan UU Pertahanan Negara secara gamblang mengungkapkan hal ini. Sebaliknya, kombinasi antara tautan politik yang diinisiasi oleh elit dengan isu yang populis menghasilkan tipologi tautan politik yang memiliki watak mobilisasi yang kental. Pada pembahasan UU Pornografi, pengelompokan dalam parlemen berbasis identitas menjadi dasar sekaligus instrumen bagi adanya mobilisasi kelompok-kelompok masyarakat yang membentuk pola hubungan patronage antar sesama lembaga demokrasi (OMS dan parlemen). Hal ini perlu mendapatkan perhatian ekstra karena dalam kerangka pembangunan demokrasi boleh jadi pola sejenis ini justru menjadi penghalang bagi bekerjanya demokrasi. Kombinasi antara tautan politik yang diiniasi oleh masyarakat sipil dengan isu yang bersifat populis cenderung menghasilkan watak tautan politik yang partisipatif. Kasus pembuatan UU Pemerintahan Aceh menunjukan corak partisipatif jauh lebih mengedepan dibandingkan dengan dua UU lainnya. Disertasi ini secara tersamar mengindikasikan bahwa ketika isu yang diperjuangkan menyangkut relasi antar kekuasaan daerah dengan pusat (Jakarta), yang terjadi adalah proses partisipasi yang kuat dari bawah. Perluasan partisipasi secara geografis mengungkapkan sentralitas dari masyarakat dalam proses kebijakan (people initiated). People initiated ini memunculkan konsolidasi warga secara lebih politis. Kasus UUPA dan UU Pornografi menunjukkan luasnya coverage dari tautan dan tingkat kedalaman keterlibatan masyarakat. Secara umum disertasi ini memberikan kontribusi sebagai berikut: pertama, dengan meletakkan fokus pada tautan politik antara lembaga parlemen dan organisasi masyarakat sipil dalam konteks pembuatan kebijakan publik, disertasi ini menambahkan elemen baru, 190
yakni tautan politik antar sesama lembaga demokrasi. Hal ini
semakin memperkaya
kajian-kajian terdahulu tentang tautan politik yang lebih fokus pada tautan politik antara partai politik dan konstituen atau masyarakat; dan tautan politik antara politisi dan konstiuen. Kedua, disertasi ini mengisi kelangkaan studi yang menjelaskan tautan antara dua lembaga demokrasi yang memiliki karakter yang berbeda, namun memiliki peran yang sangat vital dalam perkembangan demokratisasi, yaitu lembaga parlemen dan organisasi masyarakat sipil. Hal ini memiliki dua implikasi penting, yakni semakin memperkaya kajian kajian terdahulu yang memusatkan perhatian pada lembaga demokrasi dengan watak yang sama, misalnya antara partai politik dan parlemen. Pada saat bersamaan memunculkan pertanyaan serius mengenai kegayuhan pemisahan yang kaku antara masyarakat sipil, negara dan masyarakat politik sebagai argumen utama tradisi liberal dalam studi-studi mengenai civil society. Ketiga, bagi kepentingan pengembangan demokrasi baik di level teori maupun praksis di Indonesia,disertasi ini merupakan inisiasi awal yang mendemonstrasikan sentralitas dari tautan politik dalam kajian politik dan demokrasi di Indonesia. Diharapkan disertasi ini akan memicu minat para peneliti dan praktisi untuk mendalami tautan politik sebagai sebuah tema penting yang sejajar dengan studi tentang lembaga dan pelembagaan dalam pengembangan teori politik dan praktik demokrasi. 3. Implikasi Teoritik Mengalir dari pemaparan materi empiris dalam bab-bab sebelumnya, dan temuan umum sebagaimana didiskusikan pada bagian awal bab ini, kita dapat mengambil banyak pembelajaran teoritik. Salah satu dimensi yang paling menonjol dari bekerjanya tautan politik antara parlemen dan masyarakat sipil adalah pentingnya aspek ruang politik (political space). Tiga kasus yang dipilih sebagai obyek kajian disertasi ini menunjukkan bahwa tautan politik merupakan perwujudan dari adanya ruang politik. Tanpa reformasi sebagai pendobrak otoritarianisme Orde Baru, bisa dipastikan tidak akan pernah ada diskusi mengenai tautan politik di Indonesia. Tetapi kegayuhan ruang politik tidak hanya berhenti di situ. Ia secara terus menerus melipat-gandakan ruang politik baru yang memungkinkan 191
semakin banyak aktor yang bisa memasukinya. Merujuk pada Lefebvre (1991), ruang politik adalah ruang dimana terjadi relasi kuasa antar aktor politik. Lefebvre mengemukakan bahwa ruang politik merupakan produk politik dan sosial yang menyejarah.
Ruang disebut sebagai produk politik karena ia merupakan hasil dari
terjadinya konflik, strategi, representasi,
dan penyesuaian-penyesuaian menurut
kepentingan kelompok-kelompok yang berbeda. Ruang politik juga merupakan political stake, dalam artian ia adalah medium, instrumen, dan obyek dari pergulatan dan konflik (Lefebvre 2000). Secara empiris, ada dominant spaces dan dominated space yang menggambarkan dinamika bekerjanya kekuasaan. Ruang politik merupakan ruang yang bergerak, yang sifatnya sangat politis, ada kontestasi kekuasaan di dalamnya, dan merupakan produk dari sejarah yang sangat panjang. Parlemen misalnya, diperlakukan sebagai ruang politik (political space) justru karena sejarahnya yang panjang dan ada kontestasi kekuasaan didalamnya. Jika tidak ada kedua unsur tersebut, parlemen hanyalah bangunan gedung sebagaimana bangunan gedung lainnya. Inilah yang membedakan political space dengan public space yang dikonseptualisasikan oleh Habermas misalnya yang lebih ke ukuran sosial,bersifat spontan, keanggotaannya bersifat sukarela, serta tanpa adanya daya ikat. Di ruang publik, persoalan publik diperbincangkan, digosipkan, tetapi tidak ada implikasi terhadap kebijakan publik. Kesimpulan penting terkait ruang yang bisa ditarik dari ketiga studi kasus di atas adalah, bahwa pertama, ruang terdiri dari lapisan-lapisan yang menggambarkan stratifikasi kekuasaan. Ada hierarki kekuasaan dalam setiap ruang politik. Bahkan dalam ruang politik yang kelihatan sama, terdapat pelapisan kekuasaan. Level ini mempengaruhi proses dan hasil politik. Ruang bukan saja mempengaruhi hasil tetapi sekaligus dihasilkan oleh proses politik. Dalam tiap level itu ada tipe kekuasaan yang berbeda. Kedua, kita tidak bisa mengabaikan ruang dalam studi politik dan demokrasi. Disertasi ini secara indikatif menunjukan bahwa kita tidak bisa mengandaikan bekerjanya kekuasaan dalam situasi spaceless. Hasil studi ini mengindikasikan ruang dimana pengorganisasian aktivitas politik dan bekerjanya kekuasaan itu penting. Proses dan hasil politik ditentukan oleh ruang. Ruang politik dibentuk dengan cara politis dan merupakan produk ideologi. Perkembangan 192
demokrasi Indonesia saat sekarang, sebagai misal, sekaligus merupakan kelanjutan yang bisa dipahami sebagai respon terhadap pengorganisasian ruang di masa lalu. Studi ini ingin menunjukkan bahwa dimensi ruang dalam kajian politik menjadi sangat penting dalam rangka mengaitkan banyaknya kekuatan politik dengan acuan subtansi dari isu yang berbeda-beda. Sejauh ini, ruang politik masih diperlakukan sebagai sebuah keniscayaan (taken for granted) dalam proses demokratisasi, belum menjadi bagian dari kerangka analisa yang utuh dalam kajian-kajian di bidang ilmu politik. Disertasi ini menunjukan bahwa tingkat kepadatan lembaga demokrasi dan variasi pemaknaan subtansi dari isu kebijakan tidak lantas akan menghasilkan demokrasi yang bersifat lebih substansial. Kajian ruang dalam ilmu sosial memang merupakan kajian lintas disiplin geografi dan ilmu sosial/politik, bahkan filsafat; dan sejauh ini masih terbatas. Di level praktis, ia belum menjadi aspek penting dari rekayasa untuk memperkuat praktik demokrasi. Disertasi ini juga menunjukkan bahwa semua lembaga demokrasi sama pentingnya. Karenanya, pemberian perhatian yang lebih lagi pada tautan politik antar sesama lembaga demokrasi menjadi semakin krusial. Hal ini membuat studi-studi yang menempatkan satu lembaga demokrasi tertentu semata-mata sebagai perluasan atau bahkan subordinat dari lembaga demokrasi lainnya harus dipersoalkan kembali secara serius. Studi mengenai parlemen yang semata-mata dibaca sebagai perluasan sekaligus subordinat dari partai politik perlu dipersoalkan kegayuhannya. Disertasi ini menunjukkan Parlemen tidak bisa ditempatkan sebagai perluasan atau subordinasi dari partai politik sebagai space politik induk, tapi sekaligus sebagai space yang independen yang didalamnya aktifitas politik berlangsung. Dari ketiga studi kasus yang ada, kita juga dapat melihat pentingnya faktor substansi dari isu
yang bekerja dalam proses pembuatan sebuah kebijakan publik. Semakin
subyektif pemaknaan terhadap substansi dari isu, semakin rumit pula proses politik dalam pembuatan kebijakan publik. Demikian juga sebaliknya. Studi ini memperlihatkan bahwa variasi substansi dari isu adalah penting dalam proses pembuatan kebijakan publik. 193
Namun, variasi ini saja tidak cukup untuk mendorong proses pembuatan kebijakan yang sekaligus dapat memenuhi sejumlah tujuan secara simutan: demokratis, efektif dan efisien. Jika tidak terkelola dengan baik, maka variasi substansi dari isu yang ada akan membuat proses pembuatan sebuah kebijakan publik menjadi sangat melelahkan dan bahkan dapat berujung pada terjadinya deadlock dalam proses kebijakan, sementara imbasnya dapat memicu konflik dan perluasan konflik dalam masyarakat. Secara indikatif ketiga studi kasus yang ada menunjukkan identitas (masih) merupakan subtansi penting dalam pengalaman politik indonesia, demikian pula halnya dengan relasi kuasa pusat dan daerah. Temuan indikatif lewat kasus pornografi menunjukkan gejala menarik. Di satu sisi ada konsolidasi tautan politik antara sesama lembaga demokrasi (OMS dan parlemen) tetapi di sisi lainnya, basis konsolidasi justru bersifat subyektif, yakni identitas, dan bukannya substansi isu bersama. Subtansi kebijakan tidak menjadi pembicaraan yang signifikan di antara kekuatan-kekuatan pro dan kontra. Yang menonjol justru naluri untuk melindungi “identitas” yang diandaikan terancam oleh hadir atau tidaknya regulasi di sekitar isu pornografi. Ini berakibat pada beberapa kemungkinan skenario, yaitu: pertama, kesulitan membangun isu bersama yang bersifat lintas identitas, lintas sektor, lintas batas, yang dapat menyatukan elemen masyarakat sipil dan membesarkan gerakan akar rumput itu sendiri seperti yang dibayangkan oleh Olle Törnquist (2009) sebagai isu strategis berbasis kepentingan publik. Kesulitan dalam menemukan isu bersama inilah yang boleh jadi membedakan demokrasi Indonesia dengan demokrasi di negara-negara yang telah stabil. Kedua, berpotensi memperkeras polarisasi vertikal masyarakat Indonesia berbasis identitas dengan segala kemungkinan resiko yang melekat di dalamnya, termasuk dan terutama konflik. Ketiga, dari sudut tautan politik itu sendiri adanya tipe tautan politik patronageyang sumbangsihnya bagi pengembangan demokrasi masih tetap menjadi perdebatan mengharuskan kita untuk tidak secara gegabah melihat hubungan antara tautan politik dan demokrasi sebagai hubungan sebab-akibat. Disertasi ini menyarankan agar kapasitas crafting untuk kepentingan demokrasi tidak semata-mata ditujukan bagi pembangunan tautan politik antar lembaga demokrasi, tetapi pembangunan tautan politik antar lembaga demokrasi yang berbasis pada strategic issue. 194
Perlu digaris-bawahi bahwa kealpaan isu strategis bersama tidak semata-mata merupakan fungsi dari menguatnya politik identitas. Sejak reformasi 1998 politik Indonesia ditandai oleh dua perkembangan yang nampaknya saling melemahkan. Di satu sisi terjadi massifikasi instalasi lembaga-lembaga politik yang berakibat pada semakin padatnya densitas lembaga demokrasi. Tapi di sisi yang lain terjadi adalah gejala pengkerdilan publik dan isu-isu publik. Belasan tahun perkembangan demokrasi Indonesia menunjukan penguatan tren dimana lembaga demokrasi semakin bertambah dalam jumlah, tapi terisolasi antara satu dengan yang lainnya. Akibatnya, masing-masing lembaga demokrasi semakin terjebak dalam otonomi yang berlebihan yang membuat insentif bagi pengembangan tautan politik antar para aktor demokrasi semakin melemah. Hal ini berakibat pada terjadinya pereduksian peroalan publik menjadi persoalan sektoral sesuai dengan domain dan legalitas yang melekat pada masing-masing lembaga dan karenanya, gagal membangun kebijakan yang komprehensif dan saling sinergis. Peningkatan secara dramatis kuantitas lembaga demokrasi mengindikasikan kembalinya modernisasi dan menguatnya demokrasi liberal sebagai gagasan penting dalam politik Indonesia. Demokrasi liberal memberi porsi dominan pada keberadaan institusi demokrasi baik di arena masyarakat politik (political society), maupun di arena masyarakat sipil (civil society). Argumennya, semakin banyak (semain rapat tingkat kepadatan) lembaga demokrasi, semakin baik dampaknya bagi demokrasi (Dahl 1998). Argumen ini seiring dengan tesis modernisasi politik yang menekankan pada sentralitas peran lembaga dan pelembagaan saluran politik. Tesis modernisasi mengandaikan semakin banyak lembaga menggambarkan semain beragam saluran pelibatan publik dalam urusanurusan publik.Banyak dan beragamnya lembaga demokrasidapat memfasilitasi dan menyalurkan peran dan partisipasi warga negara secara lebih beragam pula. Penciptaan beragam saluran ini sangat penting dalam konteks negara-negara dunia ketiga yang dihadapkan pada kondisi terjadinya ledakan partisipasi. Lembaga dan proses pelembagaan demokrasi akan menghindarkan sebuah negara dari fenomena yang
didalam tradisi
Huntingtonian disebut sebagai “pembusukan politik” atau political decay (Huntington 1967). 195
Tesis modernisasi politik berada dalam konteks periode pasca kemerdekaan negara-negara di wilayah Selatan. Pada periode tersebut, negara yang baru merdekamasih berada pada fase formatif untuk menemukan bentuk kelembagaan dan proses pelembagaan ideal yang tidak mengganggu agenda modernisasi di bidang ekonomi negara baru merdeka. Negara masih lemah dihadapan istitusi-institusi yang lain karena masih berada pada fase awal pembentukan lembaga dan proses pelembagaan. Penguatan negara merupakan agenda pokok di era ini. Seiring dengan perkembangan negara-negara ini, yang telah memiliki kelembagaan yang kuat, semata-mata mengukur demokrasi dari sisi eksistensi kelembagaan (dimensi internal lembaga) tidak lagi memadai. Kondisi ini yang sebenarnya sedang terjadi di Indonesia sejak reformasi 1998. Indonesia tidak mengalami kekurangan lembaga demokrasi. Data statistik Kementerian Dalam Negeri juga menunjukkan tren peningkatan aktivitas masyarakat sipil yang ditandai dengan terus berlipat-gandanya jumlah lembaga masyarakat sipil dengan penyebaran yang luas dan karakter yang variatif. Partai politikjuga tumbuh (dan mati) semakin beragam untuk menyongsong pemilu. Parlemen hadir pada semua lapisan pemerintahan, mulai dari tingkat nasional sampai desa. Selain itu, keberadaan media massa juga semakin massal apalagi dengan hadirnya media sosial modern. Pemilihan umum sebagai institusi penting demokrasi juga mengalami emajemukan. Di tingkat nasional hadir dua jenis pemilu baru, yakni pemilihan umum anggota DPD dan pemilihan Presiden dan wakil Presiden. Demikian pula di tingkat provinsi dan kabupaten-kota. Instutusi pemilu bahwa menancap jauh hingga menghasilkan sejenis perlemen lembaga quasi perlemen) di tingkat desa. Namun demikian, berbagai lembaga demokrasi yang ada justru terlihat semakin otonom dan asing satu sama lain. Karenanya, tidak mengherankan jika dalam kurun waktu 16 tahun, terjadi pemadatan lembaga-lembaga demokrasi secara luar biasa, tapi dampaknya sangat terbatas dalam mendorong realisasi demokrasi yang lebih substansial. Fenomena di atas mengindikasikan bahwa demokrasi Indonesia sebenarnya sedang mengalami stagnasi (Mietzner 2012). Pada titik inilah kehadiran tautan politik sangat krusial dan strategis untuk tiga hal: pertama, tautan politik dapat berfungsi dalam memoderasi otonomi berlebihan masing-masing lembaga. Kedua tautan politik antar 196
sesama lembaga demokrasi dapat memajemukan saluran penyampaian iput dari masyarakat sehingga dapat memperkaya isu publik yang sedang diperdebatkan. Dan ketiga, pada level yang lebih teknokratik, tautan politik membuka ruang bagi adanya sinkronisasi ataupun konsolidasi kebijakan publik sehingga dapat menghasilkan kebijakan yang lebih komprehensif dan solid. Pada gilirannya, hal ini akan berakibat pada perluasan kontrol demos atas masalah-masalah publik berdasarkan pada prinsip persamaan yang merupakan inti dari demokrasi yang subtansial. Studi ini berujung pada argumen utama bahwa eksistensi dan pembangunan lembaga-lembaga demokrasi, aktor demokrasi, dan pengembangan nilai demokrasi sangat penting bagi praktik demokrasi. Demikian pula relasi antar lembaga demokrasi dengan konstituen atau masyarakat adalah sangat penting bagi pembangunan demokrasi yang stabil dan lebih substansial. Namun demikian, itu saja tidak cukup. Demokrasi juga membutuhkan adanya tautan politik antarsesama lembaga demokrasi yang ada. Tautan politik ini tidak bersifat suplementer, ia adalah bagian fundamental pengembangan demokrasi, sejajar dengan lembaga, aktor, dan nilai demokrasi. Dengan kata lain, disertasi ini menekankan pada aspek relasi lembaga demokrasi, yaitu bagaimana menciptakan tautan politik untuk semua lembaga demokrasi, utamanya adalah lembaga parlemen dan kelompok atau organisasi masyarakat sipil. Dengan adanya tautan secara formal dan informal seperti ini, relasi kuasa dan kepentingan antara kedua lembaga ini dapat terus berlangsung.Hal ini di satu sisi, berakibat pada terjadinya pelunakan otonomi berlebihan masing-masing lembaga demokrasi, di sisi lainnya, pada level teknokratik, dapat mendorong adanya koordinasi yang memungkinkan isu publik menjadi kebijakan publik berlangsung secara lebih massal dengan dukungan kuat dari banyak komponen lembaga demokrasi. Implikasi lebih jauh adalah bahwa dengan terbentuknya tautan politik yang terinstitusionalisasi akan melipat-gandakan ruang dan sekaligus memperluas saluran politik bagi rakyat untuk dapat mengontrol persoalan-persoalan publik berdasarkan prinsip persamaan. Upaya mendorong isu publik menjadi kebijakan publik dapat berlangsung secara lebih massal dengan dukungan yang kuat dari banyak komponen lembaga demokrasi. 197
Untuk mendorong konsolidasi demokasi, diperlukan penciptaan ruang politik untuk memperlancar
relasi
antar lembaga-lembaga politik yang
ada sehingga
dapat
meningkatkan kualitas demokrasi. Dengan demikian, lembaga dan ruang politik (yang dalam studi ini diwujudkan oleh tautan politik antara parlemen dan kelompok organisasi masyarakat sipil) merupakan elemen penting dalam demokrasi. Keunggulan teori tautan politik adalah sifatnya yang netral. Proses tautan politik bisa berbentuk mobilisasi, partisipasi, dan teknokrasi, ia bisa dimulai oleh elit, serta bisa juga diinisiasi oleh demos, warga negara yang aktif secara politik (active citizen). Jika pembangunan deokrasi hanya terjebak pada faktor representasi, ada kekhawatiran tidak akan mampu menangkap kontestasi dengan banyak irisan-irisan yang kompleks. Dengan kelebihan tersebut, teori tautan politik bisa melihat dinamika bekerjanya politik dengan payung yang lebih netral. Disertasi ini menggambarkan kekayaan model-model tautan dalam demokrasi Indonesia. Pada akhirnya, studi ini merekomendasikan perlunya menempatkan variabel penting dalam tautan, yaitu ruang politik, dan kajian lebih lanjut yang difokuskan pada upaya untuk menciptakan ruang politik yang memungkinan tautan politik antar lembagalembaga politik yang ada. Ruang politik ideal seperti apa saja yang dapat menjadi titik temu dari berbagai aktor politik yang ada? Siapa saja yang perlu melakukan inisiasi untuk menciptakan ruang politik seperti ini? Bagaimana merajut ruang politik seperti itu? Termasuk pula tipologi political linkage seperti apa yang perlu dibangun dalam rangka membangun demokrasi yang lebih baik ke depan? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini layak menjadi fokus studi atau kajian untuk menyempurnakan arah proses demokratisasi di Indonesia ke depan.
198