Studi Awal
“Transparansi Ekonomi Ekstraktif Di Indonesia” 12 Juli 2005
Editor: Emmy Hafild Peneliti Utama: Rezky Sri Wibowo
Periset Data: Lan Gumay Marini Gisella Lokopessy Adhi Ardian Kustiadi
Transparency International Indonesia
1
BAB I PENDAHULUAN Industri minyak, gas dan sumber daya mineral lainnya menduduki posisi penting dalam perkembangan perekonomian di banyak negara. Sedikitnya, 60 negara berkembang dan negara transisi dari empat benua menggantungkan perekenomiannya pada sektor ini. Sektor ini dapat dikatakan sebagai sektor ekonomi ekstraktif, dimana sumber daya alam yang dimanfaatkan tidak dapat dikembalikan dan pada suatu masa tertentu akan habis. Kolombia, Brasil dan Venezuela merupakan contoh negara dari Amerika Latin yang sangat bergantung pada hasil eksploitasi migas. Di Asia, terutama negara-negara pecahan Uni Soviet seperti Kazakhtan dan Azerbaijan, pengelolaan sumber daya alam juga memiliki peran yang signifikan pada pendapatan negara. Pengelolaan sumber daya alam yang optimal juga telah memberi pengaruh pada tingkat kemakmuran yang tinggi bagi Negara-negara Eropa,misalnya Norwegia dan Inggris. Secara logika, negara yang memiliki sumber daya alam berlimpah seharusnya tidak memiliki masalah kemiskinan kronis. Dapat dikatakan bahwa kekayaan sumber daya alam adalah tiket yang dapat membebaskan negara dari problem menyedihkan itu. Namun realitanya, hal itu justru berbanding terbalik. Bukti empiris menyebutkan, kekayaan sumber daya alam justru dapat menjadi penyebab utama kemiskinan, tingginya tingkat korupsi dan konflik berdarah yang menyengsarakan rakyat. Terutama, terjadi di negara-negara dunia ketiga yang sistem pemerintahannya belum demokratis. Bagi Indonesia, ekonomi ekstraktif juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap devisa (ekspor), terutama dimasa-masa awal proses pembangunan ekonomi. Walaupun sekarang peran migas dalam penerimaan negara sudah lebih kecil daripada tahun 80-an, namun masih tetap signifikan. Sejak tahun 2000 s/d 2004, sektor ini masih menyumbangkan rata-rata 28 persen devisa negara. Selain itu, sektor ini masih berperan rata-rata 28 persen dari total penerimaan negara diluar hibah dan pinjaman. Kalau dibandingkan dengan penerimaan dari pajak, maka pada periode tersebut, penerimaan dari SDA rata-rata sebesar 40 persen terhadap penghasilan dari pajak. Maka, sangatlah jelas, bahwa sektor ini masih merupakan sektor penting bagi ekonomi Indonesia.
2
TOTAL EKSPOR MIGAS, TAMBANGDANPENDAPATAN SDA, APBN Keterangan
2000
2001
2002
2003
2004
Rata-rata
Total ekspor Indonesia keseluruhan (milyar Rp)
62,124.00
56,320.00
57,158.80
61,058.20
71,584.60
61,649.12
Ekspor migas (milyar Rp)
14,366.60
12,636.30
12,112.70
13,651.40
15,645.30
13,682.46
3,040.80
3,569.60
3,743.70
3,995.60
4,761.40
3,822.22
Total ekspor migas dan tambang (milyar Rp)17,407.40
16,205.90
15,856.40
17,647.00
20,406.70
17,504.68 28
Ekspor tambang (milyar Rp)
Persentase total ekspor migas, tambang thd total ekspor Indonesia (%)
28
29
28
29
29
Persentase Pendapatan SDA thd APBN diluar Hibah (%)
37
37
23
20
21
28
Persentase Pendapatan SDA thd Pajak (%)
66
46
32
28
30
40
Sumber: BPS diolah oleh Departemen Perindustrian, dalam"Ekspor Non Migas Utama Menurut Sektor dan Perkembangan Neraca Perdagangan Total, dan dari data realisasi APBN
Pertanyaannya, apakah hasil sebesar itu sudah memberi kemakmuran rakyat yang sebesarbesarnya seperti dimandatkan Pasal 33 UUD 1945? Dalam banyak riset ditemukan kenyataan bahwa negara-negara yang menggantungkan pendapatan dari ekspor migas justru mengalami kemunduran kesejahteraan. Gejala ini dikenal sebagai kutukan sumber daya atau Resource Curse. Istilah ini muncul disaat satu negara seakan mendapatkan kutukan akibat melimpahnya sumber daya alam yang dimiliki, yang kemudian justru menjadi sumber petaka bagi rakyatnya. Bagaimana dengan Indonesia? Saat ini, kita sedang dikejutkan soal ribuan balita terserang wabah busung lapar dan kekurangan gizi kronis yang melanda NTB dan daerah lainnya1. Puluhan balita tewas dengan kondisi mengenaskan, sedangkan ratusan lainnya harus menjalani perawatan intensif. Tak sedikit diantara mereka hanya bisa menangis dengan perawatan apa adanya. Sementara disisi lain, pejabat lokal dan pusat masih berdebat soal jenis penyakit yang mereka derita. Di saat yang hampir bersamaan, bayi-bayi secara mendadak terserang wabah lumpuh layu (polio). Pameo tikus mati di lumbung padi, tampaknya cukup mewakili kondisi Indonesia saat ini. Sekelumit kisah diatas tentunya kontras dengan kekayaan sumber daya alam, terutama migas, yang dimiliki negeri ini. 1
Kompas, Rabu, 8 Juni 2005. Korban Busung Lapar Bertambah
3
Benarkah kutukan sudah mendera Indonesia? Pertanyaan ini patut dijawab. Dalam Bab berikutnya dari kertas kerja ini, akan dibahas mengenai apa yang dimaksud dengan gejala ”resource curse” dan apa yang terjadi di Indonesia. Walaupun secara makro ekonomi, Indonesia tidak mengalami resource curse, tetapi kalau didalami kinerja daerah-daerah yang kaya sumber daya (propinsi dan kabupaten), maka gejala resource curse ini telah terlihat. Bukan hanya kemiskinan, tetapi juga dari segi konflik, korupsi dan tingkat kesehatan serta pendidikan (Human Development Index), daerah-daerah ini juga menunjukkan gejala resource curse. Harus kita akui, gejala ini merupakan warisan dari kebijakan Orde Baru, yang kita coba koreksi melalui undang-undang otonomi dan bagi hasil. Namun tampaknya koreksi ini belum menunjukkan hasil. Ini disebabkan karena otonomi daerah belum membawa demokratisasi pada pengambilan keputusan. Terutama dalam alokasi sumber daya, yang dilakukan lewat proses pembuatan Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD). Analisis terhadap ini kemudian dilihat dari perbandingan belanja negara terhadap kesehatan dan pendidikan, dibandingkan dengan penghasilan dari migas dan tambang. Studi ini juga berusaha untuk menguraikan satu per satu penerimaan negara dari ekonomi ekstraktif, untuk mengetahui angka sebenarnya penerimaan negara di sektor ini. Namun dari pengalaman lapangan, sangatlah sulit untuk mendapatkan data-data yang lebih detil mengenai keuangan sektor ini. Studi awal ini juga membuktikan bahwa sektor ekonomi ekstraktif, baik pemerintah maupun di swasta, sangatlah tertutup, terutama mengenai penerimaan yang didapat dari PSC (Production Sharing Contract). Hampir tidak bisa ditelusuri asal usul dari angka realisasi penerimaan migas yang tertulis dalam dokumen realisasi APBN. Apalagi jika ingin menelusuri detail perhitungan penerimaan yang dikaitkan dengan “cost recovery”. Padahal resiko korupsi di proses ini sangatlah tinggi. Sudah kita ketahui bersama bahwa sektor migas dan tambang juga merupakan sarang-sarang korupsi. Mulai jaman Ibnu Sutowo sampai sekarang, korupsi ini masih terjadi. Di jaman Suharto, tender dan kontrak-kontrak Pertamina, sebagai tangan pemerintah yang mengelola migas, diatur sedemikian rupa agar menguntungkan anak-anaknya. Sekarang pun masih diduga ada kerugian di Pertamina karena faktor korupsi. Semua itu dapat terjadi karena ketertutupan transaksi dan penghitungan penghasilan negara. Oleh karena itu, transparansi sektor ini merupakan tujuan utama dari studi awal yang kami lakukan ini.
4
Laporan ini diakhiri dengan rekomendasi untuk membuka seluruh proses bisnis dan transaksi yang menyangkut pengelolaan minyak dan bumi. Contoh pengungkapannya diusulkan dalam proses EITI (Extractive Industry Transparency Initiative) Selain itu, rekomendasi juga ditujukan agar hasil migas dan tambang digunakan sepenuhnya sesuai mandat UUD 1945, yaitu untuk kesejahteraan masyarakat. Dua sektor pembiayaan negara yang diusulkan adalah pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian kesulitan pembiayaan untuk sektor pendidikan dan kesehatan dapat ditutupi dengan hasil dari migas. Sementara pembiayaan lain pemerintah diambil dari hasil pajak.
5
BAB II Minyak, Gas dan Bahan Mineral: Berkah atau Kutukan? Banyak hasil penelitian di dunia menyebutkan bahwa negara dengan sumber daya alam melimpah mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif. Sebaliknya, sepanjang kurun waktu 1970 hingga 1993, negara-negara yang tidak bergantung pada sumber daya alam, justru mengalami pertumbuhan pesat sebesar 4 kali lebih tinggi dibandingkan negara-negara penghasil migas2. Survey Index Pembangunan Manusia (Human Development Index) UNDP tahun 2004 menunjukkan bahwa hampir seluruh negara penghasil minyak memiliki angka Indeks Pembangunan Manusia (Human Develoepment Index) dari rendah sampai sedang, yaitu antara 0,400 hingga 0,700. Sedangkan negara-negara yang tidak memiliki sumber daya justru memiliki angka index jauh lebih tinggi, antara 0.700 hingga 0.900 atau bahkan lebih3. Fenomena ini dikenal dengan sebutan ”paradox of plenty”. Selain itu, anomali kekayaan sumber daya alam juga dikenal dengan nama “kutukan sumber daya alam” (resource curse), karena tingginya konflik dan korupsi di negara-negara tersebut. Setidaknya, kutukan sumber daya atau Resource Curse sudah dialami Angola, Nigeria, dan negara-negara lain. Konflik militer yang tidak berkesudahan di negara itu, salah satunya dipicu perebutan sumber daya alam berupa minyak bumi. Rakyat Congo dan Zaire juga telah menjadi saksi sekaligus korban perampasan hak atas tambang intan yang dikuasai rezim diktator kedua negara. Bukti lain tak kalah mencengangkan. Hasil riset Transparency International mengindikasikan negara-negara dengan sumber daya alam melimpah cenderung korup. Hal ini digambarkan dengan angka index korupsi yang sangat rendah4. Contoh diatas adalah sebagian dari banyak kasus yang memperkuat anggapan bahwa kutukan akan datang mendera sebuah negara akibat sumber daya alamnya.
2
Bottom of the Barrel, Global Witness, March 2004. p. 18 Human Development Report 2004 : Cultural Liberty in Today’s Diverse World. New York: UNDP, 2004. p.139 4 Index Persepsi Korupsi (CPI=Corruption Perception Index) adalah survey berkala yang dilakukan oleh Tranparency International (TI). TI adalah sebuah asosiasi sosial non pemerintahan yang bermarkas besar di Berlin dan bergerak dalam kampanye global untuk pemberantasan korupsi Semakin tinggi angka index korupsi dalam Index Persepsi Korupsi menyatakan rendahnya tingkat korupsi di negara tersebut, sebaliknya semakin rendah angka index menyatakan semakin korupnya satu negara 3
6
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam berlimpah. Terutama dalam minyak bumi, gas dan tambang mineral lainnya. Tambang Telaga Said merupakan tambang minyak pertama yang ditemukan di Indonesia pada tahun 1892. Kemudian penemuan itu diikuti dengan penjualan Telaga Said kepada Royal Dutch. Penjualan ini sekaligus mengawali sejarah dimulainya pengeksplorasian sumber daya alam di Indonesia. Kemudian pada tahun 1944, sumur minyak Minas ditemukan oleh Caltex di Riau, merupakan sumur terbesar di Asia Tenggara pada masa itu. Setelah kemerdekaan, Pemerintah Indonesia menandatangani Product Sharing Contract (PSC) pertamanya dengan perusahaan minyak Asamera dalam peruntukan lahan di Blok A PSC Aceh tahun1961. Sejak itu, produksi minyak Indonesia meningkat hingga ratusan kali lipat, dengan ditemukannya sumur-sumur minyak di tempat lain. Industri migas mengalami jaman keemasan pada era oil boom antara tahun 1970 hingga pertengahan 1980. Tingkat penerimaan negara dari sektor yang sempat menjadi primadona ini, naik seratus kali lipat dari US$ 92 Juta pada tahun 1970 menjadi US$ 9 Milliar di tahun 1980. Total Cadangan dan Produksi Minyak dan Gas Bumi Indonesia, 1998-2002
Reserves Oil (Million Barrels) Proven Possible Gas (TSCF) Proven Possible Production (Oil) Crude & Condensate Average (1000B/D) Production (Gas) LPG (1000MT) LNG (1000MT)
1998
1999
2000
2001
2002
9,691.70 5,099.90 4,591.80 136.50 77.00 59.50
9,826.30 5,203.20 4,623.10 158.30 92.50 65.80
9,612.90 5,122.70 4,490.10 170.30 94.70 75.60
9,753.40 5,094.60 5,521.50 168.20 91.90 75.50
9,746.40 4,721.80 5,024.60 176.60 90.30 86.30
568,156.00 1,557.00 2,979.00 2,344.00 26,974.00
547,610.00 1,500.00 3,068.00 2,264.00 28,956.00
517,547.00 1,414.00 2,901.00 2,088.00 26,990.00
489,306.00 13,444.00 2,807.10 2,188.00 23,883.00
456,944.00 1,252.00 3,036.00 2,099.00 26,215.00
Sumber: Petroleum Report Indonesia, 2003, American Embassy Indonesia
7
Dewasa ini posisi cadangan minyak bumi Indonesia adalah diperkirakan sebesar 9,746.4 juta barel dan cadangan gas sebesar 176.6 TSCF. Dengan produksi sebesar 456.944 juta barrel atau rata-rata produksi 1.252 juta barel perhari menjadikan Indonesia sebagai pengekspor minyak ke tujuh terbesar di dunia pada tahun 2002 dengan porsi sebesar 1,9% dari keseluruhan hasil produksi minyak di dunia. Kenyataan ini menunjukkan meskipun era oil boom telah lewat, namun kehadiran industri berbasis migas tetap memiliki kontribusi positif bagi Indonesia. Seperti diungkapkan di bab pendahuluan, sejak tahun 2000 hingga 2004, migas masih menghasilkan rata-rata 25% devisa negara, dan menghasilkan rata-rata 26 persen dari total penerimaan negara diluar hibah dan hutang, serta rata-rata 40 persen dari pajak. Bulan Maret 2005, dalam jawaban tertulisnya pada komisi XI DPR, menteri keuangan Jusuf Anwar menyatakan neraca perdagangan migas Indonesia mengalami surplus sebesar US$ 642.2 Juta atau sekitar 6.07 triliun rupiah. Lebih jauh menkeu menyatakan hasil penjualan BBM dalam negeri tahun anggaran 2005 akan mencapai 99.62 Triliun rupiah. Pernyataan tersebut setidaknya mempertegas kembali posisi industri migas dalam struktur perekonomian negara kita. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam seperti dimandatkan dalam UUD 1945 versi amandemen, digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 33 UUD dengan tegas menyatakan: ”cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kemudian dikatakan pula, bahwa ”bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara”. Hal yang perlu dicermati kemudian adalah bagaimana pemanfaatan industri bagi hajat hidup rakyat Indonesia. Apakah pengelolaan tersebut sesuai dengan mandat UUD 1945? Gejala Kutukan SDA Gejala Kutukan SDA (resource curse) adalah gejala yang terjadi di negara-negara kaya SDA tetapi rakyatnya miskin, pertumbuhan ekonominya rendah, banyak terjadi konflik dan korupsi. Menurut para ekonomis, negara-negara ini mengalami penurunan neraca perdagangan sesudah kurun waktu tertentu, dan sangat dipengaruhi instabilitas valuta di pasar dunia ke dalam penerimaan pemerintah negara-negara tersebut. Sehingga resiko penaman modal pun menjadi meningkat. Selain itu, industri migas dan mineral adalah ekonomi ekstraktif bersifat
8
enclave, sehingga mempunyai multiplier effect yang kecil terhadap perekonomian lokal, hulu dan hilir.5 Dampak lain dari melimpahnya sumber daya alam adalah mendatangkan keuntungan berlipat gandabagia negara itu, layaknya mendapat durian runtuh (windfall profit). Akibatnya, elit politik pun menjadi malas mengembangkan pendapatan negaranya dari manufaktur dan sektor lainnya. Sistem yang tidak demokratis dan tidak pro rakyat miskin, akan menyebabkan elit politik menyalurkan keuntungan pengelolaan sumber daya alam hanya kepada kelompok tertentu. Tanpa pernah berfikir untuk menginvestasikannya di sektor produktif dan program pengentasan kemiskinan. Sumber daya alam yang melimpah biasanya juga diperebutkan kelompok-kelompok politik yang berlawanan untuk kepentingan kelompoknya. Tak heran, jika banyak negara kaya sumber daya alam sarat dengan konflik, bahkan konflik bersenjata. Biasanya, kelompok yang menang akan menguasai sumber daya alam untuk memelihara kekuasaannya. Oleh karena itulah, banyak negara yang kaya sumber daya alam menjadi tidak demokratis serta mempunyai tingkat korupsi yang sangat tinggi. Banyak analisis ahli ekonomi yang menyatakan bahwa Indonesia tidak mengalami fase resource curse 6. Hal ini mungkin benar, jika dilihat dari statistik makro ekonomi secara nasional. Tetapi bila kita mengkaji data-data ekonomi per daerah, dan membandingkannya dengan tingkat kesejahteraan versi Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index), akan tampak bahwa gejala ”resource curse” terjadi di Indonesia. Human Development Report UNDP tahun 2004 menyatakan bahwa jumlah rakyat Indonesia yang hidup dengan US $ 1 per hari (kemiskinan ekstrim menurut Jeffrey Sach) berjumlah 7,5 persen dan sebanyak 52,4 persen penduduknya hidup dengan US$ 2 per hari. Artinya, total persentase penduduk miskin Indonesia adalah sebesar 59,9 persen atau mendekati 60 persen dari total penduduk Indonesia. Angka yang cukup tinggi bagi negara kaya sumber daya alam. Bila ditinjau status kemiskinan di propinsi-propinsi kaya minyak, maka keadaannya lebih parah lagi. Sebut saja Propinsi Riau, Kalimantan Timur, Papua dan Nangroe Aceh Darussalam. Hingga kini, Riau masih menjadi propinsi pemasok minyak terbesar di Indonesia (sekitar 70 Andrew Rosser, 2004, IDS Working Paper 222: Why did Indonesia overcome the resource curse?, International of Development Studies, Brighton, Sussex., England. 6 Ibid 5
9
persen dari sekitar 1 juta barrel/hari keseluruhan total produksi minyak Indonesia). Kabupaten Bengkalis memberi kontribusi 90 persen dari total minyak di Riau, yang dioperasikan PT Caltex Pasific Indonesia (CPI). Hasil eksplorasi minyak ini telah menempatkan Riau sebagai salah satu daerah yang penyumbang devisa terbesar bagi negeri ini. Ironisnya, hasil minyak yang melimpah ini berbanding terbalik pada tingkat kemakmuran penduduk Riau. Tahun 2004, Biro Pusat Statistik menempatkan daerah yang kental dengan etnik Melayu ini sebagai propinsi termiskin ke 13 dari 32 propinsi di seluruh Indonesia. Penduduk miskin tercatat sekitar 22,19 persen dari total penduduk Riau sebanyak 4.543.584. Yang lebih mengerikan, sepanjang lima tahun terakhir presentase penduduk miskin di Riau terus mengalami peningkatan, dari 13,67 persen pada 2002 dan 10,38 persen di tahun 20007. Bandingkan tingkat kemiskinan di daerah yang bukan penghasil minyak. Semisal Sumatera Barat. Daerah Minang ini hanya memiliki penduduk miskin sekitar 10,46 persen dari total penduduk 4.528.2428. Data BKKBN tahun 2004 jauh lebih mencengangkan. Tingkat kemiskinan di Riau (belum termasuk kab. Batam, Dumai, Rohul, dan Tanjung Pinang) mencapai 38,64 persen. R E A L IS A S I P E N E R IM A A N V S B E L A N J A K E S E H A T A N D A N P E N D ID IK A N K ETER A N G A N
A P B N ( d a la m m ily a r ) 2000
2001
2002
2003**)
2004***)
R e a lis a s i T o t a l A P B N , d ilu a r H ib a h * ) ( R p m ily a r )
2 0 5 ,3 3 4 .5
2 9 9 ,8 4 1 .6
3 0 1 ,8 7 4 .3 0
3 4 0 ,6 5 7 .9
4 0 7 ,7 9 9 .7 2
R e a lis a s i P e n e r im a a n S D A * ) ( R p m ily a r )
7 6 ,2 9 0 .1 0
8 5 ,6 7 1 .8 0
6 8 ,0 0 1 .9 0
6 7 ,0 6 5 .7 0
8 5 ,3 0 0 .0 0
2 ,6 2 8 .0 1
4 ,8 3 7 .4 4
7 ,5 3 7 .5 0
1 3 ,6 5 4 .1 8
1 3 ,7 6 1 .0 0
8 0 2 .9 8
1 ,7 1 1 .4 5
3 ,0 4 6 .6 4
6 ,0 7 2 .7 5
6 ,0 9 9 .1 5
3 ,4 3 0 .9 9
6 ,5 4 8 .8 9
1 0 ,5 8 4 .1 4
1 9 ,7 2 6 .9 3
1 9 ,8 6 0 .1 5
B e l a n ja S e k t o r P e n d i d i k a n , K e b u d a y a a n , P e m u d a d a n O la h R a g a * * * * ) d i l u a r p r o y e k p i n ja m a n ( R p m ily a r ) B e l a n ja S e k t o r K e s e ja h t e r a a n S o s ia l, K e s e h a t a n d a n P e m b e rd a y a a n P e r e m p u a n * * * * ) d ilu a r p r o y e k p i n ja m a n ( R p m i l y a r ) T o t a l B e l a n ja P e n d i d i k a n d a n K e s e h a t a n * * * * ) d ilu a r p r o y e k p i n ja m a n ( R p m i l y a r )
*)Su m b e r: N o ta Pe rh itu n g a n An g g a ra n N e g a ra (P AN ), Ba d a n An a lisa Fiska l **)Su m b e r: Ba d a n An a lisa Fiska l "R e a lisa si AP BN 2 0 03 s.d . 3 1 D e se m b e r 20 03 ***) Su m b e r: In fo Fiska l,"P e la ksa n a a n APBN -P 20 0 4 Am a n ", e d isi Pe rd a n a , M a re t 20 05 ****) Su m b e r: Pe n je la sa n U U N o 2/2 00 0 ttg APBN 20 00 Pe n je la sa n U U N o 1/2 00 2 ttg Pe ru b a h a n Ata s U U N o 35 /20 0 0ttg APB N 2 00 1 Pe n je la sa n U U N o 6/2 00 4 ttg Pe rh itu n g a n An g g a ra n N e g a ra ta h u n a n g g a ra n 20 02 Pe n je la sa n U U N o 26 /20 03 ttg Pe ru b a h a n Ata s U U N o 2 9 /2 0 02 ttg APB N 2 00 3 Pe n je la sa n U U N o 28 /20 03 ttg APB N 2 00 4 7 8
Sumber BPS: Pendataan Penduduk/Keluarga Miskin Propinsi Riau 2004 Sumber BPS: Ibid
10
APBN (Rp)
Belanja Kesehatan/penduduk miskin dari APBN dan SDA/thn 2000
2001
2002
2003
2004
Belanja Kesehatan dari APBN
6,414
13,670
23,841
46,727
46,146
Belanja Pendidikan dari APBN
21,270
38,638
58,984
106,849
104,115
Belanja pendidikan dan kesehatan dari APBN
27,684
52,308
82,825
153,576
150,261
617,471
681,813
532,142
516,043
645,377
Belanja pendidikan dan kesehatan/penduduk miskin dari MIGAS
Note: Penduduk miskin adalah mereka yang berpendapatan dibawah US$ 2/hari berdasarkan laporan Indeks Pembangunan Manusia yang dikeluarkan oleh UNDP, BPS, BAPPENAS 2004 sebanyak 59.9%
Riau juga tergolong rendah dalam sektor pendidikan. Data sensus tahun 2002, penduduk yang tak tamat SD (25,67 persen), tamat SD (34,36 persen), SLTP (17,31 persen), SLTA (15,53 persen), Diploma (0,75 persen), tamat universitas (1,31persen). Yang menyedihkan, setidaknya 108.078 anak (umur 7-15 tahun) tidak bersekolah.9 Nangroe Aceh Darussalam (NAD) lebih parah dari Riau. Propinsi kaya gas alam cair ini menduduki posisi ke 4 sebagai daerah dengan presentase penduduk miskin sebesar 28,5 persen10. Padahal, di Serambi Mekkah-lah sejarah pengeksplorasian sumber daya alam Indonesia dimulai. Dimana terjadi penandatanganan Product Sharing Contract (PSC) antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan minyak Asamera untuk peruntukan lahan di Blok A PSC Aceh. Kehadiran PNG Arun dan ExxonMobil juga tidak memberi dampak signifikan bagi kesejahteraan penduduk di wilayah yang sarat konflik ini. Kondisi Papua jauh lebih buruk lagi. Daerah paling timur Indonesia ini dikenal sebagai sumber tambang emas dan tembaga. Coba simak jumlah penduduk miskinnya? BPS “menobatkan” propinsi ini sebagai daerah yang memiliki penduduk dibawah garis kemiskinan tertinggi di Indonesia dengan presentase 38,69 dari total penduduk Papua. Keberadaa PT Freeport yang menancapkan bendera di daerah ini sejak tahun 1960, juga tak mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua. Boleh jadi hal ini karena pembagian keuntungan yang tidak fair. Tahun 2004 Freeport mencetak keuntungan sebesar US$ 297 juta, hanya sekitar 9 persen saja
9
Kompas Cyber, Senin 11 Oktober 2004 Sumber BPS: Population Below the Poverty Line 2004
10
11
yang masuk ke kantong pemerintah11. Ironisnya, penduduk lokal harus merasakan dampak negatif yang ditimbulkan akibat pertambangan itu puluhan tahun lamanya. Padahal, jika mengacu data Indeks Pembangunan Manuasia (IPM) Indonesia 2004 versi Bappenas, UNDP dan BPS, Papua mencatat Produk Domestik Bruto (PDB) tertinggi ketiga setelah Kaltim dan DKI Jakarta. Hal ini berbanding terbalik dengan IPM-nya yang peringkat ke2 terendah setelah NTB. Data ini jelas menunjukan bahwa pendapatan dari sektor industri ekstraktif di Papua belum diinvestasikan untuk kepentingan publik. Dibandingkan Papua, IPM Aceh mungkin sedikit lebih baik. PDB-nya peringkat 4 tertinggi, namun IPM-nya bertengger pada posisi ke 15 dari 32 propinsi12. Kondisi ini berbanding terbalik dengan D.I.Y misalnya, yang PDB-nya peringkat ke-20 dan tidak memiliki SDA, namun IPMnya peringkat 3 terbaik. Namun harus dicatat, bahwa Aceh dan Papua sama-sama mengalami konflik bersenjata yang berkepanjangan. Karena eksploitasi sumber daya alam, maka rakyat di kedua propinsi ini mengalami pelanggaran HAM ringan sampai berat selama bertahun-tahun. Maka lengkaplah gejala-gejala kutukan sumber daya alam pada kedua propinsi ini. Jelaslah, bahwa kecuali Kalimantan Timur, gejala ”resource curse” telah terjadi pada propinsipropinsi dan daerah-daerah Indoensia yang kaya dengan sumber daya alam. Mengapa dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah tidak menaikan standar kesejahteraan rakyat Indonesia, terutama di Riau, Aceh dan Papua?
Kutipan dari Rapat Dengar Pendapat antara Komisi VII dengan Direksi P.T Freeport Indonesia, tanggal 15 Februari 2005, yang dilaporakan dalam www.miningindo.com tanggal 17 Februari 2005. 12 Indonesia Laporan Pembangunan Manusia 2004, Ekonomi dari Birokrasi:Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia, h.13 11
12
Dalam World Development Report 2003, yang dikeluarkan Bank Dunia, disebutkan ada beberapa hal yang menyebabkan kemiskinan sulit dihapus. Antara lain, kebijakan alokasi sumber daya yang tidak memihak kepada rakyat miskin, sistem politik yang tidak demokratis dan tingginya tingkat korupsi. Untuk itu, maka laporan ini mengusulkan antara lain agar peningkatan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan (demokratisasi pengambilan keputusan), dan memberikan akses informasi kepada masyarakat adalah salah satu cara terpenting untuk memberantas kemiskinan13.
13
World Bank, 2000. Attacking Poverty, World Development Report 2000/2001. Washington D.C
13
BAB III EKONOMI EKSTRAKTIF DAN KORUPSI Dalam Indeks Pembayaran Korupsi yang dikeluarkan Transparency International Indonesia tahun 2002, sektor minyak dan gas menduduki ranking ke tiga tertinggi kemungkinannya untuk memberikan suap, sesudah pekerjaan umum dan sektor industri pertahanan14. Kalau dilihat negara-negara kaya sumber daya alam, dan dibandingkan dengan Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan Transparency International Indonesia, maka terlihat bahwa negara-negara tersebut mempunyai IPK yang sangat rendah.
Negara Norway Trinidad and Tobago Colombia Saudi Arabia Syria Iran Russia Ecuador Venezuela Kazakhstan Cameroon Turkmenistan Indonesia Azerbaijan Nigeria
IPK 2004 8.9 4.2 3.8 3.4 3.4 2.9 2.8 2.4 2.3 2.2 2.1 2 2 1.9 1.6
Eksport minyak sebagai prosentasi dari total eksport (2001) 50.8 b 47.4 27.8 78.5 51.6 b 66.7 48.7 32.1 80.6 45.6 b 33.5 76.6 b 24.1 89.2 97.2 b
Sumber: * Indeks Persepsi Korupsi Transparency International 2004 * Eksport minyak sebagai prosentasi dari total eksport (2001) dari World Bank yang dikompilasi di World Resources Institute, 2001. Note: b -> data untuk tahun 2000 Di Indonesia, skandal mega korupsi yang selalu terjadi sejak jaman awal ditingkatkannya migas dan tambang, selalu melibatkan Pertamina, BUMN yang diberi mandat mengurusi minyak dan gas bumi sampai tahun 2002. Telah diketahui pula secara umum, bahwa sampai 14
Bribe Payment Index, Transparency International 2002.
14
akhir masa jabatannya, Suharto dan korninya telah menfaatkan Pertamina sebagai sumber keuangan bagi pengembangan bisnis anak-anak dan keluarganya. Tak mudah mengungkap korupsi di sektor migas. Kalau pun sudah terungkap, ibarat oli, koruptor di sektor Migas juga dikenal licin dari jeratan hukum. Korupsi Pertamina pertama kali terungkap saat Harian Indonesia Raya membongkar data keuangan Pertamina ketika dipimpin Ibnu Sutowo pada tahun 1970. Disebutkan, Ibnu telah melakukan transaksi pengakutan minyak mentah Indonesia ke Jepang. Atas perintah mantan presiden Soeharto, Ibnu mengutip $ 10 sen untuk setiap barel yang terjual. Saat itu, negara dirugikan hingga US$1,5 juta. Harian pimpinan alm Mochtar Lubis edisi 30 Januari 1970 ini juga menemukan bahwa Ibnu Sutowo memiliki simpanan mencapai Rp 90,48 miliar. Tercatat pula, selama masih di Pertamina, Ibnu mendirikan perusahaan bernama PT Indobuildco. Perusahaan ini merupakan cikal bakal induk perusahaan Ibnu. Salah satu proyek yang terkenal adalah pembangunan Hotel Hilton Jakarta. Tempo menuliskan biaya pembangunan kamar hotel mewah ini untuk kelas deluxe dan suite, konon, menelan US$ 100 ribu. Padahal, kompleks perluasan yang kemudian bernama Garden Tower ini memiliki 228 kamar. Belum termasuk penthouse di tingkat paling atas yang dikelilingi taman bunga yang juga dilengkapi helipad -- tempat helikopter mendarat15. Akibat merajalelanya korupsi yang dilakukan Ibnu Sutowo, Indonesia nyaris bangkrut. Ibnu mewariskan hutang sebesar US$ 10,5 miliar. Padahal, penerimaan negara dari minyak saat itu hanya US$ 6 miliar. Soeharto pun memecatnya dari posisi direktur utama Pertamina tahun 1976 dan diganti dengan Piet Haryono. Namun, utang dan dugaan korupsi itu tidak pernah sampai ke pengadilan, meski gerakan mahasiswa turun ke jalan menuntut dibongkarnya korupsi di Pertamina. Diduga, Suharto sengaja tidak membawa kasus ini ke pengadilan untuk menutupi keterlibatannya dalam memperlakukan Pertamina sebagai sapi perah keluarga maupun rejim yang dipimpinnya. Korupsi Pertamina kian semakin diketahui publik, setelah terkuaknya kasus simpanan uang senilai US$80 juta di berbagai bank milik H. Thaher, salah satu direktur pada jaman Ibnu. Melalui pengadilan yang berbelit-belit, Pertamina akhirnya memenangkan perkara tersebut16.
15 16
Pusat Data dan Analisis Tempo Media Transparansi edisi 07 April 1999
15
Setelah Ibnu Sutowo dipecat, Pertamina melakukan ekspor dan impor minyak di pertengahan tahun 80-an melalui Perta Oil Marketing dan Permindo Oil Trading, dua perusahaan milik Tommy Soeharto dan Bambang Triatmodjo. Dua perusahaan tersebut menerima komisi sekitar $ 30-35 sen per barrel. Di tahun fiskal pertama tahun 1997-1998, kedua perusahaan itu menjual rata-rata 500.000 barrel per hari, dengan komisi lebih dari $ 50 juta per tahun. Padahal, Pertamina sebenarnya bisa mengekspor langsung dan dua perusahaan itu sebenarnya tidak dibutuhkan17. Jumlah itu belum termasuk mark up yang sebesar US$ 200 juta per tahun dari nilai ekspor dan impor minyak kepada dua perusahaan itu. Keluarga Suharto juga mendapatkan 179 kontrak dari Pertamina untuk asuransi, keamanan, suplai makanan dan jasa-jasa lainnya. Meski kemudian kontrak itu dibatalkan paska Soeharto jatuh. Time mencatat total asset kekayaan keluarga Soeharto dari sektor migas selama 30 tahun mencapai US$ 17 miliar18. Contoh lainnya, kasus bocornya uang negara di Pertamina senilai US$ 6,1 miliar atau Rp 47 triliun dengan kurs Rp 7000 per dolar selama periode 1996-1998. Pricewaterhouse Coopers (PwC) selaku pihak auditor tidak melihat kebocoran itu sebagai korupsi, melainkan inefisiensi. Menurut PwC, kebocoran selama kurun dua tahun itu lebih disebabkan kombinasi dari kesembronoan manajemen, tekanan politis yang berkuasa dan birokrasi yang berbelit dan tak efektif. Sumbernya dua: pengeluaran biaya yang tak perlu dan peluang laba yang hilang. PwC memang tidak dalam kapasitas menyatakan kebocoran itu sebagai korupsi, tapi tidak mungkin uang negara menguap sebesar itu kalau bukan disengaja (dikorup)19. Kebocoran di Pertamina dimulai dari sektor hulu hingga hilir. Kasus Balongan mungkin bisa jadi contoh. Pembangunan kilang minyak khusus ekspor ini dibangun US$ 800 juta lebih mahal dari kilang sejenis diluar negeri. Total biaya pembangunan sebesar US$ 1,4 miliar. Penyelewengan lainnya, pembelian zat pemurni solar dan bensin dilakukan tanpa proses tender dan lebih mahal US$ 600 per ton dari harga pasaran. Padahal analisis PwC menyebutkan pembelian katalis ini tidak perlu. Alhasil, PwC mencatat adanya kebocoran US$ 100 juta. Celakanya, setelah berproduksi, minyak Balongan tak kunjung di ekspor tapi dilempar ke pasar domestik.
Time Magazine edisi 24 Mei 1999 Ibid 19 Majalah Tempo edisi 20 tahun 2002 17 18
16
Yang lebih parah, mesin kilang Balongan sering rusak. Bahkan, menjelang diresmikan, Balongan rusak berat selama tiga bulan. Jika ditotal, sejak mulai beroperasi Maret 1995 hingga 1998, jumlah hari produksi yang hilang mencapai setahun. Kerugian akibat hilangnya potensi pendapatan dan biaya reparasi lebih dari US$ 35 juta. Bahkan, saat baru dua tahun beroperasi Balongan sudah rugi Rp 826 miliar. Kemudian, 1996-1997 sebesar 476 M, 1997-1998 sebesar 1.3 Triliun20. Kasus ini belakangan menyeret dua orang bekas pejabat Pertamina, Faisal Abda'oe dan Tabrani Ismail. Abda'oe, bekas Direktur Utama Pertamina, dinilai melanggar prosedur pelaporan sehingga biaya Balongan melonjak tinggi. Sedangkan Tabrani, bekas Direktur Pengolahan Pertamina dan Ketua Tim Negosiasi Proyek Balongan, dianggap lalai dengan membiarkan nilai proyek itu menjadi kelewat mahal. Mantan mentaben Ginanjar Kartasasmita dan kontraktor Erry Putra Oudang juga terseret sebagai tersangka . Kasus Kilang Kasim, Irian Jaya (kala itu) setali tiga uang. Meski tak sebesar Balongan, audit PwC melaporkan kilang berkapasitas 10 ribu barel per hari ini, rugi ratusan miliar rupiah per tahun. Proyek ini memakan dana sebesar US$ 89 juta. Jumlah sebesar itu harus dibayar Pertamina dalam waktu lima tahun dengan bunga 14 persen. Padahal, kilang Kasim terus merugi. Aksi penggerogotan di sektor hilir tak kalah parah. Dalam pengangkutan minyak, Pertamina menyewa tanker dari Samudra Petrindo Asia (anak perusahaan Bimantara milik Bambang Triatmodjo) dengan tarif sewa US$ 17.500 per hari. Padahal, tanker itu sebenarnya milik Pertamina yang disewa Samudra dengan tarif US$ 6.750 per hari. Pihak Samudra memang berdalih tanker tersebut disewa dari Pertamina dalam keadaan kosong, sedangkan saat disewakan kembali sudah berisi peralatan dan awak siap pakai. Meski demikian, indikasi terjadinya rente pun sulit ditepis21. Kasus lainnya adalah dugaan korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara, adalah US$ 24,8 juta. Tersangkanya sudah ada 20 21
yakni 2 Mantan Menteri
Majalah Tempo edisi 31 tahun 2002 ibid
17
Pertambangan dan Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita (sekarang Ketua DPD) dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo. 12 Oktober 2004 kasus ini dinyatakan SP3. Terakhir, Kejagung akan membentuk tim reformasi untuk membuka kembali kasus ini pada 22 juli mendatang. Kasus teranyar, tim Satuan Pengawasan Internal (SPI) Pertamina menemukan adanya ketidakwajaran dalam proses tender pembelian minyak mentah untuk rencana pengapalan (ship to ship/STS) April 2005. Ketidakwajaran itu dimulai dari proses pembelian, pengadaan dan pemilihan minyak mentah. Jika tidak dicegah, hitungan tim SPI, Pertamina berpotensi menderita kerugian US$ 983,58 ribu (Rp 9,18 miliar) per bulan. Bahkan, jika pada harga pasar, kerugian Pertamina bisa berlipat menjadi US$ 11,04 juta (Rp 103,16 miliar)22. Menurut laporan itu, ketidakwajaran proses pembelian berpangkal dari tidak transparannya tim tender dalam melakukan seleksi awal. Mereka masih memasukkan jenis minyak mentah yang tidak lolos market price buyer estimation (MPBE). Dari 31 pemasok, terpilih 9 jenis minyak mentah. Salah satu jenis minyak yang menang adalah Sarir. Tapi itu ditentang unit Pengolahan V Pertamina Balikpapan. Alasanya, jenis Sarir akan menghasilkan terlalu banyak low sulphur waxy residue (LSWR) jika dipaksa diolah menjadi BBM. Akhirnya, jenis Sarir pun diganti jenis Tapis. Seleksi awal tuntas. Sayangnya, saat penentuan pemenang, tim tender malah meminta persetujuan Direktur Pengolahan Pertamina Suroso Atmomartoyo. Padahal, pemilihan jenis minyak sudah menggunakan program GRTMPS (generalized refining transportation marketing planning system) yang computerized. Alhasil, Suroso meminta tender agar diulang. Kali ini, panitia memasukan minyak mentah jenis panyu. Alasannya, harga panyu (US$ 45,27 per barel) lebih murah ketimbang sarir (US$ 49,03). Menurut tim audit, persetujuan itu dapat membuka peluang dan rawan terhadap terjadinya perubahan pemenang tender atas permintaan pihak tertentu23. Inilah celah empuk korupsi. Tim tersebut mewanti-wanti direksi akan ancaman kerugian Pertamina jika diteruskan. Juga, perlu dilakukan uji tuntas (due diligence) terhadap semua pemasok agar benar-benar akuntabel.
22 23
Majalah Tempo edisi Maret 2005 Ibid
18
Penelitian Komite Pemberantasan Korupsi Pertamina juga menemukan adanya praktek kongkalikong antara Pertamina dan salah satu pemasok dalam kasus ini. Bahkan, mayoritas minyak mentah dipasok oleh satu perusahaan, yaitu Global Energy. Kasus ini sendiri belakangan sudah dilaporkan ke KPK oleh Komite Pemberantasan Korupsi Pertamina24. Awan Gelap diatas Ekonomi Ekstraktif Salah satu sebab mengapa di sektor migas ini banyak sekali terjadi korupsi adalah sifat kerahasiaan yang melingkupi transaksi bisnis sektor ini. Proses negosiasi mendapatkan Production Sharing Contract (PSC), proses penghitungan bagi hasil, proses penjualan, proses tender, dll semua dilakukan dengan kondisi yang tertutup dari pengawasan publik. Malah, dokumen yang menyangkut sebagian besar bisnis proses dinyatakan sebagai dokumen rahasia, yang diakui bahkan dalam UU hasil buatan era reformasi, yaitu UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas. Padahal undang-undang itu dibuat dengan semangat reformasi, soal transparansi dan akuntabilitas bertebaran dalam pasal-pasal, namun semuanya dikunci dengan diakuinya sifat kerahasiaan informasi tentang minyak dan gas. Sifat kerahasiaan yang berlangsungs ampai sekarang inilah yang menyebabkan industri ini agak luput dari pengawasan lembaga anti korupsi. Misalnya, dokumen PSC dinyatakan sebagai dokumen rahasia. TI-Indonesia sudah pernah mencoba meminta kontrak PSC ini dari BP MIGAS, namun tak pernah diperoleh. Kami juga meminta laporan bagi hasil dari perusahaan PSC dan dokumen audit PSC kepada perusahaan, juga tidak berhasil didapat. Hal ini katanya, disebabkan adanya perjanjian yang mengikat antara kontraktor dan BPMIGAS untuk menjaga kerahasiaan segala informasi yang berkenaan dengan kerjasama bisnis. Bila ditelaah lebih lanjut, walaupun dalam UU Migas No 22/2001 menyinggung tentang pentingnya prinsip akuntabillitas dan transparansi dalam kegiatan pengelolaan kegiatan operasional, namun dalam sisi lain UU ini didalam pasal 20 justru dipenuhi dengan muatan prinsip kerahasiaan data sebagai monopoli pemerintah semata. Pasal inilah yang dijadikan alasan oleh BP MiGAS menjaga kerahasiaan setiap aspek informasi dalam industri ini.
24
Majalah Tempo Maret 2005
19
Untuk sistem kontrak bagi hasil di Migas, diatas kertas nampaknya porsi yang diterima negara lebih besar dibanding porsi kontraktor migas, yaitu antara 70%:30% hingga 85%:15%, dimana porsi yang lebih besar ada pada pemerintah Indonesia. Dari skema ini, terlihat porsi pembagian ini menguntungkan bagi pihak pemerintah Indonesia. Namun, jika ditelaah lebih jauh, maka belum tentu bagi hasil ini memberikan keuntungan maksimal bagi rakyat Indonesia. Karena, pembagian itu merupakan porsi net income, yang masih harus dipotong dengan biaya operasional, pengeboran dan eksplorasi, yang dikenal dengan nama Cost Recovery. Cost Recovery adalah sebuah fitur penting lain dalam industri migas, tidak hanya di Indonesia juga diseluruh dunia. Cost Recovery ini adalah sebuah konsep yang memungkinkan kontraktor migas mendapatkan penggantian biaya-biaya yang telah dikeluarkan didalam masa eksplorasi (yang menghasilkan migas) dan eksploitasi oleh pemerintah. Dalam ketentuan Migas yang baru bahkan memungkinkan kontraktor Migas untuk meminta persetujuan anggaran atau AFE (Authorized Financial Expenditure) dari pemerintah melalui BP MIGAS hingga 100% dari keseluruhan biaya yang telah dikeluarkan. Bahkan, khusus bagi kontraktor yang mau mengeksploitasi tambang marjinal, BP MIGAS berani menawarkan insentif cost recovery mencapai 120 persen. Artinya biaya eksplorasi dan eksploitasi kontraktor migas hampir mendekati nol. Kontraktor hanya menanggung resiko kalau ekslporasi tidak menghasilkan migas. Kami selama 6 bulan berusaha mencari tahu mengenai biaya-biaya operasional dan eksplorasi yang diganti oleh pemerintah kepada kontraktor dengan tanpa hasil. Pihak-pihak yang terkait sangat ketat menjaga rahasia dari bagian ini. Padahal, proses cost recovery ini memiliki peluang untuk dilakukannya mark up dan manipulasi data. Apalagi, tidak ada standar yang baku mengenai apa yang boleh dimasukkan ke dalam komponen cost recovery dan apa yang tidak. Semuanya tergantung dari negosiasi dengan Pertamina (dulu) atau BP Migas (sekarang). Keputusannya semua bersifat arbitrary. Dengan demikian, dalam komponen cost recovery terbuka segala kemungkinan untuk meningkatkan jumlah biaya yang diganti. Termasuk transfer pricing yang didukung bukti-bukti akuntansi material. Biaya-biaya telah masuk ke dalam komponen cost recovery ini sulit dilacak. Karena telah dibukukan secara rapi oleh pihak kontraktor minyak dan diaudit BPKP sebagai internal auditor pemerintah. Cost Recovery tidak pernah disebut secara spesifik dalam Kontrak PSC, hanya dalam kontrak PSC disebutkan bahwa Kontraktor menyediakan pendanaan, 20
keahlian teknologi dan menanggung segala risiko dari eksplorasi, karena cost recovery hanya merupakan metode penghitungan pengembalian dana yang dikeluarkan oleh kontraktor. Sebagai sebuah titik yang memiliki peluang untuk terjadinya kolusi dan korupsi, semestinya fungsi kontrol terhadap cost recovery menjadi sebuah aspek yang paling penting dalam usaha menegakkan prisip transparansi dan akuntabilitas dalam sektor industri ini. Namun kenyataannya, baik pihak kontraktor PSC dan BP MIGAS dengan merujuk kepada pasal 20 UU Migas tentang kerahasiaan informasi, menjaga dengan rapat segala data mengenai besaran Cost Recovery yang telah disetujui dan berhasil diganti. Ada kesan saling lempar antara PSC --- BPMIGAS, Dirjen MIGAS maupun Depkeu Direktorat Pendapatan Bukan Pajak. Tidak ada satupun yang bisa menjelaskan tentang cost recovery ini secara lebih jernih. Bahkan dalam usaha terakhir yang dilakukan TI-Indonesia dalam risetnya dengan menghubungi pihak BPKP sebagai auditor eksternal, nihil dengan alasan kerahasiaan klien. Demikian juga janji yang diberikan oleh Depkeu, Direktorat pendapatan migas, hanya pepesan kosong belaka. Data yang diberikan adalah data yang umum sekali, dan tidak berguna bagi keperluan analisis. Terakhir, tidak ada satupun data keuangan PSC yang berhasil diperoleh langsung dari pihak terkait, kecuali hanya menyangkut data-data publish yang itupun sangatlah terbatas. Professor Haryono Usman dalam disertasinya, melakukan analisis resiko atas proses penentuan cost recovery PSC. Dia melakukannya dengan menganalisis laporan audit BPKP terhadap PSC. Sayangnya, data-data penting tdiak dapat dikeluarkana, karena beliaupun harus terikat kepada perjanjian kerahasiaan. Namun demikian, ada beberapa lubang korupsi yang beliau temukan, Lubang-lubang itu dipaparkan berikut ini.
21
Hubungan antara PSC, BPMigas dan pemerintah terlihat dibawah ini:
Pemerintah Dept ESDM Ditjen Migas
BP Migas
DPR
Pemda
PSC
WP&B POD AFE
Eksploitasi
Eksplorasi
Sumber: Haryono Usman, 2005.
Kalau dilihat diagram di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa lubang-lubang resiko dalam proses bisnis di PSC. Hal ini disebabkan karena, industri migas di Indonesia (khususnya sektor hulu) dikelola olah banyak pihak yang kita kenal dengan multiple agent. Hal ini menambah rumit dan membuka peluang untuk terjadinya korupsi. Korupsi dapat terjadi pada:
22
A. Proses Birokrasi Birokrasi yang terlibat dalam industri migas di Indonesia adalah Departemen ESDM, Ditjen Migas, BP Migas, Pemda, dan DPR. Korupsi dapat terjadi pada penetapan kontrak, dan hal ini merupakan awal dari segala kesalahan mengingat dengan kebijakan ini menjadi dasar untuk implementasi pengelolaan migas. Loopholes yang lainnya adalah pada waktu penetapan WP&B, AFE, dan POD, serta penetapan kebijakan lainnya yang tidak sesuai dengan kontrak. B. Pelaksana (PSC dan Pertamina). a. Pengadaan equipment dilakukan melalui pembelian dan leasing. Ketentuan pemerintah menyatakan bahwa setiap barang yang diadakan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi menjadi miilik negara saat tiba di Indonesia. Biaya pengadaan tersebut akan menjadi komponen cost recovery, namun untuk barang yang diadakan melalui leasing tidak pernah menjadi milik negara. Kontraktor PSC pada umumnya lebih suka leasingd aripada membeli, sehingga pemerintah dirugikan akrena tidak akan pernah memiliki asset tersebut. b. Pembebanan biaya yang terkait dengan pemasaran (marketing-related expenditures). Dalam setiap kontrak PSC, selalu dirinci secara spesifik point of lifting (untuk minyak), dan delivery point (untuk gas) yang menjadi cut-off antara eksplorasi, eksploitasi dan tahapan selanjutnya. Biaya yang terjadi diluar masa eksplorasi dan eksploitasi (termasuk biaya pemasaran) tidak boleh dibebankan dalam cost recovery. Kadangkadang biaya-biaya ini luput (atau sengaja diluputkan) oleh auditor sehingga dibebankan kedalam cost recovery. c. Mis-alokasi biaya gas ke minyak. Pembagian hasil antara Pemerintah dengan kontraktor adalah sebesar 85% : 15% untuk minyak dan 65% : 35%. Artinya kontraktor akan mendapatkan bagian yang lebih besar dalam produksi gas dari pada produksi minyak. Hal ini telah mendorong PSC untuk melakukan misalokasi pembebanan biaya dari gas ke minyak sehingga akan mengurangi bagian pemerintah dari equity to be split.
23
d. Misalokasi technical services. Seperti diketahui, perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia adalah bagian dari perusahaan induknya yang beroperasi secara internasional (worldwide). Misalokasi pembebanan biaya dari kantor pusatnya (diluar negeri) ke operating cost PSC di Indonesia telah banyak terjadi. Hal ini akan memperbesar cost recovery
dan
mengurangi penerimaan negara. e. Salah pembebanan antar PSC PSC merupakan kerjasama antara pemerintah dengan perusahaan swasta nasional dan asing. Beberapa PSC di Indonesia berada di bawah operator atau perusahaan induk yang sama. Pada suatu perusahaan terdapat banyak kontrak PSC baik yang telah berproduksi maupun belum berproduksi. Cost recovery baru akan diberikan pemerintah apabila PSC tersebut telah berproduksi menghasilkan migas. Penggeseran biaya dari PSC yang belum berproduksi ke PSC yang telah berproduksi untuk mendapatkan cost recovery dapat terjadi dalam suatu perusahaan migas. Ini tentu memperbesar cost recovery yang harus dibayar pemerintah. f. Biaya farm-in farm-out Jual beli economic interest di suatu daerah kontrak antar investor adalah hal yang umum. Terjadinya perpindahan hak pengusahaan ini biasanya dilakukan diliuar wilayah Indonesia. Biaya tersebut tidak boleh dimasukkan ke komponen cost recovery karena merupakan bagian dari acquisition cost. Namun, biaya akuisisi ini dapat dengan mudah disisipkan ke dalam cost recovery. g. Percepatan waktu (time difference) pembebanan biaya ke operating cost Depresiasi baru dilakukan setelah suatu aset dinyatakan siap untuk digunakan (place in service). Kecenderungan PSC untuk mempercepat pembebanan biaya ke current operating cost akan mengurangi bagian pemerintah dalam tahun berjalan. h. Biaya-biaya training dasar untuk expatriats Seperti dijelaskan di atas, salah satu persyaratan utama bagi PSC untuk beroperasi di Indonesia adalah penguasaan teknologi dan keahlian (expertise) yang memadai dalam bidang industri migas. Hal ini diperlukan untuk dapat melaksanakan kontrak sesuai dengan kesepakatan. Dengan demikian berbagai biaya untuk training tenaga 24
kerja PSC tidak boleh dibebankan sebagai cost recovery. Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa biaya training ini dibebankan juga ke dalam cost recovery. h. Jumlah lifting Jumlah lifting sering tidak diaudit oleh pengawas, hanya mempercayai dokumen yang katanya sudah computerized. Padhal seharusnya, auditor melakukan randoms ampling terhadap proses uplift, sehingga dapat diverifikasi sistem komputernya. Setidak-tidaknya, sistem komputer tersebut harus diaudit dna divalidasi secara teratur. i. Investment credit Pemberian investment credit apabila telah PIS (placed into service). Ada juga yang belum PIS namun sudah dibebankan. Disamping itu ada juga pembebanan investment credit yang melebihi ketentuan kontrak. j. Interest recovery Banyak pembebanan interest recovery sebelum PIS, padahal seharusnya ini tidka boleh terjadi. k. Inventory Seharusnya, barang inventory hanya dapat dibebankan kalau sudah sampai di Indonesia. Namun kenyataannya, diduga ada banyak pembebanan inventory sebelum barang masuk ke Indonesia.Ini tentu meningurangi penghasilan bersih negara. l. Depresiasi Asset Diduga banyak pembebanan depresiasi atas assets yg belum PIS telah dibebankan ke dalam cost recovery. Lebih buruk lagi, nilainya dna pembebanan ini tidak sesuai dengan tariff kontrak m. Overhead allocation Pembebanan dari kantor pusat banyak yg melebihi 2%. Selain itu, sangat sulit untuk memisahkan (dan tentunya) menentukan mana overhead cost yang benar-benar untuk mendukung biaya operasi di Indonesia dan mana yang bukan. Terutama untuk perusahaan-perusahaan multinasional. Pos ini kemungkinan besar telah ”over charged”. 25
Penekanan cost recovery adalah kunci untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun, faktanya, cost recovery ini semakin meningkat setiap tahun. (Tabel.......). Sebaliknya, tanpa lubang-lubang korupsi pun, cost recovery sebesar 100 persen pasti akan meningkat terus, karena tidak ada insentif kontraktor untuk menekan biaya. Biaya bukanlah komponen persaingan usaha, sehingga buat apa dilakukan oleh kontraktor. Ada argumen yang mengatakan bahwa tidak mungkin kontraktor PSC melakukan overcharged untuk cost recovery, karena itu tentu akan merugikan mereka sendiri. Karena bagian keuntungan mereka sebenarnya berasal dari penghasilan bersih juga, yang sudah dipotong oleh cost recvery. Argiumentasi ini hanya benar hanya jika cost recovery tidak mencapai 100 persen, bahkan untuk daerah marjinal 120 persen. Kalau komponen cost recovery hanya mencapai 40-60 persen, maka masih ada insentif bagi kontraktor untuk mengurangi biayanya. Kalau cost recovery 100 persen, apalagi 120 persen, dimana biaya eksplorasi dan eksploitasi hampir mendekati nol, maka insentif untuk penekanan biaya tidak ada sama sekali. Karena besar kecilnya biaya toh tidak mempengaruhi revenue bagi hasil kontraktor.
26
BAB IV APA YANG HARUS KITA LAKUKAN KE DEPAN? Jelaslah, ada dua hal yang perlu dilakukan untuk memperbaiki pengelolaan pendapatan negara dari minyak, gas dan tambang. Pertama adalah dengan merubah secara drastis paradigma penerimaan negara dari sektor industri esktraktif. Perubahan perlu dilakukan dari yang sekarang beranggapan bahwa sumber penerimaan ini adalah sumber penerimaan pemerintah sehingga dapat digunakan untuk apa saja keperluan pemerintah menjadi ” penerimaan dari sektor ini adalah hanya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yaitu hanya untuk pos belanja kesejahteraan dan sosial ”. Apa yang dilakukan di bidang ini adalah maksimisasi pemanfaatan hasil migas untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Paradigma kesejahteraan ini harus berdasarkan prinsip keadilan antar generasi (intergenerational Iquity). Konsep ini bersandar pada kenyataan bahwa sumber daya alam adalah merupakan hasil ciptaan Tuhan yang tidak dibuat oleh manusia sehingga seluruh umat manusia berhak menikmatinya, termasuk generasi yang belum lahir sekarang. Konsep pembangunan yang berkelanjutan menyatakan bahwa ”pembangunan tidak boleh mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk meningkatkan kesejahteraannya”. Implementasi dari penghargaan terhadap hak generasi mendatang ini dapat dilakukan dengan dua cara; Pertama, dengan menghemat sumber daya alam. Kedua, dengan menyimpan dan menginvestasikan hasil pemanfaatan sumber daya alam untuk infrastruktur, pengembangan teknologi atau menyimpannya dalam bentuk tabungan modal. Misalnya dalam bentuk tabungan negara untuk pendidikan dan kesehatan. Semuanya dapat dipakai generasi mendatang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Hal kedua yang perlu kita lakukan adalah mengambil kebijakan transparansi dan pengungkapan sepenuhnya dalam transaksi dan proses bisnis sektor minyak dan
gas
(termasuk mineral) ini. Sebenarnya tidak ada alasan yang dapat diterima tentang argumen sifat kerahasiaan dalam industri ini. Biasanya alasan rahasia dalama transaksi dan proses bisnis hanya yang berhubungan dengan persaingan usaha antar perusahaan swasta terhadap barang-barang privat (private goods). Sumber daya alam bukanlah private goods, tetapi merupakan public good.
27
Biasanya perusahaan berkompetisi lewat kualitas barang yang dihasilkan, manfaat, keunggulan teknis, serta biaya produksinya. Dalam hal industri ekstraktif, kualitas barang yang di esktrak dari perut bumi bukanlah hasil dari manufaktur manusia. Kompetisi tidak bergantung pada formula yang ditemukan pihak kontraktor, sehingga kualitas barang dalam kasus ini bukanlah basis untuk persaingan. Manfaat dan keunggulan teknis barang yang dihasilkan juga tidak ditentukan oleh si kontraktor. Dalam hal biaya produksi, dalam kasus Indonesia, 100 persen diganti oleh pemerintah Indonesia apabila minyak dan gas ditemukan, sehingga praktis biaya produksi masing-masing perusahaan mendekati nol. Satunya-satunya yang dapat dikategorikan rahasia adalah kemampuan kontraktor untuk menemukan minyak. Sehingga yang dapat dimasukkan dalam kategori rahasia adalah informasi mengenai kemajuan proses dan kegiatan eksplorasi. Begitu eksplorasi selesai dan kontrak ditandatangani, maka semua informasi harus dapat diakses oleh publik. Kedua hal tersebut diatas tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling terkait satu sama lain. Maksimisasi penerimaan untuk kesejahteraan rakyat generasi sekarang dan yang akan datang musykil tercapai tanpa partisipasi masyarakat dalam alokasi hasil penerimaan migas dan tambang. Partisipasi masyarakat mustahil dapat dilakukan tanpa transparansi. Oleh karena itu, di negara-negara yang sudah maju pengelolaan sumber daya alamnya, kedua langkah tersebut dilakukan bersamaan. Norwegia, sebagai contohnya, adalah sebuah cerita mengenai keberhasilan fungsi negara dan masyarakat untuk bersama-sama me-maksimisasi pendapatan migas untuk kesejahteraan paripurna seluruh warga negaranya. Norwegia merupakan negara yang mempunyai Indeks Pembangunan Manusia tertinggi di dunia (0.956), hampir mendekati sempurna, yaitu nilai 1. Perusahaan minyak milik negara Norwegia, yakni Statoil telah melakukan sebuah kontribusi yang positif terhadap transparansi sektor migas dengan mempublikasikan secara terbuka kepada masyarakat luas seluruh pembayaran pajak perusahaan minyaknya miliknya di seluruh dunia terhadap negara yang bersangkutan, juga terhadap pemerintah Norwegia itu sendiri. Sebuah langkah maju, mengingat sangat sedikitnya perusahaan minyak di dunia yang memiliki kemauan untuk membuka seberapa besar pembayaran yang dilakukannya terhadap negara tempat perusahaan itu berada.
28
Di sisi lain, untuk menjamin kesejahteraan masyarakatnya dengan memaksimisasi pendapatan Migas ini, pemerintah Norwegia membentuk Norwegian Oil Fund sebagai sebuah lembaga yang bertanggung jawab atas pengelolaan pendapatan Migas untuk kemudian disalurkan menjadi dana pembangunan untuk kesejahteraan masyarakatnya. Model pengelolaan sektor migas Norwegia ini dinilai cukup berhasil, terbukti dengan masuknya negara ini kedalam kelompok negara dengan tingkat Index Pembangunan Manusia yang tinggi. Model ini bahkan akan diadopsi oleh pemerintah Timor Leste sebagai model pengelolaan sektor migas untuk menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Di lain pihak, Nigeria telah melakukan langkah maju serupa dengan inisiatif yang dilakukan oleh presiden Obasanjo. Dengan kesadaran akan perlunya perbaikan tingkat transparansi sebagai bagian dari usaha pengentasan kemiskinan di negaranya, presiden Obasanjo mengimplementasikan program NEITI (Nigerian Extractive Industry Initiative) untuk transparansi sektor industri extractive termasuk industri migas. Program ini telah menghasilkan sebuah kelompok kerja dengan mandat untuk mereview ulang seluruh kebijakan dan peraturan pemerintah sehubungan dengan pelaksanaan dan pengelolaan industri migas. Berkaca dari distribusi pendapatan dari sektor migas di Indonesia, bahwa dana belanja kesejahteraan sosial negara dalam bidang pendidikan dan kesehatan sejak tahun 2000 hingga 2004, hanya berkisar rata-rata 16% dari total penerimaan negara dari sektor migas. Dengan asumsi bahwa belanja negara dinikmati oleh masyarakat miskin Indonesia dengan pendapatan dibawah US$2/hari yang sebesar 125.3 juta jiwa25 atau 59.9 persen dari total populasi sebesar 200 juta jiwa, maka jumlah belanja publik perkapita untuk pendidikan dan kesehatan penduduk miskin di Indonesia tahun 2000 masing-masing sebesar Rp. 21.270 dan Rp 6.414 per jiwa per tahun. Sedangkan pada tahun 2004, dengan persentase belanja publik untuk pendidikan sebesar 16.13 persen dan 7.15 persen belanja kesehatan dari pendapatan migas maka belanja publik pendididikan perkepala per orang miskin pertahun dengan asumsi pertumbuhan penduduk 1.7 persen pertahun adalah sebesar Rp. 104.115 untuk pendidikan dan Rp 46.146 pertahun. Sebuah jumlah yang amatlah sangat kecil dan menyedihkan dalam standard apapun terutama dalam pelayanan kesehatan.
25
Human Development Report, 2004, UNDP dan dari Sensus Nasional 2000, BPS.
29
Jumlah Penduduk Miskin dan Belanja Negara Pendidikan dan Kesehatan Tahun
Alokasi Alokasi Juml Penduduk Penduduk Alokasi Alokasi (dg asumsi miskin (59.9%) Pendidikan/org kesehatan/org Pendidikan Kesehatan (milyar Rp) (milyar Rp) pertumbuhan **) miskin (Rp) miskin (Rp) 1.7%/th) dalam APBN dalam APBN
2000*)
2,628
803
206,264,595
123,552,492
21,270
6,414
2001
4,837
1,711
209,771,093
125,652,885
38,638
13,670
2002
7,538
3,047
213,337,202
127,788,984
58,984
23,841
2003
13,654
6,073
216,963,934
129,961,397
106,849
46,727
2004
13,761
6,099
220,652,321
132,170,740
104,115
46,146
*) sumber BPS **) Diolah dari data HDI UNDP, BPS, BAPPENAS 2004
Jika kita ingin kembali ke arah pengelolaan SDA yang diamanatkan dalam UUD pasal 33, sudah merupakan suatu keharusan bagi kita untuk meningkatkan belanja pendidikan dan kesehatan bagi orang miskin. Misalnya, kita tingkatkan belanja pendidikan 2 kali dan kesehatan 4 kali, dengan dasar belanja per 2004 maka dibutuhkan biaya sebesar 52 Trilyun, hanya 61% dari pendapatan migas pada tahun yang sama.
Tahun
Alokasi Alokasi Juml Penduduk Penduduk Kesehatan Total Perkiraan (dg asumsi miskin Pendidikan/o Pendidikan kesehatan/org 4X (Rp) dana kesehatan pertumbuhan (59.9%) **) rg miskin 2X (Rp) miskin (Rp) dan pendidikan 1.7%/th) (Rp) utk org miskin (milyar Rp)
2000*)
206,264,595 123,552,492
21,270
42,541
6,414
25,654
8,426
2001
209,771,093 125,652,885
38,638
77,275
13,670
54,679
16,579
2002
213,337,202 127,788,984
58,984
117,968
23,841
95,365
27,261
2003
216,963,934 129,961,397
106,849
213,699
46,727
186,909
52,063
2004
220,652,321 132,170,740
104,115
208,231
46,146
184,584
51,918
Diolah dari data HDI UNDP, BAPPENAS, BPS dan APBN
30
Berbeda dengan cerita di Norwegia, Indonesia jauh tertinggal dalam mengakomodasi prinsip transparansi serta azas pemanfaatan maksimum pengelolaan sektor migas untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini terungkap dengan lemahnya fungsi kontrol publik yang tercermin dari gelapnya awan yang melingkupi informasi tentang aspek pengelolaan industri migas seperti yang telah dikemukakan. Hingga saat ini kita tak pernah tahu pasti seberapa riil besaran penghasilan dan keuntungan yang diperoleh baik oleh pemerintah Indonesia maupun kontraktor migas serta berapa dana yang dikontribusikan kembali untuk negara dalam bentuk penerimaan negara. Hal ini amatlah penting mengingat besaran pendapatan dari Migas yang kiranya dapat digunakan untuk membantu mengatasi masalah pelik kemiskinan yang semakin pelik melanda negara kita. Sebenarnya beberapa perusahaan tambang yang bekerja berdasarkan Kontrak Karya, dimana bagian penerimaan pemerintah adalah dalam bentuk royalty dan pajak, pengungkapan ini telah ada yang melakukannya. Kami melakukan studi terhadap laporan keuangan P.T Newmont Nusa Tenggara dan menemukan bahwa laporan keuangan mereka cukup terbuka dan setiap pembayaran kepada pemerintah Indonesia dapat ditelusuri. Sayangnya, di pihak pemerintah, pembayaran ini hanya dapat ditelusuri di APBD, sedangkan yang di APBN tidak dapat ditelusuri karena tidak adanya pengungkapan yang penuh did alam laporan pemerintah yang dapat diakses masyarakat. Bab VIII Pasal 23 UUD 1945 menyebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah wujud dari pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemudian pada tingkat pelaksanaan, pengelolaan keuangan negara dikawal oleh undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-undang tersebut memuat ketentuan yang mendorong adanya profesionalitas dan menjamin keterbukaan, serta akuntabilitas pelaksanaan anggaran. Sayangnya, semangat keterbukaan dan akuntabilitas pelaksanaan anggaran seperti diamanatkan undang-undang tidak diimplementasikan pada sektor sumber penerimaan negara, terutama sektor indukstri ekstraktif ini. Selama ini, hampir seluruh pos penerimaan negara tidak pernah diungkap secara penuh dan terbuka dalam APBN. Padahal jika APBN disusun berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas, maka publik juga memiliki hak
31
mendapatkan informasi sumber pendapatan negara secara utuh dan dituliskan dalam dokumen anggaran. Seharusnya masyarakat dapat mengakses informasi yang lebih detail tentang tentang alur penerimaan dana dari hasil pengelolaan sumber kekayaan negara. Mulai dari batasan prinsip dari tiap jenis kontrak perjanjian, pembagian hak dan kewajiban tiap pihak yang berpartisipasi dalam kontrak tersebut. Seperti Product Sharing Contract (PSC), Technical Assistance Contract (TAC), Enhanced Oil Recovery (EOR) Contract, Joint Opertion Body (JOB) dan implementasi revenue sharing di setiap level pemerintahan. Karena publik berhak tahu apakah dana tersebut secara utuh masuk kedalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sudah saatnya kita mencontoh Azerbaijan, Norwegia, Nigeria dan bahkan Timor Leste dalam soal transparansi ekonomi ekstraktif kita. Disisi lain, pihak kontraktor juga harus membuka pintu informasi seluas-luasnya kepada publik untuk memperoleh laporan keuangannya, dan tidak berlindung dibalik kategori rahasia yang ditetapkan oleh BP Migas. Apa yang dilakukan oleh Newmont Nusa Tenggara dan Statoil, dan sudah mulai dicoba oleh Talisman (walaupun belum cukup terbuka) patut dicontoh oleh kontraktor PSC di Indonesia. Setidak-tidaknya, kontraktor PSC Indonesia melakukan audit oleh kantor akuntan publik mengenai kegiatannya di Indonesia dan mengungkapkan hasil audit tersebut di dalam laporan perusahaan secara keseluruhan untuk setiap negara dimana mereka bekerja. Setidak-tidaknya, dokumen hasil audit BPKP dilaporkan dalam laporan keuangan tahunan untuk Indonesia dapat diakses oleh publik.
Hal inilah yang disebut dengan konsep
pengungkapan penuh atau full disclosure. Konsep pengungkapan penuh ini dimaksudkan penginformasian secara transparan keterlibatan pihak swasta dalam pengelolaan kekayaan alam dan kontribusi (pembayaran) legal kepada pemerintah. Hal ini harus diinformasikan secara terbuka kepada pemangku kepentingan utama, (stakeholder) utama, yaitu rakyat Indonesia. Extractive Industry Transparency Initiative Dalam usaha untuk mendorong penerapan prinsip transparansi dan akuntabiltas serta menanggapi desakan agar industri ekstraktif mengumumkan pembayaran atau keuntungan mereka dari eksplorasi mereka di seluruh dunia diluncurkanlah program EITI (Extractive
32
Industry Transparency Initiative). Inisitif ini diambil oleh Perdana Menteri Tony Blair atas desakan kelompok masyarakat dunia yang tergabung dalam Publish What You Pay Campaign. Program ini juga dimaksudkan sebagai mekanisme untuk mematahkan “OIL CURSE”, dimana dengan adanya transparansi, masyarakat dapat ikut mempengaruhi penggunaan keuntungan dari sektor migas ini sebesar-sebesarnya untuk
kemakmuran rakyat. Dengan demikian
kemungkinan digunakannya uang hasil eksploitasi sumber daya alam ini untuk membiayai perang, masuk ke kantong pejabat, dsb, dapat diminimisasi. Inisitif EITI mendorong agar pemerintah demikian pula perusahan-perusahaan yang bergerak di sektor Migas untuk dapat melaporkan seberapa besar pendapatannya serta seberapa besar yang telah dikontribusikan kembali kepada host country dimana perusahaan beroperasi. Sebenarnya, Indonesia telah menandatangani kesepakatan untuk menjadi salah satu pilot proyek EITI, yang diwakili oleh Menteri Lingkungan Hidup. Namun, sampai sekarang belum ada tanda-tanda bahwa pemerintah Indoensia akan merealisasikan kesepakatan ini dalam waktu dekat. Untuk kebaikan kita semua, dan untuk mengurangi korupsi di sektor ini, maka sebaiknya Indoensia memulai langkah-langkah untuk menerapkan EITI ini.
33