PRODU UKSI GAS METAN N DAN POLA P FER RMENTA ASI RUM MEN DO OMBA LO OKAL YA ANG DIB BERI PAK KAN KO OMPLIT M MENGAN NDUNG IN INDIGOF FERA SP. DAN LIM MBAH TAU UGE ME ENGGUNAKAN RUSITEC R
NOOR HUDHIA A KRISH HNA
AH PASC CASARJA ANA SEKOLA IN NSTITUT T PERTA ANIAN BO OGOR BOGO OR 2013 3
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produksi Gas Metan dan Pola Fermentasi Rumen Domba Lokal yang Diberi Pakan Komplit Mengandung Indigofera sp. dan Limbah Tauge Menggunakan Rusitec adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor Bogor, April 2013
Noor Hudhia Krishna NRP D152100061
RINGKASAN NOOR HUDHIA KRISHNA. Produksi Gas Metan dan Pola Fermentasi Rumen Domba Lokal yang Diberi Pakan Komplit Mengandung Indigofera sp. dan Limbah Tauge Menggunakan RUSITEC. Dibimbing oleh DEWI APRI ASTUTI, LUKI ABDULLAH, dan SUHARYONO. Metan (CH4) enterik secara alamiah merupakan metabolit hasil fermentasi mikroorganisme rumen yang berbentuk gas dan sebagian besar akan dikeluarkan melalui mulut pada proses eruktasi. Tanaman Indigofera sp. merupakan leguminosa pohon yang memiliki kandungan nutrisi cukup tinggi, protein kasar dapat mencapai 27.97%, NDF 19-50%, serat kasar 15%, kalsium 0.22%, fosfor 0.19% dan kecernaan bahan organik (in vitro) sebesar 56-72%. Limbah tauge adalah bagian tauge yang tidak dikonsumsi manusia, berupa kulit tauge berwarna hijau dan biasanya tercampur dengan potongan ekor serta kepala tauge yang sudah tidak utuh lagi. Limbah tauge mengandung protein kasar 13-14%, serat kasar 49.44% dan TDN sebesar 64.65%. Leguminosa pohon Indigofera sp. dan limbah tauge merupakan bahan pakan yang cukup potensial. Keduanya dapat digunakan dalam pakan ruminansia sebagai penyumbang protein dan energi yang tinggi. Produksi metan ruminansia banyak dipengaruhi oleh komposisi nutrisi dan bentuk kimia pakan, sehingga setiap informasi metan yang diproduksi oleh berbagai bentuk dan komposisi pakan sangatlah berharga. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kemampuan pakan komplit domba lokal yang mengandung 30% Indigofera sp. atau 30% limbah tauge dalam memproduksi metan dan mendapatkan pola fermentasi rumennya menggunakan RUSITEC. Pengukuran produksi gas metan dapat dilakukan dengan menggunakan ternak percobaan (in vivo), in vitro, dan semi in vitro yang lebih dikenal dengan rumen simulation technique (RUSITEC) yang merupakan simulasi rumen yang lebih kompleks dibandingkan in vitro lainnya. Pengukuran konsentrasi metan menggunakan methane analyzer. Pakan disusun iso kalori, dibuat dalam bentuk pelet mengandung 30% Indigofera sp. ditambahkan 70% konsentrat (IS) atau 30% limbah tauge ditambahkan 70% konsentrat (LT). Sumber cairan rumen berasal dari delapan domba lokal dewasa yang dipelihara selama tiga bulan, empat ekor diantaranya diberikan IS dan empat ekor lainnya LT. Pakan yang diinkubasikan pada analisis menggunakan RUSITEC sama dengan yang diberikan pada saat domba dipelihara sehingga diharapkan kondisi dan hasil fermentasi sama. Analisis menggunakan RUSITEC dilakukan selama sebelas hari, lima hari pertama adalah masa adaptasi, selebihnya (hari keenam sampai sebelas) adalah waktu pengamatan. Respon yang diamati adalah produksi total gas, persentase metan dalam gas total, volume metan yang diproduksi, pH, konsentrasi amonia, degradasi bahan kering dan bahan organik. Dinamika fermentasi respon terhadap satuan waktu disajikan secara deskriptif. Rata-rata respon dianalisis menggunakan uji t-student. Dinamika produksi total gas, persentase dan metan yang diproduksi, pH, konsentrasi amonia, degradasi bahan kering serta bahan organik berfluktuasi terhadap waktu pengamatan. Produksi total gas pada IS adalah 1995.81 mL/hari secara nyata (P<0,05) lebih besar dibandingkan LT (1682.49 mL/hari). Pada IS diproduksi metan sebanyak 163.58 mL/hari atau setara dengan 9.59 mL/g bahan
kering yang diinkubasikan, tidak berbeda dengan LT sebesar 141.43 mL/hari atau setara dengan 8.23 mL/g bahan kering yang diinkubasikan. Nilai pH, konsentrasi amonia, degradasi bahan kering dan bahan organik pada IS dan LT berturut-turut adalah 6.78 dan 6.91; 7.59 mM dan 4.85 mM; 53.56% dan 43.25%; 57.52% dan 45.96%. Nilai pH dan konsentrasi amonia tidak berbeda nyata. sedangkan degradasi bahan kering dan bahan organik pada IS lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan pakan mengandung LT. Nilai pH selama fermentasi menggunakan RUSITEC dalam kisaran normal (6.54-7.05). Pada kedua kelompok pakan inkubasi, produksi total gas, persentase dan metan yang diproduksi, pH, konsentrasi amonia, degradasi bahan kering serta bahan organik berfluktuasi terhadap waktu pengamatan. Tingginya degradasi bahan kering dan bahan organik IS berpengaruh terhadap tingginya produksi total gas namun tidak cukup mampu mempengaruhi metan yang diproduksi. Kata kunci : Indigofera sp., limbah tauge, metan, pola fermentasi, RUSITEC
SUMMARY NOOR HUDHIA KRISHNA. Methane Production and Fermentation Pattern of Local Sheep Rumen Given Complete Feed with Indigofera sp. and Mung Bean Sprout Waste Using RUSITEC. Supervised by DEWI APRI ASTUTI, LUKI ABDULLAH, and SUHARYONO. Methane (CH4) enteric, naturally is fermentation metabolic from rumen microorganism which is in gas form and most of it will be excreted through the mouth as an eructation process. Indigofera sp. is a legume shrub which has high nutrient content; 27.97% crude protein, 19-50% NDF (neutral detergent fiber), 15% crude fiber, 0.22% calcium, 0.19% phosphor, and organic matter digestibility (in vitro) was 56-72%. Mung bean sprout waste is part of bean sprouts which is not consumed by humans, it contain green husk of bean and usually mixed by chunks of tail and head of sprouts that are no longer intact. Mung bean sprout waste contain 13-14% crude protein, crude fiber 49.44%, and 64.65% TDN. Indigofera sp. and mung bean sprout waste are potential as feed sources. Both of them could be used in ruminant ration as high protein and energy contribution. Ruminant methane production is highly influenced by nutrient composition and chemical form of ration, so any information regarding methane production determined by forms and compositions of ration are precious. This study aimed to identify the effect of complete feed for local sheep containing 30% Indigofera sp. or 30% mung bean sprout waste on methane production and obtained the rumen fermentation pattern using RUSITEC. The measurement of methane production can be performed using experimental animals (in vivo), in vitro, and semi in vitro–better known as rumen simulation technique (RUSITEC) which is a more complex rumen simulator than other in vitro analysis. Methane concentration was measured using methane analyzer. The rations were composed iso-calories and pelleted, they contained 30% Indigofera sp. and 70% concentrate (IS) or 30% mung bean sprout waste and 70% concentrate (LT). The rumen fluid were obtained from eight adult local sheep. They were kept for three months, four of them were fed IS and the other four were LT. Incubated ration in RUSITEC were same as fed for the sheep, it expected that obtained the same fermentation conditions between RUSITEC and sheep rumen. RUSITEC Analysis was conducted for eleven days, consisted of five days for adaptation period and six days (sixth to eleventh) for observation period. Responses observed were total gas production, percentage and methane production, pH, ammonia concentration, dry matter and organic matter degradation. The fermentation of responses by time were presented descriptively. Averages of responses were analyzed using student t-test. The patterns of total gas production, percentage and methane production, pH, ammonia concentration, dry matter and organic matter degradation were fluctuation by observation time. Total gas production of IS was significantly (P < 0.05) higher (1995.81 mL/day) than LT (1682.49 mL/day). Methane production of IS ration (163.58 ml/day equivalent to 9.59 mL/g incubated dry matter) was not significantly different with LT (141.43 ml/day equivalent to 8.23 mL/g incubated dry matter). The pH Values, ammonia concentration, dry matter and organic matter degradation of IS and LT were 6.78 and 6.91; 7.59 mM and
4.85 mM; 53.56% and 43.25%; 57.52% and 45.96% respectively. The pH value and ammonia concentration were not significant different in all treatments, however dry and organic matter degradation were significantly (P < 0.05) higher in IS compared to LT. Value of pH during running with RUSITEC was in normal range (6.54-7.05). In both groups of incubation rations, all responses were fluctuation during fermentation. The high degradation of dry matter and organic matter of IS had significant effect on total gas production but did not enough affect the methane production. Key words : fermentation pattern, Indigofera sp., methane, mung bean sprout waste, RUSITEC
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PRODUKSI GAS METAN DAN POLA FERMENTASI RUMEN DOMBA LOKAL YANG DIBERI PAKAN KOMPLIT MENGANDUNG INDIGOFERA SP. DAN LIMBAH TAUGE MENGGUNAKAN RUSITEC
NOOR HUDHIA KRISHNA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Komang G Wiryawan
HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis : Produksi Gas Metan dan Pola Fermentasi Rumen Domba Lokal yang Diberi Pakan Komplit Mengandung Indigofera sp. dan Limbah Tauge Menggunakan RUSITEC Nama : Noor Hudhia Krishna NIM : D152100061 Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Dewi Apri Astuti, MS Ketua
Ir Suharyono, MRurSc Anggota
Dr Ir Luki Abdullah, MScAgr Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dwierra Evvyernie A, MS, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 08 Februari 2013
Tanggal Lulus :
PRAKATA Alkhamdulillahirabbil’alamin. Segala puji hanya milik Allah SWT, Rabb alam semesta. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, Nabi Muhammad SAW dan semua mengikutinya hingga akhir zaman. Rasa syukur penulis panjatkan kepada Allah semata, atas hidayah dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah berjudul “Produksi Gas Metan dan Pola Fermentasi Rumen Domba Lokal yang Diberi Pakan Komplit Mengandung Indigofera sp. dan Limbah Tauge Menggunakan RUSITEC” ini berhasil diselesaikan. Rasa terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Dewi Apri Astuti, MS; Bapak Dr Ir Luki Abdullah, MScAgr dan Bapak Ir Suharyono, MRurSc yang telah membagikan pengalaman, ilmu, waktu dan tenaga yang berharga kepada penulis dalam komisi pembimbingan tesis; kepada Bapak Prof Dr Ir Komang G Wiryawan, sebagai penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran untuk penyempurnaan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Ibu Ir Sri Rahayu, MSi sebagai ketua Penelitian Unggulan Fakultas (PUF) beserta tim yang telah mengijinkan penulis bergabung dan mendapatkan sebagian data dari penelitian tersebut; seluruh peneliti dan staf Laboratorium Kelompok Nutrisi Ternak, Bidang Pertanian, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN yang dengan semangat telah banyak menyumbangkan keahlian, waktu dan tenaganya demi kelancaran analisis RUSITEC dan uji-uji yang mengikutinya. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Litbang Pertanian, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan dan Kepala Loka Penelitian Sapi Potong yang telah memberikan beasiswa dan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana, IPB. Doa yang tulus kepada-Nya senantiasa teruntai serta terbalut rasa terima kasih tidak terhingga disampaikan kepada Bapak dan Ibu penulis yang selalu bermunajat demi keberhasilan penulis dan terselesaikannya studi dengan baik, semoga Allah SWT selalu menjaga beliau berdua dalam iman dan Islam yang kafah. Teruntuk istriku tercinta “Atty Widayati”, anugrah terindah hidupku, putriku tercinta “Dihyana Nuha Kriatdevi” dan putraku tersayang “Arka Khautal Kriatdeva” terima kasih atas doa dan motivasi yang selalu tersedia untuk keberhasilan ayah. Semoga Allah SWT senantiasa menjaga kita dan selalu menjadikan kita manusia yang bertakwa. Amin. Kepada teman-teman INP 2010, terima kasih atas kekompakan, kerja sama, saling semangat dan persahabatannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin.
Bogor, April 2013 Noor Hudhia Krishna
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xiv DAFTAR GAMBAR xiv DAFTAR LAMPIRAN xv PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Potensi Pakan asal Leguminosa Pohon Indigofera sp. 3 Potensi Pakan asal Limbah Tauge. 4 Gas dan Metan pada Ruminansia 4 Komposisi Kimia Pakan dan Potensi Terbentuknya Gas Metan 5 RUSITEC (Rumen Simulation Technique) 8 Domba Lokal 9 MATERI DAN METODE 10 Tempat dan Waktu 10 Materi/Bahan 10 Sumber Cairan Rumen 10 Isi Rumen 11 Pakan 10 RUSITEC 11 Metode 14 Desain Penelitian 14 Optimalisasi RUSITEC 14 Pengukuran Produksi Gas, Metan dan Pola Fermentasi Rumen 16 Peubah yang Diamati 17 Analisis Data 18 HASIL DAN PEMBAHASAN 18 Pola produksi total gas dan metan terhadap waktu fermentasi 18 Pola pH dan produksi amonia terhadap waktu fermentasi 27 Pola degradasi bahan kering dan bahan organik terhadap waktu fermentasi 31 Produksi total gas, persentase dan volume metan 33 Derajad Keasaman (pH) dan Konsentrasi amonia (NH3) 35 Degradasi Bahan Kering dan Bahan Organik 36 Pembahasan Umum 38 SIMPULAN 39 DAFTAR PUSTAKA 39 LAMPIRAN 49 RIWAYAT HIDUP 51
DAFTAR TABEL Tabel 1 Komposisi gas hasil fermentasi rumen (%) Tabel 2 Gambaran produksi metan berdasarkan kandungan NDF legum Indigofera sp. pada beberapa level pupuk daun Tabel 3 Komposisi bahan dan nutrisi pakan penelitian Tabel 4 Komposisi saliva buatan (McDougal 1984) Tabel 5 Hasil analisis statistik produksi total gas persen dan volume metan Tabel 6 Hasil analisis statistik derajad keasaman dan konsentrasi amonia Tabel 7 Hasil analisis statistik degradasi bahan kering dan bahan organik pakan dinkubasikan
5 7 11 14 34 36 37
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Gambar 2
Laju pembentukan gas pada tingkat pH yang berbeda (Sung et al. 2007) Jalur yang memungkinkan terbentuknya gas CO2 dan CH4 hasil fermentasi mikroorganisme rumen (Mitsumori and Sun 2008) Gambar 3 Skema komponen alat RUSITEC yang diwakili oleh satu vessel Gambar 4 Pola produksi total gas pada pakan yang mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge selama enam hari inkubasi. ---o--- produksi total gas pakan mengandung Indigofera sp., -----+----- produksi total gas pakan mengandung limbah tauge Gambar 5 Persentase metan terhadap total gas pada pakan yang mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge selama enam hari inkubasi. ---o--persentase metan pakan mengandung Indigofera sp., -----+----- persentase metan pakan mengandung limbah tauge Gambar 6 Pola produksi metan pada pakan yang mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge selama enam hari inkubasi. ---o--- produksi metan pakan mengandung Indigofera sp., -----+----- produksi metan pakan mengandung limbah tauge Gambar 7 Dinamika pH effluent pada pakan yang mengandung Indigorera sp. dan limbah tauge selama enam hari inkubasi. ---o--- pH pakan mengandung Indigofera sp., -----+----- pH pakan mengandung limbah tauge Gambar 8 Pola konsentrasi ammonia pada pakan mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge selama enam hari inkubasi. ---o--- konsentrasi amonia pakan mengandung Indigofera sp., -----+----- konsentrasi amonia pakan mengandung limbah tauge Gambar 9 Pola degradasi bahan kering pakan yang mengandung Indigofera sp. selama enam hari inkubasi. ---o--- degradasi bahan kering pakan mengandung Indigofera sp., -----+----- degradasi bahan kering pakan mengandung limbah tauge Gambar 10 Pola degradasi bahan organik pada pakan yang mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge selama enam hari inkubasi. ---o--- degradasi bahan organik pakan mengandung Indigofera sp., -----+----- degradasi bahan organik pakan mengandung limbah tauge
5 7 13
18
23
25 28
30
31
33
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
Uji t pada produksi total gas
49
Lampiran 2
Uji t pada persentase metan
49
Lampiran 3
Uji t pada produksi metan
49
Lampiran 4
Uji t pada nilai pH
49
Lampiran 5
Uji t pada konsentrasi amonia
50
Lampiran 6
Uji t pada degradasi bahan kering
50
Lampiran 7
Uji t pada bahan organik
50
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Ternak memperoleh energi dari bahan pakan yang dikonsumsi. Energi asal pakan yang dikonsumsi ternak ruminansia tidak semuanya dapat dimanfaatkan oleh ternak tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Nutrisi asal pakan diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh dalam proses metabolisme untuk menjadi energi, sedangkan selebihnya akan dibuang melalui feces, urin dan gas metan. Metan (CH4) enterik secara alamiah merupakan metabolit hasil fermentasi mikroorganisme rumen yang berbentuk gas dan sebagian besar akan dikeluarkan melalui mulut pada proses eruktasi dan bersamaan dengan proses regurgitasi serta sisanya bersama feses. Metan tidak hanya merupakan penyumbang efek gas rumah kaca yang perlu diwaspadai, namun metabolit ini merupakan energi yang hilang dari energi yang dikonsumsi selama proses pencernaan. Dua keuntungan didapat sekaligus apabila produksi metan ruminansia dapat ditekan, yaitu mampu mengurangi cemaran metan ke lingkungan dan meningkatkan efisiensi penggunaan energi dalam tubuh yang berujung pada turunnya biaya produksi. Hilangnya energi asal pakan dalam bentuk metan selama proses fermentasi di dalam rumen dapat diminimalisir. Eckard et al. (2010) memetakan bahwa manipulasi teknologi menurunkan metan pada ruminansia dapat dilakukan pada ternak itu sendiri, pakan maupun manipulasi pada rumennya. Benchaar et al. (2001) menyatakan bahwa faktor pakan, terkait komposisi dan level yang dikonsumsi merupakan penyebab utama produksi metan ruminansia. Setiap bahan pakan memiliki komposisi nutrisi dan bentuk kimia yang khas. Ketika bahan-bahan pakan digunakan sebagai penyusun pakan ruminansia, terjadi akumulasi nutrisi dari setiap bahan pakan penyusunnya yang kemudian terbentuk komposisi nutrisi dan bentuk kimia baru. Baik bahan pakan maupun pakan dengan komposisi nutrisi dan bentuk kimia masing-masing, akan memiliki pola fermentasi dalam rumen yang khas, serta akan diproduksi metan enterik dengan besaran yang berbeda. Beberapa kajian sudah mulai dilakukan peneliti untuk mengidentifikasi kemampuan suatu bahan pakan dalam memproduksi metan enterik. Kajian tersebut sangat berguna dalam menyusun basis data yang dapat digunakan sebagai acuan penyusunan pakan yang efisisen dan berwawasan lingkungan. Sebagai bagian dari mitigasi metan, terkait komposisi nutrisi dan bentuk kimia pakan yang kuat mempengaruhi produksi metan, sungguh berharga melakukan analisis untuk mengetahui produksi metan terhadap pakan siap konsumsi sekaligus menarik untuk mengamati pola fermentasinya. Hal tersebut dapat berguna untuk menambah referensi tentang produksi metan ruminansia yang lebih luas. Pakan siap konsumsi dapat diberikan dalam bentuk hijauan, hijauan bersama konsentrat dan pakan komplit yang dipelet. Pembatas utama penyususnan pakan komplit adalah nilai nutrisi yang mampu memenuhi kebutuhan ternak dengan status fisiologis tertentu, namun dengan penggunaan sumber bahan yang berbeda akan menghasilkan bentuk kimia yang berbeda pula, perbedaan tersebut akan mengakibatkan perbedaan produksi metan enterik.
2 Secara umum penggunaan hijauan dari bagian tanaman leguminosa mampu mengemisikan metan enterik lebih rendah dibandingkan rumput (Archimède et al., 2011). Tanaman Indigofera sp. merupakan leguminosa pohon yang memiliki pertumbuhan sangat cepat, adaptif terhadap tingkat kesuburan tanah rendah, murah dan mudah dalam pemeliharaannya. Tanaman ini juga kaya akan unsur nitrogen, fosfor, kalium dan kalsium, kandungan protein kasar indigofera dapat mencapai 27.97%, NDF (neutral detergent fiber) 19-50%, serat kasar 15%, kalsium 0.22%, dan fosfor 0.19% dengan kecernaan bahan organik (in vitro) Indigofera sp. sebesar 56-72% (Hassen et al. 2007). Tauge umumnya merupakan perkecambahan biji tanaman legume. Dipandang dari ketersediaannya baik jumlah dan keberlanjutannya limbah tauge cukup potensial dimanfaatkan sebagai substitusi pakan ternak. Meskipun merupakan limbah pasar, limbah tauge masih memiliki kandungan nutrisi cukup baik yaitu protein kasar sebesar 13-14%, serat kasar 49.44%, dan TDN sebesar 64.65% (Rahayu et al. 2010). Leguminosa pohon Indigofera sp. dan limbah tauge merupakan bahan pakan yang cukup potensial. Keduanya dapat digunakan dalam pakan ruminansia penyumbang protein dan energi yang signifikan. Terkait hilangnya energi dari metan enterik diperlukan kajian tentang potensi pakan mengandung leguminosa pohon Indigofera sp. dan limbah tauge dalam memproduksi metan, sekaligus menarik mengamati pola fermentasi dari kedua pakan tersebut. Pengukuran produksi gas metan dapat dilakukan dengan menggunakan ternak percobaan (in vivo), in vitro, dan semi in vitro yang lebih dikenal dengan rumen simulation technique (RUSITEC). Penggunaan ternak hidup bagaimanapun relatif lebih baik, karena nilai yang dihasilkan akan lebih sesuai. Namun percobaan in vivo membutuhkan peralatan yang kompleks, pakan dan tenaga yang lebih banyak sehingga menuntut biaya yang tinggi. Metode simulasi rumen secara in vitro memiliki kelemahan, diantaranya adalah populasi bakteri dalam tabung fermentor selama masa pengukuran atau masa inkubasi sulit terjaga. Alternatif untuk menengahi kedua metode tersebut adalah dengan simulasi rumen yang lebih kompleks yaitu dengan rumen simulation technique (RUSITEC). Simulasi ini lebih efektif dan efesien karena dapat digunakan untuk menggambarkan hal-hal yang terjadi di dalam rumen dengan lebih presisi.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kemampuan pakan komplit domba lokal yang mengandung 30% Indigofera sp. dan 30% limbah tauge dalam memproduksi gas metan dan mendapatkan pola fermentasi pada rumennya menggunakan RUSITEC.
Manfaat Penelitian Diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi kuantitas gas metan yang diproduksi oleh pakan komplit penggemukan yang mengandung tanaman legum seperti Indigofera sp. dan limbah tauge.
3
TINJAUAN PUSTAKA Potensi Pakan asal Leguminosa Pohon Indigofera sp. Tanaman leguminosa pohon sangat potensial digunakan sebagai pakan ternak ruminansia terutama kontribusinya sebagai sumber protein. Tanaman Indigofera sp. merupakan tanaman leguminosa yang memiliki sekitar 700 spesies yang tersebar mulai dari benua Afrika, Asia, Australia dan Amerika Utara (Hassen et al. 2007). Leguminosa pohon ini cocok dikembangkan di Indonesia karena sifatnya yang toleran terhadap musim kering, genangan air dan tahan terhadap salinitas tanah. Selain itu tanaman ini memiliki pertumbuhan yang sangat cepat, adaptif terhadap tingkat kesuburan tanah rendah, murah dan mudah dalam pemeliharaannya. Indigofera sp. sangat baik dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak karena kandungan bahan organik tanaman ini dapat meningkat dengan adanya pemberian pupuk organik, pemberian aras pupuk organik cair sebesar 40% dapat meningkatkan kecernaan bahan kering (4.94%), bahan organik (5.31%) dan protein kasar sebesar 3.49% (Suharlina 2010). Penelitian Abdullah dan Suharlina (2010) telah menemukan umur potong yang tepat untuk menghasilkan kualitas Indigofera sp. yang optimal, yaitu pada pemanenan 68 hari pasca pemangkasan dengan kandungan protein kasar sebesar 20.96% dan kecernaan bahan organik mencapai 70.79%. Indigofera sp. kaya akan unsur nitrogen, fosfor, kalium dan kalsium, kandungan protein kasar indigofera dapat mencapai 27.97%, NDF (neutral detergent fiber) 19-50%, serat kasar 15%, kalsium 0.22%, fosfor 0.19%, sementara itu kecernaan bahan organik (in vitro) Indigofera sp. sebesar 56-72% (Hassen et al. 2007). Abdullah (2010) melaporkan bahwa daun Indigofera sp. yang dipelet mengandung protein kasar sebesar 25.66% dengan kandungan protein yang tinggi tersebut memungkinkan Indigofera sp. dapat dijadikan bahan substitusi konsentrat. Prihantoro et al. (2012) melaporkan bahwa hasil analisis in vitro menggunakan metode Tilley and Terry (1963) pada Indigofera sp. didapatkan nilai degradasi bahan kering sebesar 67.18-67.47%, degradasi bahan organik (63.55-65.05%), konsentrasi NH3 (9.84-13.29 mM) dan VFA (174-190 mM). Menggunakan metode in vitro yang sama Tarigan et al. (2010) mendapatkan bahwa daun Indigofera sp. yang dipotong dengan interval waktu dan tinggi yang berbeda memiliki nilai degradasi bahan kering antara 68.02 dan 77.13%, degradasi bahan organik (66.86-74.98%). Sementara pada percobaan menggunakan kambing hidup, pemberian Indigofera sp. sampai dengan 45% dari total pakan mampu diperoleh kecernaan bahan kering sebesar 60.07% dan kecernaan bahan organik sebesar 62.53% (Tarigan 2009). Ginting at al. (2010) melakukan pengkajian terhadap kambing yang diberikan pakan Indigofera sp. ad libitum yang dikombinasikan dengan konsentrat tinggi karbohidrat atau tinggi protein (1.5% berat badan). Analisis in vivo terhadap isi rumen yang diberikan Indigofera sp. dan konsentrat tinggi karbohidrat didapatkan nila pH sebesar 6.22 serta NH3 dan VFA masing-masing sebesar 20.76 mg/dL dan 181.13 mM/L. Sedangkan pada kelompok konsentrat tinggi protein didapatkan nilai 6.65 untuk pH, NH3 32.45 mg/dL dan VFA 158.43 mM/L.
4 Potensi Pakan asal Limbah Tauge. Limbah tauge merupakan bagian dari tauge yang tidak dikonsumsi oleh manusia, berupa kulit tauge atau tudung atau lebih dikenal dengan angkup tauge yang berwarna hijau dan biasanya tercampur dengan sedikit potongan ekor tauge serta kepala tauge yang sudah tidak utuh lagi. Limbah tauge pada umumnya termasuk limbah pasar, hal ini dikarenakan proses pemisahan limbah tauge dari tauge itu sendiri terjadi di pasar, terutama pasar sayuran pagi. Limbah ini dapat digunakan sebagai sumber pakan inkonvensional yang dapat digunakan untuk substitusi pakan ternak. Limbah ini cukup potensial dipandang dari ketersediaannya baik jumlah dan keberlanjutannya. Diduga potensi limbah tauge sangat besar pada sebagian besar pasar tradisional di hampir seluruh daerah di Indonesia, sehubungan hampir secara merata masyarakat Indonesia mengkonsumsi tauge sebagai pelengkap makanan/sayuran. Survei potensi ketersediaan limbah tauge di Kotamadya Bogor per hari dapat mencapai 1,5 ton. Analisis yang dilakukan oleh Haryanto et al. (1997) pada tauge kacang hijau, berdasarkan bahan kering, diperoleh sebesar 28.14% pada kandungan NDF, 13,26% ADF, 35.96% protein kasar dan 6.03% abu. Sementara Rahayu et al. (2010) melaporkan bahwa limbah tauge dari pasar memiliki kandungan nutrisi yang masih cukup baik, kandungan protein kasar limbah tersebut adalah sebesar 13-14%, serat kasar 49.44%, dan TDN sebesar 64.65%. Domba yang diberikan pakan basal rumput raja dan konsentrat, kemudian ditambahkan tauge kacang hijau sebesar 50 dan 100 g/ekor/hari berturut-turut memiliki kecernaan bahan kering sebesar 48.9 dan 60.0%. Hasil pengamatan konsentrasi amonia dari cairan rumen domba tersebut berturut-turut adalah sebesar 22.3 dan 18.2 mM dengan pH antara 5.94 dan 6.12 (Haryanto et al. 1997). Penelitian yang telah dilakukan oleh Rahayu et al. (2011) pada penggemukan domba ekor gemuk di wilayah Bogor dengan memanfaatkan limbah tauge dalam pakannya menunjukkan bahwa penggunaan limbah tauge sampai dengan 50% dalam pakan mampu menghasilkan pertambahan berat badan harian (PBBH) sebesar 145 g/ekor/hari, lebih tinggi dibandingkan apabila hanya diberikan pakan konsentrat (96 g/ekor/hari). Limbah tauge sangat berpotensi digunakan sebagai pakan ternak, terutama pada peternakan wilayah urban yang memiliki keterbatasan padang rumput namun dekat dengan pasar-pasar tradisional.
Gas dan Metan pada Ruminansia Gas yang dihasilkan oleh hewan ruminansia berasal secara langsung dari metabolisme mikroorganisme rumen dan secara tidak langsung berasal dari hasil akhir reaksi asam dengan bikarbonat yang merupakan komponen penting dari system buffer lingkungan rumen (Doane et al. 1997). Gas tersebut merupakan akumulasi dari beberapa komponen gas. Pada Tabel 1 ditunjukkan komponen gas yang dapat diproduksi oleh rumen dan komposisinya. Hasil penelitian Sung et al. (2007) mengindikasikan bahwa pembentukan gas berkaitan dengan pH lingkungan rumen, semakin pH rumen mendekati netral maka semakin banyak gas diproduksi oleh ruminansia (Gambar 1).
5 Tabel 1 Komposisi K gas g hasil ferrmentasi rum men (%) Komponenn H2 O2 N2 CH4 CO2 CO
Rata-raata*) 0.2 0.5 7.0 26.8 65.5 -
D Domba Pakan n Hay**) SbM M M 2SsM 0.0333 0.046 6 0.062 22.1 10.2 2 2.4 144.9 51.4 4 17.1 366.2 12.0 0 33.0 477.1 24.5 5 47.5 -
Domba Paakan Konsen ntrat**) SbM M 2SsM 2 0.319 0.023 0.135 4.5 10.5 1.5 16.8 37.5 5.3 26.1 16.3 24.8 54.3 35.7 68.4 <0.001 0.001 0.001-0.01
Keterangan:: SbM (peng gukuran sebeluum pemberian n pakan), M (pengukuran ppada saat pem mberian pakan), 2SssM (pengukurran dua jam seetelah pemberiian pakan). Sumber: *) Ishler et al (1996); ***) Hegarty an nd Gerdes (199 99).
Metan enterik adalah mettan yang diproduksi olleh hewan ruminansiaa. Gas a ini seringg diperbicaangkan karena kontrribusinya dalam d tersebut akhir-akhir kerusakann lingkungaan dan terrbentuknya metan daari ruminannsia merup pakan indikasi hilangnya h en nergi pakann yang diko onsumsi. Kaandungan eenergi gas metan m adalah sebbesar 55.22 2 MJ/kg (Ecckard et al.. 2010). En nergi sebesaar itu merup pakan kehilangann energi yaang cukup tiinggi dari energi e yang dikonsumssi, atau antaara 610% dari total t gross energy yanng dikonsum msi. Metan adalah a salahh satu gas rumah r kaca (greeenhouse gass) yang 20 kkali lebih efektif menin ngkatkan peemanasan global g dibandinggkan CO2. Ruminansia R adalah pen nyumbang utama u emisii metan di sektor s peternakann (Yan et al. a 2010). M Metan enteriik ruminanssia diproduk uksi pada ko ondisi anaerobik di dalam ru umen oleh bbakteri metaanogenik yaang memannfaatkan CO O2 dan H2 menjaddi bentuk CH H4 (McAlli ster and Neewbold 2008 8).
Gambarr 1 Laju peembentukan gas pada ting gkat pH yang g berbeda (SSung et al. 20 007)
Konnversi mateerial pakann menjadi metan di dalam rum men melib batkan berbagai spesies s mik kroorganism me, dengan tahap akhirr pembentuk ukan gas terrsebut dibentuk oleh bakteeri metanoggenik. Mik kroorganism me utama rumen (baakteri, protozoa dan d fungi) menghidroli m isis protein, pati dan polimer p dindding sel tan naman menjadi asam amiino dan ggula. Nutrrisi-nutrisi sederhana ini kem mudian difermentaasi menjadii asam lem mak terbang (VFA), hy ydrogen (H2 ) dan CO2 oleh mikroorgaanisme pen ncerna prim mer dan sek kunder. Gaas H2 adalaah produk akhir utama ferm mentasi pro otozoa, funggi dan bakteeri, namun gas g ini tidakk terakumullasi di
6 dalam rumen dan akan digunakan oleh bakteri lain, terutama golongan metanogen. Produk VFA sebagian besar akan diserap oleh dinding rumen, metabolit yang lain, H2 dan CO2 akan dikonversi oleh bakteri metanogen menjadi metan (Boadi et al. 2004). Pembentukan gas metan diilustrasikan sebagai berikut. C6H12O6 + 2H2O C6H12O6 + 4H C6H12O6 CO2 + 8H
→ 2C2H4O2 (asetat) + 2CO2 + 8H → 2C3H6O2 (propionat) + 2H2O → C4H8O2 (butirat) + 2CO2 + 4H → CH4 + 2H2O
Moss et al. (2000) mengemukakan bahwa produksi gas metan dapat dihitung melalui stoikiometri terbentuknya VFA hasil fermentasi (dihitung berdasarkan molar), utamanya yaitu asetat (C2), propionat (C3) dan butirat (C4) dengan persamaan: CH4 = 0,45(C2) - 0,275(C3) + 0,40(C4) Salah satu strategi menurunkan emisi metan pada ruminansia adalah dengan meningkatkan proporsi konsentrat terhadap hijauan di dalam pakan. Benchaar et al. (2001) menghitung produksi metan pada pakan dengan empat rasio hijauan dan konsentrat yang berbeda. Pakan dengan rasio hijauan:konsentrat 100:0, 80:20, 50:50 dan 30:70 berturut-turut mampu mengemisikan metan sebesar 2.55 Mcal/hari, 2.70 Mcal/hari, 2.61 Mcal/hari dan 2.12 Mcal/hari. Sementara itu Lovett et al. (2003) menyatakan bahwa grafik penurunan rasio hijauan:konsentrat terhadap emisi gas metan yang dihasilkan cenderung berbentuk kuadratik. Pakan sapi betina dewasa dengan rasio hijauan:konsentrat 65:35, 40:60 serta 10:90 berturut-turut dapat mengemisikan metan sebesar 207 L/hari, 270 L/hari serta 170 L/hari atau per kg pakan yang dikonsumsi dihasilkan metan sebanyak 30.88 L, 32.25 L serta 20.64 L.
Komposisi Kimia Pakan dan Potensi Terbentuknya Gas Metan Produksi gas metan ruminansia secara in vivo (indirect respiration calorimetry) bervariasi antara 2%-12% dari energi pakan yang dikonsumsi (gross energy), variasi tersebut dapat terjadi antara lain karena perbedaan jenis dan tipe produksi dari ternak, umur, serta jenis dan jumlah pakan yang dikonsumsi (Johnson and Johnson 1995). Pelchen and Peters (1998) mengemukakan bahwa beberapa faktor pakan dapat mempengaruhi produksi metan seekor domba, diantaranya adalah kecernaan bahan kering, kandungan serat kasar, rasio serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen, energi pakan, level konsumsi dan berat badan. Moe and Tyrrell (1979) lebih menekankan bahwa produksi metan dipengaruhi oleh bentuk karbohidrat bahan pakan, terutama pada ternak dengan konsumsi tinggi. Produksi metan total erat hubungannya dengan jumlah fraksi mudah larut, hemiselulosa dan selulosa yang tercerna. Mitsumori and Sun (2008) menyatakan bahwa bakteri dan protozoa rumen yang memfermentasi karbohidrat akan memproduksi CO2, H2 dan VFA, sebagaimana diketahui bahwa CO2 dan H2 adalah perkursor utama metan. Format
7 juga dapatt menjadi perkursor p m metan (Gambar 2), dipeerkirakan 1 5-20% darii total metan yanng diproduk ksi rumen m merupakan bentukan darri format.
Gambar 2 Jalur yan ng memunggkinkan terrbentuknya gas CO2 dan CH4 hasil fermentassi mikroorgaanisme rum men (Mitsum mori and Sunn 2008) Enerrgi pakan yang hilaang bersam ma metan berbandingg lurus deengan peningkataan konsumssi NDF (Esttermann et al. 2002). Ditambahka D an oleh Elliss et al. (2007) baahwa berdassarkan basiss data padaa beberapa penelitian yyang melib batkan sapi potonng, konsum msi NDF m merupakan parameter p terbaik t untu tuk mempreediksi produksi metan. m Santtoso et al. (22007) melak kukan penellitian pada ddomba berffistula rumen meendapatkan bahwa terddapat korelaasi yang eraat (r=0.94; P<0.001) antara a produksi metan dan n NDF terrcerna. Hall tersebut diperkuat dengan an nalisis m secarra in vitro olleh Jayaneg gara et al. (2 2009) bahwaa diantara nutrisi n produksi metan bahan pakkan NDF dan d ADF beerkorelasi positif p deng gan konsenttrasi metan yang dihasilkann, dengan niilai r berturrut-turut 0.8 86 dan 0.80 0 (P<0.001) , pada saat tidak ada hubunngan antara produksi m metan dengan n protein kaasar dan lem mak kasar. Tabel 2 G Gambaran produksi metan berdasarkan kandungann NDF legum Inndigofera sp p. pada bebberapa level pupuk daun n *** *** Level Puppuk (g/10 L) L Kanndungan ND DF (%) CH4/ggas total (v:v v) 0 43.56 6 10.71 10 40.58 8 10.43 20 38.30 0 10.21 30 43.26 6 10.68 40 47.60 0 11.07 50 51.05 5 11.36 Rata-ratta 44.06 6 10.75 Sumber : ***) Abdullah (2007)
8 Soliva et al. (2008) melakukan analisis kandungan kimia beberapa tanaman legume tropis, dikaitkan dengan potensi gas yang diproduksi dan terbentuknya metan secara in vitro. Merujuk tulisan Estermann et al. (2002), Ellis et al. (2007), Santoso et al. (2007) dan Jayanegara et al. (2009). Data yang ditampilkan oleh Soliva et al. (2008) dapat dibuat regresi sederhana hubungan antara kandungan NDF dan CH4/gas total yang terbentuk. Sementara itu, Abdullah (2010) melakukan pengkajian pengaruh level pupuk daun terhadap beberapa komposisi kimia tanaman legum Indigofera sp. termasuk kandungan NDF. dengan menggunakan rumus regresi dari data Soliva et al. (2008) pada Tabel 2 ditampilkan gambaran pengaruh level pemupukan daun terhadap kandungan NDF legum yang diuji serta potensi gas metan yang dapat diproduksi.
RUSITEC (Rumen Simulation Technique) Keunggulan ternak ruminansia adalah kemampuannya memfermentasi pakan berserat yang tidak dimiliki oleh ternak monogastrik. Umumnya penelitian yang menyangkut fermentasi dalam rumen dilakukan pada hewan berfistula, namun studi tersebut mahal dan tidak sejalan dengan isu animal welfare. Rumen merupakan sistem yang sangat kompleks sehingga dirasa sulit untuk melakukan studi fungsi rumen secara in vivo, disamping itu kesadaran masyarakat terhadap kesejahteraan hewan ditindaklanjuti dengan pengurangan hewan berfistula untuk penelitian fermentasi rumen, oleh karena itu dikembangkanlah teknologi pengukuran untuk mensimulasikan fungsi rumen dengan cara in vitro yang memperhatikan dinamika homeostatis rumen (Carro et al. 2005). RUSITEC adalah kepanjangan dari rumen simulation technique merupakan metode analisis in vitro yang telah dimodifikasi sehingga terjadi proses fermentasi sebagaimana ternak hidup. Pada rumen buatan ini mikroorganisme dapat dipertahankan seutuhnya dalam waktu yang relatif lama, sampai dengan beberapa minggu, karena dalam sistem tersebut mikroorganisme diberikan pakan seperti hewan ruminansia yang hidup. Disamping itu mikroorganisme diberikan pula kondisi fisiologis seperti halnya lingkungan rumen seperti temperature, pH dan aliran saliva (IAEA 1987). Analisis menggunakan RUSITEC memiliki respon yang cenderung dekat dengan uji in vivo, terhadap parameter yang diujikan. Hal tersebut setidaknya dilaporkan oleh Tejido et al. (2002) yang melakukan analisis in vivo kecernaan bahan kering beberapa hijauan dan membandingkannya terhadap in vitro menggunakan sumber inokulum dari rumen domba hidup dan effluent RUSITEC. Kedua sumber inokulum mampu memprediksi kecernaan bahan kering dengan akurasi yang sama, koefisien determinasi penetapan kecernaan menggunakan inokulum dari rumen domba hidup dan effluent RUSITEC dibanding in vivo masing-masing sebesar 0.885 dan 0.877. Kajikawa et al. (2003) mengemukakan bahwa RUSITEC telah digunakan oleh banyak peneliti, hal tersebut terkait dengan konstruksinya yang sederhana dan pengoprasian alat yang mudah. Kemudahan dalam pengoprasian alat tersebut memungkinkan peningkatan jumlah fermentor yang digunakan dalam penelitian. Lebih dari itu, jumlah gas yang diproduksi sebagai akibat fermentasi rumen serta jumlah pakan yang terdegradasi (tercerna oleh mikrobia rumen) dapat dengan
9 mudah diukur menggunakan RUSITEC. Oleh sebab itu dengan RUSITEC dimungkinkan untuk mengamati kecernaan, fermentasi dan hal yang berhubungan dengan mikrobia pada saat yang bersamaan.
Domba Lokal Domba lokal merupakan domba asli Indonesia, menurut Indrijani et al. (2006) domba lokal memiliki pola warna bulu bervariasi, namun umumnya didominasi oleh warna putih di seluruh bagian tubuh baik bagian kepala, badan, ekor maupun kaki, warna belang yang melengkapi warna dominan biasanya hitam. Sebagian besar memiliki telinga yang relatif panjang, dan memiliki tanduk. Sumantri et al. (2007) menyatakan bahwa domba lokal mampu bertahan hidup pada kondisi iklim setempat dan memiliki daya tahan yang tinggi terhadap beberapa penyakit dan parasit lokal. Domba lokal dapat dibedakan berdasarkan tipe ekor, Jenis domba lokal yang ada di Indonesia menurut Iniguez et al. (1991) terdapat tiga jenis, yaitu Jawa ekor tipis, Jawa ekor gemuk dan Sumatra ekor tipis, sedangkan Devendra dan McLeroy (1982) mengklasifikasikan domba lokal menjadi domba ekor tipis yang banyak berkembang di Jawa Barat dan domba ekor gemuk yang berkembang di Jawa Timur. Domba ekor tipis yang berkembang di Jawa Barat lebih dikenal sebagai domba garut, yang memiliki keistimewaan sebagai salah satu domba prolifik dunia (Sodiq and Tawfik 2004). Sumber pakan utama ternak domba adalah hijauan (90%) yang berasal dari berbagai jenis rumput dan dedaunan (Ørskov 1982). Dinyatakan oleh Forbes and Provenza (2000) bahwa dalam mencari makan domba memilih bagian tanaman yang tinggi karbohidrat mudah larut, hal tersebut untuk meningkatkan efisiensi sintesis protein mikrobia dan konsumsi bahan organik (Dove and Milne 1994). Rangkuti et al. (1984) melaporkan bahwa berdasarkan berat badan metabolis konsumsi domba lebih tinggi dibandingkan kambing. Domba mengkonsumsi bahan kering dan bahan organik rata-rata sebesar 78.28 g/kg BB0.75 dan 71.10 g/kg BB0.75 dibandingkan kambing (64.28 g/kg BB0.75 dan 58.26 g/kg BB0.75). Proses pencernaan pakan pada ruminansia terjadi secara mekanis di dalam mulut, fermentatif oleh mikroorganisme rumen (bakteri, protozoa dan fungi) di dalam rumen dan hidrolisis oleh enzim pencernaan hewan inang (Suhartati 2005). Degradasi komponen pakan dalam rumen dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia bahan pakan tersebut, aktivitas enzimatis mikroorganisme rumen (Mertens 1977) serta kondisi lingkungan mikro di dalam rumen (Hungate 1966) yang antara lain mencakup ketersediaan mineral untuk pertumbuhan mikroorganisme rumen, pH, konsentrasi amonia, dan konsentrasi volatile fatty acids (VFA). Kardaya (2000) melaporkan bahwa domba lokal yang disuplementasi beberapa macam mineral organik memiliki pola fermentasi yang acak dengan kisaran total VFA antara 31.90-61.52 mM, perbandingan C2:C3 (1.45-2.89), NH3 (11.40-12.80 mM) dan pH antara 6.54-6.64. Haryanto et al. (2004) melaporkan bahwa pemberian probiotik dapat menghasilkan pertambahan bobot hidup domba per hari (PBHH) bervariasi dari 40.1 hingga 61.1 g, dengan derajat keasaman (pH) cairan rumen bervariasi dari 6.01 hingga 6.41. Puastuti et al. (2012) mengkaji domba yang diberikan pakan dengan suplemen bungkil
10 kedelai terproteksi getah pisang, pada kajian tersebut domba mampu memproduksi metan sebesar 70.3 mM, VFA (190.3 mM), NH3 (9.4 mM) dan pH (6.4). Dilaporkan oleh Rusdiana and Priyanto (2008) yang melakukan pengkajian terhadap domba lokal berumur 7-9 bulan dengan berat badan sekitar 19 kg yang dipelihara di peternakan rakyat, rata-rata memiliki pertambahan bobot badan harian antara 4.7-13 g/ekor/hari. Sementara itu dengan perbaikan pakan Purbowati et al. (2009) mampu menghasilkan 115.33-128.90 g/ekor/hari pada domba lokal yang diberikan pakan komplit. Pada lain pihak Yamin et al. (2009) melakukan seleksi kecepatan tumbuh pada domba lokal, domba dengan pertumbuhan yang cepat mampu menghasilkan persentase karkas sampai dengan 44.91% lebih tinggi dibandingkan yang lambat (40.69%).
MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di kandang percobaan Laborotorium Ternak Ruminansia Kecil, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Darmaga selama 4 bulan, dilanjutkan analisis menggunakan RUSITEC untuk menentukan produksi gas metan dan pola fermentasi cairan rumen yang dilaksanakan di Laboratorium Kelompok Nutrisi Ternak, Bidang Pertanian, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN, Jakarta. Analisis RUSITEC dilaksanakan selama sebelas hari.
Materi/Bahan Sumber Cairan Rumen Sumber cairan rumen yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari delapan ekor domba lokal dewasa berumur sekitar delapan bulan dengan berat badan sekitar 19 kg. Sebelum isi rumen domba-domba tersebut digunakan pada analisis menggunakan RUSITEC, terlebih dahulu domba dipelihara pada kandang individu selama tiga bulan dengan empat domba menggunakan pakan berbasis Indigofera sp. dan sisanya berbasis limbah tauge. Pakan Pakan disusun iso kalori, dibuat dalam bentuk pelet dengan rasio hijauan dan konsentrat 30:70. Hijauan sumber serat dan protein yang digunakan adalah Indigorera sp. dan limbah tauge yang masing-masing diberikan sebanyak 30%. Konsentrat terdiri atas onggok, jagung, bungkil kelapa, bungkil kedelai, molasis dan beberapa sumber mineral. Komposisi bahan pakan pakan disajikan pada Tabel 3. Kadar nutrisi pakan dalam pakan sudah di atas standar minimal kebutuhan pakan domba daerah tropis yang sedang tumbuh dengan berat badan 20 kg menurut Kearl (1982).
11 Pakan dan air minum diberikan ad libitum terukur. Pemberian pakan dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pada pagi dan sore hari, kecuali sebelum waktu pemberian, pakan hampir habis. Pakan yang diinkubasikan pada analisis menggunakan RUSITEC sama dengan yang diberikan pada saat domba dipelihara sehingga diharapkan dapat diperoleh gambaran situasi rumen yang sama pada domba sebenarnya. Tabel 3 Komposisi bahan dan nutrisi pakan penelitian Kandungan Pakan Bahan Pakan Indigofera sp. (%) Limbah Tauge (%) Indigofera sp. 30 0 Limbah Tauge 0 30 Onggok 12 10 Jagung 10 10 Bungkil Kelapa 32 32 Bungkil Kedelai 8 10 Molases 5 5 CaCO3 2,5 2,5 NaCl 0,3 0,3 Premix 0,2 0,2 100 100 Jumlah Komposisi Kimia1 Bahan Kering Protein Kasar Serat Kasar Lemak Kasar Abu Ca P BETN2* TDN3 NDF4 ADF5 DE (Mcal/kg)6* C/N rasio
85,27 16,23 12,29 3,1 9,08 0,66 0,19 44,57 59,81 44,80 29,20 2,64 12,35
85,94 13,51 13,26 2,6 5,44 0,32 0,17 51,13 59,76 38,35 30,09 2,64 15,23
Keterangan : 1. Hasil analisis laboratorium terhadap pakan jadi; 2. Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen; 3. Total Digestible Nutrient; 4. Neutral Detergent Fiber; 5. Acid Detergent Fiber; 6. Digestible Energy; *hasil perhitungan sesuai dalam Hartadi et al. (1980).
Isi Rumen Setelah domba-domba dipelihara dan diberikan pakan sesuai yang ditentukan, kemudian dipotong dan diambil isi rumennya (cairan dan padatan) sebagai media pertama dan starter mikrobia pada analisis menggunakan RUSITEC. Proses pemindahan isi rumen dari Fakultas Peternakan IPB ke Laboratorium Kelompok Nutrisi Ternak, Bidang Pertanian, Pusat Aplikasi
12 Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN di Jakarta menggunakan termos dengan suhu 39 °C. Delapan buah termos disiapkan dan masing-masing digunakan untuk menampung isi rumen satu ekor domba. Beberapa jam sebelum termos digunakan terlebih dahulu diisi dengan air panas bersuhu sekitar 39 °C, sehingga ketika digunakan untuk menampung isi rumen suhu bagian dalam dinding termos sudah sesuai dengan suhu rumen, suhu dalam rumen adalah 38-42 °C (McDonald et al., 2002). Sesaat sebelum isi rumen dituang ke dalam termos, seluruh air panas dikeluarkan. Setelah isi rumen dimasukkan ke dalam termos, segera tutup termos rapat-rapat untuk meminimalisir kontak isi rumen dengan oksigen. Sebelum dituang ke dalam termos, dilakukan pengukuran volume dan penimbangan berat seluruh isi rumen. RUSITEC Teknik simulasi rumen menggunakan “Newly Improved Artificial Rumen (RUSITEC)” produksi “Sanshin Industrial Co. Ltd.” yang merupakan pengembangan dari RUSITEC yang digunakan oleh Czerkawski and Breckenridge (1977). RUSITEC merupakan tiruan dari beberapa organ saluran pencernaan ruminansia mulai mulut sampai dengan abomasum (lambung sejati), pada Gambar 3 ditampilkan ilustrasi sederhana salah satu tabung/vessel pada RUSITEC. Mulut sebagai organ penghasil saliva direpresentasikan oleh penampung saliva dan pompa peristaltik yang menyuplai saliva ke dalam vessel secara terusmenerus. Vessel merupakan wujud dari rumen sebagai tempat fermentasi bahan pakan, vessel berbentuk sebuah tabung berukuran 800 mL berisi campuran cairan rumen dan saliva. Selain berisi cairan, dalam vessel ditempatkan sebuah tabung berdiameter 0.97 kali diameter bagian dalam vessel dan memiliki ketinggian sebesar 0.45 kali tinggi vessel. Tabung yang lebih kecil tersebut berfungsi sebagai tempat inkubasi pakan/sampel (feed container); untuk menjamin akses cairan rumen dengan sampel, Feed container berlubang dengan diameter 9 mm pada hampir seluruh dindingnya. Secara otomatis, hampir 24 jam dalam sehari feed container bergerak naik-turun meniru perputaran pakan dalam rumen. Pada saluran pencernaan ruminansia, ingesta akan mengalir dari rumen menuju abomasum sedangkan gas akan dialirkan/dieruktasikan melalui mulut. Untuk menirukan aliran tersebut, luapan cairan dari vessel kemudian ditampung dalam botol khusus, cairan dari vessel tersebut disebut pula effluent. Pada ujung selang yang menuju botol terdapat percabangan yang dihubungkan dengan sebuah kantong plastik yang berguna untuk menampung gas yang terbentuk selama fermentasi. Alat RUSITEC yang berada di Laboratorium Kelompok Nutrisi Ternak, Bidang Pertanian, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN, Jakarta tersebut memiliki delapan vessel yang direndam di dalam water bath bersuhu 39 °C dipanasi menggunakan automatic heater yang dikontrol oleh thermostat. Selain itu digunakan pula thermometer konvensional yang berfungsi memonitor secara manual suhu air tetap optimal. Feed container merupakan tempat pakan/sampel yang diinkubasikan menggunakan kantong nilon (polyester bag) dengan ukuran 10 cm x 20 cm dan porositas 50 ± 10 μm. Pada hari pertama dijalankannya mesin kantong diisi
13 dengan padatan rumen yang merupakan hasil perasan isi rumen, sebagai sumber mikroorganisme rumen. Mikroorganisme rumen, terutama protozoa banyak menempel pada substrat pakan dalam rumen. Selanjutnya setiap hari kantong diperbaharui dengan kantong berisi sampel pakan yang sudah digiling.
Air Hangat
Rumen
Keterangan A : Penampung saliva buatan berisi larutan McDougall B : Pompa peristaltik (mengalirkan saliva dari penampung ke dalam vessel) C : Vessel, merupakan tabung fermentor D : Feed container, merupakan tempat inkubasi bahan pakan E : Heater (pemanas air) dilengkapi sensor panas (thermostat) F : Botol penampung effluent (cairan hasil fermentasi) – ditempatkan dalam kotak berpendingin G : gas-collection bag (plastik penampung gas hasil fermentasi) H : Motor listrik penggerak feed container I : Roda gila, konvertor gerakan berputar menjadi naik-turun J : Gerakan naik turun feed container Æ : Arah aliran cairan (saliva buatan dan effluent serta gas)
Gambar 3 Skema komponen alat RUSITEC yang diwakili oleh satu vessel Masing-masing vessel dialiri oleh saliva buatan sebagai buffer sebagaimana petunjuk McDougall (1984), dengan komposisi ditunjukkan pada Tabel 4. Saliva buatan dialirkan melalui selang menggunakan pompa persitaltik dengan kecepatan alir 3% per jam atau sekitar 0.0067 mL/detik. Masing-masing vessel memiliki outlet yang berguna untuk mengalirkan cairan dan gas hasil fermentasi mikroorganisme. Effluent dalam vessel kemudian dialirkan ke dalam botol penampung khusus. Lingkungan sekitar botol dipertahankan sekitar 4°C dengan menempatkan botol ke dalam kotak berpendingin, hal tersebut berguna untuk menekan laju degradasi mikroorganisme lebih lanjut terhadap nutrisi yang terkandung dalam effluent serta untuk mempertahankan keberadaan metabolit
14 yang volatil. Sementara gas yang diproduksi dialirkan ke dalam gas-collection bag yang terbuat dari polyvinyl fluoride film. Tabel 4 Komposisi saliva buatan (McDougal 1984) Bahan NaHCO3 Na2HPO4.12H2O NaCl KCl CaCl2 (atau CaCl2.2H2O) MgCl2 (atau MgCl2.2H2O)
g/liter aquadest 9.8 9.3 0.47 0.57 0.04 (0.045) 0.06 (0.065)
Gas yang tertampung di dalam gas-collection bag kemudian diukur volumenya menggunakan prinsip bejana berhubungan. Selanjutnya dilakukan pengukuran konsentrasi gas metan yang ada di dalam gas-collection bag dengan cara mengalirkan udara yang tertampung ke dalam methane analyzer melalui mulut kantong. Konsentrasi gas metan hasil pengukuran dikalikan dengan volume gas yang diproduksi merupakan volume gas metan yang terbentuk selama proses fermentasi dalam rumen.
Metode Desain Penelitian Penelitian menggunakan RUSITEC delapan vessel. Masing-masing vessel merupakan perwakilan dari rumen domba yang dipelihara sebelumnya, sampel pakan yang diinkubasikan mengikuti pakan yang diberikan ketika domba hidup. Sebelum dilakukan analisis menggunakan RUSITEC, dipelihara delapan ekor domba lokal dewasa menggunakan dua jenis pakan yang berbeda, empat domba diberikan pakan mengandung 30% Indigofera sp. sedangkan empat ekor domba yang lain diberikan pakan mengandung 30% limbah tauge. Optimalisasi RUSITEC Terdapat beberapa tahapan dalam menjalankan alat RUSITEC yaitu tahap persiapan, pelaksanaan dan penghentian RUSITEC. 1. Tahap Persiapan Pada tahap ini alat RUSITEC dijalankan tanpa sampel pakan, hal tersebut berguna untuk mengecek kinerja alat agar seluruh komponen bekerja optimal, mulai dari pompa peristaltik, vessel, sampai dengan heater. Pada tahap ini tidak digunakan cairan dan padatan rumen, vessel hanya diisi dan dialiri akuades saja. Selain mempersiapkan alat dilakukan pula persiapan bahan meliputi pembuatan saliva buatan, penghalusan pakan yang diinkubasikan menggunakan grinder dengan penyaring 2.0 mm serta persiapan kantong nilon. Persiapan kantong nilon dimulai dengan pemberian kode, kemudian memasukkan kantongkantong tersebut ke dalam oven 55°C selam 2 hari (berat konstan) kemudian ditimbang, dilanjutkan dengan memasukkan sampel pakan ke dalam kantong dan mengikatnya.
15 2. Tahap Pelaksanaan Dalam pelaksanaan kegiatan evaluasi pakan menggunakan RUSITEC ini meliputi penanganan isi rumen, penimbangan solid/padatan isi rumen, inkubasi pakan dalam vessel, pengontrolan aliran saliva ke vessel, pengumpulan produksi gas dan effulent selama 24 jam. a. Penanganan isi rumen Isi rumen disaring dengan 4 lapis kain kasa, cairan rumen dimasukkan ke dalam vessel sebanyak 400 mL dan ditambahkan dengan saliva buatan sebanyak 400 mL. Sementara padatan isi rumen setelah diperas timbang sebanyak 75 g, kemudian dimasukkan ke dalam kantong nilon yang telah diberi kode dan dimasukkan ke dalam feed continer di dalam vessel. Kantong nilon berisi padatan isi rumen diambil pada 24 jam setelah dimasukkan untuk diganti dengan pakan baru yang diinkubasikan. Baik penanganan padatan maupun cairan rumen dilakukan secepatnya dibantu dengan mengalirkan gas CO2 untuk menjaga isi rumen tersebut dalam kondisi anaerob. b. Penimbangan sampel pakan yang diinkubasikan. Pakan yang diinkubasikan setelah dihaluskan kemudian ditimbang 15 g berdasarkan bahan kering dan dimasukkan ke dalam kantong nilon berkode serta diikat rapat. Kantong nilon tersebut selanjutnya dimasukkan bersama padatan ke dalam tabung berpori dalam vessel pada hari pertama untuk diambil pada 48 jam mendatang. c. Penggantian kantong nilon Penggantian kantong nilion dilakukan setiap 24 jam sekali dengan cara mengambil salah satu dari dua kantong nilon yang telah diinkubasikan dengan waktu inkubasi sudah mencapai 48 jam. Pada saat pengambilan tersebut dimasukkan lagi kantong nilon berisi pakan yang baru sehingga jumlah kantong nilon dalam tabung berpori di dalam vessel selalu dua buah. Agar tidak terjadi kesalahan pengambilan, tali pengikat kantong nilon dibedakan menjadi dua warna, masing-masing mewakili hari ganjil atau genap pada saat kantong dimasukkan/dikeluarkan. Untuk meminimalisir kejutan temperature pada proses penggantian kantong nilon vessel tetap direndam pada air bersuhu ± 39°C, sementara itu di dalam vessel dialiri CO2 untuk menjaga lingkungan dalam vessel tetap anaerob. Di samping penggantian kantong nilon, dilakukan pula koleksi effluent dan gas yang diproduksi sekaligus pengukuran konsentrasi metan. Oleh karena itu pada proses penggantian ini alat RUSITEC (motor) dan pompa peristaltik saliva dimatikan untuk sementara waktu. d. Pengontrolan aliran saliva ke vessel Kegiatan ini harus dilakukan, terutama sesaat setelah penggantian sampel yang diinkubasikan. Seringkali effluent di dalam vessel belum penuh sehingga effluent yang masuk ke botol penampung terganggu. Untuk memperlancar aliran dapat dilakukan dengan menyuntikkan saliva ke dalam outlet vessel secara kontinyu hingga effulent dapat masuk dalam botol secara stabil. 3. Tahap Penghentian Kegiatan ini perlu dilakukan agar kondisi selang tidak tersumbat, lebih penting dari itu agar sampel pada pengujian sebelumnya tidak mempengaruhi
16 sampel pada analisis berikutnya. Cara yang dilakukan adalah sama dengan tahap persiapan. Pengukuran Produksi Gas, Metan dan Pola Fermentasi Rumen Pada penelitian dilakukan pengukuran parameter yang menggambarkan pola fermentasi menggunakan RUSITEC. a. Pengukuran produksi gas Pengukuran produksi gas dilakukan setiap hari selama 24 jam bersamaan dengan penggantian pakan dan pengukuran parameter yang lain. Pengukuran dilakukan dengan menenggelamkan gas-collection bag dalam bejana berisi air dengan mengukur air yang dipindahkan maka dapat diketahui volume gas yang terbentuk. b. Pengukuran konsentrasi metan Pengukuran konsentrasi metan menggunakan methane analyzer dengan merek ”Sable system MA-10a CH4 Analyzer”. Sebelum methane analyzer digunakan untuk mengukur kandungan metan dalam gas bag yang diproduksi selama 24 jam analisis, terlebih dahulu dialiri dengan gas N2 untuk memastikan gas metan dari lingkungan tidak terperangkap di dalam saluran methane analyzer. Kemudian dilakukan optimalisasi keseksamaan pembacaan alat pengukur terhadap gas metan yang telah diketahui kemurniannya, penyesuaian dilakukan dengan cara mengalirkan gas metan ke dalam methane analyzer diikuti dengan memutar tombol pengatur sedemikian rupa sehingga methane analyzer memberikan informasi konsentrasi metan yang sesuai dengan konsentrasi metan yang dialirkan. Setelah penyesuaian pembacaan alat dilakukan, konsentrasi gas metan pada delapan gas-collection bag dapat segera diukur secara bergantian dengan memasukkan mulut gas-collection bag ke dalam saluran input methane analyzer. Angka yang terbaca pada methane analyzer adalah persentase volume metan pada gas yang tertampung dalam gas-collection bag. c. Pengukuran pH effluent Pengukuran pH dilakukan segera setelah selang penghubung botol effluent dan vessel dicabut, bersamaan dengan inkubasi pakan baru. Sebelum dilakukan pengukuran terlebih dahulu tabung effluent digoyang-goyangkan sehingga effluent di dalam tabung homogen. Pengukuran pH effluent menggunakan pH meter digital. d. Pengukuran konsentrasi NH3 effluent Bersamaan dengan pengukuran pH, dilakukan pula pengukuran konsentrasi NH3 menggunakan metode Mikrodifusi Conway (General Laboratory Procedures 1966). Cawan Conway merupakan sebuah cawan dengan bagian cekung di tengah dan dikelilingi oleh alur bersekat. Pada bagian bibir dan tutup cawan diolesi dengan vaselin, sehingga cawan dan tutup dapat rapat memerangkap amonia dalam cawan. Setelah effluent homogen, effluent diambil sebanyak 1 mL dimasukkan pada salah satu bagian alur bersekat, pada sisi sekat yang lain dimasukkan Na2CO3 jenuh, sedangkan pada bagian cekung di tengah cawan cawan Conway diisi dengan 1 mL asam borat (H3BO3). Kemudian dengan cepat cawan Conway ditutup rapat agar udara tidak dapat masuk. Setelah itu cawan digerakkan hingga supernatan dan
17 Na2CO3 jenuh tercampur rata dan didiamkan selama 24 jam pada suhu kamar. Ion hidrogen asam borat akan mengikat N-Amonia dari supernatan dan asam borat dititrasi dengan H2SO4 0.0104 N sampai warnanya berubah dari biru menjadi merah muda. Kadar NH3 dihitung dengan persamaan sebagai berikut. Konsentrasi NH3 (mM)
=
Vol H2SO4 (mL) x N-H2SO4 x (1000/vol sampel (mL))
e. Pengukuran degradasi bahan kering pakan inkubasi (DBK) Pengukuran degradasi/kehilangan bahan kering pakan yang diinkubasikan dilakukan dengan memasukkan kantong nilon beserta sisa pakan di dalamnya yang diambil dari dalam feed container ke dalam oven 55 °C dan oven 105 °C. Setelah berat kantong konstan, kantong berisi sisa pakan ditimbang. Selisih berat bahan kering sebelum dan sesudah sampel diinkubasikan ke dalam feed container merupakan nilai degradasi bahan kering pakan. (BK x A) – (BK x B) DBK (%) = ------------------------------------------------- x 100% (BK x A) Keterangan: DBK : BK : A : B :
degradasi bahan kering kandungan bahan kering (%) total berat sampel sebelum inkubasi total berat sampel setelah inkubasi
f. Pengukuran degradasi bahan organik pakan inkubasi (DBO) Pengukuran degradasi bahan organik pakan yang diinkubasikan dilakukan dengan memasukkan sebagian sampel pakan ke dalam tanur bersuhu 600 °C untuk diabukan. Selisih berat sampel sebelum dan sesudah diabukan merupakan kadar bahan organik sampel. Perkalian antara persentase degradasi bahan organik dengan berat kering sampel pakan hasil inkubasi merupakan degradasi bahan organik. (BK x A x BO) – (BK x B x BO) DBO (%) = ------------------------------------------------------------------------- x 100% (BK x A x BO) Keterangan: DBO : BK : BO : A : B :
degradasi bahan organik kandungan bahan kering (%) kandungan bahan organik (%) total berat sampel sebelum inkubasi total berat sampel setelah inkubasi
Peubah yang Diamati Beberapa peubah yang diamati adalah produksi gas total, persentase metan terhadap gas total, produksi gas metan, pH effluent, produksi NH3, serta kehilanga bahan kering dan bahan organik pakan yang diinkubasikan.
18 Analisis Data Dinamika fermentasi (produksi gas total, persentase metan, volume gas metan, pH dan NH3 effluent serta degradasi bahan kering dan bahan organik) terhadap satuan waktu disajikan secara deskriptif. Rata-rata produksi gas total, persentase metan, produksi gas metan dan parameter fermentasi yang lain (pH effluent, NH3, degradasi bahan kering dan bahan organik) dianalisis menggunakan uji t-student (Steel and Torry 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN Pola produksi total gas dan metan terhadap waktu fermentasi
volume total gas (mL)
Total gas yang diproduksi per hari selama enam hari pengamatan digambarkan sebagai pola fermentasi produksi total gas berdasarkan waktu, disajikan pada Gambar 4. Baik pola produksi total gas kelompok pakan mengandung Indigofera sp. maupun kelompok pakan mengandung limbah tauge berfluktuasi dan terlihat kelompok pakan mengandung Indigofera sp. lebih fluktuatif dibandingkan limbah tauge. Produksi total gas terendah pada pakan mengandung Indigofera sp. adalah di hari kesebelas sebanyak 1426.78 mL/hari dan tertinggi pada hari kesembilan (2732.03 mL/hari). Produksi total gas pakan mengandung limbah tauge terendah terjadi pada hari kedelapan sebesar 1487.92 mL/hari dan tertinggi pada hari ketigabelas sebesar 2058.97 mL/hari.
2700
2200
1700
1200 5
6
7
8
9
10
11
12
lama inkubasi (hari)
Gambar 4 Pola produksi total gas pada pakan yang mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge selama enam hari inkubasi. ---o--- produksi total gas pakan mengandung Indigofera sp., -----+----- produksi total gas pakan mengandung limbah tauge
19 Gas hasil fermentasi mikroorganisme rumen merupakan akumulasi dari beberapa komponen gas. Pada Tabel 1 dapat dilihat beberapa komponen gas yang dapat diproduksi oleh rumen dan komposisinya. Komponen gas tertinggi hasil fermentasi mikroorganisme rumen umumnya adalah gas karbon dioksida (CO2) dan metan. Gas CO2 merupakan hasil samping pembentukan asetat dan butirat dari piruvat karena metabolisme mikroorganisme rumen, sedangkan pembentukan propionat tidak menghasilkan CO2, selain itu CO2 dapat dibebaskan pula oleh asam format. Kenyataan tersebut menyiratkan bahwa laju pembentukan VFA (terutama asetat dan butirat) berbanding lurus dengan terbentukanya total gas hasil fermentasi mikroorganisme rumen. Namun pembentukan VFA oleh mikroorganisme rumen baik in vivo maupun in vitro (RUSITEC) tidak mudah untuk dijelaskan, hal tersebut terkait dengan interelasi antara kandungan pakan, aliran saliva beserta seluruh komponen RUSITEC yang bertujuan menjaga stabilitas mikroorganisme serta peran bermacam mikroorganisme itu sendiri dengan berbagai macam pola hubungan yang beragam. Namun begitu pengamatan terhadap nilai-nilai dari metabolit yang dihasilkan, sedikit banyak dapat dimanfaatkan untuk menguak proses-proses yang terjadi selama fermentasi. Pakan mengandung Indigofera sp. maupun mengandung limbah tauge pada awal fermentasi sudah menunjukkan aktivitas fermentasi, hal tersebut ditunjukkan dengan tetap terbentuknya metabolit hasil fermentasi berupa gas. Terbentuknya gas total hasil fermentasi sebelum pengamatan pada kedua kelompok pakan hampir sama dan cenderung konstan, hal tersebut mengindikasikan bahwa lingkungan fermentasi pada rumen domba hidup tidak jauh berbeda dengan vessel RUSITEC (fermentor). Apalagi pakan yang diinkubasikan pada saat domba masih hidup sama persis dengna pakan yang diinkubasikan. Kondisi tersebut dapat terjadi akibat mikroorganisme rumen masih dalam taraf adaptasi dengan lingkungan baru. Satu hal yang menjadikan fermentasi in vivo berbeda dengan in vitro adalah pada fermentasi in vitro tidak ada mekanisme penyerapan hasil metabolit fermentasi seperti VFA dan NH3 seperti halnya pada dinding rumen serta kontrol terhadap kuantitas dan kualitas saliva yang dialirkan ke dalam rumen. Kondisi tersebut mirip dengan eksperimen Busquet et al. (2005) yang melakukan analisis untuk membandingkan beberapa ekstrak tanaman dan beberapa zat aktif tanaman menggunakan continuous culture system, pada enam hari pertama analisis tidak terdapat perbedaan nilai total VFA dan amonia. Baik pada pakan mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge, total gas yang dihasilkan berangsur-angsur menunjukkan kecenderungan naik antara hari keenam sampai dengan hari kesembilan. Kondisi yang naik tersebut menunjukkan mikroorganisme sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan fermentor RUSITEC dan mencapai pertumbuhan serta jumlah yang optimal untuk dapat melakukan proses fermentasi pakan sehingga terbentuk banyak metabolit seperti CO2 dan metan sebagai penyumbang jumlah gas yang signifikan. Mekanisme mikroorganisme rumen pada substrat maupun lingkungan yang baru belum banyak dipahami, hanya dapat dibaca dari metabolit hasil fermentasi yang dihasilkan. Rumen adalah ekosistem yang kompleks terdiri dari bakteri, archaea, protozoa, dan jamur yang secara khusus mampu menyesuaikan diri sehingga memungkinkan ruminansia dapat mencerna berbagai bahan pakan yang bervariasi (Bretschger et al. 2010). Dinyatakan oleh McSweeney et al. (1999) bahwa dasar adaptasi mikroorganisme rumen adalah keragaman sub-populasi mikroorganisme
20 dan susunan yang luas dari rangkaian sistem enzim yang dimiliki oleh mikroorganisme-mikroorganisme tersebut. Diungkapkan pula bahwa pengetahuan tentang mekanisme molekuler yang mendasari perubahan mikroorganisme dan biokimia mikroorganisme rumen bahkan lebih sedikit. Pola grafik produksi total gas pada Gambar 4, terutama setelah mikroorganisme menyesuaikan diri dengan lingkungan fermentor terlihat pola yang sama pada kedua kelompok pakan, terjadi trend naik dan mencapai puncak pada hari kesembilan dilanjutkan dengan fase penurunan produksi total gas menyentuh titik terendah pada hari kesebelas sebelum berangsur naik kembali. Dikaitkan dengan nilai pH (Gambar 7), fermentasi produksi total gas cenderung berbanding terbalik dengan pH. Sekilas hal tersebut bertentangan dengan pendapat Sung et al. (2007) yang menyatakan bahwa semakin pH rumen mendekati netral maka akan diproduksi lebih banyak gas, sebaliknya gas akan semakin sedikit diproduksi apabila pH rumen semakin asam. Namun mungkin karakter pakan yang berbeda akan menimbulkan pola fermentasi yang berbeda pula, khususnya pada fermentasi in vitro, semakin tinggi pakan mengandung konsentrat secara linear akan dihasilkan pH yang semakin menurun (Lana et al. 1998). Turunnya pH banyak disebabkan oleh tingginya VFA yang terbentuk, sementara tidak ada penyerapan VFA dalam fermentor (Lascano and Heinrichs 2009). Sudah jelas bahwa dasar terbentuknya komponen-komponen gas di dalam rumen utamanya merupakan hasil samping metabolisme karbohidrat menjadi asam lemak volatil, utamanya asetat dan butirat (Boadi et al. 2004; Mitsumori and Sun 2008). Namun bentuk kimia dari bahan baku pembentukan asetat dan butirat yang berbeda mempengaruhi cara pembentukannya, mulai dari enzim, langkah dan mikroorganisme yang berbeda sedemikian rupa sehingga dapat mempengaruhi komposisi populasi mikrobia yang bervariasi mengikuti pakannya. Pembentukan VFA dari karbohidrat tinggi selulosa dan hemiselulosa akan berbeda dengan pembentukan VFA dari mono dan disakarida, sehingga jumlah dan komposisi VFA parsial pada waktu yang sama pada pakan kaya serat akan cenderung berbeda dengan pakan kaya konsentrat. Calsamiglia et al (2008) mengemukakan bahwa fermentasi mikroorganisme rumen didahului oleh substrat yang mudah larut terlebih dahulu, nutrisi karbohidrat mudah larut cepat memproduksi VFA. Pendapat Sung et al. (2007) didasarkan pada pakan tinggi serat menggunakan hay rumput thimoty (Phleum pretense), imbangan hijauan:konsentrat yang digunakan adalah 60:40, dengan frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari. Kandungan serat kasar hay rumput timothy adalah antara 27.8-33.2% (Lloyd et al. 1961), kandungan NDF dan ADF berturut-turut 62.6 dan 35.0% (Ordakowski-Burk et al. 2006). Tidak ada informasi rinci mengenai bahan penyusun konsentrat maupun komposisi nutrisi pakan yang diberikan, namun dengan memperhatikan imbangan hijauan dan konsentrat serta frekuensi pemberian pakan yang jarang dapat diperkirakan mikroorganisme yang lebih berkembang adalah golongan fibrolitik yang menghasilkan asetat dan butirat dari karbohidrat struktural. Pakan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kandungan BETN masing-masing sebesar 44.57% (pakan mengandung Indigofera sp.) dan 51.13% (pakan mengandung limbah tauge). Nilai BETN tersebut cukup tinggi
21 dibandingkan dengan hasil perhitungan standar nasional untuk konsentrat sapi potong (BSN 2009), yang mensyaratkan BETN minimal sebesar 38.37% dalam 100% bahan kering. Tarmidi (2004) menyusun pakan domba dengan kandungan BETN antara 42.27% dan 48.21% menggunakan beberapa level ampas tebu yang telah dilakukan biokonversi mendapatkan pertambahan bobot badan harian sebesar 49.64-71.47 g/ekor/hari. Sementara Suharyono et al. (2010) memberikan beberapa suplemen pakan berbeda pada pemeliharaan domba dengan kandungan BETN 46.74-47.29% menghasilkan PBBH 49.41-111.94 g/ekor/hari. Pada pemeliharaan domba sistem feed lot, Purbowati et al. (2007) menggunakan BETN 49.81-60.02% menghasilkan PBBH 145.22-164.98 g/ekor/hari. Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) adalah hasil pengurangan bahan kering oleh protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan abu (Hartadi et al. 1980), sehingga BETN merupakan gambaran jumlah fraksi karbohidrat mudah larut yang merupakan karbohidrat non struktural seperti gula-gula sederhana, pati dan pektin (Russel et al. 1992). Dijelaskan lebih lanjut oleh Chalupa and Sniffen (2000) bahwa tingkat laju fermentasi karbohidrat berbeda-beda. Gula sederhana difermentasi lebih cepat dibandingkan pati, sedangkan pati dan pektin difermentasi lebih cepat dibandingkan dengan serat. Sementara pati dalam bijibijian difermentasi dengan laju yang berbeda pula (gandum > barley > jagung > sorgum). Fermentasi serat dan pati akan meningkat apabila dilakukan pengurangan ukuran partikel. Pengurangan ukuran partikel akan meningkatkan area permukaan per unit berat sehingga partikel pakan lebih mudah diakses oleh enzim mikroorganisme. Propionat (dan laktat) diproduksi dari fermentasi pati dan gula sederhana (Chalupa and Sniffen 2000). Lebih lanjut diungkapkan bahwa kandungan konsentrat yang tinggi biasanya menyebabkan imbangan asetat:propionat menurun, penurunan tersebut disebabkan oleh produksi propionat yang meningkat meskipun produksi asetat cenderung tetap. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab tingginya produksi VFA pada pakan tinggi karbohidrat mudah larut, sehingga dapat dipahami bahwa gas total yang diproduksi oleh pakan yang diikubasikan dapat mencapai jumlah yang cukup tinggi dengan cepat setelah sebelumnya sangat sedikit gas yang dapat diproduksi. Wolin (1960) mengenalkan persamaan yang menggambarkan hubungan antara VFA, produksi gas dan fermentasi glukosa. Persamaan ini sering digunakan untuk memprediksi perubahan produksi gas yang disebabkan oleh dinamika fermentasi. Sehingga jelas bahwa pakan inkubasi yang mengandung BETN tinggi dapat cepat membentuk gas dan semakin lama fermentasi gas yang dapat terbentuk cenderung banyak. Doane et al. (1997) menambahkan bahwa umumnya hasil dari fermentasi jangka panjang menghasilkan hubungan yang konstan antara substrat terdegradasi dan pembentukan produk akhir fermentasi. Namun produksi gas yang tinggi tidak dapat bertahan dalam interval waktu yang lebih lama. Setelah tiga hari awal pengamatan produksi gas menunjukkan kecenderungan yang meningkat, pada hari kesembilan produksi gas total mencapai titik tertinggi dilanjutkan pada hari kesepuluh gas total yang diproduksi mulai menurun. Pada hari kesembilan pula fermentor mencapai titik jenuh pH terendah pada pertengahan fermentasi (Gambar 7). Pencapaian pH paling rendah pada pertengahan fermentasi tidak terjadi tiba-tiba, secara gradual penurunan pH sudah dimulai pada hari pertama pengamatan, yaitu pada saat produksi gas total
22 berada pada titik yang rendah. Penurunan pH fermentor seiring dengan fermentasi yang semakin optimal yang dimulai pada hari keenam sampai hari kesembilan. Kondisi demikian dimungkinkan karena tingginya VFA yang terbentuk kurang seimbang dengan saliva yang dialirkan ke dalam fermentor sehingga effluent menjadi semakin asam akibat akumulasi VFA hasil fermentasi mikroorganisme. Kondisi fermentor yang asam disebabkan pula oleh terbentuknya laktat. Dijkstra et al. (2012) mengemukakan bahwa pada kondisi pH rendah, bakteri amilolitik lebih berkembang dan semakin aktif, sebaliknya bakteri pencerna serat utama tidak toleran terhadap rendahnya pH sehingga pencernaan serat turun drastis. Komposisi populasi mikroorganisme rumen dapat berubah bergantung substrat yang ada, namun komposisi jenisnya cenderung tidak berubah, Kamra (2005) menyatakan bahwa mikroorganisme rumen memang rumit dan tidak mudah dipahami, mikroorganisme tersebut dapat bertahan dari kepunahan terhadap gangguan lingkungan rumen maupun yang berhubungan dengan pakan, bahkan faktor-faktor anti-nutrisi yang dapat membatasi populasi beberapa mikroorganisme rumen. Tidak hanya bakteri amilolitik saja yang berkembang, pada saat konsentrasi gula sederhana tinggi, protozoa lebih banyak berkembang dengan mengambil gula sederhana terlarut dan pati (Veira 1986) dijelaskan pula bahwa protozoa lebih mampu beradaptasi dibandingkan bakteri, sehingga sangat dimungkinkan pada awal fermentasi dan sesaat setelah konsentrasi karbohidrat non struktural meninggi protozoa lebih berkembang. Sementara untuk metabolisme dirinya protozoa mengambil N dari bakteri (Cottle 1978). Indikasi berkembangnya protozoa dapat dilihat dari nilai pH (Gambar 7) yang tidak turun terlalu jauh (masih mendekati netral), Mendoza et al. (1993) menyatakan bahwa protozoa menurunkan laju degradasi pati, Williams (1986) menambahkan bahwa protozoa membantu mencegah timbulnya asidosis oleh asam laktat dengan cara cepat mengasimilasi gula yang larut menjadi amilopektin. Proses selanjutnya adalah pati yang tertelan dan polisakarida yang tersimpan oleh protozoa perlahan difermentasi membentuk VFA sehingga efektif menstabilkan pH. Namun mekanisme tersebut tidak berlaku untuk semua karbohidrat non structural, Coleman (1979) mengestimasikan hanya sepertiga gula yang dikonsumsi ternak yang akan dikonversi oleh protozoa menjadi pati, selebihnya digunakan oleh bakteri rumen. Dengan bertambahnya kehadiran protozoa di dalam fermentor, terjadi penggunaan karbohidrat yang semakin tinggi, suplai karbohidrat mudah larut berkurang, protozoa akan lisis (Cottle et al. 1978). Komposisi populasi mikroorganisme fermentor akan didominasi oleh bakteri pencerna karbohidrat struktural kembali, besar kemungkinan pada saat itu bakteri selulolitik berkembang semakin baik sehingga pada hari ketigabelas dapat dicapai produksi gas tertinggi. Bakteri seperti Butyrivibrio fibrisolvens adalah jenis bakteri yang mampu mencerna dua macam substrat karbohidrat yaitu pati ataupun selulosa (Fernando et al. 2010), bakteri jenis tersebut dapat menginisiasi perubahan tersebut. Namun tampaknya kecepatan pembentukan karbohidrat struktrual menjadi VFA dengan gas sebagai metabolit sekunder oleh fibrolitik belum secepat karbohidrat mudah larut (populasi miroorganisme pengguna karbohidrat non struktural belum optimal), sehingga gas yang terbentuk menurun dan semakin menurun (hari kesebelas).
23
produksi terhadap total gas (%)
Gas metan merupakan bagian dari kumpulan bermacam gas hasil fermentasi mikroorganisme rumen (Tabel 1). Penentuan kuantitas gas metan yang diproduksi dilakukan dengan mendeteksi persentase metan dari gas yang ditampung pada gas collection bag. Persentase gas metan selama enam hari pengamatan disajikan pada Gambar 5. Sebaran nilai persentase kandungan metan terhadap keseluruhan gas yang terbentuk pada kedua kelompok pakan cukup fluktuatif. Persentase kandungan metan selama pengamatan terendah dicapai pada hari keenam pada kedua kelompok pakan, dengan nilai terendah pada pakan mengandung Indigofera sp. (7.06%) disusul oleh pakan mengandung limbah tauge (5.45%). Adapun persentase kandungan metan tertinggi terjadi pada pakan mengandung limbah tauge pada hari kesebelas sebesar 9.57%. Persentase metan tertinggi pada pakan mengandung Indigofera sp. adalah sebesar 9.01% dicapai pada hari kesepuluh.
9
7
5 5
6
7
8
9
10
11
12
lama inkubasi (hari)
Gambar 5 Persentase metan terhadap total gas pada pakan yang mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge selama enam hari inkubasi. ---o--persentase metan pakan mengandung Indigofera sp., -----+----- persentase metan pakan mengandung limbah tauge Pada dua hari pertama fermentasi persentase metan terhadap produksi total gas sudah relatif tinggi dibandingkan dengan waktu fermentasi selanjutnya. Pada hari pertama RUSITEC dijalankan, digunakan cairan dan padatan isi rumen yang banyak mengandung mikroorganisme rumen aktif untuk mendampingi pakan yang diinkubasikan. Martínez et al. (2010) menyatakan bahwa umumnya domba yang diberikan rumput memiliki jumlah bakteri yang lebih banyak berasosiasi dengan padatan rumen dibandingkan yang berasosiasi dengan cairan rumen. Michalet-Doreau et al. (2001) melaporkan bahwa mikroorganisme rumen tidak tersebar merata pada padatan dan cairan rumen, populasi bakteri selulolitik tinggi di dalam padatan rumen. Sementara populasi protozoa tidak konsisten pada bagian tertentu isi rumen. Protozoa seringkali berada pada bagian bawah cairan rumen (Coleman 1979), terutama golongan holotrica protozoa biasanya berasosiasi
24 dengan cairan retikulorumen (Martin et al. 1999) pada lain pihak, Orpin (1985) melaporkan bahwa ciliata banyak menempel pada substrat hijauan, terutama beberapa menit setelah pakan masuk ke dalam rumen. Baik cairan maupun padatan rumen merupakan starter untuk menjamin kelangsungan analisis selama fermentasi dilakukan. Pada awal dijalankannya RUSITEC, lingkungan fermentor relatif bebas dari metabolit yang berlebih yang dapat menghambat kinerja mikroorganisme, seperti VFA dan NH3 sudah diserap oleh domba ketika masih hidup. Sementara itu perkursor metan seperti CO2 dan H2 yang tidak terserap dinding rumen tersedia cukup sehingga dapat digunakan oleh metanogen (mikroorganisme pembentuk metan) untuk membentuk metan. Dijelaskan pula oleh Krumholz (1983) bahwa banyak metanogen menggantungkan kehidupannya dari protozoa sehubungan protozoa mampu mendukung aktivitas metanogenesis. Lebih lanjut dijelaskan oleh Ohene-Adjei et al. (2007) bahwa protozoa pada habitat anaerobik seperti rumen kaya akan hidrogen sehingga seringkali berasosiasi dengan bakteri metanogen. Persentase kandungan gas metan dalam total gas yang tertampung dibandingkan hasil beberapa analisis lain relatif rendah. Carro et al. (1999) menganalisis penambahan DL-malat yang berpotensi meningkatkan pembentukan propionat dalam rumen dan penembahan propionat pada pakan mengandung hijauan dan konsentrat masing-masing 50% menggunakan RUSITEC dengan inokulum rumen domba, setelah hari kesebelas mendapatkan persentase metan terhadap gas CO2 dan metan sebesar 16.85 dan 17.80% masing-masing untuk penambahan DL-malat dan propionat. Apabila diperhitungkan dengan gas lain yang terbentuk seperti H2, O2 serta N2 (Ishler et al. 1996), maka nilai tersebut berturut-turut setara dengan 15.55 dan 16.43%. Nilai tersebut masih lebih tinggi dibandingkan hasil analisis terhadap pakan mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge, pada hari kesebelas rata-rata persentase metan terhadap total gas fermentasi adalah 8.80% (pakan mengandung Indigofera sp.) dan 9.57% (pakan mengandung limbah tauge). Dong et al. (1997) menambahkan minyak canola, minyak hati ikan cod dan minyak kelapa ke dalam dalam hay Dactylis glomerata dengan tujuan untuk menurunkan metan. Analisis dilakukan menggunakan RUSITEC dengan inokulum isi rumen sapi Holstein jantan. Sampling dilakukan pada hari kesembilan sampai sebelas, persentase metan yang diperoleh antara 13.49 dan 15.02%. Pada analisis pakan mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge, ratarata persentase gas metan di hari kesembilan sampai sebelas masing-masing sebesar 8.51 dan 9.09%. Sementara Soliva et al. (2008) melakukan analisis beberapa bagian tanaman dan spesies legume tropis menggunakan metode gas tes, rata-rata persentase kandungan metan terhadap total adalah sebesar 10.40%. sedangkan Stärfl (2012) dengan metode yang sama melakukan analisis terhadap empat macam pakan mengandung Lupine seed dan Lucerne meal dengan kandungan masing-masing sebesar 15 dan 30%, menghasilkan metan antara 14.41 dan 15.12%. Metan yang timbul selama enam hari pengamatan ditampilkan sebagai pola fermentasi produksi metan terhadap waktu, diperlihatkan pada Gambar 6. Hampir sama dengan pola fermentasi pada total gas, metan yang diproduksi oleh kedua kelompok pakan menunjukkan fluktuasi yang tajam setiap harinya. Pada empat hari pertama pengamatan, fluktuasi pada kedua kelompok pakan menunjukkan
25
volume metan (mL)
irama yang mirip dengan nilai yang lebih tinggi pada kelompok pakan mengandung Indigofera sp. selanjutnya pada hari kesepuluh produksi metan kedua kelompok pakan hampir berhimpit dan diakhiri dengan produksi metan limbah tauge lebih tinggi.
250
200
150
100
50 5
6
7
8
9
10
11
12
lama inkubasi (hari)
Gambar 6 Pola produksi metan pada pakan yang mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge selama enam hari inkubasi. ---o--- produksi metan pakan mengandung Indigofera sp., -----+----- produksi metan pakan mengandung limbah tauge Selama pengamatan, produksi metan tertinggi dari kedua kelompok pakan, terjadi pada hari yang sama. Pakan mengandung Indigofera sp. produksi metan tertinggi terjadi pada hari kesembilan dengan nilai 210.80 mL/hari dan limbah tauge 176.62 mL/hari. Adapun produksi metan terendah pada pakan mengandung Indigofera sp. adalah sebesar 124.12 mL/hari (hari kesebelas) sedangkan produksi metan terendah pada pakan mengandung limbah tauge sebesar 83.34 mL/hari terjadi pada hari keenam. Terkait dengan komposisi kimia pakan yang diinkubasikan selama fermentasi. Pelchen and Peters (1998) mengemukakan bahwa beberapa faktor pakan dapat mempengaruhi produksi metan seekor domba, diantaranya adalah kecernaan bahan kering, kandungan serat kasar, rasio serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen, energi pakan, level konsumsi dan berat badan. Lebih lanjut diungkapkan oleh Van Kessel and Russell (1996) bahwa produksi metan agak sulit diukur, tetapi dapat diestimasi dari stoikiometri produk fermentasi, disamping itu perlu juga mempertimbangkan sel bakteri sebagai produk fermentasi yang dapat berdampak nyata pada pembentukan metan. Pada pakan yang didominasi oleh hijauan diperoleh persamaan kimia sebagai berikut: 100 glukosa → 94,1 asetat + 22,4 propionat + 11,8 butirat + sel [C180H284O85] + 94,1 H2O + 82,4CO2 + 35,3CH4
26 Sementara pada pakan kaya konsentrat berlaku persamaan kimia sebagai berikut: 100 glukosa → 7,0 laktat + 65,2 asetat + 36,5 propionat + 15,7 butirat + sel [C180H284O84] + 86,0 H2O + 87,0 CO2 + 9,6 CH4 + 29,1 H2 Dilihat secara makro dari hari ke hari selama pengamatan, produksi metan seharusnya cenderung tetap atau bahkan menurun, karena substrat yang diinkubasikan baik jumlah maupun nutrisinya tetap. Namun dapat dilihat pada Gambar 6 bahwa produksi metan sangat fluktuatif dari hari ke hari. Apabila diperbandingkan antara Gambar 6 dengan produksi total gas selama pengamatan (Gambar 4) meskipun tidak sangat konsisten, namun produksi metan yang tinggi hampir pasti dibarengi oleh produksi total gas yang tinggi, begitu pula sebaliknya. Hal tersebut dapat terlihat pada Gambar 5 yang menunjukkan persentase pembentukan metan terhadap gas total selama pengamatan cenderung tetap, pola demikian dapat diartikan bahwa metanogen tidak dapat mengkonversi seluruh perkursor metan pada saat total gas yang dihasilkan sangat rendah sekalipun. Terdapat dua kemungkinan yang dapat terjadi, apabila diasumsikan persentase pembentukan CO2 adalah tetap (CO2 adalah komponen gas terbesar dan jarang digunakan sebagai perkursor reaksi selain pembentukan metan), maka faktor pembatas pembentuk metan baik pada saat produksi gas total tinggi dan rendah adalah gas H2 atau aktivitas metanogen. Bauchop and Mountfort (1981) menyatakan bahwa studi tentang transfer H2 pada metanogen mengindikasikan adanya interaksi mikroorganisme dalam ekosistem rumen yang kompleks dan memiliki pengaruh yang kuat dalam pembentukan metan. Terdapat simbiosis antara metanogen pengguna H2 dengan mikroorganisme pencerna karbohidrat dalam hal penggunaan elektron pada proses glikolisis. Biasanya proses tersebut disertai dengan peningatan produksi asam asetat. Menurut Janssen and Kirs (2008), sebagian besar metanogen tumbuh menggunakan H2 sebagai sumber energi dan menggunakan elektron H2 untuk mereduksi CO2 menjadi metan, sebagian kecil lain menggunakan format dan grup metil, ada juga yang menggunakan asetat serta mengubahnya menjadi metan dan CO2 namun jumlah metanogen terakhir ini sangat sedikit. Lebih lanjut dijelaskan oleh Janssen (2010) bahwa pool H2 di rumen sangat rendah (Tabel 1), konsentrasi H2 yang larut lebih kecil lagi (0.014-6.8%), kelarutan maksimal terjadi pada suhu 39° C dan tekanan satu atmosfir, laju pembentukan metan ditentukan oleh laju kelarutan H2 dan jumlah metan yang terbentuk ditentukan jumlah H2 yang melewati pool. Sementara Mitsumori and Sun (2008) mengungkapkan bahwa H2 merupakan metabolit fermentasi mikroorganisme rumen, akan menjadi sampah apabila terakumulasi tinggi di dalam rumen serta dapat berakibat buruk karena dapat menekan laju fermentasi, namun ternyata H2 tidak pernah terakumulasi dalam rumen karena dapat cepat digunakan oleh metanogen yang merupakan mikroorganisme pengguna hidrogen paling dominan (Chaucheyras et al. 1995). Jelas bahwa terbentuknya metan di dalam rumen diawali oleh H2 yang dibebaskan dan tersedia untuk metanigen sehingga pada saat produksi gas total rendah hanya sedikit H2 yang dapat dibebaskan dan dimanfaatkan oleh metanogen untuk mereduksi CO2 menjadi metan dan tidak banyak metan yang dapat diproduksi meskipun komposisi volume CO2 pada saat itu cukup tinggi.
27 Selain itu proses pembentukan metan juga dipengaruhi oleh adanya simbiosis antara archaea dengan mikroorganisme rumen yang lain. Janssen and Kirs (2008) melaporkan bahwa selain berdiri sendiri archaea rumen juga melakukan interaksi dengan mikroorganisme lain penghasil hidrogen seperti protozoa, bakteri ataupun fungi. Asosiasi metanogen dengan mikroorganisme lain umumnya didominasi oleh protozoa terutama pada ruminant dengan konsumsi konsentrat tinggi, Franzolin and Dehority (1996) menyatakan bahwa pakan dengan kandungan konsentrat antara 40-60% akan mendukung jumlah protozoa yang maksimal. Lebih lanjut diungkapkan oleh Ohene-Adjei (2007) bahwa protozoa pada habitat anaerobik seperti rumen dapat memproduksi hidrogen sehingga seringkali protozoa berasosiasi dengan bakteri metanogenik, khusus dengan protozoa simbiosis dilakukan baik secara intraseluler maupun ekstraseluler (Hook et al. 2010). Proporsi metanogen yang berasosiasi dengan protozoa bervariasi, hal tersebut dapat direfleksikan dari pengurangan produksi metan melalui defaunasi (pemusnahan) protozoa dari dalam rumen, beberapa laporan menyebutkan bahwa defaunasi dapat menurunkan metan antara 9-25% (Kumar et al. 2012), 20-30% (Dohme et al. 1999), 30-45% (Tokura et al. 1999). Pelchen and Peters (1998) yang membuat grafik hubungan antara perbandingan kandungan serat kasar(SK):BETN dengan metan yang diemisikan pada domba. Grafik tersebut cenderung kuadratik, pada perbandingan SK: BETN yang tinggi metan sedikit diemisikan, pada lain pihak pada saat nilai SK: BETN rendah ternyata emisi metan menurun pula, sementara emisi metan tertinggi dapat mencapai 24.0 g/hari pada SK:BETN sekitar 0.45. Pada fermentasi pakan menggunakan RUSITEC dengan kandungan BETN cukup tinggi dimungkinkan memiliki pola yang berbeda dengan yang memiliki BETN rendah seperti pakan hijauan saja. Dijkstra et al. (2012) menyatakan bahwa pada saat komposisi konsentrat dalam pakan tinggi, mikroorganisme rumen golongan amilolitik dan protozoa lebih berkembang dan semakin aktif. Kondisi demikian akan cepat dihasilkan VFA sekaligus hasil sampingannya CO2 dan H2 yang akan digunakan metanogen untuk mereduksi CO2 menjadi metan, sehingga produksi metan dapat meningkat sampai titik puncak pada pertengahan fermentasi di hari kesembilan. Proses pergeseran komposisi populasi mikroorganisme rumen mengikuti ketersediaan pakan terlarut akan menyebabkan pola berulang sepanjang waktu fermentasi, hal tersebut ditunjukkan naik turunnya produksi metan selama pengamatan. Proses pengulangan tersebut diduga kuat akibat laju aliran nutrisi fermentor yang kurang seimbang dengan kecepatan aktivitas mikroorganisme rumen dalam mendegradasi nutrisi pakan. Pola pH dan produksi amonia terhadap waktu fermentasi Perubahan derajad keasaman (pH) effluent yang dideteksi per hari selama enam hari pengamatan digambarkan sebagai dinamikan pH effluent terhadap waktu, disajikan pada Gambar 7. Dapat dilihat bahwa pH yang terdeteksi selama pengamatan tidak terlalu fluktiatif, dibandingkan nilai produksi gas total dan metan yang diproduksi. Nilai pH terendah selama pengamatan pada pakan mengandung Indigofera sp. adalah 6.54 terjadi pada hari kesembilan, sedangkan pH tertinggi pada kelompok pakan tersebut adalah 7.06 pada hari kesebelas.
28 Adapun pada pakan mengandung limbah tauge, pH terendah juga terjadi pada hari kesembilan dengan nilai 6.79 sedangkan nilai tertinggi sebesar 7.02 terjadi pada hari keenam. Kedua pakan yang diinkubasikan selama fermentasi tergolong pakan tinggi karbohidrat non struktural yang mudah larut dalam cairan rumen, pakan dengan kandungan karbohidrat terlarut tinggi seperti gula dan pati, pada awal fermentasi biasanya akan cepat diproduksi VFA, beriringan dengan itu terbentuk senyawa intermediet pembentuk propionat yaitu asam laktat yang seringkali ditemui menurunkan pH dengan cepat, untuk mengontrol penurunan pH yang drastic diperlukan kehadiran bakteri pengguna laktat (Mackie et al. 1979), selain itu kehadiran protozoa juga dapat mencegah turunnya pH yang drastis (Williams 1986; Mendoza et al. 1993; Franzolin and Dehority 1996). Selain disuplainya saliva buatan sebagai buffer selama fermentasi, diduga kuat mekanisme pengontrolan pH oleh mikroorganisme rumen sendiri seperti pengguna laktat dan protozoa tetap berjalan terutama pada beberapa saat pakan diganti dengan yang baru. Kondisi demikian dapat menjaga pH fermentor tidak lebih rendah dari 6.54 selama pengamatan. Kaur et al. (2008) memberikan pakan pada domba dengan frekuensi pemberian yang berbeda-beda, pada pemeriksaan pH cairan rumen sebelum dan sembilan titik sampai dengan empat belas jam setelah pemberian pakan pertama nilai pH memilik pola yang hampir sama (6.1 ± 0,23). Natsir (2008) memberikan hijauan oat 85% pada domba ditambahkan bijian Faba (15%) yang diberikan dengan frekuensi yang berbeda mendapati pH yang tidak berbeda pada cairan rumennya (6.05-6.36). Afshar et al. (2012) menganalisa pH domba yang diberikan 30% hay alfalfa dan 63-69% berbagai bentuk biji barley mendapati pH dengan kisaran 5.92 dan 6.23. pH
7.5
7.0
6.5
6.0 5
6
7
8
9
10
11
12
lama inkubasi (hari)
Gambar 7 Dinamika pH effluent pada pakan yang mengandung Indigorera sp. dan limbah tauge selama enam hari inkubasi. ---o--- pH pakan mengandung Indigofera sp., -----+----- pH pakan mengandung limbah tauge
29 Nilai pH yang terjadi selama fermentasi masih dalam kisaran normal, Bach et al. (2007) menambahkan ragi hidup dalam pakan sapi perah, selama 8 hari pengamatan in vivo pH berfluktuasi antara 5.44 dan 6.77 dengan rata-rata sebesar 6.05. Pada beberapa penggal waktu fermentasi, terus menurunnya pH disebabkan oleh diproduksinya VFA secara kontinyu (Keogh et al. 2009) dikemukakan pula oleh Keogh et al. (2009) bahwa penurunan pH sampai dengan 6.0 pada domba yang diberikan pakan hay mendorong penghambatan selulolisis dan kerusakan mikroflora rumen. Pada hewan hidup pH dipengaruhi oleh konsentrasi serat dalam pakan termasuk NDF serta keseimbangan antara produk fermentasi yang bersifat asam dan sekresi saliva sebagai buffer (Krause et al. 2002), selain itu penyerapan VFA melalui dinding rumen juga menghambat penurunan pH. Secara in vitro tidak ada penyerapan VFA, sehingga pH akan cenderung terus menurun seiring mikroorganisme rumen mencerna pakan, pada RUSITEC penurunan pH dapat dihambat dengan penyaluran buffer secara kontinyu dan konstan. Terus menurunnya pH diduga tingginya aktivitas mikroorganisme rumen serta suplai pakan yang terus menerus menyebabkan VFA terus diproduksi sementara suplai saliva kurang mampu mengimbangi. Menurut Calsamiglia et al. (2002) pH rendah yang konstan dapat menurunkan kecernaan serat dan protein serta menurunkan terbentuknya amonia. sedangkan Cerrato-Sa´nchez (2008) mengungkapkan bahwa lama dan besaran nilai pH yang turun tidak terlalu mempengaruhi fermentasi protein mikroorganisme rumen, pengaruh lingkungan pH rendah pada fermentasi mikroorganisme rumen akan akan tergantung pada besaran nilai pH yang turun. Amonia (NH3) yang diproduksi per hari selama enam hari pengamatan digambarkan sebagai pola fermentasi produksi metan terhadap waktu. Dalam Gambar 8 dapat dilihat bahwa pada pakan yang mengandung Indigofera sp. selama pengamatan amonia tetap muncul dengan analisis Mikrodifusi Conway, sementara pada limbah tauge, dengan metode yang sama, amonia hanya terdeteksi dalam effluent sampai dengan hari ketujuh. Pada semua kelompok pakan amonia terdeteksi tinggi pada masa inkubasi dan semakin menurun samapi awal pengamatan. Mulai hari kedelapan amonia pada limbah tauge tidak terdeteksi kembali, sementara pada Indigofera sp. perlahan kembali naik dengan kenaikan tertinggi pada hari kesepuluh kemudian berangsur-angsur turun kembali. Konsentrasi amonia pada pakan mengandung Indigofera sp. (Gambar 8) tertinggi terjadi pada hari kesepuluh dengan nilai sebesar 10.66 mM, sedangkan konsentrasi terendah terjadi pada hari ketujuh sebesar 2.10 mM. Pada pakan mengandung limbah tauge konsentrasi amonia terdeteksi pada dua hari di awal kolesi data saja, yaitu pada hari keenam dan ketujuh dengan nilai berturut-turut sebesar 5.38 dan 4.32 mM, kemudian tidak dapat terdeteksi kembali sampai berakhirnya pengamatan meskipun secara teratur dan konsisten tetap dilakukan analisis Conway untuk mengetahui konsentrasi amonia dalam effluent. Amonia umumnya merupakan hasil utama metabolisme protein oleh mikroorganisme rumen. Pembatas utama tingkat degradasi protein pakan menjadi amonia adalah kelarutan protein pakan. Akumulasi amonia selama inkubasi mengindikasikan bahwa fermentasi protein dalam rumen berlimpah dan amonia diproduksi melebihi kapasitas penggunaan amonia oleh mikroorganisme untuk sintesis protein mikroorganisme (Cecava 1995). Amonia yang dapat terdeteksi
30
konsentrasi amonia (mM)
pada fermentasi kedua jenis pakan, merupakan pertanda bahwa pakan inkubasi mengandung protein yang cukup sehingga dapat didegradasi oleh mikroorganisme rumen. Khusus pada pakan mengandung Indigofera sp. yang tetap terdeteksi selama pengamatan, besar kemungkinan disebabkan oleh kandungan protein pakan mengandung Indigofera sp. memang lebih tinggi dibandingkan limbah tauge.
12
8
4
0 5
6
7
8
9
10
11
12
lama inkubasi (hari)
Gambar 8 Pola konsentrasi ammonia pada pakan mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge selama enam hari inkubasi. ---o--- konsentrasi amonia pakan mengandung Indigofera sp., -----+----- konsentrasi amonia pakan mengandung limbah tauge Rendahnya konsentrasi bahkan sampai tidak terdeteksinya amonia selama pengamatan kedua bahan pakan merupakan representasi dari kesetimbangan amonia. Dijelaskan oleh Waghorn (2008) bahwa konsentrasi amonia pada percobaan in vitro merupakan hasil kesetimbangan antara degradasi protein dan pemanfaatan amonia bagi sintesis protein mikroorganisme. Dijelaskan lebih lanjut bahwa oleh mikroorganisme rumen, amonia digabung menjadi asam amino dan akhirnya dibentuk menjadi protein mikroorganisme. Sekitar 50-80% nitrogen mikroorganisme berasal dari amonia dan sisanya berasal dari peptida dan asam amino yang secara langsung bergabung menjadi protein mikroorganisme. Pada hewan hidup, amonia yang tidak dimanfaatkan oleh mikroorganisme rumen akan diserap oleh dinding rumen dan sebagian terbawa oleh aliran digesta. Konsentrasi amonia pada pakan mengandung Indigofera sp. yang tetap terdeteksi (meskipun semakin merendah) dan amonia pakan mengandung limbah tauge sampai tidak terdeteksi pada pertengahan fermentasi dapat terjadi akibat timpangnya kesetimbangan energi dan protein pakan inkubasi. Schmidely et al. (1996) melaporkan bahwa sinkornisasi antara laju pelepasan karbohidrat mudah terdegradasi dengan sumber nitrogen mudah terdegradasi mengakibatkan inefisiensi penggunaan N dalam rumen maupun oleh ternak yang direfleksikan oleh urea plasma yang meningkat.
31 Amonia hasil deaminasi protein dilepaskan di sekitar media sehubungan substansi nitrogen didegradasi lebih untuk memproduksi energi bagi mikroorganisme rumen dibandingkan untuk sintesis protein mikroorganisme (Van Soest 1994). Konsentrasi amonia yang terus menurun diduga akibat amonia semakin banyak dimanfaatkan oleh mikroorganisme rumen seiring semakin beradaptasinya mikroorganisme terhadap lingkungan fermenter sedangkan hilangnya amonia pada kelompok pakan limbah tauge diduga akibat degradasi protein pakan menjadi amonia lebih rendah sehubungan kandungan protein pakan tersebut memang lebih rendah dibandingkan Indigofera sp. sementara pemanfaatan amonia oleh mikroorganisme rumen cenderung sama sehingga kesetimbangan amonia bernilai nol bahkan mungkin negatif.
Pola degradasi bahan kering dan bahan organik terhadap waktu fermentasi
degradasi bahan kering (%)
Pakan yang diinkubasikan ke dalam tabung fermentor (vessel) akan didegradasi oleh mikroorganisme menjadi bentuk yang lebih sederhana dan beberapa dari hasil metabolit tersebut akan kembali dimanfaatkan oleh mikroorganisme rumen dan sebagian yang lain akan mengalir bersama effluent menuju botol penampung. Nilai degradasi bagian pakan yang hilang selama fermentasi dinyatakan sebagai persentase terhadap pakan yang diinkubasikan. 80 70 60 50 40 30 20 5
6
7
8
9
10
11
12
lama inkubasi (hari)
Gambar 9 Pola degradasi bahan kering pakan yang mengandung Indigofera sp. selama enam hari inkubasi. ---o--- degradasi bahan kering pakan mengandung Indigofera sp., -----+----- degradasi bahan kering pakan mengandung limbah tauge Dapat dicermati pada Gambar 9 bahwa degradasi bahan kering pada pakan mengandung Indigofera sp. maupun mengandung limbah tauge selama enam hari pengamatan berfluktuasi. Degradasi bahan kering tertinggi terjadi pada kelompok pakan mengandung Indigofera sp. sebesar 71.32% pada hari kesembilan, sementara degradasi bahan kering terendah terjadi pada limbah tauge sebesar 29.68% pada hari keenam. Pakan mengandung Indigofera sp. mengalami
32 degradasi terendah pada hari kesebelas (35.63%) sedangkan degradasi tertinggi pada pakan mengandung limbah tauge terjadi pada hari kesebelas sebesar 52.63%. Selama proses fermentasi, secara umum nilai degradasi bahan kering kedua kelompok pakan semakin meningkat seiring lamanya waktu fermentasi. Dilihat dari penyebarannya, nilai degradasi bahan kering Indigofera sp. lebih tinggi dibandingkan limbah tauge. Degradasi bahan kering yang relatif lebih banyak pada pakan Indigofera sp. merupakan indikasi paling awal bahwa pakan tersebut memiliki kandungan nutrisi yang lebih tersedia dan lebih seimbang bagi aktivitas mikroorganisme rumen. Kenyataan tersebut dapat menjadi gambaran yang dapat dijadikan pembenar bahwa produksi gas total, metan dan amonia yang cenderung lebih tinggi dibandingkan limbah tauge. Fenomena tersebut menguatkan dugaan pakan mengandung Indigofera sp. memiliki nutrisi yang lebih tersedia bagi aktivitas mikroorganisme rumen. Jumlah nutrisi yang tersedia dapat dimulai dari kandungan nutrisi yang ada dalam pakan inkubasi hasil analisis proksimat. Selain kandungan protein kasar pada pakan mengandung Indigofera sp. lebih tinggi dibandingkan pakan mengandung limbah tauge (Tabel 3), kandungan abu juga relatif lebih tinggi pada pakan mengandung Indigofera sp. Kedua kandungan pakan tersebut sangat berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme selain faktor-faktor yang lain. Pada bahan pakan, abu merupakan representasi dari mineral. Kandungan mineral yang lebih tinggi pada pakan, pada batas tertentu, dapat meningkatkan aktivitas fermentasi mikroorganisme rumen. Diungkapkan oleh Durand and Komisarczuk (1988) bahwa mineral makro memiliki pengaruh tidak langsung terhadap metabolisme mikroorganisme maupun interaksinya dengan komponen organik ataupun perubahan fisiokimia cairan rumen. Pengaruh langsung mineral tersebut adalah kemampuan dalam manipulasi fermentasi rumen. Sementara protein kasar pakan akan didegradasi oleh mikroorganisme rumen menjadi amonia yang kemudian digunakan sebagai sumber N dalam sintesis protein mikroorganisme (Leng and Nolan 1984; Bach et al. 2005; Firkins et al. 2007). Sedangkan Haryanto (2009) menyatakan bahwa kemampuan ternak ruminansia dalam memanfaatkan komponen serat pakan sebagai sumber energi berkaitan dengan peran mikroorganisme yang ada di dalam retikulorumen. Lingkungan rumen yang kondusif, agar mikroorganisme dapat berfungsi optimal, antara lain cukup kandungan NH3, pH optimal untuk perkembangan mikroorganisme, cukup kandungan mineral, tekanan osmosis media sesuai, serta imbangan antarspesies mikroorganisme optimal. Degradasi bahan organik pakan yang diinkubasikan per hari selama enam hari pengamatan disajikan pada Gambar 10, sebagaimana degradasi bahan kering, degradasi bahan organik juga berfluktuasi sepanjang waktu pengamatan. Degradasi bahan organik tertinggi pada kelompok pakan mengandung Indigofera sp. terjadi pada hari kesembilan (73.91%) dan terendah sebesar 36.29% pada hari keenam. Pada kelompok pakan mengandung limbah tauge, degradasi bahan organik tertinggi terjadi pada hari kesebelas namun dengan nilai (55.31%) sedangkan degradasi terendah juga terjadi pada hari keenam (27.67%). Degradasi bahan organik pada kedua kelompok pakan memiliki pola yang mirip dengan pola degradasi bahan keringnya, karena sesungguhnya kandungan bahan kering merupakan perpaduan antara bahan orgaik dan abu. Umumnya degradasi bahan kering dan bahan organik berkorelasi positif karena sebagian
33
degradasi bahan organik (%)
besar kandungan bahan kering adalah bahan organik. Apabila lebih diperhatikan pada Gambar 10, Persentase degradasi bahan organik kelompok pakan Indigofera sp. secara kasat mata umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan limbah tauge pada hampir setiap hari pengamatan. Hal tersebut lebih jelas membuktikan bahwa kandungan nutrisi pakan mengandung Indigofera sp. seperti karbohidrat dan protein lebih tersedia bagi aktivitas mikroorganisme rumen dibandingkan pakan mengandung limbah tauge.
80
60
40
20 5
6
7
8
9
10
11
12
lama inkubasi (hari)
Gambar 10 Pola degradasi bahan organik pada pakan yang mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge selama enam hari inkubasi. ---o--degradasi bahan organik pakan mengandung Indigofera sp., -----+----degradasi bahan organik pakan mengandung limbah tauge Dari Tabel 3 dapat terlihat bahwa hampir semua kandungan nutrisi dan beberpa parameter pengelompokan bahan organik tidak jauh berbeda kecuali BETN, NDF dan protein kasar. Apabila kandungan BETN dan NDF menggambarkan jumlah karbohidrat mudah larut, maka dapat dikatakan bahwa tingginya bahan organik yang terdegradasi lebih karena imbangan antara energi dan protein yang lebih mendekati kebutuhan mikrooganisme rumen dibandingkan kuantitasnya.
Produksi total gas, persentase dan volume metan Rata-rata produksi total gas, persentase dan volume yang diproduksi selama fermentasi disajikan pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa rata-rata produksi total gas pada pakan mengandung Indigofera sp. adalah sebesar 1995.81 mL/hari secara signifikan (p < 0.05) lebih tinggi dibandingkan pakan mengandung limbah tauge yang memproduksi total gas sebesar 1682.49 mL/hari. Adapun persentase dan volume metan yang diproduksi tidak berbeda diantara kelompok pakan.
34 Persentase kandungan metan pada pakan mengandung Indigofera sp. (8.03%) tidak berbeda dengan pakan mengandung limbah tauge (8.09%), demikian pula metan yang diproduksi oleh pakan mengandung Indigofera sp. (163.58 mL/hari) tidak berbeda dengan metan yang diproduksi oleh pakan yang mengandung limbah tauge (141.43). Tabel 5 Hasil analisis statistik produksi total gas persen dan volume metan Parameter Produksi total gas (mL/hari) Persentase metan (%) Produksi metan (mL/hari)
Kandungan Pakan Indigofera sp.
Limbah Tauge
Statistik
1995.81
1682.49
8.03
8.09
ns
163.58
141.43
ns
P < 0.05
Keterangan : ns (tidak signifikan)
Terbentuknya gas di dalam rumen menunjukkan terjadinya proses fermentasi bahan pakan oleh mikroorganisme rumen, yaitu menghidrolisis karbohidrat menjadi monosakarida dan disakarida yang selanjutnya difermentasi menjadi asam lemak terbang atau volatile fatty acid (VFA) terutama asam asetat, asam propionat dan asam butirat serta gas metan (CH4) dan karbondioksida (CO2) (McDonald et al. 2002). Makkar (2004) menyatakan bahwa bahan pakan yang diinkubasikan pada media cairan rumen yang diberikan buffer secara in vitro, karbohidrat akan difermentasi untuk memproduksi asam lemak rantai pendek, bermacam gas dan sel mikroorganisme. Produksi gas pada dasarnya merupakan hasil fermentasi karbohidrat menjadi asetat, propionat dan butirat. Produksi gas dari fermentasi protein relatif kecil dibandingkan fermentasi karbohidrat, sedangkan lemak bahkan tidak signifikan. Produksi gas yang lebih tinggi pada pakan mengandung Indigofera sp. kemungkinan besar disebabkan oleh kandungan karbohidrat mudah larut yang lebih tinggi dan cepat tersedia bagi mikroorganisme rumen, disamping itu meskipun produksi gas fermentasi dari protein relatif kecil, namun pakan yang mengandung Indigofera sp. memiliki kandungan protein lebih tinggi (16.23%) dibandingkan limbah tauge (13.51%). Min et al. (2005) menyatakan bahwa jumlah protein total dan protein terlarut pada hijauan diidentifikasi merupakan penyebab kembung. Faktor lain yang dapat menunjang tingginya produksi gas pakan mengandung Indigofera sp. adalah kandungan abu (mineral), kalsium dan fosfor yang lebih tinggi, berturut turut sebesar 9.08%, 0.66% dan 0.19% (Tabel 3). Durand dan Kawashima (1980) menyatakan bahwa, dalam rumen mineral dipergunakan pada berbagai aktivitas, diantaranya adalah untuk pembentukan sel, aktivitas selulolitik dan pertumbuhan mikroorganisme. Disamping itu, mineral juga dipergunakan dalam mengatur tekanan osmotik, buffering capacity, potensial reduksi dan kelarutan di dalam rumen. Produksi total gas per berat kering sampel pakan yang diinkubasikan selama 24 jam berturut-turut adalah 125.63 mL/g dan 109.17 mL/g, masing-masing untuk kelompok pakan mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge. Nilai tersebut
35 hampir sama dengan hasil analisis Astuti et al. (2011) pada empat jenis legume (pakan tunggal) menggunakan metode Hohenheim Gas Test yang mendapatkan nilai produksi gas selama 24 jam antara 88.78 mL/g dan 180.48 mL/g. Pada mengandung Indigofera sp. mampu memproduksi metan sebesar 163.58 mL/hari atau setara dengan 9.59 mL/g bahan kering yang diinkubasikan, tidak berbeda dibandingkan dengan pakan mengandung tauge sebesar 141.43 mL/hari atau setara dengan 8.23 mL/g bahan kering yang diinkubasikan. Kedua nilai tersebut lebih rendah dibandingkan hasil pengukuran metan oleh Wang et al. (1998) menggunakan RUSITEC delapan tabung pada inkubasi pakan campuran alfalfa dan konsentrat mengandung barley. Metan yang diproduksi oleh campuran pakan tersebut sebesar 14.3-16.4 mL/g bahan kering yang diinkubasikan. Produksi metan yang tidak berbeda pada kedua kelompok pakan yang diinkubasikan diduga terkait dengan tidak terlalu berbedanya bentuk karbohidrat dari kedua sumber serat utama pakan. Moe and Tyrrell (1979) menekankan bahwa produksi metan dipengaruhi oleh bentuk karbohidrat bahan pakan, terutama pada ternak dengan konsumsi tinggi. Produksi metan total erat hubungannya dengan jumlah fraksi mudah larut, hemiselulosa dan selulosa yang tercerna. Ellis et al. (2007) menyatakan bahwa penurunan kecernaan pati dalam rumen akan meningkatkan kecernaan fraksi NDF dan akan meningkatkan efisiensi mikrobia rumen, lebih lanjut dijelaskan bahwa berdasarkan database pada beberapa penelitian yang melibatkan sapi potong, konsumsi NDF merupakan parameter terbaik untuk memprediksi produksi metan. Estermann et al. (2002) mendapatkan bahwa metan yang diemisikan per hari oleh beberapa bangsa sapi (Simmental dan Angus) berbanding lurus dengan peningkatan konsumsi NDF dan kecernaan NDF dengan slope lebih tajam pada konsumsi NDF. Santoso et al. (2007) melakukan penelitian pada domba berfistula rumen mendapatkan bahwa terdapat korelasi yang erat antara produksi metan dan NDF tercerna. Hal tersebut diperkuat dengan analisis produksi metan secara in vitro oleh Jayanegara et al. (2009) bahwa diantara nutrisi bahan pakan NDF dan ADF berkorelasi positif dengan konsentrasi metan yang dihasilkan. Kandungan NDF dan ADF pakan yang diinkubasikan pada fermentasi menggunakan RUSITEC berturut-turut adalah sebesar 44.80 dan 29.20% pada pakan mengandung Indigofera sp. sedangkan pada pakan mengandung limbah tauge berturut-turut adalah sebesar 38.35% dan 30.09%.
Derajad Keasaman (pH) dan Konsentrasi amonia (NH3) Rata-rata nilai derajad keasaman (pH) dan konsentrasi amonia selama fermentasi dapat dilihat pada Tabel 6, analisis statistik nilai pH dan konsentrasi amonia pada kedua kelompok pakan tidak berbeda nyata, pH pakan mengandung Indigofera sp. adalah 6.78 sedangkan pada pakan mengandung limbah tauge sebesar 6.91. Konsentrasi amonia pakan mengandung Indigofera sp. adalah sebesar 7.59 mM dan pakan mengandung limbah tauge (4.85 mM). Derajad keasaman termasuk salah satu syarat lingkungan mikroorganisme rumen yang sangat penting karena dapat mempengaruhi kehidupan mikroorganisme tersebut, bahkan perubahan pH dalam rumen dapat mempengaruhi komposisi metabolit sebagai akibat dominasi beberapa
36 mikroorganisme tertentu (Russell et al. 1981). Dapat dilihat pada Tabel 6 bahwa nilai pH kedua kelompok pakan masih dalam batas normal pH cairan rumen, Bryant (1970) menyatakan bahwa pH rumen umumnya dipertahankan antara 6-7, Strobel and Russell (1986) menyatakan bahwa ruminansia yang terbiasa diberikan hijauan memiliki pH pada cairan rumennya pada kisaran 6.5 dan 7.5. Ditambahkan oleh Nagaraja and Titgemeyer (2007) menyatakan bahwa pada sapi yang terbiasa diberikan banyak bijian pH berada pada 5.8-6.5. Tabel 6 Hasil analisis statistik derajad keasaman dan konsentrasi amonia Parameter
Kandungan Pakan
Statistik
Indigofera sp.
Limbah Tauge
Derajad keasaman (pH)
6.78
6.91
ns
Konsentrasi amonia (mM)
7.59
4.85
TD
Keterangan : ns (tidak signifikan), TD (tidak dapat diolah, data terlalu sedikit)
Lingkungan pH rumen yang terlalu rendah dapat menurunkan degradasi protein pakan, pH optimal yang mendukung enzim proteolitik adalah 5.5-7 (Bach et al. 2005; Dijkstra et al. 2012). Pada analisis RUSITEC aliran saliva mempertahankan pH fermentor pada tingkatan normal, hal tersebut untuk mendukung aktivitas mikroorganisme rumen dalam fermentor. Model in vitro seperti RUSITEC dapat diterapkan pada percobaan in vivo. Tripathi et al. (2004) menambahkan sodium bikarbonat dalam pakan sebagai buffer rumen domba muda yang diberikan pakan tinggi konsentrat, diharapkan meningkatkan kecernaan protein konsentrat, meskipun hal tersebut tidak terjadi dengan alasan yang belum diketahui. Data konsentrasi amonia kedua jenis pakan tidak dapat diolah, karena amonia pada kelompok pakan mengandung limbah tauge hanya muncul pada dua hari pengamatan (Gambar 8), konsentrasi amonia pada pakan mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge jauh lebih kecil dari angka yang didapatkan pada percobaan Machmuller et al. (1998) yang mengevaluasi beberapa bahan pakan dengan beberapa level kadar lemak menggunakan RUSITEC mendapatkan konsentrasi amonia antara 9.6 dan 18.5 mM. Jayanegara et al. (2006) memberikan beberapa suplemen Cr secara in vitro mendapatkan amonia antara 9.97 dan 13.28 mM. Preston and Leng (1987) mengemukakan bahwa konsentrasi amonia antara 4 mM dan 14 mM sudah mampu mendukung pertumbuhan mikroorganisme dalam rumen, dan apabila nilai amonia kurang dari 4 mM maka proses fermentasi terganggu. Karena amonia merupakan perkursor utama protein mikroorganisme (McDonald 2002).
Degradasi Bahan Kering dan Bahan Organik Pakan yang diinkubasikan ke dalam tabung fermentor mengalami degradasi akibat aktivitas mikroorganisme rumen. Pada Tabel 7 disajikan data degradasi bahan kering dan bahan organik pakan yang diinkubasikan setiap hari selama enam hari pengamatan. Degradasi bahan kering paling tinggi dialami oleh
37 kelompok pakan mengandung Indigofera sp. sebesar 53.56%, nilai tersebut signifikan (p<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan degradasi bahan kering limbah tauge sebesar 43.25%. Pola degradasi yang sama direfleksikan pula oleh degradasi bahan organik pakan. Degradasi bahan organik kelompok pakan Indigofera sp. (57.52%) signifikan (p<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan limbah tauge (45.96%). Tabel 7 Hasil analisis statistik degradasi bahan kering dan bahan organik pakan dinkubasikan Kandungan Pakan Parameter Statistik Indigofera sp. Limbah Tauge Degradasi bahan kering (%)
53.56
43.25
P < 0.05
Degradasi bahan organik (%)
57.52
45.96
P < 0.05
Degradasi bahan kering pakan mengandung Indigofera sp. yang tinggi merupakan cerminan tingginya kandungan nutrisi yang mudah dimanfaatkan oleh mikroorganisme rumen. Degradasi bahan organik merupakan degradasi bahan pakan yang lebih spesifik karena tidak melibatkan bahan anorganik (mineral) dalam perhitungannya meskipun beberapa mineral dalam batas tertentu penting dalam metabolisme mikroorganisme. Besarnya degradasi bahan organik terkait kelarutan bermacam bahan organik seperti protein dan karbohidrat dalam pakan. Degradasi bahan organik kelompok pakan Indigofera sp. menyiratkan kandungan nutrisi mudah larut pada pakan mengandung Indigofera sp. lebih tinggi dibandingkan pakan yang mengandung limbah tauge. Nutrisi mudah larut merupakan nutrisi yang lebih mudah dimetabolisme oleh mikroorganisme rumen, sehingga peningkatan parameter fermentasi yang selaras dengan degradasi bahan organik menunjukkan nutrisi pakan benar-benar dimanfaatkan oleh mikroorganisme rumen. Dengan membandingkan hasil Tabel 7 dengan Tabel 3 dan Tabel 5 dapat dipahami bahwa berangkat dari kandungan nutrisi yang relatif sama (TDN) dapat menghasilkan produk fermentasi (gas) yang signifikan (P<0.05) berbeda, perbedaan tersebut sejalan dengan pola degradasi bahan organik pakan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pakan mengandung Indigofera sp. memiliki kandungan nutrisi lebih larut sehingga lebih mudah dimanfaatkan mikroorganisme rumen dibandingkan pakan limbah tauge. Hasil yang diperoleh pada Tabel 7 apabila dibandingkan dengan Tabel 6 dapat diterjemahkan bahwa lingkungan fermentasi (pH) baik yang diinkubasi oleh pakan mengandung Indigofera sp. maupun limbah tauge realatif sama, cukup sesuai dengan yang dibutuhkan. Strobel and Russell (1986) menyatakan bahwa hewan ruminansia pengguna hijauan biasanya pH di dalam rumennya berkisar antara 6.5 dan 7.5 dan umumnya pH rumen lebih berpengaruh terhadap pola fermentasi daripada tipe karbohidrat pakan. Perbedaan yang nyata terhadap nilai degradasi bahan kering dan bahan organik antara pakan mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge serta lingkungan fermentasi kedua kelompok pakan samasama sesuai, menguatkan dugaan bahwa pakan mengandung Indigofera sp. lebih larut dibandingkan pakan mengandung limbah tauge sehingga lebih mudah dimanfaatkan oleh mikroorganisme rumen.
38 Pembahasan Umum RUSTEC merupakan miniatur rumen yang kompleks. Rumen adalah sebuah sistem yang dinamis, di dalamnya hidup bermacam mikroorganisme yang mampu beradaptasi terus menerus terhadap perubahan komposisi, bentuk, kuantitas dan frekuensi pakan yang masuk. Interaksi yang ekstensif terjadi diantara komunitas mikroorganisme baik secara sinergi maupun antagonis diantara/sesama bakteri, protozoa, fungi serta archaea. Interelasi tersebut menjadikan hubungan antara parameter fermentasi sangat beragam tergantung kondisi lingkungan, termasuk pakan yang diberikan. Pakan yang dianalisis adalah pakan untuk domba penggemukan yang termasuk memiliki kandungan karbohidrat non strutural tinggi, sehingga cepat tersedianya nutrisi bagi mikrooganisme rumen dan dalam fermentor pakan cepat difermentasi. Dinamika fermentasi tersebut diindikasikan oleh cepatnya terbentuk metabolit hasil fermentasi seperti gas dan VFA–terutama golongan propionat dan butirat. Produksi total gas pakan mengandung Indigofera sp. lebih tinggi dibandingkan limbah tauge, kenyataan tersebut menyiratkan bahwa pakan mengandung Indigofera sp. banyak mengandung karbohidrat yang lebih sederhana, sementara persentase metan dan metan yang diproduksi tidak berbeda. Metan diproduksi oleh metanogen yang memanfaatkan H2 untuk mereduksi CO2, transfer H2 pada metanogen melibatkan interelasi mikroorganisme rumen yang kompleks, mekanisme tersebut perlu dilakukan untuk mendukung kelangsungan mikroorganisme rumen karena konsentrasi H2 yang tinggi dapat berakibat buruk bagi mikroorganisme rumen sementara metan tidak. Komposisi kimia pakan yang hampir sama dan lingkungan fermentasi yang optimal (ditunjukkan oleh nilai pH yang optimal dan tidak berbeda) diduga berakibat pada konsentrasi H2 terlarut dan populasi metanogen tidak berbeda, sehingga metan yang terbentuk juga tidak berbeda. Bukti lain bahwa metanogen dan H2 merupakan pembatas pembentukan metan adalah pada dinamika harian persentase metan yang dihasilkan, pada saat total gas sedikit terbentuk, ternyata persentase metan yang dihasilkan cenderung tetap. Sebagai metabolit hasil fermentasi rumen, produksi total gas dan metan yang diproduksi tidak dapat terlepas dari pakan yang diberikan dan lingkungan fermentasi yang mendukung. Kisaran nilai pH yang optimal dan tidak berbeda diantara kelompok pakan merupakan indikasi bahwa fermentasi berjalan dengan baik pada semua pakan yang dianalisis. Dukungan pakan pada fermentasi dapat dilihat dari degradasi bahan kering dan bahan organik pakan yang selaras dengan metabolit yang dihasilkan. Pengamatan terhadap Gambar 4, 6, 7, 9 dan 10 dapat ditarik benang merah bahwa pada kedua kelompok pakan saat metabolit berupa gas dan metan yang dihasilkan rendah (hari ke enam), degradasi bahan kering dan bahan organik juga rendah, sedangkan pada saat metabolit diproduksi tinggi (hari kesembilan) ternyata degradasi bahan kering dan bahan organik juga tinggi. Kondisi tersebut berkebalikan dengan nilai pH, yaitu pada saat banyak diproduksi gas maka pH fermentor cenderung turun atau lebih asam. Fenomena tersebut sedikit berbeda dengan kondisi pada umumnya, bahwa produksi gas semakin tinggi pada saat pH rumen mendekati netral. Besar kemungkinan pakan dengan kandungan karbohidrat non struktural yang tinggi memiliki karakteristik tersendiri
39 dibandingkan pakan kaya karbohidrat struktural. Ruminansia merupakan pengguna serat yang efisien, sehingga pengamatan produksi gas umumnya dilakukan pada pakan tinggi karbohidrat struktural, sementara pada penelitian ini digunakan pakan tinggi karbohidrat non struktural yang lebih cepat difermentasi menjadi asam lemak volatil sehingga produksi gas dan degradasi pakan oleh mikroorganisme rumen dibarengi oleh turunnya pH.
SIMPULAN Total gas yang diproduksi oleh pakan mengandung 30% Indigofera sp. lebih tinggi dibandingkan 30% limbah tauge, namun persentase metan terhadap total gas dan metan yang diproduksi tidak berbeda. Metan yang diproduksi oleh kelompok pakan mengandung Indigofera sp. adalah 10.02 mL/g pakan inkubasi sedangkan pakan mengandung limbah tauge sebesar 8.99 mL/g pakan inkubasi. Nilai gas total, proporsi metan, produksi metan, pH, konsentrasi amonia, degradasi bahan kering dan bahan organik terhadap waktu fermentasi pada kelompok pakan Indigofera sp. maupun limbah tauge berfluktuasi terhadap waktu pengamatan. Tingginya produksi total gas pada pakan mengandung Indigofera sp. dibandingkan limbah tauge diiringi oleh tingginya degradasi bahan kering dan bahan organik, sementara lingkungan fermentor berada pada pH yang memungkinkan mikroorganisme rumen beraktivitas optimal dan tidak berbeda diantara kedua kelompok pakan tersebut, hal ini mengindikasikan bahwa kandungan nutrisi pakan mengandung Indigofera sp. lebih tersedia bagi mikrooganisme rumen.
DAFTAR PUSTAKA [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Pakan Konsentrat – Bagian 2: Sapi Potong. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional – BSN. Abdullah L, Suharlina. 2010. Herbage Yield and Quality of Two Vegetative Parts of Indigofera at Different Times of First Regrowth Defoliation. Media Peternakan 33(1):44-49. Abdullah L. 2010. Herbage Production and Quality of Shrub Indigofera Treated by Different Concentration of Foliar Fertilizer. Media Peternakan 33(3):169-175. Afshar S, Tabatabaei MM, Kazemi-Bonchenari M, Eghbali M, Barkhori S. 2012. Interaction between barley grain processing and source of dietary protein on nutrients digestibility, rumen pH and ammonia concentration in sheep. Scientific Research and Essays. 7(30): 2713-2717 Archimèdea H, Eugène M, Magdeleine CM, Boval M, Martin C, Morgavi DP, Lecomte P, Doreau M. 2011. Comparison of methane production between C3 and C4 grasses and legumes. Anim. Feed Sci. Technol. 166– 167: 59– 64.
40 Astuti DA, Baba AS, Wibawan IWT. 2011. Rumen fermentation, blood metabolites, and performance of sheep fed tropical browse plants. Media Peternakan. 34(3): 201-206. Bach A, Calsamiglia S, Stern MD. 2005. Nitrogen Metabolism in the Rumen. J. Dairy Sci 88:(E. Suppl.):E9–E21 Bach A, Iglesias C, Devant M. 2007. Daily rumen pH pattern of loose-housed dairy cattle as affected by feeding pattern and live yeast supplementation. Animal Feed Science and Technology 136:146-153. Bauchop T, Mountfort DO. 1981. Cellulose fermentation by a rumen anaerobic fungus in both the absence and the presence of rumen methanogens. Applied and Environmental Microbiology. 42(6): 1103-1110. Benchaar C, Pomar C, Chiquette J. 2001. Evaluation of dietary strategies to reduce methane production in ruminants: a modelling approach. Can. J. Anim. Sci 81:563-574. Boadi D, Benchaar C, Chiquette J, Massé D. 2004. Mitigation strategies to reduce enteric methane emissions from dairy cows: Update review. Can. J. Anim. Sci 84: 319-335 Bretschger O, Osterstock JB, Pinchak WE, Ishii S, Nelson KE. 2010. Microbial Fuel Cells and Microbial Ecology: Applications in Ruminant Health and Production Research. Microb Ecol. 59:415–427. Bryant MP. 1970. Normal flora rumen bacteria. The American Journal of Clinical Nutrition. 23(11): 1440-1450. Busquet M, Calsamiglia S, Ferret A, Kamel C. 2005. Screening for effects of plant extracts and active compounds of plants on dairy cattle rumen microbial fermentation in a continuous culture system. Animal Feed Science and Technology. 123–124: 597–613. Calsamiglia S, Cardozo PW, Ferret A, Bach A. 2008. Changes in rumen microbial fermentation are due to a combined effect of type of diet and pH. J. Anim. Sci. 86:702–711. Calsamiglia S, Ferret A, Devant M. 2002. Effects of pH and pH fluctuations on microbial fermentation and nutrient flow from a dual-flow continuous culture system. J. Dairy Sci 85:574-579. Carro MD, López S, Valdés C, Ovejero FJ. 1999. Effect of DL-malate on mixed ruminal microorganism fermentation using the rumen simulation technique (RUSITEC). Animal Feed Science and Technology. 79: 279-288. Carro MD, Ranilla MJ, Martín AI, Alcaide EM. 2005. Microbial fermentation of a high forage diet in sheep rumen, semi-continuous (Rusitec) and continuous culture systems. Options Méditerranéennes 1(67):383-387. Cecava MJ. Protein requirements of beef cattle. 1995. Di dalam: Perry TW, Cecava MJ, editor. Beef Cattle Feeding and Nutrition. Ed ke-2. San Diego: Academic Press. hlm 53-67. Cerrato-Sa´nchez M, Calsamiglia S, Ferret A. 2008. Effect of the magnitude of the decrease of rumen pH on rumen fermentation in a dual-flow continuous culture system. J anim sci 86:378-383. Chalupa W, Sniffen CJ. 2000. Balancing Rations for Milk Components. Advances in Dairy Technology. 12:27-42.
41 Chaucheyras F, Fonty G, Bertin G, Gouet P. 1995. In vitro H2 utilization by a ruminal acetogenic bacterium cultivated alone or in association with an archaea methanogen is stimulated by a probiotic strain of Saccharomyces cerevisiae. Applied and Environmental Microbiology. 61(9): 3466–3467 Coleman GS. 1979. The role of rumen protozoa in the metabolism of ruminants given tropical feeds. Trop Anim Prod. 4(3): 199-213. Cottle DJ, Nolan JV, Leng RA. 1978. Turnover of protozoa and bacteria-in the rumen of sheep. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. 12: 138. Czerkawski JW, Breckenridge G. 1977. Design and development of a long-term rumen simulation technique (Rusitec). Br. J. Nutr 38:371-384. Devendra C and GB McLeroy. 1982. Goats and Sheep Production in the Tropics. Oxford: Oxford Univ. Press. Dijkstra J, Ellis JL, Kebreab E, Strathe AB, López S, France J, Bannink A. 2012. Ruminal pH regulation and nutritional consequences of low pH. Animal Feed Science Technology. 172: 22– 33. Doane PH, Schofield P, Pell AN. 1997. Neutral detergent fiber disappearance and gas and volatile fatty acid production during the in vitro fermentation of six forages. J Anim Sci. 75:3342-3352. Dohme F, Machmuller A, Estermann BL, Pfister P, Wasserfallen A, Kreuzer M. 1999. The role of the rumen ciliate protozoa for methane suppression caused by coconut oil. Applied Microbiology. 29: 187–192. Dong Y, Bae HD, McAllister TA, Mathison GW, Cheng KJ. 1997. Lipid-induced depression of methane production and digestibility in the artificial rumen system (RUSITEC). Can. J. Anim. Sci. 77: 269–278. Dove H, Milne JA. 1994. Digesta flow and rumen microbial protein production in ewes grazing perennial ryegrass. Australian Journal of Agricultural Research 45:1229-1245. Durand M, Kawashima R. 1980. Influence of mineral in rumen microbial digestion. Di dalam: Ruckebusch Y, Thivend P, Editor. Digestive Physiology and Metabolism in Ruminants. Westport-Connecticut (USA): AVI Publishing Company Inc. hlm 275–408. Durand M, Komisarczuk S. 1988. Influence of major minerals on rumen microbiota. The Journal of Nutrition. 0022-3166/88: 249-260. Eckard RJ, Grainger C, de Klein CAM. 2010. Options for the abatement of methane and nitrous oxide from ruminant production: a review. Livestock Science 130: 47-56. Ellis JL, Kebreab E, Odongo NE, McBride BW, Okine EK, France J. 2007. Prediction of Methane Production from Dairy and Beef Cattle. J. Dairy Sci 90:3456–3467 Estermann BL, Sutter F, Schlegel PO, Erdin D, Wettstein HR, Kreuzer M. 2002. Effect of calf age and dam breed on intake, energy expenditure, and excretion of nitrogen, phosphorus, and methane of beef cows with calves. J. Anim. Sci 80:1124–1134. Fernando SC, Purvis II HT, Najar FZ, Sukharnikov LO, Krehbiel CR, Nagaraja TG, Roe BA, DeSilva U. 2010. Rumen microbial population dynamics during adaptation to a high-grain diet. Applied and Environmental Microbiology. 76(22): 7482–7490.
42 Firkins JL, Yu Z, Morrison M. 2007. Ruminal Nitrogen Metabolism: Perspectives for Integration of Microbiology and Nutrition for Dairy. J. Dairy Sci. 90(E. Suppl.): E1–E16. Forbes JM, Provenza FD. 2000. Integration of learning and metabolic signals into a theory of dietary choice and food intake. Ruminant Physiology: Digestion, Metabolism, Growth and Reproduction. New York: CABI Publishing. Franzolin R, Dehority BA. 1996. Effect of prolonged high-concentrate feeding on ruminal protozoa concentrations. J. Anim. Sci. 74:2803–2809. General Laboratory Procedure. 1966. Department of Dairy Sciences. Madison: University of Wisconsin. Ginting SP, Krisnan R, Sirait J, Antonius. 2010. The utilization of indigofera sp as the sole foliage in goat diets supplemented with high carbohydrate or high protein concentrates. JITV 15(4): 261-268. Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Lebdosukojo S, Tillman AD, Kearl LC, Harris LE. 1980. Tabel-tabel dari komposisi bahan makanan ternak untuk indonesia. Data ilmu makanan untuk Indonesia. Utah: The International Feedstuffs Institute Utah Agricultural Experiment Station, Utah State University Logan. Haryanto B, Prabowo A, Sitorus S, Djajanegara A, Widiawati Y. 1997. Peningkatan aktivitas mikroba rumen menggunakan kecambah kacang hijau. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor: Puslitbang Peternakan. Hlm 627-633. Haryanto B, Supriyati, Jarmani SN. 2004. Pemanfaatan probiotik dalam bioproses untuk meningkatkan nilai nutrisi jerami padi untuk pakan domba. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hlm 298-304. Haryanto B. 2009. Inovasi teknologi pakan ternak dalam sistem integrasi tanaman-ternak bebas limbah mendukung upaya peningkatan produksi daging. Pengembangan Inovasi Pertanian. 2(3): 163-176. Hassen A, Rethman NFG, Niekerk V, Tjelele TJ. 2007. Influence of season/year and species on chemical composition and in vitro digestibility of five Indigofera accessions. J. Anim. Feed Sci. Technology 136:312-322. Hegarty RS, Gerdes R. 1999. Hydrogen production and transfer in the rumen. Recent Advances in Animal Nutrition in Australia. 12: 37-44. Hook SE, Wright ADG, McBride BW. 2010 Methanogens: methane producers of the rumen and mitigation strategies. Archaea. 2010: 1-11 doi:10.1155/2010/945785. Hungate RE. 1966. The Rumen and Its Microbes. Washington: Academic Press. IAEA (International Atomic Energy Agency). 1987. Rusitec the cow. IAEA Bulletin 29(2):17. Indrijani H, Sukmasari AH, Handiwirawan E. 2006. Keragaman pola warna tubuh, tipe telinga dan tanduk domba kurban di Bogor. Di dalam: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional. Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia. Bogor: Puslitbang Peternakan, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. hlm 236-244. Iniguez L, Sanhez M, Ginting S. 1991. Productivity of sumatran sheep in a system integrated with rubber plantation. Small Ruminant Research 5(4):303-317.
43 Ishler V, Heinrichs J, Varga G. 1996. From Feed to Milk: Understanding Rumen Function. Pennsylvania: The Pennsylvania State University. Janssen PH, Kirs M. 2008. Structure of the archaeal community of the rumen, Minireview. Applied and Environmental Microbiology. 74(12): 3619–3625 Janssen PH. 2010. Influence of hydrogen on rumen methane formation and fermentation balances through microbial growth kinetics and fermentation thermodynamics. Animal Feed Science and Technology. 160(Issues 1-2): 122. Jayanegara A, Tjakradidjaja AS, Sutardi T. 2006. Fermentabilitas dan kecernaan in vitro pakan limbah agroindustri yang disuplementasi kromium anorganik dan organik. Media Peternakan. 29 (2): 54-62. Jayanegara A, Togtokhbayar N, Makkar HPS, Becker K. 2009. Tannins determined by various methods as predictors of methane production reduction potential of plants by an in vitro rumen fermentation system. Animal Feed Science and Technology 150:230–237. Johnson KA, Johnson DE. 1995. Methane Emissions from Cattle. J. Anim . Sci 73: 2483-2492. Kajikawa H, Hai J, Terada F, Suga T. 2003. Operation and Characteristics of newly improved and marketable artificial rumen (Rusitec). Memairs of National Institute of Livestock and Grassland Science. Yokohama, Japan. Kamra DN. 2005. Rumen microbial ecosystem. Current Science. 89(1): 124-135. Kardaya, D. 2000. Pengaruh suplementasi mineral organik (Zn-proteinat dan Cuproteinat) dan ammonium molibdat terhadap performans domba lokal. Tesis. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor. Kaur R, Nandra KS, Garcia SC, Fulkerson WJ, Horadagoda A. 2008. Efficiency of utilisation of different diets with contrasting forages and concentrate when fed to sheep in a discontinuous feeding pattern. Livestock Science 119: 77–86. Kearl, L.C . 1982 . Nutrient requirements of ruminants in developing countries. International Feedstuffs Institute. Utah Agricultural Experiment Station. Utah State University. Logan Utah . USA. Keogh B, French P, Murphy JJ, Mee JF, McGrath T, Storey T, Grant J, Mulligan FJ. 2009. A note on the effect of dietary proportions of kale (Brassica oleracea) and grass silage on rumen pH and volatile fatty acid concentrations in dry dairy cows. Livestock Science 126:302–305. Krause KM, Combs DK. 2003. effects of forage particle size, forage source, and grain fermentability on performance and ruminal pH in midlactation cows. J. Dairy Sci 86:1382–1397. Krumholz LR, Forsberg CW, Veira DM. 1983. Association of methanogenic bacteria with rumen protozoa. Canadian Journal of Microbiology. 29(6): 676-680. Kumar S, Dagar SS, Puniya AK, Upadhyayet RC. 2012. Changes in methane emission, rumen fermentation in response to diet and microbial interactions. Res. Vet. Sci. http://dx.doi.org/10.1016/j.rvsc.2012.09.007. In press. Lana RP, Russell JB, Amburgh MEV. 1998. The Role of pH in Regulating Ruminal Methane and Ammonia Production. J Anim Sci. 76:2190-2196.
44 Lascano GJ, Heinrichs AJ. 2009. Rumen fermentation pattern of dairy heifers fed restricted amounts of low, medium, and high concentrate diets without and with yeast culture. Livestock Science. 124: 48–57. Leng RA, Nolan JV. 1984. Nitrogen metabolism in the rumen. Symposium: protein nutrition of the lactating dairy cow. J Dairy Sci. 67:1072-1089 Lloyd LE, Jeffers HFM, Donefer E, Crampton EW. 1961. Effect of four maturity stages of timothy hay on its chemical composition, nutrient digestibility and nutritive value index. J anim Sci. 20:468-473. Lovett D, Lovell S, Stack L, Callan J, Finlay M, Conolly J, O’Mara FP. 2003. Effect of forage/concentrate ratio and dietary coconut oil level on methane output and performance of finishing beef heifers. Livestock Production Science 84: 135-146. Lovett DK, Stack LJ, Lovell S, Callan J, Flynn B, Hawkins M, O’Mara FP. 2005. Manipulating enteric methane emissions and animal performance of latelactation dairy cows through concentrate supplementation at pasture. J Dairy Sci 88:2836-2842. Machmuller A, Ossowski DA, Wanner M, Kreuzer M. 1998. Potential of various fatty feeds to reduce methane release from rumen fermentation in vitro (Rusitec). Animal Feed Science Technology. 71: 117-130. Mackie RI, Gilchrist FMC. 1979. Changes in lactate-producing and lactateutilizing bacteria in relation to pH in the rumen of sheep during stepwise adaptation to a high-concentrate diet. Applied and Environmental Microbiology. 38(3): 422-430. Makkar HPS. 2004. Recent advances in the in vitro gas method for evaluation of nutritional quality of feed resources. Di dalam: Assessing quality and safety of animal feeds. FAO Animal production and health series 160. FAO, Rome. Hlm: 55-88. Martin C, Devillard E, Michalet-Doreau B. 1999. Influence of sampling site on concentrations and carbohydrate-degrading enzyme activities of protozoa and bacteria in the rumen. J Anim Sci. 77:979-987. Martínez ME, Ranilla MJ, Tejido ML, Saro C, Carro MD. 2010. Comparison of fermentation of diets of variable composition and microbial populations in the rumen of sheep and Rusitec fermenters. II. Protozoa population and diversity of bacterial communities. J. Dairy Sci. 93: 3699-3712. McAllister TA, Newbold CJ. 2008. Redirecting rumen fermentation to reduce methanogenesis. Aust. J. Exp. Agric 48: 7-13. McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD. 2002. Animal Nutrition. Ed ke-6. Essex: Longman Group Limited, Longman House. McDougall EI. 1984. Studies on ruminant saliva. 1. The composition and output of sheep’s saliva. Biochemical journal 43(1):99-109. McSweeney CS, Dalrymple BP, Gobius KS, Kennedy PM, Krause DO, Mackie RI, Xue GP. 1999. The application of rumen biotechnology to improve the nutritive value of fibrous feedstuffs: pre- and post-ingestion. Livestock Production Science 59: 265–283. Mendoza GD, Britton RA, Stock RA. 1993. Influence of ruminal protozoa on site and extent of starch digestion and ruminal fermentation. J. Anim. Sci. 71:1572-1578.
45 Mertens DR. 1977. Dietary fiber components: Relationship to the rate and extent of ruminal digestion. Fed. Proc 36:187-192. Michalet-Doreau B, Fernandez I, Peyron C, Millet L, Fonty G. 2001. Fibrolytic activities and cellulolytic bacterial community structure in the solid and liquid phases of rumen contents. Reprod. Nutr. Dev. 41:187–194. Min BR, Pinchak WE, Fulford JD, Puchala R. 2005.Wheat pasture bloat dynamics, in vitro ruminal gas production, and potential bloat mitigation with condensed tannins. J. Anim. Sci. 83:1322–1331. Mitsumori M, Sun W. 2008. Control of rumen microbial fermentation for mitigating methane emissions from the rumen. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 21(1): 144-154. Moe PW, Tyrrell HF. 1979. Methane production in dairy cows. J. Dairy Sci 62: 1583-1586. Moss AR, Jouany JP, Newbold J. 2000. Methane production by ruminants: its contribution to global warming. Ann. Zootech 49: 231-253. Nagaraja TG, Titgemeyer EC. 2007. Ruminal acidosis in beef cattle: the current microbiological and nutritional outlook. J Dairy Sci. 90(Suppl 1): E17-E38. Natsir A. 2008. Effect of different feeding frequency of faba beans on rumen degradation characteristics of oaten hay in the rumen of sheep. Animal Production. 10(1): 60-66. Ohene-Adjei S, Teather RM, Ivan M, Forster RJ. 2007. Postinoculation protozoan establishment and association patterns of methanogenic archaea in the ovine rumen. Applied and environmental microbiology. 73(14): 4609-4618. Ordakowski-Burk AL, Quinn RW, Shellem TA, Vough LR. 2006. Voluntary intake and digestibility of reed canarygrass and timothy hay fed to horses. J. Anim. Sci. 84:3104–3109 Orpin CG. 1985. Association of rumen ciliate population with plant perticles in vitro. Microb Ecol. 11:59-69. Ørskov ER. 1982. Protein nutritional in ruminants. London: Academic Press. Pelchen A, Peters KJ. 1998. Methane emission from sheep. Small Ruminant Research. 27: 137-150. Preston TR, Leng RA. 1987. Matching Ruminant Production Systems with Available Resources in the Tropics and sub-Tropics. Armidale: Penambul Books. Prihantoro I, Sari Y, Riyanti L, Sasmita TE, Evvyernie D, Suryani, Abdullah L, Toharmat T. 2012. Nutritive values of forages evaluated using a mixed bacteria isolated from the rumen liquor of buffalo. Di dalam: Proceeding of the 2nd International Seminar on Animal Industry; Jakarta, 5-6 Juli 2012. hlm. 454-458. Puastuti W, Yulistiani D, Mathius IW. 2012. Respon fermentasi rumen dan retensi nitrogen dari domba yang diberi protein tahan degradasi dalam rumen. JITV 17(1): 67-72. Purbowati E, Sutrisno CI, Baliarti E, Budhi SPS, Lestariana W, Rianto E, Kholidin. 2009. Penampilan produksi domba lokal jantan dengan pakan komplit dari berbagai limbah pertanian dan agroindustri. Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan. Fakultas Peternakan, Undip. Semarang. hlm 130138.
46 Purbowati E, Sutrisno CI, Baliarti E, Budhi SPS, Lestariana W. 2007. Pengaruh pakan komplit dengan kadar protein dan energi yang berbeda pada penggemukan domba lokal jantan secara feedlot terhadap konversi pakan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007. Bogor, 21-22 Agu 2007. Bogor: Puslitbang Peternakan, Badan Penelitian dan Pengambangan Pertanian. Kementrian Pertanian. Hlm: 394-401. Rahayu S, Baihaqi M, Wandito DS. 2011. Pemanfaatan limbah tauge sebagai pakan alternatif pada peternakan penggemukan domba di wilayah urban. Laporan Penelitian. Dept. IPTP. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor. Rahayu S, Diapari D, Wandito DS, Ifafah WW. 2010. Survey potensi ketersediaan limbah tauge sebagai pakan ternak alternative di kodya Bogor. Laporan Penelitian. Dept. IPTP. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor. Rangkuti M, Mathius IW, Eys JE Van. 1984. Penggunaan Gliricidia maculate oleh ruminansia kecil: konsumsi, kecernaan dan performans. Di dalam: Proceedings Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil; Bogor, 22-23 Nop 1983. Bogor: Puslitbang, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. hlm 3-7. Rusdiana S, Priyanto D. 2008. Analisis ekonomi penggemukan ternak domba jantan berbasis tenaman ubi kayu di perdesaan. Di Dalam: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani. Seminar Nasional. Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan; Bogor, 19 Nop 2008. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian. hlm: 176-184. Russel JB, O'connors JD, Fox DG, Van Soest PJ, Sniffen CJ. 1992. A net carbohydrate and protein system for evaluating cattle diets : l. Ruminal fermentation. J. Anim . Sci . 70: 3551-3561. Russell JB, Cotta MA, Dombrowski DB. 1981 Rumen bacterial competition in continuous culture: streptococcus bovis versus megasphaera elsdenii. Applied and Environmental Microbiology. 41(6): 1394-1399. Santoso B, Mwenya B, Sar C, Takahashi J. 2007. Methane production and energy partition in sheep fed timothy silage-or hay-based diets. JITV 12(1): 27-33. Schmidely Ph, Archimkde H, Bas P, Rouzeau A, Munoz S, Sauvant D. 1996. Effects of the synchronization of the rate of carbohydrates and nitrogen release of the concentrate on rumen fermentation, plasma metabolites and insulin, in the dry pregnant goat. Animal Feed Science Technology 63: 163178. Sodiq A, Tawfik ES. 2004. Productivity and breeding strategies of sheep in Indonesia: a review. Journal of Agriculture and Rural Development in the Tropics and Subtropics 105(1): 71-82. Soliva CR, Zeleke AB, Cl´ement C, Hess HD, Fievez V, Kreuzer M. 2008. In vitro screening of various tropical foliages, seeds, fruits and medicinal plants for low methane and high ammonia generating potentials in the rumen. Animal Feed Science and Technology 147: 53-71. Stärfl SM. 2012. Influence of various forage-based feeding systems and supplementation strategies on enteric and slurry-derived methane emissions from fattening bulls and dairy cows [disertasi]. Zurich: ETH. Steel RGD, Torry JH. 1993. Prinsip dan prosedur Statistik. Suatu Pendekatan Biometrik. Jakarta: PT Gramedia Utama,.
47 Strobel HJ, Russell JB. 1986 Effect of pH and energy spilling on bacterial protein synthesis by carbohydrate-limited cultures of mixed rumen bacteria. J Dairy Sci. 69:2941-2947. Suharlina. 2010. Peningkatan Produktivitas Indigofera sp. Sebagai Pakan Berkualitas Tinggi Melalui Aplikasi Pupuk Organik Cair dari Limbah Industri Penyedap Masakan [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suhartati FM. 2005. Proteksi protein daun lamtoro (Leucaena leucocephala) menggunakan tannin, saponin, minyak dan pengaruhnya terhadap ruminal undegradable dietary protein (RUDP) dan sintesis protein mikroba rumen. Animal Production 7(1): 52-58. Suharyono, Andini L, Asih K. 2010. Suplementasi pakan multinutrien pada domba jantan terhadap konsumsi pakan, bobot badan dan efisiensi penggunaan pakan. Di dalam: Teknologi Peternakan dan Veteriner Ramah Lingkungan dalam Mendukung Program Swasembada Daging dan Peningkatan Ketehanan Pangan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010; Bogor, 3-4 Agu 2010. Bogor: Puslitbang Peternakan, Badan Penelitian dan Pengambangan Pertanian. Kementrian Pertanian. Hlm: 571-578. Sumantri C, Einstiana A, Salamena JF, Inounu I. 2007. Keragaan dan hubungan phylogenik antar domba lokal di Indonesia melalui pendekatan analisis morfologi. JITV 12(1): 42-54. Sung HG, Kobayashi Y, Chang J, Ha A, Hwang IH, Ha JK. 2007. Low Ruminal pH Reduces Dietary Fiber Digestion via Reduced Microbial Attachment. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 20(2): 200-207 Tarigan A, Abdullah L, Ginting SP, Permana IG. 2010. Produksi dan komposisi nutrisi serta kecernaan in vitro Indigofera sp. pada interval dan tinggi pemotongan berbeda. JITV 15(2): 188-195. Tarigan A. 2009. Produktivitas dan pemanfaatan Indigofera sp. sebagai pakan ternak kambing pada interval dan intensitas pemotongan yang berbeda [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tarmidi AR. 2004. Pengaruh Pemberian Pakan yang Mengandung Ampas Tebu Hasil Biokonversi oleh Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) terhadap Performans Domba Priangan. JITV 9(3): 157-163. Tejido ML, Ranilla MJ, Carro MD. 2002. In vitro digestibility of forages as influenced by source of inoculum (sheep rumen versus Rusitec fermenters) and diet of the donor sheep. Animal Feed Science and Technology 97:41-51. Tilley JMA, Terry RA. 1963. A two stage technique for the in-vitro digestion of forage crops. J. Brit. Grassl. Soc. 18: 104-111. Tokura M, Chagan I, Ushida K, Kojima Y. 1999. Phylogenetic Study of Methanogens Associated with Rumen Ciliates. Current Microbiology. 39: 123–128. Tripathi MK Santra A. Chaturvedi O.H. Karim S.A. 2004. Effect of sodium bicarbonate supplementation on ruminal fluid pH, feed intake, nutrient utilization and growth of lambs fed high concentrate diets. Animal Feed Science and Technology 111: 27–39.
48 Van Kessel JS, Russell JB. 1996. The effect of pH on ruminal methanogenesis. Rumen microbiology. Research Summaries. U.S. Dairy Forage Research Center. Van Soest, PJ. 1994. Nutritional Ecology of the Ruminant. Ed ke-2. Ithaca: Cornell University Press. Veira DM. 1986. The role of ciliate protozoa in nutrition of the ruminant. J. Anim. Sci. 63:1547-1560. Waghorn G. 2008. 2008. Beneficial and detrimental effects of dietary condensed tannins for sustainable sheep and goat production—Progress and challenges. Animal Feed Science and Technology 147: 116–139 Wang Y, McAllister TA, Newbold CJ, Rode LM, Cheeke PR, Cheng KJ. 1998. Effects of Yucca schidigera extract on fermentation and degradation of steroidal saponins in the rumen simulation technique (RUSITEC). Animal Feed Science and Technology 74: 143-153. Williams AG. 1986. Rumen holotrich ciliate protozoa. Microbiology and Molecular Biology Reviews. 50(1): 25-49. Wolin MJ. 1960. A theoretical rumen fermentation balance. J. Dairy Sci. 43:14521459. Yamin M, Sumantri C, Rahayu S, Duldjaman M, Baihaqi M, Aditia EL. 2009. Pengaruh seleksi domba cepat tumbuh terhadap produksi dan kualitas karkas. Di dalam: Buku 5, Bidang Teknologi dan Rekayasa Pangan. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian IPB. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor, Bogor. hlm 549557. Yan T, Mayne CS, Gordon FG, Porter MG, Agnew RE, Patterson DC, Ferris CP, Kilpatrick DJ. 2010. Mitigation of enteric methane emissions through improving efficiency of energy utilization and productivity in lactating dairy cows. J. Dairy Sci 93: 2630-2638.
49
LAMPIRAN Lampiran 1 Uji t pada produksi total gas Uji Levene/homogenitas Uraian F Sig.
t
Data Homogen
3.583
6.000
0.012
3.583
5.975
0.012
0.004
Uji t
0.954
Data tidak homogen
df
Sig. (2-tailed)
Keterangan: diolah menggunakan perangkat lunak SPSS 14.0
Lampiran 2 Uji t pada persentase metan Uji Levene/homogenitas Uraian F Sig.
t
Data Homogen
0.174
6.000
0.867
0.174
5.932
0.867
0.255
Uji t
0.631
Data tidak homogen
df
Sig. (2-tailed)
Keterangan: diolah menggunakan perangkat lunak SPSS 14.0
Lampiran 3 Uji t pada produksi metan Uji Levene/homogenitas Uraian F Sig.
t
Data Homogen
1.559
6.000
0.170
1.559
5.057
0.179
0.461
Uji t
0.523
Data tidak homogen
df
Sig. (2-tailed)
Keterangan: diolah menggunakan perangkat lunak SPSS 14.0
Lampiran 4 Uji t pada nilai pH Uji Levene/homogenitas Uraian F Sig. Data Homogen Data tidak homogen
0.885
0.383
Uji t t
df
Sig. (2-tailed)
-0.840
6.000
0.433
-0.840
5.762
0.434
Keterangan: diolah menggunakan perangkat lunak SPSS 14.0
50 Lampiran 5 Uji t pada konsentrasi amonia Uji Levene/homogenitas Uraian F Sig. Data Homogen
.
.
Uji t t
df
Sig. (2-tailed)
1.466
3.000
0.239
.
.
.
Data tidak homogen Keterangan: diolah menggunakan perangkat lunak SPSS 14.0
Lampiran 6 Uji t pada degradasi bahan kering Uji Levene/homogenitas Uraian F Sig. t Data Homogen
1.173
0.320
Data tidak homogen
Uji t df
Sig. (2-tailed)
3.087
6.000
0.021
3.087
4.425
0.032
Keterangan: diolah menggunakan perangkat lunak SPSS 14.0
Lampiran 7 Uji t pada bahan organik Uji Levene/homogenitas Uraian F Sig. Data Homogen Data tidak homogen
0.032
0.864
Uji t t
df
Sig. (2-tailed)
2.943
6.000
0.026
2.943
5.873
0.027
Keterangan: diolah menggunakan perangkat lunak SPSS 14.0
51
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1976 di Yogyakarta, merupakan anak sulung dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Purwanto dan Ibu Sri Hardaningsih. Pendidikan TK hingga SMA diselesaikan di Yogyakarta, lulus SMA pada tahun 1994 dan pada tahun yang sama penulis lolos seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) di Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Gelar Sarjana Peternakan diperoleh pada tahun 1999, pada tahun yang sama pula penulis memulai karier di perusahaan peternakan multinasional terkemuka di Indonesia, sebagai technical service–integration division. Pada akhir tahun 2003 penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian. Unit kerja penulis adalah Loka Penelitian Sapi Potong, sebagai staf peneliti bidang pakan dan nutrisi. Penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi magister pada tahun 2010 pada Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian.