VALIDASI HOUSEHOLD DIETARY DIVERSITY SCORE (HDDS) SEBAGAI METODE ALTERNATIF DALAM MENGIDENTIFIKASI RUMAH TANGGA RAWAN PANGAN DI WILAYAH AGROEKOLOGI PERTANIAN
VITRIA MELANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Validasi Household Dietary Diversity Score (HDDS) Sebagai Metode Alternatif dalam Mengidentifikasi Rumah Tangga Rawan Pangan di Wilayah Agroekologi Pertanian adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014
Vitria Melani NIM I151110141
RINGKASAN VITRIA MELANI. Validasi Household Dietary Diversity Score (HDDS) Sebagai Metode Alternatif dalam Mengidentifikasi Rumah Tangga Rawan Pangan di Wilayah Agroekologi Pertanian. Dibimbing oleh DODIK BRIAWAN dan YAYUK FARIDA BALIWATI. Kerawanan pangan merupakan permasalahan serius yang dihadapi oleh berbagai negara termasuk Indonesia. Proporsi penduduk Indonesia dengan asupan energi kurang dari 2000 kkal/hari sebesar 60.03% pada tahun 2011, bahkan 14% di antaranya masih kurang dari 1400 kkal/hari (rawan pangan). Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya rawan pangan adalah kemiskinan. Kemiskinan menyebabkan terbatasnya kemampuan masyarakat dalam memperoleh pangan sehingga meningkatkan risiko terjadinya rawan pangan. Beberapa indikator yang umum digunakan dalam mendeteksi kejadian rawan pangan adalah konsumsi pangan dan status gizi balita. Indikator konsumsi pangan yang digunakan untuk mendeteksi kejadian rawan pangan adalah tingkat kecukupan energi (<70%). Metode tersebut membutuhkan waktu dan proses yang lebih lama, sehingga dibutuhkan metode sederhana secara kualitatif yang dapat digunakan sebagai indikator alternatif dalam mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan. Salah satu metode kualitatif yang dikembangkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) adalah Household Dietary Diversity Score (HDDS). Instrumen ini belum dilakukan uji coba di Indonesia sebagai metode alternatif dalam mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) menganalisis keragaman konsumsi pangan rumah tangga berdasarkan HDDS; (2) menganalisis hubungan status gizi balita dengan tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, dan skor HDDS rumah tangga; (3) melakukan validasi HDDS untuk identifikasi rumah tangga rawan pangan; dan (4) melakukan modifikasi HDDS sebagai metode alternatif untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian. Penelitian dilaksanakan di Desa Sukamaju, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. Desain penelitian adalah cross sectional study. Sebanyak 99 rumah tangga dianalisis pada penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan sebesar 72.7 persen rumah tangga contoh mengonsumsi lebih dari enam kelompok pangan. Sebanyak 85.9 persen rumah tangga contoh termasuk ke dalam kelompok defisit energi tingkat berat. Faktor yang memengaruhi keragaman konsumsi pangan hanyalah pekerjaan ibu (p<0.05). Keragaman konsumsi pangan lebih tinggi pada rumah tangga dengan ibu yang tidak bekerja. Analisis korelasi menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dan protein terhadap skor HDDS (p<0.05). Jika dilihat dari status gizi anak usia di bawah lima tahun (balita), sebagian besar balita memiliki status gizi baik (61.1%). Terdapat 113 balita dari 99 rumah tangga contoh yang dianalisis. Hasil analisis hubungan status gizi balita dengan skor HDDS, tingkat kecukupan energi dan protein menunjukkan skor HDDS dan tingkat kecukupan energi tidak berhubungan secara signifikan dengan status gizi balita (p>0.05). Namun, tingkat kecukupan protein secara signifikan berhubungan dengan status gizi balita (p<0.05; r=0.220). Hal ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi tingkat kecukupan protein rumah tangga, maka status gizi balita juga semakin baik, meskipun korelasi keduanya lemah (r<0.5). Validasi HDDS dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif, metode HDDS relatif lebih mudah dan sederhana digunakan untuk pengambilan data konsumsi pangan rumah tangga. Validasi kuantitatif dilakukan terhadap dua gold standard yaitu tingkat kecukupan energi dan kombinasi tingkat kecukupan energi dengan status gizi balita. Dari 113 balita, hanya 53 balita yang memenuhi kriteria untuk dianalisis yaitu termasuk ke dalam rumah tangga rawan pangan dan status gizi kurang, serta rumah tangga tahan pangan dan status gizi baik. Hasil uji sensitivitas dan spesifisitas dengan gold standard tingkat kecukupan energi (TKE) dan kombinasi TKE dengan status gizi balita keduanya menunjukkan nilai sensitivitas yang rendah (30.59% dan 42.50%) dan spesifisitas yang tinggi (keduanya 92.86%). Sehingga HDDS tidak mampu digunakan sebagai metode alternatif untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan. Pengembangan yang dilakukan adalah dengan modifikasi skor HDDS. Modifikasi dilakukan dengan mengategorikan kelompok pangan berdasarkan fungsi gizi yang sama ke dalam satu kategori. Pemberian skor keragaman dilakukan dengan mengategorikan 16 kelompok pangan menjadi enam kategori pangan berdasarkan sumber zat gizi yaitu sumber karbohidrat, lemak, protein hewani, protein nabati, vitamin dan mineral, serta lain-lain. Kisaran skor HDDS modifikasi adalah 0–12. Keragaman konsumsi pangan berdasarkan skor HDDS modifikasi dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu rendah (skor ≤ 5), sedang (skor 6–8), dan tinggi (skor ≥ 9). Hasil uji sensitivitas dan spesifisitas HDDS modifikasi dengan gold standard TKE menunjukkan peningkatan nilai sensitivitas HDDS menjadi 97.64% dan penurunan nilai spesifisitas menjadi 42.86%. Hasil uji sensitivitas dan spesifisitas HDDS modifikasi dengan gold standard kombinasi TKE dengan status gizi balita menunjukkan peningkatan nilai sensitivitas HDDS menjadi 100% dan penurunan nilai spesifisitas menjadi 35.71%. Hasil ini menunjukkan bahwa HDDS modifikasi memiliki sensitivitas yang baik untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan. Nilai sensitivitas yang tinggi mengimplikasikan bahwa HDDS modifikasi mampu digunakan sebagai metode atau indikator alternatif dalam mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian. Kata kunci: HDDS, keragaman pangan, rawan pangan, sensitivitas, spesifisitas
SUMMARY VITRIA MELANI. Validation Household Dietary Diversity Score (HDDS) as an Alternative Method to Identify Household Food Insecurity in Agricultural Area. Supervised by DODIK BRIAWAN and YAYUK FARIDA BALIWATI. Food insecurity is a serious problem faced by many countries including Indonesia. The proportion of the Indonesian population with energy intake less than 2000 kcal/day by 60.03% in 2011, even 14% of which is still less than 1400 kcal/day (food insecurity). One of the factors that lead to food insecurity is poverty. Poverty cause limited ability of the public in obtaining food, then increasing the risk of food insecurity. Some indicators are commonly used to detect the incidence of food insecurity is the food consumption and nutritional status of children. Food consumption indicators are used to detect the incidence of food insecurity is energy adequacy level (<70%). The method and the process takes longer, so it takes a simple qualitative method that can be used as an alternative indicator to identify food insecure households. One of the qualitative method developed by Food and Agriculture Organization (FAO) is Household Dietary Diversity Score (HDDS). This instrument has not been tested in Indonesia as an alternative method to identify household food insecurity. This study has five main objectives that include the following: (1) to analyze the household dietary diversity based on HDDS; (2) to analyze the relationship between nutritional status of children under five with energy adequacy level, protein adequacy level, HDDS score of household; (3) to validate HDDS for identification of food insecure households; and (4) to modified HDDS as an alternative method to identify food insecurity household in agriculture are. A cross sectional study was conducted at paddy field in Cigudeg, Bogor Regency. A total of 99 households were selected for the analysis. The result showed that 72.7 percent of total household consumed more than six foods group. There were 85.9 percent household classified as severe level of energy deficit group (<70%). Factors that affect household dietary diversity was mother working status (p<0.05). Household dietary diversity was higher in households with mothers who did not work. Correlation analysis showed a significant correlation between the levels of energy and protein adequacy of the HDDS scores (p <0.05). Based on nutritional status of under five children, most of them have a good nutritional status (61.1%). There were 113 under five children from 99 households were analyzed. Correlation analysis of under five children nutritional status to HDDS score, energy and protein adequacy levels showed that HDDS score and energy adequacy level was not significantly related to nutritional status of under five children (p> 0.05). However, protein adequacy level was significantly related to nutritional status of under five children (p <0.05; r=0.220). This suggests that the higher level of household protein adequacy, the nutritional status of under five children are also getting better, although both are weak correlations (r <0.5). HDDS validation was applied in a qualitative and a quantitative analysis. HDDS method is relatively easy and simple in collecting data and in analysis. Quantitative validation applied in two gold standard namely energy adequacy level and combination of energy adequacy level with nutritional status of under
five children. There were 53 under five children from 113 that met the criteria for analysis, namely from food insecure household and malnutrition status, and from food secure household and good nutritional status. Sensitivity and specificity of the test with the gold standard of energy adequacy level and combination of energy adequacy level with nutritional status of under five children both showed a low sensitivity value (30.59% and 42.50%) and high specificity (both 92.86%). So HDDS were not able to be used as an alternative method to identify food insecure households. HDDS modifications by categorize groups of food based on nutritional function, namely source of carbohydrates, fats, animal protein, vegetable protein, vitamins and minerals, as well as others. HDDS modifications score range is 0– 12. Dietary diversity score of HDDS modifications are grouped into three categories: low (score ≤ 5), moderate (score 6–8), and high (score ≥ 9). Sensitivity and specificity of the test with the gold standard of energy adequacy level showed an increase in the sensitivity of HDDS (97.64%) and decreased the specificity (42.86%). Sensitivity and specificity of the test with the gold standard of combination of energy adequacy level with nutritional status of under five children showed an increase in the sensitivity of HDDS (100%) and decreased the specificity (35.71%). These results indicated that the modified HDDS were highly sensitive to identify food insecure households. High sensitivity value implies that the HDDS modification can be used as an alternative method or indicator to identify food insecure households in rural areas with agriculture characteristics.
Keywords: dietary diversity, food insecurity, HDDS, sensitivity, specificity
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
VALIDASI HOUSEHOLD DIETARY DIVERSITY SCORE (HDDS) SEBAGAI METODE ALTERNATIF DALAM MENGIDENTIFIKASI RUMAH TANGGA RAWAN PANGAN DI WILAYAH AGROEKOLOGI PERTANIAN
VITRIA MELANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Drajat Martianto, MSi
Judul
Nama NIM
: Validasi Household Dietary Diversity Score (HDDS) Sebagai Metode Alternatif dalam Mengidentifikasi Rumah Tangga Rawan Pangan di Wilayah Agroekologi Pertanian : Vitria Melani : I151110141
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN Ketua
Dr Ir Yayuk Farida Baliwati, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 23 Mei 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai Oktober 2013 ini adalah validasi metode, dengan judul Validasi Household Dietary Diversity Score (HDDS) Sebagai Metode Alternatif dalam Mengidentifikasi Rumah Tangga Rawan Pangan di Wilayah Agroekologi Pertanian. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN dan Dr Ir Yayuk Farida Baliwati, MS selaku komisi pembimbing, dan Dr Ir Drajat Martianto, MSi selaku penguji luar komisi pada ujian tesis yang telah banyak memberi saran. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan dana penelitian melalui program Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang diwadahi oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (LPPM IPB). Selain itu, terima kasih juga disampaikan kepada pihak yang telah memberikan izin pelaksanaan penelitian kepada penulis yaitu Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Bogor, pihak Kecamatan Cigudeg, dan pihak Desa Sukamaju. Penghargaan yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada temanteman enumerator dan kader posyandu Desa Sukamaju yang telah membantu selama pengambilan data. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada sahabatsahabat di Pondok Putri Rahmah lantai 2 Mba Ino, Sarah Rohyana, Arini, Riviani, Ningrum, Fitria, Bellen, Ika, Ratna, Sarah Febriani, Dilla, Nur, Desi, Firina, Dewi, Atika, Okky, Laelati, Diska, Rafiqah, Yuni, dan Muthi atas kebersamaan, semangat, kasih sayang, dan bantuannya selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Popon, Mba Nurul, Mba Anna Vipta, Mba Rian, Ghaida, Indah, Kemal, dr Naufal, serta rekan-rekan GMS angkatan 2010, 2011, 2012, dan 2013 atas bantuan dan semangatnya selama penulis melaksanakan penelitian dan menempuh pendidikan pascasarjana di IPB. Ungkapan terima kasih tak terhingga disampaikan kepada ayah, ibu, om Chan, Mafrikhul Muttaqin, serta seluruh keluarga atas doa, pengertian, kesabaran, dan kasih sayangnya kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014 Vitria Melani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
4
Hipotesis Penelitian
4
Manfaat Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
5
Ketahanan Pangan Rumah Tangga
5
Definisi dan Konsep Keragaman Konsumsi Pangan
6
Definisi dan Konsep HDDS
7
Penilaian Konsumsi Pangan Rumah Tangga
11
Status Gizi Balita
12
Konsep dan Jenis Validitas
13
KERANGKA PEMIKIRAN
14
METODE
16
Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
16
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh
16
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
17
Pengolahan dan Analisis Data
18
Definisi Operasional
23
HASIL DAN PEMBAHASAN
24
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
24
Karakteristik Rumah Tangga Contoh
24
Keragaman Konsumsi Pangan Rumah Tangga
27
Ketahanan Pangan Rumah Tangga
32
Status Gizi Balita
34
Validasi Metode HDDS
35
Modifikasi Metode HDDS
38
SIMPULAN DAN SARAN
42
Simpulan
42
Saran
43
DAFTAR PUSTAKA
43
LAMPIRAN
48
RIWAYAT HIDUP
60
DAFTAR TABEL 1 Kelompok pangan pada kuesioner HDDS
9
2 Kelompok pangan untuk menentukan skor HDDS
10
3 Jenis dan cara pengambilan data
17
4 Kelompok pangan untuk menentukan skor HDDS
19
5 Klasifikasi status gizi balita berdasarkan nilai Z-score
21
6 Sensitivitas dan Spesifisitas HDDS terhadap TKE
21
7 Sensitivitas dan Spesifisitas HDDS terhadap TKE dan Status Gizi Balita
22
8 Karakteristik rumah tangga contoh
25
9 Proporsi rumah tangga contoh menurut keragaman konsumsi pangan rumah tangga berdasarkan skor HDDS 10 Faktor determinan keragaman konsumsi pangan rumah tangga
28 30
11 Rata-rata asupan, kecukupan, dan tingkat kecukupan energi dan protein rumah tangga
32
12 Proporsi rumah tangga contoh menurut tingkat kecukupan energi dan protein (TKE dan TKP)
33
13 Proporsi status gizi balita berdasarkan indikator berat badan menurut umur (BB/U) 14 Sebaran status gizi balita menurut tingkat kecukupan energi rumah tangga 15 Penilaian kualitatif terhadap metode HDDS dibandingkan dengan
34 35
recall konvensional 1 x 24 jam berdasarkan pendapat responden dan enumerator
36
16 Sebaran skor HDDS dengan gold standard Tingkat Kecukupan Energi (TKE)
37
17 Sebaran skor HDDS dengan gold standard Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dan status gizi balita (SG)
37
18 Kategori kelompok pangan untuk modifikasi skor HDDS berdasarkan sumber zat gizi
39
19 Sebaran rumah tangga contoh menurut keragaman konsumsi pangan rumah tangga berdasarkan skor HDDS modifikasi 20 Rata-rata TKE dan TKP pada setiap kategori skor HDDS modifikasi 21 Sebaran skor HDDS dengan gold standard Tingkat Kecukupan Energi
40 40
(TKE)
41
22 Sebaran skor HDDS dengan gold standard Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dan status gizi balita (SG)
41
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran kualitas konsumsi pangan dan pengaruhnya terhadap ketahanan pangan rumah tangga
15
2 Sebaran rumah tangga contoh berdasarkan kelompok pangan HDDS
29
3 Sebaran contoh berdasarkan cara memperoleh pangan
29
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil analisis deskriptif karakteristik rumah tangga contoh
48
2 Hasil analisis keragaman konsumsi pangan menggunakan skor HDDS
50
3 Hubungan karakteristik rumah tangga dengan skor HDDS
50
4 Hasil analisis regresi logistik faktor determinan keragaman konsumsi pangan 5 Hasil uji korelasi Pearson antara TKE dan TKP terhadap skor HDDS
55 55
6 Tabulasi silang skor HDDS dengan TKE dan skor HDDS modifikasi dengan TKE
56
7 Tabulasi silang skor HDDS dengan TKE dan status gizi balita (sebelum dan sesudah modifikasi)
57
8 Hasil uji korelasi Spearmann antara status gizi balita dengan skor HDDS, HDDS modifikasi, TKE, dan TKP rumah tangga
58
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai sebuah negara agraris yang kaya dengan sumberdaya alam masih mengalami berbagai masalah pangan terutama kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan, baik di tingkat wilayah, rumah tangga, maupun individu. Hal tersebut didukung dengan data dari BAPPENAS (2012) yang menyatakan bahwa proporsi penduduk Indonesia dengan asupan energi kurang dari 2000 kkal/hari sebesar 60.03% pada tahun 2011, bahkan sekitar 14% diantaranya masih kurang dari 1400 kkal/hari. Data ini menunjukkan kuantitas konsumsi pangan masyarakat Indonesia masih rendah. Hal tersebut menjadi masalah serius bagi Indonesia karena sangat ironis dengan kekayaan alam yang dimilikinya. Upaya Indonesia dalam menanggulangi masalah tersebut ditunjukkan pada komitmennya dalam rangka mencapai Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015. MDGs menjadi acuan penting pemerintah dalam penyusunan dokumen perencanaan pembangunan. Salah satu target MDGs adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan (BAPPENAS 2010). Kemiskinan menyebabkan terbatasnya kemampuan masyarakat dalam memperoleh pangan sehingga meningkatkan risiko terjadinya rawan pangan. Suatu penelitian di Amerika pada tahun 2005 menunjukkan bahwa sebanyak 38.5% rumah tangga yang mengalami rawan pangan berada di bawah garis kemiskinan (Cook dan Frank 2008). Pada tahun 2009 jumlah tersebut meningkat menjadi 42.2% (Nord et al. 2009). Di Indonesia, rumah tangga miskin merupakan salah satu indikator yang digunakan dalam deteksi dini kejadian rawan pangan melalui Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (Ariani et al. 2006). Kemiskinan juga erat hubungannya dengan kejadian gizi kurang. Salah satu kelompok yang rentan terhadap kejadian gizi kurang adalah anak usia di bawah lima tahun (balita), terutama yang berasal dari rumah tangga dengan status ekonomi rendah. Hal ini dibuktikan dengan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 (Riskesdas 2010) yang menunjukkan bahwa prevalensi balita gizi kurang terlihat tinggi pada rumah tangga yang tinggal di perdesaan (14.8%), kepala keluarga yang bekerja sebagai petani/nelayan/buruh (15.2%), dan tingkat pengeluaran rendah (kuintil 1) (15.6%) (Depkes 2011). Rumah tangga dengan status ekonomi rendah juga memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami kejadian rawan pangan. Beberapa indikator yang dapat digunakan dalam mendeteksi kejadian rawan pangan adalah konsumsi pangan dan status gizi balita. Kedua indikator tersebut termasuk ke dalam indikator outcome (Maxwell dan Frankenberger 1992). Konsumsi pangan merupakan indikator outcome langsung. Konsumsi pangan yang baik ditunjukkan oleh kuantitas dan kualitas pangan yang baik. Kuantitas konsumsi pangan dapat diketahui jika terdapat data mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Kuantitas konsumsi pangan digambarkan melalui tingkat kecukupan gizi, terutama energi dan protein. Tingkat kecukupan energi telah lama digunakan sebagai gold standard untuk mendeteksi kejadian
2 rawan pangan (Maxwell et al. 2013). Tingkat kecukupan energi yang kurang dari 70% mengimplikasikan terjadinya rawan pangan (Depkes 1996). Kualitas konsumsi pangan digambarkan melalui keragaman jenis pangan yang dikonsumsi. Keragaman konsumsi pangan didefinisikan sebagai jumlah jenis pangan yang berbeda yang dikonsumsi pada jangka waktu tertentu (Ruel 2003). Penilaian kuantitas konsumsi pangan membutuhkan waktu dan proses yang lebih lama (Joseph dan Carriquiry 2010). Sehingga dibutuhkan metode sederhana secara kualitatif yang dapat digunakan sebagai indikator alternatif dalam mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan. Beberapa metode yang digunakan dalam menilai kualitas konsumsi pangan adalah Individual Dietary Diversity Score (IDDS), Household Dietary Diversity Score (HDDS), dan Food Consumption Score (FCS) (Swindale dan Bilinsky 2006; Wiesmann et al. 2009). HDDS merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui keragaman konsumsi pangan rumah tangga. Instrumen sederhana ini pertama kali diperkenalkan oleh United States Agency International Development (USAID) melalui proyek Food and Nutrition Technical Assistance (FANTA) (Swindale dan Bilinsky 2005). Selanjutnya HDDS dikembangkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) (Kennedy et al. 2011). Pada dasarnya HDDS mencerminkan kemampuan ekonomi rumah tangga dalam memperoleh berbagai jenis bahan pangan (Kennedy et al. 2011). Hal serupa dikemukakan oleh Ruel (2003) dan Deitchler et al. (2011) bahwa pengukuran konsumsi pangan pada tingkat rumah tangga mencerminkan keterjangkauan rumah tangga terhadap berbagai jenis pangan (akses pangan) dan untuk mengetahui kecukupan gizi anggota rumah tangga. Penelitian uji coba HDDS telah dilakukan di beberapa negara di Afrika, salah satunya di Mozambik pada tahun 2007 yang menunjukkan bahwa HDDS mampu digunakan sebagai indikator akses pangan rumah tangga meskipun informasi mengenai pendapatan rumah tangga tidak diketahui (FAO 2008). Keragaman konsumsi pangan di tingkat rumah tangga memiliki potensi sebagai indikator dalam menggambarkan kejadian rawan pangan dan perlu dilakukan uji coba di berbagai kelompok sosioekonomi yang berbeda (Ruel 2002; Thorne-Lyman et al. 2010; Taruvinga et al. 2013; Vakili et al. 2013). Hal serupa didukung oleh Smith dan Subandoro (2007) yang menyatakan bahwa analisis ketahanan pangan pada subjek tertentu perlu didukung dengan indikator keragaman pangan yang dikonsumsi oleh subjek tersebut. Namun, hal berbeda dikemukakan oleh Maxwell et al. (2013) bahwa HDDS tidak dapat digunakan sebagai indikator ketahanan pangan rumah tangga karena HDDS cenderung menilai keragaman konsumsi pangan saja. Perbedaan tersebut menguatkan gagasan perlu dilakukan uji coba HDDS di Indonesia. Selain itu juga karena di Indonesia belum terdapat penelitian uji coba metode HDDS sebagai indikator rawan pangan. Sehingga perlu dilakukan penelitian uji coba metode HDDS sebagai salah satu indikator alternatif untuk mendeteksi kejadian rawan pangan, terutama pada rumah tangga dari kelompok sosioekonomi yang rendah. Indikator outcome yang kedua untuk mendeteksi rawan pangan menurut Maxwell dan Frankenberger (1992) yaitu status gizi balita melalui pengukuran antropometri. Indikator status gizi balita termasuk ke dalam indikator tak
3 langsung. Indikator ini umum digunakan untuk mengukur ketahanan pangan rumah tangga karena lebih sederhana dan mudah dilakukan (cost effective). Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian uji coba metode HDDS dengan gold standard kombinasi TKE dan status gizi balita. Hasil penelitian Ariani dan Rachman (2003) menunjukkan bahwa ciri-ciri rumah tangga yang diduga mengalami rawan pangan adalah tinggal di wilayah perdesaan, tingkat pendidikan rendah, jumlah anggota rumah tangga yang banyak, dan bekerja di sektor pertanian. Hal serupa juga dikemukan oleh Hermawan (2013) bahwa kelompok masyarakat sosioekonomi rendah terbesar terdapat di daerah perdesaan dan pada masyarakat yang bekerja di sektor pertanian. Selain itu, Rachman dan Ariani (2008) juga mengatakan bahwa proporsi rumah tangga yang mengalami rawan pangan lebih tinggi di perdesaan berbanding perkotaan dengan selisih antara keduanya hingga 12% pada tahun 2006. Berdasarkan hal tersebut, uji coba dan validasi HDDS perlu dilakukan pada wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian. Perumusan Masalah Beberapa indikator ketahanan pangan adalah konsumsi pangan (langsung) dan status gizi (tak langsung). Keduanya termasuk ke dalam indikator outcome. Ketersediaan pangan yang cukup di suatu wilayah tidak menjamin konsumsi pangan yang cukup pula untuk rumah tangga atau masyarakat karena terdapat faktor lain yang memengaruhi seperti status ekonomi, besar keluarga, dan pengetahuan gizi. Konsumsi pangan yang rendah akan berdampak pada kejadian rawan pangan. Selama ini, konsumsi pangan yang digambarkan melalui tingkat kecukupan energi (TKE) digunakan sebagai indikator rawan pangan (Maxwell et al. 2013). Suatu rumah tangga dikatakan rawan pangan jika tingkat kecukupan energi kurang dari 70% AKG (Depkes 1996). Penggunaan TKE sebagai gold standard dalam mengidentifikasi kejadian rawan pangan membutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang besar, baik dari segi pengumpulan maupun pengolahan data. Hal ini dikarenakan perlunya data jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi, serta data berat dan tinggi badan anggota rumah tangga untuk mengetahui angka kecukupan energi (AKE) rumah tangga. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan suatu metode kualitatif yang lebih sederhana yang mampu digunakan sebagai metode alternatif untuk mengidentifikasi rumah tangga yang berisiko mengalami kejadian rawan pangan. Salah satu metode kualitatif yang dikembangkan oleh FAO untuk menilai kualitas konsumsi pangan rumah tangga adalah Household Dietary Diversity Score (HDDS). Kualitas konsumsi pangan ditunjukkan melalui skor keragaman konsumsi pangan. Data kualitas konsumsi pangan lebih mudah diperoleh berbanding data kuantitas konsumsi pangan (Ruel 2002; Wiesmann et al. 2009; Arimond et al. 2010). Penelitian yang dilakukan oleh International Food Policy Research Institute (IFPRI) menunjukkan bahwa kualitas konsumsi pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan rumah tangga (IFPRI 2008). Metode HDDS relatif lebih mudah dan sederhana untuk diterapkan karena hanya menggunakan data jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga selama 1 x 24 jam yang lalu. Sehingga, HDDS diduga mampu digunakan sebagai
4 instrumen sederhana untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian uji coba untuk membuktikan hal tersebut. Penelitian perlu dilakukan pada kelompok masyarakat yang rentan terhadap kejadian rawan pangan. Menurut Rachman dan Ariani (2008) dan Hermawan (2013), kelompok yang rentan terhadap kejadian rawan pangan adalah kelompok yang bertempat tinggal di wilayah perdesaan dengan pekerjaan sebagai petani. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dirumuskan permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Apakah metode HDDS valid digunakan untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian 2. Apakah metode HDDS dapat menjadi indikator alternatif selain TKE dan status gizi balita untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian 3. Apakah perlu dilakukan modifikasi skor HDDS sehingga dapat digunakan sebagai indikator alternatif dalam mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah uji coba metode HDDS sebagai metode alternatif untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan di perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis keragaman konsumsi pangan rumah tangga berdasarkan HDDS di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian 2. Menganalisis hubungan status gizi balita dengan tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, dan skor HDDS rumah tangga di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian 3. Melakukan validasi HDDS untuk identifikasi rumah tangga rawan pangan di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian 4. Melakukan modifikasi HDDS sebagai metode alternatif untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian Hipotesis Penelitian H0 : Metode HDDS tidak valid dalam mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian H1 : Metode HDDS valid dalam mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian
5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan kepada pembuat kebijakan tentang validitas penggunaan HDDS sebagai instrumen sederhana untuk mengidentifikasi rumah tangga yang berisiko mengalami rawan pangan terutama di perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian. Dengan adanya metode sederhana dan murah diharapkan proses identifikasi rumah tangga rawan pangan dapat lebih akurat dalam waktu yang lebih singkat. Sehingga pemerintah dapat secara cepat dan tepat untuk menentukan rumah tangga yang menjadi sasaran program perbaikan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan agar tercapainya ketahanan pangan rumah tangga dan wilayah.
TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumah Tangga Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia di dunia. Pangan digunakan manusia sebagai sumber energi dalam menjalankan berbagai aktivitas hidupnya. Penyelenggaraan urusan pangan di Indonesia diatur melalui UndangUndang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 yang dibangun berlandaskan kedaulatan dan kemandirian pangan. Hal ini menggambarkan bahwa apabila suatu negara tidak mandiri dalam pemenuhan pangan, maka kedaulatan negara bisa terancam. Undang-Undang Pangan ini menekankan pada pemenuhan kebutuhan pangan di tingkat perorangan, dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal secara berkelanjutan. Tercukupinya kebutuhan pangan masyarakat akan mendukung terciptanya ketahanan pangan. Ketahanan pangan rumah tangga didefinisikan sebagai kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan seharihari (USAID 1992 dalam Oliyini 2014). Ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap waktu dan terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi, serta tercapainya konsumsi pangan yang beranekaragam yang memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya. Ketidaktahanan pangan (rawan pangan) dapat digambarkan dari perubahan konsumsi pangan yang mengarah pada pemikiran kuantitas dan kualitas, termasuk perubahan frekuensi konsumsi makanan pokok (Khomsan 2002). Dua bentuk rawan pangan di tingkat rumah tangga yaitu rawan pangan kronis dan akut. Rawan pangan kronis berlangsung secara terus menerus yang biasanya disebabkan oleh rendahnya daya beli dan kualitas sumberdaya, dan sering terjadi di daerah terpencil. Rawan pangan akut terjadi secara mendadak, antara lain disebabkan oleh bencana alam, kegagalan produksi, dan kenaikan harga pangan (Setiawan dalam Baliwati et al. 2004). Situasi rawan pangan rumah tangga dapat ditandai oleh perubahanperubahan kehidupan sosial, seperti semakin banyak anggota masyarakat yang mengandalkan barang untuk dijual, bertambahnya anggota rumah tangga yang
6 pergi ke luar daerah untuk mencari pekerjaan, dan lain-lain (Khomsan 2002). Rumah tangga dikategorikan rawan pangan jika tingkat kecukupan energi kurang dari 70% AKE (DKP 2009). Menurut Sumarwan dan Sukandar (1998) ketahanan pangan rumah tangga dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu rumah tangga tidak tahan pangan (TKE <75% AKE), cukup tahan pangan (TKE 75–100% AKE), dan sangat tahan pangan (TKE ≥100% AKE). Ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi oleh ketahanan pangan pada tingkat regional, nasional, maupun global. Tercapainya ketahanan pangan di tingkat nasional belum tentu menunjukkan tercapainya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga (Saliem et al. 2006). Maxwell dan Frankenberger (1992) menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibagi menjadi dua kelompok yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditunjukkan oleh ketersediaan dan akses pangan, sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung maupun tak langsung. Indikator akses pangan rumah tangga salah satunya dapat diukur menggunakan metode HDDS yang dikembangkan oleh FAO (Kennedy et al. 2011). Indikator dampak secara tidak langsung dapat dikur melalui status gizi (Baliwati et al. 2004). Analisis ketahanan pangan pada subjek tertentu perlu didukung dengan indikator keragaman pangan yang dikonsumsi oleh subjek tersebut (Smith dan Subandoro 2007). Keragaman konsumsi pangan di tingkat rumah tangga memiliki potensi sebagai indikator dalam menggambarkan kejadian rawan pangan dan perlu dilakukan uji coba di berbagai kelompok sosioekonomi yang berbeda (Ruel 2002; Thorne-Lyman et al. 2010; Taruvinga et al. 2013; Vakili et al. 2013). Definisi dan Konsep Keragaman Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu pada suatu waktu (Baliwati dan Roosita 2004). Konsumsi pangan berpengaruh langsung terhadap status gizi seseorang. Konsumsi pangan dan gizi secara cukup dan seimbang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia karena tingkat kecukupan gizi sangat memengaruhi keseimbangan perkembangan jasmani dan rohani seseorang. Kualitas konsumsi pangan menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap keragaman konsumsi pangan (Azadbakht et al. 2006; Styen et al. 2006). Konsumsi pangan yang beragam diketahui sebagai elemen utama penentu kualitas diet (Ruel 2003). Konsumsi pangan yang tidak beragam diketahui sebagai salah satu penyebab terjadinya berbagai masalah pada populasi masyarakat miskin di berbagai negara berkembang. Hal tersebut karena pada umumnya masyarakat miskin hanya mengonsumsi pangan pokok seperti serealia dan umbi-umbian (Ruel 2003). Selain itu, pola konsumsi pangan rumah tangga tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Secara umum upaya penganekaragaman pangan sangat penting untuk dilaksanakan secara massal, mengingat tren permintaan terhadap beras kian meningkat seiring dengan derasnya pertumbuhan penduduk. Adanya efek pemberian beras bagi keluarga miskin (raskin) di Indonesia semakin mendorong
7 masyarakat yang sebelumnya mengonsumsi pangan pokok selain beras menjadi mengonsumsi beras (padi), serta belum optimalnya pemanfaatan pangan lokal sebagai sumber pangan pokok bagi masyarakat setempat. Pemerintah mendukung konsumsi pangan yang beragam melalui program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP), menindaklanjuti Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Peraturan tersebut kini menjadi acuan untuk mendorong upaya penganekaragaman konsumsi pangan dengan cepat melalui basis kearifan lokal serta kerjasama terintegrasi antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Salah satu dasar hukum yang mendukung program P2KP adalah Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002 Pasal 9 tentang Ketahanan Pangan yang menyatakan bahwa penganekaragaman pangan diselenggarakan untuk meningkatkan ketahanan pangan dengan memerhatikan sumberdaya, kelembagaan, dan budaya lokal. Salah satunya melalui tercapainya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Keragaman konsumsi pangan rumah tangga (household dietary diversity) merupakan jumlah pangan atau kelompok pangan yang berbeda yang dikonsumsi selama periode tertentu yang ditetapkan yaitu dapat bertindak sebagai indikator alternatif dari keamanan makanan pada berbagai keadaan, termasuk negara dengan pendapatan sedang atau menengah, daerah perdesaan dan urban, serta untuk berbagai musim (FAO 2008). Menurut Swindale dan Bilinsky (2006) keragaman konsumsi pangan merupakan indikator yang baik karena konsumsi pangan yang lebih beragam berhubungan dengan peningkatan hasil pada berat kelahiran, status antropometrik anak, dan peningkatan konsentrasi hemoglobin. Konsumsi pangan yang lebih beragam berkaitan erat dengan kecukupan energi dan protein, persentase protein hewani (protein kualitas tinggi), dan pendapatan rumah tangga. Bahkan pada rumah tangga yang sangat miskin, peningkatan pengeluaran untuk makanan yang dihasilkan dari penghasilan tambahan berhubungan dengan peningkatan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan. Informasi mengenai keragaman konsumsi pangan individu atau rumah tangga terlihat sederhana namun efektif menjadi indikator berbagai parameter yang memengaruhi status gizi dalam komunitas tertentu. Penelitian Rathnayake et al. (2012) membuktikan keragaman konsumsi pangan dapat digunakan sebagai indikator yang mewakili kecukupan gizi lansia perdesaan di Sri Lanka. Keragaman konsumsi pangan berhubungan signifikan dengan tiga pilar ketahanan pangan yaitu ketersediaan, akses, dan pemanfaatan (Styen et al. 2006; Hillbruner dan Egan 2008). Definisi dan Konsep HDDS Keragaman konsumsi pangan merupakan pengukuran konsumsi pangan secara kualitatif yang menggambarkan akses rumah tangga terhadap berbagai jenis pangan dan menjadi salah satu indikator kualitas konsumsi pangan individu (Kennedy et al. 2011). Salah satu metode yang dikembangkan oleh Food and Agriculture Organizations (FAO) untuk menilai kualitas konsumsi pangan di tingkat rumah tangga adalah Household Dietary Diversity Score (HDDS)
8 (Swindale dan Bilinsky 2005). Metode ini menggambarkan kemampuan akses rumah tangga terhadap berbagai jenis pangan. Berbagai penelitian menggunakan metode HDDS telah dilakukan, salah satunya di Mozambik pada tahun 2007 yang menunjukkan bahwa HDDS mampu digunakan sebagai indikator akses pangan rumah tangga meskipun informasi mengenai pendapatan rumah tangga tidak diketahui (FAO 2008). Studi yang dilakukan oleh Hoddinott dan Yohannes (2002) menunjukkan bahwa semakin beragam jenis pangan yang dikonsumsi memiliki korelasi positif dengan status sosial ekonomi dan ketahanan pangan rumah tangga yang baik. Skor keragaman memiliki korelasi yang positif dengan kecukupan zat gizi mikro pada bayi dan anak-anak, bayi yang tidak mengonsumsi ASI (Ruel et al. 2003; Kennedy et al. 2007; Kennedy 2009), remaja (Mirmiran et al. 2004), dan dewasa (Arimond et al. 2010). Pengumpulan data konsumsi pangan rumah tangga dengan metode HDDS dilakukan menggunakan kuesioner recall 1 x 24 jam. Menurut Savy et al. (2005), recall 1 x 24 jam dapat digunakan pada penilaian kualitas konsumsi pangan di tingkat populasi dan bermanfaat untuk memantau program atau target suatu intervensi. Pertimbangan FAO menggunakan recall 1 x 24 jam untuk menilai kualitas konsumsi pangan rumah tangga dengan metode HDDS adalah untuk mengurangi kesalahan dalam pengukuran, lebih praktis, dan penggunaan waktu 1 x 24 jam ini umum digunakan dalam penelitian kualitas konsumsi pangan seperti yang dilakukan oleh Kennedy et al. (2007); Steyn et al. (2006); Savy et al. (2005); dan Arimond et al. (2010). Berdasarkan pertimbangan tersebut, periode recall 1 x 24 jam digunakan dalam penilaian kualitas konsumsi pangan rumah tangga. Berbeda dengan penilaian konsumsi pangan pada tingkat individu, pangan yang dicatat pada tingkat rumah tangga adalah pangan yang dimasak dan dimakan di rumah, dibeli dan dimakan di rumah, serta dimasak di rumah dan dimakan di luar. Pencatatan pangan yang dibeli dan dimakan di luar rumah tidak dilakukan. Sehingga untuk mempermudah dalam melakukan penilaian kualitas konsumsi pangan rumah tangga perlu dipastikan bahwa anggota rumah tangga contoh memiliki kebiasaan makan di rumah. Seluruh jenis pangan yang dikonsumsi ditulis di kuesioner meskipun jumlahnya sangat sedikit karena skor HDDS dirancang untuk menggambarkan akses ekonomi rumah tangga terhadap pangan. Meskipun dikonsumsi dalam jumlah yang sedikit, hal tersebut menggambarkan kemampuan rumah tangga untuk membeli pangan tersebut. Pangan yang hanya dikonsumsi oleh satu orang anggota rumah tangga juga dimasukkan ke dalam perhitungan skor keragaman. Dalam melakukan penelitian penilaian kualitas konsumsi pangan rumah tangga dengan metode HDDS terdapat beberapa pilihan waktu pelaksanaan tergantung pada tujuan penelitian. Jika tujuan penelitian untuk mengetahui tipikal konsumsi pangan pada daerah perdesaan dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai petani sebaiknya penelitian dilakukan pada beberapa periode waktu yaitu pada saat asupan pangan di wilayah tersebut masih cukup misalnya satu sampai lima bulan setelah panen dan saat menunggu masa panen. Hal tersebut selain dapat mengetahui kebiasaan makan rumah tangga juga berguna untuk mengetahui ketahanan pangan rumah tangga petani pada musim yang berbeda. Jika tujuan
9 penelitian untuk mengetahui tipikal konsumsi pangan pada daerah non-pertanian, penelitian dapat dilakukan setiap saat. Jika penelitian hanya bertujuan menilai situasi ketahanan pangan rumah tangga pada daerah perdesaan dengan mayoritas penduduk sebagai petani, penelitian dilakukan pada masa pertengahan antar panen. Jika penelitian hanya bertujuan menilai situasi ketahanan pangan rumah tangga pada kelompok masyarakat non-pertanian, penelitian dapat dilakukan pada waktu tertentu yang diperkirakan akan terjadi masalah rawan pangan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, penelitian untuk penilaian kualitas konsumsi pangan rumah tangga sebaiknya dilakukan pada hari biasa, tidak pada hari perayaan khusus seperti puasa, lebaran, atau acara syukuran. Hal tersebut untuk menghindari kesalahan dalam penilaian kualitas konsumsi pangan karena pada perayaan khusus tersebut pada umumnya konsumsi pangan menjadi berbeda dari biasanya (Kennedy et al. 2011). Dalam pelaksanaannya, recall dilakukan terhadap ibu yang merupakan individu yang bertanggung jawab dalam menyediakan makanan untuk seluruh anggota rumah tangga. Anggota rumah tangga yang dimaksud merupakan semua individu yang tinggal dan makan bersama dalam satu atap (Kennedy et al. 2011). Semua jenis pangan yang dikonsumsi oleh satu orang atau seluruh anggota rumah tangga, meskipun dalam jumlah yang sedikit dicatat dalam kuesioner. Pada kuesioner HDDS, jenis pangan yang dikonsumsi rumah tangga dikelompokkan ke dalam 16 kelompok pangan (Kennedy et al. 2011) seperti yang tercantum pada Tabel 1. Menurut Kennedy et al. (2011), sebelum dilakukan pengambilan data konsumsi pangan rumah tangga, terlebih dahulu dilakukan penyesuaian jenis pangan pada kuesioner dengan pangan yang beredar di masyarakat setempat. Perlu diketahui pangan lokal yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat, sehingga dapat dimasukkan ke dalam salah satu kelompok pangan. Tabel 1 Kelompok pangan pada kuesioner HDDS No Kelompok pangan 1 Serealia 2 Umbi-umbian 3 Sayuran sumber vitamin A 4 Sayuran berwarna hijau 5 Sayuran lainnya 6 Buah sumber vitamin A 7 Buah lainnya 8 Jeroan 9 Daging-dagingan 10 Telur 11 Ikan dan makanan laut lainnya 12 Polong-polongan dan kacang-kacangan 13 Susu dan olahannya 14 Minyak dan lemak 15 Gula dan pemanis 16 Bumbu, rempah, dan minuman
10 Pada perhitungan skor HDDS, jenis pangan yang dikonsumsi rumah tangga dikelompokkan ke dalam 12 kelompok pangan, berbeda dengan penilaian pada individu hanya dikelompokkan ke dalam 9 kelompok pangan (Swindale dan Bilinsky 2005). Terdapat beberapa kelompok pangan yang dimasukkan ke dalam satu kelompok. Kelompok pangan nomor 3 (sayuran sumber vitamin A), 4 (sayuran berwarna hijau), dan 5 (sayuran lainnya) pada kuesioner selanjutnya dimasukkan ke dalam satu kelompok pangan yaitu sayur-sayuran. Kelompok pangan nomor 6 (buah sumber vitamin A) dan 7 (buah lainnya) pada kuesioner dimasukkan ke dalam satu kelompok pangan yaitu buah-buahan. Kelompok pangan nomor 8 (jeroan) dan 9 (daging-dagingan) pada kuesioner dimasukkan ke dalam satu kelompok pangan yaitu daging dan olahannya. Tujuan pengelompokan tersebut untuk mempermudah dalam pemberian skor. Kelompok pangan tersebut disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Kelompok pangan untuk menentukan skor HDDS No Kelompok pangan 1 Serealia 2 Umbi-umbian 3 Sayur-sayuran 4 Buah-buahan 5 Daging dan olahannya 6 Telur 7 Ikan dan makanan laut lainnya 8 Polong-polongan dan kacang-kacangan 9 Susu dan olahannya 10 Minyak dan lemak 11 Gula dan pemanis 12 Bumbu, rempah, dan minuman Dalam pengolahannya, kisaran skor HDDS adalah 0–12 karena kelompok pangan yang semula 16 kelompok sudah diagregasi menjadi 12 kelompok. Pemberian skor dilakukan dengan memberikan skor 1 jika rumah tangga mengonsumsi salah satu jenis pangan yang terdapat dalam kelompok pangan dan skor 0 jika tidak mengonsumsi salah satu jenis pangan yang terdapat dalam kelompok pangan yang sudah ditetapkan oleh FAO (Kennedy et al. 2011). Keragaman konsumsi pangan berdasarkan HDDS dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu rendah jika konsumsi ≤ 3 jenis bahan pangan, sedang jika konsumsi 4–5 jenis bahan pangan, dan tinggi jika konsumsi ≥ 6 jenis bahan pangan (Kennedy et al. 2011). Keragaman konsumsi pangan ini menggambarkan kualitas konsumsi pangan rumah tangga yang secara kuat berkorelasi dengan tingkat sosial ekonomi rumah tangga (USAID 1992). Hal tersebut juga menggambarkan kemampuan akses rumah tangga terhadap pangan yang dikonsumsi. Menurut Kennedy et al. (2011), perlu diketahui cara rumah tangga dalam memperoleh pangan terutama pada kelompok pangan tertentu seperti serealia, buah, dan sayuran. Dengan adanya data tersebut, akses pangan rumah tangga dapat diidentifikasi berdasarkan sumber
11 perolehan pangan. Sehingga, pada akhir pengisian kuesioner HDDS, ditambahkan pertanyaan mengenai cara rumah tangga memperoleh pangan yang dikonsumsi. Skor HDDS selain berguna untuk mengetahui akses pangan rumah tangga, juga dapat digunakan sebagai indikator kecukupan zat gizi tertentu secara kualitatif (Kennedy et al. 2011). Berdasarkan 16 kelompok pangan pada kuesioner HDDS, terdapat beberapa kelompok pangan yang dapat dimasukkan ke dalam dua kelompok zat gizi yaitu kelompok pangan sumber vitamin A dan sumber zat besi (Fe). Kelompok pangan sumber vitamin A yaitu nomor 3 (sayuran sumber vitamin A), 4 (sayuran hijau), dan 6 (buah sumber vitamin A). Kelompok pangan sumber zat besi yaitu nomor 8 (jeroan), 9 (daging-dagingan), 10 (telur), dan 11 (ikan dan makanan laut lainnya). Melalui skor HDDS dapat diketahui persentase rumah tangga yang memperoleh intik vitamin A dan zat besi. Penilaian kualitatif ini dapat menggambarkan kecukupan intik vitamin A dan zat besi secara kasar. Hal tersebut dapat menjadi dasar penentuan kelompok masyarakat yang diduga mengalami defisiensi vitamin A dan zat besi (Kennedy et al. 2011). Sehingga dalam penilaian secara kuantitatif tidak membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar karena kelompok target sudah diidentifikasi melalui skor HDDS. Perbedaan skor HDDS juga dapat memberikan informasi tentang kelompok pangan mana yang menjadi prioritas rumah tangga pada masing-masing tingkat skor HDDS. Analisis dilakukan dengan melihat kelompok pangan mana yang dikonsumsi oleh sekurang-kurangnya 50 persen rumah tangga pada masingmasing tingkat skor HDDS. Hasil analisis tersebut memperkuat skor HDDS yang diperoleh sebelumnya dan dapat diketahui kelompok pangan mana yang ketersediaannya perlu ditingkatkan agar tercapainya konsumsi pangan rumah tangga yang beragam dan berkualitas. Metode HDDS memiliki beberapa keterbatasan yaitu hanya memotret konsumsi pangan rumah tangga di dalam rumah saja sehingga tidak sesuai digunakan untuk menilai keragaman konsumsi pangan rumah tangga yang memiliki kebiasaan makan di luar rumah seperti yang umum terjadi di perkotaan (Kennedy et al. 2010). Penilaian Konsumsi Pangan Rumah Tangga Konsumsi pangan merupakan jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis, maupun sosial (Baliwati et al. 2004). Pengertian mengenai penilaian konsumsi pangan mencakup dua hal yaitu penilaian terhadap kandungan zat gizi dari makanan dan membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang dengan angka kecukupannya. Penilaian konsumsi pangan menurut Supariasa et al. (2001) dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara kuantitatif maupun kualitatif. Metode kuantitaif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizinya. Hal yang perlu diperhatikan adalah volume pangan yang dikonsumsi dan zat gizi yang dikandung bahan pangan. Kedua hal tersebut digunakan untuk melihat sejauh mana konsumsi pangan sudah dapat memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat dan dikenal sebagai Angka Kecukupan
12 Gizi (AKG). Penilaian kuantitas konsumsi pangan masyarakat dilakukan dengan menggunakan parameter Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dan Tingkat Kecukupan Protein (TKP). Metode penilaian kualitatif lebih ditujukan pada keanekaragaman pangan. Semakin beragam dan seimbang komposisi pangan yang dikonsumsi akan semakin baik kualitas gizinya. Untuk penilaian keanekaragaman pangan digunakan pendekatan skor Pola Pangan Harapan (PPH) pada tingkat wilayah. Pada tingkat rumah tangga, keragaman konsumsi pangan dinilai berdasarkan skor keragaman (Kennedy et al. 2011). Berdasarkan unit contoh penelitian, penilaian konsumsi pangan dapat dibedakan menjadi penilaian konsumsi pangan individu dan penilaian konsumsi pangan rumah tangga. Prinsip penilaian konsumsi zat gizi individu dan rumah tangga relatif sama. Konsumsi pangan rumah tangga merupakan penjumlahan dari konsumsi pangan masing-masing individu atau anggota rumah tangga. Apabila satuan atau unit pengumpulan data konsumsi pangan adalah kelompok orang seperti rumah tangga, maka jumlah konsumsi pangan rumah tangga dibagi dengan jumlah orang atau anggota rumah tangga yang mengonsumsi pangan tersebut (Hardinsyah dan Briawan 1994). Penilaian konsumsi pangan secara kuantitatif sulit dilakukan karena membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Sehingga dibutuhkan sesuah instrumen sederhana yang mampu mengukur konsumsi pangan secara kualitatif. Pengukuran ini diharapkan mampu menggambarkan tingkat konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang. Pada tingkat individu penilaian secara kualitatif mampu menggambarkan tingkat kecukupan zat gizi mikro, dan pada tingkat rumah tangga menggambarkan akses rumah tangga terhadap pangan (Swindale dan Bilinsky 2005). Status Gizi Balita Balita merupakan salah satu kelompok umur yang rentan terhadap masalah gizi dan kesehatan. Status gizi balita dinilai berdasarkan parameter antropometri yang terdiri dari berat badan dan panjang/tinggi badan. Status gizi balita merupakan salah satu indikator ketahanan pangan yang termasuk ke dalam dimensi pemanfaatan pangan. Pemanfaatan pangan meliputi: a) pemanfaatan pangan yang bisa diakses oleh rumah tangga, dan b) kemampuan individu untuk menyerap zat gizi-pemanfaatan makanan secara efisien oleh tubuh. Salah satu indikator dalam pemanfaatan pangan adalah berat badan balita di bawah standar (underweight) (DKP 2009). Faktor-faktor yang memengaruhi status gizi balita adalah situasi ketahanan pangan rumah tangga, status gizi dan kesehatan ibu, pendidikan ibu, pola asuh anak, akses terhadap air bersih, dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penilaian status gizi balita merujuk pada standar antropometri yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2005 atau disebut Standar WHO 2005. Klasifikasi status gizi balita berdasarkan tiga indikator berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB). Mengingat status gizi balita merupakan salah satu indikator untuk mendeteksi kejadian rawan pangan di tingkat rumah tangga, hal tersebut
13 menunjukkan status gizi balita juga berkorelasi dengan kualitas konsumsi pangan. Beberapa studi menunjukkan hubungan tersebut. Pada review yang dilakukan oleh Ruel (2003) menunjukkan asosiasi yang kuat secara statistik antara keragaman konsumsi pangan dengan status gizi balita pada penelitian di Ethiopia tahun 2002. Konsep dan Jenis Validitas Validitas berasal dari kata validity yang berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu instrumen pengukuran dikatakan memiliki validitas yang tinggi jika instrumen tersebut mampu memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya suatu pengukuran. Menurut Djaali dan Muljono (2008) konsep validitas dibedakan menjadi tiga yaitu validitas isi (content validity), validitas konstruk (construct validity), dan validitas empiris (empirical validity). Validitas isi mencerminkan keseluruhan konten dari suatu instrumen yang diuji. Menurut Wiersman dan Jurs (1990) di dalam Djaali dan Muljono (2008), validitas isi mengarah pada analisis logika dan tidak membutuhkan koefisien validitas yang dihitung secara statistik. Azwar (2006) membagi validitas menjadi beberapa jenis, yaitu, (1) concurrent validity yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan kinerja, (2) construct validity yang berkenaan dengan kualitas aspek psikologis apa yang diukur oleh suatu pengukuran beserta evaluasinya, (3) face validity yang berhubungan dengan apa yang nampak dalam mengukur sesuatu dan bukan terhadap apa yang seharusnya hendak diukur, (4) empirical validity yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan suatu kriteria, (5) intrinsic validity yang berkenaan dengan penggunaan teknik uji coba untuk memperoleh bukti kuantitatif dan objektif untuk mendukung bahwa suatu alat ukur benar-benar mengukur apa yang seharusnya diukur, (6) predictive validity yang berkenaan dengan hubungan antara skor suatu alat ukur dengan kinerja seseorang di masa mendatang, (7) content validity yang berkenaan dengan baik buruknya pengambilan contoh (sampling) dari suatu populasi, serta (8) curricular validity adalah yang ditentukan dari cara menilik isi dari pengukuran dan menilai seberapa jauh pungukuran tersebut merupakan alat ukur yang benar-benar mengukur aspekaspek sesuai dengan tujuan. Sementara itu, Kerlinger (1990) membagi validitas menjadi tiga, yaitu, (1) content validity di mana validitas yang diperhitungkan melalui pengujian terhadap isi alat ukur dengan analisis rasional, (2) construct validity yang menunjukkan sejauh mana alat ukur mengungkap konstruk teoritis yang hendak diukurnya, dan (3) criterion-related validity (validitas berdasar kriteria) yang menghendaki tersedianya kriteria luar yang dapat dijadikan dasar pengujian skor alat ukur. Validasi suatu instrumen dapat dilakukan menggunakan validasi isi dan kriteria. Validasi isi mengarah pada kesesuain isi instrumen terhadap apa yang akan dikur. Menurut Wiersman dan Jurs (1990) di dalam Djaali dan Muljono (2008), validitas isi tidak membutuhkan koefisien validitas yang dihitung secara statistik. Validasi kriteria digunakan untuk menguji ketepatan instrumen untuk mengukur apa yang seharusnya terukur. Analisis validasi kriteria yang sering digunakan adalah analisis sensitivitas (Se) dan spesifisitas (Sp) (Abramson 1990). Salah satu penelitian yang menggunakan analisis Se dan Sp adalah Tanziha
14 (2005) yang melakukan validasi instrumen kelaparan kualitatif dengan menggunakan konsumsi pangan (kuantitatif) sebagai gold standard. Dalam kaitannya dengan validasi metode HDDS sebagai metode alternatif untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan, gold standard yang digunakan adalah tingkat kecukupan energi (TKE) dan kombinasi antara TKE dengan status gizi balita (BB/U). Rumah tangga dikatakan rawan pangan jika TKE kurang dari 70% AKE. Nilai sensitivitas digunakan untuk menggambarkan akurasi instrumen HDDS dalam mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan yang juga teridentifikasi rawan pangan berdasarkan gold standard. Nilai spesifisitas digunakan untuk menggambarkan akurasi instrumen HDDS dalam mengidentifikasi rumah tangga tahan pangan yang juga teridentifikasi tahan pangan berdasarkan gold standard.
KERANGKA PEMIKIRAN Kebijakan pemerintah dalam peningkatan ketahanan pangan yang ditetapkan dalam kerangka pembangunan nasional memberikan implikasi bahwa ketahanan pangan sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan. Ketersediaan pangan yang cukup di tingkat nasional tidak menjamin ketahanan pangan di tingkat wilayah, rumah tangga, maupun individu (Saliem et al. 2006). Pada tingkat rumah tangga, ketahanan pangan ditentukan oleh ketersediaan pangan yang dipengaruhi oleh daya beli, akses pangan, dan keragaman konsumsi pangan. Konsumsi pangan yang beragam dipengaruhi oleh karakteristik rumah tangga yang beragam pula, meliputi usia, jenis kelamin, jumlah anggota, jenis pekerjaan, pengeluaran, dan tingkat pendidikan. Konsumsi pangan secara langsung berpengaruh terhadap tingkat kecukupan energi yang akan menentukan status gizi seseorang. Penelitian oleh Hoddinot dan Yohannes (2002) menunjukkan peningkatan keragaman konsumsi pangan berhubungan dengan status ekonomi dan ketahanan pangan rumah tangga yang baik (kecukupan energi rumah tangga). Pada tingkat rumah tangga, status gizi balita dapat dijadikan sebagai indikator ketahanan pangan rumah tangga. Informasi mengenai kualitas konsumsi pangan rumah tangga dan status gizi balita diduga mampu menjadi indikator ketahanan pangan rumah tangga. Untuk menguji hal tersebut, digunakan sebuah metode penilaian keragaman konsumsi pangan yang dikembangkan oleh FAO yaitu Household Dietary Diversity Score (HDDS). Metode sederhana ini sudah banyak digunakan di berbagai negara di Afrika. HDDS telah dikembangkan untuk melihat akses pangan rumah tangga karena penggunaannya sederhana dan cepat (Swindale dan Bilinsky 2006). Penelitian menggunakan HDDS di Mozambik menunjukkan metode HDDS sesuai digunakan untuk menilai perubahan perilaku konsumsi dan akses pangan (FAO 2008). Di Indonesia metode ini belum dikembangkan karena belum ada penelitian yang membuktikan validitas dari metode ini. Jika metode ini dapat digunakan di Indonesia, identifikasi rumah tangga rawan pangan akan menjadi lebih mudah dan cepat.
15
Karakteristik rumah tangga - Usia - Jenis kelamin - Jumlah anggota - Status dalam keluarga - Jenis pekerjaan kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga - Tingkat pendidikan - Pendapatan kepala rumah tangga - Kondisi fisiologis
Daya beli
Pengetahuan gizi
Kualitas konsumsi pangan (HDDS)
Ketersediaan pangan
Kejadian penyakit
Akses pangan
Ketahanan pangan rumah tangga
Tingkat Kecukupan Energi dan Protein
Status gizi balita
Keterangan : = Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti = Hubungan antar variabel yang diteliti = Hubungan antar variabel yang tidak diteliti Gambar 1. Kerangka pemikiran hubungan kualitas konsumsi pangan dengan tingkat kecukupan energi dan protein
16
METODE Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Penelitian dilaksanakan di Desa Sukamaju, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan Kacamatan Cigudeg mewakili wilayah agroekologi pertanian sawah dan merupakan salah satu sentra produksi padi di wilayah Bogor Barat berdasarkan informasi dari Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP3K) Bogor Barat yang menaungi tiga kecamatan yaitu Cigudeg, Sukajaya, dan Jasinga. Selain itu, berdasarkan BPS (2012) Kecamatan Cigudeg memiliki jumlah rumah tangga pra sejahtera (Pra KS dan KS I) tertinggi kedua di Kabupaten Bogor, dan berdasarkan informasi dari kantor kecamatan, Desa Sukamaju merupakan desa dengan jumlah penerima dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) terbanyak di Kecamatan Cigudeg yaitu sebanyak 448 rumah tangga penerima. Desa Sukamaju termasuk ke dalam desa dengan karakteristik perdesaan. Sehingga, masyarakat Desa Sukamaju dapat dikatakan mewakili populasi masyarakat miskin yang tinggal di wilayah agroekologi pertanian. Penelitian dilakukan dari bulan Mei sampai Oktober 2013. Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Populasi contoh dari penelitian ini adalah rumah tangga miskin yang memiliki balita yang bertempat tinggal di Desa Sukamaju, Kecamatan Cigudeg. Kriteria inklusi contoh adalah (1) termasuk ke dalam kelompok rumah tangga miskin; (2) memiliki minimal satu anak usia di bawah lima tahun (balita), (3) mayoritas anggota rumah tangga selalu makan di rumah, dan (4) pekerjaan kepala rumah tangga sebagai petani atau buruh tani. Rumah tangga contoh ditentukan dengan perhitungan jumlah contoh minimal (Lemeshow et al. 1990) berdasarkan proporsi rumah tangga miskin sebesar 45.37% pada tahun 2012 (BPS 2012) dengan batas ketelitian 10%. Rumus yang digunakan tersebut adalah sebagai berikut: Z2 (1-α/2) p(1-p) n= keterangan: n Z2 (1-α/2) p d
d2
= jumlah contoh = Z score (1.96) = proporsi rumah tangga miskin (Pra KS dan KS I) ( 45.37%) (BPS 2012, diolah) = nilai kritis / batas ketelitian (10%)
Berdasarkan perhitungan menggunakan rumus di atas, diperoleh jumlah rumah tangga contoh minimal sebesar 95 rumah tangga. Sebagai antisipasi adanya
17 data yang tidak memenuhi kriteria, maka akan ditambah sebanyak 10% rumah tangga dari jumlah contoh minimal sehingga akan diambil sebanyak 105 rumah tangga contoh. Penelitian diawali dengan uji coba kuesioner yang dilakukan di sekitar Kampus IPB Dramaga dengan memilih lima rumah tangga yang memenuhi kriteria inklusi contoh. Setelah dilakukan validasi kuesioner, selanjutnya akan dilakukan pengambilan contoh, yaitu pemilihan kecamatan, desa, dan rumah tangga. Berikut tahapan pemilihan kecamatan, desa, dan rumah tangga yang menjadi unit penelitian: 1. Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa kecamatan tersebut memiliki jumlah rumah tangga pra sejahtera (Pra KS dan KS I) tertinggi kedua di Kabupaten Bogor pada tahun 2011 (BPS 2012) dan termasuk daerah sentra pertanian padi di Kabupaten Bogor. 2. Desa Sukamaju dipilih sebagai desa penelitian berdasarkan rekomendasi dari kecamatan dengan pertimbangan desa tersebut memiliki jumlah penerima BLSM terbanyak di Kecamatan Cigudeg dan mayoritas penduduk bekerja sebagai petani sawah. 3. Rumah tangga contoh ditentukan secara purposive berdasarkan data penerima Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang diperoleh dari kantor desa. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan merupakan data primer yang dilakukan melalui wawancara langsung dengan ibu rumah tangga menggunakan instrumen kuesioner. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik rumah tangga contoh, konsumsi pangan rumah tangga contoh di rumah selama 1x24 jam, dan status gizi balita melalui pengukuran antropometri (Tabel 3). Tabel 3 Jenis dan cara pengambilan data Aspek Karakteristik rumah tangga contoh
HDDS Konsumsi pangan rumah tangga Karakteristik balita
Variabel 1. Ukuran rumah tangga 2. Jenis kelamin 3. Usia 4. Tingkat pendidikan 5. Pekerjaan 6. Pendapatan kepala rumah tangga Jenis pangan yang dikonsumsi di dalam rumah
Cara pengumpulan Wawancara menggunakan kuesioner
Recall konsumsi pangan 1x 24 jam
Jumlah dan jenis pangan yang Recall konsumsi pangan dikonsumsi di dalam rumah 1x 24 jam Jenis kelamin, usia, berat Pengukuran antropometri badan dan tinggi badan
18
Data karakteristik rumah tangga diperoleh dengan melihat data pada Kartu Keluarga (KK) dan menanyakan langsung kepada ibu rumah tangga. Data konsumsi pangan rumah tangga diperoleh dengan menggunakan metode recall 1x24 jam melalui wawancara langsung dengan ibu rumah tangga sebagai individu yang memiliki peran penting dalam menentukan menu konsumsi pangan rumah tangga. Pengisian data konsumsi pangan dilakukan sebanyak dua kali yaitu pertama pada kuesioner konsumsi pangan dengan konsep HDDS dan kedua pada kuesioner dengan konsep recall biasa. Pengumpulan data konsumsi untuk kedua kuesioner tersebut dilakukan pada satu hari yang sama. Pada pengambilan data konsumsi pangan yang pertama, data yang dikumpulkan hanya jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga di dalam rumah selama 1x24 jam yang lalu. Pada kuesioner konsumsi pangan yang kedua, data yang dikumpulkan meliputi jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga di dalam rumah selama 1x24 jam. Data karakteristik balita diperoleh melalui wawancara dengan ibu dan pengukuran antropometri balita yang meliputi berat badan dan tinggi badan. Pengolahan dan Analisis Data Tahapan pengolahan data meliputi pemasukan data (entry), pengkodean (coding), cleaning, editing, dan analisis data. Program komputer yang digunakan adalah Microsoft Office Excel2007 untuk menyimpan database penelitian, SPSS version 16.0 for Windows untuk menganalisis hubungan dari tiap variabel, dan WHO Anthroplus2005 untuk menentukan status gizi balita. Rumah tangga contoh yang dianalisis adalah rumah tangga dengan konsumsi energi lebih dari 500 kkal/kapita/hari dan kurang dari 5000 kkal/kapita/hari (Wiesmann et al. 2009). Rumah tangga contoh yang memenuhi kriteria untuk selanjutnya dianalisis pada penelitian ini adalah sebanyak 99 rumah tangga. Analisis yang dilakukan meliputi analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis univariat untuk melihat distribusi frekuensi masing-masing variabel penelitian. Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan variabel dependen menggunakan korelasi Spearmann dan Pearson. Validasi HDDS secara kuantitatif menggunakan uji sensitivitas (Se) dan spesifisitas (Sp). Analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan regresi logistik dengan kriteria kemaknaan statistik p<0.05 dan nilai confidence interval (CI) sebesar 95%. Data yang dianalisis meliputi data karakteristik rumah tangga, HDDS, konsumsi pangan rumah tangga selama 1x24 jam, dan karakteristik balita. Data karakteristik rumah tangga meliputi ukuran rumah tangga, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan kisaran pendapatan per bulan. Ukuran rumah tangga dikategorikan menjadi rumah tangga kecil (≤4 orang), sedang (5–7 orang), dan besar (≥ 8 orang). Usia anggota rumah tangga dikategorikan menjadi baduta (0–23 bulan), balita (24–59 bulan), anak usia sekola (6–9 tahun), remaja (10–18 tahun), dewasa awal (19–29 tahun), dewasa pertengahan (30–49 tahun), dewasa akhir (50–59 tahun), dan lansia (≥60 tahun). Tingkat pendidikan dilihat dari jumlah tahun mengikuti pendidikan formal, kemudian dikategorikan menurut jenjang pendidikan SD, SLTP, SLTA dan PT. Jenis pekerjaan dikategorikan menjadi
19 petani, buruh tani, buruh non tani, pedagang, pengamen, PNS/ABRI/Polisi, jasa, ibu rumah tangga, dan tidak bekerja. Pendapatan kepala rumah tangga merupakan penjumlahan pendapatan dari hasil pekerjaan utama maupun pekerjaan tambahan atau sumber lainnya selama satu bulan yang kemudian dikategorikan menjadi (1) Rp300 000–Rp800 000, (2) Rp801 000–Rp1 300 000, (3) Rp1 301 000–Rp1 800 000, dan (4) > Rp1 800 000. Data konsumsi pangan meliputi konsumsi pangan rumah tangga di dalam rumah selama 1 x 24 jam. Data recall yang pertama hanya memberikan informasi jenis pangan yang dikonsumsi oleh seluruh anggota rumah tangga. Data ini digunakan untuk menilai keragaman konsumsi pangan menggunakan skor HDDS. Pada perhitungan skor, jenis pangan yang dikonsumsi rumah tangga dikelompokkan ke dalam 12 kelompok pangan (Tabel 4) (Swindale dan Bilinsky 2005). Tabel 4 Kelompok pangan untuk menentukan skor HDDS No Kelompok pangan 1 Serealia 2 Umbi-umbian 3 Sayur-sayuran 4 Buah-buahan 5 Daging dan olahannya 6 Telur 7 Ikan dan makanan laut lainnya 8 Polong-polongan dan kacang-kacangan 9 Susu dan olahannya 10 Minyak dan lemak 11 Gula dan pemanis 12 Bumbu, rempah, dan minuman Dalam pengolahannya, kisaran skor HDDS adalah 0–12 karena kelompok pangan yang semula 16 kelompok sudah diagregasi menjadi 12 kelompok. Terdapat beberapa kelompok pangan yang dimasukkan ke dalam satu kelompok. Kelompok pangan nomor 3 (sayuran sumber vitamin A), 4 (sayuran berwarna hijau), dan 5 (sayuran lainnya) pada kuesioner selanjutnya dimasukkan ke dalam satu kelompok pangan yaitu sayur-sayuran. Kelompok pangan nomor 6 (buah sumber vitamin A) dan 7 (buah lainnya) pada kuesioner dimasukkan ke dalam satu kelompok pangan yaitu buah-buahan. Kelompok pangan nomor 8 (jeroan) dan 9 (daging-dagingan) pada kuesioner dimasukkan ke dalam satu kelompok pangan yaitu daging dan olahannya (Swindale dan Bilinsky 2005). Pemberian skor dilakukan dengan memberikan skor 1 jika rumah tangga mengonsumsi salah satu jenis pangan yang terdapat dalam kelompok pangan dan skor 0 jika tidak mengonsumsi salah satu jenis pangan yang terdapat dalam kelompok pangan yang sudah ditetapkan oleh FAO (Kennedy et al. 2011). Keragaman konsumsi pangan berdasarkan HDDS dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu rendah jika konsumsi ≤ 3 jenis bahan pangan, sedang jika konsumsi 4–5 jenis bahan pangan, dan tinggi jika konsumsi ≥ 6 jenis bahan pangan (Kennedy et al. 2011).
20 Pada recall yang kedua dilakukan pencatatan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi rumah tangga selama 1x24 jam dalam satuan ukuran rumah tangga (URT) yang selanjutnya akan dikonversi ke dalam satuan gram. Data konsumsi yang diolah adalah konsumsi energi dan protein menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (Depkes 1996). Konversi dihitung menggunakan rumus sebagai berikut ini (Hardinsyah dan Briawan 1994):
KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan : KGij
= Kandungan zat gizi -i dalam bahan makanan-j
Bj
= Berat bahan makanan -j yang dikonsumsi (gram)
Gij
= Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan -j
BDDj = Persen bahan makanan -j yang dapat dimakan (%BDD) Konsumsi pangan rumah tangga merupakan penjumlahan dari konsumsi pangan masing-masing anggota rumah tangga (Hardinsyah et al. 2002). Angka kecukupan energi (AKE) dan angka kecukupan protein (AKP) rumah tangga merupakan penjumlahan angka kecukupan energi dan protein dari setiap individu dalam rumah tangga. AKE dan AKP yang digunakan mengacu pada standar Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dikeluarkan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi di Jakarta pada tahun 2012 (WNPG 2012) yang kemudian disahkan pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Tingkat kecukupan energi (TKE) dan protein (TKP) dihitung dengan membandingkan konsumsi aktual energi dan protein rumah tangga dengan nilai AKE dan AKP rumah tangga yang dinyatakan dalam persen. Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein didasarkan pada kategori Depkes tahun 1996 yaitu defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70–79%), defisit tingkat ringan (80–89%), normal (90–119%), dan kelebihan (≥120%).
TKE/TKP =
Konsumsi energi/protein Kecukupan energi/protein (AKE/AKP)
X 100%
Keragaman konsumsi pangan yang diperoleh melalui skor HDDS digunakan untuk melihat faktor determinan keragaman konsumsi pangan rumah tangga. Analisis yang digunakan meliputi analisis bivariat dan multivariat. Analisis bivariat menggunakan Chi square untuk mengetahui hubungan antara karakteristik rumah tangga dengan keragaman konsumsi pangan rumah tangga. Analisis multivariat menggunakan regresi logistik untuk melihat karakteristik rumah tangga yang secara signifikan menjadi faktor determinan keragaman konsumsi pangan.
21 Penilaian status gizi balita merujuk pada standar antropometri yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2005 atau disebut Standar WHO 2005. Klasifikasi status gizi balita berdasarkan tiga indikator BB/U, TB/U, dan BB/TB (Tabel 5). Namun pada penelitian ini hanya dihitung status gizi balita berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U). Tabel 5 Klasifikasi status gizi balita berdasarkan nilai Z-score Indikator Nilai Z-score Kategori BB/U Z score < -3.0 Gizi buruk Z score ≥ -3.0 – Z score < -2.0 Gizi kurang Z score ≥ -2.0 – Z score ≤ 2.0 Gizi baik Z score > 2.0 Gizi lebih TB/U Z score < -3,0 Sangat pendek Z score ≥ -3.0 – Z score < -2.0 Pendek Z score ≥ -2.0 Normal BB/TB Z score < -3.0 Sangat kurus Z score ≥ -3.0 – Z score < -2.0 Kurus Z score ≥ -2.0 – Z score ≤ 2.0 Normal Z score > 2.0 Gemuk Sumber: Balitbangkes (2010)
Data kualitas konsumsi pangan rumah tangga berdasarkan HDDS dan kuantitas konsumsi pangan rumah tangga berdasarkan TKE dianalisis lebih lanjut dalam analisis validasi. Analisis ini bertujuan untuk membandingkan ukuran kualitatif (HDDS) dengan ukuran kuantitatif (TKE) konsumsi pangan rumah tangga yang umum digunakan dalam menentukan rumah tangga rawan pangan. Uji sensitivitas (Se) HDDS dilakukan untuk menilai kemampuan HDDS dalam mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan yang juga dikatakan rawan pangan berdasarkan TKE. Uji spesifisitas (Sp) HDDS dilakukan untuk menilai kemampuan HDDS dalam mengidentifikasi rumah tangga tahan pangan yang juga dikatakan tahan pangan berdasarkan TKE. Secara kualitatif, konsumsi pangan dikatakan tidak beragam jika mengonsumi kurang dari enam jenis pangan dan beragam jika mengonsumsi paling sedikit enam jenis pangan (Kennedy et al. 2011). Secara kuantitatif, rumah tangga dikatakan rawan pangan jika konsumsi energi kurang dari 70% AKE. Tabulasi silang dalam menentukan Se dan Sp mengacu pada Maxwell et al. (1999) dan IFPRI (2008) yang disajikan pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6 Sensitivitas dan Spesifisitas HDDS terhadap TKE Tingkat Kecukupan Energi HDDS Jumlah Rendah Tinggi (<70% AKE) (≥70% AKE) Rendah (0–5) TP FP TP + FP Tinggi (6–12) FN TN FN + TN Jumlah TP + FN FP + TN Total Keterangan: TP=true positif; FP=false positif; FN=false negatif; TN=true negatif
22
Pengukuran Se dan Sp dilakukan dengan menggunakan rumus berikut: Sensitivitas =
Nilai true positif (Nilai true positif + Nilai false negatif)
Spesifisitas =
Nilai true negatif (Nilai false positif + Nilai true negatif)
Uji sensitivitas dan spesifisitas juga dilakukan antara skor HDDS dengan TKE dan status gizi balita (BB/U) sebagai gold standard. Kategori gold standard yang pertama adalah rumah tangga dengan TKE < 70% dan status gizi balita tergolong buruk dan kurang (Z score < -2.0). Kategori yang kedua adalah rumah tangga dengan TKE ≥ 70% dan status gizi balita baik (Z score ≥ -2.0). Hal ini bertujuan mengkonfirmasi hasil analisis sensitivitas dan spesifisitas sebelumnya yang hanya menggunakan tingkat kecukupan energi sebagai gold standard. Tabulasi silang dalam menentukan Se dan Sp disajikan pada Tabel 7 di bawah ini. Tabel 7 Sensitivitas dan Spesifisitas HDDS terhadap TKE dan Status Gizi Balita Tingkat Kecukupan Energi Rendah Tinggi HDDS Jumlah (<70% AKE; (≥70% AKE; Z score < -2.0) Z score ≥ -2.0) Rendah (0–5) TP FP TP + FP Tinggi (6–12) FN TN FN + TN Jumlah TP + FN FP + TN Total Sumber: IFPRI (2008)
Pengukuran Se dan Sp dilakukan dengan menggunakan rumus berikut: Sensitivitas =
Nilai true positif (Nilai true positif + Nilai false negatif)
Spesifisitas =
Nilai true negatif (Nilai false positif + Nilai true negatif)
Pada uji Se dan Sp, diharapkan nilai Se yang tinggi (≥90%). Nilai Se yang tinggi menunjukkan bahwa HDDS mampu digunakan sebagai metode alternatif untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan. Jika nilai Se yang diperoleh rendah (<90%) maka perlu dilakukan modifikasi HDDS. Modifikasi yang dilakukan adalah modifikasi kelompok pangan dan skor HDDS dengan mengacu pada sumber zat gizi yang dibutuhkan oleh manusia. Penentuan skor pada HDDS yang ditetapkan oleh FAO tidak mempertimbangkan fungsi zat gizi yang dikonsumsi. Modifikasi dilakukan dengan mengategorikan kelompok pangan tersebut berdasarkan fungsi gizi yang sama ke dalam satu kategori.
23 Definisi Operasional Buruh tani adalah buruh yang menerima upah dengan bekerja di sawah milik orang lain. Contoh adalah rumah tangga miskin (Pra KS dan KS I) penerima Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) di Desa Sukamaju, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat yang memiliki minimal satu anak usia di bawah lima tahun (balita). HDDS adalah metode kualitatif untuk menilai keragaman konsumsi pangan rumah tangga. Jenis pekerjaan adalah mata pencaharian utama kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga yang dikategorikan menjadi tidak bekerja dan bekerja (petani, buruh tani, buruh non tani, pedagang, pengamen, PNS/ABRI/Polisi, jasa, dan ibu rumah tangga). Karakteristik rumah tangga adalah data kondisi demografi dan sosial ekonomi keluarga yang meliputi jumlah anggota, jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan pendapatan kepala rumah tangga. Keragaman konsumsi pangan adalah banyaknya jenis kelompok pangan yang dikonsumsi rumah tangga berdasarkan skor HDDS. Ketahanan pangan rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang ditunjukkan dengan tingkat kecukupan energi minimal 70 persen (≥70%). Konsumsi pangan jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi rumah tangga di dalam rumah yang diukur dengan metode recall 1 x 24 jam. Petani adalah orang yang bercocok tanam di sawah miliknya sendiri. Rumah tangga rawan pangan adalah rumah tangga dengan tingkat kecukupan energi kurang dari 70% AKE. Sensitivitas adalah kemampuan metode HDDS untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan yang juga teridentifikasi rawan pangan berdasarkan tingkat kecukupan energi. Spesifisitas adalah kemampuan metode HDDS untuk mengidentifikasi rumah tangga tahan pangan yang juga teridentifikasi tahan pangan berdasarkan tingkat kecukupan energi. Status gizi balita adalah keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah asupan energi dan zat gizi dengan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh, diperoleh dari pengukuran antropometri. Klasifikasi status gizi balita berdasarkan tiga indikator BB/U, TB/U, dan BB/TB yang kemudian dibandingkan dengan referensi WHO 2005 dan dinyatakan dalam z-skor. Tingkat pendidikan adalah jumlah tahun mengikuti pendidikan formal, kemudian dikategorikan menurut jenjang pendidikan SD, SLTP, SLTA dan PT. Ukuran rumah tangga adalah total jumlah anggota rumah tangga yang dikategorikan menjadi rumah tangga kecil (≤ 4 orang), sedang (5–7 orang), dan besar (≥ 8 orang).
24
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor yang merupakan wilayah pengembangan Bogor Barat dengan karakteristik agroekologi pertanian. Luas wilayah Kecamatan Cigudeg adalah 17762.24 ha. Secara geografis Kecamatan Cigudeg terletak di antara 6 ̊32'54" Lintas Selatan dan 106 ̊31'51" Bujur Timur dengan ketinggian 800 meter dari permukaan laut. Kecamatan Cigudeg berbatasan dengan Kecamatan Parungpanjang dan Kecamatan Tenjo di bagian utara, Kecamatan Leuwisadeng di bagian selatan, Kecamatan Jasinga di bagian barat, dan Kecamatan Rumpin di bagian timur. Secara adminsitrasi, Kecamatan Cigudeg terdiri atas 15 desa yaitu Sukarasa, Sukamaju, Cigudeg, Banyu Resmi, Warga Jaya, Banyu Wangi, Banyu Asih, Tegalega, Batu Jajar, Rengasjajar, Bangun Jaya, Argapura, Bunar, Cintamanik, dan Mekarjaya. Kecamatan Cigudeg merupakan salah satu wilayah agroekologi pertanian di Kabupaten Bogor dengan padi sebagai komoditas pertanian utama yang dihasilkan. Produksi padi sawah pada tahun 2011 sebesar 23774 ton. Berdasarkan informasi dari Unit Pelaksana Teknis Pertanian (UPT Pertanian) Bogor Barat, pada tahun 2013, luas lahan pertanian sawah terbesar di wilayah Bogor Barat terletak di Kecamatan Cigudeg dengan luas 2140 ha. Tiga desa utama penghasil padi sawah di Kecamatan Cigudeg adalah Desa Sukamaju, Argapura, dan Bangunjaya. Dari ketiga desa ini, desa Sukamaju memiliki lahan pertanian sawah terbesar yaitu sebesar 304 Ha. Desa Sukamaju terletak sekitar 2 km dari pusat pemerintahan Kecamatan Cigudeg dan 59 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Bogor di Cibinong. Luas wilayah Desa Sukamaju adalah 632.63 ha dan berada di ketinggian 600 meter dari permukaan laut. Batas wilayah di bagian utara berbatasan dengan Desa Bunar, bagian selatan dengan Desa Sipayung, bagian Barat dengan Desa Pangradin, dan bagian Timur dengan Desa Cigudeg. Desa Sukamaju merupakan desa dengan karakteristik perdesaan yang terdiri atas 13 RW dan 41 RT. Jumlah penduduk Desa Sukamaju pada tahun 2012 adalah sebanyak 8581 jiwa dengan jumlah lakilaki sebanyak 4448 jiwa dan perempuan sebanyak 4133 jiwa. Jumlah penduduk tersebut terbagi ke dalam 1920 kepala keluarga. Berdasarkan data dari kantor desa, hampir 60 persen penduduk Desa Sukamaju bekerja sebagai buruh tani. Mayoritas penduduk Desa Sukamaju termasuk ke dalam kelompok ekonomi bawah. Berdasarkan data dari kantor desa, jumlah rumah tangga penerima Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) di Desa Sukamaju merupakan yang terbanyak di Kecamatan Cigudeg yaitu sebanyak 448 rumah tangga. Karakteristik Rumah Tangga Contoh Rumah tangga contoh pada penelitian ini merupakan rumah tangga penerima BLSM tahun 2013. Menurut Hermawan (2013), data rumah tangga penerima BLSM didasarkan pada data penerima beras untuk rumah tangga miskin (raskin) yang dikeluarkan oleh BPS pada tahun 2011. Sehingga, pemilihan rumah
25 tangga contoh pada penelitian ini mampu mewakili rumah tangga miskin di wilayah penelitian. Rumah tangga miskin diketahui sebagai rumah tangga yang memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kejadian rawan pangan. Rumah tangga contoh pada penelitian ini sebanyak 105 rumah tangga. Rumah tangga contoh yang dianalisis adalah rumah tangga dengan konsumsi energi lebih dari 500 kkal/kapita/hari dan kurang dari 5000 kkal/kapita/hari (Wiesmann et al. 2009). Rumah tangga contoh yang memenuhi kriteria tersebut sebanyak 99 rumah tangga. Karakteristik rumah tangga contoh yang dianalisis pada penelitian ini meliputi ukuran rumah tangga, usia, pendidikan kepala dan ibu rumah tangga, pekerjaan kepala dan ibu rumah tangga, dan pendapatan kepala rumah tangga (Lampiran 1). Data yang disajikan berupa sebaran rumah tangga contoh menurut karakteristiknya (Tabel 8). Penyajian data numerik seperti ukuran rumah tangga, usia kepala rumah tangga, dan usia ibu rumah tangga juga disertakan dengan nilai rata-rata (mean) dan standar deviasi (SD). Tabel 8 Karakteristik rumah tangga contoh Rumah tangga Karakteristik rumah tangga Mean ± SD n % Ukuran rumah tangga Kecil (≤4 orang) Sedang (5–7 orang) Besar (≥ 8 orang) Usia kepala rumah tangga Dewasa awal (19–29 tahun) Dewasa pertengahan (30–49 tahun) Dewasa akhir (50–59 tahun) Lansia (≥60 tahun) Usia ibu rumah tangga Remaja (10–18 tahun) Dewasa awal (19–29 tahun) Dewasa pertengahan (30–49 tahun) Lansia (≥60 tahun) Pendidikan kepala rumah tangga Tidak sekolah SD SMP Pendidikan ibu rumah tangga Tidak sekolah SD SMP
36 50 13
36.4 50.5 13.1
25 64 8 2
25.3 64.6 8.1 2.0
1 35 62 1
1.0 35.4 62.6 1.0
1 89 9
1.0 89.9 9.1
1 93 5
1.0 93.9 5.1
5.46 ± 1.886
37.75 ± 9.488
32.07 ± 8.041
-
-
26
Karakteristik rumah tangga Pekerjaan kepala rumah tangga Petani Buruh tani Buruh non tani Pedagang Jasa Pekerjaan ibu rumah tangga Petani Buruh tani Buruh non tani Pedagang Ibu rumah tangga Pendapatan kepala rumah tangga* Rp301 000–Rp800 000 Rp801 000–Rp1 300 000 Rp1 301 000–Rp1 800 000 > Rp1 800 000 Total *)
Rumah tangga n %
8 69 17 2 3
8.1 69.7 17.2 2.0 3.0
2 7 2 3 85
2.0 7.1 2.0 3.0 85.9
89 7 2 1 105
89.9 7.1 2.0 1.0 100.0
Mean ± SD
-
-
-
Pendapatan sudah dikategorikan saat pengambilan data
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa jumlah anggota rumah tangga contoh berkisar antara 3–12 orang dengan rata-rata enam orang anggota per rumah tangga (5.46 ± 1.886). Ukuran rumah tangga dikategorikan menjadi rumah tangga kecil (≤4 orang), sedang (5–7 orang), dan besar (≥ 8 orang). Sebagian besar rumah tangga contoh termasuk ke dalam kategori sedang (50.5%). Ukuran rumah tangga merupakan jumlah anggota rumah tangga yang terdiri dari suami, istri, anak, dan anggota rumah tangga lainnya yang tinggal bersama dalam satu atap (BKKBN 1998). Menurut Oliyini (2014), ukuran rumah tangga memiliki korelasi dengan penghasilan rumah tangga. Pada rumah tangga yang berpenghasilan tinggi, jumlah anggota rumah tangga cenderung kecil, begitu juga sebaliknya. Usia anggota rumah tangga yang dianalisis adalah usia kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa rata-rata usia kepala rumah tangga adalah 38 tahun (37.75 ± 9.488) dengan kisaran antara 23– 63 tahun. Rata-rata usia ibu rumah tangga adalah 32 tahun (32.07 ± 8.041) dengan kisaran antara 18–61 tahun. Sebagian besar kepala rumah tangga (66%) dan ibu rumah tangga (64%) termasuk ke dalam kelompok usia dewasa pertengahan (30– 49 tahun). Usia dewasa pertengahan merupakan usia produktif sehingga kepala rumah tangga mampu bekerja secara aktif dan produktif untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari rumah tangga (Oliyini 2014).
27 Analisis deskriptif menunjukkan sebagian besar kepala rumah tangga (89.5%) dan ibu rumah tangga (93.3%) hanya menempuh pendidikan hingga sekolah dasar (SD). Tingkat pendidikan seseorang dapat dinilai berdasarkan jenis pendidikan dan lama waktu pendidikan yang ditempuh baik di pendidikan formal maupun informal. Menurut Hardinsyah (2007) tingkat pendidikan formal mencerminkan kemampuan seseorang untuk memahami berbagai aspek pengetahuan termasuk pengetahuan gizi. Tingkat pendidikan kepala rumah tangga secara langsung atau tidak langsung menentukan keadaan ekonomi rumah tangga. Demikian juga pendidikan ibu rumah tangga di samping sebagai modal utama dalam perekonomian rumah tangga juga berperan dalam mengatur pola makan rumah tangga. Penelitian Rashid et al. (2011) menunjukkan pendidikan orang tua yang lebih tinggi berpengaruh signifikan terhadap pola konsumsi pangan rumah tangga. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa sebagian besar kepala rumah tangga bekerja sebagai buruh tani (71.4%). Sebagian besar ibu rumah tangga tidak bekerja atau menjadi ibu rumah tangga (84.8%). Jenis pekerjaan menentukan status ekonomi suatu rumah tangga. Sebagian besar penduduk Desa Sukamaju bekerja sebagai petani atau buruh tani, namun terdapat beberapa penduduk yang bekerja di bidang jasa seperti tukang ojeg. Pekerjaan sebagai buruh tani identik dengan kemiskinan (Hermawan 2013). Salah satu faktor yang dapat menentukan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan adalah pendapatan rumah tangga, terutama kepala rumah tangga. Pendapatan kepala rumah tangga merupakan penjumlahan pendapatan dari hasil pekerjaan utama maupun pekerjaan tambahan atau sumber lainnya selama satu bulan yang kemudian dikategorikan menjadi (1) Rp300 000–Rp800 000, (2) Rp801 000–Rp1 300 000, (3) Rp1 301 000–Rp1 800 000, dan (4) > Rp1 800 000. Pada Tabel 11 terlihat bahwa sebagian besar kepala rumah tangga (90.5%) berpendapatan rendah yaitu pada kisaran Rp300 000–R 800 000 per bulan. Angka ini berada di atas garis kemiskinan kabupaten Bogor yaitu Rp214 338, namun masih jauh dari Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Bogor tahun 2013 yaitu Rp2 002 000. Tingkat pendidikan yang rendah, didukung dengan tingkat penghasilan yang rendah berpengaruh terhadap kebiasaan makan sehari-hari. Definisi makan bagi kelompok seperti ini bukanlah yang sehat dan bergizi, namun makan makanan yang mengenyangkan tanpa melihat nilai gizi dari makanan tersebut. Hal tersebut diduga dapat menjadi faktor risiko terjadinya rawan pangan. Keragaman Konsumsi Pangan Rumah Tangga Hasil analisis keragaman konsumsi pangan menggunakan skor HDDS menunjukkan bahwa skor rata-rata rumah tangga adalah 6 dengan kisaran skor 2– 10 (Lampiran 2). Konsumsi pangan rumah tangga contoh termasuk ke dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 72.7% rumah tangga mengonsumsi lebih dari enam jenis pangan (Tabel 9). Penentuan skor didasarkan pada kelompok pangan yang dikonsumsi di dalam rumah meskipun dalam jumlah yang sedikit (Swindale dan Bilinsky 2005). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Oliyini (2014) yang menunjukkan bahwa skor HDDS rendah pada rumah tangga miskin (2.55 ± 0.07). Penelitian Ajani (2010) pada rumah tangga di wilayah agroekologi pertanian di
28 Nigeria dengan skor berdasarkan 14 kelompok pangan menunjukkan keragaman konsumsi pangan sebagian besar rumah tangga (83%) termasuk ke dalam kategori sedang (5–9 jenis). Tabel 9 Proporsi rumah tangga contoh menurut keragaman konsumsi pangan rumah tangga berdasarkan skor HDDS Rumah tangga contoh Skor HDDS N % Rendah (≤ 3 jenis) 2 2.0 Sedang (4–5 jenis) 25 25.3 Tinggi (≥ 6 jenis) 72 72.7 Total 99 100.0 Konsumsi pangan yang beragam diketahui sebagai elemen utama penentu kualitas diet (Ruel 2003). Pola konsumsi pangan dan gizi rumah tangga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Konsumsi pangan yang tidak beragam diketahui sebagai salah satu penyebab terjadinya berbagai masalah pada populasi masyarakat miskin berbagai negara berkembang. Hal tersebut karena pada umumnya masyarakat miskin hanya mengonsumsi pangan pokok seperti serealia dan umbi-umbian (Ruel 2003). Berdasarkan konsep HDDS, keragaman konsumsi pangan merupakan indikator kemampuan akses ekonomi rumah tangga terhadap pangan. Salah satu faktor pendukung tingginya keragaman konsumsi pangan di wilayah tersebut adalah akses fisik yang mudah terhadap beberapa kelompok pangan, seperti serealia dan sayuran. Mayoritas masyarakat di desa Sukamaju memiliki lahan yang ditanami sayur-sayuran. Pada saat panen, pemilik lahan akan memberikan hasil panennya kepada tetangga yang tidak memiliki tanaman sayur-sayuran. Faktor lainnya yang diduga memengaruhi skor HDDS adalah pekerjaan kepala rumah tangga sebagai buruh tani yang sehari-harinya bekerja di sekitar rumah, sehingga untuk makan setiap hari juga dilakukan di rumah. Jika dilihat sebaran rumah tangga contoh menurut masing-masing kelompok pangan HDDS, sebagian besar rumah tangga contoh mengonsumsi pangan serealia (100%), sayur-sayuran (88.9%), ikan (89.9%), minyak dan lemak (98.0%), serta bumbu dan rempah (93.9%) (Gambar 2). Hal ini serupa dengan penelitian Hanafie (2007) yang menyebutkan bahwa pola konsumsi pangan rumah tangga miskin perdesaan meliputi pangan pokok (beras saja atau campuran beras dan gaplek), sayur dan lauk. Konsumsi pangan masyarakat untuk beberapa kelompok pangan masih rendah. Rumah tangga yang mengonsumsi umbi-umbian, buah-buahan, daging dan olahannya, telur, dan susu masih rendah (<15% rumah tangga). Hal ini diduga karena keterbatasan akses ekonomi masyarakat untuk membeli kelompok pangan tersebut dan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap pangan bergizi, beragam, dan seimbang. Berbanding kelompok lainnya, kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan untuk mengonsumsi buah-buahan karena merupakan sumber vitamin dan antioksidan yang penting bagi kesehatan. Kelompok pangan umbiumbian sebagai sumber karbohidrat sudah terpenuhi dari serealia. Begitu pula
29 sumber protein hewani sudah terpenuhi dari kelompok ikan dan makanan laut lainnya yang dikonsumsi oleh sebagian besar rumah tangga.
Gambar 2 Sebaran rumah tangga contoh berdasarkan kelompok pangan HDDS Pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga dapat diperoleh melalui beberapa cara seperti membeli, produksi dari kebun, barter, dan melalui bantuan. Rumah tangga contoh pada penelitian ini pada umumnya memperoleh pangan dengan cara membeli (97%) (Gambar 3). Selain itu, sebanyak 96% responden mengatakan bahwa konsumsi pangan 24 jam yang lalu menggambarkan kebiasaan makan sehari-hari. Data yang diperoleh mampu menggambarkan kebiasaan konsumsi pangan rumah tangga secara umum.
Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan cara memperoleh pangan Pada penelitian ini juga dilakukan analisis hubungan karakteristik rumah tangga dengan skor HDDS menggunakan Chi square dan analisis faktor determinan keragaman konsumsi pangan rumah tangga menggunakan regresi logistik. Analisis ini didasarkan pada hasil review Hardinsyah (2007) dari berbagai literatur yang menyatakan bahwa terdapat berbagai faktor yang memengaruhi keragaman konsumsi pangan. Faktor determinan yang mungkin memengaruhi keragaman konsumsi pangan di tingkat rumah tangga mencakup pengetahuan gizi, daya beli pangan, waktu yang tersedia bagi ibu untuk pengelolaan pangan, preferensi pangan, dan ketersediaan pangan. Setiap faktor tersebut kemungkinan ditentukan oleh berbagai faktor sosial demografi, faktor ekonomi dan faktor lainnya (Hardinsyah 2007).
30 Faktor determinan keragaman konsumsi pangan yang dianalisis hanya karakteristik rumah tangga contoh yang meliputi ukuran rumah tangga, usia kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga, tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga, pekerjaan kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga, dan tingkat pendapatan kepala rumah tangga. Hasil analisis Chi square menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan (p<0.05) antara pekerjaan ibu dengan keragaman konsumsi pangan berdasarkan skor HDDS (Lampiran 3). Karakteristik rumah tangga lainnya tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan keragaman konsumsi pangan rumah tangga. Untuk memperkuat hasil tersebut selanjutnya dilakukan analisis menggunakan regresi logistik untuk melihat karakteristik rumah tangga yang menjadi faktor determinan keragaman konsumsi pangan rumah tangga. Tabel 10 menunjukkan faktor determinan keragaman konsumsi pangan. Rincian hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 10 Faktor determinan keragaman konsumsi pangan rumah tangga Variabel Ukuran rumah tangga ( besar, ≥8 orang=0) kecil (≤4 orang) sedang (5–7 orang) Usia kepala rumah tangga (<38=0) ≥ 38 Usia ibu rumah tangga (<32=0) ≥ 32 Pendidikan kepala rumah tangga (≤ tamat SD=0) > tamat SD Pendidikan ibu rumah tangga (≤ tamat SD=0) > tamat SD Pekerjaan kepala rumah tangga (non tani=0) buruh tani Pekerjaan ibu rumah tangga (bekerja=0) tidak bekerja Pendapatan kepala rumah tangga (≤Rp800 000=0) > Rp800 000 *) Signifikan pada p<0.05
Β
OR (95% CI)
p-value
-1.419 -1.503
0.242 (0.029–2.003) 0.223 (0.033–1.507)
0.188 0.124
-0.683
0.505 (0.104–2.444)
0.396
0.803
2.232 (0.473–10.534)
0.310
0.640
1.897 (0.320–11.241)
0.481
0.380
1.462 (0.120–17.876)
0.766
0.294
1.342 (0.441–4.086)
0.604
1.637
5.141 (1.345–19.648)
0.017*
-0.662
0.516 (0.107–2.490)
0.410
Hasil regresi logistik menunjukkan bahwa ukuran anggota rumah tangga tidak berpengaruh secara signifikan dengan skor keragaman konsumsi pangan rumah tangga (p>0.05). Hal ini tidak sesuai dengan hasil review berbagai penelitian yang dilakukan oleh Hardinsyah (2007) yang menyatakan bahwa jumlah anggota rumah tangga diduga sebagai faktor determinan keragaman konsumsi pangan di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Olayemi (2012) di Nigeria menunjukkan bahwa jumlah anggota rumah tangga memiliki hubungan yang negatif (r=-0.317) dengan ketahanan pangan rumah tangga. Hasil penelitian Tanziha dan Herdiana (2009) juga menunjukkan hubungan yang negatif antara jumlah anggota rumah tangga dengan ketahanan pangan rumah tangga (r=-0.261). Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin besar jumlah anggota rumah tangga maka semakin kecil peluang tercapainya ketahanan pangan rumah tangga. Begitu
31 juga dengan penelitian Oliyini (2014) menunjukkan bahwa semakin besar jumlah anggota rumah tangga maka semakin tinggi pula kemungkinan untuk tidak tahan pangan (p<0.1). Ukuran anggota rumah tangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah tangga. Jumlah anggota yang semakin banyak merupakan beban tersendiri, terutama bagi rumah tangga miskin. Usia kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga tidak berpengaruh secara signifikan dengan skor keragaman konsumsi pangan rumah tangga (p>0.05). Terdapat beberapa pendapat mengenai pengaruh usia terhadap keragaman konsumsi pangan rumah tangga. Menurut Rozenwig (1986) di dalam Hardinsyah (2007) bahwa pasangan orang tua dengan usia lebih tinggi kemungkinan mempunyai pengetahuan gizi dan kesehatan lebih baik jika dibandingkan dengan pasangan orang tua dengan usia muda karena pengalaman mereka dalam menggunakan berbagai layanan kesehatan. Pengetahuan tersebut akan meningkatkan pengetahuan mereka tentang pentingnya mengonsumsi pangan yang beragam. Namun pendapat yang berbeda diberikan oleh Wolfe dan Behrman (1982) di dalam Hardinsyah (2007) bahwa pasangan orang tua dengan usia lebih tinggi mungkin mempunyai kekurangan informasi tentang pengetahuan gizi yang terbaru jika dibandingkan dengan pasangan orang tua dengan usia muda. Tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga tidak berpengaruh secara signifikan dengan skor keragaman konsumsi pangan rumah tangga (p>0.05). Hardinsyah (2007) menyebutkan bahwa pendidikan ibu berpengaruh terhadap keragaman konsumsi pangan rumah tangga. Para ibu dengan pendidikan lebih baik dapat memilih dan mengombinasikan beragam jenis pangan dengan harga yang tidak mahal. Pada penelitian ini pendidikan tertinggi ibu hanya sampai sekolah menengah pertama (SMP) yang tergolong berpendidikan rendah. Penelitian analisis faktor determinan ketahanan pangan rumah tangga yang dilakukan oleh Tanziha dan Herdiana (2009) juga menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan (r=-0.040; p>0.05) antara pendidikan kepala rumah tangga dengan ketahanan pangan rumah tangga. Begitu pula pendidikan ibu rumah tangga tidak berhubungan secara signifikan (r=0.027; p>0.05) dengan ketahanan pangan rumah tangga. Namun, penelitian Olayemi (2012) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan menentukan ketahanan pangan rumah tangga (p<0.01). Hal tersebut didukung oleh Taruvinga et al. (2013) bahwa konsumsi pangan lebih beragam pada rumah tangga dengan pendidikan yang lebih tinggi (p<0.05). Semakin tinggi pendidikan, pengetahuan untuk hidup sehat juga semakin meningkat sehingga tercapainya ketahanan pangan. Menurut Rashid et al. (2011), rumah tangga yang memiliki minimal satu orang wanita yang berpendidikan minimal pendidikan dasar dan pendidikan menengah meningkatkan keragaman konsumsi pangan rumah tangga berturut-turut sebesar 4.8% dan 5.8%. Jika dilihat dari tingkat pendapatan kepala rumah tangga, juga tidak terdapat hubungan yang signifikan terhadap skor keragaman konsumsi pangan rumah tangga (r=-0.027; p>0.05). Hasil ini berbeda dengan penelitian Fausat dan Naphtali (2014) yang menyatakan keragaman konsumsi pangan semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan kepala rumah tangga (p<0.01). Penelitian Gonzales et al. (2008) juga menunjukkan terdapat hubungan pendapatan dengan konsumsi pangan rumah tangga (p<0.01). Pendapatan menjadi faktor determinan utama penentu kualitas konsumsi pangan rumah tangga di
32 Bangladesh (Rashid et al. 2011). Menurut Hardinsyah (2007) usia, pendidikan, dan pendapatan kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga diduga berpengaruh terhadap keragaman konsumsi pangan rumah tangga melalui empat variabel yaitu pendidikan gizi, paparan media massa, pengalaman gizi dan pengetahuan gizi. Berdasarkan jenis pekerjaan, pekerjaan kepala rumah tangga tidak berpengaruh secara signifikan dengan skor keragaman konsumsi pangan rumah tangga (p>0.05). Namun, pekerjaan ibu rumah tangga menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap skor keragaman konsumsi pangan rumah tangga (p<0.05). Terlihat bahwa ibu memiliki peran penting dalam menentukan konsumsi pangan rumah tangga. Mayoritas ibu di rumah tangga contoh merupakan ibu rumah tangga yang tidak bekerja, sehingga memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengurusi keluarganya, terutama dalam pemenuhan konsumsi pangan. Ibu yang tidak bekerja memiliki peluang 4.302 kali untuk menyediakan pangan yang beragam untuk konsumsi rumah tangga. Ketahanan Pangan Rumah Tangga Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Rumah Tangga Asupan zat gizi rumah tangga yang dihitung pada penelitian ini adalah asupan energi dan protein. Penentuan angka kecukupan energi (AKE) dan angka kecukupan protein (AKP) mengacu pada tabel angka kecukupan gizi (AKG) yang disepakati pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2012 (WNPG 2012) di Jakarta. Jumlah asupan, angka kecukupan, dan tingkat kecukupan energi dan protein rumah tangga disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Rata-rata asupan, kecukupan, dan tingkat kecukupan energi dan protein rumah tangga Variabel Asupan energi (kkal/kap/hari) Asupan protein (g/kap/hari) Angka kecukupan energi (AKE) (kkal/kap/hari) Angka kecukupan protein (AKP) (g/kap/hari) Tingkat kecukupan energi (TKE) (%) Tingkat kecukupan protein (TKP) (%)
Mean ± SD 1048 ± 337 29 ± 11 2003 ± 139 52 ± 4 52 ± 17 57 ± 21
Rata-rata konsumsi energi dan protein rumah tangga adalah 1048 kkal/kap/hari (522–2481 kkal/kap/hari) dan 29 g/kap/hari (12–75 g/kap/hari) dengan rata-rata anggota rumah tangga yang ikut makan berjumlah lima orang. Rata-rata AKE dan AKP rumah tangga adalah 2003 kkal/kap/hr dan 52 g/kap/hr. Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein rumah tangga adalah 52% dan 57%. Nilai rata-rata konsumsi energi dan protein rumah tangga masih rendah berbanding AKE dan AKP rumah tangga sehingga tingkat kecukupan keduanya juga rendah. Konsumsi pangan yang lebih beragam berkaitan erat dengan kecukupan energi dan protein, persentase protein hewani (protein kualitas tinggi), dan pendapatan rumah tangga. Bahkan pada rumah tangga yang sangat miskin,
33 peningkatan pengeluaran untuk makanan yang dihasilkan dari penghasilan tambahan berhubungan dengan peningkatan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hoddinot dan Yohannes (2002) di sepuluh negara berkembang di Asia dan Afrika menunjukkan bahwa peningkatan keragaman pangan rumah tangga sebesar 1% juga meningkatkan konsumsi per kapita anggota rumah tangga sebesar 1% dan ketersediaan energi sebesar 0.7%. Menurut Swindale dan Bilinsky (2006) keragaman konsumsi pangan merupakan indikator yang baik karena konsumsi pangan yang lebih beragam berhubungan dengan peningkatan hasil pada berat kelahiran, status antropometrik anak, dan peningkatan konsentrasi hemoglobin. Pada penelitian ini juga dihitung tingkat kecukupan energi dan protein (TKE dan TKP) rumah tangga untuk melihat hubungan antara kuantitas dan kualitas konsumsi rumah tangga, juga untuk melihat kemampuan HDDS dalam mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan (Tabel 12). Tabel 12 Proporsi rumah tangga contoh menurut tingkat kecukupan energi dan protein (TKE dan TKP) Kriteria
Rumah tangga contoh n %
Klasifikasi TKE Defisit tingkat berat (<70%) Defisit tingkat sedang (70–79%) Defisit tingkat ringan (80–89%) Normal (90–119%) Kelebihan (≥ 120%)
85 7 5 1 1
85.9 7.1 5.1 1.0 1.0
Klasifikasi TKP Defisit tingkat berat (< 70%) Defisit tingkat sedang (70–79%) Defisit tingkat ringan (80–89%) Normal (90–119%) Kelebihan (≥ 120%) Total
75 11 6 6 1 105
75.8 11.1 6.1 6.1 1.0 100.0
Sebagian besar rumah tangga contoh (85.9%) mengalami defisit energi tingkat berat. Sebagian besar rumah tangga contoh juga mengalami defisit protein tingkat berat (75.8%). Hasil serupa juga ditemukan pada penelitian Hanafie (2007) bahwa pada rumah tangga miskin, konsumsi energi (60.40% AKE) dan protein (34.31% AKP) masih relatif rendah sehingga belum mencerminkan kondisi ketahanan pangan yang diharapkan. Secara kuantitas, asupan energi dan protein rumah tangga masih rendah meskipun skor HDDS menunjukkan konsumsi yang sudah beragam. Nilai TKE dan TKP diperoleh dari pembagian asupan energy dan protein makanan yang dikonsumsi di rumah terhadap tingkat kecukupan energi dan protein rumah tangga. Konsumsi pangan luar rumah hanya menyumbang energi 6% untuk
34 wilayah perdesaan dan 8% untuk wilayah perkotaan. Sehingga, TKE yang diperoleh dari penelitian ini cukup menggambarkan TKE harian rumah tangga. Jika tingkat kecukupan energi dan protein yang tinggi disertai dengan tingkat keragaman konsumsi pangan yang tinggi, maka secara kuantitas dan kualitas, kebutuhan gizi seseorang sudah terpenuhi secara seimbang. Nilai TKE dan TKP yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara statistik untuk melihat korelasi antara keduanya dengan skor HDDS. Hasil uj korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara TKE dan TKP terhadap skor HDDS (r=0.436; r=0.571; p<0.01) (Lampiran 5). Nilai korelasi positif artinya terjadi hubungan positif yaitu jika nilai TKE dan TKP meningkat, maka skor HDDS juga meningkat. Keeratan hubungan TKE dan skor HDDS termasuk lemah karena memiliki nilai korelasi yang rendah (r < 0.5). Hal ini diduga karena pemberian skor HDDS tidak memperhitungkan kontribusi zat gizi sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai sumber energi, pembangun dan pengatur. Sehingga skor yang diperoleh meskipun tinggi, dapat saja berasal dari kelompok pangan dengan fungsi yang sama. Sedangkan keeratan TKP dan skor HDDS termasuk tinggi (r > 0.5). Status Gizi Balita Proporsi status gizi balita berdasarkan indikator berat badan menurut umur (BB/U) disajikan pada Tabel 13. Sebagian besar balita memiliki status gizi baik. Status gizi balita merupakan salah satu indikator ketahanan pangan yang termasuk ke dalam dimensi pemanfaatan pangan. Salah satu indikator dalam pemanfaatan pangan adalah berat badan balita di bawah standar (underweight) (DKP 2009). Tabel 13 Proporsi status gizi balita berdasarkan indikator berat badan menurut umur (BB/U) Prevalensi Status gizi N % Gizi buruk (Z score < -3.0) 19 16.8 Gizi kurang (Z score ≥ -3.0 – Z score < -2.0) 24 21.2 Gizi baik (Z score ≥ -2.0 – Z score ≤ 2.0) 69 61.1 Gizi lebih (Z score > 2.0) 1 0.9 Total 113 100 Status gizi balita dipengaruhi secara langsung oleh dua faktor yaitu konsumsi pangan dan infeksi (UNICEF 1997 di dalam Hariyadi et al. 2010). Dalam mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan, status gizi balita dapat dijadikan indikator karena balita merupakan prioritas utama dalam pemenuhan konsumsi pangan rumah tangga. Status gizi balita dari rumah tangga contoh ditabulasikan dengan tingkat kecukupan energi (TKE) untuk melihat sebaran rumah tangga contoh berdasarkan status gizi balita (Tabel 14). Terdapat 113 orang balita yang berasal dari 99 rumah tangga contoh. Sebagian besar balita (56 orang) termasuk ke dalam kelompok status gizi baik dan TKE rumah tangga yang rendah. Namun, 40 orang balita
35 termasuk ke dalam kelompok status gizi kurang TKE rumah tangga yang rendah. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa TKE rumah tangga tidak selalu berpengaruh terhadap status gizi balita. Menurut Natalia et al. (2013) faktor lainnya yang dapat berpengaruh terhadap status gizi balita adalah pola asuh dari orang tua. Tabel 14 Sebaran status gizi balita menurut tingkat kecukupan energi rumah tangga
Status Gizi Balita Kurang (Z score < -2.0) Baik (Z score ≥ -2.0) Jumlah
Tingkat Kecukupan Energi Rendah Tinggi ( < 70% AKE ) ( ≥ 70% AKE) 40 3 56 14 96 17
Jumlah 43 70 113
Hubungan status gizi balita dengan skor HDDS, TKE, dan TKP rumah tangga diuji dengan menggunakan korelasi Spearman. Hasil analisis menunjukkan skor HDDS dan TKE tidak berhubungan secara signifikan dengan status gizi balita (p>0.05) (Lampiran 8). Namun, TKP secara signifikan berhubungan dengan status gizi balita (p<0.05; r=0.220). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi TKP rumah tangga, maka status gizi balita juga semakin baik, meskipun korelasi keduanya lemah (r<0.5). Hasil analisis ini berbeda dengan penelitian Arimond dan Ruel (2004) yang menyebutkan bahwa keragaman konsumsi pangan memiliki korelasi yang positif dengan status gizi balita berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U). Penelitian lainnya menyebutkan menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara ketahanan pangan dengan status gizi balita di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) (p<0.05) (Usfar 2007). Validasi Metode HDDS Validasi Kualitatif Validasi yang dilakukan berupa validasi isi dan kriteria, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif penilaian dilakukan dengan menggunakan kuesioner berisi pertanyaan mengenai pendapat responden dan enumerator terhadap metode HDDS dari segi teknik pengumpulan dan pengolahan data. Selain itu juga dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk wawancara menggunakan kuesioner HDDS dan kuesioner recall konsumsi pangan konvensional. Validasi kualitatif perlu dilakukan untuk melihat seberapa mudah suatu metode dapat diterapkan. Meskipun HDDS telah diketahui sebagai metode yang mudah dan sederhana, namun hal tersebut belum dilakukan validasi di Indonesia. Dari segi pemahaman terhadap kuesioner, hampir seluruh responden (99%) dapat memahami komponen kuesioner dengan baik (Tabel 15). Terdapat satu orang responden yang kurang bisa memahami kuesioner dengan baik. Seluruh enumerator dalam penelitian ini memahami kuesioner dengan baik. Berdasarkan persepsi responden, metode HDDS lebih mudah (80%) dan sederhana (20%)
36 karena hanya menyebutkan jenis pangan yang dikonsumsi saja, sehingga tidak sulit untuk mengingatnya. Begitu pula dengan persepsi dari enumerator juga menyatakan bahwa metode HDDS cukup mudah (50%) dan sederhana (50%). Dari segi pengolahan data, pertanyaan diajukan untuk enumerator saja, di mana seluruh enumerator menyatakan bahwa tahapan entry data kuesioner HDDS lebih mudah dan cepat berbanding kuesioner recall konvensional. Tabel 15 Penilaian kualitatif terhadap metode HDDS dibandingkan dengan recall konvensional 1 x 24 jam berdasarkan pendapat responden dan enumerator Penilaian kualitatif Responden Enumerator Kriteria penilaian n=105 n=4 n % n % Pemahaman terhadap kuesioner Kurang 1 1.0 0 0.0 Baik 99 99.0 4 100.0 Persepsi terhadap metode HDDS Mudah 79 79.8 2 50.0 Sederhana 20 20.2 2 50.0 Kemudahan dalam entry data* HDDS 4 100.0 Recall konvensional 0 0.0 *
Pertanyaan diajukan kepada enumerator saja
Dari segi waktu pengambilan data, wawancara menggunakan kuesioner HDDS lebih cepat berbanding kuesioner recall biasa. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk wawancara menggunakan kuesioner HDDS adalah tiga menit, sedangkan untuk kuesioner recall biasa rata-rata selama enam menit. Secara kualitatif, metode HDDS relatif lebih mudah dan sederhana digunakan untuk pengambilan data konsumsi pangan rumah tangga. Hasil serupa juga ditemukan pada penelitian Tiwari et al. (2013) yang membandingkan beberapa metode yang digunakan sebagai indikator ketahanan pangan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan HDDS berada pada peringkat pertama sebagai metode yang paling cepat dan murah (time and cost effective) disusul food consumption score (FCS) dan household food insecurity access scale (HFIAS). Validasi kuantitatif Tingkat Kecukupan Energi (TKE) sebagai Gold Standard Validasi secara kuantitatif dilakukan dengan menghitung nilai sensitivitas (Se) dan spesifisitas (Sp) HDDS dengan TKE sebagai gold standard. Nilai batas yang digunakan adalah <70% (rawan pangan) dan ≥ 70% (tahan pangan). Nilai batas untuk skor HDDS yang digunakan adalah 0–5 (skor rendah) dan 6–12 (skor tinggi). Validasi tersebut termasuk ke dalam jenis validasi kriteria (Abramson 1990). Sebaran skor HDDS dengan gold standard TKE disajikan pada Tabel 16. Nilai Se dan Sp diperoleh berdasarkan hasil tabulasi silang tersebut (Lampiran 6).
37
Tabel 16 Sebaran skor HDDS dengan gold standard Tingkat Kecukupan Energi (TKE) Tingkat Kecukupan Energi HDDS Jumlah Rendah Tinggi ( < 70% AKE ) ( ≥ 70% AKE) Rendah (0–5) 26 1 27 Tinggi (6–12) 59 13 72 Jumlah 85 14 99 Sensitivitas =
26 (26+59)
= 30.59
Spesifisitas =
13 (1+13)
= 92.86
Uji sensitivitas menunjukkan HDDS hanya sensitif 30.59% untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan. Hasil uji spesifisitas menunjukkan HDDS spesifik 92.86% untuk mengidentifikasi rumah tangga tahan pangan. Rendahnya nilai sensitivitas mengimplikasikan bahwa metode HDDS tidak mampu mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan sesuai dengan rumah tangga rawan pangan yang teridentifikasi berdasarkan tingkat kecukupan energi. Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dan Status Gizi Balita sebagai Gold Standard Selain menggunakan TKE sebagai gold standard, juga digunakan kombinasi TKE dan status gizi balita sebagai gold standard dengan tujuan untuk mengkonfirmasi nilai sensitivitas dan spesifisitas yang diperoleh sebelumnya. Menurut konsumsi pangan dan status gizi berhubungan sangat erat sehingga kombinasi keduanya akan sangat mendukung sebagai indikator tahan pangan (Addy 1999). Kombinasi yang digunakan adalah TKE rumah tangga <70% dan status gizi balita kurang (Z score < -2.0) (kategori 1) serta TKE rumah tangga ≥70% dan status gizi balita baik (Z score ≥ -2.0) (kategori 2). Berdasarkan tabulasi silang yang dilakukan sebelumnya (Tabel 16), balita yang termasuk ke dalam kategori 1 sebanyak 40 orang dan termasuk ke dalam kategori 2 sebanyak 14 orang. Sehingga pada analisis ini sebanyak 54 balita yang dianalisis (Lampiran 7). Sebaran skor HDDS dengan gold standard tingkat kecukupan energi dan status gizi balita disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran skor HDDS dengan gold standard Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dan status gizi balita (SG) TKE+SG Rendah Tinggi HDDS Jumlah ( < 70% AKE; Z ( ≥ 70% AKE; Z score < -2.0 ) score ≥ -2.0) Rendah (0–5) 17 1 18 Tinggi (6–12) 23 13 36 Jumlah 40 14 54
38
Sensitivitas =
17 (17+23)
= 42.50
Spesifisitas =
13 (1+13)
= 92.86
Hasil tabulasi menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda yaitu HDDS hanya sensitif 42.50% untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan yang memiliki balita dengan status gizi kurang. Hasil uji spesifisitas menunjukkan HDDS spesifik 92.86% untuk mengidentifikasi rumah tangga tahan pangan yang memiliki balita dengan status gizi baik. Hasil kedua analisis tersebut menunjukkan nilai sensitivitas yang rendah dan spesifisitas yang tinggi. Hasil penelitian serupa ditemukan pada penelitian Ahmad (2011) tentang uji sensitivitas dan spesifisitas self-report adolescent health screening tool untuk mengidentifikasi masalah mental pada remaja. Salah satu hasil penelitian tersebut menunjukkan instrumen memiliki nilai sensitivitas yang rendah (28.6%) dan spesifisitas yang tinggi (54.5%) untuk mengidentifikasi depresi pada remaja. Sehingga disimpulkan bahwa instrumen tersebut tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi kejadian depresi pada remaja. .Berdasarkan hasil uji Se dan Sp yang diperoleh dapat dikatakan bahwa skor HDDS tidak mampu digunakan sebagai metode atau indikator alternatif untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan yang memiliki balita di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian sawah. Pemberian skor HDDS tidak memperhitungkan kontribusi zat gizi sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai sumber energi, pembangun dan pengatur. Sehingga skor yang diperoleh meskipun tinggi, dapat saja berasal dari kelompok pangan dengan fungsi yang sama. Oleh karena itu, perlu dilakukan modifikasi HDDS untuk meningkatkan nilai sensitivitas dan spesifisitasnya sehingga mampu digunakan sebagai metode alternatif untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian padi. Modifikasi Metode HDDS Modifikasi dilakukan pada kelompok pangan dan skor HDDS dengan mengacu pada sumber zat gizi yang dibutuhkan oleh manusia. Penentuan skor pada HDDS yang ditetapkan oleh FAO tidak mempertimbangkan fungsi zat gizi yang dikonsumsi. Sebagai contoh, serealia dan umbi-umbian memiliki fungsi yang sama sebagai sumber karbohidrat (energi). Namun dalam pemberian skor keduanya berada pada kelompok yang berbeda. Sehingga, skor yang tinggi bisa saja berasal dari sumber pangan dengan fungsi zat gizi yang sama. Menurut Ruel (2002) pengelompokan pangan dapat dilakukan berdasarkan sumber zat gizi yang sama atau zat gizi utama yang terdapat dalam pangan tersebut. Modifikasi dilakukan dengan mengategorikan kelompok pangan tersebut berdasarkan fungsi gizi yang sama ke dalam satu kategori. Pada metode HDDS yang pertama, pemberian skor keragaman dilakukan dengan mengagregasi 16 kelompok pangan pada kuesioner menjadi 12 kelompok
39 pangan. Pada HDDS modifikasi, pemberian skor keragaman dilakukan dengan mengategorikan 16 kelompok pangan menjadi enam kategori pangan berdasarkan sumber zat gizi yaitu sumber karbohidrat, lemak, protein hewani, protein nabati, vitamin dan mineral, serta lain-lain (Tabel 18). Tabel 18 Kategori kelompok pangan untuk modifikasi skor HDDS berdasarkan sumber zat gizi Kategori Pangan Berdasarkan Sumber Zat Gizi 1.Sumber karbohidrat
Kelompok Pangan HDDS (16 kelompok pangan) Serealia Umbi-umbian Gula dan pemanis
2. Sumber lemak
Minyak dan lemak
3.Sumber hewani
4.Sumber nabati
protein
protein
5.Sumber vitamin dan mineral
6. Lain-lain
Skor 0 = tidak konsumsi 1 = berasal dari 1 kelompok pangan 2 = berasal dari ≥ 2 kelompok pangan
2
0 = tidak konsumsi 1 = konsumsi 1 jenis 2 = konsumsi ≥ 2 jenis
2
Daging-dagingan Jeroan Telur Ikan dan makanan laut lainnya Susu dan olahannya
0 = tidak konsumsi 1 = berasal dari 1 kelompok pangan 2 = berasal dari ≥ 2 kelompok pangan
Kacang-kacangan
0 = tidak konsumsi 1 = konsumsi 1 jenis 2 = konsumsi ≥ 2 jenis
2
Sayur sumber vitamin A Sayuran hijau Sayuran lainnya Buah sumber vitamin A Buah lainnya
0 = tidak konsumsi 1 = berasal dari 1 kelompok pangan 2 = berasal dari ≥ 2 kelompok pangan
Bumbu dan minuman jadi
0 = tidak konsumsi 1 = konsumsi 1 jenis 2 = konsumsi ≥ 2 jenis
Total
Skor Maks
2
2
2 12
Kisaran skor HDDS modifikasi adalah 0–12. Pemberian skor dilakukan dengan memberikan skor 0 jika rumah tangga sama sekali tidak mengonsumsi kelompok pangan pada masing-masing kategori, skor 1 jika rumah tangga mengonsumsi salah satu kelompok pangan pada masing-masing kategori, dan skor 2 jika rumah tangga mengonsumsi lebih dari dua kelompok pangan pada masingmasing kategori. Skor maksimal dari masing-masing kategori adalah 2 sehingga skor total maksimal adalah 12. Bobot skor untuk masing-masing kategori dianggap sama karena intrumen ini merupakan instrumen kualitatif sehingga tidak melihat kontribusi zat gizi secara kuantitatif, melainkan hanya melihat pada
40 banyaknya kelompok pangan yang dikonsumsi. Semakin banyak kelompok pangan yang dikonsumsi, berarti keragamannya juga meningkat. Berbeda dengan pemberian skor HDDS sebelumnya yang tidak memperhatikan kontribusi zat gizi. Keragaman konsumsi pangan berdasarkan skor HDDS modifikasi dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu rendah (skor ≤ 5), sedang (skor 6–8), dan tinggi (skor ≥ 9). Pemberian kategori tersebut dengan asumsi bahwa dengan konsumsi minimal satu jenis pangan pada masing-masing kategori sumber zat gizi (tidak termasuk kategori lain-lain), keragaman konsumsi pangan rumah tangga dikatakan rendah. Konsumsi minimal satu jenis pangan pada masing-masing kategori sumber zat gizi (termasuk kategori lain-lain), keragaman konsumsi pangan rumah tangga dikatakan sedang. Konsumsi minimal dua jenis pangan dari empat kategori dan satu jenis pangan dari satu kategori lainnya menunjukkan tingkat keragaman konsumsi pangan yang tinggi. Keragaman konsumsi pangan rumah tangga berdasarkan skor HDDS modifikasi termasuk ke dalam kategori sedang yaitu 70.7% rumah tangga mengonsumsi 6–8 jenis pangan (Tabel 19). Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Ajani (2010) pada rumah tangga di wilayah agroekologi pertanian di Nigeria dengan skor berdasarkan 14 kelompok pangan menunjukkan keragaman konsumsi pangan sebagian besar rumah tangga (83%) termasuk ke dalam kategori sedang (5–9 jenis). . Tabel 19 Sebaran rumah tangga contoh menurut keragaman konsumsi pangan rumah tangga berdasarkan skor HDDS modifikasi Rumah tangga contoh Skor HDDS n % Rendah (≤ 5 jenis) 21 21.2 Sedang (6–8 jenis) 70 70.7 Tinggi (≥ 9 jenis) 8 8.1 Total 99 100.0
Rata-rata TKE dan TKP pada rumah tangga dengan skor HDDS rendah adalah 46.3% dan 45.8%, pada rumah tangga dengan skor HDDS sedang adalah 50.9% dan 56.1%, dan pada rumah tangga dengan skor HDDS tinggi adalah 77.1% dan 89.3% (Tabel 20). Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi skor HDDS maka nilai TKE dan TKP rumah tangga juga semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hoddinot dan Yohannes (2002) yang menunjukkan bahwa peningkatan keragaman konsumsi pangan rumah tangga sebesar 1% juga meningkatkan konsumsi per kapita anggota rumah tangga sebesar 1% dan ketersediaan energi sebesar 0.7%. Tabel 20 Rata-rata TKE dan TKP pada setiap kategori skor HDDS modifikasi TKE (%) TKP (%) Kategori Skor HDDS Mean ± SD Mean ± SD Rendah (≤ 5 jenis) 46.3 ± 14.1 45.8 ± 14.9 Sedang (6–8 jenis) 50.9 ± 13.1 56.1 ± 17.5 Tinggi (≥ 9 jenis) 77.1 ± 25.9 89.3 ± 31.4
41
Hasil modifikasi HDDS di atas selanjutnya digunakan untuk uji sensitivitas dan spesifisitas terhadap TKE dan kombinasi TKE dan status gizi balita. Tingkat Kecukupan Energi (TKE) sebagai Gold Standard Hasil uji Se dan Sp pada HDDS modifikasi menunjukkan bahwa HDDS modifikasi sensitif sebesar 97.64% untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan dan hanya spesifik 42.86% untuk mengidentifikasi rumah tangga tahan pangan (Tabel 21). Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan skor HDDS modifikasi memiliki hubungan yang signifikan terhadap TKE (r=0.304, p<0.01) dan TKP (r=468, p<0.01). Tabel 21 Sebaran skor HDDS modifikasi dengan gold standard Tingkat Kecukupan Energi (TKE) Tingkat Kecukupan Energi HDDS Jumlah Rendah Tinggi ( < 70% AKE ) ( ≥ 70% AKE) Rendah (0–8) 83 8 91 Tinggi (9–12) 2 6 8 Jumlah 85 14 99 Sensitivitas =
83 (83+2)
= 97.64
Spesifisitas =
6 (8+6)
= 42.86
Tingkat Kecukupan Energi (TKE) Status Gizi Balita sebagai Gold Standard Seperti pada validasi sebelumnya, dilakukan juga tabulasi silang antara skor HDDS modifikasi dengan kombinasi tingkat kecukupan energi dan status gizi balita. Sebaran skor HDDS dengan gold standard (TKE) dan status gizi balita ditunjukkan pada Tabel 22. Tabel 22 Sebaran skor HDDS dengan gold standard Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dan status gizi balita (SG) TKE+SG Rendah Tinggi HDDS Jumlah ( < 70% AKE; Z ( ≥ 70% AKE; Z score < -2.0 ) score ≥ -2.0) Rendah (0–8) 40 9 48 Tinggi (6–12) 0 5 5 Jumlah 40 14 54 40 Sensitivitas = = 100.00 (40+0)
Spesifisitas =
5 (9+5)
= 35.71
42
HDDS modifikasi sensitif 100% untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan yang memiliki balita dengan status gizi kurang. Hasil uji spesifisitas menunjukkan HDDS modifikasi hanya spesifik 35.71% untuk mengidentifikasi rumah tangga tahan pangan yang memiliki balita dengan status gizi baik. Berdasarkan hal tersebut, HDDS modifikasi dapat digunakan sebagai metode atau indikator alternatif dalam mendeteksi kejadian rawan pangan di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian sawah karena memiliki nilai sensitifitas yang cukup tinggi setelah dibandingkan terhadap TKE sebagai gold standard. Hal ini didukung oleh Maxwell et al. (1999) yang menyatakan bahwa jika tujuannya adalah untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan, maka nilai sensitivitasnya harus tinggi (≥90%). Pada penelitian tersebut, dilakukan alternatif gold standard indikator katahanan pangan menggunakan kombinasi tingkat kecukupan energi dan kebiasaan berbagi pangan terkait coping strategy.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Konsumsi pangan rumah tangga contoh termasuk ke dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 72.7% rumah tangga mengonsumsi lebih dari enam jenis pangan. Pekerjaan ibu rumah tangga menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap skor keragaman konsumsi pangan rumah tangga (p<0.05). Sebagian besar rumah tangga contoh mengalami defisit energi (85.9%) dan protein (75.8%) tingkat berat. Terdapat hubungan yang signifikan antara TKE dan TKP terhadap skor HDDS (p<0.05). Sebagian besar balita memiliki status gizi baik (61.1%). Skor HDDS dan TKE tidak berhubungan secara signifikan dengan status gizi balita (p>0.05). Namun, TKP secara signifikan berhubungan dengan status gizi balita (p<0.05) dengan nilai korelasi 0.220. Secara kualitatif, metode HDDS relatif lebih mudah dan sederhana digunakan untuk pengambilan data konsumsi pangan rumah tangga. Hasil uji sensitivitas dan spesifisitas dengan gold standard TKE dan kombinasi TKE dengan status gizi balita keduanya menunjukkan nilai sensitivitas yang rendah dan spesifisitas yang tinggi. Sehingga HDDS tidak mampu digunakan sebagai metode alternatif untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan. Pengembangan yang dilakukan adalah dengan modifikasi skor HDDS. Modifikasi dilakukan dengan mengategorikan kelompok pangan berdasarkan fungsi gizi yang sama ke dalam satu kategori. Hasil uji sensitivitas dan spesifisitas dengan gold standard TKE dan kombinasi TKE dengan status gizi balita keduanya menunjukkan nilai sensitivitas HDDS modifikasi yang tinggi dan spesifisitas yang rendah. Nilai sensitivitas yang tinggi mengimplikasikan bahwa HDDS modifikasi mampu digunakan sebagai metode atau indikator alternatif dalam mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan di wilayah perdesaan dengan karakteristik agroekologi pertanian.
43 Saran Skor HDDS modifikasi dapat digunakan untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan secara cepat di wilayah agroekologi pertanian di Indonesia. Selain itu, perlu dilakukan validasi HDDS pada rumah tangga dengan karakteristik lainnya seperti komunitas yang berbeda dan berada di wilayah perkotaan.
DAFTAR PUSTAKA Abramson JH. 1990. Survey Methods in Community Medicine. Ed ke-4. Edinburgh (UK): Churchill Livingstone. Addy PS. 1999. Food security and nutritional status of children in fishing community [tesis]. Ghana: University of Ghana. Ahmad NA. 2011. Sensitivity and specificity of the self-report adolescent health screening tool in identifying mental health problems among adolescents. Web Med Cent. Tersedia pada http://www.webmedcentral.com/article_view/2534. Ajani SR. 2010. An assessment of dietary diversity in six Nigerian states. Afr J Biomed Res 13:161–167. Ariani M, Rachman HPS. 2003. Analisis tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Med Giz Kel 27 (2): 1–6. Ariani M, Saliem HP, Hardono GS, Purwantini TB. 2006. Analisis wilayah rawan pangan dan rawan gizi kronis serta alternatif penanggulangannya. Deptan [Internet]. (diunduh 2014 Juli 2). Tersedia pada pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/ip011085.pdf. Arimond M, Ruel MT. 2004. Dietary diversity is associated with child nutritional status: evidence from 11 demographic and health surveys. J Nutr 134: 2579–2585. Arimond et al. 2010. Simple food group diversity indicators predict micronutrient adequacy of women’s diets in 5 diverse, resource-poor settings. J Nutr 140: 2059–2069. Azadbakht L, Mirmiran P, Azizi F. 2006. Variety scores of food groups contribute to the specific nutrient adequacy in Tehranian men. Europ J Clin Nutr 59(11):1233–1240. Azwar S. 2006. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. [Balitbangkes] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Baliwati YF, Roosita K. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2010. Jakarta (ID): BAPPENAS.
44 [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2012. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011. Jakarta (ID): BAPPENAS. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1998. Gerakan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta (ID): BKKBN. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Kabupaten Bogor Dalam Angka 2012. Bogor (ID): BPS. Cook JT, Frank DA. 2008. Food security, poverty, and human development in the United States. Ann N Y Acad Sci: 1–16. doi: 10.1196/annals.1425.001. Deitchler M, Ballard T, Swindale A, Coates J. 2011. Introducing a simple measure of household hunger for cross-cultural use. Technical Note No. 12 FANTA 2. Washington (US): USAID. [DEPKES] Departemen Kesehatan. 1996. 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang. Jakarta (ID): Direktorat Bina Gizi Masyarakat. [DEPKES] Departemen Kesehatan. 2011. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Djaali, Muljono P. 2008. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Grasindo. [DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2009. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2010–2014. Jakarta (ID): Dewan Ketahanan Pangan. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2008. Report On Use of The Household Food Insecurity Access Scale and Household Dietary Diversity Score in Two Survey Rpunds in Manica and Sofala Provinces Mozambique 2006–2007. FAO food security project GCP/MOZ/079/BEL. Fausat AF, Naphtali J. 2014. Socioeconomic characteristics and food diversity amongst high income households: a case study of Maiduguri metropolis, Borno State, Nigeria. Am J Soc Manag Sci 5(1): 19–26. Gonzales W, Jimenez A, Madrigal G, Munoz LM, Frongillo EA. 2008. Development and validation of measure of household food insecurity in urban Costa Rica confirms proposed generic questionnaire. J Nutr 138:587– 592. Hanafie R. 2007. Diversifikasi konsumsi pangan sebagai komponen utama ketahanan pangan. Agrika [Internet]. (diunduh 2014 Mei 19); 1(2): ?–?. Tersedia pada: http://widyagama.ac.id/pertanian/wpcontent/uploads/2012/01/4Rita.pdf. Hardinsyah et al. 2002. Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Jakarta (ID): Deptan. Hardinsyah. 2007. Review faktor determinan keragaman konsumsi pangan. J Giz Pang 2(2): 55–74. Hariyadi D, Damanik RM, Ekayanti I. 2010. Analisis hubungan penerapan pesan gizi seimbang keluarga dan perilaku keluarga sadar gizi dengan status gizi balita di Provinsi Kalimantan Barat. J Giz Pang 5(1): 61–68. Hermawan I. 2013. Bantuan Langsung Sementara Masyarakat. Info Singkat [Internet]. [diunduh 2013 agustus 12];5(13):13–16. Tersedia pada: http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-V-13I-P3DI-Juli-2013-79.
45 Hoddinott J, Yohannes Y. 2002. Dietary Diversity as a Household Food Security Indicator. Washington (US): FANTA AED. __________. 2002. Dietary diversity as a food security indicator. Di dalam: Food Consumption and Nutrition Division Discussion Paper No 136 [Internet]. Washington (US): Int Food Policy Research Inst. [diunduh 2013 Maret 8]. Tersedia pada: http://www.aed.org/Health/upload/dietarydiversity.pdf. [IFPRI] International Food Policy Research Institute. 2008. Validation of Food Frequency and Dietary Diversity as Proxy Indicators of Household Food Security. Italy (IT): IFPRI. Joseph ML, Carriquiry A. 2010. A measurement error approach to assess the association between dietary diversity, nutrient intake, and mean probability of adequacy. J Nutr 140: 2094S–2101S. Kennedy et al. 2007. Dietary diversity score is a useful indicator of micronutrient intake in non breast-feeding Filipino Children. J Nutr 137: 1–6. Kennedy GL. 2009. Evaluation of dietary diversity scores for assessment of micronutrient intake and food security in developing countries [tesis]. Roma (IT): Wageningen University. Kennedy G, Razes M, Ballard T, Dop MC. 2010. Measurement of Dietary Diversity for monitoring the impact of food based approaches. International Symposium on Food and Nutrition Security: Food-based approaches for improving diets and raising levels of nutrition [Internet]. [2010 Des 7–9]. Roma (IT): FAO. hlm 1–11; [diunduh 2013 Jan 27]. Tersedia pada: http://www.foodsec.org/fileadmin/user_upload/eufao-fsi4dm/docs/Dietary_ Diversity_paper.pdf. Kennedy G, Ballard T, Dop MC. 2011. Guidelines for Measuring Household and Individual Dietary Diversity. Roma (IT): FAO. _____________________________. 2013. Guidelines for Measuring Household and Individual Dietary Diversity. Roma (IT): FAO. Kerlinger FN. 1990. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Simatupang LR, penerjemah; Koesoemanto, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Foundations Of Behavioral Research. Lemeshow S, Hosmer DW, Klar J, Lwangan SK. 1990. Adequacy of Sample Size in Health Studies. New York (US): WHO. Maxwell S, Frankenberger TR. 1992. Household Food Security: Concepts, Indicators, Measurements; A Technical Review. New York: International Fund For Agricultural Development. Maxwell D et al. 1999. Alternative food security indicators: revisiting the frequency and severity of coping strategies. Food Policy 24: 411–429. Maxwell D, Coates J, Vaitla B. 2013. How do Different Indicators of Household Food Security Compare? Empirical Evidence from Tigray. Medford (US): Feinstein International Center, Tufts University. Mirmiran et al. 2004. Dietary diversity score in adolescent a good indicator of the nutritional adequacy of diet: Tehran lipid and glucose study. Asia Pacific J Clin Nutr 13(1): 56–60. Natalia LD, Rahayuning D, Fatimah S. 2013. Hubungan ketahanan pangan tingkat keluarga dan tingkat kecukupan zat gizi dengan status gizi batita di desa Gondangwinangun tahun 2010. J Kes Masy 2(2): 1–19.
46 Olayemi AO. 2012. Effects of family size on household food security in Osun State, Nigeria. Asian J Agr Rural Develop 2(2): 136–141. Oliyini OA. 2014. Assessment of households’ food access and food insecurity in urban Nigeria: a case study of Lagos metropolis. Glob J Hum Soc Sci Eco 14(1): 20–30. Rachman HPS, Ariani M. 2008. Penganekaragaman konsumsi pangan di Indonesia: permasalahan dan implikasi untuk kebijakan dan program. Anal Keb Pertan [Internet]. [diunduh 2013 Jan 19]; 6(2): 140–154. Tersedia pada http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART6-2c.pdf. Rashid DA, Smith LC, Rahman T. 2011. Determinants of dietary quality: evidence from Bangladesh. World Develop 39(12): 2221–2231. doi 10.1016/j.worlddev.2011.05.022. Rathnayake KM, Madushani PAE, Silva KDRR. 2012. Use of dietary diversity score as a proxy indicator of nutrient adequacy of rural elderly people in Sri Lanka. BMC Res Notes: 1–6. [ulasan singkat] Ruel MT. 2002. Is dietary diversity an indicator of food security or dietary quality? A review of measurement issues and research needs. Washington (US): IFPRI. Ruel MT. 2003. Operationalizing dietary diversity: a review of measurement issues and research priorities. J Nutr [Internet]. [diunduh 2012 Des 26]; 133(11): 3911S–3926S. Tersedia pada http://jn.nutrition.org/content/133/ 11/3911S. Saliem HP et al. 2006. Diversifikasi Usaha Rumah Tangga Dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Jakarta (ID): Deptan. Savy M, Prevel YM, Sawadogo P, Kameli Y, Delpeuch F. 2005. Use of variety/diversity scores for diet quality measurement: relation with nutritional status of women in a rural area in Burkina Faso. Europ J Clin Nutr 59: 703–716. Sediaoetama AD. 2000. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia Jilid 1. Jakarta (ID): Dian Rakyat. Smith LC, Subandoro A. 2007. Measuring Food Security Using Household Expenditure Surveys: Food Security in Practice Technical Guide Series. Washington (US). IFPRI. Styen NP, Nel JH, Nantel G, Kennedy G, Labadarios D. 2006. Food variety and dietary diversity scores in children: are they good indicators of dietary adequacy. Pub Health Nutr 9(5):644–50. Sumarwan U, Sukandar D. 1998. Analisis ketahanan pangan keluarga dan kesejahteraan keluarga. Media Gizi dan Keluarga 22(1): 31–38. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. Swindale A, Bilinsky P. 2005. Household Dietary Diversity Score (HDDS) for Measurement of Household Food Access: Indicator Guide. Washington (US): FANTA AED. _____________________. 2006. Development of a universally applicable household food insecurity measurement tool: process, current status, and outstanding issues. J Nutr 136: 1449S–1452S.
47 Tanziha I. 2005. Analisis peubah konsumsi pangan dan social ekonomi rumah tangga untuk menentukan determinan dan indikator kelaparan [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tanziha I, Herdiana E. 2009. Analisis jalur faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. J Giz Pang 4(2): 107–116. Taruvinga A, Muchenje V, Mushunje A. 2013. Determinants of rural household dietary diversity: the case of Amatole and Nyandeni district, South Africa. Int J Dev Sustain 2(4): 1–15. Thorne-Lyman AL, Valpiani N, Sun K, Semba RD, Klotz CL, Kraemer K, Akhter N, de Pee S, Moench-Pfanner R, Sari M, and Bloem MW. 2010. Household dietary diversity and food expenditures are closely linked in rural Bangladesh, increasing the risk of malnutrition due to the financial crisis. J Nutr 140: 182S–188S. Tiwari S, Skoufias E, Sherpa M. 2013. Linking measures of household food security to nutritional outcomes in Bangladesh, Nepal, Pakistan, Uganda, and Tanzania. Policy Research Working Paper 6584: 1–116. [UNICEF]. 1998. The State of The World’s Childre 1998: Focus of Nutrition. UK: Oxford University Pr. [USAID] United States Agency for International Development. 1992. Policy Determination 19, Definition of Food Security, April 13, 1992. Washington DC (US): USAID. Usfar AA. 2007. The alarming food insecurity situation in Indonesia: analysis of 13 studies in 6 provinces within 2004–2006 and its relationship with livelihood security. Giz Indon 30(2): 98–111. Vakili M, Abedi P, Sharifi M, Hosseini M. 2013. Dietary diversity and its related factors among adolescents: a survey in Ahvaz-Iran. Glob J Health Sci [Internet]. [2014 Mei 2]; 5(2):181–186. doi: 10.5539/gjhs.v5n2p181. Tersedia pada:http://dx.doi.org/10.5539/gjhs.v5n2p181. Wiesmann D, Bassett L, Benson T, Hoddinott J. 2009. Validation of the World Food Programme’s food consumption score and alternative indicators of household food security. IFPRI Discussion Paper 00870. Washington (US): IFPRI.
48 Lampiran 1 Hasil analisis deskriptif karakteristik rumah tangga contoh
Frekuensi
Persen
Persen Valid
Persen Kumulatif
Valid kecil ( <= 4 orang)
36
36.4
36.4
36.4
sedang (5-7 orang)
50
50.5
50.5
86.9
besar ( >=8 orang)
13
13.1
13.1
100.0
Total
99
100.0
100.0
Valid Dewasa awal (19-29)
25
25.3
25.3
25.3
Dewasa pertengahan (30-49)
64
64.6
64.6
89.9
Dewasa akhir(50-59)
8
8.1
8.1
98.0
Lansia ( >=60)
2
2.0
2.0
100.0
Total
99
100.0
100.0
1
1.0
1.0
1.0
Dewasa awal (19-29)
35
35.4
35.4
36.4
Dewasa pertengahan (30-49)
62
62.6
62.6
99.0
Lansia (>=60)
1
1.0
1.0
100.0
Total
99
100.0
100.0
1
1.0
1.0
1.0
SD
89
89.9
89.9
90.9
SMP
9
9.1
9.1
100.0
Total
99
100.0
100.0
Karakteristik Rumah Tangga Kategori ukuran rumah tangga
Kategori usia kepala rumah tangga
Kategori usia ibu rumah tangga Valid Remaja (10-18)
Pendidikan kepala rumah tangga Valid Tidak sekolah
49
Frekuensi
Persen
Persen Valid
Persen Kumulatif
1
1.0
1.0
1.0
SD
93
93.9
93.9
94.9
SMP
5
5.1
5.1
100.0
Total
99
100.0
100.0
8
8.1
8.1
8.1
Buruh tani
69
69.7
69.7
77.8
Buruh non tani
17
17.2
17.2
94.9
Pedagang
2
2.0
2.0
97.0
Jasa (ojeg,supir,penjahit)
3
3.0
3.0
100.0
Total
99
100.0
100.0
2
2.0
2.0
2.0
Buruh tani
7
7.1
7.1
9.1
Buruh non tani
2
2.0
2.0
11.1
Pedagang
3
3.0
3.0
14.1
IRT
85
85.9
85.9
100.0
Total
99
100.0
100.0
Karakteristik Rumah Tangga Pendidikan ibu rumah tangga Valid Tidak sekolah
Pekerjaan kepala rumah tangga Valid Petani
Pekerjaan ibu rumah tangga Valid Petani
Pendapatan kepala rumah tangga Valid Rp 301.000-Rp 800.000
89
89.9
89.9
89.9
Rp 801.000-Rp 1.300.000
7
7.1
7.1
97.0
Rp 1.301.000-Rp 1.800.000
2
2.0
2.0
99.0
> Rp 1.800.000
1
1.0
1.0
100.0
Total
99
100.0
100.0
50
Variabel
N
Besar anggota rumah tangga
99
3
Usia KK
99
Usia Ibu RT
99
Valid N (listwise)
99
Mean
Std. Deviasi
12
5.46
1.886
23
63
37.75
9.488
18
61
32.07
8.041
Minimum Maksimum
Lampiran 2 Hasil analisis keragaman konsumsi pangan menggunakan skor HDDS
Keragaman konsumsi pangan Frekuensi
Persen
Persen Valid
Persen Kumulatif
2
2.0
2.0
2.0
sedang (4-5 jenis)
25
25.3
25.3
27.3
tinggi ( >= 6 jenis )
72
72.7
72.7
100.0
Total
99
100.0
100.0
Kategori Skor HDDS Valid rendah ( <= 3 jenis )
Lampiran 3 Hubungan karakteristik rumah tangga dengan skor HDDS 1. Ukuran rumah tangga Kategori 1 : kecil = 1 lainnya = 0 Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df a
.007
1
.932
Continuity Correction
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.007
1
.932
Pearson Chi-Square b
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
1.000
Linear-by-Linear Association
.007
N of Valid Casesb
99
1
.932
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.82. b. Computed only for a 2x2 table
.555
51 2. Kategori 2 : besar = 1 lainnya = 0
Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
.379a
1
.538
Continuity Correction
.152
1
.697
Likelihood Ratio
.379
1
.538
Pearson Chi-Square b
Exact Sig. (2- Exact Sig. (1sided) sided)
Fisher's Exact Test
.653
Linear-by-Linear Association
.375
N of Valid Casesb
99
1
.349
.540
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.36. b. Computed only for a 2x2 table
3. Usia kepala rumah tangga Kategori : < 38 tahun = 0 ≥ 38 tahun = 1
Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. df (2-sided)
Pearson Chi-Square
.027a
1
.870
Continuity Correctionb
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.027
1
.870
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1sided)
1.000
Linear-by-Linear Association
.027
N of Valid Casesb
99
1
.870
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.36. b. Computed only for a 2x2 table
.525
52 4. Usia ibu rumah tangga Kategori : < 32 tahun = 0 ≥ 32 tahun = 1
Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. Exact Sig. (2(2-sided) sided)
df
.169a
1
.681
Continuity Correction
.034
1
.853
Likelihood Ratio
.168
1
.681
Pearson Chi-Square b
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (1sided)
.822
Linear-by-Linear Association
.167
N of Valid Casesb
99
1
.426
.683
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.09. b. Computed only for a 2x2 table
5. Pendidikan kepala rumah tangga Kategori : ≤ tamat SD = 0 > tamat SD = 1 Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2sided) sided)
df
.127a
1
.721
Continuity Correction
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.132
1
.716
Pearson Chi-Square b
Fisher's Exact Test
1.000
Linear-by-Linear Association
.126
N of Valid Casesb
99
1
Exact Sig. (1-sided)
.535
.723
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.45. b. Computed only for a 2x2 table
53
6. Pendidikan ibu rumah tangga Kategori : ≤ tamat SD = 0 > tamat SD = 1 Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
.140a
1
.708
Continuity Correction
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.149
1
.699
Pearson Chi-Square b
Exact Sig. (2sided)
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (1sided)
1.000
Linear-by-Linear Association
.139
N of Valid Casesb
99
1
.584
.709
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.36. b. Computed only for a 2x2 table
7. Pekerjaan kepala rumah tangga Kategori : non tani = 0 buruh tani = 1 Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided) sided) sided)
df
.295a
1
.587
Continuity Correction
.074
1
.786
Likelihood Ratio
.288
1
.591
Pearson Chi-Square b
Fisher's Exact Test
.596
Linear-by-Linear Association
.292
N of Valid Casesb
99
1
.385
.589
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.00. b. Computed only for a 2x2 table
54 8. Pekerjaan ibu rumah tangga Kategori : bekerja = 0 tidak bekerja = 1 Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
4.246a
1
.039
Continuity Correction
3.017
1
.082
Likelihood Ratio
3.859
1
.049
Pearson Chi-Square b
Exact Sig. (2- Exact Sig. (1sided) sided)
Fisher's Exact Test
.053
Linear-by-Linear Association
4.203
N of Valid Casesb
99
1
.046
.040
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.82. b. Computed only for a 2x2 table
9. Pendapatan kepala rumah tangga Kategori : ≤ Rp800 000 = 0 > Rp800 000 = 1 Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided) sided) sided)
df
.042a
1
.838
Continuity Correction
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.041
1
.840
Pearson Chi-Square b
Fisher's Exact Test
1.000
Linear-by-Linear Association
.041
N of Valid Casesb
99
1
.548
.839
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.73. b. Computed only for a 2x2 table
55 Lampiran 4 Hasil analisis regresi logistik faktor determinan keragaman konsumsi pangan Variables in the Equation 95.0% C.I.for EXP(B) B Step 1a
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
Lower
Upper
KatBsrRT1
-1.419
1.079
1.731
1
.188
.242
.029
2.003
KatBsrRT2
-1.503
.976
2.371
1
.124
.223
.033
1.507
KatUsiaRataKK
-.683
.804
.721
1
.396
.505
.104
2.444
KatUsiaRataIbu
.803
.792
1.029
1
.310
2.232
.473
10.534
KatPnddkanKK
.640
.908
.497
1
.481
1.897
.320
11.241
KatPnddkanIbu
.380
1.277
.088
1
.766
1.462
.120
17.876
krjkk1
.294
.568
.268
1
.604
1.342
.441
4.086
krjibu1
1.637
.684
5.729
1
.017
5.141
1.345
19.648
KatPdptn
-.662
.803
.679
1
.410
.516
.107
2.490
Constant
.646
1.144
.319
1
.572
1.907
a. Variable(s) entered on step 1: KatBsrRT1, KatBsrRT2, KatUsiaRataKK, KatUsiaRataIbu, KatPnddkanKK, KatPnddkanIbu, krjkk1, krjibu1, KatPdptn.
Lampiran 5 Hasil uji korelasi Pearson antara TKE dan TKP terhadap skor HDDS Correlations skor HDDS skor HDDS
.436**
.571**
.000
.000
99
99
99
**
1
.835**
Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed) N TKE RT (AKE 2012)
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
TKP RT (AKP 2012)
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
TKE RT (AKE TKP RT (AKP 2012) 2012)
.436
.000
.000
99
99
99
.571**
.835**
1
.000
.000
99
99
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
99
56 Lampiran 6 Tabulasi silang skor HDDS dengan TKE dan skor HDDS modifikasi dengan TKE Kategori skor hdds (kualitas keragaman) * Kalsifikasi TKE (tahan/rawan pangan) Crosstabulation Kalsifikasi TKE (tahan/rawan pangan) rawan pangan ( tahan pangan ( < 70% AKE ) >= 70% AKE ) Kategori skor hdd rendah ( < 6 (kualitas keragaman) jenis )
Tinggi ( >=6 jenis)
Total
Count % of Total Count % of Total Count % of Total
Total
26
1
27
26.3%
1.0%
27.3%
59
13
72
59.6%
13.1%
72.7%
85
14
99
85.9%
14.1%
100.0%
Kategori skor HDDS modifikasi * Kalsifikasi TKE (tahan/rawan pangan) Crosstabulation Kalsifikasi TKE (tahan/rawan pangan) rawan pangan ( tahan pangan ( < 70% AKE ) >= 70% AKE ) Kategori skor HDDS modifikasi
rendah (0-8) Count % of Total tinggi (9-12) Count % of Total
Total
Count % of Total
Total
83
8
91
83.8%
8.1%
91.9%
2
6
8
2.0%
6.1%
8.1%
85
14
99
85.9%
14.1%
100.0%
57
Lampiran 7 Tabulasi silang skor HDDS dengan TKE dan status gizi balita (sebelum dan sesudah modifikasi)
Kategori skor HDDS * Kategori Tke dan Status gizi balita Crosstabulation Kategori Tke dan Status gizi balita TKE rendah dan TKE tinggi dan status gzii kurang status gizi baik Kategori skor HDDS Rendah Tinggi Total
Total
17
1
18
23
13
35
40
14
54
Kategori SKor HDDS modifikasi * Kategori Tke dan Status gizi balita Crosstabulation Kategori Tke dan Status gizi balita TKE rendah dan status gzii TKE tinggi dan kurang status gizi baik Kategori SKor HDDS modifikasi Total
Total
Rendah
40
9
48
Tinggi
0
5
5
40
14
54
58
Lampiran 8 Hasil uji korelasi Spearmann antara status gizi balita dengan skor HDDS, HDDS modifikasi, TKE, dan TKP rumah tangga 58
Correlations Kategori Z
keragaman
Score (BB/U) Spearman's rho Kategori Z
Correlation
Score (BB/U) Coefficient Sig. (2tailed) N keragaman
Correlation
konsumsi
Coefficient
pangan
Sig. (2tailed) N
Klasifikasi
Correlation
TKE
Coefficient
2012(defisit,n Sig. (2ormal,lebih) tailed) N
Klasifikasi TKE
Klasifikasi TKP 2012 Kategori skor modifikasi
konsumsi pangan 2012(defisit,normal,lebih)
(defisit,normal,lebih)
HDDS 1
1.000
.017
.175
.220*
.204*
.
.855
.064
.019
.031
113
113
113
113
113
.017
1.000
.109
.037
.032
.855
.
.249
.693
.739
113
113
113
113
113
.175
.109
1.000
.715**
.373**
.064
.249
.
.000
.000
113
113
113
113
113
59
Correlations Kategori Z Score (BB/U) Klasifikasi
Correlation
TKP 2012
Coefficient
(defisit,normal Sig. (2,lebih) tailed) N Kategori skor Correlation modifikasi
Coefficient
HDDS 1
Sig. (2tailed) N
keragaman
Klasifikasi TKE
Klasifikasi TKP 2012 Kategori skor modifikasi
konsumsi pangan 2012(defisit,normal,lebih)
(defisit,normal,lebih)
HDDS 1
.220*
.037
.715**
1.000
.320**
.019
.693
.000
.
.001
113
113
113
113
113
.204*
.032
.373**
.320**
1.000
.031
.739
.000
.001
.
113
113
113
113
113
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
59
60
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 23 Mei 1986 sebagai anak tunggal dari pasangan Nadirman dan Yarneli. Pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas ditempuh di Sekolah Indonesia Kuala Lumpur. Pendidikan sarjana ditempuh di Mayor Biologi, FMIPA IPB, lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2011 penulis diterima di Program Studi Gizi Masyarakat pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2014. Selama mengikuti program S2 penulis telah menghasilkan beberapa karya ilmiah yaitu sebagai penyaji poster dengan judul Determinants of Overweight among Indonesian Teenage Females pada International Conference of Nutrition di Granada, Spanyol (2013); artikel ilmiah dengan judul (1) Validasi Household Dietary Diversity Score (HDDS) untuk Identifikasi Rumah Tangga Rawan Pangan di Wilayah Agroekologi Pertanian di Kabupaten Bogor, (2) Modifikasi Household Dietary Diversity Score (HDDS) untuk Identifikasi Rumah Tangga Rawan Pangan di Wilayah Agroekologi Pertanian di Kabupaten Bogor (akan diterbitkan di Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan), (3) Validasi Metode HDDS (Household Dietary Diversity Score)untuk Identifikasi Rumah Tangga Rawan Pangan di Indonesia (Seminar Hasil Penelitian LPPM IPB, Oktober 2013); dan sebagai pemakalah dengan judul (1) Konsumsi Kacang-Kacangan pada Rumah Tangga di Perkotaan dan Perdesaan di Kabupaten Bogor, (2) Kemandirian Kacang-Kacangan di 26 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012 (Simposium Nasional Kedelai di Bogor, Juni 2014). Selain itu, selama menempuh pendidikan pascasarjana di IPB, penulis menjadi asisten praktikum untuk matakuliah Ekologi Pangan dan Gizi serta Perencanaan Pangan dan Gizi untuk jenjang sarjana (S1).