BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Bisnis usahawan Tionghoa perantauan secara umum bercorak perusahaan keluarga atau sering disebut Chinese Family-Owned Enterprise dan di Asia diperkirakan mencapai 80 persen perusahaan mulai dari skala besar, menengah higga kecil. Manajemen dan gaya bisnis perusahaan keluarga Tionghoa sering diidentikkan dengan nilai-nilai confusianisme, di antaranya adalah: Orientasi manajemen lebih mengedepankan kepada prestasi bersama,
ketidakpercayaan
pimpinan
kepada
kemampuan
bawahan, munculnya kerjasama berdasarkan kepatuhan serta sangat mementingkan hubungan dan keserasian. Pimpinan memegang teguh prinsip orientasi kelompok atau kepentingan bersama. Prestasi individu dianggap sebagai hasil kelompok yang menyebabkan pimpinan Tionghoa menganut etika manajemen non kompetitif. Secara umum, dalam banyak perusahaan keluarga Tionghoa pimpinan tidak sepenuhnya mempercayai bawahan. Hal ini antara lain karena alasan nilai hierarkis. Mereka menganggap organisasi perusahaan sebagai sistem keluarga yang menempatkan dan memperlakukan bawahan sebagai “anak-anak” yang harus bergantung dan tidak pernah dapat dipercayai sepenuhnya oleh “orangtua”. Pimpinan dipandang sebagai “orangtua” yang harus menjaga dan mengawasi “anak-anak”. Banyak perusahaan Tionghoa dijalankan oleh satu figur ayah yang kuat. Sebagian pimpinan menganggap bawahan mereka secara psikologis tidak cukup matang untuk memikul tanggungjawab pekerjaan-pekerjaan pimpinan, sehingga hampir semua keputusan penting diambil sendiri. Lingkungan kerja cenderung semi otoriter. Bawahan diharapkan tunduk dan menjalankan instruksi atasan mereka dengan sungguh-sungguh. Kompromi dan kepatuhan bawahan
12
merupakan nilai budaya Tionghoa yang mendasar sehingga telah dianggap lazim oleh pimpinan.1 Di Kota Makassar, etnis Tionghoa memegang peranan yang sangat penting dalam menunjang perekonomian masyarakat Kota Makassar pada khususnya dan kota-kota sekitar Sulawesi Selatan pada umumnya. Dalam catatan sejarahnya, etnis Tionghoa mulai masuk dan menetap pada awal kedatangannya sekitar abad ke-15 sebagai pedagang yang pada akhirnya mereka menetap di sekitar pesisir pantai Makassar pada saat itu. Ada 4 (empat) sub etnis Tionghoa yang saat ini mendiami wilayah Indonesia pada umumnya dan Makassar pada khususnya, yaitu etnis Hokkian, etnis Hakka, etnis Kanton, dan etnis Hainan.2 Kota Makassar dihuni oleh 4 etnis selain etnis tionghoa di antaranya etnis Bugis, etnis Makassar, etnis Mandar, dan etnis Toraja. Dari keempat etnis tersebut, etnis Bugis dan etnis Makassar adalah 2 (dua) etnis terbesar yang mendiami wilayah Sulawesi bagian selatan yang menyebabkan kedua etnis ini sering diidentikkan satu sama lain. Dalam beberapa catatan sejarah mengenai Sulawesi Selatan banyak mencatat peristiwa yang melibatkan etnis Bugis dan etnis Makassar yang pada akhirnya penyebutan etnis Bugis-Makassar lebih dikenal oleh etnis lain di luar daerah Sulawesi Selatan.3 Hubungan sosial masyarakat di kota Makassar antara etnis Tionghoa yang menguasai sendi perekonomian dan etnis Bugis-Makassar sering diwarnai konflik yang menyebabkan hubungan anatara ke dua etnis tersebut kurang baik. Bila melihat kebelakang, sejarah konflik yang melibatkan ke dua etnis tersebut sangat sering terjadi di kota Makassar, pembakaran toko LA pada tahun 1980 dan peristiwa amuk massa pada tahun 1997 yang menciderai hubungan antar etnis tersebut, dipicu oleh pembunuhan seorang anak etnis Bugis-Makassar oleh warga etnis Tionghoa yang menyulut kemarahan masyarakat kota Makassar. Peristiwa konflik yang sering terjadi kemudian menimbulkan fenomena diskriminasi antara
1
nurulasfiah.staff.umm.ac.id/nurul asfiah blog/budaya organisasi perusahaan tionghoa. diakses tanggal 12 september 2013 2 http://makassarnolkm.com/jejak-budaya-tionghoa-di-makassar/ diakses 7 Oktober 2013 3 http://www.rappang.com/2010/12/bugis-makassar-di-lintasan-sejarah.html di akses 5 juli 2014.
13
etnis Bugis-Makassar dan etnis Tionghoa. Stereotip dan prasangka antar etnis pun sangat terawat di kota Makassar.4 Perusahaan yang berada di kota Makassar kebanyakan dimiliki oleh warga etnis
Tionghoa.
Perusahaan-perusahaan
tersebut
banyak
mempekerjakan
karyawan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, di antaranya etnis Bugis-Makassar. Melihat kembali uraian di atas bahwa dengan seringnya terjadi konflik antar etnis antara ke dua etnis tersebut memunculkan fenomena diskriminasi yang disebabkan oleh prasangka dan stereotip antar etnis. Maka, tak jarang pula ditemui diskriminasi yang dilakukan oleh pemilik perusahaan yang berlatar belakang etnis Tionghoa terhadap karyawan yang berasal dari etnis Bugis-Makassar. Salah satu bentuk diskriminasi yang diterima karyawan yang bekerja pada perusahaan yang dimiliki oleh etnis Tionghoa dari sekian banyak perilaku diskriminasi antar etnis yang terjadi di temukan dalam wawancara dengan seorang mantan karyawan yang pernah bekerja pada sebuah perusahaan milik etnis Tionghoa di kota Makassar sebagai berikut:
“Sebagai orang yang telah bekerja dan menguasai bidang pekerjaan saya, saya merasa diperlakukan kurang profesional oleh bos karena posisi yang seharusnya diberikan kepada orang yang lebih berpengalaman dibidang itu dikasih (diberikan) sama keluarganya yang baru selesai kuliahnya dan tidak punya kemampuan seperti karyawan lainnya”5. Kutipan wawancara di atas sedikit menjadi gambaran tentang dinamika kehidupan masyarakat kota Makassar yang bekerja pada perusahaan yang dimiliki oleh etnis Tionghoa di kota tersebut. Fenomena semacam ini menjadi masalah yang tidak pernah terselesaikan dan menjadi api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat membakar warga masyarakat di kota Makassar seperti peristiwa kerusuhan antar etnis yang terjadi sebelumnya. 4 5
http://www.oocities.org/apii-berlin/ujung.html di akses 5 juli 2014 Kutipan wawancara salah seorang mantan karyawan sebuah perusahaan yang dimiliki dan dipimpin oleh pimpinan yang berlatarbelakang etnis Tionghoa di Makassar yang enggan disebutkan namanya. Wawancara dilakukan di Kota Makassar pada bulan Mei 2013
14
Interaksi yang terbangun antara etnis tersebut secara sadar atau tidak menjadi fenomena komunikasi antarbudaya. Yang dalam pengertiannya bahwa komunikasi antarbudaya menjadi awal timbulnya kesalahpahaman antara komunikator dan komunikan yang memiliki perbedaan dalam memaknai sebuah nilai, karena budaya sebagai sistem nilai yang mereka miliki berbeda. Komunikasi antar budaya juga dapat terjadi antara individu yang berasal dari bangsa yang sama namun memiliki perbedaan latar belakang budaya dikarenakan terbentuknya sub-sub budaya dalam budaya itu sendiri. Ketika orang melakukan kegiatan berkomunikasi dengan orang yang berasal dari latar belakang budaya berbeda tidak dapat secara drastis merubah cara berkomunikasi mereka. Ketidaksamaan bahasa dalam berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman dan perbedaan budaya dalam interaksi dapat menimbulkan kesalahpahaman antara komunikan dan komunikator yang pada akhirnya dapat berujung pada konflik (cultural differences often cause misscommunication and conflict). Keberadaan etnis Tionghoa yang menguasai sektor bisnis di Kota Makassar bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pembangunan dan peningkatan pendapatan masyarakat Kota Makassar. Secara umum, Perusahaanperusahaan besar di Kota Makassar dimiliki oleh etnis Tionghoa salah satu di antaranya adalah PT. Tirta Mulia Abadi. Namun, pada perusahaan ini mayoritas karyawannya berasal dari etnis lain di luar etnis Tionghoa Sendiri, namun karyawan yang paling dominan adalah etnis Bugis-Makassar. Di lingkungan perusahaan itulah terjadi interaksi sosial dan adaptasi budaya yang terus berlangsung hingga saat ini. PT. Tirta Mulia Abadi merupakan perusahaan air mineral skala rumahan yang didirikan pada tahun 2005 dengan jumlah karyawan 15 yang berasal dari latar belakang budaya Bugis-Makassar 8 orang, flores 4 orang, dan tionghoa 3 orang seiring perkembangannya saat ini PT.Tirta Mulia Abadi telah berkembang dan memiliki
karyawan sebanyak 200 orang yang berasal dari etnis yang
berbeda-beda dengan presentasi, 40% etnis Bugis-Makassar, 20% etnis Tionghoa, etnis flores, jawa, dan manado yang berjumlah 40% yang juga berasal dari latar
15
belakang pendidikan yang berbeda. Hingga saat ini PT. Tirta Mulia Abadi telah menjadi perusahaan yang mempunyai kontribusi nyata mempermudah dan memperlancar masyarakat mengkonsumsi air mineral kemasan. Keberadaan PT. Tirta Mulia Abadi sebagai perusahaan yang berlokasi di Kota Makassar tentu mempunyai karyawan dari etnis yang berbeda termasuk di dalamnya adalah etnis Bugis-Makassar dan etnis Tionghoa. Kedua etnis tersebut berinterkasi secara formal dan non-formal demi untuk kepentingan perusahaan dan kepentingan mereka mencari nafkah. Dalam interaksi sosial (komunikasi antar karyawan) tersebut perbedaan latarbelakang budaya, agama, bahasa, dan suku menjadi suatu keniscayaan yang dapat menjadi pemicu timbulnya konflik dalam organisasi terlebih lagi dengan adanya saling berprasangka dan stereotip yang ada antara ke dua etnis tersebut. Sebagai bagian Vital perusahaan PT. Tirta Mulia Abadi, keberadaan etnis Bugis-Makassar dan etnis Tionghoa yang selalu berinteraksi satu sama lain di lingkungan perusahaan menjadi suatu hal yang sangat menarik, karena adanya interaksi sosial dan komunikasi yang berlangsung setiap saat antara mereka yang disatukan oleh lingkungan perusahaan. Tapi disisi lain kedua etnis tersebut (etnis Bugis-Makassar dan etnis Tionghoa) mempunyai disparitas atau jarak interkasi yang “renggang” ketika berada di ruang-ruang sosial atau dalam kehidupan sehari-hari. Namun kondisi tersebut tentu mempunyai relevansi atas masa lalu (tragedi 1980 dan 1997) dengan perbedaan strata sosial khususnya ekonomi dan letak georafis dalam hal ini pemukiman kedua etnis tersebut berbeda. Berdasarkan fenomena yang peneliti temui dari hasil pra wawancara terhadap karyawan etnis Bugis-Makassar di atas tak jarang pula di temui karyawan etnis Bugis-Makassar yang berperilaku adaptif terhadap sistem organisasi yang dibangun oleh etnis Tionghoa contohnya yang terjadi pada perusahaan PT. Tirta Mulia Abadi. Berdasarkan temuan dari hasil pra-wawancara dan pengamatan awal di perusahaan maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam bagaimana proses adaptasi antarbudaya yang menjadi perhatian dalam komunikasi antarbudaya antara karyawan yang mempunyai latarbelakang budaya
16
yang berbeda yaitu etnis Bugis-Makassar yang bekerja pada perusahaan yang dipimpin oleh pimpinan yang berasal dari latar belakang budaya etnis Tionghoa di PT. Tirta Mulia Abadi serta upaya akomodasi organisasi sebagai bentuk dari komunikasi organisasi yang dilakukan perusahaan terhadap anggota organisasi yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dalam meredam kemungkinan terjadinya konflik di dalam perusahaan.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada uraian dan realitas singkat mengenai fenomena interaksi antarbudaya Bugis-Makassar dan Tionghoa di kota Makassar. Maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana proses adaptasi antarbudaya etnis Bugis-Makassar dengan etnis Tionghoa dalam Perusahaan PT. Tirta Mulia Abadi. Berdasarkan rumusan masalah tersebut peneliti membuat 3 (tiga) pertanyaan penelitian sebagai acuan dalam melakukan penelitian ini. 1. Hal-hal apa yang menyebabkan adaptasi budaya diantara kedua etnis menjadi mudah ? 2. Hal-hal apa yang menjadi penghambat adaptasi budaya antar kedua etnis tersebut ? 3. Bagaimana upaya akomodasi organisasi sebagai bentuk komunikasi organisasi yang dilakukan oleh perusahaan dalam mengakomodasi perbedaan budaya antara etnis Bugis-Makassar dengan etnis Tionghoa di Perusahaan PT. Tirta Mulia Abadi ?
C. Tujuan Penelitian Berangkat dari permasalahan yang telah di sebutkan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk memetakan dan mengetahui proses adaptasi komunikasi dan interaksi budaya yang terjadi antara etnis Bugis-Makasar dengan etnis Tionghoa serta akomodasi organisasi perusahan terhadap perbedaan latar
17
belakang budaya di Perusahaan PT. Tirta Mulia Abadi dengan rincian sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui proses adaptasi antarbudaya dalam ranah komunikasi antarbudaya antara karyawan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dalam perusahaan PT. Tirta Mulia Abadi, yaitu etnis Bugis-Makassar dengan etnis Tionghoa. 2. Untuk mengetahui akomodasi organisasi yang dilakukan PT. Tirta Mulia Abadi, dalam ranah komunikasi organisasi yang berkaitan dengan program-program yang dilakukan perusahaan guna melakukan penguatan budaya dalam organisasi .
D. Manfaat Penelitian Setiap penelitian ilmiah pasti mempunyai manfaat baik secara langsung maupun tidak secara langsungdan baik dalam skala umum maupun dalam skalah khusus. Adapun manfaat penelitian ilmiah akademik ini yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat pada tataran praktis sebagaimana berikut ini: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam ranah kajian komunikasi pada umumnya dan khususnya pada tinjauan komunikasi antarbudaya antara karyawan etnis Bugis-Makassar dan pimpinan Perusahaan PT. Tirta Mulia Abadi. 2. Manfaat Praktis Dalam tataran praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru kepada masyarakat tentang bagaimana adaptasi komunikasi karyawan etnis Bugis-Makassar dalam perusahaan dengan budaya organisasi Tionghoa dan mengetahui usaha yang dilakukan organisasi dalam bentuk akomodasi organisasi sebagai bentuk komunikasi organisasi dalam mengakomodasi perbedaan latarbelakang budaya antara karyawan dalam PT. Tirta Mulia Abadi. Manfaat pribadi yang diharapkan peneliti dari penelitian ini adalah
18
menambah pengetahuan dan kompetensi komunikasi antarbudaya yang dimiliki oleh peneliti sekaligus sebagai prasyarat memperoleh gelar master di bidang keilmuan komunkasi. Adapun manfaat yang diharapkan untuk organisasi adalah agar hasil dari penelitian ini dapat menjadi formula yang dapat digunakan untuk kepentingan organisasi dalam
hal
komunikasi
antarbudaya
yang
kemungkinan
dapat
dimasukkan juga dalam budaya organisasi.
E. Kerangka Pemikiran E.1. Komunikasi Organisasi Komunikasi organisasi adalah “perilaku pengorganisasian” yang terjadi dan bagaimana mereka sebagai aktor terlibat dalam proses berinteraksi dan bermakna atas apa yang sedang terjadi. Dipandang dari persepsi interpretif (subjektif) komunikasi organisasi adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang merupakan organisasi itu sendiri. Perspektif objektif menekankan definisi komunikasi organisasi sebagai pertunjukan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu. Fokusnya adalah penanganan pesan, yakni menerima, menafsirkan, dan bertindak berdasarkan informasi dalam suatu peristiwa komunikasi organisasi. Perspektif subjektif mendefinisikan komunikasi organisasi sebagai proses penciptaan makna atas interaksi di antara unit-unit organisasi yang menciptakan, memelihara, dan mengubah organisasi. Fokusnya adalah bagaimana individu anggota organisasi bertransaksi dan kemudian memberi makna terhadap peristiwa komunikasi yang terjadi. Dengan demikian, definisi komunikasi organisasi dilihat dari perspektif objektif maupun perspektif subjektif adalah sebagai proses penciptaan dan penafsiran informasi di antara unitunit komunikasi sebagai bagian dari suatu organisasi secara keseluruhan.
19
E.3. Akomodasi Komunikasi Komunikasi yang terjadi di antara produsen pesan dan penerima pesan yang memiliki budaya berbeda dinyatakan sebagai komunikasi antarbudaya.6 Komunikasi antarbudaya memiliki ciri khas dimana komunikasi ini melibatkan orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda mulai dari bahasa, makanan, cara berpakaian, tingkah laku, kebiasan-kebiasaan, sampai perilaku social lainnya. Perbedaan latar belakang budaya membawa pengaruh tertentu yakni perbedaan pola penyampaian serta penerimaan pesan. Saat berkomunikasi dengan orang lain, seorang individu belum tentu mampu mencapai pemahaman yang sama. Komunikator akan mengubah caranya berbicara atau kata-kata yang digunakan berdasarkan pada lawan bicaranya. Sebagai contoh, seorang guru taman kanak-kanak akan menyesuaikan penggunaan kosakatanya sesuai dengan tingkat pengetahuan anak-anak didiknya. Salah satu cara dalam berkomunikasi untuk mencapai saling memahami, mutual understanding, seperti contoh tersebut dinamakan dengan akomodasi komunikasi. Akomodasi
didefinisikan
sebagai
kemampuan
menyesuaikan,
memodifikasi atau mengatur perilaku seseorang dalam responnya terhadap orang lain.7 Istilah akomodasi juga mengacu pada cara-cara dimana individu mengamati interaksi atau mungkin menyesuaikan perilaku mereka selama interaksi.8 Komunikasi antara individu yang berasal dari kelompok berbeda akan menarik perhatian individu untuk memberikan perhatiannya serta memicu munculnya respon untuk memodifikasi atau mengatur perilakunya agar pesan di antara keduanya dapat tersampaikan dengan baik. Proses inilah yang dinamakan dengan akomodasi komunikasi.
6
Alo Liliweri. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LKiS. 2002. Hal.12 7 Richard West dan Lynn H. Turner. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. 2008. Hal.217 8 Katherine Miller. Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts. USA: McGraw-Hill. 2002. Hal. 141
20
Proses akomodasi komunikasi telah dirangkum oleh Howard Giles dalam sebuah teori komunikasi yakni Communication Accommodation Theory. Communication Accommodation Theory atau bisa disebut CAT adalah teori komunikasi yang mengacu pada proses bagaimana komunikator mengakomodasi atau beradaptasi satu sama lain. Akomodasi komunikasi muncul berdasarkan pada motivasi individual dalam menentukan tindakan apa yang akan mereka lakukan karena akomodasi komunikasi adalah proses yang opsional .9 Giles merumuskan proses akomodasi komunikasi ke dalam empat tahapan yakni sociohistorical context, accommodative orientation, immediate situation, and evaluation ad future intentions. Tahapan-tahapan menjelaskan bagaimana latar belakang budaya, identitas personal, situasi saat komunikasi terjadi, serta motivasi individu mampu mempengaruhi proses akomodasi apabila seseorang sedang melakukan komunikasi dengan orang yang memiliki latar belakang budaya berbeda. Kedua belah komunikator akan memodifikasi pola komunikasi mereka berdasarkan keempat tahapan tersebut dalam upaya memudahkan pemahaman satu sama lain atau bisa juga untuk menegaskan perbedaan di antara mereka. Modifikasi sebagai bentuk akomodasi atau adaptasi untuk mencapai komunikasi yang efisien biasanya disebut dengan konvergensi. Sedangkan akomodasi yang cenderung mempertegas perbedaan ini sering disebut dengan divergensi. Konvergensi adalah strategi dimana individu beradaptasi terhadap perilaku komunikatif satu sama lain.10 Konvergensi juga mengacu pada kecenderungan individu untuk mengadaptasikan perilaku komunikasi mereka menjadi lebih mirip dengan lawan bicara.11 Adaptasi komunikasi ini mengacu pada penyelarasan kecepatan bicara, jeda, senyuman, tatapan mata, serta perilaku verbal dan nonverbal lainnya.
9
Richard West dan Lynn H. Turner. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. 2008 10 Ibid. Hal.222 11 William B Gudykunst and Bella Mody (Ed.). Handbook of International and Intercultural Communication. Second Edition. California: Sage Publications. 2002. Hal.229
21
Konvergensi ini tidak serta merta dilakukan komunikator namun bergantung pada persepsi komunikator serta didasarkan pada ketertarikan terhadap lawan bicara. Giles dan Smith percaya bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi ketertarikan kita terhadap orang lain antara lain adalah kemungkinan
akan
interaksi
berikutnya,
kemampuan
mereka
untuk
berkomunikasi, dan perbedaan status antara kedua komunikator. Berbeda dengan konvergensi, pembicara yang melakukan akomodasi divergensi cenderung menonjolkan perbedaan verbal dan nonverbal di antara mereka sendiri dan orang lain.12 Alih-alih menunjukkan bagaimana dua pembicara mirip dalam kecepatan bicara, tindak-tanduk atau postur, divergensi adalah ketika tidak terdapat usaha untuk menunjukkan persamaan antara para pembicara.13 Dengan kata lain, dua orang berbicara dengan satu sama lain tanpa adanya kekhawatiran mengenai mengakomodasi satu sama lain.14 Dalam interaksi dengan orang yang berasal dari budaya yang berbeda, akomodasi komunikasi baik yang divergensi maupun konvergensi bisa dilihat melalui bahasa baik verbal maupun nonverbal. Tiap bentuk akomodasi memunculkan ciri khas yang bisa dijadikan sebagai indicator apakah seseorang melakukan akomodasi konvergensi atau divergensi. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel berikut: Akomodasi yang konvergensi ataupun divergensi dapat dilihat dari tiga elemen yakni perilaku nonverbal, bahasa, dan paralanguage.15 Ketiga elemen tersebut mengindikasikan kecenderungan strategi akomodasi yang dilakukan oleh seseorang apabila berhadapan dengan orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda.
12
Richard West dan Lynn H. Turner. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. 2008. Hal. 225 13 Ibid.. Hal. 225 14 Ibid. Hal. 226 15 Gallois, C., Giles, H., Jones, E., Cargile, A. C., & Ota, H. 1995. Accommodating Intercultural Encounters: Elaborations and Extensions. Dalam R. L. Wisemen (Ed.), Intercultural Communication Theory. California: Sage Publications .
22
1. Non Verbal Pesan yang disampaikan tidak menggunakan bahasa atau katakata dinamakan dengan pesan nonverbal. Menurut Burgoon dan Saine, komunikasi nonverbal dapat dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain untuk bertukar makna yang dikirimkan dan diterima secara sadar untuk mendapatkan umpan balik atau mencapai tujuan tertentu. Komunikasi ini meliputi ekspresi wajah, kontak mata, gerak tubuh, serta tindakan lain yang mengandung pesan namun tidak menggunakan kata-kata. Perilaku nonverbal dapat pengamatan akomodasi komunikasi dapat dilihat dari kecenderungan sikap individu dengan kelompoknya sendiri; apakah ia melakukan penolakan pada kelompoknya demi berkomunikasi dengan lawan bicaranya atau justru ia mempertegas keanggotaannya dalam kelompok. Kecenderungan tersebut diamati dari beberapa hal yakni gerakan tubuh, senyum, dan pandangan mata. 2. Bahasa Dari segi bahasa, akomodasi komunikasi dapat dilihat dari pemilihan kata dan penggunaan bahasa itu sendiri. Apakah pembicara cenderung menggurui lawan bicaranya atau dia mencoba berbicara menyerupai lawan bicaranya? Pemilihan topik, sarkasme, serta interupsi dalam percakapan bisa menjadi bahan pengamatan dalam melihat strategi akomodasi komunikasi seseorang dari sudut pandang bahasa.
3. Paralanguage Paralanguage adalah bagian dari komunikasi nonverbal tetapi ia lebih spesifik mengacu pada pesan nonverbal yang mengarah pada elemen variasi vokal. Variasi vokal seseorang berbeda-beda berdasarkan latar belakang budaya masing-masing. a. Kualitas vokal.
23
Kualitas vokal meliputi kuat atau lemahnya suatu intensitas suara, tinggi atau rendahnya pitch suara, panjang atau pendeknya suara, serta keras, lembut, serius, dan santainya tekanan suara. b. Ciri vokal. Ciri vokal meliputi bunyi suara seseorang saat ia sedang tertawa, menangis, berteriak, menguap, atau berbisik. c. Pembatasan vokal. Pembatasan vokal adalah ragam suara yang terlihat dalam setiap kata atau frase. Satu kata mungkin dapat diucapkan dengan nada suara yang halus atau kasar. d. Pemisahan vokal. Pemisahan vokal meliputi faktor yang mengandung irama dan mempunyai kontribusi pada tahap pembicaraan, misalnya membuat suara ‘Umm’, ’Ah’. Pengamatan pada paralanguage dalam konteks akomodasi komunikasi mengacu pada aksen, dialek, idiom, jeda, serta hal-hal lain yang dimodifikasi pembicara saat ia sedang berkomunikasi verbal. Fonologi-fonologi tersebut bisa dimodifikasi untuk menunjukkan strategi akomodasi komunikasi baik konvergen maupun divergen. Hal inilah yang akan diamati oleh peneliti dalam penelitian kali ini.16 Pada konteks perusahaan PT. Tirta Mulia Abadi yang mempunyai karyawan yang berbeda yaitu etnis Bugis-Makassar dan etnis Tionghoa memiliki pola komunikasi yang berbeda yang dikarenakan latar belakang budaya yang berbeda. Respon yang muncul dalam bentuk proses akomodasi komunikasi lantas dapat diamati dari bahasa, nonverbal, serta paralanguage yang digunakan untuk mengetahui apakah mereka melakukan akomodasi konvergen atau divergen di perusahaan mereka bekerja. Untuk lebih jelasnya peneliti memberikan gambaran mengenai pengaruh identitas terhadap perilaku komunikasi dalam bentuk table. 16
Fred E. Jandt. An Introduction to Intercultural Communication: Identities in a Global Community. London: Sage Publication. 2003. Hal.118
24
Gambar 1.1: Identitas dalam Komunikasi Dalam
penelitian
ini
penggunaan
teori
akomodasi
komunikasi
dimaksudkan maksudkan untuk melihat sejauh mana kemampuan adaptasi karyawan etnis Bugis-Makassar Makassar yang jika dilihat secara kuantitas adalah kelompok mayoritas di Kota Makassar terhadap orang-orang orang orang yang berasal dari etnis Tionghoa yang menjadi kelompok masyarakat minoritas minoritas namun mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang perekonomian Kota Makassar yang dilihat dari banyaknya perusahaan yang dimiliki dan dikelola oleh orang-orang orang orang dari etnis Tionghoa dan upaya organisasi dalam mengakomodasi anggota-anggotanya anggota anggotanya ya yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Penelitian ini akan melihat adaptasi komunikasi yang tercermin dari sikap konvergensi dan difergensi yang timbul dalam organisasi melalui aktivitas komunikasi yang terjadi antara kedua etnis tersebut yang berupa komunikasi verbal dan non-verbal. verbal. Adapun tiga dimensi yang harus dimiliki seorang komunikator yang berada pada lingkungan kerja yang multi kultur adalah:
25
1. Dimensi kognitif : memiliki pengetahuan tentang bahasa setempat, tandatanda non-verbal, nilai-nilai budaya, sistem komunikasi dan aturan berinteraksi. Dalam penelitian ini dimensi kognitif dari seorang komunikator di identikkan dengan prasangka yang menjadi bagian dalam komponen kognitif seseorang dalam memandang realitas dunia sesuai dengan pengalaman mereka. 2. Dimensi afektif : memiliki motivasi dan orientasi sikap yang sesuai dengan budaya setempat, memiliki sensitifitas budaya, rasa humor, dan lain-lain. 3. Dimensi perilaku : memiliki kemampuan berbicara, mendengarkan, membaca dan menulis bahasa setempat, mampu mengekspresikan dan memahami ekspresi non-verbal, dapat mengikuti aturan berinteraksi dan mampu mengelola hubungan F. Model Penelitian Berdasarkan paparan dalam kerangka teori di atas, peneliti mencoba untuk merumuskan model penelitian yang dikembangkan dari teori akomodasi komunikasi dan akan digunakan untuk menjabarkan perilaku adaptasi komunikasi yang dilakukan oleh karyawan yang berasal dari etnis Bugis-Makassar dan strategi akomodasi organisasi dalam mereduksi kemungkinan konflik yang disebabkan perbedaan latarbelakang budaya antar karyawan dalam perusahaan. Adapun dua konsep yang ditawarkan dalam teori akomodasi komunikasi tersebut adalah konvergensi dan divergensi yang akan menjadi acuan dalam penelitian tentang adaptasi komunikasi ini. Berikut ini adalah bagan model penelitian yang akan dilakukan pada salah satu perusahaan yang berlatarbelakang budaya Tionghoa yang ada di Kota Makassar. Di poin selanjutnya penulis akan menguraikan model penelitian yang akan digunakan, selalin menarasikan penulis juga membuatnya dalam bentuk bagan agar lebih mudah mengaplikasikan ketika menerapkan pada data yang ditemukan di lapangan.
26
PT. Tirta Mulia Abadi Abadi Komunikasi Organisasi
Interaksi antaretnis karyawan Tionghoa dan Etnis Bugis-Makassar
Akomodasi Organisasi: Jenjang karir Evaluasi kinerja karyawan Program penguatan budaya
Proses Adaptasi AntarBudaya: Prasangka Sikap Perilaku Bentuk-bentuk konflik Budaya negatif dan positif
Perilaku adaptif dalam organisasi (Konvergensi)
Gambar 1.2: Model Penelitian
G. Kerangka Konsep Pada bagian ini, akan dijelaskan mengenai konsep-konsep yang telah disusun oleh peneliti untuk kemudian digunakan dalam melakukan penelitian. Konsep-konsep tersebut akan menjelaskan adaptasi yang terjadi antara karyawan dari kelompok etnis Bugis-Makassar dan etnis Tionghoa. Adapun kerangka konsep yang dimaksud adalah akomodasi organisasi dan konvergensi dan divergensi seperti dibawah ini.
Tabel 1.1. Kerangka Konsep penelitian.
1. Konsep akomodasi organisasi sebagai bantuk Komunikasi Organisasi dalam memfasilitasi perbedaan latar belakang budaya pada perusahaan.
27
Konsep
Penjelasan
Jenjang Karir
Peneliti menggunakan konsep jenjang karir dalam penelitian ini untuk menjelaskan konsep budaya dalam organisasi terkait pemberian promosi jabatan kepada karyawan dalam perusahaan
Evaluasi kinerja karyawan
Program Penguatan budya
Peneliti menggunakan konsep evaluasi kerja yang dilakukan organisasi untuk menilai dan memberikan motivasi kepada para anggota dalam organisasi agar menjadi acuan dalam peningkatan produktifitas para anggota organisasi. Program penguatan budaya sebagai bentuk dari komunikasi organisasi yang dilakukan oleh perusahaan guna merekatkan dan mendekatkan hubungan karyawan agar tercipta hubungan emosional dan mereduksi kemungkinan konflik yang akan timbul disebabkan oleh prasangka etnis yang ada.
2. Konsep proses adaptasi antarbudaya dalam komunikasi antar Etnis Tionghoa dan Etnis Bugis-Makassar
Konsep
Penjelasan
Prasangka
Konsep prasangka yang dipahami dalam penelitian ini adalah, adanya penilaian negatif atau positif terhadap perbedaan antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis-Makassar.
Sikap
Konsep sikap dalam penelitian ini adalah, adanya perbedaan cara pandang antara etnis Tionghoa pada etnis BugisMakassar.
28
Perilaku
Perilaku yang dipahami peneliti dalam penelitian ini adalah sekumpulan tindakan yang dihasilkan dari proses prasangka dan sikap yang menjadi faktor yag menentukan perilaku.
Bentuk-bentuk Bentuk-bentuk konflik yang dipahami dalam penelitian ini adalah perbedaan bahasa, perbedaan latar belakang budaya, konflik dialek Konsep konflik negatif dan positif adalah konflik yang dapat Konflik menimbulkan sisi positif bagi organisasi atau sebaliknya. negatif dan positif
H. Metodologi Penelitian Dalam sebuah penelitian ilmiah tentu mempunyai desain atau rancangan metodologi penelitiannya masing-masing yang berdasarkan pada disiplin ilmu dan objek serta proses yang akan diteliti.17
1. Jenis Penelitian a. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan alasan karena realitas yang diteliti dipahami dengan pendekatan menyeluruh dan tidak melakukan pengukuran pada bagian-bagian tertentu dari realitas tersebut. b. Tipe Penelitian ini mengungkapkan perilaku komunikasi anggota dalam organisasi yang memiliki latarbelakang budaya etnis yang berbeda di dalam suatu organisasi, penelitian menggunakan tipe deskriptif. Dalam hal ini penulis mendeskripsikan fenomena sosial budaya yang berhubungan dengan pola interaksi antara anggota dalam perusahaan. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penelitian 17
Samiaji Saroso, 2012, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar, Indeks, Jakarta, hal. 29.
29
ini adalah membuat deskripsi, gambaran dan lukisan secara sistematis, faktual dan aktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.18 Dalam penelitian ini peneliti mempelajari berbagai fenomena yang terjadi antara karyawan pada satu organisasi. 2. Informan Penelitian Informan penelitian yang dimaksudkan dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan teknik pemilihan informan purposive sampling yaitu teknik pemilihan informan berdasarkan pertimbangan atas kompetensi calon informan maka informan dalam penelitian ini adalah anggota organisasi dari latar belakang etnis Bugis-Makassar dan etnis Tionghoa yang bekerja pada perusahaan etnis Tionghoa yang telah melalui tahapan jenjang karir yang menjadi salah satu konsep dalam penelitian ini dan pimpinan perusahaan. Maka pemilihan informan tidak didasari pada kuantitas melainkan didasarkan pada kualitas informan atas masalah yang diteliti. Dalam pelaksaan di lapangan untuk mengumpulkan data, pemilihan informan dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data. Jadi yang menjadi kepedulian peneliti kualitatif adalah tuntasnya perolehan informasi dengan keragaman variasi yang ada, bukan banyaknya sampel sumber data.19
Tabel 1.2. Daftar Informan. NO 1
Nama Informan utama Jimmy Haryono
Usia
Jabatan
Pendidikan
42 th
Direktur
Strata satu
Utama
(S1)
18
Husaini, U., & Purnomo, S.A., 2009, Metodologi Penelitian Sosial Edisi Kedua, jakarta: Bumi Aksara, hal 60. 19 Ibid, hal 57.
30
35 th 2
Yayuk Sri Hardjanti 29 th
3
4
Internal
Strata satu
Control
(S1)
Sekertaris
Strata satu
Nurbaya. Stp
(S1) 22 th
Admin Stock
SMK
42 th
HRD
Strata Satu
Novita Pontoluli Takasihaeng
5
Herman
(S1)
3. Teknik Pengumpulan Data a. Teknik Pengumpulan Data Primer Penelitian studi kasus dapat dilakukan melalui 6 (enam) cara : a. Dokumentasi b. Rekaman arsip c. Wawancara d. Observasi langsung e. Observasi partisipasi, dan f. Perangkat fisik
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan hanya dengan menggunakan beberapa teknik saja yang di sesuaikan dengan kebutuhan peneliti. Maka dalam penelitian ini untuk memperoleh data primer peneliti menggunakan teknik observasi (pengamatan), wawancara, dan rekaman arsip atau studi pustaka sebagai tambahan data atau data sekunder dalam penelitian ini. Observasi merupakan metode pengumpulan data dimana peneliti mencatat informasi yang disaksikan selama penelitian, yang diperoleh dengan melihat, mendengarkan, merasakan, dan mencatat secara objektif.
Observasi
dilakukan
terhadap
karyawan
dalam
31
perusahaan yang terkait dengan perilaku komunikasi dalam Perusahaan PT. Tirta Mulia Abadi. Metode
wawancara
yang digunakan
oleh
peneliti
adalah
wawancara terstruktur karena peneliti telah mengetahui secara pasti tentang informasi yang akan dikumpulkan. Dalam wawancara terstruktur, peneliti menggunakan pedoman wawancara yang tersusun secara sistematis dan lengkap. Secara lebih spesifik lagi, teknik wawancara yang diaplikasikan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Wawancara mendalam, dalam penelitian ini berbentuk percakapan dengan informan yang berfungsi untuk menggali riwayat yang berkaitan dengan proses adaptasi antarbudaya karyawan dan akomodasi organisasi, menegaskan perhatian individu atas permasalahan yang terjadi dalam kelompok, mengungkapkan pengalaman komunikasi dan perilaku di luar kelompok. Hasil wawancara akan diubah ke dalam bentuk catatan. Berkas wawancara berupa panduan pertanyaan dalam wawancara ditulis dalam bahasa sederhana yang mudah dimengerti, sesuai dengan bahasa keseharian dan diterima secara ilmiah. Wawancara dilakukan sendiri oleh peneliti. b. Teknik Pengumpulan Data Sekunder Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data sekunder adalah studi pustaka. Data sekunder tersebut berupa bahan-bahan tertulis yang bisa dikumpulkan, profil perusahaan, buku, serta dokumen-dokumen dari berbagai sumber, baik kliping koran, majalah, instansi terkait dan sebagainya. Data ini dipakai sebagai pelengkap temuan atau sebagai starting point untuk memperoleh orientasi yang lebih luas mengenai topik yang diteliti. Dalam
penelitian
ini,
data
sekunder
didapatkan
melalui
penelusuran berbagai referensi buku serta internet, artikel-artikel,
32
dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kajian penelitian ini. Bahan pustaka atau studi kepustakaan adalah hal yang tidak bisa ditinggalkan dalam sebuah penulisan karya tulis atau penelitian. Melalui studi kepustakaan,peneliti mendapatkan bahan-bahan literatur yang membantu dalam proses analisa data dan dapat mendukung kuatnya sebuah hasil penelitian. Selain itu, seorang peneliti memperoleh bahan perbandingan terhadap penelitian sebelumnya. Disamping itu, pengumpulan data juga dilakukan melalui salah satu jenis studi kepustakaan yang disebut sebagai teknik dokumentasi. Teknik ini digunakan untuk mendapatkan teori-teori yang relevan dengan data, yang dapat dipakai untuk menjelaskan masalah.Sumber data berupa buku-buku referensi dan sumber informasi penunjang lainnya seperti situs web, hasil penelitian, dan berbagai sumber informasi penunjang lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 4. Fokus Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menetapkan fokus penelitian pada masalah adaptasi antarbudaya karyawan dari etnis Bugis-Makassar dan akomodasi organisasi menyangkut perbedaan budaya dalam organisasi pada PT. Tirta Mulia Abadi. 5. Teknik Analisis Data Sesuai dengan jenis penelitian, yaitu penelitian kualitatif, maka analisis data dilakukan dengan sistem analisis kualitatif. Hasil analisis kualitatif menjabarkan atau menguraikan persoalanpersoalan yang ditemukan dalam bentuk kata-kata atau teks naratif, bukan dalam bentuk angka-angka.Data yang dianalisis adalah hasil wawancara mendalam (in-depth interview) dan catatan lapangan (field notes).
33
Setalah melakukan analisis data, peneliti melakukan kegiatankegiatan yaitu persiapan mencakup beberapa aktivitas, yaitu menyiapkan data mentah yang akan diolah dan memeriksa kelengkapan instrumen. Apabila kelengkapan data yang diperoleh tidak sesuai dengan perencanaan, maka peneliti kembali terjun ke lapangan dalam rangka melengkapi data.
34