PELAKSANAAN HUKUM KEWARISAN DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SRENGSENG SAWAH JAKARTA SELATAN
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.sy)
Oleh : Achmad Fachmi Ramdhan NIM : 1110044100071
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PR O D I H U K U M K E L UA R G A ( A L-A K H W A L S Y A K H S IY Y A H) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKU M UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/ 2014 M
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, karena rahmatNyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebagai kelengkapan tugas dan memenuhi sebagian dari syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana Syariah pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan, terutama disebabkan karena keterbatasan penulis sebagai manusia biasa. Tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak tidaklah mungkin skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak/Ibu: 1. J.M. Muslimin, MA, Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. H. Basiq Djalil, SH, MA, Ketua Program Studi Peradilan Agama, Rosdiana, SH, MA, Sekretaris Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku Pembimbing Skripsi. 3. Hj. Maskufa, MA selaku dosen Penasehat Akademik 4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat.
i
5. Orang tua tercinta yang telah merawat dan membesarkan penulis, yang selalu memotivasi dengan penuh keikhlasan membantu penulis baik moril maupun materi. 6. Kantor Pengelola Perkampungan Budaya Betawi. 7. Sahabat –sahabat penulis PA B 2010 : Irfan, Muslim, Adam, Syauqi, Adib, Zaki, Nurdin, Jajang, Muhdi, Uzma, Ema, Fitri, Futi, Sahro, Aida, Fani, Dinda, Sena, Neneng, Mila, Abiati, dan lainnya atas doa dan semangatnya. 8. Semua pihak yang ikut membantu penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis tuliskan satu persatu. Akhirnya penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca dan semoga amal baik mereka diterima Allah SWT. Amin.
Jakarta,17 Februari 2014 Penulis
ii
ABSTRAK
Achmad Fachmi Ramdhan, NIM: 1110044100071, PELAKSANAAN HUKUM KEWARISAN DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SRENGSENG SAWAH JAKARTA SELATAN. Program studi Peradilan Agama, Konsentrasi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. Dalam penelitian ini, penulis mengangkat suatu permasalahan yaitu warisan yang berbeda dengan pembagian warisan dalam Islam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pembagian waris dan pemahaman masyarakat tentang waris. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normative, yaitu meneliti apa saja alasan masyarakat melaksanakan kewarisan mereka. Dengan pendekatan kualitatif dan wawancara dengan masyarakat. Bahan –bahan penelitian tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dalam masalah yang diteliti. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah bahwa menurut hukum Islam umat Islam harus tunduk taat dan patuh pada ajaran Islam. Ternyata pada kenyataanya yang terjadi di perkampungan budaya betawi berbeda. Dengan alasan lebih baik berbuat keadilan.
Kata kunci: Pembagian waris
Pembimbing
: Drs.H.A. Basiq Djalil, SH, MA
Daftar Pustaka : Tahun 1983 sampai tahun 2014
iii
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ......................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. iii KATA PENGANTAR ............................................................................................. iv ABSTRAK ............................................................................................................... vi DAFTAR ISI........................................................................................................... vii BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah...................................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................................. 10 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian......................................................................... 11 D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan .............................................................12 E. Tinjaun Pustaka ....................................................................................................14 F. Sistematika Penulisan ...........................................................................................15 BAB II KEWARISAN DALAM ISLAM ..............................................................16 A. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan ............................................................16 B. Rukun dan Syarat-Syarat Kewarisan....................................................................20 C. Sebab Penghalang Menerima Waris dan Macam-Macam Ahli Waris .................23 D. Pembagian Para Ahli Waris .................................................................................27 BAB III POTRET PERKAMPUNGAN BETAWI ...............................................31 A. Sejarah Singkat Perkampungan Betawi Srengseng Sawah ..................................31 B. Tujuan Sasaran dan Fungsi Perkampungan Betawi .............................................35 C. Ruang Lingkup dan Zona Perkampungan Betawi................................................37 D. Keadaan Demografi .............................................................................................41
vii
BAB IV PELAKSANAAN KEWARISAN BETAWI ........................................ 47 A. Sistem Kewarisan ................................................................................................47 B. Pelaksanaan Kewarisan ......................................................................................50 C. Analisa Penulis .....................................................................................................59 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................................................... 74 B. Saran-Saran ........................................................................................................... 75 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 76 LAMPIRAN-LAMPIRAN ...................................................................................... 80 1. Hasil Wawancara dengan tokoh dan masyarakat............................. 80 2. Surat permohonan menjadi Pembimbing Skripsi ............................ 84 3. Surat Permohonan Data dan Wawancara ......................................... 85 4. Surat Ijin Penelitian...........................................................................86
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah telah menetapkan aturan main bagi kehidupan manusia di atas dunia ini. Aturan ini dituangkan dalam bentuk titah atau kehendak Allah tentang perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh manusia. Aturan Allah tentang tingkah laku manusia secara sederhana adalah syariah atau hukum syara’ yang sekarang ini disebut hukum Islam.1 Hukum Islam melingkupi seluruh segi kehidupan manusia di dunia, baik untuk mewujudkan kebahagian di atas dunia maupun di akhirat kelak. Di antara hukum tersebut ada yang tidak mengandung sanksi, yaitu tuntutan untuk patuh dan ada juga yang mengandung sanksi yang dapat dirasakan di dunia layaknya sanksi pada umumnya. Adapula sanksi yang tidak dirasakan di dunia namun ditimpakan di akhirat kelak dalam bentuk dosa dan balasan atas dosa tersebut.2 Segi kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari kodrat kejadiannya sebagai manusia. Pada diri manusia sebagai makhluk hidup, terdapat dua naluri yang juga terdapat pada makhluk hidup lainnya, yaitu naluri untuk mempertahankan hidup dan naluri untuk melanjutkan hidup. Sebagai makhluk beragama, manusia membutuhkan sesuatu untuk mempertahankan dan menyempurnakan agamanya.
1
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2009),
h.1 2
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam ,h.1
1
2
Hukum Islam, fiqh atau syariat Islam merupakan sebuah jalan atau ketentuan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya. 3 Islam bukan hanya mengandung ajaran tentang keimanan dan apa-apa yang harus dilakukannya untuk Tuhan dalam rangka pelaksanaan ibadat; namun juga mengandung aturan tentang pergaulan mereka dalam kehidupan di dunia yang disebut muamalat dalam arti yang umum; termasuk aturan tentang pembagian waris. 4 Umat Islam harus menjalankan aturan yang ditetapkan Islam sebagai manifestasi dari keimanannya kepada Allah SWT. Aturan tentang penyelesaian warisan disampaikan kepada umat untuk dijalankan dan dipatuhi oleh mereka. Di antara aturan Islam itu ada yang memang sejalan dengan apa yang selama ini mereka ikuti, sehingga tidak sulit bagi mereka untuk meninggalkan yang lama untuk mengikuti aturan baru. Namun sebagian di antara aturan baru itu berbeda bahkan bertentangan dengan aturan yang telah biasa mereka jalankan; sehingga dalam menjalankan aturan baru, mereka menghadapi suatu kesulitan dalam penyesuaian. Namun karena yang baru merupakan aturan agama yang harus mereka patuhi, maka mereka dalam keadaan apapun harus mematuhinya.5 3
Yayan Sopyan, Islam-Negara, (jakarta: PT Semesta Rakyat Merdeka, 2012), h.14
4
Amir Syarifuddin, Permasalahan dalam Pelaksanaan Faraid (Padang, IAIN-IB press,
1999), h.1 5
Amir Syarifuddin, Permasalahan dalam Pelaksanaan Faraid , h.1
3
Aturan-aturan yang ditetapkan Allah termasuk faraid, diturunkan Allah untuk menjadi rahmat bagi umat manusia. Rahmat ini dalam bahasa hukum disebut ‘’Kemaslahatan Umat’’ baik dalam bentuk memberikan manfaat untuk manusia atau menghindarkan mudharat dari manusia. Hal ini sering disebutkan Allah dalam alQur’an.6 Salah satu masalah pokok yang banyak dibicarakan oleh al-Qur’an adalah kewarisan. Kewarisan, pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hukum, sedang hukum adalah bagian dari aspek ajaran islam yang pokok. 7 Oleh karena itu, dalam mengaktualisasikan hukum kewarisan yang terdapat dalam al-Qur’an, maka eksistensinya harus dijabarkan dalam bentuk praktik faktualnya. Dalam hal ini, pelaksanaan hukum kewarisan harus kelihatan dalam sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat.8 Dari seluruh hukum yang berlaku dalam masyarakat, maka hukum perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang sekaligus merupakan salah satu bagian dari hukum perdata.9 Hukum kewarisan pada dasarnya berlaku untuk umat Islam di mana saja di dunia ini. Sungguhpun demikian, corak suatu negara Islam dan kehidupan masyarakat di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan daerah itu. 6
Amir Syarifuddin, Permasalahan dalam Pelaksanaan Faraid, h.36
7
Ali Parman, Kewarisan dalam Alquran, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1995), h.1
8
Ali Parman, Kewarisan dalam Alquran, h.1
9
Ali Parman, Kewarisan dalam Alquran, h.1
4
Pengaruh itu adalah pengaruh terbatas yang tidak dapat melampaui garis pokok-garis pokok dari ketentuan hukum kewarisan Islam tersebut. Namun pengaruh tadi dapat terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari ijtihad atau pendapat ahli-ahli hukum Islam sendiri.10 Hukum Waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.11 Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, di antaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris.12 Hukum kewarisan yang merupakan salah satu bagian dari sistem kekeluargaan berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan, pada pokoknya dikenal 3 (tiga) macam sistem keturunan yaitu: (1) Sistem Patrinial, yaitu pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis keturunan, dimana seseorang itu menghubungkan dirinya kepada ayah dan 10
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:Gramedia,2004 ), h.1
11
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, &BW, h.1
12
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, &BW (Bandung:PT Refika Aditama,2007), h.1
5
seterusnya kepada ayahnya ayah sampai pada suatu titik nenek moyangnnya yang laki-laki, dan karenanya mereka menganggap semuanya termasuk satu clan yang patrilinial. (2) Sistem Matrilinial, dimana setiap orang selalu menghubungkan dirinya kepada ibunya dan seterusnya ke atas kepada ibunya dari ibunya ibu dan karenanya semua mereka menganggap termasuk clan ibunya. (3) Sistem Bilateral atau Parental, dimana orang merasa mempunyai hubungan, baik melalui garis bapak maupun garis ibu, disini tidak terbentuk clan, suku atau tribe seperti dalam sistem patrilinial dan matrilinial. Mungkin masih ada variasi dari ketiga bentuk atau sistem masyarakat tersebut di atas tetapi kesimpulannya akan menuju salah satu bentuk atau sistem tersebut.13 Pada umumnya masalah kewarisan diselesaikan sendiri oleh orang-orang yang bersangkutan melalui musyawarah dalam keluarga. Penyelesaian masalah kewarisan melalui musyawarah dalam keluarga. Penyelesaian melalui musyawarah keluarga ini merupakan cara penyelesaian yang paling banyak terdapat dalam masyarakat Indonesia. Cara penyelesaian kewarisan seperti ini dibenarkan oleh hukum kewarisan Islam yang walaupun sifatnya ijbari, namun dalam pelaksanaannya dimungkinkan adanya perdamaian diantara ahli waris melalui musyawarah keluarga. Musyawarah keluarga ini mungkin dilangsungkan oleh para ahli waris sendiri, mungkin pula 13
M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam ( Jakarta:Sinar Grafika,1994), h.4
6
dilaksanakan dengan bantuan seorang kiyai atau ulama daerah tempat tinggal para ahli yang berkepentingan.14 Bagi orang-orang Islam (umat Islam yang sadar akan kewajibannya, menyelesaikan masalah kewarisan merupakan kewajiban agama. Yang dimaksud dengan kewajiban agama adalah kewajiban asasi yang dilaksanakan seorang menurut garis-garis ketentuan agamanya. Hukum (agama) Islam mengenai kewarisan mengatur dengan pasti siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.15 Bagi seorang muslim, tidak terkecuali apakah dia laki-laki atau perempuan yang tidak memahami atau tidak mengerti hukum waris Islam maka wajib hukumnya (dilaksanakan berpahala, tidak dilaksanakan berdosa) baginya untuk mempelajarinya. Dan sebaliknya barangsiapa yang telah memahami dan menguasai hukum waris Islam maka berkewajiban pula untuk mengajarkannya kepada orang lain.16 Istilah faraid yang dipergunakan untuk menggambarkan bagian tertentu bagi orang-orang tertentu dalam keadaan-keadaan tertentu di dalam sistem kewarisan Islam, berasal dari kata fard yang berarti kewajiban. Kewajiban itu seyogyanya dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu setelah pewaris meninggal dunia, agar 14
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, (Keputusan Seminar Hukum Waris Islam, tanggal 5-8 April, Cisarua Bogor),h.45 15
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, (keputusan Seminar Hukum Waris Islam,tanggal 5-8 April,Cisarua Bogor), h.44 16
2004), h.1
Suhardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta:Sinar Grafika,
7
masing-masing ahli waris yang berhak atas harta peninggalan segera memperoleh bagiannya. Bilamana disepakati bahwa hukum adalah merupakan salah satu aspek kebudayaan baik rohaniah atau spiritual, maupun kebudayaan jasmaniah, inilah barangkali salah satu penyebab kenapa adanya beraneka ragam sistem hukum terutama hukum kewarisan. Dalam kaitan ini khusus mengenai hukum kewarisan Islam yang bersumber dari wahyu Allah dalam al-Qur’an dan Hadis Rasul yang berlaku dan wajib ditaati oleh umat islam, dulu, sekarang dan di masa yang akan datang tidak termasuk dalam kontek ini. Hukum menentukan bentuk masyarakat.17 Setiap ahli waris mendapat bagian sesuai ketentuan Al-Quran yakni ada ahli waris yang mendapatkan 1/2, 1/3, ¼, 1/6, 1/8, 2/3.18 Sunnah Nabi pada dasarnya muncul untuk memberikan penjelasan kepada ayat-ayat al-Qur’an yang memerlukan penjelasan, baik penjelasan itu dalam bentuk penjelasan arti maupun dalam bentuk membatasi atau memperluas pengertian. Kewarisan atau faraid termasuk bidang fikih yang paling jelas diatur dalam alQur’an. Oleh karena itu, Hadis Nabi yang berkenaan dengan faraid ini tidak banyak jumlahnya.19
17
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan dan Kewarisan menurut BW( Jakarta:Cv Pedoman Jaya, 1992), h.3 18
Ali Parman, Kewarisan dalam Alquran, h.3
19
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:Kencana, 2004),h.40
8
Hukum Waris berkaitan dengan proses pengalihan harta peninggalan dari seseorang(pewaris) kepada ahli warisnya, berkaitan dengan hal tersebut Soepomo menyatakan bahwa: Hukum adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya. Proses tersebut tidak menjadi halangan oleh sebab orang tua meninggal dunia.20 Namun demikian ada sebagian pendapat yang mengemukakan bahwa pembagian harta warisan boleh tidak dilaksanakan sebagaimana ketentuan pembagian yang terdapat dalam Al-Qur’an yang pembagiannya dapat dilaksanakan dengan jalan musyawarah di antara keluarga.21 Pendapat di atas sebenarnya didasarkan kepada pemahaman tentang sifat-sifat hukum, yang terdiri dari: 1. Hukum yang memaksa 2. Hukum yang mengatur Disebut sebagai hukum yang memaksa apabila ketentuan hukum yang ada tidak dapat dikesampingkan, maksudnya tidak bisa tidak perintah atau larangan hukum tersebut harus diperbuat (di dalam hukum, berbuat dapat berarti berbuat
20
R. Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum waris, ( 1993), h.55
21
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta:Sinar Grafika,
2004),h.4
9
sesuatu dan dapat pula tidak dapat berbuat sesuatu) dan andainya tidak diperbuat maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. 22 Sedangkan hukum yang mengatur yaitu teks hukum yang ada dapat dikesampingkan (tidak dipedomani) seandainya para pihak berkeinginan lain (sesuai kesepakatan atau musyawarah di antara mereka), dan kalaupun tidak dilaksanakan ketentuan hukum yang ada perbuatan tersebut tidak dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum, sebab sifatnya hanya mengatur.23 Bahwa dalam hal ini ketentuan tentang pembagian harta warisan yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadis adalah merupakan ketentuan hukum yang bersifat memaksa, dan karenanya wajib pulalah bagi setiap pribadi muslim untuk melaksanakannya.24 Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa al-Qur’an dan Hadis telah merinci tentang bagian-bagian terhadap ahli waris secara terperinci, mulai dari ahli waris, sampai sebab-sebab seorang mendapatkan warisan dan bagian waris. Akan tetapi, masih saja ada sebagian masyarakat yang melaksanakan hukum kewarisan tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis, atau keluar dari hukum Islam. Inilah yang terjadi pada masyarakat khususnya masyarakat Perkampungan Betawi Srengseng Sawah, Jakarta Selatan.
22
23
24
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam,h.4 Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam , h. 4-5 Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam , h. 4-5
10
Pada orang tua dalam membagikan kewarisan sesuai dengan hukum adat yang berlaku, akan tetapi yang kita ketahui selama ini bahwasanya orang Betawi sangat terkenal dengan keIslamannya, dia menjalankan hukum Islam yang mereka anut, tapi pada kenyataannya berbeda. Dalam pembagian waris mereka menggunakan hukum waris adat yakni hukum adat Betawi. Hukum adat yang sesuai dengan para leluhur mereka atau hukum yang mereka percayai secara turun temurun. Misalnya: Membagi warisan sebidang tanah tanpa merinci pembagiannya (Laki-laki 2 bagian dari anak perempuan). Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis tertarik mengambil masalah ini kedalam penelitian yang berjudul ‘’ PELAKSANAAN HUKUM
KEWARISAN
DI
PERKAMPUNGAN
BUDAYA
BETAWI
SRENGSENG SAWAH, JAKARTA SELATAN’’. B. Pembatasan dan Perumusan masalah 1. Pembatasan Masalah Agar memudahkan penulis dalam tugas ini, penulis membatasi ruang lingkup permasalahan ini hanya pada pelaksanaan hukum kewarisan Islam pada masyarakat kp.Betawi di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Penulis memilih lokasi tersebut agar lebih memudahkan dan lebih fokus dalam penulisannya, serta lokasi tersebut mudah dijangkau dan juga baik untuk diteliti. 2. Rumusan Masalah Menurut Ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadits laki-laki dengan perempuan 2:1, tetapi kenyataanya diwilayah perkampungan Betawi pembagiannya adalah 1:1.
11
Rumusan di atas penulis rangkum dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengetahuan masyarakat kp. Betawi tentang hukum waris? 2. Bagaimana sikap masyarakat terhadap pembagian waris adat mereka? 3. Apakah pelaksanaan pembagian waris yang terjadi di masyarakat kp. Betawi sesuai dengan hukum Islam? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun mengenai tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah: a. Untuk mengetahui pemahaman masyrakat kp. Betawi tentang hukum waris. b. Untuk mengetahui sikap masyarakat kp. Betawi tentang pembagian waris mereka. c. Untuk mengetahui pelaksanaan hukum kewarisan di kp. Betawi Jagakarsa, Jakarta Selatan. 2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis, yaitu pengembangan dan pemahaman ilmu pengetahuan terutama tentang pelaksanaan pembagian waris terhadap hukum waris Islam kepada masyarakat Betawi. b. Kegunaan Praktis, yaitu dengan hasil penulisan ini diharapkan dapat berguna dan dijadikan motivasi kepada fakultas dan berguna bagi seluruh masyarakat dan literatur kepustakaan
mengenai
pelaksanaan
pembagian
Betawi,Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Metode Penelitian
waris
khususnya
di
kp.
12
a. Jenis Penelitian Mengingat kajian ini bersifat ilmiah dan dituangkan dalam bentuk skripsi, maka penulis berusaha mendapatkan data yang akurat dan bukti-bukti yang benar. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis penelitian yaitu metode penelitian kepustakaan (Library Research) dan metode lapangan (Field Research). Penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan meneliti buku buku, majalah, surat kabar, artikel, dan tulisan ilmiah baik berupa tulisan yang disimpan di lembaga pemerintahan maupun kepustakaan umum tentunya berkaitan dengan karya ilmiah ini. Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu penulis langsung mengadakan penelitian dengan mendatangi objek penelitian pada masyarakat di kp. Betawi yang melakukan praktek pembagian waris di wilayah jagakarsa, Jakarta Selatan. b. Sumber Data Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu: 1) Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari responden melalui wawancara dengan masyarakat di kp.Betawi di kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. 2) Data sekunder
13
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari literatur- literature kepustakaan seperti buku-buku, kitab-kitab, dan sumber sumber lainnya yang berkaitan dengan skripsi ini. c. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah wawancara. Wawancara merupakan suatu percakapan antara dua orang atau lebih yang pertanyaannya di ajukan peneliti kepada subjek atau sekelompok subjek penelitian untuk dijawab. 2. Teknik penulisan Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan teknik yang biasa digunakan dalam penulisan karya ilmiah yang dalam hal ini berpedoman kepada buku pedoman penulisan skripsi yang disusun oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. E. Tinjauan Pustaka Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya mengenai Hukum Waris. Salah satu penelitian terdahulu tersebut, dilakukan oleh Mariyah, Dalam skripsinya yang berjudul ‘’Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris Islam (studi di kelurahan kapuk cengkareng jakarta barat), yaitu bahwa sangat lemah kesadaran masyarakat dan perilaku masyarakat terhadap hukum waris Islam.
14
Mariyah juga mengungkapkan bahwa perilaku masyarakat terhadap hukum waris islam berjumlah 20%, dan perilaku netral berjumlah 70%, dan berperilaku negative 49%. Sedangkan skripsi ini membahas tentang pelaksanaan hukum kewarisannya, dan bagaimana akibat hukum dari pelaksanaan waris di perkampungan budaya betawi. Tidak hanya mengenai hal tersebut, dari segi data pun hanya menggunakan wawancara tanpa menggunakan penelitian kuesioner. Kedua. Siti Azizah, fakultas Syariah dan Hukum jurusan peradilan Agama, yang berjudul ‘’Pembagian Waris Betawi Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus pada masyarakat Kel. Lebak Bulus Kec. Cilandak, Jakarta Selatan)’’, Tahun 2009. Pada skripsi tersebut menjelaskan bahwa pelaksanaan hukum waris betawi, yang mana ada kelompok masyarakat Betawi melakukan pembagian secara rata antara laki-laki dan perempuan. Namun, ada juga yang melakukan sama dengan hukum Islam yang mana bagian laki-laki lebih besar. Skripsi ini sangat berbeda dengan skripsi di atas, karena dalam skripsi ini penulis membahas tentang pelaksanaan hukum waris, dengan kebijakan-kebijakan yang terjadi sesuai atau tidak dengan hukum Islam atau Faraid. Dari segi jenis penelitian pun berbeda di atas menggunakan responden beberapa orang, dalam skripsi ini dengan data wawancara dengan para tokoh dan masyarakat. F. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan dalam memahami skripsi ini, penulis ingin membagi pembahasan dalam lima bab, yaitu:
15
Bab Pertama merupakan pendahuluan di mana dikemukakan latar belakang masalah yang memuat alasan-alasan pemunculan masalah. Pokok masalah merupakan penegasan terhadap apa yang terkandung dalam sub bab latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan kegunaan, metode penelitian, tinjaun pustaka dan sistematika penulisan skripsi ini. Bab Kedua mengupas gambaran secara umum tentang kewarisan dalam Islam. Dalam bab ini digambarkan pengertian dan dasar hukum kewarisan, rukun dan syarat-syarat kewarisan, sebab penghalang menerima waris dan macam-macam ahli waris, serta pembagian para ahli waris. Bab Ketiga memuat mengenai potret perkampungan betawi, meliputi sejarah singkat, tujuan sasaran dan fungsi, ruang lingkup dan zona, dan keadaan demografi. Bab Keempat merupakan substansi dari penelitian (skripsi) ini, dalam bab ini dipaparkan tentang analisis terhadap pelaksanaan kewarisan betawi srengseng sawah. Dimulai mengenai sistem kewarisan, dan analisis pelaksanaan kewarisan meliputi harta waris, ahli waris serta bagian-bagiannya, dan analisa penulis. Bab Kelima merupakan bab terakhir yang memuat kesimpulan yang merupakan jawaban dari pokok permasalahan yang diangkat dan ditutup dengan saran-saran yang ditujukan kepada para pihak yang berkepentingan dengan persoalan hukum kewarisan.
16
BAB II KEWARISAN DALAM ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan 1. Pengertian Kewarisan Dalam literatur hukum Islam, ada beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan Islam yaitu: Faraid, Fikih Mawaris, dan Hukm al-waris. Lafazh Faraid jama’ dari Faridlah. Kata ini diambil dari fardlu. fardlu dalam istilah ulama fiqh mawaris ialah: bagian yang telah ditetapkan oleh syara’. Untuk waris seperti ½, ¼.1 Sehingga Ilmu Faraidh atau Ilmu Waris didefinisikan oleh para ulama, yaitu: Ilmu Fiqh yang berkaitan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik harta pusaka.2 Mawaris jama’ dari Mirats, yang dimaknakan dengan mauruts ialah: harta peninggalan orang yang meninggal yang diwarisi oleh para warisnya. Orang yang meninggalkan harta disebut muwarits, sedangkan yang berhak menerima pusaka disebut warits. 1
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Fiqh Mawaris, (Semarang:Pustaka Rizki Putra,1999), h.5 2
Hasbiyallah, Belajar Ilmu Waris,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2007), h.2
16
17
Waris adalah bentuk isim fa’il dari kata waritsa, yaritsu, irtsan, fahuwa waritsun yang bermakna orang yang menerima waris. Kata-kata itu berasal dari kata waritsa yang bermakna perpindahan harta milik atau perpindahan pusaka. Sehingga secara istilah ilmu waris adalah ilmu yang mempelajari tentang proses perpindahan harta pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya. Ada beberapa kata dalam penyebutan waris, seperti: warits, muwarris, al-irts, warasah dan tirkah.3 2. Dasar Hukum Kewarisan Ketentuan-ketentuan yang mengatur secara langsung masalah kewarisan terdapat dalam Al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang secara tegas menjelaskan bahwa baik laki-laki maupun perempuan merupakan ahli waris, seperti dalam Q.S. an-Nisa (4):7
Artinya:’’bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibubapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan’’.
3
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris,( Bnadung: PT Remaja Rosdakarya,2007), h.1
18
Selain itu, ayat-ayat yang secara tegas menjelaskan tentang ketentuan ahli waris yang mendapatkan harta peninggalan dari ibu-ibu bapaknya dan ahli waris yang mendapatkan harta peninggalan dari saudara seperjanjian, seperti yang tercantum dalam Q.S. an-Nisa (4):11-12
Artinya:’’Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibubapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat
19
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana’’. Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban lakilaki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. Lebih dari dua Maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.
20
Artinya:’’Dan
bagimu
(suami-suami)
seperdua
dari
harta
yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteriisterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masingmasing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris) (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun’’. B. Rukun dan Syarat-Syarat Kewarisan 1. Rukun-Rukun Kewarisan Terjadinya hubungan saling mewarisi apabila terpenuhi rukun-rukun kewarisan. Adapun rukun-rukunnya adalah sebagai berikut:
21
a. Yang mewariskan adalah orang yang harta peninggalannya pindah ke tangan yang lain (ahli warisnya),dan ia adalah si mayit. b.
Ahli waris adalah orang yang menerima harta peninggalan si mayit.
c. Yang diwariskan adalah harta peninggalan (si mayit). 4 2. Syarat-Syarat Kewarisan Dalam Syariat Islam ada tiga syarat supaya pewarisan dinyatakan ada, sehinggadapat member hak kepada seseorang atau ahli waris untuk menerima warisan, yaitu: a. Orang yang mewariskan (muwarris) benar telah meninggal dunia dan dapat dibuktikan secara hukum bahwa ia telah meninggal. Ini berarti bahwa apabila tidak ada kematian, maka tidak ada pewarisan. Pemberian atau pembagian harta kepada keluarga pada masa hidupnya, tidak termasuk ke dalam kategori waris mewarisi, tetapi pemberian atau pembagian ini disebut Hibah.5 b. Orang yang mewarisi (ahli waris atau waris) hidup pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia dan bisa dibuktikan secara hukum. Termasuk dalam pengertian hidup di sini adalah: 1. Anak (embrio) yang hidup dalam kandungan ibunya pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia.
4
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Ilmu Waris Metode Praktis Menghitung Warisan dalam Syariat Islam, (Saudi Arabia,1424 H),.h.22 5
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: Rajawali Pers,2012), h.71
22
2. Orang yang menghilang dan tidak diketahui tentang kematiannya, dalam hal ini perlu adanya keputusan hakim yang mengatakan bahwa ia masih hidup. Apabila dalam waktu yang ditentukan ia tidak juga kembali, maka bagian warisannya dibagikan kembali kepada ahli waris. Apabila dua orang yang mempunyai hubungan nasab meninggal bersamaan waktunya, atau tidak diketahui siapa yang lebih dulu meninggal dunia, maka keduanya tidak saling mewarisi, karena ahli waris harus hidup ketika orang yang mewariskan meninggal dunia.6 1. Ada hubungan pewarisan antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi, yaitu: a. Hubungan nasab: (keturunan, kekerabatan), baik pertalian garis lurus ke atas, seperti: Ayah, Kakek dan lainnya, atau pertalian lurus ke bawah, seperti: anak, cucu, atatu pertalian mendatar atau menyamping seperti: paman, saudara dan anak turunannya sebagaimana Firman Allah Swt:
Artinya:’’bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan’’. 6
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan,h.72
23
b. Hubungan pernikahan, yaitu seseorang dapat mewarisi disebabkan menjadi suami atau istri dari orang yang mewariskan. Yang dimaksud dengan perkawinan di sini adalah perkawinan yang sah menurut syari’at Islam, dimulai sejak akad nikah sampai putusnya ikatan perkawinan.7 c. Hubungan perbudakan (wala’) adalah seorang budak yang dimerdekakan yaitu ikatan antara dirinya dengan orang memerdekakannya dan ahli warisnya yang mewarisi dengan bagian ashobah dengan sebab dirinya ashobah bin nafsi seperti ikatan antara orang tua dengan anaknya, baik dimerdekakan secara sukarela atau karena wajib seperti karena nadzar atau zakat atau kafarah.8 C. Sebab Penghalang Menerima Waris dan Macam-Macam Ahli Waris 1. Penghalang Pewarisan (Mawani’ Al-Irs) Yang dimaksud dengan Mawani’ al-Irs ialah penghalang terlaksananya waris mewarisi; yang menyebabkan orang tersebut tidak dapat menerima warisan padahal sudah cukup syarat-syarat dan ada hubungan pewarisan.9 Keadaan-keadaan yang menyebabkan seorang ahli waris tidak dapat memperoleh harta warisan adalah sebagai berikut: a. Pembunuhan 7
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan,h.75
8
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Ilmu Waris, (Saudi Arabia, 1424 H), h.27
9
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta:Rajawali Pers,2012), h.78
24
Seseorang yang membunuh orang lain, maka ia tidak dapat mewarisi harta orang yang terbunuh itu, sebagaimana sabda Rasullah Saw: ‘’Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ia berkata: Rasullah Saw bersabda: Orang yang membunuh tidak dapat mewarisi sesuatu apapun dari harta warisan orang yang dibunuhnya.’’ Ketentuan ini mengandung kemaslahatan agar orang tidak mengambil jalan pintas untuk mendapat harta warisan dengan membunuh orang yang mewariskan.10 b. Berlainan Agama Berlainan Agama dalam hukum waris Islam dimaksudkan bahwa seseorang yang beragama Islam tidak dapat mewarisi kepada orang non muslim.11 Menurut jumhur ulama fikih, yang menjadi ukuran dalam penetepan perbedaan agama adalah pada saat meninggal orang yang mewariskan. Apabila meninggal seorang Muslim, sedang orang yang akan menerima tidak beragama Islam, maka ia terhalang mendapat warisan walaupun kemungkinan dia masuk Islam sebelum pembagian harta dilaksanakan. c. Perbudakan Seorang budak adalah milik dari tuannya secara mutlak, karena itu ia tidak berhak untuk memiliki harta, sehingga ia tidak bisa menjadi orang yang mewariskan dan tidak akan mewarisi dari siapapun sesuai dengan firman Allah Swt. Dalam Surat Al-nahl (16):75 10
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan,h.78
11
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, h.81
25
‘’Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun’’. 2. Macam-Macam Ahli Waris Menurut hukum Islam, ahli waris di bagi menjadi dua macam, yaitu: 1. Keluarga dekat yang kemudian mereka akan mendapatkan bagian ‘’furudhul muqaddarah’’ atau ‘’furudul ashabah’’. Ashabul Furudh adalah orang yang mempunyai bagian harta peninggalan yang sudah ditentukan oleh Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijmak. Adapun bagian yang sudah ditentukan adalah 1/2 ,1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6. 12 2. Keluarga yang jauh: yang baginya masih diperselisihkan. Keluarga yang jauh ini disebut dengan ‘’dzawil arham’.13 Para ahli waris yang berhak menjadi pewaris harta benda muwarris berjumlah 25 orang; 15 orang laki-laki dan 10 perempuan.14 Ahli waris dari laki-laki adalah sebagai berikut. 1) Anak laki-laki. 2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki. 3) Ayah. 12
Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:Sinar Grafika,2009), h.63
13
Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, h.63
14
Asyhari Abta, Ilmu Waris, Al-Faraidl,(Surabaya:Pustaka Hikmah Persada,2005), h.44
26
4) Kakek (ayah dari ayah). 5) Saudara laki-laki sekandung. 6) Saudara laki-laki seayah. 7) Saudara laki-laki seibu. 8) Keponakan laki-laki.( anak laki-laki dari anak saudara laki-laki sekandung). 9) Keponakan laki-laki (anak laki-laki dari anak saudara laki-laki seayah). 10) Saudara seayah (paman) yang seibu seayah. 11) Saudara seayah (paman) yang seayah. 12) Anak paman yang seibu seayah. 13) Anak paman yang seayah. 14) Suami. 15) Orang laki-laki yang memerdekakannya. Apabila ahli waris di atas ada semuanya maka hanya 3 (tiga) ahli waris yang mendapatkan warisan, yaitu sebagai berikut:15 a) Suami b) Ayah c) Anak Para ahli waris dari pihak perempuan adalah. a. anak perempuan b. anak permpuan dari anak laki laki dan seterusnya dalam garis ke
15
Asyhari Abta, Ilmu Waris, Al-Faraidl, h.63
27
bawah, sepanjang pertalianya dengan si mayit masih melalui kerabat laki laki saja. c. Ibu. d.Nenek (ibu dari bapak). e. Nenek (ibu dari ibu). f.
Saudara perempuan yang seibu sebapak
g. Saudara perempuan yang sebapak saja . h. Saudara perempuan yang seibu saja. i.
Istri.
j.
Perempuan yang memerdekakan si mayit (yang mantan budaknya), jika si
mayit tidak meninggalkan ahli waris.16 D. Pembagian Para Ahli Waris a. Ahli Waris Utama a.1. Bagian istri
1/8 bagian jika pewaris mempunyai anak
1/4 bagian jika pewaris tidak mempunyai anak
a.2. Bagian Suami
1/4 bagian jika pewaris mempunyai anak
1/2 bagian jika pewaris tidak mempunyai anak
a.3. Bagian Ibu 16
Sulaiman, Ahli waris laki-laki dan Perempuan, artikel diakses pada 9 November 2013 dari http://Sulaiman-catatan Blogspot.com//ahli waris laki-laki dan perempuan.html.
28
1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak
1/6 bagian jika pewaris mempunyai beberapa saudara
1/3 bagian jika pewaris tidak mempunyai anak
Dalam hal ibu mewaris bersama bapak dan tidak ada anak laki-laki, maka bagian ibu adalah 1/3 dari sisa, yaitu jumlah harta awal dikurangi bagian istri dan anak perempuan.
a.4. Bagian Bapak
1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak
1/6 bagian+ sisa jika pewaris hanya mempunyai anak perempuan
Sisa, jika pewaris tidak mempunyai anak
a.5. Bagian Anak Perempuan
1/2 bagian jika seorang
2/3 bagian jika beberapa orang
masing-masing 1 bagian dari sisa jika mereka mewarisi bersama anak laki-laki.
a.6. Bagian Anak Laki-Laki
Masing-masing 1 bagian dari sisa jika mereka mewaris bersama anak laki-laki lainnya.
Masing-masing 2 bagian dari sisa jika mereka mewaris bersama anak perempuan.17
17
Fatchurrochman, Sistem Waris Desain dan Implementasi, (UIN Malang-Press 2007), h.38
29
b. Ahli Waris Utama Pengganti b.1. Bagian Nenek
kedudukan nenek sebagai ahli waris baru terbuka jika tidak ada ibu.
Bagian nenek adalah 1/6 bagian, baik sendirian maupun bersama
b.2. Bagian Kakek
Kedudukan kakek sebagai ahli waris baru terbuka jika tidak ada bapak.
1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak
1/6 bagian+ sisa jika pewaris hanya mempunyai satu anak perempuan
sisa, jika pewaris tidak mempunyai anak
b.3. Cucu Perempuan
Menjadi ahli waris jika: hanya ada satu anak perempuan atau cucu perempuan yang lebih tinggi derajatnya, ada cucu laki-laki yang menjadi muasib mereka.
1/2 bagian jika seorang
2/3 bagian jika beberapa orang
1/6 bagian jika pewaris sebagai cucu perempuan pelengkap
masing-masing 1 bagian dari sisa jika mereka mewarisi bersama anak lakilaki.
b.4. Cucu Laki-laki
Cucu laki-laki sebagai ahli waris baru terbuka jika tidak ada anak laki-laki (bapaknya).
c. Ahli Waris Pengganti
30
c.1. Saudara seibu
Saudara seibu baru terbuka haknya jika tidak ada bapak dan anak
kedudukan saudara seibu, baik perempuan maupun laki-laki adalah sama
1/6 jika sendiri
1/3 jika lebih dari satu
c.2. Saudara sekandung/sebapak
Saudara sekandung/sebapak baru terbuka haknya jika tidak ada bapak atau anak.18
18
Fatchurrochman, Sistem Waris Desain dan Implementasi, h.39
BAB III POTRET PERKAMPUNGAN BETAWI A. Sejarah Singkat Perkampungan Betawi Srengseng Sawah Perkampungan budaya betawi tidak langsung menjadi perkampungan begitu saja, tapi melalui proses yang sangat panjang dan ada proses yang mengawali itu. Ketika kita tahu dan berpikir bahwa jakarta ini kota metropolitan dan mengarah ke megapolitan, hampir kehilangan jati diri betawi dan ibu kandungnya sendiri yaitu betawi.1 Kemudian muncullah kekuatan kolektif kolegial, melalui organisasiorganisasi yang berharap untuk mempertahankan budaya betawi yang tidak mau kalau ibu kandungnnya hilang. Pada tahun 1880, ketika itu memang sudah ada yaitu condet tapi tidak maksimal. SK nya bukan untuk pemberdayaan tapi untuk buah-buahan, kita berharap dan tidak mau betawi ini hilang ,ada satu tempat yang akan menjadi tempat kebetawian, pada saat itu belum pasti dan belum ketahui, apakah Jakarta Utara yaitu Marunda, Jakarta Utara yaitu Rorotan, Jakarta Pusat yaitu Kemayoran, Jakarta Barat yaitu Srengseng Sawah, dan Jakarta Selatan ada juga Srengseng Sawah. Ketika itu semakin kuat keinginan dan didorong dengan cara butten-up yaitu dari tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi, pada saat mengajukan ternyata pemda menangkap dan menerima dengan baik, dan melalui
1
Wawancara pribadi dengan Bapak Indra (Tokoh Masyarakat Betawi),Srengseng Sawah. Jakarta, 24 November 2013
31
32
sarasehan yang melalui pemilihan beberapa tempat tadi dan ternyata yang terpilih adalah Srengseng Sawah Jakarta Selatan, karena lebih diunggulkan pada tahun 1994.2 Pada tanggal 13 September 1997 dibuat acara konsep acaranya satu hari di setu babakan atau festival setu babakan, kemudian pada saat itu muncul budayanya, komunitasnya, masyarakatnya, kekentalan budayanya sehingga menjadi kekuatan yang lebih tinggi dari tempat lain. Tetapi sayangnya, acara tersebut tertunda, karena pada tahun 1998 kita mengalami krisis ekonomi.3 Pada tahun 2000, muncul SK Gubernur Nomor 92 Tahun 2000 dan sekaligus ditetapkannya SK tersebut tanggal 18 Agustus Tahun 2000. Yang berbunyi:’’ Penataan perkampungan budaya Srengseng Sawah’’. Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta menguatkan dengan memberikan aset 65 Hektar danau, dan dari masyarakat 100 Hektar, menjadi 165 di kelurahan Srengseng Sawah.4 Dan para tokoh dan masyarakat sepakat untuk memunculkan konsep budaya, kearifan lokal, agar tidak hilang atas kampungnya budaya itu sendiri. Tanggal 20 Januari Tahun 2001 Peresmian Perkampungan Budaya Betawi oleh Gubernur pada saat itu Sutiyoso. 2
Wawancara pribadi dengan Bapak Indra (Tokoh Masyarakat Betawi),Srengseng Sawah, Jakarta, 24 November 2013. 3
Wawancara pribadi dengan Bapak Indra (Tokoh Masyarakat Betawi),Srengseng Sawah, Jakarta, 24 November 2013. 4
Wawancara pribadi dengan Bapak Indra (Tokoh Masyarakat Betawi),Srengseng Sawah, Jakarta, 24 November 2013.
33
Semenjak itu terus mengalir dan memunculkan konsep-konsep baru, bahkan didorong dengan regulasi yang makin kuat, dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005, yang berbunyi:’’ Penetapan Perkampungan Budaya Betawi di kelurahan Srengseng Sawah Jakarta Selatan. Yang terdiri dari 156 RT, 19 RW, dan populasinya 60.000 Jiwa, dan menjadi 289 Hektar, Seolah-olah ini adalah dapurnya budaya.5 Perkampungan budaya betawi adalah suatu kawasan di jakarta selatan dengan komunitas yang ditumbuh kembangkan oleh budaya yang meliputi gagasan dan karya baik fisik maupun non fisik yaitu: adat istiadat, foklor, sastra, kuliner, pakaian serta arsitektur yng bercirikan kebetawian.6 Kawasan perkampungan budaya betawi terletak di kel.srengseng sawah, kecamatan jagakarsa kota administrasi jakarta selatan, dengan luas sekitar 289 hektar. Dengan batas fisik sebelah utara: jl. Mochammad Kahfi ii sampai dengan jl. Desa putra (jl. H. pangkat ), sebelah timur: jl. Desa putra (jl. H. pangkat) jl. Pratama (Wika, mangga bolong timur), jl. lapangan merah, sebelah selatan: Batas wilayah provinsi DKI Jakarta dengan kota depok, sebelah barat, jl. Mochmmad Kahfi ii.7
5
Wawancara pribadi dengan Bapak Indra (Tokoh Masyarakat Betawi), Srengseng Sawah, Jakarta, 24 November 2013. 6
Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan, Suku Dinas Dan Budaya, Betawi Culture
7
Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan, Suku Dinas Dan Budaya, Betawi Culture
Village.
Village.
34
Dalam kawasan seluas itu dapat dengan mudah dijumpai aktifitas keseharian masyarakat kampung betawi seperti: latihan pukul (pencak silat), ngederes, aqiqah, injek tanah, ngarak pengantin sunat,memancing, menjala, budi daya ikan air, tawar, bertani, berdagang sampai pada kegiatan memasak makanan khas betawi seperti: sayur asem, sayur lodeh, soto mie, soto babat, ikan pecak, bir pletok, jus, belimbing, kerak telor, laksa, toge goreng, tape uli, geplak, wajik, dll. 8 Perkampungan yang diampit oleh dua danau (setu dan situ) ini mempunyai luas wilayah sekitar 289 hektar dan sebagian besar penduduknya adalah orang asli betawi yang sudah turun temurun tinggal di daerah tersebut. Sedangkan sebagian kecil lainnya adalah para pendatang, seperti pendatang dari Jawa Barat dan Kalimanatan yang sudah tinggal lebih dari 30 tahun ini.9 Sebagai
kawasan
wisata
budaya,
wisata
agro,
dan
wisata
air.
Perkampungan budaya betawi memiliki potensi lingkungan alam yang asri dan sangat menarik, yang sulit dijumpai ditengah hiruk pikuknya kota jakarta. Dua buah setua alam yang ada di perkampungan budaya betawi yaitu: setu babakan, dan setu mangga bolong yang dikelilingi hijau dan rindangnya pohon-pohon buah khas betawi seperti: kecapi, belimbing, rambutan, sawo, pepaya, pisang, jambu, nangka, dan tumbuhan yang hidup sehat di halaman depan, disamping dan diantara rumah-rumah penduduk betawi sebagai objek wisata yang paling lengkap dan 8
Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan, Suku Dinas Dan Budaya, Betawi Culture
Village. 9
Fitri Utami Ningrum, Strategi Meningkatkan Jumalah Pengunjung Wisata Perkampungan Budaya Betawi, (Universitas Indonesia, 2009), h.30
35
menarik serta menjadi pilihan bagi para wisatawan baik lokal maupun mancanegara.10 Wisatawan yang berkunjung ke perkampungan ini juga dapat berkeliling ke perkebunan, pertanian, serta melihat tanaman-tanaman khas betawi di pelataran rumah-rumah penduduk. Apabila berkunjung ke pelataran rumah penduduk, tak jarang pengunjung akan dipetikkan buah sebagai tanda penghormatan. Jika wisatawan tertarik untuk memetik dan berniat membawa pulang buah-buahan tersebut, maka pengunjung dapat membelinya terlebih dulu bernegoisasi harga dengan pemiliknya. Buah-buahan yang tersedia diperkampungan ini antara lain belimbing, rambutan, buni, jambu, dukuh, menteng, gandaria, mengkudu, namnam, kecapi, durian, jengkol, kemuning, krendang, dan masih banyak lagi. B. Tujuan, Sasaran dan Fungsi Perkampungan Betawi Tujuan perkampungan budaya betawi adalah membina dan melindungi secara sungguh-sungguh dan terus menerus tata kehidupan serta nilai-nilai budaya betawi, menciptakan dan menumbuhkembangkan nilai-nilai budaya betawi sesuai dengan akar budayanya, menata dan memanfaatkan potensi lingkungan fisik, baik alami maupun buatan yang bernuansa betawi, mengendalikan pemanfaatan lingkungan fisik dan non fisik sehingga saling bersinergi untuk mempertahankan ciri khas betawi.
10
Village.
Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan, Suku Dinas Dan Budaya, Betawi Culture
36
Perkampungan budaya betawi mempunyai fungsi yang sangat membantu penduduk setempat khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Fungsi dari perkampungan budaya betawi setu babakan, antara lain: sarana pemukiman, sarana ibadah, sarana informasi, sarana seni budaya, sarana penelitian, sarana pelestarian dan pengembangan, dan sarana pariwisata.11 Pemanfaatan dan pengembangan perkampungan budaya betawi termasuk fasilitasnya menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat dengan didukung oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah berkewajiban melengkapi sarana dan program yang dianggap perlu.12 Visi dari perkampungan budaya betawi ini adalah pembangunan prioritas ditingkat madya kotamadya diarahkan pada bagian wilayah kota yang memilki peran besar dan fungsi strategis bagi pengembangan ekonomi sosial, budaya dan lingkungan kota, seperti pengembangan perkampungan budaya betawi yang merupakan satu kesatuan budaya betawi yang didukung hutan kota yang serasi untuk kawasan wisata budaya. 13 Misi yang dimiliki perkampungan budaya betawi setu babakan merupakan pola pengembangan dan pelestarian seni budaya rencana tata ruang bagian dari wilayah jakarta selatan meningkatkan pendapatan masyarakat, seperti lapangan 11
Fitri Utami Ningrum, Strategi Meningkatkan Jumalah Pengunjung Wisata Perkampungan Budaya Betawi, (Universitas Indonesia, 2009), h.30 12
Faradillah , Konservasi Kawasan Wisata Perkampungan Budaya Betawi, (Universitas Pendidikan Indonesia) , h.60 13
Faradillah , Konservasi Kawasan Wisata Perkampungan Budaya Betawi, (Universitas Pendidikan Indonesia) , h.60
37
kerja yang lebih baik untuk masyarakat sekitar perkampungan budaya betawi khususnya dan diluar perkampungan betawi umumnya. 14 C. Ruang Lingkup dan Zona Perkampungan Betawi Berdasarkan peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 151 Tahun 2007 tentang pedoman pembangunan perkampungan budaya betawi di kelurahan srengseng sawah, kecamatan jagakarsa, kota administrasi jakarta selatan, ruang lingkup pembangunan perkampungan budaya betawi meliputi:
Pembangunan fisik yang terdiri atas bidang: 1. Prasarana, sarana dan fasilitas umum serta fasilitas sosial 2. Sarana dan fasilitas khusus kesenian 3. Penataan lingkungan 4. Penataan pemukiman penduduk/masyarakat 5. Penataan Perumahan penduduk/masyarakat 6. Pemeliharaan Setu 7. Penanaman tanaman dan pohon ciri khas jakarta 8. Penataan lahan terbuka hijau dan hutan kota 9. Penataan dan pengendalian pemanfaatan lahan oleh dan untuk masyarakat.
Pembagian non fisik yang terdiri dari bidang; 1. Tata kehidupan 14
Fitri Utami Ningrum, Strategi Meningkatkan Jumalah Pengunjung Wisata Perkampungan Budaya Betawi, (Universitas Indonesia, 2009), h.35
38
2. Nilai seni budaya 3. Penelitian dan Pengkajian seni budaya 4. Pendidikan dan pelatihan seni budaya 5. Pendokumentasian seni budaya 6. Permuseuman seni budaya 15 Untuk memudahkan pelaksanaan pembangunan fisik dan non fisik tersebut, pembangunan kawasan perkampungan betawi dibagi menjadi zona sebagai berikut: 1. Zona permukiman Zona permukiman merupakan bagian dari kawasan perkampungan budaya betawi yang menjadi permukiman penduduk, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Rumah berarsitektur Betawi. b. Luas areal tertutup bangunan koefisiensi dasar bangunan (KBD) harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.16 2. Zona seni dan Budaya Wisata budaya adalah suatu kegiatan sebagai upaya menumbuhkan kembali nilai-nilai tradisional yang dikemas sehingga layak tampil, layak 15
Fitri Utami Ningrum, Strategi Meningkatkan Jumalah Pengunjung Wisata Perkampungan Budaya Betawi, (Universitas Indonesia, 2009), h.35 16
Village.
Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan, Suku Dinas Dan Budaya, Betawi Culture
39
ditonton dan layak dijual. Wisata budaya yang dapat dinikmati langsung adalah: a. Pergelaran seni musik, tari dan teater tradisional di arena teater terbuka. b. Pelatihan seni tari, musik dan teater tradisional bagi anak dan remaja. Bagian dari kawasan perkampungan budaya betawi yang dijadikan seni pusat budaya, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Bangunan berarsitektur Betawi. 2. Dilengkapi gedung, fasilitas, sarana dan perlengkpan kesenian 3. Pusat/tempat pergelaran, pameran, lomba, pelatihan dan pendidikan kesenian. 4. Museum budaya betawi.17 3. Zona wisata agro Merupakan suatu bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha pertanian (argo) sebagai objek wisata dengan tujuan rekreasi, keperluan ilmu pengetahuan, memperkaya pengalaman dan memeberikan peluang usaha di bidang pertanian.18 Yang menjadi daya tarik dan keunikan wisata agro di perkampungan budaya betawi adalah lokasi pertanian tidak berada khusus, melainkan berada diperkarangan dan di halaman rumah-rumah penduduk, sehingga bila musim buah tiba, ranumnya aneka buah khas betawi dapat 17
Faradillah , Konservasi Kawasan Wisata Perkampungan Budaya Betawi, (Universitas Pendidikan Indonesia) ,h.60 18
Village.
Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan, Suku Dinas Dan Budaya, Betawi Culture
40
menggiurkan para wisatawan untuk singgah di rumah-rumah penduduk dan biasanya tuan rumah akan segera menyapa wisatawan dan bergegas memetik buah untuk diberikan kepada wisatawan sebagai tanda hormat.19 Bagian dari kawasan perkampungan budaya betawi yang dapat dilihat/dijumpai dari kegiatan dan kenyataan tata kehidupan agraris masyarakat betawi, dengan bercirikan: 1. Pohon dan tanaman khas jakarta 2. Buah dan sayuran khas jakarta 4. Zona Wisata Air Merupakan upaya meningkatkan daya tarik wisata dari aspek olahraga air yang mampu menarik wisatawan. Dua buah setu yang dimiliki oleh perkampungan budaya betawi yaitu: setu babakan dan setu mangga bolong telah menjadikan perkampungan budaya betawi sebagai tempat wisata yang paling menarik dan menjajikan. Wisata air yang dapat dinikmati saat ini adalah : Sepeda air, olahraga kano, dan memancing.20 Zona wisata air adalah situ babakan dan situ mangga bolong yang terpelihara, bersih dan indah, dengan bercirikan: a. Kehidupan unggas 19
Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan, Suku Dinas Dan Budaya, Betawi Culture
20
Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan, Suku Dinas Dan Budaya, Betawi Culture
Village.
Village.
41
b. Kehidupan ikan 5. Zona Wisata Industri Wisata industri merupakan bagian dari kawasan perkampungan budaya betawi yang menjadi pusat industri perumahan betawi, dengan bercirikan: a. Makanan dan minuman olahan khas betawi b. Hasil karya kerajinan khas betawi c. Cinderamata khas betawi21 D. Keadaan Demografis 1. Kependudukan dan Catatan Sipil Terletak antara -160’ 48’ 30’’ BT -106’ 49’ 50’’ dan 06’20’07’’ LS -06’2i’10’’ LS.22 Wilayah kelurahan Srengseng Sawah kecamatan jagakarsa kotamadya Jakarta Selatan, terbagi kedalam 19 RW dan 156 RT. Dengan jumlah penduduk pada bulan juli 2013 sebanyak 59.948 yang terdiri atas: Tabel 1 Berdasarkan Jenis Kelamin
21
Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan, Suku Dinas Dan Budaya, Betawi Culture
Village. 22
Faradillah , Konservasi Kawasan Wisata Perkampungan Budaya Betawi, (Universitas Pendidikan Indonesia) ,h.60
42
Jenis Kelamin
Jiwa
Laki-laki
30.562
Perempuan
29.386
KK. laki-laki
15.404
KK. perempuan
2.452
Kepadatan penduduk
6,757
Wajib KTP
40.974
KTP laki-laki
20.529
KTP perempuan
20.445 Sumber: Monografi 201323 Tabel 2 Jumlah jiwa berdasarkan jenis usia
23
Jenis Usia
Jiwa
0-4
5.300
5-9
4.602
10-14
4.428
15-19
6.301
20-24
5.596
25-29
5.437
Laporan Bulanan: Desember 2013, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kelurahan Srengseng Sawah Jakarta Selatan.
43
30-34
4.621
35-39
4.214
40-44
3.498
45-49
3.893
50-54
3.076
55-59
2.561
60-64
2.140
65-69
1.677
70-74
1.173
75-keatas
1.395
Jumlah
55.445 Sumber: Monografi 201324
2. Ekonomi Mata pencaharian masyarakat kelurahan srengseng sawah lebih dominan bermata pencaharian sebagai pegawai negri sipil (PNS), TNI, dan swasta. Perincian datanya sebagai berikut:25 Tabel 3 Jumlah Mata Pencaharian
24
Laporan Bulanan: Desember 2013, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kelurahan Srengseng Sawah Jakarta Selatan. 25
Laporan Bulanan: Desember 2013, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kelurahan Srengseng Sawah Jakarta Selatan.
44
Mata Pencaharian
Jiwa
PNS
1.618
TNI
2.933
Swasta
7.864
Pensiunan
926
Pedagang
3.353
Petani
1.999
Pertukangan
463
Nelayan
-
Pemulung
178
Buruh
1.625
Jasa
465
Pengangguran
359
Ibu rumah tangga
13.236
Pelajar
16.994
Balita
2.836
Jumlah
55.445 Sumber: Monografi 201326
3. Bidang Keagamaan
26
Laporan Bulanan: Desember 2013, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kelurahan Srengseng Sawah Jakarta Selatan.
45
Mayoritas penduduk kelurahan Srengseng Sawah beragama Islam, dengan komposisi penduduk menurut agama sebagai berikut: Tabel 4 Komposisi penduduk menurut agama Agama
Jiwa
Islam
51.697
Protestan
3.775
Katholik
2.672
Hindu
603
Budha
183 Sumber: Monografi 2013 Tabel 5 Sarana Peribadatan
Sarana Peribadatan
Jumlah
Masjid
24
Musholla
42
Gereja
3
Pura
1 Sumber: Monografi 201327
27
Laporan Bulanan: Desember 2013, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kelurahan Srengseng Sawah Jakarta Selatan.
46
Khusus kegiatan keagamaan yang diselenggarakan secara terpadu antara para alim ulama dengan pemerintah kelurahan adalah Majelis Taklim dan jamaah Kuliah Subuh.28 4. Administrasi Pertanahan Wilayah Kelurahan Srengseng Sawah seluas 674,70 Ha, terbagi atas berbagai macam status kepemilikan tanah antara lain: Tabel 5 Status Kepemilikan Tanah Status Tanah
Luas (Ha)
Tanah Adat
366,10
Tanah Negara
302,84
Tanah Wakaf
4,76
Lain-lain
1,00
Jumlah
674,70 Sumber: Monografi 201329
28
Laporan Bulanan: Desember 2013, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kelurahan Srengseng Sawah Jakarta Selatan. 29
Laporan Bulanan: Desember 2013, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kelurahan Srengseng Sawah Jakarta Selatan.
47
BAB IV PELAKSANAAN KEWARISAN BETAWI
A. Sistem Kewarisan Hak waris seseorang tidaklah muncul tiba-tiba tetapi keberadaanya didasari oleh sebab-sebab tertentu yang berfungsi mengalihkan daripada hak-hak yang telah meninggal dunia. Ahli waris merupakan perseorangan yang keberadaanya telah ditentukan nash-nash baik al-Quran dan al-Hadits. Sebab- sebab kewarisan itu meliputi: pertama, adanya hubungan kekerabatan atau nasab, seperti ayah, ibu, anak, cucu, saudara-saudara, dan sebagainya. 1 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa esensi kewarisan dalam AlQuran adalah proses pelaksanaan hak-hak pewaris kepada ahli warisnya dengan pembagian harta pusaka melalui tata cara yang telah ditetapkan oleh nash. Atau lebih khusus dapat dicatat bahwa apabila seseorang telah wafat, maka siapa ahli warisnya yang terdekat dan berapa saham yang diterima setiap ahli waris. 2 Dalam pembagian waris harus ada dan diketahui wafatnya pemberi waris secara hakiki atau menurut hukum. Pembagian tirkah tidak mungkin dilaksanakan, sehingga muwaris (pemberi waris) nyata-nyata telah mati, atau hakim telah menetapkan kematiannya. Inilah yang dimaksud dengan mati secara hukum.
1
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Kementrian Agama, 2001),h.17. 2
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1995), h.27
47
48
Apabila hakim menetapkan kematiannya berdasarkan bukti-bukti, maka ketika itu dimungkinkan membagikan harta peninggalannya kepada ahli waris.3 Kebudayaan yang terjadi di Indonesia sangat beragam, kata kebudayaan berasal dari kata budh dalam bahasa sanskerta yang berarti akal, kemudian menjadi kata budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk), sehingga kebudayan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia.4 Dalam bahasa inggris, kebudayaan adalah culture, berasal dari kata culere( bahasa yunani) yang berarti mengerjakan tanah. Dengan mengerjakan tanah, manusia mulai hidup sebagai penghasil makanan, hal ini berarti manusia telah berbudi daya mengerjakan tanah karena telah meninggalkan kehidupan yang hanya memungut hasil alam saja. Definisi kebudayaan yang tepat sangat sukar karena begitu banyak orang yang mendefinisikannya, diantaranya: Ki Hajar Dewantara, kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
3
Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Hukum Waris Islam, (Surabaya,1995), h.56
4
Supartono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar,(Bogor: Ghalia Indonesia,2004), h.30
49
Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir, sehingga menurutnya pola kebudayaan itu sangat luas sebab semua laku dan perbuatan tercakup di dalamnya perasaan karena perasaan juga merupakan maksud dari pikiran.5 Dan unsur-unsur kebudayaan, mempunyai sistem religi dan upacara keagamaan ,merupakan produk manusia sebagai homo religius. Manusia yang memiliki kecerdasan pikiran dan perasaan luhur, tanggap bahwa di atas kekuatan dirinya terdapat kekuatan lain yang maha besar (supranatural) yang dapat menghitam-putihkan kehidupannya. Mempunyai sistem organisasi kemasyarakatan merupakan produk dari manusia sebagai homo socius. Manusia sadar bahwa tubuhnya lemah. Namun, dengan akalnya manusia membentuk kekuatan dengan cara meyusun organisasi kemasyarakatan yang merupakan tempat berkerja sama untuk mencapai tujuan bersama, yaitu meningkatkan kesejahteraan hidupnya. 6 Selanjutnya sistem pengetahuan, merupakan produk dari manusia sebagai homo sapiens. Pengetahuan dapat diperoleh dari pemikiran sendiri, disamping itu dapat juga dari pemikiran orang lain. Sistem mata pencaharian hidup, merupakan produk dari manusia sebagai homo economics menjadikan tingkat kehidupan manusia secara umum terus meningkat. Sistem teknologi dan peralatan, merupakan produksi dari manusia sebagai homo faber. Bersumber dari pemikirannya yang cerdas serta dibantu dengan tangannya yang dapat memegang 5
Supartono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar,(Bogor: Ghalia Indonesia,2004), h.30
6
Supartono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar,(Bogor: Ghalia Indonesia,2004), h.30
50
sesuatu dengan erat, manusia dapat menciptakan sekaligus mempergunakan suatu alat. Menurut penulis keadaan masyarakat sebagaimana di atas banyak sekali dan mempengaruhi aspek lain dalam kehidupan. Demikian pula dengan kewarisan. Sistem waris yang berlaku pada masyarakat perkampungan betawi yang dasarnya mempunyai kebudayaan tersendiri, yang sudah dibangun sejak lama. Dan sistem kewarisan masyarakat perkampungan Betawi Srengseng Sawah, dari hasil wawancara dengan tokoh masyarakat dan masyarakat umum, dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kewarisan adalah perpindahan berupa harta baik yang bergerak maupun tidak bergerak dari orangtua kepada anaknya.7 Masyarakat perkampungan Betawi yang Mayoritas beragama Islam, mereka memang pada dasarnya dan menjadi rujukan adalah al-Qur’an surat AnNisa dan tetap meminta kepada pendapat ulama. Tetapi tidak semua dan pada saat kondisi tertentu tidak menggunakan kewarisan Islam. Di mana pada sewaktuwaktu sistem kewarisannya menjadi anak laki-laki bisa menjadi sama bagiannya dengan anak perempuan bahkan lebih, tentu ada kebijakan yang lain. 8 B. Pelaksanaan Kewarisan 7
Wawancara Pribadi dengan Bapak Syahroni (Masyarakat Betawi), Srengseng sawah, Jakarta, 24 November 2013. 8
Wawancara Pribadi dengan Bapak Syahroni (Masyarakat Betawi), Srengseng sawah, Jakarta, 24 November 2013.
51
Dari hasil penelitian bahwa dalam pelaksanaan kewarisan masyarakat kampung Betawi tidak terlepas dari tiga hal pokok, yaitu: ahli waris yang akan menerima harta, harta peninggalan, dan ketentuan yang akan diterima oleh ahli waris. Untuk lebih rincinya penulis kemukakan point-point yang berkaitan dengan kewarisan masyarakat kampung Betawi. 1. Sistem Kewarisan Dari hasil wawancara dengan para tokoh, dan masyarakat, dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kewarisan adalah perpindahan berupa harta baik yang bergerak maupun tidak bergerak dari orang tua kepada anaknya.9 Dari hasil penelitian yang penulis lakukan di perkampungan Betawi, bahwa sistem kewarisan yang dipakai adalah kewarisan menurut Ilmu Faraid atau hukum Islam, di mana kedudukan anak laki-laki dua bagian dan anak perempuan satu bagian, karena laki-laki Umara dan tangungjawabnya lebih besar. Tetapi bisa saja hal itu berubah, ketika pada kenyataan lain tidak menggunakan hukum Islam atau faraid. 2. Unsur Kewarisan a.pewaris
9
Wawancara Pribadi dengan Bapak Syahroni (Masyarakat Betawi), Srengseng sawah, Jakarta, 24 November 2013.
52
pewaris, ialah seseorang yang meninggal-dunia dan meninggalkan harta warisan.10 Dalam hal ini masyarakat kampung Betawi yang disebut dengan pewaris ialah orang yang telah meninggal dunia baik bapak maupun ibu, adapula pewaris membagikan harta waris sebelum meninggal. Maka ketika belum meninggal dan orang yang akan meninggalkan harta masih sadar dan sehat, harta belum akan dibagikan . Dalam kewarisan hukum Islam pewaris adalah orang yang karena meninggal dunia baik secara hakiki (nyata telah meninggal) maupun meninggal secara hukmi (berdasarkan ketetapan pengadilan), mewariskan sesuatu kepada ahli waris. 11 Ketika sudah meninggal maka tidak ada lagi pembagian waris. 12 Dengan alasan akan menjadi keributan bagi para ahli waris. b. Harta Peninggalan Dalam hal ini harta waris bagi masyarakat kampung Betawi biasanya terjadi pada harta tidak bergerak yaitu, berupa tanah. rumah, kebun, sawah, dan sebagainya. Yang langsung pada saat dibagikan nantinya langsung dipegang oleh anaknya.13
10
Nugraha, ‘’Pengertian Pewaris’’, diakses pada 28 Desember 2013 dari http://nugrahacorporation.blogspot.com//2011/108/hal-pewarisan.html 11
Hasil Pembahasan Komnas Perempuan dengan Para ahli Hukum, Hukum Waris Perempuan dan Perwalian Anak,h.4 12
Wawancara Pribadi dengan Bapak Syahroni (Masyarakat Betawi), Srengseng sawah, Jakarta, 24 November 2013. 13
Wawancara Pribadi dengan Bapak Syahroni (Masyarakat Betawi), Srengseng sawah, Jakarta, 24 November 2013.
53
Karena kebanyakan, masyarakat kampung betawi akan menggunakan tanah tersebut biasanya untuk dipakai berdagang, dan membuat rumah untuk tempat tinggal nanti.14 Kalaupun harta itu selain benda tidak bergerak maka akan diakumulasikan terlebih dahulu, dan langsung dibagikan kepada ahli waris.15 c. Harta Bersama Harta bersama (gono-gini) adalah harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan. Meskipun harta tersebut diperoleh dari hasil kerja suami saja, isteri tetap memiliki hak atas harta bersama. Jadi, harta bersama meliputi harta yang diperoleh dari usaha suami dan isteri berdua atau usaha salah seorang dari mereka.16 Harta peninggalan ini dapat dibagikan kepada ahli waris, apabila sudah dibayarkan hutang pewaris, biaya pengurusan dan pemakaman jenazah, dan lain-lain.17 Tetapi ketika dalam hal kewarisan harta bersama dijadikan alasan yang terjadi adalah keegoisan suami atau istri untuk membagikan harta tersebut masing-masing tanpa aturan tertentu.
14
Wawancara Pribadi dengan Bapak Syahroni (Masyarakat Betawi), Srengseng sawah, Jakarta, 24 November 2013. 15
Wawancara Pribadi dengan Bapak Syahroni (Masyarakat Betawi), Srengseng sawah, Jakarta, 24 November 2013. 16
http://www.lbh-apik.or.id/fact%20-%20gono-gini.htm , diakses pada tanggal 28 Januari
17
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1995), h.29
2014.
54
Dalam hal tersebut tergantung kepada masing-masing pihak dengan cara yang berbeda tapi pada dasarnya tetap sama.18 Ternyata suami ini tidak mendapatkan harta, pada asalnya memang harta tersebut milik suami, bahkan anak-anak menjadi terlantar, hal tersebut terjadi ketika ada orangtua yang ego. 19 d. Ahli waris ` Menurut ketentuan yang ditetapkan waris di perkampungan Betawi sama halnya dengan ketentuan al-Quran yaitu, suami, istri, dan anak. Pada saat tidak ada anak maka saudara sekandung yang mendapat waris. Dalam hal kewarisan bagi anak laki-laki tetap kepada aturan AlQuran, jika anak laki-laki lebih kecil dari anak perempuan dianggap kurang adil.20 Tetapi ketika dalam terjun ke lapangan yang terjadi bisa saja berbeda, karena yang terjadi laki-laki bisa mendapatkan sama rata bagiannya dengan anak perempuan, bahkan bisa saja anak perempuan lebih besar. Secara umum dalam pembagian waris masyarakat kampung Betawi sebagai berikut: Dalam pelaksanaan warisan tetap pada pembagian faraid yaitu laki-laki 2 bagian dan perempuan 1 bagian, tetapi tidak selamanya
18
Aris Riansyah, Tinjauan Hukum Islam terhadap Kewarisan Adat Masyarakat Kampung Betawi di Tasikmalaya, 2009,h.61 . 19 Wawancara Pribadi dengan Bapak Indra (Tokoh Masyarakat Kampung Betawi), Srengseng Sawah, Jakarta , 24 November 2013. 20
Wawancara Pribadi dengan Bapak Thabrani (Masyarakat Kampung Betawi), Srengseng Sawah, Jakarta , 24 November 2013.
55
berjalan seperti itu, ini sebagai landasan, kalaupun ada yang lain tentu ada kebijakan dan pengaturan yang ada. Lebih bagus dan sangat positif ketika pembagian waris dikaitkan dengan agama mereka mengikuti, dengan asumsi bahwa laki-laki umara dan tangung jawabnya lebih besar.21 Kebijakan positif tersebut dijelaskan kepada anak dan istri, misalkan ketika ada 3 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Dan dalam hal ini timbul kebijakan dari salah satu anak laki-laki, yang haknya mendapatkan dua bagian digabungkan dan dipersentasi dengan 2 anak perempuan, satu anak laki-laki tersebut digabungkan dan dipecah tiga dengan anak perempuan. Misalnya: Anak laki-laki
Rp.200 (dua ratus ribu rupiah)
Anak laki-laki
Rp.200 (dua ratus ribu rupiah)
Anak laki-laki
Rp.200 (dua ratus ribu rupiah)
Anak Perempuan
Rp.100 (seratus ribu rupiah)
Anak Perempuan
Rp.100 (seratus ribu rupiah
Satu anak laki-laki mengambungkan hartanya dengan dua anak perempuan menjadi Rp.400 (empat ratus ribu rupiah). Satu anak laki + dua anak Rp.200 + 200 = 400 ribu perempuan
21
400 :3 = 134.000
Wawancara Pribadi dengan Bapak Indra (Tokoh Masyarakat Kampung Betawi), Srengseng Sawah, Jakarta , 24 November 2013.
56
Maka yang terjadi di atas pembagian anak laki-laki dan perempuan menjadi sama rata. Dalam hal lain pada terdahulu 60-an kadang kala tidak menggunakan
hukum Islam dan tidak ada masalah yang terjadi atau pertengkaran. Anak laki-laki mendapatkan kebun dan anak perempuan mendapatkan sawah, dengan alasan dahulu perempuan memotong padi dan anak laki-laki berkebun.22 Tidak membedakan antara wasiat dan warisan, pembagian harta waris tersebut melalui faktor, pertama kedekatan orangtua kepada anak bisa terjadi anak perempuan lebih besar dari saudara laki-laki 1/3 anak perempuan 2/3 anak laki-laki, kedua berdasarkan pendidikan anak yang lebih mapan lebih kecil bagian warisan dibandingkan kepada anak yang pendidikannya rendah. 23 Pada saat itu tidak ada masalah, dan pada saat sekarang tetap merujuk kepada hukum Islam, pandangan juga meliputi kewarisan dalam pendidikan ketika sudah memahami dalam perkampungan betawi. 24 Dalam yang lain ada harta yang dibagikan sesuai dengan faraid yaitu 2:1, dan mereka berkumpul dengan anak laki-laki untuk membagikan warisan
22
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gumin (Masyarakat), Srengseng sawah, Jakarta, 25 Januari 2014. 23
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gumin (Masyarakat), Srengseng sawah, Jakarta, 25 Januari 2014. 24
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gumin (Masyarakat), Srengseng sawah, Jakarta, 25 Januari 2014.
57
menjadi sama rata, walaupun anak perempuan melarang dalam hal itu. Disisi lain ada juga yang ingin melarikan kepada KUHPerdata dalam hal ini bagi rata, tetapi ketika beragama Islam dikembalikan terlebih dahulu
hukum
agama.25 Pembagian waris menggunakan wasiat, artinya terhubung dengan wasiat tidak sesuai dengan surat An-Nisa, ketika punya satu anak laki-laki dan dua orang perempuan orang tua mempunyai beberapa lahan tersebut dengan bagian yang telah ditetapkan dengan sebidang tanah yang sudah ditunjuk dan dibagi tanah tersebut. Menganggap bahwa ini yang lebih berkah yang dipastikan orang tua, kalau sudah yang menerima tidak boleh dihitung lagi, dalam hal ini tidak boleh dalam kewarisan harus di kurs terlebih dahulu, karena ditakutkan ada hak anak laki-laki yang simpang yang sudah ditetapkan surat An-Nisa.26 Dalam hal tidak ada persetujuan dalam pembagian waris, ketidak setujuan mucul ketika orangtua sudah meninggal, yang dianjurkan adalah kita berlandaskan kepada aqidah.27 Ketika sudah dikumpulkan terlebih dahulu keluarkan terlebih dahulu hak orang tua yaitu, Sadaqah dan kebutuhan lainnya. Yang semata-mata total 25
Wawancara Pribadi dengan Bapak Indra (Tokoh Masyarakat Kampung Betawi), Srengseng Sawah, Jakarta , 24 November 2013. 26
Wawancara Pribadi dengan Bapak Indra (Tokoh Masyarakat Kampung Betawi), Srengseng Sawah, Jakarta , 24 November 2013. 27
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gumin (Masyarakat), Srengseng sawah, Jakarta, 25 Januari 2014.
58
dibalikan kepada hukum waris. Dan akan menjadi permasalahan ketika pijakan ini tidak bisa diterapkan oleh beberapa keluarga yang mendapati permasalahan seperti itu, karena egonya anak tertua, campur tangan orang lain, sebenarnya dalam pembagian waris paman-paman tidak ada atau suaminya kakak ipar tidak ikut serta karena merupakan internal keluarga. Dan dalam hal ini ada yang ingin lebih didorong yaitu perencanaan waris. 28 Perencanaan waris ada yang sudah yang menjalankan yaitu berupa hibah, yaitu dengan membagikan sebidang tanah, alasannya karena ketika orang tua masih hidup anak cenderung patuh. Waris merupakan hal yang sangat sensitif bahkan bisa menjadi perkelahian antar keluarga dan untuk mencegah adanya ego, inilah yang didorong yaitu perencanaan waris berupa hibah.29 Pembagian harta warisan yang sudah ditentukan, ketika orang tua yang ego kalau sudah diatur dan diberikan kecendrungan tidak akan mengubah, misalkan dalam pembagian sebidang tanah sisa untuk orang tua 200 meter, ada bagiannya yang dibagi rata atas bidang tanah tersebut walaupun tidak persis 2:1 dalam hal ini keberkahannya yang dicari.30 Hal lain yang terjadi,
28
Wawancara Pribadi dengan Bapak Indra (Tokoh Masyarakat Kampung Betawi), Srengseng Sawah, Jakarta , 24 November 2013. 29
Wawancara Pribadi dengan Bapak Indra (Tokoh Masyarakat Kampung Betawi), Srengseng Sawah, Jakarta , 24 November 2013. 30
Wawancara Pribadi dengan Bapak Indra (Tokoh Masyarakat Kampung Betawi), Srengseng Sawah, Jakarta , 24 November 2013.
59
tanah yang sudah dibagikan bisa dijual dan dijadikan uang untuk dibagikan, ketika orang tua meninggal. Menjadi dzalim yang telah ditempati orang tua diambil oleh anaknya, seharusnya disumbangkan dan dibagi-bagi dan yang sudah ditetapkan tidak boleh melebihi.31 C. Analisa Penulis Ada hal-hal penting yang penulis ingin kemukakan mengenai pelaksanaan kewarisan di perkampungan Betawi Secara umum, yaitu: Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipegangi (ditaati) oleh mayoritas penduduk dan rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup di dalam masyarakat, merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam dan ada dalam kehidupan
nasional
pengembangannya.32
serta Dari
merupakan sumber
bahan
ajarannya,
dalam realitas
pembinaan kehidupan
dan
hukum
masyarakat, sejarah pertumbuhannya, dan perkembangan hukum di Indonesia, yang menyangkut teori berlakunya hukum Islam di Indonesia, terlihat ada beberapa teori berlakunya hukum di Indonesia. Dari sumber ajaran Islam, terlihat bahwa orang yang beriman (Islam) berkewajiban menaati hukum Islam. Tingkatan kehidupan beragama seorang
31
Wawancara Pribadi dengan Bapak Indra (Tokoh Masyarakat Kampung Betawi), Srengseng Sawah, Jakarta , 24 November 2013. 32
Rachmat Djatnika, Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1994), h.100
60
muslim dikaitkan dengan sikap dan ketaatannya kepada ketentuan Allah dan Rasul-Nya.33 Dalam Al-Quran ada ketentuan bahwa kepada orang Islam pada dasarnya diperintahkan untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya (QS:4:59, QS:24:51). Orang Islam tidak dibenarkan mengambil pilihan lain kalau ternyata Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan hukum yang pasti dan jelas.34 Mengambil pilihan hukum lain sementara Allah dan Rasul-Nya telah memberikan ketentuan hukum dianggap kafir, dzalim, dan fasik (QS:5:44,45,47). Oleh karena itu, dari segi ajaran Islam sendiri tanpa dikaitkan dengan hukum lain di dalam masyarakat, berlaku prinsip bahwa bagi orang Islam berlaku hukum Islam. Orang Islam diperintahkan taat kepada hukum Islam. Islam mengajarkan kepada orang Islam yang beriman untuk berhukum kepada hukum Islam. Hal tersebut merupakan keyakinan agama dan keyakinan hukum serta merupakan kelanjutan dari keyakinan mengesakan tuhan di dalam hukum (tauhid al-tasyri). Oleh karena itu, dari segi ajaran Islam sendri, tanpa dikaitkan dengan keadaan hukum di masyarakat, berlaku prinsip bagi orang Islam berlaku hukum Islam.35 Allah yang maha adil dan bijaksana tidak akan mengabaikan hak setiap ahli waris. Bahkan dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna Dia menentukan
33
Rachmat Djatnika, Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan .h.100
34
Rachmat Djatnika, Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan.h.102
35
Rachmat Djatnika, Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan.h.103
61
pembagian hak kewarisan dengan adil dan bijaksana sesuai kodrat bagi setiap individu tersebut. Dalam hal ini timbul beberapa poin-poin sebagai berikut: 1. Bahwa kewarisan dalam Al-Quran pewaris bukan saja terbatas pada ayah dan ibu. Akan tetapi, anak dan saudara dapat menjadi pewaris. Demikian pula ahli waris menurut Al-Quran adalah keluarga dekat dari pewaris, baik laki-laki maupun perempuan. Setiap ahli waris mendapat bagian sesuai ketentuan Al-Quran yakni ada ahli waris yang mendapat ½, 1/3, ¼,1/6, 1/8, atau 2/3.36 2. Warisan terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adanya hubungan perkawinan atau karena hubungan nasab/keturunan yang sah. Keluarga yang lebih dekat hubungannya dengan mayit (pewaris) lebih diutamakan daripada yang lebih jauh; yang lebih kuat hubungannya dengan mayit (pewaris) lebih diutamakan daripada yang lebih lemah. Misalnya, ayah lebih diutamakan daripada kakek, dan saudara kandung lebih diutamakan daripada saudara seayah. 3. Dalam hukum kewarisan Islam berlaku asas keadilan berimbang, dalam arti keadilan dalam pembagian harta warisan dalam hukum Islam. Artinya, sebagaimana pria dan wanita pun mendapatkan hak yang sama kuat untuk mendapatkan warisan.37 4. Dalam pembagian warisan tidak ada kepastian waktu kapan harta warisan harus dibagikan. Seperti dalam bentuk wasiat yang meningalkannya sebelum meninggal
36
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1995), h.13.
37
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:Kencana, 2004), h.24.
62
dunia, tentu saja apabila wasiat dibuat dengan lisan melalui ucapan-ucapan terakhir peninggal warisan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya, dikatakan bahwa dalam pelaksanaan hukum kewarisan perkampungan betawi yang mayoritas beragama Islam masih ada saja yang diterapkannya bukan hukum Islam, dalam hal kewarisan. Di bawah ini penulis akan sampaikan analisis mengenai kewarisan perkampungan budaya Betawi sebagai berikut: Menurut penulis, jika sepintas kita dapat melihat yang terjadi pada masyarakat perkampungan betawi dalam hal pelaksanaan waris yang di satu sisi tidak menjalankan secara utuh, yang dianggap bahwa lebih baik untuk melakukan pelaksanaan waris atau perencanaan waris. Walaupun demikian, kita tidak bisa memvonis secara langsung bahwa apa yang dilaksanakan oleh masyarakat perkampungan betawi adalah dilarang, karena jika kita lihat lebih mengutamakan kemaslahatan dan keadilan bagi para ahli waris, dan keridoan. Dalam pembagian harta kewarisan di perkampungan betawi terdapat dua cara pembagian pertama, pembagian harta warisan berdasarkan hukum Islam atau Faraid, Dan kedua, pembagian berdasarkan kebijakan para ahli waris.38 Tergantung pada masyarakat yang melaksanakan kewarisan tersebut. Bahwa 38
Wawancara Pribadi, Bapak Indra,( Tokoh Masyarakat Betawi),Srengseng Sawah. Jakarta, 24 November 2013
63
dalam pembagian waris para ahli waris berkumpul untuk membagikan harta warisan dengan cara pembagian mana yang akan digunakan. Hal ini disebabkan masyarakat lebih mementingkan kepada tali persaudaraan daripada perpecahan, yang nantinya susah bagi kita dalam kehidupan. Dengan menggunakan formasi pembagian 2:1 laki-laki dan perempuan atau sebalikanya 1:2 laki-laki dan perempuan ketika hal ini dilihat dari berbagai alasan. Hukum kewarisan perkampungan Betawi mempunyai budaya tersendiri khususnya dalam persoalan hukum. Budaya hukum adalah konsep yang relatif baru. konsep ini mempunyai keuntungan dapat menarik perhatian terhadap nilainilai yang berhubungan dengan hukum dan proses hukum, tetapi yang dapat dibedakan secara analisis dari mereka dan dianggap berdiri sendiri. Nilai-nilai yang merupakan dasar kultural dari sistem hukum dan sangat membantu dalam menentukan pemberian tempat kepada mereka untuk menentukam dan merupakan sejarah suatu masyarakat. Budaya hukum tediri atas asumsi-asumsi fundamental mengenai penyebaran dan penggunaan sumber-sumber di masyarakat, karena asumsi ini berubah menurut waktu, sebagaimana masyarakat sendiri juga berubah.39 Hukum Islam tidak pernah diterima secara penuh di mana pun di dunia ini, suatu kenyataan yang menimbulkan frustasi dan ketegangan dalam pemikiran politik Islam. Maka karena Betawi merupakan budaya yang merupakan inti dari 39
h.193.
A.A.G. Peters, Hukum dan Perkembangan sosial, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1998),
64
masyarakat Jakarta tercipta adanya keragaman, kebersamaan, satu pandangan, sikap dan perilaku masyarakat. Sementara itu lev memerinci kultur hukum itu ke dalam: nilai-nilai hukum prosedural dan nilai-nilai hukum substantip. Sebagai basisi kultural sistem hukum, maka komponen yang satu ini membantu menempatkan sistem yang diberikan kepada lembaga-lembaga hukum, politik, agama, atau lainnya sepanjang waktu dalam sejarah bangsa dan masyarakat bersangkutan. Adapun komponen subtantip dari kultur hukum itu terdiri dari asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi maupun pengguna sumber-sumber di dalam masyarakat, apa yang dianggap adil dan tidak oleh masyarakat dan sebagainya.40 Dalam ajaran-ajaran hukum yang dinamakan dengan ajaran legisme, yang mengindentikkan (menganggap sama) hukum dengan undang-undang.41 Ajaran yang demikian mungkin terjadinya diskrepansi (ketidakcocokan), antara hukum dengan kenyataan yang berlaku dalam
masyarakat, lebih-lebih apabila
masyarakatnya sedang berubah dan berkembang secara dinamis. Sementara perubahan (al-taghyir) hukum adalah pengamalan dan penerapan teks yang sudah ada, dengan mempertimbangkan situasi (zhuruf) teks itu yang dikaitkan dengan kepentingan atau kemaslahatan yang sifatnya situasional.42
40
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa Bandung), h.87
41
Sudjono Dirdjosisworo, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali,1983), h.7
42
Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar ibn Khattab, (Jakarta:Rajawali,1991), h.171
65
Dalam ketentuan-ketentuan bagi umat Islam, pada dasarnya disyari’atkan Tuhan untuk mengatur tata kehidupan mereka di dunia, baik dalam masalahmasalah keagamaan dan kemasyarakatan. Dengan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum, mereka akan memperoleh ketentraman dan kenyaman serta kebahagian dalam hidupnya.43 Tujuan Syar’i dalam mensyariatkan ketentuan-ketentuan hukum kepada orang-orang mukallaf adalah dalam upaya mewujudkan kebaikan-kebaikan bagi kehidupan mereka, baik melalui ketentuan yang dharury, hajiy, ataupun yang tahsini. Ketentuan hukum yang dharury adalah ketentuan-ketentuan hukum yang dapat memelihara kepentingan hidup manusia dengan menjaga dan memelihara kemaslahatan mereka. Seandainya norma-norma tersebut tidak dipatuhi, niscaya mereka akan dihadapkan pada mafsadah dan berbagai kesukaran.44 Ketentuanketentuan dharury itu secara umum bermuara pada upaya memelihara lima hal, yaitu: agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Sedangkan ketentuan hajiy adalah ketentuan hukum yang memberi peluang bagi mukallaf untuk memperoleh kemudahan dalam keadaan mereka sukar untuk mewujudkan ketentuan-ketentuan dharury .
43
Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta:PT Raja grafindo Persada,1996), h.13
44
Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta:PT Raja grafindo Persada,1996), h.29
66
Di antara yang telah disepakati oleh Jumhur Ulama Islam, yaitu bahwasanya Allah SWT tidak membentuk hukum kecuali untuk memaslahatan hambanya, dan sesungguhnya kemaslahatan itu adakalanya menarik keuntungan bagi mereka dan adakalanya menolak bahaya dari mereka. Maka yang mendorong pembentukan syara’ apa saja, ialah menarik manfaat bagi manusia, atau menolak bahaya daripadanya, yang disebut dengan Hikmah hukum.45 Di dalam kaidah-kaidah hukum Islam kita mengenal ‘’Al-Maslahah alMursalah’’ yakni kesejahteraan umum yang dimutlakkan, yang didahulukan, bahkan menurut Ulama Ushul yaitu, maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukan atas pengakuannya atau pembatalannya. 46 Maslahah itu disebut mutlak, karena tidak dibatasi dengan dalil pengakuan atau dalil pembatalan. Semua itu untuk mendatangkan keuntungan bagi mereka dan menolak madharat serta menghilangkan kesulitan daripadanya. Wahbah Al-Zuhaili, sebagaimana dikutip oleh Mushlih Usman, membagi kesulitan yaitu kesulitan khafifah, yaitu kesulitan karena sebab yang ringan. Misalkan dalam pembagian waris yang mengharuskan para ahli waris membagikan harta secara adil, ketika hal tersebut menjadi sulit maka boleh dilakukan hal yang dianggap menjadikan ahli waris menjadi bersatu dan tidak adanya percekcokan.47
45
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2000), h.93 46
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2000), h.123 47
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung:Pustaka Setia, 2008), h.226
67
Dalam kaidah-kaidah hukum Islam ada yang dinamakan dengan ‘Urf atau adat, Menurut Rachmat Syafi’i, dalam hukum Islam secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. 48 ‘Urf telah ada dan hidup dalam masyarakat secara turun-temurun sebagai cermin dari religiusitas masyarakat perkampungan Betawi. ‘Urf adalah adat yang baik, yang tidak menyimpang dari tujuan syariat Islam. Dalam kehidupan sehari-hari tidak selamanya manusia menjalani kehidupan yang biasa dan wajar. Pada tempat dan masa tertentu ia akan mengalami hal-hal yang berada diluar kemampuannya untuk menolak, menghindar, dan menguasainya. Maksudnya, keadaan yang membahayakan hidupnya, atau yang lainnya, akan berubah. Dengan berdasarkan pada prinsip keadilan dan kemaslahatan, Islam menawarkan jalan keluar berupa pengecualianpengecualian. Dan mempermudah manusia dalam melaksanakan kewajibankewajiban agamanya menurut keadaan yang sesuai dengan kenyataan hidup dan pribadi-pribadi manusia yang berbeda pula.49 Pelaksanaan hukum pengecualian syari’at Islam sangat alami dan manusiawi karena mengutamakan azas kemudahan dan pemudahan serta
48
49
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh,.h.226
Wahbah Az-Zuhaili, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,1997). h.viii.
68
menghindarkan kesempitan dan kesulitan.50 Ditambah lagi dengan sikap ajaran yang lemah lembut sehingga tidak seorang pun yang memiliki alasan dan cara untuk meninggalkan tuntutan hukum Islam karena mengalami kesulitan dan kesempitan.51 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) terungkap bahwa ahli waris dapat bersepakat untuk melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya.19 Dengan adanya rumusan ini dapat memungkinkan adanya pembagian harta warisan dengan porsi yang sama secara matematis (1:1) diantara semua ahli waris melalui jalur perdamaian tersebut, sebagai penyimpangan dari pasal 176 KHI yang mengatur ketentuan anak laki-laki dan anak perempuan (2:1); dan antara saudara laki-laki sekandung dengan saudara perempuan sekandung – saudara laki-laki seayah dengan saudara perempuan seayah sebagi penyimpangan terhadap pasal 182 KHI. 52 Prinsip perdamaian ( al-shulh ) telah mendapat pembenaran sebagai mana yang tercantum dalam al-qur’an surat al-Nisa (4): 127, asalkan saja tidak dimaksudkan untuk mengenyampingkan ajaran.53 Memang dalam menyikapi hal tersebut perlu adanya sikap arif dan bijaksana pada semua ahli waris sehingga 50
Wahbah Az-Zuhaili, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,1997). h.viii. 51
Wahbah Az-Zuhaili, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam,.h.viii.
52
http://makalahkomplit.blogspot.com/2013/01/a-hukum-kewarisan-dalam-kompilasihukum.html, diakses pada tanggal 6 Januari 2014 53
http://makalahkomplit.blogspot.com/2013/01/a-hukum-kewarisan-dalam-kompilasihukum.html, diakses pada tanggal 6 Januari 2014
69
semua ahli waris bisa menerima bagiannya masing-masing tetapi mereka masih memikirkan keadaan kerabat lain yang mendapatkan bagian yang lebih kecil sedangkan beban hidupnya lebih berat. Sehingga melalui perdamaian ini seorang kerabat bisa saja memberikan sebagian jatah warisnya untuk diberikan kepada kerabat perempuannya. Dalam hal ini KHI mengakomodir hal tersebut. Dalam pasal 189 ayat (1) dikatakan, bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 (dua) hektar, supaya dipertahankan kesatuannya seperti semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan. Bunyi ayat (1) pasal 89 KHI mendapat penegasan melalui ayat (2) yang berbunyi: “Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak memungkinkan karena diantara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang ahli waris atau lebih.54 Untuk itu, adanya konsep pemeliharaan Keutuhan dan Kesatuan Lahan salah satunya didasarkan atas semangat kepentingan untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi dalam bidang pertanian. Namun rumusan hukum dalam pasal 189 ayat (1) KHI tidak bersifat kaku sebagai harga mati. Karena kemungkinan dan peluang untuk tidak dapat memelihara keutuhan dan kesatuan lahan tersebut sangat terbuka, apabila diantara ahli waris ada yang yang benar54
http://makalahkomplit.blogspot.com/2013/01/a-hukum-kewarisan-dalam-kompilasihukum.htm , diakses pada tanggal 6 Januari 2014
70
benar terdesak membutuhkan uang, sedangkan diantara ahli waris yang lainnya tidak memiliki kemampuan membayar, baik secara perorangan maupun secara bersama-sama. Maka kiranya lahan bisa saja dijual kepada pihak lain yang mampu membelinya.55 Filosofinya sangat mungkin para pembentuk KHI berkemauan untuk menghormati kesamaan dan /atau kesejajaran kedudukan pasangan suami-istri dalam konteks kewajiban dan hak dalam semua urusan kerumahtanggaan termasuk harta-benda yang diperolah selama perkawinan. Pada umumnya, yang mencari nafkah adalah pihak suami, sedangkan istri kebanyakan hanya mengurusi hal-hal yang bersifat domestik kerumahtanggaan. Sungguhpun demikian, peran sentral istri sebagai ibu rumah tangga dalam sebuah keluarga, tidaklah layak untuk diabaikan peran-sertanya bagi sukses suami dalam mencari nafkah yang menghasilkan harta kekayaan itu. Terutama sukses anak-anaknya yang dipersembahkan untuk suami itu (al-mauludu-lah). Di sinilah terletak motivasi para penyusun KHI untuk menetapkan harta pasangan suami istri selama masa perkawinan menjadi harta bersama suami-istri.56
55
http://makalahkomplit.blogspot.com/2013/01/a-hukum-kewarisan-dalam-kompilasihukum.htm , diakses pada tanggal 6 Januari 2014 56
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks & Konteks, (Jakarta:Rajawali Pers,2013), h.103
71
Maka pasal dan pembahasan di atas, tidak menutup kemungkinan harta warisan seseorang dibagikan dengan jalur damai dan kesepakatan para ahli waris bisa dilakukan dan boleh untuk dilakukan.57 Dengan adanya asas keadilan antara laki-laki dan perempuan, sehingga akan tercipta kesejahteraan sosial dalam menghindari adanya kesenjangan maupun kecemburuan sosial.58 Disatu sisi masyarakat menghendaki hukum waris dilaksanakan, namun realisasinya telah ditempuh secara hibah, dalam masyarakat betawi disebut perencanaan waris, yaitu sebelum pewaris meninggal dunia dengan membagikan hartanya. Bahwa kemudian kompilasi menegaskan demikian kelihatannya didasari oleh kebiasaan yang dianggap positif oleh masyarakat. Karena bukanlah suatu yang aneh, apabila dalam pembagian harta warisan dilakukan akan menimbulkan penderitaan pihak-pihak tertentu, lebih-lebih menghancurkan tali persaudaraan dan penyelesaiaanya dalam bentuk gugatan pengadilan. 59 Bentuk pembagian warisan ini yang terjadi pada masyarakat perkampungan betawi, aturan yang telah disepakati, walaupun kita tidak bisa berlari atau pindah dari rujukan agama. Yang hal lain mereka lebih mementingkan kerukunan dalam 57
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks & Konteks,
h.103 58
Azharudin Latif dan Jaenal Aripin, Filsafat Hukum Islam Tasyri dan Syar’i, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h.131 59
Wawancara Pribadi, Bapak Indra,( Tokoh Masyarakat Betawi),Srengseng Sawah. Jakarta, 24 November 2013
72
keluarga yang diidamkan semua pihak, Tidak halnya seperti daerah-daerah lain. Akan tetapi tetap rujukan yang jadikan ialah surat an-Nisa, karena dalam hal lain mereka tidak mau menjadikan suatu hal yang sangat sulit, tidak semat-mata ikut dengan waris tetapi kalaupun dilihat hal tersebut mendekati kepada waris 2:1. Alasannya agak tidak terjadi pertengkaran antara keluarga, demi menjaga kekeluargaan dan mencari keberkahan.60 Dari hasil penelitian yang telah dilakukan penulis diketahui bahwa walaupun dalam pembagian waris perkampungan betawi merujuk kepada agama, tetapi pada kenyataan lain berbeda. Perbedaan tersebut antara lain dalam pewarisan yakni pewaris masih hidup atau yang disebut dengan perencanaan waris berupa hibah yang telah dibagikan masing-masing kepada ahli waris, dengan alasan ketika pewaris masih hidup lebih mengerti dan lebih nurut, untuk mengantisipasi terjadi pertengkaran dan saling membunuh.61 Dalam hukum waris Islam pewarisan baru berlaku ketika ada seseorang yang meninggal dunia. Wasiat dan hibah berkaitan dengan pembagian waris, memiliki beragam variasi dalam praktik, yaitu:62 a. Seseorang menentukan kepada siapa saja harta yang dimilikinya nantinya akan berpindah tangan setelah ia meninggal dunia. 60
Wawancara Pribadi, Bapak Indra,( Tokoh Masyarakat Betawi),Srengseng Sawah. Jakarta, 24 November 2013 61
Wawancara pribadi dengan Bapak Indra (Tokoh Masyarakat Betawi),Srengseng Sawah. Jakarta, 24 November 2013 62
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta:Kencana,2010), h.419.
73
b. Seorang melakukan pembagian hartanya kepada keluarganya dan pembagian ini berlaku, setelah ia mati dan seketika. Sedangkan persamaan dalam pembagian harta waris dengan hukum Islam yakni bagian laki-laki yang tetap diyakini jauh lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan, karena anak laki-laki adalah umara dan tanggung jawab yang besar bagi keluarganya, persamaan yang lain yakni, harta warisan yang ditingalkan oleh pewaris dapat diwarisi kepada ahli waris setelah hak-haknya orang tua terpenuhi seperti; pembayaran hutang serta kewajiban sadaqah dan kewajiban lain yang belum sempat dilakukan semasa hidupnya pewaris. Dari hasil seluruh pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembagian kewarisan perkampungan Betawi mengutamakan kebijakan positif yang diterima oleh ahli waris dan musyawarah setidak-tidaknya tidak bertentangan dengan hukum Islam karena di dalam KHI pasal 183 membolehkan dengan cara musyawarah dengan menyadari bagiannya masing-masing.
74
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan seluruh pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil suatu kesimpulan, sebagai berikut: 1. Secara garis besar masyarakat perkampungan Betawi sangat memahami tentang waris. Hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara yang menunjukan bahwa masyarakat betawi sudah sangat mengerti dan mengetahui waris. 2. Kewarisan yang berlaku diperkampungan Betawi pada dasarnya berlandaskan kepada hukum fikih, tetapi terhadap yang mereka lakukan dan yang terbiasa mereka menggunakan kebudayaan mereka. Dan lebih memilih budaya mereka yaitu perencanaan waris, membagikan harta ketika orang tua dalam keadaan hidup. 3. Pelaksanaan pembagian waris di perkampungan budaya betawi belum sepenuhnya menggunakan hukum waris Islam, ada sebagian kecil masyarakat yang melihat situasi dan kondisi dalam keluarga mereka dalam membagikan harta waris. Tetapi dilihat dari segi data wawancara sudah sesuai dan mengikuti hukum Islam atau Faraid.
74
75
B. Saran –saran 1. Perlu adanya kurikulum pada setiap madrasah ataupun lembaga pendidikan lainnya tentang tradisi pembagian waris pada tiap-tiap hukum waris adat yang ada. 2. Adanya sosialisasi melalui khutbah-khutbah atau ceramah-ceramah tentang tradisi atau budaya waris dalam Islam dan waris dalam hukum adat. 3. Pembagian harta waris hendaknya dibagi berdasarkan atas kesepakatan keluarga, agar tidak menimbulkan percekcokan dalam pembagiannya, karena masalah warisan adalah masalah muamalah yang bisa diselesaikan dengan cara musyawarah.
DAFTAR PUSTAKA
Muhibbin, Moh dan Wahid Abdul, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Sopyan, Yayan. Islam –Negara, Jakarta: PT Semesta Rakyat Merdeka, 2012. Syarifuddin, Amir. Permasalahan dalam Pelaksanaan Faraid, Padang: IAIN-IB press, 1999. Suparman, Ali. Kewarisan dalam al-Quran, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1995. Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta:Gramedia, 2004. Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat,&BW, Bandung:PT Refika Aditama, 2007. Ramulyo, M Idris. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta:Sinar Grafika, 1994. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Keputusan Seminar Hukum Waris Islam, tanggal 5-8 April. K. Lubis Suhardi dan Simanjuntak Komis. Hukum Waris Islam,Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Ramulyo, M Idris, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan dan Kewarisan Menurut BW, Jakarta:Cv Pedoman Jaya, 1992. Salman R. Otje, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris, 1993. Hasbi Ash-Shiddiqy, Teungku Muhammad. Fiqh Mawaris, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999. Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2007.
76
77
Shaleh Al-Utsaimin, Asy-Syaikh Muhammad ibn. Ilmu Waris Metode Praktis Menghitung Warisan dalam Syariat Islam, Saudi Arabia, 1424 H. Nasution, Amin Husein, Hukum Kewarisan, Jakarta: Rajawali Pers, 2012. Wahid, Abdul. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Abta, Asyhari. Ilmu Waris, Al-Faraidl, Surabaya: Pustaka Hikmah Persada, 2005. Sulaiman, Ahli Waris laki-laki dan perempuan, artikel diakses 9 November 2013 dari http://sulaiman-catatan.blogspot.com//ahli waris laki-laki dan perempuan.html. fatchurrochman, Sistem Waris Desain dan Implementasi, UIN Malang-Press 2007. Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Kementrian Agama, 2001. Ali Ash-Shabuniy, Muhammad. Hukum Waris Islam, Surabaya, 1995. Widyosiswoyo, Supartono. Ilmu Budaya Dasar, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004. Nugraha, ‘’Pengertian Pewaris’’, diakses pada 28 Desember 2013 dari http:nug Raha.corporation.blogspot.com/2011/108/hal-pewaris.html. Hasil Pembahasan Komnas Perempuan dengan Para Ahli Hukum, Hukum Waris Perempuan dan Perwalian anak. Djatnika, Rachmat. Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994. Peters, A.A.G. Hukum dan Perkembangan Sosial, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998. Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa Bandung. Dirdjosisworo, Sudjono, Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali, 1983. Nuruddin, Amiur. Ijtihad Umar Ibn Khattab, Jakarta: Rajawali, 1991. Rosyada. Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1991.
78
Wahhab Khallaf, Abdul. Kaidah –kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000. Saebani, Beni Ahmad. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2008. Az-zuhaili, Wahbah. Konsep Darurat Dalam Hukum Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997. http://makalahkomplit.blogspot.com/2013/01/a-hukum-kewarisan-dalam-kompilasihukum.html diakses pada 6 Januari 2014. Suma, Muhammad Amin. Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks& Konteks, Jakarta: Rajawali Pers, 2013. http://www.lbh-apik-or.id/fact%20%-%20gono-gini.html, diakses pada tanggal 28 Januari 2014. Riansyah, Aris. Tinjauan Hukum Islam terhadap Kewarisan Adat Masyarakat Kampung Betawi di Tasikmalaya, 2009. Aripin, Jaenal dan Lathif, Ah. Azharuddin. Filsafat Hukum Islam Tasyri dan Syari, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006. Shomad, Abd. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana, 2010. Utami Fitri Ningrum, Strategi Meningkatkan Jumlah Pengunjung Perkampungan Budaya Betawi, Universitas Indonesia, 2009.
Wisata
Faradillah ,Konservasi Kawasan Wisata Perkampungan Budaya Betawi, Universitas Pendidikan Indonesia, 2012. Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan, Suku Dinas Kebudayaan Culture Betawi Village. Laporan Bulanan: Desember 2013, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kelurahan Srengseng Sawah Jakarta Selatan. Wawancara Pribadi Bapak Indra, Srengeseng Sawah. Jakarta, 24 November 2013. Wawancara Pribadi Bapak Gumin, Srengseng Sawah, Jakarta, 25 Januari 2014.
79
Wawancara Pribadi Bapak Syahroni, Srengseng Sawah, Jakarta, 24 November 2013.
80
Hasil Wawancara Data Informan Nama : Bapak Indra Alamat: Srengseng Sawah Jakarta Selatan Umur: 45 Tahun Jabatan: Tokoh Betawi Tanggal: 24 November 2013 1. Apa yang bapak ketahui tentang Waris? Jawaban: Sistem atau cara pembagian harta baik harta tanah ataupun harta lainnya. 2. Bagaimana kedudukan anak laki-laki? Jawaban: laki-laki adalah pemimpin dan Umara, maka kedudukan anak laki-laki di lingkungan perkampungan budaya betawi identik dengan Islam yaitu 2:1, ketika ada kenyataan lain dalam lapangan maka hal itu menjadi ketentuan lain. 3. Bagaimana jika ahli waris tidak mempunyai anak? Jawaban: jika tidak ada anak, maka jatuh kepada saudara kalaupun pewaris meningalkan wasiat maka yang sudah diwasiatkan harta tersebut. 4. Bagaimana jika dalam pembagian waris ada anggota yang tidak setuju? Jawaban: pertama, dimusyawarahkan, dijelaskan secara rinci, ketika jalan pertama tidak mampu maka akan naik ke meja pengadilan. 5. Bagaimana pelaksanaan kewarisan di perkampungan budaya betawi?
81
Jawaban: mayoritas masyarakat sudah taat kepada aturan agama, kalau dia orang betawi. Di perkampungan budaya betawi ini tidak semua orang betawi, ada yang menggunakan KUHperdata yaitu sama rata, karena ketika dilapangan ada kebijakan lain maka hal itu menjadi berbeda. Ada juga masyarakat melakukan yang disebut dengan perencanaan waris, menurut saya ini sangat bagus yang dilakukan pembagiannya sebelum pewaris meninggal dunia.
T.td.
Bapak Indra
82
Hasil Wawancara Data informan Nama : Syahroni Alamat: Srengseng Sawah Jakarta Selatan Umur: 47 tahun Jabatan :Masyarakat Tanggal : 24 November 2013 1. Apa yang bapak ketahui tentang Waris? Jawaban : berupa harta yang bergerak dan tidak bergerak waris dari orangtua kepada anak. Yaitu berupa tanah dibagikan sebelum meninggal ataupun masih dalam keadaan sehat dalam keluarga saya. 2. Bagaimana kedudukan anak laki-laki? Jawaban : dua bagiannya, lebih banyak misalkan kakek saya membagikan harta waris kepada anak-anaknya laki-laki mendapatkan lebih banyak karena dilihat kedepannya laki-laki sebagai pemimpin dan juga karena nantinya istri ikut kepada suami 3. Bagaimana jika ahli waris tidak mempunyai anak? Jawaban : saudara atau ke istri. 4. Bagaimana jika dalam pembagian waris ada anggota yang tidak setuju? Jawaban : terkadang ada terjadi perselisihan atau perdebatan yang akan datang ketika harta sudah dibagikan dan orang tua meninggal, kalaupun demikian maka dikasih nasihat
83
orang tersebut dan harus diterima kalau dikasih hak dia. Ketika dibagikan hak anak mendapat 1 hektare tanah maka itu bagian hak anak yang dibagikan. 5. Bagaimana pelaksanaan kewarisan di perkampungan budaya betawi? Jawaban : hampir mendekati adil, sudah hampir mendekati, kalaupun tidak karena orang tua kita dulu hitungan sudah sangat pas-pasan menurut dia adil tapi kalaupun dihitung menurut kita belum tentu.
T. td
Bapak Syahroni