Hutan, lahan gambut, manusia, dan budaya
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+ Sebuah Pengantar
1
Tanya Jawab REDD+
3
Istilah Kehutanan
6
Kamus REDD
10 10 11 13 14 14 15 18 19 20 22 24 26 28 30
31
Satuan Tugas REDD+ Mengenai Satuan Tugas REDD+ Tugas dan Tanggung Jawab Struktur Kerja Satgas REDD+ Profil Satgas REDD+ Strategi Nasional Kelembagaan Instrumen Pendanaan MRV Provinsi Percontohan Monitoring Moratorium Komunikasi dan Pelibatan para Pihak Kajian Hukum dan Penegakan Hukum Pengarusutamaan REDD+ pada Perencanaan Nasional Knowledge Management dan Support
Aktifitas REDD+
31 Kegiatan Provinsi Percontohan 32 Papua 33 Kalimantan Timur 34 Kalimantan Tengah 36 Kalimantan Barat 37 Sumatera Selatan 38 Kemitraan
Tanya Jawab REDD+ Apakah REDD? Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) adalah suatu mekanisme global untuk memberikan suatu insentif bagi negara-negara berkembang untuk melindungi dan mengelola sumber daya hutannya dengan lebih baik dan bijaksana, dan memberikan kontribusi terhadap perjuangan global melawan perubahan iklim. Strategi-strategi REDD bertujuan untuk membuat hutan lebih bernilai dari pada ketika hutan tersebut ditebang. Caranya dengan menciptakan suatu nilai Finansial terhadap karbon yang tersimpan di dalam pepohonan. Ketika karbon ini sudah dinilai dan dihitung, maka tahap terakhir dari REDD adalah negara-negara maju akan membayarkan carbon offset, sebagai salah salah satu cara, kepada negara berkembang atas tegakan hutan yang mereka miliki.
Apakah REDD+? Program REDD merupakan langkah-langkah yang didesain untuk menggunakan insentif keuangan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Tetapi, REDD+ tidak hanya mencakup pengurangan emisi gas rumah kaca tetapi juga memasukkan peran dari konservasi, manajemen hutan yang berkelanjutan, dan peningkatan stok karbon. Skema ini akan membantu menurunkan tingkat kemiskinan dan mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Proses penerapan REDD+ menitikberatkan pada keterlibatan para pemangku kepentingan. Suara dari masyarakat, penduduk asli dan komunitas tradisional harus dijadikan pertimbangan untuk memastikan hak mereka yang tinggal di dalam dan sekitar hutan akan terjamin.
REDD+ di Indonesia? Pada Oktober 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkomitmen untuk mengurangi emisi CO2 Indonesia sampai 26%, dibandingkan skenario business as usual pada tahun 2020. Hal ini merupakan komitmen terbesar yang diberikan oleh kekuatan ekonomi yang sedang meningkat. Dengan adanya dukungan keuangan internasional, Presiden Yudhoyono juga berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sampai 41%. Pemerintah Norwegia menyambut baik komitmen ini dan menyetujui penandatanganan Surat Niat (Letter of Intent atau LoI) pada 26 Mei 2010. Norwegia akan memberikan kontribusi kepada Indonesia berdasarkan pengurangan emisi yang terverifikasi yang sejalan dengan skema REDD+. Pada bulan September 2010, Presiden Yudhoyono mendirikan Satuan Tugas REDD+ untuk memastikan bahwa implementasi REDD+ berjalan dengan baik melalui Keputusan Presiden No.19/2010. Kuntoro Mangkusubroto dipilih sebagai Ketua dari satuan tugas lintas sektoral ini. Kalimantan Selatan dipilih oleh Presiden sebagai provinsi percontohan dari program REDD+ di Indonesia pada bulan Desember 2010.
Pelaksanaan Strategi REDD+? Strategi REDD+ di Indonesia bertujuan untuk mengatur sumber daya alam secara berkelanjutan sebagai aset nasional demi kesejahteraan bangsa. Tujuan tersebut dapat tercapai melalui implementasi di lima area fungsional pembangunan institusi dan proses yang menjamin peningkatan tata kelola hutan dan lahan gambut, pengkajian ulang dan peningkatan kerangka peraturan, meluncurkan program strategis untuk manajemen lansekap, merubah paradigma lama dan melibatkan pemangku kepentingan utama secara bersamaan.
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+
1
Tanya Jawab REDD+
Sebagai provinsi percontohan, Kalimantan Tengah akan menjadi laboratorium untuk uji coba penerapan dari lima area fungsional di atas. Provinsi lainnya di Indonesia akan menerapkan strategi REDD+ sesuai dengan kepentingan masing-masing provinsi. Untuk pelaksanaan di tingkat provinsi dan pusat, Satgas REDD+ akan membentuk institusi untuk memonitor, mengkoordinasi, dan mengimplementasi kegiatan REDD+; serta institusi untuk memonitor, melaporkan, dan meverifikasi. Sejalan dengan itu, instrumen pendanaan akan ditetapkan untuk memastikan ketersediaan dana.
Apa yang akan terjadi selama moratorium dua tahun ini? Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menjalankan penundaan penerbitan ijin baru selama dua tahun bagi hutan primer dan lahan gambut atau yang dikenal juga sebagai moratorium. Jeda dua tahun ini diatur oleh Presiden dalam Instruksi Presiden No. 10/2011, dan akan memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk mengkaji pertumbuhan ekonomi dan implikasinya terhadap sumber daya alam. Selama jeda ini, Indonesia akan mengupayakan agar implikasi tersebut semakin berkurang dan turut mencari jalan keluar, terlepas dari skema bisnis seperti biasa, menuju jejak langkah pembangunan yang baru. Inpres tersebut memberikan kesempatan bagi peningkatan tata kelola hutan dengan mengkaji ulang dan menyempurnakan kerangka peraturan untuk ijin tata kelola lahan. Inpres memungkinkan terbentuknya sistem data utama yang mencakup informasi yang menyeluruh tentang lahan kritis yang dapat meningkatkan perencanaan spasial serta mempermudah penentuan lahan untuk pembangunan. Sistem data ini juga akan mendukung perusahaan yang akan beroperasi pada lahan kritis. Pengangguhan pemberian ijin dua tahun ini akan memberikan kesempatan untuk peningkatan produktivitas pertanian, penyelesaian permasalahan ijin tanah yang berbenturan dengan ijin konsesi serta hak para masyarakat lokal, penguatan praktek penebangan dan penambangan yang berkelanjutan, mengurangi pembalakkan liar, dan mengurangi pembebasan lahan yang menggunakan pembakaran. Pemerintah Indonesia berada dalam proses untuk menyediakan akses sebesar 30 juta hektar lahan kritis untuk pertumbuhan ekonomi dan ekspansi sebagai alternatif dari penggunaan hutan sekunder dan lahan gambut.
Berapa banyak karbon yang dihasilkan dari deforestasi dan degradasi hutan? IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change / Panel Perubahan Iklim antar Pemerintah) telah memperkirakan bahwa deforestasi dan degradasi hutan memberikan kontribusi global hingga mencapai 17 persen dari seluruh emisi gas rumah kaca yang berarti melebihi sektor transportasi dan peringkat ketiga setelah energi global (26%) dan sektor-sektor industri (19%). Lebih dari 60% dari emisi karbon di Indonesia dihasilkan dari deforestasi dan lahan gambut.
Apakah peran hutan di negara berkembang? Lebih dari tiga perempat air bersih di dunia berasal dari daerah resapan air di wilayah berhutan. Kualitas air berkurang dengan menurunnya kondisi dan tutupan hutan, dan bencana alam seperti banjir, longsor dan erosi tanah semakin menimbulkan dampak yang lebih besar. Hutan setiap tahunnya menghasilkan lebih dari 3,3 milyar kubik meter kayu (termasuk 1,8 milyar kubik meter kayu bakar dan arang) serta berbagai produk-produk hutan non kayu yang memainkan peranan yang signifikan dalam perekonomian ratusan juta penduduk.
2
Apakah yang dilakukan oleh Indonesia untuk melindungi hutan dan lahan gambutnya? Sebagai suatu langkah pertama yang signifikan, Presiden menandatangani Instruksi Presiden No.10/2011 pada tanggal 20 Mei 2011, yang mengikat Indonesia untuk melakukan penundaan penerbitan izin baru selama dua tahun untuk penggunaan hutan alam primer dan lahan gambut, atau yang lebih dikenal moratorium.
Bagaimana Moratorium akan membantu REDD+? Penundaan memberikan suatu kesempatan untuk meningkatkan tata kelola hutan dengan menciptakan jeda untuk mengkaji dan memperbaiki kerangka peraturan untuk ijin penggunaan lahan. Jeda ini memungkinkan terciptanya suatu sistem database dengan informasi yang mendalam terkait lahan kritis sehingga memperkuat tata ruang, menetapkan lahan untuk pembangunan secara jelas, dan mendukung perusahaan-perusahaan yang berpindah ke lahan kritis. Penundaan selama dua tahun akan memungkinkan dimulainya satu tata kelola hutan dengan lembaran yang bersih, mengembangkan sistem penggunaan lahan baru yang memaksimalkan manfaat ekonomi dari penggunaan sumber daya alam di Indonesia, dan mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai dengan komitmen internasional.
Istilah Kehutanan Bukan hutan:
Tata guna lahan lainnya yang tidak termasuk kategori tutupan lahan selain hutan.
Deforestasi:
Penebangan tutupan hutan dan konversi lahan secara permanen untuk berbagai manfaat lainnya. Menurut definisi tata guna lahan yang digunakan oleh FAO dan diterima oleh pemerintah, lahan hutan yang telah ditebang, bahkan ditebang habis, tidak dianggap sebagai kawasan yang dibalak karena pada prinsipnya pohon-pohon mungkin akan tumbuh kembali atau ditanami kembali. Deforestasi dilaporkan hanya setelah lahan dikonversi secara permanen untuk kepentingan lain yang bukan hutan. Namun, citra penginderaan jauh digunakan dalam laporan ini untuk menentukan tutupan lahan (ada atau tidak adanya hutan) selama ini tidak memberikan perbedaan seperti ini dan lahan yang ditebang habis telah dilaporkan sebagai kawasan bukan hutan atau kawasan yang dibalak.
Degradasi Hutan:
Umumnya didefinisikan sebagai suatu penurunan kerapatan pohon dan/atau meningkatnya kerusakan terhadap hutan yang menyebabkan hilangnya hasil-hasil hutan dan berbagai layanan ekologi yang berasal dari hutan. FAO mendefinisikan degradasi sebagai perubahan dalam hutan berdasarkan kelasnya (misalnya, dari hutan tertutup menjadi hutan terbuka) yang umumnya berpengaruh negatif terhadap tegakan atau lokasi dan, khususnya, kemampuan produksinya lebih rendah. Penyebab-penyebab umum degradasi hutan mencakup tebang pilih, pengumpulan kayu bakar, pembangunan jalan dan budidaya pertanian.
HPH (Hak Pengusahaan Hutan):
Izin yang dikeluarkan untuk kegiatan tebang pilih di hutan-hutan alam selama periode tertentu, umumnya 20 tahun, dan diperbarui untuk satu periode selanjutnya, umumnya 20 tahun lagi. Izin HPH ini semula dimaksudkan untuk tetap mempertahankan hutan sebagai kawasan hutan produksi permanen.
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+
3
Istilah Kehutanan
HTI (Hutan Tanaman Industri):
Izin untuk membangun hutan industri guna memasok kebutuhan serat kayu untuk industri, biasanya pulp, selama 35 tahun ditambah satu periode rotasi (umumnya 8 tahun untuk kayu pulp). Izin ini dapat diperbarui untuk 35 tahun selanjutnya. Izin-izin diberikan untuk menebang habis kawasan hutan, tetapi yang harus ditanami lagi hanya 25 persen. Persyaratan penanaman yang hanya sedikit ini tidak selalu dipenuhi. Hutan-hutan industri ini seharusnya dibangun di atas lahan yang sudah terdegradasi tetapi dalam praktiknya seringkali HTI ini didirikan setelah hutan alam habis ditebang.
Hutan alami:
Hutan yang terutama terdiri dari pohon-pohon indijenus yang tidak pernah ditanam oleh manusia. Hutan-hutan alam tidak mencakup perkebunan.
Hutan berakses rendah:
Istilah yang digunakan dalam laporan ini untuk menjelaskan hutan primer atau hutan sekunder dewasa yang relatif tidak terganggu oleh kegiatan manusia. Hutan berakses rendah didefinisikan menurut kriteria seperti jaraknya dari jalan, sungai yang dilayari (khususnya di Kalimantan), pemukiman penduduk, pertanian, pertambangan dan bentuk pembangunan lainnya (variabel jarak minimum 0,5 sampai 1 km). Hutan berakses rendah juga didefinisikan sebagai hutan yang tidak dialokasikan untuk dimanfaatkan sebagai HPH, HTI, atau IPK. (Lihat juga Hutan yang Diakses.)
Hutan Konservasi:
Hutan yang dirancang untuk perlindungan hidupan liar atau habitatnya, biasanya berada di dalam taman taman nasional dan kawasan-kawasan yang dilindungi lainnya.
Hutan Konversi:
Hutan yang dirancang (dengan izin IPK) untuk pembukaan lahan dan konversi permanen menjadi bentuk tata guna lahan lainnya, khususnya industri kayu atau perkebunan. Hutan Lindung: Hutan yang ditujukan untuk menjalankan fungsi-fungsi lingkungan, khususnya untuk memelihara tutupan vegetasi dan stabilitas tanah di lereng-lereng curam dan melindungi daerah aliran sungai.
Hutan Produksi Terbatas:
Hutan yang dialokasikan untuk produksi kayu dengan intensitas rendah. Hutan produksi terbatas ini umumnya berada di wilayah pegunungan di mana lereng-lereng yang curam mempersulit kegiatan pembalakan.
Hutan Produksi:
Hutan yang terletak di dalam batas-batas suatu HPH (memiliki izin HPH) dan dikelola untuk menghasilkan kayu. Dengan pengelolaan yang baik, tingkat penebangan diimbangi dengan penanaman dan pertumbuhan ulang sehingga hutan terus menghasilkan kayu secara lestari. Secara praktis, hutan-hutan di kawasan HPH sering dibalak secara berlebihan dan kadang ditebang habis.
Perkebunan:
Tanaman pertanian yang ditanam di lahan perkebunan. Jenis tanaman perkebunan yang paling banyak ditanam adalah karet, kelapa sawit, kelapa, coklat, dan teh.
Perkebunan:
Tegakan hutan yang dibuat dengan menanam atau/dan pembenihan dalam proses penghijauan atau reboisasi. Perkebunan ini sering ditanami dari spesies yang diintroduksi (semua tegakan yang ditanam), atau spesies indijenus yang dikelola secara intensif. Perkebunan mungkin didirikan untuk menyediakan hasil-hasil kayu (bulat, pulp) atau tanaman keras seperti kelapa sawit dan kelapa.
4
Reboisasi:
Penghutanan kembali yang dilakukan manusia di suatu kawasan yang semula berhutan.
RePPProT (The Regional Physical Planning Programme for Transmigration):
Survei nasional yang mencakup kegiatan pemetaan, yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia(Departemen Transmigrasi) dengan dana dan bantuan teknis yang disediakan oleh Pemerintah Inggris.
Status Hutan Permanen:
Lahan yang secara resmi merupakan bagian kawasan hutan nasional dan berada di bawah wewenang Departemen Kehutanan. Istilah ini mengacu pada tata guna lahan (lahan berbagai kepentingan kehutanan) dan bukan mengacu pada tutupan lahan (lahan yang ditumbuhi pohon). Oleh karena itu lahan berstatus hutan permanen tidak sama artinya dengan tutupan hutan.
Tebang Habis:
Kegiatan menebang habis semua tegakan pohon untuk tujuan-tujuan penebangan kayu/atau pembukaan lahan.
Tebang Pilih:
Kegiatan penebangan secara selektif terhadap spesies pohon tertentu, atau pohon dengan ukuran tertentu atau ketentuan tertentu lainnya. Tebang pilih, tergantung pada intensitasnya, dapat atau tidak dapat mengakibatkan terbukanya sebagian tajuk hutan. Bahkan intensitas tebang pilih yang sangat rendah sekalipun mungkin mengarah pada degradasi hutan jika pohon-pohon ditebang secara serampangan, atau dibalak secara berlebihan dari sekitar hutan.
Tumbuh ulang:
Pertumbuhan hutan kembali di lahan yang dibuka atau ditebang pilih dan kemudian mengalami regenerasi secara alami.
Hutan yang sudah diakses atau hutan yang berakses tinggi:
Istilah yang digunakan dalam laporan ini untuk menjelaskan hutan yang mengalami gangguan akibat kegiatan manusia. Definisi hutan yang diakses bukan didasarkan atas ukuran kerusakan biologis, tetapi atas dasar kriteria yang mencakup kedekatan jaraknya dengan jalan, sungai yang dilayari (khususnya di Kalimantan), pemukiman penduduk, pertanian, pertambangan dan berbagai jenis pembangunan lainnya. Suatu hutan dimasukkan dalam kategori ini jika berada pada jarak 0,5 km dari sungai atau 1 km dari jalan dan ciri-ciri fisik lainnya. Hutan juga dianggap diakses jika pemanfaatannya berada dibawah izin HPH, HTI atau IPK. (Lihat juga Hutan berakses rendah.).
Hutan/tutupan hutan:
Lahan di mana pohon mendominasi tipe vegetasi di dalamnya. FAO mendefinisikan hutan sebagai lahan dengan tutupan tajuk pohon lebih dari 10 persen dari tanah, dan luas kawasan lebih dari 0,5 ha. Selain itu, pohon harus mampu mencapai tinggi minimum 5 meter saat pohon dewasa. Perlu diperhatikan bahwa 10 persen ambang tutupan tajuk mewakili tutupan pohon yang sangat jarang; kebanyakan hutan alam di Indonesia merupakan hutan yang tajuknya tertutup. Pemerintah Indonesia menggunakan definisi tata guna lahan hutan dalam berbagai golongan tata guna lahan yang terdiri dari “Hutan Permanen” (lihat definisi tata guna hutan). Namun, hampir 20 persen hutan yang berstatus Hutan Permanen telah dibalak.
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+
5
IPK (Izin Pemanfaatan Kayu):
Izin untuk membuka lahan guna kepentingan pendirian hutan tanaman industri, perkebunan (misalnya, kelapa sawit), lokasi-lokasi transmigrasi, atau berbagai program pembangunan lainnya. Tujuan IPK sebenarnya memang untuk mendirikan perkebunan, tetapi kadang dilakukan karena kayu bulat yang dipanen dari pembukaan lahan nilainya lebih tinggi. Kayu yang ditebang dari IPK sekarang menyediakan pasokan utama dan semakin meningkat jumlahnya untuk memasok kayu bulat di Indonesia.
Kayu bulat:
Semua kayu alami yang diperoleh dengan menebang atau bentuk-bentuk pemungutan lainnya. Komoditas komoditas yang dihasilkan dari kayu bulat meliputi kayu gergajian dan kayu-kayu halus, pulp, panel-panel dari kayu, hasil-hasil kayu olahan lainnya, kayu bulat lainnya untuk industri-industri (termasuk pitprops) dan kayu bakar.
Konsesi:
Suatu kawasan hutan alam yang dirancang untuk ditebang pilih atas dasar izin HPH. Hutan seperti ini juga dikenal sebagai Hutan Produksi.
Penghijauan:
Penanaman suatu kawasan lahan yang sengaja dilakukan oleh manusia di kawasan yang sebelumnya bukan berupa hutan, atau tidak pernah berhutan sama sekali.
Kamus REDD Adaptation (adaptasi):
Tindakan penyesuaian oleh sistem alam atau manusia yang berupaya mengurangi kerusakan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.
Afforestation (aforestasi):
Penana man atau penghutanan kembali suatu lahan yang sebelumnya tidak berhutan.
Anthropogenic emissions (emisi antropogenik):
Emisi GRK yang dikaitkan dengan kegiatan manusia, seperti deforestasi dan degradasi hutan dan penggunaan bahan bakar fosil.
Biofuels (bahan bakar nabati):
Bahan bakar yang diperoleh dari sumber tumbuhan yang dapat diperbaharui baik dalam bentuk padat maupun cair. Tumbuhan penghasil biofuel yang berkaitan dengan deforestasi termasuk kelapa sawit, tebu dan kedelai.
Cap and trade:
Sistem regulasi ganda dimana cap adalah batas emisi yang ditentukan oleh pemerintah dan trade adalah pasar yang diciptakan oleh pemerintah untuk melakukan jual-beli kredit GRK. Perusahaan yang mengemisikan GRK kurang dari yang ditentukan dapat menjual kreditnya kepada perusahaan lain yang mengemisikan lebih besar daripada ketentuan.
Carbon dioxide (CO2) (karbon dioksida):
Gas yang terdapat di atmosfer, dihasilkan sebagai produk sampingan dari pembakaran, contohnya, bahan bakar fosil dan biomasa yang membusuk atau terbakar. Karbon dioksida juga dapat dilepaskan ketika terjadi kegiatan alih-guna lahan dan kegiatan industri.
6
Carbon markets:
Badan dan mekanisme pendanaan yang dapat menukar kredit karbon yang dihasilkan dari aktivitas REDD yang telah diverifikasi. Bentuknya bisa berupa ‘pasar sukarela’ (voluntary markets, yang terbentuk dalam mekanisme kesepakatan bilateral antara pihak-pihak yang melakukan jual-beli) atau ‘pasar wajib’ (compliance markets, yang secara sah diatur untuk mencapai target penurunan emisi dalam kesepakatan multilateral.
Carbon trading (perdagangan karbon):
Transaksi kredit karbon yang telah diverifikasi dalam bentuk sertifikat yang dihasilkan dari kegiatan REDD.
Carbon pool (pool karbon):
Suatu sistem yang mempunyai mekanisme untuk mengakumulasi atau melepas karbon. Contoh pool karbon adalah biomassa hutan, produk-produk kayu, tanah dan atmosfer.
Carbon sequestration (penyerapan karbon):
Proses pengikatan CO2 di atmosfer oleh tanaman berkhlorofil melalui fotosintesis kemudian menyimpannya dalam bentuk biomassa di berbagai bagian tanaman.
Carbon sink (rosot karbon):
Media atau tempat penyerapan dan penyimpanan karbon dalam bentuk bahan organik, vegetasi hutan, laut dan tanah.
Carbon tax (pajak karbon):
Biaya tambahan yang dibebankan pada konsumen yang melepaskan karbon ke atmosfer.
Clean Development Mechanism (CDM) (Mekanisme Pembangunan Bersih):
Salah satu mekanisme dalam Protokol Kyoto yang membantu negaranegara industri untuk memenuhi target penurunan emisi dan membantu negaranegara berkembang dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Climate change (perubahan iklim):
Suatu perubahan rata-rata jangka panjang yang ditentukan dari nilai tengah parameter cuaca dalam mengukur kondisi iklim atau variabilitasnya. Paramater tersebut antara lain termasuk suhu udara, curah hujan dan kecepatan angin.
Co-benefits (manfaat sampingan):
Keuntungan yang diperoleh dari penerapan skema REDD disamping untuk mengurangi emisi GRK. Keuntungan tersebut berupa pengentasan kemiskinan, perbaikan jasa lingkungan termasuk perlindungan keanekaragaman hayati dan perbaikan tata kelola hutan termasuk kepastian pemilikan lahan.
Conference of the Parties (COP) (Konferensi Para Pihak):
Lembaga tertinggi dalam pengambilan keputusan yang terdiri dari pihak-pihak yang telah meratifikasi UNFCCC.
Ecosystem (ekosistem):
Sistem kehidupan yang terdiri dari faktor-faktor yang hidup (biotic) dan yang tak-hidup (abiotic) yang telah mencapai keseimbangan yang mantap.
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+
7
Kamus REDD
Ecosystem services (jasa ekosistem):
Jasa atau layanan yang didukung, diatur, dan disediakan oleh ekosistem bagi manusia. Contoh: hutan mendukung tersedianya bahan pangan, air, kayu dan serat. Ekosistem hutan juga mengatur iklim, tata air, dan pengendalian penyakit. Ekosistem hutan juga menyediakan manfaat untuk rekreasi, estetika dan kepuasan spiritual.
Global warming (pemanasan global):
Meningkatnya suhu rata-rata atmosfer bumi dari tahun ke tahun yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim.
Greenhouse effect (efek rumah kaca):
Efek yang ditimbulkan GRK ketika gas-gas seperti CO2 menahan radiasi balik matahari yang dipancarkan bumi dalam bentuk panas sehingga memanaskan atmosfer bumi.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) (Panel antar pemerintah tentang perubahan iklim):
Panel ahli yang dibentuk oleh gabungan badan-badan PBB (UNEP dan WMO) yang bertanggung jawab dalam penyediaan informasi ilmiah untuk UNFCCC.
Kyoto Protocol (Protokol Kyoto):
Kesepakatan internasional agar negaranegara industri dapat mengurangi emisi GRK secara kolektif sebesar 5,2 persen selama periode 2008-2012 dari tingkat emisi tahun 1990.
Leakage (kebocoran):
Fenomena yang terjadi ketika pengurangan emisi di satu kawasan justru menyebabkan meningkatnya emisi di kawasan yang lainnya. Contoh: sebuah proyek REDD yang melindungi hutan di suatu kawasan namun menyebabkan peningkatan kegiatan deforestasi di tempat lainnya. Kebocoran ini juga dikenal sebagai pemindahan emisi.
Liability (jaminan):
Kewajiban proyek atau negara yang menerapkan REDD untuk memberikan jaminan bahwa pengurangan emisi yang akan memperoleh kredit dapat menjadi permanen.
Mitigation (mitigasi):
Tindakan untuk mengurangi emisi GRK dan untuk meningkatkan penyimpanan karbon dalam rangka mengatasi perubahan iklim.
Nationally appropriate mitigation action (NAMA) (Aksi mitigasi yang layak secara nasional):
Tindakan sukarela yang dilakukan oleh negara berkembang untuk mengurangi emisi karbonnya sejalan dengan konteks ekonomi, lingkungan, sosial dan politik negara tersebut.
Payments for ecosystem services (PES) (Pembayaran atas jasa ekosistem):
Skema dimana pihak yang memperoleh manfaat dari layanan ekosistem akan membayar pihak yang mengelola ekosistem tersebut agar layanannya tetap terjaga dan berkelanjutan.
Peat (gambut):
Akumulasi sebagian bahan organik dari vegetasi yang telah mengalami dekomposisi. Gambut terbentuk di lahan basah, termasuk bog, moor dan hutan rawa gambut.
8
Permanence (permanen):
Jangka waktu pengembalian emisi GRK yang telah direduksi.
Planted forest (hutan tanaman):
Lahan yang ditumbuhi tegakan pohon yang dibentuk melalui penyemaian benih dan penanaman anakan pohon.
Primary forest (Hutan primer):
Lahan yang ditumbuhi oleh jenis-jenis pohon dan tanaman berkayu yang tumbuh secara alami dan sebagian besar belum terjamah oleh aktivitas manusia sehingga proses ekologisnya tidak terganggu.
REDD, atau reducing emissions from deforestation and forest degradation (Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan): Sebuah mekanisme untuk mengurangi emisi GRK dengan cara memberikan kompensasi kepada pihakpihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan.
REDD+:
Kerangka kerja REDD yang lebih luas dengan memasukkan konservasi hutan, pengelolaan hutan lestari atau peningkatan cadangan karbon agar partisipasi untuk menerapkan REDD semakin luas serta untuk memberikan penghargaan kepada negara-negara yang sudah berupaya melindungi hutannya.
Reduced impact logging (RIL) (pembalakan berdampak rendah):
Penebangan pohon yang dilakukan dengan terencana dan berdasarkan prinsip kehati-hatian untuk meminimalkan dampak terhadap lingkungan di sekitarnya. RIL juga dapat mengurangi emisi gas yang disebabkan oleh kegiatan pembalakan.
Reforestation (reforestasi):
Pembangunan kembali hutan tanaman di kawasan yang sebelumnya merupakan lahan berhutan. Stern Review (Kajian Stern): Laporan yang disusun oleh Sir Nicholas Stern’s pada tahun 2006 untuk pemerintah Inggris yang mengkaji perspektif ekonomi perubahan iklim. Kajian Stern bukanlah yang pertama kali dilaporkan namun demikian laporan ini dianggap yang paling banyak memberikan pengaruh.
UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) (Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim): Perjanjian atau kesepakatan yang dibuat pada tahun 1992 yang mendesak semua negara yang berkepentingan untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat yang dianggap tidak membahayakan iklim bumi.
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+
9
Satuan Tugas REDD+ I. Mengenai Satuan Tugas REDD+ Latar Belakang Satuan Tugas REDD+ Perubahan iklim adalah salah satu wacana terhangat dalam dua dekade ini. Perubahan iklim terjadi karena pilihan model pembangunan yang kurang memperhitungkan dampak negative berupa akumulasi gas rumah kaca (GRK) yang timbul akibat proses produksi dan konsumsi. Bila tidak diantisipasi dengan memadai, perubahan iklim ini bisa membahayakan masa depan lingkungan global. Upaya perbaikan berskala global telah digulirkan, diantaranya yang paling menonjol adalah UNFCCC atau kerangka konvensi antar bangsa untuk perubahan iklim. Melalui UNFCCC, negara-negara industri maju diwajibkan untuk menurunkan emisinya melalui kegiatan mitigasi dan alih teknologi menuju pembangunan rendah karbon. Sementara terhadap negara-negara berkembang, yang belum dikenai kewajiban menurunkan emisi, berpeluang memperoleh berbagai bentuk dukungan pendanaan dan teknologi untuk mengubah jalur pembangunan ekonominya menuju model pembangunan rendah karbon. Mekanisme pemberian kompensasi terhadap negara yang menjaga kawasan hutan dengan meminimalkan pembukaan hutan dan penurunan fungsi hutan. Mekanisme ini disebut REDD. Di dalam pertemuan para pihak ke 13 (COP 13) di Bali, Indonesia berhasil mendorong masuknya tiga elemen penting ke dalam konsepsi REDD, yaitu: 1. 2. 3.
Penerapan pengelolaan hutan berkelanjutan Pengakuan atas pentingnya peranan konservasi Pengayaan simpanan karbon
Ketiga elemen tersebut mengubah “REDD” menjadi “REDD+”. Dorongan Indonesia ini tertuang di dalam dokumen Bali Action Plan. Indonesia sebagai negara dengan luas hutan lebih dari 100 juta hektar atau 70% dari luas daratannya berpeluang besar untuk menerapkan skema REDD+. Indonesia adalah negara berkembang pertama yang berkomitmen mengurangi emisi secara sukarela. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26% dari skenario pembangunan Business as Usual (BAU) pada tahun 2020, dengan dana sendiri tanpa mengorbankan pembangunan di sektor lain, dan 41% jika mendapatkan bantuan internasional. Target penurunan emisi itu sendiri diyakini Pemerintah bisa dicapai sambil tetap menjaga pertumbuhan ekonomi sebesar 7% per tahun. Komitmen Indonesia ini sendiri pada mulanya merupakan bagian pernyataan pertama Indonesia sebagai anggota pertemuan G20. Komitmen Indonesia ini telah mengundang dukungan sejumlah pihak. Yang paling antusias adalah Norwegia sehingga kemudian mengikat kerjasama dengan Indonesia melalui sebuah pernyataan niat (Letter of Intent) pada tahun 2010. Melalui LoI tersebut, Indonesia mendapat dukungan dari Norwegia untuk mempersiapkan lembaga dan aturan bagi pelaksanaan skema REDD+ ini. Menanggapi dukungan Norwegia tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2010 Tentang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+, yang berakhir masa tugasnya pada tanggal 30 Juni 2011. Hasil Satgas REDD+ pertama ini antara lain adalah dokumen Strategi Nasional REDD+ yang telah dikonsultasikan secara luas dengan berbagai pihak, Inpres. No. 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, serta diseleksi dan disiapkannya Provinsi Kalimantan
10
Tengah sebagai Provinsi Pilot REDD+ yang pertama di Indonesia. Untuk melanjutkan hasil kerja ini, melalui Perpres Nomor 25, Tahun 2011 dibentuk Satgas baru yang akan bekerja secara intensif selama tahun 2012, di bawah kepemimpinan Kuntoro Mangkusubroto.
II. Tugas dan Tanggung Jawab Tugas dan Tanggung Jawab Satgas REDD+ Upaya-upaya internasional sedang dilakukan untuk menyelesaikan metode dan panduan pelaksanaan REDD+. Sementara proses berjalan, Indonesia juga sedang berproses untuk membangun sebuah lembaga di luar kementerian. Fungsinya adalah untuk menjalin koordinasi di antara program-program REDD+ yang dijalankan. Pada tahap ini, komponen-komponen utama koordinasi REDD+ di Indonesia akan dibagi menjadi tiga bagian yang saling terkait satu sama lain. Ketiga bagian itu secara garis besar dapat digambarkan seperti pada gambar berikut:
Pembentukan Lembaga REDD+ ini merupakan tanggung jawab Satuan Tugas (Satgas) yang dalam hal ini dipimpin oleh Kepala UKP4, Kuntoro Mangkusubroto. Satgas tersusun dari 10 Kelompok Kerja yang masing-masing bekerja dan bertanggungjawab pada satu bidang tertentu sesuai mandat yang diberikan Lembaga REDD+.
Tata Kelola Lembaga REDD+ Sistem kelembagaan REDD+ perlu dirancang dengan mengutamakan azas-azas: (1) tata kelola yang baik (good governance); (2) inklusif dengan memastikan partisipasi dari para pemangku kepentingan untuk efektivitas pencapaian pengurangan emisi; (3) efisiensi biaya untuk mencapai tujuan (cost effectiveness); dan (4) akuntabilitas dari pelaksanaan seluruh urusan terkait REDD+ di Indonesia. Di samping keempat azas umum di atas, Satgas REDD+ mendiskusikan rancangan awal Lembaga REDD+ yang dapat terdiri dari tiga bagian dengan fungsi yang berbeda dan penting:
Fungsi Pengarah – bertugas memberikan arahan dalam perumusan, perencanaan dan pelaksaan REDD+ Fungsi Pelaksana – bertugas menjalankan mandat sebagaimana diuraikan sebelumnya Fungsi Pengawas – bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan REDD+
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+
11
Satuan Tugas REDD+
Terdapat dua pilihan pendekatan kelembagaan yang paling memungkinkan dan membutuhkan keputusan di tingkat tertinggi, yaitu: 1.
Membentuk lembaga baru khusus untuk pelaksanaan REDD+ yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Lembaga ini bertugas menjalankan, mengoordinasikan, dan mengawasi pelaksanaan kebijakan dan kegiatan REDD+ (pilihan stand-alone).
2.
Menambahkan kewenangan pelaksanaan REDD+ pada salah satu Kementerian terkait yang paling dekat mandatnya dengan REDD+ (pilihan add-on). Lembaga REDD+ ini dapat dilekatkan pada Kementerian Lingkungan Hidup atau Kementerian Kehutanan melalui pembentukan sebuah Direktorat Jenderal atau Badan yang khusus menangani REDD+ di bawah koordinasi Menteri.
Kedua pilihan tersebut memiliki implikasi terhadap timeline yang dibutuhkan untuk pembentukan, mandat dan kewenangan dari Lembaga REDD+. Lebih dari itu, pilihan pembentukan khusus Lembaga REDD+ akan memberikan dampak kepada tingkat keleluasaan Lembaga tersebut untuk melaksanakan tugas dengan pendekatan transformatif dan “business-NOT-as-usual.“ Satgas REDD+ telah memberikan dua pilihan pendekatan kelembagaan tersebut kepada Presiden RI untuk selanjutnya diputuskan. Meski demikian, Ketua Satgas, Kuntoro Mangkusubroto, menegaskan bahwa Presiden pernah menyatakan bahwa lembaga REDD+ ini akan bertanggungjawab langsung kepada Presiden seperti kementerian.
Visi dan Misi Strategi Nasional REDD+ Lembaga REDD+ didirikan dengan misi dan strategi untuk memimpin upaya pengurangan emisi Indonesia dari emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dengan mengkoordinasikan desain, pemantauan dan implementasi strategi nasional REDD+ dengan standar tertinggi Visi: Pengelolaan sumber daya alam hutan dan lahan gambut yang berkelanjutan dan berkesinambungan sebagai aset nasional yang dapat dimanfaatkan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Misi: Memastikan fungsi institusi, regulasi, proses dan praktek pengelolaan kekayaan alam mendukung pencapaian visi REDD+ Tujuan: Jangka pendek (2011-2013): memperbaiki kondisi tata kelola kehutanan secara keseluruhan untuk dapat mencapai komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi sebesar 26 - 41% pada tahun 2020. Jangka menengah (2013-2020): mempraktekan mekanisme tata kelola dan pengelolaan hutan secara luas yang telah ditetapkan dan dikembangkan dalam tahap sebelumnya. Jangka panjang (2020-2030): mengubah peran hutan Indonesia dari net emitter menjadi net sink pada tahun 2030.
12
III. Struktur Kerja Satgas REDD+ Struktur Kerja Satgas REDD+ Satuan Tugas (Satgas) Kelembagaan REDD+ kedua dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 25/2011 setelah masa kerja Satgas pertama berakhir pada 30 Juni 2011. Satgas REDD+ pertama telah menghasilkan beberapa hal penting, antara lain dokumen Strategi Nasional REDD+ yang telah dikonsultasikan secara luas dengan berbagai pemangku kepentingan, Instruksi Presiden No. 10/2011 tentang Penundaan Pemberian Ijin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Pemilihan dan penyiapan Provinsi Kalimantan Tengah sebagai provinsi percontohan REDD+ pertama di Indonesia juga merupakan hasil kerja Satgas pertama. Dengan mandat Satgas yang telah diperbarui, REDD+ di Indonesia akan memasuki pembangunan institusi dan pelaksanaan program strategis yang sebagian besar dilaksanakan di Kalimantan Tengah. Satgas kedua ini terdiri dari 10 kelompok kerja (Pokja). Masing-masing Pokja diketuai oleh orang-orang terpilih dari jajaran pemerintahan maupun non-pemerintahan. Mereka bekerja secara intensif dan membangun hubungan secara lintas sektoral selama 2012. Komposisi Pokja ini merefleksikan semangat untuk menghadapi dan menuntaskan berbagai masalah lama sehingga Pokja ini siap menghadapi era baru dimana pasar global akan semakin hijau dan transparan. “Mereka akan bekerja secara profesional, tanggap, dan akuntable untuk mewujudkan komitmen Indonesia kepada dunia dan generasi mendatang,” papar Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Satgas Kelembagaan REDD+. Pokja REDD+ akan mempersiapkan kelembagaan REDD+ Indonesia dengan mengusung pendekatan baru. Pendekatan ini akan memadukan secara sinergis hasil kerja lembaga-lembaga perumus kebijakan di tingkat nasional dengan mengakomodasi pengetahuan dan aspirasi di tingkat lokal. Dengan pendekatan baru ini, diharapkan lembaga yang terbentuk nantinya bisa menjadi lembaga yang transparan, partisipatif, dan akuntabel. Hal ini selaras dengan tata kelola yang baik yang sifatnya otoritatif, responsif, dan adaptif terhadap perkembangan dunia yang terus bergerak cepat.
Ketua Satgas Kelembagaan REDD+ Kuntoro Mangkusubroto
1
2
3
4
5
Strategi Nasional REDD+ Mubariq Ahmad
Kelembagaan REDD+ Agus Purnomo
Instrumen Pendanaan Agus Sari
MRV Arief Yuwono
Provinsi Percontohan Iman Santoso
6
7
9
10
Monitoring Moratorium Nirarta Samadhi
8
Komunikasi dan Pelibatan Para Pihak Chandra Kirana
Kajian Hukum dan Penegakan Hukum Mas Achmad Santosa
Pengarusutamaan REDD+ pada Perencanaan Nasional Lukita Tuwo
Knowledge Management and Support Roy Rahendra
Struktur Kepemimpinan Satgas Kelembagaan REDD+
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+
13
Satuan Tugas REDD+
IV. Profil Satgas REDD+ STRATEGI NASIONAL Kelompok Kerja Strategi Nasional Strategi Nasional diperlukan sebagai sebuah langkah strategis untuk mencapai visi REDD+ di Indonesia untuk mengelola hutan dan lahan gambut secara berkelanjutan sebagai aset nasional yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya pada kemakmuran rakyat. Strategi Nasional REDD+ diformulasikan untuk membangun pondasi dan memberikan pedoman menuju tata kelola hutan dan lahan gambut yang baik dan terintegrasi melalui pendekatan sistematis dan proses inklusif dengan melibatkan banyak pihak. Dokumen Strategi Nasional dirumuskan tidak hanya berdasarkan pada penyebab-penyebab deforestasi dan kerusakan hutan dan lahan gambut, tetapi juga tujuan ke depan untuk mencapai paradigma baru pengelolaan sumber daya alam Indonesia yang berkelanjutan demi kemakmuran rakyat. Pokja Strategi Nasional bekerja keras untuk menyusun kerangka kerja REDD+ yang fundamental yang terjabarkan dalam lima pilar berikut: 1.
Kelembagaan dan proses Dilakukan dengan memfasilitasi pembentukan lembaga instrumen pendanaan dan monitoring reporting and evaluation (MRV) berikut sistem yang menghantar keberhasilan REDD+. Pilar ini juga disertai dengan pembentukan atau penguatan kapasitas dalam kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan lembaga lain yang terkait.
2.
Kerangka hukum dan peraturan Dilakukan melalui koordinasi dan pemberian pedoman untuk reformasi kebijakan di bidang lingkungan yang akan membuat REDD+ berjalan secara efektif.
3.
Program-program strategis Dilakukan dengan merumuskan, menyusun, dan memastikan pelaksanaan kegiatan strategis yang mengarah pada pengembangan dan realisasi program REDD+.
4.
Perubahan paradigma dan budaya kerja Mendorong dan memastikan perubahan perspektif yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan dengan memberikan informasi kepada masyarakat, organisasi, dan entitas lainnya. Termasuk pula di sini adalah kampanye untuk menyelamatkan hutan Indonesia.
5.
Pelibatan para pihak Memastikan keterlibatan dan menjalin interaksi denga kelompok-kelompok kunci dari pemangku kepentingan (termasuk pemerintah, LSM lokal dan internasional, media lokal dan internasional, masyarakat lokal dan adat, akademisi, organisasi masa, kalangan bisnis dan perusahaan) melalui pengelolaan donor, pendekatan para pihak, mekanisme pembagian keuntungan, rejim safeguard, komunikasi.
Pilar-pilar tersebut dimaksudkan untuk mencapai tujuan REDD+, yaitu pengurangan emisi, peningkatan stok karbon hutan, keragaman hayati dan jasa lingkungan yang terpelihara, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
14
Pokja Strategi bekerja keras melalui diskusi dan lokakarya yang panjang untuk mendapatkan pendefinisian dan kesepakatan pada dokumen Strategi Nasional. Koordinasi yang melibatkan hampir seluruh Pokja REDD+ ini dimaksudkan untuk membuat sinkronisasi dan harmonisasi antara Strategi Nasional dengan mandat yang dijalankan oleh setiap Pokja. Strategi Nasional REDD+ dirumuskan atas dasar tujuan berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
6. 7.
Mendukung pencapaian komitmen yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk target penurunan emisi 26 persen dari sektor kehutanan pada 2020 berdasarkan skenario Business As Usual; Menindaklanjuti Bali Action Plan, Copenhagen Accord dan Keputusan dari Pertemuan Para Pihak (COP) ke-16 UNFCCC di Cancun; Mempersiapkan sistem kelembagaan yang efektif untuk program REDD+. Sistem ini akan memastikan pengurangan emisi dapat dilaksanakan dengan baik melalui monitoring, pelaporan, dan verifikasi yang baik yang didukung instrumen pendanaan yang akuntabel; Memberi dasar dan pedoman untuk sebuah sistem tata kelola dan peraturan yang baik yang dapat menaungi pelaksanaan REDD+ oleh masyarakat sipil, kalangan bisnis, , dan pemerintah daerah; Mendukung pembangunan berkelanjutan melalui pendekatan yang didasarkan pada perspektif masyarakat lokal termasuk perempuan dan kelompok rentan yang terkait skema REDD+, sehingga REDD+ dapat memberi manfaat ke semua kelompok dan mendorong pada kepemilikan masyarakat setempat; Membangun prosespartisipatif serta pendekatan sistematis dan terkonsolidasi untuk menyelamatkan hutan alam; Memberikan acuan pada pembangunan investasi para pihak di segala lapisan untuk pemanfaatan kehutanan dan lahan gambut bagik untuk komoditas kehutanan dan/atau pertanian termasuk layanan ekosistem, penyerapan dan pemeliharaan cadangan karbon.
Strategi Nasional REDD+ akan menjadi dokumen hidup yang dapat dikembangan lagi jika memang diperlukan. Strategi merupakan salah satu bagian penting dari rencana pengurangan emisi yang komprehensif di Indonesia. Strategi ini menjadi bagian dari Rencana Aksi Nasional – Pengurangan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), yang memiliki cakupan lebih luas dan mendeskripsikan strategi yang komprehensif untuk penyesuaian dan pengurangan dampak perubahan iklim di Indonesia. Tim Pokja Strategi juga sedang mengadakan safari keliling di sembilan provinsi di Indonesia yang akan menjalankan program REDD+ di Indonesia. Mereka mendampingi dan memfasilitasi proses pembuatan Strategi dan Rencana Aksi yang sesuai dengan tipologi kedaerahan di setiap provinsi. Tujuannya agar Strategi Nasional REDD+ dapat dijalankan secara optimal dan efektif di setiap provinsi tersebut.
KELEMBAGAAN Kelompok Kerja Kelembagaan Kelembagaan REDD+ didirikan dalam upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan seperti digariskan dalam Strategi Nasional REDD+. Kelembagaan ini memiliki peranan penting dalam menyelamatkan ratusan juta hektar hutan berkarbon di Indonesia. Sesuai mandat Perpres No. 19/2010, lembaga REDD+ harus bekerja bersama lintas sektor untuk memastikan pelaksanaan strategi REDD+ yang komprehensif.
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+
15
Satuan Tugas REDD+
Keberhasilan penerapan REDD+ di Indonesia sangat bergantung pada transformasi kelembagaan. Saat ini, kegiatan-kegiatan terkait dengan REDD+ tersebar di berbagai kementerian dan di daerah. Oleh karena itu, dibutuhkan koordinasi lintas lembaga pemerintahan di pusat dan daerah, agar penerapan REDD+ dapat berjalan sinergis dan terkoordinasi dalam suatu sistem yang terpadu. Lembaga REDD+ akan menjadi badan pusat independen yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden untuk memimpin dan mengoordinasikan kinerja nasional dalam melaksanakan pengurangan emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. Untuk dapat melaksanakan tugasnya secara efektif, lembaga REDD+ membutuhkan mandat dan kewenangan dengan dasar hukum yang kuat. Mengingat tingkat kompleksitas REDD+, Lembaga REDD+ memerlukan mandat lintas kementerian dan lintas sektor yang kokoh guna memungkinkan implementasi strategi REDD+ yang komprehensif dan koheren di seluruh kegiatan terkait. Agar dapat mencerminkan penugasan yang lintas kementerian dan lintas sektor dan pertanggungjawabannya kepada Presiden, kerangka hukum untuk Lembaga REDD+ selayaknya adalah UU, dipimpin menteri dan melapor langsung kepada Presiden. Karena itu, Lembaga ini akan dibentuk melalui Perpres yang memadai. Struktur fungsional dari Lembaga REDD+ adalah datar, fleksibel, dan fokus terhadap implementasi. Hal ini mencerminkan perlunya kelincahan dalam lingkungan yang terus dan cepat berubah dan fokus pada misi yang telah ditetapkan. Lembaga REDD+ memimpin, mengkoordinasi atau mengambil bagian dalam berbagai proses utama seperti misalnya pengembangan strategi REDD+, persetujuan program dan entitas REDD+, pemantauan dan evaluasi program. Lembaga REDD+ merupakan bagian dari lingkup penerapan REDD+ yang lebih besar, karena itu perlu dikoordinasikan secara ketat dengan instrumen pendanaan dan institusi MRV. Lebih lanjut, lembaga ini harus dapat menjamin harmonisasi dengan berbagai kementerian dan pemangku kepentingan utama lain yang terkait, melalui hubungan kelembagaan dalam struktur tata kelolanya. Output Utama Tim Kerja Penyiapan Lembaga REDD+ Status Terkini Rancangan mandat, tata kelola dan pendekatan operasional Lembaga REDD+ telah disusun. Prinsip-prinsip desain
Independen (bebas dari kepentingan atau keterkaitan sektoral) Melapor langsung kepada Presiden Kepala Lembaga diangkat setingkat Menteri Dibangun bertahap dengan fungsi awal koordinasi, fasilitasi dan persetujuan serta monitoring proyek REDD+ dan pelaksanaan kegiatan strategis Tahap akhir menyandang mandat penuh untuk memastikan terlaksananya program2 REDD+ dan tatakelola hutan dan lahan dengan UU sebagai dasar hukum
Output Utama 1. 2. 3.
16
Penetapan mandat dan tata kelola Lembaga REDD+ Tahap-1 dengan fungsi koordinasi, fasilitasi dan monitoring (Desember 2011) Penyelenggaraan 30 hari paparan publik (Public Disclosure Period) pada Januari 2012 dan pelaksanaan konsultasi publik yang terarah Penyusunan draf legal basis bagi Lembaga REDD+ Tahap-1 (Februari 2012)
4. 5. 6. 7. 8. 9.
Perekrutan key personnel (April 2012) Penyerahan draf legal basis bagi Lembaga REDD+ Tahap-1 (Juli 2012) Road Map untuk melengkapi kewenangan dan kapabilitas Lembaga REDD+ melalui Undang Undang (Agustus 2012) Menyiapkan unit-unit dalam K/L yang akan menjadi point of contact bagi Lembaga REDD+ (Oktober 2012) Penetapan Lembaga REDD+ Tahap-1 (Oktober 2012) Operasionalisasi penuh Lembaga REDD+ Tahap-1 (November 2012)
Langkah selanjutnya Deliverable : Menyelesaikan desain Lembaga REDD+ Tindakan: Meninjau desain keseluruhan dan mengidentifikasi apabila diperlukan perubahan pada item yang diusulkan Memastikan keselarasan dengan dokumen Strategi Nasional REDD+ secara kontinu Menutup open item pada desain Lembaga seperti halnya: Melakukan analisis struktur fungsional terbaik dengan mempertimbangkan mandat dan sumber daya Merancang strategi SDM awal untuk lembaga Deliverable: Menyempurnakan rencana implementasi Tindakan: Melakukan tinjauan internal pada rencana implementasi dan melakukan uji coba dengan beberapa entitas eksternal (misalnya: KemenPANRB, Setneg, dan lain-lain) Membuat perubahan pada rencana implementasi sebagaimana diperlukan Deliverable: Menentukan metode manajemen kinerja Tindakan : Sepakat pada target dan tonggak pencapaian utama yang diinginkan Menentukan bagaimana kinerja akan diukur Konsultasi dengan para donor untuk memperoleh umpan balik Menyusun KPI internal berdasarkan KPI milik organisasi Melakukan analisis dalam hal penghargaan dan konsekuensi Deliverable: Mendesain dan melakukan komunikasi dengan berbagai pemangku kepentingan Tindakan : Mengidentifikasi tipe pemangku kepentingan Mengidentifikasi strategi komunikasi bersama Tim Kerja Komunikasi dan Pelibatan Para Pihak Melakukan proses komunikasi pemangku kepentingan yang lebih luas, termasuk proses 30 day public discretion period Deliverable: Menyusun Perpres untuk membentuk Lembaga REDD+ Tindakan : Merancang Perpres membentuk Lembaga REDD+. Perpres ini sebaiknya mengikuti dan selaras dengan desain akhir Lembaga REDD+ Mengembangkan Road Map untuk melengkapi kewenangan dan kapabilitas Lembaga REDD+ melalui Undang Undang
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+
17
Satuan Tugas REDD+
INSTRUMEN PENDANAAN Kelompok Kerja Instrumen Pendanaan Instrumen Pendanaan bertanggungjawab untuk membuat mekanisme keuangan yang efektif dan akuntable yang berkaitan dengan program REDD+ di Indonesia. Ada tiga hal pokok yang dijalankan oleh Kelompok Kerja Instrumen Pendanaan, yaitu memobilisasi, mengelola, dan menyalurkan sumbersumber pendanaan untuk pelaksanaan program REDD+ di Indonesia. Lingkup mekanisme pendanaan ini mencakup struktur yang dapat menarik dan menyalurkan keterlibatan sektor swasta dalam pelaksanaan REDD+. Hal ini termasuk pula struktur pasar yang sesuai untuk menghasilkan kredit. Pendirian dan pengoperasian instrumen pendanaan menjadi prasyarat utama jalannya program REDD+ di Indonesia. Disamping itu, mekanisme pendanaan harus memenuhi prinsip keseimbangan antara pencairan dana yang efektif dan keselarasan dengan kerangka pengaman (safeguards) sosial, lingkungan, dan keuangan. Ada tiga modalitas dalam instrumen pendanaan. Modalitas pertama adalah hibah. Hibah ini terdiri dari dua macam, hibah skala kecil (small grants) dan hibah skala besar (main grants). Modalitas pertama ini dimaksudkan untuk membangun persiapan, infrastruktur, dan kapasitas. Modalitas kedua adalah investasi. Modalitas ini akan dibentuk segera setelah Concept Note Pendanaan sudah selesai. Keuntungan (return) nantinya dimaknai dalam lingkup moneter dan unit kinerja. Modalitas ketiga adalah pembayaran berdasarkan kinerja (performance-based payment). Seperti halnya modalitas kedua, yang ketiga ini juga akan dibentuk setelah Concept Note Pendanaan selesai dibuat. Modalitas ini akan berjalan jika instrumen MRV sudah berjalan. Kelompok Kerja ini sedang mempersiapkan sebuah protokol safeguards. Mekanisme safeguards ini merupakan instrumen yang sangat penting untuk mengantisipasi penyelewengan atau dampak yang berlawanan dengan aspek sosial. Kelompok Kerja Instrumen Pendanaan berkaitan erat dengan Measuring, Reporting, and Verification (MRV) untuk mengantisipasi resiko yang tidak diharapkan serta mengurangi kemungkinan penyalahgunaan emisi. Protokol safeguards ini disusun melalui serangkaian forum diskusi kelompok yang melibatkan banyak pihak sebelum memuncak pada konsultasi nasional yang akan menghasilkan format protokol safeguards. Kerangka Waktu yang dibuat oleh Pokja Instrumen Pendanaan Concept Note Pendanaan diproyeksikan selesai pada Pebruari 2012. Concept Note ini meliputi struktur pendanaan (FREDDI), pendistribusian dana yang berjalan sesuai konsep Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia (PRISAI), mekanisme insentif dan pembagian manfaat, mobilisasi dana yang mencakup modalitas 1, 2, 3. Proses pendirian REDD+ Partnership Fund (FREDDI) direncanakan berjalan dari Pebruari sampai sebelum Juni 2012. Pendistribusian fasilitas hibah skala kecil (smal grants) berlangsung dari Pebruari sampai Juni 2012. Sementara pendistribusian fasilitas hibah skala besar (main grant) berlangsung dari Pebruari sampai Agustus 2012. Bulan ini sekaligus menjadi tenggat peluncuran FREDDI. Kemitraan REDD+, Modalitas kedua dan ketiga, dimulai dari Pebruari, Mei sampai Oktober 2012. Mobilisasi dana dimulai dari Mei, Juni, Agustus, Oktober sampai Desember 2012, yang bersamaan dengan rencana Pertemuan Para Pihak (COP) ke-18 di Doha, Qatar.
18
MRV Kelompok Kerja Monitoring, Reporting, and Verification (MRV) Pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) ini menjadi bagian penting dari keseluruhan inisiatif RED+ di Indonesia, karena melalui proses ini efisiensi dan efektifitas upaya biaya pengurangan emisi akan terukur dengan baik dan pembagian manfaat akan berjalan dengan adil. Lembaga ini harus independen namun berada dalam koordinasi Badan REDD+. MRV ini akan berfungsi sebagai clearing house yang mengumpulkan data dan informasi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan, mengkategorikan, dan mendistribusikannya pada pihak yang terkait. Pokja MRV akan menyusun sebuah lembaga yang memiliki sistem pencatatan (registry) pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan yang sudah diverifikasi oleh lembaga independen. Sistem pencatatan ini harus transparan dan dapat diakses oleh publik. Sistem MRV harus sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC). Sistem itu harus konsisten dengan emisi rujukan yang ditetapkan (reference level), transparan terhadap publik, memiliki kelengkapan informasi cadangan karbon di semua komponen ekosistem, dan akurat. Prinsip ini harus diterapkan agar laporan dapat diperbandingkan dengan laporan dari waktu atau lokasi yang berlainan. Secara nasional, mandat Pokja MRV antara lain adalah:
Merumuskan standar nasional sesuai protokol internasional dan best practice untuk pengukuran perubahan cadangan karbon hutan. Mengembangkan mekanisme koordinasi, harmonisasi dan validasi perhitungan karbon hutan dengan teknologi yang tersedia pada berbagai tingkatan secara transparan. Mengelola data spasial dan non spasial serta informasi yang terkait sehingga dapat diakses oleh para pemangku kepentingan. Mengembangkan mekanisme pelaporan kepada lembaga-lembaga nasional dan internasional yang sesuai serta para pelaku pasar. Mengembangkan sistem MRV non-karbon untuk menilai kinerja pengaman sosial dan lingkungan, termasuk keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan lainnya. Memberikan informasi kepada Pengelola Dana terkait dengan hasil MRV untuk proses pembayarannya. Membangun kapasitas M+R di jajaran pelaksana program/proyek/kegiatan REDD+ (untuk kebutuhan internal quality control upaya penurunan emisi). Mengkoordinasikan komunitas profesi verifikasi dalam kaitannya dengan status akreditasi, standar operasional dan prosedur verifikasi independen yang akan dikomunikasikan dengan instrument pendanaan. Membangun kapasitas kordinasi penyelenggaraan MRV di Badan REDD+ Daerah.
Lembaga MRV di tingkat nasional berkoordinasi dengan Badan REDD+ di tingkat sub nasional untuk membangun sistem MRV di tingkat sub nasional yang fungsinya merupakan cerminan dari lembaga MRV nasional. Langkah ini diperlukan untuk mempersiapkan prosedur agregasi data dan informasi dalam sistem MRV dengan pendekatan berjenjang (nested approach). Selanjutnya bersama dengan lembaga REDD+ sub nasional membangun reference level (RL) Interim untuk tingkat sub nasional dengan memanfaatkan berbagai inisiatif baik yang dilaksanakan oleh masyarakat, swasta maupun pemerintah sendiri. Rujukan sub nasional dapat dihitung dengan pendekatan yang sama namun disesuaikan dengan dinamika LULUCF dan kondisi ekosistem wilayah tersebut.
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+
19
Satuan Tugas REDD+
Langkah strategis yang harus dilakukan lembaga MRV yang terjabar dalam tahap-tahap sebagai berikut: 1. 2. 3.
Pelembagaan. Setelah Badan REDD+ dibentuk, Lembaga MRV harus segera dibangun dengan mandat seperti diuraikan di atas. Kelengkapan personalia dengan SDM yang handal dan jaringan kerjanya efisien akan terwujud pada pertengahan 2011. Rancang-bangun sistem MRV. Menghubungkan simpul-simpul informasi menjadi jaringan yang efektif perlu segera dilaksanakan dan diujicoba selama periode 2011-2013. Implementasi sistem. Dengan adanya Provinsi percontohan Lembaga MRV dapat segera memulai bekerjasama dengan pengembang, Badan REDD+ Daerah dan lembaga independen yang melakukan verifikasi.
Untuk mendukung dimulainya tahap pembayaran kinerja REDD+ Indonesia pada tahun 2014, Lembaga MRV dan kelengkapan perangkat kerjanya akan dibangun dengan target: 1. 2.
Januari 2013, Indonesia siap melaksanakan MRV tier 2 pada tingkat tapak (project site) dan landscape untuk untuk kebutuhan agregasi sub-nasional di provinsi percontohan Januari 2014, semua sistem siap mewujudkan VER dengan sistem MRV tier 3 di semua tapak proyek (project sites) dan MRV tier 2 pada tingkat landscape untuk agregasi sub-nasional dan nasional, terutama di 9 (sembilan) provinsi berhutan yang diprioritaskan.
Untuk mendukung strategi nasional REDD+, mekanism MRV berencana membuat semacam lembaga sekaligus sistem MRV di tingkat nasional pada 2011-2013. Rencana jangka menengah adalah memperoleh akurasi IPCC tier 3 yang dikaitkan dengan target capaian 26 percen dan 41 persen pada 2020. Sementara rencana jangka panjangnya, MRV akan menjadi sebuah lembaga independen untuk pengelolaan sumber daya hutan lestari sembari mengakomodir cepatnya laju perubahan di tingkat global. Pokja MRV juga merencanakan pembentukan sebuah sistem mekanisme MRV percontohan pada Nopember 2012 yang akan dilakukan di Kalimantan Tengah. Harapannya mekanisme ini akan menghasilkan informasi penting dan hal lain untuk dijadikan pelajaran. Kegiatan MRV percontohan dari pertengahan sampai akhir tahun akan dapat menghasilkan sebuah protokol untuk pelaksanaan MRV nasional sebelum dibentuk MRV independen di tingkat nasional pada 2021-2030.
PROVINSI PERCONTOHAN Kelompok Kerja Provinsi Percontohan Kelompok Kerja Provinsi Percontohan dalam program REDD+ di Indonesia merupakan satu hal yang mendasar dalam kaitannya dengan kucuran dana 1 milyar dolar AS dari Norwegia untuk masalah iklim di Indonesia. Sesuai dengan apa yang disebutkan dalam Surat Niat (LoI) pada 2010, Kalimantan Tengah sebagai provinsi percontohan sejauh ini sudah mendapatkan capaian yang cukup signifikan. Tim Pokja sudah berhasil bekerjasama dengan banyak pihak untuk mendirikan satu Sekretaris Bersama dan Pusat Pelatihan bersama yang melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, dan kantor-kantor dinasnya di tingkat daerah. Pokja ini akan memonitor kegiatan-kegiatan penambangan dan penebangan hutan, konversi hutan, penguraian masalah yang berkaitan dengan pengurangan emisi karbon, perijinan dan perundangan, serta masalah-masalah lain yang berkaitan dengan alih fungsi lahan (land swap). Namun hal utama yang sedang dikerjakan di Kalimantan Tengah adalah penyusunan strategi provinsi dan peta dasar sebelum dijadikan model untuk delapan calon provinsi mitra sampai dengan Nopember 2012.
20
Pokja ini menggarisbawahi pentingnya satu peta dasar Kalimantang Tengah yang akan dijadikan rujukan selama pelaksanaan REDD+ ini. Apalagi di provinsi percontohan masih sarat dengan peraturan dan perijinan penggunaan lahan yang saling tindih. Peraturan-peraturan yang ada tetap dianggap sebagai peraturan hukum yang berkekuatan hukum sekalipun menimbulkan pertentangan hukum dalam pelaksanaannya. Perundangan di sini misalnya Peraturan Daerah, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Kementerian Kehutanan. Tim Pokja sedang berupaya menggelar konsultasi ke 14 kabupaten yang melibatkan pemerintah dan lembaga nonpemerintah untuk memastikan kepemilikan satu peta bersama tersebut. Bahkan sedang diupayakan pula peta ini akan dimaksudkan dalam Peraturan Daerah. Pemetaan tersebut akan terus dikembangkan sambil tetap dikaitkan dengan rencana tata ruang wilayah. Pokja Provinsi Percontohan tetap melanjutkan beberapa agenda yang sedang dan akan dijalankan:
Pendirian Sekretaris Bersama (Sekber) dan Pusat Pelatihan di Kalimantan Tengah pada bulan Januari 2012 yang akan tetap difungsikan sampai akhir tahun ini. Penyusunan satu peta bersama dan pengumpulan informasi dasar sudah dimulai awal tahun 2012. Diharapkan proses pemetaan dan pengumpulan data tersebut akan berlangsung sampai akhir Juli 2012. Dalam hal ini akan dibuat satu peta bersama Kalimantan Tengah termasuk pemetaan klaim-klaim atas tanah adat. Tim Pokja Strategi sudah memulai safari keliling (roadshow) ke sembilan provinsi yang akan dijadikan percontohan dalam pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Bekerjasama dengan Pokja Provinsi Percontohan, tim ini mulai menyosialisasikan dan memberikan fasilitasi proses dan substansi Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP). Pokja Provinsi Percontohan memproyeksikan proses penyusunan SRAP berlangsung dari awal tahun ini sampai Oktober 2012. Melakukan inisiatif strategis seperti halnya Surat Perjanjian Kerjasama yang dimulai awal Maret sampai akhir Desember 2012. Pokja ini merencanakan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dengan delapan provinsi mitra yang dimulai dari Maret sampai Mei 2012. Pembuatan peta dasar dan pengumpulan data dasar di delapan provinsi yang akan mulai pada pertenghan April sampai dengan akhir Nopember 2012. Pokja juga menyadari akan pentingnya bekerja bersama dengan masyarakat setempat. Rencananya akan melakukan proyek khusus di bekas lahan padi seluas satu juta hektar. Pokja ini juga menyadari bahwa diperlukan pemetaan desa-desa yang akan dijadikan mitra dalam rangka mewujudkan masyarakat yang memiliki pola pencaharian hidup yang berkelanjutan.
Dalam konteks ini, pemetaan yang dihasilkan akan dipakai bersama baik di tingkat provinsi dan kabupaten. Gubernur Kalimantan Tengah bersedia memasukkan peta tersebut ke dalam Peraturan Daerah (Perda). Peta tersebut akan dipergunakan oleh banyak pihak terutama untuk perencanaan tata guna lahan hijau oleh banyak pemangku kepentingan. Karena itu, sampai dengan Juli 2012, akan diadakan konsultasi ke 14 kabupaten dengan melibatkan pemerintah dan LSM untuk memastikan kepemilikan peta tersebut. Hal tersebut juga menyangkut Rencana Tata Ruang Wilayah (spatial planning). Berikut adalah enam kegiatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan Rencana Induk:
Penanggulangan kebakaran hutan dalam rangka mengeliminasi kobaran api yang tak terkendali dari lahan Pengelolaan dan infrastruktur spasial. Tujuannya untuk membuat perencanaan spasial yang lebih rinci, sistem yang efektif untuk mengelola pembangunan spasial dan membangun infrastruktur makro.
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+
21
Satuan Tugas REDD+
Pengelolaan dan konservasi lahan gambut lestari. Tujuannya untuk merehabilitasi dan menjaga lahan gambut dan sumber-sumber daya hutan yang ada. Revitalisasi pertanian. Tujuannya untuk meningkatkan produktifitas pertanian atas sebuah lahan melalui diversifikasi dan intensifikasi sistem pertanian, meningkatkan praktek-praktek dan infrastruktur pengelolaan air dan tanah, serta pembatasan pengmbangunan di lahan-lahan yang baru. Pemberdayaan masyarakat dan pembangunan sosio ekonomi dengan tujuan utama untuk mengurangi kemiskinan. Pembangunan kelembagaan dan kemampuan yang dimaksudkan untuk membangun sebuah dasar dan kapasitas kelembagaan yang efektif untuk rehabilitasi, revitalisasi serta pengelolaan lahan bekas padi untuk jangka panjang.
MONITORING MORATORIUM Kelompok Kerja Monitoring Moratorium Instruksi Presiden (Inpres) No. 10/2011 mengenai moratorium selama dua tahun mengenai konversi menjadi konsesi penebangan dari hampir setengah dari keseluruhan tutupan hutan di Indonesia menjadi sebuah momentum strategis dalam konteks gerakan dunia untuk pengurangan emisi karbon dan gas rumah kaca. Sebagian dari Inpres itu menyaratkan Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) untuk memonitor pelaksanaan program REDD+ di Indonesia. Tugas tersebut menekankan pentingnya koordinasi antar lembaga pemerintahan demi tercapainya pengurangan emisi gas rumah kaca yang signifikan. Moratorium ini memerlukan sebuah reformasi untuk memperlambat laju deforestasi dan kerusakan hutan seperti yang disyaratkan dalam kesepakatan antara Indonesia dan Norwegia. Moratorium ini memacu Kelompok Kerja Moratorium ini untuk memberi perhatian khusus pada pelaksanaan moratorium. Penundaan ijin baru selama dua tahun akan memungkinkan terciptanya perbagikan tata kelola kehutanan khususnya di hutan primer dan lahan gambut di Indonesia. Bahkan dikatakan hal ini akan semakin mengedepankan pembangunan ekonomi hijau termasuk aspek-aspek sosial dan lingkungan sebagai akibat dari deforestasi dan kerusakan hutan. Tim Pokja ini menjalin kerjasama yang erat dengan Pokja Kajian dan Penegakan Hukum dalam rangka menyusun protokol mekanisme pengaduan masyarakat terutama yang menyangkut daerah yang termasuk dalam moratorium. Pokja ini juga mengadakan banyak lokakarya untuk mendapatkan definisi lahan gambut dan pedoman pengelolaan lahan gambut pada Januari 2012. Tak hanya itu, Pokja ini juga meminta Badan Standarisasi Nasional (BSN) untuk mengeluarkan Standar Nasional Indonesia untuk pemetaan dan tata kelola lahan gambut. Pokja Monitoring Moratorium bertanggungjawab dalam melaksanakan tiga rencana aksi penting sesuai dengan apa yang termaktub dalam Inpres. Pokja ini berencana menyosialisasikan penundaan ijin baru di banyak kementerian dan lembaga lainnya. setelah itu, Pokja juga mengembangkan kebijakan pada tata kelola perijinan untuk kawasan hutan yang disewakan. Selain itu, masalah penting lain adalah untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan lahan kritis begitu ada definis yang jelas mengenai lahan kritis. Aksi-aksi tersebut akan mempermudah pencapaian target penurunan emisi karbon 26 persen dari skenario business-as-usual pada thaun 2020. Agenda Penting Kelompok Kerja Monitoring of Moratorium
22
Tim teknis pembaruan Peta Indikatif Penerbitan Ijin Baru (PIPIB) telah menyusun rencana kerja menuju penerbitan PIPIB versi 3 yang direncanakan terbit pada 22 Mei 2012. Tim ini juga
berencana menerbitkan mekanisme kerja verifikasi lapangan yang melibatkan para pihak di luar Kementerian dan Lembaga. Bersama dengan Pokja Pengkajian dan Penegakan Hukum, Pokja Monitoring Moratorium merancang protokol penanganan pengaduan atau masukan dari masyarakat yang ada kaitannya dengan wilayah moratorium seperti tercantum dalam PIPIB. Merampungkan format delapan kolom (F8K) untuk pelaksanaan Inpres Moratorium bersama Kementerian dan Lembaga pada dua kali lokakarya pada 5 Januari dan 13 Januari 2012. Hasil evaluasi dalam format tersebut akan dilaporkan pada 5 April 2012. Mengadakan lokakarya untuk mendefinisikan lahan gambut serta menentukan pedoman tata kelola pemanfaatan lahan gambut pada 13 dan 20 Januari 2012. SNI Pemetaan dan Pengelolaan Lahan Gambut akan diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN).
Berikut beberapa agenda yang diusung oleh Pokja Moratorium dalam kaitannya dengan enam Kementerian dan Lembaga dalam kurun waktu Juni 2012 sampai Mei 2013: Kementerian Kehutanan
Diharapkan masalah penerapan penundaan ijin baru dapat diumumkan di website pada Juni 2012 dan Mei 2013 Dalam konteks penyempurnaan tata kelola perijinan yang ada, Keputusan Menteri tentang ijin pinjam pakai dan IUPHHK direvisi, misalnya penerapan insentif restorasi ekosistem pada Juni 2012. Sementara pada Mei 2013, Keputusan Menteri yang direvisi tersebut dilaksanakan. Perijinan kehutanan tentang Pengelolaan Hutan Lestari (SFM) dan verifikasi hukum produk kayu (SVLK) diberi sertifikasi. Dalam hal pengelolaan lahan kritis, Kementerian ini menghasilkan sebuah peta digital Hutan Tanaman dengan akses terbuka pada Juni 2012. Penerbitan perijinan baru untuk Hutan Tanaman dengan akses terbuka dilakukan pada Mei 2013. Penyempurnaan peta indikatif moratorium direalisasikan oleh Kementerian ini melalui MoU lintas sektoral agar dapat mengembangkan database ijin yang terintegrasi. Hal ini diikuti Keputusan Menteri tentang mekanisme umpan balik untuk peta moratorium pada Juni 2012. Sementara versi terakhir peta moratorium sebagai satu-satunya acuan untuk peta tutupan lahan ditetapkan pada Mei 2013. Tentu saja ini dibarengi dengan databasendan peta perijinan yang terintegrasi di Indonesia pada tahun yang sama.
Kementerian Lingkungan Hidup
Penyempurnaan tata kelola melalui Peraturan Pemerintah dalam hal perijinan lingkungan dan pengawasan terhadap lingkungan pada Juni 2102. Sementara pada Mei 2013 diharapkan Peraturan Pemerintah yang baru sudah dilaksanakan.
Kementerian Dalam Negeri
Mekanisme monitoring dan evaluation di lebih dari 400 pemerintah daerah dilakukan pada Juni 2012. Inventarisasi perijinan dari pemerintah daerah diharapkan selesai pada Mei 2013.
Badan Pertanahan Nasional
Dalam hal penundaan ijin baru, database dan peta sertifikat tanah yang berukuran besar di Kalimantan dipublikasikan melalui website pada Juni 2012. Untuk database dan sertifikat tanah dalam ukuran besar untuk seluruh Indonesia dipublikasikan di website pada Mei 2013.
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+
23
Satuan Tugas REDD+
Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN)
Instruksi dari Menteri Koordinator Ekonomi untuk memasukkan peta moratorium sebagai masukan dalam spatial planning pada Juni 2012. Pembangunan kapasitas untuk Penyelidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Kalimantan dan Sumatera dilaksanakan pada Mei 2013 untuk menegakkan pelaksanaan moratorium dan perencanaan spatial.
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal)
Dalam konteks penundaan ijin baru, Bakorsurtanal akan mengeluarkan peta tematik tutupan hutan dan gambut pada Juni 2012. Akan digunakan pula mekanisme yang menggunakan geoportal (ina.sdi.go.di) sebagai alat pengkonsolidasi peta antar sektoral. Pada Mei 2013 dibuat peta tematik dalam hal perijinan, perubahan tutupan lahan, peta tematik terinci pada daerahdaerah yang ditentukan.
Karena program ini menyangkut enam kementerian dan lembaga dengan 30 rencana, maka Pokja Monitoring Moratorium akan mengawasi jalannya program di atas tiap kuartal yang dimulai pada Maret 2012 melalui UKP4. Tetapi yang akan menjadi perhatian khusus pada kuartal pertama adalah upaya untuk membangun kerja sama formal yang melibatkan banyak kementerian berdasarkan kepercayan yang sudah dimulai tahun lalu seperti misalnya Tim Satu Peta. Beberapa capaian yang diharapkan dari kerja sama tersebut antara lain:
MoU mengenai pendaftaran dan pemetaan perijinan yang terintegrasi antar Kementerian Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, Badan Pertanahan, Badan Koordinasi Investasi, dan Satuan Tugas REDD+. Pengumuman pertama daftar aplikasi baru yang ditunda Peraturan Pemerintah mengenai Perijinan Lingkungan Inventarisasi citra satelit resolusi tinggi Mekanisme pengumpulan perijinan yang dikeluarkan oleh pemerintah-pemerintah daerah Pemanfaatan geoportal Bakosurtanal untuk pemberian sertifikasi oleh BPN
KOMUNIKASI DAN PELIBATAN PARA PIHAK Kelompok Kerja Komunikasi dan Pelibatan Para Pihak Kelompok Kerja Komunikasi dan Pelibatan Para Pihak bertanggungjawab untuk memberikan kesadaran masyarakat dan pemahaman akan program REDD+ di Indonesia. Dengan demikian akan memberi dukungan kepada Kelompok Kerja lain dengan menerjemahkan komunikasi dan persyaratan pelibatan dari masing-masing Kelompok Kerja menjadi strategi yang efektif dan rencana aksi yang dapat termonitor dan dapat dievaluasi pada saat dilaksanakan. Sebagai bagian dari strategi, Pokja Komunikasi dan Pelibatan Para Pihak sedang mengembangkan fasilitas dan kapasitas komunikasi dalam artian luas untuk mengumpulkan dan memberikan informasi mengenai pelaksanaan REDD+. Tambahan lagi, fasilitas dan kapasitas ini akan membantu tersampaikannya infromasi yang strategis kepada para pihak. Tujuannya adalah untuk mepromosikan perubahan paradigma secara efektif menuju ekonomi hijau.
24
Pelibatan para pihak menjadi strategi yang sangat penting untuk tata kelola yang baik, komunikasi lembaga REDD+, kesadaran masyarakat dan pendidikan. Hal ini berjalan seiring dengan pelaksanaan REDD+. Melalui strategi-strategi ini, Pokja Komunikasi berfungsi untuk menjembatani Satuan Tugas REDD+ dan para pihak baik di tingkat nasional maupun provinsi. Untuk membangun sebuah strategi komunikasi yang kuat, Pokja ini menganalisa kebutuhan dan lingkungan para pihak untuk memahami tujuan dan strategi komunikasi yang paling dapat dilaksanakan. Tujuannya untuk mengidentifikasi para pemangku kepentingan yang terkait dengan proyek REDD+ termasuk pemerintah, korporasi bisnis, organisasi kemasyarkatan, media nasional maupun internasional, negara donor, lembaga-lembaga pendukung bilateral maupun multilateral. Pokja ini juga memastikan bahwa semua fasilitas dna kapasitas yang penting untuk mengumpulkan dan memberikan informasi terkait pelaksanaan REDD+ tersedia dan berfungsi dengan baik. Pokja juga mengembangkan alat maupun taktik strategis untuk berkomunikasi dengan membuat website untuk Satuan Tugas REDD+, membuat brosur dan kalawarta. Tentu saja hal ini sejalan dengan upaya menjalin komunikasi efektif melalui internet dan jejaring sosial sembari mengkampanyekan pendidikan masyarakat serta menjalin interaksi yang proaktif pada media masa. Pokja Komunikasi bekerja bersama untuk membangun pelibatan yang terkoordinasi dan terintegrasi dengan para pemangku kepentingan yang mengajak semua pihak untuk selalu belajar dan berinovasi. Tujuannya untuk mempromosikan perubahan paradigma yang efektif menuju ekonomi hijau dalam konteks REDD+ melalui informasi strategis yang dikumpulkan dan diberikan. Tujuan dari Pokja Komunikasi di antaranya adalah:
Mewujudkan satu bahasa REDD+ yang terbangun dari kesepahaman antar semua kalangan yang terlibat Memastikan semua pihak mengetahu dengan jelas apa yang dikerjakan Pokja Komunikasi terkait dengan Pokja lain dalam Satuan Tugas REDD+ Memastikan semua pihak memberi masukan terhadap proses kerja Pokja Komunikasi Memastikan semua pihak dapat mengeatui bagaimana masukan mereka diperlakukan dan dimanfaatkan Memastikan semua lembaga yang dibangun melalui proses kerja Pokja Komunikasi memiliki pelibatan para pihak yang kuat sesuai kaidah tata kelola yang baik Menumbuhkan kesadaran akan paradigma baru yang dibangun sehingga semua kalangan yang mengusahakan lahan menkonservasikan hutan dan lahan gambut agar dapat menjadi lebih kompetitif secara ekonomi, keragaman hayati memiliki potensi ekonomi yang tinggi, masyarakat lokal/adat Memiliki daya saing dalam ekonomi hijau, mendorong pemerintah melakukan tata kelola sumber daya alam secara terbuka dan akuntabel di mata publik.
Komunikasi dipahami sebagai upaya untuk menyediakan persenjataan yang diperlukan oleh Pokja lain untuk ‘menaklukkan’ pikiran dan hati para pihak secara jujur, bermartabat, dan bertanggungjawab dalam rangka mewujudkan visi dan misi REDD+. Sementara pelibatan para pihak digambarkan sebagai sebuah panduan yang tentang bagaimana, kapan, kepada siapa melakukan kontak demi tercapainya satu tujuan yang telah ditetapkan. Output Komunikasi dan Pelibatan Para Pihak yang diperlukan dapat diuraikan seperti berikut:
Kelengkapan persenjataan mendasar meliputi: brosur untuk masing-masing Pokja, newsletter dua bulanan, media internet, website, dan jejaring sosial, hubungan yang aktif dan responsif dengan media masa diantaranya melalui konperensi pers, pendidikan publik dan kampanye untuk membangun pemahaman ekonomi hijau baik melalui film provinsi percontohan, kurikulum pendidikan formal, maupun iklan layanan masyarakat.
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+
25
Satuan Tugas REDD+
Penyebaran informasi dan kerja sama dengan para pihak kunci seperti misalnya: pemerintah dari tingkat nasional sampai daerah, masyarakat sipil, akademisi, LSM, media masa nasional maupun internasional, lembaga bilateral, multilateral, donor, industri dan pengusaha di sektor kehutanan, pertambangan, dan perkebunan.
Ada tiga langkah penting yang akan dilakukan dalam pelibatan para pihak, yaitu: 1. 2. 3.
Memetakan isu penting terkait REDD+ dan para pihak. Mengembangkan rencana pelibatan para pihak secara rinci untuk setiap isu dan setiap Pokja lain. Melaksanakan pelibatan para pihak yang terkoordinasi oleh masing-masing Pokja secara menyeluruh.
KAJIAN HUKUM DAN PENEGAKAN HUKUM Kelompok Kerja Kajian Hukum dan Penegakan Hukum Dalam konteks REDD+ di Indonesia, kelompok kerja bertanggungjawab untuk mengkaji dan mendorong amandemen peraturan atau bahkan mencabut perundangan jika diperlukan, terutama kalau peraturan tersebut dianggap sebagai penyebab utama deforestasi dan kerusakan hutan. Kelompok Kerja ini memiliki tiga mandat penting dalam misi dan tanggung jawab yang harus dijalankan, yaitu:
Berinisiatif untuk mengkaji produk dan kebijakan hukum. Tujuannya untuk menciptakan suatu harmonisasi hukum dan kerangka kerja hukum yang kondusif yang sejalan dengan REDD+
Mendukung suatu penegakan hukum yang efektif terutama yang menyangkut kebijakan moratorium, perijinan, resolusi konflik, dan masalah tenurial. Hal ini dilakukan agar tercipta suatu koordinasi efektif di kalangan para penegak hukum termasuk kepolisian, kejaksaan agung, KPK, Kementerian Kehutanan, Dinas Pajak, Kementerian Lingkungan Hidup. Penegakan hukum ini harus disertai dengan penyelidikan, penuntutan, pengajuan perkara ke pengadilan yang didasarkan pada nilai integritas dan profesionalsime. Tak lupa, Pokja juga memastikan bahwa ada kontrol publik terhadap penegakan hukum ini.
Memberi dukungan terhadap kelompok kerja lain dalam Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ di Indonesia. Secara garis besar, Pokja ini akan merancang semacam payung hukum, menyediakan penasihat hukum yang berkualifikasi, mengadakan kajian bersama, serta mengembangkan mekanisme pengaduan publik untuk mengelola pengaduan dari masyarakat.
Meningkatnya kasus sengketa tenurial yang menyangkut kehutanan juga mendorong Pokja ini untuk bekerja keras dalam mengidentifikasi peraturan-peraturan yang tidak sejalan dengan spirit REDD+ yang berdasarkan pada sebuah lingkungan yang adil dan bebas korupsi. Pokja ini kemudian memprioritaskan 10 kasus kehutanan harus dituntaskan sampai pengadilan menjelang akhir 2012. Karena itu, Pokja Penegakan Hukum memandang pentingnya keterlibatan publik agar tercipta satu penegakan hukum yang transparan. Pokja ini akan mendirikan semacam biro pengaduan masyarakat awal tahun ini. Hal ini dibarengi dengan rencana pembangunan kapasitas kepada para penegak hukum yang berurusan dengan pengelolaan kehutanan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah pada April tahun ini. Wajarlah kalau Pokja ini diawaki oleh berbagai aparat penegak hukum termasuk pejabat tinggi dari kepolisian, dari Kementerian Kehutanan, Kejaksaan Agung, ditambah beberapa pakar hukum dari lembaga-lembaga ternama.
26
Laporan kemajuan yang sudah dilakukan oleh Pokja Pengkajian dan Penegakan Hukum Kajian Hukum
Rancangan dan kerangka kerja untuk kajian hukum melalui asesmen tata kelola secara partisipatif (PGA) pada yang akhirnya akan diselesaikan pada Maret 2012 setelah melalui konsultasi publik di tingkat nasional dan daerah. Daftar inventarisasi legislasi yang harus diubah/dicabut/disempurnakan berdasarkan Strategi Nasional yang diharapkan akan selesai pada Juni 2012. Harmonisasi peraturan perundangan secara eksplisit sudah dinyatakan dalam Strategi Nasional. Sampai Maret 2012 proses assessment secara internal sedang dilakukan untuk peraturan dan undang-undang yang harus dikajiulang dengan melibatkan para pakar hukum independen. Draft akademik/legislasi yang harus diubah/dicabut/disempurnakan diharapkan akan selesai pada Oktober 2012. Dari daftar panjang perundangan dan peraturan tersebut, Pokja sedang dalam proses pemilihan dan penyempurnaan sampai Maret 2012.
Penegakan Hukum
Diharapkan Pokja akan membuat sebuah garis pedoman penegakan hukum yang mengusung pendekatan banyak pintu (multi door approach) pada Februari 2012. Sudah ada 63 kasus yang dikaji oleh Kementerian Kehutanan dan Satgas Mafia Hukum untuk menentukan pelaku yang dianggap paling serius melakukan pelanggaran hukum. Dari kasus tersebut, ada lima kasus yang sudah diangkat dan disetujui oleh tim Penegak Hukum Gabungan pada Maret 2012. Sementara itu kasus lain hasil investigasi Pokja Monitoring Moratorium juga sedang dikaji. Sementara itu pedoman pendekatan banyak pintu untuk penyelidikan kasus-kasus prioritas juga sudah diselesaikan pada bulan yang sama. Mekanisme pengaduan masyarakat diluncurkan pada Pebruari 2012. Draft mekanisme penerimaan masukan dan pengaduan masyarakat menyangkut penyempurnaan peta indikatif telah disetujui dan siap dipublikasikan melalu website pada Maret 2012. Bersamaan dengan rencana ini, Pokja juga sudah membentuk sebuah tim internal yang akan menindaklanjuti pengaduan tersebut. Strategi dan mekanisme konsolidasi perijinan sudah mencapai tahap akhir pada Maret 2012. Harapannya, seluruha perijinan di daerah moratorim di provinsi percontohan akan dkonsolidasikan bersama Pokja Monitoring Moratorium pada Desember 2012. Akan dibuat Nota Kesepahaman (MoU) dengan institusi terkait yang menyangkut pemanfaatn pendekatan banyak pintu di bidang penegakan hukum untuk kehutanan pada Desember 2012. Pokja juga akan menyiapkan 10 kasus prioritas yang akan diajukan ke pengadilan pada Desember 2012 Program penguatan kapasitas para penegak hukum akan dilaksanakan pada April 2012
Dukungan terhadap Pokja lain
Sebagaimana yang disebut dalam tugas dan tanggung jawabnya, Pokja Kajian dan Penegakan Hukum juga harus memberi payung hukum kepada Kelompok Kerja lain dalam Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+. Output penting yang akan direalisasikan adalah memberi payung hukum kepada Pokja Strategi, MRV, dan Instrumen Pendanaan. Khusus untuk Pokja Strategi, Pokja ini sudah menyelesaikan draft payung hukum untuk Peraturan Presiden pada Maret 2012. Sementara itu, Pokja Instrumen Pendanaan juga sudah memberikan masukan pada Maret 2012. Bersamaan itu pula, Pokja Penegakan Hukum juga sedang dalam proses untuk merekrut pengacara senior dengan pengalaman di bidang perbangkan dan keuangan untuk mendukung Pokja Instrumen Pendanaan.
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+
27
Satuan Tugas REDD+
Pada Maret 2012, sedang disebarkan secara internal opini hukum mengenai Keputusan Mahkamah Konstitusi. Sementara itu pada bulan yang sama juga sedang digalang opini hukum menyangkut Draft Peraturan Pemerintah mengenai Lahan Gambut dan Rawa. Semenjak Januari 2012, draft payung hukum untuk mendapatkan Peraturan Presiden untuk Strategi Nasional REDD+ sedang disempurnakan.
Lain-lain
Pada akhir Januari 2012, Kejaksaan Agung belum menunjuk orang secara formal untuk dijadikan anggota dari Pokja Kajian dan Penegakan Hukum Pada Maret 2012, Pokja ini berencana untuk menambah anggota yang secara khusus dapat memberi dukungan pada Pokja lain. Kementerian Kehutanan telah mengeluarkan surat keputusan (SK) penugasan tim penyelidik Maret 2012 Kapolri juga telah memberikan SK Penugasan tim penyelidik pada Maret 2012 Jaksa Agung juga mengeluarkan SK Penugasan Direktur Tindak Pidana Umum Lain (TPUL) sebagai anggota Pokja ini pada Maret 2012 Pada Maret 2012 proses penyelidikan di lapangan sedang berjalan Output yang diharapkan oleh Pokja ini adalah terbentuknya Nota Kesepahaman untuk menjalankan fungsi pendekatan banyak pintu dan mengoperasikan tim bersama penegakan kasus hukum.
PENGARUSUTAMAAN REDD+ PADA PERENCANAAN NASIONAL Kelompok Kerja Pengarusutamaan REDD+ pada Perencanaan Nasional Pada dasarnya, Kelompok Kerja (Pokja) Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Nasional, atau lebih mudah disebut Pokja Mainstreaming, dirancang untuk memastikan Strategi Nasional REDD+ terintegrasi ke dalam perencanaan nasional. Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan program-program REDD+ sebagai bagian dari pembangunan kehutanan dengan tata kelola yang lebih berkelanjutan. Prinsip ini mengandung implikasi bahwa Pokja ini bekerjasama dengan kementerian lain dan pemerintah daerah untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan baru dengan sumber daya keuangan yang tepat. Seperti diamanatkan oleh Perpres No. 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK), RAN GRK ini merupakan dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai target pembangunan nasional. Kegiatan RAN GRK meliputi bidang pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, dan pengelolaan limbah. Isu REDD+ merupakan bagian dari RAN GRK terutama sektor kehutanan dan lahan gambut. Strategi Nasional REDD+ bersifat mengikat dan diarusutamakan dalam dokumen perencanaan nasional. Strategi yang merupakan produk administrator negara ini mengatur dan mengikat instansi setingkat dan di bawahnya. Seperti diketahui, ada lima pilar utama dalam Strategi Nasional REDD+, yaitu kelembagaan dan proses; kerangka hukum dan peraturan; program strategis pengelolaan lanskap berkelanjutan, sistem pemanfaatan sumber daya alam lestari berikut konservasi dan rehabilitasi; perubahan paradigma dan budaya kerja; dan, pelibatan para pihak. Kelima pilar pokok tersebut diuraijelaskan dan dimasukkan ke
28
dalam terminologi rencana aksi operasional Rencana Aksi Nasional REDD+ dengan lokasi dan volume kegiatan yang jelas. Baru kemudian proses selanjutnya adalah memasukkan Rencana Aksi Nasional REDD+ tersebut ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2013, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dan Master Plan Percepatan dan Pengembangan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pokja Mainstreaming telah melakukan banyak kemajuan penting sejauh ini. Pokja ini telah memasukkan Strategi Nasional REDD+ ke dalam sistem perencanaan nasional 2013. Pokja yang anggotanya terdiri dari pejabat di Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Kehutanan, juga mencoba melakukan sinkronisasi awal prioritas-prioritas REDD+ ke dalam perencanaan strategis kementerian atau kelembagaan. Ke depannya, Pokja Mainstreaming bahkan sudah mulai menyosialisasikan strategi REDD+ melalui pertemuan-pertemuan dengan pemerintah daerah untuk mengembangkan rencana aksi daerah untuk pengurangan gas rumah kaca di seluruh provinsi di Indonesia. Proses pengarusutamaan memerlukan pembangunan kapasitas yang diperlukan bagi pemerintah daerah dan semua kementerian dan organisasi yang terkait. Tujuan pengarusutamaan REDD+ ke dalam sistem perencanaan nasional adalah untuk memastikan pengintegrasian dan keterpaduan program REDD+ sebaga unsur pembangunan kehutanan yang berbasis pengelolaan hutan lestari dalam mencapai sasaran pembangunan nasional. Sasarannya adalah:
Terintegrasinya kebijakan dan strategi REDD+ ke dalam RKP 2013 Terintegrasinya kebijakan dan strategi REDD+ ke dalam RKP dan RPJMN 2015-2019 Terintegrasinya kebijakan dan strategi REDD+ ke dalam pelaksanaan MP3EI tahun 2013 Peningkatan kapasitas kementerian atau lembaga dan pemerintah daerah untuk pengarusutamaan REDD+ ke dalam perencanaan
Sementara output yang diharapkan dari Pokja ini adalah:
Pengarusutamaan REDD+ ke dalam RKP 2013 pada Januari sampai April 2012 Buku pedoman pengarusutamaan REDD+ ke dalam RKP dan RPJMN 2015-2019 serta sosialisasi ke kementerian atau lembaga dan pemerintah daerah dari April sampai Desember 2012 Buku pedoman Greening MP3EI bidang REDD+ dan sosialisasi ke kementerian atau lembaga dan pemerintah daerah April sampai Desember 2012 Rancangan dan pelaksanaan pembangunan kapasitas dalam pelaksanaan pengarusutamaan REDD+ bagi kementerian atau lembaga dan pemerintah daerah April sampai Desember 2012
Kemajuan yang dilaporkan olek Pokja Mainstreaming sejauh ini adalah:
Telah diselesaikannya analisa pengarusutamaan Strategi Nasional REDD+ ke dalam sistem perencanaan nasional Identifikasi dan persandingan kegiatan prioritas Strategi Nasional REDD+ tahun 2013 terhadap RKP 2013 yang terfokus pada Kementerian Kehutanan telah diselesaikan. Perumusan masalah atau kesenjangan hasil persandingan kegiatan prioritas Strategi Nasional REDD+ terhadap RKP 2013 sedang dalam proses. Demikian pula proses penyusunan kerangka pedoman pengarusutamaan Strategi Nasional REDD+ ke dalam RKP dan RPJMN sedang berjalan. Penyusunan indikator, standar dan kriteria sebagai instrumen pembantu pengarusutamaan Strategi Nasional REDD+ belum dimulai prosesnya.
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+
29
KNOWLEDGE MANAGEMENT DAN SUPPORT Kelompok Kerja Knowledge Management dan Support Kelompok Kerja Knowledge Management and Support, agak sulit dicarikan padanan yang sesuai dalam bahasa Indonesia ini umumnya disebut Pokja Knowledge Management. Fungsinya adalah untuk menyimpan dan menyediakan informasi menyeluruh tentang REDD+ dan gerakan menuju ekonomi hijau di Indonesia yang didirikan sesuai prinsip keadilan, kesetaraan, dan tata kelola yang baik. Informasi tersebut diperlukan oleh para pemangku kepentingan di tingkat nasional dan provinsi termasuk para donor. Pokja ini beranggotakan para pakar di bidangnya, peneliti, dan ahli pustaka. Mereka bertugas mengidentifikasikan pengetahuan REDD+, mengambil intisari pengetahuan, dan menggunakan pengetahuan ini secara efektif. Tujuan jangka pendeknya adalah untuk membuat perpustakaan elektronik (e-library) secara online yang mengolah dan mengelola dokumen dan media lain yang berkaitan dengan REDD+. Tugas lain yang tak kalah penting adalah membuat bibliografi yang komprehensif. Pokja ini mengelola semua informasi yang masuk melalui sistem klasifikasi, taksonomi, dan kosa kata yang dikendalikan sehingga memperkaya pengguna untuk mengakses bahan-bahan yang ada dalam e-library. Tambahan pula, Pokja Knowledge Management dalam REDD+ ini didukung oleh para pakar di bidang content-management dan database sehingga dapat memberikan fasilitas layanan online untuk para pemangku kepentingan. Layanan tersebut akan termasuk gudang data yang sesuai untuk kebutuhan yang memerlukan akses cepat pada informasi penting tertentu. Informasi khusus dan terkendali ini dari data institusi atau organisasi yang terlibat dalam gerakan menuju ekonomi hijau. Pokja Knowledge Management akan bekerjasama dengan semua Pokja REDD+ terutama Pokja Komunikasi dan Pelibatan para Pihak dalam upaya menyediakan dukungan untuk memberikan informasi yang akurat dan relevan mengenai REDD+ yang dibutuhkan oleh para pemangku kepentingan. Kelompok Kerja Knowledge Management untuk REDD+ (KM-REDD+) Tujuan semula Pokja KM-REDDh untuk memetakan materi-meteri REDD+ yang ada dalam bentuk digital baik dari sumber-sumber nasional maupun internasional. Hal yang sudah dilakukan adalah: Mengidentifikasi website penting yang berkaitan dengan perjanjian, standar, dan pedoman internasional untuk REDD+; Mengkaji kembali kegiatan dan output kementerian atau lembaga di Indonesia yang mendukung kesiapan REDD+; dan Mengumpulkan informasi penting yang dihasilkan oleh Satuan Tugas REDD+ dalam rangka pendirian kelembagaan REDD+. Proses pemetaan materi dalam bentuk digital akan merupakan kerangka kerja mendasar bagi KMREDD+. Pemetaan tersebut mencakup sebuah paparan dari semua informasi yang ada disertai kategorisasi (taksonomi) yang membuat materi tersebut tertata dengan baik. Setelah langkah di atas, aktifitas yang sedang dilakukan oleh KM-REDD+ mencakup pengumpulan, pengklasifikasian, dan memberi catatan pada materi digital yang nantinya akan memudahkan pembuatan perpustakaan elektronik (e-library).
30
KM-REDD+ kemudian akan mengembangkan fasilitas yang mendukung pembuatan keputusan dengan adanya e-library tersebut. Fasilitas ini terdiri dari:
Sistem pencarian yang baik yang memungkinkan pengguna untuk mengakses informasi dengan cepat dan tepat; Database untuk pengelolaan informasi yang khusus termasuk hubungan dengan para pemangku kepentingan, database sumber legal dan inventarisasi proyek REDD+; dan Tambahan taksonomi untuk mengakses bidang-bidang tertentu mengenai strategi REDD+, instrumen pendanaan, MRV, dan lain sebagainya
KM-REDD+ kemudian bermaksud membuat semacam fasilitas pendukung pendidikan. Fasilitas ini akan melengkapi upaya yang tengah dilakukan dalam mengembangkan materi pendidikan tentang REDD+ yang akan dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Fasilitas ini akan menghadirkan materi-materi dalam bahasa daerah yang akan diberikan pada orang-orang yang terimbas oleh program REDD+ di Indonesia.
Aktifitas REDD+ 1. Kegiatan Provinsi Percontohan Menata Pembangunan Rendah Karbon di Provinsi Percontohan Jika menilik ke belakang sebelum program REDD+ dijalankan di negeri ini, ada sebuah realisasi yang menjadi indikasi kuat sebagai pengejawantahan perjanjian kerja sama antara Indonesia - Norwegia. Kalimantan dianggap memenuhi kriteria seperti yang diminta oleh Surat Niat (LoI). Dikatakan bahwa pada 2010 Indonesia harus menentukan satu provinsi yang memiliki hutan tropis yang luas. Pada saat bersamaan, provinsi tersebut juga sedang menghadapi deforestasi dan kerusakan hutan yang memiliki dampak besar dalam konteks emisi nasional jika program REDD+ dilaksanakan. Setelah melalui proses seleksi dan penilaian yang ketat yang dilakukan sebuah komite penilai independen, akhirnya Kalimantan Tengah dipilih sebagai provinsi percontohan. Pemilihan sebagai provinsi percontohan ini pun segera mendapat pengukuhan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat memimpin rapat kabinet pada 23 Desember 2010. Semenjak itu, Kalimantan Tengah melakukan langkah-langkah penting untuk mempersiapkan diri dalam pelaksanaan program REDD+. Ada serangkaian acara besar yang telah dilakukan. Misalnya kunjungan tokoh penting seperti Tasso Azevedo dari Brazil, Helen Clark dari UNDP, Menteri Lingkungan Hidup Norwegia Erik Solheim, dan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon pada 2011. Kunjungan mereka merupakan nilai penting yang mengangkat Kalimantan Tengah. Hal ini diperkuat lagi dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) pada 16 September 2011 yang melibatkan Satuan Tugas REDD+ dengan pemerintah daerah Kalimantan Tengah. ini merupakan sebuah gerakan autoritatif yang mendukung pelaksanaan program REDD+ lebih lanjut. Inisiatif ini pada Nopember tahun lalu. Di lain pihak, Gubernur Kalimantan Tengah memutuskan untuk mendirikan Komisi Daerah (Komda) REDD+. Gubernur waktu itu juga meresmikan Sekretariat Bersama (Sekber) bagi Satuan Tugas dan pemerintah setempat. Target pertumbuhan ekonomi 7 persen diikuti dengan pengurangan emisi karbon sebesar 26 persen pada 2020 menjadi tantangan bersama untuk merealisasikannya. Terlebih bagi Kalimantan Tengah dengan daerah yang memiliki tutupan hutan sangat luas, target tersebut akan menjadi tantangan berat yang harus dicapai tanpa melakukan penebangan hutan. Namun di sisi lain, Kalimantan Tengah
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+
31
Aktifitas REDD+
akan mendapat dukungan penuh dari Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+ dalam penyusunan strategi. Bagaimanapun, provinsi percontohan akan menjadi ujicoba program dan pendekatan REDD+. Disamping itu, provinsi ini juga menetapkan tujuh program pembangunan ekonomi hijau yang berkelanjutan yang bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah setempat. Satgas REDD+ dengan 10 Kelompok Kerja memberikan dukungan penuh agar pemerintah daerah memiliki peranan penting, kepemilikan, dan kepemimpinan yang merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan program REDD+. Tak hanya itu, Satgas juga mendukung agar Sekretariat Bersama dan pusat pelatihan REDD+ dapat mulai beroperasi pada bulan Januari dan Pebruari 2012. Sementara itu, pada bulan Juni dan Juli, provinsi ini diharapkan pula untuk membuat satu peta Kalimantan Tengah sembari mengembangkan pemetaan tanah adat sesuai strategi REDD+ tingkat provinsi. Komitmen semua pemangku kepentingan dan para pihak atas pembangunan rendah karbon sudah membawa perubahan penting di provinsi tersebut. Pada akhirnya REDD+ harus dimaknai lebih dari sekedar pengurangan deforestasi dan kerusakan hutan. Upaya yang dilakukan untuk mengubah pengemisi karbon menjadi net sink di lahan gambut akan memberi aliran karbon kredit yang stabil. Akhirnya hal ini akan memberi inspirasi orang tentang pembangunan berkelanjutan dan jalur-jalur alternatif demi kemakmuran bersama.
2. Papua REDD+ Perbaikan Lingkungan Untuk Anak Cucu Ketika orang berbicara masalah REDD+ di daerah, masyarakat secara spontan akan menyampaikan reaksi yang berkonotasi dengan kompensasi finansial. REDD+ dipahami secara sempit sebagai perdagangan karbon yang mendatangkan keuntungan seketika. Benarkah demikian? Harus diakui belum banyak pihak yang memiliki kapasitas dan pengetahuan teknis yang memadai tentang isu REDD+. Padahal sejak 2008, Pemerintah Papua Barat dan Carbon Strategic International (CSI) Australia sudah melakukan proyek percontohan perdagangan karbon. Mereka belum memahami secara mendalam komitmen nasional dan internasional terkait dengan isu perubahan iklim, mekanisme perdagangan karbon, moratorium pembalakan, penurunan emisi, termasuk manfaat dan imbasnya. Herman Orisu, Ketua Harian Gugus Tugas Low Carbon Development Papua Barat, mengakui bahwa orang masih menganggap Papua memiliki hutan yang luas dan kekayaan alam tak terbatas. Pola pikir inilah yang harus diubah, karena potensi alam akan habis. Masalahnya adalah bagaimana memanfaatkannya sebaik mungkin. “Tantangan terbesar sekarang adalah mengubah pola pikir eksploitatif terhadap hutan,” kata Herman. Hal itu dikatakan pada acara lokakarya fasilitasi dan sosialisasi penyusunan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) sebagai turunan dari Strategi Nasional Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+. Acara diadakan di Hotel Swiss-Bell Papua, Jayapura 23-24 Pebruari 2012. Tim Kelompok Kerja Strategi mengawal dan memasilitasi proses penyusunan SRAP yang dihadiri oleh seluruh dinas terkait di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Sekalipun SRAP nantinya berada di tingkat provinsi, tetapi pemerintah kabupaten dan kota harus terlibat di dalamnya. Merekalah yang akan melaksanakan program REDD+ sekaligus yang akan mendapatkan manfaat dan dampaknya. Maka menurut Herman diperlukan satu konsolidasi internal di tingkat provinsi yang kuat sebelum turun ke kabupaten. Namun terlepas dari kebutuhan akan pemahaman konsep REDD+, masyarakat sudah melakukan apa yang menjadi isu utama program ini. Masyarakat adat sebenarnya sudah melindungi hutan untuk tetap
32
lestari dan mengelola secara berkelanjutan. Ada hutan keramat yang terletak di hutan yang masih kental dalam kehidupan masyarakat adat. Hutan keramat itulah yang dianggap pemerintah sebagai kawasan hutan konservasi. Pemanfaatan hutan yang dilakukan masyarakat adat juga masih menjamin kelestarian dan keberlanjutannya. Mereka tidak mengeksploitasi hutan dengan teknologi canggih. Sebaliknya, mereka mengambil hasil hutan seperlunya untuk kebutuhan hidup mereka. Bahkan dikatakan oleh Mujianto, Direktur LSM PERDU Manokwari, “Masyarakat adat sekitar hutan justru lebih arif dalam menjaga kelestarian hutan alam untuk proyek REDD+.” Menanggapi hal tersebut, Agustinus Rumansara, Ketua Satuan Tugas Low Carbon Development Papua, menekankan pentingnya inisiatif agar isu ini segera disampaikan ke kabupaten, karena merekalah yang memiliki wilayah berhutan. Tetapi, yang terutama adalah bagaimana menjamin pelaksanaan program REDD+ ini. “REDD+ bukan semata-mata masalah perdagangan karbon. Kita tidak usah berbicara masalah kompensasi dalam pelaksanaan REDD+. Tetapi kalau kita laksanakan dengan benar, maka kita memperbaiki lingkungan untuk anak cucu dan masa depan kita. Soal ada uang atau tidak, itu urusan nanti,” kata Agus. Forum akhirnya menyepakati untuk menyosialisasikan REDD+ ke dalam bahasa sehari-hari yang dengan penduduk setempat. Forum memutuskan beberapa daerah yang akan dipilih untuk pelaksanaan REDD+. Untuk Provinsi Papua, REDD+ akan dilaksanakan di Asmat, Merauke, Jayapura, kerom, Sarmi, Mamberamo, Jayawijaya, dan Paniai. Sementara Provinsi Papua Barat, program rencananya dilakukan di Teluk Wondoama, Teluk Bintuni, Maibrat, Kaimana, dan Sorong.
3. Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Kaltim Hijau Tim Pokja Strategi Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+ 8-9 Maret 2012 melanjutkan safari keliling untuk memfasilitasi penyusunan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) di provinsi Kalimantan Timur. Acara fasilitasi ini dibuka dengan paparan mengenai gambaran kondisi umum Kaltim. Paparan itu antara lain mencakup, kondisi dan sebaran geografis, luas wilayah dan jumlah kabupaten/ kota serta aspek kependudukan, visi misi provinsi, gagasan Katim Hijau, dan kondisi hutan dan lahan di Kaltim yang terkait REDD+. Dalam paparan tersebut dikatakan bahwa total luas hutan di Kaltim sekitar 14,6 juta ha. Luasan itu terdiri dari hutan konservasi (4,33 juta ha), kawasan lindung (2,75 juta ha), produksi tetap (5,12 juta ha) dan produksi terbatas (4,6 juta ha). Sementara itu, disebutkan bahwa kawasan kritis mencapai 6,4 juta ha. Dari luas tersebut, 4,2 juta ha diantaranya berada di luar kawasan hutan. Sementara luas hutan mangrove disebut sebesar 883,38 ribu ha, dimana 328,70 ribu ha diantaranya kondisinya kritis. Dengan kondisi demikian, diakui bahwa Kaltim adalah ketiga dari lima pengemisi terbesar (324 juta tCo2e) di Indonesia dengan mayoritas emisi dari aspek penggunaan lahan. Sejalan dengan kondisi itu, diinformasikan bahwa pemerintah Kaltim telah memulai dan sedang mengembangkan konsep pembangunan Kaltim Hijau (Green Kaltim). Konsep ini merupakan proses pelaksanaan pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan dengan dasar tata-kelola kepemerintahan yang berwawasan lingkungan pula. Singkatnya, disebutkan, bahwa Kaltim Hijau sebagai perpaduan green development dengan green governance. Secara garis besar misi Kaltim Hijau ini diuraikan ke dalam empat poin kunci, yaitu meningkatkan kualitas hidup, seimbang antara ekonomi, lingkungan dan sosial budaya, mengurangi ancaman perubahan iklim dan lingkungan, mengurangi polusi dan penurunan kualitas ekosistem darat, laut, udara, dan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran akan konservasi sumber daya alam.
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+
33
Aktifitas REDD+
Kaltim berkomitmen untuk mencapai target nasional dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Dalam kerangka komitmen itu, maka dibentuk Kelompok Kerja (Pokja) REDD Kaltim berdasarkan Keputusan Gubernur No. 522/K-51/2008 yang kemudian diubah dengan Keputusan Gubernur No. 522/ K215/2010. Disebutkan bahwa keanggotaan pokja ini bersifat sukarela, dan multipihak terdiri dari perwakilan SKPD, LSM, swasta, dan akademisi. Pembentukan Pokja di atas merupakan langkah awal penentuan arah pelaksanaan REDD+. Dalam kaitan itu disinggung pula bahwa Stranas menjadi sumber rujukan lain terkait arah pelaksanaan REDD+ di Kaltim. Karena itu pual, penyusunan SRAP sebagai momentum yang baik bagi Kaltim dalam mengkonkretkan Wpenentuan arah pelaksanaan REDD+. Tugas pokok dan fungsi Pokja REDD+ antara lain berkaitan dengan penanganan data, sosialisasi, komunikasi, dan advokasi. Namun dalam hal ini REDD+ di Kaltim masih dalam tahap persiapan. Wajar kalau mereka mengakui belum ada draft dokumen SRAP. Tetapi setidaknya mereka sudah menyiapkan satu kerangka acuan (KA) penyusunan Renstrada REDD+ lengkap dengan draft outline dokumen SRAP yang telah disepakati. Pada akhir paparan, pihak Pemda Kaltim menyebutkan sejumlah hal yang menjadi tantangan Kaltim dalam penyusunan dokumen SRAP REDD+ ini. Tantangan yang mereka hadapi adalah antara lain belum ditetapkannya RTRW Kaltim, data dasar per sektor yang belum dikelola secara baik, ketidakkonsistenan peraturan perundangan dan perizinan, kelembagaan dan SDM yang masih lemah, lemahnya pengawasan, pengendalian dan penegakan hukum, belum memadainya aspek pendanaan, dan paradigma pengelolaan hutan yang masih melihat fungsi dan peran hutan secara sempit. Tetapi setelah diskusi panel berjalan, forum akhirnya menyepakati usulan penting menyangkut penyusunan SRAP. Mereka sepakat untuk menyusun dokumen SRAP dari tingkat kabupaten. Tentu ini memerlukan koordinasi dan sinergi antara pemerintah provinsi dan kabupaten, sekalipun tidak pula harus meliputi 14 kabupaten/kota di Kaltim. Dalam konteks pengurangan emisi, koordinasi dan sinergi ini menjadi penting, misalnya dalam menutup kemungkinan kebocoran (leakage). Kelompok proses dan kelompok susbstansi melakukan cek silang dan penyesuaian-penyesuaian yang dapat disepakati keduanya. Hal ini menyangkut tata waktu yang disepakati kedua kelompok diskusi tersebut. Kaltim berkomitmen untuk mencapai target nasional dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Dalam kerangka komitmen itu, maka dibentuk Kelompok Kerja (Pokja) REDD Kaltim berdasarkan Keputusan Gubernur No.522/K-51/2008 yang kemudian diubah dengan Keputusan Gubernur No.522/ K215/2010. Disebutkan bahwa keanggotaan pokja ini bersifat sukarela, dan multipihak terdiri dari perwakilan SKPD, LSM, swasta, dan akademisi. Pembentukan Pokja di atas merupakan langkah awal penentuan arah pelaksanaan REDD+. Dalam kaitan itu disinggung pula bahwa Stranas menjadi sumber rujukan lain terkait arah pelaksanaan REDD+ di Kaltim. Karena itu pula, penyusunan SRAP sebagai momentum yang baik bagi Kaltim dalam mengkonkretkan penentuan arah pelaksanaan REDD+.
4. Kalimantan Tengah Masyarakat Sadar Akan Perubahan Iklim Pada pertengahan Januari 2012, tim Pokja Provinsi Percontohan bersama Kemitraan dan LSM lokal, Kelompok Kerja Sistem Hutan Kerakyatan (Pokker SHK), mengadakan kunjungan ke dua desa di Kalimantan Tengah. Desa tersebut adalah Aruk, Kecamatan Timpah, Kabupaten Kapuas, dan Desa Tumbang Habangoi, Kecamatan Petak Malai, Kabupaten Katingan. Kunjungan ini dimaksudkan untuk belajar dari masyarkat lokal tentang manajemen hutan.
34
Desa Aruk ini berada sekitar 2,5 jam perjalanan darat dari Ibukota Kalimantan Tengah. Desa ini memiliki dataran yang ditutupi oleh hutan primer, sekunder, semak, dan rawa. Bahkan Desa Aruk juga merupakan areal eks pengembangan lahan gambut. Jalan lintas negara dan Sungai Kapuas menjadi akses utama transportasi di daerah ini. Menurut sensus 2011, Desa Aruk dihuni oleh sekitar 618 jiwa yang didominasi oleh Suku Dayak Ngaju. Sebagian besar penduduk hidup dari pertanian, perikanan, dan hasil hutan. Mereka umumnya berladang di kaki bukit yang berjarak 1-2 kilometer dari pemukiman. Sementara, dari sektor perikanan, penduduk umumnya memanfaatkan sungai dan danau. Hasil tangkapannya pun beragam sekalipun menggunakan alat tradisional. Untunglah, dengan adanya akses jalan darat yang memadai, banyak pedagang dari Palangkaraya yang siap membeli hasil tangkapan ikan tersebut. Hal ini diakui oleh penduduk Aruk, Armudi, yang juga menggantungkan hidupnya dari sungai. “Saat ini jalan darat ke Palangkaraya lebih lancar,” ujarnya. Masyarakat Desa Aruk juga menggantungkan hidup dari hasil hutan. Penduduk sudah biasa memungut bermacam-macam hasil hutan non kayu seperti misalnya gemor, akar pare, anggrek, dan sebagainya. Dari gemor itu, rata-rata penduduk dapat mendapatkan penghasilan sekitar Rp65.000 per hari dari 10 kilogram gemor yang mereka jual. Kulit kayu gemor (Nothaphoebe coriacea) ini diambil masyarakat saat air di hutan rawa gambut menyusut. Kulit kayu ini laris dijual karena dikenal bagus untuk bahan baku nyamuk bakar dan dupa hio. Sudah sepuluh tahun terakhir ini, masyarakat Desa Aruk tidak lagi menggantungkan hidup dari hasil pertanian belaka. Hujan yang sulit diprediksi membuat pola tanam padi tadah hujan kerap gagal. Tidak mengherankan jika banyak warga sekarang mengerjakan banyak hal sebagai mata pencaharian. “Hal yang menarik menurut saya adalah bagaimana warga Aruk melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim,” ujar Joko Waluyo, aktifis dari Kemitraan. Setelah Aruk, Tim ini melanjutkan kunjungannya ke Desa Tumbang Habangoi, Kecamatan Petak Malai, Kabupaten Katingan. Desa ini dapat ditempuh dari Palangkaraya lewat jalan darat selama 8 jam menuju ke arah hulu Sungai Katingan. Mayoritas penduduk Habangoi adalah Suku Ot Danum, salah satu suku terbesar di Kalimantan Tengah. Mereka umumnya menggantungkan hidup pada alam di sekitar hutan. Mata pencaharian kebanyakan penduduk adalah berkebun, memungut madu, berburu, dan berladang. Karet, rotan, durian, cempedak, rambutan merupakan contoh komoditas perkebunan yang mereka kembangkan. Uniknya, kawasan Habangoi ini sebagian besar terletak di areal IUPHHK (Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu). Sejak 2000, penduduk sudah hidup berdampingan dengan beberapa perusahaan, seperti PT. Sarana piranti Utama, PT Graha Sentosa, dan PT Fitamaya Asmapara. Namun, sejauh ini masyarakat setempat dan perusahaan yang beroperasi tetap menjaga relasi yang baik. Hal itu kentara sekali saat Joko Waluyo mencoba berinteraksi dengan mereka. “Relasi warga dengan perusahaan cukup baik dan harmonis. Ini dapat dipahami karena perusahaan HPH hanya memanfaatkan kayu dan bukan tanah,” imbuhnya. Tiga hari kunjungan ke masyarakat di Aruk dan Tumbang Habangoi memberi pesan kuat. Secara umum, masyarakat lokal menjalin relasi yang baik dengan perusahaan di sekitar pemukiman. Dalam konteks kesadaran akan perubahan iklim, khususnya untuk masyarakat Desa Aruk, hal ini memberi manfaat tersendiri untuk misi REDD+. “Setidaknya kesadaran mereka ini akan bermanfaat dalam penyebaran informasi tentang program REDD+ nantinya,” kata Heracles Lang, anggota Pokja Provinsi Percontohan.
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+
35
Aktifitas REDD+
5. Kalimantan Barat Kalbar: Heart of Borneo dan Emisi Ras Rumah Kaca Agenda fasilitasi penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) di Kalimantan Barat dibuka resmi pada 13 Maret 2012 oleh Kartius, SH., MSi., Assisten 3 Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Barat. Dalam sambutannya, ia menggambarkan perkembangan Provinsi Kalbar dalam rangka pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Kalbar telah membentuk sebuah tim (Draft SK Gubernur) untuk penyusunan dokumen Rencana Aksi Daerah (RAD) GRK Provinsi Kalbar sebagai tindak lanjut sosialisasi Rencana Aksi Nasinoal (RAN) GRK (PP No. 61/2011) beberapa waktu lalu. Selain tim, telah disiapkan pula beberapa langkah awal termasuk draft sistimatika laporan dan mekanisme kontrol pengorganisasian penyelesaian dokumen. Luas kawasan hutan Kalbar mencapai 9,2 juta hektar (ha). Artinya, Kalbar memilik peran penting untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi GRK. Dari luasan itu wilayah bervegetasi sekitar 50-60% saja. Dalam Perpres No. 3/2012 sebagian wilayah Kalbar tersebut dianggap sebagai kawasan konservasi. Hal ini semakin menekankan pentingnya Kalbar dalam melaksanakan agenda pengurangan emisi GRK. Selain itu, Kartius juga menyebutkan bahwa Kalbar sedang dalam proses penyiapan Raperpres (Rancangan Peraturan Presiden) yang akan menentukan Kalbar sebagai bagian penting dari Heart of Borneo (HoB). Hal ini kondusif bagi upaya pengurangan emisi GRK dan juga bagi strategi daerah untuk REDD+. Kalbar merespon tawaran fasilitasi agak sedikit berbeda, atau setidaknya tidak sepenuhnya merujuk pada TOR (Terms of Reference) generik yang disiapkan tim Pokja Strategi. Acara yang dirancang berlangsung selama dua hari ternyata disepakati hanya berjalan satu hari penuh. Acara fasilitasi di tengah hari sampai sore hanya terbatas dengan Tim Koordinasi Penyusunan RAD GRK yang dihadiri oleh sekitar 20-an orang. Sementara paparan perkembangan SRAP di pagi hari, sebagai titik tolak untuk fasilitasi, diisi dengan pemaparan perkembangan RAD GRK untuk beberapa SKPD lingkup Provinsi Kalbar. Pengurangan waktu fasilitasi dan jumlah peserta membuat diskusi kelompok ditiadakan. Tim Pokja Strategi mengantisipasi hal ini dengan membahas keseluruhan bahan diskusi kelompok ke dalam panel sampai acara berakhir. Di akhir acara disepakati bahwa Tim Koordinasi Kalbar menyiapkan proposal teknis untuk penyelesaian dokumen SRAP dengan materi yang telah dibahas, termasuk alokasi dana. Paparan terkait perkembangan inisiatif penyusunan RAD GRK terdiri dari enam SKPD lingkup Kalbar, yakni Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, Dinas Perhubungan dan Kominfo, Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Perikanan dan Kelautan. Panel pemaparan ini dipandu langsung Asisten 3 Sekda bersama dengan Kabid Sarpraswil Bappeda Kalbar, Ir Yuslinda, MM., yang juga menjadi Ketua Tim Koordinasi Penyusunan RAD GRK. Dalam pemaparan tersebut, masing-masing SKPD menjelaskan program dan kegiatan terkait pengurangan emisi GRK. Beberapa SKPD menyampaikan begitu detail, beberapa lain hanya garis besarnya saja. Namun paparan-paparan SKPD tersebut tidak memberi cukup informasi tentang perkiraan tingkat pengurangan emisi GRK yang dapat dicapai sampai 2014 nanti. Karena itu, merespon paparan setiap SKPD, Profesor Hariadi memaparkan intisari Strategi Nasional dalam konteks, situasi dan kondisi Kalbar. Disebutkan bahwa pencapaian komitmen nasional untuk pengurangan emisi sebesar 26% dan 41% pada 2020, Kalbar dapat mencoba melakukan simulasi. Misalnya dengan ekstrapolasi total luas hutan dan lahan yang ada, tingkat Deforestasi dan Degradasi hutan (DD) yang terjadi dan besaran ton ekuivalen yang dapat dicapai pada tingkat pengurangan DD tertentu Angka ini dapat dibagi secara proporsional ke dalam SKPD sehingga diperoleh gambaran atau perkiraan besar kontribusi per SKPD. Disarankan Tim Koordinasi RAD GRK Kalbar perlu ada semacam agenda bersama (antara WGS dan Tim Koordinasi RAD GRK Kalbar) untuk saling melihat dan mengevaluasi perkembangan penyusunan SRAP.
36
6. Sumatra Selatan Rangkul Masyarakat, REDD+ Bisa Sejahtera dan Terdepan Bersama Masyarakat Cerdas dan Berbudaya sebagai visi Provinsi Sumatera Selatan bukan isapan jempol. Setidaknya jika ditilik dari semangat yang kelihatan dari aparat pemerintahan yang terlibat dalam penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) sebagai bagian dari program dan strategi nasional REDD+. Fasilitasi dan sosialisasi Strategi Nasional REDD+ oleh Kelompok Kerja (Pokja) Strategi Persiapan Kelembagaan REDD+ nasional pada 8-9 Januari 2012 menjadi bukti. Para peserta lintas sektoral dari Pemerintah Provinsi, Daerah/Kota menunjukkan antusiasme untuk maju, terutama dalam konteks strategi pengelolaan hutan. Namun harus diakui konsep REDD+ yang diusung Pokja Strategi Nasional REDD+ belum dipahami semua. Apalagi jika dibawa sampai ke tataran masyarakat akar rumput. “REDD+ belum sampai ke masyarakat bawah. Tetapi konsep ini bisa disampaikan ke masyarakat asalkan kita bisa merangkul dan mengajak masyarakat,” ungkap Mulyadi, Kepala Seksi Rehabilitasi Kehutanan dari Dinas Kehutanan Muara Enim. Ia menyetujui perlunya kunjungan fasilitasi dari provinsi ke daerah kabupaten/kota. Muara Enim merupakan salah satu dari 10 kabupaten dan 4 kotamadya di Sumatera Selatan. Masalah muncul ketika berhadapan dengan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan lindung. Dari tahun ke tahun kebutuhan akan lahan meningkat. Akibatnya, perambahan hutan pun merebak. Tetapi uniknya, masyarakat di Muara Enim menyadari bahwa mereka sudah merambah hutan. Mulyadi mengisahkan bagaimana masyarakat menyadari bahwa mereka berkebun di lahan negara. Karena itu pada saat Kementerian Kehutanan memiliki program hutan desa dan hutan kemasyarakatan, mereka menerima dengan senang hati. “Saya dari dulu tidak pernah mengatakan mereka sebagai perambah. Mereka adalah bagian dari pengelola hutan. Sebab kalau saya mengatakan mereka perambah, persepsi dan respon mereka akan lain. Mereka akan ketakutan dengan orang kehutanan, karena mereka takut kalau diusir,” ujar Mulyadi. Keberhasilan menyosialisasikan program REDD+ ditentukan dengan cara pelibatan para pemangku kepentingan, terutama masyarakat lokal. Dalam pandangan Mulyadi, masyarakat di sekitar hutan adalah ujung tombak di lapangan. Dia menyontohkan program hutan desa yang diterima dan dikelola oleh masyarakat. “Mereka mau tidak mau sudah terlibat secara langsung dalam rehabilitasi hutan. Mereka juga akan terlibat dalam pengayaan hutan,” imbuh Mulyadi. Mereka menyadari bahwa mereka memanfaatkan hutan untuk kepentingan perut. Mereka juga mengetahui bahwa mereka tidak boleh menebang kayu. Tetapi mereka boleh mengambil hasil hutan selain kayu. Berdasarkan pengalaman di lapangan, pelibatan masyarakat tersebut membuat mereka berkomitmen untuk menjaga dan bertanggungjawab atas wilayah hutan tanpa harus melibatkan aparat dinas kehutanan. Tantangan lain adalah masalah tata batas yang belum definitif di kabupaten Muara Enim, khususnya. Di satu sisi mereka mengakui batas wilayah secara turun temurun sesuai hukum Belanda tahun 1934. Sementara tata batas sesuai peraturan-peraturan kehutanan semakin mengurangi batas yang sudah diyakini masyarakat. Tidak dipungkiri tantangan tetap menghadang sekalipun hal ini tergantung juga pemahaman di tingkat pemerintah untuk disampaikan kepada masyarakat di akar rumput. Yang jelas Mulyadi mengakui ada keterbatasan sumber daya manusia di tingkat birokrasi yang memahami isu REDD+ ini. Karena itu, untuk isu REDD+, Muara Enim masih memerlukan banyak pendampingan.
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+
37
Aktifitas REDD+
7. Kemitraan Tanya-Jawab tentang kerja sama REDD+ Norwegia-Indonesia Semenjak kerja sama antara Norwegia dan Indonesia bidang pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan ditandatangani, Kedutaan Kerajaan Norwegia telah menerima banyak pertanyaan mengenai cara kerja kemitraan tersebut dan alasan Norwegia memilih Indonesia. Anda dapat membaca pertanyaan dan jawaban berikut:
38
1.
Mengapa Norwegia memilih Indonesia? Baik Norwegia maupun Indonesia menyadari bahwa perubahan iklim merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi dunia dewasa ini. Pada Oktober 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkomitmen untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 26% melalui skenario bisnis seperti biasa (business as usual) pada 2020. Komitmen ini merupakan yang terbesar yang dibuat dari antara negara berkembang manapun. Indonesia telah menentukan target yang berani dan Pemerintah Norwegia ingin mendukung upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk merealisasikan komitmen tersebut.
2.
Komitmen keuangan apakah yang diberikan Norwegia? Norwegia dan Indonesia telah memasuki babak baru kerja sama dalam rangka mendukung upaya Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut. Norwegia akan mendukung upaya ini dengan bantuan dana sebesar 1 miliar dolar AS berdasarkan atas kinerja yang diraih Indonesia dalam kurun 7-8 tahun ke depan.
3.
Bagaimana kerja sama tersebut berlangsung? Kerja sama tersebut dijalankan dalam tiga tahap. Pada tahap pertama, dana akan diberikan untuk menyelesaikan strategi kehutanan dan iklim di Indonesia dengan meletakkan kebijakankebijakan dan reformasi kelembagaan sesuai pada tempatnya. Tahap kedua tujuannya adalah untuk mempersiapkan Indonesia untuk pengurangan emisi berdasarkan kontribusi yang diverifikasi. Sementara itu, pada saat yang sama berlangsung aksi mitigasi dalam skala yang lebih besar dimulai di proyek provinsi percontohan. Pada tahap ketiga yang dimulai pada 2014, mekanisme pengurangan emisi berdasarkan kontribusi yang telah diverifikasi akan dilaksanakan secara nasional.
4.
Dana digunakan untuk apa? Pada 2010 dana akan diberikan untuk menyelesaikan strategi nasional REDD+ di Indonesia. Tetapi, dana tersebut akan didistribusikan dalam kurun 7-8 tahun dan sebagian besar dana tersebut harus didasarkan pada pengurangan emisi yang diverifikasi di Indonesia.
5.
Berapa lama dana tersebut akan diberikan? Pendanaan akan dialokasikan berdasarkan atas kinerja yang disalurkan melalui sebuah mekanisme keuangan yang telah disepakati.
6.
Apakah Norwegia akan mendapatkan kuota karbon dari Indonesia? Tidak. Semua upaya yang dilakukan dalam Gerakan Kehutanan dan Iklim Norwegia (Norwegian Climat and Forest Initiative) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca merupakan komitmen tambahan Norwegia sesuai Kyoto Protocol. Ini bukan merupakan komitmen Norwegia dalam sebuah perjanjian iklim yang baru.
7.
Apakah kerja sama ini akan tetap berlanjut sekalipun tidak ada perjanjian dalam UNFCCC ketika Indonesia sudah siap memasuki fase kontribusi pengurangan emisi yang terverifikasi? Ya. Kerja sama akan tetap berjalan dan kontribusi Norwegia akan menjadi sebuah kontribusi pendanaan publik.
8.
Bagaimana kerja sama ini berdampak pada hak-hak masyarakat adat? Para perwakilan masyarakat adat dan masyarakat setempat akan ikut ambil bagian dalam perencanaan dan pelaksanaan strategi REDD+ Indonesia maupun juga dalam lembaga yang akan mengelola dana. Saat ini, kepemilikian tanah yang belum jelas hanya memberikan insentif yang kecil kepada masyarakat setempat dan masyarakat adat dalam kontribusinya atas pengelolaan hutan lestari. Hal ini terjadi khususnya ketika konsesi untuk pertambangan, penebangan, bubur kertas atau perkebunan kelapa sawit diberikan pada tanah yang dihuni dan dipergunakan oleh masyarakat adat dan masyarakat setempat tanpa mengetahui hak tanah tradisional dan tanpa kompensasi. Indonesia mencanangkan penundaan pemberian ijin baru selama dua tahun untuk konsesi baru pada konversi hutan alam dan hutan gambut menjadi perkebunan. Hutan alam sangat mendasar sebagai sumber mata pencaharian masyarakat dan penundaan konsesi baru untuk konversi hutan alam ini merupakan sebuah terobosan untuk pengelolaan hutan yang lebih lestari di Indonesia.
9.
Bagaimana Anda memastikan bahwa dana yang diberikan menyentuh sampai ke masyarakat lokal? Kerja sama REDD+ antara Norwegia dan Indonesia dilandasi atas prinsip bahwa para pemangku kepentingan yang relevan, termasuk masyarakat adat, masyarakat setempat, dan masyarakat sipil di Indonesia dilibatkan penuh dalam perencanaan dan pelaksanaan. Hal ini berarti bahwa mekanisme pembagian keuntungan yang transparan antara pemerintah nasional dan pemerintah daerah akan dibangun sejalan dengan peraturan baru di bidang ini yang ada di Indonesia. Pendanaan juga akan bergantung pada program yang sedang dilaksanakan menurut prinisip-prinsip yang disepakati ini, dan akan dinilai setiap tahun oleh kelompok pengkaji dari pihak ketiga yang independen.
10. Hasil-hasil apa yang diharapkan dari program ini? Program ini diharapkan akan memberi pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia secara signifikan sekaligus mengembangkan pengelolaan hutan dan penegakan hukum. Hampir 80 persen emisi gas rumah kaca di Indonesia dewasa ini bersumber dari deforestasi, perubahan dan pengeringan tata guna lahan, pembusukan dan pembakaran lahan gambut. Ini berarti bahwa Indonesia dapat mengurangi emisi CO2 lebih besar lagi dan bahkan melakukannya dengan lebih cepat daripada sebagian besar negara-negara lain. Hal ini merupakan kesempatan unik yang akan didukung oleh Kerja sama REDD+ antara Norwegia dan Indonesia. Sebagai bagian dari program ini, Indonesia akan melaksanakan penundaan pemberian ijin konsesi baru untuk konversi hutan alam dan gambut selama dua tahun. 11. Bagaimana hasil tersebut akan diukur? Kerjasama ini diukur berdasarkan kinerja (performance) baik dalam artian pengurangan emisi aktual dan dalam kaitannya dengan perubahan kebijakan dan reformasi kelembagaan yang diperlukan. Hal ini merupakan insentif yang kuat untuk meraih hasil. Setiap tahun, kelompok pengkaji dari pihak ketiga yang independen akan melakukan verifikasi hasil-hasil tersebut dan melaporkannya pada Komite Konsultasi Bersama (Joint Consultation Committe). Porsi dana terbesar akan didasarkan pada prinsip pengurangan emisi yang diverifikasi. Program ini dimulai dengan membangun mekanisme yang akan memungkinkan Indonesia untuk memonitor, melaporkan, dan memverifikasi pengurangan emisi menurut standar Panel Internasional Perubahan Iklim. Hal ini akan memastikan akuntabilitas dan bahwa pengurangan emisi dapat diyakini sebagai sesuatu yang nyata, tambahan dan permanen, dan tidak digantikan dengan emisi-emisi di bagian manapun di negara ini.
REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+
39
Aktifitas REDD+
12. Indonesia telah menetapkan target pengurangan gas rumah kaca sebesar 26 persen pada 2020 dan 41 persen dengan bantuan pendanaan Internasional. Kontribusi apakah yang dapat diberikan oleh program ini? Terlalu dini untuk memberikan angka yang pasti. Tetapi kami yakin bahwa kami dapat memberikan kontribusi yang penting terhadap pengurangan CO2 secara global melalui program ini. Misalnya, lahan gambut di Indonesia menyimpan 132 gigaton CO2. Jika dbandingkan, hutan terbesar di dunia, Amazon, dapat mengikat 168 gigaton CO2. Kalau Indonesia dapat mengurangi 1,20 gigaton emisi gas rumah kaca (pengurangan 41 persen) pada 2020 akan setara dengan sekitar 8 persen dari total pengurangan secara global. Hal ini diperlukan untuk mencapai tingkat emisi yang direkomendasikan oleh Badan Dunia Panel antarpemerintah urusan Perubahan Iklim. Hal ini diyakini oleh para ilmuwan sebagai satu langkah yang penting untuk mengatasi suhu global agar tidak naik melebihi 2 derajat. 13. Apakah dana itu untuk reforestasi? Pembukaan satu hektar hutan dapat mengakibatkan lepasnya 250 ton karbon, dan bahkan lebih besar lagi apabila dilakukan di lahan gambut. Sementara itu, penanaman hutan seluas satu hektar hanya dapat mengikat 5-10 ton karbon tiap tahun. Melalui kerja sama REDD+ antara Norwegia dan Indonesia, dana akan didasarkan pada pengurangan emisi yang terverifikasi dari deforestasi, degradasi hutan atau konversi/penghancuran lahan gambut. Kerja sama ini akan dilaksanakan secara bertahap yang dimulai dengan membentuk mekanisme-mekanisme yang yang memungkinkan Indonesia untuk melakukan pengawasan, pelaporan, dan verifikasi pengurangan emisi menurut standar yang ditetapkan Panel Internasional untuk Perubahan Iklim. Deforestasi, degradasi hutan dan konversi hutan gambut yang merepresentasikan sampai hampir 80 persen emisi gas rumah kaca di Indonesia, dan mencegah kegiatan-kegiatan yang menimbulkan emisi di daerah-daerah yang berhutan di Indonesia ini menggambarkan sebuah kesempatan terpadu pengurangan emisi lebih dari 570 juta ton CO2 tiap tahunnya. 14. Apakah Norwegia khawatir kalau dana yang diberikannya hilang karena korupsi? Indonesia memiliki rekam jejak yang sangat bagus dalam mengelola dana dari donor asing di bawah kepemimpinan Presiden Yudhoyono. Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) untuk Aceh dan Nias yang didirikan setelah bencana tsunami pada 2004 mengelola dana donor asing sebesar 7 miliar dolar AS sesuai dengan standar internasional. Prinsip pengelolaan yang kurang lebih sama juga akan diterapkan pada badan khusus yang akan didirikan untuk mengkoordinir pengembangan dan pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Indonesia dan Norwegia telah menyepakati bahwa dana akan dikelola oleh sebuah lembaga keuangan internasional terkemuka menurut standar internasional keuangan, tata kelola, lingkungan dan sosial. 15. Apakah program ini akan menghentikan penebangan liar di Indonesia? Menurut perkiraan, penebangan liar (illegal logging) di Indonesia merugikan negara lebih dari 2 miliar dolar AS per tahun dalam konteks pendapatan dan pajak. Salah satu tujuan dari program ini adalah untuk memastikan pengelolaan hutan lestari di Indonesia. Program ini bertujuan untuk membuat unit khusus yang akan menangani masalah penebangan liar dan menegakkan hukum untuk mengatasi penebangan liar dan perdagangan kayu dan segala jenis kejahatan hutan. Sumber: http://www.norway.or.id/Norway_in_Indonesia/Environment/-FAQ-Norway-Indonesia-REDD-Partnership-/
40
Satuan Tugas dan Kelompok Kerja REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) Jl. Veteran III No. 2, Jakarta 10110, Indonesia Tel. +62-21-3500234, +62-21-3522703 - Fax. +62-21-2314147 Site office: Tel. +62-21-34835414 - Fax. 62-21-34835415
42