UNIVERSITAS INDONESIA
EKSISTENSI TARI COKEK SEBAGAI HASIL AKULTURASI BUDAYA TIONGHOA DENGAN BUDAYA BETAWI
MAKALAH NON SEMINAR
CLARISSA AMELINDA 1006700242
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI CINA DEPOK FEBRUARI 2014
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
EKSISTENSI TARI COKEK SEBAGAI HASIL AKULTURASI BUDAYA TIONGHOA DENGAN BUDAYA BETAWI
Clarissa Amelinda Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
[email protected]
Abstrak
Makalah ini membahas eksistensi tari Cokek sebagai warisan budaya Betawi yang juga merupakan hasil akulturasi dengan budaya masyarakat Tionghoa. Dalam penelitian ini akan dipaparkan bagaimana kebudayaan masyarakat Tionghoa memperngaruhi tari Cokek. Di samping itu, penelitian ini juga memaparkan pandangan kedua masyarakat ini terhadap tari Cokek, serta usaha-usaha pelestarian yang telah dilakukan maupun yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah agar eksistensi tari ini tetap terjaga. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh-pengaruh budaya Tionghoa pada tari Cokek dan juga menjelaskan keberadaan tari Cokek dari masa awal perkembangannya oleh masyarakat Tionghoa dan masyarakat Betawi. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menumbuhkan ketertarikan pembaca untuk mengenal tari ini. Hingga kini, tari Cokek masih dapat bertahan, meskipun keberadaannya hanya sebatas pada daerah kelahirannya, yakni Tangerang.
Abstract The Existence of Cokek Dance as The Acculturation of Chinese and Betawi Culture discusses the existence of Cokek dance as one of Betawi cultural heritages and an acculturation with Tionghoa culture. This paper will explain how far Chinese culture influences this dance. In addition, this paper also explains the overview of these two communities, Betawi and Tionghoa, to Cokek dance and preservation efforts that have been done and should be done by the public and government to maintain the existence of this dance. The purposes of this research are to explain Chinese culture influences that affected Cokek dance and to explain the existence of Cokek dance from the beginning of its developments by Chinese and Betawi society. This research aims to gain readers’ interest about Cokek dance. Now, Cokek dance can still survive up, eventhough its presence merely in the area where it was developed first, Tangerang. Keywords: existence, acculturation, cokek dance
1. Pendahuluan Jakarta yang dikenal dengan nama Batavia semenjak zaman penjajahan (abad XVII) merupakan tempat
pertemuan antar berbagai budaya yang dibawa oleh para pendatang, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Akulturasi yang terjadi dengan adanya para pendatang tersebut menjadikan sebuah komunitas tersendiri dari masyarakat Jakarta. Percampuran penduduk dari berbagai
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
etnis seperti Jawa, Minang, Sunda, Batak dan lain-lain ini memberikan nuansa dari kehidupan kota Batavia yang heterogen. Dalam perkembangannya (abad XIX) terjadilah perpaduan antar ettnis yang ada di Batavia ini, baik yang berasal dari nusantara maupun mancanegara. Sesuai dengan teori salad bowl 1 , perpaduan antar masyarakat ini membuat masyarakat Batavia menjadi suatu kelompok etnis dengan ciri khas tersendiri. Masyarakat etnis tersebut menamakan komunitasnya dengan sebutan masyarakat Betawi.2 Pembauran yang terjadi pada zaman itu memperlihatkan masyarakat Betawi sebagai kelompok sosial kultural yang berbeda dengan kelompok lainnya. Hal itu tampak dari adat istiadat, bahasa yang dipergunakan dan jenis keseniannya. 3 Hinga saat ini dapat kita lihat bahwa kesenian dan kebudayaan masyarakat Betawi tidak lepas dari pengaruh bangsa-bangsa lain, seperti Keroncong Tugu yang mendapatkan pengaruh dari bangsa Portugis, Tanjidor yang mendapat pengaruh dari bangsa Belanda, Gambang Kromong yang mendapat pengaruh dari bangsa Tionghoa, serta Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab. Salah satu bangsa yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat Betawi adalah bangsa Tionghoa. Pengaruh bangsa Tionghoa ini dapat terlihat hampir pada semua segi kehidupan masyarakat Betawi, mulai dari penyerapan bahasa Hokkian menjadi bahasa Betawi hingga pada salah satu tari tradisional Betawi, yakni tari Cokek. Menurut J. Kunst dalam Husein Wijaya (2000 : 79), tari Cokek merupakan suatu tarian yang dilakukan sambil bernyanyi dan dianggap sebagai seni budaya orang-orang keturunan Tionghoa. Hampir pada setiap aspek pada tari Cokek ini pun tidak terlepaskan dari pengaruh kebudayaan masyarakat Tionghoa, baik dari segi gerak, musik pengiring hingga kostumnya. Dalam masyarakat
1
2
Teori Salad Bowl menjelaskan bahwa keberagaman sayuran dan bumbu (masyarakat multietnis) dalam satu mangkuk salad (bangsa) saling membaur, namun tidak meninggalkan rasa asli dari sayuran dan bumbu itu sendiri. Dengan kata lain, meskipun masyarakat antar etnis ini sudah membaur dalam suatu bangsa, namun tetap bisa dikenali karena tetap memperlihatkan budaya asalnya. (Bruce M. Mitchel, Robert E. Salsbury, 1999:209) Lance Castle. The Ethnic Profile of Djakarta, dalam Majalah Indonesia I (1967), hlm. 153-204.
3
Budiaman, etal., FolklorBetawi, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1979), hlm.17
sendiri, pertunjukan tari Cokek ini berfungsi untuk menghibur masyarakat. Namun, dalam perkembangannya, terdapat pihak-pihak yang mendukung dan juga mengecam tari yang berkembang di Tangerang ini. Dukungan dan kecaman ini berpengaruh besar pada eksistensi dan kontinuitas tari Cokek sendiri. Di samping itu, perkembangan masyarakat yang menuju modernitas mempengaruhi pola pikir masyarakat sehingga banyak terjadi amnesia budaya pada generasi muda. Hal ini juga berdampak pada eksistensi tari Cokek di tengah masyarakat. Dalam mengantisipasi amnesia budaya pada generasi muda dan mencegah kepunahan seni budaya, pola pikir masyarakat yang semakin maju membuat sebagian masyarakat mencari jalan untuk tetap mempertahankan eksistensi tari Cokek dan seni budaya Betawi lainnya. Oleh karena itu, penelitian ini akan memaparkan bagaimana pengaruh kebudayaan masyarakat Tionghoa terhadap tari Cokek? Bagaimanakah pandangan masyarakat Tionghoa dan masyarakat Betawi terhadap tari Cokek ini? Seberapa besar kah pandangan masyarakat mempengaruhi eksistensi tari ini? Bagaimana eksistensi tari Cokek saat ini? Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruhpengaruh budaya masyarakat Tionghoa pada tari Cokek dan menjelaskan keberadaan tari Cokek dari masa awal perkembangannya oleh masyarakat Tionghoa dan masyarakat Betawi. Penelitian ini diharapkan akan menambah wawasan pembaca mengenai akulturasi yang terjadi antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat Betawi yang khususnya berdampak pada bidang kebudayaan, terutama mengenai tari Cokek. Penelitian ini juga diharapkan akan menumbuhkan ketertarikan dan minat pembaca terhadap tari Cokek sehingga tari Cokek sebagai sebuah warisan budaya bangsa Indonesia tidak akan punah seiring perkembangan zaman. Penelitian ini meneliti di bidang kebudayaan, secara khusus mengenai kebudayaan yang merupakan hasil akulturasi dua masyarakat. Pada penelitian ini akan dibatasi pada perkembangan tari Cokek di Jakarta dan Tangerang. Selain itu, penelitian ini terbatas pada pandangan-pandangan masyarakat Betawi dan juga masyarakat Tionghoa di Jakarta dan Tangerang terhadap tari Cokek. Penelitian ini bukan merupakan penelitian pertama yang mengangkat permasalahan pada tari Cokek. Sebelum
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
penelitian ini telah ada sebuah skripsi dari Emma Kurniasih, mahasiswi Universitas Negeri Jakarta, pada tahun 2000 yang berjudul Perkembangan Bentuk Tari Cokek di Teluk Naga Tangerang. Namun, perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada fokus permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini akan menitikberatkan pada permasalahan tari Cokek sebagai sebuah produk akulturasi dua budaya, yakni budaya masyarakat Tionghoa dengan budaya masyarakat Betawi, sedangkan fokus dari penelitian terdahulu hanya pada perkembangan bentuk tari Cokek.
2. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan sampel melalui wawancara. Demi memperkuat hasil wawancara yang telah dilakukan kepada beberapa narasumber, hasilnya ditinjau kembali dengan studi pustaka.
3. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka pembabakan makalah ini terbagi menjadi empat subbagian, yakni : tari Cokek sebagai akulturasi budaya masyarakat Tionghoa dan Betawi, perspektif masyarakat terhadap tari Cokek, perkembangan tari Cokek dan eksistensi tari Cokek masa kini. 3.1 Tari Cokek Sebagai Akulturasi Masyarakat Tionghoa dan Betawi
Budaya
Tari Cokek adalah sebuah tari yang lahir pada lingkungan masyarakat Betawi-Tionghoa di pinggiran ibu kota Jakarta, yakni di Teluk Naga, Tangerang. Dahulu, Sungai Cisadane yang terletak di daerah Teluk Naga merupakan akses strategis bagi para pedagang Tionghoa untuk menjual barang-barang dagangannya kepada masyarakat Tangerang pada masa itu. Perdagangan di kota ini berkembang dengan pesat. Banyak pedagang yang makmur dan akhirnya membeli tanah di sana. Orang-orang yang memiliki hak atas penggunaan tanah inilah yang kemudian disebut tuan tanah. Mereka mulai menetap di kawasan ini dan mulai membaur bersama penduduk asli. Pembauran kedua masyarakat ini pada akhirnya membawa akulturasi bagi segala aspek kehidupan diantara keduanya. Menurut KBBI (2008) akulturasi adalah : 1. percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi; 2. proses masuknya pengaruh
kebudayaan asing di suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu, dan sebagian berusaha menolak pengaruh itu; 3. proses atau hasil pertemuan kebudayaan atau bahasa di antara anggota dua masyarakat bahasa, ditandai oleh peminjaman atau bilingualisme. Hingga saat ini hasil akulturasi yang terjadi diantara kedua masyarakat ini masih banyak ditemukan pada bahasa, kesenian dan kebudayaan masyarakat Betawi, salah satunya adalah tari Cokek. Tari Cokek ini merupakan hasil percampuran dua kebudayaan, yakni kebudayaan masyarakat Tionghoa dengan kebudayaan masyarakat Betawi yang saling mempengaruhi. Hal ini senada dengan yang dinyatakan oleh Brian Longhurst, Greg Smith,dll (2008) bahwa dalam memahami makna dari berbagai bentuk budaya, jangan hanya melihatnya dari satu kebudayaan itu saja, tetapi seharusnya juga melihat dari adanya hubungan kecocokan dari pertemuan budaya yang berbeda. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dipaparkan tari Cokek sebagai sebuah tari Betawi yang mendapatkan pengaruh kuat dari kebudayaan Tionghoa. Berdasarkan KBBI (2008), Cokek merupakan kesenian tradisional Betawi yang diiringi gambang kromong dengan penari wanita yang juga bersedia diajak menari bersama para tamu. Nama Cokek sendiri berasal dari bahasa Hokkian chniou-khek yang berarti menyanyikan lagu.4 Dalam bahasa Mandarin dibaca juga chàng gē (唱 歌). Disebut menyanyikan lagu karena sebenarnya pada awal perkembangan, tari Cokek bukanlah sebuah tari yang berdiri sendiri, tetapi juga dengan menyanyi. Cokek sebenarnya merupakan sebuah sebutan bagi seorang penyanyi yang mengiringi alunan gambang kromong, namun mereka tidak hanya menyanyi, melainkan juga menari. Mereka lebih dikenal dengan sebutan wayang cokek. Oleh sebab itu, hingga sekarang pun tari Cokek tidak dapat dipisahkan dari Gambang Kromong yang juga merupakan salah satu hasil akulturasi dengan masyarakat Tionghoa. Berbagai aspek dalam tari Cokek mulai dari gerakan, kostum hingga musik merupakan hasil akulturasi masyarakat Betawi dengan masyarakat Tionghoa. Tari Cokek merupakan sebuah tari sosial atau pergaulan yang berfungsi sebagai hiburan. Tari Cokek juga dipertunjukkan ketika ada acara-acara besar seperti pernikahan, sunatan atau penyambutan tamu-tamu terhormat yang datang ke daerah tersebut. Awalnya, tari 4
Indonesian Cross-Cultural Society. Indonesian Chinese-Peranakan A Cultural Journey. (Jakarta: Intisari, 2012), hlm.217
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
ini berkembang di tengah masyarakat Tionghoa dan Betawi di daerah Teluk Naga untuk menghibur para tuan tanah yang sedang mengisi waktu senggangnya. Pada zaman dahulu, tarian ini dilakukan oleh budak-budak wanita para tuan tanah atau orang kaya keturunan Cina yang dikenal dengan sebutan "Baba".(Hussein Wijaya, 2000:79). Mereka datang dari berbagai daerah di luar Tangerang. Mereka diasuh oleh Baba tersebut sehingga gerakan dalam tari ini pun tidak lepas dari unsur-unsur gerak tari Cina. 3.1.1 Gerakan Tari Cokek Berdasarkan hasil pengamatan penulis melalui videovideo tarian tradisional Cina yang diunggah di youtube, penulis menemukan sedikit kemiripan pola gerak tari Cokek dengan tarian dari Cina, yakni tari Tage (Tàgē 踏 歌 ) Secara harfiah, tàgē 踏 歌 berarti menghentakkan kaki sambil bernyanyi. Tari ini merupakan tari tradisional Cina dari zaman Dinasti Han. Para arkeolog menemukan gambar tari Tage ini pada tembikar dari zaman kebudayaan Majiayao di Gansu. Tari ini adalah tari hiburan yang ditarikan secara berkelompok oleh para pekerja untuk menghilangkan rasa letihnya.
datang dan gambang kromong yang memadukan unsur Cina dan Betawi begitu harmonis akan mengiringi wayang cokek bernyanyi selama pertunjukkan. Musik Gambang Kromong sendiri sudah dikenal pada tahun 1880 saat Bek Teng Tjoe menyajikan musik tersebut untuk sebuah sajian penyambutan para tamunya. 5 Penyebutan musik Gambang Kromong berasal dari alat musik yang dipergunakan dalam ensambel tersebut, yaitu gambang dan kromong. Alat musik pada gambang kromong yang merupakan alat musik khas Betawi sendiri adalah gambang, kromong, gendang, kecrek dan gong. Sementara itu, terdapat alat-alat musik yang juga mengindikasikan adanya unsur Cina, seperti kongahyan, tehyan dan sukong. Jaap Kunst (1973: 374) mengatakan bahwa ketiga alat musik ini memang dipengaruhi oleh budaya masyarakat Cina yang berada di Jakarta. Instrumen musik yang mirip dengan ketiganya di Cina dinamakan èrhú 二胡.
敛肩、含颏、掩臂、摆背、松膝、拧腰、倾胯是《踏 歌》所要求的基本体态. “Gerakan dasar dari tari Tage ini adalah melenturkan bahu sembari menggerakan tangan mendekati dagu, berputar, lalu mengendurkan lutut dan menggoyangkan pinggang serta pinggul.” (www.baike.baidu.com)
Gambar 1. Èrhú 二胡 Sumber: www.globaltimes.cn
Dari sini terlihat bahwa sama halnya dengan tari Cokek, tari Tage juga memiliki gerakan dasar menggoyangkan pinggul. Penulis juga mendapatkan kemiripan pola gerak antara tari Cokek dan tari Tage saat penari maju sembari mengangkat lengan ke atas dan berbaris sejajar. Namun, jika pada tari Tage lengan hanya diangkat ke atas, jika pada tari Cokek penari memainkan tangannya secara bergantian. Namun, apabila dilihat, gerakan tari Tage lebih halus dan lemah lembut dibandingkan tari Cokek. Gerak pada tari Cokek lebih dinamis dan lebih energik serta gerakan menggoyangkan pinggul pun lebih banyak ditemui pada tari Cokek ini. Hal ini membuktikan bahwa gerakan tari Cokek juga mengadaptasi gerakan-gerakan dasar tari dari Cina dan dimodifikasi.
3.1.2 Gambang Kromong, Musik Pengiring Cokek Berbicara mengenai tari Cokek tidak bisa tidak membicarakan orkes gambang kromong sebagai pengiringnya. Wayang cokek akan menyanyikan lagulagu yang diminta oleh para tamu atau tuan tanah yang
Gambar 2. Kongahyan, Tehyan, Sukong Sumber : www.plengdut.com
5
Poa Kian Sioe, Orkes Gambang Hasil Peranakan Tionghoa di Jakarta, dalam Majalah Pantja, Juni1949, hlm.39.
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
Gambar 3. Gambang Kromong Sumber : www.tamanismailmarzuki.com
Lagu-lagu yang dinyanyikan oleh wayang Cokek tidak hanya lagu-lagu berbahasa Indonesia saja, tetapi juga lagu-lagu berbahasa Hokkian. Lagu-lagu yang biasa dibawakan oleh orkes gambang kromong pada saat itu adalah Matojin (Pendeta Wanita), atau dalam bahasa Mandarin Nǚ Mùshī (女牧师), Si Jin Kui Hwee Ke (Si Jin Kui Pulang Kampung), atau dalam bahasa Mandarin Xuē Rénguì Huí Jiā (薛仁贵回家), Lui Kong (Dewa Halilintar), atau dalam bahasa Mandarin Léi Gōng (雷公), Khong Ji Liok (Kosong Dua Enam), atau dalam bahasa Mandarin Kōng Èr Liù (空二六), Chia Pe Pan (Makan Nasi Putih) atau dalam bahasa Mandarin Chī Báifàn (吃 白饭), Mas Nona, Kramat Karem, Jali-Jali, Kicir-Kicir, Sirih Kuning dan Lenggang Kangkung. Di tengah pertunjukkan, wayang cokek akan mengundang tamu yang telah memintanya menyanyikan lagu tersebut untuk menari bersama di atas panggung dengan menariknya menggunakan cukin atau selendang. Penghasilan yang didapatkan oleh wayang cokek hanya berasal dari pemberian para tamu yang menari bersamanya. Pertunjukkan cokek ini bisa berlangsung semalam suntuk karena lamanya pertunjukkan tergantung pada banyaknya permintaan lagu yang diajukan oleh para tamu. 3.1.3 Kostum Wayang Cokek Berbagai aspek yang terdapat pada tari Cokek ini tidak terlepaskan dari pengaruh-pengaruh Tionghoa, termasuk kostum yang dikenakan wayang cokek. Wayang cokek biasanya mengenakan baju kurung berbahan sutra dan berwarna cerah yang juga merupakan pakaian-pakaian sehari-hari wanita di Cina serta menggunakan celana berbahan sutra dan berwarna cerah, seperti merah, kuning, hijau dan ungu. Dalam masyarakat Tionghoa sendiri, warna-warna ini memiliki makna khusus.
Warna merah melambangkan kebahagiaan, kehidupan, kekuatan dan semangat. Masyarakat Tionghoa juga percaya bahwa warna merah dapat menjauhkan diri mereka dari gangguan setan. Dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa, warna kuning melambangkan kekuasaan dan kemakmuran. Masyarakat Tionghoa juga percaya bahwa warna hijau melambangkan kemurnian dan kesucian. Sementara itu, warna ungu dalam kepercayaan masyarakat Tiongha merupakan simbol dari surga. Selain itu, ada juga yang mengenakan kebaya encim, serta kain sebagai kostumnya. Disebut dengan kebaya encim karena dahulu kebaya ini dikenakan oleh para encim. Encim merupakan bahasa Hokkian untuk panggilan wanita Tionghoa yang dituakan. Biasanya kebaya encim ini dipadukan dengan kain batik pesisir. Batik pesisir ini pun mendapat pengaruh kuat dari kebudayaan masyarakat Tionghoa. Ragam motif batik ini biasanya bunga, burung hong dan naga. Ragam motif batik pesisir ini mirip dengan ragam hias pada pakaianpakaian zaman Dinasti Tang. Ragam hias fauna yang sering keluar pada batik pesisir adalah naga, dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa, naga adalah lambang keagungan, kekuasaan dan keberuntungan. 6 Selain itu, wayang cokek juga mengenakan cukin (selendang) atau dalam bahasa Mandarin disebut juga pījīn (披巾), yang berwarna cerah dan menjadi salah satu ciri khas wayang cokek yang tak terpisahkan. Rambut wayang cokek biasanya disanggul kecil dan menggunakan aksesoris kepala berupa kembang goyang dan burung hong. Burung hong atau dalam bahasa Mandarin disebut Fènghuáng (凤凰), dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa merupakan sebuah lambang untuk kebahagiaan dan kemakmuran. Apabila diamati lebih jauh lagi aksesoris kepala yang dikenakan oleh penari cokek merupakan aksesoris kepala yang biasa dikenakan oleh wanita-wanita Cina pada zaman dahulu. Hal ini tertulis dalam dalam Rangkaian Sejarah Dinasti Song, bagian Catatan Perjalanan, “pada tahun ke-6 di bawah pimpinan Kaisar Yuanjia dari Dinasti Song, para wanita sudah mengikatkan rambutnya.... Kepala mereka pun dihiasi dengan beragam penjepit rambut.” Selanjutnya, pada dinasti Ming dan Qing, aksesoris rambut yang berbentuk bunga krisan, teratai, kupu-kupu dan burung hong yang biasa disebut jī (笄) dan bùyáo (步摇) ini, bagi wanita Cina menjadi simbol kelas sosial mereka. Selain itu, aksesoris rambut ini juga menjadi lambang kedewasaan seorang wanita. Dari segi kostum ini terlihat 6
Yasmin Zhaki Shahab. 2000. Betawi: Sejarah dan Prospek Pengembangan. Jakarta.
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
begitu jelas pengaruh budaya masyarakat Tionghoa terhadap tari ini.
Gambar 3. Kostum Penari Cokek Sumber : dokumentasi Rulliita
Gambar 4. Aksesoris Rambut Wanita Cina Sumber : http://traditions.cultural-china.com
3.2 Perspektif Masyarakat terhadap Tari Cokek Seiring waktu berjalan, muncul berbagai pendapat dari masyarakat mengenai tari Cokek. Pendapat masyarakat ini cukup mempengaruhi perkembangan tari Cokek. Setiap orang dapat melihat suatu objek dari perspektif yang berbeda satu sama lainnya, begitupun dalam melihat dan menilai tari Cokek. Di tengah-tengah perkembangannya, tari Cokek mendapat dukungan dan kecaman dari masyarakat sekitar. Berbagai kecaman ini muncul karena gerakan wayang cokek yang dianggap mengandung nilai moral yang kurang baik. Hal ini dikarenakan adanya gerakan menggoyangkan pinggul dari bawah hingga ke atas oleh para cokek. Demi menghibur tamu dan juga mendapatkan uang, wayang cokek akan menarik tamu-tamu pria menggunakan selendangnya untuk menari bersama. Gerakan ini merupakan salah satu gerakan khas tari Cokek, namun gerakan ini jugalah yang menimbulkan kecaman. Hal ini dikarenakan lahir sebuah kepercayaan di dalam masyarakat bahwa laki-laki yang telah ditarik oleh wayang cokek akan tidak kembali lagi ke rumah. Hal ini
senada dengan yang diungkapkan oleh Mona Lohanda (2011), seorang Sejarawan dari Arsip Nasional Republik Indonesia, "Anak-anak tidak diperbolehkan menonton tari Cokek sebab Cokek nanti efeknya seperti ada erotisme di penari…" Cokek di masyarakat Betawi dapat diidentikan dengan tayub yang berada dalam masyarakat Jawa. Menurut Soedarsono, tayub adalah suatu perwujudan tari pasangan antara penari putri dan putra dengan mengekspresikan hubungan romantis.7 Oleh karena itu, selama pertunjukkan dapat terlihat hubungan yang cukup intim antara penari cokek dengan tamu yang hadir. Bahkan berdasarkan hasil wawancara, kedekatan ini bisa berlanjut setelah pertunjukan cokek usai. Senada dengan hal ini, dalam wawancara dengan bapak Oey Tjin Eng, Humas Perkumpulan Boen Tek Bio, beliau juga mengatakan bahwa semenjak dahulu tari Cokek ini selalu mengarah ke hal negatif karena memang setelah pertunjukan Cokek ini berakhir, biasanya akan ada hubungan kelanjutan antara pria-pria yang menari dengan para Cokek. Bahkan dahulunya, sebelum para wayang cokek ini tampil, mereka biasanya memberikan samseng8 berupa ayam dan bebek yang sudah tidak ada darahnya, hatinya dan ampelanya serta kepiting yang sudah tidak ada isi perutnya. Hal ini dimaksudkan agar lelaki yang nanti menari dengan wayang cokek ini bisa mengeluarkan seluruh hartanya untuk wayang cokekhingga dia lupa daratan dan lupa keluarganya di rumah. Adanya pandangan negatif inilah yang membuat banyak perubahan pada tari Cokek seiring dengan perkembangan zaman.
Gambar 5. Gerakan Khas Tari Cokek Sumber : http://unitydiversity.org
7
Soedarsono. Peranan Seni Budaya Dalam Sejarah Kehidupan Manusia Kontinuitas dan Perubahannya, 1985, hlm.2. 8
Mand. 三 sān tiga + 牲 shēng hewan ternak; hewan kurban, merupakan sebuah alusi untuk sebuah ritual rahasia masyarakat. ( Thian, William G. 2006. A Baba Malay Dictionary)
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
Di samping adanya berbagai pertentangan terhadap eksistensi tari Cokek, masih terdapat pihak-pihak yang mendukung dan mempertahankan kebudayaan tari Cokek. Pihak-pihak pendukung ini datang dari penikmat seni dan pemerhati budaya yang menganggap tari Cokek sebagai salah satu warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan. Bahkan berdasarkan hasil wawancara dengan warga Cina Benteng pun, seperti Mak Engkin, beliau mengungkapkan bahwa bagi masyarakat Tangerang sendiri, khususnya warga Cina Benteng, meskipun tari Cokek banyak dinilai negatif, tari hiburan ini sudah menjadi bagian dari masyarakat dan harus dilestarikan. Bagi Masnah, 89 tahun, yang sudah menggeluti Cokek sejak usia 14 tahun, dia senang telah menjadi wayang Cokek. Setidaknya, Cokek telah membuatnya dikenal oleh banyak orang dan bisa membawanya pada banyak orang asing yang tertarik dengan kesenian tradisional ini. Bahkan ibu Masnah sendiri mengakui, “saya tidak tahu sebabnya orang di luar keturunan Tionghoa tidak suka dengan Cokek. Jika alasannya mengandung hal-hal yang tidak sopan alias porno, itu memang saya akui. Dulu, saya juga seperti racun bagi banyak lelaki. Ketika mengibing, saya memabukkan tiap pengibing dengan tarian dan nyanyian saya. Mereka berebut mendampingi saya menari. Ada yang nyawer lewat mulutnya. Tak jarang pula yang menyelipkan uangnya ke balik kutang atau bagian tubuh lain……Kalau saya tidak menyanyi dan menari, siapa lagi yang akan melestarikan Cokek?”9 Inilah pertanyaan besar yang seharusnya dijawab oleh generasi muda dan Pemerintah saat ini, melestarikan Cokek dengan cara yang tepat. 3.3 Perkembangan Tari Cokek Perkembangan tari Cokek ini tidak berjalan dengan lancar. "Tarian sosial atau pergaulan selalu berubah sesuai dengan zaman dan struktur masyarakat pada masa itu. Maka dari itu kerap terjadi tari pergaulan yang beberapa tahun lalu sangat popular, sekarang sudah lenyap dan diganti dengan bentuk yang lain atau yang baru" (Sudarsono, 1977 :24). Senada dengan Soedarsono, Mona Lohanda mengatakan bahwa zaman berubah, selera masyarakat dan orientasi masyarakat pun berubah. Hal ini menyebabkan tidak sedikit kebudayaan dan kesenian Betawi bahkan Indonesia kehilangan generasi penerusnya. Tidak dapat dihindari bahwa perkembangan zaman yang menuju modernisasi membuat adanya
budaya-budaya bangsa yang mulai luntur bahkan punah, begitu pun dengan tari Cokek. Era globalisasi ini membuat banyak remaja kehilangan pengetahuannya terhadap warisan-warisan bangsa. Hal itu dapat terjadi mengingat kota Jakarta semakin pesat perkembangannya menjadi sebuah kota metropolis. Masyarakat Betawi yang sudah lama mendiami Jakarta perlahan keberadaannya semakin terpinggirkan dengan adanya pola kehidupan Jakarta yang modern. Sebagian masyarakat Betawi yang merupakan penduduk pribumi Jakarta, lambat laun berpindah tempat tinggalnya ke daerah-daerah sekitar ibu kota, seperti Bekasi, Depok dan Tangerang. Hal ini juga menyebabkan kesenian Betawi asli kurang berkembang baik di Jakarta, termasuk tari Cokek. Oleh karena itu, tari Cokek yang merupakan bentuk kesenian tradisi masyarakat Betawi terpengaruh dengan adanya perubahan pola tingkah laku masyarakat pendukungnya.. Di samping perkembangan zaman yang menuju modernitas, berbagai pendapat terhadap tari Cokek yang berkembang di kawasan Teluk Naga ini membuat tari Cokek kurang dikenal oleh masyarakat luas. Kurangnya pengetahuan remaja-remaja Betawi maupun Tionghoa mengenai tari ini juga telah membuktikan dampak dari pandangan negatif tersebut. Hal ini menjadi sebuah hambatan bagi perkembangan tari Cokek sehingga tari ini akhirnya kurang berkembang luas di daerah Jakarta lainnya dan hanya berkembang di wilayah-wilayah pinggiran Jakarta, seperti Tangerang dan Bekasi. Hal ini menyebabkan terjadi beberapa perubahan yang dilakukan untuk tetap mempertahankan eksistensi tari Cokek agar tetap dapat diterima oleh masyarakat. Saat ini sudah sulit ditemui wayang cokek yang menari sambil menyanyi, mereka hanya menari saja. Diakui Masnah bahwa saat ini banyak yang salah mengartikan cokek, banyak wayang cokek yang menari secara sembarangan dan tidak memperhatikan pakem-pakemnya. Hal inilah yang menjadi salah satu fokus Masnah untuk dapat mempertahankan nilai Cokek sendiri.. Dia melatih para generasi penerus supaya cokek tidak punah.10 Selain itu, seiring perkembangan zaman terdapat perubahanperubahan dari segi kostum, musik maupun gerakannya.
9
Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pariwisata Kota Tangerang serta Dewan Kesenian Tangerang. 2005. Jurnal Kesenian Cisadane Nomor 1 Juni 2005, Festival Cisadane 2005: Menata Relasi Kesenian dan Pariwisata. Tangerang.
10
Masnah. 2005. Siapa Mau Ikut Saya Mencokek?,dalam Jurnal Cisadane Nomor 1 Juni 2005
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
Dari segi kostum, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, pada awal perkembangannya wayang cokek mengenakan baju kurung panjang dan celan yang terbuat dari sutraberwarna cerah. Baju kurung ini bertahan hingga tahun 1950-an. Pada tahun 1960-an mereka mulai mengenakan kebaya encim. Memasuki tahun 1970-an, mereka mebiarkan rambut mereka terurai, tidak seperti sebelumnya yang selalu diikat atau dikonde. Baru pada tahun 1990-an, para wayang cokek ini mengenakan kebaya-kebaya modern sesuai perkembangan zaman. Perubahan-perubahan gerakan pada tari Cokek juga disebabkan oleh perkembangan musik yang terus mengikuti zaman. Selain itu, masuknya instrumeninstrumen musik baru seperti keyboard, bass dan gitar melodi pada musik pengiring tari Cokek membuat gerak tari ini lebih cepat dan dinamis dibandingkan gerakan yang terdahulu. Penambahan instrumen pada musik Gambang Kromong sendiri dilatarbelakangi faktor perkembangan selera masyarakat yang menuju pada modernitas. Oleh karena itu, dengan adanya penambahan instrumen musik ini dianggap dapat memenuhi selera penonton. Walaupun tari Cokek dan musik Gambang Kromong adalah dua hal yang tak terpisahkan, namun karena mengikuti perkembangan zaman ternyata tidak sedikit pertunjukkan tari Cokek kini menjadikan musik dangdut sebagai musik pengiringnya. Oleh karena itu, saat ini lebih banyak wayang cokek yang hanya goyang dangdut dibandingkan menari Cokek yang sesuai pakemnya. Hal ini pula lah yang menyebabkan banyak masyarakat, terutama generasi muda tidak mengetahui bentuk tari Cokek yang sebenarnya. 3.4 Eksistensi Tari Cokek Masa Kini Berdasarkan KBBI (2008), eksistensi bermakna hal berada dan keberadaan. Keberadaan tari Cokek pada awal perkembangannya merupakan tari sosial atau pergaulan dan berfungsi untuk menghibur masyarakat Tionghoa di sekitar Tangerang. Namun, dukungan dan kecaman dari masyarakat terhadap tari ini serta perkembangan zaman membuat keberadaan tari ini kurang berkembang luas di masyarakat. Dalam mempertahankan keberadaan tari Cokek ini, kini perlahan mulai bermunculan upaya-upaya dari masyarakat dan pemerintah. Jakarta sebagai pusat ibukota negara Indonesia banyak dikunjungi oleh pendatang dari dalam negeri maupun mancanegara. Faktor pariwisata yang menjadi suatu penunjang dalam menyambut kedatangan tersebut mendapat perhatian dari pemerintah. Pemasukan yang didapat dari adanya pariwisata oleh pemerintah mempunyai dampak yang
baik dalam bidang pendapatan devisa negara. Salah satu faktor pendukung pariwisata di Jakarta adalah adanya perkembangan seni budaya Betawi sebagai bentuk penyajian yang diarahkan pada sasaran tersebut. Kesenian yang dimiliki oleh masyarakat Betawi yang dikembangkan untuk program pariwisata terdiri dari jenis teater, musik, dan tari. Masyarakat Betawi yang sudah mulai menyusut intensitasnya dalam mempergunakan keseniannya untuk hiburan yang berhubungan dengan adat istiadat, mulai dikembangkan kembali dengan adanya pariwisata. Dalam hal tersebut dikemukakan oleh Soedarsono bahwa seni wisata merupakan gabungan antara wisata yang berbau bisnis dengan kesenian yang orientasinya pada estetika. 11 Hubungan praktis dan integratif dari fungsi seni dikemukakannya dalam tiga bentuk bagian utama yaitu: 1. Untuk kepentingan sosial atau sarana upacara; 2. Sebagai ungkapan pribadi yang dapat menghibur diri; 3. sebagai penyajian estetis. 12 Ketiga fungsi tersebut berlaku dalam kehidupan masyarakat Betawi yang mempergunakan sebuah bentuk kesenian. Salah satu contoh dari bentuk kesenian tersebut adalah tari Cokek. Pemerintah kembali mulai memperkenalkan tari Cokek kepada masyarakat dengan cara menampilkan tari Cokek ini pada acara-acara promosi pariwisata Betawi. Bahkan, tari Cokek ini pun dijadikan sebagai sebuah tari untuk penyambutan tamutamu terhormat yang datang ke Tangerang. Hampir di setiap acara yang diselenggarakan di Tangerang selalu ada pertunjukkan tari Cokek ini. Selain manjadi salah satu seni wisata masyarakat Betawi, bagi masyarakat Cina Benteng di Tangerang, tari Cokek sendiri masih menjadi salah satu pengisi acara wajib dalam acara pernikahan mereka. Namun, pertunjukan Cokek yang biasa ditampilkan pada acara-acara resmi Pemda dengan yang biasa ditampilkan pada acara-acara masyarakat berbeda. Pada acara-acara resmi Pemerintahan biasanya memanggil Cokek dari sanggarsanggar tari sehingga Cokek yang tampil pun pola geraknya lebih teratur sesuai pakemnya dan kostumnya pun masih mengenakan kostum yang seperti zaman dahulu, namun sudah dimodifikasi. Sementara, Cokek yang biasa dipanggil dalam acara-acara masyarakat biasa sudah tidak lagi mengenakan kostum baju kurung, 11
Soedarsono. Pendidikan Seni Dalam Kaitannya dengan Kepariwisataan, makalah Seminar dalam rangka peringatan hari jadi jurusan pendidikan Sendratasik ke-10, FPSB IKIP Yogyakarta, 12 Februari 1995. 12
Soedarsono. Dampak Pariwisata terhadap Perkembangan Seni di Indonesia, Pidato Ilmiah pada Dies Natalis ke-2 Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Juli 1986.
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
bahkan banyak yang hanya mengenakan kaos atau kemeja dengan celana jeans. Mereka pun cenderung lebih banyak joget dangdut, sudah jarang yang membawakan lagu-lagu gambang kromong. Pola gerak mereka pun mengikuti alunan lagu saja. Walaupun masih belum banyak sanggar-sanggar yang mengajarkan tari Cokek, perlahan mulai bermunculan sanggar-sanggar yang mengkreasikan tari ini. Upaya pengkreasian tari Cokek merupakan salah satu upaya menghilangkan pandangan negatif dari masyarakat terhadap tari ini. Hal ini juga menunjukkan fleksibilitas tari Cokek yang dapat mengikuti perkembangan zaman karena menurut Zainal Abidin (2008) eksistensi itu tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan individu dalam mengaktualisasikan potensipotensinya. Oleh karena itu harus ada upaya-upaya dan kesadaran dari masyarakat untuk dapat membuat tari Cokek ini tetap eksis di tengah perkembangangan zaman. Bahkan saat ini ada perlombaan khusus tari Cokek yang diselenggarakan untuk memacu ketertarikan masyarakat untuk terus mengembangkan tari ini. Dapat disimpulkan bahwa saat ini upaya-upaya mempertahankan eksistensi tari Cokek sedang terus dijalankan oleh masyarakat dan pemerintah.
merupakan gerakan khas dari tari Cokek. Namun, gerakan ini pulalah yang akhirnya memicu pandanganpandangan negatif terhadap tari ini. Perkembangan tari Cokek beriringan dengan perkembangan zaman dan:/pola pikir masyarakat mengalami beberapa perubahan. Walaupun terdapat perubahan-perubahan dalam tari Cokek, seperti pada gerak, musik, maupun kostum. Perubahan-perubahan yang terjadi ini menyesuaikan perkembangan zaman agar eksistensi tari Cokek ini tetap dapat dipertahankan dan tidak hilang termakan zaman. Berbagai usaha untuk mempertahankan dan melestarikan tari Cokek terus dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah.
Daftar Acuan Buku 1. Budiaman, etal. 1979, FolklorBetawi. Jakarta: Pustaka Jaya. 2.
Indonesian Cross-Cultural Society. 2012. Indonesian Chinese-Peranakan A Cultural Journey. Jakarta: Intisari.
3.
Longhurst, Brian, Greg Smith,dll. 2008. Introducing Cultural Studies. Longman.
Kedatangan orang Tionghoa ke Indonesia, khususnya Jakarta, membawa pengaruh yang cukup besar pada segala aspek kehidupan masyarakat lokal, terutama pada aspek seni budaya. Banyak tradisi dan kebudayaan masyarakat Betawi yang ternyata merupakan hasil akulturasi antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Betawi. Salah satu hasil akulturasi antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Betawi adalah tari Cokek. Berbagai aspek dalam tari Cokek seperti gerak, musik dan kostumnya tidak lepas dari pengaruh masyarakat Tionghoa sendiri.
4.
Santoso, Iwan. 2012. Peranakan Tionghoa di Nusantara Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara
5.
Soedarsono. Tari-Tarian Indonesia I. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
6.
Soedarsono. 1985. Peranan Seni Budaya Dalam Sejarah Kehidupan Manusia Kontinuitas dan Perubahannya,
Tari Cokek berasal dari bahasa Hokkian, yakni chnioukek ( 唱歌 ) yang berarti menyanyikan lagu. Pada awal perkembangannya, cokek atau yang lebih dikenal wayang cokek merupakan panggilan bagi para penyanyi wanita yang mengiringi alunan musik gambang kromong. Mereka tidak hanya menari, tetapi juga menari. Dahulu, pertunjukkan cokek berfungsi untuk menghibur para tuan tanah yang sedang mengisi waktu luang. Di tengah pertunjukkan, wayang cokek dengan menggunakan cukin atau selendangnya akan menarik tamu-tamu yang hadir dan telah meminta mereka menyanyikan lagu untuk ikut menari bersama di atas panggung. Gerakan ini
7.
Wang, Yang. 2010. Chinese Symbols. Beijing : New Star Press.
8.
Wijaya, Hussein. 2000. Seni Budaya Betawi Pralokakarya Penggalian dan Pengembangannya. Jakarta : Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. -. Akulturasi Budaya Cina Benteng. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Simpulan
9.
Skripsi,Tesis
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014
10. Kurniasih, Emma. 2000. Perkembangan Bentuk Tari Cokek di Teluk Naga Tangerang. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta. 11. Sukotjo; Prof.Dr. RM. Soedarsono. 1999. Kontinuitas dan Perubahan Musik Gambang Kromong Betawi Sebagai Dampak Kehadiran Masyarakat Baru Dan Pariwisata. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Artikel 12. Castle, Lance. The Ethnic Profile of Djakarta, dalam Majalah Indonesia I (1967) 13. Parani, Julianti. 2006. Intercultural Jakarta, Ambience of Betawi Theatre to Indonesian Theatre. Wacana Seni Journal of Arts Discourse. Jil./Vol.5.2006. 14. Poa Kian Sioe, Orkes Gambang Hasil Peranakan Tionghoa di Jakarta, dalam Majalah Pantja, Juni1949, 15. Soedarsono. Dampak Pariwisata terhadap Perkembangan Seni di Indonesia, Pidato Ilmiah pada Dies Natalis ke-2 Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Juli 1986. 16. Soedarsono. Pendidikan Seni Dalam Kaitannya dengan Kepariwisataan, makalah Seminar dalam rangka peringattan hari jadi jurusan pendidikan Sendratasik ke-10, FPSB IKIP Yogyakarta, 12 Februari1995. 17. -. Orkest Gambang Kromong, majalah Pantja Warna no.9 Juni 1949.
24.
m.youtube.com/watch?v=7llY7N6_DiY. Tari Cokek. diakses pada 3 Februari 2014.
Lomba
Jurnal 25. Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pariwisata Kota Tangerang serta Dewan Kesenian Tangerang. 2005. Jurnal Kesenian Cisadane Nomor 1 Juni 2005, Festival Cisadane 2005: Menata Relasi Kesenian dan Pariwisata. Tangerang. Wawancara 26. Pak Oey Tjin Eng, Humas Klenteng Boen Tek Bio Tangerang, 27 Januari 2014. 27. Mak Engkin, warga Cina Benteng, 27 Januari 2014.
Publikasi Elektronik 18. Arsy. 2012, 19 September. Tari Cokek, Kesenian Betawi yang Hampir Punah . , diakses pada 7 Oktober 2013. 19. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2011. Sejarah Tari Cokek (Presentasi Mohan Mohanda.http://www.youtube.com/watch?gl=US& hl=en&client=mv google&v=cWsKsgS7zIU&fulldescription=1. diakses pada 7 November 2013. 20. http://traditions.cultural-china.com/. Historical Hair Ornament and Their Social Conotation.. diakses pada 3 Februari 2014 21. http://www.cultural-china.com. Ta Ge. diakses pada 3 Februari 2014. 22. http://www.youtube.com/watch?v=Gi7y-XFZn_I. 踏 歌 tage 排练 1. diakses pada 3 Februari 2014. 23. m.youtube.com/results?q=tari%20cokek&sm=1. Tari Cokek DWP BP2T Tangsel di Serang Provinsi Banten. diakses pada 3 Februari 2014.
Eksistensi tari ..., Clarissa Amelinda, FIB UI, 2014