BAB V DINAMIKA MASYARAKAT SIPIL DI YOGYAKARTA MENJELANG KEJATUHAN SOEHARTO
5.1. Yogyakarta Menjelang Kejatuhan Soeharto Mei 1997 menjadi bulan bersejarah bagi bangsa Asia. Thailand mengalami apa yang disebut dengan serangan spekulatif terhadap Baht, mata uangnya. Serangan ini langsung berimbas ke Philipina, Malaysia, dan Indonesia yang kemudian dikenal dengan pat pong effect. Tanggal 8 Juli 1997 adalah awal krisis ekonomi Indonesia yang ditandai dengan merosotnya nilai tukar rupiah. Bulan berikutnya adalah cerita buruk pemerintahan Soeharto yang masih berusaha percaya diri setelah usai melaksanakan pemilu terakhir dalam sejarah kekuasaannya. Inilah babak akhir dari emperium ekonomi Orde Baru yang dibangun di atas kestabilan politik dan pertumbuhan ekonomi. Semua argumentasi tentang pembangunan dan stabilitas yang dibangun selama 32 tahun, tiba-tiba seperti rumah kartu, runtuh diterpa badai krisis. Bak api disiram minyak, mahasiswa yang mulai resah dengan semua sandiwara politik segera turun ke jalan melakukan demonstrasi berkaitan dengan isu-isu penting seperti, pencabutan tiga paket UU Politik, Dwi Fungsi ABRI, pelanggaran Hak Asasi Manusia, reformasi tata pemerintahan, sampai di ujung seluruh persoalan adalah turunnya Soeharto dari kursi Presiden. Rasa frustasi rakyat bukan semata-mata pada keadaan ekonomi yang dilanda krisis, tetapi lebih jauh dari itu adalah berbagai kebijakan politik seperti ketidakadilan ekonomi, korupsi, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Titik kulminasi politik Indonesia terjadi pada tanggal 27 Juli 1996 yang kemudian dikenal dengan Kudatuli (kerusuhan dua puluh tujuh Juli). Hari itu kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat diserang oleh ”orang-orang PDI Pro Suryadi”. Peristiwa ini sampai sekarang masih menjadi misteri dalam panggung politik Indonesia mengenai siapa yang menjadi dalang dalam peristiwa tersebut, tetapi yang jelas Presiden Soeharto adalah salah satu yang wajib dimintai
60
pertanggungjawaban. Beberapa saat sesudah kejadian itu, Angkatan Bersenjata melalui Kepala Staf Sosial Politik waktu itu, Letjend Syarwan Hamid, menuding PRD berada di balik peristiwa tersebut1. Partai Rakyat Demokratik (PRD), sekolompok anak-anak muda lintas kampus yang hanya bersenjatakan kepala tangan, spanduk, dan toa, berhadapan dengan militer yang terorganisasi rapi dan bersenjata. Siapakah kelompok ini? PRD dideklarasikan tanggal 22 Juli 1996, lima hari sebelum penyerbuan kantor DPP PDI di YLBHI yang berjarak 500 meter dari pusat kerusuhan. Anak-anak muda ini menjadi pemberitaan media dan pemerhati politik atas keberaniannya bersikap oposan terhadap pemerintahan Soeharto. PRD didirikan di Kaliurang Yogyakarta tanggal 15 April 1996, setelah sebelumnya mengalami krisis organisasi yang menyebabkan pecahnya Persatuan Rakyat Demokratik menjadi PADI (Persatuan Rakyat Demokratik Indonesia) dan PS. PRD (Presidium Sementara PRD ) masingmasing dipimpin oleh Sugeng Subagio dan Budiman Sujatmiko2. PRD memiliki basis utama di Yogyakarta, khususnya di kampus-kampus besar, seperti UGM, IAIN, dan ISI. Kelompok ini memulai aktifitas politiknya ketika kasus-kasus tanah disekitar Yogyakarta mulai marak seperti Kedung Ombo dan Cilacap, termasuk kasus-kasus tanah di Jawa Barat dan Jawa Timur3. Kaderisasi yang dilakukan PRD dilakukan jauh sebelum sebagian aktifisnya mengenal dunia kampus atau pada awal penerimaan mahasiswa baru. Budiman mengenal para pendiri SMID (organisasi sayap mahasiswa PRD)
sejak sekolah di SMA Muhammadiyah 1
Yogyakarta. Beberapa pendiri PRD mengikuti orientasi kampus dengan melakukan 1
Dalam beberapa analisis, peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli) adalah puncak dari perseteruan golongan katolik dan islam, termasuk di dalamnya golongan bersenjata dan intelektualnya, yakni Benny Moerdani dengan CSIS versus syarwan Hamid - Faisal Tanjung – Habibie dengan CIDES dan ICMI. John MacDougall, Bencana Politik 27 Juli 1996. Dokumen tidak dipublikasikan. Keterangan Syarwan Hamid, 5 Agustus 1996, Kompas, 6 /8/1996. Hari sesudah peristiwa 27 Juli 1996, berlangsung penangkapan besar-besaran di berbagai tempat. Siaran Pers Tim Relawan Penolong Korban Insiden 27 Juli 1996 mencatat selama Juli-Agustus 1996, aparat keamanan mendatangi 49 tempat dan menangkap beberapa orang diantaranya yang dicurigai menjadi sarang kelompok pro demokrasi. 2 Keduanya mahasiswa UGM Yogyakarta, Sugeng Bahagio mahasiswa Filsafat yang mendirikan Komite Pembelaan Mahasiswa dan aktif di berbagai diskusi. Budiman Sudjatmiko adalah mahasiswa ekonomi (drop out) yang aktif dalam diskusi-diskusi SMID di daerah Jetis ketika dipimpin Andi Munajat. (catatan penelitian) 3 Di Jawa Barat misalnya kasus tanah di Kacapiring, Tapos, di Jawa Timur misalnya kasus tanah di Jenggawah, dan lain sebagainya. Lihat, Team YLBHI [2002] Demokrasi Dibalik Keranda, Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1992, YLBHI , Jakarta
61
aksi-aksi demonstrasi4. Pertumbuhan PRD merupakan salah satu tonggak terpenting bagi gerakan mahasiswa di Yogyakarta. Diluar PRD, Yogyakarta sendiri senantiasa menjadi pusat bagi gerakan perlawanan MS. Pertumbuhan gerakan sipil di Yogyakarta pada penghujung pemerintahan Soeharto tidak dapat dilepaskan dari berbagai peristiwa penting yang terjadi di Yogyakarta, sekalipun peristiwa tersebut ada yang tidak secara langsung berhubungan dengan gerakan MS, tetapi paling tidak memiliki sumbangan terhadap pertumbuhan kesadaran sipil dan sekaligus membentuk common enemy yang menjadi energi bagi perluasan aksi pada tahun 1997/1998. Beberapa peristiwa politik yang berlangsung di Jawa Tengah dan Yogyakarta memiliki kaitan dengan fenomena gerakan protes yang marak setelah pemilu 1997. Peristiwa politik yang berlangsung di luar Yogyakarta tetapi mempengaruhi pertumbuhan gerakan sipil adalah Peristiwa 27 Juli 1996, kuningisasi yang berlangsung di Jawa Tengah, fenemona Mega Bintang yang berlangsung di Solo, dan dua peristiwa di Yogyakarta adalah pelaksanaan pemilu 1997 serta pembunuhan wartawan Bernas Fuad Muhammad Syarifudin. Peristiwa 27 Juli 1996 membawa efek mendalam dalam sejarah politik Indonesia. Pemerintah Soeharto rupanya tidak mengerti bahwa pembiaran terhadap penyerbuan kantor PDI Megawati tersebut membawa pengaruh besar terhadap gerakan oposisi di Indonesia. Di Yogyakarta sendiri setelah peristiwa 27 Juli 1996 di Jakarta, mahasiswa mendirikan Komite Anti Penindasan Pers (KAPP). Komite ini memprotes ditangkapnya aktivis Suara Independen dan digerebeknya kantor percetakan media tersebut di Jakarta. Aksi yang digelar bulan Oktober 1996 ini berakhir dengan penangkapan Haris Baris Sitorus di halaman Balairung UGM. Suara Independen adalah media bawah tanah yang digunakan kelompok-kelompok Pro Demokrasi untuk propaganda anti rezim. Suara Independen diterbitkan oleh Masyarakat Indonesia Peminat Pers Alternatif (MIPPA) dengan alamat surat di PO Box 173 Surrey Hills 3127 Victoria, Australia. Media ini dimaksudkan sebagai 4
Sebagai contoh adalah mahasiswa Filsafat UGM (yang merupakan basis gerakan mahasiswa radikal) angkatan 89 diminta untuk meneriakkan ”Gantung Soeharto” pada waktu Ospek berlangsung, sesuatu yang sangat sensitif pada waktu itu. Periode angkatan 89 adalah periode emas dari sejarah perpolitikan mahasiswa, karena banyak dari mahasiswa angkatan ini menjadi pemimpin teras PRD, seperti Budiman Sudjatmiko, Rahardjo Waluya Jati, Nezar Patria, dan lain-lain.
62
koran bawah tanah untuk memberikan bacaan alternatif dimana pers secara umum berada dalam garis politik pemerintah melalui ancaman breidel. Karena menjadi koran bawah tanah dan alat propaganda perlawanan, koran ini tidak memiliki sidang redaksi. Dalam kasus Suara Independen, pemerintah Orde Baru tidak menemukan sasaran tertuduhnya atas media tersebut, maka Andi (31 thn) dan Dasrul (66 thn) yang merupakan kontak person di Indonesia ditangkap polisi5. Berita yang dimuat Suara Independen pada waktu itu kebanyakan mengulas seputar peristiwa 27 Juli 1996. Sebagai bentuk solidaritas terhadap penangkapan tersebut mahasiswa Yogyakarta melakukan aksi di Bulevard UGM. Sekalipun peristiwa 27 Juli merupakan peristiwa besar yang melukai rasa keadilan masyarakat, namun sedikit dari MS yang berani untuk mempersoalkannya. Melakukan aksi secara terbuka untuk mengecam peristiwa tersebut dapat menuai masalah besar. Di Yogyakarta sediri sangat terbatas respon MS atas peristiwa tersebut, lebih banyak berupa kasak-kusuk politik daripada protes terbuka. Karena mempersoalkan peristiwa 27 Juli pada bulan –bulan menjelang pemilu bisa berakibat fatal, dituduh subversif . Namun demikian aksi oposisi tetap ada yang melakukan, khususnya kelompok PDI Pro Mega melalui pelantikan pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) serta Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Yogyakarta pada tanggal 23 September 1996 di rumah Soetardjo Soerjogoeritno. Untuk pertama kalinya nama ”PDI Perjuangan” disebut dalam acara pelantikan ini 6. Pemilu 1997 menjadi peristiwa paling dramatik dalam sejarah pemilu di Indonesia. Mengapa disebut paling dramatik? Karena banyaknya peristiwa nasional dan lokal yang berkaitan dengan pemilu 1997, khususnya peristiwa yang berujung pada menguatnya gerakan oposisi. Setiap menjelang pelaksanaan Pemilu, rezim Soeharto senantiasa dipusingkan dengan fenomena Golongan Putih (Golput) yang dipopulerkan oleh Arief Budiman pada tahun 1971. Golput sesungguhnya tidak memiliki efek politik apapun terhadap hasil penyelenggaran pemilu yang sudah pasti dimenangkan oleh Golkar. Tetapi Golput menunjukkan ketidaksetujuan kalangan warga sipil terhadap penyelenggaraan pemilu yang dianggap tidak
5 6
D&R Edisi 37/01 -06/Nov/1996 Suara Independen, No. 2/III/Sept-Okt 1996
63
demokratis. Pembesaran Golput dapat dilihat sebagai pembesaran gerakan protes di Indonesia, karena semakin banyak orang yang melakukan Golput maka pemilu sedang mengalami delegitimasi. Padahal pemilulah sumber legitimasi Orde Baru. Setelah peristiwa 27 Juli, upaya berbeda untuk mendelegitimasi pemilu berkembang, salah satunya adalah pendirian Komite Independen Pemantau Pemilu(KIPP). KIPP didirikan beberapa minggu sebelum peristiwa 27 Juli, yakni tanggal 15 Maret 1996 oleh Buyung Nasution, Ali Sadikin, Permadi, Mulyana W Kusuma, Gunawan Muhammad, dan lain-lain. Di Yogyakarta pendirian KIPP dipelopori oleh kelompok LSM yang tergabung dalam Forum LSM DIY dan salah satunya adalah LAPERA.7 KIPP tidak memiliki kontribusi significant untuk menyatakan bahwa pemilu 1997 cacat politik, tetapi keberadaan kelompok oposan semacam KIPP memiliki pengaruh terhadap dinamika politik, terutama pertumbuhan kesadaran dikalangan masyarakat sipil. Salah satu diskusi KIPP di sebuah kampus Yogyakarta pada tanggal 9 Januari 1997 dilarang secara sepihak oleh Rektorat. Diskusi tersebut menghadirkan Angger Jati Wijaya sebagai presidium KIPP Yogyakarta8. Kehadiran KIPP sering dianggap sebagai puncak gunung-es keresahan politik kelas menengah. Keresahan-keresahan itu sebenarnya telah lama muncul dalam bentuk Golput, golongan yang dengan sengaja tidak menggunakan haknya untuk memilih salah satu kontestan Pemilu. Mereka disebut "putih" tidak memilih warna kuning, merah, atau hijau. Juga karena golongan itu menyatakan pasifisme politik yang dilambangkan oleh warna putih.
KIPP
merupakan bentuk protes yang berbeda dengan Golput, yakni secara aktif melakukan pemantauan terhadap penyelenggaraan pemilu untuk mendelegitimasi pemilu yang curang. Kalau Mahasiswa Semarang melakukan apel Siaga Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 1992 yang mengakibatkan dua mahasiswa dipenjara, pada pemilu 1997 kali ini giliran mahasiswa Yogyakarta melakukan protes. Tanggal 1 April 1997, Komite Perjuangan Demokrasi Indonesia (KPDI), menyerukan boikot Pemilu '97. Aksi yang dimulai dari FISIP UGM ini juga berakhir dengan 7
Bernas, 20 /3/1996 Diskusi tersebut diselenggarakan di Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta oleh pers mahasiswa Cakrawala. (catatan penelitian) 8
64
penangkapan 24 aktifisnya dan sebagian dilarikan ke rumah sakit karena mendapat perlakukan keras dari aparat keamanan. KPDI merupakan organ gabungan dari berbagai kampus antara lain PPD Yogyakarta, DEMA-UGM, DEMA-USD, Majalah Pijar Fak. Filsafat UGM, Majalah Dian Budaya Fak. Sastra-UGM, Majalah Balairung, Surat kabar Bulaksumur, KD. Janin, dan Paguyuban Pendukung Megawati Yogyakarta – PPMY9. Satu hari kemudian KPDI kembali melakukan aksi menuntut pembebasan rekan-rekan mereka dan baru pada tanggal 3 April 1997 mereka semua dibebaskan. Pada tanggal 25 April 1997, di IAIN berlangsung aksi menyikapi tragedi Ujung Pandang berdarah10. Pada puncak aksi, mahasiswa menyerukan Golput. Tanggal 21 Mei 1997, Pusat Perjuangan Pemuda Yogyakarta (PPPY), menggelar aksi dengan nama Gema Golput (Gerakan Mahasiswa Golongan Putih) . Aksi ini juga diikuti di berbagai kota seperti Malang, Surabaya, Semarang dan kota-kota lainnya11. Perlawanan rakyat nampaknya semakin mengeras pada pemilu kali ini. Berbeda dengan pemilu 1992 dimana protes hanya berlangsung di beberapa tempat, khususnya di dalam kampus, pada pemilu 1997 ini protes terhadap pelaksanaan pemilu semakin masif dan mulai beranjak keluar kampus. Keresahan telah membuncah, dan termanifestasi dalam aksi-aksi yang berlangsung secara sporadis dan semakin berani. Peristiwa 27 Juli nampaknya menjadi kotak pandora bagi pemerintah Orde Baru yang telah menebarkan bibit protes dimana-mana. Keresahan telah menyebar dan muncul dalam berbagai bentuk perlawanan. Kasus 9
Wawancara Hari Prabowo (koordinator Advokasi) tanggal 5 Mei 2007, Siaran Pers, 1 April 1997 Peristiwa Ujung Pandang Berdarah adalah peristiwa yang menewaskan 3 mahasiswa Universitas Muslim Indonesia, mereka adalah: Andi Sultan Iskandar, Tasrif Daming dan Saiful Biya. Insiden diawali dengan demonstrasi oleh mahasiswa Makassar pada tanggal 24 April 1996 yang menolak pemerintah menaikkan tarif angkot yang dirasa sangat memberatkan masyarakat pada saat itu. Instruksi kenaikan tarif angkot yang berawal dari SK Menteri Perhubungan tanggal 3 April 1996 ditindaklanjuti oleh Wali Kota Ujungpandang (sekarang Makassar) Malik B. Masry dengan mengeluarkan SK bernomor 900/1V/1996. Rasmi Ridjang Sikati [2008] Mencari Jejak Amarah I, II, Link Pena, Surya, 29/4/1997 10
11
Gema Golput sendiri tidak hanya diikuti mahasiswa Yogyakarta, tetapi beberapa kampus di luar Yogyakarta seperti Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS), Komite Mahasiswa Malang Untuk Pemilu (KO'PILU), Forum Mahasiswa Jombang (FORMAJO), Sekretariat Mahasiswa Bali (SKEMA-B), Forum Komunikasi Mahasiswa Purwokerto (FKMP), Kelompok Kajian Pojok Surau (KKPS), Probolinggo, Aliansi Mahasiswa Pendamping Rakyat (AMPERA), Wonosobo, Forum Mahasiswa Sadar Lingkungan (FORMASAL) Semarang, Forum Komunikasi Pergerakan Mahasiswa Madura (FKPMM). Pernyataan Sikap PPPY, 21 Mei 1997
65
Kuningisasi dan fenomena Mega Bintang yang terjadi di Jawa Tengah barangkali dapat menjadi gambaran bagaimana protes MS berlangsung. Pada bulan Juli 1995 Gubernur Jawa Tengah Soewardi mencanangkan gerakan kuningisasi. Konon menurut Soewardi kuning itu adalah simbol kebersamaan12. Kuningisasi paling mencolok terjadi di Jawa Tengah, mungkin karena target
ambisius Golkar yang dicanangkan untuk propinsi ini, yakni
memperoleh kemenangan 80% dari total suara. Di Jawa Tengah ini, secara khusus rupanya pemerintah berupaya memperbaiki hasil Pemilu 1992, saat itu suara untuk Golkar turun 12%, sesuatu yang membuat pemerintah kehilangan muka. Menghadapi hujan kritik yang menganggap bahwa kampanye warna kuning yang berlebihan itu merupakan suatu pelanggaran terang-terangan terhadap aturan pemilu, Gubernur Jawa Tengah berdalih bahwa warna kuning itu merupakan warna maskot Propinsi Jawa Tengah, Burung Kepondang. Di beberapa tempat, kuningisasi mendapat perlawanan yang cukup kuat. Di kota Solo, perang cat meledak di awal 1997. Para pendukung PPP mengecat ulang fasilitas-fasilitas umum yang semula dipulas kuning oleh Pemerintah Daerah, menjadi putih. Pendukung PDI Megawati tak mau ketinggalan, mereka memulas fasilitas umum tersebut dengan warna merah putih di Semarang, Tegal dan Pekalongan. Maret 1997, PPP menuntut secara hukum Gubernur Jawa Tengah yang mendorong masyarakat agar mengecat fasilitas umum dengan warna kuning tindakan yang jelas-jelas mencuri start kampanye Pemilu 1997 untuk kepentingan Golkar13. Berbeda dengan Kuningisasi, peristiwa yang tidak kalah menarik adalah fenomena ”Mega Bintang”. Mega Bintang adalah koalisi pendukung Megawati dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dilambangkan ”Bintang”. Istilah Mega Bintang di populerkan oleh Mudrick Sangidu yang mengambil tag line salah satu acara di stasiun TV swata yang memutar film-film Hollywood, ”Mega Bintang”. Fenomena ini menjadi gejala politik paling menarik pada tahun 1997 yang mampu mendongkrak perolehan suara PPP karena limpahan suara dari massa
12 13
Kompas, 20 /7/1995 Article XIX , Forum Asia, dan AJI, 1997; D&R, Edisi 47/01 - 18/Jan/1997
66
PDI Pro Mega14. Mudrick berhasil mencuri isu dari tumbuhnya ketidakpuasan massa PDI atas perlakuan pemerintah. Mega Bintang bukan fenomena politik biasa, tetapi bentuk protes sipil terhadap pemerintah. Kekhawatiran pemerintah sangat tinggi terkait dengan fenomena ini, terbukti dari pelarangan spanduk kampanye yang bertuliskan Mega Bintang di berbagai tempat15. PPP menarik limpahan suara para pengikut Megawati yang kecewa. melalui jargon Mega-Bintang, PPP kala itu meraih sekitar 20 persen dari total perolehan suara nasional. Di Yogya sendiri fenomena yang sama juga berlangsung, dimana sebagian besar massa PDI Megawati mengalihkan suaranya ke PPP16. Fenomena Mega-Bintang merupakan gejala politik spontan, bukan merupakan pemikiran, intruksi, atau strategi yang direncanakan oleh PDI Megawati. Mega Bintang juga merupakan protes massa pendukung Megawati kepada pemerintah, atau spontanitas massa yang merasa jengkel atas perlakukan tidak adil kepada Megawati, dalam hal ini adalah sarana untuk melepaskan atau menyalurkan aspirasi dan kesumpegan yang selama ini tertutup. Fenomena ini sekaligus sebagai ekspresi protes terhadap pemerintah, dalam hal ini ditujukan kepada aparat keamanan17. Akhirnya pemilu 1997 dilaksanakan pada tanggal 28 Mei 1997 dan Golkar memenangi lebih dari 70 % kursi DPR RI. Di Yogyakarta sendiri dari 31 kursi DPRD Kotamadya, Golkar mendapatkan 16 Kursi, PPP 14 Kursi dan PDI 1. Di Yogyakarta pelaksanaan pemilu tidak berlangsung aman dan damai. Ketegangan-demi ketegangan muncul, khususnya antara massa PPP dan Golkar. Golkar merasa kecurian karena ternyata massa PSIM ( Pendukung Setia Ibu Megawati) banyak yang lari ke PPP18. Hal ini membuat Golkar berang. Tanggal 30 April 1997 kantor DPC PPP di Jalan Veteran diserang satgas Golkar (Cakra)19.
14
Lihat Arief Budiman , D&R, Edisi 13/02 - 31/Mei/97 Kompas Online, 13 /5/1997 16 Syamsudin Haris (edt), [1999] Kecurangan dan Perlawanan Rakyat Dalam Pemilu 1997, YOI – PPW LIPI, Jakarta 17 J. Kristiadi, TA Legowo, Budi Harjanyo (peny) [1997] Pemilihan Umum 1997; Perkiraan, Harapan, dan Evaluasi, CSIS, Jakarta 18 PSIM adalah nama klub sepakbola di Yogyakarta, singkatan dari Persatuan Sepakbola Indonesia Mataram yang kemudian diubah menjadi Pendukung Setia Ibu Megawati 19 Cakra adalah pasukan keamanan yang direkrut dari para gali, sebagaimana diakui oleh Joyohadikusuma, keluarga keraton yang pro Golkar. Pasukan ini dikenal dengan nama ”Satgas Siluman”, ” Komando Inti Keamanan Anak Muda (Kontikam)” , Angkatan Muda Diponegoro 15
67
Tanggal 18 Mei 1997 kampus IAIN diserbu satgas Golkar dan sempat menimbulkan kerusuhan sampai pagi. Simpati terhadap penyerbuan kampus IAIN dilakukan esok harinya, sebanyak 65 orang ditangkap dalam aksi ini dan kemudian di bebaskan dengan syarat20.
Tanggal 15 Mei 1997 kembali arogansi Golkar
ditunjukkan dengan penyerangan kampus UII hanya karena mahasiswa tidak mau membalas acungan dua jari simbol Golkar. Golkar memang menunjukkan arogansinya sebagai partai berkuasa. Dukungan aparat keamanan terhadap partai Golkar bisa dikatakan sangat vulgar. Paling tidak aparat keamanan melakukan pembiaran ketika massa Golkar melakukan tindakan anarkis. Akibatnya masyarakat membangun sikap antipati terhadap pelaksanaan kampanye Golkar.
Berbeda
dengan kampanye Golkar yang tidak mendapatkan simpati, kampanye PPP justru mendapatkan dukungan besar dari masyarakat Yogyakarta. Tanggal 20 Mei 1997 kampanye PPP di Jalan Cokroaminoto, Wirobrajaan, tepatnya di depan kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
mendapatkan simpati dari para
mahasiswa. 500 mahasiswa menyambut kedatangan massa PPP dan Mega-Bintang. Tidak jarang dalam kampanye PPP mendapat bantuan makanan dan minuman dari masyarakat21. Pemilu 1997 nampaknya menjadi anti klimaks pemerintahan Orde Baru. Berbagai kerusuhan yang terjadi diseluruh wilayah, nampaknya menjadi pertanda kebosanan masyarakat terhadap cara-cara yang dilakukan pemerintah untuk memenangkan Golkar. Kecurangan bukan hanya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, tetapi telah dengan telanjang melukai rasa keadilan masyarakat22. Selain fenomena Mega-Bintang dan kuningisasi yang merembet ke Yogyakarta, kasus pembunuhan wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syarifudin (AMD). Syamsudin Haris (Edt), op cit hal. 103-105. Keluarga Keraton (Joyohadikusumo) langsung menjadi komandan satgas tersebut. Kiprah keluarga keraton di Golkar sangat intensif, hampir seluruh anggota keluarga menjadi bagian dari partai ini, termasuk Sri Sultan HB X. 20 Bernas, 21 /5/1997 21 Indonesia L, 21 /5/1997 22 Di Yogyakarta protes dan keprihatinan masyarakat juga ditunjukkan melalui cara-cara tradisional sebagaimana yang ditunjukkan PSIM (Pendukung Setia Ibu Megawati) melalui ”laku larung sesaji ” pada tanggal 21 Mei 1997. Malam bertepatan dengan saat malam bulan purnama, di Pantai Parangtritis. Aksi Larungan yang merupakan tradisi spiritual rakyat Yogyakarta ini merupakan harapan pelaksanaan Pemilu yang dilakukan pada saat bulan Jawa (Suro), yang menurut kepercayaan Jawa, jika ada peristiwa yang dilakukan pada bulan Suro tersebut akan mengalami nasib sial / naas.Wawancara dengan Djuwarto, 4 Juni 2006.
68
(Udin), juga menjadi kasus yang penting untuk disimak menjelang kejatuhan Soeharto. Kasus ini memiliki kaitan dengan pertumbuhan gerakan oposisi di Yogyakarta. Udin adalah penduduk Kabupaten Bantul yang bekerja sebagai wartawan Bernas23. Tanggal 13 Agustus 1996 menjelang malam, Udin dianiaya orang tidak dikenal dan meninggal tiga hari kemudian di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Diduga motif pembunuhan Udin adalah karena tulisan-tulisannya di Harian Bernas mengenai Bupati Bantul waktu itu, Sri Roso Sudharmo. Kabupaten Bantul mencakup sebuah Kecamatan, bernama Sedayu yang terletak di ujung paling barat. Disinilah konon Soeharto lahir, di sebuah dusun bernama Kemusuk, salah satu dusun dari Desa Argomulyo. Soeharto masih memiliki beberapa kerabat di desa ini. Lurah Argomulyo adalah R. Notosoewito, adik tiri (satu bapak lain ibu) dari Probosoetedjo, adik tiri dari Presiden Soeharto. Pada tanggal 2 Juni 1996, Sri Roso membuat perjanjian dengan R. Notosoewito yang isinya tentang kesediaan Sri Roso membayar 1 milyar rupiah kepada Yayasan Dharmais jika dia terpilih kembali sebagai Bupati Bantul. Surat perjanjian inilah yang menjadi bulan-bulanan Udin di Bernas. Udin selalu memberitakan perkembangan perjanjian itu, dan dianggap mencoreng nama bupati. Selain soal surat perjanjian antara Sri Roso dan Notosoewito, kasus pembangunan Megaproyek Parangtritis sebesar 100 milyar dan korupsi diseputar Bupati selalu menjadi topik yang ditulis Udin. Akibatnya fatal bagi Udin, maut menjemputnya satu hari sebelum Indonesia merayakan kemerdekaan ke 51. Kasus ini segera menjadi sorotan publik, baik nasional maupun lokal. Segera saja masyarakat menghubungkan antara kematian Udin dengan berita-berita yang ditulisnya di Bernas. Polisi berusaha menutupi kasus ini dengan ”mencomot” Dwi Sumiaji alias Iwik untuk dijadikan tersangka dengan alasan perselingkuhan dengan istri Udin. Publik tidak percaya begitu saja, dalam perkembangannya seluruh tuduhan yang disangkakan kepada Iwik kandas. Kasus ini menjadi berita paling
23
Bernas merupakan koran yang pada waktu Soeharto berkuasa koran kritis menyikapi kebijakan pemerintah. Koran ini dulunya bernama Suara Indonesia berganti nama jadi Suluh Indonesia pada 1966, berganti lagi jadi Suluh Marhaen pada Juni 1966 hingga Mei 1971.
69
hangat di Yogyakarta medio 1996/1997. Udin hanyalah potret arogansi kekuasaan produk Orde Baru24. Tekanan terhadap media bukan hanya ditujukan kepada wartawannya saja sebagaimana kasus Udin, tetapi juga kepada institusinya, yakni Bernas. Para Wartawan Bernas yang mencari dalang pembunuh Udin yang tergabung dalam Tim Kijang Putih (TKP), secara tiba-tiba dipindah dan dipecat dengan berbagai alasan, salah satunya karena tidak bersih lingkungan. Konon hal ini atas perintah langsung dari Korem Yogyakarta25. Peristiwa politik menjelang pemilu diatas dapat menjadi pelajaran berharga dalam perkembangan politik di Indonesia. Beberapa kesimpulan dapat ditarik berdasarkan peristiwa yang terjadi, baik di level nasional maupun di Yogyakarta. Pertama, pemilu 1997 dan seluruh rangkaian politik yang berlangsung sebelumnya adalah mengerasnya ketidakpuasan masyarakat terhadap perilaku elit politik. Kasus Udin merupakan salah satu contoh. Dalam tradisi militer Orde Baru, menjadi sesuatu yang lumprah ketika perwira aktif dari kalangan tentara dikaryakan dalam jabatan-jabatan sipil, sebagaimana Sri Roso. Akibatnya tradisi kekerasan dibawa sampai diranah politik yang mengakibatkan hilangnya nyawa wartawan. Cara semacam ini menimbulkan kegundahan di masyarakat dan membuncah dalam bentuk protes-protes secara masif yang berujung anarkisme. Protes rakyat dapat dijumpai dengan mudah pada pemilu 1997 adalah berkendara sepeda motor pada waktu kampanye dengan knalpot dibuka sehingga menimbulkan raungan keras. Ini adalah protes terhadap kemapanan pemilu yang diminta berlangsung damai, aman, tertib sebagaimana khendak Orde Baru. Kedua, rakyat semakin cerdas dalam mengelola dan membelokkan kesadaran melalui cara-cara lokal. Fenomena Mega Bintang mengambil judul acara di sebuah stasiun televesi swasta pada tahun tersebut, menjadi jargon politik yang populer. PSIM (Persatuan Sepakbola Indonesia Mataram) yang menjadi klub sepakbola dengan pendukung fanatis di 24
Lihat D&R 02/Okt/1996; Gatra Nomor 06/III, 28 Desember 1996; SiaR, 6 November 1998; SiaR, 20 November 1998. Sri Roso tetap terpilih sebagai Bupati, namun sejalan dengan kejatuhan Soeharto, Sri Roso juga ikut jatuh. Sampai sekarang dia tidak tersentuh oleh kasus Udin, satusatunya sanksi yang dijatuhkan kepadanya adalah hukuman 9 bulan dalam kasus suap kepada Notosoewito. 25 D&R, Edisi 27/02 - 03/Sep/97; D7R, Edisi 23/02 - 07/Ags/97 Xpos, No 23/II/11-17 Juli 99
70
Yogyakarta diplesetkan menjadi Pendukung Setia Ibu Megawati. Hal ini menunjukkan kemampuan mengorganisir diri yang semakin tinggi dikalangan masyarakat sipil. Ketiga, kepanikan kekuasaan dalam mempertahankan hegemoni. Kuningisasi yang terjadi di Jawa Tengah serta pembentukan satgas-satgas partikelir Golkar di Yogyakarta menjadi bukti bahwa pemerintah sedang mengalami krisis identitas. Krisis ini semakin menguat ketika pemerintah kehilangan kendali atas wilayah sosial politik publik saat krisis ekonomi berlangsung pada tahun 1998. Keempat, Yogyakarta sebagai basis komunitas sipil tidak pernah meninggalkan peran politiknya sebagai oposan. Berbagai cara dilakukan untuk mendelegitimasi kekuasaan. Hasil pemilu 1997 di kota Yogyakarta dimana PPP dan Golkar hanya selisih dua kursi menunjukkan bahwa kekuatan oposan tersebut masih eksis.
5.2. Gerakan Protes Menjelang Kejatuhan Soeharto Setiap gerakan oposisi senantiasa membutuhkan simbol-simbol, tidak terkecuali figur yang akan dijadikan wacana tanding terhadap status quo. Megawati adalah simbol perlawanan sekalipun tidak pernah memberikan intruksi untuk melawan Soeharto. Tetapi kasus perpecahan di tubuh PDI yang direkayasa pemerintah, sampai peristiwa 27 Juli 1996, telah mengundang simpati rakyat. Inilah melowdrama politik paling besar dalam panggung Indonesia. Selain Megawati, terdapat satu figur yang tidak dapat dilepaskan dari kekuatan oposan menjelang kejatuhan Soeharto, yakni Amien Rais.. Amien Rais adalah ketua Muhammadiyah periode 1995-2000, ormas Islam terbesar ke dua di Indonesia. Konon Presiden Soeharto juga adalah warga Muhammadiyah. Sebagai ketua Muhammadiyah, posisi Amien Rais sangat penting dalam panggung politik nasional, tentu saja dukungan dan pengaruh politik dari ormas ini tidak dapat diremehkan. Banyak pejabat dan tokoh nasional berasal dari kalangan Muhammadiyah, seperti Adi Sasono, Jenderal Faisal Tanjung, Syarwan Hamid, Parni Hadi, Affan Gafar, dan tidak ketinggalan BJ Habibie, kesayangan Soeharto pada waktu itu. Kelompok ini membuat gerbong politik untuk mengimbangi dominasi kelompok Katholik dan Nasionalis yang dikenal dengan nama ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) dengan Habibie duduk
71
sebagai Ketua dan Amien Rais duduk sebagai Ketua Dewan Pakar26. ICMI juga menerbitkan surat kabar nasional dengan nama ”Republika”, sebagai alat untuk menyiarkan kepentingan dan pengaruhnya, sekaligus untuk menggeser dominasi media-media yang sudah mapan dan berbau nasrani seperti Kompas, Suara Pembaruan, dan Sinar Harapan. ICMI adalah eksperimen elit Muhammadiyah untuk masuk ke pusat kekuasaan yang selama ini didominasi oleh kelompok Katholik dan Nasionalis melalui Beny Moerdani dan Try Soetrisno. Oleh karena itu mereka sangat berhati-hati dalam menjaga perasaan Soeharto, agar tetap memberikan kepercayaan kepada kader-kader Muhammadiyah duduk dalam kekuasaan. Namun rupanya Amien Rais adalah anak nakal bagi kelompok ini. Melalui koran Republika, dalam kolom Resonansi, Amien menulis kritiknya terhadap pemerintah. Pertama soal tambang emas Busang yang konon menyimpan kandungan emas lebih besar dari Freeport. Kemudian bergeser ke soal kontrak karya dengan Freeport yang dinilainya penuh dengan KKN27. Kritik Amien Rais semakin berani dengan mempersoalkan kebijakan Soeharto yang sarat dengan KKN. Tidak pelak lagi, hal ini membuat ICMI yang sudah mulai mendapat tempat di hati Soeharto merasa was-was. Segera saja dilakukan serangkaian ”tindakan tegas” kepada Amien Rais, yakni memecatnya dari posisi ketua Dewan Pakar28. Dengan penyingkiran Amien Rais dari ICMI yang nota benenya dianggap sebagai think-thank baru pemerintah Soeharto dan tulisan-tulisannya yang berani, segera saja publik mengangkatnya menjadi tokoh yang akan menghadang Soeharto. Berbeda dengan Megawati, posisi Amien Rais sebagai ketua Muhammadiyah menjadikan kubu pemerintah lebih berhati-hati mengambil tindakan keras kepadanya. Megawati, Mudric Sangidu, dan Amien Rais menjadi tokoh sentral 26
Dalam perkembangannya kelompok ini dapat menjadi kendaraan untuk masuk ke jatung kekuasaan dengan menduduki pos-pos penting seperti Panglima ABRI di jabat oleh Faisal Tanjung, Kasospol ABRI oleh Syarwan Hamid, Kasad oleh R. Hartono, sampai prestasi tertingginya adalah keberhasilannya dalam mendudukkan BJ Habibie sebagai Wakil Presiden pada sidang umum MPR 1998. Dalam konstelasi di tubuh militer, kelompok ini dikenal dengan Jendral Hijau sebagai lawan dari Jendral Merah Putih antara lain Try Soetrisno, Edi Sudrajat, SBY, dan lain-lain. Xpos, No 08/III/13-19 Maret 2000; Femi Adi Soempeno & AA Kunto [2007] Perang Panglima; Siapa Menghianati Siapa? Galang Press,Yogyakarta. ICMI juga membuat kelompok think-thank, yakni CIDES sebagai upaya untuk menggeser pengaruh Katholik melalui CSIS. 27 Hamid Basyaib dan Ibrahim Ali Fauzi, [1997] Ada Udang Dibalik Busang, Mizan, Bandung; Kontan, 8 April 1997, Tempo Interaktif, Edisi 52/01 - 22/Feb/1997 28 Kompas Online , 25 /2/1997; Republika Online 23 /2/1997
72
yang menghimpun kekuatan oposan Orde Baru.
Bagaimanapun
oposisi
membutuhkan kepemimpinan, sekalipun itu hanya simbol29. Hari setelah pelaksanaan pemilu 1997, adalah libur panjang bagi mahasiswa. Umumnya mereka pulang ke kampung halaman masing-masing dan untuk sementara libur politik. Sekembalinya
mereka ke kampus,
segera saja
mahasiswa menyusun strategi baru. Setelah mendelegitimasi pemilu 1997 gagal dilakukan, tiba saatnya untuk menyongsong Sidang Umum MPR 1998. Dalam era Orde Baru, Sidang Umum MPR memiliki tugas penting, yakni menunjuk Soeharto sebagai Presiden. Agenda ini menjadi rutinitas dalam tradisi politik Orde Baru. Oleh karena itu mahasiswa segera akan menghadangnya melalui berbagai cara, termasuk memunculkan figur baru diluar Soeharto, meskipun kecil kemungkinan untuk didengar oleh MPR. Namun paling tidak dalam SU MPR ini wacana suksesi mulai digulirkan. Akhir Oktober 1997, mahasiswa UMY, UGM dan UII melakukan penolakan atas pencalonan Soeharto. Pada tanggal 27 Oktober 1997, para mahasiswa menggelar aksi keprihatinan. Dalam aksi itu mereka menuntut agar diadakan penyegaran kepemimpinan nasional30. Dengan kekerasan, ABRI membubarkan aksi unjuk rasa mahasiswa tersebut. Tanggal 10 Desember 1997 mahasiswa kembali turun ke jalan, sekalipun dalam tema Hak Asasi Manusia, mereka tidak lupa mengusung isu suksesi dalam aksi mereka. Akibatnya mereka dipukuli oleh tentara dan diangkut ke Kodim31. Pada bulan yang sama Senat Mahasiswa UGM menyelenggarakan polling untuk mengukur probabilitas Soeharto oleh mahasiswa untuk dipilih kembali. Hasilnya 98% mahasiswa peserta poilling tidak menghendaki Soeharto dipilih lagi sebagai presiden32. Sekalipun proses politik berkaitan dengan pemilu dan Sidang Umum MPR semakin menghangat, tapi persoalan yang tidak kalah pentingnya pada periode tersebut adalah masalah seputar RUU tenaga kerja. RUU tenaga kerja yang 29
Bernas, 12/2/1998; Jawa Pos, 12 /2/1998; Suara Merdeka, 12 /2/1998 : Indonesia L Forum, 8 November 1997 31 Aksi ini diorganisir oleh Komite Aksi Rakyat untuk Perubahan yang nantinya akan menjadi Komite Perjuangan Rakyat Untuk Perubahan (KPRP) organ aksi PRD untuk menentang Soeharto. Radio Nederland 11 Desember 1997 32 Wawancara Ridaya Laode Ngkowe . 21 Juni 2008 30
73
kemudian disahkan menjadi UU No. 25 /1997 dipandang oleh kelompok LSM perburuhan sangat merugikan kepentingan buruh. Beberapa isi dari RUU tersebut yang dianggap merugikan adalah PHK sepihak, pesangon, buruh yang tidak masuk tiga hari dianggap mengundurkan diri, dan lain sebagainya33. RUU ini disusun dengan menggunakan menggunakan dana Jamsostek dimana itu merupakan hak kaum buruh. RUU yang digunakan untuk menindas buruh disusun dengan uang hasil keringat para buruh. Segera saja RUU ini menjadi isu nasional ditengahtengah persoalan pemilu dan suksesi. Salah satu LSM yang giat melakukan advokasi atas persoalan ini adalah LAPERA, LBH Yogya dan Forum LSM DIY34. Bagaimanapun LSM memiliki berbagai keterbatasan, khususnya berkaitan dengan keterlibatan massa dalam mendorong masalah-masalah yang diperjuangkan. Upaya yang dilakukan hanya sekedar mendatangi lembaga-lembaga publik untuk melakukan dialog dan mengundang media massa. Tentu saja dengan cara-cara yang demikian isu ini menjadi tenggelam ditengah gelora mahasiswa menuntut Soeharto tidak dipilih kembali. Hal ini karena keterbatasan dan ikatannya terhadap program. Pergerakan politik yang sangat cepat tidak mampu diikuti oleh kalangan LSM yang cenderung administratif karena berhubungan dengan program dan donor. Namun demikian isu ini mendapat sedikit dukungan dari kalangan mahasiswa muslim melalui aksi pada tanggal 12 Desember 1997 yang tergabung dalam Generasi Muda Muslim Yogyakarta (GMMY). LBH Yogyakarta, LAPERA dan Forum LSM melakukan dialog dengan anggota DPRD DIY pada tanggal 9 Desember 1997 untuk menolak keberadaan RUU tersebut. Hari berikutnya merupakan waktu yang panjang dan mengkhawatirkan bagi perjalanan aksi mahasiswa dan pemerintahan Soeharto. Tanggal 6 Januari 1998 pemerintah menyampaikan RAPBN 1998/1999 yang dinilai masyarakat sangat berat dan penuh resiko dengan kurs dollar dipatok Rp 4.000,-. Di berbagai TV nasional Presiden membuat iklan dengan gambar kapal yang terombang-ambing ombak, ditutup kalimat ”Badai Pasti Berlalu” disertai wajah Soeharto yang sudah mulai renta. Melalui iklan tersebut, Soeharto nampaknya ingin menyakinkan 33
Dadang Juliantara, Mahkota Penindasan, Masalah Seputar UU No. 25/1997, Dokumen tidak diterbitkan, 1997 34 Yogya Post, 30 /3/1997; Bernas, 2 /4/1997
74
masyarakat bahwa dia tetap akan menjadi pemimpin yang mampu membawa keluar dari krisis. Aksi mahasiswa terus berlangsung di berbagai wilayah, disertai dengan aksi borong terhadap kebutuhan pokok. Tanggal 15 Januari 1998 Soeharto tidak dapat berkutik lagi, ketika IMF melalui Michael Camdesus memaksa untuk menandatangani LoI (Letter of Intent). Sikap Soeharto yang menandatangani LoI dan Michael Camdesus melihat dengan cara bersedekap tangan menjadi headline media hari berikutnya. Foto ini membuat publik sadar bahwa Soeharto tidak berdaya menghadapi krisis ekonomi. Hari berikutnya adalah persiapan menyambut Sidang Umum MPR dan perubahan besar dalam panggung politik nasional. Tanggal 1-11 Maret 1998 adalah hari istimewa di Senayan. Sebagaimana dalam teks-teks pelajaran di sekolah versi Orde Baru, setiap tanggal 1 -11 Maret setelah pemilu adalah hari penting dalam politik Indonesia karena pada hari itu Majelis Rakyat tertinggi menyelenggarakan sidang. Entah alasan apa
tanggal
tersebut dipilih oleh Orde Baru, barangkali bertepatan dengan Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta yang konon atas prakarsa Soeharto dan 11 Maret 1966 tanggal ketika Soeharto memperoleh kekuasaan dari Soekarno. SU MPR memiliki agenda tunggal, yakni meminta laporan pertanggungjawaban Presiden dan sesudah itu memilih Presiden dan Wakil Presiden. Dapat ditebak dengan proses pemilu yang sebelumnya carut karut, maka SU MPR hanyalah sandiwara politik penguasa. Segera saja mahasiswa bergerak menyongsongnya. Tanggal 1 Maret 1998 di UGM dilakukan mogok makan dan pengibaran bendera setengah tiang oleh beberapa elemen lintas kampus dengan satu tuntutan, penghentian SU MPR. Satu hari berikutnya, aksi ini dibubarkan oleh aparat keamanan. Bagi aparat keamanan, sebuah aksi mogok makan tetap dianggap berbahaya karena dapat mempengaruhi opini publik35. Beberapa kampus pada hari yang sama juga melakukan aksi,
sebagaimana yang berlangsung di
STPMD”APMD” yang menamakan dirinya Barisan Mahasiswa Pendukung Perubahan. Di IAIN sejumlah dosen mulai melibatkan diri dalam aksi bersama mahasiswa, mereka adalah Abdul Munir Mulkan, Chamaidy Syarif Romas, Malik Madany. Keterlibatan para dosen ini merupakan hal baru sekaligus memperbesar 35
Bernas, 3 /3/1998, Kedaulatan Rakyat, 3/3/1998.
75
kepercayaan diri mahasiswa, karena mendapatkan legitimasi moral. Sebelumnya aksi-aksi hanya diikuti sebatas oleh para mahasiswa. Aksi yang menarik ditunjukkan para mahasiswa Institut Seni Indonesia yang berada di Jalan Parangtritis. Lokasi kampus ISI cukup jauh dari pusat kota, namun demikian aksi-aksi yang dilakukan seringkali menarik perhatian media dan masyarakat. Gaya teaterikal yang selalu diusung oleh mahasiswa ISI menjadikan aksi mahasiswa tidak monoton, satir, sinis, tetapi menohok jantung kekuasaan. Kritik yang dilancarkan sangat berani, namun demikian mengundang senyum bagi siapa saja yang menyaksikan. Untuk menyiasati tekanan militer yang acap kali melakukan tindakan keras terhadap mahasiswa yang melakukan demonstrasi, mahasiswa ISI menambilkan bentuk-bentuk teater dengan sedikit peserta tetapi selalu mendapatkan liputan media secara luas. Kehadiran tokoh gerakan mahasiswa ISI juga selalu ditunggu dalam setiap aksi mahasiswa dengan sindiran dan lelucon yang menjadikan demonstrasi tidak kering36. Selain bentuk teaterikal, lagu juga menjadi salah satu cara untuk mengekspresikan kegelisahan politik. Serikat Pengamen Indonesia adalah salah satunya. Kelompok ini merupakan gabungan antara mahasiswa dan pengamen jalanan yang ingin menjadikan kesenian (khususnya musik) sebagai alat perjuangan politik. Mereka menciptakan lagu, mengubah lirik, dan mengarasemen dengan tujuan ekspresi politik yang dinyanyikan pada aksi-aksi mahasiswa37. Dalam setiap aksi mahasiswa, tidak ketinggalan panitia aksi selalu menampilkan ”para korban Orde Baru”. Sebagai contoh adalah aksi mahasiswa yang diisi orasi Wagiman Jenggot, ayah Udin. Kedatangan mereka yang menjadi korban Orde Baru memperkuat sentimen kepada penguasa. Parodi sudah tentu menjadi menu wajib peserta aksi. Kadang dalam bentuk teaterikal ataupun sindiran kepada pengusa. Butet Kartarajasa adalah yang paling jago dalam hal ini. Pimpinan teater Gandrik ini pandai menirukan suara Soeharto sehingga dalam sebuah demonstrasi yang dikoordinasi oleh kelompok mahasiswa Muslim sehabis sholat Jumat, kehadirannya mengejutkan karena dikira Soeharto. Memparodikan Soeharto
36 37
Wawancara dengan Hendro Pleret, 5 Juli 2007 Wawancara I Bob, 23 Juni 2007
76
berarti meruntuhkan seluruh simbol dan ritus yang dibangun oleh Orde Baru dan sekaligus meningkatkan keberanian aksi. Diluar kelompok mahasiswa, kiranya penting dilihat juga keterlibatan kaum agamawan dan elit intelektual kampus dalam mendukung aksi-aksi mahasiswa. Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) adalah forum lintas agama yang didirikan atas dasar penghormatan terhadap nilai-nilai pluralitas. Forum ini didirikan tahun 1997 yang dilatarbelakangi konflik agama di beberapa kota, seperti Tasikmalaya dan Situbondo. Atas inisiatif beberapa tokoh agama di Yogyakarta, tanggal tanggal 24 Maret 1997 diselenggarakan pertemuan di Pondok Pesantren Nurul Ummat,
Kotagede pimpinan KH Abdul Muhaimin
Dalam aksi-aksi
menjelang kejatuhan Soeharto, forum lintas iman ini memiliki andil yang sangat besar dalam menciptakan opini perdamaian dan sekaligus memberikan legitimasi moral atas aksi sebagaimana yang berlangsung pada tanggal 3 Maret 1998 di halaman Fakultas Filsafat UGM. Penutupan aksi mogok makan yang dilakukan oleh mahasiswa Filsafat ditutup dengan doa bersama oleh kyai, pastor dan pendeta38. Aksi mahasiswa terus dilancarkan oleh berbagai kampus. Bahkan mereka mulai mengajak kawan-kawannya yang sebelumnya apatis untuk turut bergerak turun ke jalan. Aksi turun ke jalan juga diikuti oleh kelompok Cipayung yang sebelumnya terkesan lambat dalam menyikapi perkembangan politik dibandingkan kelompok mahasiswa lain. Tanggal 8 Maret 1998, belasan mahasiswa dari kelompok Cipayung melakukan longmarch di Jalan Malioboro. Aksi ini dinamai ”aksi diam” sebagai protes terhadap kritik yang tidak pernah didengar oleh pemerintah. Aksi ini kemudian ditangkap aparat di depan Hotel Mutiara, Jl. Malioboro. Mereka dibebaskan setelah ada negosiasi dari Sultan HB X. Puncak aksi berkaitan dengan Sidang Umum MPR berlangsung tanggal 11 Maret 1998 di depan Gedung Pusat UGM. Hari itu Soeharto dilantik sebagai Presiden yang ketujuh kalinya setelah melalui pendekatan yang alot, khususnya berkaitan dengan wakil presiden39. Di depan Gudung Pusat UGM, 50 ribu mahasiswa dari berbagai
38 39
Bernas, 4/3/1998 Kompas Online, 17/2/1998, Kompas online, 11/3/1998
77
kampus di Yogyakarta menyelenggarakan mimbar bebas. Dalam aksi tersebut beberapa tokoh menyampaikan pidato yang intinya menolak hasil Sidang Umum MPR 1998. Beberapa tokoh tersebut antara lain Prof. Dr. Teuku Jacob, Prof. Dr. Kunto Wibisono; Dr. Amien Rais; Dr. Damarjati Supanjar, Dr. Riswanda Imawan, Dr. Jalaludin Tanjung dan Mudrick Sangidu (ketua DPW-PPP Solo). Puncak dari aksi ini adalah pembakaran patung Soeharto40. Akibat dari aksi ini, lima orang mahasiswa dari lembaga kemahasiswaan dipanggil aparat keamanan41. Para pemimpin agama dan dosen di Yogyakarta tidak berpangku tangan melihat persoalan yang berkembang di masyarakat. Komite Kemanusiaan Yogyakarta (KKY), adalah kelompok yang didirikan oleh intelektual kampus, agamawan, dan LSM untuk menolong korban krisis ekonomi. Komite ini berdiri tanggal 13 Maret 1998 di Yogyakarta. Para pendiri kelompok ini adalah Prof. Dr. Loekman Soetrisno, Dr. Nasikun, Dr. Susetiawan, KH Muhaimin, Romo Yatno, Dr. TH Sumarthana, dan lain sebagainya. KKY didirikan atas empat tujuan pokok yakni, mengembangkan sistem informasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan dampak krisis yang sedang dihadapi rakyat. Kedua, menggalang dan mengembangkan solidaritas berbagai penderitaan dan kekurangan melalui penyaluran bantuan kepada masyarakat yang paling membutuhkan. Ketiga, Mengembangkan fungsi mediasi bagi semua pihak yang berkehendak baik, untuk membantu mereka yang memerlukan bantuan. Keempat, dalam jangka panjang melakukan pemberdayaan ekonomi42. KKY memegang peranan penting dalam mengembangkan solidaritas kemanusiaan di Yogyakarta. Aksi kepedulian sosial dikembangkan melalui berbagai lini, termasuk didalamnya adalah kampanye perdamaian. Komite ini mampu menjalankan tujuan kemanusiaan, yang paling kongkret adalah menyediakan warung murah bagi mahasiswa dan tukang becak di UGM ketika krisis berlangsung43.
40
Bernas, 12/3/1998; Kedaulatan Rakyat, 12/3/1998. Wawancara Siti Fikriyah Kh, 2 Juni 2008 42 Wawancara dengan KH Muhaimin, 7 Mei 2007, Bernas, 14/3/1998, Kedaulatan Rakyat, 14/3/1998.; Suara Merdeka , 14 /3/1998; Kompas, 21/3/1998 43 Harga makanan satu porsi nasi, lauk dan sayur di patok Rp 500,- untuk mahasiswa dan masyarakat tidak mampu lainnya. 41
78
Sementara di jalanan marak aksi mahasiswa, terselip sebuah kasus perseteruan dikalangan intelektual Yogya. Dr. Soffian Efendi adalah staf ahli Habibie sejak menjabat Menristek. Pada tanggal 5 Februari 1998 beberapa tokoh mengadakan
pertemuan di Hotel Radison Yogyakarta yang dihadiri oleh Dr.
Chairil Anwar, Dr. Anggito Abimanyu, Drs. Ravrisond Baswir, MBA, dan Dr. Sofian Effendi sendiri. Salah seorang peserta pertemuan tersebut, yaitu Arifin Panigoro konon mencetuskan gagasan untuk menggagalkan SU MPR. Atas dasar gagasan tersebut, Dr. Sofian Effendi membuat laporan ke BJ Habibie tentang adanya rencana makar. Ada dugaan tindakan Sofian Effendi ini untuk mencari muka dihadapan Habibie agar diangkat menjadi menteri di kabinet berikutnya44. Sidang Umum MPR telah selesai dengan hasil yang mengecewakan. Publik sekarang menunggu pembentukan kabinet baru. Tanggal 14 Maret 1998 Soeharto mengumumkan kabinet baru dengan Bob Hasan sebagai Menteri Perdagangan dan Tutut sebagai Menteri Sosial. Komposisi kabinet ini dianggap penuh KKN dan tidak menunjukkan niat baik Soeharto untuk memperbaiki keadaan. Segera saja pengumuman kabinet disambut demo oleh para mahasiswa. Aksi mahasiswa tidak hanya dilakukan di dalam kampus, tetapi sudah mulai bergerak keluar kampus. Tanggal 27 Maret 1998, mahasiswa IAIN memblokir jalan Timoho. Aksi ini sudah diikuti ratusan mahasiswa dari sebelumnya hanya puluhan. Rangkaian demonstrasi di Yogyakarta yang fenomenal berlangsung pada tanggal 3 April 1998. Demonstrasi ini dipanyungi oleh Komite Perjuangan Rakyat Untuk Perubahan (KPRP), organ aksi di bawah PRD. Demonstrasi dimulai dari plasa Fisipol UGM. Jam 09.00 aksi mulai bergerak keluar kampus melalui Jalan Yustisia ke arah timur melewati Filsafat. Dari Filsafat para peserta aksi bergerak ke arah Bulevard UGM melalui Fakultas Sastra. Di depan Gelanggang UGM peserta aksi dihadang oleh tentara. Satu hal penting yang perlu dicatat dalam aksi ini adalah keterlibatan pelajar SMA yang tergabung dalam Gabungan Aksi Pelajar Cinta Indonesia (GAPCI). Selain pelajar juga pengamen, tukang becak, pedagang, pendukung Megawati, dan lain sebagainya ikut memberikan orasi menuntut Soeharto turun. Isu yang diangkat juga semakin berani, bukan hanya suksesi kepemimpinan, tetapi juga 44
Kedaulatan Rakyat, 19/3/1998.
79
pencabutan dwi fungsi ABRI dan paket UU Politik, pembebasan Budiman Sudjatmiko, referendum bagi Timor Leste dan lain sebagainya. Satu hal yang perlu digaris bawahi dalam aksi-aksi periode April 1998 adalah perluasan sektor aksi yang tidak hanya terbatas dikalangan mahasiswa, tetapi juga merambah ke sektor lain yakni buruh, tani, pedagang, pengamen, tukang ojek, dan lain sebagainya. Aksi KPRP ini berakhir dengan bentrok setelah ultimatum aparat keamanan yang tidak digubris oleh peserta. Akibatnya 88 demonstran mengalami cidera. Satu catatan yang menarik dari rangkian aksi ini adalah dukungan masyarakat terhadap peserta aksi. Ketika berlangsung bentrok antara aparat keamanan dengan mahasiswa, dan aparat keamanan menembakkan gas air mata, banyak mahasiswa yang merasakan perih di wajah dan mata. Para pedagang es yang banyak dijumpai di sekitar Bulevard UGM pada waktu itu memberikan dagangannya secara cumacuma untuk mencuci wajah mahasiswa mengurangi rasa pedih. Solidaritas ini nampaknya menjadi potret bahwa keresahan telah menjalar ke berbagai strata sosial. Dalam setiap protes yang dilancarkan, lagu hyme ” Darah Juang” dan ’Sumpah Mahasiswa Indonesia” selalu menjadi bagian penutup dari rangkaian demosntrasi. ”Darah Juang” adalah lagu wajib gerakan protes yang mencerminkan panggilan untuk membela tanah air dari kaum penindas. Lagu ini diciptakan oleh John Tobing, mahasiswa Filsafat UGM dibantu Dadang Juliantara dan Budiman Sudjatmiko.
Sumpah Mahasiswa adalah adaptasi dari Sumpah Pemuda 1928.
Sumpah ini diadaptasi oleh Afnan Malay mahasiswa Fakultas Hukum UGM. Selain lagu ”Darah Juang”, sekelompok pengamen juga merubah lagu anak-anak yang terkenal pada waktu itu dengan judul ”Indonesia Oye”45. Metode aksi rupanya juga semakin berkembang sehingga tidak membuat bosan peserta aksi. Aksi mahasiswa nampaknya semakin menemukan pola untuk menarik simpati dan perhatian publik. Bentrok adalah salah satu cara agar perhatian masyarakat tertuju atas tuntutan aksi. Aksi damai yang biasa berlangsung, dianggap tidak mendorong peningkatan ekskalasi politik. Oleh karena itu beberapa elemen
45
”Indonesia Oye” adalah lagu yang berisi olok-olok keadaan indonesia dimana rakyatnya tergusur ditengah-tengah negeri yang kaya makmur. Wawancara I Bob, 23 Juni 2007
80
aksi mentargetkan bentrok dengan aparat diakhir acara. Namun kadangkala tidak setiap aksi dapat dikendalikan sepenuhnya oleh mahasiswa. Banyak dari kalangan mahasiswa yang tidak memiliki pengalaman cukup dalam mengendalikan aksi-aksi yang berakhir dengan bentrokan. Sebagai contoh adalah aksi yang berlangsung di depan kampus Sanata Dharma, Yogyakarta yang dikoordinir oleh Solidaritas Mahasiswa Untuk Reformasi (Somasi) pada tanggal 7 Mei 1998. Dua hari sebelumnya pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM yang diikuti oleh kepanikan dimana-mana. Ketika sekelompok mahasiswa membentuk komite aksi, sudah pasti disambut dengan antusias oleh masyarakat. Aksi dimulai pukul 09.00 dengan beberapa orasi dari peserta aksi yang intinya mengecam Soeharto di depan Universitas Sanata Dharma. Tepat pukul 11.00 WIB, peserta aksi mulai bergerak keluar kampus untuk menuju ke DPRD DIY. Tanpa diperhitungkan oleh panitia aksi, rupanya keresahan masyarakat telah mendorong keterlibatan yang besar dalam aksi mahasiswa. Semakin siang peserta aksi bertambah banyak, sampai jumlahnya mencapai puluhan ribu. Jam 16.00 WIB Polisi memberi peringatan agar peserta aksi membubarkan diri, namun tidak digubris. Massa tidak mau membubarkan diri dan panitia aksi mulai kehilangan kendali atas aksi. Tepat pukul 17.00 WIB Polisi membubarkan demonstrasi secara paksa dan mengakibatkan bentrok selama tiga hari tiga malam yang berujung pada tewasnya Mozes Gatotkaca. Demonstrasi ini merupakan salah satu yang fenomenal di Yogyakarta selain beberapa demonstrasi yang melibatkan ribuan massa di beberapa tempat. Salah satu yang penting untuk dicatat dalam peristiwa Gejayan adalah keterlibatan secara luas masyarakat dalam keseluruhan kerusuhan yang berlangsung selama 3 hari. Masyarakat dan mahasiswa berbaur melawan aparat keamanan yang dianggap sebagai bagian kekuasaan. Banyak peserta aksi yang disembunyikan oleh warga masyarakat di rumah-rumah untuk menghindari kejaran aparat keamanan yang melakukan tindakan keras kepada mahasiswa46. Hari berikutnya adalah waktu yang genting bagi kehidupan politik Indonesia. Hampir tiap hari di Yogyakarta selalu diwarnai oleh demonstrasi 46
Dalam catatan peneliti, mereka menyembunyikan mahasiswa di kolong meja, di kamar mandi, di atap rumah dan lain sebagainya. Rupanya masyarakat sudah jengah dengan keadaan sosial politik . Catatan penelitian dan refleksi
81
menuntut Soeharto mundur dari kursi kepresidenan. Di Solo, kota terdekat dari Yogyakarta telah berlangsung kerusuhan yang diawali dengan demonstrasi oleh mahasiswa UMS. Kerusuhan tersebut merupakan yang paling besar sejak kerusuhan rasial tahun 198047. Bagaimanapun peran Sultan sangat besar dalam mencegah aksi-aksi menjadi kerusuhan sosial sebagaimana terjadi di Solo dan Jakarta. Secara psikologis, Sultan telah memberikan dukungan melalui statmentstatment yang membela mahasiswa. Ketika di Solo berlangsung kerusuhan, Sultan melakukan perjalanan keliling dengan mengendarai mobil bak terbuka untuk menenangkan massa agar tidak berbuat anarkis48. Salah satu dari rangkaian aksi yang terpenting dan melibatkan Sultan adalah Pisowanan Agung tanggal 20 Mei 1998 di alun-alun utara. Aksi mahasiswa biasanya mengambil hari bertepatan dengan peristiwa bersejarah, seperti misalnya tanggal 10 Desember yang diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia, Tanggal 2 Mei hari Pendidikan Nasional, tanggal 21 April sebagai hari Kartini dan tanggal 20 Mei, hari Kebangkitan Nasional. Dengan maraknya aksi mahasiswa yang terjadi, agaknya tanggal 20 Mei 1998 menjadi hari yang telah dipilih oleh mahasiswa untuk melakukan aksi secara serentak. Hal ini disebabkan tanggal 20 Mei merupakan hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia, Kebangkitan Nasional. Secara simbolik, pemilihan tanggal tersebut dapat diartikan sebagai kehendak rakyat untuk bangkit memulai sejarah baru bagi bangsa Indonesia. Nampaknya suhu politik sudah begitu mendidih, di Jakarta dan Solo telah berlangsung kerusuhan yang memakan korban ratusan jiwa. Soeharto sendiri sudah kehilangan kendali atas jalannya pemerintahan. Tanggal 20 Mei 1998 menjadi puncak atas kekesalan masyarakat terhadap pemerintah. Aksi ini secara khusus telah disiapkan oleh berbagai elemen aksi yang sebelumnya menggalang demonstrasi di berbagai kampus. Senat mahasiswa sudah pasti ikut terlibat dalam persiapan aksi ini, merekalah yang memiliki legalitas di dalam kampus untuk menggerakkan mahasiswa. Sebelumnya tanggal 16 Mei 1998, melihat kerusuhan yang terjadi di Solo dan Jakarta, Sultan sendiri harus segera
47 48
Laporan PMKRI Solo, 1999 Bernas 16/5/1998.
82
mengambil sikap secara terbuka terhadap desakan politik yang muncul dari bawah. Menghadapi resiko munculnya berbagai tindakan anarkis, maka akan lebih baik kalau
Sultan
menerima
dengan
tangan
terbuka
rencana
aksi
tersebut.
Bagaimanapun Sultan tetap menjadi figur penting bagi masyarakat Yogyakarta. Entah mengapa aksi ini kemudian disebut Pisowanan Agung yang dalam tradisi sosial budaya Yogyakarta lebih hirarkis dari pada makna protes yang sifatnya egaliter. Sebagian mahasiswa merasa bahwa Pisowanan Agung adalah kooptasi elit terhadap gerakan rakyat, karena Sultan menemukan legitimasi diatas aksi mahasiswa. Oleh karena itu dikalangan pemerhati politik, sampai sekarang masih berbeda pendapat tentang posisi Sultan dalam aksi 20 Mei 1998. Disusunlah rencana aksi tanggal 20 Mei 1998 secara matang. Rapat-rapat diselenggarakan di beberapa tempat dengan melibatkan 13 Senat mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi ditambah dengan komite aksi yang marak di berbagai kampus. Selain kelompok mahasiswa, intelektual, LSM dan agamawan juga terlibat secara aktif dalam menyiapkan agenda tersebut. Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) dan Komite Kemanusiaan Yogyakarta (KKY), misalnya selain menyiapkan bantuan logistik untuk aksi juga memobilisasi umat beragama untuk ikut terlibat dalam peristiwa tersebut. LSM melakukan gerakan anti kekerasan melalui spanduk dan poster yang ditempel di berbagai tempat. Rapat diselenggarakan di berbagai tempat, kemudian berdasarkan keputusan akhir di Universitas Janabadra, kepemimpinan aksi dipegang oleh kelompok mahasiswa Fampera (Front Aksi Mahasiswa Peduli rakyat) salah satu organ aksi dibawah Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta. Kelompok ini memang memiliki basis kuat di Universitas Janabadra. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau kelompok mahasiswa yang secara ideologis berseberangan dengan PPPY tidak mau bergabung dalam aksi ini, dan memilih untuk bertahan diluar alun-alun. Pagi harinya rombongan aksi berangkat dari 11 titik keberangkatan sebagaimana yang telah direncanakan panitia. Dari utara rombongan berangkat dari halaman gedung Graha Sabha UGM. Dipimpin langsung oleh rektor UGM, Ichlasul Amal. Ini adalah rombongan terbesar aksi yang didominasi oleh mahasiswa-mahasiswa dari sekitar kampus UGM.
Rombongan dari timur berasal dari mahasiswa sekitar
83
Babarsari, yakni UPN, UAJY, dan YKPN. Rombongan dari barat, berangkat dari Jalan Wates seputar kampus ASMI Desanta. Seluruhnya bergerak menuju alunalun utara yang ada dipusat kota Yogyakarta. Satu pemandangan yang menarik dalam aksi yang konon melibatkan satu juta orang lebih, tidak ada sedikitpun kekerasan terjadi sepanjang aksi ini. Seluruh masyarakat dalam kota Yogya menyumbangkan makanan
dan minuman untuk keperluan aksi, mulai dari
pedagang kaki lima sampai dengan jaringan waralaba internasional seperti Pizza Hut dan Mc Donald49. Inilah partisipasi masyarakat dalam mendukung gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta. Puncak dari acara itu adalah pernyataan Sri Sultan HB X dan Paku Alam ke VIII tentang pentingnya menghindari kekerasan dan ABRI hendaknya mendengarkan tuntutan rakyat50. Esok harinya Soeharto turun dari jabatan yang dikuasainya selama 32 tahun dan digantikan Habibie.
5.3. Ikhtisar Smelser (1962) mengemukakan pandangannya mengenai hubungan antara gerakan sosial dan gejolak sosial. Gejolak sosial menurut Smelser adalah mobilisasi atas dasar suatu belief (keyakinan) yang mendefinisikan kembali aksi sosial. gejolak sosial dapat terjadi apabila terdapat sejumlah determinan atau necessary conditions yang berturut-turut terdiri atas hal-hal sebagai berikut (1) kekondusifan struktural, (2) ketegangan struktural (3) penyebaran keyakinan yang dianut (4) faktor pencetus, (5) mobilisasi untuk mengadakan aksi. Situasi menjelang kejatuhan fungsi dari kelima hal yang disampaikan Smelser tersebut diatas. Kalau pada fase sebelumnya gerakan MS di Yogyakarta lebih bercirikan sebagai gerakan sosial yang terbagi dalam berbagai isu, menjelang kejatuhan Soeharto berbagai peristiwa sosial politik ekonomi yang berlangsung telah menimbulkan gejolak sosial yang menyebabkan gerakan sosial mencapai peningkatan eskalasi secara cepat. Faktor eksternal seperti krisis ekonomi,
49
Menurut ketua Senat UGM, kiriman Pizza Hut yang dikirim ke sekretariat senat memenuhi ruangan dan tidak termakan oleh mahasiswa. Wawancara dengan Ridaya Laode Ngkowe . 21 Juni 2008 50 Bernas, 21/5/1998, Kedaulatan Rakyat, 21/5/1998, Kompas Online, 21 /5/1998
84
pelaksanaan pemilu 1997, perpecahan di tubuh PDI telah melahirkan ketidakpuasan yang mempercepat kondisi gerakan menjadi semakin matang.
85