IDENTIFIKASI POLA PEKARANGAN PADA PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SITU BABAKAN, JAKARTA SELATAN
Oleh Katarina Basaulina Rambe A34201044
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
IDENTIFIKASI POLA PEKARANGAN PADA PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SITU BABAKAN, JAKARTA SELATAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh Katarina Basaulina Rambe A34201044
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN KATARINA BASAULINA RAMBE. Identifikasi Pola Pekarangan pada Perkampungan Budaya Betawi Situ Babakan, Jakarta Selatan. (Dibimbing oleh NURHAYATI ANSHORI MATTJIK). Pekarangan adalah areal yang mengitari tempat mengerjakan pekerjaan sehari-hari yang berkenaan dengan pengelolaan lanjutan hasil pertanian seperti menjemur kayu bakar dan padi, menumbuk padi serta dapat pula berfungsi sebagai tempat bermain anak-anak (Nasoetion, 1989). Sedangkan Kim (1998) mengemukakan bahwa pekarangan merupakan suatu batas fisik guna menjaga privasi yang secara keseluruhan diartikan sebagai simbol kesinambungan suatu keluarga. Adanya suatu pekarangan atau halaman di depan rumah dapat menunjukkan identitas suatu budaya masyarakatnya, yang dilihat dari jenis vegetasi yang sering mereka pergunakan dan pola pembagian pekarangan atau halamannya. Hal ini dapat dilihat juga pada pola pekarangan permukiman budaya Betawi. Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengidentifikasi pola pekarangan di daerah pemukiman tradisional budaya Betawi yaitu Perkampungan Budaya Betawi sehingga diketahui pola pekarangannya. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pekarangan dilihat dari jenis dan tata letak elemen pembentuk pekarangan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dan metode historik. Metode historik untuk mengetahui awal dan sebab-sebab terbentuknya pekarangan. Semua data yang telah dikumpulkan, dianalisis untuk memperoleh pola pekarangan tradisional yang khas Betawi. Data yang diperoleh berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei lapang dan wawancara dengan pemilik pekarangan melalui kuisioner. Pemilik dan pekarangan dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu yaitu yang sudah mengetahui jenis-jenis tanaman yang ada di pekarangannya dan pembagian-pembagian ruangan pada lahan. Responden dipilih 25 orang penduduk dari dua kelurahan yang terdapat di Situ Babakan yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Petani disini mencakup pengertian yang luas yaitu meliputi petani penggarap, buruh tani, dan petani pemilik. Penetapan jumlah responden berdasarkan pertimbangan bahwa responden memiliki pekarangan yang dapat mewakili pekarangan yang ada dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai rumah dan pekarangannya, serta bersedia dijadikan responden. Yang mewakili pekarangan adalah yang memiliki beragam vegetasi lokal, masih tradisional dan memiliki elemen non tanaman khas seperti empang, jamban, dan kandang ternak. Responden dipilih berdasarkan rekomendasi key person yaitu pengelola Perkampungan Budaya Betawi (Bapak Indra) dengan pertimbangan bahwa pengelola lebih mengetahui pekarangan mana saja yang dapat mewakili pekarangan Betawi. Pengetahuan tentang pekarangan tidak dibatasi berdasarkan tingkat pendidikan. Data sekunder didapatkan dari studi pustaka berbagai lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pekarangan dan adat istiadat Betawi. Pemukiman asli Betawi, dalam tata letaknya dibedakan kelompok rumahrumah yang berdiri “di bagian dalam” (agak jauh dari jalan besar), dan yang
berdiri “di bagian luar” (dekat atau menempel langsung pada jalan). Rumahrumah penduduk pada umumnya terlihat mengelompok dengan kisaran jarak yang bervariasi (tidak tentu). Di antara rumah-rumah penduduk terdapat ruang terbuka hijau berupa kebun buah atau pekarangan ataupun tanah lapang yang digunakan sebagai tempat penduduk melakukan berbagai aktifitas sosial seperti berkumpul bermain, berolahraga, dan yang lainnya. Walaupun pada perkampungan tradisional Betawi di daerah hinterland pemilikan lahan telah bersifat individual, pembatas kepemilikan lahan cukup dengan menanam sejenis pohon seperti Petai Cina dan Jarak, Secang, dan sebagainya. Untuk pohon pembatas kebun, dipilih yang mudah tumbuh dan awet, tetapi bukan jenis pohon yang menghasilkan buah-buahan yang dapat dimakan supaya tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari. Seperti juga dengan pembatas kebun, halaman rumah juga tidak dibatasi pagar, kecuali beberapa rumah yang sudah berasitektur modern. Untuk menciptakan privacy, pada bagian depan rumah tradisional Betawi dibuat langkan, yaitu pagar yang disebut jaro, terbuat dari bahan bambu atau kayu, sehingga pandangan dari luar rumah tidak menembus ke dalam rumah. Tetapi saat ini sudah jarang sekali yang memakai jaro sebagai pengganti pagar rumahnya. Untuk sekarang ini pembatasan lahan pada setiap rumah sudah berbeda-beda seperti pagar permanen dari beton, pagar bambu, pagar kayu, pagar tanaman, dan sebagian besar rumah memiliki batas lahan yang sudah jelas. Jarak antara jalan, pagar, dan batas depan rumah pada umumnya telah membentuk garis lurus yang sejajar dengan jalan. Rumah-rumah Betawi tidak diorientasikan terhadap arah mata angin tertentu dalam peletakannya. Jika ada, orientasi rumah lebih ditentukan oleh alasan-alasan praktis saja seperti bentuk dan orientasi pekarangannya atau aksesibilitas (kemudahan mencapai jalan). Dari hasil kuisioner responden yang didapat, 28 % arah rumah menghadap Timur, 28 % menghadap arah Utara, 28 % menghadap arah Selatan dan 16 % menghadap arah Barat. Fungsi-fungsi yang berada diatas pekarangan tersebut sangat tergantung pada kebutuhan dari pemilik lahan, dan bersangkut paut dengan kegiatan keagamaan seperti yang dapat ditemukan dalam pola pekarangan masyarakat Bali (Pemda Tingkat I Bali, 1989). Pembagian area pada rumah betawi terbagi empat yaitu area umum (public area), area pribadi (private area), area keluarga (family area), dan area pelayanan (service area). Hal ini berpengaruh kepada ruang di luar rumah yaitu pekarangan. Namun area pribadi dan area keluarga secara abstrak membaur. Area umum dapat dimasuki orang lain secara bebas, area pribadi sudah merupakan daerah yang dimasuki oleh pihak keluarga saja seperti ruang tidur. Untuk area pelayanan merupakan area untuk kegiatan seperti memasak, mencuci dan yang lainnya. Berdasarkan Lemtek FTUI dan Dinas Tata Kota DKI 2001, tidak adanya referensi tentang pola ruang luar yang merupakan ekspansi dari ruang dalam, maka ruang dalam dijadikan basis untuk penataan bentang alam kawasan Situ Babakan. Pola tata ruang dalam rumah betawi pada dasarnya terbagi tiga yaitu : 1. Bagian depan, yang sering disebut serambi depan karena bersifat terbuka. Di bagian ini seringkali terdapat tanaman hias untuk menyambut tamu atau orang luar. Tanaman yang terdapat di bagian depan cenderung memiliki batang tanaman yang pendek seperti kacapiring, kembang sepatu, kenanga, lidah buaya, dll.
2. Bagian tengah, yang merupakan bagian pokok dari rumah betawi. Tanaman yang sering ditemukan di samping rumah adalah jenis tanaman buahbuahan seperti belimbing, rambutan, sawo, jambu, dan yang lainnya. 3. Bagian belakang, disebut ruang belakang. Ruangan ini sering disebut rumah dapur/paseban karena digunakan untuk tempat memasak. Hal ini mempengaruhi jenis tanaman yang ditanam memiliki hubungan dengan masak memasak seperti tanaman bumbu dapur dan sayur-sayuran. Contohnya seperti tanaman melinjo, daun katuk, lengkuas, jahe, daun suji, dan yang lainnya. Untuk elemen non tanaman seperti jamban dan sumur juga ditemukan di bagian belakang karena lebih dekat dengan rumah dapur. Jika dilihat dari tata letak ruangnya, pola atau konsep yang dimiliki oleh rumah-rumah betawi cenderung bersifat simetris, sehingga membentuk sumbu abstrak yang seimbang. Di atas sebidang lahan, pada umumnya tapak rumah terpisah dari tapak kebun. Namun tapak rumah atau pekarangan rumah pada umumnya ditanami pohon buah-buahan juga. Di atas tapak rumah ini dapat terjadi kemungkinan berdiri beberapa rumah tinggal karena adanya pewarisan atau jual beli atas sebagian dari bidang lahan pemilik semula, yang kemudian sebagian lahannya dibangun rumah baru oleh pemilik yang baru. Kemudian ada terdapat kebiasaan jika seorang anak yang sudah menikah belum memiliki rumah, maka orangtuanya akan memberikan bagian rumah yaitu paseban (rumah dapur) dengan cara membongkar dan memindahkannya ke tempat lain. Hal ini menyebabkan terjadinya proses fragmentasi dan pemadatan pemilikan lahan pada pemukiman Betawi. Di atas tapak yang sama, terdapat juga bangunan-bangunan yang berfungsi lain seperti kuburan, lapangan badminton, kandang ternak, empang dan yang lainnya. Tetapi semakin lama, kuburan tidak ditempatkan di lahan yang sama dengan rumah tinggal lagi sehingga dibuat lahan khusus untuk pemakaman. Selain itu letak kamar mandi/sumur dan W.C. biasanya ditempatkan di belakang rumah di sebelah kiri ataupun sebelah kanan. Sumur tempat mandi dan mencuci pada umumnya terletak di bagian kiri belakang atau di samping kiri rumah tinggal. Sumur sebagai sumber air keluarga juga dipergunakan sebagai air untuk menyiram tanaman. Berdasarkan tata ruang dan arsitektur rumah tradisional Betawi dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis bangunan/rumah : 1. Rumah Gudang, berdenah empat persegi panjang 2. Rumah Joglo, berdenah bujur sangkar 3. Rumah Bapang/Kebaya, berdenah empat persegi panjang Mayoritas penduduk di Perkampungan Budaya Betawi adalah Islam (90,82 %) dan selebihnya beragama Kristen Protestan (3,17 %), Kristen Katolik (4,65 %), Hindu (0,75 %) dan Budha (0,62 %). Fasilitas peribadatan yang tersedia adalah Mesjid 4 buah, 10 Musholah dan 1 Gereja. Identifikasi pola pekarangan pada pemukiman masyarakat budaya Betawi diharapkan dapat menjadi percontohan pola pekarangan yang baik bagi yang ingin menerapkan pola pekarangan budaya Betawi, dan dapat diharapkan untuk menjaga kesinambungan sejarah atau kelestarian bagi generasi mendatang.
Judul
: IDENTIFIKASI
POLA
PEKARANGAN
PADA
PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SITU BABAKAN, JAKARTA SELATAN Nama
: Katarina Basaulina Rambe
NRP
: A34201044
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Nurhayati Anshori Mattjik, MS NIP. 130 367 074
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130 422 698
Tanggal Lulus : ....................................
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kotamadya Padangsidimpuan, Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 20 Maret 1983. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, putri dari Bapak Hajopan Rambe dan Ibu Timayur Paulina Ritonga. Pada tahun 1995, penulis lulus dari SD Xaverius Padangsidimpuan, kemudian menyelesaikan studi dari SLTP Kesuma Indah Padangsidimpuan pada tahun 1998. Pada tahun 2001, penulis lulus dari SMUN 103 Jakarta Timur. Tahun 2001, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) sebagai mahasiswi Program Studi Arsitektur Lanskap, Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian. Penulis aktif mengikuti kegiatan UKM PMK IPB dan menjadi asisten mata kuliah agama pada tahun ajaran 2004/2005.
KATA PENGANTAR Puji dan Syukur bagi Yesus Kristus yang bertahta di Kerajaan Surga untuk penyertaanNya dan juga kesabaran yang diberi dalam setiap langkah penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini. Penelitian ini berjudul Identifikasi Pola Pekarangan pada Perkampungan Budaya Betawi, Situ Babakan, Jakarta Selatan. Skripsi ini merupakan syarat utama untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan karena adanya keinginan untuk mengekspos kekayaan budaya melalui pekarangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis vegetasi, elemen pembentuk dan pembagian pekarangan yang akan mencirikan pola pekarangan budaya betawi, sehingga dapat dilestarikan kebudayaannya serta kesinambungan sejarah betawi bagi generasi yang akan datang. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Nurhayati Anshori Mattjik selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulis melakukan kegiatan penelitian dan penulisan skripsi. Kepada Dr. Ir. Nurhayati H. Susilo Arifin, MSc selaku dosen pembimbing akademik selama perkuliahan. Kepada pengelola Perkampungan Budaya Betawi yang telah memberikan bantuan selama pelaksanaan penelitian. Kepada orangtua yang telah memberi dukungan moril dan materiil, penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya skripsi ini. Penulis berharap, hasil penelitian ini dapat berguna bagi kampus IPB, bagi Perkampungan Budaya Betawi sebagai masukan untuk kelestarian budaya betawi dan bagi semua orang yang membacanya. Bogor, Mei 2006
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan Syukur saya ucapkan kepada Bapa di Surga untuk berkat dan perlindungan yang diberikan selama masa perkuliahan sampai saatnya lulus. Hanya oleh kehendak-Nya sajalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada : 1. Kedua orangtuaku Bapak dan Mama yang telah memberikan dukungan baik moril dan materiil. Skripsi ini kupersembahkan untuk Bapak dan Mama, aku sayang kalian. 2. Kakak Ratna dan Bang Parlin. Both of you are my inspiration in our lovely family. Luv ya sist and my bro….. Thanks for d everythin’. 3. Prof. Dr. Ir. Nurhayati Anshori Mattjik, MS selaku pembimbing skripsi, atas bantuan Ibu selama ini. 4. Dr. Ir. Nurhayati Hadi Susilo Arifin, MSc sebagai pembimbing akademik. Terima kasih nasihat-nasihat dan tanda tangannya selama ini ya Bu. 5. Ir. Maritje Wungkar Msi dan Ir. Qodarian Pramukanto, Msi selaku dosen penguji saya, untuk saran dan masukannya bagi perbaikan skripsi saya. 6. Bapak Indra, Bapak Romi dan rekannya sebagai Pengelola Perkampungan Budaya Betawi, dan masyarakat Betawi PBB. 7. Teman seperjuanganku dan sesama anak Mami, Muti dan Doe, finally diriku menyusul kalian, makasih ya buat dukungannya. 8. Tuir, Ana Liv_sib, en Rika Item yang udah banyak ngasih dukungan moril (materiilnya mana ?hehe..). Thanks a lot friends, kalian adalah sahabat yang mengerti gw. Benar kata Papa-J “Semua indah pada waktunya”. Luv yaaa.. 9. Opungku sayaang..(Joice), kita adalah pejuang yang sama-sama berjuang, P44 crew Ida, Eko, Sahat, Dodo, Esti, Enny, Jojo, Whelma, Gilda, Nita, Willy, Tari, Merry, Sius, Boris, Dika, Ai, Tian, Tifa, Ayu, Bambang, Roy, Bapak Bongot, Mey-mey, Feni, Fonti, Titin, Uci, Gilang, en anak baru yang belum gw hafal namanya. Thank’s for the support. 10. Anak Latigalapan, Inke, Acie, Asti, Mia, Eno, Hijrah, Qq, Davi, Gingin, Tata, Pimpim, Anie, Liza, Rinrin, Jupri, Iffa, Icha, Bessy, Nina, Nuning, Dian, Rika, Nina, Rida, Alun, Dina, Angga, Osie, Faika, Acil, Yayat, Sandi, Heri, Alma, Imam, Ami, Yuki. 11. Fatma, Erlin, Eno, Liza, Mega, Dyu, semua Lanskap 39 dan 40 yang udah kasih support. Thank’s guys. 12. Dan akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak saya tulis satu persatu, saya ucapkan terima kasih.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 3 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 4 Lanskap ...................................................................................................... 4 Lanskap Budaya ......................................................................................... 4 Pemukiman ................................................................................................. 6 Pekarangan ................................................................................................. 7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Pekarangan .................. 8 Fungsi Pekarangan ..................................................................................... 9 Perkampungan Betawi ............................................................................... 10 Orang Betawi ............................................................................................. 11 METODE ......................................................................................................... 13 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... 13 Metode Penelitian ...................................................................................... 13 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 15 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ............................................................. 15 Hasil Inventarisasi ...................................................................................... 15 Lokasi Daerah Penelitian ..................................................................... 15 Aksesibilitas ......................................................................................... 16 Keadaan Iklim ...................................................................................... 17 Tanah .................................................................................................... 17 Topografi .............................................................................................. 18
Hidrologi .............................................................................................. 18 Tanaman ..................................................................................................... 18 Tanaman yang Terdapat di Pekarangan ..................................................... 22 Satwa .......................................................................................................... 37 Pola Pemukiman ........................................................................................ 38 Rumah Betawi ............................................................................................ 40 Kependudukan ........................................................................................... 50 Pendidikan .................................................................................................. 53 Ekonomi ..................................................................................................... 54 Adat Istiadat ............................................................................................... 55 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 57 Kesimpulan ................................................................................................ 57 Saran........................................................................................................... 58 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 59 LAMPIRAN ..................................................................................................... 62
DAFTAR TABEL Teks No
Halaman
1. Jenis Tanaman yang ada di Tapak ............................................................. 18 2. Jumlah Penduduk Tiap RW di Kelurahan Srengseng Sawah .................... 50 Lampiran No
Halaman
1. Kuisioner Penelitian ................................................................................... 63 2. Identitas Responden ................................................................................... 64 3. Elemen Non Tanaman yang Terdapat di Pekarangan ................................ 65 4. Jenis Tanaman dan Peletakannya ............................................................... 66
DAFTAR GAMBAR Teks No
Halaman
1. Peta Lokasi Penelitian ................................................................................ 13 2. Peta Perkampungan Budaya Betawi .......................................................... 16 3. Pintu Masuk I Bang Pitung ........................................................................ 17 4. Pembatas Lahan ......................................................................................... 40 5. Jalan Setapak dalam Pekarangan ............................................................... 41 6. Rumah Betawi ............................................................................................ 41 7. Pembagian Area ......................................................................................... 41 8. Tanaman Pekarangan ................................................................................. 43 9. Paseban....................................................................................................... 43 10. Fragmentasi Lahan ..................................................................................... 43 11. Kandang Ternak ......................................................................................... 44 12. Empang ...................................................................................................... 44 13. Pembibitan Tanaman.................................................................................. 44 14. Tempat Pembuangan Sampah .................................................................... 44 15. Jamban / Kakus .......................................................................................... 44 16. Denah Rumah Gudang ............................................................................... 46 17. Denah Rumah Joglo ................................................................................... 46 18. Denah Rumah Bapang ............................................................................... 47 19. Penempatan Vegetasi dan Elemen non Vegetasi pada Pekarangan Budaya Betawi ............................................................... 48 20. Pola Pekarangan Budaya Betawi Perkampungan Budaya Betawi .................................................................. 49 Lampiran No
Halaman
1. Grafik Keadaan Iklim................................................................................. 69 2. Jenis dan Letak Pohon pada Sampel Pekarangan Perkampungan Budaya Betawi Situ Babakan ............................................ 70
3. Jenis-jenis Tanaman yang ada di Pekarangan Betawi................................ 71
PENDAHULUAN
Latar Belakang Gambaran terbaik tentang lanskap budaya (cultural landscapes) adalah “segala sesuatu yang berada di ruang luar yang dekat dan dapat dilihat.” Menurut definisi ini, lingkungan lanskap budaya adalah semua yang sudah mendapat campur tangan atau diubah oleh manusia. Dengan kata lain “semua lanskap manusia mempunyai pengertian budaya” (Nurisjah dan Pramukanto, 2001). Dari sudut pandang ini, berarti segala sesuatu di sekitar kita mempunyai arti yang penting. Menurut Tishler (1982), lanskap budaya adalah suatu lanskap alami yang diperlihatkan oleh kelompok budayanya. Budaya sebagai agen, area alami sebagai media, dan lanskap budaya sebagai hasilnya. Jika kita kehilangan lanskap yang menggambarkan tentang budaya dan tradisi kita, maka kita akan kehilangan bagian penting dari diri kita sendiri dan akar kita pada masa lampau (Tishler, 1982). Setiap suku bangsa memiliki nilai-nilai budaya yang khas dan dapat membedakan jati diri mereka dari kekhasan budaya yang lain. Perbedaan ini dapat dilihat dari gagasan, adat istiadat, dan hasil karyanya yang dituangkan melalui interaksi antar individu atau kelompok dengan alam sekitarnya. Salah satu dari identitas ini dapat kita lihat dari arsitektur dan pola pekarangan yang ada di setiap pemukiman budaya tersebut. Arsitektur bangunan dikatakan “tradisional” apabila penciptaan struktur dan konstruksi, pengaturan tata letak ruang, penggunaan ragam hias, dan cara pembuatan bangunan tersebut diwariskan turun temurun dalam suatu kebudayaan atau lokalitas tertentu. Arsitektur bangunan dikatakan juga tradisional apabila fungsi yang dimilikinya adalah untuk mewadahi kegiatan-kegiatan maupun kebutuhan-kebutuhan yang muncul dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian arsitektur tradisional adalah bersifat khas (indigenous), yang hanya terdapat pada kebudayaan dan lokalitas tersebut (Harun, et. al. 1999). Bentukan lanskap yang bernilai historis memiliki bentuk yang beragam seperti bentukan areal persawahan, bentukan areal perkebunan, bentukan lahan di daerah pemukiman sampai pada bentukan pekarangan di sekitar rumah. Penataan
pekarangan ini memiliki suatu pola tertentu dengan karakternya yang khusus yang merupakan pencerminan budaya masyarakat setempat. Adanya suatu pekarangan atau halaman di depan rumah dapat menunjukkan identitas suatu budaya masyarakatnya, yang dilihat dari jenis vegetasi yang sering mereka pergunakan dan pola pembagian pekarangan atau halamannya. Hal ini dapat dilihat juga pada pola pekarangan pemukiman budaya Betawi. Perkampungan Budaya Betawi adalah suatu tempat di Jakarta Selatan yang dapat ditemui dan dinikmati kehidupan bernuansa betawinya. Nuansa Betawi ini berupa komunitas Betawi, keasrian alam Betawi, tradisi Betawi, kebudayaan serta materi yang merupakan sumber informasi dan dokumentasi kebetawian. Hal ini dibuat dengan tujuan memberikan perlindungan dan pembinaan, guna melestarikan dan mengembangkan potensi lingkungan bagi peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat, berupa obyek wisata budaya, wisata agro, dan wisata air (Imron, et. al. 2002). Pada kebun atau pekarangan biasanya ditanami berbagai jenis tanaman khas Betawi yang produktif seperti pohon buah, sayuran dan tanaman obat. Pada pekarangan, pola penanamannya cenderung menyebar, sedangkan pada kebun yang produktif, pola penanamannya lebih teratur (Harun, et. al. 1999). Namun sekarang ini penampilan fisik-fisik dari rumah-rumah Betawi dan pola pekarangannya sudah tidak mencerminkan rumah adat tradisional Betawi lagi. Lebih lanjut Harun, et. al (1999) mengungkapkan, penyebab berkurangnya jumlah rumah yang bergaya tradisional ini diduga oleh karena masuknya warga pendatang yang merubah komposisi latar belakang yang ada. Secara fisik terjadi desakan terhadap daerah-daerah yang terdapat rumah-rumah dengan arsitektur Betawi dalam bentuk pembangunan kawasan perumahan baru, prasarana, dan sarana kota yang baru. Sedangkan menurut Khudori (1988), modernisasi disamping menimbulkan sejumlah harapan, ternyata menimbulkan sejumlah kecemasan. Diantaranya adalah kecemasan akan hilangnya atau makin terdesaknya nilai-nilai lama yang mencerminkan budaya masyarakat tersebut. Untuk itu studi ini mencoba mengungkapkan pola pekarangan pemukiman budaya Betawi yang dapat diidentifikasi dari vegetasi, satwa, dan pembagian ruangnya.
Tujuan Penelitian Tujuan studi ini secara umum adalah mengidentifikasi pola pekarangan di daerah pemukiman tradisional budaya Betawi yaitu Perkampungan Budaya Betawi sehingga diketahui pola pekarangannya. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pekarangan dilihat dari jenis dan tata letak elemen pembentuk pekarangan.
Manfaat Penelitian Melalui proses identifikasi ini, dapat diperoleh informasi tentang lanskap pekarangan dan pengaruhnya terhadap budaya yang ada. Hasil studi dalam identifikasi pola pekarangan pada pemukiman masyarakat budaya Betawi juga diharapkan dapat menunjang penelitian-penelitian selanjutnya, khususnya dalam kaitannya dengan pemanfaatan pekarangan untuk meningkatkan gizi keluarga. Hasil studi juga diharapkan dapat menjadi percontohan pola pekarangan yang baik bagi yang ingin menerapkan pola pekarangan budaya Betawi, dan dapat diharapkan untuk menjaga kesinambungan sejarah bagi generasi mendatang, serta menjadi salah satu obyek pertanian wisata agro.
TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap Lanskap merupakan wajah dan karakter lahan bagian dari muka bumi ini dengan segala kegiatan kehidupan dan apa saja yang ada di dalamnya. Hal ini dapat bersifat alami, non alami atau keduanya, yang merupakan bagian atau total lingkungan hidup manusia beserta mahluk lainnya. Sejauh mata memandang, sejauh
segenap
indera
dapat
menangkap
dan
sejauh
imajinasi
dapat
membayangkan. Lanskap menurut Simonds (1983), adalah suatu bentang alam yang memiliki karakteristik tertentu yang dapat dinikmati keberadaannya melalui seluruh indera yang dimiliki manusia. Lanskap merupakan suatu lahan yang memiliki elemen pembentuk, komposisi dan karakteristik tertentu sebagai pembedanya. Dikenal adanya lanskap alami (natural landscape) dan lanskap binaan (man made landscape) sebagai dua bentuk lanskap utama yang dipilih berdasarkan intensitas intervensi manusia ke dalam lanskap tersebut. Lanskap binaan merupakan satu bentukan lanskap yang menerima campur tangan, masukan, atau binaan, pengelolaan dari manusia, mulai dari tingkatan intensitas yang kecil sampai yang tinggi sekali.
Lanskap Budaya Lanskap budaya (cultural landscape) merupakan suatu model atau bentuk dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat, yang dikaitkan dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Lanskap tipe ini merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya, yang merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan serta ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan yang terkait erat dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan kelompok-kelompok masyarakat dalam bentuk dan pola pemukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan dan struktur serta lainnya (Simonds, 1983).
Plachter dan Rossler (1995) mengungkapkan bahwa lanskap budaya mencerminkan interaksi antara manusia dengan lingkungan alami mereka melalui ruang dan waktu yang merupakan suatu fenomena yang kompleks dengan identitas, baik dapat atau tidak dapat disentuh. Komponen yang tidak dapat disentuh muncul dari ide dan interaksi yang berdampak pada persepsi dan bentukan dari suatu lanskap. Contohnya adalah suatu kepercayaan yang dianggap suci atau keramat yang terkait sangat erat dengan lanskap. Philips (dalam Malahayani, 2004) mengungkapkan bahwa lanskap budaya dapat ditemukan di setiap bagian dunia yang memiliki populasi. Mereka mewakili berbagai bagian dari warisan leluhur yang kaya dan tidak terbatas. Walaupun banyak terjadi perubahan dari bentuk alami mereka, lanskap budaya penting untuk konservasi alam dan keaneka-ragaman hayati karena banyak dari ekosistem yang berada di dalamnya dapat terus bertahan hidup melalui campur tangan manusia. Menurut McNeely dan Keeton (dalam Malahayani, 2004), banyaknya lanskap budaya yang hilang berarti manusia kurang mampu beradaptasi terhadap kondisi lokal tertentu, walaupun mereka mungkin mampu untuk lebih berkontribusi dalam ekonomi global. Sedangkan Tishler (1979) mendefinisikan lanskap budaya ini sebagai suatu kawasan geografis yang menampilkan ekspresi lanskap alami oleh suatu pola kebudayaan tertentu. Lanskap ini memiliki hubungan yang erat dengan aktivitas manusia, performa budaya, dan juga nilai serta tingkat estetika, termasuk kejadian-kejadian
kesejarahan
yang
dimiliki
oleh
kelompok
tersebut.
Dinyatakannya bahwa kebudayaan merupakan agen atau perantara dalam proses pembentukannya, dan lanskap budaya merupakan hasil atau produknya yang dapat dilihat dan dinikmati keberadaannya baik secara fisik maupun psikis. Lanskap budaya merupakan aspek berwujud dari budaya yang tidak dapat berhenti dalam suatu waktu seperti struktur sejarah (Ingerson, 1999). Konsep tradisional dalam pelestarian sejarah harus diperbaharui untuk memasukkan lanskap budaya. Menurut Mynors (1984), merupakan kewenangan perencanaan lokal dari waktu ke waktu dalam menentukan bagian mana dari wilayah mereka yang merupakan wilayah dengan bangunan arsitektural khusus, karakter bersejarah, atau penampakan yang diinginkan untuk dijaga, dikembangkan, dan dinyatakan sebagai wilayah konservasi.
Pemukiman Pemukiman adalah kelompok unit kediaman orang-orang atau kelompokkelompok manusia pada suatu wilayah termasuk kegiatan-kegiatan serta fasilitasfasilitas sebagai akibat dari proses terbentuknya pemukiman ini (Wayong 1981). Menurut Ashihara (1986), ruang pada dasarnya terbentuk oleh perhubungan di antara suatu benda (objek) dan seorang manusia yang merasakan benda tersebut. Ruang arsitektural interior (ruang dalam) dibatasi oleh tiga buah bidang yaitu lantai, dinding dan langit-langit, sedangkan ruang eksterior (ruang luar) adalah ruang yang terjadi dengan membatasi alam hanya pada bidang alas dan dinding, sedang atapnya dapat dikatakan tidak terbatas. Berdasarkan tata ruang dan bentuk bangunannya, rumah tradisional Betawi dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis bangunan (khususnya Jakarta Selatan dan Timur) : Rumah Gudang, Rumah Joglo, dan Rumah Bapang. Menurut Harun, et. al (1999), keadaan lingkungan tempat rumah-rumah tradisional Betawi berada, dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu pemukiman di bagian dalam (hinterland) dan pemukiman di bagian pesisir. Pemukiman di bagian dalam umumnya didominasi oleh kebun dan hunian dengan pekarangan yang ditumbuhi oleh pohon buah-buahan. Suasana pedesaan dengan pertanian kebun (agricultural-rural) terasa sekali di wilayah ini. Pemukiman di bagian pesisir memiliki suasana dan karakteristik pedesaan nelayan yang kuat. Hal ini tidak saja disebabkan oleh keadaan alamnya, tetapi juga oleh kegiatan masyarakatnya yang sebagian besar sebagai nelayan. Harun, et. al (1999) mengemukakan bahwa di dalam tata letaknya, rumahrumah yang berada di bagian hinterland dibedakan menjadi rumah yang berada agak jauh dari jalan (di bagian dalam) dan yang dekat atau yang langsung menempel pada jalan (di bagian luar). Pada bagian dalam, rumah-rumah yang dibangun berada di tengah kebun atau bidang lahan yang kering sehingga memiliki pola yang terpencar. Pada bagian luar, rumah-rumah memiliki pola yang mengelompok padat atau berjejer di sepanjang jalan dan hanya dikelilingi oleh pekarangan yang sempit. Namun hal tersebut bukan berarti bahwa pemilik rumah memiliki lahan yang sempit, namun seringkali kebun buah-buahan atau lahan kering yang dimilikinya terdapat di lokasi lain.
Rumah tradisional Betawi, secara geografis, umumnya berada di lingkungan yang berdekatan dengan air, baik pantai ataupun daerah aliran sungai. Tata letak rumah Betawi tidak berorientasi terhadap arah mata angin tetapi lebih mengutamakan alasan-alasan praktis, seperti bentuk dan orientasi pekarangan serta fungsi-fungsinya (Ruchiat, et. al 2000). Tidak ada suatu kepercayaan tertentu yang harus diikuti dalam menentukan arah mata angin mana suatu rumah harus menghadap. Selain itu, tidak ada bangunan atau ruang tertentu yang menjadi pusat perkampungan yang berfungsi sebagai pusat orientasi rumah-rumah yang ada (Harun, et. al 1999).
Pekarangan Pekarangan adalah areal yang mengitari tempat mengerjakan pekerjaan sehari-hari yang berkenaan dengan pengelolaan lanjutan hasil pertanian seperti menjemur kayu bakar dan padi, menumbuk padi serta dapat pula berfungsi sebagai tempat bermain anak-anak (Nasoetion, 1989). Sedangkan Kim (1998) mengemukakan bahwa pekarangan merupakan suatu batas fisik guna menjaga privasi yang secara keseluruhan diartikan sebagai simbol kesinambungan suatu keluarga. Menurut Brownrigg (1984), pekarangan di Indonesia merupakan salah satu tipe taman Timur yang mempunyai ciri berlokasi di sekitar rumah. Selanjutnya dikemukakan bahwa pekarangan merupakan sumber sekitar 40 % dari total kalori, 30 % dari total protein dan 65 % dari total bahan bakar yang dibutuhkan oleh keluarga. Selain itu, pekarangan memberikan sumbangan pendapatan sekitar 7 sampai 44 % dan pada saat paceklik pekarangan menyediakan bahan makanan untuk konsumsi keluarga. Pendapat ini didukung oleh Kim (1988) yang menyatakan pekarangan sebagai sumber sayur-sayuran atau lauk pauk. Selain itu Penny dan Ginting (1984), menguraikan fungsi pekarangan sebagai sumber kebutuhan sehari-hari dengan aneka ragam tanaman, ternak, ikan, air sumur dan yang lainnya. Pekarangan dengan ciri khas tersebut berguna dalam menjaga keseimbangan alami.
Brownrigg (1985) mengungkapkan ketentuan dari suatu pekarangan adalah besarnya jumlah tanaman tertentu serta dilengkapi dengan sistem daur ulang misalnya pembuatan kompos. Di pekarangan ini dapat pula dipelihara ternak seperti bebek, ayam, kambing, kuda, domba, dan ternak lainnya. Namun pada umumnya lahan yang langsung berada di depan rumah dalam keadaan bersih dan dilindungi pepohonan, dapat digunakan untuk bermain oleh anak-anak serta tempat berkumpul maupun untuk pengolahan lanjutan hasil pertanian, yang sering disebut sebagai halaman rumah. Selain itu Nasoetion (1989) mengungkapkan bahwa pekarangan di sekitar rumah umumnya ditanami pohon yang menghasilkan buah seperti manggis, rambutan, duku, durian, bisbul, gandaria, gowok, kecapi, lobi-lobi; pohon yang menjadi sumber sayuran teman nasi seperti nangka, keleuwih, dan melinjo; pohon yang menghasilkan rempah seperti pala dan cengkeh. Di bawah pepohonan tersebut ditanami perdu yang lebih pendek yang dapat menghasilkan buah seperti jeruk, jambu, nam-nam dan salak; perdu sebagai sumber rempah-rempah seperti jahe, lengkuas, kunir, sereh, dan lada serta pada lapisan terendah biasanya ditanami sayur-sayuran seperti cabai, pandan, bayam, bayam merah dan kangkung darat. Susunan jenis tumbuhan yang ditanam umumnya berbeda untuk setiap tempat tergantung dari kondisi iklim dan tanahnya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Pekarangan Penny dan Ginting (1984) mengemukakan bahwa keberadaan elemen dalam pekarangan dipengaruhi oleh adat atau kebiasaan melakukan upacara-upacara yang berlaku di daerah tersebut. Elemen dalam pekarangan terdiri dari manusia sebagai pemilik, pengguna dan pengelola pekarangan, vegetasi sebagai tanaman dalam pekarangan dan bangunan. Contohnya bagi masyarakat Hindu di Bali, pekarangan merupakan bagian dari ruang terbuka pemukiman desa yang memiliki keindahan panorama alamiah karena diatur dalam pola ruang berdasarkan berbagai filosofi Hindu yang berorientasi keintiman dan interaksi sosial. Pekarangan di Bali berisi berbagai tanaman untuk upacara adat, tanaman buahbuahan, dan rempah-rempah (Pemerintah Daerah Tingkat I Bali, 1989).
Fungsi Pekarangan Fungsi pekarangan dapat digolongkan menjadi dua bagian, yakni fungsi ekonomis dan fungsi non ekonomis atau rohani. Fungsi ekonomis berarti hasil pembudidayaan pekarangan dapat dimanfaatkan langsung untuk memenuhi kebutuhan manusia, sedangkan fungsi non ekonomis dimaksudkan bahwa hasil pembudidayaan pekarangan dapat dimanfaatkan secara tidak langsung. Menurut Kristyono (1983), masing-masing fungsi pekarangan adalah sebagai berikut : 1.
Untuk dipetik hasilnya Pekarangan dikenal terdiri dari berbagai macam tanaman dan hasilnya dapat
dipetik setiap waktu sepanjang tahun sehingga pekarangan sering disebut “lumbung hidup” atau “taman gizi”. Selain itu pekarangan juga disebut “apotek hidup” jika tanamannya terdiri dari tanaman obat-obatan. 2.
Melindungi rumah dan keluarga serta sebagai paru-paru Dengan penanaman sistem bertingkat seperti di hutan, kerimbunan
pekarangan oleh beberapa mahkota daun tanaman dapat diwujudkan. Pada siang hari, kerimbunan ini akan melindungi rumah dari kerusakan yang diakibatkan oleh terik matahari dan hujan angin. Mahkota dedaunan tanaman pekarangan dapat berfungsi sebagai “paruparu” karena menyerap kebisingan, debu, gas asam arang, dan gas beracun lainnya sedangkan
sistem perakaran
yang
berada
dalam tanah
dapat
menghancurkan sampah atau limbah rumah tangga. 3.
Penyejuk pemandangan Arti pekarangan untuk masyarakat desa tentunya berlainan dengan
masyarakat kota. Di kota, pekarangan banyak ditujukan untuk memberikan keindahan, kesegaran dan kesejukan pemandangan. Kerimbunan pekarangan oleh mahkota dedaunan memberikan pemandangan yang menyejukkan. 4.
Sebagai tempat bersantai keluarga Fungsi non ekonomis lain dari pekarangan ialah sebagai tempat bersantai
keluarga. Pekarangan dapat menjadi sebuah wadah untuk membina hubungan antara manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan alam.
5.
Sebagai arena pendidikan dan bermain anak Anak-anak dapat belajar mengenai alam melalui pekarangan seperti
mengenal tumbuh-tumbuhan dan satwa yang ada di dalamnya. Selain itu telah menjadi naluri anak-anak untuk berinteraksi dengan sesamanya melalui permainan. Pekarangan sebagai wadah untuk permainan yang dapat memberikan dampak positif bagi anak-anak. Menurut Soemarwoto (1991) pekarangan mempunyai fungsi : hidro-orologi, pencagaran sumber daya gen, efek iklim mikro, sosial, produksi, dan estetis. Fungsi hidro-orologi dapat terlihat dari sedikitnya erosi yang umumnya terjadi di pekarangan, karena keadaan pekarangan yang datar dan tajuk tanaman yang berlapis. Fungsi pencagaran sumber daya gen terwujud dengan adanya banyak jenis yang ditanam di pekarangan. Efek iklim mikro terjadi karena naungan kanopi pepohonan. Soemarwoto (1991) mengungkapkan bahwa fungsi sosial terlihat karena pekarangan merupakan simbol status. Orang yang tidak memiliki pekarangan dan membuat rumahnya di pekarangan orang lain, dianggap mempunyai status yang rendah. Pekarangan banyak yang tidak berpagar. Jika berpagar, tidak tertutup rapat sekeliling, dengan demikian orang dapat dengan bebas melewati pekarangan orang lain. Hasil pekarangan juga mempunyai fungsi sosial, orang lain dengan tidak membayar dapat memperoleh bagian tanaman untuk keperluan obat atau upacara. Fungsi produksi meliputi baik produksi subsisten, yaitu untuk keperluan sendiri, maupun keperluan komersial. Fungsi estetis pekarangan tampak dari tanaman hias dan hewan-hewan tertentu (Soemarwoto 1991).
Perkampungan Betawi Secara historis perkampungan Betawi yang khas mulai tampak ketika pemerintah kolonial Belanda membangun kota Jakarta, yang mirip kota-kota di Belanda (Malahayani, 2004). Di sisi lain, pemerintah kolonial mulai melakukan pemetaan peruntukan lahan pemukiman dengan berbagai aturan. Salah satu peraturan tersebut adalah penduduk pribumi hanya diperkenankan membangun rumah-rumah di daerah pedalaman atau pesisir yang berjauhan dengan rumah-
rumah penjajah. Dengan adanya pembedaan ini, maka mulailah timbul istilah kampung dan kota. Perbedaan ini bukan hanya menunjukkan teritorial, tetapi juga corak dan kekhasan bangunan yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Malahayani (2004) mengungkapkan bahwa antara pemukiman pribumi tersebut, juga terdapat perbedaan yang mendasar dan cukup mencolok. Perbedaan ini didasarkan pada lingkungan sosial dan alam sekitar permukiman. Penduduk di sekitar pantai membangun rumahnya dengan bentuk rumah panggung untuk menghindari gempuran ombak sementara penduduk di pedalaman membangun pemukiman dengan mengandalkan fungsi halaman sebagai lahan perkebunan maupun untuk memanfaatkan kerindangan pepohonan sebagai peneduh.
Orang Betawi Orang Betawi merupakan perpaduan biologis (asimilasi) dan akulturasi unsur-unsur budaya antar suku dan bangsa (Wangrea, et. al. 1985). Mereka merupakan masyarakat yang memiliki ciri-ciri adat istiadat yang khas dan sangat terikat pada adat istiadat tersebut dan etika agama Islam. Hal ini juga didukung oleh Harun, et. al. (1999) yang mengungkapkan bahwa penduduk asli Betawi adalah pemeluk agama Islam yang taat. Mereka menyukai kesenian yang bernafaskan Islam dan tampak pula dalam proses religi mendirikan bangunan. Menurut Budiaman, et. al. (2000), hampir seluruh adat masyarakat Betawi diwarnai oleh unsur agama Islam, sehingga sukar memisahkan antara tradisi yang menurut adat dan yang berdasarkan agama, karena keduanya telah berpadu dalam setiap aspek kehidupannya. Menurut Biro Bina Penyusunan Program Propinsi DKI Jakarta (2001), berdasarkan wilayahnya, orang Betawi dapat dibedakan dalam beberapa tipe. Tipe-tipe tersebut adalah Betawi Tengah, Betawi Pinggir, dan Betawi Udik. Orang Betawi yang berada di Srengseng Sawah termasuk dalam kelompok masyarakat Betawi Pinggir dan Betawi Udik. Betawi Udik terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah masyarakat Betawi yang tinggal di daerah bagian utara Jakarta, bagian barat Jakarta, dan Tangerang, dan dipengaruhi oleh kebudayaan Cina. Kelompok kedua adalah masyarakat Betawi yang tinggal di sebelah timur
dan selatan Jakarta, Bekasi, dan Bogor yang sangat dipengaruhi kebudayaan Sunda.
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kawasan Situ Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan. Pengamatan kondisi tapak dan pengumpulan data tapak serta pengolahan data dilakukan pada bulan September 2005 sampai Januari 2006.
NONIN KEBEMBEM RAYA AD M M A OH M
HF KA
I II
KELURAHAN SRENGSENG SAWAH RS. BUDI SITU MULIA SRENGSENG SAWAH
DE SA PU TR A
JAMBU
PONDOK SIBONCEL KOMPLEK YON ZIKON 14
U Tanpa Skala
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dan metode historik. Metode historik untuk mengetahui awal dan sebab-sebab terbentuknya pekarangan. Semua data yang telah dikumpulkan, dianalisis untuk memperoleh pola pekarangan tradisional yang khas Betawi. Data yang diperoleh berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei lapang dan wawancara dengan pemilik pekarangan.
Pemilik dan pekarangan dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu yaitu yang sudah mengetahui jenis-jenis tanaman yang ada di pekarangannya dan pembagianpembagian ruangan pada lahan. Responden dipilih 25 orang penduduk dari dua kelurahan yang terdapat di Situ Babakan yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Petani disini mencakup pengertian yang luas yaitu meliputi petani penggarap, buruh tani, dan petani pemilik. Penetapan jumlah responden berdasarkan pertimbangan bahwa responden memiliki pekarangan yang dapat mewakili pekarangan yang ada dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai rumah dan pekarangannya, serta bersedia dijadikan responden. Yang mewakili pekarangan adalah yang memiliki beragam vegetasi lokal, masih tradisional dan memiliki elemen non tanaman khas seperti empang, jamban, dan kandang ternak. Responden dipilih berdasarkan rekomendasi key person yaitu pengelola Perkampungan Budaya Betawi (Bapak Indra) dengan pertimbangan bahwa pengelola lebih mengetahui pekarangan mana saja yang dapat mewakili pekarangan Betawi. Responden diberikan kuisioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan tentang jenis-jenis elemen yang ada di pekarangan responden. Pengetahuan tentang pekarangan tidak dibatasi berdasarkan tingkat pendidikan. Kemudian data yang diperoleh, dikumpulkan dan diolah untuk mendapatkan persentase peletakan elemen vegetasi pekarangan. Persentase peletakan elemen vegetasi maksudnya adalah peletakan jenis vegetasi yang lebih dari 50 % dari kuisioner akan mewakili peletakannya. Data sekunder berfungsi untuk menunjang data primer yang telah didapat. Data sekunder didapatkan dari studi pustaka berbagai lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pekarangan dan adat istiadat Betawi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perkampungan Budaya Betawi merupakan suatu tempat di Jakarta Selatan dimana dapat ditemui dan dinikmati kehidupan bernuansa Betawi berupa komunitas Betawi, keasrian alam Betawi, tradisi Betawi, kebudayaan serta materi yang merupakan sumber informasi dan dokumentasi kebetawian (Imron, 2002). Hal ini dapat dilihat dari arsitektur rumah Betawi, pekarangan Betawi, jenis-jenis tarian dan permainan yang masih dapat ditemui di beberapa Rukun Tetangga (RT). Perkampungan Budaya Betawi memiliki potensi lingkungan alam yang menarik yang sulit ditemukan ditengah hiruk pikuknya kota Jakarta. Dengan mudah dapat dijumpai aktifitas keseharian masyarakat Betawi berupa latihan pukul (silat), pesta nikah, akekah, injek tanah, ngarak nganten sunat, memancing, menjala dan budidaya ikan air tawar, bertani, berdagang sampai kegiatan memasak makanan khas Betawi yang masih berlanjut sampai sekarang.
Hasil Inventarisasi Lokasi Daerah Penelitian Secara geografis, Perkampungan Budaya Betawi (PBB) terletak pada 106°49’50”BT
dan
6°20’23”LS.
Daerah
penelitian
secara
administratif
dimasukkan ke dalam Kampung Situ Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan. Luas keseluruhan PBB 165 hektar, dengan luas Situ Babakan sekitar 35 hektar. (Lemtek FTUI dan Dinas Tata Kota DKI Jakarta, 2001). Batas fisik kawasan yaitu dengan Jalan Moch. Kahfi II sebelah utara, Jalan Desa Putera dan Jalan Mangga Bolong Timur sebelah timur, Jalan Tanah Merah, Jalan Srengseng Sawah dan Jalan Puskesmas sebelah selatan, serta Jalan Moch. Kahfi II sebelah barat.
SRENGSENG SAWAH Gg .S ET IA BH AK TI
SDN DESA PUTRA KOMPLEK PANTI ASUHAN DESA PUTRA SLTP/SMU, SMK DESA PUTRA
KEL. SRENGSENG SAWAH
BALAI KESMAS DESA PUTRA
SET U BA BAK AN
U PD K. SIB ON CE L
BON CEL
Tanpa Skala MI/MTS/MA SLTP/SMK DARUSSALAM
KOMPLEK YON ZIKON 14
Gambar 2. Peta Perkampungan Budaya Betawi
Aksesibilitas Lokasi studi terletak + 5 km dari stasiun Lenteng Agung. Jalan Raya Pasar Minggu dan lintasan Kereta Rel Listrik (KRL) Jakarta-Bogor merupakan akses utama menuju lokasi tapak. Secara makro, PBB dapat dicapai dari empat arah yaitu : •
Dari arah barat, mewakili daerah Ciganjur, Cinere, dan Pondok Labu sebagai konsentrasi tujuan dari lokasi dan ke lokasi melalui jalan warung silah.
•
Dari arah timur melalui jalan Srengseng Sawah.
•
Dari arah utara, dari jalan raya Lenteng Agung melalui jalan Mohammad Kahfi II atau jalan jeruk, dan
•
Dari arah selatan mewakili daerah Lebak Bulus dan Depok, melalui jalan tanah baru (terusan Mohammad Kahfi II ke arah selatan) dari Lebak Bulus dan jalan Kukusan di Depok.
Gambar 3. Pintu Masuk I Bang Pitung Keadaan Iklim Suhu rata-rata bulanan di Kawasan Situ Babakan dan sekitarnya adalah 27,41°C dengan kisaran 26,52°-28,04°C. Suhu udara rata-rata masih berada dalam kisaran ideal untuk kenyamanan manusia yaitu 10-27°C berdasarkan Laurie (1986). Kelembaban rata-rata bulanan 79,70 %, dengan kisaran 72,54-86,55 %. Curah hujan rata-rata 191,42 mm/bulan, dengan kisaran 57,72-321,13 mm/bulan. Kecepatan angin rata-rata bulanan 4,9 km/jam, dengan kisaran 4-6,57 km/jam. Kecepatan angin berada dalam kisaran angin yang nyaman yaitu 1,0-6,0 km/jam (Kartasapoetra, 1989). Intensitas penyinaran matahari rata-rata bulanan 54,41 %, dengan kisaran 35,36-70,83 %. (Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Pondok Betung, 1994-2004).
Tanah Berdasarkan Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Barat (1996), jenis tanah di kawasan PBB adalah asosiasi latosol merah, latosol coklat kemerahan, dan laterit air tanah, dengan bahan induk tuf volkan intermedier. Tanah latosol tidak memperlihatkan pembentukan tanah yang baru dan tidak dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Latosol bersifat asam dengan kandungan bahan organik yang rendah sehingga kesuburan juga rendah (Soepardi, 1983). Tanah ini berstruktur granular dan drainasenya baik sehingga tanah ini berbahaya jika dibiarkan terbuka. Laterit air tanah memiliki sifat masam hingga agak masam (pH
H2O 6,0-7,5), zat organiknya rendah (1-4 %), unsur hara dan permeabilitas jelek, dan kepekaan erosi kecil (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974).
Topografi Secara umum, keadaan topografi kawasan Situ Babakan datar sampai bergelombang. Pemukiman di sebelah barat terletak lebih tinggi dari permukaan jalan di sepanjang setu. Jalan di sepanjang situ relatif datar. Lahan yang datar umumnya bersifat monoton dan tidak memiliki titik fokus (focal point) (Simonds, 1983).
Hidrologi Situ Babakan memiliki sistem hidrologi yang terbuka dengan adanya inlet dan outlet air Setu. Berdasarkan keterangan warga PBB, pada Situ Babakan terdapat mata air alami yang terletak di dalam Situ. Inlet situ ada empat buah, yaitu dari Situ Mangga Bolong, Kali Baru, Kali Tengak, dan Situ ISTN (Institut Sains dan Teknologi), sedangkan outletnya menuju sungai Ciliwung (Bapedalda, 2004).
Tanaman Tanaman yang terdapat di kawasan PBB, baik di area pekarangan ataupun di sekitar sempadan situ berfungsi sebagai tanaman peneduh ataupun estetis. Jenisjenis tanaman khas yang ditemukan di PBB adalah : Tabel 1. Jenis Tanaman yang ada di Tapak No.
Nama Lokal
Spesies
Tempat Penanaman Umumnya Pekarangan
Kebun
Batas Lahan
1.
Andong
Cordilyn fruticosa linn
8
0
8
2.
Acalypha australis L
2
2
0
3.
Antinganting Asem
Tamarindus indica
4
4
0
4.
Bangle
Zingiber purpureum
8 (32%)●
6
0
5.
Bambu
Bambusa sp
4
4
4
6.
Belimbing Wuluh
Averhoa bilimba L
4
16 (64%)●
0
7.
Averhoa carambola L
8
8.
Belimbing Manis Brotowali
16 (64%)●
2
Tinospora crispa
8 (32%)●
2
2
9.
Bunga Kenop
Gomphrena globasa
0
0
2 (8%)●
10.
Clitoria tematea
4 (16%)●
0
2
11.
Bunga Teleng Buni
Antidesma bunius
2
6 (24%)●
0
12.
Buah Nona
Annona reticulata
4 (16%)●
2
0
13.
Bisbol
Diospyros philipensis
2
2
0
14.
Cabe Jawa
Piper refrofractum
4 (16%)●
2
0
Vahl 15.
Cakar Ayam
Selaginella doederlinii
2
2
0
16.
Calincing
Oxalis corniculata
0
2
2
17.
Cincau
Cyclea barbata
4 (16%)●
2
2
18.
Ciplukan
Phisais peruviana L
0
10 (40%)●
0
19.
Duku Condet
Lansium domesticum
4
6 (24%)●
0
10 (40%)●
4
0
14 (56%)●
4
0
2
4 (16%)●
4
2
8 (32%)●
6
Var. Condet 20.
Durian sitokong
Durio zibetinus Murr. Var. Sitokong
21. Daun dewa
Gynura segetum
22. Daun jinten
Coleus amboinicus
2
Lour
23. Daun katuk
Sauropis anchoginus L
24. Daun
Nothopana
mangkokan
25. Daun pandan
10 (40%)● 6
pseutellarium Pandanum
12
12
4
amarylifolium
26. Daun
reumatik
Plumbago zeylanica
0
4 (16%)●
0
Linn
27. Daun salam
Eugenia operculata
2
18 (72%)●
4
28. Daun sendok
Plantago mayar
0
2 (8%)●
0
29. Daun suji
Pleomele angustifolia
30. Daun wungu
Graphtophyllum pictum
31. Daruju
Acanthus ilicifolius
10
2
0
0
0
2
0
0
6 (24%)●
2
4
14 (56%)●
Linn
32. Ganda rusa
Justicea gendarussa
33. Gendolo
Bosella rubra Linn
34. Jahe merah
Zingiber oficinale
35. Jeruk nipis
Citrus aurantifolia
36. Jamblang
4 (16%)●
0
4
0
4
6 (24%)●
0
Eugenia cuminii
0
2 (8%)●
0
37. Jambu
Eugenia jambos
2
6 (24%)●
0
38.
Psidium guajava
8
14 (56%)●
2
39. Jambu bol
Eugenia malaccencis L
6
14 (56%)●
0
40. Jarak
Jatropha multifida
4
2
41. Jengkol
Pithecolobium jiringa
2
4
4
42. Kawista batu
Feronia limonia
0
2 (8%)●
0
43. Kara wedus
Lablab purpureus L
2
0
2
44. Kaca piring
Gardenia sp
10 (40%)●
2
2
45. Kembang
Hibiscus rosasinensis
8 (32%)●
4
2
46.
Mirabilis jalapa
0
2
2
47.
mawar Jambu biji
sepatu Kembang pukul empat Kemuning
48. Kencur
0 10 (40%)●
10 (40%)●
Murraya paniculata
14 (56%)●
6
2
Kaempferia galanga
8 (32%)●
6
0
Linn
49. Ki tolod
Isotoma longiflora
2
2
0
50. Kenanga
Canangium odoratum
4 (16%)●
2
2
51. Kumis
Orthociphor aristatus
8 (32%)●
2
2
52.
kucing Karet kebo
Ficus elastica Roxb
0
4 (16%)●
0
53. Keji beling
Strobilantes crispus
0
0
4 (16%)●
54. Kembang
Zephyranthes candida
0
0
2 (8%)●
55.
Mangifera odorata
2
8 (32%)●
2
56. Kecapi
Sandoricum loetjape
2
10 (40%)●
2
57. Lada
Piper albi
4
4
0
58. Lempuyang
Zingiber americans
6
6
0
59. Lidah buaya
Aloe vera
18 (72%)●
2
2
60. Lengkuas
Alpina galanga
16 (64%)●
8
0
61. Lidah mertua
Sansiviera trifasciata
14 (56%)●
4
2
62. Melinjo
Gnetum gnemon
8
16 (64%)●
4
63. Menteng
Baccauria rasemosa
0
4 (16%)●
0
coklat Kweni
64. Matoa 65. 66. 67. 68.
Mengkudu Melati Miana Mondo kaki
Pometia pinnata Morinda citrifolia Jasmimum sambac Coleus scutellaricides Ertafamia diffaricata
69. Nona makan Clerodendrum sirih Nangka
2
4 (16%)●
0
18 (72%)● 2 4 0
2 2 2 0
2
4 (16%)●
0
8
18 (72%)●
0
4 14 (56%)● 12 (48%)● 0
71. Pangkas
thomsonai Anthocarpus heterophillus Duranta repens
72. 73.
Carica papaya Musa sp
6 6
74. Poselen
Thalium triangulare
0
75. Puring
Codieaum variegatum
76. Rambutan 77. Rukem
Nephelium lappaceum L Falcourtia rukam
78. Sosor bebek
Kalanchoe pinnata
79. Sawo duren
Chrysophilum cainato
80. Sawo kecik
Manilkara kauki
81. Sirih
Piper bitle
82. Saga
Abius precatorius
83. Salam
Syzgium polyanthum
6
10 (40%)●
0
84. Sambung
Excoecaria cochinicinensis Androganthis paniculata Stachytarpheta mutabilis Cimbopogan nardus
2
4 (16%)●
0
8 (32%)●
4
0
8 (32%)●
2
0
88. Seledri
Apium grafeolens
2
2
0
89. Tapak dara
Cantharanthus roseus
4 (16%)●
0
0
90. Temukunci
Boesenvergia pandurata Curcuma xanthorriza
4
8 (32%)●
0
6
8(32%)●
0
70.
85.
kuning Pepaya Pisang
dara Sambiloto
86. Sambung 87.
nyawa Sereh
91. Temulawak
6
10 (40%)●
2 12 (48%)● 22 (88%)●
6 2 0
0
0
6
2
6
25 (100%)●
0
2
6 (24%)●
0
2
2
2
6 (24%)●
0
2
6 (24%)●
0
20 (80%)●
4
2
12 (48%)●
6
4
16 (64%)●
6
16 (64%)●
2
Keterangan ● adalah penempatan tanaman yang paling banyak dari ke-25 responden
Tanaman yang Terdapat di Pekarangan •
Andong (Cordilyn fruticosa linn) Sosoknya berupa tanaman tegak dengan daun-daun panjang lebar seperti
dasi. Memiliki daun hijau polos, tetapi Andong merah memiliki dua macam warna, yaitu sisi atas berwarna hijau dan sisi bawah berwarna merah. Sepintas tanaman ini mirip dengan Dracaena. Habitatnya cocok di lingkungan yang terang dan merata supaya warna daunnya cemerlang. Tanah yang ada di dalam pot harus lembab tetapi pada musim hujan harus dicegah supaya jangan sampai terlalu basah. •
Belimbing (Averrhoa carambola) Buahnya berair, agak manis tajam, bentuk penampangnya seperti bintang,
dapat dimakan segar dan digunakan sebagai lalapan mentah atau minuman. Termasuk ke dalam famili Oxalidaceae. Pohon ini dapat tumbuh 5 hingga 12 m tingginya. Setiap tangkai memiliki 711 anak daun, buahnya berwarna kuning muda kehijauan, bijinya coklat tua, panjangnya sekitar 1 cm, terbungkus dalam daging di tengah-tengah buah. Tanaman ini dapat ditanam dari biji dalam kotak atau kantung plastik, disambung, ditempel atau dicangkok. Tanaman ini dapat tumbuh alami di daratan Asia tropis lembab, pada ketinggian kurang dari 500 mdpl dan pada tanah-tanah yang solumnya tebal dan drainasenya baik. Banyak kultivar belimbing manis dan masam ditanam orang. Kecambah bibit dapat ditanam setelah tingginya 30-50 cm dengan jarak tanam 5-7 m. Pupuk perlu diberikan untuk mendapatkan hasil yang baik. Buah pertama muncul setelah umur 4-5 tahun dan dapat berbuah sepanjang tahun. Penyiangan di bawah lingkaran tajuk diperlukan untuk mematikan gulma. Hama yang penting adalah lalat buah, dapat dikontrol dengan membungkus buah, membuang buah yang terserang, dan membongkar tanah untuk membunuh pupanya. •
Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi) Buahnya seperti timun kecil, sangat masam dan digunakan untuk cuka, obat
dan penyamak kulit. Tanaman ini termasuk ke dalam famili Oxalidaceae. Pohon ini tumbuh hingga setinggi 15 m dengan 11-12 anak daun pada tiap tangkai daun.
Bunganya merah tua muncul dari batang atau cabang ranting. Teknik budidayanya serupa dengan belimbing besar. •
Brotowali (Tinospora crispa) Tanaman ini merupakan perdu memanjat, tingginya mencapai 2,5 m, batang
berduri semu yang lunak serupa bintil-bintil, daun tunggal, bertangkai, bentuknya mirip jantung dan ujungnya mendekati lancip. Bunga berukuran kecil, warna hijau dan memiliki tandan semu. Buah berbentuk dalam tandan yang warnanya merah muda. Asal tanaman ini diduga dari Asia Tenggara dan dapat ditemui tumbuh liar di hutan atau ladang namun sekarang ditanam di pekarangan. Penyebaran terutama di daerah berkawasan tropik karena tanaman ini menyukai tempat yang panas. Diperbanyak dengan stek batang dan lebih baik batang yang sudah tua. •
Durian (Durio zibethinus) Buah ini terkenal di kawasan Asia Tenggara karena baunya yang khas dan
rasanya yang enak. Daging buah di sekeliling biji dimakan secara segar atau untuk penyedap. Tanaman ini termasuk ke dalam famili Bombacaceae. Durian merupakan pohon tinggi yang dapat mencapai hingga 40 m, pohon penempelan biasanya lebih pendek + 12 m. Buahnya besar-besar, hijau olive, dan berduri keras, mengandung banyak biji yang terbungkus dengan daging buah yang lunak, daunnya kecil-kecil dan berwarna hijau perak. Durian diduga berasal dari Malaysia, sekarang ditanam di sebagian besar kawasan Asia Tenggara. Memerlukan iklim lembab panas, tanah subur dan ketinggian di bawah 800 mdpl. Penyiangan di bawah lingkaran tajuk dilakukan secara teratur dengan tangan atau menggunakan herbisida. Jamur Phytophthora palmivora dapat menyebabkan gangguan serius yang disebut kanker kulit. Hama yang terpenting adalah penggerek buah. •
Cabe Jawa (Piper refrofractum Vahl) Merupakan tanaman asli Indonesia yang banyak terdapat di Jawa, Madura
dan Sumatera Selatan. Tumbuh pada ketinggian tempat dekat pantai, daerah datar sampai 600 m di atas permukaan laut. Tanaman ini dapat tumbuh dan menghasilkan dengan baik di semua jenis lahan kering atau semua jenis tanah di Pulau Jawa.
Belum banyak dibudidayakan oleh masyarakat. Beberapa daerah yang sedang dan pernah mengusahakannya adalah Jawa Tengah, Jawa Timur (khususnya kabupaten Lamongan) dan Banjarmasin. Dapat diusahakan di pekarangan sebagai tanaman yang merambat di pagar, maupun sebagai tanaman pengisi lahan yang ternaungi pohon di pekarangan, sehingga dapat meningkatkan produktifitas pekarangan. Tumbuh dengan batang memanjat, melilit atau melata. Daun berbentuk bundar telur sampai lonjong, pangkal daun berbentuk jantung atau memundar, ujung daun lancip. Pembungaan berupa bulir yang tegak atau sedikit merunduk. Buah berbentuk bulat, lonjong, warna merah cerah, biji berukuran 2-3 mm. •
Jahe Merah (Zingiber oficinale) Tumbuh hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Herba menahun
yang tumbuh liar di ladang-ladang berkadar tanah lembab dan memperoleh banyak sinar matahari. Ditanam pada dataran rendah sampai tinggi pada ketinggian 1.500 m di atas permukaan laut. Batang tegak berakar serabut dan berumbi dengan rimpang mendatar. Tumbuhan semak berbatang semu ini tingginya 30-100 cm. Rimpang berkulit agak tebal membungkus daging umbi yang berserat dan berwarna coklat beraroma khas. Bentuk daun bulat panjang dan tidak lebar. Daun tunggal, berbentuk lanset dengan panjang antara 15-28 mm. Bunganya memiliki dua kelamin dengan satu benang sari dan tiga putik bunga. Bunga muncul pada ketiak daun dengan posisi duduk. •
Jambu Biji (Psidium guajava) Buahnya dapat dimakan segar atau dikalengkan. Dapat digunakan untuk
membuat bubur buah (jelly dan jam) dan sari buah. Mengandung vitamin C 2-5 kali lebih banyak daripada jeruk orange segar. Termasuk ke dalam famili Myrtaceae. Tanaman ini tumbuh alami di daerah tropis Amerika, tetapi pada saat ini dijumpai diseluruh daerah tropis dan sub tropis. Penanaman biasanya dilakukan di pekarangan rumah. Di Selandia Baru dan kepulauan pasifik, tanaman ini dianggap sebagai gulma.
•
Jeruk nipis (Citrus aurantifolia) Pohonnya berukuran kecil, memiliki duri tajam dan banyak cabang-cabang
kecil, daun berbentuk bulat telur, agak kaku, panjang 4-6 cm, pada bagian tepi berlekuk ke atas, tangkai daunnya kecil dan sempit. Bunga berwarna putih dan harum. Buah berbentuk agak bulat, ujungnya sedikit menguncup. Saat masih muda berwarna hijau, semakin tua semakin hijau muda atau kekuningan, rasanya asam segar. Tanaman ini menyukai tempat terbuka dengan sirkulasi udara yang baik. Untuk memperbanyak tanaman ini dipilih hasil semaian dari biji atau bibit cangkokan. •
Kacapiring (Gardenia augusta Merr.) Tumbuhannya berbentuk perdu yang tingginya antara 1-2 m. Bunganya
putih bersih, berukuran relatif besar bila dibandingkan pohonnya. Bila dilihat seperti bulatan-bulatan besar dengan daun yang hijau tua melatarbelakanginya, dan bau bunganya semerbak harum. Sebenarnya tumbuhan ini bukan merupakan tumbuhan asli Indonesia tetapi berasal dari Cina dan Jepang. Kacapiring dapat diperbanyak dengan stek. Potongan batang yang mempunyai 3 atau 4 ruas baik untuk keperluan ini. •
Katuk (Sauropus androginus L) Perdu ini tumbuh menahun, berkesan ramping sehingga sering ditanam
beberapa batang sekaligus sebagai tanaman pagar, tinggi sekitar 1-2 m, batang tumbuh tegak, saat masih muda berwarna hijau, setelah tua jadi kelabu keputihan, berkayu dan percabangannya jarang. Daun majemuk genap, bunganya berbentuk unik, kelopaknya keras, berwarna putih semu kemerahan. Buah berbentuk bulat, berukuran kecil-kecil seperti kancing, berwarna putih dan biji beruang empat. Tanaman tumbuh di dataran rendah hingga 1200 m dpl, menyukai tempat terbuka maupun sedikit terlindung dengan struktur tanah yang ringan. Banyak ditanam di kebun, ladang ataupun pekarangan. Dapat diperbanyak melalui stek batang yang belum terlalu tua. Penanaman dapat diatur di pekarangan sebagai pagar hidup. Bila produksi daun sudah sedikit, tanaman katuk dapat diremajakan dengan pemangkasan batang utama.
•
Kenanga (Cananga odorata) Berupa pohon yang tingginya dapat mencapai 30 m. Daun mahkota dan
kelopaknya berwarna serupa. Dikenal beberapa macam kenanga. Yang pohonnya berukuran pendek, digemari oleh orang kota karena tempat yang diperlukan untuk tumbuhnya tidak banyak. Yang pohonnya tinggi sering dijumpai di pekarangan pedesaan. Baik yang pendek maupun yang tinggi, berbunga sepanjang tahun. Secara alami, kenanga tersebar di Semenanjung Malaya, kepulauan Indonesia dan Filipina. Untuk perbanyakannya, umumnya digunakan cangkok. Secara alami, kenanga membiakkan diri melalui bijinya. •
Kencur (Kaempferia galanga) Rhizome dan akar digunakan untuk bumbu masakan atau penyedap nasi.
Kadang-kadang dicampur dengan beras dan ditumbuk untuk membuat semacam minuman dan bedak wanita. Daun-daun muda dapat digunakan sayuran setelah dimasak. Termasuk ke dalam famili Zingiberaceae Tanaman herba ini tidak berbatang, mempunyai rhizome yang bercabangcabang, sehingga ia dapat hidup secara perenial. Perakarannya di beberapa tempat menjadi umbi yang berwarna putih kekuningan, membulat atau memanjang dan aromatis. Helai daunnya berdaging dan tersembunyi dalam tanah. Helai daunnya tumbuh mendatar di permukaan tanah, besar-eliptis atau bulat memanjang. Tandan bunganya tumbuh di pucuk di antara helai daun, terdiri dari 4-12 bunga yang berwarna putih dengan garis violet. Tanaman ini diduga berasal dari daerah tropis Asia. Sekarang banyak ditanam di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tumbuh baik pada tanah berpasir yang subur. Bibit yang ditanam adalah potongan-potongan rhizome yang bermata tunas, jarak tanam (40-60 cm) x (20-60 cm). Pengolahan tanah dilakukan dengan cangkul atau bajak, untuk menyiapkan guludan dan bedengan yang gembur. Bibit dibenamkan sedalam 5-7½ cm, penanaman pada awal musim hujan. Pada awal musim kemarau berikutnya daun-daun mengering dan umbi atau rhizomenya dapat dipanen atau dibongkar. Penggunaan pupuk kandang sangat dianjurkan pada saat pengolahan tanah, sehingga pemupukan N dan K diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman dan pembentukan rhizome serta umbi. Penyiangan gulma sangat diperlukan.
•
Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) Terna ini meskipun tumbuh tegak namun cenderung menyemak atau rimbun.
Batangnya berwarna coklat keunguan/kemerahan dan berbentuk persegi. Daun berbentuk belah ketupat, tepi bergerigi, kedua permukaan daun berbintik-bintik. Bunga berupa tandan yang keluar dari ujung cabang dan benang sari lebih panjang dari tabung bunga. Umumnya berwarna putih, tetapi ada juga yang berwarna kebiruan. Tanaman ini tumbuh di dataran rendah sampai dataran sedang (menengah). Untuk memperbanyak dengan stek batang, harus dipilih batang yang sudah tua dan dipotong sepanjang 15 – 20 cm. •
Lengkuas (Alpina galanga) Rhizome mudanya digunakan untuk penyedap (bumbu) masakan dan
pengawet makanan. Batang yang sangat muda dan tunas-tunas bunga dimakan sebagai sayuran. Rhizomenya mengandung kaemferide, glagin, dan minyakminyak esensial kuning kehijauan. Termasuk ke dalam famili Zingiberaceae Tanaman herba ini tumbuh tegap, tingginya mencapai 2 m. Rhizomenya merayap, berdaging, aromatik, berwarna putih dan ada yang kemerahan. Tanda bunganya tumbuh di pucuk tanaman, terdiri atas banyak bunga yang berwarna putih. Tanaman ini tumbuh alami di daerah tropika Afrika. Di kawasan tropis Asia dan Jawa tumbuh liar di antara hutan jati dataran rendah hingga dataran tinggi 1200 m dpl. Tanaman dapat diperbanyak dengan rhizome atau biji, namun biasanya lebih mudah diperbanyak dengan rhizome. Bagian ujung rhizome lebih baik untuk bibit. Pengolahan tanah diperlukan untuk menggemburkan tanah dan menyiapkan guludan. Penggunaan pupuk kandang, pupuk buatan, penyiangan gulma dan pembumbunan perlu dilakukan. Panen dapat dilakukan pada umur 2½-3 bulan setelah tanam. Kalau tanaman dipanen terlalu tua, rhizome akan berserat. •
Lidah Mertua (Sansiviera trifasciata) Tanaman ini memiliki daun tegak kaku dan berdaging. Warna daun putih
atau kuning, penuh belang-belang hitam seperti gambaran kulit ular, sehingga sering disebut Snake plant dan Mother in law’s tounge. Tanaman ini tahan terhadap kekeringan sehingga tidak perlu disiram setiap hari dan tumbuh di naungan ataupun tempat yang terang benderang.
•
Melati (Jasminum sambac) Perdu ini tumbuh menyemak, tinggi 0,3 – 3 m, daun berbentuk jorong
hingga bulat dengan tulang daun yang jelas, berwarna hijau terang hingga hijau kelabu. Bunganya berwarna putih, mungil dan berbau wangi. Saat masih kuncup, bunga membulat dan setelah mekar seperti terompet kecil. Memiliki akar serabut, liat dan sulit dipatahkan. Tanaman ini berasal dari daratan Asia. Tumbuh dan berbunga dengan baik di dataran rendah hingga dataran sedang. Dapat diperbanyak dengan stek batang / anakan yang tumbuh dari akar. Anakan dari akar tidak langsung dipotong tetapi dipotong sedikit demi sedikit selama beberapa hari. Setelah dirasa kuat, anakan diambil berikut tanah yang membalut perakarannya. •
Melinjo (Gnetum gnemon L) Melinjo berbentuk pohon, batangnya lurus dan tajuknya berbentuk kerucut
dan tingginya dapat mencapai 20 m. Buahnya berwarna hijau sewaktu muda, kemudian setelah masak berwarna kuning dan akhirnya menjadi merah. Pusat penyebarannya meliputi daerah Asam sampai ke Fiji. Varitas gnemon adalah yang sengaja ditanam. Yang tumbuh liar termasuk varitas ovalifolium. Tanaman ini menyukai dataran rendah, tetapi dapat juga tumbuh di daerah pegunungan sampai dengan ketinggian 1200 m dpl. Di Indonesia banyak dijumpai di pulau Jawa, yang ditanam untuk daunnya ataupun bijinya. Biji yang tua disamping untuk sayur, dapat dibuat kerupuk yang dikenal dengan nama emping. Sekarang banyak dibuat emping yang dicampur dengan udang, grinting dan gula. Jenis melinjo mempunyai kegunaan lain yaitu batangnya dapat dibuat tali. Tali tersebut kuat dan biasanya digunakan untuk tali jala, pengikat kapal dan untuk tali panjat. Kayunya dapat digunakan untuk bahan pembuat kertas yang bermutu baik. Melinjo dapat diperbanyak dengan bijinya yang disemaikan terlebih dahulu, tetapi biasanya diperbanyak dengan tunas akar. Sesudah pohon mulai menghasilkan buah terus menerus, jenis ini mudah dibudidayakan dan tidak banyak memerlukan pemeliharaan.
•
Mengkudu (Morinda citrifolia) Tumbuh hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia, umumnya tanaman
ini tumbuh liar di pantai, ladang, hutan atau sengaja di tanam di pekarangan. Berupa pohon dengan tinggi 4-8 m. Batang berkayu, bulat, dahan kaku dan kasar dengan daun yang berwarna hijau mengkilap, tebal dan berbentuk seperti tandan. Bunga majemuk, bentuk bongkol, bertangkai, diketiak daun. Buah bongkol, permukaan buahnya bertutul-tutul. Mula-mula buah berwarna hijau, kemudian menjadi kuning. •
Nangka (Artocarpus heterophyllus) Buah nangka banyak yang dijual, baik yang masih muda maupun yang
sudah masak. Umumnya ditanam di pekarangan rumah, terutama untuk keperluan keluarga akan buah. Diduga tanaman ini berasal dari daerah India. Sekarang tersebar ke seluruh dunia, terutama ke daerah-daerah yang beriklim tropika. Dapat tumbuh sampai pada ketinggian 1600 m dpl dan dapat tumbuh baik pada tanah subur, cukup air serta mempunyai drainase yang baik. Umumnya nangka diperbanyak dengan biji. Biji-biji tersebut ditanam dipersemaian terlebih dahulu. Setelah berumur 10 sampai 11 bulan, baru dipindahkan ke pekarangan atau ke kebun. Perbanyakan cara lain yaitu dengan cangkokan atau penempelan tunas. Dengan cara ini mutu buah yang dihasilkan akan sama dengan induknya. Juga waktu berbuah akan lebih awal daripada yang berasal dari biji. Kegunaan nangka yang utama adalah buahnya. Buah muda sering digunakan untuk sayuran. Sedang buah yang masak biasa dijadikan buah meja, kolak, campuran pembuat dodol atau minuman. Biji nangka setelah direbus atau dibakar dapat dimakan. Daunnya sangat disukai ternak kambing. Getahnya dapat dimanfaatkan untuk penangkap burung. Kayu nangka ulet dan warnanya menarik. Banyak digunakan untuk bahan bangunan dan alat-alat rumah tangga. Di samping kegunaan di atas, campuran abu daun nangka, jagung dan tempurung kelapa dapat dipakai untuk mengobati luka. •
Pepaya (Carica papaya) Pohon pepaya ukurannya termasuk kecil, mencapai ketinggian sekitar 15 m
dan umumnya menghasilkan satu batang tak bercabang, berserabut lunak yang
memanjang, tajuk daun berukuran besar dengan tangkai daun panjang. Akarnya juga lunak dan mudah rusak. Untuk bunga betina, bunganya terbentuk pada ketiak daun, berkembang menghasilkan segerombol buah. Bentuk buah bervariasi dari bulat hingga panjang dan menggantung. Beberapa jenis pepaya hanya menghasilkan bunga jantan yang terletak pada tangkai bunga yang panjang dan bunga ini tidak menghasilkan buah. Tanaman lain menghasilkan bunga jantan dan betina (hermaprodit) dan ini sangat variabel. Termasuk ke dalam famili Caricaceae. Pertumbuhan tanaman di daerah tropis lebih cepat dan tanaman akan berbunga setelah umur 6 bulan dan menghasilkan buah yang masak pada umur 9 bulan. Pepaya akan mati bila kena salju. Di daerah iklim sangat basah tanaman akan mudah terkena penyakit busuk akar terutama bila drainase tanah jelek. Dataran tinggi hingga 1500 mdpl di daerah tropis masih cocok untuk pepaya. Tanah harus mempunyai drainase yang baik, sehingga tanah-tanah berpasir sangat sesuai. Diduga bahwa tanah-tanah asam dengan Ph<5 harus dikapur untuk memperkecil gangguan penyakit busuk akar. Pepaya tidak boleh ditanam berturutturut pada tanah yang sama tanpa adanya fumigasi. Pada umumnya di daerah tropis petani mendapatkan benih dari tanamannya sendiri. Pada dasarnya ada dua cara untuk mendapatkan benih biji tersebut, yaitu: •
Biji diambil dari pohon yang menghasilkan banyak buah dan tipe buahnya baik.
•
Persilangan pohon-pohon yang hasilnya tinggi dapat dilakukan. Biji-biji diambil dari buah yang masak, dan dapat ditanam langsung atau
dikeringkan dan disimpan selama waktu tertentu hingga setahun. Kadang-kadang lapisan lunak berlendir pada biji dibuang dulu sebelum ditanam. Pepaya mudah terserang nematoda dan lahan tidak boleh ditanami pepaya lebih dari sekali (1-3 tahun), sebelum dirotasi dengan tanaman lain. Pada lahan yang terserang parah, nematicida seperti Vemagon sangat dianjurkan. Formalin (25 ml larutan metanal 4 %) dituangkan dalam liang tanam juga telah dianjurkan. Berbagai penyakit batang dan daun juga ada dan kadang-kadang dapat dikendalikan dengan menyemprotkan fungisida.
•
Pisang (Musa spp.). Struktur dasar dari semua klon pisang adalah sama. Tanaman ini termasuk
ke dalam famili Musacea. Batang vegetatif (batang semu) sebenarnya tersusun atas tumpukan pelepah daun yang tumbuh dari batang bawah tanah (corm). Batang sejati hanya muncul bila bunga terbentuk. Batang sejati ini tumbuh di dalam batang semu hingga ia muncul dan mendukung tandan. Bunga akan terbentuk setelah sejumlah tertentu daun tumbuh dan laju fotosintesis cukup cepat untuk membentuk tandan. Pisang tumbuh paling baik di daerah tropika lembab di mana tandan dihasilkan lebih cepat, yakni setelah umur 8-12 bulan. Untuk pertumbuhan yang optimal, curah hujan bulanan paling tidak 100 mm dan dapat setinggi 250 mm. Kalau musim kering tiba proses pendewasaan buah akan lambat kecuali jika diairi. Suhu tinggi merupakan persyaratan lain bagi pertumbuhan pisang dan suhu optimal antara 25-30º C. Suhu yang lebih rendah akan memperlambat proses pendewasaan dan suhu di bawah titik pembekuan akan merusak tanaman. Akan tetapi banyak industri yang besar dibangun di daerah iklim yang lebih kering dan lebih dingin di mana tanaman pisang memerlukan waktu 18 bulan untuk menghasilkan tandan. Angin kencang juga berpengaruh buruk terhadap pisang karena akarnya dangkal dan tidak mempunyai akar tunjang, apalagi daunnya besar-besar dan batangnya semua lunak. Kecepatan angin di atas 20 kph menyebabkan kerusakan pada pisang dan angin yang mencapai 80 kph dapat merobohkan tanaman pisang secara total. Hama pisang yang paling banyak adalah penggerek batang. Cosmopolites sordidus yakni kumbang yang bertelur dalam batang semu. Insektisida yang dianjurkan jika tidak dapat ditangani secara manual adalah aldrin dan dieldrin dengan dosis 2 kg/ha setiap interval enam bulan sekali, dengan menyemprotkan pada sisi batang semu bersama dengan perekat seperti tenac. •
Puring (Codieaum variegatum) Merupakan pohon perdu yang tingginya dapat mencapai 3 meter.
Perbanyakan bibit puring dapat dilakukan secara generatif dan vegetatif. Perbanyakan secara generatif melalui biji jarang dilakukan. Kebanyakan
dilakukan secara vegetatif yaitu dengan cara stek. Untuk stek, harus diambil dari cabang tanaman yang sehat. Untuk keperluan pagar tanaman, stek puring cukup ditancapkan pada sepanjang batas-batas pekarangan. Akan lebih baik lagi apabila tanah yang akan ditanami, digemburkan dahulu. Puring dapat tumbuh baik di daerah dataran rendah ataupun di daerah pegunungan. Untuk mendapatkan warna-warna daun yang baik, puring harus memperoleh cahaya matahari yang cukup. Pohon puring perlu dipangkas jika cabang daunnya terlalu lebat. Pemangkasan bertujuan agar seluruh bagian tanaman dapat memperoleh cahaya matahari. •
Rambutan (Nephellium lappaceum L) Rambutan menghasilkan buah meja yang banyak disukai orang. Tinggi
pohonnya dapat mencapai 20 m, mempunyai cabang banyak dan berdaun rimbun, sehingga baik pula digunakan sebagai tanaman peneduh terutama di pekarangan. Buahnya mempunyai warna macam-macam. Ada yang kuning kehijauan, merah muda atau merah tua. Akan tetapi yang umum dijual hanya beberapa macam saja antara lain rambutan aceh, aceh lebak, rapiah, si macan dan si nyonya. Rambutan dapat diperbanyak dengan biji atau dengan cangkokan. Bila tumbuh dari biji, buah yang pertama dihasilkan + 8 tahun sesudah biji tumbuh. Dengan cangkokan, rambutan berbuah sesudah 4 tahun. Tumbuh dengan baik sampai ketinggian 300 m dpl. Musim berbuah berlangsung antara bulan November sampai Februari. Tempat asalnya ialah Indonesia bagian barat, tepatnya Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di daerah ini banyak terdapat kerabat liarnya. Jenis yang enak menyebar ke tempat-tempat lain di Indonesia. •
Salam (Syzgium polyanthum) Di pulau Jawa dan Madura marga Eugenia ditemukan ada 59 jenis. Tumbuh
di dataran rendah dari ketinggian 5-1.000 m di atas permukaan laut, banyak tumbuh di hutan-hutan tapi sering juga ditanam oleh penduduk. Belum dibudidayakan secara besar-besaran. Perbanyakan dapat dilakukan dengan bijinya, cangkok atau stek. Pengambilan daun salam dilakukan dengan memangkas dahan/cabang 50-100 cm. Salah satu usaha perbanyakan jumlah batang dilakukan dengan cara pemangkasan bagian pucuk tanaman.
Berupa tumbuhan pohon tahunan dapat mencapai tinggi 25 m yang tumbuh tegak dan memiliki akar tunggang yang kuat dengan daun bentuk lonjong yang mempunyai aroma yang khas. Buah merah sampai ungu hitam, 9-10 mm. •
Sambang Darah (Excoecaria cochinchinensis Lour) Tanaman ini berupa perdu, tingginya 0,5 – 1,5 m, batang tegak, bercabang
banyak, warna coklat kehitaman, bergetah putih yang beracun. Warna permukaan atas daun hijau tua mengilap, permukaan bawah merah kecoklatan mengilap. Pada daun muda, warna merah kecoklatan ini terlihat lebih terang. Bunganya keluar dari ujung percabangan, berwarna kuning dan berukuran kecil-kecil. Buah berbentuk bulat, berkeping tiga dengan diameter kurang dari 1 cm. Dapat ditanam sebagai tanaman hias di pekarangan atau sebagai pagar hidup. Tanaman ini menyukai tempat terbuka, yang sedikit ternaungi dan kurang menyukai tempat yang tergenang air. Berasal dari Indocina. Batang yang sudah tua dapat dijadikan bahan stek atau dicangkok. •
Sambiloto (Andrographis paniculata) Tumbuh hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia, pada tempat
terbuka, di kebun, di tepi sungai, di tanah yang gembur, seringkali tumbuh berkelompok. Tumbuh pada ketinggian tempat 1-700 m di atas permukaan laut. Berupa herba semusim, batang berkayu, warna hijau, tinggi 40-90 cm. Daun tunggal, bulat telur. Perbungaan bentuk tandan, di ketiak daun dan ujung batang, warna ungu. Buah kotak, bulat panjang, ujung runcing, buah muda berwarna hijau dan setelah tua berwarna hitam. •
Sawo Duren (Chysophyllum cainito L) Tanaman ini biasa disebut sawo beludru. Tanaman buah ini bukan tanaman
Indonesia asli. Pohonnya besar, mempunyai batang yang tegak dan tingginya mencapai 10-20 m. Batangnya berwarna abu-abu terang dan tajuknya melebar dengan daun berwarna hijau. Bentuk daunnya jorong menyerupai daun durian yang berukuran kecil. Bagian atas daun berwarna hijau tua sedikit mengkilap dan bagian bawahnya berwarna hijau sampai coklat keabuan. Ada 2 jenis sawo duren, yaitu sawo duren merah dan sawo duren hijau. Bedanya, sawo duren merah mempunyai kulit buah warna merah tua keunguan, sedangkan sawo duren hijau berwarna hijau mulus. Bentuk buahnya hampir sama.
Perbedaan lainnya, daun buah sawo duren hijau berbentuk ramping memanjang, sedangkan sawo duren merah menggemuk terutama di bagian tengahnya. Bagian atas daun berwarna hijau tua mengkilap dan bagian bawahnya berwarna coklat tua. Daging buah sawo duren hijau berwarna hijau seperti kulitnya. Sewaktu masih muda sangat keras dan bergetah, sedangkan yang tua terasa empuk dan tidak bergetah lagi. Berbeda dengan sawo duren merah, waktu muda berwarna hijau kemudian akan berubah merah dan lama kelamaan berwarna merah tua keunguan. •
Sawo Kecik (Manilkara kauki) Buahnya kecil-kecil berbentuk bulat telur, panjangnya kira-kira 3 cm dan
memiliki 2 ruang. Warna kulit buah yang sudah tua berwarna coklat kemerahan dan yang masih muda berwarna coklat muda. Rata-rata dalam satu buah, hanya ada satu atau dua biji yang kecil berwarna coklat muda. Daging buahnya lunak, tapi airnya kurang banyak. Rasanya tidak begitu enak atau dikatakan sepat. Biasanya buah tidak untuk dimakan tetapi pohonnya ditanam sebagai peneduh halaman atau jalan. Bunganya muncul di ketiak daun dan bergelantung. Daun kelopaknya dalam dan karangan tersusun tiga-tiga, berbentuk bulat telur runcing dengan panjang tangkai kira-kira 6 cm. Tabung mahkotanya pendek dan berbentuk garis seperti lanset. Tajuk terletak dalam 2 karangan, 12 tajuk luar agak lebar dan berdiri, sedangkan tajuk terdalam agak sempit dan tegak. Jumlah benang sarinya 6, tertancap pada leher. Bakal buahnya memilliki 1 sampai 6 ruang. Tangkai putik tidak atau sedikit menjulang di luar bunga. Daun bagian atas berwarna hijau tua dan pada bagian bawah sedikit gelap dengan bentuk jorong. •
Sereh (Cimbopogon nardus) Termasuk keluarga rumput-rumputan, hidup menahun. Ciri fisiknya batang
tidak berkayu, beruas-ruas pendek dan berwarna pendek. Daunnya tunggal berbentuk lanset, memiliki pelepah yang pangkalnya memeluk batang, permukaan helai atas dan bawah berambut kasar dan berbau aromatis khas sereh. Bunga majemuk berbentuk malai, karangan bunga berseludang terletak dalam satu tangkai dengan bulir-bulir kecil.
Suka hidup membentuk rumpun dalam gerombolan yang besar dan tumbuh secara liar di tempat-tempat yang banyak air seperti di tepi sungai, tepi rawa dan umumnya ditanam di pekarangan sebagai pelengkap bumbu dan TOGA (tanaman obat keluarga). Perbanyakan dengan cara menanam rumpun yang sudah dipisahkan dengan mengikutkan akarnya. •
Sirih (Piper betle) Tanaman menjalar, selalu tampak hijau, daunnya oval meruncing, warnanya
hijau muda, kedudukan daun berseling. Bunganya coklat, uniseksual dan terbentuk ke dalam silinder bunga jantan dan tandan bunga betina. Diperbanyak dengan stek batang sepanjang 60 cm, ditanam di dekat lanjaran. Tanaman ini tumbuh alamiah di Asia tenggara. Ditanam di seluruh daerah tropis Asia, Afrika Timur, Madagaskar, dan India Barat. Dapat ditanam di dataran pantai hingga ketinggian 1000 m dpl. Curah hujan yang sesuai lebih dari 1700 mm/th. Stek batang ditanam dengan jarak beberapa cm dan dibiarkan merambat pada lanjaran yang tingginya 2 m. •
Tapak Dara (Catharanthus roseus L) Semak yang tidak terlalu besar, dapat mencapai 120 cm. Batang tumbuh
tegak dan bercabang banyak. Bunganya berwarna merah keunguan dan ada yang putih. Mahkota bunga berjumlah lima, merupakan bunga mejemuk yang keluar dari ujung tangkai maupun ketiak daun. Daun berbentuk bulat telur tersusun berhadapan, berwarna hijau tua, mengkilap dan sedikit tebal. Jumlah daun banyak sehingga terkesan rimbun. Buah merupakan buah bumbung berbulu yang berisikan banyak biji berwarna hitam. Asalnya dari Amerika Tengah. Tanaman menyebar di dataran rendah sampai ketinggian 800 m dpl, dapat tumbuh di tempat yang terlindung maupun terbuka. Dapat dilakukan dengan biji, stek batang atau stek akar. Tanaman yang sudah tua dapat diremajakan kembali dengan memangkas cabang-cabang hingga muncul tunas dan daun baru. •
Temu Kunci (Boesenvergia pandurata) Herba perenial ini tumbuh merumpun, dengan batang semu kemerahan pada
pangkalnya yang berada dalam tanah. Rhizomenya tipis-tipis dan agak keras; akarnya seperti umbi, panjang, silindris, coklat kekuningan, aromatik. Daun-
daunnya tumbuh tegak, berseling, jumlahnya 2-7 helai tiap tanaman, dengan tangkai daun panjang. Tangkai dan helai daun muda dapat dimakan segar sebagai sayur atau dimasak. Rhizome untuk obat tradisional. Tanaman ini berasal dari Asia Tenggara. Di Jawa Tengah dan Timur, tanaman ini tumbuh di bawah hutan jati dataran rendah juga ditanam di pekarangan bersama dengan tanaman lain. Tanaman kunci tahan terhadap naungan dan dapat ditanam pada berbagai kondisi tanah, terutama yang subur. Kondisi idealnya adalah tanah subur dan agak ternaung. Penanaman temukunci sangat sederhana, dapat diperbanyak dengan rhizome atau anakannya. Tanah diolah dengan cangkul/bajak, kemudian ditanami dengan rhizome atau bibit anakan, setelah itu perawatan tidak dilakukan. Tanaman dibiarkan tumbuh leluasa membentuk rumpun yang rapat/lebat. Beberapa minggu kemudian, individu tanaman yang paling tua dalam tiap rumpun dapat dipanen, dan sisanya ditinggalkan untuk tumbuh terus dan dipanen berikutnya. •
Temulawak (Curcuma xanthorriza) Rhizomenya yang telah digunakan untuk membuat berbagai jenis obat-obat
tradisional. Rhizome muda kadang-kadang juga untuk sayur segar. Irisan-irisan rhizome kering digunakan untuk penyedap minuman.Termasuk ke dalam famili Zingiberaceae Herba perenial ini tumbuh tegap hingga setinggi 2,5 m, merumpun. Umbi utamanya cukup besar, globular, kulit buahnya kuning tua atau coklat kemerahan, dagingnya oranye kecoklatan; cabang-cabang rhizome tumbuh banyak dengan ukuran lebih kecil warnanya warnanya lebih pucat dan bentuknya bermacammacam. Rhizome ini berbau rangsang dan rasanya agak pahit. Tandan bunga tumbuh dari rhizome di sebelah batang semu. Bunganya terlindungi oleh kelopak merah. Tanaman ini berasal dari Jawa, tumbuh di hampir tipe tanah, hingga ketinggian 750 m dpl; memerlukan naungan. Curah hujan optimum 1000-2000 mm/th, tidak tahan penggenangan. Tanah yang ideal adalah berlempung yang gembur dan kaya bahan organik.
Bibit yang baik adalah rhizome cabang yang cukup besar dengan 1-2 mata tunas. Bibit ditanamkan pada tanah yang telah digemburkan dengan kedalaman tanam 5-7½ cm, jarak tanam 25-30 cm. Pengolahan tanah dengan bajak dan cangkul ditujukan untuk membuat guludan-guludan kecil dengan jarak 35-50 cm. Penyiangan gulma dan pembumbunan rumpun tanaman sangat diperlukan. Pupuk organik diberikan pada saat pengolahan tanah, sedangkan pupuk N dan K dapat juga diberikan pada saat tanaman telah tumbuh. Panen dapat dilakukan pada umur 9-10 bulan kalau daundaun telah mulai mengering. Tanaman khas Betawi dapat berfungsi sosial budaya dan ekonomi. Diketahui vegetasi khas Betawi yang sangat jarang ditemukan adalah nam-nam (Cynometra cauliflora), gohok (Syzigium polycepahalum), gandaria (Bouea macrophylla), dan lobi-lobi (Flacourtia inermis). Adapun tanaman buah-buahan khas Betawi yang cukup sering ditemui adalah durian Sitokong, rambutan rapiah (Nephelium lappaceum), dan belimbing (Averrhoa carambola). Keanekaragaman tanaman yang berada di pekarangan penduduk dapat berfungsi sebagai ketahanan pangan masyarakat.
Satwa Berbagai jenis tanaman yang ada di pekarangan ternyata mendatangkan beberapa jenis satwa liar seperti burung dan serangga. Dengan adanya kolamkolam ikan dan berbagai jenis tanaman menyebabkan satwa burung yang beraneka ragam. Jenis burung yang dapat ditemukan adalah burung bondol Jawa (Lonchura leucogastroides), cabai Jawa (Dicaeum trochileum), cinenen Jawa (Orthotomus sutorius), cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), kekep babi (Artamus leucorhynchus), layang-layang batu (Hirundo tahitica), madu kelapa (Anthereptes malacensis), madu sriganti (Nectarinia jugularis), raja udang meninting (Alcedo meninting), dan walet sapi (Collocalia esculenta). Kicauan burung adalah suara yang enak di dengar sehingga menambah nuansa yang alami pada pekarangan yang ada.
Pola Pemukiman Pemukiman asli Betawi, dalam tata letaknya dibedakan kelompok rumahrumah yang berdiri “di bagian dalam” (agak jauh dari jalan utama), dan yang berdiri “di bagian luar” (dekat atau menempel langsung pada jalan utama). Pada lokasi bagian dalam, perkampungan memiliki pola yang terpencar karena rumah-rumah yang ada dibangun di tengah-tengah kebun buah atau bidang-bidang lahan yang kering (Harun, et. al. 1999). Pada lokasi bagian luar, rumah-rumah lebih bersifat mengelompok padat atau berjejer di sepanjang jalan dan hanya dikelilingi oleh pekarangan-pekarangan sempit. Dalam hal yang terakhir, tidak berarti pemilik rumah memiliki lahan yang sempit di desa tersebut. Seringkali kebun buah-buahan atau lahan kering yang dimilikinya terdapat di lokasi lain di desa itu juga, sehingga rumah-rumah di kampung “bagian luar” terpisah dari kebun buah-buahannya. Lebih lanjut, Harun, et. al. (1999) mengungkapkan bahwa pola yang terpencar seperti ini disebabkan oleh karena pada umumnya penduduk asli secara individual memiliki lahan darat yang luas dan masing-masing rumah mereka berdiri di atasnya, seperti yang ditemukan di pemukiman hinterland lain seperti di Condet, Kebun Jeruk dan Sukabumi Ilir. Rumah-rumah di sekitar situ atau dekat dengan badan air biasanya memiliki pola pemukiman berorientasi jalan untuk memudahkan aksesibilitas penghuninya dan membelakangi situ, namun masih terdapat akses penghubung dari rumah menuju situ, kemungkinan besar dipengaruhi oleh aktifitas-aktifitas di masa lalu, walaupun aktifitas mandi, mencuci dan buang air sudah tidak dilakukan di situ lagi (Ruchiat, et. al. 2000). Hal ini ditegaskan oleh Harun, et. al. (1999), bahwa tidak ada suatu kepercayaan tertentu yang harus diikuti dalam menentukan arah mata angin mana suatu rumah menghadap. Bangunan-bangunan pemukiman di sepanjang situ memiliki pola pemukiman membelakangi situ untuk kemudahan aksesibilitas ke jalan. Selain itu, tidak ada bangunan atau ruang tertentu yang menjadi pusat perkampungan yang berfungsi sebagai pusat orientasi rumah-rumah yang ada seperti yang ditemukan pada inti filosofi kebudayaan Jawa yaitu Keraton menjadi titik orientasi arsitektur, sehingga rumah-rumah harus menghadap pada titik dimana pusat pemerintahan dulu atau sekarang berada (Depdikbud, 1991), kemudian kampung Naga atau perkampungan tradisional Baduy di Jawa Barat
yang memiliki arah mata angin dan orientasi tertentu. Kondisi fisik berupa rumah tunggal dan rumah deret serta umumnya merupakan rumah permanen. Rumah-rumah penduduk pada umumnya terlihat mengelompok dengan kisaran jarak yang bervariasi (tidak tentu). Di antara rumah-rumah penduduk terdapat ruang terbuka hijau berupa kebun buah atau pekarangan ataupun tanah lapang yang digunakan sebagai tempat penduduk melakukan berbagai aktifitas sosial seperti berkumpul bermain, berolahraga, dan yang lainnya. Walaupun pada perkampungan tradisional Betawi di daerah hinterland pemilikan lahan telah bersifat individual, pembatas kepemilikan lahan cukup dengan menanam sejenis pohon seperti Petai Cina dan Jarak, Secang, dan sebagainya. Harun, et. al. (1999) mengungkapkan bahwa untuk pohon pembatas kebun, dipilih yang mudah tumbuh dan awet, tetapi bukan jenis pohon yang menghasilkan buah-buahan yang dapat dimakan supaya tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari. Seperti juga dengan pembatas kebun, halaman rumah juga tidak dibatasi pagar. Umumnya digunakan tanaman perdu, semak dan pohon, seperti suji (Pleomele angustifolia), kembang sepatu (Hibiscus rosasinensis), belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) kecuali beberapa rumah yang sudah berarsitektur modern. Lebih lanjut, Harun, et. al. (1999) mengungkapkan untuk menciptakan privacy, pada bagian depan rumah tradisional Betawi dibuat langkan, yaitu pagar yang disebut jaro, terbuat dari bahan bambu atau kayu, sehingga pandangan dari luar rumah tidak menembus ke dalam rumah. Pada jaro, umumnya menjalar tanaman saga, sirih, bunga teleng. Tetapi saat ini sudah jarang sekali yang memakai jaro sebagai pengganti pagar rumahnya. Untuk sekarang ini pembatasan lahan pada setiap rumah sudah berbeda-beda seperti pagar permanen dari beton, pagar bambu, pagar kayu, pagar tanaman, dan sebagian besar rumah memiliki batas lahan yang sudah jelas (Gambar 4 dan 5). Jarak antara jalan, pagar, dan batas depan rumah pada umumnya telah membentuk garis lurus yang sejajar dengan jalan. Pengecualian terdapat pada rumah yang dijadikan tempat usaha seperti warung.
Gambar 4. Pembatas Lahan
Gambar 5. Jalan Setapak dalam pekarangan
Rumah Betawi Di Perkampungan Situ Babakan, jenis bangunan-bangunan berarsitektur khas Betawi sudah tidak 100 % terlihat utuh kecuali bagian teras atau serambi yang masih dapat ditemui dalam bentuk dan ukuran yang seadanya saja. Biasanya masyarakat menambahkan ornamen pada lisplang yang memiliki ukiran khas Betawi pada bangunan rumah karena dapat menunjukkan kekhasan arsitektur rumah Betawi seperti pada Gambar 6. Tetapi hal tersebut kurang sesuai karena ditempatkan pada rumah-rumah yang cenderung berarsitektur modern.
Gambar 6. Rumah Betawi Rumah-rumah Betawi biasanya tidak diorientasikan terhadap arah mata angin tertentu dalam peletakannya. Jika ada, orientasi rumah lebih ditentukan oleh
alasan-alasan praktis saja seperti bentuk dan orientasi pekarangannya atau aksesibilitas (kemudahan mencapai jalan). Dari hasil kuisioner responden yang didapat, 28 % arah rumah menghadap Timur, 28 % menghadap arah Utara, 28 % menghadap arah Selatan dan 16 % menghadap arah Barat. Demikian juga fungsifungsi yang berada diatas pekarangan tersebut sangat tergantung pada kebutuhan dari pemilik lahan, tidak bersangkut paut dengan kegiatan keagamaan seperti yang dapat ditemukan dalam pola pekarangan masyarakat Bali (Pemda Tingkat I Bali, 1989).
AREA PRIBADI 4 Kursi Tamu
AREA UMUM
Ruang Tidur
1
Ruang Tidur
3
2 Kursi Goyang
Bale
Ruang Tidur
Keterangan : 1. R. Depan 2. R. Tengah 3. R. Belakang 4. Jamban 5. Sumur
AREA PELAYANAN
Tanpa Skala
Ruang Tidur
5
AREA KELUARGA
U
Gambar 7. Pembagian Area Pembagian area pada rumah betawi terbagi empat yaitu area umum (public area), area pribadi (private area), area keluarga (family area), dan area pelayanan (service area) seperti yang terlihat pada gambar 7. Hal ini berpengaruh kepada ruang di luar rumah yaitu pekarangan. Namun area pribadi dan area keluarga secara abstrak membaur. Area umum dapat dimasuki orang lain secara bebas, area pribadi sudah merupakan daerah yang dimasuki oleh pihak keluarga saja seperti ruang tidur. Untuk area pelayanan merupakan area untuk kegiatan seperti
memasak, mencuci dan yang lainnya. Pembagian area ini akan berpengaruh terhadap peletakan elemen tanaman dan non tanaman pada pekarangannya. Berdasarkan Lemtek FTUI dan Dinas Tata Kota DKI 2001, tidak adanya referensi tentang pola ruang luar yang merupakan ekspansi dari ruang dalam, maka ruang dalam dijadikan basis untuk penataan bentang alam kawasan Situ Babakan. Pola tata ruang dalam rumah betawi pada dasarnya terbagi tiga yaitu : 1. Bagian depan, yang sering disebut serambi depan karena bersifat terbuka. Di bagian ini seringkali terdapat tanaman hias untuk menyambut tamu atau orang luar. Tanaman yang terdapat di bagian depan cenderung memiliki batang tanaman yang pendek seperti kacapiring, kembang sepatu, kenanga, lidah buaya, dll. 2. Bagian tengah, yang merupakan bagian pokok dari rumah betawi. Tanaman yang sering ditemukan di samping rumah adalah jenis tanaman buah-buahan seperti belimbing, rambutan, sawo, jambu, dan yang lainnya. 3. Bagian belakang, disebut ruang belakang. Ruangan ini sering disebut rumah dapur/paseban karena digunakan untuk tempat memasak. Hal ini mempengaruhi jenis tanaman yang ditanam memiliki hubungan dengan masak memasak seperti tanaman bumbu dapur dan sayur-sayuran. Contohnya seperti tanaman melinjo, daun katuk, lengkuas, jahe, daun suji, dan yang lainnya. Untuk elemen non tanaman seperti jamban dan sumur juga ditemukan di bagian belakang karena lebih dekat dengan rumah dapur. Jika dilihat dari tata letak ruangnya, pola atau konsep yang dimiliki oleh rumahrumah betawi cenderung bersifat simetris, sehingga membentuk sumbu abstrak yang seimbang. Di atas sebidang lahan, pada umumnya tapak rumah terpisah dari tapak kebun. Namun tapak rumah atau pekarangan rumah pada umumnya ditanami pohon buah-buahan juga (Gambar 8). Di atas tapak rumah ini dapat terjadi kemungkinan berdiri beberapa rumah tinggal karena adanya pewarisan atau jual beli atas sebagian dari bidang lahan pemilik semula, yang kemudian sebagian lahannya dibangun rumah baru oleh pemilik yang baru. Kemudian ada terdapat
kebiasaan jika seorang anak yang sudah menikah belum memiliki rumah, maka orangtuanya akan memberikan bagian rumah yaitu paseban (rumah dapur) dengan cara membongkar dan memindahkannya ke tempat lain (Gambar 9). Hal ini menyebabkan terjadinya proses fragmentasi dan pemadatan pemilikan lahan pada pemukiman Betawi (Harun, et. al. 1999).
Gambar 8. Tanaman Pekarangan
Gambar 9. Paseban
Fragmentasi adalah penambahan jumlah kepemilikan lahan tetapi dengan luas pemilikan yang makin sempit baik karena adanya pewarisan atau karena jual beli sebagian lahan (Gambar 10). Proses ini menyebabkan makin tidak jelasnya orientasi dan pola tata letak perkampungan Betawi (Harun, et. al. 1999).
Sebelum pewarisan
Sesudah pewarisan
Gambar 10. Fragmentasi lahan
Di atas tapak yang sama, terdapat juga bangunan-bangunan yang berfungsi lain seperti kandang ternak, empang, pembibitan tanaman dan tempat sampah (Gambar 11, 12, 13, 14) dan bahkan kuburan. Tetapi sekarang kuburan tidak ditempatkan di lahan rumah tinggal lagi sehingga dibuat lahan khusus untuk pemakaman. Selain itu letak kamar mandi/sumur dan W.C. biasanya ditempatkan di belakang rumah di sebelah kiri ataupun sebelah kanan (Gambar 15).
Gambar 11. Kandang Ternak
Gambar 12. Empang
Gambar 13. Pembibitan Tanaman
Gambar 14. Tempat Pembuangan Sampah
Gambar 15. Jamban/Kakus
Sumur tempat mandi dan mencuci pada umumnya terletak di bagian kiri belakang atau di samping kiri rumah tinggal. Sumur sebagai sumber air keluarga juga dipergunakan sebagai air untuk menyiram tanaman. Penentuan tempat di mana sumur akan digali masih mengikuti cara tradisional yaitu dengan menggelindingkan tampah ke arah halaman belakang rumah. Di mana tampah tersebut berhenti menggelinding dan jatuh, maka disitulah sumur akan digali. Kemudian cara lain ialah dengan memperhatikan rumput pada pagi hari. Bila pada rumput terdapat rumah sejenis lebah yang penuh dengan butiran-butiran embun maka disitulah penggalian sumur dilakukan, karena rumput dengan rumah labalaba tersebut menunjukkan terdapatnya air di dalam tanah. Berdasarkan tata ruang dan arsitektur rumah tradisional Betawi dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis bangunan/rumah : 1.
Rumah Gudang, berdenah empat persegi panjang Rumah Gudang memiliki denah segi empat memanjang dari depan ke
belakang dan atapnya berbentuk pelana (Gambar 16). Denah rumah ini berkesan terbagi ke dalam dua kelompok ruang yaitu ruang depan dan ruang tengah. Ruang depan pada ketiga jenis rumah sering disebut serambi depan karena terbuka. Dahulu ruang depan ini berisi balai-balai sedangkan sekarang umumnya berisi kursi dan meja tamu. Ruang tengah sering juga disebut ruang dalam rumah, dan merupakan bagian pokok dari rumah Betawi yang berisikan kamar tidur, kamar makan dan pendaringan (tempat untuk menyimpan barang-barang keluarga, benih padi, dan beras). Sedangkan ruang belakang merupakan tempat untuk memasak dan untuk menyimpan alat-alat pertanian dan kayu bakar. Ruang belakang dari rumah gudang nampaknya secara abstrak berbaur dengan ruang tengah dari rumah.
R . T id u r R u a n g D a la m R . T id u r
R uang D epan
RUM AH GUDANG
Gambar 16. Denah rumah gudang 2.
Rumah Joglo, berdenah bujur sangkar Rumah Joglo merupakan hasil pengaruh langsung dari arsitektur atau
kebudayaan Jawa pada arsitektur rumah Betawi. Umumnya rumah Joglo Betawi memiliki denah bujur sangkar, tetapi bagian yang sebenarnya membentuk rumah Joglo adalah suatu bagian empat persegi panjang yang salah satu garis panjangnya terdapat dari kiri ke kanan ruang depan (Gambar 17). Untuk ruang belakang, lebih jelas pembagiannya dibandingkan dengan ruang belakang pada rumah Gudang.
Ruang Dapur
Ruang Dalam
R. Tidur
Ruang Depan
RUMAH JOGLO
Gambar 17. Denah Rumah Joglo
3.
Rumah Bapang/Kebaya, berdenah empat persegi panjang Tata letak rumah Bapang serupa dengan rumah Joglo yaitu memiliki tiga
kelompok ruang : ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang (Gambar 18). Pada umumnya, atap rumah Bapang juga berbentuk pelana seperti pada rumah Gudang, namun bentuk pelana rumah Bapang tidak penuh.
Ruang Dapur
R. Tidur Ruang Dalam R. Tidur
Ruang Depan
RUMAH BAPANG
Gambar 18. Denah Rumah Bapang Rumah Bapang dan rumah Gudang adalah dua variasi lain rumah tradisional Betawi yang menunjukkan kekayaan arsitektur Betawi. Untuk kedua jenis bentuk arsitektur rumah ini, terlihat lebih jauh penemuan yang khas hanya terdapat pada arsitektur Betawi. Yaitu di dalam arsitektur rumah, tidak dikenal adanya konsep bagian laki-laki dan perempuan yang biasanya dapat ditemukan pada arsitektur rumah Jawa atau Sunda. Kemudian adanya penggunaan struktur kuda-kuda Eropa maupun Timur, serta adanya bentuk simetris yang menyembunyikan tata ruang dalam yang asimetris. Walaupun yang disebutkan merupakan beberapa ciri khas arsitektur rumah tradisional Betawi, dapat dianalisa bahwa kedua jenis rumah ini mendapat pengaruh arsitektur rumah Jawa maupun Sunda serta pengaruhpengaruh lain dari luar. Dari pembagian rumah yang berpengaruh kepada pembagian pekarangan, didapatkan pola pekarangan Betawi seperti pada Gambar 19 dan 20.
Gambar 19. Penempatan Vegetasi dan Elemen Non Vegetasi pada Pekarangan Budaya Betawi
4
5
12
6 Kursi Tamu
13
Ruang Tidur
1
3
2 Kursi Goyang
Bale
Ruang Tidur
11
Ruang Tidur
Ruang Tidur
7 9
10
8
Keterangan : 1. Ruang Depan 2. Ruang Tengah 3. Ruang Belakang 4. Nursery 5. T. Pembuangan Sampah 6. W. C 7. Sumur 8. Empang 9. Kandang Ternak 10. Tan. Pohon 11. Tan. Bumbu dan Sayuran 12. Tan. Pohon 13. Tan. Hias
U
Gambar 20. Pola Pekarangan Budaya Betawi Perkampungan Budaya Betawi
4
Keterangan : Tanpa Skala 1. Ruang Depan 2. Ruang Tengah 3. Ruang Belakang 4. Nursery 5. T. Pembuangan Sampah 6. W. C 7. Sumur 8. Empang 9. Kandang Ternak 10. Tan. Pohon
5
6 Kursi Tamu
Ruang Tidur
1
Ruang Tidur
Kursi Goyang Bale
Ruang Tidur
8&9
3
2 Ruang Tidur
7
11. Tan. Bumbu dan Sayuran
U
12. Tan. Pohon 13. Tan. Hias
Kependudukan Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1251 Tahun 1986, kelurahan Srengseng Sawah memiliki luas 674,70 ha. Wilayah Srengseng Sawah ini terdiri dari 19 RW dan 156 RT dengan jumlah penduduk akhir tahun 2002 sebanyak 45.124 jiwa. Kepadatan rata-rata penduduk di kelurahan ini adalah 6.688 jiwa per km². Mayoritas penduduk adalah penduduk Betawi walaupun telah banyak penghuni berasal dari luar DKI Jakarta. Hal ini menjadi pendukung utama kebudayaan yang akan dikembangkan menjadi objek wisata. Tabel 2. Jumlah Penduduk tiap RW di Kelurahan Srengseng Sawah No.
RW
WNI Laki²
WNA
Wanita
Jumlah
Jumlah
Laki²
Wanita
Jumlah
1.
1
1522
1569
3091
-
-
-
3091
2.
2
1863
1811
3674
-
-
-
3674
3.
3
1814
1636
3450
1
1
2
3452
4.
4
815
600
1415
-
-
-
1415
5.
5
1900
1590
3490
-
-
-
3490
6.
6
1989
1815
3804
-
-
-
3804
7.
7
2287
2182
4469
-
-
-
4469
8.
8
2366
2254
4620
-
-
-
4620
9.
9
2900
2563
5463
-
-
-
5463
10.
10
458
402
860
-
-
-
860
11.
11
531
506
1037
-
-
-
1037
12.
12
530
553
1083
-
-
-
1083
13.
13
535
557
1092
-
-
-
1092
14.
14
603
653
1256
-
-
-
1256
15.
15
838
847
1685
-
-
-
1685
16.
16
1207
1111
2318
-
-
-
2318
17.
17
437
389
826
-
-
-
826
18.
18
392
385
777
-
-
-
777
19.
19
481
231
712
-
-
-
712
23468
21654
45122
1
1
2
45124
Jumlah
Sumber: Laporan Tahun 2002, Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan.
RW yang termasuk ke dalam Perkampungan Budaya Betawi adalah RW 05 sampai RW 08. Data rinci masing-masing RW diuraikan sebagai berikut : 1.
Kondisi pemukiman eksisting RW 05 Status dan Kondisi : •
Hampir seluruh bangunan perumahan merupakan bangunan milik pribadi. Kondisi fisik rumah umumnya merupakan rumah permanen (dinding beton), berupa rumah tunggal, bukan rumah deret.
•
Kondisi jalan merupakan perkerasan dengan beton, lebar terbagi atas sirkulasi yang memungkinkan untuk mobil atau hanya untuk motor. Pekarangan rumah jarang memiliki pohon besar sehingga tidak ada peneduh bagi jalan.
•
Riol tidak teratur, meskipun air tidak menggenang, namun kotor (sangat hitam) dan tidak sepenuhnya bebas sampah. Pada beberapa “kali” kecil tidak ada air, dasarnya berupa lumpur dan sebagian besar sampahnya merupakan sampah organik.
Pemanfaatan Lahan : •
Perlakuan terhadap batas lahan berbeda-beda (pagar permanen seperti beton, pagar bambu, pagar kayu, pagar tanaman), dan sebagian besar rumah memiliki batas jelas atas lahannya.
•
Jarak antara jalan-pagar-batas depan rumah sebagian besar telah membentuk garis lurus yang sejajar dengan jalan, kecuali rumah yang dijadikan tempat usaha seperti warung.
Kerapatan Bangunan : •
Wilayah kosong sangat sedikit (lahan kosong, kebun dan empang) namun masih ada. Hampir di setiap kebun terdapat gundukan sampah dalam jumlah yang besar. Pada empang umumnya terdapat MCK bersama.
Orientasi : •
Orientasi kepada jalan atau orang.
2.
Kondisi pemukiman eksisting RW 06 Status dan Kondisi : •
Status kepemilikan lahan dan bangunan merupakan milik warga setempat.
•
Banyak ditemukan lahan tanpa perkerasan.
Pemanfaatan Lahan : •
Ditanami dengan pohon-pohon besar yang mengakibatkan sebagian jalur sirkulasi terasa lebih jauh.
Kerapatan Bangunan : •
Masih ada yang memiliki pekarangan rumah yang cukup luas dikarenakan kerapatan bangunan yang cukup longgar.
Orientasi : • 3.
Orientasi tetap pada jalan.
Kondisi pemukiman eksisting RW 07 Status dan Kondisi : •
Status kepemilikan lahan adalah milik warga.
•
Ditemukan banyak lahan tanpa perkerasan.
Pemanfaatan Lahan : •
Terdapat banyak pohon besar pada lahan penduduk, sehingga sebagian jalur sirkulasi terasa lebih teduh.
Kerapatan Bangunan : •
Pekarangan rumah lebih luas yang menunjukkan bahwa kerapatan bangunan cukup longgar yang dapat digunakan untuk keperluan lain.
Orientasi : •
Walaupun orientasi tetap pada jalan, namun tidak lagi memiliki kesamaan atas jarak antara batas depan rumah dengan batas pekarangan. Posisi warung misalnya tidak selalu berada tepat di sisi jalan (dapat saja masuk sedikit ke pekarangan rumah).
4. Kondisi pemukiman eksisting RW 08 Status dan Kondisi : •
Status kepemilikan lahan dan bangunan adalah milik warga.
•
Kondisi fisik jalan beragam. Umumnya dapat dilewati oleh kendaraan motor dan telah mengalami perkerasan beton.
Pemanfaatan Lahan : •
Batas lahan tidak terlalu jelas.
•
Terdapat cukup banyak lahan kosong berupa kebun.
Kerapatan Bangunan : •
Bangunan cukup rapat karena banyak rumah deret pada RW tersebut.
Orientasi : •
Pada RW 08, banyak tipe rumah deret akibat orientasi mata pencaharian berupa penyewaan kamar kost. Tidak lagi berorientasi pada jalan. Pola sangat tidak teratur.
Mayoritas penduduk di Perkampungan Budaya Betawi adalah Islam (90,82 %) dan selebihnya beragama Kristen Protestan (3,17 %), Kristen Katolik (4,65 %), Hindu (0,75 %) dan Budha (0,62 %). Fasilitas peribadatan yang tersedia adalah Mesjid 4 buah, 10 Musholah dan 1 Gereja.
Pendidikan Perkembangan budaya dari waktu ke waktu menyebabkan perubahan yang cukup berarti dalam pendidikan masyarakat Perkampungan Budaya Betawi, khususnya pada perubahan pola pekarangannya. Sebanyak 64,2 % penduduk PBB memiliki pendidikan hanya sebatas lulusan SLTA dan selebihnya adalah lulusan dibawahnya atau bahkan tidak memiliki pengalaman pendidikan formal. Banyak pengunjung yang memberi masukan terhadap warga sekitar yang memiliki pekarangan sehingga warga tidak lagi mengikuti peletakan semua elemen-elemen seperti dulu lagi. Penduduk juga lebih mengenal cara memperbanyak bibit tanaman secara efisien dalam jumlah yang banyak untuk tujuan komersil seperti yang terdapat pada salah satu pekarangan warga yang menjadikan pekarangannya sebagai tempat nursery atau pembibitan tanaman. Hal ini menumbuhkan minat untuk memperoleh pendidikan dari lembaga-lembaga lain seperti mengikuti studi banding ke beberapa nursery di Jawa (hasil wawancara dengan salah satu pemilik pekarangan).
Kusuma Putra (1986) mengungkapkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, dapat diharapkan semakin memadai dalam pemanfaatan tanah
pekarangannya
untuk
meningkatkan
gizi
keluarga.
Pendidikan
melatarbelakangi pemilihan tanaman yang akan ditanam di pekarangan, untuk memenuhi gizi keluarga ataupun sebagai obat untuk keluarga. Pekarangan seperti ini dapat dilihat pada pekarangan yang ditanami tanaman obat-obatan tradisional atau Toga (Tanaman Obat Keluarga).
Ekonomi Sebagian besar masyarakat PBB bekerja sebagai petani kebun, pencari ikan di danau, pedagang buah-buahan dan tanaman hias. Untuk meningkatkan kesejahteraan, mereka berhimpun dalam beberapa kelompok tani. Penghasilan yang berhubungan langsung dengan yang dihasilkan oleh pekarangan yaitu dengan menjual hasil tanaman pekarangan ataupun tanaman hias yang ada. Hasil tanaman yang diolah menjadi minuman juga menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat PBB dan menjadi minuman khas Betawi seperti bir pletok yang berbahan dasar jahe, kayu secang, daun pandan, daun jeruk, lada hitam dan biji pala serta produk olahan sirup belimbing (Imron, et. al. 2002). Kemudian pohon melinjo yang sangat khas ditemukan pada pekarangan budaya Betawi ditanam karena penduduk Betawi sangat menyukai melinjo untuk dibuat menjadi sayur asem dan sayur lodeh yang menjadi makanan khas Betawi. Dengan semakin berkembangnya permintaan akan wisata, warga sekitar mengubah pekarangannya sebagai sarana wisata agro yang dapat menghasilkan pemasukan bagi penduduk. Wisata Agro adalah salah satu bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha-usaha pertanian (agro) sebagai obyek wisata dengan tujuan rekreasi, keperluan pengetahuan, memperkaya pengalaman dan memberikan peluang usaha di bidang pertanian (Imron, et. al. 2002). Jika musim buah datang, ranumnya buah di halaman rumah menggiurkan para wisatawan untuk singgah di rumah-rumah penduduk, dan biasanya pemilik rumah akan mempersilahkan tamunya memetik buah untuk dibawa pulang dan tentunya akan menjadi pemasukan ekonomi bagi pemilik rumah. Namun hal ini dapat tercapai dengan bantuan pengelola Perkampungan Budaya Betawi yang bertugas untuk
mempromosikan wisata agro tersebut kepada pengunjung. Mereka bertugas sebagai fasilitator antara penduduk dengan pengunjung, serta penduduk dengan pemerintah. Hal tersebut akan lebih berjalan dengan baik jika ada kepedulian pemerintah terhadap kemajuan penduduk seperti memberikan bantuan berupa materi dan tenaga ahli untuk melatih warga setempat dalam bidang yang berkaitan. Namun berubahnya pekarangan sebagai tempat wisata agro menyebabkan banyak pekarangan yang tadinya ditanami pohon-pohon khas budaya Betawi berubah menjadi tempat perbanyakan tanaman hias yang lebih komersil. Berdasarkan Harun, et. al. (1999), masyarakat Perkampungan Budaya Betawi juga menggunakan pohon dari pekarangan mereka untuk dijadikan bahan bangunan rumah atau yang lainnya. Kayu mereka pergunakan berasal dari kayu pohon Nangka, kayu Durian, kayu Kecapi, kayu Cempaka, kayu Jengkol. Khusus untuk bahan-bahan bangunan ini, dipilih pohon-pohon yang sudah tua dan tidak produktif lagi. Pemanfaatan tanaman pekarangan ini dapat menghemat biaya untuk membeli bahan bangunan.
Adat Istiadat Pengaruh pekarangan terhadap adat istiadat Betawi terlihat secara langsung. Penduduk Perkampungan Budaya Betawi memilih tanaman yang ditanam di pekarangan untuk memenuhi kebutuhan pangan, kebutuhan ekonomis dan upacara adat istiadat. Contoh tanaman yang berfungsi untuk budaya yaitu daun sirih (Piper betle) yang digunakan dalam upacara adat perkawinan Betawi, dan daun kelor yang dipercaya dapat mengusir roh-roh jahat. Hal ini sama seperti pada budaya masyarakat Bali yang memakai tanaman kamboja untuk upacara-upacara adat. Bagi masyarakat Hindu di Bali, pekarangan merupakan bagian dari ruang terbuka pemukiman desa yang memiliki keindahan panorama alamiah karena diatur dalam pola ruang berdasarkan berbagai filosofi Hindu yang berorientasi keintiman dan interaksi sosial. Pekarangan di Bali berisi berbagai tanaman untuk upacara adat, tanaman buah-buahan, dan rempah-rempah (Pemerintah Daerah Tingkat I Bali, 1989). Contoh lain juga dapat dilihat pada acara nujuh bulan yang mewajibkan adanya kembang dan rujak tujuh rupa (Imron, et. al. 2002). Kembang dan buah-
buahan untuk acara tersebut biasanya diperoleh dari hasil tanaman pekarangan yang ada.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Pekarangan terbentuk karena usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam kebutuhan jasmani seperti adanya sayur-sayuran dan buahbuahan di pekarangan dan semakin berkembang menjadi pemenuhan kebutuhan dalam segi estetis atau pemandangan. 1.
Nilai-nilai kepercayaan terhadap hal-hal magis pada Perkampungan Budaya Betawi tidak mempengaruhi bentuk, posisi, dan tata ruang dalam rumah, serta letak rumah di pekarangan. Jika masih ditemukan hal-hal tradisi dan budaya yang menentukan tata letak rumah dan pekarangan Betawi, ini semata-mata dibuat oleh karena pertimbangan kemudahan dan kebaikan, yang sering dikenal sebagai kearifan lokal pada daerah tersebut. Dari hasil kuisioner responden yang didapat, 28 % arah rumah menghadap Timur, 28 % menghadap arah Utara, 28 % menghadap arah Selatan dan 16 % menghadap arah Barat. Halaman depan biasanya berfungsi untuk latihan pukulan (silat) dan halaman belakang ditanami pohon buah-buahan.
2.
Tidak ada pengaturan tanaman yang diharuskan, tergantung kebutuhan dan kesenangan pemilik pekarangan. Dominasi tanaman tertentu dikarenakan budaya turun temurun dari nenek moyang masyarakat Betawi tempo dulu, terkecuali untuk upacara adat yaitu tanaman sirih yang dianggap sebagai tanaman pengusir roh jahat dan berbagai jenis tanaman berbunga seperti bunga mawar, melati (Jasminum sambac), kembang sepatu (Hibiscus rosasinensis) untuk upacara pernikahan.
3.
Selain elemen tanaman, elemen non tanaman juga terdapat di dalam pekarangan yaitu paseban, sumur, kamar mandi / WC, empang, kandang ternak, dan gudang. Sumur dan kamar mandi selalu berada di sebelah kanan dan kiri belakang rumah. Sedangkan elemen yang lain tersusun secara acak.
4.
Luas lahan yang dimiliki berdasarkan kuisioner dari penduduk berkisar dari 300 m² – 110.000 m² dan luas rumah berkisar dari 48 m² - 180 m².
Saran Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan mengenai potensi pekarangan terhadap kehidupan masyarakat berdasarkan strata tajuk tanaman dan juga peranan
pekarangan
dalam
pangan
dan
gizi.
Peningkatan
pelestarian
Perkampungan Budaya Betawi untuk meningkatkan nilai jual wisata budaya. Kegiatan ini memerlukan kerjasama peneliti, penyuluh dengan masyarakat khususnya ibu-ibu PKK setempat.
DAFTAR PUSTAKA Ashihara, Yoshinobu. 1986. Eksterior dalam Arsitektur (terjemahan). Abdi Widya. Bandung. Hal 9-10. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Propinsi DKI Jakarta. 2004. Laporan Pemantauan Kualitas Situ/Waduk di Propinsi DKI Jakarta. Bapedalda. Jakarta. Hal 6 – 28. Biro Bina Penyusunan Program Propinsi DKI Jakarta. 2001. Laporan akhir. Analisis Dampak Lingkungan Pembangunan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan. Jakarta. Hal 4 -31. Brownrigg, L. 1985. Home Gardening in International Development. What The Literature Shows. The League for International Food Education. Washington, D. C. 426p. Budiaman, S. Wibisono, S. Soeryoharjo, dan R. Ruchiat. 2000. Folklor Betawi. Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta. Proyek Pelestarian dan Pengembangan Kesenian Tradisional Betawi. Jakarta. Hal 11 – 83. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Depdikbud. Yogyakarta. Hal 3 – 15. Driessen P. M. and M. Soepraptohardjo. 1974. Soils for Agricultural Expansion in Indonesia. Soil Research Institute. Bogor. P 5 – 20. Harun, I. B., D. H. Kartakusumah, R. Ruchiat, dan U. Soediarso. 1999. Rumah Tradisional Betawi. Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Jakarta. 62 hal. Imron, S., H. Y. Muchtar, N. Hernawati. 2002. Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Pengelola Perkampungan Budaya Betawi. Jakarta. Hal 3-29. Ingerson, A. E. 1999. Changing Approaches to Cultural Landscape. URL, http://www.icls.harvard.edu/language/hist1.htm. Kartasapoetra, A. G. 1989. Kerusakan Tanah Pertanian dan Usaha untuk Merehabilitasinya. Bina Aksara. Jakarta. 237 hal. Kristyono. 1983. Mengatur Pekarangan Keluarga. Penebar Swadaya. Jakarta. 40 hal. Kim, Sung-Kyun. 1988. Winding river Village: Poetics of A Korean Landscape. Faculties of The University of Pennsylvania. 384p. Khudori, D. 1988. Masalah Etik Pelestarian Kota. Kompas 30 April 1988.
Kusuma, P. 1986. Hubungan Latar Belakang Pendidikan dengan Pemanfaatan Tanah Pekarangan untuk Peningkatan Gizi Keluarga. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nusa Cendana. Kupang. Laporan Penelitian. 50 hal. (Tidak dipublikasikan). Laurie, M. 1986. An Introduction to Landscape Architecture (terjemahan). American Elsevier Pub. Co. Inc. New York. 133p. Lembaga Biologi Nasional. 1979. Tanaman Pekarangan. LIPI. Bogor. 97 hal. Lembaga Teknologi Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan Dinas Tata Kota DKI Jakarta. 2001. Penyempurnaan Master Plan dan Penyusunan Rencana Teknis Ruang Kawasan Perkampungan Budaya Betawi di Situ Babakan. Jakarta. Hal 1 – 117. Malahayani, D. 2004. Perencanaan Lanskap Wisata Budaya Perkampungan Betawi di Situ Babakan, Jakarta Selatan. Jurusan BDP. Faperta. IPB. Bogor. Skripsi. Hal 3 – 101. (Tidak dipublikasikan). Mynors, C. 1984. Urban Conservation and Historic Building. The Architectural Press Ltd. London. 119p. Nasoetion, A. H. 1989. Bahan Kuliah Pengantar Ilmu Pertanian. Tingkat Persiapan Bersama, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 6 hal. (Tidak dipublikasikan). Nurisjah, S. dan Q. Pramukanto. 2001. Perencanaan Kawasan untuk Pelestarian Lanskap dan Taman Sejarah. Program Studi Arsitektur Lanskap. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 53 hal. (Tidak dipublikasikan) Pemerintah Daerah Tingkat I Bali. 1989. Penyusunan Rencana Umum Pertamanan Propinsi Bali. Dinas Kebersihan dan Pertamanan Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Bali. 149 halaman. (Tidak dipublikasikan). Penny, P. H. dan M. Ginting. 1984. Pekarangan, Petani dan Kemiskinan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 277p. Ruchiat, R., S. Wibisono, dan R. Syamsudin. 2000. Ikhtisar Kesenian Betawi. Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Jakarta. Hal 108 – 145. Simonds, J. O. 1983. Lanscape Architecture. McGraw-Hill Book Co. New York. 331 p. Soemarwoto, O. 1991. Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan. Penerbit Djambatan. Jakarta. 362 hal.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. 591 hal. Tishler, W. H. 1979. The Landscape : An Emerging Historic Preservation Resource. APT Vol. XI No.4/1979. p 16. ____________. 1982. Historical Landscapes : An International Preservation Perspective. Landscape Plann. P 91 – 103. Plachter, B., H. M. Rossler, dan Von Droste. 1995. Cultural Landscape of Universal Value, Components of a global Strategy. Gustav Fischer Verlagsena. Stuftgart. New York. P 5 – 45. Wangrea, Y., Abdurrachman, Hidayat, B. Rudito, dan Armanto. 1985. Upacara Tradisional yang Berkaitan dengan Peristiwa Alam dan Kepentingan DKI Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Jakarta. Hal 3 – 27. Wayong, P. 1981. Pola Pemukiman Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 113 halaman.
LAMPIRAN
Tabel Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Identifikasi Pola Pekarangan Tradisional Betawi A. Identitas Responden 1. Nama : 2. Alamat :
Umur (tahun)
Sumber Pengetahuan Responden Tingkat Pendidikan
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 30-40 41-50 51-60 Diatas 60 Orangtua/Leluhur Penyuluh Sekolah Buku/Mjlh/Koran Tidak sekolah SD/sederajat Lulus SD SLTP/sederajat Lulus SLTP SLTA/sederajat Lulus SLTA PT/sederajat Lulus PT
Posisi Rumah Luas Lahan
Luas Rumah
Arah Rumah
Timur
Selatan
Barat
Utara
B. Latar Belakang Budaya 1. Lahir : 2. Asal : 3. Suku bangsa : 4. Lama tinggal di lokasi studi : 5. Jenis elemen non tanaman yang ada di pekarangan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Elemen
Jumlah
Letak
Fungsi
Tabel Lampiran 2. Identitas Responden No. 1.
2.
3.
4.
5.
Uraian Jenis Kelamin
Umur a.30 - 40 tahun b.41 - 50 tahun c. 51 - 60 tahun d. di atas 60 tahun Sumber Pengetahuan responden mengenai pekarangan a. Orangtua/leluhur b. Penyuluh c. Sekolah d. Buku/majalah/koran Tingkat Pendidikan a. Tidak sekolah b. Lulus SD/sederajat c. Lulus SLTP/sederajat d. Lulus SLTA/sederajat e. Lulus PT/sederajat Lama tinggal di lokasi penelitian a. Kurang dari 20 tahun b. Lebih dari 20 tahun
Jumlah Responden (Total 25) Orang Persentase (%) Perempuan Perempuan 4 16 Laki-laki 21
Laki-laki 84
13 5 2 5
50 21,4 7,1 21,4
23 7 0 2
92,8 28,5 0 7,1
2 7 0 16 0
7,1 28,5 0 64,2 0
4 21
14,2 85,7
Tabel Lampiran 3. Elemen Non Tanaman yang Terdapat di Pekarangan No.
Jenis Hewan Ternak
No.
Jenis Struktur Fisik
1.
Burung
1.
Sumur
2.
Ayam
2.
Kamar Mandi
3.
Bebek
3.
Jamban
4.
Angsa
4.
Tempat Mencuci
5.
Kambing
5.
Kandang Ternak
6.
Domba
6.
Gudang
7.
Ikan Lele
7.
Empang
8.
Paseban
9.
Tempat Sampah
Tabel Lampiran 4. Jenis Tanaman dan Peletakannya Halaman bagian No.
Tanaman
Depan
Samping
1.
Bunga Kenop
●
2.
Bunga Teleng
●
3.
Cakar Ayam
●
4.
Daun mangkokan
●
5.
Kaca piring
●
6.
Kembang sepatu
●
7.
Kembang pukul empat
●
8.
Kemuning
●
9.
Kenanga
●
10.
Kembang coklat
●
11.
Lidah buaya
●
12.
Lidah mertua
●
13.
Melati
●
14.
Miana
●
15.
Mondo kaki
●
16.
Nona makan sirih
●
17.
Pangkas kuning
●
18.
Belimbing Wuluh
●
19.
Belimbing Manis
●
20.
Buni
●
21. Buah Nona
●
22. Bisbol
●
23. Ciplukan
●
24. Duku Condet
●
25. Durian sitokong
●
26. Jeruk nipis
●
27. Jambu mawar
●
28. Jamblang
●
Belakang
29. Jambu biji
●
30. Kawista batu
●
31. Kweni
●
32. Kecapi
●
33. Melinjo
●
34. Menteng
●
35. Matoa
●
36. Mengkudu
●
37. Nangka
●
38. Pepaya
●
39. Pisang
●
40. Rambutan
●
41. Rukem
●
42. Sawo kecik
●
43. Sawo duren
●
44.
Asem
●
45.
Bambu
●
46.
Cabe Jawa
●
47.
Cincau
●
48.
Daun dewa
●
49.
Daun jinten
●
50.
Daun katuk
●
51.
Daun panda
●
52.
Daun reumatik
●
53.
Daun salam
●
54.
Daun suji
●
55.
Jahe merah
●
56.
Jarak
●
57.
Kumis kucing
●
58.
Kencur
●
59.
Lada
●
60.
Lempuyang
●
61.
Lengkuas
●
62.
Sirih
●
63.
Salam
●
64.
Sambiloto
●
65.
Sereh
●
66.
Seledri
●
67.
Temulawak
●
68.
Temukunci
●
Gambar Lampiran 1. Grafik Keadaan Iklim
Milimeter (mm)
Curah Hujan (1994-2004) 400 200 0 Jan Feb Mar Apr Mei
Jun
Jul Ags Sept Okt Nov Des
Grafik Curah Hujan Rata-rata tahun 1994-2004
Persen (%)
Penyinaran Matahari (1994-2004) 80 60 40 20 0 Jan Feb Mar Apr
Mei
Jun
Jul
Ags Sept Okt Nov Des
Grafik Penyinaran Matahari Rata-rata tahun 1994-2004
Persen (%)
Kelembaban Udara (1994-2004) 100 80 60 Jan Feb Mar Apr Mei Jun
Jul Ags Sept Okt Nov Des
Grafik Kelembaban Rata-rata tahun 1994-2004
Km/Jam
Kecepatan Angin (1994-2004) 4 3 2 1 0 Jan Feb Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags Sept Okt Nov
Des
Grafik Kecepatan Angin Rata-rata tahun 1994-2004
Gambar Lampiran 2. Jenis dan Letak Pohon pada Sampel Pekarangan Perkampungan Budaya Betawi Situ Babakan
2
U
3
1
4 5 6
16
Rumah Adat Betawi
15
7 9
8
11
12 13
10 No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Jenis Pohon
Pepaya Rambutan (1) Melinjo (1) Palem Putri Rambutan (2) Melinjo (2) Melinjo (3) Kecapi Melinjo (4) Bambu Belimbing Manis Angsana Rambutan (3) Melinjo (5) Melinjo (6) Nangka
Keliling Lingkaran Batang (cm) 47 54 17 35 97 65 80 144 65 210 58 113 120 30 80 82
Diameter Batang (cm) 15 17 37 11 31 21 25 46 21 67 18 36 39 10 25 27
14
Tinggi Pohon (m) 8 10 16 3.5 16 12 14 18 14 6 6 16 8 8 12 9
Diameter Tajuk (m) 3 5 5 3 6 3 4 7 4 2 3 5 4 4 3 3
Keterangan : Tanpa Skala Lokasi : Pekarangan Abah Anim Sumber dari Laporan Pelaksanaan Praktikum Lapang Lanskap Pedesaan. Hasil survei tanggal 17 Januari 2005.
Gambar Lampiran 3. Jenis-jenis Tanaman yang ada di Pekarangan Betawi
Andong
Anting-anting
Bangle
Belimbing Wuluh
Asem Jawa
Belimbing Manis
Brotowali
Buah Nona
Bunga Kenop
Buah Buni
Cabe Jawa
Cakar Ayam
Calincing
Ciplukan
Daruju
Daun Jinten
Daun Dewa
Duku Condet
Gandarusa
Gendola
Cincau
Daun Wungu
Durian Sitokong
Jahe
Jamblang
Jambu Mawar
Jambu Biji
Jarak
Jeruk Nipis
Kacapiring
Kawista
Kembang Coklat
Kecapi
Keji Beling
Kelor
Kemuning
Kenanga
Kencur
Kepundung
Ki Tolod
Kembang Pukul Empat
Kumis Kucing
Kunyit
Lada
Lengkuas
Lidah Buaya
Melati
Mengkudu
Mondokaki
Nona_makan_sirih
Pepaya
Pepaya
Poslen
Rambutan
Ganda Rukem
Saga
Salam
Sambang Darah
Sambang Getih
Sambiloto
Sambung Nyawa
Sawo
Secang
Seledri
Sereh
Sirih
Tapak Dara
Temu Kunci
Temu Lawak