1
RESOLUSI KONFLIK DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENUJU IMPLEMENTASI REDD+1 Conflicts Resolutions on Forest Management Toward REDD+ Implementation Oleh : Gamin2, Bramasto Nugroho3, Hariadi Kartodihardjo4, Lala M Kolopaking5, Rizaldi Boer6
Abstract Many conflict of forest areas has been resolved, but still a bit that ends with a permanent resolution. This study hopes to get the record for the permanent resolution of the conflict. RaTA and AGATA used to analyze the strength and style of disputing the claims of the parties. Conflict resolution through the strength of the evidence claims that the government is set now seen not provide enough living space for the community. Conflicts resolutions by conflict style approach with a compromise option which gave legal communities in forest management while at the same public recognition of forest areas has not materialized due to the slow of permit. Implementation of REDD + programs will not realized when local ownership for effective and equitable public life are not accommodated. Keywords : Forest area, conflict, tools of claim, conflicts style, conflicts resolution 1. PENDAHULUAN Di Indonesia, tanah merupakan sumberdaya penting yang perlu diatur oleh negara demi kemakmuran warga negara. Penguasaan tanah selanjutnya diatur melalui UndangUndang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 (UUPA 5/60) untuk tanah hak dan Undang-Undang Pokok Kehutanan Nomor 5 tahun 1967 (UUPK 5/67) yang diperbaharui dengan Undang-Undang Pokok Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 (UU 41/99) untuk tanah yang tidak dibebani hak yang selanjutnya disebut kawasan hutan negara. Kawasan hutan sebagai sumber daya milik bersama (common pool resourcesCPRs) memiliki sifat (Ostrom 2008): a) sulit, tetapi bukannya tidak mungkin, untuk menentukan pengguna yang sah dan yang bukan pengguna secara bersamaan (unexcludeable), dan b) penggunaan sumberdaya tertentu dari CPRs dengan sendirinya menghilangkan manfaat yang seharusnya dapat digunakan pihak lain (unsubstractable). Pada masa reformasi 1997/1998 dan otonomi daerah tahun 1999 pengelolaan sebagian besar kawasan hutan yang semula dilaksanakan oleh pihak swasta, sebagai pemegang ijin atas nama negara, dikembalikan kepada negara dan didelegasikan kepada pemerintah daerah yang membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) pada tahun 2009. Kekosongan pengelola hutan (vacum of power) antara tahun 1999 hingga 2009 dengan sendirinya meniadakan fungsi control terhadap kawasan hutan sebagai CPRs (Ostrom 2008) dan kawasan hutan berada dalam kondisi hutan lemah statusnya (HLS). Sejalan dengan sifat un-excludeable kawasan hutan yang HLS tersebut rawan terhadap 1
Bagian dari draft disertasi, disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian, Sekolah Pasca Sarjana IPB Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana IPB, Program Studi IPH, 2009 3 Ketua Komisi Pembimbing, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, staf Pengajar pada Sekolah Pasca Sarjana IPB 4 Anggota Komisi Pembimbing, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, staf Pengajar pada Sekolah Pasca Sarjana IPB 5 Anggota Komisi Pembimbing, Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB, staf Pengajar pada Sekolah Pasca Sarjana IPB 6 Anggota Komisi Pembimbing, Guru Besar Fakultas MIPA IPB, staf Pengajar pada Sekolah Pasca Sarjana IPB 2
2
okupasi pihak lain yang tidak berhak. Seiring dengan sifat un-substractable dari kawasan hutan, okupasi satu pihak akan berbenturan terhadap kepentingan pihak lain atas lahan yang sama. Benturan kepentingan terhadap kawasan hutan ini kemudian menimbulkan konflik. Konflik adalah suatu benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan adanya perbedaan cara pandang, kepentingan, nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya (Fisher et al 2001, Malik et al. 2003, Pruit & Rubin 1986, Suporaharjo 2000, Kriesberg 1998, Wulan et al. 2004, dan Kartodiharjo & Jhamtani 2006). Menurut Malik et al. (2003) wujud konflik yang terjadi dapat berstatus tertutup (laten), mencuat (emerging, atau terbuka (manifest). Dalam penyelesaian konflik, kekuatan bukti klaim menjadi alat untuk menentukan siapa pihak yang paling berhak atas lahan (Galudra et al 2006, 2010) meskipun Pasya dan Sirait (2011) lebih memperhatikan gaya sengketa untuk langkah penyelesaian konflik. Implikasi dari klaim adalah kewajiban pihak pengklaim untuk membuktikan keabsahannya dan kewajiban pihak lain untuk menghormatinya. Terselesaikannya konflik-konflik atas sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara akan memperjelas hak atas lahan yang merupakan upaya pemantapan kawasan hutan untuk mewujudkan kondisi hutan mantap status (HMS). Dengan demikian pengakuan hak atas kepemilikan lokal yang efektif dan adil sebagai prasarat pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) dapat terwujud (Costula dan Mayer 2010). Kejelasan lahan sebagai obyek konflik, pada status apa konflik berwujud, siapa subyek konflik berikut hubungan dan gayanya, klaim atas lahan beserta bukti pendukungnya, serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempengaruhi akan dapat membuktikan pihak mana yang paling berhak atas suatu lahan (Galudra et al. 2006, 2010). Gaya sengketa para pihak perlu dipertimbangkan untuk menentukan langkah penyelesaian selanjutnya. 2. METODE Penelitian ini didesain secara kualitatif (Irawan 2006, Sugiyono 2010) dengan pendekatan kasus (Yin 1996). Kerangka kerja penelitian ini merupakan pendalaman dari Rapid Land Tenure Assesment (RaTA) (Galudra et al. 2006, 2010) sekaligus sebagai alat analisis. Teknik pengumpulan data dilakukan utamanya melalui wawancara dengan didukung observasi/pengamatan lapangan, studi literature/dokumen, dan diskusi terfokus (focus group discussion-FGD). FGD desa dilakukan dengan menerapkan metode pengkajian desa secara partifipatif (Participatory Rural Appraisal-PRA) dari Cavestro (2003), Fruedenberger (Tanpa Tahun). Identifikasi aktor, kepentingan dan pengaruhnya dilakukan dengan teknik PRA-Diagram Venn (Cavestro 2003, Fruedenberger Tanpa Tahun) untuk penggalian data, dan teknik pemetaan konflik (Fisher et al. 2001) untuk memisualisasikannya. Informasi mengenai gaya para aktor diperoleh melalui diskusi posisi atau sikap yang dituangkan dalam diagram venn, serta wawancara dan interpretasi peneliti terhadap sikap aktor dalam berkonflik. Penentuan narasumber penelitian dilakukan dengan teknik Snowball Sampling yakni mengikuti informasi informan sebelumnya untuk menentukan informan berikutnya (Sugiyono 2010). Kejenuhan informasi terhenti ketika narasumber mencapai 45 orang dan 8 kelompok masyarakat. Validasi atau pengujian keabsahan data dilakukan dengan triangulasi sumber dan teknik. Tranggulasi sumber yaitu dengan mengecek data kepada sumber data yang lain. Triangulasi teknik dilaksanakan dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi, dan dokumentasi (Sugiyono 2010). Pembahasan dikonfirmasi dengan menggunakan lima prinsip tata kelola yang adaptif (Adaptive Governance) (Ostrom 2008).
3
2.1.RaTA RaTA (Galudra et al. 2006, 2010) merupakan metode untuk menelusuri kekuatan klaim para pihak yang berkonflik. RaTA dapat membantu peneliti memperoleh pengetahuan yang memadai tentang anatomi sebuah konflik menyangkut tanah di suatu tempat, sekaligus membuka jalan bagi penyelesaian yang adil dan permanen. Analisis RaTA terdiri atas enam tahap yakni: 1)penempatan lokasi potensial, 2)dimensi/sejarah persaingan klaim, 3)analisis aktor, 4)penilaian: individu, kelompok, pemerintah dan pihak lain (seperti pengetahuan asli, klaim hukum yang dirasakan, dan hukum), 5)penelitian kebijakan: keputusan, hukum-hukum, peraturan, 6)pilihan kebijakan/intervensi. 2.2.AGATA Gaya para pihak dalam bersengketa dianalisis dengan Analisis Gaya Bersengketa (AGATA) (Pasya dan Sirait 2011). Analisis ini adalah pendalaman dari pemetaan para pihak dalam RaTA. Sikap atau gaya tersebut berupa (Pasya dan Sirait (2011); Wirawan (2010): 1)menghindar (avoiding), 2)mengakomodasi (accomodating), 3)kompromi (compromising), 4)kompetisi (competing), dan 5)kolaborasi (collaborating). Menurut Pasya dan Sirait (2011) apabila gaya pihak dalam bersengketa menunjukkan gaya-gaya kompromi, akomodasi dan kolaborasi, maka dapat disimpulkan bahwa modal sosial yang dimiliki oleh pesengketa setidaknya cukup untuk memulai mediasi. Apabila gayanya adalah kompetitif (bersaing) dan / atau agitatif (menyerang), maka perlu dibangun kepercayaan timbal balik (mutual trust) di antara semua pihak yang bersengketa. Perlu juga diyakinkan kepada para pihak bahwa manfaat bersama yang mungkin diperoleh melalui perundingan adalah jalan yang patut ditempuh. Apabila gaya para pihak adalah menghindar, maka perlu dilaksanakannya intensifikasi sengketa secara konstruktif, yaitu dalam kesempatan terpisah ada pihak yang mengajak masing-masing pihak untuk mau dan bersedia menyampaikan pendapatnya. Pendapat dimaksud menyangkut ketidaksepahaman atau perbedaan yang dimiliki. Persepsi para pihak terhadap pihak lain (pihak lawan) juga perlu dinyatakan. Upaya meyakinkan para pihak bahwa perbedaan tersebut harus saling diutarakan dalam suatu kesempatan bersama yang kondusif karena semua pihak mau hadir dan bertemu. 2.3.Lokasi Studi Studi ini mengambil kasus di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Lakitan, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, Indonesia sebagai lokasi utama. Fokus kajian pada KPHP Lakitan adalah pada Blok HP Lakitan Selatan dan HP Lakitan Utara I. Delapan masyarakat desa yang bersinggungan dengan HP Lakitan Selatan dipilih secara sengaja untuk dilakukan pengkajian, yakni: Campursari, Jajaran Baru I, JajaranBaru II, Muara Megang, Pagerayu, Mulyosari pada kecamatan Megangsakti, dan Bamasco serta Lubuk Rumbai pada kecamatan Tuah Negeri. Hanya desa Campursari yang bersinggungan baik dengan HP Lakitan Selatan maupun HP Lakitan Utara I. Dukungan data diperoleh dari lokasi referensi yaitu, Hutan Lindung Bukit Cogong (HLBC) dengan desa Sukakarya pada kecamatan Ulu Terawas di kabupaten dan provinsi yang sama. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1.Sejarah Penguasaan Lahan oleh Masyarakat dan Negara serta Kebijakan Masyarakat Muara Megang memiliki riwayat telah menguasai lahan sejak jaman nenek moyangnya. Penduduk desa Muara Megang ini selanjutnya berkembang dan
4
menyebar pada desa-desa lainnya. Negara, yang dalam hal ini kementerian kehutanan, juga memiliki sejarah pengelolaan kawasan hutan sejak jaman kolonial Belanda. Sejarah pengelolaan kawasan hutan yang dimulai peta register sejak jaman Belanda tidak banyak diketahui masyarakat yang telah bermukim, diantaranya, lebih dahulu. Berhentinya HPH sebagai pengelola kawasan hutan kemudian disusul dengan pembukaan lahan oleh masyarakat yang kemudian bermukim hingga menjadi desa definitif yang dipayungi kebijakan pemekaran desa. Kebijakan transmigrasi dan pencetakan sawah baru serta pembuatan jaringan irigasi secara langsung maupun tidak langsung memicu pembukaan lahan dalam kawasan hutan. 3.2.Lahan Sebagai Obyek Konflik Obyek konflik dalam penelitian ini adalah lahan yang disisi lain dikuasai secara fisik atau diklaim oleh masyarakat dan disisi yang lain diklaim oleh negara berdasarkan dokumen negara. Bagian wilayah desa-desa penelitian yang menjadi obyek konflik ada yang hampir seluruh wilayahnya seperti Pagerayu, Mulyosari/Megangsakti-3, Jajaran Baru II dan Muara Megang-1, ada juga obyek konfliknya sebagian kecil saja dari wilayah desa seperti desa Lubuk Rumbai. Pemanfaatan lahan oleh masyarakat digunakan untuk pemukiman, fasilitas umum, fasilitas sosial dan kebun sebagai lahan garapan. Pada lokasi referensi HLBC konflik terjadi hanya pada lahan garapan. 3.3.Status Konflik Konflik yang terjadi dapat berwujud Malik et al. (2003) : konflik tertutup (latent), konflik mencuat (emerging), dan konflik terbuka (manifest). Konflik tertutup terjadi pada konflik masyarakat desa Pagerayu dan Mulyosari dengan KPHP Lakitan. Konflik mencuat terjadi pada Jajaran Baru II, Jajaran Baru I, Campursari, Bamasco, Lubuk Rumbai, dan Muara Megang I. Desa Sukakarya telah mengalami konflik secara terbuka dan telah dilakukan upaya-upaya bersama untuk penyelesaian konflik. Tingkatan konflik menurut persepsi para pihak terkait lingkup pemerintah daerah yang terdiri dari Dinas Instansi, akademisi, perusahaan, adalah pada tingkatan rendah dan sedang, tidak ada yang menyatakan konfliknya tinggi. Hal ini didasari persepsi bahwa konflik dikatakan tinggi bila telah terjadi kekerasan fisik antara pihak di lapangan. 3.4.Para Pihak Sebagai Subyek Konflik Subyek konflik di lokasi utama studi adalah masyarakat desa dengan KPHP Lakitan dan perusahaan hutan tanaman industri Paramita Mulia Langgeng (PT.PML) atas nama negara. Subyek konflik di lokasi referensi adalah warga masyarakat desa Sukakarya dan Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas. KPHP Lakitan berhubungan konflik dengan delapan desa penelitian ini sementara PT. PML hanya dengan desa Campursari. Dinasdinas dan SKPD serta lembaga keuangan berhubungan netral dengan KPHP Lakitan yakni berkoordinasi secara formal dalam kegiatan. Instansi pemerintah yang berbasis lahan yakni DistanTPH, Disnakertrans, Disbun, BPN memiliki hubungan yang saling bertentangan dalam hal penggunaan lahan dengan KPHP Lakitan. Gaya para pihak dalam bersengketa menurut (Pasya dan Sirait 2011, Wirawan 2010) adalah: 1)menghindar (avoiding), 2)mengakomodasi (accomodating), 3)kompromi (compromising), 4)kompetisi (competing), dan 5)kolaborasi (collaborating).Gaya menghindar (avoiding) dipilih pihak masyarakat desa Pagerayu, Mulyosari, BPN, Biro Tata Pemeritahan (Tapem) dan Kantor Pajak. Gaya mengakomodasi (accomodating), dilakukan oleh KPHP Lakitan dan Drektorat Jenderal Planologi Kehutanan (Ditplan). Gaya kompromi (compromising), dipilih pihak desa Campursari, Muaramegang-1, Jajaran Baru-1, Bamasco, Lubuk Rumbai, PT. PML,
5
DistanTPH dan BBWS VIII. Gaya kompetisi (competing), lebih disukai masyarakat desa Jajaranbaru II, Disnakertrans, dan Dishut Mura. Gaya kolaborasi (collaborating). Dipilih pihak masyarakat desa Sukakarya pada lokasi referensi. Gaya konflik tersebut dipetakan dalam diagram salib sumbu yang terbentuk dari kombinasi dua unsur yaitu (Thomas dan Kilmann 1974, Wirawan 2010, Alberti dan Emmons, 2002): kerjasama (cooperativeness), dan keasertifan (assertiveness). 3.5.Penyelesaan Konflik Berdasarkan Bukti-bukti Klaim Baik klaim oleh negara maupun oleh masyarakat atas kawasan hutan masingmasing didasari argumen yang mereka pandang cukup kuat. Perbedaan klaim masyarakat dan negara adalah masyarakat menguasai secara fisik di lapangan (legitimate) dengan alat bukti legal yang lemah, sementara negara menguasai dengan bukti tertulis berupa dokumen hukum di atas kertas (legal) namun tidak dapat secara penuh menguasai fisik lapangan. Dokumen tertulis yang dimiliki masyarakat sebagian besar pengakuan di tingkat masyarakat hingga pengesahan pemerintah kecamatan. Dokumen ini terdiri dari SIT, Segel, SKT, hingga SPH. Hanya sedikit yang sertifikat hak milik. Dokumen legal yang dimiliki KPHP Lakitan atas nama negara adalah berupa peta penunjukan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan tahun 2001. Status kawasan hutan negara berupa penunjukan ini masih lemah sebagai implikasi adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45 tahun 2011 yang menyatakan kawasan hutan adalah wilayah yang telah “ditetapkan sebagai kawasan hutan”. Jenis alat bukti tersebut dirinci menurut informasi klaim masyarakat, berdasarkan Juklak/Juknis Penyelesaian Enclave Dalam Kawasan Hutan sebagai Pedoman Sementara dari Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Departemen Kehutanan Nomor 724/A/VII-2/94 dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.44/Menhut-II/2012 (P 62/2013) tentang Pengukuhan Kawasan Hutan yang diperbaharui dengan P.62/Menhut-II/2013 (P 62/2013) (Tabel 1). Bukti tertulis yang dimiliki masyarakat berupa SIT, Segel, SKT dan SPH bukan bukti kuat menurut P 62/2013 mengingat dokumen tersebut bukan terbitan BPN. Berdasarkan peraturan tersebut klaim masyarakat yang tidak tertulis berupa pemukiman fasilitas umum dan fasilitas sosial memiliki posisi yang kuat dan berpeluang untuk dilepaskan sedangkan bukti tidak tertulis berupa kebun tidak termasuk berpeluang dilepaskan. Kekuatan bukti tidak tertulis berupa pemukiman, faslitas umum dan fasilitas sosial sesuai dengan ketentuan peraturan adalah : 1) keberadaannya sebelum tahun 2001 adanya penunjukan kawasan hutan, 2)provinsi Sumatera Selatan luas hutannya mencakup 40,43 % (Dishut Mura 2011) lebih dari 30%. Dari sisi penetapan desa definitif, Mulyosari dan Muara Megang-1 dalam posisi lemah mengingat ditetapkan desa definitif baru tahun 2011. SK desa definitif pada kedua desa dan peta desa hingga penelitian ini dilakukan belum diterima kepala desa. Pada buku statistik tahun 2012 kedua desa ini juga belum ada. Data desa Mulyosari dan Muara Megang-1 masih bergabung dengan desa induk yakni, Mulyosari dengan Megangsakti-3 dan Muara Megang-1 dengan desa Muara Megang. Klaim negara dalam hal ini KPHP Lakitan dan PT. PML belum cukup kuat dari segi legalitas hukum formal meskipun disertai bukti peta register sejak jaman Belanda, peta TGHK tahun 1982, peta Penunjukan kawasan hutan tahun 2001, tata batas tahun 1994/1995, penetapan wilayah KPH dan penetapan wilayah kerja PT. PML tahun 2009 namun belum dilakukan pengukuhan kawasan hutan.
6 Tabel 1 Alat Bukti Klaim Masyarakat dan Negara Masyarakat Kecamatan / Desa Tera was
Tuah Negeri
Campur sari*)
Megang Sakti
Bamasco
14
92
70
91
95
82
40
Pemukiman
-
-
-
Tt-
Tt-
Tt-
Tt-
Tt-
Tt-
Kebun
Tt-
Tt+
Tt- Tt-
Tt-
Tt-
Tt-
Tt-
Tt-
SK Def Desa
-
-
-
L+
-
L
L
L+
-
Ijin pancung
T
-
-
L
L
L
L
L
L
S.Ganti rugi / Segel
T
-
-
L
L
L
L
L
L
SPH
T
-
-
T
T
T
Tl
Tl
Tl
SPPT
-
-
-
T
T
T
Tl
Tl
Tl
SHM
-
-
-
-
-
-
T
Tl
-
1. Register 1940 2. TGHK 1986 Tt- 3. Paduserasi RTRWP 1997 Tt4. Tata Batas 1994/1995 5. Penunjukan 2001 6. Penetapan KPHP (SK L Menhut 790/ 2009) 7. Pembentukan T organisasi KPHPL Tl (Perbup 27/2010) 8. SK HTI PT. PML th Tl 2009 -
TK
-
-
-
Ttt
-
Ttt
Ttt
-
Ttt
-
SD
-
-
-
Ttt
-
Ttt
Ttt
Ttt
Ttt
-
SMP/Mts
-
-
-
-
-
Ttt
Tt+
-
-
-
-
-
Tt+
-
Ttt
Tt-
-
-
-
Kantor Desa
Lubukrumbai
Mulyosari/ Megangsakti3
42
LS
Jajaranbaru 1
41
LU
M.Megang1 M. Megang /
% lhn konflik thd ds
Sukakarya
Pagerayu
Bukti Klaim Negara/KPH
Jajaranbaru 2
Bukti Klaim**)
4
Pasar
-
-
-
-
-
Ttt
-
-
-
-
Masjid
-
-
-
-
-
Ttt
Ttt
-
-
Tt-
Puskesmas
-
-
-
-
-
Ttt
Ttt
-
Ttt
*)LU=Lahan bagian utara desa, LS=Lahan bagian selatan desa **)Ket Alat Bukti: L=lisan, T=tertulis ditunjukkan dokumen,Tl=tertulis tidak ditunjukkan dokumen, Tt=tidak tertulis sblm th 2001, Tt+=tidak tertulis stlh th 2001, Ttt=tdk tertulis tidak tahu tahun mulai.
Ruang peraturan yang kecil untuk peluang pelepasan kebun masyarakat disandingkan dengan keadaan fisik lapangan yang sudah dikelola masyarakat masih akan berpotensi menimbulkan konflik. Tindakan administratif pihak kehutanan melalui P 44/2012 untuk mewujudkan hutan negara mantap status (HMS) sebagai CPRs (Ostrom 2008) belum dapat terwujud ketika rasa keadilan belum dirasakan masyarakat. Lebih jauh lagi implementasi program REDD+ tidak akan dapat diwujudkan ketika pengakuan hak atas kepemilikan lokal yang efektif dan adil (Costula dan Mayer 2010) sebagaimana ruang kelola masyarakat untuk kebun tidak diakomodir. 3.6.Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Gaya Para Pihak Berdasarkan data gaya bersengketa para pihak dalam penelitian ini, KPHP Lakitan dengan gaya akomodasinya kemudian menfasilitasi lima desa yang bergaya kompromi yakni desa Campursari, Muara Megang-1, Jajaran Baru I, Bamasco, dan Lubuk Rumbai (Gambar 1).
7
Sumber: Hasil Penelitian, model dimodifikasi dari Pasya dan Sirait (2011) Gambar 1 Alur Pengambilan Keputusan Resolusi Konflik di KPHP Lakitan dan HL Bukit Cogong
Memfasilitasi pihak bergaya kompromi dan akomodasi Pihak yang bergaya kompromi dan akomodasi dipandang telah memiliki modal sosial yang cukup untuk memulai mediasi (Pasya dan Sirait 2011). Fasilitasi dilakukan dengan mengkomunikasikan kepada pihak kelima desa dengan KPHP Lakitan untuk melakukan pertemuan. Pertemuan yang dilakukan melibatkan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Musi sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan di Sumatera Selatan yang mengemban program Hutan Desa (HD) dan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Pelaksanaan acara pertemuan para pihak perlu melibatkan Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas, padahal instansi ini memiliki gaya kompetisi. Terhadap pemegang gaya kompetisi ini menurut Pasya dan Sirait (2011) perlu dibangun kepercayaan dan diyakinkan akan manfaat yang mungkin diperoleh melalui perundingan. Pendekatan terhadap Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas yang bergaya kompetisi dilakukan oleh KPHP Lakitan yang merupakan UPT dinas tersebut agar bersedia menyelenggarakan kegiatan pertemuan KPHP Lakitan dan BPDAS Musi untuk sosialisasi Hutan Desa pada kelima desa tersebut. Peran fasilitator pendamping dari kalangan akademisi dan penyuluh cukup penting disini. Fasilitator pendamping diperlukan sebagai pihak luar yang netral dari konflik yang ada. Fasilitator pendamping berfungsi menjembatani komunikasi antar pihak dan mendampingi masyarakat desa dalam penguatan kapasitas. Dari kegiatan fasilitasi akhirnya lima desa mengusulkan program Hutan Desa (HD) dan pada lokasi referensi mengusulkan Hutan Kemasyarakatan (HKm) melalui surat Bupati nomor: 522/1215./VI/Kehut/2012 tanggal 28 Desember 2012 kepada Menteri Kehutanan. Usulan ijin areal HD ini telah diverifikasi oleh Tim dari Kementrian
8
Kehutanan pada tanggal 9-13 April 2013. Sampai penelitian ini ditulis, persetujuan Ijin Usaha Hutan Desa yang seharusnya direspon dalam 60 hari kerja tersebut masih dalam proses di Kementerian Kehutanan. Belum diperoleh informasi adanya perihal keterlambatan proses ini. Menemukan kesepakatan dengan pihak bergaya kolaborasi Pihak desa Sukakarya yang memilih gaya kolaborasi telah melaksanakan negoisasi dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas dan unsur Perintah Daerah untuk melaksanakan pengelolaan kegiatan wisata alam di HLBC. Dalam negosiasi telah disepakati investasi bagi para pihak serta pembagian manfaat kepada para pihak yang terlibat. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam dokumen perjanjian kesepahaman bersama (MoU). Peran pihak ketiga Carbon and Environmental Research Indonesia (CERIndo) dicatat dalam terlaksananya kolaborasi pengelolaan wisata alam di kawasan HL Bukit Cogong. Meskipun Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas awalnya bergaya kompetisi namun adanya pihak ketiga yang dapat meyakinkan manfaat timbal balik bila berkolaborasi dengan masyarakat (Pasya dan Sirait 2011). Peluang dan resiko bagi pihak bergaya kompetisi Kompetisi dipilih pihak yang merasa memiliki kekuatan untuk mendapatkan haknya sebagaimana Masyarakat Desa Jajaran Baru II. Untuk gaya ini maka perlu dibangun kepercayaan timbal balik (mutual trust) di antara semua pihak yang bersengketa. Perlu juga diyakinkan kepada para pihak bahwa manfaat bersama yang mungkin diperoleh melalui perundingan adalah jalan yang patut ditempuh (Pasya dan Sirait (2011). Yang perlu dilakukan adalah mengupayakan agar unjuk kekuatan yang dilakukan tidak menjadi merusak (destruktif) akan tetapi dapat memperbaiki keadaan (konstruktif). Diperlukan pihak yang dapat dipercaya oleh para pihak berkonflik untuk memediasi para pihak. Hingga penelitian ini dilakukan upaya mediasi untuk Masyarakat Desa Jajaran Baru II belum dilakukan. Beberapa pilihan penyelesaian konflik yang mungkin dilakukan untuk Desa Jajaranbaru II adalah pelepasan kawasan hutan. Pelepasan dapat dilaksanakan melalui proses enclave dalam kegiatan tatabatas dalam rangka pengukuhan kawasan hutan sesuai P 44/2012, P 62/2013. Selain itu pelepasan secara parsial dengan pengusulan secara sendiri-sendiri dapat juga ditempuh. Proses pelepasan melalui review RTRW provinsi juga merupakan alternatif meski selang waktunya lima tahunan. Rekomendasi Tim Terpadu review RTRW dipastikan tidak melebihi usulan pelepasan yang ada. Usulan KaDishut Mura No.522/1159/II/Kehut/2011 tentang Penyampaian Data Usulan Perubahan Kawasan Hutan dimana pada Kecamatan Megangsakti (blok Lakitan Selatan) diusulkan pelepasan seluas 184,90 ha dengan fakta Pemukiman berupa desa Megangsakti III, IV, Jajaran Baru II, dan Pagerayu. Padahal luas wilayah desa yang berada dalam kawasan hutan sebanyak 15.847,96 ha. Usulan beberapa pihak yang berpeluang memperoleh legitimasi yang tinggi adalah melalui pemetaan partisipatif yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan dengan kawasan hutan. Penegakan hukum yang tegas dapat merupakan pilihan Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas sebagai lembaga negara untuk mempertahankan kawasan hutan negara terutama bila lawan konflik berusaha merusak ataupun pihak yang memilih jalur ligitasi. Kekalahan proses hukum merupakan resiko yang perlu diperhitungkan masyarakat Desa Jajaran Baru II yang memilih gaya kompetisi. Keuntungan dan kerugian bagi pihak bergaya menghindar Penghindar seperti Masyarakat Pagerayu dan Mulyosari dapat saja memperoleh keuntungan (freerider) dari menunggu hasil terbaik proses yang ditempuh beberapa
9
pihak lain misalnya bila proses pelepasan kawasan sebagaimana keinginan Masyarakat Jajaranbaru II bisa diwujudkan. Disisi lain penghindar dapat saja tidak peduli dengan keadaan yang sedang didiskusikan dan tetap melakukan kegiatan pengelolaan lahan yang dapat memperluas obyek konflik. Kerugian lain dengan memilih gaya menghindar adalah tidak memperoleh bantuan program Kebun Bibit Desa dari Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas melalui KPHP Lakitan sebagaimana beberapa desa lain yang memilih berkompromi. Menangani pihak penghindar dapat dilakukan dengan meningkatkan komunikasi untuk menyadarkan adanya konflik (Pasya dan Sirait (2011). Pemantauan yang efektif terhadap kawasan hutan sebagai sumberdaya milik bersama (CPRs) menjadi penting. Sebab bila tidak dilakukan maka keuntungan para penghindar sebagai freerider dari kerjasama pihak lain dapat mengakibatkan tragedy of the commons (Ostrom 2008). 4. KESIMPULAN DAN SARAN Lahan dalam kawasan hutan yang menjadi obyek konflik digunakan untuk pemukiman, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan kebun sebagai lahan garapan. Konflik yang terjadi sebagian besar berstatus mencuat (emerging) pada tingkatan sedang. Konflik yang terjadi melibatkan masyarakat dengan KPHP Lakitan dan masyarakat dengan pemegang ijin usaha hutan tanaman industri PT. PML. Pihak bergaya sengketa kompromi, akomodasi dan kolaborasi difasilitasi dan dimediasi untuk mengusulkan HD dan HKm. Dengan program dterbitkannya ijin HD dan HKm, garapan masyarakat mendapatkan legalitas dan hutan negara mendapatkan legitimasi, oleh karena itu penerbitan Ijin HD dan HKm penting dipercepat. Peran pihak luar yang tidak ada hubungan konflik sangat penting untuk memfasilitasi dan memediasi para pihak menuju penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik penting memperhatikan bukti-bukti klaim serta gaya para pihak sesuai lokus tertentu sehingga tidak ditemukan satu penyelesaian yang berlaku untuk semua obyek konflik. Penyelesaian konflik kawasan hutan berdasarkan buktibukti klaim baik sesuai P.44/2012 maupun usulan review RTRW masih belum mampu menjawab kebutuhan ruang kelola masyarakat. Baik P.44/2012 maupun proses review RTRW masih bernuansa mempertahankan kawasan hutan negara yang begitu besar proporsinya sementara masyarakat hanya dibenarkan memperoleh hak milik sebagai pemukiman, fasilitas umum dan fasilitas sosial. Rasa ketidak adilan masyarakat atas lahan ini akan menyulitkan upaya pemerintah Indonesia untuk memperoleh pengakuan / legitimasi kawasan hutan yang mantap status oleh masyarakat. Oleh karena itu untuk mewujudkan hutan yang mantap status perlu diperhatikan ruang kelola yang mencukupi kebutuhan kehidupan masyarakat, tidak sekedar kebutuhan ruang bermukim dan beraktivitas sosial. Lebih jauh lagi implementasi program REDD+ tidak akan dapat diwujudkan ketika pengakuan hak atas kepemilikan lokal yang efektif dan adil sebagaimana ruang kelola masyarakat untuk lahan garapan tidak diakomodir. Ucapan Terima Kasih Terima kasih disampaikan kepada Kementrian Kehutanan melalui Pusat Diklat Kehutanan, Carbon and Environmental Research (CERIndo), Working Group on Forest Land Tenure (WG-Tenure), Pusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan (Puspijak), dan DHV Consultant yang memberikan dukungan biaya dan kesempatan penelitian ini.
10
Daftar Pustaka Alberti RE dan Emmons ML. 2002. Your perfect right. Terjemahan: Buditjahya. Jakarta: PT. Elex Media Computindo. Cavestro L. 2003. P.R.A.-Participatory Rural Apprasisal Concepts Methodologies and Techniques. New Delhi: Universita’ Degli Atudi Di Padova, Facolta’ Di Agraria, Dipartimento Terrirorio E Sistemi Agro-Forestali. Master In Cooperazione Allo Sciluppo Nelle Aree Rurali. Cotula L, Mayers J. 2010. Tenurial dalam perdebatan REDD Pokok Persoalan atau hanya pelengkap?. Jakarta (ID): HuMa. Fisher S, Ludin J, Williams S, Abdi DI, Smith R, and Williams S. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi untuk bertindak. Kartikasari SN, MD Tapilatu, R Maharani, dan DN Rini, penerjemah; Kartikasari SN, editor. Jakarta (ID): The British Council, Indonesia. Fruedenberger KS. Tanpa Tahun. Rapid Rural Appraissal (RRA) and Participatory Rural Appraissal (PRA) A Manual for CRS Field Workers and Partners. www.ers,org (diunduh dari http://www.crsprogramquality.org/storage/pubs/me/RRAPRA.pdf, pada tanggal 3 Juli 2013 Galudra G, Pasya G, Sirait M, dan Fay C. 2006. Rapid Land Tenure Assessment (RaTa) Panduan Ringkas Bagi Praktisi. Bogor (ID): World Agroforestry Centre-Asia Tenggara. Galudra G, Sirait M, Pasya G, Fay C, Suyanto, van Noordwijk M, and Pradhan U. 2010. Rata: A Rapid Land Tenure Assessment Manual for Identifying the Nature of Land Tenure Conflicts. Bogor (ID): World Agroforestry Centre. Irawan P. 2006. Penelitian Kulitatif & Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta (ID): Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Kartodihardjo H, Jhamtani H. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta (ID): Equinox Publishing. Kriesberg L. 1998. Constructive Conflicts From Escalation to Resolution. Maryland, USA (US): Rowman & Littlefield Publisher, Inc. Malik I, Wijardjo B, Fauzi N, dan Royo A. 2003. Menyeimbangkan Kekuatan Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumberdaya Alam. Jakarta (ID):Yayasan Kemala. Ostrom E. 2008. The Challenge of Common-Pool Resources. J. Environment 50 (4): 8-21 Pasya G, Sirait MT. 2011. Analisa Gaya Bersengketa-AGATA. Panduan Ringkas untuk Membantu Memilih Bentuk Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor (ID): Samdhana Institute. Pruitt DG, Rubin JZ. 1986.Teori Konflik Sosial [Soetjipto HP, Soetjipto SM, Penterjemah]. Dari : Social Conflict Escalation, Stalemate, and Settlement. McGraw-Hill, Inc. Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung (ID): Alfabeta. Suporahardjo. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Thomas KW, Kilmann RH. 1974. The Thomas-Kilmann Conflict MODE Instrument. Tuxedo, Ny (US):Xicom. Wirawan. 2010. Konflik dan Manajemen Konflik Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta (ID): Salemba Humanika. Wulan YC, Y Yasmi, C Purba, dan E Wollenberg. 2004. Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997-2003. Bogor (ID): CIFOR. Yin RK. 1996. Studi Kasus, Desain & Metode. Jakarta (ID): PT. Raja Grafindo Persada.
11
SEMINAR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NAMA MAHASISWA
:
GAMIN
NOMOR POKOK
:
E161090041
PROGRAM STUDI
:
ILMU PENGELOLAAN HUTAN
JUDUL PENELITIAN
:
RESOLUSI KONFLIK DALAM PENGELOLAAN HUTAN UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI REDD+
KOMISI PEMBIMBING
:
PROF. DR. IR. BRAMASTO NUGROHO, MS PROF. DR. IR. HARIADI KARTODIHARDJO, MS DR. IR. LALA M KOLOPAKING, MS PROF. DR. IR. RIZALDI BOER, M.SC.
BIDANG ILMU
:
SOSIAL
HARI / TANGGAL
:
SENIN, 30 DESEMBER 2013
WAKTU
:
12.00-13.00 WIB
TEMPAT
:
R.305 GEDUNG PASCASARJANA IPB LT.3 DARMAGA
BOGOR, 2013