SKRIPSI
PRESIDENSIL. PARTAI POLITIK DAN PARLEMEN (SUATU HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DALAM SISTEM POLITIK PASCAAMANDEMEN UUD 1945)
Diajukan guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
ANISA HALIDA 050906009
DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
Halaman Daftar Isi .................................................................................................... i Daftar Tabel .............................................................................................. iii BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................ 1 1. Latar Belakang ......................................................................... 1 2. Perumusan Masalah ................................................................. 15 3. Pembatasan Masalah................................................................ 15 4. Tujuan Penelitian ..................................................................... 16 5. Manfaat Penelitian ................................................................... 16 6. Kerangka Teori ........................................................................ 17 6.1 Sistem Presidensil ......................................................... 17 6.1.1 Sejarah Singkat.................................................... 17 6.1.2 Ciri Umum Sistem Presidensil ............................. 19 6.2 Partai Politik dan Sistem Kepartaian .............................. 23 6.2.1 Partai Politik ....................................................... 23 6.2.2 Sistem Kepartaian............................................... 26 6.3 Parlemen ........................................................................ 28 6.3.1 Parlemen Sebagai Lembaga Perwakilan ............. 28 6.3.2 Fungsi dan Wewenang Parlemen ........................ 31 7. Metodologi Penelitian .............................................................. 33 7.1 Jenis Penelitian .............................................................. 33 7.2 Teknik Pengumpulan Data ............................................. 34 7.3 Teknik Analisa Data....................................................... 34 8. Sistematika Penulisan .............................................................. 35
BAB II DESKRIPSI KEKUASAAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF PASCAAMANDEMEN UUD 1945 ............................................. 36 1. Kekuasaan Eksekutif ............................................................... 37 1.1 Pemilihan Presiden Langsung...................................... 39 1.2. Kedudukan, Kekuasaan, Wewenang Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
dan Tugas Presiden.................................................. 42 1.2.1 Kekuasaan Presiden Sebagai Kepala Eksekutif ........................................... 42 1.2.2 Kekuasaan Presiden Sebagai Kepala Negara ... 45 1.2.3 Tugas dan Wewenang Presiden....................... 47 1.3. Presiden dan Wakil Presiden ...................................... 50 2.Kekuasaan Legislatif ............................................................... 57 2.1.Perkembangan Lembaga Legislatif di Indonesia ........................................................ 57 2.2.Fungsi, Tugas dan Wewenang DPR ............................ 62 2.3.Parlemen Sebagai Suatu Sistem................................... 66
BAB III PEMBAHASAN HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF PASCAAMANDEN UUD 1945 DALAM SISTEM PRESIDENSIL 1. Reformasi Konstitusi ............................................................. 69 2. Kekuatan Partai Politik .......................................................... 81 3. Implementasi Sistem Presidensil Pascaamandemen UUD 1945 ................................................. 85 4. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Pascaamandemen UUD 1945 ................................................. 94
BAB IV PENUTUP ................................................................................. 104 1. Kesimpulan .......................................................................... 104 2. Saran .................................................................................... 105
Daftar Pustaka ......................................................................................... 106
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Periode Sejarah Parlemen Indonesia ............................................ 61 Tabel 3.1 Perimbangan Kekuatan Politik di DPR Hasil Pemilu 2004 ....................................................................... 84 Tabel 3.2 Kekuatan Politik di Dalam Pemerintahan dan di Luar Pemerintahan (14 Februari 2007) .............................. 92 Tabel 3.3 Usulan Penggunaan Hak Interpelasi DPR .................................... 96 Tabel 3.4 Usulan Penggunaan Hak Angket DPR ......................................... 98
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah Negara hukum
ditandai dengan
adanya cabang – cabang kekuasaan
negara yang memiliki fungsi dan wewenang tersendiri dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pendapat yang dipandang paling rasional adalah mengenai pembatasan kekuasaan negara yang didasarkan pada pemikiran akan adanya hak – hak dasar warga masyarakat dalam negara. Gagasan ini berkembang dan menimbulkan keinginan untuk menyelenggarakan hak – hak dasar itu secara efektif yang diwujudkan
melalui adanya pembagian kekuasaan fungsi
penyelenggaraan negara kedalam lembaga – lembaga negara. Gagasan yang paling luas adalah teori Montesquie mengenai pembagian kekuasaan negara ke dalam organ legislatif, eksekutif dan yudikatif 1. Suatu lembaga perwakilan dipandang sebagai institusi yang memiliki legitimasi kuat dalam pembentukan undang – undang, sementara penyelenggaraan negara dilaksanakan oleh lembaga eksekutif. Berbagai pola hubungan antara cabang kekuasaan negara tersebut mengarah kepada pencapaian pembagian kekuasaan yang seefektif mungkin agar prinsip demokrasi yang bersumber dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat dapat terselenggara dengan baik. Antara sistem politik dan sistem konstitusi terdapat beberapa keterkaitan erat. Menurut Marnix VAN Damme sistem politik ialah lingkungan sosial ekonomi 1
Bivitri Susanti,dkk, Semua Harus Terwakili (Studi Mengenai Reposisi MPR,DPR dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia), Jakarta : Penerbit PSHK, 2000, hal.1 Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
penyelenggaraan kekuasaan dan organisasi yang beroperasi di dalamnya serta gejala – gejalanya memberikan pengaruh terhadap penyelenggaraan kekuasaan. Sedangkan sistem konstitusi ialah pembatasan secara formal dari penyelenggaraan kekuasaan yang sah yang dalam tingkatannya terdapat dalam atau berdasar pada konstitusi. Oleh karena itu jika membicarakan sistem politik dalam suatu negara maka memiliki keterkaitan sistem konstitusi. 2 Di dalam sistem politik Indonesia rakyat adalah pemegang kedaulatan yang dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Oleh karena praktek penyelenggaraan negara harus bersumber dari kehendak rakyat dan dilaksanakan oleh lembaga – lembaga kenegaraan. Kedudukan DPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat dapat disimak dari pernyataan Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI pada tanggal 11 Juli 1945, yaitu : “ Parlemen perwakilan rakyat ini tidak dibagi menjadi dua, melainkan hanya satu kamar saja, dengan menghilangkan kamar yang pertama cukuplah mempunyai dewan perwakilan saja. Namanya disingkatkan menjadi dewan yaitu kekuasaan kecil daripada kedaulatan rakyat di dalam dan disebelah Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia. Maka dengan cara begini berdirilah suatu Kepala Negara dengan dua orang Wakil Presiden dan satu badan permusyawaratan seluruh rakyat Indonesia dan satu dewan perwakilan. “ 3 Ide mengenai Trias Politica pernah diusulkan oleh anggota Perancang UUD 1945 namun kemudian usulan tersebut ditolak. Penolakan terhadap gagasan Trias Politica diketahui dalam Rapat BPUPKI. Keberatan terhadap ide Trias Politica dikemukakan oleh Soekarno :
2
Miriam Budiardjo dan Ibrahim Ambong, Fungsi Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1993, hal.7 3 Saafaruddin Bahar, Risalah Sidang BPUPKI, Jakarta:Sekretaris Negara RI,1990,hal.181 Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
“Sebaliknya Trias Politika sudah nyata tidak mencukupi....sekarang Rusia menolak Trias Politica sudah 22 tahun yang lalu. Sun Yat Sen juga menolak Trias Politica 30 tahun yang lalu.” Logika yang dibangun dalam relasi antara tiga pusat kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif adalah bahwa UUD 1945 memang tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal melainkan teori pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal. Dalam artian bahwa sistem kekuasaan atau kedaulatan rakyat yang dianut bangsa Indonesia pertama – tama diwujudkan secara penuh dalam MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya dari majelis yang omnipotent inilah kekuasaan rakyat didistribusikan ke dalam fungsi – fungsi dimana lembaga presiden sebagai fihak eksekutif dan lembaga DPR sebagai pengendali atau pengawasnya. 4 Sedangkan fungsi legislatif dibagikan secara seimbang antara Presiden dan DPR. Ismail Suny menegaskan bahwa dengan perkataan lain UUD 1945 hanya mengenal pembagian kekuasaan (division of power) bukan pemisahan kekuasaan (separation of power). 5 DPR sebagai lembaga legislatif adalah badan atau lembaga yang berwenang untuk membuat Undang-Undang dan sebagai kontrol terhadap pemerintahan atau eksekutif, sedangkan eksekutif atau presiden adalah lembaga yang berwenang untuk menjalankan roda pemerintahan. Dari fungsinya tersebut maka antara pihak legislatif dan eksekutif dituntut untuk melakukan kerjasama, apalagi di Indonesia memegang prinsip pembagian kekuasaan. Dalam hal ini, maka tidak boleh ada suatu kekuatan yang mendominasi. Berfungsinya pengawasan tersebut akan memberikan warna dinamika hubungan antara 4 5
Bivitry Susanti, op.cit.,hal.3 Ismail Suni, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta : Penerbit Aksara Baru, 1986,
hal.23 Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
eksekutif dengan legislatif. Dimana secara garis besar dinamika tersebut terpola dalam hubungan yang seimbang antara eksekutif dengan legislatif dan hubungan yang dominatif dari legislatif atas eksekutif. Hubungan yang seimbang terjadi ketika eksekutif dan legislatif masing – masing memiliki posisi tawar yang seimbang. Di sisi yang lain dewan yang solid menjadi kekuatan penyeimbang eksekutif yang kuat. Fenomena yang terjadi pada masa Orde Baru cenderung menguntungkan lembaga eksekutif. Pada era Orde Baru posisi presiden sebagai eksekutif dalam sistem presidensil yang tidak jelas batasan kewenangannya semakin cenderung mendorong ke arah negatif yang menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Dalam melaksanakan kekuasaannya presiden diberikan kekuasaan yang sangat besar oleh UUD 1945. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa kekuasaan presiden yang besar diberikan oleh UUD 1945 selama masa berlakunya cenderung dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa untuk kepentingan politiknya sendiri. Pada masa pra amandemen UUD 1945, konstitusi Indonesia merumuskan hanya wewenang pokok dan umum masing – masing lembaga negara. Perincian untuk pelaksanaa wewenang ini diserahkan kepada lembaga tertinggi MPR dan lembaga legislatif yang dikendalaikan oleh presiden. Dengan demikian secara praktis kekuasaan politik dan pemerintahan pada masa itu dikendalikan dan ditentukan oleh Presiden. Hubungan eksekutif dan legislatif pada masa sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945 atau dengan kata lain pada masa Orde Baru, adalah sangat baik. Bisa dikatakan demikian karena hampir tidak ada konflik antara Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
eksekutif dan legislatif pada masa itu. Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan pada masa itu menggunakan topangan superioritas lembaga eksekutif terhadap DPR dan peran dwifungsi ABRI menghasilkan kehidupan politis yang stabil. DPR yang tentunya sebagian besar dari Fraksi Golongan Karya, selalu mendukung kebijakan yang ditentukan oleh Soeharto. Ketika reformasi bergulir dan berhasil menurunkan Soeharto dari kursi presiden yang didudukinya selama lebih kurang 32 tahun. . Presiden BJ Habibie yang diangkat menggantikan Soeharto berdasarkan pasal 8 UUD 1945 dimana terjadi kekosongan pemimpin negara. 6 Habibie juga ternyata tidak mampu bertahan karena pemerintahannya lebih dipandang sebagai reproduksi Orde Baru ketimbang suatu pemerintahan produk reformasi. Perubahan UUD 1945 adalah salah dari sekian agenda reformasi yang diusung oleh seluruh kelompok dan kekuatan kelompok reformis. Ada dua jalan menuju perubahan konstitusi yaitu amandemen atau membentuk UUD baru. Tarik menarik dua gagasana reformasi konstitusi ini akhirnya selesai setelah tim kecil dari tujuh partai politik pemenang Pemilu 1999 yaitu Partai Golkar, PPP, PKB, PAN, PBlB dan Partai Keadilan serta PDI-P yang berhalangan hadir plus TNI pada 29 September 1999 menyepakati amandemen sebagai jalan reformasi konstitusi 7. Yaitu amandemen terhadap batang tubuh dan penjelasan UUD 1945, dan dengan tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, sistem pemerintahan presidensil dan bentuk negara kesatuan. 8
6
Abraham Amos, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Dari Orla, Orba, Samapi Reformasi), Jakarta : Rajawali Press, 2005, Hal.4 7 AM Fatwa, Dari Cipinang ke Senayan (Catatan Gerakan Reformasi dan Aktifitas Legislatif Hingga ST MPR 2002), Jakarta : Penerbit INTRANS, 2003, hal.313 8 Ibid. Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Reformasi konstitusi dalam bentuk amandemen atau perubahan UUD 1945 ini dilakukan oleh karena UUD 1945 mengandung sejumlah kelemahan krusial misalnya tidak memberikan atribusi kewenangan yang jelas dan tegas kepada lembaga tinggi negara, menurut pasal – pasal ambigu dan bersifat executive heavy, dimana terjadi pemusatan kekuasaan di tangan presiden dan tindak dilengkapi dengan instrumen check and balances. Selain itu tidak adanya aturan – aturan yang jelas mengenai hak – hak DPR sehingga menyulitkan lembaga legislatif untuk mengimplementasikan perannya. Pada perubahan pertama sampai keempat UUD 1945 telah dilakukan pengaturan kembali distribution of powers sebagai upaya membentuk format politik Indonesia yang lebih demokratis. Kekuasaan negara dibagi secara seimbang diantara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam rangka checks and balances dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dilihat berdasarkan interaksi antara eksekutif dan legislatif terjadi penguatan kekuasaaan legislatif terhadap eksekutif setelah diadakannya amandemen UUD 1945 yang berkenaan dengan pasal-pasal yang mengatur fungsi legislasi DPR. Ini mengindikasikan adanya penguatan DPR yang sifatnya kelembagaan. Implikasi dari pergeseran kekuaan legislatif ialah bahwa Presiden dan badan – badan pemerintahan berubah menjadi pelaksana aturan (eksekutif) belaka. Kewenangan untuk mengatur jika ada haruslah dilandasi oleh atribusi yang bersumber pada kewenangan parlemen untuk mengatur atau membuat aturan. Dengan demikian produk hukum yang ditetapkan oleh Presiden atau pemerintah
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
tidak saja harus sesuai dengan UU yang ditetapkan oleh DPR tetapi juga sesuai dengan Ketetapan MPR dan juga UUD. Akibat lebih lanjut dari pemangkasan kekuasaan legislatif Presiden ialah Presiden hanya mungkin mengatur sesuatu yang lain dari ketentuan Undang – Undang apabila materi aturan ini bersifat internal administrasi pemerintahan ataupun dalam hal terjadinya keadaan darurat dimana Presiden berwenang menerbitkan Perpu. Selain itu kewenangan Presiden untuk mengatur haruslah bersumber kepada kewenangan legislatif di DPR.Hal sebaliknya terjadi pada DPR akibat perubahan pertama dan kedua UUD 1945 justru kekuasaan dan kewenangannya makin menguat dan meningkat secara tajam. Bahkan sebagian kewenangan Presiden yang bersifat mutlak (preogratif) maupun kewenangan administrasi lembaga tinggi lainnya ikut beralih kepada institusi DPR. Menurut Jimly Ashiddiqy tidak ada pertentangan dan tidak ada tumpang tindih di antara kedudukan DPR dan Presiden dalam hal ini. Kekuasaan legislatif tetap berada di tangan DPR namun pengesahan formal produk Undang – Undang itu dilakukan oleh Presiden. Hal demikian ini justru menunjukkan adanya perimbangan kekuasaan diantaranya keduanya yaitu hak presiden untuk memveto suatu undang – undang yang sudah ditetapkan oleh DPR. Untuk menegaskan hal ini maka dalam Perubahan kedua UUD 1945 ketentuan dalam Pasal 20 itu ditambah dengan ayat (5) yang memberikan waktu 30 hari bagi Presiden untuk mengesahkan undang – undang itu. Jika dalam batas waktu yang ditentukan Presiden tidak juga mengesahkannya maka RUU tersebut dianggap berlaku menjadi undang – undang. Dari deskripsi ini tampak bahwa proses pembuatan Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
undang – undang tetap dilakukan secara kolektif ditingkat pembahasan antara Presiden dan DPR.. Seiring dengan runtuhnya rezim otoritarianisme gerakan reformasi telah memicu tumbuhnya banyak partai – partai baru. Hampir semua kelompok politik yang dimatisurikan melalui kebijakan monolitik bangkit membentuk partai politik baru dan lama. Menjelang pemilihan umum 1999 sebanyak 141 partai politik tedaftar di Departemen Kehakiman, kemudian dari saringan tahap pertama sebanyak 106 partai politik terdaftar di KPU, kemudian setelah diverifikasi dan disaring, maka peserta pemilu yang akhirnya lolos dan dianggap sah jumlahnya mencapai 48 partai politik, diantaranya 21
partai berhasil memperoleh kursi
diparlemen. Pada Pemilu 2004 yang lalu, sebanyak 112 partai terdaftar pada Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, dan akhirnya terdaftar pada KPU terdapat 50 partai politik. Selanjutnya yang lolos sebagai peserta Pemiu 2004 hanya 24
partai politik. Dengan demikian Pemilu tahun 2004 juga
menghasilkan sistem multipartai. Runtuhnya orde baru telah membuka peluang bagi kehidupan demokrasi yang lebih baik. Suasana kehidupan kepartaian yang terjadi saat reformasi dapat dilihat juga pada sejarah kelahiran partai – partai politik dimulai dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 atas desakan BPKNIP untuk memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik dalam sistem multipartai. 9 Sebagai dampak dari tidak adanya reformasi kelembagaan sebagai fondasi bagi arena politik lembaga demokrasi terutama Presiden, DPR dan MPR. Pemilu 9
Moh Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta, 2000, hal.48 Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
1999 menghasilkan polarisasi kekuatan di DPR, sehingga tidak ada satupun partai politik yang menguasai kursi secara mayoritas. Konsekuensinya bahwa pemerintah hasil pemilu harus didasarkan pada koalisi di antara partai – partai yang ada agar presiden terpilih memiliki legitimasi politik yang kuat. Sementara pada saat yang sama format kelembagaan yang ada memungkinkan sebagai format politik yang baru berbasis sistem multipartai. maka percaturan politik pasca pemilu 1999 sangat diwarnai oleh perbedaan penafsiran dan kelompok dari para elite politik partai – partai besar yang tengah bersaing. Dilema yang diwarisi format politik produk Pemilu 1999 adalah posisi presiden yang relatif lemah dalam berhadapan dengan DPR karena adanya mekanisme memorandum yang memungkinkan partai – partai melalui wakilnya yang duduk di parlemen memecat presiden
melalui
MPR.
Hal
inilah
merupakan
salah
satu
penyebab
ketidakharmonisan hubungan eksekutif dan legislatif. 10 Ketergantungan politik presiden terhadap DPR dan MPR yang berintikan para politisi partai ini tentu saja berdampak langsung dalam efektifitas kebijakan yang dihasilkan oleh kabinet. Implikasi lebih jauh dari format politik demikian adalah bahwa dalam mengangkat dan memberhentikan para menteri, presiden benar – benar harus memperhitungkan kemungkinan dukungan dan penolakan yang diberikan oleh partai – partai politik di parlemen. Ditengah realitas demikian
10
Syamsudin Haris, Konflik Presiden DPR (Dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia), Jakarta:PT Pustaka Utama Grafiti, 2007, hal.171 - 172 Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
para elite politik, ironisnya tidak kunjung menyadari urgensi reformasi kelembagaan sebagai wadah bagi format politik baru.11 Sejak reformasi tidak ada satupun presiden berhasil mengontrol birokrasi negara. Kemampuan presiden dan wakil presiden untuk terus menciptakan keserasian hubungan dengan parlemen (DPR) menentukan
keberhasilan
lembaga
kepresidenan
yang
multipartai sangat
menjalankan
fungsinya.
Hubungan yang tidak sehat antara eksekutif dan legislatif memang selalu terjadi di setiap pemerintahan. Pada masa Gus Dur sangat terlihat karena dengan adanya impeachment terhadap Gus Dur. Pada periode Presiden Abdurrahman Wahid merupakan periode reformasi. Kekuasaan presiden pada periode ini sesuai dengan UUD 1945 yaitu sebagai kepala pemerintahan dan sebagai kepala negara. MPR hasil pemilu tahun 1999 memilih Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI keempat. Abdurrahman Wahid memangku jabatan Presiden RI dari tanggal 20 Oktober 1999 sampai dengan tanggal 23 Juli 2001. Kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid mengalami pasang surut. Secara politis Abdurrahman Wahid hanya didukung oleh partai kecil akan tetapi dengan suara mayoritas MPR memilih dan menetapkannya sebagai Presiden RI keempat. Kasus pemberhentian Kepala Kepolisian RI dan perbedaan pendapat dengan DPR merupakan bagian dari kemorosotan tersebut Di era Pemerintahan Abdurrahman Wahid selain tidak terciptanya harmoni antara Presiden dan wakil presiden juga terjadi konflik yang berkepanjangan antara Presiden dan Parlemen. Pernyataan dan kebijakan politik Abdurrahman Wahid dinilai banyak menimbulkan kontroversi. Sehingga pada 11
Reni Dwi P, Implementasi Sistem Bikameral, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005 ,
hal.179 Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
akhirnya Presiden Abdurrahman Wahid harus mengakhiri kepemimpinannya sebelum masa jabatannya berakhir. Pemilu 2004 menghasilkan konfigurasi politik yang khas. Dimana parlemen diisi oleh kekuatan politik yang terfragmentasi dari tujuh belas partai politik yang terbagi menjadi 550 kursi di DPR dan sebanyak tujuh partai besar yang menguasai hampir 91 persen kursi di parlemen tanpa adanya satu kekuatan yang dominan. Diletakkan dalam konteks tata kelola negara berdasarkan empat kali amandamen atas UUD 1945 maka yang terbangun adalah kombinasi antara sistem presidensil dan sistem multipartai. Di satu sisi presiden memiliki legitimasi politik yang kuat karena dipilih langsung melalui mekanisme dua putaran pemilihan dan DPR merupakan lembaga legislatif yang memiliki kekuasaan besar. Presiden keenam RI yang merupakan presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu yang demokratis. Hal ini termuat dalam Keputusan Nomor 98/SK/KPU/2004 tanggal 4 Oktober 2004 menetapkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla sebagai pasangan Presiden dan Wapres terpilih. Keputusan ini diperoleh melalui perolehan suara pasangan ini yakni 44.990.704 suara.12 Presiden dan wakil presiden berasal dari dua partai yang berbeda yakni Partai Demokrat (56 kursi) dan Partai Golkar (127 kursi). Konstitusi tidak memposisikan wakil presiden sebagai institusi yang terpisah dengan presiden. Pasal 4 ayat 2 UUD 1945 hasil amandemen menyebutkan bahwa wakil presiden berkewajiban membantu presiden. Tetapi dalam praktek politik Kalla memiliki modal politik untuk tidak terbawahi oleh lembaga kepresidenan. 12
Susilo Suharto, Kekuasaan Presiden Republik Indonesia Dalam PERiode Berlakunya UUD 1945, Surabaya : Penerbit Graha Ilmu, Hal.122 Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Pertama wapres juga dipilih langsung dalam satu paket dengan presiden dan yang kedua, wapres menjadi penting setelah menjadi Ketua Umum Golkar yang bukan menjadi sosok personal melainkan figur institusional dimana wapres adalah pengendali partai besar dan memiliki kursi paling besar di parlemen. Pemerintahan SBY – Kalla terbangun di tengah komposisi yang khas. Pengaturan kelembagaan yang disepakati melalui peket UU Politik telah mendorong koalisi antar partai dalam pemilu presiden 2004. Koalisi adalah persekutuan antara duat atau lebih politisi untuk mencapai kepentingan bersama. Setelah memenangi pemilu kemudian membentuk kabinet Indonesia Bersatu yang melibatkan beberapa partai politik dan didukung oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Keberhasilan Kalla pada tahun 2005 merebut kursi ketua umum Golkar kemudian semakin memperkuat koalisi ini dimana diantaranya bergabungnya Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, Golongan Karya, PKS dan lain-lain. Tetapi dalam prakteknya tidak semua konsisten untuk mendukung kebijakan yang diambil presiden. Relasi antara eksekutif dan legislatif pada masa pemerintahan SBY ini patut dicermati. Dengan membentuk kabinet Indonesia Bersatu yang bukan merupakan kabinet keahlian melainkan kabinet koalisi. Hal ini dilakukan SBY berusaha untuk mencegah rongrongan dari DPR dengan membentuk kabinet koalisi dari partai-partai. Selain itu mengingat pemerintahan menganut sistem presidensial memposisikan lembaga legislatif dan eksekutif relatif independen, meskipun dalam soal fungsi legislasi, pihak DPR dan eksekutif mempunyai Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
kewenangan sama. Namun dalam pengambilan kebijakan akhir soal legislasi tetap berada di tangan DPR. Komposisi kabinet adalah cermin pemerintahan koalisi partai. Asumsinya, roda pemerintah bisa bergerak lancar bila stabilitas politik terjaga. Sumber stabilitas politik, salah satunya adalah bagaimana menguasai jumlah mayoritas suara sekaligus mempengaruhi kebijakan DPR. Dukungan partai politik kepada Susilo Bambang Yudhoyono sangat penting untuk menambah kadar legitimasi otoritas kekuasaannya. Salah satu gagasan politik yaitu untuk menciptakan keseimbangan yang baik antara lembaga DPR dan lembaga presiden, yang sekaligus mewakili kepentingan seluruh masyarakat dan menjamin kehadiran pusat pengambilan keputusan yang efektif. Pemikiran politik itu terbukti tidak terlaksana. Posisi presiden dan lembaga legislatif sama kuat dan masing-masing memiliki dasar dan pijakan konstitusi. Pada satu sisi, mekanisme pemilihan presiden dilakukan secara langsung, akan tetapi pada sisi lain, lembaga tinggi negara lainnya, seperti DPR dan MPR memiliki posisi dan kedudukan yang kuat secara instutusi. Nuansa politik yang menginginkan lembaga presiden tidak terlalu kuat sangat nyata saat pembahasan amandemen keempat UUD pada periode lalu. Persoalannya kemudian, jika ada dua lembaga negara yang sama-sama kuat dan satu sama lain sering kali tidak bisa menyatukan kepentingannya. Yang terjadi kemudian adalah tarikan-tarikan politik yang kuat dan tajam. Tarikan antara legislatif di satu sisi, dengan mandatnya sendiri sementara presiden di sisi lain, yang mandatnya lebih kuat karena dipilih langsung oleh rakyat. Eksekutif selama ini lebih tampak tidak
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
berdaya untuk membuat kebijakan-kebijakan karena sering dihadang oleh legislatif. Dengan posisi sama kuat seperti itu, yang terjadi sekarang justru ketidakstabilan politik. Ketidakstabilan ini tidak ekstrim seperti masa Presiden Abdurahman Wahid, tetapi dalam kadar tertentu, selama era kepemimpinan Presiden SBY-JK ketidakstabilan itu juga tampak dalam setiap pengambilan keputusan strategis yang harus mendapat persetujuan DPR Dalam kaitan ini banyaknya interpelasi DPR terhadap beberapa kebijakan yang dikeluarkan Presiden. 13 Pola hubungan antar lembaga negara menjadi ruwet dan sering konflik, intervensi partai politik di parlemen sangat kuat terhadap presiden telah menciptakan ketidakstabilan dalam politik. 14 Masing –
masing
lembaga
negara telah memiliki fungsi dam
wewenangnya masing – masing yang diatur dalam Undang – Undang. Sehingga diperlukan keseimbangan antara masing – masing lembaga agar tidak terjadi penyimpangan dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif. Perbedaan pandangan mengenai lembaga – lembaga negara di Indonesia selalu menjadi pembahasan yang menarik, bahkan UUD 1945 belum memberikan batasan yang jelas antara wewenang lembaga tersebut khususnya lembaga eksekutif dan legislatif.Dengan konteks seperti yang terjadi diperlukan adanya keseimbangan antara lembaga DPR, yang akan mewakili secara khusus kepentingan-kepentingan masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam, dan lembaga presiden yang, harus berperan sebagai pusat pengambilan keputusan yang paling pokok untuk 13 14
Diakses pada www.jakartahariini.com, ditulis pada 6 Juni 2007 Ellyasa Darwis, www.opiniindonesia.com, ditulis pada 28 April 2008
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
masa depan bangsa Pada era reformasi sering terjadi hubungan yang kurang baik antara eksekutif dan legislatif. Dimana pasca empat kali dilakukan amandemen UUD 1945 telah terjadi pergeseran kekuasaan eksekutif dan legislatif .Kombinasi Sistem multipartai yang diterapkan dalam sistem presidensil pada masa reformasi menjadi kendala menyangkut hubungan eksekutif dan legislatif. Berdasarkan dari permasalahan yang dipaparkan diatas maka penulis ingin menguraikan tentang hubungan eksekutif dan legislatif pasca amandemen dalam sistem presidensil
2. Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan penjelasan dan penjabaran dari identifikasi masalah dan pembatasan. 15 Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas ,maka dalam penelitian ini penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana deskripsi lembaga legislatif dan eksekutif pascaamandemen UUD 1945 ? 2. Bagaimana hubungan eksekutif dan legislatif pascaamandemen UUD 1945 dalam sistem presidensil ?
3. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah adalah usaha menetapkan masalah dalam batasan penelitian
yang
akan
diteliti.
Batasan
masalah
ini
berguna
untuk
mengidentifikasikan faktor mana saja yang termasuk dalam ruang lingkup
15
Husaini Usman, Metode Penelitian Sosial, Bandung : Bumi Aksara, 2004, hal.43
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
masalah penelitian dan faktor mana saja yang tidak termasuk ke dalam ruang lingkup penelitian tersebut. Berdasarkan perumusan masalah di atas maka yang menjadi batasan dan fokus penelitian ini adalah hubungan kekuasaan eksekutif dan legislatif pasca amandemen dalam sistem presidensil khususnya era pemerintahan SBY.
4.Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk melihat gambaran kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif pascaamandemen UUD 1945. 2. Untuk
melihat
gambaran
hubungan
eksekutif
dan
legislatif
pascaamandemen UUD 1945 dalam sistem presidensil.
5.Manfaat Penelitian Setiap penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi untuk diri sendiri maupun untuk orang lain terlebih lagi bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini adalah : 1. Bagi penulis, penelitian ini dapat mengasah kemampuan dalam membuat karya tulis ilmiah serta melalui penelitian ini dapat menambah pengetahuan penulis mengenai masalah yang diteliti.
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
2. Secara akademis dapat menambah referensi bagi mahasiswa khusunya mahasiswa Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Sumatera Utara. 3. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran
mengenai
kedudukan
lembaga
negara
sesuai
sistem
ketatanegaraan yang dianut negara ini berdasarkan UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai hukum dasar tertulis.
6.Kerangka Teori 6.1 Sistem Presidensil 6.1.1 Sejarah Singkat Sejarah sistem presidensil berawal dari lahirnya negara baru Amerika Serikat buah dari perjuangan rakyat koloni Inggris di Benua Amerika untuk memiliki pemerintahan sendiri lepas dari pusat kekuasaan, Kerajaan Inggris. Keinginan rakyat Amerika sudah tentu berbenturan dengan Inggris yang tidak ingin wilayah koloninya lepas dari induk. Kehendak mereka untuk merdeka akhirnya ditempuh melalui peperangan (1775 – 1783). Rakyat koloni akhirnya menyatakan dirinya merdeka sebagai bangsa Amerika. Namun akibat peperangan tersebut mengakibatkan muramnya kondisi perekonomian. Beberapa wilayah bekas koloni yang baru saja merdeka sepakat membentuk negara baru dengan sistem federasi. Negara Amerika dibentuk berdasarkan prinsip adanya pemerintah federal (pemerintah pusat dan pemerintah negara bagian di bawah setiap anggota Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
federasi (negara bagian) sepakat untuk menghargai eksistensi wilayah masing – masing. 16 Para pendiri bangsa sadar bahwa untuk keluar dan kesulitan dibutuhkan pemerintahan kuat. Pemerintahan kuat adalah pemerintahan dengan landasan sistem yang kuat dimana konstitusi negara harus kuat dan kokoh. Konstitusi yang didalamnya mengandung nilai – nilai kenegaraan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Konstitusi harus logis dan mudah dipahami sehingga mudah diterima masyarakat. Bangsa Amerika berhasil mentransformasikan “raja ideal” melalu bentuk negara republik di bawah kepemimpinan figur yang dipilih rakyat. Konstitusi Amerika terbentuk atas dasar keinginan pendiri bangsa akan adanya kepemimpinan pemerintahan yang kokoh namun harus tetap berorientasi pada kepentingan umum dan melindungi kepentingan individu. Maka UUD Amerika Serikat (1787) merangkum teori kedaulatan rakyat dan pemisahan kekuasaan di atas kenyataan obyektif bahwa di negara bekas koloni Inggris tersebut tidak ada raja. Seperti yang dinyatakan oleh Greg Russel : “....bentuk pemerintahan berdasarkan konstitusi yang modern yakni lahir dari persyaratan politik bahwa pemerintah yang memegang kekuasaan bergantung pada kesepakatan dari warga negaranya.....”
Hal yang paling menonjol dalam konstitusi Amerika adalah prinsip pemisahan kekuasaan lembaga – lembaga negara seperti yang dikehendaki dalam teori Trias Politica ajaran Montesquieu. Jika dikomprasikan antara konsep Locke dan Montesquie terlihat perbedaan dimana menurut Locke kekuasaan eksekutif 16
Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik (Megapa ada Negara Gagal Melaksanakan Demokrasi), Bandung : Penerbit Fokus Media, 2007, hal.127 Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yudikatif karena mengadili itu berarti undang – undang sedangkan kekuasaan federatif merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri. Sedangkan menurut Montesquie kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan federatif karena melakukan luar negeri termasuk kekuasaan eksekutif sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri. 17 Doktrin Montesquie banyak mempengaruhi warga Amerika pada masa perumusan undang – undang, sehingga dokumen itu dianggap paling banyak mencerminkan trias politica dalam konsep aslinya. Sejarah konstitusi Amerika Serikat mewariskan Deklarasi Kemerdekaan (4 Juli 1776) sampai Pasal Konfederasi (1781), Kesimpulan Perang Revolusi (1783), penyusunan Konstitusi (1787) dan Pengesahan Hak – Hak Dasar (Bill of Rights, 1791). Sejak awal UUD AS memberikan ruang bagi kemungkinan perubahan pasal. Sejarah mencatat bagaimana bangsa tersebut secara dewasa menyempurnakan UUD-nya menyesuaikan diri dengan perkembangan dan tuntutan jaman yang terus berubah. 6.1.2 Ciri Umum Sistem Presidensil Ciri yang paling menonjol dalam sistem presidensil adalah sesuai dengan namanya dimana obyek utama yang diperebutkan adalah presiden. Peran dan karakter individu presiden lebih menonjol dibanding dengan peran kelompok, organisasi atau partai. Oleh karena jabatan presiden hanya dijabat oleh seorang yang dipilih rakyat dalam pemilu yang berarti bahwa presiden bertanggung jawab langsung pada rakyat maka tidak ada langsung yang bisa membatasi bahwa calon 17
Moh Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta : Penerbit Liberty, 1993, hal. 80 - 84 Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
presiden harus berasal dari partai. Teori yang diungkap oleh JJ Rousseau melihat bahwa kekuasaan tertinggi berada dalam negara ialah rakyat. Yang dimaksud dengan rakyat menurut Rousseau bukanlah penjumlahan daripada individu – individu di dalam negara itu, melainkan adalah kesatuan yang dibentuk oleh individu – individu dan yang mempunyai kehendak , kehendak mana diperolehnya dari individu
- individu tersebut melalui perjanjian masyarakat yang oleh
Rousseau kehendak tadi disebut kehendak umum atau volonte generale yang mencerminkan kemauan dan kehendak umum. Sebaliknya jika kehendak tersebut terbentuk individu – individu di dalam negara tanpa melalui perjanjian masyarakat maka kehendak itu bukanlah kehendak umum melainkan volonte de tous. 18 Calon presiden bisa saja berasal dari perorangan atau figur independen sejauh rakyat sebagai pemilik kedaulatan, mempercayai dirinya. Kompetisi antara calon presiden dalam sistem presidensil adalah pada tataran kapabilitas, performasi, karakter kepemimpinan, dan wawasan kenegaraan yang dililiki figur calon. 19 Sebagai pelaksana fungsi pemerintahan Presiden adalah figur yang memperoleh mandat rakyat untuk melaksanakan tugasnya. Namun rakyat secara teknis sebagai pemberi mandat tidak mungkin melakukan pengawasan rutin terhadap kinerja presiden. Rakyat memerlukan alat untuk melaksanakan fungsi tersebut. Maka anggota legislatif yang dipilih dalam pemilu yang melaksanakan fungsi tersebut. Kekuasaan membuat undang-undang berada pada kongres (parlemen), sedangkan presiden mempunyai hak veto terhadap undang-undang yang dibuat. 18 19
Susilo Suharto, op.cit., hal.30 Hendarmin Ranadireksa, loc.cit.
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Kekuasaan eksekutif berada pada presiden dan pemimpin departemen adalah para menteri yang tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Karena presiden dipilih oleh rakyat, maka sebagai kepala eksekutif ia hanya bertanggung jawab kepada rakyat pemilih. Dalam sistem ini kedudukan eksekutif tidak tergantung kepada parlemen, karena dasar hukum dari kekuasaan eksekutif berada pada rakyat pemilih. Sebagai kepala eksekutif presiden menunjuk pembantu-pembantunya yang akan memimpin departemennya masing-masing, dan mereka hanya bertanggung jawab kepada presiden. Karena pembentukan kabinet tidak tergantung dan tidak memerlukan dukungan kepercayaan dari parlemen, maka para menteri tidak bisa dihentikan oleh parlemen. Komposisi kabinet dalam sistem presidensil bukan berasal dari proses tawar menawar dengan partai yang berarti sifat kabinet adalah kabinet profesional atau kabinet keahlian. Jabatan menteri tidak didasarkan pada latar belakng politik tetapi pada penilaian visi, pengetahuan dan kemampuan mengelola departemen. Dalam sistem presidensil, kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang langsung oleh presiden. Selaku kepala negara presiden adalah simbol representasi negara atau simbol pemersatu bangsa sementara selaku kepala pemerintahan
presiden
harus
bertanggung
jawab
penuh
atas
jalannya
pemerintahan. Dengan adanya kedua fungsi tersebut maka kedudukan presiden dalam pemerintahan menempati posisi sentral. Berdasarkan kedua fungsi tersebut kedudukan presiden cenderung lebih kuat dari dua lembaga trias politica lainnya yaitu legislatif dan yudikatif. Kendati awalnya berawal dari partai atau dicalonkan
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
dari partai, presiden tidak boleh lagi berorientasi pada partai karena selaku kepala negara ia telah menjadi figur milik bangsa. Dalam sistem presidensil memisahkan secara jelas wilayah eksekutif dan legislatif. Nuansa pemilu legislatif akan lebih diwarnai oleh kompetisi wawasan atas masalah kenegaraan secara umum yang dibawakan calon – calon legislatif. Dalam sistem presidensil sulit bagi partai untuk menawarkan ideolegi tertentu karena presiden yang secara nyata dipilih oleh rakyat. Peran partai yang bukan sebagai penentu arah kebijakan pemerintahan berimbas pada sifat lembaga legislatif. Legislatif dalam sistem presidensil bersifat lebih sebagai lembaga perwakilan rakyat ketimbang lembaga perwakilan partai. Nuansa kepartaian tidak terlalu terasa kendati tetap ada karena demokrasi membuka ruang bagi hadirnya persaingan paham di lembaga legislatif.
20
Dalam sistem presidensil peran partai
lebih menjadi fasilitator pemilu. Konstitusi Amerika lebih menekankan pada pembagian kekuasaan pada tiga cabang kekuasaan yang satu dengan yang lainnya untuk mencegah kekuasaan absolut seperti terjadi di Eropa Barat pada abad ke-17. Banyak
negara penganut
sistem presidensil
terjebak
pada pola
kediktatoran. Kedudukan presiden yang dipilih langsung berpengaruh pada kuatnya legitimasi yang dimiliki presiden. Kedudukan presiden lebih memberikan kepastian masa jabatan yang pada gilirannya lebih memberikan ketenangan dalam melaksanakan fungsi pemerintahan. Namun kepastian masa jabatan juga bisa disalahgunakan karena presiden memiliki waktu cukup untuk secara bertahap
20
Hendarmin Ranadireksa, op.cit., hal. 148
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
melakukan rekayasa untuk terus memperkuat kedudukannya. Di Indonesia pemberlakuan kembali UUD 1945 serta merta merubah gaya kepemimpinan Presiden Soekarno (1959-1965) menjadi diktator/otoriter. Berbekal UUD 1945 pula Presiden Soeharto memerintah selama 32 tahun (1966-1998) melalui enam kali proses pengangkatan kembali oleh MPR setiap lima tahun sekali. Banyak negara berkembang memiliki kecenderungan ke arah pelanggaran kekuasaan yang dikampanyekan untuk menciptakan politik yang stabil. Presiden yang memiliki bobot lebih besar ketimbang legislatif maupun yudikatif dalam sistem presidensil cenderung diantisipasi. Antisipasi terhadap kecenderungan presiden menjadi otoriter dilakukan dengan sangat sederhana yakni dengan mengurangi kekuasaan atau hak – hak dasar presiden. Indonesia melalui amandemen juga melakukan hal yang sama yakni kekuasaan presiden kini berada di bawah bayang – bayang kekuasaan legislatif. Di sisi lain peran legislatif menjadi membesar yang menjadikannya lebih kuat ketimbang peran presiden. Presiden yang dipilih rakyat dengan kontrak sosial yang dimiliki kini berada di bawah pengaruh kekuasaan legislatif yang jelas bukan pihak yang memiliki kontrak sosial. Artinya dalam hal ini telah terjadi pengambilalihan hak rakyat sebagai fihak yang memberi mandat kepada presiden terpilih, oleh lembaga legislatif. Sistem presidensil yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sistem yang menempatkan Presiden sebagai pusat kekuasaan eksekutif dan kekuasaan negara. Selain itu sistem presidensil dicirikan oleh pemilihan eksekutif secara langsung dan bukan dipilih oleh parlemen Selain itu sistem presidensil yang memisahkan Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
kekuasaan eksekutif dan legislatif memberi peluang bagi Presiden untuk melaksanakan kebijakan pemerintahan tanpa harus terganggu oleh dinamika lembaga legislatif. 6.2. Partai Politik dan Sistem Kepartaian 6.2.1 Partai Politik Partai politik memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan yang demokratis. Dalam kehidupan politik modern yang demokratis keberadaan partai politik menjadi satu keharusan, sebab fungsi utama partai politik adalah bersaing untuk memenangkan pemilu, mengagregasikan kepentingan, menyediakan alternatif kebijakan dan mempersiapkan calon pemimpin yang akan duduk dalam pemerintahan. Secara umum dapat dirumusakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota – anggotanya mempunyai orientasi, nilai – nilai dan cita – cita yang sama. Istilah partai bila ditelusuri dari asal katanya berarti bagian atau pihak didalam masyarakat di manapun secara alamiah terdapat pengelompokan masyarakat berdasarkan atas persamaan paham dalam bentuk doktrin politik yang oleh Benyamin Constan disebut partai politik. Sedangkan menurut Carl J Frederick partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan kekuasaan terhadap pemerintah bagi pemimpin partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun material. Senada dengan Frederich, RH Soultau menyatakan bahwa partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
kesatuan politik dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan mengendalikan atau menguasai pemerintahan serta melaksanakan kebijakan mereka (partainya) Lebih jauh Sigmun Neumann mengemukakan bahwa partai politik adalah organisasi yang terdiri dari aktivis – aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan satu golongan atau golongan – golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. Partai politik dan parlemen (legislatif) merupakan dua aktor utama masyarakat politik,yang memperoleh mandat dari masyarakat sipil, berperan mengorganisir kekuasaan dan meraih kontrol atas negara untuk kepentingan masyarakat. Peran partai politik itu diletakkan dalam arena pemilihan umum, yang di dalamnya terjadi kompetisi antarpartai dan partisipasi politik masyarakat sipil untuk memberikan mandat pada partai atau kandidat pejabat politik yang dipercayainya. Mengikut i logika demokrasi, para pejabat politik (legislatif dan eksekutif) yang telah memperoleh mandat melalui partisipasi politik masyarakat dalam pemilu
harus mengelola sumberdaya ekonomi-politik (kekuasaan dan
kekayaan) bersandar pada prinsip transparansi, akuntabilitas dan responsivitas untuk masyarakat. Dengan kalimat lain, jabatan-jabatan politik yang diperoleh dari mandat masyarakat itu bukan untuk kepentingan birokrasi, parlemen dan partai politik sendiri, melainkan harus dikembalikan secara akuntabel dan responsif untuk masyarakat. Prinsip ini sangat penting untuk diwacanakan dan diperjuangkan karena secara empirik membuktikan bahwa pemerintah, parlemen dan partai politik menjadi sebuah lingkaran oligharki yang jauh dari masyarakat. Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Di sisi lain partai politik dan pemilihan umum merupakan tempat yang paling tepat untuk proses rekrutmen politik, dalam rangka mengorganisir kekuasaan secara demokratis. Dalam konteks ini, sejak berkembangnya revolusi partisipasi rakyat, maka partai politik menjadi bagian penting dari sistem politik modern. Bahkan Roy C. Macridis mengatakan tidak ada sistem politik yang dapat berlangsung tanpa partai politik. Di dalam masyarakat modern partai politik menjadi fenomena umum dalam kehidupan politik. Partai politik sebagai suatu asosiasi politik yang mengaktifkan, memobilisasi masyarakat, mewakili kepentingan tertentu, dan melakukan pengkaderan yang kemudian melahirkan pemimpin telah menjadi suatu keharusan. Partai politik dengan demikian menjadi salah satu instrumen penting untuk memobilisasi masyarakat ke dalam kekuasaan negara. Ini berarti partai politik pada dasarnya adalah alat untuk memperoleh kekuasaan dan untuk memerintah. 6.2.2. Sistem Kepartaian Pembagian sistem kepartaian dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu : a. Sistem Partai Tunggal Sistem partai tunggal dipakau pada partai yang mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa partai lainnnya. Suasana kepartaian dalam sistem ini diindikasikan sebagai suasana non kompetitif, oleh karena partai – partai yang ada harus menerima pemimpin partai dari partai yang dominan dan tidak dibenarkan bersaing untuk melawan partai yang dominan tersebut. Hal yang patut
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
diperhatikan bila adanya keanekaragaman sosial dan budaya besar kemungkinan akan terjadi gejolak sosial dan politik yang menghambat usaha pembangunan.
21
b. Sistem Dwi Partai Pengertian sistem dua partai biasanya diartikan oleh adanya dua partai atau adanya beberapa partai tetapi dengan peranan dominan dari dua partai. Sistem dua partai umumnya diperkuat dengan dipergunakannya sistem pemilihan single member contituency (sistem distrik) dimana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu wakil saja. Sistem pemilihan ini memiliki kecenderungan untuk menghambat pertumbuhan dan perkembangan partai kecil sehingga dengan demikian akan memperkokoh sistem dwi partai yang diterapkan di berbagai negara. 22 c. Sistem Multi Partai Sistem multi partai dianggap lebih mencerminkan keanekaragaman budaya dan politik. Sistem ini banyak dijumpai di Indonesia, Malaysia, Perancis, Belanda, dsb. Sistem multipartai apabila disandingkan dengan sistem pemerintahan parlementer mempunyai kecenderungan untuk menitikberatkan kekuasaannya pada badan legislatif yang mengakibatkan peranan eksekutif cenderung lemah. Hal ini karena tidak adanya satu partai yang cukup kuat untuk membentuk satu pemerintahan yang kokoh, sehingga harus selalu mengadakan koalisi dengan partai – partai lain. Dalam keadaan ini partai berkoalisi harus selalu mengadakan
21 22
Miriam Budiardjo, op.cit.,hal. 167 -170 Ibid.
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
kompromi dengan partai lainnya dan menghadapi kemungkinan bahwa sewaktu – waktu dukungan dari partai koalisi yang dapat ditarik kembali. 23 Di lain fihak partai oposisi juga kurang memainkan peranan yang jelas oleh karena sewaktu – waktu masing – masing partai dapat diajak untuk duduk dalam pemerintahan koalisi. Hal ini menyebabkan terjadinya berbagai kepentingan di dalamnya. Pola multi partai diperkuat oleh sistem perwakilan berimbang yang memberikan kesempatan luas bagi pertumbuhan partai – partai dan golongan kecil. Melalui sistem perwakilan berimbang partai – partai kecil dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang diperolehnya di suatu daerah pemilihan dapat ditarik kedaerah pemilihan yang lain untuk menggenapkan jumalh suara yang diperlukan dalam memenangkan satu kursi dalam lembaga legislatif. 6.3 Parlemen 6.3.1 Parlemen Sebagai Lembaga Perwakilan Teori perwakilan politik, Alfred de Grazio mengemukakan bahwa perwakilan diartikan sebagai hubungan dimana dua pihak, yaitu wakil dengan terwakil di mana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya
24
. Perwakilan
dalam pengertian bahwa seseorang melakukan tindakan baik yang diperuntukkan kepada pihak lain 25. Keterwakilan politik diartikan sebagai terwakilnya kepentingan anggota masyarakat oleh wakil – wakil mereka di dalam lembaga
23
Ibid. Arni Sabit, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta : CV. Rajawali, 1985, hal.1 25 Ibid.,hal.23 24
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
parlemen dan proses politik. Sejarah munculnya tuntutan adanya lembaga perwakilan rakyat dalam suatu pemerintahan bermula pada abad ke-18 M di Eropa sebagai lembaga demokrasi. Gagasan bahwa pemerintahan memerlukan persetujuan dari yang diperintah secara berangsur berkembang menjadi tuntutan terhadap hukum. Karena luas wilayah itu memerlukan perwakilan dalam badan atau parlemen. Parlemen merupakan mekanisme untuk merealisasikan gagasan normatif bahwa pemerintahan harus dijalankan dengan kehendak rakyat (will of the people). Otoritas dari suatu pemerintahan akan tergantung pada kemampuannya untuk mentransformasikan kehendak rakyat sebagai nilai tertinggi di atas kehendak negara (wiil of the state). Perwakilan hanya diperoleh melalui pemilihan umum. Gagasan dan praktik politik Eropa ini merupakan fondasi darimana demokratisasi itu bergerak maju. Dalam negara modern dewasa ini, rakyat menyelenggarakan kedaulatan yang dimilikinya melalui wakil – wakil yang dipilihnya. Parlemen dinegara demokrasi disusun sehingga mewakili mayoritas dari rakyat. Anggota parlemen umumnya mewakili rakyat melalui partai politik (political representation). Dengan demikian masyarakat adalah pihak yang diwakili yang menyerahkan kekuasaan atau mandat untuk mewakili kepentingannya kepada lembaga perwakilannya dalam proses politik dan pemerintahan. Bekerjanya peran dan fungsi badan perwakilan rakyat di satu pihak ditentukan oleh eksistensinya sebagai suatu lembaga politik dan dipihak lain ditentukan oleh perwujudan sebagai organisasi yang mewadahi proses politik. Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat), ataupun House of Common (Inggris). Lembaga-lembaga ini dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan berasal dari partai-partai politik. Parlemen ini anggotanya merupakan wakil rakyat yang duduk dalam lembaga itu dengan melalui pemilu dengan menggunakan sistem perwakilan dimana masingmasing negara memiliki sistem ini seperti sistem pemilihan distrik atau proporsional hal itu terkait dengan sistem pemerintahan yang dianut. Di dalam analisis sistem politik bahwa lembaga legislatif dapat dimasukkan dalam struktur yang berada dalam proses konversi sehingga terlihat bahwa fungsi utamanya lembaga ini membuat UU sebagai landasan konsepsi perwakilan dalam kaitannya dengan lembaga politik legislatif adalah konsep pembagian kekuasaan (Trias Politica) yang secara fungsional atau pembagian kekuasaan negara secara horizontal. Parlemen dipandang tidak hanya sebagai lembaga perwakilan rakyat dalam negara demokratis, melainkan lebih dipandang sebagai lembaga yang menjalankan tugas pelaksana kedaulatan rakyat secara luas yakni melaksanakan kerja – kerja secara kontinui termasuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap presiden dan pemerintah. Jika dilihat parlemen sebagai pelaksana fungsi legislasi yang melibatkan kerja sama dengan eksekutif maka hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif dapat dihubungkan dalam dua kelompok peranan. Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Pertama, peranan yang bertujuan untuk menyalurkan kepentingan dan partisipasi anggota masyarakat.Kedua, peranan yang bermakna bagi pemupukan kewibawaan eksekutif atau memberikan legitimasi kepada lembaga eksekutif. Implementasi dari peranan tersebut dapat mengarahkan interaksi parlemen dengan eksekutif kepada situasi konfrotatif atau saling memperlemah atau meletakkan parlemen dan eksekutif dalam jalur yang searah atau saling memperkuat. 26Bila dikaitkan eksekutif sebagai lembaga pelaksana berbagai kebijakan Orde Baru berkuasa menyebabkan peran lembaga perwakilan rakyat memiliki posisi tawar yang lemah.
Negara kita yang heterogen yang beranekaragam dalam etnis, suku, agama dan budaya sangat potensial terhadap konflik dan perbedaan pendapat. Keanekaragaman dan perbedaan pendapat adalah esensi dari demokrasi. Sebagaimana yang dikatakan CF Strong :“demokrasi adalah suatu pemerintahan dalam mana mayoritas anggota dewasa dari masyarakat politik ikut serta atas dasar
sistem
perwakilan
yang
menjamin
bahwa
pemerintah
akhirnya
mempertanggungjawabkan tindakan – tindakan kepada mayoritas itu.” 27 Demokratis didasari oleh sistem perwakilan demokratis yang menjamin kedaulatan rakyat. Penekanan demokrasi terletak pada kekuasaan rakyat. Rakyat harus diberi kesempatan untuk mengungkapkan kehendaknya secara teratur, jelas dan khas. Apakah itu melalui partai politik atau kelompok kepentingan untuk 26
AM Fatwa , Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi (Jejak Langkah Parlemen Indonesia Periode 1999 – 2004), Jakarta : Penerbit RajaGrafindo Persada, 2004, hal.73 27 Miriam Budiardjo, op.cit., hal.174 Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
diteruskan kepada lembaga – lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif. Prinsip – prinsip demokrasi yang perlu dijunjung tinggi oleh wakil – wakil rakyat yang duduk di parlemen dalam menjalankan tugas dan fungsinya antara lain perlunya keterbukaan dan akuntabilitas. Sebagai salah satu lembaga pengambil keputusan yang strategis parlemen harus cermat mengkalkulasikan dampak dan manfaat dari setiap keputusan yang diambil secara bersama dengan pihak eksekutif. 6.3.2 Fungsi dan Wewenang Parlemen Diantara fungsi badan legislatif yang paling penting adalah menentukan policy (kebijaksanaan) dan membuat undang – undang. Untuk itu dewan perwakilan rakyat diberi hak inisiatif yaitu hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang – undang yang disusun oleh pemerintah. Selain itu berfungsi mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Pengawasan dilakukan melalui sidang panitia legislatif dan melalui hak – hak kontrol yang khusus seperti : 28 a. Hak Interpelasi Badan legislatif mempunyai hak interpelasi yaitu hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijaksanaanya dalam suatu bidang. Dalam hal digunakannya hak interpelasi ini oleh DPR, Presiden berkewajiban memberikan penjelasan dalam sidang pleno. Pada sistem pemerintahan presidensil diterima atau tidaknya penjelasan tersebut tidak memberikan dampak langsung terhadap kedudukan presiden. Apabila keterangan yang diberikan eksekutif
28
Ibid.., hal.184 - 186
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
kurang memuaskan maka hal ini merupakan tanda peringatan bagi pemerintah bahwa kebijaksanaanya diragukan. b. Hak Petisi berbeda dengan hak interpelasi pertanyaan biasanya tidak diikuti oleh perdebatan terbuka karena sifatnya yang hanya mengharapkan jawaban sesuai dengan materi jawabannya. Pertanyaan tersebut dapat diajukan baik secara lisan ataupun tulisan kepada pihak pemerintah untuk kemudian diberikan jawaban atas pertanyaan tersebut yang dapat dilakukan secara lisan ataupun lisan. c. Hak Angket Hak angket adalah hak anggota badan legislatif
untuk mengadakan
penyelidikan sendiri. Dalam pelaksanakan penyelidikan tersebut, legislatif yang mengajukan akan membentuk suatu panitia angket yang akan melaporkan hasil penyelidikannya kepada seluruh anggota legislatif yang bersangkutan.
7.Metodologi Penelitian 7.1 Jenis Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif melalui pendekatan kualitatif. Metode deskriptif dapat
diartikan sebagai
prosedur
pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan, melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian seseorang, masyarakat dan lain – lain, pada saat sekarang berdasarkan fakta – fakta yang tampak dan sebagainya. Pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitian non hipotesis sehingga dalam langkah langkah penelitian tidak memerlukan hipotesis. Sedangkan pendekatan kualitatif Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
dilakukan dengan cara melihat beberapa variabel yang berhubungan dengan inti permasalahan penelitian ini. Dalam penelitian penulis menggambarkan lebih dalam kedudukan lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan yaitu lembaga eksekutif dan legislatif pascaamandemen UUD 1945 . Sehingga kemudian dapat dijelaskan fungsi dari masing – masing lembaga – lembaga tersebut serta keterkaitan antara kedua lembaga tersebut. Dimana menyangkut hal – hal apa saja yang menyebabkan kurang terciptanya hubungan yang baik antara eksekutif dan legislatif pascaamandemen UUD 1945. 7.2 Teknik Pengumpulan Data Dalam memperoleh data dalam penelitian ini penulis menggunakan metode library research atau studi pustaka yaitu dengan menggunakan data – data yang bersumber dari buku – buku, makalah, jurnal, internet serta sarana informasi lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian. Data – data tersebut berguna khususnya sebagai referensi yang melengkapi latar belakang masalah dan dasar – dasar teori Dalam mengumpulkan data penulis melakukan penelusuran melalui sumber – sumber tertulis seperti buku – buku, jurnal serta media yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan eksekutif dan legislatif pascaamandemen UUD 1945. Melalui cara pengumpulan data tersebut sehingga dapat digambarkan tentang hubungan antara eksekutif dan legislatif pascaamandemen UUD 1945
7.3 Teknik Analisa Data Data – data yang telah diperoleh baik data yang berasal dari kepustakaan dan sumber – sumber lainnya
kemudian penulis akan menganalisis dan
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
menyimpulkan sebagai hasil dari penelitian yang dikerjakan. Dalam menganalisi data menggunakan analisis data kualitatif. Untuk analisis data kualitatif digunakan pada data yang tidak bisa dihitung dan berwujud kasus – kasus. Hasil analisis akan menggambarkan hal – hal apa saja yang menyebabkan kurang terciptanya hubungan yang seimbang antara eksekutif dan legislatif pascaamandemen UUD 1945
8.Sistematika Penulisan Untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih terperinci, maka penulis membagi dalam empat bab. Untuk itu disusun sistematika sebagai berikut : BAB I
:PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah,
pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II
:DESKRIPSI KEKUASAAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF PASCA AMANDEMEN UUD 1945
Bab
ini
mendeskripsikan
lembaga
eksekutif
dan
legislatif
pascaamandemen UUD 1945 yaitu, Kekuasaan Legislatif, Pemilihan Presiden Langsung, Kedudukan KekuasaanWewenang dan Tugas Presiden serta Presiden dan Wakil Presiden, Kekuasaan Legislatif, Perkembangan Lembaga Legislatif di Indonesia, Fungsi Tugas dan Wewenang DPR, Parlemen Sebagai Sistem Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
BAB III :PEMBAHASAN HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF PASCAAMANDEMEN
UUD
1945
DALAM
SISTEM
PRESIDENSIL Bab ini membahas
tentang hubungan eksekutif dan legislatif pasca
amandemen UUD 1945 dalam sistem presidensil , yaitu Reformasi Konstitusi, Kekuatan Partai Politik, Implementasi Sistem
Presidensil serta Hubungan
Eksekutif dan Legislatif Pascaamandemen UUD 1945
BAB IV
:PENUTUP
Pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran yang berguna terkait dengan penelitian.
B A B II DESKRIPSI KEKUASAAN LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Sistem ketatanegaraan Indonesia diatur dalam UUD 1945 sebelum amandemen mengenal lembaga tertinggi negara dan lima lembaga tinggi negara. Berdasarkan UUD 1945 dan TAP MPR No.III/MPR/1978 maka ditentukan sebagai lembaga tertinggi negara serta DPR, Presiden, Mahkamah Agung, DPA dan BPK sebagai lembaga tinggi negara. Atas dasar kewenangan MPR terlihat superioritas MPR terhadap Presiden. Secara formal peraturan sistem politik Indonesia ada dalam UUD 45 atau berdasarkan konstitusi UUD 45, UUD 45 itu merupakan ketentuan pokok tentang Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
sistem politik Indonesia antara lain : a. Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik b. Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR maka Indonesia menganut paham kedaulatan Rakyat. MPR adalah lembaga yang anggotanya terdiri dari DPD dan DPR. c. Sistem pemerintahan yang digunakan adalah Sistem Presidentiil, bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan, membentuk UU dengan persetujuan DPR, menetapkan pemerintah untuk melaksanakan UU. Maka disini jabatan presiden yang pegang kekuasaan pemerintahan. d. DPR yang secara operasional mempunyai fungsi legislatif yang berfungsi sebagai bentuk pengawas terhadap pemerintah. Badan ini dengan pemerintah bertugas membentuk dan merumuskan UU. e. Kekuasaan yudikatif menurut pasal 24 UUD 45 dilaksanakan oleh MA. 1. Kekuasaan Eksekutif Tugas badan eksekutif menurut ajaran trias politica yaitu melaksanakan kebijaksanaanya
yang
telah
ditetapkan
oleh
badan
legislatif
serta
menyelenggarakan undang – undang yang dibuat oleh badan legislatif. Menurut Harold J Laski, lembaga eksekutif adalah :
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
“alat yang berkewajiban melaksanakan peraturan – peraturan yang telah ditetapkan oleh badan pembuat Undang – Undang dan bekerja di bawah pengawasan badan pembuat Undang – Undang.” Di negara demokratis badan eksekutif biasanya terdiri dari kepala negara beserta menteri – menterinya. Eksekutif adalah pelaku utama kekuasaan negara. Pelakasana tugas eksekutif dilakukan oleh sebuah organ yang disebut kabinet. Dalam sistem presidensiil menteri – menteri merupakan pembantu presiden dan langsung dipimpin olehnya sedangkan dalam sistem parlementer para menteri dipimpin oleh seorang perdana menteri. Dalam sistem presidensil presiden yang memperoleh mandat langsung dari rakyat dan olehkarenanya harus bertanggung jawab kepada rakyat dalam artian bukan kepada partai. Dalam sistem presidensil program eksekutif sepenuhnya merupakan tanggung jawab presiden dengan rakyat. Demikian juga pembentukan kabinet dalam sistem presidensil di dasarkan sepenuhnya kepada pilihan presiden yang umumnya dipilih berdasarkan kriteria yang profesional yang disebut kabinet keahlian.
29
Sistem pemerintahan presidensiil memiliki tiga karakteristik yang mendasar. Pertama, presiden dipilih langsung oleh rakyat atau melalui dewan pemilih untuk periode tertentu dengan masa jabatan yang pasti dan bertanggung jawab kepada rakyat. Presiden tidak bertanggungjawab kepada legislatif. Kedua, Presiden tidak dapat diberhentikan dengan mosi tidak percaya dengan alasan politik oleh legislatif. Presiden hanya dapat diberhentikan melalui impeachment karena telah melanggar haluan negara. Ketiga, presiden merupakan kepala
29
Hendarmin Ranadireksa, op.cit., Hal 133
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
eksekutif tunggal. Presiden berada pada posisi yang kuat dan memiliki kekuasaan yang luas dalam menentukan kebijakan publik dalam batas – batas rambu undang – undang.Untuk melahirkan kepemimpinan nasional yang demokratis maka dalam pengisian jabatan presiden dan wapres serta dilaksanakan pemilihan umum secara langsung
yang pelaksanaannya dapat
dijumapi dalam beberapa sistem
pemerintahan negara. Undang - Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi yang mendasari sistem politik Indonesia, sistem yang digunakan dalam hal ini yaitu Sistem Presidensiil. Yang diberi kekuasaan pada presiden sedemikian besar sehingga dalam pelaksanaan pemerintahan kekuasaan politik itu sebahagian besar ada di tangan presiden. Hal ini akan memberikan konsekuensi yaitu melemahnya perananan parpol dan parlemen. Dalam ketentuan sistem politik Indonesia berkaitan dengan negara Indonesia yaitu negara kesatuan. Sebagai negara kesatuan sistem ketatanegaraan yang menetapkan bahwa seluruh wilayah negara tanpa kecuali merupakan kesatuan wilayah adminastrasi hukum. Dalam konteks UUD 45 yang sebelum di amandemen yang menganut sistem presidensiil, untuk memahami suasana itu dapat ditandai dengan beberapa hal yaitu Presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan, Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR dan DPR tidak dapat menjatuhkan presiden., Presiden dipilih melalui badan pemilihan yang dilakukan MPR. Ketika reformasi bergulir banyak perubahan yang dilakukan mengenai kekuasaan eksekutif melalui empat kali amandemen terhadap Undang - Undang Dasar 1945. 1.1 Pemilihan Presiden Langsung Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Pengisian jabatan presiden dan wakil presiden dilakukan melalui pemilihan dalam dua sistem yang berbeda. Pemilihan presiden dan wapres sebelum amandemen ditentukan MPR dengan suara terbanyak sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen. Sedangkan pemilihan presiden dan wapres secara langsung pascaamandemen UUD 1945 pada prinsipnya dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 yang menentukan Presiden dan wapres dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden sebelum amandemen UUD 1945 menganut paham demokrasi perwakilan sedangkan pemilihan Presiden dan wapres pascaamandemen UUD 1945 menganut paham demokrasi langsung. Mengenai syarat – syarat calon Presiden dan wapres proses dan tata aturan pemilihannya diatur dalam UUD 1945 dan Undang – Undang No.23 tahun 2003 tangal 31 Juli 2003 tentang “Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden” Negara – negara modern menciptakan terciptanya demokrasi yang representatif dalam kehidupan politik dan negara. Pemilihan presiden pada prinsipnya dapat ditemukan dalam dua sistem yaitu : 1. Pemilihan tidak langsung (indirect popular vote) yaitu pemilihan dilakukan oleh badan perwakilan seperti pemilihan Presiden dilakukan oleh MPR sebelum perubahan UUD 1945. 2. Pemilihan langsung (direct popular vote) yaitu pemilihan Presiden yang dilakukan langsung oleh rakyat.
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Pascaamandemen UUD 1945, Indonesia menganut sistem pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Pemilihan Presiden secara langsung adalah konsekuensi logis dari sistem pemerintahan presidensiil yang dianut oleh Indonesia. Pemilihan presiden secara langsung mengandung makna substansial antara lain : 1. Penciptaan ekuilibrium (keseimbangan) legitimasi sekaligus check and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif. 2. Pertanggungjawaban presiden terpilih secara langsung kepada konstituen pemilihnya (direct responsible to the people) yang diharapkan mampu menciptakan kondisi yang diperlukan bagi pemerintahan yang legitimate. 3. Penyelenggaraan pemerintahan yang stabil karena kontrol dan legitimasi. 30 Presiden keenam RI merupakan presiden pertama yang dilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas dan rahasia, jujur dan adil yang menetapkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla sebagai pasangan Presiden dan wapres terpilih. Menurut sistem UUD 1945 pasca perubahan yang tetap mempertahankan sistem pemerintahan presidensiil, Presiden memiliki legitimasi yang kuat karena berdasarkan Pasal 6A UUD 1945 dan UU No.233 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan ketentuan Pasal 7B UUD 1945 dalam melaksanakan fungsi pengawasan DPR, Dewan ini meskipun berpendapat bahwa Presiden dan atau 30
Leo Agustino, Pemilihan Presiden secara Langsung untuk Indonesia, Analisis CSIS. Tahun XXXI / 2003, No.2, Hal.248 Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
wakil presiden telah melanggar hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau wapres seperti diatur dalam Pasal 7A UUD 1945, namun karena kedudukan DPR sejajar/ seimbang dengan presiden sehingga tidak dapat saling menjatuhkan, maka DPR tidak memproses dan mengambil putusan terhadap pendapatnya sendiri akan tetapi mengajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR yang berisi dugaan DPR tersebut. Jika putusan MK menyatakan bahwa Presiden dan wapres terbukti melakukan pelanggaran hukum dan atau tidak terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden seperti ditentukan dalam Pasal 7A UUD 1945, DPR meneruskan usul pemberhentian ke MPR. DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden . Sedangkan dalam Pasal 7C UUD 1945, Presiden juga tidak dapat membekukan DPR Jadi menurut sistem UUD 1945 pasca perubahan kedudukan Presiden dan DPR adalah setara seimbang. 1.2 Kedudukan, Kekuasaan, Wewenang dan Tugas Presiden Kedudukan, kekuasaan, wewenang dan tugas presiden dalam negara demokrasi modern diatur secara rinci dalam UUD. Rincian kewenagan presiden tersebut dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan presiden agar tidak menyimpang. Dalam sistem presidendiil, presiden mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai kepala pemerintahan dan sebagai kepala negara. Presiden sebagai kepala pemerintahan diatur dalam Pasal 4 UUD 1945 baik sebelum atau sesudah amandemen. Kedudukan presiden sebagai kepala negara ditemukan dalam penjelasn UUD 1945 yang menentukan bahwa kekuasaan presiden dalam Pasal 10,11,12,13,14 dan 15 adalah konseluensi presiden sebagai kepala negara Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
1. Kekuasaan Presiden sebagai Kepala Eksekutif Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif mempunyai tugas melaksanakan undang – undang akan tetapi selain tugas melaksanakan undang – undang presiden juga memiliki berbagai kekuasaan dan wewenang dalam rangka mencapai tujuan negara. Ismail Suni mengemukakan bahwa kekuasaan umum eksekutif adalah berasal dari UUD yang antara lain : a. Kekuasaan Administratif Presiden Penyelenggaraan kekuasaan eksekutif dapat dibedakan antara kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum dan pemerintahan yang bersifat khusus. Presiden sebagai Kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan bersifat umum adalah kekuasaan menyelenggarakan administrasi negara. Sedangkan kekuasaan penyelenggaraan negara yang bersifat khusus adalah penyelenggaran tugas dan wewengan pemerintahan b. Kekuasaan Legislatif Bertolak dari ajaran trias politica Montesquie maka presiden mempunyai kekuasaan eksekutif yaitu menjalankan undang – undang. Kekuasaan legislatif berada di tangan parlemen. UUD 1945 mempraktikkan ajaran trias politica tetapi tidak dalam arti separation of power akan tetapi dalam bentuk distributin of power. Wewenang presiden dalam bidang legislatif yaitu pembentukan undang – undang, penetapan peraturan pemerintah (pp), dan penetapan peraturan pemerintah pengganti undang – undang (perpu) c. Kekuasaan Yudikatif
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Kekuasaan presiden di bidang yudikatif adalah kekuasaan presiden memberikan grasi, abolisi, amnesti dan rehabilitasi. Kekuasaan ini sering juga disebut dengan kekuasaan preogratif presiden. Pascaamandemen UUD 1945 ketentuan pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi mengalami perubahan yang diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 yang berbunyi : (1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan Mahkamah Agung (2) Presiden memberi Amnesti dan Abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Dengan adanya persyaratan bahwa presiden harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung dan DPR dalam pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi maka proses check and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan baik. d. Kekuasaan Militer Pasal 10 UUD 1945 menentukan presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Dan Pasal 11 UUD 1945 menentukan bahwa presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 UUD 1945. Pascaamandemen UUD 1945 ketentuan Pasal 11 dirubah menjadi tiga ayat, yakni ayat (1) Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Perang berakibat luas terhadap kehidupan rakyat. Kewenangan presiden untuk menyatakan perang harus dengan persetujuan DPR sebagai lembaga perwujudan Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
kedaulatan rakyat yang benar – benar memberikan pertimbangan dari berbagai aspek kepada presiden tentang urgensi perang tersebut. e. Kekuasaan Diplomatik Dalam pasal 11 UUD 1945 ditentukan bahwa selain memiliki kewenangan menyatakan perang, presiden juga mempunyai kewenangan membuat perdamaian dan perjanjian internasional. Perjanjian – perjanjian yang tidak mempunyai dampak kepada APBN, politik dalam negeri dan politik luar negeri tidak perlu dilakukan
dengan
persetujuan
DPR.
Pasal
11
ayat
(2)
UUD
1945
pascaamandemen menentukan bahwa presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan mengharuskan perubahan atas persetujuan DPR. Pascaamndemen lahirlah UU No.24 Tahun 2000 tidak membedakan antara treaty dan agreement melainkan hanya perjanjian internasional. Dengan adanya persyaratan persetujuan dari DPR maka perjanjian yang dibuat presiden tidak atas kemauan sendiri. Perjanjian internasional yang dibuat dengan presiden dengan persetujuan DPR diharapkan dapat bermanfaat bagi bangsa dan peningkatan kesejahteraan rakyat. 2. Kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara Setelah perubahan UUD 1945 kekuasaan presiden sebagai kepala negara mengalami perubahan yang diatur dalam pasal – pasal berikut : a. Pasal 10 Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi dan angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
b. Pasal 11 Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perjanjian dan perdamaian dengan negara lain c. Pasal 12 Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat – syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang – undang d. Pasal 13 (1) Presiden mengangkat duta dan konsul (2) Dalam hal mengangkat duta, presiden memperhatikan pertimbangan DPR (3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR Sebelum ada perubahan atas UUD 1945 presiden selaku kepala negara mempunyai wewenag menentukan sendiri duta dan konsul serta menerima duta negara lain. Mengingat pentinganya kedudukan duta dan konsul bagi akurasi informasi untuk keperntingan hubungan baik antara kedua negara dan bangsa maka Presiden memerlukan pertimbangan DPR yang bersifat tidak mengikat secara yuridis formal dan agar Presiden tidak disalahkan apabila menolak duta asing untuk Indonesia. e. Pasal 14 (1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA (2) Presiden memberi amnesti, dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Maksud perubahan ini agar Presiden sebagai kepala negara dalam meberikan grasi, amnesti, rehabilitasi dan abolisi mendapat masukan dari lembaga yang tetap sesuai fungsinya yaitu MA bagi pemberian grasi dan rehabilitasi serta DPR untuk pemberian amnesti dan abolisi f. Pasal 15 (1) Presiden memberi gelar, tanda jasa dan lain – lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang – undang g. Pasal 17 (2) Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri – menteri Kewenangan presiden sebagai kepala negara yang diatur dalam Pasal 16 UUD 1945 pascaamandemen yaitu kewenangan presiden untuk membentuk dewan perimbangan yang bertugas memberi nasihat dan pertimbangan 3. Tugas dan Wewengan Presiden Tugas dan wewenang pemerintahan dapat dikelompokkan dalam beberapa golongan yaitu : a. Tugas dan wewenang administrasi di bidang keamanan dan ketertiban umum. Tugas utama pemerintahan adalah memelihara dan menjaga serta menegakkan ketertiban umum dan keamanan. Pembukaan UUD 1945 alinea keempat dengan tegas menyebutkan bahwa tujuan Indonesia merdeka adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. b. Tugas dan wewenang menyelenggarakan tata usaha pemerintahan Tugas
ketatausahaan
dilaksanakan
oleh
Sekretaris
Negara
juga
dilaksanakan oleh departemen – departemen dan badan – badan negara. Tugas Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
ketatausahaan
negara
juga
menyangkut
pelayanan
administrasi
kepada
masyarakat. c. Tugas dan wewenang administrasi negara di bidang pelayanan umum Tugas dan wewenang dalam pelayanan umum sering disebut dengan public service. Pelayanan umum meliputi penyediaan rumah sakit, jalan, pendidikan, panti sosial, subsidi, dan pemberian izin bidang usaha. d. Tugas dan wewenang administrasi negara di bidang penyelenggaraan kesejahteraan umum Pada alinea keempat UUD 1945 disebutkan bahwa yang menjadi tujuan Indonesia merdeka adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Pemerintah mempunyai tugas dan kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan umum dengan menetapkan kebijakan pembangunan di bidang ekonomi. Beberapa kekuasaan Presiden dalam bidang legislatif : a.Kewenangan Presiden dalam Pembuatan Undang – Undang Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 maka presiden mempunyai hak inisiatif untuk mengajukan RUU untuk kemudian diminta persetujuan DPR agar RUU yang diajukan presiden tersebut disahkan menjadi undang – undang. Setiap undang – undang harus dengan persetujuan DPR. Apabila RUU yang diajukan presiden tidak disetujui DPR, maka RUU tersebut gagal menjadi undang – undang. RUU tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 UUD 1945. Dari ketentuan pasal ini pascaamandemen mengharuskan RUU mendapat persetujuan bersama antara presiden dan DPR yang menunjukkan posisi kesetaraan antara presiden dan DPR. Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
b.Kewenangan Presiden dalam membuat Peraturan Pemerintah Undang – undang seringkali membutuhkan peraturan pelaksanaan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP). Kekuasaan presiden dalam membentuk PP baik sebelum atau pascaamandemen UUD 1945 tidak mengalami perubahan. Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi Presiden menetapkan PP untuk menjalankan undang – undang sebagaimana mestinya. PP yang dibentuk dimaksudkan sebagai peraturan menjalankan undang – undang. Materi muatan PP adalah semua materi undang – undang yang perlu dijalankan dan diatur lebih lanjut sebagaimana disyaratkan undag – undang. Materi yang termuat dalam PP tidak dapat dipisahkan dengan materi yang termuat undang – undang. PP dalam praktik kenegaraan berisi ketentuan yang memperjelas materi yang termuat dalam undang undang sehingga mempermudah dalam pelaksanaan undang – undang tersebut. Dalam praktek bernegara undang – undang yang mensyaratkan adanya peraturan pelaksana sering tidak dapat dijalankan karena keterlambatan pembuatan PP. DPR sebagai lembaga pengawasan berhak mengingatkan presiden untuk segera mengeluarkan PP untuk pelaksanaan undang – undang tersebut. c.Kewenangan Presiden membuat Perpu Kekuasaan presiden membuat Perpu diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. adapun isi Pasal 22 UUD 1945 sebelum dan pascaamandemen adalah sebagai berikut : (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapka peraturan pemerintah sebagai pengganti undang – undang. Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Persoalan timbul dengan istilah hal ihwal kegentingan yang memaksa. Istilah ini menimbulkan penafsiran yang multitafsir karena tidak ditentukan apa yang menjadi kriteria tentang kegentingan memaksa tersebut. Ole karena itu dalam pelaksanaannya pasal ini perlu dikeluarkan ketentuan dalam undang – undang yang menentukan kriteria atau syarat – syarat yang harus dipenuhi tentang hal kegentingan yang memaksa. Dengan adanya kriteria dan syarat tersebut maka presiden tidak dengan mudah mengeluarkan Perpu. 1.3 Presiden dan Wakil Presiden Pada Pasal 4 UUD 1945 sebelum amandemen ditentukan bahwa pemegang
kekuasaan
pemerintahan
adalah
presiden
dan
melaksanakan
kewajibannya Presiden dibantu oleh wapres. Dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 ditentukan bahwa presiden dan wapres dipilih MPR.
Presiden dan wapres
memegang jabatan selama lima tahun. Pada masa Orde Baru praktek pemilihan presiden dan wakil presiden selalu dilakukan dua tahapan yaitu tahapan pertama dilakukan pemilihan presiden oleh MPR. Pada tahap kedua dilakukan pemilihan wapres. Substansi Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen bahwa yang menetukan wapres adalah MPR. Akan tetapi dalam praktek pelaksanaan era Orde Baru pemilihan wapres oleh MPR harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Presiden. Oleh karena itu pemilihan presiden secara substansi merupakan pengangkatan karena tidak ada alternatif pilihan. Hal serupa juga terjadi pada Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
pemilihan presiden dimana calon presiden hanya satu yaitu Soeharto sehingga pemilihan presiden secara substansi merupakan pengangkatan presiden. Setelah terjadi amandemen UUD 1945 maka lembaga kepresidenan mengalami perubahan. Menurut pasal 4 ayat (2) UUD 1945 pascaamandemen masih tetap ditentukan bahwa presiden dalam melakukan kewajibannya tetap dibantu oleh wakil presiden. Akan tetapi presiden dan wapres dipilih langsung oleh rakyat dalam satu pasangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 pascaamandemen. Dalam UUD 1945 pascaamandemen tidak ada penjelasan pengaturan tentang kedudukan wakil presiden. Kedudukan wakil presiden adalah membantu Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.Salah satu unsur penting dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan adalah adanya pertanggungjawaban dan pengawasan. Dalam UUD 1945 pascaamandemen tidak ada ditemukan pengaturan pertanggungjawaban Presiden dan wapres. Presiden dan wapres yang dipilih langsung oleh rakyat tidak lagi melaksanakan GBHN yang ditetapkan oleh MPR. Presiden dan wapres melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan program kerja yang disampaikannya kepada rakyat pada waktu kampanye pemilihan umum Presiden. Sebagai konsekuensinya Presiden dan wapres bertanggungjawab kepada rakyat.Dengan demikian apabila Presiden tidak dapat memenuhi target program kerja yang dikampanyekan dalam kampanye presiden pemilihan Presiden, maka Presiden tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara politis atau secara hukum yang akan membawa akibat berhentinya Presiden dalam masa jabatan. Dalam hal ini risiko yang dihadapai oleh Presiden ialah Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
kemungkinan rakyat tidak akan memilih kembali pada pemilihan Presiden berikutnya setelah masa jabatan Presiden dan wakil Presiden habis. Akhirnya dapat dikemukakan bahwa negara kesatuan RI adalah negara hukum yang menegakkan supremasi hukum untuk tegaknya kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan atau akuntabel. Dari substansi alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, dapat terlihat bahwa Indonesia menganut asas kedaulatan rakyat. Artinya rakyatlah yang berkuasa dalam negara , rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi atas negara serta tujuan yang hendak dicapai oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu negara harus tunduk kepada keinginan rakyat, baik keinginan dibidang politik, sosial, ekonomi maupun budaya. Kedaulatan rakyat meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui pemilihan umum, yang antara lain bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada warga negara dalam melaksanakan kedaulatan rakyat.Secara normatif, proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden berpijak pada ketentuan dukungan partai, hal ini diatur dalam Pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945 pascaamandemen.Dari Pasal 6A ayat (2) tersebut di atas nampak bahwa partai memiliki peran yang sangat besar dalam memberikan rekomendasi terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden. Secara empirik dalam struktur multipartai, akan memberikan kemungkinan yang sangat besar untuk terjadinya persaingan yang sangat ketat dalam melakukan penjaringan bakal calon presiden dan wakil presiden, terkait dengan kepentingan partai yang
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
mencalonkan. Persaingan ini terjadi, jika masing-masing partai mempunyai caloncalon yang dianggap layak menduduki jabatan tersebut. Dalam praktik multipartai sangat dimungkinkan bahwa calon presiden dengan calon wakil presiden berasal dari partai yang berbeda. Sehingga diperlukan pasangan calon yang benar – benarr dapat bekerja sama agar kinerja lembaga ini dapat serasi. Prosedur pencalonan yang berdiri sendiri ataupun pola paket seperti yang dipilih sekarang ini oleh bangsa Indonesia dalam menentukan Presiden dan Wakil Presiden nya, akan memiliki implikasi yang berbeda pada konsekuensi saling dukung antarpartai. Pola yang berdiri sendiri-sendiri akan memperbanyak friksi politik antarpartai. Selain itu, belum tentu antara presiden dan wakil presiden merupakan dua sosok yang saling dapat bekerja sama. Sementara itu, pola paket akan membawa situasi kristalisasi dua partai yang saling bergabung untuk saling menyukseskan calonnya. Dengan langkah ini, sejak awal sudah dapat diprediksi pola tawar-menawar antara partai satu dengan lainnya yang akan berkoalisi mencalonkan paket Presiden dan Wakil Presiden. Dilihat dari aspek demokrasi, maka situasi ini memberikan kontribusi yang besar dalam menciptakan demokratisasi. Pada tahap pencalonan Presiden dan Wakil Presiden akan terjadi tarikmenarik kepentingan antara partai politik, sehubungan dengan distribusi dukungan suara. Masing-masing partai akan melakukan tawar-menawar suara untuk memberikan dukungan dengan kompensasi tertentu. Secara praktis, kompensasi ini dapat diberikan langsung dalam bentuk jatah jabatan menteri kepada partai yang mendukung koalisi pencalonan Presiden dan Wakil Preiden. Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Proses tawar-menawar ini akan berada pada dua situasi penting. Pertama, masing-masing partai politik besar yang memiliki cukup suara akan berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dari keadaan persaingan antarcalon. Posisi tawar-menawar ini akan bergantung pada seberapa besar kompensasi yang akan diperolehnya. Kedua, dalam tubuh partai sendiri akan terjadi konflik intern, manakala terdapat perbedaan pendapat baik atas calon yang akan dipilih maupun masalah kompensasi yang akan diperoleh partai. Dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, diharapkan Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih benar-benar sesuai dengan kehendak dari sebagian besar rakyat, dan tidak seperti halnya Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh MPR, yang seringkali pilihan MPR tidak sama dengan kehendak (aspirasi) sebagian besar rakyat. Presiden dan Wakil Presiden yang tidak dipilih secara langsung oleh rakyat akan lebih loyal pada partai yang memilihnya, dari pada memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Dengan pemilihan secara langsung, rakyat dapat menilai, menimbang dan mengambil keputusan politik untuk memilih calon pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang dipercaya dan seaspiratif. Dengan pemilihan secara langsung, legitimasi yang dimiliki oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih sangatlah kuat, karena dukungan suara yang diperoleh dari rakyat peserta pemilihan umum harus lebih dari 50 persen secara nasional, dan harus mencapai sedikitnya 20persen suara disetiap provinsi yang tersebar lebih dari separuh jumlah provinsi yang ada di Indonesia.
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Dalam praktek ketatanegaraan presiden dibantu oleh
menteri-menteri
negara. Pembentukan kabinet adalah pembentukan/penentuan jabatan menteri. Pasal 17 UUD 1945 mengatur bahwa presiden berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan menteri. Berdasarkan ketentuan ini, maka presiden memiliki otoritas yang tinggi untuk menentukan siapa yang akan menduduki jabatan menteri. pembentukan kabinet bukan peristiwa yang berdiri sendiri, tetapi juga berkaitan dengan persoalan pemilihan presiden dan wakil presiden terdahulu. Oleh sebab itu, komposisi calon menteri yang akan menjalankan pemerintahan sebagai pembantu presiden, juga bergantung pada kontribusi masing-masing partai terhadap proses pencalon dan pemungutan suara terhadap presiden terpilih. Mengabaikan proses tawar-menawar pada tahap yang terdahulu dapat menjadi masalah yang berkepanjangan pada jalannya pemerintahan. Dengan pemikiran seperti ini, bisa jadi profesionalisme calon menteri kabinet dapat dikalahkan dengan kepentingan partai untuk memperoleh jabatan. Sistem pembentukan kabinet sebagaimana dianut oleh Pasal 17 UUD 1945 yang berlandaskan sistem presidensiil memang sangat berbeda dengan sistem parlementer. Keberadaan multipartai pada sistem parlementer tidak banyak menimbulkan masalah bagi hubungan antarmenteri dalam kabinet. Sementara itu, pada sistem presidensiil yang menganut multipartai seperti yang terjadi di negara kita sekarang ini, problematika sinkronisasi kepentingan politik perlu memperoleh perhatian yang lebih serius. Mengabaikan persoalan ini akan berakibat pada terganggunya kinerja kabinet di kemudian hari.
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Dengan sistem presidensial murni, segala bentuk kesepakatan mengenai koalisi hanya terjadi menjelang pemilihan presiden berlangsung, dengan kata lain apabila presiden telah terpilih, maka keputusan sepenuhnya berada di tangan presiden, sedangkan kesepakatan yang berkait dengan koalisi tinggal menjadi dokumen
sejarah.Sejak
lengsernya
Presiden
Soeharto,
dalam
praktek
ketatanegaraan Republik Indonesia sistem pemerintahannya menjadi campuran antara sistem presidensial dan parlementer, demikian pula komposisi kabinet pasca Presiden Soeharto adalah kabinet pelangi , karena kabinet merupakan koalisi dari berbagai partai politik pendukung koalisi paket Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 6A dan Pasal 17 ayat (2) cukup jelas dinyatakan, bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat serta menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Apabila konsekwen dengan isi pasal tersebut, maka sudah semestinya diikuti pula tolok ukur sistem pemerintah presidensial yang antara lain: (1) Kekuasaan bersifat tunggal (tidak bersifat kolegial) baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan; (2) Kedudukan presiden dan parlemen sama kuatnya dan tidak bisa saling menjatuhkan; (3) Masa jabatan presiden bersifat pasti (fix-term) , tidak dapat diberhentikan kecuali melanggar konstitusi; (4) Presiden dan Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen, tetapi bertanggung jawab kepada rakyat; (5) Presiden dipilih rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan suara mayoritas; (6) Presiden dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh menteri-menteri dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada Presiden; (7) Pertangujawaban pemerintahan berada Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
di tangan Presiden.Oleh karena itu tidak tepat apabila dalam sistem kabinet presidensial, DPR mencampuri kewenangan yang seharusnya menjadi domain presiden, bahkan dalam UUD 1945 sekarang ini nampak adanya dominasi legislatif terhadap eksekutif. Banyak pihak yang menilai bahwa DPR pasca perubahan UUD 1945 telah menjadi Super Parliament, yaitu sebuah lembaga perwakilan rakyat dengan kewenangan yang sangat besar, dan hal ini diperburuk lagi dengan adanya sistem multi partai pada kabinet presidensial
2. Kekuasaan Legislatif (Parlemen) 2.1. Perkembangan Lembaga Legislatif di Indonesia Badan legislatif dalam sistem ketatanegaraan modern disebut dengan parlemen. Anggota – anggota parlemen dipilih oleh rakyat. Parlemen menjadi instrumen
penting
pengejawantahan
dalam
prinsip
penyelenggaran kedaulatan
rakyat
demokrasi dalam
dan
merupakan
bentuk
perwakilan.
Sebagaimana dijelaskan bahwa dalam konsep demokrasi menempatkan partipasi sebagai intinya, berarti menghendaki diikutsertakannya masyarakat dalam perbuatan kebijakan publik (public policy).Pembuatan kebijakan hukum merupakan tindakan politik sehingga dalam proses Rancangan Undang-Undang terjadi tiga proses pelaksanaan fungsi sistem politik yaitu fungsi input, fungsi pengolahan dan fungsi output. Oleh karen itu dinamika dalam parlemen sangat dipengaruhi oleh kepentingan dan kekuatan – kekuatan politik yang bersaing di dalamnya. Apabila kekuatan politik dalam parlemen terkooptasi oleh eksekutif maka parlemen menjadi rubber stamp eksekutif, apabila kekuatan – kekuatan Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
politik dalam parlemen menyatu dan tidak dapat dikooptasi oleh eksekutif maka proses check and balances dalam pengelolaan pemerintah dapat terlaksana dengan baik akan tetapi dapat juga dapat terjadi ketegangan antara eksekutif dan legislatif dalam pelaksanaan tugas – tugas pemerintahan. Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini telah mengalami pergantian parlemen sesuai dengan masanya. Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen bentukan penjajah Belanda yang dinamakan Volksraad. Volksraad dibentuk sebagai dampak dari gerakan nasional serta perubahan yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya Perang Dunia I (1914 – 1918). Pembentukan tersebut ternyata baru terlaksana pada tahun 1918 oleh Gubernur Jenderal Mr Graaf van Limburg. Kaum nasioanalis moderat antara lain Mohammad Husni Thamrin dan lainnya menggunakan Voksraad sebagai jalan untuk mencapai cita – cita Indonesia merdeka.. Sesuai dengan perkembangan politik di Indonesia perubahan sedikit demi sedikit terjadi di lembaga ini. Perubahan yang signifikan terjadi pada saat aturan pokok kolonial Belanda di Indonesia yaitu RR pada saat aturan pokok kolonial Belanda di Indonesia yaitu RR (Regeling Reglement) menjadi IS (Indische Staatsregeling). Perubahan ini membawa pengaruh pada komposisi dan tugas – tugas volksraad. 31 Pada periode sistem politik demokrasi parlementer (1945-1950) terdapat beberapa badan legislatif yang secara bergantian melaksanakan tugasnya. Pertama adalah (16 Oktober 1945 sampai dengan 15 Februari 1950) yaitu pada waktu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) berkarya sejak awal kemerdekaan sampai 31
AM Fatwa, Melanjutkan Reformasi Membangun Kembali Demokrasi(Jejak Langkah Parlemen di Indonesia Periode 1999 – 2004), op.cit, hal.6 - 7 Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
dengan terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan senat Republik Indonesia Serikat . Sejak tanggal 16 Oktober 1945, terjadi perubahan mendesak dalam kedudukannya KNIP. Dalam sidang KNIP 15 Oktober 1945 diusulkan agar tugas dan kedudukan KNIP, usulan tersebut ternyata direspon oleh peemrintah dan wakil presiden dalam hal ini Moh. Hatta mengeluarkan sebuah Maklumat Pemerintah No. X tanggal 16 Oktober 1945. Dan salah satu butir Maklumat tersebut berbunyi :“ sebelum terbentuk MPR, DPR dan DPA maka KNIP diserahi tugas atau kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN “. Maklumat tersebut pada azasnya telah merubah secara jelas pasal IV Aturan Peralihan UUD 45, maka sejak itu KNIP menamakan sebagai badan legislatif. Sejajar dengan badan-badan lainnya seperti Presiden, DPA, dan MA maka sekaligus dengan itu Indonesia pada masa itu telah memiliki badan legislatif dengan sistem satu kamar.Tugas utama KNIP adalah membuat UU bersama dengan pemerintah dan menetapkan GBHN. Masa kerja KNIP berakhir sejak beralkunya Konstitusi RIS 1959 badan legislatif menganut Sistem Dua Kamar. Senat RIS dan DPR merupakan badan legislatif yang umurnya relatif dalam sistem politik Indonesia yakni selama enam bulan. Adapun proses pembentukanny DPR dan Senat RIS dimulai sejak diadakannya perundingan Indonesia – Belanda dalam KMB. Kontitusi RIS 1949 yang membentuk Indonesia menjadi negara Serikat (federal), 16 negara bagian bentukan Belanda dan dalam kaitan ini badan legislatif menganut sistem Dua Kamar yaitu DPR dan Senat RIS. Pemilu pertama di era pemerintahan Soeharto yang dilaksanakan pada 3 Juli 1971 diikuti oleh 7 partai politik dan 1 dari unsur golongan . Ketujuh partai Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
politik tersebut adalah Partai Katolik, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Nahdatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Nasionalis Indonesia, Partai Islam Perti dan Golongan Karya. Setelah pemilu 1971 sampai pada pemilu 1997 hanya diikuti oleh dua partai politik dan Golongan Karya. Hal ini terjadi karena adanya fusi partai politik yang melibatkan unsur nasionalis yang melebur ke Partai Demokrasi Indonesia dan fusi unsur Islam ke Partai Persatuan Pembagunan. Hal ini dilakukan karena adanya campur tangan pemerintah agar pemilihan umum dapat dikontrol dan demi menjaga stabilitas keamanan negeri. Setelah pemilu 1971, pelaksanaan pemilu secara periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu III diselenggarakan 6 tahun setelah pemilu 1971 yakni tahun 1977 setelah itu pemilu selalu terjadwal sekali dalam lima tahun. Satu hal yang nyata perbedaanya dengan pemilu – pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua partai politik dan satu golongan karya. Ini terjadi setelah pemerintahan dan DPR berusaha menyederhanakan jumlah Partai Politik dengan membuat UU No.3 Tahun 1975. Dari beberapa kali pelaksanaan pemilu di Indonesia sejak (1971,1977,1982,1992) ada semacam fluktuasi, pergeseran dan perubahan terutama sejak tahun 1967 – 1970an meskipun tidak kentara dalam sistem politiknya sendiri. Dari pergeseran itu dengan serta merta berkomplokasi pada keberadaan terhadap kekuatan sosial politik. Rezim Orede Baru mengalami perubahan yakni sistem politik bureauratic polity kepada partimonialist political system . Dalam kaitan ini Golkar menjadi pemenang
dalam
setiap
pemilihan
umum
yang
dilaksanakan.
Adapun
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
periodesisasi sejarah parlemen Indonesia dapat dilihat dalam tabel yang terdapat dibawah ini :
Tabel 2.1 Periode Sejarah Parlemen di Indonesia Periode Pra Kemerdekaan Kemerdekaan
Pasca Kemerdekaan
Nama Parlemen Volksradd 1.Komite Nasional Pusat 2. Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) 1. DPR dan Senat RIS
Jumlah Anggota
60
1918 – 1942 29/08/1945 - 16/10/1945
103
17/10/1945 –14/12/1945
146 + 32
15/02/1950 –16/08/1950
2.DPR Sementara Pemilu I (1955)
1.DPR-RI terdiri dari DPR dan Konstituante
Masa Tugas
16/08/1950 –26/03/1956 272 (DPR) 542 (Konst)
26/03/1956-22/07/1959
2.DPR (Dekrit Presiden)
262
22/07/1959 – 26/071960
3.DPR Gotong Royong (Orde Lama)
283
26/06/1960 –15/11/1965
4.DPR Gotong Royong Minus PKI 5. DPR Gotong Royong (Orde Baru)
(semua diangkat)
15/11/1965 –19/11/1965
414
19/11/1965 –28/10/1971
Pemilu II (1971)
DPR RI
28/10/1971 –30/09/1977
Pemilu III (1977)
DPR RI
360 dipilih + 100 diangkat 360 dipilih + 100
1/10/1977 – 30/09/1982
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Pemilu IV (1982)
DPR RI
Pemilu V (1987)
DPR RI
Pemilu VI (1992)
DPR RI
Pemilu VII (1997)
DPR RI
Pemilu VIII (1999)
DPR RI
Pemilu IX (2004)
DPR RI
diangkat 360 dipilih + 100 diangkat 400 diangkat + 100 dipilih 400 diangkat + 100 dipilih 400 dipilih + 100 diangkat 462 dipilih + 38 diangkat 550 dipilih
1/10/1982 – 30/09/1987 1/10/1987– 30/09/1992 1/10/1992 – 30/09/1997 1/10/1997– 30/09/1999 1/10/1999 – 30/09/2004 1/10/2004 - 2009
Sumber : Diolah dari AM Fatwa , Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi (Jejak Langkah Parlemen Indonesia Periode 1999 – 2004), Jakarta : Penerbit RajaGrafindo Persada, 2004, hal.5
Setelah reformasi maka susunan dan kedudukan legislatif diatur dengan undang – undang. Anggota MPR dan DPR periode 1999 – 2004 merupakan produk reformasi yang mayoritas anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Susunan MPR dan DPR sudah mulai mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat walaupun belum sepenuhnya karena masih ada yang melalui pengangkatan. Ketentuan Pasal 19 ayat 1 dan 2 mengaharuskan rekrutmen anggota DPR harus melalui pemilihan umum.
2.2 Fungsi, Tugas dan Wewenang DPR Fungsi DPR sama dengan fungsi parlemen pada umumnya yaitu fungsi pengawasan, fungsi anggaran dan fungsi legislasi. Fungsi legislasi adalah fungsi DPR untuk membuat undang – undang bersama sama dengan presiden. Sedangkan fungsi anggaran adalah fungsi DPR bersama dengan presiden untuk menyusun dan menetapkan APBN. Fungsi pengawasan adalah fungsi DPR untuk Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UUD, undang – undang dan kebijakan – kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah beserta pelaksanaanya. Tugas dan wewenang DPR dalam bidang legislasi diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Dalam pasal ini ditentukan bahwa presiden memegang kekuasaan membentuk undang – undang berada di tangan presiden. Dari rumusan pasal ini berarti RUU berasal dari presiden, dan wewenang DPR adalah membahas secara bersama – sama RUU yang diajukan oleh presiden kemudian memberi pendapat berupa penolakan atau persetujuan terhadap RUU untuk disahkan menjadi undang – undang. DPR juga berhak mengajukan RUU dan kemudian dibahas dan disahkan secara bersama – sama dengan presiden. Pasal 21 UUD 1945 ini dikenal sebagai hak inisiatif DPR. Tugas dan wewenang DPR dalam bidang anggaran diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi ,Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditetapkan tiap tahun dengan undang – undang. Bidang anggaran ini merupakan tugas dan wewenang DPR dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tugas dan wewenang DPR secara lebih rinci diatur dalam Pasal 33 ayat (2) UU No.4 tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang menentukan tugas dan wewenang DPR sebagai berikut : 32 1. Bersama – sama dengan presiden membentuk undang – undang 2. Bersama – sama dengan presiden menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara 3. Melaksanakan pengawasan terhadap 32
Zakaria Bangun, Sistem Ketatanegaraan RI Pascaamandemen UUD 1945, Medan : Penerbit Media Perintis, 2007, hal. 264 - 265 Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
a. Pelaksanaan undang – undang b. Pelaksanaan APBN c. Kebijakan Pemerintah sesuai dengan jiwa UUD 1945 dan Ketetapan MPR 4. Membahas hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang diberitahukan oleh BPK yang disampaikan dalam Rapat Paripurna DPR untuk dipergunakan sebagai bahan pengawasan 5. Membahas untuk meratifikasi dan atau memberi persetujuan atas pernyataan perang serta pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang dilakukan oleh presiden. 6. Menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat 7. Melaksanakan hal – hal yang ditugaskan oleh Ketetapan MPR atau undang undang kepada DPR yang meliputi : a. menyampaikan
memorandum
untuk
mengingatkan
presiden
apabila DPR menganggap presiden sungguh melanggara haluan negara dan meminta MPR mengadakan Sidang Istimewa apabila memorandum kedua tidak diindahkan b. memberikan persetujuan kepada presiden tentang pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI dan Kapolri c. mengajukan dua orang calon kepada Presiden untuk mengisi setiap lowongan jabatan ketua, wakil ketua dan ketua muda dan Hakim Anggota MA
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
d. mengajukan tiga orang calon kepada presiden untuk mengisi setiap lowongan jabatan ketua, wakil ketua dan anggota BPK e. memberikan persetujuan kepada pengusula gubernur dan deputi gubernur Senior BI serta pengangkatannya f. memilih dan mengajukan Anggota Komisi Nasional HAM untuk diresmikan oleh presiden g. memberikan persetujuan kepada presiden tentang pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha h. memberikan persetujuan kepada presiden tentang pengangkatan anggota KPU Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut maka DPR memiliki hak yang diatur dalam Pasal 28 UU No.22 tahun 2003 sebagai berikut : 33 1. Mengajukan rancangan undang – undang 2. Mengajukan pertanyaan 3. Menyampaikan usul dan pendapat 4. Memilih dan dipilih 5. Membela diri 6. Imunitas 7. Protokoler 8. Keuangan dan administrasi Perubahan kekuasaan legislasi dari tangan presiden ke bawah kekuasaan DPR merupakan peletakan secara tepat fungsi – fungsi lembaga negara sesuai
33
Ibid., hal.275
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
dengan bidang tugas masing – masingnya sejalan dengan ajaran Trias Politica dimana kekuasaan legislatif berada di tangan parlemen DPR dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 sesudah amandemen, maka DPR periode 2004 – 2009 dalam tata tertibnya Pasal 39 menentukan salah satu alat kelengkapan DPR yaitu badan legislasi yang bersifat tetap sebagai pembentukan undang – undang dan hukum nasional.
2.3 Parlemen Sebagai Suatu Sistem Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya parlemen DPR RI membentuk Alat Kelengkapan Dewan, yaitu Pimpinan DPR, Komisi dan Sub Komisi, Badan Musyawarah (Bamus), Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), Badan Legislasi (Baleg), Badan Kerja Sama Antar Parlemen, dan Panitia Anggaran serta Panitia Khusus.
34
Berikut ini beberapa uraian tentang alat
kelengkapan dewan ini : Pimpinan DPR RI pada masa 2004 – 2009 berdasarkan UU No.22 Tahun 2003 dinyatakan bahwa Pimpinan DPR RI terdiri atas satu orang ketua dan sebanyak banyaknya tiga orang wakil ketua. Secara tidak langsung peran pimpinan DPR yang terkait dengan fungsi pengawasan adalah mengadakan kordinasi terhadap pelaksanaan tugas – tugas komisi dan alat kelengkapan DPR yang lain. Fungsi pengawasan yang dijalan oleh DPR sebagai sebuah lembaga
34
AM Fatwa, op.cit.,hal.87
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
menjadi tanggung jawab Pimpinan DPR tetapi dalam prakteknya sehari – hari dijalankan oleh komisi – komisi dan alat kelengkapan lainnya. Komisi dan Sub Komisi. Badan ini merupakan alat kelengkapan yang bersifat tetap. Komisi dan sub komisi memiliki peran yang sangat penting karena fungsi – fungsi dewan dilaksanakan oleh komisi dan subkomisi. Semua anggota kecuali Pimpinan DPR harus menjadi anggota salah satu Komisi. Tugas – tugas komisi mengacu kepada tugas pokok DPR yaitu dalam bidang perundang – undangan, penyusunan APBN serta bidang pengawasan. Badan Musyawarah (Bamus). Merupakan alat kelengkapan yang bersifat tetap. Beberapa tugas penting dari Bamus adalah antara lain menetapkan acara – acara
DPR dalam satu masa persidangan dan memberikan pendapat yang
berkaitan dengan kebijakan yang menyangkut pelaksanaan tugas dan wewenang DPR kepada Pimpinan DPR. Badan Urusan Rumah Tangga. Badan ini merupakan alat kelengkapan yang bersifat tetap dengan tugas sebagai berikut : 1. membantu
Pimpinan
DPR
dalam
menentukan
kebijaksanaan
kerumahtanggaan DPR . 2. membantu Pimpinan DPR dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dilaksanakan Sekretaris Jenderal. 3. membantu Pimpinan DPR dalam merencanakan kebijaksanaan anggaran DPR 4. melaksanakan pelaksanaan dan pengelolaan DPR.
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Badan Legislasi. Badan ini bertugas dalam merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan Rancangan Undang – Undang Usul Inisiatif DPR. Badan Legislasi meminta masukan dari komisi – komisi dan masyarakat serta mengadakan konsultasi dengan pemerintah. Pada tahun 2000 Baleg telah membentuk Panitia Kerja penyusunan RUU. Tugas Badan Legislatif antara lain : 1. Merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan RUU baik yang datangnya dari pemerintah maupun RUU Usul Inisiatif DPR untuk masa keanggotaan DPR untuk setiap tahun sidang. 2. Membantu menyiapkan RUU Usul Inisiatif DPR – RI. 3. Mengikuti perkembangan dan mengawasi pelaksanaan undang – undang. 4. Melakukan evaluasi terhadap program RUU 5. Membuat inventarisasi masalah hukum dan perundang – undangan pada akhir masa kepengurusan DPR – RI. Badan Kerja Sama Antar Parlemen. Susunan keanggotaan BKSAP ditetapkan dalam Rapat Paripurna berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap – tiap fraksi. Tugas badan ini antara lain mengembangkan hubungan kerjasama antara parlemen dengan parlemen negara lain, mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kunjungan delegasi parlemen negara lain. Badan ini dapat mengadakan konsultasi dengan pihak yang dipandang perlu mengani hak yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya. Panitia Anggaran. Panitia ini merupakan alat kelengkapan DPR – RI yang bersifat tetap dengan tugas melaksanakan pembahasan APBN. Panitia Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Khusus merupakan alat kelengkapan yang bersifat tidak tetap melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam Rapat Paripurna. Dewan Kehormatan. Dewan ini merupakan alat kelengkapan yang bersifat sementara. Susunan anggota Dewan Kehormatan ditetapkan dalam Sidang Paripurna. Tugas dari dewan kehormatan yaitu melakukan penelitian dan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR.
BAB III PEMBAHASAN HUBUNGAN EKSEKUTIF DALAM LEGISLATIF PASCAAMANDEMEN UUD 1945 DALAM SISTEM PRESIDENSIL
1. Reformasi Konstitusi Kesadaran historis terhadap sejarah kekuasaan di Indonesia akan sampai pada kesimpulan bahwa UUD 1945 menjadi bekal yang efektif bagi pemusatan kekuasaan di tangan eksekutif. Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Soeharto memusatkan kekuasaan pada tangannya. Keduanya menerapkan totalitarianisme
dan
absolutisme
kekuasaan.
Sistem
konstitusi
sebelum
amandemen tidak memberikan dengan jelas pembatasan-pembatasan kekuasaan antara lembaga negara, bahkan memberikan kewenangan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) suatu kekuasaan yang tidak terbatas. Prinsip selanjutnya, Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara tertinggi di bawah Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Majelis. Penjelasan UUD 1945 menguraikan bahwa di bawah MPR, Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dalam menjalankan pemerintahan negara. Kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden . Presiden adalah mandataris MPR, yang tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Dengan posisi mandataris itulah Presiden memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sangat besar. Di samping memegang kekuasaan eksekutif (executive power) dan juga sekaligus memegang kekuasaan legisltaf (legislative power).
Sejak beralihnya suatu sistem rezim dari otoritarianisme ke demokrasi juga telah mengalami perubahan tatanan politik yang diformat dalam tatanan yuridis ketatanegaraan. Tatanan bernegara Indonesia termuat dalam konstitusi sehingga dapat dikatakan bahwa tatanan kehidupan politik yang demokratis harus dimulai dan dikonstruksikan dalam konstitusi. UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis Negara Republik Indonesia merupakan suatu dokumen hukum dan hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam prinsip penyelenggaraan bernegara. Sebagai dokumen hukum tertulis, UUD1945 merupakan suatu pernyataan kontrak atau perjanjian antara masyarakat dan negara. Sedangkan sebagai hukum dasar UUD 1945 sebagai dasar dalam proses kehidupan ketatanegaraan bagi tiap – tiap lembaga kekuasaan yang menjalankan kekuasaan dan menjalankan fungsinya masing – masing menurut prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power)
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Ketika reformasi bergulir dan berhasil menurunkan Soeharto dari kekuasaannya perubahan atas UUD 1945 adalah salah satu dari sdekian agenda reformasi yang diusung. Ada dua jalan menuju suatu perubahan konstitusi yaitu amandemen atau membentuk UUD baru. Tarik menarik gagasan politik akhirnya menyepakati
amandemen
sebagai
jalan
reformasi
konstitusi.
Dengan
menggunakan model Amerika dimana UUD 1945 lama tetap ada dan perubahan dilampirkan sebagai addendum yang mengganti pasal – pasal sejenis pada teks lama dan membuatnya tidak berlaku. Selain itu Tim Kecil plus TNI sepakat untuk tidak mengganti merubah Pembukaan UUD 1945,sistem pemerintahan presidensil dan bentuk negara kesatuan.
Pemilu 1999 sebagai pemilu demokratis pertama sesudah pemilu 1955 berhasil dilaksanakan dan diikuti dengan dibentuknya lembaga-lembaga negara DPR, MPR, Presiden, BPK dan MA. Selanjutnya lembaga-lembaga itu telah menyerap isu-isu dan gerakan reformasi masuk ke dalam kelembagaan negara. Tema-tema reformasi seperti tuntutan untuk membangun sistem politik check and balance, kebebasan pers, penghormatan terhadap HAM, supremasi hukum, dan sebagainya, menjadi agenda kerja lembaga perwakilan yang berwenang.Sidang Umum MPR 1999 berhasil mengamandemen delapan pasal UUD 1945 yang berkaitan dengan kekuasaan presiden, legislatif dan yudikatif. ST MPR 2000 ternyata berhasil mengubah dan menambah pasal – pasal yang terkait dengan penguatan kedudukan DPR, otonomi daerah dan HAM. Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan selama empat kali yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, 2002 telah membawa implikasi politik yang sangat luas Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Perubahan tersebut dilakukan secara sistematis sesuai dengan perkembangan dan perubahan masyarakat. Tuntutan perubahan sistem politik dan ketatanegaraan dalam bentuk perubahan UUD 1945 adalah pesan yang sangat jelas disampaikan oleh gerakan reformasi yang dimulai sejak tahun 1998. Keempat perubahan ini mencakup aspek yang sangat luas dan mendalam baik dari jumlah pasal yang diubah dan ditambah maupun substansi perubahan yang terjadi. UUD 1945 sebelum perubahan hanya terdiri dari 16 bab, 37 pasal dan 47 ayat ditambah 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 Ayat Aturan Tambahan. Setelah empat kali perubahan UUD 1945 menjadi 20 bab, 73 pasal, 171 ayat ditambah 3 Pasal Aturan Peralihan dan 2 Pasal Aturan Tambahan. Substansi perubahan menyentuh hal – hal yang sangat mendasar dalam sistem politik dan ketatanegaraan
yang
berimplikasi
pada
perubahan
berbagai
peraturan
perundangan dan kehidupan politik Indonesia di masa depan. Dalam kerangka inilah berbagai perundang – undangan baru bidang politik disusun, yaitu UU Partai Politik, UU Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta UU Susunan Kedudukan MPR, DPR, dan DPD. Dalam UUD 1945 pra-amandemen, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi lembaga tertinggi negara dan
lembaga-lembaga negara
dibawahnya menjadi lembaga tinggi negara seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Mahkamah Agung (MA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lembaga tinggi negara harus bertanggung jawab kepada lembaga tertinggi negara. Kedaulatan rakyat yang dipegang oleh Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
MPR dalam pelaksanaannya dijalankan oleh lembaga negara dibawahnya (distribution of power) dan lembaga-lembaga negara tersebut bertanggung jawab kepada MPR. Seperti misalnya Presiden sebagai mandataris MPR harus mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada MPR. Dalam konteks politik dan demokrasi menurut Ichlasul Amal, kelemahan UUD 1945 adalah memberikan dasar pembentukan pola relasi antara negara dan masyarakat yang tidak seimbang yaitu terlalu memberikan posisi yang kuat kepada presiden bahkan dalam perkembangan ketatanegaraan pada masa Orde Baru penerapan UUD 1945 dalam kehidupan politik telah melahirkan sistem politik otoritarian dan sentralistik dan menjauhkan kepentingan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan pemerintah. Semua ini memungkinkan dan memberikan kesempatan kepada penguasa untuk melakukan manipulasi kekuasaan sesuai dengan kepentingan pribadi. Sebagaimana pemikiran Lord James Bryce dalam Contitutional Law yang menyatakan bahwa salah satu alasan timbulnya UUD adalah keinginan rakyat untuk menjamin hak – haknya jika terancam dan membatasi kesewenang – wenangan penguasa. 35 Dengan digelarnya UUD 1945 pasca-amandemen, posisi MPR sekarang menjadi lembaga tinggi negara sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi : “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Setiap lembaga tinggi negara mempunyai fungsi dan kerja masing-masing serta terdapat pemisahan kekuasaan (separation of power) antara ketiga lembaga tersebut.. Lembaga tinggi negara
35
Ichlasul,Amal, Partisipasi Publik Dalam Amandemen, Jawa Pos, 10 Juli 2002
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
yang satu tidak bertanggung jawab kepada lembaga tinggi negara lainnya. Kinerja lembaga tinggi negara dipertanggungjawabkan langsung kepada rakyat. Isu utama perdebatan para perumus perubahan UUD 1945 yaitu Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja MPR RI pada perubahan pertama tahun 1999, adalah bagaimana menyempurnakan struktur ketatanegaraan yang ada. Adapun konfigurasi kekuasaan Presiden dan kekuasaan DPR menurut UUD 1945 pasca amandemen pertama dan kedua adalah sebagai berikut :Perihal kekuasaan legislatif Presiden. Menurut Pasal 5 ayat 1 yang lama ditegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang – undang dengan persetujuan DPR. Dengan demikian DPR tentu berhak mengajukan Rancangan Undang – Undang kepada presiden , namun kekuasaan utama tetap berada pada presiden. Karena itu dalam amandemen pertama dan kedua UUD 1945, ketentuan demikian dirubah yaitu bahwa Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang – Undang kepada DPR selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (1) ditegaskan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk Undang – Undang. Tetapi berdasarkan amandemen Pertama dan Kedua UUD 1945 kekuasaan membentuk Undang – Undang dialihkan dari Presiden kepada DPR atau parlemen. Begitu kompleks dan banyaknya persoalan yang disampaikan dalam perdebatan awal itu, maka perubahan yang disepakati pada perubahan pertama ini adalah bagaimana mengurangi dan membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat posisi DPR sebagai lembaga negara yang memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Sebelum perubahan, kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan Presiden sedangkan DPR hanya memberi persetujuan (pasal 5 ayat 1). Sedangkan Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
setelah perubahan, kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR (pasal 20 ayat 1), dan Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang. Perubahan selanjutnya adalah mengenai proses dan mekanisme pembuatan undang-undang antara DPR dan Presiden yang diatur dalam pasal 20 ayat 2, 3, 4 dan 5. yaitu setiap rancangan undang-undang harus dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (ayat 2), jika rancangan itu tidak mendapat persetujuan bersama, maka rancangan undang-undang itu tidak dapat diajukan lagi pada masa persidangan itu (ayat 3). Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama, (ayat 4) dan apabila Presiden dalam waktu tiga puluh hari setelah rancangan undang-undang itu disetujui bersama, undang-undang itu sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Perubahan-perubahan ini dimaksudkan untuk menempatkan posisi DPR sejajar dengan Presiden dalam membentuk undang-undang. Perubahan ini mengandung makna bahwa untuk dapat terbentuknya undang-undang harus disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Walaupun seluruh anggota DPR telah menyetujui suatu rancangan undang-undang dan Presiden tidak setuju atau sebaliknya, maka rancangan undang-undang itu tidak dapat disahkan menjadi undang-undang. Implikasi dari pergeseran kekuaan legislatif di atas ialah bahwa Presiden dan badan – badan pemerintahan berubah menjadi pelaksana aturan (eksekutif) belaka. Kewenangan untuk mengatur jika ada haruslah dilandasi oleh atribusi yang bersumber pada kewenangan parlemen untuk mengatur atau membuat Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
aturan. Dengan demikian produk hukum yang ditetapkan oleh Presiden atau pemerintah tidak saja harus sesuai dengan UU yang ditetapkan oleh DPR tetapi juga tidak boleh dengan Ketetapan MPR dan juga UUD. Akibat lebih lanjut dari pemangkasan kekuasaan legislatif Presiden ialah Presiden hanya mungkin mengatur sesuatu yang lain dari ketentuan Undang – Undang apabila materi aturan ini bersifat internal administrasi pemerintahan ataupun dalam hal terjadinya keadaan darurat dimana Presiden berwenang menerbitkan Perpu. Selain itu kewenangan Presiden untuk mengatur haruslah bersumber kepada kewenangan legislatif di DPR. Konstitusi memberi ruang bagi Presiden untuk sekaligus menjalankan kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang) dan kekuasaan eksekutif (yang menjalankan undang – undang). Hal sebaliknya terjadi pada DPR akibat perubahan pertama dan kedua UUD 1945 justru kekuasaan dan kewenangannya makin menguat dan meningkat secara tajam. Bahkan sebagian kewenangan Presiden yang bersifat mutlak (preogratif) maupun kewenangan administrasi lembaga tinggi lainnya ikut beralih kepada institusi DPR. Dalam SI MPR 1998 amandemen pertama khusunya berkaitan dengan masa jabatan presiden sehingga secara eksplisit dinyatakan bahwa presiden hanya dapat memangku jabatan selama dua periode. Namun penataan kembanli hubungan Presiden-MPR dan Presiden –DPR kurang mendapat perhatian MPR, sehingga dalam amandemen kedua UUD 1945 dalam sidang
tahunan
MPR
2000
perubahan
kontitusi
lebih
berpusat
pada
penyempurnaan pasal – pasal tentang pemerintahan daerah dan perluasaan pasal yang berkaitan dengan HAM. Penundaan kesepakatan mengenai kerangka Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
konsitusional baru ini tentu saja berdampak pada lemahnya kedudukan Presiden karena kelangsungan kekuasaannya sangat tergantung pada dukungan yang diberikan partai – partai politik di DPR.
36
Kekuasaan membentuk UU yang menurut Pasal 5 ayat (1) naskah asli UUD 1945 ada pada Presiden, sekarang beralih pada DPR seperti yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 perubahan. Pengangkatan Panglima TNI dan Kapolri sebagai aparat pemerintah, sekarang juga harus mendapat persetujuan dari DPR seperti yang diatur dalam Pasal 30 UUD 1945 yang berkorelasi dengan Pasal 3 Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang No. 34 Tahun 2005 tentang Tentara Nasional Indonesia. Beberapa hak mutlak Presiden yang tercantum dalam kontitusi berdasarkan ketentuan yang baru implementasi kekuasaan preogatif itu dikaitkan dengan peran dan fungsi DPR. Kekuasaan Presiden yang direduksi itu adalah : Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri
37
,Pengangkatan dan Pemberhentian
Panglima TNI 38,Pengangkatan dan Pemberhentian duta dan konsul 39, Pemberian amnesti dan abolisi
40
serta Kewenangan
membuat perjanjian internasional
lainnya Praktik penyelenggaraan negara yang tampak jelas terkait dengan pengurangan kekuasaan pemerintah, yaitu misalnya dalam proses penjaringan bakal calon hakim agung dengan mekanisme “fit and proper test “ yang dilakukan oleh DPR. Di satu sisi, keterlibatan
DPR secara terbuka ini menunjukkan
36
Syamsuddin Haris, op.cit.,hal.90 Ketetapan MPR No IV/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri 38 Ibid 39 Pasal 13 UUD 1945 40 Pasal 14 UUD 1945 37
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
mekanisme yang demokratis dalam prosedur. Di sisi lain adalah upaya untuk mengurangi kekuasaan pemerintah dalam menetapkan orang-orang yang akan diajukan sebagai calon hakim agung.Ada yang ditentukan harus disetujui oleh DPR, ada yang harus mendapat pertimbangan DPR dan ada pula dimana pelaksanaannya ditentukan harus diatur lebih dahulu dengan Undang – Undang yang tentunya melibatkan peran DPR. 41 Menurut beberapa ahli meskipun dikatakan bahwa pemegang kekuasaan membentuk undang – undang dipindahkan ke DPR tetapi dalam proses pembuatan undang – undang itu tetap dilakukan bersama – sama antara Presiden dan DPR . Selain itu pula kendati undang – undang ditetapkan oleh DPR namun kewenangannya untuk mengesahkan undang – undang menurut perubahan pertama UUD tetap dialokasikan kepada Presiden. Menurut Jimly Ashiddiqy tidak ada pertentangan dan tidak ada tumpang tindih di antara kedudukan DPR dan Presiden dalam hal ini. Kekuasaan legislatif tetap berada di tangan DPR namun pengesahan formal produk Undang – Undang itu dilakukan oleh Presiden. Hal demikian ini justru menunjukkan adanya perimbangan kekuasaan diantaranya keduanya yaitu hak presiden untuk memveto suatu undang – undang yang sudah ditetapkan oleh DPR. Untuk menegaskan hal ini maka dalam Perubahan kedua UUD 1945 ketentuan dalam Pasal 20 itu ditambah dengan ayat (5) yang memberikan waktu 30 hari bagi Presiden untuk mengesahkan undang – undang itu. Jika dalam batas waktu yang ditentukan Presiden tidak juga mengesahkannya maka RUU tersbut dianggap berlaku menjadi undang – undang. Dari deskripsi ini 41
Sumali, op cit. hal 77
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
tampak bahwa proses pembuatan undang – undang tetap dilakukan secara kolektif ditingkat pembahasan antara Presiden dan DPR. Perubahan UUD juga mempertegas fungsi pengawasan dari DPR, yaitu berupa hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat (pasal 20A ayat (2)). Setiap anggota DPR juga diberikan jaminan hak yang kuat dalam konstitusi yaitu hak mengajukan pertanyaan, usul dan pendapat serta hak imunitas (pasal 20A ayat (3)). Penegasan ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan hukum yang lebih kuat bagi kewenangan DPR yang diatur dalam konstitusi.Ketiga hak ini,sebelumnya hanya diatur dalam undang-undang. Perubahan penting lain mengenai DPR, adalah diperjelasnya mekanisme rekruitmen seluruh anggota DPR yang dipilih melalui pemilihan umum. Dengan demikian tidak ada lagi anggota DPR yang diangkat seperti pada masa yang lalu yaitu dari ABRI/TNI-POLRI. Perubahan ini memberikan jaminan dan legitimasi yang kuat kepada DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan bagaimana sistem pemilu untuk memilih anggota DPR, tidak diatur dalam UUD, tetapi diatur dalam undang-undang. Hal ini memberikan keleluasaan kepada DPR dan Presiden untuk memilih sistem pemilu yang tepat sesuai keadaan dan kondisi masyarakat. Persoalan yang paling mendasar bagi sebuah pemilu yang baik adalah sejauh mana output pemilu itu menghasilkan wakil-wakil yang benar-benar mewakili rakyat, memahami kepentingan rakyat. Membandingkan konsep pembentukan undang – undang yang dilakukan secara kolektif oleh lembaga eksekutif dan lembaga legislatif di dalam UUD 1945 juga dapat ditemukan dalam UUDS 1950. sebagaimana ditemukan dalam Pasal 89 Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
UUDS bahwa lembaga pembentuk undang – undang dilakukan oleh Pemerintah bersama – sama dengan DPR. Sedangkan menurut konstitusi RIS yang mengenal dua macam perundang – undangan yakni perundang – undangan federal dan perundang – undangan non federal dilakukan oleh pemerintah bersama – sama dengan DPR dan Senat. Sedangakan diluar perundang – undangan federal dilakukan oleh Pemerintah bersama – sama DPR. Dalam amandemen UUD 1945 perubahan – perubahan penting dalam hubungan eksekutif dan legislatif telah dilakukan. Pendulumpun bergeser dari executive heavy pada praamandemen UUD 1945 menjadi legislatif heavy pascaamandemen. Salah satu pencapaiana amandemen konstitusi adalah adanya pemisahan kekuasaan relatif antara lembaga Presiden dan DPR, meskipun tidak sepenuhnya pemisahan kekuasaan antara Presiden Amerika Serikat dan Kongress karena di Indonesia adanya mekanisme persetujuan bersama dalam pembentukan undag – undang. Pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif secara teoritis mendorong lahirnya sistem mekanisme check and balances dalam relasi antara keduanya namun disisi lain mendorong timbulnya pemerintahan yang terbelah ketika Presiden dan parlemen dikuasai oleh partai politik yang berbeda. Legislatif yang merupakan wakil dari partai tentunya dalam menjalankan tugasnya tidak jauh dari kepentingan partai, begitu juga dengan eksekutif yang meskipun dipilih langsung oleh rakyat tetapi secara historis presiden memiliki hubungan dengan partai, presiden sedikit banyak juga pasti mementingkan kepentingan partainya. Akibatnya konflik yang terjadi dari hubungan eksekutif dan legislatif adalah konflik kepentingan antar partai yang ada. Bertolak dari Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
pandangan Linz dan Cile tentang sistem multipartai dalam sistem presidensil, maka bisa jadi hubungan yang tidak kunjung membaik antara presiden dengan legislatif karena sistem tersebut. Linz menyatakan bahwa jika dalam sistem seperti disebut di atas, maka hubungan antara eksekutif dan legislatif akan mengalami deadlock. Cile juga berpandapat serupa bahwa deadlock bisa terjadi dan itu akan menghalangi proses demokrasi. 42 Pada dasarnya pembatasan yang dilakukan guna menciptakan
sebuah
prinsip
mekanisme
check
and
balances
dalam
penyelenggaraan negara sehingga tercermin sebuah konsep kedaulatan negara. 2. Kekuatan Partai Politik Pada umumnya para ilmuwan politik menggambarkan adanya empat fungsi partai politik, menurut Miriam Budiardjo meliputi sarana komunikasi politik; sosialisasi politik; sarana rekruitmen politik. Fungsi - fungsi tersebut sama-sama terkait dimana partai politik berperan dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (Interests Articulation) dimana berbagai ide-ide diserap dan diadvokasikan sehingga dapat mempengaruhi materi kebijakan kenegaraan. Terkait sebagai sarana komunikasi politik, partai politik juga berperan mensosialisasikan ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik serta sebagai sarana rekruitmen kaderisasi pemimpin Negara. Sedangkan peran sebagai pengatur konflik, partai politik berperan menyalurkan berbagai kepentingan yang berbeda-beda. Disamping itu, partai politik juga memiliki fungsi sebagai pembuat kebijaksanaan, dalam arti bahwa suatu partai politik akan berusaha untuk merebut kekuasaan secara konstitusional, sehingga setelah 42
Diakses pada www.wordpress.com / ditulis pada 4 November 2008
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
mendapatkan kekuasaannya yang legitimate maka partai politik ini akan mempunyai dan memberikan pengaruhnya dalam membuat kebijaksanaan yang akan digunakan dalam suatu pemerintahan. Dengan demikian, fungsi partai politik secara garis besar adalah sebagai kendaraan untuk memenuhi aspirasi warga negara dalam mewujudkan hak memilih dan hak dipilihnya dalam kehidupan bernegara. Melihat sejarah sepanjang Orde Lama sampai Orde Baru partai politik mempunyai peran dan posisi yang sangat penting sebagai kendaraan politik sekelompok elite yang berkuasa, sebagai ekspresi ide, pikiran, pandangan dan keyakinan kebebasan. Konfigurasi politik, menurut Moh. Mahfud mengandung arti sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Pada tahun 2004 pemilu kedua setelah krisis dilangsungkan. Pemilu kali ini relatif demokratis dan damai, walaupun sebelumnya banyak fihak yang khawatir akan terjadi kerusuhan. Pada Pemilu parlemen terdapat 24 partai politik yang turut berpartisipasi. Hasil mengejutkan terhadi ketika Golkar mendapatkan banyak tekanan dari berbagai arah memenangkan suara pemilih terbesar (22%) dan berhasil menguasai 127 kursi dari 550 total kursi di parlemen. Sedangkan PDI-P pemenang Pemilu 1999 menjadi pemenang kedua dengan mendapatkan (19%) suara pemilih dan menguasai 109 kursi. Selain itu Indonesia juga melaksanakan pemilihan presiden secara langsung yang pertama dalam sejarah. Terdapat lima pasangan calon presiden dan wakil presiden yang ikut serta dalam Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
pemilihan tersebut, termasuk Presiden Megawati dan pasangannya Hasyim Muzadi. Penurunan popularitas PDI-P juga tercermin dalam presiden ini. Megawati kalah atas pasangan SBY – JK yang keduanya merupakan menteri dalam pemerintahan Megawati. Menariknya kendaraan politik SBY adalah partai politik baru yaitu Partai Demokrat. Partai ini hanya memenangkan 56 kursi diparlemen. Seharusnya di dalam lingkungan politik yang baru secara teoritis hal tersebut tidak menimbulkan masalah sebab posisi presiden sangatlah kuat dan MPR tidak bisa mengimpeach presiden hanya atas dasar pertimbangan politik, kecuali presiden juga tidak lagi menerima mandat dari parlemen.dapat mengurangi suara negatif dari parlemen. Hal ini dilakukan dengan cara yang sama dengan apa yang dilakukan oleh para pendahulunya yaitu dengan membentuk sebuah kabinet koalisi yang besar yang dapat mengakomodasikan sebanyak mungkinn kepentingan politik pihak – pihak lain. Akibatnya permasalahan yang lama dihadapi oleh para pendahulunya tetap muncul. Namun masih ada jalan kedua untuk SBY dan berhadap dapat meredam parlemen dengan cara pengangkatan wakilnya, Jusuf Kalla menjadi Ketua Partai Golkar. Setidaknya untuk tahun kedua tekanan posisi dari anggota parlemen atas kebijakan pemerintah dapat dikelola dengan baik. Seharusnya di dalam lingkungan politik yang baru secara teoritis dimana presiden terpilih dari partai politik yang memiliki suara minoritas diparlemen tersebut tidak menimbulkan masalah sebab posisi presiden sangatlah kuat dan MPR tidak bisa mengimpeach presiden hanya atas dasar pertimbangan politik, Menyadari kurangnya dukungan mesin politik yang kuat, SBY bergantung pada Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
kharisma dan popularitas dirinya, yang telah berhasil membawanya mendapatkan mayoritas suara pemilihn di tahun 2004. Namun hal ini berarti juga dia harus bekerja sangat keras untuk mempertahankannya. Akibatnya presiden SBY cenderung mengambil keputusan yang aman untuk menghindari ketidakpopuleran dimata publik. Sementara itu sebagai ketua umum Golkar wapres memiliki modal politik yang besar dan posisi tawar yang kuat untuk meredam suara negatif yang datang dari parlemen.Setidaknya untuk tahun kedua tekanan posisi dari anggota parlemen atas kebijakan pemerintah dapat dikelola dengan baik. Dalam pemilihan umum 2004 maka praktek pelaksanaannya dilaksanakan. Dengan dipilihnya semua anggota DPR melalui pemilu maka prinsip demokrasi secara representatif telah terpenuhi dan memperkuat posisi DPR dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya. Berikut data hasil pemilu 2004 Tabel 3.1 Perimbangan Kekuatan Politik di DPR Hasil Pemilu 2004 No 1
Partai PNI Marhaenisme
Suara 923,159
Persentase 0,81 %
2
Partai Buruh Sosial Demokrat
636,397
0,56 %
3
Partai Bulan Bintang
2.970.487
2,62 %
4
Partai Merdeka
842,541
0,74 %
5
Partai Persatuan Pembangunan
9,248,764
8,15 %
6
Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan
1,313,654
1,16 %
7
Partai Perhimpuan Indonesia Baru
672,952
0,59 %
8
Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
1,230,455
1,08 %
9
Partai Demokrat
8,455,225
7,45 %
10
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
1,424,240
1,26 %
11
Partai Penegak Demokrasi Indonesia
855,811
0,75 %
12
Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia
895,610
0,79 %
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
13
Partai Amanat Nasional
7,303,324
6,44 %
14
Partai Karya Peduli Bangsa
2,399,290
2,11 %
15
Partai Kebangkitan Bangsa
11,989,564
10,57%
16
Partai Keadilan Sejahtera
8,325,020
7,34 %
17
Partai Bintang Reformasi
2,764,998
2,44 %
18
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
21,026,629
18,53%
19
Partai Damai Sejahtera
2,414,254
2,13 %
20
Partai Golongan Karya
24,480,757
21,58%
21
Partai Patriot Pancasila
1,073,139
0,95 %
22
Partai Serikat Indonesia
679,296
0,60 %
23
Partai Persatuan Daerah
657,916
0.58 %
24
Partai Pelopor
878,932
0,77 %
Sumber: Diolah dari Koirudin, Profil pemilu 2004, Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2004
3. Implementasi Sistem Presidensil Pascaamandemen UUD 1945
Sebelum adanya Perubahan UUD 1945, sistem pemerintahan yang dianut tidak sepenuhnya sistem presidensiil. Jika dilihat hubungan antara DPR sebagai parlemen dengan Presiden yang sejajar , serta adanya masa jabatan Presiden yang ditentukan jelas
menunjukkan ciri sistem presidensil.Salah satu kesepakatan
dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 terkait Perubahan UUD 1945 adalah “sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan untuk
memenuhi
ciri-ciri
umum
sistem presidensiil).
Penyempurnaan dilakukan dengan perubahan-perubahan ketentuan UUD 1945 terkait sistem kelembagaan. Perubahan mendasar pertama adalah perubahan kedudukan MPR yang mengakibatkan kedudukan MPR tidak lagi merupakan lembaga tertinggi negara, sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Perubahan selanjutnya untuk menyempurnakan sistem presidensil adalah menyeimbangkan Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
legitimasi dan kedudukan antara lembaga eksekutif dan legislatif, dalam hal ini terutama antara DPR dan Presiden. Salah
satu
problema
desain
presidensialisme
di
Indonesia
pascaamandemen konstitusi adalah menguat dan meluasnya kekuasaan DPR dibandingkan sebelumnya yang berdampak pada munculnya DPR heavy. Kekuasaan tambahan DPR diluar fungsi legislasi adanya keharusan konfirmasi DPR dalam pengangkatan Panglima TNI, Kapolri, dan penerimaan duta besar. Otoritas yang seharusnya melekat pada presiden dalam skema presidesialisme menjadi peluang bagi DPR untuk melembagakan ”gangguan” terhadap presiden. Desain konstitusi yang semula hendak menyeimbangkan kekuasaan eksekutiflegislatif akhirnya terperangkap pada situasi ”sarat DPR” (DPR heavy).. Ketetapan konstitusi dan pengalaman selama rejim Orde Baru sedikit banyak mempengaruhi keberlangsungan demokrasi presidensil di Indonesia Pada era reformasi sistem multipartai kembali diterapkan, yang tentu saja menimbulkan berbagai apresiasi terhadap prospek dan tantangan sistem multipartai tersebut. Sistem multipartai secara teoritis memang
tepat untuk diterapkan
dengan
kondisi objektif bangsa Indonesia yang sangat heterogen dengan berbagai perbedaan budaya, agama, suku, bahasa, golongan dan kedaerahan. Namun apabila melihat sejarah sistem kepartaian, sistem multipartai yang pernah diterapkan pada tahun 1950-an telah mengalami kegagalan. Dimana hampir sering terjadi pergantian kabinet yang berakibat pada ketidastabilan pemerintahan. Dalam sistem presidensial yang berdasarkan sistem multipartai, maka jika tidak ada partai politik yang meraih suara mayoritas di parlemen, koalisi Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
merupakan suatu yang tidak bisa dihindari. Bila tidak kemungkinan efektivitas pemerintahan akan terganggu. Karena itu koalisi merupakan jalan penyelamat bagi sistem pemerintahan presidensial yang menganut sistem multipartai. Dalam sistem kepartaian yang lebih kompleks terutama sistem banyak partai persoalan akan muncul jika tidak ada partai politik yang memenangkan pemilihan umum dengan suara mayoritas mutlakk karena konsekuensinya dalam membentuk eksekutif diperlukan sebuah koalisi. Sementara koalisi harus dilakukan dengan paling tidak dua syarat yaitu kedekatan ideologis di antara partai – partai politik yang berkoalisi dan adanya persamaan kepentingan yang mendesak. 43 Menurut Arend Lijphart, model seperti ini merupakan bagian dari demokrasi konsensual. Mainwaring dan Linz mengatakan bahwa akan ada problem manakala sistem presidensial dikombinasikan dengan sistem multipartai. Kombinasi seperti ini akan menghasilkan instabilitas pemerintahan.Ini terjadi karena faktor fragmentasi kekuatan-kekuatan politik di parlemen dan ”jalan buntu”bila terjadi konflik relasi eksekutif-
legislatif. Karena itu,sistem
presidensial lebih cocok menggunakan sistem dwipartai. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Scott Mainwaring, perpanduan antara sistem presidensil dan sistem multipartai bukan hanya sebuah kombinasi yang sulit melainkan juga berpotensi menghasilkan kebuntuan politik (deadlock)
43
Affan Gaffar, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hal.295 Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
dalam relasi hubungan eksekutif dan legislatif. Dalam kaitan Mainwaring mengatakan : 44 “Terdapat tiga alasan mengapa kombinasi institusional semacam ini bermasalah. Pertama, sistem presidensil berbasis multipartai cenderung menghasilkan kelumpuhan akibat kebuntuan eksekutif dan legislatif, dan kebuntuan itu berujung pada instabilitas demokrasi. Kedua, sistem multipartai menghasilkan polarisasi ideologis ketimbang sistem dwipartai sehingga seringkali menimbulkan problem komplikasi kedua dipadukan dengan presidensialisme. Terakhir kombinasi presidensil dan multipartai berkomplikasi pada kesulitan membangun koalisi antar partai dalam demokrasi presidensil sehingga berimplikasi pada rusaknya stabilitas demokrasi.” Dilema presidensialisme tersebut bertambah kompleks ketika tidak ada satupun partai yang menguasai kursi mayoritas di parlemen seperti lazimnya penggunaan sistem pemilu perwakilan berimbang. Faktor polarisasi kekuatan di parlemen, presiden yang berasal dari partai kecil ataupun koalisi kekuatan partai minoritas juga berpeluang menjadi faktor penting bagi stabilitas dan efektifitas demokrasi presidensil. Peluang bagi munculnya demokrasi presidensil yang tidak stabil dan tidak efektif bisa terjadi apabila lembaga presiden yang semestinya eksekutif tunggal terdiri atas dua partai yang berbeda. Fragmentasi dan polarisasi kekuatan partai di DPR hasil Pemilu 2004 menghasilkan 16 partai dan 10 fraksi politik. Lebih jauh tidak adanya satu pun partai yang berhasil menjadi kekuatan mayoritas di DPR sehingga tarik menarik antar partai di parlemen dalam interaksi dengan Presiden cenderung menghasilkan pola relasi yang kurang mendukung terciptanya stabilitas dan efektifitas demokrasi presidensil. Presidensialisme pasca pemilu 2004 adalah presidensialisme di bawah kepemimpinan presiden yang
44
Scott Mainwaring, Presidensiatilsm, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination, dalam Comparative Studies Vol.26, No.2, 1993 hal. 198 - 228 Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
berasal dari partai minoritas maka presiden tidak hanya berkonsentrasi penyelesaian masalah koalisi dengan partai. Pilihan politik kompromi dan akomodasi yang dilakukan Presiden Yudhoyono dalam rangka memperluas dukungan politik di DPR dapat dikatakan sebagai suatu strategi politik yang brilian jika Yudhoyono sendiri dapat mengelola dukungan itu serta menjamin bahwa koalisi – koalisi partai pendukung pemerintah benar – benar bisa memberikan dukungan politik terhadap setiap kebijakan pemerintah. Kemudian dalam praktek yang timbul yaitu baik Presiden Yudhoyono maupun pimpinan partai – partai yang berkoalisi dalam Kabinet Indonesia Bersatu tidak bisa menjamin konsistensi partai – partai pendukung pemerintah dalam mendukung kebijakan pemerintah. Dalam ilmu politik,secara garis besar koalisi dikelompokkan atas dua. Pertama, policy blind coalition, yaitu koalisi yang tidak didasarkan atas pertimbangan kebijakan, tetapi untuk memaksimalkan kekuasaan (office seeking). Kedua,policy-based coalition, yaitu koalisi berdasarkan pada preferensi tujuan kebijakan yang hendak direalisasi (policy seeking). Kecenderungan yang terjadi dalam era Reformasi ini, format koalisi yang dibangun adalah bentuk yang pertama.Koalisi tidak berdasarkan pertimbangan kebijakan, melainkan hanya untuk meraih kekuasaan. Koalisi yang dibentuk lebih didasarkan pada pragmatisme politik. 45 Pada era Reformasi, kecenderungan koalisi partai dalam kehidupan politik Indonesia mulai terbangun pasca-Pemilu 1999,yaitu dalam pemilihan presiden dan
45
Diakses pada www.seputarindonesia.com / ditulis oleh Lili Romli
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
wakil presiden oleh MPR.Koalisi dalam bentuk Poros Tengah, yang dimotori PAN dan PPP berhasil menaikkan Abdurahman Wahid sebagai presiden pertama era Reformasi. Pada tahun 2004 terbentuk Koalisi Kebangsaan untuk mendukung pasangan calon presiden–calon wakil presiden Megawati Soekarnoputri– Hasyim Muzadi dan Koalisi Kerakyatan untuk mendukung pasangan capres–cawapres SusiloBambang Yudhoyono–Jusuf Kalla. Fenomena yang muncul sejak reformasi berlanjut dalam pemerintahan Yudhoyono. Namun persoalan menjadi berbeda ketika presiden Yudhoyono membentuk
kabinet
Indonesia
Bersatu.
Kendalanya,
posisi
Presiden
pascaamandemen tidak lagi riskan ketika Presiden Wahid berkuasa, karena proses pemakzulan Presiden tidak lagi semata – mata atas dasar politik melainkan melalui pertimbangan hukum dari Mahkamah Konstitusi. Karena itu walaupun basis politik Presiden Yudhoyono yang relatif kecil format Kabinet Indonesia Bersatu sebenarnya tidak mesti bersifat pelangi. Akan tetapi dalam prakteknya Presiden Yudhoyono
tidak hanya mengakomodasi kepentingan koalisi partai
pengusung, PD PKS,PBB, dan PKPI melainkan partai – partai lain yang tidak turut serta dalam pencalonannya sebagai Presiden. Secara teoritis koalisi partai pengusung Presiden Yudhoyono memang tidak mencapai mayoritas sederhana di DPR tetapi semestinya tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan berlebihan akan kelangsungan pemerintahan karena hasil konstitusi hasil amandemen menjamin masa jabatan yang tetap bagi presiden. Kompromi-kompromi politik sangat dibutuhkan agar pemerintahan bisa bekerja. Tanpa melakukan kompromi dengan partai-partai politik sehingga sulit Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
bagi pemerintah untuk melakukan programnya. Karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menempatkan kader-kader partai di kabinetnya sehingga 70-80 persen kekuatan politik memberi dukungan kepada pemerintah.Tetapi dukungan partai politik kepada kabinet melalui kompromi penempatan kadernya belum seimbang dengan dukungan dari parlemen. Pelaksanaan fungsi menteri dalam hubungannya dengan presiden, yaitu bahwa menteri adalah pembantu presiden. Di samping itu dalam kabinet presidensial, menteri jelas dinyatakan tidak bertanggungjawab kepada DPR, tetapi bertanggung jawab kepada Presiden Atas dasar hal ini, maka menteri berkewajiban menjalankan fungsinya sesuai dengan kebijakan yang telah digariskan oleh presiden seiring dengan program lainnya menuju keberhasilan bersama. Situasi di atas menggambarkan betapa pentingnya kerja bersama antarmenteri untuk mendukung keberhasilan kinerja kabinet. Sementara itu, fungsi pengawasan parlemen (DPR) yang diperankan oleh orang-orang yang berbeda partainya (multipartai), akan berpengaruh pada pola pengawasan parlemen. Kecenderungan untuk melakukan kontrol yang ketat kepada fungsi menteri, dapat
menghambat kreativitas seorang menteri
menciptakan terobosan dalam menjalankan tugasnya. Terlebih lagi, jika kontrol itu dipengaruhi oleh faktor nonteknis, yaitu ditujukan terhadap pribadi menteri, akan lebih memperberat lajunya fungsi pemerintahan.Kendala dalam praktik pemerintahan presidensial yang multipartai akan tampak pada beragamnya afiliasi politik menteri yang duduk di kabinet (perbedaan asal partai masing-masing menteri). Dalam kabinet yang terdiri dari menteri-menteri yang berasal dari Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
berbagai macam partai. Karena itu, kabinet kurang maksimal melakukan kinerjanya. Koalisi partai politik di pemerintahan SBY-JK tidak menjadikan kesamaan/kedekatan ideologi politik partai sebagai faktor determinan namun lebih didasarkan pada political interest kekuasaan. Ciri pemerintahan koalisi ini, di antaranya, pertama, sebagian anggota kabinet (tidak seluruhnya) yang berasal dari partai politik terkadang mencampur-adukkan antara tugas negara dengan kepentingan partai politik.. Akar masalahnya yaitu seleksi pemilihan kader partai untuk ditempatkan di kabinet didasarkan pada unsur koncoisme/nepotisme karena partai politik dikelola secara monopolis-oligarkis. Komposisi dan jumlah koalisi partai selalu berubah-ubah setiap pergantian pemerintahan. Sistem multipartai di Indonesia adalah cerminan dari multi-golongan dan kepentingan masyarakat. Pembentukan pemerintahan koalisi tentu akan mempertimbangkan berapa besar suatu partai politik memperoleh kursi di legislatif, sebab lembaga legislatif menjadi faktor utama yang mempengaruhi legitimasi pemerintah SBY-JK. Jumlah partai-partai politik di lembaga legislatif secara positif terkait dengan ketidakstabilan pemerintahan. Bila koalisi partai didasarkan pada kepentingan yang sama dalam merebut dan menguasai kekuasaan. Oleh sebab itu, dari 38 anggota kabinet, 18 menteri berasal dari delapan partai politik Penempatan kader partai di kabinet dapat dilihat melalui tabel di bawah ini Tabel 3.2 Kekuatan Politik di Dalam Pemerintahan dan di Luar Pemerintahan (14 Februari 2007)
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
NO
Di dalam Pemerintahan Partai((Jumlah Menteri)*)
Di Luar Pemerintahan DPR
Partai
DPR
1.Partai Golkar (3)
127 kursi
PDI – P
109 kursi
2.PPP (3)
58 kursi
PDS
13 kursi
3.Partai Demokrat (2)
56 kursi
PPDK
4 kursi
4.Partai Amanat Nasional (2)
53 kursi
PNIM
1 kursi
5.PKB (2)
52 kursi
PPDI
1 kursi
6.PKS (3)
45 kursi
PKPB
2 kursi
7.PBB (2)
11 kursi
8.PBR (-)
14 kursi
9.Partai Pelopor (-)
3 kursi
10.PKPI (1)
1 kursi Kekuatan
130
Kekuatan
420 (76,4persen)
(23,6 persen)
Diolah dari : Jurnal Sekretaris Negara RI No.18 Eep Saefullah Fattah, PraktekPresidensialisme dan Demokrasi Indonesia Selepas Pemilu 2004, 2008, hal.102 . Analisis yang dilakukan terhadap kompromi politik yang menghasilkan kabinet Indonesia bersatu yang berisi bukan hanya tokoh profesional di bidangnya tetapi juga di dasarkan pada pertimbangan peta kekuatan partai – partai di parlemen, terutama partai – partai yang dianggap berjasa dalam menghantarkan pasangan ini menjadi pasangan terpilih. Namun demikian perlu segera dicatat bahwa demokrasi bukan sekedar kemampuan bekerja sama, berkoalisi dan melakukan kompromi – kompromi. Menurut Adam Przeworski di bawah sistem demokrasi pada dasarnya tidak ada kompromi substantif yang dapat dijamin kelangsungannya sebagai acuan bersama kelompok – kelompok yang melakukan
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
kompromi. 46 Karena itu menurut pendapatnya solusi bagi kompromi demokratis terletak pada institusionalisasinya. 47 Urgensi institusionalisasi dalam mewujudkan pemerintahan demokratis yang efektif dan stabil juga dikemukakan oleh Huntington dalam kajiannya mengenai gelombang demokratisasi ketiga. 48 Dalam kaitan ini persoalan mendasar yang dihadapi oleh Indonesia pasca Orde – Baru tidak hanya berkaitan dengan kenyataan bahwa kompromi, koalisi dan kerja sama cenderung dilakukan untuk kebutuhan politik sesaat tetapi juga karena semua itu tidak ditindaklanjuti dengan kesepakatan politik yang lebih bersifat institusional. Padahal seperti yang dikemukakan oleh Huntington, demokratisasi mensyaratkan paling kurang tiga hal yaitu berakhirnya sebuah rezim otoriter, dibangunnya sebuah rezim demokratis, dan pengkonsolidasian rezim demokratis itu sendiri. 49 Dalam konteks Indonesia pasca orde baru dan psrasyarat utama yang telah diajukan Huntington sebenarnya sudah terpenuhi yakni fakta bahwa rezim Orde Baru Soeharto sudah berakhir termasuk rezim Habibie yang dianggap sebagai reproduksi Orde Baru. Prasyarat kedua begitu pula yang ditandai dengan berlangsungnya pemilu demokratis dengan sistem multipartai yang pemerintahan baru hasil pemilu dan format politik yang baru. Namun prasyarat ketiga yang diajukan Huntington tidak pernah bisa dilakukan oleh para elite politik baru yang berasal dari partai – partai politik produk pemilu. Dalam hubungan ini Rostow yang dikutip Huntington juga mengatakan penciptaan demokrasi mensyaratkan 46
Adam Prezeworski, “Sejumlah Masalah dalam Studi Transisi Demokrasi”, dalam O’Donnel, et.al., Transisi Menuju Demokrasi : Tinjauan Berbagai Perspektif, Jakarta : LP3ES, 1992, hal.95 47 Ibid 48 Samuel P Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1995, hal.10 49 Ibid., hal.45 Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
para elite mencapai suatu konsensus prosedural mengenai aturan yang disepakati bersama. 50 Ironisnya ketika sistem multipartai diperkenalkan dan ternyata tidak ada satupun partai yang memperoleh kursi mayoritas di parlemen yang memungkinkan berlakunya mekanisme check and balances tidak pernah disepakati oleh elite politik.
4. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Pascaamandemen UUD 1945 Pemerintahan baru hasil Pemilu 2004 bekerja atas dasar desain konsitusi hasil amandemen yang berorientasi pada penguatan dan pemurnian sistem demokrasi presidensil yang memungkinkan melembaganya format baru hubungan Presiden dan DPR di atas prinsip check and balances. Meskipun memiliki legitimasi dan mandat yang kuat melalui dukungan mayoritas mutlak pemilih ternyata kinerja pemerintahan hasil Pemilu 2004 tersebut tidak begitu efektif. Hal ini tercermin dalam beberapa survey yang dilakukakan oleh lembaga survey yang mengkonfirmasi kekecewaan publik terhadap prestasi pemerintahan hasil Pemilu 2004. 51Efektifitas pemerintahan juga terganggu oleh begitu banyaknya usulan penggunaan hak interpelasi dan hak angket DPR yang digulirkan oleh partai – partai pendukung pemerintah dalam rangka mempretanyakan dan menyelidiki sejumlah kebijakan pemerintah. Sejak pemerintahan Yuhoyono bekerja, tidak kurang dari 14 usulan hak interpelasi digulirkan oleh partai – partai politik di parlemen untuk mempertanyakan dan menggugat kebijakan pemerintah. Karena 50
Ibid Menurut Survey LSI memasuki tahun – 3, tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintahan Yudhoyono hanya sekitar 29,3 persen. Survey dilakukan pada 9 – 14 September 2007 di 33 propinsi dan mencakup 1.200 responden. Dapat diakses pada www.lsi.co.id / Ditulis pada 07 Oktober 2007. 51
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
fungsi pengawasan ini dianggap penting dimiliki oleh DPR untuk berjalannya mekanisme kontrol antar lembaga negara, maka ketentuan dalam penjelasan UUD 1945 itu dimuat secara tegas dalam pasal-pasal UUD 1945 secara lebih jelas dan rinci sebagaimana diatur dalam pasal 20 A. Sebagian besar hak interpelasi tersebut gagal atau ditolak melalui voting dalam Rapat Paripurna DPR, sedangkan sebagian kecil lainnya atas dukungan partai – partai yang turut berkoalisi dalam pemerintahan diterima sebagai hak interpelasi dan hak angket dewan. Meskipun penggunaan hak interpelasi merupakan salah satu hak DPR dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah, namun dalam realitas politik yang terjadi menciptakan situasi konflik dan ketegangan politik yang tidak produktif bagi efektifitas sistem presidensil.
Tabel 3.3 Usulan Penggunaan Hak Interpelasi DPR Periode
Tanggal
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
06 Nov 2005
17 Jan 2005
Awal Peb 2005
Materi Interpelasi Penarikan Surat Presiden Megawati tentang penggantian Panglima TNI SK Wapres No.1/2004 ttg Pembentukan Timnas Penanganan Bencana di Aceh Surat Setwapres tentang arahan Wapres agar
Unsur Status Pengusul Usulan F-PDIP; F- Ditolak KB, F- DS; 49 orang
F-PDIP;FTidak KB;F-PAN;F- Berlanjut PBR; 15 orang
Semua Fraksi Tidak kecuali F-PG berlanjut dan F-PD; 19
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Akhir Agust 2005 Sept 2005
13 Sept 2005 17 Okt 2005 24 Jan 2006 17 Okt 2006 05 Jun 2007
17 Jun 2007 04 Des 2007 Juni 2007
Juni 2008
menteri tidak anggap penting Raker dengan DPR MoU Helsinski tentang Penyelesaian Kasus Aceh Teleconference Presiden dari Amerika Serikat Kasus busung lapar dan polio Kenaikan harga BBM Impor Beras (I)
Impor Beras (II) Dukungan pemerintah atas Resolusi PBB tentang isu nuklir Iran Semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo Penyelesaian Kasus KLBI / BLBI Kebijakan antisipatif pemerintah akibat kenaikan harga BBM Kenaikan harga BBM
orang
F-PDIP;FKB; F-PAN;
Tidak berlanjut
Lintas Fraksi ; Tidak 20 orang berlanjut Semua Fraksi Diterima kecuali F-PD F-PDIP ; FKB Ditolak F-PP, F-KB, Ditolak F-PAN, FPDS F-PDIP Ditolak Semua fraksi Diterima kecuali F-PD; 280 orang
Semua Fraksi Ditunda kecuali F-PD; 153 orang Semua fraksi Diterima
Semua fraksi Diterima kecuali; F-PD
F-PD dan F- Ditolak PPP; fraksi lain usul hak angket Diolah dari : Syamsuddin Haris, Format Relasi Presiden – DPR Dalam Demokrasi Presidensil di Indonesia Pasca-Amandemen Konsitusi (2004-2008), Jakarta, 2008, hal.7
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Sementara itu pada periode yang sama pemerintahan SBY – JK juga menghadapi beberapa usulan hak angket yang digulirkan partai – partai di DPR untuk menyelidiki kemungkinan adanya pelanggaran dibalik kebijakan – kebijakan pemerintah yang dipertanyakan dewan. Penggunaan hak pengawasan DPR terhadap pemerintah ini juga cenderung mempertajam konflik dan ketegangan politik dalam format relasi Presiden dan DPR. Usulan hak angket juga pada umumnya didukung oleh partai – partai yang memiliki wakil di dalam Kabinet Indonesia bersatu.
Tabel 3.4 Usulan Penggunaan Hak Angket Periode
Tanggal Materi Angket
Susilo Bambang
31 Mei
Yudhoyono
2005 31 Mei 2005 7 Juni 2005 17 Jan 2006
Kenaikan BBM
Unsur Status Usulan Pengusul harga F-PDIP, F- Ditolak KB. F-PDS
Lelang gula illegal
Penjualan Pertamina Kredit macet Mandiri
F-PDIP, F- Ditolak KB, F-PDS
tanker Semua fraksi
Diterima
Bank F-PDIP yang Tidak lain menarik berlanjut diri
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
24 Jan 2006 30 Mei
Impor Beras
Pengelolaan Cepu
F-PDIP, F- Ditolak PKS, F-PAN, F-PDS Blok F-PDIP, F- Ditolak PAN, F-BPD
2006 Maret
Penyelesaian Kasus Semua fraksi Tidak KLBI / BLBI kecuali F-PD, berlanjut F55 orang PG, F-PDIP, 2008 F-PKS turut menolak 2 Juni Kebijakan energi Semua fraksi Diterima nasional dan kecuali F-PD transparansi dan F-G 2008 pengelolaan migas oleh Pertamina Diolah dari : Syamsuddin Haris, Format Relasi Presiden – DPR Dalam Demokrasi Presidensil di Indonesia Pasca-Amandemen Konsitusi (2004-2008), Jakarta, 2008, hal.8 Relasi eksekutif dan legislatif ditandai dengan terbangunnya hubungan kekuasaan yang relatif seimbang antara kedua institusi pemerintahan tersebut. Konstitusi hasil amandemen semakin memperkuat otoritas kontrol dewan terhadap presiden melalui pelembagaan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat (Pasal 20 Ayat 2) serta hak individual anggota parlemen dalam mengajukan pernyataan usul dan pendapat (Pasal 20A ayat 3). Meluasnya otoritas dan hak DPR dalam konstitusi hasil amandemen ini menjadi faktor pendorong yang penting dibalik tingginya intensitas usulan penggunaan hak interpelasi dan hak angket sehingga terbangun siatuasi konflik dalam format baru relasi Presiden dan DPR. Sebagai sebuah pemerintahan mayoritas pola hubungan eksekutif dan legislatif pada era pemerintahan Yudoyono – Kalla semestinya terbangun secara konstruktif sehingga menghasilkan pemerintahan yang stabil dan efektif. Dalam Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
realitasnya efektifitas kerja kabinet dan pemerintahan pada umumnya hampir selalu terganggu oleh manuver – manuver partai – partai politik di DPR yang merupakan sebagian diantaranya adalah partai yang turut berkoalisi dalam kabinet. Tarik menarik politik hampir selalu menjadi ketika partai – partai mengusulkan penggunaan hak interpelasi
untuk mempertanyakan kebijakan
pemerintah dan hak angket DPR sebagai upaya menyelidikinya. Dalam beberapa kasus interpelasi DPR terhadap kebijakan pemerintah misalnya dalam kasus interpelasi dewan terhadap sikap pemerintah mendukung Resolusi PBB tentang nuklir Iran misalnya suasana konflik dan ketegangan politik muncul ketika DPR menuntut Presiden hadir secara langsung untuk memberikan jawaban
sementara Presiden bertahan untuk tidak hadir
dan mewakilkan
pemberian jawaban pemerintah melalui para menteri kabinetnya. Fenomena serupa juga muncul ketika DPR menggelar dua kali Rapat Paripurna mengagendakan pemberian keterangan pemerintah secara langsung oleh Presiden dalam kasus interpelasi BLBI. Sebagai reaksi terhadap Presiden Yudhoyono sebagian anggota DPR mengembalikan naskah keterangan pemerintah yang dibawa oleh para menteri dan sebagian lagi meninggalkan ruang sidang. Namun yang menarik dari ketegangan politik yang terjadi tersebut hampir selalu dapat diselesaikan dan diselesaikan melalui mekanisme Rapat Konsultasi antara Presiden dan Pimpinan DPR (termasuk pimpinan fraksi, komisi dan pimpinan alat kelengkapan dewan yang lain)sehingga situasi konflik dan ketegangan politik langsung mereda. Konflik dan ketegangan politik yang muncul di balik relasi Presiden dan DPR dalam beberapa kasus interpelasi politik yang Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
muncul dapat dikatakan masih dalam tahap – tahap wajar. Hal ini tercermin dari realitas bahwa sejak pemerintahan hasil Pemilu 2004 bekerja hampir tidak ada satu pun usulan rencana kebijakan RUU yang berasal dari inisiatif DPR macet di tangan pemerintahan. Karena itu asumsi teoritis Mainwaring mengenai potensi deadlock dan immobilism dalam relasi eksekutif dan legislatif tidak terjadi dalam praktek demokrasi presidensil dalam pemerintahan Presiden Yudhoyono. Hubungan
eksekutif
dan
legislatif
pascaamandemen
konsitusi
menghasilkan format hubungan yang cenderung sarat DPR (DPR – heavy) ketimbang hubungan kekuasaan yang benar – benar seimbang dan saling konttrol di antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dampak dari terbentuknya format relasi yang cenderung sarat DPR adalah munculnya konflik dan ketegangan politik ketika , pertama, DPR mempertanyakan kebijakan pemerintah melalui hak interpelasi dan ternyata Presiden Yudhoyono menolak untuk hadir secara langsung dalam Rapat Paripurna dewan yang mengagendakan jawaban pemerintah. Kedua, tatkala Presiden Yudhoyono menjalankan kekuasaan non legislatif yang harus memperoleh konfirmasi dan atau persetujuan DPR seperti pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI, pengangkatan gubernur Bank BI dan pengangkatan Anggota KPU terpilih hasil uji kepatuhan dan kelayakan yang dilakukan DPR. Selain itu komplikasi dari kombinasi presidensialisme dan sistem multipartai yang semakin melembaga pascaamandemen. Faktor – faktor lain yang mencakup pola hubungan eksekutif dan legislatif yaitu sistem pemilu proporsional yang menghasilkan sistem multipartai yang pada gilirannya berdampak pada fragmentasi politik tanpa kekuatan mayoritas di DPR; Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
politik kompromi dan akomodasi yang dilakukan Presiden Yudhoyono dalam rangka memperluas dukunga politik di DPR; model atau koalisi semu tanpa konsensus minimum antara Presiden dan partai pendukung pemerintah; UU Pilpres yang menghasilkan problematika kohebitas antara presiden Yudhoyono dan Kalla sebagai wakilnya yang juga mempengaruhi hubungan yang terbangun. Pola hubungan eksekutif dan legislatif dalam masa pemerintahan Yudhoyono juga
bersumber pada persoalan perbedaan basis politik antara
Yuhoyono(Demokrat) dan Yusuf Kalla(Golkar) sebagai wakil presiden. Meskipun kohabitasi sudah munsul diera pemerintahan sebelumnya, namun pengalaman historis tersebut dapat dikatakan wajar karena MPR memilih presiden dan wakil presiden secara terpisah. Berbeda dengan era pemerintahan Yudhoyono format kohabitasi hasil amandemen dan desain dari UU No.23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang membuka peluang bagi pasangan berbeda dalam partai politik. Kohabitasi biasa digunakan untuk menggambarkan sebuah keadaan dalam semipresidensil seperti yang dipraktekkan di Perancis dan Finlandia ketika Presiden dan perdana menteri berasal dari dua partai yang berbeda. 52 Karena orientasi dan terkadang ideologi partai keduanya berbeda maka kepala negara dan kepala pemerintahan mesti saling menyesuaikan diri untuk bisa saling mendukung. Tidak jarang dalam isu – isu tertentu keduanya berbeda bersitegang maka kohibitasipun menjadi tantangan sekaligus bahaya.Dalam praktek politik selanjutnya Presiden Yudhoyono mendorong wapresnya menjadi 52
Jurnal Sekretaris Negara RI No.18 Eep Saefullah Fattah, PraktekPresidensialisme dan Demokrasi Indonesia Selepas Pemilu 2004, 2008, hal.108 Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Ketua Umum Partai Golkar dengan harapan bahwa dukungan politik di DPR semakin besar. Hal ini justru menciptakan ketergantungan Presiden terhadap Partai Golkar. Presiden Yudhoyono hampir selalu memiliki peluang untuk mendapatkan dukungan politik dalam rangka menggagalkan penolakan DPR terhadap kebijakan kebijakan pemerintah. Hanya saja peluang bagi Presiden untuk membeli dukungan dari partai politik di parlemen lebih berdampak pada terbentuknya relasi eksekutif dan legislatif yang lebih bersifat politik transaksional. Meskipun kebuntuan politik dan instabilitasi demokrasi relatif tidak terjadi dalam kasus Indonesia di bawah Presiden Yudhoyono dapat dikatakan bahwa kombinasi presidensil dan multipartai cenderung menghasilkan pemerintahan yang tidak efektif. Presiden dengan basis politik yang minim di parlemen telah melahirkan fragmentasi politik tanpa kekuatan di parlemen. Kombinasi yang sulit ini diatasi oleh Presiden Yudhoyono dengan membentuk kabinet koalisi partai meskipun menjadi perangkap bagi Presiden. Kombinasi sistem presidensil dan sistem multipartai di Indonesia dibawah pemerintahan Yudhoyono memiliki peluang menghasilkan demokrasi presidensil yang stabil dan efektif apabila didukung oleh kepemimpinan yang efektif dalam mengelola hubungan kekuasaan dengan parlemen. Sebuah sistem pemerintahan tidak akan berjalan dengan baik apabila tidak didukung oleh sistem kepartaian dan sistem pemilu yang tepat. Dengan konteks seperti yang terjadi diperlukan adanya keseimbangan antara lembaga DPR, yang akan mewakili secara khusus kepentingan-kepentingan masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam, dan lembaga presiden yang, harus Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
berperan sebagai pusat pengambilan keputusan yang paling pokok untuk masa depan bangsa.
BAB IV PENUTUP
1. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas maka didapat beberapa kesimpulan terkait dengan penelitian yaitu : 1. Gelombang reformasi yang melanda Indonesia memberikan perubahan yang mendasar terhadap format kelembagaan Indonesia. Salah satunya adalah adanya perubahan (amandemen) UUD 1945. Implikasi dari perubahan ini juga berpengaruh pada struktur kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dimana Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
ketika Orde Baru berakhir keseimbangan relasi antara eksekutif dan legislatif berubah dimana ada kecenderungan legislative heavy kembali menguat. Konstitusi hasil amendemen memperkuat posisi politik DPR antara lain melalui kewenangan konfirmasi parlemen atas sejumlah otoritas presiden yang sebenarnya berada dalam wilayah hak prerogatif eksekutif 2. Amandemen UUD 1945 mengenai pemilihan eksekutif dalam hal ini presiden dan wakil presiden dan pemilihan legislatif dalam hal ini anggota DPR yang telah mengubah pola atau sistem yaitu dengan pemilihan langsung oleh rakyat. Problema yang terjadi Presiden Yudhoyono dan DPR adalah kombinasi sistem presidensial dan sistem multipartai dimana terjadi fragmentasi politik tanpa kekuatan mayoritas di DPR di satu pihak, dan terpilihnya presiden dengan basis politik relatif kecil di lain pihak.. 3. Sisem multipartai yang diterapkan dalam sistem presidensil pada masa reformasi menjadi kendala menyangkut hubungan eksekutif dan legislatif. Idealnya, dalam sistem presidensial kepartaiannya mengarah kepada partai yang memerintah dan partai yang tidak memerintah (oposisi), sehingga dapat menghindari terjadinya kompromi politik dalam relasi eksekutif dengan legislatif.
2 Saran 1. Berfungsinya prinsip check and balances antara masing – masing lembaga negara
harus
menjadi
pertimbangan
utama
terutama
dalam
mengkonstruksikan hubungana eksekutif dan legislatif untuk menghindari Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
dominasi kekuasaan satu lembaga politik atas lembaga – lembaga politik yang lain. 2. Melakukan penyederhanaan sistem kepartaian sehingga terbentuk sistem multipartai yang sederhana yang memungkinkan terbentuknya kekuatan mayoritas di DPR.
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA Buku Abraham,Amos, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Dari Orla, Orba Sampai Reformasi), Jakarta : Rajawali Press, 2005 AM Fatwa, Dari Cipinang Ke Senayan (Catatan Gerakan Reformasi dan Aktifitas Legislatif hingga ST MPR 2002), Jakarta : Penerbit Intrans, 2003 AM Fatwa,Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi (Jejak Langkah Parlemen Indonesia Periode 1999 – 2004), Jakarta : Penerbit RajaGrafindo Persada, 2004 Bangun, Zakaria, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pascaamandemen UUD 1945, Medan : Penerbit Bina Media Perintis, 2007 Budiarjo, Miriam, Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1992 Budiardjo Miriam dan Ibrahim Ambong, Fungsi Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1993 Cipto, Bambang, Presiden, Partai dan Pemulihan Ekonomi Indonesia, Yogyakarta : Penerbit UII Press, 2002 Dwi, Reni, P SH, Implementasi Sistem Bikameral, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005 Gaffar, Afan, Politik Indonesia (Transisi Menuju Demokrasi), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005 Haris, Syamsudin, Konflik Presiden DPR (Dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia), Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 2007 Huntington, Samuel, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1995 Koirudin, Profil Pemilu 2004, Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2004
Mahfud MD, Moh, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta : Penerbit Liberty, 1993 ---------------------, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta, 2000 Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Mainwaring,Scott, Presidensiatilsm, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination, dalam Comparative Studies Vol.26, No.2, 1993 O’Donnel, Guilermo, Transisi Menuju Demokrasi : Tinjauan Berbagai Perspektif, Jakarta : LP3ES, 1992 Ranadireksa, Hendarmin, Arsitektur Konstitusi Demokratik (Megapa ada Negara Gagal Melaksanakan Demokrasi), Bandung : Penerbit Fokus Media, 2007 Sabit, Arni, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta : CV. Rajawali, 1985 Sitepu, Anthonius, Sistem Politik Indonesia, Medan : Penerbit Pustaka Bangsa Press, 2006 Suharto, Susilo, Kekuasaan Presiden Republik Indonesia Dalam Periode Berlakunya Undang – Undang Dasar 1945, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2005 Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif, Malang : Penerbit UMM Press, 2003 Suni, Ismail, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta : Penerbit Aksara Baru, 1986 Surya, Indra, Bahaya Tirani DPR : Konflik Presiden dan DPR ( Kumpulan Analisis Para Pengamat Politik), Jakarta : Penerbit Lembaga Studi Politik Merdeka, 2001 Susanti, Bivitri, dkk, Semua Harus Terwakili (Studi Mengenai Reposisi MPR,DPR dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia), Jakarta : Penerbit PSHK, 2000 Usman, Husaini, Metode Penelitian Sosial, Bandung : Bumi Aksara, 2004
Jurnal Jurnal Ilmu Politik No.14 Ramlan Surbakti, Perspektif Kelembagaan Baru Mengenai Hubungan Negara dan Masyarakat ,1993, hal.3 Jurnal Hukum dan Pembangunan No.4 Budi Darmono, Perubahan Eksekutif Legislatif danYudikatif Berdasarkan Amandemen UUD 1945, 2007, hal.594 Jurnal Sekretaris Negara RI No.18 Eep Saefullah Fattah, PraktekPresidensialisme dan Demokrasi Indonesia Selepas Pemilu 2004, 2008, hal.102
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Sumber Internet Ana, Safitri, www.wordpress.com, ditulis pada 4 November 2008 . Diakses pada 23 Desember 2008 Ellyasa, Darwis, www.opiniindonesia.com, ditulis pada 28 April 2008. Diakses pada 23 Desember 2008 Diakses pada www.jakartahariini.com, ditulis pada 6 Juni 2007.
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009
Anisa Halida : Presidensil Partai Politik Dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif Dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pascaamandemen UUD 1945), 2009. USU Repository © 2009