Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transparansi dan Akuntabilitas Tata Kelola Sumberdaya Ekstraktif
SIARAN PERS Catatan Akhir Tahun Publish What You Pay Indonesia Tata Kelola Sumberdaya Ekstraktif Migas & Pertambangan
Tidak dipungkiri bahwa sumberdaya ekstraktif Migas dan Pertambangan di Indonesia saat ini masih menjadi sektor strategis yang diandalkan bagi penerimaan negara dan penggerak perekonomian nasional. Di Tahun 2013, kontribusi sektor migas dan pertambangan dalam APBN mencapai 23%, yakni senilai 398,4 Triliun Rupiah dari total 1726 Triliun Rupiah dalam Total APBN-‐P 2013 (Kementerian ESDM, 27 Desember 2013). Sedangkan kontribusi sektor ini (Pertambangan dan Penggalian) terhadap Produk Domestik Bruto tercatat sebesar 10,43% dari Total PDB Nasional dengan Migas di Tahun 2013 (BPS, persentase PDB atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha, Q-‐2, 2013). Di Tahun 2013 ini, sebagian besar perbincangan sektor migas dan pertambangan banyak diwarnai oleh topik-‐topik seputar pencapaian lifting migas, penggantian BPMigas dan revisi UU Migas, hilirisasi pertambangan mineral dan batubara (minerba), renegosiasi kontrak pertambangan, hingga kasus seputar korupsi, sebut saja salah satu contoh yang terakhir adalah kasus suap Rudi Rubiandini, Kepala SKK Migas yang kemudian diberhentikan setelah tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Berikut catatan Publish What You Pay Indonesia atas kondisi di Tahun 2013 pada sektor sumberdaya Ekstraktif Migas dan Pertambangan mineral dan batubara di tanah air : 1. Transparansi Penerimaan Sektor Migas dan Tambang melalui EITI Indonesia telah menjadi negara pelaksana EITI (Extractive Industries Transparency Initiative) sejak 3 tahun lalu melalui Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diperoleh dari Industri Ekstraktif. EITI Indonesia yang dikoordinatori oleh Kemenko Perekonomian RI ini telah mempublikasi laporan rekonsiliasi pertama di quartal-‐1 2013 yang meliputi laporan rekonsiliasi antara Pemerintah dan 129 perusahaan migas dan minerba atas pembayaran-‐pembayaran pajak dan non pajak untuk tahun kalender 2009. Laporan ini telah menghadirkan rincian laporan pembayaran pajak dan nonpajak pada tiap unit produksi pemegang kontrak/perijinan hingga laporan besaran Dana Bagi Hasil (DBH) dari unit produksi tersebut ke masing-‐masing daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota).
Yayasan Transparansi Sumberdaya Ekstraktif Sekretariat Nasional : Jl. Intan No.81, Cilandak Barat, Jakarta Selatan 12430, INDONESIA|T/F :+62-‐21-‐7512503|E:sekretariat@pwyp-‐indonesia.org|www.pwyp-‐indonesia.org
Namun demikian, masih terdapat ketidaksesuaian (unreconciled) data antara laporan perusahaan dengan laporan yang disampaikan oleh Pemerintah. Secara umum, perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan satuan dan basis pelaporan, adanya kendala dalam pembukaan beberapa data perpajakan, hingga persoalan database informasi penerimaan pertambangan di instansi Ditjen Minerba-‐Kementerian ESDM. Laporan rekonsiliasi EITI Indonesia ini juga mencatat masih lemahnya partisipasi pelaku industri pertambangan dalam mentransparansikan pembayaran setoran penerimaannya kepada negara. Dimana salah satu hasil laporan ini menyatakan bahwa Pemerintah mencatat penerimaan pajak penghasilan Rp2,93 trilyun lebih dari apa yang dilaporkan dibayar oleh perusahaan pertambangan. Penyebab perbedaan ini yang terbesar adalah berasal dari dua perusahaan batubara besar di Indonesia yang merupakan anak usaha Bumi Resources. Di mana, perusahaan ini tidak menindaklanjuti permintaan Rekonsiliator atas pembayaran pajak tahun 2007 dan 2008 yang dilakukan pada tahun 2009. Sedangkan persoalan lemahnya pengelolaan informasi pertambangan di Instansi Dirjen Minerba-‐Kementerian ESDM ini indikasinya ditunjukkan dari angka perbedaan royalti batubara antara yang dibayarkan oleh perusahaan dan yang diterima di kas Negara di mana pada awalnya tercatat sebesar US$727juta dan setelah Rekonsiliator memeriksa catatan fisik di Ditjen Minerba, maka angka perbedaan menjadi jauh lebih kecil yaitu sebesar US$54juta. Khusus untuk penerimaan bukan-‐pajak pertambangan, terdapat 493 kali peninjauan atas catatan dokumen fisik, atau lebih dari 75 persen jumlah seluruh peninjauan dalam laporan ini. Kinerja pelaksanaan EITI Indonesia di Tahun 2013 ini juga mendapat banyak sorotan, pasalnya validasi EITI Indonesia menyatakan Indonesia belum berhasil lolos sebagai negara patuh, yaitu masih belum memenuhi persyaratan 5 terkait batas waktu laporan, persyaratan 9 tentang materialitas, dan persyaratan 14 serta 15 tentang kelengkapan data dari perusahaan dan instansi Pemerintah. Selain kesulitan pengumpulan laporan dari perusahaan dan instansi pemerintah (terutama Ditjen Pajak dan Ditjen Minerba), proses administrasi dan birokrasi pengadaan di Pemerintah juga menjadi salah satu faktor dari keterlambatan pelaporan EITI Indonesia. Meskipun demikian perkembangan EITI Indonesia masih dianggap mengalami perkembangan yang berarti oleh validator mengingat proses-‐proses multipihak yang terbentuk dan perdebatan substansi yang terjadi. Saat ini, EITI Indonesia sedang dalam proses untuk mengumpulkan dan melakukan rekonsiliasi laporan EITI Putaran ke-‐2 yang meliputi data Tahun Anggaran 2010 dan 2011. Sejumlah 70 unit produksi migas dan 81 perusahaan pertambangan (yang membayar royalti di atas 25 milyar) diwajibkan untuk menyampaikan laporannya kepada Tim Pelaksana. Hingga Rapat Tim Pelaksana terakhir 3 Desember 2013, tercatat 15 perusahaan pertambangan besar masih belum menyampaikan laporan. Tantangan utama pelaksanaan EITI di Indonesia untuk tahun-‐tahun mendatang adalah pada pembukaan data cost recovery untuk industri Migas serta pelaksanaan standar EITI yang baru untuk membuka informasi-‐ informasi kontrak/perijinan, data kepemilikan saham dan penerima manfaat (beneficial ownership), data pembayaran sosial dan lingkungan hidup serta cakupan EITI Indonesia di tingkat daerah dengan jumlah ijin yang mencapai puluhan ribu.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transparansi dan Akuntabilitas Tata Kelola Sumberdaya Ekstraktif 2. Agenda Revisi Undang-‐Undang Migas Agenda Revisi Undang-‐Undang Minyak dan Gas Bumi sejak tahun 2010 telah masuk dalam agenda Prioritas Prolegnas (Program Legislatif Nasional) sebagai inisiatif DPR. Namun hingga kini pembahasan Undang-‐Undang tersebut tidak kunjung selesai. Agenda revisi UU Migas bahkan semakin memuncak sejak adanya putusan MK yang membatalkan beberapa pasal dalam UU Migas, hingga melahirkan amar putusan untuk membubarkan BPMigas. Berkali-‐kali masuk dalam prolegnas, berkali-‐kali pula Agenda Revisi UU Migas ini tidak terselesaikan. Bahkan pasal-‐pasal dalam UU ini telah dijuditial review berkali-‐kali dan banyak pasal yang inkonstitusional. Hal tersebut menandakan bahwa Undang-‐Undang ini perlu direvisi secara menyeluruh. Pembahasan yang berlarut-‐larut di DPR justru akan membuat tata kelola sektor Migas ini semakin terpuruk dan tidak memiliki kepastian hukum. Terlebih jika pembahasan yang telah berlangsung selama bertahun-‐tahun tersebut telah menggunakan anggaran rakyat yang tidak sedikit. Kembali, revisi UU Migas masuk dalam Prolegnas Tahun 2014, tahun politik yang tentunya rawan akan intervensi politik dalam penyelesaiannya. Publik berharap agar UU ini segera terselesaikan, tanpa adanya campur tangan dan bias politik 2014. Beberapa isu yang mengemuka untuk segera diselesaikan menyangkut tata kelola Migas dalam revisi UU ini antara lain mengenai isu kelembagaan, transparansi-‐keterbukaan informasi-‐dan partisipasi publik, petroleum funds/sovereight wealth funds, aspek sosial dan lingkungan yang memperhatikan kepentingan masyarakat sekitar tambang, serta isu ketahanan energi dan singkronisasi antara sektor hulu dengan sektor hilir Migas. Penemuan cadangan baru dan alih teknologi juga sudah seharusnya menjadi agenda pembahasan dalam revisi UU ini, agar sektor Migas dapat dikelola secara mandiri sesuai dengan kebutuhan nasional. 3. Pemberantasan Korupsi Sektor Migas dan Pertambangan Tahun 2013 ini publik dikejutkan oleh operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi di kediaman Rudi Rubiandini (RR), kepala SKK Migas yang kemudian mundur dari jabatannya tersebut. RR kemudian ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan menerima suap dari Kernel Oil pada proses tender penjual minyak mentah dan kondensat bagian negara. SKK Migas (yang dulunya bernama BPMigas) menjadi bulan-‐bulanan publik atas kasus yang menjerat RR. Fakta integritas yang dicanangkan di Tahun 2007 dan whistleblower system yang dirancang pada tahun 2009, ternyata belum mampu memfilter praktek2 korupsi di sektor
Yayasan Transparansi Sumberdaya Ekstraktif Sekretariat Nasional : Jl. Intan No.81, Cilandak Barat, Jakarta Selatan 12430, INDONESIA|T/F :+62-‐21-‐7512503|E:sekretariat@pwyp-‐indonesia.org|www.pwyp-‐indonesia.org
Migas ini, terutama bagi elit pejabat di sektor yang menggawangi ratusan triliun sumber penerimaan negara di tanah air ini. Terhadap kasus Rudi Rubiandini, PWYP Indonesia menyerukan kepada KPK agar mengusut tuntas kasus ini dan tidak segan-‐segan untuk memeriksa pejabat terkait yang diduga terlibat dalam kasus ini. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sektor ekstraktif migas dan pertambangan tidak sepi dari praktek-‐praktek korupsi. Bahkan terdapat banyak celah yang bisa menjadi pintu diantaranya pada rantai bisnis pemberian ijin/kontrak, penjualan hasil produksi migas dan pertambangan, penghitungan cost recovery, penyetoran pajak dan pencatatan penerimaan negara maupun pada rantai penggunaan penerimaan sektor ekstraktif untuk alokasi belanja pembangunan.
4. Hilirisasi Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara Di penghujung tahun 2013, pelaku industri pertambangan mineral dan batubara dicemaskan oleh pelaksanaan UU Minerba, khususnya mengenai kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil produksi penambangan mereka di dalam negeri, selambat-‐lambatnya 5 tahun sejak UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 diundangkan (Pasal 103, 104, dan 170 UU Nomor 4 Tahun 2009). Artinya, sejak 12 Januari 2014 mendatang, semua perusahaan yang melakukan penambangan mineral dan batubara di Indonesia wajib melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, dengan kata lain Pemerintah akan memberlakukan larangan ekspor bahan mentah hasil penambangan(ore). Kebijakan ini banyak ditentang oleh pelaku industri pertambangan mineral dan batubara, meskipun Pemerintah terlihat pada awalnya tetap kekeuh untuk melaksanakan ketentuan tersebut, tanpa terkecuali. Penolakan kalangan industri tersebut karena dianggap dapat menyebabkan produksi terhenti yang berkonsekwensi pada terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja di sektor pertambangan Minerba. Dan baru beberapa hari ini, Pemerintah sepertinya mulai berkompromi dengan adanya kemungkinan untuk melakukan relaksasi (penundaan) ataupun penerapan secara bertahap dengan memberikan ijin ekspor pada perusahaan yang telah menyerahkan FS (Feasibility Study) pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian kepada Pemerintah. Kemungkinan lainnya adalah dengan memberikan kelonggaran dengan batas kadar tertentu dari konsentrat hasil tambang yang boleh diekspor ke luar negeri. Ibarat buah simalakama, kebijakan ini relatif sulit untuk dilaksanakan secara menyeluruh dan merata, mengingat besaran skala industri yang berbeda-‐beda antara satu perusahaan dengan perusahaaan lainnya, sehingga muncul isu kesenjangan kemampuan antara perusahaan besar dan kecil-‐terutama terkait kemampuan untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian. Meski pabrik pengolahan dan pemurnian hasil tambang ini dapat saja dilaksanakan secara bersama-‐sama antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Di sisi lain, lemahnya sisi perencanaan dan antisipasi kebijakan dari penerapan peraturan ini menjadi salah satu faktor penting. Penyiapan dan antisipasi ekses dari pelaksanaan kebijakan tersebut seharusnya dapat dipersiapkan jauh-‐jauh hari oleh segenap pihak baik perusahaan
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transparansi dan Akuntabilitas Tata Kelola Sumberdaya Ekstraktif maupun Pemerintah, sehingga resiko dan dampaknya dapat diminimalisir sedini mungkin. Kebijakan hilirisasi secara jangka pendek mungkin terlihat membawa gejolak seperti gelombang pemutusan hubung kerja maupun penghentian sementara produksi, kondisi ini terutama semakin terasa di tengah neraca pembayaran dalam negeri yang sedang goyah. Namun secara jangka menengah dan panjang, kebijakan ini akan menguntungkan perekonomian nasional yang memicu tumbuhnya industri hilir serta multiflier effect yang terjadi dari kegiatan pertambangan mineral dan batubara ini di dalam negeri. Untuk itu, meski opsi penerapan kebijakan secara bertahap namun terukur dapat saja diambil untuk mengurangi resiko yang besar, namun Pemerintah harus dapat bersikap tegas dan tidak diskriminatif dalam penerapan kebijakan ini, serta menyiapkan antisipasi dari berbagai gejolak dan ekses yang mungkin terjadi dengan melakukan koordinasi secara terpadu dengan segenap pihak dan instansi terkait, termasuk dengan Pemerintah Daerah. 5. Renegosiasi Kontrak-‐Kontrak Pertambangan Minerba (PKP2B) Renegosiasi kontrak-‐kontrak pertambangan jenis Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) merupakan salah satu pelaksanaan dari ketentuan Pasal 169 juncto Pasal 171 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. UU ini mengamanatkan bahwa KK dan PKP2B yang ada sebelum berlakunya UU Nomor 4 Tahun 2009 tetap berlaku sampai jangka waktu kontrak atau perjanjian berakhir namun perlu dilakukan penyesuaian. Renegosiasi dilakukan terhadap 110 perusahaan pemegang kontrak yang terdiri atas 36 perusahaan pemegang KK dan 74 perusahaan pemegang PKP2B. Renegosiasi dilakukan terhadap 6 isu strategis, meliputi: (1) Luas Wilayah; (2) Perpanjangan Kontrak; (3) penerimaan negara/royalti; (4) kewajiban pengolahan dan pemurnian; (5) kewajiban divestasi; serta (6) kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri. Hasil renegosiasi yang telah dilakukan oleh Tim Evaluasi terhadap perusahaan pemegang KK dan PKP2B dapat dilihat pada tabel berikut : No
Rincian
1 2
KK PKP2B
Setuju Seluruhnya 3 5 8
Setuju Sebagian 33 67 100
Belum Setuju 1 1
Tidak Renegosiasi 1 1
Total 36 74 110
Sumber : Kemenko Perekonomian RI.
Beberapa isu strategis yang belum disetujui oleh perusahaan pemegang KK dan PKP2B diantaranya :
Yayasan Transparansi Sumberdaya Ekstraktif Sekretariat Nasional : Jl. Intan No.81, Cilandak Barat, Jakarta Selatan 12430, INDONESIA|T/F :+62-‐21-‐7512503|E:sekretariat@pwyp-‐indonesia.org|www.pwyp-‐indonesia.org
(1) Luas wilayah, dimana perusahaan pemegang KK yang memiliki luas wilayah kerja di atas 15.000 Ha dan perusahaan pemegang PKP2B dengan luas wilayah di atas 15.000 Ha, belum setuju untuk dilakukan perubahan luas wilayah kerja. (2) Penerimaan negara, dimana perusahaan meminta agar pengenaan Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) dan pajak lainnya tetap berdasarkan KK dan PKP2B (Nailed Down), sedangkan Pemerintah meminta hanya PPh Badan saja yang bersifat nailed down, sedangkan untuk jenis pajak lainnya serta prosedur perpajakannya menganut azas Prevailing Law. Sedangkan menyangkut royalti, tarifnya akan disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 , tentang jenis dan tarif PNBP yang berlaku pada Kementerian ESDM. (3) Kewajiban pengolahan dan pemurnian (hilirisasi). Sebagian besar perusahaan masih enggan dalam pelaksanaan hilirisasi, karena mengaku masih mendapat hambatan yang menyangkut kebutuhan investasi yang besar, jaminan pasokan bahan baku, serta ketersediaan pasokan energi. (4) Kewajiban Divestasi. Sebagian perusahaan keberatan terhadap pelaksanaan divestasi khususnya menyangkut jumlah sahan yang harus didivestasi sebesar 51% sebagaimana diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Disamping itu, perlu adanya ketegasan kewajiban divestasi bagi perusahaan yang terintegrasi antara tambang dengan pengolahan dan pemurnian. Proses renegosiasi KK dan PKP2B tersebut harus terus didorong dan dilakukan oleh Pemerintah terhadap pihak pemegang Kontrak agar tercapai keseimbangan dan aspek keadilan terpenuhi bagi seluruh pelaku industri pertambangan mineral dan batubara di tanah air. Terlebih beberapa pasal menyangkut penerimaan negara (seperti royalti dan pajak) yang selama ini tertera di KK dan PKP2B relatif masih kecil dibanding dengan efek eksternalitas dari kegiatan pertambangan tersebut bagi masyarakat. Aspek kepemilikan oleh pelaku usaha dalam negeri pada isu divestasi serta hilirisasi juga merupakan isu krusial, mengingat kepentingan nasional untuk memastikan manfaat sebesar-‐besarnya pengelolaan sumberdaya ekstraktif mineral dan batubara untuk sebesar-‐besarnya kemakmuran rakyat. Jakarta, 31 Desember 2013 Publish What You Pay Indonesia
Maryati Abdullah Koordinator Nasional
CP : +6292125238247 | Twitter : MaryatiAbdullah