Surat Kabar Harian “KEDAULATAN RAKYAT”, terbit di Yogyakarta, Edisi 18 April 1988
TINJAUAN FILOSOFIS KONSEP CBSA Oleh : Ki Supriyoko
Dalam hak pengembangan kemampuan anak didik maka setidak-tidaknya ada tiga acuan teoritis dasar yang sering disebut-sebut dalam dunia pendidikan. Ketiga acuan tersebut masing-masing adalah teori nativisme, teori empirisme, serta teori konvergensi. Teori nativisme dikembangkan oleh Arthur Schopenhauer, seorang ilmuwan yang lahir di kota Dantzig pada tanggal 22 Februari 1788 dan meninggal pada tamggal 21 September 1860. Menurut teori tersebut perkembangan kemampuan seseorang akan sangat ditentukan oleh "potensi dalam" dari orang yang bersangkutan. Apabila seseorang mempunyai "potensi dalam" yang memadai maka perkembangan kemampuannya akan memadai pula, sebaliknya kalau "potensi dalam" yang dimiliki oleh orang tersebut sangat terbatas maka perkembangan kemampuannya pun akan menjadi sangat terbatas pula. Bertolak belakang dengan teori nativisme tersebut diatas adalah teori empirisme yang dikembangkan oleh seorang ilmuwan Swiss, Jean Jacques Rousseau, yang lahir di Geneva pada tahun 1712 dan meninggal tahun 1778. Teori yang lahir lebih dulu dari teori nativisme tersebut mengatakan bahwa perkembangan kemampuan seseorang yang semata-mata ditentukan oleh lingkungan atau pengalaman orang yang bersangkutan. Dan lingkungan akan memberi pengalaman kepada diri seseorang selanjutnya akan "membentuk" orang tersebut. Kalau lingkungan baik maka baiklah orang tersebut, sebaliknya bila lingkungannya jelek, maka akan jeleklah orang tersebut. Louis William Stern, seorang ilmuwan Jerman yang lahir pada tahun 1871 dan meninggal pada tahun 1938, mencoba memadukan dua teori tersebut diatas yang kemudian melahirkan teori baru yang lebih populer dengan teori konvergensi. Menurut teori konvergensi perkembangan kemampuan seseo-rang akan sangat ditentukan oleh "potensi dalam" serta lingkungan atau pengalaman sama-sama
2
memiliki peran yang dominan. Sekarang ini para pendidik pada umumnya cenderung mengacu pada teori yang terakhir, konvergensi, dimana antara "potensi dalam" serta lingkungan atau pengalaman dipercayai sebagai dua faktor yang sama-sama sangat menentukan perkem-bangan kemampuan seseorang. Ki Hadjar Dewantara (1936), relevan dengan teori konvergensi Stern, memberi istilah dua faktor tersebut sebagai 'dasar' dan 'ajar'. Menurut Ki Hadjar masing-masing orang itu dari "sono"-nya sudah mempunyai dasar sendiri-sendiri; ada yang putih, kuning, merah, hijau, biru, dan sebagainya. Meskipun demikian orang tersebut tetap terbuka kemungkinan untuk "diajar" oleh lingkung-an; dijadikan putih, kuning, merah, hijau, biru dan sebagainya. Meskipun seseorang mempunyai dasar putih, tetap terbuka kemungkinan untuk dijadikan merah kalau memang dikehendaki; meskipun dasarnya hijau namun tetap terbuka kemungkinan untuk dijadikan hitam, dsb. Tentunya membuat seseorang menjadi hijau akan lebih mudah pada orang yang dasarnya hijau dari pada orang yang dasarnya bukan hijau. Demikian pula membuat seseorang menjadi merah akan lebih mudah pada orang yang dasarnya merah dari pada orang yang dasarnya bukan merah. Dan sebagainya. Itulah sekilas tentang acuan teoritis dasar yang sering diaplikasikan dalam dunia pendidikan dewasa ini. Pengajaran sebenarnya merupakan manifestasi dari 'ajar' karena esensi pengajaran adalah menciptakan lingkungan untuk memberi pengalaman tertentu pada diri seorang anak; dan dengan lingkungan ini maka seseorang atau anak tersebut akhirnya menjadi "terbentuk". Istilah pendidikan kemudian muncul manakala lingkungan yang diciptakan atau pengalaman yang diberikan kepada anak bersifat selektif dan konstruktif untuk membawa pengembangan kemampuan anak tersebut ke arah yang positif, bukan asal berkembang saja. Terjadilah kemudian interaksi antara guru dan murid yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan siswa. Sejauh mana pengembangan kemampuan siswa setelah melalui proses pengajaran/pendidikan itulah yang merupakan hasil belajar. Secara matematis bila anak memiliki dasar kemampuan "X", kemudian setelah mengalami proses pengajaran/ pendidikan menjadi "X+Y", maka "Y" merupakan hasil pengajaran/pendidikan, atau yang lazim disebut sebagai hasil belajar. Pada mulanya banyak para pendidik yang semata-mata yang berorientasi pada produk (product orientation), ialah bagaimana dapat menciptakan "Y" semaksimal mungkin tanpa memikirkan bagaimana cara yang konstruktif dan efektif untuk menciptakan "Y" tersebut. Hal ini ternyata mengandung banyak kelemahan, diantaranya adalah karena siswa kurang dibiasakan menghayati cara untuk mencapai "Y",
3
akhirnya mereka banyak yang menjadi asing bila dihadapkan kepada masalahmasalah terapan tanpa bantuan orang lain. Menyadari adanya kelemahan tersebut diatas maka kemudian dikembangkan apa yang disebut dengan "process and product orientation" yang memberi perimbangan pada pencapaian hasil serta cara untuk mencapainya. Jadi bukan semata-mata pada hasilnya saja. Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) adalah merupakan manifestasi dari "process and product orientation" yang diformat secara operasional untuk mencapai hasil belajar yang seoptimal mungkin tanpa mengabaikan proses belajar mengajar didalamnya. Di negara kita format CBSA ini mulai dieksperimentasikan sejak tahun 1979/1980, dan kini berbagai sekolah telah mengaplikasikan format CBSA ini secara alternatif. Ciri khas utama CBSA adalah mulai ditinggalkannya sistem pengajaran klasik yang disebut 'teacher centered' untuk selanjutnya beralih pada sistem pengajaran yang lebih "modern" yang disebut dengan 'student centered'. Dalam sistem pengajaran 'teacher centered' maka proses belajar pengajar yang terjadi di kelas senantiasa berorientasi pada guru. Apa yang dikehendaki oleh "sang guru" itulah yang akan mendasari segala sesuatu yang berkaitan dengan proses belajar mengajar di kelas. Di sini peran guru benar-benar bersifat mutlak, dalam arti peran siswa sama sekali tidak masuk dalam "rekening" proses belajar mengajar di kelas. Akhirnya style, logat, kepri- badian kemampuan, cara berekspresi, dan kebiasaan "sang guru" akan menguasai kelas. Ironisnya, tidak jarang ditemui fakta bahwa peran guru dapat "mengalahkan" tujuan belajar. Hal ini semata-mata karena dominannya dan mutlaknya peran guru di kelas. Dalam format CBSA keadaan tersebut tidak berlaku lagi karena proses belajar mengajar di kelas senantiasa berorientasi pada siswa, bukan guru. Potensi dasar yang dimiliki oleh siswa sangat diperhatikan dalam proses belajar mengajar di kelas. Disam-ping itu peran siswa untuk mengembangkan kemampuannya sendiri juga mendapat porsi yang sangat layak. Tentu saja tidak berarti bahwa dengan menonjolnya peran siswa dalam proses belajar mengajar di kelas telah menjadikan "sang guru" tidak berperan lagi. Disini peran guru sama sekali tidak mengalami penurunan, akan tetapi mengalami "penyesuaian". Dalam sistem pengajaran 'teacher centered' maka seorang guru lebih berperan sebagai aktor dan instruktor; sedang siswa harus puas menelan vitamin "D5" (Duduk-Diam-Dengar-Dokumen-Dukani). Di dalam CBSA maka seorang guru lebih berperan sebagai motivator dan dinamisator; sedangkan siswa diharuskan memainkan perannya dalam porsi yang layak. Jadi sama sekali tidaklah benar kalau ada yang berpendapat bahwa CBSA membuat para guru kehilangan perannya.
4
Orientasi pengajaran yang tertuju pada siswa itu sangat relevan dengan "format ABCD" yang dibangun oleh Yerold E Kemp (1975). Menurut Kemp didalam proses pengajaran sedikitnya ada empat faktor utama yang harus diperhatikan; masing-masing ialah Audience, Behavior, Condition serta Degree. Keempat komponen ini selanjutnya lebih dikenal dengan "format ABCD". Pertama kali yang harus diperhatikan dalam proses belajar mengajar adalah siapakah siswanya (audience), seberapa jauh kemampuan dasar yang dimilikinya, bagaimana karakteristiknya, dsb. Serta tingkah laku (behavior) yang bagaimana yang diinginkan, kemampuan apa yang ingin dicapai, dsb. Selanjutnya bagaimana kondisi (condition) yang ada guna mencapainya, sarana dan fasilitas apa yang tersedia, dsb. Yang terakhir adalah sejauh mana tingkatan (degree) tingkah laku yang ingin dicapainya. CBSA menginginkan anak atau siswa berkembang dan ber-kreativitas sesuai dengan kemampuan dasarnya; tentu saja perkembangan kearah yang positif. Peran "sang" guru disamping memotivasi dan mendinamisasi siswa juga berperan memberi bimbingan manakala anak atau siswa tersebut akan keluar dari jalur-jalur rel perkembangan yang konstruktif menuju rel destruktif. Prinsip pengajaran/pendidikan seperti tersebut diatas sudah lama kita kenal dengan sistem 'tut wuri han dayani'. Dengan ungkapan lain CBSA merupakan penjabaran dari sistem 'tut wuri handayani'. Dalam sistem 'tut wuri handayani' maka sang anak diberi kebebasan yang tinggi untuk berkreativitas serta mengemukakan pendapatnya, sementara itu guru sebagai seorang pamong berkewajiban memberikan bimbingan dan arahan kepada anak tanpa harus memasung kreativitas. Dengan adanya jaminan bagi anak untuk berkreativitas dan mengemukakan pendapat maka terbukalah kemungkinan yang sangat lebar untuk menciptakan komunikasi dua arah (two ways traffic communication) ialah antara siswa dengan guru, antara sang anak dengan pamongnya. Bahkan komunikasi multi arah (multi ways traffic communication) pun dapat diciptakan sebaik mungkin. Dengan cara seperti tersebut maka kelak sang anak tidak akan menjadi "yesman" atau "nggihman"; tetapi akan menjadi orang yang berani berpendapat dan berkreativitas menurut batas-batas kemampuannya. Dia akan benar-benar menjadi orang yang "dewasa". Kita menaruh harapan yang besar dengan diaplikasikannya CBSA di dalam sistem pendidikan kita, terutama untuk jenjang pendidikan dasar, yang kemudian diharapkan akan lahirnya generasi yang benar-benar "dewasa" dalam berpendapat, berkreativitas dan bertingkah laku. Diaplikasikannya CBSA dalam sistem pendidikan ini sering disebut-sebut
5
sebagai era baru dalam sistem pendidikan di Indonesia, ini disebabkan karena CBSA merupakan pola baru yang diha-rapkan akan mampu menghasilkan generasi baru. Dengan diaplikasikannya CBSA maka tidak akan muncul lagi generasi "yesman" atau "nggihman", tetapi yang akan muncul adalah generasi yang benarbenar "dewasa" dalam berpendapat, berkreativitas dan bertingkah laku. Namun demikian kiranya perlu disadari bahwa hasil CBSA ini tidak mungkin dapat dipetik dalam waktu yang singkat. Lahirnya generasi baru ini tentunya memerlukan waktu yang tidak singkat tetapi cukup panjang. CBSA yang diaplikasikan untuk jenjang pendidikan dasar, SD, itupun sekarang ini belum seluruh SD menerapkan CBSA secara konsekuen, baru akan menghasilkan generasi baru setidak-tidaknya pada belasan tahun mendatang. Untuk memetik hasil CBSA memang diperlukan proses yang panjang, hal ini kiranya sesuai dengan sifat pendidikan itu sendiri yang merupakan proses yang tak pernah mengenal batas akhir (over ending process). Pada sisi lain untuk dapat menghasilkan generasi baru maka CBSA akan menemui banyak hambatan yang harus disingkirkan. Dua hambatan yang paling dominan adalah tercekamnya masyarakat kita oleh budaya paternalisme dan terbiasanya para siswa di negara kita yang belajar seca- ra klasikal. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang sangat majemuk atau "masyarakat pluralistik", oleh karena struktur dan sistem masyarakatnya dibangun diatas berbagai suku bangsa dengan aneka macam adat, kultur dan subkulturnya masing-masing. Soerjono Soekanto (1983) menterjemahkan istilah masyarakat majemuk atau masyarakat pluralistik sebagai kelompok masyarakat tertentu yang mencakup aneka ragam suku bangsa (ethnic-group) yang masing-masing mempunyai kebudayaan yang bersifat khusus (sub-culture). Masing-masing suku bangsa tersebut merupakan kesatuan-kesatuan manusia yang sangat terikat oleh kesadaran akan kesatuankesatuan manusia yang sangat terikat oleh kesadaran akan kesatuan sistem sosial dan budaya,yang tidak jarang diduga oleh adanya bahasa-bahasa tertentu di kalangan suku-suku bangsa tersebut. Pada kenyataannya masyarakat Indonesia berdiri diatas keanekaragaman sukubangsa dengan adat, budaya dan kebiasaannya masing-masing; meski demikian pada umumnya mereka mempunyai kesamaan budaya, adalah masih kuatnya budaya paternalisme di kalangan mereka. Itulah sebabnya maka masyarakat Indonesia pada umumnya, serta masyarakat Jawa pada khususnya, sering kali mendapatkan predikat sebagai "masyarakat paternalistik". Dalam budaya paternalistik maka apa yang dikerjakan oleh seseorang selalu akan cenderung "mengacu" pada apa yang dikerjakan oleh "pater" atau tokoh "figur"-nya. Implikasinya, apa yang dikerjakan oleh siswa sekolah pun akan cenderung "mengacu" pada "pater"-nya pula, yaitu gurunya.
6
Keadaan tersebut tentu bukan berarti jelek, namun "pengacuan" terhadap seorang "pater" atau "figur" secara berlebihan akan menghambat pengembangan kreativitas sang anak itu sendiri. Siswa akan mengerjakan segala sesuatu kalau sudah diperintah atau "dicontohi" oleh gurunya; hal ini kurang relevan dengan konsep CBSA. Sudah terbiasanya para siswa di negara kita yang belajar secara klasikal juga merupakan hambatan tersendiri bagi pengembangan konsep CBSA. Bukan berarti bahwa dalam sistem belajar klasikal tidak dapat diaplikasikan CBSA, tetapi sistem belajar ini dapat menjadi hambatan operasional yang sangat berarti manakala ditemui kenyataan tentang bervareasinya potensi atau kemampuan dasar yang dimiliki oleh masing-masing siswa. Implikasinya: kalau masing-masing siswa mempunyai kemampuan dasar yang berbeda maka diperlukan perhatian dan penanganan atau sistem pengelolaan yang berbeda-beda pula untuk mengembangkan kemampuan masing-masing siswa. Hal ini kiranya cukup sulit dilakukan dalam sistem belajar klasikal dengan pola pengelolaan kelas yang realtif homogen. Ternyata hambatan bagi CBSA tidaklah ringan, akan tetapi justru disitulah letak tantangannya !!!*** -------------------------------------------------------Drs. Ki Supriyoko, M.Pd: Dosen Sarjanawiyata Tamansiswa Yk