PELESTARIAN PEKARANGAN BETAWI DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN JAKARTA SELATAN
SYIMA SYAMIRA
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pelestarian Pekarangan Betawi di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Jakarta Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak ditertibkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Syima Syamira NIM A44100056
ABSTRAK SYIMA SYAMIRA. Pelestarian Pekarangan Betawi di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Jakarta Selatan. Dibimbing oleh NURHAYATI HS ARIFIN. Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan, Jakarta Selatan merupakan kawasan atau kampung yang ditetapkan oleh Pemerintah DKI Jakarta sebagai lokasi pelestarian budaya Betawi, suku asli di Jakarta. Namun dengan tekanan urbanisasi di wilayah sekitarnya dan karena peningkatan populasi, pekarangan sebagai bagian dari lahan rumah tinggal Betawi semakin terancam kelestariannya karena mudah dialihfungsikan menjadi peruntukan lain. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik pekarangan di PBB Setu Babakan, serta membuat usulan pelestarian pekarangan untuk mempertahankan ciri khas budaya Betawi. Sampel pekarangan diambil pada setiap RW (terdapat empat RW) berdasarkan klasifikasi ukuran Arifin (1998). Sebagian besar pekarangan yang ada di lokasi penelitian berukuran sempit (<120 m2) dan sedang (120-400 m2). Pola pekarangan terbagi menjadi dua, yaitu pola pekarangan di tepi jalan (luar) dan pola pekarangan pada bagian dalam. Setiap sampel pekarangan dapat ditemukan adanya pekarangan depan, tetapi tidak selalu ada pekarangan samping kanan, kiri, dan belakang. Tata letak elemen mengikuti kemudahan dan kebiasaan dalam pemanfaatannya. Gaya arsitektur rumah tradisional Betawi saat ini hanya terdapat pada bagian tertentu, seperti penggunaan lisplang gigi balang, langkan, jendela krepyak, serta penggunaan ragam hias, tidak secara utuh. Untuk karakteristik tanaman didominasi oleh tanaman hias (57,74%) terutama kuping gajah (Anthurium crystallinum) dan tanaman buah (20,26%) yaitu alpukat cimpedak (Persea americana). Dari kedua puluh sembilan jenis tanaman langka berdasarkan SK Gubernur DKI No. 2359/1987 yang juga merupakan tanaman khas Betawi, hanya tujuh jenis yang masih dapat ditemui pada sampel pekarangan dengan jumlah terbatas, yaitu jambu biji (Psidium guajava), jambu bol (Syzygium malaccensis), matoa (Pometia pinnata), mengkudu (Morinda citrifolia), rukem (Falcourtia rukam), sawo manila (Manilkara zapota), dan sirsak (Annona muricata). Dalam hal pemanfaatan produk, hanya beberapa untuk dijual, selebihnya untuk kebutuhan sehari-hari. Sedangkan pemanfaatan ruang untuk alat-budaya dan kehidupan, pekarangan digunakan sebagai sarana berelasi dengan alam dan sesama, lahan bermain anakanak, pemberi hidup, dan lahan resapan air. Rekomendasi berupa konsep pelestarian pekarangan Betawi yang berkelanjutan sehingga karakteristik dan fungsi pekarangan Betawi dapat tetap bertahan atau tidak hilang. Tindakan pelestarian yang dapat dilakukan yaitu membuat pekarangan contoh di area rumah contoh, lahan milik pemerintah (RW 08), serta mengupayakan penguatan karakteristik pekarangan Betawi pada lahan-lahan pekarangan masyarakat atau membuat pekarangan komunal dengan karakteristik khas Betawi pada setiap RW. Kata kunci: Lanskap Budaya, Pekarangan, Pelestarian, Perkampungan Budaya Betawi
ABSTRACT SYIMA SYAMIRA. Conservation of “Pekarangan” Betawi in Betawi Cultural Village Setu Babakan, South Jakarta. Supervised by NURHAYATI HS ARIFIN. Betawi Cultural Village in Setu Babakan, South Jakarta has been determined as an area or settlements that is aimedto conserve the culture of Betawi, the native ethnic in Jakarta by DKI Jakarta Government. But, as the impact of urbanization pressure surround its area that is caused by the increase of population, pekarangan as a part of Betawi settlement is now threatened as its landuse is easy to be converted into another landuse. This research aims to identify and to analyze the characteristic of pekarangan in Betawi Cultural Village Setu Babakan, and also to propose pekarangan conservation to maintain the uniqueness of Betawi culture. The samples of pekarangan was taken from each RW (four RWs in total) based on Arifin’s size classification (1998). Most of the pekarangan existing at the study site are the small size (<120 m2) and the medium size (120-400 m2). The pattern of pekarangan divided into two types, which is the pattern of pekarangan along the edge of the road (outside) and the pattern of pekarangan inside. In each sample, a front pekarangan can be found, but the right, left, and back side of pekarangan are not always found together in one pekarangan. Arrangement of the elements follows practical and custom in term of the usage. Betawi traditional house architecture currently, are only found in certain parts, such as the use of lisplang gigi balang, langkan, ‘krepyak’ window, and another ornaments, not as a whole. The characteristic of plants is dominated by ornamental plants (57,74%) such as Anthurium crystallinum and fruit plants (20,26%) such as Persea americana. From the twenty-nine rare plant species based on Jakarta Governor Decree No. 2359/1987 which is also a typical plant at Betawi, only seven types that can still be found at the pekarangan sample with a limited number, among which guava (Psidium guajava), guava (Syzygium malaccensis), matoa (Pometia pinnata), noni (Morinda citrifolia), rukem (Falcourtia rukam), manila sapodilla (Manilkara zapota), and soursop (Annona muricata). In terms of utilization, only a few for sale, the rest for daily needs. Meanwhile, space utilization for cultural tools and living are used as the place to relate with nature and human being, playland for children, source of daily needs, and water absorbance. The recommendation will be given in conservation concept of sustainable pekarangan Betawi in order to maintain the characteristic and functions of pekarangan Betawi. Conservation activity that can be done is making a sample/model of pekarangan in particular home, government’s land (RW 08), also by encouraging the affirmation of pekarangan Betawi’s specific characteristics in local people’s pekarangan or to make communal pekarangan with specific Betawi characteristic in each RW. Keywords: Betawi Cultural Village Setu Babakan, conservation, cultural landscape, pekarangan
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau peninjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
PELESTARIAN PEKARANGAN BETAWI DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN JAKARTA SELATAN
SYIMA SYAMIRA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan kemampuan kepada penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah pekarangan sebagai elemen lanskap budaya, dengan judul Pelestarian Pekarangan Betawi di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Jakarta Selatan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program sarjana pada Program Studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Nurhayati HS Arifin, MSc. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan masukan, saran dan kritik yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada dosen pembimbing akademik Ir. Qodarian Pramukanto, MSi., Papa, Bunda, seluruh keluarga besar, teman-teman Arsitektur Lanskap 47, keluarga Pascasarjana Arsitektur Lanskap 2013, serta pihak lainnya atas segala doa dan dukungannya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi pelestarian untuk pekarangan Betawi yang tepat dan berkelanjutan, sehingga nilai-nilai budaya dan pelestarian tanaman khas dengan jenis tertentu dapat dimanfaatkan langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014 Syima Syamira
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Kerangka Pikir
2
Pendekatan Teoritis
2
METODE
7
Lokasi dan Waktu Penelitian
7
Alat dan Bahan
8
Metode dan Tahapan Penelitian
8
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Wilayah
10 10
Letak Geografis dan Administratif
10
Iklim, Tanah
11
Topografi dan Hidrologi
12
Tata Guna Lahan
12
Kependudukan
13
Kondisi Fisik Struktur Fisik Pekarangan
14 14
Ukuran Pekarangan
14
Pola Pekarangan
16
Arsitektur Rumah Betawi
18
Elemen Pekarangan
21
Karakteristik Tanaman
26
Keragaman Horizontal
28
Keragaman Vertikal
29
Pola Penanaman di Pekarangan
30
Tanaman Khas Betawi
31
Kondisi Sosial-Ekonomi Kondisi Sosial Pemilik Pekarangan
35 35
Pemanfaatan/Fungsi Pekarangan Aspek Pelestarian (Kebijakan)
36 37
Status dan Fungsi Kawasan
37
Kebijakan Peraturan
38
Rekomendasi Pelestarian
39
Konsep Pekarangan
39
Contoh Model Pekarangan Betawi
40
Pembuatan Pekarangan Contoh
46
Pelestarian pada Lahan Warga
46
SIMPULAN DAN SARAN
47
Simpulan
47
Saran
47
DAFTAR PUSTAKA
48
LAMPIRAN
51
RIWAYAT HIDUP
84
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Alat penelitian Jenis data yang diperlukan Sifat dan corak tanah di kawasan PBB Setu Babakan Luas kelurahan menurut peruntukan Jumlah penduduk di kawasan PBB Setu Babakan tahun 2013 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian Bentuk pekarangan pada lokasi penelitian Luas pekarangan seluruh sampel pekarangan dan rataannya (m2) Intensitas ditemuinya zonasi pada setiap sampel pekarangan Elemen keras (hard element) di pekarangan Daftar jenis dan jumlah tanaman pada lingkar setu Jumlah spesies dan individu tanaman pekarangan di setiap sampel pekarangan Rataan keragaman jenis berdasarkan fungsi tanaman (keragaman horizontal) pada sampel pekarangan Keragaman vertikal berdasarkan jumlah spesies tanaman Jenis-jenis tanaman langka Jakarta Standar pembuatan model pekarangan pelestarian budaya Betawi
8 9 11 12 13 14 14 15 17 21 26 28 28 30 32 39
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kerangka pikir penelitian Pembagian ruang (zonasi) di pekarangan Pola rumah dan pekarangan Betawi aslinya Lokasi penelitian Batas administratif Perubahan pola tata guna lahan PBB Setu Babakan Pola pekarangan (a) bagian luar, (b) bagian dalam Fragmentasi lahan (a) sebelum pewarisan, (b) setelah pewarisan Rumah tradisional Betawi sebelum kebudayaan luar masuk Keragaman bangunan rumah : (a) berarsitektur Betawi, (b) arsitektur bercirikan hanya pada bagian atas, dan (c) berarsitektur modern Beberapa detail arsitektur Betawi : (a) lisplang gigi balang, (b) pagar teras langkan, dan (c) jendela krepyak Salah satu pintu gerbang pada lokasi penelitian Jenis pagar atau jaro : (a) bambu, (b) besi, dan (c) puun Tempat menjemur pakaian (a) bambu, (b) besi Bentuk tempat air (a) kolam, (b) tempayan Bentuk bale-bale (a) beratap, (b) tidak beratap Kandang ternak (a) ayam, (b) jangkrik Elemen pekarangan berupa kamar mandi luar
3 4 6 8 10 13 16 16 18 19 20 22 22 23 23 24 25 25
19 Tempat sampah (a) tabunan, (b) telah dimodifikasi 20 Tanaman langka berdasarkan SK Gubernur DKI Nomer 2359/1987 yang masih terdapat di sampel pekarangan 21 Contoh pola tanam pekarangan sempit 22 Contoh pola tanam pekarangan sedang 23 Contoh pola tanam pekarangan besar 24 Contoh pola tanam pekarangan sangat besar
26 33 42 43 44 45
DAFTAR LAMPIRAN 1 Sampel pekarangan pada lokasi penelitian 2 Bentuk arsitektur rumah pada lokasi penelitian 3 Intensitas keberadaan elemen keras khas pekarangan budaya Betawi pada sampel pekarangan 4 Jenis tanaman dan zona keberadaan tanaman di RW 06 5 Jenis tanaman dan zona keberadaan tanaman di RW 07 6 Jenis tanaman dan zona keberadaan tanaman di RW 08 7 Jenis tanaman dan zona keberadaan tanaman di RW 09 8 Pemanfaatan produk tanaman di pekarangan 9 Lembar kuisioner
51 57 59 60 64 67 71 74 82
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pekarangan merupakan lahan di sekitar rumah dengan batas-batas jelas yang biasanya ditanami berbagai tanaman dan mempunyai hubungan pemilikan dengan rumah dan penghuninya. Ekosistem pekarangan berasal dari proses sejarah yang panjang yaitu sejarah kebudayaan manusia. Latar belakang sosial, sejarah, pertumbuhan penduduk maupun kondisi alam akan mempengaruhi perkembangan dan bentuk pekarangan yang akan sangat berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya serta satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Menurut Rambe (2006), adanya suatu pekarangan dapat menunjukkan identitas suatu budaya masyarakatnya, terlihat dari pola pembagian pekarangan, jenis tanaman yang sering digunakan, serta elemen pekarangan lainnya. Salah satunya yaitu pola pekarangan budaya Betawi. Kebudayaan suku Betawi merupakan kebudayaan asli kota Jakarta yang terbentuk dari akulturasi (percampuran) berbagai kebudayaan yang telah ada sebelumnya. Hingga saat ini masyarakat Betawi terus berkembang dengan ciri-ciri budaya yang khas, yang mudah dibedakan dari budaya suku-suku lainnya di Indonesia (Shahab, 2008). Tempo dulu, masyarakat Betawi asli kebanyakan mencari nafkah dengan bertani dan berkebun. Mereka memanfaatkan lahan-lahan luas yang dimilikinya menjadi sebuah kebun atau pekarangan untuk kegiatan bertani dan berkebun. Hasil tani atau hasil kebun kemudian mereka jual atau dimanfaatkan langsung untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada pekarangan biasanya ditanami berbagai jenis tanaman khas Betawi yang produktif seperti pohon buah, sayuran dan tanaman obat. Pola penanaman pada pekarangan cenderung menyebar, sedangkan pada kebun yang produktif, pola penanamannya lebih teratur (Harun et al., 1999). Kondisi lingkungan yang sangat asri dengan kebun atau pekarangan ditanami berbagai jenis tanaman khas Betawi yang produktif, menunjukkan kehidupan masyarakat Betawi dahulunya dapat dikatakan sangat dekat dengan alam. Namun pengaruh globalisasi dan modernisasi yaitu arus urbanisasi yang semakin deras memaksa orang Betawi untuk menyingkir dari tanah kelahirannya. Lahan-lahan luas yang sebelumnya merupakan tempat dimana berbagai jenis tanaman khas budaya Betawi di budidayakan, kini berubah menjadi gedunggedung bertingkat. Menurut Khudori (1988), modernisasi disamping menimbulkan sejumlah harapan, ternyata menimbulkan sejumlah kecemasan. Diantaranya adalah kecemasan akan hilangnya atau makin terdesaknya nilai-nilai lama yang mencerminkan budaya masyarakat tersebut. Beberapa contoh tanaman khas Betawi yang saat ini sudah jarang dibudidayakan seperti durian sitokong (Durio zibetinus var. Sitokong), menteng (Baccaurea racemosa), kecapi (Sandoricum koetjape), salak condet (Salacca zalacca var. Condet) serta lainnya. Faktor menurunnya eksistensi tanaman khas Betawi disebabkan keberadaan areal ruang hijau yang menyempit akibat padatnya permukiman, sehingga tanaman-tanaman khas budaya Betawi kini semakin jarang ditemukan dan dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung.
2
Untuk itu penelitian ini mencoba mengidentifikasi seberapa besar pelestarian pekarangan Betawi dengan pemanfaatan tanaman dan ciri khas budaya Betawi pada Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan, Jakarta Selatan. Kawasan ini merupakan perkampungan budaya yang masih bertahan di wilayah Jakarta dengan penduduk pribuminya merupakan dominan suku Betawi. Fungsi Perkampungan Budaya Betawi ini yaitu sebagai sarana permukiman, sarana ibadah, sarana informasi, sarana seni budaya, sarana penelitian, sarana pelestarian dan pengembangan, serta sarana pariwisata. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi rumah-rumah warga Betawi asli pada kawasan Setu Babakan yang masih memiliki pekarangan, menganalisis lingkungan fisik, budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat sekitar, serta membuat usulan pelestarian pekarangan untuk mempertahankan keberadaan tanaman dan ciri khas budaya Betawi. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini dapat diperoleh informasi mengenai kondisi lanskap PBB Setu Babakan kini dan pengaruhnya terhadap pelestarian dan pemanfaatan tanaman khas pekarangan Betawi pada kawasan tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjang penelitian-penelitian selanjutnya, khususnya yang memiliki kaitan dengan pelestarian pekarangan budaya tertentu. Kerangka Pikir Usulan pelestarian pekarangan budaya Betawi dikawasan Setu Babakan dibuat sebagai upaya untuk mempertahankan keberadaan tanaman khas dan menonjolkan kembali ciri khas budaya Betawi. Kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada diagram alir (Gambar 1). Pendekatan Teoritis Pekarangan Pekarangan adalah sebidang tanah yang mempunyai batas-batas tertentu, yang diatasnya terdapat bangunan tempat tinggal dan mempunyai hubungan fungsional baik ekonomi, biofisik, maupun sosial budaya dengan penghuninya (Ashari et al., 2012). Pekarangan disebut Erfbouw atau Compound garden atau Mixed garden oleh GJA Terra (ahli pertanian Belanda), yang diberi definisi sebagai sebidang tanah darat (mencakup kolam) yang terletak langsung di sekeliling rumah, dengan batas-batas yang jelas (boleh berpagar, boleh tidak berpagar), ditanami dengan berbagai jenis tanaman. Menurut Arifin (1998), pekarangan adalah taman rumah tradisional yang bersifat pribadi, yang merupakan sistem yang terintegrasi dengan hubungan yang erat antara manusia,
3
merupakan sistem yang terintegrasi dengan hubungan yang erat antara manusia, tanaman dan hewan. Arifin et al. (2009) membagi pekarangan menjadi 4 ukuran, yaitu pekarangan sempit (<120 m2), pekarangan sedang (120-400 m2), pekarangan besar (400-1000 m2), dan pekarangan sangat besar (>1000 m2). Sedangkan berdasarkan zonasinya pekarangan di bagi menjadi halaman depan (buruan), halaman samping (pipir) dan halaman belakang (kebon) (Gambar 2). Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan Pekarangan Betawi
Aspek Kondisi Wilayah
Aspek Budaya Terkait Pekarangan
Aspek Fisik Pekarangan
Aspek Sosial-Ekonomi Pekarangan
Letak Geografis, Administratif Iklim, Tanah, Topografi dan Hidrologi Tata Guna Lahan Kependudukan
Konsep Filosofi Fungsi Budaya Elemen Terkait Budaya Upaya Pelestarian
Struktur Fisik Pekarangan Arsitektur Rumah Betawi Elemen Pekarangan Karakteristik Tanaman
Karakteristik Pemilik Pemanfaatan Pekarangan Nilai
Karakteristik pekarangan dan faktor-faktor yang mempengaruhi saat ini Rumusan rekomendasi usulan pelestarian untuk mempertahankan keberadaan tanaman dan ciri khas pekarangan budaya Betawi Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
4
Sumber : Arifin et al. (2009)
Gambar 2 Pembagian ruang (zonasi) di pekarangan Fungsi Pekarangan Fungsi pekarangan adalah menghasilkan : 1) bahan makanan sebagai tambahan hasil sawah dan tegalannya; 2) sayur dan buah-buahan; 3) unggas, ternak kecil dan ikan; 4) rempah, bumbu dan wangi-wangian; 5) bahan kerajinan tangan; dan 6) uang tunai (Deptan, 2002). Salah satu manfaat terpenting dari fungsi pekarangan, menurut Novitasari (2011) adalah untuk menyediakan kebutuhan pangan dan gizi keluarga dengan cara ditanami berbagai jenis tanaman dalam upaya meningkatkan keragaman pangan keluarga. Bahkan dengan banyaknya manfaat yang diperoleh dari pekarangan, Sajogyo (1994) menyatakan bahwa pekarangan disebut juga sebagai lumbung hidup, warung hidup, dan apotek hidup. Mayanti (2007) membagi fungsi pekarangan menjadi dua berdasarkan aspek ekonomi, yaitu : 1. ekonomi, hasil pembudidayaan pekarangan dapat dimanfaatkan langsung untuk memenuhi kebutuhan manusia. Fungsi ini banyak terdapat di pedesaan; 2. non ekonomi, hasil pembudidayaan pekarangan dimanfaatkan secara tidak langsung, seperti melindungi rumah dari iklim, meningkatkan nilai estetika dan status pemilik rumah. Fungsi ini banyak terdapat diperkotaan. Berbeda dengan Mayanti (2007), Kehlenbeck et al. (2007) membagi fungsi pekarangan menjadi dua fungsi utama, yaitu produksi dan jasa pelayanan. Fungsi produksi terdiri atas fungsi pekarangan untuk kehidupan sehari-hari (buah, sayur, bumbu, obat, bahan pokok, stimulan, kayu dan pakan ternak) dan komersial. Fungsi jasa dikelompokkan sebagai jasa sosial-budaya (pemberian, kurban, kebangaan, kesenangan, estetika, pekerjaan dan pergaulan) dan jasa lingkungan (habitat liar, pengendali hama dan penyakit, siklus nutrisi, menjaga mikroklimat dan kontrol erosi tanah). Faktor-faktor Pembentuk Pekarangan Keberadaan elemen dalam pekarangan dipengaruhi oleh adat atau kebiasaan melakukan upacara-upacara yang berlaku di daerah tersebut (Rambe, 2006). Menurut Wardiningsih (2005), pekarangan secara umum terbentuk karena dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan curah hujan, serta faktor sosial ekonomi pemiliknya. Pada setiap daerah pasti memiliki ketinggian dan curah hujan yang beda sehingga struktur dan pola pekarangannya pun berbeda. Kenaekaragaman tanaman di dataran tinggi kurang berkembang dibandingkan dataran rendah, hal ini disebabkan perbedaan iklim antara dataran rendah yang cukup mencolok. Sedangkan menurut Arifin (1995), struktur pekarangan terbentuk tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat, tetapi dipengaruhi oleh sifat ekologis tanaman dan jenis hewan.
5
Orang Betawi Orang Betawi berasal dari hasil perkawinan campuran orang Cina perantauan dengan wanita pribumi (Hanna, 1986). Hal tersebut berbeda dengan pernyataan Saidi (1997) bahwa masyarakat Betawi berasal dari migran Melayu Kalimantan Barat yang melakukan perkawinan dengan penduduk asli Jawa yang pada akhirnya, disebut dengan Melayu Jawa dan diyakini sebagai cikal bakal orang Betawi. Kelompok-kelompok etnis tersebut menamakan kelompoknya sebagai “Orang Betawi” yang disatukan dengan penutur yaitu “dialek Betawi” Sejarah terbentuknya masyarakat Betawi di Jakarta berjalan sangat panjang, sepanjang perjalanan sejarah terbentuknya kota Jakarta. Pada umumnya orang Betawi sendiri tidak mengetahui mite atau legenda yang menceritakan asal-usul tentang diri mereka. Menurut Budiman et al. (2000), hampir seluruh adat masyarakat Betawi diwarnai oleh unsur agama Islam, sehingga sukar untuk memisahkan antara tradisi yang menurut adat dan yang berdasarkan agama, karena keduanya telah berpadu dalam setiap aspek kehidupannya. Menurut Biro Bina Penyusunan Program Provinsi DKI Jakarta (2001), berdasarkan wilayahnya, budaya Betawi dbedakan menjadi empat kelompok dengan tipe dan karakter orang Betawi yang berbeda, yaitu Betawi pesisir, Betawi tengah/kota, Betawi pinggir, dan Betawi udik/ora. Orang Betawi yang berada di Srengseng Sawah termasuk dalam kelompok masyarakat Betawi pinggir, bersifat agraris, berpendidikan agama yang kuat dan islamis, serta sebagian besar berprofesi sebagai guru dan pedagang. Namun dipacu modernisasi, saat ini konfigurasi empat kelompok tersebut telah seimbang, baik dari segi agama, pendidikan, orientasi pekerjaan, dan orientasi politik. Rumah dan Pekarangan Betawi Pola pekarangan rumah tradisional Betawi biasanya terdapat pada perkampungan bagian dalam. Pada umumnya mempunyai pekarangan yang cukup luas dan ditumbuhi pohon buah-buahan. Menurut Harun et. al (1999), pola tata ruang pekarangan secara tradisional, letak tata rumah pada bagian dalam (hinterland) dibedakan menjadi tiga karakter pola tata ruang, yaitu : 1. pola memusat berada pada lokasi bagian dalam (agak jauh dari jalan besar) perkampungan memiliki pola yang terpencar karena rumah tersebut dibangun di tengah-tengah kebun buah atau lahan-lahan yang kering; 2. pola di bagian luar (dekat atau langsung berada dekat dengan jalan), rumahrumah lebih bersifat mengelompok padat atau berjajar di sepanjang jalan dan hanya dikelilingi oleh pekarangan yang sempit. Namun hal tersebut bukan berati bahwa pemilik rumah memiliki lahan yang sempit, karena seringkali kebun-kebun atau lahan kering yang dimilikinya terdapat pada lokasi lain; 3. pola menyebar, dalam arti jarak rumah satu ke rumah yang lainnya terletak cukup jauh, hanya dibatasi perkebunan atau persawahan dan dikaitkan dengan pola kehidupan masyarakat setempat pada umumnya bercocok tanam dan berdagang. Menurut Saputra (2010), orang Betawi dalam menata rumah tempat tinggal, mengenal konsepsi yang intinya adalah bahwa rumah dan halaman pekarangan harus ditata sedemikian rupa, sehingga menimbulkan suasana teduh. Rumah sebagai kesatuan tempat tinggal perorangan harus ditata sedemikian rupa, sehingga menimbulkan kesan serasi, harmonis dan mendukung kelestarian
6
lingkungan. Tata ruang rumah tradisional Betawi dibagi dalam empat area utama, yaitu area publik pada bagian depan, area semi publik dan area pribadi pada bagian samping, serta area pelayanan.
Sumber : Saputra (2010) Gambar 3 Pola rumah dan pekarangan Betawi aslinya Di pekarangan rumah orang Betawi biasa ditanami tanaman obat. Tanaman bumbu pun senantiasa diupayakan. Selain itu, tanaman hias juga menjadi kelaziman bagi orang Betawi. Tanaman hias ditanam di tanah atau menggunakan wadah pot yang terbuat dari tanah liat atau adukan semen, pasir, dan kapur (saat ini lebih banyak menggunakan pot plastik). Tanaman hias yang disukai antara lain kuping gajah (Anthurium crystallinum), mawar (Rosa sp.), melati (Jasminum sambac), mangkok-mangkokan (Nothopanax scutellarium), kenanga (Cananga odorata). Di depan rumah sebelah kanan atau kiri dibuat lubang tempat membuang sampah dan dapat pula dimanfaatkan menjadi tabunan. Sampah yang berupa aram (daun-daun kering) dimasukkan ke pengki (wadah terbuat dari anyaman bambu sebagai tempat mengumpulkan sampah) lalu dibuang ke tempat sampah dan dibakar. Pembakaran sampah ini disebut nabun, karena aktivitas membakar sampah dilakukan di tabunan. Dahulu ada pula kebiasaan meletakkan tempayan atau kendi di dekat pintu gerbang rumah. Ini dimaksudkan jika ada musafir yang lewat dan kehausan dapat berhenti di sini kekadar minum atau membasuh muka dan kakinya. Sebelum tradisi mewakafkan tanah menjadi areal kuburan, orang Betawi umumnya mengubur keluarga yang meninggal di halaman samping sebelah kanan, hampir berbatasan dengan tanah milik orang lain. Selain itu di samping rumah juga dibuat jemuran baik untuk menjemur pakaian atau makanan. Terdapat pula bangunan kecil sebagai lumbung. Lumbung digunakan sebagai gudang penyimpanan bahan makanan, bibit, dan lain-lain. Di lumbung disimpan juga
7
peralatan pertanian seperti pacul cangkrang, pacul garpu, garu, bangkil, pancong, parang, kampak, blencong, cangkram, linggis, alat luku, pengki, naya, keranjang, bronjong, kreneng, susug, bubung, kepis, lumpang, dan juga kayu bakar. Pelestarian Lanskap Budaya Lanskap budaya (cultural landscape) merupakan suatu model atau bentuk dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat, yang dikaitkan dengan sumber daya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Lanskap tipe ini merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya, yang merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan serta ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan yang terkait erat dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan kelompok-kelompok masyarakat dalam bentuk dan pola pemukiman dan perkempungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan dan struktur serta lainnya (Simonds, 1983). Pelestarian secara umum dapat didefinisikan sebagai konservasi, suatu upaya atau kegiatan untuk merawat, melindungi, dan mengembangkan objek pelestarian yang memiliki nilai atau makna kultural agar dapat dipelihara secara bijaksana sesuai dengan identitasnya guna dilestarikan (Susilowati, 2010). Menurut Nurisjah dan Pramukanto (2001), kegiatan pelestarian lanskap budaya adalah kegiatan konservasi. Konservasi diartikan sebagai segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik. Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Lanskap budaya penting dilestarikan untuk menjaga atau mempertahankan keberadaan lanskap/elemen yang memiliki nilai penting, memberi peluang untuk mengenal, mempelajari dan meneliti bagi generasi penerus, menjamin terwujudnya ragam dan kontras dari suatu kawasan (kualitas lanskap), menyediakan kebutuhan psikis dan kenyamanan masyarakat, memungkinkan pemanfaatan/pengembangan yang dapat meningkatkan nilai ekonomi/ kesejahteraan, mempopulerkan kawasan, serta melestarikan lanskap/elemen yang merupakan manifestasi suatu masyarakat.
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di rumah-rumah warga asli Betawi yang memiliki pekarangan di empat RW (RW 06, 07, 08, 09) yang berlokasi di kawasan PBB Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan (Gambar 4). Jumlah pekarangan yang digunakan di setiap RW adalah sebanyak empat pekarangan dengan pengulangan pada setiap ukuran pekarangan sebanyak tiga kali. Tiga lokasi yang menjadi lokasi penelitian merupakan pengulangan dari setiap jenis ukuran pekarangan. Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari hingga bulan Mei 2014.
8
DKI Jakarta Kecamatan Jagakarsa
Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan
Sumber : Dinas Tata Kota DKI Jakarta (2013) Gambar 4 Lokasi penelitian Alat dan Bahan Penelitian ini menggunakan peralatan dalam bentuk perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software) (Tabel 1). Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini berupa kuisioner, lembar survei dan peta lokasi penelitian. Tabel 1 Alat penelitian Alat Perangkat keras (hardware) Alat tulis Kamera digital Meteran Abney level Perangkat lunak (software) Adobe Photoshop Auto CAD
Kegunaan Alat untuk mencatat data hasil survey di lapang Pengambilan data visual kondisi wilayah setempat Pengukuran luas pekarangan, rumah dan tanaman Pengukuran ketinggian tanaman Pembuatan ilustrasi dan finishing gambar Pembuatan gambar rancangan
Metode dan Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap yang meliputi pra survei, survei, dan pascasurvei. Adapun penjelasan mengenai tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Pra survei, untuk melihat kondisi umum desa/kawasan, mengurus izin serta menentukan sampel penelitian. Sampel penelitian dipilih berdasarkan pemilihan purposive. Lokasi penelitian berada di PBB Setu Babakan yang meliputi empat RW (RW 06, 07, 08, 09). Setiap lokasi (RW) diambil empat sampel sesuai ukuran pekarangan menurut Arifin (1998) : sempit (<120m2); sedang (120-400 m2); besar (400-1000 m2) dan sangat besar (>1000 m2)
9
2.
dengan pengulangan pada setiap ukuran pekarangan sebanyak tiga kali. Namun pengambilan sample juga tetap disesuaikan dengan kondisi lapang. Survei, dilakukan dengan cara : survei lapang, menginventarisasi langsung karakter fisik tapak, orientasi, tata ruang, letak dan arsitektural rumah beserta ukurannya, elemen pekarangan (soft element maupun hard element) yang masih bertahan; wawancara dengan pihak pengelola, sesepuh/orang yang dituakan di PBB Setu Babakan, serta ahli budaya Betawi dari Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB); kuesioner, untuk mengetahui keadaan sosial-ekonomi pemanfaatan lahan pekarangan dan latar belakang pemilik pekarangan meliputi : jumlah keluarga dan usia, pekerjaan pemilik, pendapatan, kepemilikan tanah lain, fungsi/nilai pekarangan, jenis pemanfaatan pekarangan, pengelolaan pekarangan, serta harapan untuk pemanfaatan pekarangan; studi pustaka, untuk mendapatkan data dan informasi sekunder sebagai penunjang yang tidak didapatkan dari observasi lapang melalui kepustakaan/dokumen yang dapat diperoleh dari berbagai sumber terkait. Jenis, bentuk, dan sumber data disajikan pada tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 Jenis data yang diperlukan Komponen Kondisi wilayah
Jenis data Letak geografis dan administratif Topografi Iklim Tanah dan hidrologi
Bentuk data Primer Sekunder
Tata guna lahan dan kependudukan Kondisi fisik
Kondisi sosialekonomi
Struktur fisik pekarangan Arsitektur rumah
Elemen pekarangan (soft dan hard element) Pola penanaman Pemanfaatan lahan pekarangan
Karakteristik pemilik pekarangan, meliputi : jumlah keluarga usia pekerjaan pendapatan Harapan untuk pelestarian dengan pemanfaatan pekarangan
Sumber data Dinas Tata Kota DKI Jakarta BAPEDA DKI Jakarta BMKG Pusat BPLHD DKI Jakarta, Survei Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan Survei Survei dan studi pustaka Survei dan studi pustaka Survei Survei, wawancara, kuesioner Survei, wawancara, kuesioner
Wawancara dan kuesioner
10
3.
Pascasurvei, meliputi : analisis, meliputi analisis lingkungan fisik, budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat sekitar. Hal ini dilakukan untuk mempelajari hubungan data dengan melihat potensi dan kendala yang mempengaruhi kelestarian, kemungkinan pengembangan, serta fungsi yang mempengaruhi optimalisasi penggunaan lahan. sintesis, meliputi penyusunan hasil analisis berupa rekomendasi pelestarian pekarangan dengan tanaman dan ciri budaya Betawi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Wilayah Letak Geografis dan Administratif Secara geografis PBB Setu Babakan terletak pada 06˚20’07” - 06˚21’10” LS dan 106˚49’30” - 106˚49’50” BT. Secara administratif, PBB Setu Babakan memiliki luas 289 ha, terdiri dari dua kawasan utama, yaitu kawasan milik Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta (65 ha) yang akan dikembangkan, meliputi area lingkar Setu Babakan dengan lebar jalan yang dibatasi jalur pedestrian dan gorong-gorong, serta kawasan atas kepemilikan pribadi (224 ha), yaitu yang digunakan sebagai pemukiman, fasilitas publik, dan ruang terbuka hijau (Puslitbang Kepariwisataan, 2010).
Jl. Srengseng Sawah
Jl. Tanah Merah
Sumber : Fajriyah (2014) Gambar 5 Batas administratif Termasuk dalam wilayah Kotamadya Jakarta Selatan, Kecamatan Jagakarsa, Kelurahan Srengseng Sawah, PBB Setu Babakan berbatasan langsung dengan Kelurahan Lenteng Agung dan Kelurahan Jagakarsa, sebelah Selatan
11
adalah Kota Depok, Provinsi Jawa Barat, dan sebelah Barat yaitu Kelurahan Ciganjur dan Kelurahan Cipedak. Kawasan dibatasi oleh jalan-jalan penghubung : Sebelah Utara : Jalan Mochamad Kahfi II sampai Jalan Desa Putra Sebelah Timur : Jalan Desa Putra (H.Pangkat) sampai Jalan Pratama Sebelah Selatan : Jalan Tanah Merah sampai Jalan Srengseng Sawah Sebelah Barat : Jalan Mochamad Kahfi II Iklim
Menurut Badan Meteorologi Geofisika stasiun klimatologi pusat, Jakarta, tahun 2012, suhu udara rata-rata di kawasan PBB Setu Babakan yaitu 33.40˚C dengan kisaran 31.40˚C - 35.40˚C. Curah hujan rata-rata 182.91 mm, dengan curah hujan terendah 7.30 mm dan tertinggi 430.70 mm. Sedangkan untuk kelembaban udara, berkisar 70% - 85%, dengan kelembaban udara rata-rata 79%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kawasan PBB Setu Babakan tergolong kriteria bulan basah (Fajriyah, 2014). Tanah
Jenis tanah pada kawasan PBB Setu Babakan merupakan asosiasi latosol merah, latosol coklat kemerahan, dan laterit air tanah, dengan bahan induk Tuf volkan intermedier. Secara umum, jenis dan sifat tanah di kawasan PBB Setu Babakan, sesuai dengan pertumbuhan tanaman tahunan. Sifat dan corak tanah di tapak dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Sifat dan corak tanah di kawasan PBB Setu Babakan No. Jenis tanah 1. Latosol
Sifat dan corak Sifat Kemasaman : masam hingga agak masam (pH H2O 6.0-7.5) Zat organik : kadar rendah hingga agak sedang (3-10%) di lapisan, menurun ke bawah Daya absorpsi : sedang (15-25 m.s.) Unsur hara : sedang hingga rendah, semakin tua bahan induk atau semakin merah warnanya semakin rendah Permeabilitas : tinggi 2. Laterit Sifat air tanah Kemasaman : masam hingga agak masam (pH H2O 4.5-6.0) Zat organik : rendah (1-4%), menurun ke bawah Daya absorpsi : sedang (15-30 m.s.), semakin ke bawah meningkat Unsur hara : buruk Permeabilitas : buruk Corak Solum : dangkal Horison : nyata dengan gley Warna : merah hingga kelabu, chroma maksimum Tekstur : liat, liat maksimum Struktur : remah di atas, semakin ke bawah pejal Konsistensi : gembur, semakin ke bawah teguh Hampir selalu jenuh jenuh air Sumber : (Malahayani, 2004)
12
Topografi Kondisi topografi di kawasan PBB Setu Babakan tergolong kategori sedikit bergelombang dan agak rata. Kemiringan lereng mencapai 8-15% dengan ketinggian 25 m dpl. Permukiman di sebelah Barat terletak lebih tinggi dari permukaan jalan di sepanjang situ. Sedangkan jalan di sepanjang situ relatif datar (Fajriyah, 2014). Air tanah di tapak cukup baik, sehingga sebagian besar penduduk sekitar memanfaatkan sumber air tanah yang diperoleh dari sumur guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ketinggian air tanah berada pada kisaran 3-6 m yang merata pada hampir seluruh daerah. Hidrologi Sumber mata air PBB Setu Babakan yaitu Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong. Kondisi setu tergolong baik, alami, jernih, cukup bersih, dan sebagian area ditumbuhi tanaman air. Setu Babakan memiliki sistem hidrologi terbuka, dengan adanya inlet dan outlet air pada setu. Terdapat empat inlet situ, yaitu Situ Mangga Bolong, Kali Baru, Kali Tengah dan Situ ISTN (Institut Sains dan Teknologi), sedangkan outletnya yaitu menuju sungai Ciliwung (Rambe, 2006). Tata Guna Lahan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan merupakan bagian dari wilayah kelurahan Srengseng Sawah. Berdasarkan RUTR (Rencana Umum Tata Ruang dan RBWK (Rencana Bagian Wilayah Kota) Tahun 2005, Kelurahan Srengseng Sawah diperuntukan sebagai Daerah Resapan Air, pemanfaatan tanah di Kelurahan Srengseng Sawah ditetapkan peruntukannya oleh Dinas Tata Kota Provinsi DKI Jakarta. Pola penggunaan lahan dibedakan menjadi dua, yaitu kawasan tidak terbangun ± 39.06% (pemakaman (RTH), pertanian, setu/irigasi) dan kawasan terbangun ± 60.93% (permukiman, fasilitas umum, jalan raya/ lingkungan) (Tabel 4). Tabel 4 Luas kelurahan menurut peruntukan Tidak Terbangun Terbangun Jenis penggunaan Luas (ha) (%) Jenis penggunaan Luas (ha) Pemakaman (RTH) 4.74 0.70 Permukiman 366.10 Pertanian 61.00 9.04 Fasilitas umum 28.00 Setu/Irigasi 196.21 29.08 Jalanraya/lingkungan 17.00 Lain-lain 1.63 0.24 Jumlah 263.58 39.06 Jumlah 411.10 Sumber : (Kelurahan Srengseng Sawah, 2013)
(%) 54.26 4.15 2.52 60.93
Menurut Moechtar et al. (2012), PBB Setu Babakan dahulunya merupakan suatu kawasan yang masih banyak memiliki rawa dengan sedikit penduduk yang bermukim. Kedua danau (Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong) awalnya merupakan satu kesatuan, artinya keduanya menyatu dan aliran danau tersebut mengairi persawahan dan permukiman mereka dibawahnya (Gambar 6a). Akibat penjajahan oleh Belanda, bendungan danau tersebut terpecah menjadi dua bagian. Ruang untuk areal persawahan dan rawa sebenarnya masih ada pada tahun 1960 hingga 1970-an (Gambar 6b), namun akibat jumlah penduduk yang meningkat, berimbas pada kebutuhan lahan untuk mendirikan tempat tinggal dan beraktivitas,
13
sehingga membawa pengaruh pada perubahan pola tata guna lahan kawasan di PBB Setu Babakan. Pada akhirnya, rawa dan areal persawahan di sekitar danau sudah tidak ada lagi (Gambar 6c).
(b)
(a) Keterangan :
(c) Danau
Rawa
Kuburan
Sawah
Permukiman
Gambar 6 Perubahan pola tata guna lahan PBB Setu Babakan Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No.3 Tahun 2005, PBB Setu Babakan ditetapkan sebagai kawasan pengembangan budaya Betawi. Memiliki luas 289 ha (65 ha milik Pemda DKI Jakarta), ruang/area terbangun di kawasan ini sebesar 61,17% dan 38,83% belum terbangun (termasuk badan air). Penggunaan lahan dalam usaha pemanfaatan dan pengembangan diarahkan kepada pengembangan wisata budaya, air, dan agro yang berpedoman kepada Perda Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Kependudukan Wilayah Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Kotamadya Jakarta Selatan, terbagi kedalam 19 RW dan 156 RT. Jumlah penduduk pada bulan Juli 2013 sebanyak 59.948, dengan kepadatan penduduk 6.757 jiwa/km2. Untuk PBB Setu Babakan, yang terdiri dari 4 RW, yaitu RW 06, RW 07, RW 08 dan RW 09, jumlah penduduk mencapai 21.619 jiwa (Tabel 5). Tabel 5 Jumlah penduduk di kawasan PBB Setu Babakan tahun 2013 WNI Laki-laki Wanita Jumlah Laki-laki 06 2.256 2.174 4.430 07 2.620 2.545 5.165 08 2.801 2.742 5.543 09 3.329 3.152 6.481 Jumlah 11.006 10.613 21.619 Sumber : (Kelurahan Srengseng Sawah, 2013) RW
WNA Wanita -
Jumlah -
Jumlah 4.430 5.165 5.543 6.481 21.619
14
Mata pencaharian penduduk di Kelurahan Srengseng Sawah, termasuk PBB Setu Babakan sangat beragam meliputi berbagai profesi seperti karyawan, pensiunan, pedagang, tani, buruh, jasa, pengangguran, dan lainnya. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian disajikan pada Tabel 6 dibawah ini. Tabel 6 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian Jenis mata pencaharian Karyawan Pegawai Negeri TNI Swasta Pensiunan Pedagang Tani Pertukangan Pemulung Buruh Jasa Pengangguram Ibu Rumah Tangga Usia sekolah/pelajar Balita Jumlah Sumber : (Kelurahan Srengseng Sawah, 2013)
Jumlah (jiwa) 1.618 2.933 7.864 926 3.353 1.999 463 178 1.625 465 359 13.236 16.994 2.836 55.445
Kondisi Fisik Struktur Fisik Pekarangan Ukuran Pekarangan Setiap rumah sampel pada lokasi penelitian, memiliki bentuk dan ukuran/luas pekarangan yang berbeda-beda (Lampiran 1). Bentuk pekarangan pada setiap ukuran yang umumnya mewakili sampel penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Menurut Arifin (1998), terdapat empat tipe ukuran pekarangan, yaitu pekarangan sempit dengan luas kurang dari 120 m2, pekarangan sedang dengan luas 120 m2 - 400 m2, pekarangan besar dengan luas 400 m2 - 1.000 m2, dan pekarangan sangat besar dengan luas lebih dari 1.000 m2. Luas keseluruhan dan rataan dari semua sampel pekarangan beserta klasifikasi berdasarkan ukurannya disajikan pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8, dapat diketahui bahwa sebagian besar pekarangan yang ada di lokasi penelitian berukuran sempit dan sedang. Berbeda dengan keadaan sebelumnya, dahulu masyarakat Betawi terkenal memiliki tanah yang cukup luas hingga sekian hektar dan ditumbuhi pohon buah-buahan yang memberikan hasil panen yang melimpah (Wardiningsih, 2005). Orang Betawi merupakan suku asli Jakarta, pemilik lahan yang luas dan subur. Lahan-lahan ini yang kemudian akan diwariskan kepada generasi berikutnya, dibagi sebagai warisan untuk anak-anak mereka. Lahan juga dipandang sebagai sumber penghasilan di PBB Setu Babakan, baik untuk disewakan ataupun dijual kepada pendatang. Saat ini banyak tempat tinggal baru yang sedang dibangun pada kawasan tersebut tanpa memperhitungkan konsekuensinya untuk masa depan.
15
Sehingga kondisi kawasan sudah terbilang cukup padat oleh areal terbangun, yang menyebabkan pekarangan, serta luas kebun menjadi semakin sempit dan berkurang. Tabel 7 Bentuk pekarangan pada lokasi penelitian Pekarangan
Zona Pekarangan Samping Kanan Samping Kiri
Depan
Sempit
Belakang
Sedang
Besar
Sangat Besar
Tabel 8 Luas pekarangan seluruh sampel pekarangan dan rataannya (m2) RW 06 1 2 Sempit 66,9 136 Sedang 127 218 Besar 423 651 Sangat Besar 3.238 -
3
1
RW 07 2
3
1
RW 08 2
3
1
RW 09 2
3
Ratarata
119
99
111
109
92,2
117
118
83,6
97,8
106
104,8
360
250
140
379
208
297
341
160
165
177
235,5
-
469
472
-
405
405
884
404
439
679
523,5
-
-
-
-
1.010
1.543
1.752
-
-
-
1.886
Lembaga Pengelola Perkampungan Budaya Betawi (LPPBB) mencatat dari waktu ke waktu luas pekarangan di PBB Setu Babakan berkurang. Pada tahun 2009, berdasarkan catatan LPPBB, dari 5.000 keluarga hanya 250 keluarga atau lima persen warga PBB Setu Babakan yang mempunyai pekarangan ideal Betawi. Menurut Anggota Komite Tata Kehidupan dan Budaya LPPBB, Indra Sutisna pekarangan ideal kampung Betawi adalah pekarangan yang berisi pohon buahbuahan, tanaman obat-obatan, semak, dan perdu. Pekarangan itu tidak berpagar kayu, tembok, atau besi, melainkan tanaman jenis teh-tehan (Acalypha macrophylla) atau mangkok-mangkokan (Nothopanax scutellarium).
16
Tabel tersebut juga menginformasikan bahwa RW 08 sebagai embrio dari terbentuknya PBB Setu Babakan, wilayah dengan mayoritas penduduk asli (Betawi) merupakan satu-satunya RW yang memiliki klasifikasi pekarangan ukuran yang masih lengkap, yaitu terdapat ukuran pekarangan sempit, pekarangan sedang, pekarangan besar, dan pekarangan sangat besar. Secara keseluruhan pekarangan yang dijadikan sampel memiliki rata-rata ukuran pekarangan yaitu pekarangan sempit seluas 104,8 m2, pekarangan sedang seluas 235,5 m2, pekarangan besar seluas 523,5 m2, dan pekarangan sangat besar seluas 1.886 m2. Pola Pekarangan Secara umum pola pekarangan di kawasan PBB Setu Babakan terbagi menjadi dua, yaitu pola pekarangan di tepi jalan (luar) dan pola pekarangan pada bagian dalam. Pola pekarangan yang berada di tepi jalan utama terdiri atas rumahrumah yang menghadap dan berjajar sepanjang jalan. Sedangkan pola pekarangan bagian dalam pada umumnya terdiri dari rumah-rumah bergerombol dan saling berdesakkan menghadap kebun/ruang terbuka. Pola pekarangan bagian dalam dipengaruhi oleh sistem pewarisan yang ada pada budaya Betawi. Sistem pewarisan tersebut menyebabkan terjadinya fragmentasi lahan pekarangan atau pembangunan rumah tinggal baru bagi keturunannya, yang umumnya rumahrumah mengelilingi ruang terbuka.
(a)
(b)
Gambar 7 Pola pekarangan (a) bagian luar, (b) bagian dalam
Menurut Harun et.al (1999), fragmentasi adalah penambahan jumlah kepemilikan lahan tetapi dengan luas pemilikan yang semakin sempit karena adanya pewarisan atau karena jual beli sebagian lahan (Gambar 8). Proses ini menyebabkan semakin tidak jelasnya orientasi dan pola tata letak perkampungan Betawi.
(a)
(b)
Gambar 8 Fragmentasi lahan (a) sebelum pewarisan, (b) setelah pewarisan
17
Berdasarkan fungsinya, pekarangan terdiri dari tiga zona, yaitu pekarangan depan, pekarangan samping (kanan dan kiri), dan pekarangan belakang (Arifin et al., 1998). Dahulu dalam membangun rumah beserta pekarangan, orang Betawi percaya kepada perhitungan yang berporos kepada alam gaib. Perhitungan dilakukan oleh seorang kiai berdasarkan ilmu falak. Dia akan menghitung tempat pembangunan, arah, dan waktu dimulainya pembangunan, dengan naga bulan atau arah mata angin, yaitu bilir (rajab, rowah, puasa); bludik (sri mulud, jumadil awal, jumadil akhir); bekulon (syawal, apit haji); betan (sura, sapar, mulud). Namun kini rumah dan pekarangan budaya Betawi lebih ditentukan oleh alasan praktis seperti aksesibilitas serta tergantung pada kebutuhan pemilik rumah. Sehingga zonasi pekarangan budaya Betawi aslinya dibuat lengkap, yang terdiri dari pekarangan depan, samping kanan, samping kiri, dan belakang. Pekarangan merupakan bagian dari lanskap Betawi, sebagai sarana orang Betawi berelasi dengan alam dan sesama. Menurut Anggota Komite Tata Kehidupan dan Budaya LPPBB, Indra Sutisna, pekarangan adalah lahan bermain anak-anak, pemberi hidup, dan lahan resapan air. Pada pekarangan budaya Betawi yang cukup luas, selain didirikan rumah tinggal, umumnya juga dibangun fungsifungsi lain yaitu fasilitas lapangan bermain dan olahraga seperti lapangan bulu tangkis, dan lainnya pada zonasi samping. Tujuannya untuk memfasilitasi masyarakat Betawi yang senang berkumpul, sesuai sifat orang Betawi yang mudah bergaul dan terbuka. Tidak hanya digunakan oleh keluarga yang tinggal di rumah, fasilitas tersebut dapat juga digunakan oleh orang yang berada disekitar rumah. Jika dikuatkan dengan kepercayaan orang Betawi, “Orang mati itu tidak sama dengan kedebong pisang.” Maknanya, ruh seseorang tetap hadir di lungkungan rumah keluarga tempat ia pernah hidup. Oleh karena itu, orang Betawi mengutamakan mengubur jenazah keluarganya di pekarangan rumahnya sendiri. Sedangkan untuk aktivitas/kegiatan sosial budaya lainnya, yaitu acara atau hajatan besar seperti pernikahan, nujuh bulan, sunatan/khitanan, akekah (qiqah), dilakukan pada zonasi depan sebagai public area. Tenda/tatarup dipasang didepan teras/ paseban untuk melindungi dari terik matahari ataupun hujan. Selain itu juga dibuat panggung pertunjukkan untuk meramaikan acara/hajatan tersebut. Tabel 9 menginformasikan bahwa pada lokasi penelitian setiap rumah memiliki pekarangan depan, namun untuk keberadaan pekarangan samping kanan, pekarangan samping kiri, dan pekarangan belakang sulit ditemui sekaligus pada semua sampel pekarangan. Hanya beberapa sampel rumah yang masih memiliki pekarangan dengan zonasi lengkap, dimana sebagian besar terletak di RW 08. Pada ukuran sempit, terdapat tiga rumah dengan pekarangan yang memiliki zonasi lengkap, yaitu pekarangan 3 di RW 06, pekarangan 1 di RW 08, dan pekarangan 2 di RW 09. Pada ukuran sedang, di masing-masing RW juga masih dapat ditemui pekarangan dengan zonasi lengkap, yaitu pekarangan 1 dan 3 di RW 06, pekarangan 2 dan 3 di RW 07, pekarangan 1 dan 2 di RW 08, serta pekarangan 3 di RW 09. Seperti sebelumnya telah dijelaskan bahwa tidak semua RW memiliki ukuran pekarangan besar dan sangat besar. Dari ukuran besar yang ada, hanya dua pekarangan yang tidak memiliki zonasi lengkap, yaitu pekarangan 1 di RW 06 dan pekarangan 1 di RW 09. Sementara pada ukuran sangat besar yang ada, semua pekarangan memiliki zonasi lengkap. Oleh karena itu, dari Tabel 9 dapat diketahui bahwa semakin besar ukuran suatu pekarangan maka peluang ditemukan zonasi pekarangan yang lengkap juga semakin besar. Seperti pada pekarangan budaya
18
Betawi dahulunya, selain karena alasan untuk kemudahan aksesibilitas, zonasi pekarangan yang lengkap mudah ditemukan pada setiap rumah karena rata-rata pekarangan yang dimiliki masyarakat memiliki ukuran yang luas. Tabel 9 Intensitas ditemuinya zonasi pada setiap sampel pekarangan Ukuran Pekarangan Sempit
Sedang
Besar
Sangat Besar
Zonasi Dpn Ski Skn Blk Dpn Ski Skn Blk Dpn Ski Skn Blk Dpn Ski Skn Blk
1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1
RW 06 2 3 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 -
1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 -
RW 07 2 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 -
3 1 1 0 1 1 1 1 1 -
1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
RW 08 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
3 1 0 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 0 1 -
RW 09 2 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 -
3 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 -
Inten sitas 1,00 0,83 0,75 0,50 1,00 1,00 0,67 0,91 0,83 0,75 0,75 0,75 0,33 0,33 0,33 0,33
Keterangan: a. Ukuran pekarangan : Sempit (<120 m2), sedang (120-400 m2 ), besar (400-1000 m2), dan sangat besar (>1000 m2) b. Zonasi Depan (Dpn), Samping kiri (Ski), Samping kanan (Skn), dan Belakang (Blk)
Arsitektur Rumah Betawi Menurut Rizal (2013), pada arsitektur Betawi terdapat sistem pengetahuan lokal (local knowledge system) yang berakar pada kearifan lokal (local wisdom) dan pranata ilmiah (scientific institution) sebagai penunjang. Rumah tradisional Betawi umumnya mengadopsi dan banyak mendapat sentuhan dari kebudayaan luar, seperti Cina, Belanda, Portugis, atau Arab. Hal ini kemudian disesuaikan dengan iklim dan kebudayaan dari daerah sekitar Betawi (baca : Jakarta) dan Jawa. Sebelum kebudayaan luar masuk, rumah Betawi hampir sama dengan rumah tradisional lainnya yaitu menggunakan material bambu sebagai dinding dan tanah sebagai lantainya. Mengenai denahnya tidak jauh berbeda dengan bangunan modern yang ada kini, dimana terdapat area publik, area semi publik, dan area pribadi.
Sumber : www.jakarta.go.id Gambar 9 Rumah tradisional Betawi sebelum kebudayaan luar masuk
19
Periodisasi orang Betawi dalam membangun rumah terlihat pada material/bahan-bahan yang tersedia, yang juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomisosial masyarakat. Dimulai dari dinding kayu dan bambu untuk rumah masyarakat biasa yang penghasilan rendah, dinding sebagian batu untuk rumah masyarakat menengah, serta dinding berbahan gabungan kayu dan batu untuk masyarakat yang sudah lebih maju, seperti tokoh masyarakat setempat. Namun kini berdasarkan keragamannya, arsitektur bangunan yang terdapat di lokasi penelitian, dibedakan menjadi tiga, yaitu arsitektur Betawi, arsitektur bercirikan hanya pada bagian atas, dan arsitektur modern (Gambar 10) yang seluruhnya sudah menggunakan dinding dengan bahan batu. Secara lebih lengkap bentukbentuk arsitektur rumah pada lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 2. Rumah-rumah berarsitektur Betawi yang ada di kawasan PBB Setu Babakan selain merupakan bentuk inisiatif dari pemilik rumah dengan dana pribadi, juga merupakan program dari Pemerintah Kotamadya Jakarta Selatan dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk tetap mempertahankan kelestarikan ciri khas budaya Betawi, yaitu dengan menganggarkan bantuan sebesar dua miliar untuk membangun tiga ratus rumah bernuansa Betawi. Bantuan anggaran tersebut diberikan pada warga yang tidak mampu membangun rumah khas Betawi. Selain bantuan pemerintah, perusahaan Antam melalui kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) juga pernah melakukan program Bedah Rumah Berdesain Adat Betawi. Program ini bertujuan untuk menyediakan hunian yang aman, sehat, dan layak bagi masyarakat kurang mampu di daerah Jakarta dengan tetap melestarikan budaya setempat. Dengan bantuan dana sebesar lima ratus juta rupiah, program bedah rumah telah selesai dilakukan kepada sepuluh rumah terpilih. Pemilihan rumah-rumah tersebut selain diperuntukkan untuk masyarakat yang kurang mampu, kriteria lainnya yaitu pemilik rumah harus merupakan orang Betawi asli ataupun sesepuh Betawi di kawasan PBB Setu Babakan.
(a)
(b)
(c)
Gambar 10 Keragaman bangunan rumah : (a) berarsitektur Betawi , (b) arsitektur bercirikan hanya pada bagian atas , dan (c) berarsitektur modern
Secara umum dapat dikatakan bahwa arsitektur bangunan/rumah di kawasan PBB Setu Babakan yang masih tradisional masih dapat ditemui dalam bentuk dan ukuran yang seadanya saja, tidak utuh. Beberapa rumah hanya menghadirkan nuansa Betawi dengan menggunakan elemen dekoratif berupa lisplang gigi balang pada bagian atas/atap rumah, langkan yang diletakkan pada bagian bawah berfungsi sebagai pagar teras, penggunaan jenis pintu dan jendela pada rumah Betawi, yaitu jendela krepyak, sejenis pintu yang di tutup dengan kisikisi miring sehingga memudahkan aliran udara untuk keluar masuk, serta penggunaan ragam hias (Gambar 11).
20
Sementara untuk elemen furnitur, rumah Betawi banyak mengadopsi dari bentuk kolonial Belanda. Hal ini terlihat dari bentuk dan materialnya, yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan kursi Betawi yang diletakkan di beranda/teras, pun dengan furnitur lainnya. Dari keempat RW, RW 08 merupakan wilayah yang paling banyak memiliki rumah dengan ragam hias Betawi dibandingkan wilayah lainnya. Hal tersebut dikarenakan RW 08 merupakan zona inti dari kawasan PBB Setu Babakan, sehingga kesan Betawi berusaha diangkat melalui bangunanbangunan yang bernuansa khas budaya Betawi, baik bangunan kantor pengelola, fasilitas seperti masjid, ataupun rumah-rumah warganya.
(a)
(b)
(c)
Gambar 11 Beberapa detail arsitektur Betawi : (a) lisplang gigi balang , (b) pagar teras langkan , dan (c) jendela krepyak
Namun menurut Rizal (2013), rumah untuk orang Betawi bukan sekadar wadah fisik, tidak pula melulu ihwal bentuk atap, struktur, atau massa bangunan saja, tetapi lebih-lebih suatu konsep ruang. Sedangkan konsep ruang itu berkaitan erat dengan kekhasan dan perilaku orang Betawi yang berpandangan bahwa alam menguasai manusia dan manusia integral dengan alam. Maka, ruang dalam arsitektur Betawi sebenarnya berperan untuk memenuhi fungsi-fungsi manusia dalam alam serta tunduk pada hukum-hukumnya. Tak heran jika setiap individu Betawi mempunyai berbagai kewajiban terhadap alam. Simbol ukiran yang disebut bebulan di atas pintu masuk rumah Betawi menegaskan arti penting siklus alam yang harus diperhatikan oleh manusia jika tidak ingin bahla atau celaka. Sebaliknya, jika manusia selaras dengan alam maka akan mendapatkan keuntungan berganda. Sehingga ruang terbuka di dalam konsep arsitektur Betawi menjadi subjek yang memiliki identitas sendiri, bukan hanya sebagai pendukung dari objek rumah ditengahnya. Rumah adalah aset yang dikelilingi aset-aset lain yang bahkan jauh lebih berharga daripada rumah itu sendiri secara material maupun kultural. Kebun pribadi misalnya, mendominasi halaman rumah karena pepohonan buah-buahan dan obat-obatan adalah aset paling berharga yang mengandung nilai material sekaligus spiritual. Betapa tipis batas ruang dalam dengan ruang luar dalam arsitektur Betawi. Berdasarkan Lemtek FTUI dan Dinas Tata Kota DKI (2001), pola tata ruang dalam rumah Betawi pada dasarnya terbagi tiga yaitu bagian depan, bagian tengah, dan bagian belakang. Tidak adanya referensi tentang pola ruang luar yang merupakan ekspansi dari ruang dalam, maka ruang dalam dijadikan basis untuk penataan bentang alam kawasan PBB Setu Babakan : 1. bagian depan, yang sering disebut serambi depan karena bersifat terbuka. Di bagian ini seringkali terdapat tanaman hias untuk menyambut tamu atau orang luar. Tanaman yang terdapat di bagian depan cenderung memiliki batang
21
tanaman yang pendek seperti kacapiring, kembang sepatu, kenanga, lidah buaya, dan lainnya; 2. bagian tengah, yang merupakan bagian pokok dari rumah Betawi. Tanaman yang sering ditemukan di samping rumah adalah jenis tanaman buah-buahan seperti belimbing, rambutan, sawo, jambu, dan yang lainnya; 3. bagian belakang, disebut ruang belakang. Ruangan ini sering disebut rumah dapur karena digunakan untuk memasak. Hal ini mempengaruhi jenis tanaman yang ditanam memiliki hubungan dengan masak-memasak seperti tanaman bumbu dapur dan sayuran. Contohnya seperti tanaman melinjo, daun katuk, lengkuas, jahe, daun suji, dan lainnya. Untuk elemen non tanaman seperti jamban dan sumur juga ditemukan di bagian belakang karena lebih dekat dengan rumah dapur. Elemen Pekarangan Selain bangunan/rumah dengan ciri dan ragam khas budaya Betawi, pada tapak pekarangan juga terdapat elemen-elemen, yaitu elemen lunak (soft element) dan elemen keras (hard element) yang juga menjadi ciri khas budaya Betawi. Berikut merupakan elemen keras khas pekarangan budaya Betawi pada keseluruhan sampel pekarangan (Tabel 10) dengan intensitas keberadaannya (Lampiran 3). Tabel 10 Elemen keras (hard element) di pekarangan Elemen keras (hard element) Pintu gerbang Pagar hidup Pagar tak hidup Tempat menjemur Kolam/Tempat air Bale-bale Kandang ternak Kamar mandi luar Tabunan/Tempat sampah
Mudah ditemukan √ √ √
√
Sulit ditemukan √ √ √ √ √
Keterangan Beragam desain Telah dimodifikasi Beragam material
Telah dimodifikasi
Beberapa elemen keras (hard element) pada pekarangan memiliki ukuran, bentuk, dan fungsi yang berbeda sebagai ciri khas dari pekarangan Betawi pada sampel di lokasi penelitian, yaitu : Pintu gerbang Pada lokasi penelitian, elemen pintu gerbang dapat ditemukan pada semua ukuran pekarangan, dengan intensitas setiap ukuran berbeda. Intensitas tertinggi yaitu pada pekarangan besar dan pekarangan sangat besar. Elemen ini umumnya ditemukan pada sampel rumah dengan pola pekarangan yang berada di tepi jalan utama. Pintu gerbang pada pekarangan digunakan sebagai akses utama menuju ruang dalam pekarangan atau rumah. Dahulunya pada pekarangan budaya Betawi tidak menggunakan pintu gerbang secara fisik, bersifat lebih terbuka dalam menerima pengaruh dari luar. Namun karena alasan keamanan, kondisi lingkungan yang sudah tidak aman, kini digunakan pintu gerbang, walaupun bukan pintu gerbang yang tinggi dan menutup semua bagian
22
rumah. Pintu gerbang bermaterial besi dan bambu kini banyak digunakan pada sampel penelitian, dengan beragam desain.
Gambar 12 Salah satu desain pintu gerbang pada lokasi penelitian
Pagar Selain pintu gerbang, elemen pagar juga dapat ditemukan pada semua ukuran pekarangan, dengan intensitas setiap ukuran yang berbeda. Intensitas tertinggi yaitu pada pekarangan besar dan sangat besar. Menurut Saputra (2010), dalam pekarangan budaya Betawi, halaman atau pekarangan rumah yang luas dibatasi dengan pagar, yang disebut jaro. Dengan adanya jaro, dapat diketahui dengan jelas batas tanah pribadi dengan jalan raya atau gang. Tinggi pagar ini sekitar satu meter dan dibuat dari bambu yang dianyam dan disusun sedemikian rupa. Jaro bersifat multifungsi. Selain digunakan sebagai pembatas kepemilikan dengan area publik, jaro juga difungsikan sebagai penunjang tanaman yang merambat. Pada lokasi penelitian, jaro kini tidak hanya terbuat dari bambu, namun juga terbuat dari besi, dengan tanaman yang menjalar/merambat diantaranya daun saga (Abrus precatorius), sirih (Piper betle L.), asparagus (Asparagus setaceus), dan kembang telang (Clitoria ternatea). Tanaman-tanaman tersebut sengaja ditanam karena merupakan bahan utama obat-obatan. Jika dibandingkan pagar hidup yang berupa tanaman yang dijadikan pembatas rumah, pagar tak hidup kini lebih banyak digunakan oleh masyarakat dengan alasan keamanan lingkungan.
(a)
(b)
(c)
Gambar 13 Jenis pagar atau jaro : (a) bambu, (b) besi, dan (c) puun Dahulunya orang Betawi membuat jaro secara sederhana, karena mereka lebih percaya kepada macan jadi-jadian atau siluman yang dipelihara dan menjadi andalan untuk menjaga lingkungan atau hak milik orang perorangan. Macam siluman itu akan menjelma jika ada penjahat, perampok, atau segala sesuatu yang terindikasi tidak baik. Konon macan siluman tidak sekadar menjelma, namun menyerang perampok. Siluman
23
macan sering pula menjelma sekadar mengungkapkan eksistensinya dalam dunia manusia.
Tempat menjemur Tempat menjemur dapat ditemukan pada semua sampel pekarangan di lokasi penelitian dengan intensitas yang sama. Pada pekarangan budaya Betawi aslinya, tempat menjemur, baik untuk menjemur pakaian atau bahan makanan, hanya ditemukan pada pekarangan samping, yang dianggap sebagai area pribadi (private area) dan area keluarga (family area). Namun karena pola permukiman yang sudah semakin tidak beraturan, kini tempat menjemur dapat ditemukan pada semua zonasi pekarangan, mulai dari pekarangan depan, samping, hingga belakang. Selain itu aslinya, tempat menjemur didirikan berjarak dua puluh hingga tiga puluh meter, tinggi dua meter dengan tambang dadung kulit kayu. Sedangkan kini, masyarakat lebih praktis membuat tempat menjemur dengan bambu atau bahkan membeli dengan bahan plastik dan besi.
a
b
(a)
(b)
Gambar 14 Tempat menjemur pakaian (a) bambu, (b) besi
Kolam Budaya Betawi sangat memuliakan air. Terlihat dari bagaimana masyarakat Betawi percaya dengan buaya siluman, penjaga tempat-tempat tertentu di sungai, muara, maupun rawa. Keberadaan buaya siluman inimenurut cerita tetua kampung, sebenarnya merupakan bentuk lain dari upaya masyarakat tradisional menghormati air sebagai sumber kehidupan. Melalui cerita buaya siluman, masyarakat diajarkan tidak memperlakukan kali, muara, rawa, dengan semena-mena, karena jika sekali saja sumber air tercemar, maka berdampak buruk bagi kelanjutan hidup manusia.
(a)
(b)
Gambar 15 Bentuk tempat air (a) kolam, (b) tempayan Itu sebabnya dalam acara serah-serahan pada upacara perkawinan masyarakat Betawi, terdapat sepasang roti buaya, tidak lain sebagai simbol
24
penghormatan kepada buaya siluman penjaga sumber kehidupan, yaitu air. Sepasang roti buaya tidak semata-mata persembahan biasa, tetapi upaya mengkomunikasikan betapa manusia harus menjaga dan hidup selaras dengan lingkungannya. Pada skala rumah, air disimbolkan dengan keberadaan kolam/tempat air. Di lokasi penelitian, kolam dengan intensitas tertinggi dapat ditemukan pada pekarangan besar dan sangat besar. Sama seperti pekarangan budaya Betawi aslinya, penduduk yang memiliki tanah luas, umumnya akan memanfaatkan ruang yang ada untuk membuat kolam ikan (empang). Bedanya, dahulu kolam ikan disamping berfungsi menambah pendapatan keluarga, juga berhubungan dengan ritus kehidupan seorang anak, kini, adanya kolam hanya karena sebatas menyalurkan hobi. Sedangkan pada pekarangan kecil dan sedang, kolam disini yaitu tempat air berbentuk tempayan atau kendi di dekat pintu gerbang rumah. Dahulu elemen ini dihadirkan dengan maksud jika ada musafir yang lewat dan kehausan dapat berhenti disini sekedar untuk minum atau membasuh muka dan kakinya. Kini, pada beberapa sampel rumah dengan ukuran pekarangan sempit masih ditemukan tempayan, namun fungsinya hanya sebagai elemen dekoratif.
Bale-bale Kebiasaan dan perilaku orang Betawi yang gemar duduk-duduk sambil ngobrol, ngerahul, tidur-tiduraran, serta ngadem di depan rumah atau bersantai, menciptakan salah satu elemen untuk melengkapi kebutuhan akan kegemaran dan kebiasaan mereka, yaitu berupa tempat tidur panjang yang terbuat dari bambu, disebut bale-bale. Pada lokasi penelitian bale-bale sudah jarang ditemui pada setiap ukuran pekarangan. Keberadaannya telah digantikan oleh bangku atau kursi biasa. Aslinya bale-bale ini berada di sudut blandongan rumah, teras/ paseban. Namun kemudian elemen ini dapat juga berada di pekarangan depan. Bedanya, bale-bale yang berada dalam blandongan rumah biasanya tidak memiliki atap, hanya berupa tempat tidur panjang. Sedangkan bale-bale yang berada di pekarangan depan biasanya beratap seperti gazebo untuk melindungi pengguna dari terik matahari ataupun hujan.
(a)
(b)
Gambar 16 Bentuk bale-bale (a) beratap, (b) tidak beratap
Kandang ternak Rumah-rumah pada lokasi penelitian, sudah tidak banyak yang memiliki kandang ternak. Intensitas terbesar ditemukannya kandang ternak yaitu pada ukuran pekarangan besar dan pekarangan sangat besar. Orang
25
Betawi dahulunya sangat senang bertani, salah satunya memelihara hewan ternak. Kegiatan pertanian tersebut didukung oleh keberadaan lahan yang luas, yang memungkinkan untuk beternak, mulai dari ternak sapi, kambing, hingga ayam. Namun kini, karena keterbatasan lahan, ternak yang dipelihara hanya sebatas jenis ayam. Disamping dapat menghasilkan telur dan daging untuk dikonsumsi secara pribadi, beberapa masyarakat Betawi masih ada yang percaya bahwa ayam sebagai salah satu hewan mistis yang dapat mengabarkan adanya wabah, adanya peristiwa buruk, dan sebagai penanda waktu. Selain ternak ayam, ditemukan salah satu rumah sampel di lokasi penelitian, yang memiliki ternak jangkring, untuk kepentingan usaha. Kandang ternak yang ada pada pekarangan warga umumnya dibuat dari material bambu, dengan ukuran yang tidak besar.
(a)
(b)
Gambar 17 Kandang ternak (a) ayam, (b) jangkrik
Kamar mandi luar Dari seluruh rumah yang menjadi sampel penelitian, ditemukan satu-satunya rumah yang masih memiliki kamar mandi luar, yaitu pada rumah dengan ukuran pekarangan besar, tepatnya di zonasi pekarangan belakang. Kamar mandi luar ini memiliki bentuk sama dengan kamar mandi dalam yang sebenarnya juga dimiliki oleh pemilik rumah tersebut. Orang Betawi dulunya membuat kamar mandi luar di zona pekarangan belakang yaitu area pelayanan (service area) agar langsung terhubung dengan comberan atau area pembuangan. Zaman dahulu area ini disebut srondoyan. Tidak seperti orang Betawi dulu, kini hampir seluruh masyarakat Betawi lebih memilih membuat kamar mandi didalam rumah dengan alasan lahan yang dimiliki terbatas dan kamar mandi dalam dirasakan lebih praktis dalam hal penggunaannya.
Gambar 18 Elemen pekarangan berupa kamar mandi luar
26
Tabunan/tempat sampah Salah satu ciri khas dari pekarangan budaya Betawi yaitu ditemukannya tabunan di halaman rumah depan sebelah kiri atau kanan. Tabunan dibuat di atas tanah berukuran 120 cm x 120 cm dengan kedalaman 40 cm hingga 60 cm. Tabunan berfungai sebagai tempat menampung sampah, baik sampah rumah tangga atau aram (dedaunan kering yang gugur) berserakan di sekitar rumah. Karena seperti yang diketahui, dahulu orang Betawi memiliki ukuran pekarang yang luas yang ditanami berbagai macam tanaman, sehingga banyak ditemukan aram disekitar rumah. Pada lokasi penelitian, tabunan dapat ditemukan di setiap rumah, walaupun kini dibuat berbeda, yaitu berbahan semen yang dikeraskan, namun memiliki fungsi yang sama, sebagai tempat sampah.
(a)
(b)
Gambar 19 Tempat sampah (a) tabunan, (b) telah dimodifikasi Karakteristik Tanaman Selain kegiatan budaya lokal dan objek arsitektur bangunan yang memiliki konsep pola etnik dan ciri khas Betawi, sebagai kawasan konservasi, PBB Setu Babakan juga memiliki jenis-jenis tanaman khas yang tumbuh di beberapa titik pada area tepi danau/setu dan di pekarangan-pekarangan rumah milik warga. Ragam tanaman dapat terlihat dari tanaman-tanaman khas itu sendiri hingga tanaman yang telah secara umum ditemukan di berbagai kawasan lain. Jumlah spesies dan individu tanaman pada lingkar setu ataupun pekarangan yang ditemukan pada setiap ukuran di tiap RW berbeda. Daftar jenis dan jumlah tanaman yang berada pada area lingkar setu dapat terlihat pada Tabel 11. Tabel 11 Daftar jenis dan jumlah tanaman pada lingkar setu No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama Tanaman Akar ara (Ficus binnendykii) Akasia (Acacia longifolia) Angsana (Pterocarpus indicus) Belimbing (Averrhoa carambola) Beringin (Ficus benjamina) Beringin karet (Ficus elastica) Bintaro (Cerbera manghas) Biola cantik (Ficus lyrata) Bisbul (Diospyros blancoi) Bunga Kupu-kupu (Bauhinia purpurea) Bungur (Lagerstromia speciosa) Buni (Antidesma bunius) Dadap merah (Erythrina crista-galli)
Jumlah Individu 5 10 25 12 53 3 116 2 4 6 13 29 12
27
Tabel 11 (lanjutan) No. 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43
Nama Tanaman Flamboyan (Delonix regia) Gamal (Gliricidia sp.) Glodogan bulat (Polyalthia fragrans) Glodogan tiang (Polyalthia longifolia) Jati (Tectona grandis) Kapuk randu (Ceiba pentandra) Kawista batu (Feronia lucida) Kelapa (Cocos nucifera) Kerai payung (Filicium decipiens) Kersen (Muntingia calabura) Ketapang (Terminalia catappa) Lamtoro (Leucaena leucocephala) Mahoni (Swietenia macrophylla) Mangga (Mangifera indica) Matoa (Pometia pinnata) Melinjo (Gnetum gnemon) Mengkudu (Morinda citrifolia) Mimba (Azadirachta indica) Nangka (Artocarpus heterophyllus) Palem putri (Veitchia merilii) Palem raja (Roystonea regia) Pohon roda (Hura crepitans) Rainbow eucalyptus (Eucalyptus deglupta) Saga (Adenanthera pavonina) Salam (Syzygium polyanthum) Sawo duren (Crateva religiosa) Sempur (Dillenia sp.) Sengon (Paraserianthes falcataria) Sukun (Artocarpus altilis) Tanjung (Mimusoph elengi) Total
Jumlah Individu 14 10 51 3 4 15 2 9 1 64 45 13 145 5 1 1 2 3 5 1 17 3 2 42 12 2 1 4 4 6 777
Berdasarkan Tabel 11, maka dapat diketahui bahwa terdapat empat puluh tiga jenis tanaman yang terdapat pada area lingkar Setu Babakan, dengan jumlah individu sebanyak 777. Tanaman yang ada pada lingkar setu dominan merupakan jenis pohon. Adanya Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong, dengan pohonpohon ini tentunya tidak hanya dapat membantu penduduk kawasan Setu Babakan secara khusus akan tetapi masyarakat sekitar pada umumnya, terutama ketika musim hujan datang. Hal ini juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya longsor dan mencegah aliran permukaan yang berlebihan akibat air hujan, serta menjadikan udara sejuk dan asri. Sedangkan Tabel 12 menerangkan jumlah spesies dan individu tanaman pada setiap sampel pekarangan. Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa jumlah spesies dan individu tanaman tertinggi yaitu pada pekarangan 2 ukuran sangat besar di RW 08, masing-masing sebesar 60 dan 263. Sedangkan jumlah spesies dan individu terendah yaitu pada pekarangan 3 ukuran sempit di RW 08 masing-masing sebesar 13 dan 28. Jenis tanaman dan zona keberadaan tanaman berbeda antara RW 06 (Lampiran 4), RW 07 (Lampiran 5), RW 08 (Lampiran 6), dan RW 09 (Lampiran 7).
28
Tabel 12 Jumlah spesies dan individu tanaman pekarangan di setiap sampel pekarangan Ukuran Pekarangan Sempit Sedang Besar Sangat Besar
∑ S I S I S I S I
1 36 159 39 268 49 135 41 204
RW 06 2 21 40 28 100 39 142 -
3 59 124 23 71 -
1 21 43 27 115 40 282 -
RW 07 2 35 243 44 362 28 186 -
3 20 76 39 177 -
1 13 51 14 300 38 227 50 287
RW 08 2 28 75 55 149 38 243 60 359
3 13 28 27 57 18 86 51 263
1 17 35 31 78 34 104 -
RW 09 2 38 123 31 120 56 322 -
Keterangan: a. Ukuran pekarangan : Sempit (<120 m2), sedang (120-400 m2), besar (400-1000 m2), dan sangat besar (>1000 m2) b. Jumlah (∑) S (Spesies) dan I (Individu)
3 38 132 26 70 23 178 -
Keragaman Horizontal Berdasarkan keragaman horizontal, tanaman dibagi menjadi delapan fungsi, yaitu tanaman hias, tanaman obat, tanaman sayur, tanaman buah, tanaman bumbu, tanaman penghasil pati, tanaman industri, dan tanaman lainnya. Perbandingan nilai rataan jumlah spesies tanaman yang diklasifikasikan berdasarkan fungsi tanaman pada sampel pekarangan dapat terlihat lebih jelas pada Tabel 13. Tabel 13 Rataan keragaman jenis berdasarkan fungsi tanaman (keragaman horizontal) pada sampel pekarangan Fungsi Tanaman Tanaman Hias Tanaman Obat Tanaman Sayur Tanaman Buah Tanaman Bumbu Tanaman Penghasil Pati Tanaman Industri Tanaman Lainnya
Rata-rata jumlah spesies tanaman Sempit Sedang Besar Sangat Besar 18,75 18,75 18,80 26,25 2,50 3,50 4,00 6,25 1,17 1,58 1,60 1,75 4,33 5,50 9,20 12,75 0,67 1,58 1,20 2,25 0,33 0,33 0,50 0,75 0,00 0,08 0,00 0,00 0,50 0,67 1,00 0,50
Ratarata 20,63 4,06 1,52 7,94 1,42 0,47 0,02 0,66
Persentase (%) 56 11 4 22 4 1 0 2
Berdasarkan Tabel 13 dapat dinyatakan bahwa pada keempat lokasi penelitian, jumlah spesies tanaman yang paling tinggi adalah dari golongan tanaman hias (56%), diikuti dengan tanaman buah (22%). Pada urutan berikutnya ada tanaman obat (11%), tanaman sayur dan tanaman bumbu yang masing-masing bernilai sama (4%), tanaman lainnya (2%), tanaman penghasil pati (1%), dan yang terkecil adalah tanaman industri (0%). Keragaman horizontal tertinggi yang ada di semua ukuran pekarangan adalah jenis tanaman hias, yaitu pada pekarangan sempit dan pekarangan sedang bernilai 18,75; pekarangan besar bernilai 18,80; dan pekarangan sangat besar bernilai 26,25. Hal ini memberikan gambaran bahwa tanaman hias memang telah menjadi kelaziman bagi orang Betawi hingga saat ini. Keragaman horizontal tertinggi berikutnya setelah tanaman hias adalah tanaman buah. Tanaman buah memiliki nilai rataan pada setiap jenis ukuran pekarangan, yaitu pada pekarangan sempit bernilai 4,33; pekarangan sedang bernilai 5,50; pekarangan besar bernilai
29
9,20; dan pekarangan sangat besar bernilai 12,75. Sejak dulu, orang Betawi memang telah terkenal kaya akan tanaman buah-buahan yang ditanam di pekarangan rumahnya. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kesenian lagu-lagu budaya Betawi yang banyak terkait dengan nama tanaman, khususnya tanaman buah, seperti lagu jali-jali, lagu pasar minggu, dan lainnya. Kini, hampir di setiap pekarangan milik warga di wilayah RW 09 ditanami tanaman buah Alpukat Cipedak (Persea americana). Jenis Alpukat Cipedak ini ditemukan oleh salah satu orang asli Betawi yang juga merupakan tokoh budaya Betawi di RW 09, Bapak Jazuri. Buah tersebut kini mulai diperkenalkan ke berbagai daerah di sekitar Jagakarsa dan sekitarnya sebagai tanaman khas yang menjadi kebanggaan bagi RW 09, serta dapat meningkatkan perekonomian lokal. Tabel 13 juga membuktikan bahwa hampir seluruh masyarakat Betawi di lokasi penelitian sudah tidak lagi menggunakan lahan pekarangannya sebagai ladang penanaman tanaman industri. Hal ini dibuktikan dengan tanaman industri yang hanya ditemukan pada satu rumah ukuran pekarangan sedang di RW 08. Berbeda dengan masyarakat Betawi dahulu yang sengaja menanam tanaman industri, yaitu tanaman kayu-kayuan untuk bahan mendirikan bangunan, dengan tradisi dan pantangan tertentu. Kayu nangka (Artocarpus heterophyllus) tidak boleh digunakan untuk membuat drompol (bagian bawah kusen pintu atau bagian bawah lainnya). Jika dilangkahi atau dilanggar akan mendapatkan sakit kuning. Kayu cempaka (Michelia albe) baik digunakan untuk membuat kusen pintu bagian atas, karena dipercaya pemilik rumah akan dihormati dan disenangi. Sedangkan kayu asem (Tamarindus indica) pantang digunakan sebagai bahan bangunan, karena rasa masam mempengaruhi harmonisasi pemilik rumah, serta membuat rumah menjadi terkesan kumal dan gersang, serta kepercayaan lainnya. Kini, masyarakat lebih memilih membeli langsung kayu dan bahan-bahan untuk membangun rumah, karena kondisi lahan yang sudah terbatas untuk dapat ditanami tanaman industri yang merupakan tanaman berjenis pohon. Keragaman Vertikal Keragaman vertikal pekarangan dapat dilihat dari sistem strata yang berbeda berdasarkan tinggi tanaman. Menurut Arifin et al. (2009), keragaman vertikal diklasifikasikan dalam lima klasifikasi, yaitu tanaman dengan ketinggian kurang dari 1 m (strata I), tanaman untuk ketinggian 1-2 m (strata II), tanaman dengan ketinggian 2-5 m (strata III), tanaman dengan ketinggian 5-10 m (strata IV), dan tanaman dengan ketinggian di atas 10 m (strata V). Pada Tabel 14 dapat diketahui nilai minimum, rataan, dan maksimum dari setiap strata ukuran pekarangan di lokasi penelitian. Tabel 14 menginformasikan bahwa pada hampir seluruh ukuran pekarangan, strata tanaman terbanyak adalah strata I, yaitu dengan rataan intensitas pada pekarangan sempit sebesar 17,75; pekarangan sedang dan pekarangan besar, sama sebesar 19,00; dan pekarangan sangat besar sebesar 25,50. Umumnya tanaman strata I atau tanaman pendek disini yaitu jenis tanaman hias, seperti kembang pukul empat (Mirabilis jalapa), sri rezeki (Aglaonema sp.), asparagus (Asparagus setaceus) dan lainnya. Sedangkan strata tanaman yang paling sedikit strata V yaitu dari jenis tanaman buah, seperti nangka (Artocarpus integra), rambutan (Nephelium lappaceum), kecapi (Sandorium koetjape) dan sebagainya. Pada lingkar setu, keragaman jenis tanaman dominan adalah jenis
30
pohon. Berbeda dengan tanaman pada sampel pekarangan, yang didominasi oleh tanaman pendek atau tanaman penutup tanah. Pada semua ukuran pekarangan dilokasi penelitian secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi strata tanaman, semakin sedikit intensitas rataannya. Hal ini sangat berbeda dengan masyarakat Betawi asli, dahulu dengan lahan luas yang dimilikinya, mereka lebih menyukai menanam tanaman jenis pohon seperti tanaman buah. Kini, dengan alasan keamanan, masyarakat Betawi di lokasi penelitian memilih untuk menebang tanaman-tanaman tinggi karena dirasa akan membahayakan lingkungan dan rumah-rumah sekitar yang kini keadaannya telah padat. Tabel 14 Keragaman vertikal berdasarkan jumlah spesies tanaman Ukuran Pekarangan Sempit (<120 m2)
Strata Tanaman Minimum Rata-rata Maksimum V 0 0,58 2 IV 0 0,58 1 III 0 2,41 5 II 3 6,91 14 I 6 17,75 48 Sedang (120-400 m2) V 0 0,41 2 IV 0 1,41 3 III 1 3,41 7 II 2 8,50 21 I 3 19,00 39 Besar (400-1000 m2) V 0 1,00 2 IV 1 2,50 4 III 3 5,00 9 II 3 8,70 15 I 7 19,00 30 Sangat besar (>1000 m2) V 1 1,00 1 IV 1 3,75 5 III 5 6,50 8 II 9 13,75 20 I 21 25,50 33 Keterangan : Keragaman vertikal; Ketinggian kurang dari 1 m (I), ketinggian 1-2 m (II), ketinggian 2-5 m (III), ketinggian 5-10 m (IV), dan ketinggian lebih dari 10 m (V)
Pola Penanaman di Pekarangan Pola penanaman tanaman di kawasan PBB Setu Babakan tidak memiliki arah orientasi dalam peletakannya. Menurut Rambe (2006), bahwa adanya suatu pekarangan atau halaman di depan rumah dapat menunjukkan identitas suatu budaya masyarakatnya, yang dilihat dari jenis vegetasi yang sering mereka pergunakan dan pola pembagian pekarangan atau halamannya. Pada lokasi penelitian, tanaman non-hias, diantaranya tanaman sayur, tanaman buah, tanaman bumbu, tanaman penghasil pati, dan tanaman lainnya banyak ditemui pada pekarangan samping dan sebagian di pekarangan belakang. Sedangkan tanaman hias dan tanaman obat banyak ditemui pada halaman/pekarangan depan. Umumnya pola pekarangan di tepi jalan (luar) lebih didominasi oleh jenis tanaman hias dan obat, sedangkan pola pekarangan bagian dalam akan lebih didominasi oleh tanaman non-hias. Pekarangan merupakan bagian kearifan lokal bagi orang Betawi. Pada pekarangan budaya Betawi, tanaman yang ditanam merupakan tanaman yang memiliki fungsi sosial. Jenis tanaman hias biasanya memang ditanam pada pelataran rumah atau pekarangan depan, dengan tujuan untuk menimbulkan
31
suasana nyaman dan asri. Sedangkan pada halaman belakang rumah terkadang hanya dibiarkan saja penuh sampah dedaunan kering. Pembersihannya hanya dilakukan sewaktu-waktu. Pekarangan yang terdapat di samping dan belakang rumah dimanfaatkan sebagai kebun dan ditanami berbagai jenis buah. Selain itu sudah menjadi kebiasaan turun-temurun, pada halaman/pekarangan rumahnya, orang Betawi membuat lahan khusus untuk tanaman obat. Jenis tanaman obat yang ditanam di pagar antara lain beluntas (Pluchea indica), sirih (Piper betle), melati putih (Jasminum sambac), telang (Clitoria ternatea), ujan (Millettia atropurpurea), saga (Abrus precatorius), kumis kucing (Orthosiphon aristatus), jarak (Jatropa curcas), kemuning (Murraya paniculata), jaran (Atropha curcas), uribang (Hibiscus rosa sinensis), angsana (Pterocarpus indicus), dadap (Erythrina cristagalli), dan lain-lain. Di halaman rumah ditanam pohon kenanga (Cananga odorata), kelor (Moringa oleifera), belimbing buah (Averrhoa carambola), belimbing sayur (Averrhoa bilimbi), delima (Punica granatum), asparagus (Asparagus officinalis), senthe (Alocasia macrorhiza), dan lain-lain. Sementara di pot ditanami sosor bebek (Kalanchoe blossfeldiana), tapak dara (Vinca rosea), kuping gajah (Anthurium), lidah buaya (Aloe vera), dringo (Acorus calamus), brahma (Arthraxon typicus KDS), senggugu (Clerodendron serratum). Pohon kelor ditanam karena dapat menangkal kekuatan teluh atau santet. Di bagian samping kiri kanan rumah ditanami jambu biji (Psidium guajava), jeruk bali (Citrus x paradise), pisang (Musa spp.), salam (Eugenia operculata), sembung (Blumea balsamifera), kecubung (Datura metel), kencur (Kaempferia galanga), lengkuas (Alpinia galanga), kunyit (Curcuma domestica), lempuyang (Zingiber aromaticum), temu hitam (Curcuma aeruginosa), temu kunci (Boesenbergia pandurata), temu lawak (Curcuma xanthorrhizae), temu putih (Kaempferia rotundra), terkadang mengkudu (Morinda citrifolia), pepaya (Carica papaya), pisang (Musa paradisiaca), dan singkong (Manihot esculenta). Di area sekitar sumur ditanami jahe (Zingiber officinale), katuk (Sauropus androgynus), kemangi (Ocimum basilicum), pandan (Pandanus amaryllfolium), suji (Pleomele angustifolia), kecipir (Psophocarpus tetragonolobus), mangkokan (Nothopanax scutellarium), nanas (Ananas comosus), sereh (Cymbopogon citrates), dan tanaman lainnya. Semua jenis tanaman tersebut dapat menyerap zat beracun yang menguap bersama pembuangan limbah industri dan kendaraan bermotor. Oleh pemerintah atau kalangan organisasi kemasyarakatan yang berorientasi pada kesehatan lingkungan, kebiasaan tersebut diadopsi menjadi apotek hidup. Era Orde Baru, pemerintah bahkan menginstruksikan kalangan Dharma Wanita dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (sekarang Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK)) menanam tanaman obat dalam pot, khususnya bagi anggota yang tinggal di lingkungan padat. Tanaman Khas Betawi Orang Betawi tidak hanya sekedar menjaga kelangsungan budaya dan tradisinya, mereka juga turut ikut dalam melestarikan lingkungan hidup dengan menjaga penghijauan tempat tinggal mereka. Hal ini dapat dilihat pada lingkungan perkampungan Betawi yang sangat asri dengan berbagai tanaman yang membuat teduh. Seperti ungkapan khas petani buah Betawi, “Puhun gempyok tempat neduh, batang koat peranti begantung”, yang memiliki arti bahwa kebun bukan sekadar
32
pelindung dari iklim, penjamin sirkulasi sekaligus pemberi kualitas udara yang baik, serta penghasil buah-buahan sebagai sumber pendapatan, melainkan juga suatu medium untuk memahami bagaimana manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan alam. Selain itu orang Betawi percaya bahwa pohon adalah ruang leluhur, dan lingkungan pepohonan ini memberikan jaminan ketenangan sebab secara batiniah seseorang senantiasa mendapat perlindungan leluhur yang berada tak pernah jauh. Dari dapur dan kebun di sekitar rumah yang menjadi ruang bagi aneka jenis pohon produktif, termasuk bumbu-bumbuan dan obatobatan yang kaya itulah lahir pengetahuan pengobatan, juga kuliner khas, seperti sayur kembang duren, sayur sambel godog, nasi goreng kunyit daun mengkudu, sambel masak goreng asem; juga aneka sambal, contohnya sambal gandaria, sambal limo, serta jenis-jenis asinan dan manisan. Berdasarkan SK Gubernur DKI No. 2359/1987 tentang tanaman yang dilindungi, berikut pada Tabel 15 merupakan dua puluh sembilan jenis tanaman langka, terdiri dari jenis tanaman buah dan tanaman penunjang ekonomi yang juga merupakan tanaman khas yang umumnya terdapat di pekarangan budaya Betawi. Tabel 15 Jenis-jenis tanaman langka Jakarta No. Nama Lokal Nama Latin Fungsi 1 Bisbul Diospyros philipensis Tanaman Buah 2 Buah Nona Annona reticulata Tanaman Buah 3 Buni Antidesma reticulata Tanaman Buah 4 Duku Condet Lansium domesticum var Condet Tanaman Buah 5 Durian Cipaku Durio zibhentinus Cipaku Tanaman Buah 6 Durian Sitokong Durio zibhentinus Sitokong Tanaman Buah 7 Gandaria Buoea macrophila Tanaman Buah 8 Gowok Syzygium polychepalum Tanaman Buah 9 Jambu Biji Psidium guajava Tanaman Buah 10 Jambu Bol Syzygium malaccensis Tanaman Buah 11 Jambu Mawar Eugenia jambos Tanaman Buah 12 Jamblang Eugenia lucida Tanaman Buah 13 Kweni Mangifera odorata Tanaman Buah 14 Kepel Stelechocarpus burahol Hooll. Tanaman Buah 15 Kawista Batu Feronia limonia Tanaman Buah 16 Kecapi Sandoricum koetjape Tanaman Buah 17 Kemang Mangifera caesia Tanaman Buah 18 Leci Liechi chinensis Tanaman Buah 19 Lobi-lobi Flacourtia inermis Tanaman Buah 20 Matoa Pometia pinnata Tanaman Buah 21 Malaka Phylanthus emblica Tanaman Buah 22 Mengkudu Morinda citrifolia Tanaman Buah 23 Menteng Baccuria rasemosa Tanaman Buah 24 Nam Nam Cynometro cauliflora Tanaman Buah 25 Rukem Falcourtia rukam Tanaman Buah 26 Sawo Manila Manilkara zapota Tanaman Buah 27 Sawo Kecik Manilkara kauki Tanaman Buah 28 Salak Salacca zalacco Tanaman Buah 29 Sirsak Annona muricata Tanaman Buah Sumber : SK Gubernur DKI Nomer 2359/1987 tentang Tanaman yang Dilindungi
33
Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan memiliki potensi akan keragaman hayati berupa tumbuhan yang beberapa diantaranya termasuk dalam tanaman langka yang menjadi tanaman khas kota Jakarta. Beberapa jenis pohon yang berada pada kawasan termasuk ke dalam jenis pohhon langka yang tertera pada SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 2359/1987 tentang Tanaman yang Dilindungi. Jenis tanaman pada Tabel 15 yang masih dapat ditemui pada sampel pekarangan di lokasi penelitian diantaranya yaitu jambu biji (Psidium guajava), jambu bol (Syzygium malaccensis), matoa (Pometia pinnata), mengkudu (Morinda citrifolia), rukem (Falcourtia rukam), sawo manila (Manilkara zapota), dan sirsak (Annona muricata). Tanaman yang masih dapat ditemui tersebut juga dalam jumlah yang terbatas. Sedangkan jenis tanaman yang berada di kawasan PBB Setu Babakan tepatnya di lingkar setu (Tabel 11) yaitu buni (Antidesma bunius), bisbul (Diospyros blancoi), kawista batu (Feronia lucida), dan mengkudu (Morinda citrifolia). Jenis-jenis pohon yang berada pada area lingkar setu cenderung terdiri dari jenis-jenis yang memberikan fungsi ekologis, sedangkan pohon pada area pekarangan lebih berfungsi memberikan nilai produksi, salah satunya yaitu dengan menghasilkan buah.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
Gambar 20 Tanaman langka berdasarkan SK Gubernur DKI Nomer 2359/1987 yang masih terdapat di sampel pekarangan : (a) Psidium guajava, (b) Syzygium malaccensis, (c) Pometia pinnata, (d) Morinda citrifolia, (e) Falcourtia rukam, (f) Annona muricata, dan (g) Manilkara zapota
34
Menurut Utami (2013), tingkat keragaman spesies pada kawasan lingkar Setu Babakan dapat dikatakan tinggi, namun jenis-jenis pohon non-eksotik seperti mahoni (Swietenia macrophylla) dan bintaro (Cerbera manghas) lebih banyak mendominasi. Pada kawasan ini jenis pohon langka berjumlah sedikit, menyebar, dan tidak ditemukan tipe penanaman yang berkelompok. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemilihan jenis-jenis pohon yang berada di kawasan lingkar setu lebih diutamakan kepada jenis yang memiliki fungsi sebagai peneduh dan ameliorasi iklim serta jenis pohon yang tumbuh baik di tepi danau (perairan darat) dan mudah tumbuh. Hal ini juga dapat dikarenakan fungsi setu itu sendiri sebagai kawasan rekreasi sehingga dibutuhkan jenis-jenis pohon yang dapat memberikan kenyamanan bagi pengunjung area tersebut. Tidak seperti jenis-jenis tanaman pada lingkar setu, jenis tanaman yang berada pada pekarangan cenderung lebih beragam serta terdiri dari lebih banyak pohon yang menghasilkan buah dengan berbagai varietas. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemilihan penanaman tanaman pada pekarangan lebih difungsikan sebagai sarana pelestarian spesies, walaupun sudah banyak yang langka, dan fungsi produksi (konsumsi) baik bagi pemilik pekarangan rumah itu sendiri maupun masyarakat setempat. Kelangkaan jenis-jenis tanaman tersebut dapat disebabkan oleh faktor lahan yang sudah semakin sempit, yang telah dipenuhi oleh bangunan terbangun, sehingga sudah sangat terbatas space untuk menanam tanaman, khususnya tanaman berkayu dan besar seperti tanaman buah. Faktor lainnya yaitu jenis tanaman introduksi yang sudah mulai masuk dan dapat dikatakan mendominasi tanaman lokal yang ada, karena tanaman introduksi dirasa lebih mudah dalam hal pemeliharaan. Oleh karena itu pentingnya pelestarian dan pengembangan tanaman-tanaman lokal yang menjadi ciri khas budaya Betawi untuk tetap menjaga eksistensi keberadaannya, yang dapat memberikan banyak manfaat bagi penduduk, khususnya pemilik pekarangan. Tanaman memiliki kaitan yang erat dengan budaya/kehidupan budaya Betawi. Menurut ilmuwan Belanda, Gj Fillet (1888), nama Betawi sendiri berasal dari nama pohon gilingan Betawi (Cassia glauca), sejenis pohon ketepeng. Bagi masyarakat kala itu hidup sangat bergantung pada alamnya. Tidak heran, suku Betawi saat ini lebih banyak memanfaatkan tanaman-tanaman sebagai penopang hidupnya. Saat itu pohon ketepeng dapat diambil manfaat secara keseluruhan. Daunnya untuk dimakan sebagai hidangan lalapan, kayu pohonnya pun untuk gagang golok atau gagang pacul. Walaupun tidak seperti dulu, dimana hampir seluruh masyarakat Betawi memanfaatkan tanaman-tanaman sebagai penopang hidupnya, kini beberapa masyarakat masih suka memanfaatkan berbagai jenis tanaman yang terdapat dipekarangan rumahnya. Diantaranya untuk kegiataan budaya, di tanam pohon delima (Punica granatum L.), untuk membuat sajian rujak nujuh bulan. Selain itu untuk obat, tanaman buah, tidak hanya dimanfaatkan buahnya saja, beberapa jenis tanaman buah dimanfaatkan bagian daunnya, seperti daun jambu biji (Psidium guajava) sebagai obat diare, daun alpukat (Persea americana) sebagai obat sakit kepala dan asma, daun sirsak (Annona muricata) yang baik dikonsumsi untuk wanita yang baru melahirkan, dan sebagainya. Selain jenis pohon, tanaman khas budaya Betawi meliputi tanaman strata sedang dan rendah, diantaranya tanaman hias, tanaman obat, tanaman bumbu dan sayur. Tanaman hias yang sudah menjadi kelaziman bagi orang Betawi hingga
35
saat ini, seperti kuping gajah (Anthurium crystallinum), asparagus (Asparagus setaceus), melati putih (Jasminum sambac)m dan lainnya yang digunakan sebagai elemen dekoratif. Tanaman obat dikembangkan di PBB Setu Babakan, tepatnya di pekarangan penduduk seperti kembang telang (Clitoria ternatea) untuk obat mata, daun jarak (Jatropha curcas) untuk penurun panas bayi, obat pencahar, daun miana (Coleus atropurpureus Benth) untuk obat batuk dan penyakit koreng, serta jenis lainnya. Beberapa jenis tanaman obat yang sudah sangat sulit ditemui dilokasi penelitian yaitu anting-anting (Acalypha australis L.), daun saga (Abrus precatoriun), dringo (Acorus calamus), temu lawak (Curcuma xanthorrhiza), temu mangga (Curcuma mangga val.), sembung (Blurnea balsamifera), dan sintrong (Erechtites valerinaefolia). Tanaman bumbu dan sayur yang biasanya dimanfaatkan seperti jahe merah (Zingiber officinale), kunyit (Curcuma longa), lengkuas (Alpinia galanga), salam (Syzygium polyanthum), serai wangi (Cymbopogon nardus), dan katuk (Sauropus androgynus). Kondisi Sosial-Ekonomi Kondisi Sosial Pemilik Pekarangan Sampel rumah dan pekarangan yang diambil pada penelitian ini hanya pekarangan dengan karakteristik pemilik yang merupakan orang Betawi asli di kawasan PBB Setu Babakan. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, didapatkan informasi bahwa hubungan kekeluargaan yang erat mempengaruhi pola hidup yang ada pada lokasi penelitian. Pola hidup disini termasuk pola pekarangan, dimana rumah-rumah dengan pola pekarangan baik pola pekarangan di tepi jalan (luar) maupun pola pekarangan pada bagian dalam, umumnya masih merupakan anggota keluarga atau berasal dari keturunan keluarga yang sama. Pada beberapa sampel pekarangan, walaupun bukan dari keturunan keluarga yang sama namun kekerabatannya sangat dekat hingga seperti keluarga. Karena seperti yang diketahui, masyarakat Betawi mempunyai sifat terbuka terhadap orang luar/pendatang. Pada umumnya pemilik rumah dan pekarangan merupakan sesepuh atau orang yang dituakan dalam kawasan PBB Setu Babakan yang sudah tidak bekerja. Mereka dahulunya memiliki rutinitas bertani dan berkebun menanam tanaman produktif seperti tanaman buah. Profesi petani buah merupakan pekerjaan yang diwariskan secara turun temurun dan merupakan salah satu ciri tradisionalitas masyarakat Betawi disamping tata cara kehidupan sehari-hari yang bersendikan ajaran agama Islam. Cara-cara melakukan usaha tani buah seperti menanam, memelihara, dan memanen hasil kebun juga diperoleh secara turun temurun. Selain profesi petani, mereka melakukan mobilitas pekerjaan di luar sektor usaha tani, tetapi belum merupakan hal yang utama. Sedangkan kegiatan usaha tani buah semula merupakan andalan utama kehidupan mereka. Pemilikan lahan diperoleh dari warisan orang tua, dan sistem pewarisan telah dilembagakan dalam pranata sosial budaya setempat dengan ketentuan laki mendapat dua bagian sedangkan perempuan satu bagian. Dari hasil wawancara, diperoleh bahwa asal kepemilikan lahan mayoritas merupakan warisan. Pertambahan keluarga disertai sistem pewarisan yang ada secara alamiah turut memberikan tekanan terhadap lahan usaha tani. Pendatang baru di kawasan PBB
36
Setu Babakan ikut mempercepat pengalihan kepemilikan lahan. Pengalihan fungsi lahan baik dengan cara langsung maupun tidak langsung yang dilakukan oleh masyarakat petani Betawi merupakan suatu tindakan yang adaptif dalam menanggapi perubahan lingkungan yang terjadi. Tindakan adaptasi yang dilakukan bersifat situasional. Pengalihan fungsi lahan dengan cara tersebut dapat berjalan lancar oleh karena didukung administrasi pengalihan yang tidak efektif. Terdapat ketidakkonsistenan dalam penegakan aturan administrasi pengalihan fungsi lahan, yang dipengaruhi oleh faktor ekologis yaitu sosial budaya. Dampak lingkungan fisik berkaitan dengan perubahan tata guna lahan usaha tani yang berubah menjadi pemukiman. Kemampuan sebagai catchment area menjadi semakin berkurang. Keberadaan tanaman Betawi yang dilindungi sebagai tanaman langka terancam kepunahan. Dengan hadirnya pendatang yang dominan berasal dari golongan ekonomi lemah menambah kuantitas limbah padat buangan rumah tangga. Sedangkan dampak lingkungan sosial budaya antara lain keinginan menjadi petani pada generasi muda cenderung menurun, demikian pula dengan pendidikan yang bersendikan agama Islam. Pemanfaatan/Fungsi Pekarangan Pekarangan merupakan salah satu bagian kearifan lokal orang Betawi, dimana sudah menjadi kebiasaan turun-temurun masyarakat Betawi memanfaatkan pekarangan rumahnya agar bernilai sosial ekonomi lebih tinggi (Saputra, 2011). Menurut Anggota Komite Tata Kehidupan dan Budaya LPPBB, Indra Sutisna, pihak pengelola kawasan PBB Setu Babakan, sedang mengupayakan pelestarian pekarangan sebagai lahan bermain anak-anak, lahan pemberi hidup, dan lahan resapan air. Pemanfaatan lahan pekarangan beserta elemennya yang dilakukan untuk kenyamanan penghuni rumah pun bermacam-macam (Lampiran 8). Keberadaan elemen-elemen pada pekarangan, baik elemen keras (hard element) maupun elemen lunak (soft element) dimanfaatkan sesuai fungsinya. Elemen keras pintu gerbang dan pagar dimanfaatkan untuk keamanan dan batas rumah, tempat menjemur untuk menjemur pakaian atau bahan makanan, kolam dan kandang ternak untuk menyalurkan hobi, bale-bale untuk tempat berkumpul, serta tabunan untuk membuang dan membakar sampah. Selain elemen keras, elemen lunak yaitu tanaman juga dimanfaatkan. Jenis tanaman yang dimanfaatkan di setiap sampel pekarangan umumnya yaitu tanaman buah dan tanaman obat. Penggunaan produk lebih berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan seharihari saja, baik untuk dikonsumsi sendiri atau bahkan diberikan pada saudara dan tetangga terdekat. Berbeda dengan kini, masyarakat Betawi dulunya memanfaatkan hasil pekarangan sebagai pemasukan ekonomi utama. Hasil pekarangan dapat dijual langsung, seperti tanaman sayur dan tanaman buah, ataupun di olah terlebih dahulu menjadi kuliner /makanan dan minuman khas Betawi, seperti nasi uduk, gado-gado, sayur lodeh, laksa, kue bugis, bir pletok, dan lainnya. Untuk tanaman buah, walaupun bukan sebagai penghasilan ekonomi yang utama, umumnya rumah pada sampel pekarangan di RW 09, menjual hasil pekarangannya, yaitu hasil usaha pembibitan tanaman alpukat mentega (Persea americana). Beberapa rumah yang menjual hasil pekarangannya lebih dikarenakan alasan sudah terlalu banyak yang dikonsumsi, sehingga lebih baik agar tidak sia-sia sebagian hasilnya untuk dijual. Namun selanjutnya, diharapkan
37
penanaman buah ini dapat menyeluruh di semua wilayah di PBB Setu Babakan, sehingga dapat menjadi kegiatan perekonomian utama dan lokal yang merata. Secara umum, banyak pekarangan pada lokasi penelitian yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Masyarakat hanya memanfaatkan secara sekedarnya saja. Hal tersebut terlihat dari frekuensi pemanfaatan per tahun, serta jumlah panen yang tidak tentu. Disamping faktor iklim dan cuaca, pemahaman mengenai pemanfaatan lahan yang optimal juga sangat mempengaruhi hasil produk pekarangan, bagaimana masyarakat memanfaatkan pekarangan mereka menjadi indah, produktif, dan dapat menunjang kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, alasan pajak tanah yang semakin tinggi, membuat masyarakat lebih memilih mendirikan bangunan di lahan pekarangannya untuk disewakan kepada pendatang sebagai tempat tinggal ataupun tempat usaha dengan pemasukan yang jelas untuk setiap bulan atau tahunnya. Pajak tanah yang meningkat hingga seratus delapan puluh persen pada tahun 2013, menjadi beban bagi masyarakat, yang berpengaruh besar pada penurunan ruang terbuka hijau dan keberadaan tanaman langka dan khas Betawi. Sehingga dapat dikatakan “kampung pohon” dan “kampung air” telah diambil alih manusia, menjadi kampung manusia. Aspek Pelestarian (Kebijakan) Status dan Fungsi Kawasan Berdasarkan kebijakan tata ruang Provinsi DKI Jakarta disebutkan bahwa kawasan Setu Babakan merupakan kawasan prioritas untuk dikembangkan sebagai bagian dari fasilitas kota dan keseimbangan alam melalui PBB yang didukung hutan kota yang serasi untuk kawasan wisata budaya dan lokasi lingkungan di Jakarta Selatan. Bila ditinjau dari kebijakan pariwisata Provinsi DKI Jakarta, keberadaan kawasan Setu Babakan sebagai PBB telah sesuai dan mendukung beberapa program yang diarahkan untuk mengembangkan jaringan pariwisata di DKI Jakarta. Program-program tersebut yaitu pemantapan dan pengembangan budaya bangsa dan kesenian tradisional, peningkatan penyelenggaraan event atraksi budaya, serta pelestarian warisan kesenian dan budaya Betawi. Saat ini, kawasan PBB Setu Babakan terbagi atas tiga jenis atraksi wisata, yaitu wisata air, wisata agro, dan wisata budaya. Jenis atraksi wisata air yang dapat dilakukan di kawasan wisata PBB antara lain pemancingan, dayung perahu dan olahraga air. Wisata agro yaitu cara bercocok tanam berbagai tanaman tropis, cara pengelolaan lahan untuk budi daya umbi-umbian, cara pembuatan gula merah kelapa dan lain-lain. Namun kini kegiatan wisata agro mulai menurun karena lahan yang sudah tidak memungkinkan. Sedangkan wisata budaya yaitu pagelaran seni baik musik, tarian maupun teater Betawi. Selain itu terdapat atraksi upacara kebudayaan Betawi seperti upacara pernikahan, sunatan, aqiqah, khatam Qur’an dan nujuh bulanan. Pihak pengelola telah menyediakan fasilitas home stay sebanyak 67 unit rumah adat untuk wisatawan yang ingin merasakan aktivitas tradisional masyarakat Betawi. Namun demikian tujuan dibangunnya PBB bukan semata-mata untuk tujuan wisata, melainkan lebih kepada pengembangan dan penataan budaya Betawi. Menurut pihak pengelola PBB Setu Babakan, penetapan kawasan ini adalah untuk membina dan melindungi secara sungguh-sungguh dan
38
terus menerus tata kehidupan serta nilai-nilai budaya Betawi, menciptakan, dan menumbuhkembangkan nilai-nilai seni budaya Betawi sesuai dengan akar budayanya, menata dan memanfaatkan potensi lingkungan fisik baik alami maupun buatan yang bernuansa Betawi, serta mengendalikan pemanfaatan lingkungan fisik dan non fisik sehingga saling bersinergi untuk mempertahankan ciri khas Betawi. Kegiatan yang ada dalam kawasan PBB Setu Babakan diharapkan dapat : 1. menciptakan kawasan PBB bernuansa khas tradisional yang indah, serasi dengan lingkungan yang nyaman serta bersahabat dan mempunyai nilai jual bagi masyarakat turis lokal, nasional, dan internasional; 2. menciptakan sarana penghijauan dalam rangka menunjang program “langit biru” (KDB 10-20%) dengan penanaman pohon buah kecapi, ceremai, gandaria, bacang, nam-nam, gowok, salak, dan lainnya; 3. menggunakan lahan di sekitar lokasi digungsikan sebagai ruang terbuka hijau sehingga menyerap air hujan dan mempertahankan keberadaannya serta perlindungan sebagai hutan kota Provinsi DKI Jakarta, khususnya di kawasan Barat Universitas Indonesia; 4. menampung resapan air, bagi Jagakarsa dimusim hujan dan penampungan air bagi Jakarta Selatan serta mengantisipasi banjir di musim hujan; 5. memberikan ragam pariwisata untuk tujuan wisata, melalui Pembangunan Budaya Betawi sebagai wisata; 6. menjadikan sarana rekreasi dan hiburan (rekreatif dan edukatif), melalui pemanfaatan Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong sebagai rekreasi alam yang segar; 7. menjadikan kawasan PBB sebagai pusat informasi, pusat penelitian dan kreatifitas dalam pengembangannya sebagai sarana wisata budaya; 8. meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Devisa Negara, melalui kerjasama dengan biro-biro perjalanan; 9. menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat melalui pembangunan proyek; 10. mengangkat tingkat kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan potensi alam sekitar kawasan dan pemberdayaan masyarakat Betawi pada umumnya melalui bidang jasa, pertunjukan seni budaya secara terencana, berkala, terpadu, dan berkesinambungan. Kebijakan Peraturan Keberadaan kawasan PBB Setu Babakan telah diperkuat melalui SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta No.92 Tahun 2000, dan telah disempurnakan kembali dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No.3 Tahun 2005, mengenai Penataan Lingkungan PBB di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan. Selain itu kawasan Setu Babakan juga ditetapkan sebagai daerah resapan air untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan DKI Jakarta terutama bagian Selatan Jakarta, berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta No.6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta, dan diperjelas dalam paragraf 12 pasal 74, bahwa kawasan tersebut termasuk dalam prioritas pengembangan di tingkat kotamadya dan diarahkan pada bagian wilayah kota yang memiliki peran dan fungsi strategis bagi pengembangan kegiatan ekonomi, sosial, budaya, dan
39
lingkungan. Kawasan ini akan dikembangkan sebagai wilayah pelestarian alam, lingkungan ekosistem, serta seni budaya tradisi masyarakat dengan tidak menghambat perkembangan lingkungan maupun penduduk sekitar untuk meningkatkan sosial ekonomi dan kesejahteraan hidupnya. Sehubungan dengan ditetapkannya kawasan Setu Babakan sebagai PBB dan dalam upaya peningkatan fungsi fasilitas-fasilitas yang ada di PBB yang meliputi penataan dan pengaturan fungsi rumah adat Betawi, teater terbuka, gedung pengelola, dan gallery Betawi, maka berdasarkan SK Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta Nomor 49 Tahun 2003 menetapkan adanya perangkat Pengelola PBB. Tim pengelola ini terdiri dari pihak Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, tokoh masyarakat Betawi, dan masyarakat setempat. Peranan pengelola dalam pengembangan kawasan ini sangat dibutuhkan. Aspek pengelolaan dan pelestarian haruslah dilakukan secara menyeluruh pada satu kawasan PBB, tidak hanya fokus pada lahan milik pemerintah (RW 08), dan terbatas pada pemeliharaan fisik bangunan, tetapi lebih kepada nilai dan urgensi budaya Betawi itu sendiri, sehingga apa yang di citacitakan semua pihak terhadap keberlanjutan kawasan ini dapat tercapai. Rekomendasi Pelestarian Konsep Pekarangan Pelestarian pekarangan budaya Betawi yang mendukung optimalisasi penggunaan lahan pekarangan terhadap pemilik dan kondisi RTH kawasan dapat dibuat berdasarkan klasifikasi ukuran/luas, zona, strata, dan fungsi tanaman, yang merupakan standar model pekarangan menurut Arifin (1998), diperkuat dengan pola, elemen pekarangan dan arsitektur ciri khas budaya Betawi, serta aktivitas sosial dan kehidupan masyarakat Betawi (Tabel 16). Tabel 16 Standar pembuatan model pekarangan pelestarian budaya Betawi
Sempit
Luas pekarangan (m2) <120
Sedang
120-400
Besar
400-1000
Ukuran
Zonasi pekarangan Dpn, Ski, Skn, B Dpn, Ski, Skn, B Dpn, Ski, Skn, B Dpn, Ski, Skn, B
Strata tanaman
Fungsi tanaman
Elemen pekarangan
I,II,III,IV,V a,b,c,d,e,h
B,C,D,E,I
I,II,III,IV,V a,b,c,d,e,h
B,C,D,E,I
I,II,III,IV,V a,b,c,d,e,f,h
A,B,C,D,E,F,G,I
Sangat >1000 I,II,III,IV,V a,b,c,d,e,f,h A,B,C,D,E,F,G,H,I Besar Keterangan: a. Zonasi: Depan (Dpn), samping kiri (Ski), samping kanan (Skn), dan belakang (Blk) b. Strata tanaman: Strata I (<1 m), strata II (1-2 m), strata III (2-5 m), strata IV (5-10 m), dan strata V (>10 m) c. Fungsi: Tanaman hias (a), tanaman obat (b), tanaman sayur (c), tanaman buah (d), tanaman bumbu (e), tanaman penghasil pati (f), dan tanaman lainnya (h). d. Elemen pekarangan: Pintu gerbang (A), pagar hidup (B), pagar tak hidup (C), tempat menjemur (D), kolam (E), bale-bale (F), kandang ternak (G), kamar mandi luar (H), dan tabunan/tempat sampah (I)
40
Pada pekarangan Betawi zonasi yang ada lengkap, mulai dari zona depan, samping kiri, samping kanan, dan belakang, dengan tata letak elemen mengikuti kemudahan dan kebiasaan dalam pemanfaatannya. Elemen utama pada pekarangan Betawi adalah tanaman. Pekarangan Betawi sangat asri dengan ditanami beragam jenis tanaman. Tanaman yang dominan ada yaitu tanaman jenis buah dan tanaman jenis obat. Disamping tanaman, pagar hidup atau jaro, balebale, dan tabunan, merupakan beberapa elemen yang menjadi ciri khas dari pekarangan Betawi. Pagar hidup atau jaro digunakan sebagai pembatas rumah yang bersifat lebih alami dan terbuka. Elemen bale-bale, berupa tempat tidur panjang yang terbuat dari bambu, menggambarkan kebiasaan dan perilaku orang Betawi yang senang berkumpul. Namun kini, pada lahan yang tidak memungkinkan untuk keberadaan bale-bale, dapat menggunakan bangku/kursi betawi sebagai tempat duduk-duduk sambil ngobrol. Untuk tabunan merupakan elemen yang menjadi ciri khas pekarangan Betawi, yaitu sebagai tempat menampung sampah berserakan yang akan langsung dibakar. Pada pekarangan, keberadaan kamar mandi luar bertujuan untuk memanfaatkan lahan pekarangan yang luas. Pembuangan dari kamar mandi luar ini dapat langsung terhubung dengan comberan atau area pembuangan di zona pekarangan belakang. Elemen lainnya yang juga dapat ditemukan pada pekarangan Betawi yaitu tempat menjemur, kolam/tempat air, dan kandang ternak. Contoh Model Pekarangan Betawi Contoh model pekarangan dibuat dengan empat macam ukuran pekarangan menurut Arifin (1998) yaitu ukuran pekarangan sempit (Gambar 21), pekarangan sedang (Gambar 22), pekarangan besar (Gambar 23), dan pekarangan sangat besar (Gambar 24). Setiap ukuran pekarangan dibuat dengan zonasi dan strata tanaman yang sama, yaitu berdasarkan pekarangan budaya Betawi aslinya. Zonasi dibuat lengkap, mulai dari zona depan, samping kiri, samping kanan, dan belakang. Pada model pekarangan sempit, sedang, dan besar, halaman depan dan belakang dapat dibuat lebih luas daripada bagian halaman lain. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan ruang terbuka yang lebih banyak pada area publik dan area pelayanan, sebagai area berkumpul. Sedangkan untuk model pekarangan sangat besar, halaman belakang dibuat lebih besar daripada bagian halaman lain yang digunakan sebagai lahan kebun bertanam. Strata tanaman pada setiap ukuran pekarangan, juga dibuat sama, pada pekarangan sempit, sedang, besar, dan sangat besar, dapat dihadirkan mulai dari strata I (< 1 m), strata II (1-2 m), strata III (2-5 m), strata IV (5-10 m), dan strata V (> 10 m). Pada pekarangan sempit, jumlah tanaman yang dapat ditanam hingga tiga puluh spesies, dengan jenis tanaman dominan yaitu tanaman pendek, seperti tanaman hias dan tanaman obat. Pada pekarangan sedang dan besar, jumlah tanaman yang dapat ditanam dapat mencapai empat puluh spesies, tetapi dengan jenis tanaman dominan yang berbeda. Pada pekarangan sedang didominasi tanaman buah berukuran sedang, sedangkan pada pekarangan besar didominasi tanaman buah berukuran besar. Pada pekarangan berukuran sangat besar, jumlah tanaman yang dapat ditanam dapat mencapai hingga lima puluh spesies, dengan tanaman dominan yaitu tanaman berukuran tinggi. Dengan lahan yang lebih luas, pada pekarangan ukuran besar dan sangat besar dapat dihadirkan bedengan tanaman kebun dan sayuran pada halaman belakang. Pada semua ukuran
41
pekarangan tidak ditanami tanaman industri karena lahan yang digunakan untuk menanam tanaman jenis ini dengan produk yang dihasilkan tidak sebanding, memakan luas lahan, tetapi produknya tidak banyak dimanfaatkan. Elemen keras yang dapat dihadirkan pada pekarangan sempit, yaitu elemen sederhana namun tetap dapat mencirikan budaya Betawi, seperti pagar dan tempat menjemur kayu/bambu, tempat air berupa tempayan, dan tabunan. Sama seperti pada pekarangan sempit, elemen keras yang dapat dihadirkan pada pekarangan sedang, yaitu pagar dan tempat menjemur kayu/bambu, tempat air berupa tempayan, dan tabunan, tetapi dengan ukuran/volume elemen yang lebih besar. Sedangkan pada pekarangan ukuran besar elemen pekarangan dibuat lebih beragam dengan adanya pintu gerbang, bale-bale, dan kandang ternak, kolam empang serta gudang untuk peralatan berkebun dipekarangan belakang. Begitu juga pada pekarangan sangat besar, akan lebih beragam elemen pekarangan yang dapat dihadirkan dan dibuat lebih mendekati pekarangan Betawi aslinya, yaitu ditambahkan kamar mandi luar.
42
Gambar 21 Contoh pola tanam pekarangan sempit
Gambar 22 Contoh pola tanam pekarangan sedang
43
44
Gambar 23 Contoh pola tanam pekarangan besar
Gambar 24 Contoh pola tanam pekarangan sangat besar
45
46
Pembuatan Pekarangan Contoh Prinsip pelestarian bukan menjadikan sesuatu sebagai koleksi pajangan, namun bagaimana mengembangkannya secara bijaksana sesuai nilai dan makna kultural. Menurut pihak pengelola PBB, tujuan sebenarnya dibentuk PBB Setu Babakan bukan untuk menaturalisasi kaum Betawi dan juga bukan semata-mata untuk tujuan wisata, namun lebih kepada pengembangan dan penataan budaya Betawi tersebut. Pada kenyataanya kini, sejak diresmikannya kawasan tersebut sebagai sarana pusat pelestarian budaya Betawi, belum mengalami perkembangan dan penataan lebih lanjut seperti yang diharapkan. Berdasarkan hasil penelitian Koordinator Penelitian Perencanaan Daya Tarik Wisata PBB Setu Babakan Puslitbang Pariwisata Kemenbudpar tahun 2009, didapatkan bahwa kawasan tersebut belum dikelola secara optimal. Kondisi pada kenyataan yang ada saat ini, upaya pelestarian yang dilakukan di PBB Setu Babakan, belum cukup membuat budaya Betawi dapat terpelihara dan dikenal secara baik di mata masyarakat Jakarta. Sehingga hal tersebut belum sesuai dengan tujuan dan harapan awal dibentuknya PBB tersebut. Pelestarian yang telah dilakukan kini lebih banyak pada bangunan dengan ragam hiasnya. Padahal arti urgensi arsitektur Betawi bukan sekadar ornamen ragam hias lisplang gigi balang, langkan, atep bapang, atau gudang, melainkan bagaimana mewujudkan kembali kearifan lokal yang mapan yang diwujudkan dalam sebuah pekarangan. Berdasarkan nilai pemanfaatan pekarangan, pengembangan sebagai tindakan pelestarian yang dapat dilakukan yaitu dengan pembuatan pekarangan contoh khas budaya Betawi pada area atau lahan konservasi milik pemerintah, seperti di wilayah RW 08 sebagai zona inti dari PBB Setu Babakan, termasuk area kantor pengelola PBB Setu Babakan. Selain untuk tujuan konservasi, tindakan ini dapat menjadi sarana edukasi, baik untuk masyarakat sekitar maupun para wisatawan yang datang, mengenai tanaman budaya Betawi dan produk, baik buah, makanan, atau minuman hasil olahan yang dapat dihasilkan. Pada pekarangan contoh selain terdapat tanaman-tanaman khas budaya Betawi, dapat juga dilengkapi dan didukung oleh elemen-elemen dengan desain Betawi, seperti papan nama pada masing-masing individu pohon dengan informasi terkait tanaman tersebut, foto/gambar yang lebih jelas agar lebih mudah dikenali sebagai tanaman khas budaya Betawi yang sudah langka. Elemen lainnya seperti pagar pembatas pekarangan contoh yang dibentuk dengan ragam hias budaya Betawi, begitu juga untuk elemen lainnya. Pelestarian pada Lahan Warga Upaya pelestarian rumah dan pekarangan budaya Betawi juga dapat dilakukan pada lahan warga, yaitu dengan cara memberikan himbauan kepada warga untuk memanfaatkan lahan rumah dan pekarangan yang masih dimilikinya. Inilah siasat yang harus dilakukan, menghidupkan kembali arsitektur Betawi yang bukan saja warisan sejarah, melainkan juga siasat pemertahanan kawasan hijau. Berdasarkan Rencana Struktur Tata Ruang DKI Jakarta 1985-2005 yang menekankan pentingnya penanaman pohon-pohon dan perawatan pemandangan alamiah Jakarta sebagai kawasan tropis yang hijau, dalam konteks itu, arsitektur Betawi memainkan peranan yang muncul dari pengalaman panjang masyarakat yang mengembangkan sistem pengetahuan lokal untuk bertahan. Tindakan pelestarian pada lahan pekarangan diantaranya seperti penyuluhan pada warga
47
untuk menguatkan karakter dan keragaman tanaman khas Betawi, pemberian insentif berupa material maupun non-material, yaitu pengurangan pajak lahan yang harus dibayar untuk rumah yang membuat dan memelihara pekarangan khas budaya Betawi, ataupun award pada pekarangan warga yang dinilai berhasil melestarikan alam, budaya, dan kearifan lokal setempat. Pada akhirnya diharapkan tercapai partisipasi warga Betawi secara mandiri, dimana pihak pemerintah dan pengelola PBB Setu Babakan hanya berperan memberi pendampingan untuk selanjutnya dilakukan warga secara berkelanjutan. Pada permukiman padat, dengan lahan yang sangat terbatas, upaya pelestarian masih dapat dilakukan yaitu dengan cara pembuatan atau pembentukan pekarangan komunal (community garden). Pekarangan komunal ini dapat dibuat pada suatu lahan tertentu, seperti lahan milik pemerintah untuk setiap wilayah RW. Bentuk pelestarian pekarangan ini nantinya akan melibatkan masyarakat secara langsung, yang diharapkan dapat meningkatkan motivasi segenap lapisan masyarakat untuk peduli dan memiliki rasa memiliki terhadap nilai dan budaya mereka. Sehingga pelestarian terhadap tanaman dan ciri khas pekarangan budaya Betawi dapat berkelanjutan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Sebagian besar pekarangan yang ada di lokasi penelitian berukuran sempit (<120 m2) dan sedang (120-400 m2) berada pada pemukiman padat. Setiap sampel pekarangan dapat ditemukan adanya pekarangan depan, tetapi tidak selalu ada pekarangan samping kanan, kiri, dan belakang. Tata letak elemen mengikuti kemudahan dan kebiasaan dalam pemanfaatannya. Gaya arsitektur rumah tradisional Betawi saat ini hanya terdapat pada bagian tertentu, seperti penggunaan lisplang gigi balang, langkan, jendela krepyak, serta penggunaan ragam hias, tidak secara utuh. Untuk karakteristik tanaman didominasi oleh tanaman hias (57,74%) terutama kuping gajah (Anthurium crystallinum) dan tanaman buah (20,26%) yaitu alpukat cimpedak (Persea americana). Dalam hal pemanfaatan produk, hanya beberapa untuk dijual, selebihnya untuk kebutuhan sehari-hari. Sedangkan pemanfaatan ruang untuk alat-budaya dan kehidupan, digunakan sebagai sarana berelasi dengan alam dan sesama, lahan bermain anakanak, pemberi hidup, dan lahan resapan air. Rekomendasi berupa konsep pelestarian pekarangan Betawi yang berkelanjutan sehingga karakteristik dan fungsi pekarangan Betawi dapat tetap bertahan atau tidak hilang. Tindakan pelestarian yang dapat dilakukan yaitu membuat pekarangan contoh di area rumah contoh, lahan milik pemerintah (RW 08), serta mengupayakan penguatan karakteristik pekarangan Betawi pada lahan-lahan pekarangan masyarakat atau membuat pekarangan komunal dengan karakteristik khas Betawi pada setiap RW. Saran Dukungan, kerjasama, dan koordinasi antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pihak pengelola, serta peran masyarakat diharapkan dapat konsisten agar
48
pengembangan nilai-nilai budaya Betawi di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan dapat tetap berlangsung. Pemahaman mengenai pemanfaatan lahan yang baik sangat diperlukan masyarakat untuk mengembangkan pekarangan menjadi indah, dapat menunjang kebutuhan hidup sehari-hari sekaligus melestarikan budayanya.
DAFTAR PUSTAKA [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2013. Klimatologi Pondok Betung. Jakarta (ID) : BMKG Pusat. [Deptan] Departemen Pertanian. 2002. Pedoman umum pemanfaatan pekarangan [internet]. Diacu 2014 Februari 6. Tersedia dari http://www.smeeda.com. [DTK] Dinas Tata Kota DKI Jakarta. 2013. Lokasi Perkampungan Budaya Betawi. Jakarta (ID) : DTK. [Kemenbudpar] Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2010. Laporan akhir. Perencanaan Penataan Daya Tarik Wisata Kawasan Setu Babakan. Jakarta (ID) : Badan Pengembangan Sumber Daya Puslitbang Kepariwisataan. [Lemtek FTUI][DTK] Lembaga Teknologi Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan Dinas Tata Kota DKI Jakarta. 2001. Penyempurnaan Master Plan dan Penyusunan Rencana Teknis Ruang Kawasan Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan. Jakarta (ID) : hlm 1-117. Arifin HS, Sakamoto K, Chiba K. 1998. Effects of Urbanization on the Performance of the Home Gardens in West Java, Indonesia. Okayama (JP) : Natural Science and Technology, Okayama University. (Tidak dipublikasikan). Arifin HS. 1995. Pekarangan Taman Rumah Indonesia. Majalah Lomba Taman Tingkat Nasional III. Perkumpulan Pecinta Tanaman dan Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia. Jakarta (ID) : hal.116-119. Ashari, Saptana, Purwatini TB. 2012. Potensi dan Prospek Pemanfaatan Lahan Pekarangan untuk Mendukung Ketahanan Pangan. JEKP. 30(1):13-30. Azra ALZ. 2013. Manajemen Lanskap Pekarangan Bagi Penganekaragaman Konsumsi Pangan Keluarga. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Biro Bina Penyusunan Program Provinsi DKI Jakarta. 2001. Laporan akhir. Analisis Dampak Lingkungan Pembangunan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, kecamatan Jagakarsa, kotamadya Jakarta Selatan. Jakarta (ID). Budiman SW, Soeryoharjo S, Ruchiat. 2000. Folklor Betawi. Jakarta (ID) : Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. Fajriyah N. 2014. Revitalisasi Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Hanna. 1986. Kedudukan dan Peran “Bek Betawi” dalam Pemerintahan pada Masyarakat Betawi di Jakarta. [tesis]. Depok (ID) : Universitas Indonesia.
49
Harun I, Kartakusumah DH, Ruchiat R, dan Soediarso. 1999. Rumah Tradisional Betawi. Jakarta (ID) : Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Kehlenbeck K, Arifin HS, Maass BL. 2007. Plant diversity in homegardens in a socio-economic and agro-ecological context. Stability of Tropical Rainforest Margins. Berlin (GR) : Springer. Kelurahan Srengseng Sawah. 2013. Laporan Tahunan Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa. Jakarta (ID) : 30 hlm. Khudori D. 1988. Masalah Etik Pelestarian Kota. Jakarta (ID) : Kompas Gramedia. Malahayani D. 2004. Perencanaan Lanskap Wisata Budaya Perkampungan Betawi di Situ Babakan, Jakarta Selatan [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Mayanti, R. 2007. Studi Dinamika Struktur Vegetasi pada Pekarangan di Jawa Barat. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Moechtar MS, Sarwadana SM, Semarajaya CGA. 2012. Identifikasi Pola Permukiman Tradisional Kampung Budaya Betawi Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kota Administrasi Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta. E-JAT. 1(20) : ISSN 2301-6515. Novitasari, E. 2011. Studi Budidaya Tanaman Pangan di Pekarangan sebagai Sumber Ketahanan Pangan Keluarga di Desa Ampel Gading Kecamatan Tirtoyudo Kabupaten Malang. [skripsi]. Malang (ID) : Universitas Brawijaya. Nurisjah S, Pramukanto Q. 2001. Perencanaan Kawasan untuk Pelestarian Lanskap dan Taman Sejarah. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan). Rambe KS. 2006. Identifikasi Pola Pekarangan pada Perkampungan Budaya Betawi Situ Babakan, Jakarta Selatan. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Rizal JJ. 2013. Jokowi dan Arsitektur Betawi. Jakarta (ID) : Terbitan Berkala Jakarta Biennale. Saidi R. 1997. Profil Orang Betawi Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya. Jakarta (ID) : PT Gunara Kata. Sajogyo. 1994. Menuju Gizi Baik yang Merata di Pedesaan dan di Kota. Yogyakarta (ID) : Gajah Mada Press. Saputra AY. 2010. Kearifan Rumah Betawi. Jakarta (ID) : Lembaga Kebudayaan Betawi. __________. 2011. Jakarta yang Zalim. Jakarta (ID) : Lembaga Kebudayaan Betawi. Shahab A. 2008. Robin Hood Betawi. Jakarta (ID) : Republika. Simonds JO. 1983. Landscape Architecture. New York (US) : Mc Graw-Hill Book Co.
50
Susilowati, D. 2010. Upaya Pelestarian Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan sebagai Kawasan Wisata Budaya. Depok (ID) : Universitas Gunadarma. Utami W. 2013. Studi Keragaman dan Fungsi Ekologis Pohon pada Lanskap Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Wardiningsih S. 2005. Rencana Pengelolaan Lanskap Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan-Srengseng Sawah, kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
51
Lampiran 1 Sampel pekarangan pada lokasi penelitian RW Pekarangan 06
Sempit 1
Sempit 2
Sempit 3
Sedang 1
Sedang 2
Sedang 3
Besar 1
Besar 2
Besar 3
Depan
Zona Pekarangan Samping Kanan Samping Kiri
Belakang
52
Lampiran 1 (lanjutan) RW Pekarangan Sangat Besar 1
Sangat Besar 2
Sangat Besar 3
07
Sempit 1
Sempit 2
Sempit 3
Sedang 1
Sedang 2
Sedang 3
Depan
Zona Pekarangan Samping Kanan Samping Kiri
Belakang
53
Lampiran 1 (lanjutan) RW Pekarangan Besar 1
Besar 2
Besar 3
Sangat Besar 1
Sangat Besar 2
Sangat Besar 3
08
Sempit 1
Sempit 2
Sempit 3
Depan
Zona Pekarangan Samping Kanan Samping Kiri
Belakang
54
Lampiran 1 (lanjutan) RW Pekarangan 08
Sedang 1
Sedang 2
Sedang 3
Besar 1
Besar 2
Besar 3
Sangat Besar 1
Sangat Besar 2
Sangat Besar 3
Depan
Zona Pekarangan Samping Kanan Samping Kiri
Belakang
55
Lampiran 1 (lanjutan) RW Pekarangan 09
Sempit 1
Sempit 2
Sempit 3
Sedang 1
Sedang 2
Sedang 3
Besar 1
Besar 2
Besar 3
Depan
Zona Pekarangan Samping Kanan Samping Kiri
Belakang
56
Lampiran 1 (lanjutan) RW Pekarangan 09
Sangat Besar 1
Sangat Besar 2
Sangat Besar 3
Depan
Zona Pekarangan Samping Kanan Samping Kiri
Belakang
57
Lampiran 2 Bentuk arsitektur rumah sampel pada lokasi penelitian Arsitektur Ukuran Pekarangan No. Rumah Sempit Sedang Besar Sangat Besar RW 06 1
2
3
RW 07
1
2
3
RW 08
1
2
3
RW 09
1
58
Lampiran 2 (lanjutan) Arsitektur No. Rumah Sempit RW 09 2
3
Ukuran Pekarangan Sedang Besar
Sangat Besar
59
Lampiran 3 Intensitas ditemuinya elemen keras pada sampel pekarangan RW 06 RW 07 RW 08 RW 09 Elemen Intensitas Keras 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 2 Sempit <120 m A 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0,33 B 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0,67 C 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 0,75 D 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1,00 E 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,08 F 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0,25 G 0 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0,25 H 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,00 I 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1,00 Sedang 120-400 m2 A 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0,25 B 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0,67 C 1 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 1 0,67 D 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1,00 E 1 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0,41 F 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,00 G 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0,25 H 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,00 I 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0,83 Besar 400-1000 m2 A 1 0 - 1 1 - 1 0 0 1 1 1 0,58 B 0 1 - 1 1 - 1 1 0 1 0 1 0,58 C 1 0 - 1 1 - 1 1 1 1 1 1 0,75 D 1 1 - 1 1 - 1 1 1 1 1 1 0,83 E 1 0 - 1 1 - 1 0 0 0 1 0 0,41 F 0 0 - 0 0 - 1 1 1 0 1 0 0,33 G 1 1 - 0 0 - 0 1 1 1 1 0 0,50 H 0 0 - 0 0 - 0 0 1 0 0 0 0,08 I 1 1 - 1 1 - 1 1 1 1 1 1 0,83 Sangat Besar >1000 m2 A 1 - - - - - 1 0 0 - - 0,16 B 1 - - - - - 1 1 1 - - 0,33 C 1 - - - - - 1 1 1 - - 0,33 D 1 - - - - - 1 1 1 - - 0,33 E 1 - - - - - 0 1 0 - - 0,16 F 0 - - - - - 1 1 1 - - 0,25 G 0 - - - - - 0 1 1 - - 0,16 H 0 - - - - - 0 0 0 - - 0,00 I 1 - - - - - 1 1 1 - - 0,33 Keterangan: Pintu gerbang (A), Pagar hidup (B), Pagar tak hidup (C), Tempat menjemur (D), Kolam (E), Bale-bale (F), Kandang Ternak (G), Kamar mandi luar (H), Tabunan/Tempat Sampah (I) Ukuran Pekarangan
60
Lampiran 4 Tanaman pekarangan di RW 06 dan zona keberadaannya Nama Tanaman Tanaman Hias (Epipremnum aureum) Adam hawa (Rhoeo discolor) Alokasia (Alocasia sanderiana) Anggrek merpati (Dendrobium crumeatum) Anting putri (Wringhtia religiosa) Asparagus (Asparagus setaceus) Bakung (Crynum asiaticum L.) Bambu rejeki (Dracaena sanderiana) Beringin (Ficus benjamina L.) Brokoli hias (Codiaeum sp. ‘Golden finger’) Bromelia (Bromelia sp.) Bugenvil (Bougainvillea sp.) Bunga Wijaya Kusuma (Epiphyllum angulinger) Daun bahagia (Dieffenbachia sp. ‘Exotica’) Daun belundru (Episcia cupreata) Daun mutiara (Pilea nummu ‘Lamifolia’) Daun pilo (Philodendron hastatum) Drasena (Dracaena deremensis) Drasena (Dracaena marginata ‘Colorama’) Drasena (Dracaena reflexa ‘Variegata’) Drasena (Dracaena sanderiana ‘Cultivar’) Drasena (Dracaena sanderiana) Drasena (Dracaena surculosa var. punculata) Euphorbia (Euphorbia lactea varigata) Euphorbia (Euphorbia milii) Flower of love (Tabernaemontana divaricata) Gelombang cinta (Anthurium eggersii) Hanjuang (Cordyline fruticosa ‘White’) Hanjuang (Cordyline terminalis ‘Rededge’) Haworthia (Haworthia attenuata) Iris (Neomarica longifolia) Kacapiring (Gardenia jasminoides) Kaktus (Eriosyce imitans) Kamboja (Plumeria rubra) Kana air (Thaliadealbata) Keladi hias (Caladium sp.) Kembang pukul empat (Mirabilis jalapa) Kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinencis ‘Pink’) Kemuning (Murraya paniculata) Kemuning cina (Aglaia odorata) Kenanga (Cananga odorata) Kenikir (Cosmos bipinnatus) Kenikir (Cosmos caudatus Kunth.) Kuping gajah (Anthurium crystallinum) Leea guinensis (Leea coccinea ‘Burgundy’) Lidah mertua (Sansevieria cylindrica) Lidah mertua (Sansevieria hahnii) Lidah mertua (Sansevieria trifasciata ‘Laurentii’) Lidah mertua (Sansevieria trifasciata)
Zonasi Samping Kiri
Depan
Samping Kanan
1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 0 1 0 1 1 0 1 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0
1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1
0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0
1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 0 1 1 1 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
0 1 1 0 0 1 0 1 1 1
0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
0 0 1 0 1 1 1 0 0 1
0 0 1 1 0 0 0 0 0 1
1
1
1
1
Belakang
61
Lampiran 4 (lanjutan) Nama Tanaman Lili paris (Chlorophytum comosum ‘Variegatum’ ) Lili paris (Chlorophytum comosum ‘Vitatum’) Lili paris (Chlorophytum comosum) Mangkok-mangkokan (Nothopanax scutellarium) Maranta (Calathea rufibarba) Mawar (Rosa sp.) Melati (Jasminum sambac L.) Monstera (Monstera obliqua) Morning glory (Ipomea tricolor) Never-never plant (Ctenanthe oppenheimiana ‘Tricolor’) Pacar air (Impatiens balsamina) Paku jejer (Nephrolepis exaltata) Paku pedang (Nephrolepis exaltata var. bostoniensis) Paku sarang burung (Asplenium nidus) Palem botol (Mascarena lagenicaulis) Palem ekor tupai (Wodyetia bifurcata) Palem hijau (Ptychosperma macarthurii) Palem kuning (Chrysalidocarpus lutescens) Palem merah (Cyrtostachis renda) Palem putri (Veitchia merilii) Palem wregu (Rhapis excelsa) Palisota (Palisota barteri) Patah tulang (edilanthus tithymaloides) Peace lily (Spathiphyllum wallisii) Peperomia (Peperomia scandes ‘Variegata’) Petai cina (Leucaena leucocephala) Pisang hias (Heliconia rostrata) Pucuk merah (Syzigium oleana) Puring (Codiaeum sp. ‘Golden finger’) Puring (Codiaeum sp. ‘Golden ring’) Puring (Codiaeum sp.) Puring (Codiaeum variegatum ‘Interruptum’) Puring (Codiaeum variegatum ‘Pictum’) Puring (Codiaeum variegatum) Putri malu (Mimosa pudica) Sawo kecik (Manilkara kauki) Senthe merah (Alocasia macrorrhiza) Senthe hitam (Alocasia plumbea) Seruni rambat (Widelia biflora) Sirih belanda (Epipremnum aureum) Soka (Ixora sp.) Sri rezeki (Aglaonema sp. ‘Harlequen’) Sri rezeki (Aglaonema sp. ‘Silver queen’) Sri rezeki (Aglaonema sp.) Taiwan beauty (Cuphea hyssopifolia) Talas kajar-kajar (Colocasia gigantea) Tanduk rusa (Platycerium coronarium) Teh-tehan (Acalypha macrophylla)
Zonasi Samping Kiri 0
1
Samping Kanan 0
1 0 1
0 1 0
0 0 1
1 0 0
1 1 1 1 1 1
0 0 0 0 0 0
1 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
1 1 1
0 0 0
1 1 0
1 0 0
1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1
0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0
0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1
0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 1 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0 0 1 1 0
Depan
Belakang 0
62
Lampiran 4 (lanjutan) Nama Tanaman Walisongo (Schlefflera arboricola ‘Samoa snow’) Walisongo (Schlefflera arboricola) Zamia (Zamioculcas zamifolia) Zodia (Euodia suaveolens) Tanaman Obat Anting putri (Wringhtia religiosa) Anting-anting (Acalypha australis L.) Bangle (Zingiber cassumuna) Bayam duri (Amaranthus spinosus) Cocor bebek (Kalanchoe pinnata) Daun semanggi (Marsilea crenata Presl.) Daun wungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff.) Dringo (Acorus calamus) Ganyong (Canna edulis) Jarak (Ricinus communis Linn) Lempuyang (Zingiber amaricans BL.) Lidah buaya (Aloe vera L.) Miana (Coleus atropurpureus Benth) Sambiloto (Andrographis paniculata) Sambung nyawa (Gynura procumbens) Sawi langit (Vernonia cinerea) Sembung (Blurnea balsamifera) Sirih (Piper betle L.) Sirih merah (Piper crocatum) Suji (Pleomele angustifolia) Suruhan (Peperomia pellucida) Tapak dara (Vinca rosea) Temu kunci (Boesenbergia pandurata) Tanaman Sayur Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) Cabai hijau (Capsicum annum var longum) Cabai keriting (Capsicum annum L.) Katuk (Sauropus adrogynus) Melinjo (Gnetum gnemon) Tanaman Buah Alpukat (Persea americana) Anggur (Vitis vinifera L.) Delima (Punica granatum) Durian (Durio zibethinus) Jamblang (Eugenia cumini merr.) Jambu air (Eugenia aquea) Jambu biji (Psidium guajava) Jeruk limau (Citrus amblycarpa) Jeruk manis (Citrus sinensis) Jeruk nipis (Citrus aurantifolia) Kedondong laut (Polyscias fruticosum) Kelapa (Cocos nucifera) Kelengkeng (Euphoria longana (Lour.) Steud.) Mangga (Mangifera indica) Markisa (Passiflora edulis)
Zonasi Samping Kiri 0
1
Samping Kanan 0
1 1 1
0 0 0
0 0 1
0 0 0
0 1 1 0 1 1 1
0 0 0 0 0 0 0
1 1 0 1 0 0 0
0 1 1 1 0 0 0
0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
1 1 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1
0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0
1 1 1 1 1
0 0 0 0 0
1 0 0 0 1
0 1 0 1 0
1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1
0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0
0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0
1 1
1 0
1 0
0 0
Depan
Belakang 0
63
Lampiran 4 (lanjutan) Nama Tanaman Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Nangka (Artocarpus integra) Paprika (Capsicum annuum) Pisang (Musa paradisiaca) Pisang ambon (Musa paradisiaca L.) Pisang kepok (Musa acuminata balbisiana Colla.) Rambutan (Nephelium lappaceum) Sirsak (Annona muricata L.) Srikaya (Annona squamosa) Tanaman Bumbu Asam (Tamarindus indica L.) Jahe merah (Zingiber officinale Roxb. var Rubra) Kunyit (Curcuma longa) Lengkuas (Alpinia galanga) Salam (Syzygium polyanthum) Serai wangi (Cymbopogon nardus) Tanaman Penghasil Pati Singkong (Manihot esculenta) Tanaman Lainnya Pandan (Pandanus amaryllifolius)
Zonasi Samping Kiri 1 0 1 1 0 0
1 0 1 0 0 0
Samping Kanan 0 0 0 0 1 1
1 1 1
1 0 0
1 0 0
1 0 0
1 0
0 0
0 0
0 1
1 0 0 0
0 0 0 0
1 0 1 1
1 1 1 0
0
0
0
1
1
0
1
1
Depan
Belakang 1 1 0 1 0 0
64
Lampiran 5 Tanaman pekarangan di RW 07 dan zona keberadaannya` Nama Tanaman Tanaman Hias Air mata pengantin (Antigonon leptopus) Alokasia (Alocasia sanderiana) Asparagus (Asparagus setaceus) Bakung (Crynum asiaticum L.) Bambu rezeki (Dracaena sanderiana) Bayam duri (Amaranthus spinosus) Bugenvil (Bougainvillea sp.) Bunga matahari (Helianthus annuus L.) Daun ivy (Hedera helix) Daun pilo (Philodendron selloum) Drasena (Dracaena marginata ‘Colorama’) Drasena (Dracaena surculosa var. punculata) Drasena ungu (Dracaena sp.) Ekor kucing (Acalypha hispida) Euphorbia (Euphorbia milii) Flower of love (Tabernaemontana corymbosa ‘Variegated leaf’) Gelombang cinta (Anthurium eggersii) Hanjuang (Cordyline terminalis ‘Rededge’) Hanjuang biksu (Pleomele fragans) Iris (Neomarica longifolia) Kamboja (Plumeria rubra) Kayu manis (Cinnamomum burmanii) Keladi hias (Caladium bicolor) Kemuning (Murraya paniculata) Kenanga (Cananga odorata) Kenikir (Cosmos caudatus) Kuping gajah (Anthurium crystallinum) Lidah mertua (Sansevieria cylindrica) Lidah mertua (Sansevieria trifasciata ‘Laurentii’) Lidah mertua (Sansevieria trifasciata) Lili paris (Chlorophytum comosum ‘Variegatum’) Lolipop (Pachystachys lutea) Morning glory (Ipomea tricolor) Natal plum (Carissa macrocarpa) Pacar air (Impatiens balsamina ‘Merah’) Paku jejer (Nephrolepis exaltata) Palem bambu (Chamaedorea seifrizii) Palem botol (Mascarena lagenicaulis) Palem kuning (Chrysalidocarpus lutescens) Palem merah (Cyrtostachis renda) Palem wregu (Rhapis excelsa) Palisota (Palisota barteri) Petai cina (Leucaena leucocephala) Pinang (Areca catechu) Pisang hias (Heliconia psittacorum) Puring (Codiaeum variegatum) Putri malu (Mimosa pudica Linn.) Randu (Ceiba pentandra ‘Gaertn’)
Zonasi Samping Kiri
Depan
Samping Kanan
0 1 1 0 1 0 0 0 1 1 1 0 1 0 1 0
0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0
0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1
1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0 1 1 0
1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 1 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0
1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0
1 1
0 0
1 0
1 1
1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 1 1 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 1 0
0 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0
Belakang
65
Lampiran 5 (lanjutan) Nama Tanaman Senthe hitam (Alocasia plumbea) Seruni rambat (Widelia biflora) Sikas (Cycas revoluta) Singonium (Syngonium sp.) Sirih belanda (Epipremnum aureum ‘Gold’) Sirih belanda (Epipremnum aureum) Soka (Ixora coccinea) Sri rezeki (Agalonema commutatum) Sri rezeki (Aglaonema ‘Snow White’) Sri rezeki (Aglaonema costamum) Sri rezeki (Aglaonema crispum) Sri rezeki (Aglaonema hospitum ‘Variegatum’) Sri Rezeki (Aglaonema sp. ‘Crispum’) Sri rezeki (Aglaonema sp. ‘Harlequen) Sri rezeki (Aglaonema sp. ‘Pride of Sumatra’) Sri rezeki (Aglaonema sp. ‘Red Butterfly’) Sri Rezeki (Aglaonema sp. ‘Silver queen’) Sri rezeki (Aglaonema sp. ‘Widuri’) Suplir (Adiantum terenum) Taiwan beauty (Cuphea hyssopifolia ‘Alba’) Talas kajar-kajar (Colocasia gigantea) Teh-tehan (Acalypha macrophylla) Zamia (Zamioculcas zamifolia) Zodia (Euodia suaveolens) Tanaman Obat Anting-anting (Acalypha australis L.) Bayam duri (Amaranthus spinosus) Cincau (Cyclea barbata Miers) Daun karuk (Piper sarmentosum Roxb.) Daun saga (Abrus precatorius) Jarak (Ricinus communis Linn) Kemangi hutan (Ocimum basilicum L.) Lempuyang (Zingiber amaricans BL.) Sirih (Piper betle L.) Temu giring (Curcuma heyneana) Temu kunci (Boesenbergia pandurata) Temu lawak (Curcuma xanthorrhiza) Tanaman Sayur Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) Cabai (Capsicum annuum) Katuk (Sauropus adrogynus) Melinjo (Gnetum gnemon) Tanaman Buah Alpukat (Persea americana) Anggur (Vitis vinifera L.) Belimbing buah (Averrhoa bilimbi) Cempedak (Artocarpus champeden) Cokelat (Theobroma cacao) Duku (Lansium domesticum) Jambu air (Eugenia aquea) Jambu air kancing (Eugenia aquea)
Zonasi Samping Kiri 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0
1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1
Samping Kanan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
0 1 0 0 1 0 0 0 1 1 0 1
1 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 1
0 0 0 0 1 1 0 1 1 0 1 0
0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1
1 0 1 0 1 1 1 1 0 0 0 0
1 1 1 1
0 0 0 1
0 1 1 1
0 1 0 1
1 1 0 1 1 1 1 1
1 0 0 1 0 0 1 0
1 0 0 0 0 0 0 0
1 0 1 0 0 1 1 0
Depan
Belakang 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0 1 1
66
Lampiran 5 (lanjutan) Nama Tanaman Jambu biji (Psidium guajava) Jeruk bali (Citrus maxima) Jeruk nipis (Citrus aurantifolia) Kebembem (Mangifera odorata) Kedondong (Spondias dulcis) Kelapa (Cocos nucifera) Kelapa genjah Kersen (Muntingia calabura L.) Mangga (Mangifera indica) Mengkudu (Morinda citrifolia) Nangka (Artocarpus integra) Pepaya (Carica papaya) Pisang (Musa paradisiaca L.) Rambutan (Nephelium lappaceum) Sawo (Achras zapota) Sirsak (Annona muricata) Tomat cherry kuning (Lycopersicon esculentum mill.) Tanaman Bumbu Kunyit (Curcuma longa L.) Kunyit merah (Curcuma domestica) Salam (Syzygium polyanthum) Serai wangi (Cymbopogon nardus) Suji (Pleomele angustifolia) Tanaman Penghasil Pati Singkong (Manihot esculenta) Tanaman Lainnya Pandan (Pandanus amaryllifolius)
Zonasi Samping Kiri 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0
0 0 0 1 0 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1
Samping Kanan 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0
1 0 1 1 1
0 0 0 0 0
1 1 0 1 1
1 0 0 0 1
1
0
1
1
1
0
1
1
Depan
Belakang 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 0
67
Lampiran 6 Tanaman pekarangan di RW 08 dan zona keberadaannya Nama Tanaman Tanaman Hias (Excoecaria cochinchinensis) (Tabernaemontana pandakacqui) Adam hawa (Rhoeo discolor) Alokasia (Alocasia sanderiana) Angsana (Pterocarpus indicus) Aralia (Osmoxylum lineare ‘Yellow’) Asparagus (Asparagus densiflorus ‘Mayerii’) Bakung (Crynum asiaticum L.) Bambu rezeki (Dracaena sanderiana) Bawang brojol (Zephyranthes grandiflora) Begonia (Begonia sp.) Beringin (Ficus benjamina ‘Variegated white’) Beringin bonsai (Ficusbenjamina L.) Bismarck palm (Bismarckia nobilis) Bugenvil (Bougainvillea spectabilis) Brokoli hias (Codiaeum sp. ‘Golden finger’) Bunga ratu (Amherstia nobilis) Congea (Congea tomentosa) Copper leaf (Chrysothemis pulchella) Daun bahagia (Dieffenbachia sp. ‘Exotica’) Daun belundru (Episcia cupreata) Daun ketumbar (Coriandum sativum) Daun mint (Menthae folia) Daun pilo (Philodendron selloum) Drasena (Dracaena surculosa var. punculata) Drasena (Dracaena marginata ‘Colorama’) Drasena (Dracaena marginata) Drasena (Dracaena sanderiana ‘Cultivar’) Drasena ungu (Dracaena sp.) Dwarf geometry tree (Bucida molineti) Dwarf ruellia (Ruellia malacosperma ‘Dwarf’) Euphorbia (Euphorbia milii) Fatsia (Fatsia japonica) Flower of love (Tabernaemontana divaricata) Gelombang cinta (Anthurium eggersii) Gelombang cinta (Anthurium plowmanii) Golden duranta (Duranta repens) Greges otot (Equisetum debile Roxb) Hanjuang (Cordyline terminalis ‘Rededge’) Hanjuang biksu (Pleomele fragans) Hanjuang hijau (Cordyline fruticosa ‘White’) Jelly palm (Butia capitata) Kaca piring (Gardenia jasminoides) Kamboja (Plumeria rubra) Kayu manis (Cinnamomum burmanii) Keladi hias (Caladium bicolor) Keladi hias (Colocasia esculenta L.) Keladi tikus (Typhonium flagelliforme) Kembang pukul empat (Mirabilis jalapa) Kemuning (Murraya paniculata)
Zonasi Samping Kiri
Depan
Samping Kanan
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
1 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1
0 1 0 1 1 0 0 1 1 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1
0 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 1 0 1 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0
0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
Belakang
68
Lampiran 6 (lanjutan) Nama Tanaman Kemuning cina (Aglaia odorata) Kenanga (Cananga odorata) Kol banda (Pisonia grandis ‘Alba’) Kuping gajah (Anthurium crystallinum) Kuping gajah (Anthurium sp. cultivar) Leea guinensis (Leea coccinea ‘Burgundy) Lidah mertua (Sansevieria trifasciata ‘Laurentii’) Lidah mertua (Sansevieria cylindrica) Lidah mertua (Sansevieria trifasciata) Lili paris (Chlorophytum comosum ‘Variegatum’) Lili paris (Chlorophytum comosum) Mangkok-mangkokan (Nothopanax scutellarium) Maranta (Calathea picturata) Mawar (Rosa sp.) Melati (Jasminum sambac ‘Arabic Knights’) Melati (Jasminum sambac) Morning glory (Ipomea tricolor) Natal plum (Carissa macrocarpa) Pacar air (Impatiens balsamina ‘Merah’) Paku jejer (Nephrolepis exaltata) Paku sarang burung (Asplenium nidus) Palem botol (Mascarena lagenicaulis) Palem kuning (Chrysalidocarpus lutescens) Palem merah (Cyrostachis renda) Palem wregu (Rhapis excelsa) Peace lily (Spathiphyllum sp. ‘Petite’) Peperomia (Peperomia scandes ‘Variegata’) Petai cina (Leucaena leucocephala) Pisang hias (Heliconia psittacorum) Pohon cinta (Philodendron bipinnatifidum) Pucuk merah (Syzigium oleana) Pulai (Alstonia scholaris R. Br.) Puring (Codiaeum variegatum ‘Interruptum’) Puring (Codiaeum variegatum) Randu (Ceiba pentandra ‘Gaertn’) Sente merah (Alocasia macrorrhiza) Sikas (Cycas revoluta) Singonium (Syngonium podophyllum ‘White butterfly) Sirih belanda (Epipremnum aureum ‘Gold’) Sirih belanda (Epipremnum aureum) Soka (Ixora javanica) Soka (Ixora sp.) Sri rezeki (Aglaonema sp. ‘Harlequen’) Sri rezeki (Aglaonema sp. ‘Silver queen’) Sri rezeki (Aglaonema sp. ‘Snow White’) Sri rezeki (Aglaonema sp.) Talas kajar-kajar (Colocasia gigantea) Tanduk rusa (Platycerium coronarium) Tanduk rusa tegak (Platycerium coronarium)
Zonasi Samping Kiri 0 0 0 0 0 0 0
1 1 0 1 1 1 1
Samping Kanan 0 1 0 1 0 0 0
1 1 1
0 0 0
0 0 0
0 0 0
1 1
0 0
0 0
0 0
1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 1 0 1 1 1
0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0
0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1
0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0
Depan
Belakang 0 1 1 0 0 0 0
69
Lampiran 6 (lanjutan) Nama Tanaman Tanjung (Mimusoph elengi L.) Teh-tehan (Acalypha macrophylla) Tulang-tulang (Euphorbia tirucalli) Walisongo (Schlefflera arboricola ‘Samoa’) Walisongo (Schlefflera actinophylla) Zamia (Zamioculcas zamifolia) Zodia (Euodia suaveolens) Tanaman Obat Bangle (Zingiber purpureum Roxb.) Bayam duri (Amaranthus spinosus) Brotowali (Tinospora crispa L.) Cincau (Cyclea barbata Miers) Cocor bebek (Kalanchoe pinnata) Daun saga (Abrus precatoriun) Daun wungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff.) Jarak (Ricinus communis Linn) Kembang telang (Clitoria ternatea) Kumis kucing (Orthosiphon aristatus) Lempuyang (Zingiber amaricans BL.) Lempuyang pahit (Zingiber amaricans BL.) Lidah buaya (Aloe vera) Maja (Crescentia cuyete L.) Miana (Coleus amboinicus) Senggugu (Clerodendron javanicum) Sintrong (Erechtites valerinaefolia) Sirih (Piper betle L.) Sirih merah (Piper crocatum) Suruhan (Peperomia pellucida) Temu lawak (Curcuma xanthorrhiza) Temu mangga (Curcuma mangga val.) Tanaman Sayur Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) Cabai (Capsicum annuum) Cabai hijau (Capsicum annum var longum) Daun katuk (Sauropus adrogynus) Jengkol (Archidendron pauciflorum) Kangkung (Ipomoea reptana) Melinjo (Gnetum gnemon) Pare (Momordica charantia) Tanaman Buah Alpukat (Persea americana) Belimbing buah (Averrhoa carambola) Cokelat (Theobroma cacao) Delima (Punica granatum) Duku (Lansium domesticum) Durian (Durio zibethinus) Jambu air (Eugenia aquea) Jambu biji (Psidium guajava) Jambu bol (Eugenia domestica) Jambu bol jamaika (Syzygium malaccensis) Jeruk bali (Citrus maxima) Jeruk nipis (Citrus aurantifolia)
Zonasi Samping Kiri 1 0 0 0 1 0 0
0 1 1 1 0 1 1
Samping Kanan 0 1 0 1 0 0 1
1 1 1 0 1 1 1
0 0 0 0 0 0 0
0 1 0 1 0 0 0
0 0 0 0 0 1 1
1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1
0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 0 1
1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 0 1 1 1
0 0 0 1 0 0 0 0
0 1 0 0 0 0 0 0
1 1 0 0 1 0 1 0
1 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1
0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 1
0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1
1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0
Depan
Belakang 0 1 0 0 0 1 0
70
Lampiran 6 (lanjutan) Nama Tanaman Kedondong (Spondias dulcis) Kelapa (Cocos nucifera) Kelapa genjeh Kersen (Muntingia calabura L.) Mangga (Mangifera indica) Nangka (Artocarpus integra) Pepaya (Carica papaya) Pisang (Musa paradisiaca) Rambutan (Nephelium lappaceum) Rambutan rapiah (Nephelium lappaceum) Rukem (Flacourtia rukam) Sawo (Achras zapota) Sukun (Artocarpus communis) Tanaman Bumbu Asam (Tamarindus indica L.) Jahe merah (Zingiber officinale linn var. rubrum) Kencur (Kaempferia galanga L.) Kunyit (Curcuma longa L.) Pala (Myristica fragrans) Salam (Syzygium polyanthum) Serai wangi (Cymbopogon nardus) Suji (Pleomele angustifolia) Tanaman Penghasil Pati Singkong (Manihot esculenta) Tanaman Industri Jabon (Anthocephalus cadamba) Tanaman Lainnya Pandan (Pandanus amaryllifolius)
Zonasi Samping Kiri 1 1 0 0 1 0 1 1 0 1 0 0 0
1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Samping Kanan 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0 1 0
1 1
1 0
0 0
0 0
1 1 1 1 1 0
1 0 0 1 1 1
1 1 0 0 1 0
0 1 0 0 1 1
1
0
1
1
0
0
0
1
1
1
0
1
Depan
Belakang 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0
71
Lampiran 7 Tanaman pekarangan di RW 09 dan zona keberadaannya Nama Tanaman Tanaman Hias Adam hawa (Rhoeo discolor) Alokasia (Alocasia sanderiana) Asparagus (Asparagus setaceus) Bambu rezeki (Dracaena sanderiana) Begonia (Begonia sp.) Bromelia (Bromelia sp.) Bugenvil (Bougainvillea sp.) Copper leaf (Chrysothemis pulchella) Dandang gendis (Clinacanthus nutans) Daun bahagia (Dieffenbachia candida) Daun bahagia (Dieffenbachia sp. Exotica) Daun beludru (Episcia cupreata ‘Acajou’) Daun pilo (Philodendron selloum) Dolar besar Dolar-dolaran (Ficus repens) Drasena (Dracaena marginata ‘Colorama’) Drasena (Dracaena marginata) Drasena (Dracaena reflexa ‘Variegata’) Drasena (Dracaena sanderiana ‘Cultivar’) Drasena (Dracaena surculosa var. punculata) Drasena (Dracaena surculosa) Dwarf geometry tree (Bucida molineti) Gelombang cinta (Anthurium adreanum) Gelombang cinta (Anthurium eggersii) Gelombang cinta (Anthurium jenmanii) Gelombang cinta (Anthurium plowmanii) Gelombang cinta (Anthurium‘Wave of Love’) Gelombang cinta (Anthurium sp. Giant) Giant false agave (Furcraea gigantea ‘Striata’) Hanjuang (Cordyline fruticosa ‘White’) Hanjuang (Cordyline terminalis ‘Rededge’) Hanjuang biksu (Pleomele fragans) Hortensia (Hydrangea macrophylla) Kacapiring (Gardenia jasminoides) Kamboja (Plumeria rubra) Kana air (Thalia dealbata) Kayu manis (Cinnamomum burmanii) Keladi hias (Caladium himboldtii) Keladi tikus (Typhonium flagelliforme) Kembang pukul empat (Mirabilis jalapa) Kenikir (Cosmos bipinnatus) Ketapang (Terminalia catappa L.) Kuping gajah (Anthurium crystallinum) Kuping gajah (Anthurium sp. cultivar) Lidah mertua (Sansevieria trifasciata ‘Laurentii’) Lidah mertua (Sansevieria cylindrica) Lidah mertua (Sansevieria hahnii) Lili paris (Chlorophytum comosum ‘Variegatum’)
Zonasi Samping Kiri
Depan
Samping Kanan
1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
0 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
0 0 1 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 1 0 1
1 1 1
0 0 0
0 0 0
0 0 0
Belakang
72
Lampiran 7 (lanjutan) Nama Tanaman Lili paris (Chlorophytum comosum ‘Vittatum’) Mangkok-mangkokan (Nothopanax scutellarium) Mawar (Rosa sp.) Melati (Jasminum sambac) Meranta (Calathea warscewiczii) Morning glory (Ipomea tricolor) Natal plum (Carissa macrocarpa) Nolina (Beaucarnea recurvata) Paku jejer (Nephrolepis exaltata) Palem hijau (Ptychosperma macarthurii) Palem kuning (Chrysalidocarpus lutescens) Palem merah (Cyrtostachis renda) Palem sadeng cinencis (Livistona cinencis) Palem wregu (Rhapis excelsa) Pangkas kuning (Duranta erecta ‘Gold’) Patah tulang (Padilanthus pringlei) Patah tulang (Pedilanthus tithymaloides) Peace lily (Spathiphyllum wallisii) Peperomia (Peperomia scandes ‘Variegata’) Pisang hias (Heliconia psittacorum) Puring (Codiaeum sp. ‘Golden finger’) Puring (Codiaeum sp.) Puring (Codiaeum variegatum) Senthe hitam (Alocasia plumbea) Seruni rambat (Widelia biflora) Sikas (Cycas revoluta) Sirih belanda (Epipremnum aureum ‘Gold’) Sirih belanda (Epipremnum aureum) Soka (Ixora coccinea) Soka (Ixora sp.) Spider lily (Hymenocallis speciosa) Sri rezeki (Aglaonema Pride of Sumatra) Sri rezeki (Aglaonema sp. ‘Harlequeen’) Sri rezeki (Aglaonema sp. ‘Silver queen’) Sri rezeki (Aglaonema sp. ‘Snow White’) Sri rezeki (Aglonema sp.) Sri rezeki kocin (Aglaonema sp.) Suplir (Adiantum terenum) Talas kajar-kajar (Colocasia gigantea) Tanduk rusa (Platycerium coronarium) Tanduk rusa tegak (Platycerium coronarium) Teh-tehan (Acalypha macrophylla) Walisongo (Schleffera arboricola ‘Samoa/snow’) Zamia (Zamioculcas zamifolia) Zodia (Euodia suaveolens) Tanaman Obat Anting-anting (Acalypha australis L.) Bangle (Zingiber purpureum Roxb.) Bayam duri (Amaranthus spinosus) Daun karuk (Piper sarmentosum Roxb.)
Zonasi Samping Kiri 0
1
Samping Kanan 0
1
0
0
0
1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0
1 0
0 0
0 0
0 1
0 1 0 1
1 0 1 0
0 0 0 0
0 0 0 0
Depan
Belakang 0
73
Lampiran 7 (lanjutan) Nama Tanaman Daun saga (Abrus precatoriun) Lempuyang (Zingiber amaricans BL.) Lidah buaya (Aloe vera) Miana (Coleus blumei) Miana (Coleus sp.) Sambang darah (Excoecaria cochinchinensis Lour) Sirih (Piper betle L.) Sirih merah (Piper crocatum) Telang (Clitoria ternatea L.) Tanaman Sayur Melinjo (Gnetum gnemon) Cabai (Capsicum annuum) Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) Katuk (Sauropus adrogynus) Tanaman Buah Alpukat mentega (Persea americana) Belimbing buah (Averrhoa carambola) Cimpedak (Arthocarpus champeden) Cokelat (Theobroma cacao) Delima (Punica granatum) Duku (Lansium domesticum) Jambu air (Eugenia aquea) Jambu biji (Psidium guajava) Jambu bol jamaika (Syzygium malaccensis) Jambu monyet (Anacardium occidentale) Jeruk (Citrus sinensis) Jeruk limau (Citrus amblycarpa) Jeruk nipis (Citrus aurantifolia) Kecapi (Sandorium koetjape) Kedondong (Spondias dulcis) Kelengkeng (Dimocarpus longan) Kersen (Muntingia calabura L.) Mangga (Mangifera indica) Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Nangka (Artocarpus integra) Pepaya (Carica papaya) Pisang (Musa paradisiaca) Rambutan (Nephelium lappaceum) Sawo (Achras zapota) Tin (Ficus racemosa) Tanaman Bumbu Kunyit (Curcuma longa) Laos (Alpinia galanga) Salam (Syzygium polyanthum) Serai wangi (Cymbopogon nardus) Suji (Pleomele angustifolia) Tanaman Penghasil Pati Singkong (Manihot esculenta) Tanaman Lainnya Pandan (Pandanus amaryllifolius)
Zonasi Samping Kiri 0 1 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1
Samping Kanan 0 0 0 0 0 0
1 1 1
0 0 0
0 1 0
0 0 0
1 1 1 0
0 0 0 0
0 0 0 0
1 0 0 1
1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 1 0 0
1 1 0 0 1 1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0 1 1 1 1 0 0
0 1 1 1 1
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
1 0 0 0 1
1
0
0
1
1
1
0
1
Depan
Belakang 1 1 0 0 1 1
74
Lampiran 8 Pemanfaatan produk tanaman di pekarangan RW 06
Ukuran
Jenis tanaman
Sem1
Anggur Kelengkeng Rambutan
Sem2
Sem3
Anting-anting Cocor bebek Sirih Dringo Temu kunci
Belimbing wuluh Daun katuk Delima Srikaya
S1
Bangle Sirih
S2
Cabai Rambutan Pisang Rambutan Sereh wangi Pandan
S3
Jarak Alpukat mentega
B1
Mangga Pisang Rambutan Anting-anting Jarak Lempuyang’ Sambiloto Alpukat Durian Jambu Jeruk limau Mangga
Pemanfaatan terhadap Pekarangan Frekuensi Jumlah Penggunaan produk (per tahun) panen Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi sendiri Tidak tentu Tidak tentu 1 kali 125 kg Dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke tetangga Tidak tentu Tidak tentu Dimanfaatkan sendiri Tidak tentu Tidak tentu sebagai obat dan Tidak tentu Tidak tentu dibagikan pada tetangga Tidak tentu Tidak tentu Dimanfaatkan sendiri Tidak tentu Tidak tentu sebagai obat dan dibagikan pada tetangga Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi sendiri Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi sendiri dan dibagikan pada tetangga untuk acara tradisi budaya Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi dan dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga Tidak tentu Tidak tentu Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga Tidak tentu Tidak tentu Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi sendiri 1 kali Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke tetangga 1 kali Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Dimanfaatkan sendiri sebagai bumbu dan dibagikan pada tetangga Tidak tentu Tidak tentu Dimanfaatkan sendiri sebagai bahan campuran makanan Tidak tentu Tidak tentu Dimanfaatkan sendiri sebagai obat Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke saudara 1 kali Tidak tentu 3 kali Tidak tentu 1 kali Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu 1 kali
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga Dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke tetangga
75
Lampiran 8 (lanjutan) RW 06
Ukuran B1
Jenis tanaman Pisang Pandan
B2
Sirih
B3 SB1
07
SB2 SB3 Sem1
Sem2
Belimbing wuluh Daun katul Alpukat mentega Jeruk limau Jeruk nipis Mangga Pisang Rambutan Pandan
Jarak
-
Melinjo Alpukat mentega Durian Jambu air Jambu biji Jeruk limau Nangka Pisang Rambutan
Daun saga Jarak Temu kunci Daun katuk Jambu air Nangka Pisang Pepaya
Jambu air Mangga Rambutan Salam Pandan
Pemanfaatan terhadap Pekarangan Frekuensi Jumlah Penggunaan produk (per tahun) panen 3 kali Tidak tentu Dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke tetangga Tidak tentu Tidak tentu Dimanfaatkan sendiri sebagai bahan campuran makanan dan dibagikan pada tetangga Tidak tentu Tidak tentu Dimanfaatkan sendiri sebagai obat Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi sendiri Tidak tentu Tidak tentu 3 kali Tidak tentu Dikonsumsi sendiri dan Tidak tentu Tidak tentu dibagikan ke tetangga Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu 3 kali Tidak tentu 1 kali Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Dimanfaatkan sendiri sebagai bahan campuran makanan dan dibagikan pada tetangga Tidak tentu Tidak tentu Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi sendiri Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi sendiri dan Tidak tentu Tidak tentu dibagikan ke tetangga Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu 6 kali Tidak tentu 1 kali 300 kg Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi sendiri Tidak tentu Tidak tentu Dimanfaatkan sendiri Tidak tentu Tidak tentu sebagai obat dan Tidak tentu Tidak tentu dibagikan pada tetangga Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi sendiri Tidak tentu Tidak tentu Sebagian dikonsumsi, Tidak tentu Tidak tentu sebagian dijual 3 kali Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi sendiri 1 kali Tidak tentu 1 kali Tidak tentu Sebagian dikonsumsi, sebagian dijual Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi sendiri Tidak tentu Tidak tentu Dimanfaatkan sendiri sebagai bahan campuran makanan dan dibagikan
76
Lampiran 8 (lanjutan) RW 07
Ukuran
Jenis tanaman
Sem3
Alpukat mentega
S1
Cabai Daun katuk Jambu air Pepaya Sawo Kunyit Singkong Pandan Daun karuk Daun saga Jarak Daun katuk Alpukat mentega
S2
S3
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Belimbing buah Cimpedak Nangka Kunyit putih
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu 80 buah Tidak tentu Tidak tentu
Anting-anting Daun saga Jarak Lempuyang Pepaya Pisang Rambutan
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu 1 kali
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu 50 kg
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu 1 kali
30 kg Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu 150 kg
Tidak tentu 2 kali Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu 8 kali
Tidak tentu Tidak tentu 90 kg Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu 120 kg
Daun suji Kunyit B1
B2
Jarak Sirih
Pemanfaatan terhadap Pekarangan Frekuensi Jumlah Penggunaan produk (per tahun) panen Tidak tentu 60 kg Sebagian dikonsumsi, sebagian dijual Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi sendiri Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Alpukat mentega Jambu air Mengkudu Nangka Pisang Rambutan Cabai Melinjo Alpukat mentega Jambu air Jambu biji Pepaya Pisang
Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga Dikonsumsi sendiri Sebagian dikonsumsi, sebagian dijual
Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan bumbu dan dibagikan pada tetangga Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga Dikonsumsi sendiri Sebagian dikonsumsi sendiri dan dibagi-bagi, sebagian dijual Dikonsumsi sendiri Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga Dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke saudara
Dimanfaatkan sendiri dan dibagikan ke tetangga
77
Lampiran 8 (lanjutan) RW
Ukuran
07
B2
08
B3 SB1 SB2 SB3 Sem1
Sem2
Sem3 S1
S2
S3
Jenis tanaman Kunyit Serai wangi Pandan Daun saga Temblekan Cabai Kedondong Pepaya Kencur Serai wangi Pandan Cocor bebek Daun saga Jarak Kembang telang Daun katuk Jambu air Rambutan Sawo Pandan Daun katuk Rukem Rambutan
Jambu biji Mangga Nangka Brotowali Cocor bebek Jarak Kacapiring Kumis kucing Miana Sirih Cabai Daun katuk Alpukat mentega Pepaya Rambutan Jambu air Jeruk nipis Serai wangi Pandan Daun saga Miana Sirih merah
Pemanfaatan terhadap Pekarangan Frekuensi Jumlah Penggunaan produk (per tahun) panen Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi sendiri dan Tidak tentu Tidak tentu dibagikan ke tetangga Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Dimanfaatkan sendiri dan dibagikan ke tetangga Dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke tetangga
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu 1 kali Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga
Tidak tentu Tidak tentu 1 kali
Tidak tentu Tidak tentu 150 kg
Dikonsumsi sendiri
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu 1 kali Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Dikonsumsi sendiri
Sebagian dikonsumsi, sebagian dijual Dikonsumsi sendiri Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga
Dikonsumsi sendiri Dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke tetangga
Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga
78
Lampiran 8 (lanjutan) RW 08
Ukuran
Jenis tanaman
S3
B1
Daun saga Kembang telang
B2
B3
SB1
Durian Jambu bol Mangga Pepaya Rambutan Daun suji Kunyit Salam Pandan
Kangkung Jambu bol Jeruk bali Pisang Rambutan Cincau Jarak
Pemanfaatan terhadap Pekarangan Frekuensi Jumlah Penggunaan produk (per tahun) panen Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi sendiri Tidak tentu Tidak tentu Sebagian dikonsumsi, Tidak tentu Tidak tentu sebagian dijual Tidak tentu Tidak tentu 1 kali Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi sendiri dan Tidak tentu Tidak tentu dibagikan ke tetangga Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke tetangga Tidak tentu Tidak tentu Dimanfaatkan sendiri Tidak tentu Tidak tentu sebagai obat dan dibagikan pada tetangga 24 kali Tidak tentu Dikonsumsi sendiri 6 kali 300 kg Tidak tentu Tidak tentu 6 kali Tidak tentu 1 kali Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu
Jambu bol Jeruk nipis Mangga Pisang Rambutan Pandan Sirih
6 kali Tidak tentu Tidak tentu 3 kali 1 kali Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu
Tidak tentu
Melinjo Duku Durian Jambu air Mangga Rambutan Kunyit Salam Pandan Daun saga Jarak Kembang telang Lempuyang Sirih Belimbing wuluh Cabai Melinjo Alpukat mentega Jambu air Jambu biji Jeruk bali
2 kali Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu 1 kali 1 kali Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu 2 kali Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu 200 kg Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga Dikonsumsi sendiri
Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga Dikonsumsi sendiri Dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke tetangga
Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga Dikonsumsi sendiri Dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke tetangga
79
Lampiran 8 (lanjutan) RW 08
Ukuran SB1 SB2
SB3
09
Jenis tanaman
Pisang Rambutan Sawo Angsana Bangle Daun saga Kumis kucing Lempuyang Sirih Sirih merah Temu lawak Temu mangga Alpukat mentega Belimbing buah Durian Jambu air Jambu bol Jeruk nipis Nangka Pisang Rambutan
Sirih merah Lempuyang
Pemanfaatan terhadap Pekarangan Frekuensi Jumlah Penggunaan produk (per tahun) panen 3 kali Tidak tentu Dijual 1 kali 200 kg Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Dimanfaatkan sendiri Tidak tentu Tidak tentu sebagai obat dan Tidak tentu Tidak tentu dibagikan pada tetangga Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu 250 kg Sebagian dikonsumsi Tidak tentu Tidak tentu sendiri dan dibagi-bagi, Tidak tentu Tidak tentu sebagian dijual Tidak tentu Tidak tentu 6 kali Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi sendiri 6 kali Tidak tentu Sebagian dikonsumsi 1 kali 300 kg sendiri dan dibagi-bagi, sebagian dijual Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu
Cabai Belimbing buah Durian Jambu air Jeruk bali Mangga Nangka Pepaya Pisang Rambutan Sukun Kunyit Pandan Patah tulang
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu 6 kali Tidak tentu 1 kali Tidak tentu Tidak tentu 6 kali 1 kali Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu 350 kg Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Sem1
Tidak tentu
Tidak tentu
Melinjo Nangka Pepaya Rambutan Daun karuk
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu 1 kali
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Sem2
Tidak tentu
Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu 60 kg
Belimbing wuluh Cabai Alpukat mentega
Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga Dikonsumsi sendiri Dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke tetangga
Sebagian dikonsumsi sendiri sebagian dijual Dikonsumsi sendiri Dimanfaatkan sendiri sebagai obat Dikonsumsi sendiri
Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga Dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke tetangga
80
Lampiran 8 (lanjutan) RW 09
Ukuran Sem3
Sem3
S1
S2
S3
B1
B2
Jenis tanaman
Belimbing buah Duku Mangga Pepaya Pisang Daun saga Lempuyang Alpukat mentega Jeruk nipis Rambutan Laos Daun saga Lempuyang Sambang darah Sirih Kacapiring Miana
Pemanfaatan terhadap Pekarangan Frekuensi Jumlah Penggunaan produk (per tahun) panen Tidak tentu Dikonsumsi sendiri dan 1 kali dibagikan ke tetangga Tidak tentu 3 kali Tidak tentu Tidak tentu 2 kali Tidak tentu 1 kali Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu 60 kg Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Dimanfaatkan sendiri
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga
Tidak tentu
Tidak tentu
Jambu air Kelengkeng Mangga Pisang Rambutan Anting-anting Sirih
Tidak tentu Tidak tentu 1 kali Tidak tentu 1 kali
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu 125 kg
Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga Dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke tetangga
Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu
Belimbing wuluh Daun katuk Alpukat mentega Mangga Pepaya Salam Pandan Daun saga Sirih
Tidak tentu Tidak tentu 2 kali 1 kali Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu 60 kg Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu
Belimbing buah Rambutan Sawo Pandan Daun saga Kembang telang Lempuyang Miana Lempuyang Belimbing wuluh Belimbing buah Delima Jambu air
Tidak tentu 1 kali Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu 200 kg Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu Tidak tentu
Sebagian dikonsumsi sendiri dan dibagi-bagi, sebagian dijual Dikonsumsi sendiri
Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga Dikonsumsi sendiri Dijual Sebagian dikonsumsi sendiri sebagian dijual
Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga Dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke tetangga
Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga Dikonsumsi sendiri Dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke tetangga
81
Lampiran 8 (lanjutan) RW 09
Ukuran B2
B3
SB1 SB2 SB3
Jenis tanaman Jambu biji
Jeruk nipis Kecapi Mangga Nangka Rambutan Bangle Daun katuk
Belimbing wuluh Alpukat mentega Pisang Mangga Cimpedak Pepaya Jambu bol Nangka Pandan -
Pemanfaatan terhadap Pekarangan Frekuensi Jumlah Penggunaan produk (per tahun) panen 6 kali Tidak tentu Dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke tetangga Tidak tentu Tidak tentu Dikonsumsi sendiri 1 kali 100 kg Dikonsumsi sendiri dan 1 kali Tidak tentu dibagikan ke tetangga Tidak tentu Tidak tentu 1 kali 200 kg Tak tentu Tak tentu
Tak tentu Tak tentu
Tak tentu 2 kali 4 kali 1 kali Tak tentu Tak tentu 6 kali Tak tentu Tak tentu
Tak tentu 90 kg Tak tentu Tak tentu Tak tentu Tak tentu Tak tentu Tak tentu Tak tentu
-
-
Dimanfaatkan sendiri sebagai obat dan dibagikan pada tetangga Dikonsumsi sendiri Sebagian dikonsumsi sendiri sebagian dijual
Dikonsumsi sendiri -
82
Lampiran 9 Lembar kuisioner No. Kuisioner :
Tanggal interview :
Data Diri Kuisioner ini dikhususkan untuk masyarakat yang tinggal di kawasan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan, kelurahan Srengseng Sawah, kotamadya Jakarta Selatan Nama Lengkap : .............................................................................................. Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan Usia : a. 18-25 tahun b. 26-35 tahun c. 36-45 tahun d. 46-55 tahun e. > 55 tahun Pekerjaan : a. Pelajar b. Mahasiswa c. Karyawan swasta d. PNS e. Wiraswasta f. Lainnya ............................................................. Tempat Tinggal : .............................................................................................. Pendidikan terakhir : a. Tidak sekolah b. SD c. SMP d. SMA e. Akademik e. Sarjana (S1, S2, S3) Pertanyaan 1. Sudah berapa lama anda tinggal di wilayah ini? ............................................................................................................................. 2. Berapa luas pekarangan anda? ............................................................................................................................. 3. Bagaimana anda memilikinya? ............................................................................................................................. 4. Berapa ukuran luas total bangunan dan pekarangan anda? ............................................................................................................................. 5. Bagaimana ciri pekarangan khas budaya Betawi menurut anda? ............................................................................................................................. 6. Apakah anda termasuk masyarakat Betawi yang melestarikan pekarangan khas budaya Betawi? Alasannya? ............................................................................................................................. 7. Apakah anda mengetahui tanaman khas budaya Betawi? Sebutkan jenisnya! (jika TIDAK, lanjut ke pertanyaan no. 10) (jika YA, maka lanjutkan ke pertanyaan berikutnya) ............................................................................................................................... 8. Darimana anda mengetahui jenis tanaman khas budaya Betawi? ............................................................................................................................... 9. Tanaman khas budaya Betawi apa saja yang ada pada pekarangan anda? Sebutkan! a. ......................................................................................................................... b. ......................................................................................................................... c. ......................................................................................................................... d. ......................................................................................................................... e. ......................................................................................................................... f. .........................................................................................................................
83
g. ......................................................................................................................... h. ......................................................................................................................... i. ......................................................................................................................... j. ......................................................................................................................... 10. Bagaimana pemanfaatan terhadap pekarangan anda? a. Frekuensi : .................................................................................. b. Jumlah panen : .................................................................................. c. Penggunaan produk : .................................................................................. d. Lainnya : .................................................................................. 11. Menurut anda, apakah pekarangan dengan tanaman dan ciri khas Betawi penting dilestarikan? Sertakan alasan anda! ............................................................................................................................. ............................................................................................................................. 12. Saran anda ............................................................................................................................. ............................................................................................................................. .............................................................................................................................
84
84
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 17 Maret 1993 dari pasangan Bapak Nasruddin Thoha dan Ibu Luthfiah Indah. Penulis merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara. Penulis memulai pendidikan di TK Islam Qurratu A’yun Jakarta pada tahun 1996. Kemudian pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan di SD Negeri 01 Pagi Pejaten Barat Jakarta. Pada periode 2004 hingga 2007, penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 107 Jakarta. Tahun 2010, penulis lulus dari SMA Negeri 60 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah bergabung pada beberapa kelembagaan intra dan ekstra kampus, yaitu Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP), Koperasi Mahasiswa (KOPMA) IPB, dan Pejuang Lingkungan IPB. Penulis pernah mengikuti kompetisi, kepanitiaan, seminar, serta kegiatan kampus lainnya baik yang bersifat akademis maupun non-akademis, antara lain National Seminar Indonesian Ministry of Tourism and Creative Economy ‘Memperingati 200 Tahun Letusan Dahsyat Gunung Tambora’ (2013), International Landscape Architecture Student (ILAS) Workshop (2012), IPB Green Living Movement #2 (2012), Green Festival IPB (2011), IPB Art Contest (2011), dan lainnya. Di bidang keprofesian, penulis pernah mengikuti paper competition pada International Association for Landscape Ecology (2013), dan juga pernah membuat Design Office Garden Kelurahan Sukatani Kabupaten Bekasi (2013) pada kegiatan Kuliah Kerja Profesi. Beasiswa yang pernah didapat oleh penulis selama berkuliah yaitu beasiswa Karya Salemba Empat (KSE) pada periode 2011 hingga 2013, dan beasiswa Penunjang Prestasi Akademik (PPA) pada periode 2012 hingga 2014.