BAB I PENDAHULUAN
1.2.
Latar Belakang Pangadaan Proyek Di Daerah perkotaan, kehidupan masyarakatnya sangat dipengaruhi oleh
adanya keragaman budaya dan sosial masyarakatnya yang tinggal di daerah tersebut, Masyarakat kota sebenarnya merupakan produk dari kekuatan sosial yang bersifat kompleks, khususnya Kota Yogyakarta adalah sebuah kota yang memiliki potensi yang besar dalam budaya (multikultural), karena di Kota Yogyakarta ini sangat banyak sekali pendatang – pendatang dari berbagai pelosok tanah air sampai dari mancanegara dengan membawa kebudayaannya masing – masing.
Etnik Tionghoa adalah salah satu etnik yang sudah sangat lama merasuk di Tanah air Indonesia ini di lihat dari sejarah penyebaran bangsa Cina di Nusantara yang tidak lepas dari perjuangan Laksamana Cheng ho sejak tahun 1405, hingga pasang surut kehidupan etnik Tionghoa sampai sekarang ini, sehingga membawa etnik Tionghoa sebagai bagian dari Bangsa Indonesia.
1.1.1. Akulturasi Kebudayaan Cina dan Nusantara Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, ungkapan itu dapat memberikan kita pemikiran bahwa memang setiap daerah memiliki tata cara dan kebudayaannya sendiri, yang tentunya berbeda dengan yang lain. Begitu juga dengan kebudayaan Cina dan kebudayaan Nusantara juga memiliki akar budaya yang berbeda, tetapi dari perbedaan kebudayaan tersebut
pasti
memiliki sisi baik yang dapat diadopsi dari hasil interaksi dari budaya yang berbeda tersebut, baik berupa pengenalan dan pengembangan budaya hingga pembelajaran
Kebudayaan dari Cina yang berjumpa dengan kebudayaan lokal yang pada akhirnya dapat berinteraksi, dapat diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. hal itu akan lebih baik dengan mewujudkan satu representasi dari budaya Cina yang ramah dengan memberikan space / wadah yang dapat menampung kegiatan yang dapat mendukung hal tersebut.
Cina Indonesia
Gambar 1.1. Pedagang Cina di Banten tahun 1870 Sumber : Gambar - Wikipedia Jumlah penduduk
Kurang lebih1,739,000 jiwa Kawasan dengan jumlah penduduk yang besar
Jawa, Kalimantan Barat, Sumatera, Bangka – Belitung dan Sulawesi Selatan. Bahasa
Hokkien, Hakka, Teochew, Mandarin, Jawa, Indonesia dan bahasa-bahasa daerah yang lain. Agama
Sebahagian besar penganut agama Buddha, Konfusianisme,Taoisme dan Kristiani, dengan segolongan minoriti yang beragama Islam. Kelompok etnik terdekat
Kaum majoriti suku Han dan kaum minoriti suku Hui di China
1.1.2 Sejarah Masuknya Etnik Tionghoa, Hingga Pasang Surutnya Kehidupan Etnik Tionghoa Sampai Sekarang Ini Negeri Cina ternyata tidak hanya terkenal di mancanegara sebagai negeri kuning dengan sungai kuning (Hwang Ho), jika dilihat sejarah penyebaran agama Islam di nusantara maka peran penganjur - penganjur agama Islam dari negeri tiongkok patut dikedepankan, merekalah yang kemudian disebut oleh orang - orang pribumi atau masyarakat jawa sebagai kyai kuning. Cerita tentang kyai kuning ini tidaklah lengkap tanpa menyebutkan seorang
bahariwan agung Laksamana Cheng Ho yang
memimpin pelayaran muhibah sebanyak tujuh kali antara tahun 1405 hingga 1433 dan mengunjungi 30 negara di rantau melayu, Asia Selatan dan Timur Tengah. Cheng Ho dan armadanya diyakini oleh banyak sejarawan dunia mempunyai andil yang besar dalam penyebaran agama Islam di semenanjung melayu termasuk di Pulau Jawa dan Sumatera. Dalam Perjalanannya ke Jawa Timur yang bertepatan pada hari Jum’at, Chengho didaulat sebagai Kyai Kuning yang berkhutbah di hadapan ratusan warga surabaya, diriwayatkan pula
bahwa
armada
chengho
juga
mentransformasikan
beberapan
kemahirannya di berbagai disiplin ilmu seperti perikanan, pertanian, peternakan dan pertukangan. Kisah Heroik Kyai Kuning dalam syiar agama Islam adalah kepeloporan Pangeran Jin Bun putra Prabu Brawijaya (1453 - 1478) dari seorang selir berdarah cina yang dalam beberapa catatan sejarah disebutkan beragama Islam. Pangeran Jin Bun yang beragama Islam diberi kedudukan sebagai Bupati Demak yang bergelar Raden Patah. Dari Demaklah gerakan reformasi sang kyai kuning di mulai. Raden Patah melihat kebesaran majapahit hanyalah semu belaka sebab persatuan dalam negeri melemah
sementara penyebaran agama Islam di Pantai Utara dan Pesisir Timur Pulau Jawa sudah demikian meluasnya yang dipelopori oleh pedagang - pedagang tiongkok yang sebagian besar beragama Islam dan dukungan dari para sunan yang terkenal sebagai Sembilan wali (wali songo). Pada sekitar tahun 1500 M, Raden Patah/Jin Bun/R. Bintoro yang memerintah di Demak, secara terbuka memutuskan ikatan dari Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi, dan atas bantuan daerah-daerah lain yang telah Islam antara lain Gresik, Tuban dan Jepara, Raden Patah mendirikan Kesultanan Islam yang berpusat di Demak. Dari Demaklah cita - cita Kyai Kuning untuk penyebaran dan pengembangan Syiar Islam dimulai dan Dari Demaklah Kebangkitan Islam pada mulanya disuarakan dan diperjuangkan hingga ke penjuru nusantara.
Gambar 1.2. Mohammad Cheng Ho
Bahariwan agung yang memimpin pelayaran muhibah sebanyak tujuh kali antara tahun 1405 hingga 1433 dan mengunjungi 30 negara di rantau melayu, sumber : Curah bebas 25 agustus 2008
1.1.3. Jejak Kyai Kuning dan Masjid Mohammad Cheng Ho Selain Jejak Perjuangan Kyai Kuning ternyata masih ada lagi tapak sejarah dalam wujud peninggalan sejarah seperti kronik kerajaan nusantara,
peta , benda kuno dan bangunan bercorak arsitektur cina seperti kampung pecinan, klenteng, makam, masjid hingga istana.
Gambar 1.3. Kampung Pecinan
Salah satu bangunan peninggalan bercorak arsitektur Cina di Medan Sumber : Indonesia Media Online (Agustus 2005) 1.1.4. Wacana Etnisitas dalam Teori Sosial Kajian tentang etnik sebagai sekelompok manusia yang mempunyai kebudayaan sama, berkembang dari ranah biologis menuju ranah kebudayaan dan akhirnya bemuara pada ranah politik. Kajian aspek sosio-politik tentang etnik ini pula yang belakangan disebut studi etnisitas (Bahar, 1995). Perhatian dan pandangan terhadap wilayah kajian ini memang cukup berkembang dalam antropologi fisik maupun antropologi budaya. Namun demikian, telaah bersudut pandang sosiologis dan politik masih kurang berkembang. Kita bisa menyimak pendapat dari Bahar (1995), kajian aspek politik dari etnik masih langka dan kurang menarik perhatian ilmuwan politik. Ada kesan bahwa dari segi politik, masalah etnik adalah masalah lampau. Sementara menurut Berghe (1981), etnisitas disikapi dan dipandang sebagai gejala pra-modern. Sebagai gejala pra-modern, etnisitas merupakan limbah partikularime dan askripsi yang tidak sesuai dengan kecenderungan ke
arah prestasi, univeralisme dan nasionalisme yang menjadi ciri utama masyarakat industri. Untuk memperjelas pernyataan tersebut Berghe mengatakan, Ethnicity was seen as pre-modern phenomenon, a residue of particularism and ascription incompatible with the trend toward achievemnt, universalism and nationality supposedly exhibited by industrial societies (Berghe, 1981:17). Hal senada juga pernah dikemukakan oleh Graetz dan McAllister (1984:75). Secara normatif, memang ada kecenderungan harapan agar sejalan dengan kemajuan teknologi dan integrasi sosio-politik yang lebih besar, bayang-bayang etnisitas sebagai kekuatan mundur (declining force), secara bertahap akan menghilang. Walaupun demikian, kecenderungan empirik menunjukkan betapa masih kuat daya ikat etnik terhadap para anggotanya. Hal demikian seperti yang dikatakannya, In the 1950s and early 1960, racial and ethnic identity was often viewed as a declining force in modern society. With technological advances and greater social and political integration, these vestiges of pre-industrial society were expected to gradually disappear (Graetz and McAllister, 1984:75).
Gambar 1.4. foto seorang lelaki Tionghoa yang menjaja toucang di jalan raya Batavia pada pertengahan dekad 1910-an
Benarkah kenyataan dan persoalan etnisitas merupakan karakteristik masyarakat pra-modern? Apakah ada cukup bukti yang mendukung penyisihan atau pengabaian masalah etnisitas dari kajian ilmu-ilmu sosial?, kita bisa menjawabnya dengan pendapat Bahar (1995:140). Ia menekankan bahwa masalah etnik yang dalam kehidupan politik lazim berada di latar belakang dan dipandang sebagai sekedar masalah masa lampau, sejak tahun 1970-an kembali tampil ke atas pentas politik. Didorong oleh berbagai kekecewaan berlarut dalam negara nasional, telah muncul gerakan-gerakan etnik yang mengajukan ragam tuntutan politik. Senada dengan itu, Toffler (1990:249-250) meramalkan bahwa masalah etnik akan berlanjut terus sampai abad ke-21. Bukan tidak mungkin, etnisitas yang disebut sebagai fenomena pra-modern ataupun kekuatan mundur ini menguat dan memicu berbagai pertikaian sosio-politik. Sebab, tidak jarang kelompok kepentingan berdasar kesamaan etnik memiliki cenderung mengental dan menjadi salah satu pemicu disintegrasi sosial. Disukai maupun tidak, realitas etnik ada dalam sebagian besar negara nasional. Menurut Koentjaraningrat (1993), dari 175 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hanya 12 negara yang penduduknya relatif homogen. Karena itu, pengabaian terhadap masalah etnik dapat menyebabkan terjadinya gejolak sosio-politik. Karena itu, secara praktispun kajian mendalam terhadap relasi antar etnik amat perlu dilakukan sebagai landasan pemikiran kebijakan integrasi sosial. lazimnya, berdasarkan ciri-ciri utama biologisnya, umat manusia dikelompokkan ke dalam berbagai ras. Bila ras tersebut dikaitkan dengan kebudayaan mereka, maka terbentuk kelompok etnik. Karena itu, dari satu rasa yang sama, bisa terbentuk berbagai etnik. Setiap manusia pasti menjadi warga negara dari salah satu ras dan etnik. Dari latar belakang ras dan etnik itu pula, suatu masyarakat membentuk tipe
kepribadian dasar, yang selanjutnya menjadi acuan bagi pembentukan kepribadian warganya (Linton, 1962:110-111). Menurut Barth (1998), kelompok etnik adalah suatu populasi yang secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, menentukan sendiri ciri kelompoknya, yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Sebagai pembeda satu sama lain, lazimnya suatu etnik mempunyai tanah leluhur (homeland). Adanya kebudayaan serta tanah leluhur sendiri merupakan ciri khas etnik yang membedakannya dengan ras. dalam konteks Indonesia, perbedaan kultural antar etnik yang relatif besar memang masih ditemukan, misalnya antara etnik Jawa dengan etnik Cina. Secara kultural, mayoritas rakyat Indonesia lebih intensif memperoleh pengaruh dari kebudayaan India dibanding dengan kebudayaan Cina. Padahal, antara kedua orientai budaya ini terdapat perbedaan cukup besar (Nakamura, dalam Bahar, 1995:148). Pada dasarnya setiap kebudayaan hampir selalu memiliki sifat ethnosentris, tidak terkecuali budaya Jawa dan Cina. Ungkapan ora Jowo (Tidak Jawa) yang sering disamakan dengan tidak berpengertian dalam masyarakat Jawa misalnya, mencerminkan ethnosentrisme Budaya Jawa. Demikian pula dengan kebudayaan Cina. Menurut Isaacs (1993), kepercayaan melekat terhadap keunggulan bangsa Han dan pandangan mereka yang menganggap orang-orang non-Cina sebagai orang biadab merupakan ciri-ciri terkenal dari dasar pandangan orang Cina terhadap diri mereka sendiri. secara sosio-ekonomi, posisi ekonomi yang kuat dari warga Indonesia keturunan Cina telah berhadapan dengan ketertinggalan warga negara Indonesia asli. Secara historis, posisi ekonomi tersebut berawal dari kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda yang menjadikan orang Cina sebagai kelas
perantara (go between) ataupun kalangan menengah (middlemen). Penduduk keturunan Cina telah dilihat oleh sebagian etnik Jawa sebagai orang luar (out group), Badan-badan usaha milik etnik Cina dinilai tidak pernah mempercayakan jabatan-jabatan puncak manajemen kepada tenaga profesional yang bukan etnik Cina. Demikian pula, perkawinan campuran antara Cina dan yang bukan Cina amat jarang terjadi, terutama antara pria bukan Cina dengan wanita Cina. Dengan demikian, baik dalam segi sistem ekonomi maupun dalam sistem sosio-budaya, secara umum etnik Cina tampak terpisah dari masyarakat
lingkungan
sekitarnya
(Koentjaraningrat,
1993).
mempertimbangkan gejala-gejala tersebut, tidak mengejutkan bila hubungan laten antara etnik asli Indonesia dengan etnik Cina digambarkan sebagai “api dalam sekam ”. Kalau pada 1970-an terjadi huru hara anti Cina di beberapa kota besar di Jawa (Mackie,1976), maka pada awal 1994 berlangsung aksi anti Cina di Medan (Tempo , 30 September 1994). Ketegangan antar etnik demikian, ternyata tidak hanya berlangsung pada tataran kesadaran kelompok, tetapi juga mengemuka pada tataran perilaku. Sebab, ada cukup laporan bahwa pada kerusuhan Mei 1998 pun ditengarai memuat kecenderungan untuk memusuhi etnik Cina (Wibowo, 1999:ix). Secara substantif, kajian terhadap masalah etnisitas memang memberikan perhatian lebih besar terhadap bentuk interaksi konflik dan dalam konteks perkotaan. Begitu besar perhatian diberikan pada potensi konflik antar etnik di perkotaan, seakan-akan hanya interaksi yang bersifat konflik sosial yang terjadi, dan hanya berlangsung di perkotaan. Padahal, pengamatan awal penelitian ini juga menemukan gejala interaksi kerjasama antara etnik Cina dan etnik Indonesia lain di daerah pedesaan. Bentuk kerjasama itu antara lain berupa pemilikan tanah atas nama warga desa setempat, penyewaan tanah yang dikelola oleh warga desa, dan perkreditan dengan modal milik pengusaha Cina. Penyewaan tanah terutama dilakukan oleh warga desa yang tidak memiliki modal cukup untuk bersaing
dalam pertanian komersial. Selain itu, sebagian warga desa tersebut juga lebih tertarik pada peluang kerja di luar sektor pertanian sehingga cenderung menyewakan tanahnya dan meninggalkan sektor pertanian. Sebagian lain lagi menjadi buruh di sektor pertanian komersial yang relatif membutuhkan modal lebih besar. masuknya pengusaha Cina bersama modal dan teknologi ke pedesaan, menimbulkan dampak baik positif maupun negatif bagi integrasi sosial dan pekembanan masyarakat desa setempat. Secara hipotetik, dampak positinya berupa pengalihan teknologi pertanian, tersedianya lapangan pekerjaan serta penularan sikap kewirausahaan. Sedangkan dampak negatifnya berupa kesenjangan sosial yang memicu kecemburuan sosial bernuansa etnik dan keagamaan. Dalam sejarah Indonesia, kelompok etnik Tionghoa telah beberapa kali menjadi sasaran pembunuhan beramai-ramai atau penjarahan, antaranya: •
pembunuhan di Batavia pada tahun 1740;
•
pembunuhan masa Perang Jawa pada tahun 1825 - 1930
•
pembunuhan beramai-ramai di Jawa pada tahun 1946-1948;
•
peristiwa ras pada 10 Mei 1963 dan 5 Ogos 1973;
•
Malari pada 1974; dan
•
Kerusuhan Mei 1998.
Gambar 1.5. Bandung, 10 Mei 1963
Kerusuhan anti suku peranakan Tionghoa terbesar di Jawa Barat. Sumber : Indonesia Kemarin, (27 Juni 2006)
Gambar 1.6. Kerusuhan Mei 1998
Sumber : http/Dada/kerusuhan.com (24 Mei 2008) Pembunuhan etnik Tionghoa di Batavia pada tahun 1740 melahirkan gerakan-gerakan penentangan daripada kelompok etnik Tionghoa yang bergiat di beberapa kota di Jawa Tengah, dibantu pula oleh kelompok etnik Jawa. Peristiwa inilah yang mengakibatkan perpecahan kerajaan Mataram II. Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas daripada perkembangan yang terjadi dalam komuniti Tionghoa. Pada 17 Mac 1900, terbentuklah di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah sebanyak 54 buah pada tahun 1908 sehingga 450 buah sekolah menjelang tahun 1934. Inisiatif ini diikuti oleh kelompok-kelompok etnik yang lain, umpamanya kelompok etnik Arab yang mendirikan Djamiatul Chair meniru model THHK. Pada kali ini, perkembangan tersebut menyedarkan golongan bangsawan Jawa tentang pentingnya pendidikan kepada generasi-generasi masa hadapan sehingga terbentuklah Budi Utomo. Pada tahun 1909, Sarekat Dagang Islamiyah diasaskan oleh RA Tirtoadisuryo di Buitenzorg (Bogor), mengikuti model Siang Hwee (dewan perdagangan orang Tionghoa) yang dibentuk pada tahun 1906 di Batavia. Bahkan
pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas daripada pengaruh hubungannya yang dijalin lebih dahulu dengan kelompok etnik Tionghoa. Haji Samanhudi, pengasas Sarekat Islam, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, pertubuhan tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Beliau kemudian juga membentuk Rekso Rumekso, iaitu Kong Sing orang Jawa. Pemerintah jajahan Belanda semakin khuatir apabila Sun Yat Sen mengisytiharkan Republik China pada Januari 1912. Pertubuhan Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial budaya mulai menuju ke bidang politik. Tujuan pertubuhan tersebut adalah untuk menghapuskan diskriminasi terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, undangundang, status kerakyatan, beban cukai, serta sekatan bergerak dan tempat tinggal. Dalam rangka pelaksanaan Politik Etika, pemerintah jajahan berusaha untuk
memajukan
pendidikan,
namun
warganegara
Tionghoa
tidak
dimasukkan dalam program tersebut pada hal mereka membayar cukai ganda (cukai hasil dan cukai harta). Cukai hasil dikenakan pada semua warganegara pribumi yang bukan petani, manakala cukai harta (rumah, kuda, kereta, kenderaan bermotor dan peralatan rumah) dikenakan hanya pada orang Eropah dan orang Timur asing (termasuk kelompok etnik Tionghoa). Sekatan bergerak dikenakan pada warganegara Tionghoa dengan adanya passenstelsel. Sejak pembunuhan kelompok etnik Tionghoa di Batavia pada tahun 1740, orang Tionghoa tidak dibenarkan bermukim secara bebas, dengan aturan Wijkenstelsel menubuhkan pecinan, iaitu pemukiman etnik Tionghoa di sejumlah kota besar di Hindia Belanda. Sasaran pemerintah jajahan untuk mencegah interaksi antara pribumi dengan kelompok etnik Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata bertujuan untuk menumpukan kegiatan-kegiatan ekonomi orang Tionghoa di kawasankawasan bandar. Ketika ekonomi dunia beralih ke sektor perindustrian, orangorang Tionghoalah yang paling bersedia, dengan pengkhususan mereka dalam
perusahaan makanan dan minuman, jamu, alatan rumah, bahan pembinaan, kilang, batik, kretek, serta pengangkutan. Sebenarnya pada zaman jajahan, kelompok etnik Tionghoa ini juga pernah berjuang, baik secara persendirian mahupun bersama kelompok-kelompok etnik yang lain, untuk melawan Belanda di Jawa dan di Kalimantan. Bersama kelompok etnik Jawa, kelompok ini berperang melawan Syarikat Hindia Timur Belanda pada tahun-tahun 1740-1743. Di Kalimantan Barat, komuniti Tionghoa yang bergabung dengan "Republik" Lanfong juga berperang dengan pasukan Belanda pada abad ke-19. Golongan Tionghoa turut membantu mengasaskan Sumpah Pemuda, dengan Sie Kong Liong membina bangunan Sumpah Pemuda, dan beberapa orang daripada kelompok Tionghoa duduk dalam jawatankuasanya, antaranya Kwee Tiam Hong dan tiga orang pemuda Tionghoa yang lain. Beberapa orang kapitan Tionghoa yang dilantik oleh Belanda sebagai pemimpin komuniti ternyata juga telah berjasa kepada masyarakat Indonesia. So Beng Kong dan Phoa Beng Gan membina terusan di Batavia manakala Kapitan Tionghoa Tan Djin Sing menjadi Bupati Yogyakarta. Akhbar Sin Po, akhbar Melayu Tionghoa, juga banyak memberikan sumbangan dalam penyebaran maklumat yang bersifat nasionalisme. Lagu Indonesia Raya yang digubah oleh W.R. Supratman buat pertama kali diterbitkan oleh akhbar Sin Po. Sebelumnya pada dekad 1920-an, akhbar Sin Po memelopori penggunaan bahasa bumiputera Indonesia sebagai pengganti untuk bahasa Belanda inlander bagi semua terbitannya, dengan langkah ini kemudian diikuti oleh banyak akhbar yang lain. Sebagai balas budi, semua akhbar tempatan kemudian menggantikan istilah "Tjina" dengan istilah "Tionghoa". Pada tahun 1931, Liem Koen Hian menubuhkan sebuah parti politik yang digelar Parti Tionghoa Indonesia (PTI) dan bukan Parti Tjina Indonesia. Semasa pemberontakan pada pertengahan dekad 1940-an, Datuk Bandar John Lie menyeludupkan barang-barang ke Singapura untuk
membiayai perjuangan Republik. Rumah Djiaw Kie Siong pada 16 Agustus 1945 dikosongkan oleh Tentara Pembela Tanah Air (Peta) agar dapat digunakan oleh Sukarno dan Mohammad Hatta untuk beristirahat setelah disingkirkan dari Jakarta. Dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45, terdapat lima orang Tionghoa, iaitu Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan Drs. Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian mengekalkan statusnya sebagai warganegara asing, walaupun beliau turut merancang UUD 1945. Sebenarnya dalam perjuangan jasmaniah, banyak pahlawan daripada kelompok etnik Tionghoa yang terjun namun sayangnya tidak terdapat banyak yang dicatat dan diberitakan. Tony Wen adalah salah seorang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye, Surabaya.
Gambar 1.7 Seorang Pahlawan Tionghoa bernama Soe Hok Gie di Puncak Pangrango, 1967 Sumber: http/erwinkrisdiyanto_blogs_friendster.com
1.1.5. Pasca Kemerdekaan Sejarah politik diskriminasi terhadap kelompok etnik Tionghoa terus berlangsung pada zaman Orde Lama dan Orde Baru, dengan Orde Lama
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang warganegara Tionghoa daripada berniaga secara runcit di kawasan luar ibu kota provinsi dan kabupaten. Hal ini mengakibatkan sekatan yang luas terhadap pengedaran barang-barang dan pada akhirnya, sekatan tersebut terkena pada batang hidung sendiri dan menjadi salah satu sebab untuk kemerosotan ekonomi Indonesia menjelang tahun 1965. Pada sepanjang tempoh Orde Baru, terdapat juga peruntukan untuk Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, lebih popular disebut SBKRI, yang terutamanya ditujukan kepada kelompok etnik Tionghoa warganegara Indonesia berserta keturunan-keturunannya. SBKRI adalah kad pengenalan yang menyatakan bahawa pemiliknya adalah warganegara Republik Indonesia. Walaupun peruntukan ini bersifat pentadbiran, SBKRI terutamanya hanya diberikan kepada keturunan Tionghoa. Pada dasarnya, pengamalan SBKRI sama ertinya dengan usaha untuk menempatkan para warganegara Tionghoa pada status "masih dipertanyakan" di sisi undangundang kewarganegaraan Indonesia. Namun pada masa reformasi, etnis tionghoa
mendapatkan
angin
segar
setelah
pemerintah
mencabut
kebijaksanaan – kebijaksanaan deskriminatif terhadap etnis tionghoa, yaitu antara lain : 1.
Keppres no 56/1996 tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI).
2.
Keppres no 6/2000 tentang pencabutan inpres no 14/1967 tentang agama, kepercayaan dan adat – istiadat cina
3.
Inpres 26/1998 tentang penghapusan penggunaan istilah Pri dan Non Pri
4.
Keppres no 19/2002 tentang ditetapkannya hari tahun baru imlek sebagai hari nasional.
Gambar 1.8. PENCABUTAN SBKRI
WNI keturunan kini merasa lega dengan dicabutnya peraturan soal SBKRI. Selama ini, mereka merasa menjadi Warga Negara Indonesia nomor dua dengan adanya peraturan tersebut.(79) - SM/AFP Sumber: Suara merdeka (Rabu, 3 november 2008)
Akhirnya etnis tionghoa perlahan mulai berani muncul di tengah masyarakat luas karena mereka sudah sedikit merasa aman dengan undang – undang yang melindungi. Persentase pemeluk Kong Hu Cu di Indonesia pun bertambah setelah pemerintah mencabut pelarangan tentang kepercayaan tersebut pada tahun 2000, seperti hak untuk memperingati Tahun Baru Cina (Imlek) secara terbuka. Majelis Tinggi Agama Kong Hu Cu Indonesia (MATAKIN) memperkirakan bahwa 95% penganut Kong Hu Cu adalah warg keturunan tionghoa yang setengahnya adalah suku jawa. Banyak penganut Kong Hu Cu juga mempraktikkan ajaran agama Buddha dan Kristen. MATAKIN mendesak pemerintah untuk sekali lagi memasukkan penganut Kong Hu Cu dalam kategori sensus. Angin segar itupun terus bersambut tangan ketika kesadaran masyarakat tentang multikulturalisme suku dan bangsa tumbuh. Bukan hanya pengakuan sebagai WNI yang telah dengan
transparan ditunjukkkan pemerintah, pada Januari 2006 menteri agama mendeklarasikan Kong Hu Cu sebagai agama resmi ke enam di Indonesia hal tersebut semakin memperlihatkan perlakuan yang positif terhadap budaya dan etnik tionghoa 1.2
Latar Belakang Permasalahan Secara kuantitatif, Etnik Cina merupakan minoritas di tengah kemajemukan
etnik Indonesia . Pada tahun 1961, diperkirakan ada sekitar 2,45 juta jiwa Etnik Cina atau sekitar 2,5 persen dari total penduduk Indonesia (Coppel, 1983:1). Sementara itu, Wibowo (2000:XV), menaksir kalau jumlah Etnik Cina di Indonesia sekitar 3 persen. Lebih tinggi dari kedua taksiran tersebut, Taher (1997:205), menyebut angka 4-5 persen. Walaupun demikian, secara kualitatif, persoalan yang dianggap telah ditimbulkan oleh keberadaan Etnik Cina ini tidak bisa disebut kecil. Walaupun telah dikecam karena tidak didasarkan pada temuan penelitian empirik (Wibowo, 2000:XV), beredar pendapat bahwa minoritas Etnik Cina di Indonesia telah menguasai 70 sampai 80 persen perekonomian Indonesia . Begitu dianggap penting persoalan Etnik Cina di Indonesia, sehingga memunculkan suatu isu khusus, yaitu: Masalah Cina. Tidak bisa disangkal bahwa kajian tentang etnik Cina di Indonesia sudah banyak dilakukan. Bahkan tak sedikit dari kajian itu yang diterbitkan. Ini menunjukkan bahwa fenomena etnik Cina di Indonesia telah merangsang begitu banyak kajian, baik kajian lapangan maupun kepustakaan. Melalui Indonesian Chinese in Crisis, Coppel (1983) pernah mengkaji latar belakang sejarah Masalah Cina dan bagaimana masalah tersebut terus-menerus berlangsung, serta bagaimana usaha keras disertai dengan berbagai macam cara agar masyarakat Cina Indonesia bisa mengakomodasi diri sesuai dengan arah politik nasional. Berdasarkan hasil analisisnya, Coppel (1983) berupaya menggambarkan bagaimana arah kebijakan pemerintah Orde Baru (Orba) dalam menyelesaikan Masalah Cina di Indonesia. Sementara itu, usaha untuk menentukan letak Etnik Cina dalam masyarakat Jawa
selama abad ke dua puluh, dilakukan oleh Rush (1991). Kajian sejarah ini menggunakan sejumlah bahan dokumenter yang relevan untuk mencermati bagaimana para tokoh masyarakat Etnik Cina memerankan diri dalam perubahan-perubahan besar di Jawa. Seperti melanjutkan kajian ini, secara lintas disiplin Witanto (2000) memadukan pendekatan analisis ruang dan perkembangan sejarah masyarakat Cina dan posisi mereka dalam masyarakat Indonesia . Penelitian ini menyimpulkan bahwa kekerasan terhadap etnik Cina di Indonesia, khususnya pada Mei 1998, tidak bisa serta merta timbul karena sentimen etnik. Salah satu faktor mendorong munculnya konflik dan kekerasan tersebut adalah morfologi fisik pemukiman. Pola pemukiman yang berubah menjadi model sosio ekonomi yang eksklusif telah menumbuhkan citra negatif sebuah kelompok bermodal (Cina). Di lain pihak, kondisi perkotaan yang semakin parah telah memberikan tekanan tersendiri bagi warga kota secara umum. Akibatnya, sentimen etnik terhadap kelompok bermodal yang selama ini tersembunyi, menjadi mengemuka karena kelompok bermodal dianggap tidak terkena dampak krisis ekonomi. Sebuah kajian kualitatif dengan perspektif teoretik strukturasi, dikerjakan oleh Lukas Sugeng Musianto (1997). Pusat perhatian kajian ini adalah interaksi Etnik Cina dan Pribumi di Surabaya. Dari sebelas faktor yang berpengaruh terhadap interaksi Cina dan Pribumi, dipadatkan oleh Musianto (1997) menjadi enam faktor, yaitu: nenek moyang atau keturunan, kepribadian atau mentalitas, pendidikan, status, sosial ekonomi dan keagamaan.
Analisis terhadap Etnik Cina sebagai kelompok sosial dilakukan oleh Susanto (2000). Melalui studi multi kasus, tiga masalah diajukan dalam penelitian ini, yaitu: (1)
Masalah-masalah apa saja yang dihadapi oleh orang-orang
Cina dari berbagai kelompok sosial?
(2) Bagaimana mereka mengatasi masalah-masalah yang timbul dari posisinya sebagai minoritas? 3) Bagaimana proses akomodasi yang telah dilaksanakan sekian lama oleh
para anggota komunitas Cina sehingga berhasil
membuat hidup mereka relatif lebih damai?
Karena masing-masing kasus menunjukkan keunikannya, maka tidak diperoleh kesimpulan umum dari penelitian ini. Hanya dikemukakan bahwa ada sebagian Etnik Cina yang benar-benar diterima oleh kaum pribumi, tetapi juga ada sebagian dari mereka yang ditolak dan mendapatkan perlakuan yang diskriminatif. Walaupun benih-benih permusuhan yang kebanyakan tumbuh di kalangan masyarakat bawah, ternyata justru hubungan yang sangat erat dengan etnik Cina, berlangsung di tingkat elit politik Indonesia . Karena itu, muncul kecurigaan besar bahwa kemajuan usaha kelompok etnik Cina, tidak semata-mata disebabkan oleh etos kerja mereka, melainkan juga karena telah berlangsung semacam kolusi antara para pejabat sebagai penguasa dan pengusaha etnik Cina. Melihat dari berbagai kajian – kajian tentang masalah yang timbul terhadap Etnik Tionghoa di Indonesia, hal yang paling mendasar terhadap masalah Cina ini adalah ”kecemburuan sosial”. Perilaku ekonomi etnis Cina di Indonesia dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang situasi dan kondisi politik, hankam dan sosial masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Robbins (1991:125), bahwa persepsi individu ataupun sekelompok orang merupakan suatu proses dimana individu atau suatu kelompok mengorganisir dan menerjemahkan kesan sensorik mereka untuk memberikan tanda bagi lingkungan mereka. Terlepas dari pengukuran seseorang berjiwa nasionalis ataupun bukan, hal ini terkait dengan salah satu kebutuhan dasar hidup manusia yaitu menyangkut keselamatan dan keamanan etnis Cina di Indonesia. Selain itu persepsi tentang etnis Cina di Indonesia juga tergantung streotipe yang beredar di kalangan masyarakat pribumi tentang etnis Cina di Indonesia.
Gambar 1.9.
Selama beberapa dekade, aksara Cina atau Hanzi dilarang atau paling "tidak dianjurkan penggunaannya" di Indonesia. Namun akhir-akhir ini bahkan calon presiden dan naib presiden Megawati dan Wahid Hasyim menggunakannya pada poster kempen mereka dalam Pilihan Raya Presiden 2004. Sumber : Gambar - Wikipedia Pembentukan persepsi tentang etnis Cina di Indonesia terkait dengan karakteristik pribadi mereka, terutama dalam menyikapi situasi lingkungan yang mereka hadapi, dengan motivasi tertentu terutama untuk mendapatkan keamanan dan kesejahteraan hidup, bahkan kemapanan. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman masa lampau, nilai – nilai dan prinsip dasar yang selalu dipegang teguh oleh Bangsa Cina dari dahulu hingga sekarang ini, yang merupakan dasar untuk melangkah maju meraih harapan -harapan hidup mereka di masa kini dan yang akan datang.
1.3.
Rumusan Permasalahan
Bagaimana wujud rancangan Chinese Culture Centre di Yogyakarta, dengan mengangkat nilai – nilai dan prinsip dasar Bangsa Cina, yang diterima sebagai proses akulturasi melalui tata ruang dalam dan luar bangunan, bentuk bangunan, fungsi bangunan, dan material bangunan.
1.6.
Tujuan dan Sasaran Mewujudkan Chinese Culture Center di Yogyakarta yang baik sehingga dapat
menjadi suatu wadah yang menampung berbagai kegiatan budaya Cina yang baik sebagai bentuk representasi yang positif yang dapat diterima dan berinteraksi dengan beraneka ragam budaya lain yang ada di yogya ini. Dengan sasaran menyusun konsep dasar perencanaan dan perancangan Chinese Culture Centre di Yogyakarta sesuai dengan nilai – nilai, prinsip dasar, dan pola kebudayaan Cina yang baik, sehingga dapat menonjolkan suatu image yang baik pada kebudayaan Cina tersebut. Sehingga dapat dipelajari dan diambil sisi baiknya.
1.7.
Lingkup Studi Pembahasan mengenai tata atur ruang – ruang yang dapat memberikan
kejelasan pada sistem sirkulasi. Serta tampilan interior dan eksterior bangunan yang dapat memberikan corak arsitektur budaya Cina yang ramah. Perancangan Chinese Culture Centre di Yogyakarta dengan penekanan pada tata ruang, sistem sirkulasi yang berdasarkan pada tata atur tradisional Cina (Feng Shui) dan penampilan bangunan berdasarkan konsep arsitektur modern yang telah berkembang tanpa meninggalkan nilai – nilai dan adat yang ada.
1.6.
Metode Studi Studi Literatur mengenai chinese culture centre yang ada di Internasional..
Studi Komparatif pusat – pusat kebudayaan cina yang sudah ada dan berkembang, dari bidangnya masing – masing.
1.7.
Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan meliputi : BAB I
: Pendahuluan Menjelaskan mengenai latar belakang pengadaan proyek, latar belakang permasalahan rumusan permasalahan, tujuan dan sasaran, lingkup studi, metode studi yang digunakan.
BAB II
: Landasan Teori tentang kebudayaan dan Chinese Culture Centre itu sendiri, serta teori – teori Feng Shui yang nantinya digunakan dalam penerapan perencanaan perancangan Chinese Culture Centre of Yogyakarta ini.
BAB III
: Data kota Data Kota / Kawasan / Lingkungan Berisi tentang data Kota Daerah Istimewa Yogyakarta berupa data fisik dan non fisik, yaitu : data fisik berupa data tentang georafis dan klimatologi, sedangkan data non fisik berupa data tentang sosial, budaya, ekonomi, kependudukan di daerah Istimewa Yogyakarta
BAB IV : Analisis Chinese Culture Centre di Yogyakarta BAB V
: Konsep Dasar Perencanaan dan Perancangan Chinese Culture Centre