NOTULENSI PEMBUKAAN KONFERENSI REGIONAL MASYARAKAT SIPIL YOGYAKARTA: MASYARAKAT SIPIL DAN PENGUATAN DEMOKRASI INKLUSIF YOGYAKARTA, 25-26 FEBRUARI 2015 Kegiatan ini di live streaming di www.radio.Sigab.or.id/live live twitt@RadioSigab
Hari pertama 25 Februari 2015
MC Mohon perhatian, acara akan segera dimulai. Yth. Bapak Muhammad Joni Yulianto, Bapak Lili dari TAF, Bapak Tri Wahyu dari ICM, Bapak M Sobari budayawan. Bapak Busyro Muqodas, mantan KPK, para undangan semua. Ass.wr.wb. Selamat pagi dan salam sejahtera. Pertama mari kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, sehingga bisa berkumpul di konferensi ini. Sebelum mulai acara mari kita berdoa. Silakan. Susunan acara pagi ini adalah : Pembukaan Coffe break Seminar nasional Ishoma Sharing hasil konferensi masyarakat sipil di Jakarta Coffe break sore Diskusi tematik : pemilu 2014, politik anggaran berbasis hak masyarakat, kriminalisasi dan perlindungan hukum, aksesibilitas layanan, intoleransi dan kekerasan, implementasi jamsos jamkes, keberpihakan media terhadap masyarakat rentan. Sambutan pertama ol;eh bapak Muh Joni Yulianto, silakan. Sambutan ketuaa panitia, pak ishak.
Ishak Ass.wr.wb. Selamat pagi semua. Saya ingin sampaikan, pertama dari panitia pelaksana konferensi masyarakat sipil Yogya ini terimakasih atas kehadiran teman sekalian, para aktifis masyarakat sipil tentu saja ini kebahagiaan dari panitia. Yang beberapa haari ni mempersiapkan acara ini. ada sedikit yang kami sampaikan.
1
Tujuan dari konferensi ini adalah melakukan evaluasi kritis atas penyelenggaraan demokrasi inklusif, kedua mengidentifikasi peluang dan tantangan dalam membangun masyarakat sipil, menyusun agenda bersama untuk mendorong demokrasi yang lebih inklusif. Harapannya konferensi ini bisa tersusun sejumlah evaluasi kritis atas pelaksanaan demokrasi inklusif. Ada catatan mendalam soal peluang dan tantangan dan potensi terbangunnya konsolidasi masyarakat sipil. Kemudian ada kesepakatan agenda bersama atas masyarakat sipil dalam mendorong masyarakat sipil. Rekomendasi yang bisa ditawarkan ke stakeholder terkait. Sejauh ini panitia yang terdiri dari sejumlah organisasi di Yogyakarta, ICM, satunama, KPK – koalisi pemilih kritis, makaryo, LKIS, LBH, Ciqal, Sigab. Kami sejauh ini mengundang teman-teman di LSM dan ormas, organisasi difable di DIY, aktifis buruh, aktifis perempuan, organisasi mahasiswa dan masyarakat yang merupakan pegiat issu sosial. Kami juga mengundang wakil pemerintah baik legislatif dan eksekutif. Semoga bisa hadir. Sebagaimana disampaikan oleh MC, kita akan ada tujuh tema dalam diskusi nanti. Kami pikir hanya itu yang kami sampaikan. Terima kasih atas kehadiran dan keikutsertaan atas konferensi ni. Semoga ada tawwaran yang cerdas dan berguna bagi masyarakat sipil Indonesia.
MC Terima kasih bapak Ishaq Salim. Selanjutnya sambutan bapak direktur Sigab, M. Joni Yulianto. Silakan.
Joni Ass.wr.wb. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Puji syukur ke hadirat Tuhan YME atas rahmat dan hidayahnya, sehingga bisa berkumpul dalam acara konferensi masyarakat sipil Yogyakarta dengan tema penguatan masyarakat sipil dalam demokrasi yang inklusif. Selamat ddatang untuk rekan semua, bersedia hadir untuk berbagi pemikiran dalam konferensi ini. sedikit mengulang yang disampaikan mas Ishaq, kegiatan ini diselenggarakan bersama oleh Sigab dan teman-teman CSO. Dua bulan belakang mempersiapkan ini. kegiatan ini diharapkan bisa menghadirkan catatan kritis. Tentang bagaimana kita ke depan, organisasi masyarakat sipil bisa menguatkan demokrasi khususnya di Yogya. Sedikit latar belakang kegiatan ini. terkait dengan kegiatan dan kerja yang kita lakukan. Bahwa selama pemilu 2014, saya yakin kita bersama ormas sipil, banyak melakukan pengawalan terhadap pemilu 2014. Baik di tingkat nasional dan di Yogya. Di Yogya ada KPK, koalisi pemilih kritis yang melakukan berbagai agenda. Begitu juga Sigab yang spesifik issu pendidikan politik bagi difable. Pendidikan politik, pemantauan pemilu, uapay mendorong partisipasi lebih kuat ddari difable terhadap demokrasi. Di berbagai daerah lain juga inisiatif dilakukan CSO. Salah satu muara dari itu semua, 25-26 november lalu dilakukan konferensi masyarakat sipil di Jakarta, merefleksikan kembali penyelenggaraan pemilu 2014. Melihat isu yang penting di respon pasca pemilu 2014. Terutama penegakan demokrasi dan HAM bisa di dorong.
2
Di Yogya, kita menggagas konferensi regional ini barangkali dengan tema sedikit berbeda. Di Jakarta di level penguatan demokrasi dan ham. Di Yogya, kerja yang telah kita lakukan di issu inklusifitas, Sigab di dukung teman-teman lain, inklusi difable. Kita mengkontekkan itu semua di topik ini, bagaimana isu demokrasi tiddak lepas dari isu inklusifitas. Seringkali masyarakat rentan sering dilupakan dalam demaokrasi. Hanya yang berteriak lantang yang bisa memperolah akses demokrasi selama ini. padahal bukan itu saja isu demokrasi. Demokrasi bukan semata siapa yang bisa bersuara keras. Tapi bagaimana bisa mendengar suara sekecil apapun. Kelompok rentan belum banyak diwakili di ruang politik, bahkan di ruang publik dimana bisa berbicara. Termasuk difable. Salah satu ayng kita temukan di pemilu 2014 aksesibilitas pemilu, bagaimana demokrasi prosedural di atur dan dipenuhi, ternyata masih jauh dari aksesibile bagi difable. Banyak yang belum bisa memberikan suaranya. Itu potret kerentanan itu terabaiakan. Meskipun kita begitu kencang bicara tentang HAM dan demokrasi. Topik ini mendorong demokrasi yang inklusi, kita mendorong agenda demokrasi dan ham benar-benar menjadi agenda yang demokrasi inklusi. Melibatkan kelompok yang selama ini bahkan belum terwakili dalam pergerakan masyarakat sipil. Saya masih banyak belajar dalam pergerakan masyarakat sipil, bahkan gerakan difable. 2003-2004 kami banyak belajar dari mas Wahyu di forum LSM. Belajar pergerakan masyarakat sipil. Masyarakat sipil juga banyak memberikan dukungan ke pergerakan difable. Ini yang perlu kita refresh dan kita bangun kembali untuk kebersamaan. Ada spirit bersama, bahwa masyarakat sipil perlu bersama mendorong demokratisasi inklusif. Di Yogya dan Indonesia, banyak kemajuan. Tahun 2011 kita meratifikasi konfensi hak difable. Namun progres dari ratifikasi itu, baik UU turunannya masih di atas kertas. Ketika kemenlu akan menyusun country report tentang CRPD, bingung sendiri. Karena implementasinya belum mulai. Yogya punya perda juga. Akan berlakku efektif dua tahun setelah disahkan. Tapi sampai sekarang belum terlihat persiapan untuk implemetasi tersebut. Misalnya jamkessus. Seharusnya sudah terimplementasi 2014 tapi sekarang masih dalam persiapan. Teman yang akan mengakses masih diping pong. Juga persiapan anggaran, belum spesifik ditentukan di perda ini. ini bagian dari masalah real yang terjadi. Jadi pendiskusian kita masyarakat sipil harus menentukan posisi. Saya kira demikian. Sekali lagi terima kasih kepada semua teman-teman. Juga TAF yang mendukung acara ini. selamat berdiskusi dan mari kita buka dengan membaca Basmallah. Wass.wr.wb.
MC Terima kasih kepada bapak Joni. Acara selanjutnya coffe break. Silakan menyantap hidangan yang ada di luar ruangan. Nanti kembali pukul 10. Terima kasih. ---------------------------------------break sampai jam 10.00 --------------------------------Sesi Seminar Narasumber Abdul RoZaki tantangannya
: Masyarakat sipil dan demokratisasi : agenda strategis dan
3
Dr. Busyro Muqodas, SH. MH : Peran masyarakat sipil dalam pemberantasan korupsi dan pemenuhan hak ekosob SuHarto, SS.MA : Peran difable dalam agenda masyarakat sipil dan penguatan demokrasi Moderator : Tri Wahyu
MC Mohon kepada para hadirin untuk memasuki ruangan. Acara selanjutnya seminar nasional dengan judul Masyarakat Sipil dan Penguatan Demokrasi Inklusi. Moderator bapak tri Wahyu KH dari ICM. Narasumber Abdul RoZaki : Masyarakat sipil dan demokratisasi : agenda strategis dan tantangannya Dr. Busyro Muqodas, SH. MH : Peran masyarakat sipil dalam pemberantasan korupsi dan pemenuhan hak ekosob SuHarto, SS.MA : Peran difable dalam agenda masyarakat sipil dan penguatan demokrasi Selanjutnya seminar nasional akan dipandu oleh Bapak Tri Wahyu KH dari ICM. Kami selaku MC mohon diri.
Wahyu Ass.wr.wb. Terima kasih kepada teman-teman semua. Tiba waktunya untuk seminar nasional, penguatan peran masyarakat sipil sebagai landasan terwujudnya inklusifitas di Yogya. Saya undang bapak Abdul roZaki , mas Zaki . Kedua, bapak SuHarto, SS. MA. Silakan. Ketiga, bapak Dr. Busyro Muqodas. Beliau sedang jadual kontrol di rumah sakit wirosaban. Nanti akan segera ke sini. Dan ingin bertemu dengan teman-teman semua. Saya akan memulai, karena mas Zaki dalam perjalanan. Silakan mas Zaki dan pak Busyro . Terima kasih. Saya akan memulai dan memberi kesempatan terlebih dahulu kepada mas Zaki dulu. beliau nanti memaparkan tema masyarakat sipil dan demokratisasi agenda strategis dan tantanganya. Nanti akan ditayangkan slidenya. Mas Zaki beliau adalah salah satu tokoh penggerak aktifis 98 di Yogya. Dulu mahasiswa UIN. Mendorong sejuta warga Yogya ke alun-alun Yogya dulu. Beliau sekarang dosen UIN. Dan aktifis IRE Yogya. Baik, silakan mas Zaki . Karena mas Zaki penggerak reformasi 98. Apakah rezim sekarang ini sudah demokratis, kita akan dengarkan paparan mas Zaki . 20 menit.
Zaki . Ass.wr.wb. Salam sejahtera untuk kita semua. Bapak ibu sekalian yang saya hormati, saya sebenarnya jadi peserta, tapi mas Wahyu meningkatkan posisi saya jadi pembicara. Saya takut dengan mas Wahyu. Saya buat powerpoint. Judulnya evaluasi masyarakat sipil. Tapi ini berat. Saya buat geser sedikit menjadi masyarakat sipil dan agenda demokrasi. Nanti sedikit mengevaluasi agenda strategis masyarakat sipil mendorong demokrasi. Semoga berkenan dengan topik ini.
4
Ada lima agenda strategis yang menjadi agenda kita memperkuat agenda masyarakat sipil. Proyeksi ke depan seperti apa. Pertama : kalau demokrasi masih menjadi harapan, pluralisme dan keanekaragaman. Kedua berfungsinya lembaga demokrasi. Yang tertib melaksanakan pemilu. Lembaga representasi kia masih mandul. Ketiga isu tentang sumber penghidupan warga yang berkelanjutan. Di sana sini masih ada konflik. Keempat keadilan hukum. Kelima ini khusus teman Sigab, harus saya masukan, keadaban ruang publik bagi kaum marginal dan difable. Ini saya relatif bisa ngomong, karena UIN kampus yang pro difable. Sudah ada khotbah Jumat yang pro difable. UGM masih belum. Semoga segera menyusul UIN. Kita masuk ke pluralisme dan keanekaragaman. Tantangannya ada dua, praktek agama yang menebar kebencian. Ada trend yang berubah. Kalau dulu perbedaan agama. Sekarang ini yang digesek adalah kelompok minor. Satu kelompok kecil yang sama agama. Misalnya ahmadiyah. Spanduk kebencian itu luar biasa. Kalau berhasil ditangkap orang pembuat spanduk itu langsung tangkap saja. Itu tidak layak di sini. Cara berpikir keagamaan akan dikembalikan ke era 40an. Kedua, masih lemahnya pendekatan hukum terhadap para kelompok radikal. Seperti FPI. Ini mengerikan. Kelompok ini kecil tapi berhasil membangun opini menebar teror dan tidak kondusif untuk perkembangan demokrasi ke depan. Sampai sekarang, kaum siah sampang itu masih di pengungsian. Bupatinya malah gila. Minta mereka keluar dari siah. Ini tidak benar. Menurut saya itu tidak otentik dengan dimensi kultur madura. Ternyata ada birokrat yang memprovokasi. Anggarannya masih ada untuk penyelesaian konflik, jangan sampai damai. Ini di level kabupaten dan propinsi. Jadi tidak ada hubungan dengan keyakinan, tapi ada hubungan dengan rente anggaran. Ada yang bilang ke saya seperti itu. Itu penyakitnya. Bagaimana mafia birokrasi, istilah pak Busyro , kalau pebisnis busuk bertemu dengan politisi kotor dan birokrat rusuh. Kita terus jangan sampai lelah. Kita harus bela kaum minoritas ini. Kedua, partisipasi publik memang sudah baik. Tapi lembaga representasi publi kita belum maksimal. Pertama partisipasi berkembang masih dominan voicing dan voting. Agenda di parlemen selalu meminimalisir masyarakat sipil. Masyarakat sipil selalu berteriak-teriak di publik. Kalau ini tidak dilakukan, akan lemah. Harusnya ada fatwa dari para ulama untuk agenda publik ini. Jangan hanya soal siah. Kedua, kenapa lembaga representasi lemah, karena oligarki politik masih kuat. Di bangkalan, ada yang ditembak karena advokasi untuk amin. Mereka lima tahun berjuang dan baru diperhatikan KPK. Kalau hanya diserahkan ke kepolisian di daerah, tidak mungkin. KPK jangan dilemahkan. Itu harus dilawan dengan jihat akbar. Mereka bekerja dengan represi dan menguasai parpol. Pemilu kita baru melahirkan representasi simbolik. Kedekatan dengan saya, atas nama etnis atau agama. Itu dipilih. Mahar politik itu masuk ke pemilu kita. Kita gagal melahirkan aktor yang memperjuangkan agenda publik. Misalnya memperjuangkan layanan publik yang berkualitas. Kalau itu terjadi, lembaga representasi kita akan sehat. Sekarang ini, tanpa kontroling, hanya melahirkan tikus demokrasi. Point ketiga, ada dua tantangan.
5
Politik berkelindan dengan corporate. Masih tingginya eskalasi konflik warga dengan perusahaan itu. Misalnya di Yogya tentang bandara, di pati dsb. Ke depan bagaimana membangun demokrasi dengan alam. Data KPA mengerikan sekali konflik SDA ini. Misalnya, dari tahun 2013 sampai 2014, tidak kurang dari 250 kasus konflik. Yang menarik jumlah korban. Rata-rata hampir 200 KK. Tewas 21 orang. Dianiaya 200 orang. Data komisi dua, konflik agraria itu sampai 1000 kasus. Penelitian saya tentang perkebunan kelapa sawit, mengerikan. Perkebunan itu punya sertifikasi, tapi menyerobot tanah rakyat. Bupati Gunungkidul itu menarik. Warga menemukan goa pindul, tapi akan diserobot pengusaha, bupatinya membela warga. Kriminaslisasi itu diperjuangkan ke rakyat dan akan dicobakan ke KPK. Polisi itu ingin menjadi super power penegak hukum. Penguasa di jalan raya itu polisi. Kalau ada gang motor disikat. Joko wi jangan main-main dalam hal ini. Terakhir, di negara maju, publik itu luar biasa. Demokratisasi itu memberi akses ke publik. Masyarakat kecil di beri akses jalan kaki. Jalan raya kita itu sekarang tidak demokratis, tidak ada aksses untuk pejalan kaki dan sepeda. Ditarungkan dengan mobil. Orang indonesia yang berjalan kaki dan sepeda ontel itu, dihadapkan dengan tronton. Peradaban publik ini penting. Kantor-kantor kita masih seperti itu. Saya memprovokasi teman-teman di UIN untuk membuat fikih difable. Ini penting. Ulama difable ini penting. Agar kebijakan publi kita ada sensitifitas difable. Di konferensi ini ada pengarus utamaan disabilitas. UIN sudah berbuat itu. Perlu di dorong untuk lainnya. Ini yang bisa saya sampaikan. Semoga bermanfaat.
Wahyu Ada lima hal penting yang disampaikan mas Zaki . Pertama pluralisme dan keanekaragaman. Kedua berfungsinya lembaga demokrasi. Ketiga soal sumber penghidupan warga yang berkelanjutan. Keempat keadilan hukum. Kelima peradapan publik. Saya akan berlanjut ke mas Harto. Saya beri kesempatan kepada mas Harto peran difable dalam penguatan masyarakat sipil dan demokrasi.
Harto Ass.wr.wb. Salam inklusi untuk kita semua. Saya juga mengganti pak Setya yang ke surabaya. Saya baru kemarin sore diberi tahu. Saya sempat baca sedikit demokrasi itu. Menurut Durheim ada dua, partisipasi aktif dan integrasi sosial. Menurut weber itu kesetaraan formal. Mari kita evaluasi demokrasi kita. Partisipasi aktif difable. Apakah demokrasi kita sudah berpihak difable atau belum. Teman-teman Yogya sudah banyak berjejaring. Partisipasi ini mulai tumbuh dan berkembang. Dalam aksi masyarakat sipil. Secara umum, partisipasi ini lemah bahkan dilemahkan. Saya sedang riset di solo ekonomi Difable berbasis masyarakat. Ada NGO di solo penelitian ini. Di solo, ketika program belum jalan, anggaran sangat kecil. Dinas sosial menyatakan, difable mau diapakan, saya kira diberi anggaran 20 juta sudah cukup. Lembaga mengadvokasi, hasilnya setelah 4-5 tahun, anggaran menjadi 700 juta. Nomenklaturnya untuk difable. Ini belum anggaran yang bersifat mainstream. Seperti kemiskinan, dimana difable dimasukkan ke sana. Ada kasus pengentasan kemiskinan, difable mengusulkan. Apakah di Yogya, program bedah rumah, pengentasan kemiskinan juga untuk difable. Jawab teman saya, itu belum. Padahal difable
6
dan kemiskinan itu sebuah siklus. Difable menyebabkan kemiskinan. Ini hambatan partisipasi aktif dalam program. Termasuk saya ketika mengajukan diri untuk calon komnas ham. Di DPR saya ditanya, apakah saya nanti mampu. Mereka tidak mengerti saya belajar ham di belanda. Ini membatasi partisipasi kita. Belum juga teman yang mendaftar jadi PNS. Ini hambatan. Tuna netra belajar bahasa inggris misalnya, dihalangi. Kalau diterima di jurusan pendidikan, dialihkan ke PLB. Saya mendaftar CPNS dan ditanya kenapa mendaftarnya tidak ke PLB saja. Ini dibatasi. Di segregasi. Lokasinya di PLB, SLB, dsb. menjadi komnas ham tidak bisa. Akhirnya jatah difable tidak terpenhi. Integrasi sosial kita, yang membatasi adalah stigma. Stigma di masyarakat. Seperti di DPR tadi, difable tidak bisa ini dan itu. Tuna netra hanya menjadi pemijat saja. Pegang laptop tidak bisa. Kadang bukan kita yang tidak mau berintegrasi dengan masyarakat, tapi masyarakat yang membatasi kita. Di kampung, kalau mau jadi imam, difable tidak boleh. Di jatim, tempat wudhu harus nyemplung ke kolam dulu. Teman saya ada yang bilang, Tuhan kok jauh dan dijauhkan dari kita. Integrasi sosial ini masih menjadi PR. Kalau Sigab membuat seminar seperti ini, mengundang berbagai kalangan. Ini upaya Sigab, yang difable juga belajar dan ikut dalam pergerakan masyarakat sipil. Yang non difable juga belajar gerakan difable. Posisi kita di masyarakat masih dipandang rendah. Ini karena kita belum bisa berpartisipasi. Kita katakanlah, tertarik menggunakan kata difable. Kita mampu dengan cara berbeda. Kita mempunyai kemampuan. Teman tuna daksa punya kemampuan berjalan, dengan cara berbeda. Dengan cara menggunakan kruk, dsb. sama-sama bisa, tapi dengan cara berbeda. Misalnya membaca alquran dengan teksnya. Sebenarnya bisa dengan huruf braile. Jadi ada perbedaan cara saja, tapi sama-sama bisa melakukannya. Demokrasi dan inklusi harus menjadi dua sisi mata uang. Tidak bisa dipisahkan. Masyarakat demokrasi kalau semua sudah setara. Kalau masyarakat dari semua lapisan berintegrasi di semua aktifitas. Negara kita masih jauh panggang dari api. Dua sisi mata uang masih timpang. Negara kita masih belum demokrasi sepenuhnya. Masih ada pendangkalan demokrasi. Inklusi belum sungguh-sungguh. Masyarakat sipil harus bergerak bersama. Kadang memang kita punya tempat sendiri-sendiri. Tapi harus ada yang fokus. Difable harus juga menguasai isu lain. Aktif berpartisipasi juga. Kalau teman-teman aktif di anti korupsi, kenapa difable tidak bergerak ke sana. Program-program untuk difable dari pemerintah, ada yang dikorupsi juga. Difable juga harus aktif di kesehatan. Difable itu rentan ekonomi dan kesehatan. Kalau jaminan sosial tidak menjadikan kita pemanfaatnya, kita ketinggalan. Kemudian UU desa sudah mulai berlaku, kalau difable tidak mulai aktif di desa, akan ditinggalkan. Kita harus aktif menyuarakan di semua hal dengan issu difable.
Wahyu Terima kasih mas Harto. Mas Harto memberikan tiga pandangan pisau analisisnya. Partisipasi aktif, integrasi sosial dan kesetaraan. Demokrasi kita belum mencerminkan tiga hal itu. Demokrasi dan inklusi adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Dan harus menjadi lintas masyarakat sipil. Ditutup dengan anti korupsi. Misalnya di bantuan sosial untuk difable.
7
Kita ke pak Busyro Muqodas. Silakan. Dulu sempat komunitas difable datang ke KPK, tapi ada elemen di kemensos yang mengintimidasi. Ada yang tidak suka dengan gerakan anti korupsi dari difable itu. Pak Busyro semoga memberi suport kita semua, bahwa perjuangan kita belum selesai.
Busyro Ass.wr.wb. Mohon maaf, saya tidak mengantarkan dengan pointer. Saya bersyukur, tadi saya khawatir, tidak bisa hadir di sini untuk fisioteraphi di wirosaban. Kalau saya sulit diterima, lalu mungkin ada pesan yang tidak benar. Kalau tidak benar, saya menjadi difable secara moral. Buat saya, komunitas sekarang ini, bukan komunitas dari kelompok difable secara hakiki. Sesungguhnya proses pembentukan mansuia oleh Allah itu justru di mulai dari meniupkan ruh, qalbun. Baru kemudian otak untuk memfungsikan akal manusia. Setelah itu, proses manusia itu pembentukannya bertahap lewat proses fisik. Di berbagai ayat suci, antara lain di alquran, dan juga kitab suci lain, proses pembentukan manusia bertahap. Yang kedua adalah proses fisik. Disitu kita ada pertanyaan, manusia itu penting ruh atau fisik. Dua-duanya penting, tapi yang terpenting adalah ruh itu sendiri. Nanti kembali ke hadapan Tuhan itu bukan fisiknya, tapi ruhnya. Orang jawa yang tidak tercerahkan, mengatakan ruhnya gentayangan. Sekarang ini, di Indonesia sedang menghadapi situasi, struktur pejabat yang mengalami disabilitas secara ruh tadi. Akibatnya sekarang ini. Kriminalisasi penegak hukum. Dan legitimasi ke orang yang melakukan kriminalisasi. Secara hakekat kelompok difable itu sudah tercerahkan secara spiritual. Berbahagialah orang yang sempurna secara ini. Ada orang yang selalu berbohong. Dipaksa secara janji-janji. Kemudian malah melakukan pembiaran terhadap KPK misalnya. Saya akan masuk ke point yang saya anggap penting. Pertama, saya kemukakan sekarang sedang terjadi proses sistematisasi, yang semakin memperlemah dan melakukan perampokan terhadap HAM, ekosob maupun sipol. Mengapa terjadi? Karena mengalami proses terutama penguasanya gagal menangkap sustansi UUD 45, terutama mukadimah dan pasal tertentu. Kegagalan ini, pengelolaan negara, lembaga negara dan rakyat melakukan kontrol kotraknya seperti di UUD. Kegagalan ini di tata negara mengalami proses manipulasi. Banyak sekali contoh. Misalnya riset yang dilakukan oleh badan katolik, menemukan data bahwa banyak intransparansi, ada unsur fraud dalam pengelolaan APBD di Indonesia, terutama dalam sektor ketahanan pangan, ketahanan tambang dan keuangan. Akibatnya, hak untuk menikmati demokrasi ekonomi, termasuk komunitas difable mengalami perampasan. Apa yang menjadi program misalnya jalan tol. Memperlancar infrastruktur. Saya tanya itu untuk siapa? Dia tidak bisa jawab. Saya tanya ada petani tidak. Dijawab banyak. Kaum petani ini secara ekonomi difable juga. Jawaban bupati itu sebagai berikut, ada problem irigasi. Tapi kenapa dia pilih jalan tol. Dia jawab, itu program bupati lama, dan dia baru 6 bulan terpilih. Saya stop pertanyaan saja. APBD itu penyusunannya tidak berdasarkan mendemokrasikan hak ekosob masyarakat, termasuk difable. Karena cara pandang kepala daerah dan DPRD setempat ada problem serius. Bagaimana memahami pemerintah, negara, hubungannya dengan rakyat. Selama itu gagal, maka akan terus direplikasikan. Korupsi itu sejak orla. Sampai sekarang. Ampuh luar biasa. Tapi korupsi itu menyatukan kita semua. Tapi jangan lupa, koruptor itu juga bersatu. Indikasi bersatunya koruptor itu juga dalam rangka kriminalisasi, tidak hanya ke KPK tapi juga
8
teman-teman LSM. Yang diambil polisi malah teman-teman aktifis dan bukan kepala daerah yang korupsi. Dari APBD yang bermasalah, kesimpulannya secara nasional, ada problem demokrasi serius. Akibatnya tata pengelolaan Sumber Daya tidak dapat dinikmati oleh rakyat lemah. Di satu sisi, ijin tambang, hotel, tempat hiburan mewah, Jakarta ini paling tinggi angkanya di seluruh dunia, ijin mendirikan mall mewah. Pertanyaannya seperti itu menjadi kebutuhan kelompok ekonomi lemah tidak? Tidak sama sekali. Itu pembangunan wajah kapitalisme internasional. Dan itu ada korelasi dengan korupsi sistemik. Kepala daerah memberikan ijin ke hal itu. Ada 12 ribu ijin pertambangan. 4 ribunya bermasalah. Awalnya dihandel KPK. Kemudian mengajak dirjen mineral dsb. Terakhir mengajak kapolri. Pertama pak Sutarman. Bulan madu polri dan KPK itu membuat tiarap para pengusaha itu. Tapi mendadak pak Sutarman diganti. Kemudian ada kabareskrim. Tapi ternyata setelah kabareskrim itu jadi kabareskopyor. Jadi kopyor benar. Dulu kabareskrim itu bisa mendorong untuk pengelolaan Sumber Daya yang benar. Dikaitkan dengan pasal 31 dan 33. Digunakan untuk sebesarnya kemakmuran rakyat. Sayangnya tidak rakyat Indonesia, tapi luar negeri. Ini based on data. Seperti yang disampaikan mas Zaki tadi, yang alumni UIN. Kalau mas Zaki dari IAIN yang sekarang UIN. Katanya anak UIN, UII itu universitas inguk-inguk. Kita harus melawak. Karena pejabat kita juga banyak pelawak. Kesimpulannya semua menggambarkan, dan gambaran itu saya rumuskan dalam satu pertanyaan. Apa sebabnya. Akar masalahnya adalah politik oligarki dan politik dinasti. Yang menonjol bukan keunggulan integritas, akhlak, kejujuran intelektualisme. Bukan itu. Kompetensi kapasitas. Yang menonjol adalah perkoncoan, pertemanan, guyub mengurusi negara. Mosok menjadi paguyupan. Akan rusak. Kalau tidak kompeten jangan dipakai. Masak menteri kok anak ketua umum parpol. Merotokrasi, sistem yang berdasarkan the right man on the right job. Kalau tidak di serahkan ke ahlinya, akan rusak. Mafia peradilan ini kelindannya juga mafia politik. Syarat agar optimis, masyarakat sipil harus sering ketemu dan berdialog. Kemudian agenda aksi, menguatkan masyarakat sipil yang original. Parpol sekarang itu sedang sakit semua. Siapa yang membela KPK sekarang ini. saya saja menjadi terlapor di bareskrim sekarang ini. Kedua, kekuatan-kekuatan dari doa. Jangan dianggap enteng doa itu. Doa orang tertindas itu sangat kuat. Sesuai dengan keyakinan kita, doa terus. Kalau basa-basi dari orang-orang Jakarta kemunafikan politik itu, akan hancur. SuHarto saja rontok kok. Terima kasih atas undangan untuk diskusi ini. ini akan memperpanjang usia. Nyeri saya hilang. Malaikat itu kalau mau mencabut nyawa itu biasanya di rumah. Kalau tadi saya didatangi malaikat, dia akan kembali. Malaikat akan lapor ke Tuhan, bahwa aktifis itu ahli silaturahmi. Cabut saja yang pura-pura silaturahmi tapi melakukan pengrusakan.
Wahyu Terima kasih pak Busyro . Kita akan berlanjut. Masih ada waktu satu jam. Saatnya dialog. Karena tadi sudah ada pemantik. Kita akan ada dua termin. Untuk termin pertama, karena ada tiga unit, masing-masing sisi silakan dua penanya. Silakan. Nama, dari lembaga apa. Silakan.
Abdilah Muhammad, PMII Sleman. 9
Yang mau saya tanyakan, terkait dengan demokrasi kita. Kita tahu demokrasi sedang dalam konsolidasi dan belum mengalami pendewasaan. Belum mencapai esensinya. Di tengah seperti ini, KPK sedang mengalami pelemahan bahkan penghancuran. Saya ingin bertanya ke pak Busyro , ini misalnya nantinya KPK benar-benar tidak ada, bagaimana? Karena KPK ini ad hoc, apakah ada waktu dimana KPK tidak lagi diperlukan. Ini akan menjawab bagaimana nantinya negara ini berjalan.
Ima yasanti Saya bahagia bisa berada di tengah teman-teman ini. di tengah difable. Saya ima dari yasanti. Selama ini selalu berada atau bersama teman buruh perempuan. Selama ini juga buruh di difablekan oleh negara dalam isu ekonomi. Saya memberi masukan, berkaitan dengan yang dikatakan mas Zaki . Persoalan yang terjadi sampai hari ini, berdasarkan data, di Yogya, yang paling gencar terjadi adalah penolakan pluralisme di Yogya. Intoleransi di Yogya. Contoh peristiwa nyata adalah penyerbuan teman LKIS. Di gunungkidul. Di sleman dan di bantul juga. Benar kata mas Zaki, tidak lagi dilakukan oleh ormas jaman orba. Tapi dari ormas baru dimana penyerbuan ke kelompok minoritas. Karena ini pertemuan masyarakat sipil, strategi apa yang bisa dilakukan di sini, baik teman difable maupun teman lainnya. Dalam kondisi di Yogya ini. selain korupsi dsb ini, intoleransi ini paling gencar. Perempuan menjadi takut berkumpul dan keluar malam. Karena ada pihak yang menganggap itu salah. Kedua, untuk mas Harto. Saya sekali lagi, sangat mendukung dan mensuport perjuangan teman difable. Tapi minoritas atau rentan yang kita lihat, harusnya yang kita tanam saat ini, tidak hanya di difable. Itu hanya secara fisik saja. Dikondisikan oleh Tuhan sejak lahir. Prosesnya beda tapi kemampuan sama. Selain difable, ada teman yang rentan lainnya. Misalnya PRT. Pemerintah biasa menyebutnya pembantu. Teman buruh lainnya juga. Buruh perempuan. Teman-teman petani, miskin kota. Yang digusur karena ada pembangunan hotel, pabrik, lapangan udara, jalur lintas selatan. Ini perlu dibicarakan bersama. Ini menjadi perjuangan bersama. Inilah yang di difablekan oleh negara. Mohon usulan saya itu didiskusikan besok. Bagaimana strateginya nanti. Karena kita sama-sama dipinggirkan.
Mahmudiyah firdiani dari narasita Peradaban ruang publik. Saat ini menjadi keprihatinan kita. Terutama pada ibu-ibu di perumahan. Ada janji-janji, misalnya semua jalan akan diaspal untuk memperlancar ekonomi. Tapi tidak berpikir panjang, bahwa jalan halus itu akhirnya membuat anak kecil bersepeda. Kebebasan anak-anak itu, dibandingkan tahun 60an, ternyata mengurangi kesopanan anak-anak. Mereka kebut-kebutan. Akhirnya mereka bebas. Kalau dulu, ada yang lewat, masih sopan. Tapi sekarang tidak lagi. Itu jadi tanggungjawab siapa. Menurut saya, itu dicetak ketika masih kecil. Sementara saat ini, para guru direpotkan dengan kurikulum 2013. Itu masih belum selesai juga. Jalan yang diperhalus itu apakah benar memperlancar ekonomi? Kedua, untuk pak Harto, negara dikatakan demokratis jika masyarakatnya setara. Untuk difable, tidak usah menuntut semua setara. Saat ini, yang korupsi bukan dari difable.
10
Takutnya nanti difable juga terpelosok dalam korupsi. Difable fisik ini Insya Allah aman. Jadi tidak perlu setara. Saya mengucapkan Insya Allah Selamat. Untuk pak Busyro , saya Insya Allah perempuan anti korupsi. Di running teks tivi, orang yang mendukung KPK, mendukung anti korupsi, nanti bisa dijadikan tersangka juga. Deni indrayana dan novel bawesdan sudah siap dipanggil bareskrim. Nanti jangan-jangan polres, polsek itu memanggil kita juga. Korupsi itu kan tidak perorangan. Tapi ada juga organisasi melegalkan uang dari donatur tapi untuk kepentingan organisasinya itu halal. Apakah nanti dipukul begitu. Di ormas ada permainan. Penggunaan dana. Misalnya acara di hotel, tapi menggunakan ruang biasa. Sisanya masuk ke kas lembaga. Apakah ini juga korupsi juga? Bagaimana tanggungjawab kita.
Arum Kusumaningtyas, aliansi perempuan bantul peduli kebijakan gender Saya melihat Indonesia sudah terlalu, menjadi negara maha berantakan. Ada tiga hal pokok yang bagi saya krusial. Kesenjangan sosial tinggi, korupsi dan penegakan hukum lemah. Secara tidak kita sadari, sebagai rakyat biasa, anak-anak menjadi terlantar, tingkat perceraian tinggi. Itu efek dari ketiga hal itu juga. Itu menjadi efek ke internal keluarga. Tingkat kemiskinan, perceraian dan anak kurang pendidikan. Seberapa dalamkah, pemerintah ingin menyelesaikan ketiga masalah ini, secara terstruktur, sistematis dan masif. Karena politik oligarki dan dinasti itu sudah parah. Seperti misalnya harga beras naik. Sedangkan harga gabah ditingkat petani tetap. Saya mohon ketiga pembicara bisa menyampaikan ke pemerintah agar ini bisa diatasi. Kita bisa masuk dengan kekuatan masyarakat sipil agar sering bertemu. Kemudian, keempat adalah doa. Apakah kita sudah memasukkan spiritual ke birokrasi. Ini bisa jadi ide ndeso, yang muslim misalkan di pesantrenkan. Atau ada test spiritual. Bagaimana manusia memegang amanah itu ada di tauhidnya. Sisi dasar manusia yang paling bisa disentuh adalah spiritualisnya. Ini yang paling bisa disentuh. Kita kalau semua mendoakan, masak kita tidak dikabulkan doa kita. Tapi kalau dai dan ulama kita tidak didengarkan lagi, bagaimana mungkin rakyat didengar secara spiritual. Himbauan spiritual itu tidak dianggap. Mas Zaki dari UIN bisa mengupas sisi spiritual demokrasinya. Di perparah media, bagaimana media tidak memperburuk akidah dan mental, etika dan estetika di media.
Supriyanti ITNM bantul Pertama, saya senang dengan penyampaikan mas Zaki . Mengajak berpikir kita sejauh mana, bagi kita disabilitas fisik. Bagaimana membuat fikih untuk kita. Kedua, untuk mas Harto, semoga yang suka mas Harto tidak menjadi suka harta. Disampaikan, faktor masyarakat yang membatasi kita. Tidak sepenuhnya masyarakat membatasi kita. Kita mengerti bahwa masyarakat Indonesia sudah cerdas. Anggaplah kita selalu positif thinking. Masyarakat bisa jadi belum mengetahui kemampuan para disabilitas fisik. Menjadi tugas kita untuk mensosialisasikan diri sendiri, bahwa kita mampu bergerak setara dengan non disabilitas. Ketiga, kalau kita rasakan kenyataan yang ada, baik di pusat dan daerah, yang baik itu dimutasi. Kita jadi mau bergerak itu dimana. Mau menyusup dimana. Karena ada yang baik sedikit, sudah dimutasi. Apakah kita pura-pura baik dengan yang disabilitas rohani. Terima kasih.
11
Muhanis M Yusuf, UKM peduli difable Berdasarkan penjelasan pak Harto, berusaha masuk ke komnas Ham tidak berhasil. Karena dianggap kurang mampu. Mungkin kita bisa membuat asumsi bahwa sistem pendidikan kita gagal berfungsi. Pendidikan adalah formalitas. Sedang yang nyata adalah bagaimana kita berbaur dengan masyarakat. Sistem pendidikan kita adalah ABS saja. Sebatas kertas ijasah. Tapi gagal ketika di masyarakat. Kedua, masih ada kaitan dengan sistem pendidikan yang belum mampu menjawab tantangan di masyarakat. Perlu integrasi sistemik untuk pendidikan ini. Lintas sektoral. Kita terlalu terlena dengan pendidikan industri. Dengan pendidikan semua lebih baik. Pak Harto sampai di belanda, apakah ada jaminan di masyarakat baik.
Wahyu Baik. Silakan mas Harto dulu. Terkait dengan isu difable.
Harto Menarik pertanyaan dari teman tuna runggu, pendidikan kita gagal. Dulu, ada SLB tuna netra, tuna rungu. Dan yang lain di sekolah umum. Ini mempengaruhi pola pikir kita. Yang tidak difable tidak mengenal yang difable. Sekolah luar biasa ini kurikulumnya dianak tirikan. Sekolah umum bisa berhitung satu sampai seribu. Di sekolah umum baru satu sampai sepuluh. Kita sejak kecil sudah terasing. NGO difable mengusulkan pendidikan inklusi menjadi perhatian. Tapi penelitian saya, perhatian sekolah inklusi ini masih terbatas. Yang paling banyak mendapat dukungan adalah ketika akan mendirikan SLB. Tapi untuk mendirikan sekolah inklusi, susah sekali. Alasannya banyak. Sekolah inklusi tidak sekedar kapasitas kita sama dengan yang lain, tapi agar saling mengenal. Integrasi pendidikan dengan yang lain. Ini penting. Mengapa pendidikan sering tidak menciptakan orang yang berkualitas akhlaknya, moralnya. Karena hanya sekedar memenuhi kurikulum. Tidak diajari unggah ungguh, dsb. kalau dibuat jalan halus, anak-anak menjadi ngebut. Ini yang salah pendidikannya atau jalannya. Kalau jalan halus itu fasilitas untuk membuat kita selamat. Difable berkursi roda tidak akan bisa lewat di jalan yang berlubang. Pendidikan memang perlu integritas dengan lainnya. Mbak ima tadi menarik, masyarakat marginal bukan hanya dfable. Perlu sinergi. Bersatu antar isu yang lain. Kita bisa mengadakan istighotsah. Semua kaum marginal berkumpul di satu tempat dan mendoakan bangsa ini. dulu kita demo di UGM dihadang aparat. Kita bilang, nanti anaknya kita doakan menjadi difable. Itu langsung bubar. Baru didoakan saja sudah bubar. Ada demo lagi di kampus yang lain, teman saya mendoakan nanti rektornya kena stroke dan meninggal. Meninggal benar beberapa hari kemudian. Ini menjadi kekuatan yang luar biasa. Mari kita kumpul. Konferensi seperti ini harus dibuat secara terstruktur, sistematis dan masif. Kita jangan terlalu setara. Kesetaraan itu yang penting adalah kita dipandang sebagai manusia yang bermartabat dan sama. Kalau supaya jadi TSM, itu harus lewat birokrasi. Tidak hanya voicing dan organising, tapi harus mendorong yang lebih nyata. Teman-teman ini menjadi bupati, gubernur dan presiden. Asal jangan lupa kalau sudah ada di birokrasi.
12
Zaki Pertama, kaalu tidak ada KPK akan tambah gila. KPK ini masa keemasannya adalah masa pak Busyro . Pencegahan dan penindakannya. Ketua partai ditindak juga. Bupati juga ditangkap sama KPK. MK, ditangkap juga. Sekarang polisi itu berhasil menangkap apa? Paling di jalanan saja. Jadi kalau KPK tidak ada, akan gila. Mbak ima, Yogya ini sering disebut kota toleransi. Lama-lama menjadi tidak toleransi. Kita harus menjadi aktifis toleran yang aktif. Kalau pasif, kelompok intoleran akan mendominasi ruang kebudayaan kita. Kedua, kita perlu injeksemen. Membaur ke warga. Jangan jadi aktifis mengambang. Saya sering diminta untuk memimpin doa, tapi saya tolak, karena saya ini bukan tukang doa tapi tukang demo. Tapi lama-lama ceramah itu kok intoleran. Saya jadi cramah juga. Mengambil jatah pak kaum. Dan makin laris saya. Saya ingin, penting juga masuk ke komunitas, meneguhkan rasionalitas baru yang lebih beradab. Agama itu menjadi spirit untuk hak-hak kita dalam institusi publik. Bukan hanya sibuk mengurus tahlil. Nasehatnasehat saja. Tapi krisis keteladanan. Nabi kita itu penuh teladan. Pak Busyro itu keteladanan. Parpol itu sepi dari keteladanan. Dai juga kurang memperhatikan keteladanan. Ketiga, istitusi kultural kita seperti bersih desa penting dibuat. Itu untuk benteng radikalisasi. Kedua membangun integrasi kewargaan yang lintas identitas. Kalau tidak punya, itu bahaya. Keempat, sinergitas antar perguruan tinggi, LSM. Istitusi kraton perlu mendorong yang aktif bukan pasif. Spanduk aneh mulai gentayangan di Yogya. Jangan sampai lelah mengkasuskan praktek intoleransi ke hukum. Jangan hanya diselesaikan pernyataan sikap, ceramah, tanpa dimasukkan ke konteks hukum, itu susah sekali. kasus LKIS. LKIS itu punya banser. Apalagi saya yang tidak punya masa. Bu narasita. Itu memang mengerikan. Teknologi baru, pragmatisme itu mengerikan. Pendidikan keluarga itu penting. Saya dosen. Beda dengan kiai dan guru. Dosen itu tidak pernah mendoakan siswanya. Sedangkan kiai itu mendoakan santrinya. Hasilnya bagus spiritualismenya. Sekarang ini, mana sempat guru mendoakan muridnya. Wong mereka diajar kurikulum yang berganti-ganti. Kalau saya, percaya ke pendidikan warga. Dalam konteks SD anak bisa apa. Istri saya berhenti bekerja karena ingin menjadi fasilitator anak kami. Bu arum, saya setuju saja. Pendekatan spiritualitas. Kalau mekanisasi saja dan tidak ada spiritualitas bahaya. Imaginasi kita tentang sorga itu tidak ramah difable. Imaginasi neraka yang ramah difable. Sejarah keberagamaan itu juga kekuasaan, ada perang yang menjadikan difable. Ada peristiwa alam yang menjadikan difable. Tapi peristiwa peradaban ini, bisa-bisanya tidak ada fikih difbale. Saya pingin sekali pengalaman teman-teman difable ditulis. Di keluarga, di rumah tangga, bertetangga, di publik. Ini agar masyarakat kita lebih sensitif dan belajar untuk menjadi beradab. Di UIN itu banyak difable. Tapi jalan di sekitar UIN itu rusak. Tidak ramah difable. Pak sumo itu hampir ditabrak. Pak amien lama-lama juga ditabrak mobil, sehingga dibangun jembatan antar gedung. Pemegang kebijakan itu penting. Saya setuju kalau difable ada yang menjadi pejabat publik. Di organis saja difable memilih difable. Bisa jadi lembaga representatif itu tidak ramah difable karena tidak ada difable di sana. Kalau ada yang jadi, itu akan menarik. Terakhir, banyak pendidikan kita yang merepro kertas saja. Pendidikan kita belum membebaskan. Pendidikan yang berorientasi ke sisi human kita. Kalau tidak ada di insititusi pendidikan formal, cari di institusi lainnya seperti Sigab ini.
13
Busyro Pertama mas habib, saya garis bawahi pertanyaan ini. Dari staf saya di UIN tadi. KPK ini sudah masuk ke jantung korupsi. Ketika kami lakukan proses peneropongan lewat ct scan, di jantung itu, kami jadi tahu jeroan Indonesia. Kaitannya dengan Internasional juga, kekuatan neokapitalisme yang melakukan neokolonialisasi. Caranya sangat soft dan tidak semua orang tahu. Ketika kami masuk ke jantung, baik di pusat dan daerah. Maka wajar KPK diajar berkali-kali. Ini tahapan yang tidak akan final. Bagi bagi, termasuk aktifis NGO di berabgai daerah, situasi seperti sekarang ini memang menyedihkan. Di sisi lain, memang begini ini, ini kegagalan pendidikan. Pendidikan mulai gagal dari rumah tangga. Rumah tangga lembaga neraga juga. Jangan sampai kita lengah untuk kritis keras ke lembaga yang korup, termasuk lembaga tinggi negara dan parpol. Jangan lemah juga dengan diri kita sendiri. Tidak sedikit orang perguruan tinggi yang teriak-teriak anti korupsi, ketika masuk ke birokrasi dua tahun saja amblas. Dia lengah dan dibantu istri anaknya. Orang lemah itu seperti binatang dan lebih rendah dari binatang. Nasehat agama itu penting. Saya ingat nasehat paus. Salah satu bagian pidatonya yang saya simpan, misi gereja itu tidak untuk memenuhi hajat-hajat kepentingan politik praktis. Ini adalah antisipasi ketika gereja dibawah kekuasaan. Ada tiga misi gereja, menyebarkan kebenaran, kebajikan, dan keindahan. la ferita, la veriza dan la bonza. Kalau saya duduk di dekatnya, saya akan menambahi dengan la qaula wala quata illa bila. Ketiga hal itu nilai di semua agama. Nilai budaya. Semua ada. Kalau KPK sudah tidak ada, saya yakin KPK ada, tidak ada rumusan di UU KPK kata ad hoc. Tapi teman-teman DPR yang menyusun UU KPK itu banyak yang tidak tahu dan tidak belaajr. Pengertian ad hoc itu sementara itu tidak ada. KPK sekarang ini sudah diapresiasi internasional termasuk ICAP. Itu harusnya menjadi agenda Joko wi termasuk partainya. Ditingkatkan di UUD. Tidak hanya di UU. Membubarkan KY itu berat, karena sudah di UUD. Mau membubarkan KPK itu berat. Masak, memborgol kok bambang wijayanto. Dia itu bersih. Kemudian kasus KTP abraham samad. Mbok ya ngurusi pembunuh udin saja. Ya segitu itulah. Kita harus sabar. Sabar itu akan jadi penduduk sorga. Yang mampu menandingi KFC itu, hanya seorang simbok ayam goreng, mbok sabar saja. Mbak ima, sekarang perda itu harus di intervensi. Tapi LSM tidak bisa jalan sendiri. Perguruan tinggi harus diajak. Komunitas difable itu harus menghasilkan rekomendasi, dan minta ketemu dengan forum rektor. Disabilitas maknanya apa secara politik dan budaya. Kalau di Yogya ada hotelisasi, itu menimbulkan kerugian difable tidak? Siapa di untungkan oleh hotel itu. Sampai ada kata Yogya ora di dol. Jadi perda harus di intervensi. Mbak anik, saya berharap jangan ada ketakutan masif. Ketika membaca running teks. Yang harus takut adalah yang melakukan kriminalisasi. Refleksi ketakutan mereka adalah karena mereka pemain. Di sketor migas misalnya, ngenri sekali. pebisnis kumuh, elit politik yang tidak tercerahkan. Itu kaum difable secara substansif. Difable yang sesungguhnya adalah mereka. Korupsi bisa terjadi di swasta juga. Misalnya perguruan tinggi swasta, NGO, ormas. Ada dana dari negara,d ikorup. Masalahnya sekarang adalah akuntabilitas. Setiap kegiatan harus transparan. Misalnya setahun seminar 10 kali. Mengapa dipilih hotel a. Harus lewat tender. Yang penting adalah mulai dari keluarga. Nilai dalam keluarga harus diperkuat. Mendidik anak dengan filosofis tangan di atas lebih terhormat dari tangan di bawah. Ini nilai yang fundamental. Nilai-nilai itu jika sudah merasuk ke pejabat mereka tidak akan menerima atau
14
memberi. Polisi dan jaksa yang begitu itu masih banyak. Jangan sampai membawa citra kabareskrim itu sangar. Kita juga jangan sampai salah paham dengan itu. Gerakannya adalah save KPK dan gerakan polisi bersih. Langkah pemerintah yang dimaksudkan. Masyarakat sipil sendiri harus pro aktif. Kalau doa, terlalu banyak, malaikat akan capai mencatatnya. Ini kelemahan ormas agama. NU terlalu banyak istighotsah. Dan muhamadiyah terlalu banyak drum band. Belum lagi kekuatan agama lain. Kalau itu di sistematisasi akan dahsyat. Doa itu, perlu kesucian dan kejujuran. Apakah kejujuran itu diproses lewat keputusan negara? Satu-satunya negara yang bukan islam, tapi islami adalah new zeland. Bandingkan dengan timur tengah. Karena kejujuran itu diregulasikan. Di sistematisasi. Kalau terlalu banyak doa, akan gawat. Secukupnya saja doa itu. Mbak atik, orang kritis dimutasi, banyak juga yang tidak kok. Kalau pegawai negeri kritis di mutasi, kita harus menolongnya. Lewat masyarakat sipil. Bisa lewat media. Guru misalnya, yang baik tapi dimutasi, harus ditolong. Doa, harus diikuti dengan iqro juga. Agar tidak gagal. Saya kira begitu yang saya sampaikan.
Wahyu Terima kasih pak Busyro , tanggapannya. Mohon maaf sekarang jam 12.25. sudah lebih 10 menit. Kita sudahi seminar ini. Sudah banyak ragam pandang. Ada tiga usulan mengemuka. Pertama penting konsolidasi masyarakat sipil merumuskan agenda untuk masyarakat sipil ini termasuk difable. Bisa berkolaboasi dengan media. Kedua demokrasi dan inklusi adalah dua sisi mata uang. Ketiga, harus ada perjuangan aktif, proaktif untuk perjuangan kemanusiaan ini. fakta yang dipaparkan tidak membuat kita pesimis tapi menjadi data yang menguatkan kita untuk berjuang.
MC Penyerahan kenang-kenangan oleh pak Joni Yulianto selaku direktur Sigab. Break makan siang Sesi siang Sharing hasil konferensi
Ishaq Ass.wr.wb. Kita berkumpul di ruangan ini. Masih ada beberapa teman yang diluar. Sesi kali ini adalah sharing pengalaman. Sharing dari 25-26 november 2014 di Jakarta. Yang diikuti berbagai elemen masyarakat sipil. Dia bisa sebagai gerrakan. Gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Pada kali ini di Yogya. Kalau bicara gerakan, ini proses lahir berkembang mati, dan ada yang tumbuh, bertahan atau proses penurunan. Gerakan ini akan lahir tumbuh berkembang mati. Dia akan mengikuti siklus alam. Ada yang memilih gerakan hidup seribu tahun, lima ratus tahun atau mungkin setahun. konferensi masyarakat sipil akan berlangsung di beberapa tempat. Nanti ada kawan yang akan menjelaskan kondisi masyarakat sipil di Indonesia. Peta jalannya. Ada berbagai macam masyarakat sipil di
15
Indonesia. Berjuang di berbagai arena. Seperti di Jakarta, dalam skala nasional, diikuti berbagai organisasi masyarakat sipil di Indonesia salah satunya Sigab. Mbak Ipung akan menyampaikan gagasan yang sempat terlontar saat itu khususnya pada aspek hukum pemilu. Baru-baru juga berlangsung masyarakat sipil di kupang, akan menyusul di makasar, aceh, malang. Saya panggil mbak Purwanti, mas faris panghedar, mas dirga diansyah. Konferensi nasional masyarakat sipil di Jakarta membicarakan keterbukaan informasi publik khususnya dalam pemilu. Pemilu dan konflik kekerasan. Kualitas dan integritas penyelenggara pemilu. Hukum pemilu. Alur diskusi kita, pertama akan menyampaikan gambaran besarnya, roadmap masyaakat sipil, oleh mas dirga. Disusul oleh mbak purwanti, menjelaskan salah satu konteks yang dihadapi masyarakat sipil, penegakan hukum pemilu. Ditutup mas faris mengenai road mapnya. Mas dirga akan menjelaskan arena pertarungannya. Ada beragam arena yang sedang dimasuki masyarakat sipil. Arena bisa diartikan pertarungan. Siapa berhadapan dengan siapa dan untuk kepentingan apa. Silakan mas dirga dulu.
Dirga Ass.wr.wb. Kami, saya dan faris sama-sama dari kajian politik UI. Dosen fisip UI. Kita ingin share dulu, bahwa konferensi masyarakat sipil di Yogya itu rangkaian keseluruhan dari masyarakat sipil yang ada. Tahun lalu digagas konferensi masyarakat sipil nasional yang menghadirkan CSO, akademis, masyarakat sipil, sama-sama berkumpul menggagas satu platform bersama. Proses evaluasi terhdap hasil pemilu. Sebenarnya momentum evaluasi itu mempertanyakan kembali kontribusi masyarakat sipil dalam ruang yang ada dan memberikan perspektif baru. CSO itu hangat menjelang pemilu sampai di titik puncaknya di momen pemilu. Di konferensi nasional tidak bisa memaknai bahwa pemilu adalah titik puncaknya. Tapi ada tiga fase. Masa pra pemilu, dimana kita konsolidasi. Momen pemilu, tahapan berjalan seperti kampanye, masyarakat bukan hanya menjadi pemilih cerdas. Tapi dia bisa terlibat dalam konteks partisipasi politik yang lebih substansif. Harus ada pemaknaan kembali proses politik warga. Tidak bisa dimaknai hanya memilih orang baik, bersih moralnya baik. Tapi kita sama tahu ujungnya, kalau warga yang tidak hadir, rentan di kecewakan. Masalahnya tidak selesai di situ. Orang baik bisa tersandera oleh oligarkhi hukum dsb. konggres kemarin, momentum pasca pemilu menjadi penting. Dimana kita mengisi ruang yang ada. Bukan bersenangsenang. Tugas itu justru baru dimulai. Pemilu itu tugas berkelanjutan. Harus ada revitalisasi terhadap pendidikan pemilih. Karena ketika kita masuk ke pendidikan politik, kita memberikan ruang luas bagiwarga untuk dia terlibat dalam praktek keseharian. Makna politik. Dalam pendidikan politik kita, ujungnya hanya memilih orang. Trake recordnya orang seperti apa. Tapi dengan begitu, tidak emnghadirkan kepentingan yang ada. Kepentngan kelompok petani, difable dsb. kita hanya tergantung ke visi misi orangnya. Sedangkan yang harus kita pilih adalah kepentingannya dan bukan orangnya. Kita harus mendorong orang untuk masuk ke politik dan kita memperjuangkan kepentingan kita. Kalau seperti itu, orangnya yang kita pilih, maka yang kita pilih bisa gagal. Kedua, yang kita ajarkan harusnya adalah kepentingannya dan bukan orangnya. Bagaimana kita memberikan pendidikan ke warga, akses kepentingannya. Tidak hanya terlibat di pemilu, tapi bagaimana mereka keseharian mencapai sumber daya. Bukan hanya sumber daya alam, tapi bagaimana mengakses sumber daya, sesuatu yang memberikan warga kemampuan. Akses kesehatan,
16
pendidikan, program, regulasi, sumber daya alam. Bagaimana titik ebrangkatnya? Waktu konferensi menyatakan setiap orang harus mau terlibat dalam pembahasan kebutuhan. Kalau kita lihat, seperti disampaikan mas joni, perda sudah ada. Tapi kita miss dalam konteks implementasi. Teman-teman CSO sampai di advokasi kebijakan. Ketika di implementasi, kita butuh warga. Partisipasi politik real dari warga. Dengan melibatkan mereka. Dalam proses transformasi anggaran ke proses kebijakan. Sigab sudah memperjuangkan perda pengarus utamaan difable. Tapi kalau belum masuk ke anggaran, itu problem. Anggaran harus masuk ke program yang ada. Kalau tidak, nanti jatuhnya ke infrastruktur. Tidak ke penguatan sumber daya manusianya. Butuh keterlibatan warga, ketika partisipasi politik ke pasca pemilu. Kerap kali, kita berhenti hanya sampai ke terpilihnya pemimpin. Contohnya relawan adalah pemilih cerdas. Di pilpres itu memilih joko wi. Tapi dia tidak bisa mengapresiasikan kepentingannya itu apa. Relawan tidak mampu memunculkan kepentingan dan tuntutannya. Misalnya ketika subsidi BBM dicabut. Itu kemana akan dialihkan. Kalau tidak, akan masuk ke infrastruktur semua. Harusnya kita punya daya tekan untuk alokasi anggaran itu ke ini, ini dan ini. ke kelompok marginal yang ada. Politik ini adalah keseharian kita merebut ruang yang ada. Termasuk anggaran. Kalau tidak, nanti oligarkhi terjadi untuk kepentingan bisnis. Pertarungan ayng ada, sejauh ini melihat advokasi UU pilkada, masyarakat sipil itu pemilihan langsung oleh rakyat. Tapi ini kemenangan prosedural semata. Kita hanya memenangkan mekansime memilih. Bukan sebuah substansi yang baik. Kalau kita hanya melihat UU pilkada. 80% mengatur pada hal pertarungan kandudat. Belum memfasilitasi warga terlibat di situ. Kalau UU pemda, disitu letak substansinya. Di UU pemda. Dalam politik anggaran, itu kembali ke sentralisasi ruhnya. UU pemda akan menyandera pemimpin baik itu untuk ke politik anggaran yang sentralistik. Kuncinya memang bupati dan walikota. Tapi kalau dia membandel akan ada mekanisme mempersulit anggaran. Harapan kemudian ke UU desa. Kita bisa memulai proses partisipasi dari bawah. Keterlibatan teman-teman di APBN itu sulit. Tapi coba membayangkan di APBD dan turun lagi ke ABPDes. Itu menjadi partisipasi langsung warga desa dalam APBDes. Mereka bisa menuntut pembahasan APBDes yang akomodatif untuk warga desa. Peran CSO bisa dilakukan. Kita bicara musrembang, tapi anggarannya ada di level atasnya. Tapi kalau APBDes itu levelnya di desa. Itu bagian dari upaya melihat konteks bahwa UU pilkada, UU pemda, ruang mana kita akan masuk dalam konteks penguatan. Kepentingan warga, kita tidak bisa juga, kerap kali partisipasi warga dinafikkan oleh .... Ketika didorong untuk terlibat di pembuatan program, mereka sadar dengan masalah. CSO hanya menjadi jembatan antara warga yang berdaya dengan kandidat yang ada. Ini menjadi point yang dirumuskan di konferensi. Ruang kepentingan dibagi dua, pusat itu sangat bias sektoral, bias Jakarta. Konferensi masyarakat sipil ini sangat beda. Dimulai dari konferensi di Yogya, Jakarta, malang, kupang, makasar, aceh. Dari enam titik itu dirumuskan platform bersama. Ini akan menjadi ruang gerak kita sampai 2019. Menyamakan gerakan yang harus dilakukan kita semua. Kepentingan sektoral dan berbasis wilayah spacial. Perumusan kepentingan ini sangat cair sebenarnya. Bicara warga, pemilih, komunitas, itu punya makna berbeda. Warga punya wilayah domisili, serikat yang punya kepentingan bersama, dsb. merumuskan agenda tidak
17
hanya kita mengundang, tapi harus didistribusikan sampai ke tingkat paling mikro. Mulai dari lokal, desa dan munculnya dari bawah.
Ishaq Itu tadi sharing hasil konferensi nasional di Jakarta. Peran warga mempengaruhi, bukan hanya sekedar terlibat. Mulai dari pra, saat dan pasca pemilu. Mbak purwanti akan menambah catatan dan bahan dari arena pemilu. Dalam konteks penegakan hukum pemilu. Silakan.
Purwanti Ini menyambung yang disampaikan dari hasil konferensi nasional. Saya kebetulan berada di kelompok sepi. Hanya 4 orang. Proses hukum di pemilu. Lebih banyak yang tertarik di pemantaun, pemaknaan demokrasi, dsb. sangat sedikit sekali yang mengkritisi kebijakan kita. Ada hal yang substansif yang mempengaruhi pemilu kita. Pertama UU pemilu. UU umum, kepala daerah, legislatif itu tidak sinkron. Banyak hal saling bertentangan. Dan itu mempengaruhi hak pilih warga negara Indonesia. Usia menjadi pemilih itu 17 tahun ke atas atau sudah kawin. Kalau usia 12 tahun sudah menikah, apakah cukup bagi dia pembekalan untuk memilih. Batasan yang ada hanya umur dan status pernikaha. Peserta pemilu. Harus sehat jasmani dan rohani. Sementara ini, bagi teman-teman difable, dia termasuk dimana. Apakah tidak sehat jasmani rohani. Tolok ukur sehat itu hanya tiga, makan enak, tidur nyenyak dan nonton dagelan masih bisa tertawa. Batasan sehat jasmani rohani itu seperti apa. Ini bukan hanya mengganjal teman-teman difable. Itu gerilyawan pengganjal gus dur. Termasuk sekutunya. Pemaknaan sehat jasmani rohani ini dipakai para cukong. Bisa memberikan syarat sehat dengan membayar. Ada yang peserta pemilu, terganjal tidak sehat. Ketika di cross cek di dokter lainnya dia dinyatakan sehat. Indikator sehat itu seperti apa. Aksesibilitas. Ini lebih runyam lagi. UU pemilu mensyaratkan aksesibilitas. Itu bunyi UU pemilu. Di dalam pemantauan, aksesibilitas tidak menjadi indikator pemantauan pemilu. Bilik yang tidak akses itu diloloslan. Tidak tersedianya bilik yang akses, tidak ada template itu pelanggaran. Tapi itu tidak pernah dilihat. Jadi negara itu sudah menggol putkan teman-teman difable. Tidak hanya difable saja, tapi pada manula, perempuan hamil, bapak-bapak gendut. Harus naik lantai tiga misalnya. Pasti banyak yang urung. Negara kita entah lalai atau abai. Menurut saya pengabaian yang ada. Tidak pernah refleksi dari yang pernah terjadi. KTP saja tidak punya. Pengalaman real dari teman-teman. Bangga punya TPS di rumah sakit, dsb. kembali ke sistem kita. Pelaporan seperti ini tidak ditindak lanjuti. Karena dianggap bukan pelanggaran. Yang dianggap pelanggaran besar adalah penggelembungan suara. Keterwakilan. Saat diskusi ada rumor, menjadi peserta pemilu ada uang daftar. Ini sudah menjadi tanda tanya, peserta kita sudah tidak jujur lagi. Ini sudah problem. Bagi masyarakat marginal, yang wakilnya dipilih dari hati nurani rakyat, dari marginal, untuk menyetor uang itu tidak ada. Kalau menyetor uang itu, visi misinya bisa berubah. Kemarin menjadi perdebatan panjang. Penting memasukkan di UU pemilu kita untuk memasukkan kelompok marginal ke situ. Kaum LGBT misalnya. Kuota 30% perempuan sudah masuk di UU pemilu, tapi perlu di evaluasi apakah benar seperti itu. Terlepas dari keberpihakan ke perempuan,
18
bahkan ketika di legislatif ada perempuan, mereka masih digencet dengan banyak hal. Harapannya UU kita mengatur keterwakilan masyarakat sipul di sana. Bagaimana sehat jasmani rohani tadi. sayangnya ketika dibuka penjelasan, hanya berisi “sudah cukup jelas” saja. Bagaimana melakukan kodifikasi dalam UU pemilu kita. Baik level nasional, kepala daerah dan UU daerah. Ini penting dilakukan. Sehingga gerakan masayrakat sipil punya peran besar dalam hal ini.
Ishak Terima kasih mbak ipung atas sharingnya. Pada saat itu, rekomendasi tim pemantau dari organisasi Sigab. Ada 14 jenis hambatan yang dihadapi pemilih. Struktural, lingkungan, sikap perilaku dan teknologi. Apa yang dijelaskan mbak ipung tadi adalah aspek struktural. Kebijakan UU pemilu sendiri belum mengatur desain universal dalam pasal mereka. Lingkungan fisik ada tiga hal, bangunan, kantor pelaksana pemilu sendiri. Sebelum pencoblosan, organisasi difable datang mencari informasi. Begitu di kantor KPU, akses gedung tidak memungkinkan untuk dialog dengan pelaksana pemilu. Bangunan lain adalah peserta pemilu, kantor partai. Tidak akses fisik dan waktu. Kadang-kadang tutup dan kadang libur. Lingkungan lain non fisik, tidak ada standar pelayanan aksesibilitas pemilu. Bahasa isyarat, manual pemilu dalam bentuk braile, dsb. kami sebut hambatan lingkungan. Hambatan sikap dan perilaku. Pengabaian sampai ke tingkat penghinaan. Kalau difable ada yang merangkak ke lantai dua, itu sudah sampai ke tahap penghinaan. Hambatan teknologi, misalnya informasi. Difable dengan rungu bicara membutuhkan running teks televisi. Teknologi lain ada pada pendataan. Masih bermasalah besar. Imparemernt yang dicatat, tidak dicatat hambatan lingkungannya, maka jenis disabilitas itu tidak terlalu terbantu oleh petugas KPPS. Pendataan itu harus ada keterangan jenis disabilitasnya dan apa hambatannya. Respondennya langsung memberi jawaban. Misalnya membutuhkan bilik yang lebih luas, dsb. itu masukan dari tim pemantau saat itu, terkait dengan yang disampaikan mbak ipung.
Faris Selamat siang. Saya peneliti di UI. Melanjutkan paparan yang disampaikan dirga, saya memperdalam lebih lanjut apa yang kami diskusikan di konferensi nasional. Tahun lalu kami adakan konferensi nasional pasca pemilu 2014. Kemudian konferensi lokal di lima daerah. Bicara konteks lokal pasca pemilu 2014. Membahas road map yang ada pasca pemilu 2014. Ada 7 panel diskusi : Partisipasi politik warga. Sebenarnya sudah cukup bergelora dalam pemilu 2014. Tumbuh voluntarisme mengawal pemilu. Sampai rekapitulasi suara. Agar bisa diakses oleh kita. Pemilu bukan hanya urusan parpol dan kontestan. Kita sebagai pemilih juga mengawal agar proses pemilu tidak ada kcurangan. Ketika rekapitulasi sudah ada, pemenang sudah dilantik, seakan-akan peran kita berhenti di situ. Anti korupsi membahas korupsi di pemerintah dan pemilu Konflik dan kekerasan : masalah sumber daya alam, intoleransi, dsb.
19
Keterbukaan informasi dalam penyelenggaraan pemilu dan umum. KPU mencoba mengupload formulir C1. Mencoba membuka transparansi pemilu. Penyelenggara pemilu : tahun 2014. Banyak petinggi parpol yang punya media. Media kita punya masalah independensi yang tergerus. Parpol pemilik media mendapatkan frame time yang luas. Parpol lain tidak mendapat sama sekali. ada ketidak adilan slot media publik. Peran media Penegakan hukum pemilu : ada UU pemilu dan UU pilkada yang tidak sinkron. Di tujuh ini kita mengelaborasi apa persoalannya. Dibenturkan realitas masa ini, baru isu itu bunyi. Kita memilih empat arena pertarungan kami, pertama pilkada, otonomi daerah, implementasi UU desa, pelaksanaan pemilu 2019. Itu arena pertarungan lima tahun ke depan. Pilkada : Ini cukup penting. Titik awal menciptakan pemda yang akuntabel. Pemda yang bekerja untuk kepentingan warganya. Ini perwujudan suara mayoritas warga. Pilkada supaya tetap dilaksanakan langsung. Paling tidak ditagih ke kepala daerah yang menang, daripada ditagih ke DPRD. Sekalian menetapkan UMR untuk bisa hidup layak. Kalau yang dipilih hanya DPRD, maka tidak bisa ditagih kepentingan warganya secara langsung. Pilkada dikembalikan ke langsung lagi, tidak serta merta menyelesaikan masalahnya. Kita harus mengisi ruang partisipasi dalam pilkada. Apakah kita berhenti di pemilih cerdas saja, tapi tidak menghadirkan kepentingan kita di pilkada itu. Kita harus melakukan pengawasan pasca pilkada. Arena yang harus diperhatikan adalah arena penegakan hukum. UU pilkada yang konsisten dengan UU pemilu. Termasuk adanya UU perlindungan saksi, yang mana mungkin dilaporkan oleh kandidat tertentu. Perlunya transparasni informasi tentang penyelenggaraan pilkada Menguatnya isu anti korupsi Memperluas ruang partisipasi warga : harus masuk ke sana untuk menyuarakan kepentingannya kepada para kandidat. Kita sebagai CSO perlu melakukan pendampingan, agar mereka mengenali kebutuhan sehari-hari mereka. Survey kebutuhan warga. Kita sampaikan ke kandidat pra pemilu. Kita jangan membiarkan begitu saja kandidat datang ke desa. Kita harus mendorong warga desa merumuskan kepentingan mereka dan melakukan tuntutan. Apakah kandidat komitmen dan mengakomodir dari warga. Ini bisa menjadi alat untuk menilai kandidat. Ruang partisipasi warga itu menentukan kualitas dari pilkada. Uji publik misalnya, perlu didesak dilakukan secara terbuka dan warga terlibat di sana. Warga bisa menyampaikan point kepentingan mereka. Arena otoda : UU pemda. Spiritnya untuk mengembalikan sentralisasi pemerintahan. Yang bisa kita lakukan menanggapi otoda? Diskusi kami sampai ke satu hal, otoda itu mendekatkan pemda ke rakyat, agar bisa membuat kebijakan pro rakyat. Pemda bisa lebih akuntabel terhadap kepentingan warga. Ketika pilkada sudah selesai, kerja partisipasi warga tidak berhenti di situ. Lima tahun kita harus tetap mengawal. Apakah kepentingan kita diakomodasi dalam kebijakan daerah dan APBD. Apakah distribusinya bisa menjangkau warga. Apakah ada keistimewaan bagi daerah yang memenangkan kepala daerah? Kantong konstituennya sering diutamakan. Dan wilayah lain diabaikan. Tidak hanya mengawal APBD
20
tapi juga mengawal APBD untuk kebijakan inklusif. Apakah merata bagi semua kecamatan. Relokasi pedagang kaki lima, apakah hanya wilayah tertentu saja? Arena implementasi UU desa. Desa merupakan wilayah otonomi untuk membangun desa. Pemdes relatif dekat dengan mereka. Sangat visibel untuk dilakukan keterlibatan yang ada. Pembuatan rencana pembangunan desa, harus melibatkan warga dalam rembug musyawarah desa. Masalahnya, di desa ada elit juga. Pemdesnya hanya itu-itu saja. Hanya keluarga tertentu saja. Turun temurun. Ini masalah di implementasi UU desa. Struktur politik di desa juga oligarkhis. Dikuasai kalangan tertentu saja. Kalau warga desa tidak bergerak memasuki proses politik desa, mereka tidak mendapat manfaat dari UU desa itu. Yang penting juga musyawarah desa dilakukan secara inklusi. Warga desa mengorganisir dalam kelompok yang ada, kelompok petani, kelompok ibu-ibu, dsb. Arena pemilu 2019. Tujuannya meningkatkan transparansi dan integritas pemilu 2019. Termasuk penyelenggara pemilunya, dari atas sampai bawah di tingkat KPPS. Meningkatnya kualitas penegakan hukum pemilu. Misalnya politik uang, itu bisa ditindak. Perlndungan saksi perlu dilakukan. Yang penting juga meningkatkan independen media. Warga berhak memperoleh informasi berimbang dari media. Kekerasan dan konflik dalam pemilu Perlunya pendidikan pemilih untuk memperdalam partisipasi politik warga. Ketika pemilu sudah selesai partisipasi tetap berlanjut. Untuk memastikan kebijakan yang dibuat tetap berdasarkan kepentingan warga. Kira-kira itu hasil dari konferensi di Jakarta.
Ishaq Kita berdiri dulu. Kalau kita simak tadi, dari ketiga narasumber, intinya ada dua, partisipasi dan pemberdayaan. Penting untuk saya ingatkan kembali, bahwa dinamika hubungan warga dengan wakilnya. Hubungan itu terjalin sebelum pemilu dan seyogyanya juga setelah pemilu. Ketika menjadi wakil rakyat, mereka yang memutuskan. Termasuk rancangan RUU disabilitas. banyak RUU lainnya juga. Kita mesti menyadari betul, berpartisipasi secara kuat. Baik di level desa, daerah dan nasional. Meningkatkan kapasitas untuk itu dengan cara berjejaring. Meningkatkan secara spasial dengan aktor lain. Mbak ipung mengatakan minimnya minat ke penegakan hukum pemilu. Padahal itu substansif. Itu menarik. Kenapa justru pada hal regulasi, kurang minat. Apa yang disampaikan mbak ipung cukup menarik. Pelanggaran aksesibilitas justru tiddak diproses hukum, padahal banyak pelanggaran yang terjadi. Pak haris menjelaskan platform gerakan masyarakat sipil. Ada arena desentralisasi yang mulai bergeser ke sentralisasi dengan keluarnya UU pemda. Satu sisi menguatkan desa dengan UU desa itu. Pemda dan desa dalam keadaan setara, karena desa sekarang sudah ada UU desa. Pemilu tahun 2019. Kita tidak ingin satu arah saja. Mohon peserta bisa memberikan tanggapan. Di empat arena tadi. Arena pemilu kada, dsb. Mohon tiga penanya dulu dari ketiga sektor. Kanan, tengah dan kiri.
Narasi ikatan tuna netra muslim Indonesia 21
Tadi disampaikan, dalam menyambut pemilu 2019, harus banyak peran dan pemberdayaan bagi masyarakat sipil. Yang saya usulkan, kadang mungkin, dalam suatu organisasi kurang sumber daya. 2014 kemarin, sudah ada pemantau dari Sigab. Tapi belum bisa menjangkau setiap TPS. Hanya ditingkat kelurahan saja. Ke depannya, mohon lebih melibatkan lagi disabilitas sebagai pemantau di tempat masing-masing. Karena masih banyak pelanggaran. Ada templatenya saja itu tidak dipakai, tapi didampingi saja, kata petugas TPSnya. Katanya kelamaan. Untuk UU desa, perlu keterlibatan semua lapisan masyarakat sipil. Difable harus dilibatkan juga. Untuk keberpihakan difable, di desa itu masih nol. Satu-satunya yang ada perdesnya baru desa bangunmulyo bantul. Mohon nanti ada sosialisasi ke pamong desa. Agar lebih ada keberpihakan. Kalau hanya satu dua orang difable, hanya di mulut saja. Perlu ada penekanan bagaimana ada keberpihakan.
Mahmud Mengawali pemilu 2014, saya kutip Pemimpin yang pro rakyat, yakni joko wi. Kedua, nitizen yang ada gerakan nasionalisme. Ada gerakan di media online dan offline. Ketiga UU desa. IRE memang lembaga yang mengawal UU itu. UU desa membuka ruang bagi warga di musdes. CSO bisa mendampingi. CSO sektoral mulai paham, kalau UU desa tidak didampingi, maka oligarkhi politik di desa akan jalan. Apalagi desa di luar jawa. Harus dikawal. Bagaimana UU desa dimanfaatkan betul, untuk kita mengawal masuk ke desa. Kita mendampingi teman yang membutuhkan itu. IRE lebih kepada membuka ruang ke teman yang bergerak di sektoral. Misalnya pertanian. Kalau kami, bagaimana hak-hak petani bisa kami dampingi. Desa itu banyak kekuasaan. Kami berharap PP 60 itu dibatalkan. Menyimpang dari UU desa. Dinas tidak mau melepas proyeknya dari desa. Kalau desa membuat jalan, dia harus mendapatkan assignsing dari dinas PU. Kalau itu dijalankan, akan bagus dilapangan. Saya berharap konferensi ini bisa mengawal implementasi UU desa.
Mahmudyah narasita Ketika menghadapi pemilu, pra saat dan pasca itu sungguh berbeda. Ketika pra itu masyarakat berbunga-bunga akan ada perubahan. Ternyata sekarang, masyarakat hanya bisa menyanyi, sakitnya tuh di sini. Beras naik. Ada kabar gas naik. Barang-barang akan naik. Untuk selanjutnya, tidak terlepas dari tim sukses joko wi. Yang menjanjikan pilihnya joko wi nanti akan baik. Ternyata malah menjerumuskan rakyat. Sebentar lagi kan ada pilkada serentak. Saya usulkan, di sini ada KPU bantul dan kota, sleman, gunungkidul, propinsi. Mudah-mudahan KPU bisa mempersiapkan relawan demokrasi itu tidak hanya sekedar nama saja. Di bantul, 17 kecamatan, relasi hanya 25. Tidak cukup. Kaum difable hanya menjadi santapan empuk ketika pileg. Tidak memberikan politik, tapi pendidikan pemilih. Supaya nanti tidak salah pilih lagi, hendaknya relasi diperbanyak. Agar tidak salah pilih. Tim suksesnya tidak hanya menawarkan, promosi, tapi itu hanya slogan saja. Tidak realistik. Masyarakat jadi bagaikan membeli kucing dalam karung. Yang penting apa yang diterima masyarakat ketika akan memilih itu. Yang memberikan paling akhir itulah yang dipilih.
22
Untuk Sigab, difable yang di kampung-kampung itu diopeni, agar tidak menjadi santapan empuk dari kandidat.
Ishaq Tidak dalam bertanya tapi memberi masukan ya. Perlu sosialisasi ke pamong desa soal pemilu dan empat arena lainnya. Pak mahmud juga begitu. Pentingnya desa sebagai arena yang perlu di seriusi. Sekarang ini ada 70 ribu desa, karakternya juga demikian. Tidak tunggal. Kepala desanya macam-macam. Yang paling penting adalah urusan desa ada dualisme, kementrian dalam negeri dan kementrian desa. Tidak hanya sekedar emblame saja. Tapi juga proyek yang ada. Jangan sampai teman di desa, di level paling bawah menjadi santapan empuk. Tidak hanya pendidikan pemilih, tapi pendidikan pemilu. Pepatah juga harus diganti, berbunga-bunga dahulu baru bersakit kemudian.
Faris Saya tertarik dengan ibu mahdyah, fenomena relawan. Tahun 2014 itu fungsinya tim pemenangan kandidat. Mobilisasi supaya memilih kandidat. Yang gagal dihadirkan relawan adalah kepentingan warganya. Tidak sempat dihadirkan di pra pemilu. Ketika sudah terpilih, kepentingan warga jadi tidak nampak. Oligarkhinya punya kepentingan nyata. Jadi kita tergagap-gagap dengan presiden terpilih. Dia melayani kepentingan sekitarnya saja. Karena relawan tidak menyerap kepentingan warga. Relawan lebih berfungsi sebagai tim sukses. Memenangkan kandidat itu. Yang dibutuhkan di 2019, kita perlu mengubah fungsi relawan. Bukan tim sukses bagi kandidat, tapi tim sukses warga. Kebutuhan kita diakomodir oleh kandidat yang menang. Dengan kebijakan publik yang pro ke kita, bukan yang pro ke kepentingan lainnya. Pemilu 2019, di pra pemilunya, menghadirkan kepentingan warga. Sekarang ini, kita perlu mengawasi kebijakan yang dibuat agar tidak bertentangan dengan kepentingan kita.
Dirga Kita perlu platform bersama untuk gerakan masyarakat sipil ini. di regulasi desa, perdes ada perspektif difablenya. Anggaran itu bagi teman-teman akan mengubah banyak. Bicara disabilitas itu bicara kebutuhan yang berbeda. Pembangunan mengakomodir kebutuhan khusus tersebut. Harus diakui moment yang cukup kritis. Karena banyaknya proses. Joko wi itu agak berbeda. Walau dia dipilih rakyat. Tapi saya tidak melihat satupun, mengupayakan pembangunan warganya. Pencabutan subsidi BBM harusnya menjadi momentum joko wi untuk melibatkan partisipasi warga akan dialokasikan kemana. Juga dalam anti korupsi. Agen sosialisasi, relawan itu tidak menghadirkan kepentingan warga. Kepentingan relawan sendiri, ketika ada kebijakan pro kontra, dia tidak memposisikan diri sebagai makna positif. Tapi dia memposisikan diri ke joko wi. Momentum euforia pemilu, pertanyaannya sederhana, kepentingan apa yang diagendakan dan diperjuangkan. Mungkin mereka hanya agen sosialisasi nawacita yang sudah dirumuskan.
23
Kalau tadi bilang sakitnya tuh di sini, ini bentuk pendidikan pemilih, yang memilih sosok baik, tapi harusnya pendidikan pemilih itu mengarah ke tuntutan kepentingan. Sayangnya, kita tidak mengarah ke sana. Karena kita tidak pernah merumuskan tuntutan bersama. Yang paling jelas, relawan memposisikan diri mendorong apa. Dia harus bisa kritis terhadap pilihannya sendiri. Itu belum dilakukan. Pendidikan pemilih ini harus menjadi bagian dari pendidikan politik. KPU itu fungsinya satu, angka partisipasi tinggi. Kita yang penting difasilitasi berbagai instrumen melacak visi misi. Tapi itu tidak ada kontribusi setelah mereka terpilih, apakah menghadirkan kepentingan kita di momen pasca pemilu. Politik uang, disitulah letaknya. Kita dicerai berai sebagai pemilih, punya hak suara. Di situ krusial, tidak berpikir sebagai warga, tapi berpikir sebagai pemilih yang bisa ditransaksikan sebagai pemilih individu. Pendidikan pemilih perlu untuk memandang indidivu yang tidak terpisah. Saya tidak percaya, tolong diambil uangnya dan tolak memilihnya. Kita harus bertransaksi dengan cara lain. Misalnya individual, misalnya anak sekolah, butuh uang sekolah. Transaksi bersama warga harus diketahui untuk warga sebagai serikat dan punya kepentingan sektoral dan spasial. Transaksi ini menguntungkan orang lain. Beda sekarang, transaksinya individual. Satu bisa mendapat yang lain tidak mendapat. Beda dengan kepentingan bersama tadi. kalau belum terwujud bisa ditagih secara warga juga. Money politik harus ditransformasikan bagi kepentingan warga bersama. Itu yang kemarin miss diproses dalam pendidikan pemilih kita.
Ipung Pelaksanaan pemilu lemah perspektif difablenya. Ada pelanggaran, malah justru dilarang memakai sarana yang ada. Melihat seperti ini, saya tawarkan sesuatu yang terbalik, bagaimana kalau pendidikan pemilih, dari KPU itu di ubah. Difable yang sosialisasi ke KPU. Tapi harus didengar dan di implementasikan dengan baik. Problem kita sampaikan, tapi mereka menjawab dengan problem juga. Mari kita buka ruang dialog untuk itu. Masyarakat marginal butuhnya seperti apa. Kalau media, sebenarnya sudah banyak medianya. Tapi hal substansif kebutuhan spesifik itu yang belum tersampaikan. Pendidikan politik hanya mendaftar, mencoblos, dan melipat suara. Belum ke pemilih yang cerdas. Bagaimana memilih orang tepat. Yang kita sosialisasi hanya visi misinya. Padahal itu dibuat tim suksesnya. Sampai dibuatkan visi misinya. Ini menjadi kendala besar. Kita hanya melihat profile di luarnya. Bagaimana trake recordnya dia saja. Suatu ketika kita mendampingi satu korban di sukoharjo. Pelaku mencalonkan diri sebagai kandidat. Dari perspektif gerakan perempuan dia membela pelaku yang memperkosa difable. Ini perlu dipertimbangkan juga. Agar memilih itu tidak seperti memilih kucing dalam karung. Masyarakat sudah mulai cerdas dan mencari. Ada beberapa daerah ketika ada salam angpao dan paket makan, di bawah nasi ada uang 100 ribu dan foto, ternyata itu dikembalikan. Di salatiga, sleman, boyolali ada seperti itu. Kalau itu pendidikan politik dibuka luar biasa, mereka akan benar-benar memilih calon yang baik. Saya rasa ini juga mengisi kekosongan. Hingar bingarnya pemilu itu menjelang hari Hnya. Tapi masa sebelum itu, sebelum pra pemilu, sudah dimulai pendidikan politik. Jadi bertahap dan dilaksanakan dengan baik. Kalau hari H, sosialisasi 100 orang digabung jadi satu. Aksesibilitas fisik dan non fisik, mewarnai di setiap tahapan pemilu. Termasuk ke pemantauannya. Karena ini kunci. Jangan sampai ketika ditanya difable,
24
dijawab datanya mana. Kalau pendataan harusnya sudah terdata, difablenya berapa dan apa kebutuhannya. UU desa, bagaimana memasukkan masyarakat marginal untuk berpartisipasi dalam forum desa. Tapi kita harus jeli dalam hal ini. perangkat desa menyerahkan ke fasilitator. Fasilitator hanya minta digarapkan saja. Memproses rembug desa dengan banyak keragaman, prosesnya akan lama. Partisipasi warga itu perlu mencapai ke kualitas yang baik. Jangan hanya kehadirannya saja. Hanya menyetujui. Sehingga forum warga menjadi forum amienamien. Seringkali kita sudah mengumpulkan usulan, ketika diketok, tidak ada satupun yang masuk. Yang strategis tidak masuk. Hanya pembangunan gapura, upacara 17 an. Itu perlu kita pantau benar. Agar kualitas partisipasi bisa baik. Ketiga, dengan relasi. Saya sepakat dikembangkannya relasi. KPU perlu melihat relasi ini mekanisme komplainnya seperti apa. Dan problem yang dihadapi harus diselesaikan. Apakah dia hanya pelaksana sosialisasi yang sudah mendapatkan paket. Atau menjadi pemantau yang selama ini belum jadi perhatian pemilu. Sebagai epmantau dia bisa melihat problem di masyarakat. saya sepakat dengan pemantauan di TPS. Yang penting adalah membuat indikator pemantauan itu. Yang belum dilakukan oleh NGO, perlu dilakukan oleh orang yang punya kewenangan untuk itu. Pemantau itu ada dari parpol juga. Pemantauan itu untuk apa. Memantau apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. ada tidak standar pemantau pemilu. Mempertimbangkan kebutuhan masyarakat marginal. Sekarang ini, kalau difable yang memantau Sigab saja. Kalau ada standarnya, ada indikatornya yang jelas, maka bisa dilakukan lebih baik. Saya merasa Sigab baru di empat daerah. Daerah lainnya apakah meninggalkan hal-hal yang sangat sensitif seperti ini.
Ishaq Satu kalimat yang bisa saya simpulkan. Kita ingin membangun kedaulatan rakyat. Kita tidak hanya sekedar menjadi agen sosialisasi, tapi warga yang berdaulat, pemilih yang berdaulat. Terima kasih.
25