Masyarakat Betawi dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala: Oleh: Lisa Amelia
ABSTRAK Novel ini menggambarkan tokoh utama Haji Jaelani, Jarkasi, dan Juleha mereka mampu mempertahankan kehidupan tradisional Betawi dalam perkembangan modernitas Jakarta dan menepis pandangan miring dalam lingkungan masyarakat Betawi yang kerap terjadi dengan hal-hal positif dalam meraih suatu prestasi.
KATA KUNCI : “Fenomena Masyarakat Betawi, Sosiologi Sastra”
TEORI SOSIOLOGI SASTRA Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 855), sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat, telaah tentang lembaga sosial dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung dan bagaimana ia tetap ada. Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan manusia dalam hubungan kelompok. Sosiologi sebagian mempunyai objek yang sama dengan ilmu-ilmu pengetahuan kemasyarakatan lainnya, tetapi ia memandang peristiwaperistiwa sosial dengan caranya sendiri; mendalam sampai hakekat segala pembentukan kelompok, hakekat kerja sama serta kehidupan bersama dalam arti kebendaan dan kebudayaan (Bouman, 1985: 17). Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang dilakukan terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan unsur-unsur kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya. Pendekatan sosiologi sastra merupakan salah satu pendekatan dalam ilmu sastra yang menitikberatkan pada aspek sosial, yang mempengaruhi lahirnya sebuah karya sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dengan demikian memiliki keterkaitan dengan nilai dalam masyarakat (Soemanto dan Levin dalam Taum, 1997: 47). 1
Sosiologi sastra suatu telaah sosiologis terhadap suatu karya sastra. Menurut (Wellek dan Warren: 53) telaah sosologis ini mempunyai tiga klasifikasi, yaitu: a) Sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalakan tentang status sosial, ideologi politik dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang. b) Sosiologi karya, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra: yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya. c) Sosiologi pembaca yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Berdasarkan klasifikasi dalam uraian di atas, peneliti menggunakan sosiologi karya, karena dalam penelitian yang dilakukan berhubungan dengan keadaan dan kehidupan masyarakat yang diceritakan dalam novel Kronik Betawi . LATAR BELAKANG Adapun persoalan dalam novel digambarkan, masyarakat Betawi masih melestarikan kesenian-kesenian nasional seperti tanjidor, tetapi oleh pemerintah sangat dilarang mengamen tanjidor, termasuk penonton tanjidor yang dilarang pemerintah, sebab dengan menonton tanjidor sama saja mendukung pengamen. Pada dasarnya pemerintah melarang mengamen. Seperti kutipan di bawah ini: “Heh, kamu kenapa celingak-celinguk? Kamu orang ngamen juga ya?” tanya CPM itu mendukung dengan galak. “Eh, bukan Pak... saye lagi cari adek saye. Dia tadi berlarian.” “Adek kamu pengamen tanjidor tadi ya?” “Bukan Pak, sumpah...” “Bukan tukang ngamen kok lari juga?” “Lah..., semua orang yang pada lihat tanjidor berlarian, jadi adek saya juga lari.” “Jadi, adeknya situ lihat tanjidor ya? Situ tahu, ngamen dilarang?” “Mana saye tahu Pak.” 2
“Nah, sekarang situ tahu. Kalau adeknya sudah ketemu, kamu kasih tahu dia ya! Bilangin, nonton ngamen tanjidor sama saja mendukung pengamen. Nah, ngamen itu dilarang, ngerti kamu?” perintah CPM itu (Kumala, 2009: 15).
Selain kesenian tanjidor, seni tari masih hidup dan berkembang dalam kesenian masyarakat Betawi seperti lenong dan gambang kromong. Keseniankesenian itu pada zaman sekarang sudah jarang ditampilkan bahkan tidak lagi dikembangkan oleh sebagian masyarakat Betawi. Modernitas kota Jakarta membuat lingkungan budaya Betawi menjadi terasing di tengah berbagai budaya Jakarta yang metropolis. Persoalan juga terlihat dalam novel Kronik Betawi yang digambarkan seorang penari bagi perempuan dianggap tidak baik. Seperti kutipan di bawah ini : Meskipun suaminya seorang seniman gambang kromong, Enden tidak suka jika anaknya juga menjadi seniman. Enden tak keberatan hidup dari gambang kromong, tetapi bukan berarti pula ia menginginkan hal yang sama untuk anaknya. Enden pun sudah mengutarakan hal ini pada suaminya, Jarkasi. Tapi jika si anak maunya begitu, mau bagaimana lagi! Baru saja Jarkasi menaruh pantatnya di kursi, belum juga diteguk air teh yang disuguhkan istrinya, Enden sudah mengomel soal anak perempuan mereka yang sebiji mete jambu bol suka menari. Jarkasi hanya berdehem. “Abang ngomong kek ama si Edah... kagak usah ikut-ikutan nari.” Jarkasi kembali berdehem, sudah setengah jam Enden laporan padanya soal Edah yang
diam-diam ikut ekstrakurikuler menari di sekolahnya. “Emang ngapa sih,
namanya anak perawan... demen nari kan gak sirik,” ujarnya dengan suara tenang. “Abang gak ngarti perasaan aye. Tau gak sih Bang, orang-orang yang nari iu sering ditoel-toel orang. Aye gak rela anak aye atu-atunye dicolek-colek orang, dikira perempuan begituan (Kumala, 2009: 45).
Novel Kronik Betawi juga bercerita tentang masyarakat Betawi yang menghadapi modernisasi dan menepis berbagai persepsi miring pada orang Betawi. Dalam novel digambarkan, setiap tokoh memikul persoalan sebagai orang Betawi pada masanya (sebelum orde baru hingga tahun 1998). Seperti Haji Jaelani 3
yang mewakili kalangan masyarakat Betawi yang tanahnya kena gusur, padahal tanah tersebut warisan dari babehnya (Bung Juned), selain itu Haji Jaelani harus menerima kenyataan bahwa anaknya Juned dan Japri lebih memilih menjadi tukang ojek dari pada meneruskan pendidikannya, berbeda dengan Fauzan anak dari istri kedua Haji Jaelani yang mendapatkan beasiswa pendidikan S-2 di luar negeri. Persoalan dalam novel juga terjadi pada Jarkasi, dengan berbagai kendala yang dihadapi, ia tetap mempertahankan kesenian tradisioal Betawi, begitu juga dengan anaknya Edah sangat menyukai tari sekaligus menjadi seorang penari, namun keinginannya terhambat karena tidak diizinkan ibunya (Enden). Berbeda dengan Juleha, ia harus menerima kenyataan bahwa suaminya menikah lagi. Persoalan-persoalan sosial yang terjadi dalam novel Kronik Betawi dianalisis dengan menggunakan tinjauan sosiologi sastra sehingga peneliti dapat memberikan gambaran mengenai masalah-masalah sosial dalam novel Kronik Betawi.
RUMUSAN MASALAH Adapun masalah yang akan diteliti adalah, sebagai berikut: 1. Fenomena sosial masyarakat Betawi yang terdapat di dalam novel. 2. Sikap masyarakat Betawi di dalam novel terhadap lingkungannya.
PEMBAHASAN Tema dalam novel Kronik Betawi adalah fenomena sosial masyarakat Betawi. Masyarakat Betawi dalam novel memiliki masalah-masalah dalam kehidupannya, seperti modernitas Jakarta yang berkembang serta orang Betawi yang masih melestarikan keseniannya dalam perkembangan zaman.
Tokoh Utama Tokoh utama adalah tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terusmenerus (Nurgiyantoro, 1995: 166). Tokoh utama dalam novel Kronik Betawi adalah Haji Jaelani, Jarkasi dan Juleha. Tokoh utama dalam novel Kronik Betawi adalah sebagai berikut: 4
Haji Jaelani Haji Jaelani sosok orang Betawi yang kurang akan pendidikan, hal tersebut terbukti pada saat ia kehilangan tanah peninggalan babehnya (Bung Juned) untuk kepentingan-kepentingan orang-orang yang berkuasa di Jakarta, sebab ia tidak mengetahui aturan-atura pemerintah. Haji Jaelani memiliki sifat yang tegas dan penyayang, itu terbukti kepada anak-anaknya, meskipun anaknya (Japri dan Juned) selalu membuat masalah dan membuat marah. Cintanya terhadap anak-anaknya ditunjukkan dalam kutipan berikut: Japri dan Juned girang bukan kepalang, dapat warisan sebelum orang tuanya mati. Dasar anak songong! saya bilang, mereka harus sering-sering datang mengawasi orang-orang yang sedang membangun. Itu milik mereka, mereka harus belajar tanggung jawab atas milik mereka sendiri. Saya juga bilang bahwa Saya tidak mau melihat mereka ngojek lagi, saya ingin melihat mereka jadi juragan rumah kontrakan (Kumala, 2009: 232).
Haji Jaelani sosok yang taat pada agama, tergambar dalam kutipan berikut ini: Ketika Haji Jaelani bangun pagi itu untuk salat subuh, hujan masih menyisakan rintiknya setelah semalaman mengguyur deras kota. Ada alarm di dalam diri Haji Jaelani yang bergetar di waktu-waktu tertentu, mengingatkannya untuk salat tujuh kali sehari. Subuh, zuhur, asar, magrib, isya, dan tengah malam untuk salat tahajud dua rakaat dan witir satu rakaat (Kumala, 2009: 1).
Dapat disimpulkan bahwa Haji Jaelani sosok orang Betawi yang tingkat pendidikannya kurang baik, namun ia sosok kepala rumah tangga yang tegas namun penyayang terhadap anak serta istrinya. Jarkasi Jarkasi (adik Jaelani), seorang seniman, kehidupan murid Haji Bokir ini tidak pernah beranjak lebih baik karena seniman Betawi nyaris tidak pernah dihargai. Jarkasi berhadapan dengan era modernitas yang mempersulit perkembangan kesenian tradisional. Ia mendedikasikan hidupnya demi kelestarian 5
gambang keromong, semacam orkes, perpaduan antara gamelan, musik Barat, dan corak kesenian Cina. Jarkasi sangat mencintai budaya, yaitu Betawi. Bagi Jarkasi, tanah kelahiran bolehlah lenyap ditelan gemuruh perubahan Jakarta, tetapi Betawi masih memiliki lenong dan gambang keromong yang
harus tetap hidup, seni satu-
satunya milik mereka yang belum terbeli. Jarkasi sangat kecewa kepada anak-anak muda pada zaman sekarang, yang tidak lagi melestarikan kebudayaannya sendiri, justru membiarkan budayanya hilang ditelan zaman, seperti kutipan di bawah ini : Sekarang boro-boro. Inget ada lenong aja kagak kali, orang lebih inget musik gembreng-gembreng. Dulu, biar kata dapet duit Cuma seribu-dua ribu, tapi masih ada yang nanggap...seakarang boro-boro. Dulu biarpun sampe tengah malem juga saye masih ditunggu ama orang yang mau nonton lenong (kumala, 2009:114).
Dari kutipan di atas dapat kita lihat bahwa Jarkasi masih sangat mencintai musik tradisional dan keseniannya, Jarkasi ingin sekali melestarikan kesenian khas Betawi agar tidak punah dengan bergantinya zaman. Sisi positif Jarkasi seharusnya patut kita tiru, karena mengembangkan budaya sendiri adalah kewajiban kita sebagai anak daerah. Jarkasi ingin mendidik anak-anak muda agar tertarik kepada gambang kromong, lenong, dan tarian Betawi. . Jarkasi memang memiliki jiwa seni yang sangat tinggi, ia sangat menginginkan peralatan gambang kromong sendiri. Dahulu pernah ia kumpulkan uang untuk membeli peralaan gambang kromong, tetapi dipakainya untuk pergi Haji. Kecintaannya terhadap seni juga diturukan kepada anaknya Edah yang menjadi seorang penari. Bukan hanya mencintai kesenian, Jarkasi juga sosok orang tua yang mencintai anaknya Edah, itu terbukti dari perilakunya terhadap anaknya. Seperti kutipan berikut: Saye sebetulnya gak mau nyuruh anak saye nari di setu babakan. Tapi Cuma di situ kesenian Betawi masih dipandang. biar kata Enden koar-koar soal banyak perempuan nakal di wilayah itu. Makanya, saye tungguin Edah tiap kali dia
6
mentas. Lagipula, saye juga sering ngiringin anak saye ngibing (Kumala, 2009: 233).
Dapat disimpulkan bahwa Jarkasi sosok orang yang sangat peduli terhadap lingkungannya, lingkungan budayanya sendiri, yaitu Betawi. Dengan sifat yang teguh untuk memajukan kesenian Betawi, ia mampu melestarikan kesenian Betawi, yaitu gambang kromong. Juleha Juleha istri Jiih, ia dimadu, hal ini dikarenakan Juleha lama tidak kunjung hamil. Juleha hanya pasrah setelah mengetahui suaminya kawin di bawah tangan, yang sebelumnya tidak diketahuinya, walaupun pada akhirnya menikahi secara sah istri keduanya dengan meminta izin kepada Juleha. Di sinilah sosok seorang Juleha diuji, dengan sabar dan ikhlas dirinya dimadu. Sebenarnya ia tidak mandul, hanya saja Tuhan belum memberikannya kesempatan untuk mempunyai keturunan. Juleha hanya selalu ingat dengan perkataan Enyaknya sebelum meninggal bahwa perempuan berkeluarga itu tugas utamanya menjaga suaminya. Juleha sosok perempuan yang sabar dan tegar, tergambar dalam kutipan: Mereka menikah, di rumah ini. Rumah kami.tapi aku mengijinkan mereka bermalam di sini. Setelah ijab itu dilakukan, mungkin mereka sudah pesan kamar honeymoon suite di sebuah hotel berbintang. Mungkin juga orang tua perempuan itu sudah menyiapkan sebuah ruangan, dengan kasur empuk yang dibalut sprei berwarna senada dengan kain penghias dinding, juga kelopak bunga-bunga di kasur. Aku tak tahu, dan tak mau tahu. Yang pasti, malam ketika Bang Jiih menikah lagi adalah malam yang dingin (Kumala, 2009: 123).
Juleha digambarkan sosok perempuan tegar dalam menjalani kehidupan. Ia dapat di contoh sebagai perempuan yang berani menjalani kehidupan yang tidak sesuai dengan hatinya. Tidaklah mudah seorang wanita membiarkan suami yang dicintainya menikah lagi dengan wanita lain. Tokoh Tambahan Tokoh tambahan merupakan tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali saja dalam cerita dan itu mungkin dalam porsi yang relatif pendek
7
(Nurgiyantoro, 1995: 166). Tokoh tambahan pada novel Kronik Betawi adalah sebagai berikut: Edah Sejak kecil Edah sudah menyukai tari, tetapi ibunya Enden menunjukkan sikap tidak senang terhadap anaknya menari. Enden tidak keberatan melihat orang lain menari, tetapi tidak terhadap anaknya sendiri. Enden tidak mau mendengar orang bergunjing tentang anaknya sebagai seorang penari. Enden menangkap pesan bahwa seorang penari dapat di colak-colek dan dibeli. Pesoalanpun terjadi saat Edah menjadi korban perdagangan perempuan, ia ditipu untuk diajak menari ke Jepang. Perjuangan Edah meyakinkan ibunya tidak berhenti begitu saja. Edah menunjukkan kepada orang tuanya bahwa menari bukanlah perbuatan yang buruk. Edah memiliki sifat pantang menyerah untuk mencapai cita-citanya, Edah ingin menjadi penari. Hal ini tampak pada kutipan berikut ini: Saye enggak tau pegimane pastinye pembicaraan Enoh same Edah. Yang pasti, besokannye Enden ke rumah Salomah. Setelah itu, sorenya saye dapet laporan dari Enden perkataan Edah. Masih tetep sama aje, dia kagak niat nikah kalau citacitanya belum kesampean. Tapi aye dapet info tambahan, cita-cita macam apa yang dipengenin Edah. Dia masih pengen nari ke luar negeri. “Kagak!” saye ngomong tegas-tegas. Edah saye sidang. “Ah, Babeh ama Enyak pasti ngomong ame Enoh, iye kan?!Edah udah tau deh, kalo ngomong ame Babeh-Enyak pasti kagak dibolehin” Bini saye nangis-nangis,”Ya ampun Dah... lu kagak ngarti perasaan Enyak. Pegimane kalo lu dijual jadi pelacur? Orang kemaren aje lu udah ditipu kayak begitu. Duit udah melayang, untung elu selamet.” Air mata bini saye meleleh di pipi, banjir mukanya. Edah mengkeret. Nunduk terus kayak kura-kura ngumpet. Tapi tetep aje die enggak mau mundur dari cita-citanye. Ampun deh, punya anak sebiji aje kerasnye minta ampun (Kumala, 2009: 234-235).
Japri, Juned dan Fauzan Japri dan Juned adalah anak dari istri pertama Haji Jaelani, sedangkan Fauzan anaknya dari istri keduanya (Salomah). Japri dan Juned menggambarkan 8
anak Betawi yang dikenal dengan pemalas dan bodoh. Japri dan Juned sudah diwarisi sapi perah oleh Haji Jaelani, namun mereka menyia-nyiakannya. Mereka lebih memilih untuk menjadi tukang ojek. Meskipun demikian Haji Jaelani ingin anaknya hidup layak, pada akhirnya mereka berdua diberikan rumah kontrakan. Berikut kutipannya: “Kalian pada ngojek ya?” sahut saya, tak tahan lama-lama. “iya...,” mereka menjawab bebarengan sambil kepalanya mengangguk-ngangguk persis dakocan. Saya menghela napas panjang. Sabaaaar... sabaaaar.... “Bukannya tuh motor gue beliin buat elu bolak balik kandang?itu kan yang lu bilang dulu, waktu minta motor?” Dua anak itu menduduk mendengar perkataan saya. “ Emang enakan ngojek ya daripada ngurus sapi?!” sindir saya sinis. Eeh, malah si Japri dengan rasa takut bersalah tersenyum lebar, lalu jawabnya, “he he..., iya Beh. Kalau sapi kan bau. Kalau motor kan beda, Beh.” “Iya...,” Juned takut-takut menyahut, ikut berusaha menyunggingkan senyum mendukung saudaranya. Tobat. Tobat. Saya tobat. Terserahlah mau apa, toh akhirnya saya bisa menarik napas panjang dan kembali mengambil kipas sate lalu mengipas-ngipas lagi. Panas (Kumala, 2009: 176-177).
Berbeda dengan Fauzan, Fauzan sosok anak Betawi yang mampu menepis anggapan bahwa anak-anak Betawi bodoh. Dengan kegigihannya belajar, ia mampu menempuh pendidikan S-2 ke luar negeri. Sosok Fauzan membuat orang tuanya bangga, seperti kutipan berikut: “Beh!” Fauzan memutus kalimat ayahnya,”Paujan ke Amerika mau kuliah S2. Ini, lolos” Fauzan menunjuk surat di tangannya, “Paujan sekolah gratis di Amerika!” “Hah?! Serius lu?!” “Iye. Ini....” Haji Jaelani berusaha membaca tapi tak bisa, sebab surat itu berbahasa Inggris. Haji Jaelani langsung sujud syukur di tempat (Kumala, 2009: 252-253).
Fenomena Masyarakat Betawi dalam Novel Kronik Betawi Dalam Novel Kronik Betawi, masyarakat Betawi memiliki fenomena persoalan tersendiri dalam hidupnya, fenomena yaitu hal-hal yg dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah atau dapat 9
disebut dengan peristiwa sejarah yang tidak dapat diabaikan. Yang dijadikan suatu peristiwa sebagai arah dan tujuan fenomena tersebut adalah kehidupan masyarakat Betawi yang mempertahankan dan mempertaruhkan segala hal yang dikehendaki dalam menjalani persoalan kehidupan. Beragam kehidupan masyarakat dari berbagai latar belakang sosial yang berbeda berkumpul di Jakarta. Masyarakat dan tradisi Betawi pun tumbuh di dalam keragaman (ada Jawa, Minang, Batak, Cina, Arab dan Bugis). Tatanan ibu kota dengan percepatan pembangunan dan tuntutan hidup yang tinggi membuat masyarakat Betawi sebagai penduduk pendahulu pun seakan terancam hilang dengan tradisi yang selama ini hidup dalam keseharian mereka. Pada umumnya kehidupan masyarakat Betawi tidak jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat lainnya, setiap kehidupan pastilah memiliki masalah. Masalah inilah yang diceritakan dalam kehidupan masyarakat Betawi dalam novel Kronik Betawi. Di sini peneliti melihat fenomena kehidupan keluarga yang terdapat dalam novel Kronik Betawi. Dari permasalahan yang timbul akibat banjir yang kerap terjadi di Jakarta hingga sekarang menjadi banjir musiman. Peneliti melihat bahwa kota Jakarta penuh dengan hiruk pikuk permasalahan yang beragam, permasalahan banjir adalah permasalahan yang hingga kini belum dapat terselesaikan. Banjir membuat masyarakat di Jakarta selalu merasakan kesusahan bila banjir datang melanda. Tata kota yang kacau membuat masyarakatnya hidup kurang nyaman. Masyarakat Betawi menjadi sekumpulan masyarakat yang tergusur dari tanah mereka, meskipun tidak sepenuhnya lepas dari pengetahuan mereka akan hal tersebut. Selain itu kebudayaan Betawi saat ni sangat bebeda dengan dahulu, anakanak saat ini lebih suka musik modern, sedangkan gambang kromong dan tarian Betawi sudah ditinggalkan. Meskipun begitu tetap ada generasi muda yang menyukai budayanya sendiri, yaitu Edah anak Jarkasi. Edah sangat menyukai tari sekaligus pandai menari. Ia pun memiliki keinginan untuk menari ke luar negeri, yang pada akhirnya cita-citanya tercapai, ia pergi menari ke Belanda. Namun sebelumnya keinginannya terhambat karena tidak diijinkan ibunya dan ia juga menjadi salah satu korban perdagangan wanita. Sosok Edah seharusnya dapat kita 10
tiru, dengan kegigihannya mencintai seni budayanya. Ia mampu meyakinkan orangtuanya bahwa apa yang ia lakukan adalah hal yang benar. Ia tidak peduli dengan omongan-omongan miring tentang dunia penari. Ia benar-benar mencintai dunia tari meskipun sebelumnya ibunya (Enden) sangat melarang Edah untuk menjadi seorang penari. Jarkasi memiliki impian ingin mempunyai seperangkat gambang kromong, dengan harapan dapat melestarikan budayanya sendiri. Pada akhirnya keinginan Jarkasi tercapai, ia mendapatkan seperangkat gambang kromong dari Koh Tong Hiem. Koh Tong Hiem adalah orang asli Cina yang dari kecil sangat menyukai kesenian gambang kromong. Ia memiliki seperangkat gambang kromong, karena ia sudah tua, maka ia mewariskan gambang kromongnya kepada Jarkasi. Dari dulu ia mengetahui bahwa Jarkasi sangat mencintai kesenian dan ingin melestarikan budayanya sendiri. Karena anak-anak Kong Tong Hiem lebih memilih berwiraswasta, sedangkan Koh Tong Hiem tidak ingin alat musik yang ia miliki tercampakkan begitu saja tanpa ada yang merawatnya, maka alat musik itu diberikan kepada Jarkasi. Persoalan keluarga bukan hanya dialami Jarkasi, Juleha pun mengalami hal yang sama. Juleha sebagai seorang istri merasa kecewa kepada suaminya yang menikah lagi. Ia tidak dapat berbuat apapun pada waktu suaminya menikah lagi. Dalam novel diceritakan sudah 4 tahun ia di madu. Dengan kesibukan mengurus percetakan hasil jerih payah dengan suaminya Jiih, Juleha mampu sedikit dapat melupakan beban hidupnya karena kesepian setiap suaminya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk istri keduanya dan anak suaminya dari istri keduanya. Rasa cemburu dan marah hanya selalu disimpannya dalam hati, sebab Juleha selalu mengingat nasihat emaknya sebelum meninggal bahwa perempuan berkeluarga itu tugas utamanya menjaga suaminya. Dengan nasihat itu Juleha mampu menjalankan kehidupannya. Selain itu, dengan adanya Edah yang sering main kerumahnya, ia selalu merasa terhibur. Keponakannya itu selalu memberikan senyuman setiap datang ke rumahnya. Edah sangat dekat dengan encingnya Juleha, bahkan Edah lebih suka bercerita mengenai masalahnya dengan encingnya tersebut. 11
Juleha mampu menjalani semua masalahnya dengan ikhlas dan sabar. Secara umum perempuan tidak mau dimadu. Oleh karena itu, ketegaran dan kesabaran Juleha memberikan semangat kepada perempuan-perempuan agar tetap menjalankan kehidupan meskipun banyak persoalan dalam kehidupan.
Sikap Masyarakat Betawi Terhadap Lingkungannya Orang-orang Betawi pada umumnya menyukai kesenian tradisional. Istri pertama dari Haji Jaelani yang sudah meninggal (Rimah) adalah seorang penari Topeng Betawi yang pada masanya adalah seorang primadona, yang waktu itu Jakarta belum padat. Setiap tanggal 17 Agustus selalu ada acara kesenian, sekelompok tanjidor ngamen meramaikan suasana 17 Agustus. Tetapi pada masa itu tanjidor dilarang tampil oleh pemerintah, sebab mengamen sangat dilarang pada masa itu Kesenian tradisional pada masa itu berkembang sampai ke pelososk kampung, contohnya di kampung Dukuh baik Dukuh Depan dengan Dukuh Belakang. Dukuh Depan dihuni oleh seluruh keluarga besar Haji Bokir bin Dji’un. Sanggar seni Bokir adalah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah lainnya. Di sanggar itu ada sepasang ondel-ondel yang dipajang di tengah-tengah ruangan layaknya sepasang raja dan ratu. Sedangkan Dukuh Belakang di huni oleh masyarakat yang memiliki kelompok kesenian bernama setia warga. Biasanya mereka dipanggil dalam acara pernikahan, lebaran, lebaran Haji hingga imlek. Hingga beberapa tahun ke depan, cucu-cucu Haji Bokir yang berprofesi sebagai penari dikirim ke luar negeri menjadi duta budaya mewakili Indonesia pada tahun ‘90an pada masa itu. Indonesia tengah semangat-semangatnya mempromosikan pariwisata. Di tempat-tempat umum ada lampu neon besar-besar bertulisan Visit Indonesia Year 1991, dan setiap tahun diganti penulisan angka tahunnya dengan slogan yang sama. Jaelani muda bergabung dengan grup tanjidor. Ia berlatih memainkan alatalat musik yang besar-besar sambil berjalan memainkannya. Ia dapat memegang semua alat musik, mulai dari klarinet, piston, trombon, saksofon, tenor, drum, 12
simbal hingga tambur. Hal ini digunakan sebagai antisipasi jika ada pemain utama yang berhalangan, maka pemain lain pun dapat menggantikan agar rejeki terus mengalir. Ia juga kerap dikejar-kejar CPM
jika sedang mengamen. Sedang
Jarkasi lebih tertarik ikut gambang kromong. Rimah (istri pertama Jaelani yang sudah meninggal) adalah penari didikan Mpok Nori, isrti Bokir. Mpok Nori piawai dalam menari. Dari perempuan itulah Rimah berguru. Rimah yang awalnya hanya menonton tiba-tiba tertarik untuk ikut menari. Pada saat itu berkembang anggapan bahwa penari dapat dibayar. Pada umumnya orang awam menganggap para penari berpelaku buruk. Anggapan itu di ketahui juga oleh Edah (anak Jarkasi) yang senang menari. Ibunya (Enden) sering bertengkar dengan suaminya (Jarkasi) yang melarang anaknya menari. Tetapi Jarkasi percaya kepada anaknya (Edah) kalau memang Edah benar-benar menekuni menari karena kesukaannya terhadap seni, setiap Edah tampil Jarkasi selalu menemaninya. Pada masa modern seperti ini sosok Edah memang patut untuk ditiru. Edah masih mempertahankan kesenian tradisionalnya pada saat Jakarta sebagai kota metropolitan dengan berbagai modernitasnya mempengaruhi anak-anak muda Betawi terpikat terhadap kesenian modern, sehingga mereka tidak menyukai bahkan tidak mengenal kesenian tradisional Betawi. Dari dahulu Edah dapat menepis anggapan bahwa seorang penari adalah perempuan yang kurang baik, ia membuktikannya dengan berprestasi hingga ke luar negeri dan selalu bersikap sebagai seorang penari yang profesional. Edah adalah seorang anak Betawi yang cinta budayanya seperti babehnya (Jarkasi), walaupun babehnya Jarkasi tidak ada darah keturunan seniman. Keterkaitannya pada seni dan kepiawaiannya memainkan musik didapatkannya dari otodidak. Kota Jakarta sekarang dengan modernitas berkembang menjadi Jakarta yang padat. Kepadatan penduduk Jakarta berakibat pada perkembangan pembangunan yang menyita lahan-lahan milik orang Betawi. Selain penduduk yang padat, tata kota Jakarta yang semrawut berakibat timbulnya banjir. Teks novel Kronik Betawi menggambarkan kota Jakarta yang ramai dan besar, dahulu setiap berpergian terasa dekat, sekarang terasa jauh. Orang-orang 13
tidak lagi melihat lahan kosong, semua sudah berubah menjadi gedung-gedung. Masyarakat Jakarta saat ini beranggapan bahwa lahan kosong adalah investasi,walaupun dalam kenyataannya menggusur lahan-lahan orang Betawi. Jakarta dengan modernitasnya berkonsekuensi pada pengembangan berbagai bidang, termasuk pembangunan gedung-gedung yang secara otomatis membutuhkan lahan. Lahan-lahan kosong yang semula menjadi resapan air, taman kota dijadikan tempat mendirikan gedung. Dengan demikian Jakarta menjadi kota yang padat dengan lingkungan masyarakat yang berbeda dengan lingkungan sebelumnya. Lingkungan baru di Jakarta membawa konsekuensi pada pandangan perubahan, baik perubahan lingkungan sosial, maupun perubahan lingkungan alamnya. Kondisi itu belum dapat diterima masyarakat Betawi sepenuhnya. Mereka canggung dengan lingkungan baru. Dalam kondisi semacam itu masyarakat Betawi pasrah dan mengikuti apa yang terjadi, walaupun banyak benturan yang dihadapi.
KESIMPULAN Masyarakat Betawi digambarkan novel Kronik Betawi mengalami pasang surut karena modernitas. Satu sisi ingin mempertahankan tradisinya sementara di sisi yang lain pengaruh Jakarta sebagai kota metropolitan menjadi hambatan. Hal ini tergambar dalam novel bahwa Jarkasi ingin menghidupkan dan melestaikan kembali kesenian gambang kromong yang saat itu mulai dijauhi kalangan muda, sedangkan Edah sangat menyukai tari, ia mampu menunjukkan kepada ibunya (Enden) bahwa ia menjadi penari secara profesional untuk memajukan budayanya hingga keluar negeri. Tingkat pendidikan masyarakat Betawi sangat kurang. Seperti Juned dan Japri yang memilih menjadi tukang ojek. Namun, ada juga anggota masyarakat Betawi yang memiliki pendidikan tinggi, contohnya Fauzan yang menempuh pendidikan S-2 di luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Betawi sudah mulai menyadari pentingnya pendidikan. 14
Kondisi Jakarta yang metropolis dengan berbagai kondisi dan situasi masyarakatnya serta berbagai gedung dan bangunan yang membentuk lingkungan baru menyebabkan masyarakat Betawi menerima dan mengikuti alur kehidupan dan suasana lingkungan baru. Meskipun dalam kenyataannya sering menjadi beban
mereka. kondis itu dipengaruhi dengan adanya banjir musiman yang
membuat mereka setiap tahunnya pasrah dengan keadaan tersebut. Novel Kronik Betawi juga menggambarkan masyarakat Betawi memiliki sikap ingin memperjuangkan budayanya dalam perkembangan zaman yang mulai modern. Dengan persoalan hidup yang beragam, mereka mampu menjalani hidupnya. Pandangan-pandangan miring yang kerap terjadi dapat ditepiskan dengan hal-hal positif dalam meraih suatu prestasi.
15
DAFTAR PUSTAKA Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Medpress. Goldmann, lLucian. 1981. Method in the Sociologi of Literature. London: Basil Black well Oxford. Hartoko, Dick. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kumal, Ratih. 2008. Kronik Betawi. Jakarta: PT. Gramedia. Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian. Jakarta: Pustaka Pelajar. Rudito, Bambang. 2006. Apresiasi Budaya. Jakarta: Indonesia Center for Sustainable Development. P.J. Bouman. 1985. Sosiologi Pengertian dan Masalah. Yogyakarta: Kansius (Anggota IKAPI). Saidi, Ridwan. 2001. Profil Orang Betawi. Jakarta: Anggota IKAPI. Syani, Abdul. 1987. Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial. Jakarta: Fajar Agung. Soekanto, Soerjono.
1983. Beberapa Teori
Sosiologi
tentang Struktur
Masyarakat. jakarta: CV. Rajawali. Susanto. Astrid S. 1985. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta: Anggota IKAPI. Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Ende Flores: Nusa Indah Widodo, Erna dan Mukhtar. 2000. Konstuksi ke Arah Penelitian Deskriptif. Yogyakarta: Avyouz Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Wijaya, Hussein. 1976.Seni Budaya Betawi. Pralokarya Penggalian Dan Pengembangannya, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya
16