POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES YOGYAKARTA
Vol. 8, No. 1, Agustus 2016
ISSN 1978-5763
SANITASI Jurnal Kesehatan Lingkungan Volume 8, Nomor 1, Agustus 2016
Penerbit : Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta Susunan Dewan Redaksi Penanggung Jawab Ketua Jurusan Kesehatan Lingkungan Ketua Penyunting Agus Kharmayana Rubaya Wakil Ketua Penyunting Siti Hani Istiqomah Penyunting Pelaksana Achmad Husein Heru Subaris Kasjono M. Mirza Fauzie Tata Usaha Sapto Harmoko Ronatin Widyastuti
Alamat Penerbit dan Redaksi
Jurusan Kesehatan Lingkungan, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta Jalan Tata Bumi No.3 Banyuraden, Gamping, Sleman Yogyakarta Telp./Fax. (0274) 560962 email :
[email protected] blog : jurnalsanitasi.blogspot.com website : www.keslingjogja.net
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa hasil penelitian atau hasil pemikiran yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan dan belum pernah diterbitkan oleh media lain. Naskah diketik mengikuti “Petunjuk Penulisan” yang ada di halaman belakang, Naskah yang masuk akan dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, serta istilah dan tata-cara lainnya.
Terbit pertama kali pada Agustus 2007 Periode penerbitan: 4 (empat) kali dalam setahun, setiap Februari, Mei, Agustus dan November
Vol. 8, No.1, Agustus 2016
ISSN 1978-5763
SEKAPUR SIRIH Alhamdulillah ya Allah, Tuhan yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, atas perkenan-Mu lah segala kemudahan senantiasa diberikan, sehingga Sanitasi dengan ajeg selalu terbit. Kali ini sudah memasuki volume yang ke-delapan. Dari Jurusan Kesehatan Lingkungan Poliktenik Kesehatan di Kota Pendidikan, Yogyakarta, redaksi selalu berupaya menjaga misi Sanitasi sebagai wadah publikasi hasil penelitian dan pemikiran yang berkaitan dengan ilmu Kesehatan Lingkungan, melalui rutin-terbitnya jurnal ilmiah ini. Untuk itu, masukan konstruktif berupa kritik dan saran bagi perbaikan kualitas Sanitasi selalu kami harapkan. Terima kasih dan Salam Kesling.
Yogyakarta, Agustus 2016 Redaksi
Vol. 8, No. 1, Agustus 2016
ISSN1978-5763
Vol. 8, No. 1, Agustus 2016
ISSN1978-5763
SANITASI Jurnal SANITASI Kesehatan Lingkungan Jurnal Kesehatan Lingkungan
Penggunaan Kursi Ergonomis untuk Mengurangi Keluhan Nyeri Otot Rangka (Musculoskeletal Disorders) pada Pekerja Laundry di Penggunaan Ergonomis untuk Mengurangi Keluhan Nyeri Otot Wilayah Kota Kursi Yogyakarta Rangka (Musculoskeletal Disorders) pada Pekerja Laundry di Dian Sugesti Ningsih, Lucky Herawati & Agus Suwarni Wilayah Kota Yogyakarta Pemberian Variasi Model Alat Pemungut Sampah terhadap Dian Sugesti Ningsih, Lucky Herawati & Agus Suwarni Frekuensi Memungut Sampah Murid TK Kudup Sari di Sidoluhur, Pemberian VariasiTahun Model2016 Alat Pemungut Sampah terhadap Godean, Sleman, Frekuensi Memungut Sampah Murid TK Kudup Sari di Sidoluhur, Jati Khairudin, Adib Suyanto & Sigid Sudaryanto Godean, Sleman, Tahun 2016 Pengaruh Berbagai Luas& Permukaan Daun Tanaman Lidah Mertua Jati Khairudin, Adib Suyanto Sigid Sudaryanto (Sansevieria trifasciata ‘Golden Hahnii) terhadap Penurunan Radiasi Pengaruh Luas DaunYogyakarta Tanaman Lidah Mertua Komputer Berbagai Ruang Kerja di Permukaan RS KIA Sadewa (Sansevieria trifasciata ‘Golden Hahnii) terhadap Penurunan Radiasi Dwi Larasati, Sri Muryani & Achmad Husein Komputer Ruang Kerja di RS KIA Sadewa Yogyakarta Dwi Larasati, Sri Limbah Muryani &Bulu Achmad Husein Pemanfaatan Ayam sebagai
1–8 1–8 9 – 15 9 – 15 16 – 21 16 – 21
Bahan Tambahan Pakan untuk Pertumbuhan (Berat dan Panjang) Ikan Nila (Oreochromis Pemanfaatan Limbah Bulu Ayam sebagai Bahan Tambahan Pakan niloticus) untuk Pertumbuhan (Berat dan Panjang) Ikan Nila (Oreochromis Pipit Ika Lestari, Yamtana & Bambang Suwerda niloticus) Penggunaan Kartu Putar dalam Pipit Ika Lestari, Media Yamtana & Bambang SuwerdaPenyuluhan untuk Meningkatkan Pengetahuan Mencuci Tangan Memakai Sabun pada Penggunaan Media Kartu Putar dalam Penyuluhan untuk Siswa SD Tegalrejo 2, Kota Yogyakarta Meningkatkan Pengetahuan Mencuci Tangan Memakai Sabun pada Ikfina Siti Hani 2, Istiqomah & M. Mirza Fauzie SiswaAgustina, SD Tegalrejo Kota Yogyakarta
29 – 34
StudiAgustina, Kadar Cholinesterase Darah Petugas Ikfina Siti Hani Istiqomahdalam & M. Mirza Fauzie
Fogging di Kabupaten Bantul Tahun 2016 Studi Kadar Cholinesterase dalam Darah Petugas Fogging di Hendrika Puspita Sari,Tahun Sardjito2016 Eko Windarso & Achmad Husein Kabupaten Bantul
29 – 34
Variasi Waktu Elektroda Alumunium Hendrika Puspita Elektrolisis Sari, Sardjito Menggunakan Eko Windarso & Achmad Husein
untuk Menurunkan COD Limbah “Batik Ayu” di Pijenan, Wijirejo, Pandak, Variasi Bantul Waktu Elektrolisis Menggunakan Elektroda Alumunium untuk Menurunkan COD Limbah “Batik Ayu” di Pijenan, Wijirejo, Pandak, Mia Nandha Sari, Tuntas Bagyono & Choirul Amri Bantul
35 – 42
Mia Nandha Sari, Tuntas Bagyono & Choirul Amri
43 – 50
JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta
22 – 28 22 – 28
35 – 42
43 – 50
PENGGUNAAN KURSI ERGONOMIS UNTUK MENGURANGI KELUHAN NYERI OTOT RANGKA (MUSCULOSKELETAL DISORDERS) PADA PEKERJA LAUNDRY DI WILAYAH KOTA YOGYAKARTA Dian Sugesti Ningsih*, Lucky Herawati**, Agus Suwarni** * JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Jl.Tatabumi 3, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY 55293 email:
[email protected] **JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Abstract Musculokeletal disorders is a pain at parts of skeletal muscles felt by a person which is caused by various factors, either internal or external. Musculoskeletal disorders is a common health problem found in industrial sectors, included in the informal ones, such as in laundry business. Ironing process in laundry activities takes long duration and is a monotonous work. Many workers experiencing pain in their skeletal muscle after ironing, of which ergonomic factor is considered as one of the causes. Therefore, the research was intended to study about the application of ergonomic chair in reducing the musculoskeletal disorders among laundry workers in Yogyakarta city by conducting a true experiment with pre-test post-test with control group design. As the study subjects were 30 ironing workers taken from 30 laundry services selected as the sample. They were then divided equally into two groups, i.e. 15 were allocated both in the treatment and the control groups. Proportional cluster random technique was used in the sampling process. The measurement of musculoskeletal pain employed a 15 item questionnaire based on the Nordic Body Map questionnaire. The data then were analyzed by using Mann-Whytney test with Į=0,05 and obtained a p-value of 0,0001 which shows that the pain difference between the control and the treatment groups was significant. In the treatment group, after using the ergonomic chairs, the pain was felt decrease at waist, back, left hand and left foot; meanwhile in the control group, the measurement results in pre-test and post-test were similar. Based on the results, it is advised that coordination between the Licensing Office and laundry owners is needed to provide ergonomic chairs for the workers to work comfortably and to avoid the muscular skeletal disorders. For further studies it is recommended to consider nutritional status, psychological state and workload of the workers when applying the ergonomic chairs. Keywords : ergonomic chair, skeletal muscle pain, laundry workers Intisari Gangguan musculoskeletal adalah keluhan pada bagian otot rangka yang dirasakan oleh seseorang yang disebabkan oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Keluhan nyeri otot rangka merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi di dunia industri, termasuk yang bersifat informal seperti usaha laundry. Proses menyetrika di laundry membutuhkan waktu pengerjaan yang panjang dan bersifat monoton. Banyak pekerja merasakan keluhan nyeri otot rangka sesudah melakukan kegiatan ini, di mana faktor ergonomi merupakan salah satu penyebabnya. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk mengkaji tentang penggunaan kursi ergonomis terhadap penurunan keluhan nyeri otot rangka pada pekerja laundry di wilayah Kota Yogyakarta dengan melakukan eksperimen sungguhan menggunakan rancangan pre-test post-test with control group. Subyek penelitian adalah 30 pekerja penyetrika dari 30 usaha laundry di Kota Yogyakarta yang terambil menjadi sampel. Subyek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu masingmasing sebanyak 15 untuk kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Pengambilan sampel memakai teknik proporsional cluster random sampling. Pengukuran keluhan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 15 item pertanyaan yang diambil dari kuesioner Nordic Body Map. Data dianalisis dengan Mann-Whitney test pada Į=0,05 dan diperoleh nilai p = 0,0001 yang menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara selisih keluhan pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pada kelompok perlakuan, setelah menggunakan kursi ergonomis, penurunan keluhan ditemui untuk pinggang, punggung, tangan kiri dan kaki kiri; sedangkan pada kelompok kontrol, hampir semua keluhan pada pengukuran pre-test dan post-test menunjukkan kesamaan. Berdasarkan hasil tersebut, diperlukan koordinasi antara Dinas Perizinan dengan para pemilik usaha laundry untuk menyediakan kursi ergonomis agar pekerja dapat beraktivitas dengan nyaman dan mencegah keluhan nyeri otot rangka. Adapun untuk penelitian lanjutan disarankan untuk memperhatikan status gizi, keadaan psikologis dan beban kerja dalam menerapkan kursi ergonomis Kata Kunci : kursi ergonomis, nyeri otot rangka, pekerja laundry
1
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8 No.1, Agustus 2016, Hal 1 – 8
PENDAHULUAN Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 164 ayat 1 menyatakan bahwa upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan1). Salah satu upaya kesehatan kerja adalah penerapan syarat-syarat kesehatan kerja, yang meliputi: kesehatan pekerja, persyaratan bahan baku, peralatan dan proses kerja yang ergonomis, agar pekerjaan dapat berjalan dengan optimal. Aspek-aspek ergonomi dalam suatu proses rancang bangun merupakan salah satu hal yang penting untuk menunjang produktivitas kerja dimana perancangan analisis ergonomi akan memberikan kenyamanan secara antropometri kepada pengguna 2). Penciptaan kondisi tempat kerja yang ergonomis, bertujuan agar pekerja dapat bekerja secara aman dan nyaman, terhindar dari penyakit akibat kerja termasuk gangguan pada otot seperti kesemutan, kelelahan dan nyeri. Data Depkes RI pada tahun 2005 menunjukkan sebanyak 40,5 % pekerja Indonesia memiliki keluhan gangguan kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaan, antara lain yaitu gangguan otot rangka sebanyak 16 % 3). Tampubolon 4) yang melakukan penelitian tentang keluhan musculoskeletal pada pekerja laundry di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali, memperoleh informasi bahwa keluhan yang dialami pekerja meliputi: bahu kanan 22 orang (73,33 %), betis kiri dan betis kanan, masing-masing 17 orang (56,66 %), serta pinggang dan bahu kiri masing-masing 16 orang (53,33 %). Musculoskeletal disorders merupakan salah satu penyakit akibat dari posisi atau sikap kerja yang salah 5). Postur kerja yang tidak alami, seperti selalu berdiri, jongkok, membungkuk, mengangkat dan mengangkut dalam waktu yang lama dapat menyebabkan ketidak-nyamanan dan nyeri pada salah satu anggota tubuh. Kelelahan akibat kerja juga dapat menimbulkan penyakit akibat kerja dan
2
kecelakaan kerja yang dapat menimbulkan cacat tubuh hingga kematian 6). Berdasarkan hasil survei pendahuluan pada 12 hingga 16 Desember 2015 dengan menggunakan kuesioner Nordic Body Map terhadap 10 pekerja dari tujuh usaha laundry yang ada di Kelurahan Nogotirto dan Banyuraden, diketahui bahwa 100 % pekerja di bagian penyetrikaan mengalami keluhan musculoskeletal disorders setelah menjadi pekerja laundry. Keluhan terbanyak dirasakan pada bagian bahu kanan dan betis kanan sebesar 50 %; lengan atas kanan, pergelangan tangan kanan, betis kiri, dan pergelangan kaki kanan, masingmasing sebanyak 40 %, serta bagian leher atas bawah, punggung, pinggang, siku kanan, tangan kiri, dan pergelangan kaki kiri, masing-masing sebanyak 30 %. Kegiatan penyetrikaan merupakan proses yang cukup lama dan tidak bisa ditinggal atau dilakukan sambil mengerjakan pekerjaan yang lain. Selain itu, pada proses penyetrikaan, pekerja terpaku hanya di satu pekerjaan dan satu tempat dengan gerakan otot yang berulang dan posisi kerja yang menetap, sehingga monoton, tidak ergonomis serta membutuhkan tenaga yang cukup banyak. Beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab nyeri otot rangka yang dikeluhkan pekerja laundry, salah satunya adalah kursi yang tidak ergonomis karena tanpa sandaran punggung. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Tarwaka 7), bahwa: pelaksanaan pekerjaan yang tidak benar dan tidak sesuai dengan norma ergonomi dapat menyebabkan kelelahan dan gangguan nyeri otot rangka akibat kerja atau ”Gotrak”. Kursi yang ergonomis akan mampu memberikan postur dan sirkulasi darah yang baik, sehingga membantu menghindari ketidak-nyamanan dan kelelahan 8). Selain itu, penggunaan kursi yang didesain khusus dapat membuat pekerja bekerja dengan sikap kerja yang dinamis 9). Dengan penelitian ini, permasalahan keluhan nyeri otot rangka tersebut dicoba untuk ditangani melalui pembuatan kursi yang ergonomis untuk pekerja laundry bagian penyetrikaan di wilayah Kota Yogyakarta.
Ningsih, Herawati & Suwarni, Penggunaan Kursi Ergonomis …
METODA Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen sungguhan dengan rancangan pre-test post-test with control group. Rancangan ini dipilih karena adanya pengelompokan anggota menjadi kelompok kontrol dan kelompok eksperimen yang dilakukan secara acak 10). Populasi penelitian adalah usaha laundry yang sudah berizin di wilayah Kota Yogyakarta, yang menurut data dari Dinas Perizinan ada 85 unit. Sampel sebanyak 30 usaha laundry, yang diperoleh melalui teknik proporsional cluster random sampling, dibagi menjadi dua kelompok yaitu, 15 ke dalam kelompok eksperimen dan 15 lainnya ke dalam kelompok kontrol. Responden yang diambil dari masing-masing laundry terpilih sebanyak satu orang pekerja pada bagian penyetrikaan, yang memenuhi kriteria inklusi yang ditetapkan, yaitu: perempuan, usia antara 30-35 tahun, masa kerja antara 1-3 tahun, dan tidak mempunyai riwayat penyakit yang berkaitan dengan otot rangka maupun tulang. Pengukuran keluhan nyeri otot rangka dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan sesudah perlakuan yang diobservasi selama tujuh hari dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 15 item pertanyaan berdasarkan kuesioner Nordic Body Map. HASIL Jumlah laundry di Kota Yogyakarta yang sudah berizin berdasarkan data dari Dinas Perizinan, adalah: di Kecamatan Mantrijeron 9 unit, Gondokusuman 6 unit, Gondomanan 1 unit, Kraton dan Pakualaman 2 unit, Ngampilan 2 unit, Kota Gede 7 unit, Umbulharjo 38 unit, Mergangsan 5 unit, Wirobrajan 6 unit, Tegalrejo 2 unit, Danurejan dan Gedong Tengen 3 unit serta Jetis 4 unit. Karakteristik Responden Responden bekerja kurang lebih selama 8 jam per hari, dimulai dari pukul 08.00 sampai dengan 16.00 WIB. Ada beberapa laundry yang menerapkan sistem kerja shift. Rata-rata berat pakaian
yang disetrika dalam sehari adalah 34,7 kg. Distribusi frekuensi karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Distribusi frekuensi responden menurut umur, masa kerja dan posisi kerja Variabel
n
%
30 tahun
5
16,67
31 tahun
1
3,33
32 tahun
0
0,00
33 tahun
1
3,33
34 tahun
9
30,00
35 tahun
14
46,67
Jumlah
30
100,00
1 tahun
13
43,33
2 tahun
8
26,67
3 tahun
9
30,00
Jumlah
30
100,00
Berdiri
6
20,00
Duduk tanpa senderan
18
60,00
Duduk dengan kursi pendek
4
13,33
Duduk dengan sandaran
2
6,67
Jumlah
30
100,00
Umur
Masa kerja
Posisi kerja
Dapat diketahui bahwa yang paling banyak adalah responden yang berumur 35 tahun (14 orang atau 46,67 %), memiliki masa kerja satu tahun (13 orang atau 43,33 %) dan posisi kerja pada saat menyetrika duduk dengan kursi tanpa sandaran (18 orang atau 60,00 %). Tingkat Keluhan Nyeri Otot Rangka Pengukuran keluhan nyeri otot rangka dilaksanakan tanggal 27 April hingga 17 Mei 2016. Jenis keluhan yang dirasakan responden tersebut tersaji pada Tabel 2. yang memperlihatkan distribusi jumlah keluhan yang dirasakan oleh masing-masing 15 orang responden yang ada di dalam kelompok kontrol dan kelompok perlakuan pada bagian-bagian tubuh yang berbeda, yang diperoleh dari hasil pengukuran pre-test dan post-test.
3
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8 No.1, Agustus 2016, Hal 1 – 8
untuk setiap responden di kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Selisih keluhan nyeri otot rangka setiap responden di ke dua kelompok penelitian Jumlah keluhan
Selsiih
Pre-test
Post-test
Selsiih
Klp kontrol
5
5
0
6
1
5
2
8
8
0
8
4
4
3
6
6
0
7
4
3
10
11
1
11
5
6
5
5
6
1
8
4
4
6
6
0
9
6
3
7
4
4
0
10
4
6
8
7
8
1
2
2
0
9
8
8
0
6
4
2
10
10
10
0
6
4
2
11
6
6
0
7
4
3
Pre-test
Post-test
Selsiih
Pre-test
Post-test
Selsiih
Jenis keluhan
Klp perlakuan
4
Kaku leher bag atas
6
6
0
7
7
0
6
Kaku leher bag bwh
6
6
0
5
5
0
Nyeri bahu kanan
14
14
0
13
8
5
Nyeri bahu kiri
5
5
0
11
8
3
Nyeri punggung
8
9
1
7
1
6
Nyeri pinggang
9
10
1
10
2
8
Nyeri bokong
1
1
0
2
1
1
12
4
4
0
8
7
1
Nyeri tangan kanan
13
13
0
11
8
3
13
12
12
0
8
7
1
Nyeri tangan kiri
5
5
0
6
2
4
14
6
4
2
5
2
3
Nyeri lutut kanan
5
4
1
5
4
1
15
7
6
1
5
4
1
Nyeri lutut kiri
5
4
1
5
3
2
Jumlah
104
104
6
106
62
44
Nyeri kaki kanan
12
13
1
9
6
3
Rata-rata
6,93
6,93
0,4
7,06
4,13
2,9
Nyeri kaki kiri
11
10
1
9
5
4
SD
2,31
2,52
0,63
2,21
1,68
1,8
Nyeri paha kanan
1
1
0
2
1
1
Nyeri paha kiri
1
1
0
3
1
2
Pada kelompok eksperimen, jumlah keluhan terbanyak yang ditemui sebelum digunakannya kursi ergonomis, adalah pada bagian bahu kanan, yaitu sebanyak 13 orang. Setelah penggunaan kursi, keluhan terbanyak dirasakan pada bagian bahu kanan, bahu kiri dan tangan kanan, masing-masing oleh delapan pekerja. Penurunan jumlah keluhan terbesar ditemui untuk bagian pinggang (8 orang) dan bagian punggung (6 orang) Selanjutnya, rekapitulasi hasil pengukuran jumlah keluhan nyeri otot rangka
4
Klp perlakuan
1
Tabel 2. Distribusi jumlah keluhan responden di ke dua kelompok penelitian Jumlah keluhan
Klp kontrol Post-test
No urut responden
Pre-test
Pada kelompok kontrol, banyaknya keluhan pada masing-masing bagian antara pre-test dan post-test, secara umum hampir semua sama. Namun demikian, untuk keluhan pada bagian kaki kiri, responden yang merasa nyeri, jumlahnya mengalami penurunan sebanyak satu orang. Keluhan terbanyak ada pada bahu kanan dan tangan kanan, yaitu berturut-turut sebanyak 14 dan 13 orang.
Tabel di atas menunjukkan, bahwa rerata selisih keluhan nyeri otot rangka pada kelompok kontrol sebesar 0,4 dengan Standard Deviation (SD) sebesar 0,63. Hampir semua jenis keluhan pada kelompok kontrol di awal dan akhir penelitian sama, namun ada juga yang mengalami penurunan, yaitu responden nomor 14 dengan dua keluhan; serta ada juga ada yang mengalami kenaikan yaitu responden nomor 4 dan 5, dengan satu keluhan nyeri. Rata-rata selisih keluhan nyeri otot rangka pada kelompok perlakuan sebesar 2,9 dengan SD sebesar 1,8. 14 dari 15 responden di kelompok ini mengalami
Ningsih, Herawati & Suwarni, Penggunaan Kursi Ergonomis …
penurunan jumlah keluhan. Penurunan yang tertinggi dirasakan oleh responden nomor 7 dan nomor 4 dengan enam keluhan nyeri, serta responden nomor 1 dengan lima keluhan. Adapun untuk responden nomor 8 tidak merasakan keluhan, baik untuk pre-test maupun post-test. PEMBAHASAN Analisis Penggunaan Kursi Ergonomis terhadap Keluhan Nyeri Otot Rangka Hasil analisis statistik dengan uji Mann-Whitney memperoleh nilai p sebesar 0,0001, yang menunjukkan adanya perbedaan penurunan keluhan di antara kedua kelompok penelitian. Ini berarti bahwa penggunaan kursi ergonomis berpengaruh secara bermakna terhadap penurunan tingkat keluhan nyeri otot rangka pekerja laundry bagian penyetrikaan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Iridiastadi 11), yaitu bahwa salah satu faktor utama terjadinya gangguan pada sistem otot rangka adalah tekanan yang disebabkan oleh posisi kerja. Selain itu, faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan kerja adalah yang berhubungan dengan aspek ergonomi atau sikap kerja, seperti pekerjaan yang berulang-ulang dan posisi kerja yang tidak ergonomis yang akan menyebabkan kelelahan, seperti timbulnya rasa nyeri pada otot 12). Hasil uji statistik tersebut juga sejalan dengan temuan penelitian yang dilakukan Asmari 13), bahwa penggunaan kursi ergonomis, secara bermakna mempengaruhi tingkat kelelahan dan produktivitas kerja di industri bulu mata palsu di Desa Gading, Playen, Gunung Kidul. Posisi berdiri pada saat menyetrika sedapat mungkin harus dikurangi karena seluruh berat tubuh tertopang oleh kedua kaki, dan kaki harus sejajar agar tubuh tidak tergelincir 14), sehingga harus diganti dengan posisi duduk. Selain itu, berdiri terlalu lama dapat menyebabkan penggumpalan di pembuluh darah vena sehingga pergelangan kaki akan membengkak karena aliran darah berlawanan dengan gaya gravitasi. Menurut Susihono14), sikap duduk yang baik dapat dicapai dengan meng-
gunakan kursi bersandaran yang tepat menopang punggung, sehingga otot-otot punggung terasa enak. Namun, pada kenyataannya, duduk terlalu lama ketika menyetrika juga menimbulkan keluhan pada pinggang dan tangan, sehingga kedua posisi kerja tersebut perlu dilakukan secara bergantian. Pekerja laundry biasanya lebih memilih berdiri ketika menyetrika. Menurut mereka, dengan posisi tersebut, kecepatan kerja menjadi lebih tinggi sehingga pakaian yang disetrika lebih banyak dibandingkan posisi duduk. Ketika duduk menggunakan kursi tanpa sandaran, bagian punggung, pinggang dan tangan akan cepat lelah karena tubuh dalam keadaan tegang. Sebaliknya, berdiri dalam waktu yang lama, bagian kaki, lutut dan bahu akan terasa kaku dan kesemutan, bahkan nyeri. Menurut Kroemer yang dikutip oleh Susihono 14), ketika sikap duduk dilakukan maka otot-otot bagian paha akan semakin tertarik dan bertentangan dengan bagian pinggul. Kondisi ini menyebabkan tulang pelvis akan ke belakang dan bagian lumbal akan mengendor, sehingga sisi depan invertebrate disk menjadi tertekan dan sekelilingnya menjadi melebar sehingga mengakibatkan munculnya rasa nyeri pada punggung bagian bawah. Salah satu faktor penyebab dari keluhan nyeri otot rangka oleh pekerja setrika adalah ketidak-sesuaian antara ukuran antropometri tubuh pekerja dengan ukuran kursi dan meja kerja. Untuk itu, perlu dilakukan penyerasian. Antropometri adalah ukuran karakteristik tubuh seseorang yang dijadikan dasar dalam merancang suatu peralatan atau sarana kerja agar sesuai dengan ukuran tubuh pekerjanya, yaitu kursi yang ergonomis berukuran tinggi 52 cm, panjang 46 cm, tinggi sandaran punggung 60 cm dan lebar alas duduk 54 cm. Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa 15 orang responden di kelompok eksperimen mengalami penurunan keluhan nyeri otot rangka setelah menggunakan kursi ergonomis selama tujuh hari, disebabkan karena pekerja merasa nyaman ketika menggunakan kursi dengan desain ergonomis tersebut. Selain
5
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8 No.1, Agustus 2016, Hal 1 – 8
itu, kondisi kursi yang digunakan sebelumnya tidak memiliki sandaran punggung dan pekerja biasanya menumpuk kursi agar tingginya sesuai dengan meja kerja yang digunakan. Dalam hal ini, untuk responden yang tidak mengalami perubahan keluhan, bisa jadi disebabkan karena pekerja tersebut sudah terbiasa dengan keluhan yang muncul, sementara bagian tubuh yang dirasakan antara sebelum dan sesudah menggunakan kursi ergonomis adalah sama. Selain itu, diketahui bahwa beban kerja yang diterima setiap hari oleh responden ini ternyata lebih banyak dibanding lainnya, yaitu lebih dari 50 kg. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan temuan Purnomo 15), yaitu terjadinya 87,8 % penurunan keluhan musculoskeletal pada pekerja di industri gerabah Kasongan Bantul dengan pendekatan ergonomi total pada sistem kerja. Pada kelompok eksperimen, keluhan terbanyak sebelum penggunaan kursi ergonomis adalah bahu kanan, yaitu sebanyak 13 orang. Hal tersebut disebabkan karena kursi yang digunakan tidak sesuai dengan ukuran meja dan tubuh pekerja, sehingga tangan tidak tertopang oleh meja dengan baik dan bahu terasa nyeri. Menurut Pheasant dalam Siswiyanti 16), permukaan bidang kerja yang terlalu tinggi akan menyebabkan postur tubuh pemakai menjadi tidak nyaman dan dapat melemahkan tubuh bagian atas atau membebani otot-otot bahu. Penggunaan Kursi Ergonomis dengan Penurunan Keluhan pada Punggung Keluhan pada punggung sebelum digunakannya kursi ergonomis dirasakan oleh tujuh responden, dan setelah penggunaan turun menjadi satu orang saja. Ini menunjukkan adanya penurunan jumlah keluhan pada punggung. Hal tersebut terjadi karena dibuatnya sandaran punggung pada kursi yang dipakai sehingga pekerja lebih nyaman karena bisa menyandarkan punggungnya ke kursi. Menurut Kroemer dalam Susihono 14), posisi kerja duduk menggunakan kursi tanpa sandaran, akan menaikkan tekanan pada invertebrate disk sebesar 1/3 hingga 1/2 kali lebih tinggi
6
dibanding posisi berdiri. Berdasarkan penelitian Koesyanto 17), sikap kerja duduk yang membungkuk dan didukung oleh desain kursi yang buruk, berisiko memunculkan penyakit akibat kerja berupa gangguan musculoskeletal yang dapat menimbulkan kekakuan dan kesakitan pada punggung. Penggunaan Kursi Ergonomis dengan Keluhan pada Pinggang Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluhan sakit pinggang pada kelompok perlakuan mengalami penurunan dari 10 menjadi hanya 2 orang. Hal tersebut karena dibuatnya sandaran pinggang pada kursi ergonomis yang sesuai dengan ukuran pekerja yaitu bagian atas sandaran tersebut tidak melebihi tepi bawah ujung tulang belikat, dan bagian bawah setinggi garis pinggul. Pada bagian pinggang pekerja sering merasa nyeri dan kesemutan akibat adanya siksa paksa dari penggunaan sarana kerja yang terlalu pendek atau tinggi 18). Dengan adanya sandaran pinggang yang ditambahkan pada kursi ergonomis yang dibuat, membuat pinggang menjadi dapat ditopang, sehingga ototototnya dapat diregangkan sesekali ketika pekerja istirahat dan bersandar. Keluhan Nyeri Otot Rangka Pekerja Laundry Bagian Penyetrikaan Pekerja laundry bagian penyetrikaan banyak yang mengeluh bagian tangan dan kakinya tiba-tiba merasa kesemutan dan leher terasa kaku jika terlalu banyak pakaian yang disetrika. Setelah penggunaan kursi ergonomis ini, masih ada dua responden yang mengeluh kesemutan pada bagian kaki. Hal tersebut terjadi karena kursi belum dilengkapi dengan pijakan kaki, demikian pula dengan meja yang digunakan, sehingga kaki mereka sedikit menggantung. Menurut Helmi 19), kekakuan locking merupakan penyakit kekakuan sendi yang terjadi secara tiba-tiba akibat blok secara mekanis pada sendi oleh tulang rawan. Apabila kelainan yang ada mengakibatkan ketidak-stabilan sendi maka penyebabnya dapat berupa kelelahan otot. Kondisi tersebut terjadi karena pe-
Ningsih, Herawati & Suwarni, Penggunaan Kursi Ergonomis …
kerja setrika melakukan aktivitas yang berulang-ulang dan monoton sehingga kontraksi otot akan terjadi dan menimbulkan rasa nyeri. Menurut Guyton dan Hall dalam Susetyo 20), pada saat kontraksi otot dibutuhkan ATP (Adenosin Tri Phospate), yang ketersediaannya tergantung pada ketersediaan oksigen dan zat makanan yang dihantarkan oleh sirkulasi intramaskular. Kontraksi otot yang terjadi secara kontinyu dan monoton akan menyebabkan okulasi intramaskular yang mengurangi produksi ATP sehingga terbentuklah asam laktat. Penurunan energi dan akumulasi asam laktat tersebut lalu menimbulkan rasa nyeri dan lelah. Selain faktor ergonomi, status gizi, psikologis dan beban kerja juga merupakan faktor bagi timbulnya rasa lelah dan nyeri 12). Faktor-faktor tersebut dalam penelitian ini belum dapat digambarkan karena tidak dikendalikan akibat keterbatasan waktu. Status gizi yang baik akan menyebabkan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh juga lebih baik, dan demikian pula sebaliknya. Keadaan psikologis seseorang juga mempengaruhi munculnya keluhan. Ketika kondisi jiwa sedang tidak stabil, atau mempunyai masalah dengan lingkungan kerja, maka kondisi fisik pekerja akan terpengaruh sehingga bekerja tidak nyaman dan cepat merasa lelah. Sementara itu, untuk beban kerja, Selama dilakukannya pengamatan penelitian, hanya diketahui berat rata-rata pakaian yang disetrika, yaitu pada kelompok perlakuan sebesar 34,7 kg dan pada kelompok kontrol sebesar 35 kg. Tingginya beban kerja dan diperberat oleh kondisi sarana kerja yang tidak ergonomis merupakan faktor dominan terhadap penurunan produktivitas kerja dan munculnya keluhan pada otot rangka 18). KESIMPULAN Rerata jumlah keluhan nyeri otot rangka pada pekerja laundry sebelum penggunaan kursi ergonomis adalah sebesar 7,06 dengan SD 2,21. Setelah kursi ergonomis digunakan, reratanya turun menjadi 4,13 dengan SD 1,68
Setelah menggunakan kursi ergonomis, distribusi keluhan pada responden mengalami penurunan jumlah yaitu pada bagian pinggang, punggung, tangan kiri dan kaki kiri. Penggunaan kursi ergonomis yang dilakukan pada penelitian ini berpengaruh secara bermakna (p-value 0,0001) terhadap penurunan keluhan nyeri otot rangka pada pekerja laundry di wilayah Kota Yogyakarta. SARAN Dinas Perizinan Kota Yogyakarta perlu berkoordinasi dengan para pemilik laundry untuk menyediakan kursi ergonomis, yaitu yang menggunakan sandaran punggung, agar pekerja merasa nyaman ketika bekerja sehingga mengurangi munculnya keluhan nyeri otot rangka yang disebabkan oleh posisi kerja yang kurang baik. Untuk melanjutkan penelitian ini, disarankan perlu memperhatikan kondisi status gizi, keadaan psikologis dan beban kerja pekerja, ketika menerapkan penggunaan kursi ergonomis ini untuk mengurangi keluhan nyeri otot rangka. DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3.
4.
Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, 2009. (http:// idn91185.pdf Restantin, N. Y., Ushada, M., Ainuri M., 2012, Desain prototipe meja dan kursi pantai portabel dengan integrasi pendekatan ergonomi, Value Engineering dan Kansei Engineering, 14(1). Departemen Kesehatan RI, 2006. Profil Kesehatan Indonesia 2005 (http://resources/download/pusdatin/ profil-kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2005.pdf, diakses 12 Januari 2016). Tampubolon, J. S., dan Adiatmika, I. P. G., 2014. Keluhan muskuloskeletal pada pekerja laundry di Kecamatan Denpasar Selatan, Bali, e-Jurnal Medika Udayana, hal. 1–9 (http:// ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/ view/8862, diakses 4 Desember
7
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8 No.1, Agustus 2016, Hal 1 – 8
5.
6.
7.
8.
9.
10. 11. 12. 13.
8
2015). Ulfah, N. Harwanti, S. Nurcahyo, P. J., 2014. Sikap kerja dan risiko musculoskeletal disorders pada pekerja laundry, Jurnal Kesehatan Masyarakat, hal. 313–318 (http:// Jurnalkesmas.ui.ac.id/index.php/kesmas/ article /view /371). Wibowo, H., 2013. Studi Ergonomi tenang Keluhan-Keluhan Fisik yang Dialami Karyawan di Unit Perpustakaan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Program Ilmu Perpustakaan dan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ( http://diglib.uin.saka.ac.id/ideprint/8889.downdload.portalgaruda. org/article. php?article=131645 Tarwaka. 2011. Ergonomi Industri, Dasar-dasar Pengetahuan Ergonomi dan Implementasi K3 di Tempat Kerja, Harapan Press, Surakarta. Astutik, S. S., 2015. Hubungan antara desain kursi kerja dengan keluhan nyeri punggung bawah pada pekerja bagian penenun di CV Pirsa Art Pekalongan, Unnes Journal Of Public Health, hal. 61–68 (http:// journal. unnes. ac.id/sju/index.php/ ujph, diakses 21 Januari 2016). Dinata, K. I. M., Adiputra, N, dan Adi atmaka, I. P. G., 2015. Alternating sitting-standing posture decrease fatigue, musculoskeletal complaint and increase productivity of ironing women worker in household, The Indonesian Journal of Ergonomic, hal.30-40 (http://ojs. unud.ac.id/index.php/jei/article/view/120262015, diakses 10 Desember 2015). Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta Jakarta. Iridiastadi, H., 2014. Ergonomi Suatu Pengantar, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Suma’mur, 2009. Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes), CV. Sagung Seto, Jakarta. Asmari, T. N., 2014. Pengaruh Penggunaan Kursi Ergonomis terhadap Tingkat Kelelahan dan Produk-
tivitas Kerja pada Industri Pembuatan Bulu Mata Palsu Desa Gading Playen Gunung Kidul, Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta. 14. Susihono, W., Prasetyo, W., 2012. Perbaikan postur kerja untuk mengurangi keluhan musculoskeletal dengan pendekatan Metode Owas, Jurnal Teknik Industri, hal.1-13 (http: //journal.uad.ac.id, diakses 4 Desember 2015. 15. Purnomo, H., Manuaba, A., Adiputra N., 2007. Sistem kerja dengan pendekatan ergonomi total mengurangi keluhan muskuloskeletal, kelelahan dan beban kerja serta meningkatkan produktivitas pekerja industri gerabah di Kasongan, Bantul, Indonesian Journal Biomedical of Science, hal.1-12 (http://ojs.unud.ac.id /index/ php/ijbs/article /view/3659, diakses 7 Januari 2016). 16. Siswiyanti., Perancangan meja kursi ergonomis pada pembatik tulis di Kelurahan Kalinyamat Wetan Kota Tegal, Jurnal Ilmiah Teknik Industri Universitas Pancasakti Tegal, hal. 179-191 (http://journals.ums.ac.id/index.php/jiti/article/view/6442013, diakses 10 Desember 2015). 17. Koesyanto, H., 2013. Masa kerja dan sikap kerja duduk terhadap nyeri punggung, Jurnal Kesehatan Masyarakat, hal. 9-14 (http://journal.unnes.ac.id/ nju/index.php/kesmas). 18. Rahmawati, Y. 2011. Sikap kerja duduk terhadap cummulative trauma disorders, Jurnal Kesehatan Masyarakat, hal. 7-13. 19. Helmi, Z. N., 2013. Bahan Ajar Gangguan Musculoskeletal, Penerbit Salemba, Bandung. 20. Susetyo, J., Oes, T. I., Indonesiani, S. H., 2008. Prevalensi keluhan subyektif atau kelelahan karena sikap kerja yang tidak ergonomis pada pengrajin perak, Jurnal Teknik Industri IST AKPRIND, hal. 141-149 (http:// jurtek.akprind.ac.id/sites/default/files/141_149_joko_s.pdf, diakses 9 Juni 2016).
PEMBERIAN VARIASI MODEL ALAT PEMUNGUT SAMPAH TERHADAP FREKUENSI MEMUNGUT SAMPAH MURID TK KUDUP SARI DI SIDOLUHUR, GODEAN, SLEMAN, TAHUN 2016 Jati Khairudin*, Adib Suyanto**, Sigid Sudaryanto** * JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Jl. Tatabumi 3, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY 55293 email:
[email protected] ** JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Abstract Waste management can involve the entire community, including children. The involvement of very young children is a good first step for them to learn how to handle waste and to be responsible for caring the environment. The average age of Kudup Sari Kindergarten’s students, which is located in Sidoluhur, Godean, Sleman, is 6 years old. Children at this age are in the stage of imitating and receiving new knowledge easily. Therefore, it is expected that the children can easily apply the new received knowledge. This study was aimed to reveal the most preferred model of trash picking device among kindergarten children by conducting a quasi experiment which employed post-test only design. The population and sample of the study were all 41 students in the Class B of Kudup Sari Kindergarten. The observation was held in 10 times to observe the number of children who pick the trash up that using the two picking models. Descriptively, the difference of frequency average of trash picking is obvious, i.e. 4 times with the piercing model against 37 times with the clipping model. The result of independent t-test at 95 % level of confidence confirmed the difference since the obtained p-value that was smaller than 0,001, showing a significant disparity between the two averages. Therefore, this study shows that the clipping model is much more preferred by Kudup Sari Kindergarten students to pick trash than the piercing one. Keywords : trash picking device model, trash picking frequency, kindergarten students Intisari Penanganan sampah dapat melibatkan seluruh komponen masyarakat, termasuk anak-anak. Melibatkan anak usia dini merupakan langkah awal yang baik untuk pembelajaran penanganan sampah agar peduli terhadap lingkungan. Murid TK Kudup Sari rata-rata berusia 6 tahun, yaitu. usia yang berada dalam tahap meniru dan mudah menerima ilmu pengetahuan baru, sehingga diharapkan mereka lebih mudah untuk mengaplikasikan pembelajaran yang diperoleh. Studi ini bertujuan untuk mengetahui model alat pemungut sampah yang paling disukai murid TK melalui penelitian yang bersifat kuasi eksperimen dengan desain penelitian post-test only. Populasi dan sampel penelitian ini adalah seluruh 41 orang murid Kelas B TK Kudup Sari yang terletak di Sidoluhur, Godean, Sleman. Pengamatan dilakukan sebanyak 10 kali ulangan dan dilakukan dengan cara mengamati jumlah anak yang memungut sampah dengan menggunakan dua model alat pemungut yang disediakan. Secara deskriptif terlihat jelas perbedaan rerata frekuensi memungut sampah yang dilakukan oleh siswa TK, yaitu empat kali menggunakan model alat tusuk dan 37 kali menggunakan model alat penjepit. Hasil uji t-test bebas pada derajat kepercayaan 95 % mengkonfirmasi hal tersebut karena nilai p yang dihasilkan lebih kecil dari 0,001 sehingga perbedaan tersebut sangat signifikan, di mana alat pemungut sampah model penjepit jauh lebih disukai dibandingkan alat pemungut sampah model tusuk. Kata Kunci : model alat pemungut sampah, frekuensi memungut sampah, murid taman kanak-kanak
PENDAHULUAN Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, dinyatakan bahwa sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Berdasarkan ba-
han asalnya sampah dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu sampah organik dan sampah anorganik 1). Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, berbanding lurus dengan pertambahan jumlah sampah. Selain itu, pola konsumsi masyara-
9
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.1, Agustus 2016, Hal 9 – 15
kat, peningkatan kemampuan produksi, dan kegiatan pemasaran turut menyebabkan tingginya timbulan sampah. Berbagai kegiatan tersebut memberi kontribusi dalam menghasilkan jenis sampah yang semakin beragam, seperti sampah kemasan yang berbahaya dan/atau sulit diurai oleh proses alam 2). Sampah merupakan salah satu masalah lingkungan yang belum dapat ditangani dengan baik, terutama di negaranegara yang sedang berkembang. Sampah yang tidak dikelola dengan baik dapat menurunkan etika dan estetika lingkungan, menimbulkan bau tidak sedap, serta berperan sebagai tempat berkembangnya berbagai bibit penyakit 3). Menurut UU Nomor 18 di atas, sampah telah menjadi permasalahan nasional, sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir supaya memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku masyarakat 1). Berbagai langkah untuk menangani sampah telah dilakukan, dari mulai mengurangi, memungut, memilah, menggunakan kembali sampai dengan mendaur ulang. Semua langkah tersebut telah banyak disosialisasikan kepada masyarakat, namun belum memberikan hasil yang optimal. Kepedulian masyarakat terhadap sampah masih sangat kurang. Permasalahan sampah di Indonesia, termasuk di Kota Yogyakarta, tidak hanya menjadi tanggung-jawab pemerintah saja, tetapi masyarakat juga memiliki tanggung-jawab dalam pengelolaannya. Permasalahan sampah di masyarakat bukanlah masalah yang kecil, sebab jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan permasalahan baru. Menurut KaSubdin Pembersihan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta, masyarakat hendaknya sejak dari lingkungan rumah tangga sudah melakukan pemilahan jenis sampah 4). Salah satu upaya untuk menangani sampah adalah memungut sampah yang berceceran. Murid taman kanak-kanak (TK) yang rata-rata berusia lima sampai
10
enam tahun merupakan awal yang baik untuk membiasakan mereka memungut sampah. Perioda umur ini merupakan masa yang menunjukkan bahwa bermain dengan mainan menunjukkan puncaknya. Usia dua sampai enam tahun disebut juga usia pra-sekolah yaitu usia sebelum anak memasuki sekolah dasar yang memiliki kesukaan terhadap alat yang dapat dipergunakan untuk belajar dan bermain. Selain itu, usia ini juga disebut sebagai usia kreatif, karena pada masa ini anak-anak lebih menunjukkan kreatifitas dalam bermain dibandingkan dengan masa-masa lain dalam kehidupannya 5). Berdasarkan wawancara dengan guru Kelas B TK Kudup Sari yang terletak di Kecamatan Godean pada tanggal 18 Januari 2016, diperoleh informasi jumlah murid di TK tersebut adalah sebanyak 68 orang yang terbagi dalam 3 kelas, yaitu satu Kelas A dengan 27 murid dan 2 kelas B, masing-masing dengan 20 murid dan 21 murid. Murid TK Kudup Sari yang berada di Kelas B rata-rata berusia 6 tahun dan sudah diperkenalkan dengan sampah dan aktivitas memungut sampah pada mata pelajaran tematik lingkungan. Sampah yang paling banyak ditemui di lingkungan TK tersebut adalah daun dan bungkus jajanan. Sampah tersebut banyak berserakan di lingkungan sekolah pada saat jam istirahat dan pulang sekolah. Pada penelitian sebelumnya yang hampir serupa dengan penelitian ini, dengan hasil penelitian berupa frekuensi, ketepatan, dan kesukaan responden membuang sampah di tempat sampah, penelitian tersebut belum meneliti apakah sampah yang dibuang adalah sampah timbulan responden sendiri atau dari hasil memungut sampah di lingkungan. Karena pembiasaan memilah dan membuang sampah pada tempat sampah sudah dilakukan, maka peneliti tertarik untuk melakukan pembiasaan memungut sampah dengan cara memberikan alat pemungut sampah kepada murid TK dan mengukur tingkat kesukaan
Khairudin, Suyanto & Sudaryanto, Pemberian Variasi Model …
mereka terhadap model alat pemungut sampah tertentu. Peneliti memberikan pelatihan cara penggunaan alat pemungut sampah untuk murid TK Kudup Sari, yaitu dengan metoda demonstrasi dan diikuti anak secara langsung. Penggunaan metoda demonstrasi tersebut mengacu pada hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya bahwa penyuluhan dengan metoda tersebut lebih baik dalam meningkatkan tindakan (39,83 %) dibandingkan dengan metoda ceramah (27,74 %) 6). Hasil penelitian tersebut mengisyaratkan bahwa metoda demonstrasi mempunyai pengaruh yang bermakna bagi tindakan responden dalam mengelola sampah. Umur mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang, karena semakin bertambah umur maka akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikir yang dimiliki. Dalam penelitian ini responden dipilih pada rentang usia 5-7 tahun (didominasi oleh usia 6 tahun), yaitu semua murid Kelas B TK Kudup Sari. Pemilihan rentang umur tersebut mengacu pada penelitian sebelumnya tentang “Penggunaan Permainan ‘Ular Tangga Anak Sehat’ sebagai Media Pembelajaran untuk Meningkatkan Pengetahuan Cuci Tangan Pakai Sabun Siswa SD Negeri di Kutoarjo Purworejo”, di mana siswa responden yang dipilih untuk mengukur keberhasilan suatu alat sebagai media pembelajaran, perbedaan umurnya tidak terpaut jauh, sehingga masing-masing responden memiliki daya tangkap dan pola pikir yang hampir sama 7). Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk membuat alat pemungut sampah dengan dua variasi, yaitu Model Penjepit (Model I) dan Model Tusuk (Model II) untuk murid TK sebagai alternatif media pembelajaran untuk menanamkan sifat peduli akan lingkungan dalam bentuk memungut sampah dengan tetap menjaga kebersihan tangan mereka. Alat tersebut juga dapat berfungsi sebagai mainan untuk model penjepit, karena anak dapat mengatur tingkat kekuatan karet, mengganti karet se-
suai dengan warna yang diinginkan, dan alat ini mudah dirangkai kembali ketika rusak sehingga dapat digunakan juga sebagai media untuk mengasah keterampilan motorik dan kreatifitas. Variasi model alat pemungut sampah ini diberikan dengan tujuan agar murid TK mau untuk memungut sampah yang berceceran dengan menggunakan model alat yang disukai namun tetap dapat menjaga kebersihan tangan mereka. Setelah pemberian alat ini, peneliti berharap tidak timbul lagi rasa takut kotor ketika memungut sampah. Alat ini didesain untuk memungut sampah yang ringan dan tidak mudah hancur seperti sampah plastik, kertas, daun, atau sampah lain yang sesuai dengan kriteria tersebut. METODA Penelitian yang dilakukan termasuk kuasi eksperimen dengan menggunakan desain post-test only, yang hasilnya dianalisis secara deskriptif dan analitik. Populasi penelitian adalah semua murid Kelas B TK Kudup Sari yang terletak di Kecamatan Godean Kabupaten Sleman, Provinsi D. I. Yogyakarta yang berjumlah 41 orang. Sebagai sampel penelitian adalah semua murid Kelas B TK tersebut yang memungut sampah dengan menggunakan alat yang telah disediakan oleh peneliti. Variabel bebas yang diteliti adalah dua model alat pemungut sampah yang peneliti buat, yaitu Model Penjepit dan Model Tusuk. Sementara itu, variabel terikat yang diamati adalah frekuensi memungut sampah yang dilakukan dengan menggunakan model-model alat pemungut sampah yang telah disiapkan tersebut. Variabel terikat ini diukur melalui pengamatan langsung sebanyak 10 kali ulangan dalam waktu yang berbeda. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif dan inferensial dengan menggunakan program SPSS for Windows 16.0. Analisis deskriptif dilakukan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi dari masing-masing variabel.
11
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.1, Agustus 2016, Hal 9 – 15
Untuk mengukur kebermaknaan dari perbedaan yang tampak secara deskriptif, terhadap data selanjutnya dilakukan analisis inferensial. Untuk dapat menggunakan uji statistik parametrik ttest bebas yang sesuai dengan karakteristik data yang dikumpulkan dan jenis uji yang dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan normalitas distribusi data dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Uji tersebut menghasilkan nilai p yang lebih besar dari batas kritis 0,05 sehingga data penelitian disimpulkan memenuhi asumsi distribusi normal, sehingga uji t bebas selanjutnya dapat digunakan. Uji-uji statistik yang dilakukan tersebut menggunakan derajat kebermaknaan 95 %. HASIL Tabel 1. Pengamatan frekuensi memungut sampah murid TK Kudup Sari menggunakan model alat pemungut yang disediakan Pengamatan ke
Modelalat pemungut sampah
Jumlah
Tusuk
Penjepit
1
10
31
41
2
10
31
41
3
7
34
41
4
4
37
41
5
3
38
41
6
3
38
41
7
3
38
41
8
0
41
41
9
0
41
41
10
0
41
41
Jumlah
40
370
410
Rerata
4
37
41
%
9,76
90,24
100,0
Murid Kelas B TK Kudup Sari ratarata berusia enam tahun. Mereka sudah mengetahui apa itu sampah dan sudah dikenalkan mengenai sampah oleh para guru melalui mata pelajaran tematik lingkungan, sehingga pengetahuan mereka
12
terhadap sampah dapat diasumsikan kurang lebih sama. Menurut guru Kelas B tersebut, para murid menyukai warna-warna yang cerah seperti merah, ungu, kuning, biru, merah muda, oranye dan hijau. Dari warna-warna tersebut, yang paling disukai dan paling banyak peminatnya adalah kuning dan merah. Berdasarkan hal itu, peneliti memilih warna cerah merah dan kuning untuk diaplikasikan pada alat pemungut sampah yang diteliti dengan motif yang sama pada masing-masing model. Dalam hal ini, peneliti berkeyakinan warna tidak mempengaruhi kesukaan anak terhadap alat pemungut sampah yang terdiri dari dua model. Data dari hasil sepuluh kali pengamatan terhadap murid dalam memungut sampah menggunakan dua model alat yang disediakan oleh peneliti, termasuk rata-rata dan persentasenya, terrangkum dalam Tabel 1. Terlihat bahwa alat pemungut sampah Model Tusuk, secara total digunakan sebanyak 40 kali, dengan rerata penggunaan empat kali, atau jika dengan persentase adalah 9,76 %. Sementara itu, alat pemungut sampah Model Penjepit, secara keseluruhan digunakan sebanyak 370 kali, dengan rara-rata penggunaan sebanyak 37 kali, atau jika dalam persentase adalah sebesar 90,24 %. Berdasarkan hasil analisis dengan ttest bebas, diperoleh nilai p lebih kecil dari 0,001, yang berarti secara statistik perbedaan frekuensi memungut sampah pada murid TK Kudup Sari, antara penggunaan Model Penjepit dan Model Tusuk memang signifikan atau bermakna, dimana Model Penjepit lebih disukai. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis data, secara statistik diketahui ada perbedaan frekuensi memungut sampah yang dilakukan oleh murid TK Kudup Sari antara alat pemungut sampah Model Penjepit dan Model Tusuk. Frekuensi pemungutan sampah berserakan yang dilakukan dengan meng-
Khairudin, Suyanto & Sudaryanto, Pemberian Variasi Model …
gunakan Model Penjepit jauh lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi pemungutan sampah yang dilakukan dengan menggunakan Model Tusuk. Hal tersebut berarti murid-murid lebih suka dan tertarik untuk memungut sampah dengan menggunakan Model Penjepit. Temuan ini menunjukkan adanya peranan dari model alat terhadap penanganan sampah. Hasil tersebut sesuai dengan hasil dari penelitian yang berjudul “Peranan Gambar pada Tempat Sampah dalam Meningkatkan Frekuensi Membuang Sampah Siswa SDN Tahunan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta, Tahun 2015”, dimana penelitian tersebut menyimpulkan bahwa gambar tokoh kartun pada tempat sampah berperan dalam meningkatkan frekuensi membuang sampah yang dilakukan oleh murid-murid di SDN tersebut 8). Perancangan model alat pemungut sampah oleh peneliti yang dirancang secara menarik dan mudah digunakan, ikut serta mempengaruhi frekuensi memungut sampah yang dilakukan anak-anak. Hal ini secara tidak langsung akan membiasakan mereka untuk memungut sampah yang berserakan di lingkungan sehingga dapat mengurangi dampak penyakit yang ditimbulkan oleh keberadaan sampah seperti sakit perut, pes, dan malaria 9). Faktor intelegensi berpengaruh pada permainan anak. Pada setiap usia, anak yang pandai lebih aktif dibanding yang kurang pandai, dan jenis permainan mereka lebih menunjukkan kecerdikan. Semakin bertambahnya usia, anakanak akan lebih menunjukkan perhatian dalam permainan kecerdasan, dramatik, konstruksi, dan membaca. Anak yang pandai menunjukkan keseimbangan perhatian bermain yang lebih besar, termasuk upaya menyeimbangkan faktor fisik dan intelektual yang nyata 10). Anak TK yang semula menggunakan alat pemungut sampah Model Tusuk mulai mempelajari dan menurut pandangan mereka ternyata alat tersebut kurang menarik karena ujungnya terbuat dari paku. Mereka mempelajari bahwa
lebih mudah memungut sampah yang berserakan di halaman TK mereka apabila menggunakan Model Penjepit karena lantai halaman terbuat dari batako yang keras. Anak-anak tersebut yang awalnya menggunakan alat pemungut sampah Model Tusuk kemudian berganti ke Model Penjepit yang lebih mudah digunakan. Permainan anak-anak pada setiap usia melibatkan koordinasi motorik anggota gerak. Apa saja yang akan dilakukan dan waktu bermainnya, bergantung pada perkembangan motorik mereka. Dalam hal ini, pengendalian motorik yang baik memungkinkan anak terlibat dalam permainan aktif. Bermain aktif adalah bermain yang kegembiraannya timbul dari apa yang dilakukan oleh anak itu sendiri 10). Murid TK Kudup Sari yang termasuk dalam usia awal masa kanak-kanak bermain aktif dalam menggunakan alat pemungut sampah. Perkembangan dan pengendalian motorik yang baik, membuat anak lebih memilih alat pemungut sampah Model Penjepit meskipun pada awalnya ada yang memilih Model Tusuk. Alat pemungut sampah Model Penjepit lebih mendukung dan memberi ruang kepada anak-anak untuk bermain aktif. Walaupun mudah digunakan, cara kerja Model Penjepit lebih rumit sehingga anak-anak perlu mempelajari sebelum menggunakannya. Alat ini juga memerlukan kekuatan tangan dan konsentrasi ketika akan memungut sampah sehingga dapat melatih perkembangan fisik anak. Model Tusuk lebih sederhana penggunaannya, yaitu hanya menusukkan alat ke sampah yang akan diambil. Namun ternyata, anakanak tidak menyukai karena tidak bisa digunakan untuk bermain secara aktif dan kreatif. Beberapa faktor tersebut di atas membuat anak lebih memilih Model Penjepit, baik yang sejak awal atau yang semula memilih Model Tusuk. Alat pemungut sampah yang dikemas dengan menarik merupakan suatu bentuk alat bantu media pendidikan kesehatan, karena dapat digunakan oleh
13
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.1, Agustus 2016, Hal 9 – 15
pendidik dalam menyampaikan bahanbahan pendidikan/pengajaran. Alat bantu ini lebih sering disebut sebagai “alat peraga” karena berfungsi membantu dan memperagakan sesuatu dalam proses pendidikan pengajaran 11). Alat pemungut sampah yang digunakan dalam penelitian ini dapat mengajarkan anak tentang pentingnya kebersihan lingkungan dan kebersihan diri, khususnya dari sampah. Dengan alat peraga ini anak akan lebih mudah dalam merekam ilmu pengetahuan yang diberikan saat pelatihan pengunaan alat tersebut dengan metoda demonstrasi dan saat anak menggunakannnya secara langsung pada pelaksanaan penelitian. Semakin banyak indra yang digunakan untuk menerima sesuatu informasi maka semakin banyak dan semakin jelas pula pengertian/pengetahuan yang diperoleh. Dengan perkataan lain, alat peraga ini dimaksudkan untuk mengerahkan indra sebanyak mungkin kepada suatu obyek, sehingga mempermudah persepsi. Benda asli mempunyai intensitas yang paling tinggi untuk mempersepsi bahan pendidikan/pengajaran 11). Alat pemungut sampah Model Penjepit dan Model Tusuk yang diberi warna cerah merupakan hal baru yang mereka kenal di taman kanak-kanak. Alat pemungut sampah ini mampu mencegah terjadinya kontak langsung dengan sampah. Oleh karena itu, alat pemungut sampah, terutama Model Penjepit, adalah solusi yang tepat untuk disediakan di TK Kudup Sari serta pemberian warna cerah pada alat dapat menambah ketertarikan murid-murid untuk menggunakan alat tersebut. Sebagaimana sudah dijelaskan, alat pemungut sampah Model Penjepit termasuk dalam kategori benda asli yang dapat menarik minat anak TK Kudup Sari untuk memungut sampah dan memberikan pembelajaran tentang kepedulian terhadap lingkungan. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa penggunaan benda asli pada kegiatan ceramah, secara bermakna mempengaruhi perubahan pengetahuan dan sikap siswa di SDN
14
Klodangan dan SDN Berbah I Sleman; dan kondisi lingkungan mengenai membuang sampah pada tempatnya dan menjaga kebersihan jamban 12). Alat pemungut sampah merupakan alat peraga yang dapat digunakan sebagai alat bantu pendidikan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alat peraga sangat mempengaruhi peningkatan pengetahuan dan sikap seseorang. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang berjudul “Penggunaan Media Smart Card pada Kegiatan Penyuluhan Pencegahan Penyakit ISPA untuk Siswa SD Negeri di Tegalrejo, Kota Yogyakarta”, bahwa penggunaan media “smartcard” pada kegiatan penyuluhan tentang pencegahan ISPA bagi siswa SD Negeri di Tegalrejo mempengaruhi peningkatan pengetahuan mereka tentang pencegahan penyakit ISPA 13). Model alat pemungut sampah sebagai alat bantu pendidikan mempengaruhi anak-anak untuk memungut sampah, sehingga dapat diaplikasikan di sekolah taman kanak-kanak supaya para murid mau membiasakan untuk memungut sampah yang berserakan. Model alat pemungut sampah ini juga dapat diterapkan dan disediakan di instansi pemerintahan, perusahaan, dan tempat-tempat umum seperti stasiun, terminal dan tempat wisata, dengan memodifikasinya terlebih dahulu disesuaikan dengan kemudahan penggunaannya di masing-masing lokasi, sehingga akan banyak orang yang dapat menggunakan dan lebih peduli terhadap kebersihan lingkungan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa dari dua model alat yang disediakan, alat pemungut sampah yang lebih disukai oleh murid TK Kudup Sari adalah alat pemungut sampah model penjepit. SARAN Pengelola dan guru-guru di TK Kudup Sari disarankan untuk menyediakan
Khairudin, Suyanto & Sudaryanto, Pemberian Variasi Model …
alat pemungut sampah model penjepit yang disukai anak-anak, sehingga dapat digunakan di sekolah tersebut sebagai media pembelajaran untuk peduli terhadap lingkungan, khususnya dalam penanganan sampah. Penelitian lanjutan yang terkait dengan penelitian ini, disarankan untuk melakukan pengamatan di dua atau lebih lokasi penelitian dengan karakteristik lingkungan yang berbeda, sehingga hasil penelitian nantinya dapat diterapkan secara umum. DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan RI, 2008. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (http://www.menlh.go.id/-DATA/UU18-2008.pdf). 2. Zulkifli, A., 2014. Dasar-dasar Ilmu Lingkungan, Ganiajri, F. (ed), Salemba Teknika, Jakarta (http://www.penerbit salemba.com). 3. Sukandarrumidi, 2009. Rekayasa Gambut, Briket Batubara, dan Sampah Organik, edisi pertama, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (http://www. gmup.ugm.ac.id). 4. Aji, L., 2014. Pengelolaan Sampah di Kota Yogyakarta, RRI.co.id. (http: //www.rri.co.id/ yogyakarta/post/berita/91558/industri/pengelolaan_samp ah_di_kota_ yogyakarta.html, diakses 2 Desember 2015). 5. Hurlock, E. B., 1980. Psikologi Perkembangan, edisi ke-5, Sijabat, R. M. (ed), Penerbit Erlangga, Jakarta. 6. Dewi, S. P., Herawati, L. & Ganefati, S. P., 2015. Pengaruh penyuluhan dengan metoda demonstrasi terhadap peningkatan pengetahuan dan tindakan pengelolaan sampah ibuibu di Desa Cetan, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten Tahun 2014.
Sanitasi Jurnal Kesehatan Lingkungan, 6 (3): hal. 120-126. 7. Hidayati, N., Sudaryanto, S. & Istiqomah, S. H., 2014. Penggunaan permainan “ular tangga anak sehat” sebagai media pembelajaran untuk meningkatkan pengetahuan cuci tangan pakai sabun siswa SD Negeri di Kutoarjo Purworejo, Sanitasi Jurnal Kesehatan Lingkungan, 6 (2), hal. 8086. 8. Junaidi, Suyanto, A. & Sudaryanto, S., 2015. Peranan gambar pada tempat sampah dalam meningkatkan frekuensi membuang sampah siswa SDN Tahunan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta, Tahun 2015, Sanitasi Jurnal Kesehatan Lingkungan, 7 (2): hal. 59-63. 9. Sukandarrumidi, 2009. Rekayasa Gambut, Briket Batubara, dan Sampah Organik, edisi pertama, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (http://www.gm-up.ugm.ac.id). 10. Hurlock, E. B., 1978. Perkembangan Anak, edisi ke-6, Dhama, A. (ed), Penerbit Erlangga, Jakarta. 11. Notoatmodjo, S., 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, edisi ke-2, PT Rineka Cipta, Jakarta:. 12. Arfiyanti, D., Herawati, L. & Hendrarini, L., 2016. Penggunaan benda asli pada ceramah untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan kondisi lingkungan di SDN Klodangan dan SDN Berbah I, Sleman, Sanitasi Jurnal Kesehatan Lingkungan, 7 (3): hal. 101-105. 13. Nuzula, S., Istiqomah, S. H. & Husein, A., 2016. Penggunaan media Smart Card pada kegiatan penyu-luhan pencegahan penyakit ISPA untuk siswa SD Negeri di Tegalrejo, Kota Yogyakarta, Sanitasi Jurnal Kesehatan Lingkungan, 7 (3): hal.125130.
15
PENGARUH BERBAGAI LUAS PERMUKAAN DAUN TANAMAN LIDAH MERTUA (Sansevieria trifasciata ‘Golden Hahnii’) TERHADAP PENURUNAN RADIASI KOMPUTER RUANG KERJA DI RS KIA SADEWA, YOGYAKARTA Dwi Larasati*, Sri Muryani**, Achmad Husein** * JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Jl.Tatabumi 3, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY 55293 email:
[email protected] **JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Abstract Computers, which are widely used by people to help finishing many tasks, have negative impact in the form of non-ionizing radiation. Based on the preliminary survey, the measurement of computer radiation in Sadewa Hospital had not exceeding the standard quality. However, continuous exposure will affect the health of the users. Sansevieria is one of plants which can reduce computer radiation. The purpose of this study was to know the influence of various leaves surface areas of Sansevieria trifasciata ‘Golden Hahnii’ in decreasing computer radiation. There were 2 2 three treatment, i.e. A (510-570 cm leaves area), B (1020-1140 cm leaves area), and C (15302 1710 cm leaves area). The type of the research was a quasi experiment with pre-test post-test with control group design. The radiation mesurements were conducted toward 10 computers in 10 different rooms in the hospital. The results shows that radiation reduction yielded from treat-4 ment A was 0.142 x 10-4 mT, from treatment B was 0.277 x 10 mT, and from treatment C was -4 0.351 x 10 mT. The result of statistical test by using One Way Anova at 95 % level of significance obtained a p-value < 0,001, which means that the reduction difference among the results is significant. The subsequent LSD test concluded that treatment C yielded the highest reduction of computer radiation. Keywords : computer radiation, Sansevieria trifasciata ‘Golden Hahnii’ Intisari Komputer yang banyak digunakan oleh masyarakat karena bermanfaat dalam menyelesaikan banyak pekerjaan, memiliki dampak negatif berupa radiasi jenis non pengion. Berdasarkan survei pendahuluan, hasil pengukuran radiasi komputer di RS KIA Sadewa tidak melebihi baku mutu, tetapi apabila terpapar terus-menerus akan menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan. Lidah Mertua merupakan salah satu tanaman yang dapat mengurangi radiasi komputer. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh berbagai luas permukaan daun jenis Sansevieria trifasciata ‘Golden Hahnii’ terhadap penurunan radiasi komputer. Ada tiga perlakuan yang di2 2 gunakan, yaitu: Perlakuan A (510-570 cm luas daun), Perlakuan B (1020-1140 cm luas daun), 2 dan Perlakuan C (1530-1710 cm luas daun). Penelitian ini bersifat quasi experiment dengan menggunakan desain pre-test post-test with control group. Ada 10 komputer dalam 10 ruangan berbeda yang diukur radiasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata penurunan radiasi -4 setelah diletakkan Perlakuan A adalah sebesar 0.142 x 10 mT, Perlakuan B sebesar 0.277 x -4 -4 10 mT dan Perlakuan C sebesar 0.351 x 10 mT. Hasil uji statistik menggunakan uji One Way Anova pada derajat kepercayaan 95 % menghasilkan p-value < 0,001 yang berarti perbedaan penurunan tersebut bermakna. Hasil uji lanjutan dengan LSD menyimpulkan bahwa Perlakuan C menghasilkan penurunan radiasi komputer yang paling tinggi. Kata Kunci : radiasi komputer, Sansevieria trifascata ‘Golden Hahnii
PENDAHULUAN Kemajuan teknologi saat ini semakin berkembang pesat. Hampir semua kalangan usia, mulai dari anak-anak sampai orang tua menggunakan teknologi untuk melakukan kegiatannya. Media elektronik merupakan salah satu teknologi yang berkembang pesat dan banyak diguna-
16
kan. Media elektronik tersebut dapat berfungsi sebagai media pembelajaran, alat komunikasi, mencari informasi, hiburan dan melaksanakan pekerjaan 1). Komputer adalah salah satu alat elektronik yang banyak digunakan oleh masyarakat umum, baik di kantor maupun di rumah, karena dianggap dapat memudahkan pekerjaan. Banyak man-
Larasati, Muryani & Husein, Pengaruh Berbagai Luas …
faat yang dapat diperoleh dari penggunaan komputer, tetapi potensi dampak negatif juga tidak dapat dilepaskan 1). Tubuh manusia tersinari oleh berbagai frekuensi gelombang magnetik yang kompleks. Tingkat paparan gelombang elektromagnetik dari berbagai frekuensi tersebut berubah secara signifikan sejalan dengan perkembangan teknologi yang menimbulkan kekhawatiran bahwa paparan dari gelombang elektromagnetik ini dapat berpengaruh buruk terhadap kesehatan fisik manusia. Gangguan ini umumnya disebabkan oleh radiasi elektromagnetik yang berasal dari jaringan listrik tegangan tinggi atau ekstra tinggi, peralatan elektronik di rumah, di kantor maupun industri 2). Dampak negatif dari penggunaan komputer yang lama dan terus-menerus adalah merusak kesehatan, terutama mata 3). Efeknya bisa dirasakan segera atau 15 sampai 20 tahun kemudian. Radiasi gelombang elektromagnetik yang dihasilkan oleh komputer juga bisa menyebabkan pandangan menjadi kabur, mata terasa kering, hingga sakit leher dan bahu 4). Radiasi merupakan salah satu aspek pencemaran fisik yang dapat mengganggu kesehatan manusia dan mahluk hidup lainnya. Jenis radiasi terbagi menjadi dua, yaitu radiasi pengion dan radiasi non pengion. Komputer termasuk dalam kelompok radiasi non pengion. Radiasi yang dihasilkan dari komputer/ laptop adalah: sinar-x, sinar ultraviolet, gelombang mikro, dan radiasi elektromagnetik frekuensi rendah 5). Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1405 /Menkes/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri menyebutkan bahwa baku mutu untuk radiasi medan magnet listrik sepanjang hari kerja atau selama 24 jam maksimal sebesar 0,5 mT dan untuk waktu singkat sampai dengan 2 jam per hari sebesar 5 mT 6). Terhadap dampak negatif dari radiasi komputer perlu dilakukan pengendalian, salah satunya adalah dengan menggunakan tanaman Lidah Mertua (Sansevieria trifasciata ‘Golden Hahnii’) yang dapat menyerap radiasi yang dipancar-
kan oleh komputer, namun belum diketahui seberapa besar pengaruh luas dari permukaan daun tersebut untuk menurunkan paparan radiasi. Senyawa aktif yang terkandung di tanaman Lidah Mertua adalah pregnane glikosid yang mampu menyerap 107 unsur yang terkandung dalam polusi udara, termasuk sebagai penangkal radiasi. Beberapa jenis polutan yang dapat diserap oleh Sansevieria yaitu: chloroform, benzene, xylene, formaldehyde, trichloro-ethylene dan lain sebagainya 7). Lidah Mertua menggunakan stomata sebagai layaknya vacuum cleaner, untuk menyedot polutan atau gas beracun memasuki sistem metabolisme di dalam tubuh tanaman. Polutan yang telah diserap tersebut kemudian dikirim ke akar, dimana di sini mikroba melakukan proses detoksifikasi dengan menggunakan zat aktif pregnan glikosid. Melalui proses ini, mikroba akan menghasilkan zat-zat yang diperlukan oleh tanaman itu seperti asam amino, gula, dan asam organik. Setelah didetoksifikasi maka akan dihasilkan udara yang lebih bersih 8). Luas permukaan daun yang digunakan dalam penelitian ini adalah antara 510-570 cm2 yang setara dengan satu pot dan memiliki jumlah daun sebanyak 12 lembar; antara 1.020-1.140 cm2 yang setara dengan dua pot dan memiliki jumlah daun sebanyak 24 lembar; dan antara 1.530-1.710 cm2 yang setara dengan tiga pot dan memiliki jumlah daun sebanyak 36 lembar. Luas permukaan daun tersebut ditentukan berdasarkan kondisi yang ada di lokasi penelitian. Sansevieria trifasciata ‘Golden Hahnii’ dewasa dipilih karena mudah diperoleh, bentuknya pendek dan tidak terlalu besar sehingga tidak mengganggu apabila diletakkan di samping komputer 9). Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak (RS KIA) Sadewa yang terletak di Jl. Babarsari Blok TB 16 No.13 B, Caturtunggal, Depok, Sleman, DIY. METODA Jenis penelitian yang dilakukan adalah quasi experiment dengan desain pre-
17
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8 No.1, Agustus 2016, Hal 16 – 21
test post-test with control group yang hasilnya akan dianalisis secara deskriptif dan analitik 10). Untuk mengetahui pengaruh berbagai luas permukaan daun tanaman Lidah Mertua terhadap penurunan radiasi komputer digunakan 10 layar komputer dengan jenis LCD dan berukuran sama, yaitu 16 inchi, yang terdapat di 10 ruang kerja yang berbeda di RS KIA Sadewa. Pengukuran radiasi tersebut dilakukan selama satu minggu antara tanggal 16 hingga 22 Maret 2016. Pengumpulan data pada kelompok perlakuan dilakukan dengan cara: 1) mengukur radiasi komputer sebelum perlakuan, 2) kemudian meletakkan tanaman Lidah Mertua di samping komputer selama dua jam, dan 3) mengukur radiasi komputer setelah dipaparkan dengan tanaman tersebut. Pengukuran dilakukan pada jarak 30 cm dari depan layar komputer layar sejajar dengan mata penggunanya Ada tiga perlakuan dalam penelitian ini, yaitu masing-masing meletakkan satu pot (perlakuan A), dua pot (perlakuan B) dan tiga pot (perlakuan C) tanaman Lidah Mertua di dekat komputer yang akan diukur radiasinya. Adapun pada kelompok kontrol, hanya dilakukan pengukuran radiasi komputer sebelum dan setelah dua jam penggunaan tanpa dipaparkan dengan tanaman tersebut. Data hasil pengukuran selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan analitik. Analisis deskriptif dilakukan dengan menyajikan data dalam bentuk tabel, dimana untuk masing-masing perlakuan dihitung rata-rata dan persentase penurunan radiasi komputer dari selisih pengukuran antara sebelum dan setelah perlakuan, serta dibandingkan dengan hasil pengukuran pada kelompok kontrol. Untuk analisis secara analitik digunakan uji One Way Anova dan post-hoc test dengan uji LSD dari program SPSS 17.0 for windows. Uji parametrik tersebut dapat dilakukan karena berdasarkan hasil uji sebelumnya dengan KolmogorovSmirnov, data penelitian disimpulkan mengikuti distribusi normal. Semua uji statistik di atas menggunakan derajat kepercayaan 95%.
18
HASIL Tabel 1. Hasil pengukuran radiasi komputer dengan perlakuan A
Ruangan
Radiasi komputer (mT)
%
Pre-test
Post-test
Selisih
1
2.52 x 10-4
1.99 x 10-4
0.53 x 10-4
21.03
2
0.26 x 10-4
0.17 x 10-4
0.09 x 10-4
34.62
3
0.28 x 10-4
0.16 x 10-4
0.12 x 10-4
42.86
4
0.69 x 10-4
0.59 x 10-4
0.10 x 10-4
14.49
5
0.28 x 10-4
0.16 x 10-4
0.12 x 10-4
42.86
6
0.24 x 10-4
0.14 x 10-4
0.10 x 10-4
41.67
7
0.23 x 10-4
0.15 x 10-4
0.08 x 10-4
34.78
8
0.28 x 10-4
0.22 x 10-4
0.06 x 10-4
21.43
9
0.77 x 10-4
0.62 x 10-4
0.15 x 10-4
19.48
10
0.71 x 10-4
0.64 x 10-4
0.07 x 10-4
9.86
Jumlah
6.26 x 10-4
4.84 x 10-4
1.42 x 10-4
22.68
Rerata
0.626 x 10-4
0.484 x 10-4
0.142 x 10-4
22.68
Tabel 2. Hasil pengukuran radiasi komputer dengan perlakuan B
Ruangan
Radiasi komputer (mT)
%
Pre-test
Post-test
Selisih
1
2.52 x 10-4
1.5 x 10-4
1.02 x 10-4
40.48
2
0.26 x 10-4
0.12 x 10-4
0.14 x 10-4
53.85
3
0.28 x 10-4
0.12 x 10-4
0.16 x 10-4
57.14
4
0.69 x 10-4
0.23 x 10-4
0.46 x 10-4
66.67
5
0.28 x 10-4
0.12 x 10-4
0.16 x 10-4
57.14
6
0.24 x 10
-4
-4
-4
66.67
7
0.23 x 10-4
0.09 x 10-4
0.14 x 10-4
60.87
8
0.28 x 10-4
0.13 x 10-4
0.15 x 10-4
53.57
9
0.77 x 10
-4
-4
-4
29.87
10
0.71 x 10-4
0.56 x 10-4
0.15 x 10-4
21.13
Jumlah
6.26 x 10-4
3.49 x 10-4
2.77 x 10-4
44.25
Rerata
0.626 x 10-4
0.349 x 10-4
0.277 x 10-4
44.25
0.08 x 10
0.54 x 10
0.16 x 10
0.23 x 10
Tabel 1 memperlihatkan bahwa pada Perlakuan A, rerata pengukuran pretest dan post-test, masing-masing sebe-
Larasati, Muryani & Husein, Pengaruh Berbagai Luas …
sar 0.626 x 10-4 mT dan 0.484 x 10-4 mT. Itu berarti ada penurunan, yaitu rata-rata sebesar 0.142 x 10-4 mT atau 22,68%. Sementara itu, Tabel 2 memperlihatkan bahwa pada Perlakuan B, rata-rata hasil pengukuran pre-test dan post-test, masing-masing adalah sebesar 0.626 x 10-4 mT dan 0.349 x 10-4 mT. Itu berarti ratarata penurunan yang terjadi sebesar 0.277 x 10-4 mT atau 44,25%. Tabel 3. Hasil pengukuran radiasi komputer dengan perlakuan C
Ruangan
Radiasi komputer (mT) Pre-test
Post-test
-4
-4
1
2.52 x 10
2
0.26 x 10-4
1.35 x 10
0.08 x 10-4
Tabel 4. Hasil pengukuran radiasi komputer pada kelompok kontrol %
Selisih
Radiasi komputer (mT)
Ruangan -4
46.43
0.18 x 10-4
69.23
1.17 x 10
berarti penurunan radiasi yang dihasilkan oleh perlakuan dan kontrol memang berbeda secara bermakna. Untuk mengetahui penurunan mana yang paling tinggi, analisis dilanjutkan dengan uji LSD, dimana diperoleh nilainilai p yang lebih kecil dari 0,05 untuk semua pasangan pengujian. Ini berarti menegaskan bahwa penurunan radiasi yang dihasilkan oleh masing-masing perlakuan dan kontrol memang berbeda.
3
0.28 x 10-4
0.05 x 10-4
0.23 x 10-4
82.14
4
0.69 x 10-4
0.15 x 10-4
0.54 x 10-4
78.26
5
0.28 x 10-4
0.03 x 10-4
0.25 x 10-4
89.29
6
0.24 x 10-4
0.03 x 10-4
0.21 x 10-4
87.50
7
0.23 x 10-4
0.04 x 10-4
0.19 x 10-4
82.61
8
0.28 x 10-4
0.09 x 10-4
0.19 x 10-4
67.86
9
0.77 x 10-4
0.47 x 10-4
0.3 x 10-4
38.96
10
0.71 x 10-4
0.46 x 10-4
0.25 x 10-4
35.21
Jumlah
6.26 x 10-4
2.75 x 10-4
3.51 x 10-4
56.07
Rerata
0.626 x 10-4
0.275 x 10-4
0.351 x 10-4
56.07
Adapun di Tabel 3, terlihat bahwa rata-rata hasil pengukuran radiasi pada pre-test adalah 0.626 x 10-4 mT dan pada post-test 0.275 x 10-4 mT. Rata-rata penurunan yang terjadi berarti sebesar 0.351 x 10-4 mT atau 56,07 %. Sementara itu, di Tabel 4 yang menyajikan data pada kelompok kontrol, terlihat ada juga penurunan radiasi. Yaitu sebesar 0.017 x 10-4 mT atau 2,86 %. Pada Grafik 1 yang menyajikan perbandingan rerata persentase penurunan radiasi dari ketiga perlakuan dan kontrol, terlihat bahwa perlakuan C menghasilkan persentase yang tertinggi. Hasil uji statistik terhadap data di atas dengan uji One Way Anova diperoleh nilai p-value lebih kecil dari 0,001, yang
%
Pre-test
Post-test
Selisih
1
2.23 x 10-4
2.19 x 10-4
0.04 x 10-4
2
0.27 x 10
-4
-4
-4
11.11
3
0.29 x 10-4
0.26 x 10-4
0.03 x 10-4
10.34
4
0.59 x 10-4
0.56 x 10-4
0.03 x 10-4
5.08
5
0.34 x 10
-4
-4
0
0.00
6
0.27 x 10-4
0.27 x 10-4
0
0.00
7
0.26 x 10-4
0.26 x 10-4
0
0.00
8
0.35 x 10
-4
-4
0
0.00
9
0.76 x 10-4
0.73 x 10-4
0.03 x 10-4
3.95
10
0.58 x 10-4
0.57 x 10-4
0.01 x 10-4
1.72
Jumlah
5.94 x 10-4
5.77 x 10-4
0.17 x 10-4
2.86
Rerata
0.594 x 10-4
0.577 x 10-4
0.017 x 10-4
2.86
0.24 x 10
0.34 x 10
0.35 x 10
0.03 x 10
1.79
Grafik 1. Perbandingan persentase penurunan radiasi komputer antara ketiga perlakuan dan kontrol 56.07
44.25
22.68
2.86
A
B
C
Kntrl
% penurunan
19
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8 No.1, Agustus 2016, Hal 16 – 21
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa tanaman Lidah Mertua (Sansevieria trifasciata ‘Golden Hahnii’) mampu menurunkan radiasi komputer, walaupun penurunannya belum maksimal karena penurunan yang tertinggi, yaitu dengan menggunakan tiga pot tanaman atau setara dengan luas permukaan daun sebesar 1.530-1.710 cm2, baru mampu menurunkan radiasi komputer sebesar 56,07 % atau kurang lebih setengah dari sebelum menggunakan tanaman tersebut. Dari hasil pengukuran radiasi komputer, diketahui bahwa semuanya masih memenuhi baku mutu yang ditetapkan 6). Hal ini mungkin karena layar monitor komputer yang digunakan sudah menggunakan jenis LCD dan ukurannya termasuk kecil yaitu hanya 16 inchi. Radiasi yang dipancarkan oleh layar LCD telah diketahui memang relatif rendah, dan semakin kecil ukuran layar monitor maka akan menghasilkan radiasi yang kecil juga 11). Komputer yang memiliki radiasi rendah, bukan berarti tidak menimbulkan efek sama sekali. Walaupun radiasi yang dihasilkan rendah, apabila penggunanya terpapar radiasi karena bekerja di depan komputer secara terus menerus, maka akan menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan mereka 13). Dampak kesehatan yang ditimbulkan dari radiasi komputer bisa dalam waktu singkat atau baru bisa muncul dalam hitungan tahun. Dampak dalam waktu singkat adalah mata menjadi berair dan lelah, produksi hormon melatonin berkurang, serta pupil mata menjadi lambat bereaksi terhadap cahaya. Adapun dampak negatif yang dapat dirasakan setelah 15 atau 20 tahun mendatang adalah katarak, dermatitis pada muka, iritasi kulit, epilepsi dan cacat bawaan pada bayi serta terjadi gangguan seksual pada pria ataupun wanita 5). Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh American Optometric Association (AOA), diketahui bahwa radiasi komputer dapat menyebabkan kelelahan mata dan gangguan mata lainnya. Keba-
20
nyakan gejala yang dikeluhkan adalah soal kelelahan mata, pandangan yang menjadi kabur dan mata kering. Masalah visual lainnya yang timbul adalah soal gangguan sakit kepala dan sakit leher atau bahu 14). Radiasi komputer di dalam ruang kerja di RS KIA Sadewa dapat turun setelah dikontakkan dengan tanaman Sansevieria trifasciata ‘Golden Hahnii’. Diketahui bahwa semakin luas permukaan daun Sansevieria yang digunakan, maka semakin mampu menurunkan radiasi komputer, walaupun penurunannya belum mencapai titik maksimal. Radiasi dari komputer akan melepas energi (ionisasi) ketika melewati atau menembus suatu materi atau benda. Proses ioniasi itu terjadi dalam jaringan tanaman sehingga menyebabkan perubahan sel genom, kromosom dan DNA atau gen. Perubahan ini disebut mutasi. Namun demikian, karena intensitas dari radiasi komputer sangat rendah maka mutasi yang terjadi dalam tanaman sangat lambat 12). Sansevieria trifasciata ‘Golden Hahnii’ menggunakan stomata sebagai vacuum cleaner untuk menyedot masuk radiasi komputer ke dalam sistem metabolisme di dalam tubuhnya. Radiasi yang telah diserap tersebut kemudian dikirim ke daun dan lalu dilanjutkan ke bagian akar. Di akar, mikroba yang ada di sana melakukan proses detoksifikasi dengan mempergunakan zat aktif pregnane glikosid yang terkandung di dalam tanaman ini. Melalui proses ini, mikroba akan menghasilkan berbagai zat yang diperlukan oleh tanaman tersebut seperti asam amino, gula, dan asam organik. Setelah didetoksifikasi, radiasi komputer dapat turun, sehingga udara di tempat di mana komputer tersebut berada memiliki tingkat radiasi yang relatif rendah 8). KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa variasi luas permukaan daun Sansevieria trifasciata ‘Golden Hahnii’) berpengaruh terhadap penurunan radiasi komputer yang digunakan di RS KIA Sadewa, Yogyakarta.
Larasati, Muryani & Husein, Pengaruh Berbagai Luas …
Luas permukaan daun yang digunakan dalam penelitian ini, yang paling efektif menurunkan radiasi komputer adalah 1.530-1.710 cm2, yaitu sebesar 0.351 x 10-4 mT atau 56,07 %. SARAN Untuk menurunkan tingkat radiasi komputer, pihak rumah sakit lokasi penelitian atau masyarakat umum pengguna komputer dapat meletakkan tiga pot tanaman Sansevieria trifasciata ‘Golden Hahnii’ di samping komputer yang digunakan. Selain efektif terhadap radiasi, tanaman ini juga dapat berfungsi sebagai hiasan. DAFTAR PUSTAKA 1. Rivendha, 2011. Media Elektronik (diunduh 9 Januari 2016 dari http:// hildaamelyayahoocom.blogspot.co.id /). 2. Swamardika, I. B. A., 2009. Pengaruh radiasi gelombang elektromagnetik terhadap kesehatan manusia, Jurnal Teknologi Elektro, 8 (1): hal. 106-109. 3. Murtopo, I. dan Sarimurni, 2005. Pengaruh radiasi layar komputer terhadap kemampuan daya akomodasi mata mahasiswa pengguna komputer di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, 6 (2): hal 153-163. 4. Dudung, 2014. 1000 Cara Mencegah Radiasi Komputer terhadap Mata, (diakses 12 Desember 2015 dari http://www.dosenpendidikan.com/ 1000-cara-mencegah-radiasi-komputer-terhadap-mata/). 5. Suhendi dan Fitriyana, 2013. Mewaspadai Pengaruh Negatif Radiasi
Komputer/Laptop terhadap Mata dan Tubuh Anda (diunduh 12 Desember 2015 dari http://www.safetysign.co.id /news/106/Mewaspadai-PengaruhNegatif-Radiasi-Komputer-Laptopterhadap-Mata-dan-Tubuh-Anda). 6. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. 7. Purwanto, A. W., 2006. Sansevieria Flora Cantik Penyerap Racun, Kanisius, Yogyakarta. 8. Mlipaki, Alfin, 2013. Sansevieria Penyerap 107 Jenis Racun, Radiasi dan Polutan, (diakses 25 Mei 2016 dari http://alfinlatife. blogspot.co.id/ 2013/12/sansevieria-penyerap-107jenis-racun.html). 9. Tahir, M., Idariani dan Sitanggang, M., 2008. 165 Sansevieria Eksklusif, PT AgroMedia Pustaka, Jakarta. 10. Notoatmodjo, S., 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. 11. Putra, R., 2008. Jago Komputer dalam Sehari,: PT. Tangga Pustaka, Jakarta. 12. Seed, 2015. Genetika: Analisa Mutasi (diakses 25 Mei 2016 dari https: //seedagronomist.wordpress.com/ 2015/10/31/genetika-analisa-mutasi/). 13. Humaidi, S., 2004. Radiasi Layar Monitor Komputer Pribadi (diunduh 25 Mei 2016 dari http://library.usu.ac. id/download/fmipa/fisika-syahrul.pdf). 14. Hernita, T., 2013. Lidah Mertua tanaman hias penyerap radiasi (diakses 25 Mei 2016 dari http://nithya93.blogspot.co.id/2013/10/lidah-mertua-tanaman-hias penyer ap.html).
21
PEMANFAATAN LIMBAH BULU AYAM SEBAGAI BAHAN TAMBAHAN PAKAN UNTUK PERTUMBUHAN (BERAT DAN PANJANG) IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Pipit Ika Lestari*, Yamtana**, Bambang Suwerda*** * JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Jl. Tatabumi 3, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY 55293 email:
[email protected] ** JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Abstract Chicken feather contain protein which is useful for the growth of livestock. The purpose of this study was to determine the effect of the addition of chicken feather waste to fish feed towards the growth (weight and length) of Nila fish. The chicken feather waste and feed preparation was took place at Sekawis Village of Kecamatan Kebonarum in Madiun. The breeding ponds of the fish was located at the Polytechnic of Health of Yogyakarta, in Tata Bumi Street No. 3 Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta. The Nila fish was obtained from “Mina Kepis” fish breeder community in Burikan Sub Village, Sumberadi Village, Mlati Subdistrict, Sleman Regency. The research method used was true experiment with pre-test post-test control group design. As the independent variable was three addition variation of chicken feather waste, i.e. 4 %, 7 %, and 10 %. The number of Nila fish for each feed variation was 20. The measurement of post-test was after 30 days feeding. The results of One Way Anova test at 95 % significance level show that the growth differences among the three variation of feed were signicant (p-values < 0,001), and the subsequent LSD test concludes that the 10 % addition of chicken feather waste to fish feed is the most effective towards the growth of Nila fish. Keywords : chicken feathers waste, fish feed, nila fish Intisari Bulu ayam memiliki kandungan protein yang berguna bagi pertumbuhan ternak. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui manfaat penambahan pakan yang ditambah dengan limbah bulu ayam terhadap pertumbuhan (berat dan panjang) ikan Nila (Oreochromis niloticus). Pengambilan limbah bulu ayam dan pengolahan pakan dilakukan di Dusun Sekawis, Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun. Adapun kolam pemeliharaan ikan Nila berlokasi Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Jl. Tata Bumi No. 3, Banyuraden, Gamping, Sleman. Ikan Nila yang diteliti berasal dari Kelompok Pembudidaya Ikan “Mina Kepis” di Dusun Burikan, Desa Sumberadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman. Metoda penelitian yang digunakan adalah eksperimen sungguhan (true experiment) dengan rancangan “pre-test post-test with control group”. Sebagai variabel bebas adalah tiga variasi penambahan limbah bulu ayam sebagai bahan tambahan pakan, yaitu sebanyak 4 %, 7 %, dan 10 %. Banyaknya ikan Nila untuk setiap variasi pakan adalah 20 ekor. Pengukuran post-test dilakukan setelah 30 hari pemberian pakan. Analisis data dengan menggunakan uji One Way Anova pada derajat kepercayaan 95 %, menunjukkan bahwa perbedaan pertumbuhan ikan Nila yang dihasilkan dari ketiga variasi pakan yang digunakan, berbeda secara bermakna (nilai-nilai p < 0,001), dan uji lanjutan LSD menyimpulkan bahwa variasi penambahan 10 % limbah bulu ayam ke dalam pakan ikan adalah yang paling efektif bagi pertumbuhan ikan Nila. Kata Kunci : limbah bulu ayam, pakan ikan, ikan nila
PENDAHULUAN Data Statistik Persampahan Domestik Indonesia pada tahun 2008 menyebutkan bahwa timbulan sampah di sumber yang berasal dari sampah pemukiman (rumah tangga) dan non-pemukiman adalah sebanyak 38,5 juta ton/tahun 1).
22
Salah satu sumber dihasilkannya sampah adalah tempat pemotongan ayam yang dalam proses produksinya selalu menghasilkan hasil samping berupa limbah yang dapat dibedakan menjadi limbah padat, cair dan gas 2). Laporan Data Kinerja Kementerian Pertanian pada tahun 2004 hingga 2012 menyata-
Lestari, Yamtana & Suwerda, Pemanfaatan Limbah Bulu …
kan terjadi peningkatan produksi daging sebesar 24,9 %, yaitu dari 2.020,4 ribu ton pada tahun 2004, menjadi 2.690,9 ribu ton pada 2012 3). Masalah penting di tempat pemotongan ayam salah satunya adalah limbah bulu, yang banyaknya berkisar antara 4-9 % dari bobot ayam hidup 4). Limbah bulu ayam yang berserakan di tempat pemotongan dapat menimbulkan bau yang tidak sedap, menjadi sumber penyebaran penyakit, dan menurunkan kualitas tanah 5). Bulu ayam memiliki kandungan protein mencapai 86,50 %, lemak 3,90 % dan energi metabolisme 3,047 %. Sementara itu, protein merupakan salah satu kandungan gizi yang memegang peranan penting dalam struktur dan fungsi tubuh ikan, seperti pertumbuhan dan sistem reproduksi. Ikan tidak mampu mensintesis protein dan asam amino dari senyawa nitrogen anorganik, sehingga keberadaan protein di dalam makanannya mutlak diperlukan 6). Energi metabolis dari bahan makanan adalah penggunaan energi paling banyak karena digunakan untuk hidup pokok, pertumbuhan, penggemukan dan produksi telur. Mengingat tingginya nutrisi yang dikandung, maka bulu ayam sangat berpotensi untuk dijadikan pakan hewan, salah satunya adalah ikan 7). Bulu ayam mengandung komposisi zat yang bermanfaat sebagai penambah berat ikan sehingga mampu meningkatkan hasil panen 10). Penambahan bulu ayam pada pakan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan panjang ikan 11). Pembuatan pakan ikan organik dengan bahan baku bulu ayam ditujukan untuk meningkatkan kadar protein, mengurangi biaya produksi pakan ikan, mempercepat pertumbuhan ikan dan membuat pakan alternatif 12). Metoda yang digunakan untuk menyusun pakan adalah Metoda Kuadrat yang merupakan cara perhitungan untuk menentukan kadar protein dalam pelet dengan bantuan bujur sangkar 8). Dengan metoda ini dihasilkan perhitungan kebutuhan bulu ayam sebagai tambahan pakan ikan untuk memenuhi kebutuhan
protein sebesar 7,3 % dari jumlah pakan yang akan dibuat. Ikan Nila layak dibudidayakan karena mampu tumbuh baik dalam air tawar maupun air payau, bahkan pada lingkungan yang memiliki kualitas air jelek dan memiliki pH asam. Daging ikan Nila beratnya mencapai 40 % dari berat badannya serta memiliki tekstur yang tidak lembek dan memiliki rasa yang enak 9). Pada uji pendahuluan yang dilaksanakan pada 20 Januari 2015 diberikan pakan dengan menggunakan formulasi 7 % bulu ayam dan 93 % pelet, dengan total berat pakan yang akan dibuat sebanyak 500 gr. Semua bahan tersebut dihaluskan dan kemudian dicampur dengan perekat yang terdiri dari tepung kanji dengan volume air 250 ml. Adonan kemudian diaduk hingga kental dan merata untuk kemudian dicetak menggunakan mesin penggiling daging yang ukuran lubang pengeluarannya bisa diubah-ubah, lalu kemudian dijemur hingga kering. Pakan selanjutnya diberikan pada ikan Nila yang berumur dua bulan. Hasil yang kemudian didapat adalah teramati adanya ketertarikan ikan Nila untuk memakan pakan buatan tersebut, yaitu ditandai dengan dimakannya 80 % pakan dan sisanya 20 % tenggelam ke dasar air dan mengalami perubahan ukuran menjadi lebih kecil. Limbah bulu ayam diambil dari Dusun Sekawis, di Kelurahan Tanjungrejo, Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun. Berdasarkan wawancara dan pengamatan pada lima tempat pemotongan ayam yag ada di sana, diperoleh informasi bahwa di masing-masing tempat pemotongan setiap harinya dimotong sekitar 25 ekor ayam. Limbah bulu ayam yang dihasilkan dijemur untuk kemudian dibakar dan sebagian dibiarkan berserakan di dekatnya. Karena penjemuran bulu ayam dilakukan di halaman rumah, maka selain menimbulkan bau yang tidak sedap juga mengganggu estetika. METODA Jenis penelitian yang dilakukan adalah true experiment dengan rancangan
23
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.1, Agustus 2016, Hal 22 – 28
“pre-test post-test with control group” yang hasilnya dianaliss secara deskriptif dan analitik 13). Obyek penelitian adalah ikan Nila yang berumur dua bulan yang berasal dari populasi yang hidup di kolam. Sementara itu, jumlah sampel yang digunakan adalah 80 ekor ikan, yaitu 60 ekor untuk tiga kelompok perlakuan, dimana setiap kelompok menggunakan 20 ekor ikan, dan 20 ekor untuk kelompok kontrol. Jumlah ikan tersebut berdasarkan pada perbandingan jumlah ikan dengan luas kolam. Kepadatan ikan yang ditebar adalah sebanyak 10-15 ekor/m2 dengan ukuran ikan antara 5-10 cm atau 15-30 gr/ekor 14). Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Kriteria ikan yang dapat digunakan untuk penelitian adalah: memiliki warna cerah, tidak kusam, sisik rapi dan masih berlendir, bagian tubuh tidak cacat atau luka, gesit atau memiliki respon yang cepat dan makannya lahap, dan memiliki berat antara 15-30 gr. Jalannya penelitian secara garis besar terdiri dari: penyiapan kolam, pengolahan bulu ayam, pencampuran olahan bulu ayam dengan pelet, melakukan pengukuran pre-test dan post-test, dan analisis data. Kolam yang disiapkan berukuran panjang 256,5 cm, lebar 250,8 cm, dan tinggi 50 cm. Kolam dibagi menjadi empat bagian, yaitu terdiri dari tiga kolam kelompok perlakuan dan satu kolam kelompok kontrol. Setiap kolam dibuat sekat lagi sejumlah 30 berukuran panjang 28,5 cm dan lebar 22,8 cm menggunakan jaring berbahan nylon untuk membedakan sampel ikan. 20 kotak digunakan untuk sampel dan 10 kotak lainnya untuk cadangan. Bulu ayam diolah dengan cara: dicuci dengan air bersih yang mengalir, dikukus selama 30 menit, dan kemudian dijemur selama 1 x 24 jam. Setelah itu, olahan bulu ayam dicampur dengan pelet dengan cara: kedua bahan dihaluskan dengan blender, dibuat campuran bahan sesuai dengan variasi yang diinginkan, adonan diaduk dan dicetak de-
24
ngan mesin penggiling daging yang ukuran lubangnya dapat diubah sesuai keperluan, hasil cetakan dipotong dengan pisau sesuai ukuran yang diinginkan dan kemudian dikeringkan di bawah terik matahari kurang lebih selama 2 jam. Pengukuran pre-test berat dan panjang ikan dilakukan sebelum Nila dimasukkan ke dalam kolam. Adapun pengukuran post-test untuk parameter yang sama dilakukan 30 hari setelah ikan diberi pakan. Kelompok kontrol diberi pakan pelet saja sedangkan ketiga kelompok perlakuan diberi pakan campuran pelet dan olahan bulu ayam dengan variasi persentase yang berbeda, yaitu: 4 %, 7 % dan 10 %. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari yaitu pagi pukul 08.00 WIB dan sore pukul 16.00 WIB. Jumlah pakan yang diberikan 2-3 % dari berat total ikan yang ditebar per hari atau 18 gr pada dua minggu pertama (15 hari) dan 22,5 gr pada minggu kedua (15 hari) pada setiap kelompok perlakuan dan kontrol. Setiap dua minggu sekali pemberian pakan dinaikkan secara berkala dengan patokan awal adalah kepadatan tebar atau sebanyak 4,5 gr pada setiap kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Analisis data menggunakan uji One Way Anova dan uji LSD dari program SPSS 16 for windows. Uji parametrik tersebut dapat dilakukan karena berdasarkan pengujian normalitas data menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, data untuk variabel berat ikan dan panjang ikan, keduanya disimpulkan memenuhi asumsi distribusi normal (nilai p > 0,05). Semua uji statistik di atas menggunakan derajat kebermaknaan 95 %. HASIL Grafik 1 menunjukkan berat rata-rata ikan Nila tertinggi untuk pengukuran post-test dihasilkan dari kelompok perlakuan dengan konsentrasi penambahan limbah bulu ayam 10 %, yaitu sebesar 42,75 gram, dan yang terrendah ditemui pada kelompok kontrol yaitu sebesar 31,75 gram.
Lestari, Yamtana & Suwerda, Pemanfaatan Limbah Bulu …
Hasil uji statistik dengan One Way Anova diperoleh nilai p < 0,05; yang dapat diinterpretasikan bahwa perbedaan berat badan ikan Nila yang terlihat tersebut memang bermakna. Adapun hasil uji lanjutan dengan LSD sebagaimana tersaji pada Tabel 1 menyimpulkan bahwa konsentrasi variasi yang paling efektif untuk pertumbuhan berat adalah 10 %. Grafik 1. Berat rata-rata ikan Nila (gr) sebelum dan setelah 30 hari perlakuan
pat diinterpretasikan bahwa perbedaan panjang ikan Nila yang terlihat tersebut memang bermakna. Adapun hasil uji lanjutan dengan LSD sebagaimana tersaji pada Tabel 2 menyimpulkan bahwa konsentrasi variasi yang paling efektif adalah 10 %. Grafik 2. Panjang rata-rata ikan Nila (cm) sebelum dan setelah 30 hari perlakuan 12,8
12,175
11,3
42,75 9,525
38,5 34,75
7,85
31,75
17,25
16,50
7,725
4%
7%
pre-test
7,5
17,5
17,25
kontrol kontrol
7,725
Tabel 1. Rekapitulasi hasil uji LSD kenaikan berat rata-rata ikan Nila setelah 30 hari perlakuan Perbandingan antara
Nilai p
Kesimpulan
Kontrol & 4 %
0,033
Bermakna
Kontrol & 7 %
< 0001
Bermakna
Kontrol & 10 %
< 0,001
Bermakna
4%&7%
0,087
Tidak bermakna
4 % & 10 %
< 0,001
Bermakna
7 % & 10 %
0,024
Bermakna
Grafik 2 menunjukkan rerata panjang ikan Nila tertinggi dan terrendah untuk pengukuran post-test dihasilkan berturut-turut dari kelompok perlakuan dengan konsentrasi penambahan limbah bulu ayam 10 % dan kontrol, yaitu sebesar 12,8 gram dan 9,525 gram. Hasil uji statistik dengan One Way Anova diperoleh nilai p < 0,05; yang da-
7%
pre-test
10%
post-test
4%
10%
post-test
Tabel 2. Rekapitulasi hasil uji LSD kenaikan panjang rata-rata ikan Nila setelah 30 hari perlakuan Perbandingan antara
Nilai p
Kesimpulan
Kontrol & 4 %
< 0,001
Bermakna
Kontrol & 7 %
< 0001
Bermakna
Kontrol & 10 %
< 0,001
Bermakna
4%&7%
0,011
Bermakna
4 % & 10 %
0,013
Bermakna
7 % & 10 %
< 0,001
Bermakna
Tabel 3 menyajikan data mengenai rata-rata pertumbuhan berat dan panjang ikan Nila setelah 30 hari perlakuan. Terlihat bahwa pertumbuhan berat yang terbesar terdapat pada kelompok perlakuan dengan konsentrasi 10 % yaitu 10,75 gram (42,57 %), dan yang tekecil pada kelompok perlakuan konsentrasi 4 %, yaitu sebesar 3,75 gram (20,54 %). Sementara itu, untuk pertumbuhan panjang ikan, yang paling tinggi juga dari ke-
25
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.1, Agustus 2016, Hal 22 – 28
lompok perlakuan konsentrasi 10 %, yaitu sebesar 3,625 cm (68,39 %) dan terrendah pada kelompok perlakuan konsentrasi 7 %, yaitu sebesar 1,90 cm atau 53,10 %. Tabel 3. Rata-rata pertumbuhan berat dan panjang ikan Nila setelah 30 hari perlakuan Perlakuan
Berat (gr)
%
Panjang (cm)
%
4%
3,75
20,54
2,775
62,36
7%
7,00
32,90
1,90
53,10
10 %
10,75
42,57
3,625
68,39
Dalam penelitian ini, tidak semua Nila yang dipelihara, hidup sampai dengan akhir penelitian. Pada kelompok kontrol ada 33,33 % ikan yang mati, sementata pada kelompok perlakuan 4 %, 7 % dan 10 %, berturut-turut ada 20,0 %, 26,67 %, dan 10,0 % ikan yang mati. PEMBAHASAN Pengamatan yang dilakukan pada satu minggu pertama yaitu antara tanggal 15-22 Mei 2015, di setiap kolam penelitian baik kelompok kontrol maupun perlakuan, ikan Nila yang dipelihara terlihat kurang memberikan respon yang cepat ketika diberi pakan. Selama satu minggu penelitian terdapat 27 ekor ikan yang mati, yaitu masing-masing 10 ekor di kolam kontrol, 8 ekor di kolam I (perlakuan 4 %), 6 ekor di kolam II (perlakuan 7 %), dan 3 ekor di kolam III (perlakuan 10 %). Namun demikian, antara minggu kedua sampai minggu ke-empat, aktivitas ikan Nila kembali normal dan memiliki respon yang cepat ketika diberi pakan. Ikan ini memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan hidupnya, sehingga setelah mampu beradaptasi, aktivitasnya akan kembali normal 15). Kematian ikan Nila paling banyak terdapat pada kolam kontrol yang diberi pakan berupa pelet. Hal ini mungkin karena kolam tersebut terkena sinar matahari langsung dan tidak dipindah karena
26
terbatasnya lahan penelitian. Sisa pakan dan kotoran ikan yang jatuh ke dasar kolam tidak dapat dibersihkan karena terhalang oleh jaring penyekat sehingga menghasilkan racun dan menyebabkan kelebihan nutrisi pada air yang ditandai dengan adanya pertumbuhan ganggang pada jaring penyekat. Kolam pembesaran ikan tidak dilengkapi dengan aerator sehingga tidak ada suplai oksigen, sementara ganggang dapat tumbuh pada kadar oksigen rendah, adanya nutrisi, dan sinar matahari yang melimpah 16). Ikan Nila dapat mengalami kematian akibat keracunan ganggang karena adanya bahaya kekurangan oksigen. Kolam penelitian memiliki tinggi 50 cm dan kedalaman 40 cm dengan kondisi setiap ikan Nila berada pada satu petak jaring penyekat. Sedangkan kedalaman kolam yang baik untuk pembesaran ikan Nila di kolam terpal adalah antara 80-100 cm 17). Kebiasaan hidup ikan Nila yang bergerombol dan dapat bergerak bebas, menjadi terbatas dengan adanya sekat tersebut, sehingga mengalami stress. Penelitian berlangsung saat memasuki musim pancaroba yang mengakibatkan terjadinya perubahan suhu lingkungan. Padahal penyakit ikan dapat berkembang karena adanya perubahan suhu 18). Penyebab kematian ikan adalah adanya penyakit yang jika diperhatikan pada bagian tubuhnya terdapat benangbenang halus menyerupai kapas. Penyakit ini disebut penyakit mycosis yang disebabkan oleh jamur Saprolegnia dan Achlya 19). Proses pengukuran berat dan panjang ikan Nila yang memakan waktu ± 40 detik dengan kondisi ikan kekurangan air, menyebabkan sebagian ikan lompat keluar dari timbangan ataupun dari nampan tempat pengukuran. Penanganan yang tidak baik dapat mengakibatkan ikan-ikan tersebut menjadi stres, memar, atau luka, sehingga membuka peluang bagi terjadinya serangan dari organisme yang bersifat infektif. Keterbatasan kolam yang tidak dapat bersirkulasi setiap saat juga dapat menghambat pertumbuhan ikan hingga
Lestari, Yamtana & Suwerda, Pemanfaatan Limbah Bulu …
menyebabkan kematian. Pergantian air hanya dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pagi dan sore sebelum pemberian pakan 18). Cara yang dilakukan untuk mencukupi jumlah sampel dan data yang hilang akibat kematian ikan adalah dengan mengambil ikan cadangan pada setiap kolam yang telah diketahui berat dan panjangnya. Untuk setiap kotak ikan yang kosong segera diisi dengan ikan Nila baru yang telah diketahui berat dan panjangnya. Ikan Nila yang digunakan untuk penelitian berasal dari Kelompok Pembudidaya Ikan (KPI) “Mina Kepis”. Ikan Nila yang dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, seperti: memiliki warna cerah, tidak kusam, sisik rapi dan masih berlendir, bagian tubuh tidak cacat atau luka, gesit atau memiliki respon yang cepat dan makannya lahap, memiliki umur dua bulan dan ukuran berat awal antara 15-30 gram dan panjang awal antara 5-10 cm. Kadar protein yang tinggi akan menolong proses pertumbuhan ikan menjadi lebih singkat dan lebih cepat utuk dipanen 12). Pakan buatan dikembangkan untuk mencari bahan pakan yang memenuhi kebutuhan optimal protein bagi pertumbuhan ikan 6). Manfaat dari bulu ayam terhadap pertumbuhan berat dan panjang ikan Nila yang paling tinggi terdapat pada kelompok perlakuan dengan konsentrasi 10 % dengan pertumbuhan berat sebesar 42,57 % atau 10,75 gram, dan pertumbuhan panjang sebesar 68,39 % atau 3,625 cm. Namun demikian, berdasarkan hasil uji LSD, selisih berat ikan Nila sebelum dan setelah perlakuan selama 30 hari antara kelompok perlakuan 4 % dan 7 % tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (nilai p = 0,087) yang berarti pertumbuhan berat ikan pada kedua kelompok perlakuan tersebut tidak berbeda, walaupun memiliki selisih panjang tubuh antara pre-test dan post-test yang berbeda, yaitu rata-rata 4,45 cm untuk variasi pakan 4 % dan 3,575 cm untuk variasi pakan 7 %. Hal ini dikarenakan per-
tumbuhan berat dan panjang ikan Nila belum terlihat signifikan karena adanya keterbatasan waktu penelitian yaitu hanya 30 hari. Perbedaan jenis kelamin ikan yang tidak diperhatikan saat penelitian juga dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan Nila. Ikan Nila jantan memiliki pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan betina 19). Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa semakin banyak jumlah limbah bulu ayam yang dicampurkan pada pelet maka semakin tinggi pula kandungan protein, yang berdampak pada percepatan pertumbuhan ikan Nila. Karenanya, dapat dimungkinkan bahwa penambahan konsentrasi bulu ayam lebih dari 10 % akan mampu memberikan dampak yang lebih baik bagi pertumbuhan ikan tersebut. KESIMPULAN Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penambahan berbagai variasi limbah bulu ayam sebagai bahan tambahan pakan bermanfaat terhadap pertumbuhan (berat dan panjang) ikan Nila, dimana variasi penambahan yang paling efektif adalah konsentrasi 10 % dengan hasil pertambahan rata-rata berat dan panjang ikan mencapai 25,25 gram dan 5,3 cm. SARAN Bagi pembudidaya ikan, limbah bulu ayam dapat dimanfaatkan menjadi bahan tambahan pada pelet sebagai sumber protein untuk mempercepat pertumbuhan ikan serta mengurangi biaya untuk pembelian pakan. Penggunaan limbah bulu ayam sebesar 10 % dari berat total pakan yang akan dibuat disarankan digunakan untuk mempercepat pertumbuhan berat dan panjang ikan. Untuk penelitian lanjutan, disarankan beberapa hal yaitu: meneliti variasi penambahan limbah bulu ayam di atas 10 %, melakukan pengukuran kadar air pada pakan buatan agar sesuai dengan yang dipersyaratkan, kolam pembesaran ikan sebaiknya didesain agar air bisa
27
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.1, Agustus 2016, Hal 22 – 28
bersirkulasi setiap saat sehingga pertumbuhan ikan tidak terhambat, kolam pembesaran ikan sebaiknya ditempatkan di tempat yang teduh, pengukuran berat ikan sebaiknya menggunakan alat ukur berupa timbangan gantung digital karena obyek penelitian merupakan benda hidup sehingga proses penimbangan menjadi lebih mudah dan efisien serta meningkatkan keakuratan hasil pengukuran, selain itu juga sebaiknya mengunakan kolam yang sesungguhnya sebagai tempat pemeliharaan ikan. DAFTAR PUSTAKA 1. Murtidjo, B. A., 2001. Pedoman Meramu Pakan Ikan, Kanisius, Yogyakarta. 2. Singgih, M. L. & Kariana, M., 2008. Peningkatan produktifitas & kinerja lingkungan dengan pendekatan green productivity pada rumah pemotongan ayam XX, Jurnal Purifikasi. 3. Kementerian Pertanian, 2013. Laporan Data Kinerja Kementerian Pertanian Tahun 2004-2012 (http://ppid. pertanian.go.id/library/content/file/pdf diunduh 4 Januari 2015) 4. Arifin, T.,2008. Pemanfaatan Limbah Bulu Ayam Potong Metode Penguusan utuk Bahan Ransum Ayam Potong (http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6599, diunduh 29 Januari 2015). 5. Dolvino, 2014. Pembahasan Limbah Ayam terhadap Lingkungan (http:// www.scribd.com/doc/243522033/Pe mbahasan-Limbah-Ayam-TerhadapLingkungan-docx#scribd, diunduh 29 Januari 2015). 6. Kementerian Lingkungan Hidup, 2008. Statistik Persampahan Indonesia Tahun 2008 (http://www.scribd. com/doc/55894096/Statistik-Persampahan-Indonesia-2008, diakses 14 Januari 2015). 7. Afrianto, E., & Liviawaty, E.,. 2005. Pakan Ikan, Pembuatan, Penyimpanan, Pengujian, Pengembangan, Kanisius, Yogyakarta.
28
8. Andrianto, T. T., 2007. Pedoman Praktis Budidaya Ikan Nila, Absolut, Yogyakarta. 9. Cahyono, B., 2000. Budi Daya Ikan Air Tawar. Kanisius, Yogyakarta. 10. Anggraeni, R., 2014. Pelet Bulu, Solusi Penambah Berat Badan Ikan (http://edukasi.kompasiana.com/201 4/07/22/mahasiswa-universitas-sanata-dharma-berhasil-mengembangkan-pelet-ikan-organik-berbahan-dasar-limbah-bulu-ayam-669700.html, diakses 11 Februari 2015). 11. Anggriana, T. dkk., 2000. Pengaruh Tepung Bulu Ayam dan Tepung Ikan dalam Pakan terhadap Laju Sintesan dan Pertumbuhan Ikan Gurame (http: //bbat-sukabumi.tripod.com/nutrisi. html, diakses 3 Juli 2015). 12. Alamsyah, A., Andre D., dkk. 2013. Pembuatan Pangan Ternak Lele Organik Berbahan Baku Protein dari Bulu Ayam dengan Metode Fermentasi Bio, Prosiding SNST ke-4, Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim, Semarang. 13. Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. 14. Khairuman dan Amri, K., 2008. Budi Daya Ikan Nila secara Intensif, Agro Media Pustaka, Jakarta. 15. Alim, T., 2013. Pertumbuhan Alga (http://www.biologi-sel.com/2013/07/ pertumbuhan-alga.html, diakses 2 Agustus 2015). 16. Kordi, M. G. H. K., 2010. Panduan Lengkap Memelihara Ikan Air Tawar di Kolam Terpal, Lily Publisher, Yogyakarta. 17. Kordi, M. G. H. K., 2013. Budi Daya Nila Unggul, Agro Media Pustaka, Jakarta. 18. Cahyono, B., 2001. Budi Daya Ikan di Perairan Umum, Kanisius, Yogyakarta. 19. Gustiano, R., dkk., 2005. Pertumbuhan Jantan dan Betina 24 Famili Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada Umur 6 bulan.
PENGGUNAAN MEDIA KARTU PUTAR DALAM PENYULUHAN UNTUK MENINGKATKAN PENGETAHUAN MENCUCI TANGAN MEMAKAI SABUN PADA SISWA SD TEGALREJO 2 KOTA YOGYAKARTA Ikfina Agustina*, Siti Hani Istiqomah**, M. Mirza Fauzie** * JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Jl. Tatabumi 3, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY 55293 email:
[email protected] ** JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Abstract The practice of handwashing with soap need to be applied in early age as a disease prevention effort. One of the important main target groups is elementary school students. Counseling can be maximally accepted if the media used is appropriate with the target. The appropriate media of elementary school students is something that attract their attention so that can enable the delivery of the messages, such as pictured media, and one of which is named “rotating cards”. This study was aimed to determine the effect of those cards used in a counselling for increasing the knowledge about handwashing with soap. The study was a quasi experiment with pre-test post-test control group design, and was condected in Tegalrejo 2 Elementary School of Yogyakarta City. The study subject consisted of 30 students of Grade IV A and V A as the treatment group and 30 students of class IV B and V B as the control group. The study results show that the use of “rotating cards” can increase the knowledge of treatment group (average=3,07) higher than that of the control group (average=1,57). The statistical analysis using independent ttest obtained p value = 0,013, which shows that the difference is significant. Based on the result, it can be concluded that the use of the card media in counseling activities, influences the knowledge of handwashing with soap among students of Tegalrejo 2 Elementary School. Keywords : counseling, rotating card media, handwashing with soap elementary school students Intisari Praktik mencuci tangan menggunakan sabun perlu diterapkan sejak dini sebagai upaya pencegahan penyakit. Salah satu kelompok sasaran utama yang penting adalah murid sekolah dasar. Penyuluhan dapat diterima dengan maksimal jika media yang digunakan sesuai dengan sasaran. Media yang tepat digunakan untuk siswa sekolah dasar adalah yang dapat menarik perhatian mereka sehingga mempermudah dalam penyampaian pesan, seperti media bergambar. Salah satu media tersebut diberi nama kartu putar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan media kartu putar dalam penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan cuci tangan pakai sabun. Penelitian ini merupakan eksperimen semu dengan desain pre-test post-test with control group, dan berlokasi di SD Tegelrejo 2 Kota Yogyakarta. Subyek penelitian terdiri dari siswa kelas IV A dan V A yang berjumah 30 anak sebagai kelompok perlakuan dan siswa kelas IV B dan V B yang juga berjumlah 30 anak sebagai kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan kartu putar dapat meningkatkan skor pengetahuan pada kelompok eksperimen (rata-rata 3,07) lebih besar daripada kelompok kontrol (rata-rata 1,57). Hasil analisis statistika menggunakan uji t-test bebas pada derajat kebermaknaan 95 %, menghasilkan p-value = 0,013, yang menunjukkan bahwa perbedaan peningkatan pengetahuan tersebut signifikan. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan media kartu putar pada kegiatan penyuluhan mempengaruhi peningkatan pengetahuan cuci tangan pakai sabun siswa di SD Tegalrejo 2. Kata Kunci : penyuluhan, media kartu putar, cuci tangan pakai sabun, murid sekolah dasar
PENDAHULUAN Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2014, Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) adalah pendekatan untuk mengubah perilaku hi-
gienis dan saniter melalui pemberdayaan masyarakat dengan cara pemicuan. Salah satu pilar dalam STBM adalah Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) yang merupakan cara yang sederhana, mudah, murah dan bermanfaat.
29
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.1, Agustus 2016, Hal 29 – 34
CTPS dapat mencegah penyakit penyebab Diare dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang keduanya merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak. Perilaku cuci tangan pakai sabun dapat menurunkan angka kejadian penyakit Diare sebesar 50 %1). Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013 menyebutkan bahwa proporsi penduduk berumur di atas 10 tahun yang berperilaku cuci tangan dengan benar baru 47 %. Penelitian lain menyebutkan bahwa perilaku sehat seperti mencuci tangan dengan sabun kurang dipromosikan sebagai perilaku pencegahan penyakit dibandingkan dengan promosi obat-obatan flu oleh staf kesehatan 1). Penyediaan sarana CTPS dan penyuluhan kesehatan, diperlukan di sarana-sarana pendidikan terutama sekolah dasar. Salah satu kelompok sasaran utama CTPS adalah anak sekolah, karena mereka sangat peka untuk menerima perubahan dan pembaharuan. Anak sekolah adalah usia yang sedang berada pada taraf pertumbuhan dan perkembangan. Pada taraf ini anak dalam kondisi peka terhadap stimulus sehingga mudah untuk dibimbing, diarahkan dan ditanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, termasuk kebiasaan hidup bersih dan sehat 2). Persyaratan penyediaan tempat cuci tangan yang memenuhi syarat, tercantum dalam Kepmenkes RI No. 1429 tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Sekolah, yaitu setiap sekolah tersedia tempat cuci tangan dengan air bersih dan mengalir di depan ruang kelas, minimal satu tempat cuci tangan untuk dua kelas. Penyuluhan kesehatan dilakukan untuk perubahan dan tindakan pemeliharaan yang didasarkan pada pengetahuan dan kesadaran melalui proses pembelajaran 3). Salah satu metoda yang dapat digunakan dalam kegiatan penyuluhan kesehatan adalah dengan menggunakan media pembelajaran. Media kartu putar merupakan suatu alat yang berisi pengetahuan tentang cuci tangan pakai sabun yang meliputi pengertian, langkah cuci tangan dengan
30
metoda WHO, waktu penting mencuci tangan dan manfaat cuci tangan pakai sabun. Langkah cuci tangan yang tersaji dalam kartu putar dapat terlihat jika responden menyatukan angka dan anak panah dengan cara memutar searah jarum jam. Pemilihan media kartu putar didasarkan pada usia perkembangan kognitif anak sekolah dasar yang merupakan tahap perkembangan operasional konkret, yaitu aktifitas mental yang difokuskan pada obyek-obyek atau peristiwa yang nyata dan dapat diukur 4). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan media kartu putar dalam penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan siswa di SD Tegalrejo 2 Kota Yogyakarta mengenai mencuci tangan dengan memakai sabun. Sementara itu, manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai penggunaan kartu putar sebagai media pembelajaran dan penyuluhan. METODA Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen semu dengan desain pre-test post-test with control group 5). Kelompok eksperimen adalah kelompok responden yang diberi penyuluhan dengan menggunakan media kartu putar dan ceramah, sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok responden yang diberi penyuluhan hanya dengan metoda ceramah. Subyek penelitian adalah siswa kelas IV dan V SD Tegalrejo 2 dengan besar populasi sebanyak 124 siswa. Sebagai sampel sekaligus responden adalah 30 siswa kelas IV A dan V A sebagai kelompok perlakuan dan 30 siswa kelas IV B dan V B sebagai kelompok kontrol. Mereka dipilih menggunakan teknik proportional random sampling Pelaksanaan penelitian meliputi tahap persiapan dan pelaksanaan. Pada tahap persiapan, yang dilakukan adalah: pengurusan perijinan, pembuatan instrumen penelitian, pengujian instrumen penelitian serta pembuatan media kartu putar. Adapun langkah-langkah pada tahap
Agustina, Istiqomah & Fauzie, Penggunaan Media Kartu …
pelaksanaan, terdiri dari kegiatan-kegiatan: pengukuran pre test, pencairan suasana, pelaksanaan penyuluhan dan pengukuran post test. Tahap ini dilaksanakan pada tanggal 2-11 April 2016. Data yang dikumpulkan diolah secara deskriptif dan analitik. Secara deskriptif data ditabulasi ke dalam tabel dan grafik, sedangkan secara analitik dilakukan analisis statisik dengan t-test bebas pada taraf signifikansi (Į) 0,05. HASIL Karakteristik Responden Sebagian besar responden berumur 11 tahun, baik di kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Jenis kelamin pada kelompok perlakuan, laki-laki lebih banyak, sedangkan pada kelompok kontrol jumlahnya sama besar. Selengkapnya, dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Karakteristik responden berdasarkan umur Umur (thn)
Klpk perlakuan %
%
9
2
6,67
2
6,67
10
8
26,67
12
40,0
11
17
56,67
13
43,33
12
1
3,33
3
10,0
13
2
6,67
0
0,0
Jumlah
30
100
30
100
Tabel 2. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin Klpk perlakuan
Tabel 3. Tingkat pengetahuan CTPS pada siswa kelompok perlakuan
Klpk kontrol
%
%
Laki-laki
15
50,0
17
56,67
Perempuan
15
50,0
13
43,33
Jumlah
30
100
30
100
Tingkat Pengetahuan Hasil pengukuran pengetahuan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: Kurang, Cukup dan Baik. Selengkap-
Pre-test
Post-test
Tingkat penge tahuan
%
%
Kurang
10
33,33
2
6,67
Cukup
16
53,33
6
20,0
Baik
4
13,33
22
73,33
Jumlah
30
100
30
100
Tabel 4. Tingkat pengetahuan CTPS pada siswa kelompok kontrol
Klpk kontrol
Jenis kelamin
nya dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4 berikut. Tabel 3 memperlihatkan bahwa pada kelompok perlakuan terjadi perubahan tingkat pengetahuan antara sebelum dan setelah dilakukannya penyuluhan. Sebelum penyuluhan dengan kartu putar, tingkat pengetahuan terbanyak ada pada kategori Cukup dengan 16 siswa (53,33 %), sedangkan setelah dilakukan penyuluhan, tingkat pengetahuan terbanyak ditemui di kategori Baik dengan 22 siswa (73,33 %).
Pre-test
Post-test
Tingkat penge tahuan
%
%
Kurang
8
26,67
2
6,67
Cukup
13
43,33
11
36,67
Baik
9
30,00
17
56,67
Jumlah
30
100
30
100
Tabel 4 memperlihatkan bahwa perubahan tingkat pengetahuan juga terjadi di kelompok kontrol. Sebelum dilakukan penyuluhan berupa ceramah, tingkat pengetahuan terbanyak ada pada kategori Cukup, yaitu 13 siswa atau 43,33 %, sementara setelah dilakukan penyuluhan, tingkat pengetahuan terbanyak dijumpai pada kategori Baik dengan 17 siswa atau 56,67 %. Besarnya kenaikan nilai untuk masing-masing kelompok penelitian tersebut dapat dilihat pada Grafik 1, dan ratarata kenaikan nilainya berdasarkan umur tersaji pada Tabel 5. Terlihat bahwa ke-
31
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.1, Agustus 2016, Hal 29 – 34
naikan pada kelompok perlakuan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kenaikan pada kelompok kontrol. Grafik 1. Perbandingan rerata kenaikan skor pengetahuan cuci tangan pakai sabun antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
lima butir sementara pada kelompok kontrol lebih banyak, yaitu sembilan butir. Selengkapnya, dapat dilihat pada Tabel 6 berikut: Tabel 6. Persentase jawaban benar hasil pengisian kuesioner antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
92,00
Pertanyaan
47,00
klp perlakuan
klp kontrol
Tabel 5. Rata-rata kenaikan skor kelompok perlakuan dan kelompok kontrol berdasarkan umur Umur (thn)
Rata-rata kenaikan skor Kelompok perlakuan
Kelompk kontrol
9
2,50
3,00
10
2,62
0,00
11
3,53
2,61
12
5,00
2,33
13
0,50
2,33
Jawaban dari tiap soal pada pengisian kuesioner direkapitulasi untuk mengetahui butir pengetahuan mana yang baik dan kurang, sehingga dapat diketahui efektifitas dari kartu putar dalam menjawab tiap soal. Jika jumlah jawaban benar pada setiap soal 80 %, maka dapat dikategorikan bahwa pengetahuan yang ditanyakan dalam soal tersebut telah dikuasai dengan baik oleh siswa, sedangkan jika 80% maka pengetahuan tersebut belum atau kurang dikuasai dengan baik. Pada kelompok perlakuan, soal-soal yang belum dijawab dengan baik ada
32
Hasil (%) Klp perlakuan
Ketr
Klp kontrol
Ketr
P1
50,00
Kurang
66,67
Kurang
P2
93,33
Baik
90,00
Baik
P3
90,00
Baik
90,00
Baik
P4
76,67
Kurang
73,33
Kurang
P5
90,00
Baik
93,33
Baik
P6
100
Baik
100
Baik
P7
80,00
Baik
60,00
Kurang
P8
96,67
Baik
100
Baik
P9
80,00
Baik
70,00
Kurang
P10
90,00
Baik
70,00
Kurang
P11
76,67
Kurang
63,33
Kurang
P12
66,67
Kurang
70,00
Kurang
P13
73,33
Kurang
60,00
Kurang
P14
93,33
Baik
76,67
Kurang
P15
90,00
Baik
83,33
Baik
Uji t-Test Bebas Berdasarkan uji yang dilakukan dengan menggunakan data kenaikan nilai pengetahuan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, diperoleh p-value sebesar 0,013, yang berarti bahwa perbedaan kenaikan yang tampak, memang bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa penyuluhan menggunakan media kartu putar memberikan pengaruh yang bermakna dibandingkan dengan penyuluhan dengan metoda ceramah saja PEMBAHASAN Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa penggunaan media kartu putar meningkatkan efektifitas dari penyuluhan. Hal ini dikarenakan penggunaan media dapat mempermudah responden me-
Agustina, Istiqomah & Fauzie, Penggunaan Media Kartu …
mahami dengan cepat materi yang diberikan dalam penyuluhan 6). Jika dilihat berdasarkan urutan intensitas alat bantu dalam kerucut Edgar Dale, benda asli mempunyai intensitas yang paling tinggi untuk mempersepsikan bahan penyuluhan, sementara penyampaian materi dengan kata-kata saja, kurang efektif 7). Kartu putar memiliki desain dengan gambar dan bentuk yang menarik serta dapat digunakan sebagai alat bermain oleh siswa. Kelebihan media ini, di antaranya adalah: mempermudah penyampaian materi, menarik perhatian siswa, membantu siswa untuk cepat memahami materi dan menumbuhkan kemampuan untuk berusaha mempelajari sendiri materi CTPS. Penggunaan kartu putar dalam penyuluhan membuat siswa lebih mandiri sekaligus dapat belajar secara berkelompok. Siswa sekolah dasar memiliki karakteristik senang bekerja dalam kelompok dan mempergerakkan sesuatu secara langsung 8). Berdasarkan pengamatan peneliti, dalam mengikuti proses penyuluhan, siswa yang menggunakan kartu putar lebih antusias dan aktif bertanya dan memperagakan cuci tangan di depan kelas. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Hamida, bahwa penyuluhan tanpa menggunakan media yang menarik minat responden akan bersifat centered (berpusat pada guru) sehingga siswa kurang aktif 9). Penyuluh dalam kegiatan penyuluhan harus dapat menguasai sasaran dengan menunjukkan sikap yang meyakinkan, bahasa yang mudah dimengerti dan suara cukup keras. Adapun pada proses penyuluhan yang dilakukan oleh peneliti, ada selingan pemberian doorprize agar siswa menjadi lebih tertarik. Responden yang menggunakan kartu putar memiliki kenaikan skor yang lebih besar dibandingkan kelompok kontrol menunjukkan bahwa indera yang paling banyak menyalurkan pengetahuan adalah mata 6). Tingkat pengetahuan sendiri dipengaruhi oleh umur, dimana semakin bertambah umur maka taraf berpikir seseorang akan semakin dewasa 2). Anak usia 9-13 tahun sudah dapat berfikir se-
cara realistik, memiliki rasa ingin tahu dan ingin belajar sesuatu yang baru 10). Hal tersebut terlihat pada saat kegiatan berlangsung, siswa antusias saat mendapat kartu putar yang dapat digunakan sebagai media permainan dan belajar selain juga dapat memecahkan soal pada saat pre-test dan post-test. Kartu putar efektif digunakan untuk mengetahui lima materi tentang cuci tangan yaitu: tujuan mencuci tangan, akibat dari tidak mencuci tangan, mengapa mencuci tangan harus menggunakan sabun, serta waktu-waktu penting dan langkah-langkah mencuci tangan. Beberapa penelitian sebelumnya tentang penyuluhan CTPS dilakukan oleh Reza 11) yang menggunakan metoda peer group, sementara Hidayati 12) meneliti penggunaan media permainan ular tangga. Keduanya menyimpulkan bahwa ada perbedaan hasil yang signifikan antara penyuluhan yang menggunakan dan yang tidak menggunakan media. Hasil penelitian ini sesuai pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnamawati 13) tentang penggunaan media kartu dan Darma 14) tentang penyampaian materi menggunakan permainan kartu kwartet dalam pembelajaran dan berpengaruh terhadap keaktifan belajar. Keduanya meyimpulkan bahwa penggunaan media memberikan pengaruh, baik dalam keaktifan maupun hasil belajar siswa. Media dalam penyuluhan dapat menolong mengatasi hambatan dalam pemahaman dan memudahkan penyampaian informasi 6). Penggunaan media yang menarik perhatian terbukti dapat membuat anak-anak usia sekolah lebih mudah memahami materi yang disampaikan. Penggunaan kartu putar dapat diaplikasikan dalam kegiatan penyuluhan sebagai salah satu alternatif upaya memberikan informasi kesehatan yang bertujuan untuk menghasilkan perilaku hidup bersih dan sehat. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan media
33
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.1, Agustus 2016, Hal 29 – 34
kartu putar dalam kegiatan penyuluhan berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan siswa di SD Tegalrejo 2 Kota Yogyakarta tentang CTPS. SARAN SD Tegalrejo 2 dapat memberikan informasi kepada siswa-siswanya dengan menggunakan media yang dapat menarik minat mereka seperti kartu putar yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun kepada para siswa disarankan agar membiasakan diri untuk melakukan cuci tangan pakai sabun sebagai upaya pencegahan penyakit. Bagi peneliti lain yang tertarik untuk melakukan penelitian serupa, dapat melaksanakan studi mengenai penggunaan kartu putar dengan materi penyuluhan tentang masalah kesehatan yang lain, seperti DBD, keamanan pangan dan gizi seimbang. DAFTAR PUSTAKA 1. Kementerian Kesehatan RI, 2014. Info Datin: Perilaku Mencuci Tangan Pakai Sabun di Indonesia, Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, Jakarta. 2. Mubarak, W. I., 2007. Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar dalam Pendidikan, Graha Ilmu, Yogyakarta. 3. Notoatmodjo, S., 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, Rineka Cipta, Jakarta. 4. Santrock, J. W., 2012. Life Span Development, Perkembangan Masa Hidup, Jilid I, Erlangga, Jakarta. 5. Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. 6. Maulana, D. J. H., 2009. Promosi Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. 7. Notoatmodjo, S., 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni, Rineka Cipta, Jakarta.
34
8. Sungkar, F. S., 2011. Psikologi Perkembangan 1, FKIP Universitas PGRI, Yogyakarta. 9. Hamida, K., Zulaekah, S., dan Mutalazimah, 2012. Efektivitas penyuluhan gizi dengan media komik untuk meningkatkan pengetahuan tentang keamanan makanan jajanan sekolah siswa sekolah dasar, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 8: hal. 69-76. 10. Purwanti, I. Y., 2013. Karakteristik Anak Usia SD (7-12 tahun), (online), (http://staff.uny.ac.id/sites/default/file s/tmp/KARAKTERISTIK%20ANAK% 20USIA%20SD%20%28712%20tahu n%29.pdf, diakses 29 Desember 2015). 11. Reza, F., 2012. Efektifitas penyuluhan kesehatan oleh peer group dan tenaga kesehatan tentang Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) Cuci Tangan Bersih pada Siswa SDN 01 dan 02, Bonosari, Sempor, Kebumen. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 8 (1). 12. Hidayati, N., 2014. Penggunaan permainan “Ular Tangga Anak Sehat” sebagai media pembelajaran untuk meningkatkan pengetahuan cuci tangan pakai sabun siswa SD Negeri di Kutoarjo, Purworejo, Jurnal Kesehatan Lingkungan, 6 (2): hal: 80-86. 13. Purnamawati, H., 2014. Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) dengan Media Kartu dan Ular Tangga ditinjau dari kemampuan analisis siswa terhadap prestasi belajar siswa pada materi pokok reaksi redoks kelas X semester 2 SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar tahun pelajaran 2013/2014, Jurnal Pendidikan Kimia (JPK), 3 (4): hal. 100-108. 14. Darma, P., 2014. Pengaruh pembelajaran biologi melalui metode permainan dengan Media Kartu Kwartet terhadap keaktifan dan hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 13 Kabupaten Jember tahun ajaran 2012/ 2013, Jurnal Pancaran, 3 (1): hal. 8998.
STUDI KADAR CHOLINESTERASE DALAM DARAH PETUGAS FOGGING DI KABUPATEN BANTUL TAHUN 2016 Hendrika Puspita Sari*, Sardjito Eko Windarso**, Achmad Husein** * JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Jl. Tatabumi 3, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY 55293 email:
[email protected] ** JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Abstract DHF is one of public health problems in Yogyakarta Province and is endemic in three out of the five regencies/city. One of control efforts undertake by health agencies is pesticide fogging, that employ several active ingredients, one of which is organophosphate, that can cause poisoning if mis-appropriately used. The study wanted to know the level of cholinesterase in blood as a sign of poisoning, by conducting an analytical cohort survey, towards 20 fogging personnels of Bantul Regency. Cholinesterase levels were measured by using tintometer kit and cholinesterase kit. Meanwhile, data which were related to study subjects were obtained primarily by direct observation and through secondary sources. Study results show that in recess, all personnels indicate normal cholinesterase level, but after do the fogging 20 % of them exhibit mild poisoning. It is also revealed that 50 % o the personnels are aged 41-50 years, 45 % had education level of senior high school or bachelor degree, 75 % had long service period, 70 % rarely do the fogging, 85 % had good practice when do the fogging, and 55 % did not wear complete protecting devices. The data analysis using Spearman correlation test at 95 % level of significance concludes that factor which is significantly correlated with cholinesterase level is the frequency of fogging (p value = 0,027 and correlation coefficient = 0,494 or fair association). The other variables under study show no significant correlation, i.e. age (p value = 0,715), education level (p value = 0,462), service period (p value = 1,000), fogging practice (p value = 0,374), and completeness of protecting device (p value = 0,447). Keywords : fogging personnel, organophosphate, cholinesterase Intisari DBD merupakan masalah kesehatan masyarakat di DIY dan endemis di tiga dari lima kabupaten/kota yang ada. Salah satu upaya pengendalian yang dilakukan oleh dinas kesehatan adalah fogging, dengan menggunakan bahan aktif, yang salah satunya golongan organofosfat. Penggunaan yang tidak sesuai dari pestisida tersebut akan dapat menyebabkan keracunan. Penelitian ini ingin mengetahui kadar cholinesterase yang dikandung di dalam darah petugas fogging sebagai tanda terjadinya keracunan, dengan melakukan analytical survey menggunakan rancangan kohort, terhadap 20 orang petugas di Kabupaten Bantul. Kadar cholinesterase diukur dengan tintometer kit dan cholinesterase kit. Adapun data mengenai variabel-variabel lain yang terkait dengan petugas diperoleh melalui pengamatan langsung maupun data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada saat istirahat, kadar cholinesterase seluruh petugas adalah normal, namun setelah fogging, ada 20 % yang menunjukkan keracunan ringan. Diketahui pula bahwa 50 % petugas berusia antara 41-50 tahun, 45 % tingkat pendidikannya SMA atau sarjana, 75 % sudah lama bekerja, 70 % jarang melakukan fogging, 85 % berperilaku buruk ketiga melakukan fogging, dan 55 % tidak menggunakan APD secara lengkap. Analisis data menggunakan uji korelasi Spearman pada derajat kepercayaan 95 % menyimpulkan bahwa faktor yang signifikan berhubungan dengan kadar cholinesterase adalah frekuensi fogging (nilai p = 0,027; dengan koefisien korelasi 0,494 atau hubungan sedang). Adapun variabelvariabel lain yang diteliti tidak menunjukkan hubungan yang bermakna, yaitu: umur (nilai p = 0,715), tingkat pendidikan (nilai p = 0,462), lama kerja (nilai p = 1,000), perilaku fogging (nilai p = 0,374), dan kelengkapan APD (nilai p = 0,447). Kata Kunci : petugas fogging, organfosfat, cholinesterase
PENDAHULUAN Penykit Demam Berdarah Dengue atau DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat di Provinsi Daerah Isti-
mewa Yogyakarta (DIY) dan bersifat endemis di tiga dari lima kabupaten/kota yang ada. Menurut Dinas Kesehatan DIY, walaupun tingkat kematian penyakit ini, yang ditunjukkan dengan CFR (case
35
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.1, Agustus 2016, Hal 35 – 42
fatality rate), pada tahun 2011 lebih rendah dari rerata nasional, DBD merupakan penyakit berbasis lingkungan yang sering terjadi di beberapa daerah endemis yang memungkinkan terjadinya KLB atau kejadian luar biasa 1). Tiga kabupaten/kota di DIY yang merupakan darerah endemis DBD adalah Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Menurut Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul pada tahun 2013, dari 17 kecamatan yang terdapat di kabupaten ini, tiga di antaranya menempati tiga urutan teratas, yaitu Banguntapan, Sewon dan Piyungan. Pada tahun 2013, jumlah kasus DBD naik bila dibandingkan dengan kasus pada 2012. Yaitu 1203 kasus pada 2013 dengan incidence rate (IR) 1,28 %, sementara pada tahun 2012 sebanyak 277 kasus dengan IR 0,3 %. Penyebaran penyakit DBD secara pesat dimungkinkan karena virus dengue semakin mudah menulari lebih banyak manusia karena didukung oleh: 1) meningkatnya mobilitas penduduk karena semakin baiknya sarana transportasi di dalam kota maupun antara daerah, 2) kebiasaan masyarakat menampung air bersih untuk keperluan sehari-hari, terlebih karena penyediaan air bersih belum mencukupi kebutuhan atau sumber yang terbatas dan letaknya jauh dari pemukiman, 3) sikap dan pengetahuan masyarakat tentang pencegahan penyakit yang masih kurang 13). Berbagai metoda dan usaha pengedalian dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan Dinas Kesehatan Bantul, salah satunya adalah melalui tindakan pengasapan (fogging) Aedes sp dewasa yang menjadi vektor nyamuk DBD. Kabupaten Bantul memiliki 10 petugas fogging yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu lima orang merupakan petugas fogging tetap dan lima lainnya tidak tetap. Petugas yang tidak tetap, bekerja hanya pada saat terjadi KLB. Umumnya, pestisida yang digunakan untuk fogging adalah racun berbahaya yang termasuk dalam golongan organofosfat atau karbamat. Penggunaan insektisida tersebut memiliki efek bagi
36
tubuh manusia. Senyawa organophosphate bersifat toksik bagi mahluk yang mempunyai tulang belakang termasuk manusia. Salah satu yang berisiko untuk mengalami keracunan tersebut adalah mereka yang terpajan pestisida pada saat melakukan pengasapan. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh mempengaruhi sistem syaraf dengan cara menghambat aktivitas enzim cholinesterase di dalam tubuh 9). Namun demikian, kadar cholinesterase di tubuh orang yang terpajan juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor luar, antara lain: frekuensi pengasapan, lama kerja, penggunaan APD dan perilaku pada saat melakukan fogging itu sendiri. METODA Jenis penelitian yang dilakukan adalah analytical survey dengan rancangan survei cohort 4). Populasi penelitian adalah petugas Dinas Kesehatan Bantul yang berisiko terpapar organofosfat, baik secara langsung maupun tidak. Sebagai responden, diambil secara total sampling 4) sebanyak 20 petugas yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu petugas fogging itu sendiri dan petugas lain dari Dinas Kesehatan Bantul yang ada di bagian yang mengurusi fogging. Variabel bebas yang diukur adalah lama kerja, frekuensi pengasapan, perilaku petugas pada saat mencampur bahan aktif, saat fogging dan setelah fogging serta penggunaan Alat Pelindung Diri (APD). Adapun sebagai variabel terikat adalah kadar cholinesterase para petugas tersebut. Variabel pengganggu yang diamati adalah umur dan tingkat pendidikan. Instrumen yang digunakan adalah tintometer kit dan cholinesterase kit. Pengumpulan data dilakukan secara primer dengan mengamati perilaku petugas, penggunaan APD serta pengukuran kadar cholinesterase; dan secara sekunder dari data Dinas Kesehatan Bantul mengenai lama kerja, frekuensi pengasapan, umur dan tingkat pendidikan. Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk menggambarkan hasil pene-
Sari, Windarso & Husein, Studi Kadar Cholinesterase …
litian, dan analisis statistik untuk mengetahui hubungan antar variabel penelitian. Analisis statistik menggunakan uji korelasi Spearman pada derajat kepercayan 95 %, yang selanjutnya dicari kekuatan hubungannya dengan menghitung koefisien korelasinya. HASIL Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan penggunaan APD, frekuensi pengasapan, lama kerja dan perilaku petugas fogging, serta umur dan tingkat pendidikan, terhadap tingkat keracunan yang dialami. Pemeriksaan kadar cholinesterase dilakukan setelah petugas melakukan pengasapan dan saat stirahat. Pengamatan terhadap petugas fogging dilakukan pada saat mereka melaksanakan persiapan, pada saat dan setelah pelaksanaan fogging. Sementara itu, pada responden yang bukan petugas pengasapan, yang diamati adalah perilaku setelah mengikuti petugas fogging melakukan pengasapan serta penggunaan APD saat mengikuti petugas fogging melakukan pengasapan. Data hasil penelitian disajikan dalam tabel-tabel berikut. Tabel 1 adalah hasil pemeriksaan kadar cholinesterase, dan tabel-tabel berikutnya mengenai hubungan antara variabel bebas dan kadar cholinesterase Tabel 1. Distribusi frekuensi kadar cholinesterase responden Kadar cholinesterase
Setelah fogging
Saat istirahat
%
%
Normal
16
80
20
100
Keracunan ringan
4
20
0
0
Keracunan sedang
0
0
0
0
Keracunan berat
0
0
0
0
Jumlah
20
100
20
100
Dari tabel di atas, terlihat bahwa ketika sedang istirahat, seluruh responden memiliki kadar cholinesterase normal, sementara sesaat setelah fogging, 20 %
dari mereka ada yang mengalami keracunan ringan. Tabel 2. Hubungan umur responden dan kadar cholinesterase
Klp umur (tahun)
Kadar cholinesterase
%
0
6
30,0
0
0
3
15,0
2
0
0
10
50,0
1
0
0
0
1
5,0
16
4
0
0
20
100
A
B
C
D
20 - 30
5
1
0
31 - 40
2
1
41 - 50
8
>50 Jumlah p-value
0,715 (tidak bermakna)
Koef kor
-0,180
Keterangan: A = normal, B = Keracunan ringan, C = keracunan sedang, D = keracunan berat, Koef kor = koefisien korelasi
Tabel 2 memperlihatkan bahwa separuh dari responden berusia antara 4150 tahun. Dari 4 orang yang mengalami keracunan ringan, dua berumur antara 41-50 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dan kadar cholinesterase. Tabel 3. Hubungan tingkat pendidikan responden dan kadar cholinesterase Kadar cholinesterase
Tingkat pendidikan
A
B
C
D
SD
0
1
0
SMP
1
0
SMA
7
S1 Jumlah
%
0
1
5,0
0
0
1
5,0
2
0
0
9
45,0
8
1
0
0
9
45,0
16
4
0
0
20
100
p-value
0,462 (tidak bermakna)
Koef kor
-0,175
Keterangan: A = normal, B = Keracunan ringan, C = keracunan sedang, D = keracunan berat, Koef kor = koefisien korelasi
Tabel 3 di atas memperlihatkan bahwa persentase responden terbesar berpendidikan SMA atau Sarjana. Dua dari mereka yang mengalami keracunan ringan pendidikannya SMA. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan
37
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.1, Agustus 2016, Hal 35 – 42
yang bermakna antara umur dan kadar cholinesterase. Tabel 4. Hubungan lama kerja, frekuensi pengasapan, Kriteria perilaku dan jumlah APD dengan kadar cholinesterase Kadar cholinesterase
Variabel
%
0
5
25,0
0
15
75,0
A
B
C
D
Tdk lama
4
1
0
Lama
12
3
0
Lama kerja
p-value
1,000 (tidak bermakna)
Koef kor
0,000
Frekuensi pengasapan Jarang
13
1
0
0
14
70,0
Sering
3
3
0
0
6
30,0
p-value
0,027 (bermakna)
Koef kor
0,494 (sedang)
Kriteria perilaku Baik
3
0
0
0
3
15,0
Buruk
13
4
0
0
17
85,0
p-value
0,374 (tidak bermakna)
Koef kor
0,210
Jumlah APD Tdk lengkap
5
4
0
0
9
30,0
Lengkap
11
0
0
0
11
70,0
p-value
0,447 (tidak bermakna)
Koef kor
-0,180
Keterangan: A = normal, B = Keracunan ringan, C = keracunan sedang, D = keracunan berat, Koef kor = koefisien korelasi
Tabel di atas memperlihatkan bahwa mayoritas responden sudah lama bekerja, jarang melakukan pengasapan, berperilaku buruk ketika melakukan pengasapan dan tidak memakai APD dengan lengkap. Dari ke-empat variabel yang diteliti, yang menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kadar cholinesterase adalah frekuensi pengasapan, dengan koefisien korelasi 0,494 atau hubungan yang sedang, dan variabel yang lain tidak berhubungan.
38
PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan kadar cholinesterase sebagian petugas yang terkait dengan pengasapan relatif rendah, namun tidak sampai mengalami keracunan insektisida. Kadar cholinesterase tersebut bisa kembali meningkat apabila petugas diberi jeda untuk istirahat 7). Setelah beristirahat selama 72 jam, ke-empat petugas yang mengalami keracunan ringan tersebut, kadar cholinesterase nya menjadi normal kembali. Hal itu dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu penggunaan APD yang lengkap, perilaku petugas yang sudah cukup baik serta lama kerja petugas. Hasil pemeriksaan tersebut sejalan dengan penelitian Zuraida 15) mengenai tingkat keracunan rendah di Desa Srimahi yang disebabkan pada saat pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan cholinesterase dilakukan pada saat petani tidak dalam masa pengasapan sehingga pajanan dari pestisida berkurang. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Scaher dan McPherson 11), bahwa cholinesterase akan turun pada saat pajanan dan meningkat segera setelah pajanan berhenti. Paparan insektisida kepada petugas tidak hanya terjadi pada saat melakukan pengasapan, namun bisa juga pada saat persiapan, pengisian swing-fog dengan insektisida serta pengangkutan insektisida dari tempat yang digunakan untuk peracikan hingga lokasi yang dituju. Pengaruh Istirahat terhadap Penurunan Aktivitas Cholinesterase Petugas fogging yang terpapar organophosphat, apabila istirahat dalam waktu 72 jam maka muncul perbaikan di dalam tubuh berupa disintesanya kembali cholinesterase sehingga kadarnya akan naik. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Raini 8) pada 80 petani penyemprot pestisida yang mengalami keracunan pestisida. Petani dengan cholinesterase 75 % rata-rata memerlukan waktu pemulihan kembali selama satu minggu, sementara untuk 62,5 % diperlukan waktu dua minggu.
Sari, Windarso & Husein, Studi Kadar Cholinesterase …
Ini menunjukkan bahwa beristirahat dapat mempengaruhi kadar cholinesterase di dalam tubuh. Faktor yang mempengaruhi percepatan pemulihan adalah apabila dalam perioda istirahat tersebut petugas tidak terpajan insektisida sama sekali dan mendapatkan extra fooding dari Dinas Kesehatan Bantul. Hubungan Penggunaan Alat Pelindung Diri terhadap Kadar Cholinesterase Mengenakan APD saat persiapan pengasapan sangat penting untuk menghindari kontak langsung dengan insektisida. Peneliti mengamati bahwa pada saat pencampuran, petugas tidak memakai APD sama sekali, dan hanya menggunakan pakaian biasa. Dari semua petugas subyek penelitian diketahui ada empat orang yang kadar cholinesterase-nya mengindikasikan kategori keracunan ringan. Mereka adalah petugas fogging yang meracik insektisida yang akan digunakan, dan petugas pendamping yang ketika mengikuti petugas saat melakukan pengasapan tidak menggunakan APD sama sekali. Hal ini tentu saja akan menyebabkan para petugas tersebut menjadi terpapar. Organophosphat yang mengandung bahan aktif Malathion dapat diabsorbsi tubuh melalui semua jalan masuk seperti mulut/pencernaan, kulit, dan pernafasan 7). Menurut Permenkes No. 258/Menkes/Per/III/1992 tentang Persyaratan Pengelolaan Pestisida, perlengkapan APD yang harus digunakan tergantung pada jenis pekerjaan dan klasifikasi pestisida yang dipakai. Karena Malathion termasuk sangat berbahaya, maka APD yang diperlukan meliputi: sepatu boot, baju terusan lengan panjang, topi, pelindung muka, masker dan sarung tangan. Hubungan antara Frekuensi Pengasapan terhadap Kadar Cholinesterase Hasil analisis frekuensi pengasapan dengan kadar cholinesterase menginterpretasikan bahwa ada hubungan yang bermakna di antara keduanya. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian Pra-
bowo 5). Pengasapan yang frekuensinya sering, memungkinkan untuk meningkatkan frekuensi pemaparan oleh pestisida sehingga potensi untuk terjadinya keracunan akibat paparan dari pestisida tersebut juga semakin besar. Maka dapat dikatakan, semakin sering melakukan pengasapan berarti semakin besar kemungkinannya untuk terpapar pestisida dan mengalami keracunan pestisida. Berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-03/Men/1986, pada pasal 2 ayat 2a disebutkan bahwa untuk mencegah efek yang tidak diinginkan, petugas yang bekerja menggunakan pestisida dianjurkan tidak melebihi empat jam perhari dalam seminggu berturut-turut. Frekuensi pengasapan berpengaruh terhadap kadar cholinesterase petugas fogging, selain juga masa kerja. Perbedaan frekuensi pengasapan dan cakupan wilayah petugas fogging dapat menjadi salah satu faktor terjadinya keracunan insektisida. Semakin sering melakukan pengasapan maka risiko keracunan akan semakin meningkat. Dampak paparan organophosphat tersebut terutama segera diketahui saat terjadi paparan yang akut. Sedangkan pada paparan kronik, sering diabaikan karena intensitas keparahan lebih rendah dan sering dideteksi sebagai penyakit sistemik lain karena munculnya lama setelah terpajan. Frekuensi pengasapan oleh responden dihitung dengan mengetahui berapa kali mereka melakukannya di wilayah kerja Dinas Kesehatan Bantul. Petugas fogging yang pekerja tetap, telah melakukan pengasapan sejak awal Januari 2015 hingga akhir Desember 2015, yaitu sebanyak 230 kali. Adapun petugas fogging tidak tetap, telah bekerja mulai dari Juni hingga Desember 2015. Pada tahun 2016 kedua tim tersebut mulai bekerja dari Januari hingga saat penelitian berlangsung. Petugas fogging tetap maupun tidak tetap mempunyai waktu libur yang tidak pasti, tergantung pada jumlah kasus DBD yang terjadi di Kabupaten Bantul. Hari libur utama mereka hanya pada hari minggu.
39
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.1, Agustus 2016, Hal 35 – 42
Hubungan antara Lama Kerja terhadap Kadar Cholinesterase Penggunaan insektisida perlu diperhatikan dengan serius mengingat bahaya yang mungkin timbul berupa keracunan, penyakit kanker bahkan kematian Akibat dari terpajan insektisida mungkin tidak dirasakan langsung saat ini karena sifatnya kumulatif dan terpengaruh oleh lama kerja yang dilalui oleh petugas fogging. Semakin lama petugas melakukan pengasapan maka diasumsikan semakin besar kemungkinan mereka mengalami keracunan bahan kimia. Namun demikian, dalam penelitian ini lama kerja tidaklah berhubungan secara signifikan. Hal itu mungkin karena selain dari lama kerja, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dan berperan sangat besar terhadap terjadinya keracunan dalam rentang waktu tersebut, salah satunya yaitu frekuensi pengasapan dalam satu tahun. Hubungan antara Perilaku dengan Kadar Cholinesterase Hasil analisis perilaku petugas dengan kadar cholinesterase menyimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara kedua variabel tersebut. Hasil pengukuran kadar cholinesterase dan pengamatan perilaku petugas menunjukkan 85 % perilaku petugas termasuk dalam kategori buruk, dimana 13 orang di antaranya memiliki kadar cholinesterase normal dan empat orang mengalami keracunan ringan. Tingkat keracunan yang relatif rendah pada petugas fogging bisa disebabkarena penggunaan dosis telah sesuai dengan label yang tertera di kemasan insektisida yang digunakan. Petugas fogging yang bertugas meracik pestisida dengan solar hanya satu orang dan ia tidak menggunakan APD. Peneliti mengamati bahwa pada saat persiapan, petugas tidak menentukan arah angin terlebih dahulu. Mereka langsung melakukan pengasapan yang dimulai dari rumah paling ujung dari wilayah yang akan dilakukan pengasapan. Pengasapan setiap rumah dilakukan sekitar 2-3 menit dan setelah itu pintu ru-
40
mah ditutup oleh petugas. Ketika melakukan pengasapan di dalam rumah, petugas mulai dari arah dalam terlebih dahulu yang setelah itu baru berjalan ke arah pintu keluar. Petugas seharusnya memperhatikan arah angin, karena jika tidak, maka tingkat keterpaparan pestisida akan semakin besar dan akan mempengaruhi semakin rendahnya kadar cholinesterase darah, sehingga akan memperburuk kesehatan mereka. Saat selesai melakukan pengasapan petugas biasanya akan beristirahat di salah satu rumah warga, dan disuguhi makanan minuman. Ada beberapa petugas yang mencuci tangan terlebih dahulu sebelum makan dan minum, namun hanya sebatas membasuh tangan menggunakan air mengalir dan tidak menggunakan sabun cuci tangan. Adapun petugas yang lain, ada yang langsung merokok, makan dan minum tanpa mencuci tangan terlebih dahulu. Mereka sebenarnya sudah mengetahui bahaya tidak mencuci tangan dengan sabun setelah menggunakan pestisida. Namun, karena keadaan di lapangan yang terkadang tidak menemui keran air di luar rumah dan/atau tidak tersedia sabun maka perilaku tidak menguntungkan tersebut tetap muncul. Hubungan antara Umur dengan Kadar Cholinesterase Rentang umur petugas antara 27 tahun hingga 52 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan pengasapan telah dilakukan oleh petugas fogging dari usia muda sampai usia tua. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok umur yang persentasenya terbesar adalah antara 41 tahun sampai 50 tahun. Menurut Prijanto 6), semakin bertambah umur seseorang maka semakin banyak pemaparan yang dialami. Bertambahnya umur seseorang menyebabkan fungsi metabolisme akan menurun dan mempengaruhi penurunan aktivitas cholinesterase sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida. Namun demikian, hasil analisis stattistik menunjukkan tidak adanya hubung-
Sari, Windarso & Husein, Studi Kadar Cholinesterase …
an yang bermakna antara umur dengan kadar cholinesterase. Hal itu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: dosis yang digunakan untuk pengasapan telah sesuai, frekuensi pengasapan yang rendah, ada waktu jeda bagi petugas untuk istirahat, dan ada pemberian extra fooding untuk seluruh petugas fogging yang dapat mempercepat pemulihan kadar cholinesterase di dalam tubuh. Hasil penelitian di atas tidak sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soedarmo 12), serta hasil penelitian Ruhendi 9) dan Ali 2) bahwa ada kecenderungan semakin tua umur petugas maka semakin rendah aktivitas cholinesterase di dalam darahnya sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Kadar Cholinesterase Pengetahuan seseorang tentang suatu obyek akan mempengaruhi perilakunya terhadap obyek tersebut. Dengan pengetahuan yang memadai tentang insektisida beserta bahayanya, para petugas semestinya berperilaku baik sehingga dapat terhindar dari bahaya yang mungkin terjadi. Pengetahuan tentang penggunaan insektisida secara aman akan bermanfaat, selain bagi orang yang menggunakan insektisida itu sendiri, juga masyarakat luas dan lingkungan secara umum. Tingkat pendidikan petugas yang tinggi dapat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan mereka dalam penanganan dan penggunaan insektisida. Pengetahuan tentang tindakan sebelum melakukan fogging meliputi: penggunaan dosis insektisida sesuai aturan yang tertera di label, penentuan arah angin sebelum pengasapan, mekanisme pengasapan serta perilaku setelah pelaksanaan fogging. Keempat hal tersebut apabila dilakukan dengan baik maka akan mengurangi risiko keracunan pada petugas. Namun demikian, dalam penelitian ini, disimpulkan bahwa tingkat pendidikan petugas tidak berhubungan dengan kadar cholinesterase di dalam tubuh mereka. Hasil ini sejalan dengan yang di-
simpulkan oleh penelitian Ali 2) bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan tingkat keracunan pestisida dengan p-value sebesar 0,180. Selain itu, sejalan pula dengan kesimpulan penelitian Zuraida 15) dan Ruhendi 9) yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan aktivitas cholinesterase dalam darah. Demikian pula halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tugiyo 14) dalam penelitiannya mengenai tenaga kerja di PT Rentokil pada tahun 1994 yang menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian keracunan pestisida. KESIMPULAN Saat setelah fogging, 20 % petugas memiliki tingkat keracunan ringan, sementara pada saat istirahat semuanya memiliki kadar cholinesterase normal. Mayoritas responden berumur antara 41 hingga 50 tahun, berpendidikan SMA atau Sarjana, sudah lama bekerja, jarang melakukan pengasapan, berperilaku buruk ketika melakukan pengasapan dan tidak memakai APD lengkap. Variabel lama kerja, perilaku petugas dan penggunaan APD tidak berhubungan dengan kadar cholinesterase, sementara frekuensi pengasapan berhubungan signifikan dengan tingkat korelasi sedang. SARAN Petugas fogging diharapkan selalu: 1) mengenakan APD terutama pelindung kepala, masker, dan sarung tangan selama kontak dengan pestisida, 2) mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun setelah pelaksaan fogging dan dilakukan sebelum makan, minum atau pun merokok, 3) menggunakan dosis yang sesuai dengan yang tertera di kemasan. Dinas Kesehatan Bantul disarankan untuk: 1) secara berkala melakukan pemeriksaan kadar cholinesterase untuk memberikan perlindungan bagi petugas dari paparan pestisida, 2) memberikan
41
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.1, Agustus 2016, Hal 35 – 42
waktu libur minimal 72 jam bagi petugas agar kadar cholinesterase mereka lebih membaik atau mendekati normal, 3) pelaksanaan refreshing yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan kepada petugas fogging terus dipertahankan dan ditingkatkan, 4) pemberian extra fooding yang telah diberikan kepada petugas juga diharapkan dapat dipertahankan dan ditingkatkan. Penelitian lanjutan disarankan untuk mengamati apakah rotasi petugas dapat digunakan sebagai salah satu upaya untuk menurunkan keracunan akibat pestisida yang digunakan untuk fogging. Demikian pula halnya dengan faktor-faktor yang menyebabkan petugas fogging tidak nyaman menggunakan APD pada saat pencampuran pestisida dan pada saat pengasapan, perlu pula diteliti. DAFTAR PUSTAKA 1. Achmadi, U. F. 2012. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan, Rajawali Pers, Jakarta. 2. Ali, M. F. A., 2015. Fakor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Keracunan Pestisida Berdasarkan Toleransi Tingkat Kolinesterase pada Teknisi Perusahaan Pest Control di Jakarta Tahun 2014, Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Departemen Kesehatan R. I., 1992. Persyaratan Kesehatan Pengelolaan Pestisida, Jakarta. 4. Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta. 5. Prabowo, K., 2002. Hubungan antara Karakteristik Individu dan Pekerjaan dengan Aktivitas Cholinesterase Darah pada Petani Pengguna Pestisida di Kabupaten Bandung Tahun 2001, Tesis tidak diterbitkan, Universitas Indonesia. 6. Prijanto, T. B., 2009. Analisis Faktor Risiko Keracunan Pestisida Organofosfat pada Keluarga Petani Hortikul-
42
tura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang, Tesis tidak diterbitkan, Universitas Diponegoro, Semarang. 7. Raini, M. 2001. Sikap dan perilaku buruh penyemprot yang keracunan pestisida organofosfat di Kecamatan Pacet, Jawa Barat, Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 11 (2): hal. 21-25. 8. Raini, M., 2007. Toksikologi pestisida dan penanganan akibat keracunan pestisida, Media Litbang Kesehatan. 17 (3): hal.10-18. 9. Ruhendi, D., 2007. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Aktivitas Kolinesterase Darah pada Petani Penyemprot Hama Tanaman Holtikultura di Kabupaten Majalengka Tahun 2007, Tesis tidak diterbitkan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. 10. Sastroutomo, S. S., 1992. Pestisida: Dasar-dasar dan Dampak Penggunaannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Bandung. 11. Scaher, R., dan McPherson, A., 2004. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Edisi 11, Pendit, B. U. Dan Wulandari, D. (alih bahasa), Hartanto, H. (editor edisi Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta. 12. Soedarmo, S. 1990. Pestisida Tanaman, Kanisius, Yogyakarta. 13. Soedarmo, S. S. P., 2005. Demam Berdarah (Dengue) pada Anak, UIPress, Jakarta. 14. Tugiyo, 1994. Tinjauan terhadap Faktor-faktor Risiko yang Berhubungan dengan Keracunan Pestisida pada Tenaga Kerja di PT Rentokil Indonesia, Jakarta Timur Tahun 19901994, Tesis tidak diterbitkan, Universitas Indonesia. 15. Zuraida. 2012. Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Keracunan Pestisida pada Petani di Desa Srimahi Tambun Utara Bekasi Tahun 2011, Skripsi tidak diterbitkan, Program Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok.
VARIASI WAKTU ELEKTROLISIS MENGGUNAKAN ELEKTRODA ALUMUNIUM UNTUK MENURUNKAN COD LIMBAH “BATIK AYU” DI PIJENAN, WIJIREJO, PANDAK, BANTUL Mia Nandha Sari*, Tuntas Bagyono**, Choirul Amri*** * JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Jl. Tatabumi 3, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY 55293 email:
[email protected] ** JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Abstract The development of batik indutry gives both positive and negative impacts on people life. One of the negative effects is the waste yielded from the production process which is potential to pollute the environment. The results of preliminary survey show that the COD examination of the sewage of “Batik Ayu” industry, which is located in Pijenan, Wijirejo, Pandak, Bantul, at the outlet was 570 mg/L, meaning that the waste still exceeding the threshold regulated by the Decree of Governor of DIY No. 7 in 2010. The purpose of this research was to know the effect of electrolysis time using aluminium electrodes on COD reduction of that industry waste, by conducting an experiment with pre-test post-test with control group design. The waste water sample for this study were obtained by using time combination method and with quota sampling technique. There were three electrolysis times used, i.e. 1 hour, 2 hour and 3 hour, which were measured in 10 replications. The results of data analysis with using one way anova from SPSS for Windows at 0,05 level of signifcance, indicate that the COD reductions produced from the treatment groups and control group were not different. However, if compared individually, the COD reduction of each electrolysis time is higher than that of the control group. Keywords : batik sewage treatment, electro-coagulation, sedimentation Intisari Perkembangan industri batik memberikan dampak positif dan juga negatif bagi kehidupan masyarakat. Salah satu dampak negatifnya adalah dihasilkannya limbah yang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Dari hasil survei pendahuluan, diketahui pemeriksaan COD limbah industri “Batik Ayu” di Pijenan, Wijirejo, Pandak, Bantul, pada outlet adalah sebesar 570 mg/L yang berarti masih melebihi baku mutu yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur DIY No. 7 tahun 2010. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh waktu elektrolisis menggunakan elektroda alumunium terhadap penurunan COD limbah di atas. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen dengan desain pre-test post-test with control group. Sampel limbah cair diperoleh dengan metoda sampling gabungan waktu dengan teknik pengambilan quota sampling. Ada tiga waktu kontak yang digunakan, yaitu: 1 jam, 2 jam, dan 3 jam, yang diukur dalam 10 kali ulangan. Hasil analisis data menggunakan uji one way anova dari SPSS for Windows pada taraf signifikan 0,05; menunjukkan bahwa kelompok perlakuan dan kontrol tidak memberikan perbedaan penurunan kadar COD yang signifikan. Namun demikian, jika dibandingkan antara masing-masing waktu kontak dengan kontrol, ditemukan adanya perbedaan. Kata Kunci : pengolahan limbah batik, elektrokoagulasi, sedimentasi
PENDAHULUAN Batik telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia. Pengakuan ini diberikan dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh Indonesia, terutama karena penilaian terhadap keragaman motif batik yang penuh makna filosofi mendalam. Selain itu, pemerintah dan rakyat Indonesia juga dinilai telah melakukan
berbagai langkah nyata untuk melindungi dan melestarikan warisan budaya ini secara turun temurun. Pengakuan badan PBB tersebut membuat pengusaha batik lebih bersemangat, karena hasil karya yang sudah diwariskan oleh para leluhur mendapat pengakuan dari dunia. Menurut Keputusan Presiden No. 33 tahun 2009 Hari Batik Nasional jatuh setiap tanggal 2 Oktober. Pencanangan ini
43
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.1, Agustus 2016, Hal 43 – 50
telah berperan dalam meningkatnya minat pemakai batik. Data Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa pada tahun 2015 jumlah konsumen batik tercatat sebanyak 110 juta orang 1). Meningkatnya minat dan konsumsi batik berdampak pada tumbuh dan berkembangnya sentra-sentra industri batik di berbagai daerah di Indonesia. Proses pembuatan batik tulis menggunakan metoda sederhana yaitu menggambar kain dengan canting dan mencelupkannya ke dalam pewarna, sementara batik cap, dengan cara dicap pada cetakan. Batik dapat pula diproduksi secara massal dengan mesin modern. Karena pembuatan batik menggunakan bahan pewarna kimia, maka limbah industri batik mengandung bahan kimia. Limbah batik terdiri atas warna, bau, zat padat tersuspensi, temperatur, dan karakteristik kimia yang terdiri atas bahan organik, anorganik, fenol, sulfur, pH, logam berat, senyawa racun dan gas 2). Efek negatif pewarna kimiawi dalam proses pembuatan batik kepada para perajin adalah risiko terkena kanker kulit. Ini terjadi karena saat proses pewarnaan, umumnya para perajin tidak menggunakan sarung tangan sebagai pengaman. Kalaupun memakai, tidak benarbenar terlindung secara maksimal. Akibatnya, kulit tangan terus menerus bersinggungan dengan pewarna kimia berbahaya seperti Naphtol yang lazim digunakan. Bahan kimia yang termasuk dalam kategori B3 (bahan beracun berbahaya) ini dapat memicu kanker kulit. Selain itu, limbah pewarna yang dibuang sembarangan, juga bisa mencemari lingkungan, merusak ekosistem sungai yang menyebabkan ikan-ikan mati dan air sungai tidak dapat dimanfaatkan lagi 5) . Desa Wijirejo di Kecamatan Pandak Kabupaten Bantul merupakan salah satu sentra industri kerajinan batik di DIY. Jumlah perajin batik di sentra tersebut ada 17, namun yang masih tetap eksis dan memproduksi dalam skala banyak hanyalah: Batik Topo, Batik Ayu, Batik Dirjo Sugito, batik Nining, Batik Sri Sulastri, Batik Erisa, dan Batik Ida 4). Keseluruhan 17 perajin batik di sentra industri
44
tersebut belum melakukan pengolahan terhadap limbah yang dihasilkan, dimana limbah cair tersebut langsung dialirkan ke Sungai Bedog. Karena limbah cair batik mengandung bahan kimia, maka pengolahannya diutamakan untuk menurunkan kadar COD (Chemical Oxygen Demand) agar sesuai dengan baku mutu yang ditentukan oleh Peraturan Gubernur DIY No. 7 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri, Pelayanan Kesehatan dan Jasa Pariwisata 3). Dari hasil survei pendahuluan yang dilakukan pada 16 Desember 2015 yang mengambil sampel limbah secara acak, yaitu di Batik Ayu dan Batik Ida, diketahui bahwa kadar COD mencapai 570 mg /L untuk Batik Ayu dan 9.187,5 mg/L untuk Batik Ida, yang artinya melebihi baku mutu yang ditentukan oleh Peraturan Gubernur DIY No. 7 tahun 2010 di atas. Volume limbah cair batik yang dihasilkan oleh Batik Ayu adalah 5000 L sedangkan yang dihasilkan Batik Ida hanya 1000 L. Berdasarkan volume limbah cair dan kadar COD yang dihasilkan tersebut, peneliti memilih Batik Ayu sebagai tempat penelitian. Kadar COD yang melebihi baku mutu yang ditentukan, dalam jangka waktu panjang akan menimbulkan dampak bagi kesehatan dan lingkungan. Dampak bagi kesehatan berupa timbulnya septicemia (keracunan dalam darah), hingga terjadi demam mengigil dan bisa berakibat kematian. Sedangkan dampak bagi lingkungan yaitu dapat menyebabkan kehidupan flora dan fauna yang ada di lingkungan air menjadi terganggu 6). Berbagai alasan perajin batik tidak mengolah limbah batiknya adalah karena biaya pengolahan yang sangat tinggi. Namun karena limbah batik merupakan limbah B3 yang sangat berbahaya, maka sangat perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan atau ditimbun dalam tanah. Beberapa cara yang sudah dilakukan untuk mengolah limbah ini adalah dengan cara absorbsi, elektrolisis dan mikrobiologis 7). Cara elektrokimia merupakan metoda yang berhasil mengolah beberapa je-
Sari, Bagyono & Amri, Variasi Waktu Elektrolisis …
nis limbah cair industri, termasuk limbah batik, namun tanpa memerlukan biaya yang sangat tinggi 8). Metoda ini dapat diaplikasikan ke dalam proses koagulasi kontinyu dengan menggunakan arus listrik searah melalui peristiwa elektokimia berupa gejala dekomposisi elektrolisis. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Inayanti 9) menunjukkan bahwa penurunan COD dan warna yang maksimal adalah menggunakan elektroda alumunium berukuran 15 cm × 15 cm dengan jarak 2 cm. Cara tersebut efektif menurunkan COD dan warna dengan masing-masing persentase penurunan sebesar 63,48 % dan 50,41 %. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin meneneliti lebih lanjut tentang waktu kontak efektif antara metoda elektrolisis yang digunakan tersebut dengan air limbah batik. Hal ini perlu dilakukan karena pertimbangan bahwa waktu kontak merupakan faktor yang berpengaruh dalam proses elektrokoagulasi agar tujuan pengolahan limbah dapat tercapai secara optimal 10), sehingga kadar COD limbah cair yang dihasilkan dapat turun dan memenuhi baku mutu yang dipersyaratkan. Berdasarkan Hukum Faraday II, pada beberapa sel elektrolisis yang dihubungkan secara seri, semua rangkaian akan memiliki arus listrik yang sama dan konstan pada tiap selnya, sehingga suatu massa molar adalah ekuivalen dengan suatu larutan dan sebanding dengan massa produk per massa molar ekuivalen lain. Hukum Faraday II tersebut dinyatakan dalam persamaan m1.e1-1 = m2.e2-1. Penggunaan model elektrolisis ini diharapkan mampu mengikat unsur COD dan warna 11). Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian elektrolisis terhadap limbah batik untuk menurunkan kadar COD menggunakan elektroda alumunium dengan variasi waktu kontak 1 jam, 2 jam, 3 jam. METODA Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah experiment dengan menggunakan desain pre-test post-test with control
group yang hasilnya dianalisis secara deskriptif dan statistik. Sampel air limbah yang digunakan diambil dengan menggunakan metoda pengambilan gabungan waktu dan teknik quota sampling sesuai dengan cara menetapkan jumlah anggota sampel secara quotum atau jatah. Dengan debit perlakuan untuk 1 jam adalah 2,83 ml/detik; 2 jam, 2,80 ml/ detik; dan 3 jam, 2,81 ml/detik, dan kontrol 2,72 ml/detik, maka dalam satu kali perlakuan dibutuhkan 90,14 L air limbah. Penelitian ini melakukan ulangan perlakuan sebanyak 10 kali, oleh karena itu, banyaknya limbah cair yang dibutuhkan secara keseluruhan adalah 901,144 L. Alat yang digunakan meliputi: botol sampel, kertas label dan alat tulis, serta ember, bak ekualisasi, bak elektrokoagulasi (yang terdiri dari 6 pasang elektroda alumunium yang disusun secara paralel), dan bak sedimentasi. Tahap penelitian yang pertama adalah membuat bak ekualisasi dengan volume 90 L untuk waktu kontak dan kontrol, dan mengambil sampel limbah untuk pengukuran pre-test. Selanjutnya, alat elektroda alumunium yang sudah dirangkai secara paralel dimasukkan pada bak elektrokoagulasi yang sudah dirangkai, dan kemudian menghubungkan arus listrik antara kutub positif dan negatif. Setelah itu, air limbah dialirkan dan ditunggu proses elektrolisis dan sedimentasi yang terjadi. Setelah itu, dilakukan pengambilan sampel limbah untuk pengukuran post-test, yaitu dikirim ke BLK Yogyakarta untuk pemeriksaan kadar COD di dalam sampel limbah tersebut. Analisis deskriptif terhadap data hasil pemeriksaan laboratorium digunakan untuk membandingkan nilai rerata yang di peroleh dari setiap pengukuran, serta membandingkannya dengan baku mutu yang telah ditetapkan. Adapun analisis secara statistik, dilakukan untuk menguji perbedaan yang tampak di antara hasil-hasil pemeriksaan. Analisis ini melakukan pengujian dengan One Way Anova pada taraf signifikansi 0,05. Uji tersebut digunakan karena berdasarkan hasil uji dengan Kolmo-
45
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.1, Agustus 2016, Hal 43 – 50
gorov-Smirnov disimpulkan bahwa data penurunan kadar COD yang dihasilkan oleh ketiga perlakuan waktu kontak dan juga kelompok kontrol, terdistribusi secara normal sehingga uji parametrik tersebut dapat digunakan. HASIL Rerata Penurunan Kadar COD pada Kelompok Perlakuan Pada Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3 disajikan hasil pemeriksaan kadar COD untuk pre-test dan post-test pada kelompok perlakuan dari 10 kali replikasi. Tabel 1. Hasil pengukuran kadar COD sebelum dan sesudah perlakuan dengan waktu kontak 1 jam
Ulangan ke
Kadar COD (mg/L)
Selisih
jadi 282,34 mg/L, atau turun sebanyak 58607,65 mg/L (99,50 %). Tabel 2. Hasil pengukuran kadar COD sebelum dan sesudah perlakuan dengan waktu kontak 2 jam
Ulangan ke
Kadar COD (mg/L)
Selisih
Pretest
Posttest
mg/L
%
1
69840,00
266,38
69573,62
99,61
2
38800,00
275,01
38524,99
99,29
3
60680,00
266,40
60413,60
99,56
4
59940,00
287,12
59652,88
99,52
5
59940,00
287,12
59652,88
99,52
6
59940,00
257,52
59682,48
99,57
7
59940,00
297,98
59682,02
99,50
8
59940,00
263,84
59676,16
99,55
9
59940,00
277,50
59662,50
99,53
10
59940,00
211,07
59728,93
99,64
Pretest
Posttest
mg/L
%
1
69840,00
220,38
69619,62
99,68
Jumlah
588900
2689,94
586210,06
995,30
2
38800,00
248,36
38551,64
99,35
Rerata
58890
268,99
58621,00
99,53
3
60680,00
242,72
60437,28
99,60
4
59940,00
275,28
59664,72
99,52
5
59940,00
284,16
59655,84
99,58
6
59940,00
246,86
59693,14
99,53
7
59940,00
279,36
59660,64
99,53
8
59940,00
279,36
59660,64
99,53
9
59940,00
279,36
59660,64
99,53
10
59940,00
260,74
59679,26
99,56
Jumlah
588900
2337,22
586283,42
995,60
Rerata
58890
233,72
58628,34
99,56
Dari tabel-tabel tersebut secara deskriptif dapat diketahui bahwa dengan perlakuan waktu kontak satu jam, ratarata kadar COD berubah dari 58890 mg/L menjadi 233,72 mg/L, atau turun sebanyak 58628,34 mg/L atau 99,56 %. Sementara itu, dengan perlakuan waktu kontak dua jam,kadar COD turun dari 58890 mg/L menjadi 268,99 mg/L, atau ada rerata penurunan 58621,01 mg /L (99,53 %); dan dengan waktu kontak tiga jam perlakuan, kadar COD air limbah turun dari rerata 58890 mg/L men-
46
Tabel 3. Hasil pengukuran kadar COD sebelum dan sesudah perlakuan dengan waktu kontak 3 jam
Ulangan ke
Kadar COD (mg/L)
Selisih
Pretest
Posttest
mg/L
%
1
69840,00
394,31
69445,69
99,43
2
38800,00
343,30
38456,70
99,11
3
60680,00
349,28
60330,72
99,42
4
59940,00
257,12
59682,88
99,57
5
59940,00
260,48
59679,52
99,56
6
59940,00
235,02
59704,98
99,60
7
59940,00
285,57
59654,43
99,52
8
59940,00
260,74
59679,26
99,56
9
59940,00
217,28
59722,72
99,63
10
59940,00
220,38
59719,62
99,63
Jumlah
588900
2823,46
586076,54
995,03
Rerata
58890
282,34
58607,65
99,50
Jika direkapitulasi, data hasil pengukuran kadar COD pada kelompok per-
Sari, Bagyono & Amri, Variasi Waktu Elektrolisis …
lakuan adalah sebagaimana yang disajikan pada Tabel 4. Secara deskriptif dapat diketahui bahwa dari tiga waktu kontak yang diteliti, persentase penurunan kadar COD yang tertinggi dihasilkan oleh waktu kontak satu jam, yaitu 99,56 %, dan terrendah dari lama waktu kontak tiga jam, yaitu 99,50 %. Tabel 4. Rekapitulasi rerata pengukuran kadar COD sebelum dan sesudah perlakuan dari 3 variasi waktu kontak
Waktu kontak
Kadar COD (mg/L)
Selisih
Pretest
Posttest
mg/L
%
1 jam
58890
233,72
58656
99,56
2 jam
58890
268,99
58621
99,52
3 jam
58890
282,34
58608
99,50
Jumlah
176670
785,06
178885
298,58
Rerata
58890
261,68
58628
99,53
Penurunan Kadar COD pada Kelompok Kontrol Tabel 5. Hasil pengukuran kadar COD sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol
Ulangan ke
Kadar COD (mg/L)
Selisih
Pretest
Posttest
mg/L
%
1
69840,00
3724,00
66116,00
94,66
2
38800,00
434,56
38365,44
98,88
3
60680,00
1006,40
59673,64
98,34
4
59940,00
1101,12
58838,88
98,16
5
59940,00
1195,80
58744,20
98,01
6
59940,00
947,20
58992,80
98,41
7
59940,00
496,64
59443,36
99,17
8
59940,00
248,32
59691,68
99,58
9
59940,00
248,32
59691,68
99,58
10
59940,00
583,60
59356,40
99,02
Jumlah
588900
9979,96
578920,04
983,81
Rerata
58890
997,99
57892,00
98,38
Data yang disajikan pada Tabel 5 di atas, secara deskriptif memperlihatkan bahwa di kelompok kontrol juga terjadi
penurunan kadar COD, yaitu dari ratarata 58890 mg/L menjadi 997,99 mg/L, sehingga rerata penurunannya adalah sebanyak 7892,00 mg/L atau 98,38 %. Sesuai dengan yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa karena asumsi normalitas distribusi dari data terpenuhi, maka uji One Way Anova dapat digunakkan untuk menganalisis data penelitian. Nilai p yang diperoleh dari analisis statistik tersebut lebih kecil dari batas kritis 0,05; yang berarti bahwa kadar-kadar COD yang dihasilkan memang berbeda secara signifikan. Tabel 6. Ringkasan hasil uji one way anova
Perbandingan antara
Nilai p
Keterangan
Waktu kontak 1 jam dan 2 jam
0,988
Tidak ada perbedaan
Waktu kontak 1 jam dan 3 jam
0,964
Tidak ada perbedaan
Waktu kontak 2 jam dan 3 jam
0,977
Tidak ada perbedaan
Waktu kontak 1 jam dan kontrol
0,048
Ada perbedaan
Waktu kontak 2 jam dan kontrol
0,050
Ada perbedaan
Waktu kontak 3 jam dan kontrol
0,046
Ada perbedaan
Namun demikian, Tabel 6 di atas memperlihatkan bahwa bila dibandingkan antara sesama kelompok perlakuan, kadar COD yang diperoleh tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan atau bermakna (nilai p lebih besar dari 0,05); tetapi bila kadar COD dari tiap kelompok perlakuan dibandingkan dengan kadar COD pada kontrol, perbedaan tersebut baru nampak (nilai p lebih kecil atau dengan 0,05). PEMBAHASAN Berdasarkan data pada Tabel 4 dan Tabel 5, selisih nilai COD antara ketiga kelompok perlakuan dengan kontrol hanya sekitar 1 %. Ini menunjukkan bahwa proses elektrolisis tidak mampu menurunkan kadar COD dengan baik. Hal ini disebabkan karena waktu tinggal air lim-
47
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.1, Agustus 2016, Hal 43 – 50
bah di bak elektrokoagulasi kontrol selama tiga jam dan masih didiamkan lagi selama satu jam di bak sedimentasi, sehingga dapat menurunkan kadar COD sebanyak 98,38 %. Turunnya COD kemungkinan akibat tingginya TSS (total suspended solid) yang terkandung di dalam limbah Batik Ayu, sehingga dengan didiamkan pun akan tetap turun karena mengendap. TSS sendiri adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak larut dan tidak mengendap langsung. Padatan tersuspensi adalah padatan yang terdiri dari partikel-partikel yang ukuran serta beratnya lebih kecil dari sedimen. Partikel yang digolongkan dalam padatan tersuspensi adalah semua partikel yang mempunyai diameter lebih besar dari 4,5 mikron 6). Dari hasil-hasil pengujian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa proses elektrokoagulasi tanpa diberikan arus searah dan sedimentasi tidak dapat memperbaiki kualitas limbah cair batik. Oleh karena itu, pemilik/pengelola Batik Ayu lebih disarankan untuk membuat bak sedimentasi untuk bisa membantu menurunkan kadar COD. Berdasarkan tabel-tabel di atas, terlihat bahwa selisih pengukuran COD antara waktu kontak satu jam, dua jam, dan tiga jam menunjukkan adanya penurunan kosentrasi COD setelah dilakukan proses pengolahan dengan elektrokoagulasi dan sedimentasi. Akan tetapi, terjadi penurunan konsentrasi COD pada setiap waktu kontak satu jam, dua jam, dan tiga jam tersebut. Hal ini disebabkan karena plat alumunium yang digunakan tidak sesuai atau tidak mengikuti ukuran panjang bak elektrokoagulasi. Pada penelitian ini, untuk sampel limbah Batik Ayu sebanyak 10,21 L, digunakan bak elektrokoagulasi berukuran panjang 20,42 cm untuk waktu kontak satu jam; limbah sebanyak 20,16 L, digunakan bak elektrokoagulasi berukuran panjang 40,32 cm untuk waktu kontak dua jam; limbah sebanyak 30,33 L, digunakan bak elektrokoagulasi berukuran panjang 60,63 cm untuk waktu kontak tiga jam. Masing-masing diberi plat alu-
48
munium dengan enam pasang anoda dan katoda, yang diberi jarak antar plat sebesar dua cm, dan dialiri arus searah 12 volt. Pada plat alumunium ini, masing-masing enam plat katoda dan enam plat anoda disusun berselang-seling sedemikian rupa dan dirangkai secara paralel sehingga proses elektrolisis tidak bereaksi secara maksimal, walaupun tetap mampu menurunlan kadar COD. Oleh karena itu, untuk yang akan datang, lebih baik penelitian ini dilakukan dengan menambah plat alumunium yang sesuai dengan ukuran panjang bak elektrokoagulasi agar dapat bereaksi secara maksimal dan mampu menurunkan kadar COD sesuai dengan baku mutu limbah cair untuk industri batik yang ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 7 tahun 2010 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri, Pelayanan Kesehatan dan Jasa Pariwisata, yaitu bahwa kadar maksimal untuk COD adalah 100 mg/L. Penelitian ini menggunakan 10 kali ulangan, yang setiap kalinya dilakukan pencucian ulang pada bak dan plat elektroda alumunium. Pada saat proses pengolahan limbah dengan elektrokoagulasi banyak flok yang menempel pada plat katoda dan anoda sehingga perlu pencucian yang bersih untuk penggunaannya kembali, karena jika kurang bersih dapat menyebabkan kenaikan COD. Proses pencucian alumunium pada penelitian ini hanya dilakukan dengan cara menyemprotnya menggunakan air dan menggosok dengan busa. Menurut Masita 13), pencucian plat alumunium sebaiknya menggunakan sikat yang lembut dan aquadest sebelum digunakan kembali. Selain itu, dapat pula dilakukan pelepasan plat alumunium untuk dibalik posisinya, sehingga pada pengambilan sampel selanjutnya besarnya parameter yang teratur kembali menurun pada masing-masing waktu kontak elektroda. Tidak ada bedanya penurunan kadar COD yang terjadi, dimungkinkan karena ada pengaruh dari pH dan range waktu kontak yang terlalu singkat. Hal ini terjadi akibat dari semakin banyaknya ion OH- yang dihasilkan melalui proses
Sari, Bagyono & Amri, Variasi Waktu Elektrolisis …
reduksi air pada katoda maka nilai pH atau kebasaan limbah cair yang diolah akan semakin meningkat. Pada penelitian ini, pH awal limbah batik berkisar antara 6-7. Semakin lama waktu kontak dari proses elektrokoagulasi akan meningkatkan nilai pH. Pada pH yang lebih besar dari 7,8, alumunium akan larut dalam air. Untuk menghindari alumunium yang terlarut tersebut maka tidak perlu dilakukan koagulasi dengan senyawa alumunium pada pH yang lebih besar dari 7,8 12). Selama koagulasi, pengaruh pH air terhadap ion H+ dan OH- penting untuk pembentukan muatan hasil hidroksida. Oleh karena itu, pada proses elektrokoagulasi perlu dilakukan pengukuran pH untuk mengetahui sifat dari limbah batik yang akan diolah. Menurut Wilkinson, seng mudah bereaksi dengan asam pengoksidasi, melepaskan H2 dan menghasilkan ion divalensi. Pada suasana basa kuat, seng akan larut karena mampu membentuk ion zinkat ZnO22-. Oleh karena itu, semakin asam pH yang ada di dalam limbah cair batik, maka penurunan konsentrasi COD semakin besar. Efisiensi penyisihan konsentrasi COD yang tertinggi terjadi pada kombinasi optimum pada voltase 12 V, jarak elektroda 1 cm, pH 1 dan waktu elektrolisis selama 120 menit dengan efesiensi COD dan TSS mencapai 96,33 % dan 87,87 % 14). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Darmawan 15), elektrokoagulasi akan efektif dilakukan pada suasana asam dibandingkan dengan pada suasana basa, dan hasil optimal didapatkan pada pH 4. Pada penelitian Darmawan tersebut, seng lebih mudah teroksidasi pada suasana asam dibandingkan pada suasana basa, sehingga dengan waktu yang sama seng hidroksida yang dihasilkan pada suasana asam akan lebih banyak dibandingkan jika suasananya basa. Selain itu, pada suasana asam, ionion hidrogen lebih mudah terserap oleh endapan gelatin seng hidroksida, sehingga mengakibatkan seng hidroksida semakin bermuatan positif dan akibatnya partikel-partikel bermuatan negatif se-
perti halnya indigo karmina akan mudah terkopresipitasi pada suasana asam dibandingkan suasana basa. Dari hasil-hasil pengujian yang telah dilakukan, proses elektrokoagulasi terbukti tidak cukup dapat memperbaiki kualitas limbah cair. Namun, dengan pengaturan pH pada bak ekualisasi dengan menggunakan H2SO4 jika pH limbah cair batik lebih dari 5 hingga mencapai pH asam yang diinginkan, serta dengan pengurangan lama waktu kontak, tercapainya standar baku mutu limbah cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Peraturan Gubernur di atas melalui proses elektrokoagulasi, kemungkinan dapat dilakukan. KESIMPULAN Variasi waktu kontak elektrokoagulasi yang digunakan dalam penelitian ini tidak berpengaruh dalam menurunkan COD limbah batik. Namun, kadar COD yang diturunkan oleh waktu kontak elektrokoagulasi satu jam berbeda dengan kontrol (p-value = 0,048). Demikian pula dengan waktu kontak dua jam (p-value = 0,050), dan waktu kontak tiga jam (p-value = 0,046). SARAN Untuk menurunkan kadar COD, pengolahan limbah batik lebih disarankan untuk menggunakan bak sedimentasi. Sementara itu, bagi yang ingin melanjutkan penelitian ini, sangat disarankan untuk melakukan pengukuran dan pengaturan suhu dan pH untuk mengetahui sifat limbah cair, sehingga proses pembentukan alumunium hidroksida akan lebih efektif. Terkait dengan plat elektroda alumunium berukuran 15 cm × 15 cm dan berketebalan 0,25 cm yang digunakan dalam penelitian ini, perlu dilakukan kajian mengenai berapa banyak volume air limbah yang mampu ditangani. DAFTAR PUSTAKA 1. Kementerian Perdagangan, 2015. Kemendag Perketat Impor Tekstil
49
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.1, Agustus 2016, Hal 43 – 50
2.
3.
4.
5.
6. 7. 8.
50
Motif Batik, (Online), (http://www.kemendag.go.id, diakses 22 Desember 2015). Muljadi. 2009. Efisiensi instalasi pengolahan limbah cair industri batik cetak dengan metode fisika kimia dan biologi terhadap penurunan parameter pencemar (BOD, COD dan logam berat Krom). Ekuilibrium, 8 (1): hal.7-16 Pemerintah Daerah Provinsi D.I.Y, 2010. Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 7 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Pelayanan Kesehatan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Bantulbiz, 2010. Desa Wijirejo Sentra Kerajinan Batik. (Online), (http://bantulbiz.com, 22 diakses Desember 2015). Sunardiyanto, E., 2012. Dampak Limbah Batik dan Cara Pengolahan Limbah Batik, (Online), (http://ekosunardiyanto.blogspot.com, diakses 22 Desember 2015). Wardhana, A. W., 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi, Yogyakarta. Riyanto, 2014. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Deepublish, Yogyakarta. Matis, 1980. Treatment of industrial liquid waste by electro-floatation,
Water Pollution Control, 19: hal.136142 9. Inayati, P. E., 2014. Pengaruh variasi Jarak Elektroda Alumunium Metode Elektrokoagulasi dan Sedimentasi terhadap Penurunan Kaadar COD dan Warna Limbah Batik “X” Sleman Yogyakarta, Skripsi tidak diterbitkan, Poltekkes Kemenkes, Yogyakarta. 10. Sugiharto, 2014. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah, UI-Press, Jakarta 11. Sudarmo, U., 2006. Kimia SMA/MA untuk Kelas XII, Phiȕeta, Jakarta. 12. Asmadi, 2011. Teknologi Pengolahan Air Minum, Gosyen Publishing Yogyakarta. 13. Masita, 2006. Studi penurunan konsentrasi chromium dan tembaga dalam pengolahan limbah cair elektroplanting artifical dengan metode elektrokoagulasi, Jurnal Sains MIPA. 13 (1). 14. Suyata, I. dan Rastuti, U., Penerapan metode elektrokimia untuk penurunan Chemical Oxygen Demand (COD) dan Total Suspended Solid (TSS) limbah cair industri tahu, Molekul, 10 (1): hal. 74-81. 15. Darmawan, A., 2006. Koagulasi pewarna indigo karmina dengan metoda elektrolisis menggunakan anoda seng, JSKA, 9 (1).
Vol. 5, No. 1, Agustus 2013
ISSN 1978-5763
PETUNJUK PENULISAN 1. Naskah diketik menggunakan MS Word, dikirim ke redaksi dalam bentuk soft copy dan hard copy. Naskah diketik di atas kertas ukuran A4 dengan jumlah halaman minimal 6 dan maksimal 15. 2. Format page set up halaman ketik adalah: 1) headers and footers: different odd and even pages; 2) mirror margins; 3) margin kiri, kanan, atas dan bawah masing-masing 1,18 inci; lebar kolom 2,78 inci; 4) lebar spasi antar kolom 0,5 inci. 3. Header untuk halaman genap ditulis: Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.x, No.x, Bulan, tahun, Hal. x-x, dan ditempatkan di sebelah kiri. Sedangkan header untuk halaman ganjil dituliskan nama terakhir dari masing-masing penulis dan tiga kata pertama dari judul artikel, serta ditempatkan di sebelah kanan. Aturan tersebut tidak berlaku untuk halaman judul. 4. Nomor halaman ganjil ditempatkan di footer sebelah kanan, dan sebelah kiri untuk halaman genap. redaksi 5. Nama penulis artikel ditulis tanpa gelar akademik. Dalam hal naskah ditulis oleh tim, re-daksi hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan komunikasi. pertama. Disarankan penulis mencantumkan alamat email untuk memudahkan komu-nikasi. 6. Naskah diketik dengan tata Bahasa Indonesia baku dan dalam format seperti contoh berikut:
---------------------------------------------------------------------------------------------JUDUL MAKSIMAL 14 KATA FONT ARIAL 12 POINT, BOLD, UPPER CASE Penulis 1*, Penulis 2**, Penulis 3*** (font Arial 11 point, bold, Title Case)
*Instansi penulis 1, alamat instansi, alamat email
(font Arial 8 point, regular, Title Case) ** Instansi penulis 2, alamat instansi, alamat email (idem) ***Instansi penulis 3, alamat instansi, alamat email (idem)
Abstract (font Arial 9 point, bold) Abstract ditulis dalam bahasa Inggris formal dengan format satu paragraph tanpa indent dan satu kolom, bidang ketik lebih sempit dibandingkan bidang isi artkel yang di bawahnya. Abstract harus menggambarkan atau merupakan intisari dari keseluruhan artikel, dan maksimal terdiri dari 200 kata. Diketik dengan menggunakan font Arial 9 point, italic, sentence case Keywords: terdiri dari 3-5 kata, dalam bahasa Inggris, font Arial 9, italic, sentence case Intisari (font Arial 9 point, bold) Intisari ditulis dalam bahasa Indonesia baku dengan format penulisan sama dengan Abstract. Intisari harus mengandung isi yang sama dengan Abstract dan maksimal terdiri dari 200 kata. In-tisari Diketik dengan menggunakan font Arial 9 point, italic, sentence case Kata Kunci: terdiri dari 3-5 kata, dalam bahasa Indonesia, font Arial 9, italic, sentence case
PENDAHULUAN (font Arial 11 point, bold, tanpa numbering) Tulis secara singkat, masalah yang melatar-belakangi melatarbelakangi penelitian atau pemikiran, serta teori-teori yang selama ini ada yang berkaitan dengan topik yang dibahas. Perlu ditulis pula tujuan, manfaat dan atau ruang lingkup penelitian atau pemikiran yang melandasi penulisan artikel. Diketik dengan font Arial 11, regular, sentence case, dan justify alignment.
Kutipan dari daftar pustaka dibuat dengan superscript (1), di mana angka 1 dan seterusnya menunjukkan nomor urut dalam daftar pustaka. Istilah dalam bahasa asing/daerah ditulis italic. Sedangkan penulisan diatur supaya tidak ada paragraf janda dan paragraf yatim. METODA (idem) Uraikan secara singkat hal-hal yang berkaitan dengan jenis dan desain pene-
litian; cara, alat dan bahan, serta instrumen pengumpul data; metoda pengumpulan data atau sampling; serta jenis dan atau metoda analisis yang digunakan dalam penelitian. Untuk artikel hasil pemikiran, bagian ini tidak perlu dibuat. HASIL (idem) Sajikan temuan utama jika artikel berupa hasil penelitian. Untuk artikel hasil penelitian, bagian ini mungkin tidak perlu dibuat. Hasil dapat disajikan dalam beberapa sub-judul. Sub Judul (tanpa numbering, Title Case, left alignment) Tabel, grafik dan gambar sedapat mungkin disisipkan di tengah-tengah artikel, atau dilampirkan di bagian akhir artikel. Tabel 1. Kadar BOD limbah cair RPA Darky pada kelompok kontrol Kadar BOD (mg/l) Pre-test
Post-test
Selisih Penurunan (mg/l)
Penurun an (%)
1
1094,87
1043,14
51,73
4,72
3211,61
3047,01
164,84
5.13
X
1070,61
1015,67
54,95
5,13
Ulang an
Grafik 1. Kadar BOD kelompok kontrol dan eksperimen
Kadar BOD (mg/l)
1200 1000 800 600 400 200 0 Ulangan I pre-test
Ulangan II
post -test kont rol
Ulangan III
post -t est eksperimen
Tabel, grafik dan gambar tersebut dibuat dengan aturan: 1) nomor tabel/ grafik/gambar ditulis di bagian atas dengan font Arial 8, bold; 2) judul tabel dengan font Arial 8, regular, sentence case; dan 3) isi dengan font 7 atau 6, regular, center alignment. Tabel dibuat tanpa garis kolom, sedangkan grafik dan gambar dibuat sesederhana mungkin. PEMBAHASAN (idem) Pembahasan hasil dikaitkan dengan teori-teori dan atau bakumutu dan standar yang melandasinya. Pembahasan dapat disajikan dalam beberapa sub-judul sesuai yang ada pada bagian hasil. Sub Judul (idem) KESIMPULAN (idem) Sajikan kesimpulan utama dari penelitian atau pemikiran. Diketik tanpa numbering SARAN (idem) Sajikan saran-saran konkrit yang ter kait dengan temuan dan kesimpulan dari penelitian, atau saran untuk melakukan penelitian lanjutan. Bagian ini mungkin tidak perlu selalu ada. Diketik tanpa numbering. DAFTAR PUSTAKA 1. Ditulis dengan numbering 2. Teknis penulisan selengkapnya mengacu pada petunjuk selanjutnya. 3. Sumber rujukan sebaiknya merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian, baik yang dipublikasikan atau tidak (termasuk Karya Tulis Ilmiah, Skripsi, Tesis, Disertasi).
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------7. Segala sesuatu yang menyangkut isi, perijinan pengutipan atau penggunaan soft-ware komputer menjadi tanggung jawab penulis. 8. Sebagai prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi pelanggan jurnal minimal selama satu tahun. 9. Penulis yang artikelnya dimuat, wajib membayar kontribusi biaya cetak sebesar Rp.100.000,(seratus ribu rupiah) per judul. Sebagai imbalannya, penulis menerima nomor bukti pemuatan sebanyak 2 (dua) eksemplar. 10.Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis dan segala biaya pengiriman hard copy (jika ada) dibebankan kepada penulis.
Vol. 5, No. 1, Agustus 2013
ISSN 1978-5763
TATA CARA PENULISAN DAFTAR PUSTAKA Buku:
Widarto, L. & Sudarto, F. X., 2007. Membuat Biogas, Kanisius, Yogyakarta.
Buku kumpulan artikel:
Saukah, A. & Waseso, M. G. (eds), 2002. Menulis Artikel untuk Jurnal lmiah (edisi ke-4, cetakan ke-1), UM Press, Malang.
Artikel dalam buku kumpulan artikel:
Kuno, G. 1997. Factors influencing the transmission of dengue viruses, dalam Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever, G. L. Mendell, J. E. Bennett & R. Dolin (eds), Elsevier Inc., Phila-delphia, hal. 1926-1944.
Artikel dalam jurnal atau majalah:
Munif, A. dan Pranoto, 1994. Pengujian larvasida Teknar 1500S terhadap larva nyamuk Anopheles maculatus di aliran sungai, Bulletin Penelitian Kesehatan, 15 (1): hal. 49-57.
Artikel dalam koran:
Pitunov, B., 13 Desember, 2002. Sekolah unggulan ataukah sekolah pengunggulan?, Majapahit Pos, hal. 4 & 11.
Tulisan/berita dalam koran (tanpa nama pengarang):
Jawa Pos, 22 April, 1995. Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri, hal. 3.
Dokumen resmi:
Politeknik Kesehatan Depkes Yogyakarta, 2007. Panduan Karya Tulis Ilmiah dan Skripsi, (edisi ke-3), Yogyakarta: Politeknik Kesehatan Depkes Yogyakarta. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional, 1990. Jakarta: PT Armas Duta Jaya.
Buku Terjemahan:
Timmreck, T. C., 1998. Epidemiologi: Suatu Pengantar, terjemahan oleh Munaya Fauziah, Apriningsih, Palupi Widyastuti, Mulia Sugiarti, & Ratnawati, 2004, Penerbit Bukur Kedokteran EGC, Jakarta.
Karya Tulis Ilmiah, Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian:
Subagyo, 2005. Pengaruh Berbagai Campuran Limbah Tapioka (Onggok) dan Kotoran Sapi terhadap Tekanan dan Waktu Biogas yang Dihasilkan. Karya Tulis Ilmiah tidak diterbitkan, Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Depkes, Yogyakarta.
Makalah seminar, lokakarya, penataran:
Waseso, M. G., 2001. Isi dan Format Jurnal Ilmiah, Makalah disajikan dalam Seminar Lokakrya Penulisan Artikel dan Pengelolaan Jurnal Ilmiah, Universitas Lambungmangkurat, Banjarmasin, 9-11 Agustus.
Internet (karya individual):
Basuki, A. P., 2007. Air Limbah Bermanfaat bagi Dapur, (Online), (http:// www.mail-archive. com/kendal-online, diakses 5 Februari 2008).
Internet (dalam jurnal online):
Kumaidi, 1998. Pengukuran bekal awal belajar dan pengembangan tesnya, Jurnal Ilmu Pendidikan, (Online), jilid 5, no. 4, (http://www.malang.ac.id, diakses 20 januari 2000).
Internet (e-mail pribadi):
Amri, C., (
[email protected]), 28 Mei 2008. Permenkes No 890 Tahun 2007 Ortala Poltekkes, e-mail kepada Agus Kharmayana Rubaya (
[email protected]).
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES YOGYAKARTA