STRATEGI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PESANTREN SALAFIYAH AL MUNAWAR BANI AMIN KABUPATEN SERANG BANTEN
IKHSAN AHMAD
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Komunikasi Pembangunan Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin Kabupaten Serang Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, 9 Januari 2014
Ikhsan Ahmad NRP. I352110031
RINGKASAN IKHSAN AHMAD. Strategi Komunikasi Pembangunan Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin. Dibimbing oleh PUDJI MULJONO dan RETNO SRI HARTATI SRI MULYANDARI. Pesantren Salafiyah adalah lembaga pendidikan tertua, asli Indonesia dan identik dengan Banten. Namun, pesantren dengan tipologi ini termarjinalkan. Diskriminasi ini terjadi dalam pembangunan yang lekat dengan budaya Islam dan mayoritas pendudukunya muslim, yakni 90% (9.608.439) dari 11.005.518 orang (BPS Provnsi Banten, 2011) serta kepemimpinan informal yang kuat dari tokoh-tokoh Pesantren Salafiyah. Penelitian ini bertujuan untuk: a) Menganalisis pola komunikasi Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin. b) Menganalisis peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam pembangunan di Provinsi Banten. c) Merumuskan strategi komunikasi Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam meningkatkan perannya untuk mendukung pembangunan di Provinsi Banten. Desain penelitian adalah kualitatif dengan metode Pentad Analysis, yakni suatu metode yang mengkaji desain terminologi dan jalur relasi kepentingan serta motifmotif humanistik serta fungsi-fungsi dari istilah-istilah yang dipakai. Kemudian menganalisis individu dalam suatu konteks tertentu dalam kerangka menyeleksi strategi komunikasi pada situasi yang dihadapinya. Setiap konsep dari elemen Pentad Analysis dalam implementasinya dapat disempitkan atau diluaskan. Hubungan setiap elemen Pentad Analysis menyumbangkan analisis baru dan tajam terhadap motif dan tindakan simbolik manusia yang menjelaskan hubungan kausalitas. Budaya dan nilai-nilai Islam yang tumbuh sejak masa keemasan Kesultanan Banten pada masa lalu telah diletakkan sebagai landasan pembangunan Banten pada masa kini serta cita-cita pembangunan Banten pada masa mendatang, dituangkan kedalam visi pembangunan provinsi Banten: menjadikan rakyat Banten sejahtera berlandaskan Iman dan Taqwa. Kata Iman tersebar di setiap surat yang jumlahnya sekitar enam ratusan dalam Al-Quran. Sedang kata Taqwa berjumlah ribuan. Implementasi dari visi ini mengarahkan pembangunan di Banten agar beriman dan bertaqwa di dalam penyelenggaraan pelayanan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan membina masyarakatnya dalam rangka menjamin perkembangan dan kemajuan dimasa yang akan datang dalam pemanfaatan potensi daerah dalam platform otonomi daerah. Visi pembangunan suatu Negara sangat penting, bukan sekedar landasan formal dan normatif belaka. Visi merupakan keyakinan yang dimiliki suatu bangsa di masa mendatang (what do they want to have) dan menjadi inspirasi pembangunan yang akan dan sedang dilaksanakan. Oleh karena itu, pendidikan berkarakter di Banten tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Pesantren Salafiyah dan pondasi pembangunan yang dibutuhkan di Provinsi Banten. Hasil penelitian menunjukan, Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin memiliki karakteristik yang dibutuhkan dalam pendidikan di Banten, baik sebagai modal sosial dan modal pendidikan. Ponpes Salafiyah menjadi kekuatan budaya yang berperan membentuk mentalitas religius masyarakat. Diakui selama ratusan tahun lulusannya menjadi manusia mandiri; ikhlas; beriman serta bertaqwa kepada Allah SWT, hidup bermasyarakat dan berperan aktif di bidang sosial, budaya dan keagamaan. Pesantren Salafiyah bersih dari sogok menyogok (korupsi), bebas dari pencitraan yang mengakar pada upaya sistemik menjadikan nilai peserta didik pada target tertentu agar
lulus dan terkesan baik sehingga sulit dibedakan mana anak yang mampu menyerap pelajaran dan mana yang tidak karena semua nilai sama bagusnya. Kyai pesantren Salafiyah memiliki konsistensi yang tinggi dalam mengajarkan, membina dan mengawasi santri selama 24 jam dalam rangka mengontrol keilmuan, sikap perilaku dan mentalitasnya tanpa dibayar satu rupiahpun oleh santri. Bahkan masih banyak pesantren Salafiyah yang justru memfasilitasi santri dalam kesehariannya, makan, penginapan, buku hingga biaya berobat ketika santri sakit. Keunggulan pendidikan karakter Pesantren Salafiyah belum menjadi nilai-nilai yang diadopsi dalam pembangunan di Banten. Padahal keunggulan pendidikan karakter Pesantren Salafiyah dapat dijadikan dasar pendidikan di Banten. Pemerintah provinsi Banten terlihat ragu membangun pondasi karakter dalam sistem pendidikannya yang berakar dari budayanya sendiri. Karakter pendidikan di Banten sekuler dan hanya berorientasi pada nilai akademik dan bagaimana lulusannya diserap dunia kerja, namun kering secara budaya. Interaksi dan komunikasi dunia pendidikan di Banten dengan akar budayanya sangat terbatas dan terkesan saling menghilangkan secara substantif. Pemerintah Provinsi Banten nyaris tanpa peran dalam menjembatani kutub tradisional pada pesantren Salafiyah dan kutub modern pada sekolah formal, padahal keduanya dapat berpadu padan. Keberadaan Pesantren Salafiyah belum ditempatkan perannya secara utuh pada keunggulan karakter dan kompetensinya dalam proses pembangunan di Provinsi Banten.
Kata kunci : Banten, Komunikasi Pembangunan, Pesantren Salafiyah, Strategi
SUMMARY
IKHSAN AHMAD. The Strategy of Development Communication by Al Munawar Bani Amin Salafiyah Islamic Boarding School. Supervised by PUDJI MULJONO and RETNO SRI HARTATI SRI MULYANDARI. Salafiyah Islamic Boarding School was the oldest educational institutions, native to Indonesia and identical to Banten. However, this boarding typology had marginalized. This discrimination occurs in closely with the development of islamic culture and muslim people majority in 90 % (9,608,439 of 11,005,518 people) ( BPS Provinsi Banten, 2011) as well as a strong informal leadership of religious figures. The goals if this research were to: a) Analysis the communication pattern of Bani Amin Al Munawar Salafiyah Islamic Boarding School, b) Analysis the role of Al - Munawar Bani Amin Salafiyah Islamic Boarding School in the development people of Banten province, c) Formulate a communication strategy of Al - Munawar Bani Amin Salafiyah Islamic Boarding School in supporting the Banten province development. The study was designed as qualitative with Pentad Analysis method, i.e. a method that was examined the design of terminology and paths of relationship interest, humanistic motives and the function of terms used. And then was analyzed the individual in a particular context within the framework of selecting a communication strategy to the situation. Each concept of Pentad Analysis element contributed in its implementation that can be narrowed or broadened. The relationship of each Pentad Analysis element contributed a new and incisive analysis in the motives and actions symbolic that can be explained the causality relation. Cultures and Islamic values that growed since the golden age of Banten in the past have been laid as the foundation of development in the present as well as the ideals of development in the future, which was poured into the Banten province development vision : Building the prosperous people of Banten based on faith and god-fearing . The faith words spreaded in some letters that its amount about six hundreds in the Quran, while god-fearing in thousands. Implementation of this vision directed the Banten development could be faith and god-fearing in government service delivery, implementation and foster community development in order to ensure the development and future progress in exploiting the potential of the region in the platorm of regional autonomy. Vision becomes important for a country's development foundation, not just formal and normative foundation. Because vision is the belief of ownership by a nation in the future (what do they want to have ) and an inspiration to the development that will be and were being implemented. Therefore, the struggle in building character education in Banten can not be separated from the presence Salafiyah Boarding. The results showed that Bani Amin Al - Munawar Salafiyah Islamic Boarding School had the characteristics that needed in education in Banten, both as social capital and educational capital. The islamic boarding school also had became a cultural force that played an important role in shaping the religious mentality of the people. It recognized for hundreds years that created the graduates become self-sufficient, sincere, faithful and god-fearing, society in social and cultural praxis of all time, clean in corruption, free in imagery that rooted in systemic efforts maked the value of students in certain targets in order to pass and well impressed so difficult to distinguish where the
child is able to absorb the lesson and which ones were not as good because of all the values. Head of Salafiyah have a high consistency in teaching, guiding and supervising the students for 24 hours in order to control knowledge, attitudes and behavior of mentality without paid by students. Even still many Salafiyah boarding that facilitated their students in daily life, meals, lodging, guide to medical expenses when the students sick. The excellence of education character of Salafiyah not be the values that adopted in the development of Banten. Though can be used as a formal education base in Banten. Banten provincial government seem shaky to build the character foundation in the education system that was rooted in his own culture. Character education in Banten was secular and oriented only in academic value and the ability to absorb the labor force, but culturally dry . Interaction and communication education in Banten with cultural roots arguably very limited and seem to remove each other substantively. Government almost had not existed in bridging the "presence" of the traditional pole in Salafiyah and modern pole in formal schools that can not co-exist, even though both can be combined and matched. The existence Salafiah was recognized, but in often times were not placed rightly as the excellence and competence role in the development process.
Keywords: Banten, development communication, Islamic boarding School, Salafiyah, strategy
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PESANTREN SALAFIYAH AL MUNAWAR BANI AMIN KABUPATEN SERANG BANTEN
IKHSAN AHMAD
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS
Judul Tesis Nama NRP
: Strategi Komunikasi Pembangunan Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin Kabupaten Serang Banten : Ikhsan Ahmad : I352110031
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Pudji Muljono, MSi.
Dr. Ir. Retno Sri Hartati Mulyandari, M.Si.
Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 8 November 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih adalah Strategi Komunikasi Pembangunan Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin. Sampai saat ini (tahun 2013), penelitian tentang komunikasi pembangunan pesantren Salafiyah masih sangat sedikit dikaji. Olehnya itu, penulis menyusun karya ilmiah ini, yang berjudul Strategi Komunikasi Pembangunan Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin Kota Serang. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Pudji Muljono, MSi. dan Dr. Ir Retno Sri Hartati Mulyandari, M.Si. selaku komisi pembimbing atas segala arahan, saran, dan bimbingannya. Penulis sampaikan penghargaan kepada Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin, Majelis Pesantren Salafiyah Banten, Dinas Pendidikan Provinsi Banten, Kementerian Agama Provinsi Banten yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, istri dan anak-anak tercinta atas doa dan dukungannya. Terimakasih juga peneliti ucapkan kepada Ketua STIE Banten, HER Taufik, dan pihak lain yang tidak bias disebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, 9 Januari 2014 Ikhsan Ahmad NRP. I352110031
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
viii viii ix 1 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Strategi Komunikasi Pola Komunikasi Strategi Komunikasi Komunikasi Pembangunan Teori Dramatisme Teori Identitas Kelembagaan Pendidikan Agama Islam: Pesantren Tipologi Pesantren Salafiyah Penelitian Terdahulu
4 4 5 6 7 8 9 10 11 12 14
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran
17
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian Data dan Sumber Data Pengumpulan Data Analisis Data Validitas Penelitian Tahapan Penelitian
23 25 25 26 27 28 29
SUBJEK PENELITIAN Sejarah Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Kondisi Sosial dan Budaya Masyarakat di sekitar Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Kompetensi Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Santri Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Metode Belajar Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Sebagai Identitas Budaya Identitas Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Dalam Pembangunan di Provinsi Banten
31 32 33 34 37 38 40
POLA KOMUNIKASI PESANTREN SALAFIYAH AL MUNAWAR BANI AMIN Pola Komunikasi Internal Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Pola Komunikasi Eksternal Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Pola Komunikasi Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Dalam Pembangunan Pola Komunikasi Kelompok Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Pola Komunikasi Publik Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Pola Komunikasi Massa Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Latar Pola Komunikasi Massa Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Pola Komunikasi Organisasi Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin PERAN PESANTREN SALAFIYAH AL MUNAWAR BANI AMIN DALAM PEMBANGUNAN DI PROVINSI BANTEN Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Budaya dan Keagamaan Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Pendidikan Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Sosial Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Politik
42 46 50 53 57 60 61 64
70 74 77 79
STRATEGI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PONPES SALAFIYAH AL MUNAWAR BANI AMIN DALAM MENINGKATKAN PERANNYA UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN DI PROVINSI BANTEN Strategi Komunikasi Ponpes Salafiyah Al Munawar Bani Amin 81 Strategi Komunikasi Organisasi Ponpes Salafiyah Al Munawar Bani Amin 83 Strategi Komunikasi Internal Ponpes Salafiyah Al Munawar Bani Amin 84 Strategi Komunikasi Eksternal Ponpes Salafiyah Al Munawar Bani Amin 85 Strategi Komunikasi Ponpes Salafiyah Al Munawar Bani Amin Dalam Bidang Budaya dan Keagamaan 88 Strategi Komunikasi Ponpes Salafiyah Al Munawar Bani Amin Dalam Bidang Pendidikan 90 Strategi Komunikasi Ponpes Salafiyah Al Munawar Bani Amin Dalam Bidang Sosial 92 Strategi Komunikasi Ponpes Salafiyah Al Munawar Bani Amin Dalam Bidang Politik 94 Konseptual Strategi Komunikasi Ponpes Salafiyah Al Munawar Bani Amin 95 Strategi yang Tergantung Pada Kondisi Sosiologis Masyarakat 97 Peristiwa Musrenbang 97 Peristiwa Reses DPRD Banten 99 Komunikasi dengan Media Lokal Banten 100 Memandang Slogan Pembangunan 104
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
105 105 105 106 110
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
24.
Aktifitas Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Urutan Orientasi Santri Setelah Lulus Dari Pondok Kajian Pentad Analisis Sumber Pesan Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Kajian Pentad Analisis Pola Komunikasi Internal Ponpes Salafiyah Al Munawar Bani Amin Data Anak Sekolah di Provinsi Banten Kajian Pentad Analisis Pola Komunikasi Eksternal Ponpes Salafiyah Al Munawar Bani Amin Kajian Pentad Analisis Pola Komunikasi Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Dalam Pembangunan Kajian Pentad Analisis Pola Komunikasi Kelompok Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Dalam Pembangunan Kajian Pentad Analisis Pola Komunikasi Publik Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Isi Pesan Tausiyah Kyai Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin Intensitas Pola Komunikasi Massa Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Kajian Pentad Analisis Pola Komunikasi dan Struktur Organisasi Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Jumlah pesantren di Banten Kajian Pentad Analisis Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Budaya dan Keagamaan Kajian Pentad Analisis Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang pendidikan Kajian Pentad Analisis Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Sosial Kajian Pentad Analisis Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Politik Kajian Pentad Analisis Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam strategi komunikasi Organisasi Kajian Pentad Analisis Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam strategi komunikasi Internal Kajian Pentad Analisis Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam strategi komunikasi Eksternal Kajian Pentad Analisis Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam strategi komunikasi kaderisasi Kajian Pentad Analisis Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam strategi komunikasi massa Kajian Pentad Analisis Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam strategi komunikasi Budaya dan Keagamaan Kajian Pentad Analisis Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam strategi komunikasi
35 36 44 45 47 49 51 55 58 59 62 65 67 74 76 79 80 84 85 86 87 88
89
di bidang pendidikan 25. Kajian Pentad Analisis Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam strategi komunikasi dibidang sosial 26. Kajian Pentad Analisis Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam strategi komunikasi dibidang politik
91
93
95
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kerangka Pemikiran Urutan Motivasi Orang Tua Memasukan Anak ke Ponpes Salafiyah Sumber Pesan Dalam Komunikasi Pesantren Salafiyah Pola Komunikasi Internal Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Pola Komunikasi Eksternal Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Pola Komunikasi Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Dalam Pembangunan 7. Pola Komunikasi Kelompok Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin 8. Pola Komunikasi Publik Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dan Proses Transmisinya 9. Pengorganisasian Massa Istighotsah Nahdatul Ulama melalui Pesantren Salafiyah medio Oktober 2012 yang dihadiri lebih dari 6.000 orang 10. Pengorganisasian Kyai se-Banten dan massa dalam istighotsah dan deklarasi Majelis Pesantren Salafiyah, Mei 2011, menghadirkan lebih dari 4.000 orang. 11. Pola Dasar Komunikasi Organisasi Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin 12. Struktur Komunikasi Pesantren Salafiyah Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin 13. Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Budaya dan Keagamaan 14. Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Pendidikan 15. Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Sosial 16. Peran Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Politik 17. Strategi Komunikasi Organisasi Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin 18. Strategi Komunikasi Internal Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin 19. Konseptual Strategi Komunikasi Ponpes Salafiyah Al-Munawar Bani Amin
17 37 43 45 48 50 55 57
63
64 64 65 73 76 78 80 83 84 96
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4.
Pedoman wawancara untuk kyai pimpinan ponpes Salafiyah Pedoman wawancara untuk ustadz Pedoman wawancara untuk santri Pedoman wawancara untuk pimpinan media cetak Banten Raya Pos 5. Pedoman wawancara untuk kementrian agama dan pendidikan provinsi banten 6. Pedoman wawancara untuk wakil rakyat provinsi banten 7. Profile Pemilik Ponpes Salafiyah Al Munawar Bani Amin
8. Riwayat Hidup Penulis
110 112 113 114 115 116 117 118
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Strategi komunikasi pembangunan adalah kajian proses komunikasi dalam pembangunan terhadap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pemenuhan totalitas aspek kehidupan masyarakat, seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial, jaminan keamanan, kesederajatan dalam politik, budaya dan agama. Strategi komunikasi pembangun menelaah proses sosial pada perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku individu mau kelompok. Perubahan sosial yang terjadi akan sangat tergantung pada timbulnya persepsi dan makna terhadap modal sosial dalam suatu pembangunan, yakni seperangkat nilai-nilai sosial yang mengikat komitmen bersama untuk bertindak dalam rangka mencapai kepentingan dan tujuan bersama atau membangkitkan partisipasi masyarakat dalam suatu sistem komunikasi yang efektif mencapai tujuan pembangunan. Komunikasi pembangunan menjadi salah satu strategi menumbuhkan partisipasi masyarakat melalui proses interaksi seluruh warga masyarakat, menumbuhkan kesadaran dan menggerakan partisipasi masyarakat dalam proses perubahan terencana, demi tercapainya perbaikan mutu hidup secara berkesinambungan dengan menggunakan teknologi atau menerapkan ide-ide yang sudah terpilih. Strategi komunikasi memiliki peran penting dalam pembangunan yang berorientasi pada rakyat. Partisipasi tercipta melalui komunikasi dan dengan komunikasi, pesan-pesan pembangunan dapat disampaikan dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan mengoptimalkan sumberdaya manusia serta sumberdaya alam sebaik mungkin. Melalui komunikasi perencanaan dapat disistematisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan komunikasi dalam pembangunan didefenisikan sebagai situasi komunikasi yang memungkinkan munculnya partisipasi masyarakat secara sadar, kritis, sukarela, murni dan bertanggung jawab (Hamijoyo 2001). Komunikasi dalam pembangunan dianggap berhasil ketika proses mencipta kebermanfaatan bersama oleh pemerintah secara bersama melibatkan masyarakat di dalamnya dengan peran yang saling mendukung dan menunjang, di antaranya peran pemerintah diharapkan menjaga kandungan nilai-nilai dasar pembangunan, pencapaian tujuan dan makna atas pembangunan yang dilaksanakan. Keterlibatan peran semua pihak dalam pembangunan tentu saja memerlukan strategi komunikasi tersendiri guna menjaga efektifitas dan efisiensi keberhasilan pembanguan. Keterlibatan pemerintah penting untuk menjaga karakteristik pembangunan agar sesuai dengan tuntutan sejarah dan kebutuhan masa kini dan cita-cita masa depan. Pembangunan yang berlangsung mesti berjalan dalam satu identitas budaya yang jelas, dikenali, berakar kuat pada masyarakatnya dan dapat mengantarkan pertumbuhan pembangunan yang didasari nilai-nilai luhur budaya yang diusung. Identitas budaya yang jelas dalam lingkup pelaksanaan strategi komunikasi pembangunan semakin mendesak kebutuhannya megingat keberlangsungan suatu pembangunan biasanya mendapat gempuran budaya, nilai dan identitas asing yang belum tentu cocok dengan kesinambungan pembangunan suatu masyarakat. Di
2
Banten, lembaga pendidikan paling tua dengan identitas budaya yang menjadi representasi masa keemasan sejarah Kesultanan Banten serta tujuan kehidupan dimasa mendatang ada pada adalah lembaga pendidikan islam tradisional tertua yang identik dengan makna keislaman, diantaranya adalah Al-Munawar Bani Amin, terletak di Kabupaten Serang Banten. Dalam penelitian ini, Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin hendak di dalami peran, pola dan strategi komunikasinya dalam meningkatkan peran Pesantren Salafiyah dalam pembangunan di Banten. Dewasa ini keberadaan Pesantren Salafiyah atau yang dikenal dengan pesantren kobong dapat dirasakan di Banten. Jumlah Pesantren Salafiyah lebih banyak dibandingkan pesantren modern mau pesantren perpaduan tradisional dan modern. Perkembangan pesantren ini tumbuh sejalan dengan banyaknya lulusan Pesantren Salafiyah mendirikan kembali Pesantren Salafiyah dikampung halaman santri atau tempat lain secara informal (tidak terdata secara resmi). Diakui banyak pihak, keberadaan Pesantren Salafiyah berdampak positif terhadap perkembangan karakter serta mentalitas masyarakat dilingkungan sekitar Pesantren Salafiyah. Namun Pesantren Salafiyah belum menjadi salah satu pondasi pembangunan keagamaan dan budaya di Banten. Kendati Pesantren Salafiyah mengakar, tumbuh dan berbasis pada masyarakat, Pesantren Salafiyah tidak serta merta mendapatkan perhatian dari pemerintah. Perumusan Masalah Pesantren Al-Munawar Bani Amin adalah salah satu dari ribuan di Banten. Menurut Perda No.17 tahun 2012, tentang penyelenggaraan pendidikan di Banten, Pesantren Salafiyah dikelompokkan sebagai lembaga pendidikan non formal. Secara tipologi, dimasukan dalam kelompok pesantren tradisional, dipersepsikan sebagai representasi budaya serta nilia-nilai masyarakat lokal masa lalu. Keberadaan Pesantren Salafiyah tersebar di sebagain besar wilayah pedesaan terutama di Pandeglang, Serang, Lebak, Cilegon dan Tangerang. Eksistensi Pesantren Salafiyah dirasakan masyarakat melalui pola kepemimpinan informal yang mengkomunikasikan kesederhanaan dan nilai-nilai agama sebagai tuntutan dan landasan bermasyarakat. Namun karakteristik peran yang dimiliki oleh Pesantren Salafiyah ini dipandang sebagai sesuatu yang tak lagi dapat mendukung kemajuan pembangunan dan arus perubahan pembangunan di Banten. Pesantren Salafiyah dianggap masa lalu, tidak memiliki masa depan, tidak memiliki kompetensi, kumuh, dan dipandang sebatas tempat belajar mengaji tanpa iptek. Pesantren Salafiyah termarjinalkan dalam proses pembangunan. Minimnya keberpihakan dan dukungan pemerintah terhadap Pesantren Salafiyah berdampak terhadap eksistensi Pesantren Salafiyah. Jurang komunikasi yang muncul antara “kaum sarungan” dengan pemerintah sebagai pelaksana pembangunan membuat makna pesan komunikasi pembangunan masing-masing pihak berbeda sehingga terjadi hubungan yang kurang harmonis antara pihak Pesantren dengan pemerintah. Berdasarkan kajian masalah yang dilakukan maka rumusan masalah penelitian ini adalah:
3
1. Bagaimana pola komunikasi Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin? 2. Bagaimana peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam pembangunan di Provinsi Banten? 3. Bagaimana strategi komunikasi Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam meningkatkan perannya untuk mendukung pembangunan di Provinsi Banten? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang hendak dicapai dari perumusan masalah yang sudah ditetapkan sebagai berikut: 1. Menganalisis pola komunikasi Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin 2. Menganalisis peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam pembangunan di Provinsi Banten 3. Menganalisis strategi komunikasi Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam meningkatkan perannya untuk mendukung pembangunan di Provinsi Banten. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan berguna untuk memahami bagaimana proses komunikasi pembangunan yang terjadi di Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dengan masyarakat dan pemerintah. Secara spesifik kegunaan penelitian ini adalah : 1. Membantu mengembangkan pola komunikasi, peran dan strategi komunikasi Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam proses pembangunan di Banten. 2. Sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu komunikasi, khususnya bagi penelitian konstruktivis dalam membantu komunikasi pembangunan Pesantren Salafiyah AlMunawar Bani Amin. 3. Masukan praktis bagi pemerintah dan Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dengan tujuan mencapai efektifitas komunikasi dan kesamaan makna pesan pembangunan.
4
TINJAUAN PUSTAKA Strategi Strategi dalam perspektif teoritis dapat ditemui dalam berbagai studi, di antaranya oleh Whittington (2001) menyebutkan ada empat teori tentang strategi yakni: teori klasik, evolusioner, proses, dan sistem. Teori Klasik menekankan pada perencanaan, evolusi menekankan keterbukaan, teori proses menekankan sifat dinamis dan spontanitas, dan teori sistem menekankan pada aspek sosiologis dan perilaku manusia. Gray (1999) memetakan strategi ke dalam tiga kategori: People and Politics, Preparation for War, War Proper. “People and Politics” adalah dimensi paling dasar dari strategi. Dalam kategori ini strategi disusun dalam konstitusi dan dilaksanakan oleh kumpulan masyarakat tertentu, terikat budaya dan isu metodologikal. Strategi dalam kategori ini menempatkan proses penentuan kebijakan pada bidang politik. Dimana kebijakan tersebut merupakan hasil dari proses berkelanjutan dari proses politik dan strategi itu sendiri sebagai hasil dari proses pembuatan strategi. Kategori “preparation of war” adalah gabungan dari dimensi sumber daya ekonomi organisasi pembuat strategi, proses manajerial organisasi, informasi, proses pemikiran dan pemaknaan secara bersungguh-sungguh melalui doktrin. Poin penting dari kategori ini, yaitu dimensi teknologi, ekonomi dan logistik. “War proper” adalah kategori yang menjadikan kondisi geografi sebagai bagian penting menyusun strategi. Dimensi ini dianggap paling konstan dan permanen, akan tetapi pengaruhnya berbeda terhadap konflik tertentu dan waktu tertentu. Diantara semua dimensi strategi, ada dimensi yang paling kuat, yaitu Politik, individu, dan waktu. Hubungan antar dimensi tersebut tidak pasti, tidak ada batas yang jelas. Hal ini menjelaskan sifat alami subjek dan bagaimana subjek suatu strategi bekerja. Strategi memberikan arti serta menentukan perilaku di lapangan. Strategi bernilai ekstrinsik dan intrinsik. Ekstrinsik, untuk menjaga aset komunitas tetap seimbang dengan dunia luar, sedangkan nilai intrinsiknya adalah peran suatu strategi sebagai perantara dan aset yang dapat diaplikasikan untuk tanggung jawab politik. Komunikasi Sifat komunikasi hadir dimana-mana dan melekat secara ensensial di setiap aktifitas dasar manusia. Komunikasi menghubungkan manusia satu sama lainnya (Muhammad, 2008). Strategi disampaikan melalui cara berkomunikasi. Bermacammacam definisi tentang komunikasi, disesuaikan dengan bidang dan tujuan-tujuan tertentu yang terkandung pada konteks definisi tersebut berada. Berikut ini adalah definisi dari komunikasi: Komunikasi adalah proses suatu pesan dipindahkan lewat suatu saluran dari suatu sumber kepada penerima dengan maksud mengubah perilaku, perubahan dalam pengetahuan, sikap dan perilaku. Sekurang-kurangnya didapati empat unsur utama dalam model komunikasi yaitu sumber (the source), pesan (the message), saluran (the
5
channel) dan penerima (the receiver). Komunikasi sendiri berasal dari bahasa Latin communis yang berarti umum (common) atau bersama. Apabila kita berkomunikasi, sebenarnya kita sedang berusaha menumbuhkan suatu kebersamaan (commonnes) dengan seseorang, berbagi informasi, ide atau sikap. Tujuan komunikasi adalah usaha membuat penerima atau pemberi komunikasi memiliki pengertian (pemahaman) yang sama terhadap pesan tertentu (Suprapto, 2006). Berbicara tentang definisi komunikasi, tidak ada definisi yang benar atau yang salah, tetapi dilihat dari manfaat definisi tersebut dari suatu fenomena yang hendak dijelaskan atau dievaluasi. Beberapa definisi mungkin terlalu sempit, misalnya “Komunikasi adalah penyampaian pesan melalui media elektronik”, atau lebih luas lagi, misalnya “Komunikasi adalah interaksi antara dua pihak atau lebih sehingga peserta komunikasi memahami pesan yang disampaikannya (Effendy, 2006) Pola Komunikasi Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan atau informasi dari seseorang kepada orang lain dapat berupa kelompok atau perorangan. Begitu pula dengan penerima, dapat berupa perorangan atau kelompok. Komunikasi dapat dianalogikan seperti udara, setiap kegiatan dan aktivitas manusia tidak dapat dipisahkan dari komunikasi (Wayne dan Faules 2000). Setiap orang yang berkomunikasi memiliki perbedaan proses pengiriman mau penerimaan pesan, tergantung dari pemahaman mau pengalaman yang dimiliki masing-masing. Berdasarkan kebutuhan akan berkomunikasi, ada 5 pola komunikasi yaitu: ”Komunikasi Antarpribadi, Komunikasi Kelompok Kecil, Komunikasi Organisasi, komunikasi massa, komunikasi publik. Pola komunikasi diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga dapat dipahami” (Djamarah, 2004). Dimensi pola komunikasi terdiri dari pola yang berorientasi pada konsep dan pola yang berorientasi pada sosial. Pola komunikasi dicirikan oleh: komplementaris atau simetris. Dalam hubungan komplementer, perilaku dominan mendatangkan perilaku tunduk. Dalam simetri, interaksi dilakukan atas dasar kesamaan. Dominasi bertemu dengan dominasi atau kepatuhan dengan kepatuhan” (Djuarsa, 2004). Pola komunikasi melihat struktur atau sistem interaksi sebagai proses merespon pemberi dan penerima pesan untuk menetukan jenis hubungan yang mereka miliki. Pola komunikasi adalah pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan yang dikaitkan dua komponen, yaitu gambaran atau rencana yang meliputi langkah-langkah pada suatu aktifitas dengan komponen komponen yang merupakan bagian penting atas terjadinya hubungan komunikasi antar manusia atau kelompok dan organisasi (Wayne dan Faules 2000).
6
Strategi Komunikasi Strategi komunikasi merupakan paduan perencanaan komunikasi (communication planning) dan manajemen komunikasi (communication management) untuk mencapai tujuan tertentu melalui pendekatan (approach) yang berbeda-beda, bergantung dari situasi dan kondisi. Strategi komunikasi akan sangat menentukan efektifitas suatu kegiatan komunkasi. Oleh karena itu secara makro (plammed multi-media strategi) mau mikro (single communication medium strategi) strategi komunikasi mempunyai fungsi ganda (Effendi, 2000), yakni : 1. Mensistematisasi penyebarluasan pesan yang bersifat informatif, persuasif dan instruktif kepada sasaran untuk memperoleh hasil optimal; 2. Menjembatani cultural gap yang diakibatkan oleh arus informasi yang tidak seimbang. Strategi komunikasi berdampak positif apabila tujuan program pembangunan tercapai dan perubahan perilaku khalayak sasaran dapat diamati serta diukur. Pencapaian tersebut menurut Arifin, A (2003) ditandai dengan: (1) timbulnya kesadaran masyarakat untuk memahami manfaat inovasi, (2) perwujudan tindakan kongkret masyarakat dalam bentuk mengadopsi inovasi tersebut, dan (3) timbulnya sumberdaya manusia yang berkualitas sebagai akibat adopsi inovasi. Kriteria keberhasilan beragam strategi komunikasi pembangunan perlu dikaitkan dengan kekhasan tiap inovasi pembangunan. Kriteria tersebut tidak hanya mengukur keberhasilan atau kegagalan khalayak sasaran dalam nenerapkan inovasi, tetapi juga kesuksesasn dan kegagalan pelaku komunikasi pembangunan dalam mengalihkan informasi pembangunan dalam keterpaduan. Keberhasilan strategi komunikasi menurut Arifin. A (2003) dicirikan oleh: (1) unsur pemahaman, kepedulian, dan kemampuan masyarakat dalam menyeleksi dan menerapkan beragam inovasi, (2) komitmen dan kesepakatan aktif untuk meningkatkan kesuksesan beragam dimensi program pembangunan, dan (3) perluasan kehidupan yang lebih baik. Sedangkan kriteria keberhasilan strategi komunikasi dari sudut pelaku komunikasi dicirikan: (1) Citra positif pelaku komunikasi pembangunan di mata masyarakat dengan cara memberikan kemudahan pelayanan komunikasi, (2) penyampaian informasi pembangunan yang yang lengkap dan benar berkenaan dengan prioritas utama pada kepentingan khalayak sasaran, dan (3) perluasan jangkauan informasi, dan pemantapan kelembagaan masyarakat dengan memperhatikan aspek kebudayaan setempat. Berbicara tentang pemilihan strategi komunikasi pembangunan, ada hal-hal yang tercakup di dalamnya: (1) alternatif pilihan strategi, (2) kondisi prioritas dan penunjang komunikasi pembangunan, (3) sasaran komunikasi pembangunan, (4) konsekuensi dari filosofi kegiatan dan (5) upaya meningkatkan dampak ganda dari kegiatan yang dilakukan. Masih menurut Arifin. A (2003) ada tiga strategi komunikasi pembangunan yang dapat dipilih untuk melakukan rekayasa sosial, pemasaran sosial dan partisipasi sosial. Namun efektifitas strategi komunikasi pembangunan tersebut akan bergantung pada motivasi khalayak sasaran dan kondisi kelompok sasaran lebih lanjut.
7
Komunikasi Pembangunan Konsep komunikasi pembangunan dapat dilihat dalam arti yang luas dan sempit. Dalam arti yang luas, komunikasi pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi (sebagai suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbal-balik) diantara semua pihak yang terlibat dalam usaha pembangunan, terutama antara masyarakat dengan pemerintah, sejak dari proses perencanaan, kemudian pelaksanaan, dan penilaian terhadap pembangunan. Sedang dalam arti yang sempit, komunikasi pembangunan merupakan segala upaya dan cara, serta teknik penyampaian gagasan, dan keterampilan-keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat luas. Kegiatan tersebut bertujuan agar masyarakat yang dituju dapat memahami, menerima, dan berpartisipasi dalam melaksanakan gagasan-gagasan yang disampaikan. Menurut Nasution (2004) ada tiga aspek komunikasi dalam pembangunan yang berkaitan yaitu: 1. Aspek kebijakan komunikasi, merupakan pendekatan paling luas dan bersifat umum. Aspek ini menekankan pada bagaimana media massa dapat fokus pada pembangunan suatu bangsa. Politik dan fungsi-fungsi media massa dalam pengertian yang umum merupakan objek studi, sekaligus masalah-masalah yang menyangkut struktur organisasional dan pemilikan, serta kontrol terhadap media. 2. Aspek spesifik peranan media massa dalam pembangunan nasional, yaitu bagaimana media secara efisien dapat mengajarkan pengetahuan tertentu bagi masyarakat suatu bangsa. 3. Aspek orientasi perubahan pada komunitas lokal atau desa agar dapat menerima ide-ide dan produk baru dalam pembangunan. Masih menurut Nasution (2004), ada 12 peran yang dapat dilakukan komunikasi dalam pembangunan, yakni: 1. Menciptakan iklim perubahan dengan menawarkan nilai-nilai, sikap mental, dan bentuk perilaku yang menunjang modernisasi. 2. Mengajarkan keterampilan-keterampilan baru pada masyarakat lokal. 3. Menjadikan media massa sebagai pengganda sumber-sumber daya pengetahuan. 4. Menjadikan media massa sebagai pengantar pengalaman-pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri, sehingga mengurangi biaya psikis dan ekonomis untuk menciptakan kepribadian yang mobile. 5. Meningkatkan aspirasi untuk memotivasi bertindak nyata. 6. Membantu masyarakat menemukan norma-norma baru dan keharmonisan masa transisi. 7. Mendorong orang untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan di tengah kehidupan masyarakat. 8. Mengubah struktur kekuasaan masyarakat yang bercirikan tradisional, dengan membawa pengetahuan kepada massa. 9. Menciptakan rasa kebangsaan untuk mengatasi kesetiaan-kesetiaan lokal.
8
10. Menyadari pentingnya arti masyarakat sebagai warga negara, sehingga dapat membantu meningkatkan aktivitas politik. 11. Memudahkan perencanaan dan implementasi program-program pembangunan yang berkaitan dengan kebutuhan penduduk 12. Komunikasi dapat membuat pembangunan ekonomi, sosial, dan politik menjadi suatu proses yang berlangsung sendiri (self-perpetuating)
Teori Dramatisme Richard (2008), mengemukakan teori dramatisme mengonseptualisasikan kehidupan manusia sebagai sebuah drama, dimana kritik yang timbul menempati posisi penting dalam suatu adegan yang dimainkan oleh berbagai pemain di dalamnya dalam kerangka menyingkap motivasi. Sebagai sebuah metodelogi, dramatisme membahas tindakan komunikasi antara teks dan khalayak, serta tindakan di dalam teks itu sendiri. Ada tiga alasan mengapa drama dianggap sebagai metafora yang penting dalam mengungkap motivasi manusia: (1) drama menggambarkan hubungan manusia yang didasarkan pada interaksi atau dialog, (2) drama cenderung mengikuti tipe-tipe atau genre yang mudah dikenali: komedi, musikal, melodrama dan lainnya, (3) drama selalu ditujukan pada khalayak, dimana sastra adalah “peralatan untuk hidup”, artinya teks dapat mengkomunikasikan pengalaman dan permasalahan hidup seseorang serta memberikan reaksi di dalamnya. Dramatisme mengkaji cara-cara dimana bahasa dan penggunaannya berhubungan dengan khalayak. Dramatisme berangkat dari asumsi: (1) Manusia adalah hewan yang menggunakan simbol, terutama bahasa, (2) bahasa dan simbol membentuk sebuah sistem penggunaan kata-kata, pemikiran, dan tindakan yang memiliki hubungan yang sangat dekat satu sama lain, (3) manusia selalu membuat pilihan dan dramatisme adalah sebuah kemampuan aktor sosial untuk bertindak sebagai hasil pilihannya. Dramatisme adalah retorika yang menekankan pada identifikasi dan faktorfaktor parsial “tidak sadar” dalam mengajukan pernyataannya. Berbeda dengan retorika konvensional yang menekankan pada persuasi dan desain yang terencana. Ketika terdapat ketumpangtindihan diantara dua orang pada substansi yang sama, maka semakin besar ketumpangtindihan yang terjadi, makin besar identifikasi yang terjadi. Sebaliknya, semakin kecil tingkat ketumpangtindihan individu, makin besar pemisahannya. Kenyataannya tidak ada ketumpangtindihan satu dengan lainnya secara penuh, selalu ada “ambiguitas substansi”, dimana identifikasi selalu terletak pada kesatuan dan pemisahan. Retorika dibutuhkan untuk menjembatani pemisahan dan membangun kesatuan. Proses ini disebut konsubstansiasi (ketika permohonan dibuat untuk meningkatkan ketumpangtindihan antara orang) atau meningkatkan identifikasi mereka satu sama lain. Proses retorika berhubungan dengan siklus rasa bersalah, dimana rasa bersalah dapat dihilangkan sebagai hasil identifikasi dan pemisahan. Proses rasa bersalah dan penebusan mengamankan keseluruhan konsep simbolisasi. Rasa bersalah (tekanan, rasa malu, rasa bersalah, rasa jijik, atau perasaan yang menyebalkan lainnya) adalah
9
motif utama untuk semua aktifitas simbolik. Rasa bersalah secara luas mencakup berbagai jenis ketegangan, rasa malu, rasa bersalah, rasa jijik, atau perasaan yang tidak menyenangkan lainnya. Rasa bersalah bersifat intrinsik dalam kondisi manusia. Ketika merasa diri bersalah oleh karenanya diperlukan usaha memurnikan diri sendiri dari ketidaknyamanan rasa bersalah. Proses merasa bersalah dan berusaha untuk menghilangkannya ada di dalam satu siklus mengikuti pola: 1. Tatanan atau hierarki (peringkat yang ada dalam masyarakat terutama karena kempuan kita untuk menggunakan bahasa). 2. Negatifitas (menolak tempat seseorang dalam tatanan sosial; memperlihatkan resistensi). 3. Pengorbanan (cara dimana kita berusaha untuk memurnikan diri kita dari rasa bersalah yang kita rasakan sebagai bagian dari menjadi manusia). Ada dua metode untuk memurnikan diri dari rasa bersalah, dengan menyalahkan diri sendiri dan mengkambinghitamkan dengan menyalahkan orang lain. 4. Penebusan (penolakan sesuatu yang tidak bersih dan kembali pada tatanan baru setelah rasa bersalah diami sementara). Teori Identitas Morissan dan Wardhany (2009), mengatakan bahwa berbagai elemen masyarakat dalam pembangunan perlu dilihat sebagai identitas dan entitas dari caracara menempatkan diri mereka secara sosial. Identitas dan entitas berbagai elemen masyarakat dalam pembangunan memiliki implikasi penting sebagai komuikator, dimana dalam teori identitas, sebagian besar anggota masyarakat dari masing-masing elemen itu pada umumnya memiliki pandangan sama bahwa mereka menerima perlakuan yang dirasakan sama oleh mereka. Perlakuan yang diterima secara bersama oleh mereka inilah yang akan menjadi identitas utama, misalnya rasa ketidakadilan. Berdasarkan identitas itu maka mereka membuat organisasi bersama. Oleh karena itu, Morissan dan Wardhany (2009) membahas teori identitas ini menjadi tiga bagian: 1. Standpoint theory, adalah konstruksi masyarakat (sosial world) yang didapat dari perhatian dan pemahaman individu melalui cara yang berbeda, kemudian digunakan untuk mengkontruksikan kembali kondisi atau situasi dimana masyarakat berada. Secara epistemologi, teori ini membedakan variasi komunikasi individu tersebut ketika memahami suatu pengalaman yang didapatinya dan ketika mengkonstruksi pemahaman tersebut. Ide teori ini adalah pandangan berlapis (layered understanding), setiap individu memiliki banyak identitas yang tumpang tindih sehingga menghasilkan pandangan yang unik. 2. Konstruksi Identitas. Setiap identitas saling berkaitan (interlocking identities). Tidak ada identitas yang berada diluar kontruksi sosial dan budaya. Sebagian besar identitas berasal dari konstruksi yang ditawarkan kelompok sosial dimana identitas tersebut menjadi bagian di dalamnya. 3. Queer Theory. Teori ini menentang segala hal yang bersifat berpasangan dalam segala bentuknya namun menawarkan gagasan bahwa identitas lebih dari sekedar kategori kaku yang bersifat dikotomis.
10
Kelembagaan Pendidikan Agama Islam: Pesantren Menurut Jauhari (2012), Pesantren adalah wacana yang hidup. Selagi mau, memperbincangkan pesantren senantiasa menarik, segar, aktual, dan perlu dicatat tidak mudah. Banyak aspek yang mesti dilalui ketika diskursus Pesantren digelar. Dari sisi keberadaannya saja, pesantren memiliki banyak dimensi terkait (multi dimensional). Dalam lilitan multidimensional itu, menariknya, Pesantren sangat percaya diri (self confident) dan penuh pertahanan diri (self defensive) dalam menghadapi tantangan di luar dirinya. Karena itu hingga sekarang, orang kesulitan mencari sebuah definisi yang tepat tentang Pesantren. Pesantren kelihatan berpola seragam, tetapi beragam; tampak konservatif, tetapi diam-diam atau terang-terangan mengubah diri dan mengimbangi denyut perkembangan zamannya. Ambisi merumuskan Pesantren secara tunggal, apalagi coba-coba memaksakan suatu konsep tertentu untuk pesantren, tampaknya tidak mungkin berhasil. Rahmad Pulung Sudibyo (2010) mendefinisikan pesantren sebagai institusi pendidikan Islam di Indonesia dengan ciri-ciri khas tersendiri. Pesantren berasal dari bahasa sansekerta, “san” artinya orang baik (laki-laki) disambung “tra” artinya suka menolong, “santra” berarti orang baik baik yang suka menolong. Pesantren berarti tempat membina manusia menjadi orang baik. Pesantren memiliki komponenkomponen (Dhofier, 1985) berikut: Kyai, berasal dari bahasa Jawa (Ziemek, 1986) dipakai untuk: (1) gelar kehormatan barang yang dianggap keramat. Contohnya "Kyai garuda kencana" (kereta emas di Kraton Yogyakarta), (2) gelar kehormatan bagi orang yang di tuakan, dan (3) gelar ahli agama Islam dan pimpinan pesantren yang berperan penting dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren. Keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan Kyai. 2. Masjid sangat berkaitan erat dengan pendidikan Islam. Sejak dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani, sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Masjid dianggap sebagai "tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik" (Dhofier 1985). 3. Santri merupakan unsur penting, keberadaan santri di rumah seorang alim, menyebabkan seorang alim tadi disebut Kyai. (Dhofier, 1985). 4. adalah tempat sederhana, tempat tinggal Kyai bersama para santrinya. Di Jawa, besarnya tergantung pada jumlah santrinya. Adanya yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. 5. Kitab kuning atau kitab safinah merupakan kitab tradisional berisi pelajaran agama islam (diraasah al-islamiyyah), mulai dari fiqh, aqidah, akhlaq/ tasawuf, tata bahasa arab ('ilmu nahwu dan 'ilmu. sharf), hadits, tafsir, 'ulumul qufaan, hingga 1.
11
pada ilmu sosial dan kemasyarakatan (mu'amalah). Kitab kuning disebut juga kitab gundul karena tidak memiliki harakat (fathah, kasrah, dhammah, sukun), tidak seperti kitab al-Quran pada umumnya. Tipologi Pesantren Muin (2007) mengelompokkan Pesantren ke dalam tipologi kelompok sebagai berikut: 1. Pesantren Salafiyah Pesantren Salafiyah adalah Pesantren tradisional yang menetapkan kurikulum pesantren dan tradisi yang dijalaninya sebagai sesuatu yang baku dan tidak bisa diubah. Umumnya, Pesantren ini mengambil bentuk-bentuk pelayanan pendidikan pada: (1) Madrasah Salafiyah menggunakan kurikulum Pesantren; (2) Majelis Taklim meliputi: Majelis Taklim kelompok orangtua, Majelis Taklim kelompok alumni Pesantren yang berangkutan, Majelis Taklim kelompok remaja (putri dan putra), Majelis Taklim dengan program khusus Masyayih (lanjut usia), (3) Bustanul Athfal, (4) Al- Ma'had A1 Aly (Perguruan Tinggi Ilmu-Ilmu Salafiyah), (5) peringatan hari-hari besar islam, (6) setiap hari Jum'at menugaskan santrinya untuk menjadi Khatib dan Imam pada masjid, khususnya masjid yang di sekitar pondok, (7) setiap bulan Ramadhan menugaskan santrinya untuk berceramah pada masjid dan mushalla di kampung halamannya atau mengaji “pasaran”, yakni membaca kitab berdasarkan kemampuan santri secara tekun dan terus menerus sampai selesai. 2. Pesantren Khalafiyah (Modern) Pesantren Khalafiyah memadukan sistem Pesantren, Madrasah dan sekolah umum. Tipologi Pesantren Khalafiyah mengembangkan pendidikan keagamaan sejalan dengan pendidikan umum dengan bentuk-bentuk pelayanan pendidikan kepada masyarakat sebagai berikut: (1) Madrasah (MI, MTs, MA) dengan menggunakan kurikulum Departemen Agama, bahkan di antaranya sudah ada yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam, (2) Sekolah Umum (SDIT, SMPIT, SMAIT, SMKIT) dengan menggunakan kurikulum Depdiknas, bahkan di antaranya sudah ada yang mendirikan Perguruan Tinggi Umum, terutama yang berorientasi kepada masalah ekonomi dan keuangan, (3) RA/BA danTKA/ TPA/TPQ (4) Usaha-usaha di bidang ekonomi, seperti: koperasi simpan pinjam, warnet, wartel, toserba, waserda, rental komputer, (5) usaha-usaha di bidang pertanian, perkebunan, dan perikanan, (6) pendidikan keterampilan, seperti: pertukangan kayu (mebelair), menjahit, elektronik, jasa boga, dan sebagainya, (7) mendirikan KBIH, (8) mendirikan panti asuhan, (9) peringatan hari-hari besar Islam, (10) mendirikan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM). 3. Pesantren Kombinasi Pesantren Kombinasi memfokuskan diri pada'pendalaman dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman serta ilmu-ilmu umum dengan tetap menjaga dan mempertahankan karakteristik kepesantrenan. Bentuk-bentuk pelayanan pendidikan keagamaannya sebagai berikut: (1) menyelenggarakan Madrasah Diniyah menggunakan kurikulum pesantren, (2) menyelenggarakan majelis taklim, (3) menyelenggarakan Madrasah (MI, MTs, MA, MAK) dengan menggunakan kuriku-
12
lum Departemen Agama, tapi alokasi waktu pelajaran-nya diperbanyak. Bahkan di antaranya sudah ada yang mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam, (4) menyelenggarakan sekolah umum yang islami (SD, SMP, SMA, SMK) pada mata pelajaran umum menggunakan kurikulum Depdiknas, sedangkan pada mata pelajaran pendidikan agama Islam menggunakan kurikulum Departemen Agama yang telah dikembangkan oleh pesantren, (5) Menyelenggarakan pendidikan keterampilan, (6) Menyelenggarakan KBIH (7) Menyelenggarakan BA, TKA, TPA, TPQ. (8) Menyelenggarakan ZIS. Salafiyah Sebutan Salafiyah merupakan penisbatan dari As-Salafiyah, yaitu orangorang yang mendahului atau hidup sebelum zaman Nabi Muhammad SAW. Secara terminologis As-Salafiyah adalah generasi yang dibatasi penjelasan Rasullulah SAW, bahwa sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka (tabi at-tabi’in) (HR. Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadist ini, maka yang dimaksud dengan AsSalafiyah adalah para sahabat Nabi SAW, kemudian pengikut Nabi setelah masa sahabat, termasuk di dalamnya para Imam Mahzab karena mereka semua hidup di tiga abad pertama sepeninggal Rasulullah Saw. Oleh karena itu, ketiga kurun ini kemudian dikenal juga dengan sebutan Al-quran Al-Mufadhdhalah (kurun-kurun yang mendapatkan keutamaan). Sebagian ulama kemudian menambahkan label AshShalih sehingga menjadi As-Salafiyahu Ash-Shalih untuk memberikan karakter pembeda dengan pendahulu kita yang lain yang datang sesudah generasi tiga kurun ini (yang kemudian dikenal dengan Al-Khalaf) sehingga seorang Salafiyah berarti seorang yang mengaku megikuti jalan para sahabat Nabi Saw dalam seluruh ajaran dan pemahaman mereka (Idahram, 2012). Istilah Salafiyah digunakan oleh kalangan pesantren untuk merujuk pada pengertian pesantren tradisional yang memandang dunia dan praktek Islam sebagai warisan sejarah, khususnya dalam bidang syaria’ah dan tasawuf. Dalam pengertian yang lebih umum, Pesantren Salafiyah merujuk pada paham Islam yang murni pada masa sebelum dipengaruhi oleh bid’ah dan kurafat (Bruinessen, 1995).Walau tidak diketahui secara pasti kapan Pesantren Salafiyah ada untuk pertamakalinya, namun dari pendapat beberapa sejawaran dapat diketahui bahwa Pesantren Salafiyah di Indonesia sudah ada sejak zaman Wali Songo. Pesantren Salafiyah adalah lembaga pendidikan tradisional Islam sebagai pedoman perilaku dengan karakteristik pendidikan yang sederhana dimana para santri yang menuntut ilmu bermukim (Mastuhu, 2004). Pesantren Salafiyah adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, termasuk di Banten. Lahir dan tumbuh dari budaya Indonesia yang asli. Ia tumbuh atas dasar prakarsa dan dukungan masyarakat, serta didorong oleh permintaan dan kebutuhan masyarakat (Yasmani, 2002). Pesantren Salafiyah di Banten sendiri bisa ditelusuri dari penelitian Martin Van Bruinessen yang menemukan situs pesantren paling tua, terletak di sekitar gunung Karang, sebelah barat Pandeglang. Pesantren ini termaktub dalam serat Centhini, sekitar tahun 1527 sebagai pusat pendidikan Islam yang dikenal hingga ke
13
Baghdad (Baedhawy; 2012). Temuan ini menjadikan Banten sebagai salah satu akar keberadaan Pesantren Salafiyah yang sampai kini masih ada. Sejak masa paling awal Banten telah dikenal sebagai tempat menimba ilmu dan memberikan kontribusi bagi perkembangan keilmuan di Jawa. Di antaranya adalah Nawawi al-Bantani (1220H/1815M) sebagai ulama dan tokoh Banten dengan 115 Kitab karangannya yang mendunia diseantero pendidikan dan peradaban Islam saat itu. Eksistensi Pesantren Salafiyah ditengah modernisasi pembangunan dan globalisasi menimbulkan tanggapan beragam. Bahkan tidak jarang mengundang konflik dan perdebatan tersendiri. Sebagian bersikap optimis dan sebagian lagi bersikap pesimis. Kalangan yang bersikap pesimis berpendapat bahwa Pesantren Salafiyah merupakan lembaga pendidikan tradisional yang eksklusif, sehingga ia akan sulit berkembang ditengah proses modernisasi karena pola pendidikannya terlalu lamban mencetak lulusan yang diharapkan masyarakat. Sedangkan kalangan yang bersikap optimis berpandangan sebaliknya, Pesantren Salafiyah sebagai lembaga pendidikan dan pemberdayaan masyarakat sampai kapan akan tetap eksis. Sebab Pesantren model ini berkarakteristik tradisional, asli Indonesia dan unik, serta kelahirannya dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan pendidikan bagi masyarakat pedesaan. Interaksi yang harmonis dan saling membutuhkan antara pesantren dan masyarakat menjadikan Pesantren Salafiyah kebal oleh situasi dan kondisi, sehingga ia mampu bertahan dan berkembang hingga saat ini (Rofa’i, 1994). Pesantren Salafiyah merupakan salah satu lembaga sosial keagamaan yang dapat dijadikan alternatif untuk sebuah perubahan. Kepemimpinan Kyai di Pesantren Salafiyah bersifat independen dengan visi moral yang kuat (Hefner 2000, Fatchan, 2004). Ketradisionalan Pesantren Salafiyah bukan berarti konservatisme intelektual. Justru sebaliknya, Pesantren Salafiyah dengan peran utamanya sebagai lembaga pendidikan mampu mengembangkan masyarakat, menjadi tempat bertanya segala hal termasuk politik dan menjadi simpul budaya, memiliki dinamika intelektual yang tetap terjaga dan tidak tergoyahkan esensinya selama berabad-abad (Mas’ud 2004: 35). Ziemek (1983) mempertegas pendapat tersebut bahwa dalam menghadapi arus modernisasi, pesantren bukan saja mampu mempertahankan eksistensinya, tetapi justru memiliki antusiasme dan konsisten menyambut esensi pembangunan (modernisasi) sekaligus mengejawantahkan etos dan misinya. Hingga kini, peran aktif Kyai Salafiyah dapat mempertahankan dan mengembangkan Pesantren Salafiyah semakin kuat. Fenomena itu menandakan bahwa Pesantren Salafiyah dan peran Kyai Salafiyah dalam pendidikan telah mendapatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat. Setidaknya Pesantren Salafiyah memiliki 3 (tiga) fungsi utama: religius (diniyah), sosial, (ijtimaiyah), dan pendidikan (tarbawiyah) (Mas’ ud 2004). Fungsi religius bermakna sebagai pengemban amanah menyebarkan agama, fungsi sosial bermakna mengemban tanggung jawab memberdayakan masyarakat melalui beragam aktivitas sosial keagamaan, fungsi pendidikan bermakna sebagai pengemban tugas sebagai penanggung jawab pengembangan pendidikan dan keagamaan (Sulaiman, 2010). Kyai Salafiyah juga dikenal sebagai pemimpin informal, berperan sebagai orang kunci (key person) dan agen perubahan sosial (Horikoshi, 1988). Sebagai agen perubahan, Kyai Salafiyah merespon perubahan dari luar, aktif melakukan
14
pemberdayaan masyarakat pedesaan di bidang sosial keagamaan (Fakih M, 2001). Pesantren Salafiyah di pedesaan memiliki peran penting dalam pembangunan “mulai dari bawah” atau ”dari yang paling membutuhkan.” Pesantren Salafiyah sekaligus juga menjadi organisasi sosial kemasyarakatan lokal (lokal organization) berperan penting dalam membantu mengembangkan komunikasi timbal balik antar berbagai pihak. Syaba (2004) menjelaskan bahwa Kyai dan Pesantren Salafiyah memiliki 3 (tiga) peran strategis dalam pembangunan masyarakat, yaitu Pesantren sebagai lembaga pendidikan, sebagai pusat penggemblengan kader-kader muslim, dan sebagai agen perubahan sosial melalui pengajian rutin, tahlilan, dan berbagai media kultural lainnya. Ketiga peran tersebut membuat kokoh masyarakat pedesaan yang masih ”terbelakang”, dimana kondisi masyarakat pedesaan cenderung rentan dalam menghadapi kekuatan penguasa yang sangat hegemonik dan arus globalisasi yang terus bergerak cepat. Secara sosiologis Kyai Salafiyah memiliki kedekatan dengan masyarakat pedesaan, memiliki keunggulan ilmu agama dan akses jaringan komunikasi di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Kyai Salafiyah berada pada posisi strategis sebagai agen pembaharuan (Syaba, 2004). Penelitian Terdahulu Penelitian dengan tema Pesantren sudah sering dilakukan. Namun, penelitian pesantren di bidang strategi komunikasi pembangunan Pesantren Salafiyah merupakan topik baru dalam penelitian. Pesantren dan Pelayanan Masyarakat (Muin, 2007) merupakan salah satu penelitian yang mengkaji: (1) sejauh mana tingkat kualitas pelayanan pendidikan keagamaan pesantren terhadap masyarakat? (2) Bagaimana bentuk pelayanan pendidikan keagamaan yang dilakukan pesantren terhadap masyarakat? (3) Bagaimana harapan masyarakat terhadap pelayanan pendidikan keagamaan yang dilakukan pesantren? Melalui penelitian ini, Muin menyimpulkan bahwa proses perubahan di Pesantren merupakan tuntutan untuk memenuhi pelayanan pendidikan keagamaan bagi masyarakat. Dewasa ini pesantren telah memberikan kontribusi melalui peran pendidikan, sosial dan budaya kepada masyarakat. Kontribusi ini diberikan oleh pesantren dengan tipologinya tradisional (tipologi Salafiyah), tipologi Khalafiyah dan tipologi Kombinasi (terpadu). Kontribusi yang diberikan pesantren memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat. Sehingga dalam perjalanannya, pesantren semakin tumbuh dan berkembang baik secara kuantitas mau kualitas. Sampai saat ini, tidak sedikit masyarakat yang masih tetap menaruh perhatian terhadap pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan non formal yang mampu memberikan pelayanan pemenuhan pendidikan keagamaan yang berkualitas. Terlebih lagi dengan berbagai inovasi sistem pendidikan yang dikembangkan pesantren dengan mengadopsi corak pendidikan umum, termasuk pengembangan life skills dan pengembangan agrobisnis menjadikan Pesantren semakin kompetitif. Penelitian tentang Masa Depan Pesantren: Eksistensi Pesantren di tengah Gelombang Modernisasi (Sulaiman, 2010) mengkaji wali santri sebagai stakeholders yang berperan penting dalam dunia pesantren. Pemahaman dan pengertian wali santri yang sangat beragam memberikan gambaran eksistensi pesantren baik sebagai
15
pengemban Islamic values, sosial control dan sosial engineering dengan latar belakang wali santri yang berpendidikan rendah dan bermukim di pedesaan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tindakan para wali santri memondokkan anak ke pesantren memiliki beragam makna dan hal ini sangat ditentukan oleh latar belakang sosial-budaya dan sosial ekonominya. Makna-makna tindakan wali santri tampak dari motif adanya pengakuan akan ke-Salafiyahiahan Pesantren, pengelolaan Pesantren yang baik dan sistematis, program pendidikan yang beragam dan aplikatif, kedisiplinan pesantren, karisma Kyai, ketidakterlibatan Kyai dalam kegiatan politik praktis, keberhasilan alumni, menghindari pengaruh negatif teman sebaya, mempertahankan tradisi keluarga dan mempertahankan status sosial. Dilihat dari motif tujuan wali santri memasukan anak mereka ke pesantren dimaknai sebagai tindakan untuk memperoleh barakah ilmu Kyai, menjadi ahli di bidang ilmu agama, pembentukan budi pekerti yang baik dan pembentukan sikap mandiri. Makna-makna tindakan wali santri tersebut mencerminkan bentuk-bentuk dukungan terhadap Pesantren, sekaligus sebagai suatu bantahan terhadap pendapat sebagian kalangan bahwa Pesantren Salafiyah tidak akan mampu bertahan di tengah proses perubahan sosial. Selanjutnya, Rasyid (2012), membahas bagaimana karakteristik pendidikan tradisional, apa yang menjadi elemen-elemen pesantren? Bagaimana struktur Organisasi dan pola Manajemen Pesantren Tradisional? Kesimpulan dari penelitian ini adalah pola umum pendidikan tradisional meliputi dua aspek, (1) pendidikan dan pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur, metode dan literatur tradisional yang bersifat letterlijk, (2) pola umum pendidikan Islam tradisional yang memelihara subkultur pesantren, yakni landasan ukhrawi, terimplementasikan dalam bentuk ketundukan mutlak kepada ulama, mengutamakan ibadah, memuliakan Ustadz atau Kyai demi memperoleh pengetahuan agama yang hakiki. Elemen-elemen pesantren meliputi lima elemen dasar yaitu; Kyai, santri, podok, mesjid dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab kuning. Dalam struktur organisasi pesantren tradisional, peran Kyai sangat menonjol, Kyai sering kali menempati atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal yang memyai kelebihan (maziyah) yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya. Memaknai Eksistensi Pesantren Salafiyah Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang di Tengah Transformasi Zaman dari Perspektif Fenomenologi merupakan topik penelitian dari Hanafi dan Ahsanuddin (2008), bermaksud menjawab permasalahan: (1) bagaimanakah Pesantren Salafiyah Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang mendapatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat sekitarnya? (2) Bagaimanakah proses transformasi yang dilakukan oleh Pesantren Salafiyah Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang sehingga tetap mampu melayani kebutuhan pendidikan masyarakat modern? Kesimpulan dari penelitian ini adalah Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang, pada awalnya tampak enggan dan rikuh dalam menerima perubahan sehingga tercipta kesenjangan antara pesantren dengan dunia luar. Secara gradual Pesantren Mamba'ul Ma'arif akomodatif akhirnya menentukan pola yang dipandangnya tepat guna menghadapi perubahan yang semakin cepat dan berdampak luas. Hal itu
16
setidaknya dapat dilihat dari beragam inovasi layanan pendidikan yang ditawarkan Pesantren Mamba'ul Ma'arif. Namun demikian, perubahan tersebut hanya pada aspek artikulasi lahiriah saja, sementara aspek instrinsik (ruh, semangat, pemahaman keagamaan, dan nilai-nilai) tetap dipertahankan. Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan perlunya peningkatan kepercayaan masyarakat melalui penyempurnaan sarana dan prasarana, serta layanan pendidikan pesantren, termasuk perlunya penelitian lanjutan yang terfokus pada inovasi layanan pendidikan sebagai wujud respon pesantren terhadap transformasi zaman yang hasilnya digunakan sebagai bahan program-program pesantren. Penelitian terdahulu tentang Pesantren Salafiyah memiliki kesamaan dengan apa yang dikaji oleh penulis pada sisi bagaimana Pesantren Salafiyah bertahan dalam era modern sekarang sejak kelahirannya 400 tahun lalu. Namun perbedaan kajian yang dilakukan penulis adalah menganalisis aspek pola, dan strategi komunikasi Pesantren Salafiyah untuk mengetahui peran apa yang dapat ditigkatkan oleh Pesantren Salafiyah dalam pembangunan.
17
KERANGKA PEMIKIRAN Komunikasi Pembangunan
Peranan Pemerintah
Strategi Komunikasi
Paradigma Konstruktivisme
Pesantren Salafiyah AlMunawar Bani Amin
Keterlibatan Masyarakat
Pendekatan Teori
Strategi
Komunikasi
Strategi komunikas i
Komunikasi Pembangunan
Teori Identitas
Teori Dramatisme
Metode Penelitian: Pentad Analysis
Scene
Agent
Act
Agency
Analisis Penelitian
Deskripsi Subjek Penelitian
Pola Komunikasi Ponpes al-Munawar Bani Amin
Peran Ponpes alMunawar Bani Amin dalam Pembangunan
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran
Strategi Komunikasi Ponpes al-Munawar Bani Amin
18
Komunikasi pembangunan perlu dilihat sebagai komunikasi dua arah dan timbal balik, antara pemrakarsa pembangunan dan kesertaan partisipasi masyarakat di dalamnya dalam kerangka menciptakan tindakan dan makna yang sama menuju pencapaian dan cita-cita pembangunan yang sudah ditentukan. Oleh karena itu, efektivitas dan efisiensi komunikasi dalam pembangunan sangat diperlukan baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan yang tercakup dalam strategi komunikasi untuk menyebarluaskan pesan dan makna pembangunan serta menjembatani adanya gap komunikasi pembangunan di tingkat persepsi, intrepretasi dan tingkat operasionalnya. Paradigma konstruktifisme yang digunakan bertujuan untuk memahami realitas konstruksi mental yang bermacam-macam dan tidak dapat diindra dari aspek sosial dan pengalaman yang berciri lokal serta spesifik (meski berbagai elemen seringkali dimiliki oleh berbagai individu dan bahkan bersifat lintas budaya). Sementara bentuk dan isinya bergantung kepada manusia atau kelompok individu yang memiliki konstruksi tersebut. Konstruksi mental tidak kurang atau lebih benar dalam pengertian mutlak namun sekedar lebih atau kurang matang dan/atau canggih. Pesantren Al-Munawar Bani Amin adalah subjek penelitian yang diidentifikasi sebagai tipologi Pesantren Salafiyah atau tradisional. Pesantren Salafiyah adalah mayoritas dari tipologi pesantren yang ada di Banten dan dianggap berhasil memberikan kontribusi pembangunan di bidang sosial keagamaan, pendidikan dan budaya, namun termarjinalkan dalam proses pembangunan. Untuk melihat setiap persoalan strategi komunikasi pembangunan pada pesantren ini maka diperlukan panduan teori guna merujuk pada keilmiahan proses pendalaman analisis kajian. Teori yang dijadikan panduan adalah teori strategi guna melihat batasan dimensi strategi yang meliputi perencanaan, keterbukaan, sifat dinamis dan spontanitas langkah-langkah atau tindakan yang dilakukan, sosiologi dan perilaku manusia dalam pembangunan. Sedangkan teori komunikasi untuk memberikan batasan bagaimana proses komunikasi pembangunan secara verbal dan non verbal dikirimkan, diterima, dan diberi arti. Teori strategi komunikasi ingin melihat bagaimana perencanaan komunikasi dan manajemen komunikasi untuk mencapai suatu tujuan dengan menunjukan bagaimana operasionalnya secara taktis harus dilakukan dalam arti kata bahwa pendekatan bisa berbeda sewaktu-waktu bergantung dari situasi dan kondisi. Teori komunikasi pembangunan ingin membatasi kajian pada pengertian komunikasi pembangunan baik secara sempit mau luas, yakni cara, teknik penyampaian gagasan, dan keterampilan-keterampilan pembangunan pihak memprakarsa pembangunan ditujukan kepada masyarakat luas agar memahami, menerima, dan berpartisipasi dalam pembangunan mau lingkup peran dan fungsi komunikasi dalam pembangunan. Teori identitas, perlu dilihat bagaimana Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin melihat identitas dan entitas dirinya dari cara-cara menempatkan diri mereka secara sosial. Setiap identitas dan entitas elemen masyarakat dalam pembangunan memiliki implikasi penting sebagai komunikator, dimana dalam teori identitas, sebagian besar anggota masyarakat dari masing-masing elemen itu pada umumnya memiliki pandangan sama bahwa mereka menerima perlakuan tidak adil. Teori dramatisme mengonseptualisasikan kehidupan manusia
19
sebagai sebuah drama, dimana kritik yang timbul menempati posisi penting dalam suatu adegan yang dimainkan oleh berbagai pemain di dalamnya dalam kerangka menyingkap motivasi. Metode penelitian yang digunakan adalah Pentad Analysis, sebuah metode yang lahir dari penjabaran teori dramatisme (dikemukakan oleh Kenneth Burke) sebagai bagian penting dan krusial dalam teori-teori komunikasi. Bila dicermati lebih dalam, beberapa teori komunikasi ada yang langsung merekomendasikan secara langsung terhadap penerapan metode penelitian yang definitif. Misalnya teori interaksi simbolik, merekomendasikan metode penelitian kedalam dua bagian besar, yakni inspeksi dan eksplorasi. Teori wacana merekomendasikan analisis wacana baik yang bersifat konstruktif dalam framing atau yang kritikal seperti yang dikemukakan Norman Fairclough, Ruth Wodak, dan Van Dijk. Teori semiotika merekomendasikan analisis semiotika baik yang bersifat strukturalis seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, Charles Saunders Peirce, Umberto Eco atau postmodernisme yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Teroi jaringan komunikasi merekomendasikan analisis jaringan dan seterusnya (Blummer, 1969) Prinsip-prinsip dramatisme adalah: pertama, subjek perhatiannya adalah manusia, yang juga menjadi subjek dalam disiplin ilmu sosial lainnya. Observasi terhadap manusia secara implisit ada dalam istilah-istilah yang digunakan untuk mendefinisikannya. Istilah tersebut mempengaruhi ciri pengamatan (metode) dan mengarahkan perhatian (focus of interest) pada satu bidang tertentu dan secara otomatis mengabaikan segi yang lain. Fokus observasi terhadap subjek kajian menjadi sesuatu yang sangat penting, para ahli politik misalnya menempatkan manusia sebagai zoon politicon. Para sosiolog menempatkan manusia sebagai mahluk budaya. Sedangkan Burke menempatkan manusia sebagai simbol using animal. Manusia menurut teori dramatisme merupakan mahluk yang menggunakan simbol. Simbolitas yang diciptakan, digunakan dan disalahgunakan manusia memberi ciri khusus padanya yakni semacam kemampuan reflektif. Kapasitas reflektif ini merupakan kapasitas yang oleh Hegel disebut sebagai kesadaran diri (self consciousness) atau apa yang oleh Aristoteles sebut sebagai thougt of thougt. Dengan simbol manusia melakukan refleksi, representasi, seleksi dan defleksi (pembelokan) terhadap realitas. Kedua, manusia adalah mahluk berkemampuan menggunakan dan memanfaatkan simbol untuk melakukan abstraksi, konseptualisasi pikiran dan gagasan. Hal ini menegaskan bahwa dimensi kapasitas manusia ditentukan oleh komunikasi untuk melakukan kreasi, produksi, reproduksi simbol dan pemanfaatannya termasuk penyalahgunaannya, disesuaikan dengan kepentingankepentingan yang dimilikinya. Contoh, untuk tujuan komunikasi politik, terlihat dalam euphisme, labelling dan metafora. Artinya, makna terletak pada esensi sebuah nama (simbol) dan penggunaannya. Kekuatan komunikasi adalah kekuatan melakukan transformasi makna (Klumpp, 1993). Makna transformatif muncul dari simbol yang digunakan dalam lingkup yang luas mau sempit pada proses dialektis kehidupan. Dengan cara ini maka dapat diteliti makna dari istilah-istilah kunci, menetukan makna kata dari asal usulnya, turunan kata untuk menunjukkan ambiguitas serta perkembangan fungsionalnya. Manusia sebagai pengguna simbol
20
adalah mahluk rasional dengan kapasitas intelektual tertentu, terefleksikan ketika berkomunikasi, terekspresikan dalam tindakan simbolik yang memiliki motif tertentu. Ketiga, konsep negativisme, adalah gambaran karakteristik manusia yang menegasikan sesuatu keadaan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Positif dan negative sepenuhnya merupakan produk dari sistem simbol yang dipakai untuk keperluan manusia. Negatif menegasikan sebuah kondisi atau keadaan tertentu. Contoh, negativisme meja adalah bukan meja, terbuka – tertutup, sabar – pemarah. Oleh karena harapan-harapan itu tidak terpenuhi, manusia dalam berkomunikasi sering memoralisasi melalui negativisme. Contoh, tidak lulus dalam suatu jenjang pendidikan, dinegasikan karena faktor-faktor lain. Langsung atau tidak langsung negativisme menentukan tindakan komunikasi yang mencakup karakter yang meliputi pilihan dan bentuk. Sedangkan pilihan dan bentuk itu menyertakan kesempurnaan di dalam distingsi antara ya dan tidak. Artinya, setiap bentuk tindakan simbolik manusia dalam berkomunikasi memiliki hubungan dengan landasan legitimasi dari sisi moral dan etik (Suparno, 2010). Di dalam penggunaan tersebut terdapat istilah-istilah yang merupakan antitesis yang tidak terbatas ya dan tidak, melainkan ada pasangan antitesis yang sangat luas: asli-palsu, tertib-tidak tertib, hidup-mati. Jadi negativisme ini menjelaskan bentuk determinasi yang menyatakan kondisi yang sebaliknya. Keempat, simbol sebagai instrumen dalam tindakan komunikasi bertujuan mengusung suatu kepentingan tertentu, hal ini berangkat dari premis bahwa manusia selalu berupaya memenuhi segala keperluannya sebagai hoo faber (manusia pencipta) dan homo economicus. Nilai instrumen simbol dan bahasa dengan sendirinya menjelaskan perkembangan kapasitas manusia. Nilai instrumen bahasa ini juga bertanggung jawab bagi kepentingan survivalitas bahasa itu sendiri. Dengan begitu simbol, bahasa dan dalam arti yang lebih luas yakni komunikasi esensinya adalah sebuah alat, yakni instrumen komunikasi manusia. Kelima, dalam berkomunikasi ada kecenderungan ingin tampak sempurna dan tanpa cela (spirit of hierarchy) sebagai refleksi diri seseorang untuk menunjukkan kesempurnaan. Melalui cara itu, seseorang telah melakukan distingsi dan diferensiasi berdasarkan hirarki yang mencerminkan berbagai situasi yang memperlihatkan adanya jenjang seperti berkuasa – tidak berkuasa, berwenang – tidak berwenang, rasional – tidak rasional. Menurut Payne (1990), hirarki dan kesempurnaan jelas bersifat incremental atau bergradasi (ada peningkatan dan penurunan). Dengan prinsip hirarki dan kesempurnaan, manusia mengembangkan keinginan untuk menggunakan simbol secara memadai dan lengkap atau menggunakan simbol tersebut untuk berkomunikasi secara distingtif. Keenam, kehidupan manusia adalah drama bukan panggung sandiwara sebagaimana dikatakan oleh Erving Goffman. Prinsip drama berada di dalam tindakan dan prinsip viktimisasi. Negativisme sendiri digunakan untuk mendefinisikan elemen apa yang perlu dikorbankan melalui cara berkomunikasi. Viktimisasi mengambil dua bentuk, pertama mortification yakni mengembalikan halhal yang tidak diharapkan terjadi, karena kesalahan diri sendiri. Kedua, scapegoat (kambing hitam) yakni mencari faktor ekstrnal yang bersalah sebagai penyebab kenapa sesuatu yang diharapkan tidak terjadi. Dalam pandangan teori dramatisme,
21
viktimisasi sebenarnya merupakan bentuk kefrustasian dan tidak mencerminkan sebuah visi. Simbol dan bahasa dalam drama diposisikan sebagai the art of delivery yang memperlihatkan adanya berbagai bentuk antithesis antara situasi yang diharapkan dengan situasi yang diharapkan tidak terjadi yang memunculkan aktoraktor protagonis dan antagonis. Di dalam drama kehidupan manusia masalah-masalah dari situasi ini merupakan sumber-sumber motivasi dan tindakan-tindakan dari aktoraktor yang terlibat di dalamnya yang mencerminkan karakter dan pemikiranpemikiran tertentu. Dramatisme ditandai dengan sejumlah situasi (scene) konflik dengan situasisituasi yang berbeda yang disimbolisasikan dalam bentuk plot atau alur. Plot merupakan bentuk dasar setiap babakan drama yang mencerminkan tatanan insiden (the arrangement of incidents, Ferguson, 1961). Bahasa dalam drama merupakan tindakan simbolik dan berfungsi sebagai the art of delivery. Analisis dramatisme mengarah kepada berbagai situasi yang terjalin ke dalam alur atau plot konflik dan negatifisme melalui berbagai simbol. Atas dasar pokok-pokok konseptual dan gagasan tersebut, Burke sebagai pencetus teori dramatisme merekomendasikan sebuah metode penelitian terhadap teori ini, yakni Pentad Analysis. Dramatisme memberikan cakupan metode yang dapat melacak implikasi gagasan dalam tindakan komunikasi manusia sebagai mahluk yang secara khusus dibedakan oleh tindakan itu. Dalam pengertian ini, dramatisme adalah skema dari mode-mode yang diekspresikan dalam komunikasi manusia. Contoh, sidang DPR-RI tentang pembahasan kebebasan informasi, dianggap sebagai drama. Situasi ini menjadi sebuah scene. Sementara di dalam scene terdapat peristiwa dan aktor-aktor yang terlibat yang melakukan tindakan komunikasi. Apa yang mereka nyatakan di dalam berbagai situasi berbeda dapat merupakan sumber data untuk menganalisis kasus-kasus tersebut sehingga akan tampak siapa yang memoralisasikan diri dan siapa yang dikorbankan melalui tindakan – tindakan komunikasi mereka. Pandangan dramatistik mengatakan bahwa bahasa sebagai hal yang primer, ekspresi sikap seseorang dan tidak hanya ditempatkan sekedar instrumen definisi istilah tertentu. Menurut Katherine Miller (2002), Pentad Analysis merupakan sebuah mode analitik untuk mencermati keadaan-keadaan dalam kehidupan manusia dalam rangka mengetahui motif tindakan komunikasi melalui telahaan: what was done (act), when or where it was done (scene), who did it (agency) dan why (purpose). Lima unsur inilah yang kemudian disebut dengan Pentad Analysis. Scene mencakup konsep tentang latar belakang atau nama bagi berbagai situasi di mana agen/sang aktor melakukan tindakan. Agent, adalah seeorang atau orang-orang yang menampilkan tindakan. Agent adalah seseorang dapat menempatkan pernak-pernik personal yang menyertai nilai motivasional seperti gagasan, keinginan, ketakutan, kadang semakin, institusi, imajinasi dan ekspresi personalitas lainnya. Act, bersumber dari dua hal, yaitu karakter dan pemikiran. Agency-purpose dramatisme adalah instrumen yang digunakan manusia untuk mencapai tujuannya. Dalam hubungannya dengan purpose, maka agency merupakan fungsi dari tujuan. Artinya, hubungan antara agency dan purpose merupakan hubungan yang mendasarkan pada prinsip-prinsip kegunaan dan prinsip-prinsip keinginan.
22
Pentad Analysis dalam pandangan teori dramatisme adalah grammar dari motif (grammar of motives) yang memberikan perhatian pada istilah-istilah dimana potensi-potensi dari penggunaan istilah-istilah tersebut terdapat dalam pernyataan aktual. Secara lebih luas grammar of motives dapat mendesain landasan filosofis dalam suatu pernyataan yang bersifat sporadis, kontemporer atau secara sistemik, dorongan motif dapat dipertimbangkan sebagai fragmen dari sebuah filsafat yang luas yang secara tajam kedudukan manusia sebagai mahluk komunikasi. Kesimpulan dari metode Pentad Analysis adalah metode yang didesain untuk menunjukkan jalur terhadap relasi-relasi kepentingan dan motif-motif humanistik serta fungsi-fungsi dari istilah-istilah yang dipakai manusia. Metode ini menawarkan sebuah cara untuk menentukan mengapa tiap tindakan individu di dalam suatu kejadian atau konteks tertentu menyeleksi strategi komunikasi di dalam memberi pernyataan-pernyataannya di dalam mengidentifikasi situasi yang dihadapinya. Tujuan dari Pentad Analysis adalah memberi perhatian terhadap unsur-unsur act, agent, scene, agency dan purpose yang ditujukan untuk menunjukkan bagaimana fungsi-fungsi simbol yang mereka desain, bekerja di dalam penyertaan motif-motif dari tindakan simbolik tersebut. Setiap konsep dari elemen Pentad Analysis dalam implementasinya dapat diluaskan atau disempitkan. Hubungan-hubungan dari setiap elemen Pentad Analysis akan menyumbangkan analisi-analisis baru dan tajam untuk melihat motif dari tindakan simbolik manusia. Hubungan semacam ini (rasio) merupakan determinasi dalam arti hubungan antar elemen saling menentukan yang menjelaskan hubungan kausalitas. Metode Pentad Analysis ini kemudian digunakan untuk mengkaji dan menganalisis materi peneitian pada pembahasan deskripsi subjek penelitian, pola komunikasi, peran dari Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin, dan strategi komunikasi Pesantren Salafiyah ini.
23
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Kajian strategi komunikasi pembangunan menjadi bahasan yang menarik dalam ilmu komunikasi pada berbagai aspek penelitian. Terlebih pada tingkat analisis efektifitas komunikasi yang dilakukan untuk mendapatkan makna yang sama. Penelitian ini bermaksud mengkaji strategi komunikasi pembangunan Pesantren dengan pendekatan kualitatif. Moleong (2007) mengemukakan penelitian kualitatif adalah penelitian dengan latar alamiah pada konteks dari suatu kebutuhan, dimana peneliti berperan serta pada situs penelitian, mengikuti secara aktif penajaman metode dalam pengaruh bersama antara peneliti dan subjek penelitian terhadap pola-pola nilai yang dihadapi melalui analisis data secara induktif guna mendapatkan hasil penelitian berupa fokus dan proses dari hubungan-hubungan bagian yang akan diteliti. Menurut Guba dan Lincoln (1994), dalam bukunya A. Husein (2011) mengatakan penelitian kualitatif tidak bisa dilepaskan dari kontruksi dasar persepsi, asumsi dan proporsi yang dianggap layak untuk mendapatkan suatu penilaian atau yang disebut dengan paradigma, yakni serangkaian keyakinan dasar atau metafisika yang berhubungan dengan prinsip-prinsip utama atau prinsip-prinsip pokok. Paradigma menggambarkan suatu pandangan dunia yang menentukan dan kemungkinan hubungannya. Paradigma dalam penelitian kualitatif itu sendiri ada empat, yakni positivisme, post positivisme, konstruktivisme dan paradigma kritis. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktifisme sebagai persepektif utamanya. Perspektif diartikan sebagai definisi situasi, seperangkat gagasan yang melukiskan karakter situasi yang memungkinkan pengambilan tindakan, suatu spesifikasi jenis-jenis tindakan yang secara layak dan masuk akal dilakukan orang; kriteria untuk penilaian, standar nilai yang memungkinkan orang untuk dapat dinilai. Dimana perspektif dalam bidang keilmuan sering juga disebut paradigma atau mahzab pemikiran (Dedy Mulyana, 2008). Paradigma konstruktifisme beranggapan realitas bisa dipahami dalam bentuk konstruksi mental yang bermacam-macam dan tidak dapat dilihat, yang didasarkan secara sosial dan pengalaman, berciri lokal dan spesifik (meski berbagai elemen seringkali dimiliki oleh berbagai individu dan bahkan bersifat lintas budaya). Sementara bentuk dan isinya tergantung kepada manusia atau kelompok individu yang memiliki konstruksi mental, tidak kurang atau lebih benar dalam pengertian mutlak namun sekedar lebih atau kurang matang dan atau canggih. Konstruksi ini dapat diubah sebagaimana realitas ikutannya (Denzin dan Linclon, 2009). Sifat komunikasi hadir dimana-mana (omnipresent), tidak bersifat eksklusif. Ilmu komunikasi merupakan perpaduan berbagai cabang ilmu sosial lainnya. Oleh karena itu, penelitian ini hendak menempatkan komunikasi sebagai suatu “sumber kehidupan” atau “mata rantai” utama untuk melihat, menjelaskan, menganalisa dan membangun suatu kepentingan tujuan penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode Pentad Analysis untuk menunjukkan jalur terhadap relasi-relasi kepentingan dan motif-motif humanistik serta fungsi-fungsi dari istilah-istilah yang dipakai manusia. Metode ini
24
juga bermaksud menganalisis tiap individu dalam suatu kejadian atau konteks tertentu menyeleksi strategi komunikasinya dalam mengidentifikasi situasi yang dihadapinya. Setiap konsep dari elemen Pentad Analysis dalam implementasinya dapat disempitkan atau diluaskan. Hubungan-hubungan dari setiap elemen Pentad Analysis menyumbangkan analisis-analisis baru dan tajam untuk melihat motif dari tindakan simbolik manusia. Setiap hubungan elemen Pentad Analysis merupakan determinasi dalam antar elemen saling yang saling menentukan dan menjelaskan hubungan kausalitas (Hussein Adnan, 2011). Metode Pentad Analysis tidak bisa dilepaskan dari teori dramatisme, suatu teori yang memberi pandangan terhadap grammar of motives, yakni desain filosofis terhadap berbagai istilah dalam pernyataan digunakan, baik pernyataan yang bersifat sporadis, kontemporer atau sistematis. Dorongan motif dapat dipertimbangkan sebagai fragmen dari sebuah filsafat yang luas yang melihat secara tajam kedudukan manusia sebagai mahluk komunikasi (Suparno, 2010). Pentad Analysis sebagai metode penelitian mencakup lima unsur: 1. Scene, mencakup berbagai konsep tentang latar belakang secara umum, berbagai situasi dimana agen/aktor melakukan tindakan. Konsep scene dikembangkan dan berangkat dari titik tolak konsep materialisme. Dalam pandangan materialisme dijelaskan bahwa semua fakta yang ada di dalam semesta sebagai sesuatu yang dapat dijelaskan melalui asumsi materi atau tubuh dipahami sebagai eksistensi yang bersifat abadi, tidak dapat dipenetrasi, yang mudah bergerak atau berubah terhadap posisi relatif. Konsep scene yang dapat diformulasikan guna memperlihatkan segi motivasional dari elemen ini. Artinya keberadaan manusia adalah materi, melingkupi eksistensi manusia. Manusia adalah bagian dari kesemestaan, bagian dari objek-objek yang ada sehingga eksistensinya terikat kesemestaan itu sebagai latar dimana ia berada (Suparno, 2010). 2. Agent adalah seseorang atau orang-orang yang menampilkan tindakan. Agent adalah seseorang yang menempatkan pernak pernik personal dan menyertai nilai motivasional seperti gagasan, keinginan, ketakutan, kedengkian, institusi, ekspresi dan imajinasi personalitas lainnya. Semua bentuk karakteristik tindakan tidak dapat dilepaskan dari karakteristik aktor atau personal sebagai pelakunya. Melalui penjelasan ini ciri-ciri yang dimiliki agent seperti ego, konsep diri, super ego, kesadaran, keinginan, subjektif, pikiran, semangat dan ekspresi. Agent dapat dipandang secara individual dan super person (ras, bangsa dan etnis). Agent dapat menunjuk pada atribut yang melekat pada diri seseorang baik dalam bentuk struktur dan status yang dimilikinya. Agent dapat mencerminkan kapasitas intelektual dan psikis dan menunjuk atribut-atribut fisik lainnya. Atribut dan karakteristik semacam ini berguna mejelaskan hubungan antar agent. Tindakan seseorang dalam mengambil keputusan untuk melakukan perang misalnya dapat dijelaskan berdasarkan karakterisitik dan atribut dari aktor yang mengambil keputusan tersebut (Griffin, 2002; Miller, 2002). 3. Act di dalam buku Adnan (2011) dikatakan bersumber dari dua hal, yakni karakter dan pemikiran (Fergusson, 1961). Dalam pandangan kaum realis, bentuk adalah actus yang diartikan sebagai pencapaian atau perwujudan. Thomas Aquinas menyebut eksistensi sebagai: act essence (Burke, 1966). Dasar-dasar pemikiran
25
tersebut dalam dramatisme menjelaskan bahwa karakter manusia mendisposisikan dirinya bertindak di dalam cara-cara tertentu dan merespon pada lingkungan yang berubah. 4. Agency – Purpose adalah instrumen yang digunakan manusia untuk mencapai tujuan. Agency merupakan fungsi dari Purpose. Hubungan antara agency dan purpose merupakan hubungan yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip kegunaan dan prinsip-prinsip keinginan. Dengan perkataan lain agency mentrandensikan tujuan melalui prinsip-prinsip kegunaan, bahasa dapat dipandang sebagai agency yang digunakan untuk mentrandensikan tujuan (Adnan, 2011). Metode Pentad Analysis menjadi suatu prosedur peneliti untuk mencapai tujuan penelitian yang sudah ditetapkan, sebagai berikut: 1. Diperolehnya latar alamiah keseluruhan analisis strategi komunikasi Pesantren Salafiyah sebagai lembaga pendidikan, lembaga sosial, lembaga politik dan lembaga budaya. Termasuk motivasi dan keterikatannya dengan pemahaman kontekstualnya. 2. Diperolehnya latar alamiah keseluruhan penerimaan pemerintah provinsi Banten atas komunikasi yang dilakukan oleh Pesantren Salafiyah. Termasuk hakikat realitas Pesantren Salafiyah dalam pembangunan yang sedang berjalan. 3. Diperolehnya latar alamiah analisis strategi komunikasi Pesantren Salafiyah pada aspek motivasional seperti gagasan, keinginan, ketakutan, kedengkian, institusi, ekspresi dan imajinasi personalitas lainnya melalui penjelasan ciriciri yang dimiliki agent (ego, konsep diri, super ego, kesadaran, keinginan, subjektif, pikiran, semangat dan ekspresi). 4. Diperolehnya karakteristik dan pemikiran pesatren Salafiyah pada srategi komunikasi yang dijalankan. 5. Diperolehnya latar alamiah atas tujuan strategi komunikasi Pesantren Salafiyah yang dijalankan. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin, Kabupaten Serang, Majelis Pesantren Salafiyah (MPS) Provinsi Banten di Kota Serang, dalam kurun waktu tujuh bulan, sejak bulan Februari sampai dengan Agustus 2013. Sedangkan persiapan penelitian ini telah dilaksanakan sejak Oktober tahun 2012. Data dan Sumber Data Menurut Lofland dan Lofland (1984) dalam bukunya Lexi J Moleong (2007) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen, buku literatur, foto dan data tertulis lainnya. Untuk mendapatkan sumber data utama dalam penelitian ini, peneliti memberikan kriteria untuk sumber data adalah sebagai berikut: subyek penelitian
26
terlibat secara aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menjadi perhatian penelitian, disamping telah cukup lama dan intensif menyatu dengan kegiatan atau medan aktivitas yang menjadi informasi, menghayati secara sungguh-sungguh keterlibatan atau kegiatan yang bersangkutan, dan mampu serta bersedia memberikan informasi tentang sesuatu yang ditanyakan dalam cukup waktu atau kesempatan tanpa cenderung diolah atau dipersiapkan terlebih dahulu. Berdasarkan kriteria tersebut maka peneliti menetapkan sumber data sebagai berikut: 1. KH. Wawang Munawar Halili, pimpinan Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin, lahir dari keluarga yang hampir seluruhnya mengelola dan menjadi pimpinan Pesantren Salafiyah. 2. KH. Matin Syarkowi Ketua Majelis Pesantren Salafiyah Banten. 3. Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten, Drs. Hudaya, M. M.Pd sebagai leading sector dari permasalahan pendidikan di Banten. 4. Kepala Bagian (Kabag) Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam, membawahi urusan pesantren modern, kombinasi dan Salafiyah, pendidikan Al-Quran dan kependidikan agama Islam, H. Mahfudin, S.Pd, M.si. 5. Wakil Kepala Bagian Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam, membawahi urusan pesantren modern, kombinasi dan Salafiyah, pendidikan Al-Quran dan kependidikan agama Islam, H. Abdul Hadist M. 6. Ustadz Pengajar dan santri Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin, Kabupaten Serang, Banten.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Sedangkan data pendukung yang dijadikan rujukan adalah: AD/ART Majelis Pesantren Salafiyah Banten (MPS) Notulensi-notulensi pendirian dan rapat MPS. Foto-foto kegiatan MPS Foto-foto Kegiatan Pesantren Salafiyah Al-Munawar Amin. Serangkain kegiatan Kyai Wawang Al-Munawar di berbagai tempat undangan tausiyah di Serang dan Tangerang. Serangkaian pengamatan peneliti pada aktivitas santri di Pesantren Salafiyah AlMunawar Bani Amin, Serang Banten. Serangkain kegiatan Ketua Majelis Pesantren Salafiyah (MPS) Banten, KH. Matin Syarkowi. Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan dan digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data dari observasi kehidupan keluarga Kyai Wawang Munawar Halili, baik yang menyangkut interaksi di dalam mau di luar pesantren. Interaksi Kyai Wawang dan keluarganya kepada santri dan Ustadz. Pada tahapan ini peneliti juga mengobservasi kehidupan santri, meliputi keseharian kehidupan dan belajarnya di pesantren, komunikasinya dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya, observasi peneliti terhadap Ustadz dan keluarganya, termasuk interaksinya dengan santri dan lingkungan masyarakatnya. Selanjutnya observasi dilanjutkan pada tahapan berikutnya yaitu kegiatan-kegiatan ceramah atau tausiyah kyai yang rata-rata
27
dilakukan setiap hari dari mulai siang hingga menjelang subuh keesokkan harinya, termasuk kegiatan Ustadz dan santri di masyarakat. Observasi juga dilakukan terhadap interaksi antara Ketua dan Pengurus Organisasi Majelis Pesanren Salafiyah (MPS) Banten tempat Pesantren AL-Munawar Bani Amin bernanung. Selanjutnya adalah observasi terhadap perilaku yang terkait dengan interaksi dan pandangan masyarakat di sekitar pesantren. 2. Wawancara mendalam tidak terstruktur kepada KH. Wawang Munawar Halili, Pimpinan Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin telah menjadi pimpinan Pesantren Salafiyah selama 15 tahun dari keluarga yang hampir seluruhnya mengelola dan menjadi pimpinan Pesantren Salafiyah. Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten, Drs. Hudaya, M. M.Pd sebgai leading sector dari permasalahan pendidikan di Banten. Kepala Bagian (Kabag) Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam, membawahi urusan Pesantren Modern, Kombinasi dan Salafiyah, pendidikan Al-Quran dan kependidikan agama Islam, H. Mahfudin, S.Pd, M.si. Wakil Kepala Bagian Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam, membawahi urusan pesantren modern, kombinasi dan Salafiyah, pendidikan Al-Quran dan kependidikan agama Islam, H. Abdul Hadist M. Ustadz Pengajar dan santri Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin, Kabupaten Serang, Banten. 3. Studi Literatur, yaitu penelusuran kepustakaan dan penelaahannya dalam teknik ini penelaahan terhadap buku ilmiah, hasil penelitian peneliti yang dianggap layak, untuk memperoleh rujukan mau perbandingan teoritik akademik terkait. Selain itu juga untuk memperoleh data sekunder yang dilakukan terhadap berbagai dokumen antara lain meliputi buku-buku seperti terlampir dalam daftar pustaka, hasil penelitian dan kelembagaan organisasi. 4. Dokumentasi, yaitu penelusuran informasi melalui dokumentasi yang dimiliki Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin, Majelis Pesantren Salafiyah atau tersimpan sebagai file dalam bentuk foto mau arsip surat menyurat.
Analisis data Analisis data yang dilakukan terdiri atas tiga jalur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan serta verifikasi data sebagai berikut: 1. Tahapan reduksi data. Pada tahap ini, data dari hasil observasi, wawancara mendalam tidak terstruktur dan pengamatan terhadap dokumentasi berupa foto, arsip, dan telaah literatur dipilih dan dikategorisasi berdasarkan kebutuhan tujuan analisis. Selanjutnya data, dipusatkan pada persoalan yang menajdi sentral bahasan, diproses pada bentuk penyederhanaan tema-tema yang dibutuhkan dalam penelitian. Pengabstrakan dan transformasi yang muncul dari data telaahan lapangan secara terus menerus dilakukan oleh peneliti sampai merasa cukup untuk memenuhi seluruh jawaban kajian yang dibutuhkan. Hasil analisis, pengabstrakan, dan transformasi data, dibuat ringkasan, pengkodean, penelusuran tema, pembuatan gugus-gugus tema, pembuatan partisi dan perapihan memo-memo yang dibuat selama penelitian di lapangan. Tahap ini menjadi tahapan reduksi sebagai
28
bagian dari awal analisis. Semua data diberi kode, namun ada juga yang dibuang karena kurang atau tidak memiliki relevansi dengan konteks persoalan penelitian. Peneliti mengembangkan pola-pola penelusuran tema penelitian dilapangan yang diringkas dan dikembangkan. Data yang sudah direduksi diarahkan pada penajaman analisis dalam bentuk transformasi aneka macam data melalui seleksi yang ketat, menjadi ringkasan atau uraian singkat menjadi satu pola bahasan yang lebih luas. 2. Tahapan penyajian data melalui reduksi awal diurai dan disusun berdasarkan tahapan penelitian ditambah dengan rujukan teori yang digunakan agar dapat ditarik kesimpulan berupa narasi dengan berbagai bentuk yang dapat menggabungkan berbagai informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu, mudah diraih dan dapat dilihat dengan gamblang apa yang sedang terjadi. Data yang disajikan mengacu pada teknik analisis yang digunakan agar dapat dideskripsikan lebih lanjut dalam penyusunan laporan. 3. Penarikan kesimpulan dari berbagai temuan lapangan sebagai bagian dari karakteristik penelitian kualitatif yang sudah disajikan dalam bentuk pengembangan dan analisis, dibuat pola dan ditarik hubungan di dalamnya, kemudian dipertajam, di verifikasi menuju kesimpulan, catatan-catatan lapangan dibaca dan ditinjau kembali dengan seksama disertai dengan knowledge sharing (pertukaran pemikiran kembali) atas apa yang sudah diperoleh dan disajikan untuk mengembangkan kesepakatan intersubjektif atau upaya-upaya yang luas untuk mendapatkan suatu temuan dan seperangkat data yang lain. Pada tahapan ini, data yang sudah diperoleh dan makna – makna yang dimunculkan dan muncul diuji kebenarannya, kecocokannya, kekokohannya sebagai bagian dari upaya memvalidasi. Validitas Penelitian Secara bahasa, konsep validitas adalah kesahihan; kebenaran yang diperkuat oleh bukti atau data yang sesuai. Secara istilah definisi validitas adalah: Kesesuaian antara definisi operasional dengan konsep yang mau diukur. Gay (1983) The most simplistic definition of validity is that it is the degree to which a test measured what it is supposed to measured. Validitas dapat dimaknai sebagai ketepatan dalam memberikan interpretasi terhadap hasil pengukurannya. Berdasarkan definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa sebenarnya validitas adalah suatu proses untuk mengukur dan menggambarkan objek atau keadaan suatu aspek sesuai dengan fakta. Dalam konsep validitas, terdapat dua makna yang terkandung di dalamnya, yaitu relevans” dan accuracy. Relevansi menunjuk pada kemampuan instrumen untuk memerankan fungsi untuk apa instrumen tersebut dimaksudkan (what it is intended to measure). Accuracy menunjuk ketepatan instrumen untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang diukur secara tepat, yang berarti dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
29
Pengujian validitas data dalam penelitian kualitatif ini meliputi uji kredibilitas: 1. Hasil penelitian yang sudah diperoleh ditambah dengan perpanjangan pengamatan di lokasi penelitian, untuk memperdekat jarak hubungan peneliti dengan partisipan/narasumber agar semakin akrab, terbuka, saling mempercayai sehingga tidak ada informasi yang disembunyikan lagi. 2. Peneliti melakukan serangkaian pengamatan dan studi literasi kembali guna melakukan pengecekan apakah data yang yang telah ditemukan salah atau benar, termasuk pemberian deskripsi kembali data yang akurat dan sistematis. 3. Melakukan Triangulasi sumber (Pesantren Salafiyah, DPRD Banten, Dindik Banten, Kemenag Provinsi Banten, media cetak lokal; triangulasi teknik pengumpulan data (wawancara mendalam, pengamatan, studi literasi dan dokumentasi), Triangulasi waktu pengumpulan data (mengikuti kegiatan Kyai, Ustadz, Santri, dan Majelis Pesantren Salafiyah). 4. Peneliti juga menelaah dan melakukan analisis kasus negatif, mencari data yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan data yang telah ditemukan hingga tidak ditemukan lagi data yang berbeda atau bertentangan di masyarakat tentang peran, fungsi dan eksistensi Pesantren Salafiyah. 5. Peneliti melakukan proses pengecekan data yang diperoleh untuk mengetahui sejauhmana data yang diperoleh sesuai apa yang diberikan pemberi data. Tahapan Penelitian Tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu: 1. Melakukan wawancara mendalam dan obsevasi key informan yang paling berpengaruh dengan mengikuti serangkain aktifitasnya di dalam mau di luar pesantren, terutama yang berkaitan dengan peran terhadap komunikasi di dalam masyarakat, pada tingkat ini key infoman tersebut adalah KH. Wawang. Selanjutnya pada tahap key informan di lingkaran kedua, yakni narasumber dari media lokal di Banten, DPRD Banten, Dindik Banten, dan Kemenag Banten. Hasil yang diperoleh berupa data umum berkenaan dengan masalah yang diteliti. Selanjutnya pada lingkaran yang ketiga, Ustadz, santri dan masyarakat. Informasi yang didapat dianalisis untuk mendapatkan hal-hal yang menonjol, menarik, penting dan dianggap berguna untuk dikaji lebih lanjut. Informasi dari key informan yang sudah diwawancarai akan membantu menentukan key informan manalagi yang harus diwawancarai terkait keterlibatannya dalam persoalan ini. 2. Eksplorasi untuk mendapatkan tafsir informasi yang didapat, agar bisa dirumuskan dan dilihat dinamikanya sehingga dapat diperoleh infomasi yang lebih mendalam dan bermakna. 3. Pengecekan kembali kebenaran dan validitas dari seluruh informasi yang diperoleh baik melalui pengamatan, wawancara, dan informasi yang sejak semula dianalisis dengan strategi mengonfirmasi ulang semua data yang sudah dihim (proses
30
triangulasi). Tahapan selanjutnya adalah membuat laporan penelitian yang selanjutnya divalidasi agar hasil penelitian dapat dipercaya. Pada tahap ini, terbuka untuk melakukan perbaikan atau pelurusan dan perluasan informasi yang menurut informan yang diminta untuk memberikan konfirmasi ulang kurang tepat.
31
SUBJEK PENELITIAN Sejarah Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin baru berusia 15 tahun. Namun pemimpin Pesantren, Kyai Wawang Munawar Halili (38 tahun) telah dikenal dikalangan masyarakat mau Kyai sepuh di Banten sebelum mendirikan pesantren. Beliau buyut KH. Thohir atau Abahyai Thohir (pimpinan Pesantren Salafiyah pelamunan, Serang, berdiri sejak zaman kolonial Belanda) putra dari tokoh ternama di zamannya, KH. Syayidi (berasal dari Kampung Bale Batu, Serang). KH. Thohir ya empat orang istri. Pertama, Hj. Khosiah dari Kampung Pengoreng (pulo ampel). Kedua, Hj. Hanjar berasal dari Kampung Katengahan (Kasemen). Ketiga, Hj Halimah. Keempat, Hj Hafiah. Dari istrinya yang pertama, Hj Khosiah, KH. Thohir ya empat orang anak (pertama, Abah Kuncung atau H Juweni, meninggal dunia tertembak ketika berperang melawan penjajahan di Lampung pada masa kemerdekaan, kedua H Zaeni Thohir, ketiga Hj. Mariam, keempat KH. Lujaeni Thohir pimpinan pesantren Madarijul Ulum yang juga terkenal saat ini di Serang). Anak Abahyai Thohir yang ketiga, yakni HJ. Mariam menikah dengan KH. Nasihun Amin bin KH. Umar (berasal dari Kampung Babakan, Gunung Sari, Serang). Pasangan ini mendapat enam orang anak. pertama H. Bahaudin, kedua M. Fuadudin, menjadi menantu KH. Muhaimin (pimpinan Pesantren Salafiyah ternama di Cibeber, Cilegon), ketiga Chifdhatul Hayat, Ibu dari KH. Wawang Munawar Halili yang kini memimpin Pesantren Salafiyah Al Munnawar Bani Amin, keempat KH. Hidayatudin Amien, sekarang memimpin pesantren “Bani Amien” di Kampung Pelamunan. Kelima KH. Afifudin Amin dan yang keenam Hj. Mafrohah Amin sekarang memimpin pesantren di Kecamatan Kronjo Kabupaten Tangerang. Kegiatan Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dilangsungkan di Kediaman Kyai Wawang. Bangunannya didirikan 10 tahun lalu oleh santri-santri pertamanya, dengan biaya dari hasil (honor) memberi ceramah yang dilakoninya secara rutin, sehari rata-rata di sepuluh tempat, namun kini karena menderita sakit diabetes, hanya dilakoni sehari dua sampai empat kali di tempat yang berbeda. Bangunan sebelah kiri rumah Pa Kyai digunakan sebagai asrama putri (bersebelahan dengan ruangan yang difungsikan untuk belajar seluruh santri) dengan satu pintu masuk, terdiri atas 6 ruang kamar (ukuran 2,75 x 2,75m). Satu kamar di isi oleh 3 santri perempuan. Sedangkan bangunan sebelah kanan digunakan sebagai asrama putra, berdekatan dengan masjid. Terdiri atas 7 Kamar (3x6m). Satu kamar di isi oleh 5 santri laki-laki. Kesemua fasilitas ini berdiri di atas tanah 650 meter persegi. Tertata rapih dan bersih. Jumlah santri yang mondok saat ini 70 orang. Namun jumlah ini bisa bertambah dan berkurang seiring dengan keluar masuknya santri dengan berbagai persoalan di dalamnya.
32
Kondisi Sosial dan Budaya Masyarakat di sekitar Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin Pesantren Al-Munawar Bani Amin, terletak di tengah kampung Pabuaran Jati, Desa Pematang, Kabupaten Serang. Sekitar 40 menit melalui jalan Tol Merak melalui pintu masuk Kragilan dari arah Tangerang atau Cilegon. 140 menit dari Pandeglang atau Lebak tanpa melalui jalan tol. Pesantren ini berdiri sejak tahun 1998 sebagai pesantren tradisional atau Salafiyah. Tidak ada plang papan nama yang menunjukkan nama pesantren tersebut. Santri yang mondok (belajar) tidak dipungut biaya, kecuali uang listrik sebesar lima ribu rupiah per anak per bulan. Biaya makan sehari-hari, kitab, buku dan alat tulis, tempat menginap sudah disiapkan. Termasuk biaya pengobatan ketika di antara mereka ada yang sakit. Tidak ada keinginan dari Kyai Wawang untuk mengubah Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin menjadi pesantren modern atau sekolah formal yang setara dengan Sekolah Dasar, Menengah Pertama maupun atas, kendati wajah kampung telah berubah. Masyarakat lebih memilih sekolah formal agar anak-anak mereka memiliki ijazah, sebagai bekal untuk melamar pekerjaan di pabrik selepas SMA atau melanjutkan pada jenjang pendidikan tinggi. Areal persawahan telah berubah fungsi menjadi pabrik, komplek perumahan, dan pertokoan. Mayoritas masyarakat yang tadinya petani banyak yang beralih profesi menjadi buruh. Budaya pedesaan yang tadinya religius dan hidup dalam kebersamaan kini menjadi masyarakat yang konsumeris, individualis dan pragmatis dalam bingkai kehidupan modern. Perubahan wajah kampung tidak membuat Pesantren Pabuaran Jati lantas berubah. Kyai menjadi sentral dinamika keseharian kehidupan pesantren. Tidak ada struktur formal. Bagi kehidupan Pesantren, struktur formal organisasi yang terjadi justru akan menciptakan perilaku organisasi yang formalistik pula, keberlakuan citra levelitas struktural dan pengambilan keputusan berdasarkan satu aspek saja, yakni hukum-hukum materalisme yang mengedepankan logika positivistik dan kepentingan formal organisasi. Dalam tradisionalisme kepengurusan Pesantren Salafiyah terkandung satu orientasi yang mendasar bahwa keteladanan pemimpin mesti terbebas dari aspek legalitas dan pencitraan dalam satu pola pikir yang tidak saja mengarah pada penggunaan logika tetapi juga aspek spiritual yang bertujuan membangun manfaat bagi seluruh masyarakat bukan hanya untuk Pesantren tersebut. Kepemimpinan non formal pada hakikatnya adalah kepemimpinan yang menampilkan keteladanan dari ucapan, sikap serta perbuatan. Struktur tradisional Pesantren menciptakan rasa hormat dan patuh setiap santri secara sungguh-sungguh kepada Kyai dan istrinya sebagai orang tua sendiri dan menganggap anak-anak Kyai sebagai saudara sendiri. Kyai Wawang, begitu ia dipanggil, memiliki lima orang anak. Pertama, Muhamad Nur Fikri Ridho (16 tahun) mondok di Pesantren Salafiyah Sunan Pandan Aran, Yogyakarta. Kedua, Via Nurmustawfiyah (12 tahun), juga mesantren di yogya. Ketiga, Muhamad Farhan Ilham (kelas dua SD). Keempat, Fida Najia Amalia (kelas satu SD). Kelima, Fadhlah Izza Mamduha (4 tahun).
33
Menurut Kyai Wawang: “membiayai seluruh aktifitas lembaga pendidikan pesantren merupakan jalan Jihad. Allah SWT pasti mencukupi kaum Salafiyah sebagai ahli sunnah wal jama’ah. Bahkan kedepan, ada rencana untuk membeli tanah seluas 5.000 meter persegi di seberang jalan pesantren untuk menambah ruang asrama santri dan ruang belajar dalam rangka menambah jumlah santri yang mulai bertambah saat ini. Suatu saat pasti terwujud, begitu keyakinan Kyai Wawang. Kuncinya keikhlasan dan mengalir mengikuti jalan serta takdir Allah SWT, sebagai prinsip yang dipegang ditengah anggapan bahwa segala sesuatu yang berkualitas pasti mahal, termasuk pendidikan yang berkualitas mesti mahal. Selama ini sebagian besar kalangan masyarakat beranggapan bahwa sekolah yang berkualitas pasti mahal, karena “uang tidakkan bohong”. Ternyata anggapan itu salah. Pesantren Salafiyah tidak memungut biaya sepeser namun memberikan kualitas pelayanan pendidikan dengan kontrol yang seksama dari waktu ke waktu dan bukan paruh waktu. Dimana santri yang lulus dari pesantren ini memiliki kompetensi yang tinggi dibidangnya.” Kompetensi Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Di ruang belajar yang terbilang cukup luas di Pesantren Salafiyah AlMunawar Bani Amin, kelompok santri laki-laki duduk bersila di sebelah kanan. Sementara santri perempuan di sebelah kiri. Semuanya tekun mendengarkan Kyai menjelaskan Kitab yang dibacakan dalam dua bahasa. Arab dan Jawa Serang. Penjelasan Kyai terhadap makna-makna yang hadir di dalam Kitab berbaur dengan pemaknaan kehidupan saat ini dengan nilai-nilai kearifan lokal. Santri yang mendengarkan penjelasan Kitab yang dibacakan oleh Kyai menyimak dengan tekun. Tidak ada seorang santripun yang kelihatan sulit dengan huruf arab gundul dalam Kitab Kuning, karena hampir rata-rata santri telah menguasai ilmu alat (Amil, Jurumiyah, Alfiyah). Ilmu alat adalah ilmu yang digunakan untuk membaca kitab gundul, sekaligus menjadi ilmu yang memberikan indikator tahapan atas kemampuan dan jenjang keilmuan. Tidak ada batasan usia untuk mempelajari ilmu ini. Hanya kemauan, ketekunan dan keimanan saja yang dapat mengantarkan santri pada penguasaannya. Kemampuan menguasai ilmu alat atau ilmu yang digunakan untuk membaca bacaan arab tanpa tanda baca (gundul) menjadi kompetensi keilmuan Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin. Ilmu untuk membaca dan memahami Kitab Kuning serta Al-Quran langsung dari struktur bahasa dan gramatikanya, sebagai pintu masuk membuka cakrawala keilmuan Islam langsung dari sumbernya. Bukan dari terjemahan seperti yang diajarkan di sekolah – sekolah formal, termasuk sekolahsekolah yang berlabelkan Islam. Ada perbedaan mendasar tahu arti dan memahami makna Al-Quran dari terjemahan dan dari gramatika, asal usul kata dan struktur bahasa Al-Quran itu sendiri. Perbedaan ini pula yang menjadi dasar adanya sebagian kelompok masyarakat yang menjadikan ayat – ayat suci Al-Quran berdasarkan teks terjemahan menjadi pembenar atas kekerasan yang mengatasnamakan agama.
34
Memahami Al-Quran dari terjemahannya (letterlux) di sekolah formal berpotensi menjadi kekerasan atas nama agama. Penguasaan santri terhadap ilmu alat jelas suatu prestasi yang tidak bisa dipandang sebelah mata karena menjadi bekal berharga memahami agama dan keagamaan yang ada dalam masyarakat dengan berbagai persoalan dan tantangannya tersendiri. Penguasaan terhadap ilmu alat bertujuan mencari ridho Allah SWT dan berkiprah nyata dalam masyarakat, bukan untuk mencari uang atau kerja. Namun dalam mata pemerintah, hal ini dianggap sebuah kelemahan karena tidak mengandung suatu keterampilan hidup yang berkaitan dengan ekonomi. Santri Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Usia santri di Pesantren Salafiyah Pabuaran Jati, nama lain dari Al-Munawar Bani Amin, terbilang belia. Antara 8 hingga 20 tahun. Pembawaan mereka tenang dan bersahaja, bersemangat serta riang mengikuti rutinitas belajar, seakan Pesantren adalah rumah mereka juga. Tidak ada kesan mewah. Setiap hari berkain sarung, kemeja tangan panjang dan berkopiah. Santri perempuan memakai baju tertutup dan berhijab. Kehidupan mereka mandiri, mencuci, menyetrika dan memasak sendiri. Terpancar wajah yang bersih dan bersinar karena senantiasa selalu bersyukur dan mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta. Setiap santri dibawah bimbingan Kyai selama 24 jam, hampir tidak pernah menonton televisi dan membaca koran maupun majalah. Hal ini bukan karena diharamkan tetapi karena memang tidak ada, dan menjadi barang mewah. Diluar jadwal rutin belajar, para santri turut ambil bagian dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, hadir dalam undangan-undangan masyarakat, mulai dari kerja bakti, pengajian, tahlilan, menyolatkan jenazah, dan kegiatan sosial keagamaan lainnya. Banyak sekolah formal dengan label Islam yang menawarkan pendidikan dengan fasilitas mewah dan jam belajar yang padat, berbiaya jutaan rupiah, tentu saja hal ini tidak terjangkau oleh anak-anak dari keluarga ekonomi kelas bawah dengan semangat yang sama untuk belajar. Ada juga sekolah dasar gratis, dibiayai pemerintah, namun pilihan anak-anak kelas bawah untuk masuk ke Pesantren tradisional bukan karena kesulitan ekonomi atau karena tidak tahu ada sekolah gratis. Para santri yang mondok di Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin, sadar untuk memilih lembaga pendidikan tradisional ini. Aktifitas mereka padat, selama 24 jam, melebihi boarding school, mengikuti rutinitas pembelajaran yang ada. Kehidupan para santri lebih mandiri, mereka mencuci pakaian sendiri, memasak dan mengurus dirinya sendiri. Jauh sebelum azan subuh, para santri sudah bangun. Melaksanakan sholat Tahajud dan mengaji. Usai sholat subuh, mengikuti Sorogan (mengaji Al-Quran dihadapan Ustadz secara bergantian). Setelah itu mandi pagi, sarapan dan membersihkan pondok, dan aktivitas lainnya. Tepat pukul 08.30 WIB mengikuti Bandungan (mendengarkan Kyai membaca dan menjelaskan makna Kitab yang dibacakan dan santri memeriksa kitab yang dibacakan oleh Kyai (nyoret) sampai pukul 11.00 WIB. Sementara bandungan berjalan, santri yang kebagian piket, memasak makan siang untuk seluruh santri. Beras telah disiapkan oleh Kyai.
35
Demikian pula uang belanja untuk membeli lauk pauk, sebesar tiga puluh ribu untuk dua kali masak, siang dan sore untuk satu grup santri laki-laki (25 orang) dan tiga puluh ribu untuk seluruh santri perempuan (15 orang). Selesai makan siang, para santri bersiap-siap sholat zuhur dan selanjutnya Sorogan Kitab, yakni latihan membaca kitab (disesuaikan dengan kemampuan santri), sampai pukul 13.30 WIB. Setelah itu istirahat sampai azan Ashar berkumandang. Dilanjutkan dengan ngaji bandungan (kitab tafsir Al-qur’an dan hadist) sampai pukul 17.30. Sementara bandungan berjalan, santri yang kebagian jadwal piket memasak mempersiapkan makan malam. Makan malam bersama dilakukan sebelum sholat magrib. Selepas Magrib, ngaji Sorogan, Al-Quran dan Kitab, sampai pukul 20.30. Kemudian dilanjutkan dengan Delailan atau sholawat Nabi. Baru kemudian sholat Isya. Selepas Isya kembali mengaji sampai jam 23.00 WIB saatnya istirahat (tidur). Ada jadwal rutin tiap malam sebelum sholat Isya biasanya malam senin setelah Delailan, Muhadhoroh (belajar ceramah). Sedangkan malam selasa, malam rabu, dan malam Sabtu belajar Kitab. Untuk malam Jumat yasinan, manaqiban, dan marhaban. Untuk malam minggu, belajar Qori (seni membaca Al-qur’an). Setiap empat atau lima bulan sekali, atau pada saat Idul Fitri, para santri pamit meninggalkan Pesantren, pulang menemui orang tua masing-masing. Biasanya kepulangan mereka sekaligus mengambil bekal untuk mondok selanjutnya. Pada beberapa kasus, ada juga santri yang pulang kemudian tidak kembali lagi. Beberapa alasan para santri yang tidak kembali lagi ke pesantren, di antaranya adalah karena tidak mempunyai ongkos untuk kembali lagi, atau terpaksa membantu orang tua mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Tabel 5.1 Aktifitas Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin WAKTU (WIB) KEGIATAN 03.30 – 05.00 Sholat Sunnah Tahajud, Mengaji dan Sholat Subuh 05.00 – 07.00 Mengaji Sorogan 07.00 – 08.30 Mandi Pagi, Membersihkan pondok, mencuci, dan aktivitas pribadi lainnya 08.30 – 11.00 Bandungan atau Nyoret Kitab 11.00 – 12.15 Makan siang dan Sholat Dzuhur 12.15 – 13.30 Sorogan Kitab 13.30 – 15.15 Istirahat 15.15 – 17.30 Ngaji Bandungan (Alquran dan Hadist) 17.30 – 18.00 Makan Malam 18.00 – 20.30 Sholat Magrib dilanjutkan Mengaji Alquran dan Kitab (Sorogan) 20.30 – 21.30 Delailan/muhadhoroh (belajar ceramah)/ yasinan/ manaqibaan/marhaban/ belajar Qori 21.30 – 21.50 Sholat Isya 21.50 – 23.00 Mengaji Al-Quran 23.00 – 03.30 Istirahat tidur
36
Santri Pesantren Salafiyah yakin berdiri di atas kepatuhan dan keikhlasan menjaga kaidah dan nilai-nilai Ahli Sunnah Waljamaah di atas segalanya. Termasuk keutamaan dan kemuliaan dalam mencari nafkah kelak setelah keluar dari pondok, tahapan paling rendah adalah bekerja, kedua berdagang dan paling tinggi adalah bertani. Dan tahapan paling mulia adalah kembali membuka Pesantren Salafiyah atau mengajarkan kembali ilmu yang sudah didapatkannya. Oleh karena itu, para santri tidak pernah khawatir dan berharap mendapat selembar ijazah seperti halnya sekolah formal. Santri yang sudah lulus dan berniat membuka Pesantren Salafiyah di daerah lain, mesti mendapat restu dan izin (izazah) dari Kyai atas pertimbangan kematangan dan kesempurnaan ilmu yang dimiliki santri. Selain restu dan izin Kyai, sang santri dibekali silsilah turun temurun ilmu yang akan diajarkannya di Pesantren Salafiyah barunya nanti, berupa silsilah gurunya guru Kyai hingga sampai kepada sumber utamanya yakni Nabi Besar Muhammad SAW, Malaikat Jibril dan Allah SAW (sannad yang jelas). Tabel 5.2 Urutan orientasi santri setelah lulus dari pondok No Aktifitas Setelah Mondok 1 Membuka salafiyah kembali dan mengajarkan ilmu yang sudah didapat atau menjalan syiar agama 2 Bertani/bercocok tanam 3 Berdagang 4 Sebagai pekerja Waktu yang diperlukan para santri untuk belajar di pesantren sangat bergantung pada penilaian Kyai berdasarkan ilmu yang sudah dikuasainya. Biasanya rekomendasi Kyai terhadap santri yang dianggap sudah mumpuni ilmunya adalah menyuruh pulang ke kampung halaman untuk mendirikan Pesantren Salafiyah dan mengajarkan serta mengembangkan ilmu yang sudah diperolehnya atau melanjutkan menimba ilmu lainnya di pesantren lain yang ditunjuk Kyai. Bagi santri yang sudah mumpuni ilmunya namun masih diminta mondok, biasanya menjadi wakil Kyai untuk mengajarkan ilmunya kepada santri yang lebih muda. Sebagian besar santri yang belajar di Pesantrean Al Munawar Bani Amin berasal dari keluarga tidak mampu. Semua orang tua santri yang menitipkan anaknya di tidak dipungut biaya. Motivasi orang tua menitipkan anaknya di pesantren adalah agar anaknya memiliki pondasi kehidupan yang kuat, menjadi anak-anak sholeh dan berguna bagi masyarakatnya kelak. Lebih jauh lagi, ada juga orang tua yang berharap anaknya menjadi penceramah atau tokoh agama yang terpandang. Keterpandangan ini biasanya dianggap linier dengan peningkatan ekonomi, karena santri lulusan Pesantren Pabuaran Jati (nama lain Pesantren Salafiyah Al Munaawar Bani Amin) yang hafal Al-Quran atau menjadi penceramah yang handal, biasanya akan mendapat “tempat khusus” di masyarakat. Sebuah tempat terhormat yang akan memperhatikan semua aspek kehidupannya, terutama aspek ekonominya.
37
Memiliki pengetahuan agama yang baik
Menjadi manusia yang sholeh
Menjadi Da'i atau tokoh agama
Gambar 5.2. Urutan Motivasi Orang Tua Memasukkan anak ke Pesantren Slafiyah
Santri juga memiliki peran signifikan sebagai penghubung antara pesantren, Kyai dan masyarakat. Dalam konteks ini, sang Kyai juga menjadi “guru” bagi masyarakat dimana santri tersebut tinggal, yang siap dipanggil untuk memberikan wejangan, nasehat mau arahan yang diperlukan masyarakat, baik pada acara-acara tertentu yang diselenggarakan masyarakat, seperti peringatan kehamilan tujuh bulan, pernikahan, sunatan, Rajaban, dan kegiatan sosial keagamaan lainnya. Metode Belajar Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Ngawuruk ngaji atau mengajar ngaji bagi oleh enam orang Ustadz di Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin merupakan kegiatan rutin yang mereka harus jalani setiap harinya mulai dari pagi hingga malam hari. Mereka tinggal tidak jauh dari lokasi pesantren. Rata-rata usia Ustadz yang mengajar ngaji di pesantren Pabuaran Jati ini baru beranjak 30 tahun. Mereka adalah santri senior yang telah mondok lebih dari tujuh tahun. Salah seorang di antaranya pernah mengenyam pendidikan formal hingga SMA. Hanya seorang Ustadz saja yang masih terbilang keluarga Kyai Wawang. Setiap hari mereka rutin mengajar ilmu Nahu (ilmu yang mempelajari tentang bahasa Arab, baik cara pengucapannya dan cara membacanya dan mengartikannya), ilmu Sorof (perubahan dari satu kata ke kata lain dalam bahasa Arab atau perubahan harkat). Nahu dan Sorof ini dikembangkan menjadi ilmu tafsir dan hadist. Ilmu lainnya yang diajarkan adalah Fikih yakni hukum Islam, seperti tentang sholat, wudhu, istinja, etika, adab makan minum, dsb. Tidak ada gaji mau honor mengajar bagi para Ustadz. Hanya doa Kyai yang mereka harapkan sebagai ganjaran, seperti yang dituturkan oleh Ustadz Nabhani: Doa Kyai lebih berarti dari gaji dan lebih diharapkan. “saya mengajar karena amanat guru: mengamalkan ilmu, tidak usah merisaukan bayaran karena Allah SWT yang nanti akan membayar dan menjaga para Ustadz.” Bahkan menjadi Ustadz di pesantren ini adalah cita-cita
38
yang terinspirasi dari kehidupan Kyai itu sendiri, “khusyu menjalankan ibadah, uang datang sendiri”. Ini terbukti, bahwa kehidupan kami saat ini berkecukupan – tanpa kekurangan apapun. Oleh karena itu, menjadi Ustadz di pesantren adalah pilihan hidup yang disadari. Tidak ada rekruitmen Ustadz secara formal dan terbuka di pesantren. Seorang Ustadz diminta mengajar karena pertimbangan substansi keilmuannya dan selebihnya pertimbangan praktis saja, misalnya, rumahnya dekat. Kegiatan Ustadz selain mengajar, mengisi ceramah di berbagai acara keagamaan masyarakat yang memintanya. Sebulan, rata-rata ada empat kali undangan untuk berceramah. Metode yang digunakan oleh Ustadz saat megajar, adalah komunikasi dan interaksi dengan sistem muzakaroh atau tukar pendapat. Dalam muzakaroh setiap permasalahan yang dibahas hakikatnya seperti air yang mengalir, Allah SWT yang menjadi tujuan. Di dalam setiap pembahasan, hampir tidak pernah Ustadz membahas masalah-masalah aktual, terutama yang bersumber dari media. Karena menurut Ustadz Nabhani: “media adalah lembaga yang melakukan usaha menjual berita jadi mesti dipertimbangkan aspek keterpercayaannya dan sisi kebenarannya.” Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin sebagai Identitas Budaya Pamor dan eksistensi Pesantren Salafiyah Pabuaran Jati tidak lagi seperti dulu, saat menjadi sentral dinamika kehidupan masyarakat yang pertimbangannya menjadi rujukan. Kini keberadaan Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin jarang dilirik. Masyarakat menilai keberadaannya tidak dapat mempersiapkan anakanak mereka masuk dalam dunia kerja, menjadi PNS, karyawan swasta atau buruh pabrik. Situasi ini bertambah sulit karena sikap diskriminatif pemerintah dalam memberikan perhatian mau kebijakan yang mengesankan bahwa lulusan pesantren tradisional ini tidak mempuyai masa depan. Namun masyarakat maupun pemerintah mengakui bahwa Pesantren Salafiyah Pabuaran Jati salah satu dari ribuan Salafiyah lainnya yang memberikan pendidikan berkarakter, tegas dan ikhlas. Suatu lembaga pendidikan yang mempelajari agama islam langsung dari sumbernya: Al-Quran dan Hadist. Pesantren Salafiyah Al munawar Bani Amin diakui berhasil membentuk santri menjadi manusia beriman yang beradab, beretika dan santun dalam pergaulan. Oleh karena itu, walau secara legalitas formal, eksistensi pesantren ini dipandang sebelah mata, namun secara budaya mendapat tempat yang utuh di hati segenap lingkungan masyarakat dan pemerintah. Posisinya secara budaya ini tidak bisa tergantikan oleh sekolah formal dan pesantren modern. Bahkan bisa dikatakan bahwa pada akhirnya dinamika dan persoalan manusia modern dilingkungan Pesantren Salafiyah Almunawar Bani Amin tetap akan kembali ke Kyai. Tidak sedikit masyarakat yang datang ke pesantren meminta doa dan restu dari Kyai Pesantren Salafiyah. Santri lulusan Pesantren Salafiyah mendapat tempat tersendiri ditengah-tengah masyarakat. Masyarakat lebih akan mendengar dan menurut perkataan Kyai dari pada kepada pemerintah.
39
Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin, oleh sebagian kalangan dianggap bukan sebagai lembaga pendidikan tetapi lembaga budaya. Berbeda dengan pengertian budaya yang secara umum dipahami sebagai sebuah konsep abstrak, dimana sebuah kehidupan terus berubah dan tumbuh, akibat dari pertemuanpertemuan dengan budaya lain, menyebabkan perubahan kondisi lingkungan, dan sosiodemografis. Dengan kata lain, budaya dipahami sebagai produk yang dipedomani oleh individu-individu yang tersatukan dalam sebuah kelompok baik disadari mau tidak disadari. Budaya yang tumbuh di Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin tidak ada yang berubah kendati bertemu dengan budaya-budaya lain, dan hal ini berlangsung dalam suatu kesadaran yang lama. Kesadaran budaya Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin, terbentuk dan mempertahankan eksistensi kehidupan yang berpijak pada Al-Quran dan Hadist. Sebagai kekuatan budaya, Pesantren Salafiyah tentu saja memiliki pengaruh yang kuat. Suatu pengaruh yang menjadi magnet bagi masyarakat di bidang sosial keagamaan. Oleh karena itu pendekatan kepada Pesantren Salafiyah seringkali dijadikan legitimasi pendekatan oleh pemerintah untuk mensosialisasikan berbagai kebijakan pembangunan. Pesantren Salafiyah telah menjadi tempat bernaung masyarakat untuk setiap keperluan ritual dan prosesi upacara keagamaan, baik pernikahan, kematian, dan acara lainnya, Kewibawaan pemerintah sangat terbatas jika akan datang langsung kepada masyarakat dalam konteks permasalahan di atas. Masyarakat akan lebih mudah diarahkan oleh Kyai Pesantren Salafiyah daripada oleh pemerintah. Masyarakat merasa senang dan terhormat jika mereka dapat mengundang Kyai Salafiyah, biasanya penghormatan dan penghargaan yang diberikan tulus, apa adanya dalam sebuah kemeriahan. Berbeda dengan kedatangan pejabat pemerintah yang biasanya terkesan formil, dalam suatu kondisi yang seringkali penuh basa basi namun dibuat meriah. Oleh karena itu masyarakat tidak pernah melepaskan perhatian mereka untuk membantu menjaga keberadaan santri Pesantren Salafiyah Almunawar Bani Amin ini agar tetap hidup. Masyarakat secara berkesinambungan menyumbang berbagai kebutuhan santri, mulai dari sarung, baju koko, dan kebutuhan lain yang dianggap perlu untuk suatu keberlangsungan kehidupan Pesantren Salafiyah. Pada bulan Ramadhan perhatian masyarakat kepada pesanten Pabuaran Jati ini lebih tampak lagi. Secara bergantian masyarakat membuatkan berbagai sajian buka puasa bersama khusus untuk para santri, menjelang lebaran, banyak pihak dari masyarakat memberikan zakat, infaq dan shodakoh mereka. Bahkan beberapa tokoh masyarakat beranggapan bahwa Pesantren Salafiyah tidak boleh hilang dari daerah ini. Keberadaan Pesantren Salafiyah dianggap membawa berkah tersendiri. Membawa ketenangan bagi daerah karena keseharian mereka yang terus melantunkan doa dan puji-pujian kepada Allah SWT. Bagi sebagian masyarakat yang menyadari pentingnya peranan Pesantren Salafiyah dalam mendidik dan mempersiapkan mentalitas anak-anak mereka, maka yang dilakukan adalah memasukkan anak-anak mereka ke Pesantren Salafiyah sambil menempuh pendidikan pada sekolah formal dan bukan ke Pesantren modern. Alasannya ada dua karakteristik pesantren yang hilang dari pesantren modern, dan
40
hanya ada di pesantren tradisional (Pesantren Salafiyah), yakni pendidikan kemandirian dan memiliki ilmu alat untuk membaca dan memahami kitab kuning dan Al-Quran langsung dari bahasa dan gramatikanya. Identitas Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Dalam Pembangunan di Provinsi Banten Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin memiliki keunggulan pendidikan karakter yang dibutuhkan dalam pembangunan di Banten, namun keunggulan nilai-nilai pembelajaran di dalamnya belum menjadi nilai-nilai yang diadopsi dalam pembangunan di Banten. Padahal Pesantren Salafiyah dapat dijadikan basis pendidikan karakter dalam pendidikan formal di Banten. Namun pemerintah provinsi Banten terlihat ragu membangun pondasi karakter dalam sistem pendidikannya yang berakar dari budayanya sendiri. Karakter pendidikan di Banten sekuler dan hanya berorientasi pada kemampuan bagaimana dapat diserap dunia kerja, namun kering secara budaya. Disisi lain, pemerintah seringkali hanya melihat Pesantren Salafiyah dari sisi teknis pelaksanaan pendidikan yang dianggap kurang atau lemah, seperti kelembagaan, administrasi, penjenjangan kurikulum. Padahal substansi pengajaran dan keilmuan di pesantren ini jauh melampaui aspek-aspek teknis tadi. Interaksi dan komunikasi dunia pendidikan di Banten dengan akar budayanya bisa dibilang sangat terbatas dan terkesan saling menghilangkan. Pemerintah nyaris tanpa peran dalam menjembatani adanya kutub tradisional pada Pesantren Salafiyah dan modern pada sekolah formal yang tidak bisa saling mengisi, padahal keduanya dapat berpadu padan. Keberadaan Pesantren Salafiyah memang diakui namun kerap kali tidak ditempatkan perannya secara utuh pada keunggulan dan kompetensinya secara baik dalam proses pembangunan. Kecuali pada event-event politik tertentu, seperti pemilihan kepala desa, walikota, bupati, calon legislatif sampai pemilihan Presiden, biasanya para calon atau tim sukses datang dalam kepentingan politis pragmatis. Permasalahan ini membuat Kyai Wawang tidak habis pikir, beliau menuturkan perasaannya: Mengapa bisa pemerintah bersikap seperti itu? “Pernah dalam suatu dialog dengan komisi lima DPRD Banten, saya mendengar penjelasan salah satu anggota Dewan dari Partai Demokrat yang mengatakan: jika kami menganggarkan APBD untuk pemberdayaan Pesantren Salafiyah, lalu apa yang Pesantren Salafiyah berikan untuk negara? Bukankah selama ini tidak ada?” Sontak, pernyataan ini mengagetkan dan membuat marah. Karena kedatangan mereka bukan mencari sumbangan atau bantuan dan merasa anggota dewan tadi tidak paham sejarah bangsanya sendiri, dimana tokoh-tokoh pergerakan dan kemerdekaan juga terdapat banyak tokoh Salafiyah.
41
Adanya tuntutan terhadap perapihan administrasi kelembagaan, Pesantren Al Munawar Bani Amin tidak berkeberatan, bahkan merasa bahwa hal itu menjadi sebuah kebutuhan. Setidaknya, selama penelitian ini berlangsung, Pesantren ini telah mengurus akte pendirian yayasan dan segala kelengkapannya. Tujuan dari pengurusan ini adalah menjadikan pesantren sendiri sebagai lembaga pendidikan yang diakui di mata hukum, sejalan dengan kebutuhan pengelolaan lembaga terhadap tuntutan legalitas formal. Namun pemenuhan aspek-aspek legalitas dan administrasi bukan menjadi jaminan bahwa pemerintah serius memperhatikan konteks pendidikan Pesantren Salafiyah dalam bingkai desentralisasi, dimana ada kewenangan untuk memperkuat muatan lokal pendidikan, di antaranya adalah pendidikan berbasis Pesantren Salafiyah sebagai pendidikan asli dari budaya Banten. Jika ada pemahaman bahwa justru pendidikan Salafiyah berasal dari Timur Tengah dan tidak memuat kearifan lokal, menurut Kyai Matin Syarkowi, Ketua Majelis Pesantren Salafiyah Banten, itu salah. Karena intisari dari kitab-kitab yang diajarkan di Pesantren Salafiyah justru dibahasakan secara lokal (bahasa jawa) dan dintrepretasikan dalam kebutuhan penguatan kebudayaan lokal. Dengan kata lain, Islam sebagai Rahmatan Lil’Alamin justru dalam sejarahnya mengantarkan Banten dan budayanya pada masa keemasannya. Bahkan Kitab tulisan Kyai Besar Banten, Syekh Nawawi Tanara, justru menjadi rujukan bagi pembelajaran agama di pesantren baik di nusantra mau dibelahan dunia Islam lainnya. Di Banten, ketidakberdayaan pemerintah mengidentifikasi pesanten Salafiyah pada aspek potensi, kompetensi dan pemberdayaannya menjadi kendala sendiri terhadap kebutuhan pembangunan nilai-nilai pembangunan. Bahkan sebaliknya, pembangunan yang berjalan justru melemahnya nilai-nilai sosial, dimana kepentingan pribadi menjadi pilihan lebih utama dibandingkan kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi perilaku sosial sebagian besar orang. Korupsi dan ketidakpastian pembangunan ekonomi selalu mengakibatkan situasi pembangunan ekonomi tidak pasti. Ketidakpastian ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan kekuatan budaya. Pesantren Salafiyah Almunawar Bani Amin belum dimaknai secara positif dalam keseluruhan aspek pembangunan. Dalam aspek desentralisasi, dimana otonomi diberikan untuk memperkuat kemampuan daerahnya melalui pengelolaan orang-orang lokal, seharusnya menurut Kyai Wawang: Banten bisa lebih maju dan kuat dengan memanfaatkan segenap potensi budaya yang selama ini dijaga dengan baik di Pesantren Salafiyah. Setidaknya Banten, dapat lebih beretika dalam berpolitik, minim dalam perilaku korupsi, dan berorientasi pada kepentingan umat karena nilai-nilai kebaikan yang dibutuhkan dalam mengelola Negara diajarkan secara aplikatif di Pesantren Salafiyah. “Kami tiap malam selalu berlinang air mata dalam doa untuk meminta kebaikan bagi Negara. Jika saja ada satu doa yang sudah pasti diijabah langsung saat itu juga, maka saya akan berdoa untuk kebaikan Negara.
42
POLA KOMUNIKASI PESANTREN SALAFIYAH AL-MUNAWAR BANI AMIN Pola Komunikasi Internal Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin “Wiss, aje campur-campur jeung pemerentah, ngurus bocah wae, semampue dewek.” Kata-kata itu masih terngiang di telinga Kyai Wawang, ketika dipesankan sang guru kepadanya lima belas tahun lalu saat pertamakali mulai mendirikan Pesantren Salafiyah. Sejak saat itu hingga kini, Pesantren salafiyah yang dikelolanya dibiayai sendiri, tanpa bantuan dana pemerintah, hal ini dikarenakan, menurut Kyai Wawang: Bantuan pendanaan dari pemerintah selalu bermasalah. Ada saja pemotongan ini dan itu. Pesantrennya pernah ditawarkan bantuan dana hibah oleh seseorang dengan pembagian 60% untuk pihak lain, sementara untuk pesantren hanya 40% namun tetap membuat laporan pertanggungjawaban 100%. Tawaran ini membuatnya gundah, karena ia merasa “sebuah pembangunan akan berhasil jika yang membangunya baik, jembatan bisa baik kalau orang yang membangun jembatannya baik, gedung, jalan bisa baik kalau yang membangunnya baik. Jika akhlaknya baik maka secara otomatis pemerintahan akan dicontoh oleh masyarakatnya. Sekarang, ini banyak pelaksana pembangunan dan pemangku jabatan yang tidak amanah, oleh karenanya ia ragu pembangunan di Banten akan berhasil menciptakan masyarakat yang sejahterah dan berahlak mulia. Pesan yang sama dari gurunya, ia sampaikan juga kepada para Ustadz yang mengajar di lingkungan Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani AMin. Kepada para santri, Kyai mengamanatkan agar mengutamakan mengaji di dari kegiatan lainnya di luar Pesantren. Kyai ingin semua orang yang terlibat dalam proses pembelajaran di Pesantren Salafiyah tidak bergeser dari tujuan Ibadah dalam rangka mencapai kualitas iman dan tidakwa. Ibadah sebagai tujuan pembelajaran memiliki sanad yang jelas dari sejak agama ini telah disempurnakan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, ujar Kyai Wawang. “Allah SWT menurunkan Al-Quran kepada Jibril lalu kepada Muhammmad SAW, kemudian Nabi mencontohkan perilakunya kepada para sahabat dan seterusnya, itulah yang mesti dijaga. Karena saat ini tidak ada lembaga yang sanggup, mampu dan sabar menjaga itu. Pesantren Salafiyah telah membuktikan diri menjaga ajaran Ahli Sunnah Wal’Jamaah sejak Banten dikenal sebagai pusat kebudayaan Islam. Jadi menurut Kyai Wawang, kontribusi Pesantren Salafiyah dapat dilihat dan dirasakan dari upaya menjaga karakter masyarakat sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal di Banten yang notabene berisikan nilai-nilai islam. Prestasi lain dari Pesantren Ssalafiyah yang membuahkan kebanggaan adalah berbagai penghargaan ditingkat internasional, seperti qori, tahfidz, lomba baca kitab kuning. Sayangnya perhatian pemerintah Provinsi Banten, sangat minim, berbeda dengan prestasi di bidang olah raga misalnya, dihargai hingga puluhan juta rupiah.
43
Adapun pesan dari ajaran Ahli Sunnah Wal’Jamaah adalah pesan agar tetap melksanakan Sunnah Sejak masa hidup Rasul yang diteruskan oleh para Sahabat Nabi (Khulafaa Urrosyidin), sampai kepada kurun Al-quran Al-Mufadhdhalah (kurun-kurun yang mendapatkan keutamaan) yang disebut Ash-Shalih menjadi AsSalafiyahu Ash-Shalih, yakni Kyai Salafiyah (dikenal Al-Khalaf), diteruskan oleh Kyai Khalafiyah, selanjutnya Imam Madzab, lalu diikuti oleh Tabi’in (yang mengikuti para sahabat), kemudian Tabiat-Tabi’in (yang mengikuti para pengikut Nabi setelah para sahabat Nabi meninggal), hingga kepada Wali Songo di Pulau Jawa, Alim Ulama hingga kini ke kaum Salafiyah di Pesantren Salafiyah (mengikuti ajaran Nabi beserta pengikutnya) tujuan hidup ini Cuma satu, menghadap sang Khalik dan mendapat ridho NYA. Hal inilah yang kami ajarkan kepada santri, hanya ibadah, ibadah dan ibadah. Mungkin hal inilah yang membuat Pesantren Salafiyah lebih pasif dalam hal interaksi menyikapi persoalan populer dan kontemporer dalam pembelajarannya. Ketersambungan pesan dengan berbagai pemaknaannya sesuai dengan perkembangan zaman, dalam kurun rentang komunikasi yang panjang menjadi karakteristik dasar komunikasi Pesantren Salafiyah. Dimana selanjutnya untuk menjaga pesan-pesan tersebut terjaga maknanya, maka Pesantren Salafiyah lebih memilih komunikasi interpersonal, secara tatap muka, kendati teknologi informasi berkembang secara pesat.
ALLAH SWT
Malaikat JIbril
Al-Quran Ulama Salafiyah
Ulama Khalafiyah
Nabi Muhamamad SAW
Khulaffa Urrasyidin
Al-Quran dan Sunnah Tabiat Tabiat’Tabi’in
Ta bi’in
Para Sahabat Nabi
Imam Madhzab
Wali Songo
Pesantren Salafiyah
Gambar 6.1. Sumber Pesan Dalam Pola Komunikasi Pesantren Salafiyah Sumber: Kyai Wawang Munawar Halili
44
Dari sumber pesan dalam pola komunikasi Pesantren Salafiyah secara umum yang didapat dari Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dapat dikaji Pentad Analysisnya sebagai berikut: Tabel 6.1. Kajian Pentad Analysis Sumber Pesan Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Teori Kajian Scene Latar belakang sumber pesan ini bersumber dan memiliki keajegan situasi kepercayaan yang tinggi dan kukuh bahwa apa yang diajarkan di Pesantren Salafiyah adalah segenap ilmu dan contoh perilaku dari orang-orang sholeh terdahulu yang bersumber pada Nabi Mumhammad SAW yang diperoleh dari Malaikat JIbril dari ALLAH SWT. Agent Pelaku dan Motivator utama untuk menjaga sumber pesan ini adalah Kyai Wawang, pimpinan Pesantren Al-Munawar Bani Amin Act Seperti yang sudah disinggung bahwa act bersumber pada karakter dan pemikiran maka tindakan Kyai dan semua elemen pesantren memiliki karakter dan pemikiran yang berupaya memenuhi kriteria dan pemikiran orang sholeh terdahulu Agency Instrumen yang digunakan adalah Pesantren Salafiyah Purpose Tujuannya adalah mencapai tingkat kesholehan yang paling tinggi dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara Pada moment tertentu, seperti hari kelahiran mau kematian guru-guru di pesantren Al-Munawar Bani Amin diadakan tahlilan atau hadorotan untuk para guru dan guru dari Kyai Wawang hingga ke sanad (sumbernya yang terakhir) dengan membacakan semua nama dan silsilahnya. Hal ini disampaikan kepada para santri dalam pola komunikasi internal di Pesantren Salafiyah agar para santri merasakan dan memperhatikan kehati-hatian para gurunya dalam memberikan ilmunya, bersumber dari sejarah dan pewarisan yang jelas dan terang. Peringatan ini menjadi penting sebagai penanaman perilaku teladan secara personal dalam pertemuan yang bersifat tatap muka. Pola komunikasi internal Pesantren Salafiyah dapat digambarkan sebagai berikut:
45
Guru Kyai Kyai
Ustadz
Keluarga Kyai
Santri
Keluarga Ustadz
Keluarga Santri
Lingkungan Masyarakat Terdekat Keluarga Ustadz
Lingkungan Terdekat Masyarakat Keluarga Santri
Gambar 6.2. Pola Komunikasi Internal Pesantren Salafiyah Dari pola komunikasi internal Pesantren Salafiyah Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dapat dikaji Pentad Analysisnya sebagai berikut: Tabel 6.2. Kajian Pentad Analysis Pola Komunikasi Internal Pesantren Salafiyah AlMunawar Bani Amin Teori Kajian Scene Latar belakang kajian adalah seluruh aktifitas yang meliputi interaksi dan komunikasi internal Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin, terutama Kyai dan keluarganya terhadap guru beliau, santri dan keluarganya beserta Ustadz serta keluarganya, termasuk komunikasi santri dan Ustadz di dalamnya dan lingkungan masyarakat terdekat (tetangga masing-masing) Agent Tokoh terpenting dalam memberikan motivasi dan sebagai pelaku yang memberi segenap struktur, status dan atribut komunikasi internal adalah Kyai Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin, kedua adalah guru dari Kyai Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Act Motivasi dan pemikiran dari tindakan komunikasi yang dilakukan adalah membangun kedekatan, hubungan kekeluargaan, kontrol atas tata nilai keagamaan yang diproyeksikan sebagai contoh dalam masyarakat Agency Instrumen personal dari masing-masing elemen penting yang ada di pesantren, seperti santri, Ustadz sebagai simbol pesantren Purpose Menciptakan kesepahaman keagamaan dalam hubungan kekeluargaan
46
Kyai menjadi sentral dalam aspek komunikasi pada pengelolaan Pesantren Salafiyah dilingkungannya. Dalam kehidupan tradisional Pesantren Salafiyah, komunikasi interpersonal lebih membudaya melalui komunikasi tatap muka yang dianggap sebagai bagian dari salah satu ibadah sunnah yang termotivasi dari orangorang sholeh terdahulu. Kendati Kyai, Ustadz dan sebagian dari santri menggunakan perangkat komunikasi seperti Smart Phone, mengakses internet, namun kecanggihan perangkat ini lebih bersifat teknis. Tidak dimanfaatkan pada suatu kepentingan komunikasi kelompok dan kebutuhan lain yang bersifat pragmatis. Komunikasi tatap muka lebih diutamakan disetiap kebutuhan pembahasan suatu masalah dan dalam rangka menjalin silaturahmi. Komunikasi tatap muka dalam Pesantren Salafiyah bertujuan saling memberikan keteladanan dan rasa kepedulian yang tinggi dalam setiap kesempatan pertemuan secara verbal mau non verbal. Komunikasi tatap muka dijaga secara baik dan berkesinambungan, dimulai dari lingkungan internal melalui interaksi dan komunikasi yang mengedepankan sistem muzakaroh atau tukar pendapat yang artinya bertatap muka secara langsung. Hal ini dapat digambarkan dalam suatu skema pola komunikasi inti atau internal pesantren Al-Munawar bani Amin yang berjalan setiap hari melalui tatap muka, seperti yang sudah digambarkan. Pola Komunikasi Eksternal Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Ketika Banten hendak menjadi provinsi tersendiri, Kyai Wawang berharap kelak otonomi yang berlaku di Banten dapat pula mengangkat kepentingan Pesantren Salafiyah dalam pembangunan. Berharap, pemerintah dan ulama dapat berjalan bersama untuk membangun masyarakatnya. Setidaknya suara Pesantren Salafiyah didengar, karakter religiusitasnya mewarnai derap pembangunan yang akan dilakukan. Harapan ini sebenarnya tidak berlebihan mengingat akar budaya Salafiyah berpeluang besar menjadi muatan lokal dalam dunia pendidikan di Banten, disamping dapat menjadi rujukan atas pembangunan mentalitas dalam suatu kebersamaan antara Umaroh (pemerintah) dan Ulama (Kyai). Ternyata harapan itu jauh dari kenyataan. Setelah Banten berdiri sebagai provinsi ke-30 berdasarkan Undang-undang nomor 23 tahun 2000 dari sebelumnya sebagai keresidenan Provinsi Jawa Barat, sampai saat ini tidak ada perubahan, Pesantren Salafiyah tetap tidak terperhatikan. Padahal keberadaan Banten dulu, kini dan dimasa mendatang tidak bisa dipisahkan dari budaya Islam yang lahir sejak abad ke 14 (1330M) yang mencapai puncak keemasaannya sebagai pusat kerajaan dan kajian Islam (dimana Pesantren Salafiyah menjadi trend pendidikan yang paling maju dan diminati saat itu) pada abad 16-17 dibawah kekuasaan Sultan Maulana Hasanudin dan Sultan Ageng Tirtayasa. Selain itu Banten juga dikenal sebagai pusat perdagangan nusantara, tempat persinggahan para pedagang dari berbagai belahan dunia, sekaligus menjadi pusat pertukaran dan persentuhan kebudayaan (Guillot, Claude, 2008). Banten kini tengah gegap gempita dalam laju pembangunan. Hampir setiap saat denyut perekonomiannya berdetak. Mall-mall besar berdiri dimana-mana dan ramai dikunjungi masyarakat. Komplek perumahan dan pertokoan bermunculan di setiap sudut wilayah. Tingkat masyarakat urban terus bertambah seiring dengan
47
bertambahnya tingkat kemacetan lalu lintas yang terjadi di Ibu Kota Provinsi yang tidak pernah terjadi setahun lalu. Sektor usaha tumbuh dan berkembang sejalan dengan pusat pemerintahan yang terus berbenah membangun sarana dan prasarananya. Media lokal terus bermunculan dan tumbuh, baik cetak mau elektronik bagai jamur di musim hujan. Pemilukada Kabupaten/Kota silih berganti, spandukspanduk berisikan tawaran perubahan dan peningkatan kemakmuran Banten dengan kata serta slogan yang heroik dan bombastis menghias setiap jalan di Banten. Ditambah maraknya anak anak jalanan dan pengemis yang juga makin banyak memenuhi jalan-jalan utama. Tidak kalah kerasnya adalah suara cemas yang terus menggemakan protes atas korupsi, merosotnya etika dan moralitas elit politik dan rusaknya infrastruktur publik. Namun disisi lain, riuh rendah pertumbuhan pembangunan di Banten belum bisa menarik pembangunan pendidikan pada level yang diharapkan dan bersandar pada nilai-nilai yang diinginkan. Pembangunan pendidikan formal di Banten masih menyimpan banyak masalah. Sementara pemberdayaan Pesantren Salafiyah sebagai lembaga non formal yang telah teruji memberikan karakter yang kuat pada pendidikan karakter, ahlak mulia, budi pekerti dan kearifan lokal tidak tersentuh. Tabel 6.3 Data Anak Sekolah di Provinsi Banten No
Uraian
Penduduk Usia 7 - 12 Tahun 2 Penduduk Usia 13 - 15 Tahun 3 Penduduk Usia 16 - 18 Tahun Jumlah
Jumlah Penduduk
Sedang Bersekolah
Yg Blm Sekolah
Tdk Sekolah Lagi
Jml Sekolah
1
1,295,495
1,226,223
37,312
28,711
4,779
629,828
508,619
5,746
109,149
1,150
604,812
281,505
5,710
312,409
894
2,530,135
2,016,347
48,768
450,269
6,823
Sumber : Dindik Banten 2013 Tabel data anak sekolah tersebut menunjukkan jumlah penduduk usia 16-18 tahun tidak bersekolah sekitar 50% (penduduk tidak bersekolah lagi ditambah belum bersekolah berjumlah 318.119 dari jumlah penduduk 604.812). Menurut Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten, Drs. Hudaya M, M.Pd: Kemungkinan hal ini terjadi bukan karena faktor kemiskinan mau budaya tetapi bisa jadi turunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada lembaga sekolah formal yang hingga kini belum mampu memberikan pendidikan karakter peserta didiknya secara baik, meliputi ahlak mulia, budi pekerti, kepribadian dan budaya. Dan Banten masih termasuk provinsi yang dianggap memiliki angka tingkat patisipasi sekolah yang masih rendah, angka wajib sekolah yang mestinya 9 tahun masih berkisar di 8,41 tahun.
48
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten, Hudaya M, selajutnya berpendapat bahwa pendidikan karakter di Banten telah terlupakan. Sekolah formal yang ada sangat sekuler termasuk penyelenggaraan pendidikan keagamaan yang hanya berorientasi pada penyerahan pengetahuannya saja namun tidak mampu memaknai nilai-nilai di dalamnya serta aplikasinya. Hudaya mengatakan: “Ada yang terlupakan dalam penddikan formal di Banten, yakni sekulernya penyelenggaraan pendidikan yang ada termasuk pendidikan keagamaan. Oleh karena itu mesti ada model kurikulum yang dapat memasukan pendidikan karakter masuk kedalam kurikulum, dan persoalan terberatnya adalah bagaiamana pengintegrasiannya. Ini yang jadi masalah. Celah indikasi kegagalan dalam pendidikan karakter ini sebenarnya bisa memanfaatkan pendidikan karakter yang sudah mapan dan teruji pada Pesantren Salafiyah. Persoalannya adalah bagaimana mengintegrasikannya. Termasuk menjadikan Pesantren Salafiyah sebagai alternatif pendidikan bagi anak-anak usia sekolah di Banten yang belum masuk pada sekolah formal. Dalam suatu pembangun, pendidikan karakter akan menempati posisi sentral dalam pencapaian pembangunan. Proses pendidikan karakter akan menempatkan manusia sebagai titik awal yang bertugas menghasilkan sumber daya manusia berkulitas. Karenanya hasil pendidikan akan sangat menunjang pembangunan. Keberhasilan Pembangunan dan pendidikan di Banten tentu saja tidak bisa dilepaskan dari bagaimana nilai-nilai yang ditetapkan dalam visi pembangunannya dapat menjembatani kebutuhan masa kini dan cita-cita dimasa mendatang pada suatu pencapaian tujuan pembangunan berdasarkan karakteristik dan kekhasan manusia di dalamnya. Konteks pembangunan yang berjalan dimana Pesantren Salafiyah termarjinalkan, maka pola komunikasi eksternal yang terbangun adalah sebagai berikut: Masyarakat
Masyarakat
Nahdatul Ulama
Majlis Pesantren Salafiyah
Masyarakat
Keluarga Kyai
Ustadz
Masyarakat
Guru Kyai
Kyai
Santri
Masyarakat
Masyarakat
Masyarakat
Tokoh Masyarakat
Masyarakat
Gambar 6.3 Pola Komunikasi Eksternal Pesantren Salafiyah
49
Dari pola komunikasi eksternal Pesantren Salafiyah Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dapat dikaji Pentad Analysisnya sebagai berikut: Tabel 6.4. Kajian Pentad Analysis Pola Komunikasi Eksternal Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Teori Kajian Scene Komunikasi Pesantren Salafiyah, terutama Kyai dalam hubungannya dengan organisasi kemasyarakatan sosial dan keagamaan atau masyarakat diluar pesantren baik melalui interaksi langsung Kyai mau melalui peran dan fungsi simbol pesantren lainnya, seperti Ustadz, santri, guru Kyai dan keluarga masing-masing Agent Motivator komunikasi terhadap kebutuhan eksternal pesantren adalah Kyai Wawang dalam kerangka membangun hubungan silaturahmi syiar agama Act Karakter dan pemikiran yang menyertai dalam latar belakang komunikasi eksternal adalah motivasi melakukan syiar agama Agency Instrumen yang digunakan adalah organisasi sosial keagamaan, seperti Nahdatul Ulama, Majelis Pesantren Salafiyah, berbagai Majelis Taklim dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat secara luas di luar Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Purpose Membangun nilai-nilai keSalafiyahan, yakni keikhlasan dan kesholehan dalam pribadi dan masyarakat Peran Kyai sangat sentral dalam komunikasi eksternal di masyarakat. Kyai menjadi panutan dan tauladan elemen penting pesantren, yakni keluarga Kyai, Ustadz dan Santri yang akan dilihat dan menjadi contoh juga kepada masyarakat yang mengitari mereka pada setiap aspek nilai dan kebutuhan serta perilaku mereka. Keterlibatan Kyai pada organisasi terbatas pada organisasi sosial keagamaan yang berimplikasi kepada masyarakat juga. Masyarakat memegang peranan yang cukup penting dalam konteks komunikasi eksternal pesantren, semua saluran komunikasi interpersonal elemen dasar Pesantren Salafiyah pada akhirnya menjadi suatu komunikasi yang melibatkan masyarakat. Peran sentral komunikasi Kyai dengan pihak pemerintah lebih dekat secara personal dari pada hubunga formal di tatanan pemerintahan ditingkat lingkungan dimana pesantrean Al-Munawar Bani Amin berada. Secara struktural komunikasi organisasi yang terjalin juga lebih dekat pada tatanan pemerintahan desa. Sementara untuk tatanan di luar itu atau yang lebih tinggi nyaris tanpa komunikasi, kecuali sekedar mendapatkan informasi dari pihak-pihak tertentu di dalam lingkungan pemerintahan setempat.
50
Pola Komunikasi Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Dalam Pembangunan Budaya dan nilai-nilai Islam yang tumbuh sejak masa keemasan Banten pada masa lalu telah diletakkan sebagai landasan pembangunan pada masa kini serta citacita pembangunan pada masa mendatang, yakni dituangkan kedalam visi pembangunan provinsi Banten, menjadikan rakyat Banten sejahtera berlandaskan Iman Dan Taqwa. Iman dan taqwa adalah identifikasi dan personifikasi bagi setiap muslim yang taat dan takut kepada ALLAH SWT untuk berbuat dosa, karenanya manusia yang beriman dan bertidakwa selalu menjaga tabiatnya agar sesuai dengan perintah agama. Iman berasal dari kata amana, yang artinya percaya. Sedangkan taqwa, berasal dari tidako yang berarti tidakut. kata-kata Iman tersebar di setiap surat yang jumlahnya sekitar enam ratusan dalam Al-Quran. Kata-kata taqwa berjumlah ribuan. Implementasi dari visi ini mengarahkan pembangunan di Banten agar reriman dan bertaqwa di dalam penyelenggaraan pelayanan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan membina masyarakatnya dalam rangka menjamin perkembangan dan kemajuan dimasa yang akan datang dalam pemanfaatan potensi daerah pada platform otonomi daerah. Visi menjadi penting bagi landasan pembangunan suatu Negara, bukan sekedar landasan formal dan normatif belaka. Karena visi merupakan keyakinan atas apa yang akan dimiliki suatu bangsa di masa mendatang dan menjadi inspirasi terhadap pembangunan yang akan dan sedang dilaksanakan. Dalam prakteknya, Pesantren Salafiyah adalah lembaga satu-satunya yang secara filosofis, konsepsi dan keseharian mempraktekkan kesholehan pribadi mau kelompok untuk menjadi manusia-manusia yang beriman dan bertidakwa kepada Tuhan YME. Dalam konteks ini maka dapat digambarkan pola komunikasi pembangunan Pesantren Salafyah dah pemerintah sebagai berikut: Pencantuman legal & formal Ponpes Salafiyah
Kesamaan Visi:
Iman dan Tidakwa
Pemprov Banten
Penerapan Iman dan Tidakwa
Masyarakat
Pembangunan di Banten
Masyarakat
Nilai-nilai yang merugikan
Gambar 6.5 Pola Komunikasi Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Dalam Pembangunan Pembangunan
51
Dari pola komunikasi pembangunan Pesantren Salafiyah Salafiyah AlMunawar Bani Amin dapat dikaji Pentad Analysisnya sebagai berikut: Tabel 6.5. Teori Scene
Agent Act
Agency Purpose
Kajian Pentad Analysis Pola Komunikasi Pesantren Salafiyah AlMunawar Bani Amin Dalam Pembangunan Kajian Sebagai lembaga yang konsisten pada upaya menciptakan insan yang bertakwa kepada Allah SWT, pesanten Salafiyah Al Munawar Bani Amin, menempatkan visi, misi dan tujuannya pada pembelajaran menerapkan visi, misi dan tujaun tersebut. Hal ini pula yang dicantumkan dalam visi pembangunan provinsi Banten. Kesamaan ini menuntut implementasi dari upaya menciptakan kehidupan takwa dalam pembangunan. Sayangnya dalam tingkat implementasi terdapat perbedaan mendasar dari apa yang dilakukan Pesantren Salafiyah dengan pemerintah Provinsi Banten sehingga tercipta pembiasan nilai tersebut yang terasakan dalam masyarakat mau komunikasi yang terjadi antara pemerintah dengan peran dan fungsi pesantren. Sumber karakteristik dan pemikiran dari Iman dan Takwa ini adalah pemerintah provinsi Banten dan Pesantren Salafiyah Motivasi utamanya adalah kemampuan menciptakan kesederhanaan, kesamaan antara perkataan dan perbuatan pemimpin masyarakat baik pemimpin formal mau informal Instrumen yang digunakan adalah perilaku Kyai yang dapat menjadi contoh bagi masyarakat Menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
Visi, misi dan tujuan pembangunan tidak boleh dipandang sebagai kebutuhan tata ideal serta formalistik pemerintahan saja. Sebagai contoh, AS bisa sehebat dan semaju sekarang tidak bisa lepas dari visi yang ditetapkan pada tahun 1831 di abad 18, yakni American exceptionalism. Diperkenalkan oleh Alexis de Tocqueville pada permulaan abad ke-19 pada saat AS masih sangat miskin, negaranya kacau balau karena perpecahan, dan jauh dari memiliki pengaruh global. American exceptionalism memuat suatu pandangan bahwa AS berbeda dari negara-negara mana di dunia ini dan memiliki peran unik di dunia untuk menyebarkan pengaruh dan ideologinya sehingga dunia bisa menjadi lebih beradab berkatnya. Visi ini sangat powerful hingga setiap pemimpin-pemimpin AS mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dipengaruhi oleh visi ini. Karena itu AS sangat bangga dengan demokrasi yang dikembangkannya dan mengkampanyekan bahwa apabila suatu negara ingin beradab, maka harus mengadopsi demokrasi. Dengan visi tersebut Amerika mendirikan institusi Bretton Woods seperti World Bank dan International Monetary Fund (IMF) untuk memastikan tata ekonomi global di bawah pengaruhnya. Dan itulah juga mengapa AS gemar memberikan bantuan-bantuan kemanusiaan kepada negaranegara miskin di dunia karena ia merasa memiliki tanggung jawab sentral untuk
52
membuat dunia yang lebih baik. Dengan kata lain, prestasi-prestasi kehebatan AS saat ini sangat erat kaitannya dengan visi AS untuk tidak hanya sekedar menjadi negara maju, tetapi juga menjadi pemimpin dunia. Begitu pula dengan China. Visi yang dibangun Negara ini mempercayai bahwa China adalah Zhongguo. Zhongua mengatakan bahwa China adalah pusat dunia, pusat peradaban sedangkan bangsa-bangsa lain di dunia sifatnya adalah periphery (pinggiran). Visi inilah yang membakar masyarakat China untuk memperjuangkan ambisi mereka memajukan China dan menjadikan China kembali memimpin dunia. Visi ini bisa menjelaskan berbagai prestasi luar biasa China saat ini. Saat ini China, diprediksi akan menjadi pemimpin alternatif dunia pada Abad-21. Kekuatan ekonomi China saat ini hanya tertinggal dari AS dan pada pertengahan Adab-21, China akan menggantikan posisi AS sebagai negara terkaya di dunia. Ketika krisis menghantam perekonomian Barat beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi China tetap pesat. China sangat berpengaruh di dalam badan atau organisasi regional-global seperti Dewan Keamanan PBB, G20, BRICS, AFTA, ASEAN+3 dsb. Dan China saat ini mulai melebarkan pengaruh di Afrika dan Amerika Selatan melalui investasi dan bantuan-bantuan finansial (http://forumforindonesia.org, May 22, 2013). Visi yang ingin dicapai dalam pembangunan di Banten, menaungi misi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Banten tahun 2014 (RKPD Banten 2014) agar beriman dan bertaqwa di dalam: 1. Melakukan revitalisasi dan refungsionalisasi lembaga-lembaga pemerintahan dan lembaga kemasyarakatan menuju tata pemerintahan yang bersih, transparan dan profesional yang berorientasi pada pelayanan publik 2. Meningkatkan peran aktif dan menggalang semangat kebersamaan, solidaritas dan kemitraan seluruh komponen pelaku pembangunan 3. Memperkuat struktur ekonomi masyarakat melalui pengembangan usaha agrobisnis dan memperluas kesempatan kerja 4. Meningkatkan taraf pendidikan dan kesehatan masyarakat Banten 5. Menjadikan masyarakat Banten yang bersandar pada moralitas agama dalam kerangka negara Kesatuan Republik Indonesia 6. Mengembangkan dan menata ulang hubungan antar industri dengan orientasi pada penciptaan iklim yang kondusif bagi investasi, penggunaan bahan baku lokal unggulan dan penciptaan peluang usaha 7. Merevitalisasi kawasan dan antar kawasan dengan dukungan infrastruktur yang memadai melalui pengembangan ’Tiga Pintu Keluar Masuk Wilayah Banten. Keseluruhan misi pembangunan di Banten secara eksplisit diikat pada satu landasan nilai keagamaan (point lima: bersandar pada moralitas agama). Visi dan misi pembanguan di Banten adalah nilai-nilai yang dipercaya dan diyakini dapat menjadi modal sosial, yakni trust, idiologi dan religi. Visi pembangunan di Banten tidak terimplementasikan dengan baik, semua nilai yang ada berjalan pada tataran formalistik, sementara pergerusan budaya terus terjadi tanpa bisa terantisipasi.
53
Pola Komunikasi Kelompok Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Bagaimana peran masyarakat dapat ditingkatkan dalam suatu pembangunan? Jawaban dari pertanyaan ini akan ditentukan dari modal sosial yang dimiliki. Modal sosial merupakan sumberdaya sosial, komponen utama untuk menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide, kepercayaan dan tujuan bersama. Modal sosial adalah civil community untuk menciptakan peran partisipatif, cirinya adalah kerelaan individu mengutamakan keputusan bersama, menumbuhkan kinerja yang mengandung nilai sosial. Fukuyama (1995) menyatakan modal sosial adalah kemampuan yang timbul dari adanya kepercayaan (trust) dalam sebuah komunitas. Eva Cox (1995) menyatakan modal sosial adalah rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma dan kepercayaan sosial yang efisien dan efektif. Modal sosial akan tumbuh dan berkembang kalau digunakan bersama dan akan mengalami keahan kalau tidak dilembagakan secara bersama, oleh karena itu, pewarisan nilai modal sosial dilakukan melalui proses adaptasi, pembelajaran, serta pengalaman dalam praktek nyata. Fukuyama (1999) juga menyatakan bahwa modal sosial memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern. Modal sosial merupakan syarat yang harus dipenuhi bagi pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, sosial, politik dan stabilitas demokrasi, Berbagai permasalahan dan penyimpangan yang terjadi di berbagai negara determinan utamanya adalah kerdilnya modal sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. Modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat gotong royong, memperparah kemiskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas, dan menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme - mekanisme kultural seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000). Modal sosial dibutuhkan untuk menciptakan jenis komunitas moral yang tidak bisa diperoleh seperti dalam kasus bentuk- bentuk human capital. Akuisisi modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas dan dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan seperti kesetiaan, kejujuran, dan dependability. Modal sosial lebih didasarkan pada kebajikan- kebajikan sosial umum. Penjelasan Fukuyama memberikan arti bahwa modal sosial yang terkandung di dalam visi dan misi pembangunan Banten dapat dianggap sebagai karakter pelaku pembangunan dan masyarakat di dalamnya. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu (N.K. Singh dan Mr. A.R. Agwan, 2000). Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah aplikasi visi pada keberadaan dan peruntukkan seluruh program dalam pembangunan yang bersumber dari pengalaman sejarah dan kebutuhan masa kini serta depan berdasarkan visi yang telah ditetapkan (Rhonda Byrne, 2007) pelaksanaan pembangunan yang dijalankan ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola
54
berpikir yang bisa mempengaruhi perilaku. Jika program yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam. Hasilnya, perilaku tersebut membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika program tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum universal atau nilai-nilai dasar yang dianutnya, maka perilaku dalam pembangunan membawa kerusakan dan menghasilkan penderitaan. Oleh karena itu, program harus mendapatkan perhatian serius sebagai aplikasi dari nilai-nilai luhur yang dianutnya. Pendidikan berkarakter dalam sejarah panjang Banten hingga kini dimiliki oleh Pesantren Salafiyah. Mengimplementasikan nilai keikhlasan, keteladanan pemimpin, kemandirian dan ketaqwaan kepada Tuhan dalam membangun masyarakat. Dalam konteks masa depan, pembinaan masyarakat pada satu kebutuhan moralitas keagamaan juga masih menjadi kompetensi Pesantren Salafiyah. Namun entah mengapa keberadaan Pesantren Salafiyah terpinggirkan ditengah keinginan pemerintah provinsi Banten berusaha meletakkan karakter manusia yang beriman dan bertaqwa. Apalagi dalam tujuan pembangunan Banten yang tertuang dalam RKPD Banten tahun 2014, yakni mendorong terwujudnya masyarakat Banten yang religius dan berakhlak baik dengan landasan iman dan taqwa, serta mempunyai rasa toleransi yang tinggi terhadap sesama warga atau masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan dengan bingkai rasa kesatuan dan persatuan nasional. Pesantren Salafiyah bukan sekedar kumpulan orang-orang, tetapi sebuah kelompok. Hare (1962) memberikan suatu definisi yang lebih bersifat operasional tentang kelompok, yakni merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri atas sejumlah individu yang memyai hubungan saling tergantung sesuai dengan status dan peranannya. Secara tertulis atau tidak tertulis ada norma yang mengatur tingkah laku anggotanya. Menurut Hare, sifat yang membedakan kelompok dengan sekedar kumpulan orang-orang adalah : (1) anggota kelompok mengadakan interaksi satu sama lainnya, (2) mempunyai tujuan yang memberi arah gerak kelompok mau gerak anggota kelompok, (3) membentuk norma yang mengatur ikatan dan aktifitas anggota, serta (4) mengembangkan peranan dan jaringan ikatan perorangan di dalam kelompok. Menurut Devito (1998), kelompok kecil (small group) adalah sekumpulan perorangan yang relatif kecil yang masing-masing dihubungkan oleh beberapa tujuan yang sama dan mempunyai derajat organisasi tertentu di antara mereka. Kelompok kecil menurut Hare (1962) memyai anggota 2 - 20 orang. Kelompok dengan jumlah anggota yang lebih banyak juga masih dapat dikategorikan sebagai kelompok kecil, asalkan interaksi tatap muka sering terjadi di antara para anggota kelompok. Komunikasi dalam kelompok ialah komunikasi antara seorang dengan orang-orang lain dalam kelompok, berhadapan satu dengan lainnya, sehingga memungkinkan terdapatnya kesempatan bagi setiap orang untuk memberikan respon secara verbal. Sama seperti komunikasi secara umum, komunikasi dalam kelompok kecil juga ditujukan untuk tercapainya suatu kesamaan makna di antara pihak-pihak yang berkomunikasi. Pola komunikasi kelompok Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin adalah sebagai berikut:
55
Ponpes Salafiyah
Kyai
Ponpes Salafiyah
Kyai
Forum Bathsul Masail
Kyai
Ponpes Salafiyah
Kyai
Ponpes Salafiyah
Majelis Taklim
Pengajian Rutin Masjid
Organisasi
Bapak bapak
Perkampungan
Perkumpulan
Ibu ibu
Komplek Perumahan
swasta
Remaja Putra
Perkantoran
Pemerintah
Remaja Putri
Gambar 6.6 Pola Komunikasi Kelompok Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin Dari pola komunikasi Kelompok Pesantren Salafiyah Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dapat dikaji Pentad Analysisnya sebagai berikut: Tabel 6.6. Kajian Pentad Analysis Pola Komunikasi Kelompok Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Dalam Pembangunan Teori Kajian Scene Kebutuhan komunikasi yang dijalin secara kelompok terus dijaga oleh Pesantren Salafiyah – Pesantren Salafiyah di Banten melalui kelompok kajian bahasan hukum syar’i secara rutin melalui forum Bhatsul Masail yang isinya adalah pertemuan para Kyai Salafiyah dan segenap elemen Pesantren Salafiyah di dalamnya, forum ini menjadi dasar kajian bahasan syar’i bagi pertemuan atau kajian Pesantren Salafiyah, termasuk Al-Munawar Bani Amin kepada kelompok-kelompok sosial keagamaan lainnya, baik secara horizontal yakni kelompok-kelompok pengajian pemuda, masjid komplek, organisasi kepemuadaan mau secara fertikal yakni organisasi kepemerintahan secara rutin Agent Para Kyai pesantren Saafiyah, Ustadz mau santri yang dipercaya telah mampu mengajar di masyarakat Act Karakteristik dan pemikiran datin tindakan komunikasi ini adalah syiar agama dalam rangka membangun karakter dasar masyarakat yang Salafy Agency Instrumen yang digunakan adalah berbagai institusi, kelompok mau pertemuan pertemuan masyarakat Purpose Tujuannya adalah memberikan gambaran atau sosialisasi atas berbagai bahasan syar’i dari bahasan bhatsul masail
56
Pada pola komunikasi kelompok Pesantren Salafiyah, Kyai memiliki forum resmi yang rutin diselenggarakan bersama para Kyai lain dari pesanten Salafiyah yang ada di Banten. Forum itu dinamakan Bathsul Masail, suatu pertemuan yang membahas berbagai persoalan yang berkembang di masyarakat, berkaitan dengan upaya penegakan ketauhidan dan hukum Islam (syar’i) agar sesuai dengan tuntunan agama. Misalnya pembahasan penyembelihan sapi dengan cara ditembak agar dipingsankan lebih dahulu, berhaji dengan cara berhutang ke Bank dan masalahmasalah lainnya. Forum ini terus berkembang sejalan dengan pengelompokkan masyarakat yang berinteraksi dan berkomunikasi dengan masing-masing Pesantren Salafiyah mau sang Kyai dari Pesantren tersebut secara kelompok mulai dari kelompok pengajian hingga organisasi resmi, baik ditingkat pemerintahan mau swasta. Pola komunikasi kelompok Pesantren Salafiyah membentuk modal sosial dalam masyarakat, menjadi alternatif atas tipisnya modal sosial pada pembangunan di Banten. Lemahnya modal sosial pembangunan di Banten menyebabkan pudarnya karakter dan keringnya nilai-nilai dasar dari suatu pembangunan dan nilai-nilai dari tujuan pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Dalam konteks ini, salah satu wartawan senior dari Koran lokal yang berpengaruh di Banten (Radar Banten), Amrin mengatakan: Semua tidak meragukan potensi Banten. Namun pengelolaan pemerintahan dan pembangunan tidak dilakukan dengan kejujuran. Selalu ada indikasi praktek korupsi dan salah urus kepemerintahan. Oleh karena itu, kejujuran menjadi inti persoalan dari tidak terselesaikannnya dalam pembangunan karakter di Banten. Hal ini menyebabkan ketiadaan keteladan kepemimpinan publik yang seringkali berbeda antara ucapan dan perilaku, ketidakpercayaan kepada parpol dan elit-elit politik yang memimpin serta timbulnya pragmatism masyarakat akibat pola dan sikap transaksionalis pelaku pembangunan. Seperti di daerah lainnya, Banten mengalami krisis kepemimpinan yang akut, ketiadaan etika diantara elit politik dan pemerintahan, korupsi yang merajalela, pragmatisme dan transaksionalisme serta mentalitas simbiosisme yang meruntuhkan nilai-nilai dasar karakteristik pembangunan yang dicita-citakan, nilai-nilai islam yang diagungkan. Sebaliknya resistensi konflik di berbagai sendi kehidupan mendasar masyarakat begitu tinggi. Hal ini semakin terasakan di ranah politik. Keberadaan dinasti politik yang mengusung kekuasaan keluarga dalam demokrasi tidak pula memberi manfaat bagi upaya peletakan dasar tabiat perilaku pelaku pembangunan yang dapat dipercaya oleh masyarakat. Proses pilkada dipercaya menjadi tali simpul yang kuat atas jalinan temali korupsi yang kuat. Dimulai dengan keterpilihan pejabat publik yang tergadaikan oleh investasi kapitalisasi politik yang besar. Mulai dari “sewa perahu” untuk mendapatkan parpol pengusung calon pejabat publik, biaya pencitraan politik yang tinggi, membangun pengaruh di masyarakat melalui kekuatan materi dan praktek-praktek penggelembungan suara yang melibatkan sistem dan orang-orang yang berada di dalam sistem tersebut secara sistematis. Setidaknya
57
menjadi rahasia umum, pilkada dimana, termasuk di Banten, petahana menjadi aktor yang dapat memainkan secara leluasa anggaran Negara di daerah menjadi resources kampanyenya dan hegemoni atas perangkat pemerintahan untuk tetap memberi dukungan kepada dirinya. Pola Komunikasi Publik Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Sisi lain yang paling signifikan dan dikenal dari pesantren Saafiyah adalah lembaga dakwah. Melalui dakwah, Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin menyebarkan berbagai pesan pembangunan melalui gagasan, dan praktek ibadah yang ditiru, kemudian berfungsi menjadi transmisi komunikasi publik di sepanjang ikatan-ikatan pertemanan atau arus pengaruh (influence flow) dalam sebuah jaringan sosial, melalui ikatan-ikatan yang multy people atau multy network yang menghasilkan jaringan-jaringan sosial yang serupa. Dalam hal ini, pola komunikasi publik Pesantren Salafiyah adalah lingkungan jaringan-jaringan sosial yang serupa sebagai hasil dari proses "tranmisinya" Kyai Keluarga
Personal
Lingkungan terdekat
Ustadz Santri
Masyarakat
Gambar 6.7 Pola Komunikasi Publik Pesantren Salafiyah Al Munawar dan Proses Transmisinya
58
Berdasarkan pola komunikasi publik, Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dapat dikaji Pentad Analysisnya sebagai berikut: Tabel 6.7 Kajian Pentad Analysis Pola Komunikasi Publik Pesantren Salafiyah AlMunawar Bani Amin Teori Kajian Scene Komunkasi yang dijalin oleh Kyai pimpinan Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin dilakukan melalui dua bentuk komunikasi, yakni Kyai sebagai personal yang melakukan pendekatan dan interaksi sebagai pimpinan informal masyarakat, alim ulama dan pimpinan Pesantren yang selanjutnya diejawantahkan atau ditiru oleh Ustadz dan para santri sebagai bentuk dari komunikasi tidak langsung dari Kyai. Bentuk yang kedua komunikasi Kyai melalui keluarga yang tertransmisikan melalui lingkungan terdekat keluarga Kyai dan kedua bentuk komunikasi inilah yang kemudian sampai menjadi satu pembelajaran bagi masyarakat luas Agent Kyai, Ustadz, Santri, Keluarga Kyai Act Karakteristik dan pemikiran utama dari komunikasi ini adalah menjaga kewibawaan kelembagaan pesantren dan personifikasi Kyai dan memelihara nilai-nilai luhur di dalamnya Agency Instrumennya adalah berbagai pranata sosial yang tercipta di dalam kelembagaan pesantren dan keluarga Kyai Purpose Membangun kepercayaan masyarakat atas nilai-nilai dasar Pesantren Salafiyah dan ketauladanan Pesantren Salafiyah Kesuksesan transmisi pesan Kyai Salafiyah, dimulai dari lingkungan yang paling dekat terlebih dahulu, seperti hubungan kekeluargaan dengan keluarga Ustadz dan santri yang kemudian menjadi suatu pesan yang ditaati dilingkungan yang lebih luas lagi yakni masyarakat disekitarannya. Termasuk transmisi pesan yang dimulai melalui keluarga menjadi makna yang tersampaikan secara baik dilingkungan terdekat dengan keluarga besar Kyai, kepada masyarakat melalui interaksi dengan tetangga tetangga terdekat. Transmisi pesan dalam pola komunikasi publik berisi pesan keagamaan lebih mendominasi (70%), terkait dengan tema penyelenggaraan acara keagamaan yang diadakan, seperti hukum keagamaan dan tuntutan keagamaan tentang pernikahan ketika berada dalam undangan hajatan pernikahan, berisi tuntunan anak sholeh jika berada dalam acara walimatul hajat. Sedangkan pesan pembangunan yang diberikan meliputi semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara meliputi politik, sosial, ekonomi, budaya yang intinya mengarah kepada suatu tuntutan untuk menyikapi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara secara jujur, takut untuk berbuat dosa dan membangun kesadaran berbicara benar walau itu menyakitkan.
59
Tabel 6.8 Isi Pesan Tausiyah Kyai Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin Jenis Pesan Volume Pesan Keagamaan 70% Pembangunan 30% Pesantren Salafiyah memyai kebebasan berkomunikasi sesuai dengan kebutuhan dan pengalamannya. Oleh karena itu, siapa memilih siapa atau siapa dipilih siapa merupakan hal yang penting. Muatan sosial yang mengalir ketika Kyai memilih hubungan sosial dengan seseorang dan tidak kepada yang lain secara sosial membentuk jaringan hubungan sosial yang berbeda. Selain Itu, dalam setiap hubungan sosial yang terbina belum tentu atau tidak selalu bersifat "timbal balik" (resiprokal). Pesantren Salafiyah tidak selalu menggunakan semua hubungan sosial yang dimilikinya dalam mencapai tujuan-tujuannya, tetapi disesuaikan dengan tujuantujuan yang ingin dicapainya atau konteks sosialnya sehingga dalam rangka pencapaian tujuan, biasanya selalu diikuti dengan konfigurasi jaringan hubungan sosial tertentu. Seperti halnya ketika berhubungan dengan media massa. Dalam konteks memahami hubungan sosial yang ada, keberadaan Pesantren Salafiyah juga berkepentingan terhadap pesan-pesan keagamaan yang mesti disampaikan secara luas kepada khalayak melalui media atau sebaliknya media membutuhkan keberadaan suatu permasalahan melalui persepsi dan intrepretasi kaum sarungan. Dalam pola ini Pesantren Salafiyah tidak berbicara atas nama pesantrennya kepada media atau menggunakan pesantrennya untuk kepentingan berstatement dalam media. Keterlibatan dalam media biasanya merupakan keterlibatan bersama dalam organisasi resmi seperti NU mau MPS (Majelis Pesantren Salafiyah) baru kemudian menjadi narasumber berita yang biasanya ditempatkan menjadi second opinion oleh media lokal. Kondisi ini terjadi dimungkinkan karena Pesantren Salafiyah berupaya menjadikan kontekstual pesantren hanya pada kepentingan ibadah. Menempatkan keberadaan organisasi bersama sebagai sarana untuk bersuara adalah suatu kebersatuan Kyai di dalamnya. Pola komunikasi publik yang Pesantren Salafiyah yang diperankan membentuk pola atau model jaringan komunikasi tertentu, dimana Kyai menjadi pemuka, yaitu orang yang mempengaruhi orang-orang lain secara teratur dengan pesan tertentu secara konsisten. Proses komunikasinya dua arah dan interaktif di antara partisipan yang terlibat. Berlo (1960) menganggap partisipan ini sebagai transciever, karena keduanya mengirim dan menerima pesan-pesan. Jadi tidak hanya menjalankan satu fungsi sebagai penerima atau pengirim pesan belaka. Terciptanya kesamaan makna akan suatu informasi antara komunikator dan komunikan merupakan tujuan utama berkomunikasi. Hubungan interaktif antara komunikator dengan komunikan menggunakan saluran jaringan komunikasi, yaitu saluran untuk menyampaikan pesan dari satu orang kepada orang lain.
60
Pola Komunikasi Massa Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Pola komunikasi massa Pesantren Salafiyah tercipta dengan masyarakat secara luas yang berkepentingan terhadap penataan mental spritualnya dalam kehidupannya. Jaringan komunikasi massanya menggambarkan "how say to whom" (siapa berbicara kepada siapa) dalam suatu sistem sosial. Jaringan komunikasi ini menggambarkan komunikasi interpersonal, dimana terdapat pemuka-pemuka opini dan pengikut yang saling memiliki hubungan komunikasi pada suatu topik tertentu, yang terjadi dalam suatu sistem sosial tertentu seperti sebuah desa, sebuah organisasi, atau sebuah perusahaan (Gonzales, 1993). Pola komunikasi massa Pesantren Salafiyah tercipta dengan masyarakat secara luas dalam kerangka mengkonstruksi hukum, nilai dan norma bersama, yang pada akhirnya mengikat satu sama lain. Konstruksi tersebut, secara tidak langsung mencerminkan kualitas hubungan sosial yang terbangun yang selanjutnya menentukan derajat solidaritas dalam saling keterhubungan tersebut. Konfigurasi hubungan sosial ini berasal dari pola pilihan hubungan interpersonal Kyai melalui pertemanan dan atau hubungan-hubungan sosial lainnya berbasis pada persepsi dan pengalaman pribadi masing-masing baik dalam skala kecil mau skala besar. Pengelompokan-pengelompokan komunikasi sosial yang ada di jaringan pesantren Salafiyah terbangun dari pilihan hubungan personal sederhana, terdiri atas hubungan antara dua orang dan hubungan antara tiga orang, berkembang menjadi seperangkat rangkaian hubungan sosial hingga menjadi sebuah jaringan sosial yang sangat besar dan sangat kompleks, yaitu masyarakat. Pola komunikasi massa Pesantren Salafiyah adalah bangunan kehidupan sosial yang besar dan kompleks, sering disebut sebagai konfigurasi hubungan sosial yang mengikat organisasi- organisasi sosial yang ada di masyarakat, di mana organisasi-organisasi sosial itu sendiri juga merupakan sebuah jaringan hubungan yang dibangun melalui interaksi dan hubungan sosial manusia yang satu dengan yang lain. Konfigurasi sosial membentuk sebuah masyarakat (sederhana atau bersahaja mau yang kompleks; pedesaan atau perkotaan) terdiri atas berbagai "satuan-satuan sosial" yang lebih kecil seperti keluarga, asosiasi-asosiasi atau organisasi sosial yang di dalamnya terdapat pula pengelompokan- pengelompokan sosial yang anggotaanggotanya intim satu sama lain yang terikat melalui pesan-pesan komunikasi yang konstan dan berkomitmen. Komunikasi massa Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin merupakan bentuk komitmen terhadap visi pembangunan kualitas takwa manusia, berbeda dengan penetapan prioritas pembangunan di Banten tidak mengaitkan sama sekali bagaimana pembangunan karakter sebagai basis modal sosial masyarakat bisa dikembangkan. Prioritas pembangunan Provinsi Banten 2014 justru memfokuskan pada tujuh bidang pertumbuhan fisik saja terdiri atas: pertama, pembangunan infrastruktur konektivitas dan daya dukung pusat-pusat pertumbuhan di Provinsi Banten. Kedua, revitalisasi investasi dalam upaya memperluas lapangan kerja baru, ketiga, pembentukan Bank Banten serta membentuk perusahaan penjamin kredit daerah. Keempat, optimalisasi peningkatan daya saing Sumber Daya Manusia (SDM). Kelima, percepatan penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, pelestarian
61
lingkungan hidup dan mitigasi bencana. Keenam, reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan daerah. Ketujuh, menyukseskan Pemilu 2014 (Antara News: April 2013). Latar Pola Komunikasi Massa Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Komunikasi massa Pesantren Salafiyah lahir dari akibat prioritas pembangunan di Banten yang tidak menstimulir kebutuhan dan pendekatan pembentukan karakter pembangunannya. Tetapi lebih kepada pertumbuhan fisik semata. Pemantapan pembangunan infrastruktur konektivitas dan daya dukung pusatpusat pertumbuhan di Provinsi Banten, berkaitan dengan kebijakan pemerintah pusat karena Banten dijadikan salah satu daerah yang termasuk dalam masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) koridor JawaSumatera. Bandara Banten Selatan, jalan tol akses Serang-Panimbang, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata Tanjung Lesung termasuk pembangunan Waduk Karian menjadi target capaian MP3EI. Pada beberapa program yang diluncurkan pemerintah provinsi Banten, bisa dikatakan terpolitisasi. Nama-nama program yang digunakan diidentikan dengan pribadi Gubernur (Ratu Atut Chosiyah, SE), sehingga memberi kesan bahwa program tersebut adalah terpisah dari pemerintah dan seakan-akan dibiayai oleh pribadi Ggubernur. Kesan ini tentu saja membuka celah politisasi program pembangunan, yakni kemungkinan tidak akan tersentuhnya kelompok masyarakat yang secara politik tidak mendukung kekuasaan Gubernur atau kelompok masyarakat yang berbeda pandangan maupun kepentingan politiknya. Kemungkinan ini terbuka lebar mengingat bantuan dana hibah yang pernah diberikan kepada kelompok masyarakat yang masih memiliki kekerabatan atau kesamaan pandangan serta kepentingan politiknya. Adapun program-program pembangunan yang kemungkinan dipolitisasi adalah: Gerakan Pembangunan Kecamatan Banten Bersatu (Gerbang Ratu), berupa kegiatan bantuan keuangan dari Pemprov Banten pada kabupaten/kota untuk infrastruktur kecamatan yang diintegrasikan dengan program PNPM Mandiri. Anggaran yang dikeluarkan untuk program tersebut Rp154 miliar untuk 154 kecamatan. Gerakan Aksi Membangun Pertanian Rakyat Terpadu (Gempita Ratu), yang merupakan upaya Pemprov Banten untuk melaksanakan program pembangunan pedesaan yang didominasi pada sektor pertanian. Selain itu program Jaminan Sosial Rakyat Terpadu (Jamsosoratu) yang merupakan program jaminan bagi rumah tangga sangat miskin (RTSM) dengan alokasi anggaran sekitar Rp4,6 miliar bagi sekitar 2000 rumah tangga sasaran. Orientasi pada pembangunan dan pertumbuhan secara fisik semakin terlihat dari orientasi pembangunan yang ingin diwujudkan sebagai salah satu kawasan andalan nasional di Indonesia di sektor industri dan pariwisata. Kedua sektor andalan tersebut tersebar di wilayah Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Cilegon. Di Kota Cilegon pula terdapat pabrik baja Krakatau Steel yang didirikan pada tahun 1966, sebagai bakal tumbuhnya
62
industri-industri baru, dan berkembangnya pelabuhan di Banten. Pertumbuhan industri tersebut, mendorong kemajuan wilayah dan perekonomian daerah, sehingga secara nasional Banten tergolong sebagai wilayah cepat tumbuh. Untuk memacu perkembangan wilayah dan megakselerasi tumbuhnya industri di Banten, telah diprogramkan beberapa pembangunan proyek strategis yang berskala nasional dan internasional, yaitu pembangunan Pelabuhan Internasional Bojonegara, pembangunan Jembatan Selat Sunda (Jawa-Sumatera), pengembangan Jaringan Jalan Cincin (ring road) pantai utara-selatan Baten, peningkatan jalan tol dan jalan kereta api (double track), perluasan bandara Soekarno-Hatta, pembangunan supply air baku waduk karian, peningkatan kapasitas power plant, jaringan kilang gas dan storage BBM, pengembangan kawasan ekonomi khusus dan cluster industri petro kimia. Dengan dikembangkannya infrastruktur pedukung wilayah yang memadai tersebut, menjadikan Banten ke depan sebagai wilayah tujuan utama investasi di Indonesia yang memiliki tingkat daya saing yang tinggi. Pertumbuhan dan perkembangan pembangunan di Banten hampir tidak memberikan tempat bagi perkembangan pertumbuhan Pesantren Salafiyah, baik pada sisi perkembangan kekuatan potesinya maupun nilai-nilainya. Oleh karena itu, Pesantren Salafiyah berkembang secara terpisah dalam upaya membangun mentalitas masyarakat dengan segenap kegiatan yang tercipta melalui komunikasi massa, yakni syiar agama secara langsung oleh Kyai. Tabel 6.9 Intensitas Pola Komunikasi Massa Pesantren Salafiyah Al Munwar Bani Amin Dimensi Rata-rata kegiatan Total komunikasi massa yang dilakukan Kyai dan Ustadz/hari Kyai Ustadz Tempat 4 2 6 Massa (Orang) 300 150 450 Pola komunikasi massa Pesantren Salafiyah membentuk hubungan sosial sebagai modal sosial dari ikatan-ikatan sosial dan budaya. Kyai berperan mengembangkan sebuah sikap sosial dan pengaruh sosial, serta peluangnya. Kyai sebagai aktor dalam hal ini dilihat sebagai agent yang sangat aktif. Modal sosial dalam pola komunikasi massa Pesantren Salafiyah mencerminkan variasi kesuksesan fungsi dari ikatan sosial dalam kerangka difusi dan pengaruh sosial yang mencoba menjelaskan masalah homogenitas dalam sikap aktor, keyakinan, dan praktekprakteknya. Hubungan sosial selanjutnya menjadi modal struktural. Pada level aktor, modal sosial memusatkan perhatiannya pada manfaat bagi aktor baik dalam hal menduduki posisi sentral dalam jaringan atau memiliki sebuah ego-network dengan sebuah struktur tertentu. Aktor secara khas dilihat sebagai agent yang aktif dan rasional.
63
Selain itu, hubungan sosial juga sebagai akses sumberdaya. Kesuksesan Kyai adalah sebuah fungsi dari kualitas dan kuantitas sumberdaya yang dikontrol oleh alter-alter si aktor. Ikatan-ikatan yang dimiliki ego dengan para alternya adalah berupa pipa penyalur (conduits) melalui mana ego dapat mengakses sumberdaya itu. Jenis-jenis ikatan yang berbeda memiliki kapasitas-kapasitas yang berbeda untuk mengekstrak atau menyuling sumberdaya-sumberdaya. Sebagaimana halnya dengan modal struktural, para aktor secara khas, dilihat secara implisit sebagai agen yang aktif, rasional dan yang berpengaruh, membentuk ikatan-ikatan sosial untuk mencapai tujuan-tujuannya. Hubungan sosial yang yang terwujud di dalam komunikasi massa, Kyai berperan memenuhi kebutuhan atau persoalan yang dihadapi masyarakat dan aturan-hukumnorma yang berlaku, bisa diperoleh secara lebih tepat. Selanjutnya, dengan teridentifisikannya kebutuhan dan persoalan yang dihadapi masyarakat serta aturanhukum-normanya, Kyai Salafiyah dapat mengelolanya (memformulasikan) menjadi "bahan/materi" Tausyiah sehingga menjadi relatif lebih mudah diterima dan mendapat dukungan respon masyarakat secara baik. Hal ini didukung oleh sikap Kyai sendiri yang menselaraskan antara sikap dan perkataan, suatu sikap yang jarang ditemui di kepemimpinan pemerintahan. Jaringan-jaringan sosial yang terwujud dalam masyarakat oleh Pesantren Salafiyah digunakan sebagai saluran komunikasi untuk mensosialisasikan (mempengaruhi, menanamkan, merubah mindset ) isi pesan tausyiah yang ditawarkan menjadi kontrol, monitoring dan koordinasi terhadap fluktuasi sosial yang terjadi dalam masyarakat, seperti pemanfaatan jaringan komunikasi massa. Pola komunikasi pengumpulan massa dalam Pesantren Salafiyah biasanya terkait dengan mobilisasi acara-acara keagamaan, seperti istighotsah dalam rangka berdoa untuk keselamatan atas suatu persoalan atau peresmian acara tertentu, seperti istighotsah peresmian Majelis Pesantren Salafiyah yang dihadiri sekitar 6.000 orang, istighotsah pelantikan NU Kota Serang, dihadiri sekitar 3.500 orang. Acara Panjang Mulud yang setiap tahunnya dihadiri lebih dari 10.000 orang pada peringatan acara yang bersamaan namun terpisah di tempat masing-masing.
Gambar 6.10 Pengorganisasian Massa Istighotsah Nahdatul Ulama melalui Pesantren Salafiyah medio Oktober 2012 yang dihadiri lebih dari 6.000 orang
64
Gambar 6.11 Pengorganisasian Kyai se-Banten dan massa dalam istighotsah dan deklarasi Majelis Pesantren Salafiyah, Mei 2011, menghadirkan lebih dari 4.000 orang. Pola Komunikasi Organisasi Ponpes Salafyah Al Munawar Bani Amin Dalam pola komunikasi organisasi Pesantren Salafiyah semua terpusat pada Kyai sebagai sentral pemangku semua aspek kebijakan organisasi baik secara top down mau secara bottom up, seperti gambar berikut ini: Kyai
Ustadz
Santri
Masyarakat
Gambar 6.12 Pola Dasar Komunikasi Organisasi Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin
65
Pada struktur komunikasi organisasi, aliran komunikasi yang terjadi melingkupi semua kebutuhan siapa berbicara kepada siapa akan sangat tergantung pada konteks persoalannya. Artinya tidak terjadi dikotomi antara Kyai sebagai sentral komunikasi dengan segenap komunikator lainnya dengan pola yang berbeda seperti gambar dibawah ini.
Ustadz
Kyai
Santri
Kyai
Ustadz
Santri
Gambar 6.13 Struktur Komunikasi Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Kyai mengayomi setiap struktur komunikasi antara pola penyebaran informasi dua arah antara Ustadz dan santri mau kepada salah satu pihak saja. Termasuk struktur komunikasi dimana Kyai membawahi Ustadz maupun santri dalam hubungan semua informasi dapat di akses kesemua pihak. Dari struktur komunikasi Pesantren Salafiyah Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dapat dikaji Pentad Analysisnya sebagai berikut: Tabel 6.10 Teori Scene
Agent Act
Agency Purpose
Kajian Pentad Analysis Pola Komunikasi dan Struktur Organisasi Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Kajian Pola komunikasi oragnisasi dan struktur di dalamnya baik yang berlangsung secara top down atau bottom up antara Kyai, Ustadz, Santri dan masyarakat mau sebaliknya, Kyai memegang peranan penting dalam struktur mau pola komunkasi tersebut. Kyai menjadi sentral dari komunikasi organisasi mau struktur komunikasi yang terjadi Kebijaksanaan dan kewibawaan Kyai menjadi karakter dan pemikiran utama dari arus pola komunikasi ditingkat organisasi mau struktur kmunikasinya Instrumen Kyai dan keluarga Kyai Keterbukaan informasi dalam etika dan tatanan komunikasi pesantren
66
PERAN PESANTREN SALAFIYAH AL-MUNAWAR BANI AMIN DALAM PEMBANGUNAN DI PROVINSI BANTEN Pesantren Salafiyah tumbuh dengan varian tersendiri sejalan dengan kebutuhan, peran dan partisipasi masyarakat di lingkungan pesantren tersebut berada. Pesantren Salafiyah menjadi pusat pembelajaran, kebudayaan dan sosial keagamaan bagi masyarakat. Namun keberadaan Pesantren Salafiyah sendiri masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Ketimpangan dan sikap diskriminasi dari pemerintah ini mendapat respon dari para Kyai Salafiyah dari seluruh Indonesia dengan menggelar Halaqoh pada akhir Januari 2010 di Pesantren Al-Yasini, Pasuruan Jawa Timur, dihadiri Mentri Agama, Suryadharma Ali. Halaqah ini mendesak pemerintah, bahwa sudah waktunya memberikan pengakuan terhadap lembaga pendidikan Pesantren Salafiyah. Kemudian dilanjutkan oleh Halaqoh berikutnya di UIN Maliki Malang pada 8 Maret 2010 yang menghasilkan pemikiran seperti yang dirumuskan Imam Suprayogo berikut: Pesantren Salafiyah mendesak pemerintah agar mengakui eksistensinya sebagai lembaga penyelenggara pendidikan sebagaimana pendidikan lainnya; mengkategorikan pesantren ke dalam tiga tipologi: Pesantren Salafiyah, pesantren khalaf (modern) dan pesantren campuran atau kombinasi (komplementer). Dari ketiga tipologi ini, yang paling mendesak segera mendapat pengakuan adalah Pesantren Salafiyah, agar segera dibentuk Dewan Pertimbangan Pesantren Salafiyah secara nasional atau minimal regional, yang bertugas memberikan pertimbangan kepada Kementrian Agama dalam merumuskan kriteria status diakui sebuah Pesantren Salafiyah, diperlukan pedoman garis-garis besar kriteria dalam memberikan status diakui, pedoman pembentukan Dewan Pertimbangan Pesantren Salafiyah, dan draft Surat Keputusan Menteri Agama Kondisi diskriminatif ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Banten. Padahal Pesantren Salafiyah di Banten hampir seluruhnya menyerap santri dari anakanak keluarga miskin dengan tidak memungut bayaran sama sekali (keterangan KH. Matin Syarkowi, Ketua Majelis Pesantren Salafiyah Banten, 15 September 2011). Bahkan Pesantren Salafiyah atau tradisional di Banten merupakan yang terbesar jumlahnya, seperti ditunjukkan di bawah ini:
67
Tabel 7.1 Jumlah pesantren di Banten No Nama tempat Jumlah Jumlah Jumlah Pesantren Pesantren Salafyah Pesantren Modern Kombinasi 1 Kab Tangerang 522 71 72 2 Kab Serang 65 43 20 3 Kab Pandeglang 983 97 30 4 Kab Lebak 481 87 53 5 Kota Tangerang 615 43 71 6 Kota Cilegon 55 18 36 7 Kota Serang 40 3 15 Sumber: Kementrian Agama Provinsi Banten Diskriminasi terhadap Pesantren Salafiyah itu sendiri terjadi dalam kultur pembangunan islami dan mayoritas penduduknya adalah muslim 90% (9.608.439) dari 11.005.518 (BPS Provnsi Banten, 2011) dan kuatnya kepemimpinan tokoh-tokoh Pesantren Salafiyah. Dalam pandangan Pesantren Salafiyah di Banten (Kesimpulan Diskusi pondokPesantren Salafiyah dengan Tema Pesantren Salafiyah dan nilai-nilai pembangunan di Banten, 12 Februari 2011, di Pesantren Al-Fathoniyah, Serang Banten) dikemukakan bahwa: 1. Nilai – nilai dasar pembangunan di Banten telah terdistorsi, hampir seluruh spektrum dan instrumen pembangunan bersifat pragmatis, sekularis dan transaksionalis dalam sistem sosial dan politik yang korup. Bentuk dan jalannya demokratisasi membuat pola tersendiri yang sulit dipahami, yakni menguatnya dinasti politik secara luas, didukung kapitalisasi politik yang kuat. Desentralisasi yang berjalan sebagai amanat dari perundang-undangan serta buah dari reformasi lebih bersifat sentralistik, ditengah gempuran globalisasi yang terus mencerabut nilai-nilai dan kelembagaan tradisional. Pesantren Salafiyah adalah basis terakhir dari nilai-nilai dasar yang dianut dan diakui serta diharapkan menjadi perlawanan terakhir terhadap nilai-nilai yang merugikan. 2. Pemerintah provinsi Banten belum menerima Pesantren Salafiyah sebagai lembaga pendidikan dan santrinya adalah pelajar. Citra lembaga pendidikan yang diciptakan oleh pemerintah adalah apa yang sekarang digambarkan sebagai pendidikan modern dan pelajar adalah peserta didik yang tergambar dalam pendidikan modern saat ini. Hal ini diperburuk dimana keberadaan Pesantren Salafiyah sebagai lembaga pendidikan yang berada dibawah naungan Departemen Agama yag memiliki perbedaan signifikan dalam memotivasi, memberikan hak atas pendanaan pendidikan dan upaya mendorong kualitas pendidikan dengan Departemen Pendidikan Nasional 3. Diskriminasi ini semakin terasakan oleh para Kyai Salafiyah dalam suatu atmosfer pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan provinsi Banten secara substansial tidak menyentuh pondasi nilainya, yakni iman dan taqwa. Padahal Pesantren Salafiyah, sebagai lembaga pendidikan yang telah lahir sejak 300-400 tahun lalu (Mastuhu, 2004) merasa berkepentingan dan menjadi bagian dari pondasi religiusitas dan budaya di Banten. Pembangunan tidak hanya
68
4.
5.
menyangkut pertumbuhan dan perkembangan fisik saja, tetapi juga mesti menyentuh pada pengembangan pembangunan ahlak dan karakterisitik keaslian budayanya dalam kerangka menjaga keutuhan jiwa dalam pembangunan itu sendiri. Diskriminasi yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi persepsi masyarakat bahwa sesuatu yang tradisional itu tidak laku. Hal ini menjadi bagian sangat mendasar mengapa masyarakat terkesan meninggalkan lembaga pendidikan Pesantren Salafiyah dan memilih lembaga pendidikan modern. Dengan kata lain, sosialisasi pendidikan dan rujukan pemerintah yang deras pada kelembagaan pendidikan modern saat ini memberikan dampak serius terhadap keberadaan, citra dan substansi Pesantren Salafiyah sebagai basis budaya yang mestinya terus dijaga. Perasaan adanya diskriminasi ini dirasakan kuat oleh para Kyai pimpinan Pesantren Salafiyah secara sistematis dalam kebijakan pembangunan pemerintah. Padahal menurut “kaum sarungan” diskriminasi tidak boleh terjadi jika merujuk pada visi, misi dan tujuan pendidikan nasional yang berdiri diatas kebhinekaan. Dimana modernisasi mesti dirujuk kembali pada definisi yang sesungguhnya sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa modernisasi meninggalkan akar sejarah dan budaya bangsanya. Apalagi berbeda dengan akar budayanya. Oleh karena itu, keberadaan Pesantren Salafiyah secara budaya, sebagai soko guru pendidikan berkarakter banyak ditinggalkan masyarakat karena lemahnya komunikasi dan partisipasi pemerintah dalam mendukung dan mendesain pesan pembangunan terhadap keberadaan Pesantren Salafiyah sebagai bagian dari budaya yang tidak bisa dipisahkan.
Hasil diskusi pondok-Pesantren Salafiyah ini menjadi dasar disepakatinya pembentukan organisasi Majelis Pesantren Salafiyah oleh para pimpinan Pesantren Salafiyah pada tanggal 9 Mei 2011dengan akta notaris. Dideklarasikan pada tanggal 18 Mei 2011 di Alun-Alun Serang Banten dengan menggelar Istighozah yang dihadiri lebih dari empat ribu orang terdiri atas santri dan Kyai pengelola Pesantren Salafiyah. Dalam Deklarasi tersebut dituangkan isi dan maksud perjuangan MPS, sebagai berikut:
69
DEKLARASI MAJELIS PESANTREN SALAFIYAH BISMILLAHIRROHMAANIRROHIM ASYHADU ALLA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADARROSULULLAH DENGAN IZIN DAN PERTOLONGAN ALLAH SWT, HARI INI TANGGAL 18 MEI 2011 ATAU 15 JUMADIL AKHIR 1431, KAMI PIMPINAN DAN SANTRI PESANTREN SALAFIYAH DENGAN INI MENDEKLARASIKAN BERDIRINYA: MAJELIS PESANTREN SALAFIYAH SEBAGAI SARANA PERJUANGAN UNTUK MELESTARIKAN DAN MENGEMBANGKAN PESANTREN SALAFIYAH DI BANTEN. PARA DEKLARATOR 1.ABUYA KH.MUHTADI DIMYATI 2.KH. OBING SUROCHMAN 3.KH.TB. WARDI 4.KH. UMAIDI 5.KH.ARIMAN ANWAR 6.KH. HUDRI 7. KH. KURTUBI ASNAWI 8. KH. THOHIR THOHA 9.KH. MUHAMAD NASIR 10.KH.SHOBRI MAN’US 11. KH. AS’YARI AMRI 12. AHMAD 13. FIRMAN SYARIF 14. H. BUNTARA 15. KH. JAMALUDIN 16. DRS.KH. MATIN SYARKOWI 17. KH. WAWANG MUNAWAR HALILI KETUA UMUM MPS DRS.KH. MATIN SYARKOWI
SEKRETARIS MPS KH. WAWANG MUNAWAR HALILI
Tujuan dari deklarasi ini adalah memperjuangkan aspirasi Pesantren Salafiyah dan mengkomunikasikan semua permasalahan dan maksud dari keberadaan MPS kepada semua pihak yang terkait dengan keberadaan Pesantren Salafiyah. Kendati belum mendapatkan respon yang memadai. Langkah ini menjadi satu perjuangan panjang. Perjuangan lain yang dilakukan MPS juga aktif memberikan pandangan, masukan dan respon atas setiap permasalahan yang timbul di masyarakat yang berkaitan dengan persoalan ahlak dan keagamaan. MPS adalah wadah Pesantren Salafiyah untuk memperjuangkan Keberadaan Pesantren Salafiyah sebagai lembaga pendidikan sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, berakar pada nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan nasional. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengamanatkan pelaksanaan otonomi daerah pada tujuan memberdayakan, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas masyarakat demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara merata tanpa diskriminasi. Dilain pihak, keberadaan Pesantren Salafiyah di Banten juga berperan sebagai medium budaya dalam kehidupan masyarakat. Peranan Kyai dalam menentukan pembentukan pandangan hidup dan nilai-nilai dalam masyarakat dapat menjadi
70
manivestasi penentuan modernitas budaya dalam masyarakat yang dianggap boleh dipakai dan mesti dibuang.
Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dibidang Budaya dan Keagamaan Berbagai forum silaturahmi dan gerakan budaya yang digelar Pesantren Salafiyah di Banten akhirnya membuahkan hasil, yakni lahirnya Perda No. 7 di tetapkan pada tanggal 18 Oktober Tahun 2012, berisi tentang aturan penyelenggaraan pendidikan di Banten dalam satu platform otonomi daerah. Bisa jadi ini adalah perda yang lahir sebagai jawaban pemerintah atas gejolak dan tuntutan Pesantren Salafiyah tiga tahun sebelum perda ini terbit. Dimana Pesantren Salafiyah se-Banten mendirikan Majelis Pesantren Salafiyah (MPS) sebagai wadah berhimpun untuk menyikapi sikap pemerintah yang tidak memandang dan memperhatikan Pesantren Salafiyah sebagai asset budaya dan warga Negara yang turut pula memberikan kontribusi kepada pembangunan Banten terutama kontribusi turut membayar pajak dalam pembangunan Banten. Pendirian MPS menjadi sarana perlawanan kaum Salafiyah terhadap berbagai pertumbuhan dan ekses pembangunan yang tidak sesuai dengan budaya Banten dan nilai-nilai Islam di dalamnya, seperti mengawal perda hiburan agar tidak dimanfaatkan pihak-pihak pengusaha tertentu mendirikan berbagai tempat hiburan yang menjurus pada hiburan yang merusak moral generasi muda Banten. MPS juga aktif memperjuangkan kepentingannya, yakni menjadi lembaga pendidikan yang diakui tanpa diskriminasi, berdialog dengan semua pihak terkait, terutama anggota DPRD Banten dari semua fraksi dan pemerintah. Pesantren Pesantren Al-Munawar Bani Amin menjadi salah satu motor penggerak MPS, Kyai Wawang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal MPS Banten. Kendati perda ini tidak secara khusus mengatur tentang Pesantren Salafiyah namun perda no.7 tahun 2012 telah menempatkan Pesantren Salafiyah sebagai bagian dari salah satu subjek pendidikan di Banten. Setidaknya Pesantren Salafiyah termasuk di dalam suatu tujuan penyelenggaraan pendidikan yang bertujuan mewujudkan ketersedian, keterjangkauan, kebermutuan, kesetaraan, dan keberlanjutan dalam penyelenggaraan pendidikan melalui regulasi yang memberikan kepastian dalam koordinasi dan sinkronisasi sumber daya pendidikan, pembiayaan pendidikan infra dan supra struktur pendidikan. Ada yang menggembirakan bagi Majelis Pesantren Salafiyah (MPS) Banten dengan lahirnya Perda No.7 Tahun 2012 Tentang penyelenggaraan Pendidikan di Banten. Perda ini memiliki semangat untuk membantu Pesantren Salafiyah di Banten yang diklasifikan sebagai lembaga pendidikan non formal. Perda ini sendiri diyakini oleh MPS sebagai buah dari perjuangan MPS Banten menyikapi diskriminasi pemerintah yang tidak menempatkan Pesantren Salafiyah sebagai kekuatan budaya yang turut berkontribusi dalam pembangunan daerah secara nyata. Pada awalnya Perda yang diusulkan MPS adalah Perda Tahfidz melalui sejumlah kunjungan
71
audiensi kesejumlah fraksi DPRD Banten dan sejumlah dinas terkait, sebelum perda no.7 tahun 2012 lahir. Sayangnya, kelahiran Perda No.7 tahun 2012 memberi kesan bahwa pemuatan Pesantren Salafiyah dalam perda tersebut “asal ada” atau “yang penting ada”. Sehingga perda ini gagal mengidentifikasi secara optimal kekhasan dan kekuatan Pesantren Salafiyah sebagai karakter Banten yang tidak bisa dilepaskan dari nilainilai Islam di dalamnya – sebagaimana yang hendak juga dituju dalam visi pembangunan di Banten: Iman dan Taqwa. Kegagalan ini berakibat kepada ketidakmampuan pemerintah berpihak kepada semangat mendorong kemajuan Pesantren Salafiyah seperti yang ditunjukkan secara formal di dalam perda no.7/2012 ini. Ada dua pilihan yang tidak bisa disikapi pemerintah untuk diprioritaskan, yakni dari sisi dorongan untuk menjadikan Pesantren Salafiyah masuk pada taraf tertentu aspek teknis pendidikan, seperti kelembagaan, administrasi,dsb hingga pada tahapan akreditasi jadi mudah dimplementasikan namun akan sangat sulit karena ketiadaan standarisasi dalam perda. Apa, bagaimana dan akan kemana substansi aspek yang diangkat oleh pemerintah. Sisi lain, apa makna dari upaya pembenahan pada aspek teknis pendidikan tidak boleh mengubah substansi dan “kurikulum tradisonal” yang telah ada sejak masa keemasan Banten, bahkan seharusnya pemerintah turut menjaga khazanah budaya ini, seperti yang disebutkan dalam bab empat, bagian ke tiga, pasal 19, ayat satu dan dua dikatakan pendidikan non formal terintegrasi dengan pendidikan ahlak mulia, pendidikan karakter, pendidikan moral, kearifan lokal dan nilai-nilai budaya. Sementara dalam pendidikan formal, sekuleritas telah menjadi persoalan akut yang menggerogoti mentalitas anak didik di dalamnya. Santri juga adalah tunas-tunas Bangsa yang berhak mendapatkan perhatian atas pendidikan yang layak. Mungkin oleh karena itu, pasal 20 Perda No.7 Tahun 2012, menyebutkan Pemerintah Daerah berpartisipasi dalam pendidikan non formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dengan cara: memberikan bantuan pembangunan sarana dan prasarana, memberikan stimulant, memberikan bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan atau memberikan beasiswa dan fasilitasi kompetisi peserta didik. Pasal 31 kemudian mengatakan bantuan ini diperoleh dari APBN, APBD Provinsi, APBD Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan bantuan lain yang tidak mengikat. Pembiayaan yang berasal dari APBD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, paling sedikit 20 (Dua Puluh) persen. Namun sama-sama diketahui, bahwa dalam anggaran 20% yang diamanatkan oleh Konstitusi negeri ini, tidak ada 1% untuk Pesantren Salafiyah, dan tidak ada dinas di pemerintahan provinsi ini yang memiliki konsep, model pemberdayaan serta program yang baku dan berkesinambungan untuk membantu, memberikan perhatian dan menjaga secara bersama Pesantren Salafiyah sebagai kekuatan sosial serta budaya yang khas di Banten. Kecuali bantuan yang bersifat reaktif dan politis, seperti rekomendasi dinas tertentu dengan memanfaatkan dana hibah. Perpu Gubernur untuk mengatur hal ini hingga kini belum ada. Jika fakta di lapangan tidak teridentifikasi, dan tidak ada standarisasi yang jelas dalam peda no.7 tahun 2012 terhadap Pesantren Salafiyah lalu bagaimana perda ini hendak mencapai kualitas tertentu seperti disebutkan dalam pasal 24 melalui upaya penilaian pada jalur pendidikan
72
formal dan pendidikan non formal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan. Ketiadaan identifikasi Pesantren Salafiyah menyebabkan sistematika pembahasan dan upaya pemberdayaan di dalamnya menjadi bias. Hal ini diakui oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten, yang mengatakan: “Identifikasi Pesantren Salafiyah belum dilakukan. Perda itu aspirasi DPRD, dan kita mencoba terlibat dalam bidang pendidikan yang menjadi fokus kami. Ketika dalam diskusi atau pembahasan Salafiyah itu harus seperti apa posisinya? Kesimpulannya satu sepakat bahwa itu pendidikan non formal. Dan untuk itu terkait dengan apa yang harus dikuatkan dalam penyelenggaraan pendidikan non formal kita hanya bisa mengatakan bahwa sebagaimana dalam ayat satu itu terintegrasi kedalam pendidikan ahlak mulia, karakterk, kearifan lokal, budaya itu wilayahnya pendidikan non formal.” Setidaknya kajian strategis dalam perda yang meliputi ruang lingkup, prinsip dan kebijakan serta standarisasi peningkatan mutu yang hendak dilakukan masih mengacu kepada pendidikan formal yang tertentu saja berbeda dengan Pesantren Salafiyah. Ada kecenderungan bahwa setidaknya Pesantren Salafiyah ke depan mesti di modernisasi melalui standarisasi pendidikan formal, seperti memiliki badan hukum yang jelas dalam bentuk yayasan dan memiliki SK Departemen Hukum dan HAM. Standarisasi ini secara gamblang dikatakan oleh Kadindik Provinsi Banten: Saya kira standar yang dimaksud hanya ingin membangun suatu koridor yang jelas. Bahwa kelembagaan pendidikan Pesantren ini harus meliputi adanya manajemen, ada standar isi. Apa yang akan diajarkan, terdokumentasi dengan baik, harus ada standar proses bagaimana standar pembelajarannya, harus ada tenaga pendidik yang jelas dengan kompetensi yang jelas. Jadi kalau disetarakan SD misalnya berarti kan, pengelola pendidikannya termasuk gurunya mesti S1. Bagaimana sistem penilaiannya? Bagaimana sarana prasarananya? Stndarisasi yang formalistk seperti ini tentu saja akan berbenturan dengan kepentingan dan kekuatan budaya serta penguatan lembaga yang khas yang dimiliki oleh pesantren alafiyah, mengingat dorongan untuk penguatan lembaga pada dasarnya belum disandarkan pada kebijakan yang pemanen terhadap standarisasi pemberian support sarana dan prasarana yang ada. Depag Provinsi Banten mengakui bahwa tidak ada bantuan atau program yang permanen dan berkesinambungan untuk pesanten Salafiyah, termasuk dana anggaran 20% pendidikan yang tidak menganggarkan 1 rupiah untuk Pesantren Salafiyah. Termasuk Dindik Banten juga mengakui bahwa secara khusus tidak ada program atau bantuan terhadap Pesantren Salafiyah. Lalu bagimana dengan aturan perda yang mengatakan bahwa bantuan pemerintah akan diberikan kepada Pesantren Salafiyah, terutama pada bantuan sarana dan prasarana? Menurut Kadindik Banten, ini akan diatur dalam peraturan Gubernur, namun hingga kini belum terbit, kendati perdanya sudah jadi. Ketiadaan identifikasi yang jelas dalam perda ini membuat aturan yang
73
mengamanatkan dan mengkoordinasikan penyelenggaraan fasilitas penjaminan mutu pendidikan informal menjadi semakin tidak jelas pada tingkat akreditasi dan sertifikasinya, yakni pada standar penilaiannya. Badan yang berwenang terhadap ini, yakni Tim Adhok Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal yang dibentuk oleh Kepala Dinas Pendidikan tidak memiliki standar penilaian Pesantren Salafiyah. Pendidikan non formal yang ada dalam konsepsi ini pada kenyataannya baru pada pendidikan kecakapan hidup seperti menjahit dan kursus bahasa. Melihat kekhasan, keunikan dan kekuatan budaya yang dimiliki oleh Pesantren Salafiyah semestinya dibuatkan perda secara khusus, tersendiri, perda Salafiyah, agar kekuatan budaya ini dapat menjadi basis dari modal sosial yang terintegrasi dengan sistem pendidikan yang ada sehingga mampu menjadi karakter pembangunan yang dibanggakan. Semetara itu, standarisasi yang akan dilakukan melalui akreditasi dalam rangka mencapai suatu tingkatan mutu tertentu dalam pengelolaan pendidikan di Banten, pada wilayah pendidikan non formal, yakni Pesantren Salafiyah belum ada, yang ada baru akreditasi pendidikan non formal utuk kursus menjahit, kursus bahasa dan kecakapan lainnya. Ada kesan bahwa akreditasi inilah yang akan diterapkan pula kepada Pesantren Salafiyah dengan asumsi bahwa Pesantren Salafiyah dibiarkan tetap berjalan namun ditambah dengan kecakapan pendidikan lainnya serta berbagai tawaran pendidikan paket (a,b,c). Jika ini yang dimaksudkan tentu saja akan mengakibatkan kesalahkaprahan tersendiri karena adanya benturan nilai mendasar dalam Salafiyah yang fokus pada beribadah dan belajar dengan upaya memasukkan kurikulum kecakapan hidup yang akan membelah aktifitas Pesantren Salafiyah tersebut. Menjadi pusat pengajian dan kajian ilmu agama
Masyarakat
Menjadi inspirator, jembatan, kreator dan pemberi legitimasi (fatwa) thd persoalan tertentu
Pesantren Salafiyah Kyai
Sbg pemimpin informal. Panutan dan tempat bertanya thd semua aspek hidup
Pemerintah Pemimpin ritual keagamaan terpenting (pernikahan, kelahiran, kematian)
Gambar 7.1 Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Budaya dan Keagamaan
74
Peran Pesantren Salafiyah Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dibidang budaya dan keagamaan dapat dikaji Pentad Analysisnya sebagai berikut: Tabel 7.2. Kajian Pentad Analysis Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Budaya dan Keagamaan Teori Kajian Scene Kyai sebagai pemimpin Pesantren Salafiyah adalah juga pemimpin informal di wilayah sekitarannya, termasuk pemimpin keagamaan, dimana pesantren menjadi dan dijadikan tempat pengajian dan pusat kajian keagamaan, sekaligus menjadi panutan, tempat bertanya (dari mulai masalah keluarga dan politik) serta contoh masyarakat. Dalam konteks pembangunan, kyai dan Pesantren Salafiyah seringkali menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat, dan menjadi sumber penetapan syar’i dalam kehidupan bermasyarakat Agent Kyai dan Pesantren Salafiyah menjadi satu paket simbol dari keberadaan agama dan budaya yang mengedepankan Islam sebagai identitasnya Act Karakter dan pemikiran dari Kyai dalam bidang budaya dan keagamaan terdorong dari sejarah panjang Salafiyah untuk membentuk suatu tatanan masyarakat yang islami berdasarkan ahlusunnahwaljamaah Agency Instrumen yang digunakan adalah Pesantren Salafiyah sebagai lembaga pendidikan dan lembaga budaya Purpose Terbentuknya tatanan masyarakat yang islami berdasarkan ajaran ajaran sunnah Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Pendidikan Pesantren Salafiyah di Banten sebagai lembaga pendidikan telah terbukti selama ratusan tahun mampu menciptakan lulusannya menjadi manusia-manusia yang mandiri, ikhlas, beriman serta bertaqwa kepada Allah SWT, bermasyarakat dalam praksis sosial dan budaya sepanjang masa. Bersih dari sogok menyogok (korupsi) di dalamnya. Terbebas dari pencitraan yang mengakar pada upaya sistemik menjadikan nilai peserta didik pada target tertentu agar dapat lulus dan terkesan baik sehingga sulit dibedakan mana anak yang mampu menyerap pelajaran dan mana yang tidak karena semua nilai sama bagusnya. Kyai Pesantren Salafiyah memiliki konsistensi yang tinggi dalam mengajarkan, membina dan mengawasi santri selama 24 jam dalam rangka mengontrol keilmuan, sikap perilaku dan mentalitasnya tanpa dibayar satu rupiah oleh santri. Bahkan masih banyak Pesantren Salafiyah yang justru memfasilitasi santri dalam kesehariannya, makan, penginapan, buku hingga biaya berobat ketika santri sakit. Kompetensi dari Pesantren Salafiyah adalah menguasai ilmu alat untuk dapat membaca dan memahami berbagai Kitab dan Al-Quran langsung dari gramatika dan susunan kalimatnya sebagai pintu membuka cakrawala ilmu dalam Islam yang begitu
75
luasnya. Bukan dari terjemahan, seperti sekolah formal lainnya. Ada perbedaan mendasar memahami Al-Quran dari sumbernya langsung dan dari terjemahan, di antaranya meminimalisir penafsiran tekstual yang seringkali menjadi pembenaran kekerasan atas nama agama. Kekerasan atas nama agama justru banyak dijumpai di sekolah formal hingga ke perguruan tinggi. Jika saja memahami Al-quran dianggap cukup hanya melalui terjemahan maka niscaya tidak perlu ada pesantren, Sayangnya keberadaan intelektual secara formal bukan juga jaminan menjadikan dunia menjadi lebih baik, setidaknya secara internal di dalam dunia intelektual itu sendiri. Keberadaan Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin memberikan kontribusi besar dalam bidang pendidikan keagamaan di Banten. Terutama bagi kalangan usia anak sekolah dari strata ekonomi kelas bawah. Pendidikan keagamaan seperti yang sudah diulas pada pembahasan terdahulu meliputi kemampuan santri pada ilmu-ilmu agama pada tingkat tinggi. Pilihan atas keberadaan pendidikan Pesantren Salafiyah pada sisi ini jelas bukan alternatif, tetapi merupakan pilihan keseimbangan atas kebutuhan penataan nilai-nilai pembangunan. Melalui peran pendidikan yang diperankan oleh Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin, prioritas pembangunan mentalitas masyarakat menjadi paradigma community driven, melalui penguatan nilai dan budaya dalam masyarakat sehingga menjadi jembatan pada proses menggerakkan keberdayaan masyarakat. Hal ini sesuai dengan penetapan prioritas pembangunan Banten yang tidak bisa dilepaskan dari sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam otonomi. Tahun 2001 (menggunakan UU No.22/ 1999 tentang Pemerintah Daerah) dan pada tahun 2004 (menggunakan UU No.32/ 2004 sebagai revisi Undang-undang sebelumnya) sampai sekarang. Dalam dua Undang-undang tentang Pemerintah Daerah tersebut telah diberlakukan sistem desentralisasi sebagai antitesa terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lalu yaitu sistem kebijakan sentralistik. Dengan adanya perubahan sistem kebijakan ini, Pemerintah Provinsi Banten mempunyai kewenangan besar untuk merencanakan, merumuskan, dan melaksanakan kebijakan dan program pembangunan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Sistem desentralisasi, melekat kewenangan sekaligus tanggung jawab untuk secara proaktif mengupayakan kebijakan penanggulangan kemiskinan demi kesejahteraan rakyat, baik secara langsung mau tidak langsung. Tanggung jawab ini merupakan konsekuensi logis dari salah satu tujuan diberlakukannya otonomi daerah, yakni menciptakan sistem pelayanan publik yang lebih baik, efektif dan efisien yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat. Dalam konteks ini peranan Pesantren Salafiyah berada paling depan secara aktif memberdayakan ketidakmampuan anak-anak miskin untuk berada dalam satu sistem penyelenggaraan pendidikan mandiri tanpa merepotkan pemerintah.
76
Menyerap santri dari kalangan miskin desa dan kota
Membiayai pendidikan santri selama di pesantren
Menjadi tempat kajian ilmu agama bagi masyarakat
Pesantren Salafiyah
Kyai
Menelurkan intelektual Islam, kompetensi KItab kuningmanusia Gambar 7.2sholeh Peran Pesantren
Lembaga pendidikan gratis dan berkualitas
Menciptakan dan membangun nilai sosial kemasyarakatan
Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Pendidikan
Peran Pesantren Salafiyah Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di bidang pendidikan dapat dikaji Pentad Analysisnya sebagai berikut: Tabel 7.3. Kajian Pentad Analysis Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang pendidikan Teori Kajian Scene Pesantren Salafiyah dan Kyai pimpinan Pesantren Salafiyah adalah salah satu pihak yang concern terhadap dunia pendidikan keagamaan dan pembentukan karakteristik ahlak anak didiknya, peran ini telah dimulai sejak ratusan tahun lalu melalui lembaga pendidikan tradisional tanpa memungut biaya para santri. Kemampuan Pesantren Salafiyah yang mandiri dalam membiayai dirinya dan kelembagaan pesantren telah menyerap banyak santri terutama dari kalangan miskin desa dan perkotaan menjadi intelektual muslim yang mengisi sesemakin banyak ruang sosial, budaya dan keagamaan di masyarakat. Baik sebagai pemimpin agama, pengusaha, syiar agama dan sebagainya. Banyaknya lulusan pesantren juga memberikan warna yang signifikan kepada masyarakat terhadap kualitas kehidupan sosial keagamaannya. Agent Pesantren Salafiyah, Kyai pimpinan Pesantren, Ustadz dan santri Act Karakter dan motivasi utama yang mendorong komunikasi serta interaksinya adalah nilai-nilai keikhlasan. Agency Instrumen yang menonjol dalam hal ini adalah pesantren sebagai lembaga pendidikan, lembaga sosial dan keagamaan, Ustadz, santri. Purpose Terselenggaranya pendidikan keagamaan beedasarkan paham Salafiyah secara utuh kepada masyarakat tanpa ada kendala biaya dan aspek teknis lainnya.
77
Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Sosial Saat ini perubahan sosial sebagai dampak kemajuan teknologi informasi telah meletakkan otonomi daerah ke dalam pusaran mega persoalan yang sangat kompleks. Secara kasat mata, hal ini dapat ditelusuri dari degradasi moral yang berkecambah di mana-mana, semisal korupsi, memudarnya solidaritas sosial hingga ancaman terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kenyataan ini menuntut setiap elemen bangsa untuk ikut serta terlibat menyelesaikannya. Sebab pembiaran hal itu akan mengantarkan Indonesia lambat atau cepat pada akhir sejarahnya. Pesantren Salafiyah dalam konteks perubahan sosial telah menjadi lingkaran paling dekat dalam perkembangan dan perubahan sosial masyarakat di sekitarnya. Peran tersebut sebenarnya telah dimainkan oleh para Kyai pimpinan Pesantren Salafiyah dalam bidang transformasi sosial. Terlepas dari kekurangan dan kelemahannya, para Kyai selalu berupaya berada di garis depan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dan mengembangkan kehidupan berbasis keagamaan di lingkungan sekitar pesantren dan, di lokasi pada saat Kyai berada. Pesantren sampai batas tertentu mampu mengantarkan masyarakat Muslim sebagai khalifah Allah yang bekomitmen untuk mengembangkan kehidupan sebaik mungkin di mana dan kapan saja mereka hidup. Pandangan semacam “di mana bumi berpijak, di situ langit dijunjung” menjadi anutan kuat santri, masyarakat muslim hasil pendidikan Pesantren Salafiyah. Pada saat terjadi perubahan sosial di tengah masyarakat, terutama di pedesaan, Pesantren Salafiyah sampai derajat tertentu menjadi garda terdepan menjaga nilainilai budaya dasar masyarakat dan melakukan terobosan solusi kreatif untuk masa depan masyarakat yang jauh lebih baik. Ada beberapa alasan dasar yang menjadikan pesantren dituntut untuk berperan demikian. Selain pesantren (dan elemen-lemennya) sebagai bagian intrinsik umat Islam yang mayoritas di Indonesia, aspek lain yang tidak bisa diabaikan adalah posisi pesantren merupakan representasi Islam Indonesia. Persoalan yang kemudian mencuat ke permukaan, kondisi pesantren saat ini untuk berada di depan dalam memberikan solusi tampaknya masih jauh panggang dari api. Banyak aspek internal dan eksternal yang menjadi kendala untuk meraih peran tersebut secara optimal. Berdasarkan nilai anutan pesantren, dan sejarah yang dilaluinya, peran yang diperankan Pesantren Salafiyah terdapat dalam dua aspek yang saling berkaitan, pendidikan-keilmuan dan sosial. Santri mau tidak mau dituntut menghadirkan diri sebagai intelektual muslim yang dekat dengan masyarakat, memberi contoh kepada masyarakat serta menjadi tauladan bagi masyarakat. Semua ini mengindikasikan Pesantren Salafiyah yang dilekatkan dengan kemiskinan, keterbelakangan dan kesenjangan yang cukup lebar dengan realitas pendidikan formal lainnya, namun secara sosial Pesantren Salafiyah justru menjadi motor dari upaya menjaga nilai-nilai luhur agama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang ada. Oleh karena itu, kemiskinan menjadi tampak lebih bersahaja dengan kemandirian Pesantren Salafiyah dan masyarakat sekitarnya, berubah menjadi kesederhanaan. Nilai-nilai keagamaan menjadi tonggak penting bagi pengentasan kemiskinan yang bukan sekadar persoalan
78
kemiskinan, persoalan keterbelakangan yang bukan sekadar persoalan keterbelakangan semata. Dua persoalan itu telah menjadi masalah rumit yang menempel pada degradasi moral. Kemiskinan dan keterbelakangan lalu menjadi barang komoditas yang diperdagangkan sebagaimana dalam ranah politik, oleh kelompok atau orang tertentu. Peran Pesantren Salafiyah di bidang sosial dapat digambarkan sebagai berikut: \ Sebagai tauladan dan motor penggerak upaya menjaga nilai agama dlm kehidupan sosial
Pesantren Salafiyah Kyai
Lingkaran terdepan dari perubahan dan perkembangan masyarakat
Berada di garis depan dalam melakukan pemberdayaan kepada masyarakat
garda depan menjaga nilai budaya dasar, menjadi solusi kreatif untuk masa depan masyarakat yang jauh lebih baik
Gambar 7.3 Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Sosial Peran Pesantren Salafiyah Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dibidang sosial dapat dikaji Pentad Analysisnya sebagai berikut:
79
Tabel 7.4. Kajian Pentad Analysis Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Sosial Teori Kajian Scene Kyai dan Pesantren Salafiyah dakui dan hingga saat ini masih memegang peranan dalam upaya menjaga nilai-nilai keagamaan di masyarakat terutama dalam hal mencontohkan kualitas kehidupan dan perilaku yang ikhlas dan baik di mata Allah SWT. Dinamika keseharian Pesantren Salafiyah yang fokus dan terbiasa dengan kehidupan yang sederhana dan pembelajaran ibadah tiada lelah menjadikan pesantren dan Kyai menjadi tumpuan masyarakat terhadap arus perubahan dalam perkembangan pembangunan dan perubahan zaman, termasuk berada dalam garda terdepan dalam upaya pemberdayaan kehidupan sosial agar tegar dan selalu berusaha. Dengan kata lain menjadi alternatif solusi masa depan dari perspektif keagamaan. Agent Keseharian santri dalam perilaku sosial, dinamika ibadah pesantren Act Motivasi dan karakter dasarnya adalah mencari keridhoan Allah SWT dalam menjalani kehidupan sosial dengan cara menjadi manusia yang paling bertakwa Agency Santri dalam kehidupan sosial kemasyarakatan Purpose Mengenalkan tauladan Pesantren Salafiyah Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Politik Kuatnya kepemimpinan informal yang berlandaskan nafas agama seringkali dikaitkan dengan keberadaan ketokohan pemimpin Pesantren Salafiyah. Oleh karenanya, penempatan Pesantren Salafiyah sebagai entitas budaya dan keagamaan tidak bisa dielakkan sebagai tuntutan dan permintaan dari masyarakat diseputar pesantren tersebut. Ia menjadi panutan bagi masyarakat yang tunduk padanya. Peranan ini menunjukkan model yang akan diikuti oleh para pemilih pada setiap moment pemilu sebagai basis dan legitimasi moral. Kendati ada perbedaan aspirasi politik di antara pemimpin Pesantren Salafiyah dari yang sekedar menggunakan pengaruh mereka untuk mendekat kepada pejabat tertentu hingga peranan yang dimainkan untuk kemaslahatan umat dan kepentingan masyarakat luas. Para politisi tidak menganggap remeh kepada Pesantren Salafiyah yang besar dan berumur puluhan tahun yang telah menelurkan ratusan ribu bahkan jutaan santri yang sudah menjadi tokoh masyarakat. Terutama karena peranan Kyai yang memegang monopoli interpretasi atas masyarakat dan monopoli suara kolektif pesantren ke dunia luar. Dengan berbasis keagamaan, masyarakat akan mendengar titah dan patuh kepada Kyai sebenar benarnya Kyai. Panggung politik saat ini begitu kagum dengan “blusukan” yang diartikan sebagai hadirnya seorang pejabat publik ketengah-tengah masyarakat untuk melihat kondisi dan suatu persoalan. Bandingkan dengan interaksi komunikasi massa yang dilakukan oleh seorang Kyai atau Ustadz Salafiyah yang memberikan syiar agama
80
dan menjadikan dirinya sebagai tempat berkonsultasi masyarakat, rata-rata di 2 – 4 kali dalam sehari di tempat yang berbeda. Jika saja minimal 2 kali sehari di tempat yang berbeda, maka dalam sebulan keberadaan Kyai atau Ustadz ditengah masyarakat ada di 60 tempat. Jika rata-rata dalam satu kesempatan pertemuan tersebut dihadiri oleh minimal 200 orang, maka ada 1.200 orang yang mendapat terpaan komunikasi di dalamnya. Pejabat mana dan program pemerintah yang mana yang bisa semasif itu? Biasanya dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh masyarakat tersebut meriah dalam kesederhanaan. Bukan meriah dalam kemewahan dengan berbagai basa basi di dalamnya. Komunikasi ini tentu saja efektif dalam rangka membangun mentalitas dan karakteristik religiusitas masyarakat di dalammnya dalam berbagai aspek persoalan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Pesantren Salafiyah Kyai
Menjadi indikator dan legtimasi moral, bersih dan pro masyarakat
Praksis politik dalam masyarakat
Gambar 7.4 Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Politik
Peran Pesantren Salafiyah Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dibidang politik dapat dikaji Pentad Analysisnya sebagai berikut: Tabel 7.5. Kajian Pentad Analysis Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Politik Teori Kajian Scene Wilayah politik praktis termasuk dalam wilayah dinamika kehidupan yang dhindari oleh Kyai dan Pesantren Salafiyah mengingat persepsi yang terbentuk terhadap politik itu sendiri yang korup, mementingkan kepentingan sendiri, dan tidak mencerminkan perilaku amanah karena perbedaan ucapan dan tingkah laku para politisi. Kendati , tidak sedikit elit politik yang datang kepada Kyai di Pesantren Salafiyah untuk meminta dukungan mau doa, setidaknya simbol kyai dan Pesantren Salafiyah menjadi legimatsi moralitas dan kepercayaan masyarakat yang dapat dimanfaatkan dunia politik untuk pencitraan. Agent Kyai pimpinan Pesantren Salafiyah Act Motivasi dan pemikiran yang terkandung adalah keinginan memberikan warna atas moralitas serta perilaku amanah Agency Instrumen yang kuat dalam persoalan politik adalah personalitas dan personifikasi kyai Purpose Menjadikan legitimasi moral
81
STRATEGI KOMUNIKASI PESANTREN SALAFIYAH AL-MUNAWAR BANI AMIN DALAM MENINGKATKAN PERANNYA UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN DI PROVINSI BANTEN Strategi Komunkasi Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin Malam itu, sekitar pukul 18.30 selesai sholat Magrib, rombongan Kyai Wawang bersiap memenuhi undangan di kampung sebelah. Beliau diminta memimpin pembacaan surah Yasin, memperingati setahun meninggalnya seorang tokoh masyarakat. Ritual ini disebut “ngehol”. Acaranya dilangsungkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) tempat bersemayam almarhum. Tepat pukul 19.00, Kyai tiba di depan pekuburan. Kedatangan Kyai disambut hangat oleh ratusan tamu yang sudah berkumpul di situ, mereka mendekati, bergantian mencium tangan Kyai. Kyai dipersilahkan duduk di dipan khusus, sebuah kursi panjang dan agak lebar, alasnya terbuat dari anyaman bambu, ditopang dengan kayu di keempat kakinya, diletakkan di antara makam-makam yang ada, diatasnya digelar kasur kapuk dibalut kain batik yang masih terlihat baru, terkesan seperti singgasana kehormatan. Telah tersedia pula berbagai jenis hidangan makanan dan minuman di hadapan Kyai. Terpisah dari dipan-dipan tamu lainnya, namun semuanya saling berhadapan dan melingkar. Di seberang jalan, berhadapan dengan TPU, tempat tinggal almarhum juga sudah dipenuhi ibu-ibu dan ratusan tamu lainnya. Sambil menunggu yasinan dimulai, tokoh-tokoh masyarakat di lingkaran pertama dimana Kyai duduk mulai berbincang, membicarakan segenap persoalan masyarakat, masalah kenaikan harga, pemilihan Wali Kota Serang yang sebentar lagi akan dilangsungkan, dan politik uang yang merajalela menjelang pemilukada. Tidak berapa lama, acara dimulai. Selama lima belas menit, surah Yasin dan tahlilan dibacakan bersama. Setelah selesai, Kyai bermunajat, berdoa untuk keselamatan almarhum di alam kubur dan keselamatan bagi semua yang masih hidup. Selesai berdoa, Kyai memberikan tausiyah singkat kepada warga. Setelah semua ritual terjalani, hidangan makan malam dihantarkan ke kuburan untuk disantap bersama. Sebelum pulang, rombongan Kyai disuguhi oleh-oleh makanan untuk dibawa pulang. Pamitnya Kyai juga menjadi sedikit ritual yang panjang, karena kembali semua warga mendekat, bersalaman mencium tangan. Selepas acara ngehol, perjalanan dilanjutkan ke kampung Kresek, Tangerang, menghadiri undangan Walimatul Khitan (sunatan) dan memberikan Tausiyah Rajaban. Sepanjang perjalanan menuju Kresek, Kyai dan kami yang ada di mobil berbincang, tidak habis pikir membahas kondisi jalan yang kami lalui rusak parah, padahal belum setahun diperbaiki. Setelah satu jam menempuh perjalanan, mobil yang kami tumpangi memasuki gerbang kampung. Mobil Kyai diparkir tepat di muka kampung. Selanjutnya, kami bejalan kaki, dipandu oleh beberapa pemuda yang telah menunggu. Suasana penyambutan Kyai sangat terasa. Di kanan – kiri kami, telah dipasang berjajar obor terbuat dari bambu setinggi pinggang orang dewasa, pengganti ketiadaan lampu penerangan jalan, di tengah rapatnya perkebunan bambu sepanjang
82
mata memandang. Pendaran cahaya obor menerangi langkah-langkah kaki yang terjejak agar tidak terjerembab di lubang dan beceknya tanah yang basah terguyur hujan sepanjang sore tadi. Suasananya begitu sepi. Di beberapa ruas jalan yang rusak parah, tumpukan batu sengaja ditaruh agar kondisi jalan tidak terlalu buruk. Setelah sepuluh menit berjalan, suasana terlihat berbeda. Tampak masyarakat ramai berkumpul, meriah, terang oleh berbagai lampu listrik dan gantungan-gantungan petromak. Menuju panggung acara, puluhan pemuda berbaris, berseragam putih lengan panjang, memakai sarung dan kopiah menyambut kedatangan Kyai. Tidak ketinggalan tabuhan musik rebana turut mengiringi kedatangan Kyai, dimainkan sekelompok pemuda dengan atraktif. Pelataran mushola kampung telah disulap menjadi ruang tunggu Kyai. Sebuah permadani digelar khusus untuk Kyai, di antara karpet mushola yang sudah lusuh. Hidangan makan dengan beragam lauk pauk sudah disiapkan. Kami dipersilahkan bersantap terlebih dahulu. Selama bersantap, tokoh-tokoh masyarakat menemani dan berbicang membicarakan berbagai masalah yang aktual di masyarakat, terutama persolan merebaknya aliran-aliran yang dianggap sesat merusak akidah umat. Di luar Mushollah, sambil menunggu Kyai memberikan Tausiyah, lantunan ayat-ayat suci diperdengarkan oleh Qori dan Qoriah secara bergantian. Semakin malam, masyarakat yang datang bertambah dari kampung sebelah. Ketika tausiyah berlangsung, suasana begitu khidmat dan hening, tidak ada warga yang beranjak hingga selesai. Selesai memberikan Tausiyah jam menunjukkan pukul 00.30 WIB. Sebelum rombongan Kyai Pamit, barisan pemuda yang tadi menyambut kedatangan Kyai, kembali berbaris melepas kepergian Kyai. Kali ini lebih banyak lagi berbagai bungkusan makanan yang telah disiapkan tuan rumah untuk dibawa pulang Kyai. Selepas dari memberikan Tausiyah disepatan, Tangerang, perjalanan dilanjutkan menuju Kasemen, Kota Serang, daerah yang terkenal sebagai lumbung padi Kota Serang. Kali ini Kyai diundang untuk memberikan tausyiah dalam acara pernikahan. Tepat pukul 02.20 WIB rombongan tiba di tempat acara berlangsung. Tidak menunggu lama, Kyai naik ke mimbar selama satu jam. Setelah itu, rombongan Kyai dipersilahkan singgah di salah satu rumah tokoh masyarakat. Kembali berbincang tentang segenap persoalan masyarakat dan saling menukar informasi, sambil bersantap berbagai hidangan yang telah disediakan. Selesai acara di Kasemen Serang, sebenarnya Kyai Wawang masih ada satu undangan lagi, yakni memberikan Tausiyah ba’da subuh di Pandeglang, sekitar dua jam perjalanan dari Kasemen. Namun Kyai sudah mengkonfirmasi ke pemangku hajat bahwa ia tidak bisa datang. juga empat undangan yang tidak didatanginya di pagi hingga sore tadi. Semenjak lima bulan lalu, kesehatannya terus menurun. Oleh sebab itu ia membatasi undangan memberikan tausiyah sehari hanya di tiga tempat, dijadwalkan malam hari, ujar Kyai Wawang. Siang hari ia gunakan untuk beristirahat dan memanfaatkan waktunya mengajar santri mengaji. Suatu saat, perjuangan dakwah ini mesti saya wariskan ke Ustadz yang sudah mampu melakukannya, saya sendiri ingin khusyu mengajar santri saja, ujar Kyai Wawang kembali. Tidak ada yang dapat menggantikan tugas dan peran Kyai jika belum diminta oleh Kyai atau karena Kyai benar-benar berhalangan. Manajemen tradisional yang berjalan memang tidak mengarah kepada pelimpahan wewenang secara otomatis.
83
Prosedural formal dalam organisasi Pesantren Salafiyah tidak nampak. Kyai menjadi tumpuan dalam manajemen pengelolaan dan operasional Pesantren Salafiyah. Keterlibatan Ustadz dalam menentukan jadwal Tausiyah Kyai hanya pada penjadwalan Tausiyah yang dicatat secara rapih untuk diingat kembali oleh Kyai. Pada beberapa agenda tausiyah yang dijadwalkan namun tidak bisa dihadiri oleh Kyai, ditawarkan Ustadz pengganti yang dianggap mampu, jika pihak pengundang mau, maka Ustadz yang dipercaya Kyai akan menggantikannya. Secara internal komunikasi yang berjalan begitu fleksibel, tanpa ambisi dan berjalan dalam alur kekeluargaan yang saling menjunjung serta saling menghormati. Strategi Komunikasi Organisasi Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Manajemen Pesantren Salafiyah dan sistem pembelajarannya mempunyai karakteristik tersendiri, tidak menganut ketentuan-ketentuan formalistik dan prosedural yang ketat. Hal ini karena organisasi sistem pembelajaran itu sendiri terbentuk sebagaimana kebutuhan dalam keluarga. Tidak ada struktur formal. Semua bertumpu kepada Kyai. Kendati, bukan berarti tidak ada kecenderungan atau orientasi pembagian tugas di dalam Pesantren Salafiyah itu sendiri. Setidaknya strategi komunikasi yang berkaitan dengan pembagian tugas dan wewenang Kyai terhadap keseluruhan tugas yang diemban Kyai, pada tahap perencanaan dilimpahkan kepada Ustadz, sebagi berikut: Masalah santri dan pengajian internal ponpes Ustadz 2
Ustadz 1
Kyai
Ustadz 3
Ustadz 4
Menangani PHBI
Logistik dan Usaha
wakil dan personifikasi Kyai dlm semua urusan Utadz 2
Urusan Eksternal Ponpes: sosial kemasyarakatan
Ustadz 5 Menggantikan Kyai ketika berhalangan bertausiyah
Gambar 8.1 Strategi Komunikasi Organisasi Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin
84
Strategi komunikasi organisasi Pesantren Salafiyah Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dapat dikaji Pentad Analysisnya sebagai berikut: Tabel 8.1 Kajian Pentad Analysis Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam strategi komunikasi Organisasi Teori Kajian Scene Kyai Pesantren Salafiyah memegang peranan penting dan utama dalam melihat dan menentukan Ustadz yang dapat mewakilinya untuk kepentingan dan kebutuhan pengelolaan pesantren dalam urusan mengajar menggantikan posisi Kyai, mewakili Kyai dalam urusan sosial keagamaan ketika berhalangan, termasuk dalam hal peringatan hari besar keagamaan. Termasuk untuk urusan logistik dan bisnis Kyai. Agent Kyai pimpinan Pesantren Salafiyah Act Motivasi dan pemikirannya adalah kemampuan untuk menggantikan Kyai secara proporsional keilmuan dan kematagannya Agency Instrumennya adalah Kyai pimpinan Pesantren Salafiyah Purpose Menggantikan peran Kyai Strategi Komunikasi Internal Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin Walau tidak secara kaku komunikasi pembagian tugas dijalankan namun bisa dipastikan bahwa orientasi dari pelimpahan wewenang antara Kyai dengan Ustadz berjalan dengan baik dengan masing-masing orientasi pembagian tugas yang jelas. Dari gambaran strategi komunikasi dalam hal pembagian tugas tadi, maka gambaran strategi komunikasi internal terjalin dalam permasalahan yang sangat dalam menyangkut masalah-masalah yang lebih pribadi, melibatkan elemen penting di dalam pesantren, yakni Kyai, santri, Ustadz dan Masjid (pengelola), sebagai berikut: Guru Masalah Pendidikan
Masalah Keluarga Santri
Sant ri
Kyai
Usta dz
Pengelola Masjid
Masalah Pribadi Santri
PHBI
Masalah Ponpes Masalah Keluarga Ustadz Masalah Ekonomi Ustadz
Ibadah Rutin
Kepengurus ann
Gambar 8.2 Strategi Komunikasi Internal
Pengembangan diri Ustadz
85
Strategi komunikasi internal yang dijalin dan terjalin di dalam Pesantren Salafiyah memiliki kekuatan strategi yang baik mengingat saluran komunikasi yang terjadi selain dua arah, juga memuat kebutuhan komunikasi yang sangat dekat karena bukan saja membahas dan membicarakan hal-hal yang formal mengenai proses belajar mengajar di Pesantren tetapi juga berkaitan masalah keseharian pelaku di dalamnya atas dasar saling mempercayai. Strategi komunikasi internal Pesantren Salafiyah Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dapat dikaji Pentad Analysisnya sebagai berikut: Tabel 8.2 Kajian Pentad Analysis Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam strategi komunikasi Internal Teori Kajian Scene Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin sebagai lembaga pendidikan juga sebagai satu kesatuan keluarga besar dari keluarga gurunya kyai, kyai dan keluarganya, keluarga santri dan Ustadz. Dimana dalam satu satuan keluarga besar ini biasanya semua masalah dibicarakan secara terbuka dengan Kyai yang menyangkut bukan saja masalah kependidikan di pesantren tapi juga menyangkut persoalan keluarga, ekonomi, hal-hal yang bersifat pribadi, terutama yang berkaitan dengan pengembangan dan ibadah santri. Agent Guru Kyai memiliki pengaruh yang besar selain kyai sendiri di Pesantren Salafiyah Al-Munawat Bani Amin untuk menggerakkan pesantren yang diharapkan memiliki pengaruh kepada keluarga masing-masing di pesantren. Sementara secara formal hubungan yang lebih longgar (diluar keluarga santri dan Ustadz) dengan masyarakat dapat lebih terjalin dengan masyarakat melalui pengurusan masjid dilingkungan pesantren melalui ibadah rutin seperti ibadah lima waktu, peringatan hari besar islam, dan sebagainya. Act Motivasi, karakteristik dan pemikiran dalam situasi ini adalah implementasi berjamaah sebagai praktek keseharian ibadah Agency Guru Kyai, Kyai dan institusi masjid dalam pesantren Purpose Tujuannya adalah kemampuan membangun dan membentuk banteng masyarakat yang kokoh atas kebutuhan implementasi nilai-nilai keagamaan. Strategi Komunikasi Eksternal Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin Komunikasi eksternal yang dimaksud adalah suatu pola komunikasi yang dijalin elemen-elemn dasar Pesantren Salafiyah kepada pihak luar yang terdekat. Sudah menjadi suatu pola umum bahwa kebutuhan komunikasi yang diterapkan oleh pesantren, terutama Kyai syarat dengan makna pembelajaran yang dimulai dengan kalangan terdekat lebih dahulu sebagai contoh teladan bagi kalangan terdekat baru kemudian tertransmisikan kepada masyarakat yang lebih luas.
86
Strategi komunikasi eksternal Pesantren Salafiyah Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dapat dikaji Pentad Analysisnya sebagai berikut: Tabel 8.3 Kajian Pentad Analysis Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam strategi komunikasi Eksternal Teori Kajian Scene Komunikasi dengan pihak eksternal merupakan kebutuhan dari suatu kepentingan syiar agama yang mesti dilakukan oleh Pesantren Salafiyah. Interaksi ini biasanya dijalin melalui lingkungan terdekat lebih dahulu sepertihalnya Nabi ketika memulai dakwanya dulu. Dimulai dengan pengajian dilingkungan terdekat pesantren, kemudian warga kamg di seputaran pesantren hingga masyarkat diluar yang bias saja lintas daerah bahkan Negara. Kesederhanaan dan model komunikasi tradisional yang dilangsungkan juga berdampak kepada hubungan komunikasi dan interaksi kepada pemerintah yang terbatas pada aparat dilingkungannya. Agent Kyai dan institusi Pesantren Salafiyah Act Motivasi dan karakteristik komunikasi eksternal yang dimulai secara sederhana ini merupakan hal yang dicontoh pada saat zaman Nabi Muhammad memulai dakwanya dari lingkungan terdekat hingga pada seluruh dunia. Agency Instrumen yang digunakan adalah Kyai, santri dan Ustadz Purpose Mensyiarkan agama islam Secara eksternal, strategi komunikasi Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin menjadikan setiap elemen komunikasi lainnya sebagai bagian dari transmisi untuk tersampaikannya pesan yang sama kepada pihak atau masyarakat lain. Hal yang dijaga dalam komunikasi eksternal ini adalah keteladanan yang ditunjukkan kepada pihak yang paling dekat lebih dahulu secara geografis dan kedekatan emosionalnya. Hal inilah yang kemudian menjadi pancaran transmisi yang mampu memberikan gambaran dan personifikasi nilai-nilai budaya yang dirasakan nyaman oleh masyarakat sehingga dibutuhkan. Kemampuan berstrategi secara eksternal ini menjadi dasar bagi Pesantren Salafiyah Almunawar Bani Amin untuk menguatkan pola strategi komunikasi dalam rangka kaderisasi dan pemantapan kapasitas organisasinya dapat dikaji Pentad Analysisnya sebagai berikut:
87
Tabel 8.4 Kajian Pentad Analysis Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam strategi komunikasi kaderisasi Teori Kajian Scene Kyai pimpinan Pesantren Salafiyah menjadi faktor yang paling menentukan terhadap keberhasilan santri yang dianggap telah cukup dan dapat melanjutkan ke pesantren lain untuk melengkapi atau meneruskan keilmuannya, bagi santri yang dianggap telah cukup menimba ilmunya, mau bagi santri yang dianggap mampu dan diminta untuk membuka Pesantren Salafiyah ditempat lain. Kaderisasi ini secara otomatis membuka peluang bagi masyarakat untuk memberikan predikat bagi santri-santri tersebut pada berbagai predikat baru setelah lulus dari pesantren, seperti Ustadz. Bagi santri yang membuka Pesantren Salafiyah baru, lama kelamaan masyarakat sesuai dengan proses dan lamanya waktu akan memberikan predikat Kyai Agent Kyai, Santri, Ustadz Act Motivasi dan pemikirannya adalah kembali mengamalkan ilmu di pesantren yang sudah di dapat oleh santri Agency Santri –santri yang telah lulus Pesantren Salafiyah Purpose Mengamalkan ilmunya dan istiqomah di dalam kehidupan masyarakat Komuniksi eksternal yang dilakukan menjelaskan bagaimana eksistensi Pesantren Salafiyah ditengah gempuran modernisasi pembangunan dan masyarakatnya. Komunikasi strategi kaderisasi dalam Pesantren Salafiyah berjalan secara sederhana dalam konsep komunikasi tatap muka yang menangandalkan pembicaraan dalam budaya keluarga dari mulut ke mulut. Strategi ini menjadi lebih murah secara biaya namun efektif dan efisien dalam memilih dan merekrut elemenelemen penting dalam Pesantren Salafiyah secara utuh. Pada dasarnya, strategi komunikasi yang dibangun, baik secara internal mau eksternal, merupakan suatu syiar agama, baik dalam perkataan mau perbuatan. Dari mulai adab berbicara, makan, minum, bebersih diri, bermasyarakat dan lain sebagainya. Ketika komunikasi internal dan eksternal tertransimikan menjadi suatu komunikasi massa, maka hal ini menjadi komunikasi yang strategis, yakni dakwah yang melibatkan massa secara luas, dihadiri oleh masyarakat dari berbagai strata pendidikan, ekonomi, pekerjaan dan gender. Kemampuan berdakwa, bisa dibilang sebagai jalan memperkukuh budaya dan keagamaan yang fundamental dari keberadaan Pesantren Salafiyah di Banten, baik di perkampungan maupun perkotaan. Di perkotaan sendiri, mengundang Kyai dan santri Salafiyah menjadi hal yang menarik karena dianggap unik dan asli Banten. Syiar agama melalui komunikasi massa dapat di kaji secara Pentad Analysis sebagai berikut:
88
Tabel 8.5 Kajian Pentad Analysis Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam strategi komunikasi massa Teori Kajian Scene Peran aktif yang diperankan oleh kyai dan Ustadz dalam mengisi berbagai kebutuhan sisi religi masyarakat baik dalam bentuk tausiyah dan acara keagamaan lainnya berhasil merangkul kedekatan dalam landasan keyakinan di berbagai strata sosial ekonomi masyarakat terhadap pesan pembangunan dan persepsi serta sensitifitas bersama. Kebersamaan dalam beragama menciptakan komunikasi massa yang intens terutama dalam event-event rutin keagamaan. Agent Kyai dan Ustadz Act Motivasi, pemikiran dan karakteristik dalam situasi ini adalah keinginan dan kebersamaan menyikapi secara bersama persoalan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat secara bersama. Agency Instrumennya adalah Kyai dan event keagamaan Purpose Penyikapan bersama secara kuantitas atas persoalan kemasyarakatan Dalam setiap syiar agama yang disampaikan, menyampaikan visi Pesantren Salafiyah dan menceritakan keberadaannya kepada masyarakat menjadi pesan yang selalu disampaikan di sela-sela penyampaian pesan-pesan lainnya dalam suatu tausiyah. Dan biasanya, cepat atau lambat, dari pesan tersebut berdampak kepada Pesantren Salafiyah yang dipimpinnya dengan adanya orang tua yang tertarik menitipkan anaknya sampai kepada pemberian bantuan kepada pesantren secara perorangan. Strategi Komunikasi Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin Dalam Bidang Budaya dan Keagamaan Strategi komunikasi massa yang disampaikan melalui syiar agama menjadi penjabaran visi Pesantren Salafiyah dan latar komunikasi massa yang mudah dikenali. Mengundang Kyai Salafiyah dengan honor seikhlasnya, bandingkan dengan Ustadz selebritis yang menentukan dan mematok dana infaq yang harus dikeluarkan pihak pengundang, misalnya. Panitia tidak perlu repot, menyiapkan akomodasi hotel, menjemput atau mengantar pulang, memberikan contoh-contoh perilaku ke-islaman yang memang dilakukan oleh Kyai di pesantren dalam keseharian bermasyarakat. Kemudian, visi Salafiyah tersampaikan secara imlementatif tanpa mengkritik atau menyindir secara tajam atas praktek-praktek pembangunan yang janggal. Syiar agama ini masuk ke setiap lapisan masyarakat disetiap lapis stratanya, baik itu usia, pekerjaan, jenis kelamin, dan ekonomi. Syiar agama yang dilakukan rutin hampir setiap hari seiring dengan permintaan masyarakat yang tiada henti. Hal ini membuktikan bahwa Pesantren Salafiyah merupakan kekuatan budaya lokal yang memiliki jaringan komunikasi yang luas. Sebagai kekuatan budaya lokal, Pesantren Salafiyah di Banten merepresentasikan sub kultur Indonesia yang lebih adaptatif dan menghargai tradisi
89
dan kearifan budaya lokal. Menjadi rujukan atas keislaman dalam akar budaya yang cinta damai, toleran, dan ramah. Komunikasi pembangunan di Banten, seperti di wilayah lainnya, melibatkan interaksi tiga komponen. Pertama, birokrasi pemerintahan, masyarakat, wakil rakyat, pihak yudikatif (komunikator pembangunan). Kedua, ide atau program pembangunan yang disampaikan diberbagai media dan forum lainnya (pesan pembangunan). Ketiga, masyarakat di setiap tingkat strata sosialnya baik yang tinggal di kota mau desa (sasaran pembangunan). Secara normatif dan teoritis, pembangunan ingin dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya. Dari aspek ini pembangunan sebenarnya bersifat pragmatis pada upaya membangkitkan inovasi bagi kebutuhan masyarakat pada masa kini dan yang akan datang. Oleh karena itu, komunikasi berfungsi menata sikap dan perilaku manusia di dalamnya sebagai subjek maupun sebagai objek pembangunan. Dalam konteks interaksi dan komunikasi komponen pembangunan seperti yang sudah diulas, Pesantren Salafiyah merupakan sarana yang dipilih masyarakat, terutama di desa untuk menaggulangi kerasnya zaman dan pragmatismenya pembangunan serta tidak menentunya perkembangan ekonomi. Pesantren Salafiyah mejadi pelindung ancaman nilai-nilai budaya yang merugikan dari luar. Contoh, pelaksanaan Istighotsah yang dhadiri massa di salah satu lapangan di Anyer, Banten (2013) dalam rangka menolak penambangan pasir yang merugikan masyarakat pantai. Pesantren menjadi simbol budaya keislaman yang mencerdaskan manusia secara lahir dan batin. Sebagai kekuatan budaya, strategi komunikasi yang berlangsung di Pesantren Salafiyah dikaji secara Pentad Analysis sebagai berikut: Tabel 8.6 Kajian Pentad Analysis Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam strategi komunikasi Budaya dan Keagamaan Teori Kajian Scene Dalam bidang budaya dan keagamaan, kyai dan Pesantren Salafiyah mendapat tempat yang lebih baik dan berakar. Dukungan yang diberikan bukan saja dari masyarakat baik pedesaan mau perkotaan, tetapi juga meliputi pemerintah, politisi, pengusaha, organisasi sosial keagamaan, media, seniman dan kalangan pariwisata. Hal ini terjadi karena Pesantren Salafiyah telah menjadi kekuatan budaya yang telah memproduksi berbagai bentuk kesenian yang diakui dan berakar di masyarakat, seperti ritual tahlilan, delailan, marhabanan, terbang gede, panjang mulud, rajaban, lebaran anak yatim. Pada bentuk kesenian tertentu, seperti panjang mulud telah dijadikan event pariwisata resmi dan rutin pemerintahan Agent Kyai dan Pesantren Salafiyah Act Berbagai bentuk kesenian dan budaya islam Agency Instrumen kesenian Purpose Menyampaikan berbagai syiar islam dalam bentuk kesenian dan ritual dalam bermasyarakat
90
Kemampuan Pesantren Salafiyah menjadi salah satu kekuatan budaya lokal di Banten tidak bisa dilepaskan dari adanya jaringan komunikasi segenap elemen pembangunan yang secara signifikan membantu atau menaruh minat pada berbagai kegiatan budaya yang berlangsung dan menjadi agenda rutin Pesantren Salafiyah. Ditengah hingar bingarnya budaya pop masyarakat dengan tayangan-tayangan televisi yang seringkali dikritik tidak mendidik, potensi kekerasan masyarakat yang semakin meningkat, kesenian dan kehidupan tradisional Pesantren Salafiyah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang biasanya terekspos secara terbuka pada moment tertentu, seperti panjang mulud, memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad dengn menggelar arak-arakkan berbagai barang kebutuhan sehari-hari, mulai dari bahan makanan hingga barang-barang mewah, seperti kulkas, motor dan sebagainya. Barang-barang ini setelah diarak dikumpulkan di satu titik temu bersama, biasanya di Masjid, kemudian barang-barang tersebut dibagikan kepada anak yatim piatu, masyarakat miskin, pesantren dan Kyai yang disegani. Kesenian lain yang juga dimiliki oleh Pesantren Salafiyah dan diminati masyarakat adalah Terbang Gede, suatu grup musik tradisional yang terdiri atas enam samai sepuluh orang penabuh alat-alat musik tabuh, mengiringi seseorang yang melantunkan puji-pujian. Beberapa agenda rutin kesenian yang lahir dari Pesantren Salafiyah dijadikan event rutin pariwisata pemerintah provinsi Banten dalam rangka menarik minat wisatawan lokal, seperti panjang mulud.
Strategi Komunikasi Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin Dalam Bidang Pendidikan Sebagai kekuatan pendidikan, Pesantren Salafiyah diakui menjadi lembaga pendidikan moral tanpa cacat. Diakui atau tidak, moralitas merupakan pangkal dari krisis multidimensi yang berkepanjangan yang melanda bangsa Indonesia saat ini. Pemerintah, wakil rakyat, pejabat lemah dalam hal moralitas. Akibatnya, korupsi semakin tidak tertandingi, lalai dalam menegakkan hukum, keadilan tidak segera tercapai, nepotisme dan kolusi merajalela. Pembunuhan, konflik agama, pertengkaran merupakan dampak dari rendahnya moralitas bangsa. Agama dijadikan komoditas politik, legitimasi penguasa yang despotik, perampasan hak-hak asasi dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sebagai pusat studi agama, Pesantren Salafiyah memiliki identitas khas selaku key player yang concern dalam mencetak generasi bermoralbaik. Strategi komunikasi Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin dalam bidang pendidikan dilakukan secara terbatas atau tidak secara langsung, tidak seperti komunikasi yang dilakukan dalam bidang budaya dan keagamaan. Kemungkinan, cara ini menjadi ciri khas islam tradisional yang telah dilakukan oleh para pendahulunya, seperti Wali Songo di pulau Jawa, menyebarkan Islam melalaui jalur budaya. Kemungkinan kedua, dari ketertarikan budaya ini diharapkan masyarakat mempertimbangkan pendidikan tradisional Salafiyah kembali. Kemungkinan ketiga, jika strategi komnikasi pendidikan dilakukan secara terbuka, bisa menyebabkan adanya perbedaan nilai-nilai mendasar pendidikan ditingkat orientasi, tujuan dan
91
aplikasi yang dimiliki dalam pendidikan modern dari pola, cara dan metode pembelajarannya, sehingga menyebabkan pertentangan yang tidak perlu, dimana pemerintah, masyarakat secara luas, politisi memberikan dukungan mereka pada bentuk dan model pendidikan modern. Sebagai lembaga pendidikan tradisional, Pesantren Salafiyah mempertahankan komunikasi dengan masyarakat pedesaan dan sedikit pengusaha yang masih simpatik kepada Pesantren Salafiyah, dan bisa dikatakan memiliki andil dalam menjaga pesantren Salafiah. Strategi komunikasi di bidang pendidikan dapat dikaji secara Pentad Analysis sebagai berikut:
Tabel 8.7 Kajian Pentad Analysis Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam strategi komunikasi dibidang pendidikan Teori Kajian Scene Pesantren Salafiyah lebih dikenal sebagai lembaga yang memiliki kekuatan dalam menyelenggarakan pendidikan keagamaan secara konsisten sejak ratusan tahun lalu. Kemampuannya menelurkan berbagai disiplin ilmu intelektual islam juga telah dikenal, mulai dari keahlian ilmu alat, yakni ilmu yang digunakan untuk membaca, memahami dan menafsirkan ilmu Al-Quran dan kitab gundul lainnya langsung dari gramatika dan bahasanya langsung, tidak dari terjemahannya, kemudian penguasaan ilmu hadist, penguasaan ilmu tahfidz. Pendidikan yang diselengarakannya diadakan secara gratis, dimana santri yang terserap lebih banyak dari kalangan miskin desa dan perkotaan. Dalam bidang ini, strategi komunikasi yang diusung hanya mendapat dukungan dari organisasi sosial keagamaan dan sedikit pengusaha yang dekat dengan pesantren. Agent Lembaga pendidikan Pesantren Salafiyah Act Motivasi, pemikiran dan karakteristik yang ingin dibangun adalah menjaga dan meneruskan prinsip-prinsip Salafiyah dalam menegakkan syiar agama Agency Instrumenya adalah Pesantren Salafiyah dengan pengelolaan yang gratis dan sederhana namun berkualitas Purpose Menegakkan syariat islam
Masyarakat pedesaan dan organisasi sosial keagamaan seperti Nahdatul Ulama menjadi pendukung setia dari perjalanan pendidikan tradisional Pesantren Salafiyah. Kedua elemen ini memiliki korelasi langsung yang signifikan. Masyarakat pedesaan menjadi basis utama dari rekruitmen santri. Santri-santri dari pedesaan biasanya datang dari kalangan petani miskin, anak-anak buruh tani serabutan dan profesi-profesi informal lainnya. Walau ada juga santri dari masyarakat kota dan kalangan mampu, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Desa juga menjadi basis utama dari keberadaan santri, termasuk pendirian kembali Pesantren Salafiyah ketika santri sudah selesai mondok dan mendapat izazah
92
(pesan atau amanat) untuk mendirikan pesanten Salafiyah kembali. Sementara organisasi Nahdatul Ulama yang meyakini dirinya sebagai organisasi ulama, secara ideal mengandalkan pucuk kepemimpinan ditingkat Rois Syuriyah dari kalangan Pesantren Salafiyah yang dianggap matang dari sisi keilmuan agama dan kewibawaannya di masyarakat sebagai tokoh agama. Secara garis besar Kepengurusan Nahdlatul Ulama terdiri struktur pengurus Syuriyah sebagai pemegang kebijakan tertinggi dan pengurus tanfidziyah sebagai pelaksana kebijakan. Pengurus Syuriyah terdiri atas pengurus harian yang dipimpin oleh seorang Rois Syuriyah, disamping a’wan syuriyah yang berkedudukan sebagai anggota dan pembantu fungsi kesyuriyahan. Sedangkan Pengurus Tanfidziyah dipimpin oleh seorang Ketua untuk melaksanakan tugas organisasi, pengurus Tanfidziyah membentuk lembaga dan lajnah yang berfungsi sebagai departemen. Dalam suatu perdebatan musyawarah kerja Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama Provinsi Banten ke tiga, Juni 2013 lalu, persoalan kaderisasi pengurus rois syuriyah NU dan basis perekrutannya dari Pesantren Salafiyah menjadi perdebatan hangat, mengingat NU merasa bahwa Pesantren Salafiyah merupakan indikator dari keberadaan dan keberhasilan NU wilayah, terutama dalam regenerasi di tingkat Rois Syuriyah. Namun hal ini menjadi kendala karena pesantren-Pesantren Salafiyah yang ada di Banten hampir tidak terperhatikan oleh pemeritah mau oleh NU Banten sendiri. Strategi Komunikasi Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin di Bidang Sosial Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin tidak selalu menggunakan semua hubungan sosial yang dimilikinya, tetapi disesuaikan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya atau menyesuaikan diri pada konteks sosialnya dalam rangka mencapai tujuan dengan mengikuti konfigurasi jaringan hubungan sosial tertentu. Dalam strategi komunikasi pada aspek sosial, Pesantren Salafiyah berkomunikasi sesuai dengan kebutuhan dan pengalamannya. Oleh karena itu, siapa memilih siapa atau siapa dipilih siapa merupakan hal yang penting. Muatan sosial yang terjadi dalam komunikasi mengalir mengikuti arus alamiahnya, dalam hal apa Kyai memilih membina hubungan sosial dengan seseorang atau pihak tertentu dan tidak kepada yang lain. Konteks sosial yang dibangun dirancang pada upaya membentuk jaringan hubungan sosial berdasarkan pertimbangan syariah dan pembentukan hubungan keagamaan. Dalam setiap hubungan sosial yang terbina belum tentu atau tidak selalu bersifat "timbal balik" (resiprokal). Pertimbangan strategi komunkasi di bidang sosial didasari atas realitas, dimana kehidupan modern yang terbuka dan dinamis seperti sekarang, tentu saja bagi sebagian orang, terutama anak muda, menjadi hal yang membosankan ketika merasa terkungkung oleh nilai-nilai tradisonal dan sakral di dalamnya. Alasannya karena agama bukanlah hal yang patut dipublikasikan atau ditawarkan, tetapi lebih kepada panggilan. Seperti, berkain sarung, berkopiah, taat dan tekun beribadah, meninggalkan hal-hal yang dapat menjauhkan seseorang dari agama. Ditengah situasi sosial yang terbelah dengan nilai-nilai asing, dimana kebebasan, individualisme dan
93
nilai lainnya menjadi patokan semua elemen masyarakat, maka hal ini bertentangan dengan kehidupan sosial yang hidup, tumbuh dan berkembang di Pesantren Salafiyah. Ketidak cocokan nilai-nilai dasar sosial tadi menyebabkan strategi komunikasi yang dipilih Pesantren Salafiyah sebagai kekuatan sosial membatasi diri kepada masyarat pedesaan dan organisasi sosial keagamaan yang ada dan lekat di daerahnya secara geografis dan ideologis dapat dikaji secara Pentad Analysis sebagai berikut: Tabel 8.8 Kajian Pentad Analysis Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam strategi komunikasi dibidang sosial Teori Kajian Scene Kehidupan sosial Pesantren Salafiyah biasanya lebih dekat pada sosiologis pedesaan, dimana dalam kehidupan tersebut Pesantren Salafiyah berkepentingan untuk mempertahankan nilai sosial yang dianut memiliki kekuatan dan karakteristik yang dapat mengkomunikasikan nilai-nilai keagamaan di dalam perubahan dan pembangunan. Agent Kyai, Ustadz, Santri dan lembaga pesantren saafiyah Act Motivasi, pemikiran dan karakteritik sosial yang dibangun adalah solidaritas dalam beragama Agency Pesantren Salafiyah sebagai lembaga social Purpose Terbangunnya kesadaran masyarakat atas kehidupan sosial keagamaan Kemungkinan besar strategi komunikasi sosial dibangun seperti ini agar santri terhindar dari pengaruh langsung mau tidak langsung budaya Western yang saat ini sudah pula memasuki kampung-kampung. Namun tidak bisa dinafikkan bahwa lulusan Pesantren Salafiyah memiliki peran multi-sektor terhadap pembangunan bangsa. Lulusan Pesantren Salafiyah selalu terpakai dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya, karena ditempatkan sebagai aktor dengan indikator nilai keagamaan dan budaya yang diidamkan, diharapakan dan dijaga oleh masyarakat. Oleh karena itu, keberadaannya seringkali menjadi tokoh keagamaan, dan pemimpin masyarakat. Pesantren sebagai tempat pendidikan agama memiliki basis sosial yang jelas karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Visi ini menuntut adanya peran dan fungsi pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Sementara itu, sebagai suatu komunitas, pesantren telah berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual Islam di pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaqquh fid din yang mengemban untuk meneruskan risalah Nabi Muhammad saw sekaligus melestarikan ajaran Islam. Sebagai elit sosial, Kyai menjadi panutan dan sekaligus pelindung masyarakat dari tindakan kesewenang-wenangan pemerintah. Multi peran seperti inilah yang seringkali menjadikan Kyai bersikap serba salah dan
94
dilematis dalam kehidupan sosial. Peran dan tanggung jawab Kyai terhadap agama, negara dan masyarakat secara bersamaan, tidak jarang menimbulkan benturan kepentingan yang menjadikan pada posisi sulit. Pada saat hubungan pemerintah dengan rakyat tidak harmonis, di mana dominasi negara sangat kuat, Kyai yang tidak membela dan memperjuangkan kepentingan masyarakat akan dijauhi oleh masyarakat dan santrinya. Hal ini berarti Kyai akan kehilangan sumber otoritas, kewibawaan dan legitimasi sebagai Kyai, yang apabila tidak di manage dengan baik, Kyai akan kehilangan posisi daya tawarnya, tidak hanya di hadapan pemerintah, tetapi di hadapan masyarakat.
Strategi Komunikasi Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin di Bidang Politik Politik pada dasarnya adalah soal pengaruh mempengaruhi, sementara pengaruh itu ditentukan oleh kuasa atau power yang dimiliki. Power sendiri bisa muncul dari berbagai sumber, sejak dari yang paling abstrak, pengetahuan, keturunan, moralitas, dukungan massa hingga kapital, termasuk senjata. Mereka yang memiliki salah satu atau sebagian darinya akan memiliki power, dan power akan menghasilkan pengaruh di masyarakat, baik karena terpaksa atau sukarela. Kekuatan politik biasanya ditandai dengan kemampuan seseorang atau kelompok atas posisi tawar yang dimiliki untuk mempengaruhi suatu kebijakan atau dalam kerangka memperoleh akumulasi kekuasaan atas sumber daya pembangunan baik secara sukarela mau terpaksa. Kyai dengan dukungan massa yang sangat besar, dipandang sebagai simbol kekuatan moral dalam politik yang sangat signifikan, potensi seperti itu dianggap strategis ditarik ke ranah politik, baik sebagai pemain langsung atau sebagai kekuatan yang mampu mempengaruhi massa dan sekaligus pemberi legitimasi moral. Hal ini merupakan kekuatan Kyai yang riil, hanya saja kekuatan itu seringkali berakibat negatif, karena dengan powernya itu ia selalu dicurigai. Di sisi lain daya tarik politik yang besar itu seringkali dimanfaatkan secara pragmatis, untuk melegitimasi kebijakan pihak atau kelompok tertentu, bukan sebaliknya untuk menekan negara untuk membebaskan rakyat. Belum lagi ketika kekuatan politik moral itu ditarik menjadi politik praktis, sehingga membuat banyak Kyai yang terserap ke partai politik. Dalam ranah politik, Kyai menjadi pilar kultural utamanya. pemain politik berupaya menempatkan beberapa Kyai sebagai motor penggerak atau sekedar legitimator moral. Kecenderungan tersebut tampaknya juga terjadi pada arena politik lokal, Dalam kasus-kasus pemilihan kepala daerah, Kyai banyak terlibat dalam upaya membangun dukungan politik bagi calon-calon tertentu. Para calon kepala daerah sendiri, bupati atau gubernur, juga tidak henti berupaya melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan para politisi partai. Namun sepak terjang Kyai dalam kancah politik praktis ternyata membawa perubahan pada penilaian masyarakat terhadap Kyai pesantren. Kyai yang dulunya sangat disegani oleh masyarakat, bisa tidak lagi disegani, karena terjun ke dalam politik praktis. Alasan yang biasa disampaikan oleh
95
masyarakat adalah karena perilaku Kyai sudah berubah, tidak lagi menjadi panutan. Meski kasusnya tidak banyak, tetapi figur Kyai menjadi turun. Jika dulu Kyai menjadi tuntunan, bisa menjadi tontonan. Oleh karena itu, strategi komunikasi Pesantren Salafiyah di bidang politik dapat dikaji secara Pentad Analysis sebagai berikut: Tabel 8.9 Kajian Pentad Analysis Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dalam strategi komunikasi dibidang politik Teori Kajian Scene Ketaatan masyarakat terhadap arahan dan perkataan Kyai pimpinan Pesantren Salafiyah seringkali menjadi kebutuhan dunia politik praktis terhadap legitimasi moral para politisi mau elit politik. Ketaatan masyarakat sendiri tercipta kuat dengan pesantren dikarenakan hubungan yang erat dengan masyarakat diserangkaian kegiatan sosial keagamaan yang ada menjadi incaran atas keyakinan dunia politik Agent Kyai Act Moralitas Kyai untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat Agency Kyai dan Pesantren Salafiyah Purpose Mendapatkan dukungan politik Dalam kehidupan politik, Kyai dan tokoh pesantren sering kali menjadi sasaran para politisi dalam membangun basis dukungan politik pada setiap pemilihan umum. Kyai berpotensi besar menjadi power yang berpengaruh atas kemenangan politik. Sosok Kyai menjadi incaran para politisi untuk dimintai restunya, atau bahkan melibatkannya dalam kepengurusan partai. Tim sukses yang telah dibentuk para leader partai sekarang ini menunjukkan bahwa peran para Kyai yang signifikan akan dapat meraup suara. Sosok Kyai awalnya hanya dalam lingkup pesantren yang mentransformasikan nilai-nilai agama pada masyarakat lokal, ternyata ketika di ranah politik menjadi posisi yang strategis. Karena para Kyai dianggap dapat mengubah mind-set masyarakat yang lebih luas dalam berbagai bidang, termasuk politik di Indonesia. Memang terbukti bahwa Kyai dalam tradisi pesantren mampu membangun sistem kekerabatan yang berlangsung cukup efektif, sehingga tradisi itu dapat berkembang menjadi sistem sosial yang berpengaruh dalam masyarakat luas. Selama ini masyarakat memposisikan Kyai sebagai sosok teladan, sumber hukum, serta pendorong perkembangan ekonomi dan politik. Dengan , semua tindakan untuk kepentingan umum hampir pasti minta restu dan izin dari Kyai. Konseptual Strategi Komunikasi Pesantren Salafiyah Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa strategi komunikasi Pesantren Salafiyah dapat dibedakan menjadi strategi yang bersifat terencana, dinamis dan terbuka (dibidang budaya dan keagamaan) dan strategi yang bersifat tergantung pada aspek sosiologis (dibidang sosial, pendidikan dan politik). Dalam aspek teoritis,
96
strategi yang menjadi pilihan Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin mendapatkan kerangka konseptualnya, seperti yang dikatakan oleh Whittington (2001) menyebutkan ada empat teori tentang strategi yakni: teori klasik, evolusioner, proses, dan sistem. Teori Klasik menekankan pada perencanaan, evolusi menekankan keterbukaan. Teori proses menekankan pada sifat dinamis dan spontanitas langkah-langkah atau tindakan yang dilakukan. Sedangkan teori sistem menekankan pada sosiologi dan perilaku manusia. seperti pada gambar dibawah ini: Aspek Pendidikan, Budaya dan Keagamaan
Terencana, Dinamis, Terbuka
Pesantren Salafiyah
Aspek Ekonomi, Sosial, Politik
Strategi Komunikasi Pembangunan Tergantung pada aspek sosiologis
Gambar 8.3 Konseptual Strategi Komunikasi Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Eksistensi Pesantren Salafiyah yang kokoh pada aspek budaya dan keagamaan tidak bisa dilepaskan dari strategi komunikasi pembangunan yang dilakukan secara terbuka, dinamis dan konsisten. Hal ini terjadi karena, aspek budaya dan keagamaan merupakan dimensi paling dasar dari strategi komunikasi pembangunan Pesantren Salafiyah. Dalam kategori ini strategi disusun dalam suatu catatan panjang sejarah dan kultur Salafiyah itu sendiri dan dilaksanakan oleh kumpulan masyarakat tertentu yang terikat dengan budaya tersebut. Strategi dalam kategori ini menempatkan proses penentuan kebijakan pada bidang budaya. Dimana kebijakan tersebut merupakan hasil dari proses berkelanjutan dari proses trust. Mengapa kemudian Pesantren Salafiyah lebih tergantung pada aspek sosiologis pada strategi komunikasinya pada aspek sosial, pendidikan dan politik, karena gabungan dari dimensi sumber daya ekonomi organisasi pembuat strategi, proses manajerial organisasi, informasi, proses pemikiran dan pemaknaan secara bersungguh-sungguh hanya akan handal melalui melalui sebuah doktrin, sementara pondasi pada aspek ini, Pesantren Salafiyah berdiri pada keikhlasan yang tidak bisa menerima doktrin. Terutama pada keterkaitan politik dengan konflik. Dikaji dari sisi Komunikasi dan pembangunan, maka strategi komunikasi Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin, baik yang terbuka mau tergantung secara sosiologis saling berkaitan. Keduanya mempunyai andil penting dalam merencanakan dan mengelola suatu kehendak perubahan yang diinginkan dan memberi manfaat bagi kehidupan suatu masyarakat. Perubahan yang dimaksud tentu saja kearah yang lebih baik dari kondisi sebelumnya, termasuk proses dan arah perubahan tersebut. Strategi komunikasi yang telah digunakan diharapkan dapat
97
menjadi perekat dalam memahami kebutuhan dan antisipatif laju pembangunan lahiriah dan batiniah. Strategi komunikasi yang telah dimainkan oleh Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin, mencerminkan proses perubahan sikap, pendapat dan perilaku pesantren tersebut meliputi peran dan fungsi komunikasi sebagai suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik di antara masyarakat dengan pemerintah, dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan. Dalam arti terbatas, penerapan strategi terbuka pada aspek budaya dan keagamaan merupakan segala upaya dan cara serta teknik penyampaian gagasan dan keterampilan komunikasi pembangunan yang berasal dari pihak pesantren terhadap pihak yang memprakarsai pembangunan dan diwujudkan pada masyarakat yang menjadi sasaran dapat memahami, menerima dan berpartisipasi dalam pembangunan, keberhasilan aspek keagamaan dan budaya merupakan keberhasilan dalam aspek permanen pembangunan yang akan secara cepat dan mudah diikuti oleh masyarakat (Depari, Eduard dan Mc Andrew, Collin, 1991). Strategi Komunikasi yang Tergantung Pada Kondisi Sosiologis Masyarakat Peristiwa Musrenbang Strategi komunikasi Pesantren Salafiyah tidak semuanya bersifat terbuka dan dinamis, setidaknya pada aspek pendidikan, sosial dan politik tergantung pada sifat, perilaku dan perkembangan masyarakatnya (sosiologis). Kondisi ini diperoleh dari gambaran sebagai berikut: 150 meter dari pesantren Al Munawar Bani Amin adalah kantor Desa. Di kantor inilah biasanya berbagai pertemuan antar warga digelar, termasuk Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) sebagai forum yang dianggap sangat penting untuk mengangkat dan mengakomodir kepentingan masyarakat Desa. Setiap diadakan Musrenbang, Kyai Wawang selalu diundang. Namun dari sesemakin undangan Musrenbang, hanya dua kali ia turut menghadiri acara tersebut, yakni tahun 2011 dan 2012 lalu. Pada saat pertama Kyai datang dalam Musrenbang, ia merasa bersemangat. Karena ia tahu forum ini dapat diandalkan untuk memberikan ide, permasalahan dan usulan dalam pembangunan desanya. Ia telah mempersiapkan usulan agar pembangunan desa tidak hanya memfokuskan pada pembangunan fisik namun juga membangun mentalitas spiritualitasnya. Tapi siapa sangka, bahwa usulannya tersebut justru bertepuk sebelah tangan hingga pada musrenbang selanjutnya. Hampir semua yang hadir justru bersepakat memfokuskan usulan pembangunan pada hal-hal yang bersifat fisik. Alasanya selain dapat terlihat, terasakan dan memberikan efek secara langsung bagi masyarakat mau pengusaha-pengusaha lokal yang ada dikampung tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan dugaan kuat bahwa Musrenbang memang telah dijadikan forum legitimasi atas perencanaan pengerjaan berbagai proyek. Selanjutnya, adalah timbulnya kekecewaan yang kedua Kyai, ketika Musrenbang harus diputuskan dengan voting bukan dengan musyawarah. Kedatangannya yang kedua di Musrenbang, kekecewaan Kyai nampak lebih besar, bahkan ketika Musrenbang belum dimulai. Karena ia merasa bahwa peserta
98
yang hadir saat itu bukan representasi dari perwakilan masyarakat sesungguhnya. Tapi dari sebuah upaya rekayasa pihak tertentu agar forum dapat diarahkan pada voting atas kepentingan usulan pembangunan fisik kembali. Dari sinilah Kyai merasa bahwa kehadirannya hanya menciptakan kemubaziran, karena Musrenbang adalah forum yang menempatkan kepentingan tertentu dalam pembangunan Desa yang tersistematis dengan kepentingan penggarapan program-program di desa tersebut dengan jaringan pengusaha diluar desa tersebut dan adanya kongkalikong dengan pemerintah. Musrenbang adalah salah satu fungsi aplikatif komunikasi pembangunan pada aspek perencanaan. Musrenbang mesti dilakukan karena telah menjadi amanat UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional. Melalui Musrenbang ini, proses pembangunan dapat digagas dari bawah dengan partisipasi aktif masyarakat. Oleh karena itu, proses penyusunan kebijakan skala prioritas program pembangunan perlu diperkuat pada proses komunikasi yang meliputi: MUSBANGDES (Musyawarah Pembangunan Desa) atau istilah lainnya MUSRENBANGDES (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa). Perencanaan pembangunan dimulai dari tingkat desa, yang biasanya dihadiri oleh mereka yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan, atau sesuai dengan kebijakan dari kabupaten, namun seringkali dalam prakteknya hanya menjadi semacam lips service belaka. Pesantren Bani Amin Al-Munawar tahu ada Musbangdes yang diselenggarakan rutin dan tahu fungsi dari musbangdes tersebut. Namun menurut Kyai kegunaan dari musbangdes ini masih perlu dipertanyakan. Mestinya sebelum dilakukan musyawarah di tingkat desa, ketua-ketua RT dan RW, termasuk tokohtokoh masyarakat diajak berembuk dengan warga mengenai kebutuhan apa saja yang harus diajukan sebagai usulan kepada pemerintah desa, lalu dilakukanlah musyawarah pembangunan di tingkat desa tersebut. Sekarang ini, masyarakat di desa ini menganggap bahwa pembangunan yang dilakukan di tempatnya seringkali “dikatakan sebagai bantuan”, padahal memang pembangunan tersebut telah menjadi hak warga masyarakat untuk mendapatkannya, dan sekali lagi bukan “bantuan pembangunan” sebagaimana yang seringkali digulirkan oleh para elit politik, baik dari lingkungan partai atau pemerintah. Mana ada partai politik yang memberikan bantuan pembangunan, sedangkan mereka dalam menjalankan roda organisasi saja belum bisa mandiri, masih disupport oleh pemerintah baik melalui APBD mau APBN. Musrenbangdes yang dilaksanakan di Desa Pabuaran Jati, sebenarnya selalu mengundang Kyai sebagai tokoh masyarakat. Namun dari Serangkaian Musranbangdes yang ada, biasanya hanya dilaksanakan ketika akan ada dana bantuan yang turun, tidak dilakukan secara kontinyu sebagai sebuah penyerapan aspirasi dari bawah. Musyawarah di desa ini juga biasanya hanya membahas kebutuhan pembangunan desa secara fisik dari waktu ke waktu, karena hal ini dinaggap menguntungkan (proyek) oleh lingkungan tersebut. Ditambah mekanisme pertemuan biasanya dibenturkan pada pemungutan suara untuk menentukan program yang akan dilaksanakan bukan pada mekanisme seharusnya yakni musyawarah untuk mencapai kakta mufakat. Pelaksanaan voting biasanya juga sudah dipersiapkan dengan
99
hadirnya orang-orang yang sengaja untuk memenuhi kepentingan pemungutan suara saja. Atas dasar alasan inilah Kyai beranggapan bahwa Musrenbangdes di desanya nyaris tanpa substansi dan keasadaran atas apa yang diinginkan oleh masyarakat itu sendiri. Peristiwa Reses DPRD Banten Desa Pabuaran Jati berada di Kecamatan Kragilan diwakili oleh para anggota Dewan Pewakilan Rakyat Daerah dari PAN satu orang, PKS satu orang, Partai Demokrat dua orang dan Partai Gerindra dua orang. Namun keberadaan wakil rakyat tersebut, terutama dari parpol Islam belum menjadi representasi Pesantren Salafiyah di wilayah tersebut. Keberadaan para anggota dewan ini perlu dibahas dalam konteks komunikasi politik yang tidak bisa dipisahkan dari keberadaan komunikasi pembangunan secara umum dalam rangka mengusung pembangunan dan kemajuan daerah yang berlandaskan moralitas dan etika politik serta kepentingan masyarakat secara lebih luas, khususnya Pesantren Salafiyah sebagai kekuatan budaya di Banten. Oleh karena itu landasan pijak komunikasi politik ini berangkat dari upaya peneguhan kembali penegakkan keinginan dan aspirasi sebagian besar masyarakat Banten untuk mengaktualisasikan cita-cita kehidupan masa depan yang lebih baik, setelah berpisah dengan Jawa Barat dan membentuk suatu propinsi tersendiri. Tidak terkecuali di Desa Pabuaran Jati ini, seperti daerah lainnya, memiliki keinginan agar sistem penyelenggaraan pemerintahan yang terwujud mempunyai daya responsif dan kompetensi yang kuat untuk mengusung kepentingan masyarakat Desa. Dalam konteks politik lokal, diberlakukannya otonomi daerah (Otda) melalui Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, saat ini belum menampakkan efektifitas dan efisiensinya yang maksimal bagi kepentingan rakyat. Kyai wawang sendiri mengkhawatirkan munculnya wakil wakil rakyat yang tidak peduli dengan Desa yang diwakilinya. Kekhawatiran itu menjadi bukti. Para wakil rakyat yang mewakili Desa Pabuaran Jati periode 2009-2014 akhir-akhir ini sering dipertanyakan kinerjanya, terutama menyangkut hasil reses. Reses adalah masa dimana para wakil rakyat untuk turun ke wilayah pemilihannya masing-masing untuk berkomunikasi dan menyerap aspirasi masyarakat dan mengoreksi kembali segenap aktifitas pembangunan yang sudah dilakukan sebelumnya. Hal ini menjadi penting untuk dilihat pada satu kebutuhan bagaimana penyerapan aspirasi dan kepentingan elemen masyarakat dapat terangkat dan terwakili persoalannya ditingkat sistem dan decision maker pembangunan. Namun sekali lagi, bahwa reses dapat dikatakan bukanlah salah satu mekanisme yang dapat diandalkan dalam komunikasi pembangunan di Banten untuk menciptakankeberhasilan mau mengkomunikasikan berbagai persoalan dalam pembangunan.
100
Komunikasi dengan Media Lokal Kyai Wawang memahami bahwa media massa lokal di Banten memiliki peran strategis dalam menyampaikan pesan-pesan pemerintah dalam pembangunan. Ia merasa bahwa Koran yang ada mulai dari Radar Banten, Baraya Post, Banten Pos, Tangerang Ekspress dan yang lainnya tidak bisa berdiri secara ajeg untuk mengkritisi pemerintah karena kuatnya hegemoni pemerintah melalui belanja iklan yang begitu mahal. Hal ini ia perhatikan karea seringkali di setiap Koran yang ia baca iklan-iklan pembangunan dari pemerintah terliput secara besar-besaran. Kyai Wawang meyakini ini tidak mungkin gratis. Namun ia masih optimis bahwa Koran-koran tersebut mau menjembatani isu-isu moral yang sangat penting untuk diperhatikan pemerintah. Biasanya jalinan komunikasi dengan wartawan media lokal dilakukan dalam hubungan keorganisasian diluar pesantren. Di mata media lokal di Banten, Pesantren Salafiyah adalah sosok lembaga pendidikan tradisional yang sederhana, dikenal sebagai kaum sarungan dengan metode belajar tersendiri yang berbeda dengan sekolah formal. Beberapa tokoh Kyai Pesantren Salafiyah terbilang dekat dengan kalangan media lokal di Banten. Terutama tokoh-tokoh Kyai yang secara langsung juga terlibat atau terkait dengan organisasi sosial keagamaan seperti Nahdatul Ulama dan Majelis Pesantren Salafiyah. Hampir tidak tidak ada Kyai yang berinteraksi dengan media mengatasnamakan langsung Pesantren Salafiyah yang diasuhnya. Keterlibatan peliputan wartawan langsung di Pesantren Salafiyah terbilang jarang, jika terjadi biasanya pada kesempatan – kesempatan peringatan atau acara keagamaan yang cukup besar melibatkan massa dan pejabat penting dalam pemerintahan. Keterlibatan atau peran Pesantren Salafiyah selalu terwakili oleh Kyai sepuh dalam suatu komunitas Kyai pemimpin Salafiyah. Sesuai dengan budaya yang terjaga dalam kebiasaan selama ini bahwa tokoh yang tertua dan dianggap mumi dalam keilmuannya menjadi representasi yang lain. Taklid dan taat pada kepemimpinan ketokohan yang ada. Hampir keseluruhan pesan pesan yang tersampaikan lewat media massa adalah persoalan sosial keagamaan. Cenderung menghindar dari polemik politik, setidaknya diplomatis dalam uruan politik. Dalam perspektif media, suara atau pendapat Pesantren Salafiyah merupakan second opinion, yang sangat diperlukan dalam rangka menyeimbangkan atau mencari pendapat masyarakat sesungguhnya dari masyarakat. Representasi Pesantren Salafiyah sebagai suara masyarakat memang tidak bisa diragukan. Karena intesitas pesantren-Pesantren Salafiyah ternama menerima tamu masyarakat dengan segala persoalannya cukup tinggi. Ada terpaan media pada elemen lain di Pesantren Salafiyah, seperti santri atau Ustadz terbilang cukup minim. Santri nyaris tidak bersentuhan dengan media, baik cetak mau elektronik mengingat keseharian santri yang cukup padat dalam beribadah mau menimba ilmu. Kondisi ekonomi santri dan pesantren juga menyebabkan pemanfaatan media terbilang cukup mahal untuk mereka. Disamping persepsi santri dan Ustadz terhadap media belum dianggap sebagai institusi yang merepresentasikan dari keberadaan informasi yang sepenuhnya benar. Mereka menganggap bahwa
101
media adalah suatu usaha yng bergerak dibidang jual beli berita yang tentu saja akan berpihak kepada informasi terhadap yang mampu atau memiliki akses terhadap media. Dengan kata lain, peran media dalam pembangunan sebagai agen pembaharu (agent of sosial change) atau membantu memperkenalkan perubahan sosial. Dalam hal ini media massa untuk merangsang proses pengambilan keputusan, memperkenalkan usaha modernisasi dan membantu mempercepat proses peralihan masyarakat yang tradisional menjadi masyarakat yang modern serta menyampaikan pada masyarakat program-program pembangunan pada Pesantren Salafiyah belum membentuk satu polarisasi yang respon yang diharapkan. Ada kebuntuan yang terjadi dalam peran media massa lokal terhadap Prasarana dan sarana media massa yang digunakan dalam pembangunan di Banten yang menjadi tidak berarti dimana khalayak besar dari Pesantren Salafiyah yang dituju tidak dapat menerima pesan-pesan pembangunan yang disampaikan oleh karena terbatasnya daya jangkau media. Beragamnya bahasa dan konflik politik membosankan dalam media tanpa kejelaan penyelesaian persoalan hukumnya menjadi kendala tersendiri dalam usaha menjangkau lebih banyak lagi masyarakat yang dapat menerima informasi yang bermanfaat dalam usaha pembangunan. Masyarakat yang menerima informasi sangat beragam tingkat pendidikan dan atitudenya sehingga. pesan-pesan pembangunan yang harus disampaikan oleh media massa belum dibentuk serupa untuk menjadi mudah untuk dipahami supaya dapat menimbulkan perubahan atitude dan perilaku pada satu kebutuhan dan kepentingan menjembatani potensi pesantren dalam pembangunan melalui media massa. Dengan secara prinsip dapat disimpulkan peranan media komunikasi massa lokal dalam pembangunan yaitu dalam peran merangsang proses pengambilan keputusan pada upaya penguatan budaya lokal di Banten masih jauh pangggang dari api. Bisa jadi kendala ini juga disebabkan persoalan struktural internal media lokal sendiri yang juga sulit didefinisikan, apakah yang dimaksud dengan lokalitas dalam media massa lokal, karena semua media lokal yang ada di Banten adalah anggota dari grup besar usaha media nasional. Media massa lolal masih terjebak pada konsep dapat memperkenalkan usahausaha modernisasi dengan tujuan mengubah kebiasaan, sikap, pola pikir yang jelek menjadi baik. Dimana media massa sebagai alat penyampaian pada masyarakat program-program pembangunan namun masih terjebak pada kepentingan materialisasi yang mengkolaborasikan kepentingan kekuasaan dan pengusaha yang belum tentu berpihak kepada masyarakat. Pesantren Salafiyah dalam dinamika interaksi sosial politik yang materialistik seperti yang terjadi saat ini bukanlah institusi yang dianggap menguntungkan. Baik secara politik mau ekonomi. Presisi dengan posisi masyarakat yang posisi tawarnya tidak berdaya berhadapan dengan kekuatan kekuasaan dan pengusaha. Walau seringkali dalam event politik, pesanten Salafiyah dijadikan naungan atau kekuatan spiritual yang mendukung suatu event politik dengan doa-doa yang dipercaya makbul, namun praktek politik yang mengedepankan praktek tidak pantas atau salah seperti jual beli suara tetap dilakukan oleh pasangan yang meminta doa pada Kyai tersebut. Media akan memdukung apa perilaku pasangan calon tersebut selama secara bisnis menguntungkan. Kendati ada
102
pula Pesantren Salafiyah yang terjebak pada materialisasi dinaika sosial politik yang terjadi, dikena dengan sebutan pesantren proposal, karena sang Kyai di sindir bukan membawa kitab tetapi membawa proposal. Kebuntuan media lokal juga terjadi pada satu penyikapan pencitraan yang diperlukan dalam membangun kebaikan kepemimpinan pembangunan yang selama ini dianggap salah kaprah oleh Pesantren Salafiyah. Peran media yang mendukung dan mengamini bahkan terlibat dalam memoles dan memberikan kosmetika politik pada pihak pihak tertentu yang memiliki sumber daya untuk membeli dan menciptakancitra tersebut dianggap membuat miris. Betapa tidak. Pada kasus-kasus tertentu, dimana seseorang yang dianggap tidak berpihak kepada masyarakat, tidak berprestasi dan memiliki perilaku tidak baik tetap tampil prima dan santun dengan berbagai atribut kesholehanya di media. Banyak pemimpin Pesantren Salafiyah yang beranggapan bahwa hal itu terjadi bukan karena media lokal tidak tahu namun terbeli. Berbeda dengan citra yang terbangun dari Pesantren Salafiyahah dalam proses panjang bermasyarakat dalam proses pembangunan. Membentuk citra yang tidak bisa dibantah. Berdampak pada suatu kekuatan yang mampu menggerakkan masyarakat. Bahkan tampilnya politisi dengan seorang Kyai di media lokal dapat dibaca sebagai suatu dukungan politik. Namun jika hal ini terjadi biasanya pesantren tersebut menjadi gunjingan tersendiri di antara peantren Salafiyah mau masyarakat. Pesantren Salafiyah bisa dikatakan masih belum optimal memanfaatkan media sebagai bagian dari proses pembangunan yang berlangsung untuk menjangkau setiap lapisan elemen masyarakat Pesantren Salafiyah yang terbawah. Termasuk membangun budaya baca pada kebutuhan informasi aktual proses pembangunan. Dengan kata lain, surat kabar dan berita belum menjadi bagian dari kepentingan membangun suatu budaya pendidikan. Respon terhadap ekses pembangun yang diberikan Kyai terbilang reaktif, hanya pada bila suatu kasus telah terjadi atau membesar. Tertinggal secara informasi dalam suatu era informasi. Terbalap oleh pesantren yang telah memodifikasi dirinya menjadi lebih terbuka menjadi pesantren modern. Memang seringkali ada stigma bahwa keterlibatan Pesantren Salafiyah dalam suatu interaksi dengan pemerintahan membuat suatu Pesantren Salafiyah tidak independent. Bahkan ada stigma yang lebih jauh lagi, yakni tugas Kyai dan Pesantren Salafiyah dalam masyarakat adalah urusan keagamaan bukan urusan politik, kendati stigma ini akan sulit sekali dibuktikan karena dalam beragama dibutuhkan siasah dalam memahami kondisi sosial masyarakat yang ada. Media sendiri belum menjadi jembatan budaya antara kekuatan potensi Pesantren Salafiyah dengan peran pemerintah yang diharapkan mampu hdir untuk menciptakansuatu kondisi pembangunan yang lebih kondusif, terutama pada bidang penerapan pendidikan karakter sebagai basis nilai dari pembangunan yang akan dijalankan. Sinergi antara Pesantren Salafiyah, pemerintah dan media lokal sangat membantu dari setiap upaya penggerusan kemungkinan nilai budaya yang telah tumbuh sejak 300 tahun lalu dalam institusi tradisional Pesantren Salafiyah di Banten.
103
Memandang Slogan Pembangunan Media iklan menggunakan berbagai sarana luar ruang seperti spanduk, baligo, dsb merupakan sarana persuasi yang masih dianggap efektif dalam mengkomunikasikan berbagai pesan dalam pembangunan, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun pada tahapan evaluatif. Banten, di antaranya adalah sebuah provinsi yang dihiasi oleh spanduk dan baliho. Jalan raya di ibukota provinsi sangatlah meriah, baliho iklan, papan pengumuman, spanduk penuh jargon, dan semacamnya penuh sesak. Baik sebagai sarana penyampai pesan pembangunan atas keberhasilannya, perlawanan terhadap korupsi, narkoba, dsb, serta pesan terhadap semanagt perubahan dalam suatu kompetisi politik. Bagi Kyai Wawang berbagai iklan yang penuh sesak dijalan raya ini adalah kemubaziran dan bersifat riya. Kemeriahan jalan raya itu masih ditambah dengan baliho besar berpampangkan foto-foto para pejabat politik. Teknologi digital dan percetakan telah sangat memungkinkan setiap orang untuk membuat baliho dengan foto diri berukuran cukup besar, dengan biaya yang meski cukup mahal namun bisa dijangkau oleh mereka yang memiliki cukup anggaran. Para pejabat daerah (bupati, gubernur, sekda), atau mereka yang sedang mengincar posisi-posisi publik atau kepala daerah dalam pilkada, berlomba-lomba unjuk diri lewat baliho berpampangkan foto mereka, disertai kalimat-kalimat jargonis yang — seperti biasa — kerap minim makna. Tujuan utama baliho semacam ini sangat jelas: mengenalkan para pejabat publik, atau mereka yang mengincar jabatan publik, kepada masyarakat yang telah atau akan menjadi target konstituen mereka. oleh karena itu, terpampangnya wajah para tokoh ini jauh lebih penting ketimbang pesan ideologis atau program untuk disampaikan pada masyarakat. Hampir tidak ada implikasi dari efektifitas yang dianggap ada dalam persuasi pesan pembangunan seperti ini. Mengingat, Pertama, membanjirnya baliho dengan foto besar para tokoh ini sangat mungkin mengindikasikan masih jauhnya langkah untuk membangun sistem politik yang terstruktur. Pola komunikasi politik yang dibangun lewat baliho-baliho bergambar itu sangat jelas memampangkan politik yang masih belum beranjak dari mekanisme personal, dimana pribadi seorang tokoh lebih dipentingkan ketimbang visi dan programnya. Baliho-baliho ini tanpa ragu berpijak pada misi utama untuk menonjolkan fisik seorang tokoh, serta penjejalan sosok sang tokoh ke dalam memori masyarakat luas. Tentu saja, para politisi ini belajar dari pengalaman pemilu, pilpres dan pilkada sebelumnya, dimana kerapkali kebagusan dan kecantikan tampang seorang tokoh jauh lebih menentukan kemenangannya ketimbang faktor-faktor lain. Padahal kekautan budaya pesantren yang kerap kali menjadi panutan masyarakat lebih mengakar dan mencibir keberadaan bentuk komunikasi seperti ini. Baliho-baliho jual tampang itu menambah lagi variabel yang menyebabkan mahalnya prosedur demokrasi di negeri tercinta. Prosedur-prosedur demokrasi yang kita pilih semenjak tahun 1998 memang membuka peluang partisipasi politik yang semakin luas dan transparan. Sayangnya, prosedur-prosedur tersebut juga berbiaya
104
sangat tinggi. Sekali lagi, itu baru biaya formal yang terkait dengan logistik pilkada langsung. Biaya lain yang juga sangat besar terkait dengan upaya peraupan suara oleh para politisi dan calon politisi. Tingginya biaya kampanye mereka, baik yang resmi mau yang tidak resmi, bisa mengundang decak heran yang tidak ada habisnya. salah satu yang menyumbang pada pembengkakan biaya peraupan suara itu adalah narsisme para politisi dan tokoh yang kini berlomba-lomba memasang tampang di baliho-baliho di jalan raya. Akan semakin runyam kalau kita amati bahwa sangat boleh jadi, sebagian biaya baliho itu dibebankan pada anggaran negara. Para politisi yang tengah menjabat kerap muncul di balik unjuk prestasi pembangunan daerah, yang ditampilkan dengan foto mereka secara sangat dominan. Anggaran dinas telah digunakan untuk ditumpangi dengan tujuan-tujuan narsistik para politisi.
105
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Pesantren Salafiyah adalah lembaga pendidikan yang fokus pada pembangunan karakter, kompetensi ilmu agama dan pembentukan perilaku sholeh yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain. 2. Strategi komunikasi Pesantren Salafiyah dalam pembangunan di Banten adalah menjalin dan memperkuat komunikasi jaringan sosial kemasyarakatan dengan pesan-pesan keagamaan dan pembangunan melalui internalisasi komunikasi yang solid dan berakar pada anggota-anggota di dalamnya (santri, Ustadz, keluarga mereka dan lingkungan terdekat dari keluarga Ustadz dan santri). 3. Kemampuan strategi komunikasi Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin belum termanfaatkan menjadi suatu komunikasi efektif dalam pembangunan oleh pemerintah. 4. Pemerintah belum melihat lingkup budaya, pembelajaran Pesantren Salafiyah dan outputnya sebagai bagian dari nilai-nilai yang dibutuhkan untuk mengangkat nilai-nilai budaya Banten itu sendiri. Saran Pemerintah Provinsi Banten perlu membuka diri pada suatu penilaian yang konprehensif dan pemenuhan standarisasi yang dibutuhkan agar dapat melampaui aspek teknis pada upaya penumbuhan, pengembangan, pelestarian budaya Banten, salah satunya adalah Pesantren Salafiyah – sebagai budaya lokal yang dominan sebagai bagian dari upaya mengisi nilai-nilai pembangunan.
106
DAFTAR PUSTAKA (ASS) As-Salafiyah.com. 2013. Menggagas Pesantren Sebagai Pusat Peradaban Islam di Indonesia. (Internet) (diunduh 2013 Januari 29). Tersedia pada http://www.as-Salafiyahiyyah.com/2010 Arifin, A. 2003. Komunikasi Politik, Paradigma-Teori-Aplikasi-Strategi Komunikasi Politik Indonesia. Balai Pustaka (ID). Jakarta. Bruinessen M V. 1995. Kitab Kuning. Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Mizan (ID) Bandung. Berlo D K. 1960. The Process of Communication An Intriduction to Theory and Practice. New York (US): Holt. Rinehart and Winston Inc. Blummer H. 1969. Simbolic Interaction Perspective and Method. New Jersey (US): Prentice Hall (BPS) Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. 2011. Data Jumlah Penduduk Banten 2011. (Internet) (diunduh 2013 Januari 14) Tersedia pada banten.bps.go.id. Denzin N K dan Lincoln Y S. 2009. Hand Book of Qualitative Research. Pustaka Pelajar (ID). Yogyakarta. Depari Edan Mc Andrew. Collin. 1991. Peranan Komunikasi Massa Dalam Pembangunan. Gadjah Mada University (ID): Yogyakarta. Dhofier Z. 1985. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta (ID): LP3S. Cetakan IV Devito J A. 1998. Komunikasi Antar Manusia. Kuliah Dasar. Edisi Kelima. (Judul Asli: Human Communication). Jakarta (ID): Professional Books. Djamarah, Bahri, Syaiful. 2004. Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga. Jakarta: PT. Reneka Cipta. Effendi. O.U. 2000. Dinamika Komunikasi. Bandung (ID). PT Remaja Rosda Karya Effendy. 2006. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Cox E. 1995. A Truly Civil Society. Sydney (AUS): ABC Books Fatchan A. dan Basrowi. 2004. Pembelotan Kaum Pesantren dan Petani di Jawa. Yayasan Kampusina (ID) Surabaya Fakih. M. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta (ID): INSIST bekerjasama dengan Pustaka Pelajar Fukuyama F. 1995. Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Yogyakarta (ID): Penerbit Qalam Fukuyama F. 1999. The End of History and The Last Man: Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Yogyakarta (ID): Penerbit Qalam Fukuyama F. 2000. Sosial Capital and Civil Society. International Monetary Fund Working Yogyakarta (ID): Penerbit Qalam Fergusson. F. 1961. Aristotle’s Poetic with an Introductory Essay. Massachusset (US). The Colonial Prens Inc Paper. WP/00/74. 1-8. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Sosial Capital. Massachusetts US): Edward Elgar Publishing Limited Payne. D. 1990. Coping With Failure: Theraupeutic Uses of Rgetoric. Columbia (US). University of South Carolina Press
107
Griffin E. 2002. A first Look at Communication Theory. Boston (US): McGrawhill Gray C S. 1999. “The Dimension of Strategy”. dalam Modern Strategy. Oxford (US): Oxford University Press. pp. 17-47 Gonzales H. 1993. Beberapa Mitos Komunikasi dan Pembangunan. Jahi. A. (Penyunting). 1993. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga. Suatu Pengantar. Jakarta (ID): PT Gramedia Guillot C. 2008. Banten. Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. Jakarta (ID): KPG h. 47-48 Hamijoyo S. 2001. Konflik Sosial dengan Tindak Kekerasan dan Peranan Komunikasi. Jurnal Mediator Volume 2 Nomor 1. Bandung. Hefner R W. 1999. Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Desertasi di Universitas Michigan USA. Diterbitkan ulang leh LKiS. (ID) Yogyakarta Husein A 2011. Mix Methodoogy Dalam Penelitian Komunikasi. Litera dan PERHUMAS (ID). BPC Yogyakarta Horikoshi. H. 1988. Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta (ID): Perhiman Pengembangan Pesantren dan Masyarakat. P3M. Hare. A.P. 1962. Handbook of Small Group Research. New York (US): The Free Press. Idahram S. 2012. Sejarah Berdarah Sekte Salafiyah Wahabi. Pustaka Pesantren. Bantul (ID). Yogyakarta In’am S.2010. Pemahaman Makna dan Pola Aktualisasi Tindakan Pengasuh Peantren Salafiyah Dalam Merespon Pembangunan Pendidikan (Studi Kasus di beberapa Pesantren Salafiyah di Malang Jawa Tmur). Jurnal Penelitian Kependidikan. 20 (1) 15 Jauhari AD. Direktur urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementrian Agama RI. 17-03-2012. Peran Ulama Pesantren Dalam menghadapi Teorisme Global. Disampaikan pada Seminar Internasional. Peran Ulama Pesantren Dalam Mengatasi Terorisme Global oleh di Cirebon. Klump J F. 1993. A Reappoachment Between Dramatism and Argumentation. Journal Argumentationand Advocacy. 29 (4) 7 Louis F 1981. Perspective on Communication. New York (US): Random House. Mastuhu. 2004. Dinamika sistem pendidikan pesantren: suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren (ID). INI Mas’ud A. 2004. Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi. LKiS (ID) Yogyakarta Moleong L J. 2007. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung (ID): PT. Remaja Rosdakarya Mulyana. Deddy. 2008. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu sosial Lainnya. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya Muhammad A. 2008. Komunikasi Organisasi. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Muin A M. 2007. Pesantren dan Pelayanan Masyarakat. Jurnal Pendidikan Agama dan Keagamaan. Departemen Agama Islam. 5 (4) 17
108
Muhammad Isnaini. 2010. Dinamika Kepemmimpinan Kolektif Pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Sumatera Selatan. Jurnal ilmiah pembangunan. 4 (11) 10 Mulyana. 2013. Banten Prioritaskan Tujuh Program Pembangunan. (Internet) (diunduh pada 2013 Mei 5). Tersedia pada http://banten.antaranews.com. Morissan dan Andy C W. 2009. Teori Komunikasi. Ghalia (ID). Bogor Miller K 2002. Communications Theories Perspective. Proces and Context. Boston (US):McGrawhill N.K. Singh dan Mr. A.R. Agwan. 2000. Encyclopaedia of the Holy Qur’ân. (New Delhi: balaji Offset. 1 (5) 175 Nasution. Z. 2004. Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan Penerapannya. Raja Grafika Persada (ID). Jakarta. (NU) Nahdatul Ulama Online. 2012. Pesantren Desak Mahad Ali Masuk Perguruan Tinggi. (Internet). (diunduh 2013 Januari 18). Tersedia pada http://asSalafiyahiebabakan.or.id. Olmsted. Michael S. 1966. Getting Agriculture Moving. New York (US): The Agricultural Development Councill. Ruby Ach Baedhawy. 2012. Profil Pesantren Salafiyah. Biro Humas Provinsi Banten (ID). ulang tahun Banten ke-4 Rofa’i. M. 1994. Reorientasi wawasan Pendidikan: Mengupayakan Sebuah Pesantren Transformatif. Dalam Yunahar Ilyas (Eds) Muhamadiyah dan NU Reorientasi Wawasan Keislaman. LPPI UMY. LKPSM dan PP Al Muhsin (ID) Yogyakarta. Rhonda B. The Secret. Jakarta (ID) : PT Gramedia. 2007. RKPD BANTEN 2014 Suparno B A. 2010. Kontestasi Makna dan Dramatisme Stdi Komunikasi Politik Tentang Reformasi di Indonesia. Disertasi-Jakarta (ID) UI Suprapto, Tommy. Pengantar Teori Komunikasi. Cetakan Ke-1. Yogyakarta: Media Pressindo, 2006. Sudibyo. Rahmad Pulung. 2010. Integrasi. sinergi dan optimalisasi dalam rangka mewujudkan pesantren sebagai pusat peradaban muslim Indonesia. Jurnal Salam Universitas Muhamadiyah Malang. 13 (2) 16 (SP) Suara Pembaruan Online. 2013. APBD Banten 2013 naik 6.052 Triliun. (Internet) (diunduh pada 2013 Mei 6). Tersedia pada http://www.suarapembaruan.com. Syaba. A. N. 2004. ”Dialektika Pesantren Meramut Basis Memahami Gerakan Pesantren dengan ’Nalar Pesantren’”. Dalam BINA PESANTRENEdisi 2/2004. Jakarta (ID): Proyek Peningkatan Pesantren Depag RI Bekerjasama dengan P3M Syamsuddin Rasyid. 2012. Manajemen Pesantren Tradisional. (Internet) (diunduh pada 2013 Juli 16). Tersedia pada http://syamsuddinrasyid.blogspot.com. Sendjaja, S. Djuarsa. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka Whittington R. 2001. “Theories of Strategy”. dalam What is Strategy –and does it matter?. London (UK): Thompson. pp. 9-40
109
West. R. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Teori dan Aplikasi. Jakarta (ID): Salemba Humanika Wayne R. Pace & Don F. Faules. 2000. Komunikasi Organisasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Yasmani. 2002. Modernisasi Pesantren Kritikan Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Ciputata Press (ID). Jakarta. Ziemek M.1986. Pesantren dalam Perubahan Sosial. Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat. P3M (ID). Jakarta (ASS) http://www.as-Salafiyahiyyah.com/2010/12/menggagas-pesantren-sebagai pusat.html)
110
LAMPIRAN 1: PEDOMAN WAWANCARA UNTUK KYAI PIMPINAN PESANTREN SALAFIYAH NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
PERTANYAAN Sudah berapa lama pesantren bapak berdiri? Bagaimana mengkategorikan Pesantren Salafiyah dan bukan Salafiyah? Apa yang menjadi keunggulan atau kelebihan Pesantren Salafiyah? Sejak kapan pesantren dengan kategori Salafiyah ada, bagaimana sejarahnya? Berapa jumlah santri yang ada? Bagaimana kondisi sosial ekonomi kebanyakan santri berasal? Bagaimana Bapak memandang persamaan dan perbedaan Salafiyah, modern dan kombinasi? Bagaimana basis kurikulum dan mata ajar yang diberikan? Apa tujuan pembelajarannya? Apa pandangan Bapak terhadap proses dan tujuan dan keberhasilan suatu pembangunan? Bagaimana pandangan Bapak terhadap peran dan komunikasi Pesantren Salafiyah dalam pembangunan? Dengan cara dan pola seperti apa komunikasi yang dibangun selama ini untuk berinteraksi dengan pemerintah? Apa yang menjadi kendala, hambatan dan tantangan Pesantren Salafiyah dalam berkomunikasi? Apa yang diharapkan dalam proses pembangunan terkait dengan Pesantren Salafiyah? Bagaimana struktur kepengurusan Pesantren Salafiyah? Siapa yang paling berperan untuk melakukan peran komunikasi dalam struktur tersebut? Pesan komunikasi apa yang selalu ingin dibangun oleh Pesantren Salafiyah? Saluran komunikasi apa yang selama ini digunakan oleh Pesantren Salafiyah? Sejauhmana Bapak beranggapan efektifitas dan persamaan makna yang muncul antara Pesantren Salafiyah dengan pemerintah? Apa yang menjadi focus permasalahan yang dikomunikasikan dalam lingkungan masyarakat? Struktur pemerintah mana yang paling sering bersinggungan dengan Pesantren Salafiyah? Motivasi dan semangat apa yang dijaga dalam menjaga keaslian atau ketradisionalan Pesantren Salafiyah? Apakah selama ini aspirasi dan pandangan Pesantren Salafiyah dalam proses pembangunan didengar dan diperhitungkan? Selama dan sejauh ini , apa yang Bapak dapat simpulkan tentang pandangan pelaku pembangunan terhadap Pesantren Salafiyah? Selama dan sejauh ini , apa yang Bapak dapat simpulkan tentang harapan pelaku pembangunan terhadap Pesantren Salafiyah? Apa yang Bapak harapkan dari peran, tanggungjawab dan campur tangan pemerintah terhadap Pesantren Salafiyahah? Apa konssep dan pandangan Bapak terhadap modernisasi dalam pembangunan? Hal-hal apa yang dianggap merugikan dalam proses pembangunan terhadap Pesantren Salafiyah? Apa pandangan Bapak terhadap pandangan Pesantren Salafiyah adalah tradisional dan
111
29 30 31 32 33 34 35 36 37
38 39 40
terkebelakang? Perubahan seperti apa dalam proses pembangunan yang dapat member tempat kepada Pesantren Salafiyah? Bagaimana seharusnya Pesantren Salafiyah diperlakukan dalam proses pembangunan? Apa yang menjadi koreksi Bapak terhadap proses pembangunan yang sedang berjalan? Apa yang dianggap faktor kelemahan Pesantren Salafiyah dalam mengkomunikasikan perannya? Sejauhmana menurut Bapak masyarakat menilai Pesantren Salafiyah dalam konteks pembangunan saat ini ? Bagaimana pendapat Bapak tentang demokrasi di Banten saat ini Bagaimana pendapat Bapak tentang parpol dan keterwakilan masyarakat oleh para wakil rakyatnya di Banten saat ini Bagaimana pendapat Bapak tentang media massa, terutama media lokal di Banten saat ini Bagaimana pendapat Bapak tentang pandangan yang membandingkan lulusan Pesantren Salafiyah dengan sekolah modern dalam konteks kesiapan mengisi pembangunan? Bagaimana pandangan Bapak bahwa Pesantren Salafiyah tidak bisa berubah, kolot dan tradisional? Bagaimana pandangan Bapak tentang pandangan Pesantren Salafiyah adalah kumuh? Intervensi seperti apa yang mesti ada atau dilakukan pemerintah terhadap Pesantren Salafiyah?
112
LAMPIRAN 2: PEDOMAN WAWANCARA UNTUK USTADZ NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
PERTANYAAN Sudah berapa lama bapak mengajar di Pesantren ini ? Materi atau pelajaran apa yang diajarkan? Bagaimana mekanisme dan persyaratan rekruitmen tenaga pengajar di pesantren ini? Bagaimana komunikasi belajar mengajar yang dibangun? Bagaimana perspesi Bapak terhadap proses dan komunikasi pembangunan yang berjalan di Banten dikaitkan dengan ilmu yang Bapak ajarkan? Bagaimana pola interaksi dan komunikasi Bapak dengan masyarakat, apakah hanya dakwa saja atau ada yang lainnya, seperti seminar, dll? Seberapa sering komunikasi yang dilakukan kepada masyarakat dalam bentuk implementasi dari keilmuan yang diajarkan? Apa tujuan pembelajarannya? Pesan komunikasi apa yang sering disampaikan kepada masyarakat dalam interaksi yang dilakukan? Apa yang menjadi aspirasi Bapak dalam pembangunan yang dilakukan? Sejauhmana aspirasi tersebut di sampakan dan dengan saluran komunikasi apa? Apakah komunikasi yang dilakukan dengan masyarakat pada tingkat pesan, saluran komunikasi dan maknanya harus dikonsultasikan dulu kepada Kyai? Bagaimana jika tidak boleh ? Menurut Bapak apa yang dianggap dijadikan keunggulan mata pelajaran yang diberikan kepada santri dalam era modern ini? Menurut Bapak apa yang dianggap dijadikan keunggulan Pesantren Salafiyah dalam era modern ini? Siapa yang paling dominan dalam mengkomunikasikan sikap dan pesan Pesantren Salafiyah dengan pemerintah Saluran komunikasi apa saja yang bapak kenal dalam pembangunan sekarang? Bagaimana hubungan Bapak dengan pemerintahan dan media massa yang ada di Banten?
113
LAMPIRAN 3: NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
18
PEDOMAN WAWANCARA UNTUK SANTRI
PERTANYAAN Sudah berapa lama mondok (belajar dan tinggal di pesantren) ? Apa saja yg diajarkan? Apa motivasi menjadi santri? Apa cita-cita waktu kecil? Biaya apa saja yg mesti dikeluarkan sebagai santri? Bagaimana komunikasi dengan Kyai, Ustadz, dan sesame santri? Menanyakan pengetahuan up date diseputar pemerintahan, Siapa Gubernur Banten saat ini? Berapa lama akan mondok? Setelah mondok akan kemana? Apa tanggapan santri terhadap kesan pembangunan yg timbul thd pesantren, seperti kolot, kumuh, dsb? Apa yang menjadi harapan santri dalam pembangunan? Seberapa sering membaca Koran atau mendengar radio atau menonton televise untuk mengetahui pesan dan persoalan pembangunan (berita)? Pada kegiatan apa santri dilibatkan dengan masyarakat sekitar? Bagaimana bentuk keterlibatannya? Aspiarasi apa yang ada dalam benak santri pada persoalan pembangunans? Bagaimana menyalurkan aspirasi tersebut, kepada siapa? Apa yang menjadi kendala, tantangan dan hambatan sebagai santri ditengah pembangunan yang mengedepankan modernisasi terutama pendidikan yang mengeluarkan ijazah untuk bekerja? Seberapa penting peranan Pesantren Salafiyah dalam pembangunan?
114
LAMPIRAN 4: PEDOMAN WAWANCARA UNTUK PIMPINAN MEDIA CETAK BANTEN RAYA POS NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
PERTANYAAN Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang Pesantren Salafiyah dan bagaimana eksistensinya? Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang peranan Pesantren Salafiyah dalam pembangunan di Banten? Bagaimana hubungan pesantren dengan media? Bagaimana hubungan pesantren dengan pemerintah? Apa yang menjadi persoalan Pesantren Salafiyah dalam pembangunan dalam perspektif media? bagaimana persepsi dan sikap pemerintah terhadap Pesantren Salafiyah dalam perspektif media? Pada aspek dan kepentingan apa saja Pesantren Salafiyah masuk dalam berita di lokal? Bagaimana kemampuan dan kontribusi Pesantren Salafiyah dalam pembangunan menurut perspektif media? Apa peran yang sebenarnya strategis dan dapat dimainkan Pesantren Salafiyah dalam pembangunan menurut kaca mata media? Bagaimana pandangan Bapak/Ibu terhadap Pesantren Salafiyah dengan modernisasi pembangunan?
115
LAMPIRAN 5: PEDOMAN WAWANCARA UNTUK KEMENTRIAN AGAMA DAN PENDIDIKAN PROVINSI BANTEN NO 1 2 3 4 5 6
7 8 9 10
PERTANYAAN Bagaimana penilaian Bapak/Ibu tentang Pesantren Salafiyah dan bagaimana eksistensinya? Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang peranan Pesantren Salafiyah dalam pembangunan di Banten? Bagaimana hubungan pesantren dengan kementrian Bapak dan Ibu? Bagaimana hubungan pesantren dengan pemerintah secara keseluruhan? Kebijakan, program, bantuan atau rencana apa yang ada di dalam kementerian Bapak/Ibu terhadap Pesantren Salafiyah? Pola, model dan bentuk komunikasi seperti apa yang selama ini terjalin, apakah bersifat kontinyu atau eksidentil, kepada siapa (Kyai, Ustadz atau santri) dan dalam aspek atau persoalan apa? Bagaimana Bapak/Ibu memandang Pesantren Salafiyah dalam konteks modernisasi? Apa yang menjadi hambatan dan kendala komunikasi dengan Pesantren Salafiyah? Apa yang menjadi aspirasi Pesantren Salafiyah (apakah tahu)? Dan bagaimana Bapak/Ibu mensosialisasikan kebijkan yang pada Pesantren Salafiyah Apa harapan Bapak/Ibu terhadap Pesantren Salafiyah dalam proses pembangunan di Banten?
116
LAMPIRAN 6:
NO 1 2 3 4 5 6
7 8 9 10
PEDOMAN WAWANCARA UNTUK WAKIL RAKYAT PROVINSI BANTEN
PERTANYAAN Bagaimana penilaian Bapak/Ibu tentang Pesantren Salafiyah dan bagaimana eksistensinya? Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang peranan Pesantren Salafiyah dalam pembangunan di Banten? Bagaimana hubungan pesantren dengan lembaga Bapak dan Ibu? Bagaimana hubungan pesantren dengan pemerintah secara keseluruhan? Kebijakan, program, bantuan atau rencana apa yang ada di dalam lembaga Bapak/Ibu sebagai wakil rakyat terhadap Pesantren Salafiyah? Pola, model dan bentuk komunikasi seperti apa yang selama ini terjalin, apakah bersifat kontinyu atau eksidentil, kepada siapa (Kyai, Ustadz atau santri) dan dalam aspek atau persoalan apa? Bagaimana Bapak/Ibu memandang Pesantren Salafiyah dalam konteks modernisasi? Apa yang menjadi hambatan dan kendala komunikasi dengan Pesantren Salafiyah? Apa yang menjadi aspirasi Pesantren Salafiyah (apakah tahu)? Dan bagaimana Bapak/Ibu mensosialisasikan kebijkan yang pada Pesantren Salafiyah Apa harapan Bapak/Ibu terhadap Pesantren Salafiyah dalam proses pembangunan di Banten?
117
LAMPIRAN 7: Profile Pemilik Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin Nama Alias No. HP Tempat Tanggal Lahir Alamat Pekerjaan Pendidikan
Pesantren
Organisasi
Nama Istri Nama Anak
Nama Ayah Nama Ibu Aamat
H Muhamad Munawar Halili, SE H Wawang 081932303711 Serang 06 April 1975 Kp. Pabuaran Jati Desa Pematang Kec Kragilan Kab Serang Pendiri – Pengasuh Pesantren Salafiyah Tandzimul Ittihaad Sejak 1998 SDN Negeri Kramat Watu 1987 SMP Negeri Keramat Watu SMA Negeri 2 Serang Paket C PKBM Al Qowi Kragilan 2004 STIE Pertiwi Kampus Kragilan Pesantren Salafiyah Banie Amien Pelamunan Pesantren Al Ma Unah Cipare Gede Serang Pesantren Alchusna Wazziyadah Sasak Kronjo Pesantren Riyadhulalfiyah Kadukaweng Pandeglang Pesantren Al-RosyidBojonegoro Jawa Timur Syeikh Abdul Kariem Al-Banjary (Masjidil Harom) Ketua FSPP Kec Kragilan 2002 – 2011 Pengurus MUI Kec Kragilan Bid Dakwah Pengurus IPHI Kec Kragilan Penasehat BKMT Kec Kragilan Pengurus NU Kab Serang Pendiri/Deklarator MPS Prov Banten Sekjen MPS Provinsi Banten HJ Fauziyatul Aini M Nurfikri Ridho Via Nurmustawfiyah M Farhan Ilham Vida Najia Amalia Fadhlan Izzah Mamduhah H.M.Chudri Haris (Alm) Bin KH Risam Hj Chifdhatul Hayat Binti KH Amien Komplek Pesantren Salafiyah Banie Thohir Pelamunan Kramat Watu, Serang
118
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22 Desember 1973, sebaga anak ke dua dari empat saudara dari pasangan Rusli Yusuf dan Sri Endah. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosia dan Ilmu Politik, lulus pada tahun 1996, penulis saat ini diterima di Program Studi Ilmu Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan pada Program Pascasarjana sejak tahun 2011. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi Untirta, Banten sejak tahun 2002. Mata kuliah yang diampu penulis adalah Komunikasi Politik dan Pengantar Ilmu Politik.