Daftar Isi 1 Salam 2 Surat Pembaca 3 Abstrak 6 Fokus Memaknai Baligh; Cukupkah Diukur dari Sebatas Kematangan Biologis? 14 Opini Zumrotin K.Susilo: Pernikahan Anak Sering Mengabaikan Hakikat Baligh Lies Marcoes Natsir, MA : Dewasa Itu Aqil Baligh, Bukan Hanya Baligh 31 Tafsir Alquran Ustadz Imam Nahe’i, MAg. : Kematangan Biologis, Psikologis dan Sosial Perspektif Alquran 37 Fikrah H. Zudi Rahmanto* : Perempuan Dalam Wacana Tafsir Klasik: Perspektif Tafsir At Tabary 39 Akhwatuna Dian Uswatun Hasanah : Pentingnya Mendampingi Anak di Masa Pubertas 41 Profil Lukman Hadi: Ustadz Pendidik Kespro dari Jombang 43 Kiprah Dari Forum Refleksi dan Evaluasi Program PUP IV Jateng-DIY Saat Ulama Perempuan Dituntut Konkrit Berkiprah Santri Gudiken: Antara Simbol Keabsahan, Kutukan, dan Kesadaran Soal Kebersihan Diri
Rahima Swara
46 Jaringan Pesantren Mamba’ul Huda Kaliabu Salaman Magelang Peka terhadap Kebutuhan Umat 49 Kahzanah Berjuang Membangun Tafsir yang Adil dan Setara Gender 51 Dirasah Hadis Hj Afwah Mumtazah, M.Pd.I : Pemaknaan Baligh versus Dewasa dalam Beragam Konteks 58 Info Melalui JR UU Sisdiknas Masyarakat Dorong Pendidikan Kespro di Sekolah 59 Cerpen Diah Rofika : Hikmah di Balik Pusara Nita 61 Teropong Dunia Daan Dini Khairunnida : Ikhtiar Republik Yaman Akhiri praktik Pernikahan Anak 63 Tanya Jawab KH. Muhyiddin Abdusshomad : Kewajiban Nafkah Suami 65 Refleksi Eka Julaiha, MAg.* : Remaja dan Problem Nilai di Masyarakat
Jl. H. Shibi No. 70 Rt. 007/01 Srengseng Sawah, Jakarta Selatan 12640 Telp. 021-78881272, Fax. 021-7873210 Email:
[email protected] - Website: www.rahima.or.id
Salam
Redaksi PENANGGUNG JAWAB Masruchah PEMIMPIN UMUM KH. Husein Muhammad PEMIMPIN REDAKSI AD. Eridani DEWAN REDAKSI Maman A. Rahman, Mawardi, Nurhayati Aida REDAKTUR PELAKSANA AD. Kusumaningtyas DEWAN AHLI Hj. Hindun Anisah, Hj. Afwah Mumtazah, Dr. Nur Rofiah, Prof. Dr. Saparinah Sadli, KH. Muhyiddin Abdussomad, Nyai. Hj. Nafisah Sahal, Prof. Dr. Azyumardi Azra, Kamala Chandra Kirana, MA, Faqihuddin Abdul Kodir, MA, KH. Helmi Ali, Farha Ciciek PEMBACA KRITIS AD. Eridani ABSTRAK ARAB Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA. ABSTRAK INGGRIS AD. Kusumaningtyas KARTUNIS Basuki DESAIN GRAFIS DAN TATA LETAK Sanis Desain SEKRETARIS REDAKSI Binta Ratih Pelu DOKUMENTASI Ulfah MH KEUANGAN M. Syafran, Mustika DISTRIBUSI Imam Siswoko, Andy Fandiar. SWARA RAHIMA adalah majalah berkala terbitan Perhimpunan RAHIMA untuk memenuhi kebutuhan dialog dan informasi tentang Islam dan hak-hak perempuan. SWARA RAHIMA berusaha menghadirkan fakta dan analisis berita, serta wacana Islam dan hak-hak perempuan. SWARA RAHIMA mengharapkan partisipasi pembaca melalui saran dan kritik. SWARA RAHIMA menanti kiriman tulisan pembaca sesuai dengan visi Rahima. Bagi yang dimuat akan diberi imbalan. Redaksi berhak mengedit semua naskah yang masuk. Semua tulisan menjadi milik redaksi, jika hendak direproduksi harus ada izin tertulis dari redaksi. Lima rubrik dari SWARA RAHIMA (Fokus, Tafsir Alquran, Dirasah Hadis, Fikrah dan Refleksi) diterjemahkan dalam bahasa Inggris, dan dapat diakses di website Rahima, www.rahima.or.id.
No. 49 Th. XV. April 2015
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Pembaca Swara Rahima yang senantiasa dikasihi Allah swt., Alhamdulillah, ungkapan rasa syukur ini selalu patut kita gemakan dan haturkan ke hadirat Allah swt. Azza wa Jalla, Penguasa Semesta Jagad Raya. Limpahan kasih-Nya yang senantiasa menaungi kita selalu memberikan energi tersendiri untuk merenda hari dan menyajikan berbagai pengalaman hidup, kisah-kisah menarik dan inspiratif, pembelajaran, dan pengetahuan baru nan penuh warna. Shalawat dan salam senantiasa kita haturkan kepada junjungan kita, Baginda Nabi Muhammad saw. yang senantiasa mengingatkan bahwa al waqtu ka-as-saifi (waktu itu laksana pedang). Sehingga seringkali tanpa terasa, dunia kanak-kanak yang penuh keceriaan berkembang menjadi remaja, dan lambat laun berubah jadi dewasa. Oleh karenanya istilah ‘baligh’ menjadi penting untuk diungkap dan diulas pada edisi ini. Benarkah ia sebatas perubahan fisik yang ditandai dengan haid atau menstruasi bagi anak perempuan dan mimpi basah bagi anak laki-laki? Benarkah baligh bermakna bahwa seseorang telah siap untuk memasuki kehidupan pernikahan dan mengalami proses reproduksi? Ataukah sejatinya ia hanyalah ‘penanda awal’ dimulainya masa taklief (pemberian beban syariat) ajaran agama, dimana seseorang harus mulai bertanggung jawab pada kehidupan pribadi, dan dalam relasinya dengan Tuhan (hablum minallah) dan kepada sesama manusia (hablum minannaas)? Tentunya soal baligh lebih kompleks dibandingkan sepercik darah haid pertama ataupun selembar Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dewasa, ternyata bukan hanya soal fisik; namun juga terkait soal moral, sosial, ekonomi, terutama bila menyangkut bagaimana harus berelasi dengan pihak lain. Pembaca Swara Rahima yang budiman, Ulasan mendalam Edisi ke 49 yang membincang seputar “Baligh” akan menjadi sajian Redaksi kali ini. Selain di rubrik Fokus, juga pada wawancara Redaksi dengan 2 narasumber senior yakni Zoemrotin K.Soesilo, Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) yang mengajukan permohonan Judicial Review (JR) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menaikkan usia minimum untuk menikah bagi perempuan dari 16 tahun ke 18 tahun, dan Lies Marcoes Natsir, aktivis muslimah dan peneliti tentang berbagai isu Kesehatan Reproduksi. Selain itu, tema-tema senada juga tersaji di berbagai karya Dian UH (Akhwatuna), Eka Julaiha (Refleksi), Daan Dini Khairunnida (Teropong), dan lain-lain. Yang baru dari edisi ini, adalah hadirnya Hj. Afwah Mumtazah dan ustadz Imam Nahe’i, yang melengkapi Tim Pengasuh rubrik Dirasah Hadis dan Tafsir Alquran. Cerpen Diah Rofika berjudul Hikmah di Balik Pusara Nita, juga masih bertutur tentang pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja. Sementara, suplemen kali ini kembali berkisah tentang warna-warni kehidupan remaja pesantren saat mereka mengikuti pendidikan kespro dan pertama kali mengenal ibukota pada salah satu event yang diikutinya. Para pembaca yang tercinta, Melalui media kita tercita majalah Swara Rahima, diharapkan karya-karya kreatif dapat senantiasa dilahirkan dan menjadi ajang untuk membangun pengetahuan bersama. Melalui kontribusi tulisan Anda di meja Redaksi, upaya kita memperjuangkan kesetaraan dan keadilan di muka bumi insyaallah bisa terlaksana. Selamat membaca! ___Wassalam___
Swara Rahima - 1
Surat Pembaca Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. Redaksi Swara Rahima yang terhormat, Swara Rahima adalah salah satu bahan bacaan yang selalu menjadi referensi kami mitra Rahima di berbagai ceramah. Saya usul agar Swara Rahima juga menampilkan tema tentang Perempuan dalam Sejarah NKRI, agar masyarakat tahu peran-peran perempuan pada masa perjuangan terutama jika dikaitkan dengan perempuan di pondok pesantren. Misalnya sejarah Nyai Kapu dari pondok pesantren Salafiyah, Kapurejo, Pagu, Kediri, atau yang lainnya. Terima kasih
Assalamu ‘alaikum Wr.Wb. Redaksi Swara Rahima, bolehkah saya membeli Swara Rahima edisi No. 48 Th. XV Maret 2015. tentang Kesehatan Reproduksi dalam Pendidikan Pesantren dan Madrasah. Menurut Ibu Saparinah Sadli, isinya bagus dan menarik, membuat saya selalu bangga atas kerja keras adik-adikku sayang di Rahima. Terima kasih.
Naylal Muna 085790222xxx Kediri
Redaksi; Wa’alaikum salam. Terimakasih Bu Ninuk atas apresiasinya. Semoga semakin memotivasi kami untuk mendalami isu kesehatan reproduksi. Tentu Ibu bisa membelinya dan agar tidak ketinggalan, kami akan sangat senang bila Ibu turut berlangganan. Untuk biaya berlangganan Swara Rahima 1 tahun Rp 100.000 (Pulau Jawa) dan Rp 120.000 (Luar Jawa), untuk (4 edisi) sudah termasuk ongkos kirim; dapat dikirim ke No. Rek. 129-00105660 an. Aditiana Dewi Eridani. Bukti pengiriman bisa dikirim melalui fax. ke no.021-7873210 atau di-scan dan diemail ke
[email protected] disertai alamat lengkap. Majalah akan langsung kami kirim ke alamat tersebut.
Redaksi; Wa’alaikum salam, Nayla. Terimakasih atas ide cemerlangnya. Bila Nayla simak, setiap edisinya pasti Swara Rahima juga menampilkan peran historis perempuan Indonesia, baik di masyarakat umum maupun di komunitas muslim yang dikaitkan dengan tema-tema yang diangkat. Mudah-mudahan, suatu hari kami bisa mengabulkan harapan Nayla sebagai bahan refleksi gerakan perempuan kita, ya. Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. Belum lama ini saya menjadi pelanggan Swara Rahima, karena tertarik dengan harga majalah yang murah serta isi majalahnya yang penuh dengan rubrik-rubrik menarik. Saya berharap wara Rahima bisa mengadakan pelatihan jurnalistik, karena pelatihan ini sangat dibutuhkan oleh generasi muda agar mengenal dunia jurnalistik dan media. Sukses selalu untuk Swara Rahima! Wassalam. Nadia di Depok 08561412XXX Redaksi; Wa’alaikum salam Wr. Wb. Terimakasih Nadia sudah menjadi pelanggan juga pembaca setia Swara Rahima. Secara spesifik, Rahima memang belum pernah mengadakan pelatihan jurnalistik bagi masyarakat umum. Namun, jika Anda ingin mengajukan permohonan kerjasama pada Rahima, akan kami pertimbangkan.
Salam Ibu Ninuk Widiantoro- YKP 081684XXXX
Kepada Yth, Swara Rahima. Pertama kali saya membaca Swara Rahima saat mengikuti acara debat siswa yang diadakan tahun 2010 di Bekasi. Jujur, saya belum pernah mengenal Swara Rahima itu sendiri. Kesan pertama ketika membaca Swara Rahima edisi Maret 2010 tentang Menyimak Tabir Kesehatan Reproduksi Remaja, dengan bahasa yang lugas, fakta, akurat dan menangkap tabir yang dulu dibilang tabu menjadi lebih menarik untuk kita bahas dan pelajari. Majalah ini ini patut dibaca karena mengulas pendidikan publik, fakta di lapangan dan pemahaman keagamaan. Tetap berkarya demi masa depan kehidupan remaja Indonesia baik laki-laki maupun perempuan. Good Luck. Salam Risma Nur Azizah- Ciamis Redaksi; Terima kasih Risma, atas apresiasi dan menaruh harapannya kepada Swara Rahima. Semoga Swara Rahima selalu hadir untuk memenuhi harapan para pembacanya.
Surat pembaca Swara Rahima dapat dialamatkan ke email:
[email protected] atau HP. 0812 1046 676
2 - Swara Rahima
No. 49 Th. XV. April 2015
Abstrak
Kedewasaan seringkali ditandai dengan pertambahan usia seseorang dan perkembangan kejiwaan menjadi lebih matang. Kedewasaan bukan hanya berupa perubahan fisik, (yang pada perempuan ditandai dengan menstruasi dan pada laki-laki ditandai dengan mimpi basah) namun, kedewasaan meniscayakan adanya tanggung jawab dan kesanggupan memainkan beragam peran sosial yang membutuhkan kesiapan baik fisik, mental, ekonomi dan sosial.
F
iqh mengenal istilah ‘baligh’ yang berarti ‘sudah sampai’ pada kesanggupan untuk menjalankan tanggung jawab. Istilah baligh seringkali disandingkan dengan kata ‘aqil,’sehingga menjadi ‘akil baligh yang menjadi persyaratan bagi seseorang untuk dapat menjalankan tanggungjawab tertentu atau yang diistilahkan dengan taklief (pembebanan hukum syara’). Sebelum memasuki masa ‘aqil baligh, seseorang akan memasuki masa tamyiz terlebih dahulu, sehingga dia disebut mumayyiz yang artinya memiliki informasi untuk memilah yang baik dan yang buruk. Kesanggupan untuk memilih yang baik dan yang buruk, akan mengantarkan seseorang yang telah ‘aqil baligh menjadi sesosok pribadi yang bertanggung jawab. Mengingat tidak ada batasan yang pasti tentang kapan atau pada usia berapa tepatnya seseorang disebut dewasa, maka berbagai aturan hukum yang ada juga berbeda dalam menentukan batas kedewasaan. Hukum adat, misalnya menyebutkan bahwa seseorang yang telah kuat gawe (sanggup bekerja sehingga dapat hidup mandiri) adalah sosok dewasa. Berbagai aturan Fiqh Munakahat (Fiqh Perkawinan)
No. 49 Th. XV. April 2015
menyebutkan bahwa salah satu persyaratan seseorang (terutama perempuan) untuk menikah adalah baligh – yang seringkali hanya ditafsirkan pada ukuran fisik yakni setelah perempuan menstruasi dan dipandang bisa bereproduksi – meskipun secara mental dan sosial bakan ekonomi dia belum cakap telah mendorong banyaknya praktik pernikahan anak. Apalagi, Fiqh juga tidak secara definitif menyebutkan usia berapa seseorang dianggap telah baligh dan layak untuk berumah tangga. Misalnya Al-Auza’i, Ahmad, Syafi’i, Abu Yusuf, dan Muhammad berkata,”Bilamana ia telah berusia lima belas tahun, maka ia sudah dikatakan baligh”. Sementara para shahabat Imam Malik mempunyai 3 (tiga) pendapat : 1) Tujuh belas tahun, 2) Delapan belas tahun, dan 3) Lima belas tahun. Sedangkan pendapat Abu Hanifah ada dua riwayat : 1)Tujuh belas tahun dan 2) Delapan belas tahun; dan bagi anak perempuan itu tujuh belas tahun. Daud dan para shababatnya berpendapat,”Tidak ada batasan usia. Yang bisa dijadikan batasan adalah ihtilaam, inilah yang dipandang sebagai pendapat kuat, karena tidak ada pembatasan dari Rasulullah saw. sedikitpun”. Dengan demikian, sangat wajar bila hukum perkawinan di berbagai negara,
terutama di negara-negara berlatar belakang muslim yang kuat tidak dijumpai aturan yang seragam mengenai usia minimum untuk bisa menikah. Dengan alasan budaya dan agama, kerapkali masyarakat seringkali menutup mata atas nasib perempuan korban praktik pernikahan anak. Padahal Konvensi Hak Anak menyebutkan, usia di bawah 18 tahun adalah usia anak. Jika terjadi pernikahan anak, dimana organ reproduksinya belum siap, maka mereka bisa mengalami perdarahan di alat reproduksinya, hamil di usia yang sangat muda, bahkan meninggal di saat melahirkan. Karena hal tersebut, pemerintah Republik Yaman menaikkan usia minimum untuk menikah bagi perempuan menjadi 18 tahun. Harusnya pengalaman Republik Yaman tersebut menjadi pembelajaran terutama bagi pemerintah kita untuk menghapuskan praktik pernikahan anak. Sesungguhnya, tidak adanya teks yang definitif mengenai kapan seseorang dianggap baligh dalam teks-teks klasik adalah kesempatan bagi kita untuk menunjukkan bahwa alIslamu shaalihun fi kulli makaanin wa zamaanin (ajaran Islam itu benar sesuai konteks tempat dan waktunya). Ini adalah kesempatan kita untuk melakukan reinterpretasi makna baligh dalam konteks kekinian, dalam rangka menjawab kemaslahatan umat, dan lebih memahami perspektif hak-hak asasi manusia. Hak perempuan dan hak anak, di antaranya. {}
Swara Rahima - 3
Abstract Maturity is often signed by the increasing number of somebody’s age and his/her psychological development. It is not merely a physical change (which is signed by the menstruation for women and wet dream for men), but maturity necessitates somebody’s responsibility and ability to play various social role which need physical, mental, economic, and social readiness.
T
he Fiqh introduce ‘baligh’ which mean ‘reach puberty’ and deliver somebody to ability to perform his or her responsibility. The ‘baligh’ term is almost always juxtaposed with term ‘aqil’, so it become ‘aqil baligh’ which requires somebody to perform certain responsibilities or which is known as taklief (to burden somebody with shariah law). Before reaching the ‘aqil-baligh phase, somebody will deliver to the tamyiz phase, therefore he/ she will be called as mumayyiz that means having enough information to distinguish between the good one and the bad one. The ability to choose between the good one and the bad one, will deliver an ‘aqilbaligh person to be a responsible personality. Due to the absent of the strict limitation on when or at what age exactly somebody will be called ‘mature’, then various existing laws also distinguish the limitation of the maturity. The customary law, for example defined that someone who have been able to work (kuat gawe) and then able to be independent as a mature person. Some rules in the Fiqh Munakahat (Islamic Jurisprudence on the Marriage Law) stated that one
4 - Swara Rahima
of terms and conditions that somebody (especialy a woman) to get marry is when she had been baligh (which is often interpreted as reaching puberty in the very physical signs such as after having menarche (first menstrual period) and able to be reproductive; although she had not reach her mental, social readiness) had encourage the child marriage practices. Furthermore, the Fiqh provision never mention clearly at how old somebody had been perceived as baligh and ready to build a family. For example Al-Auza’i, Ahmad, Syafi’i, Abu Yusuf, and Muhammad said, “When somebody reached 15 years old, so he/she can be called as baligh. While, the companion of Imam Malik has 3 opinions. 1) 17 years old; 2) 18 years old, and 3) 15 years old. While Abu Hanifah narrated 2 opinions: 1) 17 years old and 2) 18 years old for boys, and 17 years old for girls. Daud and his companions said, “There is no limit age. Which can be considers as the sign is the ihtilaam (wet dream); and this is perceived as the strong opinion because there is no certain limit from the Prophet at all.” Thus, it is fair why some marriage law in many countries, especially in predominantly muslim countries
the rules of minimum age of marriage can’t be found in the uniform age. In the name of culture and religion, public often close their eyes regarding the fate of a girl child victim of child marriage. Eventhough the Children Rights Convention mentioned that age before 18 years old is considered as a child. When a girl child marriage happened, which her reproductive organs had not been ready yet she will have a bleeding in her reproductive organs, or she will get pregnant in her very young age, or event dying when she gave birth. Because of those reason, the government of the Republic of Yemen will increased the minimum age of marriage for the bride at 18 years old. The Yemeni experience should become a lesson learned for our government to eliminate the child marriage practices. Indeed, the absent of definitive text on when somebody can be considered as baligh in the Islamic classical text-book will become our opportunity to show that Islamic teaching is true in accordance to the context of the space and time. This is also our opportunity to interpret the meaning of baligh in the current context, in order to solve the problems of the ummah (society) and to consider the human rights perspective. Including women’s rights and children rights, of course. {}
No. 49 Th. XV. April 2015
الملخص سنالبلوغ والرشد تتسم بزيادة عمر أحد وتطوره النفسي ليصبح أكثر نضجا .والبلوغ ليس مجرد التغير في الجسم، (ويتسم بلوغ المرأة بالحيض وبلوغ الذكر باالحتالم) ،وإنما يقتضي البلوغ تح ّم َل المسئولية واالستطاعة أو المقدرة على أداء عدة أدوار اجتماعية تحتاج إلى استعدادات جسمية وعقلية واقتصادية واجتماعية على حد سواء. يعرف في الفقه اإلسالمي مصطلح «البالغ» ليدل على معنى وصول أحد إلى استطاعة أو مقدرة على تح ّمل مسئولية وأدائها .وكثيرا ما يقترن مصطلح «البالغ» بالعقل ،حتى يصبح عاقال بالغا ،وهما شرط للمرء أن يتمكن من تحمل مسئولية معينة أو ما يسمى بالتكليف (تكليف األحكام الشرعية) .وقبل وصول إلى سن البلوغ، وصل المرء مسبقا في مرحلة التمييز ،مما يسمى مميّزا ،والمميز هو الذي يمتملك معلومات كافية الختيار ما هو خير له وما هو شر .والقدرة على اختيار ما بين الخير والشر تقوده إلى أن يكون عاقال بالغا ،ويصبح شخصا متحمل المسئولية. علما بأنه ال ح ّد جازم وثابت بشأن سن البلوغ (متى أو في عمر وصل أحد البلوغ) ،اختلفت عدة لوائح قانونية في تحديد سن البلوغ .فعلى سبيل المثال أن القانون العرفي ينص على أن المرء الذي قد استطاع الباءة (االشتغال بمهنة ما حتى يتمكن من توفير معيشته الذاتية) هو البالغ الراشد .وتنص عدة لوائح فقه المناكحة على أن أحد الشروط للمرأة على وجه الخصوص لجواز النكاح هو البلوغ – الذي يفسَّر كثيرا بالنظر إلى الجانب الجسمي، وهو بعد أن حاضت المرأة ،ويعتبر أنها قد تمكنت من التناسل رغم أنـها لم تكن لها مقدرة عقلية واجتماعية بل واقتصادية .و قد أدىذلك إلى كثير من ممارسة النكاح في سن األوالد ،وفضال عن أن الفقه اإلسالمي لم يذكر بشكل محدد عمر المرء الذي يعتبر بالغا والئقا للنكاح. وقال األوزاعي وأحمد والشافعي وأبو يوسف ومحمد على سبيل المثال« :إن المرء إلى وصل إلى خمس عشرة سنة ،فإنه قد بلغ» .في حين أن أصحاب اإلمام مالك كان لهم ثالثة أقوال (آراء) ،وهي سن البلوغ ( )1سبع عشرة سنة ،و( )2ثماني عشرة سنة ،و( )3خمس عشرة سنة .وألبي حنيفة رأيان في سن البلوغ هما ( )1سبع عشرة سنة ،و( )2ثماني عشرة سنة للذكر ،ولألنثى سبع عشرة سنة .رأى داود وأصحابه أنه ليس للبلوغ ّ سن محددة .والذي يعتبر حدا هو االحتالم ،وهذا هو الرأي الراجح ،ألنه ال ح ّد في ذلك بشيء من الرسول صلى هللا عليه وسلم .وفي ضوء ما سبق أنه من المعقول أن قانون النكاح والزواج في معظم الدول ،وال سيما الدول المسلمة ،لم ينص فيه على الئحة مشتركة في السن األدنى للنكاح. وبناء على مبررات ثقافية ودينية ،قد ال يبالي أفراد المجتمع مأساة المرأة كضحية لممارسة النكاح في سن األوالد .والحق أن اتفاقية حقوق األوالد تنص على أن السن دون ثمانية عشر سنة هي سن األوالد .فإذا حدث النكاح في سن األوالد ،بحيث أن جهاز البنات التناسلي لم يستع ّد بعد ،فإنـهن يعانين من دامية جهازهن التناسلي، وبالتالي الحمل في سن مبكرة ،بل ويعانين من الوفاة أثناء الوالدة .ولذلك أثبتت حكومة الجمهورية اليمنية زيادة أدنى سن لنكاح المرأة ليصبح عمرها ثماني عشرة سنة .ومن المفروض أن تكون خبرة الحكومة اليمنية دروسا قيمة لحكومتنا من أجل إلغاء ممارسة النكاح في سن األوالد. حقا إن عدم نص ثابت وجازم على سن يعتبر فيه المرء بالغا في النصوص الكالسيكية عبارة عن فرصة مفتوحة لنؤكد على أن اإلسالم صالح لكل زمان ومكان .وهذه هي الفرصة لنا إلعادة تفسير معنى البلوغ في سياق حياتنا المعاصرة وفي إطار تلبية مصالح األمة ،ولترقية فهمنا بشكل أفضل لحقوق اإلنسان ،بما فيها حقوق المرأة وحقوق األوالد .وهللا أعلم. Swara Rahima - 5
No. 49 Th. XV. April 2015
Fokus
Memaknai Baligh; Cukupkah Sebatas Kematangan Biologis? Sweet Seventeen! Itu adalah dua kata yang manis yang seringkali ditunggu-tunggu para remaja untuk menegaskan identitas mereka, tepat di saat mereka berusia 17 tahun. Mengapa? Karena pada saat mereka berusia 17 tahun tersebut ada beragam momen spesial yang biasa terjadi. Mereka bisa mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP), sudah boleh membuat Surat Izin Mengemudi (SIM), esok harinya sudah bisa pergi ke bioskop atau menonton film yang ada banderolnya ‘untuk 17 tahun keatas’, dan biasanya mulai berani menyatakan kalau punya someone special. Mereka juga sudah boleh ikut Pemilu, dalam arti berhak ikut memberikan suara atau nyoblos di Pileg, Pilpres, dan Pilkada. Artinya angka 17 tahun bagi mereka, dipandang sebagai ‘angka keramat’ untuk menunjukkan eksistensi bahwa mereka sudah dewasa.
T
api eits,… nanti dulu. Benarkah mereka sudah layak disebut dewasa? UU No. 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” dimana batas umur 18 tahun ini sama persis dengan rumusan Konvensi Hak Anak.1 Artinya sebenarnya seseorang yang masih berusia 17 tahun, tetaplah dikategorikan sebagai anak. Namun, pada kenyataannya di dalam masyarakat masih saja dijumpai mereka yang masih dikategorikan dalam usia anak telah menikah. Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu, Anis Fuadz menyatakan bahwa di daerah tersebut ratusan anak, terutama perempuan, sudah menikah sebelum usianya mencapai 16 tahun. ”Bahkan ada beberapa anak yang menikah di bawah umur 13 tahun,”’ terang Anis. Anis menyebutkan, jumlah perkara pernikahan di bawah umur tahun 2014 mencapai lebih dari 100 anak. Pada tahun sebelumnya, jumlah anak yang menikah di bawah umur malah berkisar antara 250-300 anak.2 Fakta tersebut tentu tidak sesuai dengan aturan yang ada pada UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang menyebutkan batas usia perkawinan untuk calon pengantin perempuan minimal 16 tahun dan laki-laki
6 - Swara Rahima
19 tahun; yang artinya masih membuka ruang bagi seorang calon mempelai perempuan untuk menikah saat dia masih dikategorikan dalam usia anak. Di sisi lain, banyak ABG yang meskipun usianya masih terkategori sebagai anak, namun sanggup melakukan kejahatan seperti yang dilakukan oleh orang dewasa dan membahayakan nyawa manusia; seperti terlibat dalam pencurian kendaraan bermotor (curanmor) yang belakangan lebih dikenal dengan istilah begal motor di berbagai tempat atau terlibat dalam kejahatan trafficking seperti yang terjadi di Kalimantan Barat yang dilakukan oleh Mon, ABG 14 tahun yang tega memperdaya dan menjual 32 orang teman sebayanya sendiri kepada laki-laki dewasa.3 Sanggupkah anak-anak ini hidup dalam ikatan pernikahan yang meniscayakan tanggung jawab sebagai suami istri bahkan kelak sebagai orang tua, jika pernikahan yang mereka lakukan karena terpaksa atau dipaksa oleh keadaan (telanjur hamil atau dipaksa oleh orang tua untuk menutup aib keluarga atau setidaknya kekhawatiran bahwa mereka akan berzina; atau karena faktor budaya seperti ketakutan anaknya akan dianggap sebagai perawan tua maupun faktor ekonomi untuk memindahkan beban tanggung jawab dari orang tua ke pundak suaminya) dan bukan
No. 49 Th. XV. April 2015
Fokus
keinginan mereka? Bisakah mereka lepas tangan begitu saja setelah melakukan tindakan menghilangkan nyawa orang saat membegal motornya? Mereka anak-anak yang naïf. Lalu apakah orang dewasa yang harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatan mereka? Apakah tanda kedewasaan mereka cukup diukur dengan baligh yang selama ini hanya dimaknai sebatas ciri perubahan fisik semisal menstruasi bagi perempuan dan mimpi basah bagi laki-laki semata? Kita patut untuk secara dalam merenungkannya. Memahami Perspektif
Soal
Kedewasaan
dari
Beragam
Menurut Wikipedia, istilah ‘dewasa’ menggambarkan segala organisme yang telah matang, tapi lazimnya merujuk pada manusia: orang yang bukan lagi anak-anak dan telah menjadi pria atau wanita dewasa.4 Masa dewasa merupakan salah satu fase dalam rentang kehidupan individu setelah masa remaja. Pengertian masa dewasa dapat ditinjau dari berbagai segi, yaitu: 1. Sisi biologis, masa dewasa dapat diartikan sebagai suatu periode dalam kehidupan individu yang ditandai dengan pencapaian kematangan tubuh secara optimal dan kesiapan untuk bereproduksi (berketurunan). 2. Sisi psikologis, masa dewasa dapat diartikan sebagai periode dalam kehidupan individu yang ditandai dengan ciri-ciri kedewasaan atau kematangan, yaitu : a) Kestabilan emosi (emotional stability), mampu mengendalikan perasaan tidak lekas marah, sedih, cemas, gugup, frustasi, atau tidak mudah tersinggung. b) Memiliki sense of reality (kesadaran realitasnya) cukup tinggi mau menerima kenyataan, tidak mudah melamun apabila mengalami kesulitan, dan tidak menyalahkan orang lain atau keadaan apabila menghadapi kegagalan. c) Bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang berbeda, d) Bersikap optimis dalam menghadapi kehidupan. 3. Sisi pedagogis, masa dewasa ini ditandai dengan: a) Rasa tanggungjawab (sense of responsibility) terhadap semua perbuatannya, dan juga terhadap keperduliannya memelihara kesejahteraan hidup dirinya sendiri dan orang lain. b) Berperilaku sesuai
No. 49 Th. XV. April 2015
dengan norma atau nilai-nilai agama. c) Memiliki pekerjaan yang dapat menghidupi diri dan keluarganya. d) Berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat.5 Dalam melihat apakah seseorang sudah dewasa atau belum dapat dilihat dari unsur kedewasaan, antara lain: Pertama, indikator utama untuk menentukan kedewasaaan secara hukum adalah adanya kewenangan pada seseorang untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, tanpa bantuan orang tua ataupun wali. Kedua, seseorang yang telah dewasa dapat dibebani tanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukannya. Ketiga, Batasan usia tersebut harus merupakan pengaturan bagi perbuatan hukum secara umum, bukan untuk perbuatan hukum tertentu saja.6 Dari beberapa ukuran yang umum digunakan adalah keseimbangan mental dan kemapanan sosial sebagai indikator kedewasaan, sedangkan hukum pada umumnya mengukur suatu kedewasaan dengan patokan usia dan tindakan perkawinan dan Hukum Islam menentukan kedewasaan dari tanda/ciri biologis tertentu untuk menentukan seseorang telah memasuki fase “akil baligh”, misalnya pada laki-laki ditandai dengan mimpi basah (ejaculation) sedangkan perempuan ditandai dengan datangnya masa haid (menstruasi). Dalam perspektif adat Jawa istilah kedewasaan relevan dengan istilah ”kemandirian” yang artinya mampu untuk mengurus kepentingannya sendiri secara bertanggung jawab atau dikenal dengan istilah ”mencar” dan ”kuat gawe”. Pada umumnya masyarakat adat memandang seseorang dianggap telah dewasa jika telah mampu memelihara kepentingannya sendiri. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh beberapa pakar hukum adat antara lain: a) Ter Haar, dewasa adalah cakap (volwassen), sudah kawin dan hidup terpisah meninggalkan orang tuanya; b) Soepomo, dewasa adalah kuwat gawe,cakap mengurus harta keperluannya sendiri; c) Djojodigoeno, dewasa adalah secara lahir, mentas, kuwat gawe, mencar, volwassen, d) Wayan P. Windia, ahli hukum adat Bali dari FH Universitas Udayana menyatakan bahwa pada hukum adat Bali, jika seseorang telah mampu negen (nyuun) sesuai beban yang diujikan, mereka dinyatakan loba sebagai orang dewasa. Misalnya, ada warga yang
Swara Rahima - 7
Fokus
mampu negen kelapa delapan butir atau nyuun kelapa enam butir. Ia otomatis dinyatakan sudah memasuki golongan orang dewasa.7 Kedewasaan secara yuridis selalu mengandung pengertian tentang adanya kewenangan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa adanya bantuan pihak lain. Apakah ia, orang tua si anak atau wali si anak. Jadi seseorang adalah dewasa apabila orang itu diakui oleh hukum untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, dengan tanggung jawab sendiri atas apa yang ia lakukan jelas disini terdapatnya kewenangan seseorang untuk secara sendiri melakukan suatu perbuatan hukum. Namun, selama ini kedewasaan yang lebih akrab dengan istilah baligh seringkali dilihat hanya dari sisi biologis semata. Balighnya seorang anak perempuan ditandai dengan menstruasi pertama yang dia alami; yang kini secara variatif dialami oleh anak perempuan berusia antara 10-14 tahun. Sementara anak laki-laki dianggap baligh apabila dia telah mengalami ihtilam (mimpi basah) yang berarti vas deverens-nya telah mulai menghasilkan sperma. Memang, jika anak perempuan telah haid, artinya indung telurnya telah menghasilkan sel telur (ovum) yang bisa dibuahi. Begitu pula, seorang anak laki-laki yang telah baligh telah berpotensi untuk bisa membuahi sel telur perempuan. Pada masa yang
sering disebut dengan pubertas ini, seringkali remaja laki-laki dan remaja perempuan memang mulai tertarik atau menyukai lawan jenisnya. Akan tetapi, bukan berarti mereka sudah siap untuk menikah dan bereproduksi. Mengingat, perempuan yang masih berusia di bawah 18 tahun rahimnya masih belum kuat, rentan mengalami kanker leher rahim bila dia bereproduksi dan melahirkan dalam usia yang masih sangat muda sehingga rentan mengalami kematian saat melahirkan. Begitu pula, bila anaknya lahir selamat seringkali bayinya akan mengalami Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).8 Oleh karenanya, bila kesehatan dimaknai sebagai kesejahteraan fisik, mental, dan sosial; dalam konteks kesehatan reproduksi semestinya baligh tidak saja dimaknai tentang kematangan fisik sebagai tanda memasuki masa dewasa namun hendaknya juga kematangan mental dan sosial. Batas Dewasa dalam Berbagai Aturan Hukum Positif Kita Meskipun kita telah mendapatkan kesimpulan sementara, bahwa orang dewasa tidak hanya orang yang telah mengalami kematangan dalam hal fisiknya saja namun juga telah mampu untuk menerima beban dan tanggung jawab sosial serta dipandang cakap untuk melakukan tindakan hukum, kenyataannya aturan hukum positif kita menentukan berbeda-beda tentang batas usia dewasa. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau yang dalam istilah hukum seringkali dikenal dengan Bergelijk Wetboek (BW) dinyatakan bahwa usia dewasa diatur dalam pasal 330 KUHPerdata yaitu; “ Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu (21) tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu (21) tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada di perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini.9 Sementara, pandangan hukum Islam mengenai batas kedewasaan ini juga diadopsi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 98 ayat 1, Bab XIV tentang pemeliharaan anak; “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah dua puluh satu tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum
8 - Swara Rahima
No. 49 Th. XV. April 2015
Fokus
pernah melangsungkan perkawinan”. Artinya; dewasa ketika sudah berumur 21 tahun atau sudah kawin, tidak cacat atau gila, dan dapat bertanggungjawab atas dirinya. 10 Kedua aturan ini sejatinya menunjukkan bahwa negara telah memandang bahwa 21 tahun lah seseorang dapat dipandang sebagai dewasa dan cakap untuk melakukan tindakan hukum. Meskipun tak dapat dipungkiri, bahwa negara masih memberikan ruang untuk menikah sebelum mereka benar-benar dapat disebut dewasa. Hal ini tak lepas dari adanya ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah ditentukan batas umur untuk melangsungkan perkawinan bagi pria maupun wanita, yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.11 Sebenarnya, pembatasan umur untuk melaksanakan perkawinan ini dimaksudkan sebagai pencegahan terhadap perkawinan yang masih di bawah umur. Namun, apabila batasan minimum bagi anak perempuan untuk menikah adalah 16 tahun, berarti sejatinya negara masih membuka ruang bagi terjadinya praktik pernikahan anak. Sementara Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tertanggal 13 Oktober 1976 No.477/K/Pdt, secara tegas menyatakan bahwa yang batasan usia dewasa ialah 18 tahun.12 Kenyataannya, pandangan yang beragam ini juga berimplikasi pada bervariasinya batasan usia anak dalam berbagai aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Beberapa undang-undang seperti UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (dalam konteks isu perwalian), UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, pada umumnya menyatakan bahwa usia anak adalah di bawah 18 tahun; dimana secara eksplisit mereka yang berusia di atas 18 tahun dianggap telah dewasa. Namun, selain KHI yang menetapkan bahwa usia dewasa adalah 18 tahun ke atas, SK Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) No. Dpt.7/539/7-77, tertanggal 13-7-
No. 49 Th. XV. April 2015
1977 mengkatagorikan istilah dewasa dalam berbagai katagori, Mengenai soal dewasa dapat diadakan pembedaan dalam hal a) dewasa politik, misalnya adalah batas umur 17 tahun untuk dapat ikut Pemilu; b) dewasa seksual, misalnya adalah batas umur 18 tahun yang idealnya menjai batasan minimal usia untuk dapat melangsungkan pernikahan; dan c) dewasa hukum. Dewasa hukum dimaksudkan adalah batas umur tertentu menurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak dalam hukum.13 Oleh karenanya, dapat dimengerti bila beberapa undang-undang yang lain tidak seragam dalam menentukan batas minimal seseorang dipandang cakap untuk melakukan tindakan hukum. Contohnya, dalam Pemilu misalnya menurut pasal 1 ayat (22) UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah dinyatakan bahwa pemilih adalah warga negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.14 Hal senada juga tampak dari aturan dalam UU No.2 tahun 2009 tentang Angkutan Jalan, bahwa ketentuan untuk bisa mengemudi adalah dengan terlebih dahulu mendapatkan Surat Izin Mengemudi adalah berusia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D. 15 Sementara itu, Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2007 mengatakan saksi nikah harus baligh, sekurang-kurangnya berumur 19 tahun.16 Ketentuan terbaru dari Menteri Agraria melalui Surat Edaran No.4/ SE/ I /2015 tentang Batas Usia Dewasa dalam Rangka Pelayanan Pertanahan menetapkan usia dewasa untuk dapat melakukan perbuatan hukum di bidang pertanahan adalah paling kurang 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin. 17 Dewasa dalam Beragam Perspektif Wacana Keislaman Dalam wacana fiqh dikenal istilah baligh. Baligh dapat dimaknai sebagai sebuah masa dimana seorang mulai dibebani (dikenai taklif) dengan beberapa hukum syara’. Oleh karena tuntutan hukum itulah orang tersebut dinamakan mukallaf. Sebenarnya tidak semua baligh disebut mukallaf, karena ada sebagian baligh yang tidak dapat dibebani hukum syara’ seperti
Swara Rahima - 9
Fokus
orang gila. Disinilah kemudian muncul istilah aqil baligh yaitu orang yang telah mencapai kondisi baligh dan berakal sehat (mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah).18 Dengan kata lain, seseorang yang sudah baligh dibebani hukum syara’ apabila ia berakal dan mengerti hukum tersebut. Orang bodoh dan orang gila tidak dibebani hukum karena mereka tidak dapat mengerti hukum dan tidak dapat membedakan baik dan buruk, maupun benar dan salah. 19 Pendapat lain mengatakan bahwa baligh secara bahasa berarti sampainya seorang anak pada usia melaksanakan kewajiban agama. Sementara definisi fiqh untuk baligh itu sendiri adalah berakhirnya masa kanak-kanak seseorang dan sampai pada usia dimana ia telah memiliki kesiapan untuk melaksanakan kewajiban dan konsisten untuk melaksanakan hukum syariat (Jawahir al-Kalam, 26/4). 20 Ada beragam pandangan mengenai tanda-tanda Baligh. Menurut kitab Safinatun Najah, tanda-tanda baligh ada 3: 1) Genap berusia 15 tahun bagi laki-laki maupun perempuan 2) Mimpi basah, baik bagi lakilaki maupun perempuan, dan 3) Haid bagi perempuan yang telah berumur 9 tahun.21 Pandangan-pandangan lain juga senada, yang intinya adalah ditandai dengan menstruasi (haid) bagi anak perempuan dan mimpi basah (ihtilam) bagi anak-laki-laki. Tanda-tanda fisik lainnya yang disebutkan adalah tumbuhnya bulu-bulu di ketiak dan di sekitar kemaluan. Ada 2 teks Alquran yang seringkali dijadikan dasar mengenai ajaran soal baligh ini, terutama terkait penggunaan kata shalihin (QS. An Nur: 32) dan rusydan (QS. An Nisa’: 6) untuk menunjukkan kedewasaan seseorang.
صالِ ِحينَ ِمنْ ِعبَا ِد ُك ْم َّ َوأَن ِك ُحوا ْالَيَا َم ٰى ِمن ُك ْم َوال َّ َوإِ َمائِ ُك ْم ۚ إِن يَ ُكونُوا فُقَ َرا َء يُ ْغنِ ِه ُم ۗ ضلِ ِه ْ َللاُ ِمن ف َّ َو اس ٌع َعلِي ٌم ِ للاُ َو Artinya : “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin,
10 - Swara Rahima
Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nur: 32) Dalam tafsir Al-Maraghi, kata wasshalihin dimaknai sebagai laki-laki atau perempuan yang mampu untuk menikahi dan menjalankan hak-hak suami istri, seperti berbadan sehat, mempunyai harta, dan lainlain. Quraysh Shihab menafsirkan wassalihin, yaitu seseorang yang mampu secara mental dan spiritual untuk membina rumah tangga, bukan dalam arti taat beragama, karna fungsi perkawinan memerlukan persiapan, tidak hanya materi, tetapi juga kesiapan mental maupun spiritual, baik bagi calon suami maupun calon istri. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa indikator kesehatan mental seseorang itu sangat berkaitan dengan usia seseorang. Secara logika umum, orang yang sehat mental dan dewasa adalah orang yang usianya lebih dari anak-anak atau dapat dikatakan, matang secara kejiwaan dan pemikiran. Kata Shalihin, memberi petunjuk bahwa pernikahan dalam Islam memiliki syarat meskipun bersifat umum. Kedewasaan dan kematangan identik dengan usia seseorang. Kata Shalihin sebagai cikal bakal dalam proses penetapan usia baligh sebuah pernikahan.22 Istilah lain yang dipakai untuk menentukkan tanda kedewasaan adalah rusydan. Penggunaan istilah ini terdapat dalam QS. An Nisa’: 6 seperti termaktub di bawah ini.
ستُم ْ َاح فَإِنْ آن َ َوا ْبتَلُوا ا ْليَتَا َم ٰى َحتَّ ٰى إِ َذا بَلَ ُغوا النِّ َك شدًا فَا ْدفَ ُعوا إِلَ ْي ِه ْم أَ ْم َوالَ ُه ْم ۖ َو َل تَأْ ُكلُوهَا ْ ِّم ْن ُه ْم ُر ْستَ ْعفِف ْ َس َرافًا َوبِدَا ًرا أَن يَ ْكبَ ُروا ۚ َو َمن َكانَ َغنِيًّا فَ ْلي ْ ِإ وف ۚ فَإِ َذا َدفَ ْعتُ ْم إِلَ ْي ِه ْم ِ ۖ َو َمن َكانَ فَقِي ًرا فَ ْليَأْ ُك ْل بِا ْل َم ْع ُر َّ ِش ِهدُوا َعلَ ْي ِه ْم ۚ َو َكفَ ٰى ب سيبًا ْ َ أَ ْم َوالَ ُه ْم فَأ ِ اللِ َح Artinya : “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
No. 49 Th. XV. April 2015
Fokus
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” (Q.S. An-Nisa’: 6) Begitu pula dalam tafsir Al-Misbah, maka kata dasar rusydan adalah ketetapan dan kelurusan jalan. Dari sini, lahir kata rusyd yang bagi manusia adalah kemampuan akal dan jiwa yang menjadikannya mampu bersikap dan bertindak setepat mungkin. AlMaraghi menafsirkan dewasa (rusydan), yaitu apabila seseorang memahami baik cara menggunakan harta serta membelanjakannya, sedangkan balighu al-nikah ialah jika umur telah siap untuk menikah. Ini artinya AlMaraghi menginterpretasi bahwa orang yang belum dewasa tidak boleh dibebani persoalan-persoalan
tertentu. Menurut Rasyid Ridha, kalimat balighu alnikah menunjukan bahwa usia seseorang untuk menikah, yakni sampai ia bermimpi. Pada umur ini, sesorang telah bisa melahirkan anak dan memberikan keturunan sehingga tergerak hatinya untuk menikah. Kepadanya juga dibebankan hukum-hukum agama, seperti ibadah dan muamalah serta diterapkannya hudud. Karena itu, rusydan adalah kepantasan seseorang dalam ber-tasarruf serta mendatangkan kebaikan.23 Tak heran bila oleh karenanya para ulama masih berbeda pendapat dalam menentukan berapa batasan umur baligh itu. Imamiyah, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali mengatakan: Tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti balighnya seseorang. Adapun Hanafi menolaknya sebab bulu ketiak itu tidak berbeda dengan bulu-bulu lain yang ada pada tubuh. Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Maliki menetapkan 17 tahun. Sementara itu, Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan anak perempuan 17 tahun (Ibn Qudamah, Al-mughni, Jilid IV).24 Menentukan Batas Kedewasaan bagi Penentuan Usia Minimum untuk Menikah Saat ini, kesungguhan kita untuk menetapkan batas kedewasaan dalam hukum positif (aturan perundang-undangan) yang bersifat nasional tengah diuji. Mengingat, selama ini kita masih punya persoalan dengan adanya ketentuan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang masih mentolerir pernikahan anak, dengan menyebutkan usia minimum bagi perempuan untuk menikah adalah 16 tahun. Sungguh, usia 16 tahun adalah usia yang terlalu muda untuk menjalani komitmen dalam pernikahan di samping secara fisik masih rentan mengalami gangguan kesehatan reproduksi akibat potensi kehamilan yang terjadi di usia yang begitu muda. Kita tahu bahwa kata baligh seringkali disandingkan dengan kata ‘aqil yang artinya untuk menikah, seseorang tidak hanya perlu kesiapan fisik dalam arti sudah punya hasrat seksual dan bisa bereproduksi saja, namun juga perlu kematangan psikis/mental, sosial, dan ekonomi untuk selanjutnya dapat membina rumah tangga bersama pasangan maupun menjadi orang tua yang bekerjasama mendidik putra-putrinya.
No. 49 Th. XV. April 2015
Swara Rahima - 11
Fokus
Batasan usia minimum untuk menikah di berbagai negara muslim juga tidak sama, namun perubahan yang terjadi di beberapa negara, mereka sudah tak lagi memberikan ruang bagi terjadinya pernikahan anak. Sebut saja Irak dan Somalia usia minimum perkawinan telah ditetapkan sesuai dengan batasan dalam Konvensi Perlindungan Anak dimana tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan, yakni minimal berusia 18 tahun Di Bangladesh juga telah sesuai Konvensi Hak Anak namun masih membedakan usia minimum perkawinan bagi laki-laki (21 tahun) dan perempuan (18 tahun); sementara di Aljazair menetapkan batas usia minimum untuk menikah adalah 19 tahun baik bagi calon mempelai laki-laki maupun perempuan.25 Beberapa waktu yang lalu, Ibu Zumrotin dari Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dengan didampingi 2 kuasa hukumnya yaitu Rita Serena Kolibonso SH. LLM dan Tubagus Haryo Karbyanto SH mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan Pengujian Uji Materiil ini adalah terkait Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Pemohon mengajukan agar frasa 16 tahun dipahami menjadi 18
tahun. Pembatasan dimaksudkan untuk menghindari praktek menikah dibawah usia 16 tahun. Dalam JR Perkara No 30/PUU-XII/2014: Pengujian UU No 1/1974 tentang Perkawinan terhadap UUD RI 1945, Rahima bersama beberapa lembaga lain yang concern pada persoalan hak atas kesehatan reproduksi juga mengajukan permohonan sebagai pihak terkait. 26 Beberapa kali persidangan telah digelar, namun MK belum menetapkan putusannya , karena terlebih dahulu hendak menunggu statemen akhir dari Pemerintah (yang disampaikan oleh Kemenhukham dan persetujuan dari Kemenag). Kini kita tinggal menunggu, apakah nantinya MK sanggup menetapkan putusan yang seadil-adilnya demi menjawab kebutuhan untuk menghapuskan praktik pernikahan anak dan menjawab tantangan kontemporer untuk bisa memberikan hak anak dan menetapkan segala sesuatu yang terbaik bagi kepentingan anak (the best interest of the child). Sungguh, masa depan generasi kita tengah diuji, melalui keputusan apakah hari ini kita sanggup mempersiapkan anak-anak kita menjadi dewasa sehingga sanggup berumah tangga dan melahirkan generasi yang sehat dan sejahtera di masa depan. Mudah-mudahan, kita berani berikhtiar untuk mencapai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Insyaallah! {} AD.Kusumaningtyas
Catatan Belakang : 1. Konvensi Hak Anak (KHA) Perserikatan BangsaBangsa 1989 merupakan perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis di antara berbagai Negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan hak anak. Hak anak yang dimaksud adalah hak asasi manusia untuk anak. Indonesia meratifikasi KHA dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990. 2. Lihat dalam tulisan Lilis Sri Handayani, Duh, Ratusan Anak di Indramayu Menikah di Bawah Umur (1), yang diposting hari Selasa, 19 Agustus 2014, 06:19 WIB, dan diunduh pada Kamis, 19 Maret 2015, 14:29 WIB dari situs Republika Online di http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/ islam-nusantara/14/08/19/naizg9-duh-ratusananak-di-indramayu-menikah-di-bawah-umur-1 3. Lihat artikel Cara ABG 14 Tahun Jual Keperawanan 32 Teman Sebaya, sebagaimana
12 - Swara Rahima
4. 5.
6.
7.
dikutip dari situs http://www.tempo.co/read/ news/2015/02/13/058642353/Cara-ABG-14-TahunJual-Keperawanan-32-Teman-Sebaya Lihat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Dewasa Lihat dalam Rina Yunanta, Karakteristik Perkembangan Masa Dewasa, sebagaimana dikutip dari situs http://rinayunanta.blogspot. com/2012/01/karakteristik-perkembangan-masadewasa.html Lihat dalam tulisan Batas Usia Dewasa Bertindak dalam Hukum Secara Umum situs http : // habibadjie.dosen.narotama.ac.id/files/2013/08/ BATAS-USIA-DEWASA.pdf, dimana dalam bagaian ini dia mengutip dari Djuhaendah Hasan, Masalah Kedewasaan Dalam Hukum Indonesia,Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung. Berbagai pengertian ini diambil dari tulisan berjudul Berbagi Ilmu : Hukum Perdata Batas Kedewasaan
No. 49 Th. XV. April 2015
Fokus
dan Pendewasaan, dan diunduh dari situs http:// linafatinahberbagiilmu.blogspot.com/2014/05/ hukum-perdata-batas-kedewasaan-dan.html 8. Lihat wawancara dengan Zumrotin K. Susilo berjudul Pernikahan Anak Sering Mengabaikan Hakikat Baligh, dalam Swara Rahima Edisi 49, April 2015 ini. 9. Lihat tulisan berjudul Batas Usia Dewasa Menurut Hukum Yang Berlaku di Indonesia, yang diunduh dari situs http://anzar-asmadi.blogspot.com/2012/12/ batas-usia-dewasa-menurut-hukum-yang.html. 10. Lihat kembali tulisan Batas Usia Menurut Hukum Yang berlaku di Indonesia 11. Lihat isi Pasal 7 ayat 1 UU. No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 12. Lihat kembali tulisan Batas Usia Menurut Hukum Yang berlaku di Indonesia 13. Lihat kembali tulisan Batas Usia Menurut Hukum Yang berlaku di Indonesia 14. Lihat UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 15. Lihat dalam UU No.2 tahun 2009 tentang Angkutan Jalan, dalam BAB VIII tentang Pengemudi,Bagian Kesatu Surat Izin Mengemudi Paragraf 1 mengenai Persyaratan Pengemudi 16. Lihat tulisan Abdul Latif, Batas Usia Baligh Syarat Saksi Nikah (Analisis Hukum Islam dalam Pasal 19 Ayat 2 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007), skripsi pada Jurusan Ahwal Asy-Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Walisongo Semarang, tahun 2009 yang diunduh dari situs http://eprints.walisongo.ac.id/ 1838/1/029111002_ Coverdll.pdf 17. Lihat dalam Surat Edaran No.4/SE/ I /2015 tentang Batas Usia Dewasa dalam Rangka Pelayanan Pertanahan yang dikeluarkan oleh Menteri Agraria dan tata Ruang/Kepala Badan pertanahan Nasional Ferry Mursyidan baldan pada 26 Januari 2015. Ketetapan ini mengacu pada berbagai ketentuan
No. 49 Th. XV. April 2015
dalam aturan perundang-undangan yang menetapkan bahwa usia dewasa adalah 18 tahun dan juga mengacu pada SEMA Nomor 07 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar MA sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan dan hasil rapat Kamar Perdata Mahkamah Agung RI tanggal 14-16 Maret 2011 yang menyatakan bahwa dewasa adalah adalah cakap bertindak dalam hukum yaitu orang yang telah mencapai umur 18 tahun atau telah kawin. . 18. Lihat tulisan berjudul Tiga Tanda Baligh, http:// www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11id,40361-lang,id-c,syariah- t,Tiga+Tanda+Baligh-. phpx, dikutip 19 Maret 2015, 17 : 12 WIB. 19. Lihat kembali tulisan berjudul Tiga Tanda Baligh sebagaimana sumber kutipan di atas 20. Dikutip dari https://www.facebook.com/ permalink.php?id=208017592593851&story_ fbid=474775109229040 21. Lihat kembali tulisan berjudul Tiga Tanda Baligh. 22. Lihat tulisan berjudul Kriteria Baligh Menurut Fuqaha dan Penerapannya dalam Perundangundangan di Indonesia, dikutip dari situs http:// arliansyah3.blogspot.com/2014/01/marimembaca.html, dalam tulisan yang diposting pada Kamis, 9 Januari 2014, diunduh pada Kamis, 15 Januari 2015, pk 11.00 WIB. 23. Lihatkembali tulisan berjudul Kriteria Baligh Menurut Fuqaha dan Penerapannya dalam Perundang-undangan di Indonesia. 24. Lihatkembali tulisan berjudul Kriteria Baligh Menurut Fuqaha dan Penerapannya dalam Perundang-undangan di Indonesia. 25. Lihat dalam Report to be written pursuant to HRC Resolution A/HRC/RES/24/23 on child, early and forced marriage, Musawah Global, 13 Desember 2013 26. Lihat pada presentasi power poin (PPT) AD. Eridani, Advokasi Litigasi ke MK : “Mengizinkan Perkawinan Anak adalah Inkonstitusional”
Swara Rahima - 13
Opini
Zumrotin K.Susilo:
Pernikahan Anak
P
Sering Mengabaikan Hakikat Baligh
erempuan yang lahir di Babat, Lamongan pada 18 Desember 1949 ini, ternyata telah malang melintang selama 39 tahun menjadi aktivis. Anak pertama dari 12 bersaudara.yang dilahirkan saat sang ibu masih berusia 16 tahun, berasal dari keluarga muslim yang sangat taat. Ayahnya menjadi Imam masjid sampai akhir hayatnya. Alumnus Fakultas Psikologi UGM tahun 1972 ini menikah dengan Kasru Susilo, seorang lelaki teman sealmamaternya di Yogyakarta yang berwawasan luas dan memberi Zoemrotin ruang gerak dan kebebasan untuk menjelajahi dunia aktivis dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM) dan antikorupsi. Tercatat mbak Zuem – panggilan akrabnya di kalangan aktivis – pernah aktif di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), INFID, hingga menjadi salah seorang pimpinan Komnas HAM pada periode 2002-2007. Selepas itu, ia kembali pada gerakan sosial, dan berkiprah di Transparency Internasional (TI), Transparency International Indonesia (TII), dan kini menjadi Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP)untuk masa jabatan 2012 hingga Juni 2015. Ibu dari 4 orang anak yang kini telah memberinya 10 cucu ini juga menjadi pendiri dari beberapa lembaga seperti Kontras, IKOHI, SETARA Institute, dan Prakarsa. Berikut wawancara Swara Rahima dengan Ketua YKP, sebuah lembaga yang tengah menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk judicial review menaikkan usia minimum perempuan untuk menikah ini. Mengapa usia minimum perkawinan menjadi perhatian Anda dan organisasi Anda?
Apa yang menjadi concern/perhatian anda terkait isu usia minimum perkawinan?
Ini didasarkan dari pengalaman kami di lapangan, ketika YKP memiliki program di daerah-daerah. Pada awalnya program ini hanya berbicara tentang perlunya anak-anak di sekolah terutama di usia SMP mendapatkan informasi tentang Kesehatan Reproduksi. Namun saat datang, kami mendapati di daerah–daerah itu angka perkawinan anaknya sangat tinggi. Bahkan di Bondowoso, Bupatinya secara eksplisit mengatakan dia kewalahan menghadapi perkawinan anak yang angkanya mencapai 48,9 %, dan setahun kemudian 50% pasangan dari pernikahan itu bercerai. Jadi angka perceraian akibat pernikahan anak sangat tinggi. Selain itu, juga berdasarkan pengalaman kami di Sambas (Kalimantan Barat), So’e, NTT, kasus pernikahan anak banyak sekali. Bila Undang-undang (UU) Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan usia minimalnya adalah 16 tahun, tapi kenyataannya banyak sekali perempuan yang di bawah 16 tahun sudah dinikahkan. Tentu saja kondisi ini sangat memprihatinkan.
Menurut YKP, mereka ini belum dewasa, baik secara fisik, psikis, sosial, dan ekonomi. Oleh karenanya, mereka bisa mengalami berbagai dampak pada kesehatan fisiknya, psikologisnya, sosialnya, dan juga ekonominya. YKP kemudian berusaha untuk menganalisisnya lebih dalam. Kami menemukan bahwa biasanya di daerah-daerah yang angka pernikahan anaknya tinggi, Angka Kematian Ibu (AKI)-nya juga tinggi. Sehingga dari situlah kami merasa perlu untuk mengkampanyekan untuk menghindari pernikahan anak; sebab bila ini tidak dilakukan kami khawatir program-program pemerintah terkait dengan pencapaian MDG’s dalam rangka mengurangi Angka Kematian Ibu (AKI) tidak akan tercapai. Hal ini karena umumnya program pemerintah di masa lalu itu seperti Suami Siaga, Jaminan Persalinan (Jampersal), dan sekarang ada 4K (periksa 4 kali selama kehamilan) adalah program yang menggarap hilirnya. Hulunya tidak pernah digarap. Hulunya adalah antara lain bagaimana jika anak-anak ini menikah muda, dia tahu akan mengalami dampak-dampak negatif tersebut di atas.
14 - Swara Rahima
No. 49 Th. XV. April 2015
Opini
Ini ditambah dengan data nasional dan internasional. Di Asia, Indonesia menempati urutan kedua dalam hal kematian ibu setelah Bangladesh. Menurut kami hal ini sangat mundur sekali. Kita kalah dengan Vietnam dan negara-negara Asia yang lain. Inilah yang membuat YKP sangat terdorong untuk mencoba menangani isu ini. Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa usia minimum untuk menikah bagi perempuan adalah 16 tahun, dan 19 tahun bagi | laki-laki? Menurut saya, ketika UU No. 1/1974 ini disahkan, tidak terlepas dari intervensi dari kalangan agama. Mereka seringkali mengatakan bahwa untuk memperjuangkan batasan usia 16 tahun saja harus berdarah-darah, karena kelompok lain maunya batasannya 14 tahun. Hal ini mungkin dikarenakan perhitungan mereka pada usia pertama menstruasi pada saat itu (sekitar tahun 1974) adalah sekitar 14 tahun. Tetapi situasi sekarang sudah berubah. Sekarang ini anak-anak perempuan 9 tahun saja sudah banyak yang mendapatkan menstruasi. Jadi menurut saya ini adalah intervensi agama yang sangat kuat, terutama agama yang dianut oleh mayoritas penduduk di Indonesia. Saya yakin bahwa saat pembahasan ketika itu, mereka tidak membahas tentang dampak kesehatan, dampak sosial, dan dampak ekonominya. Sepertinya, pertimbangan mereka untuk menikahkan hanya mempertimbangkan perempuan ini sudah siap untuk bereproduksi. Semestinya kan bukan soal “bisa”nya saja. “Bisa” ini kan seharusnya bisa memberikan suatu manfaat. Bagaimana seorang Ibu usia 16 tahun melahirkan anak? Pasti si Ibu ini tidak mempunyai pengetahuan yang memadai untuk bagaimana menjaga anaknya, menyusui anaknya, memberi makan anaknya, apalagi memberikan nafkah. UU ini sudah berusia 41 tahun, konteks zamannya sudah berubah. Maka menurut saya sudah tepat dan mendesak untuk dilakukan perubahan. Sebab jika bangsa kita ingin maju harus punya SDM yang berkualitas. Dengan usia perkawinan yang 16 tahun, saya khawatir SDM kita tidak akan berkualitas. Usia segitu kan baru lulus SMP, dan hal seperti akan menghasilkan kemiskinan lagi. Dalam penelitian yang kami lakukan di Cianjur, di salah satu daerah yang juga ada mitra Rahima di sana,
No. 49 Th. XV. April 2015
kami menemukan ada seorang perempuan berusia 19 tahun yang telah menikah 3 kali. Mengapa di usianya yang baru 19 tahun, dia telah menikah sampai 3 kali? Sebenarnya karena secara psikologis dia belum siap, hanya karena tidak sanggup untuk disebut “perawan tua” dia menikah. Kalau tidak siap secara psikologis, gampang emosi, sehingga gampang sekali untuk bercerai. Menurut saya, terkait dengan kesetaraan gender sebenarnya usia laki-laki dan perempuan sebaiknya sama saja. Jadi seharusnya tidak ada pembedaan, termasuk dalam penentuan usia minimum untuk menikah. Akan tetapi dalam kondisi dimana budaya patriarkhi masih kuat, dan terkait dengan konstruksi gender, ada konsep bahwa pencari nafkah adalah laki-laki. Oleh karena laki-laki dianggap harus menjadi pencari nafkah, maka batas usia minimum untuk laki-laki dinaikkan tingkatnya menjadi 19 tahun. Meskipun faktanya saat ini laki-laki yang berusia 19 tahun bisa mencari nafkah dengan cara seperti apa, sih? Paling dia hanya bisa memilih jadi tukang bangunan atau cleaning service. Oleh karenanya setelah 41 tahun, kita harus segera mengubah UU ini. Ada dampak dari implementasi regulasi semacam ini di lapangan ? Saya ingin kembali terlebih dahulu ke dampak pernikahan di usia anak ini. Secara fisik, organ
Swara Rahima - 15
Opini
reproduksinya belum siap, dan dia rentan terhadap kanker leher rahim. Mengingat bila usia 16 tahun boleh menikah, biasanya laki-lakinya sudah tua banget, atau laki-laki ini sebelumnya sudah kawin. Nah, di situ perempuan akan sangat rentan pada berbagai resiko, yang dampak terburuknya sampai pada kematian ibu. Jadi, kalau perempuan melahirkan di usia tersebut, biasanya anak yang dilahirkan kualitasnya juga kurang bagus karena dia seringkali mengalami kekurangan berat badan atau istilahnya bayinya mengalami Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Secara psikologis di usia tersebut (perempuannya 16 tahun dan laki-lakinya 19 tahun), saya belum melihat ada kestabilan emosi pada diri mereka. Ini yang memicu angka perceraian yang tinggi, meskipun sekarang kita lihat ada juga pasangan dewasa yang menikah kemudian bercerai. Namun di desa-desa biasanya mereka memang belum matang (mature) secara emosi, sehingga emosi yang labil ini sangat mudah memunculkan konflik psikologis. Bukankah dalam Islam tujuan pernikahan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Ketenangan seperti apa yang bisa dicapai dalam perkawinan apabila emosinya belum stabil dan ekonominya belum siap? Yang ada kan berantem. Tujuan pernikahan untuk membentuk sakinah, mawaddah wa rahmah ini menjadi susah untuk diwujudkan? Bagaimana mungkin tokoh-tokoh agama yang selama ini menyampaikan sakinah, mawaddah, wa rahmah dalam setiap kali khotbah perkawinan akan tetapi kurang
menggali atau mengurai apa saja yang harus dilakukan untuk mencapainya. Bagaimana dampak pernikahan di usia anak pada kesehatan reproduksi perempuan? Dampak secara spesifik adalah soal kanker leher rahim, lebih rentan untuk mengalami resiko kematian karena melahirkan. Anak yang menikah di usia 16 tahun dan hamil di bawah usia 19 tahun, resiko kematian karena melahirkannya 5 kali lebih tinggi daripada jika dia melahirkan pada usia di atas 20 tahun. Mengapa? Karena memang pada usia tersebut, masih tergolong usia anak, ia masih membutuhkan gizi untuk pertumbuhan tubuhnya. Bila di usia masih butuh gizi itu dia sudah hamil, maka akan terjadi perebutan gizi antara si ibu dengan anaknya. Bila anaknya yang kalah maka dia akan lahir dengan berat badan rendah. Kalau ibunya yang kalah, pasti dia akan mengalami anemia, pendarahan, kemudian mengalami kematian. Upaya apa yang telah Anda lakukan untuk mengubah aturan tersebut? Setelah melihat pengalaman lapangan, internal pengurus YKP mengadakan rapat, lalu memutuskan bahwa perubahan usia pernikahan ini harus diadvokasi. Ada saran bahwa sebaiknya jangan melalui amandemen UU, mengingat waktu dan proses yang dibutuhkan akan lama, karena harus melalui badan legislatif/DPR. Oleh karena, ingin lebih cepat, kami memutuskan melalui Mahkamah Konstitusi (MK) lewat Judicial Review (JR). Kemudian YKP mengundang banyak LSM terutama kepada LSM perempuan dan yang bergerak dalam bidang kesehatan perempuan. Alhamdulillah mendapatkan sambutan baik dari rekan-rekan LSM sehingga kemudian YKP cepat-cepat mengajukan konsep tuntutan perubahan ini dengan dasarkan alasanalasannya kemudian disampaikan ke MK. Secara paralel YKP kemudian mengajak teman-teman yang bersedia menjadi Pihak Terkait. Saya senang sekali banyak LSM yang bersedia menjadi pihak terkait, karena mereka akan memperkuat JR YKP. Sebenarnya ada 2 strategi, yaitu bisa sebagai Pihak Terkait atau bisa mengajukan sendiri. Tetapi beberapa LSM termasuk di dalamya Rahima, Kalyanamitra, Women Research Institute (WRI), Perkumpulan Keluarga
16 - Swara Rahima
No. 49 Th. XV. April 2015
Opini
Berencana Indonesia (PKBI), dan Aliansi Remaja Independen (ARI) bersedia mendukung ini menjadi pihak terkait. Sebenarnya banyak sekali yang ingin menjadi pihak terkait. Sayang sekali organisasi-organisasi lainnya ini ada yang mengalami kesulitan terkait dengan badan hukumnya, maka organisasi-organisasi yang telah memiliki kepastian soal badan hukum inilah yang bergerak sehingga nanti di Mahkamah Konstitusi tidak ditolak dan dalam prosesnya berjalan dengan baik. Ketika masa pesidangan di MK, para pihak dan pendukung pun selalu hadir di sana. Apa yang digulirkan oleh YKP tidak hanya mendapatkan dukungan dari kalangan LSM. Ada juga dukungan dari UNICEF yang membawa organisasi yang biasa melakukan kampanye untuk menggalang dukungan melalui media sosial (Change.Org), yang dulu menggalang dukungan melalui Koin Prita. Awalnya memang tidak banyak persiapan yang kami miliki, namun dalam perjalanan ada juga dukungan dari UN Women melalui CEDAW Working Group Indonesia (CWGI) sehingga dana CWGI bisa disupportkan ke kami untuk sidang-sidang dan mendatangkan para saksi ahli. Bagaimana proses Sidangnya? Sidang telah dilaksanakan 10 kali, dimana dalam 10 kali sidang ini YKP membuat kluster-kluster Saksi Ahli, di samping kami juga mendatangkan Saksi Korban (dibantu oleh Plan Indonesia-yang menangani isu pernikahan anak di lapangan); yang lainnya adalah Saksi Ahli yang kami bagi dalam 3 kluster. Pertama, adalah saksi ahli yang berkaitan dengan bidang kesehatan dan psikologi yang terdiri dari para dokter dan para ahli Psikologi. Menarik memang, karena salah satunya ada dokter spesialis di bidang hormon, misalnya ia menjelaskan hormon pada masa remaja itu seperti apa. Yang lain, ada ahli psikologinya yaitu Ibu. Prof. Dr. Saparinah Sadli.
banyak diacu oleh mayoritas masyarakat muslim di Indonesia. Keahlian beliau dalam bidang Tafsir dan Fiqh Menurut saya, adalah suatu keberhasilan jika kami bisa menghadirkan beliau. Dan ada satu kluster lagi yang merupakan gabungkan antara akademisi yaitu Prof. Dr. Muhadjir Darwin yang banyak melakukan penelitian tentang pernikahan anak, dengan jurnalis, ketika itu kami menghadirkan Jurnalis Senior yakni Wakil Redaktur Kompas yakni Ninuk Mardiana Pambudi karena banyak tulisannya yang disarikan dari kesaksian dia ketika melakukan reportasi dari lapangan. Jadi ada 9 orang Saksi Ahli, serta ada 1 orang Saksi Korban dalam 10 kali sidang. Sebenarnya YKP sangat menginginkan bahwa wakil dari pemerintah tidak hanya dari Kementrian Agama dan Kemenhukham, karena masalah pernikahan anak harusnya ada kementerian yang menangani substansi terkait masalah itu. Harusnya BKKBN, Kemenkes, Kemen PP dan PA, dan Kemendikbud juga hadir. Karena nanti kalau Diknas punya program Pendidikan 12 tahun (hingga lulus sekolah menengah tingkat atas/ usia 18 tahun) pasti uang yang akan digelontorkan untuk program itu pasti akan sia-sia karena anak sudah boleh menikah saat berusia 16 tahun. Kami sangat mengharapkan itu. Sayang sekali yang mewakili hanya Kementerian Agama dan Kemenhukham. Itu membuat kami sangat kecewa. Sehingga pada saat sidang terakhir kami minta pada Ketua Majelis Hakim MK hendaknya Kementerian yang terkait juga bisa mengajukan kesaksiannya. Tetapi oleh Majelis Hakim tidak didatangkan, tetapi mereka diberi kesempatan untuk menuliskan apa yang menjadi kesaksiannya. Kemudian hal ini rupanya tidak dikoordinasikan sepenuhnya oleh Kemenhukham, karena seperti BKKBN tidak dihubungi.
Kedua, adalah kluster yang melihat bahwa pernikahan anak itu melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Sidang mendapatkan pandangan dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Saya sendiri datang ke BKKBN agar mereka segera menyampaikan semacam tulisan tentang pernikahan anak di hari dead-line harus diserahkan. Yang menarik adalah MK kemudian memutuskan bahwa dari pihaknya akan mengajukan saksi-saksi dari semua agama yang diakui di Indoneisa: Hindu, Budha, Konghucu, Katolik, Protestan dan juga Islam. Semuanya yang datang mewakili agama-agama ini setuju dengan YKP, kecuali yang Islam baik itu dari NU, Muhammadiyah, dan MUI.
Ketiga, terkait dengan agama. Kami mendatangkan Prof. Dr. Quraish Shihab, ahli agama yang pandangannya
Menurut saya, alasan MUI untuk tidak menyetujui ini agak tidak tepat. Alasan MUI adalah ketakutan apabila
No. 49 Th. XV. April 2015
Swara Rahima - 17
Opini
usia minimum untuk menikah dinaikkan maka akan terjadi banyak perzinaan. Menurut saya, nggak ada itu korelasi antara perzinaan dan usia pernikahan; karena yang berzina itu bukan karena seseorang mau menikah tetapi nggak boleh. Sebab meskipun orang dewasa, kalau mau berzina ya berzina saja. Menurut saya itu yang kurang pas dari kesimpulan MUI itu. Dan, nampaknya NU dan Muhammadiyah juga mengikuti itu. Lebih menarik lagi, pada saat setelah kesaksian dari agama-agama itu muncul –karena setelah habis sidang lalu muncul kesimpulannya- MK menyatakan Muhammadiyah tidak setuju, yang protes adalah ormas perempuannya, yaitu Nasyiatul Aisyiah (NA) dan Aisyiah. Saya yakin bahwa di NU pun Fatayat dan Muslimatnya juga tidak setuju dengan pandangan organisasi induk mereka. Menurut saya, ini karena yang mewakili agama adalah laki-laki yang tidak pernah mengkonsultasikan dengan organisasi yang bagian perempuannya. Sebetulnya bila kita tanya gagasan untuk menaikkan batas usia minimum kepada perempuan-perempuan di Muhammadiyah seperti NA dan Aisyiah serta di NU kepada Fatayat dan Muslimat, saya yakin mereka setuju. Tetapi kenapa perwakilan mereka (laki-laki) tidak setuju? Itu memang masalah internal mereka. Jadi menurut saya perlu dikritisi pandangan laki-laki dalam internal organisasi mereka. Bagaimana respon kalangan tokoh agama ketika anda mensosialisasikan pentingnya perubahan aturan usia menikah perempuan mengingat isu baligh seringkali ditafsirkan hanya berdasarkan ciri-cirinya saja? Menurut saya, di situlah justru para tokoh agama tidak berani memberikan suatu kepastian sehingga dibiarkan mengambang. Sebagai tokoh agama, semestinya harus bisa memberikan kepastian. Tapi kami punya pengalaman saat mendatangkan para Kyai dan tokoh agama se-Jawa yang pertemuannya diselenggarakan di Jakarta. Kami menghadirkan kira-kira 35 tokoh agama, dan mereka tidak ada yang menentang setelah tahu dampaknya. Saya yakin bahwa mereka yang masih bersikeras bahwa usia minimum untuk menikah 16 tahun bagi perempuan karena mereka tidak paham tentang dampaknya. Karena saat melakukan pertemuan itu, secara spontan mereka justru ada yang mengatakan, “Harusnya setelah sarjana”. Lalu saya jawab, “Menurut saya, itu terlalu ekstrim, Pak.”
18 - Swara Rahima
Nah, yang menarik (karena tokoh agama yang datang kebanyakan adalah laki-laki) ada satu perempuan yang datang dari dari salah satu pesantren di Garut. Ia menyatakan bahwa di sana masih ada pertarungan pendapat di antara para Kyai mengenai anak perempuan sebagai aset. Dalam melihat anak perempuan sebagai aset ini, antar tokoh agama ini berbeda. Satu pihak berpendapat “karena anak perempuan adalah aset saya, karena ini hak milik saya, mau saya apa-apakan terserah saya”. Sementara yang lain berpendapat bahwa”‘karena anak perempuan aset maka saya harus menjadikan aset saya bermakna. Caranya adalah saya harus memberikan pendidikan dan kesehatan yang cukup, baru dia menikah”. Jadi dalam melihat anak perempuan sebagai aset ini juga ada pandangan yang beragam di antara para tokoh agama. Menurut saya ini hal yang menarik juga. Apa dampak dari pemahaman makna baligh ini dengan banyaknya praktik pernikahan anak? Bukankah dalam agama orang menikah persyaratannya kalau sudah ‘aqil baligh? Kalau baligh saja, kalau sudah menstruasi. Mengacu pada keterangan Pak Quraish Shihab, yang disebut menstruasi ‘aqil baligh itu tidak tepat. Dia baru baligh-nya saja. Akalnya belumlah akal orang dewasa. Jadi menurut pandangan saya, bila ada tokoh agama yang mengatakan bahwa menstruasi adalah ‘aqil baligh, dia hanya mengandalkan bahwa di usia tersebut (setelah menstruasi) dia sudah bereproduksi. Namun belum tentu berkualitas. Mereka hanya melihat bahwa perempuan tersebut sudah bisa (dalam hal) bereproduksi. Mereka tidak melihat bahwa di dalam ikatan pernikahan, maka reproduksi itu harus berkualitas baik dari segi fisik, dan dari sisi kualitas SDMnya dalam hal pendidikan serta pengetahuan dalam membesarkan anak. Ini yang menurut saya arahnya tidak kesana. Mereka hanya melihat bahwa di usia ini perempuan sudah siap bereproduksi, tanpa mau tahu akibatnya. Bagaimana dengan contoh-contoh praktik pernikahan anak? Praktik pernikahan anak, menurut saya memang ada berbagai macam penyebabnya. Tiap daerah berbeda-beda. Di daerah Jawa Timur bagian selatan, kebanyakan karena kemiskinan. Karena miskin, maka orang tuanya ingin melepaskan tanggung jawab dengan
No. 49 Th. XV. April 2015
Opini
cara menikahkan anaknya. Tanpa tahu bahwa itu berdampak pada perceraian juga karena anak-anaknya belum matang. Ini yang jarang diperhitungkan oleh para orang tua karena kemiskinan. Di daerah Banjarmasin, menurut saya bukan karena kemiskinan. Akan tetapi lebih karena interpretasi agama. Bahwa dia setelah ‘aqil baligh sebaiknya segera menikah agar tidak melakukan hubungan seksual atau berzina; meskipun pada faktanya ada juga orang yang setelah kawin, berzina. Dikarenakan orang tua takut anak-anak berzina, maka biasanya mereka akan segera dinikahkan. Mereka sebenarnya mampu, akan tetapi karena ketakutan mengenai perzinahan yang mungkin dialami oleh anaknya. Ada lagi -- yang memang mesti diakui karena memang ada -- yang terlanjur hamil. Menurut saya, solusinya untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memberikan pendidikan kespro pada anak-anak, akibat masih kurangnya pengetahuan dalam hal ini sehingga mereka terjebak pada kehamilan yang tak diinginkan dan akhirnya dinikahkan. Sebetulnya orang tua yang menikahkan anak di bawah umur karena alasan ekonomi, tipis batasnya antara menjadikan anaknya lebih mapan dan sejahtera atau menjual anaknya. Karena realitanya dari pernikahan itu -sebut saja contoh pernikahan antara Ulfah dan Pujiono itu- karena orang tuanya punya banyak hutang maka anaknya yang masih kecil dan cantik itu dinikahkan dengan orang tua yang kaya. Ini tidak setara. Nah, itu sebenarnya kan menjual anaknya. Sehingga pernikahan
anak seringkali rentan digunakan sebagai modus trafficking. Bagaimana sikap berbagai lembaga negara terkait dengan inisiatif usulan untuk mengubah aturan tentang usia minimum perkawinan ini? BKKBN, Kementerian Kesehatan –mungkin dengan menteri baru-, Menteri Agama, setuju untuk menaikkan usia perkawinan. Tetapi saya belum menemui Menteri Pendidikan, Menteri PP dan PA. Hanya saja bagi merekamereka ini MUI ini sangat berkuasa secara politik. Seringkali itu yang membuat mereka ketakutan, karena nanti dianggap tidak Islam bila tidak mengikuti suara MUI. Menurut saya, kalau untuk Fatwa MUI, Negara tidak harus mengikuti. Fatwa MUI itu voluntary (bersifat suka rela), tidak binding (mengikat). Yang mau menikah mengikuti fatwa MUI ya biarkan saja, tetapi Negara harus punya ketentuan. Nah, di sini yang harus kita perjuangkan. Jangan sampai fatwa MUI itu menjadi acuan Negara. Karena realitanya kalau kedua hal itu dikawinkan, yang akan jeblok ya justru Negara sendiri. Bagaimana respon keagaamaan?
kalangan
organisasi
massa
Nggak ada. Padahal saat YKP akan memasukkan pasal aborsi di UU Kesehatan, penolakannya sangat tinggi dari kelompok agama seperti Hizbut Tahrir dan sebagainya. Ini tidak. Tidak ada yang keras baik di media sosial, dalam tulisan-tulisan di artikel, atau datang kemari. Kalau dulu,Hizbut Tahrir sampai datang ke kantor YKP. Sekarang kok tidak. Sebenarnya kalau saya lihat, maaf kalau ini kelompok-kelompok Islam seperti PKS umumnya perempuan- perempuannya kan sarjana. Memang pada umumnya mereka beranak banyak, tapi sepertinya mereka kan saat menikah bukan pada usia di bawah 16 tahun. Anak-anak ini kan pintar-pintar. Untuk ini, tidak ada respon negatif. Bagaimana pandangan para ahli dan cendekiawan dari berbagai latar belakang (Kesehatan, psikologi, agama) dalam melihat batas usia minimum untuk menikah ini? Umumnya mereka setuju untuk dinaikkan. YKP sendiri menentukan batasnya setelah 18 tahun, karena kami mengacu pada UU Perlindungan anak. Karena
No. 49 Th. XV. April 2015
Swara Rahima - 19
Opini
kampanye kami adalah menentang pernikahan anak, oleh karenanya kami harus sesuai itu. Kalau BKKBN inginnya batasannya 21 tahun, Kementerian Kesehatan juga 21 tahun. Menurut saya, justru inilah kesempatan bagi kementerian-kementerian yang punya alasan sesuai visi misi lembaganya untuk berjuang. Apa tantangan yang anda hadapi dalam memperjuangkan perubahan aturan untuk menaikkan batas usia minimum untuk melangsungkan perkawinan ini? Tantangan dalam menaikkan usia pernikahan adalah lebih pada praktik di lapangan. Karena sekarang pun meskipun aturan menyebutkan usia menikah perempuan 16 tahun, realitanya yang menikah di bawah 16 tahun sangat banyak. Pemalsuan keterangan usia ini sangat banyak sekali. Tantangannya lebih pada soal penegakan hukumnya. Beberapa waktu lalu, kami mengajak Kepala Dinas se-Bondowoso yang terdiri dari Dinas Pendidikan, Kanor Kementerian Agama, Dinas Kesehatan, Kantor PP dan PA, Dinas Olah Raga, untuk membuat kepakatan dan meminta agar Kementerian Agama tidak lagi menggunakan keterangan usia, akan tetapi menggunakan ijazah sebagai syarat menikah karena ijazah lebih susah untuk dimanipulasi.
Kalau hanya menggunakan surat keterangan dari Kepala Desa atau Lurah yang menyatakan bahwa anak ini lahir 18 tahun yang lalu, itu kan gampang. Tetapi kalau menggunakan ijazah, itu relatif agak susah. Misalnya tahun 2013 dia lulus SD, punya ijazah, lalu dia melanjutkan ke SMP, nah ini kan bisa diketahui bahwa usia dia sebenarnya baru 14 tahun. Jadi perlu berbagai terobosan dalam mengatasi penyimpangan-penyimpangan dalam penegakan hukum. Oleh karenanya, perlu kreativitas dari masing-masing Kabupaten. Apa harapan Anda agar perjuangan untuk melakukan penyadaran masyarakat tentang pentingnya menaikkan batas usia minimum perkawinan ini dapat diwujudkan? Perlu ada pendekatan kepada orang tua, terutama yang dulunya berpandangan bahwa hal ini adalah soal budaya. Menurut saya, selama ini banyak pihak yang lalai bahwa orang tua itu tidak dijadikan stakeholders yang mesti digarap juga. Padahal orang tua itu sangat menentukan. Umumnya kita melakukan pendidikan kespro pada remaja, pada guru untuk bisa mensosialisasikan. Tapi terkait dengan parenting bahwa orang tua yang sebenarnya memiliki kekuasaan; ke depan itu yang menurut saya juga harus menjadi sasaran. {}AD. Kusumaningtyas
Turut Berduka Cita Atas Berpulangnya ke Rahmatullah :
Hj. Hanifah Syarofudin Pengasuh PP. Syaroful Millah, Semarang dan Peserta PUP III Jawa Tengah Meninggal tanggal 5 April 2015
Semoga Amal dan Ibadahnya diterima Allah SWT. Kami yang Turut Berduka Cita : Keluarga Besar Perhimpunan Rahima
20 - Swara Rahima
No. 49 Th. XV. April 2015
Opini
Dewasa Itu Aqil Baligh, Bukan Hanya Baligh Lies Marcoes Natsir, MA..
L
ies Mustafsirah Marcoes, anak ke-7 dari 9 bersaudara ini lahir 17 Februari 1958 di Ciamis, Jawa Barat. Lulusan IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta jurusan Perbandingan Agama yang meneruskan studi dan memperoleh gelar Masternya pada bidang Antropologi Kesehatan dari Universitas Amsterdam (Belanda) ini adalah seorang aktivis feminis muslim Indonesia dan penekun bidang antropologi medis. Pernikahannya dengan Ismed Natsir, membuahkan kehadiran 3 orang buah hati (Reza, Tasya, Boris) yang mereka besarkan dengan kerjasama yang baik dan penuh cinta. Pegiat kemanusiaan yang melahirkan divisi Fiqh al-Nisa’ Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) yang menjadi cikal bakal Rahima, dan pernah bergiat di The Asia Foundation (TAF) maupun menjadi konsultan independen di berbagai lembaga internasional ini aktif melakukan berbagai penelitian seputar isu Kesehatan Reproduksi, Keluarga Berencana di berbagai komunitas muslim. Berikut hasil sajian wawancara Swara Rahima dengan penulis buku “Menolak Tumbang” yang merupakan sajian hasil penelitiannya tentang gender perempuan dan kemiskinan yang kini menjabat sebagai Direktur Eksternal Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) ini.
Isu baligh menjadi perbincangan yang krusial dan sensitif di kalangan masyarakat muslim. Sebenarnya apa makna baligh dalam diskursus fiqh? Dalam diskusi rutin kami di Rumah Kitab, Mukti Ali, yang memiliki latar belakang pesantren menyampaikan dalam tradisi pesantren dengan basis referensi kitab fiqh, baligh secara bahasa artinya “sudah sampai atau sudah tiba saatnya”. Dalam konteks fiqh artinya “seseorang yang sudah sampai pada usia tertentu sehingga layak diberi beban tanggungjawab (taklif) dalam urusan ibadah”. Dengan demikian baligh dalam bahasa fiqh merupakan satu fase dalam usia seseorang di mana yang bersangkutan tak bisa lagi mengelak dari tanggung jawab dalam urusan ibadah. Kalau sebelum baligh yang bersangkutan belum dapat dituntut kewajibannya dalam melaksanakan ibadah shalat, puasa, misalnya, dan karenanya belum dianggap berdosa jika melalaikannya, maka sesudah masuk fase baligh ia tak lagi bisa mengelak, dan tiap kelalaian dalam menjalankan ibadah dianggap berdosa, sebab yang bersangkutan telah diberi beban kewajiban untuk beribadah.
No. 49 Th. XV. April 2015
Ukuran baligh dalam fiqh memang patokannya kedewasaan dan kewajiban yang terkait dengan kewajiban untuk menjalankan ibadah. Sebelum baligh, seseorang akan dianggap berada pada masa pendidikan menuju baligh. Dia harus mempelajari dasardasar ibadah seperti tatacara wudhu, shalat, puasa, kebersihan/thaharah (tatacara mandi biasa, mandi sunnah dan mandi wajib), belajar tentang air bersih dan najis, dan belajar tentang hal-hal yang terkait dengan haid (mensturasi), mengenal darah yang dianggap penyakit menurut ukuran fiqh (istihadhah), nifas (darah pasca persalinan), dan hal-hal yang berkaitan dengan fungsi reproduksi. Semuanya diajarkan bukan dalam kerangka kesehatan reproduski melainkan untuk memahami masa suci dan najis agar tak keliru dalam menjalankan ibadah. Baligh juga menjadi syarat bagi seseorang untuk menjalankan kewajiban lain, seperti dalam muamalah atau transaksi dan membuat perjanjian atau berjual beli. Kegiatan muamalah atau perdata dan hukum keluarga dilakukan manakala seseorang telah dianggap baligh dan sekaligus sudah cakap dalam mengelola keuangan (ahliyat al-tasharruf). Dalam hukum fiqh diberlakukan syarat lain seperti cukup umur dalam arti siap mental
Swara Rahima - 21
Opini
dan tubuhnya, dan bisa mengurus diri sendiri tanpa membutuhkan bantuan siapapun. Itulah yang dikatakan dengan rusyd. Namun, definisi baligh secara fiqh itu akan berbeda dengan definisi baligh dilihat dari ukuran-ukuran sosial dan hukum positif, sebab batas baligh dalam hukum positif misalnya diatur dalam Undang-undang yang merupakan produk politik dan hukum. Mengapa isu baligh dekat dengan perbincangan tentang Kesehatan reproduksi? Ya sudah barang tentu. Sebab tanda-tanda baligh dalam hukum fiqh bersifat anatomis biologis yaitu menstruasi bagi perempuan atau mimpi basah bagi lelaki. Keduanya terkait dengan isu reproduksi. Karenanya, baligh dengan pengertian seperti itu semestinya difahami sebagai fase awal penanda kedewasaan fisik dan bukan fase penanda kedewasaan sosial dan psikologis. Baligh yang ditandai dengan haidl (menstruasi) merupakan fase kesadaran awal untuk persiapan saja, bukan fase kesiapan dalam bereproduksi, karena pada manusia bereproduksi itu tak hanya biologis tetapi psikologis dan sosial. Pada manusia penanda kedewasaannya harus berhimpitan antara dewasa fisik (haidl) dan sosial (tanggungjawab, matang, mandiri). Ini juga sebagai bukti bahwa manusia itu hewan yang berpikir (al-insan hayawanu al-nathiq). Kalau hanya hewan saja bolehlah penanda baligh-nya adalah haidl, tapi sebagai manusia itu tak cukup, tak memadai. Baru-baru ini diberitakan di Kenya, seorang anak 10 tahun melahirkan, ia telah haidl di umur 9 tahun lalu ada yang menghamili. Jelas itu akan menjadi persoalan karena dia baru mengalami baligh dengan tanda haidl saja bukan kedewasaan sosial dan psikologis. Karenanya harus dilakukan pemahaman lain dalam memaknai baligh. Apa dampak dari pemahaman tentang baligh ini terhadap berbagai aturan keagamaan, baik yang berkembang dalam ‘fiqh mu’amalah’ (hubungan antar manusia), ‘fiqh siyasah’ (kehidupan politik) dan ‘fiqh munakahah’ (relasi perkawinan)? Hal yang utama harus diingat adalah fiqh merupakan produk pemikiran manusia, disebut dengan ijtihad, yang terkait dengan konteks zaman, politik dan sosialnya.
22 - Swara Rahima
Secara umum fiqh diproduksi oleh ulama lelaki dengan bias dan prasangkanya. Fikih tentang ibadah, atau muamalah atau siyasah harus dibaca dalam kerangka patriarkhi dan bersemai dalam masyarakat yang juga patriarkhi. Meskipun semangat Alquran menjunjung pembebasan perempuan dari budak menjadi manusia merdeka, dari tak punya waris menjadi yang memiliki waris, dari pergundikan menjadi monogami namun dalam produk fiqh, semangat pembebasan itu terkerangkeng oleh fatwa yang bersifat hukum. Hal itu bisa dipahami sebab muatan fiqh adalah yurisprudensi, aturan legal formal, hukum yang pasti, dan bukan sosiologi hukum. Atas dasar itu kita bisa faham muatan fiqh terkait dengan fiqh apapun ketika terhubung dengan isu gender yang dirasakan adalah nuansa subordinatif. Fiqh memberi beban lebih besar kepada perempuan, menjatuhkan hukuman lebih berat kepada perempuan untuk setiap hal yang dianggap tak sesuai dengan ketentuan fiqh yang bias itu. Dalam kaitan ibadah, meskipun sama-sama diberi tanggung jawab shalat, aspek sosial dari shalat lebih besar diberikan kepada lelaki; seperti menjadi imam atau mengikuti shalat Jumat- misalnya. Menjadi imam jika dibaca sebagai ibadah ritual saja sih tak jadi masalah, namun ketika dibaca sebagai bukti atau penanda bahwa lelaki, atas restu Tuhan, menjadi pemimpin dan terlarang bagi perempuan, itu jelas persoalan. Shalat Jumat jika hanya sekedar memenuhi kewajiban syar’i ya monggo saja, tapi jika seperti ketika revolusi Iran berkecamuk, atau Arab Spring baru-baru ini terjadi di Mesir dan dunia Islam di Timur Tengah, di mana khutbah-khutbah politik diperdengarkan di mesjid pada Shalat Jum’at yang hanya bagi lelaki, maka perempuan jelas kehilangan kesempatannya untuk menyampaikan pemikiran politik mereka dalam situasi yang menentukan untuk masa depan mereka. Baligh dalam makna yang biologis juga berdampak beda kepada perempuan dan lelaki. Perempuan dengan alasan baligh-nya harus lebih dulu menanggung tanggung jawab misalnya dalam mengurus rumah tangga orang tuanya, dibandingkan
No. 49 Th. XV. April 2015
Opini
saudara lelakinya. Demikian halnya dalam kaitannya dengan kewajiban sosial seperti mengurus orang tua yang sakit, dll. Karena baligh pula perempuan harus menanggung akibatnya. Dalam masyarakat fundamentalis tanda baligh justru awal dari kekangan. Kita tahu dalam era Taliban di Afganistan atau sekarang ISIS di Suriah dan Irak, perempuan yang telah masuk aqil-baligh justru menghadapi ancaman yang luar biasa. Mereka dianggap menjadi pusat gangguan sosial, penyebab kerusakan sosial. Karenanya mereka harus dikekang, suara, tubuh, dan kecerdasannya dianggap aurat. Jadi terlihat betul kontradiksinya, baligh di satu pihak dianggap sebagai penanda kedewasaan dan tanggung jawab yang mandiri, dan tiba waktunya menjalankan kewajibannya sebagai tanggung jawab individu, namun dalam waktu yang bersamaan baligh justru dianggap sebagai masalah, tak boleh mandiri, tak boleh menunjukkan jati dirinya sebagai perempuan. Terkait fiqh mu’amalah, dalam pandangan fikih klasik yang dimaksud dengan fiqh mu’amalah adalah hukum keperdataan, hukum antar personal. Usia baligh dalam konteks fiqh mu’amalah, berarti pengaturan tanggung jawab dalam transaksi. Dalam pandangan fiqh klasik tak memandang jenis kelamin orang yang telah cakap dalam melakukan hubungan hukum keperdataan disebut telah rusyd (cerdas dan matang kepribadiannya). Akan tetapi, sebagaimana dalam fiqh ibadah, dalam muamalah terkandung bias gender yang sangat kental. Kedewasaan yang ditandai dengan baligh, haidl misalnya, tak secara otomatis diakui kedewasaannya. Sesuatu yang menuntut untuk dihadirkan seorang saksi, seperti dalam transaksi, jika saksi dari perempuan harus 2 orang. Dan itu tak berlaku bagi lelaki. Demikian halnya dalam perspektif fiqh siyasah. Dengan dalil dari fiqh ibadah di mana perempuan tak dibenarkan menjadi Imam, perempuan pun tak bisa menjadi pemimpin di ruang publik. Ini berarti definisi baligh bagi perempuan tak bermakna apa-apa bagi fiqh siyasah. Yang ada justru pengekangan. Terlebih dalam perspektif Fiqh munakahah. Sesungguhnya konsep baligh
No. 49 Th. XV. April 2015
sangat terkait dengan fikih perkawinan. Seseorang yang sudah baligh seringkali diasumsikan sebagai orang yang sudah siap menjalani perkawinannya. Ini merupakan dampak dari pemahaman bahwa seorang yang baligh adalah seorang yang mukallaf (siap menerima tanggungjawab). Padahal, mukallaf dalam pengertian asalnya hanya menerima tanggungjawab dalam beban untuk menjalankan ibadah seperti shalat, zakat fitrah, puasa, dll. Sedangkan yang lain, seperti mengelola keuangan harus sudah rusyd, kedewasaan pasca-baligh. Dalam diskursus keagamaan Islam, apa tanda-tanda baligh bagi lelaki dan perempuan? Dalam diskursus keagamaan Islam, khususnya dalam kitab fiqh klasik, tanda-tanda baligh sangat fisik biologis. Merujuk penjelasan teman peneliti Rumah Kitab, Mukti Ali, dalam pandangan Imam Syafii tandatanda baligh bagi laki-laki berumur 15 tahun dan sudah mengalami mimpi basah (ihtilam). Dan bagi perempuan ditandai keluarnya darah haidl (mensturasi). Sedangkan menurut Abu Hanifah, tanda-tanda baligh yaitu bagi laki-laki berumur 18 tahun dan bagi perempuan berumur 17 tahun Apakah definisi fiqh tentang baligh yang hanya menggunakan definisi fisik biologis mentolerir praktik pernikahan anak? Ada tiga alasan yang kami catat ketika praktik kawin anak dilakukan dan menggunakan argumentasi keagamaan: Pertama, praktik perkawinan Nabi dengan ‘Aisyah. Umat Islam yang mentolerir kawin anak yang terbesar adalah disebabkan Nabi Muhammad menikahi ‘Aisyah yang diyakini oleh mereka dalam sejarahnya masih berusia 7 tahun dan digauli pada usia 9 tahun. Hadis ini dijadikan dalil untuk melegitimasi kawin anak. Kedua, soal baligh. Soal ini juga termasuk argumentasi keagamaan bagi mereka yang mentolerir kawin anak. Bagi mereka usia baligh yang ditandai haidl dianggap sudah siap menerima tanggungjawab dalam ibadah ritual, mualamah dan perkawinan. Menurut pandangan ini, seseorang yang sudah baligh berarti sudah mukallaf. Mukallaf artinya seseorang yang sudah wajib melaksanakan perintah dan larangan agama. Sehingga dia sudah bertanggungjawab atas perbuatan sendiri.
Swara Rahima - 23
Opini
Ketiga, kawin anak juga terkait dengan pengertian wali mujbir. Mereka masih punya keyakinan bahwa orang tua berhak memilihkan jodoh bagi anaknya. Ini biasanya terjadi pada anak perempuan. Sebab, menurut mereka, perempuan yang masih gadis adalah hak bapaknya dan boleh dinikahkan secara paksa oleh orang tuanya selaku wali mujbir. Wali mujbir artinya ayah biologis atau kerabat biologis yang bisa ‘memaksakan kehendaknya’ tanpa meminta restu dari anak yang bersangkutan. Jika sang gadis terdiam ketika ditawarkan untuk kawin, maka sudah dianggap cukup sebagai pertanda ia mau dinikahkan. Saya dengan sangat sedih harus mengatakan definisi baligh dengan ukuran biologis ini kerap menjadi alasan berlangsungnya praktik kawin anak. Istilah baligh seringkali tidak berdiri sendiri. Ia sering dikaitkan dengan kata ‘aqil, sehingga ada kosa kata akil-baligh yang seringkali kita dengar. Apa maknanya? Nah, ini sangat menarik, dan menurut saya justru kuncinya di sini. Kata baligh seharusnya tak boleh berdiri sendiri melainkan harus digandeng dengan kata ‘aqil. ‘Aqil dan baligh memang kata yang mengandung arti yang berbeda. Tapi kalau dalam konteks tertentu keduanya saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Sebagaimana konteks taklif (mulai diberlakukannya kewajiban menjalankan ajaran agama), dan orang yang ter-taklif atau mukallaf (individu yang pada dirinya sudah dibebani ajaran agama). Kata aqil-baligh itu sendiri muncul dan digunakan dalam konteks seseorang yang sudah menjadi mukallaf. Mukallaf itu tidak bisa direduksi hanya soal usia baligh biologis saja, melainkan juga baligh mental sosialnya yang didasarkan kepada kemampuan dalam berpikir, ‘aqil/akil. Secara sederhana, ‘aqil merupakan kata subyek yang artinya “orang yang berakal”. Namun sering kali ‘aqil diartikan secara sederhana sebagai lawan kata majnun (gila). Padahal yang dikehendaki dengan ‘aqil adalah fase-fase kedewasaan dan kesadaran manusia. Untuk menuju baligh, ada usia yang disebut dengan usia tamyiz.
24 - Swara Rahima
Artinya usia manusia berakal yang sudah bisa membedakan baik dan buruk, benar dan salah. Dalam fase tamyiz saja sudah jelas manusia harus mendayagunakan akalnya dengan menyerap pengetahuan. Umumnya ulama menyebut fase tamyiz ini dimulai pada usia 7 tahun saat dimana akal dapat digunakan sesuai umurnya. Sebab tidak akan bisa mencapai fase tamyiz itu tanpa akal dan tanpa pendidikan. Dan jika akal manusia pada usia 7 tahun masih belum bisa membedakan baik dan buruk, benar dan salah, maka dia belum tergolong fase tamyiz. Namun pada fase tamyiz inilah dimulainya pengenalan doktrin agama, terutama soal ibadah meskipun belum wajib diamalkan. Setelah fase tamyiz, dikenal dengan fase murahiq (remaja atau pubertas). Secara psikologis, fase murahiq merupakan fase yang secara kejiwaan masih labil, puberitas, dan fase mencari jati diri. Dalam perspektif fiqh klasik, seseorang yang memasuki fase tamyiz biasanya mulai usia 7 tahun sampai usia baligh yaitu 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan kalau menurut as-Syafii dan 17 tahun bagi perempuan dan 18 tahun menurut Abu Hanifah. Sedangkan fase muraheq, menurut Imam as-Syafii dimulai dari usia baligh (15 tahun) sampai sekitar 17 atau 18 tahun. Fase berikutnya yaitu fase rusyd. Yaitu fase dimana seseorang yang telah memasuki usia dewasa, jiwanya betul-betul matang, pantas dan sudah punya kecakapan untuk berbisnis mengelola keuangan dan menikah. Fase rusyd ini merupakan fase baligh secara mental, kejiwaan, pemikiran, yang terjadi setelah atau pasca baligh secara fisik biologis. Rusyd ini lebih kepada kematangan berfikir dan kedewasaan psikologis sehingga seseorang sanggup menerima beban berat. Ini
No. 49 Th. XV. April 2015
Opini
sangat berkaitan dengan ‘aqil. Karena itu ‘aqil dan baligh tidak bisa dipisah-pisahkan. Dan untuk menghindari baligh tapi safiq (tidak berpendidikan), maka tentunya seseorang harus terlebih dahulu belajar, sekolah dan berpengetahuan yang sudah pasti membutuhkan waktu dan usia. Penjelasan di atas semata-mata didasarkan pada nomenklatur fiqh klasik. Lalu apa masalahnya bagi kita sekarang. Pemahaman ‘aqil baligh direduksi menjadi hanya baligh saja dengan tanda-tanda fisik biologis. Praktik kawin anak hampir seluruhnya berpangkal pada definisi itu. Hampir tidak ada yang berani keluar dari pemaknaan itu dengan misalnya menekankan aspek ‘aqil-nya. Inilah yang dalam pemahaman saya menjadi penyebab sulitnya kita keluar dari isu kawin anak. Para ahli fiqh tak mau bergeser dan menggunakan ‘aqil-baligh secara konsisten dan istiqamah. Persoalan kedua, ‘aqil-baligh perempuan sama sekali tak dikaitkan dengan kepemilikan pengetahuan sebagai syarat kedewasaannya. Bukan halnya dalam perkawinan tetapi dalam urusan pekerjaan. Karena perempuan dianggap tak cukup punya kecakapan dalam akalnya, maka status sosial perempuan di masyarakat, dalam dunia kerja, dalam hierarki jabatan selalu di bawah lelaki, meskipun bolak-balik teruji tingkat kecerdasan perempuan kerap lebih unggul. Isu-isu apa saja yang seringkali menjadi konsekuensi setelah seseorang dinyatakan sebagai ‘aqil-baligh? Telah dimemukakan tadi, ‘aqil-baligh mengandung persoalan bias gender. Pada perempuan ‘aqil-baligh direduksi pada pemahaman baligh biologis saja, yaitu haidl. Ini secara fiqh tentu saja terkait dengan subordinasi mereka dalam aspek ibadah, muamalah dan siyasah serta persoalan al-akhwal al-syakhsiyah. Dalam fikih klasik, terdapat beberapa bagian yang dibahas di dalamnya yaitu soal ritual ibadah (‘ubudiyah), perkawinan (munakahat), muamalat (interaksi atau hubungan antar manusia yang bersifat transaksionis seperti jual beli, dll.), dan jinayat (hukum pidana). Sekarang kita lihat dalam isu jinayat. Orang sering mengatakan bahwa fikih Islam sangat sadar gender. Jumlah cambuk yang dipecutkan kepada lelaki lebih berat dibandingkan kepada perempuan. Tapi orang tak mengerti bahwa dampak sanksi itu berbeda. Masyarakat
No. 49 Th. XV. April 2015
memberi ruang permakluman yang besar kepada lelaki yang melanggar qanun jinayah seperti minum khamr (minuman beralkohol), zina dan maisir (judi), sebab laki-laki masih dianggap pantas melakukan perbuatan serupa itu, tapi tidak pada perempuan. Perempuan yang melanggar qanun jinayah menerima sanksi sosial lebih berat dan berkepanjangan dan sulit terhapus dibandingkan dengan lelaki. Para ulama dan fuqaha berbeda pendapat tentang makna dan batasan baligh. Kenapa ini terjadi? Dan apa dampaknya pada praktik kehidupan masyarakat muslim maupun regulasi tentang batas usia minimum perkawinan di berbagai negara muslim? Semua persoalan itu masih diperdebatkan. Adanya perbedaan pendapat antar ulama (khilafiyah) dan tidak ada konsensus di dalamnya menunjukkan bahwa itu adalah persoalan yang bersifat ijtihadi. Artinya, tidak ada ketegasan tekstual yang bersifat pasti. Karenanya keputusan diserahkan pada para ulama untuk memutuskan melalui penggalian dan penalaran rasionalitasnya berdasarkan kaedah dan metode yang mereka pilih. Karenanya perbedaan latar belakang teriorial, sosio-kultur, sosio-ekonomi dan sosio-politik dapat mempengaruhi keputusan ulama dalam berijtihad. Demikian halnya dengan persoalan batasan usia baligh. Dalam khazanah klasik Islam, atau di pesantren disebut kitab kuning, ulama pada umumnya terbelah ke dalam dua pendapat yang berbeda. Pertama, pendapat Imam as-Syafi’i yang menyatakan bahwa usia baligh adalah 15 tahun. Kedua, Imam Abu Hanifah yang berpendapat bahwa usia baligh adalah 18 tahun bagi laki-laki, dan 17 tahun bagi perempuan. Konteks dimana ulama berada dan mengembangkan pemikirannya serta konteks sosial politiknya niscaya berpengaruh kepada pendapatnya. Imam asSyafii adalah seorang ulama asli bangsa/suku Arab. Bahkan nasabnya diklaim nyambung sampai ke Nabi Muhammad saw. Sejak kecil hingga dewasa hidup dalam kultur Arab. Masa pengembaraan pencarian ilmunya juga di semenanjung Arab. Latar belakang kultural dan sosialnya yang mengkonstruksi intelektualitas kefaqih-an al-Syafi’i adalah Arab. Setelah pindah ke Irak, pendapat-pendapatnya didengar dan diikuti pengikut setia. Di Irak lahir pendapat-pendapatnya yang disebut
Swara Rahima - 25
Opini
sebagai qaul qadim (pendapat lama). Dari Irak ia pindah ke Mesir. Di Mesir, setelah melihat kultur dan budaya Mesir yang berbeda dengan Arab dan Irak, serta budaya agraris yang berbeda dengan budaya gurun pasir, ia kemudian merevisi pandangan-padangannya terdahulu. Tercetuslah pandangan-pandangannya yang disebut dengan qaul jadid (pendapat baru) yang merevisi pendapat lama terutama dalam bab bersuci. Sebaliknya, Imam Abu Hanifah adalah ulama yang berasal dari Persia. Sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk bergaul dan berinteraksi di tengah-tengah masyarakat kosmopolitan. Tak mengherankan karena ia juga seorang saudagar. Sehari-harinya ia bergaul dengan orang pasar, yang meniscayakan bertemu dengan banyak orang dari berbagai latar belakang. Selain itu, di Persia filsafat tumbuh subur. Kalau dilihat dari latar kultur dan sosiologis yang berbeda di antara keduanya, yaitu Imam Al-Syafii tumbuh kembang dalam kultur Arab dan Imam Abu Hanifah dalam kultur Persia, maka bisa dimengerti jika keduanya memiliki pandangan yang berbeda dalam memahami definisi dan makna baligh itu. Bias kultural itu bisa terlihat dalam pendapat-pendapatnya. Dr. Nashr Hamid Abu Zaid menengarai adanya bias Arabisme dalam pendapat-pendapat as-Syafii. Pandangannya tentang perempuan sangat konservatif dan ndeso. Sebaliknya Imam Abu Hanifah ngota. Dampak perbedaan pendapat tersebut bagi dunia muslim bisa kita lihat dalam memaknai batasan umur itu. Kita bisa lihat dalam sejarah pendapat Abu Hanifah yang menetapkan usia baligh lelaki 18 tahun dan bagi perempuan 17 tahun pernah diterapkan pada zaman Turki Ottoman. Bahkan madzhab Abu Hanifah adalah madzhab resmi Turki Ottoman. Pada Abad ke-14 M, Turki Ottoman menerapkan undangundang pembatasan usia perkawinan dengan standar tersebut, yaitu usia 18 tahun ke atas bagi laki-laki dan 17 tahun ke atas bagi perempuan. Demikian halnya ketika menentukan batas aurat perempuan, di mana pendapat Abu Hanifah lebih moderat dan cocok bagi kaum pekerja yang membutuhkan mobilitas cepat. Sementara di Indonesia sendiri mayoritas muslim menganut madzhab Syafi’i. Sebagai mana di sebutkan bahwa usia baligh menurut Syafi’i adalah 15 tahun. Sehingga dalam undang-undang perkawinan No. 1, tahun
26 - Swara Rahima
1974 diterapkan batas usia kawin adalah 16 tahun. Ini jelas merupakan pengaruh dari pandangan al-Syafi’i yang menyatakan bahwa baligh adalah setelah usia 15 tahun. Nah, jika usia pernikahan yang saat ini sedang diperjuangkan untuk dinaikkan dari usia 16 tahun ke usia 18 tahun (baca wawancara dengan Zoemrotin). Mungkin langkah yang perlu dilakukan adalah merevisi atau merekonstruksi persoalan ini yang ada dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) dan diperjuangkan di tingkat undang-undang bersama anggota DPR. Pertimbangan penalaran syariatnya bisa menggunakan metode ushul fiqh yang bisa diterima secara umum, misalnya dengan mengemukakan data-data tentang dampak kawin anak yang sangat buruk berupa peningkatan Angka Kematian Ibu (AKI), penurunan kualitas hidup perempuan, kelahiran bayi berat badan rendah dan seterusnya, maka kita bisa melakukan konversi ke pendapat madzhab lain, misalkan ke madzhab Abu Hanifah. Ini saya yakin bisa dilakukan jika ada kemaslahat dan kebaikan yang lebih. Sesungguhnya kita sering kali menggunakan kaidah hukum fiqh serupa itu, atau kaidah kedaruratan. Umat Islam Indonesia sebetulnya telah lama melakukan “pindah mazhab” seperti dalam ibadah haji. Kalau ibadah haji tetap konsisten dengan menggunakan pendapat-pendapat as-Syafi’i, maka akan banyak aspek ibadah itu tidak dapat terpenuhi. Solusinya pemerintah kita menggunakan pendapat madzhab non-Syafi’i yang lebih tepat dengan kekinian zaman. Begitu juga soal batasan usia nikah. Dalam hal ini, kita menunggu negara untuk menetapkan undang-undang yang berbasis dan berorientasi pada kemaslahatan rakyat. Dalam satu kaidah fikih ada semangat yang sangat kuat soal keharusan negara sebagai imam untuk mengambil langkah yang terbaik, ‘tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyah manuthun bi al-maslahat’ (kebijakan pemerintah harus sesuai dengan kemaslahatan bagi rakyatnya). Kalau pemerintah menetapkan undang-undang batas usia nikah naik dari 16 tahun ke 18 tahun dan tetap hendak mendasarkan pada pendapat ulama maka mereka bisa mengacu kepada pendapat ulama klasik, yaitu Imam Abu Hanifah. Dengan demikian ketetapan pemerintah itu mengikuti hukum syariah yang harus dipatuhi oleh seluruh rakyat terkhusus umat Islam. Di sana kita menerapkan pluralisme hukum yang di dalamnya tak terdapat dualisme hukum. Hukum dan undang-undang negara yang telah ditetapkan mengandung kemaslahatan bagi rakyat.
No. 49 Th. XV. April 2015
Opini
Dalam satu kaidah fikih dikatakan, “ketetapan pemerintah menghapus perbedaan pendapat”. Kalau kaidah ini dikontekskan dalam persoalan kawin anak, maka pro-kontra batasan usia dan berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama terhapuskan dengan sendirinya oleh ketetapan hukum dan undang-undang pemerintah. Dinasti Turki Ottoman saja menggunakan undangundang usia nikah di usia 18 tahun ke atas bagi laki-laki dan di 17 tahun ke atas bagi perempuan, itu mengadopsi pendapat Imam Abu Hanifah. Artinya bahwa persoalan-persoalan umum yang berkaitan dengan hubungan antar manusia yang berada di ruang publik haruslah mengacu kepada kepentingan publik, dan imamnya adalah kebijakan pemerintah. Bagi umat Islam aturan pemerintah harus dipatuhi, sebab kebijakan itu adalah syariat Islam itu sendiri. Perbedaan pendapat antar ulama boleh diterima selama menyangkut persoalan-persoalan ibadah, private domain, dan bukan persoalan hubungan antar manusia. Sedangkan persoalan di ruang publik yang menyangkut urusan antar manusia, seperti soal pernikahan, berada dalam aturan hukum dan undang-undang pemerintah. Dengan demikian, pemerintah dapat mengatur regulasi pernikahan dll. Adakah isu baligh seringkali juga dijadikan alasan bagi orang tua, untuk mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak lain? Misalnya menikahkan anak perempuannya sesegera mungkin, sehingga tanggung jawab beralih kepada suaminya? Memang dalam perspektif fiqh, baligh itu adalah ciri seseorang mukallaf. Bagi orang tua pada umumnya seorang anak yang sudah mukallaf, sudah tidak ada kaitan lagi dengan orang tua. Tak heran jika ini mengandung kesan peralihan beban tanggungjawab dari orang tua ke anaknya. Selain faktor pengertian mukallaf dan baligh tersebut, pengalihan tanggung jawab juga terkait dengan faktor ekonomi keluarga. Dengan menikahkan putrinya, secara otomatis tanggungjawab untuk menafkahi anak bukan lagi tanggungjawab orang tua, bahkan sebaliknya anak bisa menyumbangkan tambahan ekonomi keluarga dengan menumpang pada keluarga anaknya. Kita tahu bahwa dalam Islam, laki-laki berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya.
No. 49 Th. XV. April 2015
Namun kenyatannya tak seperti itu, sejumlah studi menunjukkan perkawinan anak berakhir di usia perkawinan di bawah 1 tahun. Dan tanggung jawab janda anak itu ditibankan kepada orang tuanya, bayangkan jika anak itu telah juga punya anak. Dan karena umumnya perkawinan itu tak dicatatkan alias kawin di bawah tangan (sirri), seringkali istri tak mendapatkan hakhaknya dari perceraiannya. Studi van Huis di Cianjur dan studi saya di Makasar menunjukkan hal iu. Bahkan dalam perkawinan yang sah dan perceraian berlangsung di Peradilan Agama, hak ekonominya cenderung tak dipenuhi meskipun pada putusannya ada hak bagi si janda dan anak-anaknya atau hadhanah. Apakah pemaknaan soal baligh perlu diinterpretasi kembali dalam konteks kekinian? Ya. Kita bisa memulainya dengan melihat kata baligh yang terdapat di dalam Alquran. Sebab kita bisa melihat kata baligh dalam Alquran digunakan dalam konteks apa yang dibicarakan. Paling tidak terdapat dua kata baligh yang ada di dalam Alquran, yaitu QS. Al-Nisa: 6 dan QS. Al-Ahqaf:15. Dalam QS. Al-Nisa:6, yang berbunyi;
ستُ ْم ِم ْن ُه ْم ْ َاح فَإِنْ آن َ َوا ْبتَلُوا ا ْليَتَا َم ٰى َحتَّ ٰى إِ َذا بَلَ ُغوا النِّ َك س َرافًا َوبِدَا ًرا ْ ُر ْ ِشدًا فَا ْدفَ ُعوا إِلَ ْي ِه ْم أَ ْم َوالَ ُه ْم َو َل تَأْ ُكلُوهَا إ ستَ ْعفِفْ َو َمنْ َكانَ فَقِي ًرا ْ َأَنْ يَ ْكبَ ُروا َو َمنْ َكانَ َغنِيًّا فَ ْلي ش ِهدُوا ْ َ وف فَإِ َذا َدفَ ْعتُ ْم إِلَ ْي ِه ْم أَ ْم َوالَ ُه ْم فَأ ِ فَ ْليَأْ ُك ْل بِا ْل َم ْع ُر َّ َِعلَ ْي ِه ْم َو َكفَ ٰى ب ﴾٦:﴿النساء سيبًا ِ اللِ َح “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta
Swara Rahima - 27
Opini
kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).”. [QS. Al-Nisa: 6] Ayat tersebut menjelaskan bahwa waktu yang tepat dalam rangka menyerahkan harta kekayaan anak yatim dari harta tinggalan orang tuanya yang telah wafat, terlebih dahulu dilihat apakah dia sudah cukup cerdas atau matang pemikirannya sehingga sanggup memelihara harta atau tidak. Jika sudah cakap untuk bisa memelihara harta, maka itulah saat yang tepat harta diserahkan kepadanya. Atau sampai mereka menikah. Bagi penjaganya, boleh mengambil, menggunakan atau mengambil sebagian harta mereka sebagai manajemen fee yang sesuai dengan pekerjaannya, tidak berlebihan. Namun bagi mereka yang berkecukupan, lebih baik tidak mengambilnya. Saat menyerahkan harta kepada anak yatim yang berhak hendaklah ada saksi. Kalau kita simak ayat tersebut, terdapat kata baligh yang digunakan dalam konteks membicarakan seseorang yang cukup umur untuk kawin. Lalu dilanjutkan dengan penjelasan bahwa indikasi cukup umur untuk kawin adalah dengan adanya kecerdasan dan kecakapan seseorang dalam mengelola keuangan, yang disebut dengan rusyd. Memang rusyd dalam Alquran tidak dibatasi oleh usia tertentu. Hanya terdapat indikasiindikasi dan tanda-tanda seperti sudah mempunyai kepribadian yang dewasa, punya kemandirian sikap, dan mampu mengatur ekonomi dan mengatur diri sendiri. Rusyd adalah kemampuan manusia dalam memikul beban kehidupan, kewajiban sebagai umat Islam dan sebagai warga negara tanpa merasa terbebani. Lalu apa yang dimaksud dengan kata rusyd? Sebagaimana kata rusyd yang terdapat dalam Alquran yang berbunyi; “Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu (rusyd)?” (QS: Al-Kahfi: 66). Kata al-rusyd dalam Alquran mengandung arti ilmu pengetahuan yang benar, petunjuk dan kebenaran. Sehingga manusia yang layak dikatakan sebagai seseorang yang sudah memasuki fase al-rusyd adalah seseorang yang kepribadian dan kejiwaannya sudah lebih matang, tubuhnya sudah siap bereproduksi, siap menerima hak dan kewajiban, bisa bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan bertanggung jawab
28 - Swara Rahima
untuk menerima konsekwensi hukum atas tindakantindakannya, termasuk di dalamnya adalah hukuman itu sendiri. Dan menurut kesepakatan internasional dan pemikiran keagamaan dan kemanusiaan menetapkan bahwa manusia yang sudah disebut rusyd adalah mereka yang memasuki usia 18 tahun. Seseorang yang sudah mencapai kematangan (alrusyd) tubuh dan akalnya, sehingga usia matang (rusyd) merupakan usia layak kawin dan usia layak bekerja. Usia matang, al-rusyd, bisa kita bagi ke dalam tiga tahapan selaras dengan teks keagamaan (Alquran dan hadits) dan khazanah pemikiran Islam secara khusus dan pemikiran manusia secara umum, yang menjelaskan bahwa alrusyd terdapat tiga golongan, yaitu rusyd ahliyah (usia matang dalam kecakapan atau kepantasan), rusyd kafaah (matang dalam arti kemandirian) dan rusyd kaffah (usia kematangan yang paripurna/sempurna). Pertama. Rusyd ahliyah (usia matang dalam arti kecakapan atau kepantasan). Kematangan dalam kecakapan dan kepantasan menerima ketetapan hukum dan konsekwensinya. Ini merupakan puncak kematangan perkembangan tubuh, jiwa dan akal. Sehingga sampai pada usia tertentu yang menjadikan manusia—baik perempuan atau laki-laki—sebagai penanggungjawab atas diri sendiri dan tindakan-tindakannya. Karenanya sudah layak undang-undang diberlakukan padanya. Usia ini merupakan usia pemisah antara usia kekanakkanakan dan usia matang yang sanggup memikul beban tanggungjawab dan undang-undang, dan kebebasan kepribadian di mana masa transisi terjadi mengguncang di antara usia baligh, hak bertindak atau beraktivitas, usia belia dan usia perkawinan. Dan fase ini merupakan usia yang sudah definitif sebagai usia matang manusia yang siap menjalankan undang-undang negara. Sehingga manusia— baik laki-laki atau perempuan—harus patuh pada ketetapan undang-undang dan hukuman-hukumannya secara utuh. Dan dia sudah layak berpartisipasi dalam Pemilihan Umum dan mampu berjalan sendiri tanpa ada kawalan sosial atau keluarga atau pun undang-undang. Usia ini adalah usia yang berada di tengah-tengah di antara usia kekanak-kanakan dan usia matang (rusyd). Sesudah usia tersebut, maka tugas keluarga bertanggungjawab untuk memberikan kebebasan bagi anak-anaknya untuk memilih dan tidak mengekang atau memaksanya, dan keluarga harus membantu dan mensuportnya agar sejak dini sudah merasakan memikul tanggungjawab.
No. 49 Th. XV. April 2015
Opini
Kedua. Rusyd dalam arti usia kemandirian. Rusyd dalam arti mandiri. Usia di mana seseorang sudah mencapai pribadi yang mandiri dalam mengambil keputusan, mampu untuk berfikir secara mandiri total. Usia ini lah manusia sanggup memikul beban tanggungjawab pernikahan, berbisnis dengan mengatur perekonomian sendiri, dan berbagai sikap yang harus diambil melalui inisiatif dan pemikiran sendiri tentunya dengan sudah mampu mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang diakibatkan dari tindakannya. Perbedaan di antara keduanya, yaitu rusyd dalam arti kecakapan atau kepantasan dan rusyd dalam arti berjiwa mandiri. Yaitu kalau yang pertama, merupakan fase permulaan bagi seseorang yang sudah pantas untuk menerima dan melakukan sebaik mungkin undang-udang negara dan tentunya juga ajaranajaran agamanya. Hanya sebatas itu. Sedangkan yang kedua, fase yang lebih matang dari fase yang pertama. Selain sudah memiliki kepantasan untuk menjalankan segenap tata tertib negara dan segenap ajaran agama, sekaligus secara kejiwaan sudah matang, dewasa, mandiri, mengetahui harus bagaimana dia bersikap dan menyikapi segenap persoalan secara mandiri. Fase inilah seseorang sudah siap untuk berumah tangga. Ketiga, Al-rusyd al-tam (usia kematangan yang sempurna). Fase ini adalah fase matang, dan memang dalam teks agama tidak ada ketentuan usia dari usia berapa fase kematangan yang sempurna ini, tapi yang jelas fase ini tertulis dalam teks al-Quran disebutkan sampai pada usia usia 40 tahun. Kalau sudah usia 40 tahun seseorang sudah tergolong sudah tua. Disebut tergolong
sykeh (orang tua). Kematangan fase ini merupakan puncak pengalaman manusia. Sebab dalam usia 40 tahun itu akal dan pemahaman manusia telah paripurna. Dan dia sudah mampu berinteraksi dan berkontribusi sosial secara aktif. Sebagaimana disebutkan dalam Alquran:
ً سانا ً َح َملَ ْتهُ أُ ُّمهُ ُك ْرها َّ َو َو َ سانَ بِ َوالِ َد ْي ِه إِ ْح َ الن ِ ْ ص ْينَا ش ْهراً َحتَّى َ َصالُهُ ثَ َلثُون َ ِض َع ْتهُ ُك ْرها ً َو َح ْملُهُ َوف َ َو َو ْسنَةً قَا َل َر ِّب أَ ْو ِز ْعنِي أَن ُ َإِ َذا بَلَ َغ أ َ َش َّدهُ َوبَلَ َغ أَ ْربَ ِعين ْ َأ ْي َوأَن َّ ش ُك َر نِ ْع َمتَ َك الَّتِي أَ ْن َع ْمتَ َعلَ َّي َو َعلَى َوالِ َد ُصلِ ْح لِي فِي ُذ ِّريَّتِي إِنِّي تُ ْبت ْ َضاهُ َوأ َ صالِحا ً ت َْر َ أَ ْع َم َل َسلِ ِمين ْ إِلَ ْي َك َوإِنِّي ِمنَ ا ْل ُم “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang (ibu dan bapaknya), ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmatMu, yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu dan bapaku dan supaya aku dapat berbuat amal shalih yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucukku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.1 Rusyd merupakan fase pertumbuhan yang matang di antara kesempurnaan pertumbuhan tubuh, psikologi dan akal. Sementara baligh dalam pengertian perkembangan fisik biologis (menstruasi bagi perempuan dan mimpi basah bagi laki-laki), merupakan salah satu fase menuju fase rusyd meski bukan fase satu-satunya. Sebab baligh dalam arti fisik biologis yang ditandai dengan menstruasi (haid) dan mimpi basah, adalah usia di mana seseorang sudah saatnya untuk menjalankan ibadah yang bersifat ritual, seperti sholat dan puasa, yang disebut dengan mukallaf. Baligh merupakan tanda kalau seseorang itu sudah saatnya diberi beban 1 QS. Al-Ahqaf: 15
No. 49 Th. XV. April 2015
Swara Rahima - 29
Opini
kewajiban untuk menjalankan shalat lima waktu dan berpuasa di bulan ramadhan, dan belum diperkenankan atau belum saatnya untuk diberi beban yang lain seperti pernikahan yang menyangkut orang lain atau mengatur keuangan sendiri. Nah, fase rusyd itulah adalah fase pasca-baligh, disebut dengan bulugh sinni al-rusyd [telah tiba saatnya pada usia matang]. Rusyd juga tergolong baligh dalam terminologi Alquran, yaitu bulugh sinn al-rusyd (usia matang). Memang usia matang dalam Islam tidak ditentukan pada usia berapa seseorang disebut dengan usia matang itu. Akan tetapi kalau memang as-Syafii menentukan usia baligh fisik biologis adalah 15 tahun, dan Abu Hanifah menentukan usia baligh fisik biologis adalah 17 tahun bagi perempuan dan 18 tahun bagi lelaki. Maka usia matang (rusyd) itu berarti kalau menurut as-Syafi’i adalah pasca usia 15 tahun dan menurut Abu Hanifah adalah pasca usia 17 tahun bagi perempuan dan 18 tahun bagi lelaki. Tapi sebelum memasuki usia matang, ada masa-masa pubertas yang biasanya dialami pada masa usia 15 ke atas (versi as-Syaf’i) atau 17/18 tahun (versi Abu Hanifah). Pubertas dalam istilah fikih klasik disebut dengan muraheq. Berarti fase rusyd adalah fase pasca-pubertas. Jika negara atau dunia internasional menentukan usia perkawinan itu di atas 18 tahun maka usia itu adalah usia yang cukup matang (rusyd), atau disebut bulugh sinni al-rusyd. Menyadari bahwa kematangan itu bersifat kontekstual, Islam sendiri tidak ditentukan batas angka dalam usia yang bisa dikatakan matang (rusyd). Karenanya yang menjadi penentu adalah tujuan-tujuan mulia sebuah pernikahan, yaitu menciptakan rumah tangga damai, tentram dan rahmat serta berhak sebagaimana yang tertera dalam ayat-ayat al-Quran. Dan masyarakat global berijtihad bahwa agar mencapai tujuan pernikahan itu maka harus lah diberi kepastian batasan usia yang sekiranya sudah siap secara mental, psikologis, kesehatan reproduksi, fisik biologis, dan pengetahuan memadai untuk mewujudkan tujuan-tujuan pernikahan itu. Bagaimana menggunakan argumentasi tentang pemaknaan kembali atas istilah baligh ini untuk mengubah regulasi tentang usia minimum untuk menikah dan menghapus praktik pernikahan anak? Pertama-tama, terlebih dahulu mengubah makna baligh dari biologis ke sosial, kedewasaan biologis
30 - Swara Rahima
(baligh) harus senafas dengan kedewasaan sosial yang merupakan kontsruksi sosialnya (‘aqil). Kita harus mengadakan sosialisasi buku kajian teks yang menjelaskan argumentasi dan dalil-dali tentang baligh secara komprehensif. Kami di Rumah Kitab sedang menyusun buku kajian teks tentang kawin anak. Kedua, melakukan kajian dampak kawin anak akibat pemahaman baligh yang biologis itu. Ketiga, kita harus melakukan penyusunan argumentasi fiqh yang dapat mematahkan argumen soal kawin anak. Dan terakhir adalah soal tanggung jawab negara. Penelitian kami di berbagai daerah, bahwa kawin anak merupakan fenomena sosial yang sangat parah, dan karenanya kami menyebutkan mereka adalah Yatim Piatu Sosial. Banyak cara bisa dilakukan, tapi menurut pendapat saya kawin anak adalah gejala paling permukaan dari kebudayaan yang zalim. Karenanya penyelesaiannya tak bisa sepotong-sepotong. Ini soal bangsa yang harus diselesaikan dalam aspek ketentuam hukum stuktur dan kultur hukum. Ini terkait dengan perubahan kebudayaan. {} AD. Kusumaningtyas
Ingin tahu informasi tentang isu Islam, gender dan hak-hak perempuan? atau situasi gerakan perempuan maupun kiprah para pendamping di komunitas?
Silakan kunjungi website Rahima di www.rahima.or.id. Beberapa artikel pilihan tersaji juga dalam menu English version
No. 49 Th. XV. April 2015
Tafsir Alquran
Kematangan Biologis, Psikologis dan Sosial
Perspektif Alquran Oleh : Ustadz Imam Nahe’i, MAg. Makna ‘Aqil Baligh Apa yang dibayangkan orang ketika mendengar kata ’aqil baligh? Apa dampaknya bagi seorang yang belum dan telah menyandang kata itu? Pada umumnya seorang membayangkan kata ’aqil baligh sebagai petanda awal mula seorang berkewajiban melakukan perintah agama seperti shalat, zakat, haji, jihad, menikah dan meninggalkan larangan agama seperti mencuri, berzina, berbuat zhalim, memperbudak orang lain, menelantarkan orang yang lemah, menindas, menghinakan kemanusiaan dan larangan-larangan agama yang lain. Sebelum memasuki kajian ini, ada baiknya mengungkap apa makna kata ini, sebab kekeliruan memahaminya berdampak pada kekacauan pemahaman konsep-konsep turunannya. Secara bahasa kata ’aqil bermakna “seseorang yang berakal”, sedang baligh berarti “seorang yang telah sampai”. Jika digabung kedua kata itu, maka bermakna “orang berakal yang telah sampai”, yang tentu saja makna ini sulit dipahami. Sesungguhnya di dalam kitabkitab fiqh lebih dikenal istilah “balighan ’aqilan”, yang berarti “orang yang telah sampai dan berakal”, artinya seorang yang telah sampai pada usia berakal. Sebagian kitab fiqh justru menyebut dengan “baalighan- ’aaqilanrasyiidan” yang bermakna seorang yang telah sampai, berakal, dan dewasa. Di dalam kitab-kitab fiqh kata-kata baalighan, ’aaqilan, rasyiidan pada umumnya digunakan untuk menjelaskan kata “mukallaf”. Mukallaf secara bahasa bermakna “orang yang dibebani”. Sedang secara terminologis mukallaf adalah orang yang dibebani untuk melaksanakan seluruh ketentuan hukum yang disyariatkan Allah dan Rasulnya, artinya orang yang telah mendapatkan beban kewajiban dan larangan syariah, atau dalam bahasa lain orang yang telah
No. 49 Th. XV. April 2015
menerima beban hukum syariah yaitu wajib, sunnah, mubah, haram dan makruh, khilafu al-aula, makruh tanzih, makruh tahrim, shihhah (shahih), buthlan (bathil) dan lain-lain. Kapan seseorang telah sampai pada usia mukallaf? Ulama fiqh menjawab, yaitu bila seorang telah sampai pada usia mukalllaf (sinnu at-taklif) yaitu bila ia telah baligh, berakal dan dewasa. Ketiga kata [1] baalighan, [2] ’aaqilan dan [3] rasyiidan adalah sifat yang selalu melekat pada seorang mukallaf. Artinya tidak bisa disebut mukallaf jika seseorang tidak baligh, seseorang yang baligh juga tidak disebut mukallaf jika ia tidak berakal, dan seseorang tidak disebut mukallaf jika ia hanya baligh, berakal tetapi tidak dewasa. Jadi mukallaf adalah orang yang sekaligus telah baligh, berakal dan dewasa. Inilah konsep dasar apa yang disebut dengan mukallaf atau sinnu at-taklief. Sekalipun dalam belantara kajian fiqh konsep sinnu attaklief ini mengalami perubahan-perubahan makna. Seperti apakah haji yang dilakukan anak kecil hukumnya sah? Ulama fiqh umumnya menjawab sah, padahal ia belum sampai pada usia taklief. Contoh lain apakah pernikahan anak kecil sah secara agama? Ulama fiqh pada umumnya juga menjawab sah, padahal ia belum memasuki usia taklif, sekalipun ada sebagian ulama yang menyatakan batal. Sinnu at-taklief (usia mukallaf) menjadi titik awal perjalanan manusia untuk menjadi manusia yang sesungguhnya, dalam arti ia telah memiliki hak-hak sebagai manusia dan sekaligus mendapatkan beban kewajiban melakukan atau larangan meninggalkan ketentuan hukum syariah. Sepanjang perjalanannya, manusia menapaki 5 periode kehidupan, yaitu, [1] periode janin, [2] periode anak-anak, [3] periode tamyiz (periode kemampuan untuk membedakan), [4] periode
Swara Rahima - 31
Tafsir Alquran
baligh, [5] periode ar-rusydu (dewasa). Periode janin dimulai sejak kehamilan sampai dilahirkan, periode anak-anak dimulai dari sejak terlahir sampai usia tamyiz yaitu kurang lebih usia 7 tahun, usia tamyiz dimulai sejak usia 7 tahun sampai usia baligh, dan terahir usia arrusdu dimulai sejak dari usia baligh sampai pada dewasa, sekalipun seringkali usia ar-rusydu bisa saja bersamaan dengan usia baligh bahkan bisa terjadi sejak usia tamyiz. Pertanyaannya, kapan seseorang diyakini telah sampai usia baligh, berakal dan dewasa? Ulama fiqh sepakat bahwa bermimpi basah adalah awal dari usia baligh. Namun mereka berbeda pendapat ketika sesorang belum mimpi basah dan belum haid, pada usia berapakah mereka baligh? Menurut kitab fiqh, usia baligh lebih dikaitkan dengan tanda-tanda fisik dan usia seseorang. Menurut Abu Hanifah, seorang diyatakan baligh bilamana ia telah berusia 18 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan, walaupun di dalam riwayat lain Abu Hanifah membedakan antara laki-laki dan perempuan, yaitu 19 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk anak perempuan. Madzhab Imam Malik berpendapat sejalan dengan pendapat Imam Abu Hanifah, yaitu 18 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Bahkan sebagian riwayat menyatakan bahwa Imam Malik menetapkan usia baligh 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Sementara itu, madzhab Syafi’i, salah satu madzhab yang dijalani oleh mayoritas muslim Indonesia, menyatakan bahwa usia baligh adalah bila seorang telah sampai pada usia 15 tahun, baik bagi lakilaki maupun perempuan. Pandangan yang terakhir inilah yang menjadi pendapat jumhur ulama.
dalam arti keluarnya mani saat tidur dengan demikian sebagai petunjuk kematangan biolgis seseorang, yaitu kematangan kemampuan untuk menggunakan fungsi dari seluruh anggota-anggota tubuhnya, termasuk kemampuan ereksi, keluar mani dan menghamili. Menurut Syafi’i kemampuan ereksi, keluar mani, menghamili dan kemampuan-kemampuan yang lain terjadi bila seseorang telah berusia 15 tahun. Sebab dalam usia itulah seseorang mampu memanfaatkan fungsi anggota tubuhnya dengan baik. Pandangan Syafi’i ini didasarkan pada beberapa hadis Nabi saw., yaitu Nabi pernah menolak 17 sahabat untuk mengikuti perang karena ketika itu mereka berusia di bawah 15 tahun. Menjelang tahun berikutnya mereka kembali meminta izin kepada Nabi untuk mengikuti peperangan dan nabi pun memberikan izin sebab saat ini mereka telah berusia 15 tahun. Atas dasar hadis ini Syafi’iyyah berpendapat bahwa kematangan biologis tercapai setelah seorang berusia 15 tahun. Sementara pandangan Abu Hanifah yang menyatakan bahwa usia baligh adalah 18 tahun didasarkan pada pandangan Tafsir Ibnu Abbas terhadap potongan ayat “janganlah kamu dekati harta anak-anak yatim sampai mereka mencapai usia matang (asyuddah)”. Kata asyuddah menurut Ibnu Abbas adalah usia 18 tahun, sebab di usia itu ia menjadi matang.
”Catatan dosa-dosa dihapus dari tiga kelompok ini, yaitu anak-anak, sampai ia bermimpi basah, orang yang tidur sampai ia terbangun, dan orang gila sampai ia sembuh dari gilanya. ”(HR. Ahmad, Abu Dawud, AnNasa’i, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah)
Pada umumnya pandangan ahli fiqh mengenai usia baligh lebih didasarkan pada kematangan biologis, yaitu kemampuan mengeluarkan sperma, menghamili, menstruasi dan kehamilan. Kecuali Abu Hanifah yang menakar usia baligh lebih pada kematangan psikologis, yaitu usia syiddah, usia keras, usia matang. Sesungguhnya beberapa pendapat tentang usia baligh bertemu dalam satu titik yaitu kemampuan dan keahlian menjalankan kewajiban dan larangan syariah. Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam usia berapakah seorang diyakini atau diduga memiliki kemampuan dan kecakapan itu.
Hadis ini menginformasikan bahwa seseorang tidak dapat dicatat dosa-dosanya akibat ia melakukan kemaksiatan kecuali ia telah ihtilam yang oleh ulama dimaknai dengan keluar sperma saat mimpi. Ini berarti keharusan melakukan kewajiban dan meninggalkan larangan (sinnu at-taklief) dikaitkan dengan ihtilam. Pena Tuhan telah siap mencatat pahala dan dosa bagi setiap orang yang telah sampai usia ihtilam. Ihtilam
Dalam konteks perkawinan, Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia menetapkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Kompilasi Hukum Islam (KHI), pasal 15 poin 1, menyatakan: “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun
Perbedaan pendapat di atas, antara lain, disebabkan perbedaan mereka dalam memahami hadis Nabi:
32 - Swara Rahima
No. 49 Th. XV. April 2015
Tafsir Alquran
1974 yakni calon suami sekurangkurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”. Pasal 15 poin 2 menyatakan: “Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana diatur dalam 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 tahun 1974”.
”Catatan dosa-dosa dihapus dari tiga kelompok ini, yaitu anak-anak, sampai ia bermimpi basah, orang yang tidur sampai ia terbangun, dan orang gila sampai ia sembuh dari gilanya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah)
Sekedar perbandingan, negara-negara berlatar belakang mayoritas muslim yang lain juga memiliki aturan yang berbeda terkait usia minimum untuk menikah karena beragamnya interpretasi soal Baligh ini. Beberapa negara muslim telah melakukan pengaturan usia perkawinan. Misalnya: • Turki, Undang-Undang Turki menetapkan usia perkawinan, bagi laki-laki 18 tahun dan perempuan 17 tahun. Namun dalam kasus tertentu pengadilan dapat mengizinkan pernikahan pada usia 15 tahun bagi lakilaki dan 14 tahun bagi perempuan atas izin dan restu orang tua atau wali. • Iran, Undang-undang perkawinan Iran menetapkan usia perkawinan 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi wanita. Bagi seorang yang mengawinkan seorang yang masih di bawah usia minimum nikah dapat dipenjara enam bulan sampai satu tahun. Jika perempuan dikawinkan dibawah usia 13 tahun maka yang mengawinkannya dapat dipenjara selama dua hingga tiga tahun. • Yaman Selatan Undang-Undang perkawinan Yaman menetapkan usia perkawinan 18 tahun bagi laki-laki, dan 16 tahun bagi perempuan. Namun batasan usia ini tidak menjadi syarat keabsahan perkawinan, hanya menjadi suatu syarat yang harus perlu diperhatikan. Jarak antara usia calon pengantin tidak boleh lebih dari 20 tahun, kecuali calon perempuannya telah berusia 35 tahun. Jadi perempuan yang telah berusia 35 tahun boleh menikah denngan laki-laki usi 75 tahun, misalnya. • Republik Tunisia Undang-Undang Tunisia menetapkan usia perkawinan 20 tahun bagi laki-laki dan perempuan, yang mengubah undang-undang sebelumnya yaitu pasal 5 UU 1956 yang menetapkan usia nikah 20 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. • Maroko, Undang-Undang keluarga Maroko menetapkan usia perkawinan, 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan. Namun perkawinan di
No. 49 Th. XV. April 2015
bawah usia 21 tahun disyaratkan ijin wali. • Aljazair Pasal (7) Hukum Keluarga Aljazair menetapkan usia nikah, 21 tahun bagi mempelai laki-laki dan 18 tahun bagi mempelai 18 tahun. • Afghanistan, Hukum Sipil 1977 menetapkan usia nikah 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Hukum Sipil Afganistan juga berupaya menghapus perkawian anak di bawah umur. • Somalia, menetapkan umur minimal 18 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita. Hanya saja dalam kondisi tertentu pengadilan bisa memberi izin untuk menikah bagi laki-laki dan wanita di bawah usia minimal perkawinan. Usia Mukallaf Perspektif Alquran Bagaimanakah pandangan Alquran tentang usia baligh? Alquran setidaknya menggunakan tiga istilah untuk menyebut usia kematangan, yaitu balaghu annikah (Qs. an-Nisa’: 6), balagha al-huluma (Qs. An-Nur: 58 dan 59), dan balagha asyuddahu (Qs. al-An’am: 152, Qs. Yusuf: 22, Qs. al-Isra’:34, Qs. al-Qashas: 14). Disamping itu Alquran juga menggunakan istilah rusydan’ yang umumnya dimaknai usia dewasa. Apa sesungguhnya makna an-nikah, asyuddah, al-huluma dan ar-rusydu? Ulama tafsir berbeda khususnya di dalam memahami ketiga istilah itu. Alquran sendiri sesungguhnya tidak secara spesifik menyebutkan dalam usia berapa seseorang sampai usia baligh, bahkan Alquran juga tidak mengenal usia baligh. Alquran, justru menyebut usia an-nikah, usia ar-rusydu, usia al-hulum dan usia asyuddahu. Jika mengamati istilah-istilah yang digunakan Alquran maka kita bisa menyimpulkan bahwa yang dimaksud usia baligh bukan sekedar baligh yang secara bahasa bermakna sampai, melainkan baligh kemana? Alquran menjawab yaitu baligh (sampai) usia nikah, usia rusyd, usia al-hulum, dan usia asyuddah. Pertanyaan selanjutnya, dalam usia berapa seseorang dianggap sampai pada usia-usia itu? apakah usia-usia yang disebut dalam Alquran memiliki makna yang sama ataukah berbeda? Kata balaghu an-nikah yang secara bahasa bermakna “telah sampai (usia) nikah” termaktub dalam firman Allah:
Swara Rahima - 33
Tafsir Alquran
ستُ ْم ِم ْن ُه ْم ْ َاح فَإِنْ آن َ َوا ْبتَلُوا ا ْليَتَا َم ٰى َحتَّ ٰى إِ َذا بَلَ ُغوا النِّ َك س َرافًا َوبِدَا ًرا ْ ُر ْ ِشدًا فَا ْدفَ ُعوا إِلَ ْي ِه ْم أَ ْم َوالَ ُه ْم َو َل تَأْ ُكلُوهَا إ
Kata balagha al-hulum yang secara bahasa bermakna “sampai usia al-ihtilam” disebut di dua ayat surat an-Nur ayat 58 dan 59. Allah berfirman:
ستَ ْعفِفْ َو َمنْ َكانَ فَقِي ًرا ْ َأَنْ يَ ْكبَ ُروا َو َمنْ َكانَ َغنِيًّا فَ ْلي
ستَأْ ِذن ُك ُم الَّ ِذينَ َملَ َكتْ أَ ْي َمانُ ُك ْم ْ َيَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا لِي
ش ِهدُوا ْ َ وف فَإِ َذا َدفَ ْعتُ ْم إِلَ ْي ِه ْم أَ ْم َوالَ ُه ْم فَأ ِ فَ ْليَأْ ُك ْل بِا ْل َم ْع ُر
َ َوالَّ ِذينَ لَ ْم يَ ْبلُ ُغوا ا ْل ُحلُ َم ِمن ُك ْم ثَ َل ت ۚ ِّمن قَ ْب ِل ٍ ث َم َّرا
َّ َِعلَ ْي ِه ْم َو َكفَ ٰى ب ﴾٦:﴿النساء سيبًا ِ اللِ َح
ض ُعونَ ثِيَابَ ُكم ِّمنَ الظَّ ِهي َر ِة َو ِمن َ َص َل ِة ا ْلفَ ْج ِر َو ِحينَ ت َ
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesagesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” (QS. An Nisa’ : 6)
ُ ص َل ِة ا ْل ِعشَا ِء ۚ ثَ َل س َعلَ ْي ُك ْم َو َل َ ت لَّ ُك ْم ۚ لَ ْي َ بَ ْع ِد ٍ ث ع َْو َرا
Menurut At-Thabari yang dimaksud ujilah anakanak yatim adalah ujilah akal-akal mereka, kebaikan agama mereka, dan kelayakan mereka dalam mengelola harta. Menurut pandangan ini usia nikah berarti usia dimana seseorang memiliki kematangan akal, sikap keberagamaan yang baik, dan kemampuan mengelola harta. Selanjutnya, pada usia berapa seorang memiliki kematangan itu? Menurut At-Thabari, usia kematangan terjadi ketika seorang telah matang secara biologis. Pemahaman ini dipahami dari tafsir At-Thabari terhadap kata ‘an-nikah’. Menurut At-Thabari yang dimaksud “balaghu an-nikah” adalah “balaghu alhulum”, yaitu sampai usia mimpi basah. Ini berarti AtThabari menafsikan an-Nikah dalam QS. An-Nisa’:6 dengan al-hulum dalam QS. an-Nur: 58-9, tafsir ayat bi al-ayat. Tafsir At-Thabari ini didasarkan pada riwayat dari Mujahid, Ibnu Abbas, Muhammad bin Umar dan lain-lain. Menurut tafsiran ini, maka untuk memahami berapa usia nikah (QS. An-Nisa’: 6) harus merujuk pada QS. An-Nur yang menjelaskan usia al-hulum.
34 - Swara Rahima
ض ُك ْم َعلَ ٰى ٌ ََعلَ ْي ِه ْم ُجن ُ اح بَ ْع َدهُنَّ ۚ طَ َّوافُونَ َعلَ ْي ُكم بَ ْع َّ ت ۗ َو َّ ُض ۚ َك ٰ َذلِ َك يُبَيِّن للاُ َعلِي ٌم َح ِكي ٌم ِ للاُ لَ ُك ُم ْاليَا ٍ بَ ْع َستَأ َذن ْ ستَأْ ِذنُوا َك َما ا ْ ََوإِ َذا بَلَ َغ ْالَ ْطفَا ُل ِمن ُك ُم ا ْل ُحلُ َم فَ ْلي َّ للاُ لَ ُك ْم آيَاتِ ِه ۗ َو َّ ُالَّ ِذينَ ِمن قَ ْبلِ ِه ْم ۚ َك ٰ َذلِ َك يُبَيِّن للاُ َعلِي ٌم َح ِكي ٌم Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah hamba sahaya (laki-laki dan perempuan) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh (dewasa) di antara kamu, meminta izin kepada kamu pada tiga kali (kesempatan), yaitu sebelum shalat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan setelah shalat Isya’. (Itulah) tiga aurat (waktu) bagi kamu. Tidak ada dosa bagimu dan tidak (pula) bagi mereka selain dari (tiga waktu) itu; mereka keluar masuk melayani kamu, sebagian kamu atas sebahagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat itu kepadamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana (58) Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur alhulum (baligh; dewasa), maka hendaklah mereka meminta izin (untuk memasuki ruangan), seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (59) Beberapa ahli tafsir sepakat bahwa yang dimaksud alhulum dalam ayat ini adalah “al-ihtilam”, yaitu bermimpi keluar sperma. Berdasar ayat ini ulama memahami bahwa
No. 49 Th. XV. April 2015
Alqur tiga
kemata
(Qs. a
(Q
balag
152, Q
Tafsir Alquran
usia baligh diukur dengan apakah seorang telah keluar sperma atau belum. Jika telah keluar sperma maka hal itu sebagai penanda bahwa ia telah baligh, dalam usia berapa pun. Persoalannya ketika secara usia seseorang dianggap matang, tetapi belum keluar sperma. Disinilah ulama berbeda pendapat dalam usia berapa pada umumnya seorang bermimpi keluar mani dan dalam usia berapa seorang dinyatakan baligh? Alquran tidak menyebutkan berapa usia minimal seorang mengalami ihtilam. Menurut Syafi’i, pada umumnya usia 15 tahun. Sementara menurut madzhab lain ada yang meyatakan usia 17 tahun, 18 tahun 19 tahun dan lain-lain.
asyuddah sepenuhnya diserahkan pada penilaian para ahli sesuai dengan perkembangan situasi, kondisi sosial ekonomi, budaya dan ilmu pengetahuan. Faktor-faktor pendidikan, budaya dan ekonomi sangat menentukan di dalam perkembangan usia kematangan. Semakin baik tingkat pendidikan, ekonomi serta budaya seorang, akan sangat cepat membantu mencapai usia kematangan. Alquran seakan ingin mengatakan, kematangan biologis serahkan pada ahli anatomi tubuh, kematangan psikologis serahkan pada ahli psikologi dan kematangan sosial-ekonomi seharusnya diserahkan pada ahli dibidangnya.
Kata asyuddah disebut sebanyak lima kali dalam Alquran yaitu dalam QS. al-An’am 152, QS. Yusuf 22, QS. al-Isra’ 34, QS. al-Qhashas 14 dan QS. al-Ahqaf 15. Secara bahasa asyuddahu berarti keras atau matang. Sedang secara istilahy oleh sebagian ulama ditafsirkan dengan al-hulum. Jadi ‘usia nikah’, dan ‘usia asyuddah atau Qs, al-An’am ayat 152 dan QS. an-Nisa’ ayat 6 ternyata oleh para mufassir ditafsirkan dengan QS. an-Nur ayat 58-59. Ini berarti Usia nikah dan Usia matang yang sesungguhnya lebih menekankan aspek kematangan psikilogis dan sosial ternyata oleh sebagian besar mufassir dimaknai dengan kematangan biologis yaitu usia dimana seseorang telah mengalami pengalaman mimpi basah.
Menarik mencermati konteks Alquran ketika menggunakan term an-nikah, al-hulum dan asyuddahu. Alquran menggunakan istilah-istilah itu dalam konteks yang berbeda. Term al-hulmu digunakan Alquran dalam konteks keharusan meminta izin di tiga saat dimana pada umumnya seorang menanggalkan bajunya yaitu sebelum Subuh, waktu siang dan setelah shalat Isya’. Di waktuwaktu ini umumnya seseorang sedang menikmati waktu istrirahat dan bersenda gurau dengan keluarga tanpa menggunakan busana layaknya di ruang publik. Anakanak yang telah menginjak usia hulum secara moral perlu diajarkan untuk meminta izin jika memasuki siapapun dalam waktu itu, karena dikhawatirkan ia melihat aurataurat orang lain yang tidak perlu yang menyebabkan lahirnya gejolak-gejolak nafsu. Tumbuhnya hawa nafsu hanya mungkin kalau seorang anak telah sampai usia matang secara biologis. Sebab itulah konteks aurat dikaitkan dengan usia kematangan biologis, karena dalam usia ini pula seorang anak mampu memahami fungsifungsi anatomi tubuhnya. Sebab itu pula mengapa anakanak laki-laki dan perempuan, sebagaimana dituturkan dalam kitab-kitab fiqh, sebaiknya telah dipisahkan tempat tidurnya ketika telah menginjak usia tamyiz, yaitu sekitar tujuh tahun.
Mufassirin berbeda pendapat dalam usia berapa seorang sampai usia matang (Syiddah). Menurut mujahid usia asyuddah adalah 33 tahun, menurut Ibnu Abbas antara 33 sampai 37 tahun, menurut Ad-Dhohhak 20 tahun, menurut Al-Hasan 40 tahun, menurut Ikrimah 25 tahun, menurut As-Sudai 30 tahun, menurut Sa’id bin Jubair 18 tahun. Jika usia asyuddahu dimaknai usia alhulum, dan al-hulum dimaknai usia nikah, maka berarti usia menikah bisa 18, 20, 25, 30, 33, 37, bahkan 40 tahun. Inilah keragaman tafsir. Alquran setidaknya menggunakan Alquran sendiri tidak tiga istilah untuk menyebut usia pernah pernah kematangan, yaitu balaghu an-nikah menetapkan usia(Qs. an-Nisa’: 6), balagha al-huluma usia itu. Seakan (Qs. An-Nur: 58 dan 59), dan Alquran ingin balagha asyuddahu (Qs. al-An’am: menegaskan bahwa 152, Qs. Yusuf: 22, Qs. al-Isra’:34, usia al-hulum, usia Qs. al-Qashas: 14). an-nikah dan usia
No. 49 Th. XV. April 2015
Demikian pulau term balaghu an-nikah digunakan dalam konteks yang berbeda dari balagha al-hulmu, yaitu konteks kemampuan mengelola harta, kematangan akal dan kemampuan beragama yang baik. Ini berarti, kemampuan mengelola harta, memiliki kematangan akal, dan kemampuan beragama yang baik, tidak semata-mata dikaitkan dengan usia matang biologis (yang ditandai dengan keluar sperma), melainkan juga dikaitkan dengan kematangan intelektual, ekonomi, dan agama. Penggunaan kata
Swara Rahima - 35
Tafsir Alquran
an-nikah dalam ayat tersebut juga memberikan isyarat bahwa menikah seharusnya dilakukan dalam usia-usia itu, bukan semata usia baligh. Maka sebenarnya ayat ini mengharuskan adanya kedewasaan dalam perkawinan dan melarang perkawinan di bawah umur. Ulama fiqh berbeda pendapat apakah pernikahan di bawah umur tetap terus berlangsung atau bisa dibatalkan oleh istri kelak jika ia telah dewasa. Sebagian ulama fiqh mengatakan ‘seorang wali boleh mengawinkan putrinya yang shagirah, namun jika telah mencapai usia baligh putrinya diberi hak khiyar untuk membatalkan atau melanjutkan perkawinan. Sedangkan term asyuddahu digunakan Alquran dalam beberapa konteks yang intinya menunjuk pada kematangan emosional-sosial. Dalam Alquran
dikisahkan bahwa Nabi Yusuf diberi pengetahuan dan kebijaksanaan oleh Allah pada usia kematangan emosional sosial ini, bukan dalam usia nikah, apalagi usia hulum. Walhasil pandangan Alquran ini meniscayakan umat Islam untuk melirik kembali pandangan fiqh klasik yang telah menjadi keyakinan yang mengakar bahwa segala jenis taklief disandarkan pada usia hulum atau kematangan biologis. Ternyata Alquran memberikan teladan yang menarik bahwa tidak semua jenis hukum taklif dikaitkan dengan kematangan biologis, melainkan ada juga yang dikaitkan dengan kematangan ekonomi, psikologis dan bahkan emosional sosial. Perkawinan adalah salah satu jenis hukum taklief yang tidak hanya membutuhkan kematangan biologis, tetapi juga kematangan ekonomi, psikologis, emosional dan sosial. Wallahu a’lam. []
Sumber Rujukan : • al-Qurthubi, Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari, al-Jami’ Li Ahkami Alquran, 1994, Dar al-fikr, Beirut, Libanon. • ar-Razi, Muhammad ar-Razi, Fahruddin, Tafsir al-Fahru ar-Razi, Mafatihu al-Ghaib, 1994, Dar al-fikr, Beirut Libanon. • Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Dar al-Ihya’ at-Turast al-Arabiy, Beirut Libanon. • Muhammad Jamaluddin al-Qasimiy, Tafsir al-Qasimi Mahasin at-Ta’wil, 1997, dar al-kutub al-‘Ilmiyah, Beirut Libanon. • Abu Hayyan al-Andalusi, Tarsir al-Bahru al-Muhith, 2001, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut Libanon. • Syihabuddin, as-Sayyid Mahmud al-Alusi, Ruh al-Ma’aniy fi Tafsiri Alqurani al-Adhim wa as-Sab’i al-Mastaniy, 2001, dar al-kutub al-ilmiyah, Beirut , Libanon. • Abdullah bin Ahmad bin Mahmud an-Nasafi, 1995, Tafsir al-Nasafi, Madzariku at-Tanzil wa Haqa’iqi at-Tanzil, dar al-kutub al-ilmiyah, Beirut Libanon. • Sa’id Hawwa, Al-Asas Fi At-Tafsir, 2003, Dar As-Salam, Al-Qahirah, Mesir.
Perpustakaan Rahima
Jl. H. Shibi RT. 007/01 No. 70, Srengseng Sawah Jakarta Selatan. Telp. 021. 7888 1272
M enyediakan Re f e r e n s i d a n K o l e k s i B u k u - B u k u
GENDER DAL AM ISL AM & KITAB-KITAB ISL AM KL ASIK Katalog online dapat diakses melalui: http://perpustakaan.rahima.or.id
36 - Swara Rahima
No. 49 Th. XV. April 2015
Fikrah
Perempuan Dalam Wacana Tafsir Klasik:
Perspektif Tafsir At Tabary Oleh: H. Zudi Rahmanto* Sekilas Ibnu Jarir At Thabary Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At Thabari, nama lengkap sejarawan dan ahli tafsir terkemuka At-Thabari atau Ibnu Jarir at-Tabari yang dilahirkan di kota Amol, Tabaristan (di Iran) pada 225 H atau 839 M yang merupakan tempat berkembangnya kebudayaan Islam. Namun berdasarkan catatan Wikipedia, mufassir ini lebih banyak menghabiskan waktunya di kota Baghdad; dimana semasa hidupnya, ia pernah belajar di kota Ray, Baghdad, Syam dan Mesir. Guru yang wafat saat berusia kurang lebih 85 tahun pada 310 H/ 923 M ini, sebagian besar hidupnya diisi dengan mengajar dan menulis. Menurut salah seorang muridnya, Ibnu Kumail, beliau gunakan waktu pagi dan siang untuk menulis, dimana dalam sehari beliau sanggup menulis hingga 40 halaman. Sementara sore harinya beliau memberi pelajaran Alquran, Tafsir, dan Fiqh di masjid. Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an atau Tafsir at-Tabari, adalah karyanya yang monumental. Dalam menyusun kitab tafsirnya ini, At-Thabary mengumpulkan bahan-bahan yang berasal dari nash Alquran, hadis, dan riwayat-riwayat yang dipercaya mendukung dalam menjelaskan maksud Alquran. Corak tafsirnya yang bi al-ma’tsur/bi ar riwayah dalam kitabnya menjelaskan penemuan-penemuan hukum, akidah dan fiqh yang ditarik dari ayat-ayat Alquran. Berikut deskripsi beberapa penafsiran At-Thabary terkait kedudukan dan hak-hak reproduksi perempuan. Perempuan Dalam Tafsir At Thabary Saat At Thabary QS. Al Baqarah 36 yang mengusung kisah migrasi Nabi Adam dan Hawa dari surga ke bumi dengan merujuk berita yang berasal dari Wahb Ibn Munabbih, seorang ahli tafsir Bibel yang kemudian memeluk Islam, cerita terkait bagaimana ’nilai’ seorang perempuan dalam wacana teks keagamaan, yang diwakili oleh Hawa telah dimulai. Berdasarkan teks-teks Alquran, bahwa Adam dan Hawa ditempatkan di surga, berikut larangan-larangan yang harus dihindari oleh keduanya jika ingin tetap di surga adalah benar adanya.
No. 49 Th. XV. April 2015
Episode berikutnya adalah perpindahan Adam dan Hawa dari surga menuju bumi ini karena tipu daya setan. (QS. Al Baqarah: 35-36). Merujuk riwayat yang bersumber dari Wahab Ibn Munabbih, dalam tafsirnya At Thabary menyatakan: “Allah menempatkan Adam dan Hawa di surga dan melarangnya untuk mendekati sebuah pohon yang konon batangnya bercabang-cabang dan berbuah sebagai makanan malaikat agar tetap langgeng di surga. Buah inilah sebenarnya yang dilarang Allah untuk dimakan Adam dan istrinya. Saat iblis ingin menggoda keduanya, ia masuk ke dalam lambung seekor ular hingga ketika sampai di surga iblis keluar darinya untuk menjalankan aksinya. Ia mengambil buah dari pohon larangan serta menawarkannya kepada Hawa, “Wahai Hawa, lihatlah buah dari pohon ini! Alangkah harum aromanya, manis rasanya dan bagus warnanya!” Hawa mengambil buah tersebut dan memakannya, lalu menawarkan kepada Adam seraya berkata seperti ucapan iblis kepadanya. Adam pun memakannya dan berakibat mereka telanjang. Adam masuk ke tengahtengah pohon untuk berlindung. Tuhan pun memanggilnya, “Wahai Adam, dimana engkau?” Adam menjawab, ”Aku di sini, karena aku malu.” Tuhan berkata, “Laknat bagi bumi yang Aku ciptakan kamu darinya, laknat yang merubah buah dari pepohonan menjadi duri.” Riwayat menambahkan informasi bahwa sejak saat itu, di surga dan di bumi hanya ada dua pohon yang mulia, pohon akasia dan bidara. Tuhan berkata, kali ini kepada Hawa, “Wahai Hawa, engkau yang telah menipu hambaKu, maka engkau akan hamil dengan susah payah. Jika engkau akan melahirkan, akan merasakan sakit kematian yang berulang-ulang.” (Tafsir At Thabary I:526 versi Maktabah Syamilah) Versi lain dikisahkan oleh At-Thabari, bahwa suatu ketika Adam mengajak Hawa untuk tidur bersama, namun ditanggapi dengan ungkapan,”Tidak! Kecuali engkau kesini! Ketika Adam menghampirinya, Hawa berujar,”Tidak mau! Hingga engkau makan buah ini!” Keduanya pun makan
Swara Rahima - 37
Fikrah buah tersebut dan berakibat pakaian surgawi lepas dari tubuh mereka. Adam pun lari untuk berlindung. Tuhan memanggilnya, “Hai Adam, apakah engkau lari dariKu?” Adam menjawab,”Tidak wahai Tuhanku, aku lari karena malu kepadaMu.” “Wahai Adam, bagaimana ini terjadi?” firmanNya. “Ini tidak lain disebabkan oleh Hawa,” Jawab Adam. Selanjutnya, Allah menjatuhkan sanksi atas Hawa berupa (1) darah yang keluar dari tubuhnya setiap bulan, (2) ia dijadikan dungu, padahal awalnya tercipta dalam keadaan cerdas, dan (3) Hawa akan mengalami kehamilan dan persalinan yang berat, padahal semula kehamilan dan kelahiran yang dialaminya sangat ringan. Kondisi ini dipertegas oleh sebuah ungkapan bahwa andai saja Hawa tidak melakukan pelanggaran tersebut, pastilah perempuan-perempuan di dunia tidak mengalami menstruasi, cerdas, dan mengalami proses kehamilan dan persalinan yang mudah. (Ibid I:527. Bandingkan: Tarikh Tabary, I:55) Sub ordinasi Perempuan: Implikasi yang Mengkhawatirkan Kajian Nashr Hamid Abu Zaid terkait penafsiran AtThabary ini, membuktikan tesisnya bahwa bagaimana pun, kondisi di luar teks berpengaruh terhadap produk dari pembacaan terhadapnya. Perspektif Thabary dalam tulisan tersebut menunjukkan betapa pandangan peradaban Arab pra-Islam mewarnai wacana tafsir keagamaan yang terkesan sangat menyudutkan dan merendahkan perempuan. Meskipun perspektif sumber riwayat ini sulit diterima logika dan mengandung mitos, namun cara pandang ini dapat melahirkan implikasi yang serius dalam memandang status perempuan dalam pembacaan teks berikutnya. Oleh karenanya, lahirnya pelabelan ‘miring’ terhadap perempuan (diwakili Hawa) yang sedemikian kental sebenarnya tidak dapat lepas dari paradigma yang dibangun oleh karya-karya klasik yang tetap ditempatkan sebagai warisan luhur kita, meskipun terkadang memuat materi yang irasional, penuh mitos dan legenda umat pra-Islam. Kisah tersebut secara eksplisit memberikan stigma kepada Hawa sebagai sosok perempuan penggoda, penyebab keluarnya spesies manusia dari surga, sehingga dihukum dengan ketidaknyamanan perempuan
38 - Swara Rahima
dalam proses bereproduksi. Penafsiran seperti inilah yang dikritik secara tajam oleh Abu Zaid dalam artikelnya “Hawa bayna Ad Diin Wa Al Usthurah”. Menurut Abu Zaid, kisah ini meninggalkan catatan penting bagi kita: Pertama; Tuhan yang digambarkan dalam kisah tersebut adalah tuhan taurat, bukan Allah yang dikenal dalam teologi Islam. Ini adalah hal lumrah dari segi implikasi konteks historis terhadap teks. Sesuatu yang tidak lumrah adalah apabila akal sehat kita menerima kebenaran harfiyah dari kisah ini hanya karena bersumber dari salah satu kitab tafsir yang sangat penting, karena bersumber dari At Thabary atau lainnya. Hal demikian ini bukanlah parameter keilmuan, karena telah menampilkan situasi kontradiktif dengan kaidah-kaidah ilmiah-rasional dan mengundang pertanyaan seperti benarkah para malaikat itu makan? Benarkah Tuhan tidak tahu keberadaan Adam? Kenapa Tuhan hanya menghukum Hawa, tidak kepada Adam? Dan pertanyaan-pertanyaan lain terkait rasionalisasi kisah Adam dan Hawa ini. Kedua, kisah di atas menempatkan Adam sebagai korban yang tak berdosa, sehingga mendorong publik berkesimpulan bahwa laki-laki itu contoh ideal dan bebas dari kesalahan, sementara perempuan selalu dalam posisi buruk dan salah. Padahal teks ayat mengabarkan kepada kita bahwa Allah memberi sanksi kepada keduanya (QS.1:36). Menurut Abu Zaid dan menyebabkan kekhawatiran, adalah tuturan kisah lebih memiliki daya tarik dibanding membaca dan memahami teks-teks Alquran. Ketiga: terkait dengan hubungan persamaan antara kesalahan dan sanksi. Sanksi atas Hawa berupa perdarahan setiap bulan, sebagai akibat memakan buah dari pohon larangan, dihilangkannya kecerdasan karena alasan menggoda Adam dengan nafsu. Pesan dominan dari kisah ini adalah bahwa setiap kesalahan melahirkan sanksi, dan pelakunya adalah perempuan, karena berbagai versi kisah Israiliyat tersebut tidak ada yang secara tegas mampu mengungkap sanksi yang diberikan Tuhan kepada Adam. Apa yang disuguhkan At Thabary, menunjukkan konsistensinya terhadap corak yang diambil dalam penafsiran. Mengenai bagaimana nilai informasi yang dikumpulkan,--tentu saja di luar teks Alquran --dan dijadikan bahan kajian, tidak menutup kemungkinan untuk diklarifikasi secara rasional-ilmiah-teologis. Sudah saatnya kita lakukan kajian teks yang rasional-ilmiah-teologis, dan mengalihkan segala bentuk warisan yang irrasionalmitologis ke dalam ranah studi arkeologi. Wallahu a’lam. H. Zudi Rahmanto, M.Ag. Kepala KUA Kec. Tepus Kab. Gunungkidul DI.Yogyakarta, mitra Rahima program Tokoh Agama
No. 49 Th. XV. April 2015
Akhwatuna
Pentingnya Mendampingi Anak di Masa Pubertas Oleh: Dian Uswatun Hasanah
“Iiih, kamu jerawatan. Kamu suka ya sama dia?”
I
”Suara kamu kok pecah sih, Pasti kamu lagi puber ya?”,
tulah kalimat yang sering kita jumpai dalam obrolan anakanak menjelang remaja. Dari obrolan tersebut kita bisa melihat adanya perubahan pada diri seseorang baik secara fisik maupun psikis, yang secara awam sering disebut sebagai ”masa puber”. Masa puber tidak hanya dikaitkan dengan adanya perubahan fisik saja, namun ada pula perubahan psikis dimana seorang anak menjadi sering membangkang kepada orangtuanya dan lebih mengutamakan kelompok bermainnya (peer-group). Ketertarikan lebih memilih kelompok, mengikuti hal yang negatif agar dapat pengakuan dari kelompok, inilah yang memungkinkan munculnya kenakalan remaja (juvenile delinquency).
Istilah pubertas atau puber berasal dari kata pubescere yang artinya mendapat pubes atau rambut kemaluan, yaitu suatu tanda kelamin sekunder yang menunjukkan perkembangan seksual (Monks, 2002). Pubertas merupakan masa peralihan antara masa kanakkanak dan dewasa (Prawirohardjo, 1999). Menurut Root dalam Hurlock (2004) Pubertas didefinisikan sebagai suatu tahap dalam perkembangan dimana terjadi kematangan alat-alat seksual dan tercapai kemampuan reproduksi. Setiap orang pasti pernah mengalami pubertas, dengan waktu dan pengalaman yang berbeda. Biasanya pubertas dimulai pada umur 8 hingga 10 tahun dan berakhir lebih kurang di usia 15 hingga 16 tahun. Pubertas diikuti dengan perubahan fisik baik pada laki-
No. 49 Th. XV. April 2015
laki maupun perempuan. Pada lakilaki, perubahan fisik terlihat dari mulai tumbuhnya rambut di atas bibir, lengan, ketiak dan kaki, suara semakin berat, jakun semakin menonjol, dan mimpi basah (wet dream). Sedangkan masa pubertas pada perempuan ditandai dengan tumbuhnya payudara, pinggul, dan mengalami menstruasi pertama (menarche). Secara fisik, anak di masa pubertas terlihat seperti orang dewasa, namun secara psikologis belum. Pada masa ini intelektual dan emosi anak masih berproses menuju matang. Ketidakstabilan emosi berakibat sering berubah-ubahnya mood (mood swings). Adakalanya anak bersikap patuh pada aturan, atau memberontak pada waktu lainya, merasa diri paling benar, rasa ingin tahu (curiosity) sangat tinggi, dan keinginan untuk dihargai (self-esteem). Terdapat dua isu utama terkait dengan pubertas yaitu masalah individu dan seksualitas. Umumnya para remaja mulai “menarik diri” dari banyak nilai-nilai (values) yang selama ini didapatkannya. Pada tahuntahun “rawan” ini para remaja cenderung mengambil nilai-nilai dari peer groupnya dan budaya pop yang melingkar di sekitar hidupnya. Ia mulai enggan untuk bergabung dengan acara-acara keluarga dan malah lebih sering bergabung dengan teman-temannya. Dalam hal seksualitas, mereka mulai memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Berkaitan dengan ini seringkali mereka tertarik dengan informasi-informasi berupa film, musik, artikel, cerpen, dan novel yang
Swara Rahima - 39
Akhwatuna
bertema percintaan. Pada masa ini, biasanya mereka mengalami perubahan dalam hal penampilan, baik dalam berpakaian maupun dandanan.
penguatan motivasi pada masa pubertas memiliki kekhasan tersendiri dan orang tua harus memiliki kecakapan untuk melakukan hal tersebut.
Adanya pengaruh hormonal yang berimbas pada perubahan fisik dan psikis ini tentu akan membuat si anak bingung dan bertanya-tanya tentang apa yang dialaminya. Jika komunikasi dalam keluarga baik, maka si anak akan bertanya kepada orangtuanya. Namun jika tidak, si anak cenderung mengurung diri dan akan bertanya kepada orang lain, misalnya guru atau teman sebaya. Sejatinya anak mendapatkan informasi yang benar dari orang yang sangat disayangi dan dipercaya, yaitu orangtua. Oleh karena itu, kita sebagai orangtua harus mempersiapkan diri dengan ilmu yang cukup untuk menjawab segala kebingungan dan pertanyaan si anak. Selain itu, orangtua juga diharapkan menjadi pendamping setia bagi anak terutama pada masa pubertas.
Beberapa tips yang dapat dilakukan orang tua dalam menyikapi masalah anak puber antara lain: 1) Menerima bahwa pubertas merupakan proses alami. Tidak usah panik misalnya ketika anak perempuan kita yang kelas 4 SD mendapatkan haid pertama. Atau anak laki-laki kita mimpi basah. Penerimaan yang baik dari orang tua mengantarkan anak-anak pada kedewasaaan dengan sempurna. 2) Memberikan peran dan kepercayaan dalam keluarga. Ini yang memandu mereka pada pemahaman akan tanggung jawab sekaligus memberikan kepercayaan diri bahwa mereka dicintai. 3) Jangan terkejut ketika menemukan anak kita bereksperimen dengan banyak hal baru, yang kadang aneh-aneh. Misalnya, berlama-lama berdandan, kamarnya ganti suasana seperti toko poster, mencoba aneka peran, dan lain-lain. 4) Menghargai pendapat mereka, antara lain dengan berusaha menjadi pendengar yang baik bagi mereka. Pada masa ini, logika mereka semakin matang. 5) Menjadi teman dekatnya, karena dengan demikian anak akan lebih mudah mengungkapkan isi hati dan problematikanya. Prinsipnya, lebih baik anak curhat ke orang tuanya, dari pada kepada teman, koran, internet dan yang lainnya. 6) Mengenali lingkungan barunya. Salah satunya adalah mengetahui siapa teman-teman dekat anak kita. Tapi, perlu kehatihatian, jangan sampai mereka merasa diawasi seperti polisi memelototi penjahat. 7) Mengubah gaya kita, dari seorang penasihat yang cerewet menjadi pembimbing yang diidolakan. Tidak ada yang lebih dihargai oleh anak di usia puber selain sosok orang tua yang bijak tetapi tegas. 8. Orang tua seyogyanya memperbanyak doa, karena banyak kemungkinan terjadi di sisi kehidupan anak yang sering tidak bisa diprediksi.
Usia puber antara usia 8-16 tahun juga masuk dalam kategori usia remaja. Masa remaja adalah masamasa yang paling sulit hampir bagi semua orang. Ada banyak masalah yang terjadi pada masa remaja, mulai dari perubahan fisik, perubahan emosi, hingga masalah yang serius. Masa remaja sering juga disebut masa pemberontakan. Pada masa ini, seorang anak yang baru mengalami pubertas seringkali menampilkan beragam gejolak emosi, menarik diri dari keluarga, serta mengalami banyak masalah di rumah, sekolah, maupun lingkungan pertemanannya. Masa puber juga sering dikaitkan dengan adanya perilaku yang mengarah pada kenakalan remaja. Menurut Sunarwiyati S (1985), ada 3 kategori kenakalan remaja. Pertama, kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, keluyuran, bolos sekolah, dan pergi dari rumah. Kedua, kenakalan menjurus pelanggaran. Misalnya, mengendarai mobil tanpa SIM dan mengambil barang orang tua tanpa izin. Ketiga, kenakalan khusus, termasuk di antaranya penyalahgunaan narkoba dan seks bebas. Demikian kompleksnya permasalahan yang dihadapi pada usia pubertas. Pendampingan orang tua sangat dibutuhkan agar anak-anak generasi penerus bangsa tidak terjerumus kepada hal-hal yang negatif. Sejatinya orang tua harus memiliki formula khusus untuk mendampingi anak di masa ini. Cara komunikasi, penetapan aturan, penyelesaian masalah, serta
40 - Swara Rahima
Pemahaman mengenai pubertas merupakan kurikulum yang wajib diketahui orang tua. Bahwasannya usia pubertas dengan segala fenomenanya merupakan hal yang fitrah, yang tidak mungkin dikebiri melainkan perlu diarahkan. Dengan bekal pengetahuan yang cukup, permasalahan-permasalahan seputar remaja dapat disikapi dengan pendekatan yang lebih kooperatif dan humanis. Wallahu a’lam Bishawab {}
No. 49 Th. XV. April 2015
Profil Lukman Hadi:
Ustadz Pendidik Kespro dari Jombang “Sampeyan iki lho, wis kaya pejabat wae. Mau ditelpon saja susahnya minta ampun,” begitu saya memulai obrolan. Lalu dibalaslah guyonan itu dengan gelak tawa yang keras sekali. Seseorang yang sedang berkomunikasi dengan saya melalui telpon, sebuah alat komunikasi yang dipatenkan oleh Antonio Santi Giuseppe Meucci adalah Lukman Hadi, pengajar pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas (PKRS) di MA. Al Ghozaliyah, Jombang, Jawa Timur.
O
brolan tersebut adalah titik akhir negosiasi saya dengannya, setelah beberapa kali membuat janji dan terus saja gagal. Saya terus meyakinkan pada Mas Lukman, begitu saya memanggilnya, bahwa ini adalah tentang pendidikan kesehatan reproduksi remaja dan bukan tentang hanya tentang dirinya an sich. Relawan Remaja Lelaki yang lahir di Jombang 30 Desember 1987 ini mulai tertarik pada isu kesehatan reproduksi semenjak berada di bangku kuliah. Tahun 2009 bersama temanteman mahasiswa yang lain ia membentuk SADAR (Student Association of Drugs and HIV Care), sebuah komunitas mahasiswa yang memfokuskan aktivitasnya pada isu HIV/AIDS dan Narkoba. Sebelumnya, pada tahun 2008 ia juga aktif pada Palang Merah Indonesia (PMI). Merasa membutuhkan banyak informasi tentang HIV/AIDS dan Narkoba ia begabung dengan Jombang Care Centre (JCC) dengan mengikuti serangkaian serial pelatihan Relawan. Namun, terlepas dari beberapa kegiatannya tersebut di atas, ada motivasi besar yang membuat Mas Lukman tetap bertahan dengan kiprahnya meskipun bidang akademis pendidikannya tidak selalu linear dengan kegiatan yang digelutinya sekarang. Pendidikan menengah atasnya diselesaikan pada Jurusan Mesin di SMK Negeri 3 Jombang, sedangkan jenjang strata satunya di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (STKIP) PGRI Jombang dengan konsentrasi pendidikan Bahasa Inggris. Kenyataan bahwa dirinya dan teman-teman
No. 49 Th. XV. April 2015
sebayanya sewaktu remaja tidak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi adalah motivasi bagi dirinya. Ia melihat bagaimana minimnya informasi tentang Kesehatan Reproduksi (Kespro) mengakibatkan beberapa teman sebayanya mengalami kekerasan dalam pacaran, hamil di luar nikah, hingga akhirnya harus menikah di usia muda. “Aku emoh, yen remaja saat ini mengalami apa yang dialami oleh generasiku saat itu. Jauh dari apa yang mereka butuhkan, yakni pendidikan kesehatan reproduksi,” tandasnya. Selain motivasi di atas, satu hal yang membuatnya nyaman dalam isu kespro adalah dunia kerelawanan yang baginya serupa suara yang terus menerus memanggilnya pada lorong sunyi untuk berjalan menyusuri berbagai kemungkinan-kemungkinan hidup. Dan bungsu dari delapan bersaudara ini kian paham ampuhnya berbagi. Tak akan berkurang dan terus bertambah. Meski pada tahun 2012 ia harus sedikit memberi jarak pada dunia kerelawanan, karena jam mengajar sekolah yang penuh membuatnya harus berkompromi dan beradaptasi dengan waktu. Bukan Tabu ”Masyarakat kita, terlanjur memberikan label negatif pada pendidikan kespro. Mereka menganggap bahwa belajar kespro adalah belajar tentang melakukan hubungan seksual, dan pendidikan kespro tidaklah perlu diajarkan, karena pada masanya nanti akan mengerti dengan sendirinya,” suara Mas Lukman terdengar lirih dari seberang. “Karena sangat tertutup, lalu para remaja justru mencari jalan lain. Melalui internet, percaya mitos
Swara Rahima - 41
Profil
dan akhirnya mereka asyik membicarakannya di bawah meja,” lanjutnya. Ketakutan-ketakutan masyarakat yang curiga bahwa pendidikan kespro akan mengajarkan hubungan seksual sebelum menikah membuat mereka semakin ketat menutup kran informasi. Padahal pendidikan kespro yang sepotong-sepotong dan tidak komprehensif akan membuat remaja semakin berani coba-coba. Pria yang mengantongi sertifikat trainer PMI ini bahagia bukan kepalang saat pertengahan tahun 2014 diminta untuk mengajar muatan lokal PKRS di MA. Al Ghazaliyah. “Saya sangat terharu, karena selama ini kita (relawan) yang selalu meyakinkan pada pihak sekolah bahwa pendidikan kespro penting. Dan sekarang, ada sekolah (pesantren lagi) yang dengan kesadarannya mengatakan bahwa pendidikan kespro merupakan pendidikan yang tak kalah penting dengan pelajaran lain,” ungkapnya bahagia. Bagi Mas Lukman, pendidikan kespro tidak semata-mata hanya tentang pengetahuan yang bersifat text book, zaakelijk (kaku) dan berada pada wilayah kognitif. Pendidikan kesehatan reproduksi itu juga tentang soft skill remaja untuk menghadapi dunianya. Seperti kemampuan asertif untuk mengatakan apa
yang mereka inginkan dengan jelas dan tidak menyakiti orang lain,kemampuan untuk menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan pasangan, kemampuan untuk mengambil keputusan untuk pacaran atau tidak, kemampuan untuk mengetahui perubahan diri baik fisik dan psikis karena pubertas, dan memahami akan resikoresiko yang diakibatkan oleh bekerjanya alat reproduksi. Dan kemampuan-kemampuan itu mutlak harus dimiliki remaja saat ini, jika tidak mereka akan mencari dari sumber-sumber yang belum tentu menuntun mereka pada (informasi) ke(benar)an. “Salah satu hal yang melegakan bagi saya, saat para santri MA Al Ghozaliyah ingin bertanya soal kespro dan seksualitas, mereka kini telah memiliki wadah yang tepat untuk membahasnya. Mereka tidak lagi mencari konten melalui media internet yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Mereka mulai menemukan referensi yang tepat untuk menanyakan rasa pensaran dan ketidak lengkapan informasi yang mereka dapatkan di masyarakat.”, demikian tutur Ustadz Lukman. Dan ia akan selalu siap mendampingi mereka untuk menanamkan nilai hifzhu al-nasl yang merupakan salah satu tujuan universal agama. {} Nurkhayati Aida
Telah Terbit! Buku Profil Kader Ulama Perempuan Rahima Berisi 40 Profil Ulama Perempuan yang melakukan dakwah bil lisan dan dakwah bil hal sekaligus
Harga @50.000. Berminat ?
Silakan hubungi Kantor Rahima 021-78881272 atau email
[email protected]. Contact Person Imam Siswoko
42 - Swara Rahima
No. 49 Th. XV. April 2015
Kiprah
Dari Forum Refleksi dan Evaluasi Program PUP IV Jateng-DIY :
Saat Ulama Perempuan Dituntut Konkrit Berkiprah
“D
alam setiap pertemuan atau kegiatan, awali dengan kesepakatan dan akhiri dengan evaluasi dan refleksi,” demikian pesan Bang Helmi - sapaan akrab KH.Helmi Ali Yafie- siang hari Sabtu, 7 Maret 2015, sebelum beliau membagi para peserta ke dalam tiga kelompok untuk merefleksikan perjalanan panjang program PUP IV. Program Pendidikan Ulama Perempuan (PUP) Rahima angkatan IV adalah serial program pendidikan panjang baik dari segi waktu maupun kompleksitas tema yang diangkat dalam setiap tadarusnya. Diawali dengan seleksi dan Rekruitmen peserta PUP IV, 21 Mei 2013, di Hotel Sargede Yogyakarta, kemudian dilanjutkan dengan 8 serial tadarus dan 2 pertemuan monitoring berturut-turut yang diselenggarakan di pesantren atau tempat yang berbeda secara berkala setiap dua bulan sekali. Kesepuluh pertemuan dan tadarus berikut temanya adalah : Tadarus (1) Kepekaan Gender dan Kesehatan Reproduksi, 20-23 Juni 2013 di PP. Salafiyah Mlangi Yogyakarta, (2) Islam, Globalisasi dan Perubahan Sosial, 5-8 September 2013 di PP Ali Makshum Krapyak Yogyakarta, (3) Tafsir untuk Pemberdayaan Perempuan, 7-10 November 2013 di PP Al Hidayat Salaman Magelang, (4) Hadis Untuk Pemberdayaan Perempuan, 9-12 Januari 2014 di PP Al-Wathoniyah Kebarongan Banyumas, (5) Fiqh-Ushul Fiqh untuk Pemberdayaan Perempuan, 6-9 Maret 2014 di PP Binaul Ummah, Bantul, (6) Bahtsul Masail
No. 49 Th. XV. April 2015
untuk Pemberdayaan Perempuan, 16-18 Mei 2014 di PP Al-Manshur Popongan Klaten, (7) Monitoring &Pengorganisasian Masyarakat, 26-30 Agustus 2014 di PP Nurudh Dholam IV Klaten, (8) Kepemimpinan Ulama Perempuan untuk Kemaslahatan Manusia yang Beragam, Adil, dan Setara, 30 Oktober – 2 November 2014 di Hotel Matahari Yogyakarta. Dan tadarus yang ke (9) adalah kegiatan Monitoring &Advokasi Sosial untuk Pemberdayaan Perempuan, 13-14 Agustus 2014 di PP Mambaul Huda Kaliabu Salaman Magelang. Keseluruhan proses kegiatan tersebut kemudian diakhiri dengan Monitoring, sekaligus Evaluasi dan Refleksi yang diadakan di PP. Edi Mancoro Salatiga pada tanggal 6-8 Februari 2015. Selain evaluasi dan refleksi, agenda lainnya adalah sharing pengalaman dengan peserta program PUP angkatan I, II dan III. Pada pagi di hari pertama, kegiatan dibuka secara langsung oleh Gus Hanif, salah satu pengasuh PP. Edi Mancoro. Selanjutnya acara, dipandu oleh fasilitator Rahima, dimana peserta diminta untuk memetakan harapan dan kekhawatiran, juga mengenai kesepakatan jadwal. Dalam forum ini peserta juga mendapatkan pengayaan wawasan mengenai social entrepreneurship, yang disampaikan oleh Mbak Masnu’ah, pendiri kelompok Puspita Bahari di Moro, yang terletak di sebuah perkampungan nelayan di kabupaten Demak. Presentasi tentang usaha peningkatan perekonomian dan pemberdayaan perempuan pesisir serta pemaparan tentang advokasi KDRT yang dilakukannya amat inspiratif.
Swara Rahima - 43
Kiprah
Sharing pengalaman yang lain juga diberikan oleh Nyai Hj. Afwah Mumtazah (PUP I dari PP.Kempek, Cirebon) mengenai upayanya memperkenalkan kesetaraan dan keadilan gender di pesantren yang memiliki tradisi salaf yang kuat. Upaya perjuangan yang senada juga disampaikan oleh Istianah (PUP II dari Tasikmalaya) mengenai bagaimana menghadapi mahasiswa berlatar belakang salaf yang sulit menerima perspektif gender. Sementara, Laila Jauharoh peserta program PUP III dari Jepara, berbagai pengalaman tentang Sekolah Kandangnya sebagai upaya untuk meningkatkan potensi ekonomi masyarakat melalui ternak kambing dan penyadaran masyarakat dalam berbagai isu perempuan dan soal-soal kerumahtanggaan. Dalam kesempatan ini Dr. Nur Rofiah juga memberikan pembekalan kepada para peserta melalui presentasinya tentang posisi dan peran ulama perempuan dalam konteks pemberdayaan perempuan dan kemaslahatan manusia. Refleksi mendalam peserta adalah terkait dengan berharganya kesempatan yang mereka dapatkan dengan mengikuti PUP ini. PUP banyak sekali memberikan pada peserta wawasan dan warna baru, mengajarkan keberanian, lebih sensitif terhadap permasalahan
sekitar terutama masalah perempuan dan bagaimana menghadapi dan menentukan solusi terbaik untuk semua permasalahan itu, baik melalui kajian teks maupun advokasi sosial. Hanya di PUP, para peserta yang mayoritas terdiri dari para bu nyai, pengampu majlis ta’lim dan aktifis perempuan ini bisa bersilaturahim ke pesantren-pesantren, dan dapat menimba ilmu baru dalam mengelola keluarga dan komunitas. Tidak banyak catatan yang mereka berikan pada Rahima terutama dalam mengkaji ulang proses dan cara rekrutmen serta bagaimana cara untuk menjaga komitmen peserta agar tidak mretheli di tengah jalan. Mereka juga tetap berkomitmen untuk menjaga tali silaturahmi serta saling berbagi pengetahuan dan pengalaman; serta mengagendakan untuk melaksanakan pertemuan pertama pada Mei 2015 di Yogyakarta. Usai acara, diiringi perasaan haru biru, saling berjabat tangan sambil menangis berpelukan, tepat pukul 12 siang peserta yang hadir bersama seluruh fasilitator dan panitia menuju ndalem dimana KH. Mahfudh Ridwan, Pengasuh PP Edi Mancoro, berkenan menyampaikan taushiyah sekaligus doa penutup. {} Ulfah Faiqotul Himmah
Santri Gudiken:
Antara Simbol Keabsahan, Kutukan, dan Kesadaran Soal Kebersihan Diri
S
antri gudiken adalah salah satu fenomena yang seringkali muncul dalam kehidupan para santri di pesantren. Meski gudik sejatinya adalah penyakit kulit belaka, tapi tidak sedikit juga yang menganggapnya lebih dari sekedar penyakit kulit. Hal tersebut mengemuka setelah perjalanan penulis berkeliling selama sepuluh hari ke 11 pesantren yang berada di wilayah Jombang dan Kediri. Kegiatan safari pesantren ini dalam rangka penggalian data untuk penelitian yang dilakukan oleh Rahima di empat kabupaten Jombang, Kediri, Lamongan, dan Banyuwangi pada awal Januari 2015 lalu. Patut dicatat bahwa catatan perjalanan ini bukan mengenai hasil penelitian tersebut.
44 - Swara Rahima
No. 49 Th. XV. April 2015
Kiprah
Simbol Kesahihan dan Kutukan Gudik sejatinya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus/kutu scabies. Karena itu, penyakit ini juga dikenal dalam istilah medis dengan nama scabies. Gudik ini umumnya muncul akibat kebersihan diri (personal hygien) dan kebersihan lingkungan yang tidak terjaga dengan baik. Meski status utamanya adalah penyakit kulit, tapi ternyata juga tidak sedikit yang memandang gudik lebih dari sekedar penyakit kulit belaka. Di antaranya ada yang menganggap gudik sebagai simbolisasi dari keabsahan dan kesahihan ‘kesantrian’ seseorang yang nyantri di suatu pesantren. Artinya seseorang belum sah disebut santri di pondok itu jika belum terkena gudik. Lalu juga ada yang menanggap gudik sebagai penyakit khas para santri. Santri gudiken dinilai sebagai hal yang biasa dan lumrah terjadi pada santri dan jamak terjadi di setiap pesantren. Selain dua pandangan di atas, ada juga ungkapan bahwa gudik seolah-olah seperti penyakit ‘kutukan’ bagi para santri di pesantren. Ungkapan itu muncul gara-gara pihak pesantren yang telah berusaha maksimal menciptakan pola hidup bersih dan lingkungan yang sehat tapi selalu gagal mencegah santri dari penyakit gudik. Santri yang gudiken selalu sembuh jika di rumah, tapi kambuh bila di pesantren lagi. Kesadaran Hygien Meski ada pandangan-pandangan seperti tersebut di atas, sebenarnya banyak juga pengasuh dan pengurus pesantren yang memiliki kesadaran hygien yang tinggi dalam menyikapi penyakit gudik ini. Dimana fokus perhatian mereka adalah faktor-faktor penyebab di balik gudik. Berbeda dengan sebelumnya, banyak yang berpendapat bahwa santri bukan hal yang biasa terjadi
No. 49 Th. XV. April 2015
pada setiap santri, biasanya hanya beberapa saja. Artinya gudik bukanlah penyakit khas santri. Santri gudiken itu umumnya disebabkan rendahnya kesadaran hygien mereka, khususnya tentang kebersihan diri. Persoalan kesadaran hygien para santri inilah yang menjadi tantangan bagi para pihak pesantren dalam upaya menciptakan santri dan lingkungan yang bersih dan sehat. Dapat dikatakan dari jamak perbincangan penulis dalam safari pesantren ini, kesadaran hygien belum menjadi kesadaran kolektif para santri, masih pada level kesadaran individu saja. Selain itu faktor sumber air dan ketersediaan air bersih, genangan air, limbah, dan keterbatasan fasilitas MCK yang memadai juga menjadi tantangan. Pasalnya rata-rata jumlah santri jauh lebih banyak dari pada fasilitas yang tersedia sehingga. Sehingga kamar mandi yang baru dikuras sudah langsung kotor kembali, selain frekuensi menguras yang hanya 2 atau 3 kali seminggu karena padatnya aktivitas di pondok. Demikian catatan singkat safari penulis ke sejumlah pesantren, tentang kebersihan diri dan lingkungan yang sejatinya dimiliki oleh civitas pesantren, namun belum menjadi kesadaran kolektif dalam warga pesantren. Tentunya, selain pandangan mitologis di balik gudik yang terkadang masih ditemui. {}Mawardi
Swara Rahima - 45
Jaringan
Pesantren Mamba’ul Huda Kaliabu Salaman Magelang Peka terhadap Kebutuhan Umat Pondok pesantren Mambaul Huda adalah salah satu dari 300an pesantren yang terdapat di Kabupaten Magelang. Lokasi persis pondok ini berada di daerah Kaliabu Utara, Desa Kaliabu, Kec amatan Salaman, Magelang, Jawa Tengah. Adalah seorang alim bernama al-maghfurlah KH. Muchsonuddin yang merintis lembaga pendidikan ini sejak tahun 1954 silam setelah berkelana nyantri di sejumlah pondok dan kiai baik di Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Beliau dikenal sebagai sosok yang cerdas dan sederhana. Gemar tabarukkan kepada alim-ulama semasa nyantri yang dilakoninya dengan mengikuti pengajian kilatan atau khataman kitab di beberapa pondok seperti Kencong Kediri. Selain ngalap berkah dengan sinau pada kyai tertentu, ketika khatam kitabnya biasanya sang kyai lantas juga memberikan ‘ijazah sanad’. ’Ijazah Sanad’ dikenal juga dengan istilah silsilah/rantai transmisi keilmuan dari gurunya, lalu gurunya lagi dan terus hingga rantai terakhir pada si muallif kitab tersebut. Pada masa awal berdirinya, proses kegiatan belajar mengajar berpusat di sebuah mushola yang amat sederhana. Di tempat itulah mula-mula KH Muchsonuddin membimbing dan mendidik para santri yang pada waktu itu mayoritas berasal dari lingkungan masyarakat sekitar pondok. Itulah mengapa pada waktu awal-awal belum terdapat asrama bagi para santri untuk bermukim. Selepas pengajian mereka lantas pulang ke rumah masing-masing. Dalam tradisi kepesantrenan di pulau Jawa istilah santri model pulang pergi atau nonmukim dikenal juga dengan istilah ‘santri kalong’. Barulah kemudian lambat-laun seiring waktu mulai berdatangan
46 - Swara Rahima
para santri dari berbagai daerah untuk mengenyam di pondok sehingga kemudian dibangunlah asrama pemondokan bagi santri mukim tersebut. Hadirnya pesantren ini tak lepas dari upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitarnya yang haus akan pendidikan agama. Oleh karenanya, ketika mereka hendak mengaji di pesantren ini mereka belajar tentang pasholatan (tata cara untuk menunaikan ibadah shalat). Tata cara menunaikan shalat menjadi materi tes masuk untuk belajar agama di pesantren ini. Sementara kegiatan Madrasah berlangsung di malam hari sementara aktivitas mengaji dilakukan ba’da Shubuh dan ba’da Ashar. Selain itu, ada juga pengajian khusus pengurus. Dalam dokumen resmi Yayasan Mambaul Huda yang menaungi berbagai lembaga pendidikan formal dan non-formal, tercatat bahwa tahun resmi berdirinya pondok ini adalah tahun 1959. Berkat kegigihan dan perjuangan tak kenal lelah dari KH. Muchsonuddin yang memiliki 5 orang putra-putri; pesantren ini terus berkembang dengan tersedianya lembaga pendidikan formal maupun non-formal dengan berbagai tingkatan. Tercatat di pondok sudah ada beberapa tingkat pendidikan mulai Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) hingga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Selain pendidikan formal, Mambaul Huda juga menyelenggarakan pendidikan non-formal Madrasah Diniyah (Madin) dan pengkajian kitab kuning, baik dengan metode bandongan maupun sorogan. Fokus pemberdayaan
No. 49 Th. XV. April 2015
Jaringan
di bidang pendidikan tidak hanya diperuntukkan bagi para santri saja, melainkan juga bagi masyarakat sekitar dengan adanya majlis taklim Muslimat dan Fatayat, dan juga Majlis Thariqah. Visi pendidikan pesantren ini berupaya mengintegrasikan dengan baik proses pembinaan moralitas akhlaqul karimah yang dipadukan dengan ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu ke-Islaman. Selain berupaya mengintegrasikan antara keilmuan agama dan umum, Mambaul Huda juga berikhtiar untuk membantu dan mendorong pengembangan masyarakat, khususnya para remaja agar menjadi generasi yang memiliki akhlak mulia dan berbudi luhur serta memiliki pengetahuan luas tentang agama dan umum. Jumlah santri mukim pada saat ini mencapai 300-an santri meliputi putra-putri, belum terhitung para siswa-siswi non-santri mukim yang bersekolah di MTs dan SMK. Kini Pondok Pesantren Mambaul Huda diasuh oleh Kyai Muhammad Aminuddin, putra kelima KH Muhsonuddin yang telah wafat pada tahun 1995. Kini setiap harinya Kyai Muhammad Aminuddin diberi amanah oleh keluarga besar untuk mengasuh bagian pondok pesantrennya. Setiap harinya beliau mengimami shalat berjamaah, mengajar para santri dan juga membimbing para pengurus.
No. 49 Th. XV. April 2015
Perkembangan di Era Generasi Kedua : Membekali Santri untuk Hidup Mandiri Perjalanan kehidupan terkadang naik dan turun, begitu pula dengan perjalanan pondok pesantren Mambaul Huda yang sempat mengalami guncangan kecil dengan anjloknya jumlah santri yang belajar di tempat ini. Hal itu terjadi pasca wafatnya sang pendiri KH. Muchsonuddin pada tahun 1995. Penuruan drastis tersebut memicu keprihatian keluarga besar yang tak lain adalah para generasi penerusnya. Selama hampir dua tahun laju perkembangan seperti berjalan mundur, sehingga akhirnya keadaan tersebut mendorong Ketua Yayasan Mambaul Huda Drs. Mujadin, MM bersama sang istri Aslikhatul Fuadah, SPd.I. (putri pertama KH Muchsonuddin) berupaya melakukan pengembangan lebih lanjut untuk mempertahankan peninggalan agung KH. Muchsonuddin ini. Mereka mengunjungi para alumni dan para tokoh untuk bertukar pikiran untuk memajukan pesantren ini. Pembenahan-pembenahan juga terus dilakukan dan ditingkatkan. Mereka juga berkeliling mencari anak yatim-piatu yang memiliki semangat belajar tapi terkendala biaya untuk diberikan pendidikan gratis dengan membangun model orang tua asuh bagi anakanak itu. Waktu itu ada sekitar 20-an anak yatim-piatu
Swara Rahima - 47
Jaringan
yang beroleh kesempatan belajar di situ. Program ini terus berjalan hingga saat ini. Dan seiring waktu Mambaul Huda berhasil berkembang di tangan generasi kedua dari KH. Muchsonuddin. Di antara perkembangan penting ialah berdirinya SMK Al-Huda pada tahun 2011. Pada waktu itu, anak kedua KH. Muchsonuddin, yaitu Aslikhatul Fuadah ditunjuk menjadi kepala sekolah oleh pihak keluarga besar. Responnya cukup baik pada awal-mula dibuka dengan jumlah siswa sebanyak 50-an siswa untuk dua jurusan yang sediakan yaitu program Keahlian Tata Busana dan program Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Setelah 4 tahun berjalan SMK terus mengalami peningkatan meski besaran peningkatan jumlah siswa sebanyak 10-an siswa setiap tahunnya. Bahkan awal tahun ajaran 2015 ini SMK Al-Huda berencana membuka dua jurusan lagi yaitu Teknik Kendaraan Ringan dan Jurusan Rekayasa Perangkat Lunak. Hal ini didasari pada prinsip dasar pesantren yang berusaha berikhtiar untuk mengembangkan masyarakat, khususnya para remaja. Mengenai motivasi dibukanya jurusan Tata Busana, Bu As mengungkapkan, “Kami ingin membekali para
48 - Swara Rahima
siswa dengan berbagai keterampilan untuk bisa survive. Kami tidak ingin, setelah lulus mereka hanya menjadi tukang jahit saja. Namun, mereka juga bisa menjadi desainer dan bisa terlibat dalam berbagai pagelaran busana.” Tentu gagasan senada juga melatarbelakangi pesantren ini untuk membuka jurusan-jurusan yang lain dalam sekolah kejuruan yang dimilikinya. Selain itu, dengan kesadaran baru tentang kesetaraan dan keadilan gender juga menyadarkan pihak pengelola agar tidak membatasi penerimaan siswa berdasarkan sterotip jenis kelamin seperti yang berkembang di masyarakat selama ini. Pemilihan jurusan itu, tentu terbuka bagi seluruh calon siswa dan siswi. Mengingat, para pengasuh juga telah memperkenalkan para santri tentang pentingnya memahami kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi melalui serangkaian aktivitas yang mereka lakukan barubaru ini. Disamping usaha-usaha memajukan dan mengembangkan pendidikan, Yayasan Mambaul Huda juga berencana membuka model Sekolah Alam yang mengintegrasikan antara pendidikan dengan pengambangan desa. Inspirasi itu muncul ketika Aslikhatul Fuadah yang merupakan peserta aktif Program Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) Rahima Angkatan Ke-4 mengadakan kunjungan ke Sekolah Alternatif Qoryah Toyyibah di Salatiga pada awal Februari 2015 silam. Hadir juga dalam kunjungan ke Qoryah Toyyibah Ketua Yayasan Mambaul Huda. Proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah alternatif yang begitu terkenal hingga masuk dalam acara Kick Andy itu telah memotitivasi para pengurus Yayasan Mambaul Huda untuk mewujudkannya di Kaliabu Salaman Magelang. “Secepatnya kami akan buka disini!” Begitulah jawab kepala sekolah SMK Al-Huda, Aslikhatul Fuadah ketika Redaksi Swara Rahima bertanya kepadanya mengenai waktu pembukaannya. Insyaallah, sebuah kesadaran untuk selalu beraksi setiap mereka mengakhiri sebuah proses refleksi.{} Mawardi
No. 49 Th. XV. April 2015
Khazanah
Berjuang Membangun Tafsir yang Adil dan Setara Gender : Konstruksi Patriarki Dalam Tafsir Agama; Sebuah Jalan Panjang Penulis : Dr. Inayah Rohmaniyah, S.Ag., M.Hum., M.A Penerbit : Fakultas Ushuluddin & Pemikiran Islam Universitas Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Cetakan : Pertama Jumlah Halaman : xii + 127 halaman Jumlah Bab : 6 bab ISBN : 978-602-1612-22-4 Tahun Terbit : Desember 2014 Judul Buku
M
ufassir memiliki peran yang sangat strategis untuk melakukan reinterpretasi tafsir agama yang adil gender, dan hasil ijtihadnya harus diajarkan, dipublikasikan, diulang-ulang, digunakan sebagai referensi kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Hal ini nampaknya disadari betul oleh Dr. Inayah melalui bukunya “Konstruksi Patriarki Dalam Tafsir Agama; Sebuah Jalan Panjang” yang menjelaskan kepada pembaca soal bagaimana sejarah penafsiran agama dibentuk. Penulis dengan gamblang juga menjelaskan kata kunci “gender dan problematika-nya”, mulai dari definisi hingga konstruksi sebagai pintu masuk membangun paradigma penafsiran yang adil gender. Nyaris keseluruhan buku ini tidak ada kekurangannya; hanya saja buku ini tergolong bacaan berat terutama bagi pemula karena banyaknya istilah asing yang sulit dimengerti. Sesungguhnya buku ini menyajikan metode tafsir agama dengan latar sejarah yang komprehensif, dimulai dari negara dimana wahyu diturunkan, dan Alquran dikodifikasikan (Mushaf Usmani), yang sarat dengan penafsiran yang patriarkal secara runtut. Penulis juga mengeksplorasi permasalahan tafsir agama dengan analisis gender yang utuh.
No. 49 Th. XV. April 2015
Setelah mengantarkan pada pengertian yang komprehensif tentang gender, penulis juga mengajak pembaca untuk memahami gerakan feminisme secara komprehensif, mulai dari gerakan feminisme liberal pada abad 19 yang menekankan pada reformasi sosial dan legal melalui kebijakan yang di-design untuk mewujudkan kesempatan yang setara bagi lelaki dan perempuan. Selanjutnya, pembaca diajak memahami cara pandang gerakan Feminisme Radikal, yang lebih condong pada perspektif Marxis tentang kedudukan perempuan di masyarakat yang melihat bahwa sumber diskriminasi terhadap perempuan berakar dan dilanggengkan oleh ideologi patriarki termasuk melalui kekerasan seksual, perkosaan dan ketimpangan relasi seksual. Sementara itu, Feminisme Marxist melihat persoalan perempuan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme dan kelas sosial dalam sistem kapitalis dan menilai bahwa penyebab penindasan bersifat struktural (eksploitasi ekonomi), bahkan dalam level keluarga, hubungan suami istri juga digambarkan sebagai hubungan borjuis dan proletar. Sedangkan Feminisme Sosialis melihat bahwa partisipasi perempuan dalam ekonomi itu perlu, namun tidak secara otomatis menaikkan status perempuan. Penulis juga memaparkan perkembangan strategi pembangunan mulai dari WID (Woman in Development),
Swara Rahima - 49
Khazanah
WAD (Woman and Development) dan GAD (Gender and Development). Dalam konteks penafsiran teks, penulis mengupas bagaimana hasil ijtihad yang sangat kental diwarnai oleh para penafsir (laki-laki), dalam sistem patriarki yang sangat kental. Penafsiran ini diajarkan kepada masyarakat, diulang-ulang, dijadikan rujukan dan menjadi mainstream tafsir patriarki dalam sebuah pemahaman agama yang bahkan menanamkan penyebaran kebencian terhadap perempuan (misoginis) dengan mengutip ayat-ayat Alquran, sehingga berbelok dari makna dan konteks aslinya serta diperkuat dengam penyebaran hadis-hadis misoginis dengan tujuan politis. Oleh karenanya, masyarakat yang terlanjur “dibuat mainstream” menerimanya sebagai ajaran agama itu sendiri dan cenderung menutup hasil ijtihad baru. Dalam bab terakhir, penulis menegaskan kembali akan ruh agama (bukan tafsir agama) adalah rahmatan lil alamin, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan dengan mengkritik berbagai hadis
misoginis yang mengalami kecacatan baik dari segi sanad maupun matan. Seperti hadis tentang sujudnya istri kepada suami, ketaatan istri, kepemimpinan perempuan yang ditolak dengan kembali kepada nash Alquran yang justru berbanding terbalik dengan pesan hadis misoginis yang dha’ief. Penulis juga dengan berani mengajak kita untuk menggunakan analisis gender dalam segala perilaku kehidupan berbasis agama yang menjunjung tinggi keadilan dan kemanusiaan, mulai dari perilaku (kepatutan) sehari-hari misalnya soal jilbab (purdah) yang kini menjadi trend atas label moralitas perempuan. Buku ini sangat penting untuk dijadikan referensi bagi pegiat keadilan dan kemanusiaan, baik sebagai khazanah ilmiah maupun rujukan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan baru yang adil gender dan dapat diaplikasikan dalam norma kehidupan masyarakat muslim di Indonesia, bahkan di dunia. {} Laila Jauharoh, S.Ag :Peserta PUP III, Jawa Tengah
Glosari Al murahaqah Eksplisit
w
: Murahiq : masa remaja, anak remaja : Gamblang, tegas, terus terang, tidak berbelit-belit (sehingga orang dapat menangkap maksudnya dengan mudah dan tidak mempunyai gambaran yang kabur atau salah mengenai berita, keputusan, pidato, dsb.); tersurat Juvenile delinquency : Kenakalan remaja Konatif : Perilaku yang sudah sampai tahap hingga individu melakukan sesuatu (perbuatan) terhadap objek. Mainstream : Arus utama Menarche : Menstruasi pertama Misoginis : Membenci perempuan Mretheli : (Jawa) berguguran. Peer group : Teman sebaya Social entrepreneurship : Kewirausahaan sosial; sebuah disipilin ilmu yang menggabungkan antara kecerdasan berbisnis, inovasi, dan tekad untuk maju ke depan Stigma : Ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya atau sebutan yang diberikan oleh lingkungannya. Tabarukkan : Mencari berkah, mengharapkan datangnya kebaikan Ilahi dari sesuatu yang dipercayai memiliki nilai-nilai keberkatan. Misalnya : Shalat di Masjidil Haram, dengan mengharapkan memperoleh berkahnya masjid tersebut, yaitu tambahnya pahala dan terkabulnya do’a. Volwassen : Dewasa, cakap. Berasal dari bahasa Belanda “vol” berarti penuh dan “wassen” yang berarti tumbuh. Volwassen itu sendiri bermakna sudah tumbuh dengan penuh atau selesai tumbuh.
50 - Swara Rahima
No. 49 Th. XV. April 2015
Dirasah Hadis
Pemaknaan Baligh versus Dewasa dalam Beragam Konteks Oleh : Hj Afwah Mumtazah, M.Pd.I Dalam Islam, perbincangan seputar kesehatan, kebersihan, kesucian, keamanan, serta keberlangsungan reproduksi manusia, termasuk membicarakan tentang seksualitas, sejatinya, bukanlah hal yang asing. Demikian yang dapat disimpulkan dari membaca sejumlah ayat Alquran dan juga mengkaji kitab-kitab hadis, tafsir, dan fikih.
D
itemukan beberapa kasus pernikahan anak di pedesaan karena pergaulan bebas, atau sebab interpretasi fiqh orang tua terhadap makna baligh. Argumentasi simpel nan lugu ketika seorang ayah menikahkan anak gadisnya selepas menstruasi pertama antara lain agar beban tanggung jawab menjaga anak gadis dari pergaulan bebas menjadi berkurang. Anggapan menjaga anak perempuan dipandang lebih sulit daripada anak laki-laki sudah terstigma kuat, terlebih jika sudah menstruasi. Anak perempuan akan hamil dan akan mencoreng nama baik keluarga jika salah pergaulan. Secara ekonomi menikahkan anak perempuan akan meringankan beban orang tua, karena beban nafkah sudah beralih tanggung jawab kepada suami.
Baligh dan dewasa dipahami berbeda oleh imam mazhab dan di beberapa negara. Perbedaan itu tampak dari sisi objeknya, misalnya batasan usia baligh ketika ditujukan untuk pernikahan akan berbeda dengan menjadi wali nikah atau saksi. Di Indonesia seseorang dianggap sudah dewasa jika sudah menikah meskipun belum berusia 21 tahun sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974: usia minimal menikah untuk perempuan adalah 16 tahun dan 19 tahun bagi laki-laki. Sementara di Somalia dan Irak menetapkan usia menikah 18 tahun untuk laki-laki dan perempuan; di Indonesia ini sesuai dengan UU perlindungan anak. Ini bisa difahami karena Rasulullah saw. tidak mengungkapkan secara tegas batasan-batasan baligh bagi anak laki-laki dan perempuan dalam bilangan umur.
Baligh dalam beberapa kasus dianggap menguntungkan beberapa keluarga di pedesaan atau masyarakat tradisional, karena bisa menjadi legitimasi anak untuk bekerja di negeri seberang. Ini menjadi dorongan kuat setelah melihat keberhasilan teman dan tetangga yang bekerja ke luar negeri. Umur pun ‘didongkrak’ menjadi lebih tua dari sebenarnya dengan mengabaikan adanya kedewasaan, kematangan mental, dan bekal wawasan. Interpretasi baligh dalam wacana Islam klasik kadang dijadikan landasan untuk ‘merumahkan’ anak perempuan ke wilayah domestik, dan menjadi batasan hilangnya tanggung jawab orang tua, sehingga anak perempuan terabaikan dalam pendidikan, dan harapan meraih cita-cita. Kondisi-kondisi ini sangat tidak menguntungkan, khususnya bagi anak perempuan seiring dengan streotipe perempuan baligh yang masih berkembang di masyarakat.
Baligh dalam Islam tidak hanya bermakna pertumbuhan fisik atau perkembangan psikis menuju kedewasaan semata, tapi terkait dengan dampak yang ditimbulkannya, yaitu makna taklifi (kewajiban menjalankan ibadah syar’i). Ketika tanda-tanda baligh telah nampak dalam seorang gadis atau pria, maka dengan sendirinya konsekuensi hukum syar’i sudah menjadi tanggung jawab pribadi. Sama halnya dengan ibadah dan puasa pada seseorang ketika masih anak-anak yang hanya dianggap sebagai latihan dan pembiasaan, maka ketika baligh tiba, hukum ibadah-ibadah tersebut menjadi tanggung jawab pribadi. Kewajiban taklifi yang diemban bagi baligh/balighah tidak langsung mutlak diberlakukan pada saat usia itu tiba. Tapi Allah sudah lebih dulu menjelaskan dalam rangka littadrij (bertahap) melalui latihan dan pembiasaan agar remaja tidak kaget ketika menjadi mukallaf syara’. Ini termaktub dalam Q.S
No. 49 Th. XV. April 2015
Swara Rahima - 51
Dirasah Hadis
Al Baqarah, 2: 132-133 tentang aqidah yang benar dan agar selalu konsisten menjalankan Islam, Q.S. An Nur, 24:2 tentang penjagaan diri dalam pergaulan. Salah satu contoh penjabarannya ada di Q.S. Nur 24:58 tentang adab dalam keluarga. Dijelaskan penerapan nilai-nilai ajaran Islam harus diajarkan sebelum anak menginjak usia baligh dan pembiasaannya dimulai dalam keluarga dari rumah yaitu membiasakan mereka meminta izin sebelum masuk ke kamar orang tua pada tiga waktu rawan: sebelum subuh, tengah hari dan sesudah waktu Isya. Menurut al-Alusy, ini pendidikan dalam rangka litta’dib (pembiasaan) dan litta’lim al-ta’lim (pendidikan). Baligh juga menandakan seseorang telah dipandang siap melakukan transaksi sosial/ muamalah seperti al buyu’ (jual-beli) ‘aqdu al-nikah (melaksanakan pernikahan), syirkah (kerjasama), ijarah (sewa menyewa), khiyar (memilih) dan lain sebagainya. Hanya saja baligh dalam beberapa kasus menjadi bias pemaknaanya. Argumen fiqh yang mereka pahami, dijadikan legitimasi untuk pernikahan dini, memberangkatkan anak-anak pada masa remaja awal menjadi buruh migran di luar negeri, terlepas sudah terlihat siap secara mental atau nampak dewasa menghadapi persoalan. Hal ini dapat dimaklumi karena arti dewasa adalah produk kontruksi budaya sekaligus konstruksi agama, sehingga tolak ukur yang dijadikan patokan berbeda di tiap daerah, kota dan negara. Sudah seharusnya makna baligh dalam arti pencapaian kedewasaan harus dipahami kembali, bukan sebatas tanda-tanda yang nampak dalam seorang remaja sebagaimana bahasan fiqh 15 tahun untuk anak laki-laki dan 9 tahun untuk perempuan atau yang sudah menstruasi. Pemaknaan baligh dengan melibatkan konteks akan meminimalisir pernikahan dini, eksploitasi anak / trafiking atau ‘merumahkan’ anak perempuan ke wilayah domestik karena alasan subordinatif sebagai akibat pemahaman tekstualis terhadap makna baligh. A. Baligh Perspektif Fiqh Baligh diambil dari bahasa Arab yang berarti sampai, yaitu sampai dalam memasuki usia dewasa. Baligh dalam fiqh Islam adalah batasan seseorang mulai dibebani kewajiban-kewajiban hukum syar’i ( taklif ) atau mukallifan syar’an . Secara umum baligh dapat ditandai ketika seseorang bisa membedakan mana yang baik dan mana yang salah, karenanya kata baligh selalu
52 - Swara Rahima
disandingkan dengan kata ‘aqil atau ‘aqil baligh. ‘Aqil Baligh menjadi kunci sah perjalanan manusia dalam menjalankan ibadah muamalah di hadapan Tuhan, baik ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah seperti kewajiban shalat atau tranksaksi antar manusia. Dalam fiqh, baligh ditandai dengan beberapa keadaan: 1. Adanya menstruasi (haidh) bagi anak perempuan minimal pada saat usia 9 tahun
ال يقبل هللا صالة امر ْاة قد حا ضت اال بحما Artinya: “Allah tidak menerima shalat perempuan haid, kecuali ia telah berkerudung.” (HR. Ibnu Huzaimah dari Aisyah). Maksud kata khimar/berkerudung adalah pakaian yang ditujukan untuk perempuan yang sudah baligh. Ketika shalat perempuan diwajibkan menutup kepala, leher dan dada. 2. Mimpi Basah / Ihtilam ( mimpi bersenggama hingga mengeluarkan seperma (atau dalam keadaan sadar keluar mani karena khayalan, terangsang oleh bacaan/ gambar) bagi laki-laki dan perempuan. Dalilnya adalah: a) Q.S An Nur, 24 : 59
َستَأْ َذن ْ ستَأْ ِذنُوا َك َما ا ْ ََوإِ َذا بَلَ َغ ْالَ ْطفَا ُل ِمن ُك ُم ا ْل ُحلُ َم فَ ْلي الَّ ِذينَ ِمن قَ ْبلِ ِه ْم Artinya: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka hendaklah mereka juga minta izin seperti orang lebih dewasa meminta izin.“ b)
كنت رجال مداء: عن علي كرم هللا وجهه قال فسألت ان البي صلي هللا عليه وسلم فقال في الوضو وفي المني الغسل المدي ْ Artinya: “Dari Ali ra. berkata pada kita laki-laki ada madzi, maka saya bertanya pada Rasul, dan beliau menjawab: dalam madzi (lakukan ) wudhu dan di dalam mani ( lakukan ) mandi.”
No. 49 Th. XV. April 2015
Dirasah Hadis
شيوخ المشركين واستحيوا شرحهم والشرح
c)
عن حولة بنت حكيم أنها سألت النبي صلي هللا
الغلمان الدين لم ينبثوا
عليه وسلم عن المرأة تري في منا مها ما يري
Artinya: Dari Samrah, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Bunuhlah oleh kalian orang musyrik dewasa, dan biarkan hidup di antara mereka syarkhu.”/yang belum tumbuh kemaluannya. (HR. At Tirmidzi)
ايس عليها غسل حتي تنزل كما ان: الرجل فقال الرجل ليس عليها غسل حتي ينزل Artinya: Dari Haulah binti Hakim bertanya kepada Nabi tentang perempuan yang bermimpi sebagaimana laki-laki bermimpi, maka Rasul menjawab: ”Tidak diwajibkan mandi sehingga ia (perempuan itu) mengeluarkan mani, sebagaimana laki-laki tidak wajib mandi sehingga ia keluar sperma.” ( H.R Ahmad dan Nasai’) d) Perkataan Ibnu Hajar:
تمام خمسة عشرة سنة فى: عالمات البلوغ ثالث
وقد اجمع العلما ءعلي ان االحتالم في الرجال والنسا ء يلزم به العبادات والحدود وسا ئرا ْال حكام Artinya; Para ulama sepakat bahwa ihtilam pada laki-laki dan perempuan mewajibkan diberlakukannya ibadah, huduud, dan seluruh perkara-perkara yang terkait dengan hukum (Fathul Baary, 5/ 277) e)
رفع القلم عن ثالثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يعقل Artinya: ”Diangkat pena (tidak dikenakan kewajiban) pada tiga orang, yaitu : orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga berakal” [HR. Abu Dawud no. 4403 dan At-Tirmidzi no. 1423; shahih]. f) Adanya rambut kemaluan
اقتلوا: عن سمره ان النبي صل هللا عليه وسلم
No. 49 Th. XV. April 2015
Imam Syafii yang mazhabnya diikuti oleh mayoritas muslim di Indonesia mengatakan bahwa adanya rambut kemaluan adalah tanda baligh yang ditujukan untuk orang kafir, bukan untuk muslim. Sementara untuk tanda-tanda baligh sebagaimana dikutip dari kitab Safinatunnajah, beliau memfatwakan tanda baligh dalam tiga macam.
الدكر و ا ْالنثي و االحتالم في اللدكر وا ْالنثي لتسع سنين والحيض لتسع سنين Artinya: Tanda-tanda baligh ada tiga : 1) Telah mencapai umur 15 tahun (hijriyah) untuk laki-laki dan perempuan, 2) Mimpi basah bagi laki-laki dan perempuan, dan 3) Haid untuk perempuan yang berumur 9 tahun 3. Telah berumur lima belas tahun bagi laki-laki dan perempuan, meski tidak didahului ihtilam atau menstruasi. Ini berdasar hadis “Ibnu Umar Raodhiyallah ‘anhuma:
عرضني رسول هللا صلي هللا عليه وسلم يوم احد في القتال وانا ابن اربع عشرة سنة فلم يجزني و عرضني يوم الحندق وانا ابن عشرة سنة فاْجزني Artinya: “Aku telah mengajukan diri kepada Nabi saw. untuk ikut perang Uhud ketika aku berumur 14 tahun, dan beliau tidak mengizinkan aku. Aku mengajukan diri lagi kepada beliau tatkala perang Khandak ketika umurku 15 tahun, dan beliau membolehkan
Swara Rahima - 53
Dirasah Hadis
aku (untuk mengikuti perang)”. (Shahih Bukhori, no.2664 dan Shahih Muslim, no.1868)
ialah al wushul wal idrak (sampai dan mengenal / memahami), balagha al ghulam adalah bahwa anak telah mampu memahami. Adapun secara terminologis, al bulugh adalah habisnya masa kanakkanak. Pada masa ini disebut ‘aqil baligh, sebuah fase dibebaninya tanggung jawab pelaksanaan ritual agama. Remaja dalam konteks ini disebut sebagai manusia mukallaf
Dawud adh-Dhahiri berpendapat bahwa tidak ada batasan tertentu untuk usia baligh. Batasan yang benar adalah hanyalah ihtilaam, ini adalah pendapat yang paling kuat. Sementara secara keseluruhan menurut Cholil Nafis, Islam membagi perkembangan anak manusia hingga dewasa melalui tiga tahapan, yaitu: ash-shaghir, mumayiz dan baligh
Jumhur ulama berbeda pendapat tentang batasan kesempurnaan usia baligh, Abu Hanifah menyatakan batas kesempurnaan baligh untuk perempuan adalah 17 tahun, dan bagi laki-laki adalah 18 tahun. Sementara Abu Yusuf Muhammad, Imam Syafii, dan Imam Ahmad bin Hambal tidak membedakan batasan itu antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai batasan yang sama yaitu 15 tahun. Sementara menurut Imam Malik adalah 17 tahun.
1) Tahapan pertama as-shaghir Pada tahapan ini dimulai sejak bayi lahir hingga tamyiz di usia 7 tahun. Pada masa ini anak lebih banyak menerima haknya dibanding melaksanakan kewajibannya (ahliyah al wujub). Masa ini digolongkan sebagai ghoir mukallaf (orang yang tidak mempunyai beban syara’). Hal ini sebagaimana yang diisyarahkan dalam H.R at Tarmidzy: ”Diangkat pena (tidak dikenakan kewajiban) pada tiga orang, yaitu: orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga berakal” [HR. Abu Dawud no. 4403 dan At-Tirmidzi no. 1423; shahih]. 2) Tahapan Tamyiz Masa antara tujuh tahun hingga dewasa. Pada masa ini, anak belum memiliki kelayakan al ada’(pelaksanaan) syariat secara sempurna. Untuk bisa memenuhi pelaksanaan syariat ini diperlukan dua kemampuan, yaitu Pertama: kemampuan memahami khitab yang terbukti dengan adanya akal, dan kedua: kemampuan untuk melaksanakan syariat yang akan terpenuhi dengan badan sehat dan kuat. Kedua kemampuan ini akan mencapai kesempurnaan seiring dengan perkembangan fisik dan psikis hingga tiba dewasa dan berakal sempurna. Dapat disimpulkan anak pada masa ini telah mempunyai ahliyat al wujub secara sempurna dan ahliyyat al ada’ yang minim karena belum berfungsinya pemikiran akal.
B. Baligh perspektif Psikologi Baligh difahami sebagai masa pubertas/ masa remaja. Remaja diistilahkan dengan kata “adolescence” yang berasal dari bahasa latin “adolescere” dari kata benda adolescentia yang berarti remaja. Sebuah perjalanan rentang- hidup individu yang sedang tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Para ahli psikolog pada umumnya membagi masa remaja menjadi tiga fase, yaitu: 1) masa remaja awal: usia 12-15; 2) masa remaja pertengahan: usia 15-18 tahun; dan 3) masa remaja akhir: usia 18-21 tahun. Sementara secara khusus Monks, Knoers membagi berbeda, yaitu menjadi 4 fase: 1) 2) 3) 4)
Masa pra remaja / pra-pubertas : 10-12 tahun Masa remaja awal / pubertas : 12-15 tahun Masa remaja pertengahan : 15-18 tahun Masa remaja akhir : 18-21 tahun
3) Tahapan Bulugh
Secara fisik, perubahan-perubahan yang terjadi berlangsung cepat, baik pada laki-laki maupun perempuan, dan ini yang disebut “Growth Spurt”(percepatan pertumbahan) Perubahan fisik ini sebagai gejala primer remaja dalam konteks pubertas. Ini berdampak pada perubahan psikologis remaja.
Pada masa ini dikenal dengan masa pubertas/ remaja/ al murahaqoh. Secara etimologis al bulugh
Ciri-ciri masa pubertas remaja laki-laki menurut Sarwono, adanya ciri seks primer yang sangat
54 - Swara Rahima
No. 49 Th. XV. April 2015
Dirasah Hadis
dipengaruhi oleh perubahan hormon, dialaminya. Bersifat “moody” dan ekspresif yaitu hormon perangsang yang seperti terbahak-bahak, berjingkrakdiproduksi oleh kelenjar bawah jingkrak ketika gembira adalah tanda otak (Pituatary Gland). Hormon emosi lainnya. Secara Intelektual ”Diangkat pena (tidak ini merangsang testis, sehingga remaja ditandai dengan berpikir dikenakan kewajiban) testis menghasilkan hormon kritis, abstrak, rasa ingin tahu pada tiga orang, yaitu: testoren dan androgen serta yang lebih besar, cenderung orang yang tidur spermatozoa. Sperma yang menentang pendapat orang lain hingga bangun, anak dihasilkan dalam testis remaja juga ego yang sangat tinggi . kecil hingga ihtilam, ini memungkinkan untuk C. Kontekstualisasi Makna dan orang gila hingga mengadakan reproduksi untuk Baligh berakal” pertama kalinya. Karena itu kadang anak laki-laki usia 12 tahun, anak Arti baligh/remaja/al muraahaqah laki-laki kemungkinan untuk mengalami dari sisi kapan datangnya kedewasaan penyemburan air mani(ejaculation of semen) tidak bisa ditentukan secara pasti dalam bentuk yang biasa dikenal dengan mimpi basah atau ihtilaam angka-angka. Terjadi perbedaaan pendapat antar ulama, dalam bahasa fiqh islam. daerah hingga negara. Indonesia menetapkan batas usia minimal 16 tahun bagi perempuan dan laki-laki 19 tahun Mentruasi pertama kali atau menarche yang dalam pernikahan seperti dalam UU No. 1 tahun 1974 dialami anak perempuan merupakan ciri seks primer tentang Perkawinan, memberi isyarat bahwa mereka dalam masa pubertas. Menstruasi pertama ini sudah dianggap dewasa oleh negara. dijadikan petunjuk untuk memastikan mekanisme reproduksi anak perempuan telah matang, sehingga Baligh atau remaja puber sejatinya dipahami sangat memungkinkan remaja hamil dan melahirkan sebagai salah satu fase dari proses perkembangan anak. Munculnya menstruasi sangat dipengaruhi oleh rentang-hidup yang akan dialami setiap manusia perkembangan indung telur (ovarium) yang terletak secara wajar, bukan sesuatu yang rigid dan harus pada rongga perut perempuan bagian bawah di dekat dihadapi secara berlebihan. Maka bentuk sterotype uterus yang berfungsi memproduksi sel-sel telur (ovum) atau pelabelan negatif yang disematkan kepada baligh dan hormon-hormon estrogen dan progesteron. khususnya balighah adalah sesuatu yang berlebihan. Hormon progestoren bertugas untuk mematangkan Allah berfirman: dan mempersiapkan sel telur (ovum) sehingga siap َّ َِّين َحنِيفًا ۚ فِ ْط َرت untuk dibuahi. Sedangkan hormon estrogen adalah للاِ الَّتِي فَطَ َر ِ فَأَقِ ْم َو ْج َه َك لِلد hormon yang mempengaruhi pertumbuhan sifat-sifat َّ ق perempuan pada tubuh seseorang, seperti pembesaran للاِ ۚ ٰ َذلِ َك الدِّينُ ا ْلقَيِّ ُم َ َّالن ِ اس َعلَ ْي َها ۚ َل تَ ْب ِدي َل لِ َخ ْل payudara, bahu, pinggul, tumbuhnya rambut kemaluan, ٰ suara halus dan lain-lain. Hormon ini juga sekaligus َس َل يَ ْعلَ ُمون ِ َولَ ِكنَّ أَ ْكثَ َر النَّا berfungsi dalam mengatur siklus haid. Artinya: Yang paling kentara dalam perkembangan remaja “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada adalah perkembangan sosial, emosional dan cara agama Islam: sesuai dengan fitroh Allah,disebabkan berfikirnya. Pada masa ini, remaja sedang mencari jati dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. diri. Tidak heran jika remaja gampang dipengaruhi dan Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Iitulah) tergoda hal-hal sementara yang menarik perhatiannya. agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia Secara sosial, pergaulan dan wawasannya bertambah tidak mengetahui.“ (Q.S Ar Rum: 30) luas, mengutamakan teman sebaya dibanding orang tuanya sendiri. Dari sisi emosi gampang meledak-ledak Membatasi gerak perempuan karena baligh juga karena dituntut kemampuan penyesuaian diri yang bukan suatu yang bijak. Ada hak anak perempuan untuk cepat, sebagaimana percepatan pertumbuhan fisik yang merengkuh cita-cita dalam kehidupannya. Tambah
No. 49 Th. XV. April 2015
Swara Rahima - 55
Dirasah Hadis
wawasan dan peningkatan pendidikan tidak boleh diabaikan hanya karena justifikasi balighah . Terdapat sebuah Hadis yang artinya : “Barang siapa mempunyai tiga putri atau tiga saudara perempuan, atau dua putri/dua saudara perempuan, kemudian ia berlaku baik kepada mereka dan mereka bertakwa kepada Allah atas apa yang berkenaan pada mereka, maka baginya surga)kemudian menikahkannya , maka baginya surga. (H.R Tirmidzi dan Abu Dawud) Dalam riwayat yang lain dinyatakan:
َُمنْ َكانَتْ لَهُ أَ َمةٌ فَ َعلَّ َم َها َوأَ ْعتَقَ َها فَتَ َز َّو َج َها فَلَه سنَ تَأْ ِديبَ َها َ سنَ تَ ْعلِي َم َها َوأَ َّدبَ َها فَأ َ ْح َ ان فَأ َ ْح ِ أَ ْج َر Artinya: “Siapa saja yang mempunyai seorang budak perempuan, kemudian mengajarinya (pengetahuan) dan memperbaiki pengajarannya, mendidiknya dan memperbaiki pendidikannya kemudian memerdekakan dan menikahkannya maka bagi orang tersebut mendapat dua pahala.” Diterangkan dalam hadis riwayat Bukhori dalam kitab sahihnya, perempuan-perempuan Anshar Madinah protes akan keberadaan kaum muslimin yang bebas mengikuti pengajaran Rasulullah. Kemudian Rasul merespon usulan perempuan Anshar dengan memberikan kesempatan waktu dan tempat untuk mengajari mereka. Sementara konsep balighah yang digunakan sebagian orang tua untuk melegitimasi anak menikah pada usia remaja hendaknya dikaji ulang. Karena pernikahan adalah fase perjalanan hidup dua orang manusia yang harus dibarengi komitmen yang tinggi, Mitsaaqaan Gholidza agar tidak terputus di tengah jalan, dan tercipta keluarga yang Qurrota ‘ayyun ( Q.S al Furqon:74) mu’asyarah bil ma’ruf, mawaddah sakinah wa rahmah (Q.S ar Rum:21) dalam biduk perkawinannya. Ini bisa dicapai jika personalnya siap dan dewasa secara mental dan fikiran. Remaja awal dalam usia 10-15 tahun jelas tidak memungkinkan dapat melakukannya, karena secara psikologi masa-
56 - Swara Rahima
masa itu adalah masa mencari jati diri hingga terlihat plin-plan, moody, dan cenderung merasa benar sendiri serta tidak mau disalahkan. Sikap dan temperamental seperti ini akan hilang secara berangsur-angsur seiring dengan perkembangan fisiknya. Ibu adalah madrasah pertama bagi anak. Jika masih muda dalam umur, dan psikis bahkan mungkin minim wawasan dan pengetahuan, tentu akan sulit untuk mewujudkan dirinya sebagai madrasah pertama untuk mewujudkan generasi yang kuat, sementara Allah menganjurkan untuk membentuk generasi yang kuat. Ini tersurat dalam Q.S an-Nisa, 4:9 , Q.S, al Luqman, 31: 12-19, QS. Al Isra, 17 : 23-24. Ketetapan ini dikukuhkan pula oleh hadis tentang adanya hak anak yang harus dipenuhi orang tua yaitu: mengajarkan baca-tulis, renang, memanah dan tidak memberi rizki kecuali yang baik (halal) sebagaimana H.R Hakim dan Baihaqi dari Abu Rafi.
يا رسول, قلت: عن أبى رافع رضي هللا عنه قال , نَ َع ْم: للولد علينا حق كحقنا عليهم؟ قال, هللا اح ِة ُّ َح ِّ َاب َوال َ َ سب َ ق ال َولَ ِد َعلَى ال َوالِ ِد أَنْ يُ َعلِّ َمهُ ال ِكت الَ يَ ْر ُزقَهُ إِالَّ طَيِّبًا َْوال ِّر َمايَ ِة َوأَن Artinya: “Dari Abu Rafi’ RA berkata: Aku berkata, ya Rosulallah, apakah anak mempunyai hak dari kita seperti halnya hak kit adari mereka? Rosulullah bersabda: Iya, anak mempunyai hak dari orang tuanya untuk mengajarinya Alquran, berenang, memanah dan juga tidak memberi rezeki kecuali yang baik.” Sementara dari sisi kesehatan reproduksi, pernikahan remaja awal dan remaja pertengahan akan membawa dampak besar. Kehamilan yang terjadi di bawah usia 20 tahun akan meningkatkan resiko keguguran, pertumbuhan janin terhambat karena alat reproduksi ibu belum berkembang sempurna, pemberian asi terancam tidak lancar sampai kesulitan dalam persalinan. Kondisi ini pada akhirnya akan meningkatkan resiko kematian ibu dan anak(AKI).
No. 49 Th. XV. April 2015
Dirasah Hadis
Penutup Penetapan ketentuan kedewasaan seorang remaja termasuk mengidentifikasi tanda-tandanya tidak mudah, karena setiap daerah hingga negara mempunyai skala yang berbeda dari sisi budaya untuk menentukan kapan individu dipandang sebagai manusia dewasa secara formal. Yang dipandang ideal adalah menetapkan dewasa jika masa pubertas telah selesai, setidaknya mendekati selesai. Alasannya adalah organ kelamin anak akan mencapai kematangan mental secara optimal dan siap berproduksi. Kondisi ini terjadi pada usia 21 tahun. Kedewasaan yang dicapai individu tidak dilihat hanya dilihat dari sisi perkembangan fisik yang terjadi selama rentang hidup (life span development). Kedewasaan akan muncul seiring dengan perubahan-perubahan fisik dalam perjalanan hidup seseorang, yang berimbas
kepada perubahan sikap, proses kognitif, dan prilakunya. Seiring pertumbuhan fisik tersebut, akan tampak adanya perbedaan dalam pengambilan keputusan serta problem solving yang dihadapinya. Karena alasan-alasan tersebut, makna baligh dalam arti pencapaian kedewasaan seseorang tidak bisa dilihat dengan satu perspektif saja, meskipun itu perspektif agama sekalipun. Batasan umur juga tidak menjadi jaminan seseorang dikatakan dewasa. Gaya hidup, pola asuh dalam keluarga, kondisi geografi, tempat tinggal seperti pedesaan dan perkotaan akan mempengaruhi percepatan tingkat kedewasaan seseorang. Oleh sebab itu dituntut adanya kearifan dan sikap yang bijak dalam pengambilan keputusan terhadap baligh dan balighah agar tidak merugikan masa depan dan mematikan potensi mereka yang masih berkembang. Wallahu ‘Alam bish-Shawab.{}
DAFTAR PUSTAKA Ali Ashobuni, Muhammad, Pernikahan Dini yang Islami (Jakarta: Pustaka Amani, 1996) At Turmudzy, Sunan, Al Jamiusshoheh, Juz 1 (Indonesia : Wahdan, t.th) Al Qastholani, Ibnu Hajar, Bulugh marom, (Indonesia :Ihya Kutub “Arobiyah, : t.th) Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2009) Depag RI, Al Hikmah : Quran dan Terjemahan (Bandung: Diponegoro, 2007) -------, Fathul Baary, ( Beirut : Dar elfkr , t.th) Kemenag, Tafsir maudhui : Kedudukan & Peran Perempuan, (Jakarta : Sinergi Pustaka, 2012) LKPSM, Otonomi Perempuan menabrak Ortodoksi, (Yogyakarta : LKPSM, 1999) ------Maktabah Syamilah ( Mekkah, 2011 )
No. 49 Th. XV. April 2015
Musthofa, Atadzhib ‘ala matan Abi Syujaa’ (Indonesia : Mahfudzoh , t.th) Nafis, Cholil, Fiqih Keluarga, (Jakarta : Mitra Abadi Pres, 2009) Nakhai, Imam dkk, Fiqh Buruh Migran (Cirebon : Isif, 2012) Nasih Ulwan, Abdullah, Tarbiyatul awlaad, juz I (Beirut : Dar al Salam, 1999 ) Nawawi, Muhamad, Syarah Kasyifatussaja ( Surabaya : Kharisma, t.th) Rusd, ibnu, Bidayatul mujtahid, Juz I (Indonesia : Dar el Kutub, 2007 ) ------, Shohih Muslim , Juz 1 (Beirut : Dar Elfkr, t.th) Sarwono, Sarlito Wirawan, Psikologi Remaja, (Jakrta ; Raja Grafindo Persada, 2002 ) Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqh al Islamy, Juz I (Damascus: Dar Elfikr, 2005)
Swara Rahima - 57
Info
Melalui JR UU Sisdiknas Masyarakat Dorong Pendidikan Kespro di Sekolah
S
ejumlah masyarakat sipil dan Gugus kerja SEPERLIMA (Seputar Informasi Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas) yang terdiri dari sejumlah lembaga yaitu PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia), RAHIMA, Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP Universitas Indonesia (Puskagenseks FISIP UI) dan Pamflet mengajukan Judicial Review (JR) atau Uji Materi Undang-undang (UU) No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal yang disoal adalah Pasal No 37 ayat (1) huruf h-tentang muatan kurikulum pendidikan jasmani dan kesehatan. Frasa ‘pendidikan jasmani dan kesehatan’ pada pasal itu diusulkan agar juga harus dimaknai ‘termasuk pendidikan kesehatan reproduksi di dalamnya’. Dalam mempersiapkan JR ini SEPERLIMA juga menggalang dukungan dari media dan mengajak berbagai pihak yang yang mempunyai perhatian pada soal kesehatan reproduksi perempuan seperti Komnas Perempuan, KPAI, ARI, YKP, dan lain-lain untuk terlibat menjadi pihak terkait dalam pengujian UU Sisdiknas ini. Ada sejumlah argumentasi yang disampaikan dalam pengujian UU Sisdikanas ini. Di antara argumen yang diajukan adalah bahwa usia 10-18 tahun adalah sebagai masa perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional, kurun waktu tersebut juga dapat diartikan sebagai masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dalam masa tumbuh kembang anak dihadapkan kepada kebiasaan yang tidak sehat dan juga dihadapkan kepada perilaku seksual yang beresiko, untuk itu pengetahuan tentang kesehatan reproduksi sangat diperlukan dan sebagaimana diatur dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat, Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan pengujian UU Sisdiknas ini, para pemohon mengajukan petitum (tuntutan) kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa ketentuan Pasal 37 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 20 Tahun
58 - Swara Rahima
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4301) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa pendidikan jasmani dan kesehatan dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib dimaknai juga pendidikan kesehatan reproduksi. Proses pengujian UU Sisidiknas ini sudah melalui dua sidang yaitu sidang pertama tentang Pemeriksaan Pendahuluan yang dilaksanakan pada 5 Maret 2015. Pada sidang pertama yang dipimpin oleh Dr. Anwar Usman, S.H., M.H. ini ada sejumlah masukan dari para hakim konstitusi yang menghadiri sidang pendahuluan tersebut. Salah satu masukannya adalah perlunya kejelasan atas kerugian-kerugian yang dialami oleh para pemohon terkait dengan hak konstitusinya. Sedangkan sidang kedua dilaksanakan pada 18 Maret 2015 dengan agenda perbaikan permohonan. Sidang kedua ini dipimpin oleh hakim yang sama dengan sidang pertama. Dalam sidang kedua ini hanya butuh waktu 4 menit yaitu mulai pukul 13.41 WIB dan berakhir pukul 13.45. Pada sidang ini ketua sidang mengesahkan permohonan yang diajukan oleh para pemohon melalui kuasa hukumnya yaitu Muhamad Isnur dan Rahmawati Puti dari LBH Jakarta. “Baik, terima kasih. Saudara mengajukan alat bukti ya P-1 sampai dengan P-73, benar?” Kuasa hukum menjawab, “ya”. Kemudian ketua sidang mengatakan “Ya, ini sudah lengkap dan dinyatakan sah”. Kemudian palu pun diketuk satu kali oleh ketua sidang sebagai tanda sidang dianggap sah. Tentu nanti akan ada proses-proses sidang berikutnya yang perlu dikawal dan pantau bersamasama baik oleh pemohon maupun berbagai pihak termasuk pihak terkait. Mari kita pastikan agar ‘kespro’ menjadi bagian dari materi ajar di sekolah. {} Maman Abdurrahman
No. 49 Th. XV. April 2015
Cerpen
Hikmah di Balik Pusara Nita Oleh : Diah Rofika
Suasana di area pemakaman desa Tegal Jambu mulai sepi. Para pengantar jenazah sudah meninggalkan tanah pekuburan sejak setengah jam yang lalu. Hanya ibu kepala panti asuhan dan beberapa stafnya saja yang masih berada di sana. Berdiri di samping gundukan tanah merah yang masih basah bertabur wewangian bunga, wajah-wajah mereka terlihat begitu sendu, seperti mendung yang bergelayut di angkasa. Sepasang nisan bertuliskan nama seorang gadis belia yang terlihat dari tahun kelahiran yang juga tertera di sana, tertancap kokoh di kedua ujung makam. Ibu kepala panti asuhan sebentar-sebentar mengelus salah satu nisan itu sambil sesekali menyeka air mata yang membasahi kedua kelopak matanya. “Sudah, Bu. Jangan bersedih terus seperti ini. Ikhlaskan Nak Nita pergi. Ini sudah takdir Allah, Nak Nita harus pergi dengan cara seperti ini,“ ucap salah satu perempuan yang berdiri di samping ibu pengasuh. “Saya masih tidak percaya kalau dia pergi secepat ini. Gadis manis yang sebelumnya selalu ceria dan menghangatkan panti asuhan kita. Lalu tiba-tiba berubah menjadi murung, depresi, karena perbuatan laki-laki yang tidak bertanggungjawab. Kenapa harus Nita yang mengalaminya? Kenapa harus gadis sebaik dan sepintar dia yang harus menanggung akibatnya?” ibu kepala panti asuhan berucap di antara isak tangis yang tidak bisa dihentikannya. Rasa penyesalan yang dalam membuatnya terus menerus meratapi kepergian salah satu anak asuhnya itu.
pada Nita dan juga pada gadis-gadis kita lainnya, Bu. Peristiwa ini harus menjadi sebuah pelajaran berharga bagi kita semua para orang tua, pengasuh panti dan juga masyarakat luas untuk lebih banyak memberikan perhatian kepada anak-anak kita. Kita harus lebih banyak lagi memberikan informasi dan juga pendidikan tentang kesehatan reproduksi kepada anak-anak kita agar kasus Nita ini tidak terulang lagi. Saya usul, mulai tahun ini kita ikutkan anak-anak asuh kita pada pelatihan Hak dan Kesehatan reproduksi yang sering diadakan di Pesantren desa sebelah. Kabarnya pesantren itu bekerjasama dengan salah satu LSM dari Jakarta untuk menyelenggarakan pelatihan itu. Dengan begitu anak-anak asuh kita bisa mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi serta seksual secara benar.“ “Sampeyan benar, Bu. Kadang kita masih menabukan hal-hal yang semestinya sudah harus diketahui oleh anak-anak. Seandainya saja sejak awal kita membekali Nita dengan informasi-informasi dan
“Tidak ada orang yang menginginkan musibah ini terjadi
No. 49 Th. XV. April 2015
Swara Rahima - 59
Cerpen
pendidikan kesehatan reproduksi yang benar, saya yakin dia akan lebih bisa menjaga dirinya dari hal-hal yang tidak seharusnya dia lakukan. Nasi sudah menjadi bubur. Nita sudah pergi. Anak gadisku telah menjadi tumbal atas kebodohanku. Oh Nita, maafkan Ibu, Nita. Ibu yang menyebabkan kamu pergi secepat ini, Nak.” Ibu kepala panti asuhan itu kembali tertunduk sambil mencengkeram kuat nisan Nita. Airmatanya kembali bercucuran. “Sudah, Bu. Jangan menyalahkan diri terus seperti ini. Sebaiknya kita segera kembali ke panti. Ingat bu, ada warisan Nita yang jauh lebih membutuhkan perhatian kita. Biarkan Nita tenang di alamnya. Kita doakan dia bahagia. Mari, Bu…..,” staf yang lain mencoba membimbing ibu kepala panti asuhan untuk meninggalkan makam Nita. Area pemakaman semakin sepi. Tidak ada lagi satu orangpun terlihat berada di sana. ******
Nita adalah salah satu penghuni panti asuhan yang ada di desa Tegal Jambu. Kedua orang tuanya meninggal akibat tanah longsor yang menimpa desa itu ketika usia Nita baru tiga tahun. Seluruh keluarga Nita menjadi korban tewas kejadian naas itu. Kemudian oleh Kepala Desa Nita dititipkan di panti asuhan. Nita seorang gadis yang pintar dan menyenangkan. Sebelum meninggal dia tercatat sebagai salah satu siswi sekolah menengah pertama. Parasnya yang manis dengan sorot mata yang indah serta pembawaannya yang selalu ceria membuat Nita terlihat lebih menonjol di antara teman-temannya. Daya tariknya yang kuat itu pula yang telah membuat seorang pemuda yang tengah mengadakan penelitian di desa itu menjadi jatuh cinta kepadanya. Nita gadis lugu itu pun tidak sanggup menampik perhatian pemuda tampan, berasal dari kota dan sudah bekerja di sebuah perkantoran. Bayangan masa depan yang indah bersama sang pemuda telah membuat gadis beliau itu dimabok kepayang. Sampai akhirnya peristiwa itu terjadi. Beberapa hari menjelang berakhirnya masa tugas sang pemuda, keduanya tidak sanggup lagi melampiaskan gejolak muda mereka dalam sikap yang biasa-biasa saja. Menegaskan
60 - Swara Rahima
bukti bahwa mereka memang saling mencintai, telah menjerumuskan keduanya untuk melakukan sebuah perbuatan terlarang. Pemuda itu, yang seharusnya bisa menjadi pelindung justru memanfaatkan keluguan gadis bau kencur seperti Nita sehingga sanggup melakukan apapun karena tak ingin kehilangan dirinya. Namun, pengorbanan Nita tetaplah tak bisa mencegah kekasihnya pergi dari sisinya. Bulan demi bulan berlalu sepeninggal pemuda itu. Perut Nita kian hari kian membesar tanpa dia tahu apa yang terjadi pada dirinya. Ibu kepala dan para pengasuh panti yang akhirnya menyadari perubahan itu tidak bisa berbuat apa-apa selain berusaha menjaga dan merawat kehamilan Nita. Tetapi mental Nita menjadi tidak sehat. Jiwanya terguncang begitu mengetahui jika dirinya hamil. Dia menjadi stres, pendiam, murung dan selalu mengurung dirinya di kamar, tidak mau makan dan minum. Akibatnya tidak banyak nutrisi yang masuk ke dalam tubuhnya. Kondisinya menjadi lemah. Nita mengalami anemia akut, hemoglobinnya sangat rendah dari batas normal. Nita mengalami pendarahan hebat saat melahirkan sehingga membuat nyawanya tidak tertolong. Persediaan darah di klinik tempatnya bersalin tidak ada. Sementara jarak rumah sakit dari desa Tegal Jambu lumayan jauh. Nita telah mengalami resiko kehamilan yang tidak direncanakan akibat kurangnya informasi dan pendidikan tentang kesehatan seksual dan reproduksi. Nita juga tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan reproduksi yang baik karena minimnya sarana kesehatan yang ada di desanya, Nita juga merupakan korban tipu daya laki-laki yang tidak bertanggungjawab. ***** Bayi laki-laki mungil menangis menjerit-jerit di salah satu kamar panti asuhan seolah-olah dia tahu bahwa ibu yang melahirkannya telah pergi untuk selama-lamanya. Ibu kepala panti asuhan mendekapnya dengan penuh kasih sayang. Dalam hati perempuan setengah baya itu bertekad, tidak akan ada lagi gadisgadis lain di desa ini yang kelak mengamani nasib buruk seperti yang Nita alami.
Pamulang, 10.03.15, Pkl. 09.00 – 10.27. wib
No. 49 Th. XV. April 2015
Teropong Dunia
Ikhtiar Republik Yaman Akhiri praktik Pernikahan Anak Oleh : Daan Dini Khairunnida
Republik Yaman adalah sebuah negara di Jazirah Arab di Asia Barat Daya, bagian dari Timur Tengah. Yaman berbatasan dengan Laut Arab di sebelah selatan, Teluk Aden dan Laut Merah di sebelah barat, Oman di sebelah timur dan Arab Saudi di sebelah utara. Orang-orang keturunan Arab di Indonesia sebagian besarnya berasal dari negara ini.
P
enduduk Yaman diperkirakan berjumlah sekitar 23 juta jiwa. Luas negara ini sekitar 530.000 km2 dan wilayahnya meliputi lebih dari 200 pulau. Pulau terbesarnya, Sokotra, terletak sekitar 415 kilometer dari selatan Yaman, di lepas pantai Somalia. Yaman adalah satu-satunya negara republik di Jazirah Arab. Yaman, adalah potret negeri dengan kasus perdagangan anak dan juga jumlah pernikahan anak yang tidak sedikit. Yaman merupakan salah satu Negara di Timur Tengah yang penduduknya sangat miskin, sangat berbeda jauh dengan Arab Saudi. Menurut data dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), satu dari sembilan anak perempuan di negara berkembang, menikah di usia yang masih tergolong muda yakni 15 tahun. Situasi pernikahan anak di Yaman, masih termasuk dalam kategori ini. Banyak keluarga miskin di Yaman menikahkan anak perempuan mereka untuk menghemat biaya membesarkan anak dan mendapatkan uang ekstra dari mahar yang diberikan kepada seorang gadis. Berdasarkan catatan Human Rights Watch (HRW) hampir 14% perempuan Yaman menikah di bawah usia 15 tahun dan 52% sebelum berusia 18 tahun. Dan banyak calon pengantin anak yang dilarang bersekolah saat mereka memasuki usia pubertas.
No. 49 Th. XV. April 2015
Kisah Nujood Beberapa waktu yang lalu, dunia dikejutkan oleh kesaksian Nujood Ali, seorang gadis dari desa Sanaa di Yaman yang di usia 10 tahun sudah harus menjanda karena pernikahan usia dini yang dialaminya. Nujood adalah salah satu potret dari keluarga miskin di Negara tersebut. Keluarga Nujood pergi dari desanya Khardji karena suatu pertikaian dengan anggota desa, menuju Ke Sanaa, ibukota Yaman. Di sana keluarga Nujood mengalami hidup yang sangat susah dan karena susahnya mencari pekerjaan anggota keluarganya menjadi pengemis agar bisa bertahan hidup, kehidupan yang tidak dialami sebelumnya waktu masih di desa. Untuk mengurangi beban nafkah Abba-nya, maka Nujood dinikahkan oleh Abba-nya dengan seorang pria yang usianya tiga kali lipat dari usianya. Di Yaman gadis seperti Nujood pada umumnya tidak memiliki hak untuk persetujuan, mereka hanya bisa menerima keputusan tanpa bisa menolaknya. Abba Nujood sesungguhnya sudah mengantisipasi keselamatan Nujood dengan membuat perjanjian awal yang harus dipenuhi sang suami yaitu tidak akan menyentuh Nujood sampai Nujood mengalami haid pertama kali. Namun, tidak demikian ketika setelah
Swara Rahima - 61
Teropong Dunia
akad, malangnya Nujood justru mengalami penganiayaan baik secara fisik dan mental dari suami. Hal inilah yang membuat Nujood akhirnya memilih kabur dan nekat ke pengadilan untuk bercerai setelah meminta nasihat dari Dowla, ibu tiri Nujood. Dengan bantuan Shada, pengacara perempuan, maka Nujood dapat bercerai dari suaminya. Nujood bukanlah satusatunya perempuan yang mengalami praktik pernikahan anak. Justru keberanian Nujood mengilhami gadis gadis lain di Yaman untuk mengakhiri pernikahan di bawah umur. Kasus Nujood yang mencuat ke publik akhirnya juga membuat pemerintah Yaman membuat undang undang untuk membatasi jumlah anak dalam keluarga (mirip dengan program keluarga berencana). Karena ibu Nujood memiliki 16 anak, belum lagi anak dari ibu tiri Nujood alias istri kedua dari Abba Nujood yang memiliki lima orang anak. Keluarga Berencana di Yaman pun maknanya adalah untuk membatasi praktek poligami. Pembatasan praktek poligami yang ketat untuk mengatisipasi bertambahnya jumlah keluarga dengan keterbatasan ekonomi kepala keluarganya seperti yang terjadi kepada Abba Nujood. Karena pada kenyataannya, Dowla, ibu tiri Nujood sama sekali tidak diperhatikan lagi oleh Abba Nujood begitu mereka pindah ke Sanaa sehingga Dowla belajar menjadi mandiri untuk mencukupi kebutuhannya dan anak anaknya tanpa ada bantuan dari Abba Nujood yang hanya mampu memenuhi kebutuhan istri pertamanya, ibu Nujood. Di Yaman, banyak sekali kasus perdagangan anak. Sesungguhnya pernikahan yang dilaksanakan Nujood dengan suaminya atas permintaan Abba-nya salah satunya sebagai antisipasi Abba Nujood agar Nujood terhindar dari kasus perdagangan anak dengan modus kebanyakan penculikan yang kemudian dijual ke luar Yaman. Ketika Nujood menggugat cerai suaminya, publik gempar, mengingat di Yaman sangat jarang seorang gadis di bawah umur seperti Nujood berani menggugat suaminya. Di Yaman, perempuan adalah sosok yang tidak punya suara dalam keluarga karena segala sesuatu ditentukan laki laki, apakah itu ayah atau suami. Namun Nujood mampu mendobrak semua itu, dia membela kepentingan dirinya dengan menggugat cerai suaminya. Beberapa Tragedi Akibat Pernikahan Anak Lainnya Selain kisah Nujood, terdapat pula beberapa kisah pernikahan anak yang berdampak tragis yang terjadi
62 - Swara Rahima
di Yaman, dimana seorang gadis belia yang masih 13 tahun dipaksa menikah dibawah tangan dengan seorang pria dewasa. Bocah yang bernama Ilham Mahdi Assi meninggal pada 2 April 2010, tepat 5 hari pasca pernikahannya karena pendarahan hebat saat melakukan hubungan intim pertama kalinya dengan sang suami di malam pertama. Berdasarkan hasil visum diketahui ada kerusakan organ intim yang berakibat pada pendarahan dan tidak adanya tindakan pertolongan menyebabkan infeksi sehingga fatal bagi diri Ilham Mahdi Assi yang masih bocah beranjak remaja tersebut. Peristiwa yang menimpa Ilham sempat mengundang komentar Sigrid Kaag, Kepala Region Komite Anak dari PBB, UNICEF, ”kematian Elham Mahdi al Assi adalah peringatan yang menyakitkan dari resiko yang dihadapi anak perempuan ketika mereka menikah terlalu cepat.” Dia juga menghubungkan pernikahan anak sebagai sebuah ”perbuatan yang berbahaya” dan dia meminta parlemen Yaman untuk menetapkan sebuah ”batas minimum umur yang layak untuk menikah”. Di tahun sebelumnya, di Yaman pernah terjadi bocah berumur 12 tahun menikah meninggal akibat dipaksa menikah muda, bersama anak pertama yang dilahirkan. Fawziya Abdullah Youssef, dipaksa menikahi pria dewasa berusia 24 tahun. Gadis cilik itu meninggal setelah mengalami pendarahan hebat ketika hendak melahirkan anaknya. Sang jabang bayi juga dilaporkan ikut meninggal bersama sang ibu yang masih belia. Kisah tragis ini terjadi di sebuah rumah sakit di Propinsi Hodeida, 140 km kota Sana’a. Beberapa peristiwa di atas rupanya cukup menyadarkan pemerintah Yaman untuk mengubah aturan mereka soal usia minimum untuk menikah dan memastikan penegakan hukumnya. Sebelum bersatu pada tahun 1990, negeri yang awalnya terdiri dari Yaman Utara dan Yaman Selatan memiliki perbedaan batas usia untuk menikah; yakni 15 tahun di Yaman Utara dan 16 tahun di Yaman Selatan. Akan tetapi, undangundang negara bersatu tidak menentukan batas usia. Namun, pada tahun 2013 Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Yaman mengatakan bahwa ia akan menekan usia pernikahan minimal 18 tahun, setelah mendapatkan laporan tentang kematian seorang gadis muda pada malam pernikahannya. {} Daan Deka; diolah dari berbagai sumber
No. 49 Th. XV. April 2015
Tanya Jawab
Kewajiban Nafkah Suami Diasuh oleh : KH. Muhyiddin Abdusshomad Assalamu’alaikum Wr.Wb Pak Kyai yang saya hormati, Saya dan suami berprofesi sama, tetapi bekerja di tempat yang berbeda. Kami mempunyai 5 orang anak. Alhamdulillah suami mau terlibat dalam urusan rumah tangga, bahkan ia yang lebih telaten mengurusi anak anak. Hanya saja, selama hampir 20 tahun kami menikah, penghasilan suami selalu diserahkan kepada ibunya yang sudah janda sejak suami masih kecil. Ibu mertua mempunyai tanggungan menantu perempuan (ipar saya) yang memiliki 3 anak (anak yatim). Saya sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan hal itu, karena dari penghasilan saya pribadi bisa membiayai rumah tangga kami dengan amat berkecukupan. Tetapi orang tua saya tidak ikhlas, menurut mereka suami saya tidak melaksanakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Mohon pencerahan dari Kyai, bagaimana sebetulnya nafkah dalam keluarga menurut Islam? dan apa yang sebaiknya saya lakukan? Terima kasih.
Berdasarkan ayat ini para ulama menegaskan bahwa suami yang diperintahkan untuk menafkahkan istri dan anaknya. Kewajiban ini melekat sejak seorang laki-laki mengikrarkan janji suci pernikahan dan setelah istri telah siap secara fisik dan mental untuk melayani kebutuhan biologis suaminya. (Nihayah Al Zain, 333) Kewajiban nafkah itu meliputi sandang, pangan dan papan, seperti makanan pokok beserta lauk pauknya, tempat tinggal, perhiasan, termasuk juga pembantu. Kata Sayyid Abdurrahman Ba’lawi :
حقوق النكاح الواجبات لزوجةعلى الزج بالتمكين سبع لوازمطعام وأدم ثم سكنى وكسوةوآلة تنظيف متاع وخادم
Wassalam, Rida Ariesta 08128700xxx
Saudari Rida yang kami banggakan Sebelum menjawab pertanyaan Saudari, akan kami gambarkan terlebih dahulu tentang konsep keluarga dalam Islam khususnya dalam masalah ekonomi (nafkah). Dimulai dari firman Allah swt.:
وف ْ َو َعلَى ا ْل َم ْولُو ِد لَهُ ِر ْزقُ ُهنَّ َو ِك ِ س َوتُ ُهنَّ بِا ْل َم ْع ُر )332 ،(البقرة
No. 49 Th. XV. April 2015
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. “(QS. Al Baqarah, 233)
Artinya : “Adapun beberapa hak-hak seorang istri sekaligus kewajiban suami kepada istrinya secara pasti itu ada tujuh : 1) memberi makan, 2) memberi lauk, 3) menyediakan tempat tinggal dan, 4) memberi pakaian, 5) alat pembersih, 6) perhiasan, 7) pembantu “(Bughyatul Mustarsyidin, hal 298) Ketika suami tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka istri diberikan dua pilihan: Pertama, mengajukan gugatan ke Pengadilan untuk membatalkan pernikahannya. Kedua, ia bersabar menerima kenyataan itu, kemudian ia membiayai hidupnya dengan hasil keringat sendiri. Dan uang yang dibelanjakan menjadi
Swara Rahima - 63
Tanya Jawab
itu menjadi hutang suami kepada istrinya. Dalam kondisi ini, istri boleh bekerja di luar rumah mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidupnya, sementara suami tidak boleh melarang istrinya itu untuk bekerja untuk keperluan tersebut. (Bujairimi Ala Al Khatib, juz 11 hal 417, Al Fatawa Al Fiqhiyyah al Kubra, juz 4 hal 205) Saudari Rida yang kami banggakan Melihat apa yang Saudari sampaikan itu, nampaknya kehidupan rumah tangga yang saudari jalankan saat ini berada dalam kategori kedua. Menurut kami, inilah pilihan terbaik bagi istri ketika suaminya tidak mampu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Suami memang bersalah karena tidak memberikan nafkah kepada keluarga, namun di sisi lain, saudari sudah ikhlas dengan kondisi itu. Salah satu indikasinya adalah, Saudari tidak pernah memper-masalahkan walaupun suami tidak tidak pernah memberikan nafkah lahir kepada Saudari. Di dalam fiqh, nafkah yang Saudari berikan itu menjadi hutang suami kepada Saudari. Pada dasarnya Saudari boleh menagih hutang itu ketika suami telah mampu, atau mengikhlaskan “hutang” itu tidak dibayar dan menjadi nafkah Saudari untuk kebaikan keluarga. Ketika uang itu diikhlaskan, mudah-mudahan uang pribadi yang Saudari gunakan untuk nafkah itu menjadi ladang ibadah yang akan mendapatkan balasan yang lebih besar dari Allah swt. Sebagaimana janji Allah swt.:
ق لِ َمن يَشَا ُء ِمنْ ِعبَا ِد ِه َ الر ْز ِّ ُسط ُ قُ ْل إِنَّ َربِّي يَ ْب َي ٍء فَ ُه َو يُ ْخلِفُهُ ۖ َو ُه َو ْ َويَ ْق ِد ُر لَهُ ۚ َو َما أَنفَ ْقتُم ِّمن ش ََخ ْي ُر ال َّرا ِزقِين Artinya: “Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya).” Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya. “(QS. Saba’, 39)
64 - Swara Rahima
Apalagi sebenarnya Saudari tahu alasan suami tidak memberikan hasil keringatnya kepada Saudari. Ini artinya sudah ada keterbukaan dan saling pengertian dalam rumah tangga. Ini adalah modal yang sangat baik untuk menuju keluarga yang harmonis. Saran kami, niatkan saja uang yang seharusnya Saudari terima itu sebagai shadaqah Saudari sebagai bakti kepada mertua serta untuk membantu anak yatim, kemudian berharap mendapatkan balasan yang besar di sisi Allah swt. Hal ini tentu lebih baik daripada mempermasalahkan sesuatu yang sebenarnya sudah mampu Saudari penuhi sendiri. Saudari Rida yang kami hormati, Melihat bangunan rumah tangga saudari saat ini, yang paling penting dan perlu saudari syukuri adalah sikap suami yang tidak melarang saudari untuk berkarir dan bekerja di luar rumah dan Saudari juga “bebas” menggunakan dan menikmati hasil jerih payah tersebut. Tidak banyak istri yang mendapatkan kesempatan seperti itu setelah mereka berumah tangga. Bahkan terkadang, para istri menjadi “sapi perah” suaminya. Mereka dipaksa bekerja keras, sementara hasilnya hanya dinikmati oleh suaminya. Satu hal lagi perlu disyukuri adalah kepedulian suami untuk ikut mengurusi keluarga, terutama mengurus anak adalah suatu nikmat tersendiri dalam kehidupan berumah tangga. Sebagaimana Rasulullah swt. yang ikut turun tangan langsung dalam urusan rumah tangga. Bahkan ikut bermain bersenda gurau dengan anak dan cucu beliau. Saudari Rida yang di rahmati Allah swt, Jadi menurut hemat kami, bangunan rumah tangga yang saudari bangun bersama suami tengah menuju posisi yang ideal. Ada kerjasama, saling pengertian saling menghargai. Inilah yang paling penting dalam sebuah rumah tangga. Adapun berkaitan dengan orangtua Saudari, maka perlu komunikasi yang baik, sehingga beliau dapat memahami kondisi tersebut. Mudah-mudahan keluarga Saudari terus diberikan kemudahan serta dapat perlindungan Allah swt. sehingga keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah dapat Saudari rasakan. Amin....
No. 49 Th. XV. April 2015
Refleksi
Remaja dan Problem Nilai di Masyarakat Oleh : Eka Julaiha, MAg.*
M
Masa Remaja merupakan fase yang begitu kompleks. Pada masa ini terjadi perubahanbaik yang sifatnya fisik maupun non fisik. Oleh karenanya masa remaja merupakan masa yang banyak menarik perhatian, karena sifat–sifat khasnya serta peranannya yang menentukan dalam kehidupan individu dalam masyarakat orang dewasa.
asa remaja disebut juga sebagai masa peralihan seseorang dari masa kanakkanak menuju masa dewasa. Di masa ini seseorang secara fisik sudah mengalami perubahan, tetapi pada segi emosi belum mengalami kematangan. Masa transisi dari masa kanak-kanak kepada masa dewasa ini, biasanya terjadi saat usia 12 tahun sampai 22 tahun, dimana dalam Fiqh dikenal dengan istilah baligh yang ditandai dengan keluarnya darah haid (menstruasi) bagi perempuan, dan bagi laki-laki ditandai dengan mengalami mimpi basah, atau ditandai oleh usia tertentu yaitu maksimal 15 tahun bagi keduanya. Seseorang yang sudah aqil baligh berarti juga sudah dikenai beban taklif: kewajiban dan larangan dalam syariah. Selain diidentifikasi dari perkembangan ciri-ciri seks primer dan sekunder, karakteristik remaja juga ditandai dengan terjadi proses kematangan perilaku kognitif, sosial, moralitas, keagamaan, dan konatif, emosi, dan kepribadiannya. Menurut Zakiyah Darajat, remaja juga mengalami perkembangan sisi religiusitas, seperti yang diungkapkan dalam bukunya ilmu jiwa agama, “Perkembangan remaja ke arah berfikir logis (falsafi) itu, juga mempengaruhi pandangan dan kepercayaannya kepada Tuhan. Karena mereka tidak dapat melupakan Tuhan dari segala peristiwa yang terjadi di alam ini”. Namun, di balik perhatian kepada masa remaja, ada sisi kritis yang sering menimpa remaja putri dengan terjeratnya mereka dalam pernikahan di usia anak dengan berbagai problematikanya. Pencarian jati diri dan pengembangan konsep diri remaja putri seringkali, juga terhambat oleh struktur budaya baik oleh keluarga, masyarakat, bahkan negara. Dalam keluarga misalnya ada ungkapan bahwa memiliki remaja putri sering dianalogikan dengan “menyimpan telur di pinggir
No. 49 Th. XV. April 2015
waton” (dipan tempat duduk) artinya kira-kira seperti telur di ujung tanduk, ada kekhawatiran yang luar biasa dari orang tua akan bahaya yang sewaktu-waktu bisa menimpa remaja putrinya. Sering juga ada ungkapan “perempuan itu membawa perut (rahim)” yang bisa saja mengalami kehamilan di luar yang diharapkan. Begitu juga konsep etika tentang “budaya timur’, remaja putri sering mendapatkan pengekangan dalam hal soal sopan santun dan beretika , yang itu tidak dihadapi oleh remaja putra. Ironisnya pandangan tersebut mewarnai UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (artinya negara) melanggengkan pernikahan di bawah umur, karena batas umur minimal perempuan untuk perkawinan adalah 16 tahun, dan 19 tahun untuk laki-laki. Padahal masa sebelum 20 tahun merupakan masa dimana kesehatan reproduksi perempuan belum memiliki kondisi kesehatan yang matang atau belum sempurna. Sementara itu, masih terjadi pemahaman yang keliru di masyarakat kita tentang hadis nabi yang ditujukan kepada orang tua untuk menyegerakan perkawinan bagi anak gadisnya, sehingga yang terjadi baik atas dasar penafsiran agama, atau alasan ekonomi, orang tua merasa harus segera menikahkan remaja putrinya. Hal ini masih terjadi pada masyarakat yang kurang mampu (miskin), yang dengan rendahnya kesadaran akan pentingnya investasi pendidikan untuk putra putrinya, demi menyongsong masa depan yang baik, sehingga yang terjadi adalah menjadikan anak menjadi korban dalam pendidikan (putus sekolah). Tentu patut jadi refleksi bagi kita betapa harapan untuk remaja kita masih banyak mengalami hambatan baik oleh pandangan keagamaan, budaya, bahkan Negara, maupun oleh kondisi kemiskinan di masyarakat. {} *Mitra Tokoh Agama dari Serang, Banten
Swara Rahima - 65