AKULTURASI BUDAYA CINA DAN BETAWI DALAM BUSANA PENGANTIN WANITA BETAWI Astrini, Tiara, YiYing Binus University, Jl. Kemanggisan Ilir III/45, Palmerah, Jakarta Barat, 021-53276730
[email protected];
[email protected];
[email protected]
ABSTRACT From time to time, Betawi culture with it’s unique characteristics keeps developing. Betawi culture grows spontaneously with all it’s humbleness. Living in a city where local and foreign cultures meet, Betawi people has rich cultural variety. The melting pot creates a new culture which cannot be found in other places. According to Jakarta’s long history, culture had the most influence to Betawi people. The mix between Betawi and Chinese cultures is shown in Betawi bridal costume. It’s the result of acculturation between Betawi and Chinese cultures. Chinese people came to Indonesia, including Jakarta, to try make a living. And at the end it’s costume became Betawi bridal costume. Key words: culture, acculturation, betawi, bridal costume
ABSTRAK Dari masa ke masa, kebudayaan masyarakat betawi terus berkembang dengan ciri-ciri yang sangat mudah dibedakan dari kelompok etnis lain. Kebudayaan betawi tumbuh spontan dengan segala kesederhanaannya yang meriah. Tinggal di kota yang menjadi ajang pertemuan beberapa budaya lokal dengan budaya luar, tak heran jika masyarakat betawi memiliki keanekaragaman budaya yang begitu kaya. Pertemuan ini menghasilkan sebuah budaya baru yang tidak di miliki oleh daerah lain. Sejarah panjang kota jakarta mencatat bahwa budaya yang sangat kental mempengaruhi etnis betawi adalah kebudayaan china. Perpaduan kental antara kebudayaan betawi dengan kebudayaan china dapat dirasakan pada busana pernikahan pengantin wanita betawi. Pakaian adat pengantin wanita betawi adalah hasil dari akulturasi (hasil peleburan dua budaya) yaitu kebudayaan Cina dan kebudayaan betawi. Hal ini terjadi karena dahulu orang Cina sudah datang merantau nasib di berbagai wilayah Indonesia, salah satunya Jakarta. Dan pada akhirnya pakaian ini menjadi pakaian adat pengantin Betawi. Kata kunci: kebudayaan, akulturasi, betawi,busana pernikahan
PENDAHULUAN Indonesia merupakan Negara yang sangat kaya. Terdiri dari berbagai suku dan bahasa. Termasuk di antaranya adalah masyarakat keturunan Tionghoa dan masyarakat Betawi. Masyarakat keturunan Tionghoa adalah
salah satu etnis di Indonesia. Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Masyarakat Betawi adalah berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makasar, Ambon, dan Melayu serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Cina, dan Eropa. Kata Betawi berasal dari kata "Batavia," yaitu nama lama Jakarta pada masa Hindia Belanda. Pakaian adat pengantin betawi adalah hasil dari akulturasi (hasil peleburan dua budaya) yaitu kebudayaan Cina (Tionghoa) dan kebudayaan Indonesia. Hal ini terjadi karena dahulu orang Cina sudah datang merantau nasib di berbagai wilayah Indonesia, salah satunya Jakarta. Dan pada akhirnya pakaian adat ini menjadi pakaian adat pengantin Betawi. Pakaian adat Pengantin Betawi disebut juga sebagai Putri Cina. Nama ini disematkan karena banyaknya kesamaan dengan pakaian pengantin yang dipakai oleh putri Dinasti Cina pada abad ke-7. Di Cina, pakaian ini hanya digunakan oleh para pengantin wanita yang berasal dari kaum bangsawan. Begitu kentalnya nuansa Budaya Cina dipakaian adat Pengantin Betawi membuat sang pengantin wanita yang mengenakan busana ini terlihat seperti Putri Cina dengan pakaian khas Kekaisaran Cina. Dalam kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan dari Parahyangan) diceritakan tentang kedatangan rombongan Tjen Tjie Lung di muara sungai Cisadane yang sekarang diberi nama Teluk Naga pada tahun 1407. Rombongan ini membawa tujuh kepala keluarga dan diantaranya terdapat sembilan orang gadis dan anak-anak kecil. Sejak itu, mereka tinggal dan berbaur dengan kebudayaan lokal dan terjadi perkawinan campur, antara dua kebudayaan yang berbeda, yaitu kebudayaan cina dan kebudayaan betawi. Dari perkawinan campur ini, masyarakat Betawi menggunakan symbol burung phoenix dan naga sebagai symbol dalam busana pengantin wanita Betawi. Berdasarkan penjelasan singkat di atas, kami tertarik untuk meneliti tentang unsur akulturasi Budaya Tionghoa dan Budaya Betawi dalam busana pernikahan pengantin wanita Betawi.
METODE PENELITIAN Penulis melakukan penelitian ini dengan menggunakan metode studi pustaka. Penulis mengumpulkan data melalui buku dan jurnal yang telah ditentukan selama 2 bulan, kemudian melakukan analisa tentang persamaan dan perbedaan busana pernikahan pengantin wanita betawi dengan busana pernikahan pengantin wanita china. Penelitian dilakukan sejak bulan oktober sampai bulan november 2012.
HASIL DAN BAHASAN Teori Akulturasi Mengenai pengertian tentang akulturasi, Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi (1979:247-248) mengemukakan bahwa: Akulturasi adalah Proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Kamus Besar Bahasa Indonesia(1989),istilah akulturasi diartikan sebagai penyerapan yang terjadi oleh seorang individu atau sekelompok masyarakat, terhadap beberapa sifat tertentu dari kebudayaan kelompok lain sebagai akibat dari kontak atau interaksi dari kedua kelompok kebudayaan tersebut, sedangkan akulturasi budaya diartikan sebagai hasil interaksi manusia berupa pencampuran dari beberapa macam kebudayaan secara perlahan menuju bentuk budaya baru. Proses dari wujud akulturasi kebudayaan, terjadi ketika beberapa kebudayaan saling berhubungan secara intensif dalam jangka waktu yang cukup lama, kemudian masing-masing dari kebudayaan tersebut berubah saling menyesuaikan diri menjadi satu kebudayaan. Bentuk dari perwujudan akulturasi budaya, merupakan salah satu hasil aktivitas manusia dalam menjalankan proses perpaduan budaya. Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akulturasi sama dengan kontak budaya, yaitu bertemunya dua kebudayaan yang berbeda dan melebur
menjadi satu, sehingga menghasilkan adanya kontak kebudayaan baru atau sebuah akulturasi yang menghasilkan bentuk-bentuk kebudayaan baru dan tidak melenyapkan kebudayaan aslinya. Akulturasi budaya ini juga terjadi karena adanya keterbukaan suatu kelompok masyarakat yang mengakibatkan kebudayaan yang mereka miliki akan terpengaruh dengan kebudayaan kelompok masyarakat lain. Selain keterbukaan masyarakatnya, perubahan kebudayaan juga disebabkan oleh “perkawinan campur“ antara dua kelompok kebudayaan yang berbeda, misalnya perkawinan campur antara etnis Cina dan etnis betawi. Akulturasi budaya bisa juga terjadi karena adanya keinginan untuk maju serta sikap mudah menerima hal-hal baru dan toleransi terhadap perubahan. Bersamaan dengan penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok manusia di muka bumi, turut pula tersebar unsur-unsur kebudayaan dari proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan keseluruh penjuru dunia yang disebut proses difusi. Salah satu bentuk difusi adalah penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi, yang dibawa oleh kelompok-kelompok manusia yang bermigrasi. Penyebaran unsur-unsur kebudayaan dapat juga terjadi tanpa ada perpindahan kelompok-kelompok manusia atau bangsa-bangsa dari satu tempat ke tempat lain, tetapi oleh karena ada individu-individu tertentu yang membawa unsur-unsur kebudayaan itu. Mereka itu adalah terutama pedagang dan pelaut. Unsur-unsur kebudayaan asing dibawa oleh para pedagang masuk ke dalam kebudayaan penerima dengan tidak disengaja dan tanpa paksaan. (Koentjaraningrat,1979:244-245). Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk (multietnik), selalu menimbulkan perpaduan antara kebudayaan inti (kebudayaan asli) dengan kebudayaan luar lainnya. Konsep melting pot (tempat bertemunya berbagai suku,agama dan tempat persinggahan antar bangsa) merupakan salah satu hasil dari sebuah wujud akulturasi budaya, ketika unsur-unsur kebudayaan saling bertemu dan melebur menjadi satu kebudayaan. Proses perubahan kebudayaan tersebut terjadi dikarenakan adanya kontak langsung terus menerus dengan kebudayaan asing yang berbeda (ada unsur kebudayaan asing yang mudah diterima, ada juga yang sukar diterima bahkan ditolak).
Unsur Budaya Cina Dalam Busana Pernikahan Pengantin Wanita Betawi Sejarah panjang kota jakarta mencatat bahwa budaya yang sangat kental mempengaruhi etnis betawi adalah kebudayaan china. Ini menunjukkan hubungan yang sangat baik, antar orang Cina dan Betawi yang sudah berlangsung sangat lama. Pengaruh budaya cina terhadap budaya Betawi, khususnya terasa dalam pakaian adat pengantin wanita betawi. Unsur-unsur kebudayaan China dibawa oleh para pedagang masuk ke dalam kebudayaan Betawi, tercermin dari busana pernikahan dan asesoris kepala pengantin wanita betawi.
Busana Pengantin Wanita Betawi Busana pengantin wanita betawi mempunyai kemiripan dengan busana pengantin wanita cina selatan, yang
群褂
disebut qun gua ( ). Busana pengantin wanita betawi terdiri dari 2 bagian. Baju bagian atas disebut Tuaki .Tuaki adalah blus lengan panjang yang diberi benang karet pada pergelangan, bermodel kerah shanghai,dengan kerah tertutup dan memiliki kancing dari atas sampai bawah, yang dibuat dari bahan satin atau beludru yang gemerlapan.Warna Tuaki disesuaikan dengan warna rok, Yang biasanya berwarna merah cerah.Tinggi leher 3 cm dan panjang sebatas pinggul.Tuaki dihiasi dengan motif yang khas, seperti naga, burung hong ( phoenix ), dan bunga peony. Motif motif ini merupakan ciri khas pakaian kekaisaran China. Burung hong, yang biasa disebut burung surga ini melambangkan kebahagiaan. Model baju yang sangat sederhana pada busana adat pengantin wanita betawi ini, tampil begitu meriah dengan perlengkapan yang serba unik. Teratai,yaitu hiasan penutup dada dan bahu yang dikenakan di atas Tuaki. Teratai terdiri atas 8 lembaran kecil daun yang dirangkai menjadi daun teratai bertahtakan manik manik. Teratai berfungsi sebagai tanda pengenal untuk mengetahui dari kerabat mana pengantin wanita berasal. Paduan tuaki adalah kun, yaitu rok melebar ke bawah dengan panjang sampai mata kaki. Rok nya terbuat dari bahan satin atau beludru yang berhiaskan manik-manik yang dibentuk menjadi motif burung hong(phoenix), naga atau bunga peony. Warna kun ini disesuaikan dengan warna tuaki. Warna- warna cerah yang dipilih, baik dari bahan satin ataupun beludru. Gemerlapan hiasan tuaki dan kun melambangkan suka cita dan keceriaan kedua pengantin dan seluruh keluarganya.
Keunikan lainnya terdapat pada tata rias di bagian kepala. Rambut disanggul tanpa sasakan, yang disebut sanggul buatun.Letak sanggul di tengah tengah agak ke atas, yang memperlihatkan tengkuk pengantin. Caranya adalah dengan melilitkan secara berputar, sehingga membentuk tiga tingkat lingkaran, yang kemudian dipadatkan dengan tusuk konde. Tusuk konde berupa pasak berbentuk huruf leam(huruf arab) merupakan simbol pengakuan akan keesaan Allah yang ditusukkan diatas siangko kecil penutup simpul tali cadar. Ketiga tingkat lingkaran ini melambangkan siklus kehidupan yang dimulai dari kelahiran, kehidupan dan kematian. Hiasan kepala yang digunakan cukup kompleks. Diantaranya adalah siangko cadar besar yang menjuntai indah menutupi wajah,yang biasanya terbuat dari manik manik berbahan emas atau perak yang menunjukkan bahwa sang pengantin berasal dari kelompok menengah atas. Siangko bercadar ini melambangkan kesucian seorang gadis yang disimbolkan dengan tidak boleh dilihatnya wajah mempelai wanita oleh orang lain. Di atas siangko bercadar ini diletakkan sigar atau mahkota dengan motif bunga-bungaan yang dipenuhi permata. Hiasan rambut lainnya adalah tusuk paku atau kembang paku yang berjumlah 10 buah yang ditancapkan di sanggul, yang dimaksudkan sebagai lambing penangkal bahaya.. Tusuk bunga atau kembang tancep yang berjumlah 5 buah yang melambangkan 5 rukun islam sebagai pegangan hidup. Kembang goyang berjumlah 20 buah yang dipakai bersama dengan 2 buah kembang kelapa yang dipasang di kiri dan kanan sanggul. Kembang goyang melambangkan pengakuan terhadap 20 sifat kebesaran Allah yang wajib diturunkan dan diajarkan pada keturunannya. Kembang kelapa merupakan simbol pengharapan agar pernikahan yang dilakukan tetap kokoh dan kuat seperti pohon kelapa, sehingga akan menjadi pernikahan yang langgeng, sejahtera dan bahagia.Kembang goyang adalah perhiasan yang dipasangkan di rambut atau sanggul (konde) dan dapat bergerak-gerak apabila digerakkan karena memiliki pegas yang dipasangkan pada kembang goyang tersebut. Hiasan kembang goyang dibuat dari logam (kuningan, tembaga, perak, atau emas) dan kadangkadang diberi hiasan batu permata.Selain itu, ada tusuk lam, yang ditancapkan di sanggul sebagai lambing huruf “Lam”, yang digunakan untuk melambangkan keesaan Allah, Sang Pencipta. Hiasan burung hong adalah hiasan lain yang tidak boleh ketinggalan, yaitu hiasan berupa tusuk berukuran agak panjang, yang bagian ujungnya terdapat replika berbentuk Burung Hong, khas aksesoris dari China. Jumlahnya yang 4 buah melambangkan 4 sahabat Rasullullah, Nabi Besar Muhammad SAW. Burung hong sendiri dianggap sebagai simbol burung surga yang melambangkan kebahagiaan kedua pengantin. Letak burung hong ini juga memiliki arti tersendiri, yang berkaitan dengan kecocokan antara pihak keluarga kedua pengantin. Sebagai pelengkap yang menunjang keserasian, biasanya telinga pengantin dihias dengan sepasang kerabu. Kerabu ini merupakan perpaduan anting dan giwang yang dijadikan satu. Perhiasan ini dipercaya memiliki kekuatan magis, karena bila dipakai pengantin yang tidak perawan, maka si pemakai akan merasa pusing, bahkan pingsan. Pengantin wanita juga mengenakan perhiasan berupa kalung tebar, yang diletakkan di atas teratai betawi. Selain itu ada Gelang listring, yang dipakai di atas lengan tuaki, serta cincin emas yang berhiaskan permata yang dipakai di jari manis. Aslinya seluruh perhiasan yang dikenakan oleh pengantin wanita betawi terbuat dari emas dan dihiasi intan permata. Namun saat ini, umumnya hanya merupakan sepuhan warna emas, sedangkan hiasannya lebih banyak menggunakan manik-manik.
Busana Pengantin Wanita Cina Selatan
群 褂) . Pengantin wanita Cina Selatan memakai busana 2 bagian, yaitu Qun (群) adalah rok panjang semata kaki, sedangkan Gua (褂) mengacu pada mantel bergaya Cina kalangan atas yang panjangnya sebatas pinggul,dengan model kerah tertutup sampai ke atas leher dan lengan panjang. Orang Cina yang memakai Qun Gua (群 褂) melambangkan kelimpahan Busana pernikahan tradisional pengantin wanita Cina Selatan disebut dengan Qun Gua (
儿女 成群
anak ( ). Dalam budaya china, adalah tradisi untuk pengantin wanita mengenakan pakaian dan rok berwarna merah cerah yang disulam dengan benang merah dan perak, dengan jahitan berbentuk bunga meihua, bunga lotus dan bunga peony. Selain motif tumbuhan, juga terdapat motif hewan. Hewan yang biasanya menjadi
群褂
motif pada Qun Gua ( ) adalah naga dan burung hong. Pengantin wanita juga memakai cadar yang menjuntai indah menutupi wajah, yang melambangkan kesucian seorang gadis yang disimbolkan dengan tidak boleh dilihatnya wajah mempelai wanita oleh orang lain. Di atas cadar ini diletakkan mahkota dengan motif bunga-bungaan atau burung hong. Pakaian dan rok tersebut juga disertai dengan motif - motif khas china seperti bunga peony yang menyimbolkan kemakmuran dan kecantikan wanita, bunga meihua yang menyimbolkan keberuntungan, serta bunga lotus yang menyimbolkan cinta,kesucian dan keharmonisan. Warna merah dipercaya akan mendatangkan kesejahteraan yang baik dan keberuntungan yang kuat untuk menjaga diri dari roh-roh jahat. Naga merupakan lambang kebesaran dalam kebudayaan china serta identik dengan kekuatan dan kehebatan. Naga juga dianggap sebagai sumber kebijaksanaan. Burung hong(phoenix) adalah untuk melambangkan penyatuan terhadap keluarga baru. Dahulu di Cina hanya Kaisar dan Permaisuri atau anggota keluarga kekaisaran yang dapat menggunakan motif naga dan burung hong ( phoenix ). Rakyat biasa tidak diperbolehkan menggunakan motif naga dan burung hong, kalau mereka memakainya, maka akan dianggap sebagai melakukan pengkhianatan. Dahulu di Cina, sesuai kebiasaan, warna dan kombinasi dari qun gua bervariasi, tergantung dari pangkat seseorang dan senioritas dalam keluarga. Hanya istri pertama yang dapat memakai qun gua berwarna merah, sedangkan para selir memakai warna
裙褂
)terbuat dari sutra dan satin. Bahan-bahan tersebut akan membuat busana pengantin merah muda.qun gua ( wanita ini tampak mewah dan menawan.
Persamaan Busana Pengantin Wanita Betawi Dengan Cina Selatan Persamaan tata rias pengantin wanita Betawi dan Cina Selatan, salah satunya bisa dilihat dari busana pernikahan. Pengantin wanita Betawi, yaitu kun dan tuaki dan China Selatan memakai busana yang terbuat dari bahan satin, sutera atau beludru dan memakai warna warna cerah seperti merah terang, dengan busana yang terdiri dari 2 bagian,atasan dan bawahan, yang terdiri dari baju & rok, yang disebut qun gua (
群 褂 ).
Pengantin wanita Betawi dan China Selatan memakai busana lengan panjang dan modelnya yang mengikuti bentuk badan si pemakai yang panjangnya sebatas pinggul, dengan ciri khas kerahnya yang tertutup sampai ke atas leher. Pakaian ini dihiasi dengan motif naga, burung hong ( phoenix ), dan bunga peony. Kedua pengantin wanita juga memakai rok yang terbuat dari bahan satin, sutera atau beludru dengan panjang sampai mata kaki, yang dihiasi dengan motif motif khas kekaisaran China, seperti burung hong ( phoenix ), naga, dan bunga peony. Dipakainya pakaian dan rok yang bermotif burung hong ( phoenix ), pada busana pengantin wanita Betawi dan China, juga memiliki arti yang sama, yaitu melambangkan penyatuan terhadap dua keluarga baru dan melambangkan kebahagiaan kedua mempelai dan keluarganya. Warna busana pengantin wanita Betawi dan China Selatan juga bisa dikombinasikan. Tidak harus warna pakaian dan rok memakai warna yang sama, tetapi bisa juga berbeda. Misalnya pakaian berwarna emas dikombinasikan dengan rok berwarna merah. Bisa juga pakaian berwarna hitam dikombinasikan dengan rok berwarna merah atau pakaian berwarna merah dikombinasikan dengan rok berwarna hitam. Dilihat dari tata rias kepala, kedua pengantin wanita menggunakan penutup wajah atau cadar yang terbuat dari manik manik berbahan emas atau perak, yang menjuntai indah menutupi wajah. Dari penggunaan cadar kedua pengantin wanita ini, memiliki arti yang sama, yaitu yang melambangkan kesucian seorang gadis yang disimbolkan dengan tidak boleh dilihatnya wajah mempelai wanita oleh orang lain. Kedua pengantin juga menggunakan hiasan kepala berbentuk burung hong ( phoenix ).Burung hong adalah lambang khas kekaisaran Cina.
Perbedaan Busana Pengantin Wanita Betawi Dengan Cina Selatan Perbedaan tata rias pengantin wanita Betawi dan Cina Selatan, salah satunya bisa dilihat dari busana pengantin. Pada Pengantin wanita betawi terdapat pakaian yang polos ( tidak bermotif ), sedangkan pada pakaian pengantin wanita China selalu bermotif. Pengantin wanita betawi menggunakan hiasan kepala berupa tusuk yang
ditancapkan ke sanggul, sedangkan pengantin wanita China menggunakan hiasan kepala yang menyerupai mahkota. Kalau dilihat dari hiasan kepala. Tidak hanya pengantin wanita Cina Selatan yang menggunakan hiasan kepala yang menyerupai mahkota.Hampir semua pengantin wanita Cina menggunakan hiasan kepala yang menyerupai mahkota. Selain itu, perbedaan juga terlihat dari alas kaki yang dipakai. Pengantin wanita Betawi memakai selop berbentuk seperti perahu kolek,dengan hiasan manik manik dengan ujungnya runcing dan melengkung ke atas, sedangkan pengantin wanita China, bisa memakai selop yang berhiaskan manik manik, bisa juga memakai sepatu yang bagian depan ujungnya agak bulat, dengan hiasan bermotif naga, burung hong ( phoenix ), dan bunga bunga. Selop pengantin wanita betawi tidak hanya berwarna merah, tetapi bisa juga berwarna lain, misalnya ungu dan emas. sedangkan sepatu dan selop pengantin wanita cina, identik dengan warna merah.
SIMPULAN DAN SARAN Betawi adalah salah satu dari ribuan suku yang ada di Indonesia dan sangat kaya dengan kesenian dan budaya. Budaya Betawi dalam perkembangannya mengalami percampuran dengan budaya dari etnik pendatang, misalnya Cina. Unsur kebudayaan yang di bawa masyarakat pendatang, lama kelamaan bercampur dengan budaya lokal. Kata “Betawi” berasal dari kata” Batavia”, yaitu nama lama Jakarta pada masa Hindia Belanda. Dari masa ke masa, kebudayaan masyarakat betawi terus berkembang dengan ciri ciri yang sangat mudah dibedakan dari kelompok etnis lain. Kebudayaan betawi tumbuh spontan dengan segala kesederhanaannya yang meriah. Tinggal di kota yang menjadi ajang pertemuan beberapa budaya lokal dengan budaya luar, tak heran jika masyarakat betawi memiliki keanekaragaman budaya yang begitu kaya. Pertemuan ini menghasilkan sebuah budaya baru yang tidak di miliki oleh daerah lain. Sejarah panjang kota Jakarta mencatat bahwa budaya yang sangat kental mempengaruhi etnis Betawi adalah kebudayaan Cina. Pertemuan ini menghasilkan sebuah budaya baru yang tidak dimiliki daerah lain. Pengaruh budaya cina terhadap budaya Betawi, khususnya terasa dalam pakaian adat pengantin wanita betawi. Pakaian adat pengantin wanita betawi adalah hasil dari akulturasi budaya, yaitu budaya Cina dan budaya Betawi. Akulturasi budaya ini terjadi sejak ratusan tahun lalu, sejak orang Cina datang merantau nasib di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya Jakarta dan terus berkembang sampai saat ini. Pakaian Pengantin wanita Betawi disebut juga sebagai pakaian Putri Cina, karena begitu kentalnya nuansa budaya Cina di pakaian adat pengantin wanita Betawi. Dahulu, Di Cina, hanya wanita yang berasal dari keluarga kekaisaran dan keluarga bangsawan yang dapat memakai pakaian ini. Oleh karena itulah, pakaian adat pengantin wanita Betawi sering disebut dengan pakaian putrid Cina. Masyarakat betawi memahami dengan jelas tentang arti dari simbol simbol yang mereka pakai dalam busana pengantin wanita betawi. masyarakat betawi mempunyai petuah tentang ajaran, amanat dan nasihat supaya manusia dapat hidup selaras dengan alam. Petuah itu dikeluarkan oleh tetua masyarakat untuk menjadi pedoman dalam hidup sehari-hari. Legenda-legenda hewan juga telah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses perjalanan hidup masyarakat betawi, sehingga mereka menggunakan symbol simbol hewan sebagai pedoman hidup mereka sehari hari, khususnya dalam busana pengantin wanita betawi, yang terdapat symbol khas kekaisaran cina, yaitu naga dan burung phoenix. Masyarakat betawi mempunyai pandangan dan kebanggaan tersendiri terhadap busana pengantin mereka, khususnya pada busana pengantin wanita betawi. Mereka mempunyai pandangan, bahwa seseorang yang memakai busana pengantin dengan symbol burung phoenix dan naga, akan menambah kewibawaan pada orang yang memakainya. Bagi masyarakat Betawi sendiri, segala yang tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan seni budayanya dirasakan sebagai miliknya sendiri, tanpa mempermasalahkan dari mana asal unsur-unsur yang telah membentuk kebudayaannya itu. Para Pendatang dari Cina dan kebudayaannya berkembang pesat di Nusantara dan berakulturasi dengan kebudayaan lokal di Indonesia. Sejak itu, kebudayaan cina banyak bercampur dengan kebudayaan berbagai daerah di Indonesia, termasuk dengan budaya Betawi, dan masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan di Indonesia. Bagi masyarakat Betawi sendiri, segala yang tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan seni budayanya, dirasakan sebagai miliknya sendiri, tanpa mempermasalahkan dari mana asal unsur unsur yang telah membentuk kebudayaannya itu.
Para Pendatang dari Cina dan kebudayaannya berkembang pesat di Nusantara dan berakulturasi dengan kebudayaan lokal di Indonesia. Sejak itu, kebudayaan cina banyak bercampur dengan kebudayaan berbagai daerah di Indonesia, termasuk dengan budaya Betawi, dan masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan di Indonesia. Bagi masyarakat Betawi sendiri, segala yang tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan seni budayanya, dirasakan sebagai miliknya sendiri, tanpa mempermasalahkan dari mana asal unsur unsur yang telah membentuk kebudayaannya itu.
REFERENSI [1] Koentjaraningrat. (1981). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. [2] Santoso, T. (2010). Tata Rias dan Busana Pengantin Seluruh Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. [3] Sung, V. (2002). Five-Fold Happiness. California : Chronicle Books LLC. [4] Rais, M. (2010). Tata Rias Pengantin Betawi Tradisional dan Modifikasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. [5] Adi, W. (2010). Menyisir Jejak Betawi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. [6] Junus, M. (1997). Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: PT. Pamator. [7] Kong, Y. (2005). Silang Budaya Tiongkok Indonesia. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. [8] Tim Bina Karya Guru. (2008). Pendidikan Lingkungan Kehidupan Jakarta. Jakarta: Erlangga. [9] Wibisono, L. (2006). Etnik Tionghoa Indonesia. Jakarta: PT. Intisari Mediatama. [10] Tan, M. (2008). Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. [11] Hambali, M. (2012).Care None Pengantin Cine. Perpustakaan Digital Budaya Indonesia, diakses 07 Januari 2013 dari budaya-indonesia.org [12]
华栂著。 服饰与中国文化[M] 。 北京: 北京人民出版社 , 2001。
[13]
陈夏生。 中国的服饰[M] 。 台北: 台湾 正 文府 教育 听儿 读 物出片部, 1991。
[14]
高春明。 中国服饰[M] 。上海: 上海外语教育出版社, 2001 。
[15] http ://budaya-tionghoa.net/home/550-pengarruh-budaya-tionghoa-dalam-budayabetawi [16] http ://qungua.com [17] http://budaya-indonesia.org/care-none-pengantin-cine