Surat Kabar Harian “KEDAULATAN RAKYAT”, terbit di Yogyakarta, Edisi 17 November 1987
TIGA ISU MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA Oleh : Ki Supriyoko ( Bagian Terakhir dari Dua Tulisan )
Berbeda dengan SMA yang mempersiapkan lulusannya untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi maka SMTAK, sekolah menengah tingkat atas kejuruan mengemban tugas untuk mencetak lulusan dengan disiplin pengetahuan dan keterampilan yang kualitatif untuk terjun langsung ke pos kerja di lapangan. Permasalahan sekolah kejuruan ini memang relatif lebih kompleks apabila dibandingkan dengan sekolah umum; karena disamping secara "intern" akan menyangkut masalah proses belajar mengajar pada lembaga pendidikan itu sendiri, maka secara "ekstern" sangat erat hubungannya dengan masalah ketenagakerjaan di negara kita pada umumnya. Saat ini dalam struktur ketenagakerjaan di negara kita masih ditemui ratio kuantitatif yang tidak seimbang antara tenaga kerja tidak terampil (unskiled worker), tenaga kerja terampil (skiled worker) serta tenaga ahli (profesional). Di satu pihak jumlah dan proporsi tenaga kerja tidak terampil berlebihan, sementara itu dipihak yang lain proporsi tenaga kerja terampil dan ahli sangat terbatas adanya. Kalau kita mengacu pada klasifikasi tenaga kerja di Indonesia, tenaga kerja tidak terampil merupakan ekuivalensi dari lulusan sekolah dasar dan yang sama sekali tidak pernah sekolah, tenaga kerja terampil tingkat menengah merupakan ekuivalensi dari lulusan sekolah menengah kejuruan, sementara itu tenaga ahli adalah ekuivalensi lulusan dari perguruan tinggi. Dewasa ini sebagian besar dari keseluruhan tenaga kerja di Indonesia merupakan tenaga "unskiled worker" dengan disiplin pendidikan dan keterampilan yang serba terbatas. Data tersebut membuktikan bahwa kualitas tenaga kerja di negara kita masih relatif rendah; karena dominannya tenaga kerja tidak terampil di dalam struktur ketenagakerjaan. Terbatasnya tenaga kerja terampil dan juga memelimpahnya tenaga kerja tidak terampil hingga saat ini memang merupakan salah satu masalah yang sangat kompleks dalam siklus ketenagakerjaan di Indonesia. Pada hal idealnya tenaga
2
kerja terampil justru harus lebih banyak jumlahnya dan proporsinya. Beberapa tahun lalu yang silam Bank Dunia (World Bank) pernah mengirim "tim" untuk mengadakan survey tentang perkiraan kebutuhan tenaga kerja menurut tingkat keahliannya di Indonesia. Hasil survey "tim" ini, yang dapat menunjukkan betapa besarnya kebutuhan tenaga terampil, dipresentasikan dalam Tabel 1. Periksa Tabel 1! Besarnya kebutuhan tenaga terampil ini, yang nota bene diproduksi oleh sekolah kejuruan ternyata tidaklah diimbangi oleh besarnya minat masyarakat terhadap sekolah kejuruan; terutama SMTAK. Salah satu penyebab terjadinya peristiwa ini adalah masih diragukannya kualitas lulusan sekolah kejuruan oleh masyarakat, khususnya para pengguna tenaga kerja. Banyak para pengguna tenaga kerja di lapangan; baik lembaga, instansi, perusahaan, pabrik-pabrik maupun perorangan yang meragukan kualitas para lulusan sekolah kejuruan. Mereka menganggap bahwa disiplin keterampilan yang dimiliki oleh para lulusan sekolah kejuruan belum "layak pakai" untuk mengimbangi tantangan kemajuan teknologi yang banyak diaplikasikan di lapang-an kerja. Indikator lain tentang belum memuaskannya kualitas lulusan sekolah kejuruan, SMTAK, adalah banyaknya pengguna tenaga kerja yang lebih suka menerima pekerja baru lulusan SMA dari pada lulusan SMTAK. Pertimbangan yang diambil memang cukup argumentatif: sama-sama belum mempunyai disiplin keterampilan yang kualitatatif tetapi lulusan SMA mempunyai kelebihan dibanding dengan lulusan SMTAK, ialah lulusan SMA lebih mudah "dibentuk". Dalam kondisi seperti ini dapatlah dipahami kalau lulusan SMTAK belum 'siap pakai', apalagi 'siap mandiri', akan tetapi setidak-tidaknya mereka harus 'siap latih'. Untuk dapat menjadi tenaga siap latih ini pun sebenarnya juga diperlukan penguasaan disiplin keterampilan dasar secara kualitatif. Kecenderungan para pengguna tenaga kerja untuk memilih lulusan SMA dari pada SMTAK tersebut juga telah memberikan isyarat tentang kurang memuaskannya kualitas lulusan SMTAK; karena para lulusan sekolah kejuruan itu belum mempunyai disiplin keterampilan yang benar-benar kualitatif. Pengamatan dan keluhan masyarakat atas munculnya gejala menurunnya kualitas pendidikan menengah ternyata membawa dampak pada kalangan pendidikan tinggi; terutama sekali IKIP dan FKIP sebagai lembaga pendidikan tinggi kependidikan yang ditugasi memproduksi tenaga pendidik atau guru bagi kepentingan pendidikan menengah. Salah satu faktor yang dipandang cukup dominan terhadap fenomena pemerosotan kualitas pendidikan menengah adalah ren-dahnya kualitas guru. Karena yang memproduksi guru adalah IKIP, maka lembaga ini "diwajibkan" ikut bertanggung jawab. Berbagai kritik yang cukup tajam mengenai kualitas lulusan IKIP akhir-akhir ini memang banyak muncul dipermukaan. Masalah utama yang menjadi
3
titik pangkal kritik adalah banyaknya para tenaga pendidik yang kurang menguasai "subject matter", atau materi pengajaran yang harus disampaikan kepada anak didik. Timbullah pertanyaan, apakah IKIP "kurang waktu" untuk mentransfer pengetahuan bidang studi kepada para lulusannya ...? Sebetulnya tidak !!. Katakanlah struktur kurikulum program S1 IKIP mempunyai beban studi sebanyak 160 sks, dan 75% (120sks) diantaranya merupakan MKBS; Mata Kuliah Bidang Studi, adalah kelompok mata kuliah untuk menyampaikan bekal penguasaan materi bidang studi (subject matter) kepada mahasiswa, maka kita bisa membuat perhitungan waktu sbb: Distribusi mata kuliah dalam kelompok MKBS diperhitungkan terdiri dari 50% mata kuliah teori (MKT) dan 50% mata kuliah praktek (MKP). Sebagai perbandingan dalam struktur kurikulum FKT IKIP Padang serta FKT IKIP Yogyakarta yang disusun tahun 1982 oleh sebuah tim penyusun kurikulum yang melibatkan pakar dari World Bank didapati formulasi MKBS sbb: untuk mahasiswa asal SMA diberi MKT sekitar 52% dan MKP 48%; untuk mahasiswa asal STM diberi MKT sekitar 62% dan MKP 38% (Depdikbud, "Kurikulum dan Silabi Jurusan Mesin FKT IKIP Padang dan Yogyakarta", 1982). Dari sisi yang lain sks (satuan kredit semester) mengandung pengertian studi terjadwal, studi terstruktur serta studi mandiri. Studi terjadwal berupa "sesion" atau tatap muka langsung antara dosen dengan mahasiswa, studi terstruktur berupa tugastugas arahan dari dosen, serta studi mandiri adalah kegiatan belajar atas inisiatif mahasiswa. Lamanya "sesion" atau tatap muka antara dosen dengan mahasiswa untuk MKT ialah 50 mnt/sks, dan untuk MKP 120 mnt/sks. Apabila setiap semesternya rata-rata terdapat 16 minggu efektif untuk melaksanakan tatap muka langsung di kelas antara dosen dengan mahasiswa maka paket kurikulum program sarjana (S1) menyediakan waktu selama 163200 menit atau sebanyak 2720 jam "sesion", untuk tatap muka langsung antara dosen dengan mahasiswanya. Angka ini diperoleh dari 50%x120x16x50 menit (untuk MKT) ditambah 50%x120x16x120 menit (untuk MKP). Perlu dicatat bahwa angka tersebut diatas belum/ tidak termasuk waktu yang disediakan untuk kepentingan studi terstruktur dan studi mandiri. Sehingga sebenarnya IKIP mempunyai "banyak waktu" untuk mengajarkan bidang studi kepada para lulusannya. CE Beeby, seorang konsultan dari Ford Fondation menyoroti dari sudut lain; adalah "input". Beeby pernah mengemukakan bahwa banyak para guru Indonesia yang tidak memiliki bobot inte-lektual yang memadai sebab menurut sejarahnya dulu mereka masuk IKIP karena sudah tidak diterima di universitas(maksudnya perguruan tinggi non- IKIP). Calon mahasiswa yang pandai-pandai sudah banyak terserap di universitas, sedangkan "sisa"-nya banyak yang kemudian masuk IKIP.
4
Sinyalemen Beeby barangkali tidaklah terlalu jauh menyimpang, meskipun tidak seluruh benar. Pada kenyataannya ditengah-tengah ramainya para calon berebut kursi PTN lewat Sipenmaru (seleksi penerimaan mahasiswa baru), ternyata ribuan kursi IKIP banyak yang kosong sehingga kemudian dilaksanakan sipenmaru "gelombang dua" khusus untuk IKIP. Peristiwa ini terjadi pada tahun akademik 1985/86, dan peristiwa ini mendukung sinyalemen Beeby tentang rendahnya kualitas "input" mahasiswa baru IKIP. Keadaan seperti itu tentu sangat tidak menguntungkan IKIP sebab kualitas "input" sangat menentukan kualitas "output". Dalam dunia pendidikan terdapat keterkaitan yang sangat erat antara "input" (peserta didik), "proses" dan "output" (hasil didik). Apabila "input"-nya berkualitas, prosesnya baik maka hasil didiknya baru dapat ideal;akan tetapi bila "input"nya saja tidak berkualitas maka hasil didiknya bisa menjadi pertanyaan,setidak-tidaknya 'kadar idealitas'-nya akan berkurang. Dalam bahasa yang lain kalau calon mahasiswa IKIP kualitasnya kurang ideal maka sangatlah pantas kalau kualitas lulusannya pun juga tidak ideal. Terlepas dari faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebabnya, yang jelas membuat satu analisis untuk menarik konklusi bahwa kualitas lulusan IKIP belum memuaskan kiranya tidak akan terlalu salah. Kebijaksanaan Depdikbud untuk memberi kesempatan pada beberapa perguruan timggi nonkependidikan di Indonesia (misal: Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), dsb) guna menyelenggarakan program diploma kependidikan yang juga merupakan isyarat kurang memuaskannya kualitas para lulusan IKIP sendiri sehingga pemerintah mencari pilihan atau alternatif lain untuk mencetak calon guru melalui lembaga di luar IKIP. Selama ini tugas untuk mencetak tenaga pendidik atau guru memang mutlak menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan tenaga kependidikan (IKIP, FKIP, dsb). Dengan ditolerirnya lembaga di luar IKIP dan FKIP untuk mencetak tenaga pendidik tentu ada "apa-apa" pada tenaga pendidik lulusan IKIP. "Apa-apa" disini kiranya tidaklah terlalu jauh dengan persoalan mutu. Jadi meski secara definitif belum ada tolok ukur yang baku tentang kualitas lulusan; tetapi kiranya tidak terlalu salah menarik kesimpulan bahwa kualitas lulusan IKIP memang belum memuaskan . Meskipun kualitas lulusan lembaga pendidikan di negara kita, baik IKIP maupun SMA dan SMTAK, belum memuaskan tetapi adalah kurang bijaksana kalau kita kemudian saling "menuduh" siapa penyebabnya. Justru dengan adanya kenyataan ini maka semua unsur harus saling bahu membahu untuk mengatasinya!!!* -------------------------------------------------------Biodata:
5
nama: Drs. Supriyoko M.Pd pek.: Dosen Sarjanawiyata (Univ) Tamansiswa Yogyakarta PERKIRAAN KEBUTUHAN TENAGA KERJA DI INDONESIA MENURUT TINGKAT KEAHLIANNYA ________________________________________________________ Jumlah (ribu) Tingkat ---------------------------- 1971 1975 1990 ________________________________________________________ Profesional 180 230 440 Technicians 540 700 1.330 Skilled Workers 1.450 2.050 4.960 Semi skilled and un skilled workers 12.300 15.700 28.700 ________________________________________________________ Total 14.470 18.680 35.430 ________________________________________________________ Sumber: World Bank, "Indonesia Staff Appraisal Report: Polytechnoc Project", 1979