PELAKSANAAN MEDIASI BERDASARKAN PERMA NO. 2 TAHUN 2003 DI PENGADILAN NEGERI MEDAN
TESIS OLEH
MARIANNUR PURBA NIM. 057005038
SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007
Mariannur Purba : Pelaksanaan Mediasi Berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 Di Pengadilan Negeri Medan, 2007 USU Repository © 2008
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.....................................................................................................
i
BAB I
PENDAHULUAN..........................................................................
1
A. Latar Belakang ...........................................................................
1
B. Perumusan Masalah ...................................................................
7
C. Tujuan Penelitian .......................................................................
8
D. Manfaat Penelitian .....................................................................
8
E. Keaslian Penelitian.....................................................................
8
F. Kerangka Teori...........................................................................
9
G. Metode Penelitian ......................................................................
26
MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIKAN SENGKETA DI PENGADILAN NEGERI MEDAN.................
31
A. Pengertian Mediasi ....................................................................
33
B. Sejarah Dan Perkembangan Mediasi.........................................
39
C. Mediasi Dan Konsiliasi ............................................................
45
D. Mediasi Dan Negosiasi..............................................................
47
E. Mediator ....................................................................................
52
1. Pengertian Mediator .............................................................
52
2. Tugas Mediator ....................................................................
54
3. Keterampilan Mediator ........................................................
55
4. Fungsi Mediator ...................................................................
61
BAB II
BAB III
KEBERHASILAN MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI MEDAN ..........................................................................................
67
A. Proses Mediasi Di Pengadiladn Negeri Medan.........................
67
1. Pendaftaran Gugatan ............................................................
67
2. Tahap Pra Mediasi................................................................
69
3. Tahap Mediasi......................................................................
72
4. Akhir Mediasi ......................................................................
74
5. Perjanjian Perdamaian dalam Mediasi .................................
75
6. Kekuatan Hukum Akta Perdamaian dalam Mediasi ............
77
B. Mediator Di Pengadilan Negeri Medan.....................................
79
C. Perkara Yang Diputus Melalui Mediasi Di Pengadilan Negeri
BAB IV
Medan........................................................................................
82
FAKTOR YANG MENJADI HAMBATAN PELAKSANAAN MEDIASI BERDASARKAN PERMA No. 2 TAHUN 2003 DI PENGADILAN NEGERI MEDAN .............................................
87
A. Faktor yang Berasal dari Dalam Diri Para Pihak (Faktor Intern)............................................................................
87
B. Faktor yang Berasal dari Luar Diri Para Pihak (Faktor Ekstern) .........................................................................
94
1. Ketidakmampuan Mediator..................................................
94
2. Peran Advokat yang Tidak Mendukung Terjadinya Mediasi.................................................................................
98
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................
102
A. Kesimpulan................................................................................
102
B. Saran..........................................................................................
103
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….
105
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perselisihan atau persengketaan merupakan suatu keadaan yang tidak dikehendaki oleh setiap orang. Akan tetapi dalam pergaulan di masyarakat yang berbeda kepentingan. Perbedaan kepentingan itulah yang menyebabkan timbulnya perselisihan atau persengketaan. Penyelesaian sengketa melalui proses litigasi di Pengadilan pada dasarnya berazaskan azas sederhana, cepat, biaya ringan. 1 Akan tetapi dalam praktek seringkali ditemukan hal yang sebaliknya, sistim peradilan yang tidak efektif (ineffective) dan tidak efisien (inefficient). Penyelesaian perkara memakan waktu bertahun-tahun,
proses
bertele-tele,
dapat
diajukan
upaya
hukum
yang
berkepanjangan, mulai dari banding, kasasi dan peninjauan kembali, setelah putusan berkekuatan hukum tetap, eksekusi dibenturkan lagi dengan upaya hukum verzet. Selain proses yang bertele-tele dan biaya mahal, penyelesaian sengketa melalui litigasi juga menimbulkan penumpukan jumlah perkara di Pengadilan. Memasuki gelanggang forum Pengadilan, tidak ubahnya seperti mengembara dan mengadu nasib di hutan belantara (adventure onto the unknown), padahal
1
Ketentuan Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan KeHakiman.
masyarakat pencari keadilan membutuhkan proses penyelesaian yang cepat yang tidak formalitas (informal procedure and be put into motion quickly. 2 Melihat kondisi di atas untuk penyelesaian sengketa perdata, lingkungan, bisnis, perbankan dalam ruang lingkup Nasional maupun Internasional, maka peluang penyelesaian sengketa alternative sangat diperlukan. 3 Mediasi merupakan bentuk proses penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR). Mediation, a form of Alternative Dispute Resolution (ADR), aims to assist two (or more) disputants in reaching an agreement. The key component of mediation is that wether an agreement is reached, and what that agreement, if any, is determined by the parties themselves rather than being imposed by third party. The disputes may involve states, organizations, communities, individuals or other representatives with a vested interest in the outcome. 4 Proses penyelesaian sengketa melalui mediasi bertujuan untuk memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka secara pribadi dengan bantuan pihak ketiga yang netral (mediator). Mediator menolong para pihak untuk memahami pandangan para pihak lainnya sehubungan dengan masalahmasalah yang disengketakan, dan selanjutnya membantu mereka melakukan penilaian yang objektif dari keseluruhan situasi atau keadaan yang sedang berlangsung selama dalam proses perundingan-perundingan. Jadi mediator harus tetap bersikap netral, 2
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : Sinar Grafika, 1997), h. 248 3 Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), h. 13 4 Mediation, versi elektronik dapat dilihat di : http://en.wikipedia.org/wiki/Mediaton, diakses terakhir tanggal 23 Juni 2007
selalu membina hubungan baik, berbicara dengan bahasa para pihak, memdengarkan secara aktif menekankan pada keuntungan potensial, meminimalkan perbedaanperbedaan dan menitikberatkan persamaan-persamaan, yang bertujuan untuk membantu para pihak bernegosiasi secara lebih baik atas penyelesaian suatu sengketa. 5 Mediator sangat menentukan efektifitas proses penyelesaian sengketa, ia harus secara layak memenuhi kualitas tertentu serta berpengalaman dalam komunikasi dan negosiasi agar mampu mengarahkan para pihak yang bersengketa. Dengan bekal berbagai kemampuan yang dimilikinya, mediator mendiagnosis suatu sengketa tertentu. Ia mendesain serta mengendalikan proses mediasi untuk menuntun para pihak mencapai suatu kesepakatan yang sehat. Ia menjadi katalisator untuk mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi. Dibandingkan dengan Pengadilan, mediasi lebih fleksibel, efektif biaya, pribadi dan efisien. Mediasi merupakan salah satu metode yang berkembang dengan cepat dalam penyelesaian masalah, seperti bisnis yang menemukan fleksibilitas dan keefektifannya yang berarti lebih cepat, lebih efektif dan kurangnya kerugian dalam penyelesaian perselisihan. 6
5
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 121. 6 Pusat Mediasi Nasional, Mediasi, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.pmn.or.id/mediation/what_is_mediation_ind.html, diakses terakhir tanggal 23 Juni 2007.
Ada dua jenis mediasi yaitu mediasi di luar dan di dalam Pengadilan. 7 Mediasi yang dibicarakan disini adalah mediasi di dalam ruang lingkup Pengadilan (court connected mediation), yaitu mediasi di dalam ruang lingkup Pengadilan. Mediasi yang berada di dalam Pengadilan diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2003, dikeluarkan pada tanggal 11 September 2003. Perma ini dirancang oleh mahkamah Agung dan Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT), yaitu organisasi non Pemerintah di bidang transformasi dan manajemen konfik. Adapun pertimbangan Mahkamah Agung mengeluarkan Perma tersebut adalah : a) Pengitegrasian mediasi kedalam proses beracara di Pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di Pengadilan. b) Mediasi merupakan salah satu proses lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi. c) Surat Edaran No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 Rbg) belum lengkap, sehingga perlu disempurnakan. d) Hukum acara yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 Rbg, mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat
7
MaPPI, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, versi elektronik dapat dilihat di : www.pemantauperadilan.com, diakses terakhir tanggal 15 Pebruari 2007.
diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di Tingkat pertama. e) Sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata, dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung . 8 Latar belakang lahirnya Perma ini yang Pertama adalah sebagai salah satu upaya untuk membantu Lembaga Pengadilan dalam rangka mengurangi beban beban penumpukan perkara. Kedua, adanya kesadaran akan pentingnya sistim hukum di Indonesia untuk menyediakan akses seluas mungkin kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh rasa keadilan. Ketiga, proses mediasi sering diasumsikan sebagai proses yang lebih efisien dan tidak memakan waktu dibandingkan Pengadilan. 9 Berbeda dengan proses persidangan di Pengadilan, para pihak dalam mediasi adalah merupakan kekuasaan tertinggi, sedangkan dalam persidangan, Hakim memegang kekuasaan tertinggi. Dalam mediasi mediator sebagai pihak ketiga yang dianggap netral hanya membantu atau memfasilitasi jalannya proses mediasi. Hasil proses mediasi adalah merupakan kesepakatan antara para pihak (mutually acceptable solution). Kesepakatan para pihak ini lebih kuat sifatnya dibandingkan Putusan 8
Pertimbangan Hukum Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Mahkamah Agung RI 9 MaPPI, Op.cit.
Pengadilan, karena merupakan kesepakatan dari para pihak, artinya kesepakatan itu adalah hasil kompromi atau jalan yang telah mereka pilih untuk disepakati demi kepentingan-kepentingan mereka, sedangkan dalam putusan Pengadilan, ada pihak lain yang memutuskan yaitu Hakim, dengan kata lain Putusan Pengadilan itu bukan kesepakatan para pihak. Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung di atas, Perma No. 2 Tahun 2003, dibentuk untuk memberdayakan Pasal 130 HIR dan 154 Rbg. Dalam Pasal tersebut dikatakan bahwa “Pada hari yang ditentukan, jika kedua belah pihak menghadap ke Pengadilan dengan perantara keduanya, maka Hakim mencoba mendamaikan”. 10 Artinya Ketua Mejelis wajib mencoba mendamaikan para pihak. Salah satu bentuk usaha untuk mendamaikan tersebut adalah melalui proses mediasi, oleh karena itu dalam Perma No. 2 Tahun 2003 ini, mediasi bersifat wajib. Proses mediasi di Pengadilan dimulai dengan pendaftaran gugatan oleh para pihak, dalam hal ini Penggugat ke Pengadilan Negeri. Pada hari sidang pertama, Majelis
Hakim
mengupayakan
perdamaian
kepada
para
pihak.
Dengan
mengupayakan perdamaian itu diarahkan agar para pihak melalui proses mediasi terlebih dahulu. Dalam Perma No. 2 Tahun 2003, ditentukan bahwa Majelis Hakim yang menangani perkara itu berbeda dengan mediator yang nanti akan mencoba akan mendamaikan kedua belah pihak. Selanjutnya dalam Perma tersebut, mediator bisa terdiri dari Hakim dan non Hakim. Begitu juga dengan tempat pelaksanaan mediasi, para pihak diberi alternatif, apakah mediasi dilaksanakan di Pengadilan atau di luar 10
Ketentuan Pasal 130 HIR.
Pengadilan. Apabila para pihak memilih tempat pelaksanaan mediasi di dalam Pengadilan, maka para pihak boleh memilih Hakim yang akan menjadi mediatornya. Kesepakatan damai yang telah dicapai oleh para pihak, haruslah merupakan acceptable solution, yaitu kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak . Jika usaha perdamaian berhasil, maka para pihak membuat Perjanjian Perdamaian yang berisikan kesepakatan-kesepatan para pihak, kemudian diajukan kepada Hakim untuk diputus dalam bentuk putusan dan kekuatan putusan tersebut sama dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, mengingat salah satu tujuan Perma No. 2 Tahun 2003 dibentuk adalah sebagai upaya untuk membantu Lembaga Pengadilan dalam rangka mengurangi beban penumpukan perkara, maka untuk melihat pelaksanaan mediasi berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan, menjadi latar belakang penulisan penelitian tesis ini.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan diteliti adalah : 1. Bagaimanakah pelaksanaan mediasi berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan ? 2. Faktor apa yang menjadi hambatan keberhasilan pelaksanaan mediasi berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan ?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan mediasi berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan 2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor apa yang menjadi hambatan keberhasilan pelaksanaan mediasi berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan agar dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk mengembangkan pemikiran tentang pentingnya mediasi. Secara praktis : a. Penelitian ini ditujukan bagi kalangan bisnis (pelaku usaha) yang sangat rentan dengan berbagai konflik internal maupun eksternal. b. Sebagai informasi bagi masyarakat tentang pentingnya mediasi. c. Sebagai bahan kajian bagi akademisi, mahasiswa dan untuk menambah wawasan ilmu khususnya di bidang mediasi.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan dari perumusan dan hasil–hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai Mediasi Sebagai Salah Satu Penyelesaian Alternatif Berdasarkan Perma
No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama, sehingga penelitian ini asli, baik dari segi materi maupun metode pendekatan dalam menganalisis bahan hukum primer, sekunder dan tertier, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan–kritikan yang sifatnya membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Penyelesaian sengketa (perselisihan) secara damai (musyawarah muakat) sudah merupakan budaya dalam masyarakat adat tradisional di Indonesia. Penyelesaian sengketa secara damai ini dikenal pada zaman Hindia Belanda, yang disebut dengan “Peradilan Desa” (Dorpsjustitie), sebagaimana diatur dalam Pasal 3 RO. 11 Menurut Pasal tersebut dikatakan : 1. Semua perkara yang menurut hukum adat termasuk kekuasaan Hakim dari masyarakat hukum kecil-kecil (Hakim Desa) tetap diadili oleh para Hakim tersebut. 2. Ketentuan ayat di muka tidak mengurangi sedikitpun hak yang berperkara untuk Setiap waktu mengajukan perkaranya kepada Hakim-Hakim yang lebih tinggi. 3. Hakim-Hakim yang dimaksud pada ayat (1) mengadili perkara Menurut hukum adat, mereka tidak boleh menjatuhi hukuman.
11
H. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 2003), h. 247.
Jika terjadi perselisihan di kampung, di dusun, di tempat pemukiman, maka untuk memulihkan gangguan keseimbangan keluarga dan masyarakat bersangkutan diselesaikan secara langsung di tempat kejadian antara pribadi yang bersangkutan, atau diselesaikan di rumah keluarga salah satu pihak yang bersangkutan, atau antara tetangga daslam kesatuan rukun tetangga. Apabila pertemuan yang diselenggarakan pribadi, keluarga atau tetangga tersebut tidak mencapai kesepakatan, atau karena satu dan lain hal tidak berkelanjutan, sehingga perkaranya perlu dilanjutkan kepada Kepala Kerabat atau Kepala Adat. Di daerah Lampung misalnya, perselisihan “kawin lari” di antara sesama orang Lampung, harus diselesaikan oleh Kepala Kerabat atau Kepala Adat. 12 Penyelesaian perselisihan secara damai yang dilakukan oleh Kepala Desa dilaksanakan di Balai Desa, yang disebut dengan Peradilan Desa (Doorpsjustitie), sebagai upaya untuk mencapai kesepakatan, Kepala Desa berusaha antara lain : a. Menerima dan mempelajari pengaduan yang disampaikan kepadanya. b. Memerintahkan Perangkat Desa atau Kepala Dusun untuk menyelidiki kasus perkara, dengan menghubungi para pihak yang bersangkutan. c. Mengatur dan menetapkan waktu persidangan serta menyiapkan persidangan di Balai Desa. d. Mengundang para Sesepuh Desa yang akan mendampingi Kepala Desa memimpin persidangan, dan lainnya yang dianggap perlu.
12
Ibid, h. 243.
e. Mengundang para pihak yang berselisih, para saksi untuk di dengar keterangannya. f. Membuka persidangan dengan menawarkan perdamaian di antara kedua belah pihak. g. Memeriksa perkara, mendengar keterangan saksi, pendapat para Sesepuh Desa, Kepala Dusun yang bersangkutan dan lainnya. h. Mempertimbangkan dan menetapkan keputusan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Cara penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Kepala Desa atau Kepala Adat bertujuan untuk mewujudkan perdamaian antara kedua belah pihak, bukan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, dengan demikian keseimbangan yang terganggu di antara para pihak dapat dipulihkan kembali, sebagaimana dikatakan Ter Haar : “Hij moet trachten aan te sluiten op de roekoenanpraktijk der Indonesiers, hoe dmeer hoe beter”. Jadi Kepala Desa sebagai juru damai harus berusaha sebanyak mungkin agar kebiasaan rukunan orang-orang Indonesia tetap dipertahankan. 13 Penyelesaian sengketa secara damai juga dikenal di kota-kota kecil, besar atau di daerah di mana penduduknya heterogen, di mana terdapat perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan, seperti halnya perkumpulan-perkumpulan kekeluargaan masyarakat adat di perantauan, perkumpulan kepemudaan dan kewanitaan, perkumpulan keagamaan dan lainnya. Apabila terjadi pertikaian di antara anggota, maka yang bertindak sebagai juru damai adalah ketua perkumpulan bersangkutan. 13
Ibid, h. 245
Begitu pula jika peristiwa yang terjadi itu bukan di antara sesama anggota, melainkan terjadi dengan orang luar perkumpulan atau perkumpulan lain, maka pimpinan perkumpulan itu masing-masing mengadakan perundingan dan menyelesaikan perselisihan di antara perkumpulan mereka, dengan rukun dan damai. Dengan meminjam istilah Koesnoe yasng disebutnya dengan Ajaran Menyelesaikan, sebagai lawan dari Ajaran Memutus. Ajaran Menyelesaikan menitikberatkan pada penyelesaian sebuah sengketa dengan cara musyawarah mufakat, sehingga hasilnya dapat memulihkan kembali hubungan di antara para pihak yang bersengketa seperti sebelum terjadinya sengketa. 14 Pada dasarnya perselisihan yang terjadi di masyarakat diselesaikan secara musyawarah mufakat. Penyelesaian melalui Litigasi sedapat mungkin dihindari. Gagasan untuk menghindari penyelesaian secara litigasi dan anjuran berkompromi pernah disampaikan oleh Abraham Lincoln pada tahun 1850 dengan ucapan : “Discorage Litigation. Persuade your neighbors to compromise whenever you can. Point out to them how nominal winner is often a real loser in fees, expenses, and waste of time”. 15 Apabila mengacu kepada penyelesaian sengketa atau masalah dengan cara musyawarah mufakat Seperti yang telah dikemukakan di atas, maka untuk mencapai penyelesaian masalah atau sengketa harus dibangun paradigma baru, yaitu mengubah
14
Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (1 April 2006), h. 7. 15 Ibid.
paradigma mengadili menjadi menyelesaikan masalah atau sengketa. Paradigma baru ini akan mencakup empat strategi pokok, yaitu : Pertama; revitalisasi fungsi Pengadilan untuk mendamaikan pihak-pihak yang menghadapi sengketa hukum. Fungsi ini terutama berkaitan dengan sengketa hukum yang bukan perkara pidana. Sesuai dengan ketentuan yang sudah ada Hakim wajib berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempertemukan dan meyakinkan pihakpihak untuk menyelesaikan sengketa yang sedang dihadapi secara damai menuju prinsip win-win solution. Pihak-pihak diwajibkan untuk secara sungguh-sungguh (compulsory) dan di bawah supervisi Hakim untuk menyelesaikan sengketa hukum secara damai. Kedua; revitalisasi pranata-pranata sosial dengan memberikan dasar-dasar yang lebih kuat bagi pengembangan lembaga penyelesaian (ADR) seperti arbitrase, mediasi, maupun perdamaian di luar Pengadilan. Pada saat ini telah ada BANI dan BMN. Selain itu, perlu didorong peran-peran lain seperti lembaga bantuan hukum untuk mediasi, dan lain-lain. Ketiga; menata kembali tata cara penyelesaian suatu perkara menjadi lebih efisien, efektif, produktif, dan mencerminkan keterpaduan sistem diantara unsurunsur penegak hukum dengan merinci pembagian tugas dan wewenang yang tegas diantara para penegak hukum. Prinsip sistem peradilan terpadu dalam perkara pidana (integrated criminal justice system), tidak cukup mengatur hubungan koordinasi diantara para penegak hukum. Tanpa mengurangi maksud membangun kemandirian dan
tanggung
jawab
masing-masing
penegak
hukum
seperti
“hubungan
pertimbangan” atau “hubungan supervisi” agar suatu proses perkara tidak terhenti akibat suatu formalitas yang kurang atau tidak dipenuhi secara sempurna. Keempat;
menata
kembali
hak-hak
berperkara
yang
menyebabkan
penyelesaian yang berlarut-larut, dan mengandung berbagai potensi konflik “permanen” diantara pihak-pihak atau mereka yang terkena perkara. Strategi ini berkaitan dengan pembatasan hak kasasi yang dapat didasarkan kepada nilai perkara, ancaman pidana, atau sifat perkara. Yang terakhir ini berkaitan dengan perkaraperkara di bidang (hukum) kekeluargaan (perceraian, pemeliharaan anak, pengangkatan anak, harga perkawinan dan lain-lain). pembatasan hak kasasi pada perkara-perkara (hukum) kekeluargaan dimaksudkan agar dapat tuntas secepat mungkin mengingat kepentingan-kepentingan dari pihak dan orang ketiga (seperti anak) yang bersangkutan dalam perkara tersebut. 16 Rumusan Pasal 1 angka 10 dan alinea ke sembilan dari Penjelasan Umum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dikatakan bahwa masyarakat dimungkinkan memakai alternatif lain dalam melakukan penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Sementara itu yang dimaksud alternatif penyelesaian sengketa adalah suatu pranata penyelesaian
16
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa, (Yogyakarta : FH-UII Press, 2004), h. 25-26.
sengketa di luar Pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. 17 Alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan tersebut akan segera diuraikan di bawah ini : 1. Konsultasi Meskipun konsultasi alternatif penyelesaian sengketa tersebut dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, namun tidak ada satu Pasal-pun yang menjelaskannya. Dengan mengutip Black’s Law Dictionary, Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani menguraikan bahwa pada prinsipnya Konsultasi merupakan tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yang merupakan “konsultan”, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Tidak ada suatu rumusan yang mengharuskan si klien mengikuti pendapat yang disampaikan konsultan. Jadi hal ini konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan
17
Budhy Budiman, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktek Peradilan Perdata dan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, (Jurnal Ilmiah), dapat dilihat di situs : www.pemantauperadilan.com, diakses terakhir tanggal 07 Desember 2005.
kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut. 18
2. Negosiasi dan Perdamaian Menurut Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 pada dasarnya para pihak dapat berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak. Negosiasi adalah mirip dengan perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 1851 s/d 1864 KUH Perdata, dimana perdamaian itu adalah suatu persetujuan diantara kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan mana harus dibuat secara tertulis dengan ancaman tidak sah. Namun ada beberapa hal yang membedakan, yaitu negosisasi diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari, dan penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan di antara para pihak yang bersengketa. Perbedaan lain adalah bahwa negosiasi merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar Pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan Pengadilan
18
10.
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta : Rajawali Press, 2000), h.
dilakukan maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar Pengadilan. 19
3. Mediasi Berdasarkan Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan “seorang atau lebih penasehat ahli” maupun melalui seorang mediator. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Hal tersebut sesuai dengan azas iktikad baik di mana setiap orang yang membuat suatu perjanjian harus dilakukan dengan iktikad baik. Maksudnya, bahwa cara menjalankan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata. 20 Demikian juga halnya dalam melakukan proses mediasi di Pengadilan sesuai dengan Perma No. 2 Tahun 2003
berdasarkan azas pacta sunt servanda
perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam proses mediasi adalah bersifat mengikat bagi para pihak yang membuatnya dan menjadi undang-undang bagi para pihak. Hal tersebut adalah untuk mendapatkan kepastian hukum. Menurut Subekti, tujuan azas pacta sunt servanda adalah untuk memberikan perlindungan kepada para pihak agar tidak khawatir akan hak-haknya karena perjanjian itu
19 20
Agnes M. Toor, dkk, Arbitrase di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1995), h. 10. R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 1983), h. 139.
berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. 21 Dengan demikian suatu perjanjian harus ada suatu kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian sesuai dengan syarat sah suatu perjanjian yang dianut dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang mempunyai azas konsensualitas. Maka, dalam proses mediasi yang memuat perjanjian perdamaian diantara para pihak harus sesuai dengan ketentuan azas konsensualitas berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tersebut. 22 Kemudian kesepakatan tertulis yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tersebut wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilaksanakan dalam waktu selama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran. 23
4. Konsiliasi dan perdamaian Seperti pranata alternatif penyelesaian sengketa yang telah diuraikan di atas, konsiliasipun tidak dirumuskan secara jelas dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar Pengadilan. Untuk mencegah dilaksanakan proses ligitasi, melainkan juga dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berjalan, baik di dalam maupun di luar 21
A. Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta : Liberty, 1985), h. 20. 22 Ibid. 23 Lihat ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa di mana telah diperoleh suatu putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 24 Penyelesaian perkara melalui mediasi mengandung berbagai keuntungan substansial dan psikologis yang terpenting diantaranya, yakni : a. Penyelesaian bersifat informal. Penyelesaian melalui pendekatan nurani, bukan berdasarkan hukum dari kedua belah pihak yang melepaskan diri dari kekakuan istilah hukum (legal term) kepada pendekatan yang bercorak nurani dan moral. Menjauhkan doktrin dan azas pembuktian ke arah persamaan persepsi yang saling menguntungkan. b. Menyelesaikan sengketa para pihak secara tersendiri. Penyelesaian ini tidak diserahkan kepada kemauan dan kehendak Hakim ataupun arbiter tetapi diselesaikan para pihak tersendiri sesuai dengan kemauan mereka, karena merekalah yang lebih tahu hal-hal yang sebenarnya dan sesungguhnya atas sengketa yang dipermasalahkan. c. Jangka waktu penyelesaian pendek Pada umumnya jangka waktunya relatif singkat atau pendek berdasarkan ketulusan dan kerendahan hati para pihak oleh karenanya bersifat speedy (cepat). d. Biaya ringan Perdamaian tidak memerlukan biaya yang mahal (very expensive).
24
Agnes M. Toor, dkk, Loc.cit.
e. Aturan pembuktian tidak perlu Prinsip pembuktian yang formil dan teknis tidak esensil jikalau terjadi perdamaian. f. Proses penyelesaian bersifat confidential Penyelesaian perdamaian benar-benar bersifat rahasia (confidential) yakni: penyelesaiannya tertutup untuk umum, yang mengetahui hanya mediator, konsiliator atau advisor maupun ahli yang bertindak membantu proses perdamaian, oleh karenanya nama baik para pihak dalam lingkungan masyarakat dan bisnis tetap terjaga. g. Hubungan para pihak bersifat cooperative Dalam proses perdamaian tidak terjadi suatu permusuhan atau antagonisme, tetapi persaudaraan dan kerjasama para pihak menjauhkan dari rasa dendam dan permusuhan. h. Komunikasi dan fokus penyelesaian Dalam proses perdamaian terwujud komunikasi aktif diantara para pihak yang berkeinginan memperbaiki perselisihan ataupun kesalahan masa lalu menuju hubungan yang lebih baik untuk masa depan. i. Hasil yang dituju sama menang Hasil yang dicari dan dituju para pihak dalam perdamaian dapat dikatakan luhur, yakni sama-sama menang atau disebut konsep win-win solution dengan menjauhkan diri dari sifat egoistik dan serakah atau menang sendiri, dengan
demikian tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang atau bukan winning or losing seperti penyelesaian melalui Pengadilan ataupun arbitrase. j. Bebas emosi dan dendam Perdamaian meredam sikap emosional yang tinggi dan bergejolak.ke arah suasana bebas emosi, oleh karenanya tujuan yang akan dicapai dapat terlaksana dengan baik. 25 Oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 130 maupun Pasal 154 RBg pada asasnya mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Adapun isi ketentuan Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi : Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka Pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka, Selanjutnya ayat (2) mengatakan : Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan mentaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa. 26 Bertitik tolak dari ketentuan Pasal tersebut, sistem yang diatur dalam hukum acara perdata tentang penyelesaian perkara yang diajukan ke Pengadilan Negeri hampir sama dengan court connection arbitration system, dengan alasan sebagai berikut :
25
M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Op.cit., h. 293. 26 R. Susilo, RBg/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor : Politea, 1985), h. 88.
1. Hakim membantu atau menolong para pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa dengan perdamaian, 2. Selanjutnya apabila tercapai kesepakatan diantara para pihak, kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian perdamaian yang ditandatangani para pihak dan terhadap perjanjian perdamaian tersebut dibuat suatu akta berupa putusan yang dijatuhkan Pengadilan yang mencantumkan amar, menghukum para pihak menepati perjanjian perdamaian, oleh karenanya hampir sama dengan court connection arbitration system. Berdasarkan ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg pada prinsipnya lebih menghendaki penerapan konsep win-win solution yaitu sama-sama menang daripada penerapan winning or loosing yaitu menang atau kalah. Kemudian berdasarkan Pasal 131 ayat (1) HIR menyatakan upaya Hakim untuk mendamaikan adalah bersifat inperatif yakni Hakim wajib berupaya untuk mendamaikan para pihak yang berperkara, maka oleh karenanya jika Hakim tidak dapat mendamaikan para pihak harus disebut didalam Berita Acara Sidang. Apabila didalam berita acara persidangan tidak mencantumkan upaya perdamaian yang dilakukan oleh Majelis Hakim maka proses pemeriksaan perkara tersebut mengandung cacat formil dan berakibat pemeriksaan batal demi hukum serta melanggar tata tertib beracara yang dikualifikasikan undue process. 27
27
Siti Magadianti Adam, dan Clarita Degrantini, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian (Indonesian Institute for Conflict Transformation), (Jakarta : MaPPI FHUI, www.pemantauperadilan.com). Diakses terakhir tanggal 7 Desember 2005
Bertitik tolak dari pendekatan strict law, menyatakan : pemeriksaan yang sama sekali tidak memberi ruang terhadap perdamaian atau lalai mencantumkan tahap tersebut dalam berita acara, proses pemeriksaan yang dilakukan tidak memenuhi syarat formil, akibatnya pemeriksaan tidak sah dan batal demi hukum. Kemudian penyelesaian melalui perdamaian diatur dalam Pasal 6 Perma yang berbunyi : Hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara. 28 Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Perma dimaksud, dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Hakim wajib mendamaikan. Penerapan kewajiban mendamaikan yang diatur dalam Pasal 6 Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yaitu : a. Kewenangannya berupa tindakan, yakni mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara melalui perdamaian, yang mana perdamaian tersebut diserahkan kepada keinginan para pihak dan Hakim tidak dapat memaksa para pihak untuk berdamai. b. Berlangsungnya kewajiban mendorong perdamaian dapat diupayakan Hakim, mulai dari saat awal persidangan maupun selama proses pemeriksaan berlangsung sebelum sampai putusan dijatuhkan.
28
Lihat Ketentuan Pasal 6 Perma No. 2 Tahun 2003.
Dengan diterbitkannya Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang efektif berlaku mulai sejak 11 September 2003, memaksakan secara imperatif semua penyelesaian perkara mesti terlebih dahulu ditempuh melalui proses mediasi, dan apabila proses mediasi gagal, maka proses litigasi dapat dilanjutkan. 29 2. Perdamaian dituangkan dalam putusan perdamaian Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 10 Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, tata cara pemeriksaaan perdamaian yang diatur dalam Pasal 6 tunduk kepada Pasal 130 HIR, dengan acuan sebagai berikut : a. Para pihak menyepakati sendiri materi perdamaian. b. Kesepakatan (agreement) dibuat dan dirumuskan di luar persidangan tanpa campur tangan Hakim. c. Persetujuan dituangkan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani para pihak dengan memakai kertas bermaterai. d. Selanjutnya para pihak meminta kepada Hakim agar terhadap kesempatan itu dijatuhkan putusan perdamaian. Maka berdasarkan permintaan para pihak, Hakim menjatuhkan putusan yang memuat Diktum : “Menghukum para pihak memenuhi dan melaksanakan isi perdamaian”. Putusan demikian disebut dengan putusan acte van vergelijk atau acte van dading. 30
29 30
83.
Lihat ketentuan Perma No. 2 Tahun 2003 tentang prosedur mediasi di Pengadilan Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1988), h.
Putusan perdamaian menurut Pasal 130 HIR dianggap sama dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap, yakni : 1. Tertutup terhadap upaya banding dan kasasi. 2. Langsung final dan mengikat (final and binding) kepada para pihak. 3. Serta langsung melekat padanya kekuatan eksekutorial (executorial kracht) sehingga apabila tidak dilaksanakan secara sukarela dapat dijalankan eksekusi melalui Pengadilan Negeri. 31
2. Kerangka Konsep Konseptual adalah merupakan definisi operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini sebagaimana dikemukakan M. Solly Lubis bahwa kerangka konsep adalah merupakan konsep secara internal pada pembaca yang mendapat stimulasi dan dorongan konseptual dari bacaan dan tinjauan pustaka. 32 Adapun definisi operasional dari berbagai istilah tersebut adalah sebagai berikut : Mediasi adalah merupakan bentuk proses penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR) yang merupakan salah satu proses dengan cara cepat dan biaya murah serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa
31 32
yang
dihadapinya
ataupun
para
pihak
yang
bersengketa
R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Jakarta : BPHN-Bina Cipta, 1981), h. 160. M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), h. 80.
dapat
mendiskusikan perbedaan-perbedaan di antara para pihak secara pribadi dengan bantuan pihak ketiga yang netral (mediator). Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah merupakan suatu peraturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung RI tentang prosedur mediasi di Pengadilan khususnya di Pengadilan Negeri sebagai judex factie yang mengatur bagaimana tugas dan peran serta kewenangan seorang Hakim tingkat pertama (judex factie) di Pengadilan sebagai ranah pencari keadilan yang pertamatama berupaya untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa melalui proses mediasi.
G. Metode Penelitian Metode penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang timbul dalam tesis ini adalah : 1. Spesifikasi dan Pendekatan Penelitian Sifat penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis yang bertujuan menggambarkan permasalahan yang bertujuan untuk membangun dan menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori 33 yang berkaitan dengan Pelaksanaan Mediasi berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Negeri Medan.
33
Alfi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, (Medan : Pustaka Bangsa Pers, 2003).
Dalam penelitian tesis digunakan metode pendekatan yuridis normatif yang dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti bahan-bahan kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti dan mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, pendapat ahli hukum, dan hakim Pengadilan Negeri Medan yang pernah menangani mediasi.
2. Sumber Data Adapun sumber data yang dipergunakan untuk mendukung penelitian ini adalah data sekunder, yakni diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan adalah upaya memperoleh data sekunder berupa normanorma hukum, undang-undang, pendapat ahli hukum, dokumen-dokumen dan keterangan atau informasi dari seluruh mediator dan pihak Pengadilan Negeri Medan. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi bahan-bahan hukum seperti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Sehingga penulisan tesis dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang diharapkan. Adapun pembagian bahan hukum primer, sekunder dan tertier terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer Peraturan perundang–undangan dalam hal ini adalah HIR, RBg, Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
b. Bahan Hukum Sekunder Memberikan penjelasan bahan hukum primer, dalam hal ini hasil penelitian para ahli, pendapat beberapa ahli hukum yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Untuk mendapat data yang lebih mendalam dilakukan dengan cara wawancara (Depth Interview) kepada Ketua Pengadilan Negeri Medan, mediator, Advokat, para pihak yang pernah menangani mediasi di Pengadilan Negeri Medan, sehingga menghasilkan wawancara yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. c. Bahan Hukum Tertier Bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, dalam hal ini kamus hukum Ensiklopedia.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah Penelitian Kepustakaan (Library Research) yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder, maka pengumpulan data ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan yang berkaitan dengan mediasi, dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Menginvetarisir dan menilai peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, hasil penelitian, majalah dan dokumen lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti. b. Menginventarisir dan menilai buku-buku literatur yang pokok pembahasannya berkenaan dengan permasalahan yang diteliti.
c. Mengadakan wawancara dengan metode wawancara terstruktur, artinya pertanyaan diarahkan untuk mendapatkan data objek penelitian yang terdiri dari variabel mediasi sebagai salah satu penyelesaian sengketa alternatif berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan, faktor-faktor apa saja yang menjadi hambatan keberhasilan pelaksanaan Perma No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan. Maka wawancara terstruktur ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Medan, seluruh Hakim Mediator Hakim Pengadilan Negeri Medan, Advokat dan para pihak yang pernah berperkara di Pengadilan Negeri Medan. Untuk keperluan wawancara tersebut Peneliti melalukan persiapanpersiapan seperti isi wawancara, catatan-catatan hasil wawancara.
4. Alat Pengumpulan Data Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data sekunder adalah dengan lebih dahulu mengadakan studi dokumen baik tertulis maupun elektronik (internet) yang kemudian dilakukan inventarisasi secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan. 34 Alat pengumpulan data yang digunakan : a. Studi Dokumen Yaitu menemukan azas-azas hukum, Pasal-Pasal, peraturan Perundangundangan yang berlaku, teori-teori hukum, doktrin-doktrin hukum, yurisprudensi, dan hal-hal yang relevan guna menunjang kualitas dan kesempurnaan tesis ini.
34
82
Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005) h.
b. Wawancara Wawancara dilakukan dengan narasumber, antara lain : Ketua Pengadilan Negeri Medan, mediator, advokat dan para pihak yang pernah berperkara di Pengadilan Negeri Medan, yang bersifat menunjang penelitian kepustakaan yang juga dimaksudkan untuk menambah kekuranglengkapan data studi kepustakaan.
5. Analisis Data Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Data primer maupun sekunder dilakukan analisis penelitian dengan analisis kualitatif, juga dilakukan interpretasi secara logis dan sistematis, selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika berpikir secara induktif – deduktif yang akan membantu penelitian ini dalam taraf konsistensi, serta konseptual dan prosedur tata cara sebagaimana yang ditetapkan oleh azas-azas hukum yang berlaku di dalam perundang-undangan yang bertujuan untuk memberikan gambaran terhadap permasalahan yang akan dijawab. 35
35
Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi), (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h. 248.
BAB II MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Alternatif penyelesaian sengketa atau secara umum disebut Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar Pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di Pengadilan Negeri. ADR sebetulnya sudah sejak lama secara informal dilaksanakan dalam masyarakat Indonesia. Langkah ini konsisten dengan musyawarah dalam Pancasila yang secara kultur mudah diterima, karena kedua belah pihak yang bersengketa samasama menang (win-win solution). Alternatif penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi dan konsiliasi. 36 Pada prinsipnya konsultasi merupakan tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan ”klien” dengan pihak lain yang merupakan ”konsultan”, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. 37 Negosiasi adalah suatu cara untuk menetapkan keputusan yang dapat disepakati atau diterima oleh dua belah pihak menyetujui apa dan bagaimana tindakan 36
Ketentuan Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 37 Budhy Budiman, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik Peradilan Perdata dan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.uika.bogor.ac.id/jur_05.htm. diakses terakhir tanggal 17 Juli 2007.
yang akan dilakukan di masa mendatang. Pengertian negosiasi ini dijelaskan dalam buku ”Teach Yourself Negotiations”, karangan Phil Bagley. 38 Bentuk lain dari alternatif penyelesaian sengketa adalah Arbitrase. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 39 Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. 40 Berdasarkan pada ketentuan Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999, diketahui bahwa penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui arbitrase memiliki kompetensi absolut terhadap penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui Pengadilan. Ini berarti bahwa setiap perjanjian yang telah mencantumkam klausula arbitrase atau suatu perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, menghapuskan kewenangan dari Pengadilan untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausula arbitrase tersebut atau yang telah timbul sebelum ditandatanganinya perjanjian arbitrase oleh para pihak. 41
38
Negoisasi, Harian Sinar Harapan, (4 April 2002). Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 40 Ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 41 Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), h. 98 39
Defenisi dari perjanjian arbitrase yang diberikan dalam UU No. 30 Tahun 1999, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya perjanjian arbitrase dapat terwujud dalam bentuk suatu kesepakatan berupa : 1.
Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulilis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau
2.
Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa. 42 Bentuk yang paling sering dilakukan dari alternatif penyelesaian sengketa
adalah mediasi. Sekarang di mana-mana dijadikan pilihan pertama dalam penyelesaian pertikaian. 43 Mediasi sebetulnya tidak lebih merupakan negoisasi yang dilakukan dengan dukungan seorang profesional.
A. Pengertian Mediasi Fenomena pertumbuhan terkait dengan penggunaan mediasi pada tahun terakhir ini sudah menjadi pembahasan yang penting dalam hal apa sebenarnya yang termasuk sebagai mediasi dan apa yang bukan sebagai mediasi. Selanjutnya adalah bagaimana hal tersebut berbeda dengan yang lain terkait dalam penyelesaian perselisihan alternatif yang sesuai, seperti arbitrase yang mengikat dan yang tidak mengikat, evaluasi netral dan keputusan Pengadilan. Perbedaan utama antara mediasi
42
Ibid., hal. 99 ADR, Jalan Mudah, Murah dalam Penyelesaian Sengketa, Harian Sinar Harapan, (10 September 2003). 43
dan proses lain adalah bahwa dalam mediasi, maka pihak yang berselisih memiliki kekuasaan dalam pembuatan keputusan. Jaringan Mediasi Kalifornia Utara, organisasi non-profit yang didirikan pada tahun 1985 satu organisasi untuk meramalkan pertumbuhan dan perkembangan program mediasi di masyarakat, sudah melihat penggunaan mediasi, seperti yang dipraktekkan oleh anggota pusat, berkembang di luar dari proses sederhana terhadap penyelesaian masalah. 44 Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan mediasi, berikut ini akan diuraikan pengertian dan penjelasan tentang mediasi. Gary Godpaster mengemukakan mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan. Berbeda dengan Hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wwenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak. Namun dalam hal ini para pihak menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan diantara mereka. Asumsinya bahwa pihak ketiga akan mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi para pihak, dengan memberikan pengetahuan atau informasi, atau dengan menggunakan proses negosiasi yang lebih
44
Definition of Mediation, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.mnne.org/pg_11.efm. diakses terakhir tanggal 10 Juli 2007.
efektif, dan dengan demikian membantu para peserta untuk menyelesaian persoalanpersoalan yang dipersengketakan. 45 Jacqueline M. Nolan Haley, mengemukakan batasan mediasi sebagai berikut : ”mediation is generally understood to be a short-term structured, taskoriented, participatory intervention process. Disputing partties work with a neutral thirt party, the mediator, to reach a mutuallu acceptable agreement. Unlike the udjudication process, where a thirt party intervenor inposes a decision, no such compulsion exist in mediation. It is the parties themselves who shape their agreement”. 46 Kimberlee K Kovach merumuskan batasan mediasi adalah : ”Facilited negotiation, it is a proces by which a neutral thirt party , the mediator, assists disputing parties in reaching a mutually satisfactory resolution”. 47 Mark E Roszkowski, mengemukakan bahwa: ”mediation is a relatively informal process in which a neutral thirt party, the mediator, help to resolve a dispute. In many respect therefore, mediator can be considered as structured negotiation in which the mediator facilitates the process”. 48 Selanjutnya, kamus hukum ekonomi ELIPS, mengatakan bahwa : ”Mediasi salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan dengan menggunakan jasa seorang mediator atau penengah, sama seperti konsiliasi”. 49
45
Gary Goodpaster, Negosiasi dan Mediasi : Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi, (Jakarta : Elips Project, 1993), h. 201. 46 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), h. 80. 47 Ibid. 48 Ibid., h. 81 49 Tim Penyusun ELIPS, Kamus Hukum Ekonomi , (Jakarta : Elips Project), h. 111.
Dalam Blak’s Law Dictionary dikatakkan bahwa mediasi adalah : ”mediation is private, informal dispute resolution process in which a neutral thirt person, the mediator, helps disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power to impose a decision to impose a decision on the parties. 50 Menurut
Kamus
Besar
bahasa
Indonesia,
mediasi
adalah
proses
pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat. 51 Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur penengahan di mana seseorang bertindak sebagai ”kendaraan” untuk berkomunikasi antar para pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri. Dari definisi tersebut, mediator dianggap sebagai ”kendaraan” bagi para pihak untuk berkomunikasi. 52 Christopher W. Moore menyebutkan bahwa mediasi adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang bersengketa, bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara sukarela mau
50
Gunawan Widjaja, Loc.cit Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2000), h. 726 52 Gatot Sumartono, Loc.cit 51
mencapai
kata
sepakat
yang
diterima
oleh
masing-masing
dalam
suatu
persengketaan. 53 Selanjutnya Rachmadi Usman menyimpulkan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar Pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral (non-intervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yang bersengketa. Pihak ketiga tersebut disebut ”mediator” atau ”penengah”. Menurut Kamus Hukum, mediasi adalah usaha untuk menyelesaikan perselisihan hukum melalui partisipasi aktif pihak ketiga (mediator) yang bekerja untuk menemukan poin kesepakatan dan membuat orang yang menghadapi konflik menemukan hasil yang baik. Mediasi berbeda dengan arbitrase dalam hal pihak ketiga (arbitor) bertindak menyerupai Hakim di luar Pengadilan, menyelesaikan masalah dengan cara tidak begitu formal, namun secara aktif berpartisipasi dalam pembahasan. Mediasi menjadi hal yang sangat umum dalam berusaha mengatasi masalah perselisihan hubungan dalam negeri (perceraian, perlindungan anak, kunjungan) dan sering diperintahkan oleh Hakim. Mediasi juga menjadi lebih sering dilakukan dalam kontrak dan dalam kasus kerugian sipil. Dalam hal ini ada mediator profesional atau Hakim yang tidak melakukan mediasi karena biaya substansial, namun biaya yang dibutuhkan dalam hal ini lebih sedikit daripada upaya yasng dilakukan di Pengadilan dan dapat mencapai kesepakatan lebih awal dan mengakhiri
53
Runtung, Loc.cit
kecemasan yang terjadi. Namun demikian, mediasi tidak selalu menghasilkan perdamaian. 54 Ada juga yang mengatakan bahwa mediasi adalah cara yang bersifat sukarela dan rahasia dalam menyelesaikan perselisihan tanpa memberikan kekuatan untuk pembuatan keputusan kepada orang lain (seperti seorang Jaksa). Hal ini melibatkan duduk bersama dengan pihak lain yang berselisih dan pihak ketiga dalam hal ini adalah netral dan tidak memihak (mediator). Mediator membantu pihak yang ada untuk mengidentifikasi masalah yang penting dalam perselisihan tersebut dan memutuskan bagaimana perselisihan dapat diselesaikan dengan baik. Mediator dalam hal ini tidak mengatakan apa yang perlu dilakukan, atau membuat penilaian mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah. Kendali atas hasil yang ada tetap ada pada pihak terkait. 55 Menurut Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan : ”Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan bantuan pihak ketiga”. 56 Berdasarkan penjelasan sebagaimana telah diuraikan di atas, mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa, bertujuan untuk membantu para pihak dalam mencapai kesepakatan yang lebih baik. Perselisihan yang dimaksud mungkin melibatkan negara, organisasi, masyarakat, individu atau perwakilan lainnya yang 54
Mediation-Definition, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.hg.org/mediationdefinition.html. 55 Ibid. 56 Ketentuan Pasal 1 Angka 6 Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
mempunyai kepentingan di dalamnya. Mediator menggunakan teknik yang sesuai dan/atau keahlian dan memperbaiki dialog antara orang yang berselisih, dan bertujuan untuk membantu pihak-pihak yang berselisih mencapai kesepakatan (dengan hasil konkrit) terhadap masalah yang diperdebatkan. Biasanya, semua pihak yang ada harus menganggap mediator sebagai pihak luar. Mediasi dapat digunakan untuk berbagai perselisihan. Mediasi memberikan peluang kepada pihak ketiga untuk membahas masalah yang muncul dalam hal biaya, menghilangkan kesalahpahaman, menentukan masalah yang ada. Mediator tidak mengatasi beban yang ada atau membuat keputusan terhadap pihak yang ada, melainkan mediator membantu pihak-pihak terkait untuk mencapai suatu kesepakatan. Proses mediasi bersifat rahasia. Informasi yang diungkapkan selama mediasi tidak akan dibeberkan kepada siapapun.
B. Sejarah dan Perkembangan Mediasi Aktivitas mediasi sudah ada sejak zaman kuno. Ahli sejarah menjelaskan pertama kali ditemukan dalam kasus dalam perdagangan Phoenician (juga menggambarkan penggunaan di Babylon). Praktek yang dikembangkan di Yunani Kuno (yang dikenal dengan nama proxegenator), selanjutnya pada peradaban Roma (hukum Roma dimulai Justinian’s Digest, 530-533) dikenal adanya mediasi. Orang Roma menyebut mediator dengan beberapa nama seperti internuciusan, medium,
intercessor, philantrophus, interplolator, conciliator, interlocutor, interpres dan akhirnya mediator. 57 Zaman pertengahan memandang mediasi tersebut dengan cara yang berbeda, dan kadang-kadang melarang praktek tersebut atau membatasi penggunaannya terhadap otoritas pusat. Beberapa budaya menganggap mediator sebagai figur yang suci, yang dihormati. Mediasi berkembang pada abad ke duapuluh dalam arena sekuler di mana hal tersebut mulai dikenal memiliki peranan. Hukum konsiliasi berhubungan dengan hubungan industri dan tindakan yang diberlakukan di United Kingdom pada awal tahun 1896. Selanjutnya di USA, proses alternatif penyelesaian sengketa (ADR) diberlakukan sebagai pilihan berawal dari Departemen Buruh AS (didirikan pada tahun 1913) dengan mengangkat satu panel yang disebut dengan ”komisioner konsiliasi” untuk mengatasi perselisihan manajemen. 58 Komisioner ini menjadi dijadikan sebagai layanan
komisioner AS dan pada tahun 1947 entitas tersebut
menjadi Mediasi Federal dan Layanan Konsiliasi. Beberapa tulisan sebelumnya dalam ADR menggambarkan pengalaman tenaga kerja dan menggunakannya pada penyelesaian konflik yang terjadi. Pada tahun 1926, Asosiasi Arbitrasi Amerika didirikan sebagai layanan perdagangan untuk penyelesaian masalah dalam sektor swasta. Asosiasi Keluarga dan 57
Mediation, versi elektronik, Op.cit. Mediation ADR, versi elektronik dapat http://mediationadr.net/conflict/informationpublik-Meds/History.html. 58
dilihat
di
:
Peradilan Konsiliasi didirikan pada tahun 1963 untuk mempromosikan konsiliasi keluarga sebagai suatu penyelesaian konflik keluarga. Mediasi keluarga menjadi bagian utama dalam pertumbuhan dan perkembangan ADR yaitu Asosiasi Mediasi Keluarga dan Akademi Mediator Keluarga. Quakers memiliki sejarah yang panjang dalam hal mediasi dan arbitrase. Banyak model mediasi sebelumnya di AS didasarkan atas pekerjaan yang dilakukan di Quakers. Di kota New York, masyarakat Yahudi mendirikan forum mediasi sendiri. Imigran Cina mendirikan Masyarakat Benelovent Cina untuk menyelesaikan masalah perselisihan dalam keluarga dan dalam masyarakat dengan mediasi. Pada tahun 1980, Kongres AS menyetujui Hukum Penyelesaian Perselisihan memerintahkan program nasional ADR untuk dicatat oleh Departemen KeHakiman. Namun, Kongres tidak mengikuti pelaksanaannya dengan mengeluarkan dana yang perlu untuk pelaksanaannya. Banyak negara bagian berusaha mendanai program mediasi untuk mengatasi perselisihan pada banyak situasi termasuk keluarga, lingkungan, kontrak pemerintah dan bahkan untuk tingkat dasar. Mediasi di Jepang, ditemukan sedikit pengacara mungkin karena dalam sejarah mereka banyak mempergunakan mediasi . Para pemimpin desa diharapkan untuk membantu warganya memecahkan perselisihan yang ada. hal ini dilakukan untuk menghindari banyaknya tantangan dalam proses litigasi secara formal dan hal ini merupakan penekanan terhadap penerapan
prosedur informal dan mediasi.
Mediasi saat sekarang ini merupakan bagian dari budaya bisnis.
Budaya Barat mengenal tradisi yang sangat lama tentang mediasi. Gerejagereja digunakan sebagai tempat perlindunan dan pendeta sering bertindak sebagai mediator antara pelaku kejahatan dan pihak yang menuntut. Pada zaman pertengahan, pendeta Kristen dianggap sebagai perantara dalam menyelesaikan perselisihan antara keluarga dan bahkan dalam perselisihan dalam bentuk diplomatik. Pengadilan Rabbinikal menggunakan tradisi yang ada untuk menyelesaikan masalah yang timbul. Budaya Islam memiliki tradisi yang kuat tentang mediasi
dan konsiliasi
sebagai pendekatan yang lebih dipilih dalam penggunaan quadis, kerjasama yang dilakukan untuk mencapai hidup yang harmonis dengan berusaha tetap melakukan kesepakatan dalam menyelesaikan masalah. Sejarah mediasi di Cina dan Asia, Confucius percaya bahwa cara terbaik dalam menyelesaikan masalah perselisihan adalah melalui persuasi moral dan kesepakatan daripada dengan melakukan koersi. Pada manusia, terdapat suatu perasaan keharmonisan yang seharusnya tidak diganggu. Perdamaian dan saling memahami merupakan inti dari filsafatnya. Tradisi Budha mendorong penyelesaian perselisihan melalui kompromi daripada dengan koersi. Pada budaya ini, litigasi adalah pilihan terakhir dan ternyata mengakibatkan kerugian pada kedua belah pihak. Saat sekarang ini, orang-orang Republik Cina masih menekankan pada konsiliasi dan mediasi yang digunakan dalam penyelesaian perselisihan. Di Texas, Pengadilan Federal, Distrik dan Daerah berusaha mencari alternatif atas proses peradilan yang panjang dan jumlah gugatan yang sangat banyak telah terakumulasi dalam 20 tahun terakhir. Namun gerakan terhadap penyelesaian
perselisihan di luar dari lembaga yang ada sudah mendapatkan momentum dan alternatif penyelesaian sengketa (ADR) memperluas ruang lingkup, kekuasaan, keuangan dan kepemimpinan. Konstitusi Texas pada tahun 1845 membicarakan akan pentingnya arbitrasi untuk perselisihan perselisihan warga. Namun, hal tersebut tidak sampai tahun 1978 di mana Kepala Pengadilan (Mahkamah Agung Texas) Joe R. Greenhill bertemu dengan Kepala Pengadilan Frank G. Evans (Pengadilan Tingkat Pertama) untuk membahas bagaimana caranya untuk menguragi proses peradilan yang panjang. Akhirnya, asosisi bar Houston mendirikan komite ADR dan merekomendasikan pendanaan dari pemerintah dan sektor swasta untuk Pusat Penyelesaian Perselisihan. Yang pertama dalam hal ini dibuka oleh Bar Houston dan Harries County pada bulan Oktober 1980. Selanjutnya pada tahun yang sama, penyelesaian masalah secara mediasi di kota Dallas dibuka dan di kota Tarrant didirikan dengan layanan yang sama pada tahun 1981. Akhirnya, beberapa daerah di Texas membuka pusat layanan setelah induk di Houston dan Dallas. Pada tahun 1987, Pengadilan negara bagian merekomendasikan perundangan baru yang mendukung ADR. Pertama, amandemen terhadap Undang-undang 2372aa diberlakukan, menambah biaya iuran sampai dengan $10. Selanjutnya, satu ketentuan yang membatasi efektifitas kesepakatan arbitrasi swasta untuk dicabut.
Kembali, pada tahun 1987, Undang-undang pemerintah Texas mensahkan Undang-undang tentang prosedur Penyelesaian sengket alternatif 1987. Undangundang ini menjelaskan kebijaksanaan pemerintah dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa secara perdamaian daripada melakukan litigasi. Undang-undang ini juga menjelaskan bagaimana pelaksanaan penyelesaian sengketa alternatif di Pengadilan dan menjelaskan syarat pelatihan dan tugas yang sesuai terhadap pihak ketiga yang netral.
Undang-undang
ini
juga
menjamin
kerahasiaan
materi
diskusi
yangdipergunakan oleh pihak yang berselisih dalam prosedur alternatif penyelesaian sengketa. (Sebagian Informasi diatas tentang sejarah Texas didasarkan atas materi yang ada dalam Manual Pelatihan DMS). Ada banyak persamaan dalam pertumbuhan di dunia, terutama di Australia, Selandia Baru dan Kanada. Australia memiliki sistem yang kompleks untuk mengatasi masalah keluarga dan perhubungan . Sistem ini digabungkan dengan masyarakat banyak sebagai badan komunitas kesehatan mental yang sudah didirikan di Amerika Serikat. Di United Kingdom, Conciliation and Arbitration Service didirikan untuk mengatasi perselisihan dalam bidang industri. Tulisan yang menggambarkan perkembangan ADR antara lain : Laura Nader dan P.H. Gulliver mulai pada tahun 1969 dan 1973. Antropologis budaya ini mempelajari ADR dan melakukan penelitian untuk penerapan lanjutan dari prinsip ini. 59
59
Ibid.
O.J. Coogler pada tahun 1978 menulis struktur mediasi dalam penyelesaian perceraian, Howard Irving pada tahun 1980 menulis mediasi perceraian, dan John Haynes pada tahun 1981 menulis Pemecahan Masalah secara komplit. Buku ini membantu untuk mengembangkan mediasi pada perselisihan keluarga dan perceraian. 60 Martin Deutsch menulis buku yang sangat berpengaruh. Penyelesaian konflik yang menguji aspek negatif dan positif tentang
penyelesaian permasalahan dan
pengaruh pemikiran mediator dan penulis mengenai ADR. Lon Fuller, Sarjana Hukum Harvard (mulai awal 1963), Frank Sander dan Roger Fisher (mulai pada pertengahan tujuhpuluhan) sudah membantu dalam membentuk pemikiran mengenai penggunaan teknik dan prosedur mengenai penyelesaian perselisihan. 61 Mediasi dalam hukum Indonesia pada dasarnya sudah dikenal sejak dulu. Pasal 130 HIR menentukan agar pada sidang pertama, Hakim terlebih dahulu mengupayakan perdamaian.
C. Mediasi dan Konsiliasi Banyak perdebatan yang terfokus pada perbedaan antara konsiliasi dan mediasi dan tidak ada kesepakatan universal yang muncul. Konsiliasi kadang-kadang berfungsi sebagai payung yang mencakup semua mediasi dan sebagai fasilitasi dan
60 61
Ibid. Ibid.
proses penyelesaian perselisihan. Namun demikian, proses ini tidak menentukan hasil, dan keduanya berbagi banyak persamaan. Misalnya, kedua proses yang ada melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memiliki kekuasaan. 62 Satu perbedaan yang penting antara konsiliasi dan mediasi adalah terletak dalam hal di mana konsiliator memiliki pengetahuan khusus mengenai domain yang mereka selesaikan. Konsiliator dapat memberikan saran terkait dengan ketentuan penyelesaian dan dapat memberikan saran untuk masalah yang timbul. Konsiliator juga dapat menggunakan peranan mereka untuk secara aktif mendorong pihak terkait mencapai kesepakatan. Hal ini membantu mencapai kesepakatan sesuai dengan kerangka kerja yang berlaku terhadap penyelesaian tersebut. Dalam hal ini, konsiliasi mencakup aspek pemberian saran. Mediasi bekerja secara murni. Praktisi tidak memiliki peran untuk memberikan saran. Lagipula, mediator berusaha untuk mendapatkan bantuan dari pihak-pihak yang ada dalam mengembangkan saling memahami terhadap konflik yang ada dan untuk bekerja dalam mencapai kesepakatan. Kedua mediasi dan konsiliasi berfungsi untuk mengidentifikasi masalah yang dipermasalahkan, dan untuk memberikan pilihan yang membantu pihak yang berselisih mencapai kesepakatan dengan cara yang memuaskan. Mereka keduanya menawarkan proses yang fleksibel dan penyelesaian yang dicapai adalah atas kesepakatan kedua belah pihak. Hal ini berbeda dengan litigasi, yang biasanya mengatasi perselisihan sesuai dengan pihak yang memiliki argumen terkuat. 62
Definition of Mediation, versi elektronik, Op.cit.
D. Mediasi dan Negosiasi Mediasi adalah perluasan dari proses negosiasi. Pihak-pihak yang bertikai yang tidak mampu menyelesaikan konflik akan menggunakan jasa pihak ketiga yang bersikap netral untuk membantu mereka dalam mencapai suatu kesepakatan. 63 Negosiasi adalah suatu proses atau metode antara dua orang atau dua kubu untuk mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi. 64 Negosiasi terjadi ketika orang lain memiliki atau menguasai sesuatu yang diinginkannya. Tetapi sekedar menginginkan tidak cukup. Juga harus melakukan negosiasi untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dari pihak lain yang memiliki dan mempunyai keinginan atas sesuatu yang dimiliki orang lain. Sedangkan agar negosiasi dapat terjadi dengan sukses, harus siap untuk memberikan atau merelakan sesuatu yang bernilai yang dapat ditukar dengan sesuatu yang diinginkannya. Negosiasi dalam aplikasi praktek hukum melibatkan banyak aspek seperti analisa proses kemampuan pengacara, tanggung jawab secara profesional, strategi serta mekanisme. Demikian juga melihat kemungkinan keputusan hasil negoisasi apakah dapat memenuhi kebutuhan klien dan bagaimana keputusannya kelak dilaksanakan. 65
63
Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, versi elektronik dapat dilihat di : http://bismarnasty.wordpress.com/personal-data/ 64 Negoisasi, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.id.wikipedia.org/wiki/Negoisasi. diakses terakhir tanggal 17 Juli 2007. 65 Larry L. Teplay, Legal Negotiation in a Nutshell, (West Publishing, Co., 1992) h. 8.
Negosiasi juga merupakan suatu pengetahuan dasar yang wajib diketahui oleh para praktisi hukum. Negosiasi dalam praktek hukum adalah berbeda karena melibatkan hubungan mewakili antara klien dan pengacara. Pengacara harus membangun hubungan dan pengertian yang terbuka antara klien dan memiliki tanggung jawab untuk memberikan informasi terbuka selama proses negosiasi berlangsung. Tujuan pengacara adalah untuk memberikan hasil terbaik kepada klien tetapi bukan merupakan pemenuhan keinginan dan pengacara sendiri. Pengacara harus membantu kliennya untuk memantapkan tujuan dan target mereka dalam negosiasi. Pada akhir proses negosiasipun, justru klienlah yang memutuskan untuk menerima tawaran keputusan hasil negosiasi tersebut atau menolaknya, justru bukan pengacara. 66 Inti dari negosiasi dengan tujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bermasalah, bukan dengan bantuan pihak ketiga seperti mediator atau arbitrator. Pihak bersengketa yang dapat diwakili oleh diri sendiri atau didampingi pengacara mengadakan negosiasi sesuai dengan ketentuan, aturan, tata cara dan bentuk penyelesaian yang dipilih sendiri. Sehingga dapat diprediksikan apabila negosiasi ini gagal, barulah para pihak melalui pengacaranya meneruskannya ke peradilan yang melibatkan pihak ke 3 ataupun menempuh jalur lain seperti mediasi atau konsiliasi. Berdasarkan
beberapa
pertimbangan
terdapat
beberapa
teknik-teknik
negosiasi. Pertimbangan tersebut misalnya hubungan antara kedua belah pihak yang 66
Ibid, h. 31.
berperkara, perusahaan dan pekerja, perusahaan yang ingin mendapatkan kontrak, perceraian dan lain-lain. Pertimbangan akan adanya unsur saling membutuhkan, hubungan kerja jangka panjang, hubungan bisnis untuk sekali saja ataupun unsur hubungan kekeluargaan harus diperhatikan. Dalam negosiasi dikenal beberapa pendekatan, yaitu teknik negosiasi kompetitif (Competition Negotiation), negosiasi kompromi (Compromising Negotiation) dan Negosiasi Bekerja Sama (Win-Win Negotiation). 67 Roger Fisher dan William Ury, dalam bukunya Getting to Yes menulis empat strategi dasar dalam bernegosiasi. Pertama, memisahkan pokok permasalahan/yang harus dinegosiasikan dengan lawan. Kedua, mengetahui persis obyektifitas negoisasi dan hasil akhir yang hendak dibidik. Ketiga, satu hal yang paling ditabukan dalam bernegosiasi adalah terjadinya jalan buntu. Keempat, adalah rampungkan negosiasi dengan cepat, tuntas dan tidak bertele-tele. 68 Setiap negosiasi memiliki potensi konflik dalam seluruh prosesnya, maka penting sekali untuk memahami cara mengatasi atau menyelesaikan konflik. Untuk menjelaskan berbagai alternatif penyelesaian konflik dipandang dari sudut menangkalah masing-masing pihak, ada empat kuadran manajemen konflik : 1. Kuadran Kalah-Kalah (Menghindari Konflik) Kuadran
keempat
ini
menjelaskan
cara
mengatasi
konflik
dan
mengabaikan masalah yang timbul. Atau bisa berarti bahwa kedua belah pihak
67 68
Herb Cohen, You Can Negotiate Anything, (Bantam Books, 1980), h. 117. Negoisasi Bukan Soal Kalah Menang, Harian Kompas, (28 Oktober 2004).
tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut. Tidak boleh memaksakan keinginan dan sebaliknya tidak terlalu menginginkan sesuatu yang dimiliki atau dikuasai pihak lain. Cara ini sebenarnya hanya bisa dilakukan untuk potensi konflik yang ringan dan tidak terlalu penting. Jadi tidak menjadi beban dalam pikiran atau kehidupan, sebaiknya memang setiap potensi konflik harus dapat diselesaikan. 2. Kuadran Menang-Kalah (Persaingan) Kuadran kedua ini memastikan bahwa kemenangan konflik dan pihak lain kalah. Biasanya dengan menggunakan kekuasaan atau pengaruh untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut dapat keluar sebagai pemenangnya. Biasanya pihak yang kalah akan lebih mempersiapkan diri dalam pertemuan berikutnya, sehingga terjadilah suatu suasana persaingan atau kompetisi di antara kedua pihak. Gaya penyelesaian konflik ini sangat tidak mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah, sehingga sebaiknya hanya digunakan dalam keadaan terpaksa yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan tegas. 3. Kuadran Kalah-Menang (Mengakomodasi) Agak berbeda dengan kuadran kedua, kuadran ketiga yaitu kalah-menang ini berarti kita berada dalam posisi mengalah dan mengakomodasi kepentingan pihak lain. Gaya ini kita gunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang
lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang diinginkan. Mengalah dalam hal ini bukan berarti kalah, tetapi menciptakan suasana untuk memungkinkan penyelesaian yang paripurna terhadap konflik yang timbul antara kedua pihak. Mengalah memiliki esensi kebesaran jiwa dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk juga mau mengakomodasi kepentingan kita sehingga selanjutnya kita bersama bisa menuju ke kuadran pertama. 4. Kuadran Menang-Menang (Kolaborasi) Kuadran pertama ini disebut dengan gaya manajemen konflik kolaborasi atau bekerja sama. Tujuannya adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Proses ini biasanya yang paling lama memakan waktu karena harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya berada di kedua ujung ekstrim satu sama lainnya. Proses ini memerlukan komitmen yang besar dari kedua pihak untuk menyelesaikannya dan dapat menumbuhkan hubungan jangka panjang yang kokoh. Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan bahwa masing-masing pihak memahami dengan sepenuhnya keinginan atau tuntutan pihak lainnya dan berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu kedua kepentingan tersebut.
E. Mediator 1. Pengertian Mediator Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. 69 Menjadi profesi mediator semuanya berkaitan dengan penyelesaian konflik, maka pekerjaan tersebut menuntut pemikiran yang cerdas dalam pemecahan masalah, dan kemampuan untuk mendamaikan. 70 Jika dua pihak bertikai, dan ingin menghindarkan urusan Pengadilan, maka mereka dapat memanggil mediator untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Jika banyak orang menaruh curiga kepada Hakim atau pengacara, maka mediator dalam hal ini lebih cenderung berperan untuk memberikan kebijakan, lebih dipercayai dan bersifat netral. Tidak seperti Hakim atau Pengacara yang mengevaluasi, menilai, dan memutuskan untuk orang lain, maka mediator membantu pihak yang berpartisipasi dalam hal mengevaluasi, menilai dan memutuskan untuk para pihak yang berperkara. Pihak-pihak yang ingin menghindarkan penundaan, biaya tinggi, publisitas, dan niat jahat yang terjadi dalam litigasi akan berusaha mencari mediator sebagai pilihan yang baik, tidak mahal dan cepat. Pekerjaan mediator adalah mendengarkan, mensortir perbedaan, antara kedua belah pihak yang berselisih, dan menemukan dasar-dasar yang umum untuk memastikan solusi yang ada. Mediator yang baik adalah jujur, netral dan
69
Ketentuan Pasal 1 angka 5 Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. 70 Career Profiles, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.princentonreview.com/cte/profiles/dayinlife.asp?
mendengarkan dengan baik dan bijak serta memiliki keahlian komunikasi yang baik. Dengan membantu kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan yang baik juga butuh kreativitas. Mediasi dalam hal ini dianggap sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Latar belakang pendidikan mediator profesional sangat berbeda-beda. Ada yang mempunyai gelar gelar sarjana hukum, akan tetapi ada juga bahkan tidak mempunyai gelar. Yang paling penting dalam hal ini adalah pendidikan dalam bidang mediasi, apakah tamatan tertentu atau dengan mengikuti kursus pelatihan. Gelar sarjana dalam bidang sosial politik dan yang berhubungan dengan hukum juga memberi latar belakang yang sangat berguna. Dalam beberapa negara dalam melakukan mediasi, mediator harus mempunyai izin atau sertifikat . Pada umumnya orang yang mempunyai profesi mediator, telah mengikuti pelatihan dan bersumpah untuk mengikuti standar etis yang berlaku . Profesi yang berkaitan dengan mediator ini antara lain adalah Hakim, pemimpin agama, pekerja sosial, konselor, dan pendidik sering diminta menjadi penengah. Mediator yang handal memiliki banyak peluang profesi yang memungkinkan dan terbuka bagi mereka termasuk diplomat dan politisi. Sebagai mediator, perlu mengetahui dua jenis standar etis yang mengarahkan mediator dalam melakukan fungsinya dan orang yang mengatur kelakuan profesi yang terikat dalam bidang negosiasi. Mediator perlu memahami etika fungsi mediator sehingga akan tahu kapan berbuat terlalu jauh di luar dari batasan etis. Mediator juga
perlu mengetahui etika fungsi Hakim dalam negoisasi sehingga tahu batasan terhadap tindakan majelis dalam mediasi. Standar etis mediator didefinisikan dalam hubungannya dengan kewajibannya kepada para pihak yang berperkara, terhadap proses yang dilakukan, terhadap pihak lain dan juga terhadap profesi di luar mediator. Beberapa organisasi penyelesaian perselisihan profesional sudah menerbitkan standar mediator. Di Amerika ada organisasi khusus yang menangani standar etis profesi mediator, yaitu American Arbitration Association, the American Bar Association, dan the Society of Proffessionals in Dispute Resolution yang sudah bergabung untuk menerbitkan satu seri standar etis untuk mediator yang disebut dengan Model Standard Tindakan untuk Mediator. 71
2. Tugas Mediator Berjalannya proses mediasi tidak terlepas dari peran seorang mediator. Mediator memegang peranan krusial dalam menjaga kelancaran proses mediasi. Terdapat banyak teori mengenai tugas seorang mediator. Namun secara umum terdapat 7 tugas seorang mediator. 72 Pertama, mediator harus menjalin hubungan dengan para pihak yang bersengketa agar para pihak tidak menjadi takut untuk mengemukakan pendapatnya. Kedua, mediator juga harus memilih strategi untuk membimbing proses mediasi dan mengumpulkan serta menganalisa proses mediasi 71
Mediator & Advocates Ethics, versi elektronik dapat http://findarticles.com/p/articles/mi_2a3923/is_2000/ai_n8882684. 72 MaPPI, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Op.cit.
dilihat
di
:
dan latar belakang sengketa. Hal ini penting untuk dilakukan agar mediator dalam mengarahkan, mengetahui jalur penyelesaian sengketa ini bagaimana dan selanjutnya menyusun rencana-rencana mediasi serta membangun kepercayaan dan kerjasama. Bentuk mediasi dapat berupa sidang-sidang mediasi. Ketiga, mediator harus mampu untuk merumuskasn masalah dan menyusun agenda, karena kadang-kadang yang kelihatan dari luar itu sebenarnya yang besar-besarnya saja. Sebenarnya kalau dalam persengketaan itu ada kepentingan lain yang dalam teori Alternative Dispute Resolution (ADR) disebut interest base/apa yang benar-benar para pihak mau. Interest base itu kadang-kadang tidak terungkap di luar proses ADR. Keempat, mediator juga harus mengungkapkan kepentingan tersembunyi dari para pihak, terkadang ada para pihak yang beritikad tidak baik, dan hal itu tidak boleh. Keenam, mediator juga harus membangkitkan pilihan penyelesaian sengketa, pintar dan jeli dalam memandang suatu masalah. Ketujuh, mediator dapat menganalisa pilihanpilihan tersebut untuk diberikan kepada para pihak dan akhirnya sampai pada proses tawar menawar akhir dan tercapai proses penyelesaian secara formal berupa kesepakatan antar para pihak. Sebaiknya yang hadir dalam proses mediasi adalah pihak-pihak yang mengambil keputusan agar jangan sampai terjadi ketimpangan.
3. Keterampilan Mediator Menurut Takdir Rachmadi ada 3 (tiga) keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang mediator, yaitu : a. Keterampilan pengorganisasian perundingan.
b. Keterampilan memfasilitasi. c. Keterampilan komunikasi. 73 Selanjutnya menurut Takdir Rachmadi, penjelasan keterampilan mediator tersebut adalah sebagai berikut : a. Keterampilan pengorganisasian perundingan meliputi : 1) Mediator merencanakan dan menjadwalkan pertemuan. 2) Mediator harus tiba tepat waktu. 3) Mediator menyambut kedatangan para pihak dalam ruang perundingan. 4) Mediator menghindari berbincang-bincang dengan salah satu pihak sebelum atau pada saat kedatangan pihak lawannya. 5) Mediator mengawasi para pihak ketiga meninggalkan ruang perundingan, terutama jika suasana yang masih emosional. 6) Membiarkan para pihak mengambil tempat duduk sendiri atas dasar pertimbangan mereka sendiri. 7) Mendiator mengambil jarak tempat duduk dengan jarak yang sama di antara para pihak; netralitas. 8) Ada beberapa bentuk penataan meja perundingan : oval, persegi empat, persegi enam/pentagon untuk multi party. 9) Mediator menyiapkan dan mampu menggunakan peralatan visual seperti whiteboard, kertas flipchart, spidol, overhead projector.
73
Takdir Rahmadi, Alternative Dispute Resolution, Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT), diberikan sebagai panduan kepada Hakim Pengadilan Negeri yang mengikuti kursus/pelatihan mediasi.
b. Keterampilan memfasilitasi, meliputi : 1) Mengubah posisi para pihak menjadi isu-isu yang perlu dipecahkan oleh para pihak, misalkan dalam sengketa pembagian harta pencarian, satu pihak menuntut 60% pembagian, maka hal ini dapat diubah kembali menjadi bagaimana membagi harta pencarian secara adil dengan memperhatikan kontribusi dan kebutuhan para pihak di masa datang. 2) Mengatasi emosi, pengungkapan emosi tidak dilarang, tetapi perlu dikontrol, mediator harus mampu menahan emosinya sendiri ketika menghadapi emosi salah satu pihak. 3) Emosi moderat diatasi dengan : didengarkan saja, secdara perlahan dialihkan, ingatkan para pihak yang emosi pada permasalahan yang perlu diatasi. 4) Emosi autoritatif diatasi dengan : identifikasi pengungkapan emosi yang tidak wajar, ingatkan pada aturan perundingan, ingatkan pihak emosi dengan komitmen pada proses penyelesaian. 5) Emosi tinggi/kuat diatasi dengan : skorsing pertemuan untuk istirahat sejenak, pertemuan terpisah (kaukus), ancaman pemutusan proses mediasi. 6) Mediator sebagai manajer proses melakukan : memimpin dan mengarahkan pertemuan dan perundingan sesuai dengan agenda, selalu mengingatkan bahwa para pihak yang mencari penyelesaian bukan mediator, mediator hanya membantu, mediator menentukan siapa berbicara lebih dulu dan siapa kemudian, kapan mengadakan kaukus, kapan diadakan skorsing.
7) Kemampuan mentransfer keterampilan perundingan kepada para pihak melalui saran dan nasehat tentang perundingan interest base. 8) Menekankan adanya kesamaan kepentingan para pihak. 9) Membantu para pihak melakukan brainstorming, mendorong masing-masing pihak untuk mengusulkan bentuk penyelesaian masalah tanpa diinterupsi oleh evaluasi pihak lain. Setelah masing-masing pihak selesai menyampaikan usulannya, mediator membantu para pihak dalam mengevaluasi beragai usulan dengan mengacu pada desirability, praticability dan biaya tipa usulan. 10) Menghadapi kemungkinan jalan buntu (deadlock), yang harus dilakukan adalah : (1) Mendorong para pihak untuk mengungkapkan permintaan atau tuntutan, tak boleh ada lagi yang tersembunyi, (2) Usulan agar para pihak mendapatkan nasehat profesional, (3) Meminta informasi tambahan kepada para pihak, (4) Usul penyerahan masalah kepada seorang ahli mengikat/tidak mengikat, ganti seorang/lebih tim perunding. 11) Melintasi halangan terakhir (the last gap), yang perlu dilakukan adalah : jalan buntu khas : ada satu masalah yang mengganjal, biasaya tentang jumlah uang, sementara masalah-masalah lain telah dapat disepakati. Kiat mediator : (1) Buka kembali pembahasan,
(2) Berikan kesempatan kepada satu pihak dalam jangka waktu tertentu memikirkan tawaran terbaik dari pihak lawan, kalau masih mungkin pecah masalah itu menjadi sub-sub masalah. c. Keterampilan komunikasi meliputi : 1) Komunikasi verbal. 2) Mendengar secara efektif. 3) Membingkai ulang. 4) Komunikasi non-verbal. 5) Kemampuan bertanya. 6) Reiterasi (mengulang pertanyaan). 7) Parafrase. 8) Menyimpulkan. 9) Membuat catatan. 10) Empati. 11) Humor. Yang harus dilakukan dalam komunikasi verbal adalah : a. Berbicara dengan tenang, meyakinkan. b. Hindari penggunaan istilah dan ungkapan teknis yang mungkin tidak dimengerti para pihak. c. Jika para pihak menggunakan kata-kata keras, mediator dapat mengganti dengan kata-kata yang lebih netral, misalkan : 1) Menuntut diganti dengan mengusulkan.
2) Menolak diganti dengan belum dapat menerima. 3) Konflik diganti dengan perbedaan sudut pandang. Yang dimaksud dengan mendengar efektif adalah : d. Mendengar secara efektif adalah memahami pesan yang disampaikan lewat kata. e. Menangkap fakta-fakta yang dikemukakan dan juga perasaan/emosi pembicara. f. Pusatkan perhatian secara fisik dan psikologis terhadap pembicaraan, memandang pada si pembicara, kontak mata. g. Mengikuti pembicaraan, tidak memutus/menyela pembicaraan/interupsi, bertanya, membuat catatan. h. Memberikan umpan balik/memperlihatkan pemahaman dengan mengidentifikasi isi dan perasaan yang disampaikan oleh pembicara. Hal-hal yang dapat mengganggu proses mendengar efektif : a. Berkaitan dengan diri pembicara : ketidakjelasan, gaya bicara yang mengganggu, penampilan fisik, nada bicara, kecepatan bicara, ketidakkoherenan. b. Berkaitan dengan si pendengar : kurang perhatian, kelelahan, ketidaktahuan pokok masalah, keterlibatan secara emosional. c. Berkaitan dengan lingkungan : kebisingan dari luar, lampu silau, alat pengeras suara yang buruk dan tempat duduk yang tak nyaman. Pengertian membingkai ulang adalah tidak sama dengan mengulangi katakata, tetapi menggunakan kata-kata lain, ungkapan dan tekanan untuk merefleksikan apa yang telah disampaikan oleh satu atau para pihak. Tujuan membingkai ulang ini adalah :
a. Mengubah persepsi para pihak terhadap pokok persoalan. b. Perubahan persepsi akan mengubah sikap dan perilaku. c. Para pihak cenderung memiliki persepsi yang kaku. Membingkai ulang berfungsi untuk : a. Untuk meniadakan ungkapan atau kata-kata bermusuhan. b. Mereorientasi pandangan negatif ke arah pandangan positif. c. Alihkan fokus dari posisi ke kepentingan yang melatarbelakangi. d. Alihkan dari fokus pada orang kepada pokok masalah. e. Alihkan fokus dari masa lalu pada masa sekarang dan masa datang. f. Jadikan pokok masalah sebagai masalah bersama para pihak. Pengertian komunikasi non-verbal adalah cara-cara komunikasi tanpa menggunakan kata-kata lisan maupun tulisan. Komunikasi ini dapat mengandung pesan kekuatan, penghinaan, rasa unggul atau kekurangyakinan. Mediator perlu mampu menangkap dan mendiagnosa komunikasi non-verbal ini, seperti geleng kepala, anggukan, desis suara, tarikan nafas, desah suara. Mediator perlu menangkap dan mendiagnosa bahasa tubuh seperti gerakan tubuh, gerakan tangan, ekspresi wajah.
4. Fungsi Mediator Berjalannya proses mediasi tidak terlepas dari peran seorang mediator. Mediator memegang peranan krusial dalam menjaga kelancaran proses mediasi, oleh
karena itu, mediator sangat diharapkan untuk menjalankan fungsinya secara maksimal. Menurut Takdir Tachmadi fungsi mediator, antara lain : a. Membangun kepercayaan dan keyakinan para pihak. b. Membangun kerangka kerja untuk pengambilan keputusan yang kooperatif. c. Menganalisa konflik, dan merancang intervensi yang tepat. d. Mendorong komunikasi yang konstruktif. e. Memfasilitasi perundingan dan problem solving. f. Mendidik para pihak. g. Memberdayakan para pihak. h. Memberi tekanan kepada para pihak untuk mencapai penyelesaian. i. Mendorong para pihak supaya realistis. j. Menasehati dan mengevaluasi. k. Mengakhiri mediasi. 74 Selanjutnya menurut Takdir Rachmadi, penjelasan dari fungsi mediator tersebut di atas adalah sebagai berikut : a. Membangun kepercayaan dan keyakinan para pihak 1) Prasyarat mutlak bagi keberhasilan mediasi, dibangun sejak tahap awal dan dipelihara pada keseluruhan proses mediasi. 2) Dapat dilakukan dengan cara : a) Memperlihatkan perhatian terhadap permasalahan. b) Menghargai/menghormati para pihak. 74
Ibid
c) Ketidakberpihakan/netralitas. b. Membangun kerangka kerja untuk pengambilan keputusan yang kooperatif 1) Aspek fisik 2) Aspek emosional 3) Aspek prosedural c. Menganalisa konflik dan merancang intervensi yang tepat 1) Analisa sejak awal dan berkelanjutan selama proses perundingan. 2) Mendiagnosa sebab-sebab konflik (gunakan lingkaran konflik). 3) Membuat dan menerapkan hipotesa-hipotesa untuk intervensi, jika intervensi salah, maka revisi, terus menerus melalui uji coba-uji coba. 4) Memastikan terjadi pertukaran informasi di antara para pihak. 5) Mendorong
dan
membantu
para
pihak
untuk
mengartikulasikan
kebutuhan/kepentingan mereka melalui bertanya, mendengarkan pembicaraan secara aktif, dan membingkai ulang pernyataan para pihak. 6) Mengidentifikasikan masalah-masalah/hal-hal yang dipertikaikan. d. Mendorong komunikasi yang konstruktif 1) Para pihak sering tidak memiliki kemampuan komunikasi/artikulasi yang baik. 2) Mendorong
para
pihak
untuk
mendengarkan
pernyataan/ungkapan/pertanyaan pihak lain. 3) Menangkap pesan-pesan non verbal.
dengan
baik
4) Dapat langsung intervensi jika salah satu pihak tidak paham dengan pernyataan yang lain, mediator dapat menafsirkan, meringkas, atau membingkai ulang pernyataan sehingga pihak lain mengerti. 5) Jika
terjadi
pertemuan
terpisah
(kaukus),
mediator
harus
mampu
menyampaikan pesan-pesan dalam kaukus. e. Memfasilitasi perundingan dan problem-solving 1) Jika para pihak menempuh perundingan posisional. 2) Berusaha mengubah ke arah perundingan problem-solving. 3) Mengingatkan para pihak untuk menfokuskan pada kepentingan/kebutuhan mereka bukan pada posisi. 4) Memisahkan hal personal dengan masalah substansial. 5) Mengkaitkan berbagai isu sebagai satu kesatuan. 6) Kehilangan sesuatu untuk mendapatkan hal lain. f. Mendidik para pihak 1) Memberitahu para pihak tentang prosedur dan jadwal pertemuan mediasi, sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh tiap-tiap pertemuan mediasi; pertemuan kaukus, logistik. 2) Mungkin
juga
mengajarkan
para
pihak
aspek-aspek
konflik
dan
penyelesaiannya. 3) Memberi nasehat-nasehat kepada para pihak baik dalam pertemuan terpisah (kaukus) 4) Memberi nasehat para pihak dan juga konstituen (pengikut, anggota) mereka.
g. Memberdayakan para pihak 1) Membantu para pihak mengerti situasi mereka. 2) Membantu pihak yang lemah (misalkan sengketa seorang warga melawan negara,
karyawan
melawan
majikan),
tanpa
melanggar
prinsip
ketidakberpihakan/netralitas, memberikan kesempatan bicara yang sama, menegakkan aturan main perundingan, misal tidak boleh ada interupsi, intimidasi, dan manfaatkan kaukus. 3) Perlu disadari tidak akan ada keseimbangan sepenuhnya. h. Memberi tekanan kepada para pihak untuk mencapai penyelesaian 1) Mengingatkan semakin dekatnya berakhirnya jadwal mediasi/deadline. 2) Mengingatkan para pihak konsekwensi dari kegagalan mereka mencapai kesepakatan, konsekwensi jika sengketa diselesaikan melalui proses memutus/Hakim. i. Mendorong para pihak supaya realistis 1) Mediator disebut sebagai agent of reality. 2) Mendorong
para
pihak
untuk
mengajukan
tuntutan
atau
penolakan/penyelesaian yang realistis. Realistis dalam hal kepentingan substantial, prosedural, emosional, sumber daya dan dana. j. Menasehati dan mengevaluasi 1) Kadang-kadang memberikan nasehat sesuai bidang keahlian dari mediator, hukum, Akuntansi, terutama jika diminta oleh para pihak.
2) Evaluasi : analisa dan prakiraan apa yang terjadi jika kasus diselesaikan melalui proses pemutus. 3) Ada pandangan fungsi evaluatif sebaiknya dihindari oleh mediator, utamakan fungsi fasilitatif. 4) Fungsi evaluatif cenderung ke arah right-based approached. 5) Solusi : Libatkan pihak. k. Mengakhiri mediasi 1) Salah satu atau para pihak terus menerus melanggar aturan main mediasi, atau menolak untuk bekerjasama. 2) Tampak jelas bahwa salah satu atau para pihak tidak punya komitmen untuk mediasi. 3) Satu atau para pihak tidak cakap untuk membuat keputusan-keputusan. 4) Kehilangan kepercayaan terhadap mediator. 5) Ada bukti, bahwa kesepakatan yang akan dicapai para pihak bersifat melawan hukum. 6) Pengakhiran proses mediasi dianjurkan untuk menyampaikan kepada para pihak dalam pertemuan terpisah. 7) Tetap menjaga kerahasiaan.
BAB III PELAKSANAAN MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI MEDAN
A. Proses Mediasi di Pengadilan Negeri Medan 1. Pendaftaran Gugatan Proses mediasi pada awalnya sama seperti proses berperkara biasa, di mana penggugat mendaftarkan gugatannya ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan. Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan melalui bagian yang khusus untuk menerima gugatan, mendaftarkan/mencatat nomor gugatan ke dalam suatu buku register, setelah terlebih dahulu menerima uang pendaftaran gugatan dari pihak yang mendaftarkan gugatan. 75 Kemudian pihak administrasi Pengadilan Negeri Medan akan meneruskan berkas perkara
kepada Ketua Pengadilan Negeri. Setelah Ketua Pengadilan
menerima dan membaca berkas perkara, selanjutnya Ketua Pengadilan akan membuat penetapan Majelis Hakim yang akan menangani perkara tersebut dan setelah itu Ketua Pengadilan akan menyerahkan berkas perkara kepada Majelis Hakim yang telah ditunjuk. Majelis Hakim yang telah ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri mempelajari berkas perkara dan menentukan suatu hari persidangan guna memulai proses berperkara. Melalui Juru Sita Pengganti, Majelis Hakim memanggil para pihak
75
Lihat Ketentuan Pasal 145 (1) Rbg/Pasal 121 HIR.
yang berperkara untuk hadir di Pengadilan Negeri Medan pada hari yang sudah ditetapkan dalam surat panggilan. Pada hari sidang yang telah ditentukan, para pihak (Penggugat dan Tergugat) yang dipanggil menghadap kepada Panitera Pengganti (PP) Pengadilan Negeri Medan untuk melaporkan bahwa mereka telah hadir dan siap untuk mengikuti persidangan. Panitera Pengganti (PP) melapor kepada Hakim Ketua Majelis, agar persidangan segera dimulai pada suatu ruang sidang yang telah ditentukan. Setelah Majelis Hakim dan para pihak memasuki ruang persidangan, Hakim Ketua Majelis membuka persidangan dengan membacakan nomor gugatan dan nama-nama para pihak yang tercantum dalam gugatan . Pihak-pihak yang berperkara dapat diwakili oleh Kuasa Hukum/Advokat yang ditunjuk melalui surat kuasa. 76 Apabila para pihak diwakili oleh Kuasa Hukum, Majelis Hakim meminta Kuasa Hukum untuk menunjukkan Surat Kuasa dan Kartu Tanda Pengenal Advokat sebagai syarat seorang kuasa untuk dapat menjalankan persidangan. 77 Apabila pada hari sidang pertama, salah satu pihak tidak datang, Hakim Ketua Majelis memerintahkan kepada Panitera Pengganti agar pihak yang tidak hadir dipanggil sekali lagi guna memberi kesempatan untuk menghadiri persidangan, maka untuk itu sidang ditunda untuk persidangan yang akan datang dengan menentukan
76 77
Ketentuan Pasal 147 Rbg. Lihat Ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.
hari/tanggal persidangan dan kepada pihak yang ahdir di persidangan diperintahkan untuk hadir tanpa dipanggil lagi. 78
2. Tahap Pra Mediasi Apabila pada hari sidang yang telah ditentukan, para pihak sudah lengkap, maka berdasarkan ketentuan Pasal 154 (1) Rbg/Pasal 130 HIR jo. Perma No. 2 Tahun 2003, sebelum pemeriksaan perkara dimulai, kedua belah pihak yang berperkara wajib menyelesaikan perkaranya secara damai melalui mediasi. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 154 (1) Rbg/Pasal 130 HIR jo. Perma No. 2 Tahun 2003 tersebut, Ketua Hakim Majelis menerangkan kepada para pihak tentang langkah-langkah yang harus ditempuh oleh kedua belah pihak sehubungan dengan mediasi yang akan dilaksanakan. Sebagai langkah awal, Hakim Ketua Majelis menyarankan kepada para pihak untuk memilih mediator yang akan membantu para pihak dalam proses mediasi. Kedua belah pihak bebas menentukan mediator sesuai dengan kesepakatan mereka, boleh mediator dari Pengadilan, boleh juga memilih mediator di luar Pengadilan. 79 Tentang pemilihan mediator ini, kedua belah pihak harus benar-benar setuju untuk menentukan satu orang mediator, apakah mediator tersebut dari Pengadilan atau dari luar Pengadilan.
78 79
Lihat Ketentuan Pasal 150 RBg/Pasal 126 HIR. LIhat Ketentuan Pasal 4 ayat (1) Perma No. 2 Tahun 2003.
Apabila para pihak tidak dapat bersepakat tentang penggunaan mediator baik dari Pengadilan maupun diari luar Pengadilan, maka para pihak wajib memilih mediator dari daftar mediator yang disediakan oleh Pengadilan. 80 Apabila para pihak tidak dapat bersepakat dalam memilih seorang mediator dari daftar yang disediakan oleh Pengadilan, Ketua Majelis berwenang untuk menunjuk seorang mediator dari daftar mediator yang ada di Pengadilan dengan penetapan. 81 Perbedaan pendapat tentang pemilihan mediator ini, contohnya pernah terjadi dalam perkara gugatan Presiden Direktur Newmont Richard Bruce Ness terhadap surat kabar The New York Times di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, di mana The New York Times melalui kuasa hukumnya menyatakan akan menunjuk Dewan Pers sebagai mediator, akan tetapi rencana pemilihan mediator dari Dewan Pers tersebut tidak disetujui oleh pihak Penggugat. 82 Semua perkara yang telah diproses melalui mediasi di Pengadilan Negeri Medan, menggunakan mediator yang ada dalam daftar Pengadilan Negeri Medan. 83 Belum pernah ada pihak-pihak yang berperkara memilih mediator dari luar Pengadilan Negeri Medan. Hal itu mungkin disebabkan belum adanya suatu lembaga atau badan tertentu yang menyediakan profesi khusus untuk mediator, atau mungkin juga para pihak tidak begitu memahami tentang proses mediasi itu sendiri maupun
80
Ketentuan Pasal 4 (2) Perma No. 2 Tahun 2003. Ketentuan Pasal 4 (3) Perma No. 2 Tahun 2003. 82 Dewan Pers Akan Diusulkan Jadi Mediator, Jurnal Hukum, versi elektronik dapat dilihat di : http://hukumonline.com/detail.asp?id=17070&CI=Berita, diakses Terakhir pada tanggal 12 Juli 2007. 83 Wawancara dengan Djarasmen Purba, Hakim Mediator di Pengadilan Negeri Medan, 20 Juli 2007. 81
tentang peran dan fungsi mediator dalam membantu para pihak untuk menyelesaikan masalahnya. Setelah para pihak sepakat untuk memilih salah satu mediator yang ada dalam daftar Pengadilan Negeri Medan, maka Ketua Majelis membuat suatu penetapan penunjukan mediator untuk bertindak sebagai mediator dalam perkara yang sedang ditangani dan guna memberi kesempatan kepada mediator untuk menjalankan tugasnya, Ketua Majelis menunda sidang dengan menetapkan hari persidangan berikutnya dan memerintahkan kepada para pihak untuk hadir kembali pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan dengan tidak dipanggil lagi. Setelah tidak ada lagi halhal lain yang akan dikemukakan oleh para pihak dalam persidangan hari itu, selanjutnya Ketua Majelis menutup persidangan dan memberi kesempatan kepada para pihak untuk menjalankan proses mediasi. Pada tahap pra mediasi ini , pihak-pihak menemui mediator yang telah ditunjuk untuk mengadakan kesepakatan tentang jadwal pertemuan-pertemuan yang akan diadakan dalam rangka pelaksanaan proses mediasi. Pada tahap pertemuan pertama, mediator menganjurkan agar masing-masing pihak Penggugat dan Tergugat melengkapi dokumen-dokumen yang berhubungan dengan perkara tersebut antara lain : a. Surat
Kuasa
Khusus
untuk
Advokat/Penasihat Hukum.
mediasi
bagi
pihak
yang
diwakili
oleh
b. Membuat resume mengenai tuntutan yang diinginkan oleh masing-masing pihak. Dalam resume tersebut pihak-pihak menguraikan sepintas tentang duduk perkara serta melampirkan bukti-bukti yang relevan dengan tuntutan. Selanjutnya untuk memberi kesempatan kepada para pihak untuk melengkapi dokumen-dokumen yang diminta oleh mediator, pertemuan ditunda sampai hari dan tanggal yang disepakati bersama dan untuk pertemuan berikutnya akan memasuki tahap mediasi.
3. Tahap Mediasi Setelah menerima dokumen-dokumen yang telah dipersiapkan oleh kedua belah pihak, Hakim Mediator mempelajari dokumen-dokumen berikut bukti-bukti yang turut dilampirkan, kemudian Hakim pada pertemuan kedua dengan para pihak menawarkan opsi perdamaian dan kepada para pihak dipertanyakan apakah menerima atau menolak opsi tersebut. Tempat pelaksanaan tahap mediasi ini, hampir seluruh perkara memakai tempat di salah satu ruangan yang disediakan oleh Pengadilan Negeri Medan. Belum pernah mediator mengadakan pertemuan dengan menggunakan tempat di luar Pengadilan Negeri Medan. 84 Hal ini berarti bahwa selama dalam proses mediasi, Hakim mediator Pengadilan Negeri Medan belum pernah memandang perlu untuk mengadakan pertemuan dengan salah satu pihak guna memperlancar jalannya proses perdamaian. 85 Atau dengan kata lain Hakim mediator
84 85
Ibid Lihat Ketentuan Pasal 9 ayat (2) Ketentuan Perma No. 2 Tahun 2003.
Pengadilan Negeri Medan tidak pernah melakukan pendekatan-pendekatan kepada para pihak secara terpisah di luar jam kerja dan di luar Kantor Pengadilan Negeri Medan. Lamanya pertemuan yang diadakan oleh Hakim mediator dengan kedua belah pihak tergantung kepada permasalahan yang akan diselesaikan. Akan tetapi rata-rata memakan waktu antara 10 sampai 45 menit setiap kali pertemuan dan pertemuan yang diadakan dapat berlangsung dari 1 (satu) sampai 3 (tiga) kali pertemuan. Jarak antara pertemuan Pertama dengan pertemuan selanjutnya berjarak 1 (satu) minggu. Ada juga proses mediasi yang hanya berlangsung 1 (satu) kali saja karena masingmasing pihak ngotot untuk tidak mau berdamai. 86 Kalau pada hari pertemuan pertama masing-masing pihak tidak menunjukkan niat untuk berdamai, maka pertemuaan selanjutnya tidak perlu diadakan lagi, dan proses mediasi dianggap gagal pada hari itu juga. Akan tetapi ada juga pertemuan yang berlangsung 2 (dua) sampai 3 (tiga) kali, hal ini dilakukan apabila para pihak menunjukkan adanya niat untuk berdamai, walaupun pada akhirnya lebih sering pertemuan ini tidak memberi hasil apa-apa karena pada akhirnya proses mediasi gagal juga. Waktu proses mediasi di Pengadilan Negeri Medan, biasanya dilakukan pada pagi hari antara jam 9 sampai jam 11 sebelum Hakim mediator tersebut mengadakan jadwal persidangan untuk menyidangkan perkara-perkara yang sedang ditangani.
86
2007.
Wawancara dengan Dolman Sinaga, Hakim Mediator di Pengadilan Negeri Medan, 20 Juli
4. Akhir Mediasi Proses mediasi berakhir apabila dalam waktu yang telah ditentukan mediasi gagal atau apabila mediasi berhasil. Mediasi gagal apabila para pihak yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan sengketa diantara mereka secara musyawarah dalam waktu yang telah ditentukan sesuai dengan Perma No. 2 Tahun 2003. Hal ini berarti persidangan akan dilanjutkan kembali oleh Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut. Mediator membuat laporan kepada Majelis Hakim untuk menyampaikan bahwa kedua belah pihak dalam perkara tersebut gagal menempuh proses mediasi, dengan demikian Majelis Hakim kembali membuka persidangan pada hari yang telah ditentukan pada sidang sebelumnya dengan menjalankan acara-acara sesuai dengan Hukum Acara Perdata. Apabila proses berhasil, maka mediator membuat laporan kepada Majelis Hakim bahwa medisiasi berhasil, dengan demikian sidang tidak perlu dilanjutkan lagi, kecuali para pihak meminta agar kesepakatan yang telah dicapai oleh kedua belah pihak dikukuhkan dalam suatu putusan. Mediasi berhasil berarti telah terjadi perdamaian di antara pihak-pihak yang bersengketa dalam waktu yang telah ditentukan. Perdamaian yang telah disepakati kedua belah pihak dituangkan ke dalam suatu bentuk perjanjian yang memuat ketentuan-ketentuan yang harus dijalankan oleh kedua belh pihak, yang disebut dengan Surat Perjanjian Perdamaian.
5. Perjanjian Perdamaian Dalam membuat perjanjian perdamaian, para pihak bebas menuangkan segala apa yang mereka kehendaki menyangkut permasalahan yang ada dalam gugatan sepanjang tidak menyalahi ketentuan perundang-undangan dan dipastikan perjanjian yang
mereka buat mengacu kepada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yaitu
adanya : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat perjanjian. 3. Suatu hal yang tertentu. 4. Suatu sebab yang halal. 87 Perjanjian
yang berisi ketentuan-ketentuan dan kesepakatan kedua belah
pihak, dibuat berdasarkan azas kebebasan berkontrak, konsensualisme dan azas iktikad baik. Kebebasan berkontrak, berarti, bahwa setiap orang adalah bebas melakukan perjanjian dengan siapa saja mengenai syarat dan bentuk yang ditentukan oleh para pihak, sepanjang tidak ditentukan lain oleh Undang-Undang. Azas ini, menurut hukum di Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut : 1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian. 2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian 3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih klausula dari perjanjian yang akan dibuatnya. 87
Lihat ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata
4. Kebebasan untuk menentukan obyek Perjanjian. 5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu Perjanjian. 6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan Undang-Undang yang bersifat opsional. 88 Azas konsensualisme bahwa perjanjian pada azasnya adalah tidak formil tetapi cukup dengan tercapainya kata sepakat di antara para pihak, perjanjian sejak detik tercapainya kesepakatan. 89 Azas iktikad baik adalah terpenuhinya syarat sahnya suatu perjanjian tidak menghilangkan hak dari salah satu pihak untuk membatalkan perjanjian yang dibuat atas iktikad baik. Perjanjian perdamaian harus dibuat secara tertulis.90 Perjanjian yang ditetapkan berdasarkan suatu formalitas dan bentuk atau tata cara tertentu dinamakan perjanjian formalitas. Dengan demikian, perjanjian perdamaian adalah merupakan perjanjian formal. Dalam perjanjian formal, kesepakatan atau perjanjian lisan sematasemata antara para pihak yang berjanji belum melahirkan kewajiban kepada pihak yang berjanji untuk menyerahkan sesuatu, melakukan atau berbuat sesuatu. Persyaratan perjanjian perdamaian harus dibuat secara tertulis merupakan formalitas yang harus dipenuhi agar perjanjian menjadi sah dan mengikat bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut.
88
Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta : Justina Bankir Indonesia, 1993). h. 47. 89 Ibid 90 Ketentuan Pasal 1851 KUHPerdata.
Secara umum dapat dikatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat dalam bagaimanapun bentuknya selalu diancam dengan kebatalan atas ketiadaan pemenuhan satu atau lebih ketentuasn yang diatur dalam perjanjian tersebut. Keempat syarat sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi agar suatu perjanjian dapat dianggap sah. Selain daripada itu keabsahan dari tiap perjanjian ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya syaratsyarat yang ditentukan oleh undang-undang. Pada perjanjian formal, harus dipenuhinya suatu formalitas tertentu agar perjanjian yang dibuatnya itu sah adanya.
6. Kekuatan Hukum Perjanjian Perdamaian dalam Mediasi Putusan perdamaian melalui mediasi mempunyai arti yang sangat baik bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi orang yang mencari keadilan. Sengketa selesai, penyelesaiannya cepat, biaya ringan dan permusuhan antara kedua belah pihak berkurang dan tidak berkepanjangan. Hal ini jauh lebih baik daripada apabila perkara sampai diputus dengan suatu putusan biasa, misalnya pihak tergugat dikalahkan dan pelaksanaan putusan harus dilaksanakan secara paksa. Berdasarkan ketentuan Pasal 1858 KUHPerdata, segala perdamaian mempunyai diantara para pihak suatu kekuatan seperti suatu putusan Hakim dalam tingkat yang penghabisan. 91
91
Lihat ketentuan Pasal 1858 KUH Perdata
Apabila perdamaian diantara kedua belah pihak terjadi dalam mediasi, maka dibuatlah Akta Perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk mentaati isi dari akta perdamaian tersebut. Akta perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu putusan Hakim yang telah mempunyai hukum tetap (in kracht van gewijsde). 92 Perdamaian bersifat mau sama mau dan merupakan persetujuan antara kedua belah pihak, maka terhadap ketentuan perdamaian itu, yang bersangkutan tidak diperkenankan untuk mengajukan banding atau kasasi. Proses selesai sampai disitu dan seandainya suatu waktu diajukan kembali persoalan yang sama oleh salah satu pihak tersebut atau ahli waris dan mereka yang mendapatkan hak daripadanya, maka gugatan terakhir ini akan dinyatakan, dan karenanya gugatan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima. Berbeda dengan perdamaian yang telah berhasil dilakukan oleh kedua belah pihak akan tetapi perdamaian tersebut tidak dikukuhkan melalui putusan Hakim dalam bentuk Akta Perdamaian. Perdamaian semacam itu hanya berkekuatan sebagai persetujuan kedua belah pihak, yang apabila tidak ditaati oleh salah satu pihak, harus diajukan melalui suatu proses Pengadilan. Persoalannya hanya selesai untuk sementara dan sama sekali tidak dapat dijamin bahwa suatu ketika tidak akan bermasalah kembali.
92
Lihat Pasal 130 ayat 3 HIR/Rbg
B. Mediator Di Pengadilan Negeri Medan Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, salah satu unsur mediasi adalah adanya mediator. Mediator sangat menentukan efektifitas proses penyelesaian sengketa. Ia harus secara layak memenuhi kualifikasi tertentu serta berpengalaman dalam komunikasi dan negosiasi agar mampu mengarahkan para pihak yang bersengketa. Penyebutan kriteria atau persyaratan mediator secara terperinci dalam Perma No. 2 Tahun 2003 tidak diatur. Dalam PP No. 54/2000 ditentukan kriteria untuk menjadi mediator lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar Pengadilan, yaitu : a. Cakap melakukan tindakan hukum b. Berumur paling rendah 30 tahun c. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang lingkungan hidup paling lama 5 (lima) tahun d. Tidak ada keberatan dari masyarakat (setelah diumumkan dalam jangka waktu satu bulan) e. Memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan. 93 Kriteria atau persyaratan di atas menjadi sangat penting sebagai acuan untuk pengangkatan sebagai mediator, mengingat kriteria atau persyaran menjadi mediator tidak diatur dalam Perma No. 2 Tahun 2003.
93
Ketentuan Pasal 12 PP No. 54 Tahun 2000 Tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
Sejak diterapkan mediasi di Pengadilan Negeri Medan yaitu pada awal tahun 2005, Ketua Pengadilan Negeri Medan menunjuk beberapa orang diantara HakimHakim yang dianggap layak sebagai mediator. Walaupun dalam Perma No. 2 Tahun 2003, kriteria penunjukan mediator tidak diatur, namun tidak semua Hakim dianggap layak menjadi mediator. Ketua Pengadilan Negeri mempunyai penilaian-penilaian tertentu untuk menentukan layak atau tidaknya seorang Hakim menjadi mediator. Kriteria-kriteria tersebut adalah : a. Cakap untuk menjadi pemimpin b. Berwawasan baik untuk kepentingan orang lain c. Telah mengikuti seminar-seminar non formal yang menyangkut tentang mediasi walaupun tidak bersertifikat. d. Disiplin. 94 Jumlah mediator ditentukan oleh Ketua Pengadilan Negeri Medan, dan semua mediator adalah juga berprofesi sebagai Hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Medan. Pada tahun 2005, jumlah mediator di Pengadilan mediator adalah sebanyak 5 (lima) orang dan pada tahun 2006 sebanyak 5 (lima) orang, sedangkan pada tahun 2007, sebanyak 4 (empat) orang. Berikut ini adalah tabel jumlah mediator di Pengadilan Negeri Medan Sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 yaitu sebagai berikut :
94
Wawancara dengan Ketua Pengadilan Negeri Medan tanggal 21 Agustus 2007.
Tabel 1. : Jumlah Mediator di Pengadilan Negeri Medan Tahun
Jumlah Hakim
Jumlah Mediator
2005
30 orang
5 orang
2006
30 orang
5 orang
2007
30 orang
4 orang
Sumber : Administrasi Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan
Sekarang ini, mediator yang terdaftar di Pengadilan Negeri Medan ada 4 (empat) orang, semuanya adalah berprofesi sebagai Hakim di Pengadilan Negeri Medan yaitu : 1. Haji Djumali 2. Dolman Sinaga, 3. Djarasmen Purba 4. Pinta Uli Tarigan Keempat orang mediator ini diangkat oleh Ketua Pengadilan Negeri Medan berdasarkan Surat Keputusan (SK). Menurut penjelasan keempat orang Hakim mediator tersebut, hampir semua mediator
di
Pengadilan
Negeri
Medan,
pada
dasarnya
tidak
mengikuti
pelatihan/pendidikan formal khusus untuk mediasi, akan tetapi mereka hanya mengikuti seminar-seminar yang yang berhubungan dengan mediasi dan kepada mereka hanya diberi buku-buku petunjuk tentang pelaksanaan mediasi.
Menurut ketentuan Perma No. 2 tahun 2003, mediator yang berasal dari Pengadilan harus mempunyai sertifikat, 95 akan tetapi di Pengadilan Negeri Medan Belum semua mediator mempunyai sertifikat. Diantara keempat orang mediator tersebut hanya ada 1 (satu) orang mediator yang pernah mengikuti pendidikan/kursus mediator yang diadakan oleh Mahkamah Agung bekerja sama dengan Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT), yaitu suatu organisasi non pemerintah yang bergerak dibidang transformasi dan menajemen konflik. Lama pendidikan/kursus tersebut berlangsung selama 15 (lima belas) hari dan pada akhir masa pelatihan, kepada peserta diberikan sertifikat. Dengan demikian mediator di Pengadilan Negeri Medan yang kesemuanya adalah Hakim, hanya 1 (satu) orang saja yang mempunyai sertifikat. 96 Yang mengangkat mediator ini adalah Ketua Pengadilan Negeri, dan mediator ini berhenti dari jabatan sebagai mediator apabila mediator tersebut pindah tugas ke Pengadilan lain dan apabila mediator tersebut tidak dapat menjalankan fungsinyanya sebagai Hakim
atau apabila mediator tersebut telah berakhir masa jabatannya
(pensiun).
C. Perkara yang Diputus Secara Mediasi Di Pengadilan Negeri Medan Pelaksanaan mediasi di Pengadilan-Pengadilan Negeri di Indonesia, waktunya berbeda-beda, tidak secara serentak dilaksanakan di seluruh Pengadilan Negeri. Sejak
95 96
Lihat ketentuan Pasal 6 ayat (1) Perma No. 2 Tahun 2003 Wawancara dengan H. Djumali, Mediator di Pengadilan Negeri Medan, 18 Juli 2007
dikelurkan Perma No. 2 Tahun 2003, Pengadilan Negeri yang pertama menerapkan mediasi adalah Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Padang dan Pengadilan Negeri Bengkalis. Keempat Pengadilan Negeri tersebut ditunjuk oleh Mahkamah Agung bekerjasama dengan Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT), sebagai proyek percontohan untuk mengetahui bagaimana efektifitas mediasai tersebut agar kemudian dapat mengevaluasi apa saja kekurangan-kekurangannya. 97 Di Pengadilan Negeri Medan mediasi diterapkan sejak tahun 2005, yang pada waktu itu diketuai oleh Soltoni Mohdally Berikut ini adalah tabel perkara yang ditangani di Pengadilan Negeri Medan sejak tahun 2005, yaitu sebagai berikut : Tabel 2. : Perkara yang Diselesaikan di Pengadilan Negeri Medan Tahun
Jumlah Perkara Jumlah Perkara yang yang Terdaftar
Jumlah Perkara yang
Selesai Secara Damai Selesai Secara Mediasi
2005
488 perkara
18 perkara
1 perkara
2006
451 perkara
15 perkara
1 perkara
Sumber : Administrasi Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa perkara yang terdaftar di Pengadilan Negeri Medan pada tahun 2005 sebanyak 488 (empat ratus delapan puluh delapan) perkara . Dari jumlah perkara tersebut, 18 (delapan belas) perkara yang damai hanya 1 (satu) perkara yang selesai secara mediasi. Sementara pada tahun 2006, perkara yang terdaftar berjumlah 451 (empat ratus lima puluh satu) perkara, 15 (lima belas)
97
MaPPI, Mediasi Sebagai Penyelesaian Alternatif Sengketa, Loc., cit.
perkara diantaranya selesai dengan perdamaian dan hanya 1 (satu) perkara yang selesai secara mediasi. Dengan demikian sejak diterapkannya mediasi di Pengadilan Negeri Medan, sampai tahun 2006, hanya ada 2 (dua) perkara yang berhasil diselesaikan secara mediasi. Perkara tersebut adalah Perkara No. 295/Pdt.G/2005/PNMdn, tentang perceraian dan Perkara No. 327/Pdt.G/2006/pn-Mdn tentang tuntutan pengosongan rumah. Apabila dibandingkan dari jumlah perkara yang terdaftar di Pengadilan Negeri Medan dengan jumlah perkara yang berhasil diselesaikan secara mediasi tersebut, sangat jauh dari yang diinginkan. Apa yang diharapkan oleh Mahkamah Agung ketika menerbitkan Perma No. 2 Tahun 2003 yaitu mengurangi penumpukan perkara di Pengadilan dan menyediakan akses yang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh rasa keadilan, tidak terwujud, harapan tersebut sepertinya hanya angan-angan belaka tidak akan pernah menjadi kenyataan. Apabila dikaji lebih jauh tentang pelaksanaan alternatif penyelesainan sengketa di Pengadilan, perdamaian lebih efektif dari mediasi. Dari data yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Medan, pada tahun 2005 ada sekitar 18 perkara yang berhasil melalui proses perdamaian dan pada tahun 2006 sebanyak 15 (lima belas) perkara. Jumlah tersebut jauh lebih banyak dari jumlah perkara yang dapat diselesaikan secara mediasi, yaitu pada tahun 2005 1 (satu) perkara dan tahun 2006 hanya 1 (satu) perkara. Hal ini mungkin disebabkan karena terbatasnya waktu yang
dipergunakan dalam mediasi. 98 Sedangkan dalam perdamaian waktu yang dipergunakan lebih banyak, malahan usaha perdamaian itu dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, juga dapat dilakukan dalam tingkat Banding. 99 Perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan Pengadilan dilakukan, maupun setelah proses persidangan dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar sidang Pengadilan. Melalui perdamaian para pihak yang bersengketa atau berselisih paham dapat melakukan proses penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak dengan situasi yang menguntungkan dengan melepaskan hakhak tertentu berdasarkan asas timbal balik. Persetujuan atau kesepakatan yang telah dicapai tersebut kemudian dituangkan secara tertulis dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kesepakatan tersebut bersifat final dan mengikat bagi para pihak. Perdamaian hanya dapat dilakukan jika pihak yang bersengketa mempunyai kekuasaan untuk melepaskan hak-haknya atas hal-hal yang termaktub dalam kesepakatan tertulis tersebut. Pelepasan akan segala hak dan tuntutan yang dituliskan dalam perjanjian perdamaian harus diartikan sebagai pelepasan dari hak-hak sekedar dan sepanjang hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut ada hubungannya dengan perselisihan yang menjadi sebab perdamaian tersebut. Selanjutnya oleh karena perjanjian perdamaian adalah suatu persetujuan di antara para pihak, maka selayaknya juga jika hasil perdamaian tidak dapat dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak telah dirugikan. 98
Bandingkan dengan Ketentuan Pasal 9 ayat (5) Perma No. 2 Tahun 2003. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, (Bandung, Mandar Maju, 1997), h. 30. 99
PROSES MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI MEDAN PENDAFTARAN PERAKRA KE PENGADILAN NEGERI MEDAN
KETUA PENGADILAN NEGERI MEDAN MENETAPKAN MAJELIS HAKIM
SIDANG PERTAMA (TAHAP PRA MEDIASI)
PENUNJUKAN MEDIATOR OLEH PARA PIHAK BERDASARKAN KESEPAKATAN
HAKIM MEMBACAKAN DAFTAR NAMA-NAMA MEDIATOR YANG TERDAFTAR DI PENGADILAN NEGERI MEDAN
PENETAPAN MEDIATOR OLEH HAKIM
PENYERAHAN DOKUMEN (RESUME PERKARA, SURAT KUASA BAGI PIHAK YANG DIWAKILI ADVOKAT DAN BUKTI-BUKTI)
PROSES PENYELESAIAN SENGKETA SECARA MEDIASI (TAHAP MEDIASI)
PERTEMUAN PERTAMA HAKIM MENAWARKAN OPSIOPSI PERDAMAIAN
MENGADAKAN PERTEMUAN KEDUA (BILA DIANGGAP PERLU OLEH MEDIATOR)
10 – 15 MENIT
MEDIASI BERHASIL
MEDIASI GAGAL
PENYUSUNAN HASIL KESEPAKATAN KE DALAM SUATU PERJANJIAN PERDAMAIAN
MEDIATOR MEMBUAT BERITA ACARA TENTANG MEDIASI GAGAL
PARA PIHAK MEMBERITAHUKAN HASIL KESEPAKATAN TERSEBUT DAN SEKALIGUS DAPAT MEMOHON PENGUKUHAN KESEPAKATAN
PERKARA DILANJUTKAN MELALUI PROSES LITIGASI OLEH MAJELIS HAKIM
KEPUTUSAN HAKIM MENGHUKUM KEDUA BELAH PIHAK UNTUK MENTAATI ISI KESEPAKATAN
PUTUSAN BERKEKUATAN HUKUM TETAP
BAB IV FAKTOR YANG MENJADI HAMBATAN KEBERHASILAN PELAKSANAAN MEDIASI BERDASARKAN PERMA NO. 2 TAHUN 2003 DI PENGADILAN NEGERI MEDAN Salah satu alasan dan pertimbangan Mahkamah Agung untuk mengeluarkan Perma No. 2 Tahun 2003 sebagai implementasi Pasal 130 HIR/154 RBg adalah untuk mengurangi penumpukan perkara di Pengadilan. Namun harapan Mahkamah Agung tersebut nampaknya belum dapat direalisasikan dengan sempurna dalam praktek, sehubungan dengan adanya permasalahan yang berkaitan dengan adanya faktorfaktor atau hal-hal yang menjadi penghambat terjadinya mediasi, sehingga mediasi tersebut tidak efektif. Menurut hasil penelitian penulis yang melibatkan unsur Pengadilan Negeri Medan, maka ditemukan hal-hal yang dikategorikan sebagai faktor yang menghambat keberhasilan mediasi di Pengadilan Negeri Medan. Faktor-faktor tersebut yang menjadi pendorong ketidakefektifan mediasi dapat ditimbulkan oleh hal-hal yang terdapat dalam diri para pihak itu sendiri (Faktor Intern) dan dapat juga ditimbulkan oleh hal-hal yang terdapat di luar dari diri dan keinginan para pihak (Faktor Ekstern).
A. Faktor yang Berasal Dari Dalam Diri Para Pihak Yang Bersengketa (Faktor Intern) Masyarakat bukan pihak yang pasif tetapi menentukan bagaimana hukum itu akan dipakai. Penggunaan hukum oleh masyarakat merupakan wilayah sosiologis
dimana masyarakat memberi pemaknaan sendiri terhadap hukum dan itulah yang mereka jalankan. Dalam bidang hukum perdata, disini peraturan hanya berfungsi sebagai fasilitator, sedang rakyat sendiri yang memulai dan memilih apa yang ingin dilakukan untuk mewujudkan kepentingan mereka. 100 Dalam pergaulan di masyarakat, ditengah orang yang berbeda tabiat dan kepentingan, pasti tidak akan bisa sama sekali tidak berhadapan dengan perselisihan. Perselisihan itu bisa disebabkan oleh hal yang sepele, dan tidak mempunyai akibat hukum apapun, seperti misalnya perbedaan pendapat antara istri/suami tentang penentuan waktu keberangkatan ke luar kota atau bisa pula merupakan persoalan serius dan mempunyai akibat hukum, misalnya tentang batas tanah dengan tetangga atau perselisihan atas perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada pihak yang dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak puas yang bersifat subyektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh perorangan ataupun kelompok. Perselisihan akan muncul ke permukaan antara lain disebabkan karena masing-masing merasa benar, merasa berhak atas apa yang diperselisihkan . Sebab kalau salah satu pihak dari yang berselisih merasa bersalah dan tau tidak berhak atas apa yang diperselisihkan, perselisihan itu berakhir tatkala ketidakbenaran atau ketidakberkenannya disadari.
100
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum : Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, (Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2002), h. 10
Pihak yang merasa dirugikan, akan berusaha untuk mencari perlindungan hak yaitu dengan mengadakan penuntutan hak kepada pihak yang telah menyebabkan kerugian kepada pihak yang menuntut. Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh Pengadilan untuk mencegah eigenrichting. 101 Orang/person dan badan hukum yang mengajukan tuntutan hak memerlukan atau berkepentingan secara hukum. Orang/person dan badan hukum mempunyai kepentingan untuk memperoleh perlindungan hukum, maka oleh karena itu dapat mengajukan tuntutan hak ke Pengadilan. Kiranya sudah selayaknya apabila oleh Undang-undang disyaratkan adanya kepentingan untuk mengajukan tuntutan hak. Proses sengketa terjadi karena tidak adanya titik temu antara pihak-pihak yang bersengketa. Para pihak yang bersengketa menginginkan agar kepentingannya tercapai, hak-haknya dipenuhi, kekuasaannya diperlihatkan dan dipertahankan. Seseorang yang mengajukan tuntutannya ke Pengadilan, berarti orang tersebut berkeinginan agar tututan tersebut diperiksa dan diputus oleh Pengadilan. Mereka menghendaki
adanya
suatu
proses
hukum
untuk
membuktikan
dalil-dalil
sebagaimana yang dimuat dalam tuntutan, sehingga ketika kepada mereka disarankan agar menempuh
101
33.
proses mediasi, mereka tidak menunjukkan keseriusan dalam
Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1998), h.
menjalani proses mediasi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari ketidak seriusan para untuk untuk hadir secara inperson dalam proses mediasi. 102 Proses penyelesaian sengketa secara litigasi adalah merupakan pilihan para pihak yang bersengketa. Dari semula para pihak tidak mempunyai komitmen untuk berdamai, sehingga pelaksanaan mediasi tidak sungguh-sungguh. Pihak-pihak merasa benar terhadap apa yang dipersengketakan. Keadaan seperti ini akan lebih terasa dalam sengketa hak milik. 103 Para pihak yang berperkara selalu merasa memiliki atas obyek sengketa, dan keduanya memiliki bukti, maka hal ini akan menimbulkan kesulitan bagi mediator untuk meyakinkan para pihak untuk berdamai karena nilai pembuktian ini sendiri hanya bisa diproses lewat persidangan, sementara itu para pihak menunjukkan adanya potensi konflik, sehingga akan menjadi suatu hal sulit bagi mediator untuk melanjutkan perdamaian. Dibandingkan dengan sengketa hak milik, sengketa ganti rugi, hutang piutang, wanprestasi, pembuktiannya lebih mudah dinilai, hal ini akan memudahkan mediator untuk meyakinkan para pihak untuk memasuki keadaan yang kondusif, akan tetapi pada akhirnya proses yang dijalankan akan terbentur pada porsi hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para pihak, sehingga mediasi tetap mengalami jalan buntu. 104
102
Wawancara dengan DJ. Purba, mediator di Pengadilan Negeri Medan tanggal 20 Juli 2007. Wawancara dengan para pihak yang pernah menggugat sengketa kepemilikan i.c Bapak Joe Lo Chaw Nomor Perkara 150/Pdt-G/2006/PN-Medan, tanggal 21 Agustus 2007. 104 Wawancara dengan Hj. Djumali, Loc.cit. 103
Tidak adanya niat para pihak untuk melakukan perdamaian di luar sidang, adalah merupakan salah satu faktor penghambat mediasi. Kehadiran para pihak dalam proses mediasi yang ditawarkan oleh Hakim, tampaknya hanya hanya merupakan formalitas belaka, tidak ada keseriusan dalam mengikuti proses mediasi. Hal ini khususnya terlihat pada Penggugat. Penggugat biasanya ngotot untuk tetap mempertahankan gugatannya, sebaliknya Tergugat masih menunjukkan adanya keinginan untuk berdamai walaupun tidak maksimal. 105 Tidak adanya niat para pihak yang bersengketa untuk melakukan perdamaian melalui proses mediasi juga disampaikan oleh beberapa orang advokat di Medan dan para pihak yang pernah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Medan. Pada umumnya sebelum salah satu pihak (penggugat) mengajukan tuntutannya ke Pengadilan, para pihak terlebih dahulu mengadakan pertemuan-pertemuan, baik secara langsung maupun melalui perantara, dalam hal ini bisa sanak saudara, kerabat maupun orang yang dapat dipercaya yang bertujuan untuk mencari solusi agar permasalahan tersebut tidak sampai ke Pengadilan. Apabila salah satu pihak (penggugat) mengajukan gugatannya ke Pengadilan, berarti sudah tidak tercapainya perdamaian atau kata sepakat diantara para pihak. 106 Hal tersebut sesuai dengan pendapat advokat di Medan yang menyatakan pilihan
litigasi
yang
ditempuh
oleh
para
pihak
dalam
menyelesaiakan
permasalahannya adalah merupakan pilihan yang terakhir menurut para pihak 105
Wawancara dengan Pintauli, Loc. cit. Wawancara dengan para pihak yang pernah mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Medan i.c Sofyan Suali Nomor Perkara 184/Pdt-G/2005/PN-Medan, tanggal 22 Agustus 2007. 106
tersebut. Jadi dengan demikian mediasi yang dilakukan oleh Pengadilan tingkat pertama hanyalah buang waktu saja (Wasting of time). 107 Pada dasarnya Lembaga mediasi yang diterapkan di Medan, tidak membawa pengaruh yang signifikan kepada para pihak yang bersengketa, hal itu akan menambah lamanya waktu bagi para pihak untuk menunggu putusan yang berkekuatan hukum tetap. Pendaftaran gugatan yang dilakukan oleh para pihak di Pengadilan, berarti para pihak telah siap untuk menempatkan diri pada posisi sebagai penggugat dan tergugat dengan segala konsekwensi hukum yang akan timbul dari pilihan penyelesaian tersebut. 108 Tidak mudah mengubah pendirian seseorang, terlebih dalam hal untuk mengakomodasi kepentingan orang lain, melakukan perdamaian berarti salah satu atau kedua belah pihak harus rela melepaskan atau mengurangi hak-hak tertentu untuk kepentingan orang lain, memasuki arena perdamaian menuntut masing-masing pihak untuk berjiwa besar, menghilangkan egoistis dan memandang pihak lain dalam posisi yang sama untuk memperoleh kepentingan dari suatu obyek yang dipersengketakan. Ini adalah merupakan suatu hal yang sangat sulit. Kecil sekali kemungkinan bagi mediator untuk menenbus kondisi para pihak yang sudah teguh dengan suatu komitmen untuk memempuh jalur litigasi yang dianggap para pihak sebagai jalur yang tepat untuk menyelesaian sengketa yang dihadapinya. 109
107
Wawancara dengan Januari Siregar, Advokat di Medan, 27 Juli 2007. Wawancara dengan Syafaruddin , Advokat di Medan tanggal 27 Juli 2007 109 Wawancara dengan Ali Leonardi, Advokat di Medan tanggal 27 Juli 2007 108
Para pihak yang bersengketa menganggap proses litigasi adalah merupakan upaya terakhir untuk memperoleh perlindungan hukum. Proses negosiasi yang ditempuh sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan dianggap tidak mampu untuk mewujudkan rasa keadilan yang didambakan oleh para pihak. Sebelum para pihak menempuh jalur litigasi, berbagai upaya telah ditenpuh oleh para pihak untuk menghindarkan proses litigasi, dalam kasus perceraian misalnya, jauh sebelum salah satu pihak berkeinginan untuk mengajukan proses perceraian ke Pengadilan, tentu para pihak telah mengadakan upaya perdamaian, misalnya dengan menyampaikan permasalahan yang mereka hadapi kepada keluarga dekat ataupun sahabat, dengan maksud agar keluarga atau pihak ketiga tersebut memberikan pengarahan-pengarahan yang bertujuan untuk mempersatukan mereka kembali. 110 Demikian juga pendapat advokat di Medan yang menyatakan sebelum kasus/perkara sampai ke Pengadilan, para pihak telah terlebih dahulu mengadakan negosiasi, baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang dapat dipercaya. Dengan demikian apabila salah satu pihak (penggugat) mengajukan gugatan ke Pengadilan, itu artinya negosiasi diantara mereka telah gagal. 111
110
Wawancara dengan para pihak yang mengajukan perkara perceraian di Pengadilan Negeri Medan i.c Ibu Sri Ulina Sembiring Nomor Perkara 08/Pdt-G/2007/PN-Medan, tanggal 22 Agustus 2007. 111 Wawancara dengan Fauziah Lubis, Advokat di Medan tanggal 28 Juli 2007
B. Faktor Yang Berasal Dari Luar Diri para Pihak Yang Bersengketa (Faktor Extern) 1. Ketidakmampuan mediator Mediator memegang peranan krusial dalam menjaga kelancaran mediasi. Seorang mediator tidak hanya bertindak sebagai penengah belaka yang hanya bertindak sebagai penyelenggara dan pemimpin diskusi saja, tetapi juga harus membantu para pihak untuk mendesain penyelesaian sengketa sehingga dapat menghasilkan kesepakatan bersama. Dalam hal ini seorang mediator juga harus mempunyai kemampuan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang nantinya akan dipergunkan sebagai bahan untuk menyusun dan mengusulakan pelbagai pilihan penyelesaian masalah yang disengketakan. Kemudian mediator juga akan membantu para pihak dalam menganalisis sengketa atau pilihan penyelesaiannya, sehingga akhirnya dapat mengemukakan rumusan kesepakatan bersama sebagai solusi penyelesaian masalah yang juga akan ditindaklanjuti bersama pula. 112 Namun di dalam prakteknya mediator belum tentu melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya. Perma No. 2 Tahun 2003, tidak mencantumkan secara tegas syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi mediator, akan tetapi ditegaskan seorang mediator harus bersertifikat sebagai mediator. Di Pengadilan Negeri Medan, tidak semua mediator mengikuti kursus/latihan sebagai mediator, akan tetapi kepada mereka hanya diberikan buku-buku panduan dan artikel-artikel tentang mediator. 113 Mediator belum ptimal dalam melaksanakan tugasnya, sehubungan dengan waktu 112 113
Rachmadi Usman, Op.cit. Wawancara dengan Dolman Sinaga, Op.cit.
yang sempit dan tugas-tugas yang begitu banyak yang harus diselesaikan setiap harinya. 114 Sebagaimana telah diuraikan di atas, mediator membantu para pihak dalam hal mengevaluasi, menilai dan memutuskan untuk pihak yang berperkara. Pekerjaan mediator adalah mendengarkan, menganalisis perbedaan antara para pihak yang bersengketa, dan menemukan dasar-dasar yang umum untuk memastikan solusi yang tepat. Dengan demikian mediator harus memberikan perhatian penuh terhadap penyelesaian sengketa yang dihadapi oleh para pihak. Namun tidak begitu realitanya di Pengadilan Negeri Medan, sebahagian mediator tidak memberi perhatian yang serius dalam menjalankan tugasnya sebagai mediator. 115 Ketidak seriusan Hakim dalam melaksanakan mediasi, dapat timbul karena Hakim tidak terbiasa bertindak sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa dan melahirkan suatu putusan dengan memperhatikan kepentingan kedua belah pihak. Akan tetapi Hakim terbiasa memeiksa suatu perkara dengan mengadili dan memutus suatu perkara untuk kepentingan salah satu pihak berdasarkan bukti-bukti yang ada. 116 Seorang mediator harus menguasai materi tentang apa yang dipersengketakan, sehingga dengan demikian dia bisa menguasai pokok permasalahan dengan baik. Agar bisa menjadi mediator yang handal, dia harus benar-benar mempunyai kemampuan untuk bernegosiasi dengan baik, tidak bersifat memberi penilaian tentang 114
Wawancara dengan DJ. Purba, Loc.cit. Wawancara dengan Pintauli, Op.cit. 116 Wawancara dengan Japansen Sinaga, Advokat di Medan 16 Juli 2007. 115
salah atau benarnya tuntutan salah satu pihak. Dia harus mampu menciptakan adanya kepercayaan kedua belah pihak demi terwujudnya suasana kekerabatan, sehingga kedua belah pihak seolah terpacu untuk melakukan/memberikan sesuatu untuk kepentingan orang (pihak) lain. Keadaan seperti ini tidak ditemukan ketika menjalani proses mediasi di Pengadilan Negeri Medan. Mediasi yang dilakukan oleh para pihak tidak ubahnya seperti menghadapi suatu persidangan dengan segala ketentuanketentuan dan aturan-aturan hukum yang formal. 117 Asumsi masyarakat bahwa Pengadilan adalah merupakan suatu lembaga pemutus, bukan pendamai. Berhadapan dengan mediator dalam proses mediasi tidak ubahnya seperti menghadapi seorang Hakim dengan segala budaya hukum yang melekat pada dirinya, bukan bayangan seorang juru damai yang sudah profesional dalam penyelesaian suatu sengketa. 118 Tampaknya dengan alasan yang senada, kegagalan mediasi tidak hanya terjadi di Pengadilan Negeri Medan, akan tetapi juga terjadi di seluruh Pengadilan di seluruh Indonesia. Penyelesaian sengketa secara mediasi dinilai tidak efektif karena rendahnya kepercayaan para pihak kepada Pengadilan, mengakibatkan penyelesaian di luar jalur litigasi, seperti negosiasi dan mediasi menjadi tidak efektif. 119 Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, mediator memegang peranan krusial dalam menjaga kelancaran mediasi. Mediator di Pengadilan Negeri Medan terdiri dari
117
Wawancara dengan Karle Sitanggang, Advokat di Medan, 16 Juli 2007. Wawancara dengan Azwir Askas, Advokat di Medan tanggal 17 Juli 2007. 119 Humphrey R. Djemat, Penyelesaian Sengketa Alternatif Tak Efektif, Kompas tanggal 27 Mei 2004 118
kalangan Hakim dan tidak semua memiliki sertifikat. Dari hasil wawancara penulis dengan Hakim mediator di Pengadilan Negeri Medan, tidak semua mediator mengukuti pelatihan/kursus akan tetapi sebahagian dari mereka hanya dibekali dengan buku-buku panduan tentang mediasi dan dari keseluruhan mediator di Pengadilan Negeri Medan, hanya satu orang yang memiliki sertifikat. Apabila dikaji lebih jauh, hal ini menunjukkan kurangnya pemahaman mediator terhadap fungsi dan perannya sebagai mediator. Hal yang sangat urgen dilaksanakan oleh seorang mediator dalam proses negosiasi adalah menjalin hubungan dengan para pihak yang bersengketa, agar para pihak tidak menjadi takut untuk mengemukakan pendapatnya. Maksud menjalin hubungan dengan para pihak adalah mengadakan pertemuanpertemuan dengan para pihak secara sendiri-sendiri, 120 agar mediator leluasa untuk mengadakan pendekatan-pendekatan kepada para pihak yang bersengketa tetap merasa harga diri dan gengsinya tetap terjaga karena tidak berhadapan langsung dengan lawan sengketanya . Dengan adanya pendekatan-pendekatan tersebut, pihak yang bersengketa secara phsikologis merasa dekat dengan mediator, sehingga pihak yang bersengketa menaruh keyakinan dan percaya terhadap apa yang diungkapkan oleh mediator. Kepercayaan ini akan mendorong pihak yang bersengketa untuk lebih bersikap terbuka dan mengurangi sikap yang tetap bersikukuh dengan pendapatnya sendiri, hal ini akan memudahkan masuknya pendapat orang lain baik berupa gagasan, anjuran, nasehat-nasehat maupun masukan-masukan lain yang ada hubungannya dengan 120
Lihat Pasal 9 ayat (3) Perma No. 2 Tahun 2003
perselisihan yang sedang terjadi diantara pihak-pihak yang bersengketa, sehingga pihak yang bersengketa tersebut akan lebih mudah menerima saran-saran maupun opsi-opsi dari mediator.
2. Peran Advokat yang Tidak Mendukung Terjadinya Mediasi. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar Pengadilan. 121 Salah satu kewajiban pihak advokat sebagai pemberi bantuan hukum di lingkungan peradilan adalah pemenuhan kualifikasi dasar agar dapat berinteraksi secara fungsional dengan pelaku peradilan lainnya dan menjamin terselenggaranya proses peradilan yang mengedepankan prinsip sederhana, murah dan cepat. 122 Advokat mempunyai tanggungjawab profesi untuk memastikan bahwa kliennya mendapatkan keadilan dalam suatu perkara. Pencapaian keadilan ini tidak harus melalui proses peradilan semata. Pihak-pihak yang berperkara dapat bersepakat untuk mengadakan pembicaraan sebelum atau pada saat proses dilangsungkan dan dari pembicaraan ini dapat dilahirkan kesepakatan yang dipandang adil bagi semua pihak. Apabila proses ini yang berlangsung, maka advokat akan mengambil peranan yang penting, oleh sebab itulah hak advokat untuk menjalankan fungsi arbitrase dan mediasi perlu diakomodasikan. 123
121
Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003, Tentang Advokat Daniel S. Lev, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Jakarta, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, 2000, h. 95. 123 Ibid, h. 95. 122
Advokat yang tidak bisa menjalakan kewajibannya sebagaimana mestinya dan menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan kliennya akan memberi dampak negatif terhadap kelancaran jalannya proses mediasi dan terhadap keberhasilan mediasi itu sendiri. 124 Para pihak yang diwaliki oleh advokat, biasanya
tidak ikut serta dalam
mengikuti proses mediasi yang diselenggarakan, segala hal-hal yang berhubungan dengan penyelesain sengketa baik pada saat pendaftaran gugatan maupun dalam hal penyelesaian secara mediasi, sepenuhnya diserahkan kepada advokat, sehingga para pihak yang bersengketa secara inperson sulit untuk bertemu. Tidak adanya pertemuan secara langsung antara mediator dengan para pihak menghilangkan kesempatan bagi para pihak untuk saling terbuka dalam penyampaian keinginan-keinginan yang selama ini terpendam akibat adanya rasa segan dalam diri masing-masing pihak. 125 Dalam upaya penyelesaian sengketa melalui proses mediasi perlu partisipasi yang tinggi antara advokat, pihak-pihak yang bersengketa dan mediator. Walaupun para pihak diwakili oleh advokat, numun semestinya juga melibatkan para pihak secara inperson, agar dalam proses mediasi dapat dikembangkan gasasan-gagasan yang bermanfat yang timbul dari para pihak menuju suatu keputusan yang berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak yang bersengketa. 126 Secara profesional, advokat melihat kepentingan klien dari segala aspek terutama karena alasan biaya dan waktu. Adanya komitmen untuk menjunjung tinggi 124
Wawancara dengan Wanrinson Sinaga, Advokat di Medan, 23 Juli 2007. Wawancara dengan M. Djoko, Hakim Pengadilan Negeri Medan, 23 Juli 2007. 126 Wawancara dengan Evan, S. Surbakti, Advokat di Medan, 24 Juli 2007. 125
kepentingan klien akan menempatkan advokat melakukan mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan pertimbangan dan semata-mata untuk kepentingan klien. 127 Akan tetapi peran advokat dalam proses mediasi bisa juga menjadi faktor penghambat keberhasilan mediasi artinya bahwa mediasi tersebut tidak mencapai perdamaian dikarenakan keinginan advokat dengan alasan adanya kepentingankepentingan tertentu yang semata-mata demi mencari atau memperoleh keuntungan secara pribadi. 128 Proses mediasi yang dilaksanakan merupakan suatu tindakan yang overlapping, karena sebelum gugatan diajukan ke Pengadilan, pihak yang akan mengajukan gugatan (penggugat) terlebih dahulu mengadakan somasi (peringatan kepada pihak lawan, dengan maksud kemungkinan adanya negosiasi diantara para pihak guna menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan dengan menempuh upaya penyelesaian secara musyawarah (kekeluargaan) untuk menghindari pengeluaran biaya yang besar dan waktu yang panjang, akan tetapi negosiasi (musyawarah) yang dilakukan tidak berhasil, sehingga penggugat mengajukan tuntutan ke Pengadilan, dengan demikian mediasi yang dilaksanakan di Pengadilan hanyalah merupakan formalitas untuk memenuhi ketentuan peraturan, sehingga para pihak secara inperson maupun diwakili kuasanya tidak mengikuti proses mediasi dengan serius. 129 Advokat tidak serius dalam mengikuti proses mediasi di Pengadilan, karena dari kenyataan yang ada, mediasi tidak perbah berhasil dengan demikian mediasi 127
Wawancara dengan Al Fahmi Chairi Manurung, Advokat di Medan, 24 Juli 2007. Wawancara dengan Budi Abdullah, Advokat di Medan, 24 Juli 2007. 129 Wawancara dengan Onan Purba, Advokat di Medan, 26 juli 2007 128
tersebut hanyalah merupakan formalitas belaka. Mengikuti proses mediasi tidak lain sekedar menunjukkan adanya iktikad baik dari para pihak secara inperson maupun yang diwakili oleh advokat (kuasa hukum). 130 Secara teoritis, peran advokat sangat penting dalam pelaksaan mediasi. Salah satu kelemahan institusi mediasi adalah jika Lawyer tidak dilibatkan dalam proses mediasi, kemungkinan adanya fakta-fakta yang penting yang tidak disampaikan kepada mediator, sehingga putusannya menjadi bias. 131 Dengan demikian advokat seharusnya memegang peranan penting dalam peroses mediasi, bukan sebaliknya menjadi faktor penghambat terhadap keberhasilan mediasi. Namun pada kenyatannya di Pengadilan Negeri Medan, peran advokat tidak mendukung agar mediasi yang dilaksanakan berhasil, akan tetapi justru sebaliknya, advokat memberikan sumbangsih negatif terhadap keberhasilan mediasi.
130
Wawancara dengan Maya Manurung, Advokat di Medan, 25 Juli 2007 Munir Fuadi, Arbitrase Nasional : Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000, h. 51. 131
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang diadakan oleh penulis di Pengadilan Negeri Medan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Adapun pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Negeri Medan yakni seperti halnya pengajuan gugatan biasa para pihak/kuasanya mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Medan yang dicatat nomor registernya oleh Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan, kemudian diteruskan ke Ketua Pengadilan Negeri Medan, Ketua Pengadilan Negeri Medan menentukan hari sidang, menentukan Panitera Pengganti, dan menentukan Majelis Hakim. Penentuan hari sidang yang ditetapkan Ketua Pengadilan, dipanggil oleh Juru Sita Pengadilan, Majelis Hakim yang telah dihunjuk mengadakan tahap pra mediasi yakni Hakim Ketua Majelis menyarankan kepada para pihak untuk memilih mediator yang akan membantu para pihak dalam proses mediasi, Ketua Majelis membuat penetapan penunjukan mediator seraya menunda sidang, kemudian diadakan proses mediasi di Pengadilan Negeri Medan dengan waktu sekitar 10 – 45 menit untuk satu kali pertemuan dan pertemuan dilakukan 1 – 3 kali pertemuan yang dilakukan pada pagi hari, karena jika siang hari mediator sudah sangat sibuk dengan jabatannya sebagai Hakim Pengadilan Negeri Medan. Maka karena sangat terbatasnya waktu
untuk mengorganisasikan perundingan dapat disimpulkan proses mediasi di Pengadilan Negeri Medan gagal. Hal tersebut terbukti dari jumlah perkara yang masuk di Pengadilan Negeri Medan pada tahun 2005 perkara yang masuk sejumlah 488 perkara, yang dapat diselesaikan melalui mediasi hanya 1 perkara berarti 0,2%. Kemudian pada tahun 2005 jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Negeri Medan sebanyak 451 perkara, yang dapat diselesaikan melalui mediasi hanya 1 perkara berarti 0,2%. 2. Faktor-faktor yang menjadi hambatan keberhasilan pelaksanaan mediasi berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan terdiri dari : Faktor Intern (Faktor yang berasal dari dalam diri para pihak) yaitu tidak adanya niat para pihak yang bersengketa untuk melakukan perdamaian. Kemudian faktor extern (faktor yang berasal dari luar diri para pihak) dapat disebabkan oleh ketidak mampuan mediator dan peran advokat yang tidak mendukung keberhasilan mediasi.
B. Saran Berdasakan kesimpulan di atas, maka disarankan hal-hal sebagai berikut : 1. Diharapkan agar Mahkamah Agung bekerjasama dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), unsur akademisi untuk membentuk suatu lembaga mediasi diluar Pengadilan yang anggota-anggotanya terdiri dari mediator yang berpendidikan di bidang mediasi, bersertifikat dan menguasai teknik-teknik keterampilan mediator dan bersedia menjadi mediator di Pengadilan Negeri.
2. Kepada Mahkamah Agung disarankan agar membuat suatu pelatihan atau kursus mediasi kepada setiap Hakim yang bertugas di Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri), hal tersebut berguna agar seluruh Hakim Pengadilan Negeri mengetahui dan mendukung proses mediasi dan apabila ada perpindahan Hakim antar daerah tidak menyebabkan suatu Pengadilan mempunyai mediator yang tidak bersertifikat ataupun tidak mempunyai kemampuan menjadi seorang mediator.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Adolf, Huala, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2000. Fuadi, Munir, Arbitrase Nasional : Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000 Goodpaster, Gary, Negosiasi dan Mediasi : Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi, Jakarta : Elips Project, 1993. Hadikusuma, H. Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 2003. Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2005. , Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Jakarta : Sinar Grafika, 1997. Kadir, Abdul Muhammad, Etika Profesi, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001. , Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996. Lev, Daniel S. Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Jakarta : Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, 2000 Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994. Margono, Suyud, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000. Magadianti Adam, Siti dan Degrantini, Clarita, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian (Indonesian Institute for Conflict Transformation), Jakarta :
MaPPI FHUI, dapat dilihat di : www.pemantauperadilan.com. Diakses terakhir tanggal 7 Desember 2005. Manan, Bagir, Sistem Peradilan Berwibawa, Yogyakarta : FH-UII Press, 2004. Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1988. Moleong, J. Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000. Mulyadi, Kartini dan Gunawan Wijaya, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004. M. Toor, Agnes, dkk, Arbitrase di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1995. Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung : Mandar Maju, 2000. , Azas-azas Hukum Perdata, Bandung : Penerbitan Sumur Bandung, 1983. Rahardjo, Soetjipto, Hukum dan Masyarakat, Bandung : Angkasa, 1980. , Sosiologi Hukum : Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2002. Remi, Sutan Syahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit BI, Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993. Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1 April 2006. Soemartono, Gatot, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006. Subekti, R., Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 1983. , Arbitrase Perdagangan, Jakarta : BPHN-Bina Cipta, 1981.
, Aneka Perjanjian, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995. , Hukum Perjanjian, Jakarta : Intermasa, 2004. , Hukum Perjanjian, Jakarta : Intermasa, 1984. Sugono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Jakarta : Prenada Media, 2004. Susilo, R., RBg/HIR Dengan Penjelasan, Bogor : Politea, 1985. Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung : Mandar Maju, 1997. Syahrani, Ridwan, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung : Alumni, 2004. Syahrin, Alfi, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, Medan : Pustaka Bangsa Pers, 2003. Tim Penyusun, Kamus Hukum Ekonomi ELIPS, Jakarta : Elips Project. Usman, Rachmadi, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003. Qirom
Syamsudin Meliala, A., Pokok-Pokok Hukum Perkembangannya, Yogyakarta : Liberty, 1985.
Perjanjian
Beserta
Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta : PT. Toko Gunung Agung, 1995. Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001. Widjaja, Gunawan, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001. Wignjosoebroto, Soetandio, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta : Huma, 2002.
B. Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2000 Tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma) No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan HIR / RBg. C. Media Humphrey R. Djemat, Kompas tanggal 27 Mei 2004 Negoisasi Bukan Soal Kalah Menang, Harian Kompas, (28 Oktober 2004). Negoisasi, Harian Sinar Harapan, (4 April 2002). ADR, Jalan Mudah, Murah dalam Penyelesaian Sengketa, Harian Sinar Harapan, (10 September 2003). D. Situs Internet Budiman, Budhy, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktek Peradilan Perdata dan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, (Jurnal Ilmiah), dapat dilihat di situs : www.pemantauperadilan.com, diakses terakhir tanggal 07 Desember 2005. , Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik Peradilan Perdata dan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.uika.bogor.ac.id/jur_05.htm. diakses terakhir tanggal 17 Juli 2007
Career
Profiles, versi elektronik dapat dilihat http://www.princentonreview.com/cte/profiles/dayinlife.asp?
di
:
Definition of Mediation, versi elektronik dapat dilihat di http://www.mnne.org/pg_11.efm. diakses terakhir tanggal 10 Juli 2007.
:
Dewan Pers Akan Diusulkan Jadi Mediator, Jurnal Hukum, versi elektronik dapat dilihat di : http://hukumonline.com/detail.asp?id=17070&CI=Berita, diakses Terakhir pada tanggal 12 Juli 2007. Magadianti Adam, Siti dan Clarita Degrantini, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian (Indonesian Institute for Conflict Transformation), (Jakarta : MaPPI FHUI, www.pemantauperadilan.com). Diakses terakhir tanggal 7 Desember 2005 MaPPI, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, versi elektronik dapat dilihat di : www.pemantauperadilan.com, diakses terakhir tanggal 15 Pebruari 2007. Mediation ADR, versi elektronik dapat dilihat di http://mediationadr.net/conflict/informationpublik-Meds/History.html.
:
Mediation-Definition, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.hg.org/mediationdefinition.html. Mediator & Advocates Ethics, versi elektronik dapat dilihat http://findarticles.com/p/articles/mi_2a3923/is_2000/ai_n8882684.
di
:
Mediation, versi elektronik dapat dilihat di : http://en.wikipedia.org/wiki/Mediaton, diakses terakhir tanggal 23 Juni 2007 Nasution, Bismar, Hukum Kegiatan Ekonomi, versi elektronik dapat dilihat di : http://bismarnasty.wordpress.com/personal-data/ Negoisasi, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.id.wikipedia.org/wiki/Negoisasi. diakses terakhir tanggal 17 Juli 2007. Pusat
Mediasi Nasional, Mediasi, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.pmn.or.id/mediation/what_is_mediation_ind.html, diakses terakhir tanggal 23 Juni 2007.