Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010 P. Anthonius Sitepu
ISSN: 0216-9290 Negara dan Masyarakat Sipil
Negara dan Masyarakat Sipil dalam Perspektif Sejarah Politik Indonesia P. ANTHONIUS SITEPU Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8211965 Diterima tanggal 31 April 2007/Disetujui tanggal 12 Mei 2007 This study focused to explain about relation between state and civil society. Especially discuss opposition between them in political perspective approach. Actually state and civil society are two of vital importance political elements in perspective politics. Both of them, is concept that expand along with era growth. Concept of civil society emerged as respond from state role that too dominant in society and concept of state emerged as respond from society that each other battle. But now, concept of civil society and state has expanded. There are there models relationships by them. First, civil society relations stands up as shield for society and state behavior that tend to hegemonic, authoritarian and repressive. Second, if state not hegemonic, civil society will emerge as state partner in executing public interest. Third, if public life already accommodated by country, civil society can do its function in complementary where civil society emerges to equip society needs. So, in this perspective concept of civil society comprehended as the element of democratization acceleration. Keywords: Civil society, State behaviour, democratization.
Pendahuluan Gejolak politik nasional pada dekade tahun 1950-an terjadi di Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Gerakan ini muncul dalam bentuk aksi pemberontakan. Di Jawa Barat juga muncul pemberontakan yang bermaksud untuk mendirikan Negara Islam (NI), serta di Kalimantan Barat pada awal tahun 1960-an, muncul gejolak politik yang terkait dengan masalah etnik Cina. Perdebatan mengenai dasar Negara pancasila ataukah Islam merupakan salah satu pemicu munculnya pemberontakan di daerah. Ketika Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia yang akan diproklamirkan tahun 1945. Pemberontakan Darul Islam (DI) adalah salah satu buktinya. Sejak awal 1960-an pertentangan antara para nasionalis dibawah kepemimpinan Soekarno yang secara tegas mendukung pancasila
sebagai dasar Negara dan Masyumi yang mendukung Islam sebagai dasar negara semakin tajam. Pertentangan antara kaum nasionalis yang notabene menjadi aktor yang dominan dalam pemerintahan pusat ini, dengan Masyumi menjadi perseteruan antara Negara dengan (pusat) atau Jawa dengan luar Jawa (daerah) sesuai dengan peta/pola geografis basis sosial. Kekuasaan negara dalam relasinya dengan masyarakat (daerah) mencakup isu-isu yang sangat luas. Ia bisa saja terkait dengan nasionalisme, isu demokrasi nasional dan demokrasi lokal dan isu hubungan kekuasaan Negara dan masyarakat. Bahkan dalam tataran kenyataannyapun defenisi pusat sering dijabarkan secara konstektual yang mencerminkan hubungan kekuasaan (power relationship) yang terkesan timpang. Negara (pusat) sering digambarkan sebagai memonopoli kekuasaan negara dan pasar. Sementara itu daerah (masyarakat) dipergunakan untuk
57
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010 P. Anthonius Sitepu menggambarkan komunitas yang tertindas. Pusat dijabarkan tidak semata-mata sebagai pemerintah pusat. Akan tetapi dengan Jakarta dan bahkan Jawa, yang dianggap sebagai kelompok sosial dan ekonomi yang mampu memanfaatkan kekuasaan negara ditingkat nasional. Sementara itu daerah, (masyarakat) tidakalah semata-mata menggambarkan pemerintahan daerah (Pemda) atau sebagai masyarakat (komunitas) serta sebagai wilayah di luar jakarta atau bahkan diluar Jawa. Kedudukan negara berhadapan dengan rakyatnya (masyarakat) dijaman modern ini memang menjadi problematis. Hal ini disebabkan karena rakyat atau masyarakat disuatu negara di zaman modern pada umumnya mulai terdidik dan memiliki kesadaran yang tinggi akan hak-haknya. Berberda dengan gambaran Thomas Hobbes yang melukiskan negara sebagai leviathan atau bahkan semacam dewa ataupun tuhan (dewa mortalis yang menakutkan karena kekuasaanya yang sangat besar). Kesadaran demokrasi dewasa ini justru memungkinkan rakyat membatasi kekuasaan sang leviathan sehinggga tidak bisa sewenag-wenang lagi menentukan hukumhukumnya sendiri. Dalam hal ini gambaran Hobbes menegenai peran negara masih dekat dengan monarki tradisional yang mengakui kekuasaaanya berasal dari tuhan. Studi akan mengkaji labih jauh tentang hubungan negara dan masyarakat sipil dalam perspektif sejarah politik Indonesia. Dasar masalah hubungan antara negara dan masyarakat sipil terletak dalam konsepsi tentang peran negara yang dominan dan hegemonik. Inilah sebabnya teroritisasi hubungan negara dan masyarakat menjadi aktual dalam pemikiran dan penelitian ilmu-ilmu sosial sejak pertengahan 1980-an. Ditegaskan kembali perbedaan bahkan pertentangan antara negara dan masyarakat sebagai dua agregat politik yang mempunyai preferensi politik dan prioritas yang berbeda. Pendekatan dan Metode Studi ini menggunakan pendekatan sistem politik dan pendekatan sejarah dalam melihat kedudukan negara dan masyarakat sipil dalam konteks sejarah perpolitikan di Indone-
58
ISSN: 0216-9290 Negara dan Masyarakat Sipil sia. Metode pengumpulan data menggunakan metode studi pustaka dan studi dokumen. Konsepsi Negara dan Masyarakat Sipil Negara telah menjadi objek penting dalam politik sehingga menjadi pusat berbagai pertanyaan dari pemikir politik seperti Plato, Sokrates, dan Aristoteles. Hal ini dikarenakan sejak teori politik klasik menarik perhatian pada kehidupan yang baik mencoba, menyadari bahwa dalam rangka institusionaliasasi negara sebagai intinya. Namun demikian, sentralisasi negara (state-centered) senantiasa menimbulkan pertanyaan seperti bagaimanakah negara itu dapat dipahami dan dijelaskan ketika berhadapan dengan rakyatnya. Istilah negara diterjemahkan dari kata asing ”staat” (bahasa Belanda dan Jerman), State (Bahasa Inggris), Etat (bahasa Perancis). Pertumbuhan stelsel negara modern dimulai di benua Eropa disekitar abad 17, sehingga penyelidikan pembahasan tentang negara dimulai dari penyelidikan asal usul dan pemakaian kata-kata asing itu di Benua Eropa. Penggunaan istilah staat mempunyai sejarah tersendiri. Istilah itu pertama kali dipergunakan dalam abad ke 15 di Eropa Barat. Kata ”staat, state, etat” itu dialihkan dari bahasa latin ”status”atau ”statum”. Secara etimologis kata ”status” itu dalam bahasa latin klasik adalah suatu istilah yang abstrak yang menunjukkan keadaan yang tegak dan tetap itu. Sejak jaman Cicero kata ”status” atau ”statum” itu lazim diartikan sebagai standing status (kedudukan) persekutuan hidup manusia sebagaimana diartikan dalam istilah ”status civitatus” atau ”status republicae”. Dari kata latin klasik ini dialihkan beberapa istilah ”state” ataupun ”staat”. Dalam abad 16 kata ini dipertalikan dengan kata ”negara”. Daalm hal ini negara diidentifikasikan dengan pemerintah umpamanya kata itu dipergunakan dalam kekuasaan negara. Konsep masyarakat sipil merupakan salah satu produk pemikiran barat, yang telah melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang sejak jaman Yunani kuno. Konsepsi masyarakat sipil (civil society) itu sendiri berasal dari sejarah peradabaan Barat. Ditempat asalnya (Eropa Barat) sebenarnya konsep masyarakat sipil sudah lama tidak dibicarakan. Masya-
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010 P. Anthonius Sitepu rakat sipil, kembali mengemukakan ketika gerakan solidaritas di Polandia pimpinan Kech Walenza melancarkan perlawanan terhadap dominasi pemerintahan Jeruzeski. Dalam perlawanan itu, solidaritas memakai ”civil society” sebagai dasar sekaligus arah perjuangan dengan tekanan utama pada perlawanan terhadap otoritarianisme negara. Konsep ini kembali menjadi populer semenjak gelombang demokratisasi menerpa negara-negara Eropa Timur pada pertengahan tahun 1980-an hingga 1990-an. Konsep ini menjadi inspirasi pemikiran yang mendorong terjadinya perubahan politik di bekas negara-negara komunis sebagai akibat kebangkitan gerakan masyarakat sipil.1 Terminologi ”masyarakat sipil” dengan terjemahan yang beragam seperti ”masyarakat sipil”, ”masyarakat madani”, masyarakat warga”’ atau masyarakat kewargaan” sering tampil menjadi wacana utama dalam diskusi penelitian dan penerbitan.2 Ada yang menekankan kepada ruang di mana individuindividu atau kelompok dalam masyarakat dapat berinteraksi. Dalam ruang tersebut, masyarakat dapat melakukan partisipasi dalam pembentukan kebijaksanaan publik dalam suatu negara. 3 Atau dalam pengertian lain bahwa masyarakat sipil merupakan suatu ruang (space) yang terletak antara negara di satu pihak dan masyarakat dipihak lain, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Michael Walker (1995) dan dalam ruang tersebutlah terdapat asosiasi masyarakat yang bersifat sukarela dan terbangun sebuah jaringan hubungan diantara asosiasi tersebut. Asosiasi tersebut bisa dalam bentuk macammacam ikatan pengajian, persekutuan gereja, koperasi, kalangan bisnis dan lain-lain. Dalam pemikiran Barat, manusia dipandang sebagai mahluk yang memiliki kebebasan dan kesetaraan atau kesederajatan. Manusia dipandang sebagai mahluk individual. Pan1
Adi Surjadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2006), hal. 33. 2 Hendro Prasetyo (ed.), Islam dan Civil Society, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 12. 3 Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 3-5.
ISSN: 0216-9290 Negara dan Masyarakat Sipil dangan ini menginspirasikan munculnya hakhak azasi manusia yang bersifat universal. Maka pada titik ini, konsep manusia sebagai individu bersifat liberal. Atas dasar pemikiran tersebut segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan manusia-hubungan sosial-harus tunduk pada nilai-nilai universal. Pada saat yang sama segala sesuatu yang menghalangi, mengancam atau bertentangan dengan nilai-nilai universal seperti rasisme nasionalisme, ideologi agama atau negara harus dikontrol atau dilawan. Konsep masyarakat sipil (civil society) yang dipahami dalam kerangka tradisi liberal berkaitan dengan ruang publik yang berisikan manusia sebagai individu-individu. Jika individu-individu merupakan ruang pribadi, civil society (masyarakat sipil) sebagai ruang publik khususnya dalam hubungannya dengan negara, paling tidak civil society (masyarakat sipil) dapat melakukan salah satu dari tiga fungsi. Pertama, masyarakat sipil berdiri sebagai perisai bagi masyarakat dan perilaku negara yang cenderung hegemonik, otoritarian dan represif. Kedua jika negara tidak hegemonik, masyarakat sipil (civil society) muncul sebagai mitra negara dalam melaksanakan kepentingan publik. Ketiga bila kehidupan publik telah diakomodasi secara baik oleh negara, masyarakat sipil (civil society) dapat memainkan fungsinya secara komplementer di mana masyakat sipil muncul untuk melengkapi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Terkait relasi negara dan masyarakat sipil, ada empat pandangan pokok yang masingmasing mengkaitkannya realitas politik negara. Pertama, hubungan antara negara dan masyarakat sipil (civil society) dilihat sebagai dua entitas terpisah yang berhadapan. Dalam hal ini berlaku konsepsi Hegel yang menganggap masyarakat sipil sebagai entitas yang inferior. Perspektif ini digugat oleh panganut aliran pemikiran yang menekankan pentingnya otonomi masyarakat sipil dalam upaya membebaskan diri dari pengaruh negara. Namun demikian kedua perspektif ini sama-sama menekankan pemisahan hubungan antara negara dan masyarakat sipil. Perbedaan tersebut tercermin dalam “pendekatan negara” dan “pendekatan masyarakat sipil”.
59
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010 P. Anthonius Sitepu Dalam prateknya, perspektif yang pertama mendorong terciptanya negara kuat (strong state) yang menjauhkan politik dari politik dari prinsip-prinsip demokrasi. Sedangkan perpektif kedua memberikan kesempatan lebih besar bagi timbulnya pluraslisasi politik. Singkat kata, perspektif ini lebih menekankan superioritas negara saat berhadapan dengan masyarakat sipil, perspektif kedua, lebih menekankan kemandirian masyarakat sipil dalam mempertahankan eksistensinya dari intervensi negara. 4 Kedua, perspektif yang memandang keberadaan masyarakat sipil dan masyarakat politik (negara) sebagai dua entitas yang terpisah. Masyarakat dan negara telah memasuki dan mencapai suatu tahapan demokrasi. Interaksi antara negara dan masyarakat sipil dipersatukan oleh sebuah sistem hukum yang berwatak demokratis. Tidak ada pembatasan dan pengekangan politik yang diberlakukan negara secara semena-mena terhadap ruang tumbuh dan berkembangnya masyarakat sipil. Orientasi gerakan masyarakat sipil pun tidak lagi bearada dalam situasi konfrontatif dengan negara. Perspektif ini sedikit banyak memiliki toleransi dengan realitas politik negara yang demokratis.5 Ketiga, perspektif yang melihat hubungan antara negara dan masyarakat sipil bukan sebagai entitas yang berhadapan. Secara politik terdapat kekuatan pro demokrasi dan pendukung totaliterisme baik dalam entitas masyarakat sipil maupun dalam negara-negara. Kekuatan-kekuatan di dalam domain negara dan masyaakat sipil dapat bekerjasama mewujudkan demokrasi atau sebaliknya menghambat demokrasi. Perspektif ini dapat juga dipakai untuk menjelaskan realitas politik negara berkembang (Indonesia). Demikian juga pendekatan kultural yang lebih memperhatikan perilaku individu aktor dan kelompok masyarakat dalam politik tingkat negara maupun masyarakat sipil serta pendekatan struktural yang memperhatikan struktur dan peran kelas. Keempat, perspektif yang memisahkan domain masyarakat sipil dari domain negara (state) masyarakat politik (political society),
ISSN: 0216-9290 Negara dan Masyarakat Sipil masyarakat ekonomi (economic society). Dalam hubungan ini negara tidak identik baik dengan masyarakat politik maupun dengan masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi. Dari empat domain tersebut, merupakan entitas yang berbeda dan berdiri terpisah. Perspektif ini merupakan sebuah kerangka analisis konseptual yang lebih luas ketimbang dari ketiga perspektif terdahulu. 6 Wacana tentang kekuasaan negara tetap menjadi primadona dalam studi ilmu politik dan bahkan dalam hubungan ini Max Weber pernah mengatakan bahwa negara sebgai satusatunya lembaga yang memiliki keabsahan terhadap warga negaranya melaksanakan tindakan kekerasan maka dengan demikian penjelasan terkait dengan masalah kekuasaan negara itu, adalah dalam hubungannya pola hubungan antara negara dan masyarakat sipil. Dalam pandangan teoritik ada sejumlah unsur penting sebagai batasan penting dalam pengertian tentang negara. Negara itu lebih dari sekedar pemerintah. Negara merupakan sebuah pengaturan (regulasi) yang berkesinambungan, sistem hukum, birokasi, dan terdiri dari sistem paksaan. Mengatur hubungan antara masyarakat sipil dan otoritas publik dalam masyarakat. Sistem Politik dan Kekuasan Politik Negara Doktrin pemisahan kekuasaan pada dasarnya merupakan teori pemerintahan (goverment theory) yang bertujuan untuk melindungi kebebasan dan memfasilitasi pemerintahan yang baik ”Good Governance” dengan cara membagi kekuasaan politik negara berdasarkan fungsinya. Karena itu pemisahan kekuasaan dapat dipahami sebagai doktrin konstitusional atau dengan istilah doktrin pemerintahan yang terbatas yang membagi kekuasaan pemerintahan itu ke dalam cabang kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan yang terbagi seperti ini yang pada dasarnya adalah untuk mencegah absolutisme sebagaimana kekuasaan monarki dan diktator. Ketika semua cabang kekuasaan itu terpusat pada otoritas tunggal, maka sulit mencegah korupsi
6 4
Adi Suryadi Culla, op.cit., hal. 25-26. 5 Adi Suryadi Culla, ibid., hal. 26-27.
60
Adi Suryadi Culla, ibid., hal. 27-28.
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010 P. Anthonius Sitepu kekuasaan yang timbul karena kemungkinan kekuasaan tanpa pengawasan. Doktrin pemisahan kekuasaan, pada pokoknya merupakan doktrin konstitusionalisme ataupun merupakan doktrin pemerintahan yang terbatas. Sangat jelaslah bahwa pemisahan kekuasaan negara atau pemerintahan dalam berbagai bentuk tubuh kekuasaan berbeda dan berdiri sendiri. Ini merupakan inti kepercayaan konstitusional dan doktrin pemisahan kekuasaan. Mekanisme yang dikembangkan adalah dengan membagi dan mendistribusikan kekuasaaan pemerintahan untuk mencegah tirani dan kekuasaan kesewenangwenangan dan dengan cara meletakkan tiga tipe kekuasaan pemerintahan di dalam lembaga (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Distribusi sumber-sumber kekuasaan politik secara merata pada semua kelompok atau individu-individu digambarkan ke dalam tiga model yaitu: (1).model elit yang memerintah (2).model pluralis dan (3).model populis. Model yang pertama melukiskan kekuasaan sebagai yang dimiliki oleh sekelompok kecil orang yang biasa disebut elit. Model yang kedua yaitu model pluralis yang menggambarkan kekuasaan itu sebagai sesuatu yang dimiliki oleh berbagai kelompok sosial dan lembaga-lembaga masyarakat (pemerintah). Model yang ketiga adalah model populis yang melukiskan kekuasaan itu sebagai sesuatu yang dipegang atau dimiliki oleh setiap individu atau warga negara atau rakyat secara kolektif. Gaetano Mosca melukiskan distribusi kekuasaan dalam masyarakat terdapat dua kelas yang menonjol yaitu kelas yang memerintah yang terdiridari sedikit orang melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan dengan kekuasaan dan kelas yang diperintah yang berjumlah lebih banyak dan dikendalikan oleh penguasa dengan cara-cara yang kurang lebih berdasarkan hukum semaunya. Paksaan ini adalah model elitisme. Model eltisme ini berasumsi bahwa setiap masyarakat tidak pernah terdapat distribusi kekuasaan secara merata. Mereka yang memiliki sumber kekuasaan politik jumlahnya sedikit sekali apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk dalam masyarakat. Itulah
ISSN: 0216-9290 Negara dan Masyarakat Sipil sebabnya, mengapa elit politik dirumuskan sebagai kelompok kecil orang yang mempunyai pengaruh besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Mereka inilah yang menentukan arah dan haluan kebijakan negara. Berbeda dengan model elitis, model pluralis berasumsi bahwa setiap individu menjadi anggota satu atau lebih kelompok sosial atau kekuatan sosial sesuai dengan aspirasi dan kepentingan yang bersifat kultural dan ideologis. Ini menjadi wadah dalam memperjuangkan kepentingan anggota menjadi perantara anggotanya dan pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Sementara model kerakyatan berasumsi yang mendasari model ini adalah demokrasi. Artinya bahwa partisipasi individu, warga negara dalam proses dan pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik yang jelas akan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan individu dan sosial masyarakat. Kunci utama demokrasi sebagai suatu padangan hidup yaitu partisipasi individu yang telah dewasa dalam pembentukan nilai-nilai kepada masyarakat. Dalam model ini terdapat perbedaan mengenai pandangan siapa yang dimaksud dengan rakyat. Distribusi kekuasaan model kerakyatan ini memiliki masalah dalam mendefenisikan rakyat. Terdapat perbedaan mengenai pandangan siapa yang dimaksud dengan rakyat itu. Pendapat pertama yang mengatakan bahwa rakyat itu adalah individu warga negara, sedangkan yang kedua memandang rakyat adalah keseluruhan warga negara. Dalam pandangan yang pertama, tampak dalam negara yang menerapkan sistem politik demokrasi liberal yang dibangun dengan berdasarkan dengan individualisme, sedangkan pandangan yang kedua, tampak dalam negara-negara yang baru membebaskan diri dari penjajah dan dalam negara-negara yang menerapkan sistem sosialis (demokrasi rakyat). Pengertian kerakyatan, sebagai seluruh warga dijelmakan dalam bentuk lembaga pemerintahan. Dua perspektif untuk melihat peranan dimainkan negara pada saat berhubungan dengan masyarakat sipil itu. Pertama adalah pendekatan liberal klasik (pluralisme liberal). Pendekatan ini memusatkan perhatiannya ke-
61
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010 P. Anthonius Sitepu pada persoalan yang bersifat normative atau cenderung kepada sifat yang idealisme yaitu individu-individu yang kebebasannya untuk mengejar kepentingan ekonomi maupun politiknya. Dalam pandangan seperti ini, dipercaya bahwa masyarakat akan mampu mengatur dirinya sendiri. Maka dengan demikian peran negara itu menurut padangan ini sangat terbatas (reduksionis). Kedua, pendekatan negara dalam perspektif Marxist. Dalam pandangan seperti ini menolak premis ataupun asumsi dasar yang dikemukakan oleh pendekatan Liberal Klasik, terutama pada fungsi normatif dari negara itu. Seperti dalam perspektif Marxist yang memandang bahwa secara ekslusif negara merupakan alat penindas dari kelas-kelas sosial yang berkuasa. Distribusi Kekuasaan, Masyarakat Sipil & Peranan Negara Sumber-sumber kekuasaan tidak pernah terdistribusikan secara merata dalam setiap sistem politik. Hal ini disebabkan karena kemampuan setiap orang itu bervariasi. Dalam masyarakat yang struktur sosialnya masih sederhana, distribusi kepemilikan sumbersumber relatif merata, sebab selain sumber kekuasaan yang tersedia masih sederhana, juga karena hubungan antara sesama dilandasi dengan prinsip kekeluargaan. Ketika sebuah masyarakat itu melakukan perubahan dan modernisasi maka terjadi kesenjangan. Hubungan kekuasaan yang lebih bersifat vertikal, menyebabkan distribusi kekuasan tidak merata, sementara dalam masyarakat yang sudah maju, distribusi sumber kekuasaan ditentukan oleh susunan masyarakat, tingkat perkembangan penduduk, telekomunikasi, tipe birokrasi dan tingkat, jenis dan realitas pengadaan barang dan jasa. Konsep pembagian kekuasaan (trias politca) telah diterapkan oleh banyak negara menganut paham demokrasi konstitusional dalam penyelanggaraan pemerintahan. Pada awalnya, konsep pembagian kekuasaan ini muncul sebagai kritik terhadap kesewenang-wenangan (kekuasaan monarki absolut) kebanyakan di negara-negara Eropa Barat. Untuk pertama sekalinya seorang filosof Perancis yang bernama Montesquie (1728) -yang sebelumnya adalah John Locke- menekankan pada pemisahan kekuasaan (Separation of
62
ISSN: 0216-9290 Negara dan Masyarakat Sipil power) untuk tidak mengulang kesewenangwenangan kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Fungsinya dibagi ke dalam tiga bidang: (1).Fungsi Legislatif (The Rule of Making Policy ); (2).Fungsi Eksekutif (The Rule of Application Policy); (3).Fungsi Judikatif (The Rule of Adjudication Policy). Latar belakang dan proses panjang pembagian kekuasaan dalam politik di Eropa Barat yaitu pasca suasana abad 15/16 di mana wilayah benua Eropa diselimuti oleh Suasana pemerintahan Monarki Absolut (Raja) dengan kekuasaan mutlak. Artinya bahwa kekuasaan berada ditangan satu orang yaitu pada kekuasaan raja atau dikenal dalam istilah Absolutisme. Kekuasaan Raja tidak terbatas akan memiliki kecenderungan disalahgunakan. Ini disebabkan karena dalam mengambil keputusan seorang Raja lebih banyak diwarnai oleh sifat perasaanya (Feeling), emosionalitas (like) senang atau tidak senang (like or dislike) dari pada kearifan rasional. Tampaknya pemikiran inilah kiranya yang kemudian lebih lanjut dianut oleh Negara-negara yang mempunyai sistem politik atau pemerintahan yang demokratis (demokrasi). Dalam konteks ini Montesquie berpendapat bahwa kekuasaan itu harus dibagi-bagikan ke dalam tiga organ dengan berdasarkan fungsinya secara terpisah. Kekuasaan legislative adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang dan kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang (The Rule Application Policy) yang telah dibuat oleh badan legislative. Dan kekuasaan Yudikatif (the rule adjudication) adalah kekuasaan pengadilan pelanggaran terhadap undang-undang. Dalam teori trias politica atau dalam konsepsi Trias Politica kekuasaan itu harus dipisahkan (kekuasaan negara) ke dalam tiga bagian. Doktrin ini sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan politik di AS khususnya dalam pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU). Ketiga lembaga itu ternyata tidak selaras dengan dasar pemikiran politiknya. Oleh sebab itu yang terjadi adalah suasana Check and Balances (pengawasan dan keseimbangan). Jadi dapat dikatakan bahwa pemikiran politik tentang teori pemisahan kekuasaan Monstesquie telah me-
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010 P. Anthonius Sitepu ngalami modifikasi dan orang lebih cenderung hanya memilih karekternya dan prinsip dasarnya yaitu pembagian kekuasaan (distribution of power). Dalam konteks Indonesia gagasan masyarakat sipil (civil society) memiliki signifikansi sosial dan politik sangat besar. Sistem kekuasaan di Indonesia khususnya pada masa Orba memperlihatkan kecenderungan hegemonik dan otoritarian. Negara bersama-sama pelaku ekonomi memegang kontrol dominan di hampir seluruh proses kehidupan politik kenegaraan. Dalam hal ini, peranan masyarakat sipil (civil society) sebagaimana yang dikembangkan oleh Alexis de Tocquiville sebagai kekuatan pengimbang kekuatan negara. Konsep ini agaknya lebih dekat dengan konsepsi yang dikemukakan oleh Hegel yang memandang masyarakat sipil (civil society) sebagai gejala sosial di dalam masyarakat modern. Dengan menggunakan pemahaman Tocquiville diatas dalam pengertian sosiologis masyarakat sipil (civil society) di Indonesia mengalami masa pertumbuhannnya ketika terjadi proses formasi sosial baru dalam masyarakat kolonial menyusul diperkenalkannya sistem ekonomi kapitalis dan birokrasi modern.7 Formasi sosial seperti itu semakin diperburuk lagi manakala gagasan negara kuat dianut dalam sistem politik Indonesia sejak periode sistem politik demokrasi terpimpin. Sistem ini kemudian dilaksanakan sepenuhnya oleh orde baru selama lebih dari tiga dasawarsa. 8 Realitas politik Indonesia ini, kalau ditempatkan di dalam konstruksi studi dan perpspektif pendekatan masyarakat sipil (civil society) adalah semacam reaksi terhadap pendekatan dari analisis politik yang menggunakan pendekatan negara (statist approach) yaitu, sebuah pendekatan mainstream yang mendominasi wacana negara-masyarakat (state-society) sepanjang lebih dari tiga dasawarsa. Orde Baru memandang eksistensi negara sebagai faktor penting dan menentukan bagi berlangsungnya proses politik di Indonesia.
7
Muhammad AS Hikam, Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society, (Jakarta: Erlangga, 2000), hal. 118. 8 Ignas Kleden, Masyarakat dan Negara, (Magelang: Indonesia, 2004), hal. 122.
ISSN: 0216-9290 Negara dan Masyarakat Sipil Pada masa Orde Baru Negara memang menjalankan peran yang sangat besar dalam menentukan berbagai sektor kehidupan sosial politik dan ekonomi. Namun demikian, muncul respons, reaksi bahkan tuntutan bagi peninjauan kembali paradigma pendekatan politik yang dipergunakan. Dalam berbagai kasus di negara-negara berkembang bahwa sistem otoritarianisme tampaknya tidak berjalan langgeng. Ada peran serta masyarakat diluar institusi yang tidak puas dengan sistem tersebut. Munculnya pendekatan masyarakat sipil yang dianggap sebagai counter discourses terhadap akibat dari pengaruh institusi negara yang sangat kuat sebagaimana senantiasa tercemin dalam kajian teori negara yang pada umumnya dipergunakan untuk memahami realitas politik Indonesia. Karena itu pendekatan masyarakat sipil harus dilihat sebagai upaya membalikkan pendekatan atau perhatian dari penekanan pada peran negara ke masyarakat. 9 Dalam realitas politik selama 32 tahun, Orde Baru berhasil membangun dan mempertahankan kekuasaan negara yang bersifat sentralistik. Selama itu pula negara menikmati dan menjaga penuh otonomi serta selalu berupaya memaksakan kepentingannya terhadap masayarakat sipil. Jaringan masyarakat terutama lembaga eksekutif berkembang menjadi alat yang efektif dalam mengelola dan manajemen memobilisasi politik yang mendukung berbagai kebijakan negara. Dengan demikian berbagai aturan (regulasi) perundang-undangan dan prosedur penataan kehidupan politik negara menghambat dan mengontrol pertumbuhan dan gerak masyarakat sipil. 10 Negara yang dominan dan hegemonik terhadap wacana dan praksis politik dengan sendirinya membuat komponen gerakan masyarakat sipil (civil society) mengalami kesulitan dalam mengembangkan otonominya dalam proses pembangunan politik dan partisipasi politik masyarakat. Dominasi Negara yang Kuat Tema hubungan antara negara dan masyarakat sipil menjadi aktual dalam pemikiran dan penelitian ilmu-ilmu sosial-politik sejak pertengahan tahun 1980-an. Perbedaan bah9
Adi Suryadi Culla, op.cit., hal. 57-60. Ibid., hal. 61.
10
63
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010 P. Anthonius Sitepu kan pertentangan kepentingan-kepentingan antara negara dan masyarakat sipil sebagai dua elemen politik yang memiliki preferensi dan prioritas yang berbeda. 11 Dalam konteks Indonesia fenomena yang ada menunjukkan bahwa negara mempunyai posisi dan peranan yang sedemikian penting sampai-sampai merugikan inisiatif dan bahkan mematikan peran masyarakat. 12 Pengaruh besar dari negara seperti itu kemudian dapat dijelaskan dengan melalui 2 konsep dasar yaitu, dominasi negara dan hegemoni negara. Dominasi negara muncul karena negara itu memiliki kekuasaan lebih (surplus power) baik melalui birokrasi maupun dengan melalui monopoli kekerasan oleh negara (state monopoly of violence’s control) yang menurut pengertian Max Weber, terwujud dalam lembaga-lembaga militer dan polisi. Ini artinya, negara memiliki daya paksa secara fisik dan administratif. Selain itu dominasi negara juga diprelukan atau diperkuat karena negara juga menguasai nilai-nilai lebih (surplus value) dengan melalui etatisme dalam bidang ekonomi dimana kontrol ekonomi bersifat langsung. Kontrol ekonomi oleh negara terjadi dengan melalui penguasaan lisensi untuk proyek-proyek pembangunan melalui regulasi dan birokrasi. 13 Jika menggunakan istilah atau konsep dari filosof Louis Slthausser maka dominasi negara dapat terwujud dengan melalui bantuan dari “repressive state apparatus”. Namun dalam ditingsi yang lebih dipertajam biasanya dikatakan bahwa dominasi penguasaan yang lebih cenderung pada sifat pemaksaan (coercive) karena orang yang secara fisik atau administrative diharuskan melakukan sesuatu sekalipun yang bersangkutan sendiri barangkali tidak suka melakukannya. 14 Sementara itu istilah dan konsep hegemonik negara menunjukkan penguasaan negara terhadap makna lebih (surplus meaning). Ini artinya bahwa pengertian umum tentang soalsoal yang terpenting dan interpretasi budaya oleh masyarakat telah sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan dan interpretasi 11
Ignas Kleden, ibid., hal. XIII. Ibid. 13 Ibid., hal. XIV-XXV. 14 Ibid., hal. XXV.
ISSN: 0216-9290 Negara dan Masyarakat Sipil negara sehingga suatu pengertian atau tafsiran tidak dilibatkan dalam konsistensi publik antara pihak-pihak yang bertanding pada suatu tataran yang setaraf, akan tetapi cenderung diversikasi dengan berdasarkan kesesuaian atau penyimpangannya dari pihak negara. Contoh yang paling nyata adalah pemahaman warga negara tentang pancasila sebagai dasar filfasat Negara Republik Indonesia telah dibuat seragam sesuai dengan interpretasi Negara Orba dengan melalui indoktrinasi P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Maka dalam konteks ini hegemoni negara itu adalah pemaksaan secara liberal. Karena yang bersangkutan seakan-akan sukarela melakukan sesuatu dalam pemikiran dan cara berpikirnya setelah diarahkan sedemikian rupa. Akibatnya muncul kecenderungan untuk mengatakan suatu pandangan tertentu, tanpa dia sendiri menyukainya. 15 Menurut pandangan Althouser, hegemoni Negara seperti itu dapat diperoleh dengan melalui Idiological State Appratus. 16 Terkait dengan hal tersebut diatas, seperti yang dikemukakan oleh Max Weber, negara dapat dilihat sebagai organized domination. Terdapat tiga kemungkinan hubungan negara dan masyarakat sipil, yaitu: (1).mengembangkan struktur negara, yang oleh Antonio Gramsci disebut sebagai pola Hegemoni atas kekuatan-kekuatan masyarakat; (2).membangun kekuatan pemaksa (coercive power of the state) sehingga tidak ada ruang bagi warganya untuk menentang kecuali taat (loyal) pada apa yang dikehendaki oleh negara; (3).negara dianggap mengalami kegagalan untuk menguasai masyarakat sipil bilamana terdapat sebuah resistensi yang efektif di dalamnya. Penutup Negara dan masyarakat sipil adalah dua elemen politik yang sangat penting dalam perspektif ilmu politik. Keduanya, baik negara dan masyarakat sipil, merupakan konsep yang berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Konsep negara yang lebih dahulu ada dari konsep masyarakat sipil, adalah konsep yang terkait dengan peranannya ditengah-tengah masyarakat. Konsep masya-
12
64
15 16
Ibid., hal. XXIV Ibid.,, hal. XXVI
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010 P. Anthonius Sitepu rakat sipil sendiri muncul sebagai respon dari peranan negara yang terlalu dominan di masyarakat. Oleh sebab itu ada tiga kemungkinan bagaimana hubungan negara dan masyarakat sipil dalam politik. Pertama, hubungan masyarakat sipil berdiri sebagi perisai bagi masyarakat dan perilaku negara yang cenderung hegemonik, otoritarian dan represif. Kedua jika negara tidak hegemonik, masyarakat sipil (civil society) muncul sebagai mitra negara dalam melaksanakan kepentingan publik. Ketiga bila kehidupan publik telah diakomodasi secara baik oleh negara, masyarakat sipil (civil society) dapat memainkan fungsinya secara komplementer di mana masyakat sipil muncul untuk melengkapi kebutuhankebutuhan masyarakat. Dalam kenyataannya Pola hubungan yang pertama menjadi ciri khas negara berkembang atau dalam proses menuju demokrasi. Masyarakat sipil menghadapi hegemoni dan dominasi negara. Pola kedua dan ketiga terdapat di negara maju atau negara yang sudah memiliki sistem politik demokrasi yang terkonsolidasi. Kontrol
ISSN: 0216-9290 Negara dan Masyarakat Sipil kelembagaan telah berjalan baik dan partisipasi publik serta kesadaran politik masyarakat sudah mengalami peningkatan menjadi kesadaran nasional. Pola yang terakhir inilah pola yang ideal yang harus dicapai dalam tatanan kehidupan politik setiap negara. Daftar Pustaka Ali, Mukti. 1996. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Bandung: Mizan. Culla, Adi Surjadi. 2006. Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hikam, Muhammad AS. 2000. Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society. Jakarta: Erlangga. Prasetyo, Hendro (ed.). 2002. Islam dan Civil Society. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002. Kleden, Ignas. 2004. Masyarakat dan Negara. Magelang: Indonesia. 2004.
65