REVITALISASI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI DI SETU BABAKAN, SRENGSENG SAWAH, JAKARTA SELATAN
NURUL FAJRIYAH
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Revitalisasi Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Nurul Fajriyah NIM A44090043
ii
ABSTRAK Revitalisasi Perkampungan Budaya Betawidi Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan NURUL FAJRIYAH. Revitalisasi Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Dibimbing oleh ARIS MUNANDAR. Perkampungan Budaya Betawi yang terletak di Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan merupakan kampung reka cipta yang ditetapkan oleh pemerintah Jakarta sebagai lokasi pelestarian dan pengembangan budaya Betawi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi keberadaan dari komponen fisik, non fisik, dan nilai, serta mengusulkan upaya revitalisasi berdasarkan pada potensi dan assessment lanskap yang terdapat di kampung.Hasil peneilitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah dan dapat memberikan rekomendasi model (template) revitalisasi kota Jakarta. Penelitian ini dilakukan pada tiga unit wilayah RW (RW 07, 08, 09) di Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Metode yang digunakan yaitu inventarisasi/survei lapang, uji reliabilitas Kappa dan assesement lanskap sejarah dan budaya. Nilai koefisien Kappa menunjukkan adanya potensi kawasan untuk di konservasi (0.819). Berdasarkan assessement lanskap sejarah dan budaya, wilayah RW 08 sebagai embrio kampung memiliki nilai keaslian dan keunikan tertinggi dibandingkan dengan RW 07 dan RW 09. Rekomendasi berupa konsep revitalisasi yang berkelanjutan sehingga tercipta keseimbangan antara karakter fisik, pemanfaatan potensi ekonomi, dan kelestarian nilai sosial budaya kawasan Perkampungan Budaya Betawi. Revitalisasi juga melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga upaya revitalisasi yang dilakukan tidak hanya bertahan dalam kurun waktu singkat akan tetapi dapat berkelanjutan dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kata kunci : Assessment Lanskap, Budaya Betawi, Lanskap Budaya, Revitalisasi
ABSTRACT Revitalization Perkampungan Budaya Betawi at Setu Babakan, Srengseng Sawah, South Jakarta NURUL FAJRIYAH. Revitalization Perkampungan Budaya Betawi at Setu Babakan, Srengseng Sawah, South Jakarta. Supervised by ARIS MUNANDAR. Perkampungan Budaya Betawi is located in Setu Babakan an engineered village, Srengseng Sawah Village, South Jakarta established by the government as the site of preservation and Betawi cultural development. The purpose of this research is to evaluate the existence of physical component, non-physical and value as well as proposing a revitalization efforts based on potential and assessment landscape. The result of this research are expected to be input for the government as well as provide recommendations on model (template) of Jakarta’s revitalization. This research is done in three community (RW) (7th, 8th,9th) at Srengseng Sawah village, South Jakarta. The method that is used in the inventory/survey, Kappa statistic and assessment of historical and cultural landscape. The research show that kappa coefficients value of region shows the potential areas of conservation (0.819). Based on historical and cultural landscape assessment, the 8th community as a village embryo have the highest value in
iii
originality and uniqueness of the highest compared with 7th and 9th. Therefore it is recommended that develoved based on balance between phsyical character and socio-cultural value of Perkampungan Budaya Betawi instead of potensial economic activity. Revitalizing it is also recomended that development community participation, so that the efforts taken not only survived in a short time period, but can be sustainable and meet the community needs. Keyword: Betawi Culture, Cultural Landscape, Landscape Assessment, Revitalization,
iv
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau peninjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
v
REVITALISASI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI DI SETU BABAKAN. SRENGSENG SAWAH, JAKARTA SELATAN
NURUL FAJRIYAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
vi
vii
Judul Skripsi : Revitalisasi Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan Nama : Nurul Fajriyah NIM : A44090043
Disetujui oleh
Dr Ir Aris Munandar, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Bambang Sulistyantara M, Agr Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Tanggal Lulus:
viii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.Tema yang dipilih dalam penelitian dan dilaksanakan sejak Februari hingga September 2013 ini ialah pengelolaan lanskap, dengan judul Revitalisasi Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Aris Munandar, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dosen penguji atas saran dan masukan yang diberikan kepada penulis dalam penyempurnaan skripsi ini dan kepada Bapak Dr Ir Andi Gunawan, MAgr Sc selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama perkuliahan di Departemen Arsitektur Lanskap.Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bang Indra sebagai Kepala Pengelola Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh data dan dan bimbingannya selama di lapangan., Kepala Dinas Tata Kota DKI Jakarta, dan Kepala BMKG Pusat beserta para staf atas bantuannya. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang yang tak hentinya memberikan doa, semangat serta dukungan baik moril maupun materil.Untuk adikku Ummah atas dukungan dan perhatiannya.Untuk Adab Pradipta terimakasih atas waktu, semangat, perhatian, masukan, serta kebersamaannya selama penulis menyelesaikan skripsi. Kepada Amira, Chika, Bule, Tibel terimakasih atas dukungan dan persahabatannya selama ini. Untuk teman-teman seperjuangan Landscapers46 terimakasih atas semangat dan dukungannya; kakak-kakak dan adik-adik kelas ARL angkatan 44, 45, dan 49; serta para staf pengajar, perpustakaan, Komisi Pendidikan, dan Tata Usaha Departemen Arsitektur Lanskap atas bantuannya selama penulis menempuh pendidikan di IPB. Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi khalayak, terutama sebagai masukan bagi Pengelola Perkampungan Budaya Betawi, Pemerintah DKI Jakarta dan dinasdinas terkait .
Bogor, Februari 2014
Nurul Fajriyah
ix
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
1
Manfaat
2
Kerangka Pikir Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Revitalisasi
3
Lanskap Budaya
3
Perkampungan Betawi
4
Pola Ruang Kampung Tradisional Betawi
4
Orang Betawi
6
Rumah Tradisional Betawi
6
Vitality
6
Keteritorialan
7
METODE
7
Lokasi dan Waktu Penelitian
7
Alat dan Bahan
8
Metode Penelitian
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
12
Kondisi Umum
12
Komponen Fisik
21
Komponen Non Fisik
27
Komponen Nilai
33
Keberadaan/Eksistensi Komponen Fisik, Non Fisik, dan Nilai (value)
35
Persepsi Masyarakat terhadap Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 36 Assessment Lanskap Budaya Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Rekomendasi Revitalisasi
40 47
x
SIMPULAN DAN SARAN
48
SIMPULAN
48
SARAN
49
DAFTAR PUSTAKA
50
LAMPIRAN
52
RIWAYAT HIDUP
59
xi
DAFTAR TABEL 1 Jenis dan Bentuk Data 2 Koefisien Kappa 3 Penilaian Keaslian (Originality) Lanskap Budaya Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 4 Penilaian Keunikan (Uniqeness) Lanskap Budaya Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. 5 Jumlah Penduduk tahun 2013 di Setu Babakan 6 Komposisi Jenis Profesi di Kawasan Perkampungan Budaya Betawi 7 Data Iklim Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 8 Penggunaan Lahan di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 9 Jenis Pagelaran Kesenian Betawi di Setu Babakan 10 Jenis Industri Rumah Tangga di Perkampungan Budaya Betawi 11 Kelompok Tani di Perkampungan Budaya Betawi 12 Statistik Kappa dari Keberadaan komponen Fisik, Non Fisik, dan nilai 13 Tabel penilaian Keaslian (Originality) Lanskap Budaya Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 14 Tabel Penilaian Keunikan (Uniqueness) Lanskap Budaya Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 15 Tabel Penilaian Gabungan Aspek Keaslian dan Keunikan Lanskap Budaya Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan
9 10 10 11 17 17 18 21 31 32 34 36 40 42 45
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Kerangka Pikir Penelitian Pola Perkampungan di Perkotaan Suasana perkampungan Betawi di bagian dalam (hinterland) Pola permukiman Betawi di bagian dalam (hinterland) Rumah Tradisional Betawi Peta Lokasi Setu Babakan Aksesibiltas Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Peta Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Peta Zona Permukiman Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Hidrologi di Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Vegetasi di Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Rumah Gudang Denah Rumah Joglo Betawi Rumah Bapang/Kebaya Detail Arsitektur Rumah Betawi Beberapa Jenis Ragam Hias Ragam Hias Pola Permukiman Tradisional Betawi Bentuk Personalisasi di Setiap RW Acara “Gebyar Betawi” Memperlihatkan Bentuk Kebanggaan (Stimulasi) warga terhadap RWnya/wilayahnya 21 Bentuk Keamanan yang Terdapat di Setiap Wilayah RW
2 4 5 5 6 7 14 15 16 20 21 22 23 23 24 25 25 26 28 29 29
xii
22 Salah Satu Kegiatan Pagelaran Kesenian Di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 23 Bentuk kegiatan home industry di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 24 Karakteristik Responden berdasarkan rentang usia dan jenis kelamin 25 Alasan responden menetap di Kampung Budaya Betawi 26 Lamanya responden menetap di Kampung Betawi Setu Babakan 27 Pendapat responden mengenai perubahan dan situasi di Setu Babakan 28 Pandangan responden terhadap Kampung Betawi Setu Babakan 29 Karakter budaya pembentuk kampung Betawi Setu Babakan menurut responden 30 Pendapat responden mengenai hal yang perlu di revitalisasi 31 Gambar Peta Zona Keaslian Lanskap Budaya Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 32 Gambar Peta Keunikan Lanskap Budaya Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 33 Peta Peta Signifikansi Sejarah dan Budaya Lanskap Perkampungan Budaya Betawi 34 Peta Komposit Assessment Lanskap Perkampungan Budaya Betawi
32 33 37 37 37 38 39 39 39 41 44 45 46
DAFTAR LAMPIRAN 1 Perhitungan interval dalam penilaian struktur lanskap pada Perkampungan Budaya Betawi : 2 Wawancara terhadap Ketua RT mengenai Keberadaan artefak di Kampung Betawi Setu Babakan 3 Wawancara terhadap Ketua RT mengenai Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 4 Wawancara mengenai persepsi masyarakat kampung Betawi terhadap wilayah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan
52 53 53 55
1 T y p PENDAHULUAN e a q Latar Belakang u Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat keaneka-ragaman budayao yang tinggi. Letak geografisnya yang strategis dan kemajuan teknologi yang pesat,t menyebabkan pengaruh kebudayaan lain dapat dengan mudah masuk dane mempengaruhi kebudayaan asli Indonesia.Jakarta sebagai Ibu kota telah menjadif tempat interaksi manusia yang berasal dari berbagai suku, daerah, danr kebudayaan. Pertumbuhan dan perkembangan kota Jakarta yang sangat pesat dano tidak terkendali sangat mempengaruhi nilai-nilai budaya masyarakat, terutamam masyarakat Betawi yang merupakan embrio masyarakat Jakarta. Keadaan ini t menjadikan ciri khas budaya masyarakat Betawi sulit dikenali. Perkampungan Budaya Betawi merupakanpermukiman reka cipta yangh bertujuan untuk menyelamatkan budaya Betawi dan tempat ditumbuhkembangkane keasrian alamtradisi Betawi yang meliputi keagamaan, kebudayaan, dan keseniand Betawi. Hal ini dibuat dengan tujuan memberikan perlindungan dan pembinaan,o guna melestarikan dan mengembangkan potensi lingkungan bagi peningkatanc u kesejahteraan sosial masyarakat. (Imron, et. al. 2002) Keberlanjutan dari suatu kampung, khususnya Perkampungan Budayam Betawi saat ini ditunjukkan dengan tingkat kebetahan (be home) darie masyarakatnya, karena jika rasa betah (be home) tidak dirasakan oleh masyarakatn pada suatu kampung maka keberlanjutan dari kampung tersebut akan relatift sulit untuk diwujudkan. Kebetahan (be home) masyarakat pada suatu kampungo r akan terwujud jika kebutuhan dasar keteritorialan mereka terpenuhi. Revitalisasi diperlukan untuk meningkatkan kawasan Perkampungant Budaya Betawi yang memiliki potensi serta untuk mengembalikan vitalityh perkampungan yang telah atau mengalami penurunan, agar kawasane Perkampungan Budaya Betawi ini mendapatkan kembali nilai tambah yangs optimal terhadap produktivitas ekonomi, sosial dan budaya. Menurut Lynchu (1981), vitality merupakan kriteria dimensi pembentuk kota. Kampung merupakanm embrio atau cikal bakal suatu kota, maka revitalisasi Perkampungan Budayam Betawi ini merupakan usaha yang relevan untuk menjadi model (template) daria r revitalisasi kota Jakarta. y o Tujuan f a Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. mengidentifikasikomponen artefak fisik, non fisik dan nilai (values)n i yang terdapat di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, 2. mengevaluasi keberadaan atau eksistensi komponen artefak fisik,n t non fisik dan nilai (values) terhadap potensi kawasan, 3. mengusulkan upaya revitalisasi berdasarkan pada potensi dane r assesement lanskap. e s ti n g p o i n t.
[
2
Manfaat Hasil peneilitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta serta dinas-dinas terkait dan dapat memberikan rekomendasi model (template) revitalisasi kota kepada pihak pengembang serta pengelola kawasan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan Perkampungan Budaya Betawi.
Kerangka Pikir Penelitian Kampung Betawi
Kampung Budaya KomponenNon fisik
Komponen Fisik
Bentuk Bangunan Rumah Pola Permukiman
Fungsi keteritorialan (Personalisasi, keamanan dan stimulasi) Kegiatan kebudayaan Kegiatan Ekonomi
Komponen Nilai (values) Nilai Sosial (keguyuban) Nilai ekologi/ konservasi
Identifikasi terhadap komponen fisik, non fisik, dan nilai di Kampung Betawi setiap
Evaluasi keberadaan dari komponen artefak fisik, non fisik, dan nilai (values) terhadap potensi kawasan Potensi komponen fisik, non fisik, dan nilai (values) di Kampung Betawi Assessment lanskap Perkampungan Budaya Betawi Konsep Revitalisasi Perkampungan Budaya Betawi berdasarkan pada potensi dan Assessment lanskap
Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian
3
TINJAUAN PUSTAKA Revitalisasi Revitalisasi menurut Piagam Burra (1988) dalam Solikhah (2010), adalah menghidupkan kembali kegiatan sosial dan ekonomi bangunan atau lingkungan bersejarah yang sudah kehilangan vitality fungsi aslinya, dengan memasukkan fungsi baru ke dalamnya sebagai daya tarik, agar bangunan atau lingkungan tersebut menjadi hidup kembali. Menurut Ichwan (2004) proses revitalisasi bukan hanya berorientasi pada keindahan fisik, tetapi juga harus mampu meningkatkan stabilitas lingkungan, pertumbuhan perekonomian masyarakat, pelestarian dan pengenalan budaya. Revitalisasi adalah upaya untuk mengembalikan serta menghidupkan kembali vitality yang pernah ada pada kawasan kota yang mengalami degradasi, melalui intervensi fisik dan nonfisik (rehabilitasi ekonomi, rekayasa sosial-budaya serta pengembangan institusional). Selain itu, pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna (tata nilai), keunikan lokasi dan citra tempat). Dengan dukungan mekanisme kontrol/ pengendalian rencana revitalisasi harus mampu mengangkat isu-isu strategis kawasan, baik dalam bentuk kegiatan/aktivitas sosial-ekonomi maupun karakter fisik kota (Danisworo dan Martokusumo 2000). Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum N0: 18/PRT/M/2010 tentang pedoman revitalisasi kawasan Bab 1 pasal 1, revitalisasi adalah upaya untuk meningkatkan nilai lahan/kawasan melalui pembangunan kembali dalam suatu kawasan yang dapat meningkatkan fungsi kawasan sebelumnya.
Lanskap Budaya Lanskap budaya (cultural landscape) merupakan suatu model atau bentuk dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat, yang dikaitkan dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Lanskap tipe ini merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya, yang merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan serta ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan yang terkait erat dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan kelompok-kelompok masyarakat dalam bentuk dan pola pemukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan dan struktur serta lainnya (Simonds, 1983). Nurisyah dan Pramukanto (2001) menambahkan lanskap budaya (cultural landscape) merupakan suatu model atau bentuk dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki yang ada pada tempat tersebut. Lanskap tipe ini merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya yang merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan dan ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan yang terkait erat dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan kelompok-kelompok masyarakat dalam bentuk dan pola permukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sirkulasi, arsitektur dan struktur bangunan serta lainnya.
4
Tishler dalam Nurisyah dan Pramukanto (2001) menyatakan bahwa lanskap budaya memiliki hubungan yang erat dengan aktivitas manusia, performa budaya dan juga nilai dan tingkat estetika, termasuk kejadian-kejadian kesejarahan yang dimiliki kelompok tersebut. Dinyatakan bahwa kebudayaan merupakan agen atau perantara dalam proses pembentukan lanskap tersebut, kawasan alami merupakan medium atau wadah pembentukannya dan lanskap budaya merupakan hasil atau produknya yang dapat dilihat dan dinikmati keberadaanya baik secara fisik maupun psikis.
Perkampungan Betawi Pada tahun 1840, istilah “kampung” (compound) digunakan untuk mengindikasikan “permukiman penduduk asli” yang dibedakan dari istilah “kota” untuk permukiman Belanda. Sejak saat ini dikenal istilah kampung Melayu, kampung Bali dan sebagainya, yang menandai latar belakang etnis masing-masing permukimanya yang berkembang sejak abad 17, salah satu kampung tersebut yang kemudian saat ini kenal adanya kampung-kampung Betawi Kampung pada umumnya tumbuh dan berkembang pada jalur komunikasi dan pusat perdagangan yang dibangun Belanda pada saat itu. Bentukan kampug secara tipologi diklasifikasikan menjadi tiga (Harun, et al.1999), yaitu : 1. Kampung Kota berada di daerah pusat-pusat kegiatan kota yang biasanya berkepadatan sangat tinggi. 2. Kampung Pinggiran berada di daerah pinggiran kota tetapi masih termasuk ke dalam batas wilayah dan kegiatan kota, berkepadatan antara rendah dan sedang tetapi terkadang ada yang tinggi 3. Kampung Pedesaan kebanyakan berada di luar batas wilayah dan kegiatan perkotaan, berkepadatan rendah dan kebanyakan kampung pedesaan ini bertumpu pada kegiatan pertanian dan perkebunan.
a b c Gambar 2 Pola Perkampungan di Perkotaan (a) Kampung Kota, (b) Kampung Pinggiran, dan (c) Kampung Perdesaan (Sumber : Harun, et al. 1983)
Pola Ruang Kampung Tradisional Betawi Menurut Harun, et al (1999), keadaan lingkungan permukiman Betawi dikelompokkan ke dalam dua rona, yaitu lingkungan di bagian dalam (hinterland) dan lingkungan di bagian pesisir dari Jakarta. Permukiman yang berada dibagian
5
dalam umumnya didominasi oleh kebun dan hunian dengan pekarangan yang ditumbuhi oleh pohon buah-buahan. Suasana pedesaan dengan pertanian kebun (agrikultural-rural) terasa sekali di wilayah ini.
Gambar 3Suasana perkampungan Betawi di bagian dalam (hinterland) Sumber : Harun et al.1999 Lebih lanjut, Harun et.al (1999) mengemukakan bahwa di dalam tata letaknya, rumah-rumah yang berada di bagian hinterland (bagian dalam)dibedakan menjadi rumah yang berada agak jauh dari jalan (di bagian dalam) dan yang dekat atau yang langsung menempel pada jalan (dibagian luar). Pada bagian dalam, rumah-rumah dibangun di tengah kebun atau bidang lahan yang kering sehingga memiliki pola yang terpencar (Gambar 4). Pada bagian luar, rumah-rumah memiliki pola yang mengelompok padat atau berjejer di sepanjang jalan dan hanya dikelilingi oleh pekarangan yang sempit. Namun hal tersebut bukan berarti bahwa pemilik rumah memiliki lahan yang sempit, karena seringkali kebun buah-buahan atau lahan kering yang dimilikinya terdapat dilokasi lain. Ruchiat, et. al (2000) menyatakan rumah tradisional Betawi, secara geografis, umumnya berada di lingkungan yang berdekatan dengan air, baik pantai ataupun daerah aliran sungai. Tata letak rumah Betawi tidak berorientasi terhadap mata angin tetapi lebih mengutamakan alasan-alasan praktis, seperti bentuk dan orientasi pekarangan serta fungsi-fungsinya. Menurut Harun, et. al (1999), tidak ada suatu kepercayaan tertentu yang harus diikuti dalam menentukan arah mata angin mana suatu rumah harus menghadap. Selain itu, tidak ada hubungan atau ruang tertentu yang menjadi pusat perkampungan yang berfungsi sebagai pusat orientasi rumah-rumah yang ada.
Gambar 4Pola permukiman Betawi di bagian dalam (hinterland) Sumber : Harun et al.1999
6
Orang Betawi Wangrea, et. al (1985) menyatakan bahwa orang betawi merupakan hasil sejarah, dimana terjadi perpaduan biologis (asimilasi) dan akulturasi unsur-unsur budaya antar suku dan bangsa. Mereka merupakan masyarakat yang mempunyai ciri-ciri adat istiadat yang khas dan sangat terikat pada adat isitiadat tersebut dan etika agama Islam. Menurut Budiman, et.al (2000), hampir seluruh adat masyarakat Betawi diwarnai oleh unsur agama Islam, sehingga sukar untuk memisahkan antara tradisi yang menurut adat dan yang berdasarkan agama, karena keduanya telah berpadu dalam setiap aspek kehidupannya. Rumah Tradisional Betawi Secara umum rumah tradisional Betawi dipengaruhi oleh rumah adat Sunda dan Jawa. Bentuk bangunan arsitektur khas Betawi dilengkapi dengan ornamenornamen dan mempunyai beberapa ciri khusus seperti: dinding terbuat dari “Jaro” atau bambu dan jendela terbuat dari papan masif dengan jalusi (krepyak) dari kayu, langkan pada paseban, gigi balang dan lain-lain. Dalam keragaman bentuk atap, rumah Betawi dibedakan menjadi tiga, dimana masing-masing jenis membedakan tingkatan sosial masyarakatnya seperti yang terlihat pada Gambar 5. Jenis rumah Betawi terdiri atas : 1. Bapang atau Kebaya, denah empst persegi panjang dan atap berbentuk seperti kebanyakan atap di daerah Jawa Timur. Bentuk ini biasanya dimiliki oleh masyarakat kelas atas (Gambar 5a). 2. Rumah Joglo, denah bujur sangkar dan atap berbentuk menyerupai atap pelana agak memanjang dengan penutup atap genteng, umumnya dihuni oleh masyarakat kelas menengah (Gambar 5b). 3. Rumah Gudang, denah segi empat panjang, atap berbentuk pelana ditutup bahan alang-alang, umumnya dihuni oleh masyarakat kelas bawah (Gambar 5c).
Gambar 5Rumah Tradisional Betawi (a) Rumah Bapang/Kebaya, (b) Rumah Joglo Betawi, (c) Rumah Gudang Sumber: Harun et al. 1983 Vitality Menurut Lynch (1981), terdapat 5 kriteria yang harus dipenuhi untuk mencapai suatu kota yang baik (A Good City Form). Salah satu kriteria tersebut
7
adalah Vitality yang merupakan elemen dimana secara harfiah diartikan sebagai ketahanan, atau dimaksudkan untuk menggambarkan fungsi vital kehidupan, kebutuhan dan kelangsungan hidupnya. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum N0: 18/PRT/M/2010 Tentang Pedoman Revitalisasi Kawasan Bab 1 pasal 1, vitalitas kawasan adalah kualitas suatu kawasan yang dapat mendukung kelangsungan hidup warganya, dan mendukung produktivitas sosial, budaya , dan ekonomi dengan tetap mempertahankan kualitas lingkungan fisik, dan/atau mencegah kerusakan warisan budaya. Keteritorialan Menurut Gifford (1997), keteritorialan (teritoriality) adalah pola perilakudan sikapyang dimiliki olehseorang individu atau kelompokyang didasarkan pada apa dirasakan, yang diusahakan, ataucontrol nyata dari sebuahruang fisik, objek, atau gagasanyang mungkin melibatkanpekerjaan sehari-hari, pertahanan, personalisasi, danpenandaan. Keteritorialan menurut Porteous (1977), adalah pengendalian secara eksklusif suatu lahan oleh individu, pasangan atau kelompok, Intraspesifik, Intraspesies, agresi atau defend, dan hak untuk berbiak. Porteous (1977) juga berpendapat suatu unit teritorial memiliki unsur keamanan, identitas dan stimulasi (kebanggaan) yang disebut home base (tempat tinggal). Home Base merupakan teritorial manusia di skala ruang menengah (mesospace) Fungsi keteritorialan diantaranya makan, identitas, kemanan,dan stimulasi. Mekanisme pengendalian teritorial yaitu penandaan (marking), pertahanan (defense) dan personalisasi
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di tiga wilayah RW ( RW 07, RW 08, dan RW 09) di kawasan Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan yang terletak di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, wilayah Jakarta Selatan. Pengamatan kondisi tapak dan pengumpulan data tapak serta pengolahan data dilakukan pada bulan Maret 2013.
Gambar 6 Peta Lokasi Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Sumber : Google Earth
8
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah: buku lapang, papan jalan, kamera digital, dan alat tulis. Jenis software pembantu untuk menunjang pengolahan data antara lainMicrosoft Office Word 2010, Microsoft Excel 2010, AutoCAD 2011, dan Adobe Photoshop CS5.Bahan yang digunakan yaitu peta lokasi dan kuesioner. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan evaluasi terhadap komponen artefak fisik, non fisik, dan nilai (values) pada tiga wilayah RW (RW 07, RW 08, RW 09) di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Setelah evaluasi kemudian mencari nilai potensi dari keberadaan atau eksisting setiap komponen artefak dengan menggunakan statistik Kappa. Kemudian dilakukan assessment terhadap artefak fisik, non fisik, dan nilai untuk mengetahui nilai keaslian dan keunikan wilayah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Pengumpulan data Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung dilapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari data yang telah dipublikasikan sebelumnya. Data sekunder yang diperoleh disesuaikan dengan kebutuhan dalam pencapaian tujuan dari perencanaan. Tabel 1 memperlihatkan jenis data beserta sumber data yang digunakan dalam pencapaian tujuan penelitian. Dalam memperoleh data primer dilakukan melalui pendekatan partisipasi aktif masyarakat setempat, wawancara terstruktur dan mendalam (in depth interview), penyebaran kuesioner dan survei lapang secara langsung. Adapun dalam proses wawancara dilakukan pada narasumber yang telah ditentukan sebelumnya berdasarkan rekomendasi yang valid (purposive sampling). Wawancara dilakukan untuk menggali informasi yang secara validitas lebih terjamin karena diperoleh secara langsung dari sumber informasi (informant). Wawancara dilakukan terhadap beberapa tokoh masyarakat, para ahli dan perwakilan dari masyarakat baik yang terkait langsung secara administratif wilayah (Ketua RT dan Ketua RW) maupun kelembagaan (Kepala Pengelolaa Perkampungan Budaya Betawi). Dalam perolehan data melalui kuesioner dilakukan probability sampling dengan menggunakan cara sampel acak sederhana. Cara ini dipilih karena anggota populasi dianggap sama (homogen), sehingga cara pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana, tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu. Penyebaran kuesioner dilakukan terhadap 30 orang responden. Responden kuesioner tersebar merata (33%) disetiap wilayah RW yaitu, RW 07, RW 08, dan RW 09. Laki-laki (40%) dan perempuan (60%) yang merupakan masyarakat yang menetap di kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, khususnya di wilayah fokus penelitian (RW 07, RW 08, RW 09). Hal-hal yang ditanyakan meliputi pendapat responden mengenai kawasan Perkampungan Budaya Betawi dan keteritorilan wilayah tempat tinggal dalam skala RW (Rukun Warga).
9
Tabel 1Jenis dan Bentuk Data Komponen Kondisi Umum
Jenis Data Tata Guna Lahan
Bentuk Data Primer Sekunder √ √
Peta Wilayah
Fisik
Non Fisik
Nilai
Iklim Bentuk Bangunan Rumah Betawi Pola Permukiman Tradisional Betawi Fungsi Keteritorialan (Identitas, keamanan, stimulasi) Kegiatan Kebudayaan
√
√ √
√
√
√ √
√
Kegiatan Ekonomi
√
√
Nilai Sosial (keguyuban)
√
Nilai Ekologi
√
Sumber Data Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan Dinas Tata Kota DKI Jakarta BMKG Pusat Survei Lapang, Studi Pustaka Survei Lapang, Studi Pustaka Survei Lapang, Studi Pustaka, Wawancara, Kuesioner Survei Lapang, Studi Pustaka, Wawancara, Kuesioner, Survei Lapang, Kelurahan Srengseng Sawah, Wawancara, Kuesioner Survei Lapang, Wawancara, Kuesioner Survei Lapang, Wawancara, Kuesioner
Analisis Metode yang digunakan dalan tahap analisis meliputi metode deskriptif, kualitatif, kuantitatif, dan spasial. Analisis deskriptif digunakan untuk membuat deskripsi dari karakter lanskap pada tapak penelitian secara sistematis, faktual dan akurat yang meliputi fakta dan sifat fisik maupun sosial pada tapak (Suryabrata, 1992). Analisis deskriptif digunakan dalam mengidentifikasi komponen artefak fisik yang terdiri dari bentuk bangunan rumah dan pola permukiman, komponen nonfisik meliputi fungsi keteritorialan (personalisasi, keamanan, dan stimulasi), kegiatan kebudayaan, serta kegiatan ekonomi, dan komponen nilai berupa nilai sosial (keguyuban) dan nilai ekologi yang terdapat di Perkampungan Budaya. Adapun untuk analisis kualitatif dan atau kuantitatif digunakan untuk mengetahui nilai potensi dari keberadaan sebuah artefak fisik, nonfisik, dan nilai yang terdapat di Perkampungan Budaya Betawi. Nilai ini akan menunjukkan ada atau tidaknya potensi dari suatu kampung untuk di konservasi atau dilindungi dengan menggunakan metode uji reliabilitas. Metode uji reliabilitas yang digunakan adalah reliabilitas Cohenn Kappa. Eksistensi dari artefak di Perkampungan Budaya Betawi diperoleh dengan konsistensi analisis frekuensi pengulangan ungkapan parameter tiap komponen artefak dengan rumus Cohenn Kappa (Hengky,2006), yaitu:
10
Keterangan : K PA PC
= Koefisien Kappa = Perbandingan unit yang disetuji responden = Perbandingan unit yang dengan persetujuan diharapkan akan berubah, perubahantersebut berupa keraguan peniaian, persepsi, dan pemahaman responden.
Menurut Cohenn (dalam Hengky,2006) nilai K = 0 artinya “tidak ada potensi”, Kvalseth (1989) dan Aheelock et al (dalam Hengky, 2006) mengartikan koefisien Kappa = 0.61 sebagai “cukup ada potensi”. Selanjutnya, Landish and Koch (dalam Hengky,2006) mengartikan kemungkinan beberapa perbandingan untuk menginterpretasikan koefisien Kappa (Tabel 2) Tabel 2 Koefisien Kappa Kappa Statistik <0.00 0.00 – 0.20 0.21 – 0.40 0.41 – 0.60 0.61 – 0.80 0.81 – 1.00
Kekuatan Persetujuan Tidak ada potensi Belum ada potensi Kurang ada potensi Hampir ada potensi Cukup ada potensi Ada potensi
Assesment Lanskap Assesment lanskap dilakukan untuk mengetahui nilai signifikansi lanskap budaya kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Penilaian dilakukan terhadap beberapa aspek penting menurut Harris dan Dines (1988), meliputi penilaian keaslian (originality) dan keunikan (uniqeness) kawasan. Kriteria yang digunakan sebagai dasar penilaian untuk mengetahui tingkat keaslian dan keunikan disajikan pada Tabel 3 dan 4. Selanjutnya skor penilaian dijumlahkan untuk mengetahui tingkat keaslian dan keunikan dari setiap zona yang dinilai. Tabel 3 Penilaian Keaslian (Originality) Lanskap Budaya Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Kriteria Pola Penggunaan Lahan Pola Permukiman
Arsitektur Bangunan
1 (Rendah) Mengalami perubahan penggunaan lahan >50% Tidak terdapat elemen lanskap yang menjadi pusat permukiman Pola permukiman tradisional Betawi bagian luar lebih dominan (modern). Arsitektur bangunan mengalami perubahan struktur dan elemen. Tidak mewakili
Skor 2 (Sedang) Mengalami perubahan penggunaan lahan 2550% Terdapat elemen lanskap yang menjadi pusat permukiman. Pola permukiman tradisional Betawi bagian luar dan dalam (Hinterland) Arsitektur bangunan mengalami asimilasi struktur dan elemen namun masih mewakili
3 (Tinggi) Tidak mengalami perubahan lahan atau berubah <25% Terdapat elemen lanskap yang menjadi pusat permukiman. Pola permukiman tradisional Betawi bagian dalam (Hinterland) lebih dominan. Arsitektur bangunan tidak mengalami perubahan karakter, struktur, dan elemen
11
karakter dan gaya arsitektur tradisional Betawi. Terdapat sedikit bangunan rumah tradisional Betawi
karakter dan gaya arsitektur tradisional Betawi. Terdapat cukup banyak rumah tradisional Betawi
sehingga sangat mewakili gaya arsitektur tradisional Betawi. Terdapat banyak bangunam rumah tradisional Betawi.
Sumber : Modifikasi Haris dan Dines (1988) Tabel
4 Penilaian Keunikan (Uniqeness) Lanskap Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.
Kriteria Asosiasi Kesejarahan
Integritas
Kualitas Estetik
Budaya
Kawasan
Skor 1 (Rendah)
2 (Sedang)
3 (Tinggi)
Lanskap/elemen tidak memiliki hubungan kesejarahan terhadap terbentuknya Perkampungan Budaya Betawi Elemen lanskap budaya tersebar dalam jumlah yang sedikit sehingga tidak membentuk lanskap budaya Betawi yang harmonis
Lanskap/elemen memiliki hubungan kesejarahan yang lemah terhadap tebentuknya Perkampungan Budaya Betawi Elemen lanskap budaya tersebar dalam jumlah yang cukup banyak sehingga membentuk kesatuan lanskap budaya Betawi dengan karakter lemah Elemen lanskap masih memiliki estetika/gaya arsitektur yang dapat menunjukan kekhasan Betawi
Lanskap/elemen memiliki hubungan kesejarahan yang kuat terhadap terbentuknya Perkampungan Budaya Betawi Elemen lanskap budaya menyatu dalam jumlah yang cukup banyak sehingga membentuk kesatuan lanskap budaya dengan karakter kuat Elemen lanskap memiliki estetika/gaya arsitektur khas Betawi pada hampir semua bagian, termasuk detail
Elemen lanskap tidak memiliki estetika/gaya arsitektur yang dapat menunjukan kekhasan Betawi
Sumber : Modifikasi Harris dan Dines (1988) Hasil penilaian kedua aspek tersebut menghasilkan peta keaslian dan peta keunikan yang menampilkan skor-skor dengan skala (Goodchild,1990) : Skor 1 = Tingkat keaslian/keunikan rendah, lanskap mengalami banyak perubahan. Skor 2 = Tingkat keaslian/keunikan sedang, lanskap mengalami sedikit perubahan Skor 3 = Tingkat keaslian/keunikan tinggi, lanskap tidak mengalami perubahan. Penilaian terhadap aspek tersebut dihitung menggunakan metode skoring yang dikemukakan oleh Selamet (Selamet, 1983 dalam Anggraeni 2011) dengan rumus interval kelas (Lampiran 1): Interval Kelas (IK) = Skor Maksimum (SMa) – Skor Minimum (SMi) Jumlah Kategori Tinggi Sedang Rendah
= SMi + 2IK + 1 sampai SMa = SMi + IK + 1 sampai (SMi + 2IK) = SMi sampai SMi + IK
12
Penilaian gabungan aspek keaslian dan keunikan menghasilkan peta signifikansi budaya yang kemudian dianalisis secara spasial deskriptif untuk mengetahui zona di kawasan Perkampungan Budaya Betawi dengan nilai signifikansi budaya rendah, sedang, dan tinggi. Kriteria rendah diberikan untuk zona yang memiliki nilai gabungan kedua aspek berada pada interval antara 9-12, kriteria sedang diberikan untuk zona yang memiliki nilai gabungan kedua aspek berada pada interval 13-15, dan kriteria tinggi berikan untuk zona yang memiliki nilai gabungan kedua aspek berada pada interval antara 16-18. Peta signifikansi budaya ini kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif untuk mengetahui keberlanjutan lanskap budaya kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, sehingga dapat diputuskan konsep revitaliasi yang tepat untuk setiap zona dalam upaya pelestarian lanskap budaya Perkampungan Budaya Betawi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Gambaran Umum Jakarta Selatan Jakarta sebagai Ibukota Provinsi Daerah Khusus Jakarta sekaligus sebagai Ibukota Negara RI mempunyai visi, yaitu mewujudkan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia yang sejajar dengan kota-kota besar Negara maju, dihuni oleh masyarakat yang sejahtera dan berbudaya dalam lingkungan kehidupan yang berkelanjutan. Khusus untuk Kotamadya Jakarta Selatan sebagai bagian dari pengembangan visi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, mempunyai misi untuk mempertahankan wilayah bagian Selatan Jakarta sebagai daerah resapan air. Di wilayah Kodya Jakarta Selatan secara administrasi terdapat 10 kecamatan yang terdiri dari 65 kelurahan. Persebaran 65 kelurahan tersebut terbagi atas tujuh kelurahan di Kecamatan Tebet, delapan kelurahan di Kecamatan Setiabudi, lima kelurahan di Kecamatan Mampang Prapatan, sepuluh kelurahan di kecamatan Kebayoran Baru, lima kelurahan di kecamatan Cilandak, tujuh kelurahan di kecamatan Pasar Minggu, lima kelurahan di kecamatan Pesanggrahan, enam kelurahan di kecamatan Kebayoran Lama, enam kelurahan di kecamatan Pancoran, dan enam kelurahan di kecamatan Jagakarsa. Wilayah studi berada di Kecamatan Jagakarsa, Kelurahan Srengseng Sawah kawasan Perkampungan Budaya Betawi. Gambaran Umum Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Kawasan Setu Babakan berada di Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa. Menurut Perda No.3 Tentang Penetapan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan, kawasan Perkampungan Budaya Betawi mempunyai luas ± 289 ha, meliputi kawasan permukiman, fasilitas, hutan kota, Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong yang merupakan satu kesatuan yang dikelola secara terpadu.
13
Penduduk kawasan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) terdiri dari penduduk etnis Betawi dan penduduk pendatang dengan komposisi 50% penduduk etnis Betawi dan 50% penduduk pendatang. Sejarah Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Perkampungan Budaya Betawi (PBB) merupakan embrio pusat kebudayaan Betawi, tempat dimana ditumbuhkembangkan keasrian alam, tradisi Betawi yang meliputi; keagamaan, kebudayaan, dan kesenian Betawi. Ide dan keinginan untuk membangun pusat kebudayaan Betwai sudah tercetus sejak tahun 1990-an. Pada tahun 1996-2001 oleh Badan Musyawarah Betawi (BAMUS BETAWI) keinginan ini dituangkan dalam sebuah rancangan program kerja yaitu “ Membangun Pusat Perkampungan Budaya Betawi”. Adanya desakan dari masyarakat Betawi yang amat kuat dan dengan dukungan tokoh-tokoh Betawi serta organisasi masyarakat Betawi di bawah Bamus Betawi sebagai pengayom seluruh aktivitas orgsnisasi dan yayasan masyarakat Betawi yang merasakan bahwa etnis mereka dirasakan kian hari kian terdesak dan semakin kehilangan identitasnya. Maka pada tahun 1998 Bamus Betawi mengajukan proposal tentang “Pembangunan Perkampungan Budaya Betawi” dengan alternatif lokasi di Setu Babakan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Perkampungan Budaya Betawi adalah program pembangunan Pemerintah provinsi DKI Jakarta (dedicated program Gubernur) dalam rangka memenuhi amanat UUD 1945 (Pasal 18 ayat 2 b) dan Undang-Undang No. 29 Tahun 2007 bab V Pasal 26 ayat 6, yang isinya “Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melestarikan dan mengembangkan budaya masyarakat Betawi serta melindungi berbagai budaya masyarakat daerah lainnya yang ada di daerah Provinsi DKI Jakarta”. Pada tahun 2000 Gubernur Provinsi DKI Jakarta Mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur No.92 Tahun 2000 tentang Penataan Lingkungan Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Alasan ditetapkannya Setu Babakan sebagai Perkampungan Budaya Betawi adalah sulitnya ditemukan apa yang dinamakan Perkampungan Budaya Betawi di DKI Jakarta, karena Condet yang sebelumnya ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi sudah berubah menjadi kawasan permukiman yang modern. Adapun tujuan penetapan Perkampungan Budaya Betawi berdasarkan Surat Keputusan tersebut adalah : 1. Berkembangnya lingkungan kehidupan komunitas Perkampungan Budaya Betawi di kawasan Situ Babakan dan Situ Mangga Bolong, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan; 2. Terlindungi dan terbinanya secara terus menerus tata kehidupan, seni budaya tradisional Betawi; dan 3. Berkembang dan termanfaatkannya potensi lingkungan guna kepentingan wisata budaya, wisata agro, wisata air dalam rangka peningkatan kesejahteraan sosial dan masyarakat. Berdasarkan Surat Keputusan tersebut akhirnya mulailah dibangun embrio Perkampungan Budaya Betawi. Kemudian pada tanggal 20 Januari 2001, Bamus Betawi mengadakan halal bihalal dengan organisasi pendukung dan masyarakat Betawi sekaligus diresmikannya Perkampungan Budaya Betawi oleh Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
14
Kondisi Fisik Kawasan Perkampungan Budaya Betawi. Kawasan Perkampungan Budaya Betawi memiliki luas ± 165 Ha termasuk Situ Babakan dan Situ Mangga Bolong. Secara geofrafis Perkampungan Budaya Betawi terletak pada106°49’50”BT dan 6°20’23”LS. Secara Administratif termasuk dalam wilayah Kotamadya Jakarta Selatan, Kecamatan Jagakarsa, Kelurahan Srengseng Sawah. Batas fisik kawasan Perkampungan Budaya Betawi adalah sebagai berikut : Sebelah Utara : Jalan Moch. Kahfi II sampai Jalan Desa Putra Sebelah Selatan : Jalan Tanah Merah sampai Jalan Srengseng Sawah Sebelah Barat : Jalan Mochamad Kahfi II Sebelah Timur : Jalan Desa Putra sampai Jalan Mangga Bolong Timut Pemanfaatan ruang (space) meliputi penggunaan tanah di sekitar tapak untuk pertanian buah-buahan. Namun saat ini sebagian dari masyarakat banyak memanfaatkan lahan kosong mereka untuk dijadikan rumah kontrak (jasa sewa rumah) sebagai usaha jasa, sehingga lahan hijau semakin berkurang. Aksesibilitas dan Lokasi Aksesibilitas ke lokasi dapat dicapai dari dua jalan utama melalui Pasar Minggu ke arah selatan masuk ke Jalan Raya Lenteng Agung, Jalan Moch Kahfi 2 dan Jalan Srengseng Sawah hingga sampai kawasan Perkampungan Budaya Betawi. Untuk pencapaian dari arah selatan dicapai melalui Jalan Tanah Baru, Jalan Moch Kahfi 2 dan Jalan Setu Babakan hingga sampai kawasan Perkampungan Budaya Betawi. Lokasi dikelilingi oleh 2 jalan utama yaitu, Jalan Moch. Kahfi 2 dan jalan Srengseng Sawah. Kedua jalan tersebut dilintasi oleh angkutan umum dan kendaraan pribadi, sehingga dapat dikatagorikan sebagai jalan dengan mobilitas tinggi. Lokasi kawasan terletak 5 km dari stasiun kereta api Lenteng Agung dan 5.5 km dari obyek wisata Kebun Binatang Ragunan. Jalan Raya Pasar Minggu dan Jalan Raya Lenteng Agung merupakan lintasan Kereta Rel Listrik (KRL) Jakarta– Bogor dan merupakan jalur akses utama menuju kawasan PBB. Jalan masuk menuju kawasan Perkampungan Budaya Betawi ditandai dengan adanya Pintu Bang Pitung (Gambar7a) Jalan lokal pada kawasan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) didominasi oleh jalan lingkungan (Gambar 7b). Secara umum sirkulasi pada setiap RW sudah cukup memadai dengan kondisi lebar jalan bervariasi antara meter untuk jalan yang diaspal dan jalan yang belum diperkeras masih berupa tanah (alami) meter
a
b
Gambar 7Aksesibiltas Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan (a) Pintu Masuk 1 Bang Pitung, (b) Jalan lingkungan di kawasan Perkampungan Budaya Betawi
15
Gambar 8 Peta Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan
16
Gambar 9 Peta Zona Permukiman Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan
17
Kependudukan Sosial dan Budaya Keadaan kependudukan sosial ekonomi dan budaya, di dalam kawasan menggambarkan kehidupan masyarakat yang bermukim, terdiri atas penduduk asli dan pendatang dengan berbagai latar belakang etnis dan profesi yang beragam. Wilayah kelurahan Srengseng Sawah kecamatan Jagakarsa Kotamdya Jakarta Selatan, terbagi kedalam 19 RW dan 156 RT. Jumlah penduduk di kelurahan Srengseng Sawah pada tahun 2013 sebesar 59.235 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 6.747 jiwa/Km2. . Pada tingkat Kampung Setu Babakan (Perkampungan Budaya Betawi) tahun 2013 jumlah penduduk mencapai 21.865 jiwa dan kurang lebih sekitar 50% (10.933 Jiwa) merupakan penduduk Betawi. Terbagi dalam 5 RW yaitu, RW 05, RW 06, RW 07, RW 08, dan RW 09. Jumlah penduduk pada tingkat RW Kampung Setu Babakan tersaji pada Tabel 5. Tabel 5Jumlah Penduduk tahun 2013 di Setu Babakan Lokasi RW 05 RW 06 RW 07 RW 08 RW 09 Jumlah
Jumlah Penduduk (Jiwa) 276 4.630 4.735 5.743 6.481 21.865
(%) 1.26 21.17 21.65 26.26 29.64 100.00
Keterangan Hanya 1 RT yang masuk kedalam kawasan Ada 1 RT lokasinya berada diluar batas kawasan
(Sumber: Kelurahan Srengseng Sawah,2013) Jenis mata pencaharian penduduk di kawasan Perkampungan Budaya Betawi sangat beragam meliputi berbagai profesi seperti pegawai swasta, PNS, TNI/Polri, pedagang, buruh, jasa, wiraswata, petani kebun, pensiunan dan pengangguran. Komposisi jenis profesi dikawasan pada tingkat kelurahan Srengseng Sawah tersaji pada (Tabel 6) Tabel 6 Komposisi Jenis Profesi di Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Jenis Mata Pencaharian Pegawai Negeri Sipil Pegawai Swasta TNI Pedagang Petani Buruh Jasa Pensiunan Pengangguran Jumlah
Jumlah (Jiwa) 2.081 8.108 3.093 3.273 2.058 1.825 795 1.050 549 22.832
(%) 9.11 35.51 13.55 14.34 9.01 7.99 3.48 4.60 2.40 100.00
(Sumber: Kelurahan Srengseng Sawah,2013) Masyarakat di Perkampungan Budaya Betawi mempunyai sifat terbuka terhadap orang luar/pendatang. Hubungan sosial masyarakat terdekat diawali dengan kekerabatan, keluarga terdekat orang tua, anak-anak dan kerabat dekat. Adanya pelapisan sosial menunjukkan adanya pembedaan hak dan kewajiban didalam masyarakat berdasarkan pada potensi seperti, kepandaian, senioritas, keaslian, hubungan kerabat dengan kepala masyarakat, pengaruh dan kekuasaan,
18
pangkat, gaya hidup dan harta kekayaan. Sedangkan kyai dan orang-orang terpelajar mempunyai peranan penting bagi masyarakat Betawi dalam pengambilan keputusan yang bersifat inovatif, misalnya membantu mensukseskan program pembangunan di daerahnya. Berbagai jenis kesenian yang ada (Lenong, Topeng Blantek dan Gambang Kromong) dan upacara adat (sunatan, nujuh bulan, upacara pengantin) masih dilakukan secara sadar oleh masyarakat setempat. Kegiatan home industryyang memiliki nilai keBetawian seperti pembuatan bir pletok, dodol betawi, penyewaan alat-alat kesenian Betawi, kerak telor dan pembuatan souvenir khas Betawi dapat ditemukan dibeberapa RW pada Perkampungan Budaya Betawi. Iklim Berdasarkan data iklim menurut BMKG (Badan Metereologi Geofisika) stasiun klimatologi Pondok Betung, Tanggerang pada tiga tahun terakhir yaitu tahun 2010 sampai 2012 (Tabel 7), rata-rata suhu udara terendah sebesar 33.00oC pada tahun 2011, dan rata-rata suhu udara tertinggi sebesar 35.40oC pada tahun 2012. Suhu udara terendah (minimum) sebesar 31.20 terjadi pada tahun 2011, dan suhu udara tertinggi (maksimum) sebesar 35.40 pada tahun 2012. Untuk curah hujan rata-rata terendah terjadi pada tahun 2011 sebesar 89.99 mm, rata-rata curah hujan tertinggi pada tahun 2010 sebesar 242.492 mm, dan curah hujan terendah (minimum) terjadi pada tahun 2012 sebesar 7.30 mm, curah hujan tertinggi (maksimum) pada tahun 2010 sebesar 518 mm. Menurut Rafi’i (1995), terdapat tiga kriteria iklim berdasarkan klasifikasi Schmidt-Ferguson, yaitu bulan basah (curah hujan dalam satu tahun lebih besar dari 100 mm/bulan), bulan lembab (curah hujan dalam satu tahun 60-100 mm/bulan), dan bulan kering (curah hujan dalam satu tahun kurang dari 60 mm/bulan). Berdasarkan kriteria iklim dan data yang diperoleh dalam tiga tahun terakhir, rata-rata curah hujan dalam satu tahun adalah 171.80 mm/bulan. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kawasan Perkampungan Budaya Betawi tergolong dalam kriteria bulan basah. Rata-rata kelembaban udara terendah sebesar 77% berada pada tahun 2011 dan tertinggi sebesar 82% pada tahun 2010. Kelembaban udara terendah (minimum) sebesar 69% pada tahun 2011, dan tertinggi (maksimum) 85% pada tahun 2010, 2011 dan 2012. Tabel 7Data Iklim Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Parameter (Per Bulan)
Nilai 2010
2011
2012
33.00 32.00 34.50
33.00 31.20 34.70
33.40 31.40 35.40
242.492 111.10 518.00
89.99 186.20
182.91 7.30 430.70
82 78 85
77 69 85
79 70 85
o
Suhu Udara ( C) Rata-rata Minimum Maksimum Curah Hujan (mm) Rata-rata Minimum Maksimum Kelembaban Udara (%) Rata-rata Minimum Maksimum
Sumber : Badan Metereologi dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung
19
Topografi Keadaan topografi di kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan tergolong dalam kategori yang sedikit bergelombang dan agak rata, hal ini ditunjukan dengan kemiringan lereng yang mencapai 8-15% dengan ketinggian 25 m dpl (Wardiningsih, 2005). Permukiman di sebelah Barat terletak lebih tinggi dari permukaan jalan di sepanjang situ. Jalan di sepanjang situ relatif datar. Keadaan geologis Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan yang relatif datar menyebabkan banyaknya area permukiman di daerah ini. Ketinggian air tanah berada pada kisaran 3-6 m yang merata pada hampir seluruh daerah. Sebagian besar penduduk sekitar menggunakan sumber air tanah yang diperoleh dari sumur untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tanah Jenis tanah yang terdapat di kawasan Setu Babakan adalah asosiasi latosol merah, latosol coklat kemerahan, dan laterit air tanah dengan bahan induk Tuf volkan intermedier. Tanah latosol tidak memperlihatkan pembentukan tanah yang baru dan tidak dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Latosol bersifat asam, dengan kandungan bahan organik yang rendah sehingga kesuburan juga rendah. Tanah ini berstruktur granular dan drainasenya baik (Ayuputri, 2006). Hidrologi Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong merupakan sumber mata air di kawasan Perkampungan Budaya Betawi. Terdiri dari empat mata air yang berasal dari sungai Pitara, Setu Mangga Bolong, dan Kali Baru Barat serta Kali cabang Tengah (Gambar 10). Berdasarkan Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta (2011) kondisi setu tergolong baik, meskipun tidak jarang ditemukan banyak sampah di sekitar danau. Setu masih tergolong alami, jernih, bersih, dan sebagian area setu ditumbuhi tanaman air. Setu Babakan ini aman dari pendangkalan atau erosi karena adanya tanggul berupa dinding di sepanjang setu. Fungsi dari perairan setu ini sebagai area rekreasi, menampung air hujan, resapan air, irigasi, penanggulangan banjir, tempat budi daya ikan tambak dan sarana olahraga air. Wilayah Kelurahan Srengseng Sawah termasuk ke dalam DAS Sanggrahan yang berada di sebelah Barat Sungai Ciliwung. Sistem hidrologi Situ Babakan merupakan sistem terbuka dengan adanya inlet dan outelt air situ. Inlet Situ Babakan ada empat yaitu, dari Situ Mangga Bolong, Kali Baru, Kali Tengah, dan Situ ISTN (Institut Sains dan Teknologi), sedangkan outletnya menuju Sungai Ciliwung. Kondisi fisik Setu Babakan secara keseluruhan cukup baik dengan genangan 100% perkiraan volume air ±1.775.000 m3pada musim kemarau, dan ±2.025.000 m3pada musim hujan (Alam 2009). Berdasarkan Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta (2011), suhu perairan di Setu Babakan adalah 30.7oC pada inlet, 30.7oC pada badan air, dan 31.50oC pada outlet. Kondisi ini masih mampu mendukung kehidupan organisme akuatik karena menurut Boyd (1990), ikan akan hidup dengan baik pada suhu kisaran 25-32oC. Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 tentang baku mutu air golongan III dan IV, suhu pada kisaran24-31oC masih sesuai untuk kegiatan perikanan dan pertanian. (Utami, 2012)
20
a c b Gambar 10 Hidrologi di Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan (a) Kali Baru, (b) Setu Babakan, (c) Setu Mangga Bolong Vegetasi Setu Babakan dikelilingi oleh deretan pepohonan yang ditanam oleh Pemda DKI Jakarta. Vegetasi di Perkampungan Budaya Betawi terbagai menjadi tanaman kebun, tanaman pekarangan dan tanaman tepi jalan. Tanaman yang ditanam umumnya bersifat ekonomis untuk dijual/dipasarkan sebagai pemasukan tambahan bagi warga. Tanaman kebun yang juga terdapat di beberapa pekarangan penduduk Perkampungan Budaya Betawi yaitu, alpukat (Persea americana), belimbing (Averhoa carambola L), rambutan (Nephelium lappaceum L), melinjo (Gnetum gnemon ), pisang (Musa sp), pepaya (Carica papaya), kelapa (Cocos nucifera), singkong (Manihot esculenta Crantz), mengkudu (Morinda citrifolia), bambu (Bambusa sp). Tanaman alpukat merupakan tanaman yang saat ini sedang dibudidayakan di Perkampungan Budaya Betawi dan mempunyai nilai ekonomi penting. Tanaman pekarangan yang terbagi lagi atas tanaman hias dan TOGA (tanamaan obat keluarga). Tanaman hias yang ditanam oleh penduduk yaitu, hanjuang (Cordyline), lidah mertua (Sanseviera intrifasciata), daun mangkokan (Neth pcscutellarium), soka (Ixora sp), kembang sepatu (Malvaviseus abarcus), mawar (Rose hybrida), dan lain-lain. Tanaman Obat Keluarga (TOGA) seperti jahe (Zingiber offcinale Rosc), kencur (Kaempferia galanga), secang (Caesalpinia sappan), cingcau (Cyclea barbara Miers),daun katuk (Sauropis anchoginus L), jarak (Jatropha multifida), kembang teleng (Clitoria tematea) serta kumis kucing (Orthociphor aristatus), daun dewa (Gynura segetum), dan lain-lainnya. Jahe menjadi tanaman yang mempunyai nilai ekonomi karena sebagai bahan baku pembuatan bir pletok (home industry). Tanaman tepi jalan adalah tanaman yang tumbuh di sepanjang jalan Perkampungan Budaya Betawi, tanaman tersebut yaitu angsana (Pterocarpus indicus Wiil), flamboyan (Delonix regia), waru (Hibiscus tiliaceus L), mahoni (Swietenia mahagoni).Adapun vegetasi yang berada di pinggir Setu Babakan. Keberadaan vegetasi yang sengaja ditanam di pinggir danau ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya longsor dan mencegah aliran permukaan yang berlebihan akibat air hujan, selain itu keberadaan vegetasi di Setu Babakan juga sebagai kawasan yang diperuntukan Pemerintah sebagai ruang terbuka hijau yang ada di DKI Jakarta. Keberadaan vegetasi di sekitar danau selain sebagai peneduh juga sebagai sabuk hijau kawasan yang dapat mencegah hingga 50% terjadinya pengikisan tanah (Alam, 2009)
21
a
c b Gambar 11Vegetasi di Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan (a) Vegetasi Kebun, (b) Vegetasi Pekarangan, (c) Vegetasi di Sekitar Danau
Satwa Satwa yang hidup di Perkampungan Budaya Betawi merupakan satwa yangdapat dijumpai di mana-mana dan mempunyai penyebaran cukup luas. Tidak terdapat satwa endemik dan langka yang dilindungi undang-undang. Ekosistem perairan danau saat ini oleh sebagian besar masyarakat dimanfaatkan sebagai usaha pengembangan budidaya ikan. Budidaya ikan meliputi ikan nila (Tilapia nilstica), ikan mas (Cyprus carpio), ikan mujair (Oreochronus mossambtrucs), ikan tawes (Trichogaster sp), gurame (Oshpranemus gourame), dan lele (Clarias batraticus). Budidaya perikanan dilakukan dengan sistem Keramba Jaring Apung (Wardiningsih,2005) Tata Guna Lahan Tata guna lahan di kawasan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) dibedakan menjadi dua bagian, yaitu area tidak terbangun sebesar ± 39.06% (RTH, kebun campuran, tegalan, empang, setu/irigasi) dan area terbangun ± 58.50% (lahan permukiman, jasa industri, perdagangan, perkantoran, dam fasilitas umum). Luas dan presentase untuk masing-masing area penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8Penggunaan Lahan di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Terbangun
N
Tidak Terbangun
Jenispenggunaan
Luas (Ha)
(%)
Jenis Penggunaan
Luas (ha)
(%)
Permukiman 1
366.10
54.26
Pertanian
61.00
9.04
Jalan 2 Raya/Lingkungan
28.00
4.14
Pemakaman (RTH)
4.74
0.70
Fasilitas Umum 3
17.00
0.14
Setu/Irigasi
196.21
29.08
Lain-lain
1.63
0.24
263.58
39.06
4 Jumlah
411.10
58.50
Jumlah
Sumber : Kelurahan Srengseng Sawah (2013)
Komponen Fisik Komponen fisik merupakan komponen yang tampak secara fisik berupa suatu form (bentuk) konstruksi, struktur atau artefak fisik. Dalam penelitian ini yang ditemukan dalam bentuk komponen fisikberupa bangunan rumah dan pola permukiman. Artefak fisik berupa bangunan rumah tradisional Betawi dan pola permukiman yang berciri khas kan Betawi.
22
Bentuk Bangunan Rumah Arsitektur suatu bangunan dikatakan “tradisional” apabila penciptaan struktur dan konstruksi, pengaturan tata letak ruang, penggunaan ragam hias, dan cara pembuatan bangunan tersebut diwariskan secara turun temurun dalam suatu kebudayaan atau lokalitas tertentu. Selain itu, arsitektur bangunan dikatakan juga tradisional apabila fungsi yang dimilikinya adalah untuk mewadahi kegiatankegiatan maupun kebutuhan-kebutuhan yang muncul dari kebudayaan tersebut.Dengan demikian arsitektur tradisional adalah bersifat khas (indigenous), yang hanya terdapat pada kebudayaan dan lokalitas tertentu. Rumah tradisional Betawi dapat dibedakan berdasarkan bentuk atau model atapnya. Rumah Gudang, rumah Joglo, dan rumah Bapang/Kebaya. Rumah tradisional Betawi terdiri dari tiga ruang (ruang depan, tengah, dan belakang). 1. Rumah Gudang, berdenah empat persegi panjang Rumah Gudang memiliki denah segi empat memanjang dari depan ke belakang dan atapnya berbentuk pelana. Denah rumah ini berkesan terbagi ke dalam dua kelompok ruang yaitu ruang depan dan ruang tengah (Gambar 12a). Ruang depan sering disebut serambi depan karena terbuka. Dahulu ruang depan berisi balai sedangkan sekarang umumnya berisi kursi dan meja tamu. Ruang tengah sering disebut juga ruang dalam rumah, dan merupakan bagian pokok dari rumah Betawi yang berisikan kamar tidur, ruamg makan, dan pendaringan (tempat untuk menyimpan barang-barang keluarga, benih padi, dan beras).Sedangkan ruang belakang merupakan tempat untuk memasak dan untuk menyimpan alat-alat pertanian dan kayu bakar. Ruang belakang dari rumah gudang nampaknya secara abstrak berbaur dengan ruang tengah dari rumah.
a b Gambar 12Rumah Gudang (a) Denah rumah Gudang, (b) Rumah Gudang yang ditemukan di lokasi penelitian. Di kawasan Perkampungan Budaya Betawi, banyak ditemui rumah bergaya arsitektur gudang terutama di wilayah RW 08 (Gambar 12b). Bagian depan rumah sebagai teras berisi meja dan kursi atau bale yang biasa digunakan warga untuk duduk-duduk atau menerima tamu. 2. Rumah Joglo Betawi, berdenah bujur sangkar Rumah Joglo Betawi merupakan hasil pengaruh langsung dari arsitektur Jawa pada rumah tradisional Betawi. Pada umumnya rumah Joglo Betawi memiliki denah bujur sangkar, tetapi bagian yang sebenarnya membentuk rumah Joglo adalah suatu bagian empat persegi panjang yang
23
salah satu garis panjangnya terdapat dari kiri ke kanan ruang depan (Gambar 13). Untuk ruang belakang, lebih jelas pembagiannya dibandingkan dengan ruang belakang pada rumah Gudang. Di dalam kawasan Perkampungan Budaya Betawi saat ini belum ditemukan adanya rumah warga dengan gaya arstitekur Joglo
Gambar 13 Denah Rumah Joglo Betawi 3. Rumah Bapang/Kebaya, berdenah emapt persegi panjang Letak rumah Bapang serupa dengan rumah Joglo yaitu memiliki tiga kelompok ruang : ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang (Gambar 14a). Pada umumnya, atap rumah bapang juga berbentuk pelana seperti pada rumah Gudang, namun bentuk pelana rumah Bapang tidak penuh (Gambar 14b).
Gambar 14Rumah Bapang/Kebaya (a) Denah Rumah Bapang/Kebaya, (b) Rumah Bapang/kebaya yang di temukan di Lokasi Penelitian Secaraa umum b bentuk arsitektur bangunan rumah Betawi memiliki ciri yaitu terdapat lisplang yang disebut sebagai gigi balang (Gambar 15a). Lisplang ini diletakkan pada bagian atas/atap rumah. Pagar teras yang disebut langkan merupakan pembatas teras yang terbuat dari kayu dan menyerupai pagar, tetapi berada diluar teras (Gambar 15b). Jendela krepyak merupakan jendela yang terbuat dari kayu dengan pola garis-garis horisontal, bentuk dari jendela krepyak ini bervariasi, salah satunya berbentuk empat persegi panjang (Gambar 15c) dan setengah lingkaran. Sekor besi atau konsol yang berfungsi sebagai penahan dak (Gambar 15d) Bagian depan rumah tradisional Betawi dihiasi dengan dekorasi khas Betawi, seperti jendela berdaun ganda dan bukaan jendela dengan pegangan yang dikenal dengan nama jendela bujang atau jendela Cina. Menurut Harun (1991), Jendela-jendela ini menunjukan pengaruh hukum
24
Islam dimana perempuan tidak diperkenankan untuk melihat calon suaminya sebelum menikah. Akan tetapi, perempuan bisa diam-diam mengintip dari balik jendela bujang.
a
b
c
d
Gambar 15 Detail Arsitektur Rumah Betawi (a) Gigi Balang, (b) Langkan, (c) Jendela Krepyak Empat Persegi Panjang, (d) Sekor Besi/Konsol Ragam hias merupakan salah satu ungkapan arsitektural penting yang terdapat pada rumah tinggal tradisional Betawi. Pentingnya ragam hias di dalam arsitektur Betawi bukan saja karena penggunaannya yang terdapat pada hampir sebagian besar unsur bangunan rumah tinggal, tetapi juga karena keberadaannya jelas menunjukkan adanya pengaruh dari berbagai kebudayaan lain yang pernah berhubungan dengan Betawi. Ragam hias ini juga dapat menunjukkan kesan estetika pada rumah tradisional Betawi. Ragam hias diletakkan di atas jendela atau pintu, langkan (pagar rumah), dan lain-lain. Menurut Harun (1999), berdasarkan pola visual yang ditampilkannya terdapat ragam hias matahari, ragam hias flora, ragam hias baji, dan lain-lain. Dari pola ragam hias merefleksikan adanya pengaruh Cina, Arab, maupun Eropa.Gambar beberapa macam ragam hias dapat dilihat pada Gambar 16 dan ragam hias yang ditemukan di Perkampungan Budaya Betawi dapat dilihat pada Gambar 17. Di Perkampungan Budaya Betawirumah-rumah dengan gaya arsitektural tradisional Betawi sudah tidak terlihat lagi secara utuh (100%) bahkan jarang ditemukan pada beberapa wilayah RW (Rukun Warga). Dari data yang diperoleh berdasarkan hasil pengamatan langsung di lapang, di RW 08 kurang dari 50% rumah penduduk dengan bentuk arsitektur tradisional Betawi. Beberapa rumah hanya menghadirkan nuansa Betawi seperti menggunakan lisplang gigi balang, langkan pada teras rumah, jendela krepyak, atau penggunaan ragam hias. Sedangakan pada wilayah RW lain yang juga menjadi tempat penelitian yaitu RW 07 dan RW 09 sudah semakin jarang ditemukan adanya bangunan (rumah tinggal)
25
bergaya arsitektural Betawi. Hanya rumah tokoh tertentu seperti ketua RT atau ketua RW yang menghadirkan ciri khas arsitektur Betawi pada rumahnya.
Gambar 16 Beberapa Jenis Ragam Hias Sumber : Harun et al. 1999
a
b
c
Gambar 17 Ragam Hias (a) Matahari pada Pintu, (b) Flora (cempaka) pada tiang, dan (c) Tumpal pada langkan Adapun penyebab lain yaitu karena gaya hidup masyarakat kota yang semakin modern serta akibat dari perkembangan zaman sehingga tidak sedikit warga menginginkan rumah tinggal yang modern dengan gaya minimalis. Sebagian dari warga berpendapat rumah mereka akan terlihat kuno dan ketinggalan zaman jika bernuansa tradisional Betawi, ini merupakan bukti kurangnya pengetahuan warga akan pentingnya untuk tetap melestarikan nilai budaya khususnya Betawi. Dalam mengatasi masalah ini, sebaiknya rumah-rumah yang bergaya modern (minimalis) tetap menghadirkan nuansa Betawi. Paling tidak pada penggunaan lisplang “gigi balang” yang semula terbuat dari kayu dapat dirubah menjadi ukiran menyerupai ragam jenis gigi balang pada dinding
26
Pola Permukiman Betawi Secara umum pola permukiman di Perkampungan Budaya Betawi dari tata letak dan orientasi rumah berkembang secara individual. Rumah-rumah tidak berkembang secara komunal (mempunyai orientasai tertentu), sehingga terkesan tidak teratur (menyebar). Letak rumah dapat dikatakan tidak memiliki arah mata angin maupun orientasi tertentu dalam perletakannya. Tidak ada suatu kepercayaan tertentu yang harus diikuti dalam menetapkan ke arah mata angin mana suatu rumah harus meghadap. Orientasi atau arah mata angin rumah lebih ditentukan oleh alasan-alasan praktis seperti bentuk dan orientasi pekarangannya atau aksesibilitas (kemudahan mencapai jalan). Menurut Sitepu (1992), pola permukiman yang tidak teratur adalah ciri dari pola permukiman “Betawi Pinggir”, Setu Babakan termasuk dalam kelompok tersebut. Rumah-rumah penduduk pada umumnya terlihat mengelompok dengan jarak yang bervariasi (tidak tentu). Diantara rumah-rumah penduduk terdapat ruang terbuka hijau berupa kebun buah atau pekarangan yang difungsikan untuk Tanaman Obat Keluarga (TOGA) atau lahan kosong milik penduduk setempat. Pola permukiman di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan terdiri dari dua karakter, yaitu pola permukiman bagian luar yang dekat atau menempel dengan badan jalan dan pola permukiman bagian dalam yang menghadap pekarangan atau kebun atau jalan lingkungan (Gambar 18). Pola permukiman bagian luar dekat jalan utama di Perkampungan Budaya Betawi memiliki ciri orientasi rumah yang pada umumnya menghadap ke jalan utama dan membelakangi pekarangan. Rumah-rumah berjajar sepanjang jalan utama dengan jarak saling berjauhan, namun ada juga yang berdekatan (menempel), rumah dibatasi oleh pagar tanaman, atau bahkan dibatasi oleh pohon, untuk beberapa rumah yang sudah modern dibatasi oleh pagar besi dan dinding bata. Pola permukiman bagian dalam memiliki ciri rumah menghadap pekarangan atau kebun atau jalan lingkungan. Rumah-rumah berjajar sepanjang jalan lingkungan atau dengan pola terpencar dan ditengah kebun. Kondisi lebar jalan sangat bervariasi antara 3 meter, 2 meter, atau hanya berupa jalan setapak yang di kenal dengan sebutan gang senggol. Pada pola permukiman bagian dalam biasanya juga terdapat rumah yang disewakan (kontrakan). Penduduk yang memiliki lahan kosong memanfaatkan lahan tersebut untuk dibuat rumah sewa, sehingga rumahrumah tersebut mengelompok dengan letak saling berdekatan satu sama lain sehingga terlihat sangat padat. Batas pekarangan dibatasi oleh pagar tanaman atau “pagar jaro” (bambu) atau pagar besi.
a b Gambar 18 Pola Permukiman Tradisional Betawi (a) Bagian Luar, (b) Bagian Dalam (Hinterland)
27
Pola permukiman Bagian luar dan dalam umumnya terdapat disetiap wilayah RW 07, RW 08 dan RW 09. Pola Permukiman di RW 08 hampir seluruhnya menunjukkan pola permukiman bagian dalam. Rumah-rumah berjajar sepanjang jalan lingkungan dan menghadap kebun. Berbeda dengan pola permukiman di wilayah RW 07 dan 09, di wilayah ini hampir seluruhnya konfigurasi bangunannya menunjukan pola permukiman bagian luar walaupun ada sebagian di wilayah RW 09 pola permukimannya Hinterland (bagian dalam). Rumah-Rumah di wilayah RW 07 dan 09 letaknya menempel dengan badan jalan utama. Saat ini perubahan pola permukiman tidak dapat dihindari, terutama rumahrumah pada bagian luar (rumah-rumah yang berjajar atau menghadap ke jalan utama dan jalan lingkungan). Sedangkan pada bagian dalam hanya sebagian kecil saja rumah-rumah yang masih mempunyai pola mengelompok dengan rumah menghadap ruang terbuka/kebun. Seiring dengan berjalanya waktu terjadi perubahan dari pola permukiman tradisional ke pola tanpa pekarangan yang cenderung tidak memiliki pekarangan yang cukup luas, terutama untuk pola bagian luar. Sedangkan untuk pola bagian dalam masih beberapa rumah yang memiliki pekarangan. Peningkatan densitas (keragaman) permukiman saat ini, harus ditekan untuk menghindari perubahan karakter kawasan. Perubahan tersebut terjadi akibat dari berbagai faktor kebutuhan ekonomi. Komponen Non Fisik Komponen non fisikmerupakan komponen yang tidak tampak secara fisik berupa kegiatan atau kebiasaan yang dilakukan masyarakat Betawi di Perkampungan Budaya Betawi. Dalam penelitian ini yang ditemukan dalam bentuk komponen non fisikyaitu fungsi keteritorialan yang terjadi didalam kampung, kegiatan ekonomi dan kegiatan kebudayaan yang dilakukan masyarakat. Fungsi Keteritorialan Menurut Porteous (1977), suatu unit teritorial atau daerah kekuasaan seseorang memiliki fungsi fisiologi yaitu keamanan, identitas dan stimulasi (kebanggaan) yang disebut home base (tempat tinggal). Home Base merupakan teritorial manusia di skala ruang menengah (mesospace). Fungsi keteritorialan merujuk pada kebutuhan dasar manusia yaitu, kebutuhan akan identitas, kebutuhan akan keamanan dan stimulasi. Di Perkampungan Budaya Betawi fungsi keteritorialan yang terjadi meliputi identitas berupa penandaan (marking) dari setiap wilayah RW, bagaimana bentuk atau sistem keamanan sehingga penduduk merasa nyaman atau betah (be home) serta fungsi stimulasi antar warga didalam kampung. Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner terhadap 30 responden yang tersebar merata di tiga unit wilayah RW (RW 07, RW 08, dan RW 09) mereka merasa nyaman terhadap fungsi keteritorialan di wilayah tempat tinggalnya. Kebutuhan Identitas (Personalisasi) Budaya Betawi dan nilai keBetawian harus menjadi identitas masyarakat Kota Jakarta. Identitas sangat diperlukan pada suatu tempat tinggal karena
28
merupakan pencerminan kebebasan pribadi dan dapat dilakukan dengan bermacam cara (Porteous, 1977). Kebutuhan identitas berkaitan dengan kebutuhan akan kepemilikan yang dalam hal ini yaitu berupa personalisasi/penandaan (marking) kampung. Personalisasi merupakan perilaku atau mekanisme penandaan dalam skala teritorial home base. Bentuk personalisasi yang dilakukan oleh warga dalam tiap wilayah teritorialnya berbeda-beda. Di RW 08 sebagian dari warganya membuat rumah tinggal mereka bernuansa khas kan Betawi. Selain tipe arsitektur rumah Betawi, terdapat gerbang masuk Perkampungan Budaya Betawi di wilayah RW 08 ini yang dikenal dengan sebutan “Gerbang si Pitung”. Bentuk personalisasi (penandaan) yang dilakukan oleh RW 07 berupa penomoran rumah. Ide membuat nomor rumah dengan disertai gambar ondel-ondel ini dicetuskan oleh salah satu ketua RT di RW 07. Selain nomor rumah, di RW 07 juga terdapat Masjid dengan tipe arsitektur Betawi yang menjadi kebanggan warga yaitu masjid Baitul Makmur. Masjid ini merupakan Masjid terbaik se-Jakarta Selatan. Bentuk personalisasi yang dilakukan warga pada RW 09 yaitu berupa penanaman TOGA (Tanaman Obat Keluarga) disalah satu lahan kosong milik warga. Selain itu, hampir di setiap pekarangan milik warga diwilayah RW 09 ditanami Alpukat (Persea americana). Alpukat Cipedak merupakan tanaman khas RW 09 dan menjadi kebanggan bagi warganya. .
a
b
d
e
c
f
Gambar 19Bentuk Personalisasi di Setiap RW (a) Desain Arsitektur Rumah Betawi pada RW 08 , (b) Gerbang “Si Pitung” pada RW 08, (c) Masjid dengan arsitektur Betawipada RW 07, (d) Penanaman TOGA pada RW 09, (e) Pohon Alpukat di Pekarangan Rumah Warga RW 09, (f) Penomoran rumah di RW 07
f
29
Bentuk Stimulasi Stimulasi merupakan sebuah bentuk hubungan ketetanggaan dalam suatu wilayah dan suatu bentuk kebanggaan seseorang terhadap wilayahnya (teritorinya). Bentuk stimulasi yang ditemukan di kawasan Perkampungan Budaya Betawi seperti gotong royong membersihkan kampung, arisan, dan pengajian. Bentuk kebanggaan warga yang ditemukan di kawasan Perkampungan Budaya Betawi sangat terlihat ketika sedang diselenggarakannya sebuah acara yang rutin diadakan setiap tahun di kantor pengelola yaitu “Gebyar Betawi”. Warga ditiap RW berlomba-lomba menunjukan kreatifitasnya dalam bidang home industry berbasis budaya Betawi (Gambar 20).
a b Gambar 20Acara “Gebyar Betawi” Memperlihatkan Bentuk Kebanggaan (Stimulasi) warga terhadap RWnya/wilayahnya (a) Jajaran Stand tiap RW (b) Stand Milik RW 09 Menjadi Stand Terbaik Kebutuhan Keamanan Guhl (1965) dalam Porteous (1977) menjelaskan bahwa keamanan dari unsur luar merupakan yang terpenting dalam suatu teritorial tempat tinggal karena digunakan sebagai tempat untuk tidur dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Rumah merupakan sarana pengamanan bagi diri manusia, memberi ketentraman hidup dan tempat kegiatan berbudaya. Upaya mendapatkan keamanan dapat dilakukan pada pintu masuk. Pertahanan dilakukan dengan memasang pagar, dinding, portal atau dengan menggunakan penjaga keamanan (hansip).
a
b
c d Gambar 21Bentuk Keamanan yang Terdapat di Setiap Wilayah RW (a) Menggunakan Langkan, (b) Menggunakann Pagar Jaro, (c) Menggunakan Pagar Besi, (d) menggunakan Barrier Tanaman
30
Pada kawasan Perkampungan Budaya Betawi bentuk keamanan yang ada sangat beragam dan berbeda-beda di setiap wilayah RW. Penggunaan pagar Jaro (terbuat dari kayu atau bambu), langkan, dan barrier tanaman berupa perdu atau semak banyak diterapkan di wilayah RW 08. Bahkan ada pula rumah warga yang dibiarkan tanpa pengamanan, umumnya ditemukan pada permukiman bagian dalam dimana pola permukimannya menyebar dengan jarak yang berdekatansehingga dapat memberikan fungsi keamanan tersendiri. Bentuk keamanan yang terdapat di wilayah RW 09 umumnya tidak jauh berbeda dengan RW 08. Hanya saja untuk wilayah RW 09 sudah banyak terdapat rumah bergaya modern, sehingga sudah tidak menggunakan pagar jaro lagi melainkan dengan dinding batu atau pagar besi.Di wilayah RW 07 bentuk keamanan sudah sangat modern, seluruh rumah warga menggunakan pagar besi, sudah tidak ditemukan lagi bentuk keamanan berupa pagar jaro atau dengan menggunakan barrier tanaman perdu atau semak. Penggunaan penjaga keamanan lingkungan seperti Hansip, ditemukan disetiap wilayah RW 08,07, dan 09. Disediakannya fasilitas berupa pos hansip di setiap RW oleh Pemerintah tingkat Kelurahan Srengseng Sawah. Adanya bentuk keamanan di setiap wilayah RW ini menjadikan warga merasa nyaman tinggal di daerah teritorinya. Kegiatan Kebudayaan Aktivitas budaya dan kesenian Betawi secara umum masih dilakukan secara utuh dan sadar oleh masyarakat Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan terutama pada RW 08 (mayoritas penduduk asli Betawi). Sedangkan pada RW 07 dan 09 sudah jarang melakukanya. Aktivitas budaya yang masih dilakukan meliputi : 1. Aktivitas yang berkaitan dengan adat istiadat dan tata cara hidup (mengaji, tamat Qur’an, ngubak empang, kerja bakti) 2. Aktivitas yang berkaitan dengan lingkar kehidupan manusia (upacara pengantin, nujuh bulan, akekah, cukur rambut, sunatan) 3. Upacara yang berkaitan dengan keagamaan (mengaji, Idul Fitri, Idul Adha, Nisfu Syaban, Maulid Nabi, Kematian) Kegiatan kebudayaan yang berkaitan dengan adat istiadat dan tata cara hidup seperti mengaji, tamat Qur’an, ngubak empang dan kerja bakti. Karena kebudayaan Betawi sangat bernafaskan agama Islam, maka mengaji dan tamat Qur’an menjadi sebuah aktivitas adat istiadat bagi masyarakat Betawi. Kegiatan Mengaji sehabis ibadah Shalat Maghrib menjadi kegiatan yang rutin dilakukan oleh sebagian besar anak-anak atau remaja di setiap RW Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.Kegiatan mengaji ini diadakan di masjid atau mushalla atau disalah satu rumah warga yang menjadi guru mengaji. Kegiatan ngubak empang dilakukan oleh warga di RW 09, kegiatan ini rutin dilakukan satu bulan sekali. Ngubak empang ini bertujuan untuk menangkap ikan yang kemudian dijual atau dimasak oleh warga. Kegiatan kebudayaan yang berkaitan dengan lingkar kehidupan seperti nujuh bulan, sunatan, upacara pengantin, akekah, cukur rambut. Kegiatan nujuh bulan dilakukan oleh ibu yang pertama kali mengandung dan kandungannya sudah berusia tujuh bulan. Kegiatan ini dilakukan oleh warga di setiap RW 08,07, dan 09 di kawasan Perkampungan Budaya Betawi. Setelah bayi lahir dilakukan upacara cukur rambut dan akekah. Pesta khitanan (sunatan) dilakukan jika seorang anak
31
laki-laki telah menginjak usia antara enam sampai tujuh tahun, tetapi tidak jarang seorang anak laki-laki baru dikhitan pada usia antara sembilan tahun sampai empat belas tahun. Acara adat perkawinan Betawi didahului dengan melamar, yaitu orang tua laki-laki secara resmi meminta gadis untuk dijadikan istri anak laki-lakinya.Upacara perkawinan dilakukan beberapa waktu kemudian di rumah mempelai wanita.Upacara adat perkawinan berupa palang pintu dan berbalas pantun.Sebagian dari warga dikawasan Perkampungan Budaya Betawi masih menggunakan upacara adat perkawinan Betawi saat melaksanakan acara pernikahan. Kegiatan kebudayaan yang berkaitan dengan keagamaan seperti ngederes (membaca Al-Quran bersama-sama dengan warga masyarakat) di Mesjid atau langgar (Mushala).Upacara keagamaan seperti kematian juga masih dilakukan oleh warga di kawasan ini.Diadakan pengajian pada hari ke-3, hari ke-7, hari ke40 dan hari ke-100 setelah kematian.Kegiatan kebudayaan masyarakat di Perkampungan Budaya Betawi sangat terpengaruh oleh sistem kepercayaan yang mereka yakini yaitu Agama Islam.Kegiatan kesenian Betawi yang masih dilakukan masyarakat mayoritas berbasis pada Agama Islam seperti Hadroh, Qasidah, Marawis, Nasyid.Dalam hubungannya dengan orang Betawi, Islam adalah agama yang dijadikan pedoman hidup. Terdapat berbagai macam pertunjukan berupa pagelaran kesenian Betawi di Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.Pagelaran ini diadakan di kantor pengelola di wilayah RW 08. Aktifitas pagelaran saat ini sudah terjadwal dengan baik dengan frekuensi pertunjukan rutin dua kali dalam satu minggu, dengan tampilan yang berbeda-beda dan pemain yang berbeda serta diatur sesuai jadwal pertunjukan.Adapun macam kesenian Betawi yang ditampilkan tersaji dalam Tabel 9. Tabel 9 Jenis Pagelaran Kesenian Betawi di Setu Babakan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jenis Pagelaran Kesenian Betawi Tari Betawi Lenong Betawi Marawis Gambang kromong Rebana Qasidah Topeng Blantek Nasyid Hadroh Samrah Gambus Ondel-Ondel Silat (BEKSI)
Pagelaran kesenian Betawi ini diwadahi oleh sebuah sanggar kesenian khususnya kesenian Betawi. Tidak semua wilayah di Kampung Betawi Setu Babakan memiliki sanggar kesenian Betawi. Salah satu wilayah yang memiliki sanggar kesenian Betawi yaitu di RT 03/RW 07. Pak Eko sebagai ketua RT 03/07 mendirikan sebuah sanggar seni Betawi yang bernama “Sanggar Gambang Kromong Gita Nada”. Beliau mendirikan sanggar ini bertujuan agar kesenian Betawi tidak hilang karena zaman yang semakin modern. Selain sanggar Gita Nada milik Bapak Eko, di RW 08 danRW 09 juga terdapat beberapa sanggar seni Betawi yang dapat mewadahi berbagai macam kegiatan kesenian Betawi.
32
a
b
Gambar 22Salah Satu Kegiatan Pagelaran Kesenian di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan (a) Tari Betawi, (b) Ondel-Ondel Kegiatan kebudayan yang terdapat di Perkampungan Budaya Betawi merupakan wujud dari kebutuhan dasar afiliasi dan estetika (Maslow dalam Porteous 1977). Ativitas keagamaan seperti mengaji (ngederes) untuk memenuhi kebutuhan dasar estetika dan aktivitas budaya yang lain seperti upacara adat pernikahan untuk memenuhi kebutuhan dasar afiliasi. Kegiatan Ekonomi Berdasarkan hasil survey, mata pencaharian penduduk di kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan sangat beragam. Sebagian besar bekerja sebagai karyawan swasta (37%), pedagang (20%) dan lainnya sebagai ibu rumah tangga (33%). Adapun kegiatan pembinaan terhadap ibu-ibu rumah tangga berupa kegiatan keterampilan pembuatan cinderamata khas Betawi yang nantinya akan dijual. Di perkampungan budaya betawi terdapat kegiatan industri rumah tangga yang sangat potensial untuk dikembangkan (Tabel 10) (Gambar 23). Kegiatan industri rumah tangga ini dilakukan oleh sebagian besar ibu-ibu rumah tangga di setiap RW. Mereka melakukan kegiatan industri ini secara berkelompok atau perorangan. Adapun kegiatan industri rumah tangga yang dilakukan secara turun temurun yang terdapat di RW 08, yaitu dodol Betawi. Saat ini kegiatan industri rumah tangga masih dilakukan di rumah-rumah warga. Dari proses pengerjaan hingga penjualan mereka lakukan di rumahnya. Melihat hal ini akan sangat baik jika terdapat fasilitas tambahan berupa bengkel atau bangunan khusus untuk mewadahi kegiatan industri rumah tangga di setiap wilayah RW. Sehingga dengan adanya fasilitas tambahan ini dapat menunjang kegiatan industri rumah tangga di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Tabel 10 Jenis Industri Rumah Tangga di Perkampungan Budaya Betawi Nama Industri Bir Pletok Sewa Baju Betawi Dodol Cindera mata ondel-ondel Sewa ondel-ondel dan cinderamata patung Batik betawi Makanan Khas Betawi
Lokasi RW 09 RW 09 RW 08 RW 09 dan RW 08 RW 09 RW 08 RW 08
Penduduk yang memiliki pekarangan atau kebun dan ditanami buah-buahan, mereka akan menjual hasil perkebunannya ke pasar. Namun saat ini hanya
33
beberapa warga yang masih memiliki kebun dan memanfaatkan hasil kebunnya untuk dijual, sehingga perlu adanya penyuluhan terhadap warga bahwa menjual hasil kebun dapat membantu menaikkan taraf perekonomian mereka. Saat ini di setiap pekarangan rumah warga diwilayah RW 09 memiliki pohon alpukat, walaupun beberapa rumah hanya memiliki pekarangan tidak lebih dari 2 m2. Menurut tokoh budaya Betawi di wilayah ini yang juga sebagai ketua RT, Jazuri, SE, hingga saat ini tumbuh sekitar 600 pohon alpukat berumur minimal 2 tahun yang sudah rutin berbuah. Saat ini alpukat di RW 09 sudah sangat terkenal ke berbagai daerah di sekitar Jagakarsa dan sekitarnya. Diharapkan penanaman alpukat ini dapat menyeluruh di semua wilayah di Perkampungan Budaya Betawi. Sehingga kegiatan perekonomian lokal dapat merata diseluruh kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.
a
d
b
e
c
f
Gambar 23 Bentuk kegiatan home industry di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan (a) Bir Pletok, (b) penyewaan dan pengrajin Ondel-ondel, (c) Penjualan Batik, (d) Menanam Alpukat, (e) Cinderamata, (f) Dodol Betawi Komponen Nilai Komponen nilai merupakan komponen yang tidak tampak secara fisik, tetapi berupa nilai-nilai (value) yang terdapat di masyarakat Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.Dalam penelitian ini komponen nilai yang di evaluasi berupa nilai sosial (keguyuban) dan nilai ekologi (konservasi) yang terdapat di kampung Betawi Setu Babakan. Nilai Sosial (Keguyuban) Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat hubungan sosial didalamnya. Hubungan sosial tersebut merupakan hubungan antara manusia yang hidup bersama dalam satu teritori. Hubungan ini menyangkut kaitan timbal balik yang saling mempengaruhi dan kesadaran untuk saling tolong –menolong.
34
Menurut Sutardi (2007) Paguyuban adalah bentuk kehidupan bersama yang anggota-anggotanya terikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bertahan lama.Dasar hubungannya adalah rasa cinta dan rasa kesatuan.Bentuk paguyuban dapat dijumpai didalam keluarga, kelompok kekerabatan, dan rukun tetangga.Pewarisan budaya dalam lingkungan ini lebih bersifat emosi kedaerahan dalam usaha untuk melestarikan atau mempertahankan eksistensi budaya daerahnya.Anggota dari perkumpulan ini memiliki semangat kedaerahan yang kuat agar kebudayaan daerahnya tetap ada dan tidak punah bahkan lebih berkembang lagi. Di dalam suatu paguyuban terdapat suatu kemauan bersama. Terdapat tiga tipe paguyuban menurut Ferdinand Tonnies (dalam Soerjono Soekanto,2007) adalah : 1. Paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by bloody), yaitu suatu paguyuban yang merupakan ikatan yang didasarkan pada ikatan darah atau keturunan. Misalnya keluarga dan kelompok kekerabatan. 2. Paguyuban karena tempat (gemeinschaft of place), yaitu sutau paguyuban yang terdiri atas orang-orang yang berdekatan tempat tinggal sehingga dapat saling tolong-menolong. Misalnya kelompok arisan, rukun tetangga. 3. Paguyuban karena jiwa pikiran (gemeinschaft of mind), yaitu paguyuban yang terdiri atas orang-orang yang walaupun tidak mempunyai hubungan darah atau tempat tinggalnya berdekatan, akan tetapi mereka mempunyai jiwa, pikiran, dan ideologi yang sama. Ikatan padapaguyuban ini biasanya tidak sekuat paguyuban karena darah atau keturunan. Bentuk kegiatan sosial yang terdapat di Perkampungan Budaya Betawi sangat beragam pada tiap RW. Paguyuban yang terdapat di Perkampungan Budaya Betawi antara lain arisan keluarga. Arisan keluarga termasuk kedalam tipe paguyuban karena ikatan darah atau keturunan dalam suatu keluarga besar. Paguyuban berupa kelompok arisan ibu-ibu PKK pada setiap RT/RW, kelompok pengajian, dan terbentuknya suatu RT (Rukun Tetangga) atau Rw (Rukun Warga) di Perkampungan Budaya Betawi termasuk kedalam tipe Paguyuban tempat. Karena tinggal dalam satu teritori maka terbentuklah sebuah paguyuban berbasis pada tempat. Selain kelompok arisan dan pengajian, juga terdapat kelompok paguyuban lain di Perkampungan Budaya Betawi seperti kelompok tani, kelompok belajar. Kelompok paguyuban ini dapat di lihat pada Tabel 11 Tabel 11 Kelompok Tani di Perkampungan Budaya Betawi Nama Kelompok Tani Cipta Golden Srengseng Lembah Lestari Ayu Lestari Cipedak
Lokasi RW 07 RW 08 RW 08 RW 09
Keterangan Budidaya Ikan Tanaman Produktif Pembuatan Bir Pletok Pembuatan Bir Pletok
Nilai Ekologi Kawasan Perkampungan Budaya Betawi merupakan daerah konservasi/resapan air di wilayah Jakarta Selatan. Tertuang di dalam RTRW DKI Jakarta 2001-2010 kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan penyangga atau daerah resapan air karena terdapat dua danau yang besar yaitu Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong. Selain terdapat setu, di kawasan ini juga terdapat ruang
35
terbuka hijau berupa kebun dan TPU (Taman Pemakaman Umum) Srengseng Sawah yang terletak di RW 07 Setu Babakan. Setu yang terdapat dikawasan memiliki fungsi ekologi untuk menjaga keseimbangan hidrologis, keseimbangan iklim mikro, sumber keanekaragaman hayati, dan wadah usaha budidaya ikan. Mengingat keberadaan dan fungsi Setu Babakan yang sangat penting, maka perlu mendapatkan perhatian ekstra baik dari pemerintah maupun penduduk karena keberlanjutan kawasan ini secara ekologis bergantung pada keberadaan setu, sawah, kebun dan peran serta masyarakat. Peran serta masyarkat kampung Betawi sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan lingkungan Setu Babakan. Ditemukan hanya beberapa warga yang sadar lingkungan dengan melakukan kegiatan yang bernilai ekologi, seperti pembuatan lubang biopori di halaman rumah mereka. Hal ini disebabkan karena keterbatasan alat pembuat lubang biopori dan kurangnya pengetahuan warga akan manfaat dari lubang biopori. Saat ini di setiap wilayah RT sudah tersedia 2 buah alat pembuat lubang biopori. Diharapkan dengan tersedianya alat pembuat lubang biopori ini warga dapat melakukan kegiatan yang dapat mengurangi resiko terjadinya banjir di wilayahnya. Adapun kegiatan yang lebih sederhana namun tetap memiliki nilai ekologi seperti mendaur ulang sampah plastik dan kerja bakti membersihkan lingkungan. Kegiatan mendaur ulang sampah ini selain bernilai ekologi juga memiliki nilai ekonomi. Tidak sedikit dari warga yang mendaur ulang sampah plastik menjadi barang yang memiliki nilai jual, sehingga dengan mendaur ulang sampah dapat membantu perekonomian mereka. Selain mendaur ulang sampah, kegiatan kerja bakti menjadi hal yang rutin dilakukan wargadi setiap wilayah RW.Hal imi didukung dengan fasilitas berupa 2 buah gerobak sampah yang dapat digunakan warga untuk mengangkut sampah dari setiap rumah dan kemudian dibuang di tempat pembuangan akhir. Keberadaan/Eksistensi Komponen Fisik, Non Fisik, dan Nilai (value) Keberadaan/ eksistensi dari artefak fisik, non fisik, dan nilai (value) yang berada di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan dihitung dengan menggunakan satatistik kappa. Perhitungan statistik Kappa terhadap semua komponen menunjukan adanya potensi kawasan untuk dilestarikan, yaitu sebesar 0.819 (Tabel 12). Berdasarkan hasil perhitungan reliabilitas Kappa menunjukan adanya potensi kawasan untuk dikonservasi. Komponen artefak yang terdapat di Perkampungan Budaya Betawi memiliki Potensi untuk di konservasi. Konservasi yang dimaksud adalah konservasi dalam ruang lingkup budaya, yaitu upaya untuk memelihara suatu tempat atau benda yang memiliki unsur budaya sehingga maknanya tetap terjaga. Dapat pula dikatakan dengan memelihara dan melindungi tempat-tempat yang indah dan berharga yang bernilai seni budaya, agar tidak hancur atau berubah sampai batas-batas wajar (Faradillah, 2012)
36
Tabel 12 Statistik Kappa dari Keberadaan komponen Fisik, Non Fisik, dan nilai No
Parameter
Kriteria
Skor
% frek
1
Rumah Betawi
Dalam satu wilayah RT Terdapat minimal 10% rumah warga bernuansa arsitektur Betawi
4
5.41
2
Pola Permukiman
Dalam satu wilayah RT terdapat permukiman tradisional Betawi ( permukiman bagian dalam dan luar).
8
10.81
3
Identitas
Dalam suatu wilayah RT terdapat identitas fisik maupun non fisik yang mencerminkan masyarakat Betawi
8
10.81
4
Keamanan
Dalam satu wilayah RT terdapat keamanan untuk melindungi warga.
9
12.16
5
Stimulasi
Warga merasa bangga terhadap wilayah RT nya dan terdapat usaha warga untuk menjadikan wilayah RT nya lebih baik dari RT lain
9
12.16
6
Kegiatan Kebudayaan
Warga dalam suatu RT melaksanakan kegiatan kebudayaan Betawi minimal sekali dalam satu minggu.
9
12.16
7
Kegiatan Ekonomi
Usaha yang dilakukan warga untuk meningkatkan perekonomian yang berasal dari sumberdaya kampung dan memiliki nilai keBetawian.
9
12.16
8
Nilai Paguyuban
9
12.16
9
Nilai Ekologi
9
12.16
74
100.00
Pengulangan yang akan berubah 7
pola Pola
bentuk
Dalam satu wilayah RT terdapat kegiatan perkumpulan warga Usaha warga untuk melindungi lingkungan di wilayah RT nya Pengulangan yang disetujui
Koefisien Kappa = K = [(74/81) – (7/81)] / [1- (7/81)] = 0.819 (ada potensi) Persepsi Masyarakat terhadap Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Masyarakat merupakan komponen penting dari suatu kota. Selain itu masyarakat juga merupakan pelaku sejarah dan budaya dari suatu kawasan. Keinginan dan harapan dari masyarakat Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan berperan penting guna kegiatan pelestarian dan revitalisasi kawasan. Penyebaran kuesioner dilakukan terhadap 30 responden yang tersebar di tiga unit wilayah RW (RW 07,RW 08,RW 09) di Perkampungan Budaya Betawi. Responden kuesioner tersebar merata (33%) disetiap wilayah RW yaitu, RW 07, RW 08, dan RW 09. Laki-laki (40%) dan perempuan (60%) dengan rentang usia tersaji di Gambar 24 . Hasil kuesioner diharapkan dapat memberikan informasi mengenai persepsi masyarakat terhadap Perkampungan Budaya Betawi Setu
37
Babakan, sehingga akan menjadi pertimbangan dalam menentukan tindakan pelestarian dan revitalisasi..
Gambar 24 Karakteristik Responden berdasarkan rentang usia dan jenis kelamin Masyarakat asli Setu Babakan merupakan saksi hidup dari sebelum ditetapkannya Setu Babakan sebagai kampung budaya Betawi oleh Pemerintah DKI Jakarta. Sebanyak 87% responden mengetahui bentuk kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan pada masa lalu berupa pertanian yang saat ini telah berubah menjadi permukiman. Sebanyak 47% responden telah menetap di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan lebih dari 40 tahun.
Gambar 25 Lamanya responden menetap di Kampung Betawi Setu Babakan Kebanyakan dari responden menetap dengan alasan karena ikut keluarga dan secara turun temurun tinggal di Setu Babakan (77%), pekerjaan (3%), dan karena suasana yang nyaman (20%).
Gambar 26 Alasan responden menetap di Kampung Budaya Betawi Setu Babakan
38
Berdasarkan Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 tahun 2005 tentang penetapan Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan, Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan merupakan sebuah kampung yang memiliki nilai Budaya Betawi yang kuat. Hal ini tercermin dari kegiatan sehari-hari masyarakat yang masih melakukan aktivitas budaya betawi, seperti menggunakan bahasa Betawi dalam percakapan sehari-hari, para ibu-ibu rumah tangga yang memasak makanan khas Betawi, beberapa orang tua yang memakai pakaian khas tradisional Betawi dalam kesehariannya, kegiatan keagamaan seperti mengaji (deres Quran), perayaan maulid nabi, upacara adat pernikahan, kelahiran, maupun kematian. Sebanyak 90% warga masih melakukan kegiatan/aktivitas budaya Betawi tersebut. Perkampungan Budaya Betawi yang terletak di Setu Babakan dan menjadi satu-satunya kampung budaya Betawi di Provinsi DKI Jakarta, seluruh masyarakat Setu Babakan (100%) meyakini bahwa Kampung Betawi Setu Babakan memiliki budaya Betawi yang khas bila dibandingkan dengan wilayah lain di DKI Jakarta. Selain itu seluruh responden juga mengetahui karakter budaya Setu Babakan pada masa lalu yaitu budaya Betawi (100%). Selama responden menetap di Setu Babakan, mereka berpendapat bahwa Setu Babakan telah mengalami banyak perubahan. Hampir seluruh responden beranggapan perubahan ini menjadi lebih nyaman (90%) dan beberapa beranggapan bahawa perubahan ini menjadikan Setu Babakan menjadi tidak nyaman lagi (10%). Dari perubahan yang terjadi, perubahan yang paling dirasakan adalah pada jumlah bangunan yang semakin banyak (18%), lingkungan/lanskap kawasan (17%), jumlah penduduk dan sarana prasarana (15%), aktivitas wisata (12%) yang dahulunya tidak ada saat ini menjadi ada aktivitas wisata, serta aktivitas masyarakat yang semula hanya bertani kini semakin beragam (7%). Selain itu responden juga menyatakan bahwa situasi Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan mengalami perubahan yang mengakibatkan suasana dan situasi yang ada saat ini menjadi lebih indah (19%), unik (18%), menarik (19), serta bernilai sejarah (19%) dan budaya (20%)
Gambar 25 Pendapat responden mengenai perubahan dan situasi di Setu Babakan Pada saat ini karakter budaya pembentuk kampung Betawi Setu Babakan dapat dilihat dari kebiasaan hidup masyarakat yang semi modern (67%), bangunan semi modern (60%), aktivitas berupa pariwisata (53%) dan kondisi alam berupa danau (Setu Babakan) yang membentang di Setu Babakan.
39
Gambar 27 Karakter budaya pembentuk kampung Betawi Setu Babakan menurut responden Pandangan responden terhadap Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan yaitu sebagai sumber kebudayaan mayarakat Betawi (53%) dan sebagai situs cagar budaya Betawi (47%). Sebagian masyarakat mengetahui konsep lanskap Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan (50%) sebagai tempat pelestarian dan pengembangan budaya Betawi di Jakarta.
Gambar 26Pandangan responden terhadap Kampung BetawiSetu Babakan Keberadaan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan di tengah kehidupan modern kota Jakarta, sangat berpengaruh terhadap tata cara kehidupan masyarakat kampung Betawi di Setu Babakan. Maka dari itu responden menyatakan perlu adanya revitalisasi agar nilai-nilai budaya yang terkandung di kampung ini tidak merosot atau hilang. Sebesar 43% responden di kampung Betawi Setu Babakan berpendapat bahwa perlu ditampilkan elemen lanskap (hardscape) Betawi pada bangunan rumah tinggal. Sebanyak 30% responden berpendapat perlu adanya revitalisasi pada aktivitas atau kegiatan kebudayaan yang dilakukan masyarakat kampung Betawi, dan pada lingkungan atau lanskap Kampung Betawi Setu Babakan (27%).
Gambar 28 Pendapat responden mengenai hal yang perlu di revitalisasi
40
Assessment Lanskap Budaya Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan memiliki nilai signifikansi sejarah dan budaya yang berbeda-beda pada setiap zona . Berdasarkan administrasi wilayah, kawasan ini dibagi kedalam tiga zona yaitu Zona I. Permukiman RW 08, Zona II. Permukiman RW 07, dan Zona III. Permukiman RW 09. Penilaian terhadap ketiga zona dilakukan untuk mengetahui nilai signifikansi sejarah dan budaya dengan tingkat tinggi, sedang, dan rendah, meliputi penilaian keaslian (originality) dan keunikan (uniqueness) lanskap Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Nilai Keaslian (Originality) Lanskap Budaya Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Menurut Harris dan Dines (1988), terdapat beberapa kriteria penilaian yang digunakan sebagai tolak ukur dalam menentukan tingkat keaslian lanskap budaya.Kriteria yang digunakan dalam penilaian keaslian lanskap kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan yaitu pola penggunaan lahan, pola permukiman, dan arsitektur bangunan (Tabel 13).Dengan menggunakan kriteria tersebut dapat diketahui tingkat keaslian dari setiap zona yang terdapat di kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Penilaian keaslian (originality) lanskap budaya kawasan Perkampungan Budaya Betawi disajikan secara spasial pada Gambar 31 Tabel 13 Tabel penilaian Keaslian (Originality) Lanskap Budaya Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Zona Zona I Permukiman RW 08 Zona II. Permukiman RW 07 Zona III. Permukiman RW 09
Pola Penggunaan Lahan
Kriteria Pola Permukiman
3
3
2 2
Total
Kategori
3
9
Tinggi
1
1
4
Rendah
2
2
6
Sedang
Bangunan
Keterangan : Skor 3-5 = Keaslian Rendah, Skor 6- 7 = Keaslian Sedang, 8- 9 = Keaslian Tinggi Berdasarkan hasil analisis penilaian tingkat keaslian lanskap budaya kawasan Perkampungan Budaya Betawi, zona I Permukiman RW 08 sebagai embrio kampung Betawi masuk dalam kategori tingkat keaslian tinggi. Pola penggunaan lahan relatif tidak mengalami perubahan penggunaan lahan atau perubahan penggunaan lahan yang terjadi kurang dari 25%, dengan pola penggunaan lahan berupa danau/setu Babakan, permukiman, dan kebun campuran milik warga yang ditanami pohon buah-buahan. Pola permukiman dalam zona I memperlihatkan pola permukiman khas Betawi bagian dalam (hinterland) dengan tata letak rumah yang menyebar atau mengelompok. Bangunan yang terdapat di dalam zona I sangat mewakili gaya arsitektur taridisional Betawi. Elemen bangunan seperti ragam hias dan list plang gigi balang serta struktur atap Betawi terdapat di hampir semua rumah bernuansa Betawi. Terdapat lebih dari 10 % rumah/bangunan bergaya Betawi di zona ini
41
Zona II permukiman RW 07 masuk dalam kategori tingkat keaslian rendah. Pola penggunaan lahan mengalami perubahan penggunaan lahan antara 25-50%. Perubahan pola penggunaan lahan ini terjadi dengan adanya alih fungsi lahan
Gambar 29Gambar Peta Zona Keaslian Lanskap Budaya Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan
42
terbuka seperti kebun campuran menjadi lahan terbangun. Ini merupakan Akibat dari tingginya jumlah penduduk yang memicu peningkatan kebutuhan akan tempat tinggal. Pola permukiman dalam zona II tidak menunjukKan pola permukiman khas Betawi. Pola permukiman Betawi bagian luar lebih dominan dimana tata letak rumah yang linear/berjajar menempel dengan jalan. Dalam zona ini, pola permukiman yang modern sangat mendominasi. Bangunan yang terdapat dalam zona II sebagian besar mengalami perubahan pada sturuktur dan elemen, sehingga tidak mewakili karakter dan gaya arsitektur Betawi. Lebih dari 50% bangunan rumah tinggal di zona ini sudah terpengaruh oleh gaya hidup masyarakat urban. Rumah bergaya arsitektur modern (minimalis) sangat mendominasi dalam zona II. Zona III permukiman RW 09 masuk dalam kategori tingkat keaslian sedang. Pola penggunaan lahan mengalami perubahan penggunaan lahan antara 25-50%. Perubahan pola penggunaan terjadi akibat adanya alih fungsi kebun campuran dan empang menjadi lahan terbangun untuk dijadikan komplek perumahan. Akibat dari perubahan pola penggunaan lahan ini, salah satu kegiatan berupa “ngubak empang” menjadi sudah tidak ada lagi. Pola permukiman di zona III ini merupakan gabungan antara pola permukiman bagian dalam dan luar. Diamana keberadaan ke dua pola permukiman ini seimbang dan tidak ada yang mendominasi. Bangunan yang terdapat di dalam zona III ini mengalami asimilasi pada struktur dan elemen bangunannya, namun masih mewakili karakter dan gaya Arsitektur Betawi. Nilai Keunikan (Uniqueness) Lanskap Budaya Kawasan Perkampungan Budaya BetawiSetu Babakan Menurut Harris dan Dines (1988), terdapat beberapa kriteria penilaian yang digunakan sebagai tolak ukur dalam menentukan tingkat keunikan lanskap budaya.Kriteria yang digunakan dalam penilaian keunikan lanskap kawasan Perkampungan Budaya Betawi yaitu asosiasi kesejarahan, integritas, dan kualitas estetik (Tabel 14).Dengan menggunakan kriteria tersebut dapat diketahui tingkat keunikan dari setiap zona yang terdapat di kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Penilaian keunikan (uniqueness) lanskap budaya kawasan Perkampungan Budaya Betawi disajikan secara spasial pada Gambar 32 Tabel 14 Tabel Penilaian Keunikan (Uniqueness) Lanskap Budaya Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Kriteria Zona Zona 1 Permukiman RW 08 Zona II. Permukiman RW 07 Zona III. Permukiman RW 09
Asosiasi Kesejarahan
Integritas
Kualitas Estetik
Total
Kategori
3
3
3
9
Tinggi
1
1
3
5
Rendah
1
2
2
5
Rendah
Keterangan : Skor 3-5 = Keaslian Rendah, Skor 6-7 = Keaslian Sedang, 8- 9 = Keaslian Tinggi.
43
Berdasarkan hasil analisis penilaian tingkat keunikan lanskap budaya di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, zona I Permukiman RW 08 sebagai embrio kampung Betawi masuk dalam kategori keunikan tinggi. Asosiasi kesejarahan yang terbentuk dalam zona I merupakan hubungan yang kuat dari ditetapkannya sebuah Perkampungan Budaya oleh Pemerintah di daerah Setu Babakan. Tercermin secara fisik dan non fisik berupa keadaan alam yang masih asri serta masyarakat Betawi asli di zona ini. Elemen lanskap seperti rumah-rumah bergaya Betawi, tanaman buah khas Betawi yang ditanam di pekarangan rumah warga menyatu dalam jumlah yang cukup banyak dan membentuk kesatuan lanskap budaya sehingga integritas karakter lanskap budaya terbentuk dengan karakter yang kuat. Kualitas estetik dalam zona I menunjukkan nilai estetika atau gaya arsitektur Betawi yang unik pada elemen-elemen pembentuknya. Seperti detail ragam hias di setiap elemen rumah Betawi, gapura khas Betawi di pintu masuk kawasan dan lanskap danau/setu Babakan yang menunjukkan keindahan lanskap kawasan Perkampungan Budaya Betawi. Zona II permukiman RW 07 masuk dalam kategori tingkat keunikan rendah.Tidak terdapat asosiasi kesejarahan yang terbentuk di zona ini. Masyarakat pendatang lebih dominan dibandingkan dengan masyarakat asli Betawi.Elemen lanskap budaya yang terdapat di zona II tersebar dalam jumlah yang sedikit. Masjid bergaya arsitektur Betawi menjadi satu-satunya elemen lanskap yang paling menonjol sehingga integritas karakter lanskap budaya yang terbentuk sangat lemah. Kualitas estetik dalam zona II dapat menunjukkan nilai estetika yang unik dari arstitektur Betawi. Masjid Baitul Makmur menjadi elemen lanskap budaya yang menunjukkan kualitas estika unik khas Betawi. Setiap detail dari elemen Masjid Baitul Makmur memperlihatkan ragam hias khas Betawi. Pengelolaan yang baik dari Masjid ini menjadikannya masjid dengan tatanan lanskap terbaik se-Jakarta Selatan. Zona III permukiman RW 09 masuk dalam kategori tingkat keunikan rendah.Tidak terdapat asosiasi kesejarahan yang terbentuk dalam zona III.Elemen lanskap budaya yang ada di wilayah ini tidak memberikan pengaruh dengan ditetapkannya Setu Babakan sebagai Perkampungan Budaya Betawi. Elemen lanskap yang tersebar dalam jumlah yang sedikit membentuk integritas karakter lanskap budaya yang lemah. Kualitas estetik dalam zona III masih dapat menunjukkan nilai estetika atau gaya arsitektur khas Betawi yang unik pada elemen-elemen pembentuknya, seperti pada bangunan rumah tinggal yang memperlihatkan nuansa Betawi di RT 01/09.
.
44
Gambar 30Gambar Peta Keunikan Lanskap Budaya Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan
45
Hasil Analisis Overlay peta keaslian dan keunikan lanskap budaya kawasan Perkampungan Budaya Betawi menghasilkan sebuah peta signifikansi sejarah dan budaya (Gambar 26) yang dapat menunjukan kualitas dan nilai budaya dari setiap zona di dalam kawasan. Perhitungan gabungan dari kedua aspek dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Tabel Penilaian Gabungan Aspek Keaslian dan Keunikan Lanskap Budaya Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Zona Zona 1 Permukiman RW 08 Zona II. Permukiman RW 07 Zona III. Permukiman RW 09
Nilai Keaslian
Nilai Keunikan
Total
Kategori
9
9
18
Tinggi
4
5
9
Rendah
6
5
11
Rendah
Keterangan : Skor 9-12 = Rendah, Skor 13-15 = Sedang, 16-18 = Tinggi. Perhitungan gabungan aspek keaslian dan keunikan menghasilkan klasifikasi zona dengan nilai signifikan budaya tinggi, sedang, dan rendah.Zona I memiliki nilai signifikan budaya tinggi dengan tingkat keaslian dan keunikan tinggi.Zona II dan zona III memiliki nilai signifikan budaya rendah dengan tingkat keaslian dan keunikan rendah. Menurut Danisworo dan Martokusumo (2000) pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan salah satunya yaitu sejarah, keaslian dan keunikan lokasi Zona I permukiman RW 08 dengan nilai signifikansi sejarah dan budaya tinggi merupakan embrio dari terbentuknya Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Dengan mempertahankan karakter fisik bangunan khas Betawi serta pola permukiman yang ada, zona I dapat menjadi acuan atau contoh bagi zona lain yang memiliki nilai signifikansi sejarah dan budaya rendah. Tindakan konservasi di zona I dianggap tepat karena di wilayah ini terdapat bagunan bergaya arsitektur Betawi dan pola permukiman tradisional Betawi, sehingga agar tetap di lestarikan. Zona II dan Zona III merupakan permukiman RW 07 dan RW 09 memiliki nilai signifikansi sejarah dan budaya yang rendah.Hal ini disebabkan karena karakter fisik berupa bangunan dan pola permukiman di wilayah ini tidak seleuruhnya menunjukan ciri khas Betawi.Hanya sebagian dari wilayah ini yang mencermikan ciri khas Betawi. Untuk itu dilakukan usaha perbaikan pada ke-dua zona ini terutama pada bagian fisik bangunan rumah tinggal. Dengan pemberian ornamen khas Betawi minimal pada list plang atap berupa gigi balang dapat menaikkan nilai signifikansi sejarah dan budaya di zona ini. Selain menaikkan kualitas secara fisik, pembatasan penggunaan lahan juga harus dilakukan agar tidak terjadi alih fungsi lahan yang semakin tinggi dari lahan hijau menjadi lahan terbangun. Berdasarkan gabungan nilai keasliam dan keunikan pada zona II dan zona III, maka dengan merevitalisasi wilayah ini dapat menaikkan citra dan vitality kawasan Perkampungan Budaya Betawi secara keseluruhan.Tidak hanya sebatas perbaikan secara fisik, namun juga dari segi ekonomi dan sosial di zona II dan III.
46
Gambar 32 Peta Signifikansi Sejarah dan Budaya Lanskap Perkampungan Budaya Betawi
47
Rekomendasi Revitalisasi Berdasarkan potensi dan assessment lanskap terhadap kawasan Perkampungan Budaya Betawi, maka tindakan pelestarian yang tepat untuk kawasan Perkampungan Budaya Betawi yaitu Revitalisasi. Berdasarkan UndangUndang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Revitalisasi adalah “kegiatan pengembangan yang ditujukan utnuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Cagar Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat. Kegiatan revitalisasi bertujuan untuk meningkatkan kegiatan sosial dan ekonomi lingkungan, yang sudah kehilangan vitalitas fungsi aslinya. Konsep revitalisasi kawasan yang berkelanjutan (sustainability), berupa keseimbangan antara karakter fisik, pemanfaatan potensi ekonomi, dan kelestarian nilai sosial budaya kawasan Perkampungan Budaya Betawi. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik wilayah ini, namun tidak untuk jangka panjang, maka diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi yang merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan. Hal ini mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuk sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang berkelanjutan terhadap keberadaan fasilitas dan infrastuktur yang ada. Selain itu revitalisai harus melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga upaya revitalisasi yang dilakukan tidak hanya bertahan dalam kurun waktu singkat akan tetapi dapat berkelanjutan dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Konsep revitalisasi yang di rekomendasikan terbagi dalam tiga tahap yaitu dengan intervensi secara fisik, ekonomi dan sosial-budaya: Fisik Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik bangunan yang ada di wliayah Kampung Betawi khususnya di Zona II dan Zona III (permukiman RW 07 dan RW 09).Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya dengan kondisi visual kawasan, khususnya dalam menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi fisik ini perlu dilakukan. Perencanaan fisik yang dilakukan di Kampung Betawi ini yaitu: 1. Pemasangan ornamen khas Betawi pada rumah tinggal, terutama di zona II (RW 07), dan zona III (RW 09). Pendanaan dari Pemerintah untuk merenovasi rumah nuansa Betawi tidak hanya terfokus di wilayah zona I (RW 08) saja. 2. Berdasar pada persepsi masyarakat Kampung Betawi, penyeragaman model rumah (bangunan )bernuansa Betawi perlu dilakukan agar dapat memberikan nilai tambah terhadap citra kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. 3. Mempertahankan pola permukiman yang ada di zona I (RW 08) dan membatasi pembangunan di zona II (RW 07) dan zona III (RW 09) 4. Pembuatan gerbang (gate) bernuanasa Betawi pada pintu masuk kawasan Perkampungan Budaya Betawi serta di zona II (RW 07) dan zona III (RW 09) agar terlihat identitas kawasannya.
48
Ekonomi Revitalisasi yang diawali dengan proses perbaikan artefak fisik harus mendukung proses kegiatan ekonomi. Perbaikan fisik kawasan diharapkan dapat mengakomodasi kegatan ekonomi lokal di Perkampungan Budaya Betawi, sehingga mampu memberikan nilai tambah bagi kawasan dengan cara : 1. Melakukan zonasi jenis industri dan perdagangan berdasarkan potensi yang dimiliki setiap wilayah saat ini. Zona I (RW 08) sebagai sentra pembuatan dodol dan pariwisata, Zona II (RW 07) sebagai sentra pembuatan makanan khas Betawi dan cinderamata, Zona III (RW 09) sebagai sentra pembuatan bir pletok dan ondel-ondel. 2. Pengembangan ekonomi lokal berbasis budaya Betawi, seperti kegiatan home industry di kawasan. Industri rumah tangga berbasis budaya Betawi seperti pembuatan bir pletok, dodol, kembang goyang, tape uli, cindera mata khas Betawi, dan lain sebagainya. Kegiatan ini diwadahi dalam suatu tempat seperti dapur atau bengkel atau studio (workshop), sehingga dapat melibatkan pengunjung berpartisipasi dalam proses produksinya. Sosial-Budaya 1. Melakukan social mapping. Pemetaan sosial ini untuk mengetahui tempat berkumpul masyarakat, kebiasaan dan adat istiadat. Diharapkan dengan pemetaan sosial ini kegiatan masyarakat tidak hanya berpusat di satu wilayah, namun bisa tersebar merata disetiap wilayah. Didapatkan tempat berkumpul masyarakat dan pusat kegiatan yaitu di RW 08 (zona I) 2. Pembuatan balai perkumpulan atau fasilitas publik atau ruang bersama di zona II (RW 07) dan zona III (RW 09) sebagai tempat berkumpul warga. 3. Berdasar pada persepsi masyarakat, hal yang perlu di revitalisasi yaitu pada lanskap atau lingkungannya. Hal ini dapat dimulai dengan gerakan penanaman kembali di ruang-ruang terbuka dengan tanaman buahbuahan yang beragam. Tanaman buah-buahan dapat digunakan sebagai sumber bagi kegiatan home industry 4. Program partisipatif yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan pihak-pihak yang terkait. Revitalisasi akan dapat dirasakan manfaatnya jika melibatkan semua kalangan masyarakat.
SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Keberadaan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan telah memberikan kontribusi positif terhadap pelestarian dan pengembangan nilai Budaya Betawi di Jakarta. Elemen pembentuk kampung seperti elemen fisik, non fisik, dan nilai sangat mempengaruhi keberlanjutan dari kampung ini. Keberadaan dari elemen ini menunjukan adanya potensi untuk dilestarikan.
49
Letak dari Perkampungan Budaya Betawi yang berada di kota Jakarta menyebabkan komponen fisik berupa bangunan khas Betawi dan pola permukiman tradisional Betawi keberadaanya saat ini sudah jarang ditemukan di beberapa wilayah RW. Hal ini perlu mendapat perhatian agar tidak terdegradasi oleh zaman yang semakin modern. Selain itu terdapat komponen non fisik berupa kegiatan ekonomi-budaya dan komponen nilai (value) yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Berdasarkan pada uji reliabilitas Kappa, koefisien menunjukkan nilai 0.819 yang artinya Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan memiliki potensi untuk dilestarikan. Dengan adanya potensi kawasan untuk dilestarikan, maka upaya atau tindakan pelestarian yang tepat adalah merevitalisasi wilayah yang telah mengalami penurunan vitality nya. Konsep revitalisasi yang direkomendasikan yaitu intervensi secara fisik, ekonomi, dan sosial-budaya. Revitalisasi di fokus kan pada zona-zona yang memiliki nilai signifikansi budaya rendah berdasarkan pada assessment lanskap, yaitu zona II (permukian RW 07) dan zona III (permukiman RW 09). SARAN Dukungan Pemda DKI Jakarta terhadap kawasan dan aktivitas budaya yang ada pada saat ini diharapkan tetap konsisten agar keberlanjutan program Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan tetap terjamin. Upaya revitalisasi tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah, tapi juga memerlukan dukungan dan peran serta masyarkat.
50
DAFTAR PUSTAKA Alam. 2009. Kajian Sumberdaya Ssetu Babakan Untuk Pengelolaan dan Pengembangan Ekowisata DKI Jakarta [Skirpsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Anggraeni, Rani. 2011. Assessment Lanskap Sejarah Kawasan Empang Untuk Mendukung Perencanaan Tata Ruang Kota Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ayuputri, Mutiara (2006). Perancangan Lanskap Waterfront Situ Babakan, di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Jakarta Selatan [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Biro Bina Penyusunan Program Propinsi DKI Jakarta. 2001. Laporan akhir. Analisis Dampak Lingkungan Pembangunan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan. Jakarta (ID) Danisworo M, Martokusumo W. 2000. Revitalisasi kawasan kota: sebuah catatan dalam pengembangan dan pemanfaatan kawasan kota [Internet]. [diunduh 2013 Feb 26]. 13 (Info URDI): 1-6. Tersedia pada: http://referensiplano.50webs.com/revitalisasi%20kawasan%20perkotaan.pdf. [BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. 2013. Klimatologi Pondok Betung. Jakarta (ID) Budiaman, S. Wibisono, S. Soeryoharjo, dan R. Ruchiat. 2000. Folklor Betawi. Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta.Proyek Pelestarian dan Pengembangan Kesenian Tradisional Betawi. Jakarta (ID) Faradillah.2012. Konservasi Kawasan Wisata Perkampungan Budaya betawi Setu Babakan DKI Jakarta [Skripsi]. Bandung (ID): Universitas Pendidikan Indonesia Gifford R. 1997. Environmental psychology: Principles and practice. Colville: Optimal Books. Goodchild PH. 1990. Some Principles for The Conservation of HistoricLandscape. New York (US): University of New York Harris, C.W. dan Dines N.T. 1988.Time-Saver Standards for landscape Architecture : Design and Construction Data. United Stated of America (US): McGraw-Hill Co, Inc. Harun, I. B., D. H. Kartakusumah, R. Ruchiat, dan U. Soediarso. 1999. Rumah Tradisional Betawi. Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Jakarta. 62 hal. Hengky. 2006. Penerapan Konsep Ekowisata untuk Meningkatkan Daya Saing Pariwisata Pesisir di Kabupaten Pandeglang, Banten [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Ichwan, Rido Matari. 2004. Penataan dan Revitalisasi sebagai Upaya Meningkatkan Daya Dukung Kawasan Perkotaan. Makalah pribadi Pengantar ke Falsafah Sains. Bogor (ID): Sekolah Pasca Sarjana /S3 Institut Pertanian Bogor. Imron, S., H. Y. Muchtar, N. Hernawati. 2002. Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Pengelola Perkampungan Budaya Betawi. Jakarta (ID)
51
[Kemenpu] Kementerian Pekerjaan Umum RI (ID). 2010. Pedoman Teknis Revitalisasi Kawasan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 18/PRT/M/2010. Lynch Kevin. 1981. A Theory of Good City Form. Cambridge: MA: MIT Press. Malahayani, D. 2004. Perencanaan Lanskap Wisata Budaya Perkampungan Betawi di Situ Babakan, Jakarta Selatan [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Nurisjah, S. dan Q. Pramukanto. 2001. Perencanaan Kawasan Untuk Pelestarian Lanskap dan Taman Sejarah.Program Studi Arsitektur Pertamanan, Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB (tidak dipublikasikan). Bogor (ID) Pemerintah Republik Indonesia. 2010. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Jakarta (ID): Sekretariat Negara Porteous, J Douglas. 1977. Environment and Behavior palnning and everyday urban life. United States of America (US): Addison-Wesley. Pramudya, Andri. 2013. Pembahasan Tentang Ilmu Sosial dan Ilmu Sosiologi Yang Mencakup Berbagai Tatanan Ilmu dan Kemasyarakatan. [internet]. [diacu 2013 September 15]. Tersedia dari: http://sosialsosiologi.blogspot.com/2013/01/kelompok-sosial.html?m=1 Rafi’I, Suryatna. 1995. Meteorologi dan Klimatologi. Bandung: Angkasa Ruchiat, R., S. Wibisono, dan R. Syamsudin. 2000. Ikhtisar Kesenian Betawi. Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Jakarta (ID) Simonds, J. O. 1983. Landscape Architecture. New York (US): McGraw-Hill Book Co. Sitepu. l992. Strategi Pemerintah DKI Jakarta Mempromosikan KampungSetu Babakan Betawi Sebagai Daerah Tujuan Wisata Internasional. Jakarta (ID) Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta (ID): PT. Raja Grafindo Persada Solikhah, Nafi’ah (2010). Studi Perkembangan dan Konsep Revitalisasi Tata Lingkungan Tradisional Balurwati Surakarta. [internet]. [diacu 2013 April 30]. Tersedia dari :http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Master-14014-ITS-Master14014-Paper-1411802.pdf Suryabrata, S. 1992. Metodologi Penelitian. Jakarta (ID): CV. Rajawali. Sutardi, Tedi (2007). Antropoli:Mengungkap Keragaman Budaya. Bandung (ID): PT.Setia Purna Inves Tishler, W H. 1982. Historical Landscape : An International Preservation Perspective Landscape Plan. Utami, Widiyastuti. 2013. Studi Keragaman dan Fungsi Ekologis Pohon Pada Lanskap Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wangrea, Y., Abdurrachman, Hidayat, B. Rudito, dan Armanto. 1985. Upacara Tradisional yang Berkaitan dengan Peristiwa Alam dan Kepentingan DKI Jakarta.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Wardiningsih, Sitti. 2005. Rencana Pengelolaan Lanskap Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan-Srengseng Sawah, Kecamatam Jagakarsa-Jakarta Selatan [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
52
LAMPIRAN
Lampiran 1 Perhitungan interval dalam penilaian struktur lanskap pada Perkampungan Budaya Betawi : Interval Kelas (IK) = Skor Maksimum (SMa) – Skor Minimum (SMi) Jumlah Kategori IK = 9 - 3 3 IK = 6 3 IK = 2 Kategori Tinggi = (SMi + 2IK + 1) sampai SMa = (3 + 2(2) + 1) sampai 9 = 8 sampai 9 Kategori Sedang = (SMi + IK + 1) sampai (SMi + 2(2)) = (3 + 2 + 1) sampai (3 + 2(2)) = 6 sampai 7 Kategori Rendah = SMi sampai (SMi + IK) = 3 sampai (3 + 2) = 3 sampai 5 Interval Kelas (IK) = Skor Maksimum (SMa) – Skor Minimum (SMi) Jumlah Kategori IK = 18 - 9 3 IK = 9 3 IK = 3 Kategori Tinggi = (SMi + 2IK + 1) sampai SMa = (9 + 2(3) + 1) sampai 18 = 16 sampai 18 Kategori Sedang = (SMi + IK + 1) sampai (SMi + 2(2)) = (9 + 3 + 1) sampai (9 + 2(3)) = 13 sampai 15 Kategori Rendah = SMi sampai (SMi + IK) = 9 sampai (9 + 3) = 9 sampai 12
53
Lampiran 2 Wawancara terhadap Ketua RT mengenai Keberadaan artefak di Kampung Betawi Setu Babakan Responden Yang Menjawab “Ada” RW 07 RW 08 RW 09 RT 01 RT 03 RT 06 RT 09 RT 10 RT 12 RT 01 RT 08 RT 10 √ √ √ √ -
Parameter
Rumah Betawi Pola Permukiman Identitas
√
√
-
√
√
√
√
√
√
√
√
-
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Keamanan Stimulasi KegiatanKebudayaan Kegiatan Ekonomi kegiatan Paguyuban Nilai Ekologi
Lampiran 3 Wawancara terhadap Ketua RT mengenai Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Assalamualaikum Wr. Wb. Saya Nurul Fajriyah, mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap di Institut Pertanian Bogor. Saya mengharapkan bantuan dari Bapak untuk mengisi kuisioner penelitian saya yang berjudul Revitalisasi Perkampungan Budaya Betawi Sebagai Embrio Revitalisasi Kota Jakarta.Terima kasih atas kesediaannya. A. 1. 2. 3. 4.
Karakteristik Responden Nama:....................................................... Umur:....................................................... Jenis kelamin:........................................... Daerah Asal:.......................................................
1. Berapa banyak jumlah kepala keluarga di RT 2. Berapa persen warga yang asli Betawi ? 90-100 %
ini ?
54
70-80 % 50-60% Kurang dari 50% 3. Berapa persen rumah warga yang mempertahankan bentuk tradisional Betawi ? 90-100% 70-80% 50-60% Kurang dari 50% 4. Berapa persen warga yang memiliki pekarangan dirumahnya ? 90-100% 70-80% 50-60% Kurang dari 50% 5. Apakah Anda setuju jika dibuat pekarangan pada setiap rumah warga sehingga terdapat nilai ekologi pada RT ini ? Ya Tidak , mengapa ................................ 6. Adakah perkebunan yang menjadi kebanggaan di RT ini sehingga dapat dimanfaatkan bersama hasil kebunnya nya oleh semua warga ? Ada Tidak ada 7. Seperti apa bentuk kegiatan perekonomian di RT ini ? Berdagang Berkebun Jasa Lain-lain ........... 8. Adakah kegiatan Home industri di RT ini ? Ada, Sebutkan : Tidak ada 9. Seperti apakah bentuk keamanan di RT ini? (boleh jawab lebih dari satu) Menggunakan penjaga (hansip) Setiap rumah memiliki pagar. Pola akses rumah gang buntu Pola akses loop 10. Masih adakah kegiatan kebudayaan Betawi pada kampung ini? Ya Tidak , mengapa ............... 11. Kegiatan kebudayaan Betawi seperti apa yang masih dilakukan oleh warga di RT ini ?
55
Sebutkan : .......................................................... .......................................................... .......................................................... 12. Seberapa sering kegiatan kebudayaan Betawi tersebut dilakukan oleh warga di RT ini ? Lebih dari 1 kali dalam seminggu 1 kali dalam seminggu 1 kali dalam sebulan 1 kali dalam setahun Tidak menentu, 13. Berapa banyak kepala keluarga yang masih berpartisipasi aktif dalam kegiatan kebudayaan Betawi di kampung ini ? Lebih dari 50 KK 20-50 KK 10-20 KK Kurang dari 10 KK
Lampiran 4 Wawancara mengenai persepsi masyarakat kampung Betawi terhadap wilayah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Assalamualaikum Wr. Wb. Saya Nurul Fajriyah, mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap di Institut Pertanian Bogor. Saya mengharapkan bantuan dari Bapak untuk mengisi kuisioner penelitian saya yang berjudul Revitalisasi Perkampungan Budaya Betawi Sebagai Embrio Revitalisasi Kota Jakarta.Terima kasih atas kesediaannya. A. Karakteristik Responden 1. Nama : 2. Jenis Kelamin : a. Laki-Laki b. Perempuan 3. Usia : a. 18-22 thn c. 31-40thn e. 51-60thn b. 23-30 thn d. 41-50thn f. >60thn 4. Pekerjaan : a. Pelajar/mahasiswa c. Karyawan swasta b. Petani d. PNS
e. Pedagang f. Lainnya ...
56
5. Pendidikan terakhir : a. Tidak Sekolah c. SMP e. D3 b. SD d. SMA f. Sarjana (SI,S2,S3) 6. Etnik : a. Betawi c. Sunda b. Jawa d. Lainnya .... 7. Berapa lama anda tinggal di kawasan ini : g. >40thn a. <5thn d. 15-20 thn b. 5-10 thn e. 21-30 thn c.11-15 thn f. 31-40 thn 8. Apakah anda masih melakukan adat/aktivitas (kegiatan) budaya Betawi dalam kehidupan sehari-hari : (ya/tidak) Contohnya : .......................................................................................... B. Pendapat Responden Mengenai Kawasan Perkampungan Budaya Betawi 1. Mengapa anda tinggal di kawasan ini a. Ikut keluarga c. Suasananya nyaman b. Pekerjaan d. Lainnya 2. Menurut anda apakah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan merupakan sebuah kawasan yang memiliki Budaya Betawi yang khas dibandingan dengan daerah lain di Jakarta ? a. Ya b. Tidak 3. Apakah kawasan ini telah berubah dibandingkan waktu pertama tinggal ? a. Tidak berubah c. Sedikit berubah b. Banyak berubah d. Sangat banyak berubah 4. Jika berubah, apakah perubahan tersebut ? a. Menjadi sangat nyaman c. Menjadi tidak nyaman b. Menjadi sedikit lebih nyaman d. Menjadi sangat tidak nyaman 5. Perubahan apa yang paling terasa/terlihat ? a. Lingkungan/lanskap kawasan f. Aktivitas wisata b. Aktivitas masyarakat g. Jumlah wisatawan c. Sarana dan Prasarana h. Model bangunan d. Jumlah pohon i. Jumlah bangunan c. Jumlah penduduk j. Lainnya,............................. 6. Bagaimana situasi Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan menurut Anda? (coret salah satu jawaban yang anda pilih dari setiap poin) a. Indah/Tidak indah b. Unik/Tidak Unik c. Menarik/Tidak Menarik d. Bernilai budaya tinggi/Tidak bernilai budaya e. Bernilai sejarah tinggi/Tidak bernilai sejarah 7. Apakah Anda mengetahui bentuk kawasan ini pada masa lalu ? a. Ya b. Tidak
57
8. Jika ya, apakah karakteristiknya ? a. Permukiman d. Industri b. Pertanian e. Hutan alam c. Perdagangan f. Lainnya,......................... 9. Apakah anda mengetahui karakter budaya kawasan ini di masa lalu ? a. Ya b. Tidak 10. Jika ya, apa karakteristiknya a. Budaya Betawi b. Lainnya,.............................. 11. Apa yang menentukan karakter kawasan ini, dilihat dari sisi (lingkari salah satu jawaban yang anda pilih dari setiap poin) a. Masyarakat : tradisional/semi modern/modern b. Bangunan : tradisional/semi modern/modern c. Aktivitas : perdagangan/pertanian/pariwisata d. Alam : Danau(Setu)/Pemandangan/cuaca 12. Bagaimana pandangan anda terhadap Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan? a. Situs Cagar Budaya b. Sumber Kebudayaan Masyarakat Betawi c. Cikal Bakal Kota Jakarta d. Lainnya,.................................................... 13. Apakah anda mengetahui mengenai konsep Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan ? a. Ya b. Tidak 14. Jika ya, apa saja yang anda ketahui mengenai konsep Perkampungan Budaya Betawi? ............................................................................................................... ............................................................................................................... 15. Apakah kawasan ini perlu dilestarikan ? a. Ya b. Tidak 16. Jika ya, mengapa harus dilestarikan ? ............................................................................................................... ............................................................................................................... 17. Apakah kawasan ini perlu di revitalisasi ? a. Ya b. Tidak 18. Jika ya, apa yang harus direvitalisasi ? a. Model Bangunan b. Aktivitas/kegiatan budaya c. Lingkungan/Lanskap kawasan C. Pendapat Responden Mengenai Keteritorialan Wilayah 19. Apakah bentuk penandaan (personalisasi) yang anda lakukan di wilayah tempat tinggal anda?
58
a. Pemasangan ornamen Khas Betawi (ragam hias,gigi balang,jendela krepyak,dll) pada rumah tinggal atau tempat ibadah di wilayah tempat tinggal b. Menanam tanaman buah atau tanaman hias khas Betawi atau TOGA di pekarangan rumah atau wilayah tempat tinggal c. Membuat gerbang pada pintu masuk wilayah tempat tinggal d. Lainnya ..... 20. Apakah anda merasa aman tinggal di wilayah ini ? a. Ya b. Tidak 21. Jika ya, apakah bentuk kemanan yang ada di wilayah tempat tinggal anda? (jawaban dapat pilih lebih dari satu) a. Pagar besi/jaro pada rumah tinggal b. Barrier tanaman sebagai pagar (pembatas) pada rumah tinggal c. hansip d. Lainnya,....................................................................................... 22. Adakah bentuk stimulasi di wilayah ini ? a. Ada b. Tidak ada 23. Jika ada, apakah bentuk stimulasi yang terdapat di wilayah ini ? ............................................................................................................... ............................................................................................................... 24. Apakah kebutuhan akan penandaan, keamanan dan stimulasi telah membuat anda merasanya nyaman tinggal di wilayah ini ? a. Ya b. Tidak
59
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bekasi, Jawa Barat pada tanggal 8 Februari 1991. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Anwar Husein dan Ibu Aida Ruwaida. Penulis memulai pendidikan di TK Muslimat 1 Bekasi pada tahun 1995. Kemudian pada tahun penulis 1997 melanjutkan pendidikan di SD Negeri 1 Jakasampurna Bekasi. Pada periode 2003-2006 penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 12 Bekasi. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bekasi dan pada tahun yang sama penulis diterima di Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama di IPB, penulis aktif di berbagai kegiatan yang dilakukan organisasi Himpunan Profesi Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) Fakultas Pertanian. Pada tahun 2011-2012 menjabat sebagai sekretaris Badan Pengawas Himpunan Profesi Arsitektur Lanskap.