Masyarakat Sipil Dan Dinamika Politik; Studi Terhadap Gerakan Masyarakat Sipil di Yogyakarta 1998-2004
HIMAWAN SATYA PAMBUDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Masyarakat Sipil Dan Dinamika Politik; Studi Terhadap Gerakan Masyarakat Sipil di Yogyakarta 1998-2004 adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor ,Agustus 2010
Himawan Satya Pambudi NRP I351060071
ABSTRACT HIMAWAN SATYA PAMBUDI. Civil Society and Political Dynamics; Study on Civil Society Movement in Yogyakarta, 1998-2004. Under direction of Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS and Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA
Civil society movement is a complex and interesting study. Not only relates to methods and goals of the movement but also the changes produced by the movement. By using the approach on the social movements theory that have grown, this thesis would like to dissect the differences between social movements in New Order and post New Order era. The results were obtained the two basic conclusions about the situation of the civil society movement in Yogyakarta in 1998-2004 as follows: first, that the changed political situation influenced toward the goals and strategies of the civil society movement, where the movement goal is no longer to change the government but divided into two major objectives, namely anti-status quo and political institutionalization. The strategic is also change, not only through a protest movement, but develops in the direction of cooperative strategies. Second, between the factors of external and internal of the civil society movements, internal factors have more influence, they are, the coordination, organization, and the ability to push the changes that targeted.
Keywords: social movements, civil society, political dynamics
RINGKASAN HIMAWAN SATYA PAMBUDI. Masyarakat Sipil Dan Dinamika Politik; Studi Terhadap Gerakan Masyarakat Sipil di Yogyakarta 1998-2004. Dibimbing oleh Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS dan Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA
Gerakan masyarakat sipil merupakan ranah studi yang kompleks dan menarik. Bukan hanya berkaitan dengan metode dan tujuan dari gerakan, tetapi juga perubahan-perubahan yang dihasilkan oleh gerakan tersebut. Dengan menggunakan pendekatan pada teori gerakan sosial yang telah berkembang, tesis ini hendak hendak membedah perbedaan antara gerakan sosial pada era Orde Baru dan pasca Orde Baru. Gerakan sosial merupakan bentuk aktifisme dari kalangan sipil dengan tujuan tertentu. Gerakan sosial merupakan sebuah aksi bersama yang dilakukan secara damai dan bukan bertujuan untuk berkuasa, sekalipun gerakan sosial hampir selalu bersentuhan dengan dimensi kekuasaan. Dalam konteks ini kekuasaan bukan harus berujud lembaga formal dengan badanbadan yang solit dan teratur, tetapi kekuasaan juga dapat berarti nilai yang hegemonik dan mapan. Dalam konteks gerakan masyarakat sipil, kekuasaan yang dimaksud bukan hanya nilai yang hegemonik, tetapi juga sistem politik yang otoriter. Gerakan memiliki dua tujuan sekaligus, meruntuhkan sistem politik dan sekaligus melakukan pembaruan nilai yang merupakan produksi dari kekuasaan. Gerakan masyarakat sipil di Indonesia berada dalam dua ranah tersebut sekaligus, yakni mengganti sistem politik yang otoriter dan melakukan transformasi nilai yang bersumber dari sistem politik, misalnya nir kekerasan, gender mainstream, politik egaliter, dan lain sebagainya. Tesis ini membandingkan situasi gerakan sosial dalam situasi rezim yang berbeda, yakni otoriter dan demokratis. Terdapat dua pertanyaan yang disusun untuk penelitian ini, yakni pertama, bagaimana strategi dan platform (tujuan) gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta pasca Orde Baru dengan bertitik tolak pada keadaan ketika Orde Baru masih berkuasa. Kedua, faktor internal dan eksternal apa saja yang berpengaruh terhadap gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta, yang sekaligus menjadi ciri ketika rezim otoriter masih dominan dan sesudahnya. Dari dua pertanyaan penelitian tersebut diatas, kemudian disusun dua hipotesis penelitian yaitu (1) bahwa perubahan iklim politik yang lebih demokratis di Indonesia pasca Orde Baru telah mendorong perubahan strategi dan platform gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta. Gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta sebagai gerakan sosial memiliki tujuan untuk mengganti kepemimpinan politik, yakni Presiden Soeharto. Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri, situasi berikutnya berpengaruh terhadap strategi dan tujuan gerakan masyarakat sipil. (2) Dalam dinamika gerakan masyarakat sipil, terdapat dua faktor utama yang saling berkait dalam mendinamisir gerakan, yakni faktor internal dan eksternal. Pengaruh faktor internal lebih besar dalam bagi gerakan masyarakat sipil pasca Orde Baru dibandingkan dengan faktor eksternal. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan lokasi penelitian di Yogyakarta dimana data-data yang dikumpulkan berfokus pada gerakan sosial dari tahun 1998-2004. Sejumlah kegiatan pengumpulan data dilakukan melalui analisis media massa yang terbit di
Yogyakarta dan sekitarnya, wawancara dengan 29 informan terpilih, menyelenggarakan dua kali diskusi tematik, dan melakukan analisis dokumen yang terbit pada tahun 1998-2004. Dari hasil penelitian diperoleh dua kesimpulan mendasar mengenai situasi gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta 1998-2004 sebagai berikut: pertama, bahwa situasi politik yang berubah berpengaruh terhadap tujuan dan strategi gerakan masyarakat sipil, dimana tujuan gerakan bukan lagi untuk mengganti pemerintahan, tetapi terbagi dalam dua tujuan besar yakni anti status quo dan pelembagaan politik. Strateginyapun juga berubah, tidak hanya melalui gerakan protes saja, tetapi berkembang ke arah strategi kooperatif. Kedua, diantara faktor eksternal dan internal gerakan masyarakat sipil, faktor internal lebih berpengaruh, yakni koordinasi, organisasi, dan kemampuan untuk mendesakkan perubahan yang hendak dituju.
Kata kunci : Gerakan sosial, masyarakat sipil, dinamika politik
@ Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi-lindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
Masyarakat Sipil Dan Dinamika Politik; Studi Terhadap Gerakan Masyarakat Sipil di Yogyakarta 1998-2004
HIMAWAN SATYA PAMBUDI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoeh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Tesis
: Masyarakat Sipil dan Dinamika politik; Studi Terhadap Gerakaan Masyarakat Sipil di Yogyakarta, 1998-2004
Nama
: Himawan Satya Pambudi
NRP
: I. 351060071
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo MS Ketua
Dr. Ir. Rilus A. Kinseng MA Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, MSc. Agr
Tanggal Ujian : 10 Agustus 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
Penguji pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Djuara Lubis MS
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas seluruh lipahan berkat yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan baik. Dengan segenap kerendahan hati dan ucapan syukur yang begitu mendalam kepada Sang Agung, pada saat ini penulis dapat menyelesaikan tugas akhir [Tesis] ini dengan baik sebagai syarat menyelesaikan program Magister Sains Sosiologi Pedesaan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Support dan perhatian dari teman-teman Sosiologi Pedesaan angkatan 2006 yang telah menjalani kebersamaan sebagai mahasiswa selama di Kampus Dermaga Bogor. Perjalanan yang telah dilalui terasa begitu singkat, namun tetap menjadi sahabat dalam perjuangan dan cita-cita. Dalam menyelesaikan tesis ini penulis dibimbing dengan penuh perhatian dan dedikasi oleh dua orang guru yang sangat dihormati, yakni Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS dan Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA. Untuk itu diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas seluruh tenaga perhatian, waktu dan dedikasi yang tidak ternilai selama membimbing penyelesaian tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada penguji tesis Dr. Ir. Djuara Lubis, MS yang memberikan banyak sekali komentar kritis dalam ujian. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pasca Sarjana IPB, Dr. Arya H. Dharmawan yang selalu mengingatkan untuk segera menyelesaikan kuliah. Secara khusus penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Endriatmo Soetarto, Dr. Satyawan Sunito, Ir. Gunawan Wiradi, yang telah menjadi orang tua, pembimbing, dan motivator untuk terus belajar dan memperbaiki teori selama di Bogor. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada guru-guru di Sosiologi Pedesaan yang telah melengkapi praktek politik penulis dengan berbagai teori. Ada banyak pihak yang wajib penulis berikan hormat dan terima kasih namun cukup panjang kalau disebutkan satu persatu. Untuk beberapa nama penulis sebut disini; kolega di LAPERA, secara khusus Tukir, Fikri, Nurhadi, Rita, mas Dadang Juliantara, juga Usep (KPA), kawan-kawan yang ada di Yogyakarta yang tentu akan berderet puluhan nama kalau disebutkan satu persatu, kawan-kawan SPD angkatan 2006, Lafdi, Ita, Slamet, Ucup, Hana, Udin, Yuyun. Sebagai anak dan adik, sudah menjadi kewajiban untuk berterima kasih dan memberikan hormat kepada Bapak (alm) dan Ibu, Mama dan Papa di Tangerang, Mbak Dewi dan Kak Elvis sekeluarga, Mas Bambang dan Mbak Nanik sekeluarga, mbak Jeni atas segenap perhatian dan dukungan selama ini. Akhirnya, sebagai seorang suami dan ayah yang telah berbesar hati untuk ditinggalkan dalam penyelesaian studi di Bogor, seluruh hidup dan dedikasi ini hanya diberikan kepada kalian berdua yang telah banyak berkorban selama masa-masa akhir yang sulit dalam penyelesaian tugas ini.
Sebagai penutup dalam kata pengantar ini, penulis menyadari banyak hal yang masih harus diperbaiki untuk melengkapi data-data dan analisis ini. Semoga dikesempatan yang akan datang penulis bisa melengkapinya menjadi lebih baik sehingga penelitian ini berguna bagi pengembangan pengetahuan tentang gerakan sosial.
Bogor, Agustus 2010
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada tanggal 20 September 1976 di Cilacap dari pasangan Umar Said Martono [alm] dan Sumarsih. Pada usia dua tahun pindah ke Kecamatan Klego,Kabupaten Boyolali. Penulis menyelesaikan pendidikan SD,SLTP, dan SLTA di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta, tempat dimana penulis mulai memahami persoalan social politik, khususnya menjelang saat Pemerintahan Presiden Soeharto berakhir. Penulis aktif mengikuti berbagai diskusi, pertemuan, demontrasi,organisasi dan advokasi melalui berbagai forum dan lembaga seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia [GMNI] Cabang Yogyakarta, Group Diskusi Wirobrajan, Yayasan LAPERA Indonesia,Yayasan LATIN Bogor, Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan, Komite Rakyat Bersatu, Forum Perjuangan Mahasiswa Yogyakarta, Komite Perjuangan Buruh Ungaran, Forum Petani Lampung, Yayasan Koesnadi Hardjasoemantri, Merti Nusantara, Perkumpulan Kantor Bantuan Hukum Purwokerto, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Dewan Pengurus Forum LSM DIY 2002-2004, Komite Kemanusiaan Yogyakarta, Konsultan Irigasi Bappeda DIY, dan terakhir menjadi staf pengajar Sekolah Tinggi Teologia Injili Indonesia di Yogyakarta untuk mata kuliah Sosiologi, Kewarganegaraan, dan Multikulturalism. Penulis juga menulis sejumlah buku dan manual kursus yang diterbitkan oleh beberapa lembaga dan penerbit. Tahun 2006 Penulis melanjutkan ke program Magister Sains Sosiologi Pedesaan IPB.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
Halaman xv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
GLOSARIUM
xvi
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
BAB VI
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Pertanyaan Penelitian 1.3. Tujuan Penelitian 1.4. Kegunaan Penelitian
1 5 5 6
TINJAUAN TEORITIS 2.1. Pendahuluan 2.2. Teori Gerakan Sosial 2.3. Kedatangan Konsep Masyarakat Sipil 2.4. Kerangka Pemikiran 2.5. Hipotesis Pengarah 2.6. Kerangka Pemikiran Penelitian
7 7 15 25 26 27
METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Paradigma dan Pendekatan Penelitian 3.3. Metode Pengumpulan dan Analisis Data 3.4. Strategi Penelitian
28 29 33 34
GERAKAN MASYARAKAT SIPIL MASA ORDE BARU DI YOGYAKARTA 4.1. Yogyakarta Dalam Konteks Sosial Politik 4.2. Pertumbuhan Gerakan Masyarakat Sipil di Yogyakarta 4.3. Ikhtisar
36 38 59
DINAMIKA MASYARAKAT SIPIL DI YOGYAKARTA MENJELANG KEJATUHAN SOEHARTO 5.1. Yogyakarta Menjelang Kejatuhan Soeharto 5.2. Gerakan Protes Menjelang Kejatuhan Soeharto 5.3. Ikhtisar
60 71 84
GERAKAN MASYARAKAT SIPIL DI YOGYAKARTA, 1998-2004 6.1. Pendahuluan 6.2. Transisi Menuju Demokrasi
86 89
xiii
BAB VII
BAB VIII
6.2.1. Protes Sipil di Pedesaan 6.2.2. Protes di Perkotaan 6.2.3. Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu 6.3. Pelembagaan Politik 6.3.1. Gerakan Memperkuat Desentralisasi Politik 6.3.2. Gerakan Feminis di Yogyakarta 6.3.3. Gerakan Tata Pemerintahan Yang Baik 6.3.4. Pemilihan Gubernur dan Keistimewaan Yogyakarta 6.3.5 Gerakan Solidaritas dan Pluralisme 6.4. Menjelang Pemilu 2004 6.5. Iktisar
90 95 101 105 107 116 124 130 138 141 148
PLATFORM DAN STRATEGI GERAKAN MASYARAKAT SIPIL 7.1. Pendahuluan 7.2. Dinamika Gerakan Era Orde Baru 7.3. Dinamika Gerakan Pasca Orde Baru 7.4. Membandingkan Gerakan 7.5. Ikhtisar
149 150 157 163 165
KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan 8.2. Saran
166 167
DAFTAR PUSTAKA
168
LAMPIRAN
176
xiv
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1
Perbedaan Proses Pemilu Dalam Demokrasi Transisi dan Demokrasi Tertata 143
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4
Langkah-Langkah Menuju Partisipasi Gerakan Kontinuum Organisasi MS dalam Civil Society Kerangka Pemikiran Riset Hubungan Antara Teori dan Empirisme
Halaman 14 24 27 32
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5
Daftar Koran, Media Elektronik dan Majalah Daftar Pernyataan Sikap dan Internet Daftar Jurnal Daftar Dokumen Daftar Narasumber;
Halaman 174 174 175 175 175
xv
GLOSARIUM ABRI BPD CSSP DIY DPRD Dema FISIP FPUB FPPI GNTPPB HAM IAIN ITB ISI ICMI IRE IDEA JEC JPD KKY KS KPPI KPU KNPI KIPP KPD KDRT KPI KKN KPRP LSM LSP LP3ES LBH LAPERA LMND LBH APIK LPH MS NKK/BKK Ornop/NGO PDIP PKL PKS PKBI
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Badan Perwakilan Desa Civil Society Support Program Daerah Istimewa Yogyakarta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial da Politik Forum Persaudaraan Umat Beriman Front Perjuangan Pemuda Indonesia Gerakan Nasional Tidak Pilih Politisi Busuk Hak Asasi Manusia Institut Agama Islam Negeri Institut Teknologi Bandung Institut Seni Indonesia Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Institut Research and Empowerment Institut Development and Economic Analysis Jogja Expo Center Jaringan Pembaruan Desa Komite Kemanusiaan Yogyakarta Kelompok Studi Komite Persiapan Pegerakan Indonesia Komisi Pemilihan Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia Komite Independen Pemantau Pemilu Komite Pembaruan Desa Kekerasan Dalam Rumah Tangga Koalisi Perempuan Indonesia Kuliah Kerja Nyata Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan Lembaga Swadaya Masyarakat Lembaga Studi Pembangunan Lembaga Penelitian,Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial Lembaga Batuan Hukum Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Liga Mahasiswa Nasional Demokrat Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Lembaga Pembelaan Hukum Masyarakat Sipil Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan Organisasi non pemerintah /non governance organization Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pedagang Kaki Lima Partai Keadilan Sejahtera Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
xvi
PKBH PHK PNI PRD PPP RUU RRI SU SMID SPD SDSB Setam UGM UMS UII UAJY UMY UPN TPF YLBHI YLKI
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Pemutusan Hubungan Kerja Partai Nasional Indonesia Partai Rakyat Demokratik Partai Persatuan Pembangunan Rancangan Undang-undang Radio Republik Indonesia Sidang Umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi Sekolah Pembaruan Desa Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah Serikat Tani Merdeka Universitas Gadjah Mada Universitas Muhammadiyah Surakarta Universitas Islam Indonesia Universitas Atma Jaya Yogyakarta Universitas Muhammadiyh Yogyakarta Universitas Pembangunan Nasional Tim Pencari Fakta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
xvii
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Salah satu topik terpenting dalam diskursus politik pasca jatuhnya rezim Orde Baru adalah peran masyarakat sipil [civil society]. Topik ini menjadi pembicaraan paling hangat dalam satu dasawarsa terakhir menyusul jatuhnya rezim otoriter Orde Baru. Begitu bandul politik berubah ke arah demokratisasi, segeralah menyeruak dalam diskursus tentang peran masyarakat sipil dalam kehidupan bernegara dan politik. Perhatian sebagian besar cendekiawan, aktivis gerakan sosial, aktivis politik, sampai dengan agamawan tertuju pada masa depan politik yang menjujung peran masyarakat sipil1. Masyarakat sipil [civil society] telah menjadi mantra dalam diskursus politik selama satu dasawarsa terakhir. Hampir tidak ada perbincangan ilmu sosial politik yang mengalahkannya. Seluruh perhatian, khususnya pasca Soeharto, tercurah untuk memperkuat dan melembagakannya. Penelitian ini mengangkat topik yang menjadi perbincangan hangat dalam konstelasi politik Indonesia selama satu dasawarsa terakhir yakni masyarakat sipil [civil society] dengan mengambil lokasi studi di Yogyakarta. Periode yang melingkupi penelitian ini adalah transisi politik pasca Orde Baru sampai dengan pelaksanaan pemilu 2004 yang mengantarkan Susilo Bambang Yudhoyono, seorang Jenderal moderat tampil sebagai pemenang. Periode penelitian ini mengambil fase transisi demokrasi di Indonesia. Rezim Orde Baru dipandang sebagai fase supremasi militer yang ditandai dengan keterlibatan militer yang sangat dalam dan luas dalam kehidupan sosial politik melalui dwi fungsi. Kejatuhan Presiden Soeharto telah memperbesar sentimen anti militer dan memunculkan diskursus
1
Masyarakat sipil diletakkan berhadapan dengan militer(ism). Dengan demikian penguatan wacana masyarakat sipil merupakan counter poltik dari sistem politik Orde Baru yang meempatkan militer sebagai kekuatan dominan, yang kemudian merembes dalam sistem sosial budaya masyarakat yang termanifestasi dalam tradisi kekerasan, jargon, atribut, sampai dengan organisasi. Lihat Purwo Santoso (Edt) [2000] , Melucuti Serdadu Sipil; Mengembangkan Wacana Demiliterisasi Dalam Komunitas Sipil, FISIPOL UGM; Yogyakarta; Donald K. Emmerson (Edt) [2001] Indonesia Beyond Soeharto; Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Gramedia – The Asia Foundation; Jakarta; Gregorius Sahdan [2004] Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Pondok Edukasi; Yogyakarta; Geoff Forrester [1999] Post – Soeharto Indonesia; Renewal or Chaos, ISEAS – KITLV; Singapore
1
tentang partisipasi sipil yang lebih besar dalam panggung politik, bahkan lebih dari itu juga pelucutan kultur militer dalam masyarakat. Kaum oposan melihat bahwa penetrasi militer dalam kehidupan sosial politik sudah terlalu jauh, bukan hanya dalam kelembagaankelembagaan politik seperti DPR/MPR, Gubernur, Bupati, tetapi juga budaya masyarakat seperti kekerasan, slogan, simbol, upacara, bahasa dan pelanggaran hak warga2. Pemerintahan Orde Baru adalah panggung
militer dengan seluruh nilainya, tidak
terkecuali wilayah-wilayah yang seharusnya menjadi ranah sipil, seperti pendidikan, kesenian, tenaga kerja, kesehatan, dan lain sebagainya. Meruntuhkan Orde Baru dengan segala pilar politiknya berarti memasuki babak baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya pada kelembagaan-kelembagaan politik, tetapi juga dalam struktur budaya masyarakat yang menjunjung tinggi supremasi sipil. Lokasi penelitian di Yogyakarta. Daerah yang dianggap oleh berbagai kalangan sebagai barometer gerakan oposisi Orde Baru. Dengan tingkat melek huruf nomor dua setelah DKI Jakarta dan didukung lebih dari 80-an kampus, menjadikan Yogyakarta penghasil kelas menengah yang melek politik lebih besar dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia. Kelas menengah, khususnya mahasiswa tetap menjadi penopang utama gerakan protes anti rezim. Tahun 1980-an bandul gerakan mahasiswa mulai dari Jakarta dan Bandung ke
berbagai daerah seperti Salatiga, Surabaya, Malang, Makasar, dan
Yogyakarta. Pergeseran ini dipengaruhi oleh berbagai sebaba seperti maraknya kelompok studi, kasus pelanggaran HAM seperti Kedung Ombo, Nipah, Marsinah, dan tiga mahasiswa UGM (Bambang Subono, Isti Nugroho dan Bonar Tigor N), sampai dengan ruang politik yang lebih leluasa diberikan oleh pihak kampus3. Tahun selanjutnya di Yogyakarta menjadi kancah paling menentukan bagi embrio gerakan mahasiswa dan
2
Lihat Tiwon, Sylvia., Iskra Ismayah, dkk [1999] Militerisme di Indonesia; Untuk Pemula, Aksi Bersama Rakyat Indonesia, Surabaya. Buku ini sangat menarik karena disusun dalam bahasa dan komentar yang sederhana sekaligus konprehensip disertai dengan komik-komik yang provokatif. 3 Aktivitas politik mahasiswa berkembang cukup pesat saat UGM dipimpin oleh Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri. Koesnadi Hardjasoemantri dikenal sebagai figur yang populis di kalangan mahasiswa, bahkan merupakan satu-satunya rektor yang mengantar mahasiswa demo menolak SDSB 7 Januari 1989 ke DPRD DIY [wawancara dengan Koesnadi Hardjasoemantri untuk persiapan penelitian, tanggal 5 November 2006] ; Detiknews, 08/03/2007, Siaran Pers PIJAR No. 140/Eks/Sekr.PH-YP/V/1994, tanggal 16 Mei 1994, Stanley, Seputar Kedung Ombo, ELSAM, 1994 hal 135-171. Di Salatiga, Universitas Kristen Satya Wacana menjadi tempat bagi pertumbuhan gerakan kritis karena dukungan pengajarnya seperti Arief Budiman, Ariel Haryanto, Goerge Aditjondro.
2
masyarakat sipil. Pasca pembentukan kelompok diskusi, mulai bermunculan kekuatan oposisi terhadap kebijakan NKK/BKK, perlawanan kepada kebijakan kampus (misalnya pemilihan rektor), advokasi terhadap kasus HAM, sampai pembentukan kekuatan oposisi rezim melalui Persatuan Rakyat Demokratik yang kemudian menjadi Partai Rakyat Demokratik4. Sementara itu hubungan antara intra dan ekstra kampus tetap terjaga dengan platform politik yang sama, yakni Orde Baru sebagai musuh bersama (common enemy ). Setelah para aktivis ”pensiun” dari kampus, umumnya mereka masuk dan mendirikan berbagai organisasi non pemerintah (ornop) dan tetap bekerja sama secara intensif dengan para juniornya di kampus. Keduanya menjadi mesin utama pertumbuhan masyarakat sipil di Indonesia, secara khusus di Yogyakarta5. Memahami Yogyakarta beserta seluruh dinamikanya merupakan kajian yang tidak pernah kering bagi ilmuwan sosial. Daerah ini merupakan tulang punggung perubahan sosial yang sangat penting di Indonesia. Wilayah ini telah menjadi kota yang dinamis dalam sejarah perpolitikan mahasiswa era tahun 1990-an dan sekaligus membawa resonansi bagi gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Di luar arena gerakan mahasiswa, tumbuh juga berbagai elemen yang memberi makna penting pada upaya membangun kesadaran oposisi atas nilai dan supremasi rezim berkuasa. Bukan hanya gerakan kaum muda saja yang memiliki pengaruh pada pembentukan kesadaran oposisi, tetapi juga kaum agamawan melalui forum umat beriman, kaum intelektual melalui Komite Kemanusiaan Yogyakarta, pedagang, buruh, PKL, kaum miskin kota, petani, dan tentu saja Ornop/LSM (Organisasi non pemerintah/Lembaga Swadaya Masyarakat). Kelompok ini, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama bekerja untuk memberi warna terhadap dinamika sosial politik di Yogyakarta. Gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta terus melebar dan menyentuh isu-isu yang krusial menjelang tahun 1998, yakni suksesi kekuasaan. Berbagai elemen masyarakat di 4
Miftahuddin,[2004] Radikalisasi Pemuda; PRD Melawan Tirani,; Desantara; Jakarta; MT Arifin, Partai Rakyat Demokratik, Dokumen tidak diterbitkan; Markonina Hartisekar dan Akrin Isjani Abadi[2001] Mewaspadai Kuda Troya Komunisme di Era Reformasi, Pustaka Sarana Kajian, Jakarta. Kedua buku terakhir [lebih tepat disebut dokumen] tersebut membahas perkembangan gerakan kaum muda radikal di Indonesia. Secara khusus kedua buku tersebut menempatkan Yogyakarta sebagai arena perpolitikan baru gerakan kaum muda pada tahun 1980 sampai dengan 1990-an dengan Partai Rakyat Demokratik sebagai salah satu pelopor gerakan. 5 Untuk mengetahui lebih lanjut perkembangan masyarakat sipil di Indonesia, khususnya mereka yang bercirikan sebagai NGO’s dapat dibaca Mansour Fakih [1996] Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial : Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
3
Yogyakarta
bekerjasama,
bukan
hanya
mengembangkan
wacana
tanding
yang
dikembangkan oleh penguasa resmi, bahkan mulai menyentuh inti dari krisis sosial politik ekonomi yang berkembang, yakni turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan. Momentum Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 1998 menjadi titik sentral bagaimana masyarakat sipil mampu membuktikan solidaritasnya tanpa tercederai oleh insiden kekerasan melalui laku budaya yang disebut Pisowanan Agung di Alun-alun Yogyakarta6. Kisah sukses menumbangkan rezim otoriter Orde Baru dan sekaligus fenomena yang berlangsung sesudahnya telah mendorong berbagai kalangan untuk mengembangkan kajian mendalam tentang peran masyarakat sipil7. Salah satu yang paling menarik adalah polarisasi gerakan yang berlangsung pasca Soeharto, mulai dari gerakan anti status quo, pluralisme, gender, gerakan tani, gerakan buruh, diffable, lingkungan, reformasi peradilan, desentralisasi, kebijakan pembangunan, anti korupsi, hak asasi manusia, pemerintahan desa, dan tentu saja partai politik. Sebagai salah satu bagian dari transisi demokrasi di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, perenungan atas sikap dan tindakan politik yang dilakukan, khususnya latar belakang sebagai aktivis Ornop, membawa keinginan untuk menyelidiki lebih jauh dimana peran dan persoalan gerakan masyarakat sipil pasca kejatuhan Soeharto. Kesempatan riset ini akan digunakan untuk mengurai, melihat, menganalisis, dan mendudukkan persoalan gerakan masyarakat sipil, khususnya di Yogyakarta. Penelitian ini akan meliputi berbagai peristiwa yang dianggap penting sepanjang transisi demokrasi dari tahun
1998 sampai dengan pelaksanaan pemilu 2004 di
6
Pengalaman peneliti sendiri ketika terlibat secara aktif dalam gerakan “Pisowanan Agung” 20 Mei 1998 menyaksikan bahwa keterlibatan berbagai elemen masyarakat Yogyakarta sangat besar. Kaum agamawan menyarankan umatnya untuk ikut dalam gerakan tersebut bersama mahasiswa, kaum pedagang memberikan sumbangan makanan minuman kepada masyarakat yang mengikuti acara tersebut, sampai tukang becak, parkir, dan satpam menjadi tenaga sukarela mengamankan jalannya peristiwa tersebut. 7 Untuk menyebut beberapa saja dapat yang dijadikan referensi adalah Darmawan Triwibowo,(ed), [2006] Gerakan Sosial; Wahana Civil Society Bagi Demokratisai; Jakarta, LP3ES – Prakarsa, Jakarta; AE Priyono, dkk [2007] Menjadikan Demokrasi Bermakna; Masalah dan Pilihan di Indonesia, Demos, Jakarta; Sobirin Nadj, edt [2003] Sepremasi Sipil Pelembagaan Politik dan Integrasi Nasional; Studi Transisi Politik Pasca Orde Baru, LP3ES, Jakarta; Hamid Abidin, dkk [2004] Menggalang Dana Menuju Perubahan Sosial, Jakarta; PIRAC-TIFA-CSSP, Jakarta dan lain sebagainya, ditambah lagi berbagai seminar dan lokakarya yang membicarakan tema-tema sejenis. Kesimpulan yang diperoleh atas situasi gerakan masyarakat sipil mengerucut pada optimisme dan pesimisme. Mereka yang berpandangan optimisme mengatakan bahwa MS sedang mengalami reposisi. Pandangan yang pesimisme memiliki preferensi yang beragam mulai dari “defisit demokrasi” (Demos), “menyiram bunga tetapi malah layu” (Ford Foundation), “pembajakan demokrasi”, “demokrasi bersubsidi”, “intelektualisasi gerakan masyarakat sipil” dan lain sebagainya.
4
Yogyakarta8. Gerakan protes senantiasa menjadi ladang studi yang menarik, bukan hanya bagi para peneliti sosial, tetapi juga para aktivisnya. Bagi peneliti, menemukan fakta sosial politik dibalik sebuah gerakan protes anti rezim merupakan tantangan yang senantiasa hadir dalam medan tema ini. Faktor yang mempengaruhi, akibat yang ditimbulkannya, serta aktor yang terlibat dalam sebagian atau keseluruhan gerakan protes anti rezim menjadi kajian yang menarik. Peneliti sosial memiliki tantangan untuk membongkar dan menemukan fakta –fakta yang tersembunyi dibalik sebuah peristiwa. Bagi masyarakat sipil sendiri penelitian ini diharapkan akan menjadi refleksi bagi kerja pemberdayaan yang lebih luas. Hubungan dialektik aksi-refleksi sangat diperlukan dalam pemberdayaan. Aksi akan hadir berikutnya setelah dilakukan refleksi atas metode, strategi dan hasil dari rangkaian sebelumnya.
I.2. Pertanyaan Penelitian Dengan latar belakang tersebut, untuk membantu mempertajam penelitian disusun dua pertanyaan dalam memahami gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta ; 1. Bagaimana bentuk strategi dan platform gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta pasca Orde Baru? 2. Faktor apa saja yang berpengaruh terhadap gerakan masyarakat sipil pasca Orde Baru di Yogyakarta?
I.3. Tujuan Penelitian Dari pertanyaan penelitian tersebut, dapat dirumuskan tujuan penelitian yakni : 1. Menelaah bentuk strategi dan platform gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta pasca Orde Baru. Dengan situasi rezim yang yang berubah menjadi demokratis tentu juga terjadi perubahan strategi dan platform gerakan MS di Yogyakarta.
8
Menjelang pemilu 2004, LAPERA dan beberapa lembaga di Yogyakarta menyelenggarakan pertemuan dengan tema Rapat Konsolidasi Gerakan Pro Demokrasi Menyongsong Pemilu 2004 di Yogyakarta tanggal 15-17 April 2004. Terdapat tiga persoalan yang berkembang dalam pertemuan tersebut, pertama, bagaimana hubungan ornop dengan kekuatan politik yang lain, khususnya partai politik. Kedua, bagaimana hubungan antara ornop dengan rakyat yang menjadi medan politik pengorganisasian. Ketiga, bagaimana memastikan pemilu 2004 menjadi arena konsolidasi sipil. Dari tiga butir tersebut, nampak kegamangan gerakan masyarakat sipil terhadap fenomena politik yang berlangsung di berbagai level. Lihat Himawan Pambudi & Siti Fikriyah Kh,[2004] Menuju Konsolidasi Demokrasi, Yogyakarta, LAPERA-Forum LSM-KPI, Yogyakarta
5
2. Mengetahui faktor
yang mempengaruhi perubahan strategi dan platform gerakan
Masyarakat sipil pasca Orde Baru di Yogyakarta .
I.4. Kegunaan Penelitian Dengan memahami secara mendalam gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta, penelitian ini diharapkan memiliki kegunaaan sebagai berikut : 1. memberikan gambaran mengenai aktor, platform dan strategi gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta, khususnya gerakan protes pada era Orde Baru dan sesudahnya. 2. mengatahui berbagai faktor yang mempengaruhi gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta, dapat digunakan sebagai bahan refleksi dan evaluasi mengenai berbagai persoalan yang menyertai pertumbuhan gerakan masyarakat sipil.
6
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1. Pendahuluan Gerakan masyarakat sipil (MS) dalam kaitannya dengan gerakan oposisi di Indonesia menjadi ciri khas dari pertumbuhan gerakan sosial.
Keberadaannya
diindentikkan dengan gerakan protes anti rezim, khususnya Orde Baru. Dengan sendirinya membahas pertumbuhan MS tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang gerakan sosial. Kemunculan gerakan sosial dapat dilihat sebagai unsur utama masyarakat sipil. Konsep ini didefinisikan sebagai masyarakat yang sadar akan hak-haknya sebagai warga negara, dan berdaya menentukan masa depannya sendiri, serta gerakan yang berani berjuang melawan praktek-praktek penindasan dan ketidak–adilan yang datang dari negara1.
MS adalah wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi, yang bercirikan
kesukarelaan
(voluntary),
keswasembadaan
(self
generating),
keswadayaan
(self
supporting), kemandirian yang tinggi terhadap negara. Alfred Stepan memberikan definisi sebagai arena tempat berbagai gerakan sosial serta organisasi sipil dari semua kelas2. Dengan sendirinya membahas tentang gerakan MS tanpa mengkaitkan dengan gerakan sosial, merupakan sebuah keniscayaan dalam studi terhadap gerakan protes di Indonesia.
2.2. Teori Gerakan Sosial Di atas sudah disampaikan bahwa membahas gerakan MS tanpa mengkaitkan dengan gerakan sosial merupakan sebuah keniscayaan dalam lapangan studi sosial. Gerakan sosial merupakan bentuk aktivisme yang khas dari masyarakat sipil (Diano & Porta, 2006). Sebagai bentuk aktivisme yang khas,
didefinisikan sebagai ’sebentuk aksi kolektif’
dengan orientasi konfliktual yang jelas terhadap lawan sosial dan politik tertentu, 1
Bonie Setiawan , Organisasi Pemerintah dan Masyarakat Sipil .Prisma No. 7/1996 Alfred Stepan [1996] Militer dan Demokratisasi ; Pengalaman Brasil dan Beberapa Negara Lain , Grafiti Press, Jakarta 2
7
dilakukan dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang erat oleh aktor-aktor yang diikat oleh rasa solidaritas dan identitas kolektif yang kuat melebihi bentuk-bentuk ikatan dalam koalisi dan kampanye bersama3. Ciri lain dalam gerakan sosial adalah tujuannya yang bukan untuk mencapai kekuasaan, sekalipun dalam beberapa hal gerakan sosial ditujukan untuk mengganti rezim rezim yang berkuasa. Ini berbeda dengan gerakan politik yang umumnya ditujukan untuk merebut kekuasaan baik yang dilakukan dengan cara damai atau lewat kekerasan. Ikatan gerakan sosial adalah pada cita-citanya tentang perubahan. Selain definisi yang diberikan Diani dan Porta (2006), McCarthy & Zald (2003) mendefinisikan gerakan sosial sebagai seperangkat opini dan kepercayaan (opinion and belieft) dalam suatu kelompok masyarakat
yang mencerminkan preferensi bagi
perubahan pada sebagian elemen struktur sosial dan atau distribusi kemanfaatan dalam tatanan masyarakat yang lebih luas4. Tilly dan Wood (1999) mendefinisikan sebagai ’perlawanan yang terus menerus atas nama kelompok yang dirugikan terhadap pemegang kekuasaan melalui berbagai ragam protes publik, termasuk tindakan-tindakan di luar jalur partisipasi politik formal yang diatur oleh hukum dan perundangan, untuk menunjukkan bahwa kelompok tersebut solid, berkomitmen, serta mewakili jumlah yang significant 5. Protes ini bisa berlangsung panjang, naik turun, koalisi tidak harus permanen, dan kadang kala berlangsung ketegangan antar pelaku gerakan sosial. Namun demikian ikatan sosial politiknya bisa terus berlangsung sampai tujuan gerakan tercapai. Dalam definisi tersebut, gerakan sosial tidak hanya melibatkan aksi kolektif terhadap suatu masalah bersama namun juga dengan jelas mengidentifikasi target aksi tersebut dan mengartikulasikan dalam konteks sosial maupun politik tertentu. Aksi kolektif bisa berasosiasi dengan gerakan sosial selama dianggap sebagai perlawanan terhadap perilaku atau legitimasi aktor politik maupun sosial tertentu dan tidak ditujukan bagi masalahmasalah yang tidak disebabkan secara langsung oleh manusia.
3
Donatella Della Porta and Mario Diani [2006] Social Movements and Introduction (second editions) , Blackwell Publishing, USA 4 Mayer N Zald & John D Mc Carthy [2003] , Social Movement in an Organizational Society, Transaction Publishers, New Jersey 5 Charles Tilly,Lesley J. Wood [2009] Social movements, 1768-2008, Paradigm Publishers, USA
8
Gerakan sosial tidak dapat direpresentasikan oleh suatu organisasi tertentu. Oleh karenanya pelaku gerakan sosial tidak tunggal. Gerakan sosial direpresentasikan oleh citacita yang akan diusung, oleh karena itu gerakan sosial memiliki ciri inklusif, tidak didominasi dan direpresentasikan oleh satu atau dua organisasi. Karena ciri yang inklusif dimana setiap pihak yang setuju dengan cita-cita gerakan dapat terlibat dalam gerakan, maka sebuah gerakan sosial sesungguhnya merupakan pertukaran berbagai pihak yang bersedia bekerja untuk perubahan. Sebagai sebuah proses, gerakan sosial melibatkan pertukaran sumber daya yang berkesinambungan bagi pencapaian tujuan bersama di antara beragam aktor individu maupun kelembagaan mandiri. Strategi, koordinasi dan pengaturan peran dalam aksi kolektif ditentukan dari negosiasi yang terus menerus diantara aktor-aktor yang terlibat diikat oleh identitas kolektif. Sebagaimana yang disampaikan oleh Habermas, Offe
maupun Melucci, gerakan sosial adalah ”ruang antara” yang menjembatani
masyarakat sipil dan negara (Canel, 1997). Gerakan sosial adalah ruang antara pasifisme publik dengan pembusukan negara (abuse of power) . Dengan sendirinya gerakan sosial mengambil tanggung jawab publik atas peran-peran yang seharusnya dijalankan oleh negara seperti jaminan keamanan, jaminan kesejahteraan, partisipasi yang lebih luas dan lain sebagainya. Melalui ruang tersebut gerakan sosial mampu mempolitisasi civil society tanpa harus mereproduksi kontrol, regulasi, dan intervensi seperti yang dilakukan oleh negara6. Dalam pandangan Canel (1997), proses politisasi dalam ruang antara telah memampukan gerakan sosial untuk menyampaikan pesan mereka kepada masyarakat secara keseluruhan dan kepada aktor politik di luar MS. Pengertian umum gerakan sosial adalah tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada. Gerakan sosial umumnya lahir dari situasi yang dianggap tidak adil sehingga diperlukan sejumlah tindakan untuk merubahnya. Gerakan sosial secara sederhana dimaknai sebagai gerakan yang lahir dari 6
E. Canel, New Social Movement Theory and Resource Mobilization Theory: The Need Integrati, dalam M Kauffman dan HD Alfonso (Ed) [1997] , Community Power and Grassroots Democracy; The Transformation of Social Life, Zed Book
9
dan atas prakarsa masyarakat dalam menuntut perubahan institusi, kebijakan atau struktur kekuasaan. Dalam konteks ini gerakan sosial memandang bahwa ketiga hal diatas tidak sesuai dengan kehendak mayoritas. Gerakan sosial merupakan upaya kolektif untuk mengejar kepentingan bersama diluar lingkup lembaga –lembaga yang sudah mapan. Berkaitan dengan penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan mengenai ciri pokok gerakan sosial dengan membandingkan orientasi pokoknya, pertama, gerakan sosial melibatkan tantangan kolektif, yakni upaya-upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan di dalam arasemen-arasemen kelembagaan. Tantangan ini bisa berpusat pada kebijakan publik atau ditujukan untuk mengawali perubahan yang lebih luas dalam struktur lembaga sosial politik, kesejahteraan, atau berkaitan dengan hak-hak warga negara. Kedua, gerakan sosial biasanya memiliki corak politik. Ini terutama berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh gerakan sosial, yang secara spesifik biasanya berkaitan dengan distribusi kekuasaan. Secara singkat gerakan sosial memiliki ciri yaitu (1) lahirnya kekerasan atau protes baru dengan semangat muda yang dibentuk secara independen, (2) bertambahnya jumlah (dan peserta) aksi protes yang mendukung gerakan dan umumnya berlangsung secara cepat, (3) kebangkitan opini, (4) seluruh kekuatan ditujukan kepada lembaga sentral (5) gerakan sosial merupakan usaha untuk melahirkan perubahan struktur pada lembaga-lembaga sentral. Gidden (1993) menyatakan bahwa gerakan sosial adalah upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama; atau gerakan mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang sudah mapan7. Pengertian yang sama diutarakan Tarrow (1998) yang menempatkan gerakan sosial sebagai politik perlawanan yang terjadi ketika rakyat biasa --- yang bergabung dalam kelompok masyarakat yang lebih berpengaruh – menggalang kekuatan untuk melawan elit , pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan lainnya. Ketika perlawanan ini didukung oleh jaringan sosial yang kuat, dan digaungkan oleh resonansi kultural dan simbol-simbol aksi, maka politik perlawanan mengarah ke interaksi yang berkelanjutan dengan pihak-pihak lawan, dan hasilnya adalah gerakan social. Menurut Tarrow (1998), tindakan yang 7
Anthony Giddens and Philip W Sutton [2010] Sociology : Introductory Reading (3rd Edition) , Polity Press, UK
10
mendasari politik perlawanan adalah aksi kolektif yang melawan. Tindakan kolektif bisa mengambil banyak bentuk, yang singkat maupun yang berkelanjutan, terlembagakan ataupun cepat bubar, membosankan atau dramatis. Umumnya tindakan kolektif berlangsung dalam institusi ketika orang yang bergabung di dalamnya bertindak untuk mencapai tujuan bersama. Aksi kolektif memiliki nuansa penentangan ketika aksi itu dilakukan oleh orang-orang yang kurang memiliki akses ke institusi-institusi untuk mengajukan klaim baru atau klaim yang tidak dapat diterima oleh pemegang otoritas atau pihak-pihak yang ditentang lainnya. Aksi kolektif yang melawan merupakan basis dari gerakan social , karena aksi itu seringkali merupakan satu-satunya sumber daya yang dimiliki oleh orang-orang yang berada diluar struktur8. Pada dataran teoritis, hal itulah yang telah melahirkan berbagai teori tentang gerakan social, seperti teori tindakan kolektif (collective action /behavior), teori ‘nilai tambah’ (value added), teori mobilisasi sumber daya (resource mobilization), teori proses politik (political process), dan teori gerakan social baru (new social movement). Gejolak sosial menurut Smelser, dinamakan collective behavior, adalah mobilisasi atas dasar suatu belief , keyakinan, yang mendefinisikan kembali gerakan sosial. Dalam pandangan Smelser(1962), gejolak sosial dapat terjadi apabila terdapat sejumlah determinan atau necessary conditions yang berturut-turut terdiri atas hal-hal sebagai berikut : (1) kekondusifan struktural (structural conduciveness), yaitu kondusif atau tidaknya struktur sosial budaya masyarakat terhadap gejolak sosial, (2) ketegangan struktural yang timbul , misalnya berupa ancaman atau deprivasi ekonomi, (3) penyebaran keyakinan yang dianut, (4) faktor pencetus berupa sesuatu yang dramatik. Krisis keuangan misalnya, dapat diartikan sebagai deprivasi ekonomi yang melahirkan ketegangan struktural dan dapat pula menjadi faktor pencetus terjadinya gejolak sosial. Setelak gejolak sosial muncul sebagai akibat berbagai faktor diatas, (5) mobilisasi untuk mengadakan aksi berkembang menjadi gerakan sosial. Situasi dapat dimulai dengan agitasi untuk reform. (6) pengorganisasian kontrol sosial yang mencegah, mengganggu, membelokkan , merintangi gejolak tersebut. 8
Sidney Tarrow [1998] Power in Movement: Social Movements, Collective Action, and Politics, 2nd ed.: Cambridge University Press , Cambridge, UK
11
Menurut Gamson (1992), sebuah kerangka aksi kolektif adalah ”seperangkat keyakinan dan pemaknaan yang berorientasi pada tindakan, yang memberi aspirasi dan melegitimasi berbagai kegiatan dan kampanye gerakan sosial”. Gamson membedakan tiga komponen kerangka aksi kolektif (1) rasa ketidakadilan, (2) elemen identitas, dan (3) faktor agensi. Rasa ketidakadilan muncul dari kegusaran moral yang berhubungan dengan kekecewaan, seperti ketidakadilan ekonomi, pemberian fasilitas kepada sekelompok orang, dan lain sebagainya. Kegusaran moral ini seringkali berhubungan dengan ketidaksetaraan yang tidak memiliki legitimasi –yaitu perlakuan yang tidak simbang terhadap individu atau kelompok yang dipersepsikan sebagai ketidakadilan (Folger, 1986; Major, 1994) . Pengindentifikasian
”mereka”
(penguasa,
kelompok
elite)
yang
dianggap
bertanggungjawab atas sebuah situasi negatif menyiratkan adanya ”kita” sebagai lawannya. Rasa ketidakadilan atau rasa berindentitas merupakan kondisi yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam gerakan, tetapi merasakan ketidakpuasan bersama dan menemukan penguasa yang dapat dipersalahkan semata-mata tidak cukup dapat mendorong orang untuk melibatkan diri dalam lapangan aksi kolektif. Individu harus menjadi yakin bahwa mereka memiliki kekuatan untuk mengubah kondisi mereka. Salah satu faktor penentu keberhasilan gerakan sosial terletak pada tujuan gerakan social diterima oleh seluruh aktor gerakan (Gamson, 1996) keberhasilan gerakan sosial terletak pada bagaimana aktor-aktor gerakan memformulasikan tujuannya sehingga diterima secara luas. Keberhasilan gerakan sosial diantaranya ditentukan oleh sejauh mana khalayak mempunyai pandangan yang sama atas suatu isu, musuh bersama atau tujuan bersama. Gerakan sosial bukan hanya membutuhkan bingkai bagaimana setiap aktor harus bertindak, melainkan juga bingkai apa yang sedang dihadapi. Keberhasilan dari suatu gerakan sosial tergantung pada bagaimana keberhasilan kelompok dalam mendefinisikan frame/bingkai atas apa apa yang harus dilakukan bersama (David A. Snow, 1986). Gamson menyimpulkan bahwa wacana media adalah sumber informasi penting yang dapat diambil orang ketika mereka mencoba mencari penjelasan atas isu-isu yang mereka bicarakan. Gerakan sosial membutuhkan partisipasi yang luas dari para pendukungnya. Menurut Klandermans (2005) terdapat empat langkah menuju partisipasi dalam gerakan sosial. (1)
12
potensi mobilisasi. Untuk menciptakan potensi mobilisasi, suatu gerakan harus mendapatkan simpati dari beberapa kelompok. Seperti yang telah kita ketahui potensi mobilisasi mengacu kepada para anggota masyarakat, yang secara potensial dapat dimobilisasi dengan suatu cara tertentu oleh gerakan sosial, termasuk di dalamnya adalah semua orang yang mempunyai sikap positif terhadap gerakan; tidak terbatas pada kelompok-kelompok yang kepentingannya dipertahankan atau diwakili oleh gerakan. Bahkan orang-orang yang tidak mendapatkan mafaat langsung dari gerakan sosial pu dapat bersimpati kepada gerakan, sehingga bisa menjadi calon potensial untuk dimobilisasi. (2) Jaringan perekrutan dan potensi mobilisasi. Seberapapun besar potensi mobilisasi sebuah gerakan, bila gerakan tersebut kurang memiliki jaringan perekruitan untuk aksi, maka gerakan tidak akan efektif. Untuk membentuk dan mengaktifkan jaringan perekrutan, suatu gerakan harus mempu menyatukan kekuatan dengan organisasi-organisasi lain dan menjalin hubungan dengan jaringan formal maupun informal yang telah ada, selain itu gerakan harus mampu mengembangkan organisasinya sendiri baik lokal maupun nasional. (Wilson dan Orum, 1976; Farree dan Miller, 1985). Jaringan perekrutan gerakan sosial menentukan upaya-upaya jangkauan mobilisasinya. Semakin luas jaringan dan semakin erat hubungannya dengan organisasi-organisasi dan jaringan-jaringan lain, maka semakin banyak pula orang akan berada dalam barisan gerakan (McAdam & Pulsen, 1993). (3) Motivasi untuk terlibat dalam gerakan. Untuk menstimulasi motivasi, suatu gerakan harus mempengaruhi keuntungan dan kerugian jika seseorang terlibat dalam gerakan sosial. Jika keutungan yang diperoleh dalam gerakan sosial lebih besar dari kerugian, kemungkinan untuk berpartisipasi juga semakin besar. Partisipasi dalam gerakan sosial berupa keterlibatan kongkret dan spesifik
seperti mengikuti rapat umum atau demonstrasi,
menyumbangkan sejumlah uang, bergabung dalam barisan pemogokan, dan lain sebagainya. Kita tidak dapat mengasumsikan bahwa seseorang yang telah berpartisipasi dalam sebuah gerakan yang spesifik, kemudian akan ikut berpartisipasi dengan gerakan lain. (4) Penghalang berpartisipasi. Motivasi menunjukkan kesediaan untuk berpartisipasi, tetapi itu saja tidak cukup. Kesediaan itu hanya akan berubah menjadi partisipasi sejauh niat itu dapat dilaksanakan. Tetapi penghalang dapat diatasi bila orang benar-benar
13
termotivasi dalam gerakan. Dengan demikian seseorang akan berpartisipasi atau tidak tergantung pada bagaimana cara dia merespon penghalangnya. Jadi gerakan sosial di tahap akhir harus menerapkan salah satu atau kedua strategi berikut, yaitu (a) mempertahankan atau menguatkan motivasi dan (b) menyingkirkan penghalang. Kladermans (2005) memberikan gambaran sebagai berikut mengenai keputusan apakah seseorang akan melibatkan diri (berpartisipasi) dalam gerakan atau tidak . Tidak bersimpati terhadap gerakan
Bersimpati terhadap gerakan
Tidak menjadi target mobilisasi
Menjadi target mobilisasi
Tidak termotivasi untuk berpartisipasi
Termotivasi untuk berpartisipasi
Tidak berpartisipasi
Berpartisipasi
Gambar 1. Langkah-Langkah Menuju Partisipasi Gerakan Seorang berpartisipasi dalam suatu gerakan berarti terlibat dalam sebuah kegiatan seperti mogok, demontrasi, menghadiri pertemuan, dan lain sebagainya. Dengan demikian setiap orang atau kelompok dalam sebuah gerakan dapat mengambil keputusan untuk berpartisipasi terus atau menghentikan partisipasinya. Model ini mengkombinasikan teori nilai harapan dan teori aksi kolektif (Klandermans, 2005). Menurut teori nilai harapan , perilaku individu atau kelompok merupakan fungsi nilai dari hasil yang diharapkan. Semakin besar kemungkinan suatu perilaku untuk menghasilkan hasil yang spesifik , dan semakin tinggi
penilaian terhadap hasil tersebut, maka kemungkinan besar juga
kemungkinan untuk terlibat dalam gerakan sosial. Dalam gerakan sosial, inti teori aksi kolektif adalah perbedaaan antara insentif kolektif dan insentif selektif (Oliver, 1980). Insentif kolektif dihubungkan dengan pencapaian tujuan kolektif. Sebaliknya insentif selektif hanya mempengaruhi orang-orang yang berpartisipasi dalam suatu aksi kolektif. Untuk melibatkan diri dalam suatu gerakan sosial membutuhkan ketersediaan insentif kolektif maupun selektif. Hanya sebagian kecil 14
orang yang mau berpatisipasi hanya untuk alasan mendapatkan insentif selektif semata. Pun, banyak kelompok atau orang tidak siap untuk berpartisipasi di dalam suatu kegiatan yang tidak menyediakan apapun selain insentif kolektif, meskipun bersimpati terhadap tujuan gerakan sosial. Oleh karena itu, sebuah kampanye yang bertujuan meyakinkan orang untuk berpartisipasi dalam sebuah gerakan sosial tidak hanya menekankan nilai tentang tujuan aksi tersebut dan mengontrol insentif selektif, kampanye juga harus mampu meyakinkan para aktor bahwa cukup banyak yang terlibat dalam gerakan sosial. Disinilah relevansi teori Gamson mengenai framing dimana media memiliki peran dalam menebarkan keyakinan mengenai tujuan gerakan.
2.3. Kedatangan Konsep Masyarakat Sipil Masyarakat sipil (MS) tidak memiliki definisi tunggal. Ilmuwan sosial memiliki pandangan dan definisi yang berbeda-beda tergantung konteks analisisnya. MS dapat diletakkan sebagai antitesa dari kecenderungan ke arah segala sesuatu yang berorientasi pada kemiliteran. Bagi ilmuwan yang berkiblat pada konteks historis perkembangan Islam, MS menjadi padanan masyarakat madani9. Kalau kita menggunakan mesin pencari di internet (google) dengan keyword masyarakat sipil akan menemukan 870.000 hasil pencarian, dengan keyword civil society 51.000.000 hasil pencarian, dengan keyword masyarakat madani 207.000 hasil pencarian. Ini menunjukkan betapa populernya kata tersebut dalam khasanah bahasa. Masyarakat Sipil (MS) merupakan konsep lama dalam pemikiran sosial politik yang bangkit kembali pada abad 20, terutama di Eropa Timur yang menjadi lahan subur pertumbuhan negara otoriter pasca PD II (meski di Eropa Barat, konsep tersebut juga berkembang). Konsep tersebut secara tradisional merupakan perkembangan dari istilah Romawi societas civilis, atau istilah Yunani koinonia politike. Istilah ini sinonim dengan masyarakat politik10.
9
Bermula dari gagasan Dato Anwar Ibrahim, ketika itu tengah menjabat sebagai Menteri keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia, ke Indonesia membawa “istilah masyarakat madani” sebagai terjemahan “civil society”, dalam ceramahnya pada simposium nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara festival Istiqlal, 26 September 1995. Lihat juga Sufyanto [2001], Masyarakat Tamaddun : Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholis Madjid, Pustaka Pelajar, Jogjakarta 10 Adam & Jessica Kuper [2000] op cit hal 113, Aristoteles [2007] op cit hal 107-111
15
MS merupakan arena bagi warga negara yang aktif secara politik. Istilah tersebut juga berkonotasi bahwa orang-orang yang terlibat di dalamnya
adalah bagian dari
masyarakat yang beradab yang mendasarkan hubungan–hubungannya pada suatu sistem hukum, bukannya pada tatanan hukum yang otokratis dan korup. Adalah Hegel yang mampu mengembangkan makna modern dari MS. Buku Philosophy of Right yang pertama kali terbit tahun 1821 (dan diterbitkan ulang tahun 1958), memberikan definisi MS adalah wadah kehidupan etis yang terletak di antara kehidupan keluarga dan kehidupan kewarganegaraan11. Nafas baru ditiupkan dalam definisi tersebut oleh serangkaian perubahan bertahap di Eropa tengah dan timur pada akhir tahun 1970-1980-an. Para pembangkang di kawasan tersebut menjadikan konsep MS untuk menentang rezim otoriter menjelang tumbangnya komunisme di kawasan
tersebut. Konsep tersebut dianggap jalan alternatif bagi
munculnya kekuatan warga negara yang tidak terkooptasi oleh negara, menjunjung tinggi kebebasan, dan berada dalam rute anti kekerasan sebagai prinsip perlawanan. Solidaritas internasional segera terbentuk sejalan dengan menguatnya probality pengaruh yang diperoleh oleh golongan tersebut12. Para teoritisi sosial memberikan penjelasan yang berbeda-beda sekalipun menunjuk pada objek yang sama. Dari sudut disiplin ilmu pengetahuan, masing-masing memiliki definisi yang berbeda untuk menunjuk sejumlah ciri : sipil (non militer), di luar domain negara, berbasis pada kelas menengah (middle class), mengusung tema atau isu tertentu, membentuk jaringan yang tangguh pada kepentingan tertentu, berwatak non violence, untuk sementara digolongkan sebagai organisasi nirlaba. Ciri yang berbeda namun memiliki karakteristik sama juga diberikan dalam definisi ini yakni, masyarakat yang memiliki ruang publik bebas (free public sphere), demokratis, memiliki toleransi, menghargai pluralisme, memiliki spirit keadilan sosial (social justice), dan menjunjung tinggi supremasi hukum. Hikam (1996) memberikan ciri yang lebih spesifik mengenai MS yakni pertama, memiliki kesukarelaan dalam bekerja untuk mewujudkan komunitasnya menjadi lebih baik. Dalam pengertian ini juga dibarengi dengan komitmen yang tinggi untuk
11 12
Hegel [1958] Phylosopy of Right, trans. TW Knox, Oxford. Markoff [2002] op cit 188-189
16
mewujudkan cita-cita yang dituju. Kedua, keswasembadaan, setiap anggota mempunyai harga diri yang tinggi, mandiri yang kuat tanpa menggantungkan pada negara atau lembaga-lembaga negara atau organisasi lainnya. Ketiga, kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara. Keempat, keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama. Masyarakat madani adalah masyarakat yang berdasarkan hukum dan bukan negara kekuasaan13. Ilmuwan Islam Madjid (1999) memberikan ciri yang berbeda tentang konsep ini yakni, Semangat egalitarianisme atau kesetaraan, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi, bukan prestise, keterbukaan, partisipasi seluruh anggota masyarakat, penentuan kepemimpinan melalui pemilihan14. Adam Seligman memberikan dua istilah Civil Society dari sudut konsep sosiologis. Dalam tingkatan kelembagaan dan organisasi sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan. Untuk yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan. Dalam pengertian civil society dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi, yang menurut Seligman dikembangkan oleh T.H. Marshall. Dengan kata lain bicara civil society sama dengan bicara demokrasi. Dan civil society ini merupakan objek kajian dalam dunia politik (sosiologi politik, antropologi politik, dan social thoughts). Sedangkan yang kedua, civil society menjadi wilayah kajian filsafat yang menekankan pada nilai dan kepercayaan. Yang kedua ini menurut Seligman, kajian civil society sekarang ini mengarah pada kombinasi antara konsep Durkheim tentang moral individualism dan konsep Weber tentang rasionalitas bentuk modern organisasi sosial, atau sintesa Talcott Persons tentang karisma Weber dan individualism Durkheim15. Batasan-batasan tersebut dapat saja menyempit atau meluas tergantung pada telaah yang digunakan, pakar politik akan memberikan definisi sebagai ”agen” demokratisasi di negara dunia ketiga, pakar sosiologi melihat sebagai kekuatan yang dapat menjadi mesin penggerak perubahan, bahkan dalam
13
Muhammad AS Hikam [1996], Demokrasi dan Civil Society, Pustaka LP3ES, Jakarta Nurcholis Madjid [1999] Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Paramadina, Jakarta , hal 167-168. Nurcholis Madjid juga menyamakan masyarakat sipil dengan masyarakat madani (madinah) sebuah keadaan masyarakat yang memiliki ciri-ciri tersebut sebagaimana madinah dibawah Muhammad A.S melalui piagam Madinah. 15 A. Qodri Abdillah Azizy [2000] Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta (Kajian Historis-Normatif), dalam Ismail dan Mukti, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 14
17
konteks politik negara seringkali diletakkan secara dikotomi sipil – militer atau kekuatan oposan penyeimbang antara pasar dan negara16. Di berbagai belahan dunia, keberadaan masyarakat sipil tidak dapat dilepaskan dari organisasi yang menjadi basis pemikiran dan sekaligus penekan, namun tidak berorientasi terhadap kekuasaan. Organisasi ini ditempatkan diluar struktur dan kepentingan kekuasaan dominan. Oleh karenanya organisasi ini sering ditempatkan sebagai simbol oposan yang terlepas dari kooptasi kekuasaan resmi. Label oposan ini kemudian menjadi ciri utama dengan nama non goverment organizations (NGO’s) atau organisasi non pemerintah (Ornop), sebuah istilah yang mengandung makna oposisi. Penggunaan istilah tersebut juga kemudian berkembang menjadi LSM yang kemudian dilegalisasi melalui sejumlah regulasi17. Sekalipun istilah ini memancing perdebatan, namun nampaknya
”untuk
16
Saragih (2004) merangkum secara sangat singkat mengenai berbagai defenisi MS dalam pandangan berbagai pakar. Definisi tersebut tentu belum tercantum seluruhnya. Giddens (2000) menyebutnya sebagai “jalan ketiga” yang tujuannya adalah membantu para anggota masyarakat merintis jalan mereka melalui revolusi utama : globalisasi, transformasi dalam kebijakan publik personal, dan hubungan dengan lingkungan alam dengan nilai-nilai persamaan, perlindungan atas mereka yang lemah, kebebasan sebagai otonomi, tak ada hak tanpa tanggung jawab, tak ada otoritas tanpa demokrasi, pluralisme, konservatisme filosofis. Suwondo (2005) memberikan analisis mengenai perkembangan Civil Society di Indonesia dengan berbagai latar belakang kepentingannya. lihat Antony Giddens [2000] Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, Gramedia, Jakarta hal 74-76; Tumpal Saragih [2004] Mewujudkan Otonomi Masyarakat Desa, Cipruy, Jakarta hal 45-48; Kutut Suwondo [2003] Civil Society di Aras Lokal, Pustaka Pelajar-Percik, Yogyakarta hal 11-39; Dieter Nohlen, edt [1994] Kamus Dunia Ketiga, Gramedia, Jakarta, hal. 411-414; Adam & Jessica Kuper [2000] Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Rajawali Pers Jakarta hal 113- 115; Fakih (2004) op cit hal 37-58. 17 Ornop dan LSM sesungguhnya memiliki sejarah dan konteks yang berbeda. Istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berasal dari suatu seminar yang diselenggarakan Sekretariat Bina Desa (SBD) di Ungaran, Jawa Tengah 1978. Bambang Ismawan (Ketua Yayasan Bina Swadaya) berkonsultasi dengan Prof. Dr. Sayogyo minta pendapat tentang istilah yang sebaiknya dipakai untuk menyebut berbagai kelompok, lembaga atau organisasi yang bermunculan pada waktu itu, yang sangat aktif dalam upaya-upaya pembangunan terutama diantara lapisan masyarakat bawah. Di kalangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kelompok, lembaga atau organisasi tersebut disebut Non Government Organization (NGO) yang kemudian dalam suatu konferensi (1976) Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) diterjemahkan menjadi Organisasi Non Pemerintah (disingkat ORNOP). Bambang merasa kurang "sreg" dengan istilah tersebut. Pertama, karena pengertian organisasi non pemerintah dapat mencakup berbagai organisasi yang luas (asalkan bukan organisasi Pemerintah) baik organisasi bisnis, kalangan pers, paguyuban seni, olah raga dan lain-lain, padahal dengan NGO yang dimaksud lebih khusus yaitu yang berhubungan langsung dengan pembangunan. Kedua, dalam sejarah pergerakan, kita mengenal istilah ''Nonkooperatif" dan "Cooperatif". Pada waktu pendudukan Belanda ada kelompok masyarakat yang bekerjasama dengan Belanda disebut "golongan Co" dan ada kelompok yang menolak kerjasama disebut "golongan Non". Istilah NGO dapat diartikan sebagai kelompok masyarakat yang tidak mau bekerjasama dengan Pemerintah. Padahal untuk mencapai tujuan dari kelompok, lembaga atau organisasi tersebut, yaitu meningkatkan keswadayaan dan kemandirian masyarakat yang dilayani, sering perlu banyak bekerjasama dengan Pemerintah. Dalam mencari istilah Indonesia bagi NGO, Bambang Ismawan kemudian menemukan istilah yang sering dipakai oleh Kementrian Kerjasama International Jerman (Barat) yaitu Self Help Promoting Institute (SHPI) dan Self Help Organization (SHO), masing-masing dimaksudkan sebagai lembaga yang didirikan dengan tujuan menolong yang lain, sedang yang kedua dimaksudkan untuk menolong diri sendiri. Atas saran Prof. Sayogyo kemudian diperkenalkan
18
sementara” publik sepakat bahwa masyarakat sipil sebagai kekuatan di luar negara yang tumbuh dari prakarsa kelompok-kelompok sipil18. Istilah civil society atau masyarakat sipil (MS) oleh sebagaian kalangan disepakati mempunyai kesamaan dengan istilah masyarakat madani. Kedua istilah ini, civil society dan masyarakat madani, jelas berangkat dari konteks historis yang berbeda. Civil society merupakan konsep dari sejarah Barat/Eropa, sedangkan masyarakat madani merujuk pada sejarah Islam di awal penyebarannya dimana pertumbuhan dan solidaritas dibuktikan dengan Piagam Madinah, yang merupakan kesepakatan untuk menjamin pluralitas kehidupan warga negara. Walaupun demikian banyak kalangan akademis bersepakat bahwa konsep umum masyarakat madani dan civil society mempunyai kesamaan. Keduanya sering digunakan secara bergantian untuk memberikan definisi tentang sebuah konteks masyarakat yang menjunjung hak-hak sipil politik dalam sebuah kekuasaan. Secara bahasa civil society berasal dari bahasa latin, civilis societas, yang digunakan oleh Cicero (106-43 SM), yang pengertiannya mengacu kepada gejala budaya perorangan dan masyarakat19. Dalam penggunaan istilah modern civil society pertama kali dikembangkan di awal pencerahan Skotlandia. Salah satu pemikir pencerahan yang memulainya adalah Adam Ferguson dalam tulisan klasiknya An Essay on the History of Civil Society, dugaan
istilah Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) untuk SHPI dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk SHO. Istilah LSM lalu didefinisikan secara tegas dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 8/1990, yang ditujukan kepada gubernur di seluruh Indonesia tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat. Lampiran II dari Inmendagri menyebutkan bahwa LSM adalah organisasi/lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warga negara Republik Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya, lihat Bambang Ismawan, Partisipasi dan Dimensi Keswadayaan; Pengalaman LSM Membangun Keswadayaan Masyarakat, Jurnal Ekonomi Rakyat, Th. II - No. 3 - Mei 2003. Baca juga Sartono Kartodirdjo, Lembaga Swadaya Masyarakat; Tinjauan Singkat, Prisma No. 1 Tahun XVII, Januari 1988 dan Kartjono, Demokratisasi di Tingkat “Grassroots” ; Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat, Prisma No. 6 Tahun XVII, 1988. 18 Posisi ini sesungguhnya memicu perdebatan krusial, khususnya berkaitan dengan konsepsi sosiologis dan politik yang diberikan. Perdebatan pertama telah dilontarkan oleh George J. Aditjandro dalam artikelnya di Suara Merdeka tanggal 4 Januari 1993, bahwa istilah LSM dimaksudkan untuk pembonsaian makna oposisi. Kedua, kata “swadaya” telah menimbulkan kontroversi, dimana secara faktual lembaga ini memiliki ketergantungan dibidang pendanaan. Ketiga, seringkali lembaga ini dipandang sebagai representasi rakyat, khususnya di dalam kepentingan negara menyusun berbagai kebijakan pembangunan. Padahal secara faktual ikatan politik kebawah (rakyat) sangat longgar dan absurd. Satu-satunya kemampuan yang tinggi dimiliki oleh lembaga jenis ini adalah jaringan yang luas dan kapasitasnya sebagai intelektual kelas menengah yang dedikatif. 19 Adam & Jessica Kuper (2000) op cit hal 114
19
terhadap munculnya MS sangat berkaitan dengan kemunculan pasar ekonomi modern. MS juga wilayah khusus yang dicirikan oleh penyempurnaan moral dan budaya, perhatian terhadap pelaksanaan rule of law oleh pemerintahan, satu semangat publik, dan pembagian kerja (division of labor) yang kompleks. Adam Ferguson dan beberapa pemikir abad pencerahan di Skotlandia mulai memisahkan antara fenomena MS dan negara20. MS dinilai merupakan fenomena munculnya kemandirian masyarakat yang berseberangan dengan negara dalam arti kritis terhadap struktur dan kebijakan negara. Dalam pengertian ini, negara dipandang memiliki kepentingan yang berbeda dengan cita-cita MS. Negara memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan se-absolut mungkin melalui penegasian pluralisme gagasan dan kepentingan yang tumbuh dalam masyarakat. Untuk itulah keberadaan MS selalu diletakkan dalam sumbu yang berseberangan dengan otoritas negara. Selain kritis terhadap negara, civil society mempunyai kemandirian dalam banyak hal. Bahwa civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung kehidupan material, dan tidak terserap dalam jaringan-jaringan politik resmi, untuk itulah non partisan menjadi jargon MS. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas (the free public sphere), tempat dimana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat (Hikam, 1999: 3). Seringkali organisasi yang menjadi bagian dari masyarakat sipil adalah kalangan NGOs (Non Government Organizations/Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM) dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berbasis komunitas dan professional yang didalamnya ada kelompok keagamaan, kaum bisnis maupun media. Jika kita mengacu pada pengertian ini, tampaknya civil society juga merupakan kelas menengah. Kelas menengah oleh Hikam (1999) di dalamnya terdapat mahasiswa, aktivis LSM, dan kelompok-kelompok pro demokrasi. Di Indonesia konsep yang tumbuh sebelum MS menjadi definisi yang umum digunakan, adalah fenomena yang disebut dengan LSM/LPSM. Tidak ada yang bisa menjelaskan secara pasti, kapan sejarah MS mulai tumbuh di Indonesia. Sebagian kalangan menunjuk Soetomo dan Budi Oetomo sebagai tonggak lahirnya LSM/LPSM di Indonesia. Tetapi pilihan penunjukkan Soetomo lebih didasarkan pada nilai-nilai yang dipandang identik dengan keberadaan LSM/LPSM yang lahir setelah tahun 1970-an, bukan akibat20
Muhammad AS Hikam (1999) op cit hal 150-155
20
akibat yang ditimbulkan sebagai gerakan oposisi atas ideologi dan bentuk kekuasaan21. Perkembangan berikutnya di Indonesia (dan dunia internasional) adalah dihembuskannya nafas oposisi dalam definisi dan metode gerakan, sehingga istilah LSM/LPSM digunakan secara bergantian dengan organisasi non pemerintah (ornop/non governance organization). Billah, et al (1984) memberikan definisi sebagai organisasi yang dibuat oleh masyarakat sendiri untuk mengisi kebutuhannya atau memecahkan berbagai masalah sosial ekonomi yang dihadapinya, seperti masalah kemiskinan, keterbelakangan dan diabaikan dalam pembangunan. Pelakunya adalah para relawan yang terikat dengan motivasi, minat dan kepedulian yang sama22. Definisi agak moderat bila dibandingkan pada perkembangan berikutnya yang mampu melakukan counter pendekatan terhadap apa yang dilakukan oleh negara. Apakah MS dapat menjadi bagian dari gerakan sosial? Gerakan sosial(social movement) adalah aktivitas sosial berupa gerakan sejenis tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal yang berbetuk organisasi, berjumlah besar atau individu yang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial. Ada tiga unsur yang penting untuk digarisbawahi dalam melihat hubungan antara MS dengan gerakan sosial, yakni (1) reformasi jika dilihat dari lingkup gerakannya, (2) Damai jika dilihat dari metode kerjanya, (3) gerakan baru jika dilihat dari determinannya. Gerakan
MS
tidak
merubah
tatanan
secara
radikal.
Gerakan
umumnya
mendedikasikan perubahan hanya pada sistem politik, biasanya menyangkut aturan perundangan tertentu, seperti gerakan mahasiswa yang menuntut perubahan ke arah sistem politik yang lebih demokratis, gerakan buruh yang menginginkan perbaikan upah, gerakan perempuan yang ingin disamakan hak politiknya dengan laki-laki, dan lain sebagainya. Ini berbeda dengan gerakan yang bersifat radikal yang lebih menekankan perubahan pada sistem nilai. Sekalipun kadang-kadang diantara keduanya tampak sulit diukur batasbatasnya, namun tujuan akhir dari gerakan nampaknya dapat menjadi pembeda dari keduanya (DiRenzo, 1990). Dalam mencapai tujuannya, salah satu ciri dari gerakan MS adalah penggunaan cara-cara damai dalam setiap pendekatannya. Mobilisasi aksi, 21
Lihat M. Dawan Rahardjo, Dokter Soetomo: Pelopor LPSM?, Prisma No. 7 Tahun XVII/1988; Sartono Kartodirdjo, Lembaga Swadaya Masyarakat, Prisma No. 1 Tahun XVII Januari 1988. 22 MM Bilah, dkk [1984] A Bird’s Eye View of Non Governance Organisation in Indonesia, Indhira.
21
pembentukan opini, sampai dengan pembangkangan sipil merupakan cara-cara yang biasa digunakan dalam gerakan MS. Sekalipun kadang-kadang dihadang dengan kekerasan, gerakan MS tetap mengedepankan cara dapai untuk mencapai tujuannya. Dalam keseluruhan ciri tersebut, umuya gerakan MS yang tumbuh pada pertengahan abad 20 digolongkan sebagai gerakan sosial baru.
Epstein sebagaimana dikutip
Fakih(1996) mengatakan bahwa perbedaan gerakan sosial baru dan gerakan sosial lama adalah pada analisis yang bersifat non kelas karena gerakan ini umumnya dipelopori oleh orang-orang yang berasal dari kelas menengah. Ini berbeda dengan gerakan sosial lama yang umumnya bertumpu pada kelompok ploretar. Penjelsan diatas menurut Fakih, dipegaruhi oleh Antonio Gramci dan teoritisi golongan kiri baru yang menyatakan bahwa buruh bukan lagi menjadi tulang punggung gerakan sosial pada paruh abad 20. Model gerakan ini tidak didasarkan pada konsepsi kelas, tetapi pada solidaritas universal yang luas. Konsepsi perlawanannya tidak harus menyentuh kekuasaan, sekalipun kapitalisme tetap menjadi common issues. Gerakan ini berada diluar domain negara, sekalipun kadang-kadang paradoks dengan cita-cita perubahan. Perlawanan dilakukan secara masif dengan prioritas lokal sembari membentuk jaringan-jaringan yang lebih luas. Pendekatan konfrontasi menjadi ciri terdekat dari gerakan sosial baru (GSB)23. Singh (2001) memberikan empat ciri dari gerakan sosial baru (GSB), pertama kebanyakan model gerakan jenis ini menaruh konsepsi ideologis pada kelas menengah yang terdidik dan berada diluar kekuasaan. Negara telah berada dalam satu panggung dengan kapitalisme, dan memaksa kaum miskin menonton sebuah konser liberalisasi yang memarginalkan mereka. Tugas GSB adalah membubarkan aksi panggung liberalisasi dengan membangun kesadaran perlawanan semasif mungkin. Kedua, sekalipun gerakan ini mengadopsi perlawanan radikal, sebagaimana kaum marxis bekerja, namun model lebih luas dari sekedar hubungan kelas. Masalah yang dibawa lebih luas dari sekedar ketegangan antar kelas, tetapi bisa ketegangan antar komunitas, dengan tema yang lebih luas seperti ekologi, gender, anti perang, anti rasisme dan lain sebagainya. Oleh karena itu antar isu yang berdekatan dapat bekerja membangun kolaborasi-kolaborasi temporer atau permanen, sejauh bisa dipertemukan dalam payung kepentingan. Ketiga, sebagaimana yang disampaikan diatas, gerakan ini tidak menggunakan partai sebagai jalur pendekatan 23
Robert H. Lauer [2003] Perspektif Tentang Perubahan Sosial,Rineka Cipta, Jakarta
22
(kecuali di beberapa tempat) tetapi memilih bersikap oposisional terhadap kekuatan dominan. Keempat, tujuan-tujuan yang ingin dicapai lebih plural, dengan keyakinan bahwa para korban harus diselamatkan dari ancaman destruktif apapun. Kadang-kadang gerakan sosial dapat sedemikian luwesnya mengikuti konsep-konsep yang selalu terbuka terhadap pembaruan, dan dapat bekerjasama dengan siapapun sepanjang berada dalam satu barisan kepentingan.
Gerakan sosial baru (GSB) meletakkan posisinya sebagai benteng bagi
pembentukan perlawanan yang lebih luas dari kekuasaan dominan.24. Tiga konsepsi diatas mengenai LSM, Ornop dan gerakan sosial baru (GSB), dapat kita rumuskan mengenai perbedaan diantara ketiganya dan sekaligus persamaannya. Persamaan yang paling dekat adalah ketiganya bukan bagian dari kepentingan politik kekuasaan negara (state). Non partisan adalah metode umum yang dipakai dan sekaligus menjadi jargon utamanya. Perbedaannya adalah pada metode yang dilakukan, mulai yang moderat, reformis sampai dengan transformatif 25. Berbeda dengan sejumlah definisi diatas, sejumlah kalangan melihat bahwa gerakan MS merupakan proses yang kontinuum menuju sebuah ciri yang lebih solid sebagai organisasi yang mengarah pada kekuasaan. Darmawan (2007) memberikan tiga ciri dari gerakan MS, yakni ; (1) gagasan pokok yang diusung sebagai keprihatinan kolektif dari akar rumput sampai dengan kelas diatasnya. (2) terdapat aksi kolektif yang tidak harus radikal, namun diletakkan dalam menjawab berbagai tantangan status quo yang berlangsung. (3) terdapat gagasan mengenai perubahan sosial yang diperjuangkan secara bersama-sama. Konseptualisasi gagasan ini yang kelak melahirkan perspektif baru dalam studi pembangunan yang berlabelkan ”pemberdayaan”, ”partisipasi” dan ”kekuatan dari bawah26. Dengan analisa yang lebih menekankan pada dialektika metode, Darmawan (2007) memberikan penafsiran mengenai sebuah transformasi gerakan MS dari sebuah organisasi sosial menjadi partai politik. Dimulai tahun 1960/1970an, organisasi MS menjadi embrio sebagai kekuatan yang mengusung ide-ide perubahan secara radikal. Pendekatan yang diletakkan pada anomic behavior, memusatkan perhatian pada radikalisme yang tumbuh 24
Lihat Mansour Fakih , Social Movement Sebagai Alternatif Terhadap Civil Society, dalam Wacana Edisi 11 Tahun III 2002 25 Mansour Fakih [2004] op cit 26 Arya Hadi Dharmawan [2007] Teori-Teori Gerakan Sosial: Perspektif Marxian, Developmentalisme, dan Demokratisme, makalah tidak diterbitkan.
23
dari dalam masyarakat. Perubahan kemudian berlangsung pada tahun 1980/1990an yang mulai memasuki ranah sosial politik sebagai medan baru bagi upaya mendorong perubahan sosial. MS dinilai ”mengisi ruang kosong” yang selama ini tidak pernah dihuni (sulit dijangkau) oleh organisasi formal seperti partai politik, birokrasi, maupun organisasi sosial kemasyarakatan. Organisasi MS muncul sebagai kelembagaan antara yang menjembatani partai politik dan kelembagaan asli lokal dalam mengusung ide perubahan. Secara skematis digambarkan sebagai berikut ;
Organisasi sosial
Social Movement organization
Non Governmental organization
Partai politik
Gambar 2. Kontinuum Organisasi MS dalam Civil Society
Darmawan (2007) melakukan analisa berdasarkan perkembangan gerakan MS di negara-negara dunia pertama yang sudah pencapai kematangan politik seperti Partai Hijau di Jerman, ataupun Akbayan di Filipina. Gerakan MS di negara tersebut telah memasuki tahap baru, yakni konsolidasi kekuasaan, dan menjadi kekuatan alternatif ditengah-tengah partai konservatif yang melingkarinya. Melalui pertarungan politik, gerakan MS tumbuh menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan dalam parlemen, dan mampu merumuskan kebijakan yang melindungi kepentingan kelompok marginal atau platform politiknya yang universal. Namun di berbagai belahan dunia, gerakan sosial sektoral juga mampu memasuki jantung kekuasaan, sekalipun membutuhkan waktu panjang. Partai-partai sektoral yang tumbuh sebagai kekuatan dominan pada awalnya dibentuk sebagai respon atas ketidakpuasan kebijakan yang menyingkirkan kaum minoritas. Setelah berjuang selama puluhan tahun, kelompok tersebut mendapat simpati untuk memegang kekuasaan melalui cara-cara damai27. Fenomena tersebut di Indonesia barangkali akan diwakili oleh WALHI, sebuah ornop lingkungan, yang sedang mengembangkan perdebatan mengenai sayap politik sebagai alternatif gerakan ekologi. 27
Markoff (2002) op cit hal 166-180
24
Analisa tersebut tentu saja mengesampingkan konteks lokal di Indonesia, bahwa tidak semua gerakan MS tumbuh menjadi embrio partai politik. Terdapat banyak fakta bahwa MS lebih memilih menjadi kekuatan diluar kekuasaan politik sambil tetap mempertahankan cirinya sebagai aktor penggerak perubahan. Ide-ide untuk masuk dalam konstetasi politik cukup diwakili oleh individu-individu yang hijrah kedalam partai. Gerakan MS tetap menjadi pilihan atas sejumlah realitas politik yang berkembang, dan tidak ada seorang analis politik yang dapat memprediksi sampai kapan kelompok ini akan tetap berada di jalur politiknya yang non partisan. 2.4. Kerangka Pemikiran Penelitian ini mengambil tema Gerakan Masyarakat Sipil di Yogyakarta 1998-2004 dengan fokus kajian pada gejala-gejala yang melingkupinya. MS merupakan salah satu bentuk aktivisme gerakan sosial yang khas. Selama pemerintahan orde baru berlangsung, telah tumbuh kekuatan oposisi yang dipelopori kelas menengah. Wujud aktivisme gerakan MS berbeda-beda mulai dari pemberdayaan ekonomi alternatif, pembelaan terhadap kasus struktural yang melibatkan kekuasaan sampai dengan protes terbuka terhadap kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan aspirasi. Gerakan protes anti rezim sepanjang sejarah pemerintahan Orde Baru termasuk dalam kategori ini baik yang dilakukan secara terbuka ataupun tersembunyi. Gelombang protes meliputi periode sepanjang 32 tahun yang dianggap sebagai situasi yang otoriter sebagai keadaan yang diletakkan secara kontradiktif dengan demokrasi sebagai cita-cita MS28. Krisis ekonomi menjadi faktor pencetus yang memperbesar protes terhadap rezim yang kemudian diikuti dengan kejatuhan Presiden Soeharto. Berbeda dengan kemunculan gerakan protes menjelang kejatuhan Presiden Soeharto, gerakan pasca Presiden Soeharto mengalami penuruan secara kuantitatif. Umumnya gerakan hanya diikuti oleh sedikit saja mereka yang menyetujui tujuan gerakan, dan biasanya dari kalangan kelas menengah. Tujuan yang diusung juga terurai dalam berbagai macam.
28
Lihat Andreas Uhlin [1998] Oposisi Berserak: Arus Deras Gelombang Demokratisasi Ketiga di Indonesia, Mizan, Bandung; Edward Aspinall [1993] Student Dissent in Indonesia in the 1980s, Working Paper
79, Monas University; Australia
25
Menurut Nan Lin (1992) ada dua faktor mendasar yang mempengaruhi gerakan sosial, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam lingkungan gerakan itu sendiri seperti ikatan terhadap tujuan yang hendak dicapai, kerelawanan, fleksibilitas, dan kepemimpinan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berpengaruh terhadap kondisi gerakan, misalnya tekanan politik, situasi internasional, situasi lokal, dan lain sebagainya. Perubahan politik akan berpengaruh terhadap situasi gerakan sosial, khususnya berkaitan dengan platform, strategi, dan metode gerakan. Pasca Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya, situasi politik mengalami fase demokratisasi yang ditandai dengan partisipasi yang kuat dari warga negara dalam kehidupan sosial politik, mulai dari tingkat lokal sampai dengan nasional. Untuk pertama kalinya dalam sejarah politik nasional, pemilu diselenggarakan secara multi partai yang memingkinkan kalangan oposisi yang dahulu menolak pemilu dapat mengambil bagian dalam proses kompetisi kekuasaan. Untuk itu gerakan MS juga mengalami perubahan dalam pendekatan dan platform politiknya. Gerakan MS tidak berada lagi dalam jalur oposisional sebagaimana ketika Orde Baru masih berkuasa, namun sebagian diantaranya ikut mengembil bagian dalam konstetasi kekuasaan. Tidak seluruhnya dapat menjapai platformnya dengan baik karena berbagai hal, khususnya berkaitan dengan memotivasi orang untuk terlibat sehingga memperbesar daya tekan melalui kontruksi tujuan yang jelas dan diterima oleh publik. Menurut Gamson (1996), keberhasilan gerakan sangat tergantung pada bagaimana elemen pendukung mampu mengkontruksikan tujuannya untuk diterima oleh pendukungnya sehingga faksionalisasi dapat ditekan. Fokus studi ini diletakkan pada perubahan gerakan MS yang berlangsung setelah Orde Baru jatuh dengan membandingkan berbagai pendekatan, platform dan aktor dari gerakan MS di Yogyakarta pada era Orde Baru masih kukuh. 2.5. Hipotesis Pengarah Dari uraian di atas disusun dua hipotesis pengarah dalam penelitian ini, yakni ; 1. Perubahan iklim politik yang lebih demokratis di Indonesia pasca Orde Baru telah mendorong perubahan strategi dan platform gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta.
26
2. Faktor yang berpengaruh terhadap perubahan bentuk strategi dan platform gerakan MS adalah dari dalam dan dari luar gerakan MS. Faktor dari luar adalah situasi politik lokal, nasional, bahkan internasional. Sedangkan faktor dalam dalam adalah hubungan kelembagaan, kapasitas organisasi, dan tingkat koordinasi gerakan. 2.6. Kerangka Pemikiran Penelitian
Gerakan Masyarakat Sipil di Yogyakarta 1998-2004
Iklim Politik yang Berubah ke arah demokratisasi
Perubahan Pendekatan Yang Meliputi pilihan strategi gerakan
Faktor Yang Berpengaruh terhadap Gerakan MS di Yogyakarta
Perubahan platform gerakan masyarakat sipil
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Riset
27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dilakukan dari Januari 2007 sampai September 2009. Sekalipun demikian persiapan penelitian telah dilakukan jauh sebelum pekerjaan turun ke lapangan dilakukan oleh peneliti. Persiapan penelitian meliputi pengumpulan bahan-bahan yang berkaitan dengan dinamika gerakan MS di Yogyakarta, melakukan sejumlah wawancara pendahuluan dengan beberapa narasumber, dan melakukan pencatatan terhadap berbagai informasi yang dianggap relevan dengan tema penelitian. Yogyakarta dipilih sebagai daerah penelitian karena beberapa alasan. Pertama daerah ini merupakan salah satu pusat pertumbuhan dan aktivitas gerakan masyarakat sipil anti Orde Baru. Alasan pertama ini dapat dilacak dari pertumbuhan gerakan mahasiswa dan ornop anti Orde Baru dalam berbagai literatur. Gerakan mahasiswa dan LSM muncul sporadis dan menjadi pondasi utama gerakan anti Orde Baru pada akhir Abad 20. Kedua, daerah ini memiliki komunitas MS yang menonjol, baik mahasiswa, ornop, agamawan, dan lain sebagainya. Aktivitas gerakan oposisi di kota ini cukup menonjol dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia. Di sinilah perlintasan gerakan masyarakat sipil di Jawa setelah Jakarta, Bandung, Surabaya, Salatiga dan Malang. Dari kota inilah embrio gerakan oposisi kaum muda era Orde Baru tumbuh , ditandai dengan pembentukan Partai Rakyat Demokratik sebagai salah satu sentral gerakan oposisi menjelang kejatuhan Soeharto. Penelitian ini dilakukan pada tahun Januari 2007 hingga September 2009, lima tahun sesudah pelaksanaan pemilu 2004 yang mengantarkan seorang
Jenderal
moderat ke puncak kepemimpinan nasional. Sekalipun penelitian ini dilakukan lima tahun sesudah kemenangan SBY, dan hampir sepuluh tahun sesudah gerakan
28
reformasi, seluruh dokumen, analisa dan narasumber difokuskan pada periode waktu penelitian yakni 1998-2004.
3.2. Paradigma dan Pendekatan Penelitian Terdapat beberapa pandangan yang dapat mempengaruhi peneliti dalam melakukan kajian di lapangan, terutama pandangan yang sangat mendasar mengenai penelitian yang dilakukan. Secara teoritis, permasalahan yang pokok dalam penelitian ini adalah pilihan filosofi dan pendekatan yang dilakukan. Hal ini berdampak pada dualisme pilihan pendekatan, kualitatif atau kuantitatif. Dalam disiplin sosiologi, perdebatan ini menarik dikaji untuk menentukan pilihan atas pendekatan mana yang kita gunakan untuk melihat suatu realitas sosial yang taken for granted. Sebagaian berpandangan bahwa rasionalitas atas suatu fenomena yang objektif merupakan suatu kajian disiplin ilmu yang dapat dihitung berdasarkan rumusan yang matematis (Hartanto, 2007). Pandangan yang lain lebih melihat bahwa suatu realitas tidak harus dihitung secara matematis seperti pendapat pertama, melainkan lebih menakankan pada bagaimana suatu kajian disiplin ilmu dapat menjelaskan suatu realitas sosial secara mendalam (beyond reality) Pandangan pertama biasanya menggunakan metode penelitian kuantitatif, dimana seorang peneliti sangat dipengaruhi oleh paradigma formalis bahwa realitas sosial adalah suatu yang tidak berbeda dengan barang (things ) yang dapat diukur dan dapat digeneralisir dengan hukum-hukum yang bersifat positivistik, seperti yang dilakukan oleh ilmu-ilmu alam (Poloma, 2003;4). Artinya, peneliti dan tineliti adalah suatu yang sama sekali berbeda dan tidak terkait atau tanpa ada hubungan, interaksinya hanya sebatas perolehan data yang dibutuhkan oleh peneliti. Tineliti atau responden hanya berperan sebagai sumber data dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengaktualisasikan semua potensi yang ada di balik fenomena atau realitas yang dikaji. Dalam perkembangan awal sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan (science) hal ini disebut sebagai fisika sosial (Dortier, 2004;3-14). Responden atau subjek kajian (subject matter) diakui sebagai objek penelitian yang tidak memiliki kreatifitas dalam menciptakan realitas yang dimiliki. Masyarakat dianggapnya
29
sebagai suatu organisme. Penelitian kuantitatif menekankan pada análisis dan hubungan kausalitas antar variable, bukan menekankan pada prosesnya. Pada kondisi seperti ini, peneliti kuantitatif jarang menangkap perspektif subjek karena mereka kurang handal, karena tidak memahami pikiran aktor sosial dengan perspektif yang terbuka dan mendalam. Penelitian ini tidak mempergunakan pandangan positifistik yang biasa digunakan oleh banyak peneliti kuantitatif. Ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan kontruktivisme. Kontruktivisme berkembang ditandai dengan hilangnya kepercayaan terhadap positivisme yang para pendukungnya di sebut dengan kaum fondasionalis, dengan demikian kaum kontruktivisme disebut antifondalis. Kaum fondalisme berpendapat bahwa tidak ada justifikasi absolud, karena menurut kaum antifondasionalisme perbedaan paradigma, kerangka konsepstual dan istilah ilmiah akan berpengaruh pada permasalahan metodologi dan hasil penelitian yang akan dicapai1. Kontruktivisme menurut Kenneth J. Gergen muncul dari refleksi atas pertanyaan, “ apakah mungkin kita mengembangkan ilmu pengetahuan tentang semesta yang terbebas dari pengamat?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut para kaum kontruktivisme lalu berpaling ke belakang pada basis sosial historis ilmu pengetahuan yang luput dari pendukung kaum positivisme. Pasca positivisme, teori kritis dan kontruktivisme berangkat pada asumsi mengenai penelitian yang tidak semata-mata pada objektivitas, namun terdapat sejumlah asumsi yang mendasari khususnya mengenai sejarah ilmu pengetahuan diciptakan. Paradigma kontruktivisme memiliki banyak persamaan dengan pasca empirisme dan teori kritis. Semesta menurut Kuhn (konsep paradigma) dan kontruktivis adalah hasil kontruksi sosial. Pada tataran ini semesta adalah hasil kontruksi dan bukan suatu yang diketemukan2. Kontruktivisme mengemukakan setidaknya empat prinsip dasar, pertama, antifondasional. Artinya, tidak ada fondasi archimedean, tidak ada satu fondasi atau satu metode ilmiah yang terpercaya dan mantap bagi dunia ilmu pengetahuan. Salah satu kritik yang sering ditujukan pada 1
Dony Gahral Adian [2002], Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan; Dari David Hume sampai Thomas Kuhn, Yogyakarta, Teraju hal 137-138. 2 ibid hal 143
30
kontruktivisme adalah bahwa kontruktivisme jatuh pada relativisme, bahkan dituduh sebagai nihilisme. hal ini karena penolakannya pada kebenaran objektif dan tidak adanya nilai-nilai universal yang dapat dijadikan sebagai pegangan sehingga semua pengetahuan dan nilai-nilai menjadi sama absahnya dan bersifat relatif3. Kedua, badan ilmu pengatahuan (body of knowledge) terdiri dari fragmenfragmen penafsiran dan bukannya suatu kenyataan yang terintegrasi dalam suatu sistem yang utuh. Ketiga, ilmu
pengetahuan dikontruksi di atas semesta yang
didasarkan atas skema-skema intelektual
yang didalamnya melekat bagaimana
pandangan ilmuwan dan interaksi ilmuwan dengan lingkungannya. Keempat, tes pernyataan ilmiah lebih bersifat pragmatis dengan perimbangan asas kemamfaatan dan penyempurnaan tugas dan bukan hal yang sepenuhnya ditentukan oleh aturan metodologis. Dengan pandangan diatas, maka pendekatan kritis dapat dimasukkan dalam payung kontruktivisme, karena pemilihan masalah penelitian, instrumen dan metode analisis, interpretasi, kesimpulan yang dibuat sangat tergantung pada nilai-nilai yang dianut peneliti. Ada dua alasan yang mendukung teori kritis dimasukkan dalam payung kontruktivisme; pertama, ilmu pengetahuan disituasikan secara historis dan bukan sesuatu yang bersifat universal. Kedua, karena pandangan realisme kritisnya, maka objektifitas tidak secara langsung dirujukkan pada fakta eksternal4. Pandangan kontruktivisme menempatkan gagasan pada pikiran (ide) melalui teori pengetahuan ilmiah) disatu sisi, dan kenyataan (empiris) disisi yang lain, dan bukan merupakan hubungan langsung5. Teori Kontruktivisme membantah bahwa sebuah teori dapat dibuktikan begitu saja tanpa pengujian-pengujian dilapangan. Apa yang disebut teori dan empiris dalam pandangan ini adalah merupakan kenyataan yang hanya dapat di kontruksi dalam pikiran. Asumsi pokok dari pandangan kontruktivisme adalah bahwa tujuan pertama dan terutama ilmu pengetahuan adalah mempelajari gagasan dalam pemikiran, tidak saja untuk pemahaman akan sifat 3
ibid hal 144 Paul Suparno (1997) Filsafat Kontruktivisme Dalam Pendidikan, Yogyakarta; Kanisius 5 JJJM Wuisman (1996) Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid 1Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI hal 71 4
31
pengetahuan ilmiah, tetapi juga cara pengetahuan ilmiah dapat berkembang dan peranan metode penelitian di dalamnya6.
Teori
interpretasi
Empiris
Gambar 4. Hubungan Antara Teori dan Empirisme Dengan mendasarkan pada kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan sebagai sebuah ilmu pengetahuan, maka kontruktivism adalah bagian dari teori kritis dalam dalam pendekatan social research. Dalam pandangan kontruktivism, proses penelitian ilmiah dibagi menjadi 6 tahapan; pertama adalah tahap pembatasan ilmiah. Menurut pandangan kontruktivisme kritis, proses penelitian ilmiah berawal dari adanya suatu “masalah
pengetahuan”. Ilmuwan menghadapi pertentangan atau
penyimpangan antara gagasan dalam pikiran dan keterangan empiris yang diperoleh. Kedua, tahap pembuatan teori. Setelah masalah pengetahuan yang hendak dipecahkan melalui proses penelitian ditegaskan, maka gagasan yang akan diuji untuk mencapai tujuan tersebut kemudian dideskripsikan secara rinci dan disajikan dalam bentuk suatu teori (pernyataan umum). Ketiga, perancangan pengujian. Pada tahap ini ditetapkan metode atau teknik dimana pengujian gagasan yang telah dikembangkan dan diterangkan dalam bentuk teori akan dilakukan. Pengujian gagasan terjadi berdasarkan penentuan ketidakbenaran masing-masing hipotesis atau pernyataan spesifik lain dalam teori. Keempat, pengumpulan data. Setelah operasionalisasi selesai dan dibuat suatu skema (rencana kerja) untuk melaksanakan praktis pengujian, ilmuwan “menghubungkan” diri secara langsung dengan apa yang ditunjuk sebagai dasar pengujian dengan maksud mengumpulkan data (keterangan empiris). Dalam rangka tersebut berbagai macam cara dan metode diterapkan. Kelima, pengolahan data. Pengolahan data baru dapat dilaksanakan setelah keterangan tentang dasar pengujian empiris (data) yang diperlukan berhasil dikumpulkan. Pengolahan data 6
ibid hal 72
32
berangkat langsung dari himpunan data tersebut dan dilakukan dengan memadatkan menjadi pernyataan ringkas dan terbatas jumlahnya. Keenam, penilaian. Menyusun kembali teori dapat dinilai apakah gagasan yang diajukan pada awal proses penelitian tepat atau tidak7.
3.3. Metode Pengumpulan dan Analisis Data Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan , dilakukan sejumlah langkah –langkah antara lain :
1. Sumber Data Media Massa dan Dokumen Analisis media adalah serangkaian kegiatan untuk mengumpulkan berita-berita mengenai kejadian lokal yang berkaitan dengan berbagai peristiwa politik yang dianggap penting di Yogyakarta selama kurun waktu 1998-2004. Surat kabar yang digunakan untuk mendapatkan berita-berita seputar peristiwa sosial politik penting di Yogyakarta adalah Kedaulatan Rakyat, Yogyapost, Solo Pos, Gatra, Tempo, Radar Yogya, D&R, Yogya Pos, Suara Merdeka, Wawasan, Kontan, Bernas, Surya, dan sejumlah Jurnal, siaran radio, media massa gerakan seperti X Pos, Pembebasan, Kabar Dari Pijar, Surat kabar kampus dan lain sebagainya (lihat lampiran). Berbagai media tersebut dianalisis, disusun berdasarkan kronik, serta dianalisis untuk mendapatkan gambaran mengenai gerakan MS di Yogyakarta.
2. Wawancara dengan Informan Terpilih Setelah mendapatkan dokumen awal mengenai situasi lokal gerakan MS, dilakukan serangkaian wawancara mendalam kepada para informan atau tokoh yang terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam dinamika politik lokal. Wawancara meliputi 29 orang pelaku dan pengamat gerakan protes di Yogyakarta ataupun di Indonesia (lihat lampiran). Wawancara dilakukan untuk mendapatkan umpan balik mengenai gerakan MS di Yogyakarta pada periode-periode awal post Soeharto. 7
ibid hal 86-88. lihat juga perbandingannya dalam Tim May (2001), Social Reasearch; Issues, Methods and Process, Edisi Ke 3, Open University Press, khususnya Bab 1.
33
Wawancara akan dilakukan kepada para aktivis, penggiat, pemerhati, pimpinan lembaga, politisi, yang berkaitan secara langsung ataupun tidak langsung dengan gerakan MS di Yogyakarta. Wawancara dilakukan secara informal dan beberapa kali untuk topik-topik tertentu yang dianggap penting
3. Diskusi Tematik Diskusi tematik merupakan penggalian data secara kelompok pada subjek penelitian. Metode ini sedikit berbeda dengan Focus Group Discussion (FGD) yakni dengan mengundang mereka yang dipandang menjadi representasi gerakan MS di Yogyakarta pada sebuah forum diskusi tematik dan dilakukan eksplorasi atas tematema diskusi yang dibicarakan. Diskusi tematik dilakukan dua kali pada tanggal 22 November 2008 dan 3 April 2009 dengan dihadiri rata-rata 17 orang peserta dari aktifis LSM, aktivis mahasiswa, intelektual muda dan aktivis partai politik. Pemilihan peserta diskusi dilakukan secara acak dengan mengundang para individu yang dianggap memiliki minat, aktivis, dan mantan aktivis gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta
4. Analisis Dokumen Analisis meliputi berbagai dokumen yang dapat dijadikan data bagi aktivitas gerakan MS di Yogyakarta. Dokumen yang dimaksud adalah berbagai penerbitan MS di Yogyakarta seperti leaflet, kertas posisi, poster, manual kursus, buku, buletin, dan lain sebagainya. Analisa juga akan dilakukan terhadap berbagai keputusan rapat, hasil-hasil seminar, lokakarya, laporan, catatan pribadi peneliti dan lain sebagainya. Data dan informasi yang dikumpulkan dianalisis secara kualitatif dengan mendiskripsikan kondisi dan peristiwa sosial politik yang terjadi di Yogyakarta pada periode 1998-2004.
3.4. Strategi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan strategi studi kasus. Strategi studi kasus adalah suatu proses pengkajian dan pengumpulan data secara
34
mendalam dan detail terhadap seputar peristiwa sebagai kasus yang dipilih (Newman, 1994). Kasus yang diambil dalam studi ini adalah mengangkut pilihan lokasi (Yogyakarta) yang sesungguhnya dipilih secara sengaja. Menurut Yin (1996), studi kasus adalah studi aras mikro yang bersifat multi metode, dengan titik berat pada metode non survei. Penelitian ini memadukan metode pengamatan, wawancara mendalam (indepth interview), analisis data dokumen. Informasi diperoleh dari responden melalui wawancara dan kajian dokumen atau data sekunder yang relevan. Metode kualititaif dipilih karena dengan menggunakan metode ini, gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta dapat dijelaskan dengan spesifik.
35
BAB IV GERAKAN MASYARAKAT SIPIL MASA ORDE BARU DI YOGYAKARTA
4.1. Yogyakarta Dalam Konteks Sosial Politik Yogyakarta, propinsi dengan luas wilayah paling kecil di Indonesia berada tepat di jantung Pulau Jawa. Yogyakarta dalam sejarah perkembangan geopolitik di Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan kedaulatan Indonesia. Ke sinilah ibukota Republik dipindahkan dari Jakarta oleh Soekarno – Hatta pada tanggal 4 Januari 1946 disaat-saat genting revolusi nasional1. Peranannya dalam periode genting revolusi dan klaim sejarah yang berbeda dengan daerah lain, kemudian menempatkan Yogyakarta sebagai daerah istimewa. Dalam dinamika politik nasional, Raja Kraton Ngajogjakarta Hadiningrat senantiasa menempati posisi penting. Hampir dalam setiap perhelatan politik di Indonesia, Keraton Yogyakarta menjadi salah satu tokoh yang harus diperhatikan oleh elit politik nasional2. Peristiwa seperti maklumat 5 September 1945, perpindahan ibukota negara, pembentukan komando pembebasan Irian Barat, sampai dengan Pisowanan Agung 20 Mei 1998, telah menjadi contoh bagaimana Yogyakarta (dan rajanya) senantiasa menjadi bagian penting dari setiap peristiwa nasional. Tidak hanya dalam urusan politik Yogyakarta memiliki pengaruh kuat, lebih jauh dan lebih dalam lagi dalam sosial budaya masyarakat Nusantara. Jawa adalah etnis terbesar yang mendiami hampir seluruh pulau-pulau di Indonesia, dan bagi
1
Perpindahan ini semakin mengukuhkan posisi Yogyakarta dalam kancah politik nasional setelah Maklumat 5 September 1945,yang menyatakan Ngajogjakarta Hadiningrat (Kerajaan Yogyakarta) merupakan bagian dari NKRI yang berstatus istimewa. Lihat Selo Soemardjan [1981] Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 2 Sebagai contoh posisi Sultan sebagai anggota Dewan Pembina Golkar dan pencalonannya sebagai calon Presiden dari Golkar pada tahun 2003, dan Presiden di Pemilu 2009 menjadi polemik baik di Yogyakarta di tingkat nasional. Dalam wawancara dengan Sultan, konon pernah diminta secara pribadi oleh SBY untuk menjadi Wakil Presiden pada pemilu 2009 yang lalu, Wawancara Sri Sultan HB X, 19 Oktober 2008 di Kraton Kilen.
36
etnis Jawa, kiblat kebudayaan (sekaligus kepemimpinan) adalah Keraton Yogyakarta.
Raja Yogyakarta bukan hanya pemimpin politik di wilayahnya
(Gubernur), tetapi juga merupakan pemimpin tradisional masyarakat Jawa. Inilah salah satu sisa dari feodalisme Jawa yang masih kukuh dan berwibawa dibandingkan dengan kota tetangganya, Solo3. Pengaruhnya melebar dalam berbagai dukungan dan sambutan terhadap kehadiran Sultan di daerah-derah yang memiliki komunitas Jawa paling besar seperti Sumatra Utara, Lampung, Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, dan lain sebagainya 4. Di luar soal politik dan budaya, Yogyakarta juga dikenal sebagai kota pendidikan yang menjadi benih kepemimpinan di berbagai daerah,seperti Gubernur, Bupati, ketua partai, dan lain sebagainya. Kesadaran tentang pentingnya menyiapkan sumber daya kader bangsa telah berlangsung sejak jaman revolusi kemerdekaan, jauh sebelum pembentukan universitas tertua di Indonesia, Gadjah Mada. Sultan Yogyakarta pada waktu itu, Sri Sultan HB IX, menyadari bahwa pendidikan sangat penting bagi perkembangan sebuah masyarakat, sekalipun itu kontraproduktif terhadap keyakinan feodalisme yang mapan pada waktu itu. Melalui pengembangan beberapa badan pendidikan di Yogyakarta, Sultan telah menancapkan tonggak perubahan yang nantinya akan dapat membahayakan eksistensi feodalisme yang telah berkembang ratusan tahun. Namun demikian bahwa kemajuan dan kemodernan hanya dapat dicapai melalui pendidikan begitu disadari oleh Sultan HB IX yang merupakan anak kandung pendidikan Eropa5. Perkembangan MS tidak dapat dilepaskan dari peran dan posisi golongan terpelajar sebagai produk pendidikan. Disinilah kelas menengah sebagai tulang punggung gerakan sosial (baru) berada. MS adalah produk masyarakat egaliter yang
merupakan
nilai
(value)
utama
kaum
terpelajar
(Gidden,1993).
3
Di berbagai daerah terdapat paguyuban Jawa yang hampir seluruhnya berkiblat ke Yogyakarta sekalipun leluhurnya bukan berasal dari Yogyakarta. Di Sumatra ada dua paguyuban Jawa, yakni Pujakusuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatra) dan Pujasuma (Paguyuban Jawa Sumatra). Kedua paguyuban ini seluruhnya berkiblat ke Yogyakarta, secara khusus Sri Sultan HB X sebagai pemimpin budaya. Dalam acara-acara khusus yang diselenggarakan oleh paguyuban-paguyuban tersebut selalu mengundang Sultan sebagai tokoh sentral. Di wilayah lain seperti Kalimantan dan Sulawesi juga berlangsung hal yang sama. Catatan harian penelitian, 12 Desember 2008. 4 Catatan harian penelitian sepanjang Januari –Maret 2008. 5 Sultan pada tahun 1930 kuliah di Rijkuniversiteit (sekarang Universiteit Leiden), Belanda. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Hamengkubuwana_IX
37
Perkembangan MS di Yogyakarta tidak hanya ditelusuri dari struktur sosial kotemporer, tapi keberadaannya dapat dilihat sejak masa kolonial, khususnya sejak jaman politik etis. Menelusuri jejak MS sangat penting untuk melihat sejauh mana peran MS dalam konteks lokal, karena dengan demikian kita akan melihat tradisi nilai yang dikembangkan masyarakat pada jamannya. Namun demikian Bab ini tidak akan membahas terlalu jauh sampai jaman kolonial, dan lebih fokus pada pertumbuhan dan perkembangannya sejak masa Orde Baru. Tiga alasan mengapa fokus bahasan pada bab ini tidak akan melangkah jauh sampai masa kolonial dan hanya fokus pada perkembangannya seputar pemerintahan Orde Baru, pertama adalah gerakan MS adalah produk dari pemerintahan otoriter. MS diletakkan sebagai kekuatan oposisi yang berdiri diseberang dominasi negara. Dengan wajah politik otoriter, sesungguhnya selama Orde Baru memerintah telah menjadi ladang subur gerakan sosial oposisi. Kedua, Gerakan MS adalah produk dari kesadaran kelas menengah tentang perlunya ekspresi politik yang lebih bebas. Di sinilah ekspresi politik dimanisfestasikan ketika rezim menyumbatnya melalui berbagai kebijakan. Ketiga, fokus kajian ini adalah transisi demokrasi pasca Orde Baru (Hikam, 1999). Dengan sendirinya melihat jauh kebelakang pada masa kolonial dianggap kurang relevan. Yogyakarta selama Orde Baru juga menjadi kiblat gerakan oposisi selain Jakarta dan Bandung. Di kota inilah Partai Rakyat Demokratik, sebuah embrio gerakan oposisi sipil dibentuk oleh anak-anak muda terpelajar lintas universitas. Pertumbuhannya dipengaruhi oleh iklim intelektual dan sosial yang terjadi di sekitar Yogyakarta, misalnya penggusuran, penangkapan mahasiswa, pembunuhan aktifis buruh dan lain sebagainya. Iklim akademikpun
juga memungkinkan
perdebatan-perdebatan sosial berkembang dengan baik. Tidak mengherankan kalau sepanjang baru, Yogyakarta melahirkan berbagai gagasan oposisi yang bersiasat antara represi dan perlawanan.
4.2. Pertumbuhan Gerakan Masyarakat Sipil di Yogyakarta Kemelut politik yang ada di Jakarta pada tahun 1965/1966 terlambat untuk diketahui di daerah. Semua kebenaran informasi masih simpang siur didengar oleh
38
rakyat Yogyakarta. Secara umum keadaan komunikasi belum begitu baik, sehingga peristiwa politik seputar tanggal 1 Oktober 1965 dipahami rakyat di daerah secara samar-samar. Bagi golongan kiri, sebagian berita penangkapan para jendral dianggap sebagai penyelesaian revolusi dan perlindungan terhadap pemimpin nasional, Bung Karno. Bagi golongan non komunis, tindakan golongan kiri dianggap sebagai tindakan yang sudah keterlaluan, sehingga harus dibalas6. Nampaknya angkatan bersenjata membiarkan hal ini dengan tidak mengambil tindakan pencegahan terhadap kemungkinan bentrokan berdarah di berbagai daerah. Di pedalaman bentrokan orang komunis dan non komunis sudah sering terjadi, dan diantara masing-masing kelompok saling memprovokasi. Dari penelitian dan kesaksian berbagai narasumber menunjukkan bahwa seringkali antar golongan terlibat konflik berdarah, dengan pembiaran oleh angkatan perang. Di berbagai lokasi seringkali antara golongan komunis dengan golongan non kemunis saling mengancam untuk menyerang sebagaimana kesaksian berikut7 : ” ....Dulu antara orang-orang kom dan non kom (komunis) saling tantang-tantangan (provokasi) di sungai itu (sambil menunjuk sungai). Orang kom disebelah timur, dan orang non kom disebelah barat. Mereka menyuruh masing-masing menyeberang dan bertarung. Kemudian pada suatu hari tentara masuk ke sebelah timur sungai dan menyewa rumah untuk dijadikan markas. Tidak berapa lama kemudian golongan non kom menyerbu ke sebelah timur sungai dengan sandi ”operasi tumpes”. Yakni pembunuhan kepada laki-laki dewasa yang tinggal di timur sungai....”
Masa-masa setelah peristiwa Oktober 1965 adalah sejarah paling gelap dalam politik Indonesia. Tidak ada yang benar dan salah atau dengan cara bagaimana golongan tertentu menghukum golongan lain. Yogyakarta juga tidak luput dari peristiwa tersebut. Banyak peristiwa pelanggaran terhadap kemanusiaan yang dapat terekam dalam masa-masa genting 6
Tindakan keterlaluan ini misalnya pembentukan pengadilan partikelir untuk mengadili mereka yang dianggap berseberangan dengan PKI . P3PK UGM pernah melakukan penelitian tentang hal ini terhadap Darmosenjoyo, warga Prambanan, Sleman pada tahun 1965. Darmosenjoyo diculik dari tempat kerjanya dan dituduh sebagai pengikut PNI dan bersekutu dengan Amerika.Dia juga dituduh sebagai pengikut Katamso. PKI membentuk pengadilan lengkap dengan hakim-hakim dan sejumlah penuntut umum. Darmosenjoyo dinyatakan bersalah tetapi diberi kesempatan untuk naik banding.Meskipun demikian permintaannya naik banding ditolak dan ia dijatuhi hukuman mati. Lihat, Robert Cribb (Edt), [2003] The Indonesian Killings; Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Matabangsa, Yogyakarta, hal 229.Lihat juga Soegijanto Padmo [2000] , Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965, KPA-Media Presindo, Yogyakarta 7 Catatan tidak dipublikasikan (6 April 2006)
39
tahun 1965/1966. Dalam situasi penuh ketidakpastian, banyak dari golongan muda yang juga menjadi korban. Kesaksian Arief Budiman dalam sebuah wawancara untuk penelitian ini menceritakan sebagai berikut8; ”Saya punya teman seniman, namanya Usama. Dia punya teman cewek dari UGM yang aktifis CGMI. Mereka serang berdebat, satu menggunakan teori-teori sosialisme marxisme dan satunya pakai teori liberalisme humanisme.Mereka sering berdebat,tetapi saling mengharagai,sampai seuatu ketika perempuan teman debatnya ini ditangkap oleh RPKAD dengan dibantu oleh Pemuda Islam Indonesia. Mereka ditahan disebuah gedung SD.Tiap malam atau seminggu sekali ketika Soekarno pidato berapi-api, RPKAD datang minta 10 orang untuk diseksekusi di pinggir sungai. Pada suatu kali Usama yang bertugas jaga, dan RPKAD datang meminta 10 orang untuk dieksekusi malam itu. Dipilih secara random dan nama teman ceweknya tersebut ikut dalam rombongan. Hati Usama tidak tega melihat kejadian tersebut.....”
Kesaksian yang diberikan Budi Santosa, mantan anggota IPPI (organisasi pelajar yang berafiliasi ke PKI) lebih mengerikan dari yang diatas9 : ”Umumnya mereka yang dituduh sebagai anggota PKI dan simpatisannya akan dibawa kesebuah tempat di Gunungkidul. Mereka akan digiring kesebuah luweng (lubang seperti sumur yang sangat dalam dan banyak terdapat di daerah kars) dengan mata tertutup dan tangan terikat. Di leher mereka diikat tali yang menghubungkan antara satu dengan yang lain. Sesampai di sebuah luweng mereka disuruh lompat satu persatu,sampai yang lain tertarik ikut masuk lubang”.
Kejadian tahun 1965/1966 adalah gambaran paling kelam dalam sejarah bangsa Indonesia.
Secara
perlahan
dengan
tetap
mengandalkan
teror
terhadap
kemanusiaan, Presiden Soeharto memusatkan kekuasaan sepenuhnya dalam gengamannya10. Dasawarsa pertama pemerintahan Soeharto, Yogyakarta tidak banyak terlibat dan merekam peristiwa politik nasional. Bulan madu pemerintahan Orde Baru dengan Yogyakarta dapat ditemui dengan kesediaan Sri Sultan HB IX sebagai wakil Presiden pada tahun 1971. Ini merupakan fenomena luar biasa karena Sultan merupakan figur yang sangat dihormati dan bersedia menjadi Wakil Presiden dari seorang Jendral yang tidak menonjol karier politiknya sebelum Soekarno jatuh. Peristiwa ini menjadi indikasi kemesraan Yogyakarta dengan pemerintahan 8
Catatan tidak dipublikasikan (,7 Mei 2007), lihat juga Film Dokumenter Kado Buat Rakyat Indonesia, Komunitas Seni, 2004 9 Catatan tidak dipublikasikan (9 April 2006) 10 John Roosa [2008] Dalih Pembunuhan Masal; Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, ISSI –Hasta Mitra, Jakarta
40
Soeharto yang berpengaruh terhadap lanskap gerakan pelajar. Yogyakarta tidak banyak merekam kejadian-kejadian penting di Jakarta dan Bandung pada tahun 1974 dan 1978 dan termasuk memberikan dukungan solidaritas atas aksi-aksi mahasiswa. Barangkali disebabkan posisi Sultan HB IX yang menjadi bagian pemerintahan Orde Baru. Tahun 1974 dan 1978, peristiwa Malari dan buku putih ITB yang menjadi topik hangat di berbagai media, hanya sedikit memobilisasi mahasiswa Yogyakarta untuk terlibat. Selebihnya hingar bingar kedua peristiwa tersebut lebih banyak di Jakarta dan Bandung11. Penelitian terhadap berbagai media lokal, khususnya Kedaulatan Rakyat dan Berita Nasional yang meliput peristiwa Malari dan Buku Putih ITB, jarang memberitakan aktifitas politik mahasiswa Yogyakarta, sekalipun hubungan antar kota sudah mulai terbentuk. Satu-satunya politik pengendalian di dalam kampus yang cukup menonjol pada tahun 1978 adalah dibekukannya surat kabar ”Gelora Mahasiswa” di UGM, dan ”Derap Mahasiswa” di IKIP Yogyakarta bersamaan dengan peristiwa buku putih ITB. Selebihnya persoalan masalah-masalah politik yang berkembang lebih banyak disuplai dari luar Yogayakarta seperti Petisi 50, pembreidelan media, pelarangan buku, pelabelan eks tahanan politik, dan lain sebagainya12. Terdapat beberapa kemungkinan mengapa masalah ini tidak mendapat respons dari para aktifis kampus di Yogyakarta, pertama berkaitan dengan kedudukan Yogyakarta yang relatif
jauh dari pusat kekuasaan (Jakarta) sedangkan komunikasi dan
transportasi belum begitu baik. Hal ini tentu berbeda dengan Jakarta dan Bandung yang memiliki lokasi dekat dengan Jakarta. Ketika demonstrasi tahun 1966, kedua kota inipun secara intensif telah menjadi bagian dari dinamika gerakan mahasiswa saat itu. Pendek kata, gerakan masyarakat sipil yang diwakili oleh mahasiswa pada tahun 1966 sampai dengan tahun 1980-an adalah milik Bandung dan Jakarta. Di Yogyakarta lebih kental nuansa akademiknya ketimbang politiknya. Kedua,karena 11
Dalam wawancara dengan aktifis mahasiswa angkatan 1978, hal tersebut dikarenakan posisi dilematis mahasiswa Yogyakarta dimana Sultan menjadi bagian dari Orde Baru. Wawancara dengan Djuwarto, 7 September 2007 12 T. Mulya Lubis dan Fauzi Abdullah [1981] Langit Masih Mendung; Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1980., Sinar Harapan – LBH, Jakarta. Orde Baru nampaknya secara perlahan mulai mengukuhkan kekuasaannya melalui berbagai kebijakan yang bertumpu pada ”stabilitas” mulai dari regulasi pemerintahan melalui UU No. 5/1975 dan UU No. 5/1979 sampai dengan pembentukan lembaga ekstra judicial seperti Kopkamtib, Opstib dan Opsgat.
41
kedudukan Sultan yang sangat di hormati oleh masyarakat Yogyakarta, sedangkan Sultan menjadi bagian dari pemerintah Orde Baru. Ornop sebagai embrio kekuatan ekstra parlementer juga mulai tumbuh di Jakarta dan Bandung. Misalnya LP3ES yang berdiri tahun 1976, YLBHI ( 1970), LSP (1975), Bina Swadaya (1974) dan lain sebagainya. Pendek kata, Yogyakarta sampai tahun 1980, belum menjadi pusat bagi pertumbuhan gerakan MS secara masif. Pembangunan institusi pendidikan pada awal-awal
kemerdekaan telah
menempatkan Yogyakarta sebagai basis pendidikan selain Jakarta dan Bandung. Pada tahun-tahun berikutnya berdiri berbagai kampus yang semakin mengokohkan Yogyakarta sebagai kota pendidikan, sebut saja Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada tanggal 31 Agustus 1973, IAIN Sunan Kalijaga 15 Juli 1965, Sanata Dharma tanggal 17 Desember 1955,dan berbagai perguruan tinggi lainnya menyusul berdiri yang sampai tahun 2005 mencapai jumlah yang sangat fantastis 137 buah, 12 buah di antaranya negeri dan 125 di antaranya swasta. Kuantitas lembaga pendidikan yang demikian tentu memposisikan Yogyakarta sebagai bagian penting dari aktivitas politik MS. Kasus pertama yang menyentuh kemanusiaan dan sekaligus membangunkan masyarakat Yogyakarta dari tidur lelap stabilitas politik Orde Baru adalah kasus Sum Kuning. Sum Kuning adalah nama seorang gadis penjual telor yang cantik berasal dari Godean, sebuah kecamatan di sebelah barat Yogyakarta. Sum Kuning diperkosa oleh anak seorang pembesar lokal (Pakualam) pada tanggal 18 September 197013. Dalam perkembangan kasus, mereka yang memperkosa Sum Kuning malah dibebaskan, sedangkan Sum Kuning sendiri dipenjara. Kasus Sum Kuning memang tidak menggerakkan rakyat Yogyakarta untuk melakukan protes, tetapi bagi rakyat Yogyakarta kasus Sum Kuning telah menunjukkan sebuah gejala arogansi kekuasaan yang bersumber dari pusat kekuasaan. Kasus Sum Kuning menunjukkan wajah kekuasaan Orde Baru yang sesungguhnya, yakni
hukum
13
Kasus ini membuat heboh masyarakat Yogyakarta, kemudian diangkat ke layar lebar dalam film yang berjudul Perawan Desa pada tahun 1978 oleh Sutradara Slamet Rahardjo. Nama asli Sum Kuning adalah Sumarijem. Dokumen kasus LBH Yogyakarta tahun 1978, wawancara dengn beberapa narasumber
42
menjadi alat kekuasaan. Kalau di Bandung pada tahun 1970 muncul anarkisme massa yang dipicu arogansi taruna Akademi Polisi yang melakukan penganiayaan terhadap mahasiswa Bandung karena kalah sepakbola pada tanggal 6 Oktober 1970, di Yogyakarta muncul kasus Sum Kuning. Keduanya menjadi katalis bagi ”kebencian” terhadap arogansi militer dan kekuasaan Orde Baru. Namun demikian kasus tersebut lantas tenggelam begitu saja, tapi ingatan kolektif rakyat Yogyakarta terhadap kasus tersebut tidak akan pernah hilang. Sejak pemberlakukan NKK/BKK oleh Menteri pendidikan Daoed Jusoef, praktis kehidupan politik di dalam kampus menjadi lumpuh. Sistem pengajaran diubah secara drastis, organisasi mahasiswa dibonsai, dan dengan demikian praktis Universitas hanya menjadi pabrik intelektual.
Daoed Jusoef dalam sebuah
wawancara dengan Majalah Tempo memberikan alasan tentang kebijakan dibidang pendidikan yang sangat represif sebagai berikut14; ”....dengan tindakan skorsing dan pemecatan,apa yang kami pertaruhkan? Kami ingin membina kampus menjadi masyarakat ilmiah......Hal ini bukan karena mereka memiliki pandangan politik yang berbeda dari pemerintah, tetapi karena melanggar aturan masyarakatnya. Yang dimaksud aturan akademik sekarang,bukan hanya mengikuti kuliah dengan baik,tapi ikut pula menciptakan suasana yang kondusif. Jadi Perguruan Tinggi bukan hanya tempat mendengarkan kuliah, tapi sebagai satu lingkungan hidup yang memungkinkan ilmu berkembang dalam artian proses...”. Gejala birokratisasi dan intervensi terhadap institusi lembaga pendidikan sudah terlalu jauh sampai pemerintah ikut campur dalam menentukan gelar Doctor Honoris Causa,pencabutan subsidi kepada universitas, pemecatan pejabat kampus seperti dalam kasus Chris Siner Key Timu, sampai keterlibatan rektor menentukan isi pidato pengukuhan guru besar15. Peran politik mahasiswa dikendalikan melalui berbagai macam cara, mulai penempatan sistem kridit semeter, pengendalian kelembagaan kampus, membuang politik aliran dari dalam kampus, memecat
14
Tempo,13/ 12/1980 Chris Siner Key Timu adalah salah seorang penandatangan Petisi 50 yang diintimidasi oleh pemerintah Orde Baru untuk dikeluarkan dari jabatannya di Universitas Atma Jaya Jakarta pada tanggal 28 Juli 1980. Wawancara pendahuluam untuk persiapan penelitian dengan Fauzi Abdullah tanggal 4 Mei 2008 15
43
mahasiswa, sampai dengan penempatan pejabat-pejabat kampus yang pro kekuasaan16. Aktivitas politik di luar kampus pun nasibnya tidak jauh berbeda. Orde Baru menciptakan organisasi payung yang ditujukan untuk memangkas kritisme mahasiswa. Pertama-tama organisasi aliran yang berperan penting dalam menumbangkan Orde Lama dikonsolidasi melalui pertemuan Cipayung pada tanggal 22 Januari 1972. Pertemuan ini yang kemudian menghasilkan kelompok Cipayung yang terdiri dari lima organisasi mahasiswsa yaitu HMI, PMII, GMKI,PMKRI, dan GMNI. Satu tahun setelah kelompok Cipayung lahir, pada tanggal 23 Juli 1973, Komite Nasional Pemuda Indonesia dideklarasikan dengan David Napitupulu, seorang tokoh Golkar, sebagai ketua umum pertama. KNPI adalah organisasi payung pemuda yang memiliki pengaruh sampai tingkat kabupaten. Ini merupakan bagian dari strategi Orde Baru dalam rangka membangun korporatisme negara. Pada tahun-tahun berikutnya setelah 1980, akibat depolitisasi di dalam dan diluar kampus, mahasiswa mulai mencari cara baru untuk menumpahkan kegelisahan kritisnya sekaligus membangun strategi untuk menumbuhkan kembali basis kesadaran politik. Mulai masuk ke medio 1980, mahasiswa
mendirikan
kelompok-kelompok kecil mahasiswa yang bersifat independen diluar pengaruh birokrasi kampus, secara swadaya yang disebut dengan Kelompok Studi (KS). Kelompok Studi (KS) menjadi gejala baru di kalangan mahasiswa sebagai cara untuk mencari alternatif terhadap kebuntuan politik dalam kampus dan sekaligus cara golongan terpelajar penyampaikan protesnya (Tarrow, 1998). Nalar intelektual yang tunggal dan hegemonik membuat bosan para mahasiswa,kemudian mereka mulai mendirikan KS untuk mendiskusikan berbagai persoalan sosial politik yang tidak didapatkan dari kampus. Pertama-tama KS muncul di Jakarta dengan nama Kelompok Studi Proklamasi pada tahun 1983. Kelompok ini dipelopori oleh Denny JA, kemudian di UI juga berkembang komunitas yang sama 16
Setelah kepemimpinan Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, UGM dipimpin oleh Prof. Dr. Muhammad Adnan (1990-1994). Menurut para mahasiswa yang diwawancarai untuk kepentingan penelitian, semenjak UGM dipimpin oleh Prof. Dr. Muhammad Adnan aktifitas politik mahasiswa sering diberangus. Wawancara Dadang Juliantara tanggal 7 Juli 2008
44
dengan nama Lingkar Studi Indonesia (LSI). Di Bandung muncul Kelompok Studi Pertanahan, Kelompok Diskusi Sabtu, Thesa, Kelompok Sukaluyu, dan Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan (PSIK)17. Di Yogyakarta perkembangan KS sangat pesat. Pertama kali yang mempelopori KS adalah Dasakung yang melakukan penelitian tentang fenomena kumpul kebo diantara mahasiswa Yogyakarta dan kemudian dipublikasikan Kompas tanggal 9 Juni 1984. Penelitian ini membuat “geger” masyarakat Yogyakarta sekaligus melambungkan entitas intelektual baru, yakni Kelompok Studi. Setelah KS Dasakung, muncul berbagai KS antara lain; KS Teknosofi, KS Girli, KS Menghitung Bintang, KS F 16, KS Rode, KS IAIN, KS Palagan dan lain sebagainya. Sampai tahun 1986 di Yogyakarta tercatat ada 20 KS yang berasal dari berbagai kampus18. KS tumbuh dalam situasi kehidupan kampus yang tertutup terhadap gagasan pembaruan dan sekaligus jauh dari realita sosial
yang
berkembang. KS memiliki beberapa ciri yang menonjol antara lain ; pertama, KS memiliki tingkat keswadayaan yang tinggi. Mereka tumbuh dalam komunitas mahasiswa yang sepenuhnya disokong oleh mahasiswa sendiri. Biasanya sekretariat KS juga sekaligus tempat tinggal (kost) mahasiswa. Sebagai contoh adalah KS Rode yang ada di Jalan Kusumanegara Yogyakarta yang sekaligus menjadi tempat kost para aktifis KS19. Kedua, KS independen atau tidak memiliki hubungan sama sekali dengan birokrasi kampus dan organisasi mahasiswa yang sudah mapan, khususnya kelompok Cipayung dan KNPI. KS berdiri justru atas kegelisahan dan sekaligus perlawanan terhadap seluruh infrastruktur mahasiswa yang ada saat itu. Dengan kemandirian yang dimiliki, KS dapat bergerak secara lentur mengikuti perkembangan situasi, pun harus bubar setiap saat. Beberapa KS dapat bubar dan membentuk lagi sesuai dengan kebutuhan mahasiswa sendiri. Ketiga, KS merupakan satu unit intelektualisme kelas menengah yang mengembangkan aksi dan refleksi sebagai bagian dari atifitasnya. Sebagai contoh KS Girli yang melakukan pendampingan terhadap anak-anak jalanan selain juga 17
Wawancara dengan Noer Fauzi, 2 Agustus 2008 Majalah TEMPO No. 8 Tahun XIX – 22 April 1989 19 KS Rode kebanyakan berasal dari aktifis mahasiswa UII, khususnya Fakultas Hukum. Sekretariat ini memegang peranan penting bagi pertumbuhan gerakan mahasiswa di Yogyakarta tahun 1990an. 18
45
mengembangkan diskusi. KS Menghitung Bintang yang melakukan pendampingan terhadap masyarakat kali Code dan lain sebagainya. Dengan metode aksi refleksi ini, banyak para aktifis KS yang kemudian mendirikan LSM setelah tidak menjadi mahasiswa sebagai langkah politik selanjutnya. Diantara KS yang ada di Yogyakarta, yang paling menonjol adalah KS Palagan karena menyerat aktifisnya ke penjara20. Selain KS yang tumbuh diluar kendali kampus, terdapat organ yang menjadi alat politik mahasiswa yang sangat penting yakni Pers Mahasiswa. Sekalipun pers mahasiswa mengalami tekanan yang berat pasca peristiwa Malari tahun 1974 dan buku putih ITB tahun 1978, tetapi beberapa pers mahasiswa di Yogyakarta tetap mengangkat topik-topik sensitif diseputar kekuasaan Orde Baru. Pers mahasiswa masa NKK/BKK tidak lepas dari politik pengendalian yang dilakukan oleh Rektor sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Selain melalui Surat Ijin Penerbitan, pengendalian yang juga tidak kalah kejamnya adalah soal pendanaan. Pihak pimpinan universitas dapat sewaktu-waktu memotong biaya penerbitan jika isi nya dianggap “membahayakan”. Sebagai contoh yang terjadi pada pers mahasiswa ARENA milik IAIN Sunan Kalijaga. Kopkamtib pernah melarang ARENA terbit selama 8 bulan karena dianggap mengipasi suasana panas menjelang sidang MPR tahun 1978. Pada tahun 1988 Pangdam IV Diponegoro menegur, Pemimpin Umum ARENA berkenaan dengan reportase ARENA Nomor 1 Tahun 1988 tentang Waduk Kedung Ombo. Lalu pada penerbitan ARENA No. 2/1988 pihak rektorat memaksa ARENA untuk memblok dua halaman tulisan Arief Budiman tentang ketimpangan regenerasi Orde Baru. Guncangan kembali melanda ARENA saat No. 1/1993 mengangkat Bisnis Keluarga Presiden sebagai laporan utamanya. Akhirnya tanpa kompromi Rektor IAIN Sunan Kalijaga saat itu membredel majalah ARENA dengan SK No. IN/I/R/PP003/93 tertanggal 18 Mei 199321. Di Yogyakarta pers mahasiswa dapat menjadi akternatif untuk menggerakkan kesadaran politik 20
Lihat Edward Aspinal, Student Dissent in Indonesia in the 1980s, Working Paper 79, Monas University, 1993. Tempo, 27 Oktober 1990. Beberapa aktivis Palagan dihukum subversif di Pengadilan Negeri Yogyakarta, pada 1989. Mereka kedapatan menjual buku karangan Pramoedya Ananta Toer – bekas tokoh Lekra/PKI—yang dilarang pemerintah. Bambang Isti diganjar 8 tahun penjara, Bambang Subono mendapat 7 tahun, dan Bonar Tigor Naipospos kena 8 tahun 6 bulan. 21 Wawancara dengan Imam Aziz, 7 Mei 2008
46
mahasiswa. Beberapa pers kampus yang memiliki peran sebagai alat perjuangan kritis mahasiswa adalah Pijar (Filsafat UGM), Balirung (UGM), Himmah (UII), dan sejumlah penerbitan bawah tanah seperti Gelora Mahasiwa Berbeda dengan KS dan pers mahasiswa yang lebih banyak bergulat dengan wacana pemikiran kritis, di Yogyakarta pada tahun 1980an mulai berkembang LSM yang didirikan oleh mahasiswa. Salah satu ciri yang menonjol dari kelompok ini adalah langkahnya yang kongkret dalam membantu menyelesaikan persoalan masyarakat. Pada awal permulaanya berdiri, LSM tidak bersinggungan dengan persoalan-persoalan politik sekalipun kesadaran politik telah muncul dikalangan mahasiswa bahwa problem yang dihadapi rakyat akibat dari marginalisasi politik. LSM pada periode awal di Yogyakarta didirikan semata-mata sebagai kegiatan carity membantu masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya melalui berbagai kegiatan, seperti usaha kecil, micro finance, ketrampilan, dan lain sebagainya. LSM mula-mula belum banyak menyentuh pada persoalan advokasi, tetapi lebih banyak berkecimpung pada pemberdayaan ekonomi22. LSM di Yogyakarta telah tumbuh bersaman dengan berkembangnya paradigma kritis pembangunan. Namun demikian belum ada wadah yang menjadi tempat bertukar pengalaman di antara LSM tersebut. Tanggal 24-26 November 1986 tercatat sebagai hari yang bersejarah dalam perjalanan LSM di Yogyakarta, karena pada hari itu LSM di Yogyakarta sepakat untuk membentuk Forum, yang kemudian biasa dikenal dengan nama Forum LSM DIY. Inilah Forum LSM pertama kali yang ada di Indonesia. Forum LSM DIY adalah forum yang dibentuk sebagai wadah kerjasama antar LSM yang ada di DIY dan juga dengan pemerintah. Dalam Forum LSM DIY ini mula-mula keanggotaanya mencakup juga pemerintah Propinsi seperti Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Bangdes Propinsi DIY. Lambat laun keanggotaan pemerintah propinsi mulai dihilangkan dan baru pada tahun 1991 keanggotaannya sepenuhnya adalah LSM. Di Yogyakarta pertengahan tahun 1986 telah tumbuh beberapa LSM yang memiliki isu beragam, mulai dari kesehatan reproduksi, kredit usaha kecil, buruh perempuan, media, daan
22
Katalog LSM/LPSM Daerah Istimewa Yogyakarta, Komisi Publikasi & Dokumentasi LSM/LPSM DIY 1991/1994.
47
lain sebagainya. Beberapa LSM merupakan cabang dari LSM besar yang ada di Jakarta seperti LBH, PKBI, Bina Swadaya. Beberapa di antaranya tumbuh dari semangat lokal dan bahkan didirikan oleh mahasiswa, salah satunya adalah Yayasan Anissa Swasti (Yasanti). LSM ini didirikan oleh beberapa mahasiswa lintas kampus untuk membantu meningkatkan kesejahteraan buruh perempuan. Yasanti adalah LSM pertama yang memberikan warna gerakan feminis di Yogyakarta. Yasanti berdiri tanggal 28 September 1982 di Yogyakarta dengan daerah dampingan di Ungaran Jawa Tengah23. Selain Yasanti juga ada Yayasan Patria Nusantara, Yayasan Taman Karya Bakti, Yayasan Pengembangan Budaya, Yayasan Prakarsa dan lain sebagainya. Beberapa LSM didirikan oleh aktifis politik ketika melihat partai politik mengalami kemandulan, seperti Yayasan Taman Karya Bakti yang didirikan oleh Imam Yudhotomo mantan aktifis Partai Sosialis Indonesia. Isu yang didalami LSM pada periode awal masih sangat terbatas pada persoalan yang berhubungan dengan masalah sosial ekonomi masyarakat. Warna struktural LSM pada periode ini belum begitu dominan, sekalipun kesadaran bahwa problem rakyat salah satunya bersumber dari sistem politik Orde Baru24. Dalam beberapa hal, pendekatan sosial ekonomi ke grassroot lebih merupakan strategi, dari pada orientasi yang sesungguhnya. Kenyataan bahwa aparat pemerintah Orde Baru begitu represif terhadap kekuatan oposan menjadikan sebagian LSM memilih strategi pemberdayaan ekonomi dari pada politik. Ini yang dilakukan oleh Yasanti, salah satu LSM yang bekerja untuk pemberdayaan buruh perempuan. Tidak jarang LSM ini juga melakukan pendidikan kesadaran terhadap hak berserikat, upah, dan kesepakatan kerja bersama (KKB). Selain mengembangkan kesadaran mengenai hak-hak buruh, Yasanti juga memberikan kursus menjahit,
kursus teater,
pendidikan masyarakat sipil, dan bahkan beberapa kali mengorganisir pemogokan. Setelah tahun 1990an warna struktural LSM mulai nampak sejalan dengan semakin destruktifnya kebijakan Orde Baru, khususnya sejak kasus pembangunan 23
Wawancara dengan Kumoro Dewi, 2 April 2008 Buku Mansour Fakih masih relefan untuk melihat perkembangan LSM di Indonesia yang membagi dalam beberapa kategori berdasarkan pilihan strateginya dan fokus perhatiannya. Lihat Mansour Fakih [1996] Masyarakat Sipil Untuk Perubahan Sosial; Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 24
48
waduk Kedungombo dan pembunuhan buruh perempuan Marsinah25. Pada periode ini banyak aktifis mahasiswa yang mulai masuk ke LSM sehingga turut mewarnai pola gerakan LSM. Langkah politiknya juga semakin berani dengan mulai menyinggung pemerintah Orde Baru. Agaknya keterlibatan aktifis mahasiswa di LSM lebih dimaknai sebagai strategi dari pada kebutuhan praktis, karena masalahmasalah struktural rakyat memerlukan jaringan yang lebih luas dan ini hanya dapat ditempuh melalui LSM sebagaimana dalam kasus Kedung Ombo yang melibatkan beberapa LSM internasional.
Hal ini tidak dapat diperoleh dalam gerakan
mahasiswa. Bagaimanapun mahasiswa tetap memiliki kemampuan terbatas, khususnya dalam kematangan kelembagaan. LSM dapat lebih menjamin keberlangsungan kerjasama dibandingkan mahasiswa karena keanggotan LSM bersifat tetap (staf). Persinggungan politik mulai nampak ketika LSM mulai dipimpin para mantan aktifis mahasiswa .Nampaknya pengalaman sebagi aktifis mahasiswa memberikan energi keberanian yang lebih besar bagi LSM untuk mulai menyinggung masalah-masalah politik, sebagaimana yang terjadi dalam peristiwa Timoho dan pernyataan akhir tahun 1995 Forum LSM DIY26. . Pada periode ini mulai berkembang LSM yang bergerak pada masalah-masalah struktural seperti LAPERA, Patra Pala, LBH Yogyakarta di Yogyakarta, di Salatiga berdiri Yayasan Geni, di Solo berdiri Yaphi dan berbagai kelompok LSM di Jakarta, Bandung, Surabaya dan lain sebagainya27. LSM tersebut yang kemudian pada tahun 1997 mendirikan KIPP Yogyakarta sebagai kekuatan oposan terhadap penyelenggaraan pemilu. Sekretariat KIPP DIY menjadi satu dengan Forum LSM DIY, bahkan ketua Forum LSM DIY juga menjadi Presidium KIPP DIY. LSM berkembang terus menjadi kelompok penekan efektif sampai dengan Soeharto pada tahun 1998 dan kemudian bermetamofosa dalam berbagai isu dan kegiatan.
25
Lihat Stanley [1994] Seputar Kedungombo, Elsam, Jakarta. Marsinah adalah buruh perempuan di Porong Sidoarjo yang dibunuh karena mengorganisir teman-temannya untuk peningkatan kesejahteraan. Kasus Marsinah pernah diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama oleh sutradara Slamet Rahardjo. 26 Forum LSM DIY ,Demokratisasi Dipasung Politik Administrasi, Pernyataan Akhir Tahun 1995 Forum LSM DIY, Dokumen tidak diterbitkan 27 Perkembangan LSM struktural ini juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh nasional pertumbuhan LSM yang bercorak advokasi seperti Skephi, WALHI, INGI yang kemudian berubah menjadi INFID, Yayasan Maju Bersama, YLBHI, dan lain sebagainya.
49
Pendekatan struktural LSM yang mulai marak pada tahun 1990 juga dipicu perkembangan gerakan mahasiswa pada tahun 1980. Ketika kelompok-kelompok studi tersebut mulai melepas aluminya, sebagian dari mereka mulai membentuk LSM dengan warna struktural yang begitu kental. Sebagai contoh adalah LAPERA yang didirikan tahun 1992 dengan tema sentralnya adalah buruh dan tanah. Ini adalah isu yang sangat peka ketika jaman Orde Baru. LSM ini menerbitkan buletin KAWAH sebagai media untuk mempromosikan gagasannya. Para pendirinya adalah sebagian besar mahasiswa UGM angkatan 1980-an dan alumi kelompok studi Rhode serta terlibat aktif dalam advokasi Kedung Ombo. LSM lain yang senafas derngan LAPERA adalah LBH Yogyakarta. Sekalipun cabang dari YLBHI Jakarta, tetapi sifat cabang adalah otonom. LBH Yogyakarta giat melakukan advokasi kasus-kasus tanah dan buruh, seperti kasus Kedung Ombo, Kasus wedi kengser di Kabupaten Bantul, kasus pembunuhan wartawan Bernas, dan lain sebagainya. Adanya KS yang berbasis pada kegiatan intelektual sementara LSM yang mendasarkan diri pada kegiatan praksis di lapangan, bukan berarti aktivis kelompok studi ibarat pemimpin dan sementara aktifis LSM adalah tukang atau pelaksana. Tidak ada kesepakatan antara mereka untuk berbagi fungsi yang demikian; walaupun belakangan disadari bahwa kegiatan LSM semakin kuat bila dibarengi refleksi, dan sebaliknya kelompok diskusi menjadi praksis bila disertai aksi. Namun sesungguhnya tidak bisa dielakkan bahwa kedua kegiatan tersebut pada dirinya sering menimbulkan mental blok28. Memasuki paruh 1980-an, kampus mulai mengalami pergeseran politik. Berbagai kasus baik yang langsung bersinggungan dengan mahasiswa atau rakyat pada umumnya mendorong mahasiswa untuk kembali menyusun strategi perlawanan. Banyak peristiwa politik nasional yang berlangsung pada medio 1980an seperti peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1983, peristiwa Warsidi Lampung tahun 1989, penembakan misterius tahun 1983, peristiwa pendudukan atas Timor Leste tahun 1975, peristiwa subversif mahasiswa Yogyakarta tahun 1986,
28
Didik Supriyanto [1998] Perlawanan Pers Mahasiswa ; Protes Sepanjang NKK/BKK, Sinar Harapan-Yayasan Sinyal, Jakarta
50
pembangunan waduk Kedung Ombo tahun 1985, dan lain sebagainya telah membangun kesadaran politik mahasiswa untuk mulai mempersoalkan Orde Baru29. Untuk lokal Yogyakarta, terdapat beberapa peristiwa penting yang mempengaruhi dan berkaitan erat dengan pertumbuhan gerakan mahasiswa. Pertama adalah pengangkatan Koesnadi Hardjasoemantri sebagai Rektor UGM. Kedua, kasus SDSB dan kebijakan pemerintah lainnya seperti kenaikan tarif listrik dan BBM. Ketiga kasus Kedung Ombo. Keempat, kasus subversif Bonar Tigor Naispospos dan kawan-kawan. Pengangkatan Koesnadi Hardjasoemantri sebagai Rektor UGM telah membuka partisipasi politik mahasiswa lebih lebar. Koesnadi Hardjasoemantri menganggap bahwa kegiatan politik mahasiswa merupakan bagian dari tanggungjawab intelektual kaum terpelajar, sehingga tidak serta merta kegiatan politik mahasiswa diberangus. Demonstrasi mahasiswa dilindungi dari intervensi tentara. Pada jamannya pertumbuhan kegiatan politik mahasiswa sangat marak. Barangkali hal ini karena Koesnadi sendiri adalah sosok moderat yang memiliki pengalaman panjang dalam organisasi kemahasiswaan sebagai ketua Dewan Mahasiswa dan pendiri Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI)30. Hanya pada jaman Koesnadi Hardjasoemantri demo mahasiswa diantar langsung oleh Rektor ke DPRD Propinsi DIY. Selain faktor kepemimpinan Koesnadi Hardjasoemantri, satu hal yang juga memiliki sumbangan terhadap pertumbuhan gerakan mahasiswa di Yogyakarta adalah kasus SDSB. SDSB memang bukan masalah politik, tetapi moral. Protes menentang SDSB dikarenakan undian ini dipandang telah merugikan secara sosial dan moral. Berbeda dengan kasus pelanggaran HAM, protes terhadap SDSB jauh lebih aman resiko politiknya. Mahasiswa melihat protes SDSB merupakan bagian untuk melatih militansi dan strategi untuk menghadapi isu yang lebih sensitif, yang kemungkinan akan menuai resiko yang lebih besar. Demonstrasi terhadap SDSB dengan sendirinya mendapat dukungan luas, dengan begitu aparat keamanan tidak akan berani melakukan tindakan represif. Kasus lain 29
YLBHI, Demokrasi Masih Terbenam; Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 1991, YLBHI 1991; YLBHI, Demokrasi di Balik Keranda; Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia 1992, YLBHI 1992 30 Wawancara dengan Dadang Juliantara, 7 Juli 2008
51
yang memberi warna bagi gerakan mahasiswa di Yogyakarta adalah kasus subversif Bonar Tigor Naispopos dan kawan-kawan serta Kedung Ombo. Mengapa kedua kasus tersebut sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan dinamika gerakan mahasiswa di Yogyakarta? Pertama, adalah kedua kasus tersebut melibatkan mahasiswa secara langsung. Kasus Bonar Tigor Naispospos dan kawan-kawan berlangsung di Yogyakarta, sedangkan pembangunan Waduk Kedungombo di daerah Boyolali yang berjarak kurang lebih 70 km dari Yogyakarta. Dalam kedua kasus ini keterlibatan mahasiswa Yogyakarta sangat intensif dalam mengadvokasi dan sekaligus bersinggungan langsung dengan aparat pemerintah, khususnya ABRI. Kedua, kasus tersebut menjadi arena latihan mahasiwa dalam praktek melawan kekuasaan setelah era NKK/BKK yang langsung berhubungan dengan kekerasan aparat dan bagaimana cara atau strategi menghadapinya. Bonar Tigor Naispospos, Bambang Isti, Bambang Subono
adalah
mahasiswa Fisipol UGM dan pegawai UGM dan sekaligus pendiri KS Palagan. Pada tanggal 14 Juni 1989 mereka bertiga ditangkap oleh aparat keamanan karena meminjamkan dan mendiskusikan buku karangan Pramudya Ananta Toer. Tuduhan yang disangkakan kepada ketiganya adalah menyebarkan ajaran komunisme oleh karena itu dikenai pasal subversif. Pengadilan Negeri Yogyakarta akhirnya menjatuhkan vonis delapan dan tujuh tahun penjara. Hukuman yang dianggap terlampau berat bagi sebuah kegiatan intelektual mahasiswa yang hanya mendiskusikan dan meminjamkan buku. Persidangan mereka diikuti oleh protesprotes mahasiswa Yogyakarta. Demonstrasi tanggal 8 September 1989 berakhir dengan bentrok antara mahasiswa dengan aparat keamanan di Jalan Kusumanegara Yogyakarta yang mengakibatkan tiga orang mahasiswa dirawat di rumah sakit Panti Rapih dan 27 lainnya ditangkap. Seminggu kemudian pada tanggal 15 September 1989 mahasiswa kembali melakukan long marc ke gedung DPRD Yogyakarta untuk memprotes peristiwa berdarah tersebut. Dalam sejarah gerakan mahasiswa di Yogyakarta, inilah bentrokan
pertama yang memakan korban
mahasiswa Yogyakarta dengan aparat keamanan. Namun bentrokan tersebut justru
52
semakin menumbuhkan militansi dikalangan kaum muda31. Kekerasan aparat nampaknya tidak membuat mahasiswa menjadi gentar, tetapi semakin militan sehingga muncul slogan, ”penjara tidak membuat jera, peluru tidak membuat ragu”. Selain peristiwa subversif Bonar Tigor dan kawan-kawan, pembangunan waduk Kedungombo juga dapat dijadikan tolok ukur untuk melihat sejauh mana perkembangan gerakan mahasiswa di Yogyakarta. Kedungombo berjarak kurang lebih 70 km dari Yogyakarta dengan waktu tempuh sekitar tiga jam perjalanan kendaraan umum. Pembangunan waduk ini sejak awal telah menuai berbagai protes karena keterlibatan militer dan dan ganti rugi tanah yang rendah. Waduk Kedungombo mulai dibangun tahun 1983 dan pada tahun 1989 menjadi sorotan publik karena berbagai pelanggaran yang terjadi selama masa pembebasan tanah. Banyak aktifis LSM, intelektual kampus dan rohaniawan baik nasional maupun internasional yang mulai terlibat memberikan bantuan advokasi kepada penduduk Kedungombo termasuk mahasiswa. Mahasiswa sekitar lokasi pembangunan waduk, khususnya Solo, Salatiga dan Yogyakarta segera memberikan perhatian terhadap kasus tersebut dengan membentuk Kelompok Solidaritas Korban Pembangunan Kedung Ombo (KSKPKO). Berbagai protes dilakukan untuk membela warga yang tinggal di lokasi waduk. Protes dilakukan dengan mendatangi langsung pusat-pusat kekuasaan antara lain Menteri Dalam Negeri, DPR, Gubernur, dan lain sebagainya32. Kedungombo dapat dikatakan sebagai kawah candradimuka bagi pembentukan militansi dan ketrampilan aksi menghadapi tekanan dari aparat keamanan. Dalam kasus Kedungombo inilah ditemukan berbagai metode aksi yang kelak mewarnai protes-protes mahasiswa menjelang turunnya Soeharto seperti 31
Wawancara dengan Untoro Hariadi, 9 Agustus 2008. Dalam kasus Bonar Tigor ini kemudian mahasiswa mulai menciptakan lagu-lagu perlawanan setelah sebelumnya dalam setiap aksi menyanyikan lagu perjuangan nacional seperti lagu Halo-Halo Bandung, Satu Nusa Satu Bangsa, atau Maju Tak Gentar. Pada tahun-tahun ini, mahasiswa menciptakan lagu perlawanannya sendiri seperti “Di Bawah Topi Jerami”; “Darah Juang” , “Satu Kata” dan lain sebagainya yang sebagian besar diciptakan oleh mahasiswa Filsafat bernama John Tobing. Usul penciptaan lagu ini atas saran Ariel Haryanto yang melakukan penelitian tesis atas kasus tersebut. Lagu “Darah Juang” merupakan lagu yang paling dikenal oleh aktifis mahasiswa dan hampir selalu dinyanyikan ketika melakukan demonstrasi. Afnan Malay, seorang mahasiswa Hukum UGM kemudian memodifikasi Sumpah Pemuda menjadi Sumpah Mahasiswa Indonesia yang kalimatnya dirubah menjadi ; Berbahasa satu, bahasa kebenaran; Berbangsa satu, bangsa yang cinta keadilan; Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan. 32 Stanley, op cit hal 136-180.
53
pembentukan panitia aksi, penggunaan tali pengaman aksi, penggunaan poster, yelyel atau lagu-lagu perlawanan. Pada tahun-tahun berikutnya gerakan mahasiswa Yogyakarta bergerak diantara advokasi dan pembentukan kelembagaan yang menjadi cikal bakal gerakan oposisi di Indonesia. Di luar kasus Bonar Tigor dan Kedung Ombo, terdapat satu kasus mahasiswa yang
tidak langsung berhubungan dengan mahasiswa Yogyakarta,
yakni kasus Golput di Semarang pada tahun 1992. Kasus ini melibatkan mahasiswa Universitas Diponegoro, yakni Poltak Ike Wibowo dan Lukas Luwarso yang melakukan apel siaga kebangkitan nasional dengan mengkapanyekan Golput33. Kasus ini terjadi di kampus Undip menjelang pemilu 1992 dan segera saja aparat menjerat dengan pasal mengganggu ketertiban umum. Karena jarak YogyakartaSemarang yang tidak terlalu jauh, kasus ini memobilisasi mahasiswa Yogyakarta untuk melakukan aksi solidaritas dengan protes-protes terbatas. Di dalam kampus UGM sendiri ketidakpuasan terhadap kelembagaan intra kampus sebagai produk NKK/BKK mulai membuncah pada tahun 1990 dengan gagalnya konggres Mahasiswa yang kemudian melahirkan Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM). Sejalan dengan pertumbuhan kesadaran politik dan munculnya militansi dikalangan mahasiswa, pada tahun 1990-an merupakan masa konsolidasi gerakan mahasiswa.
Salah satu strategi yang menonjol dari pola gerakan
mahasiswa pada tahun 1990an adalah bergerak antara di dalam dan di luar kampus, berserakan membentuk komite-komite aksi. Organ aksi mahasiswa menghindari ketokohan yang kemungkinan akan mudah digebuk dan sesudah itu mati sebagaimana yang terjadi pada tahun 1974 dan pada tahun 197834. Pembentukan komite-komite juga untuk menghindari perangkap aparat. Jadi strategi ini semacam peran gerilya yang muncul dalam komite aksi dan sesudah itu menghilang. Sekalipun tokohnya bergerak dari satu organ-ke organ lain, namun aparat sulit untuk menangkap siapa yang paling bertanggungjawab dalam setiap aksi karena 33
Lihat Lukas Luwarso, Bangkitlah Imajinasimu Indonesiaku, Risalah Pembelaan dihadapan Persidangan di Pengadilan Negeri Semarang, 25 Oktober 1993 34 Kalau tahun 1974 dan 1978, begitu tokoh mahasiswa ditangkap, maka segera saja gerakan mahasiswa mengalami kemunduran. Hal ini yang dihindari aktifis mahasiswa pada tahun 1990an dengan membentuk komite aksi dan menghindari ketokohan. Wawancara Yuli Eko Nugroho, 5 Mei 2007.
54
kepemimpinan yang selalu berganti-ganti. Sekretariat gerakan juga tersembunyi didalam kamar kost mahasiswa, sehingga sulit dilacak. Kadang-kadang sekretariat justru berdekatan dengan tangsi militer seperti Sekretariat SMID di Jetis yang dekat dengan markas Kodim Yogyakarta. Pada 1990an di Yogyakarta terbentuk Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY). FKMY merupakan organisasi mahasiswa pertama yang anggotanya lintas kampus tetapi bukan bagian dari organisasi mapan semacam Cipayung. Kelompok ini langsung menusuk jantung kekuasaan Orde Baru dengan amunisi utamanya adalah Kedung Ombo. FKMY sempat melakukan aksi ke Menteri Dalam Negeri (Rudini) dan Taman Makan Kalibata untuk memprotes pembangunan waduk Kedung Ombo. Selain organisasi mahasiswa yang lintas kampus, organisasi ”partikelir” juga mulai muncul di kampus dengan isu yang diangkat adalah kebijakan kampus. Di IAIN muncul KMPD (Keluarga Mahasiswa Pencinta Demokrasi) dan di UGM muncul Dewan Mahasiswa. Pada tahun 1991, beberapa bulan setelah mengadakan kongres yang pertama, FKMY mengalami perpecahan. Aktivis dari UGM, UII, dan Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa pada November 1991
membentuk SMY (Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta).
Adapun aktivis dari Institut Seni Indonesia (ISI), Universitas Janabadra, dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) serta IAIN Sunan Kalijaga membentuk Dewan Mahasiswa dan Pemuda Yogyakarta (DMPY). Selain itu, sejumlah aktivis mahasiswa membentuk Komite Rakyat (KR) yang menggarap sektor petani diantaranya Sugeng Bahagijo, Budiman Sudjatmiko yang pernah menjadi ketua PRD. SMY dan KR merupakan satu kesatuan yang saling bahumembahu. Jika KR hendak melakukan aksi advokasi terhadap petani yang tergusur, KR mengajak SMY untuk mengadakan aksi bersama. Demikian juga kalau SMY mengadakan aksi di kampus, aktivis KR turut membantu. DMPY berasosiasi dengan kubu Skephi di Jakarta, yang adalah gaya parlemen jalanan dan empirisisme yang didominasi watak gerakan LSM yang praktis dan konkrit. Sedangkan SMY yang berasosiasi dengan kubu Infight yang menonjol adalah
55
watak teoritik ideologis yang kuat yang menjadi ciri khas KS35. Kelompok DMPY pada akhirnya nanti menjadi Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), sedangkan dan SMY pada akhirnya menjadi jaringan Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) melalui organ mahasiswanya, SMID. Tidaklah mengherankan kalau kemudian dalam sejarah gerakan mahasiswa di Yogyakarta, kedua kelompok ini terjadi perang dingin dalam perebutan pengaruh antar kampus sampai Mei 1998. Meskipun aktifitas FPPI sudah berjalan lama, namun sebagai organ resmi yang berskala nasional baru disepakati pada 13 Nopember 1998 di Magelang, jauh sesudah Soeharto tumbang. Jauh hari sebelum menjadi FPPI, organ-organ dalam jaringan kelompok ini telah aktif melakukan aksi-aksi dalam menuntut reformasi dan melengserkan Soeharto. Beberapa organ-organ tersebut antara lain di Yogyakarta dengan organ Pusat Perjuangan Pemuda Yogyakarta (PPPY), Solidaritas Orang Pinggiran untuk Kemanusiaan (SOPINK), Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat (Fampera), Fropera. Kelompok ini memandang paham Sosialisme, Islam dan Nasionalisme sebagai basis ideologi. Bahwa realitas politik di Indonesia bersifat unik, karena itu ideologi-ideologi besar tidak relevan bagi gerakan politik (Widjojo, 1999: 303). Di Yogyakarta kelompok ini memiliki basis di kampuskampus non UGM dan hanya sebagian fakultas di UGM saja yang menjadi basis anggotanya. Organisasi lain yang menjadi ”rival” dalam menggalang aksi adalah LMND. Organ mahasiswa yang memiliki afiliasi dengan PRD. Kelompok ini memilih ideologi Sosialis Demokratik Kerakyatan (Widjojo, 1999: 326). Kelompok ini memiliki organisasi yang cenderung senafas dengan format yang "sentralisme demokratik" (Widjojo, 1999: 327). Berbeda dengan FPPI, organ-organ yang tergabung dalam kelompok ini memiliki pilihan bahasa yang sama serta isu-isu besar yang sama. Secara organisasi, kelompok lebih rapi dibanding dengan FPPI. LMND adalah organ aksi PRD setelah SMID mendapat pukulan keras dari aparat keamanan. Dalam mengantisipasi "incaran" pihak keamanan, kelompok ini menggunakan strategi memilih nama organ "sekali pakai", yaitu menggunakan 35
Irine H Gayatri ., "Arah baru Perlawanan Gerakan Mahasiswa 1989-1993", dalam Widjojo, Muridan S. (et.al) [1999] Penakluk Rezim Orde Baru, Gerakan Mahasiswa '98, Jakarta: Sinar Harapan, Jakarta
56
nama kelompok terntentu hanya pada saat aksi isu tertentu pula dan setelah itu, organ tersebut tidak terdengar lagi. Strategi ini terutama dijalankan setelah peristiwa 27 Juli 1996 hingga akhir tahun 1997. Adapun organ-organ yang tergabung dalam kelompok di Yogyakarta muncul Komite Nasional Penegak Demokrasi (KNPD), Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP) Diluar kedua kelompok besar tersebuit diatas, terdapat organ mahasiswa yang tidak berafiliasi dengan keduanya. Kelompok ini cenderung mandiri tidak terkooptasi oleh pengaruh kedua kelompok dan cenderung memilih isu yang berhubungan langsung dengan mahasiswa seperti kenaikan SPP, pemilihan rektor, pemecatan mahasiswa, dan lain sebagainya. Tanggal 26 Oktober 1994 Komite Penegak Hak Politik Mahasiswa (Tegaklima) melakukan protes terbuka kepada rektorat atas pelantikan 18 Dekan dan 20 Kepala Pusat Studi yang ada di UGM. Ini adalah protes ujicoba sebelum mereka melakukan protes yang lebih berani dengan menyentuh persoalan-persoalan politik36. Dua belas hari (9/12/1994) sesudah ”ujicoba”politik tersebut, Tegaklima kembali melakukan protes dengan Hak Asasi Manusia sebagai amunisi , isu yang dianggap sensitif oleh pemerintah Orde Baru pada waktu itu. Protes ini dilakukan atas dasar berbagai pelanggaran hak asasi antara lain pembredelan pers mahasiswa, pemecatan dosen di UKSW, pengangkatan pejabat kampus, kenaikan SPP, pemecatan mahasiswa ITB dan lainlain37. Kelompok inil tetap mengusung isu pendidikan sebagai platform politiknya. Inilah cikal bakal pembentukan Dewan Mahasiswa di UGM yang berbeda dengan dua kelompok diatas. Pada tanggal 29 Desember 1994 untuk pertama kalinya sejak 15 tahun, mahasiswa UGM memiliki Dewan Mahasiswa38. Pendirian Dema merupkan protes terhadap berbagai organisasi intra kampus yang selama ini dianggap mandul dalam memperjuangkan aspirasi mahasiswa. Lembaga produk NKK/BKK dianggap hanya perpanjangan tangan rektorat untuk memotong partisipasi mahasiswa. Dema adalah lembaga partikelir,oleh karena itu tidak mendapat
dukungan fasilitas dari Universitas. Sekretariat pun harus menyewa
36
Harian Merdeka, 27 /10/ 1994 Selebaran aksi tanggal l9 Desember 1994 38 Dewan Mahasiswa atau Dema adalah organisasi intera kampus yang memiliki otonomi dan memiliki kedudukan sejajar dengan rektorat. Wawancara dengan Arie Sujito, 1 Maret 2007 37
57
diluar kampus dengan iuran antar pengurus. Namun demikian embrio perlawanan telah diletakkan oleh lembaga ini terhadap berbagai kemapanan kampus. Pendirian Dema segera diikuti oleh berbagai kampus di Yogyakarta antara lain IAIN dan UAJY. Berbeda dengan Dema yang didirikan untuk memberikan respon terhadap kelembagaan intra kampus yang cenderung pasif, sebagian mahasiswa yang mulai terlibat dalam persoalan-persoalan politik mulai membentuk Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (SMID). Sekalipun berasal dari kampus yang sama (UGM), antara SMID dan Dema memiliki basis aktifis yang berbeda, kalau SMID berasal dari lingkungan mahasiswa Filsafat, sedangkan Dema berasal dari lingkungan mahasiswa Fisipol39. Pengelompokkan yang berlatar belakang kampus atau fakultas, nampaknya menjadi sesuatu yang alamiah dalam gerakan mahasiswa di Yogyakarta. Pengelompokkan ini kadangkala berkaitan dengan eksistensi masing-masing antar kampus atau antar fakultas. Kekuatan MS di Yogyakarta antara lain didukung LSM, KS, pers mahasiswa, dan organisasi mahasiswa yang memiliki sumbangan besar dalam menggerakkan aksi-aksi damai pada tahun 1998 dengan berujung ”Pisowanan Agung” tanggal 20 Mei 1998. Peristiwa akbar tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki hubungan antar masing-masing kelompok. Aksi menjelang kejatuhan Soeharto yang berlangsung damai di Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari peran berbagai kelompok dari masyarakat Yogyakarta. Gerakan mahasiswa tetap menjadi penyumbang paling besar dalam membangun militansi perlawanan ditengah berbagai tekanan yang gencar dilakukan oleh aparat. Namun demikian sumbangan kelompok sipil lainnya juga tidak dapat dikatakan sedikit. LSM misalnya yang memiliki kemampuan jaringan dan sumberdaya dalam pembentukan Yogyakarta damai. Kelompok LSM
bersama-sama dengan kelompok sipil lainnya seperti
agamawan,
kampus,
intelektual
kelompok
lintas
SARA,
bahu-mambahu
mengembangkan prakarsa anti kekerasan sehingga sekalipun muncul berbagai bentrokan antara mahasiswa dengan aparat keamanan, Yogyakarta tetap aman. 39
Namun kadang-kadang pembedaan itu tidak mutlak,misalnya Andi Arief ketua SMID berasal dari Fisipol sedangkan Harry Prabowo aktifis Dema berasal dari Filsafat. Pengelompokkan ini biasanya berasal dari latar belakang pergaulan masing-masing aktifis dan kaderisasi di dalam kampus.
58
Sekalipun antar organisasi mahasiswa, LSM, pers mahasiswa bahkan kelompok diskusi memiliki
metode sendiri dalam bekerja mengembangkan
kekuatan sipil, tetapi pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Orde Baru mereka dapat berdiri dalam satu platform politik, menurunkan Soeharto. Agenda ini memang tidak dapat dibangun sekejap, tetapi memerlukan proses yang panjang dan berkesinambungan. LSM yang memiliki basis komunitas di desa-desa memiliki tugas untuk menjelaskan kesadaran perubahan melalui pendidikan politik dan pertemuan dengan masyarakat. Dukungan kesadaran dari publik ini
yang
kemudian menumbuhkan simpati dari masyarakat ketika aksi-aksi demonstrasi mahasiswa mengalami represi dari aparat keamanan40. Aksi-aksi menjelang kejatuhan Soeharto tidak dapat dilihat sebagai proses yang tunggal, tetapi merupakan proses kolektif antar masyarakat sipil di Yogyakarta sehingga tercapai gerakan 1 juta massa pada tanggal 20 Mei 1998. 4.3. Ikhtisar Salah satu unsur yang mendorong lahirnya gerakan sosial adalah situasi politik yang melingkupi dimana gerakan sosial hadir. Tujuan dari gerakan sosial adalah ingin mengubah situasi politik menjadi lebih bermakna bagi kelompok atau organisasi gerakan. Faktor lain yang tidak kalah penting bagi lahirnya gerakan sosial adalah agen penggerak gerakan, atau faktor pencetus. Faktor ini dapat berupa kepemimpinan atau kelas yang menjadi pelopor gerakan. Sekalipun gerakan MS di Yogyakarta belum menjadi protes yang terbuka dan bersifat masif, namun sebagai gerakan oposisi yang mengarah ke protes telah mulai dibangun. Misalnya sebagian kalangan LSM mengembangkan pemberdayaan ekonomi, wacana golput, sampai dengan menolak intervensi negara dalam kampus. Sekalipun berbagai aktor tersebut belum memiliki platform yang tunggal, namun seluruh tujuan gerakan tertuju pada upaya mempersoalkan kebijakan politik pemerintah Orde Baru .
40
Dalam sebuah bentrok mahasiswa dengan aparat keamanan tahun 1997 di UGM, masyarakat pedagang kaki lima memberikan dagangannya (es, aqua, teh botol, dll) untuk mengobati mahasiswa yang terkena gas air mata. Catatan harian tidak diterbitkan , 3 Juli 1998.
59
BAB V DINAMIKA MASYARAKAT SIPIL DI YOGYAKARTA MENJELANG KEJATUHAN SOEHARTO
5.1. Yogyakarta Menjelang Kejatuhan Soeharto Mei 1997 menjadi bulan bersejarah bagi bangsa Asia. Thailand mengalami apa yang disebut dengan serangan spekulatif terhadap Baht, mata uangnya. Serangan ini langsung berimbas ke Philipina, Malaysia, dan Indonesia yang kemudian dikenal dengan pat pong effect. Tanggal 8 Juli 1997 adalah awal krisis ekonomi Indonesia yang ditandai dengan merosotnya nilai tukar rupiah. Bulan berikutnya adalah cerita buruk pemerintahan Soeharto yang masih berusaha percaya diri setelah usai melaksanakan pemilu terakhir dalam sejarah kekuasaannya. Inilah babak akhir dari emperium ekonomi Orde Baru yang dibangun di atas kestabilan politik dan pertumbuhan ekonomi. Semua argumentasi tentang pembangunan dan stabilitas yang dibangun selama 32 tahun, tiba-tiba seperti rumah kartu, runtuh diterpa badai krisis. Bak api disiram minyak, mahasiswa yang mulai resah dengan semua sandiwara politik segera turun ke jalan melakukan demonstrasi berkaitan dengan isu-isu penting seperti, pencabutan tiga paket UU Politik, Dwi Fungsi ABRI, pelanggaran Hak Asasi Manusia, reformasi tata pemerintahan, sampai di ujung seluruh persoalan adalah turunnya Soeharto dari kursi Presiden. Rasa frustasi rakyat bukan semata-mata pada keadaan ekonomi yang dilanda krisis, tetapi lebih jauh dari itu adalah berbagai kebijakan politik seperti ketidakadilan ekonomi, korupsi, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Titik kulminasi politik Indonesia terjadi pada tanggal 27 Juli 1996 yang kemudian dikenal dengan Kudatuli (kerusuhan dua puluh tujuh Juli). Hari itu kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat diserang oleh ”orang-orang PDI Pro Suryadi”. Peristiwa ini sampai sekarang masih menjadi misteri dalam panggung politik Indonesia mengenai siapa yang menjadi dalang dalam peristiwa tersebut, tetapi yang jelas Presiden Soeharto adalah salah satu yang wajib dimintai
60
pertanggungjawaban. Beberapa saat sesudah kejadian itu, Angkatan Bersenjata melalui Kepala Staf Sosial Politik waktu itu, Letjend Syarwan Hamid, menuding PRD berada di balik peristiwa tersebut1. Partai Rakyat Demokratik (PRD), sekolompok anak-anak muda lintas kampus yang hanya bersenjatakan kepala tangan, spanduk, dan toa, berhadapan dengan militer yang terorganisasi rapi dan bersenjata. Siapakah kelompok ini? PRD dideklarasikan tanggal 22 Juli 1996, lima hari sebelum penyerbuan kantor DPP PDI di YLBHI yang berjarak 500 meter dari pusat kerusuhan. Anak-anak muda ini menjadi pemberitaan media dan pemerhati politik atas keberaniannya bersikap oposan terhadap pemerintahan Soeharto. PRD didirikan di Kaliurang Yogyakarta tanggal 15 April 1996, setelah sebelumnya mengalami krisis organisasi yang menyebabkan pecahnya Persatuan Rakyat Demokratik menjadi PADI (Persatuan Rakyat Demokratik Indonesia) dan PS. PRD (Presidium Sementara PRD ) masingmasing dipimpin oleh Sugeng Subagio dan Budiman Sujatmiko2. PRD memiliki basis utama di Yogyakarta, khususnya di kampus-kampus besar, seperti UGM, IAIN, dan ISI. Kelompok ini memulai aktifitas politiknya ketika kasus-kasus tanah disekitar Yogyakarta mulai marak seperti Kedung Ombo dan Cilacap, termasuk kasus-kasus tanah di Jawa Barat dan Jawa Timur3. Kaderisasi yang dilakukan PRD dilakukan jauh sebelum sebagian aktifisnya mengenal dunia kampus atau pada awal penerimaan mahasiswa baru. Budiman mengenal para pendiri SMID (organisasi sayap mahasiswa PRD)
sejak sekolah di SMA Muhammadiyah 1
Yogyakarta. Beberapa pendiri PRD mengikuti orientasi kampus dengan melakukan 1
Dalam beberapa analisis, peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli) adalah puncak dari perseteruan golongan katolik dan islam, termasuk di dalamnya golongan bersenjata dan intelektualnya, yakni Benny Moerdani dengan CSIS versus syarwan Hamid - Faisal Tanjung – Habibie dengan CIDES dan ICMI. John MacDougall, Bencana Politik 27 Juli 1996. Dokumen tidak dipublikasikan. Keterangan Syarwan Hamid, 5 Agustus 1996, Kompas, 6 /8/1996. Hari sesudah peristiwa 27 Juli 1996, berlangsung penangkapan besar-besaran di berbagai tempat. Siaran Pers Tim Relawan Penolong Korban Insiden 27 Juli 1996 mencatat selama Juli-Agustus 1996, aparat keamanan mendatangi 49 tempat dan menangkap beberapa orang diantaranya yang dicurigai menjadi sarang kelompok pro demokrasi. 2 Keduanya mahasiswa UGM Yogyakarta, Sugeng Bahagio mahasiswa Filsafat yang mendirikan Komite Pembelaan Mahasiswa dan aktif di berbagai diskusi. Budiman Sudjatmiko adalah mahasiswa ekonomi (drop out) yang aktif dalam diskusi-diskusi SMID di daerah Jetis ketika dipimpin Andi Munajat. (catatan penelitian) 3 Di Jawa Barat misalnya kasus tanah di Kacapiring, Tapos, di Jawa Timur misalnya kasus tanah di Jenggawah, dan lain sebagainya. Lihat, Team YLBHI [2002] Demokrasi Dibalik Keranda, Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1992, YLBHI , Jakarta
61
aksi-aksi demonstrasi4. Pertumbuhan PRD merupakan salah satu tonggak terpenting bagi gerakan mahasiswa di Yogyakarta. Diluar PRD, Yogyakarta sendiri senantiasa menjadi pusat bagi gerakan perlawanan MS. Pertumbuhan gerakan sipil di Yogyakarta pada penghujung pemerintahan Soeharto tidak dapat dilepaskan dari berbagai peristiwa penting yang terjadi di Yogyakarta, sekalipun peristiwa tersebut ada yang tidak secara langsung berhubungan dengan gerakan MS, tetapi paling tidak memiliki sumbangan terhadap pertumbuhan kesadaran sipil dan sekaligus membentuk common enemy yang menjadi energi bagi perluasan aksi pada tahun 1997/1998. Beberapa peristiwa politik yang berlangsung di Jawa Tengah dan Yogyakarta memiliki kaitan dengan fenomena gerakan protes yang marak setelah pemilu 1997. Peristiwa politik yang berlangsung di luar Yogyakarta tetapi mempengaruhi pertumbuhan gerakan sipil adalah Peristiwa 27 Juli 1996, kuningisasi yang berlangsung di Jawa Tengah, fenemona Mega Bintang yang berlangsung di Solo, dan dua peristiwa di Yogyakarta adalah pelaksanaan pemilu 1997 serta pembunuhan wartawan Bernas Fuad Muhammad Syarifudin. Peristiwa 27 Juli 1996 membawa efek mendalam dalam sejarah politik Indonesia. Pemerintah Soeharto rupanya tidak mengerti bahwa pembiaran terhadap penyerbuan kantor PDI Megawati tersebut membawa pengaruh besar terhadap gerakan oposisi di Indonesia. Di Yogyakarta sendiri setelah peristiwa 27 Juli 1996 di Jakarta, mahasiswa mendirikan Komite Anti Penindasan Pers (KAPP). Komite ini memprotes ditangkapnya aktivis Suara Independen dan digerebeknya kantor percetakan media tersebut di Jakarta. Aksi yang digelar bulan Oktober 1996 ini berakhir dengan penangkapan Haris Baris Sitorus di halaman Balairung UGM. Suara Independen adalah media bawah tanah yang digunakan kelompok-kelompok Pro Demokrasi untuk propaganda anti rezim. Suara Independen diterbitkan oleh Masyarakat Indonesia Peminat Pers Alternatif (MIPPA) dengan alamat surat di PO Box 173 Surrey Hills 3127 Victoria, Australia. Media ini dimaksudkan sebagai 4
Sebagai contoh adalah mahasiswa Filsafat UGM (yang merupakan basis gerakan mahasiswa radikal) angkatan 89 diminta untuk meneriakkan ”Gantung Soeharto” pada waktu Ospek berlangsung, sesuatu yang sangat sensitif pada waktu itu. Periode angkatan 89 adalah periode emas dari sejarah perpolitikan mahasiswa, karena banyak dari mahasiswa angkatan ini menjadi pemimpin teras PRD, seperti Budiman Sudjatmiko, Rahardjo Waluya Jati, Nezar Patria, dan lain-lain.
62
koran bawah tanah untuk memberikan bacaan alternatif dimana pers secara umum berada dalam garis politik pemerintah melalui ancaman breidel. Karena menjadi koran bawah tanah dan alat propaganda perlawanan, koran ini tidak memiliki sidang redaksi. Dalam kasus Suara Independen, pemerintah Orde Baru tidak menemukan sasaran tertuduhnya atas media tersebut, maka Andi (31 thn) dan Dasrul (66 thn) yang merupakan kontak person di Indonesia ditangkap polisi5. Berita yang dimuat Suara Independen pada waktu itu kebanyakan mengulas seputar peristiwa 27 Juli 1996. Sebagai bentuk solidaritas terhadap penangkapan tersebut mahasiswa Yogyakarta melakukan aksi di Bulevard UGM. Sekalipun peristiwa 27 Juli merupakan peristiwa besar yang melukai rasa keadilan masyarakat, namun sedikit dari MS yang berani untuk mempersoalkannya. Melakukan aksi secara terbuka untuk mengecam peristiwa tersebut dapat menuai masalah besar. Di Yogyakarta sediri sangat terbatas respon MS atas peristiwa tersebut, lebih banyak berupa kasak-kusuk politik daripada protes terbuka. Karena mempersoalkan peristiwa 27 Juli pada bulan –bulan menjelang pemilu bisa berakibat fatal, dituduh subversif . Namun demikian aksi oposisi tetap ada yang melakukan, khususnya kelompok PDI Pro Mega melalui pelantikan pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) serta Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Yogyakarta pada tanggal 23 September 1996 di rumah Soetardjo Soerjogoeritno. Untuk pertama kalinya nama ”PDI Perjuangan” disebut dalam acara pelantikan ini 6. Pemilu 1997 menjadi peristiwa paling dramatik dalam sejarah pemilu di Indonesia. Mengapa disebut paling dramatik? Karena banyaknya peristiwa nasional dan lokal yang berkaitan dengan pemilu 1997, khususnya peristiwa yang berujung pada menguatnya gerakan oposisi. Setiap menjelang pelaksanaan Pemilu, rezim Soeharto senantiasa dipusingkan dengan fenomena Golongan Putih (Golput) yang dipopulerkan oleh Arief Budiman pada tahun 1971. Golput sesungguhnya tidak memiliki efek politik apapun terhadap hasil penyelenggaran pemilu yang sudah pasti dimenangkan oleh Golkar. Tetapi Golput menunjukkan ketidaksetujuan kalangan warga sipil terhadap penyelenggaraan pemilu yang dianggap tidak
5 6
D&R Edisi 37/01 -06/Nov/1996 Suara Independen, No. 2/III/Sept-Okt 1996
63
demokratis. Pembesaran Golput dapat dilihat sebagai pembesaran gerakan protes di Indonesia, karena semakin banyak orang yang melakukan Golput maka pemilu sedang mengalami delegitimasi. Padahal pemilulah sumber legitimasi Orde Baru. Setelah peristiwa 27 Juli, upaya berbeda untuk mendelegitimasi pemilu berkembang, salah satunya adalah pendirian Komite Independen Pemantau Pemilu(KIPP). KIPP didirikan beberapa minggu sebelum peristiwa 27 Juli, yakni tanggal 15 Maret 1996 oleh Buyung Nasution, Ali Sadikin, Permadi, Mulyana W Kusuma, Gunawan Muhammad, dan lain-lain. Di Yogyakarta pendirian KIPP dipelopori oleh kelompok LSM yang tergabung dalam Forum LSM DIY dan salah satunya adalah LAPERA.7 KIPP tidak memiliki kontribusi significant untuk menyatakan bahwa pemilu 1997 cacat politik, tetapi keberadaan kelompok oposan semacam KIPP memiliki pengaruh terhadap dinamika politik, terutama pertumbuhan kesadaran dikalangan masyarakat sipil. Salah satu diskusi KIPP di sebuah kampus Yogyakarta pada tanggal 9 Januari 1997 dilarang secara sepihak oleh Rektorat. Diskusi tersebut menghadirkan Angger Jati Wijaya sebagai presidium KIPP Yogyakarta8. Kehadiran KIPP sering dianggap sebagai puncak gunung-es keresahan politik kelas menengah. Keresahan-keresahan itu sebenarnya telah lama muncul dalam bentuk Golput, golongan yang dengan sengaja tidak menggunakan haknya untuk memilih salah satu kontestan Pemilu. Mereka disebut "putih" tidak memilih warna kuning, merah, atau hijau. Juga karena golongan itu menyatakan pasifisme politik yang dilambangkan oleh warna putih.
KIPP
merupakan bentuk protes yang berbeda dengan Golput, yakni secara aktif melakukan pemantauan terhadap penyelenggaraan pemilu untuk mendelegitimasi pemilu yang curang. Kalau Mahasiswa Semarang melakukan apel Siaga Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 1992 yang mengakibatkan dua mahasiswa dipenjara, pada pemilu 1997 kali ini giliran mahasiswa Yogyakarta melakukan protes. Tanggal 1 April 1997, Komite Perjuangan Demokrasi Indonesia (KPDI), menyerukan boikot Pemilu '97. Aksi yang dimulai dari FISIP UGM ini juga berakhir dengan 7
Bernas, 20 /3/1996 Diskusi tersebut diselenggarakan di Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta oleh pers mahasiswa Cakrawala. (catatan penelitian) 8
64
penangkapan 24 aktifisnya dan sebagian dilarikan ke rumah sakit karena mendapat perlakukan keras dari aparat keamanan. KPDI merupakan organ gabungan dari berbagai kampus antara lain PPD Yogyakarta, DEMA-UGM, DEMA-USD, Majalah Pijar Fak. Filsafat UGM, Majalah Dian Budaya Fak. Sastra-UGM, Majalah Balairung, Surat kabar Bulaksumur, KD. Janin, dan Paguyuban Pendukung Megawati Yogyakarta – PPMY9. Satu hari kemudian KPDI kembali melakukan aksi menuntut pembebasan rekan-rekan mereka dan baru pada tanggal 3 April 1997 mereka semua dibebaskan. Pada tanggal 25 April 1997, di IAIN berlangsung aksi menyikapi tragedi Ujung Pandang berdarah10. Pada puncak aksi, mahasiswa menyerukan Golput. Tanggal 21 Mei 1997, Pusat Perjuangan Pemuda Yogyakarta (PPPY), menggelar aksi dengan nama Gema Golput (Gerakan Mahasiswa Golongan Putih) . Aksi ini juga diikuti di berbagai kota seperti Malang, Surabaya, Semarang dan kota-kota lainnya11. Perlawanan rakyat nampaknya semakin mengeras pada pemilu kali ini. Berbeda dengan pemilu 1992 dimana protes hanya berlangsung di beberapa tempat, khususnya di dalam kampus, pada pemilu 1997 ini protes terhadap pelaksanaan pemilu semakin masif dan mulai beranjak keluar kampus. Keresahan telah membuncah, dan termanifestasi dalam aksi-aksi yang berlangsung secara sporadis dan semakin berani. Peristiwa 27 Juli nampaknya menjadi kotak pandora bagi pemerintah Orde Baru yang telah menebarkan bibit protes dimana-mana. Keresahan telah menyebar dan muncul dalam berbagai bentuk perlawanan. Kasus 9
Wawancara Hari Prabowo (koordinator Advokasi) tanggal 5 Mei 2007, Siaran Pers, 1 April 1997 Peristiwa Ujung Pandang Berdarah adalah peristiwa yang menewaskan 3 mahasiswa Universitas Muslim Indonesia, mereka adalah: Andi Sultan Iskandar, Tasrif Daming dan Saiful Biya. Insiden diawali dengan demonstrasi oleh mahasiswa Makassar pada tanggal 24 April 1996 yang menolak pemerintah menaikkan tarif angkot yang dirasa sangat memberatkan masyarakat pada saat itu. Instruksi kenaikan tarif angkot yang berawal dari SK Menteri Perhubungan tanggal 3 April 1996 ditindaklanjuti oleh Wali Kota Ujungpandang (sekarang Makassar) Malik B. Masry dengan mengeluarkan SK bernomor 900/1V/1996. Rasmi Ridjang Sikati [2008] Mencari Jejak Amarah I, II, Link Pena, Surya, 29/4/1997 10
11
Gema Golput sendiri tidak hanya diikuti mahasiswa Yogyakarta, tetapi beberapa kampus di luar Yogyakarta seperti Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS), Komite Mahasiswa Malang Untuk Pemilu (KO'PILU), Forum Mahasiswa Jombang (FORMAJO), Sekretariat Mahasiswa Bali (SKEMA-B), Forum Komunikasi Mahasiswa Purwokerto (FKMP), Kelompok Kajian Pojok Surau (KKPS), Probolinggo, Aliansi Mahasiswa Pendamping Rakyat (AMPERA), Wonosobo, Forum Mahasiswa Sadar Lingkungan (FORMASAL) Semarang, Forum Komunikasi Pergerakan Mahasiswa Madura (FKPMM). Pernyataan Sikap PPPY, 21 Mei 1997
65
Kuningisasi dan fenomena Mega Bintang yang terjadi di Jawa Tengah barangkali dapat menjadi gambaran bagaimana protes MS berlangsung. Pada bulan Juli 1995 Gubernur Jawa Tengah Soewardi mencanangkan gerakan kuningisasi. Konon menurut Soewardi kuning itu adalah simbol kebersamaan12. Kuningisasi paling mencolok terjadi di Jawa Tengah, mungkin karena target
ambisius Golkar yang dicanangkan untuk propinsi ini, yakni
memperoleh kemenangan 80% dari total suara. Di Jawa Tengah ini, secara khusus rupanya pemerintah berupaya memperbaiki hasil Pemilu 1992, saat itu suara untuk Golkar turun 12%, sesuatu yang membuat pemerintah kehilangan muka. Menghadapi hujan kritik yang menganggap bahwa kampanye warna kuning yang berlebihan itu merupakan suatu pelanggaran terang-terangan terhadap aturan pemilu, Gubernur Jawa Tengah berdalih bahwa warna kuning itu merupakan warna maskot Propinsi Jawa Tengah, Burung Kepondang. Di beberapa tempat, kuningisasi mendapat perlawanan yang cukup kuat. Di kota Solo, perang cat meledak di awal 1997. Para pendukung PPP mengecat ulang fasilitas-fasilitas umum yang semula dipulas kuning oleh Pemerintah Daerah, menjadi putih. Pendukung PDI Megawati tak mau ketinggalan, mereka memulas fasilitas umum tersebut dengan warna merah putih di Semarang, Tegal dan Pekalongan. Maret 1997, PPP menuntut secara hukum Gubernur Jawa Tengah yang mendorong masyarakat agar mengecat fasilitas umum dengan warna kuning tindakan yang jelas-jelas mencuri start kampanye Pemilu 1997 untuk kepentingan Golkar13. Berbeda dengan Kuningisasi, peristiwa yang tidak kalah menarik adalah fenomena ”Mega Bintang”. Mega Bintang adalah koalisi pendukung Megawati dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dilambangkan ”Bintang”. Istilah Mega Bintang di populerkan oleh Mudrick Sangidu yang mengambil tag line salah satu acara di stasiun TV swata yang memutar film-film Hollywood, ”Mega Bintang”. Fenomena ini menjadi gejala politik paling menarik pada tahun 1997 yang mampu mendongkrak perolehan suara PPP karena limpahan suara dari massa
12 13
Kompas, 20 /7/1995 Article XIX , Forum Asia, dan AJI, 1997; D&R, Edisi 47/01 - 18/Jan/1997
66
PDI Pro Mega14. Mudrick berhasil mencuri isu dari tumbuhnya ketidakpuasan massa PDI atas perlakuan pemerintah. Mega Bintang bukan fenomena politik biasa, tetapi bentuk protes sipil terhadap pemerintah. Kekhawatiran pemerintah sangat tinggi terkait dengan fenomena ini, terbukti dari pelarangan spanduk kampanye yang bertuliskan Mega Bintang di berbagai tempat15. PPP menarik limpahan suara para pengikut Megawati yang kecewa. melalui jargon Mega-Bintang, PPP kala itu meraih sekitar 20 persen dari total perolehan suara nasional. Di Yogya sendiri fenomena yang sama juga berlangsung, dimana sebagian besar massa PDI Megawati mengalihkan suaranya ke PPP16. Fenomena Mega-Bintang merupakan gejala politik spontan, bukan merupakan pemikiran, intruksi, atau strategi yang direncanakan oleh PDI Megawati. Mega Bintang juga merupakan protes massa pendukung Megawati kepada pemerintah, atau spontanitas massa yang merasa jengkel atas perlakukan tidak adil kepada Megawati, dalam hal ini adalah sarana untuk melepaskan atau menyalurkan aspirasi dan kesumpegan yang selama ini tertutup. Fenomena ini sekaligus sebagai ekspresi protes terhadap pemerintah, dalam hal ini ditujukan kepada aparat keamanan17. Akhirnya pemilu 1997 dilaksanakan pada tanggal 28 Mei 1997 dan Golkar memenangi lebih dari 70 % kursi DPR RI. Di Yogyakarta sendiri dari 31 kursi DPRD Kotamadya, Golkar mendapatkan 16 Kursi, PPP 14 Kursi dan PDI 1. Di Yogyakarta pelaksanaan pemilu tidak berlangsung aman dan damai. Ketegangan-demi ketegangan muncul, khususnya antara massa PPP dan Golkar. Golkar merasa kecurian karena ternyata massa PSIM ( Pendukung Setia Ibu Megawati) banyak yang lari ke PPP18. Hal ini membuat Golkar berang. Tanggal 30 April 1997 kantor DPC PPP di Jalan Veteran diserang satgas Golkar (Cakra)19.
14
Lihat Arief Budiman , D&R, Edisi 13/02 - 31/Mei/97 Kompas Online, 13 /5/1997 16 Syamsudin Haris (edt), [1999] Kecurangan dan Perlawanan Rakyat Dalam Pemilu 1997, YOI – PPW LIPI, Jakarta 17 J. Kristiadi, TA Legowo, Budi Harjanyo (peny) [1997] Pemilihan Umum 1997; Perkiraan, Harapan, dan Evaluasi, CSIS, Jakarta 18 PSIM adalah nama klub sepakbola di Yogyakarta, singkatan dari Persatuan Sepakbola Indonesia Mataram yang kemudian diubah menjadi Pendukung Setia Ibu Megawati 19 Cakra adalah pasukan keamanan yang direkrut dari para gali, sebagaimana diakui oleh Joyohadikusuma, keluarga keraton yang pro Golkar. Pasukan ini dikenal dengan nama ”Satgas Siluman”, ” Komando Inti Keamanan Anak Muda (Kontikam)” , Angkatan Muda Diponegoro 15
67
Tanggal 18 Mei 1997 kampus IAIN diserbu satgas Golkar dan sempat menimbulkan kerusuhan sampai pagi. Simpati terhadap penyerbuan kampus IAIN dilakukan esok harinya, sebanyak 65 orang ditangkap dalam aksi ini dan kemudian di bebaskan dengan syarat20.
Tanggal 15 Mei 1997 kembali arogansi Golkar
ditunjukkan dengan penyerangan kampus UII hanya karena mahasiswa tidak mau membalas acungan dua jari simbol Golkar. Golkar memang menunjukkan arogansinya sebagai partai berkuasa. Dukungan aparat keamanan terhadap partai Golkar bisa dikatakan sangat vulgar. Paling tidak aparat keamanan melakukan pembiaran ketika massa Golkar melakukan tindakan anarkis. Akibatnya masyarakat membangun sikap antipati terhadap pelaksanaan kampanye Golkar.
Berbeda
dengan kampanye Golkar yang tidak mendapatkan simpati, kampanye PPP justru mendapatkan dukungan besar dari masyarakat Yogyakarta. Tanggal 20 Mei 1997 kampanye PPP di Jalan Cokroaminoto, Wirobrajaan, tepatnya di depan kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
mendapatkan simpati dari para
mahasiswa. 500 mahasiswa menyambut kedatangan massa PPP dan Mega-Bintang. Tidak jarang dalam kampanye PPP mendapat bantuan makanan dan minuman dari masyarakat21. Pemilu 1997 nampaknya menjadi anti klimaks pemerintahan Orde Baru. Berbagai kerusuhan yang terjadi diseluruh wilayah, nampaknya menjadi pertanda kebosanan masyarakat terhadap cara-cara yang dilakukan pemerintah untuk memenangkan Golkar. Kecurangan bukan hanya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, tetapi telah dengan telanjang melukai rasa keadilan masyarakat22. Selain fenomena Mega-Bintang dan kuningisasi yang merembet ke Yogyakarta, kasus pembunuhan wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syarifudin (AMD). Syamsudin Haris (Edt), op cit hal. 103-105. Keluarga Keraton (Joyohadikusumo) langsung menjadi komandan satgas tersebut. Kiprah keluarga keraton di Golkar sangat intensif, hampir seluruh anggota keluarga menjadi bagian dari partai ini, termasuk Sri Sultan HB X. 20 Bernas, 21 /5/1997 21 Indonesia L, 21 /5/1997 22 Di Yogyakarta protes dan keprihatinan masyarakat juga ditunjukkan melalui cara-cara tradisional sebagaimana yang ditunjukkan PSIM (Pendukung Setia Ibu Megawati) melalui ”laku larung sesaji ” pada tanggal 21 Mei 1997. Malam bertepatan dengan saat malam bulan purnama, di Pantai Parangtritis. Aksi Larungan yang merupakan tradisi spiritual rakyat Yogyakarta ini merupakan harapan pelaksanaan Pemilu yang dilakukan pada saat bulan Jawa (Suro), yang menurut kepercayaan Jawa, jika ada peristiwa yang dilakukan pada bulan Suro tersebut akan mengalami nasib sial / naas.Wawancara dengan Djuwarto, 4 Juni 2006.
68
(Udin), juga menjadi kasus yang penting untuk disimak menjelang kejatuhan Soeharto. Kasus ini memiliki kaitan dengan pertumbuhan gerakan oposisi di Yogyakarta. Udin adalah penduduk Kabupaten Bantul yang bekerja sebagai wartawan Bernas23. Tanggal 13 Agustus 1996 menjelang malam, Udin dianiaya orang tidak dikenal dan meninggal tiga hari kemudian di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Diduga motif pembunuhan Udin adalah karena tulisan-tulisannya di Harian Bernas mengenai Bupati Bantul waktu itu, Sri Roso Sudharmo. Kabupaten Bantul mencakup sebuah Kecamatan, bernama Sedayu yang terletak di ujung paling barat. Disinilah konon Soeharto lahir, di sebuah dusun bernama Kemusuk, salah satu dusun dari Desa Argomulyo. Soeharto masih memiliki beberapa kerabat di desa ini. Lurah Argomulyo adalah R. Notosoewito, adik tiri (satu bapak lain ibu) dari Probosoetedjo, adik tiri dari Presiden Soeharto. Pada tanggal 2 Juni 1996, Sri Roso membuat perjanjian dengan R. Notosoewito yang isinya tentang kesediaan Sri Roso membayar 1 milyar rupiah kepada Yayasan Dharmais jika dia terpilih kembali sebagai Bupati Bantul. Surat perjanjian inilah yang menjadi bulan-bulanan Udin di Bernas. Udin selalu memberitakan perkembangan perjanjian itu, dan dianggap mencoreng nama bupati. Selain soal surat perjanjian antara Sri Roso dan Notosoewito, kasus pembangunan Megaproyek Parangtritis sebesar 100 milyar dan korupsi diseputar Bupati selalu menjadi topik yang ditulis Udin. Akibatnya fatal bagi Udin, maut menjemputnya satu hari sebelum Indonesia merayakan kemerdekaan ke 51. Kasus ini segera menjadi sorotan publik, baik nasional maupun lokal. Segera saja masyarakat menghubungkan antara kematian Udin dengan berita-berita yang ditulisnya di Bernas. Polisi berusaha menutupi kasus ini dengan ”mencomot” Dwi Sumiaji alias Iwik untuk dijadikan tersangka dengan alasan perselingkuhan dengan istri Udin. Publik tidak percaya begitu saja, dalam perkembangannya seluruh tuduhan yang disangkakan kepada Iwik kandas. Kasus ini menjadi berita paling
23
Bernas merupakan koran yang pada waktu Soeharto berkuasa koran kritis menyikapi kebijakan pemerintah. Koran ini dulunya bernama Suara Indonesia berganti nama jadi Suluh Indonesia pada 1966, berganti lagi jadi Suluh Marhaen pada Juni 1966 hingga Mei 1971.
69
hangat di Yogyakarta medio 1996/1997. Udin hanyalah potret arogansi kekuasaan produk Orde Baru24. Tekanan terhadap media bukan hanya ditujukan kepada wartawannya saja sebagaimana kasus Udin, tetapi juga kepada institusinya, yakni Bernas. Para Wartawan Bernas yang mencari dalang pembunuh Udin yang tergabung dalam Tim Kijang Putih (TKP), secara tiba-tiba dipindah dan dipecat dengan berbagai alasan, salah satunya karena tidak bersih lingkungan. Konon hal ini atas perintah langsung dari Korem Yogyakarta25. Peristiwa politik menjelang pemilu diatas dapat menjadi pelajaran berharga dalam perkembangan politik di Indonesia. Beberapa kesimpulan dapat ditarik berdasarkan peristiwa yang terjadi, baik di level nasional maupun di Yogyakarta. Pertama, pemilu 1997 dan seluruh rangkaian politik yang berlangsung sebelumnya adalah mengerasnya ketidakpuasan masyarakat terhadap perilaku elit politik. Kasus Udin merupakan salah satu contoh. Dalam tradisi militer Orde Baru, menjadi sesuatu yang lumprah ketika perwira aktif dari kalangan tentara dikaryakan dalam jabatan-jabatan sipil, sebagaimana Sri Roso. Akibatnya tradisi kekerasan dibawa sampai diranah politik yang mengakibatkan hilangnya nyawa wartawan. Cara semacam ini menimbulkan kegundahan di masyarakat dan membuncah dalam bentuk protes-protes secara masif yang berujung anarkisme. Protes rakyat dapat dijumpai dengan mudah pada pemilu 1997 adalah berkendara sepeda motor pada waktu kampanye dengan knalpot dibuka sehingga menimbulkan raungan keras. Ini adalah protes terhadap kemapanan pemilu yang diminta berlangsung damai, aman, tertib sebagaimana khendak Orde Baru. Kedua, rakyat semakin cerdas dalam mengelola dan membelokkan kesadaran melalui cara-cara lokal. Fenomena Mega Bintang mengambil judul acara di sebuah stasiun televesi swasta pada tahun tersebut, menjadi jargon politik yang populer. PSIM (Persatuan Sepakbola Indonesia Mataram) yang menjadi klub sepakbola dengan pendukung fanatis di 24
Lihat D&R 02/Okt/1996; Gatra Nomor 06/III, 28 Desember 1996; SiaR, 6 November 1998; SiaR, 20 November 1998. Sri Roso tetap terpilih sebagai Bupati, namun sejalan dengan kejatuhan Soeharto, Sri Roso juga ikut jatuh. Sampai sekarang dia tidak tersentuh oleh kasus Udin, satusatunya sanksi yang dijatuhkan kepadanya adalah hukuman 9 bulan dalam kasus suap kepada Notosoewito. 25 D&R, Edisi 27/02 - 03/Sep/97; D7R, Edisi 23/02 - 07/Ags/97 Xpos, No 23/II/11-17 Juli 99
70
Yogyakarta diplesetkan menjadi Pendukung Setia Ibu Megawati. Hal ini menunjukkan kemampuan mengorganisir diri yang semakin tinggi dikalangan masyarakat sipil. Ketiga, kepanikan kekuasaan dalam mempertahankan hegemoni. Kuningisasi yang terjadi di Jawa Tengah serta pembentukan satgas-satgas partikelir Golkar di Yogyakarta menjadi bukti bahwa pemerintah sedang mengalami krisis identitas. Krisis ini semakin menguat ketika pemerintah kehilangan kendali atas wilayah sosial politik publik saat krisis ekonomi berlangsung pada tahun 1998. Keempat, Yogyakarta sebagai basis komunitas sipil tidak pernah meninggalkan peran politiknya sebagai oposan. Berbagai cara dilakukan untuk mendelegitimasi kekuasaan. Hasil pemilu 1997 di kota Yogyakarta dimana PPP dan Golkar hanya selisih dua kursi menunjukkan bahwa kekuatan oposan tersebut masih eksis.
5.2. Gerakan Protes Menjelang Kejatuhan Soeharto Setiap gerakan oposisi senantiasa membutuhkan simbol-simbol, tidak terkecuali figur yang akan dijadikan wacana tanding terhadap status quo. Megawati adalah simbol perlawanan sekalipun tidak pernah memberikan intruksi untuk melawan Soeharto. Tetapi kasus perpecahan di tubuh PDI yang direkayasa pemerintah, sampai peristiwa 27 Juli 1996, telah mengundang simpati rakyat. Inilah melowdrama politik paling besar dalam panggung Indonesia. Selain Megawati, terdapat satu figur yang tidak dapat dilepaskan dari kekuatan oposan menjelang kejatuhan Soeharto, yakni Amien Rais.. Amien Rais adalah ketua Muhammadiyah periode 1995-2000, ormas Islam terbesar ke dua di Indonesia. Konon Presiden Soeharto juga adalah warga Muhammadiyah. Sebagai ketua Muhammadiyah, posisi Amien Rais sangat penting dalam panggung politik nasional, tentu saja dukungan dan pengaruh politik dari ormas ini tidak dapat diremehkan. Banyak pejabat dan tokoh nasional berasal dari kalangan Muhammadiyah, seperti Adi Sasono, Jenderal Faisal Tanjung, Syarwan Hamid, Parni Hadi, Affan Gafar, dan tidak ketinggalan BJ Habibie, kesayangan Soeharto pada waktu itu. Kelompok ini membuat gerbong politik untuk mengimbangi dominasi kelompok Katholik dan Nasionalis yang dikenal dengan nama ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) dengan Habibie duduk
71
sebagai Ketua dan Amien Rais duduk sebagai Ketua Dewan Pakar26. ICMI juga menerbitkan surat kabar nasional dengan nama ”Republika”, sebagai alat untuk menyiarkan kepentingan dan pengaruhnya, sekaligus untuk menggeser dominasi media-media yang sudah mapan dan berbau nasrani seperti Kompas, Suara Pembaruan, dan Sinar Harapan. ICMI adalah eksperimen elit Muhammadiyah untuk masuk ke pusat kekuasaan yang selama ini didominasi oleh kelompok Katholik dan Nasionalis melalui Beny Moerdani dan Try Soetrisno. Oleh karena itu mereka sangat berhati-hati dalam menjaga perasaan Soeharto, agar tetap memberikan kepercayaan kepada kader-kader Muhammadiyah duduk dalam kekuasaan. Namun rupanya Amien Rais adalah anak nakal bagi kelompok ini. Melalui koran Republika, dalam kolom Resonansi, Amien menulis kritiknya terhadap pemerintah. Pertama soal tambang emas Busang yang konon menyimpan kandungan emas lebih besar dari Freeport. Kemudian bergeser ke soal kontrak karya dengan Freeport yang dinilainya penuh dengan KKN27. Kritik Amien Rais semakin berani dengan mempersoalkan kebijakan Soeharto yang sarat dengan KKN. Tidak pelak lagi, hal ini membuat ICMI yang sudah mulai mendapat tempat di hati Soeharto merasa was-was. Segera saja dilakukan serangkaian ”tindakan tegas” kepada Amien Rais, yakni memecatnya dari posisi ketua Dewan Pakar28. Dengan penyingkiran Amien Rais dari ICMI yang nota benenya dianggap sebagai think-thank baru pemerintah Soeharto dan tulisan-tulisannya yang berani, segera saja publik mengangkatnya menjadi tokoh yang akan menghadang Soeharto. Berbeda dengan Megawati, posisi Amien Rais sebagai ketua Muhammadiyah menjadikan kubu pemerintah lebih berhati-hati mengambil tindakan keras kepadanya. Megawati, Mudric Sangidu, dan Amien Rais menjadi tokoh sentral 26
Dalam perkembangannya kelompok ini dapat menjadi kendaraan untuk masuk ke jatung kekuasaan dengan menduduki pos-pos penting seperti Panglima ABRI di jabat oleh Faisal Tanjung, Kasospol ABRI oleh Syarwan Hamid, Kasad oleh R. Hartono, sampai prestasi tertingginya adalah keberhasilannya dalam mendudukkan BJ Habibie sebagai Wakil Presiden pada sidang umum MPR 1998. Dalam konstelasi di tubuh militer, kelompok ini dikenal dengan Jendral Hijau sebagai lawan dari Jendral Merah Putih antara lain Try Soetrisno, Edi Sudrajat, SBY, dan lain-lain. Xpos, No 08/III/13-19 Maret 2000; Femi Adi Soempeno & AA Kunto [2007] Perang Panglima; Siapa Menghianati Siapa? Galang Press,Yogyakarta. ICMI juga membuat kelompok think-thank, yakni CIDES sebagai upaya untuk menggeser pengaruh Katholik melalui CSIS. 27 Hamid Basyaib dan Ibrahim Ali Fauzi, [1997] Ada Udang Dibalik Busang, Mizan, Bandung; Kontan, 8 April 1997, Tempo Interaktif, Edisi 52/01 - 22/Feb/1997 28 Kompas Online , 25 /2/1997; Republika Online 23 /2/1997
72
yang menghimpun kekuatan oposan Orde Baru.
Bagaimanapun
oposisi
membutuhkan kepemimpinan, sekalipun itu hanya simbol29. Hari setelah pelaksanaan pemilu 1997, adalah libur panjang bagi mahasiswa. Umumnya mereka pulang ke kampung halaman masing-masing dan untuk sementara libur politik. Sekembalinya
mereka ke kampus,
segera saja
mahasiswa menyusun strategi baru. Setelah mendelegitimasi pemilu 1997 gagal dilakukan, tiba saatnya untuk menyongsong Sidang Umum MPR 1998. Dalam era Orde Baru, Sidang Umum MPR memiliki tugas penting, yakni menunjuk Soeharto sebagai Presiden. Agenda ini menjadi rutinitas dalam tradisi politik Orde Baru. Oleh karena itu mahasiswa segera akan menghadangnya melalui berbagai cara, termasuk memunculkan figur baru diluar Soeharto, meskipun kecil kemungkinan untuk didengar oleh MPR. Namun paling tidak dalam SU MPR ini wacana suksesi mulai digulirkan. Akhir Oktober 1997, mahasiswa UMY, UGM dan UII melakukan penolakan atas pencalonan Soeharto. Pada tanggal 27 Oktober 1997, para mahasiswa menggelar aksi keprihatinan. Dalam aksi itu mereka menuntut agar diadakan penyegaran kepemimpinan nasional30. Dengan kekerasan, ABRI membubarkan aksi unjuk rasa mahasiswa tersebut. Tanggal 10 Desember 1997 mahasiswa kembali turun ke jalan, sekalipun dalam tema Hak Asasi Manusia, mereka tidak lupa mengusung isu suksesi dalam aksi mereka. Akibatnya mereka dipukuli oleh tentara dan diangkut ke Kodim31. Pada bulan yang sama Senat Mahasiswa UGM menyelenggarakan polling untuk mengukur probabilitas Soeharto oleh mahasiswa untuk dipilih kembali. Hasilnya 98% mahasiswa peserta poilling tidak menghendaki Soeharto dipilih lagi sebagai presiden32. Sekalipun proses politik berkaitan dengan pemilu dan Sidang Umum MPR semakin menghangat, tapi persoalan yang tidak kalah pentingnya pada periode tersebut adalah masalah seputar RUU tenaga kerja. RUU tenaga kerja yang 29
Bernas, 12/2/1998; Jawa Pos, 12 /2/1998; Suara Merdeka, 12 /2/1998 : Indonesia L Forum, 8 November 1997 31 Aksi ini diorganisir oleh Komite Aksi Rakyat untuk Perubahan yang nantinya akan menjadi Komite Perjuangan Rakyat Untuk Perubahan (KPRP) organ aksi PRD untuk menentang Soeharto. Radio Nederland 11 Desember 1997 32 Wawancara Ridaya Laode Ngkowe . 21 Juni 2008 30
73
kemudian disahkan menjadi UU No. 25 /1997 dipandang oleh kelompok LSM perburuhan sangat merugikan kepentingan buruh. Beberapa isi dari RUU tersebut yang dianggap merugikan adalah PHK sepihak, pesangon, buruh yang tidak masuk tiga hari dianggap mengundurkan diri, dan lain sebagainya33. RUU ini disusun dengan menggunakan menggunakan dana Jamsostek dimana itu merupakan hak kaum buruh. RUU yang digunakan untuk menindas buruh disusun dengan uang hasil keringat para buruh. Segera saja RUU ini menjadi isu nasional ditengahtengah persoalan pemilu dan suksesi. Salah satu LSM yang giat melakukan advokasi atas persoalan ini adalah LAPERA, LBH Yogya dan Forum LSM DIY34. Bagaimanapun LSM memiliki berbagai keterbatasan, khususnya berkaitan dengan keterlibatan massa dalam mendorong masalah-masalah yang diperjuangkan. Upaya yang dilakukan hanya sekedar mendatangi lembaga-lembaga publik untuk melakukan dialog dan mengundang media massa. Tentu saja dengan cara-cara yang demikian isu ini menjadi tenggelam ditengah gelora mahasiswa menuntut Soeharto tidak dipilih kembali. Hal ini karena keterbatasan dan ikatannya terhadap program. Pergerakan politik yang sangat cepat tidak mampu diikuti oleh kalangan LSM yang cenderung administratif karena berhubungan dengan program dan donor. Namun demikian isu ini mendapat sedikit dukungan dari kalangan mahasiswa muslim melalui aksi pada tanggal 12 Desember 1997 yang tergabung dalam Generasi Muda Muslim Yogyakarta (GMMY). LBH Yogyakarta, LAPERA dan Forum LSM melakukan dialog dengan anggota DPRD DIY pada tanggal 9 Desember 1997 untuk menolak keberadaan RUU tersebut. Hari berikutnya merupakan waktu yang panjang dan mengkhawatirkan bagi perjalanan aksi mahasiswa dan pemerintahan Soeharto. Tanggal 6 Januari 1998 pemerintah menyampaikan RAPBN 1998/1999 yang dinilai masyarakat sangat berat dan penuh resiko dengan kurs dollar dipatok Rp 4.000,-. Di berbagai TV nasional Presiden membuat iklan dengan gambar kapal yang terombang-ambing ombak, ditutup kalimat ”Badai Pasti Berlalu” disertai wajah Soeharto yang sudah mulai renta. Melalui iklan tersebut, Soeharto nampaknya ingin menyakinkan 33
Dadang Juliantara, Mahkota Penindasan, Masalah Seputar UU No. 25/1997, Dokumen tidak diterbitkan, 1997 34 Yogya Post, 30 /3/1997; Bernas, 2 /4/1997
74
masyarakat bahwa dia tetap akan menjadi pemimpin yang mampu membawa keluar dari krisis. Aksi mahasiswa terus berlangsung di berbagai wilayah, disertai dengan aksi borong terhadap kebutuhan pokok. Tanggal 15 Januari 1998 Soeharto tidak dapat berkutik lagi, ketika IMF melalui Michael Camdesus memaksa untuk menandatangani LoI (Letter of Intent). Sikap Soeharto yang menandatangani LoI dan Michael Camdesus melihat dengan cara bersedekap tangan menjadi headline media hari berikutnya. Foto ini membuat publik sadar bahwa Soeharto tidak berdaya menghadapi krisis ekonomi. Hari berikutnya adalah persiapan menyambut Sidang Umum MPR dan perubahan besar dalam panggung politik nasional. Tanggal 1-11 Maret 1998 adalah hari istimewa di Senayan. Sebagaimana dalam teks-teks pelajaran di sekolah versi Orde Baru, setiap tanggal 1 -11 Maret setelah pemilu adalah hari penting dalam politik Indonesia karena pada hari itu Majelis Rakyat tertinggi menyelenggarakan sidang. Entah alasan apa
tanggal
tersebut dipilih oleh Orde Baru, barangkali bertepatan dengan Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta yang konon atas prakarsa Soeharto dan 11 Maret 1966 tanggal ketika Soeharto memperoleh kekuasaan dari Soekarno. SU MPR memiliki agenda tunggal, yakni meminta laporan pertanggungjawaban Presiden dan sesudah itu memilih Presiden dan Wakil Presiden. Dapat ditebak dengan proses pemilu yang sebelumnya carut karut, maka SU MPR hanyalah sandiwara politik penguasa. Segera saja mahasiswa bergerak menyongsongnya. Tanggal 1 Maret 1998 di UGM dilakukan mogok makan dan pengibaran bendera setengah tiang oleh beberapa elemen lintas kampus dengan satu tuntutan, penghentian SU MPR. Satu hari berikutnya, aksi ini dibubarkan oleh aparat keamanan. Bagi aparat keamanan, sebuah aksi mogok makan tetap dianggap berbahaya karena dapat mempengaruhi opini publik35. Beberapa kampus pada hari yang sama juga melakukan aksi,
sebagaimana yang berlangsung di
STPMD”APMD” yang menamakan dirinya Barisan Mahasiswa Pendukung Perubahan. Di IAIN sejumlah dosen mulai melibatkan diri dalam aksi bersama mahasiswa, mereka adalah Abdul Munir Mulkan, Chamaidy Syarif Romas, Malik Madany. Keterlibatan para dosen ini merupakan hal baru sekaligus memperbesar 35
Bernas, 3 /3/1998, Kedaulatan Rakyat, 3/3/1998.
75
kepercayaan diri mahasiswa, karena mendapatkan legitimasi moral. Sebelumnya aksi-aksi hanya diikuti sebatas oleh para mahasiswa. Aksi yang menarik ditunjukkan para mahasiswa Institut Seni Indonesia yang berada di Jalan Parangtritis. Lokasi kampus ISI cukup jauh dari pusat kota, namun demikian aksi-aksi yang dilakukan seringkali menarik perhatian media dan masyarakat. Gaya teaterikal yang selalu diusung oleh mahasiswa ISI menjadikan aksi mahasiswa tidak monoton, satir, sinis, tetapi menohok jantung kekuasaan. Kritik yang dilancarkan sangat berani, namun demikian mengundang senyum bagi siapa saja yang menyaksikan. Untuk menyiasati tekanan militer yang acap kali melakukan tindakan keras terhadap mahasiswa yang melakukan demonstrasi, mahasiswa ISI menambilkan bentuk-bentuk teater dengan sedikit peserta tetapi selalu mendapatkan liputan media secara luas. Kehadiran tokoh gerakan mahasiswa ISI juga selalu ditunggu dalam setiap aksi mahasiswa dengan sindiran dan lelucon yang menjadikan demonstrasi tidak kering36. Selain bentuk teaterikal, lagu juga menjadi salah satu cara untuk mengekspresikan kegelisahan politik. Serikat Pengamen Indonesia adalah salah satunya. Kelompok ini merupakan gabungan antara mahasiswa dan pengamen jalanan yang ingin menjadikan kesenian (khususnya musik) sebagai alat perjuangan politik. Mereka menciptakan lagu, mengubah lirik, dan mengarasemen dengan tujuan ekspresi politik yang dinyanyikan pada aksi-aksi mahasiswa37. Dalam setiap aksi mahasiswa, tidak ketinggalan panitia aksi selalu menampilkan ”para korban Orde Baru”. Sebagai contoh adalah aksi mahasiswa yang diisi orasi Wagiman Jenggot, ayah Udin. Kedatangan mereka yang menjadi korban Orde Baru memperkuat sentimen kepada penguasa. Parodi sudah tentu menjadi menu wajib peserta aksi. Kadang dalam bentuk teaterikal ataupun sindiran kepada pengusa. Butet Kartarajasa adalah yang paling jago dalam hal ini. Pimpinan teater Gandrik ini pandai menirukan suara Soeharto sehingga dalam sebuah demonstrasi yang dikoordinasi oleh kelompok mahasiswa Muslim sehabis sholat Jumat, kehadirannya mengejutkan karena dikira Soeharto. Memparodikan Soeharto
36 37
Wawancara dengan Hendro Pleret, 5 Juli 2007 Wawancara I Bob, 23 Juni 2007
76
berarti meruntuhkan seluruh simbol dan ritus yang dibangun oleh Orde Baru dan sekaligus meningkatkan keberanian aksi. Diluar kelompok mahasiswa, kiranya penting dilihat juga keterlibatan kaum agamawan dan elit intelektual kampus dalam mendukung aksi-aksi mahasiswa. Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) adalah forum lintas agama yang didirikan atas dasar penghormatan terhadap nilai-nilai pluralitas. Forum ini didirikan tahun 1997 yang dilatarbelakangi konflik agama di beberapa kota, seperti Tasikmalaya dan Situbondo. Atas inisiatif beberapa tokoh agama di Yogyakarta, tanggal tanggal 24 Maret 1997 diselenggarakan pertemuan di Pondok Pesantren Nurul Ummat,
Kotagede pimpinan KH Abdul Muhaimin
Dalam aksi-aksi
menjelang kejatuhan Soeharto, forum lintas iman ini memiliki andil yang sangat besar dalam menciptakan opini perdamaian dan sekaligus memberikan legitimasi moral atas aksi sebagaimana yang berlangsung pada tanggal 3 Maret 1998 di halaman Fakultas Filsafat UGM. Penutupan aksi mogok makan yang dilakukan oleh mahasiswa Filsafat ditutup dengan doa bersama oleh kyai, pastor dan pendeta38. Aksi mahasiswa terus dilancarkan oleh berbagai kampus. Bahkan mereka mulai mengajak kawan-kawannya yang sebelumnya apatis untuk turut bergerak turun ke jalan. Aksi turun ke jalan juga diikuti oleh kelompok Cipayung yang sebelumnya terkesan lambat dalam menyikapi perkembangan politik dibandingkan kelompok mahasiswa lain. Tanggal 8 Maret 1998, belasan mahasiswa dari kelompok Cipayung melakukan longmarch di Jalan Malioboro. Aksi ini dinamai ”aksi diam” sebagai protes terhadap kritik yang tidak pernah didengar oleh pemerintah. Aksi ini kemudian ditangkap aparat di depan Hotel Mutiara, Jl. Malioboro. Mereka dibebaskan setelah ada negosiasi dari Sultan HB X. Puncak aksi berkaitan dengan Sidang Umum MPR berlangsung tanggal 11 Maret 1998 di depan Gedung Pusat UGM. Hari itu Soeharto dilantik sebagai Presiden yang ketujuh kalinya setelah melalui pendekatan yang alot, khususnya berkaitan dengan wakil presiden39. Di depan Gudung Pusat UGM, 50 ribu mahasiswa dari berbagai
38 39
Bernas, 4/3/1998 Kompas Online, 17/2/1998, Kompas online, 11/3/1998
77
kampus di Yogyakarta menyelenggarakan mimbar bebas. Dalam aksi tersebut beberapa tokoh menyampaikan pidato yang intinya menolak hasil Sidang Umum MPR 1998. Beberapa tokoh tersebut antara lain Prof. Dr. Teuku Jacob, Prof. Dr. Kunto Wibisono; Dr. Amien Rais; Dr. Damarjati Supanjar, Dr. Riswanda Imawan, Dr. Jalaludin Tanjung dan Mudrick Sangidu (ketua DPW-PPP Solo). Puncak dari aksi ini adalah pembakaran patung Soeharto40. Akibat dari aksi ini, lima orang mahasiswa dari lembaga kemahasiswaan dipanggil aparat keamanan41. Para pemimpin agama dan dosen di Yogyakarta tidak berpangku tangan melihat persoalan yang berkembang di masyarakat. Komite Kemanusiaan Yogyakarta (KKY), adalah kelompok yang didirikan oleh intelektual kampus, agamawan, dan LSM untuk menolong korban krisis ekonomi. Komite ini berdiri tanggal 13 Maret 1998 di Yogyakarta. Para pendiri kelompok ini adalah Prof. Dr. Loekman Soetrisno, Dr. Nasikun, Dr. Susetiawan, KH Muhaimin, Romo Yatno, Dr. TH Sumarthana, dan lain sebagainya. KKY didirikan atas empat tujuan pokok yakni, mengembangkan sistem informasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan dampak krisis yang sedang dihadapi rakyat. Kedua, menggalang dan mengembangkan solidaritas berbagai penderitaan dan kekurangan melalui penyaluran bantuan kepada masyarakat yang paling membutuhkan. Ketiga, Mengembangkan fungsi mediasi bagi semua pihak yang berkehendak baik, untuk membantu mereka yang memerlukan bantuan. Keempat, dalam jangka panjang melakukan pemberdayaan ekonomi42. KKY memegang peranan penting dalam mengembangkan solidaritas kemanusiaan di Yogyakarta. Aksi kepedulian sosial dikembangkan melalui berbagai lini, termasuk didalamnya adalah kampanye perdamaian. Komite ini mampu menjalankan tujuan kemanusiaan, yang paling kongkret adalah menyediakan warung murah bagi mahasiswa dan tukang becak di UGM ketika krisis berlangsung43.
40
Bernas, 12/3/1998; Kedaulatan Rakyat, 12/3/1998. Wawancara Siti Fikriyah Kh, 2 Juni 2008 42 Wawancara dengan KH Muhaimin, 7 Mei 2007, Bernas, 14/3/1998, Kedaulatan Rakyat, 14/3/1998.; Suara Merdeka , 14 /3/1998; Kompas, 21/3/1998 43 Harga makanan satu porsi nasi, lauk dan sayur di patok Rp 500,- untuk mahasiswa dan masyarakat tidak mampu lainnya. 41
78
Sementara di jalanan marak aksi mahasiswa, terselip sebuah kasus perseteruan dikalangan intelektual Yogya. Dr. Soffian Efendi adalah staf ahli Habibie sejak menjabat Menristek. Pada tanggal 5 Februari 1998 beberapa tokoh mengadakan
pertemuan di Hotel Radison Yogyakarta yang dihadiri oleh Dr.
Chairil Anwar, Dr. Anggito Abimanyu, Drs. Ravrisond Baswir, MBA, dan Dr. Sofian Effendi sendiri. Salah seorang peserta pertemuan tersebut, yaitu Arifin Panigoro konon mencetuskan gagasan untuk menggagalkan SU MPR. Atas dasar gagasan tersebut, Dr. Sofian Effendi membuat laporan ke BJ Habibie tentang adanya rencana makar. Ada dugaan tindakan Sofian Effendi ini untuk mencari muka dihadapan Habibie agar diangkat menjadi menteri di kabinet berikutnya44. Sidang Umum MPR telah selesai dengan hasil yang mengecewakan. Publik sekarang menunggu pembentukan kabinet baru. Tanggal 14 Maret 1998 Soeharto mengumumkan kabinet baru dengan Bob Hasan sebagai Menteri Perdagangan dan Tutut sebagai Menteri Sosial. Komposisi kabinet ini dianggap penuh KKN dan tidak menunjukkan niat baik Soeharto untuk memperbaiki keadaan. Segera saja pengumuman kabinet disambut demo oleh para mahasiswa. Aksi mahasiswa tidak hanya dilakukan di dalam kampus, tetapi sudah mulai bergerak keluar kampus. Tanggal 27 Maret 1998, mahasiswa IAIN memblokir jalan Timoho. Aksi ini sudah diikuti ratusan mahasiswa dari sebelumnya hanya puluhan. Rangkaian demonstrasi di Yogyakarta yang fenomenal berlangsung pada tanggal 3 April 1998. Demonstrasi ini dipanyungi oleh Komite Perjuangan Rakyat Untuk Perubahan (KPRP), organ aksi di bawah PRD. Demonstrasi dimulai dari plasa Fisipol UGM. Jam 09.00 aksi mulai bergerak keluar kampus melalui Jalan Yustisia ke arah timur melewati Filsafat. Dari Filsafat para peserta aksi bergerak ke arah Bulevard UGM melalui Fakultas Sastra. Di depan Gelanggang UGM peserta aksi dihadang oleh tentara. Satu hal penting yang perlu dicatat dalam aksi ini adalah keterlibatan pelajar SMA yang tergabung dalam Gabungan Aksi Pelajar Cinta Indonesia (GAPCI). Selain pelajar juga pengamen, tukang becak, pedagang, pendukung Megawati, dan lain sebagainya ikut memberikan orasi menuntut Soeharto turun. Isu yang diangkat juga semakin berani, bukan hanya suksesi kepemimpinan, tetapi juga 44
Kedaulatan Rakyat, 19/3/1998.
79
pencabutan dwi fungsi ABRI dan paket UU Politik, pembebasan Budiman Sudjatmiko, referendum bagi Timor Leste dan lain sebagainya. Satu hal yang perlu digaris bawahi dalam aksi-aksi periode April 1998 adalah perluasan sektor aksi yang tidak hanya terbatas dikalangan mahasiswa, tetapi juga merambah ke sektor lain yakni buruh, tani, pedagang, pengamen, tukang ojek, dan lain sebagainya. Aksi KPRP ini berakhir dengan bentrok setelah ultimatum aparat keamanan yang tidak digubris oleh peserta. Akibatnya 88 demonstran mengalami cidera. Satu catatan yang menarik dari rangkian aksi ini adalah dukungan masyarakat terhadap peserta aksi. Ketika berlangsung bentrok antara aparat keamanan dengan mahasiswa, dan aparat keamanan menembakkan gas air mata, banyak mahasiswa yang merasakan perih di wajah dan mata. Para pedagang es yang banyak dijumpai di sekitar Bulevard UGM pada waktu itu memberikan dagangannya secara cumacuma untuk mencuci wajah mahasiswa mengurangi rasa pedih. Solidaritas ini nampaknya menjadi potret bahwa keresahan telah menjalar ke berbagai strata sosial. Dalam setiap protes yang dilancarkan, lagu hyme ” Darah Juang” dan ’Sumpah Mahasiswa Indonesia” selalu menjadi bagian penutup dari rangkaian demosntrasi. ”Darah Juang” adalah lagu wajib gerakan protes yang mencerminkan panggilan untuk membela tanah air dari kaum penindas. Lagu ini diciptakan oleh John Tobing, mahasiswa Filsafat UGM dibantu Dadang Juliantara dan Budiman Sudjatmiko.
Sumpah Mahasiswa adalah adaptasi dari Sumpah Pemuda 1928.
Sumpah ini diadaptasi oleh Afnan Malay mahasiswa Fakultas Hukum UGM. Selain lagu ”Darah Juang”, sekelompok pengamen juga merubah lagu anak-anak yang terkenal pada waktu itu dengan judul ”Indonesia Oye”45. Metode aksi rupanya juga semakin berkembang sehingga tidak membuat bosan peserta aksi. Aksi mahasiswa nampaknya semakin menemukan pola untuk menarik simpati dan perhatian publik. Bentrok adalah salah satu cara agar perhatian masyarakat tertuju atas tuntutan aksi. Aksi damai yang biasa berlangsung, dianggap tidak mendorong peningkatan ekskalasi politik. Oleh karena itu beberapa elemen
45
”Indonesia Oye” adalah lagu yang berisi olok-olok keadaan indonesia dimana rakyatnya tergusur ditengah-tengah negeri yang kaya makmur. Wawancara I Bob, 23 Juni 2007
80
aksi mentargetkan bentrok dengan aparat diakhir acara. Namun kadangkala tidak setiap aksi dapat dikendalikan sepenuhnya oleh mahasiswa. Banyak dari kalangan mahasiswa yang tidak memiliki pengalaman cukup dalam mengendalikan aksi-aksi yang berakhir dengan bentrokan. Sebagai contoh adalah aksi yang berlangsung di depan kampus Sanata Dharma, Yogyakarta yang dikoordinir oleh Solidaritas Mahasiswa Untuk Reformasi (Somasi) pada tanggal 7 Mei 1998. Dua hari sebelumnya pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM yang diikuti oleh kepanikan dimana-mana. Ketika sekelompok mahasiswa membentuk komite aksi, sudah pasti disambut dengan antusias oleh masyarakat. Aksi dimulai pukul 09.00 dengan beberapa orasi dari peserta aksi yang intinya mengecam Soeharto di depan Universitas Sanata Dharma. Tepat pukul 11.00 WIB, peserta aksi mulai bergerak keluar kampus untuk menuju ke DPRD DIY. Tanpa diperhitungkan oleh panitia aksi, rupanya keresahan masyarakat telah mendorong keterlibatan yang besar dalam aksi mahasiswa. Semakin siang peserta aksi bertambah banyak, sampai jumlahnya mencapai puluhan ribu. Jam 16.00 WIB Polisi memberi peringatan agar peserta aksi membubarkan diri, namun tidak digubris. Massa tidak mau membubarkan diri dan panitia aksi mulai kehilangan kendali atas aksi. Tepat pukul 17.00 WIB Polisi membubarkan demonstrasi secara paksa dan mengakibatkan bentrok selama tiga hari tiga malam yang berujung pada tewasnya Mozes Gatotkaca. Demonstrasi ini merupakan salah satu yang fenomenal di Yogyakarta selain beberapa demonstrasi yang melibatkan ribuan massa di beberapa tempat. Salah satu yang penting untuk dicatat dalam peristiwa Gejayan adalah keterlibatan secara luas masyarakat dalam keseluruhan kerusuhan yang berlangsung selama 3 hari. Masyarakat dan mahasiswa berbaur melawan aparat keamanan yang dianggap sebagai bagian kekuasaan. Banyak peserta aksi yang disembunyikan oleh warga masyarakat di rumah-rumah untuk menghindari kejaran aparat keamanan yang melakukan tindakan keras kepada mahasiswa46. Hari berikutnya adalah waktu yang genting bagi kehidupan politik Indonesia. Hampir tiap hari di Yogyakarta selalu diwarnai oleh demonstrasi 46
Dalam catatan peneliti, mereka menyembunyikan mahasiswa di kolong meja, di kamar mandi, di atap rumah dan lain sebagainya. Rupanya masyarakat sudah jengah dengan keadaan sosial politik . Catatan penelitian dan refleksi
81
menuntut Soeharto mundur dari kursi kepresidenan. Di Solo, kota terdekat dari Yogyakarta telah berlangsung kerusuhan yang diawali dengan demonstrasi oleh mahasiswa UMS. Kerusuhan tersebut merupakan yang paling besar sejak kerusuhan rasial tahun 198047. Bagaimanapun peran Sultan sangat besar dalam mencegah aksi-aksi menjadi kerusuhan sosial sebagaimana terjadi di Solo dan Jakarta. Secara psikologis, Sultan telah memberikan dukungan melalui statmentstatment yang membela mahasiswa. Ketika di Solo berlangsung kerusuhan, Sultan melakukan perjalanan keliling dengan mengendarai mobil bak terbuka untuk menenangkan massa agar tidak berbuat anarkis48. Salah satu dari rangkaian aksi yang terpenting dan melibatkan Sultan adalah Pisowanan Agung tanggal 20 Mei 1998 di alun-alun utara. Aksi mahasiswa biasanya mengambil hari bertepatan dengan peristiwa bersejarah, seperti misalnya tanggal 10 Desember yang diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia, Tanggal 2 Mei hari Pendidikan Nasional, tanggal 21 April sebagai hari Kartini dan tanggal 20 Mei, hari Kebangkitan Nasional. Dengan maraknya aksi mahasiswa yang terjadi, agaknya tanggal 20 Mei 1998 menjadi hari yang telah dipilih oleh mahasiswa untuk melakukan aksi secara serentak. Hal ini disebabkan tanggal 20 Mei merupakan hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia, Kebangkitan Nasional. Secara simbolik, pemilihan tanggal tersebut dapat diartikan sebagai kehendak rakyat untuk bangkit memulai sejarah baru bagi bangsa Indonesia. Nampaknya suhu politik sudah begitu mendidih, di Jakarta dan Solo telah berlangsung kerusuhan yang memakan korban ratusan jiwa. Soeharto sendiri sudah kehilangan kendali atas jalannya pemerintahan. Tanggal 20 Mei 1998 menjadi puncak atas kekesalan masyarakat terhadap pemerintah. Aksi ini secara khusus telah disiapkan oleh berbagai elemen aksi yang sebelumnya menggalang demonstrasi di berbagai kampus. Senat mahasiswa sudah pasti ikut terlibat dalam persiapan aksi ini, merekalah yang memiliki legalitas di dalam kampus untuk menggerakkan mahasiswa. Sebelumnya tanggal 16 Mei 1998, melihat kerusuhan yang terjadi di Solo dan Jakarta, Sultan sendiri harus segera
47 48
Laporan PMKRI Solo, 1999 Bernas 16/5/1998.
82
mengambil sikap secara terbuka terhadap desakan politik yang muncul dari bawah. Menghadapi resiko munculnya berbagai tindakan anarkis, maka akan lebih baik kalau
Sultan
menerima
dengan
tangan
terbuka
rencana
aksi
tersebut.
Bagaimanapun Sultan tetap menjadi figur penting bagi masyarakat Yogyakarta. Entah mengapa aksi ini kemudian disebut Pisowanan Agung yang dalam tradisi sosial budaya Yogyakarta lebih hirarkis dari pada makna protes yang sifatnya egaliter. Sebagian mahasiswa merasa bahwa Pisowanan Agung adalah kooptasi elit terhadap gerakan rakyat, karena Sultan menemukan legitimasi diatas aksi mahasiswa. Oleh karena itu dikalangan pemerhati politik, sampai sekarang masih berbeda pendapat tentang posisi Sultan dalam aksi 20 Mei 1998. Disusunlah rencana aksi tanggal 20 Mei 1998 secara matang. Rapat-rapat diselenggarakan di beberapa tempat dengan melibatkan 13 Senat mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi ditambah dengan komite aksi yang marak di berbagai kampus. Selain kelompok mahasiswa, intelektual, LSM dan agamawan juga terlibat secara aktif dalam menyiapkan agenda tersebut. Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) dan Komite Kemanusiaan Yogyakarta (KKY), misalnya selain menyiapkan bantuan logistik untuk aksi juga memobilisasi umat beragama untuk ikut terlibat dalam peristiwa tersebut. LSM melakukan gerakan anti kekerasan melalui spanduk dan poster yang ditempel di berbagai tempat. Rapat diselenggarakan di berbagai tempat, kemudian berdasarkan keputusan akhir di Universitas Janabadra, kepemimpinan aksi dipegang oleh kelompok mahasiswa Fampera (Front Aksi Mahasiswa Peduli rakyat) salah satu organ aksi dibawah Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta. Kelompok ini memang memiliki basis kuat di Universitas Janabadra. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau kelompok mahasiswa yang secara ideologis berseberangan dengan PPPY tidak mau bergabung dalam aksi ini, dan memilih untuk bertahan diluar alun-alun. Pagi harinya rombongan aksi berangkat dari 11 titik keberangkatan sebagaimana yang telah direncanakan panitia. Dari utara rombongan berangkat dari halaman gedung Graha Sabha UGM. Dipimpin langsung oleh rektor UGM, Ichlasul Amal. Ini adalah rombongan terbesar aksi yang didominasi oleh mahasiswa-mahasiswa dari sekitar kampus UGM.
Rombongan dari timur berasal dari mahasiswa sekitar
83
Babarsari, yakni UPN, UAJY, dan YKPN. Rombongan dari barat, berangkat dari Jalan Wates seputar kampus ASMI Desanta. Seluruhnya bergerak menuju alunalun utara yang ada dipusat kota Yogyakarta. Satu pemandangan yang menarik dalam aksi yang konon melibatkan satu juta orang lebih, tidak ada sedikitpun kekerasan terjadi sepanjang aksi ini. Seluruh masyarakat dalam kota Yogya menyumbangkan makanan
dan minuman untuk keperluan aksi, mulai dari
pedagang kaki lima sampai dengan jaringan waralaba internasional seperti Pizza Hut dan Mc Donald49. Inilah partisipasi masyarakat dalam mendukung gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta. Puncak dari acara itu adalah pernyataan Sri Sultan HB X dan Paku Alam ke VIII tentang pentingnya menghindari kekerasan dan ABRI hendaknya mendengarkan tuntutan rakyat50. Esok harinya Soeharto turun dari jabatan yang dikuasainya selama 32 tahun dan digantikan Habibie.
5.3. Ikhtisar Smelser (1962) mengemukakan pandangannya mengenai hubungan antara gerakan sosial dan gejolak sosial. Gejolak sosial menurut Smelser adalah mobilisasi atas dasar suatu belief (keyakinan) yang mendefinisikan kembali aksi sosial. gejolak sosial dapat terjadi apabila terdapat sejumlah determinan atau necessary conditions yang berturut-turut terdiri atas hal-hal sebagai berikut (1) kekondusifan struktural, (2) ketegangan struktural (3) penyebaran keyakinan yang dianut (4) faktor pencetus, (5) mobilisasi untuk mengadakan aksi. Situasi menjelang kejatuhan fungsi dari kelima hal yang disampaikan Smelser tersebut diatas. Kalau pada fase sebelumnya gerakan MS di Yogyakarta lebih bercirikan sebagai gerakan sosial yang terbagi dalam berbagai isu, menjelang kejatuhan Soeharto berbagai peristiwa sosial politik ekonomi yang berlangsung telah menimbulkan gejolak sosial yang menyebabkan gerakan sosial mencapai peningkatan eskalasi secara cepat. Faktor eksternal seperti krisis ekonomi,
49
Menurut ketua Senat UGM, kiriman Pizza Hut yang dikirim ke sekretariat senat memenuhi ruangan dan tidak termakan oleh mahasiswa. Wawancara dengan Ridaya Laode Ngkowe . 21 Juni 2008 50 Bernas, 21/5/1998, Kedaulatan Rakyat, 21/5/1998, Kompas Online, 21 /5/1998
84
pelaksanaan pemilu 1997, perpecahan di tubuh PDI telah melahirkan ketidakpuasan yang mempercepat kondisi gerakan menjadi semakin matang.
85
BAB VI GERAKAN MASYARAKAT SIPIL DI YOGYAKARTA, 1998-2004
6.1. Pendahuluan
Tanggal 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia. Siapapun tidak akan menyangka Soeharto akan mengundurkan diri secepat itu, mengingat reputasinya dalam membendung setiap protes yang ditujukan kepadanya sejak awal memerintah. Peristiwa ini adalah kegembiraan sekaligus kegamangan bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Kegembiraan karena tujuan politik telah tercapai, yakni mundurnya Soeharto dari jabatan presiden yang dipegangnya selama tiga puluh dua tahun. Gamang karena sebagian besar rakyat tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya setelah Soeharto mundur. Soeharto meninggalkan masalah mendalam terhadap sistem ekonomi politik Indonesia. Dalam bidang ekonomi, Soeharto telah meninggalkan krisis, kemiskinan, dan kesenjangan ekonomi. Pendapatan per kapita rakyat Indonesia pada tahun 1996 mencapai 1.155 dollar/kapita dan pada tahun 1997 mencapai 1.088 dollar/kapita, tetapi pada tahun 1998 menciut menjadi 610 dollar/kapita. Dua dari tiga penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin1. Dibidang politik, pemerintah Soeharto gagal dalam melembagakan demokrasi akibat campur tangan militer yang terlalu jauh dalam kehidupan politik sipil. Salah satu penopang utama pemerintahan Orde Baru adalah birokratis pemerintahan. Melalui UU No. 5 tahun 1974 dan UU No. 5 tahun 1979 serta intervensi militer dalam kehidupan sosial politik (dwi fungsi), Soeharto membangun negara birokrasi otoriter. Orde Baru membangun pondasi persatuan nasional diatas berbagai ketidakpuasan daerah dan kalangan sipil. Tidak mengherankan begitu Soeharto jatuh, ancaman disintegrasi dan protes segera 1
Laporan Akhir Tahun Bidang Ekonomi, Kompas, 21/12/1998.
86
berkembang dimana-mana, dan BJ Habibie yang paling menanggung resiko dari seluruh persoalan yang diciptakan Soeharto. Habibie
yang
ditinggal
pergi
oleh
Soeharto
untuk
meneruskan
pemerintahan, hampir kehilangan kendali atas seluruh ruang politik. Legitimasi yang lemah ditambah dengan meledaknya ketidakpuasan atas kebijakan Soeharto membuat Pemerintahan BJ Habibie dihadang oleh berbagai persoalan. Habibie dianggap foto copy Soeharto. Kelemahan basis legitimasi inilah yang menyebabkan Habibie membangun kapasitas kekuasaannya melalui penggunaan konsesi melalui kebijakan-kebijakan yang diharapkan bisa menaikkan popularitas. Habibie praktis kehilangan daya cekalnya terhadap berbagai gejolak yang muncul pasca Soeharto. Satu-satunya pilihan yang ditempuh Habibie adalah menggunakan stretegi politik layang-layang, menarik dan mengendalikan berbagai protes di masyarakat2. Hari ketika Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, suasana Yogyakarta terasa lengang. Sebagian besar masyarakat Yogyakarta menyimak perkembangan politik nasional, khususnya setelah aksi besar sehari sebelumnya. Hari itu hanya sedikit saja kendaraan yang lalu lalang di dalam kota sedangkan seluruh perhatian masyarakat tertuju ke Jakarta, khususnya setelah Amien Rais melakukan konferensi pers pada pukul 01.00 WIB tanggal 21 Mei 1998 dengan substansi ”selamat tinggal pemerintahan lama, selamat datang pemerintahan baru”. Pagi harinya jam 09.00 WIB Soeharto benar-benar meninggalkan Istana dengan didampingi oleh Tutut putrinya. Bagian dari laporan penelitian ini akan mengupas berbagai tema penting yang terjadi di Yogyakarta pasca Soeharto mundur sebagai Presiden. Dengan topik mengenai gerakan MS di Yogyakarta, laporan ini akan menghimpun beberapa tema mengenai keadaan, strategi dan pengelompokkan MS
pasca Soeharto.
Sebagaimana kita bahas pada bab sebelumnya, pokok perlawanan MS sebelum tanggal 21 Mei 1998 adalah menurunkan Soeharto dari kursi Kepresidenan. Kekuasaan yang memusat ditangannya telah menjadikan Soeharto musuh bersama (common enemy) MS. Tidak ada figur yang sedemikian penting dalam khasanah Orde Baru selain dari pada Soeharto. Maka begitu Soeharto menyatakan berhenti 2
Tim Lapera [2000] Otonomi Versi Negara, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta
87
sebagai Presiden, kebingungan segera menyelimuti MS, dan fragmentasi pun mulai muncul. Fragmentasi tersebut dapat menjadi jaringan politik, saling menegasikan atau juga tidak terhubung sama sekali antara satu dengan yang lain. Membuat batasan metode gerakan MS berdasarkan pada periodesasi pemerintahan setelah Orde Baru sangat rumit karena pola perkembangannya kontinum dalam lintas pemerintahan. Artinya adalah bahwa pola gerakan yang berlangsung tidak semata-mata merespon perkembangan kekuasaan di Jakarta, tetapi juga berkaitan dengan konteks lokal. Sehingga aktifitas MS bisa lintas pemerintahan antara Habibie, Gus Dur, Megawati, dan bahkan sesudahnya. Sulit untuk mencari ciri MS dari setiap pemerintahan baik itu Habibie,
Gus Dur,
ataupun Megawati. Paling tidak ada dua alasan mengapa pembagian berdasarkan periodesasi pemerintahan sulit dilakukan, pertama, pasca
Soeharto hampir
keseluruhan konsentrasi wacana gerakan MS tidak memiliki hubungan atau sedikit saja terhubung dengan perkembangan politik nasional. Di daerah seperti Yogyakarta, setelah Soeharto lengser, praktis kegiatan dan wacana gerakan MS mulai berkurang perhatiannya terhadap persoalan-persoalan kepemimpinan nasional. Persoalan politik nasional yang terjadi dan diliput oleh media umumnya hanya melibatkan kelompok MS di Jakarta. Kalaupun ”melibatkan Yogyakarta” biasanya hanya tokoh-tokohnya saja dan hanya mewakili pribadi, bukan mewakili MS secara keseluruhan Sebagai contoh adalah pendapat aktifis LSM atau intelektual yang terekam di media massa umumnya tidak mewakili institusinya. Di daerah seperti Yogyakarta, MS mulai mengembangkan isu yang sesuai dengan problem dan karakteristik lokal. Dengan demikian menghubungkan dinamika nasional dengan dinamika lokal sangat sulit karena kadang-kadang berada dalam lajur tema yang berbeda. Kedua, karena dalam lajur tema yang berbeda, dalam banyak hal persoalan yang ditangani oleh MS di daerah
seperti Yogyakarta
berlangsung lintas pemerintahan. Meneliti perkembangan MS di Yogykarta pada tahun 1998-2004 dapat dilihat melalui dua optik, yakni (1) transisi menuju demokrasi, dan
(2)
pelembagaan politik. Transisi menuju demokrasi adalah upaya mendekontruksi dan sekaligus membongkar tatatanan politik Orde Baru untuk menciptakan satu
88
pemerintahan yang bersih dari beban politik masa lalu. Bagian kedua dari topik pembahasan adalah pelembagaan politik. Pelembagaan politik adalah keterlibatan MS dalam berbagai advokasi kebijakan di tingkat lokal. Dengan menggunakan optik tersebut dapat ditelusuri metode, pendekatan, isu, aliansi dan kepentingan yang melatar belakangi berbagai peristiwa yang berlangsung di Yogyakarta. Pelembagaan politik ini dapat dikalatan sebagai metode kerja yang berlangsung pada paruh kedua setelah upaya dekontruksi rezim orde baru berlangsung. Pendekatan model ini mulai marak setelah pelaksanaan pemilu 1999, baik oleh kepentingan donor ataupun oleh perubahan paradigma MS. Dalam konteks ini juga dilihat perkembangan MS menjelang pemilu 2004, respon dan paradigma MS dalam menghadapi pelaksanaan pemilu 2004 dan sekaligus pemilihan Presiden secara langsung untuk pertama kalinya di Indonesia.
6.2. Transisi Menuju Demokrasi Apa yang dimaksud dengan transisi demokrasi? Setelah kejatuhan rezim Orde Baru, Indonesia mengalami satu peralihan (transisi) politik yang ditandai dengan perubahan konstelasi dan konfigurasi politik. Partai bukan hanya tiga sebagaimana waktu Orde Baru, tetapi siapapun rakyat (asal memiliki sumber daya yang cukup) dapat mendirikan partai politik. Jatuhnya pemerintahan Soeharto membawa angin segar dalam kehidupan demokrasi yang ditandai dengan partisipasi MS yang sangat luas. Kejatuhan Soeharto, memunculkan eforia dikalangan MS, dan sekaligus membuka sumbatan ketakutan yang diciptakan Orde Baru melalui pendekatan keamanan. Habibie sebagai pewaris kekuasaan Soeharto, praktis telah kehilangan daya cengkram terhadap kehidupan politik sipil. Soeharto bukan hanya mewariskan sejumlah masalah, tetapi juga mewariskan kekacauan dimana-mana3. Namun demikian Habibie juga tidak memiliki keberanian memenuhi tekanan massa untuk membawa Soeharto ke pengadilan berkaitan dengan kebijakan politiknya sewaktu berkuasa.
3
E. Shobirin Nadj. (edt) [2003] Supremasi Sipil Pelembagaan Politik dan Integrasi Nasional; Studi Transisi Politik Pasca Orde Baru, LP3ES, Jakarta
89
”Pemerintah dinilai tidak punya nyali”, demikian headline harian Yogya Post tanggal 18 September 1998, menyikapi perkembangan pemeriksaan atas mantan Presiden Soeharto. Bagaimanapun Habibie memiliki beban psikologis dalam memeriksa mantan Presiden Soeharto, mengingat jasanya yang sangat besar dalam membesarkan karirnya. Habibie adalah foto copy dari Soeharto, kira-kira begitu judul tajuk rencana di Harian Solo Pos yang terbit 18 September 19984. Diluar kasus Soeharto yang tidak kunjung diperiksa oleh Habibie dan selalu menjadi berita utama berbagai surat kabar lokal mapun nasional kita akan menjumpai berbagai fenomena sosial politik yang menandai kebangkitan MS di tingkat lokal. Reformasi telah menjadi mantra paling sakti dalam ranah sosial politik nasional, sehingga reformasi dimaknai sebagai ” kebebasan melakukan apapun yang pada jaman Presiden Soeharto dilarang”. Kebebasan ini bukan hanya bermakna sebagai tindakan, tetapi juga pengungkapan berbagai persoalan sosial politik yang mengendap dimasa lalu. Dalam konteks Yogyakarta kita akan menelusuri tiga peristiwa penting yang menjadi wacana politik pada tahun ketika Habibie memerintah dan menjadi contoh bagaimana MS merespon perubahan politik, yakni (1) protes sipil di pedesaan, (2) protes terhadap sistem politik Orde Baru seperti dwi fungsi ABRI, pengadilan Soeharto, dan pembubaran partai Golkar, (3) Kasus Pembunuhan wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafrudin dan Pengadilan Wilardjito. Ketiga topik tersebut berlangsung di Yogyakarta dan dapat menjadi contoh bagaimana MS memberikan respon terhadap perubahan politik.
6.2.1. Protes Sipil Di Pedesaan Orde Baru meninggalkan sejumlah masalah mendasar dalam kehidupan politik pedesaan. UU No. 5 /1979 tentang Pemerintahan Desa benar-benar ampuh membungkam demokrasi dan partisipasi politik di desa. Sejumlah tindakan pengendalian politik seperti proses rekruitmen kepala desa yang penuh intervensi dan rekayasa kepentingan, kelembagaan desa yang memusat dan seragam, partisipasi politik yang terbatas, dan lain sebagainya
4
telah menimbulkan
Solo Pos, 18 /9/1998; Yogya Post 18/9/1998.
90
kegelisahan dikalangan rakyat desa5. Kepala Desa dan elit desa lainnya telah menjelma menjadi kekuatan politik tanpa batas yang dapat berbuat apa saja terhadap rakyatnya. Kejatuhan Orde Baru dengan sendirinya telah membuka kotak pandora, ketidakpuasan telah muncul dimana-mana dan menjelma menjadi anarkisme. Dalam bulan-bulan pertama pemerintahan Habibie, di pedesaan Yogyakarta dan sekitarnya telah berlangsung protes yang masif berkaitan dengan berbagai persoalan yang mengendap dan tidak tersentuh selama Orde Baru berkuasa. Protes ditujukan untuk mereformasi pemerintahan desa karena dipandang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Reformasi telah menjadi satu kuasa untuk
mendongkel pemerintahan lama dan membentuk pemerintahan baru. Di Desa, rakyat atas nama reformasi dapat melakukan apa saja yang dianggap berhubungan atau bagian dari status quo yang telah merugikan rakyat. Kadang tindakan rakyat menjurus ke dalam tindakan pelanggaran ketertiban. Reformasi telah menjelma menjadi hukum. Reformasi menjadi kata sakti yang ditakuti oleh penguasa dan tempat rakyat untuk melakukan apapun yang dianggap tidak sesuai dengan aspirasi. “Kaum Reformis” adalah sebutan yang dilekatkan kepada kelompok yang melakukan protes untuk melakukan perubahan pemerintahan di desa. Kaum reformis ini benar-benar disegani, sehingga siapa saja yang menentang tindakan mereka dapat digolongkan sebagai anti reformasi dan dapat diperkarakan sepihak melalui cara-cara diluar hukum. Di desa kadang-kadang kaum reformis melakukan apapun untuk memenuhi tuntutan mereka sekalipun dengan cara-cara yang melanggar hukum dan ketertiban. Pembakaran dan pengrusakan Balai Desa atau rumah mereka yang dituduh adalah hal biasa yang berlangsung pada periode ini. Jangan harap aparat akan mengambil tindakan hukum terhadap orang-orang yang melakukan pengrusakan, karena bisa-bisa aparat sendiri yang akan dihakimi kaum reformis. Seperti yang terjadi pada Supardi, warga desa Tohputi, Kecamatan Dlingo yang dibunuh beramai-ramai dan mayatnya 5
Lihat Hans Antlov [2000] Negara Dalam Desa, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta. Hans Antlov berhasil memotret bagaimana Orde Baru telah menghadirkan negara dalam tingkat desa melalui berbagai instrumen politik . Kepala Desa telah menjelma sebagai Presiden, Babinsa telah menjelma menjadi Panglima, dan seluruh kehidupan sosial politik dikontrol dengan ketat.
91
dikubur langsung oleh masyarakat gara-gara mencuri ayam warga6. Tidak ada tindakan hukum yang dikenakan kepada mereka yang melakukan pengroyokan. Reformasi telah menjadi mantra paling sakral pada masa peralihan dari Soeharto ke Habibie. Sistuasi politik ini mirip dengan apa yang ditulis oleh Anton Lucas dalam peristiwa tiga daerah7. Kekosongan kekuasaan yang terjadi setelah jatuhnya pemerintahan Jepang telah mendorong rakyat di tiga daerah (Tegal, Pekalongan dan Brebes) melakukan apa saja atas nama revolusi untuk menggusur kekuasaan lama yang dianggap tidak pro rakyat. Revolusi menjadi pengesah berbagai tindakan masyarakat sekalipun kadang-kadang sudah berada diluar batas nalar sosial. Keberhasilan ”reformasi” dalam mendongkel Soeharto menjadikan rakyat di berbagai pelosok desa telah membentuk kemauannya sendiri untuk melakukan berbagai tindakan atas nama reformasi. Berdasarkan pengamatan media untuk kepentingan penelitian, di pedesaan sekitar Yogyakarta, telah berlangsung protes yang sangat masif terhadap pemerintah desa setempat. Protes ini ditujukan kepada pemerintah desa yang dianggap menyeleweng, atau tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Kadang-kadang protes berlangsung hanya karena masalah etika moral kepala desa, seperti perselingkuhan, perjudian atau poligami. Kejatuhan Soeharto secara sosiologis juga
diikuti dengan runtuhnya
seluruh bangunan nilai dan politik yang menopangnya. Dahulu yang dianggap tabu dan berbahaya, setelah Soeharto jatuh menjadi boleh dilakukan. Otoritas politik dan hukum menjadi hilang dan simbol-simbol negara jatuh ke titik nadir. Tidak mengherankan kalau sasaran aksi dan pengrusakan selalu berkaitan dengan kantorkantor pemerintah seperti pos polisi, balai desa, tangsi tentara, fasilitas pemerintah dan lain sebagainya. Mereka yang melakukan protes umumnya menggunakan reformasi sebagai dalih pembenar atas tindakan protesnya. Umumnya kata ”reformasi” selalu dilekatkan pada kelompok protes ini, seperti Komite Reformasi, Forum Rakyat untuk Reformasi, dan lain sebagainya. Di Jawa Tengah sepanjang Mei sampai Oktober 1998 saja jumlah Kepala Desa yang diturunkan oleh rakyatnya
6
Yogya Post 4/2/1999 Lihat Anton E. Lucas [2004] One Soul One Struggle; Peristiwa Tiga Daerah, Resist Book, Yogyakarta 7
92
berjumlah 1178. Ini merupakan prestasi protes terbesar sepanjang tiga puluh dua tahun dan hanya dapat disamakan dengan ketika Indonesia dalam masa revolusi. Dari laporan media yang terbit di Yogyakarta dan Solo, Jawa Tengah nampaknya menjadi arena protes paling subur, khususnya Kabupaten Klaten yang bertetangga dengan Yogyakarta. Situasi ini dipengaruhi oleh geopolitik lokal dimana tingkat intervensi dan represi politik di Jawa Tengah lebih dominan dibandingkan dengan Yogyakarta. Latar belakang sebagai daerah ”merah” juga turut mempengaruhi wilayah ini menjadi ladang subur radikalisme di pedesaan9. Harian Solo Pos dalam tajuknya tanggal 6 Februari 1999 yang berjudul ”Pertikaian Elit Politik di Desa” menuliskannya sebagai berikut ;
”bahwa pertikaian politik di tingkat desa telah sampai pada tingkat yang membahayakan karena mengganggu kehidupan sosial ekonomi rakyat. Konflik ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, sehingga harus ada tindakan ekstra untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berlangsung di pedesaan”.
Di Yogyakarta sendiri sekalipun eskalasinya tidak setajam di Jawa Tengah, namun suasana protes di pedesaan tidak dapat dihindari. Tanggal 14 April 1999 warga desa Sidorejo Godean melakukan unjuk rasa minta supaya hasil pilkades yang dilaksanakan pada masa Orde Baru dibatalkan karena lurah yang terpilih tidak sesuai dengan aspirasi warga10. Di Tirtosari kabupaten Bantul juga berlangsung aksi serupa11. Protes warga tidak hanya melulu berkaitan dengan penurunan kepala desa, tetapi juga penundaan pelantikan kepala desa karena dianggap curang dalam pemilihannya sebagaimana yang terjadi di desa Wedomartani, Pandowoharjo, Sedangsari, dan Sindumartani12. Sebagaimana yang disampaikan diatas, kelompok protes kadang-kadang menggunakan idiom reformasi dalam melakukan protes untuk melindungi aksi-aksi mereka sebagai tindakan yang dianggap reformis. Di Pendowoharjo, Kabupaten Sleman misalnya, aksi protes yang dilakukan ”kaum
8
Wawasan, 7 /10/1998 Lihat Sugijanto Padmo [2000] Land Reform dan Gerakan Protes Petani Klaten, 1959-1965, Media Presindo-KPA, Yogyakarta 10 Kedaulatan Rakyat, 15 /4/1999 11 Yogya Post 5 /3/ 1999, Kedaulatan Rakyat, 5/3/ 1999 12 Bernas, 13 /4/1999; Bernas, 5 /4/1999; Bernas, 12 /4/1999; Bernas, 18 /3/1999; Yogya Pos, 30/3/ 1999; Kedaulatan Rakyat. 31/3/ 1999; Kedaulatan Rakyat. 30 /3/1999 9
93
reformis” bernama Gerakan Rakyat Reformasi Pendowoharjo (Garrapan), untuk melakukan protes terhadap hasil pemilihan kepala desa yang dianggap curang13. Selain soal pemilihan kepala desa, tanah dan sumber daya alam juga menjadi arena protes yang menonjol di Yogyakarta, salah satunya adalah sengketa umbul wadon dan kasus tanah Tegal Buret.
Di Sleman ratusan warga lereng
Merapi melakukan protes karena eksploitasi pemerintah terhadap mata air Umbul Wadon yang menjadi sumber kesejateraan warga sekitar14. Kasus Tegal Buret adalah sengketa tanah antara masyarakat dengan TNI. Tegal Buret berada di Desa Kranggan dan Brosot, Kabupaten Kulon Progo. Tanah yang menjadi objek sengketa seluas 2,6 ha. Tanah tersebut semula milik warga kecamatan Galur. Tahun 1948 tanah tersebut diminta tentara Jepang. Ketika Belanda datang tahun 1949, tanah tersebut dikuasai oleh Belanda. Setelah Belanda pergi, tanah tersebut dikuasai oleh TNI. Ketika reformasi bergulir, ahli waris meminta tanah tersebut, tetapi TNI tidak boleh. TNI minta warga membuktikan melalui hukum. Kemudian warga membentuk Paguyuban Pembela Hak Tanah Tegal Buret. Warga didampingi oleh LBH Yogyakarta dalam menuntut pengembalian tanah tersebut. Aksi warga bahkan sangat berani dengan langsung mendatangi tangsi militer untuk menuntut supaya tanah dikembalikan kepada ahli waris15. Sebuah tindakan yang tidak mungkin dilakukan seandainya Soeharto masih berkuasa. Maraknya protes ini menimbulkan trauma disebagian kalangan masyarakat. Protes yang diselingi dengan kekerasan telah menimbulkan kekhawatiran sebagian pihak untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan dan perebutan posisi kepala desa. Di Sleman misalnya, pendaftaran kepala desa untuk beberapa desa di wilayah ini masih sepi dikarenakan banyak calon yang masih takut mendaftar dikarenakan khawatir kalau diprotes sebagaimana yang terjadi di Jawa Tengah16. Protes di pedesaan menjadi wacana serius yang terjadi di Yogyakarta (dan sekitarnya) pada bulan-bulan awal pemerintahan Habibie. Protes menjadi fenomena baru dikalangan MS yang merasa selama tiga puluh dua tahun aspirasinya 13
Kedaulatan Rakyat, 12 /4/1999 Yogya Pos, 10 /8/1999; Kedaulatan Rakyat, 11/8/1998 15 Kedaulatan Rakyat, 14 /2/2000; Bernas, 25 /1/2000; Bernas, 9 /7/1999; Kedaulatan Rakyat, 27/2/2001, Wawancara dengan Pardiyono, 15 Juni 2008 16 Kedaulatan Rakyat, 19 /2/ 1999 14
94
disumbat. Gerakan protes ini menjadi ekspresi politik rakyat dan sekaligus menjadi pertanda kebangkitan gerakan sipil di pedesaan. Kadang protes tidak hanya ditujukan kepada pemerintahan, tetapi juga apa saja yang berhubungan dengan sistem lama seperti yang terjadi di Prambanan pada tanggal 17 Maret 1999, warga menyerang pos polisi setempat karena anggota polisi secara tidak sengaja menabrak salah seorang warga desa hingga tewas17. Gejala ini tentu menjadi sesuatu yang manarik karena hampir selama Orde baru berkuasa, aksi protes dapat menaui akibat yang sangat fatal bagi pelakunya. Dengan keberanian protes yang tumbuh dikalangan rakyat pedesaan, sesungguhnya kesadaran politik sebagai pondasi demokrasi mulai terbit sekalipun kadang-kadang dengan cara yang keliru. Pergerakan politik ini yang terus tumbuh dalam momentum pelaksanaan UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang nantinya akan dikawal sebagian LSM Yogya untuk memperkuat demokrasi lokal.
6.2.2. Protes di Perkotaan Habibie nampaknya begitu gentar terhadap Soeharto sehingga sekalipun tuntutan untuk mengadili mantan Presiden sangat besar, namun tidak digubris sama sekali. Bagimanapun Soeharto mempunyai andil besar dalam membesarkan Habibie sampai menjadi Wakil Presiden. Dalam tradisi pemilihan Wakil Presiden Orde Baru, penentuan yang menjadi Wakil Presiden menjadi hak prerogratif Soeharto. Tidak mengherankan kalau Habibie tidak memiliki keberanian politik untuk memeriksa dan mengadili mantan Presiden tersebut. Berkaitan dengan protes terhadap sistem politik yang dilangsungkan golongan kaum terpelajar perkotaan, tulisan ini tidak akan menyoroti berbagai peritiwa yang berlangsung ditingkat nasional (Jakarta). Fokus perhatian akan diberikan kepada berbagai peristiwa yang berlangsung di Yogyakarta sekalipun dalam berbagai peristiwa protes di Yogyakarta memiliki kaitan dengan peristiwa nasional. Protes ini bukan hanya berkaitan dengan penyelenggaraan aksi dan tuntutan masa yang ditunjukkan melalui serangkaian demonstransi, tetapi juga berbagai bentuk simbolisasi pembangkangan MS. Dalam konteks lokal Yogyakarta 17
Wawancara Saniman, warga Desa Tlogo, Prambanan, 21 Mei 2007
95
akan dilihat empat peristiwa menonjol yang berlangsung selama fase awal kepemimpinan Habibie, yakni pendirian Posko Gotong Royong oleh simpatisan PDIP, protes terhadap militer, tuntutan masyarakat terhadap pengadilan mantan Presiden Soeharto, dan pembubaran partai Golkar. Tidak ada satupun data yang mengulas kapan pendirian Posko Gotong Royong PDI Perjuangan dimulai. Satu kesimpulan terhadap fenomena tersebut adalah besarnya simpati masyarakat terhadap Megawati sebagai korban Orde Baru. Pendirian Posko Gotong Royong PDI Perjuangan dapat dimaknai sebagai kebangkitan MS dimana protes terhadap penguasa ditunjukkan dengan memberikan simpati kepada korban kekuasaan. Satu unsur terpenting dari pendirian posko ini adalah solidaritas dan keswadayaan dikalangan MS, khususnya mereka yang disebut Pro Mega. Megawati adalah simbol penindasan dan sekaligus anak Soekarno, tokoh terbesar dalam sejarah Indonesia. Yogyakarta sendiri memiliki hubungan sejarah dengan golongan nasionalis, PNI menang mutlak di daerah ini pada pemilu 1951. Masyarakat Yogyakarta secara umum memiliki latar belakang sebagai kaum abangan dengan priyayi dengan keraton sebagai centrum sosial18. Sekalipun Sultan dan sebagian besar keluarganya adalah kader dan pengurus Golkar, tetapi sebagian besar warga Yogyakarta memiliki garis politik ke arah nasionalis. Maka ketika Megawati dan PDI Perjuangan mengalami tekanan dari pemerintah Soeharto, simpati mengalir deras kepadanya. Tidak mengherankan ketika jargon
”Mega Bintang”
yang dilaunching oleh Mudrick Sangidhu,
perolehan suara PPP di Yogyakarta hanya berselisih 2 kursi dari Golkar pada pemilu 1997 karena limpahan suara dari pendukung Mega. Dalam khasanah sosiologis, masyarakat Jawa percaya mengenai datangnya Ratu Adil sebagaimana yang diramal oleh Joyoboyo, dan kebetulan Megawati adalah seorang perempuan (Ratu). Tidak heran kalau dukungan kepada Megawati pada tahun-tahun tersebut sudah sampai pada batas-batas pengkultusan. Sebagai figur yang disingkirkan dari panggung politik Orde Baru, Megawati juga mewakili 18
Untuk memahami hal tersebut dapat di baca Clifford Geerzt (1981), Santri, Abangan, dan Priyayi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sekalipun temuan Geerzt ini dianggap sudah tidak relevan, namun kita dapat memahami bagaimana di Yogyakarta kelompok nasionalis unggul dalam pemilu 1951.
96
perasaan sebagian besar rakyat Indonesia yang tertindas oleh sistem ekonomi politik Rezim Orde Baru. Dengan nama besar Soekarno, figur yang dianiaya, ditambah lagi keyakinan akan datangnya Ratu Adil, tidak ada alasan untuk tidak memberikan dukungan dan pengorbanan kepada Megawati. Posko Gotong Royong adalah salah satu bentuknya. Posko Gotong Royong didirikan oleh pengikut Megawati dengan warna khas merah dan hitam lengkap dengan gambar Soekarno dan Megawati, serta tulisan ”Hanya Satu Tekad; Bela Mega”. Posko ini umumnya berbentuk gardu jaga yang didirikan di pinggir jalan atau sudur-sudut kampung. Pendirian posko ini dengan biaya swadaya masyarakat sekitar, yang kadang-kadang nilainya jauh melebihi kemampuan ekonomi masyarakat. Sebuah posko yang terletak di Jalan Swadaya, Pojok Beteng Kulon, berdiri sangat megah dengan melintang jalan, Posko tersebut dibangun atas iuran warga sekitarnya yang mencapai tiga juta rupiah, sebuah nilai yang cukup besar pada tahun 199919. Partai Kebangkitan Bangsa, sebuah partai yang didirikan oleh Gus Dur, juga mendirikan sejumlah posko di Yogyakarta. Kadang di beberapa tempat posko PKB dan PDIP menjadi satu sebagaimana yang terjadi di Bantul. Jumlah Posko PKB di Yogyakarta relatif sedikit, cuma 10
buah, bandingkan dengan PDI yang
mencatat 1.120 posko di seluruh Yogyakarta20. Solidaritas sebagai ”sesama korban” Orde Baru kadang-kadang juga berkembang diantara partai politik menjelang pemilu 1999. Di Jalan Magelang Yogyakarta pernah terjadi perseteruan antara massa PKB dan PPP karena kesalahpahaman diantara kedua belah pihak. Tidak jauh dari lokasi ketegangan terdapat Posko Gotong Royong. Simpatisan PDIP yang kebetulan berada di Posko berusaha melerai kedua massa partai yang berseteru sehingga ketegangan dapat diredakan21. Pengadilan Soeharto dan pencabutan dwi fungsi ABRI mendapat porsi penting dalam setiap gerakan protes di Yogyakarta. Setelah Soeharto jatuh, mahasiswa tetap memegang kendali atas aksi protes yang berlangsung di dalam 19
Posko ini beberapa tahun kemudian di bongkar sejalan dengan kekecewaan terhadap prestasi pemerintahan Megawati. Catatan Penelitian 20 Gatra, Nomor 12/V, 6 Februari 1999 21 SiaR, 24/3/99
97
kota. Pergerakan mahasiswa menjadi semakin luas dan berani, salah satunya adalah dengan mendatangi markas tentara seperti yang berlangsung tanggal 18 Desember 1998, dimana sebagian mahasiswa Universitas Islam Indonesia mendatangi Akademi Militer Magelang menuntut pencabutan dwi fungsi ABRI dan pengadilan terhadap Soeharto22. Mendatangi tangsi militer adalah trend baru dalam aksi mahasiswa setelah Soeharto jatuh. Aksi di Akademi Militer atau asrama tentara dipilih karena tempat-tempat tersebut menjadi simbol otoritas tentara. Tanggal 14 November 1998 ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi melakukan aksi di depan Markas Korem 072/Pamungkas, dan menuntut siaran Stasiun RRI Nusantara II Kotabaru23. Menyiarkan tuntutan mahasiswa melalui Stasiun RRI juga menjadi cara baru aksi mahasiswa. Beberapa kali stasiun RRI didatangi oleh kelompok aksi minta supaya tuntutan mahasiswa disiarkan secara langsung. Jatuhnya Soeharto nampaknya membuat energi aksi menjadi jauh berkurang. Penjagaan aparat keamanan juga sudah sangat longgar berbeda dengan ketika Soeharto masih berkuasa. Aparat keamanan nampaknya sangat berhati-hati dalam menangani aksi mahasiswa dan menjaga diri supaya tidak terprovokasi yang berujung dengan bentrokan. Mahasiswa berusaha memprovokasi aparat keamanan agar mengambil tindakan keras supaya aksi menjadi perhatian publik, misalnya dengan mengejek tentara melalui lagu-lagu yang diplesetkan24. Nampaknya tentara di Yogyakarta paham benar siapa yang akan dihadapi kalau seandainya terjadi tindakan keras terhadap mahasiswa, sementara pamor kekuasaannya telah meredup. Ini berbeda dengan aksi di beberapa kota pulau Sumatra seperti Palembang dan Lampung. Bentrokan antara aparat keamanan dan mahasiswa menyebabkan jatuhnya korban dari pengunjuk rasa. Hampir selama aksi mahasiswa pasca Soeharto, tidak ada bentrokan atau tindakan represif dari tentara terhadap mahasiswa di Yogyakarta. Bahkan dalam beberapa aksi mahasiswa yang ditujukan ke markas tentara, para mahasiswa disambut dengan spanduk ucapan selamat 22
Bernas, 19 /12/1998. Kompas, 15 /11/ 1998; Kronologi Aksi, 13 /4/1999; 24 Pada waktu Orde Baru ada lagu ABRI yang selalu diputar di radio untuk menunjukkan superioritas militer. Lagu tersebut kemudian diganti syairnya oleh mahasiswa dengan kata-kata antara lain ; Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, bubarkan saja, tidak berguna, lebih baik diganti pramuka. Makan diwarteg nggak pernah bayar, naik bis kota juga nggak pernah bayar….” Lihat Bab Pendahuluan 23
98
datang atau musik dangdut yang dibunyikan keras-keras untuk menenggelamkan orasi mahasiswa25. Pengadilan Soeharto yang berlarut telah menjadi polemik di media massa terbitan Yogyakarta. Kedaulatan Rakyat merupakan koran tradisional yang lebih berhati-hati dalam membahas kasus Soeharto, bahkan dalam beberapa hal terkesan membela. Bagaimanapun Kedaulatan Rakyat tetap berusaha menjaga citra akomodatif terhadap berbagai hal yang berkembang di masyarakat. Berbeda dengan harian Bernas yang sejak lama telah menjadi referensi bacaan kritis di Yogyakarta. Bernas sebagian besar wartawannya adalah angkatan muda yang mengambil sikap oposan terhadap kekuasaan. Koran ini sempat menjadi bacaan favorit aktifis mahasiswa pada tahun 1995-1999. Dalam tajuknya tanggal 4 Agustus 1999, Bernas membuat judul yang provokatif, ”Kasus Soeharto Tetap Menggantung”. Dua minggu kemudian Bernas membuat tajuk yang lebih tegas bahwa ” Pemberantasan KKN Perlu Tindakan Nyata”, untuk memberi gambaran mengenai berlarutnya proses pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto26. Berbeda dengan KR yang terkesan lebih lunak terhadap polemik seputar perkara Soeharto, KR menurunkan tajuk pada 14 April 2000 dengan judul ”Rasa Iba Juga Menyertai Status Cekal Soeharto”27. Partai Rakyat Demokratik (PRD) masih menjadi kelompok paling aktif menyuarakan pencabutan Dwi fungsi ABRI, pengadilan Soeharto dan kadangkadang referendum terhadap Timor Leste. Sekalipun sudah menjadi partai dan menyatakan siap untuk mengikuti pemilu, tetapi kepemimpinan tetap dipegang oleh kalangan mahasiswa yang miskin pengalaman politik dan sumber daya. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau kemudian PRD gagal dalam pemilu 1999. Pelajaran yang dapat dipetik dari kelompok ini adalah militansinya yang besar dalam setiap isu yang berkaitan dengan Soeharto. PRD menerbitkan tabloid ”Pembebasan” sebagai corong ideologi dengan slogan ”Suara Sosial Demokrasi Kerakyatan”. 25
Xpos, No 35/II/10-16 Oktober 99. Mahasiswa yang meninggal adalah Meyer Ardiansyah (Pelembang) dan Yusuf Rizal;Zaidatul Fitria (Lampung) 26 Bernas, 4 dan 17 /8/ 1999. 27 Kedaulatan Rakyat, 14 /4/2000
99
Golkar adalah sasaran lain dari gerakan protes post Soeharto. Sekretariat DPD Golkar DIY berada di jalan paling strategis di Kota Yogyakarta. Lokasi DPD Golkar selalu menjadi jalur demonstrasi ketika mahasiswa melakukan long marc ke DPRD Propinsi atau Jalan Malioboro di pusat kota Yogyakarta. Setiap aksi menuntut penuntasan kasus rezim Orde Baru, tidak lupa para peserta aksi akan berhenti sejenak di depan Kantor DPD Golkar untuk melakukan orasi mengecam Golkar sebagai partai Orde Baru. Hari Kamis, tanggal 8 Februari 1999, 500 massa Pokja Rakyat Yogyakarta (PRY) melakukan penyegelan di Kantor DPD Golkar. Selain menyegel kantor DPD Golkar mereka juga menuntut supaya Golkar dibubarkan. Penyegelan ini disaksikan Kapoltabes Yogyakarta Komisaris Besar Ibnu Sudjak Mahsfudz, Massa PRY berasal dari IAIN Sunan Kalijaga, UGM, Universitas Sanata Dharma, Universitas Janabadra28. Sebagian besar massa PRY adalah mahasiswa dan pemuda atau mantan aktifis mahasiswa. Aksi ini sempat berbuntut panjang dengan kemarahan kader Golkar atas penyegelan tersebut. Sebagai balasan atas aksi-aksi yang menimpa Golkar, Sekitar 1.500 pendukung Partai Golkar di Kota Yogyakarta, Sabtu (17/3), melakukan pendeklarasian berdirinya Jaringan Pembela Kehormatan Partai Golkar (JP-KPG), di halaman Gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Jaringan tersebut dibentuk guna menjawab maraknya tuntutan pembubaran partai berlambang pohon beringin tersebut29. Dengan lihai Golkar segera mengalihkan masalah pembubaran Golkar ke dalam komunisme. Golkar membentuk satgas Gepako (Gerakan Pasukan Anti Komunis) yang kemudian berubah menjadi FAKI (Front Anti Komunis)30. Kelompok ini kadang-kadang bertindak diluar hukum dan memprokasi setiap aksi anti Golkar sebagai bagian dari komunis. Sebagai contoh adalah pemukulan terhadap sekjen FPPI Yogyakarta Gunawan dengan konblok (bata semen) usai menghadiri seminar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tanggal 20 Februari 2001 dan penyerangan Lembaga Kebudayaan Rakyat Taring Padi31. FPPI adalah organisasi mahasiswa yang tidak memiliki sangkutan dengan komunisme. 28
Kompas, 9/2/1999, Bernas, 9/2/1999 Kompas, 18 /3/ 2001 30 Kedaulatan Rakyat, 9/4/2002 31 Kompas, 2/3/ 2001; Kronologi Penyerangan terhadap kampus ABA"Yo" Yogyakarta, 22/2/2001 29
100
Sedangkan Taring Padi adalah lembaga kebudayaan yang mengusung tema-tema kerakyatan dalam ekspresi keseniannya.
6.2.3. Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu Pelanggaran HAM yang menonjol peda era Orde Baru dan paling menonjol terjadi di Yogyakarta adalah kasus Pembunuhan Wartawan Bernas (Udin) dan Wilardjito. Kasus Wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin (Udin) dan Wilardjito adalah panggung yang berbeda dalam konteks sosial politik di Yogyakarta. Salah satu ciri penting dalam kasus tersebut adalah peran kelompok LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang sangat besar dalam mengadvokasi perkembangan kasus tersebut. Ini berbeda dengan dua kategori sebelumnya, dimana peran komite rakyat (masyarakat dan mahasiswa) sangat besar. Persamaan diantara keduanya adalah sama-sama residu dari kebijakan politik pemerintah Orde Baru dan kemudian menjadi persoalan yang hangat dibicarakan setelah Soeharto jatuh. Dalam dua kasus ini peran MS muncul dalam metode yang berbeda dengan dua contoh di atas. Kalau sebelumnya muncul dalam aksi-aksi massa yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, dalam kasus Udin dan Wilardjito metode aksi tidak berkembang. Udin adalah Wartawan Harian Bernas yang dibunuh oleh orang tidak dikenal pada tanggal 13 Agustus 1996. Tiga hari kemudian Udin Meninggal di Rumah Sakit Bethesda (Bab 5). Kematian Udin diduga terkait dengan berita -berita yang ditulisnya di Harian Bernas. Kasus Udin tenggelam dibawah hiruk-pikuk Pemilu 1997 dan jatuhnya Soeharto, terlebih setelah Tim Pencari Fakta (TPF) Kijang Putih dibubarkan karena intervensi aparat keamanan. Beberapa hari setelah Pisowanan Agung tanggal 20 Mei 1998 di alun-alun Utara Yogyakarta yang konon dimotori oleh Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat (FAMPERA), segera komite aksi ini meluncur ke DPRD Bantul untuk menuntut Sri Roso Sudarmo Bupati Bantul turun dari jabatannya karena terkait berbagai masalah, termasuk di antaranya pembunuhan Wartawan Bernas, Udin. FAMPERA secara aktif mengambil kepemimpinan atas aksi di Kabupaten Bantul tersebut, bahkan kelompok aksi ini menginap berhari-hari di DPRD untuk menuntut Sri
101
Roso mundur dari jabatannya32. Setelah DPRD Bantul menyatakan persetujuannya untuk memberhentikan Sri Roso dan pemberhentian diproses oleh Departemen Dalam Negeri, penuntasan kasus pembunuhan Udin diambil alih oleh Lembaga Bantuan Hukum, Persatuan Wartawan Indonesia dan Lembaga Pembelaan Hukum (LPH)
33
. Apa yang dilakukan oleh ketiga lembaga tersebut?
Berbagai upaya untuk mengungkap dalang pembunuh Udin dilakukan oleh LBH Yogyakarta, LPH, dan PWI. Sekalipun PWI adalah organisasi wartawan pemerintah, tetapi nampaknya sejak reformasi bergulir, organisasi ini berusaha memperbaiki citranya dimata publik. Semasa Soeharto masih berkuasa dalam kasus yang sama,--- pembunuhan Udin—PWI tidak melakukan apapun untuk mempersoalkan kasus Udin. Bahkan langkah Harian Bernas untuk mengungkap kasus pembunuhan wartawan Udin justru diintervensi melalui pemutasian dan pemecatan wartawan yang tergabung dalam Tim Kijang Putih. Sejalan dengan perubahan politik pasca Soeharto, PWI memberikan perhatian terhadap kasus Udin dengan membentuk TPF, sekalipun sejumlah fakta telah ditemukan oleh Tim Kijang Putih. LBH Yogyakarta adalah cabang dari YLBHI Jakarta yang didirikan oleh advokat Adnan Buyung Nasution. LBH adalah salah satu lembaga hukum yang menjalankan advokasi dengan pendekatan struktural sejalan dengan menguatnya berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jauh sebelum reformasi bergulir, LBH Yogyakarta menjadi posko para aktifis mahasiswa untuk berbagai kasus pelanggaran struktural, sekaligus menjadi corong demokrasi di Yogyakarta. Kantor LBH Yogyakarta selalu menjadi tempat diskusi para aktifis dan sekaligus mengembangkan jaringan demokrasi di Yogyakarta. Dengan demikian LBH Yogyakarta menjadi salah satu motor penggerak gerakan pro demokrasi di Yogyakarta. Tidak mengherankan kalau terjadi kasus-kasus struktural di Yogyakarta, LBH Yogyakarta menjadi salah satu rujukan. LPH adalah lembaga yang dimintai bantuan hukum Dwi Sumiaji alias Iwik ketika dituduh sebagai
32 33
Kompas, 3/6/1998, Bernas, 3/6/ 1998 Bernas. 25/2/1999; Bernas, 29/1/1999.
102
pembunuh Udin. Tuduhan terhadap Iwik sebagai pembunuh Udin akhirnya tidak terbukti. Pada akhir Januari 1999, ketiga lembaga tersebut membentuk tim gabungan untuk penuntasan kasus Udin yang diberi nama Tim Gabungan Kasus Udin (TGKU). Tim ini didirikan atas dasar kekhawatiran kalau kasus pembunuhan Udin dipetieskan34. Langkah pertama yang dilakukan oleh TGKU adalah menyurati Panglima ABRI untuk menuntaskan kasus Udin35. Kasus udin menjadi polemik hangat di Yogyakarta dari tahun 1998-2000, karena dukungan Bernas dan kalangan MS. Kasus Udin dipandang menjadi peristiwa pelanggaran HAM fenomenal mengingat pembunuhan tersebut diduga melibatkan orang-orang penting di Kabupaten Bantul sewaktu Soeharto berkuasa. Kalangan MS di Yogyakarta menjadikan Udin sebagai simbol martir dari arogansi kekuasaan kepada warga sipil dan media. Oleh karena itu LBH Yogyakarta mengusulkan kepada pemerintah agar Udin diberi gelar pahlawan Jurnalistik36. Kalangan MS berpendapat bahwa mantan Bupati Bantul, Sri Roso yang berlatar belakang militer memiliki keterlibatan dalam kasus Udin. Tajuk Rencana Harian Solo Pos tanggal 5 Juli 1999 menyatakan bahwa Sri Roso dapat menjadi pintu masuk untuk membongkar siapa dalang pembunuh Udin. Sri Roso disidang di Makamah Militer Luar Biasa dalam kasus suap terhadap Yayasan Dharmais melalui adik tiri Soeharto yang menjadi Lurah Argomulyo. Sampai vonis dijatuhkan kepada Sri Roso, kasus Udin tidak pernah disinggung sedikitpun 37. Dalam perkembangan kasus wartawan Udin, beberapa lembaga diluar TGKU mulai melibatkan diri bahkan lebih aktif dari TGKU sendiri. Beberapa elemen tersebut antara lain Aliansi Jurnalis Independen, LBH Yogyakarta, FISIP UAJY, Parwi, Forum LSM DIY, LAPERA, PLBH Persada, ICM, Pusham UII, PWI Yogya, dan Jaringan Radio Komunitas. Kelompok ini bergabung dalam
34
Kedaulatan Rakyat, 29 /1/ 1999 Kompas, 29/1/99, Bernas, 29/1/1999 36 Bernas, 16/1/99, Bernas, 5/11/1999, Bernas, 23/3/1999. Usulan ini sampai sekarang belum terealisasi meskipun Departemen Sosial Kanwil DIY pernah meminta LBH untuk menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan sebagai syarat pengusulan tersebut. 37 Bernas, 2/7/1999 35
103
Koalisi Masyarakat untuk Udin (K@MU)38. K@MU menyelenggarakan berbagai kegiatan khususnya berkaitan dengan kematian Udin, antara lain peringatan 7 tahun meninggalnya Udin tanggal 13 Agustus 2003, Orasi budaya dan refleksi terhadap kasus Udin tanggal 15 Agutus 200339. Kasus Udin menjadi gambaran bagaimana LSM dan kalangan intelektual kampus menjalankan advokasi yang berbeda dengan cara yang biasa digunakan oleh mahasiswa ataupun rakyat. Kemampuan advokasi kalangan LSM ataupun kampus cenderung elitis dengan mengunakan kasus sebagai basis gerakan. Akibatnya daya tekan terhadap institusi otoritas menjadi sangat lemah dan mudah sekali diabaikan. Kasus yang tidak kalah menariknya dibandingkan dengan kasus Udin adalah kasus Soekardjo Wilardjito. Wilardjito adalah mantan anggota dinas sekuriti Istana Bogor yang bertugas ketika Presiden Soekarno menandatangani Surat Perintah
Sebelas
Maret
(Supersemar).
Berdasarkan
pengakuannya,
penandatanganan Supersemar dilakukan dibawah todongan pistol oleh para Jenderal yang saat itu datang menghadap Soekarno40. Kontan saja mengakuan Wilardjito membuat aparat terhenyak dan segera saja dituduh sebagai penyebar kabar bohong41. Wilardjito segera menunjuk LBH Yogyakarta sebagai kuasa hukum dan segera diikuti dengan pembentukan tim pembela42. Apa yang dilakukan oleh LBH Yogyakarta atas kasus ini? LBH memiliki jaringan kuat ke media lokal. Sebagai ”lokomotif demokrasi” ketika Soeharto berkuasa, LBH mengembangkan advokasi melalui pembentukan opini Kekuatan pendekatan ini adalah pada metode yang dikembangkan melalui pembentukan opini publik melalui media massa. Pada waktu Soeharto masih berkuasa, pembentukan opini publik dimaksudkan sebagai sarana untuk membentuk kesadaran menganai persoalan politik yang lebih besar, yakni otoritarianisme Orde Baru. Dengan demikian akan membentuk kesadaran baru di atas kesadaran palsu yang dikembangkan rezim. Sebagai lokomotif tentu saja tugasnya hanya mengantarkan. Setelah itu lokomotif akan kembali ke stasiun awal untuk disimpan. Demokratisasi telah terbentuk, ruang politik telah terbuka, 38
Bernas, 2/10/2002. Laporan Kegiatan Forum LSM DIY Periode Kepengurusan 2002 – 2004 40 Berbas, 25/08/1998, Kedaulatan Rakyat, 04/08/1999 41 Kedaulatan Rakyat 28/07/1999, Solo Pos, 6/4/1999, Bernas, 09/8/1998 42 Solo Pos, 27/1/1999 39
104
dan ini merupakan ”salah satu” sumbangan LBH sebagai lokomotif. Apakah kemudian LBH akan menjadi bagian dari proses demokrasi tersebut, nampaknya tidak. LBH tetap memilih sebagai lokomotif dan kembali ke depo penyimpanan dan tetap menjadi lembaga berwatak konservatif, Yayasan43. Dalam kasus Wilardjito, LBH mengembangkan advokasi melalui media dan menyediaan bantuan hukum secara cuma-cuma. Sejalan dengan perkembangan situasi politik, kasus ini kemudian tenggelam dengan sendirinya. Tidak ada pengakuan dari bahwa apayang disampaikan oleh Wilardjito tentang penodongan senjata tersebut benar adanya, dan juga tidak ada tindakan hukum ke Wilardjito kalau seandainya menyebarkan kabar bohong. Ini adalah ciri penegakan hukum di Indonesia, tidak jelas dan selalu selesai tanpa tindakan apapun.
6.3. Pelembagaan Politik Salah satu perkambangan yang menarik dalam transisi demokrasi adalah problem kelembagaan politik. Pelembagaan politik dipandang penting untuk menjadikan demokrasi yang sudaah berjalan menjadi semakin kokoh. Kita telah menyaksikan bagaimana medan politik pasca Orde Baru berkembang dalam berbagai protes jalanan yang tujuannya menuntaskan seluruh problem politik ”peninggalan” Soeharto. Disisi lain sebagian kalangan MS memandang bahwa bukan hanya ”penuntasan Orde Baru” saja yang penting, tetapi juga menata bagaimana demokrasi yang sedah dicapai menjadi lebih bermakna. Pemerintahan berikutnya (BJ Habibie) nampaknya memiliki keinginan untuk menjalankan roda demokrasi dengan segera. Tidak ada kesempatan bagi Habibie
untuk
mempertahankan
dan
mengulang
apa
yang
dilakukan
Soeharto.Tuntutan politik sudah demikian kencang untuk segara membuka keran politik seluas-luasnya. Ini ditandai dengan
berbagai langkah kongkret seperti
pelaksanaan pemilu multi partai secepatnya, desentralisasi politik, pemberesan masalah Timor Leste, dan lain sebagainya. Nampaknya pemerintah pusat sudah
43
Hal ini yang menjadikan LBH mengalami pasang surut setelah reformasi. Jauh sebelumnya perpecahan telah berlangsung yang ditandai dengan pendirian PBHI sebagai anti tesis YLBHI.
105
sudah kehilangan daya cengkramnya terhadap kehidupan politik sipil. Militerpun telah berjanji untuk mundur dari panggung politik secara bertahap. Inilah kesempaatan bagi MS untuk menata kehidupan politik mejadi lebih bermakna dengan mengembangkan kerja yang lebih kongkret.44 Transisi
demokrasi
membutuhkan
tatanan
yang
lebih
pasti
agar
demokratisasi lebih terjamin, bukan hanya semata-mata membongkar status quo tapi juga menyusun agenda berikutnya bagi memperkukuh partisipasi . Pelembagaan politik didasarkan pada upaya mengembangkan ”ilmu pasang” , dimana seluruh energi pembaruan bukan semata-mata diletakkan pada upaya ”membongkar” tatanan politik lama, tetapi lebih dari itu adalah menata kehidupan dan kelembagaan politik menjadi lebih bermakna. Dalam konteks ini gagasan seperti memperkuat demokrasi di tingkat lokal, memastikan ruang politik rakyat lebih terbuka, memastikan anggaran lebih berpihak kepada rakyat dan lain sebagainya menjadi tema kalangan MS . Di Yogyakarta tema-tema ini menjadi gelombang besar yang disorongkan MS lokal. Banyak aktifitas ornop yang ditujukan untuk melakukan penataan kelembagaan politik, baik struktur politik paling bawah yakni desa ataupun diatasnya, kabupaten dan propinsi. Untuk melihat dinamika gerakan MS di Yogyakarta, akan dibagi dalam tema-tema utama yang menjadi kerangka dasar aktifitas ornop dan MS lainnya di Yogyakarta. Membaginya dalam tema ini memudahkan melihat dalam optik tujuan dan hasil yang diperlihatkan oleh kalangan MS di Yogyakarta. Tema yang akan disajikan untuk melihat fenomena gerakan MS di Yogyakarta adalah masalah yang berkaitan dengan desentralisasi politik baik itu meliputi desa ataupun kabupaten, masalah gerakan feminis, kebijakan publik, pemilihan Gubernur DIY termasuk didalamnya adalah masalah Keistimewaan DIY, dan gerakan
anti kekerasan.
Membagi dalam optik-optik tersebut akan membuka persinggungan setiap aktor dan tokoh dalam bingkai besar dan pertautannya dalam dinamika politik di DIY. 44
Untuk Melihat bagaimana transisi demokrasi berjalan dalam fase awal reformasi dapat dibaca Chris Manning & Peter Van Diermen (2000), Indonesia di Tengah Transisi; Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis, LkiS, Yogyakarta
106
6.3.1. Gerakan Memperkuat Desentralisasi Politik Salah satu agenda demokratisasi yang digulirkan Presiden Habiabie adalah otonomi daerah. Habibie tidak ingin mengambil resiko menghadapi berbagai protes dan ancaman disintegrasi, karenanya segera melonggarkan pengendalian terhadap daerah. Salah satu substansi dari kebijakan ini adalah memberikan ruang partisipasi politik kepada rakyat desa melalui UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah. Ini adalah undang-undang paling skstrem menyangkut hubungan pusat dan daerah. Di Yogyakarta salah satu LSM yang memiliki perhatian terhadap dinamika politik lokal adalah LAPERA45. Pada tahun 1998 menjelang Soeharto jatuh, LAPERA bekerjasama dengan YAPPIKA menyelenggarakan
training bagi kalangan
masyarakat pedesaan dan buruh yang diberi tema “Pendidikan Penguatan Masyarakat Sipil (P2MS)46”. P2MS disusun atas dasar pemikiran bahwa kesadaran politik rakyat harus mulai ditumbuhkan sebagai pintu terbentuknya demokratisasi politik di tingkat grassroot. P2MS dilakukan di dua basis utama yang menjadi konsentrasi LAPERA, yakni buruh dan pedesaan. Untuk pelaksanaan P2MS disektor buruh dilakukan di Ungaran Jawa Tengah terhadap beberapa pabrik garmen dan tekstil47. Sedangkan untuk wilayah pedesaan dilaksanakan di Desa Gadingsari, Kabupaten Bantul dan Mororejo, Kabupaten Sleman. Pemilihan lokasi pendidikan didasarkan pada aktifitas pendampingan yang dilakukan sebelumnya oleh lembaga tersebut dalam beberapa kasus seperti pilkades dan sengketa tanah. Output dari pendidikan tersebut adalah dibentuk fórum masyarakat yang didirikan atas inisiatif masyarakat sebagaimana di Gadingsari dibentuk Lembaga Inisiatif Masyarakat (LIM).
Ini adalah sebuah ujicoba politik dimana pembentukan
organisasi diluar aturan resmi negara adalah tindakan yang berbahaya ketika Orde Baru berkuasa.
45
Sutoro Eko (Edt) [2005] Manifesto Pembaruan Desa; Persembahan 40 tahun STPMD ”APMD”, APMD Press, Yogyakarta 46 Tim LAPERA [1998] Manual Kursus Pendidikan Penguatan Masyarakat Sipil (P2MS), LAPERA, Yogyakarta 47 Untuk pabrik garment yang mengikuti pendidikan adalah PT Golden Flowers dan pabrik tekstil PT Batamtex. Ungaran merupakan sebuah kawasan industri di Jawa Tengah dan sering menjadi basis pengorganisasian LSM perburuhan di sekitar Jawa Tengah dan Yogyakarta. Catatan aktifitas penggorganisasian
107
Tahun 1999 sejalan dengan proses demokratisasi di Indonesia, sebuah lembaga donor, yakni The Ford Foundation (TFF), mulai mengembangkan deks baru di lingkungan kantor perwakilannya Jakarta, yakni deks Governance and Civil Society48. Hans G. Antlov, seorang antropolog berkebangsaan Swedia adalah Program Officier pertama untuk deks ini. Disertasi Hans G. Antlov mengenai pemerintahan desa dalam sistem politik Orde Baru diterbitkan LAPERA dengan judul Negara Dalam Desa (2000). Ditengah-tengah hiruk pikuk politik 1999, ketika berbagai ornop melakukan advokasi terhadap pelaksanaan pemilu, TFF memalingkan perhatiannya terhadap upaya mendorong demokratisasi di tingkat lokal, salah satunya adalah pelembagaan politik desa. Bukan hanya TFF yang memberikan perhatian terhadap masalah desentralisasi di Indonesia, CSSP-USAID juga secara khusus menggelontorkan dukungan untuk LSM yang bekerja untuk masalah ini. Di Yogyakarta salah satu ornop yang memberikan perhatian terhadap pelembagaan politik lokal adalah LAPERA, yang kemudian diikuti oleh ornop lainnnya seperti IRE, Forum LSM DIY, dan beberapa perguruan tinggi seperti Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, STPMD ”APMD”, UMY, dan UAJY. Gagasan pertama LAPERA adalah pendirian ”Parlemen Desa”49. Sebuah lembaga legislatif di tingkat desa. Sejalan dengan pertemuan antara TFF dan LAPERA serta inisiasi penguatan masyarakat di pedesaan melalui P2MS, disusunlah satu program realisasi parlemen desa yang berangkat dari pengalaman DIY dalam menjalankan Dewan Kelurahan pada tahun 194650. Program pertama adalah menggali kembali sejarah parlemen desa di DIY51. Dari penelitian tersebut kemudian dikembangkan satu gagasan untuk mengimplementasikan kembali perlemen desa di salah satu desa penelitian, yakni Gadingsari, Kecamatan Sanden. Gagasan ini mirip dengan keberadaan legislatif di lembaga politik setingkat distrik sampai pusat. Upaya merealisasikan parlemen desa tentu bukan mudah 48
TFF, Celebrating Indonesia, Fifty Years With The Ford Foundation 1953-2003, 2003. Sebelumnya desk tersebut tidak ada di kantor perwakilan TFF Jakarta. 49 Bernas, 6/2/1999 50 Selo Soemardjan, [1981] Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta; Soedarisman Poerwokoesoemo[1984] Daerah Istimewa Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 51 Suhartono W. Pranoto, dkk, [2000] Parlemen desa : dinamika DPR Kalurahan dan DPRK Gotong Royong, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta
108
dilaksanakan mengingat kehidupan politik di desa mengalami stagnasi selama pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Ornop penggiat demokrasi lokal di Yogyakarta mencatat paling tidak ada enam masalah mendasar yang dihadapi rakyat desa dalam masa transisi tersebut52, pertama, rakyat merasa dirinya bodoh. Posisi rakyat yang dimarjinalisasi pada dasarnya telah menjadi sarana yang paling efektif untuk menutup setiap kesempatan yamg dimiliki oleh rakyat. Kedua, rakyat mengalami ketergantungan. Apa yang dilukiskan oleh rakyat sendiri sebagai “kebodohan” terkadang menjadi sarana untuk ‘bersembunyi’. Rakyat pada gilirannya menyerahkan perubahan pada mereka yang anti perubahan. Ketiga, pandangan bahwa pemerintah adalah hukum. Keempat, warga pemerintah. Posisi pemerintah yang menjelma menjadi hukum, pada dasarnya makin memperkukuh kekuasaan pemerintah. Logika awal di mana pemerintah adalah hasil kreasi masyarakat untuk mengatasi masalah mereka, sama sekali tidak bisa berjalan. Kelima, mitos ekonomi dan anti-politik. Proses politik yang penuh dengan represi telah menempatkan rakyat menjadi pihak yang seakanakan (dan dalam kenyataan) tidak memiliki hak untuk ambil bagian dalam politik. Secara sistematik telah terbentuk mitos bahwa wilayah rakyat hanyalah ekonomi. Keenam, legalitas mengalahkan legitimasi. Kekuasaan absolut telah pula menjadikan rakyat terkena sindrom legalitas. Dalam sebuah pertemuan yang dilakukan oleh LAPERA untuk prakarsa parlemen desa, hampir selalu ditanyakan oleh masyarakat local apakah gagasan tersebut ada dasar hukumnya atau tidak. Bahkan dalam rapat-rapat ornop di pedesaan pada periode tersebut selalu ditanyakan apakah sudah ijin dengan aparat berwenang atau belum. Dalam perkembangannya gagasan untuk mengujicobakan parlemen desa, berbarengan dengan perumusan undang-undang otonomi daerah oleh Presiden BJ Habibie yang kemudian melahirkan UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang didalamnya memuat regulasi tentang pembentukan Badan Perwakilan Desa
52
Himawan Pambudi, (edt) [2003] Jalan Baru Keadilan; Dokumen Pertemuan Konsolidasi Pembaruan Desa, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta; Catatan Refleksi Lima Tahun Pembaruan Desa 1998-2003 (dari Parlemen Desa ke Institusionalisasi Demokrasi Desa hingga Pembaruan Desa), LAPERA Indonesia
109
(BPD). Dengan demikian gagasan tersebut menemukan titik legalnya ketika UU tentang pemerintahan desa yang baru diimplementasikan. Menstransformasi pandangan rakyat dalam sebuah sistem politik yang otoriter ke dalam sistem politik yang demokratis tidaklah mudah dilakukan. Dalam upaya mendorong berbagai tantangan politik yang berkembang, sekaligus merespon perubahan politik melalui pembentukan parlemen hasil pemilu 1999, LAPERA mengembangkan dialog kritis antara anggota DPRD hasil pemilu 1999 dan masyarakat desa. Dialog ini memberikan kontribusi terhadap perkembangan politik egaliter yang sangat sulit didapatkan ketika Soeharto berkuasa, sekaligus memberikan jawaban berbagai problema politik rakyat diatas. Rakyat yang sebelumnya menganggap tabu membicarakan politik dan menganggap bahwa politik merupakan wilayah “terlarang” dengan dialog tersebut secara berlahan berubah. Kehadiran politisi di rumah-rumah penduduk secara langsung, telah membangkitkan kepercayaan dan keyakinan rakyat bahwa politik menjadi sesuatu yang “lumprah” dalam kehidupan sehari-hari rakyat desa. Dalam mengembangkan dialog antara DPRD dan rakyat di pedesaan, LAPERA kemudian mengembangkan kerjasama yang lebih luas dengan Harian Bernas, yakni membuka kolom tanya jawab antara DPRD dan masyarakat yang diberi nama FORUM RAKYAT. Rubrik ini terbit setiap hari Senin dengan difasilitasi oleh LAPERA selama dua tahun. Ciri lain dari perkembangan MS di Yogyakarta posta Soeharto adalah kerjasama yang intensif dengan media massa lokal, khususnya media cetak dan radio. Elemen gerakan MS di Yogyakarta leluasa mengisi berbagai kolom yang disediakan oleh media cetak, baik itu debat opini, kolom tanya jawab, ataupun sejumlah rubrik kerjasama lainnya. Kadangkala ornop langsung menjadi redakturnya dalam beberapa kolom opini kerjasama. Kalau pada waktu Orde Baru masih berkuasa, kerjasama dengan ornop boleh dikatakan sangat terbatas, hanya pada peliputan aktifitas LSM atau statment politik tertentu. Setelah Soeharto jatuh, media cetak memberikan porsi yang sangat besar untuk mengkampanyekan berbagai gagasan LSM. Selain itu radio juga krap menjadi tempat bagi LSM untuk mengkampanyekan gagasannya. Selain media cetak, salah satu ciri lain dalam perkembangan MS posta Soeharto adalah maraknya penerbitan dibawah payung
110
LSM53. Penerbitan rupanya menjadi sebuah trend baru dikalangan LSM pada era ini karena dukungan yang sangat besar dari program-program donor. Hampir setiap program memiliki alokasi dana untuk penerbitan sebagai bagian dari kampanye. Selain kepentingan untuk mengembangkan kampanye terhadap gagasan yang diusung LSM, penerbitan juga berfungsi sebagai fund rusing LSM untuk menghindari ketergantungan lebih jauh terhadap donor. Inilah yang menjadikan mengapa kemudian Yogyakarta menjadi salah satu centrum penerbitan di Indonesia. Salah satu gejala baru pendekatan LSM dalam periode ini adalah berbagai program pengembangan kapasitas baik untuk aktifis gerakan sosial ataupun untuk masyarakat secara langsung. Sesungguhnya pengembangan kapasitas bukan hal baru di lingkungan LSM, hanya yang cukup menonjol pada periode ini adalah berkembangnya training advokasi dan politik di lingkungan LSM. Setiap program yang disusun dengan lembaga donor hampir selalu menyertakan training sebagai salah satu aktifitasnya. Training adalah kegiatan yang paling sederhana dan sebagian besar donor mendukung kegiatan ini. Dukungan donor memang sangat besar pada periode ini, selain The Ford Foundation juga beberapa lembaga donor governance seperti USAID – CSSP, Partnership Governance Reform, Ausaid, Novib dan lain sebagainya54. Memperkuat kelembagaan politik di desa adalah salah satu strategi yang ditempuh oleh kalangan MS di Yogyakarta. Memperbesar ruang partisipasi politik rakyat dikembangkan dengan mempengaruhi dan memperkuat Badan Perwakilan Desa (BPD), sebagai salah satu lembaga demokrasi di tingkat desa yang diamanatkan dalam UU No. 22/1999. Tugas BPD berdasarkan UU No. 22/1999 adalah (1) mengayomi yaitu menjaga adat istiadat yang hidup dan berkembang di desa yang bersangkutan sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan, (2) legislasi yaitu merumuskan dan menetapakan peraturan desa sersama-sama dengan pemerintah desa, (3)Pengawasan yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan 53
Adhe,[2007] Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja 1998-2007, Komunitas Penerbit Jogja, Yogyakarta, Untuk menyebut beberapa penerbitan yang berada di bawah payung LSM antara lain LAPERA Pustaka Utama, IRE Press, ATPMD “APMD” Press, Insist Press, Forum LSM, LKiS, dan lain sebagainya. 54 TFF, Op cit ; USAID – CSSP; Building The Foundation For Democracy, April 2005
111
peraturan desa, anggaran belanja, serta serta keputusan kepala desa . (4) menampung aspirasi masyarakat yaitu menangani dan menyalurkan aspirasi yang diterima dari masyarakat kepada pejabat atau insatansi yang berwenang55. Dengan fungsi yang sedemikian vital bagi pertumbuhan partisipasi politik di pedesaan, LSM mengambil peran yang sangat besar dalam mengembangkan kapasitas politik para anggota BPD.
Tanggal 13 Mei 2003 jaringan BPD se DIY membentuk
jaringan untuk memperkuat dan memperjuangkan pelaksanaan otonomi desa56. Kemudian tanggal 19-21 Mei 2003 diselenggarakan pertemuan nasional BPD yang kemudian membentuk Asosiasi Badan Perwakilan Seluruh Indonesia (ABDESI). BPD merupakan kelembagaan baru yang dibentuk atas mandat UU No. 22/1999. Sebagai lembaga baru di desa dan memiliki otoritas politik besar, peran dan fungsi BPD menjadi penting dalam mengawasi kebijakan pemerintahan desa. Dalam menjalankan pemerintahan, pemerintah desa tidak dapat lagi semena-mena sebagaimana sewaktu UU No. 5/1979 diberlakukan. Bahkan kadang-kadang pemerintah desa dan BPD sering tidak menemukan mufakat terhadap kebijakan tertentu seperti yang terdapat di desa Ambarketawang dan beberapa desa lain di kabupaten Bantul57. Salah satu ciri lain dalam gerakan MS pasca Soeharto adalah kerjasama yang intensif dengan aparatur pemerintahan. Kalau pada waktu Orde Baru MS mengambil peran oposisi, pada era ini justru sebaliknya, bekerjasama untuk memperkuat kapasitas rakyat.
Di Kabupaten Bantul misalnya, telah dibentuk
Komite Pembaruan Desa (KPD) di masing-masing desa atas kerjasama UMY dan LAPERA. KPD terdiri dari anggota masyarakat, perangkat desa Badan Perwakilan Desa, untuk merumuskan dan mengawal kerja pembaruan desa di tingkat desa. Ini mirip dengan panitia agraria pada waktu pelaksanaan UUPA 1960. Di Kabupaten yang sama juga telah berlangsung satu kursus pembaruan desa yang disebut dengan Sekolah Pembaruan Desa (SPD). Kursus ini diikuti oleh kepala desa, anggota Badan Perwakilan Desa, masyarakat desa yang mendedikasikan kerja politiknya 55
Pasal 36 UU No 22 Tahun 1999 Bernas, 14/5/2003, Kedaulatan Rakyat, 2 4/2002, Bernas, 8/5/2003 57 Bernas,13/9/2003, Bernas, 3/10/200, Bernas, 31/10/2003, Bernas, 24/10/2003, Bernas, 3/9/2002, Bernas, 7/9/2002, Bernas, 8/5/2003. 56
112
bagi pembaruan desa. SPD merupakan kerjasama beberapa perguruan tinggi dan LSM yang ada di Yogyakarta, antara lain Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, Fisipol Universitas Atmajaya, Fisipol Universitas Gajah Mada, IRE dan LAPERA58. Kerjama pengembangan demokrasi lokal bukan hanya terbatas pada implementasi kegiatan, tetapi juga pada konsentrasi isu. Beberapa universitas dan LSM di Yogyakarta kemudian mengembangan Jaringan Pembaruan Desa (JPD) yang bertujuan mengawal pelaksanaan otonomi di Yogyakarta. Kerjasama antara LSM dan universitas semakin erat dalam berbagai kegiatan, dan membentuk mutualism yang kuat. Keterlibatan perguruan tinggi dalam praktek pemberdayaan juga merupakan arena baru dalam era pasca Soeharto. Universitas sangat concern terhadap gagasan pemberdayaan di berbagai sektor sekalipun sesungguhnya kerja yang demikian sudah dikembangkan jauh sebelum era reformasi. Dukungan donor terhadap universitas dalam berbagai program pemberdayaan juga sangat melimpah, dan bahkan dalam banyak hal donor lebih menyukai universitas dalam menjalankan berbagai program karena dinilai lebih profesional. Kabupaten Bantul pernah memiliki hubungan yang buruk dengan kalangan MS di masa lalu terkait dengan pembunuhan wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin. Melalui kerjasama tersebut menunjukkan telah terjadi perubahan paradigma di kalangan ornop melalui kerjasama dengan pemerintah. Karena pemerintahlah yang memiiki legitimasi dan legalitas untuk menggerakkan masyarakat.
Dari
merekalah
memberdayakan masyarakat59.
energi
perubahan
hendak
diarahkan
untuk
Dengan keterlibatan pemerintah daerah dalam
program-program yang digagas ornop dan kalangan universitas, maka upaya penataan kelembagaan akan jauh lebih efektif. Kerjasama semacam ini sesungguhnya telah selalu berlangsung di berbagai tempat, bukan hanya penguatan kelembagaan lokal, tetapi juga anggaran daerah, penyelenggaraan kursus dan keterlibatan ornop yang intensif dalam berbagai proyek pemerintah..
58
Laporan Program Realisasi Pembaruan Desa, Yayasan LAPERA Indonesia, 2004 Lihat Laporan Lima Tahun Refleksi Pembaruan Desa, LAPERA Indonesia, 2003. Wawancara dengan Nurhadi, 2 Juni 2007 59
113
Selain mengenai penataan kelembagaan, salah satu yang perlu dicatat adalah pertumbuhan ornop yang memiliki perhatian terhadap dinamika politik lokal pedesaan. Pertama yang perlu dicatat dalam periode ini adalah berdirinya berbagai ornop yang concern terhadap masalah politik pedesaan, salah satunya adalah Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA). Karsa didirikan oleh aktifis Konsorsium Pembaruan Desa dan beberapa aktifis yang yang concern terhadap masalah ekologi dengan fokus pada persoalan-persoalan tranformasi sosial politik di desa. Bagian kedua yang penting juga untuk dicatat berkaitan dengan dinamika ornop politik lokal adalah perbedaan antara kelompok ornop yang mengusung ”pembaruan”
desa
dengan
kelompok
ornop
lain
yang
memberi
label
”pembaharuan” desa pada aktifitasnya. Sebuah pertengkaran eksistensi dikalangan ornop Yogyakarta yang mengusung transformasi pedesaan sedang terjadi. Sesungguhnya tidak ada perbedaan yang mendasar diantara dua kelompok ini, tetapi eksistensi lembaga membutuhkan pengakuan, oleh karena itu membuat membangun wacana tanding diperluan agat diperoleh pengakuan60. Namun menguatnya
perhatian terhadap masalah desentralisasi tidak
dibarengi dengan menguatan di level nasional. Membesarnya gerakan desentralisasi justru dengan mudah dipatahkan oleh panggung politik formal di Jakarta. Ketika gerakan desentralisasi menguat di level daerah dan dukungan donor yang besar, namun pemerintah dan DPR melakukan revisi terhadap UU No. 22/1999 menjadi UU No. 32/2004 yang dianggap oleh banyak kalangan penggiat desentralisasi sebagai bentuk resentralisasi. Penyusunannya sediri dianggap tidak kredibel karena cacat partisipasi. Kerjasama antara LSM dan perguruan tinggi sangat intensif pada periode ini.
Salah
satunya
adalah
penyelenggaraan
KKN
alternatif
dipedesaan.
Sebagaimana kita ketahui, LSM memiliki jaringan kuat di pedesaan melalui berbagai macam program, sedangkan Perguruan Tinggi memiliki sumber daya intelektual yang besar. Penyelenggaraan KKN alternatif di pedesaan dengan
60
Untuk melihat fenomena tersebut, lihat Sindu Dwi Hartanto, [2003] Pembaruan Desa dan Krisis Hegemoni, Tesis Pada Program Sosiologi Pedesaan IPB, (tidak diterbitkan).
114
program-program khusus yang di gagas oleh LSM mendapat respon besar dari kalangan Perguruan Tinggi. Tercatat beberapa Perguruan Tingggi
yang
mengembangkan KKN model ini adalah Universitas Kristen Duta Wacana, Universitas Mahammadiyah Yogyakarta dan STPMD ”APMD”. Selain peranan LSM yang menonjol dalam upaya memperbesar peran politik parlemen desa, pemerintah desa rupaya juga bergerak sendiri membentuk asosiasi kepala desa untuk memperkuat posisinya. Di Kabupaten Kulon Progo di deklarasikan paguyuban lurah Bodronoyo yang merupakan persatuan lurah se kabupaten Kulon Progo. Di Gunung kidul dibentuk paguyuban Semar dengan tujuan yang sama. Di Kabupaten Bantul membentuk paguyuban Tunggul Jati. Tanggal 2 November 2000 kemudian dibentuk paguyuban lurah Ismaya yang merupakan akronim dari ing sedyo memetri asline Yogyakarta. Paguyuban lurah ini tidak dapat dilepaskan dari peran Notosoewito yang merupakan lurah Argomulyo, masih bersaudara dengan Soeharto61. Dalam perkembangannya Semar memiliki peran sangat besar dalam dinamika politik di Yogyakarta, khususnya berkaitan dengan keistimewaan dan pemilihan Gubernur. Dengan posisinya sebagai kepala desa (lurah) paguyuban semar mampu memobilisasi massa dalam jumlah besar untuk mendukung proses politik yang diperjuangkan. Diluar kelembagaan politik di tingkat desa, di Yogyakarta juga berkembang upaya memperkuat posisi politik rakyat melalui pembentukan serikat tani. Di Yogyakarta sangat jarang kasus tanah yang menimbulkan sengketa berlarut sebagaimana yang terjadi di Kedung Ombo. Namun hubungan-hubungan politik telah terbangun melalui berbagai aktifitas LSM, khususnya yang bergerak di masalah agraria dan lingkungan hidup. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) DIY adalah salah satu konsorsium LSM di Yogyakarta yang melakukan advokasi terhadap kebijakan Taman Nasional di Gunung Merapi. Dalam mengembangkan advokasi berkaitan dengan taman nasional WALHI membentuk komite lokal dengan nama Komite Rakyat Lereng Merapi dan kemudian berkembang menjadi Forum Masyarakat Lereng Merapi (FMLM)62. WALHI
61 62
Bernas, 1/4/2000; Laporan program LAPERA, 2002 Radar Jogja, 21/6/2006.
115
adalah salah satu elemen MS yang percaya bahwa pengorganisasian menjadi jalan untuk memperkuat rakyat marginal. Sekalipun dalam beberapa hal WALHI mengembangkan kerjasama dengan pemerintah, namun sikap oposan masih menjadi ciri terpenting kelompok ini. Di luar WALHI, LBH Yogyakarta juga salah satu elemen yang berkeyakinan bahwa pemerintahan post Orde Baru memiliki kemauan baik untuk melindungi rakyatnya. Dengan pengalaman sebagai bantuan hukum struktural, LBH memiliki banyak kontak dengan masyarakat desa. Salah satu divisi dalam LBH adalah Divisi Tanah dan Lingkungan. Divisi ini banyak menangani sengketa tanah dan lingkungan di DIY dan Jawa Tengah. Melalui divisi ini dan bekerjasama dengan beberapa lembaga yang ada di Yogyakarta, LBH mendeklarasikan Serikat Tani Merdeka (SETAM)63. SETAM merupakan salah satu model serikat rakyat yang dipelopori oleh LSM, oleh karena itu model organisasinyapun tidak jauh berbeda dengan LSM, terutama dalam kemandirian terhadap donor.
Sekalipun SETAM merupakan organisasi yang berbasis pada
massa, yang berbeda dengan LSM yang bercirikan pada staft, tetapi dalam prakteknya
seringkali
mengadopsi
model
LSM
untuk
mengembangkan
organisasinya. Sebagai contoh dalam soal pendanaan, SETAM mencari dukungan dari lembaga donor ketimbang mengembangkan partisipasi anggotanya. SETAM pada tahun 2000 mendapatkan dukungan dari USAID – CSSP untuk program penguatan organisasi tani.
6.3.2. Gerakan Feminis di Yogyakarta Pelopor ornop perempuan di Yogyakarta adalah Yayasan Anisa Swasti (Yasanti) yang didirikan pada tahun 1982 oleh beberapa mahasiswi di Yogyakarta. Yasanti memberikan perhatian terhadap nasib buruh perempuan64. Sesudah Yasanti berdiri, berbagai ornop perempuan berkembang dengan pesat di Yogyakarta diantaranya adalah Sekretariat Bersama Perempuan Yogyakarta (SBPY), Yayasan Kesejahteraan Fatayat yang berafiliasi dengan NU, Rifka Anisa, SP Kinasih, Senjata Kartini (Sekar)
yang berafiliasi dengan PRD, Koalisi Perempuan
63
Bernas, 28/8/1999 Wawancara Kumoro Dewi, 6 Januari 2007, Katalog LSM/LPSM DIY, BP Forum LSM/LPSM DIY 1991-1994 64
116
Indonesia, Tjoet Nya Dien, LBH APIK, Lembaga Studi Perempuan dan Anak, IHAP, PKBI, dan beberapa Pusat Studi Wanita (PSW) universitas. Dalam melihat pola, interrelasi antar ornop perempuan di Yogyakarta, akan lebih dalam kalau menggunakan kasus yang terjadi di Yogyakarta pada medio 1998-2004. Selain Yasanti yang menjadi embrio gerakan ornop perempuan di Yogyakarta, kiranya kita perlu melihat ornop yang berada dalam koordinasi nasional, yakni Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Konsentrasi organisasi ini adalah pada kesehatan reproduksi, termasuk didalamnya adalah soal HIV/AIDS pada kelompok rentan seperti PSK, homoseksual, dan lain sebagainya. Sekalipun gerakan perempuan bukan merupakan salah satu pilihan stretegisnya, namun karena perempuan merupakan kelompok masyarakat yang paling berkaitan dengan kesehatan reproduksi, maka PKBI memasukkan masalah gender dalam memahami persoalan perempuan. Sebagai contoh adalah kelompok dampingan mereka di Pasar Kembang, salah satu lokalisasi terbesar di Yogyakarta. Bersama Griya Lentera, PKBI mengorganisir para PSK melalui Bunga Seroja, untuk meningkatkan posisi tawar perempuan pekerja sex dalam penggunaan kondom sebagai cara melindungi dari penyakit menular sexual. Tetapi justru bukan pada pengorganisasian perempuan, ornop ini menuai masalah berkaitan dengan gerakannya. PKBI juga mengorganisir kelompok homoseksual dan trans jender di Yogyakarta. Tanggal 11 November 2000, PKBI dan kelompok dampingannya menyelenggarakan acara "Kerlap-kerlip Warna Kedaton 2000” yang diikuti komunitas Gay dan Lesbi dari berbagai daerah. Tidak disangka sebelumnya, acara tersebut tiba-tiba diserang oleh Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), salah satu ormas kepemudaan yang berafiliasi dengan Partai Persatuan Pembangunan65. Peristiwa bentrokan semacam ini biasa terjadi di Yogyakarta antara organisasi pemuda yang berafiliasi ke partai dengan kelompok sosial lainnya. Bentrokan paling sering terjadi antara mahasiswa yang dituduh komunis dengan organisasi seperti FAKI, Gepako, atau GPK. Peristiwa tersebut membuktikan perbedaan cara pandang antara ornop dengan masyarakat terhadap masalah tertentu. Dari sisi perjuangan 65
Pernyataan sikap Indonesia Gay Society (IGS) tanggal 12 November 2000
117
kemanusiaan dan universalisme nilai, apa yang dilakukan PKBI merupakan sebuah langkah positif. Tetapi masyarakat memiliki pandangan yang berbeda terhadap isu tertentu. Perbedaan semacam ini sering terjadi antara ornop dengan masyarakat, sebagaimana yang terjadi dengan organisasi massa perempuan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) wilayah Yogyakarta. KPI didirikan tanggal 14-17 Desember 1998, dalam sebuah pertemuan para aktifis feminis Indonesia di Yogyakarta. Beberapa aktifis perempuan memberi acungan jempol terhadap organisasi massa perempuan yang barangkali merupakan organisasi massa perempuan pertama yang berdiri sejak Soeharto tumbang. Beragam isu diangkat oleh ormas ini, salah satunya adalah affirmative action. Affirmative action adalah perlakuan khusus yang diberikan kepada perempuan untuk duduk dalam kelembagaan politik seperti parlemen mengingat sangat minimnya jumlah perempuan yang mengambil bagian dalam keputusan politik. Kampanye yang dilakukan KPI adalah mendorong partai politik untuk memberikan porsi lebih banyak kepada perempuan untuk menjadi calon legislatif. Selain itu KPI juga mempromosikan supaya para perempuan memilih perempuan dalam pemilu 200466. Selain mempromosikan keterwakilan perempuan dalam kelembagaan politik, KPI juga mendorong pemberian porsi anggaran yang lebih besar kepada kaum perempuan sebagaimana yang juga dilakukan oleh kalangan ornop lainnya di Yogyakarta atau berbagai daerah di Indonesia. Sejauh menyangkut tentang promosi politik, aktifitas ornop di Yogyakarta tidak akan berhadapan dengan nilai sosial yang dipegang oleh masyarakat Yogyakarta. Namun kalau bersentuhan dengan tema yang dianggap tabu, seringgali gerakan perempuan akan menghadapi tantangan yang berat. Sebagai contoh adalah pengelenggaraan pentas monolog yang diberi judul ‘Vagina Monolog’. Pentas ini dilaksanakan tanggal 7 Maret 2003 dengan melibatkan 18 perempuan yang terdiri dari artis panggung dan aktifis perempuan. ‘Vagina Monolog’ bertutur mengenai berbagai kekerasan yang dialami perempuan terkait dengan posisinya yang tersubordinasi dalam panggung ekonomi,
66
Semai, Edisi IV/April 2003; Semai Edisi VI/ Juni 2003; Semai Edisi VIII/Agustus 2003; Semai Edisi IX/september 2003, Wawancara dengan Mulyandari, 26 Juli 2007; Bernas, 24-26//2/2003
118
sosial, budaya dan politik67. Bukan pentas ini yang menjadi heboh dan kemudian menjadi polemik di media massa lokal, tetapi keterlibatan GKR Hemas, permasuri Sultan, yang sedianya akan menjadi salah satu pemain dalam petas monolog tersebut. Pada mulanya GKR Hemas bersedia untuk tampil dalam salah satu sesi acara tersebut. Keterlibatan GKR Hemas tentu merupakan simbol dukungan yang besar bagi gerakan perempuan di Yogyakarta. Namun secara tiba-tiba, 3 hari sebelum pementasan dilangsungkan, GKR Hemas membatalkan keikutsertaannya dalam pentas monolog tersebut68. Alasan yang disampaikan GKR Hemas adalah karena tema yang diangkat dalam pementasan tersebut terkesan kontroversial. Sebagai publik figure, apalagi sebagai simbol feodalisasi Jawa, keterlibatan GKR Hemas tentu saja dapat menuai kecaman dari publik, khususnya mereka yang masih perpandangan konservatif terhadap seksualitas. Kampanye semacam ini tetap menjadi ciri gerakan MS di Yogyakarta. Metode yang digunakan tetap menggunakan panggung wacana sebagai basis gerakan, ketimbang masuk kedalam politik riil. KPI tetap memposisikan sebagai organisasi non partisan sampai sekarang69. Dengan corak dan metode organisasi yang tidak jauh dari model organisasi yang berbasis pada staft, KPI tetap menggantungkan
sumber
pendanaannya
dari
donor
luar
negeri.
Upaya
mengembangkan iuran anggota sebagai salah satu ciri ormas, tetap sulit dilakukan mengingat pola relasi yang terbangun masih berbasiskan pada elitisme personal. KPI memang menyelenggarakan pemilihan Sekretaris Jendral secara langsung dan demokratis, tetapi upaya ini tidak berpengaruh banyak terhadap upaya membangun partisipasi anggota yang lebih besar, khususnya berkaitan dengan pendanaan. Ciri untuk tetap menyertakan ormas dalam proses mendorong wacana yang diinginkan adalah salah satu ciri gerakan perempuan pasca Soeharto. Kita mengetahui semua bahwa pada jaman Soeharto membangun ormas adalah tindakan subversif. Oleh karena itu wacana organisasi berbasis massa, selalu menjadi bagian dari metode MS di Yogyakarta. Sebagai contoh adalah hubungan antara Rumpun Tjoet Nyak Dien (RTND) dengan kelompok advokasinya, Pembantu Rumah 67
Bernas, 10/3/2003. Bernas, 5/3/2003 69 Semai Edisi IX / September 2004 68
119
Tangga (PRT). RTND didirikan pada tanggal 9 April 1995 dengan fokus perhatian terhadap PRT. Lembaga ini berpandangan bahwa PRT yang mayoritas adalah perempuan, belum diakui kedudukannya dalam hubungan kerja yang layak dalam struktur sosial keluarga. Untuk memperjuangkan upaya tersebut RTND membentuk Jaringan Pekerja Rumah Tangga (JPRT). Pendekatan terhadap advokasi kebijakan juga menjadi ciri aktifitas ornop post Soeharto. Kalau jaman Orde Baru, aktifitas politik ditujukan untuk membongkar praktek kebijakan yang kotor sebagai cara untuk mendelegitimasi kekuasaan, setelah Soeharto jatuh advokasi ditujukan untuk melembagakan berbagai kebijakan yang dianggap pro rakyat. Kita akan menjumpai berbagai aktifitas ornop yang ditujukan untuk melembagakan isu berkaitan dengan regulasi anggaran, peraturan daerah, ataupun undang-undang. Dalam kaitan dengan regulasi itulah tujuan RTND dan JPRT adalah mendorong lahirnya peraturan daerah yang melindungi PRT. Namun sudah lebih dari lima tahun upaya tersebut belum berhasil dilakukan sekalipun komitment dari pemerintah dan DPRD sudah seringkali ditagih. Ini berbeda dengan upaya Rifka Anissa dalam pengalamannya mendorong UU tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Rifka Anissa adalah salah satu ornop di Yogyakarta yang concern terhadap persoalan kekerasan dalam rumah tangga didirikan pada tahun 1990. Awalnya. Sri Kusyuniati, direktur Yasanti—sebuah LSM yang bekerja untuk advokasi buruh perempuan--- menemukan banyak buruh perempuan yang didampingi mengalami kekerasan. Tidak hanya di pabrik, tetapi ketika pulang ke rumah pun mereka mengalami kekerasan. Sistuasi ini mendorongnya untuk mendirikan Women’s Crisis Center (WCC) di Indonesia. Usaha pertamanya untuk mendirikan WCC bersama aktifis perempuan di Yogyakarta menemui kegagalan. Kemudian beberapa aktifis perempuan di Yogyakarta mendirikan Rifka Anissa Women’s Crisis Center Yogyakarta pada tanggal 26 Agustus 1993. Rifka Anissa adalah WCC pertama di Indonesia. Tahun 1995 merupakan babak baru dalam perjalanan Rifka Anissa, yakni mulai bersentuhan dengan perspektif gender. Sesungguhnya masalah KDRT sudah menjadi perbincangan lama, hanya dalam konteks yang berbeda. Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) telah mengangkat masalah polygami dan feodalisme
120
yang menjadi akar dari KDRT
70
. Di dalam melakukan advokasi, Rifka Anissa
memiliki kemampuan untuk membangun empati terhadap suara korban dengan menghadirkan secara langsung para korban dalam ruang publik melalui talk show di radio ataupun TV lokal. Beberapa stasiun radio mengembangkan kerjasama dengan Rifka Anissa untuk menyelenggarakan berbagai acara seperti talk show, ruang konsultasi, bahkan pembuatan sandiwara radio sampai dengan film dokumenter71. Rifka Anissa memperoleh dukungan yang besar dari media massa nasional untuk ruang advokasinya. Harian Kompas bahkan memberikan rubrik khusus tentang persoalan perempuan dalam ‘Swara’ dimana banyak memuat tulisan aktifis perempuan dan masalah KDRT menjadi salah satu topik yang mendapat porsi khusus72. Barangkali Rifka Anissa adalah satu-satunya ornop yang mampu mengemas sebuah isu –dalam hal ini KDRT---dari sejak permulaannya sampai menjadi regulasi politik nasional . Selain berbagai ornop dan ormas perempuan di atas, pertumbuhan ornop perempuan post Orde baru merupakan fenomena penting. Dapat dikatakan bahwa tahun-tahun sesudah Orde Baru jatuh, wacana gerakan feminis cukup menghangat di Yogyakarta. Selain ornop lokal, juga beberapa ornop merupakan cabang dari ornop yang ada di Jakarta seperti LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) yang fokus pada letigasi perempuan korban kekerasan. Sekretariat Bersama Perempuan Yogyakarta (SBPY) juga merupakan salah satu ornop perempuan yang peduli terhadap perdagangan perempuan dan penguatan wacana feminisme di tingkat lokal. Selain soal masalah-masalah diatas, anggaran untuk perempuan dan pendidikan politik untuk perempuan kiranya juga menjadi tema penting dalam advokasi ornop di Yogyakarta. Kedua masalah tersebut tidak selalu menjadi wilayah kerja ornop perempuan, tetapi dapat menjadi wilayah kerja ornop yang tidak secara khusus mengusung ideologi feminis dalam lembaganya. Sebagai contoh adalah LAPERA dan IDEA, dua ornop yang peduli pada masalah pedesaan dan anggaran. LAPERA sejak awal telah mengembangkan wacana 70
Lihat Saskia Wieringa [1999] Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Garba Budaya, Jakarta 71 Tulus [2002] Memecah Ketakutan Menjadi Kekuatan; Kisah-kisah advokasi di Indonesia, Insist Press, , hal 273. 72 Kompas, 26/5/2003, Kompas, 14/10/2002
121
demokratisasi desa menjadi salah satu topik utama advokasinya. Secara khusus aktifitas LAPERA selalu bersinggungan dengan kelembagaan desa. Namun dalam beberapa hal, persinggungan dengan
perempuan di desa yang masih
termarginalisasi mendorong LAPERA untuk mengembangkan advokasi mengenai partisipasi perempuan di pedesaan melalui pendirian Instutut Penguatan Peran Politik Perempuan (IP4). Fokus utama lembaga ini adalah melakukan pendidikan politik untuk perempuan pedesaan supaya memiliki kesempatan mengambil bagian dalam kebijakan politik di desa73. IDEA (Institut Development and Economic Analysis) merupakan ornop yang peduli terhadap korupsi dan transparansi anggaran. Dalam perkembangan programnya IDEA juga melakukan advokasi mengenai gender bugeting, baik di kabupaten ataupun pedesaan. Di Kabupaten Gunungkidul, IDEA mengembangkan advokasi anggaran untuk kesehatan perempuan. Nafas gerakan perempuan yang berbeda dilakukan oleh Senjata Kartini (Sekar). Sekar adalah organ gerakan feminis dari sebuah partai politik. Umumnya anggota Sekar adalah anak muda yang tidak hanya fokus pada persoalan perempuan, tetapi juga meluas ke berbagai isu yang lain. Sebagai contoh adalah tuntutan Sekar berkaitan Hari Perempuan Internasional yang tidak memiliki kaitan langsung dengan persoalan yang dihadapi perempuan, seperti kenaikan upah buruh 100%, pembentukan UU bagi perlindungan buruh, jaminan pendidikan dan kesehatan gratis, pemberian subsidi bagi sarana produksi pertanian, pembentukan UU tentang perlindungan hasil produksi pertanian74. Kampanye melalui media adalah salah satu strategi yang berkembang setelah orde baru jatuh. Tidak mengherankan kalau koran lokal seperti KR dan Bernas bertebaran berbagai kolom yang diisi oleh para aktifis ornop. Bernas pernah menyelenggarakan kolom Perempuan dan Politik kerjasama dengan KPI DIY, LAPERA,
SBPY,
dan
LBH
APIK
menyelenggarakan debat opini Perempuan
DIY.
Kedaulatan
Rakyat
pernah
dan Keistimewaan DIY kerjasama
Forum LSM DIY, KPI, LAPERA. Selain itu LBH APIK juga menyelenggarakan 73
Lihat Bernas, 22/4/2003, Bernas, 17-19/3/2003; Interem Report, Percepatan Pembaruan Desa Melalui Peningkatan Peran politik Perempuan, LAPERA – The Asia Foundation, 2002 74 Bernas, 8/3/2003
122
konsultasi hukum perempuan korban kekerasan di KR. Rubrik ini berisi konsultasi masalah perempuan di Yogyakarta. Bentuk-bentuk kerjasama dengan media menjadi sebuah model kampanye yang paling sering dilakukan oleh kalangan ornop di Yogyakarta. Tetapi kerjasama dengan media kadang-kadang menimbulkan dilema dikalangan ornop sebagaimana kasus yang terjadi pada Pemimpin Umum harian Kedaulatan Rakyat (KR) . Soemadi M. Wonohito (SMW) adalah Pemimpin Umum Harian KR, koran terbesar di Yogyakarta.
SMW dituduh oleh Sri Wahyuni –stafnya – telah
melakukan pelecehan seksual dan diperkarakan secara hukum. Kasus ini menjadi berita hangat di Yogyakarta karena menyangkut tokoh pemilik koran terbesar. Media massa yang menjadi rival KR tentu saja menjadikan kasus ini menjadi amunisi untuk membidik dan menjatuhkan KR. Demikian juga beberapa ornop perempuan yang ada di Yogyakarta bergabung dalam Koalisi Aktivis Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KAAKTP). Kelompok ini giat mendampingi korban untuk memperkarakan SMW secara hukum75. Akibatnya adalah berbagai siaran pers dan pemberitaan aktifitas ornop perempuan yang bergabung dalam koalisi tersebut tidak pernah mendapat liputan dari KR. LBH APIK jauh hari sebelum peristiwa tersebut muncul ke permukaan telah menjalin kerjasama dengan KR. Ketika kasus tersebut berkembang, LBH APIK memilih untuk berdiri diluar koalisi dengan bersikap netral. Pilihan tersebut sesungguhnya disayangkan oleh anggota koalisi yang lain, karena dengan demikian LBH APIK memilih tetap bekerjasama dengan KR dari pada pilihan idelismenya sebagai ornop yang memperjuangkan hak perempuan. Pilihan isu dan metode gerakan perempuan di Yogyakarta menjadi fenomena yang menarik untuk dipelajari. Pada ujung dari berbagai advokasi terhadap hak dan partisipasi politik perempuan, gerakan perempuan menemukan titik kebuntuan ketika diperhadapkan pada kenyataan bahwa salah satu calon Presiden padsa pemilu 2004 adalah perempuan, yakni Megawati Soekarnoputri. Dengan alasan untuk tetap bersikap non partisan, pada babak akhir pelaksanaan
75
Bernas, 21/2/2003
123
pilpres, para aktifis gerakan perempuan tidak sedikitpun memberikan wacana tentang presiden perempuan.
6.3.3. Gerakan Tata Pemerintahan Yang Baik Tata pemerintahan yang baik menjadi salah satu tema LSM setelah Orde Baru jatuh. Peran lembaga lembaga donor dan keterbukaan politik mendorong kalangan masyarakat sipil, khususnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terlibat intensif dalam program-program pengembangan demokratisasi dan transparansi pemerintahan. Topik seperti partisipasi transparansi, good governance, akuntabilitas, dan lain sebagainya menjadi jargon yang kerap diusung oleh kalangan LSM pada periode ini. Hampir tidak ada diskursus tanding dalam topik tersebut. LSM telah masuk dalam perangkap wacana yang dilontarkan donor untuk mereformasi sistem politik di Indonesia76. Longgarnya peran donor dalam mendukung wacana tersebut telah memicu pertumbuhan LSM advokasi yang memberi perhatian pada sistem pemerintahan lokal. Tidak mengherankan kalau LSM anti korupsi, advokasi regulasi partisipasi dan transparansi, serta advokasi anggaran banyak berdiri pada periode tersebut di Yogyakarta. Salah satu LSM yang memberikan perhatian terhadap tema tersebut adalah Forum LSM DIY yang merupakan wadah berbagai berbagai LSM di Yogyakarta. Forum LSM DIY menerima hibah dari The Ford Foundation sebesar 1,2 milyar untuk melakukan advokasi kebijakan berkaitan dengan partisipasi publik. Hibah tersebut digunakan untuk masa program dua tahun, dan diperpanjang beberapa bulan berikutnya77. Forum LSM DIY menegaskan tujuannya akan mendorong peran organisasi rakyat dalam mewujudkan pemerintahan yang partisipatif, akuntabel, dan transparan. Program advokasi kebijakan publik tersebut secara khusus ditujukan untuk mendorong lahirnya perda partisipasi publik di Kotamadya Yogyakarta. Dalam menjalankan program, Forum LSM DIY membagi anggotanya menjadi tiga tim yang dikoordinir oleh Manajer Eksekutif yang diberi 76
Mengenai kepentingan donor terhadap berbagai proyek yang berkaitan dengan tema kebijakan publik dapat dilihat Jurnal Wacana, Membongkar Proyek-Proyek Ornop, No. 16 Tahun VI/2004 Januari – April 2004 77 Dokumen Laporan Pertanggungjawaban Forum LSM Yogyakarta, 2002-2004, Bernas, 24/3/2003, Bernas, 25/3/2003, Bernas, 26/3/2003.
124
nama TAK (Tim Advokasi Kebijakan). Team tersebut terdiri dari team legislasi, tim pengorganisasian, dan tim kampanye. Tim legislasi bertugas menyiapkan draft rancangan peraturan daerah yang akan didesakkan menjadi regulasi di Kota Yogyakarta. Tim pengorganisasian bertugas untuk mengorganisir partisipan dan menjadi gerakan ekstra parlementer dalam upaya mendorong
kebijakan.
Sedangkan tim kampanye bertugas untuk menyiapkan daya dukung melalui pembentukan opini publik. Tim pengorganisasian melakukan kegiatan dengan membentuk forum-forum dialog di perkampungan. Sedangkan tim kampanye melakukan penerbitan berupa Jurnal dengan nama Jurnal Demokrasi dan leaflet dengan tema-tema yang disesuaikan dengan tujuan program. Pembentukan ketiga tim ini mirim dengan apa yang direkomendasikan dalam manual kursus advokasi oleh Insist78. Forum LSM DIY juga tergabung dalam koalisi yang didukung oleh CSSP -USAID terkait dengan tema partisipasi publik. Dalam perjalanan advokasi untuk penyusunan Peraturan Daerah (Perda) mengalami kebuntuan, bahkan sampai sekarang Perda tersebut tidak terealisasi. Rupanya partisipasi publik menjadi tema yang cukup menonjol dikalangan ornop Yogyakarta. Selain Forum LSM DIY yang secara serius memberikan perhatian terhadap masalah ini, beberapa isu yang berdekatan atau bahkan sama dengan apa yang dilakukan Forum LSM DIY adalah Yogyakarta Corruption Wacth (YCW), Jogjakarta Transparansi, Jaringan Advokasi dan Kajian Kebijakan Publik (Jangkep), masyarakat anti korupsi (MAKI), Aliansi Masyarakat Untuk Transparansi Yogyakarta (AMTY), Masyarakat Anti Korupsi dan Kekerasan Yogyakarta (MAKKY) dan sejumlah tema-tema sejenis dalam konteks lokal kabupaten.
Perkembangan ini tentu saja menggembirakan dan sekaligus
menimbulkan kerancuan bagi kalangan masyarakat sipil. Menggembirakan karena perkembangan politik dalam transisi demokrasi telah mendorong berbagai prakarsa MS untuk terlibat lebih jauh dalam proses politik di Yogyakarta, sesuatu yang sangat sulit terjadi ketika Orde Baru masih tegak. Namun disisi lain pertumbuhan 78
Insist adalah salah satu ornop yang concern terhadap advokasi dan perubahan sosial. Lembaga ini banyak menerbitkan buku-buku bertemakan advokasi dan pengorganisasian masyarakat sipil. Lihat Roem Topatimasang (edt) [2000] Merubah Kebijakan Publik: Panduan Pelatihan Advokasi Untuk Organisasi Non Pemerintah, Readbook, Yogyakarta
125
tersebut seringkali menimbulkan tumpang tindih dalam menyikapi isu tertentu. Sebagai contoh misalnya peran Forum LSM DIY sebagai wadah gerakan LSM di Yogyakarta yang kemudian menjelma menjadi lembaga tersendiri, sementara partisipannya seperti IDEA, Tjoet Nyak Dien dan lain sebagainya juga melakukan hal yang sama sebagaimana yang dikerjakan oleh Forum LSM. Akibatnya daya kendali Forum LSM sebagai sebuah wadah LSM di Yogyakarta menjadi tidak signifikan. Kadang-kadang Forum LSM juga membentuk koalisi lain untuk untuk menyikapi berbagai masalah yang terjadi di Yogyakarta bersama-sama dengan LSM anggotanya. Sebagai contoh adalah kasus pembangunan Jogja Expo Center (JEC) di daerah Janti, Yogyakarta. Jogja Expo Center (JEC) digagas sebagai tempat ruang pamer dan kegiatan masyarakat DIY. Konon pembangunan gudung ini menghabiskan biaya Rp 42,5 milyar dari anggaran pemerintah DIY79. Pada mulanya gagasan ini tidak mengundang protes dari kalangan MS di Yogyakarta karena memang DIY memerlukan tempat yang representatif untuk berbagai kegiatan ekspo dan pertemuan. Menjadi masalah ketika ternyata dalam pembangunan tersebut ada indikasi korupsi dalam pengucuran dana untuk pembangunan kepada sejumlah anggota DPRD Propinsi DIY. Beberapa anggota DPRD DIY ditengarai menerima sejumlah dana dari kontraktor pembangunan untuk mempercepat pencairan anggaran tambahan pembangunan80. Sejumlah LSM di DIY segera bertindak untuk mendesak pengusutan kasus korupsi tersebut. Tanggal 11 Januari 2002 Parwi dan PKBH Universitas Ahmad Dahlan mengajukan barang bukti berupa cek yang mengalir ke beberapa anggota DPRD81. Pada bulan yang sama, 9 LSM termasuk di dalamnya Forum LSM DIY mendesak supaya kasus korupsi tersebut segera dituntaskan dan pelakunya dibawa
79
Koran Tempo Online, 4/2/ 2002 Gatra, 16 /10 /2002. Bersaman dengan kasus tersebut juga berkembang isu suap dikalangan DPRD DIY berkaitan dengan pemilihan Wakil Gubernur DIY, Sri Paku Alam VIII yang dikenal dengan kasus “Pakan Munyuk”, karena yang member suap adalah kepala kebun binatang Gembira Loka (Joko Tirtono). Kasus ini kemudian terhenti tanpa tindak lanjut dari kajaksaan. Kompas, 23 /2/ 2002 Radar Jogja, 22/2/ 2002, Bernas, 23 /2/ 2002 , Bernas, 1/2/2002, Kedaulatan Rakyat, 1/ 2/ 2002, Kedaulatan Rakyat, 31/1/2002 81 Kompas, 12/1/2002 80
126
ke pengadilan82. Dalam perkembangan kasus korupsi tersebut akhirnya hanya satu anggota DPRD DIY, yakni Herman Abdurrachman yang diajukan ke meja hijau. Ini tentu merupakan proses politik dimana sekalipun korupsi dilakukan secara berjamaah, namun beberapa anggota DPRD berusaha meminimalisir korban83. Tentu saja kalangan MS mendesak supaya bukan hanya Herman Abdurrachman yang diajukan ke meja hijau, tetapi juga anggota DPRD lainnya yang diyakini terlibat dalam kasus suap tersebut. Berbagai aliansi masyarakat sipil dibentuk menyikapi kasus tersebut antra lain MAKI (Masyarakat Anti Korupsi), MAKKY (Masyarakat Anti Korupsi dan kekerasan Yogyakarta), AMTY (Aliansi Masyarakat Untuk Transparansi Yogyakarta). Pada tanggal 11 Mei 2002, MAKI mengeluarkan pernyataan dukungan terhadap Herman Abdurrachman untuk membeberkan anggota dewan lain yang menerima suap84. MAKKY yang beranggotkan sejumlah elemen LSM di Yogyakarta juga mengeluarkan pernyataan serupa pada tanggal 10 April 2002. Dua bulan sebelumnya Forum LSM DIY yang tergabung dalam AMTY juga mendesak supaya kasus JEC diusut tutas85. Aliansi seperti diatas menjadi fenomena MS yang terjadi di Yogyakarta. Kalau ini dianggap sebagai sebuah strategi, sesungguhnya kurang memberi makna bagi perjuangan gerakan MS. Aliansi yang terbetuk umumnya anggotanya sama dengan aliansi lain atau sedikit berbeda untuk menyikapi masalah yang sama. Kadang antar elemen saling berkoordinasi dan memberikan statment dalam wadah yang berbeda. Akibatnya adalah seringkali terjadi jebakan dari mereka yang berdiri diseberang kelompok tersebut sebagaimana menimpa AMTY
yang dituduh
menerima suap dari pengusaha yang mengerjakan proyek JEC86. Sekalipun hal tersebut dibantah oleh para aktifisnya, namun paling tidak tuduhan tersebut telah menunjukkan betapa lemahnya kekuatan aliansi yang tidak terkoordinasi dengan baik karena dapat dengan mudah masuk ke dalam power game. Selain itu kadang kala masing-masing anggota aliansi masih mengeluarkan statment untuk kasus 82
Radar Jogja, 31/1/ 2002. Sembilan elemen tersebut antra lain Forum LSM DIY, AJI, LBH Jogja, YLKI, PBHI. YCW, LAPERA, IDEA, Tjoet Nyak Dien 83 Radar Jogya , 14/11/2002, Kompas, 10/6/ 2002, Bernas, 20 /7/ 2002 , Kompas, 17/10/ 2002 84 Bernas, 12/5/ 2002 85 Bernas, 11/4/ 2002 . Kedaulatan Rakyat 14/5/2002, Kompas, 5/2/2002, Kompas, 6/2/ 2002, Kedaulatan Rakyat, 6/2/2002 86 Bernas, 1/3/ 2002, Radar Jogja, 1/3/ 2002, Kompas, 1 /3/ 2002
127
yang sama dan sering tidak dikoordinasikan dengan aliansi yang lain. Forum LSM DIY yang merupakan bagian dari aliansi masih mengeluarkan statment sendiri selain statment yang dikeluarkan oleh aliansi dimana Forum adalah bagian di dalamnya. Hal ini juga terjadi pada PARWI atau YCW yang mengeluarkan statment untuk kasus yang sama sekalipun keduanya merupakan bagian dari aliansi. Barangkali kebutuhan terhadap publisitas lembaga yang mendorong tetap harus tampil meninggalkan aliansi, sekalipun substansinya sama dengan yang diusung oleh aliansi. Kesan bahwa ornop tidak berada dalam koordinasi yang baik sangat nampak ketika mereka menyikapi berbagai masalah yang berkembang di Yogyakarta. Forum LSM DIY yang anggotanya terdiri dari 60 ornop kadangkadang membentuk aliansi untuk menyikapi isu tertentu bersama anggotanya. Dengan demikian Forum LSM telah menjelma menjadi lembaga tersendiri yang memiliki kedudukan politik sama dengan anggotanya ketika terlibat dalam advokasi. Kadang kala untuk yang sama masalah yang sama, Forum LSM DIY membiarkan anggotanya untuk bekerja membentuk aliansi sendiri tanpa Forum LSM terlibat sekalipun masalah yang disikapi memiliki keterkaitan dengan pendekatan forum. Ini yang terjadi pada Jangkep (Jaringan Kajian dan Advokasi Kebijakan Publik). Selain melakukan advokasi terhadap korupsi JEC, beberapa kasus penggusuran dan korupsi juga menjadi fokus perhatian ornop. Kasus yang menonjol adalah pembahasan Rancangan Peraturan Daerah mengenai PKL87, dugaan penyimpangan anggaran di DPRD Kota Yogyakarta88, dan korupsi proyek saluran air hujan89. Jangkep adalah jaringan beberapa Ornop di Yogyakarta yang peduli terhadap kebijakan publik. Dalam bahasa Jawa, Jangkep berarti lengkap atau sempurna. Dengan demikian, secara filosofis, keberadaan Jangkep diharapkan dapat turut mendorong terwujudnya suatu kebijakan publik yang lengkap/sempurna 87
Radar Jogja, 10/10/ 2002, Kedaulatan Rakyat, 10 /10/ 2002; Bernas, 11/2/ 2002 . Perda ini diadvokasi oleh YLKI, Yayasamn Cita Mandiri, Jogja Urban, LABH. YLKI dan LABH adalah partisipan Forum LSM DIY 88 Radar Jogja, 20/10/2002 89 Radar Jogja, 18/11/2003 , Radar Jogja, 11/12/2003. Bernas, 11/3/2004. Bernas, 18/3/2004 Kasus ini diadvokasi oleh Forum LSM DIY dan YCW.
128
dalam tatanan demokratis. Jangkep dibentuk tanggal 28 Oktober 2000 oleh beberapa LSM antara lain IDEA, JPMS, LBM,YLKI Yogyakarta, PBHI Yogyakarta,STA (komunitaS masyarakaT perkotAan). Pada awalnya personalpersonal pendiri Jangkep ini tidak mengatasnamakan kelembagaan mereka, namun merupakan
jaringan
aktifis
ornop
yang
resah
terhadap
lemahnya
dan
dilemahkannya masyarakat oleh-kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan publik. Perkembangan dari hasil-hasil pertemuan yang diadakan secara mingguan (setiap hari sabtu), dengan tempat yang bergiliran di sekretariat masing-masing lembaga akhirnya pada pertemuan di STA (komunitaS masyarakaT perkotAan), beberapa LSM bergabung antara lain, KOMPESHAM (Komunitas Peduli Syariah dan HAM), ELKAM (Lembaga Kajian dan Advokasi Media), dan Serambi Mataram. YLKI, IDEA, PBHI, dan Serambi Mataram adalah partisipan Forum LSM90. Kesembilan ornop tersebutlah di awal-awal kegiatan Jangkep saling bahumembahu melakukan pengkritisan dan advokasi terhadap berbagai kebijakan public di Yogyakarta. Bahkan pada saat melakukan advokasi terhadap RAPBD Propinsi DIY Tahun 2001, Jangkep sempat memprakarsai sebuah jaringan masyarakat yang lebih luas, yang tidak saja terdiri atas ornop, tetapi juga ormas, organisasi kemahasiswaan, yakni KAMTA (Kesatuan Aksi Masyarakat untuk Transparansi Anggaran).
Forum LSM DIY menjadi anggota KAMTA. Koalisi ini
memperjuangkan gender buged pada anggaran pemerintahan Provinsi DIY. Hal itu dilakukan setelah ditemukan data bahwa anggaran untuk kesejahteraan perempuan di provinsi tersebut nol rupiah. Di samping itu, proporsi anggaran belanja aparatur jauh lebih besar ketimbang anggaran belanja untuk publik. Setelah dirinci, jumlah dan besaran alokasi anggaran untuk kesejahteraan penduduk ternyata kurang dari 1 % dari total anggaran yang diusulkan. Puncaknya, jejaring koalisi tersebut sempat “menduduki” ruang parlemen saat acara pengesahan RAPBD 2003. Mereka menuntut adanya revisi pada usulan anggaran yang diajukan. Seiring dengan berjalannya waktu, jejaring tersebut bubar akibat berbenturan dengan kegiatan masing-masing anggota. Mereka memutuskan untuk menjalankan proses advokasi 90
Wawancara Dati Fatimah, 23 Desember 2007
129
sesuai dengan kepentingan atau focus lembaga masing-masing, agar hasilnya lebih optimal dan tidak terjadi tumpang-tindih dengan lembaga lain91. Dalam perkembangannya Jangkep
mengkonsentrasikan pada kebijakan publik yang
berkaitan dengan anggaran, khususnya APBD. Hal ini karena disadari bahwa lahan garapan tentang kebijakan publik sangat luas. Sedangkan sumber daya yang ada di Jangkep sangat terbatas. Selain itu, kebijakan publik anggaran/APBD dipandang merupakan
isu
yang
penting
untuk
digarap,
karena
belum
banyak
jaringan/ornop/lembaga yang belum menaruh perhatian terhadap hal tersebut. Selain berbagai lembaga yang terlibat dalam berbagai advokasi diatas, banyak lembaga baru yang dibentuk setelah fase transisi demokrasi karena menariknya isu ini bagi kalangan MS. Jogjakarta Transparansi dan YCW adalah dua diantara banyak lembaga yang berdiri pada fase transisi demokrasi yang memberikan perhatian pada transparansi92. Lembaga ini bekerja secara sendirisendiri ataupun secara kolektif mendorong berbagai perubahan kebijakan di tingkat local.
6.3.4. Pemilihan Gubernur dan Keistimewaan Yogyakarta Tanggal 7 April 2007 adalah hari yang bersejarah bagi rakyat Yogyakarta. Hari itu bertepatan dengan pada acara peringatan Wiyosan Dalem (hari ulang tahun) ke-61 Sri Sultan HB X di Pagelaran Keraton Yogyakarta. Bukan acara ulang tahunnya yang dianggap penting, tetapi pidato Sultan yang berjudul “Berbakti Kepada Ibu Pertiwi”. Dalam pidato tersebut Sultan HB X menyatakan “dengan tulus ikhlas tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Propinsi DIY pada purna masa jabatan tahun 2003-2008. Jabatan Sultan HB X sebgai Gubernur DIY akan berakhir pada Oktober 2008, dan ini adalah masa jabatan terakhir menurut ketentuan UU No. 32 Tahun 2004.
91
Aris Arif Mundayat(et al) [2006] Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender, Women Research Institute, Jakarta. hal 89-90 92 Kedaulatan Rakyat, 9/10/2002; Bernas, 9/10/2002
130
Polemik mengenai jabatan Gubernur DIY sudah berlangsung empat tahun sebelumnya. Menjelang masa jabatan pertama berakhir, masalah jabatan Gubernur dan Keistimewaan DIY selalu berlangsung seru yang melibatkan kalangan MS di Yogyakarta. Substansi yang mengemuka adalah berkaitan dengan, apakah jabatan Gubernur
DIY
secara
otomatis
menjadi
privillege
(penetapan)
Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat dengan mempertimbangkan aspek sejarah dan cultural masyarakat DIY, atau dipilih secara demokratis sebagaimana amanat UU93. Persoalan ini yang kemudian mengemuka pada tahun 2003 ketika masa jabatan Gubernur DIY untuk periode pertama berakhir. Bagi sebagian besar masyarakat DIY, penetapan bukan semata-mata diletakkan pada konteks sejarah, tetapi juga kehormatan Keraton yang memiliki posisi sentral dalam aspek sosiologis dan kultural masyarakat Yogyakarta. Kalau jabatan Gubernur dipilih dan salah satu calonnya adalah Raja mereka, maka ini bukan saja akan mengancam kewibawaan Keraton, tetapi juga telah melanggar nilai-nilai sosial budaya masyarakat Yogyakarta karena menempatkan Raja sama dengan rakyat kebayakan dalam kompetisi politik. Bagian ini akan memberikan perhatian terhadap dinamika politik di Yogyakarta saat suksesi Gubernur akan berlangsung pada tahun 2003. Pemilihan Gubernur menjadi topik paling hangat di DIY pada waktu itu dan sekaligus membentuk kutub-kutub yang saling bertentangan satu dengan yang lain sesuai dengan kepentingan, peran politiknya dan kapasitas politiknya. Secara politik kita dapat membaginya dalam dua golongan, yakni parlementer dan ekstra parlementer. Tetapi itu saja tidak cukup, dalam posisi ekstra parlementer ternyata ada dua kelompok yang dicirikan oleh mobilitas politik, yakni golongan menengah terpelajar perkotaan dan masyarakat pedesaan yang diwakili perangkat desa.
93
Dalam konteks sejarah, bergabungnya Ngayogyakarta Hadiningrat dengan NKRI dapat dikatakan sebagai fase penting dari “Feodal” menjadi “Republik”. Maklumat 5 September 1945 dianggap menjadi tonggak penting, bukan saja bergabungnya Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dengan NKRI yang baru terbentuk, tetapi juga peran sejarahnya di kemudian hari dalam pembentukan Republic Indonesia.
131
Ketiganya membentuk tali temali yang berujung pada penetapan atau pemilihan Gubernur DIY dengan melihat Keistimewaan sebagai dasar politiknya. Untuk bagian pertama kita akan melihat peran golongan menengah terpelajar yang direpresentasikan oleh LSM dan Perguruan Tinggi (Universitas). Golongan memiliki
ciri yang tidak selamanya sama persis dengan apa yang
diwakilinya, yakni, pertama, umumnya berasal dari kelompok yang tidak memiliki afiliasi politik, atau mereka yang mengklaim posisinya sebagai non partisan. Kedua, golongan ini memiliki latar belakang pendidikan yang cukup baik, bahkan menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai kaum intelektual. Ketiga, memiliki pandangan politik moderat yang mengadopsi model politik kotemporer dengan jargon –jargon partisipasi, demokrasi, dan transparansi. Keempat, golongan ini tidak mewakili siapapun selain dirinya sendiri atau lembaga yang berbasis staft. Kadang ciri tersebut dapat ditambahkan dengan kemampuan mobilitas yang tinggi dan pembentukan opini yang lebih argumentative. LSM dan Universitas memiliki pandangan berbeda dengan Partai Politik dan masyarakat di pedesaan. Forum LSM DIY misalnya, dalam laporan akhir kepengurusan Dewan Pengurus Forum LSM Periode 2002-2004 menegaskan pandangannya terhadap polemik pemilihan Gubernur DIY. Forum LSM mengembangkan apa yang disebutnya sebagai “wacana kritis”. Forum LSM DIY memandang kuatnya kultur feodal berimbas pada menyempitnya ruang demokrasi dimana partisipasi politik rakyat tidak dihargai. Forum LSM DIY mengupayakan serangkaian diskusi untuk memberikan wacana dan membuka ruang diskursus yang kritis atas proses-proses demokratisasi yang terkungkung dalam kuatnya kultur feodal di DIY dimana jabtan Gubernur menjadi hak istimewa Keraton. Dengan mengembangkan wacana kritis maka diharapkan ada proses peningkatan kesadaran rakyat untuk mendorong terwujudnya gerakan sosial, dan ini dianggapnya sebagai saripati demokrasi. Dalam mengembangkan wacana kritis tersebut beberapa LSM di Yogyakarta membentuk Koalisi Masyarakat Yogyakarta untuk Keistimewaan
132
(KMKY). Koalisi ini terdiri dari LAPERA, LBH, Forum LSM DIY, PLBH Persada, GMNI ’STPMD’, IRE.
Inti dari koalisi ini dalah mendesak supaya
pelaksanaan pemilihan gubernur DIY dilakukan secara demokratis sebagaimana daerah lain di Indonesia sesuai dengan semangat demokrasi dan Undang-undang94. Koalisi ini selain mengembangkan aksi untuk menuntut pemilihan Gubernur secara langsung, juga lobi ke parlemen Daerah yang secara konstitusional memiliki kewenangan politik. Selain mengembangkan dialog dengan berbagai kalangan, koalisi juga membangun opini melalui media massa dengan rubrik opini mengenai persoalan keistimewaan dan statment terhadap perkembangan polemik95. IRE adalah salah satu anggota koalisi. IRE bersama dengan anggota koalisi lainnya menyusun draft RUU Keistimewaan sebagai konsep tanding RUU versi pemerintah propinsi dan Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM. Salah satu point penting dalam RUU itu adalah menyangkut pemilihan jabatan Gubernur sebagai eksekutif yang yang langsung di bawah Sultan dan Paku Alam sebagaimana monarkhi Inggris96. Diluar kelompok LSM yang sudah ‘mapan’, terdapat beberapa LSM yang baru berkembang namun memiliki gagasan yang serupa. Sebagai contoh adalah Yayasan Ronggowarsito. Yayasan Ronggowarsito berniat menyelenggarakan debat publik terhadap calon-calon Gubernur, termasuk Sri Sultan HB X97. Sama seperti pandangan LSM, kalangan intelektual kampuspun tidak ketinggalan dalam mewarnai perdebatan Keistimewaan. Umumnya kalangan kampus sejalan dengan pandangan LSM, bahwa Keistimewaan bukan terletak pada jabatan Gubernur tetapi pada peran dan sumbangan Yogyakarta dalam mengembangkan demokrasi sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sri Sultan HB IX melalui Makulamat 5 September 1945. Dalam pandangan akademisi, penetapan Gubernur sebagaimana yang dikehendaki dalam bingkai Keistimewaan sudah tidak sejalan dengan semangat demokrasi yang berkembang. Sultan dapat saja 94
Kedaulatan Rakyat, 29/9/2002, Kedaulatan Rakyat, 28/1/2003, Bernas, 15/8/2002, Kedaulatan Rakyat, 25/7/2002 95 Bernas, 15/8/2002 96 Bernas, 23/10/2002. Wawancara Titok Haryanto, 3 September 2007 97 Radar Jogja, 22/5/2003, Radar Jogja, 14/6/2003
133
didudukkan lebih tinggi dari posisi Gubernur, yakni semacam kelembagaan yang diberi otoritas untuk menyetujui calon gubernur dan memberikan fatwa berkaitan dengan persoalan pemerintahan. Formulasi ini juga sekaligus memberikan kesempatan kepada warga DIY untuk mengambil bagian dalam pemerintahan melalui konpetisi yang fair dan terbuka. Kelompok ini berpusat di UGM, khususnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Sekalipun dalam lingkup satu Fakultas, sesungguhnya terdapat dua kelompok yang berbeda, satu dari Jurusan Ilmu Pemerintahan dan yang lainnya adalah Sosiologi. Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) merupakan kelompok yang ditunjuk oleh pemerintah pusat (Departemen Dalam Negeri) untuk menyusun Draft Rancangan UU Keistimewaan DIY. Dalam berbagai kesempatan kedua kelompok ini sering tampil bersama membahas masalah keistimewaan melalui apa yang disebut Bulaksumur School of Thought, salah satunya adalah menyelenggarakan debat opini di Kedaulatan Rakyat98. Selain UGM, beberapa PKBH Universitas di Yogyakarta juga menyuarakan hal serupa seperti PKBH Universitas Ahmad Dahlan dan PKBH UMY99. Dengan posisinya sebagai akademisi, kemampuan dalam pembentukan opini di media lokal melalui statment ataupun kolom opini tentu sangat intens. Sudah menjadi hal rutin bahwa media massa pasti meminta pendapat kalangan kampus atau LSM. Berbeda dengan kalangan LSM dan Perguruan Tinggi, masyarakat desa memiliki pandangan sendiri berkaitan dengan Keistimewan DIY, khususnya jabatan Gubernur yang menjadi privilege Keraton. Keistimewaan berarti jabatan gubernur berasal dari Keraton. Paguyuban Lurah dan Badan Perwakiln Desa adalah motor penggerak kelompok ini yang tergabung dalam berbagai aliansi seperti Ismoyo (Paguyuban Lurah Yogyakarta) Forum Komunikasi BPD, Gerakan Rakyat Yogyakarta, dan Forum Jogja Asli (Forjas). Badan Perwakilan Desa adalah salah satu lembaga yang dibentuk berdasarkan amanat UU No. 22/1999. Sekalipun baru, badan ini memiliki pengaruh kuat di masyarakat. Forum Komunikasi BPD DIY sebagai wadah bagi gerakan 98 99
Kedaulatan Rakyat, 22-24 Juli 2002. Wawancara dengan Heru Nugroho, 2 Maret 2008 Radar Jogja, 2/5/2003
134
BPD menyatakan dukungannya terhadap Keistimewaan DIY100. FK BPD meminta supaya gubernur ditetapkan sebagai bukti keistimewaan. Pada tanggal 4 Mei 2003, FK BPD mendatangi DPRD DIY untuk meminta penetapan. Bahkan FK BPD mengancam akan melakukan judicial review terhadap UU No. 22/1999 dan PP No. 151/2000 tentang pemilihan kepala derah. Selain BPD, paguyuban lurah adalah kelompok yang konsisten pengusung pandangan ini. Tanggal 10 Mei 2003 paguyuban Ismoyo menuntut supaya RUU Keistimewaan mengakomodasi tuntutan untuk menetapkan Sultan sebagai Gubernur. Umumnya media selalu mengutip tokoh-tokoh dari kelompok ini mengenai pandangannya soal keistimewaan dan penetapan Gubernur. Hampir setiap pekan media mass lokal selalu memuat bertita kutipan wawancara dari ketua Ismoyo ataupun Forum Komunikasi BPD mengenai pandangan mereka soal keistimewaan101. Puncak dari seluruh kehendak masyarakat desa terhadap penetapan Gubernur DIY adalah pada bulan Juni 2003. Gelombang aksi massa pedesaan bertubi-tubi mendatangi DPRD Propinsi DIY. Tanggal 9 Juni 2003 ribuan massa dari berbagai kabupaten melakukan aksi pendudukan di DPRD DIY selama 6 jam. Mereka menuntut supaya Sultan segera ditetapkan sebagai Gubernur DIY102. Pada aksi kali ini Sultan sempat memberikan orasi dihadapan masyarakat dengan mengatakan ‘jangan ganggu rakyat Yogya’, satu pernyataan bernada ancaman sekaligus kekhawatiran. Tanggal 23 Juni 2003 giliran pamong se kabupaten Sleman melakukan aksi di DPRD dengan agenda serupa103. Dalam menjalankan tujuan politiknya, kadang-kadang stigma terhadap pendatang dan non pendatang dimunculkan untukn membendung pengaruh kelompok LSM dan intelektual. Kebayakan dari LSM dan akademisi bukan kelahiran Yogyakarta, mereka umumnya pendatang yang berniat belajar kemudian menetap di Yogyakarta, karenanya preferensi politiknya menjadi longgar. Forum Jogja Asli
100
Wawancara dengan Kasdiyono, 10 Juni 2007; Radar Jogja, 1/5/2003, Kedaulatan Rakyat, 1/5/2003. 101 Lihat misalnya Bernas, 6/5/2003, Radar Jogja, 2/6/2003, 102 Kedaulatan Rakyat, 10/6/2003, Bernas, 10/6/2003 103 Bernas, 24/6/2003, Bernas, 29/6/2003, Radar Jogja, 24/6/2003. Aksi pamong Kabupaten Sleman ini bergabung dalam paguyuban lurah Suryo Ndadri dan Forum BPD.
135
(Forjas) adalah kelompok yang memunculkan stigma bahwa mereka yang tidak setuju penetapan adalah masyarakat pendatang. Berbeda dengan dua kelompok di atas, DPRD sebagai lembaga yang memiliki kewenangan konstitusional nampaknya berada dalam kegamangan. Partai adalah organisasi politik yang menjadi alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat secara konstitusional. Namun dalam konteks Keistimewaan DIY, agaknya partai politik gamang dalam menentukan sikapnya melalui parlemen. Jejak di media menggambarkan kepada publik bahwa telah terjadi tarik menarik di dalam parlemen berkaitan dengan apakah jabatan Gubernur ditetapkan atau dipilih sesuai amanat UU. No.22/1999. Kegamangan ini sesungguhnya sebuah kewajaran mengingat bagaimanapun parlemen adalah kelembagaan politik yang harus tunduk pada konstitusi. UU No. 22/1999 dan PP No. 151/2000 tidak mengatur secara jelas bagaimana mekanisme pengisian jabatan Gubernur di DIY, sementara UU Keistimewaan yang ditunggu-tunggu masyarakat DIY tidak kunjung terealisasi104. Dengan kondisi politik seperti itu maka tidak mengherankan kalau terjadi tarik ulur dalam penetapan Sultan HB X sebagai Gubernur DIY. Masalah pertama yang muncul adalah penyusunan tata tertip (tantip) dalam Pilkada yang akan menjadi dasar bagi parlemen untuk menjalankan pemilihan Gubernur. Pansus beranggotakan 17 orang dari lintas fraksi. Pembentukan pansus sudah menuai protes dari masyarakat karena dengan demikian Dewan telah menunjukkan niatnya untuk melakukan pemilihan bukan penetapan. Perbedaan pertama muncul dalam soal pencalonan. Berdasarkan PP No. 151 calon Gubernur yang kan dipilih harus ada minimal dua pasangan. Sedangkan sebagian besar pansus menghendaki kalaupun hanya ada satu calon maka itu sah105. Nampaknya sebagian pansus melihat kemungkinan hanya pihak Keraton yang akan menjadi calon Gubernur, tanpa memberikan kesempatan kepada calon lain untk berkompetisi. Sampai disini proses di Pansus menjadi deadlock 106. 104
Bernas, 21/3/2003 Kedaulatan Rakyat, 6/4/2003 106 Kedaulatan Rakyat, 9/4/2003 105
136
Golkar sebagai partai kedua di DPRD DIY dimana Sultan adalah salah satu fungsionarisnya segera membuat pernyataan dukungan terhadap Sultan HB X dan Paku Alam IX sebgai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dengan cara ditetapkan107. Sultan tidak tergesa-gesa merespon keputusan Golkar ini. Satu ciri kekuasaan dalam tradisi Jawa, seorang Raja tidak boleh memiliki ambisi kekuasaan, karena kekuasan ambisi
kekuasaan
akan
merupakan amanat. Seorang Raja yang memiliki jatuh
pada
angkara
murka
dan
mencederai
kebangsawanannya. Berbeda dengan Golkar yang mendukung penetapan, PKB dan PAN nampaknya berada dalam ambigu. Disatu sisi kedua partai ini sepakat untuk menjaga keistimewaan dengan
memprioritsskan Sultan dan Paku Alam
sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, tetapi disisi lain proses yang dilakukan harus tetap sesuai dengan UU No. 22/1999 dan PP No. 151/2000. Padahal dalam kedua regulasi itu posisi Yogyakarta tidak berbeda dengan propinsi lain di Indonesia. PDIP sendiri terlambat mengeluarkan sikapnya dibandingkan dengan Golkar soal penetapan walapun kemudian juga berikap sama108. Tarik ulur diantara partai politik ini yang membuat masyarakat Yogyakarta di pedesaan merasa jengah dan kemudian secara bertubi-tubi mendatangi DPRD DIY untuk menuntut penetapan. Rupanya partai-partai diluar Golkar dan PDIP memiliki kehendak sendiri dalam soal pemilihan Gubernur. Nampaknya mereka juga sedang mempersiapkan calon Gubernur diluar Sultan. Kemudian PKA, PAN, Fraksi TNI/Polri , dan Fraksi Persatun membentuk forum lintas fraksi untuk menyamakan pandangan dalam soal tersebut109. Ini yang kemudian menjadi blunder didalam tubuh empat fraksi tersebut karena dianggap tidak tegas dalam menentukan sikapnya. Terlebih setelah anggota PAN mengkritik sikap PA IX yang dianggap tidak memiliki visi pemerintahan110. Dengan demikian sikap di Parlemen terbelah menjadi dua, Golkar dan PDIP yang menginginkan penetapan dan FPKB, FPAN, FTNI/Polri dan F Persatuan yang tergabung dalam Forum Lintas Fraksi yang 107
Kedaulatan Rakyat, 7/4/2003 Kedaulatan Rakyat, 9/4/2003 109 Radar Jogja, 14/5/2003 110 Bernas, 12/6/2003, Radar Jogja, 24/5/2003. Wawancra dengan Imawan Wahyudi, 5 Maret 2006 108
137
menginginkan mekanisme pemilihan sebagaimana diatur dalam UU. Tekanan tentu saja mengalir ke Forum Lintas Fraksi karena sikapnya tersebut. Sampai disini proses berjalan alot dan penuh pertentangan, sampai kemedian PAN meminta fatwa ke MA untuk mengenai penetapan111. Sampai disini proses menjadi alot walaupun kemudian melalui berbagai pendekatan dan persetujuan pemerintah pusat, Sultan HB X dan Paku Alam IX ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY Periode 2003-2008. DPRD pun merasa menjadi korban kebijakan pemerintah pusat akibat ketidakjelasan regulasi mengenai DIY
112
. Kejadian yang hampir sama
terjadi berikutnya pada tahun 2008 sesudah Sultan mengeluarkan pernyataan tanggal 7 April 2007.
6.3.5. Gerakan Solidaritas dan Pluralisme Gerakan solidaritas menjadi salah satu fenomena penting di Yogyakarta dalam hubungannya dengan gerakan MS. Gerakan solidaritas ini tumbuh dalam berbagai peristiwa berkaitan dengan persoalan-persoalan yang berkembang di Yogyakarta diluar konteks program yang umumnya dijalankan oleh LSM. Ciri penting gerakan solidaritas ini adalah sikap kerelawanan yang ditunjukkan dalam mengembangkan gagasan dan melakukan advokasi terhadap kasus tertentu. Umumnya mereka yang berada dlam ranah ini memiliki keyakinan terhadap sikap yang ditunjukkan pada berbagai aktifitas. Sekalipun model gerakan ini tetap dibatasi oleh lingkup tema atau kasus tertentu, tetapi gerakan ini umumnya bersikap indpenden dan memiliki fokus pada topik tertentu secara berkelanjutan. Ciri lain yang menonjol dari gerakan ini adalah solidaritas horisontal yang ditumbuhkan. Salah satu yang menonjol adalah gerakan lintas agama yang tergabung dalam Forum Persaudaran Umat Beriman (FPUB). FPUB didirikan untuk merespon perkembangan politisasi agama dan konflik berlatar belakang agama yang terjadi di Indonesia menjelang Soeharto jatuh. FPUB pada mulanya didirikan oleh bberapa tokoh agama di Yogyakarta 111
Bernas, 19/6/2003. Radar Jogja. 19/6/2003. Pada gilirannya kemudian PAN menyatakan dukungannya kepada Sultan HB X. Bernas, 23/6/2003 112 Bernas, 25/6/2003
138
yang ingin memberikan kontribusi secara significant terhadap proses perdamaian dan mengembangkan dialog lintas iman sebagai perwujudan sikap saling menghormati. FPUB, yang dideklarasikan 24 Maret 1997. Yang unik dari FPIB adalah wadah ini tidak memiliki struktur kelembagaan yang jelas, seluruhnya dijalankan karena rasa saling percaya dan menghormati. Siapapun dapat bekerja dalam wadah ini asal memiliki tujuan yang sama dengan apa yang diperjuangkan oleh FPUB. Dengan sifat keorganisasian yang cair dan rasa saling percaya diantara komunitasnya,
FPBU
tumbuh
menjadi
wahana
yang
dipercaya
untuk
mengembangkan wacana pluralism dengan energy tiada batas karena didukung oleh berbagai kalangan dengan cara swadaya. Pesona FPUB melalui gema nilai kemanusiaan lintas iman menginspirasi para pencinta perdamaian dan persaudaraan iman juga membangun komunitas sejenis. FPUB menginspirasi forum-forum lain di 15 kota di Indonesia. Di Nanggroe Aceh Darussalam namanya Forum Aceh Kemang; di Magelang, Jawa Tengah (Jateng), Persaudaraan Umat Beriman; dan di Klaten (Jateng) Forum Kerukunan Umat Beragama. Seterusnya terbentuk pula wadah serupa di Purworejo dan Temanggung (keduanya di Jateng) serta Pulau Bali. Di Yogyakarta, komunitas lintas iman yang diprakarsai oleh FPUB telah bersemi di 73 desa di Yogyakarta. Dalam berbagai kesempatan, FPUB juga menjelma menjadi kelompok dinamis untuk mencegah kekerasan ketika situasi politik memanas. Sebagai Contoh adalah kampanye ‘Jogja Damai’ pada tanggal 22 Januari 2000 di alun-alun utara saat Gus Dur digoyang oleh Sidang Istimewa MPR. FPUB, KKY, dan beberapa organisasi kemasyarakatan melakukan kampanye supaya berbagai kerusuhan di Jakarta tidak menjalar ke Yogyakarta. Peran FPUB
sangat besar dalam
mengembangkan dialog yang didukung berbagai elemen, termasuk cendekiawan dan bahkan Sri Sultan HB X. . Berkat FPUB, sekarang banyak orang menyadari bahwa persaudaraan sejati tidak sekedar berarti asal tidak ada perseteruan, melainkan sikap menerima dan menghormati kelompok-kelompok agama lain dengan tulus, tanpa mempedulikan latar belakang dan mengejewantah dalam pergaulan hidup sehari-hari.
139
Namun sejumlah kritik juga singgah kepada tokoh-tokoh FPUB dengan mengatakan bahwa FPUB adalah organisasi sinkretis dan para pemuka agama yang terlibat di dalamnya telah meninggalkan agama mereka. KH Muhaimin sebagai pendiri FPUB dicap sebagai sebagai seorang Muslim yang murtad, Pastor Hadiatmaja dan Pendeta Bambang Subagyo dianggap sebagai figure yang tidak setia pada agamanya Ditengah menguatnya fundamentalisme agama, apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh FPUB dapat mengundang polemik, bahkan pertentangan. Forum persaudaraan itu telah menjadi mitra kerja Conference on Religion and Peace (yang beroperasi di tingkat nasional, regional, dan dunia), Comite Catholique Contre La Faim et Pour Le Developpement (komite Katolik Prancis untuk pembangunan dan penanggulangan kelaparan), dan Asia-Europe Meeting (ASEM). Selain FPUB, gerakan diffabel juga merupakan fenomena gerakan solidaritas yang tumbuh di Yogyakara pada transisi demokrasi. Difabel adalah individu
yang memiliki kemampuan berbeda dengan orang pada umumnya.
Mereka lahir atau mengalami sebuah keadaan yang memaksa mereka tidak seperti manusia pada umumnya. Tetapi golongan ini bukan cacat, tetapi memiliki kemampuan yang berbeda dengan orang normal. Sebab banyak diantara kaum difabel memiliki prestasi lebih baik dari orang yang dianggap normal. Istilah ‘diffable’ merupakan akronim dari differently able people113. Dria Manunggal adalah lembaga yang memberikan perhatian secara khusus kepada kaum difabel. Kegiatatabnya banyak mengembangkan kampanye mengenai hak-hak kaum difable seperti membuat sanggar belajar bersama, mngembangkan pelatihan guru tentang penyediaan buku-buku dan materi yang aksesibel bagi siswa tunanetra di 7 SMU di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kegiatan ini bekerjasama dengan SLB Negeri 3 Yogyakarta, SMU Muhammadiyah 3 Yogyakarta dan Departemen Pendidikan Nasional. Kini, kegiatan tersebut diselenggarakan bersama dengan Resource Center IX (RC) SLB Negeri 3
113
Mansour Fakih [2002] Jalan Lain; Manifesto Intelektual Organik, Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press, Yogyakarta
140
Yogyakarta dan Departemen Pendidikan Nasional, Penyusunan rencana strategi dan pengembangan pendidikan inklusi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan pemberian beasiswa bagi 60 anak difabel di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dria Manunggal juga mengembangkan advokasi kebijakan berkaitan dengan fasilitas umum yang memiliki aksesibilitas terhadap difabel, anggaran, sampai hal politik untuk memilih dalam pemilu. Solidaritas terhadap pedagang kaki lima (PKL) dilakukan para mahsiswa yang tergabung dalam FPPI. Mereka menolak penggusuran pedagang yang sebelumnya telah menempati lokasi disepanjang Selokan Mataram114. Dengan alas an lokasi sekitar Selokan Mataram akan ditata, sejumlah pedagang yang menempati lokasi tersebut selama bertahun-tahun akan dipindahkan dalam satu lokasi. Sejumlah aksi protespun dilancarkan untuk menolak relokasi, karena dianggap tempat yang baru tidak menjanjikan115. Berbeda dengan setiap aksi yang hampir selalu menghadirkan LSM atau LBH, aksi PKL yang didukung FPPI ini relative steril dari
advokasi LSM. Rupanya ada kesepakatan etika diantara MS di
Yogyakarta untuk tidak terlibat terlalu jauh dalam advokasi atas kasus tertentu kalau tidak diundang oleh elemen yang melalakukan advokasi. Advokasi semacam ini terus bergulir di Yogyakarta. Hapir bersamaan dengan pemilu 2004, mencuat masalah penataan parkir di DIY. Para juru parkir melakukan protes dengan kebijakan Pemerintah Kota dan melibatkan LSM di dalamnya. Berbeda dengan kasus PKL Selokan Mataram, aksi-aksi para juru parkir sepenuhnya diorganisir oleh LSM yang tergabung dalam Paguyuban Parkir. 6.4. Menjelang Pemilu 2004 MS gamang dalam menyambut pelakasanaan pemilu 2004. Paling tidak ada dua sebab mengapa kalangan MS di Yogyakarta menyambut dingin pelaksanaan pemilu 2004, pertama, selama masa transisi demokrasi tidak ada tanda-tanda yang
114
Selokan Mataram adalah saluran irigasi yang menghubungkan antra sungai Opak dan Sungai Progo yang dibangun semasa pendudukan Jepang. Menurut mitos wilayah Mataram (Ngajogjakarta Hadiningrat) akan makmur kalau kedua sungai tersebut menyatu. Pembuatan selokan mataram atas inisiatif Sri Sultan HB IX untuk menghindarkan warganya dari kewajiban romusha Jepang. 115 Suara Merdeka, 13/1/2004, Suara Merdeka, 19/12/2003)
141
menunjukkan bahwa status quo dapat digusur dari panggung politik. Soeharto tidak kunjung diadili, kasus-kasus pelanggaran HAM tidak terungkap, Golkar sebagai partai utama Orde Baru tidak dapat dimintai pertanggungjawaban bahkan menunjukkan eksistensi yang semakin kuat, politisi sipil kehilangan pamornya, dan sederetan fenomena lain yang intinya menunjukkan bahwa reformasi tidak membawa pengaruh terhadap konfigurasi politik. Kedua, nampaknya MS telah kehabisan energi dan strategi untuk terus melawan dan menunjukkan eksistensinya. Wajah oposisional tetap menjadi dominan ketika MS berhadapan dengan masalah politik yang justru menyebabkan hilangnya simpati atas model kerja yang ditumbuhkan. MS hanya dianggap ”canggih” dalam mengembangkan opini, sebuah metode yang dianggap basi oleh berbagai kalangan mengingat realitas politik yang memungkinkan setiap pribadi untuk bertarung memperebutkan pengaruh. MS dianggap tidak memiliki kaki yang riil, apalagi ditambah dengan stigma bahwa kelompok ini hanya mengandalkan dukungan dari donor luar negeri. Berbeda dengan pemilu 1999 yang lalu ketika donor internasional memberikan perhatian besar terhadap demokratisasi di Indonesia dengan menggelontorkan dana jutaan dolar untuk pemantauan melakukan
pendidikan pemilih, pada pemilu kali ini nampaknya donor mulai
”menjaga jarak”. Tidak ada alasan yang jelas dari donor internasional mengenai hal ini, apakah
karena keyakinan bahwa Indonnesia telah sampai
pada fase
demokratisasi yang lebih baik dan menyakinkan atau karena kecewa dengan transisi demokrasi di Indonesia . Pemilu 2004 memiliki makna penting bagi keberlanjutan demokrasi dan transisi politik. Selama lima tahun pemerintahan produk pemilu paling demokratis (pemilu 1999), dianggap tidak ada perubahan politik yang cukup berarti dalam panggung politik Indonesia dan hanya melahirkan elit baru yang memiliki track record koruptif. Agenda reformasi menggantung dalam tarik manarik politik, bahkan kecenderungan terjadi pembusukan politik yang ditandai dengan korupsi, oligarki kekuasan sampai dengan konflik. Pemerintahan sipil pasca reformasi (BJ Habibie, Gus Dur, Megawati) dianggap gagal memenuhi harapan rakyat dalam menuntaskan agenda reformasi. Dengan keadaan yang demikian, pemilu 2004
142
diharapkan akan melahirkan, pertama, pemilu 2004 diharapkan akan menghasilkan kekuatan politik baru yang dapat mengentaskan kebuntuan politik.Kebuntuan politik yang dimaksud adalah frustasi politik rakyat dimana berbagai persoalan sepanjang lima tahun semenjak 1999 justru mengalami kemunduran. Kedua, pemilu 2004 adalah pertaruhan politik antara kekuatan militer dan kekuatan sipil. Pemilu 2004 akan menjadi pertaruhan apakah demiliterisasi akan terus menguat atau justru sebaliknya. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa salah satu agenda reformasi yang diusung oleh gerakan MS adalah menuntaskan supremasi sipil. Ketiga, bagaimanapun pemilu adalah manifestasi kesadaran politik tentang makna kedaulatan. Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama yang memilih presiden dan wakil presiden secara langsung116. Pemilu 2004 memang sangat berbeda dengan pemilu 1999. Perbedaan tersebut dapat kita lihat dalam perbandingan tabel sebagai berikut ;
Tabel 1 Perbedaan Proses Pemilu Dalam Demokrasi Transisi dan Demokrasi Tertata Demokrasi Transisi Terbuka – bebas (baik terhadap peserta maupun pemilih Jurdil
Disusun semudah mungkin (untuk membuka partisipasi seluas mungkin) Terbentuknya pemerintahan koalisi (pelangi-gotong rotong) Dadang Juliantara, 2003
Demokrasi Tertata Lebih selektif – menjadi jalan untuk perbaikan menyeluruh Memungkinkan pemilih untuk menolak mereka yang dianggap anti perubahan Diarahkan agar pemilih memiliki rasa tanggungjawab,dan rasa memiliki proses pemilu Koalisi terbatas-bahkan kemenangan mutlak
Tabel diatas menunjukkan adanya perubahan atau perbedaan yang mendasar,yakni bahwa pemilu 2004, diharapkan menghasilkan kekuatan yang benar-benar pro pada pembaruan (reformasi)117. Berbagai persoalan mengurung gerak MS dalam menghadapi pemilu 2004. Sebagai salah satu kekuatan politik, MS dipandang bukan merupakan kekuatan 116 117
Himawan Pambudi, Pertaruhan Politik Rakyat Dalam Pemilu 2004, Bernas,15 /4/ 2003 Dadang Juliantara, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, , Bernas,17/4/2003
143
politik kongkret yang mampu membawa perubahan secara nyata, khususnya dengan semakin besarnya peran partai politiki sebagai organisasi politik yang memiliki hak untuk mengurus negara. Dengan model organisasi berbasis staft maka kemampuan MS hanya sebatas pada pembentukan opini belum sampai pada pengorganisasian yang kongkret. Selain itu MS menempatkan dirinya sebagai kekuatan moral yang memandang persoalan politik sebagai ”hitam putih”. Bahwa dalam politik terjadi kompromi, konsolidasi, dan negosiasi, seringkali tidak ditangkap sebgai sebuah proses. Dengan alasan sebagai kekuatan non partisan, MS justru terpenjara oleh wajah oportunisnya, dan menjauhkan diri dari riil politik kekuasaan.Akibatnya partai politik sebagai organ politik legal justru didominasi oleh figur-figur yang bermasalah118. Walaupun ada opini untuk melakukan kontrak politik dengan kalangan partai politik atau politisi, namun wacana tersebut tidak membawa efect terhadap perbaikan kualitas anggota parlemen. Dalam sebuah pertemuan di Kaliurang 15-17 April 2003 untuk merespon pemilu 2004, mereka yang hadir di Kaliurang memiliki kessimpulan bahwa LSM sebagai salah satu kekuatan MS memiliki kerja yang parsial, dan terkesan menjadi alat kepentingan lembaga donor. Ketika LSM bersinggungan dengan masalah riil politik, banyak kalangan LSM yang merasa gamang menghadapi persoalan tersebut dan memilih menjauh dari panggung politik. Perubahan-perubahan politik tidak dapat direspon dengan baik, yang berkembang adalah kemampuan carity dalam menyelesaikan persoalan rakyat yang sesungguhnya hal tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah. Sebagai salah satu pilar MS, peran LSM semestinya sangat penting dalam mendorong perubahan-perubahan yang berpengaruh terhadap kekuatan politik formal. Hubungan LSM dan rakyat semestinya permanen sebagai basis
pengorganisasian
yang
akan
mendorong
rakyat
untuk
tampil
memimpin.Dalam kaitan dengan hal tersebut seringkali LSM gagal dalam menyampaikan gagasan yang ingin dicapai. Namun demikian LSM memiliki sejumlah kelebihan dibandingkan dengan kekuatan politik lain; pertama LSM memiliki ruang yang lebih terbuka untuk bertemu rakyat dalam menjelaskan dan
118
Menuju Demokrasi Terkonsolidasi,Dokumen Rapat Konsolidasi Gerakan ProDemokrasi Menyongsong Pemilu 2004,15-17 April 2003
144
mengembangkan transformasi politik. Harus diakui bahwa LSM telah tumbuh menjadi salah satu pilar demokrasi melalui berbagai aktifitasnya. Sebagai salah satu kekuatan politik,LSM mampu datang dan bekerja bersama rakyat secara baik. Dibandingkan dengan partai politik, LSM memiliki jam terbang yang lebih tinggi kehadirannya ditengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu LSM umumnye memiliki komunitas dampingan yang lebih solid. Sebagai kekuatan partisan,LSM juga dapat bekerja secara intensif dengan media untuk mengembangkan berbagai opini. Dalam kondisi yang demikian, kita akan memilihat bagaimana MS di Yogyakarta bekerja menyongsong pemilu 2004. Komite Persiapan Pergerakan Indonesia (KPPI) adalah organ yang didirikan oleh aktifis LSM di Jakarta untuk menyongsong pelaksanaan pemilu 2004.Para deklarator KPPI antara lain Faisal Basri, Meilono Soewondo, Franky Sahilatua, Ade Indira Damayanti, dan Martin Manurung, Teten Masduki dan lain sebagainya. Dalam deklarasi tersebut Franky Sahilatua meluncurkan salah satu album yang menjadi tema penting pendirian KPPI yang berjudul ”Jangan Pilih Politisi Busuk”. Meluncurlah Gerakan Nasional Tidak Pilih Politisi Busuk (GNTPPB) secara nasional. Ini adalah agenda MS untuk membendung politisi yang dianggap bermasalah selama menjabat sebagai wakil rakyat hasil pemilu 1999. Gerakan ini mirip dengan gerakan CAGE di Korea Selatan119. Di Yogyakarta GNTPPB segera saja disambut oleh kalangan Ornop/LSM yang dimotori oleh Forum LSM DIY. KPPI segera dideklarasikan di Yogyakarta bersama puluhan aktifis dan dosen dengan salah satu tujuannya dalah menghadang politisi busuk tampil kembali dalam pemilu 2004. Salah satu langkah yang ditempuh GNTPPB meneliti track record politisi dan mempublikasikan dalam koran ”SOSOK”. SOSOK
memuat nama-nama politisi yang bermasalah dari
berbagai partai politik di DIY, baik propinsi ataupun Kabupaten. SOSOK terbit tiga kali berturut-turut dengan memuat daftar politisi bermasalah di DIY. Salah satu terbitan ”SOSOK” memuat daftar 18 nama politisi bermasalah dari lintas parpol yang berkaitan dengan korupsi dan pelanggaran HAM antara lain Caleg DPR RI 1. 119
Tempo Interaktif, 10 Januari 2004 , Indra J. Pilliang, Menakar Efektifitas GNTPPB, Refleksi Untuk Masa Depan, Kompas, 5 Maret 2004, , Bergerak Menghadang Politisi Busuk, FLAMMA, Edisi 19/2004
145
H Totok Daryanto SE (Partai Amanat Nasional) 2. Hasan Joeffries SH MM (Partai Bulan Bintang), Calon DPD 1. Sutarno SH (Calon DPD No 8) Calon DPRD Propinsi DIY 1. Drs H Nur Achmad Affandi (PKB) 2. Nazaruddin SH (PAN) 3. Nuryadi (PDIP) 4. Drs Herkitanto Djawadi (PDIP) 5. Nuruddin Haniem SE (PAN) 6. H Umar Sri Yanto (PDIP) 7. Drs H Harowi Muhyati Msi (PAN) 8. Drs H Noor Harish (PKB) 9. Djati Waluyo (PDIP) 10. H Suwandono (P Golkar) 11. H Ahmad Asyaari (Partai Persatuan Pembangunan) 12. Ir Bambang Sunaryo (P Golkar) 13. Ahmad Dainuri Nur BA (PKB) 14. Karsono Soemodiharjo (PDIP) 15. Drs Gandung Pardiman (P Golkar)120. Totok Daryanto dianggap bermasalah dalam penerimaan dana pembangunan JEC bersama-sama anggota DPRD Propinsi lainnya seperti Nur Ahmad Affandi. Gandung Pardiman terlibat kekerasan ketika sekelompok aktifis pro demokrasi menyegel kantor DPD Golkar. Sebagian anggota yang lain dianggap bermasalah
dalam penerimaan dana purna tugas sebagai
anggota DPRD, dan sederetan masalah lain yang berkaitan dengan etika moral121. Kontan saja apa yang dilakukan oleh Forum LSM dan beberapa organisasi MS di Yogyakarta mengundang amarah para politisi yang dianggap busuk. Selain somasi dari DPD PKS Propinsi DIY, satu respon yang cukup keras datang dari Nazaruddin, anggota DPRD Kota Yogyakarta yang dianggap tersangkut kasus DPT. Anggota Komisi A DPRD Kota itu melayangkan somasi ke Direktur Eksekutif Forum LSM DIY, Tri Wahyu. KH yang sekaligus pemimpin Koran “SOSOK”. Dalam somasi yang dilayangkan oleh penasehat hukum Nazaruddin, Tri Wahyu dituntut untuk menyatakan penyesalannya dan memohon maaf kepada Nazaruddin karena dianggap telah melakukan fitnah dengan memasang iklan di tiga penerbitan lokal dan satu penerbitan nasional, paling lambat tiga hari sejak somasi 120
SOSOK Edisi 3,1 April 2004 Lihat Pers Release ““Menggugat Pesangon Anggota DPRD Kota Yogyakarta, 25 Februari 2004,MASAPEDE. Dalam kasus DPT beberapa anggota DPRD menganggap bahwa aktifis LSM tidak cermat karena tidak meneliti kebenaran kasus tersebut sebagaimana yang dialami oleh Suprih Hidayat dan Wajdi Rahman Kader PKS di DPRD Sleman. Keduanya pada 29 Januari 2004 secara tegas menolak DPT dan penolakan tersebut terdokumentasi dalam Risalah Sidang DPRD Sleman tanggal tersebut. Sementara, Wajdi Rahman yang ditulis menyetujuai dana purna tugas (DPT) dalam APBD 2004 DPRD Kota Jogjakarta sebesar 75 juta rupiah. Padahal, Wajdi Rahman juga menolak penganggaran DPT tersebut. Hal ini, bahkan kemudian terbukti, pada proses pengadilan, bahwa Wajdi Rahman merupakan satu-satunya anggota DPRD Kota Yogyakarta yang tidak terjerat hukum kasus DPT tersebut. Opini tidak terdokumentasi M. Ilyas Sunnah, Wasek III/Biro Pusat Informasi DPW PKS DIY.Bernas, 13/5/2004, Kompas, 2/4/2004 121
146
itu dilayangkan122. Kasus ini sempat menjadi berita hangat di Yogyakarta sekalipun kemudian tenggelam dalam hiruk pikuk pemilu. Totok Daryanto, Nur Ahmad Affandi, Gandung Pardiman, Noor Harish, dan Nazaruddin tetap terpilih sebagai anggota parlemen pada pemilu 2004. Sebuah langkah buntu telah dilakukan oleh kalangan MS di Yogyakarta. Selain soal GNTPPB, fenomena lain adalah pengisian anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Propinsi DIY yang berjumlah 5 orang. LSM berusaha mempengaruhi komposisi keanggotaan KPU dengan mendorong anggotanya berasal dari kalangan LSM.Melalui uji publik dan dialog terbatas, LSM terus mempengaruhi anggota KPU Pusat untuk memilih wakil LSM dan Perguruan Tinggi yang dikenal baik oleh LSM123. Dari 10 calon anggota KPU DIY, 6 diantaranya berasal dari latar belakang LSM dan Perguruan Tinggi. Selain pemilihan anggota KPU, masuknya sejumlah kader LSM yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif juga menjadi fenomena dalam pemilu 2004. Salah satunya contohnya adalah Kasdiyono yang mencalonkan diri melalui PAN untuk menjadi anggota DPRD Kabupaten Kulon Progo. Kasdiyono adalah ketua Forum Komunikasi BPD Propinsi DIY,sebuah forum yang dibentuk oleh LSM LAPERA. Dalam pemilu 2004 tersebut Kasdiyono terpilih sebagai anggota DPRD bahkan duduk sebagai ketua DPRD Kabupaten Kulon Progo124. Sultan dan Golkar adalah dua sisi mata uang dalam panggung politik di Yogyakarta. Sultan adalah kader Golkar tulen,yang pernah menjabat sebagai ketua DPD dan kemudian anggota dewan penasehat partai Orde Baru tersebut. Kita mengetahui bersama bahwa Sultan juga merupakan tokoh reformasi yang sangat dihormati di Yogyakarta. Menjelang Pemilihan Presiden 2004, Sultan mengikuti Konvensi Golkar untuk mendapatkan tiket sebagai calon Presiden dari partai tersebut. Walaupun kemudian Sultan mengurungkan niatnya,tetapi tidak pelak lagi keikutsertaan Sultan sebagai tokoh reformasi (dan juga Nurcholish Majid) dalam konvensi tersebut telah menjadi mesin cuci Golkar untuk memulihkan nama 122
Bernas, 26/3/2004 Bernas,10/2/ 2004 , Bernas, 30/3/2004, Bernas, 29/3/2004, Bernas, 24/4/2003, Bernas, 3/5/2003, Bernas, 26/4/2003 124 Wawancara Kasdiyono, 6 April 2006 123
147
baiknya125. Kalangan MS di Yogyakarta perlu merasa hati-hati untuk menyerang Sultan dan Golkar dalam pemilu 2004,karena bukan hanya berhadapan dengan internal Golkar, tapi bisa langsung berhadapan dengan Raja Jawa tersebut. Keadaan tidak selamanya sesuai harapan. Akhirnya SBY, seorang Jendral intelek memenangkan kompetisi politik dalam Pilpres 2004. Sebuah keadaan yang paradoksal dengan keadaan 6 tahun lalu. Di Yogyakarta sendiri, agenda yang digulirkan MS ternyata mengalami kebuntuan. Dalang pembunuh Udin tidak terungkap sampai sekarang,
dalam soal demokratisasi lokal UU No. 32/2004
dianggap sebagai resentralisasi kembali kekuasaan pusat, kasus JEC hanya menyeret 1 orang saja dan sederatan masalah lain yang tidak tertuntaskan dengan baik. Demokrasi telah dibajak, demikian salah satu judul artikel Demos yang melakukan evaluasi terhadap transisi demokrasi di Indonesia126.
6.5. Ikhtisar Gerakan sosial pada periode pasca Presiden Soeharto mengalami perubahan dari metode dan tujuannya. Kalau sebelumnya gerakan memfokuskan pada satu platform yakni anti rezim, sesudahnya ada dua platform
utama yang
dikembangkan oleh gerakan, yakni dekontruksi kekuasaan, dan institusionalisasi demokrasi, sekalipun keduanya berada dalam satu payung, mereduksi kekuasaan Orde Baru. Metode yang berkembang juga mengalami pergeseran, kalau sebelumnya fokus pada aksi kolektif yang mengandalkan partisipasi luas dari peserta protes, sesudahnya selain tetap mengandalkan aksi-aksi protes juga diikuti dengan keterlibatan kritis (critical engagement). Berbagai organisasi gerakan social, terutama NGO berupaya mengkombinasikan stretegi advokasi dengan kerjasama. Strategi tersebut merupakan konsekuensi dari situasi politik yang berubah pasca Orde Baru.
125
Tempo, 23/10/2003, Kompas, 18/1/2004, Bernas, 22/10/2003 Lihat Demos, Transisi Demokrasi Telah Dibajak, Tempo, 10 /10/ 2004, AE Priyono, (dkk) [2003] Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca Soeharto, Demos – ISAI, Jakarta 126
148
BAB VII PLATFORM DAN STRATEGI GERAKAN MASYARAKAT SIPIL
7.1. Pendahuluan Bandul politik nampaknya tidak berubah setelah lima tahun pelaksanaan Pemilu 2004. Tahun 2009 ketika laporan penelitian ini disusun, SBY kembali memenangkan pertarungan dengan hasil telak setelah mengalahkan kompetitor dari kalangan sipil, yaitu Jusuf Kalla dan Megawati. Slogan “LANJUTKAN” yang dipilih sebagai tag line kampanye terbukti ampuh menyihir pemilih untuk tidak mengalihkan suaranya kepada figur lain. Barangkali dalam sebagian besar benak masyarakat Indonesia, berpikir bahwa gonta-ganti Presiden beresiko terhadap kestabilan pembangunan dan politik. Di Yogyakarta sejauh pengamatan peneliti, banyak “kantor” ornop yang tutup karena kehabisan donor. Sementara itu aktifisnya banyak yang menjadi tim sukses Pilkada, menjadi pengurus partai politik, pengajar di kampus, bekerja di berbagai perusahaan. Gerakan MS nampaknya sedang menghadapi tantangan yang berat pasca Orde Baru, khususnya berkaitan dengan perubahan konstelasi politik yang menuntut penyesuaian model gerakan. Tidak seluruhnya gerakan berakhir dengan tragis. Ada banyak cerita sukses yang sudah diukir oleh gerakan MS. Sebagai contoh adalah yang dilakukan oleh Rifka Anissa, sebuah LSM perempuan di Yogyakarta yang berhasil meng-gol-kan UU tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yakni UU No. 23/2004. Sebuah isu yang dulunya tidak popular, akhirnya menjadi kebijakan yang hampir semua pihak mengamininya, termasuk golongan yang paling konservatif terhadap perempuan. Dalam konteks gerakan MS di Yogyakarta, kita akan melihat dalam dua panggung (periode) yang berbeda, yakni ketika pemerintah Orde Baru masih berkuasa dan sesudahnya. Kedua periode tersebut memiliki karakteritik yang khas baik dari aktor, strategi yang dipilih dan tujuan. Gerakan MS selalu terkait dengan konteks politik yang melingkupinya, baik lokal maupun nasional. Kita dapat menarik tanggal 20-21 Mei 1998 149
sebagai batas imajiner politik, bahwa perubahan kontras terjadi sebelum dan sesudah tanggal tersebut. Sekalipun dalam banyak hal masih menyimpan sejumlah perdebatan, tetapi dengan batasan tersebut kita dapat manarik nya kedalam fakta-fakta yang berlangsung, yakni situasi dimana gerakan mencapai titik kulminasinya pada tanggal 20 Mei 1998 dan kemudian berpendar dalam beragam tujuan dan pendekatan. 7.2. Dinamika Gerakan Era Orde Baru Kita melihat panggung yang membentang sejak tahun 1980-an sampai dengan tahun 1998 dimana eskalasi gerakan mengalami pasang surut, berubah strateginya mulai dari kelompok studi, pers mahasiswa, komite aksi, sampai dengan protes movement. Sebagaimana disimpulkan oleh Diani dan Porta (2006) bahwa gerakan sosial merupakan ’sebentuk aksi kolektif’ dengan orientasi konfliktual yang jelas terhadap lawan sosial dan politik tertentu yang diikat oleh rasa solidaritas dan identitas kolektif. Gerakan kelas menengah yang berkembang pada paruh kedua pemerintahan Orde Baru merupakan gerakan sosial yang khas. Mereka diikat oleh rasa solidaritas dan identitas sebagai kelompok menengah dengan lawan politik rezim yang berkuasa, yakni Orde Baru. Kelompok ini mempersonifikasikan sebagai ”korban” ataupun solidaritas ”korban” kekuasaan. Kelas menengah merupakan golongan yang paling cepat memiliki kesadaran politik dan sekaligus menjadi ”korban” paling potensial dari situasi rezim yang represif. Merekalah yang akan menghadapi kemampatan politik karena sirkulasi kekuasaan tidak berjalan. Kita menyaksikan bahwa gerakan protes anti rezim merupakan perlawanan yang terus menerus atas nama kelompok yang dirugikan terhadap pemegang kekuasaan, yakni Orde Baru, melalui beragam protes publik, termasuk tindakan-tindakan diluar jalur partisipasi politik formal yang diatur oleh hukum dan perundangan (Tilly and Lesley J Wood, 1999). Kadang-kadang gerakan secara sadar memilih untuk berada diluar hukum untuk menunjukkan sikap oposisinya terhadap kebijakan pemerintah. Pembentukan Dewan Mahasiswa merupakan gerakan protes terhadap kebijakan NKK/BKK, Golput merupakan sikap protes terhadap sistem politik yang monolitik, pendeklarasian Partai Rakyat Demokratik merupakan pembangkangan terhadap tiga paket UU Politik, dan lain sebagainya.
150
Gerakan sosial tidak selalu diwujudkan dalam sikap oposisi terhadap rezim, tetapi juga upaya terencana yang ditujukan pada suatu perubahan atau melestarikan pola atau lembaga yang sudah berjalan. LSM adalah salah satu contoh bagi gerakan sosial dalam pengertian ini. LSM tumbuh bukan sebagai kekuatan oposisi negara, tetapi mengisi ruang yang tidak diperhatikan oleh negara, yakni kaum miskin. LSM mengembangkan strategi pemberdayaan untuk membantu kepada kelompok yang dimarginalkan oleh pemerintah resmi. Kelompok ini mengambil strategi low profile atau ‘isolasi politik’ yang secara khusus sesuai dengan konteks politik yang represif dan efektif untuk menghindari kooptasi dari pemegang kekuasaan yang otoritarian. Dalam hal ini, actor gerakan social secara sadar memutuskan untuk mengisolasi diri atau menghidari hubungan dengan agen-agen negara. Ruang untuk mengisolasi diri biasanya ditemukan ditingkat local dimana actor berbasis komunitas aktif dalam rangka mengembangkan atau mengkoordinasikan kelompok social berdasarkan sumber daya local. Yasanti adalah contoh untuk model gerakan ini. Yasanti memberdayakan buruh perempuan di derah Ungaran Jawa Tengah. Perhatianya terhadap buruh perempuan menjadikan Yasanti LSM pertama di Yogyakarta yang memasukkan gender mainstream kedalam gerakannya. Fokus perhatian Yasanti adalah pada persoalan buruh perempuan yang menjadi mayoritas pekerja di industri garmen dan texstil.1 Yasanti melakukan pemberdayaan ekonomi kepada buruh perempuan melalui kursus menjahit, simpan pinjam dan usaha kecil. Selain incame generating, Yasanti juga melakukan penyadaran mengenai hak-hak perempuan (pengarusutamaan gender) dan hak-hak buruh melalui teater, pertemuan, bahkan pemogokan. Ini adalah kombinasi dari strategi pelapisan (layering). Strategi ini sangat sesuai untuk organisasi gerakan social yang beroperasi di negara-negara yang membatasi aktifitas otonom
di luar pemerintah.
Pelapisan adalah mengembangkan penyediaan pelayanan yang berorientasi kesejahteraan yang sebenarnya berisikan metode dan aktifitas yang berorientasi pemberdayaan dan transformasi social. Dengan melakukan strategi ini, organisasi gerakan social bisa menghindarkan diri dari aksi dan intervensi langsung dari pihak-pihak lawan. Pihak lawan atau pihak luar melihatnya sebagai upaya peningkatan kesejahteraan, sedangkan pihak yang berada di dalam melihatnya sebagai metode pemberdayaan yang kompleks. 1
Lihat Masri Singarimbun & Sjafri Sairin (1995) Lika-Liku Kehidupan Buruh Perempuan, Pustaka PelajarYasanti , Yogyakarta
151
Diluar pemberdayaan, fase berikutnya adalah gerakan protes sipil yang dipelopori oleh kelas menengah terdidik. Protes adalah bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan sosial . Sebagai upaya untuk mengejar kepentingan kolektif (Gidden, 1993; Tarrow, 1998) protes adalah cara menunjukkan ketidaksukaan terhadap kelompok masyarakat yang lebih berpengaruh . Tindakan yang mendasari politik perlawanan adalah aksi kolektif yang melawan. Tindakan kolektif bisa mengambil banyak bentuk, singkat atau berkelanjutan, terlembagakan atau cepat bubar, membosankan atau dramatis. Kita melihat dalam panggung-panggung protes di Yogyakarta
bentuk-bentuk ini berkembang secara
bergantian. Komite aksi mahasiswa misalnya mengambil bentuk sekali pakai setelah itu bubar. Sekalipun aktor-aktor yang terlibat tetap sama, aksi tidak mempertahankan kepemimpinan legal, tetapi pada tujuan dan kesadaran kolektif. Komite aksi dibentuk untuk menyikapi isu tertentu dan setelah protes berlangsung, segera membubarkan diri sesuai dengan kebutuhan. Contoh untuk model ini adalah komite yang dibentuk untuk menyikapi korban pembangunan Kedung Ombo yakni KSPKO (Komite Solidaritas Pembangunan Kedung Ombo). Model pembentukan ini berkembang terus dan menjadi trend dalam setiap aksi sampai menjelang kejatuhan Presiden Soeharto. Bentuk ini yang membedakan dengan gerakan protes pada tahun 1970-an di Jakarta dan Bandung. Komite aksi dipilih untuk dua alasan utama, pertama menghindari ketokohan dengan demikian sulit dihancurkan oleh lawan-lawan politik, terutama kekuasaan. Ini berbeda dengan protes yang berlangsung pada sebelumnya dengan tokoh-tokoh seperti Hariman Siregar, Heri Ahmadi, dan lain sebagainya. Dengan tertangkapnya tokoh gerakan maka gerakan protes kemudian berhenti. Kedua, Komite aksi dibentuk untuk menghindari tekanan yang lebih keras dari pemerintah. Gerakan protes kadang-kadang berlangsung secara dramatik dan selalu mencari bentuk-bentuk baru yang selalu berkembang. Penciptaan lagu-lagu perjuangan seperti ”Di Bawah Topi Jerami”, ”Darah Juang”, ataupun puisi-puisi perlawanan sebagaimana Wiji Tukul dan pertunjukan teater dalam aksi merupakan caracara gerakan untuk menjadikan aksi sebagai proses kolektif yang selalu segar. Bentrokan dengan aparat keamanan adalah salah satu cara untuk melatih ketrampilan dan keberanian peserta aksi, sekaligus menarik perhatian publik sekaligus mengundang simpati. Aksi jalanan adalah salah satu cara untuk menunjukkan sikap penolakan terhadap kekuasaan dominan. Aksi kolektif memiliki nuansa menetang ketika aksi dilakukan oleh 152
orang-orang yang tidak memiliki akses ke institusi-institusi untuk mengajukan klaim. Aksi kolektif yang melawan adalah basis gerakan sosial , karena aksi merupakan satu-satunya sumber daya yang dimiliki oleh orang-orang yang berada diluar struktur(Tarrow, 1998). Selain kepada lembaga kekuasaan, dengan aksi, gerakan sosial juga ingin menunjukkan kepada publik tentang tujuannya sehingga publik bisa menyatakan sikapnya untuk menyetujui atau menolak terhadap tujuan gerakan. Dengan demikian gerakan sosial akan membesar, stagnan atau berkurang tergantung pada dukungan publik untuk berpartisipasi atau menolak terhadap tujuan gerakan. Kita dapat menjadikan kasus SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) sebagai contoh untuk melihat perkembangan gerakan sosial menolak kebijakan sampai mencapai keberhasilan. SDSB adalah upaya pemerintah untuk menggalang dana dari masyarakat untuk mendanai berbagai kegiatan yang tidak bisa ditanggung oleh negara, khususnya kegiatan oleh raga. Masyarakat membeli sejumlah angka melalui kupon yang disediakan, kalau kupon tersebut angkanya tepat akan mendapatkan hadiah secara berlibat dari nilai kupon yang dibeli. Penolakan sudah dilakukan jauh-jauh hari, khususnya oleh para Ulama karena menganggap bahwa SDSB tidak ada bedanya dengan judi. Sekalipun penolakan sudah berkembang oleh berbagai kelompok masyarakat, tetapi tetap saja penolakan tersebut belum menjadi kekuatan yang solid untuk menentang. Penolakan tersebut, dalam sistem politik yang ketika itu masih otoriter, tidak lebih hanya sekedar desas-desus atau sekedar wacana. Sikap penolakan membutuhkan langkah kongkret untuk menunjukkan kepada publik dan pemerintah tentang sesuatu yang dianggap merugikan. Gerakan tidak menyinggung aspek politiknya, tetapi lebih ke aspk moral. Menyinggung institusi negara, terlebih pribadi yang memegang otoritas bisa berakibat fatal dalam iklim politik otoriter. Dengan hanya mempersoalkan kebijakanya, maka gerakan mengambil posisi sebagai gerakan moral sebagai inti dari gerakan sosial. Sehingga tuduhan bahwa gerakan anti SDSB adalah gerakan politik
yang ditunggangi, atau merongrong
kewibawaan
pemerintah dapat dihindarkan. Ini prinsip dari gerakan sosial yang bertujuan bukan untuk merebut kekuasaan. Protes terhadap SDSB salah satunya dilakukan dengan turun ke jalan untuk mengembangkan dukungan. Berbeda dengan aksi protes sebelumnya yang mudah dipukul oleh pemerintah berkuasa dengan tuduhan ”merongrong pemerintah resmi”, pada aksi protes menentang SDSB pemerintah tidak berani mengambil tindakan represif untuk 153
menghentikannya.. Melakukan tindakan keras terhadap aksi demonstrasi menentang SDSB berarti menyetujui perjudian, dan ini akan memperbesar solidaritas protes yang dapat mengancam eksistensi kekuasaan. Gerakan menggunakan SDSB sebagai batu loncatan ke dalam kancah politik yang lebih luas yakni gerakan protes anti Orde Baru. Dalam kasus SDSB tersebut ada tiga keuntungan yang diperoleh oleh gerakan, pertama menunjukkan bahwa setiap gerakan tidak selalu berkaitan dengan politik atau mempersoalkan kebijakan ekonomi politik, tetapi juga moral. Oleh karenanya gerakan sosial dalam konteks
gerakan kaum terpelajar
seringkali disebut dengan gerakan moral karena tujuannya yang tidak melulu berkaitan dengan kekuasaan. Gerakan sosial dapat diidentikkan sebagai gerakan moral (moral movement), bukan hanya karena prinsipnya yang non partisan, tetapi juga karena komitmentnya sebagai penjaga solidaritas. Kedua, protes terhadap SDSB adalah latihan untuk mengembangkan protes yang lebih besar dan lebih luas lagi. Disinilah proses aksi digembleng untuk menemukan pola-pola lanjutan yang lebih sistematis. Misalnya ketika mahasiswa melakukan longmarch dari kampus UGM ke Gedung DPRD di pusat kota Yogyakarta yang tanpa insiden. Hal ini menambah kepercayaan dikalangan partisipan gerakan bahwa protes yang anarkis bukan berasal dari kelompok protes, melainkan tindakan aparat yang terlalu berlebihan. Longmarch ke pusat kota juga bagian dari cara gerakan menyampaikan tuntutan ke publik, bukan hanya di dalam kampus, longmarch juga mendorong keterlibatan lebih luas dari kelompok atau individu diluar gerakan untuk berpartisipasi dalam gerakan baik secara pasif atau aktif (Klandermans, 2005). Ketiga, ini adalah langkah awal untuk membangun stigma terhadap kekuasaan. Bukan hanya dalam persoalan kebijakan politik saja kekuasaan berlangsung buruk, seperti pelaksaan pemilu, pelanggaran HAM dan korupsi, tetapi juga dalam hal etik moral karena mendukung perjudian. Gelombang selanjutnya adalah gerakan protes yang berlangsung didalam dan diluar kampus. Pada fase ujicoba sebelum melangkah pada persoalan politik yang lebih besar, yakni soal kekuasaan, para partisipan gerakan terlebih dahulu mempersoalkan kebijakan di dalam kampus. Pemilihan pejabat universitas atau pemilihan senat mahasiswa menjadi sasaran protes. Pendirian Dewan Mahasiswa, Tegaklima (Komite Penegak Hak Politik Mahasiswa), protes terhadap pemilihan dekan adalah contoh bagaimana gerakan sosial 154
memulai pemanasan untuk membangun kesempatan yang lebih luas. Sesekali kelompok protes melangkah keluar kampus untuk mengembangkan dukungan yang lebih besar lagi dari individu-individu yang bukan dari kalangan kampus. Dalam mengembangkan protes terhadap kebijakan politik, gerakan membangun aliansi taktis, khususnya dengan ornop (Donatella Della Porta and Mario Diani, 2006). Gerakan Golput dan pendirian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) yang dimotori oleh aktifis gerakan protes dengan latar belakang yang berbeda-beda, mulai dari intelektual, akademisi, LSM, dan mahasiswa. Media menjadi alat yang efektif untuk menyampaikan tujuan gerakan ke publik. Media berperan untuk memfarming platform sehingga dukungan terhadap gerakan menjadi semakin luas (Gamson, 1996). Mula-mula gerakan mengandalkan terbitan dalam kampus, dalam hal ini pers mahasiswa. Tetapi setelah pers kampus menghadapi tekanan yang semakin berat setelah kasus Majalah Arena (IAIN), sebagian gerakan mulai mengembangkan pers alternatif untuk mengkomunikasikan tujuan gerakan ke publik. X Pos, Indonesia L, Kabar dari Pijar, Suara Independen, Siar, Pembebasan, adalah contohcontoh media yang diterbitkan oleh organisasi gerakan. Dalam periode protes era Orde Baru, media mainstream berada dalam kontrol pemerintah melalui SIUPP, sehingga diperlukan media alternatif. Di dalam seluruh arena gerakan sosial, mengindentifikasi ”mereka” (penguasa, kelompok elit) yang dianggap bertanggungjawab atas sebuah situasi negatif menjadi proses yang harus dirumuskan. Penguasa dalam hal ini tetap menjadi sesuatu yang abstrak bagi gerakan sosial. Semakin kongkret rumusan tujuan gerakan dan semakin dimengerti oleh para pendukungnya, maka efektifitas gerakan akan semakin tinggi(McAdam & Pulsen, 1993). Perilaku individu atau kelompok merupakan fungsi nilai dari tujuan yang diharapkan. Semakin spesifik, semakin tinggi penilaian terhadap hasil tersebut, maka semakin memobilisasi terlibat dalam gerakan. Menunjuk puncak piramida kekuasaan --dalam hal ini Presiden—kemudian menjadi platform berikutnya bagi gerakan sosial era Orde Baru, dan krisis ekonomi menjadi momentum untuk mematangkannya. Terjadi peningkatan eskalasi protes menjelang 1998 yang kemudian diikuti dengan pengunduran Presiden Soeharto. Ada tiga hal yang berlangsung secara berturut turut pada bulan-bulan tersebut; yakni kerusuhan 27 Juli 2006 di Jakarta, peristiwa pemilu dan seluruh rangkaiannya seperti kuningisasi, mega bintang, pemecatan Amien Rais dan krisis 155
ekonomi. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 rupanya menjadi lonceng kematian rezim karena telah menimbulkan gejolak sosial yang ditandai oleh kerusuhan rasial di dua kota, Jakarta dan Solo (Smelser, 1962). Peristiwa 27 Juli 2006 belum sepenuhnya menimbulkan gangguan politik yang berarti bagi rezim. Sekalipun gerakan protes telah berlangsung secara sporadis, namun rezim masih mampu mengendalikan sampai batas-batas tertentu. Inilah yang kemudian dengan percaya diri rezim masih merekayasa pemilu untuk kemenangan partai pemerintah. Dalam pelaksanaan pemilu kita mendapati protes yang telah mengarah kedalam gejolak sosial. Sebagai contoh adalah fenomena kampanye dengan knalpot terbuka sehingga menimbulkan suara bising yang dilakukan oleh pendukung PDI dan PPP. Fenomena ini bukan semata-mata metode kampanye yang dilakukan oleh peserta kampanye (khususnya pengikut Megawati) , tetapi protes terhadap pelaksanaan Pemilu. Dalam persepsi yang dibangun dan disosialisasikan kepada masyarakat mengenai pelaksanaan Pemilu, Pemilu merupakan pesta demokrasi yang diharapkan berlangsung aman, tertib dan damai. Raungan sepeda motor dalam kampanye adalah cara rakyat untuk menunjukkan bahwa Pemilu yang damai itu hanya ilusi politik pemerintah. Ini bukan semata-mata protes, tetapi juga gejolak sosial dimana masyarakat telah jenuh dan kemudian melakukan tindakan protes secara anarkis. Krisis ekonomi menjadi pelatuk terhadap gejala meningkatnya protes yang dibarengi dengan gejolak sosial. Smelser (1962) mendefinisikan sebagai faktor pencetus yang dramatik. Krisis ekonomi telah menimbulkan keresahan sosial, harga kebutuhan pokok melambung dan sebagian diantaranya menghilang, banyak orang kehilangan pekerjaan, dengan sendirinya situasi ini menjadikan orang merasa terpukul sehingga menimbulkan ketegangan struktural. Ini adalah pemicu dari munculnya gejolak sosial sebelum menjadi kekacauan (crow). Solo dan Jakarta menjadi contoh bagaimana gerakan protes telah berubah menjadi kekacauan2. Di Yogyakarta sendiri gejolak sosial mampu diredam oleh kewibawaan Sultan HB X sebagai pemimpin tradisional. Namun tidak seluruhnya mampu dibendung, sebagaimana yang terjadi dalam Peritiwa Gejayan. Dalam keseluruhan peristiwa protes tersebut, Presiden Soeharto dipandang sebagai keseluruhan
2
Di Solo dan Jakarta kerusuhan sebelumnya diawali dengan demonstrasi mahasiswa di Universitas Trisakti (Jakarta) dan Universitas Muhammadiyah Solo (UMS).
156
problem, sehingga mendorong mobilisasi massa yang besar untuk menuntutnya segera berhenti sebagai Presiden. Inilah mengapa dalam peristiwa Pisowanan Agung tanggal 20 Mei 1998 mampu melibatkan puluhan ribu orang dalam barisan protes yang berlangsung secara damai. 7.3. Dinamika Gerakan Pasca Orde Baru Gerakan MS sebelum Presiden Soeharto mengundurkan diri tanggal 21 Mei 1998 merupakan gerakan sosial yang masif. Sekalipun sesudahnya juga tetap merupakan fenomena protes sipil, namun terdapat berbedaan dari sebelumnya yakni kelembagaan dan tujuan gerakan. Kalau gerakan sosial era orde baru mengerucut dalam tujuan yang tunggal, yakni anti rezim, sesudah Orde Baru terpolarisasi dalam berbagai platform dan didalamnya masih terbagi dalam berbagai tujuan. Dalam temuan terhadap fenemena gerakan MS pasca Orde Baru di Yogyakarta, terdapat dua platform utama dalam gerakan yakni gerakan anti status quo dan gerakan yang bertujuan untuk melakukan institusionalisasi demokrasi. Gerakan sosial memiliki keistimewaan dibanding perilaku kolektif yang lain, utamanya pada pengorganisasian kelompok yang mengarah pada tujuan tertentu. Dalam konteks era Orde Baru gerakan sosial bertujuan untuk menumbangkan rezim yang berkuasa. Gerakan sosial mencakup beberapa konsep, yakni; orientasi tujuan pada perubahan (change-oriented goals), ada tingkatan tertentu dalam suatu organisasi (some degree of organization), tingkatan kontiunitas aktivitas yang sifatnya temporal, (some degree of temporal continuity); serta aksi kolektif di luar lembaga (aksi ke jalan) dan di dalam lembaga/lobi politik (Locher, 2002). Keempat ciri tersebut tetap merupakan ciri dari gerakan sosial di Yogyakarta pasca Orde Baru. Hanya saja metode yang berkembang berkaitan dengan definisi yang diberikan oleh Locher, menjadi pembeda antara sebelum dan sesudah Orde Baru. Sebelum Orde Baru gerakan menumpukan pada aksi-aksi di luar lembaga melalui protes-protes yang masif dijalanan, sedangkan pada pasca Orde Baru gerakan mengkombinasikan keduanya, diluar lembaga dan didalam lembaga. Di Renzo ( 1990) mengidentifikasikan empat tingkatan dari gerakan sosial. Keempat tingkatan tersebut akan kita lihat perkembangannya dari era Orde Baru sampai pasca Orde Baru. Empat perkembangan tersebut adalah adalah : (1) tahap persiapan yakni gerakan berkembang karena tekanan struktur atau sosial yang tidak memuaskan, misalnya 157
berbagai pelanggaran hak asasi manusia, situasi kampus yang apolitis, situasi politik yang mampat dan lain sebagainya. Ini adalah pertumbuhan gerakan pada era pertama di Yogyakarta sekitar tahun 1980-an. (2) Tahap perekruitan (Popular Stage) adalah tingkatan dimana gerakan telah berkembang menjadi komite-komite aksi melalui proses agitasi dan meningkatnya jumlah pengikut gerakan.
(3) Tahap organisasional adalah fase
pematangan tujuan dan mobilisasi aksi.. Kepemimpinan sudah mulai berkembang, semisal munculnya Megawati dan Amien Rais sebagai simbol oposisi, menculnya fenomena mega bintang. (4)Tahap pelembagaan ( institutional stage). Kebanyakan gerakan sosial tidak sampai pada fase ini. Gerakan anti rezim juga gagal dalam mencapai tahap ini yang ditunjukkan polarisasi tujuan yang berkembang diantara aktor gerakan. Pasca Orde baru situasi keempat menjadi fenomena yang berkembang di Yogyakarta. Paling tidak ada dua situasi utama yang berlangsung pasca Orde Baru, yakni polarisasi tujuan gerakan dan profesionalisasi kelembagaan. Polarisasi terjadi tidak sampai mengarah kepada faksionalisasi, yang dapat menjurus ke konflik antar gerakan. Polarisasi lebih berprinsip pada perbedaan tujuan masing-masing gerakan sehingga pada tingkat teknis sulit mengembangkan
koordinasi.
Sedangkan
profesionalisasi
ditekankan
pada
aspek
kelembagaan, dimana gerakan sosial telah bergeser dari gerakan moral yang berdimensi kesukarelawanan, menjadi berdimensi kerja profesional. 1. Polarisasi Tujuan Gerakan Fokus gerakan pada era Orde Baru adalah anti rezim, dalam hal ini adalah Presiden Soeharto sebagai common enemy. Begitu Presiden Soeharto mengundurkan diri, seluruhnya kemudian menjadi gamang, tidak tahu yang harus dilakukan. Barangkali elemen MS tidak akan pernah menduga kalau Presiden Soeharto akan mundur secepat itu mengingat reputasinya dalam membendung protes-protes yang ditujukan kepadanya. MS tidak menyiapkan daftar isian pekerjaan politik
yang harus dilakukan dalam transisi
demokrasi pasca Presiden Soeharto mengundurkan diri. Dalam konteks Yogyakarta sebagaimana kita saksikan dalam panggung politik local, gerakan terpolarisasi dalam tiga arena politik, yakni mereka yang berkeyakinan bahwa transisi rezim harus di tuntaskan, mereka yang tetap memandang bahwa transisi demokrasi harus mulai dilembagakan, dan
158
mereka yang mengambil kesempatan untuk masuk dalam situasi politik baru. Ketiganya memiliki tujuan dan metode yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kelompok pertama adalah gerakan sosial yang menyakini bahwa transisi demokrasi harus dituntaskan melihat bahwa pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto, pertanggungjawaban partai berkuasa (Golkar), demiliterisasi politik, pengadilan terhadap para pelanggar HAM dan lain sebagainya adalah jaminan agar reformasi berjalan dengan baik. Kelompok ini dimotori oleh lingkungan kampus,
khususnya aktifis gerakan
mahasiswa. PRD dan organisasi sayapnya, PPPY (FPPI), KAMMI, dan lain sebagainya berada dalam barisan ini. Kelompok ini tetap menyelenggarakan aksi-aksi jalanan dengan focus memobilisasi massa secara besar-besaran. Namun situasi protes sesudah Orde Baru berbeda dengan sebelumnya, kalau sebelumnya mampu memobilisasi peserta aksi sampai ribuan bahkan puluhan ribu, seudahnya jauh dibawahnya. Dukungan masyarakat nampaknya sudah mulai mengendur dalam aksi-aksi protes pasca Soeharto. Sekalipun mobilisasi mulai tidak populer sebagai strategi politik dan mulai menuai kecaman karena dianggap mengganggu ketertiban, cara ini tetap menjadi pilihan pimpinan gerakan untuk menuntut penuntasan agenda reformasi. Tentu saja cara ini menuai pro dan kontra, mereka yang pro tetap akan berada dalam barisan protes baik langsung maupun tidak langsung. Sedangkan yang kontra akan menjauh dan tidak bersimpati terhadap protes (Klandermans, 2005). Dalam konteks lokal kita akan melihat bagaimana perjuangan penuntasan masalah yang berhubungan dengan Orde Baru berlangsung. FAMPERA (Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat) misalnya menuntut bupati Bantul Sri Roso Sudarmo mundur dan diadili berkaitan dengan berbagai kasus seperti suap, korupsi, sampai dengan dugaan pembunuhan wartawan. Kelompok kedua adalah gerakan bertujuan untuk melembagakan transisi demokrasi. Kelompok kedua ini umumnya berasal dari kalangan akademisi dan LSM yang memiliki kemampuan mobilisasi opini,skill, akses terhadap pendanaan, dan jaringan yang luas. Umumnya kelompok ini mengembangkan dua stretegi , yakni advokasi dan keterlibatan kritis kebijakan. Strategi advokasi seringkali digunakan untuk mendesakkan perubahan-perubahan kebijakan, seperti mereformasi tata pemerintahan yang demokratis, melindungi sumber daya alam atau lingkungan, memajukan pembangunan yang berkelanjutan, menciptakan dan memelihara perdamaian, dan lain sebagainya. Strategi 159
advokasi akan efektif untuk memaksakan perubahan kebijakan pemerintah
ketika
dikombinasikan dengan kampanye media dan aliansi dengan donor asing, stretegi ini membuat NGO bisa menjadi kekuatan pengubah kebijakan yang kuat, khususnya pada isuisu dimana kelompok ini memiliki banyak pengalaman. Keterlibatan kritis (critical engagement) berupaya mengkombinasikan stretegi advokasi dengan kerjasama ketika menghadapi pemerintah atau agen-agen negara lainnya (parlemen, badan-badan yudikatif, dan militer). Meskipun kerjasama antara NGO dengan pemerintah lebih lazim dalam aktifitas penyediaan pelayanan umum, namun dalam rangka mempengaruhi dan mengubah kebijakan public, NGO bisa mengkombinasikan strategi kerjasama dan advokasi (Soeharko, 2006). Kelompok ini terbagi dalam berbagai tujuan , seperti desentralisasi, kesetaraan gender, anggaran, dan lain sebagainya. Kelompok ketiga adalah kelompok yang mengambil kesempatan dalam transisi demokrasi untuk masuk dan terlibat dalam pengambilan kebijakan publik. Pintu yang tersedia bagi kelompok ini adalah partai politik .
system Pemilu multipartai telah
membawa perubahan terhadap rekruitmen politik dengan membuka seluas-luasnya partisipasi public melalui partai politik. Pada perkembangannya rekruitmen politik tidak melahirkan actor politik yang konsisten terhadap tujuan perubahan politik itu sendiri, tetapi justru melahirkan oligarkhi politik dan praktek korupsi yang melembaga. Dalam konteks Yogyakarta kita menemui dalam kasus pembangunan JEC dan pemilihan Wakil Gubernur DIY . Herman Abdurrahman (HA), tersangka korupsi JEC, adalah aktifis mahasiswa 1978. HA hanyalah salah satu contoh actor gerakan social pada era Orde Baru yang kemudian mengambil kesempatan masuk dalam kelembagaan parlemen, tetapi gagal dalam mengusung agenda gerakan. 2. Profesionalisasi Kelembagaan Profesionalisme adalah sebuah gejala dimana sebuah sikap atau tindakan sematamata diukur dari sisi komersial. Profesional adalah lawan sikap dari vokasional (Gunawan Wiradi, 2009). Profesional berpedoman pada kemampuan dan hasil, dimana ukuran penghargaan berdasarkan pada bentuk kemersial . Keadaan ini umumnya menjadi kecenderungan LSM yang mengandalkan pendanaan dari donor internasional. Tanda dari menguatnya gejala profesionalisme adalah tumpulnya kerelawanan (vokasional)
yang 160
digantikan dengan kerja-kerja yang bertumpukan pada penghargaan materi atau finansial. Dengan perubahan politik yang lebih demokratis di Indonesia telah menarik minat donor internasional untuk mendukung berbagai praktek demokrasi dan partisipasi. Yogyakarta juga mengalami situasi yang sama dengan daerah lain di Indonesia pada umumnya. Ini membawa konsekuensi tersendiri terhadap gerakan sosial di Yogyakarta, khususnya gerakan sosial yang bercirikan LSM. Dengan dukungan yang kongkret dari lembaga donor, maka dengan sendirinya kebutuhan peningkatan manajemen kelembagaan yang lebih profesional menjadi kebutuhan mutlak, seperti kantor, jam kerja yang lebih formal, kemampuan yang terjamin, dan lain sebagainya. Profesionalisasi gerakan bukan merupakan fenomena baru dalam gerakan sosial di Indonesia. Jauh sebelum Presiden Soeharto mundur fenomena ini telah berlangsung namun belum menjadi gejala umum karena jumlah LSM yang masih sedikit. Faktor utamanya adalah tuntutan donor internasional yang memberikan dukungan kepada organisasi yang tentu saja harus disertai dengan transparansi dan indikator yang terukur. Dalam fase sesudah Orde Baru, fenomena yang menonjol dalam gerakan sosial adalah keterlibatan intelektual kampus (akademisi) ke dalam gerakan LSM
yang
sebelumnya jumlahnya sangat terbatas. Kalau dulu keterlibatan akademisi hanya dipinggiran, atau sekedar support gagasan, namun pasca Orde Baru keterlibatan akademisi menjadi semakin intensif dengan mendirikan LSM. Akademisi memiliki latar belakang pendidikan yang baik dan referensi pengetahuan yang jauh lebih memadai dibandingkan aktifis LSM pada umumnya. Bagaimanapun kalangan akademisi bukan merupakan pelaku protes yang ahli, terutama berkaitan dengan aksi jalanan. Dengan gejala profesionalisme kelembagaan dan keterlibatan intelektual kampus yang semakin intensif, maka fase berikutnya terjadi gejala intelektualisasi gerakan yang ditandai dengan semakin mengendurnya gerakann protes, dan menguatnya pendekatan akademik di jalur advokasi seperti seminar, lokakarya, penelitian, workshop, legal drafting policy dan lain sebagainya. Organisasi gerakan yang berbasiskan pada keanggotaan juga mengalami situasi yang tidak jauh berbeda. Keinginan untuk membentuk organisasi berbasis keanggotaan individu berkembang sebagai refleksi bahwa demokratisasi akan berjalan dibandingkan dengan model organisasi berbasis staft. Pembentukan inipun selain bertujuan politis, juga memiliki tujuan pragmatis, yakni mengembangkan pendanaan secara mandiri melalui iuran 161
anggota supaya mekanisme organisasi dapat dijalankan dengan baik. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan Serikat Tani Merdeka (Setam) adalah contoh untuk bentuk ini. KPI adalah ormas perempuan sekuler pertama yang berdiri pasca Orde Baru. Tujuan utamanya adalah merekrut anggota sebanyak-banyaknya. Ormas ini didirikan oleh aktifis perempuan yang memiliki latar belakang sebagai aktifis LSM. Dengan sendirinya”roh LSM” tidak dapat dilepaskan dari ormas ini. Bukan hanya dari isu yang diusung saja yang menjadikan ormas perempuan ini elitis, tetapi juga dari pendanaan. Dari segi isu dan kegiatan misalnya, ormas ini mengembangkan kampanye yang belum diterima dengan baik sebagai nilai yang berkembang di masyarakat Yogyakarta. Misalnya dalam kasus pementasan ”Vagina Monolog” yang menimbulkan kontroversi dikalangan masyarakat Yogyakarta (Lihat Bab 6). Demikian juga perhatian ormas ini kepada kaum lesbi (dan juga gay) yang dilihat oleh sebagian masyarakat sebagai sebuah orientasi yang menyimpang dari nilai sosial. Barangkali dalam konteks kemanusiaan pembelaaan terhadap kalangan lesbi sangat baik sebagai bagian dari hak atas orientasi sexual, tetapi sebagai sebuah ormas yang menjadikan anggota sebagai basis gerakan maka perjuangan terhadap golongan ini jelas akan membatasi perempuan untuk masuk sebagai anggota dan menjauhkan KPI dari basis perempuan yang masih melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang menyimpang. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau KPI gagal dalam memperluas pengaruhnya di Yogyakarta. Dalam soal pendanaan pun KPI lebih menggantungkan sumber pendanaan dari donor internasional ketimbang mengembangkan pendanaan dari iuran anggota. Hal ini tidak berbeda dengan Serikat Tani Merdeka (Setam), sebuah organisasi tani di Yogyakarta. Setam didirikan atas prakarsa LSM bantuan hukum di Yogyakarta ketika mengadvokasi kasus-kasus agraria. Sebagai ormas, pada awalnya SETAM getol merekrut anggota dan mengorganisasi aksi tani. Sampai suatu saat sebuah lembaga donor dari Amerika (CSSP –USAID) datang menawarkan dukungan program. Gayungpun bersambut dan disusunlah sebuah proyek yang ditujukan untuk memperkuat organisasi . Mulai saat itu para pengurus organisasi lebih sibuk menjalankan program dari pada mengorganisir tani. Ketika program tersebut selesai dan tidak didukung lagi, para pengurus sibuk untuk mencari dukungan donor lain ketimbang mengembangkan pendanaan secara mandiri. Ketika laporan ini disusun, Setam telah vakum tanpa meninggalkan jejak politik. Setam
162
dan KPI hanya salah satu contoh bagaimana gerakan MS gagal dalam menyikapi perubahan politik. 7.4. Membandingkan Gerakan Gerakan sosial yang berhasil merupakan fungsi dari kepemimpinan, kemampuan memfarming (opini publik), dukungan publik, dan situasi sosial politik (momentum). Kepemimpinan yang solid antar masing-masing gerakan akan memperkecil faksionalisasi yang terjadi dalam tubuh gerakan. Faksionalisasi gerakan akan berefek negatif terhadap keadaan gerakan, yang menunjukkan pada publik dan lawan bahwa gerakan tidak solid dan mudah dipecah belah. Gamson (1992) telah memberikan satu dasar teori bahwa salah satu keberhasilan gerakan adalah bagaimana aktor gerakan mampu membingkai (farming) tujuan gerakan yang dapat diterima secara luas oleh publik. Kemampuan mengemas, mensosialisasi, dan menunjukkan bahwa tujuan gerakan berdampak langsung terhadap mereka yang akan terlibat dalam gerakan, akan semakin memperbesar daya dukung. Situasi sosial politik yang mendukung gerakan, atau dengan kata lain momentum. Smelser (1962) menyebutnya sebagai faktor pencetus. Krisis ekonomi yang muncul secara dramatik pada tahun 1997 merupakan faktor pencetus dari situasi protes yang telah berlangsung sebelumnya, sehingga keyakinan bahwa sumber seluruh persoalan sosial politik Indonesia ada pada Presiden Soeharto. Strategi dan tujuan gerakan MS sangat dipengaruhi oleh situasi politik yang berkembang.
Pada waktu Orde Baru seluruh energi gerakan terpusat pada Presiden
Soeharto sebagai musuh bersama (common enemy), sedangkan setelahnya tujuan gerakan terpolarisasi dalam beragam tujuan. Sekalipun kita mendapatkan dua platform besar yang menaungi gerakan sosial di Yogyakarta pasca Orde Baru, yakni protes rezim dan kelembagaan politik, namun kalau kita mencermati keduanya berada dalam satu garis politik , yakni menuntaskan permasalahan yang ditinggalkan rezim yang otoriter. Orde Baru telah meninggalkan berbagai persoalan politik, ekonomi, dan sosial. Momentum perubahan politik telah mendorong gerakan untuk memulai kerja-kerja yang kongkret dan sistematis, yang dimasa Orde Baru hampir mustahil dilakukan. Pembentukan serikat tani seperti SETAM misalnya, merupakan satu upaya baru membangun kekuatan 163
gerakan tani diluar korporatisme negara seperti P3A, HKTI, dan lain sebagainya. Demikian juga pembentukan Koalisi Perempuan Indonesia sebagai langkah baru gerakan perempuan yang selama ini hanya dikenal lewat PKK. Upaya untuk menciptakan pembaruan dalam beragam inistif gerakan diciptakan untuk
mengembangkan nilai baru, sekaligus membongkar nilai politik lama yang
bersumber dari pandangan Orde Baru. Demikian juga dengan beragam aktifitas gerakan masyarakat sipil lainnya seperti desentralisasi, advokasi kebijakan, anggaran, dan lain sebagainya. Seluruh tujuan gerakan untuk mendorong pembaruan politik, dan meninggalkan sistem dan nilai politik Orde Baru. Dalam berbagai tujuan yang berkembang dari gerakan MS, nampaknya koordinasi antar elemen dan sekaligus membangun koalisi besar menjadi masalah paling serius. Sekalipun antar elemen tetap terjaga kominikasi horisontal dan terlibat dalam tujuan-tujuan praktis, tetap saja koalisi besar sulit terwujud sebagaimana ketika Orde Baru masih hegemonik. Setiap gerakan nampaknya terlalu sibuk dengan tujuan dan kegiatannya sendiri, sekalipun kadang-kadang bertemu untuk sebuah persoalan yang praktis, seperti menyikapi kebijakan atau peristiwa tertentu. Nampaknya musuh bersama (common enemy) sulit terwujud kembali. Musuh bersama bukan hanya platform, tetapi lebih jauh dari itu, ujung dan pangkal dari suluruh yang dianggap sebagai persoalan. Gerakan sosial bukan hanya membutuhkan tujuan untuk menentukan sasaran gerakan, tetapi juga sesuatu yang lebih kongkret dari platform, yakni figur atau dampak langsung bagi pendukung gerakan. Semakin abstrak tujuan gerakan sosial, keberhasilan gerakan akan semakin kecil, sebaliknya semakin kongkret dan dapat dimaterialkan tujuan gerakan, maka tingkat keberhasilannya akan semakin besar. Dalam panggung gerakan protes anti Orde Baru, kita menyaksikan situasi yang berubah-ubah dan mengalami pasang surut tergantung pada tujuan dan kemampuan gerakan menjelaskan apa sasaran gerakan. Gerakan protes pada awal perkembangannya berada dalam isu yang beragam, mulai dari Hak Asasi Manusia, korupsi, demokrasi, dan lain sebagainya. Tujuan tersebut dalam banyak hal masih menjadi sebuah tujuan yang abstrak dan belum dimengerti oleh pendukung gerakan yang berasal dari luar kampus. Tetapi ketika gerakan menemukan ujung persoalan sampai pada titik yang paling kongkret, 164
yakni Presiden Soeharto, maka gerakan dapat menyatu dalam gelombang aksi yang besar dan solid. Sesudah Presiden Soeharto mundur, gerakan bukan hanya terpolarisasi dalam beragam isu, tetapi juga tujuannya dianggap mejadi tidak kongkret bagi mereka yang akan mendukung gerakan. Ini merupakan tantangan gerakan sosial, membangun platform yang bukan hanya diterima oleh mereka yang akan bersimpati terhadap gerakan, tetapi juga menciptakan tujuan yang langsung berdampak (kongkret) pada mereka akan mendukung gerakan3.
7.5. Ikhtisar Perubahan politik yang demokratis di Indonesia pasca Orde Baru berpengaruh terhadap tujuan dan pendekatan gerakan MS di Yogyakarta. Pada waktu Orde Baru pendekatan konflik melalui gerakan protes anti rezim merupakan strategi utama yang dikembangkan oleh kalangan MS, sesudah Orde Baru geraka MS mengembangkan dua stretagi , kooperatif (melalui loby) dan non kooperatif (melalui aksi). Platform gerakan MS juga berubah, bukan hanya anti rezim atau anti status quo, tetapi juga
memperkuat
kelembagaan politik dalam transisi demokrasi. Dalam berbagai faktor yang mempengaruhi gerakan MS pasca Orde Baru, faktor internal lebih berpengaruh terhadap keberhasilan yang di capai. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam gerakan seperti polarisasi tujuan, bentuk organisasi yang lebih profesional, dan metode yang lebih intelektual. Gerakan sosial dalam mencapai tujuannya supaya membutuhkan platform yang kongkret dan termaterialkan. Semakin kongkret dan terukur tujuan gerakan, maka tingkat keberhasilan gerakan akan semakin besar. Sebaliknya, semakin abstrak tujuan gerakan maka tingkat keberhasilan gerakan akan semakin kecil.
3
Misalnya gerakan buruh, kalau gerakan buruh bertujuan untuk merebut kekuasaan (partai) sangat sulit diterima dan didukung oleh buruh, tetapi kalau untuk meningkatkan upah, jam kerja, dan lain sebagainya akan jauh didukung. Demikian juga gerakan sosial yang lain, seperti perempuan petani, kaum miskin, dan lain sebagainya. Timur Mahardika, [2004) Gerakan Massa, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta
165
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap situasi gerakan MS di Yogyakarta era Orde Baru dan pasca Orde Baru diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Strategi dan platform gerakan MS di Yogyakarta mengelami perubahan signifikan, yang disebabkan oleh situasi politik yang juga berubah. Tujuan gerakan MS di Yogyakarta(dan nasional) adalah mengganti sistem politik dari otoriter ke demokratis. Setelah situasi politik berubah kearah sistem yang lebih demokratis, maka gerakan MS juga melakukan penyesuaian tujuan dan strategi yang berkaitan dengan permasalahan yang dianggap penting dan mendasar dalam transisi demokrasi. 2. Gerakan MS di Yogyakarta dipengaruhi oleh dua faktor, yakni ekternal dan internal. Faktor eksternal merupakan faktor dari situasi politik dan dinamika internasional yang berpengaruh terhadap tujuan dan metode gerakan. Sedangkan faktor internal adalah faktor organisasi dan kemampuan gerakan dalam mencapai tujuannya. Tekanan politik ditambah dengan krisis keuangan telah membangun aliansi taktis diantara aktor gerakan sampai keberhasilannya menuntut Presiden Soeharto mundur dari pemerintahan. Setelah Orde Baru, faktor internal seperti manajemen organisasi (profesionalisasi) gerakan, polarisasi masing-masing gerakan, menjadi penentu atas mandulnya gerakan sosial di Yogyakarta. 3. Gerakan sosial yang berhasil merupakan fungsi dari kepemimpinan, kemampuan memfarming (opini publik), dukungan publik, dan situasi sosial politik (momentum). Kepemimpinan yang solid antar masing-masing gerakan, ditambah kemampuan gerakan menjelaskan ke publik mengenai tujuannya, dukungan publik, dan situasi lokal, nasional dan global yang melingkupinya berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan gerakan.
166
4.
Gerakan sosial akan berhasil dan mendapat dukungan luas dari publik, kalau gerakan mampu menunjukkan dan memformulasikan dampak langsung atau tujuan kongkret yang hendak dicapai.
8.2. Saran Pada bagian akhir dari penelitian ini, kiranya penulis akan menyampaikan dua saran kepada para peneliti yang tertarik untuk mendalami gerakan MS, khususnya gerakan sosial dan kepada aktifis dan penggiat gerakan sosial: 1. Kepada peneliti gerakan sosial. Perlu mengembangkan studi lanjutan mengenai berbagai tema yang berkaitan dengan protes sipil dalam transisi demokrasi, khususnya di Yogyakarta dan sekitarnya. Sebagai contoh adalah protes sipil di pedesaan Jawa Tengah dan Yogyakarta, gerakan tani, gerakan feminis di pedesaan, gerakan aparatur desa, dan lain sebagainya. 2. Kepada aktifis dan penggiat gerakan sosial. Perlu dilakukan koordinasi yang intensif untuk menentukan platform kolektif diantara aktor gerakan sosial yang dapat memberbesar daya dukung dan daya tekan gerakan pada upaya-upaya perubahan sosial.
167
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Hamid dkk [2004] Menggalang Dana Menuju Perubahan Sosial, PIRAC-TIFACSSP; Jakarta Aristoteles [2007] La Politica, Visimedia, Jakarta; Adhe [2007] Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja 1998-2007, Komunitas Penerbit Jogja; Yogyakarta Azizy, A. Qodri Abdillah [2000] Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta (Kajian Historis-Normatif), dalam Ismail dan Mukti, Pustaka Pelajar; Yogyakarta Aspinal, Edward [1993] Student Dissent in Indonesia in the 1980s, Working Paper 79, Monas University; Australia Aly, Rum [2004] Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter – Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung Politik Indonesia 1970-1974, Penerbit Buku Kompas; Jakarta Asvi Warman Adam, Malari 1974 dan Sisi Gelap Sejarah, Kompas, 16 januari 2003 Arief, Sritua & Adi Sasono [1984] Indonesia; Ketergantungan dan Keterbelakangan, Sinar Harapan; Jakarta Antlov, Hans [2000] Negara Dalam Desa, Lapera Pustaka Utama; Yogyakarta Adian, Dony Gahral [2002], Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan; Dari David Hume sampai Thomas Kuhn, Teraju Yogyakarta Anonim [2002] Memecah Ketakutan Menjadi Kekuatan; Kisah-kisah advokasi di Indonesia, Insist Press; Yogyakarta Basyaib, Hamid dan Ibrahim Ali Fauzi [1997] Ada Udang Dibalik Busang, Mizan; Bandung Bilah, MM dkk (1984) A Bird’s Eye View of Non Governance Organisation in Indonesia, Indhira. Boggs, Carl [1986] Social Movement and Political Power, Temple University Press, Philadelphia
168
Cribb, Robert (Edt), [2003] The Indonesian Killings; Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Matabangsa; Yogyakarta Canel, E. New Social Movement Theory and Resource Mobilization Theory: The Need Integrati, dalam M Kauffman dan HD Alfonso (Ed) [1997] , Community Power and Grassroots Democracy; The Transformation of Social Life, Zed Book Dharmawan, Arya Hadi (2007) Teori-Teori Gerakan Sosial: Perspektif Marxian, Developmentalisme, dan Demokratisme, makalah tidak diterbitkan. Di Renzo, G. [1990] , Human Social Behavior: Concepts & Principles of. Sosiology, Rinehart & Winston USA Dortier, Jean Francois [2004] Marx dan Sosiologi, dalam Anthony Giddens, Daniel Bell, Michael Force, Sosiologi, Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, Kreasi Wacana; Yogyakarta. Emmerson, Donald K. (Edt), [2001] Indonesia Beyond Soeharto; Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Gramedia – The Asia Foundation; Jakarta Eko, Sutoro (Ed) [ 2005] Manifesto Pembaruan Desa; Persembahan 40 tahun STPMD ”APMD”, APMD Press; Yogyakarta Forum LSM DIY ,Demokratisasi Dipasung Politik Administrasi, Pernyataan Akhir Tahun 1995 Forum LSM DIY, Dokumen tidak diterbitkan Fakih, Mansour [2002] Jalan Lain; Manifesto Intelektual Organik, bekerjasama dengan Insist Press; Yogyakarta
Pustaka Pelajar
--------------------- [1996] Masyarakat Sipil Untuk Perubahan Sosial; Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta ---------------------- [2002], Social Movement Sebagai Alternatif Terhadap Civil Society, dalam Wacana Edisi 11 Tahun III 2002 Forrester, Geoff Post [1999]– Soeharto Indonesia; Renewal or Chaos, ISEAS – KITLV; Singapore Ferree, Myra M dan Frederick D. Miller [1985] Mobilization and Meaning: Toward an Integration of Social Psychological and Resource Perspektives on Social Movement, Sociological Inquiry Folger, Robert [1986] a Referent Cognitio Theory of Relative Deprivation, dalam Relative Deprivation and Social Comparison: The Ontario Symposium, Vol 4 169
Geerzt, Clifford [1981] Santri Abangan Priyayi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Gayatri , Irine H [1999] "Arah baru Perlawanan Gerakan Mahasiswa 1989-1993", dalam Widjojo, Muridan S. (et.al), Penakluk Rezim Orde Baru, Gerakan Mahasiswa '98, Sinar Harapan; Jakarta Gamson, William A[1992] Talking Politics, University of Cambrige Press; USA Giddens, Antony[2000] Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, Gramedia; Jakarta ------------------------ and Philip W Sutton[2010] Sociology : Introductory Reading (3rd Edition) , Polity Press, UK Gramsci, Antonio [2001] Catatan-Catatan Politik, Cetakan I, Surabaya: Pustaka Promethea, Terjemahan dari: Selection From the Prison Notebooks of Antonio Gramsci, International Publiser, Haris, Syamsudin (edt) [1999] Kecurangan dan Perlawanan Rakyat Dalam Pemilu 1997, YOI –PPW LIPI; Jakarta Hartisekar, Markonina dan Akrin Isjani Abadi, [2001] Mewaspadai Kuda Troya Komunisme di Era Reformasi, Pustaka Sarana Kajian; Jakarta Hartanto, Sindu Dwi[2007] Pembaruan Desa dan Krisis Hegemoni, Tesis Pada Program Sosiologi Pedesaan IPB; Bogor Hegel [1958] Phylosopy of Right, trans. TW Knox, Oxford. Hikam , Muhammad AS [1996] Demokrasi dan Civil Society, Pustaka LP3ES; Jakarta Hasyim , Muhammad (Peny), [2003] Krisis Masa Kini dan Orde Baru , Yayasan Obor Indonesia; Jakarta Ismawan, Bambang,[ 2003] Partisipasi dan Dimensi Keswadayaan; Pengalaman LSM Membangun Keswadayaan Masyarakat, Jurnal Ekonomi Rakyat, Th. II - No. 3 - Mei 2003 Jarot, Eros dkk, [2006] Siapa Sebenarnya Soeharto ; Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G30 S/PKI, Mediakita, Yogyakarta Juliantara, Dadang, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, Bernas,17/4/2003 ------------------------ [1997] Mahkota Penindasan, Masalah Seputar UU No. 25/1997, Dokumen tidak diterbitkan
170
Kartodirdjo, Sartono [1988] Lembaga Swadaya Masyarakat; Tinjauan Singkat, Prisma No. 1 Tahun XVII, Januari, 1988 Kartjono, [1988] Demokratisasi di Tingkat “Grassroots” ; Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat, Prisma No. 6 Tahun XVII, 1988. Katalog LSM/LPSM Daerah Istimewa Yogyakarta, Komisi Publikasi & Dokumentasi LSM/LPSM DIY 1991/1994 Koentjaraningrat [1974] Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan, Gramedia; Jakarta Klandermans, Bert [2005] Protes Dalam kajian Psikologi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Kuper, Adam & Jessica, [2000] Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Rajawali Pers; Jakarta Kristiadi, TA Legowo, Budi Harjanyo (peny) [1997] Pemilihan Umum 1997; Perkiraan, Harapan, dan Evaluasi, CSIS; Jakarta Laporan Akhir Tahun Bidang Ekonomi, Kompas, 21/12/1998. Lewin, Kurt [1973] Group Dynamics and Social Change in Social Change: Source, Patterns, and Consequences, by Eva Etzioni – Halevy and Amitai Etzioni (eds), Basic Books, Inc, New York Locher, David A [2002] , Collective Behavior, Prentice Hall, New Jersey Laurer, Robert H.[2003] Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Rineka Cipta, Jakarta Luwarso, Lukas [1993] Bangkitlah Imajinasimu Indonesiaku, Risalah Pembelaan dihadapan Persidangan di Pengadilan Negeri Semarang, 25 Oktober 1993 Lucas, Anton E. [2004] One Soul One Struggle; Peristiwa Tiga Daerah, Resist Book; Yogyakarta Lubis, T. Mulya dan Fauzi Abdullah ,[1981] Langit Masih Mendung; Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1980., Sinar Harapan – LBH; Jakarta Madjid, Nurcholis [1999] Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Paramadina; Jakarta Markoff, John [2002] Gelombang Demokrasi Dunia; Gerakan Sosial dan Perubahan Politik,CCSS-Pustaka Pelajar; Yogyakarta
171
Major, Brenda [1994] From Social Inequality to Personal Entitlement: The Role of Social Comparisons, Legitimacy Appraisals, and Group Membership, Advances in Experimental Social Psychology May, Tim (2001), Social Reasearch; Issues, Methods and Process, Edisi Ke 3, Open University Press Munandir (Peny)[2001] PTM sebagai Bentuk Perjuangan Mahasiswa Mencerdaskan Kehidupan Bangsa,Gadjah Mada University Press; Yogyakarta Mashudi , Genesis Gerakan Mahasiswa 1998, Juli 2003 , Paper dipublikasikan terbatas Mahardika, Timur [2004] Gerakan Massa, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta Miftahuddin,[2004] Radikalisasi Pemuda; PRD Melawan Tirani,; Desantara; Jakarta Mundayat, Aris Arif (et al) [2006] Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender, Women Research Institute; Jakarta McVey, Ruth T. [2009] Kemunculan Komunisme Indonesia, Komunitas Bambu; Jakarta, McAdam, Doug dan Ronnalle Paulsen [1993] Specifying the Relationship Between Social Ties and Activism, American Journal of Sociology Nohlen, Dieter (edt) [1994] Kamus Dunia Ketiga, Gramedia; Jakarta Newman, W. Lawrence, [1994] Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, Allyn & Bacon, Boston Nanj,
Sobirin, edt [2003] Supremasi Sipil, Pelembagaan Politik, dan Pilihan di Indonesia; Studi Transisi Politik Pasca Orde Baru , LP3ES, Jakarta
Oliver, Pamela E [1980] Rewards and Punishments as Selective for Collective Action; Theoretical Investigation, American Jourmal of Sociology Padmo, Sugijanto, [2000] Land Reform dan Gerakan Protes Petani Klaten, 1959-1965, Media Presindo-KPA; Yogyakarta Pambudi, Himawan [2004] & Siti Fikriyah Kh, Menuju Konsolidasi Demokrasi, LAPERA-Forum LSM-KPI; Yogyakarta. --------------------------, edt [2003] Jalan Baru Keadilan; Dokumen Pertemuan Konsolidasi Pembaruan Desa, Lapera Pustaka Utama; Yogyakarta -------------------------, Pertaruhan Politik Rakyat Dalam Pemilu 2004, Bernas,15/4/ 2003
172
Pilliang, Indra J, Menakar Efektifitas GNTPPB, Refleksi Untuk Masa Depan, Kompas, 5 Maret 2004, Priyono, AE ,dkk [2003] Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca Soeharto, Demos – ISAI, Jakarta Poloma, M Margaret, [2003] Sosiologi Kontemporer (edisi keenam), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Porta , Donatella Della and Mario Diani [2006] Social Movements and Introduction (second editions) , Blackwell Publishing, USA Rahardjo, M. Dawan, Dokter Soetomo: Pelopor LPSM?, Prisma No. 7 Tahun XVII/1988; Rochman, Meuthia Ganie- [2002] An Uphill Struggle; Advocacy NGOs Under Soeharto’s New Order, Lap Sosio FISIP UI, Jakarta Rossa, John [2008] Dalih Pembunuhan Massal; Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, ISSI – Hasta Mitra, Jakarta Sanit, Arbi [1999] ,"Gerakan Mahasiswa 1970-1973: Pecahnya Bulan Madu Politik, dalam Widjojo, Muridan S. (et.al), Penakluk Rezim Orde Baru, Gerakan Mahasiswa '98, Sinar Harapan; Jakarta Saragih, Tumpal, [2004] Mewujudkan Otonomi Masyarakat Desa, Cipruy; Jakarta Santoso,
Purwo (Edt), [2000] Melucuti Serdadu Sipil; Mengembangkan Wacana Demiliterisasi Dalam Komunitas Sipil, FISIPOL UGM; Yogyakarta
Sahdan, Gregorius [2004] Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Pondok Edukasi; Yogyakarta Stepan, Alfred [1996] Militer dan demokratisasi; Pengalaman Brasil Dan Beberapa Negara Lain, Grafiti Press; Jakarta Snow, David A [1986] Organization, Ideology ad Mobilization: The Case of Nichiren Shoshu of America, dalam David G. Bromley and Phillip E. Hammond (edt), The Future of New Religious Movement , Mercer University Press Sikati, Rasmi Ridjang [2008] Mencari Jejak Amarah I, II, Link Pena; Jakarta Singh, Rajendra [2001] Social Movement, Old and New; A Post modernist Critique, Sage, New Dehli
173
Singarimbun, Masri & Sjafri Sairin (1995) Lika-Liku Kehidupan Buruh Perempuan, Pustaka Pelajar-Yasanti , Yogyakarta Soempeno, Femi Adi & AA [2007] Kunto Perang Panglima; Siapa Menghianati Siapa? Galang Press; Yogyakarta Soemardjan, Selo, [1981] Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Stanley, [1994] Seputar Kedungombo, Elsam; Jakarta Supriyanto, Didik [1998] Perlawanan Pers Mahasiswa ; Protes Sepanjang NKK/BKK, Sinar Harapan-Yayasan Sinyal; Jakarta Sufyanto, [2001], Masyarakat Tamaddun : Kritik hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholis Madjid, Pustaka Pelajar; Yogyakarta Suwondo, Kutut [2003] Civil Society di Aras Lokal, Pustaka Pelajar-Percik;Yogyakarta Suparno, Paul [1997] Filsafat Kontruktivisme Dalam Pendidikan, Kanisius, Yogyakarta Soeharko. [2006] Gerakan Sosial Konsep. Strategi. Aktor. Hambatan dan Tantangan Gerakan Gerakan Sosial di Indonesia. Averroes Press; Malang Smelser, Neil J [1962] Theory of Collective Behavior, The Free Press,; New York Tarrow, Sidney [1998] Power in Movement: Social Movements, Collective Action, and Politics, 2nd ed.: Cambridge University Press , Cambridge, UK Tjahjono, Sukmadji Indro [1979] Indonesia di Bawah Sepatu Lars : pembelaan di muka Pengadilan Mahasiswa Bandung, Bandung, Indonesia : Diperbanyak oleh Komite Pembelaan Mahasiswa, Dewan Mahasiswa, Institut Teknologi Bandung; Bandung Thorig, Muhammad[1991] Membedah Gerakan Mahasiswa 80-an; Kritik untuk Yusuf Arifin, Arief Hakim dan Najib,Bernas, 31 Mei 1991 Tiwon, Sylvia., Iskra Ismayah, dkk [1999].Militerisme di Indonesia; Untuk Pemula, Aksi Bersama Rakyat Indonesia; Surabaya. Tim LAPERA [2000] Otonomi Versi Negara, Lapera Pustaka Utama , Yogyakarta ----------------- [1998] Manual Kursus Pendidikan Penguatan Masyarakat Sipil (P2MS), LAPERA; Yogyakarta
174
Tilly, Charles & Lesley J. Wood [2009] Social movements, 1768-2008, Paradigm Publishers, USA TFF, Celebrating Indonesia, Fifty Years With The Ford Foundation 1953-2003, 2003 Topatimasang, Roem (edt) [2000] Merubah Kebijakan Publik: Panduan Pelatihan Advokasi Untuk Organisasi Non Pemerintah, Readbook; Yogyakarta YLBHI, [1992] Demokrasi di Balik Keranda; Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia 1992, YLBHI, Jakarta Triwibowo, Darmawan edt [2006] Gerakan Sosial; Wahana Civil Society Bagi Demokratisai; Jakarta, LP3ES – Prakarsa; Jakarta Uhlin, Andreas [1998] Oposisi Berserak: Arus Deras Gelombang Demokratisasi Ketiga di Indonesia, Mizan, Bandung USAID – CSSP; Building The Foundation For Democracy, April 2005 Wieringa, Saskia [1999] Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Garba Budaya; Yogyakarta Wilson, K dan AM Orum [1976] Mobilizing People for Collective Political Action , Journal of Political and Military Sociology . 4 Wiradi, Gunawan [2009] Metodologi Studi Agraria, Sains – IPB, Bogor Wuisman, JJM [1996] Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid 1 Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI Yin, Robert K.[1996] Studi Kasus : Desain dan Metode, Raja Grafindo Persada; Jakarta YLBHI [1991] Demokrasi Masih Terbenam; Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 1991, YLBHI; Jakarta Zald, Mayer N & John D McCarthy [2003] , Social Movement in an Organizational Society, Transaction Publishers, New Jersey
175
LAMPIRAN
176
Lampiran1. Daftar Koran, Media Elektronik dan Majalah: Majalah Tempo Online Bernas Kedaulatan Rakyat Majalah TEMPO No. 8 Tahun XIX – 22 April 1989 Tempo Harian Merdeka Kompas Solo Pos Yogya Post Detiknews Wawasan Gatra SiaR Xpos Radar Jogja Semai Suara Merdeka Tempo Interaktif FLAMMA SOSOK D&R Suara Independen Surya Kompas Online Bernas Indonesia L D&R Kontan Republika Online Jawa Pos Radio Nederland
177
Lampiran 2. Daftar Pernyataan Sikap dan Internet : wikipedia.org/wiki/Hamengkubuwana_IX Catatan penelitian, 12 Desember 2008. http://id.www.uii.net.id http://www.walhi.or.id; http://www.infid.org. http://www.km.itb.ac.id Pernyataan Sikap PPPY, 21 Mei 1997 Siaran Pers PIJAR No. 140/Eks/Sekr.PH-YP/V/1994, tanggal 16 Mei 1994 Selebaran aksi tanggal l9 Desember 1994 Siaran Pers Tim Relawan Penolong Korban Insiden 27 Juli 1996 Pers Release ““Menggugat Pesangon Anggota DPRD Kota Yogyakarta, 25 Februari 2004, MASAPEDE. Pernyataan sikap Indonesia Gay Society (IGS) tanggal 12 November 2000
178
Lampiran 3. Daftar Jurnal : Jurnal Wacana Insist Edisi 11 Tahun III/2002 Jurnal Renai, Tahun II No. 1/2002. Jurnal Wacana, Membongkar Proyek-Proyek Ornop, No. 16 Tahun VI/2004 Januari – April 2004 Jurnal Ekonomi Rakyat, Th. II - No. 3 - Mei 2003 Prisma No. 1 Tahun XVII, Januari 1988 Prisma No. 6 Tahun XVII, 1988.
179
Lampiran 4. Daftar Dokumen Yang Digunakan: Sejarah Perkembangan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta: Catatan perjalanan dan wawancara dengan sejumlah narasumber sepanjang Januari – Maret 2009. Kesaksian pribadi, 3 Juli 1997. Notulensi diskusi terbatas yang diselenggarakan LAPERA tanggal 22 Mei 1999 Catatan dokumentasi aksi , 6 Oktober 1998] Dokumen kasus LBH Yogyakarta tahun 1978 Kronologi Penyerangan terhadap kampus ABA"Yo" Yogyakarta, 22/2/2001 Kronologi Aksi, 13 /4/1999; Laporan Kegiatan Forum LSM DIY Periode Kepengurusan 2002 – 2004 Realisasi Pembaruan Desa, Yayasan LAPERA Indonesia, 2004 Lihat Laporan Lima Tahun Refleksi Pembaruan Desa, LAPERA Indonesia, 2003. Laporan program LAPERA, 2002 Katalog LSM/LPSM DIY, BP Forum LSM/LPSM DIY 1991-1994 Interem Report, Percepatan Pembaruan Desa Melalui Peningkatan Peran politik Perempuan, LAPERA – The Asia Foundation, 2002 Dokumen Laporan Pertanggungjawaban Forum LSM Yogyakarta, 2002-2004 Menuju Demokrasi Terkonsolidasi,Dokumen Rapat Konsolidasi Gerakan ProDemokrasi Menyongsong Pemilu 2004,15-17 April 2003 Opini tidak terdokumentasi M. Ilyas Sunnah, Wasek III/Biro Pusat Informasi DPW PKS DIY. Laporan PMKRI Solo, 1999 Dokumen kasus LBH Yogyakarta tahun 1978
180
Lampiran 5 . Daftar Narasumber Yang Diwawancarai : 1. Sri Sultan HB X; Raja Keraton Yogyakarta dan Gubernur DIY, transkip wawancara 9 Oktober 2008 2. Solichin ; mantan aktifis Pemuda Rakyat, Organisasi Pemuda PKI. Diskusi pribadi tidak diterbitkan 6 April 2006 3. Arief Budiman ; aktifis mahasiswa 1966, mantan Dosen UKSW Salatiga dan Dosen Melborne University. Notulensi wawancara 7 Mei 2007 4. Budhi Santosa; mantan aktifis IPPI (Organisasi pelajar yang berafiliasi dengan PKI). Diskusi pribadi 9 April 2007 5. Fauzi Abdullah ; aktifis mahasiswa Sastra UI dan aktifis senior LSM. Diskusi pribadi 4 Mei 2008 6. Dadang Juliantara; aktifis mahasiswa UGM, pendiri LAPERA dan mantan ketua Forum LSM DIY. Notulensi 7 Juli 2008 7. Noer Fauzi; aktifis mahasiswa Bandung (UNPAD) dan pendiri KPA . Diskusi tanggal 2 Agustus 2008 8. Imam Aziz; mantan Pemimpin Redaksi Arena dan pendiri LKiS . Transkip wawancara 7 Mei 2008 9. Kumoro Dewi; Pendiri dan direktur Yasanti . Notulensi wawancara 2 April 2006 dan 6 Januari 2007 10. Yuli Eko Nugroho; aktifis mahasiswa Rhode dan PRD. Notulensi wawancara 5 Mei 2007 11. Untoro Hariadi; aktifis mahasiswa UGM dan Forum LSM DIY . Notulensi wawancara 9 Agustus 2008 12. Arie Sujito; Pendiri Dema UGM dan Dosen Sosiologi UGM . Notulensi wawancara 1 Maret 2007 13. Djuwarto; Ketua DPD PDI P dan ketua DPRD Propinsi DIY mantan mahasiswa Filsafat . Notulensi wawancara 7 September 2006 dan 4 Juni 2007 14. Nurhadi; aktifis Sekolah Pembaruan Desa di Kabupaten Bantul Transkip wawancara 2 Juni 2007 15. Mulyandari; aktifis Koalisi Perempuan Indonesia Notulensi wawancara 26 Juli 2007 16. Pardiyono; warga Tegal Buret dan aktifis petani . Transkip wawancara 5 Juni 2008 17. Saniman; penduduk Desa Tlogo Prambanan, pelaku penyerangan pos polisi. Transkip wawancara 21 Mei 2007 18. Dati Fatimah; aktifis Jangkep dan IDEA . Transkip wawacara 23 Desember 2007 19. Titok Haryanto; aktifis Dema UGM, transkip wawancara , 3 September 2007 20. Heru Nugroho; Dosen Sosiologi UGM , Transkip 2 Maret 2008 21. Kasdiyono; Ketua DPRD Kabupaten Kulon Progo dan mantan Ketua Forum BPD Propinsi DIY. Transkip wawancara 10 Juni 2007 dan Diskusi persiapan penelitian tanggal 6 April 2006 22. Imawan Wahyudi; Ketua Fraksi PAN DPRD Propinsi DIY, Diskusi persiapan penelitian 5 Maret 2006 23. Hari Prabowo ; mahasiswa Filsafat dan aktifis mahasiswa UGM. Notulensi wawancara 5 Mei 2007 24. Hendro Pleret, mahasiswa teater ISI dan mantan aktifis. Notulensi wawancara 5 Juli 2007
181
25. Ridaya Laode Ngkowe ;Ketua Senat Mahasiswa UGM. Wawancara 21 Juni 2008 26. Siti Fikriyah Kh; Pengurus Senat Mahasiswa UGM . Wawancara 2 Juni 2008 27. KH Muhaimin ; pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummat dan aktifis FPUB . Transkip wawancara 7 Mei 2007 28. I Bob; Ketua Serikat Pengamen Indonesia . Transkip wawancara 23 Juni 2007 29. Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, mantan rektor UGM, transkip wawancara untuk rancangan penelitian tanggal 5 September 2006
182