LaporanUtama
Editorial
Tandan Sawit Edisi No. 2
I
ndonesia negeri kaya. Sejak kecil kita tumbuh dengan memuja keberlimpahan alam pertiwi seperti dalam syair lagu Rayuan Pulau Kelapa. Lagu yang menutup siaran resmi layar TVRI saban malam. Nyiur melambai, mengiringi gunung, lembah, lautan, dan daratan di segala penjuru. Emas, tembaga, nikel, minyak, sawit, karet, semua ada. Indonesia negeri sarat paradoks. Negeri kaya ini seolah berjalan tanpa rencana yang jauh menjangkau ke masa depan. Tak ada kesadaran bahwa keberlimpahan itu pasti akan menipis dan berakhir. Alih-alih memiliki sense of urgency dan keberpihakan pada rakyat luas, sumber daya alam cenderung diobral dan dikelola sembrono. Walhasil, sumber daya alam yang melimpah itu, ironisnya, kerap menorehkan luka dan disharmoni sosial. Berkah dan kutukan alam yang kaya, celakanya, sering hanya berjarak tipis. Paradoks pekat melingkupi sawit. Komoditas yang satu ini memiliki pamor yang begitu cemerlang. Dia membawa janji sebagai sumber energi zaman baru, biofuel. Elaeis guinensis, nama ilmiahnya, juga menjanjikan “tiket” menuju kedaulatan ekonomi. Tiket yang bukannya mustahil dikejar. Syaratnya, sawit dikelola dengan benar: proses perizinan yang transparan dan akuntabel, memajukan petani sebagai ujung tombak, menghormati hak ulayat, ramah lingkungan, dan memperlakukan buruh dengan baik. Anehnya, sebetulnya tidak aneh karena inilah konsekuensi logis dari pengelolaan yang kurang visioner, sawit yang berpotensi dahsyat itu menyisakan timbunan persoalan. Konflik kepemilikan lahan, terpinggirkannya masyarakat adat, biodiversitas hutan tergerus, kriminalisasi petani, adalah ekses ekstra serius yang timbul meletup di sana-sini. Ekses-ekses yang mutlak harus dibenahi dan diurai satu demi satu, dengan jernih dan obyektif, jika tak ingin sawit terus membawa disharmoni sosial dalam berbagai level. Teramat sayang jika pengembangan sawit sebagai komoditas yang menjanjikan, dengan posisi Indonesia sebagai produsen terbesar di dunia, harus diwarnai dengan kepahitan yang ditanggung petani dan masyarakat. Kami yakin, dunia juga berkepentingan terhadap sustainabilitas dan perbaikan perkebunan sawit di Indonesia. Sebab, bersama Malaysia, Indonesia adalah pemasok utama komoditas yang amat strategis dan dibutuhkan dunia ini.
Salam Redaksi
Penanggung Jawab Jefri Gideon Saragih
Revisi UU Perkebunan Demi Keberlanjutan Lingkungan
Pemimpin Redaksi Jopi Peranginangin Dewan Redaksi Bondan Andriyanu, Jefri Gideon Saragih, Nurhanudin Ahmad, Ratri K, Yoka Eryono, Jumadi Jaya, Y. Hadiana, Jopi Peranginangin, Ronald Siahaan, Eep Saifulloh, Harizuddin, Carlo Lumban Raja, Sukardi, Maryo Saputra Tata Letak Jopi Peranginangin Alamat Redaksi Perkumpulan Sawit Watch Bogor Baru Taman Jalan Cisangkui Blok B 6/1 Kel. Tegal Lega, Bogor Tengah, Jawa Barat - 16127 Telp: 02518352171 Fax: 02518352047 Web: www.sawitwatch.or.id Twitter: @SawitWatch UU Perkebunan akan mengancam masa depan hutan dan lahan
Daftar Isi Revisi UU Perkebunan Demi Keberlanjutan Lingkungan .... Halaman 03 UU Perkebunan Baru Yang Disahkan Secara Terburu-Buru ..... Halaman 04 Menyikapi UU Perkebunan Baru ..... Halaman 06 UU Perkebunan Dan Masa Depan Petani Sawit .... Halaman 10 Reportase Workshop Perkebunan Sawit Berkelanjutan..... Halaman 12 Tibawan, Negeri Subur Yang Terancam Perkebunan Kelapa Sawit Skala Besar ..... Halaman 15 Bupati Mimika Resmi Cabut Izin Perkebunan Sawit PT PAL ..... Halaman 18
Redaksi menerima sumbangan tulisan atau artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Artikel atau tulisan yang dimuat bersifat sukarela dan tidak mendapatkan honor. Ketentuan ini diberlakukan karena media Tanda Sawit bukan media komersil.
2 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015
K
oalisi masyarakat sipil mengkritisi UU Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan karena dinilai tak mencerminkan aspek keadilan yang hanya menguntungkan investor besar dan mengancam lingkungan. Petani kecil dan masyarakat adat bakal makin terpinggirkan. Seharusnya UU ini juga mengatur persoalan sosial dan lingkungan dalam aktivitas perkebunan besar. Ada solusi alternatif terkait konflik agraria baik dengan masyarakat adat, buruh perkebunan dan lingkungan. Tetapi UU ini tidak memberikan solusi. Justru akan timbulkan masalah baru ke depan. Organisasi masyarakat sipil yang bekerja pada isu perkebunan mendesak pemerintah agar merevisi kembali UU Perkebunan ini, dan tentunya
memasukan ketentuan tata kelola perkebunan berkelanjutan, berkeadilan, berkedaulatan dan berkerakyatan baik aspek lingkungan serta hak asasi manusia. Skema perkebunan sawit berkelanjutan tidak tegas diatur. Kemitraan, masih belum mampu memposisikan petani sejajar dengan perusahaan dalam pengelolaan usaha. Padahal, kemitraan selama ini sangat tidak adil hingga menimbulkan konflik. Dan yang menggelikan, UU Perkebunan ini memasukan kembali pasalpasal kriminalisasi yang telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi melalui uji materiil UU Perkebunan yang sebelumnya. Kini, luas perkebunan sawit di Indonesia, mencapai 13.297.759 hektar. Produktivitas minyak sawit
(crude palm oil/CPO) mencapai lebih 21 juta ton. Sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor sawit terbesar dunia. Permasalahan lain adalah tentang masyarakat adat yang harus ditetapkan berdasarkan UU. Sementara di Indonesia, baru sedikit saja komunitas yang mendapatkan pengakuan secara hukum oleh pemerintah. UU Perkebunan ini makin menegaskan watak tidak mengakui masyarakat adat. Ini terlihat dalam kalimat, masyarakat adat ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan. Konteks konstitusi sudah jelas perbedaan antara pengakuan dan penetapan. Pengakuan berarti masyarakat ada dan pemerintah mengakui. Kalau ditetapkan berarti masyarakat adat daftar dulu baru ditetapkan. Selain itu, ada tiga pasal menyinggung keberlanjutan lingkungan. Dalam Pasal 2 dan 3, memperhatikan keberlanjutan dan fungsi lingkungam hidup. Lalu, Pasal 32, ada kewajiban mengikuti peraturan mendukung keberlanjutan dan kelestarian lingkungan hidup. Ayat dua mensyaratkan, pelaku perkebunan mendapatkan cara mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan. Namun, UU Perkebunan ini akan menjadi ancaman besar bagi kawasan hutan bernilai konservasi dan berstok karbon tinggi. Dalam Pasal 16-17, ada kewajiban perusahaan mengusahakan lahan perkebunan tiga tahun pertama paling sedikit 30%. Apabila tidak akan kena sanksi administratif berupa denda, penghentian sementara hingga pencabutan izin. Ini dilema bagi perusahaan yang berkomitmen menjaga hutan. Karena tidak didukung regulasi. Jika tidak diusahakan, dicabut izin. Ini ketakutan luar biasa dari perusahaan. Untuk itu, peraturan lahan tidur harus direvisi atau paling tidak ada aturan yang melegalkan. Hingga tidak membuat ketakutan pelaku industri untuk proteksi lahan bernilai konservasi dan berkarbon tinggi.***
Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 | 3
LaporanUtama
LaporanUtama
UU Perkebunan Baru Disahkan Secara Terburu-Buru
S
awit Watch menilai UndangUndang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan) masih jauh dari harapan. Direktur Sawit Watch, Jefrie Gideon Saragih mengatakan, beleid yang disahkan secara terburu-buru menjelang akhir masa bakti anggota DPR 2009-2014 itu, belum dapat memperbaiki sistem perkebunan terkait perlindungan petani kecil, mengatasi konflik agraraia dan tidak mampu menjawab tantangan kerusakan lingkungan. Jefrie menilai, sejumlah pasal di undang-undang masih bermasalah. Diantaranya terkait Pasal 12 dan 13. Pasal ini dinilai berpotensi melanggar hak masyarakat adat karena mewajibkan musyawarah dengan masyarakat adat pemegang hak ulayat yang tanahnya akan dipergunakan untuk usaha perkebunan harus sesuai dengan peraturan perundangan. Dalam pasal tersebut juga disebutkan, apa yang disebut dengan masyarakat adat juga harus melalui penetapan lewat peraturan
perundangan. “Pengakuan terhadap masyarakat adat seharusnya berupa penghormatan terhadap hukum adat yang telah mengatur bagaimana musyawarah harus dilakukan,” kata Jefrie. Menurutnya, ada perbedaan konsep antara penetapan dan pengakuan. Negara memiliki kewajiban untuk memberikan pengakuan dalam bentuk penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat. UUD 1945 memandatkan, pengaturan masyarakat adat lewat undangundang, sementara undang-undang masyarakat adat masih berupa rancangan undang-undang (RUU). “Ironisnya RUU kini tidak masuk prioritas prolegnas 2015,” tegasnya. Kemudian Pasal 27, Pasal 29, dan Pasal 30 UU Perkebunan juga berpotensi melanggar hak petani pemulia benih karena mewajibkan izin dalam pencarian sumberdaya genetik dan pengembangan benih. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara pengujian Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman telah me-
4 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015
nyatakan pengaturan seperti tersebut tidak boleh diperlakukan untuk pertanian keluarga skala kecil. Selanjutnya Pasal 55 UU Perkebunan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak jelas siapa yang tidak sah mengerjakan lahan perkebunan. Jefrie berpendapat, siapa tidak sah harus dilihat konteks sejarahnya. Di dalam UU Perkebunan sanksi diberikan kepada perusahaan yang tidak punya izin, tapi tidak bagi yang tidak punya Hak Guna Usaha (HGU). “Padahal izin bukanlah hak atas tanah,” ujarnya. Selanjutnya, UU Perkebunan mengatur masa penyesuaian 1 tahun untuk perusahaan penanaman dalam negeri dan hingga HGU berakhir untuk penanaman modal asing. “Pertanyaannya jika terjadi sengketa tanah siapa yang tidak sah,” tuturnya. Selain Sawit Watch, lembaga swadaya masyarakat lainnya yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Mencari Keadilan Dari UU Perkebunan juga mengkritisi beleid tersebut dari
berbagai sisi. Dalam konteks perlindungan petani/masyarakat disekitar perkebunan dan pengrusakan lingkungan, UU Perkebunan dinilai memiliki beberapa kelemahan dan harus dicermati karena akan memberikan dampak terhadap pengaturan sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit. Koalisi Masyarakat Sipil melalui serangkaian diskusi pun telah menghasilkan suatu Kertas Posisi terhadap UU perkebunan. “UU Perkebunan ini masih kurang mengakomodir kepentingan pekebun mandiri karena tidak mengatur tentang tata kelola perkebun alternatif yang mengangkat peran koperasi rakyat. UU ini hanya mengatur yang dianggap tidak penting oleh petani seperti skema kemitraan,” kata Mansuetus Darto dari Serikat Petani Kelapa Sawit. Darto menilai, skema kemitraan perkebunan yang diterapkan selama ini sangat tidak adil sehingga menimbulkan konflik. “Dan ini terulang kembali melalui UU ini khususnya pasal 57 dan 58,” ujarnya. Skema kemitraan dalam UU Perkebunan ini pun masih belum mampu untuk memposisikan masyarakat/petani sejajar dengan perusahaan dalam pengelolaan usaha
perkebunan. Disamping itu, kata Darto, perkebunan sawit berkelanjutan tidak tegas diatur. Sementara itu, aspek lingkungan dalam UU juga ini masih samar-samar dan terkadang tidak tegas dalam perlindungan lingkungan hidup. Tidak adanya dukungan terhadap upaya perlindungan khususnya pada wilayah yang bernilai karbon tinggi (HCS) dan bernilai konservasi tinggi (HCV) serta lahan gambut di dalam wilayah konsesi perkebunan. Peran pemerintah sangat diperlukan dalam upaya mengembangkan dan mempromosikan produk kelapa sawit bebas deforestasi di Indonesia ke pasar global dengan kebijakan dan regulasi yang mendukung. UU Perkebunan ini tidak menjelaskan tentang bagaimana penegakan hukum dan penindakan terhadap persoalan perusakan lingkungan, termasuk deforestasi dan perusakan lahan gambut. UU Perkebunan juga tidak mengatur tentang kejelasan penerapan Free Prior Inform Concern (FPIC) dalam usaha pembangunan industri perkebunan kelapa sawit. UU ini tidak menjelaskan dengan tegas soal peran serta masyarakat yang memiliki sifat
berkeadilan. Terkait pengesahan UU ini sendiri, dalam laporannya kepada Rapat Paripurna DPR, Wakil Ketua Komisi IV DPR periode 2009-2014, Herman Khaeron mengatakan, disetujuinya RUU Perkebunan menjadi undangundang diharapkan mampu menjawab berbagai problematika perkembangan dan tantangan di sektor perkebunan. Menurutnya, UU Perkebunan merupakan aturan di bidang perkebunan yang komprehensif secara berimbang dan proporsional kepada berbagai pihak terkait di sektor perkebunan, yaitu pemerintah, pelaku usaha, masyarakat dan pekebun. “Sektor perkebunan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan nasional,” papar Herman seperti dikutip dpr.go.id, Selasa (17/2). UU yang terdiri dari 19 Bab dan 118 Pasal, mengamanatkan kewajiban bagi pelaku usaha perkebunan yang memerlukan tanah berupa tanah hak ulayat untuk melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.***
Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 | 5
LaporanUtama
LaporanUtama
Menyikapi UU Perkebunan Baru
UU Perkebunan berpotensi untuk memiskinkan petani sawit
P
ada 2014, Sidang Paripurna DPR RI telah mengesahkan UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. UU Ini merupakan revisi atas UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. DPR RI menyatakan revisi UU Perkebunan ini ditujukan untuk membatasi ekspansi perkebunan besar atas lahan pertanian pangan, juga untuk menghindari potensi konflik lahan antara petani pangan dengan pengusaha perkebunan. UU Perkebunan baru ini diarahkan pada penanaman modal dalam negeri. Sementara asing akan dibatasi penyertaan modalnya di bisnis perkebunan. Kenyataannya sebagian besar lahan pertanian pangan sudah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, dan sebagian besar perusahaan perkebunan terlanjur dikuasai asing. DPR RI menyatakan Revisi UU Perkebunan ini untuk menghindari potensi konflik lahan antara petani pangan dengan pengusaha perkebunan. Tetapi, secara substansial apa yang dinyatakan DPR tersebut berbeda dengan fakta yang muncul di lapangan. Orientasi kebijakan perkebunan yang cenderung memfasilitasi
dan memberikan kemudahan pada perkebunan-perkebunan skala besar telah mengakibatkan konflik perkebunan yang muncul di berbagai wilayah Indonesia. Hal ini diikuti dengan adanya kewenangan yang besar yang dimiliki Kepala Daerah untuk mengatur wilayahnya. Kewenangan tersebut seringkali disalahgunakan untuk memberi izin secara mudah kepada pemilik perusahaan perkebunan yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi lahan-lahan perkebunan. Konflik perkebunan ini disebabkan, salah satunya, karena pemberian izin lokasi perkebunan yang diberikan oleh Bupati dan atau Gubernur seringkali bertabrakan dengan wilayah kelola masyarakat. Sementara, setelah mendapatkan izin perusahaan perkebunan sering memaksa masyarakat untuk menyerahkan lahan dengan ganti kerugian tidak wajar. Inilah yang menjadi penyebab pertama terjadinya konflik perkebunan. Selain berpotensi menyebabkan konflik perkebunan, UU Perkebunan yang baru juga memberikan peluang terjadinya kolusi dan korupsi antara perusahaan perkebunan dengan pejabat yang berwenang dalam men-
6 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015
geluarkan izin-izin yang diperlukan perusahaan perkebunan. Hal mana tercermin dari adanya pengecualian terhadap tindakan-tindakan yang dilarang oleh UU Perkebunan ini, seperti larangan menerbitkan hak atas tanah di atas tanah hak ulayat masyarakat hukum adat. Larangan ini boleh dilanggar apabila sudah terjadi kesepakatan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat adat. Padahal, belum tentu kesepakatan tersebut dilakukan melalui proses musyawarah yang setara dan tanpa pemaksaan serta pengelabuan oleh perusahaan perkebunan. Pandangan Sawit Watch terhadap UU Perkebunan Baru Sejak awal, Sawit Watch sudah mengkritisi UU Perkebunan ini sebelum disahkan. Karena Sawit Watch menilai revisi UU Perkebunan harus memuat materi-materi yang berpihak pada rakyat. Terkait dengan UU Perkebunan tersebut, Sawit Watch sebelumnya mengusulkan bahwa UU Perkebunan yang baru harus memuat beberapa ketentuan yang seharusnya diatur dalam materi UU Perkebunan, yaitu:
Pembebasan Lahan Yang Adil Sebagian besar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di perkebunan terjadi dalam operasi pembukaan lahan perkebunan. Pengusiran penduduk dari lahan-lahan pertanian dan tempat tinggal mereka yang disertai dengan kekerasan merupakan trend terbesar dalam situasi ini. Dengan mengerahkan satuan keamanan perusahaan, orang-orang bayaran dan back-up penuh dari pihak militer dan kepolisian, perusahaan mengusir paksa penduduk dari tempat tinggal dan atau lahan-lahan pertaniannya dengan alasan penduduk mendiami lahan-lahan yang masuk dalam HGU mereka secara ilegal. Dalam setiap kejadian pengusiran paksa ini, tidak sedikit penduduk menjadi korban tindak kekerasan dari satuan pengaman perusahaan, orang-orang bayaran dan satuan-satuan pengendali massa kepolisian lokal yang dilibatkan perusahaan untuk mengamankan proses pengusiran. Dalam banyak kasus, hampir sebagian besar penduduk yang menolak pergi dari lahan-lahan pertanian mereka, ditangkap oleh aparat militer/kepolisian dengan tuduhan sebagai anggota PKI ataupun ditangkap dan diadili dengan alasan mengganggu jalannya usaha perkebunan. Oleh karenanya, harus dipastikan di dalam Revisi UU Bun ini bahwa kekerasan dan kriminalisasi dalam pembebasan lahan untuk perkebunan, Revisi UU Bun harus memuat ketentuan-ketentuan untuk menjamin pembebasan lahan yang adil yang menghormati hak-hak asasi manusia, menghormati hak-hak masyarakat adat dan memenuhi prinsip-prinsip keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan (FPIC). Selain itu, harus ada aturan yang melarang penggunaan aparat keamanan (TNI dan Polisi) dalam proses pembukaan lahan-lahan perkebunanan dan pembangunan perkebunan. Jaminan Perlindungan Bagi Hak-hak Masyarakat Adat Masyarakat adat merupakan kelompok paling menderita dalam proses pembangunan perkebunan. Hal ini disebabkan sistem hukum yang diterapkan sering kali menegasikan
atau membatasi hak-hak masyarakat adat atas lahan. Kebijakan negara juga umumnya mendiskriminasikan masyarakat adat. Meskipun hak-hak adat mendapatkan perlindungan dari UUD RI, hak-hak tersebut sangat dibatasi dalam berbagai produk kebijakan yang ada. Untuk itu, Revisi UU Bun harus mengakomodasi dan mengadopsi Deklarasi PBB tentang Hak-hak masyarakat adat, dengan memuat pengakuan bahwa: 1. Masyarakat adat memiliki hak untuk memiliki tanah dan wilayah yang sudah secara turun temurun mereka miliki, huni atau manfaatkan; 2. Masyarakat adat berhak mewakili dan atau diwakili melalui institusi mereka sendiri; 3. Penerapan aturan-aturan adat mereka dan; 4. Sejalan dengan hak mereka untuk memutuskan sendiri, menerima atau menolak memberikan keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan terhadap rencana operasi perkebunan di tanah mereka. Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (Free Prior Inform Concent/FPIC) Dalam sidang majelis umum PBB tanggal 13 September 2007, telah dikukuhkan sebuah deklarasi PBB untuk masyarakat adat (UNDRIP), dimana didalamnya telah ada pengakuan terhadap FPIC. Di Indonesia, tidak ada mekanisme untuk mengefektifkan hak atas persetujuan tanpa paksaan. Tidak hanya pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat, namun institusi-institusi masyarakat adat juga tidak diakui secara memadai. Untuk itu, Revisi UU Bun harus secara jelas dan tegas mengatur mengenai penghormatan terhadap hak atas persetujuan tanpa paksaan. Tidak ada skema pelaksanaan Revisi UU Bun yang boleh dilaksanakan tanpa adanya persetujuan dari pemegang hak tanah dan persetujuan tanpa paksaan pemilik adat. Pelarangan (pembatasan) Sejumlah Mata Pencaharian Tertentu Pelanggaran dominan yang sering-
kali dilakukan perusahaan perkebunan adalah praktik-praktik pelarangan aktivitas ekonomi penduduk yang tinggal di wilayah atau sekitar perkebunan. Pelanggaran ini terjadi setelah perusahaan perkebunan mengambilalih semua lahan-lahan yang dahulunya dikelola oleh penduduk, kemudian perusahaan memberlakukan larangan (pembatasan) sejumlah aktivitas-aktivitas ekonomi penting penduduk. Penduduk yang tetap menjalankan aktivitas tersebut akan ditangkap dan diserahkan ke polisi dengan tuduhan mencuri, merusak aset perusahaan atau mengganggu jalannya usaha perkebunan. Padahal Hak atas pekerjaan adalah suatu hak fundamental, yang diakui di dalam UUD 1945 dan beberapa instrumen hukum internasional. Oleh karenanya, di dalam Revisi UU Bun ini harus ada jaminan dan pedoman-pedoman bagi perusahaan perkebunan agar dalam setiap proses pembangunan perkebunan tidak mengakibatkan pembatasan hak-hak masyarakat sekitar untuk melakukan sejumlah aktivitas yang berkaitan mata pencahariannya, terutama yang terkait sebelum adanya pembangunan perkebunan. Transparansi dan Akuntabilitas Hambatan terbesar dalam melakukan proses pengelolaan perkebunan yang berkeadilan dan berkelanjutan adalah transparansi serta akuntabilitas. Belum adanya mekanisme yang mampu digunakan untuk melakukan pendataan terhadap seluruh rantai produksi perusahaan, mulai dari Group Perusahaan sampai dengan anak perusahaan. Hal ini mengakibatkan tidak adanya fungsi kontrol yang mampu dijalankan baik oleh masyarakat maupun para pemangku kepentingan lainnya sebagai bentuk dari partisipasi publik terhadap operasionalisasi perusahaan yang melebihi batas usaha maksimum yang diperbolehkan. Dalam tahap dan proses awal pembangunan kebun, perusahaan tidak pernah memberikan informasi yang lengkap kepada masyarakat terkait dengan rencana tersebut yang meliputi luasan, sistem dan skema pengelolaan, serta status atas tanah
Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 | 7
LaporanUtama saat dialihkan dan beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Pemberian Masukan Oleh Masyarakat Dalam Proses Penerbitan Izin Sebagaimana tercantum dalam poin-poin masukkan UKP4 atas revisi Revisi UU Bun. Kami menyatakan bahwa pemberitahuan kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya pada proses pengurusan dan penerbitan izin, mulai dari tahap awal sangat mustahil jika dibatasi dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari, mengingat proses ini sangat penting dalam rangka memberikan jaminan partisipasi publik untuk turut serta memberikan masukan dan proses monitoring perizinan yang sedang dilakukan. Setidaknya, proses ini memberikan waktu yang cukup kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya untuk bersama-sama memastikan proses ini terjadi, dan berlangsung secara adil dan terbuka. Selain batas waktu, perlu diatur pula
LaporanUtama media yang dapat dengan mudah diakses dan dimengerti tiap pihak yang berkepentingan. Mengingat pada pertemuan dengan pihak Dirjenbun (19/4/2013), dijelaskan bahwa pengumuman ini melalui website. Padahal hampir semua perkebunan dibangun di kawasan atau wilayah yang cukup jauh dari pusat keramaian atau perkotaan, sehingga tentu pengumuman atau masukkan yang dijaring selama proses penerbitan izin perkebunan jangan hanya sebatas melalui website, tetapi juga penting dipikirkan bagaimana media yang dapat menjangkau masyarakat pedalaman. Perlindungan Lahan Konservasi dan Lahan Pertanian Berkelanjutan Merujuk pada mandat UU 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, maka revisi dalam Revisi UU Bun ini diharapkan mampu memberikan jaminan kepada upaya besar pemerintah dalam rangka mewujudkan
UU Perkebunan berpotensi untuk menciptakan konflik agraria yang makin massif
8 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015
kedaulatan pangan negara dengan tidak memberikan izin bagi konversi lahan pertanian menjadi perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit dalam skala luas. Sanksi Bagi Perusahaan Yang Tak Membangun Kebun Plasma Revisi UU Bun harus mengadopsi pendekatan yang jelas yang berpihak pada petani kecil dan bukannya perusahaan besar dan pendekatan yang dapat menjamin pilihan tanaman; kontrol petani atas tanah dan modal; ketentuan dukungan yang tidak menyimpang; dukungan pasar yang memadai; fasilitas kredit dan penetapan harga yang transparan dan adil; dan kebebasan untuk berorganisasi. Pembangunan kebun plasma merupakan salah satu bentuk yang dapat dilakukan untuk memperkuat posisi petani kecil. Pembangunan kebun plasma yang diperuntukkan bagi masyarakat sekitar perusahaan perkebunan merupakan kewajiban bagi perusahaan yang memiliki IUP atau IUP-B seluas sedikitnya 20% (dua puluh perseratus) dari total luas areal kebun yang diusahakan perusahaan. Permasalahannya, selama ini banyak perusahaan yang tidak mau membangun kebun plasma untuk masyarakat dan mengakibatkan timbulnya kecemburuan dari masyarakat terhadap pertumbuhan kebun sawit tersebut. Selain itu banyak pembangunan kebun plasma yang ternyata dimiliki bukan warga sekitar perkebunan. Selama ini tidak ada sanksi yang tegas bagi perusahaan yang tidak membangun kebun plasma bersamaan dengan perkebunan inti. Untuk itu, perlu disiapkan sanksi yang tegas bagi perusahaan-perusahaan perkebunan yang tidak melaksanakan skema plasma yang baik yang menguntungkan dan memberdayakan petani kecil. Pembatasan Kepemilikan Lahan Oleh Perusahaan atau Grup Perusahaan Perusahaan-perusahaan milik asing atau sahamnya dimiliki asing, Multi National Corporations (MNC), sebagai perusahaan perkebunan, khususnya kelapa sawit (growers), bersama-sama dengan perusahaan lokal/nasional di Indonesia, saat ini sedang giat-giatnya meluaskan
wilayahnya. Pengaturan pembatasan kepemilikan lahan oleh perusahaan dan/grup perusahaan harus memberikan penegasan terkait siapa yang akan menjadi subjek yang diatur dalam aturan ini, dia harus berlaku untuk semua subjek hukum yang akan melakukan pembangunan perkebunan di Indonesia, terlepas perusahaan asing atau perusahaan lokal/nasional. Poin pada peraturan ini harus dapat memastikan bahwa tidak terjadi proses pengelabuan, dimana subjek pemohon tidak memberikan keterangan sebenarnya. Pengisian dokumen sebagai self-declaration tidaklah menjaminan bahwa subjek pemohon tidak memiliki luasan diluar batas yang diperbolehkan. Pemerintah sebagai subjek dan entitas yang berwenang memberikan izin, harus mempunyai data base tentang identitas perusahaan bersama dengan seluruh rantai usahanya (subsidiaries). Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pelacakan (tracking & treacibility). Perlu Penerapan Standar HAM Dalam Operasi Perusahaan Pada banyak operasi pembukaan lahan perkebunan, pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyara-
kat lokal kerap terjadi. Pengusiran penduduk dari lahan-lahan tempat tinggal dan usaha mereka, bahkan disertai kekerasan merupakan tindakan buruk nan lumrah terjadi selama ini demi “membersihkan” HGU perusahaan. Demi menghindari masalah-masalah ini, revisi UU Perkebunan harus memberikan jaminan implementasi prinsip-prinsip panduan tentang bisnis dan HAM: Perlindungan, Penghormatan dan Pemulihan standar HAM dalam operasi perusahaan. Ini adalah panduan bagi korporasi yang disahkan Dewan HAM PBB pada 16 Juni 2011. Selain itu, revisi Revisi UU Bun harus mensyaratkan seluruh perusahaan untuk menyelesaikan konflik-konflik besar yang ada bersama masyarakat lokal dan masyarakat adat. Prinsip-prinsip panduan ini terdiri dari tiga pilar: 1) Kewajiban negara melindungi hak asasi manusia, di mana pemerintah harus melindungi individu dari pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak ketiga, termasuk bisnis; 2) Tanggung jawab perusahaan sebagai aktor non-negara untuk menghormati hak asasi manusia, yang berarti tidak melanggar hak asasi manusia yang diakui secara internasional dengan menghindari, mengurangi, atau mencegah dampak
negatif dari operasional korporasi; dan 3) Memperluas akses bagi korban mendapatkan pemulihan yang efektif, baik melalui mekanisme yudisial maupun non-yudisial. Berdasarkan ketiga pilar tersebut, maka korporasi harus mengintegrasikan Prinsip-Prinsip Panduan ini ke dalam operasi bisnisnya. Karena Prinsip-prinsip panduan ini telah memberikan standar global bagi korporasi tentang bagaimana mereka harus menghormati dan melindungi hak asasi manusia yang berlaku di suatu negara dimana korporasi itu beroperasi. Prinsip-Prinsip Panduan ini juga menyatakan korporasi harus menghormati hak asasi manusia yang diakui secara internasional, bahkan apabila hak asasi manusia ini tidak diakui di dalam sistem hukum nasional. Korporasi sebetulnya merupakan aktor non-negara yang memiliki potensi dari segi perekonomian dalam upaya pemajuan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya warga yang tinggal di sekitar perusahaan bekerja, sehingga dengan mengintegrasikan prinsip panduan “Ruggie Framework” ke dalam aturan internalnya, diharapkan peran positif pembangunan korporasi bagi masyarakat sekitar lebih mudah diukur penerapannya.***
Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 | 9
LaporanUtama
LaporanUtama
UU Perkebunan Dan Masa Depan Petani Sawit
Petani Sawit di kecamatan Rio Pakava, Donggala Sulawesi Tengah
P
ada skala global, posisi sawit kian hari kian penting. Saat ini Indonesia memasok 43 persen dari kebutuhan sawit dunia. Tak diragukan lagi, di masa mendatang harga minyak ajaib ini akan terus meroket seiring dengan variasi penggunaan minyak sawit yang kian beragam, mulai dari minyak goreng, biofuel (campuran bahan bakar pesawat atau avtur, bensin, atau solar untuk aneka jenis kendaraan), pelumas mesin, margarin, sabun, sampai campuran bahan kosmetik. Tandan sawit, mulai dari tempurung, daging buah, sampai inti buahnya (disebut kernel) semuanya memiliki nilai ekonomi. Minyak sawit memang ajaib dan serba guna. Hampir semua raksasa global produsen bahan-bahan kebutuhan sehari-hari, seperti Procter & Gambler, Unilever, Kraft, Nestle, Johnson & Johnson membutuhkan pasokan minyak sawit, termasuk dari Indonesia. Barang kebutuhan sehari-hari, untuk keperluan membikin kinclong rambut sampai ujung kaki, sampo,
lipstik, sampau kuteks kuku, semua membutuhkan minyak sawit. Walhasil, pengusaha berbondong-bondong melirik si Elaeis sp. Buku teknik bertanam sawit, skala kecil maupun masif, menjadi salah satu buku laris di toko-toko buku. Para pengusaha (individu atau korporasi, lokal maupun multinasional) berlomba meluaskan areal kebun hingga makin luas, luas, dan luas. Sejauh mata memandang, deretan pokok-pokok sawitlah yang memadati lahan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan belakangan juga merambah daratan Papua. Gurihnya kue ekonomi yang dibawa sawit, harapannya, menetes deras kepada para petani di lapangan. Apalagi, klaim yang selalu digembargemborkan pemerintah adalah bahwa 42 persen lahan kebun sawit dimiliki petani skala kecil (dengan lahan 2 hektare). Mereka berafiliasi sebagai petani plasma yang terhubung dengan perusahaan perkebunan besar, milik negara atau swasta, yang berperan sebagai perkebunan inti. Anehnya, sebagian petani kecil
10 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015
yang memiliki 42 persen lahan sawit, ternyata tidak menikmati gurihnya sawit secara luar biasa. Pendapatan petani, bervariasi dari Rp 600 ribu - 1,5 juta per bulan, tergantung fluktuasi panen dan harga sawit di pasaran. Bukan jumlah yang besar untuk komoditas sedahsyat sawit. Rantai yang panjang, mulai dari penyetoran tandan ke pabrik, sortasi tandan, sampai sistem penentuan harga tandan mentah sawit (CPO - crude palm oil), sering kali tidak memihak petani. Lagipula, praktik di lapangan membuktikan, dua hektare lahan belum cukup efisien untuk membuat kebun memberi hasil optimal. Gurihnya kue sawit terdistribusi dalam format piramida yang runcing dan menguntungkan perusahaan, investor besar, pemilik pabrik CPO, dan uragan besar perkebunan. Ada dua faktor utama yang membuat petani kecil susah menangguk untung besar. Faktor pertama, investasi kebun sawit lumayan besar (mulai dari pupuk, pemeliharan, tenaga kerja, sampai perlunya pabrik pengolah tan-
dan yang harus ada di dekat kebun) dan panen sawit baru bisa dinikmati pada tahun kelima. Faktor kedua, karakter sawit yang harus diolah secara cepat, 48 jam setelah panen, agar kadar minyak tidak merosot Tidak seperti karet atau kopi yang bisa disimpan dalam waktu lama, dibawa ke kota ketika harga pas, sawit mesti diproses segera. Sifat inilah yang membuat petani kerap tidak berdaya menghadapi fluktuasi harga pasar. Nasib petani kecil, yang tak lain adalah 42 persen pemilik lahan sawit, adalah kisah dengan beragam wajah. Tidak seluruhnya sekinclong seperti yang digambarkan tayangan iklan CSR (corporate social responsibility) perkebunan sawit. Banyak hal yang tidak beres dalam rantai perkebunan sawit di Indonesia. Pemerintah tidak memihak pada petani kecil. Ambil contoh soal pupuk. Perkebunan besar mendapat begitu banyak insentif modal, subsidi pupuk, bahkan termasuk pengerahan aparat untuk pembebasan tanah. Namun, petani kecil harus mengerahkan daya upaya sendiri demi pupuk yang cukup. Itu pun pasokan di pasar kerap terganggu sehingga petani jadi kelimpungan. Anehnya, perkebunan skala besar, BUMN atau swasta, tak pernah mengalami kesulitan pasokan pupuk. Itu saja sudah menjelaskan bahwa pemerintah lebih suka memfasilitasi pemodal besar. Petani kecil, silakan berjuang sendiri. Sesungguhnya, para petani skala kecil itulah ujung tombak sektor sawit. Para petani inilah yang menyetor tandan sawit segar hasil panen ke pabrik milik perkebunan besar, swasta atau BUMN. Tanpa setoran tandan sawit dari petani, produktivitas sawit secara keseluruhan bakal anjlok. Para petani kecil ini harus bekerja ekstra keras, mulai dari babat alas pembersihan lahan, lalu menanam dengan benih yang bagus, dan harus “berpuasa” menunggu 4 sampai 5 tahun sebelum sawit bertandan. Beberapa petani, di berbagai
wilayah di Kalimantan dan Sumatera, menyatakan untung panen yang mereka nikmati berkisar di Rp 600 ribu - 1,5 juta per bulan untuk satu kapling lahan (dua hektare). Itu pun kalau musim sedang bagus. Jika musim tidak sedang bersahabat, ada hama kumbang atau hujan badai yang merontokkan brondol tandan, maka panen juga suram. Belum lagi jika ternyata benih sawit yang mereka tanam ternyata jelek, maka tandan sawit yang ditunggu bertahuntahun tak bakal muncul. Benar, ada banyak faktor yang mempengaruhi kualitas panen kebun sawit. Kepemilikan lahan yang terbatas sehingga pengolahan tidak optimum, kualitas benih, intensitas pemupukan, proses pengolahan pascapanen, akses menuju pabrik pembelian CPO, tanaman yang sudah uzur dan harus diremajakan lagi dengan ongkos ekstra mahal, dan lain sebagainya. Praktis, untuk bisa untung besar, luasan kebun juga harus berskala masif. Itulah sebabnya, pemerintah merilis program “Manajemen Perkebunan Satu Atap” yang menyatukan pengolahan lahan-lahan sawit dalam satu manajemen perusahaan. Sayangnya, laporan di lapangan menyebutkan, sistem manajemen satu atap ini justru tidak efisien dan memberatkan petani. “Masak, kami harus ikut membayar seluruh biaya kantor perkebunan, termasuk ikut menanggung gaji satpam dan sekretaris yang begitu banyak? Pantas saja kalau sistem manajemen satu atap membikin kami cuma punya penghasilan paling banyak Rp 400 ribu sebulan,” kata seorang petani di Kabupaten Passer, Kalimantan Timur. Nasib Petani Sawit Dalam UU Perkebunan Baru Kini Indonesia sudah punnya UU Perkebunan baru. UU No 39/2014 ini disahkan untuk menggantikan UU Perkebunan yang lama, yakni UU No 18/2004. Namun UU Perkebunan baru
ini tidak berbeda dengan UU Perkebunan yang lama. Nyaris tidak ada pasal yang mengatur tentang tata kelola perkebunan alternatif yang mengangkat peran koperasi rakyat. Skema kemitraan dalam UU Perkebunan ini belum menyejajarkan posisi petani dengan perusahaan dalam pengelolan usaha perkebunan. Kenapa pemerintah membatasi pendanaan untuk petani kecil? Selama ini, pemerintah dinilai tidak memihak pada petani kecil. Koperasi dibiarkan berdiri dan diatur oleh negara, namun mengunci pendanaan untuk para petani. SPKS meminta pemerintah untuk membenahi fungsi koperasi. Juga membuka jalan dan memaksimalkan peran koperasi bagi petani kecil. Dengan begitu, para petani sawit diharapkan bisa berkembang dan mandiri. Selama 10 tahun ini memang ada skema pendanaan untuk petani dari subsidi bunga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, subsidi tersebut tidak langsung diberikan kepada kelompok tani. Skema kemitraan yang ditawarkan oleh pemerintah melalui UU No 39/2014 dianggap tidak adil. Kebijakan Kementerian Pertanian (Kementan) terkait perusahaan (inti) dan masyarakat (plasma) selalu menjadi persoalan. Para petani kurang menyukai skema kemitraan. Mereka lebih memilih pembiayaan melalui koperasi. Hanya sebagian kecil petani yang ingin skema kemitraan ini karena dianggap tidak menguntungkan. Begitulah, wajah kinclong kelapa sawit memiliki beragam sisi. Tak hanya manis sebagai sumber pendapatan petani dan negara, sawit juga memiliki sisi yang getir. Karena itu, pemerintah diminta untuk merevisi UU Perkebunan baru ini. Bukan hanya soal pembiayaan, namun masih banyak permasalahan lain yang mengganjal. Dengan revisi ini diharapkan akan tercipta tata kelola ekonomi kerakyatan yang berkeadilan dan berkelanjutan.***
Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 | 11
InfoKegiatan
InfoKegiatan Reportase
Workshop Perkebunan Sawit Berkelanjutan
Para peserta workshop sedang menyimak presentasi narasumber dari Kalimantan Tengah
D
ari hasil pendokumentasian Sawit Watch pada 2014, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini telah mencapai luas 13.297.759 Ha dengan produktifitas CPO pada tahun 2014 mencapai 25,5 juta ton, dan dengan jumlah ekspor CPO mencapai lebih dari 21 juta ton, telah menempatkan Indonesia sebagai negara produsen dan pengekspor terbesar kelapa sawit dunia. Sampai dengan tahun 2012, pemerintah telah mengeluarkan izin ekspansi bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit seluas 28.994.400 Ha yang ditujukan untuk mencapai target produksi CPO pada tahun 2020 sebesar 40 juta ton. Pada tahun 2009, produksi minyak sawit Indonesia mencapai 20,6 juta ton, diikuti oleh Malaysia pada urutan kedua dengan produksi 17,57 juta ton. Produksi kedua negara ini mencapai 85% dari produksi dunia yang sebesar 45,1 juta ton. Sebagian besar hasil produksi minyak sawit di Indonesia merupakan komoditi ekspor. Pangsa ekspor kelapa sawit
hingga tahun 2008 mencapai 80% dari total produksi. Negara tujuan utama ekspor kelapa sawit Indonesia adalah India dengan pangsa sebesar 33%, Cina sebesar 13%, dan Belanda 9% dari total ekspor kelapa sawit Indonesia. Sejarah, potensi dan peluang pembangunan kelapa sawit mengindikasikan bahwa kelapa sawit masih mempunyai prospek positif ke depan, khususnya terkait dengan nilai tambah dan daya saing, dalam rangka pembangunan kelapa sawit berkelanjutan dan berkeadilan. Namun, kelapa sawit juga menghadapi berbagai masalah/kendala terkait dengan teknologi, ekonomi, sosial, lingkungan, dan tata kelola. Masalahmasalah tersebut perlu di atasi supaya tidak mendistorsi daya saing produk-produk kelapa sawit Indonesia di pasar. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, penting kiranya menyusun sebuah naskah kebijakan atau naskah akademik dengan tujuan untuk
12 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015
mengatasi permasalahan kelapa sawit terkait dengan nilai tambah dan daya saing melalui perumusan usulan kebijakan dan strategi dalam pembangunan kelapa sawit berkelanjutan dan berkeadilan. Saat ini, Kalimantan Tengah menjadi salah satu Provinsi yang telah mengeluarkan kebijakan daerah terkait dengan Perkebunan sawit berkelanjutan melalui Peraturan Daerah, yakni Perda nomor 05/2011 Tentang Pengelolaan usaha Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah. Inisiatif kebijakan ini mungkin bisa segera diterapak di Provinsi Sulawesi Tengah. Terkait dengan hal tersebut, Sawit Watch mencoba melaksanakan seminar publik terkait dengan kebijakan perkebunan sawit dan pembangunan sawit berkelanjutan. Peran pemerintah dengan demikian sangat sentral dalam memberikan arahan dalam pengembangan pembangunan perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah, untuk mengarahkan para pengelola perkebunan kelapa
sawit dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Kegiatan ini diharapkan merupakan awal yang baik guna melakukan kerjasama dalam manajemen penanggulangan masalah yang ditimbulkan antara Pemerintah, pelaku usaha perkebunan dan masyarakat/petani/ pekebun. Melalui perencanaan yang terarah dengan melibatkan pelakupelaku pembangunan perkebunan secara berjenjang (pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota) serta dengan melibatkan masyarakat, diharapkan masalah usaha perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah diharapkan terjadi penyempurnaan dalam perencanaan dengan memahami perkembangan yang ada untuk kemudian menjadikan sebagai dasar acuan langkah ke depan. Terkait hal tersebut di atas, Pada 12 Februari 2015, Sawit Watch menyelenggarakan workshop dan pendalaman diskusi secara terfokus atas berbagai problem-problem yang mengiringi pembangunan perkebunan sawit. Kegiatan ini bertujuan menghasilkan rumusan kebijakan di Sulawesi tengah yang diperlukan dalam pembangunan kelapa sawit berkelanjutan. Rumusan kebijakan tersebut dianggap dapat menjawab persoalan sebagai berikut, yaitu (i) promosi, advokasi dan kampanye publik tentang industri kelapa sawit; (ii) pengembangan dan peningkatan nilai tambah produk kelapa sawit; (iii) penguatan dan penegakan hukum pembangunan kelapa sawit berkelanjutan dan tata kelola perizinan, (iv) transparansi v informasi pembangunan kebun kelapa sawit; (v) pengembangan aksesibilitas petani terhadap sumber daya; (vi) pengendalian konversi hutan alam dan lahan gambut; (vii) penerapan prinsip dan kriteria Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO); dan (viii) pengembangan mekanisme resolusi konflik. Pada workshop kali ini, Sawit Watch mengundang 3 orang anggota DPRD Provinsi Sulteng dan perwakilan dari dinas perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah yang tampil sebagai narasumber utama.
Sebagai pengantar, Bondan Andriyanu (Sawit Watch) menyampaikan bahwa saat ini pemerintah telah merilis izin perkebunan sawit seluas 14,3 juta hektar. Dan 70 persen dari luasan tersebut dikuasi oleh perusahaan besar. Selanjutnya, Lugini, kabid Sarana dan Prasarana Disbun Provinsi Kalteng menjelaskan tentang Kebijakan Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit di Kalteng Pasca Pengesahan Perda Provinsi No.5/2011 tentang pengelolaan perkebunan sawit berkelanjutan. Secara umum, kondisi di Kalteng terkait penggunaan lahan yakni kawasan hutan (68,81%), perkebunan (6,75%), sawah dan ladang (7%) dan sisanya adalah kawasan pemukiman, bangunan dan sebagainya. Sektor pertambangan dan perkebunan masih menjadi primadona. Untuk perkebunan sawit skala besar telah beroperasi sekitar 125 unit (clean and clear = sudah mendapatkan ijin pelepasan kawasan hutan atau HGU). Dari 125 unit ini, 120 unit adalah kelapa sawit dan karet 5 unit. 125 unit perkebunan besar dengan plotting area seluas 1.248.915,767 Ha terdiri dari IPKH 29 Unit dan HGU 77 unit. Realisasi pembangunan kebun mencakup lahan seluas 943.556 Ha dengan rincian plasma 98.269 Ha dan inti 855.467 Ha. Saat ini, ada 2 kabupaten dan 1 kota yang belum melakukan pembukaan kawasan untuk perkebunan kelapa sawit yakni Barito Selatan, Murung Raya dan Palangkaraya. Melihat perkembangan perluasan perkebunan sawit tersebut, Lugini mengatakan bahwa yang harus dipacu saat ini adalah industri hilirnya, kemudian industri pengolahannya. Untuk Kalteng, dasar pengelolaan usaha perkebunan adalah Perdaprov No.5/2011 tentang Pengelolaan Usaha Perkebunan Berkelanjutan dan Permentan RI No.98/ Permentan/0T.140/9/2013 ttg Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Untuk Perda Kalteng No.5/2011 ini, Lugini menggambarkan secara singkat prosesnya: 1. Waktu penyelesaian yang cukup panjang, dimulai pada 2007 dan
selesai pada 13 Desember 2011. 2. Terdiri dari 14 bab dan 74 pasal. 3. Mencakup aspek ekonomi, ekologi, sosbud dan keamanan/keutuhan perbatasan antar wilayah 4. Penyusunan melibatkan berbagai pihak terkait seperti LSM, lembaga pendidikan setempat dan unsur pemda, BLH, BPN, 5. Mengakomodir berbagai ketentuan kebijakan terkait perkebunan sawit. 6. Melalui berbagai tahapan, drafting, input masukan dari berbagai pihak, finalisasi, sosialisasi, dan pengajuan ke DPRD. Upaya Pemprov Kalteng untuk meningkatkan ketaatan pemenuhan kewajiban perkebunan besar dengan beberapa hal sebagai berikut: 1. Membuat roadmap pembangunan perkebunan berkelanjutan; 2. Pemberian rekomendasi permohonan perubahan status kawasan dan rekomendasi untuk penerbitan IUP kepada perkebunan besar; 3. Melaksanakan pembinaan usaha terhadap perkebunan besar di Kalteng yang mencakup beberapa aspek yakni melaksanakan penilaian terhadap perusahaan, evaluasi kinerja perusahaan perkebunan, membantu mempercepat sertifikasi ISPO, dan melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan pelaporan oleh Perkebunan Besar Namun hingga kini, Pemprov Kalteng melum melakukan tindakan penuruan kelas bagi perusahaan yang belum memenuhi sertifikasi ISPO. Penyebabnya adalah belum jelasnya petunjuk teknis dari pemerintah pusat. Dalam konteks pembinaan perkebunan sawit skala besar, upaya yang tengah dilakukan Pemprov adalah sebagai berikut: 1. Percepatan pembangunan infrastruktur daerah, seperti jalan, bandara, pelabuhan dan sebagainya; 2. Mendorong percepatan penyelesaian RTRW Kalteng 3. Mendorong permbangunan kebun
Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 | 13
InfoKegiatan
KabarKomunitas
Tibawan, Negeri Subur Yang Terancam Perkebunan Kelapa Sawit Skala Besar
Irsyadul Halim
Tata kelola perkebunan sawit yang karut marut harus segera diperbaiki melalui perkebunan sawit berkelanjutan
berkelanjutan dengan memperhatikan aspek ekonomi, ekologi, sosbud dan keamanan; 4. Pengawasan dan pembinaan perkebunan sawit skala besar (CSR, Pembangunan kebun untuk plasma, penilaian usaha perkebunan, evaluasi kinerja perusahaan dll); 5. Mengubah pola pikir masyarakat dari “peladang” menjadi perkebunan yang intensif; 6. Pengembangan kapasitas kelembagaan termasuk penyusunan peraturan perUUan. Narasumber kedua adalah Nurhanuddin Ahmad (Deputi Direktur Sawit Watch) yang akrab disapa Rambo. Pada kesempatan ini, Rambi menjelaskan luas kebun kelapa sawit di Indonesia saat ini, dan fenomena meningkatnya permintaan minyak sawit seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Rambo menjelaskan beberapa persoalan pokok dari sektor perkebunan sawit, yaitu: Ketimpangan penguasaan lahan, tumpang tindih perizinan dan pengunaan lahan serta transparansi, perampasan tanahtanah ulayat, adanya dualisme rezim tanah antara pemerintah pusat dan pemprov yang tidak sejalan, dan
ketiadaan mekanisme penyelesaian konflik yg memadai. Rambo juga mencontohkan kasus di Riau, dimana terjadi ketimpangan penguasaan lahan yang begitu besar antara kebun rakyat dengan kebun perusahaan. Menurut Rambo, agenda penting dan mendesak untuk segera dilakukan saat ini adalah melakukan legal audit dan legal comply terhadap semua perizinan perusahaan perkebunan dan kehutanan, baik terhadap ijin lokasi, HGU, ijin usaha perkebunan dan sebagainya. Selanjutnya membangun road map (peta jalan) petani mandiri yang mencakup produktivitas hingga penguasaan rakyat atas tanah miliknya. Dan yang ketiga adalah mendorong pembentukan lembaga independen untuk menyelesaikan berbagai konflik-konflik agraria. Narasumber ketiga adalah Andi Kiki dari Kemitraan. Kiki menjelaskan proses inisiatif mendorong lahirnya perda perkebunan berkelanjutan di Kalteng. Prosesnya sangat panjang. Inisiatif ini dimulai pada 2005 sebagai hasil rekomendasi semiloka perkebunan berkelanjutan, dimana salah satu rekomendasinya adalah pembentukan tim sawit multipihak, terdiri dari berbagai unsur pemerintah, akademisi, LSM dll. Dalam perjalanannya, tim Sawit
14 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015
ini melakukan berbagai kegiatan seperti audiensi dengan gubernur serta menjalin komunikasi aktif dgn para pihak. Pada 2007, tim sawit ini melakukan kerja jaringan secara nasional dan kemudian mengubah namanya menjadi Pokja Sawit Multipihak, dan memulai persiapan konsep Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (PPKSB-Kalteng) berbasis indikator lokal. Pelibatan masyarakat adat dan lokal diperluas. Lika liku perjalanan Pokja Sawit Multipihak ini mencapai target ketika DPRD mengesahkan Perda No.5/2011 tentang Pengelolaan Usaha Perkebunan Berkelanjutan di Kalteng. Menurut Kiki, salah satu pembelajaran yang dapat ditarik dari proses mendorong lahirnya perda No 5/2011 tersebut adalah bagaimana membangun soliditas Pokja Sawit itu sendiri. Dalam perjalanannya, soliditas Pokja Sawit terbangun karena berbasis pada rasa saling percaya setara dan menciptakan rasa kebersamaan. Kemudian Pokja SM akan mengakomodir kepentingan semua pihak, dimana tujuan yang berbeda dalam PPKSB dapat didiskusikan dalam sebuah forum dialog yang difasilitasi oleh Pokja PPKSB. Dan kemudian membuka ruang inisiatif bagi semua pihak.***
T
ibawan adalah sebuah kampung yang termasuk paling hulu dialiri sungai Rokan Kiri dalam wilayah provinsi Riau. Karena kampung-kampung berikutnya di sepanjang sungai ini arah ke hulunya sudah masuk wilayah Kabupaten Pasaman Sumatera Barat. Masyarakat kampung Tibawan menyebut sungai Rokan Kiri ini dengan nama Batang Sumpu, sama dengan sebutan oleh masyarakat di sekitar sungai ini yang berada di Kabupaten Pasaman. Sebutan sumpu berasal dari kata sumpur, karena warna sungai ini agak keruh seperti kena lumpur. Kampung Tibawan diperkirakan berdiri sewaktu Kerajaan Rokan dipimpin oleh Yang Dipertuan Sakti bernama Lahit yang menjadi Raja Luhak Rokan IV Koto pada pertengahan abad 17 sampai dengan awal abad 18. Kampung ini pernah dilewati oleh pasukan Tuanku Tambusai dalam perjalanan mereka mundur dari pertempuran di Rao menuju Dalu-dalu. Kampung ini juga pernah dilewati oleh tokoh-tokoh nasional seperti Mr. Asaat dan Syafruddin Perwiranegara pada masa pemberontakan PRRI tahun 1960-an. Desa Tibawan terletak di bagian paling Barat dari propinsi Riau dengan topografi berbukit dan dataran alluvial. Berada 26 km dari ibukota kecamatan dan 88 km dari ibukota Kabupaten Rokan Hulu yang sejatinya dapat ditempuh dengan waktu 1,5 jam dari ibukota kabupaten. Hanya saja kondisi jalan yang
Durian merupakan salah satu tanaman yang dihasilkan Desa Tibawan (Halim)
buruk dan rusak kurang mendapat perhatian dari pemerintah sehingga memperpanjang perjalan hingga 3 jam. Negeri Tibawan dianugerahi tanah subur yang menghidupi seribu lebih jiwa bagi masyarakat desa Tibawan. Penghasilan utama masyarakat adalah karet dengan luasan mencapai 710 ha berdasarkan data monografi desa tahun 2012 yang dimiliki oleh 250 kepala keluarga dari 270 kepala keluarga. Jika di bagi menjadi rata rata kepemilikan kebun karet masyarakat Tibawan seluas 3,12 ha perkepala keluarga. Jika perhektar menghasilkan rata rata 2000 kg perhektar pertahun dengan harga saat ini yang tergolong murah yaitu 6000 rupiah perkilogram, artinya ada 9,36 milliar pertahun hasil kebun rakyat di desa Tibawan dan jika dibagi perkepala keluarga, maka akan setiap kepala keluarga mendapatkan hasil jika dirupiahkan sebanyak 37.440.000. Selain mata pencaharian utama juga terdapat tanaman pangan seperti padi organik, palawija untuk memenuhi kebutuhan sehari hari, dan musiman juga menghasilkan dengan tanaman tua seperti
durian, rambutan, manggis, langsat, jengkol dan lainnya. Setahun sekali ada musim tanaman tua tersebut dimana sangat membantu masyarakat. Musim tahun ini saja (2014) durian didesa Tibawan menghasilkan sekitar 5000 butir setiap hari. Dengan harga jual kepada pengumpul rata rata Rp. 5000, maka setiap hari selama musim durian terdapat Rp. 25 juta perhari uang yang beredar di desa Tibawan. Pada intinya dengan kondisi tanah yang subur dan ditumbuhi oleh sumber sumber kehidupan masyarakat Tibawan sudah hidup berkecukupan. Masyarakat Tibawan juga sangat ramah terhadap orang orang yang datang, bertegur sapa dan sangat damai setiap hari hari yang mereka lalui. Desa Tibawan merupakan desa pemekaran dari desa Cipang Kanan pada tahun 2007 dengan Perda Rohul No. 14 ahun 2007 Tentang Pembentukan desa-desa baru setelah pemekaran dari Kabupaten Kampar. Desa ini termasuk kedalam wilayah kecamatan Rokan IV Koto Kabupaten Rokan Hulu Propinsi Riau berbatasan dengan desa sekitar yaitu: sebelah
Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 | 15
KabarKomunitas
KabarKomunitas
Peta konsesi PT. Sawit Rokan Semesta
Utara dengan desa Rokan Koto Ruang, sebelah Selatan dengan desa Lubuak Gadang (Sumbar), sebelah Timur dengan desa Cipang Kiri Hilir dan sebelah Barat dengan desa Cipang Kanan. Terletak pada koordinat N 00* 34’27.9” dan E 100* 16’ 16.5”. Topografi desa Tibawan sebahagian besar berbukit dengan ketinggian rata-rata 250 Mdpl dan vegetasi relative berhutan. Penduduk desa ini berjumlah 270 kepala keluarga dengan jumlah jiwa 981 jiwa. Luas desa Tibawan berdasarkan data monografi desa sekitar 7429 hektar. Hitungan ini berdasarkan hitungan kasar oleh pemerintah desa, sementara luas sebenarnya belum ada datanya karena belum adanya peta wilayah desa Tibawan. Mata pencaharian utama masyarakat desa Tibawan adalah perkebunan karet dengan luasan sekitar 1686 hektar. Untuk pangan sebahagian penduduk berladang padi dengan jenis padi lokal dan berumur 5-6 bulan sekali panen. Perkebunan Kelapa Sawit Skala Besar Mengusik Kedamaian Dan Mengancam Sumber Sumber Kehidupan Meskipun jauh dari ibu kota kabupaten dan akses transportasi sulit masyarakat Tibawan cukup tentram dan damai dengan kekayaan sumberdaya alamnya. Tetapi kedamaian ini mulai terusik dengan rencana pembangu-
nan perkebunan kelapa sawit skala besar kewilayah desa Tibawan dan beberapa desa disekitarnya. PT. Sawit Rokan Semesta (SRS) mendapatkan izin lokasi dari Bupati Rokan Hulu pada tahun 2005 No Nomor:559/ DP-PGT/XII/2005 tentang Pemberian Izin Lokasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit PT SRS ditandatangani Bupati Rohul saat itu H Ramlan Zas dengan luasan 10.175 ha. Lokasi izin tersebut meliputi beberapa desa antara lain desa Tibawan, Desa Cipang Kiri Hulu, Desa Cipang Kiri Hilir dan Desa Cipang Kanan. Tahun 2006 perusahaan tersebut telah melakukan pembibitan
dengan jumlah bibit 6000 bibit dan berlokasi di desa Cipang Kiri Hulu. Kemudian PT. Sawit Rokan Semesta mendapat rekomendasi pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dari Gubernur Riau ke Menteri Kehutanan No.522.1/ADMEK/16.20 tanggal 6 Agustus 2009, dan S.825/MENHUT-II/2009 07 Oktober 2009. Lalu pada tanggal 7 Juni 2012 izin lokasi tersebut telah mendapatkan pelepasan kawasan hutan oleh menteri kehutanan dengan nomor SK 268/menhut II/ 2012 dengan luasan 10.128 hektar. Pada tahun 2009 PT. Sawit Rokan
Sketsa peta wilayah adat Datuk Bendahara Kampung Tibawan
16 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015
Proses pengambilan data lapangan pemetaan partisipatif wilayah adat Tibawan
Semesta melakukan sosialisasi kepada masyarakat dengan cara mengundang para tokoh masyarakat dan ninik mamak untuk pertemuan di Pekanbaru. Dalam pertemuan perusahaan menjelaskan tentang rencana mereka akan beroperasi di sekitar wilayah desa Tibawan dan desa-desa sekitarnya. Perusahaan menjelaskan dampak positif dengan kehadiran mereka dan meminta rekomendasi untuk pelepasan kawasan hutan dilokasi perizinan prinsip mereka kepada masyarakat agar perusahaan dapat beroperasi. Tetapi masyarakat menolak dengan alasan bahwa wilayah yang dimohonkan adalah wilayah kelola masyarakat. Penolakan lalu disampaikan kepada pemerintah melalui susrat yang ditandatangai seluruh masyarakat desa Tibawan pada tahun 2009. Tidak mendapat respon terhadap surat yang di kirimkan masyarakat kepada Bupati Rokan Hulu, akhirnya masyarakat mengirimkan kembali surat penolakan pelepasan kawasan hutan kepada Bupati Rokan Hulu pada tanggal 15 maret 2010 dengan melampirkan tanda tangan penolakan dari warga desa Tibawan. Surat ini pun tidak mendapat balasan dari Bupati yang kemudian dilanjutkan oleh masyarakat mengirim surat
kepada Menteri Kehutanan berisikan penolakan terhadap keberadaan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Desa Tibawan. Surat tersebut dikirimkan pada tanggal 14 Oktober 2010 dan dengan melampirkan tandatangan penolakan dari warga desa. Rencana beroperasinya PT. Sawit Rokan Semesta di desa Tibawan dan sekitarnya mengancam ruang ruang yang selama ini di kelola oleh masyarakat. Kebun-kebun karet masyarakat terancam hilang karena sebahagian besar wilayah kebun masyarakat termasuk kedalam konsesi PT. Sawit Rokan Semesta. Selain itu areal pertanian tanaman pangan yang direncanakan oleh masyarakat akan hilang. Untuk luas konsesi PT. Sawit Rokan Semesta 10.175 hektar, akan dibagi menjadi 70% untuk kebun inti dan 30% untuk pola KKPA dengan masyarakat. Dengan masuknya perusahaan tersebut maka perkebunan karet warga akan berganti menjadi tanaman kelapa sawit. Selain ancaman hilangnya sumber-sumber kehidupan masyarakat Tibawan dan sekitarnya, ancaman lainnya adalah konflik sosial, kerusakan lingkungan dan hilangnya kearifan lokal masyarakat desa Tibawan. Negeri Tibawan yang subur dan merupakan anugerah
Tuhan yang maha kuasa akan hilang ketika di gantikan oleh perkebunan kelapa sawit skala besar ulah tangan manusia serakah. Pemetaan Partisipatif Memproteksi Wilayah Untuk mengantisipasi ancaman yang akan dihadapi, masyarakat Tibawan melakukan pemetaan partisipatif dengan dasar klim adat sebagai penguat kepemilikan wilayah. Masyarakat meminta pendampingan oleh Perkumpulan Sawit Watch dalam melakukan pemetaan partisipatif. Kegiatan ini sudah dimulai sejak bulan Februari tahun 2014 dengan proses yang cukup panjang. Hingga kini proses yang dilakukan telah menghasilkan sketsa wilayah adat yang kemudian akan dilakukan pengecekan bersama dengan wilayah adat tetangga sehingga ditemukan kesepakatan batas. Dengan memetakan wilayah adat, masyarakat percaya dapat melindungi wilayah mereka dan mengetahui jika ada pihak ketiga seperti perusahaan sawit menggarap diwilayah masyarakat serta melakukan pengamanan agar lahan tersebut tidak digarap oleh pihak ke tiga seperti ancaman yang mereka hadapi saat ini.*** *Penulis adalah Anggota Sawit Watch
Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 | 17
Darurat KabarWilayah
KabarWilayah Darurat
Bupati Mimika Resmi Cabut Izin Perkebunan Sawit PT PAL
Perkebunan sawit di Papua
B
upati Mimika, Papua, Eltinus Omaleng secara resmi telah menerbitkan surat keputusan penghentian total aktivitas PT Pusaka Agro Lestari (PAL), perusahaan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan Iwaka, Jalan Trans Timika-Paniai. Bupati Omalen kepada wartawan di Timika, Rabu mengatakan pihaknya juga telah mencabut izin PT PAL meskipun perusahaan itu telah mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan dari Pemerintah Pusat sejak 2010. Alasan utama mencabut izin operasi PT PAL karena perusahaan itu dinilai telah merusak kawasan hutan Mimika sebagai penyanggah utama sumber air dan ekosistem lingkungan masyarakat di kampung-kampung wilayah pesisir selatan Mimika. “Keputusan ini kami ambil semata-mata karena memikirkan kepent-
ingan masyarakat Mimika, terutama Suku Kamoro yang hidup di wilayah pesisir. Kalau hutan rusak, bagaimana nasib anak cucu mereka ke depan. Kami tidak melihat ada keuntungan dari usaha perkebunan kelapa sawit untuk masyarakat lokal,” kata Bupati Omaleng. Pada Selasa (16/12), Bupati Omaleng bersama Wakil Bupati Yohanis Bassang, Kapolres Mimika AKBP Jermias Rontini dan Komandan Kodim 1710 Mimika Letkol Inf Rafles Manurung mendatangi lokasi PT PAL di kawasan hutan Iwaka, Jalan Trans Timika-Paniai. Setiba di lokasi PT PAL, Kabag Hukum Pemkab Mimika Sihol Parningotan membacakan surat keputusan bupati Mimika soal penghentian operasional dan pencabutan izin perusahaan perkebunan kelapa sawit itu. Surat pencabutan izin operasional
18 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015
PT PAL kemudian diserahkan kepada salah satu pejabat perusahaan itu. Saat rombongan Bupati Omaleng hendak meninggalkan lokasi PT PAL, terjadilah aksi perlawanan oleh pemilik hak ulayat dan buruh perusahaan itu karena menilai keputusan Pemkab Mimika bersifat sepihak dan tidak memikirkan nasib mereka yang menggantungkan hidup di PT PAL. Mobil-mobil rombongan pejabat Pemkab Mimika menjadi sasaran amukan warga. Bahkan mobil pribadi Bupati Omaleng hendak dilempar dengan batu oleh salah seorang warga. Namun aksinya tersebut dihentikan oleh aparat. Siap Digugat Bupati Omaleng mengaku siap melayani gugatan manajemen PT PAL maupun warga pemilik hak ulayat atas perusahaan itu.
“Silahkan, kami siap menghadapi itu. Kalau PT PT PAL dan pemilik ulayat mau menggugat, pemerintah daerah Mimika siap menghadapi itu,” tegas Bupati Omaleng. Bupati Omaleng meminta dukungan aparat keamanan dari Polres Mimika dan Kodim 1710 Mimika untuk mengawasi aktivitas di PT PAL pascapencabutan izin operasi perusahaan itu. “Nanti akan dicek terus. Kalau orang-orang itu masih ada dan melakukan aktivitas, tangkap dan proses mereka,” ujarnya. Sejak dilantik menjadi Bupati Mimika pada 6 September 2014, Bupati Omaleng mengaku telah menerima banyak masukan baik dari kalangan gereja, lembaga adat suku Kamoro (LEMASKO) dan berbagai pihak lainnya yang tidak menghendaki adanya investasi perkebunan kelapa sawit di Mimika. Berbagai lembaga itu menduga investasi perkebunan kelapa sawit hanyalah modus untuk melakukan perambahan hutan dengan tujuan utama mengambil hasil kayu untuk dikirim ke luar Papua. Investasi perkebunan kelapa sawit juga dinilai mengancam kelangsungan hidup Suku Kamoro di wilayah pesisir, mematikan sumber air sungai dan ekosistem lingkungan lainnya mengingat warga Suku Kamoro menggantungkan hidup dari usaha mencari dan mengumpulkan hasil kekayaan yang disediakan oleh alam (hidup sebagai peramu). Warga Suku Kamoro selama ini hidup dengan mengandalkan sungai, sampan dan sagu. Pemkab Mimika akan membuat program padat karya penanaman singkong dan tanaman umur pendek lainnya di bekas lokasi PT PAL dengan memberdayakan ratusan buruh perusahaan itu maupun masyarakat pemilik hak ulayat. “Mulai tahun depan kita akan turunkan anggaran untuk program padat karya. Karyawan PT PAL maupun masyarakat yang ada di sekitar itu akan dilibatkan secara langsung dalam kegiatan penanaman singkong
Bupati Kabupaten Mimika, Eltinus Omaleng
dan tanaman pendek lainnya. Hasilnya nanti mereka sendiri yang akan nikmati,” jelas Wabup Mimika Yohanis Bassang. Sesuai rencana Bupati Omaleng, katanya, ke depan kawasan bekas PT PAL itu akan dikembangkan menjadi Bandar Udara Internasional di Timika. Perwakilan Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (LEMASKO), Marianus Maknaipeku mengapresiasi keputusan Bupati Omaleng yang telah menutup aktivitas PT PAL demi menjamin kelangsungan masa depan generasi muda Suku Kamoro di Mimika. PT PAL mendapatkan HGU Perkebunan dari Pemerintah Pusat sejak
2010 untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit pada lahan seluas 39 ribu hektare. Sebelum terbitnya HGU Perkebunan dari Pemerintah Pusat, perusahaan itu telah mengantongi izin atau rekomendasi dari Bupati Mimika sejak 2007. Lokasi perkebunan PT PAL tersebar mulai dari Sungai Kamoro di timur hingga Sungai Mimika di barat Jalan Trans Timika-Paniai. Hingga 2014, perusahaan itu merencanakan membuka kawasan hutan seluas 4.000 hektare untuk ditanami kelapa sawit.***
Tandan Sawit, Edisi No. 2 | Februari 2015 | 19