Yayasan Spiritia
No. 44, Juli 2006
Sahabat Senandika Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha
Laporan Kegiatan Inter-country Consultation Meeting ASEAN Task Force on HIV/AIDS (ATFOA) Singapore, 25-26 Juli 2006 Oleh: Dhayan Dirgantara. Pada tanggal 25-26 Juli 2006 barusan saya berkesempatan mengikuti pertemuan Inter-Country Consultation Negara-negara ASEAN yang di adakan di Singapura, yang di ikuti oleh sepuluh negara anggota ASEAN dengan beberapa peninjau; antara lain WHO, UNAIDS, USAID/FHI, ILO, UNDP, UNFPA serta dari wakil jaringan Seven Sister. Pertemuan ini di lakukan sebagai lanjutan dari rangkaian pertemuan sebelumnya yang di adakan di Jakarta dalam rangka mendiskusikan sebuah draft dokumen yang akan di bahas dalam sebuah pertemuan khusus negara-negara ASEAN, yaitu ASEAN Commitments for HIV and AIDS; Declaration of the 12th ASEAN Summit Special Session on HIV and AIDS, yang akan berlangsung di Cebu, Philippina pada bulan Desember mendatang. Pertemuan ini semacam pertemuan UNGASS di PBB (sesi khusus di PBB yang membahas masalah HIV dan AIDS). Hari pertama di awali dengan sambutan dari sekretarian ASEAN sebagai penyelenggara dan di buka oleh perwakilan dari Departemen Kesehatan Singapura sebagai tuan rumah yang kemudian di ikuti oleh laporan masing-masing negara anggota ASEAN tentang pertemuan sebelumnya di negara masing-masing. Setelah itu peserta pertemuan di bagi dalam empat kelompok, dengan masingmasing kelompok membahas proyek proposal yang di ajukan masing masing Negara anggota, yang nantinya akan di rangkum menjadi sebuah strategi framework untuk program ASEAN dalam HIV dan AIDS untuk tahun 2006 – 2010.
Hari kedua kami membahas draft deklarasi yang nantinya akan di sepakati oleh para pemimpin Negara-negara ASEAN pada bulan Desember 2006 di Cebu, Filipina. Indonesia, dalam hal ini mengajukan empat usulan proposal. Delegasi Indonesia yang menghadiri pertemuan ini sebanyak lima orang, satu orang dari Departemen Kesehatan yaitu Dr. Dicky, satu orang dari Departemen Luar Negeri Ibu Sri Hartanti, serta tiga orang dari perwakilan komunitas yakni, Putu Utami dari Bali Plus, Mas Dede Oetomo dari Gaya Nusantara Surabaya, serta saya sendiri mewakili Spiritia. Hasil pertemuan yang saya ikuti ini adalah di sepakatinya draft strategi framework dan draft deklarasi ASEAN terkait HIV dan AIDS yang kemudian akan di bahas dan di matangkan dalam pertemuan ATFOA sehari setelah pertemuan InterConsultation meeting ini dan kemudian akan di bawa ke pertemuan pada bulan Desember nanti.
Daftar Isi Laporan Kegiatan
1
Inter-country Consultation Meeting ASEAN Task Force on HIV/AIDS (ATFOA)
1
Pengetahuan adalah kekuatan
2
Merokok dapat mengurangi manfaat ART 2 Interaksi Obat-Obat antara ART, Obat yang Dipakai dalam Pengobatan untuk Penggunaan Zat, & Narkoba 4 Terapi Tiga NRTI Dapat Menyelamatkan Jiwa di Negara Berkembang 4
Pojok Info Lembaran Informasi Baru
4 4
Tips untuk Odha
5
Tips untuk Odha
5
Tanya Jawab
5
Tanya-Jawab
5
Positive Fund
6
Laporan Keuangan Positive Fund
6
Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.
Pengetahuan adalah kekuatan Merokok dapat mengurangi manfaat ART Oleh Edwin J. Bernard, 26 June 2006 Perokok lebih mungkin didiagnosis dengan penyakit terkait AIDS atau meninggal, dengan demikian meniadakan sebagian manfaat terapi antiretroviral (ART). Hal ini dikemukakan menurut penelitian pengamatan prospektif yang besar terhadap perempuan HIV-positif dari AS. Penelitian ini, yang diterbitkan di American Journal of Public Health terbitan Juni 2006, adalah yang pertama untuk menemukan hubungan antara merokok dan kelanjutan penyakit pada perempuan. Sampai baru-baru ini, belum ada penelitian terhadap dampak merokok dalam era ART yang manjur. Data sebelumnya dari Galia dan rekan dari Multicenter AIDS Cohort Study terhadap laki-laki gay tidak menemukan hubungan antara merokok dan risiko melanjut ke AIDS atau meinggal, tetapi karena penelitian ini dilakukan sebelum ART tersedia, adalah mungkin bahwa dampak dari merokok ditutupi oleh kedahsyatan HIV. Tahun lalu Crothers dan rekan menerbitkan data dari kelompok pengamatan prospektif yang besar terhadap 867 veteran laki-laki yang menemukan bahwa perokok yang memakai ART adalah dua kali lipat lebih mungkin meninggal dibandingkan nonperokok, dan lebih mungkin menderita peningkatan pada gejala pernapasan, penyakit halangan paru kronis (chronic obstructive pulmonary disease/ COPD), dan pneumonia (radang paru) bakteri. Penelitian baru menemukan bahwa perempuan HIV-positif yang merokok adalah dua kali lipat lebih mungkin terinfeksi pneumonia bakteri, dan tiga kali lipat lebih mungkin terinfeksi human papilloma virus (HPV), yang dapat mengarah ke kanker lehar rahim, sebuah penyakit yang mendefinisikan AIDS. Agar menyelidiki apakah merokok berdampak pada kelanjutan penyakit dan kematian pada perempuan yang memakai ART, para peneliti dari
2
Women’s Interagency HIV Study (WIHS) menganalisis data dari penelitian kelompok longitudinal terhadap infeksi HIV di antara perempuan yang dilibatkan di enam tempat perkotaan di AS. Dari 2.059 perempuan dalam kelompok, 56 persen adalah perokok aktif dan 16 persen mantan perokok. Saat pendaftaran, perokok WIHS yang khas merokok satu pak rokok per hari selama ratarata 12,4 tahun, kurang lebih sepertiga dari usia hidupnya. Sejumlah 924 perempuan memenuhi persyaratan untuk analisis tersebut. Persyaratan adalah perempuan. HIV-positif, memakai ART, dan mempunyai data jumlah CD4, viral load dan merokok. Selama rata-rata 5,2 tahun pemantauan, kurang lebih 524 perempuan (57 persen) dilaporkan sebagai perokok aktif. Para peneliti menemukan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara perokok dan non-perokok pada awal. Perokok lebih mungkin adalah kaum Amerika Afrika; lebih mungkin pernah memakai narkoba, dengan riwayat hidup penggunaan narkoba suntikan; lebih mungkin terinfeksi virus hepatitis C; dan lebih mungkin didiagnsosis AIDS sebelumnya (semuanya p=0,001). Tambahan, mereka menemukan bahwa jumlah CD4 rata-rata lebih tinggi secara bermakna di antara perokok dibandingkan non-perokok (539 vs. 517; p=-,005), walau perbedaan ini tidak terlihat pada viral load. Namun, lambat laun, jumlah CD4 perokok menjadi lebih rendah dibandingkan nonperokok (p=0,01 untuk kecenderungan). Para peneliti coba menjelaskan hal ini dengan menyatakan bahwa data mungkin “mencerminkan berat sebelah pada seleksi karena pasien yang lebih sehat lebih mungkin pernah merokok.” Namun diketahui bahwa perokok HIV-negatif mempunyai jumlah CD4 yang lebih tinggi, yang memberi kesan bahwa mungkin berat sebelah pada seleksi bukan alasan. Jumlah kematian yang terjadi selama masa pengamatan adalah 164, dan para peneliti menemukan bahwa perokok mempunyai risiko kematian 53 persen lebih tinggi dibandingkan nonperokok (p=0,018), setelah disesuaikan untuk usia, ras, jumlah CD4, viral load, penggunaan narkoba, AIDS sebelumnya, penggunaan ART sebelumnya, infeksi hepatitis C pada awal, dan faktor risiko
Sahabat Senandika No. 44
infeksi HIV. Para perokok juga mempunyai risiko mengembangkan penyakit mendefinisikan AIDS yang 36 persen lebih tinggi (p=0,01). Namun risiko kematian terkait AIDS serupa antara perokok dan non-perokok. Karena para peneliti menemukan bahwa kepatuhan terhadap ART lebih rendah secara bermakna di antara perokok dibandingkan nonperokok, agar mengurangi dampak kepatuhan yang berpotensi meragukan, mereka membatasi analisis hanya pada perempuan yang melaporkan kepatuhannya lebih dari 95 persen selama masa pengamatan. Namun, perbedaan antara perokok and non-perokok dalam risiko kematian dan penyakit mendefinisikan AIDS tetap bermakna secara statistik. Para peneliti menyatakan bahwa datanya “secara jelas menunjukkan bahwa perempuan HIV-positif yang merokok mempunyai risiko mengembangkan penyakit mendefinisikan AIDS atau meninggal yang lebih tinggi.” Peneliti tersebut juga menambahkan bahwa ART “tidak sama bermanfaat untuk perokok dibandingkan non-perokok.” Sementara hal ini mungkin sebagian berhubungan dengan kepatuhan, mereka menganggap “bahkan setelah disesuaikan untuk kepatuhan dan penggunaan narkoba yang dilaporkan, [ART] tetap kurang efektif pada perokok sebagaimana diukur dengan kejadian AIDS dan kematian. Data ini menunjukkan dampak negatif dari merokok walaupun [ART] mungkin efektif untuk mengurangi kematian terkait AIDS pada perokok.” Namun para peneliti tidak yakin mengapa tidak ada hubungan antara merokok dan kematian terkait AIDS. Mungkin hal ini karena “ketidakmampuan untuk menentukan alasan kematian yang benar pada rangkaian kelompok ini atau karena alasan kematian yang bersaing menghasilkan kematian lebih cepat pada perokok (yaitu perokok meninggal karena alasan akut seperti overdosis narkoba, pembunuhan/bunuh diri/kecelakaan sebelum meninggal dari alasan terkait AIDS)”. Mungkin juga bahwa walau merokok berdampak pada penyakit mendefiniskan AIDS – mis. kanker leher rahim dan pneumonia bakteri kambuhan – mereka tidak menghasilkan kematian selama masa pengamatan. Walaupun para peneliti menyesuaikan untuk faktor penting yang membaurkan misalnya kepatuhan dan penggunaan narkoba, mereka
Juli 2006
mengakui bahwa “mungkin masih ada beberapa faktor pembauran tersisa yang belum diketahui...Kami tidak dapat mengeluarkan berita sebelah potensial di antara pasien dengan kesehatan buruk yang dapat lebih atau kurang mungkin merokok. Contohnya, seorang pasien dengan kesehatan buruk yang merasa tidak ada kerugian tambahan bila dia memilih merokok, walau ada risiko kesehatan.” Meskipun demikian, para peneliti menyimpulkan dengan mengatakan bahwa “datanya memberi kesan bahwa pengobatan perempuan HIV-positif dengan ART mungkin kurang efektif pada mereka yang merokok, dan menunjukkan kebutuhan akan mendorong penghentian merokok.” Referensi: Feldman JG et al. Association of cigarette smoking with HIV prognosis among women in the HAART era. Am J Public Health 96(6): 1060-1065, 2006. Crothers K et al. The impact of cigarette smoking on mortality, quality of life, and comorbid illness among HIV-positive veterans. Journal of General Internal Medicine 20 (12), 1142-1145, 2005. Galai N et al. Effect of smoking on the clinical progression of HIV1 infection. J Acquir Immune Defic Syndr Hum Retrovirol 14: 451458, 1997. URL: http://www.aidsmap.com/en/news/CA194F69-82344EEA-81AF-E2FE2C2A0412.asp
3
Interaksi Obat-Obat antara ART, Obat yang Dipakai dalam Pengobatan untuk Penggunaan Zat, & Narkoba Kantor Direktur Medis, New York State Department of Health AIDS Institute, mengumukan bahwa “Interaksi Obat-Obat antara ART, Obat yang Dipakai dalam Pengobatan untuk Penggunaan Zat, & Narkoba (Drug-Drug Interactions between HAART, Medications Used in Substance Use Treatment, and Recreational Drugs)” sudah tersedia di internet. Bab ini dikembangkan oleh Committee for the Care of the HIV-Infected Substance User. Bab ini termasuk yang berikut: • penjelasan tentang mekanisme metabolisme obat dan interaksi yang berpotensial • interaksi obat antara ART (dan obat terkait HIV) dan metadon atau buprenofin (lihat Lampiran B) • interaksi antara ART dan narkoba (lihat Lampiran C) • interaksi obat antara ART dan psikotropik (lihat Lampiran D) Pedoman ini dapat didownload dari
URL: http://www.natap.org/2005/HIV/092705_14.htm
Terapi Tiga NRTI Dapat Menyelamatkan Jiwa di Negara Berkembang Sejak sebuah penelitian dua tahun lalu menemukan bahwa Trizivir (sebuah pil tiga NRTI, yaitu AZT/3TC/abacavir), bila dipakai tanpa antiretroviral (ARV) lain tidak bekerja sama baik seperti rejimen Trizivir + efavirenz, gagasan terapi tiga NRTI dipertanyakan. Pada konferensi International AIDS Society (IAS) 2005 baru ini, masalah ini menemukan hidup baru dengan debat yang hangat. Salah satu pembicara pada debat, Prof. Brian Gazzard, menyimpulkannya: terapi tiga NRTI mungkin tidak pilihan yang cocok di negara dengan
4
banyak pilihan lain tersedia, tetapi di kebanyakan tempat di negara berkembang, katanya, masalah jauh berbeda. “Semua peserta debat yang yakin bahwa terapi tiga NRTI harus dibuang mempunyai kewajiban moral waktu pulang untuk meyakinkan bahwa tiga juta orang diberikan terapi pada 2005, karena pilihan yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan terapi tiga NRTI adalah tidak mendapatkan terapi sama sekali,” Gazzard memaparkan. Untuk laporan lebih lengkap, lihat http:// www.aidsmap.com/en/news/35E77428-30724294-A02B-8290CEC5430A.asp Sumber: TheBody
Pojok Info Lembaran Informasi Baru Pada Mei s.d. Juli 2006, Yayasan Spiritia telah menerbitkan dua lagi lembaran informasi untuk Odha, sbb: • Terapi Penunjang & Alternatif Lembaran Informasi 724—DHEA • Referensi Lembaran Informasi 930—Pemulasaraan Jenazah Dengan ini, sudah diterbitkan 121 lembaran informasi dalam seri ini. Juga ada sembilan lembaran informasi yang direvisi: • Informasi Dasar Lembaran Informasi 001—Daftar Lembaran Informasi • Infeksi Oportunistik Lembaran Informasi 514—Herpes Zoster Untuk memperoleh lembaran baru/revisi ini atau seri Lembaran Informasi komplet, silakan hubungi Yayasan Spiritia dengan alamat di halaman belakang. Semua lembaran informasi ini juga dapat dibaca dan didownload dari situs web Spiritia:
Sahabat Senandika No. 44
Tips untuk Odha
Tanya Jawab
Tips untuk Odha
Tanya-Jawab
Mendirikan Kelompok Dukungan Sebaya Dengan bertambahnya jumlah Odha yang membutuhkan dukungan, dengan sendirinya kebutuhan untuk pembentukan kelompok dukungan sebaya bertambah. Berikut ini merupakan tips dan saran sederhana yang bisa kita pertimbangkan sebelum memulai kelompok dukungan sebaya: Apabila kita mendirikan kelompok dukungan, mulailah secara sederhana saja. Nanti kelompok dapat berkembang pada waktunya. Mulai dengan kelompok kecil, karena lebih mudah dikelola. Sebaiknya kelompok terdiri antara 10 sampai 14 orang, karena jumlah itu memberi kesempatan pada semuanya untuk bekerja berpasangan, bertiga atau berempat sebelum berbagi pendapatnya dengan kelompok besar. Mulailah dengan kelompok orang yang mempunyai cirri yang sama, misalnya jenis kelamin, usia atau latar belakang pendidikannya. Ketika orang sudah lebih nyaman dalam kelompok ini, akan menjadi lebih mudah untuk mengembangkan kelompok yang lebih beraneka ragam. Cobalah menciptakan suasana yang terbuka dan bersahabat di dalam kelompok. Pertimbangkan juga cara pandang masyarakat terhadap kelompok. Misalnya, apakah penting kelompok kita mendapat restu dari para sesepuh, atau tokoh masyarakat tertentu? Pertimbangkan apakah ada orang yang barangkali merasa terancam oleh pekerjaan kelompok kita. Apakah kita dapat memperoleh dukungan mereka atau menghadapi tantangan perlawanan mereka apabila perlu?
Juli 2006
T: Beberapa teman dari KDS kami bertanya tentang metode terapi urin untuk HIV/AIDS. “ Jika penderita mau melakukan terapi dengan minum urin sendiri, sistem pertahanan selulernya akan distimulir untuk memproduksi sel limfosit T. Dalam hal ini yang diproduksi adalah sel CD4. Karena jumlahnya ditingkatkan terus, bukan saja diatas 500, akan tetapi bisa mencapai 1000 sel atau lebih, pasien bukan hanya tetap sehat, virus HIV nya pun dibunuh sekaligus” “ Di pertemuan Konfrensi Dunia Kedua Tentang Terapi Urin di Jerman pada bulan mei pada tahun 1999 yang lalu, disajikan tiga laporan mengenai keberhasilan penyembuhan infeksi HIV/ AIDS dengan terapi auto urin (Perez Falero, Perez de Gomer, dan Seme). Ketiga laporan dimuat prosiding Second World on Urine Therapy, Gerseld, Germany, Mei 1999. “ Pernyataan ini disadur dari buku Terapi Auto Urin Penyembuhan Dengan Air Seni. Penulis Iwan T. Budiarso, DVM, M.Sc, Ph.D, APU) Pertanyaannya adalah: Apakah benar terapi meminum urin sendiri dapat membunuh atau minimal menaikkan produksi CD4 dalam tubuh? J: Walaupun ada beberapa ahli pengobatan alternatif (khususnya yang mengusulkan terapi urin) yang mendukung minum air seni sebagai cara mengobati dan/atau menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk HIV, belum pernah ada penelitian atau uji coba klinis yang ‘resmi’ terhadap penggunaannya. Jadi, seperti terapi alternatif atau penunjang lain, kita harus mempertimbangkan fakta yang ada, dan coba menyemimbangkan manfaat yang mungkin dengan kerugian yang juga mungkin. Yang jelas, air seni mengandung ‘sisa-sisa’ dari bahan ‘asing’ yang masuk ke tubuh kita, misalnya melalui mulut dengan makanan/minuman atau yang ada dalam angin yang kita bernapas. Bahan ini termasuk obat yang diuraikan, dan bahan toksik
5
yang mungkin ada dalam polusi di udara di banyak daerah perkotaan di Indonesia. Jadi, jelas ada risiko pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang tidak sehat, termasuk Odha. Walaupun terapi urin mempunyai banyak pendukung, sepertinya tidak jelas mengapa air seni dianggap baik. Tidak ada yang melaporkan kandungan yang ada di air seni yang ‘baik’ buat kita. Ada beberapa bahan juga yang merangsang dibentuk sel CD4. Walaupun kita mungkin menganggap ini baik, ada penelitian yang menunjukkan bahwa kegiatan ini dapat mendorong replikasi HIV, karena HIV membutuhkan sel CD4 untuk replikasi. Misalnya, echinacea adalah salah satu perangsang kekebalan yang dianjurkan oleh WHO agar tidak dipakai lebih dari dua minggu, karena efek ini. Kalau kita bicara mengenai kemampuan untuk membunuh HIV, wah, banyak bahan mempunyai kemampuan ini, termasuk sabun. Itu bukan berarti kita mau makan sabun. Bahan tersebut harus masuk ke aliran darah untuk membunuh HIV dalam darah, dana walaupun masuk ke aliran darah, maih tidak dapat menjangkau 95 persen dari HIV yang ada di tubuh Odha - kebanyakan virus tersembunyi dalam sel di sistem getar bening, dan tidak terjangkau oleh obat, apa lagi bahan lain. Jadi sepertinya risiko minum air seni (walaupun mungkin tidak terlalu tinggi) lebih besar daripada manfaat. Namun akhirnya kita harus pilih sendiri. Hanya sebaiknya kita memberi tahu dokter kalau kita menjalankan terapi alternatif apa pun. Dan kalau dicoba, laporkan hasilnya kembali ke Spiritia, agar kami dapat menyebarluaskan informasi tersebut. Jawaban oleh: Babe
Positive Fund Laporan Keuangan Positive Fund Yayasan Spiritia Periode Juli 2006 Saldo awal 1 Juli 2006 Penerimaan di bulan Juli 2006 Total penerimaan
10,991,975 300,000+ ___________ 11,291,975
Pengeluaran selama bulan Juli : Item
Jumlah
Pengobatan Transportasi
760,000 0
Komunikasi Peralatan / Pemeliharaan Modal Usaha
0 0 0+ ___________
Total pengeluaran
760,000-
Saldo akhir Positive Fund per 31 Juli 2006
10,531,975
Sahabat Senandika Diterbitkan sekali sebulan oleh
Yayasan Spiritia dengan dukungan THE FORD ATION FOUNDA FOUND
Kantor Redaksi: Jl. Johar Baru Utara V No 17 Jakarta Pusat 10560 Telp: (021) 422 5163 dan (021) 422 5168 Fax: (021) 4287 1866 E-mail: [email protected] Editor: Caroline Thomas Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon). Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.
6
Sahabat Senandika No. 44